Anda di halaman 1dari 21

Farabi

ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264


Volume 13 Nomor 2 Desember 2016
Halaman 187-207
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

SEJARAH TEKS AL-QUR’AN:


Studi atas Pemikiran John Wansbrough

Oleh: Sulaiman Ibrahim


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo
Email: emand_99@hotmail.com

Abstract
The history of the Qur’an is not only intended to illustrate the process of
memorizing, recording, collecting Qur'an in chronological order, but
more important is the placement of such material as an argument to
prove the genuineness and authenticity of the Qur'an. Is there any
guarantee that the verses of the Quran does not change in any process
that elapsed before recorded in Mushaf Utsmani?. This statement was
expressed by John Wansbrough criticize the history of the Qur'anic text.
assurance of God in keterpeliharaannya, many opportunities that enable
change. Initial recording of the companions of the Qur’an in the form of
remembering, of course, is still questionable, because of forgetfulness
possessed by humans. Thus they create a record then used as the basis
for unification, there may be a doubt for reasons of simplicity existing
stationery. On the basis of all the opponents of the Qur'an does not stop
doubting the authenticity and originality of the Qur'an.

Sejarah mushaf al-Qur’an tidak semata-mata dimaksudkan untuk


memaparkan proses penghafalan, pencatatan, pengumpulan, dan
pembukuan al-Qur’an secara kronologis, akan tetapi yang lebih penting
adalah peletakan materi tersebut sebagai argumen untuk membuktikan
keaslian dan keautentikan al-Qur’an. Apakah ada jaminan bahwa ayat-
ayat al-Qur’an tidak mengalami perubahan dalam setiap proses yang dilalui
sebelum dibukukan dalam satu mushaf (mushaf utsmani)?. Pernyataan
inilah yang dilontarkan oleh John Wansbrough dalam mengkritisi sejarah
teks al-Qur’an. Terlepas dari jaminan Allah atas keterpeliharaannya,

187
Sulaiman Ibrahim

kiranya pertanyaan ini patut diajukan karena dalam perjalanannya


menembus masa, banyak peluang yang memungkinkan terjadi perubahan.
Rekaman awal al-Qur’an para sahabat dalam bentuk hafalan, tentu
saja tetap dapat dipertanyakan, karena sifat pelupa yang dimiliki oleh
manusia. Demikian juga catatan yang mereka buat yang kemudian dijadikan
basis unifikasi, kemungkinan dapat diragukan dengan alasan
kesederhanaan alat tulis-menulis yang ada, di samping sistem tulis menulis itu
sendiri belum dikenal secara lugas. Atas dasar semua ini para penentang
al-Qur’an tidak berhenti meragukan autentisitas dan orisinalitas al-
Qur’an.

Keywords:
History of al-Qur’an; Authenticity of al-Qur’an; Mushaf Utsmani; John
Wansbrough

Pendahuluan
Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Qur’an telah mengarungi sejarah
panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan
ketuhanan al-Qur’an oleh Nabi Muhammad Saw, kemudian disampaikan
kepada generasi pertama Islam yang telah menghafal dan merekamnya
secara tertulis, hingga stabilisasi teks dan bacaannya yang mencapai
kemajuan yang berarti pada abad ke-3 H/9 M dan abad ke-4 H/10 M serta
berkulminasi dengan penerbitan edisi standar al-Qur’an di Mesir pada
1342 H/1923 M, dan al-Qur’an ini masih menyimpan sejumlah misteri
dalam berbagai tahapan perjalanan kesejarahannya.1
Al-Qur’an sebagai kitab suci ternyata tidak hanya menarik perhatian umat
Islam, namun juga para orientalis.2 Ketertarikan pada sarjana orientalis

1
Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2005), h. 2.
2
Orientalis berasal dari kata “orient” yang artinya “Timur”. Secara etnologis
orientalisme bermakna “bangsa-bangsa di Timur”. Dan secara geografis bermakna “hal-
hal yang bersifat Timur”, yang sangat luas cakupannya. Jadi orientalis adalah sarjana
yang menekuni studi tentang masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya,
kesusastraannya dan sebagainya. Lihat Edward W. Said, Orientalisme (Bandung: Pustaka
Salman, 1996), h. 140. Selanjutnya Edward W. Said menyatakan bahwa orientalis
memandang Timur sebagai suatu yang keberadaannya tidak hanya disuguhkan melainkan

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

188
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

dimulai sejak abad ke-12 dan terus berlangsung hingga sekarang, hal ini
ditandai dengan tulisan-tulisan mereka, baik dalam bentuk buku maupun
artikel-artikel tentang al-Qur’an, seperti, Bell’s Introduction to The Qur’an
karya Richard Bell dan Montgomery Watt, Geschishte des Qorans karya
Theodor Noldeke. Tidak terlupa buku Quranic Studies: Sources and
Methods of Sriptural Interpretation karya John Wansbrough3 yang
menjadi fokus kajian dalam tulisan ini, atau The Collection of the Qur’an
karya John Burton dan masih banyak lagi karya-karya lainnya.
Ketertarikan umat Islam dalam hal ini, sejak awal hingga kini, jelas tidak
banyak mengundang pertanyaan yang bernada sinis, bahkan dipandang
sebagai suatu keharusan. Sebab al-Qur’an memang kitab sucinya dan
menjadi pegangan hidup dalam beragama, baik hal yang berkaitan dengan
ibadah maupun masalah muamalah. Sebaliknya, pertanyaan bahkan
kecurigaan muncul ketika menghadapi fenomena bahwa para orientalis
yang notabene tidak beragama Islam juga tertarik untuk mengkaji al-
Qur’an.
Berkenaan dengan sejarah al-Qur’an, investigasi kritis terhadap teks
barangkali belum memperoleh perhatian serius dari kalangan sarjana
Muslim, khususnya generasi salaf. Dalam karya yang berjudul al-Itqân fî
‘Ulûm al-Qur’ân, al-Suyuthi misalnya, belum menyentuh upaya
investigasi teks. Padahal menurut beberapa pemerhati al-Qur’an, karya al-
Suyuthi ini memiliki pesona tersendiri melihat kelengkapan informasinya
berkenaan dengan disiplin ‘Ulûm al-Qur’ân, termasuk di dalamnya sejarah
penafsiran al-Qur’an.

juga tetap tinggal pasti dalam waktu dan tempat bagi Barat seluruh periode sejarah
budaya, politik, dan sosial Timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata
terhadap Barat. Barat adalah Pelaku (actor), sedangkan Timur hanyalah penanggap
(reactor) yang pasif. Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiap tingkah laku
Timur. Ibid., h. 143-144.
3
Nama lengkapnya adalah Yohanes Edward Wansbrough. Ia adalah seorang
Sejarawan sekaligus ahli tafsir yang lahir di Peoria, Illinois pada tanggal 19 Pebruari 1928
dan meninggal di Montaigu-De-Quercy, Perancis pada 10 juni 2002. Ia menyelesaikan
studinya di Harvard University dan mengabdikan dirinya di London University dan
School of Oriental and African Studies (SOAS).
http://en.wikipedia.org/wiki/John_Wansbrough. Adapun karya tulis John Wansbrough
adalah “A Note on Arabic Rethoric” dalam Lebende Antike: Symposium fur Rudolf
Suhnel, “Arabic Rethoric and Qur’anic Exegesis”, dalam Buletin of the School of
Oriental and African Studies, Majas al-Qur’an: Peripharastic Exegesis, The Sectarian
Millieu: Content and Composition of Islamic Salvation History.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

189
Sulaiman Ibrahim

Dalam beberapa hal kajian orientalis tentang Islam memiliki sisi positif.
Studi mereka tentang sejarah al-Qur’an misalnya, sangat padat dan kaya
dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan
bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam
mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-
kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara
lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan al-Qur’an. Dalam buku The
Major Themes of the Qur’an Fazlur Rahman menyebutkan tiga tipe karya
orientalis tentang al-Qur’an. Pertama, karya-karya yang ingin
membuktikan keterpengaruhan al-Qur’an oleh tradisi Yahudi dan Kristen.
Kedua, karya-karya yang mencoba untuk membuat rangkaian kronologis
dari ayat-ayat al-Qur’an, dan ketiga, karya-karya yang bertujuan untuk
menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu saja di dalam ajaran al-
Qur’an.4
Berangkat dari sinilah penulis berkeinginan melihat argumen dari sarjana
orientalis -dalam hal ini John Wansbrough- ketika “memahami” ataupun
“mengkritisi” al-Qur’an dalam dimensi kesejarahannya.

Metode Kritik John Wansbrough


Selama ini para Sarjana Barat dan Muslim meyakini keabsahan teori
“penkodifikasian” al-Qur’an, setidak-tidaknya, pada masa Utsman bin
Affan. Namun menurut John Wansbrough dalam karyanya Quranic
Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation,5 menyajikan
suatu tesis yang berbeda. Menurutnya, redaksi final al-Qur’an tidaklah
ditetapkan secara definitif sebelum abad ke-3 H/9 M, dan karena itu kisah
mengenai resensi Utsmani hanyalah fiktif belaka. Dengan kata lain, al-
Qur’an yang ada di tangan kita dewasa ini hanyalah merupakan konspirasi
kaum Muslimin awal, sekitar dua abad pertama Islam. Meskipun pada
umumnya mereka -sarjana Barat- menerima teori “pengumpulan” al-
Qur’an pada masa Khalifah Utsman. Selain itu juga dikemukakan bahwa
dalam proses formasi redaksi definitif al-Qur’an, kaum Muslimin awal

4
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996
M), h. Xi.
5
Karya Wansbrough ini ditulis antara tahun 1968 dan juli 1972, tetapi baru
diterbitkan pada tahun 1977 oleh Oxford University Press.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

190
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

telah mengadopsi gagasan Yahudi, dan hingga taraf tertentu Kristen,


sehingga asal-usul al-Qur’an berada sepenuhnya dalam tradisi tersebut.6
Metode yang digunakan Wansbrough untuk membuktikan tesis-tesisnya
adalah kajian kritis dalam bentuk sastra (form-criticism) dan kajian kritis
terhadap redaksi (redaction-criticism) al-Qur’an, atau juga disebut sebagai
metode analisis sastra (method of literary analysis). Metode ini merupakan
importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada
umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian
modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.7 Kajian semacam
ini berangkat dari proposisi bahwa rekaman-rekaman sastra sejarah
keselamatan (salvation history), meskipun menampilkan diri seakan-akan
semasa dengan peristiwa yang dilukiskan, pada faktanya berasal dari
periode setelah itu.8
Fazlur Rahman dalam pendahuluan bukunya, The Major Themes of the
Qur’an,9 menyebutkan tiga tipe karya orientalis tentang al-Qur’an.
Pertama, karya-karya yang ingin membuktikan keterpengaruhan al-
Qur’an oleh tradisi Yahudi dan Kristen. Richard Bell dalam bukunya The
Origins of Islam and its Christian Environment, jelas sekali
mengemukakan bahwa Islam tidak lain hanyalah kepanjangan dari agama
Kristen, dan al-Qur’an hanyalah produk Muhammad yang disusun
berdasarkan tradisi Bibel yang sudah berkembang saat itu di kota Mekkah.
Berkaitan dengan pandangannya itu, Bell mengelaborasi argumen-
argumen historis bahwa Muhammad, baik secara langsung maupun tidak
telah mengadopsi ajaran-ajaran Kristen ketika berhubungan dengan orang-
orang Kristiani.
Untuk lebih memperkuat pendapat bahwa al-Qur’an adalah produk
Muhammad, Bell dalam artikelnya Muhammad’s Vision menyatakan
bahwa “wahyu” dan kata-kata turunannya yang terdapat dalam al-Qur’an,
baik dalam konteks komunikasi antar makhluk maupun komunikasi antara
Tuhan dengan makhluk-Nya, mengandung konotasi sugestion (anjuran)

6
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation (Oxford: Oxford Univ Press, 1977), h. 43-45.
7
Ibid., h. Ix.
8
Untuk lebih lanjutnya lihat Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-
Qur’an (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 293.
9
Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Tema Pokok
al-Qur’an.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

191
Sulaiman Ibrahim

atau inspiration (inspirasi) untuk melakukan sesuatu yang dimaksud oleh


pemberi anjuran atau sang inspirator. Menurut Bell, hal ini tidak berbeda
dengan konsep wahyu al-Qur’an, di mana Muhammad hanyalah penerima
risalah perintah atau anjuran untuk membuat al-Qur’an berdasarkan
ajaran-ajaran yang telah mapan saat itu termasuk dari ajaran-ajaran
Kristen.10
Kedua, karya-karya orientalis lebih menekankan pada pembahasan sejarah
dan kronologi-kronologi al-Qur’an. Yang masuk dalam kategori ini antara
lain ialah Bell’s Introduction to The Qur’an karya Richard Bell dan
Montgomery Watt, Geschishte des Qorans karya Theodor Noldeke.
Klasifikasi ini lebih mengarah kepada historisisme internal al-Qur’an.
Data-data intrinsik lafadz-lafadz al-Qur’an (literary forms) mendapat
sorotan yang paling banyak dalam menentukan kronologi turunnya al-
Qur’an (makkiyyah dan madaniyyah).
Ketiga, karya-karya orientalis yang membahas tema-tema tertentu dari al-
Qur’an. Kategori ini biasanya menggunakan metode cross referentiality of
the Qur’an, dalam arti bahwa seluruh ayat yang berkaitan dengan topik
tertentu digabungkan dan dikomparasikan dengan tujuan mendapatkan
pengertian yang komprehensif. Metode ini dikenal dengan tafsîr al-
mawdhû’i. Kajian orientalis dalam hal ini dilakukan oleh Kenneth Cragg
dengan bukunya The Mind of the Qur’an, tampaknya bertujuan untuk
meyakinkan bahwa ajaran-ajarannya memiliki banyak kemiripan dengan
ajaran-ajaran Injil, terutama yang berkaitan dengan moral.11

Sejarah Teks al-Qur’an Perspektif Barat


Sejarah teks al-Qur’an menjadi salah satu obyek kajian beberapa lingkup
kesarjanaan Barat yang telah dimulai sejak abad ke-12 dan telah

10
Richard Bell, “Muhammad Vision’s,” dalam Rudi Paret (ed), Der Koran
(Darristadt: Wissenchaflecthe-Bucgesselchaft, 1975), h. 95-96. Di sini, Bell mengatakan
“even when the agent of wahyu is Allah and the words of a revelation, but as in most of
the instances already given, a practical line to conduct, samething to do not to say” h. 95.
kemudian ia menyimpulkan, “when therefore in other passages Muhammad speaks of the
Qur’an being “suggested” to him, it is a question weather we should not understand not
that the actual words of the Alqur’an had been conveyed to him verbally, but that the idea
of composing the Alqur’an had come to him in this way”, h. 96.
11
Sahiron Syamsuddin dkk., Hermenutika al-Qur’an Mazhab Yogya
(Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 76-78.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

192
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

melahirkan banyak karya. Secara umum, sasaran kritik Barat terhadap


kemunculan mushaf Utsmani tertuju kepada tiga fase kesejarahan.
Pertama, koleksi dan susunan teks dari lisan sampai tulisan. Kedua,
perbedaan tata cara baca dan beberapa kodeks sahabat. Ketiga, proses
pemantapan teks dan cara baca menjadi kanonik.12
Fase pertama diawali dengan asumsi yang meyakinkan bahwa pada saat
Nabi wafat sama sekali belum ada teks yang terkodifikasi. Teks-teks al-
Qur’an masih berceceran di tangan para sahabat, baik berupa catatan-
catatan pribadi maupun hafalan yang mereka miliki. Kepedulian terhadap
teks tersebut, bermula dari pecahnya perang Yamamah pada 12 Hijriyah
yang menewaskan sejumlah penghafal al-Qur’an.13
Meskipun informasi tentang jumlah penghafal al-Qur’an pada masa
Rasulullah Saw. berbeda-beda, namun dari peristiwa Yamamah ini dapat
dipahami bahwa para penghafal al-Qur’an melebihi jumlah yang
disebutkan. Akan tetapi, ketidakpastian informasi jumlah penghafal al-
Qur’an ini kemudian dijadikan pijakan keraguan oleh sarjana Barat. Sebab
itu Abu Bakar menganjurkan untuk melakukan pengumpulan al-Qur’an,
yang pada mulanya ragu-ragu untuk melakukan tugas itu karena belum
mendapat wewenang dari Nabi. Tetapi pada akhirnya ia menyetujuinya
dan menugasi Zaid bin Tsabit menjadi “kordinator” dalam pengumpulan
al-Qur’an.14
Berdasarkan beberapa riwayat yang menginformasikan bahwa selain
Zaid, ada beberapa sahabat yang mengumpulkan wahyu sebagai koleksi
pribadi, mereka di antaranya adalah Salim bin Muqib, seorang penghafal
al-Qur’an yang wafat dalam perang Yamamah, Ali bin Abi Thalib, Anas
ibn Malik, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay bin
Ka’ab.

12
Ibid., h. 4.
13
Disebutkan bahwa ada sekitar 70 hingga 500 qurra yang meninggal pada
pertempuran Yamamah (12 H.) Laporan ini tampaknya terlalu dibesar-besarkan, karena
kebanyakan kaum Muslim yang meninggal pada pertempuran tersebut –jumlahnya
sekitar 1200 orang- hampir seluruhnya merupakan pengikut-pengikut baru Islam. F.
Schwally bahkan hanya menemukan dua penghafal al-Qur’an –yakni Abdullah ibn
Hafsah ibn Ghanim dan Salim ibn Ma’qil- yang tewas dalam pertempuran itu. Lihat
Amal, Rekonstruksi..., h. 388-389.
14
W. Montgomery Watt, Richard Bell; Pengantar Quran (Jakarta: INIS, 1989),
h. 35.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

193
Sulaiman Ibrahim

Perbedaan antar mushaf pribadi yang ditemukan menjadi pijakan fase


kedua kesejarahan teks al-Qur’an yang dilakukan oleh Utsman bin Affan.
Mereka mengakui bahwa kebijakan Utsman berdasarkan pada
pertimbangan mashlahah serta “desakan” oleh Huzaifah al-Yamani yang
menemukan “perseteruan” antara kelompok Kufah dan Syiria berkenaan
dengan perbedaan cara baca ketika melakukan ekspedisi militer ke
Azerbaijan.15
Kisah di atas dapat dipahami bahwa sebelum mushaf Utsmani lahir, umat
tidak hanya kaya dengan koleksi pribadi mushaf yang dipakai, akan tetapi
juga kaya dengan perbedaan susunan dan cara baca teks. Perbedaan yang
ditemukan ini, dijadikan sebagai pijakan kalangan Barat bahwa teks
semenjak masa-masa awal sudah mendapat “campur tangan” pemilik
mushaf pribadi. Dengan kata lain, terlepas dari motif-motif yang ada,
peran generasi awal Islam cukup kentara dalam penyusunan redaksi final
al-Qur’an disertai penambahan-penambahan sesuai “selera”.16
Dengan demikian, sarjana Barat mengalami kesulitan untuk meyakini
bahwa potongan manuskrip merupakan salinan langsung dari mushaf
Utsmani. Kesulitan seperti ini, mendorong sarjana Barat untuk
mempertanyakan riwayat-riwayat yang menginformasikan koleksi-koleksi
pribadi para sahabat pra mushaf Utsman. Paling tidak ada dua nama yang
melontarkan kritik cukup pedas, yakni John Burton dan John Wansbrough.
Burton menegaskan bahwa seluruh riwayat yang menceritakan kodeks
para sahabat dan kodeks yang beredar di beberapa kota metropolitan
Muslim pada saat itu, sebenarnya telah dipalsukan oleh para fuqaha’ dan
filolog Muslim kemudian. Hal ini, menurut Barton dimaksudkan untuk
dijadikan sebagai setting kisah kodifikasi mushaf Utsman, yang pada
gilirannya dijadikan penutup kenyataan bahwa Muhammad sendiri telah
mengumpulkan dan mengecek edisi final al-Qur’an.17

15
Huzaifah al-Yamani mengingatkan Khalifah pada tahun 25 H. dan pada tahun
itu juga Utsman menyelesaikan masalah perbedaan yang ada sampai tuntas. Beliau
mengumpulkan umat Islam dan menerangkan masalah perbedaan dalam bacaan al-Qur'an
sekaligus meminta pendapat mereka tentang bacaan dalam beberapa dialek, walaupun
beliau sadar bahwa beberapa orang akan menganggap bahwa dialek tertentu lebih unggul
sesuai dengan afiliasi kesukuan. Lihat M.M. Al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari
Wahyu sampai Kompilasi, Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 98.
16
Syamsuddin dkk., Hermenutika..., h. 6.
17
Ibid., h. 7.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

194
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

Di sisi lain, Wansbrough bahkan mencurigai peran aktif generasi Muslim


awal dalam penyusunan redaksi final al-Qur’an. Di matanya, generasi awal
Islam tidak hanya memformulasikan wahyu yang diajarkan Muhammad,
akan tetapi memberikan tambahan di sana-sini untuk mengantisipasi
tradisi Yahudi di dalamnya. Peran aktif generasi awal ini terlihat jelas
dalam berbagai bacaan al-Qur’an yang berbeda. Oleh karenanya, mushaf
yang kemudian sampai ke tangan kita merupakan hasil penjejeran berbagai
“tradisi” Muslim awal.
Dalam hal ini, akan dikemukakan tesis-tesis utama Wansbrough serta
berbagai argumentasi yang menopangnya.

1. Pengaruh Yahudi dalam “Penyusunan” al-Qur’an.


Sarjana-sarjana Yahudi telah berusaha keras untuk membuktikan bahwa
asal-usul al-Qur’an itu berada di dalam tradisi Yahudi serta bahwa
Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Sementara para
sarjana Kristen juga melakukan upaya senada dan membuktikan bahwa al-
Qur’an itu tidak lebih dari gema tradisi Kristiani dan bahwa Muhammad
hanya merupakan seorang Kristen yang mengajarkan suatu bentuk agama
Kristen yang aneh.18
Meskipun karya-karya yang ditulis para sarjana Kristen yang belakangan
tampak lebih sistematis dan bahkan lebih sungguh-sungguh ketimbang
para sarjana Yahudi, namun upaya rekonstruksi elemen-elemen asing al-
Qur’an ini dikecam keras di kalangan sarjana Barat sendiri. Franz
Rosenthal, misalnya, mengemukakan bahwa meskipun kajian-kajian
semacam itu berhasil menemukan bukti yang meyakinkan mengenai
pengaruh asing terhadap formasi spiritual dan intelektual Muhammad,
namun upaya-upaya tersebut “tidak mungkin menjelaskan secara
memuaskan keberhasilannya (muhammad) dalam menciptakan sesuatu
dan mentransformasikannya ke dalam suatu kekuatan abadi yang
mempengaruhi seluruh umat manusia.”19
Wansbrough mengemukakan bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-
kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi dan kemunculan

18
Taufik Adnan Amal, “al-Quran di Mata Barat: Kajian Baru Wansbrough”,
dalam Jurnal Ulumul Qur’an, vol. I, No. 4, 1994, h. 38.
19
Ibid., h. 38.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

195
Sulaiman Ibrahim

sejumlah ayat “duplikat”. Untuk menopang tesisnya ini, Wansbrough


menganalisis permulaan surat al-Isra’/17:1.
Ayat ini menunjukkan adanya doktrin Yahudi. Menurutnya, ayat pertama
surat al-Isra’ di atas sama sekali tidak membahas tentang isra’ Nabi
Muhammad Saw, tetapi ayat ini tepatnya membahas peristiwa eksodus
Nabi Musa dan kaumnya dari Mesir ke Israel, karena ayat-ayat al-Qur’an
lainnya yang menggunakan ungkapan ‘asrâ bi ‘abdihî laylan –atau yang
mirip dengannya- kesemuanya menceritakan eksodus Nabi Musa (lihat
misalnya dalam QS. 20:77, 26:52, 44:23). Bahwa QS. Al-Isra’/17:1 ini
adalah membahas kisah eksodus Musa, menurut Wansbrough, ini adalah
sangat jelas, karena ayat-ayat selanjutnya –QS.Al-Isra’/17:2-
dikemukakan secara panjang lebar kisah Nabi Musa dan kaumnya.
Sementara ungkapan min al-masjid al-haram ‘ila al-masjid al-AQShâ
mengidentifikasikan diri Muhammad Saw. sebagai pelaku perjalanan
malam tersebut, hal ini dipandang oleh Wansbrough sebagai tambahan
dari masa belakangan dengan tujuan untuk mengakomodasi episode
evangelium Islam dalam teks al-Qur’an. Tambahan ini, bagi Wansbrough,
jelas berada di bawah pengaruh Perjanjian lama atau Taurat.20
Di samping analisisnya terhadap QS.17:1, Wansbrough juga
“menemukan” pengaruh doktrin Yahudi tentang “pemilihan” dan “yang
tersisa” di dalam al-Qur’an. Ketika membahas terma bala dan fatana
dengan Tuhan sebagai subyeknya (QS. 2:49, 89:15, 29:3, 21:35),
Wansbrough mengemukakan: “di sini keadilan Tuhan menjadi berkurang
oleh hal yang jelas sekali merupakan suatu refleks tradisi pemilihan
Biblical, terbukti di dalam ayat-ayat di mana Ibrahim (QS.2:124) atau
Dawud (38:24) atau Sulaiman (38:34) merupakan obyek pengujian.”
Sementara terma-terma baqîyyah, bâqiyah dan baqiyûn di dalam al-
Qur’an21, dipandang Wansbrough sebagai tardisi “yang tersisa” selaras
dengan pegertian Perjanjian Lama. “Penampakan kedua motif biblikal ini
(yakni “pemilihan” dan “yang tersisa”) di dalam kitab suci kaum Muslim,
dapat diartikan sebagai bildungserlebnis (pengalaman normatif) yang
diasimilasikan secara tidak sempurna.”22
Tesis Wansbrough tentang pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an ini tentu
saja ditolak dengan tegas oleh Fazlur Rahman. Sehubungan dengan terma-

20
Wansbrough, Qur’anic ..., h. 68
21
Lihat QS. 11:116, 26:120, 37:77, 43:28, 2:248, 69:8, 53:51.
22
Wansbrough, Qur’anic..., h. 4

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

196
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

terma baqîyyah, bâqiyah dan baqiyûn yang dipandang Wansbrough


sebagai cerminan doktrin “yang tersisa” yahudi, Rahman mengemukakan
bahwa intilah terakhir (baqiyûn) tidak pernah dijumpai di dalam al-Qur’an
dan secara gramatikal tidak tepat. Yang tepat adalah bâqûn. Menurut
Rahman, pengertian ketiga istilah tersebut sebagai “yang tersisa” juga
tidak tepat. Hanya satu ayat seperti itu yang terdapat dalam al-Qur’an (QS.
37:77). Tetapi maksud ayat ini bukanlah keturunan Nuh yang
sesungguhnya, melainkan pengikut-pengikut ideologinya.
Selain itu, di dalam al-Qur’an tidak terdapat kata turunan baqiya yang
bermakna “sisa-sisa yang masih hidup”. Bentuk jamak bâqiyât dalam
QS.18:46 dan 19:76 berarti “ajaran Ibrahim yang tetap hidup di dalam diri
keturunannya” (QS. 43:28), atau “setiap sesuatu yang tertinggal” (QS. 69).
Istilah baqiya di dalam ketiga penggunaan al-Qur’an (QS. 2: 248, 11:86
dan 11:116) tidak ada yang berarti “ yang tersisa”.
Sementara istilah terakhir (bâqûn), sangat tidak tepat untuk diartikan
sebagai “yang tersisa” menurut doktrin Yahudi. Istilah ini menurut
Rahman lebih tepat diartikan sebagai “orang-orang yang memiliki ilmu
dan kebajikan”. Sebab bila diterjemahkan sebagai “yang tersisa” maka
dipermasalahkan apa yang dimaksud dengan “orang-orang yang memiliki
yang tersisa”. Lebih jauh Rahman menilai bahwa gagasan “yang tersisa”
dalam kenyataannya disangkal keras oleh al-Qur'an ketika mengatakan
kepada kaum Muslim bahwa jika mereka tidak mau berjuang di jalan
Allah, maka Allah akan mengangkat kaum lainnya untuk menggantikan
mereka.23

2. Al-Qur’an sebagai Perpaduan berbagai “Tradisi”


Peran aktif kaum Muslimin yang awal dalam “penyusunan” redaksi final
al-Qur’an, menurut Wansbrough, terlihat jelas berbagai versi bacaan al-
Qur’an yang berbeda (variant reading) dan berbagai versi dari suatu kisah
tunggal di dalam al-Qur’an (variant traditions).24 Mushaf al-Qur’an yang
ada di tangan kita dewasa ini merupakan penjejeran berbagai “tradisi”
kaum Muslimin yang awal. Itulah sebabnya sering ditemukan formula
yang sama dan kisah tunggal yang senada atau ayat-ayat duplikat di dalam

23
Rahman, Tema Pokok..., h. 55.
24
Amal, “Al-Qur’an..., h. 40.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

197
Sulaiman Ibrahim

al-Qur’an. Menurut Wansbrough, hal ini dilakukan sebagai ungkapan


kecemasan kaum Muslimin yang awal.
Untuk membuktikan tesisnya bahwa al-Qur’an itu merupakan perpaduan
berbagai “tradisi”, Wansbrough menganalisis berbagai versi kisah al-
Qur’an dan ayat-ayat “duplikat” di dalamnya. Dua ilustrasi mengenai tiga
versi mengenai kisah Syu’aib di dalam al-Qur’an (QS. 7:85-93, 11:84-95
dan 26:176-190).
Menurut Wansbrough, ketiga versi kisah Syu’aib ini merupakan jelmaan
motif-motif Biblical. Ia juga menilai “tradisi-tradisi” Syu’aib merupakan
bukti memadai tentang elaborasi sastra, yang diambil dari jenis-jenis
laporan kenabian yang dikenal luas dan telah mapan. Elaborasi semacam
ini merupakan karakteristik kitab kaum Muslimin, dimana sejumlah kecil
tema yang dipertahankan dalam berbagai tahap capaian kesusastraan.25
Menurut Fazlur Rahman bahwa tesis Wansbrough minim data historis
mengenai asal-usul, karakter, evaluasi, dan individu-individu yang terlibat
dalam tradisi. Al-Qur’an menurut Rahman hanya dapat dipahami secara
kronologis dan antara satu dengan yang lainnya merupakan keutuhan.
Dalam memperkuat argumennya Rahman memberikan ilustrasi tentang
mukjizat dan komunitas yang berkembang akibat perbedaan waktu. Oleh
karena itu, tesis John Wansbrough tersebut dibangun berdasarkan
duplikasi dan repetisi dalam al-Qur’an. Selanjutnya menurut Rahman,
dalam menganalisis al-Qur’an tentang versi kisah Syu’aib, Wansbrough
tidak menghayati tentang bentuk-bentuk kisah al-Qur’an. Adanya kisah-
kisah yang berbeda itu merupakan suatu i’jaz tersendiri bagi al-Qur’an dan
pengulangannya menunjukkan arti tersendiri. Pada masalah inilah kiranya
Wansbrough sendiri belum mampu menghayati pendekatan
fenomenologisnya, meskipun ia telah membaca teorinya.
Hal ini juga dapat dilihat dalam ekposisi Wansbrough mengenai dua versi
jannatâni yang terdapat dalam al-Qur’an surat 55/al-Rahman masing-
masing ayat 46-61 dan 62-77. Dua versi jannatâni dalam surah al-
Rahman/55:

25
Wansbrough, Qur’anic..., h. 25

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

198
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

Versi A (55: 46-61) Versi B (55:62-76)


46. Tapi bagi orang yang takut 62. Selain yang dua itu ada lagi
akan saat ia berdiri di depan dua surga
Tuhannya, ada dua surga
tersedia
48. Dalam keduanya tumbuh 64. Hijau tua warnanya (karena
aneka macam pepohonan daun yang rimbun)
50. Dalam keduanya mengalir 66. Dalam (masing-masing dari)
dua mata air keduanya. Ada mata air yang
memancar berlimpah
52. Dalam keduanya berpasang- 68. Dalam keduanya ada buah-
pasangan. Setiap macam buahan, pohon kurma dan
buah-buahan. delima.
54. Mereka berbaring di atas 70. Dalam (semua) surga itu ada
paramadani. Yang sebelah hauri-hauri yang baik dan
dalamnya dari sutera yang rupawan.
tebal. Buah-buahan kedua
surga bergantung rendah
(mudah dicapai).
56. Dalam keduanya (gadis-gadis) 72. Hauri-hauri yang jelita dan
yang suci menundukkan sopan diri. Dipingit di
pandang. Tiada manusia rumah-rumah peranginan.
maupun jin. Sebelum mereka
pernah menjamah.
58. Mereka laksana permata batu 74. Tiada manusia maupun jin.
delima dan marjan Sebelum mereka pernah
menjamah
60. Apakah ada balasan kebaikan 76. Mereka bersandar pada
selain kebaikan? bantal-bantal yang hijau.
Dan permadani yang indah-
indah.
Kedua versi jannatâni ini telah diperdebatkan sebelumnya di kalangan
sarjana Muslim klasik. Al-Zamakhsyari (w. 1143) mengemukakan bahwa
gambaran versi B kurang bagus dari versi A. Bagi Wansbrough, tentu saja

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

199
Sulaiman Ibrahim

mengimplikasikan penerimaan tatanan al-Qur’an kedua versi tersebut.


Tetapi berdasarkan bukti ini juga dapat dikemukakan bahwa versi A
merupakan elaborasi versi B, keduanya dengan instrumen retorik dan
tambahan tafsir. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa kedua versi itu
merupakan dua “tradisi” berbeda yang dimasukkan ke dalam teks definitif
al-Qur’an: “Namun yang lebih kuat tampaknya adalah penjejeran dua
tradisi berbeda yang bertalian erat di dalam mushaf, dikontaminasi oleh
bacaan dalam konteks-konteks yang identik, atau dihasilkan dari tradisi-
tradisi tunggal lewat transmisi lisan.”26
Dari ilustrasi di atas, Wansbrough memandang bahwa periwayatan al-
Qur’an dari generasi pertama kepada generasi kedua dan seterusnya
hingga akhir abad 2 hijriah adalah dalam cara yang sangat bebas. Kaum
Muslimin yang awal selalu berupaya “menyempurnakan” dan ketika
terjadi pembakuan al-Qur’an keseluruhan “tradisi” dari berbagai stase
tersebut tetap dipertahankan eksistensinya dalam redaksi final al-Qur’an.
Hal inilah yang menyebabkan adanya duplikasi atau repetisi di dalam
mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini. Pandangan Wansbrough ini
jelas bertentangan dengan opini para sarjana Barat pada umumnya,
maupun kaum Muslimin sendiri, yang memandang bahwa redaksi al-
Qur’an itu berasal dari Nabi.27

3. Mempersalahkan Mushaf Utsmani.


Bahasan-bahasan Wansbrough, yang telah dikemukakan di atas, telah
menyampaikan kepada kesimpulan bahwa teori tentang penyalinan segera
al-Qur’an ke dalam bentuk mushaf, baik pada masa Abu Bakar maupun
pada masa Utsman, hanya merupakan suatu fiksi yang tidak mendapat
dukungan. Menurutnya, struktur al-Qur’an sendiri –khususnya kisah-kisah
sejarah penyelamatan (salvation history) yang dikarakterisasi oleh
“tradisi-tradisi” berbeda dan mengakibatkan adanya repetisi atau
duplikasi- menunjukkan bahwa redaksi final al-Qur’an bukanlah proyek
yang dilaksanakan secara berhati-hati oleh seorang atau sekelompok
orang, tetapi agaknya lebih merupakan hasil suatu perkembangan organik

26
Wansbrough, Qur’anic..., h. 25-27, lihat juga Amal, Rekonstruksi..., h. 294-
295.
27
Amal, “Al-Quran..., h. 41.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

200
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

“tradisi-tradisi” independen yang orisinal selama suatu priode transmisi


yang panjang.28
Wansbrough mengemukakan bahwa redaksi final al-Qur’an baru disusun
pada permulaan abad ke-3 H., karena penyimpulan hukum dari al-Qur’an
(halakhic exegesis) merupakan fenomena abad tersebut. Dalam Fikh
Akbar I, yang disusun sekitar pertengahan abad ke 2 H., sama sekali tidak
terdapat rujukan kepada al-Qur’an. Demikian pula stabilisasi teks kitab
suci merupakan suatu aktivitas yang ekspresi sastranya tidak terdapat
sebelum abad ke 3 H., dan kemunculan literatur mushahhif bahkan lebih
belakangan lagi.
Wansbrough memandang bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks al-Qur’an
berjalan bergandengan dengan formasi komunitas Muslim. Suatu teks al-
Qur’an yang final dan baku tidak dibutuhkan, juga secara mutlak tidak
memungkinkan, sebelum kekuasaan politik terkontrol secara sepenuhnya.
Jadi pada penghujung abad ke 2 H/8 M., mungkin terjadi semacam gerakan
historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral, yang
mengarah kepada munculnya mushaf baku al-Qur’an di awal abad 3 H.
Paradigma Wansbrough dalam Studi Kritis al-Qur’an
Dalam Quranic Studies, Wansbrough berusaha memperlihatkan
kuriositasnya dalam studi Islam khususnya studi al-Qur’an dengan
mengajukan berbagai pertanyaan historis-analitis. What is evidence? Do
we have witnesses to the Muslim accounts of the formation of their
community in any early, disinterested sources? The Qur’an (in the form
collected “between two covers” as we know it today) is a good example:
what vidence is there for the historical accuracy of the traditional accounts
the compilation of that book shortly after death of Muhammad?29
Pertanyaan-pertanyaan ini mengantarkan Wansbrough pada beberapa hal;
pertama, ia meragukan bahkan tidak mempercayai bukti-bukti tertulis dan
tidak tertulis yang dimiliki oleh Muslim dan Islamolog Barat mengenai
sejarah Islam klasik, terutama masa pewahyuan dan kodifikasi al-Qur’an.
Argumentasi ke arah itu adalah tidak adanya bukti literal (naskah,
manuskrip dan lainnya) dalam bentuk scriptio defective (naskah-naskah

28
Ibid., h. 42.
29
Andrew Rippin, “Literary Analysis of the Quran, Tafsir and Sira; The
Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (ed), Approaches to
Islam in Religious Studies (Berkeley: University of Arizona Press, 1985), h. 154.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

201
Sulaiman Ibrahim

sederhana) sekalipun, yang mengindikasikan adanya tradisi penulisan al-


Qur’an pada masa Nabi. Selain itu, terdapat perbedaan versi antara para
kolektor atau pencatat al-Qur’an pada masa nabi dengan yang dibakukan
oleh khalifah Utsman. Dengan alasan itu pula, Wansbrough meragukan
kekuatan pentransmisian al-Qur’an dalam tradisi oral dan aural yang
dimiliki kaum Muslim awal.
Kedua, Wansbrough memandang bahwa satu-satunya bukti literal yang
valid dan akurat tentang Islam klasik hanyalah al-Qur’an. Dalam hal ini ia
mengadopsi asumsi dari Regis Blachere. Sebagai konsekuensinya,
Wansbrough hanya mengukur dan membuktikan Islam hanya dari al-
Qur’an melalui pendekatan objektif. Ketiga, Wansbrough mendudukkan
kodifikasi al-Qur’an sama dengan proses kodifikasi Taurat dan Injil.
Bahkan ia mengukur orisinalitas al-Qur’an dengan timbangan the Old
Statesment dan New Statesment (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru).
Sikap a priori dan keraguan di atas mendorong Wansbrough untuk
memposisikan Islam (terutama Islam klasik) sebagai agama yang ahistoris
(the non-historicity of Islam) dengan menekankan bahwa tidak ada
dukungan berupa bukti ekstra-literer (extraliterary corroboration) dalam
hal data arkeologis yang tersedia bagi Islam.30 Dengan demikian,
menurutnya, untuk menelusuri Islam, Nabi dan kitab sucinya tidak dapat
dibuktikan melalui sejarah, atau dengan kata lain pendekatan historisisme
tidak dapat dipergunakan dalam menelusuri Islam. Salah satu cara adalah
kembali kepada al-Qur’an yang dipandang Wansbrough sebagai satu-
satunya corpus otentik dalam menelusuri Islam, Nabi dan al-Qur’an. Oleh
karena itu, Wansbrough menawarkan metode analisis sastra (method of
literary analysis) dalam mengkaji al-Qur’an dengan titik fokus pada kajian
sastra dan prinsip-prinsip linguistik.31
Untuk mengadakan pendekatan secara utuh, pendekatan historis perlu
dibantu dengan pendekatan lain seperti; filologis, fenomenologis, sampai
ke hermeneutis. Upaya ini banyak dilakukan oleh pemikir Barat seperti W.
Montgomery Watt. Dalam kajiannya yang tetap mengakui adanya realitas
yang metafisis dan otonom serta objektif. Dari sinilah kemudian
memunculkan institusi dan ilmu pengetahuan.

30
Ibid., h. 154
31
Ibid., h. 154

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

202
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

Di samping beberapa kritik di atas, terdapat beberapa kritik lain terhadap


John Wansbrough, terutama ketika magnum opusnya diterbitkan. Salah
satunya adalah Issa J. Boullata. Ia mengkritik saat meresensi buku tersebut.
Ia mempertanyakan keabsahan metode yang dipakainya. Apa yang
dilakukan Wansbrough adalah seleksi bukan merupakan suatu
representasi. Meski begitu tidak serta merta Wansbrough dinilai negatif
bahkan mengacungi jempol atas metode yang dipakainya terutama dalam
dimensi aksiologisnya, seperti Joseph van Ess.32 Dari beberapa
pendekataan di atas, kiranya John Wansbrough telah melakukan berbagai
metode studi al-Qur’an yang telah banyak digunakan oleh para Orientalis
atau Islamolog Barat, baik sebelum maupun sesudahnya. Hal inilah yang
dianggap oleh peneliti lain sebagai keganjilan pemikiran Wansbrough.
Pro dan Kontra atas Metodologi Wansbrough
Issa J. Boullata ketika meresensi karya Wansbrough menganggap bahwa
pemikiran Wansbrough hanya merupakan hipotesis-hipotesis yang belum
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Issa J. Boullata juga
mempertanyakan keabsahan metode yang digunakan dalam buku tersebut,
demikian pula bahannya yang merupakan suatu seleksi ada aklektif.
Meskipun demikian, Boullata menilai bahwa karya tersebut sejajar dengan
studi-studi kesarjanaan Barat yang berpengaruh, seperti halnya Goldziher
mengenai Hadis, dan kajian Joseph Schact tentang perkembangan
syari’ah, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1952).33
Karya Wansbrough telah mulai memperlihatkan pengaruh di kalangan
sarjana Barat, seperti A.H. Johns, Andrew Rippin, Richard C. Martin, John
Burton. Andrew Rippin menulis dua artikel, yaitu “literary Analysis of The
Quran, Sira, and Tafsir; The Methodologies of the John Wansbrough” dan
“Lexicoghraphical Texts and The Qur’an”34 untuk mendukung penerapan
metodologi Wansbrough dalam kajian-kajian al-Qur’an.

32
Patricia Crone dan Michael Cook, “Hagarism: the Making of the Islamic
World”, dalam Issa J. Boullata (ed), An Anthology of Islamic Studies Part I No 5 (Canada:
McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992), h. 3-9.
33
Issa J. Boullata, Resensi terhadap Qur’anic Studies, dalam The Muslim World,
no. 67, 1977, h. 265
34
Andrew Rippin, “Lexicoghraphical Texts and The Qur’an” dalam Andrew
Rippin (ed), Approaches to the History the Interpretation of the Qur’an (Oxford:
Clarendon Press, 1988).

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

203
Sulaiman Ibrahim

Serangan keras yang dilontarkan Fazlur Rahman terhadap karya


Wansbrough dan para pendukungnya tertuang dalam buku The Major
Themes of the Quran. Rahman menyatakan “Ketidaksetujuan saya
terhadap Wansbrough sedemikian banyaknya, sehingga hanya mungkin
dipahami secara tepat dengan membaca buku saya ini dan bukunya
(Wansbrough).”35 Kecemasan Rahman yang terungkap dalam kritik-
kritiknya yang tajam, serius dan terkadang emosional. Ia mengungkapkan
kajian Wansbrough sebagai suatu masalah serius yang merupakan
ancaman hebat terhadap masa depan Islamolog (orientalis) Barat dan
prasangka dogmatik kaum Muslim.
Apa yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ketertarikan orientalis
terhadap al-Qur’an khususnya, dan Islam pada umumnya mengundang
pertanyaan bahkan terkadang kecurigaan. Secara psikologis munculnya
hal tersebut atau bahkan sikap skeptis terhadap temuan para sarjana
orientalis adalah hal yang wajar, karena setiap orang yang beragama,
termasuk umat Islam, memiliki sentimen keagamaan guna
mempertahankan eksistensi dan keagungan agama yang dianutnya dan
memeliharanya dari gangguan orang lain. Hanya saja, kecurigaan umat
Islam itu akan dipandang berlebihan dan sudah barang tentu negatif
apabila mereka bersikap apriori terhadap setiap karya atau pandangan
orientalis tentang al-Qur’an, tanpa memahami dan menganalisisnya secara
lebih teliti dan kritis.
Di antara faktor yang mendorong kita untuk bersikap kritis terhadap
produk-produk pemikiran dan metodologi para orientalis dalam mengkaji
Islam adalah kemungkinan adanya sikap mereka yang tidak komprehensif
dalam memaparkan data-data yang berkaitan dengan topik pembahasan
tertentu, kemungkinan terjadinya ketidaktepatan (improportionality)
interpretasi mereka terhadap data-data obyektif, dan kemungkinan adanya
inkonsistensi metodologis, di mana ketiga hal tersebut (obyektivitas,
interpretasi proporsional dan konsistensi metodologis) merupakan suatu
keharusan dalam sebuah kajian ilmiah.
Dalam hal ini sikap kritis pada setiap karya para orientalis, baik yang
berkaitan dengan Islam pada umumnya dan al-Qur’an pada khususnya,
jelas sangat diperlukan dalam dunia akademis. Sebab tidak dapat disangkal
bahwa perkembangan ilmu keagamaan, saya kira, antara lain merupakan

35
Rahman, Tema..., h, xiv.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

204
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

konsekuensi dari sikap kritis tersebut. Dengan kata lain, kritik yang
sebaiknya diarahkan pada mereka itu bukan didasarkan atas alasan mereka
tidak beragama Islam, tetapi didorong semangat untuk mencari kebenaran
ilmiah. Dengan demikian, kritik yang dihasilkan tidak bersifat emosional,
tetapi bersikap akademis.
Pendekatan yang dilakukan oleh Wansbrough yang diungkap Rippin
adalah skeptisisme, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan mengenai
ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. Pandangan ini sama dengan
John Burton yang memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber
Muslim tentang pengumpulan al-Qur’an.36 Namun demikian pandangan
seperti ini berbeda dengan pandangan yang telah berkembang jauh di Barat
dan keyakinan Muslim. Pendekatan historis dalam keislaman
menimbulkan nilai yang berbeda tergantung bidang apa yang dikaji.
Metode ini memiliki kelemahan di mana menampakkan sisi luar dari
fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan
makna yang essensial dan substansial. Kekurangan tersebut sering juga
didukung oleh ketidaktersediaannya sumber kajian yang lengkap dan
sumber yang salah.
Adanya perbedaan pandangan tersebut disebabkan penggunaan biblical
criticism. John Wansbrough menolak mushaf Utsmani. Ia mengundurkan
penulisan al-Qur’an selama tiga ratus tahun kemudian. Hal ini
diidentikkan dengan kodifikasi perjanjian lama yang ditulis selama 900
tahun yang diambil dari tradisi lisan. Inilah tesis lain dari apa yang
diungkapkan Wansbrough selain adanya perpaduan tradisi Yahudi dan
Kristen dalam al-Qur’an. Adapun metode literary analysis diterapkan John
Wansbrough dalam menganalisis cerita-cerita yang diungkapkan dalam al-
Qur’an. Menurutnya, adanya perbedaan cerita dalam al-Qur’an
menunjukkan adanya perpaduan tradisi di dalamnya.
Beberapa pendapat John Wansbough di atas dikritik oleh Watt dengan
mengatakan bahwa asumsi yang dilakukannya adalah meragukan
walaupun kajiannya dilakukan secara ilmiah. Penyanggah lain adalah
Bucaille, ia menyetarakan Bibel dengan Hadis. Sedangkan al-Qur’an tidak

36
Muhammad al-Fatih Suryadilaga, “Pendekatan Historis John Wansbrough
Dalam Studi al-Quran”, dalam Abdul mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-
Quran Kontemporer. Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2002), h. 218

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

205
Sulaiman Ibrahim

dapat disangkal keotentikannya dan telah ada dan telah ditulis sejak zaman
Nabi Muhammad Saw. dan dikumpulkan oleh sahabat-sahabat pada masa
nabi hidup.
Penutup
Sikap kritis pada setiap karya para orientalis, baik yang berkaitan dengan
Islam pada umumnya, dan al-Qur’an pada khususnya, jelas sangat
diperlukan dalam dunia akademis. Sebab tidak dapat disangkal bahwa
perkembangan ilmu keagamaan, saya kira, antara lain merupakan
konsekuensi dari sikap kritis tersebut. Dengan kata lain, kritik yang
sebaiknya diarahkan pada mereka itu bukan didasarkan atas satu alasan,
yaitu bahwa mereka tidak beragama Islam, tetapi didorong semangat untuk
mencari kebenaran ilmiah. Dengan demikian, kritik yang dihasilkan tidak
bersifat emosional, tetapi bersikap akademis.
Kajian terhadap kitab suci sebuah agama terkadang menimbulkan persepsi
yang berbeda antar pengkaji luar dan pengkaji dalam. Dalam kasus al-
Qur’an, perspektif sarjana Islam, yakni orang Muslim sendiri tentunya
dibarengi dengan pemihakan terhadap kebenaran kitab sucinya, dan
berkeyakinan bahwa al-Qur’an diturunkan secara tawqifi. Berbeda dengan
peneliti Barat -dalam hal ini Wansbrough- tidak sepenuhnya menerima
salinan final al-Qur’an perspektif Muslim. Bahkan mereka berusaha
mencari data-data historis untuk melihat kekurangan-kekurangan yang ada
pada al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Jakarta: Pustaka


Alvabet, 2005.
_______________. “Al-Quran di Mata Barat: Kajian Baru Wasbrough”,
Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. I, No. 4, 1994,
Al-A’zami, M.M. Sejarah Teks al-Qur'an Dari Wahyu Sampai Kompilasi,
Kajian Perbandingan Dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 2005

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

206
Sejarah Teks Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Wansbrough

Bell, Richard. “Muhammad Vision’s.” Dalam Paret, Rudi (ed). Der Koran.
Darristadt: Wissenchaflecthe-Bucgesselchaft, 1975
Boullata, Issa J. Resensi terhadap Qur’anic Studies, dalam The Muslim
World, no. 67, 1977.
Crone, Patricia dan Cook, Michael. “Hagarism: the Making of the Islamic
World”, dalam Boullata, Issa J (ed). An Anthology of Islamic
Studies Part. I No.5. Canada: McGill Indonesia IAIN Development
Project, 1992,
Said, W. Orientalisme. Bandung: Pustaka Salman, 1996
Syamsuddin, Sahiron dkk. Hermenutika al-Qur’an Mazhab Yogya.
Yogyakarta: Islamika, 2003
Mustaqim, Abdul dan Syamsuddin, Sahiron (ed.). Studi al-Quran
Kontemporer. Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Rippin, Andrew. “Literary Analysis of the Quran, Tafsir and Sira; The
Methodologies of John Wansbrough”, dalam Martin, Richard C.
Approaches to Islam in Religious Studies. Berkeley: University of
Arizona Press, 1985
___________. “Lexicoghraphical Texts and The Qur’an” dalam Rippin,
Andrew (ed). Approaches to the History the Interpretation of the
Qur’an. Clarendon Press, Oxford, 1988
Wansbrough, John. Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation. Oxford: Oxford Univ Press, 1977.
Watt, W. Montgomery. Richard Bell: Pengantar Quran. Jakarta: INIS,
1989
http://en.wikipedia.org/wiki/John_Wansbrough

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

207

Anda mungkin juga menyukai