Anda di halaman 1dari 26

DATA CITRA

“Ringkasan Materi Data Citra 3 dan 4”

NAMA: Perdo masuly

NIM: 2013-64-016

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2020
MATERI 3

 Sinar Tampak dan Informasi Perairan Dangkal:

A. Prinsip kerja Inderaja Sinar Tampak untuk mendapatkan Citra lautan terutama citra dasar
laut.
B. Cara memisahkan dan mengkategori dasar perairan dangkal berdasarkan data inderaan
jauh.
C. Apa itu sinar tampak dan informasi dasar perairan dangkal termasuk algoritmanya,
D. Algoritma : Prosedur Pengembangan dan Penerapan:
a. Bathimetri perairan laut dangkal
b. Terumbuh Karang
c. Padang Lamun

MATERI 4

 Sinar Tampak dan Produktifitas Primer


A. Pengertian Produktivitas Primer suatu perairan yang dapat dikalkulasi dari hasil
pencitraan dengan memanfaatkan sinar tampak.
a. Pengertian produktivitas Primer
b. Proses fotosintesa fitoplankton
B. Kategorikan produktivitas primer dari deteksi kandungan klorofil. 
C. Pemakaian algoritma untuk mengetahui kandungan dan distribusi kolorofil-a
D. Pengembangan dan penerapan algoritma untuk deteksi dan analisas Clorofil-a
A. Prinsip kerja Inderaja Sinar Tampak untuk mendapatkan Citra lautan terutama
citra dasar laut.

sinar tampak (visible remote sensing) adalah pengindraan jauh menggunakan spektrum sinar
tampak. Spektrum sinar tampak ini adalah sekelompok gelombang elektromagnetik (GEM) yang
mempunyai panjang gelombang sekitar 400–700 nannometer (nm). Pengindraan jauh sinar
tampak sangat penting di bidang kelautan karena hanya spektrum sinar tampaklah dari seluruh
jenis atau spektrum GEM yang ada yang dapat menembus air (laut) hingga kedalaman tertentu.
Dengan menggunakan pengindraan jauh sinar tampak ini, kita dapat mendeteksi atau mengukur
benda-benda atau organisme yang berada di bawah permukaan air laut, seperti fitoplankton,
lamun, terumbu karang, dan jenis substrat dasar perairan dangkal. Meskipun pengindraan jauh
sinar tampak dapat digunakan untuk penelitian berbagai benda yang berada di bawah permukaan
laut, namun yang paling terkenal atau penting adalah untuk penelitian fitoplankton, khususnya
yang terkait dengan produktivitas primer laut. Buku ini akan memfokuskan pada pengindraan
jauh untuk fitoplankton. Dalam kaitan ini, dikenal pengindraan jauh warna laut (ocean color).

Pada dasarnya sensor satelit yang mempunyai kanal pada spectrum sinar biru dan hijau dapat
dipergunakan untuk mendeteksi perairan dangkal (terumbu karang). Pada saat sinar ini mencapai
dasar perairan (terumbu karang) maka sinar tersebut akan dihamburkan kembali ke atmosfer dan
ditangkap oleh sensor satelit. Jumlah radiasi yang diterima oleh sensor dibagi menjadi beberapa
komponen seperti persamaan berikut :

Jika kita mengiginkan bahwa radiasi yang diterima oleh sensor hanya berasal dari dasar
perairan khususnya terumbu karang maka komponen-komponen lain yaitu La, Ls , dan Lu harus
dapat dihilangkan (Susilo, 1997). Karena informasi yang didapat dari citra awal masih tercampur
dengan informasi lain seperti kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air, maka
untuk lebih menonjolkan objek pemukaan dasar perairan, Siregar (1995), mengemukakan
metode penggabungan dua kanal sinar tampak yaitu kanal 1 dan kanal 2 dengan menggunakan
logaritma natural sehingga diperoleh citra baru yang menampakkan dasar perairan yang lebih
informatif. Pengolahan ini meliputi penghilangan efek air, ekstraksi informasi obyek dasar laut
dengan menggunakan metode yang didasari oleh "Metode Pengurangan Eksponensial"
(Exponential Attenuation Model) oleh Lyzenga (1978). Persamaan tersebut seperti berikut:

Dan persamaan ini telah diturunkan dan diperoleh persamaan sebagai berikut :

Koefisien Ki dan Kj dapat diperoleh dengan cara :

 Mengatur secara in-situ dengan menggunakan “spectro – radiometre”


 Melakukan interaksi dengan citra pada layar computer (Engel, 1988 dan Siregar, 1995)

Dalam penelitian tersebut digunakan pendekatan yang kedua, yaitu dengan cara berikut :

 Pada citra ditentukan training area dari area yang homogen pada daerah perairan
dangkal, dimana kedua kanal Xi dan Xj sangat berkorelasi.
 Dengan membentuk grafik bidimensional, Xi, dapat dihitung ratio antara kedua koefisien
yang dicari (Ki dan Kj) berdasarkan regresi rata-rata kuadrat dari nilai-nilai pengukuran
kedua kanal tersebut, sehingga :

Persamaan di atas sebenarnya dikembangkan dari teori batimetri dengan menggunakan


sensor satelit. Berdasarkan model yang dikembangkan Polycin dan Lyzenga (1975), Mohammad
dan Ahmad (1993) membuat model algoritma pendugaan tingkat udara dengan menggunakan
kanal tunggal (kanal 1 dari Landsat - TM). Model ini secara matematis dapat dituliskan:

Y = AB dalam (TM,)

dimana A dan B adalah konstanta, TM, adalah nilai kanal digital 1 dari Landsat - TM yang telah
dikoreksi sesuai dengan pola atmosfernya, dan Y adalah nilai digital baru yang dapat
diperbandingkan dengan peningkatan air atau kondisi terumbu karang melalui proses klasifikasi.
Untuk kedalaman air berdasarkan algoritma Mohammad dan Ahmad (1993) ini maka hubungan
antara kedalaman air dengan nilai digital terkoreksi kanal 1 Landsat - TM adalah:

Z = 350.3909 - 85.6191 (TM,); dengan r = -0,98


dimana Z adalah kedalaman air (dalam meter). Dengan algoritma tersebut, Mohammad dan
Ahmad (1993) menyebutkan bahwa dari titik pengecekan ternyata nilai kesalahannya (bias)
adalah 0,5 -2 m.

Kemampuan Citra Satelit dalam Penetrasi Kedalaman

Setiap objek substrat dasar perairan memberikan pantulan dan pancaran elektromagnetik
yang dapat diterima oleh sensor dikarenakan objek tersebut memiliki partikel berbeda yang dapat
mempengaruhi pola respon elektromagnetiknya sehingga pengenalan atas perbedaan pola respon
elektromagnetik tersebut dapat dijadikan landasan dalam pembedaan objek pada substrat dasar
perairan (Nurjannah, 2006). Daya tembus cahaya matahari terhadap air sangat tergantung pada
daya serap air terhadap cahaya matahari yang mengenainya. Semakin besar daya serapnya, maka
semakin kecil kemungkinan cahaya matahari untuk menembus air tersebut. Sensor penginderaan
jauh dapat mendeteksi perairan pada panjang gelombang 0,4–0,8 μm. Air murni menyerap
cahaya dengan sangat lemah pada daerah spektrum biru dan hijau antara 400-500nm, pada
panjang gelombang 550nm penyerapan cahaya oleh air laut mulai meningkat secara signifikan
dan terus berlanjut hingga pada spektrum merah. Oleh karena itu, sinar dengan panjang
gelombang 400-500nm merupakan panjang gelombang yang baik untuk menginderakan
kedalaman perairan dangkal (Lillesand and Kiefer, 1987).

Penelitian Selamat dkk. (2012) yang menggunakan citra Quickbird untuk pemetaan 3D
substrat dasar di gusung karang mengemukakan bahwa kedalaman air memiliki korelasi tertinggi
dengan radiansi kanal hijau (0,64), kanal merah (0,57) dan yang paling rendah dengan kanal biru
(0,52). Selain itu kanal biru sangat berkorelasi dengan kanal hijau (0,97). Korelasi kedalaman
substrat dasar dengan radiansi tertinggi dihasilkan oleh substrat pasir pada kanal hijau (0,81) dan
paling rendah dihasilkan oleh substrat karang pada kanal biru (0,14).

B. Cara memisahkan dan mengkategori dasar perairan dangkal berdasarkan data


penginderaan jauh.

Batimetri atau kedalaman perairan adalah ukuran kedalaman dari


permukaan air sampai dengan dasar laut. Pemetaan batimetri di perairan
dangkal mempunyai peranan penting untuk kegiatan perikanan dan kelautan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Peta batimetri memberikan informasi
tentang kondisi dasar laut, struktur, bentuk dan penampakannya (Setiawan dkk.,
2014).
Metode pemetaan batimetri menggunakan teknologi
penginderaan jauh dapat memudahkan dalam pengambilan data di daerah yang
sulit dijangkau oleh kapal dengan karakteristik kedalaman yang rendah, namun
teknologi ini belum mampu memberikan informasi yang akurat.Pendekatan
algoritma merupakan salah satu metode untuk memecahkan kelemahan-kelemahan
pendugaan batimetri menggunakan data citra satelit.
Daya tembus cahaya matahari terhadap air sangat tergantung pada daya serap air
terhadap cahaya matahari yang mengenainya. Semakin besar daya serapnya, maka
semakin kecil kemungkinan cahaya matahari untuk menembus air tersebut. Sensor
penginderaan jauh dapat mendeteksi perairan pada panjang gelombang 0,4–0,8 µm. Air
murni menyerap cahaya dengan sangat lemah pada daerah spektrum biru dan hijau antara
400-500nm, pada panjang gelombang 550nm penyerapan cahaya oleh air laut mulai
meningkat secara signifikan dan terus berlanjut hingga pada spektrum merah. Oleh
karena itu, sinar dengan panjang gelombang 400-500nm merupakan panjang gelombang
yang baik untuk menginderakan kedalaman perairan dangkal (Lillesand and Kiefer,
1987). Penelitian Selamat dkk. (2012) yang menggunakan citra Quickbird untuk
pemetaan 3D substrat dasar di gusung karang mengemukakan bahwa kedalaman air
memiliki korelasi tertinggi dengan radiansi kanal hijau (0,64), kanal merah (0,57) dan
yang paling rendah dengan kanal biru (0,52). Selain itu kanal biru sangat berkorelasi
dengan kanal hijau (0,97). Korelasi kedalaman substrat dasar dengan radiansi tertinggi
dihasilkan oleh substrat pasir pada kanal hijau (0,81) dan paling rendah dihasilkan oleh
substrat karang pada kanal biru (0,14).

Arief dkk. (2013) menggabungkan informasi yang diperoleh dari pengukuran


lapangan dengan nilai reflektansi (kanal 1 dan kanal 3) citra satelit SPOT-4 menggunakan
algoritma pendugaan batimetri dari metode thresholding dan fungsi korelasi. Berdasarkan
hasil perhitungannya menunjukkan bahwa data satelit SPOT-4 dapat menaksir kedalaman
perairan dangkal di Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran hingga kurang lebih 18 meter.
Siregar dan Selamat (2010) mencoba mengevaluasi konsistensi citra satelit Quickbird
untuk pemetaan batimetri gobah karang lebar dan Pulau Panggang menggunakan
algoritma Jupp 1988.

Metode pemetaan citra perairan dangkal telah dikembangkan oleh AGSO (Australian
Geological Survey Organitation). Menurut bierwirth dan burne (1993) radian yang timbul dari
air di daerah yang dangkal merupakan campuran dari : reflektansi dari material substrat,
pengaruh dari kedalaman air ( semakin dalam semakin berkurang ) serta penyerapan dan
penyebaran molekul air, padatan terlarut dan tersupsensi.
Rumus untuk estimasi pengukuran kedalaman air menurut bierwith et. Al., (1993), adalah
:

Dengan :
L1, l2, l3 = nilai piksel TM1, TM2, TM3
dpi1, dpi2,dpi3 = nilai piksel minimum TM1, TM2, TM3
l1, k2, k3 = koefisien atenuasiair terhadap TM1, TM2, TM3
penelitian pilicyn menggunakan multispectral scanner (MSS) 1970yaitu dengan
melakukan penisbaan (rationi) terhadap beberapa saluran yang digunakan agar memaksimalkan
hasil yang di capai (polcyn, 1970 dalam jansen 1986). Pada saluran biru (400-440nm) penetrasi
cayaha tidak optimum sehingga citra yang terbentuk memiliki kontras yang rendah, saluran hijau
(500-520nm dan 550-580nm) kondisi air terlihat jelas serta saluran merah (620-680nm) hanya
mampu menampakan dasar yang sangat dangkal sehingga penetrasinya kurang baik akibat
spectrum gelombang lebih banyak di serap dengan saluran hijau sedangkan saluran infamerah
dekat 800-1000nm hanya mampu menampilkan perbedaan dengan jelas antara tubuh air dengan
daratan saja karna daya serap tubuh air pada spectrum invramerah dekat ini sangat tinggi.
Pada penelitian ini, polcyn mengekstrasi kedalaman menggunakan saluran 4 (hijau dan
merah) LANGSAT MSS kemudian di ketahui bahwa daya termbus maksimum terhadap air
adalah 30m (pada kondisi tertentu). Penelitian lainnya untuk pemetaan batimetri laut dangkal
menggunakan data SPOT multi spectral oleh J. De.Deo 1995.

C. Apa itu sinar tampak dan informasi dasar perairan dangkal termasuk
algoritmanya.
sinar tampak (visible remote sensing) adalah pengindraan jauh menggunakan spektrum sinar
tampak. Spektrum sinar tampak ini adalah sekelompok gelombang elektromagnetik (GEM) yang
mempunyai panjang gelombang sekitar 400–700 nannometer (nm). Pengindraan jauh sinar
tampak sangat penting di bidang kelautan karena hanya spektrum sinar tampaklah dari seluruh
jenis atau spektrum GEM yang ada yang dapat menembus air (laut) hingga kedalaman tertentu.
Dengan menggunakan pengindraan jauh sinar tampak ini, kita dapat mendeteksi atau mengukur
benda-benda atau organisme yang berada di bawah permukaan air laut, seperti fitoplankton,
lamun, terumbu karang, dan jenis substrat dasar perairan dangkal.

Perairan dangkal mempunyai kandungan biota dan ekosistem yang hampir sama dengan
perairan dalam. Perbedannya adalah pada perairan dangkal biota maupun ekosistem yang ada
lebih beragam yang disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisik, dan salah satunya adalah
penetrasi cahaya matahari ke dasar perairan (Dahuri, 1996). Perairan laut dangkal dalam istilah
oseanografi didefinisikan sebagai wilayah yang terbentang mulai dari batas pantai sampai
dengan kedalaman 200 meter. Namun dalam lingkup penginderaan jauh, perairan laut dangkal
yang dimaksud merujuk pada kemampuan citra satelit dalam menembus kolom perairan. Pada
penelitian Setyawan dkk (2014) melakukan pendekatan dengan menggabungkan nilai batimetri
dan hasil identifikasi habitat dasar perairan dangkal dengan menggunakan citra Worldview-2
sehingga menggambarkan kondisi nyata dan memperoleh luasan yang lebih mendekati
kenyataan. Keberadaan terumbu karang, lamun dan pasir pada perairan dangkal memiliki
sejumlah pengaruh terhadap kemampuan citra satelit dalam memetakan perairan dangkal
diakibatkan oleh kemampuan radiasi dan absorbsi panjang gelombang serta attenuasi yang
diakibatkan oleh fitoplankton dan padatan tersuspensi pada kolom air.

Zona intertidal adalah daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi dan surut
terendah, daerah ini mewakili daerah peralihan dari kondisi lautan kedalaman kondisi daratan.
Substrat yang biasa ditemui pada zona ini adalah pantai berbatu, berpasir, dan pantai berlumpur.
Daerah ini juga merupakan zona yang melimpah dengan kehidupan sedangkan sublitoral adalah
zona yang mendapat cahaya dan pada umumnya dihuni oleh organisme yang melimpah terdiri
dari berbagai komunitas, termasuk padang rumput, kebun kelapa, dan terumbu karang

Daerah pantai tropis, pada umumnya dikarakteristikan oleh adanya beragam terumbu karang
dan merupakan komunitas laut yang sangat kompleks. Terumbu karang dibatasi oleh kedalaman
yaitu tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. kebanyakan terumbu
tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas
hingga pinggiran-pinggiran benua-benua atau pulau-pulau. Titik kompensasi cahaya untuk
karang merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang 15-20 persen dari intensitas di
permukaan.

Banyak daerah di dasar laut dangkal yang diliputi oleh rumpu-rumputan laut. Rumput –
rumputan laut merupakan tumbuhan berbunga yang beradaptasi untuk hidup terendam di dalam
air laut. Rumput laut terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 50-60 m, namun
sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesiesnya lebih banyak terdapat di daerah tropic
daripada di daerah ugahari. Semua tipe substrat dihuni oleh rumput-rumputan ini, tetapi kebun
yang paling luas dijumpai pada substrat yang lunak (Nybakken, 1992).

D. Algoritma : Prosedur Pengembangan dan Penerapan:


Di wilayah pesisir terdapat 3 ekosistem tropika yang khas, yaitu terumbu karang, lamun dan
mangrove dengan produktivitas yang tinggi. Ketiga ekosistem tersebut memberikan produk dan
jasa lingkungan yang tinggi dan sangat penting karena dapat menunjang kehidupan masyarakat
di sekitarnya melalui pemanfaatan sumberdaya hayati yang disumbangkan ekosistem tersebut.
Perairan pesisir merupakan perairan dengan kedalaman kurang dari 30 meter (FGDC, 2010).
Informasi berupa sebaran habitat laut dangkal di wilayah pesisir masih sangat kurang, karena
wilayahnya tersebar luas di Indonesia serta sebagian besar sulit dijangkau. Oleh karena itu
dibutuhkan teknologi yang mampu memberikan informasi tentang habitat laut dangkal secara
efektif dan efi sien serta relatif akurat dan menyeluruh. Penginderaan jauh merupakan teknologi
yang mampu menjawab tantangan tersebut. Penginderaan jauh dapat merekam permukaan bumi
pada wilayah yang luas serta sulit dijangkau dan juga menyediakan data citra terbaru dengan
waktu perekaman yang berbeda, sehingga memungkinkan analisis secara multi-waktu (Lillesand
dan Kiefer, 1999).

a. Bathimetri perairan laut dangkal.


Metode pemetaan batimetri untuk laut dangkal pengembangannya banyak didasari pada
teori perjalanan radiasi di udara pada radiasi sinar tampak. Spektrum sinar tampak dapat dibagi
tiga bagian yaitu panjang gelombang biru, panjang gelombang hijau dan panjang gelombang
merah (Susilo, 2000). Kisaran dari panjang gelombang tersebut adalah 400 - 500 nm untuk
spektrum biru, 500 - 600 nm untuk spektrum hijau dan 600 -700 nm untuk spektrum merah.
Spektrum ketiga ini dipantulkan oleh objek - objek dan pantulan puncak dari bumi yang terjadi
pada panjang gelombang 500 nm (Praseno, 1991). Semakin kecil gelombang, maka spektrum
tersebut semakin dalam daya penetrasinya pada suatu udara karena memiliki koefisien atenuasi
(daya hambat) yang semakin kecil juga. Panjang gelombang biru dapat menembus kolom air
paling dalam dari gelombang panjang hijau dan merah (Susilo, 2000).
Pemetaan batimetri perairan dangkal memperlihatkan relief permukaan bumi (vertical
dimension of land surface). Batimetri perairan dangkal merupakan bagian penting dalam studi
morfologi, penelitian lingkungan dan pengelolaan zona sumber daya pantai. Pemetaan batimetri
biasanya dilakukan dengan survey kedalaman perairan di lapangan dengan lokasi tertentu (Arief,
2012). Melakukan survey batimetri perairan dangkal, dimana ekosistem lamun dan terumbu
karang berada di dalamnya sangat sulit dilakukan. Kapal-kapal yang membawa alat untuk
pemetaan batimetri, seperti perlengkapan akustik (echosounder, sonar dan lainnya) tidak dapat
masuk dan bergerak dengan leluasa untuk melakukan pemetaan karena berbahaya (dangkal) dan
kondisi substrat dasarnya yang tidak beraturan.

b. Terumbu Karang.
Terumbu karang dan lamun sebagai komponen utama penyusun ekosistem tersebut
berfungsi sebagai habitat ikan, tempat pariwisata, pelindung pantai dari hantaman gelombang
dan pengadukan material tersuspensi. Peran terumbu karang sangat penting sebagai pelindung
alami pantai dari hempasan gelombang dan arus laut, sebagai habitat, tempat mencari makan,
tempat berpijah dan asuhan serta pembesaran bagi biota laut (Suharsono, 1996). Terdapat
hubungan yang signifikan antara kondisi terumbu karang dengan keberadaan, keragaman spesies
dan kelimpahan ikan karang yang hidup di dalamnya (Kendall. 2009).
Dinamika yang tinggi idealnya selalu diikuti dengan pembaharuan informasi sehingga
didapatkan gambaran wilayah yang sesuai dengan kenyataan. Teknologi penginderaan jauh
menjadi salah satu sumber informasi dalam pengumpulan data kelautan secara efektif dan
efisien. Pemanfaatan data penginderaan jauh jelas mempunyai keunggulan dalam hal
penghematan biaya, waktu, data yang diperoleh secara sinoptik, dan dapat dilakukan pemantauan
dari tahun ke tahun.
Kini dengan berkembangnya teknologi penginderaan jauh, tidak hanya wilayah daratan
saja yang dapat dipetakan namun juga wilayah perairan, termasuk terumbu karang (Pasaribu,
2008; Suwargana, 2014; Vincentius P. Siregar, 2010). Metode ini memanfaatkan citra satelit
yang direkam oleh wahana luar angkasa.

Pemetaan dengan memanfaatkan penginderaan jauh dapat mencakup area yang luas tanpa
harus melakukan pengamatan langsung. Penginderaan jauh akan dapat mengurangi biaya yang
harus dikeluarkan untuk melakukan pengamatan langsung secara in situ. Selain itu, waktu yang
dibutuhkan juga akan lebih singkat dan efisien. Hal ini dapat menjadi solusi bagi pemetaan
kondisi dan sebaran terumbu karang di perairan Indonesia.

Dalam pengolahan citra satelit untuk pemetaan terumbu karang, terdapat beberapa
metode yang bisa digunakan. Salah satunya adalah Algoritma Lyzenga (Lyzenga, 1978, 1981).
Metode Lyzenga dikenal dengan nama metode depth-invariant index atau metode water column
correction (koreksi kolom air). Koreksi kolom air bertujuan untuk mengeliminasi kesalahan
identifikasi spektral habitat karena faktor kedalaman.

Metode ini menghasilkan indeks dasar yang tidak dipengaruhi kedalaman dan berhasil
baik pada perairan dangkal yang jernih seperti di wilayah habitat terumbu karang (Maritorena,
1996). Algoritma Lyzenga telah digunakan pada banyak studi pemetaan habitat karang dengan
menggunakan berbagai data satelit (Arief, 2013; Lyons, Phinn, & Roelfsema, 2011; Setiawan,
Marini, & Winarso, 2015; Stumpf, Arnone, Gould, Martinolich, & Ransibrahmanakul, 2003).

c. Padang lamun.
Di wilayah pesisir terdapat 3 ekosistem tropika yang khas, yaitu terumbu karang, lamun
dan mangrove dengan produktivitas yang tinggi. Ketiga ekosistem tersebut memberikan produk
dan jasa lingkungan yang tinggi dan sangat penting karena dapat menunjang kehidupan
masyarakat di sekitarnya melalui pemanfaatan sumberdaya hayati yang disumbangkan ekosistem
tersebut. Perairan pesisir merupakan perairan dengan kedalaman kurang dari 30 meter (FGDC,
2010).

Informasi berupa sebaran habitat laut dangkal di wilayah pesisir masih sangat kurang,
karena wilayahnya tersebar luas di Indonesia serta sebagian besar sulit dijangkau. Oleh karena
itu dibutuhkan teknologi yang mampu memberikan informasi tentang habitat laut dangkal secara
efektif dan efi sien serta relatif akurat dan menyeluruh. Penginderaan jauh merupakan teknologi
yang mampu menjawab tantangan tersebut. Penginderaan jauh dapat merekam permukaan bumi
pada wilayah yang luas serta sulit dijangkau dan juga menyediakan data citra terbaru dengan
waktu perekaman yang berbeda, sehingga memungkinkan analisis secara multi-waktu (Lillesand
dan Kiefer, 1999).
Lamun juga adalah salah satu komponen utama penyusun ekosistem tersebut berfungsi
sebagai habitat ikan, tempat pariwisata, pelindung pantai dari hantaman gelombang dan
pengadukan material tersuspensi. Dinamika yang tinggi idealnya selalu diikuti dengan
pembaharuan informasi sehingga didapatkan gambaran wilayah yang sesuai dengan kenyataan.
Teknologi penginderaan jauh menjadi salah satu sumber informasi dalam pengumpulan
data kelautan secara efektif dan efisien. Pemanfaatan data penginderaan jauh jelas mempunyai
keunggulan dalam hal penghematan biaya, waktu, data yang diperoleh secara sinoptik, dan dapat
dilakukan pemantauan dari tahun ke tahun.
MATERI 4

 Sinar Tampak dan Produktifitas Primer

A. Pengertian Produktivitas Primer suatu perairan yang dapat dikalkulasi dari


hasil pencitraan dengan memanfaatkan sinar tampak.

Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi
dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk
dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total. Dengat
berkaitannya dengan Sifat optik laut yang juga terkait dengan pengindraan jauh mencakup dua
aspek, yaitu sifat optik murni air laut (inherent optical properties) dan sifat optik yang kelihatan
(apparent optical properties). Sifat optik murni perairan laut pada prinsipnya ditentukan oleh
spectral beam attenuation coefficient (cλ), spectral absorption coefficient (aλ), dan spectral
scattering coefficient (bλ). Sebelum membahas lebih jauh mengenai sifat optik air laut,
sebaiknya mengenal terlebih dahulu beberapa istilah yang penting di dalam sistem radiasi cahaya
matahari yang terkait dengan pengindraan jauh ini.

Di dalam radiasi cahaya, dikenal istilah radiance dan irradiance. Irradiance adalah total
energi cahaya yang diterima oleh suatu objek per satuan luas. Irradiance biasanya dinotasikan
dengan huruf ”E”. Radiance juga merupakan energi cahaya per steradian (cahaya meninggalkan
sumbernya dalam bentuk kerucut) per luas permukaan objek (alas dari kerucut). Steradian adalah
luas dasar kerucut dibagi dengan kuadrat tinggi kerucut. Radiance biasanya dinotasikan dengan
huruf ”L”. Irradiance dan radiance termasuk dalam sifat optik air laut yang kelihatan (apparent).

Spectral beam absorption coeffficient adalah bagian (fraksi) dari cahaya yang datang yang
diserap oleh air laut untuk setiap ketebalan kolom air laut ( dalam satuan m-1). Spectral beam
scattering coefficient adalah bagian (fraksi) dari cahaya yang datang yang dipencarkan
(scattered) oleh air laut untuk setiap ketebalan kolom air laut (dalam satuan m-1). Sisa cahaya
setelah diserap dan dipencarkan oleh air laut adalah diteruskan ke kolom air di bawahnya. Dalam
kaitan ini, terdapat spectral beam transmitance coefficien (tλ) yang merupakan bagian (fraksi)
cahaya yang datang yang diteruskan (transmitted) oleh air laut untuk setiap ketebalan air laut
(dalam satuan m-1). Spectral beam scattering coefficient adalah bagian (fraksi) dari cahaya yang
datang yang dipencarkan (scattered) oleh air laut untuk setiap ketebalan kolom air laut (dalam
satuan m-1). Sisa cahaya setelah diserap dan dipencarkan oleh air laut adalah diteruskan ke
kolom air di bawahnya. Dalam kaitan ini, terdapat spectral beam transmitance coefficien (tλ)
yang merupakan bagian (fraksi) cahaya yang datang yang diteruskan (transmitted) oleh air laut
untuk setiap ketebalan air laut (dalam satuan m-1). Sifat-sifat optik murni (inherent) air laut
tersebut berbeda menurut panjang gelombang GEM (λ).
Di dalam pembahasan sifat optik laut juga dikenal istilah kedalaman optik (optical depth) dan
kedalaman atenuasi. Sensor satelit sinar tampak biasanya secara efektif dapat mendeteksi objek
yang berada pada kolom air hingga kedalaman 2x kedalaman atenuasi. Sekitar 90% cahaya yang
diterima oleh sensor satelit berasal dari 1x kedalaman atenuasi. Produktivitas primer di laut dapat
terjadi hingga kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi adalah kedalaman di mana
downwelling irradiance tinggal 1% dibandingkan dengan irradiance di permukaan.Berbeda
dengan inherent optical characteristics (c, a, b); Kd adalah apparent optical characteristics yang
bergantung selain sifat perairan juga kondisi penyinaran (illumination condition).

a. Pengertian produktivitas Primer

Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi
dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk
dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total. Jumlah
seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produksivitas dinamakan produksi primer
kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk
kelangsungan proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang
digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan untuk respirasi.
Produktivitas primer kotor merupakan laju total fotosintesis, termasuk bahan organik yang
dimanfaatkan untuk respirasi selama jangka waktu tertentu disebut juga produksi total atau
asimilasi total. Produktivitas bersih merupakan laju penyimpanan bahan organik di dalam
jaringan setelah dikurangi untuk pemanfaatan untuk respirasi selama jangka waktu tertentu.
(Nyabakken, 1992; Odum, 1996; Wetzel) menyebutkan bahwa Produktivitas primer perairan
memiliki peran penting dalam siklus karbon dan rantai makanan serta perannya sebagai pemasok
kandungan oksigen terlarut di perairan (Hariyadi et al., 2010; Zang et al., 2014). Pengukuran
produktivitas primer merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi
ekosistem perairan (Tamire & Mengistou, 2014; Xiao et al., 2015). Bahkan (Behrenfald et al.
2005) menyebutkan bahwa produktivitas primer bersih merupakan kunci pengukuran kesehatan
lingkungan dan pengelolaan sumberdaya laut. Lebih lanjut Hariyadi et al. (2010) menjelaskan,
tingkat produktivitas primer suatu perairan memberikan gambaran bahwa, suatu perairan cukup
produktif dalam menghasilkan biomassa tumbuhan, termasuk pasokan oksigen yang dihasilkan
dari proses fotosintesis. Dengan tersedianya biomassa tumbuhan dan oksigen yang cukup dapat
mendukung perkembangan ekosistem perairan.
b. Proses fotosintesa fitoplankton

 Ada tiga tahapan proses fotosintesis fitoplankton di laut, yaitu:

1. Penyebaran energy cayaha dan transferring energi ke bentuk kimia


2. Perubahan bentuk energi kimia untuk reaksi biokimia, ATP (2. adenosine
triphosphate), dan NADPH (nicotinamide adenine dinocleotide phosphate)
3. fixing CO2 dan produksi karbohidrat dan O2 dengan ATP dan NADP tersebut.

 Secara kimia, proses fotosisntesis tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut

n(CO2) + 2n(H2O) ----cahaya------» n(CH2O) + n(O2) + n(H2O)

Proses fotosintesis pada tahap (1) memerlukan energi 112 kkal setiap pembentukan 1 mol
karbohidrat {n(CH2O)}. Energi tersebut, didapat dari penyerapan cahaya oleh pigmen, pada
panjang gelombang 300–720 nm. Pola (sifat) penyerapan cahaya tergantung dari jenis pigmen,
jadi setiap jenis kelompok fitoplankton (berdasarkan pigmennya), akan berbeda pola
penyerapannya. Reaksi fotosintesis pada tahap (2) dilakukan oleh ”foton”, 4 foton (4 energi
kuantum) diperlukan untuk membentuk 1 mol ATP dan NADPH. Energi kuantum (E)
bergantung pada panjang gelombang (λ) :

λ
E=h
v

Dengan :

h = tetapan plank = 6,63 x 10-34 joule/dtk

v = kecepatan cahaya = 3 x 108 m/dtk.

Karena sebuah reaksi fotosintesis memerlukan 4 foton, energi yang diperlukan


sebenarnya lebih besar pada reaksi yang menggunakan panjang gelombang yang lebih kecil
dibandingkan dengan panjang gelombang yang lebih besar. Pada umumnya, semua jenis pigmen
menyerap cahaya pada panjang gelombang 300–720 nm sebagaimana yang telah disebutkan di
atas. Namun demikian, puncak-puncak penyerapan energi berbeda untuk setiap jenis pigmen
atau kelompok fitoplankton. Kelompok diatom, dinoflagelata, dan ganggang cokelat adalah
contoh fitoplankton dengan pigmen utama klorofil-a, c, dan carotenoid. Kelompok ini
mempunyai dua puncak penyerapan energi cahaya, yaitu pada panjang gelombang sekitar 435
nm dan 765 nm. Penyerapan energi yang paling minimum di antara dua puncak tersebut, yaitu
pada panjang gelombang 550 nm. Pola yang hampir sama juga terdapat pada kelompok
ganggang hijau dan ganggang euglenoid yang mempunyai pigmen utama klorofil-a dan klorofil-
b. Puncak penyerapan energi kelompok fitoplankton ini sama dengan kelompok diatom, namun
penyerapan energi yang paling rendah terjadi pada panjang gelombang 580 nm. Kelompok yang
lain, yaitu kelompok ganggang merah dan ganggang biru (blue-green algae) yang mempunyai
pigmen utama klorofil-a dan phycobilin. Kelompok ini mempunyai tiga puncak penyerapan
energi yang berdekatan di selang panjang gelombang antara 500 nm hingga 560 nm. Kelompok
ini sangat sedikit menyerap cahaya biru dan cahaya merah.

Gambar 5-1 Penyerapan cahaya pada berbagai kelompok jenis fitoplankton

Gambar 5-2 Beberapa variasi penyerapan cahaya oleh fitoplankton


Gambar 5-3 Hubungan antara tingkat fotosintesis dan intensitas cahaya

B. Kategorikan produktivitas primer dari deteksi kandungan klorofil.

Jika S adalah tingkat absorpsi energi oleh pigmen per satuan luas permukaan laut per
satuan waktu, sedangkan Q(z) adalah tingkat absorpsi enegi oleh pigmen per satuan volume air
per waktu pada kedalaman z.

S = ∫ Q( z ) dz
0

Pada rumus di atas sebenarnya integrasi tidak sampai ∞, tetapi hanya sampai pada kedalaman
kompensasi atau euphotic zone (Zp). Tingkat absorpsi energi Q(z) bergantung pada I(z), yaitu
cahaya yang tersedia pada kedalaman z, dan juga bergantung pada total absorpsi cross-section
pigmen {k B(z)}. Koefisien atenuasi (k) di dalam rumus ini disebut atenuasi spesifik disebabkan
oleh pigmen.

Q(z) = k B(z) x I(z)………………………

k = pigmen specific attenuation dalam satuan m2 (mg chl−a)−1

B(z) = pigmen biomass pada kedalaman z dalam satuan (mg chl-a) m−3

 Selain itu, produksi primer juga bergantung pada biomass pigmen berdasarkan
persamaan:

∫ P dz = Λ ∫ B dz……………………..(31)
Dengan asumsi bahwa biomass pigmen seragam di seluruh kedalaman, sebenarnya ∫ B dz
= B Zp; di mana Zp adalah ketebalan kolom eutrophic zone perairan laut. Oleh karena itu,
persamaan (31) berubah menjadi:

ηS
Λ= ………………..(32)
BZ P

Jika Tipe perairannya sama Zp dapat diasumsikan konstan. Tipe perairan laut adalah perairan di
mana padatan tersuspensinya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya adalah perairan
”jernih” di bagian tengah laut. Jika Zp dapat diasumsikan konstan, bagian sebelah kanan dari
persamaan (32) dapat diasumsikan konstan:


Ψ= ; sehingga Λ = y I o…………………….(33)
Zp( ξ+ χ + kB)

 Efisiensi energi (η) bergantung pada maksimum quantum yield (φ) dan efisiensi
thermodinamik air laut (θ).

η = θ φ……………..(34)

 Dengan menggunakan persamaan (33), persamaan (31) dapat ditulis menjadi :

∫ P dz = y I0 ∫ B dz………………………….(35)

Persamaan (35) adalah persamaan hubungan antara produktivitas primer dengan biomass
pigmen (klorofil-a) di mana produktivitas primer diambil nilai rata-ratanya dan demikian juga
biomass klorofil diambil nilai rataratanya pada seluruh kedalaman euphotic. Persamaan tersebut,
menyebutkan bahwa produktivitas primer berbanding lurus secara linier dengan biomass
klorofil-a, jika di dalam kawasan yang terbatas dapat diasumsikan bahwa radiasi matahari sama
untuk seluruh kawasan dan konsentrasi hara juga sama untuk seluruh kawasan. Sebagaimana
telah disebutkan pada bab sebelumnya, Susilo (1999) telah membuktikan bahwa terdapat
hubungan linier antara produktivitas primer dan konsentrasi klorofil-a.

C. Pemakaian algoritma untuk mengetahui kandungan dan distribusi kolorofil-a

Pengindraan jauh ocean color mengandalkan pantulan cahaya yang berasal dari kolom air
laut (subsurface reflectance). Pantulan cahaya inilah yang membawa informasi tentang objek-
objek yang dideteksi di dalam air laut. Besar kecilnya serta pola pantulan cahaya pada berbagai
panjang gelombang menjadi kunci interpretasi pengindraan jauh sinar tampak.

Informasi untuk mengetahui sifat optik suatu objek pengindraan jauh di dalam air laut
biasanya didapatkan melalui penelitian di lapangan menggunakan radiometer lapangan. Melalui
penelitian lapangan ini, kemudian dikembangkan algoritme yang sesuai untuk pengindraan jauh
yang menggunakan sensor satelit. Secara umum, besarnya pantulan cahaya dari laut dipengaruhi
oleh penyerapan (absorption) dan pemencaran (backscattering) klorofil-a, suspended sediment,
dan yellow substance. Pantulan cahaya dari dalam kolom air tersebut, dapat dirumuskan sebagai
berikut:

α [ Bw ( λi)+bs (λi) S ]
R (λi) = ……………………… (42)
[ A ω ( λ ) + a ( λ τ ) C +a δ ( I τ ) S + A γ ( λ τ ) ]

Dengan :

R(λi) = subsurface reflectance untuk panjang gelombang (λi)

A dan a = total dan specific absorption coefficient

B dan b = total dan specific backscattering coefficient

C = konsentrasi klorofil-a (mg m-3)

S = konsentrasi suspended sediment (mg m-3)

(Subscript w, c, s, dan y berarti air, klorofil-a, suspended sediment, dan yellow


substance).

Penelitian di lapangan yang dilakukan oleh Tassan dan d’Alcala (1993) di Teluk Naples
(Italia) mengenai parameter-parameter dari persamaan (42) pada panjang gelombang 486 nm,
570 nm, 660 nm, dan 830 nm (disesuaikan dengan kanal-kanal yang ada pada sensor thematic
mapper, TM pada satelit Landsat) dapat dilihat pada Tabel 7-1. Sifat optik air laut di Teluk
Naples ini tentu saja tidak sama dengan sifat optik perairan di Indonesia. Namun demikian,
hubungan antarparameter sifat optik tersebut seharusnya sama. Oleh karena itu, algoritme yang
dihasilkan dari penelitian lapangan di Italia ini seharusnya juga dapat berlaku di tempat lain.

Sifat optik air laut di Teluk Naples (Italia)

Berdasarkan persamaan (42), terlihat bahwa terdapat hubungan antara besarnya pantulan
cahaya (R); konsentrasi sedimen tersuspensi (S); dan konsentrasi klorofil-a (C). Dengan
menggunakan data pada Tabel 7-1, Tassan dan d’Alcala (1993) menemukan hubungan antara
konsentersi sedimen tersuspensi dan konsentrasi klorofil-a. Secara empiris, untuk kondisi
perairan dimana konsentrasi sedimen berada pada selang 0,2 ≤ S ≤ 10 g m-3, ditemukan
hubungan sebagai berikut:

Log S = (-0,247 ± 0,016) + (0,567 ± 0,026) log C......................(43)

( r = 0,91; N= jumlah contoh stasiun=95)

Berdasarkan pengukuran di lapangan serta menggunakan data pada Tabel 7-1, Tassan dan
d’Alcala (1993) juga mengembangkan algoritme empiris di lapangan untuk menduga konsentrasi
klorofil-a dan konsentrasi sedimen berdasarkan besarnya pantulan cahaya pada berbagai panjang
gelombang. Algoritme tersebut adalah:

Log C = (0,18 ± 0,02) – (2,84 ± 0,11) Log [R(486) / R(570)] …..(44)

(r = 0,98; untuk kondisi 0,1 ≤ C ≤ 7 g m-3)

Log S = (3,49 ± 0,29) + (2,04 ± 0,16) Log [R(570)] ..................(45)

(r = 0,94; untuk kondisi 0,2 ≤ S ≤ 3 g m-3 ).

Algoritme lain yang telah lebih dulu dikembangkan adalah algoritme pendugaan konsentrasi
klorofil yang terkait dengan kanal-kanal yang ada pada sensor Costal Zone Color Scanner
(CZCS)

C = pigmen concentration (mg m-3)

X dan Y = konstanta (ditentukan secara empiris di lapangan)

Lw = water leaving radiance bisa dinyatakan dalam Rs = subsurface reflectance Subscript i dan j
masing-masing adalah kanal CZCS (1, 2, 3, dan 4).

Algoritme lain dikembangkan oleh Bricaud dan Morel (1987). Algoritme ini
dikembangkan untuk Tipe Air I di mana Rs sangat tergantung pada konsentrasi klorofil-a.
Algoritme ini juga terkait dengan penggunaan sensor CZCS.

Jika X = Rs(I¹)/ Rs(Iε) ; maka

Rs(λí) = exp{aí + bi lnX + cí (lnX)² + dí (lnX)³}………………..(47)


(R dalam %)

C = exp {0,768 – 2,61 lnX + 0,791 (lnX) ² – 0,388 (lnX) ³}…………(48)

( C dalam mg m-³)

Konstanta a, b, c, dan d pada persamaan (47) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 7-2 Konstanta a, b, c, d untuk masing-masing kanal CZCS

Sensor CZCS memang tidak ada lagi, tetapi dengan menggunakan sensorsensor satelit
yang ada saat ini algoritme tersebut masih dapat dikembangkan disesuaikan dengan panjang
gelombang yang sesuai dengan kanal-kanal CZCS. Sensor CZCS mempunyai 6 kanal, namun
hanya 4 kanal pertama yang bekerja pada sinar tampak. Selang panjang gelombang kanal-1
hingga kanal-6 berturut-turut (dalam nm) adalah : 433-453, 510-530, 540-560, 660-680, 700-
800, 10500-12500.

D. Pengembangan dan penerapan algoritma untuk deteksi dan analisas Clorofil-a

Pengukuran klorofil-a merupakan indikator biomassa fitoplankton secara tidak langsung.


Untuk mengkonversi klorofil-a menjadi biomassa total plankton maka harus dikalikan dengan
rasio antara berat klorofil-a terhadap berat fitoplankton. Sebagai contoh, berat klorofil-a dan
berat fitoplankton umumnya 1:1000, seandainya berat klorofil-a yang diukur 1µg, maka berat
fitoplankton tersebut 1000 µg (Basmi, 2000). Perairan Indonesia dengan nilai klorofil yang
tinggi hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan dan pengaruh masukan
air sungai. Klorofil-a di laut dapat dideteksi pada panjang gelombang 0.45-0.65µm (JARS,
1999). Sifat spektral dari fitoplankton cenderung memiliki penyerapan dan pemantulan yang
terbatas. Seluruh plankton menyerap kuat cahaya pada dua daerah di spektrum gelombang
tampak karena adanya klorofil-a. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a

Gambar 1. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a

Penyerapan maksimum pertama pada kisaran cahaya biru (400-500 nm) dengan puncak
pada 443 nm, kedua pada kisaran cahaya merah (600-700 nm) dengan puncak di sekitar 680-685
nm. Klorofil-a memantulkan maksimum pada gelombang cahaya hijau (500-600 nm), terutama
pada kisaran 550 nm dan 600 nm (Kirk, 1983; Maul, 1985; Yentch, 1983 dalam Wouthuyzen,
2006). Ekstrand (1998) mengemukakan rasio kanal 3 (0.63-0.69 µm) dengan kanal 1 (0.45-
0.52µm) pada citra satelit Landsat TM baik untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a di perairan
pesisir dan perairan tawar, karena kedua kanal tersebut sedikit dipengaruhi oleh sedimen
tersuspensi.

Han dan Jordan (2005) melakukan penelitian membuat algoritma untuk mengestimasi
klorofil-a di Teluk Pensacola, Florida menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+. Teknik
pembuatan algoritma yaitu dengan merasiokan kanal kanal citra tanggal 20 Mei 2002 dan
mengkorelasikan dengan nilai pada 16 titik stasiun pengambilan data in situ klorofil-a, pada
tanggal 14 dan 15 Mei 2002. Teluk Pensacola memiliki luas 373 km2. Teluk tersebut sangat
dipengaruhi 3 sungai besar yaitu Sungai Escambia, Blackwater, dan Yellow rivers. Hasil
penelitian Han dan Jordan yaitu kombinasi rasio kanal 1 (0.45-0.52 µm) banding kanal 3 (0.63-
0.69 µm) merupakan kombinasi rasio paling baik yang digunakan untuk mengestimasi klorofil-a,
algoritmanya yaitu:

log(chl_a) = -9.5126 + 12.8315 × [logETM+1/ logETM +3]

Dengan :

log ETM+1 = logaritma nilai ETM+1 dengan proses COST model

log ETM+3 = logaritma nilai ETM+3 dengan proses COST model


Persamaan 1 memiliki nilai R2 sebesar 0.67. Nilai reflektansi pada kanal 1 dan kanal 3
menurun saat konsentrasi klorofil-a di laut meningkat. Meskipun nilai reflektansi kedua kanal
tersebut mengalami penurunan, namun penurunan nilai reflektansi kanal 3 lebih cepat dari pada
kanal 1. Subagio (2006) bersama tim dari LAPAN dan Bakosurtanal melakukan percobaan
pembuatan algoritma untuk mengestimasi konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Delta Berau,
Kalimantan Timur dari citra satelit Landsat-7 ETM+. Algoritma tersebut adalah :

log(chl_a) = 0.2154-0.639 × log[RTM1 / RTM2]

dengan :

RTM1 adalah nilai radian pada kanal 1

RTM2 adalah nilai radian pada kanal 2.

Percobaan pembuatan algoritma empiris estimasi menggunakan titik stasiun bernomor


ganjil. Pembuatan algoritma estimasi dengan menggunakan pendekatan empiris yaitu
mengkorelasikan nilai radian citra satelit dengan data in situ klorofil-a atau SPL pada koordinat
titik stasiun pengambilan data dan tanggal yang sama. Persamaan yang dicobakan yaitu regresi
linear: y; a + bx; eksponensial: y = a * exp (bx); power: y = a * x^b; polinomial (orde 2) : y =
ax^2 + bx + c; polinomial (orde 3): y = ax^3 + bx^2 + cx + d. Variabel x adalah nilai radian
citra setiap kanal atau rasio kanal (contoh kanal biru/kanal merah), sedangkan y adalah nilai
konsentrasi klorofil-a atau nilai SPL pada koordinat dan tanggal yang sama. Setelah melalui
percobaan pembuatan algoritma, bentuk dasar persamaan yang paling baik adalah polinomial
(orde 2): y = ax^2 + bx + c.

Analisis data untuk validasi menggunakan titik stasiun bernomor genap. Algoritma
empiris yang telah dihasilkan selanjutnya diaplikasikan pada citra untuk digunakan dalam
mengestimasi klorofil-a maupun dengan SPL. Selanjutnya nilai hasil estimasi tersebut divalidasi
dengan nilai in situ. Perhitungan validasi pada nilai-nilai titik stasiun pengambilan data
bernomor genap. Analisis yang dilakukan antara lain:

1. Untuk mengetahui hasil estimasi cukup baik atau tidak, dilakukan uji beda nilai tengah.
Adapun hipotesis yang dilakukan :
H0:µ1= µ2
H1: µ1Œ-2

µ1= nilai tengah kualitas air (klorofil-a atau SPL) data in situ

µ2= nilai tengah kualitas air (klorofil-a atau SPL) hasil estimasi dari citra
2. Bila t hitung > t tabel pada selang kepercayaan 95% maka tolak H0, apabila thitung < t tabel
maka keputusannya terima H0 (Walpole, 1995). Apabila hasil hipotesis terima H0 maka
nilai kualitas air in situ tidak berbeda nyata dengan nilai kualitas air data hasil estimasi,
dan algoritma tersebut dapat digunakan. Perhitungan RMS error (Root mean square error)
(Anonymous, 2007):

Dengan :

Bias = nilai in situ – nilai estimasi

n = jumlah data

3. Untuk melihat keeratan hubungan antara nilai data in situ dan hasil estimasi dipergunakan
koefisien korelasi momen hasil kali Pearson (Pearson correlation). Bila r mendekati +1,
hubungan antara kedua peubah tersebut kuat, maka terdapat korelasi yang tinggi diantara
keduanya. Sebaliknya jika r mendekati nol, hubungan linear keduanya sangat lemah
(Walpole, 1995). Rumusnya adalah sebagai berikut :

R= r^2

Keterangan :

r= koefisien korelasi

n=jumlah data

R=koefisien determinasi
 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a

Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris
dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan nilai RMS error adalah nilai bias dihitung
dengan nilai pada stasiun nomor genap. Algoritma yang bercetak tebal adalah algoritma yang
digunakan. Algoritma yang dipilih untuk digunakan memiliki nilai R (koefisien determinasi)
tertinggi diantaranya, juga memiliki nilai RMS error paling kecil.

Tabel 8. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM

Dengan :

K1= kanal 1 (0.45-0.52 µm)


K2= kanal 2 (0.52-0.60 µm)
K3= kanal 3 (0.63-0.69 µm)

Tabel 9. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian ASTER tanggal 21 Juni 2004
dan 27 Juni 2004.
Dengan :

K1= kanal 1 (0.52-0.60 µm)


K2= kanal 2 (0.63-0.69 µm)
K3= kanal 3 (0.78-0.86 µm)

Tabel 10. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM+ tanggal 9
September dan 1 Oktober 2006.

Dengan :

K1= kanal 1 (0.45-0.52 µm)


K2= kanal 2 (0.52-0.60 µm)
K3= kanal 3 (0.63-0.69 µm)

Algoritma yang dipilih untuk mengestimasi klorofil-a berdasarkan tabel di atas antara
lain:

a) Musim timur dari citra Landsat-7 ETM+ yaitu

chl(mg / m^3 ) = 31.16 (rad kanal 3/rad kanal 1)^2 - 41.648 (rad kanal 3/rad kanal 1)+
14.18
b) Musim timur dari citra Terra ASTER yaitu:
Chl(mg/m^3) 0.035 (rad kanal 3) ^2 – 0.318 (rad kanal 3) + 1.336
Dengan R sebesar 0.568
c) Musim peralihan 2 dari citra Landsat-7 ETM+ yaitu :
chl(mg/m^3 ) = 47.692(rad kanal 3 /rad kanal 1)^2 - 53.655 ( rad kanal 3 / rad kanal 1)
+ 15.309
dengan R sebesar 0.655

Estimasi klorofil-a dari citra Landsat-7 ETM+ untuk musim timur dan musim peralihan 2
menggunakan rasio kanal 3 banding dengan kanal 1. Meskipun persamaan (10) tidak memiliki
nilai R yang paling tinggi diantara persamaan pada musim timur, namun memiliki nilai RMS
error (root mean square error) paling kecil dibandingkan persamaan lain yaitu 0.452. Secara
teoritis seluruh plankton menyerap kuat cahaya pada dua daerah di spektrum gelombang tampak
karena adanya klorofil-a. Penyerapan maksimum pertama pada kisaran cahaya biru (400-500
nm), dan kedua pada kisaran cahaya merah (600-700 nm) dengan puncak di sekitar 680-685 nm
(Kirk, 1983; Maul, 1985; Yentch, 1983 dalam Wouthuyzen, 2006). Ekstrand (1998)
mengemukakan rasio kanal 3 (merah) dengan kanal 1 (biru) pada citra satelit Landsat TM baik
untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a di perairan pesisir dan perairan tawar, karena kanal
tersebut sedikit dipengaruhi oleh sedimen tersuspensi. Estimasi klorofil-a pada Terra ASTER
menggunakan kanal 3 (infra merah dekat 0.78-0.86 µm). Beberapa studi menyimpulkan bahwa
pantulan panjang gelombang infra merah dekat memiliki hubungan yang sangat kuat dengan
klorofil-a.

 Validasi algoritma empiris estimasi klorofil-a

Validasi algoritma dihitung pada nilai pada stasiun nomor genap, dengan uji beda nilai
tengah. Apabila t hitung < t tabel, maka nilai in situ tidak berbeda nyata dengan nilai hasil
estimas (µ klorofil-a in situ = µ klorofil-a estimasi) dan algoritma tersebut dapat digunakan.

i. Pada persamaan (10) t hitung: 1.46; t tabel: 2.02 maka klorofil-a in situ dan klorofil-a
estimasi tidak berbeda nyata.
ii. Pada persamaan (11) t hitung: 0.23; t tabel: 2.02 maka klorofil-a in situ dan klorofil-a
estimasi tidak berbeda nyata.
iii. Pada persamaan (12) t hitung: 0.65; t tabel: 2.03 maka klorofil-a in situ dan klorofil-a
estimasi tidak berbeda nyat.

Berdasarkan hasil uji beda nilai tengah di atas, ketiga algoritma empiris dapat digunakan
untuk mengestimasi klorofil-a. Perbandingan nilai klorofil-a in situ dan nilai klorofil-a hasil
estimasi musim timur dari citra Landsat-7 ETM+ disajikan pada Gambar 8, perbandingan nilai
klorofil-a estimasi musim timur dari citra Terra ASTER pada Gambar 9 sedangkan perbandingan
nilai klorofil-a estimasi musim peralihan 2 dari citra Landsat-7 ETM+.

Anda mungkin juga menyukai