NIM: 2013-64-016
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
MATERI 3
A. Prinsip kerja Inderaja Sinar Tampak untuk mendapatkan Citra lautan terutama citra dasar
laut.
B. Cara memisahkan dan mengkategori dasar perairan dangkal berdasarkan data inderaan
jauh.
C. Apa itu sinar tampak dan informasi dasar perairan dangkal termasuk algoritmanya,
D. Algoritma : Prosedur Pengembangan dan Penerapan:
a. Bathimetri perairan laut dangkal
b. Terumbuh Karang
c. Padang Lamun
MATERI 4
sinar tampak (visible remote sensing) adalah pengindraan jauh menggunakan spektrum sinar
tampak. Spektrum sinar tampak ini adalah sekelompok gelombang elektromagnetik (GEM) yang
mempunyai panjang gelombang sekitar 400–700 nannometer (nm). Pengindraan jauh sinar
tampak sangat penting di bidang kelautan karena hanya spektrum sinar tampaklah dari seluruh
jenis atau spektrum GEM yang ada yang dapat menembus air (laut) hingga kedalaman tertentu.
Dengan menggunakan pengindraan jauh sinar tampak ini, kita dapat mendeteksi atau mengukur
benda-benda atau organisme yang berada di bawah permukaan air laut, seperti fitoplankton,
lamun, terumbu karang, dan jenis substrat dasar perairan dangkal. Meskipun pengindraan jauh
sinar tampak dapat digunakan untuk penelitian berbagai benda yang berada di bawah permukaan
laut, namun yang paling terkenal atau penting adalah untuk penelitian fitoplankton, khususnya
yang terkait dengan produktivitas primer laut. Buku ini akan memfokuskan pada pengindraan
jauh untuk fitoplankton. Dalam kaitan ini, dikenal pengindraan jauh warna laut (ocean color).
Pada dasarnya sensor satelit yang mempunyai kanal pada spectrum sinar biru dan hijau dapat
dipergunakan untuk mendeteksi perairan dangkal (terumbu karang). Pada saat sinar ini mencapai
dasar perairan (terumbu karang) maka sinar tersebut akan dihamburkan kembali ke atmosfer dan
ditangkap oleh sensor satelit. Jumlah radiasi yang diterima oleh sensor dibagi menjadi beberapa
komponen seperti persamaan berikut :
Jika kita mengiginkan bahwa radiasi yang diterima oleh sensor hanya berasal dari dasar
perairan khususnya terumbu karang maka komponen-komponen lain yaitu La, Ls , dan Lu harus
dapat dihilangkan (Susilo, 1997). Karena informasi yang didapat dari citra awal masih tercampur
dengan informasi lain seperti kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air, maka
untuk lebih menonjolkan objek pemukaan dasar perairan, Siregar (1995), mengemukakan
metode penggabungan dua kanal sinar tampak yaitu kanal 1 dan kanal 2 dengan menggunakan
logaritma natural sehingga diperoleh citra baru yang menampakkan dasar perairan yang lebih
informatif. Pengolahan ini meliputi penghilangan efek air, ekstraksi informasi obyek dasar laut
dengan menggunakan metode yang didasari oleh "Metode Pengurangan Eksponensial"
(Exponential Attenuation Model) oleh Lyzenga (1978). Persamaan tersebut seperti berikut:
Dan persamaan ini telah diturunkan dan diperoleh persamaan sebagai berikut :
Dalam penelitian tersebut digunakan pendekatan yang kedua, yaitu dengan cara berikut :
Pada citra ditentukan training area dari area yang homogen pada daerah perairan
dangkal, dimana kedua kanal Xi dan Xj sangat berkorelasi.
Dengan membentuk grafik bidimensional, Xi, dapat dihitung ratio antara kedua koefisien
yang dicari (Ki dan Kj) berdasarkan regresi rata-rata kuadrat dari nilai-nilai pengukuran
kedua kanal tersebut, sehingga :
Y = AB dalam (TM,)
dimana A dan B adalah konstanta, TM, adalah nilai kanal digital 1 dari Landsat - TM yang telah
dikoreksi sesuai dengan pola atmosfernya, dan Y adalah nilai digital baru yang dapat
diperbandingkan dengan peningkatan air atau kondisi terumbu karang melalui proses klasifikasi.
Untuk kedalaman air berdasarkan algoritma Mohammad dan Ahmad (1993) ini maka hubungan
antara kedalaman air dengan nilai digital terkoreksi kanal 1 Landsat - TM adalah:
Setiap objek substrat dasar perairan memberikan pantulan dan pancaran elektromagnetik
yang dapat diterima oleh sensor dikarenakan objek tersebut memiliki partikel berbeda yang dapat
mempengaruhi pola respon elektromagnetiknya sehingga pengenalan atas perbedaan pola respon
elektromagnetik tersebut dapat dijadikan landasan dalam pembedaan objek pada substrat dasar
perairan (Nurjannah, 2006). Daya tembus cahaya matahari terhadap air sangat tergantung pada
daya serap air terhadap cahaya matahari yang mengenainya. Semakin besar daya serapnya, maka
semakin kecil kemungkinan cahaya matahari untuk menembus air tersebut. Sensor penginderaan
jauh dapat mendeteksi perairan pada panjang gelombang 0,4–0,8 μm. Air murni menyerap
cahaya dengan sangat lemah pada daerah spektrum biru dan hijau antara 400-500nm, pada
panjang gelombang 550nm penyerapan cahaya oleh air laut mulai meningkat secara signifikan
dan terus berlanjut hingga pada spektrum merah. Oleh karena itu, sinar dengan panjang
gelombang 400-500nm merupakan panjang gelombang yang baik untuk menginderakan
kedalaman perairan dangkal (Lillesand and Kiefer, 1987).
Penelitian Selamat dkk. (2012) yang menggunakan citra Quickbird untuk pemetaan 3D
substrat dasar di gusung karang mengemukakan bahwa kedalaman air memiliki korelasi tertinggi
dengan radiansi kanal hijau (0,64), kanal merah (0,57) dan yang paling rendah dengan kanal biru
(0,52). Selain itu kanal biru sangat berkorelasi dengan kanal hijau (0,97). Korelasi kedalaman
substrat dasar dengan radiansi tertinggi dihasilkan oleh substrat pasir pada kanal hijau (0,81) dan
paling rendah dihasilkan oleh substrat karang pada kanal biru (0,14).
Metode pemetaan citra perairan dangkal telah dikembangkan oleh AGSO (Australian
Geological Survey Organitation). Menurut bierwirth dan burne (1993) radian yang timbul dari
air di daerah yang dangkal merupakan campuran dari : reflektansi dari material substrat,
pengaruh dari kedalaman air ( semakin dalam semakin berkurang ) serta penyerapan dan
penyebaran molekul air, padatan terlarut dan tersupsensi.
Rumus untuk estimasi pengukuran kedalaman air menurut bierwith et. Al., (1993), adalah
:
Dengan :
L1, l2, l3 = nilai piksel TM1, TM2, TM3
dpi1, dpi2,dpi3 = nilai piksel minimum TM1, TM2, TM3
l1, k2, k3 = koefisien atenuasiair terhadap TM1, TM2, TM3
penelitian pilicyn menggunakan multispectral scanner (MSS) 1970yaitu dengan
melakukan penisbaan (rationi) terhadap beberapa saluran yang digunakan agar memaksimalkan
hasil yang di capai (polcyn, 1970 dalam jansen 1986). Pada saluran biru (400-440nm) penetrasi
cayaha tidak optimum sehingga citra yang terbentuk memiliki kontras yang rendah, saluran hijau
(500-520nm dan 550-580nm) kondisi air terlihat jelas serta saluran merah (620-680nm) hanya
mampu menampakan dasar yang sangat dangkal sehingga penetrasinya kurang baik akibat
spectrum gelombang lebih banyak di serap dengan saluran hijau sedangkan saluran infamerah
dekat 800-1000nm hanya mampu menampilkan perbedaan dengan jelas antara tubuh air dengan
daratan saja karna daya serap tubuh air pada spectrum invramerah dekat ini sangat tinggi.
Pada penelitian ini, polcyn mengekstrasi kedalaman menggunakan saluran 4 (hijau dan
merah) LANGSAT MSS kemudian di ketahui bahwa daya termbus maksimum terhadap air
adalah 30m (pada kondisi tertentu). Penelitian lainnya untuk pemetaan batimetri laut dangkal
menggunakan data SPOT multi spectral oleh J. De.Deo 1995.
C. Apa itu sinar tampak dan informasi dasar perairan dangkal termasuk
algoritmanya.
sinar tampak (visible remote sensing) adalah pengindraan jauh menggunakan spektrum sinar
tampak. Spektrum sinar tampak ini adalah sekelompok gelombang elektromagnetik (GEM) yang
mempunyai panjang gelombang sekitar 400–700 nannometer (nm). Pengindraan jauh sinar
tampak sangat penting di bidang kelautan karena hanya spektrum sinar tampaklah dari seluruh
jenis atau spektrum GEM yang ada yang dapat menembus air (laut) hingga kedalaman tertentu.
Dengan menggunakan pengindraan jauh sinar tampak ini, kita dapat mendeteksi atau mengukur
benda-benda atau organisme yang berada di bawah permukaan air laut, seperti fitoplankton,
lamun, terumbu karang, dan jenis substrat dasar perairan dangkal.
Perairan dangkal mempunyai kandungan biota dan ekosistem yang hampir sama dengan
perairan dalam. Perbedannya adalah pada perairan dangkal biota maupun ekosistem yang ada
lebih beragam yang disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisik, dan salah satunya adalah
penetrasi cahaya matahari ke dasar perairan (Dahuri, 1996). Perairan laut dangkal dalam istilah
oseanografi didefinisikan sebagai wilayah yang terbentang mulai dari batas pantai sampai
dengan kedalaman 200 meter. Namun dalam lingkup penginderaan jauh, perairan laut dangkal
yang dimaksud merujuk pada kemampuan citra satelit dalam menembus kolom perairan. Pada
penelitian Setyawan dkk (2014) melakukan pendekatan dengan menggabungkan nilai batimetri
dan hasil identifikasi habitat dasar perairan dangkal dengan menggunakan citra Worldview-2
sehingga menggambarkan kondisi nyata dan memperoleh luasan yang lebih mendekati
kenyataan. Keberadaan terumbu karang, lamun dan pasir pada perairan dangkal memiliki
sejumlah pengaruh terhadap kemampuan citra satelit dalam memetakan perairan dangkal
diakibatkan oleh kemampuan radiasi dan absorbsi panjang gelombang serta attenuasi yang
diakibatkan oleh fitoplankton dan padatan tersuspensi pada kolom air.
Zona intertidal adalah daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi dan surut
terendah, daerah ini mewakili daerah peralihan dari kondisi lautan kedalaman kondisi daratan.
Substrat yang biasa ditemui pada zona ini adalah pantai berbatu, berpasir, dan pantai berlumpur.
Daerah ini juga merupakan zona yang melimpah dengan kehidupan sedangkan sublitoral adalah
zona yang mendapat cahaya dan pada umumnya dihuni oleh organisme yang melimpah terdiri
dari berbagai komunitas, termasuk padang rumput, kebun kelapa, dan terumbu karang
Daerah pantai tropis, pada umumnya dikarakteristikan oleh adanya beragam terumbu karang
dan merupakan komunitas laut yang sangat kompleks. Terumbu karang dibatasi oleh kedalaman
yaitu tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. kebanyakan terumbu
tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas
hingga pinggiran-pinggiran benua-benua atau pulau-pulau. Titik kompensasi cahaya untuk
karang merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang 15-20 persen dari intensitas di
permukaan.
Banyak daerah di dasar laut dangkal yang diliputi oleh rumpu-rumputan laut. Rumput –
rumputan laut merupakan tumbuhan berbunga yang beradaptasi untuk hidup terendam di dalam
air laut. Rumput laut terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 50-60 m, namun
sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesiesnya lebih banyak terdapat di daerah tropic
daripada di daerah ugahari. Semua tipe substrat dihuni oleh rumput-rumputan ini, tetapi kebun
yang paling luas dijumpai pada substrat yang lunak (Nybakken, 1992).
b. Terumbu Karang.
Terumbu karang dan lamun sebagai komponen utama penyusun ekosistem tersebut
berfungsi sebagai habitat ikan, tempat pariwisata, pelindung pantai dari hantaman gelombang
dan pengadukan material tersuspensi. Peran terumbu karang sangat penting sebagai pelindung
alami pantai dari hempasan gelombang dan arus laut, sebagai habitat, tempat mencari makan,
tempat berpijah dan asuhan serta pembesaran bagi biota laut (Suharsono, 1996). Terdapat
hubungan yang signifikan antara kondisi terumbu karang dengan keberadaan, keragaman spesies
dan kelimpahan ikan karang yang hidup di dalamnya (Kendall. 2009).
Dinamika yang tinggi idealnya selalu diikuti dengan pembaharuan informasi sehingga
didapatkan gambaran wilayah yang sesuai dengan kenyataan. Teknologi penginderaan jauh
menjadi salah satu sumber informasi dalam pengumpulan data kelautan secara efektif dan
efisien. Pemanfaatan data penginderaan jauh jelas mempunyai keunggulan dalam hal
penghematan biaya, waktu, data yang diperoleh secara sinoptik, dan dapat dilakukan pemantauan
dari tahun ke tahun.
Kini dengan berkembangnya teknologi penginderaan jauh, tidak hanya wilayah daratan
saja yang dapat dipetakan namun juga wilayah perairan, termasuk terumbu karang (Pasaribu,
2008; Suwargana, 2014; Vincentius P. Siregar, 2010). Metode ini memanfaatkan citra satelit
yang direkam oleh wahana luar angkasa.
Pemetaan dengan memanfaatkan penginderaan jauh dapat mencakup area yang luas tanpa
harus melakukan pengamatan langsung. Penginderaan jauh akan dapat mengurangi biaya yang
harus dikeluarkan untuk melakukan pengamatan langsung secara in situ. Selain itu, waktu yang
dibutuhkan juga akan lebih singkat dan efisien. Hal ini dapat menjadi solusi bagi pemetaan
kondisi dan sebaran terumbu karang di perairan Indonesia.
Dalam pengolahan citra satelit untuk pemetaan terumbu karang, terdapat beberapa
metode yang bisa digunakan. Salah satunya adalah Algoritma Lyzenga (Lyzenga, 1978, 1981).
Metode Lyzenga dikenal dengan nama metode depth-invariant index atau metode water column
correction (koreksi kolom air). Koreksi kolom air bertujuan untuk mengeliminasi kesalahan
identifikasi spektral habitat karena faktor kedalaman.
Metode ini menghasilkan indeks dasar yang tidak dipengaruhi kedalaman dan berhasil
baik pada perairan dangkal yang jernih seperti di wilayah habitat terumbu karang (Maritorena,
1996). Algoritma Lyzenga telah digunakan pada banyak studi pemetaan habitat karang dengan
menggunakan berbagai data satelit (Arief, 2013; Lyons, Phinn, & Roelfsema, 2011; Setiawan,
Marini, & Winarso, 2015; Stumpf, Arnone, Gould, Martinolich, & Ransibrahmanakul, 2003).
c. Padang lamun.
Di wilayah pesisir terdapat 3 ekosistem tropika yang khas, yaitu terumbu karang, lamun
dan mangrove dengan produktivitas yang tinggi. Ketiga ekosistem tersebut memberikan produk
dan jasa lingkungan yang tinggi dan sangat penting karena dapat menunjang kehidupan
masyarakat di sekitarnya melalui pemanfaatan sumberdaya hayati yang disumbangkan ekosistem
tersebut. Perairan pesisir merupakan perairan dengan kedalaman kurang dari 30 meter (FGDC,
2010).
Informasi berupa sebaran habitat laut dangkal di wilayah pesisir masih sangat kurang,
karena wilayahnya tersebar luas di Indonesia serta sebagian besar sulit dijangkau. Oleh karena
itu dibutuhkan teknologi yang mampu memberikan informasi tentang habitat laut dangkal secara
efektif dan efi sien serta relatif akurat dan menyeluruh. Penginderaan jauh merupakan teknologi
yang mampu menjawab tantangan tersebut. Penginderaan jauh dapat merekam permukaan bumi
pada wilayah yang luas serta sulit dijangkau dan juga menyediakan data citra terbaru dengan
waktu perekaman yang berbeda, sehingga memungkinkan analisis secara multi-waktu (Lillesand
dan Kiefer, 1999).
Lamun juga adalah salah satu komponen utama penyusun ekosistem tersebut berfungsi
sebagai habitat ikan, tempat pariwisata, pelindung pantai dari hantaman gelombang dan
pengadukan material tersuspensi. Dinamika yang tinggi idealnya selalu diikuti dengan
pembaharuan informasi sehingga didapatkan gambaran wilayah yang sesuai dengan kenyataan.
Teknologi penginderaan jauh menjadi salah satu sumber informasi dalam pengumpulan
data kelautan secara efektif dan efisien. Pemanfaatan data penginderaan jauh jelas mempunyai
keunggulan dalam hal penghematan biaya, waktu, data yang diperoleh secara sinoptik, dan dapat
dilakukan pemantauan dari tahun ke tahun.
MATERI 4
Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi
dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk
dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total. Dengat
berkaitannya dengan Sifat optik laut yang juga terkait dengan pengindraan jauh mencakup dua
aspek, yaitu sifat optik murni air laut (inherent optical properties) dan sifat optik yang kelihatan
(apparent optical properties). Sifat optik murni perairan laut pada prinsipnya ditentukan oleh
spectral beam attenuation coefficient (cλ), spectral absorption coefficient (aλ), dan spectral
scattering coefficient (bλ). Sebelum membahas lebih jauh mengenai sifat optik air laut,
sebaiknya mengenal terlebih dahulu beberapa istilah yang penting di dalam sistem radiasi cahaya
matahari yang terkait dengan pengindraan jauh ini.
Di dalam radiasi cahaya, dikenal istilah radiance dan irradiance. Irradiance adalah total
energi cahaya yang diterima oleh suatu objek per satuan luas. Irradiance biasanya dinotasikan
dengan huruf ”E”. Radiance juga merupakan energi cahaya per steradian (cahaya meninggalkan
sumbernya dalam bentuk kerucut) per luas permukaan objek (alas dari kerucut). Steradian adalah
luas dasar kerucut dibagi dengan kuadrat tinggi kerucut. Radiance biasanya dinotasikan dengan
huruf ”L”. Irradiance dan radiance termasuk dalam sifat optik air laut yang kelihatan (apparent).
Spectral beam absorption coeffficient adalah bagian (fraksi) dari cahaya yang datang yang
diserap oleh air laut untuk setiap ketebalan kolom air laut ( dalam satuan m-1). Spectral beam
scattering coefficient adalah bagian (fraksi) dari cahaya yang datang yang dipencarkan
(scattered) oleh air laut untuk setiap ketebalan kolom air laut (dalam satuan m-1). Sisa cahaya
setelah diserap dan dipencarkan oleh air laut adalah diteruskan ke kolom air di bawahnya. Dalam
kaitan ini, terdapat spectral beam transmitance coefficien (tλ) yang merupakan bagian (fraksi)
cahaya yang datang yang diteruskan (transmitted) oleh air laut untuk setiap ketebalan air laut
(dalam satuan m-1). Spectral beam scattering coefficient adalah bagian (fraksi) dari cahaya yang
datang yang dipencarkan (scattered) oleh air laut untuk setiap ketebalan kolom air laut (dalam
satuan m-1). Sisa cahaya setelah diserap dan dipencarkan oleh air laut adalah diteruskan ke
kolom air di bawahnya. Dalam kaitan ini, terdapat spectral beam transmitance coefficien (tλ)
yang merupakan bagian (fraksi) cahaya yang datang yang diteruskan (transmitted) oleh air laut
untuk setiap ketebalan air laut (dalam satuan m-1). Sifat-sifat optik murni (inherent) air laut
tersebut berbeda menurut panjang gelombang GEM (λ).
Di dalam pembahasan sifat optik laut juga dikenal istilah kedalaman optik (optical depth) dan
kedalaman atenuasi. Sensor satelit sinar tampak biasanya secara efektif dapat mendeteksi objek
yang berada pada kolom air hingga kedalaman 2x kedalaman atenuasi. Sekitar 90% cahaya yang
diterima oleh sensor satelit berasal dari 1x kedalaman atenuasi. Produktivitas primer di laut dapat
terjadi hingga kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi adalah kedalaman di mana
downwelling irradiance tinggal 1% dibandingkan dengan irradiance di permukaan.Berbeda
dengan inherent optical characteristics (c, a, b); Kd adalah apparent optical characteristics yang
bergantung selain sifat perairan juga kondisi penyinaran (illumination condition).
Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi
dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk
dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total. Jumlah
seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produksivitas dinamakan produksi primer
kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk
kelangsungan proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang
digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan untuk respirasi.
Produktivitas primer kotor merupakan laju total fotosintesis, termasuk bahan organik yang
dimanfaatkan untuk respirasi selama jangka waktu tertentu disebut juga produksi total atau
asimilasi total. Produktivitas bersih merupakan laju penyimpanan bahan organik di dalam
jaringan setelah dikurangi untuk pemanfaatan untuk respirasi selama jangka waktu tertentu.
(Nyabakken, 1992; Odum, 1996; Wetzel) menyebutkan bahwa Produktivitas primer perairan
memiliki peran penting dalam siklus karbon dan rantai makanan serta perannya sebagai pemasok
kandungan oksigen terlarut di perairan (Hariyadi et al., 2010; Zang et al., 2014). Pengukuran
produktivitas primer merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi
ekosistem perairan (Tamire & Mengistou, 2014; Xiao et al., 2015). Bahkan (Behrenfald et al.
2005) menyebutkan bahwa produktivitas primer bersih merupakan kunci pengukuran kesehatan
lingkungan dan pengelolaan sumberdaya laut. Lebih lanjut Hariyadi et al. (2010) menjelaskan,
tingkat produktivitas primer suatu perairan memberikan gambaran bahwa, suatu perairan cukup
produktif dalam menghasilkan biomassa tumbuhan, termasuk pasokan oksigen yang dihasilkan
dari proses fotosintesis. Dengan tersedianya biomassa tumbuhan dan oksigen yang cukup dapat
mendukung perkembangan ekosistem perairan.
b. Proses fotosintesa fitoplankton
Proses fotosintesis pada tahap (1) memerlukan energi 112 kkal setiap pembentukan 1 mol
karbohidrat {n(CH2O)}. Energi tersebut, didapat dari penyerapan cahaya oleh pigmen, pada
panjang gelombang 300–720 nm. Pola (sifat) penyerapan cahaya tergantung dari jenis pigmen,
jadi setiap jenis kelompok fitoplankton (berdasarkan pigmennya), akan berbeda pola
penyerapannya. Reaksi fotosintesis pada tahap (2) dilakukan oleh ”foton”, 4 foton (4 energi
kuantum) diperlukan untuk membentuk 1 mol ATP dan NADPH. Energi kuantum (E)
bergantung pada panjang gelombang (λ) :
λ
E=h
v
Dengan :
Jika S adalah tingkat absorpsi energi oleh pigmen per satuan luas permukaan laut per
satuan waktu, sedangkan Q(z) adalah tingkat absorpsi enegi oleh pigmen per satuan volume air
per waktu pada kedalaman z.
∞
S = ∫ Q( z ) dz
0
Pada rumus di atas sebenarnya integrasi tidak sampai ∞, tetapi hanya sampai pada kedalaman
kompensasi atau euphotic zone (Zp). Tingkat absorpsi energi Q(z) bergantung pada I(z), yaitu
cahaya yang tersedia pada kedalaman z, dan juga bergantung pada total absorpsi cross-section
pigmen {k B(z)}. Koefisien atenuasi (k) di dalam rumus ini disebut atenuasi spesifik disebabkan
oleh pigmen.
B(z) = pigmen biomass pada kedalaman z dalam satuan (mg chl-a) m−3
Selain itu, produksi primer juga bergantung pada biomass pigmen berdasarkan
persamaan:
∫ P dz = Λ ∫ B dz……………………..(31)
Dengan asumsi bahwa biomass pigmen seragam di seluruh kedalaman, sebenarnya ∫ B dz
= B Zp; di mana Zp adalah ketebalan kolom eutrophic zone perairan laut. Oleh karena itu,
persamaan (31) berubah menjadi:
ηS
Λ= ………………..(32)
BZ P
Jika Tipe perairannya sama Zp dapat diasumsikan konstan. Tipe perairan laut adalah perairan di
mana padatan tersuspensinya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya adalah perairan
”jernih” di bagian tengah laut. Jika Zp dapat diasumsikan konstan, bagian sebelah kanan dari
persamaan (32) dapat diasumsikan konstan:
kη
Ψ= ; sehingga Λ = y I o…………………….(33)
Zp( ξ+ χ + kB)
Efisiensi energi (η) bergantung pada maksimum quantum yield (φ) dan efisiensi
thermodinamik air laut (θ).
η = θ φ……………..(34)
∫ P dz = y I0 ∫ B dz………………………….(35)
Persamaan (35) adalah persamaan hubungan antara produktivitas primer dengan biomass
pigmen (klorofil-a) di mana produktivitas primer diambil nilai rata-ratanya dan demikian juga
biomass klorofil diambil nilai rataratanya pada seluruh kedalaman euphotic. Persamaan tersebut,
menyebutkan bahwa produktivitas primer berbanding lurus secara linier dengan biomass
klorofil-a, jika di dalam kawasan yang terbatas dapat diasumsikan bahwa radiasi matahari sama
untuk seluruh kawasan dan konsentrasi hara juga sama untuk seluruh kawasan. Sebagaimana
telah disebutkan pada bab sebelumnya, Susilo (1999) telah membuktikan bahwa terdapat
hubungan linier antara produktivitas primer dan konsentrasi klorofil-a.
Pengindraan jauh ocean color mengandalkan pantulan cahaya yang berasal dari kolom air
laut (subsurface reflectance). Pantulan cahaya inilah yang membawa informasi tentang objek-
objek yang dideteksi di dalam air laut. Besar kecilnya serta pola pantulan cahaya pada berbagai
panjang gelombang menjadi kunci interpretasi pengindraan jauh sinar tampak.
Informasi untuk mengetahui sifat optik suatu objek pengindraan jauh di dalam air laut
biasanya didapatkan melalui penelitian di lapangan menggunakan radiometer lapangan. Melalui
penelitian lapangan ini, kemudian dikembangkan algoritme yang sesuai untuk pengindraan jauh
yang menggunakan sensor satelit. Secara umum, besarnya pantulan cahaya dari laut dipengaruhi
oleh penyerapan (absorption) dan pemencaran (backscattering) klorofil-a, suspended sediment,
dan yellow substance. Pantulan cahaya dari dalam kolom air tersebut, dapat dirumuskan sebagai
berikut:
α [ Bw ( λi)+bs (λi) S ]
R (λi) = ……………………… (42)
[ A ω ( λ ) + a ( λ τ ) C +a δ ( I τ ) S + A γ ( λ τ ) ]
Dengan :
Penelitian di lapangan yang dilakukan oleh Tassan dan d’Alcala (1993) di Teluk Naples
(Italia) mengenai parameter-parameter dari persamaan (42) pada panjang gelombang 486 nm,
570 nm, 660 nm, dan 830 nm (disesuaikan dengan kanal-kanal yang ada pada sensor thematic
mapper, TM pada satelit Landsat) dapat dilihat pada Tabel 7-1. Sifat optik air laut di Teluk
Naples ini tentu saja tidak sama dengan sifat optik perairan di Indonesia. Namun demikian,
hubungan antarparameter sifat optik tersebut seharusnya sama. Oleh karena itu, algoritme yang
dihasilkan dari penelitian lapangan di Italia ini seharusnya juga dapat berlaku di tempat lain.
Berdasarkan persamaan (42), terlihat bahwa terdapat hubungan antara besarnya pantulan
cahaya (R); konsentrasi sedimen tersuspensi (S); dan konsentrasi klorofil-a (C). Dengan
menggunakan data pada Tabel 7-1, Tassan dan d’Alcala (1993) menemukan hubungan antara
konsentersi sedimen tersuspensi dan konsentrasi klorofil-a. Secara empiris, untuk kondisi
perairan dimana konsentrasi sedimen berada pada selang 0,2 ≤ S ≤ 10 g m-3, ditemukan
hubungan sebagai berikut:
Berdasarkan pengukuran di lapangan serta menggunakan data pada Tabel 7-1, Tassan dan
d’Alcala (1993) juga mengembangkan algoritme empiris di lapangan untuk menduga konsentrasi
klorofil-a dan konsentrasi sedimen berdasarkan besarnya pantulan cahaya pada berbagai panjang
gelombang. Algoritme tersebut adalah:
Algoritme lain yang telah lebih dulu dikembangkan adalah algoritme pendugaan konsentrasi
klorofil yang terkait dengan kanal-kanal yang ada pada sensor Costal Zone Color Scanner
(CZCS)
Lw = water leaving radiance bisa dinyatakan dalam Rs = subsurface reflectance Subscript i dan j
masing-masing adalah kanal CZCS (1, 2, 3, dan 4).
Algoritme lain dikembangkan oleh Bricaud dan Morel (1987). Algoritme ini
dikembangkan untuk Tipe Air I di mana Rs sangat tergantung pada konsentrasi klorofil-a.
Algoritme ini juga terkait dengan penggunaan sensor CZCS.
( C dalam mg m-³)
Sensor CZCS memang tidak ada lagi, tetapi dengan menggunakan sensorsensor satelit
yang ada saat ini algoritme tersebut masih dapat dikembangkan disesuaikan dengan panjang
gelombang yang sesuai dengan kanal-kanal CZCS. Sensor CZCS mempunyai 6 kanal, namun
hanya 4 kanal pertama yang bekerja pada sinar tampak. Selang panjang gelombang kanal-1
hingga kanal-6 berturut-turut (dalam nm) adalah : 433-453, 510-530, 540-560, 660-680, 700-
800, 10500-12500.
Penyerapan maksimum pertama pada kisaran cahaya biru (400-500 nm) dengan puncak
pada 443 nm, kedua pada kisaran cahaya merah (600-700 nm) dengan puncak di sekitar 680-685
nm. Klorofil-a memantulkan maksimum pada gelombang cahaya hijau (500-600 nm), terutama
pada kisaran 550 nm dan 600 nm (Kirk, 1983; Maul, 1985; Yentch, 1983 dalam Wouthuyzen,
2006). Ekstrand (1998) mengemukakan rasio kanal 3 (0.63-0.69 µm) dengan kanal 1 (0.45-
0.52µm) pada citra satelit Landsat TM baik untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a di perairan
pesisir dan perairan tawar, karena kedua kanal tersebut sedikit dipengaruhi oleh sedimen
tersuspensi.
Han dan Jordan (2005) melakukan penelitian membuat algoritma untuk mengestimasi
klorofil-a di Teluk Pensacola, Florida menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+. Teknik
pembuatan algoritma yaitu dengan merasiokan kanal kanal citra tanggal 20 Mei 2002 dan
mengkorelasikan dengan nilai pada 16 titik stasiun pengambilan data in situ klorofil-a, pada
tanggal 14 dan 15 Mei 2002. Teluk Pensacola memiliki luas 373 km2. Teluk tersebut sangat
dipengaruhi 3 sungai besar yaitu Sungai Escambia, Blackwater, dan Yellow rivers. Hasil
penelitian Han dan Jordan yaitu kombinasi rasio kanal 1 (0.45-0.52 µm) banding kanal 3 (0.63-
0.69 µm) merupakan kombinasi rasio paling baik yang digunakan untuk mengestimasi klorofil-a,
algoritmanya yaitu:
Dengan :
dengan :
Analisis data untuk validasi menggunakan titik stasiun bernomor genap. Algoritma
empiris yang telah dihasilkan selanjutnya diaplikasikan pada citra untuk digunakan dalam
mengestimasi klorofil-a maupun dengan SPL. Selanjutnya nilai hasil estimasi tersebut divalidasi
dengan nilai in situ. Perhitungan validasi pada nilai-nilai titik stasiun pengambilan data
bernomor genap. Analisis yang dilakukan antara lain:
1. Untuk mengetahui hasil estimasi cukup baik atau tidak, dilakukan uji beda nilai tengah.
Adapun hipotesis yang dilakukan :
H0:µ1= µ2
H1: µ1Œ-2
µ1= nilai tengah kualitas air (klorofil-a atau SPL) data in situ
µ2= nilai tengah kualitas air (klorofil-a atau SPL) hasil estimasi dari citra
2. Bila t hitung > t tabel pada selang kepercayaan 95% maka tolak H0, apabila thitung < t tabel
maka keputusannya terima H0 (Walpole, 1995). Apabila hasil hipotesis terima H0 maka
nilai kualitas air in situ tidak berbeda nyata dengan nilai kualitas air data hasil estimasi,
dan algoritma tersebut dapat digunakan. Perhitungan RMS error (Root mean square error)
(Anonymous, 2007):
Dengan :
n = jumlah data
3. Untuk melihat keeratan hubungan antara nilai data in situ dan hasil estimasi dipergunakan
koefisien korelasi momen hasil kali Pearson (Pearson correlation). Bila r mendekati +1,
hubungan antara kedua peubah tersebut kuat, maka terdapat korelasi yang tinggi diantara
keduanya. Sebaliknya jika r mendekati nol, hubungan linear keduanya sangat lemah
(Walpole, 1995). Rumusnya adalah sebagai berikut :
R= r^2
Keterangan :
r= koefisien korelasi
n=jumlah data
R=koefisien determinasi
Pembuatan algoritma empiris klorofil-a
Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris
dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan nilai RMS error adalah nilai bias dihitung
dengan nilai pada stasiun nomor genap. Algoritma yang bercetak tebal adalah algoritma yang
digunakan. Algoritma yang dipilih untuk digunakan memiliki nilai R (koefisien determinasi)
tertinggi diantaranya, juga memiliki nilai RMS error paling kecil.
Tabel 8. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM
Dengan :
Tabel 9. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian ASTER tanggal 21 Juni 2004
dan 27 Juni 2004.
Dengan :
Tabel 10. Hubungan nilai klorofil-a in situ dengan nilai radian Landsat 7 ETM+ tanggal 9
September dan 1 Oktober 2006.
Dengan :
Algoritma yang dipilih untuk mengestimasi klorofil-a berdasarkan tabel di atas antara
lain:
chl(mg / m^3 ) = 31.16 (rad kanal 3/rad kanal 1)^2 - 41.648 (rad kanal 3/rad kanal 1)+
14.18
b) Musim timur dari citra Terra ASTER yaitu:
Chl(mg/m^3) 0.035 (rad kanal 3) ^2 – 0.318 (rad kanal 3) + 1.336
Dengan R sebesar 0.568
c) Musim peralihan 2 dari citra Landsat-7 ETM+ yaitu :
chl(mg/m^3 ) = 47.692(rad kanal 3 /rad kanal 1)^2 - 53.655 ( rad kanal 3 / rad kanal 1)
+ 15.309
dengan R sebesar 0.655
Estimasi klorofil-a dari citra Landsat-7 ETM+ untuk musim timur dan musim peralihan 2
menggunakan rasio kanal 3 banding dengan kanal 1. Meskipun persamaan (10) tidak memiliki
nilai R yang paling tinggi diantara persamaan pada musim timur, namun memiliki nilai RMS
error (root mean square error) paling kecil dibandingkan persamaan lain yaitu 0.452. Secara
teoritis seluruh plankton menyerap kuat cahaya pada dua daerah di spektrum gelombang tampak
karena adanya klorofil-a. Penyerapan maksimum pertama pada kisaran cahaya biru (400-500
nm), dan kedua pada kisaran cahaya merah (600-700 nm) dengan puncak di sekitar 680-685 nm
(Kirk, 1983; Maul, 1985; Yentch, 1983 dalam Wouthuyzen, 2006). Ekstrand (1998)
mengemukakan rasio kanal 3 (merah) dengan kanal 1 (biru) pada citra satelit Landsat TM baik
untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a di perairan pesisir dan perairan tawar, karena kanal
tersebut sedikit dipengaruhi oleh sedimen tersuspensi. Estimasi klorofil-a pada Terra ASTER
menggunakan kanal 3 (infra merah dekat 0.78-0.86 µm). Beberapa studi menyimpulkan bahwa
pantulan panjang gelombang infra merah dekat memiliki hubungan yang sangat kuat dengan
klorofil-a.
Validasi algoritma dihitung pada nilai pada stasiun nomor genap, dengan uji beda nilai
tengah. Apabila t hitung < t tabel, maka nilai in situ tidak berbeda nyata dengan nilai hasil
estimas (µ klorofil-a in situ = µ klorofil-a estimasi) dan algoritma tersebut dapat digunakan.
i. Pada persamaan (10) t hitung: 1.46; t tabel: 2.02 maka klorofil-a in situ dan klorofil-a
estimasi tidak berbeda nyata.
ii. Pada persamaan (11) t hitung: 0.23; t tabel: 2.02 maka klorofil-a in situ dan klorofil-a
estimasi tidak berbeda nyata.
iii. Pada persamaan (12) t hitung: 0.65; t tabel: 2.03 maka klorofil-a in situ dan klorofil-a
estimasi tidak berbeda nyat.
Berdasarkan hasil uji beda nilai tengah di atas, ketiga algoritma empiris dapat digunakan
untuk mengestimasi klorofil-a. Perbandingan nilai klorofil-a in situ dan nilai klorofil-a hasil
estimasi musim timur dari citra Landsat-7 ETM+ disajikan pada Gambar 8, perbandingan nilai
klorofil-a estimasi musim timur dari citra Terra ASTER pada Gambar 9 sedangkan perbandingan
nilai klorofil-a estimasi musim peralihan 2 dari citra Landsat-7 ETM+.