Anda di halaman 1dari 13

[28/2 15:59] Nur Pratiwi: Hj Rasuda Said

H.R. Rasuna Said dilahirkan pada 15 September 1910, di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten
Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said,
seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.

Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja dikirimkan sang ayah
untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah. Saat itu, ia merupakan satu-satunya santri
perempuan. Ia dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Rasuna Said kemudian
melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang, dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah,
seorang tokoh gerakan Thawalib. Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam
di Sumatra Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-Islam Turki,
Mustafa Kemal Atatürk.

Menjadi Penggerak Pendidikan Wanita

Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia sempat mengajar di
Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki
pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi
harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum
sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak. Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul
atau Dr H Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan
kebebasan berfikir yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said.

Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat
pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap, kelakuan ini bagian dari pelecehan
terhadap kaum wanita.
Menjadi Jurnalis Perempuan

Tak hanya itu, Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935 Rasuna
menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi
tonggak perlawanan di Sumatra Barat. Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak
Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan
kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan,
Sumatra Utara. Sunan Kalijaga menggantikan ayahnya.

Meski merupakan putri bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyat.
Setelah dewasa dia juga tampil sebagai salah satu panglima perang melawan penjajah.

Semangatnya untuk bangkit selain untuk membela rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela
Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda.

Yang sangat menonjol dari sejarah perilaku dan perjuangan Pahlawan Wanita ini antara lain ialah
kemahirannya dalam krida perang, kepemimpinan yang arif bijaksana sehingga menjadi suri tauladan
bagi penganut-penganutnya.

Tekadnya keras untuk lebih maju dalam berbagai bidang, dengan jiwa patriotisme dan anti penjajahan
yang kuat dan konsekuen.
Imannya teguh terhadap Allah SWT dan terampil dalam menjalankan peran gandanya sebagai pejuang
sekalligus istri/ibu rumah tangga dan pendidik utama putra-putranya.

Sebutan Nyi Ageng Serang dikaitkan dengan kota tempat kelahirannya yaitu kota Serang yang terletak di
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (bukan kota Serang, Banten).

Kota Serang menjadi terkenal, semula karena menjadi markas besar perjuangan Natapraja atau
Penembahan Natapraja, yaitu rekan perjuangan Mangkubumi dalam Perang Giyanti tersebut.

Nyi Ageng Serang mewarisi jiwa dan sifat ayahandanya yang sangat benci kepada penjajahan Belanda
(VOC) dan memiliki patriotisme yang tinggi.

Menyimpang dari adat kebiasaan yang masih kuat mengingat kaum wanita masa itu, Nyi Ageng Serang
mengikuti latihan-latihan kemiliteran dan siasat perang bersama-bersama dengan para prajurit pria.

Keberaniannya sangat mengagumkan, dalam kehidupannya sehari-hari beliau sangat berdisiplin dan
pandai mengatur serta memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegatan yang bermanfaat.

Pandangannya sangat tajam dan menjangkau jauh ke depan. Menurut keyakinannya, selama ada
penjajahan di bumi pertiwi, selama itu pula rakyat harus siap tempur untuk melawan dan mengusir
penjajah. Karena itu rakyat terutama pemudanya dilatih terus-menerus dalam ha kemahiran berperang.

Hal itu rupanya dapat diketahui oleh penjajah Belanda. Karenanya pada suatu ketika mereka
mengadakan penyerbuan secara mendada terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja bersama
putra-putrinya itu, dengan kekuatan tentara yang besar.

Karena usianya sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang di serahkan kepada nyi Ageng Serang
bersama putranya laki-laki.
Walaupun diserang dengan mendadak dan dengan jumlah dan kekuatan tentara besar, pasukan Serang
tetap berjuang dengan gigih dan melakukan perlawanan mati-matian.

Dalam suatu pertempuran yang sangat sengit putra Penembahan Natapraja, saudara laki-laki nyi Ageng
Serang, gugur. Pimpinan dipegang langsung sendiri oleh Nyi Ageng Serang dan berjuang terus dengan
gagah berani.

Namun demikian, karena jumlah dan kekuatan musuh memang jauh lebih besar, sedangkan rekan
seperjuangannya yaitu Pangeran Mangkubumi tidak membantu lagi karena mengadakan perdamaian
dengan Belanda berdasarkan perjanjian Giyanti.

Maka akhirnya pasukan Serang terdesak, dan banyak yang gugur sehingga tidak mungkin melanjutkan
perlawan lagi. Walaupun Nyi Ageng Serang tidak mau menyerahkan diri, akhirnya tertangkap juga dan
menjadi tawanan Belanda.

Panembahan Natapraja sudah makin lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya
peristiwa-peristiwa tersebut. Akhirnya beliau jatuh sakit dan wafat.

Selama Nyi Ageng Serang dalam tahanan Belanda, terjadi perubahan-perubahan pending di Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I telah diganti Sultan Hamengkubuwono
II.

Bertepatan dengan Upacara Penobatan Sultan Hamengkubuwono II itu, Nyi Ageng Serang dibebaskan
dari tahanan Belanda dan bahkan diantarkan ke Yogyakarta untuk diserahkan kepada Sri Sultan.

Entah apa latar belakang yang sesungguhnya sehingga hal itu terjadi. Yang dapat diketahui dengan jelas
ialah bahwa kedatangan Nyi Ageng Serang di Yogyakarta disambut secara besar-besaran dengan tata
cara penghormatan yang tinggi sesuai adat keraton.

Upacara itu dilakukan mengingat jasa dan patriotisme almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng
Serang serta keharuman nama Pahlawan Nasional Wanita itu sendiri.
[28/2 16:01] Nur Pratiwi: Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu Martha Christina Tiahahu 1999 Indonesia,Lahir 4 Januari 1800

Bendera Hindia Belanda Abubu, Nusa Laut, Maluku,Hindia Belanda,Meninggal 2 Januari 1818(umur 17)
Laut Banda, Maluku, Indonesia Monumen patung di Ambon, Maluku; patung di Abubu Pekerjaan
Gerilyawan Tahun aktif 1817

Penghargaan

Pahlawan Nasional Indonesia

Martha Christina Tiahahu tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang putri
remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam
Perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia
dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang
panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi
ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam
ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata,
tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di
setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah tenggara Pulau Saparua yang tampak
betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena
tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat
ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa.
Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina Tiahahu berjuang untuk
melepaskan ayahnya dari hukuman mati, tetapi ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di
hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer
jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Untuk menghargai jasa dan
pengorbanannya, Martha Christina Tiahahu dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh
Pemerintah Republik Indonesia

[28/2 16:04] Nur Pratiwi: Cut Nyak Meutia


Tjut Nyak Meutia Pahlawan Nasional SemuaProfilBeritaFoto,Nama Lengkap Tjut Nyak Meutia Alias Cut
Nyak Meutia Agama IslamTempat Lahir Keureutoe, Pirak, Aceh Utara Tanggal Lahir Selasa.Warga Negara
Indonesia Suami Teuku Muhammad/Teuku Tjik Tunong Pang Nagroe

Biografi

Tjoet Njak Meutia merupakan salah satu pejuang wanita dari Aceh yang telah diakui sebagai pahlawan
nasional Indonesia. Sama halnya dengan para pejuang dari Tanah Rencong lainnya seperti Tjoet Njak
Dhien, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, dan tokoh pejuang Aceh lainnya, Tjoet Njak Meutia dikenal
sebagai sosok pemberani dan memiliki semangat juang yang tinggi serta tekad kuat untuk
mengenyahkan para penjajah.

Tjoet Njak Meutia bertempur melawan Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau lebih
dikenal sebagai Teuku Tjik Tunong. Mereka bersama-sama melalui perjuangan yang panjang, namun
pada akhirnya Teuku Tjik Tunong ditangkap oleh pihak Belanda pada bulan Maret tahun 1905. Teuku Tjik
Tunong kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Belanda di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum
meninggal, ia berpesan pada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya
sepeninggal dirinya kelak.

Sesuai pesan mendiang suaminya, Tjoet Njak Meutia pun menikah dengan Pang Nagroe lalu bergabung
bersama pasukan pimpinan Teuku Muda Gantoe. Dalam suatu pertempuran melawan Korps
Marechausée di Paya Cicem, Pang Nagroe tewas dalam peperangan pada tanggal 26 September 1910
sedangkan Tjoet Njak Meutia berhasil selamat. Ia bersama para wanita lainnya yang masih selamat
kemudian melarikan diri ke dalam hutan.

Setelah kematian Pang Nagroe, Tjoet Njak Meutia masih terus melakukan perlawanan terhadap Belanda
bersama sepasukan kecil pengikutnya. Mereka berusaha menyerang dan merampas pos-pos kolonial
sepanjang perjalanan mereka ke Gayo melewati hutan belantara. Namun, pada pertempuran di Alue
Kurieng tanggal 24 Oktober 1910 Tjoet Njak Meutia akhirnya gugur akibat tembakan peluru tentara
Belanda. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Tjoet Njak Meutia
di tahun 1964.

[28/2 16:06] Nur Pratiwi: R.A Dewi Sartika – biografi dan profil beliau sebagai salah satu tokoh perintis
pendidikan bagi para kaum wanita merupakan sesuatu yang amat berharga bagi dunia pendidikan di
Indonesia. Belia lahir di Bandung pada tanggal 4 Desember 1884, dan hidup selama 62 tahun sebelum
akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya pada tanggal 11 September 1947. Dewi
Sartika akhirnya diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1966 karena
jasa-jasa yang telah ia perbuat untuk negara ini.

Sejarah Singkat Kisah Hidup R.A Dewi Sartika - Biografi dan Profil Pahlawan

Linimasa Hidup Dewi Sartika

Sejarah singkat R.A Dewi Sartika – biografi dan profil milik beliau—dimulai ketika ia lahir di Bandung, 130
tahun yang lalu pada tanggal 4 Desember. Ayah dari gadis ini ialah Raden Somanagara, seorang pejuang
kemerdekaan yang dihukum buang menuju pulau Ternate pada masa Hindia Belanda masih memerintah
Indonesia, dimana ayahnya kemudian meninggal dunia di Ternate. Dewi Sartika lahir di keluarga priyayi
Sunda dengan Nyi Raden Rajapermas sebagai ibunya, dan meskipun adat daerah pada waktu itu wanita
tidak boleh bersekolah, kedua orangtuanya bersikeras untuk menyekolahkan gadis ini, terlebih di
sekolah milik Belanda.

Setelah ayahnya tiada, pamannya yang merupakan patih Cicalengka mengambil Dewi Sartika untuk
dirawat. Dari pamannya ini juga lah ia mendapatkan berbagai ilmu tentang kesundaan. Selain dari
pawannya, ia mempelajari banyak hal tentang kebudayaan Barat dari seorang asisten residen Belanda.
Dewi Sartika kecil memang sudah terlihat sebagai seorang pendidik dan amat gigih untuk meraih
kemajuan. Terkadang dapat dilihat ketika ia bermain di taman belakang gedung kantor pamannya, ia
sering mencoba-coba kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah sepertu mengajari baca-tulis dan bahasa
Belanda kepada anak-anak dari pembantu kepatihan. Adapun alat-alat yang menjadi alat bantu baginya
mengajar adalah arang, genting yang pecah, dan papan kandang kereta.

Sejarah singkat R.A Dewi Sartika – biografi dan profil yang ada menuliskan bahwa beliau menempuh
sekolah dasar di Cicalengka. Bukti lain bahwa Dewi Sartika sudah berbakat dalam dunia pengajaran
selain hobinya bermain peran menjadi guru adalah ketika ia menginjak umur 10 tahun, ia sudah ahli
baca-tulis dan beberapa kata bahasa Belanda yang mampu ditunjukkan oleh anak-anak dari pembantu
kepatihan. Yang membuat warga Cicalengka terkejut adalah pada masa itu hampir tidak ada anak-anak
dari kalangan rakyat jelata yang mampu melakukan hal-hal tersebut, terlebih lagi fakta bahwa yang
mengajari mereka adalah seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun.

Menginjak remaja, Dewi Sartika kembali pulang ke pangkuan ibundanya di Bandung. Jiwa dewasa yang
berkembang di dalam dirinya semakin mendorong gadis ini untuk merealisasikan mimpi-mimpinya, yang
juga diberikan dukungan penuh oleh pamannya yang punya keinginan yang sama. Meski begitu,
kesamaan mimpi antara Dewi Sartika dengan pamannya tidak serta merta membuat hal ini menjadi
lebih mudah bagi kedua orang tersebut karena di masa itu ada adat yang menjadi rantai pengekang
wanita, yang membuat pamannya menjadi khawatir dan kesulitan. Terlepas dari semua masalah yang
ada, api semangat yang membara dalam hati Dewi Sartika tidak padam, dan pada akhirnya ia berhasil
meyakinkan pamannya dan mendapatkan izin pendirian sekolah khusus untuk perempuan.

Mimpi yang dimiliki Dewi Sartika perlahan menjadi kenyataan, dimulai pada tahun 1902 dimana ia
membuka sebuah tempat pendidikan bagi para perempuan. Tempat yang dipilih oleh Dewi Sartika
adalah sebuah runagan kecil yang terletak di bagian belakang rumah milik ibunya di Bandung. Yang
menjadi materi pelajaran dari “sekolah” milik Dewi Sartika pada masa itu antara lain adalah memasak,
menjahit, menulis, merenda, dan memasak. Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya membuka
sebuah Sakola Istri (Sekolah Perempuan) setelah sebelumnya berkonsultasi dengan Bupati R. A.
Martenagara. Sekolah yang ia dirikan merupakan sekolah bagi perempuan yang pertama perdiri di
Hindia-Belanda, dan memiliki tiga pengajar yaitu Dewi Sartika sendiri dan Ny. Poerwa serta Nyi. Oewid.
Ruangan yang digunakan mereka adalah pendopo kabupaten Bandung, dan murid angkatan pertama
mereka ada sebanyak 20 orang. Karena kelas yang ada bertambah, pada tahun 1905 “sekolah” ini
pindah menuju Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Tempat baru ini dibeli menggunakan uang dari Dewi Sartika
sendiri dan suntikan dana dari kantong pribadi milik Bupati Bandung.

Sejarah singkat R.A Dewi Sartika – biografi dan profil menuliskan bahwa ia menikahi seorang pria yang
memiliki nama Raden Kanduruan Agah Suriawinata pada tahun 1906, dimana pernikahan mereka
berdua menghadihi seorang putra yang diberi nama R. Atot, nantinya akan menjadi ketua umum BIVB,
cikal bakal Persib Bandung. Hal terbaik yang dirasakan oleh Dewi Sartika adalah ketika ia mengetahui
bahwa suaminya memiliki mimpi dan visi yang sama dengan apa yang ia miliki selama bertahun-tahun,
yaitu pendidikan layak bagi wanita dan orang-orang yang kurang mampu. Suaminya sendiri merupakan
seorang guru di sekolah Karang Pamulang, sebuah sekolah yang melatih guru-guru.

Sejarah singkat R.A Dewi Sartika – biografi dan profil dari pahlawan nasional di bidang pendidika ini
mulai memasuki halaman terakhir ketika Dewi Sartika menghembuskan napas terakhirnya di
Tasikmalaya, dan dikebumikan dengan sebuah upacara sederhana di pemakaman Cigagadon. Sebelum
berpulang kembali ke sisi sang pencipta, Dewi Sartika sudah menyaksikan buah hasil kerja kerasnya
selama ini. Pada tahun 1912, ada 9 Sakola Istri yang berdiri, dan pada tahun 1920 kembali bertambah.
Sebelum dinobatkan menjadi pahlawan nasional Indonesia, ternyata Dewi Sartika telah terlebih dahulu
dianugerahi jasanya oleh pemerintah Hindia-Belanda karena kegigihannya memberi pengajaran yang
layak bagi seluruh lapisan masyarakat

[28/2 16:06] Nur Pratiwi: Raden Ajeng Kartini


RA. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA. Kartini dikenal sebagai wanita
yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia. Hal ini dimulai ketika Kartini
merasakan banyaknya diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita pada masa itu, dimana beberapa
perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan.

Kartini sendiri mengalami kejadian ini ketika ia tidak diperbolehkan melanjutkan studinya ke jenjang
yang lebih tinggi. Kartini sering berkorespondensi dengan teman-temannya di luar negeri, dan akhirnya
surat-surat tersebut dikumpulkan oleh Abendanon dan diterbitkan sebagai buku dengan judul "Habis
Gelap Terbitlah Terang".

Biografi Singkat Kartini Semasa hidupnya dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang
memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang
kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.

Ibu dari Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru
agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari ayahnya, bisa dilacak
terus hingga Sultan Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan Sosroningrat sendiri bisa terus ditelusuri
hingga pada masa Kerajaan Majapahit.

Ayah Kartini sendiri awalnya hanyalah seorang wedana (sekarang pembantu Bupati) di Mayong. Pada
masa itu, pihak kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang menjadi bupati harus memiliki bangsawan
sebagai istrinya, dan karena M.A. Ngasirah bukanlah seorang bangsawan, ayahnya kemudian menikah
lagi dengan Radeng Adjeng Moerjam, wanita yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura.
Pernikahan tersebut juga langsung mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan
ayah dari R.A. Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.

Sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal ketika ia yang berumur 12 tahun dilarang
melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS) di mana ia juga
belajar bahasa Belanda. Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita bersekolahnya muncul dari orang
yang paling dekat dengannya, yaitu ayahnya sendiri.
Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena usianya sudah mencapai 12 tahun, berarti ia
sudah bisa dipingit. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai menulis surat-surat kepada
teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, di mana ia kemudian mengenal Rosa
Abendanon yang sering mendukung apapun yang direncanakan Kartini.

Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut
api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang bagaimana wanita-wanita Eropa mampu berpikir sangat
maju. Api tersebut menjadi semakin besar karena ia melihat perempuan-perempuan Indonesia ada pada
strata sosial yang amat rendah.

Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah
asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang
dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah
tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang
kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche
Lelie.

Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan
penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini
menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.

Sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik
Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van
Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder
yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca
berbahasa Belanda

[28/2 16:12] Nur Pratiwi: Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi
lahir di Serang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada tahun 1762.

Beliau adalah putri bungsu dari Bupati Serang, Panembahan Natapraja yang menguasai wilayah terpencil
dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Purwodadi-Sragen.
Setelah ayahnya wafat, Nyi Ageng Serang yang juga salah satu keturunan Sunan Kalijaga menggantikan
ayahnya.

Meski merupakan putri bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyat.
Setelah dewasa dia juga tampil sebagai salah satu panglima perang melawan penjajah.

Semangatnya untuk bangkit selain untuk membela rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela
Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda.

Yang sangat menonjol dari sejarah perilaku dan perjuangan Pahlawan Wanita ini antara lain ialah
kemahirannya dalam krida perang, kepemimpinan yang arif bijaksana sehingga menjadi suri tauladan
bagi penganut-penganutnya.

Tekadnya keras untuk lebih maju dalam berbagai bidang, dengan jiwa patriotisme dan anti penjajahan
yang kuat dan konsekuen.

Imannya teguh terhadap Allah SWT dan terampil dalam menjalankan peran gandanya sebagai pejuang
sekalligus istri/ibu rumah tangga dan pendidik utama putra-putranya.

Sebutan Nyi Ageng Serang dikaitkan dengan kota tempat kelahirannya yaitu kota Serang yang terletak di
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (bukan kota Serang, Banten).

Kota Serang menjadi terkenal, semula karena menjadi markas besar perjuangan Natapraja atau
Penembahan Natapraja, yaitu rekan perjuangan Mangkubumi dalam Perang Giyanti tersebut.
Nyi Ageng Serang mewarisi jiwa dan sifat ayahandanya yang sangat benci kepada penjajahan Belanda
(VOC) dan memiliki patriotisme yang tinggi.

Menyimpang dari adat kebiasaan yang masih kuat mengingat kaum wanita masa itu, Nyi Ageng Serang
mengikuti latihan-latihan kemiliteran dan siasat perang bersama-bersama dengan para prajurit pria.

Keberaniannya sangat mengagumkan, dalam kehidupannya sehari-hari beliau sangat berdisiplin dan
pandai mengatur serta memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegatan yang bermanfaat.

Pandangannya sangat tajam dan menjangkau jauh ke depan. Menurut keyakinannya, selama ada
penjajahan di bumi pertiwi, selama itu pula rakyat harus siap tempur untuk melawan dan mengusir
penjajah. Karena itu rakyat terutama pemudanya dilatih terus-menerus dalam ha kemahiran berperang.

Hal itu rupanya dapat diketahui oleh penjajah Belanda. Karenanya pada suatu ketika mereka
mengadakan penyerbuan secara mendada terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja bersama
putra-putrinya itu, dengan kekuatan tentara yang besar.

Karena usianya sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang di serahkan kepada nyi Ageng Serang
bersama putranya laki-laki.

Walaupun diserang dengan mendadak dan dengan jumlah dan kekuatan tentara besar, pasukan Serang
tetap berjuang dengan gigih dan melakukan perlawanan mati-matian.

Dalam suatu pertempuran yang sangat sengit putra Penembahan Natapraja, saudara laki-laki nyi Ageng
Serang, gugur. Pimpinan dipegang langsung sendiri oleh Nyi Ageng Serang dan berjuang terus dengan
gagah berani.

Namun demikian, karena jumlah dan kekuatan musuh memang jauh lebih besar, sedangkan rekan
seperjuangannya yaitu Pangeran Mangkubumi tidak membantu lagi karena mengadakan perdamaian
dengan Belanda berdasarkan perjanjian Giyanti.
Maka akhirnya pasukan Serang terdesak, dan banyak yang gugur sehingga tidak mungkin melanjutkan
perlawan lagi. Walaupun Nyi Ageng Serang tidak mau menyerahkan diri, akhirnya tertangkap juga dan
menjadi tawanan Belanda.

Panembahan Natapraja sudah makin lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya
peristiwa-peristiwa tersebut. Akhirnya beliau jatuh sakit dan wafat.

Selama Nyi Ageng Serang dalam tahanan Belanda, terjadi perubahan-perubahan pending di Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I telah diganti Sultan Hamengkubuwono
II.

Bertepatan dengan Upacara Penobatan Sultan


Hamengkubuwono II itu, Nyi Ageng Serang
dibebaskan dari tahanan Belanda dan bahkan
diantarkan ke Yogyakarta untuk diserahkan
kepada Sri Sultan.

Entah apa latar belakang yang sesungguhnya


sehingga hal itu terjadi. Yang dapat diketahui dengan jelas ialah bahwa
kedatangan Nyi Ageng Serang di Yogyakarta disambut secara besar-besaran dengan tata cara
penghormatan yang tinggi sesuai adat keraton.

Upacara itu dilakukan mengingat jasa dan patriotisme almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng
Serang serta keharuman nama Pahlawan Nasional Wanita itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai