Anda di halaman 1dari 8

( S )( F ) ( Dosis)

Css min = Css maks –


V

Selain itu, Css min dapat dihitung dengan mengalikan Css maks dengan fraksi obat yang
tinggal pada akhir interval pendosisan (e-kt)
Css min = Css maks (e-kt)
Dengan mensubstitusikan Css maks pada persamaan 43 ke dalam persamaan 46, Css min
dapat dihitung jika dosis, konstanta laju eliminasi (K), volume distribusi (V) , bentuk garam
(S), dan bioavalaibilitas (F) diketahui
( S ) ( F ) ( Dosis )
Css maks = V
1−e−k τ
Jika sampel dalam keadaan tunak diambl pada waktu tertentu di luar konsentrasi puncak,
konsentrasi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
( S ) ( F ) ( Dosis )
Css maks = V e-kt1
1−e−k τ
t1 adalah jumlah jam setelah dosis terakhir dan Css 1 adalah konsentrasi plasma dalam
keadaan tunak pada “t1” jam setelah dosis terakhir atau Css maks, yang “diamsusikan” terjadi
pada saaat pemberian dosis (yakni absorpsi atau input obat diamsusikan terjadi seketika).
Perlu dicatat bahwa meskipun keadaan tunak telah tercapai, tidak semua konsentrasi plasma
dalam interval pendosisan mewakili konsentrasi rerata atau Css rerata.jika interval
pendosisan (τ ¿ lebih pendek dibandingkan waktu paruh, konsentrasi plasma sangat sedikit
berubah dalam interval pendosisan dan semua konsentrasi mendekati nilai Css rerata.
Catatan penting: apabila laju absorpsi yang lambat secara signifikan mengurangi
kurva konsentrasi obat dalam plasma versus waktu (misal bentuk sediaan lepas
berkelanjutan), Css min biasanya dapat diamsusikan mendekati konsentrasi rerata pada
keadaan tunak (Css rerata).
( S )( F ) (Dosis /τ )
Cl =
Css rerata

Dapat digunakan untuk menghitung parameter farmakokinetik pasien (yaitu klirens). Asumsi
ini juga dapat diterapkan ketika interval pendosisan lebih pendek dibandingkan waktu paruh.
Walaupun tidak salah menggunakan rumus ini
( S ) ( F ) ( Dosis )
Css1 = V e-kt1
1−e−k τ
Jika interval pendosisan jauh lebih pendek daripada waktu paruh, kadar plasma puncak dan
palung kurang lebih sama dengan konsentrasi rerata; karena itu, kadar plasma puncak dan
palung terutama ditentukan oleh klirens. Walaupun hasil kali V dan K yang diperoleh dan
manipulasi
DOSIS MUATAN ATAU DOSIS BOLUS.
Apabila dosis muatan atau dosis bolus obat telah diberikan, konsentrasi plasma awal (C)
dapat ditentukan dengan menyusun ulang persamaan “dosis muatan”
( S )( F ) ( Dosis muatan)
C=
V

Kadar plasma berikutnya (C1) pada waktu tertentu (t1) setelah dosis diberikan dapat dihitung
dengan menggunakan variasi persamaan 28 yang menggambarkan eliminasi dosis pertama:
C2 = (C1) (e-kt1)
( S )( F ) ( Dosis muatan)
Jika C1 digantikan dengan dan C2 digantikan dengan C1 diperoleh,
V

( S )( F ) ( Dosis muatan) -kt1


(e )
V

Pada persamaan ini C1 menggambarkan konsentrasi yang tersisa pada t1 jam setelah
pemberian dosis muatan.
INFUSI KONTINU SAMPAI KEADAAN TUNAK
( S )( F ) (Dosis /τ )
Css rerata =
Cl

PENGHENTIAN INFUSI SETELAH KEADAAN TUNAK TERCAPAI


C2 = (C1) (e-kt1)
Jika C1 digantikan oleh Css rerata dan t1 digantikan oleh t2, diperoleh:
C2 = (Css rerata) (e-kt2)
( S )( F ) (Dosis /τ )
Atau jika Css rerata disubstitusikan oleh = , diperoleh
Cl

( S )( F ) (Dosis /τ ) -kt2
C2 = (e )
Cl

PEMBERIAN AWAL DAN PENGHENTIAN INFUSI SEBELUM KEADAAN TUNAK


TERCAPAI
Pada situasi ini, konsentrasi (c1) yang terjadi pada waktu tertentu (t1) setelah infusi dimulai
dan konsentrasi (C2) yang terjadi pada waktu tertentu (t2)
( S )( F ) (Dosis /τ ) ( S )( F ) (Dosis /τ ) -kt2
C1 = (1-e-kt1) Dan C2 = (e )
Cl Cl

Model input ini merupakan model infusi


Model infusi singkat hasilnya lebih mendekati kurv absorpsi dan konsentrasi plasma yang
sesungguhnya selama absorpsi dan eliminasi obat.
¿
C2 = ( S ) ( F ) ( Dosist ) tln ¿ Cl (e-ktln)

Bahwa dalam persamaan tersebut, tln mrnunjukksn durasi input obt dan (1-e-ktln)
menunjukkan fraksi keadaan tunak, yang akan dicapai selama infusi.

Konsentrasi plasma pada akhir infusi singkat (C tin) dapat dihitung dengan mengalikan
“proyeksi konsentrasi keadaan tunak” (- - - -) dengan fraksi keadaan tunak yang dicapai (1-e -
Ktin
) selama periode infusi (tin).
Persamaan 53 digunakan jika dosis obat diberikan dalam waktu yang relatif singkat (misalkan
antibiotik aminoglikosida). Pada Persamaan 53, “fungsi” tin dalam (S)(F)(Dosis/tin) adalah
untuk mengonversikan dosis ke dalam laju input obat dan t in dalam (1-e-Ktin) merupakan durasi
selama input obat terjadi.
Setelah infusi diakhiri, konsentrasi obat selanjutnya (C2) dapat dihitung dengan mengalihkan
konsentrasi pada akhir infusi (Ctin) dengan fraksi yang tersisa pada interval waktu tertentu
setelah akhir infusi (t2).

¿
C2 = (S)(F)(Dosis/ t in ¿ Cl (1-e-Ktin)(e-Kt2)

Hubungan antara konsentrasi plasma yang diprediksi oleh persamaan dosis bolus (Persamaan
49 dan 50) dan persamaan infusi singkat (Persamaan 53 dan 54) ditunjukkan pada gambar
dibawah ini :
Grafik obat yang diberikan
sebagai bolus ( ) atau
sebagai infusi singkat ( - - - - - )
atau (…….)

Model dosis bolus mengasumsikan bahwa input obat atau absorpsi terjadi seketika. Karena
itu, interval penurunan, t1 (yakni tin + t2), diasumsikan mulai terjadi pada awal infusi.
Sebaliknya, model infusi mengasumsikan bahwa interval penurunan (t2) mulai terjadi pada
akhir periode infusi (tin). Jika tin ≤ 1/6 dari t1/2 (…….), konsentrasi hampir sama untuk model
infusi singkat dan model dosis bolus. Jika t in jauh lebih besar dari 1/6 dari t1/2 ( - - - - - ),
konsentrasi yang dihitung dengan menggunakan model infusi singkat dan dosis bolus sangat
berbeda. Walaupun kedua persamaan tersebut dapat digunakan, model dosis bolus jauh lebih
sederhana.

Dosis Muatan Dilanjutkan Infusi


Konsentrasi plasma (C1) pada waktu tertentu (t1) dapat dihitung dengan menjumlahkan
persamaan-persamaan yang menjelaskan konsentrasi yang dihasilkan oleh dosis muatan pada
t1 (Persamaan 50) dan konsentrasi yang dihasilkan oleh infusi pada t1 (Persamaan 37).
Dosis
( S )( F )( Dosis Muatan ) -Kt (S)(F)( )
C1 = [ (e 1)] + [ τ (1- e-Kt1)]
V
Cl

Keterangan

(S)(F)(Dosis/𝞽) = laju difusi

Pada situasi ini dosis muatan dieliminasi sesuai dengan farmakokinetika orde pertama
walaupun infusi pemeliharaan mulai diberikan. Infusi pemeliharaan berakumulasi pada saat
konsentrasi yang dihasilkan dari dosis muatan berkurang.
Kurva menunjukkan penjumlahan kurva dosis muatan (..….) dan kurva infusi (- - - -), C 1
adalah konsentrasi pada waktu tertentu (t1) setelah dosis muatan diberikan dan setelah infusi
pemeliharaan mulai diberikan.

Pemberian Intermiten Dengan Interval Tetap Menuju Keadaan Tunak


Jika obat diberikan secara intermiten dengan interval pendosisan tetap hingga keadaan tunak
tercapai (sedikitnya tiga hingga lima waktu paruh), konsentrasi rerata keadaan tunak dapat
dihitung menggunakan Persamaan 35.
Dosis
(S)(F)( )
Css = τ
Cl

Jika absorpsi diasumsikan relatif cepat dibandingkan t1/2, konsentrasi maksimum dan
minimum pada keadaan tunak masing-masing dapat ditentukan dengan menggunakan
Persamaan 43 dan 47.
( S ) ( F ) ( Dosis )
Css maks = V
1-e -K τ

( S ) ( F ) ( Dosis )
Css = V
e -Kt
1-e-Kt
Prediksi konsentrasi plasma pada waktu tertentu (t1) setelah puncak dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan 48.
( S ) ( F ) ( Dosis )
Css1 = V
e -Kt
1-e -Kt
Setiap konsentrasi maksimum (Css maks) identik dengan konsentrasi maksimum lainnya;
setiap konsentrasi minimum (Css min) juga identik dengan konsentrasi minimum lainnya.
Selain itu, setiap konsentrasi (Css1) pada waktu t1 dalam interval pendosisan identic dengan
konsentrasi yang sesuai pada waktu t1 yang sama dalam interval pendosisan identik dengan
konsentrasi ayng sesuai pada waktu t1 yang sama dalam interval pendosisan yang lainnya.

Rangkaian Dosis Individual


Salah satu metode yang digunakan apabila pasien diberi rangkaian dosis individual dan
konsentrasi sebelum keadaan tunak harus dihitung adalah dengan menjumlahkan kontribusi
setiap dosis individual (dengan menurunkan konsentrasi puncak setiap dosis hingga waktu
pada saat konsentrasi plasma perlu diprediksi).

Kurva menunjukkan rangkaian tiga dosis yang kontribusi individualnya dihitung dan
kemudian dijumlahkan untuk mengestimasi konsentrasi plasma total pada beberapa titik
waktu setelah dosis ketiga.
Metode inilah yang paling tepat diaplikasikan jika interval antar-dosis atau jumlah obat yang
diberikan dalam setiap dosis bervariasi. Bergantung pada letak kurung, persamaan
penjumlahan ini dapat memprediksi konsentrasi dari satu dosis ke dosis berikutnya atau
kontribusi setiap dosis pada konsentrasi akhir atau Csum.
Jika setiap dosis dan interval antar-dosis sama, perhitungan yang lebih sederhana adalah
mengalikan Cssmaks atau konsentrasi puncak yang akan dicapai pada keadaan tunak dengan
fraksi keadaan tunak yang dicapai setelah N dosis.
(S)(F)(Dosis)
Cssmaks = V
1-e-Kτ

Fraksi keadaan tunak yang dicapai setelah (N) Dosis = (1-e-K(N)𝞽) [Pers. 55]

Keterangan

 𝞽 = interval antara tiap dosis


 N = jumlah dosis yang telah diberikan
Konsentrasi puncak setelah N dosis dapat dihitung dengan menggabungkan Persamaan 43
dan 55.
( S ) ( F ) ( Dosis )
Css2 = V (1-e-K(N)𝞽)(e-K𝞽2) [Pers. 56]
1-e-Kτ
Jika dosis-dosis dan interval-interval pendosisan bernilai sama, konsentrasi (Csum) dapat
dihitung menggunakan Persamaan 56, dengan N bernilai 3 dan t 2 merupakan jumlah jam
setelah pemberian dosis ketiga. Persamaan 56 menunjukkan konsentrasi obat yang dihasilkan
oleh rangkaian dosis bolis yang diberikan secara konsisten, tetapi belum mencapai keadaan
tunak.

( S ) ( F ) ( Dosis/ t in )
(1-e –Kt in )
Css2 = Cl (1-e-K(N)𝞽)(e-K𝞽2)
1-e -Kτ
[Pers. 57]
Pada Persamaan 57, model input dosis bolus digantikan dengan model input infusi singkat.
Bentuk Sediaan Lepas-Berkelanjutan
Kebanyakan sediaan sustained-release dirancang untuk menghasilkan konsentrasi yang tidak
banyak berfluktuasi dalam interval pendosisan. Konsentrasi yang dihasilkan oleh sediaan
sustained-release sering kali dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan yang
menggambarkan konsentrasi rerata keadaan tunak (Persamaan 35):
( S )( F )( Dosis / τ )
Css rerata =
Cl
Penggunaan rumus Css rerata untuk sediaan sustained-release berdasarkan pada asumsi
bahwa waktu yang dibutuhkan untuk absorpsi (tin) hampir sama dengan interval pendosisan
(𝞽). Dengan demikian, konsentrasi rerata keadaan tunak dalam interval pendosisan tidak naik
atau turun.
( S ) ( F ) ( Dosis/ t in )
(1-e –Kt in ) -K𝞽
Css2 = Cl (e 2) [Pers. 58]
1-e -Kτ

( S ) ( F ) ( Dosis/ τ )
(1-e – K τ ) -Kt
Css2 = Cl (e 2)
1-e-Kτ

1-e-K𝞽 pada pembilang dan penyebut saling meniadakan; selanjutnya, dengan mengasumsikan
t2 adalah 0, kita memperoleh persamaan 35. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa penggunaan
Persamaan 35 tidak universal dan tidak hanya bergantung pada absorpsi produk obat, tetapi
juga bergantung pada interval pendosisan yang dipilih dan waktu paruh obat pada pasien
tertentu. Jika durasi absorpsi (tin) jauh lebih kecil dari interval pendosisan, beberapa fluktuasi
konsentrasi plasma akan terjadi.

𝞽-tin = waktu dalam interval pendosisan tanpa absorpsi obat [Pers. 59]
Jika waktu dalam interval pendosisan tanpa input obat relative pendek dibandingkan dengan
waktu paruh obat, dinyatakan bahwa akan terjadi fluktuasi kecil pada konsentrasi plasma
dalam interval pendosisan. Jika 𝞽-tin ≤ 1/3 t1/2, persamaan konsentrasi rerata keadaan tunak
(Persamaan 35) dapat digunakan.

Anda mungkin juga menyukai