Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan darah


melebihi tekanan darah normal. Eighth Joint National Committee (JNC VIII)
berpendapat bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik lebih dari sama dengan 140/90 mmHg. American Society of Hypertension
(ASH) menyatakan hipertensi juga termasuk suatu kelompok gejala sistem
kardiovaskular yang besifat progresif karena disebabkan oleh berbagai macam
kondisi yang kompleks dan saling berkaitan dengan berbagai macam penyakit.1,2
Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg keatas dengan penyebab yang
tidak diketahui. Pengukuran dilakukan dua kali atau lebih dengan posisi duduk,
kemudian diambil reratanya pada dua kali atau lebih kunjungan.2
Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang banyak menyebabkan
kematian diseluruh dunia yaitu mencapai 17 juta kematian setiap tahunnya, dari
keseluruhan penyakit kardiovaskular hipertensi merupakan penyumbang kematian
terbanyak yaitu 9,4 juta per tahun. Data World Health Organization (WHO) penyakit
hipertensi diseluruh dunia mencapai 972 juta orang atau 26,4% masyarakat dunia
mengidap penyakit hipertensi.3 Di Indonesia, hipertensi berada pada urutan ke-3
penyebab kematian setelah stroke (15,4% populasi) dan tuberkulosis (7,5% populasi)
yaitu sebesar 6,8% populasi. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) mencatat pada
tahun 2013 ditemukan rata-rata 25,8% masyarakat Indonesia menderita hipertensi.
Penyakit hipertensi di Provinsi Aceh terbilang masih tinggi, berdasarkan data
Kementerian Kesehatan (KEMENKES) pada tahun 2013 prevalensi hipertensi di
Provinsi Aceh mencapai 9,7% dari keseluruhan populasi.4
Hipertensi primer merupakan penyakit yang bukan hanya disebabkan oleh satu
macam mekanisme, akan tetapi bersifat multifactorial, yang timbul akibat dari
interaksi dari berbagai macam faktor risiko. Berbagai faktor dan mekanisme tersebut
antara lain faktor genetik dan lingkungan, mekanisme neural, renal, hormonal dan
vaskular.5
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur dengan
spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset
menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak
atau terlentang paling sedikit selama 5 menit sampai 30 menit setelah merokok atau
minum kopi.6
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi
esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer untuk
membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang
diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII)
klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.7

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat hipertensi.(5 )


Klasifikasi Sistolik Diastolik Satuan
Normal 120-129 dan 80 mmHg
Prehipertensi 130-139 dan/atau 80-89 mmHg
Hipertensi derajat 1 140-159 dan/atau 90-99 mmHg
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 dan ≥ 100 mmHg
Sumber: Seven Joint National Committee, 2015

2.2 Epidemiologi Hipertensi


Data World Health Organization (WHO) mencatat bahwa penderita hipertensi
diseluruh dunia mencapai 972 juta orang atau sama dengan 26,4% penduduk bumi
menderita hipertensi, dan penderita hipertensi lebih banyak ditemukan di negara
berkembang dari pada negara maju yaitu pada negara berkembang sebanyak 639 juta
3

sedangkan sisanya 333 juta di negara maju.3 Jumlah kematian akibat hipertensi setiap
tahunnya mencapai 9,4 juta orang dan juga ditemukan bahwa hipertensi penyebab
45% komplikasi terhadap penyakit jantung.4
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan data dari Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2013 di temukan rata-rata 25,8% masyarakat Indonesia menderita
hipertensi, dapat diambil kesimpulan, apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar
252.1 juta jiwa maka terdapat sekitar 65 juta jiwa mengidap hipertensi dan dari data
yang ditemukan bahwa daerah yang masyarakatnya menderita hipertensi terbanyak
ialah Provinsi Bangka Belitung sebesar 30,9% dan terendah di Provinsi Papua sebesar
16,8%, berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan Indonesia, prevalensi penyakit
hipertensi di Provinsi Aceh di temukan 9,7% masyarakat menderita hipertensi dari
keseluruhan populasi.4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Hipertensi


Pada dasarnya penyakit hipertensi tidak mempunyai suatu etiologi yang
spesifik. Hipertensi terjadi karena suatu respon spontan tubuh dalam meningkatkan
cardiac output atau lebih sering disebut peningkatan tekanan perifer. Disamping itu,
terdapat beberapa penyebab atau faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya
hipertensi, faktor penyebab tersebut antara lain:
a. Keturunan atau genetik
Suatu keluarga yang mempunyai keturunan pengidap penyakit hipertensi
menyebabkan keluarga tersebut memiliki faktor risiko hipertensi pada
keturunannya. Hal ini berkaitan dengan tingginya kadar sodium intraseluler dan
rendahnya rasio antara potasium dengan sodium seseorang terhadap orang tua
dengan risiko hipertensi 2 kali lebih besar daripada keluarga yang tidak memiliki
riwayat hipertensi. Pengaruh genetik terhadap kejadian hipertensi pada suatu
keluarga didukung dengan temuan 70-80% kasus hipertensi mempunya riwayat
hipertensi dalam keluarga.1

b. Berat badan berlebih atau Obesitas


4

Berat badan merupakan faktor penyebab paling umum terhadap kejadian


penyakit hipertensi disemua usia pada kebanyakan kelompok atau etnis. Menurut
National Intitutes for Health USA prevalensi hipertensi terhadap orang yang
memiliki berat badan berlebih berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari
30 ditemukan diantaranya 38% laki-laki dan perempuan 32% menderita
hipertensi, dibandingkan dengan IMT < 25 memiliki prevalensi jauh lebih rendah
yaitu 18% untuk laki-laki dan 17% untuk perempuan. Hal ini membuktikan
bahwa berat badan yang terlalu tinggi memiliki faktor risiko menderita
hipertensi. Salah satu faktor penyebab hipertensi adalah asupan makanan. Hal ini
dikarenakan makanan mempunyai peranan yang berarti dalam meningkatkan
tekanan darah seperti konsumsi natrium yang berlebihan, karbohidrat, protein
dan lemak. Konsumsi tinggi lemak dapat menyebabkan tekanan darah
meningkat. Konsumsi lemak yang berlebihan akan meningkatkan kadar
kolesterol dalam darah terutama kolesterol LDL dan akan tertimbun dalam tubuh.
Timbunan lemak yang disebabkan oleh kolesterol akan menempel pada
pembuluh darah yang lama-kelaman akan terbentuk plaque aterosklerosis pada
pembuluh darah sehingga aliran darah akan terganggu dan memicu jantung untuk
memompa darah lebih kuat dari biasanya dan pada akhirnya akan menimbulkan
hipertensi. Menurut Hall pada tahun 1994, berat badan yang terlalu tinggi dapat
merubah kondisi fisiologi yang terjadi dalam tubuh suatu individu, perubahan
fisiologi tersebut diantaranya terjadi resistensi insulin dan kemudian terjadi
hiperinsulinemia, sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin serta terjadi
perubahan fisik pada ginjal.1
c. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi antara wanita dan pria relatif sama, namun
pada wanita yang belum menopause memiliki pelindung terhadap penyakit
hipertensi. Wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan sangat penting dalam meningkatkan kadar Hight Density Lipoprotein
(HDL) dalam tubuh sehingga mencegah terjadinya proses arterosklerosis. Pada
wanita yang mulai masuk ke masa pre menopouse mulai kehilangan pelindung
5

estrogen sedikit demi sedikit hingga masuk masa menopause. Wanita yang
menopause mulai kehilangan kuantitas estrogen sehingga hal inilah yang
menyebabkan pelindung pembuluh darah mulai berubah dan sedikit-demi sedikit
mengalami kerusakan. Hal ini terus berlanjut seiring proses penuaan, umunya
proses ini terjadi mulai usia 45-55 tahun.1
d. Stres
Stres adalah gangguan mental yang dihadapi seseorang akibat adanya tekanan.
Tekanan ini muncul dari kegagalan individu dalam memenuhi kebutuhan atau
keinginannya. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri, atau dari luar . Seseorang
yang mengalami stres terjadi peningkatan kadar adrenalin yang menyebabkan
jantung memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah meningkat. Hal ini
biasanya terjadi secara tiba-tiba tergantung suasana perasaan seseorang.1
Mekanisme stres yang dapat menyebabkan hipertensi melalui mengaktivasi
hipotalamus ketika dalam situasi stres yang selanjutnya mengendalikan dua
sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem
saraf simpatik berespon terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan
mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah
pengendaliannya, contohnya meningkatkan kecepatan denyut jantung dan
mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal
untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah kedua hormon ini
berperan dalam meningkatkan kerja jantung.8
e. Kurang berolahraga
Hipertensi merupakan salah-satu penyakit tidak menular, olahraga merupakan
salah-satu cara untuk mencegah penyakit tidak menular dalam hal ini yaitu
hipertensi. Berolahraga dapat membuat isotonik tubuh teratur sehingga dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah bagi penderita
hipertensi. Selain itu, olahraga yang teratur juga dapat melatih otot jantung
sehingga otot jantung akan terbiasa apabila berkerja berat dalam kondisi tertentu.
Orang yang jarang beraktivitas fisik atau kurang berolahraga mempunyai risiko
mengalami kegemukan atau obesitas sehingga hal ini berisiko mengalami
6

hipertensi. Orang dengan hipoaktivitas biasanya memiliki detak jantung yang


cepat dan otot jantung harus berkontraksi lebih keras, akibatnya desakan ke arteri
akan lebih keras hal ini dapat berisiko terjadinya stroke.1
f. Asupan garam
Akibat dari mengkonsumsi natrium berlebih maka akan mengakibatkan
konsentrasi natrium di ekstraseluler meningkat, akibat meningkatnya natrium di
ekstraseluler maka tubuh akan menetralkan kadar natrium tersebut dengan
menarik cairan dari intraseluler ke ekstraseluler, akibat dari hal ini maka terjadi
peningkatan volume darah sehingga berdampak pada timbulnya hipertensi. World
Health Organization (WHO) merekomendasikan konsumsi sodium perharinya
tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2.400 mg natrium) hal ini dilakukan untuk
mengurangi risiko hipertensi.1
g. Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok biasanya dihubungkan dengan hipertensi maligna. WHO
pada tahun 2013 mengklasifikasikan tipe-tipe perokok berdasarkan banyaknya
jumlah rokok yang digunakan oleh perokok dalam sehari, antara lain:
1. Perokok ringan merokok <10 batang per hari
2. Perokok sedang merokok 10-20 batang per hari
3. Perokok berat merokok >20 batang per hari
Klasifikasi perokok sedang dan berat mempunyai risiko menderita hipertensi
dan stroke lebih besar daripada perokok ringan. Hal ini disebabkan pada perokok
sedang dan berat jumlah zat beracun yang berasal dari rokok telah terakumulasi
pada sistem kardiovaskular dan merusak dinding pembuluh darah endotel. Asap
rokok mengandung 4.000 bahan kimia dan 200 diantaranya beracun, salah satu
diantaranya adalah Karbon Monoksida (CO) yang dapat membuat pembuluh
darah rusak dan mengganggu aliran darah, selain itu CO dapat meningkatkan
kadar karboksi haemoglobin serta menurunkan persediaan oksigen di jaringan
termasuk otot jantung. Kadar CO yang terlalu banyak akan menggantikan
oksigen di haemoglobin, menggangu pelepasan oksigen serta menyebabkan
arterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) sehingga aliran darah terganggu
7

dan jantung akan berkerja lebih keras memompa darah sehingga akan terjadi
hipertensi. Selain CO, dalam rokok juga mengandung nikotin, dimana nikotin ini
dapat menyebabkan peningkatan viskositas darah dan penggumpalan darah
sedingga tubuh akan meningkatan absorbsi cairan dari jaringan ekstraseluler
sehingga volume darah akan meningkat dan pada akhirnya jantung berkerja keras
untuk mempa darah lebih kuat.9

2.4 Patofisiologi Hipertensi


Volume sekuncup dan peripherial resistence merupakan dua faktor yang
mempengaruhi tingginya tekanan darah seseorang, hal ini terjadi apabila salah-satu
dari kedua faktor tersebuat meningkat dan tidak terkompensasi oleh tubuh. Tubuh
mempunyai suatu mekanisme untuk menanggulangi perubahan tekanan darah secara
tiba-tiba atau akut yang disebabkan oleh ganguan sirkulasi serta mempertahankan
tekanan darah dalam jangka waktu yang panjang. Sistem pengontrolan tekanan darah
oleh tubuh sangat kompleks yang terdiri dari sistem reaksi cepat diantaranya refleks
karidovaskular melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan
saaf pusat yang berasal dari atrium dan arteri pulmonalis otot polos. Pengendalian
reaksi lambat yaitu melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga
intertisial yang dipengaruhi oleh hormon angiotensin dan vasopressin. Kemudian
sistem yang terakhir yaitu sistem poten, sistem ini berlangsung dalam jangka panjang
yang dipengaruhi oleh sistem pengontrolan jumlah cairan yang melibatkan banyak
organ.1
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengaturan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus apparatus ginjal sebagai respon terhadap glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf
simpatetik.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah dapat dilihat pada
skema berikut.
8

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah


(Sumber: Kaplan,1998)

Proses terjadinya hipertensi yaitu melalui perubahan angiotensin I oleh


angiotensin converting enzyme (ACE) dan membentuk angiotensin II. ACE sangat
berperan terhadap terjadinya peningkatan tekanan darah. Proses ini dimulai dari
perubahan angiotensinogen dalam darah yang diproduksi di hati diubah oleh hormon
renin yang diproduksi di ginjal kemudian membentuk angiotensin I, angiotensin I
kemudian diubah kembali oleh ACE menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah oleh
angiotensin II melalui dua aksi utama, yaitu:1

a. Aksi pertama
Peningkatan hormon antidiuretik (ADH) dan respon haus. ADH memiliki peran
untuk mengontrol osmolaritas dan volume urin, ADH merupakan hormon yang
berkerja pada ginjal yang diproduksi oleh kelenjar pituitari. Apabila terjadi
peningkatan ADH maka pengeluaran urin akan sangat sedikit sehingga komposisi
urin akan sangat pekat dan osmolaritasnya meningkat, untuk menanggulanginya
maka tubuh akan meningkatkan volume ekstraseluler dengan cara menarik cairan
dari intraseluler. Akibatnya dari mekanisme ini maka volume darah akan
meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
9

b. Aksi kedua
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ
yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon
aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, memiliki peran dalam mengontrol
jumlah cairan di ekstraseluler dengan cara mengurangi ekskresi NaCl (garam)
melalui absorpsi langsung dari tubulus ginjal. Hal tersebut akan memperlambat
kenaikan volume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan arteri
selama berjam-jam dan berhari-hari. Akibat naiknya konsentrasi NaCl maka
tubuh akan melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan cairan di
ekstraseluler dan pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Mekanisme terjadinya hipertensi dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.4 Patofisiologi hipertensi

2.5 Diagnosis Hipertensi


Evaluasi pada penderita hipertensi bertujuan untuk; 1) menilai pola hidup dan
identifikasi faktor-faktor kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit
penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan, 2) mencari
10

penyebab kenaikan tekanan darah, 3) menentukan ada tidaknya kerusakan target


organ dan penyakit kardiovaskular.
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang
keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder seperti adanya penyakit ginjal, infeksi
saluran kemih, hematuria serta riwayat keluarga yang memiliki penyakit
ginjal, terdapat episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi, lemah
otot dan tetani, serta riwayat pemakaian obat-obat analgesic dan lainnya.
3. Faktor-faktor risiko seperti:
- Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
- Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
- Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
- Kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan, dan faktor kepribadian
lainnya
4. Gejala kerusakan organ
- Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attack, defisit sensoris atau motoris
- Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
- Ginjal: haus, polyuria, nokturia, hematuria
- Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi
adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya
hipertensi sekunder.
Pengukuran tekanan darah di kamar periksa dokter atau rumah sakit
dilakukan pada penderita yang sudah bebas dari minuman yang mengandung
11

alcohol, kafein dan merokok minimal 30 menit sebelum pemeriksaan dilakukan.


Pasien diminta duduk dikursi setelah beristirahat selam 5 menit, kaki di lantai
dan lengan setinggi jantung. Pemilihan manset sesuai ukuran lengan pasien (dewasa:
panjang 12-13, lebar 35 cm). Stetoskop diletakkan di tempat yang tepat yaitu di
fossa cubiti tepat diatas arteri brachialis. Pompa cuff sampai tekanan di atas 20
mmHg dari menghilangnya nadi pada pemeriksaan a. radialis (gunakan suara
Korotkoff fase I dan V untuk menentukan sistolik dan diastolik).Pengukuran
dilakukan dua kali dengan jarak 1-5 menit, boleh diulang kalau pemeriksaan pertama
dan kedua bedanya terlalu jauh.5

2.6 Penatalaksanaan Hipertensi


Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes,
gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Penatalaksaan hipertensi terdiri dari pengobatan nonfarmakologis dan
farmakologis. Pengobatan nonfarmakologis harus dilakukan oleh semua penderita
hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor
risiko serta penyakit-penyakit penyerta lainnya.
JNC VII merekomendasikan untuk menurunkan berat badan berlebih atau
kegemukan, pembatasan asupan garam kurang atau sama dengan 100 meq/L/hari
(2.4 g natrium atau 6 g natrium klorida), meningkatkan konsumsi buah dan
sayur, menurunkan konsumsi alcohol tidak lebih dari 2 kali minum/hari,
meningkatkan aktivitas fisik paling tidak berjalan 30 menit/hari selama 5
hari/minggu serta menghentikan merokok, akan mengurangi risiko kejadian
kardiovaskular. 5
Pada pasien hipertensi tanpa kondisi medis yang memaksa, penatalaksanaan
obat anti hipertensi dibagi berdasarkan derajat tekanan darahnya. Pada hipertensi
12

derajat 1 regimen pengobatan dilakukan dengan menggunakan diuretik jenis


Thiazid untuk sebagian besar kasus, dan dapatt dipertimbangkan ACEI, ARB,
BB, CCB, atau kombinasi. Sedangkan pada hipertensi derajat 2 digunakan
kombinasi 2 jenis obat untuk sebagian besar kasusnya, umumnya diuretic jenis
thiazid dan ACEI atau ARB atau CCB. Pasien dengan indikasi medis yang memaksa,
obat yang diberikan adalah obat-obatan untuk indikasi medis yang memaksa dan
anti hipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, CCB) sesuai dengan kebutuhan.
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi antara
lain;5
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist (Aldo
Ant).
b. Beta Blocker (BB).
c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB).
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI).
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/blocker (ARB).
f. Direct renin inhibitor (DRI)

Diuretik
Diuretik berperan dalam menurunkan sistolik dan diastolik tekanan darah pada
sebagian besar pasien hipertensi. Diuretik dapat diberikan tunggal atau kombinasi
dengan obat antihipertensi lain dalam terapi awal untuk sebagian besar pasien. Kelas
obat diuretik ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 2.6.1 Kelas diuretik yang digunakan dalam perawatan hipertensi


Kelas Nama Obat Dosis Frek. Keteragan
Lazim
(mg/hari)
13

Tiazid • Klortalidon 6.25-25 1 Pemberian pagi hari untuk


menghindari
• Hidroklortiazid 12.5-50 1 diuresis, golongan tiazid lebih
efektif dari diuretik loop kecuali
• Indapamide 1.25-2.5 1 pada pasien dengan GFR rendah (±
ClCr<30 ml/min); monitoring
• Metolazone 0.5 1 tambahan untuk pasien dengan
sejarah pirai atau hiponatremia
Loop • Bumetanide 0.5-4 2 Pemberian pagi dan sore
untuk mencegah diuresis malam
• Furosemide 20-80 2 hari; dosis
lebih tinggi mungkin diperlukan
• Torsemide 5 1 untuk pasien dengan GFR yang
sangat rendah
Penahan • Triamteren 50-100 1 atau 2 Pemberian pagi dan sore untuk
kalium mencegah diuresis malam hari;
• Triamteren/ 37.5-75/ 1 hindari pada pasien dengan
HCT 25-50 penyakit ginjal kronis (±ClCr<30
ml/min); dapat menyebabkan
perkalemia,terutama kombinasi
dengan ACEI, ARB, atau
supplemen kalium.

Antagonis •Spironolakton 25-50/ 1 Pemberian pagi dan sore, hindari


Aldosteron /HCT 25-50 pada pasien dengan penyakit
• Spironolakton 25-50 1 atau 2 ginjal kronis (±ClCr < 30ml/min).

Keterangan: Frek.= frekuensi pemberian (Sumber: Saseen dan Carter, 2005).

Petunjuk JNC 7, tiazid paling efektif untuk menurunkan tekanan darah, dan
umumnya dikombinasi dengan obat antihipertensi lain. Diuretik loop, seperti
furosemida biasanya digunakan untuk hipertensi yang resisten. Diuretik
diresepkan kepada pasien karena memiliki keutamaan, efikasinya yang tinggi,
harga terjangkau, efek sampingnya kecil, serta memberi efek sinergi jika
dikombinasi dengan obat antihipertensi lain. Fakta menunjukkan bahwa diuretik
dapat mengatasi retensi garam dan cairan.
14

Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACE-I)


ACE-I dianggap terapi kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien
hipertensi. ACE-I menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
yang bersifat vasokonstriktor poten selain merangsang sekresi aldosteron. Berikut
kelas ACE-I yang digunakan dalam perawatan hipertensi.
Tabel 2.6.2 Kelas ACEI yang digunakan dalam perawatan hipertensi
Kelas Nama Obat Dosis Frek. Keterangan
Lazim
(mg/hari)
ACEI • Benazepril 10-40 1 atau 2 Dosis awal harus dikurangi 50%
• Captopril 12,5-150 2 atau 3 pada pasien yang telah mendapat
• Enalapril 5-40 1 atau 2 diuretik,
• Fosinopril 10-40 1 kekurangan cairan, atau manula
• Lisinopril 10-40 1 karena risiko hipotensi;
• Moexipril 7,5-30 1 atau 2 dapat
• Perindopril 4-16 1 menyebabkanhiperkalemia pada
• Quinapril 10-80 1 atau 2 pasien dengan penyakit ginjal
2,5-10 1 atau 2 kronis atau
• Ramipril
1-4 pasien yang juga mendapat
• Tanapres
diuretik penahan kalium, antagonis
aldosteron,
atau ARB; dapat menyebabkan
gagal ginjal pada pasien dengan
stenosis
renal arteri; jangan digunakan
pada perempuan hamil atau
pada pasien
dengan sejarah angioedema

Keterangan: Frek. = frekuensi pemberian (Sumber: Saseen dan Carter, 2005).

ACE-I juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesis zat-zat


yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.
Peningkatan bradikinin akan meningkatkan efek penurunan tekanan darah oleh
ACEI, selain itu, bradikinin bertanggung jawab terhadap efek samping batuk
kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif mencegah
dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan
15

langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial. Monitoring kreatinin dalam


waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikan dosis ACEI dapat
mengidentifikasi kelainan ini sebelum terjadi komplikasi yang serius. (Depkes,
2006; Ministry of Health Malaysia, 2008).

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1)
yang memediasikan efek angiotensinogen II pada manusia yaitu vasokonstriksi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormonantidiuretik dan
konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. Sistem renin angiotensin aldosteron
kalikrein-kinin ini dapat dilihat pada gambar berikut:
16

Gambar 2.6 Sistem renin angiotensin aldosteron (Sumber:www.wikidoc.org)


ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2).
Angiotensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim yaitu RAAS
(Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan jalur
alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. Jadi, efek yang
menguntungkan daristimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan
penghambatanpertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Kelas ARB
yang digunakan dalam perawatan hipertensi ditunjukkan pada Tabel berikut.
Tabel 2.6.3 Kelas ARB yang digunakan dalam perawatan hipertensi
Kelas Nama Obat Dosis Frek. Keterangan
Lazim
(mg/hari)
Penyekat • Candesartan 8-32 1 atau 2 Dosis awal dikurangi 50%
reseptor pada pasien yang
Angiotensin • Eprosartan 600-800 1 atau 2 sudahmenerima diuretik,
kekurangan cairan, atau
• Irbesartan 150-300 1 manula karena resiko
hipotensi;
• Losartan 50-100 1 atau 2 menyebabkanhiperkalemia
pada pasiendengan penyakit
• Olmesartan 20-40 1 ginjal kronisatau pasien yang
mendapat diuretic penahan
• Telmisartan 20-80 1 kalium, antagonis aldosteron,
ACEI; dapat menyebabkan
• Valsartan 80-320 1 gagal ginjalpada pasien
dengan stenosis renal arteri;
tidak menyebabkan batuk
kering seperti ACE-I; jangan
digunakan pada perempuan
hamil

Keterangan: Frek. = frekuensi pemberian (Sumber: Saseen dan Carter, 2005).

β-blocker (BB)
Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta
yang ada, tetapi efek menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik
farmakodinamik penyekat beta yang membedakannya yaitu efek kardioselektif
17

(cardioselektivity), ISA (intrinsic sympathomimetic activity), menstabilkan membran


(membran-stabilizing).
Penyekat beta yang mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor β-1 dari
pada reseptor β-2 adalah kardioselektif. Adrenoreseptor β-1 dan β-2 terdistribusi di
seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor β-1
lebih banyak terdapat pada jantung dan ginjal. Reseptor β-2 lebih banyak ditemukan
pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor β-1
akan menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan
reseptor β-2 akan menghasilkan bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta yang
kardioselektif kecil kemungkinannya untuk mencetuskan spasme bronkus dan
vasokonstriksi. Reseptor β-2 juga memediasi sekresi insulin dan glikogenolisis.
Penghambatan reseptor β-2 dapat menurunkan proses ini dan menyebabkan
hiperglikemi atau menimbulkan perbaikan hipoglikemi.
Tabel 2.6.4 Kelas penyekat beta (β-blocker) yang digunakan dalam perawatan
hipertensi.
Kelas Nama Obat Dosis Frek. Keterangan
Lazim
(mg/hari)
18

Beta Blocker Kardioselektif Pemberhentian tiba-tiba dapat


• Atenolol 25-100 1 menyebabkan rebound hypertension;
dosis rendah sampai sedang
• Betaxolol 5-20 1 menghambat reseptor β1, pada dosis
tinggi menstimulasi reseptor β2;
• Bisoprolol 2.5-10 1 dapat menyebabkan eksaserbasi asma
bila selektifitas hilang; keuntungan
• Metoprolol 50-200 1 tambahan pada pasien dengan atrial
Nonselektif takiaritmia atau preoperatif hipertensi
Pemberhentian tiba-tiba dapat
• Propranolol 40-120 1 menyebabkan rebound hypertension,
menghambatreseptor β1 dan β2
• Propranolol 160-480 2 pada semua dosis; dapat memperparah
long asma; ada keuntungan tambahan pada
acting 80-320 1 pasien denganessensial tremor,
migraine,tirotoksikosis
• Timolol 10-40 1

Keterangan: Frek. = frekuensi pemberian (Sumber: Saseen dan Carter, 2005)


Calcium Channel Blocker(CCB)
CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel.
Ada dua tipe CCB yaitu voltage gated calcium channel berupa high voltage
channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya
menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer.
Ada dua subkelas CCB yaitu dihidropiridin dan nondihidropiridine. Efektifitas
antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada
efek farmakodinamiknya.
Tabel 2.6.5 Kelas obat calcium channel blocker (CCB)
Kelas Nama Obat Dosis Lazim Frek. Keterangan
mg/hari
19

Antagonis Dihidropiridin Dihidropiridin bekerja


Kalsium • Amlodipin 2.5-10 1 cepat
harusdihindari, terutama
• Felodipin 5-20 1 nifedipin dan nicardipin;
menyebabkan refleks
• Isradipin 5-10 2 simpatetik (takikardia),
sakit kepala, flushing,
•Isradipin 5-20 1 dan edemaperifer;
sustained produk lepas lambat
release lebih disukai untuk
•Nicardipin 60-120 2 hipertensi; obat ini
sustained menyekat slow channels
release di jantung
• Nifedipin long- 30-90 1 danmenurunkan denyut
acting jantung;meningkatkan
• Nisoldipin 10-40 1 risiko heart block

Nondihidropiridin
• Diltiazem SR 180-360 1

• Verapamil SR 180-480 1

Direct Renin Inhibitor (DRI)


DRI adalah golongan obat antihipertensi baru dengan mekanisme kerja
menghambat langsung secara selektif pada renin manusia. Di Indonesia, golongan
DRI yang beredar adalah aliskiren, disetujui sejak tahun 2007 dalam bentuk tunggal
dan kombinasi tetap dengan hydroclortiazid. DRI bekerja menghambat perubahan
angiotensinogen menjadi angiotensin 1. Aliskiren sangat efektif menurunkan tekanan
darah, serta dapat mengurangi kerusakan organ pada akhir pengobatan.

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap dan
target tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam beberapa minggu.
Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau
yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan memulai
terapi dengan 1 jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung tekanan
darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan 1 jenis obat
20

dalam dosis rendah dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka
langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut atau berpindah ke
antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindarkan
dengan dosis rendah baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien
memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah
tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan
kepatuhan pasien karena jumlah obat yang semakin bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien
hipertensi adalah:

 CCB dan BB
 CCB dan ACEI atau ARB CCB dan diuretika
 AB dan BB

Terkadang diperlukan 3 atau 4 kombinasi obat.11


21

Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana hipertensi menurut JNC VIII

2.7 Komplikasi Hipertensi


a. Jantung
Hipertensive heart disease (HHD) disebabkan karena adaptasi struktural dan
fungsional yang menyebabkan hipertrofi vaskular, disfungsi diastolik,
gagal jantung kronik, gangguan aliran koroner dan aritmia.
b. Otak
Hipertensi merupakan faktor resiko penting terhadap kejadian stroke
22

infark maupun stroke hemoragik. Hipertensi juga berhubungan dengan


gangguan kognitif pada lansia. Otak merupakan salah satu organ yang
memiliki kemampuan autoregulasi terhadap aliran darah, namun hanya bisa
terjadi jika MAP 50-150 mmHg.
c. Ginjal
Penyakit renal primer merupakan penyeba tersering hipertensi sekunder.
Sebaliknya, hipertensi merupakan faktor resiko kerusakan renaldan ESRD
(end-stage renal disease).
d. Arteri Perifer
Pembuluh darah merupakan salah stau target organ pada hipertensi. Pembuluh
arteri perifer pada penderita hipertensi dapat mengalami PAD atau peripheral
artery disease. PAD ditandai dengan nyeri pada betis atau pantat ketika
berjalan dan membaik dengan sitirahat. Ankle-brachial index digunakan
untuk mengevaluasi PAD jika ABI <0,9 maka diagnosis PAD, hal ini
terjadi karena telah terjadi penyempitan/stenosis sekitar 50% pada minimal
satu pembuluh darah utama tungkai.

Gambar 2.7 Patogenesis kerusakan organ target


23

2.8 Prognosis
Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat.
Terapi dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obatan antihipertensi
biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan
kerusakan pada jantung atau organ lain. Kunci untuk menghindari komplikasi serius
dari hipertensi adalah mendeteksi dan mengobati sebelum kerusakan terjadi.1
24

BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi essensial atau hipertensi primer adalah kondisi dimana tekanan darah
140/90 mmHg keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan
dua kali atau lebih dengan posisi duduk, kemudian diambil reratanya pada dua kali
atau lebih kunjungan. Hipertensi primer merupakan penyakit yang bukan hanya
disebabkan oleh satu macam mekanisme, akan tetapi bersifat multifactorial, yang
timbul akibat dari interaksi dari berbagai macam faktor risiko. Berbagai faktor dan
mekanisme tersebut antara lain faktor genetik dan lingkungan, mekanisme neural,
renal, hormonal dan vaskular. 5
Untuk menghitung secara menyeluruh risiko terjadinya kejadian
kardiovaskular, tidak cukup hanya dengan mengetahui diagnosis tekanan darah
seseorang. Diperlukan evaluasi lebih lanjut tentang penyakit yang menyertainya dan
kerusakan organ target yang terjadi. JNC VIII merekomendasikan intervensi yang
bersifat spesifik untuk kesehatan masyarakat berupa penurunan asupan kalori, asam
lemak jenuh dan garam, terutama untuk jenis makanan olahan, serta meningkatkan
aktivitas fisik di lingkungan sekolah dan masyarakat pada berbagai komunitas.
Strategi ini diharapkan dapat menurunkan populasi penderita hipertensi yang
akhirnya dapat menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas penderita hipertensi.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Nuraini B. Risk Factors of Hypertension. Jurnal Major 2015;4(5):10–9.


2. Olin BR, Pharm D. Hypertension: The Silent Killer: Updated JNC-8 Guideline
Recommendations. 2018.
3. World Health Organization. 2018. Raised Blood Pressure. Available from :
http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/en/.
25

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Republik


Indonesia tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2014
5. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiatii S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 1079-85
6. Guyton, Arthur C., John E. Hall, alih bahasa: Irawati dkk., editor bahasa
Indonesia: Luqman Yanuar Rachman, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed.
11, Jakarta: EGC
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
8. Subramaniam. Hubungan Antara Stres dan Tekanan Darah Tinggi pada
Mahasiswa. Industrial, Scientific and Medical 2015;2(1):4-7
9. Tisa AN. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Tekanan Darah
Meningkat Karyawan Laki-Laki di Nasmoco Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 2012;1(2):241-250
10. JNC 8. 2013. The Eighth Joint National Committee on Prevention Detection
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure
11. Nafrialdi. Antihipertensi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI;
2007.p.341-60

Anda mungkin juga menyukai