Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Dyspepsia merupakan syndrome atau kumpulan gejala atau keluhan yang


terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.1

Dyspepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-),berarti sulit,dan(Pepse),


berarti pencernaan. Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis
yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit di perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa
panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk
dispepsia.2, 3

Ada berbagai macam definisi dispepsia, salah satu definisi yang


dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Syndrome yang
terdiri dari keluhan-keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus
bagian proksimal yang dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa
penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung
lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik
yang bersifat kronik. 4

Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan


gastritis. Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa
patologik, dan tidak semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua
kasus gastritis yang terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia.
Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi
sindroma klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.2

Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :

4
1.Dispepsia organik adalah bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas,
radang empedu, dan lain-lain.1

2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional atau non ulkus, bila tidak jelas
penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur
organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi
setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.1

2.2. Manifestasi Klinis

Menurut Jones MP Tahun 2003, klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas gejala
yang dominan, membagi Dispepsia menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:

a. Nyeri epigastrium terlokalisasi


b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan


gejala:

a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).

2.3. ETIOLOGI

5
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti tukak gaster atau
duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori. Obat-obatan seperti anti
inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan
sebagainya.Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis,
kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit
jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu dyspepsia yang terdapat pada kasus
yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organik atau struktural
biokimia, yaitu dyspepsia fungsional atau dyspepsia non ulkus.1

2.3.1. Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi menurut Green burger NJ


tahun 2008:

A. Organik

1. Obat-obatan

OBAT ANTIINFLAMASI NON STEROID (OAINS)

Definisi Obat antiinflamasi non steroid, atau yang dikenal juga dengan
NSAID (Non Steroidal Anti inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat
yang memiliki efek analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan anti
inflamasi (anti radang) (Wilmana dan Gan, 2007). Penggunaan OAINS umumnya
untuk mengurangi rasa nyeri dan radang. Secara umum, OAINS di indikasikan
untuk merawat gejala penyakit seperti rheumatoid arthritis, osteoarthritis, encok
akut, nyeri haid, migrain dan sakit kepala, nyeri setelah operasi, nyeri ringan
hingga sedang pada luka jaringan, demam, ileus, dan renal colic.4

Mekanisme kerja Golongan OAINS bekerja dengan menghambat enzim


siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu.
Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang
berbeda-beda (Wilmana dan Gan, 2007). Enzim siklooksigenase mempunyai 2
isoform, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 dipercaya berperan penting dalam
pemeliharaan berbagai fungsi jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan
trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang

6
bersifat sitoprotektif. Sementara untuk COX-2, awalnya COX-2 diperkirakan
hanya diinduksi oleh berbagai stimulus inflamasi namun ternyata sekarang COX-
2 juga mempunyai fungsi fisiologis di beberapa bagian tubuh seperti di ginjal dan
jaringan vaskular pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disintesis
trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan
proliferasi otot polos. Sementara prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh COX-2
di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan mengakibatkan
penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek antiproliferatif. 5

Gambar 2.2 Diagram Perombakan Asam Arakidonat

Menurut Katzung (2006) dan Wilmana dan Gan (2007), OAINS dibagi lagi
menjadi beberapa golongan, yaitu :

A. Golongan salisilat (aspirin atau asam asetilsalisilat, metil salisilat, magnesium


salisilat, salisil salisilat, dan salisilamid)
B. Golongan derivat asam fenilasetat (diklofenak)
C. Golongan derivat asam propionat (ibuprofen, alminoprofen, fenbufen,
indoprofen, naproxen, dan ketorolak)

7
D. Golongan fenamat (asam mefenamat, asam flufenamat, dan asam tolfenamat)
E. Golongan derivat pirazolon (fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan fenazon)
F. Golongan oksikam (piroksikam, dan meloksikam)
G. Golongan selektif penghambat COX-2 (celecoxib, lumiracoxib)
H. Golongan sulfonanilida (nimesulide)
I. Golongan prodrug asam Naphtylasetat (nabumetone)
J. Golongan derivate indol-asam asetat (indomethacine).

Efek samping Seperti obat-obat dari golongan lain, OAINS juga tidak lepas
dari efek samping. Efek samping OAINS sebenarnya cukup beragam namun
secara umum OAINS berpotensi menyebabkan efek samping saluran cerna, ginjal
dan hati. 5

A. Efek terhadap saluran cerna


Mekanisme utama OAINS menyebabkan kerusakan gastroduodenal
dapat terjadi secara lokal dan sistemik. Secara lokal, OAINS dapat
menyebabkan disrupsi fisiokimia pertahanan mukosa gaster. Beberapa OAINS
bersifat asam lemah sehingga bila berada dalam lambung yang lumennya
bersifat asam, dimana pH nya kurang dari 3, akan berbentuk partikel yang tidak
terionisasi. Dalam kondisi tersebut, partikel obat akan lebih mudah berdifusi
melalui membran lipid ke dalam sel epitel mukosa lambung bersama dengan
ion H+. Dalam epitel lambung, suasana menjadi netral sehingga partikel obat
yang tidak terionisasi tersebut akan berdifusi dan terperangkap dalam sel epitel
dan terjadi penumpukan obat pada epitel mukosa. Akibatnya, epitel menjadi
sembab, pembentukan PG terhambat, dan terjadi proses inflamasi. Selain itu,
penurunan produksi adenosine triphosphate (ATP), peningkatan adenosine
monophosphate (AMP), dan peningkatan adenosine diphosphate (ADP) yang
disebabkan oleh proses fosforilasi oksidatif dari uncoupling of mitochondrial
dapat menyebabkan kerusakan sel. Keadaan patologis ini diikuti oleh
kerusakan mitokondria, peningkatan pembentukan radikal oksigen, dan
perubahan keseimbangan Na+ /K+ sehingga dapat menurunkan ketahanan
mukosa lambung. Dalam keadaan lanjut, kondisi itu memungkinkan penetrasi

8
asam, pepsin, empedu, dan enzim proteolitik dari lumen lambung ke mukosa
menjadi lebih mudah dan menyebabkan nekrosis sel. 6
Inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster terjadi melalui
penghambatan enzim siklooksigenase (COX). Prostaglandin yang berasal dari
proses esterifikasi asam arakidonat pada membran sel berperan penting dalam
proteksi mukosa gastroduodenal. Enzim utama yang mengatur pembentukan
PG adalah COX, dimana COX memiliki dua isoform, yaitu COX-1 dan COX-
2. Kedua enzim tersebut memiliki karakteristik dan peranan yang berbeda
berdasarkan struktur dan distribusi jaringan. COX-1 yang berada pada
lambung, trombosit, ginjal, dan sel endotel berperan penting dalam memelihara
fungsi ginjal, merangsang agregasi trombosit, dan mempertahankan integritas
mukosa gastrointestinal. Sementara itu, COX-2 yang diinduksi oleh rangsangan
inflamasi terekspresi pada makrofag, leukosit, fibroblas, dan sel synovial.6

B. Efek samping terhadap ginjal


OAINS dapat menyebabkan gangguan homestasis ginjal melalui
penghambatan biosintesis PG di ginjal, terutama PGE2. Pada orang normal,
gangguan ini tidak terlalu berpengaruh namun pada pasien hipovolemia, sirosis
hepatis yang disertai asites dan pasien gagal jantung, aliran darah ginjal dan
kecepatan filtrasi glomeruli akan berkurang, bahkan dalam kasus tertentu dapat
terjadi gagal ginjal akut. Penggunaan OAINS yang sering dalam jangka waktu
yang lama sering dihubungkan dengan terjadinya nefropati analgesik.
Nefropati analgesik ditandai dengan ciri nefritis interstisial kronik dan nekrosis
papilar ginjal/kalsifikasi. Keadaan ini dapat didiagnosis pada tiap tahap dengan
CT scan tanpa media kontras. Diduga masih ada efek penggunaan OAINS
secara habitual dan dalam jangka waktu yang lama terhadap ginjal, namun
masih perlu penelitian lebih lanjut. 5
C. Efek samping pada hati
Efek samping OAINS pada hati baru diketahui pada laporan kasus tahun
1977, dimana terjadi kelainan hati akibat ibuprofen dengan berbagai klinis
manifestasi dari fatty liver, peningkatan kadar transaminase dan kolestasis

9
hepatitis. Efek hepatotoksik ini diduga akibat bentuk “acyl glucosides“ yang
sangat reaktif. 5

D. Efek samping lain


Efek samping lain OAINS salah satunya adalah gangguan fungsi
trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2) dengan
manifestasi perpanjangan waktu perdarahan. Selain gangguan fungsi trombosit,
efek samping OAINS lain berupa reaksi hipersensitivitas terhadap 16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA aspirin dan obat mirip aspirin juga
terjadi pada beberapa orang. Reaksi ini biasanya berupa rinitis vasomotor,
edema angioneurotik, urtikaria luas, asma bronkial, hipotensi, dapat juga
sampai keadaan presyok dan syok. 5

2. Jenis Makan dan Minuman Iritatif

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 52 orang


responden tentang jenis makan dan minuman iritatif pasien sindrom dispepsia,
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien sindroma dispepsia memiliki jenis
makan dan minuman kelompok iritatif, yaitu 40 orang responden (76,9%),
sedangkan jenis makan dan minuman kelompok tidak iritatif, yaitu 12 orang
responden (23,1%). Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian Nasution,
Aritonang, dan Nasution (2016) yang menyatakan jenis makan dan minuman
iritatif pada pasien sindroma dispepsia dari 44 orang (75%). Berdasarkan
penelitian Dewi (2017), yang meneliti tentang hubungan makanan dan minuman
iritatif dengan sindrom dispepsia diketahui bahwa jumlah responden yang
mengkonsumsi makanan dan minuman iritatif lebih banyak mengalami sindroma
dispepsia. Makan makanan pedas berlebihan akan merangsang sistem pencernaan,
terutamalambung dan usus yang berkontraksi.7,8,9

Hal ini akan menimbulkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai
dengan mual dan muntah. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan lebih dari satu
kali dalam seminggu selama minimal enam bulan dibiarkan terus menerus dapat

10
menyebabkan iritasi pada lambung. Beberapa jenis makanan timbul sindroma
dispepsia adalah makanan yang berminyak dan berlemak. Makanan tersebut
lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung. Proses
pencernaan ini membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower
esophageal sphincter atau LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan
naik ke kerongkongan. Putri (2014) yang menunjukkan perbedaan dari presentase
frekuensi kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas, asam, dan minuman iritatif
(kopi, teh, alkohol dan minuman berkarbonasi) secara umum pada masing-masing
responden dikarenakan setiap individu memiliki selera berbeda dalam memilih
makanan yang akan dikonsumsi. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem
saraf pusat sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon
gastritis pada lambung dan pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh
lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat asam dari bagian
fundus lambung. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan konsumsi makan pada
setiap individu diantara dari lingkungan keluarga, sosial dan budaya yang dimiliki
setiap individu.7, 10

3. Pola Makan
Pada hasil penelitian Andre, Machmud, dan Mumi (2013) yang menyatakan
bahwa pola makan penderita dispepsia fungsional yaitu makan tidak teratur 23
orang (57,5%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ervianty (2008)
dalam Sorong, Pengemanam, dan Untu (2013) bahwa 48 responden subjek
tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian sindroma dispepsia, didapatkan
salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian sindroma dispepsia adalah
pola makan.Susanti (2011) ditemukan ada pengaruh pola makan terhadap
sindroma dispepsia. Pola makan yang tidak teratur mungkin menjadi predisposisi
untuk gejala gastrointestinal yang menghasilkan hormon-hormon gastrointestinal
yang tidak teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya motilitas
gastrointestinal. Frekuensi makan yang tidak teratur, jumlah makan yang tidak
sesuai, dan jeda makan yang terlalu lama dapat mencetuskan sindroma dispepsia.
Jika proses ini terlalu lama, maka produksi asam lambung akan berlebihan

11
sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung dan menimbulkan keluhan berupa
mual. 11,12,13, 14
Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari.
pengaturan sekresi lambung terdapat beberapa fase termasuk fase sefalik yang
dimulai bahkan sebelum makanan masuk ke lambung yang berasal dari korteks
serebri yang kemudian diantar oleh nervus vagus ke lambung yang
mengakibatkan kelenjar gastrik terangsang untuk menyekresi HCL, pepsinogen,
dan menambahkan mukus. 14
Pola makan merupakan salah satu faktor yang berperan pada kejadian
dyspepsia. Makan yang tidak teratur, kebiasaan makan yang tergesah-gesah dan
jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia. Pola makan tidak teratur
berisiko mengalami berbagai keluhan diantaranya nyeri bagian perut sampai ke
ulu hati,mual, muntah dan bersendawa yang mengakibatkan timbulnya dispepsia.1

4. Stres dan faktor psikososial


Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan
morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus
daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres
mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama
menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan
motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien sindroma
dispepsia kolon iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda
neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan
non-gastrointestinal seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih.
Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri
dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik.
Demikian pula bila dibandingkan orang normal.15

5. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa


mayoritas adalah perempuan dengan jumlah 37 orang responden (71,2%). Hal ini

12
juga didukung dengan hasil penelitian Rahmaika (2014) yang menyatakan bahwa
kelompok jenis kelamin yang sering mengalami dispepsia banyak pada
perempuan dibanding laki-laki sebanyak 76,92%. Pria lebih toleran terhadap
gejala-gejala gangguan lambung seperti nyeri dari pada wanita. Penelitian
dikemukakan oleh Dewi (2017), bahwa sekresi lambung diatur oleh mekanisme
saraf dan hormonal. Pengetahuan hormon berlangsung melalui hormon gastrin.
Hormon ini bekerja pada kelenjar pada kelenjar gastrik dan menyebabkan aliran
tambahan lambung yang sangat asam. Sekresi tersebut berlangsung selama
beberapa jam. Hormon gastrin dipengaruhi oleh bebrapa hal seperti adanya
makanan dalam jumlah besar yang berada di lambung, juga zat sekretatogue
seperti ektrak makan, hasil pencernaan protein, alkohol, dan kafein. Namun,
ternyata ada hal ini yang juga mempengaruhi kerja hormon gastrin, yaitu jenis
kelamin. Faktor hormonal wanita lebih reaktif di banding pria.16

6. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus:
1) Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia
2) Akhalasia
3) Obstruksi esophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
1) Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan
sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma,
shock
2) Ulkus gaster dan duodenum
3) Karsinoma gaster
c. Penyakit saluran empedu
1) Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis
2) Kholesistitis
d. Penyakit pankreas
1) Pankreatitis
2) Karsinoma pankreas

13
e. Penyakit usus
1) Malabsorbsi
2) Obstruksi intestinal intermiten
3) Sindrom kolon iritatif
4) Angina abdominal
5) Karsinoma kolon
f. Penyakit metabolik atau sistemik
1) Tuberculosis
2) Gagal ginjal
3) Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
4) Diabetes melitius
5) Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
6) Ketidakseimbangan elektrolit
7) Penyakit jantung kongestif
g. Lain-lain
1) Penyakit jantung iskemik
2) Penyakit kolagen

B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus

Dyspepsia Fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau
organik atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran
makanan.Termasuk ini adalah dyspepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan
motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas
kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita
dengan dyspepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung
yaitu kenaikan asam lambung. Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga
dapat menimbulkan dispepsia fungsional.17
Kelainan non organik saluran cerna:
1) Gastralgia

14
2) Dispepsia karena asam lambung
3) Dispepsia flatulen
4) Dispepsia alergik
5) Dispepsia essensial
6) Pseudoobstruksi intestinal kronik
7) Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
8) Psikogen: Histeria, psikosomatik

2.4. ANATOMI DAN FISIOLOGI GASTER

Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di bawah


diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di
mana makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung
dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia
adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah
bagian tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang
berhubungan dengan usus 12 jari duodenum.18

Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa,


submukosa, muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel
mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon.
Lapisan ini berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara
luas dan volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat
dikeluarkan. Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena
dapat ditemukan untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus
untuk membawa nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari sel-sel
tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang membantu perut dalam pencernaan
mekanis.Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan otot, yakni otot melingkar,
memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam lapisan otot tersebut
mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak peristaltik
menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar yaitu
serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini

15
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara
perut dengan anggota tubuh lainnya.18

Gambar 1. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir, 5.Lapisan


Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus, 10.Duodenum

Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan ,


yaitu sel goblet,sel parietal, dan sel chief.Sel goblet berfungsi untuk memproduksi
mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel agar tidak rusak karena enzim
pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk memproduksi asam
lambung Hydrochloric acid yang berguna dalam pengaktifan enzim pepsin.
Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm -3 asam lambung yang
membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang bersifat sangat
asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim pepsin
dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar
enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut.18

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang


menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap
makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung
mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung
berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen
menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi

16
molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan
makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia,
berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca 2+ dari
susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renim susu yang berwujud
cair akan lewat begitu saja di dalam lambung dan usus tanpa sempat dicerna.18

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung
bagian pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum.
Caranya, otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi jika tersentuh
kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum
akan berkontraksi jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam tiba
di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh
karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di
belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi,
makanan melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar
makanan tersebut dapat tercerna efektif. Setelah 2 sampai 5 jam, lambung kosong
kembali.18

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan
motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan
lambung. Refleks pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh,
kadar lemak yang tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini
disebabkan oleh hormon saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-
pankreo-zimin, yang dibentuk dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama
aliran darah ke lambung. Dengan demikian proses pengosongan lambung
merupakan proses umpan balik humoral.18

17
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung,
yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-
1,5, yang mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang
dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi
protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam
klorida juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah
pepsinogen yang tak aktif menjadi pepsin.18

Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan
motilitas lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi
atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).11

Fase Sekresi, sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan


penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf
pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan
dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi
langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel
G antrum. Melalui aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan
menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam
klorida ini, histamin juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit
karena stimulasi vagus (gambar 3). Secara tak langsung dengan pembebasan
histamin ini gastrin dapat bekerja.18

Fase Lambung, sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang


masuk ke dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai
protein, kafein atau alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan
pembebasan gastrin. Jika pH turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan
dihambat.18

18
Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti
dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus dua
belas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan
merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah lambung lainnya
dilakukan oleh kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak
mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas. Di samping zat-zat yang
sudah disebutkan ada hormon saluran cerna lainnya yang berperan pada sekresi
dan motilitas. GIP (gastric inhibitory polypeptide) menghambat sekresi HC1 dari
lambung dan kemungkinan juga merangsang sekresi insulin dari kelenjar
pankreas.18

Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi juga di


sejumlah organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus serta
kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung
dan sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan
turun (sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan).
Di samping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di daerah
n. Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30%.18

Rangsang bau dan Rangsang n. Vagus


rangsang kecap

Rangsang Lokal
(makanan) Rangsang Ganglion

Degranulasi mastosit
Pembebasan
Stimulasi sel G
asethilkolin

19
Pembebasan histamin Pembebasan Gastrin
Bagan 1. Pengaruh Sekresi Sel Parietal

2.5 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dyspepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor


berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):

I. Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien


dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas
antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-
gejala dyspepsia tidak jelas.Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster
yang "kaku" bertanggung jawab terhadap syndrom dyspepsia. Pada keadaan
normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster
menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa
pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga
pengisian bagian antrum terlalu cepat.17

20
II. Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien dyspepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap


distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
gaster intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi
nyeri pada bagian ini.3

III. Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan


morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dyspepsia non ulkus
daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres
mencetuskan keluhan dyspepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama
menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan
motilitas gaster.Kepribadian dyspepsia non ulkus menyerupai pasien syndrome
kolon iritatif dan dyspepsia organik , tetapi disertai dengan tanda neurotik,
ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-
gastrointestinal seperti nyeri muskuloskletal,sakit kepala dan mudah letih. Mereka
cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan
mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik.
Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik dispepsia
non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.15

IV. Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis


non-erosif non-spesifik.Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik
yang bersangkutan.Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter
pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu
gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak

21
tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering
dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah.18

1. Erosi kronik di daerah antrum.


2. Nodularitas pada mukosa antrum.
3. Bercak-bercak eritema di antrum.
4. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah
korpus.

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah
diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dyspepsia non ulkus
masih kontroversi.Di negara maju,hanya 50% pasien dyspepsia non ulkus
menderita infeksi Helicobacter pylori,sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia
non ulkus dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari
beberapa dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik
peranan Helicobacter pylori pada dyspepsia non ulkus adalah gejala perbaikan
yang nyata setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih
dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala
dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka
panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.19

V. Kelainan gastrointestinal fungsional

Dyspepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan


fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak
dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif
menderita dyspepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga
mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini
sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan
ginekologi. Pada anamnesis dyspepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom
Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi

22
buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat
menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami
aerophagia, abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti
dan tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari
bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung
keanekaragaman kelompok ini.20

Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa


lambung.Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada
linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease
yang sangat kuat.Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung
menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi “awan
amoniak” yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan
flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami
multiplikasi.Bagian yang menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren
pedestal. Melalui zat yang disebut adhesin, Helicobacter pylori dapat berikatan
dengan satu jenis gliserolipid yang terdapat di dalam epitel. Selain urease, bakteri
juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase, oksidase, alkaliposfatase,
gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan musinase. Enzim protease
dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid yang menutup mukosa
lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan dalam peradangan
dan reaksi imun local.18

Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui


beberapa mekanisme.Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa
lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan
salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat penting.Selain itu, obat
ini juga dapat merusak secara topikal.Kerusakan topikal ini terjadi karena
kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif,sehingga merusak sel-sel
epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan
mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.18

23
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa
esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah
epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,
walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus.Ulkus kronik berbeda dengan
ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus.Menurut definisi,
ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah
asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal,
juga jejunum.18

Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan


duodenum.Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan
perubahan kualitatif mukus lambung yang dapat mempermudah terjadinya
degradasi mukus oleh pepsin.Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah
berlebihan dalam mukus gastrik dan tampaknya berperan penting dalam
pertahanan mukosa lambung.18

Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merusak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi
balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh
darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan
meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan
sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak,
mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan. Sawar mukosa
tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik
dihambat oleh gastrin.21

Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam


patogenesis ulkus peptikum.Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena
mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik dibanding fundus. Selain itu,
kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum
diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh
produksi yang berkurang.18

24
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat
fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus)
yang memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk
menetralkan kimus asam.Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi
asam berlebihan. Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus
peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan
cepatnya regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari).
kegagalan mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus peptikum.18

Gambar 3. patogenesis ulkus peptikum. 4

2.6. GEJALA KLINIK

25
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman
pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang
keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,
pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya.Gejala lain meliputi
nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi.22

Dyspepsia organik di bagi diantaranya:

1. Dispepsia Ulkus

Dyspepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik.Di negara


negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan ulkus
duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi ulkus
lambung lebih tinggi.Ulkus lambung biasanya diderita pada usia yang lebih tinggi
dibandingkan ulkus duodeni.Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain
food relief. Untuk ulkus duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah
makan,dan penderita sering terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi
banyak juga kasus-kasus yang gejalanya tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada
ulkus lambung seringkali gejala hunger pain food relief tidak jelas, bahkan kadang
kadang penderita justru merasa nyeri setelah makan.22

Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah


infeksi H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H.
pylori positif, sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif. 18

2. GERD
Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah
ditemukan dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dyspepsia
organik. Penyakit ini disebabkan Inkompetensi atau relaksasi sphincter cardia
yang menyebabkan regurgitasi asam lambung ke dalam esofagus.Dulu sebelum

26
penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD dimasukkan ke dalam kelompok
dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya jelas maka GERD dikeluarkan dari
kelompok tersebut dan dimasukkan ke dalam dispepsia organik. Gejala GERD
yang khas adalah heart burn, rasa panas di epigastrium, rasa nyeri
retrosternal,regurgitasi asam. Pada kasus berat ada gangguan menelan, gejala
tidak khas, nafas pendek, wheezing, batuk-batuk. Gejala GERD lebih menonjol
pada waktu penderita terbaring terlentang dan berkurang bila penderita duduk. 1

Gambaran Endoskopi: didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter


esophagus yang dibagi menjadi 4 derajat (Pembagian Los Angeles) menurut Fauci
AS, Braunwald,et all,2008:

Grade A : robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm

Grade B : ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada robekan
mukosa di tempat lain tidak berhubungan dengan robekan mukosa yang
pertama.
Grade C :robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan dengan
lipatan mukosa yang lain tetapi tidak difus.

Grade D : Robekan mukosa difus

3. Dispepsia Fungsional:

Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :

a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.


b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)

2.7. ANAMNESIS

Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau


anamnesis dengan lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan

27
terjadi keluhan,adakah berkaitan dengan konsumsi makanan? Adakah
pengambilan obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat menghilangkan keluhan
atau memperberat keluhan?Adakah pasien mengalami nafsu makan menghilang,
muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada, Pasien juga ditanya,
adakah ada konsumsi obat – obat tertentu? Atau adakah dalam masa terdekat
pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau paru? Adakah
pasien menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin. 51
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan
jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus
dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan.Tanda
dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap
dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering,
hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan
penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau
"USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster
atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas
empedu.23

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial


misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar
manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri
(istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan
(kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini
berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.21,24

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien


ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri
berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid.Nyeri sering
membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum.
Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah
makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik
(bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan

28
asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya
didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila
muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum.
Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda
kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik.23

2.8. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra


lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan
adanya rangsang peritoneal/peritonitis.1
Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi,
asites, parut, hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus
dan karekteristik motilitasnya.Palpasi dan perkusi abdomen,perhatikan akan
tenderness,nyeri, pembesaran organ dan timpani.Pemeriksaan tanda vital bisa
ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.1
Kemudian,lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya.Perlu
ditanyakan perubahan tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan kesadaran
pasien diperhatikan. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru
untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap
ektremitas, adakah terdapat perifer edema dan dirasakan adakah akral hangat atau
dingin. Lakukan juga perabaan terhadap kelenjar limfa.23

2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan untuk penanganan dyspepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi


(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA
19-9, AFP).Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja,
jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti

29
kemungkinan menderita malabsorpsi.Seseorang yang diduga menderita
dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran
pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon
perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.1

2. Barium enema untuk memeriksa esophagus,Lambung atau usus halus dapat


dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk
bila penderitamakan.Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan
struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
gambaran ke arah tumor.1

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus


halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan
lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut
disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan
berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah
darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada usia
lebih dari 45tahun.1

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah menurut Fauci


AS et all, 2008 :

a) CLO (rapid urea test)


b) Patologi anatomi (PA)
c) Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d) PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan


kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum

30
tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran
makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks
gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagus yang menurun terutama di
bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering
menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin.Pada
tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar
licin). Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler
tidak terlihat peristaltik di daerah kanker,bentuk dari lambung berubah.
Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda
seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari
intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops.1

5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus


atau respon esofagus terhadap asam.

31
Bagan 2. Management of dyspepsia based on age and alarm features. EGD,
esophagogastroduodenoscopy 23

2.10. DIAGNOSIS

Dyspepsia melalui simptom-simptomnya saja tidak dapat membedakan


antara dyspepsia fungsional dan dyspepsia organik. Diagnosis dispepsia
fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali
penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan melalui
pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah
pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat
kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG
(Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar,
pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis.
Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab
dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.22

Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III yaitu:

1. berasa terganggu setelah makan

2. cepat kenyang

3. nyeri epigastrik

4. panas atau rasa terbakar di epigastrik

Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang


dapat menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.Kriteria haruslah
terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis sekurang-
kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.2

32
2.11. DIAGNOSIS BANDING

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau


gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dispepsia
adalah seperti box 1.Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan
keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.50%–60% kasus, didapati tidak ada penyebab yang terdeteksi
di mana pasien dikatakan merupakan dyspepsia fungsional. Prevalensi ulkus
peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-15%. Kanker
digestif bagian atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada
umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia
> 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat
badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk.19

Box 1: Diagnosis banding dispepsia

1. Dispepsia non ulkus

2. Gastro-oesophageal reflux disease.

3. Ulkus peptikum.

4. Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen


kalium, digoxin.

5. Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).

6. Cholelithiasis or choledocholithiasis.

7. Pankreatitis Kronik.

8. Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism,


connective tissue disease).

9. Parasit intestinal.

10. Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

33
2.12. PENATALAKSANAAN

Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori


1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia,yang dibedakan bagi sentra
kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas
endoskopi denganpenatalaksanaan dispepsia di masyarakat.

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

1. Antasid

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya
hanya simptomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam
waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik,
namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa
MgCl2.Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan penurunan
fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Antacid yang sering
digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien
gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium
bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien tersebut.22

2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik.Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.3

34
3. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dyspepsia organik


atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.3

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam, jadi,
bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada
ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan
yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazole.22

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).


Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site
protective),yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas.Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan konstipasi (2–3%).
Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g per
hari.22

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan


metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional

35
dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam
lambung (acid clearance).3

7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada


sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin
(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline
(Sumycin), Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi
(obat anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti
cemas dan depresi.17

Terapi Dispepsia Fungsional :

1. Farmakologis

Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat.


(regular medication)mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada
keluhan. (on demand medication)

2. Psikoterapi

a. Reassurance
b. Edukasi mengenai penyakitnya

3. Perubahan diit dan gaya hidup

a. Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
b. Makanan tinggi lemak dihindarkan

Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi


simptomatik.Pasien dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan
keluhan seperti nyeri pada abdomen bagian atas (ulcer-like) bisa diobati dengan
PPI (Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di bagian
abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan

36
tricyclic antidepressants, walaupun data yang menyokong masih kurang. Pasien
dengan keluhan dismotility – like symptom bisa diobati dengan sama ada dengan
acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT1 agonists.Metoclopramide
dan domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam pengobatan dispepsia
fungsional. 23

2.13. PENCEGAHAN

Menurut Delaney BC tahun 2001 pencegahan pada dyspepsia meliputi :

1. Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama


makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya
dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana
cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan
lakukan dengan santai.
2. Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan
mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan
pendarahan.
3. Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung,
membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga
meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan
merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat
berhenti merokok tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat.
Konsultasikan dengan dokter mengenai metode yang dapat membantu untuk
berhenti merokok.
4. Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan
pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga
membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.
5. Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke,
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya
permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan
melambatkan kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang tidak

37
dapat dihindari, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara effektif
dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat yang cukup, olahraga teratur dan
relaksasi yang cukup.
6. Ganti obat penghilang nyeri.Jika dimungkinkan, hindari penggunaan OAINS,
obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan
membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan
penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.
7. Ikuti rekomendasi dokter.

2.14. PROGNOSIS

Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia mempunyai ulkus


peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang daripada 1% pasien
terkena kanker, dan dyspepsia fungsional dan dyspepsia non ulkus adalah 5-40%.
Terkadang dyspepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya penyakit
ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dyspepsia disebabkan karena kanker
lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting yang
harus diperhatikan bilaterdapat salah satu dari tanda ini, yaitu: Usia 50 tahun ke
atas, kehilangan berat badan tanpa disengaja, kesulitan menelan, terkadang mual-
muntah, buang air besar tidak lancar dan merasa penuh di daerah perut.23

38

Anda mungkin juga menyukai