Anda di halaman 1dari 4

Nama : Devi Wulandari

NIM : 18.11.2.149.053
Kelas :B
Semester : IV

Sering Dipukuli Orangtuanya, Bocah Ini Ketakutan jika


Melihat Emak-emak

Lihat Foto

kisah pilu menimpa bocah laki-laki berinisial MSP, warga Desa Karang Dapo, Kecamatan
Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Ia dipukuli di wajah dan dada dengan ikat pinggang dan sepatu oleh ibu kandungnya, MR
Kekerasan juga dialami MSP dari ayah tirinya, BN yang ikut menghajar kepala korban
hingga babak belur. Korban ketakutan dan tidak berani pulang ke rumah.

Aksi kekerasan anak oleh orangtua itu terungkap saat seorang warga mengunggah video
pengakuan bocah MSP di jejaring sosial. Spontan, video itu viral. Polres Seluma bergerak
cepat dan menetapkan kedua orangtua MSP sebagai tersangka.

Kapolres Seluma AKBP Jeki Rahmat Mustika melalui Kasat Reskrim AKP Margopo
menjelaskan, hasil pemeriksaan bahwa benar MSP sering dipukul dengan alasan bandel.

"Dia sering dipukuli dengan alasan nakal dan itu berulang-ulang dilakukan oleh kedua
orangtuanya," kata Margopo.
TANGGAPAN DAN PENANGANAN TRA PADA ANAK KORBAN KDRT
Anak-anak yang mengalami trauma akibat pengalaman yang mendalam dari berbagai
macam kekerasan tersebut, cenderung menjadi helpless dan tidak mampu mengembangkan
intensitas koping dan pertahanan yang biasa digunakan. Mereka dapat dibantu dengan
efektif segera setelah suatu trauma muncul, sehingga spontaneous recoveries juga muncul,
terutama pada kasus-kasus yang tidak terlalu serius, dan respon lingkungan yang tepat
dikembangkan. Pada kasus serius, kemungkinan besar trauma memegang peran pada
timbulnya Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Dalam Diagnostic and Statistical manual
of Mental disorders IV-Revition (DSM IV-R) diungkapkan bahwa kriteria PTSD adalah :
1. adanya ketidakberdayaan yang ekstrim dan ketakutan setelah mengalami kondisi
yang dapat mengakibatkan luka atau kematian,
2. munculnya kembali trauma yang bersifat intrusive (termasuk mimpi buruk),
3. penghindaran, termasuk menghindari pembicaraan tentang keadaan yang
menimbulkan trauma,
4. peningkatan gugahan, termasuk gangguan tidur dan masalah konsentrasi, dan
5. disstres yang bersifat klinis dan mengarah pada ketidakmamuan berfungsi secara
penuh.
Semua tanda-tanda tersebut muncul kurang lebih setelah satu bulan dari pengalaman
traumatis (American Psycological Association, 1994) Penanganan trauma pada anak-anak
tersebut melibatkan banyak faktor Tidak hanya sebatas keluarga penanganan korban anak
yang mengalami perbuatan kekerasan dari orang tuanya, mestinya memerlukan ketersediaan
rumah perlindungan atau semacam pusat krisis (crisis center). Dorongan kemanusiaan
warga masyarakat kita memang masih belum pupus seluruhnya. Namun demikian
diperlukan langkah yang terencana dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang optimal,
sedangkan hal tersebut dalam skala besar memerlukan partisipasi aktif pemerintah.
Negara seakan tidak berkemampuan melindungi anak dan merehabilitasi trauma serta
pemulihan medisnya. Paling tidak, lamban dan kurang sensitif. Dan berpangku tangan atas
penderitaan anak korban kekerasan yang membutuhkan rehabilitasi mental, sosial dan medis.

“BERMAIN” DENGAN TRAUMA


Dunia anak adalah dunia bermain. Bermain merupakan sarana bagi anak untuk berekspresi
dan bereksplorasi secara bebas sesuai dengan keinginannya. Sayangnya, sampai sekarang
banyak orang tua dan masyarakat yang beranggapan bahwa bermain hanyalah salah satu
bentuk pemborosan waktu bagi anak. Semakin sedikit waktu bermain bagi anak akan
semakin banyak manfaat bagi proses pembelajaran yang lebih berguna bagi kehidupannya
nanti. Anak yang sehat, fisik maupun psikis, menjamin tersedianya sumber daya manusia
yang handal di masa mendatang. Oleh karena itu, perhatian terhadap seharusnya
diberikan secara holistik-komprehensif. Dunia bermain tidak bisa dilepaskan sebagai
warna dominan pada dunia anak. Proporsi yang tepat terhadap waktu bermain harus
disesuaikan dengan usia dan tugas perkembangan anak. Semakin besar, anak semakin
berkurang waktu bermainnya, namun bukan berarti waktu bermain menjadi hilang sama
sekali (Purwanto, 2005). Namun demikian, ada beberapa ciridari kegiatan bermain dari hasil
penelitian Smith et al; Garvey; Rubin, Fein & Vandenberg (dalam Johnson et al, 1999)
yang dapat dijadikan acuan, yaitu :
1. Berdasarkan motivasi intrinsik yang muncul atas keinginan dan kepentingan pribadi.
2. Mempunyai nilai (value) dan atau menimbulkan emosi-emosi yang positif pada
perasaaan individu-individu yang terlibat dalam kegiatan bermain.
3. Adanya fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas
ke aktivitas yang lain.
4. Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir.
5. Adanya kebebasan untuk memilih.
6. Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu
yang memisahkannya dari kehidupan nyata.
Anak memberikan“makna” baru terhadap obyek yang dimainkan dengan kecenderungan
mengabaikan keadaan obyek yang sesungguhnya. Kualitas pura-pura memungkinkan
anak bereksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan baru. Berlawanan dengan direktif,
terapi bermain dengan pendekatan non- direktif menekankan aktualisasi potensi kuratif
anak sendiri, pemberian ketrampilan praktis untuk membangun keseimbangan,
unconditional positive regard dan empati dari terapis (Landreth, 1991). Sedangkan secara
prosedural terapi bermain dapat dibagi menjadi :
1. Child-Centered (Individual) Play Therapy
Prinsip dasar dari terapi ini adalah bagaimana terapis membangun
hubungan Terapeutik.
2. Child-Centered Group Play Therapy
Prosedur tersebut mengkombinasikan child-centered play therapy dengan
keuntungan yang diperoleh dalam proses kelompok (Landreth, 1991).
3. Filial Therapy
Terapi yang dikembangkan oleh Landreth ini menekankan pada
keterlibatan orang tua pada proses penanganan anak yang menderita trauma.
4. Short Term Play Therapy
Prosedur ini dikembangkan dengan penanganan dalam jangka waktu
relative pendek (kurang dari 12 sesi, durasi 30-45 menit per sesi, seminggu
sekali).

“BERMAIN” DENGAN KELUARGA


Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kozlowska & Hanney (2001) tentang pentingnya
sistem dukungan keluarga untuk mencegah trauma anak tidak berkelanjutan, maka sangat
perlu kiranya kesadaran keluarga, khususnya orang tua akan pentingnya peran aktifitas
bermain bagi anak penderita trauma. Trauma akibat KDRT sangat tepat kiranya bila
ditangani oleh lembaga yang paling dekat dengan anak, yaitu keluarga. Bantuan profesional
memang sangat diperlukan bagi keluarga untuk memberikan dukungan bagi anak. Namun
demikian kesadaran dan kemauan dari keluarga untuk memberikan dukungan social jauh
lebih penting. Filial therapy merupakan alternative yang mungkin tepat untuk
dikembangkan bagi penangan anak korban KDRT. Melalui Filial therapy keluarga dapat
“menebus” kesalahan mereka pada anak, dengan tetap menjadi penanggung jawab utama
bagi proses recovery-nya. Melalui terapi tersebut orang tua juga dapat melakukan perbaikan
terhadap dirinya, hubungan antar suami-istri, dan hubungan dengan anaknya. Sehingga
kemudian orang tua dapat memahami trauma anak dan dengan ketrampilan child centered
play therapy mereka bisa membantu anak mengendalikan traumanya serta mengatur
respon terhadap trauma. Rutinitas keluarga dapat dibangun kembali dengan
menghilangkan penyangkalan mereka terhadap anak yang traumatis. Bersama dengan orang
tua yang lain, dapat dikembangkan pula Child- Centered Group Play Therapy bagi anak-
anak penderita trauma akibat KDRT.

Anda mungkin juga menyukai