Anda di halaman 1dari 11

Seminar Nasional

Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif


Surakarta, 31 Maret 2015

FILSAFAT DAN SASTRA LOKAL (BUGIS) DALAM PERSPEKTIF


SEJARAH

H.Muhammad Bahar Akkase Teng


Dosen Filsafat, filsafat Islam, Filsafat Sejarah
pada jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
Hp: 08124246613. Email : baharakkase@gmail.com.

Abstrak

Dalam makalah ini akan dibahas filsafat, kepercayaan, mitos, sastra lokal (Bugis). Dalam
kehidupan masayarakat Bugis pada awalnya memiliki sejumlah mitos. Sure’ Galigo
menjelaskan tentang awal mula dihuninya negeri Bugis. Dalam Sastra Bugis jenis sastra
sejarah ini dikenal dengan Lontaraq. I la Galigo adalah sebuah cerita tentang sebuah cara
hidup, keberadaan masyarakat bugis dengan cara hidupnya, dieskpresikan dalam tradisi
tutur dan tulis yang mereka kembangkan menjadai sastra lokal. Pada abad ke-19 (pendudukan
Belanda), tradisi tutur I la Galigo disatukan untuk kemudian dituliskan dalam sebuah
kumpulan naskah sepanjang 6000 halaman atau 12 jilid. Pada akhir abad ke- 20, atas
prakarsa beberapa lembaga (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah
Sulawesi Selatan), naskah yang tersimpan di Belanda tersebut, akhirnya dibuka kembali.
Sayangnya baru satu jilid yang berhasil diterjemahkan.

Dalam Filsafat hidup, orang Bugis di masa lampau, telah mengenal dan memiliki nilai-
nilai motivatif yang terkandung dalam filsafat etika ( pangaderrang/ bertingkah laku
terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya.) memiliki 4 (empat) asas sekaligus
pilar yakni: (1) mappasilasae,( keserasian hidup dalam bertingkah laku), (2) Mappasisaue,
yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap
pelanggaran ade’ (3) Mappasenrupae, yakni mengamalkan ade’ bagi kontinuitas pola-pola
terdahulu yang dinyatakan dalam rapang; (4) Mappalaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam
memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial.

Kepercayaan dan Mitos tentang Tomanuung (manusia yang turun) merupakan unsur yang
menguatkan nilai kebudayaan Bugis. Mitos Galigo tertulis di dalam sure’ Galigo, Tokoh
sentral di dalamnya adalah Sawerigading yang berkeinginan mempersunting adik kandung
perempuannya, tetapi karena dicegah, akhirnya berhasil memindahkan perasaan cintanya
kepada seorang gadis Cina yang bernama We Cudai’. Pada peristiwa Tomanurung di Luwu
tampak dengan jelas masalah kekeluargaan dan kekerabatan yang tampil lebih banyak
dipersoalkan, sesudah pengisisan kawa (dunia tengah) ini. Simpuru’siang masih tetap berada
dalam hubungan suasana Botilangi’ (dunia atas) dan Buri’liung (dunia bawah). Ana’kaji
masih mengulang pengalaman Sawerigading ketika ditinggalkan oleh isterinya. Corak lebih
bercorak kepercayaan, Gowa dan Bone bercorak politik, Soppeng bercorak ekonomi, dan
Wajo bercorak politik dan ekonomi.

Dilihat dari tradisi perkembangannya, sastra bugis kuno menempuh dua cara yaitu, tradisi
lisan dan tradisi tulis, dan keduanya ada yang berkembang seiring dengan waktu yang
bersamaan. dibagi menjadi tiga periode (1)ditandai dengan munculnya karya sastra bugis

192 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

yang kemudian disebut karya sastra galigo, antara abad ke-7 hingga abad ke-10.(2) zaman
tomanurung, ditandai dengan munculnya sebuah bentuk pustaka bugis yang berbeda dengan
pustaka galigo (sastra). Dalam periode ini muncul dua bentuk pustaka bugis, ada yang
tergolong karya sastra yang disebut tolok dan yang bukan karya sastra yang disebut
lontarak.(3) pau-pau atau pau-pau rikadong serta pustaka lontarak yang berbau islami. Selain
itu ada perkembanga baru sastra bugis dalam bentuk prosa. Pada umumnya, sastra prosa ini
merupakan saduran dari sastra Melayu kuno atau sastra Parsi.

Sastra Bugis klasik meliputi Sure’ Galigo, Lontarak, Paseng/Pappaseng Toriolota/ Ungkapan,
dan Elong/syair. Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang dikenal sebagai epik terpanjang di
dunia), Lontarak. Kearifan itu memiliki kedudukan yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan
masih sesuai dengan perkembangan zaman. Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing) Dalam
bahasa Bugis, arti mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik),
nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat
jahat), (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau
itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Kata Kunci : Filsafat, Kepercayaan dan Mitos, Sastra Lokal (Bugis) dan Sejarah

Pendahuluan dunia atas (botilangi’), dunia tengah (lino


atau ale kawa) yang didiami manusia, dan
Sebelum Islam datang ke Nusantara
dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia
khususnya di Sulawesi selatan (abad ke-
mempunyai penghuni masing-masing yang
17M) masyarakat bugis sudah memiliki
satu sama lain saling mempengaruhi dan
“kepercayaan asli” dan menyebut Tuhan
pengaruh itu berakibat pula terhadap
dengan sebutan ‘Dewata SeuwaE’, yang
kelangsungan kehidupan manusia.
berarti Tuhan kita yang satu. Tuhan Yang
Dalam kehidupan masayarakat
Maha Esa secara monoteistis. Menurut
Bugis pada awalnya memiliki sejumlah
Mattulada, kepercayaan orang Bugis masa
mitos. Sure’ Galigo menjelaskan tentang
Pra-Islam seperti telah digambarkan dalam
awal mula dihuninya negeri Bugis, ketika
Sure’ La Galigo, sejak awal telah
Batara Guru dari Botilangi’ (dunia atas)
mempunyai suatu kepercayaan Dewa
bertemu di tanah Luwu dengan ,
(Tuhan) yang tunggal, seperti berikut :
We’Nyelli’ timo dari Buri’liung (dunia
PatotoE (Dia yang menentukan Nasib),
bawah), Simpuru’siang di Luwu.
Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal), To-
Sengngridi di Bone. Petta Sekkanyili di
Palanroe (sang pencipta) dan lain-lain.
Soppeng, Puteri Temmalate di Gowa,
Kepercayaan orang Bugis kepada
semuanya adalah Tomanurung yang
“Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta
membentuk masyarakat Bugis Makassar.
kepercayaan “Patuntung” orang Makassar
Dalam sastr a Nusantara cukup
sampai saat ini masih ada saja bekas-
banyak jenis sejarah, seperti dalam sastra
bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara
Jawa, Sunda, Bali, Madura dan Lombok.
adat. Kedua kepercayaan asli tersebut
Khusus dari sastra daerah lokal di atas
mempunyai konsep tentang alam semesta
menggunakan kata babad. Dalam sastra
yang diyakini oleh masyarakat
Jawa di samping kata babad digunakan kata
pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu
lain sebagai kata awal judulnya, yaitu,

193 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

sejarah, pustakaraja. Hal ini seperti kita Pada akhir abad 20, atas prakarsa
baca dalam sebuah katalogus yang berjudul beberapa lembaga (Kementrian Pendidikan
“ Katalogus Naskah Kitab Babad Museum dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah
Pusat “ misalnya “ Babad tanah Jawi” dan Sulawesi Selatan), naskah yang tersimpan
“ Pustakaraja Wasana” Dalam sastra di Belanda tersebut, akhirnya dibuka
Sunda, selain kata babad sebagai kata awal kembali. Sayangnya baru satu jilid yang
judulnya, juga digunakan kata lain seperti , berhasil diterjemahkan. Sisanya masih tetap
sejarah, cerita, pancakaki (pertalian tersimpan dan tidak terakses oleh
kekerabatan/hubungan genealogis). Dalam masyarakat itu sendiri maupun masyarakat
Edwar Djamaris (2007) misalnya; Sastra Indonesia lainnya. Tertutupnya akses atas
sejarah Sunda ialah “ Cerita Dipati Ukur “ naskah tersebut, tidak berarti mematikan
oleh Ekajati (1982) Dalam Sastra Bali, tradisi awal tentang cara hidup yang tetap
Worsley (1972) telah mengungkapkan bertumbuh dan melebur menjadi
dalam desertasinya mengenai “babad kebudayaan Bugis sebagaimana yang kita
buleleng” . Dalam sastra Lombok dikenal kenal saat ini. Filsafat dasar ataupun nilai-
“babad Lombok (1979)”, di Madura dengan nilai yang mengatur pranata hidup
judul “ Babad Madura”. masyarakat Sulawesi Selatan tetap mengacu
Dalam Sastra Bugis jenis sastra pada kebiasaan lama, sebagaimana yang
sejarah ini dikenal dengan judul Lontaraq. dinarasikan oleh I la Galigo.
A. Zaenal, dalam Enre (1983:119).
Memperinci lontaraq ini dalam beberapa Filsafat hidup secara fundamental,
golongan, yaitu lontaraq attariolong dipahami sebagai nilai-nilai sosiokultural
(sejarah), lontaraq adeq (adat-istiadat), yang dijadikan oleh masyarakat
lontaraq ulu ada (perjanjian), lontaraq pendukungnya sebagai patron (pola) dalam
allopi-lpiang (pelayaran), lontaraq melakukan aktivitas keseharian. Demikian
penguriseng (silsilah), lontaraq palaoruma penting dan berharganya nilai normatif ini,
(pertanian), dan lontaraq belang (nujum). sehingga tidak jarang ia selalu melekat
kental pada setiap pendukungnya meski
Filsafat Hidup Masyarakat Bugis arus modernitas senantiasa menerpa dan
menderanya. Bahkan dalam
I la Galigo adalah sebuah cerita implementasinya, menjadi roh atau spirit
tentang sebuah cara hidup, filsafat yang untuk menentukan pola pikir dan
mendasarinya, serta nilai-nilai dasar yang menstimulasi tindakan manusia, termasuk
menjadi tonggak masyarakat Sulawesi dalam memberi motivasi usaha. Mengenai
Selatan. Keberadaan masyarakat ini dengan nilai-nilai motivatif yang terkandung dalam
cara hidupnya dieskpresikan dalam tradisi filsafat hidup, pada dasarnya telah dikenal
tutur dan tulis yang mereka kembangkan oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala
menjadai sastra local. Pada abad 19, dalam zaman “ajaib” berlangsung yakni lima
periode pendudukan Belanda, tradisi tutur I hingga enam ratus tahun sebelum masehi, di
la Galigo disatukan untuk kemudian seluruh belahan bumi muncul orang-orang
dituliskan dalam sebuah kumpulan naskah bijak yang mengajari manusia tentang cara
sepanjang 6000 halaman atau 12 jilid. hidup. Tak terkecuali orang Bugis, di masa
Naskah ini tidak tersentuh dan nyaris lampau juga telah memiliki sederet nama
dilupakan kehadirannya karena sejak orang bijak yang banyak mengajari
pembuatannya naskah tersebut tersimpan di masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini
perpustakaan di Belanda. tercermin melalui catatan sejarah bahwa

194 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

perikehidupan manusia Bugis sejak dahulu, Mitos tentang Tomanuung


merupakan bagian integral dan tidak dapat merupakan unsur yang menguatkan nilai
dipisahkan secara dikotomik dari kebudayaan Bugis. Ia diyakini sebagai
pengamalan aplikatif pangaderrang. Makna cerita-cerita yang mengandung peristiwa-
pangaderrang dalam konteks ini adalah peristwa dan makna-makna yang aktual.
keseluruhan norma yang meliputi Mitos Galigo tertulis di dalam sure’ Galigo.
bagaimana seseorang harus bertingkah laku Bermacam-macam penilaian dalam surat
terhadap sesama manusia dan ter-hadap ini. Tokoh sentral di dalamnya adalah
pranata sosialnya yang membentuk pola Sawerigading yang berkeinginan
tingkah laku serta pandangan hidup. mempersunting adik kandung
Demikian melekat-kentalnya nilai ini di perempuannya, tetapi karena dicegah,
kalangan orang Bugis, sehingga dianggap akhirnya berhasil memindahkan perasaan
berdosa jika tidak melaksanakan. cintanya kepada seorang gadis Cina yang
bernama We Cudai’.
Pengamalan secara aplikasi- Sebelum sure’ Galigo dibacakan,
implementatif pangaderrang sebagai ada beberapa tahapan kegiatan yang harus
falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 dilakukan, seperti; Orang menabuh gendang
(empat) asas sekaligus pilar yakni: (1) Asas dengan irama tertentu, dan membakar
mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ kemenyan. Setelah gendang berhenti, Sang
bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bissu mengucapkan pujaan dan meminta
bertingkah laku memperlakukan diri-nya ampun kepada dewa-dewa yang akan
dalam pangaderrang; (2) Mappasisaue, disebut-sebut namanya dalam pembacaan
yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ syair itu . Isinya melukiskan antara lain
untuk menimpahkan deraan pada tiap tentang awal mula ditempatinya negeri
pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam Luwu yang dipandang sebagai negeri Bugis
bicara. Azas ini menyatakan pedoman tertua.
legalitas dan represi yang dijalankan dengan Pada peristiwa Tomanurung di
konsekuen; (3) Mappasenrupae, yakni Luwu tampak dengan jelas masalah
mengamal-kan ade’ bagi kontinuitas pola- kekeluargaan dan kekerabatan yang tampil
pola terdahulu yang dinyatakan dalam lebih banyak dipersoalkan, sesudah
rapang; (4) Mappalaiseng, yakni pengisisan kawa (dunia ) ini. Simpuru’siang
manifestasi ade’ dalam memilih dengan masih tetap berada dalam hubungan suasana
jelas batas hubungan antara manusia dengan Botinglangi’ (dunia atas) dan Buri’liung
institusi-institusi sosial, agar terhindar dari (dunia bawah). Ana’kaji masih mengulang
masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. pengalaman Sawerigading ketika
Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap ditinggalkan oleh isterinya. Corak
variasi perilakunya manusia Bugis. Nilai- perkawinan sepupu tetap dipelihara, juga
nilai luhur yang terkandung dalam filsafat adalah warisan dari zaman Galigo.
hidup orang Bugis tersebut, menarik Kesulitan-kesulitan yang dihadapi
dihubungkan dengan etos kerja orang sudah tersedia tempat memulangkannya
Luwu, Bosowa, dan Ajattappareng sebagai secara langsung, termasuk keluarga mereka
salah satu pendukung kebudayaan Bugis di sendiri. Mereka namakan Datu Palanro
jazirah Sulawesi Selatan. (Sang Pencipta), Ajipatoto (Sang Pengatur),
Lapuange (Yang Dipertuan). Mereka
Konsep dan Persoalan Tomanurung memperkenalkan bahwa sumange’ berarti
ruh atau kehidupan; marapettang (dunia

195 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

gelap), padangria (dunia sana), bannapati munculnya matasilompo-e, manurungnge


(dunia yang kekal), riniyo (hati nurani yang Rimatajang, para matoa yang tujuh
suci murni). Kemudian ritus-ritus bersama disatukan di pusat pemerintahan yang
dengan benda-benda yag dipandang sakral, disebut Kawerrang, ibu kota kerajaan Bone.
seperti dupa, minyak, benang, curiga, Para Matoa itu kemudian menjadi ade’pitu
ana’beccing, laelae, sujikama, (tujuh Pemangku adat) di bawah pimpinan
patangngareng dan dapo’balibonga. Matasilompo-e sebagai mangkau’ (yang
Rupanya mitos berkaitan erat dengan berdaulat). Hubungan pemerintah kerajaan
berbagai penampilan ritualistik atau Bone dengan ade’ pitu (tujuh pemangku
seremonial. Mitos Luwu, kelihatannya lebih adat) sebagai hubungan persahabatan dan
bercorak kepercayaan, sehingga kami kekerabatan harus selalu terpelihara.
menamakan mitos kepercayaan. Dengan demikian kekauasaan raja Bone
Adapun corak mitos manurung di sangat kuat sampai keseluruh bagian
Gowa dan di Bone, menurut keadaan wilayahnya.
masyarakat yang mendahuluinya adalah Walaupun tampak kekerabatan
“sikanre juku’mi tauwwa (bahasa begitu kuat di dalam pemerintahan, namun
Makassar) atau “sianre baleni tauwwe kewajiban yang telah diamanatkan selalu
(bahasa Bugis)” .Suatu keadaan yang harus ijalankan. Raja harus menjaga
diumpamakan kehidupan ikan, ikan besar suapaya rakyat tetap utuh sehingga tidak
melahap ikan kecil, tetapi bilamana ikan seperti keadaan padi yang menjadi hampa
besar daam keadaan mati, maka ikan karena isinya dimakan burung. Raja harus
kecilpun sama berkerumun melindungi mereka dari setiap sesuatu yang
mengambilkesempatan untuk memakannya mengancam kehidupan supaya raja sebagai
Seluruh kehidupan masyarakat dalam selimut bagi mereka yang tertimpa dingin
keadaan krisis. Ortegay Gasett Sejarah pemerintahan Bone menjadi saksi,
berpandangan; bahwa manusia dalam apabila raja meanggar amanat itu. Bukan
keadaan kehidupan kososng dari pada saja seruannya tak disambut, malah rakyat
kompetensi dan stabilitas . menyerbunya dan dia dibunuh oleh
Semasa munculnya Tomanurung di neneknya sendiri. Baik Gowa maupun Bone
Gowa, para Gallarang yang sembilan, masih lebih memperlihatkan politik dan
tetap berkuasa dan memerintah negeri pemerintahan yang ditimpa krisis. Mitos di
mereka masing-masing. Mereka menjadi kedua negeri ini lebih bercorak politik dan
anggota Dewan Kerajaan, mereka berfungsi pemerintahan, sehingga kami
sebagai abdi (Kasuwiang), dan secara memandangnya sebagai mitos politik.
bersama-sama mereka disebut kasuwiang Krisis yang melanda Soppeng
Salapang (para Abdi yang Sembilan) berbeda dengan daerah lain, bukan krisis
masing-masing memiliki identitasnya kepercayaan , bukan pula krisis politik.
berupa panji-panji yang disebut bate, dan Hujan yang tidak turun selama tujuh tahun
secara bersama-sama pula mereka disebut yang menyebabkan sawah tidak berair dan
bate salapang (semblan pemegang panji) padi tidak dapat ditanam. Masyarakat
tidak mengherankan kalau semangat lama dilanda kelaparan yang berkepanjangan.
masih tetap hidup dalam struktur Mereka bermusyawarah untuk mendapatkan
pemerintahan baru di bawah karaeng Bayo jalan keluar dari krisis kelaparan. Arung
bersama Tomanurung Bila yang mengetahui bahwa yang sedang
Adapun corak pemerintahan di digegerkan oleh dua ekor burung Kakaktua
Bone berbeda dengan yang lainnya. Setelah adalah setangkai butir-butir padi, segera

196 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

memeritahkan supaya burung-burung terjadi, yang mendahuui kehadiran pribadi


tersebut diikuti ke arah mana mereka Tomanurung yang didambakan, yang
terbang. Burung itulah yang menjadi disertai kepercayaan penuh.
petunjuk sehingga para matoa menemukan
sebuah masyarakat yang makmur. Di Sastra Bugis Kuno dalam perspektif
Sakkanyili’ nama tempat yang makmur dan Kearifan Lokal
sejahtera itu bertakhta seorang raja.Para
Matoa memandang yang demikian itu suatu Dilihat dari tradisi
keistimewaan pada diri raja itu, lalu mereka perkembangannya, sastra bugis kuno
menyebutnya Petta Manurung di menempuh dua cara yaitu, tradisi lisan dan
Sekknyili’ . Krisis yang terjadi di Soppeng tradisi tulis, dan keduanya ada yang
adalah krisis ekonomi, sehingga mitos berkembang seiring dengan waktu yang
Tomanurung di sini kami sebut Mitos bersamaan. Pada dasarnya masa
Ekonomi. pertumbuhan dan perkembangan sastra
Krisis yang menimpa daerah wajo bugis kuno itu oleh beberapa pakar,
kelihatan berjalan bersama-sama antara diantanya; R.A. Kern. ilmuan asal Belanda,
krisis ekonomi dan krisis dibagi menjadi tiga periode ;
pemerintahan.Keadaan sianrebale dialami Periode awal yang ditandai dengan
juga oleh mereka seperti yang dialami di munculnya karya sastra bugis yang
Gowa dan di Bone. Keadaan itu ditandai kemudian disebut karya sastra galigo. Masa
ketika rakyat Sariameng telah ditinggalkan perkembangannya diperkirakan oleh
oleh pemimpinnya yaitu Puang beberapa pakar secara berbeda. Mattulada,
Lampulngeng yang dipandang sakti itu. misalnya memperkirakan antara abad ke-7
Kemudian baru menikmati lagi hingga abad ke-10 sezaman dengan
kemakmuran setelah tapil Puang perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu di
Timpengeng di negeri Boli’ yang sejahtera nusantara seperti Sriwijaya dan Syailendra.
itu.. Tetapi manakal Puang Timpengeng Berbeda halnya dengan pendapat
meningal, maka masyarakat kemai lagi Fakhruddin Ambo Enre yang
dilanda krisis ekonomi dan pemerintahan. memperkirakan sekitar abad ke-14 atau
Keadaan berlanjut, baru berakhir setelah masa perkembangan sastra galigo diduga
datangnnya La Pukke’. Tokoh Wajo yang sezaman kerajaan Malaka dan kerajaan
paling mengesankan dan utama adalah La Majapahit yang sebagaimana yang
Taddampare’ Puang Rimaggalatung. Baru disebutkan dalam naskah galigo.
sesudah empat kali rakyat mendesaknya, Periode kedua para pakar
beliau menerima jabatan Arung Matoa menyebutnya zaman tomanurung atau
Wajo. Wajo mengutamakan ekonomi di periode yang ditandai dengan munculnya
samping politik pemerintahan, sehingga sebuah bentuk pustaka bugis yang berbeda
Wajo memiliki keunikan di antara negeri- dengan pustaka galigo (sastra). Dalam
negeri Bugis lainnya. periode ini muncul atau berkembang dua
Corak mitos yang berlangsung di bentuk pustaka bugis, ada yang tergolong
Luwu, Gowa, Bone, Soppeng dan Wajo, karya sastra yang disebut tolok dan yang
dengan keunikannya masing-masing. bukan karya sastra yang disebut lontarak.
Dalam pengamatan di sini digunakan cara Periode ketiga. Ketika periode
sebagai erikut. Petunjuk yang dijadikan lontarak berkembang beberapa lama,
dasar buat menetapkan corak-corak tersebut muncul pula bentuk pustaka bugis yang lain
adalah kesulitan atau jenis krisis yang dari kedua bentuk karya sastra yang

197 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

berkembang sebelumnya (galigo dan tolok), mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti
yakni pau-pau atau pau-pau rikadong serta nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa
pustaka lontarak yang berbau islami. Selain madeceng (niat atau pikiran yang baik)
itu ada perkembanga baru sastra bugis sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat
dalam bentuk prosa. Pada umumnya, sastra jahat), (niat atau pikiran bengkok). Dalam
prosa ini merupakan saduran dari sastra berbagai konteks, kata bawaan hati, niat
Melayu kuno atau sastra Parsi atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik
Kearifan lokal, atau dalam bahasa hati, bersih hati atau angan-angan dan
asing sering juga dikonsepsikan sebagai pikiran yang baik.
kebijaksanaan setempat “local wisdom”
atau pengetahuan setempat “local Tindakan bawaan hati yang baik
knowledge” atau kecerdasan setempat dari seseorang dimulai dari suatu niat atau
“local genious, merupakan pandangan itikad baik (nia’ mapaccing), yaitu suatu
hidup,dan ilmu pengetahuan. Kearifan niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan
lokal di berbagai daerah di seluruh sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat
Nusantara merupakan kekayaan budaya manusia. Bawaan hati yang baik
yang perlu diangkat kepermukaan sebagai mengandung tiga makna, yaitu a)
bentuk jati diri bangsa.(Mashadi, 1998) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan
c) mengatur emosi-emosi.
Kearifan budaya adalah energi
potensial dari sistem pengetahuan kolektif Pertama, manusia menyucikan dan
masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai memurnikan hatinya dari segala nafsu-
yang membawa kelangsungan hidup yang nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-
berperadaban; hidup damai; hidup rukun; kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang
hidup penuh maaf dan pengertian; hidup baik diasosiasikan dengan tameng (pagar)
bermoral; hidup saling asih, asah, dan asuh; yang dapat menjaga manusia dari serangan
hidup dengan orientasi nilai-nilai yang sifat-sifat tercela. Ia bagai permata
membawa pada pencerahan;hidup dalam bercahaya yang dapat menerangi dan
keragaman;; hidup harmoni dengan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia
lingkungan; hidup untuk menyelesaikan bagai air jernih yang belum tercemar oleh
persoalan-persoalan berdasarkan mozaik noda-noda atau polusi. Segala macam hal
nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu yang dapat menodai kesucian itu harus
tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat dihindarkan dari hati, sehingga baik
sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan perkataan maupun perbuatan
kultur lokal. dapat terkendali dengan baik.

Sastra Bugis klasik meliputi Sure’ Kedua, manusia sanggup untuk


Galigo, Lontarak, Paseng/Pappaseng mengejar apa yang memang
Toriolota/ Ungkapan, dan Elong/syair. direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri
Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang dan ke kanan. Lontara’ menyebutkan:
dikenal sebagai epik terpanjang di dunia), “Atutuiwi anngolona atimmu; aja’
Lontarak, Kearifan itu memiliki kedudukan muammanasaianngi ri ja’e padammu rupa
yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan tau nasaba’ mattentui iko matti’ nareweki
masih sesuai dengan perkembangan zaman. ja’na apa’ riturungenngi ritu gau’
madecennge riati maja’e nade’sa
Bawaan Hati yang Baik (Ati nariturungeng ati madecennge ri gau’
Mapaccing) Dalam bahasa Bugis, arti maja’e. Naiya tau maja’ kaleng atie lettu’

198 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

rimonri ja’na.” “(Jagalah arah hatimu; kewibawaan dan apa yang diucapkan akan
jangan menghajatkan yang buruk kepada tepat pada sasarannya:
sesamamu manusia, sebab pasti engkau
kelak akan menerima akibatnya, karena Kesimpulan
perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan Sebelum Islam datang ke Nusantara
buruk. Orang yang beritikad buruk khususnya di Sulawesi selatan (abad ke-
akibatnya akan sampai pada keturunannya 17M) masyarakat bugis sudah memiliki
keburukan itu.)” “kepercayaan asli” dan menyebut Tuhan
dengan sebutan ‘Dewata SeuwaE’, yang
Kutipan Lontara’ di atas menitikberatkan
berarti Tuhan kita yang satu.
pentingnya seorang individu untuk
Dalam Sastra Bugis jenis sastra
memelihara arah hatinya. Manusia dituntut
sejarah ini dikenal dengan Lontaraq. I la
untuk selalu berniat baik kepada sesama.
Galigo adalah sebuah cerita tentang sebuah
Memelihara hati untuk selalu berhati bersih
cara hidup, keberadaan masyarakat bugis
kepada sesama manusia akan menuntun
dengan cara hidupnya, dieskpresikan dalam
individu tersebut memetik buah kebaikan.
tradisi tutur dan tulis yang mereka
Sebaliknya, individu yang berhati kotor,
kembangkan menjadai sastra lokal. Pada
yaitu menghendaki keburukan terhadap
abad ke-19 (pendudukan Belanda), tradisi
sesama manusia, justru akan menerima
tutur I la Galigo disatukan untuk kemudian
akibat buruknya. Karena itu, tidak ada
dituliskan dalam sebuah kumpulan naskah
alasan bagi seorang individu untuk
sepanjang 6000 halaman atau 12 jilid. Pada
memikirkan hal-hal buruk terhadap sesama
akhir abad ke- 20, baru satu jilid yang
manusia.
berhasil diterjemahkan.
Ketiga, manusia tidak membiarkan Dalam Filsafat hidup, orang Bugis
dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi- di masa lampau, telah mengenal dan
emosi, perasaan-perasaan, kecondongan- memiliki nilai-nilai motivatif yang
kecondongan, melainkan diatur suatu terkandung dalam filsafat etika (
pedoman (toddo), yang memungkinkannya pangaderrang/ bertingkah laku terhadap
untuk menegakkan harkat dan martabat sesama manusia dan terhadap pranata
manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan sosialnya.) memiliki 4 (empat) asas
demikian ia tidak diombang-ambingkan sekaligus pilar yakni: (1) mappasilasae,(
oleh segala macam emosi, nafsu dan keserasian hidup dalam bertingkah laku),
perasaan dangkal. Jadi, pengembangan (2) Mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai
sikap-sikap itu membuat kepribadian manifestasi ade’ untuk menimpahkan
manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom deraan pada tiap pelanggaran ade’ (3)
dan lebih mampu untuk menjalankan Mappasenrupae, yakni mengamalkan ade’
tanggung jawabnya. Dalam Lontara’ Latoa bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang
ditekankan bahwa bawaan hati yang baik dinyatakan dalam rapang; (4)
menimbulkan perbuatan-perbuatan yang Mappalaiseng, yakni manifestasi ade’
baik pula, yang sekaligus menciptakan dalam memilih dengan jelas batas hubungan
ketertiban dalam masyarakat. Dalam antara manusia dengan institusi-institusi
memperlakukan diri sebagai manusia, sosial.
bawaan hati memegang peranan yang amat Kepercayaan dan Mitos tentang
penting. Bawaan hati yang baik Tomanuung (manusia yang turun)
mewujudkan kata-kata dan perbuatan yang merupakan unsur yang menguatkan nilai
benar yang sekaligus dapat menimbulkan kebudayaan Bugis. Mitos Galigo tertulis di

199 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

dalam sure’ Galigo, Tokoh sentral di menempuh dua cara yaitu, tradisi lisan dan
dalamnya adalah Sawerigading yang tradisi tulis, dan keduanya ada yang
berkeinginan mempersunting adik kandung berkembang seiring dengan waktu yang
perempuannya, tetapi karena dicegah, bersamaan. dibagi menjadi tiga periode
akhirnya berhasil memindahkan perasaan (1)ditandai dengan munculnya karya sastra
cintanya kepada seorang gadis Cina yang bugis yang kemudian disebut karya sastra
bernama We Cudai’. Pada peristiwa galigo, antara abad ke-7 hingga abad ke-
Tomanurung di Luwu tampak dengan jelas 10.(2) zaman tomanurung, ditandai dengan
masalah kekeluargaan dan kekerabatan munculnya sebuah bentuk pustaka bugis
yang tampil lebih banyak dipersoalkan, yang berbeda dengan pustaka galigo
sesudah pengisisan kawa (dunia tengah) ini. (sastra). Dalam periode ini muncul dua
Simpuru’siang masih tetap berada dalam bentuk pustaka bugis, ada yang tergolong
hubungan suasana Botilangi’ (dunia atas) karya sastra yang disebut tolok dan yang
dan Buri’liung (dunia bawah). Ana’kaji bukan karya sastra yang disebut lontarak.(3)
masih mengulang pengalaman pau-pau atau pau-pau rikadong serta
Sawerigading ketika ditinggalkan oleh pustaka lontarak yang berbau islami. Selain
isterinya. Corak lebih bercorak itu ada perkembanga baru sastra bugis
kepercayaan, Gowa dan Bone bercorak dalam bentuk prosa. Pada umumnya, sastra
politik, Soppeng bercorak ekonomi, dan prosa ini merupakan saduran dari sastra
Wajo bercorak politik dan ekonomi. Melayu kuno atau sastra Parsi.
Dalam sastra Nusantara cukup Sastra Bugis klasik meliputi Sure’
banyak jenis sejarah, seperti dalam sastra Galigo, Lontarak, Paseng/Pappaseng
Jawa, Sunda, Bali, Madura dan Lombok. Toriolota/ Ungkapan, dan Elong/syair.
Khusus dari sastra daerah lokal di atas Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang
menggunakan kata babad. Dalam sastra dikenal sebagai epik terpanjang di dunia),
Jawa, misalnya “ Babad tanah Jawi” , Lontarak. Kearifan itu memiliki kedudukan
Dalam sastra Sunda, selain kata babad yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan
sebagai kata awal judulnya, juga digunakan masih sesuai dengan perkembangan zaman.
kata lain seperti , sejarah, cerita, pancakaki Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing)
“ Cerita Dipati Ukur “ oleh Ekajati (1982) Dalam bahasa Bugis, arti mapaccing
Dalam Sastra Bali,misalnya “babad (bawaan hati yang baik) berarti nia’
buleleng” . Dalam sastra Lombok dikenal madeceng (niat baik), nawa-nawa
“babad Lombok (1979)”, di Madura dengan madeceng (niat atau pikiran yang baik)
judul “ Babad Madura”. sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat
Dalam Sastra Bugis jenis sastra jahat), (niat atau pikiran bengkok). Dalam
sejarah ini dikenal dengan judul Lontaraq. berbagai konteks, kata bawaan hati, niat
A. Zaenal, dalam Enre (1983:119). atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik
Memperinci lontaraq ini dalam beberapa hati, bersih hati atau angan-angan dan
golongan, yaitu lontaraq attariolong pikiran yang baik.
(sejarah), lontaraq adeq (adat-istiadat),
lontaraq ulu ada (perjanjian), lontaraq Daftar Pustak
allopi-lpiang (pelayaran), lontaraq
penguriseng (silsilah), lontaraq palaoruma Abdurrahman H. 2007. Pelestarian Kearifan
(pertanian), dan lontaraq belang (nujum) Lokal Melalui Pewarisan Bahasa
Dilihat dari tradisi Bugis. Makalah disajikan
perkembangannya, sastra bugis kuno

200 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Alumni, Bandung.


Daerah Sulawesi Selatan, Makassar,
Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktulisasi Peran
22-25 Juli.
Sastra Daerah dalam Pewarisan
Alatas, Syed Hussein. 1983.”Nilai Nilai-Nilai Budaya. Makalah
Kebudayaan dan Disiplin Nasional,”
disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa
Siri Seminar Kebudayaan
Daerah Sulawesi Selatan, Makassar,
Nasional, Jabatan Pengajian Melayu, 22-25 Juli.
University Malaya Kualalumpur.
Hamid, Abu. 1978.”Catatan-catatan tentang
Malaysia.
beberapa aspek kebudayaan Sulawesi
Ambo Enre, Fachruddin. 1992. Beberapa Selatan” Bingkisan ,4
Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan
Hamid, Ismail,1987 “Perkembangan
dan Sastra Bugis. Pidato
Kesusastraan Melayu Lama” Pealing
Pengukuhan Guru Besar. (dalam Jurnal Jaya , Selangor : Logman
PINISI, Vol. 1). FPBS IKIP Ujung
Malaysia.
Pandang.
Husain, Ibrahim. 1977. “ Apakah Siri
Buchari, Muchtar 1981.”Nlai-nilai
Merupakan unsur Positif” Seminar
Indonesia dalam Pembentukan”
Masalah Siri’ di Sulawesi
Prisma, LP3ES, No. 11.
Selatan. Ujung-Pandang 11-13 Juli 1977.
Djamaris, Edwar. 1991.”Menggali
Khazanah Sastra Melayu Klasik” Junus, Umar. 1984 “Sejarah Melayu
Jakarta Balai Pustaka Menemukan Diri Kembali “ Petaling
Jaya Selangor; Fajar Bakti.
Dunia, Gazali, 1992. “Sastra Melayu Lama
:Prosa dan Puisi. Kuala Lumur. Khaldun, Ibn. 1953 “ The Muqaddimah :
Penerbit Fajar Bakti Malaysia. An Introduction to History ( tr.by
Franz Rosenthal). Routedge &
Effendi, Sofian. 2005. Membangun Budaya
Birokrasi Untuk Good Governance. Kegan Paul. London. 1953 (3 vols).
(Online). La Side, 1980 : Paseng Toriolo” Majalah
http://lib.ugm.ac.id/ Latowa Universitas Hasanuddin.
data/pubdata/sofiane/budayabirokrasi Ujung Pandang 1.
.pdf. Diakses tanggal 30 Juli 2007. Manggau, Ahmad. 1983 “ Hukum
Farid, Zainal Abidin.1974.”Sawerigading” Kewarisan di Tanah Bugis Dewasa
Majalah Universitas Hasnuddin ini “ Universitas Hasanuddin.
Ujung Pandang. Ujung Pandang .
Farid, Zainal Abidin.1983. “Persepsi Orang Millar, Susan B. 1981. “ Bugis Society :
Makassar Tentang Hukum, Negara Given By the Wedding Guest”.
dan Dunia Luar” Penerbit Cornell University.

201 ISBN: 978-602-361-004-4


Seminar Nasional
Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif
Surakarta, 31 Maret 2015

Mattulada. 1995. La Toa: Satu Lukisan Kebijaksanaan Hidup Bugis. Disertasi


Analistis terhadao Antropologi Belum diterbitkan. Malang: Program
Politik Orang Bugis. Ujung Pascasarjana IKIP
Pandang: Hasanuddin University Press. Sewang H. Ahmad. 2007. Pelestarian
Kearifan Lokal Melalui Pewarisan
Nor, Mohd.Jusof, Md. 1984 “ Silsilah
Bahasa Bugis. Makalah
Melayu dan Bugis” Alih Aksara.
Petaling Jaya : Fajar Bakti. disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa
Daerah Sulawesi Selatan, Makassar,
Pelras, Christian. 1996. The Bugis. London:
22-25 Juli.
Bleckwell.
Wahid, Sugira. 2007. Pengungkapan dan
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-Nilai
Pemantapan Jati Diri dan Kearifan
Utama Kebudayaan Bugis. Ujung
Lokal. Makalah disajikan
Pandang: Lephas UNHAS.
dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah
Rahim, A. Rahman. 1982. “ Siksp Mental
Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25
Bugis “ Universitas Hasanuddin.
Juli.
Raja Ali al Haji, Riau. 1965” Tuhfat’al
Tang, Muh. Rapi. 2007. Reso sebagai Roh
Nafis : Sejarah Melayu dan Bugis “
Kehidupan Manusia Bugis: Budaya
Malaysia Publications. Ltd.
dari Me ntal dan Fisik,
Singapore.
Sebuah Refleksi dar Lontarak. Makalah
Said, Mashadi. 1998. Konsep Jati Diri disajikan dalam Kongres I Bahasa-
Manusia Bugis dalam Lontarak: Bahasa Daerah
Sebuah Telaah Falsafi tentang
Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

202 ISBN: 978-602-361-004-4

Anda mungkin juga menyukai