Anda di halaman 1dari 25

 PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA (PCP)

Disusun Oleh :
Kelompok 5
1. Masayu Laela Nurfitria
2. Nia Mediawati
3. Nurul Ifmi Ramadhini
4. Nurul Ifmi Ramadhini
5. Rio Sanjaya
6. Yeni Safitri

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

i
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN JENJANG S.1
MATARAM
2020

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pneumocystis Carinii
Pneumonia (PCP),” dalam tugas mata kuliah keperawatan Medikal Bedah II.
Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pembuatan makalah ini,
namun kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Jika didalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,maka kami
memohon maaf atasnya. Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari kesempurnaan.
Lebih dan kurangnya di ucapkan Terima Kasih.

Mataram, 17 april 2020

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................1
BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT..........................................................2
2.1 DEFINISI...............................................................................................2
2.2 ETIOLOGI.............................................................................................8
2.4 MANIFESTASI KLINIS......................................................................8
2.5 PATOFISIOLOGI..................................................................................9
2.6 PATHWAY............................................................................................11
2.9 PENATALAKSANAAN.......................................................................11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN............................................................16
BAB 1V PENUTUP...........................................................................................21
6.1 Kesimpulan............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pneumocystis menyebabkan pneumonia pada penderita HIV dengan karakteristik sesak
napas, demam dan batuk yang tidak produktif. Pneumocystis pneumonia biasanya terjadi
pada CD4 kurang 200 sel/mm3 pada pasien HIV. Pemeriksaan fisik biasanya hanya
didapatkan takipnea, takikardia namun tidak didapatkan ronkhi pada auskultasi. Takipnea
biasanya berat sehingga penderita mengalami kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral dan
membran mukosa juga dapat ditemukan. Foto toraks memperlihatkan infi ltrat bilateral yang
dapat meningkat menjadi homogen. Tanda yang jarang antara lain terdapat nodul soliter atau
multipel, infi ltrat pada lobus atas pada pasien dengan pengobatan pentamidin, pneumatokel
dan pneumotoraks. Efusi pleura dan limfadenopati jarang ditemukan. Jika pada foto toraks
tidak didapatkan kelainan maka dianjurkan pemeriksaan high resolution computed
tomography (HRCT) (WHO, 2006).
Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP) yang diduga disebabkan oleh jamur. PCP
biasanya menjadi tanda awal serangan penyakit pada pasien penderita HIV/AIDS. PCP bisa
diobati pada banyak kasus. Bila saja penyakit ini muncul lagi beberapa bulan kemudian, 9
namun pengobatan yang baik akan mencegah kekambuhan. Pneumonia lain yang lebih jarang
disebabkan oleh masuknya makanan, cairan gas, debu, maupun jamur (Misnadiarly, 2008).
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur Pneumocystis jirovecii
yang banyak ditemukan di lingkungan (Taksonomi organisme ini telah berubah, yang
awalnya dikenal dengan sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan untuk
pneumosistis yang menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang menginfeksi manusia diberi
nama Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk singkatannya masih digunakan istilah PCP
seperti sebelumnya
Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak awal dan PCP terjadi
akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat paparan baru melalui udara. klinis PCP
terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak dan dispnea. Radiografi dada merupakan
landasan diagnostik dan menunjukkan opasitas bilateral, simetris, interstitial atau granuler
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)?

1
2. Bagaimana etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi, WOC, pemeriksaan
penunjang, kompilikasi dan pelaksanaan dari Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)?

1.3 TUJUAN
1. Apa definisi dari Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)?
2. Bagaimana etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi, WOC, pemeriksaan
penunjang, kompilikasi dan pelaksanaan dari Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)?

2
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 DEFINISI
Pneumocystis carinii pneumonia (selanjutnya disebut PCP) merupakan infeksi pada paru
yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama
Pneumocystis jiroveci, sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitologi berkebangsaan
Cechnya; Otto Jirovec. Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas (1909).

Pada tahun 1915 Carini dan Maciel menemukan organisme ini pada paru guinea pig,
awalnya diduga sebagai salah satu tahap dalam siklus hidup Trypanosoma cruzi. Pada tahun
1942, Meer dan Brug pertama kali menyatakan bahwa organisme ini merupakan salah satu
jenis parasit yang patogen pada manusia.

Baru pada tahun 1952 Vanek bekerjasama dengan Otto Jirovec menggambarkan siklus
paru dan patologi dari penyakit yang kemudian dikenal sebagai “parasitic pneumonia” atau
“pneumonia sel plasma interstisial (interstitial plasma cell pneumonia)” ini. Sekarang
penyakit ini merupakan infeksi oportunis berbahaya yang paling sering terjadi pada pasien
AIDS

a. Taksonomi

Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jiroveci. Pada


awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jiroveci dalam golongan
protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam sub klas
Coccidiomorpha , klas Sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam protozoa ini
dikarenakan karakteristik strukturnya yang menyerupai Toksoplasma gondii dan sensitif
terhadap preparat obat anti parasit, antara lain pentamidin isethionat, pirimetamin,
sulfadiazine, trimetoprim + sulfametoksazol (Gajdusek, 1957; Frenkel et al., 1966; Ham
et al., 1971).

Hal ini diperkuat oleh Yoneda et al. (1982) yang berdasarkan pemeriksaannya dengan
mikroskop elektron dan “freeze fracture microscopy” memastikan bahwa Pneumocystis
jiroveci adalah suatu protozoa. Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi

3
molekuler asam nukleat RNA ribosom dan biokimianya, Pneumocystis jiroveci
dimasukkan ke dalam golongan fungus (= jamur) yang berhubungan erat dengan
Askomikotina

Tbl 1. Nomenklatur terbaru Pneumocystis jiroveci, dikutip dari Wikipedia.

a. Kingdom: Fungi
b. Subkingdom: Dikarya
c. Phylum: Ascomycota
d. Subphylum: Taphrinomycotina
e. Class: Pneumocystidomycetes
f. Order: Pneumocystidales
g. Family: Pneumocystidaceae
h. Genus: Pneumocystis(Delanoë & Delanoë 1912)Species: P. jiroveci
b. Epidemiologi

Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada
manusia, PCP lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan epidemi(Johnson
et al., 1970; Peneral et al., 1970) dan terjadi pada semua golongan umur (Singer et al.,
1975).PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang menurun,
seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan mengalami
malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal 1980-an, PCP jarang
terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita ALL
(Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien – pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan dengan
dengan infeksi HIV lanjut

c. Morfologi dan siklus hidup


Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3 stadium, yaitu :
a) Stadium trofozoit
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 µ dan memperbanyak diri
secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya sebagai
berikut : berdinding tipis (20 – 40 µ) dengan beberapa ekspansi tubular yang disebut

4
sebagai filopodium; umumnya mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti;
mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda – benda bulat (round bodies
dan vakuol – vakuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna ungu gelap dan
sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas. Juga dapat dilihat dengan
pewarnaan “acridine orange”. Trofozoit yang kecil (1 – 1,5 µ) ditemukan di dekat
kista yang berdinding tebal,
berbentuk bulan sabit menyerupai “intracystic bodies” (beberapa sumber menyatakan
“intracystic bodies” sebagai trofozoit yang sedang berkembang). Trofozoit yang besar
menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama dengan
trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium sehingga
berbentuk ameboid.

b) Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval, ukuran 3
– 5 µ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40 – 120 µ) dengan jumlah inti 1 –
8. Dengan mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan dari stadium lainnya tetap dinding
yang lebih tebal dari stadium prakista dapat diwarnai dengan “methenamine silver”
(Matsumoto dan Yoshida, 1986).
c) Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis (Matsumoto dan
Yoshida, 1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada manusia. Dengan
mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, bentuknya bulat dengan diameter 3,5 -
12 µ (kurang lebih 6 µ), mengandung 8 sporozoit atau trofozoit yang sedang
berkembang (“intracystic bodies”)yang berdiameter 1 – 1,5µ. Sporozoit tersebut
dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau kadang – kadang terlihat kista
berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen atau bervakuol. Kista
dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa atau dengan cara Gram – Weiger.
Pewarnaan dengan Giemsa baik untuk melihat bagian – bagian dari parasit. Kapsul
berwarna ungu merah, sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak
mengambil warna dianggap sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan
kista, pewarnaan yang paling cocok adalah Gomori – Silver. Tapi dengan warna ini

5
tidak mungkin diperiksa susunan dalam kista secara detail. Kista dapat juga dilihat
dengan teknik fluoresen dilabel dengan antibody (Arean, 1971).

Gambar 1 Kista pneumocystis jirovecii.

Siklus hidup
Siklus hidup yag komplit dari pneumocystis jiroveci belum sepenuhnya dimengerti,
karena organisme ini belum berhasil diisolasi secara in-vitro dan sangatlah sulit
mengobservasi siklus hidupnya hanya dari klinis. Secara umum
siklus hidup dari berbagai variasi spesies Pneumocystis digambarkan oleh John
J. Ruffolo , Ph. D. (Cushion, MT, 1988).Jamur ini ditemukan pada paru – paru
mamalia tempat jamur ini tinggal tanpa menyebabkan infeksi yang nyata sampai
sistem imun hospes melemah. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pneumonia
yang sering fatal

6
Gambar 2.Pneumocystis stages were reproduced from a drawing by Dr. John J. Ruffolo,
South Dakota
State University, USA published in Cushion M. Pneumocystis carinii. In: Collier L,
Balows A, Sussman M, editors. Topley and Wilson's Microbiology and Microbial
Infections: Volume 4 Medical Mycology, 9th ed. New York: Arnold Publishing; 1998.p.
674.
Keterangan gambar :
Fase aseksual : bentuk trofozoit bereplikasi secara mitosis ke . Fase seksual : bentuk
trofozoit yang haploid berkonjugasi dan menghasilkan zigot (early cyst, kista muda) yang
diploid . Zigot membelah diri secara meiosis dan dilanjutkan dengan membelah diri
secara mitosis untuk menghasilkan 8 nukleus yang haploid(late phase cyst, kista stadium
lanjut)
Kista stadium lanjut mengandung 8 sporozoit yang berisi spora yang
kemudian akan keluar setelah terjadi ekskistasi (diyakini bahwa pelepasan
spora terjadi saat terjadi pembelahan pada dinding sel) . Stadium
trofozoit, dimana organisme ini mungkin berkembang biak melalui binary
fission juga diketahui ada.

7
2.2 ETIOLOGI
Pneumonia pnemositia adalah pneumoni yang disebabkan oleh jamur oneumocystis
carinii. Beberapa keputusan menyebutkan penyebab PNP adalah pneumoni jiroveci.
Pneumocystis jirovecu merupakan varian dari pneumocystis carinii yang ditemukan pada
manusia. Analisis terhadap ribososm RNA pada tahun 1988 dilaporkan dari pneumocystis
menunjukkan.
Skstraseluler pada keadaan tertentu organisme ini menetap di lapisan tersebut dan
mengalami reaktivasi saat terjadi gangguan sistem imun. Pada keadaan ini P. carinii
bertambah jumlahnya dan mengisi alveoli. Dengan mekanisme yang belum diketahui secara
jelas, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler alveoli dan kerusakan sel alveoli tipe I.
Gambaran histologi yang dijumpai adalah alveoli terisi oleh sel-sel epitel alveoli yang
mengalami deskuamasi, monosit, organisme dan cairan, menimbulkan gambaran berbusa,
tampak seperti gambaran sarang tawon.

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis PCP meliputi
1. triad klasik:
a. demamyang tidak terlalu tinggi
b. Dispnoe, terutama saat beraktivitas
c. dan batuk non produktif. Progresivitas gejala biasanya perlahan, dapat berminggu
– minggu bahkan sampai berbulan – bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah
hebat, disertai takipnoe , pernafasan meningkat sampai 90 – 120 x / menit -,
sampai terjadi sianosis.
2. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik. Saat auskultasi
dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai kelainan apapun. Pada 2 – 6 %
kasus, PCP dapat muncul dengan pneumothorax spontan. Pada pemeriksaan radiologi
paru terlihat gambaran yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke
perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi dengan
daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti sarang tawon (“honey comb
appearance”), kadang – kadang terjadi emfisema mediastinal di pneumothorax (Juwono,
1987; Beaver et al., 1984)

8
2.4 PATOFISIOLOGI
Pneumocystis jiroveci berada tersebar dimana –mana sehingga hampir semua orang telah
pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak – kanak sebelum berusia 4 tahun.
Transmisi Pneumocystis jiroveci dari orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory
droplet infection” (tertelan ludah) dan kontak langsung (Brown, 1975), dengan kista sebagai
bentuk infektif pada manusia. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi dari orang
ke orang melalui inhalasi. Juga dilaporkan bahwa transmisi dapat terjadi secara “in utero”
dari ibu kepada bayi yang dikandungnya (Singer et al., 1975), namun dengan trofozoit
sebagai bentuk infektifnya. Masa inkubasi ekstrinsik ( = prepaten period) diperkirakan 20 -30
hari dengan durasi serangan selama 1 – 4 minggu. Masih ada kontroversi apakah PCP
muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah pernah didapat penderita sebelumnya atau
karena paparan berulang dan reinfeksi terhadap jamur ini. Namun diduga mekanisme
infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten (Sheldon, 1959; Frenkel et al., 1966)
Organisme ini merupakan patogen ekstra seluler. Paru merupakan tempat primer infeksi,
biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Tetapi dilaporkan bahwa infeksi
Pneumocystis jiroveci bisa juga terdapat ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah
bening dan sum – sum tulang (Jarnum et al., 1986; Barnet et al., 1969, Arean, 1971).
Organisme umumnya masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar tipe I. Di
paru, pertumbuhannya terbatas pada permukaan surfaktan di atas epitel alveolar.
Pneumocystis jiroveci berkembang biak di paru dan merangsang pembentukan eksudat yang
eosinofilik dan berbuih yang mengisi ruang alveolar, mengandung histiosit, limfosit dan sel
plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam paru sehingga menurunkan oksigenasi,
interstisium menebal dan kemudian fibrosis. Pada akhirnya halini mengakibatkan kematian
karena kegagalan pernafasan akibat asfiksia yang terjadi karena blokade alveoli dan
bronchial oleh massa jamur yang berproliferasi tadi. Pada autopsi ditemukan paru bertambah
berat dan volumenya bertambah besar, pleura agak menebal. Penampang irisan paru
berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta septum alveolus yang jelas. Hiperplasia
jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan sel mononukleus dan sel plasma juga
tampak. Karena itulah penyakitnya disebut “Pneumonia sel plasma interstisial”. Dinding
alveolus menebal dan alveolus berisi eksudat yang amorf dan eosinofilik – memberi

9
gambaran seperti sarang lebah (honeycomb appearance)-, yang mengandung histiosit dan
limfosit, sel plasma dan organisme itu sendiri. Tetapi pneumonia pneumosistis pada
penderita agamaglobulinemia atau dengan imunosupresi, eksudat yang khas mungkin tidak
ditemukan karena tidak ada limfosit B (Beaver et al., 1984). Infeksi Pneumocystis jiroveci
ditemukan dalam paru hospes dan biasanya terbatas di lumen alveolus. Ada beberapa laporan
yang menyatakan bahwa Pneumocystis jiroveciterdapat di dalam kapiler alveolus, septum
interalveolus interstisial dan sel epitel (Matsumoto dan Yoshida, 1986
Untuk mengontrol PNP terjadi respon inflamasi yang efektif pada pejamu. Namun
demikian inflamasi yang berlebihan juga dapat menyebabkan jejas paru selama infeksi.
Pneumonia pneumosistis yang berat ditandai dengan infiltrasi neutrofil pada paru yang
menyebabkan kerusakan alveolar difus, gangguan pertukaran gas dan gagal napas. Jadi
sesungguhnya, gangguan napas dan kematian lebih berkorelasi dengan beratnya inflamasi
dibandingkan dengan organisme yang masuk.
Respon imun melawan P. carinii melibatkan interaksi kompleks antara limfosit T CD4+,
makrofag alveolar, neutrofil dan mediator terlarut yang memfasilitasi pembersihan kuman.
Makrofag alveolar berperan sebagai alat pertahanan paru dengan memakan dan
menghancurkan organisme yang masuk ke dalam paru. Jika tidak ada opsonin pada cairan di
permukaan epitel, maka makrofag berperan memakan P. carinii ini. Setelah dimakan
makrofag, organisme dimasukkan dalam fagolisosom dan akhirnya dihancurkan.
Fungsi makrofag terganggu pada kasus AIDS, keganasan atau keduanya, sehingga
pembersihan P. carinii menjadi berkurang. Pada binatang dengan penurunan makrofag,
resolusi P. carinii menjadi terganggu. Makrofag memproduksi berbagai ragam sitokin
proinflamasi, kemokin dan metabolit eicosanoid sebagai respon untuk memfagositosis P.
carinii. Mediator proinflamasi berperan dalam eradikasi P. carinii, namun juga menyebabkan
kerusakan jaringan paru.
Pada infeksi P. carinii, peran sel T CD4+ paling penting, baik pada manusia maupun
binatang. Risiko terjadinya infeksi meningkat jika jumlah sel T CD4+ di bawah 200
sel/mm3. Sel CD4+ berfungsi sebagai

10
2.5 Pathway

PCP (Pneumonia Pneumocystis )

Demam Batuk Non Produktif Nafas


Pendek

MK:

 Hipertermi
 Bersihan Jalan nafas
 Pola Nafas Tidak
EFektif

2.6 PENATALAKSANAAN
Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan PCP diantaranya ialah.

a. PCP Berat:

Penderita perlu dirawat dirumah sakit dengan bantuan ventilator. Obat lini
pertama yang diberikan adalah kotrimoksazol dosis tinggi intravena (trimetoprim 15
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 75 mg/kgBB/hari selama 21 hari). Bila tidak ada
respons dapat diberi lini kedua yaitu pentamidin intravena (3-4 mg/kgBB selama 21
hari). Lini ke tiga adalah klindamisin (600 mg IV tiap 8 jam) dengan primakuin (15
mg/oral/hari). Pemberian kortikosteroid direkomendasikan 40 mg secara peroral dua

11
kali sehari pada hari pertama sampai kelima, 40 mg satu kali per hari selama 6-10
hari, 20 mg setiap hari sampai lengkap 21 hari (Lamprey et al., 2006).

b. PCP Sedang

Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang dapat


diberikan adalah Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet tiga kali sehari
selama 21 hari (Lamprey et al., 2006).

c. PCP Ringan

Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari selama 21
hari atau cukup 14 hari jika respons membaik (Lamprey et al., 2006).

d. Profilaksis PCP

Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4 lebih
dari 200 sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART) pada
penderita HIV dapat menurunkan kejadian infeksi oportunistik. Profi laksis dapat
diberikan jika CD4 kurang dari 200 sel/mm3 atau limfosit total kurang dari 14%
dengan kandidiasis oral atau demam yang tidak jelas penyebabnya dan berlangsung
lebih dari dua minggu. Regimen yang diberikan adalah kotrimoksazol dua kali sehari,
seminggu dua kali atau dapsone 100 mg peroral per hari atau atavaquone 750 mg
peroral dua kali per hari. Profi laksis dihentikan bila CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau
limfosit total lebih dari 14% yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan (Lamprey et
al., 2006)

Obat pilihan utama adalah kombinasi trimetoprim 20 mg/kgBB/hari +


sulfametoksazol 100mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam
selama 12-14 hari. Obat alternative lain adalah pentamidin isethionat dengan dosis
4mg/kgBB/hari diberikan 1x/ hari secara IM atau IV selama 12-14 hari.Pentamidin
isethionat biasanya diberikan pada pasien yang tidak respon ataupun tidak dapat
bertoleransi terhadap pemberian trimetoprim dan sulfametoksazol.
Pengobatan PCP (6)

12
Aturan
pengobatan Dosis Umum efek samping
Trimetoprim- 5 mg per kg komponen trimetoprim Makulopapular ruam, demam,
sulfametoksazol setiap 8 jam, IV atau oral (untuk penekanan sumsum tulang,
(Bactrim, Septra) sebagian besar pasien, dosis oral 2 ganda hepatitis, mual, muntah,
kekuatan tablet tiga kali sehari) hiperkalemia
Pentamidin 4 mg per kg IV sekali sehari, diinfuskan Hipo-atau hiperglikemia dan
selama 60 menit selanjutnya diabetes melitus,
aritmia, perpanjangan interval QT,
leukopenia, pankreatitis, penekanan
sumsum tulang, hepatitis, demam
Trimetreksat Trimetreksat §: untuk pasien <50 kg-1,5 Neutropenia, trombositopenia
(Neutrexin) dan mg per kg per hari IV; untuk pasien 50
leucovorin sampai 80 kg-1.2 mg per kg per hari IV;
untuk pasien> 80 kg-1.0 mg per kg per
hari IV
Leucovorin §: untuk pasien <50 kg-0,8
mg per kg IV atau oral setiap 6 jam;
untuk pasien ≥ 50 kg-0,5 mg per kg IV
atau oral setiap 6 jam (putaran ke dosis
tertinggi berikutnya saat menggunakan
leucovorin oral); terus leucovorin selama
72 jam setelah dosis trimetreksat lalu.
Dapat menambahkan dapson, 100 mg per
hari secara oral.
Trimetoprim Trimetoprim, 5 mg per kg secara oral Mual, muntah, demam, ruam,
(Proloprim) dan setiap 8 jam dan dapson, 100 mg oral penekanan sumsum tulang,
dapson sekali sehari hepatitis, hemolisis,
methemoglobinemia
Klindamisin Klindamisin, 600 hingga 900 mg IV atau Ruam, anemia, neutropenia,
(Cleocin) dan 300 sampai 400 mg oral setiap 6 sampai methemoglobinemia, hemolisis
primakuin 8 jam Primakuin dasar, 15 sampai 30 mg
oral sekali sehari ∥
Atovakuon 750 mg secara oral suspensi tiga kali Mual, muntah, ruam

13
Aturan
pengobatan Dosis Umum efek samping
(Mepron) sehari dengan makanan berlemak (jangan
gunakan pada pasien dengan diare atau
malabsorpsi)

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA (PCP)

14
1. PENGKAJIAN
a. Identitas pasien
Nama: untuk membedakan pasien yang satu dengan yang lainnya.
Umur: untuk mengetahui masa lanjutan pasien beresiko tinggi atau tidak
Agama: untuk menentukan bagaimana kita memberikan dukungan pada ibu sesuai
dengan kepercayaannya
Pendidikan: untuk mengetahui status sosial, ekonomi, dan pengaruhnya terhadap PCP.
Alamat: untuk mengetahui tempat tinggal dan untuk memudahkan menghubungi keluarga
klien jika terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
Penanggung jawab: untuk mengetahui penanggung jawab klien jika terjadi sesuatu yang
tidak di inginkan.
b. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Bentuk kepala bulat, warna rambut hitam, tidak ada benjolan, kulit kepala bersih.
2) Mata
Simetris, tidak ada sekret, konjungtiva merah, sklera merah, mata berair.
3) Hidung
Simetris, ada sekret (hidung buntu), tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak polip.
4) Telinga
Simetris, tidak ada benjolan, lubang telinga bersih, tidak ada serumen.
5) Leher
Tidak ada pembesara kelenjar tiroid, limfe, tidak ada bendungan vena jugularis, tidak
ada kaku kuduk.
6) Dada
Inspeksi : Dada simetris, bentuk bulat datar, pergerakan dinding dada simetris,
tidak ada retraksi otot bantu pernapasan.
Palpasi : Tidak ada benjolan mencurigakan.
Perkusi : Paru-paru sonor, jantung dullens.
Auskultasi : Apakah irama nafas teratur, suara napas vesikuler, tidak ada suara napas
tambahan.
7) Perut

15
Inspeksi : Simetris.
Auskultasi : Peristaltik meningkat 40x/menit.
Palpasi : turgor kulit tidak langsung kembali dalam 1 detik.
Perkusi : Hipertimpan, perut kembung.
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Klien dengan gangguan imunitas biasanya mengeluh 5L
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari gangguan imunitas
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah klien pernah mengalami penyakit yang sama seperti saat ini,
4) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah sebelumnya ada keluarga klien mengalami penyakit yang sama seperti
klien.
5) Genogram

d. Pengkajian Keperawatan
1) Aktivitas/istirahat
Kaji tentang pekerjaan yang monoton, lingkungan pekerjaan apakah pasien terpapar
suhu tinggi, keterbatasan aktivitas,
2) Sirkulasi
Kaji terjadinya peningkatan tekanan darah atau nadi, yang disebabkan: nyeri, ansietas
atau gagal ginjal, daerah ferifer apakah teraba hangat (kulit) merah atau pucat.
3) Eliminasi
Kaji adanya riwayat penyakit misalnya ISPA.
4) Makanan/cairan

16
Kaji adanya mual, muntah, nyeri tekan abdomen, diit tinggi purin, kalsium oksalat
atau fosfat, atau ketidakcukupan pemasukan cairan tidak cukup minum, terjadi
distensi abdominal, terjadinya penularan bising usus.
5) Nyeri/kenyaman
Kaji episode akut nyeri pada kepala atau nyeri dibagian tubuh yang lain.
6) Kemanan
Kaji terhadap penggunaan alcohol perlindungan saat demam atau menggigil.

2. ANALISA DATA

Symptom Etiologi Problem


Data Subjektif : 1. Jamur 1. Ketidakefektifanjalannafas.
1. Klienmengeluhlemas. pneumoc 2. Polanafastidakefektif.
2. Demam ystis
3. batuk
Data Objektif :
1. Klienterlihatlemas
2. Nafasklientampakpendek
3. Suhutubuh>38°
4. Pernafasan 90-120 x/menit
5. Dispnue
6. Takipneu

3. DIAGNOSA
a. Ketidakefektifan jalan napas b.d obstruksi atau adanya sekret yang
berlebihan.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perubahan kedalaman nafas.

4. INTERVENSI

17
No. Diagnos TujuandanKriteria Intervensi Rasional
a Hasil
1. Ketidak Bersihanjalannapas 1) Auskultasibuny 1) Obstruksijalannapasdandapatatautak di manifestasika
1 efektifan kembaliefektifdan inapas.
jalannap normal. Catatadanyabu 2) Adanyabeberapaderajatdandapatditemukanpadapeneri
asb.dobs Kriteriahasil nyinapas. Pernapasandapatmelambatdanfrekuensiekspirasimema
truksiata :Menunjukkanperil Misalmengi, 3) Peninggiankepalatempattidurmempermudahfungsiper
uadanya akuuntukmemperba kerkels, ronki.
sekret ikibersihanjalannap 2) Kajiataupantauf
yang as. rekuensipernap
berlebih Misal asan.
an. :Mengeluarkansekr
et.
4) Pencetustipereaksialergipernapasan yang dapatmentre

5) Hidrasimembantumenurunkankekentalansekret, memp
3) Kajipasienuntu
kposisi yang
nyaman.
Misal
:peninggiankep
alatempattidur,
dudukpadapers
andarantempatt
idur.

18
4) Pertahankanpol
usilingkungan
minimum.
Misal :debu,
asapdanbuluba
ntal yang
berhubungande
ngankondisipas
ien.
5) Tingkatkanmas
ukancairan
3000/
harisesuaidenga
nkeadaanjantun
g, memberikan
air hangat.

No. Diagnose TujuandanKriteriaHasil Intervensi


Keperawatan
2. Polanafastidake Setelahdiberikantindakankeperawata 1. Manajemenjalannafas :
fektifberhubung n 2x24 jam diharapkandengan a. Lakukanfisioterapi dad
andenganperuba KriteriaHasil : b. Posisikanpasieuntukme
hankedalamann 1. Frekuensipernafasadalambat c. Mengajarkanbatukefekt
afas. as normal
2. Iramapernafasantidakadadevi
asi
3. Tidakadasuaratambahan

5.Impelemtasi
19
Pelaksanaan tindakan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah disusun

6. Evaluasi
Evaluasi tindakan merupakan langkah terakhir dalam melaksanakan manajemen
keperawatan. Setelah dilakukan evaluasi, perawat merencanakan pada klien yang telah dilakukan
tindakan keperawatan, perlu atau tidak melakukan follow up. Apabila perlu dilakukan follow up,
harus direncanaakan bentuk dan waktu follw up terhadap klien. Sehingga klien mendapatkan
asuhan keperawatan yang kompresienstif dan berkesinambungan.

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci. Infeksi
ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi, misalnya: pada penderita
HIV/AIDS, ALL (acute limfositik leukemia), maupun pada pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Transmisi orang ke orang melalui Respirasi Droplet Infeksion.
PCP meliputi trias gejala demam yang tidak terlalu tinggi, dispneu terutama saat
beraktifitas, dan batuk non produktif. Semakin lama dispneu akan bertambah hebat, disertai
takipneu, sampai sianosis dan gagal nafas.Diagnosis pasti dilakukan dengan menemukan
Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh

20
melalui induksi sputum, BAL (Broncho Alveolar Lavage) maupun biopsy paru. Pada
pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gambaran infiltrate bilateral simetris dan
honeycomb appearance.Karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
immunodefisiensi, maka prognosis PCP kurang baik dan infeksinya dapat fatal dengan
terjadinya gagal nafas.Untuk itu diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk
mengurangi persentasi mortalitas penyakit ini. Pada pasien dengan immunodefisiensi
misalnya: penderita HIV/AIDS dianjurkan untuk mengkonsumsi regimen kemoprofilaksis
kombinasi regimen trimetoprim + sulfametoksazol (atau pentamidin inhaler sebagai
alternative lain) untuk mencegah infeksi PCP.

DAFTAR PUSTAKA

Aids Info. 2013. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in
HIV-Infected Adults and Adolescents. CDC: USA
Huda, Agus Dwi Nurul. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Imunitas “HIV & AIDS”. Pontianak
Hutagalung, Sunna Vyatra.2008.Pneumocystis Carinii Pneumonia Suatu Infeksi
Oportunistik.Fakulitas Kedokteran Universitas Sumatra Utara:medan
Lamprey PR, Johnson JL, Khan M. 2006:61;1-28The global challange of HIV and AIDS.
Population Bulletin

21
Manson – Bahr PH. 1968:883-4Manson’s Tropical Diseases. 16th ed. London. ELBS & BT
and C.

22

Anda mungkin juga menyukai