Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus

Keratokonjungtivitis Viral

Oleh :
Nizra Ayu Sarah
17014101269

Residen Pembimbing
dr. Kevin Jawan

Supervisor Pembimbing
dr. Samuel Malingkas, SpM

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul “Keratokonjungtivitis Viral” telah dikoreksi,


disetujui dan dibacakan pada September 2017 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
RSUD Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

Residen Pembimbing

dr. Kevin Jawan

Supervisor Pembimbing

dr. Samuel Malingkas, SpM


BAB I

PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari
media refraksi. Kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas lima lapis
yaitu epitel, membran bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Endotel
lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau
fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel.
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat
pada stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah
beregenerasi.1,2

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak


bagian belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh
sel goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva
terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal, konjungtiva bulbi dan
konjungtiva forniks.11

Keratokonjungtivitis yang merupakan peradangan pada kornea dan


konjungtiva yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan seringkali mengalami
kekambuhan. Keratoconjungtivitis sicca digunakan ketika peradangan karena
kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini terjadi dengan
20% pasien RA; Istilah " Vernal keratokonjungtivitis "(VKC) digunakan untuk
merujuk keratokonjungtivitis terjadi di musim semi , dan biasanya dianggap
karena alergen; Atopik keratokonjungtivitis adalah salah satu manifestasi dari
atopi; Epidemi keratokonjungtivitis disebabkan oleh infeksi adenovirus;
Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik.4

Konjungtivitis sendiri yang merupakan peradangan pada konjungtiva


merupakan penyakit mata yang paling sering di dunia dan menyerang semua usia.
2% dari seluruh kunjungan ke dokter adalah untuk pemeriksaan mata dengan 54%
nya adalah antara konjungtivitis atau abrasi kornea. Untuk konjungtivitis yang
infeksius, 42% sampai 80% adalah bakterial, 3% chlamydial, dan 13% sampai
70% adalah viral. Konjungtivitis viral menggambarkan hingga 50% dari seluruh
konjungtivitis akut di poli umum.4,12-17

Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis


keratokonjungtivitis viral pada pasien yang datang berobat ke Poliklinik Mata
RSU Prof. dr. R. D. Kandou.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea


2.1.1 Anatomi Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata
yang tembus cahaya, dan lapis jaringan yang menutup bola mata
sebelah depan Kornea merupakan salah satu media refrakta dengan
diameter 11,5 mm, tebal + 1 mm (0,54 – 0,65 mm) dan dengan kekuatan
bias 43 dioptri. Kornea terdiri dari 5 lapisan yaitu : 2,6
1. Epitel
kornea berasal dari ektoderm permukaan dan memiliki ketebalaan 50
pm, terdiri atas 5 lapis sel epitel bertanduk yang saling tumpang
tindih satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal terlihat mitosis sel, dan sel muds ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingya
dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden dan ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran
basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel komea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Menyusun 90% ketebalan kornea. Terdiri atas lamel yang
merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya.
Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang dan terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15
bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 μm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40 pm. Endotel melekat spada membran descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V. Saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbul Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan.4
2.1.2 Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar,
masuk kornea. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan
menutup bola mata di sebelah depan. Sifat tembus cahayanya
disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgenes.2,3
Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan
oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel oleh fungsi sawar epitel dalam
mekanisme dehidrasi, dan kerusakan pada endotel jauh lebih serius
dibandingkan kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan, yang
cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi perbaikan fungsi
endotel. Kerusakan pada epitel biasanya hanya menyebabkan edema lokal
sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang dengan regenerasi sel-sel
epitel yang cepat. Penguapan air dari film air mata prakornea
menyebabkan film air mata menjadi hipertonik; proses tersebut dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma
kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.2
Penetrasi obat melalui kornea yang utuh terjadi secara bifasik. Substansi
larut-lemak dapat melalui epitel utuh, dan substansi larut-air dapat melalui
stroma yang utuh. Jadi, agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak
sekaligus larut-air.2
2.1.3. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.
Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:2

1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra).


2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola
mata).
3. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara
bagian posterior palpebra dan bola mata)
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak
mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan
membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus kelenjar
lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior.) Kecuali di limbus
(tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva
bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke
bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang
mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva
palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan
membentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah.
Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila
terdapat peradangan mata. Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel
konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada
tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen.2
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid
(superfisial)dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler
bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa
tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.
Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata asesori
(kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan funginya mirip kelenjar
lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada
di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring
terletak di tepi atas tarsus atas. 2

2.2 Keratokonjungtivitis
2.1.1. Definisi
Keratokonjungtivitis adalah peradangan dari kornea dan
konjungtiva. Ketika hanya kornea yang meradang, hal itu disebut keratitis,
ketika hanya konjungtiva yang meradang, hal itu disebut konjungtivitis.2,4

2.1.2. Etiologi
Konjungtivitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri, fungal, parasit,
toksik, chlamydia, kimia dan agen alergik. Konjungtivitis viral lebih sering
terjadi daripada konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis
meningkat pada awal musim semi. Etiologi konjungtivitis dapat diketahui
berdasarkan klinis pasien. Pada tingkat seluler terdapat infiltrat seluler dan
eksudat pada konjungtiva. Etiologi keratitis superfisial antara lain adalah
infeksi (bakteri, viral, dan fungal), degeneratif (dry eye, defek neurotropik
atau berhubungan dengan penyakit sistemik), toksik dan alergi. Morfologi
dan distribusi lesi pada kornea dapat membantu mengetahui penyebab
keratitis. Ada beberapa penyebab potensial keratokonjungtivitis yaitu
kekeringan, infeksi virus, manifestasi dari atopi atau allergen maupun
trauma mekanik.

2.1.3. Klasifikasi
1. Keratokonjunctivitis sicca digunakan ketika peradangan karena
kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini
terjadi dengan 20% pasien RA.
2. Istilah " Vernal keratokonjunctivitis "(VKC) digunakan untuk
merujuk keratokonjungtivitis terjadi di musim semi, dan biasanya
dianggap karena alergen.
3. Atopik keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dari atopi.
4. Epidemi keratokonjunctivitis disebabkan oleh adenovirus infeksi.
5. Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma
mekanik

2.1.4. Patofisiologi
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1
terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang
terhadap IgE terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan
permulaan dari reaksi bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan
pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk triptase,
kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan
leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi
nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.2,4,15
Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun
penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat
menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan
bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan
viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit atau limfositik
meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel
darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana
dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan
tinggi permeabilitas.12,13,15
Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel
yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk
terjadinya infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-
film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi.12
2.1.5. Diagnosis
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu
tergores atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia.
Sensasi benda asing dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan
edema dan hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi
konjungtiva. Sakit pada iris atau corpus siliaris mengesankan terkenanya
kornea. Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata,
eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma
konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa
dan membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.8
Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut.
Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus
disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna
merah terang mengesankan konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu
mengesankan konjungtivitis alergika. Berair mata (epiphora) sering
mencolok, diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau
gatal. Kurangnya sekresi airmata yang abnormal mengesankan
keratokonjungtivitis sicca. Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis
akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan
dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya
menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun
tidur pagi hari, dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh
bakteri atau klamidia. Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior
karena infiltrasi ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini
dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan
keratokonjungtivitis epidemika.2
Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang
terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya
oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk
substansi papila (selain unsur sel dan eksudat) sampai di membran basal
epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung.
Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk
tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis
(mis.,trachoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau
jaringan ikat.2
Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip
beludru. Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau
klamidia (mis.,konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk
trachoma akut). Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar
dengan atap rata, poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus
superior papilla seperti ini mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan
konjungtivitis papiler besar dengan sensitivitas lensa kontak; pada tarsus
inferior, mengesankan keratokonjungtivitis atopik. Papila besar dapat pula
timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpapar saat mata
dibuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di sini papila
tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke
kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang
pada keratokonjungtivitis atopi.2
Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis
alergik akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau
meningococcal akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis
dari konjungtiva bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis. Kadang-
kadang, kemosis dapat muncul sebelum infiltrat seluler atau eksudasi
terlihat.2
Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada
semua kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada
neonatus, pada beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa
kasus konjungtivitis toksik yang disebabkan obat-obatan topikal seperti
idoxuridine, dipivefrin, dan miotic. Foikel pada forniks inferior dan pada
batas tarsus mempunyai nilai diagnostik yang rendah, tapi saat terletak
pada tarsus (terutama tarsus atas), konjungtivitis klamidial, viral, atau
toksik (yang menyertai obat-obatan topikal) harus dicurigai. Folikel terdiri
dari hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid konjungtiva
dan biasanya mengandung sentrum germinativum. Secara klinis, folikel
dapat dikenali sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler.
Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh darah kecil dapat terlihat timbul
dari batas folikel dan mengelilingi folikel.2
Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan
berbeda derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas
permukaan epitel. Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah
pengentalan yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan
meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran atau
membran dapat menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis
herpes simplex virus primer, konjungtivitis streptokokal, difteri, cicatrical
pemphigoid, dan eritema multiforme mayor. Juga mungkin timbul sebagai
akibat buruk luka bakar kimiawi, khususnya basa.2
Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling
sering adalah chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, sifilis,
cat-scratch disease, dan, yang jarang koksidiomikosis. Parinaud’s
oculoglandular syndrome meliputi granuloma konjungtival dan nodus
limfe periaurikuler yang menonjol, dan kelompok penyakit ini
memerlukan pemeriksaan biopsy untuk menegakkan diagnosa.2
Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari
konjungtivitis. Nodus periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada
Parinaud’s oculoglandular syndrome dan, yang jarang, pada epidemic
keratoconjunctivitis. Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang
sedikit nyeri tekan, muncul pada konjungtivitis herpes simplex primer,
keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trachoma.
Nodus periaurikuler yang kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam
faringokonjungtival dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang
limfadenopati periaurikuler dapat terlihat pada anak dengan infeksi
kelenjar meibomian.2
Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus,
pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal
harus mencakup elemen berikut ini:12
 Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler
 Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea
 Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan
warna, malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan
 Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis,
perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, secret

Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati


terhadap:
 Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, sisa
kulit berwarna darah, keratinisasi
 Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu
 Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, secret
 Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel dan
ukurannya; perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan
simblepharon; membran dan psudomembran, ulserasi, perdarahan,
benda asing, massa, kelemahan palpebra
 Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis,
kelemahan, papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing,
keratinisasi
 Kornea: Defek epithelial, keratopati punctata dan keratitis dendritik,
filament, ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan
flikten, vaskularisasi, keratik presipitat
 Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi
 Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea
2.1.6. Diagnosis Banding
Gejala subyektif Glaukoma Uveitis Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi
dan obyektif akut akut
PenurunanVisus +++ +/++ +++ - - -
Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -
Fotofobia + +++ +++ - - -
Halo ++ - - - - -
Eksudat - - -/++ +++ ++ +
Gatal - - - - - ++
Demam - - - - -/++ -
Injeksi siliar + ++ +++ - - -
Injeksi konjungtiva ++ ++ ++ +++ ++ +
Kekeruhan kornea +++ - +/++ - -/+ -
Kelainan pupil Midriasis Miosis Normal/ N N N
nonrekatif iregular miosis
Kedalaman COA Dangkal N N N N N
Tekanan Tinggi Rendah N N N N
intraokular
Sekret - + + ++/+++ ++ +
Kelenjar - - - - + -
preaurikular

2.1.7. Komplikasi
Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila
konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat
menyebabkan komplikasi:4
1. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat
staphilococcus
2. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada
orang dewasa yang tidak diobati adekuat
3. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral
4. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea
sehingga bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis
alergi.
5. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis
dapat terjadi pada infeksi N. gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis,
H. aegypticus, S. aureus dan M. catarrhalis.
6. Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang mengalami
konjungtivitis chlamydia
7. Meningitis dan septikemia akibat konjungtivitis yang diakibatkan
meningococcus.
2.1.8. Penatalaksanaan
Masing-masing jenis konjungtiva memberikan gejala klinis yang
berbeda. Penatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat
ringannya gejala klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan
obat tetes mata tergantung jenis penyebabnya seperti pada KKV dapat
diberikan anti histamin topikal dan dapat ditambahkan vasokontriktor,
kemudian dilanjutkan dengan stabilasator sel mast. Pada kasus yang berat
dapat dikombinasi dalam pengobatannya ataupun dilakukan
pembedahan.2,4
Pada konjungtivitis virus yang merupakan “self limiting disease”
penanganan yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan
antibiotik tetes mata untuk mencegah infeksi bakteri sekunder. Steroid
tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi epithelial kornea, namun
pemberian steroid hanya berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata
karena bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan
berkepanjangan, antara lain infeksi fungal sekunder, katarak maupun
glaucoma.18,19
Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan
kompres dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus
tidak efektif. Antibiotic topical bermanfaat untuk mencegah infeksi
sekunder. Steroid topical 3 kali sehari akan menghambat terjadinya
infiltrate kornea subepitel atau jika terdapat kekeruhan pada kornea yang
mengakibatkan penurunan visus yang berat, namun pemakaian
berkepanjangan akan mengakibatkan sakit mata yang berkelanjutan.
Pemakaian steroid harus di tapering off setelah pemakaian lebih dari 1
minggu.4,21,22
Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotika topical
tetes mata (misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam
dalam 24 jam pertama untuk mempercepat proses penyembuhan,
kemudian dikurangi menjadi setiap empat jam pada hari berikutnya.
Penggunaan salep mata pada malam hari akan mengurangi kekakuan pada
kelopak mata di pagi hari. Antibiotik lainnya yang dapat dipilih untuk
gram negative ialah tobramisin, gentamisin dan polimiksin; sedangkan
untuk gram positif icefazolin, vancomysin dan basitrasin.19
Penanganan infeksi jamur ialah dengan natamisin 5 % setiap 1-2
jam saat bangun, atau dapat pula diberikan pilihan antijamur lainnya yaitu
mikonazol, amfoterisin, nistatin dan lain-lain.4

2.1.9. Prognosis
3. Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat
ringannya gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik
terutama pada kasus yang tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea.12
3.1.1.
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Feri Wungkana
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen protestan
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Tatengesan Belang
No. Register : 51.00.37
Pekerjaan : Petani
Tanggal Pemeriksaan : 29 Agustus 2017

ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Pengelihatan mata kanan kabur

2. Keluhan Tambahan

Mata kanan merah, sangat berair, dan mengganjal

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak satu bulan yang lalu pasien mengeluh mata kanan memerah, terasa
gatal dan berair. Awalnya hal ini terjadi saat pasien sedang bekerja dan
matanya terkena serbukan tanah ketika sedang menggali ladang. Semakin
hari pasien merasakan keluhannya semakin parah ditambah timbulnya rasa
mengganjal dan pengelihatannya yang mulai kabur.
4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini 5 tahun yang lalu namun
pasien tidak periksa ke dokter. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi
maupun Diabetes Melitus.

5. Riwayat Penggunaan Obat

Pasien mengatakan bahwa ia memakai obat tetes mata (pasien tidak dapat
mengingat nama obat tetes mata tersebut) setelah terjadi keluhan, namun
pasien tidak merasakan adanya perbaikan.

6. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami sakit seperti ini.

7. Riwayat Kebiasaan

Pasien merupakan seorang petani, ia tidak pernah menggunakan alat


pelindung mata saat bekerja.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : tampak sakit ringan

Keadaan sakit : sakit ringan

Kesadaran : compos mentis

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 36oC
2. Status Oftalmikus

No. Pemeriksaan Mata Kanan Mata Kiri


1. Visus 6/30 6/6
2. TIO n/palpasi n/palpasi
2. Lapang pandang Normal normal
3. Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Segmen Anterior
4. Palpebra Edema - -
Hiperemi - -
superior
Papil - -
Entropion - -
Silia Normal Normal
Pseudoptosis - -
Sikatrik - -
5. Palpebra Silia Normal Normal
Trikiasis - -
Inferior
Hiperemi - -
Edema - -
6. Konjungtiva Injeksi (+) -
bulbi konjungtiva Sekret (+) serous
Injeksi siliar (+) -
7. Kornea Jernih Jernih
Infiltrate (+) Infiltrate (-)
8. Bilik mata depan Dalam Dalam
Hifema (-) Hifema (-)
Hipopion (-) Hipopion (-)
9. Iris Warna coklat Warna coklat
Iridodenesis (-) Iridodenesis (-)
Iridodialisis (-) Iridodialisis (-)
Sinekia (-) Sinekia (-)
10. Pupil Bentuk Regular Reguler
Diameter - -
refleks (+) (+)
RAPD (-) (-)
11. Lensa Jernih Jernih
Segmen Posterior
12. Refleks Fundus (+) Uniform (+) Uniform
13. Retina Perdarahan (-), perdarahan (-),
eksudat (-), cotton eksudat (-), cotton
wool spot (-) wool spot (-)
14. Papil N.II Bulat, batas tegas, Bulat, batas tegas,
warna vital warna vital
15. Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

RESUME

Tn. Feri Wungkana, Laki-laki berusia 37 tahun datang ke poli klinik mata
RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado dengan keluhan pengelihatan mata
kanan kabur. Tidak keluar belek pada mata sebelah kanan disertai mata
merah, sangat berair dan mengganjal. Pasien telah melakukan pengobatan
sendiri dengan menggunakan obat tetes mata namun tidak ada perbaikan dan
mencari pengobatan ke dokter. Pasien bekerja sebagai petani dan tidak
menggunakan pelindung mata saat bekerja. Pada pemeriksaan fisik tidak ada
kelainan. Pada pemeriksaan ophthalmologi didapatkan visus 6/30 untuk OD
dan 6/6 untuk OS, injeksi silier dan pada sekret serous konjungtiva bulbi dan
infiltrat pada kornea.

DIAGNOSIS KERJA
Keratokonjungtivitis Viral

DIAGNOSIS BANDING
1. Uveitis Akut
2. Glaukoma Akut

PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
 Ofloxacin Eye Drops 4 tetes di mata kanan
 Lyteers Eye Drops 1 tetes per jam di mata kanan
 Becom C tablet 1x sehari
2. Nonmedikamentosa
 Memberi tahu pasien untuk beristirahat yang cukup
 Memberi tahu pasien untuk menggunakan kacamata atau pelindung
mata saat bekerja

PROGNOSIS
 ad vitam : bonam
 ad sanationam : dubia ad bonam
 ad fungsionam: bonam

EDUKASI
 Menjelaskan pada pasien bahwa mata kanan kabur disebebkan karena
keratokonjungtivitis viral
 Menjelaskan pada pasien tentang pentingnya menggunakan pelindung
mata saat bekerja
 Menjelaskan pada pasien untuk mencuci tangan sebelum menyentuh mata
 Meminta pasien untuk melakukan kontrol di poliklinik mata
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus diatas, dari anamnesis didapatkan seorang bapak usia 37 tahun,
datang dengan keluhan penglihatan mata kanan kabur disertai mata merah, sangat
berair dan mengganjal sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluh gejala tersebut
menetap dan tidak hilang timbul. Riwayat demam, diabetes mellitus dan
hipertensi disangkal oleh pasien. Dari anamnesis menunjukkan bahwa pasien
mengalami suatu infeksi di daerah mata bagian kanan dengan keluhan mata kabur,
merah, sangat berair dan mengganjal. Dari gejala yang timbul tersebut
menunjukkan diagnosis mengarah ke keratokonjungtivitis viral okuli dextra.

Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD = 6/30, VOS = 6/6 dengan


tekanan intraokuler mata kanan dan kiri normal per palpasi, pemeriksaan mata
sebelah kanan ditemukan injeksi silier dan sekret serous pada konjungtiva bulbi,
pemeriksaan dengan slit lamp hasilnya ditemukan bintik-bintik berwarna putih di
permukaan kornea. Dari hasil pemeriksaan status lokalis ini menunjukkan bahwa
telah terjadi infeksi pada bagian kornea dan konjungtiva bulbi pada pasien,
sehingga diagnosis kerja yang ditegakkan pada pasien tersebut adalah
keratokonjungtivitis viral okuli dextra.

Terapi yang diberikan yaitu antibiotik, air mata buatan, dan vitamin c.
Pasien juga dianjurkan menggunakan pelindung mata (kaca mata hitam) untuk
melindungi dari paparan dari luar seperti debu dan sinar ultraviolet.
DAFTAR PUSTAKA

1. Externa disease and cornea. San Fransisco: American Academy of


Ophthalmology. 2007
2. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Jakarta :
Widya Medika. 2000.
3. Ilyas, Sidarta. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2000.
4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2006
5. Srinivasan M, et al.. Distinguishing infectious versus non infectious
keratitis. INDIAN Journal of Opthalmology. 2006
6. Radjiman T, dkk. Surabaya: Ilmu Penyakit Mata. Airlangga. 1984.
7. Duszak, Robert S. Thygeson Superficial Punctate Keratitis Clinical.
Presentation. 2010
8. Smolin, Gilbert. The Cornea Scientific Foundations and Clinical Practice.
Boston. 1983
9. Sutphin, John E. Thygeson’s Superficial Punctate Keratitis. 1999
10. Mansjoer, Arif M. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. 2001
11. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2015
12. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern:
conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of
Ophthalmology; 2003.
13. Stenson S, Newman R, Fedukowicz H. Laboratories studies in acute
conjunctivitis. Arch Opthalmology. 1982; 100: 1275-1277.
14. Weiss A, Brinser J, Nasae-Stewart V. Acute conjunctivitis in childhood. J
Pediatr Med. 1993; 122:10-14.
15. Gigliotti F, Williams WT, Hayden FG. Etiology of acute conjunctivitis in
children. J. Pediatr. 1981;98: 531-536.
16. Fitch CP, Rapoza PA, Owens S. Epidemiology and diagnosis of acute
conjunctivitis at an inner-city hospital. Opthalmology. 1989;96:1215-
1220.
17. Sambursky RP, Fram N, Cohen Ej. The prevalence of adenoviral
conjunctivitis at the Wills Eye Hospital emergency room. Optometry.
2007;78:236-914.
18. Scott IU and Luu K. Conjunctivitis, viral.
http://www.emedicine.medscape.com/article/1197851. [Online]
Emedicine, September 2017
19. Khaw PT, Shah Pand Elkington AR. ABC of Eyes. Fourth edition. BMJ
Publishing Group, 2004.
20. Bawazeer A and Hodge WG. Keratoconjunctivitis Epidemic.
http://emedicine.medscape.com/article/1192751-print. [Online]
Emedicine. January 7, 2008.
21. Yanoff, Myron, Duker JS and Augsburger JJ. Opthalmology 2 nd edition:
Mosby, 2003.

Anda mungkin juga menyukai