Anda di halaman 1dari 8

KEKERASAN PADA ANAK

Jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah pada tahun 2004 mencapai
48.526 kasus (Depsos, 2004). Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi, seperti fenomena gunung es
(the tip of ice berg) mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan maupun sengaja dirahasiakan
karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.

PENGERTIAN
Tindak kekerasan terhadap anak adalah perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja
(verbal dan non verbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa
serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia,
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, berdampak trauma
psikologis bagi korban

BENTUK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK


1. Fisik (dianiaya di luar batas : dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit,
dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dsb).
2. Psikis (dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak
dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dsb).
3. Seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas
payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex, dijual
pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang dan
pelecehan seksual lainnya).
4. Ekonomi (dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi
pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dsb).

DAMPAK TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK


Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman
traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan-permasalahan
lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.
Stigma yang melekat pada korban :
1. Stigma Internal
a. Kecenderungan korban menyalahkan diri.
b. Menutup diri.
c. Menghukum diri.
d. Menganggap dirinya aib, dsb.
2. Stigma Eksternal
a. Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
b. Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban
secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban

ETIOLOGI
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di
antaranya adalah teori yang behubungan dengan stress dalam keluarga (family stress).
Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang
terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan
penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis
atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau

1
perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan
sikap disiplin.
3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja)
atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.

Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan
ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai
bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sahlah untuk mendera anak. Dengan
sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada
pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan
keluarganya

TANDA – TANDA PERLAKUAN SALAH PADA ANAK


Pada saat ditanyakan tentang bagaimana kejadiannya sampai perlukaan tersebut bisa
terjadi, biasanya orang tua atau wali yang mengantar anak itu akan memberikan jawaban yang
tidak konsisten dan tidak klop antara kedua orang tua dengan kata lain jawabannya “ngarang”.
Untuk anak yang berusia diatas 3 tahun kita dapat menanyakan kejadiannya pada korban, tapi ini
dilakukan di ruang terpisah dari tersangka pelaku (private setting). Juga, anak yang menjadi
korban ini di bawa untuk mendapatkan perawatan tidak dengan segera atau ada jarak waktu
antara kejadian dengan upaya melakukan pertolongan.
Berikut ini tanda-tanda yang sering didapatkan pada anak yang mendapat perlakuan
salah:
♠ Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang
kepala, gegar otak, atau perdarahan otak.
♠ Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin, mulai
dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang.
♠ Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi
dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi.
♠ Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk
yang khas menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu
lidi, setrika, atau sundutan rokok.
♠ Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan
yang ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih
baru ada pula yang hamper menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks).
Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum seperti halnya
luka-luka akibat jatuh atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah
dalam, punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya

PELANGGARAN UU NO 22 THN 23 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK


Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahkan
mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana penjara atau denda yang
tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah
sepertiganya (pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak), sebagai berikut:
(1). Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
(2). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00.

2
(3). Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama
10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004. Pidana dapat ditambah sepertiga
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya).

UPAYA PENCEGAHAN
Bagi masyarakat, keluarga, atau orang tua diperlukan kebijakan, layanan, sumberdaya, dan
pelatihan pencegahan kekerasan pada anak yang konsisten dan terus menerus. Strategi
pencegahan ini meliputi :
♠ Pencegahan primer
Untuk semua orang tua dalam upaya meningkatkan kemampuan pengasuhan dan
menjaga agar perlakuan salah atau abuse tidak terjadi, meliputi perawatan anak dan layanan
yang memadai, kebijakan tempat bekerja yang medukung, serta pelatihan life skill bagi anak.
Yang dimaksud dengan pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan,
ketrampilan menangani stress, manajemen sumber daya, membuat keputusan efektif,
komunikasi interpersonal secara efektif, tuntunan atau guidance dan perkembangan anak,
termasuk penyalahgunaan narkoba.
Pencegahan sekunder
Ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya meningkatkan
ketrampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar
perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikut. Kegiatan yang dilakukan di sini di
antaranya dengan melalukan kunjungan rumah bagi orang tua yang baru mempunyai anak
untuk melakukan self assessment apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di
kemudian hari.
Pencegahan tersier
Dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan yang menjaga agar
perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah layanan terpadu untuk anak
yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan tatalaksana stres.

PROGRAM DEPSOS RI
Program Rehabilitasi Sosial :
1. Temporary Shelter (Tempat Perlindungan Sementara).
2. Pelayanan Lainnya, seperti : Program penjangkaun yang dilakukan
LSM, Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK) dari pihak kepolisian, Pusat Krisis Terpadu
(PKT) RSCM, RS Polri Kramat jati, dan Rumah Sakit lainnya, Lembaga Bantuan
Hukum, Krisis-krisis Center, Shelter-shelter, dsb.
3. Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).
4. Panti Perlindungan dan Rehabilitasi untuk Anak Korban Tindak
Kekerasan

Program Reintegrasi Sosial :


1. Penjajagan keluarga/keluarga pengganti.
2. Kontrak sosial khusus untuk keluarga/keluarga pengganti.
3. Pendampingan oleh pekerja sosial.
4. Monitoring berkala terhadap proses kemajuan anak.
5. Evaluasi pencapaian tujuan.
6. Terminasi bilamana keluarga/keluarga pengganti sudah dapat melakukan fungsi dan
perannya dengan baik

INDIKATOR KEBERHASILAN

3
Bagi Anak :
1. Sembuhnya trauma anak, baik fisik maupun psikis
2. Penempatan anak dalam keluarga sendiri, keluarga asuh, keluarga angkat atau panti sosial
asuhan anak berdasar pada kepentingan yang terbaik untuk anak
3. Terpenuhinya semua kebutuhan fisik, mental dan sosial secara optimal
4. .Semakin meningkatnya kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya

Bagi Orang tua/ Keluarga :


1. Terpenuhinya semua kebutuhan fisik, mental, sosial dan ekonomi secara optimal
sehingga memungkinkan untuk melaksanakan peran sosial orang tua/keluarga secara
wajar, khususnya peranan pengasuhan dan perlindungan anak.
2. Terpecahkannya masalah dalam interaksi dengan anak dan komunitas sehingga
memungkinkannya untuk melaksanakan peranan-peranan sosial orang tua/keluarga secara
wajar

Bagi Umum :
1. Meningkatnya partisipasi masyarakat, khususnya Organisasi Sosial/Lembaga Swadaya
Masyarakat dalam berbagai aspek perlindungan anak
2. Meningkatnya dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam perlindungan anak
3. Meningkatnya kemampuan profesional semua pihak yang mengelola dan melaksanakan
berbagai bentuk perindungan anak

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Physical Neglect. Tidak terpenuhinya makanan, pakaian, tempat perlindungan,
perawatan kesehatan atau pendidikan.
Pada pengkajian ditemukan data:
− Anak mengalami gangguan/gagal pertumbuhan
− Terdapat tanda-tanda malnutrisi seperti ekstremitas kurus, distensi
abdomen, lemak dibawah kulit tidak ada.
− Personal hygiene jelek, terutama gigi.
− Baju tidak bersih atau tidak serasi.
− Perawatan kesehatan jelek, seperti anak tidak mendapat imunisasi,
tidak ada penanganan infeksi.
− Sering terjadi injury akibat pengawasan yang kurang.
− Anak tidak aktif dan terlihat mengantuk.
− Mengisap jari.
− Memohon atau mencuri makanan
− Sering bolos sekolah.
− Ketergantungan alcohol atau obat-obatan.
− Suka merusak.

2. Emotional neglect. Orangtua gagal untuk memberikan kebutuhan affective,


attention, emotional juga termasuk didalamnya kemampuan orang tua untuk melatih
adaptasi pada anak.

4
Pada pengkajian ditemukan data:
− Anak mengalami gangguan/gagal pertumbuhan.
− Anak mengalami kelainan makan.
− Enuresis.
− Gangguan tidur.
− Mengisap/menggigit-gigit jari.
− Berayun-ayun.
− Kurang senyum dan takut akan orang asing.
− Menarik diri.
− Selalu terlihat ketakutan.
− Perilaku antisocial seperti merusak, mencuri, kerilaku kejam.
− Perilaku ekstrim seperti agresif.
− Gangguan emosional dan perkembangan intelektual terutama bahasa.
− Keinginan bunuh diri.

3. Physical abuse.
Pada pengkajian ditemukan data:
− Memar pada muka, bibir, , pantat
− Adanya luka akibat pukulan : sabuk, sapu, rantai, balok kayu.
− Luka bakar akibat sulutan api rokok, setrika pada kaki, telapak
tangan, bagian belakang atau pantat.
− Fraktur dan dislokasi.
− Anak takut kontak dengan orang dewasa.
− Takut pulang kerumah/pada orang tua.
− Anak terlihat mengantuk.
− Hubungan yang dangkal.
− Perilaku menarik diri.

4. Sexual abuse
Pada pengkajian ditemukan data:
− Memar, perdarahan, iritasi, genitalia eksterna, anus, mulut atau
kerongkongan.
− Nyeri saat berkemih.
− Sulit berjalan.
− Terdapat tanda-tanda infeksi saluran kemih.
− Terdapat tanda-tanda PHS.
− Tanda-tanda kehamilan.
− Perilaku menarik diri, melamun.
− Hubungan yang jelek dengan golongan usia yang sama.
− Terjadi perubahan yang tiba-tiba seperti pobia pada ruangan gelap/laki-
laki/orang asing, kecemasan dan penurunan BB.
− Lari dari rumah.
− Ketergantungan obat dan alcohol
− Depresi, bermusuhan, perilaku agresif.
− Perilaku bunuh diri.

5
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam fungsi peran dan
pola interaksi, kebutuhan tidak terpenuhi.
Ditandai dengan : gelisah; insomnia; tremor pada tangan; anoreksia; berkeringat;
peningkata nadi; kesulitan untuk berkonsentrasi; penurunan perhatian.
Tujuan/kriteria evaluasi:
♠ Ansietas berkurang dengan kriteria menunjukkan kontrol agresi yaitu
kemampuan untuk menahan perilaku kekerasan atau perilaku destruktif pada orang
lain; menunjukkan kontrol ansietas yaitu kemempuan untuk menghilangkan atau
mengurangi perasaan khawatir dan tegang dari suatu sumber yang tidak dapat
diidentifikasi.
♠ Menunjukkan kontrol ansietas, dibuktikan dengan indikator
pendemonstrasian sebagai berikut (dengan ketentuan 1-5: tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, sering atau secara konsisten):
• Merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stres;
• Mempertahankan penampilan peran;
• Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori;
• Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik;
• Manifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada.
Intervensi Keperawatan:
♠ Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
♠ Instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi.
♠ Kolaborasi : berikan obat untuk mengurangi ansietas, sesuai dengan
kebutuhan.
♠ Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan
yang tenang.
♠ Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
♠ Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang mencetuskan
ansietas.
♠ Beri dorongan kepada orang tua untuk menemani anak, sesuai dengan
kebutuhan.

2. Ketakutan (anak) berhubungan dengan ancaman nyata/imajiner terhadap kesejahteraan


diri, ketidakberdayaan.
Ditandai dengan:
♠ DS: takut; gusar; khawatir; menurunnya keyakinan diri; meningkatnya
tekanan; perasaan menyeramkan.
♠ DO: perilaku menyerang; tidur berkeringat; konsentrasi pada sumber
ketakutan; agresi; menarik diri; meningkatnya denyut nadi; gugup; panik; gemetar;
waspada;, melotot.
Tujuan/kriteria evaluasi: Pasien akan memperlihatkan pengendalian ketakutan dibuktikan
dengan indikator sebagai berikut (ketentuan 1-5; tidak pernah, jarang, kadang-kadang,
sering, atau secara konsisten menampilkan):
♠ Mencari informasi untuk menurunkan ketakutan;
♠ Menghindari sumber ketakutan bila mungkin;
♠ Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan ketakutan;
♠ Melaporkan penurunan durasi episode;
♠ Melaporkan peningkatan lamanya waktu antara episode;
♠ Mempertahankan kontrol terhadap kehidupan;
6
♠ Mengendalikan respons ketakutan;
♠ Tetap produktif.
Intervensi Keperawatan:
♠ Kaji respons subyektif dan obyektif pasien.
♠ Tetap bersama pasien selama dalam situasi baru.
♠ Jauhkan sumber ketakutan pasien apabila memungkinkan.
♠ Sering berikan penguatan verbal dan nonverbal yang dapat membantu
menurunkan ketakutan pasien.
♠ Gunakan pendekatan yang tenang, meyakinkan.dukung untuk
menyatakan perasaan, persepsi dan ketakutan secara verbal.
♠ Kurangi stimulus dalam lingkungan yang dapat disalahinterpretasikan
sebagai ancaman.

3. Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan anak yang tidak diinginkan,


penggunaan kekerasan untuk menangani konflik, penganiayaan fisik atau pelecehan
seksual pada anak.
Ditandai dengan:
♠ DS: depresi
♠ DO: agresi/bermusuhan; agitasi; intoleransi; penolakan.
Tujuan/kriteria evaluasi:
Keluarga akan;
♠ Menyadari kebutuhan unit keluarga;
♠ Menyadari kebutuhan pasien;
♠ Menunjukkan kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan;
♠ Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan;
♠ Berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang efektif.
Interpensi Keperawatan:
♠ Kaji interaksi antara pasien dan keluarga.
♠ Diskusikan dengan keluarga tentang cara yang efektif untuk
menunjukkan perasaan.
♠ Laporkan indikasi kekerasan fisik/seksual yang diatur oleh hukum
kepada pejabat yang tepat.
♠ Pada diskusi keluarga, mulai dengan subjek yang paling tidak
mengancam secara emosi.
♠ Bantu keluarga dalam mengenal masalah (misalnya penatalaksanaan
konflik kekerasan, kekerasan seksual).
♠ Anjurkan keluarga untuk memperlihatkan perhatian dan untuk
membentu merencanakan perawatan pascahospitalisasi.
♠ Bantu motivasi keluarga untuk berubah.
♠ Bantu keluarga dalam menemukan cara terbaik untuk menangani
perilaku disfungsional.
♠ Bantu anggota keluarga dalam mengklarifikasi apa yang mereka
harapkan dan butuhkan satu sama lain.
♠ Tingkatkan harapan yang realistis.;
♠ Dengarkan keluhan, perasaan dan pertanyaan keluarga;
♠ Jawab semua pertanyaan anggota keluarga atau bantu mereka untuk
memperoleh jawaban;

7
♠ Beri umpan balik kepada keluarga yang berkaitan dengan koping
mereka.

4. Ketidakefektifan koping individu (pelaku penganiayaan) berhubungan dengan riwayat


penganiayaan oleh keluarga sendiri, kekurangan rasa cinta dari keluarga sendiri, harapan
yang tidak realistis terhadap anak.
Ditandai dengan:
♠ DS: perubahan dalam kebiasaan pola komunikasi; kelelahan;
mengunkapkan ketidakmampuan untuk mengatasi atau meminta bantuan secara
verbal.
♠ DO: perilaku merusak terhadap diri dan orang lain; ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar; ketidakmampuan untuk memenuhi peran yang
diharapkan; ketidakadekuatan menyelesaikan masalah; konsentrasi yang lemah;
berani mengambil risiko; gangguan tidur; menggunakan bentuk koping yang
menyimpang dari perilaku adaptif.
Tujuan/kriteria evaluasi:
Menunjukkan koping yang efektif, ditandai dengan indikator sebagai berikut
(ditunjukkan dengan ketentuan 1-5; tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau
secara konsisten):
♠ Mengidentifikasi pola koping yang efektif (dan tidak efektif).
♠ Mencari informasi terkait dengan penyakit dan pengobatan.
♠ Menggunakan perilaku untuk menurunkan stres.
♠ Mengidentifikasi dan menggunakan berbagai strategi koping.
♠ Melaporkan penurunan perasaan negatif.
Intervensi keperawatan:
♠ Pantau perilaku agresif
♠ Evaluasi kemempuan dalam membuat keputusan.
♠ Anjurkan untuk menggunakan teknik relaksasi, sesuai dengan kebutuhan.
♠ Bantu dalam mengembangkan rencana untuk menerima atau mengubah
situasi.
♠ Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
♠ Ciptakan suasana penerimaan.
♠ Bantu penyaluran kemarahan dan rasa bermusuhan secara konstruktif.
♠ Dukung penggunaan mekanisme pertahanan yang sesuai.
♠ Dukung pengungkapan secara verbal tentang perasaan, persepsi dan
ketakutan.
♠ Bantu untuk mengklarifikasi kesalahpahaman.

Anda mungkin juga menyukai