Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN HASIL STUDI KETAHANAN KAWASAN PESISIR

KELULARAHAN KOTA KARANG

Oleh

IMRANAH SIDIQAH AHMAD (1615012010)


MELIA RIZKITA IRDA (1655012004)
GRACE NOVI TRIANA (1615012017)
DWI PUTRI SIH PANGLIPUR (1615012008)
KURNIA AGENG (1415012023)
ISHMAH AZIZAH (1515012010)

Hasil Laporan Analisis dan Survey

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah


LINGKUNGAN BINAAN BERKELANJUTAN

Pada

Program Studi S1 Arsitektur


Fakultas Teknik Universitas Lampung

PROGRAM STUDI S1 ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat
dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Laporan tentang “Hasil Studi
Ketahanan Kawasan Pesisir Kelurahan Kota Karang.
Laporan ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Lingkungan
Binaan Berkelanjutan. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada Yth  Dr. Ir. Citra Persada, M.Sc. dan Yth. Yunita
kesuma S.T., M.Sc sebagai dosen mata kuliah Lingkungan Binaan Berkelanjutan.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya
dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami
untuk lebih baik  di masa yang akan datang.

Bandar Lampung, Juni 2019

Penyusun

i
Daftar Isi

Judul

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah1
1.3 Tujuan 1
1.4 Lingkup Pembahasan 1
1.5 Metodelogi Pembahasan 1
1.6 Sistematika Penulisan 1

Bab II Tinjauan Pustaka

2.1 Ketahanan Kawasan Terhadap Bencana 2


2.2 Identifikasi Ketahanan
2.2.1 Ketahanan Fisik 3
2.2.2 Ketahanan Sosial dan Budaya 3
2.2.3 Ketahanan Ekonomi 4
2.3 Studi Kasus 4

Bab III Gambaran Kawasan Terpilih

2.1 Ketahanan Kawasan Terhadap Bencana 2


2.2 Identifikasi Ketahanan
2.2.1 Ketahanan Fisik 3
2.2.2 Ketahanan Sosial dan Budaya 3
2.2.3 Ketahanan Ekonomi 4

ii
2.3 Studi Kasus 4

Bab IV Hasil dan Pembahasan

2.1 Ketahanan Kawasan Terhadap Bencana 2


2.2 Identifikasi Ketahanan
2.2.1 Ketahanan Fisik 3
2.2.2 Ketahanan Sosial dan Budaya 3
2.2.3 Ketahanan Ekonomi 4
2.3 Studi Kasus 4

Bab III Simpulan dan Arahan

3.1 Kesimpulan 7
3.2 Arahan dan Saran 8

Daftar Pustaka 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permukiman merupakan objek material geografi dan dapat pula dipandang
sebagai objek formal geografi. Objek material geografi meliputi gejala-gejala
yang terdapat dan terjadi di permukaan bumi, sedangkan objek formal geografi
adalah cara memandang dan cara berfikir mengenai permukiman melalui
pendekatan keruangan. Studi mengenai permukiman merupakan bagian dari
ilmu studi geografi karena permukiman merupakan bagian geosfer yang dalam
lingkup keruangan.
Pembangunan millenium abad ke-21 ditandai dengan pesatnya laju
pertumbuhan penduduk baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan
perdesaan. Dampak dari meningkatnya pertumbuhan penduduk adalah
ketidakseimbangan ekologi lingkungan hal Ini berkaitan dengan adanya
perluasan kawasan permukiman. Diperkirakan dalam skala global dua pertiga
penduduk dunia akan tinggal dikawasan perkotaan sedangkan di Indonesia
diperkirakan hingga 60%, artinya Kawasan perkotaan di Indonesia akan
menghadapi tantangan kompleks berupa dampak tekanan penduduk yang
meningkat (Mangunjaya, 2006).
Perkembangan penduduk di berbagai kawasan di Indonesia baik sebagai akibat
pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi
adanya masalah perkotaan yang serius. Masalah perkotaan yang serius
diantaranya, timbulnya permukiman kumuh. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk di daerah perkotaan, kebutuhan akan perumahan, penyediaan
prasarana dan sarana permukiman akan meningkat pula, baik melalui
peningkatan maupun pembangunan baru.
Kurang siapnya kota dengan sistem perencanaan dan pengelolaan kota yang
kurang tepat dalam mengantisipasi pertambahan penduduk dengan berbagai
motif dan keragaman nampaknya juga memicu timbulnya permasalahan
permukiman. Pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman
baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan
layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan oleh masyarakat sendiri maupun
pemerintah, sehingga daya dukung prasarana dan sarana lingkungan

4
permukiman yang ada mulai menurun dan pada akhirnya akan memberikan
kontribusi terjadinya permukiman yang rentan terhadap bencana.
Peristiwa bencana yang pernah dialamioleh individu, diterima sebagai stimulus
yangmemberikan pengalaman dan mempengaruhitingkat kesiapan seseorang
dalammenghadapi bencana. Bencana akanmemberikan proses pembelajaran
yangbermanfaat bagi individu dalam membentukperilaku kesiapan (Jhangiani,
2004 dalamRinaldi, 2010). Proses pembelajaran tersebuttercermin melalui
adanya langkah persiapanyang dilakukan masyarakat, sehingga
dapatmeminimalisir korban dan dampak psikologisdari bencana. Perilaku
kesiapan ini jugadidukung oleh kemampuan individu untukbangkit kembali dari
peristiwa trauma yangpernah terjadi. Kemampuan inilah yangkemudian disebut
dengan resiliensi. (Rinaldi,2010).
Resiliensi merupakan gambaran dariproses dan hasil kesuksesan beradaptasi
dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang,
terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian
traumatis (O’Leary, 1998;O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Menurut
Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency
Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya
(Reivich. K & Shatte. A, 2002 ). Resiliensi adalah indikator keberlanjutan
kehidupan seseorang yang hidup di dalam situasi yang menyulitkan. Ketika
seseorang berada pada situasi yang sulit seseorang cenderung tertekan dan
berada pada masa kritis. Konsep resiliensi lebih jelas dapat dilihat pada gambar
berikut: Sumber:Sugiri et al 2013 Gambar 1 Situasi keberlanjutan, kritis, dan
ketidakberlanjutan Konsep resiliensi dapat dilihat pada Gambar1, Titik A
menunjukkan titik stabil artinya situasi pada titik A menggambarkan situasi
normal. Sejumlah tekanan yang terjadi dapat membawa pindah ke titik B, yang
merupakan situasi kritis atau koma di dalam istilah medis. Ketika tekanan
terjadi secara terus menerus maka hal ini dapat menyebabkan situasi dapat
berpindah kepada sesuatu yang terburuk, yaitu situasi dapat menyebabkan
kematian (titik C). Pada ilustrasi tersebut ketahanan digambarkan dari titik Ake
B. Pada saat seseorang berada pada titik Batau kondisi kritis, maka sebuah
tindakan perlu dilakukan untuk mempertahankan agar hal tersebut tidak
berpindah ke titik C. Perlu danya upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
posisi pada masa kritis agar tidak menjadi mati. Lebih jelasnya diilustrasikan
pada Gambar 2 di bawahini. Sumber: Sugiri et al, 2013 Gambar 2 Perbaikan

5
situasi darurat Langkah-langkah berikutnya harus menciptakan cara-cara
mengembalikan kepada situasi berkelanjutan (Titik A). Hal ini ditunjukkan
pada Gambar3 di bawah ini. Perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan agar
tidak berada pada titik kritis secara terus menerus dan dapat kembali pada titik
A,upaya tersebut diilustrasikan oleh garis biru pada gambar di bawah ini untuk
dapat membawa kembali pada titik A. (Sugiri, et al
Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi
dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang,
terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian
traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Menurut
Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency
Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan ( adversity ) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya
(Reivich. K & Shatte. A, 2002 ).
Resiliensi adalah indikator keberlanjutan kehidupan seseorang yang hidup di
dalam situasi yang menyulitkan. Ketika seseorang berada pada situasi yang sulit
seseorang cenderung tertekan dan berada pada masa kritis. Konsep resiliensi
lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut:

Sumber:Sugiri et al 2013
Gambar 1

Situasi keberlanjutan, kritis, dan ktidakberlanjutan

Konsep resiliensi dapat dilihat pada Gambar 1, Titik A menunjukkan titik stabil
artinya situasi pada titik A menggambarkan situasi normal. Sejumlah tekanan
yang terjadi dapat membawa pindah ke titik B, yang merupakan situasi kritis

6
atau koma di dalam istilah medis. Ketika tekanan terjadi secara terus menerus
maka hal ini dapat menyebabkan situasi dapat berpindah kepada sesuatu yang
terburuk, yaitu situasi dapat menyebabkan kematian (titik C). Pada ilustrasi
tersebut ketahanan digambarkan dari titik A ke B. Pada saat seseorang berada
pada titik B atau kondisi kritis, maka sebuah tindakan perlu dilakukan untuk
mempertahankan agar hal tersebut tidak berpindah ke titik C. Perlu adanya
upaya yang dilakukan untuk mempertahankan posisi pada masa kritis agar
tidak menjadi mati. Lebih jelasnya diilustrasikan pada Gambar 2 di bawah ini.

Sumber: Sugiri et al, 2013


Gambar 2

Perbaikan situasi darurat

Langkah-langkah berikutnya harus menciptakan cara-cara mengembalikan


kepada situasi berkelanjutan (Titik A). Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3 di
bawah ini. Perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan agar tidak berada pada
titik kritis secara terus menerus dan dapat kembali pada titik A, upaya tersebut
diilustrasikan oleh garis biru pada gambar di bawah ini untuk dapat
Tingkat Resiliensi dapat ditentukan dengan melakukan pembobotan dengan
menggunakan analisis tingkat resiliensi yang telah ditetapkan oleh Connor and
Davidson Resilience Scale (CD- RISC). Skala Resiliensi terdiri dari 25 item
dengan menggunakan jawaban skala Likert dari 0 (sangat tidak benar) hingga 4
(sangat benar dan sesuai dengan kondisi nyata). Jumlah skor total tertinggi
merupakan orang yang masuk ke dalam kelompok tingkat resiliensi tinggi dan
jumlah skor terendah merupakan orang dengan tingkat resiliensi yang
rendah. Tingkat resiliensi diukur pada tiap individu dengan cara menilai dengan
beberapa kriteria berikut ini:

7
Sumber: Sugiri, et al. 2013
Gambar 3
Memperbaiki kerusakan, meningkatkan resiliensi Mengukur Tingkat
Resiliensi

Tabel 1
Kriteria Pengukuran Tingkat Resiliensi Menurut Connor-Davidson
Resilience Scale (CD-RISC)

No Kriteria 0 1 2 3 4
1 Saya mampu beradaptasi terhadap perubahan
2 Saya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan
membuat aman
3 Saya menyerahkan kepada nasib
4 Saya dapat menghadapi segala sesuatu yang datang
5 Saya memiliki keberhasilan masa lalu memberikan
kepercayaan diri untuk tantangan baru
6 Saya melihat sesuatu dari segi humor
7 Saya mengatasi tekanan/stress yang kuat
8 Saya cenderung untuk bangkit kembali setelah sakit atau
kesulitan
9 Sesuatu terjadi untuk sebuah alasan
10 Saya melakukan upaya yang terbaik untuk segala
sesuatunya
11 Saya dapat mencapai tujuan anda
12 Ketika hal-hal terlihat tidak memiliki harapan, saya tidak
menyerah
13 Saya tahu ke mana harus mencari bantuan
14 Ketika dibawah tekanan, saya fokus dan berpikir jernih

8
15 Saya lebih memilih untuk menjadi pemimpin dalam
pemecahan masalah
16 Saya tidak mudah putus asa oleh kegagalan
17 Pikirkan diri sebagai pribadi yang kuat
18 Saya mampu membuat keputusan yang sulit
19 Saya dapat menangani perasaan tidak menyenangkan
20 Harus bertindak atas firasat
21 Saya memiliki perasaan yang kuat untuk sebuah tujuan
22 Dapat mengendalikan kehidupan saya
23 Saya suka tantangan
24 Saya bekerja untuk mencapai tujuan anda
25 Saya kebanggaan untuk prestasi yang anda capai
Jumlah
Total Skor

Upaya Adaptasi Perubahan Iklim yang Dilakukan Kementrian Kelautan dan


Perikanan

Bagi masyarakat yang bermukim dipesisir, kementrian kelautan dan perikanan


memberikan tiga pilihan adaptasi terhadap perubahan iklim, yaitu proteksi
(protect), mundur (retreat), dan akomodasi (accommodate).

Sumber: Aldrian et al, 2011: 125


Gambar 4

9
Strategi adaptasi perubahan iklim untuk masyarakat yang bermukim di pesisir

1. Strategi proteksi
Strategi proteksi dapat dilakukan dengan membuat bangunan pantai yang
mampu mencegah banjir air laut (rob) agar tidak merangsek ke darat. Pola ini
bertujuan melindungi permukiman, industry wisata, jalan raya, daerah
pertanian, tambak, dan lain-lain dari genangan air laut. Tanggul dan bangunan
pantai tidak hanya dirancang berdasarkan muka air pasang tinggi dan
gelombang laut pada saat ini, tetapi juga harus memperhitungkan amblesan
tanah, kenaikan muka air laut, dan gelombang laut akibat angina pada kondisi
ekstrem.
Upaya proteksi lain yang dapat ditempuh adalah dengan menanam mangrove.
Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak
membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.Lahan hasil
timbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat meredam banjir
rob yang merangsek ke darat. Fungsi alih lain dari hutan mangrove adalah
sebagai penyerap karbon sehingga tanaman ini dapat mengurangi pemanasan
global
2. Strategi Mundur
Strategi mundur bertujuan menghindari genangan air laut dengan cara
merelokasi permukiman, industry, daerah pertanian, dan lain-lain kea rah
daratan yang jauh dari laut. Dengan demikian kawasan tersebut tidak
terjangkau air laut sebagai akibat kenaikan paras muka air laut.
3. Strategi Akomodatif
Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan kenaikan paras muka air laut.
Salah satu contohnya adalah dengan membuat rumah panggung di tepi pantai
agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir air pasang.

1. 2 Rumusan Masalah

10
1. Mengindentifikasi sejarah terbentuknya kawasan kota karang
2. Mengindentifikasi dan Menganalisa kondisi pola solid, void, dan linkage
kawasan
3. Mengindentifikasi dan Menganalisa gambaran kondisi kawasan dilihat
dari aspek soial, budaya, dan ekonomi kawasan kota karang
4. Mengindentifikasi dan Menganalisa tingkat resiko dan pengurangan resiko
bencana
5. Mengindentifikasi upaya pencegahan, dan kerentanan sosial budaya
ekonomi penduduk
6. Mengindentifikasi dan Menganalisa mitigasi bencana struktural dan non-
struktural
7. Mengindentifikasi dan Menganalisa keberlanjutan lingkungan

1. 3 Tujuan
Mengetahui kondisi permukiman di kawasan kota karang dan seberapa tingkat
resiliens yang terjadi di kawasan kota karang Kota Bandar Lampung dengan
menyesuaikan Teori Tata Ruang Kota serta menganalisis permasalahan dan
solusi bagi permukiman di kawasan pesisir kota karang.

1. 4 Lingkup Pembahasan
Adapun batasan masalah yang ditetapkan dalam laporan ini adalah hanya
berfokus pada titik kawasan permukiman di kawasan kota karang dan berakhir
hingga kawasan keteguhan, Kota Bandar Lampung sebagai objek dan sumber
data pembuatan laporan.

1. 5 Metodelogi Pembahasan
Metode pembahasan yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu
menguraikan dan menjelaskan data kemudian dianalisa untuk mendapatkan
suatu kesimpulan. Pengumpulan data diperoleh dengan cara :
a. Studi Literatur Mengumpulkan semua referensi dan data – data terkait yang
nantinya akan menjadi arahan dan panduan dalam menganalisis
permasalahan resiliensi sebuah kawasan.

11
b. Studi Kasus Melakukan perbandingan terhadap penanganan – penanganan
permukiman pesisir untuk menemukan masalah.
c. Survey Site Mengenali site dengan cara meninjau secara langsung untuk
mengetahui karakter site berkaitan dengan batasan, masalah dan potensi,
dengan pertimbangan kondisi yang ada.
d. Analisis Data Menganilisi seluruh data baik data literatur maupun data
lapangan terkait dengan kebutuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan,
standar – standar yang ada sehingga dapat mengahsilakn desain yang tepat
untuk kawasan pesisir kota karang yang berketahanan tinggi terhadap
bencana.
e. Analisis Site Analisis site dilakukan terhadap bentuk tapak dan lokasi site
yang ada.
f. Penemuan Konsep Perancangan Mengolah data yang telah didapatkan dari
analisis data dan analisis site untuk menemukan konsep perancanagan yang
kemudian akan dijadikan acuan dalam mendesain.

1. 6 Sistematika Pembahasan
BAB 1 PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
sasaran, lingkup bahasan, dan metodologi peneliatian dan sistematika
pembahasan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Memuat uraian tentang tinjauan pustaka dan teori relevan yang terkait
dengan teori figure ground dan linkage serta bahasan yang terkait
laporan.
BAB III GAMBARAN KAWASAN TERPILIH
Berisi data – data terkait kawasan yang terpilih, yaitu sejarah kawasan,
data umum kawasan dan data – data lapangan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN V
Berisi tentang hasil dan pembahasan permasalahan terkait kawasan
yang terpilih

12
BAB V SIMPULAN DAN ARAHAN
Berisi tentang Simpulan dan arahan tentang bagaimana semestinya
Ketahanan kampung kota

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketahanan Kawasan Terhadap Bencana

Sebuah Kawasan ialah sebuah tempat dimana terdapat bebagai kelompok


manusia yang hidup didalamnya. Terdapat berbagai sarana dan prasarana yang
mendukung kehidupan. Kawasan (dari bahasa Jawa Kuno: kawaśan, yang
berarti daerah waśa, dari bahasa Sanskerta: "memerintah") artinya daerah yang
memiliki ciri khas tertentu atau berdasarkan pengelompokan fungsional
kegiatan tertentu, seperti kawasan industri, kawasan perdagangan, dan kawasan
rekreasi. Misalnya: "Kebayoran Baru merupakan 'kawasan' perumahan elite."
Salah satu lokasi Kawasan adalah berada di daerah pesisir. Daerah pesisir
memiliki sangat banyak potensi, contohnya daerah pesisir kaya akan baharinya
dan pantainya yang dapat mengembangkan sector pariwisata. Daerah pesisir
dapat juga menjadi sumber mata pencaharian penduduk sekitarnya, seperti
nelayan yang menjadikan bahan utama pangannya adalah ikan. Namun, dilain
sisi dari keindahan dan manfaat nya, ternyata daerah pesisir juga dapat menjadi
suatu ancaman. Ancaman alam yang tak dapat dihindari yaitu bencana. Maka
suatu Kawasan yang terletak di daerah pesisir harus mempunyai ketahanan
masyarakat agar dapat bertahan dari suatu bencana.
Ada perbedaan yang signifikan antara disaster resilience dan disaster resistance,
walaupun diartikan sama di dalam bahasa Indonesia yaitu ketahanan bencana.
Disaster resilience adalah kemampuan menyerap dampak bencana dan kembali
ke posisi semula, yaitu seberapa cepat masyarakat pulih atau kembali setelah
bencana terjadi. Sedangkan disaster resistance adalah kemampuan masyarakat
dalam menolak atau menahan dampak negatif sebuah bencana.

Jika disaster resilience diawali dengan negative-internal shock, seperti income


and consumption shock, disaster resistance tidak menunjukkan dampak negatif
apapun. Selanjutnya, pemanfaatan istilah disaster resilience lebih banyak
digunakan pada negara-negara berkembang yang belum mampu
menahan/menangkal dampak negatif bencana walaupun berskala kecil.
Sedangkan di negara-negara maju, pemanfaatan disaster resilience hanya
digunakan ketika terjadinya bencana-bencana berskala besar.

14
Pembahasan disaster resilience terbagi ke dalam beberapa sektor, beberapa di
antaranya adalah ekonomi, kesehatan, dan sosial. Definisi masing-masing
sektor sangatlah mudah dipahami yaitu kembalinya kondisi awal masyarakat
(kondisi ekonomi, kesehatan, dan sosial) pascaterjadinya bencana.

Di Jepang, gempa bumi hanya akan menghentikan aktivitas masyarakat selama


gempa berlangsung (berdasarkan pengalaman penulis). Jika gempa berlangsung
dua menit, maka transportasi hanya akan berhenti selama dua menit, tentu
berbeda jika disusul dengan tsunami atau rusaknya pembangkit listrik seperti
yang terjadi di Fukusima.

Kondisi itu sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Rendahnya
tingkat disaster resilience menyebabkan dampak negatif sebuah gempa
(walaupun berskala kecil) d apat terjadi dalam dua fase, yaitu saat kejadian
(on-occurance effect/OCF) and pasca gempa (post-occurance effect/POE).
Korban jiwa, korban luka, dan bangunan rusak adalah beberapa contoh OCF,
sedangkan pergeseran ekonomi dan trauma adalah beberapa contoh PCF.

2.2 Ketahanan Fisik, Sosial, Budaya dan Ekonomi Suatu Kawasan


Permukiman
a. Fisik
Ketika suatu bencana terjadi, semisalnya gempa/tsunami maka suatu
daerah atau Kawasan akan mengalami kerusakan. Tingkat kerusakan
tergantung pula akan besar kecilnya suatu bencana.

Jikalau suatu bencana menyebabkan kerusakan hebat yang meluluh


lantahkan suatu Kawasan. Maka sebuah pemerintah harus sigap dalam
melakukan rehabilitasi, cepat dan tanggap dalam pengirimkan bantuan.
Tidak hanya peran pemerintah yang dibutuhkan, namun peran masyarakat
sangat dibutuhkan untuk terjalinnya kerja sama antara pemerintah dan
masyarakat yang ada di Kawasan tersebut.

b. Sosial dan Budaya


Ketahanan sosial dan budaya juga dapat mengenai sifat manusia, yang
mana setelah terjadi bencana, masyarakat bisa lebih mendekatkan diri
kepada sang pencipta dan menganggap sebuah bencana adalah teguran
atau ujian. Maka hati dan pikiran masyarakat akan lebih tenang. Setelah
pasca bencana, “Ketahanan” disimbolkan oleh kerja sama dan gotong

15
royong antar penduduk. Tabah dan saling mneguatkan. Sosialisi tanggap
bencana dalam hal (pra dan pasca) bencana sangat diperlukan agar
masyarakat siap kapan pun bencana datang dan mampu menaanggulangi
pasca bencana secara Bersama-sama.

c. Ekonomi
Ketahanan Ekonomi dapat dilihat dari ekonomi mikro dan makro yang
ada di Kawasan yang terkena bencana. Pemulihan yang cepat
membuktikan ketahanan ekonomi suatu Kawasan terjalin baik.
Ketahanan Ekonomi suatu Kawasan, dalam hal keuangan pribadi,
penduduk sudah siap akan suatu bencana, jadi tidak terlalu banyak
menginvestasikan kekayaan di dalam rumha. Penduduk harus mempunyai
cadangan keuangan yang dimana agar mereka dapat bertahan hidup pasca
bencana.
Mengenai Mata pencaharian penduduk Kawasan pesisir bias di bilang
sebagian besar menjadi nelayan atau pekerjaan yang berhubungan dengan
Kawasan pesisir. Penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan pun
harus dapat berfikir satu samapi dua langkah ke depan apabila terjadi
suatu bencana dengan memikirkan pekerjaan sampingan yang dapat
membuat mereka bertahan pasca bencana.

2.3 DASAR HUKUM TENTANG MITIGASI BENCANA

UU NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG PENAGGULANGAN BENCANA


MENYATAKAN PADA PASAL 44 sampai PASAL 47 BAHWASANNYA:

Pasal 44

Penyelenggaraan penaggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi


terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf b meliputi :

a. Kesiapsiagaan
b. Peringatan dini, dan
c. Mitigasi bencana

Pasal 45
(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 huruf a dilakukan untuk
memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana
(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Penyususunan dan uji coba rencana penggulangan kedaruratan bencana;
b. Perorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;

16
c. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar;
d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat;
e. Penyiapan lokasi evakuasi;
f. Penyususnan data akurat, informasi, dan pemukhtahiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana, dan
g. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.

Pasal 46
(1) Peringatan dini sebagaiamana dimaksud dalam pasal 44 huruf b dialakukan
untuk mengurangi resiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan
rawan bencana.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Pengamatan gejala bencana;
b. Analisis hasil pengamatan gejala bencana;
c. Pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;
d. Penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana; dan
e. Pengambilan tindakan oleh masyarakat.

Pasal 47
(1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 huruf c dilakukan untuk
mengurangi resiko bencana bagi masyarakat yang berada di kawasan rawan
bencana.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialkukan melalui:
a. Pelaksanaan penataan ruang
b. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, dan
c. Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern.

UU NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR


DAN PULAU-PULAU KECIL BAB X MITIGASI BENCANA PASAL 56
sampai PASAL 59 BAHWASANNYA:

BAB X
MITIGASI BENCANA

Pasal 56

Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Pesisir Dan


Pulau-Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan/ atau Pemerintah daerah wajid
nmemasukkan dan melaksnakan bagian yang memuat mitigasi bencana di

17
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan
wilayahnya.

Pasal 57

Mitigasi bencana wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dialkukan dengan


melibatkan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau
Masyarakat.

Pasal 58

Penyelenggaraan mitigasi bencana Wilayah Pesisir sebagaimana dimaksud


dalam pasal 57 dilaksanakan dengan memperhatikan aspek:

a. Sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat;


b. Kelestarian lingkungan hidup;
c. Kemanfaatan dan efektifitas; serta
d. Lingkup luas wilayah

Pasal 59

(1) Setiap Orang yang berada di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil wajib
melaksanakan mitigasi bencana terhadap kegiatan yang berpotensi
mengakibatkan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
(2) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan struktur/fisik dan/ atau nonstruktur/ nonfisik.
(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan oleh instansi
yang berwenang.
(4) Ketentuan mengenai mitigasi bencana dan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2006


TENTANG PEDOMAN UMUM MITIGASI BENCANA BAHWASANNYA:

Pasal 1
Kegiatan Mtigasi Bencana di daerah dilaksanakan untuk mengetahui potensi
bencana yang ada di suatu daerah dan melkukan upaya antisipasi
penanganannya.

Pasal 2
Pemerintah daerah dalam melaksanakan mitigasi bencana dialakukan secara
berjenjang melalui struktur kelembagaan Satuan Koordinasi Pelaksanaan
Penaganan Bencana, Satuan Pelaksana Penanganan Bencana, Unit Operasi
Penaganan Bencana dan Kepala Desa/Lurah.

18
Pasal 3
(1) Gubernur selaku Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Bencana
bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan organisasi struktural dan non
struktural dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
provinsi.
(2) Bupati/Walikota selaku Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan
Bencana bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan organisasi struktural
dan non struktural dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di
wilayah kabupaten/kota.
(3) Camat selaku Ketua Unit Operasi Penanganan Bencana bertanggung jawab
mengkoordinasikan kegiatan organisasi struktural dan non struktural serta
masyarakat dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
kecamatan.
(4) Kepala Desa/Lurah bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan masyarakat
dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
Desa/Kelurahan.

19
BAB III
GAMBARAN KAWASAN

3.1 Keadaan Umum Kota Bandar Lampung


Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Propinsi Lampung. Oleh karena
itu, selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik,
pendidikan, dan kebudayaan, Kota ini juga merupakan pusat kegiatan
perekonomian daerah Lampung. Secara geografis Kota Bandar Lampung
terletak pada 5020’ sampai dengan 5030’ Lintang Selatan dan 105028’ sampai
dengan 105037’ Bujur Timur. Ibukota Propinsi Lampung ini berada di Teluk
Lampung yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatera. Kota Bandar
Lampung memiliki luas wilayah 197,22 Km2 yang terdiri dari 20 Kecamatan
dan 126 Kelurahan. Secara administratif Kota Bandar Lampung dibatasi
oleh:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang
Cermin Kabupaten Pesawaran.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang
Kabupaten Lampung Selatan.

Visi dan Misi

Visi : Terwujudnya Peningkatan Pelayanan Masyarakat Menuju


Masyarakat Sejahtera.
Misi
o Meningkatkan kualitas aparatur Kelurahan Kotakarang Kecamatan
Teluk Betung Timur.
o Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui peningkatan
sarana prasarana.

20
o Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di
wilayah Kecamatan Teluk

Tabel 5. Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bandar Lampung


Tahun 2014

Kecamatan Jumlah Kelurahan (Buah)

Teluk Betung Barat 5


Teluk Betung Timur 6
Teluk Betung Selatan 6
Bumi Waras 5
Panjang 8
Tanjung Karang Timur 5
Kedamaian 7
Teluk Betung Utara 6
Tanjung Karang Pusat 7
Enggal 6
Tanjung Karang Barat 7
Kemiling 9
Langkapura 5
Kedaton 7
Rajabasa 7
Tanjung Senang 5
Labuhan Ratu 6
Sukarame 6
Sukabumi 7
Wayhalim 6

21
Jumlah 126

Sumber: Bandar Lampung dalam angka, 2014


Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung tahun 2013 adalah sebesar
942.039 jiwa terdiri dari 475.039 jiwa (50,43%) penduduk laki-laki dan
467.000 jiwa (49,57%) penduduk perempuan dengan sex ratio sebesar
102%.

Tabel 6. Komposisi Jumlah Penduduk di Kota Bandar Lampung Tahun 2014

Keterangan Jumlah Satuan

Jumlah Penduduk Keseluruhan 942.039 Jiwa


Jumlah Penduduk laki-laki 475.039 Jiwa
Jumlah Penduduk Perempuan 467.000 Jiwa
Sex Ratio 102 % Jiwa

Sumber: Bandar Lamung dalam angka, 2014

B. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Timur


Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun
2012, tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan, letak
geografis dan wilayah administratif Kecamatan Teluk Betung Timur berasal
dari sebagian wilayah geografis dan administratif Kecamatan Teluk Betung
Barat dengan luas wilayah 1.210 Ha, dan berbatasan dengan:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat dan
Kecamatan Teluk Betung Selatan

22
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat

Kecamatan Teluk Betung Timur secara administratif dibagi menjadi 6


Kelurahan, yaitu Kelurahan Kota Karang, Kota Karang Raya, Perwata,
Keteguhan, Sukamaju, Way Tataan. Adapun pusat pemerintahan Kecamatan
Teluk Betung Timur berada di Kelurahan Sukamaju. Kecamatan Teluk
Betung Timur secara geografis merupakan wilayah pantai yang membujur
dari Timur kearah Barat pantai Teluk Lampung.
Berdasarkan angka proyeksi tahun 2012 jumlah penduduk Kecamatan Teluk
Betung Timur mencapai 38.408 jiwa penduduk tetap berdasarkan jenis
kelamin, jumlah penduduk laki-laki mencapai 19.809 jiwa lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yang mencapai 18.599
jiwa. Di wilayah Kecamatan Teluk Betung Timur adat istiadat pada kalangan
masyarakat tidak mengikat, dikarenakan penduduk di wilayah Kecamatan
Teluk Betung Timur terdiri dari bermacam-macam suku,

C. Keadaan Umum Kelurahan Kota Karang Raya


Sejarah Singkat
Pada abad ke-XVIII (Tahun 1800) Kelurahan Kotakarang dihuni dan dibuka
oleh Pangeran Tanun Dewangsa dan Pangeran Tanun Jaya berserta keluarga.
Mereka datang dari Sekala Bekhak dari keturunan Buay Nunyai. Nama
Kelurahan Kotakarang ini sudah lama kita dengar sehingga tidak asing lagi
bagi kita semua khususnya bagi masyarakat pesisir Bandar Lampung.
Kotakarang berasal dari kata aslinya yaitu Kutakakhang (berasal dari bahasa
Lampung) yang diartikan sebagai Pagar Karang, sebab pada zaman dahulu
Kelurahan ini dipinggir pantai Teluk Lampung, yang pada waktu itu tempat
bersandarnya gerombolan bajak laut. Maka untuk pengamanannya dipagar
dengan batu karang, maka kelurahan ini dinamakan Kotakarang sampai pada
saat ini.
Kemudian pada tahun 2012 tepatnya pada tanggal 17 September 2012
Kelurahan Kotakarang dimekarkan menjadi dua Kelurahan, yaitu Kotakarang
dan Kotakarang Raya berdasarkan Peratuaran Daerah Nomor 04 Tahun 2012
tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan Kota Bandar
Lampung.

1. Letak dan Luas Daerah

23
Kelurahan Kota Karang Raya merupakan salah satu kelurahan di
Kecamatan Teluk Betung Timur. Luas daerah Kelurahan Kota Karang
Raya, yaitu 22 Ha. Tinggi rata-rata Kelurahan Kota Karang Raya dari
permukaan laut yaitu 2 meter dari permukaan laut. Jarak antara Kelurahan
Kota Karang Raya dengan ibukota kecamatan, yaitu 3,5 km dan jarak
dengan Ibukota Bandar Lampung, yaitu 4 km. Batas daerah Kelurahan
Kota Karang Raya yaitu:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kota Karang.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Keteguhan.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut/Teluk Lampung.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Perwata.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian Kelurahan Kota Karang Raya


2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Kelurahan Kota Karang Raya pada tahun 2014, yaitu
sebesar 6076 jiwa, terdiri dari 3063 jiwa (50,41%) penduduk laki-laki
dan 3013 (49,59%) penduduk perempuan, sedangkan jumlah rumah
tangga di Kelurahan Kota Karang Raya sebanyak 1451 KK, Maka
angka ketergantungan hidup sebesar 4 orang.

24
Tabel 7. Jumlah Penduduk Kelurahan Kota Karang Raya
Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2014

Pendidikan Umum/Khusus Jumlah (jiwa)


Sarjana 38
Akademi/Diploma 60
SLTA 1.005
SLTP 1.343
SD 2.706
TK 170
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Kota Karang Raya, 2014
Berdasarkan tabel di atas, penduduk Kelurahan Kota Karang Raya
dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar berjumlah 2.706 jiwa.
Sedangkan jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan sarjana adalah
yang terkecil, hanya berjumlah 38 jiwa saja.
3. Sarana dan Prasarana
Sebagai Kelurahan yang tergolong masih baru, Kelurahan Kota Karang
Raya memiliki sarana dan prasarana yang cukup lengkap. Sarana dan
prasarana yang terdapat di Kelurahan Kota Karang Raya terdiri dari
sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, pengairan,
pemerintahan, peribadatan, olahraga, kesenian, pendidikan, dan
industri. Rincian sarana dan prasarana tersebut dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8. Sarana dan prasarana di Kelurahan Kota Karang Raya Tahun
2014

Sarana dan Prasarana Jenis Keterangan


Sarana
Air Bersih a. Sumur Pompa 5 unit
b. Sumur gali 35 unit
c. Jamban rumah tangga 1112 unit

25
Prasarana
Transportasi Darat a. Sepeda 23 unit
b. Gerobak 1 unit
c. Becak 26 unit
d. Sepeda Motor 1038 unit
e. Mobil Pribadi 18 unit
Transportasi Laut a. Perahu Layar 15 unit
b. Perahu Dayung 58 unit
c. Perahu Motor 94 unit
Komunikasi dan Informasi a. Pesawat Telepon 13 unit
b. Pesawat TV 141 unit
c. Pesawat Radio 28 unit
d. Dekoder TV Swasta 15 unit
e. Antene Parabola 105 unit
KUD a. Koperasi Unit Desa 1 Buah
Pasar a. Pasar Lingkungan 1 Buah
b. Kios 54 Buah

Peribadatan a. Masjid 1 Buah


b. Musholla 7 Buah

Kesehatan a. POS Klinik 1 Buah


b. Posyandu 6 Buah
c. Puskesmas 1 Buah
d. Puskesmas Pembantu 1 Buah
Pendidikan a. Sekolah Dasar 1 Buah
b. Pondok Pesantren 2 Buah
c. PAUD Swasta 2 Buah

26
Olahraga a. Lapangan Sepak Bola 1 Buah
b. Lapangan Volley 1 Buah
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Kota Karang Raya, 2014

Selain sarana dan prasarana, terdapat bermacam-macam jenis


matapencaharian penduduk Kelurahan Kota Karang Raya. Hal ini
disebabkan daerah Kelurahan Kota Karang Raya merupakan
merupakan bagian dari daerah perkotaan yang merupakan pusat
kegiatan ekonomi. Selain itu, yang menyebabkan matapencaharian
penduduk Kelurahan Kota Karang Raya bermacam-macam adalah
banyaknya sektor-sektor informal yang mempekerjakan penduduk usia
produktif. Tentu saja hal ini mendukung terjadinya perputaran
ekonomi di Kelurahan Kota Karang Raya.
Tabel 9. Jumlah penduduk Kelurahan Kota Karang Raya
menurut mata pencaharian Tahun 2014

Matapencaharian Pokok Jumlah (Jiwa)


Karyawan
a. Pegawai Negeri Sipil 24
b. ABRI 15
c. SWASTA 20
Wiraswasta/Pedagang 355
Tani 19
Pertukangan 150
Buruh 1921
Pensiunan 9
Nelayan 120
Pemulung 184
Jasa 367

27
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Kota Karang Raya, 2014
4. Gambaran Masyarakat Nelayan di Kelurahan Kota Karang Raya
Berdasarkan data dari buku monografi Kelurahan Kota Karang Raya
tahun 2014, Kelurahan Kota Karang Raya dihuni oleh 2549 keluarga
yang terdiri dari beberapa kategori, berikut adalah jumlah keluarga di
Kelurahan Kota Karang Raya berdasarkan tingkat kesejahteraan:

Tabel 10. Jumlah Keluarga di Kelurahan Kota Karang Raya


Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan

Kategori Keluarga Jumlah


Keluarga Prasejahtera 838
Keluarga Sejahtera 1 952
Keluarga Sejahtera 2 553
Keluarga Sejahtera 3 216
Jumlah 2549

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Kota Karang Raya 2014


Tabel 10 menunjukkan bahwa pada kelurahan Kota Karang Raya jumlah
keluarga sejahtera 1 merupakan yang terbanyak yaitu berjumlah 952

Sedangkan jumlah keluarga sejahtera 3 adalah yang paling sedikit.


Masih banyak keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 di
Kelurahan Kota Karang Raya. Keluarga-keluarga ini memiliki kepala
keluarga yang bekerja diberbagai sektor.

28
Gambar 3. Aktivitas di pemukiman masyarakat nelayan Kota Karang Raya
Sumber: Olahan Data Primer, 2015

Kelurahan Kota Karang Raya memiliki sumberdaya alam potensial


dalam hal hasil perikanan. Keadaan ini didukung dari wilayah Kota
Karang Raya yang terletak di pinggiran garis pantai, sehingga banyak
warga Kelurahan Kota Karang Raya yang bekerja mengandalkan hasil
laut, baik sebagai nelayan maupun sebagai buruh nelayan. Dapat dilihat
pada data dari Kelurahan Kota Karang Raya tahun 2014, sebagai
berikut:
Tabel 11. Jumlah Warga di Kelurahan Kota Karang Raya yang
Bekerja Sebagai Nelayan dan Buruh

Mata Pencaharian 2013 2014


Nelayan 115 120
Buruh 1496 1921

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Kota Karang Raya 2014


Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah nelayan mengalami kenaikan pada
tahun 2014, nelayan bertambah 5 orang, sebelumnya jumlah nelayan pada
tahun 2013 berjumlah 115. Pertambahan pun terjadi pada warga yang
bekerja sebagai buruh, pada tahun 2013 jumlah buruh di Kelurahan Kota
Karang Raya sebanyak 1496, kemudian pada tahun 2014 jumlah warga yang
bekerja sebagai buruh naik menjadi 1921, terjadi peningkatan yang cukup
signifikan pada jumlah warga yang bekerja sebagai buruh. Bila
dipersentasekan jumlah warga yang bekerja pada sektor nelayan dan buruh
nelayan adalah sebesar 60,49 persen. Jumlah persentase tersebut terbilang
tinggi, jika dibandingkan dengan persentase matapencaharian lain di

29
Kelurahan Kota Karang Raya sektor nelayan dan buruh mendominasi.
Sebagai nelayan tentunya para warga memiliki transportasi sebagai prasarana
penunjang kegiatan melaut, berdasarkan data dari buku monografi Kelurahan
Kota Karang Raya terdapat 15 buah perahu layar, 58 buah perahu dayung
dan 94 perahu motor

Gambar 4. Prasarana nelayan Kelurahan Kota Karang Raya


Sumber: Olahan Data Primer, 2015

Lebih lanjut, pada buku monografi Kelurahan Kota Karang Raya


menunjukkan bahwa pendapatan ekonomi masyarakat pada sektor
perikanan mencapai Rp.2.900.000,-/bulan, angka ini naik sebesar
Rp.400.000,- bila dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya sebesar
Rp.2.500.000,-/bulan.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Questioner:

30
1. Bagaimana Tingkat Resiko Bencana di Kota Karang?
2. Upaya Apa yang dilakukan untuk pencegahan Bencana? Kerentanan
Sosial, Budaya dan ekonommi Penduduk?
3. Bagaimana Mitigasi Bencana structural dan non structural?
4. Bagaimana Ketanggapan penduduk akan bencana dan bagaimana pola
evakuasi dan pengungsian jika terjadi bencana ?
5. Bagaimana Keberlanjutan lingkungan di Kota Karang setelah Bencana
Tsunami? Apa yang membuat daerah ini bisa bertahan akan bencana
tsunami/rob? Mengapa warga disini mau untuk tetap bertahan?

4.2 Tingkat resiko dan pengurangan resiko bencana (PRB)


Kota Bandar Lampung mempunyai potensi yang sangat besar terhadap bencana
tsunami yang bersumber dari perairan Kawasan selat sunda, baik itu berasal
dari gempa, longsor bawah laut, maupun dariletusan Gunung Anak Krakatau.
Pengalaman Letusan dahsayat dari Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada
tanggal 27 agustus 1883 yang diikuti oleh tsunami telah menghancurkan
Kawasan Selat Sunda, termasuk pantai Kota Bandat Lampung bagian selatan.
Untuk mengamankan penduduk, dialkukannnya mitigasi terhadap kemungkinan
benan tsunami. Untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami
tersebut, upaya mitigasi bisa dilakukan secara structural mapun non structural.
Saat ini telah banyak infrastrukstur yang berada di Kawasan pantai selatan
Bandar Lampung, baik itu Kawasan industry, perdagangan, perhotelan,
kepariwisataan, dan terutama adalah permukiman penduduk. Untuk mengindari
dampak bencana tersebut sebaiknya pemda, masyarakat dan institusi terkait
segera melakukan upaya mitigasi, kesiagapan, kesiagaan, sistem peringatan dini
dan membuat evaluasi master plan yang telah ada dengan mempertimbangkan
bencana tsunami dalam pengamanan harta, jiwa danlingkugan di Kawasan
pantai untuk pembanguna berkelanjutan.

4.3 Upaya Pencegahan dan Kerentanan Sosial Budaya Ekonomi


Sebelumnya terdapat upaya pencegahan yang di laksanakan oleh BPBD yaitu
mengenai “TAGANA” Tanggap Bencana dengan melakukan pelatihan-
pelatihan yang diberikan ke warga sekitar. Telah diberikan pula tanda atau jalur
evakuasi dan titik kumpul di sekitar lokasi kota karang. Namun dalih untuk
memberi signed evakuasi yang baik, kebanyakan warga merasa bingung akan

31
signed yang telah diberikan oleh pemerintah. DIbuktikan banyaknya warga
yang terjebak dan meninggal di jalan atau daerah macet. Ini membuktikan
bahwa kurangnya sosialisasi dan pemahaman warga mengenai jalur evakuasi
itu tersendiri.
4.4 Mitigasi Bencana Struktural dan no Struktural
Penanganan bencana merupakan proses yang dinamis, terpadu dan
berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan serangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat, evakuasi, rehabilitasi dan pembangunan
kembali. Mitigasi adalah merupakan tindakan-tindakan untuk mengurangi atau
meminimalkan potensi dampak negatif dari suatu bencana. Minimal terdapat
enam langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan mitigasi bencana
tsunami. Pertama, adalah dengan melakukan upaya-upaya perlindungan kepada
kehidupan, infrastruktur dan lingkungan pesisir. Kedua adalah dengan
meningkatkan pemahaman dan peranserta masyarakat pesisir terhadap kegiatan
mitigasi bencana gelombang pasang. Ketiga adalah meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Keempat, adalah meningkatkan
koordinasi dan kapasitas kelembagaan mitigasi bencana. Kelima adalah
menyusun payung hukum yang efektif dalam upaya mewujudkan upaya-upaya
mitigasi bencana yaitu dengan jalan penyusunan produk hukum yang mengatur
pelaksanaan upaya mitigasi, pengembangan peraturan dan pedoman
perencanaan dan pelaksanaan bangunan penahan bencana, serta pelaksanaan
peraturan dan penegakan hukum terkait mitigasi. Sedangkan kebijakan yang ke
enam adalah mendorong keberlanjutan aktivitas ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir melalui melakukan kegiatan mitigasi yang
mampu meningkatkan nilai ekonomi kawasan, meningkatkan keamanan dan
kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan perekonomian.

MITIGASI TSUNAMI

Tsunami merupakan gelombang pasang yang dibangkitkan oleh terjadinya


gempa tektonik, letusan gunung api di lautan, ataupun tanah longsor.
Gelombang pasang (tidal waves) juga bisa dibangkitkan oleh adanya badai,

32
terutama pada negara yang memiliki pantai dangkal yang cukup panjang dan
lautan cukup luas (misal: Bangladesh). Sekitar 85 persen tsunami yang ada
adalah dibangkitkan oleh gempa tektonik. Beberapa kejadian gempa bumi yang
diikuti oleh tsunami di Indonesia antara lain yang terjadi di Pantai Barat
Sulawesi (23 Februari 1969), Sumba (19 Agustus 1977), Pulau Flores dengan
kekuatan 7,5 skala Richter (12 Desember 1992), Banyuwangi, Jawa Timur
dengan kekuatan 7,2 skala Richter (2 Juni 1994), Pulau Biak, Irian Jaya dengan
kekuatan 8,2 skala Richter (17 Februari 1996), serta yang terbaru adalah di
Nangroe Aceh Darussalam dengan kekuatan sekitar 8,9 skala Richter (26
desember 2004, Pukul 07.59). Yang juga tak kalah dahsyatnya adalah tsunami
yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau pada hari Senin tanggal 27
Agustus 1883 pada Pukul 10.02.
Poin-poin strategis yang terdiri atas komponen-komponen SWOT (Strengths,
Weakness, Opportunity, Threats), digunakan untuk merumuskan berbagai hal
yang berkaitan dengan visi, misi, kebijakan, program, strategi dan kegiatan.
Pada artikel ini uraian ditekankan pada komponen-komponen SWOT dan
kebijakan-kebijakan yang bisa diadopsi. Komponen pertama adalah kekuatan,
yang mencakup sumberdaya, potensi ataupun keunggulan lain terhadap
kompetitor dan kebutuhan yang ingin dilayani oleh suatu sistem. Beberapa
kekuatan dalam kaitannya dengan mitigasi tsunami ini antara lain: [1] Terdapat
Departemen maupun Dinas khusus yang menangani persoalan pesisir, [2]
Kawasan pesisir mempunyai keanekaragaman yang bernilai tinggi, seperti
terumbu karang, ekosistem hutan bakau, estuaria, padang lamun, mineral,
minyak bumi, [3] Sebagian besar kota-kota di Indonesia terletak di wilayah
pesisir, [4] Wilayah pesisir mempunyai fungsi penting dalam kegiatan
transportasi, industri serta distribusi barang dan jasa, serta kegiatan manuisa
yang lain.
Beberapa kelemahan yang ada antara lain: [1] Wilayah pesisir sebagai
pertemuan antara lingkungan darat, laut serta udara sangat rentan terhadap
perubahan lingkungan yang terjadi, [2] Belum optimalnya pengaturan tata
ruang serta pemanfaatan wilayah pesisir,
3. Pemahaman mengenai bencana serta dampak yang ditimbulkan, yang
dimiliki oleh stake holders masih amat beragam, [4] Wilayah pesisir rentan
terhadap kejadian bencana alam, [5] Terbatasnya akses terhadap ilmu
pengetahuan, teknologi, informasi serta pasar, serta [6] Kondisi sebagian
wilayah pesisir yang mengalami degradasi lingkungan, mengalami kerusakan
biofisik yang mengkhawatirkan.

33
Sedangkan komponen peluang adalah merupakan sesuatu ataupun keadaan
yang menguntungkan pada suatu sistem. Beberapa peluang yang ada antara
lain: [1] Wilayah pesisir mempunyai potensi ekonomi yang besar, [2] Memiliki
potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan yang indah dan nyaman untuk
rekreasi, pariwisata maupun kawasan hunian, [3] Berpeluang untuk berperan
penting dalam kegiatan transportasi, distribusi barang dan jasa, pelabuhan,
pangkalan militer dan sebagainya. Poin yang ke empat yaitu komponen
ancaman, yang merupakan sesuatu atau keadaan yang tidak menguntungkan
yang menjadi pengganggu utama terhadap sistem pada waktu sekarang maupun
di masa mendatang. Beberapa ancaman tersebut antara lain: [1] Ancaman
bencana alam seperti tsunami, banjir, kelangkaan air tawar, gelombang
pasangakibat badai, erosi serta abrasi [2] Ancaman perubahan dan degradasi
lingkungan darat, laut maupun udara, [3] Potensi konflik dalam pemanfaatan
ruang pesisir.
Dengan memperhatikan beberapa komponen-komponen strategis tersebut di
atas, beberapa faktor yang merupakan kunci keberhasilan dalam kegiatan
mitigasi lingkungan pesisir bisa disebutkan antara lain: [1] Pemahaman
terhadap karakteristik bencana alam dan kerusakan yang ada di wilayah pesisir,
[2] Pemahaman terhadap tingkat resiko dan kerentanan wilayah pesisir terhadap
bencana, [3] Pemahaman kondisi lingkungan, sosial budaya, dan kearifan lokal,
[4] Pemahaman terhadap upaya-upaya mitigasi baik yang bersifat struktural
maupun non struktural, [5] Peningkatan kapasitas kelembagaan dan law
enforcement, serta [6] Faktor yang menjamin kontinyuitas.
Minimal terdapat enam langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan
mitigasi bencana tsunami. Kebijakan pertama, adalah dengan melakukan
upaya-upaya perlindungan kepada kehidupan, infrastruktur dan lingkungan
pesisir. Pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) dan
pembuatan bangunan pelindung merupakan contoh upaya perlindungan yang
bisa dikembangkan. Kejadian gempa memang belum bisa diprediksi dengan
tepat. Gempa dahsyat Mentawai yang terjadi pada tahun 1833 diperkirakan
akan mempunyai kala ulang 200 tahun, atau sekitar tahun 2033 akan terjadi
lagi. Tapi apakah akan terjadi tepat pada tahun 2033? Belum tentu! Dalam
pendekatan statistik atau analisis frekuensi kejadian, maka kala ulang hanya
merupakan aspek probabilitas atau kebolehjadian dari suatu kejadian. Namun
demikian kejadian gempa (pusat gempa dan besarannya, misal dalam skala
richter) dapat dikuantifikasi atau dinyatakan dalam angka tertentu. Pada sisi

34
lain, penjalaran gelombang dari lokasi pembangkitan gelombang hingga ke
pesisir akan membutuhkan rentang waktu tertentu.
Seperti yang tercatat pada Pulau Biak, Irian Jaya dengan kekuatan gempa
sekitar 8,2 skala Richter (17 Februari 1996), ternyata gelombang tsunami-nya
menjalar sampai ke Jepang. Menurut Laporan Tim Survei Tsunami
Internasional (ITST) pimpinan Fumihiko Imamura, bahwa gelombang akibat
tsunami tersebut sampai di Jepang yang berjarak 2000 km setelah enam jam
semenjak terjadinya gempa. Artinya cepat rambat rerata gelombang tsunami
adalah 333,3 km/jam. Demikian juga halnya dengan yang terjadi di Aceh,
terdapat rentang waktu sekitar 50 menit antara proses terjadinya gempa bumi
dengan diterjangnya Banda Aceh oleh gelombang pasang tsunami, seperti yang
terekam oleh Cut Putri lewat camera video amatirnya. Untuk mencapai pantai
India malah dibutuhkan lebih dari satu jam. Di sinilah terdapat harapan untuk
menyelamatkan kerugian yang amat besar terutama kematian ribuan manusia
dengan menggunakan teknologi untuk sistem peringatan dini. Mengacu pada
penelitian Identifikasi Garis Pantai yang Rawan oleh Tsunami akibat Letusan
Gunung Krakatau (Jokowinarno, D., 2009) didapatkan jarak garis pantai ke
lokasi pembangkitan gelombang tsunami yaitu Gunung Krakatau seperti yang
tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Jarak garis pantai ke lokasi pembangkitan gelombang tsunami

NOM JARA NOMO NOMO JAR


OR K R JARAK R AK
TITIK (km) TITIK (km) TITIK (km)
1 80.01 18 68.96 35 86.12
2 72.75 19 66.78 36 94.81
103.3
3 63.91 20 69.79 37 2
111.6
4 56.82 21 64.01 38 0
119.6
5 49.14 22 61.18 39 7

35
121.9
6 40.69 23 57.10 40 9
113.9
7 43.25 24 55.50 41 4
104.5
8 40.26 25 47.14 42 4
9 47.54 26 51.85 43 99.22
10 54.34 27 49.09 44 91.24
11 52.08 28 54.76 45 87.06
12 56.57 29 56.55 46 86.47
13 60.86 30 60.88 47 95.89
102.1
14 68.87 31 64.98 48 6
102.6
15 76.76 32 69.53 49 2
111.5
16 79.47 33 72.66 50 7
17 73.69 34 79.39

Kuantifikasi gejala gempa bumi yang membangkitkan gelombang pasang


tsunami ini lebih bisa diandalkan (reliable) dibanding dengan melihat perilaku
binatang di sekitar pantai ataupun tanda-tanda yang ditunjukkan dengan
menyurutnya air laut. Di suaka marga satwa Sri Langka memang tidak
ditemukan bangkai binatang akibat terjangan tsunami, artinya memang binatang
mempunyai semacam “indera ke enam” untuk mengetahui datangnya
gelombang pasang. Namun demikian, yang menjadi permasalahan adalah
kesulitan manusia untuk mengerti “bahasa” binatang tersebut. Manusia belum
mampu dengan akurat menginterpretasikan perilaku binatang, misal sulit
membedakan perilaku burung yang mengetahui tsunami ataukah hujan badai
ataupun kejadian alam yang lain.

36
Sebelum tsunami menerjang memang air laut biasanya surut drastis, seperti
yang dituturkan oleh Riesnayanti, warga Kaju, Banda Aceh yang selamat. Air
surut secara drastis ini pula yang terjadi sewaktu tsunami akibat letusan
Krakatau. Ribuan orang berlarian ke pantai Anyer untuk menangkap ikan, yang
selanjutnya mendadak sontak gelombang tsunami dengan magnitudo ketinggian
lebih dari 10 meter menggulung mereka. Surutnya air laut tidak reliable juga
sebagai tanda akan datangnya tsunami karena memang setiap hari air laut
mengalami pasang-surut dengan amplitudo yang bervariasi sesuai dengan posisi
bumi terhadap benda-benda di ruang angkasa terutama bulan dan matahari.
Namun demikian, tanda-tanda alam dan perilaku binatang dalam merespon
akan datangnya bencana tersebut dapat digunakan untuk melengkapi
kesempurnaan teknologi sistem peringatan dini yang hendak dibangun. Artinya
dalam sistem peringatan dini, semua indikator dijadikan sebagai komponen
yang saling sinergi untuk membangun kehandalan sistem.

Sedangkan perlunya pembangunan bangunan pelindung juga sangat mendesak


disosialisasikan. Seperti halnya dalam menangkal terjadinya erosi dan abrasi
pantai, sebenarnya minimal terdapat empat cara yang bisa dilakukan, antara lain
pembuatan tanggul ataupun pemecah gelombang yang terkadang dilengkapi
dengan armouring, cara vegetasi dengan mangrove, mundur dari garis pantai,
ataupun dibiarkan saja jika bencana

tersebut tidak ada efek negatifnya terhadap manusia secara langsung.


Pembuatan struktur tanggul ataupun pemecah gelombang banyak
diimplementasikan di Belanda, Jepang, Amerika Serikat maupun negara lain
yang berpotensi mendapat ancaman bencana. Pembuatan tanggul (dam) di
Belanda misalnya, dirancang dengan banjir laut rancangan dengan kala ulang
sebesar 10 ribu tahun. Sehingga banyak kota di Belanda yang mempunyai
akhiran dam semisal Amsterdam, Rotterdam, Volendam dan sebagainya.
Bandingkan dengan banjir rancangan yang digunakan untuk membuat
konstruksi-konstruksi di Indonesia, tak jarang kita mendapatkan suatu tanggul
yang dibuat berdasar banjir rancangan sebesar 100 tahun, bahkan “hanya” 25
tahun.

Terbebas seratus persenkah suatu wilayah pesisir dari hantaman bencana


tsunami jika telah dibuat tanggul dan revetmen-nya dengan banjir rancangan

37
kala ulang 10 ribu tahun? Belum tentu! Konsep probabilitas inilah yang kini
gencar disosialisasikan oleh berbagai organisasi profesi yang bergerak di
bidang keteknikan. Tetap saja ada kemungkinan terlampauinya tinggi tanggul
oleh terjangan gelombang. Misal tinggi tanggul untuk banjir rancangan kala
ulang 10 ribu tahunan adalah setinggi 10 meter, maka jika datang gelombang
pasang dengan tinggi 13 meter akan terlampauilah tanggul tersebut. Namun
demikian tanggul yang dirancang dengan debit rancangan dengan kala ulang
yang lebih tinggi berarti akan mempunyai probabilitas untuk terlampaui yang
lebih rendah. Analisis frekuensi untuk data hidrologi sudah lebih akrab dan
banyak dilakukan, sedangkan untuk keperluan tinggi muka air rancangan
(desgin water level) untuk laut memang masih sangat langka. Hal ini berkaitan
dengan langkanya pencatatan mengenai gelombang (tide, waves, swell) seperti
tinggi, periode, panjang, arah serta cepat rambat gelombang dalam rentang
waktu yang relatif lama.

Kebijakan dalam mitigasi bencana tsunami yang ke dua adalah dengan


meningkatkan pemahaman dan peranserta masyarakat pesisir terhadap kegiatan
mitigasi bencana gelombang pasang. Kebijakan ini bisa dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai bencana alam dan kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan, mengembangkan informasi bencana dan kerusakan yang
ditimbulkan termasuk pengembangan basis data dan peta resiko bencana,
menggali berbagai kearifan lokal dalam mitigasi bencana. Indonesia yang
terdiri dari beraneka ragam suku dan entitas, sangat banyak memiliki kearifan
lokal dalam usaha untuk mempertahankan hidup dan bersahabat dengan alam.

Kebijakan ke tiga adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap


bencana. Kebijakan ini bisa diimplementasikan dalam hal-hal sebagai berikut:
pengembangan sistem yang menunjang komunikasi untuk peringatan dini dan
keadaan darurat, menyelenggarakan latihan dan simulasi tanggapan terhadap
bencana dan kerusakan yang ditimbulkan, serta penyebarluasan informasi
tahapan bencana dan tanda-tanda yang mengiringi terjadinya bencana.
Implementasi kebijakan ke tiga ini dalam kondisi sekarang memang sudah
sangat ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dari
bencana tsunami di Aceh, dapat diambil kesimpulan bahwa telepon satelit
menjadi sangat reliable. Ketika telepon kabel maupun telepon seluler
mengalami gangguan karena BTS-nya mengalami kerusakan, maka telepon

38
satelit yang mengandalkan pada satelit yang mempunyai orbit geostasioner
setinggi 30 ribu kilometer di atas bumi masih cukup handal. Pada waktu
mendatang prospek dari telepon satelit tampaknya akan semakin mampu
“melayani yang tidak terlayani”.

Kebijakan ke empat adalah meningkatkan koordinasi dan kapasitas


kelembagaan mitigasi bencana. Implementasi dari kebijakan ke empat ini antara
lain peningkatan peran serta kerjasama yang sinergis dari berbagai pihak,
pengembangan forum koordinasi dan integrasi program antar sektor, antar level
birokrasi. Pada tataran aksi terbukti bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penanganganan bencana maka peran serta seluruh stake holder amatlah
besar, oleh karenanya perlu diberdayakan. Walaupun dalam setiap manajemen
bencana selalu saja ada “kabar miring” mengenai pengelolaan sumbangan,
namun partisipasi masyarakat tetap sangat tinggi untuk menyatakan solidaritas
dan simpati, bahkan bersifat lintas negara. Dengan kata lain manajemen
bencana terutama bencana yang besar memang membutuhkan manajer-manajer
yang cakap dan berkompeten.

Kebijakan ke lima adalah menyusun payung hukum yang efektif dalam upaya
mewujudkan upaya-upaya mitigasi bencana yaitu dengan jalan penyusunan
produk hukum yang mengatur pelaksanaan upaya mitigasi, pengembangan
peraturan dan pedoman perencanaan dan pelaksanaan bangunan penahan
bencana, serta pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum terkait mitigasi.
Kebijakan ini relevan dengan kenyataan yang ada sekarang, misal yang
menyangkut tata ruang pesisir. Hal ini lebih urgen bila dikaitkan dengan tata
ruang pesisir, yaitu keprihatinan atas pemanfaatan sempadan pantai di Bali
yang sebagian besar dimanfaatkan untuk bangunan hotel. Seperti kita ketahui
bahwa Bali adalah salah satu lokasi yang rawan terhadap bencana tsunami.
Sedangkan kebijakan yang ke enam adalah mendorong keberlanjutan aktivitas
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui melakukan
kegiatan mitigasi yang mampu meningkatkan nilai ekonomi kawasan,
meningkatkan keamanan dan kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan
perekonomian.

4.5 Ketanggapan Penduduk akan Bencana

39
Bisa dibilang, warga di pesisir kota karang sudah mengerti akan resiko dimana
mereka bertempat tinggal namun tetap menetap. Ketika Sebelum terjadinya
bencana, tidak ada info atau peringatan dari pihak pemerintah ataupun BMKG
mengenai bahaya bencana alam tsunami tersebut. Tetapi sebagian warga sudah
menyadari dan mengerti akan tanda atau gejala bencana alam tsunami
Kaitan Sosial dan ekonomi terdapat perubahan yg terasa pasca tsunami sampai
di h+ seminggu dimana di seluruh area kota karang mati tanpa kegiatan yang
berarti.
Banyak warga yang berpindah tempat dari araah pesisir kearah dataran atas
yang lebih aman. Seperti banyak nya warga yang berpindah tempat dari daerah
teluk timur dan teluk sealatan ke teluk utara. Sebgain warga berpindah ke
daerah teluk barat.
Pada proses pengunsian, semua dilakukan oleh inisiatif warga tersendiri karena
tidak ada bantuan atau instruksi dari aparatur pemerintahan.wrag berkumpul di
beberapa titik pengungsian 24 jam. Biasanya perempuan, manula dan anak anak
akan tetap berada di tempat selama 24 jam, sedangkan para lelaki datang ketika
hanya pada saat malam sudah menjemput.
Pengungsian dibuka selama 1-2 minggu
Proses kepulangan awalnya di inisiasi sebagian warga terutama ketua rt dan
pejabat kampung lah dinilai aman selang sehari 2 hari
Ada 3 tipe pengungsi
1. 24 jam tinggal di kamp pengungsian. Biasanya di temukan warga manla
ataupun anak kecil.
2. Hanya tinggal di kamp pengungsian ketika malam hari dikarenalan
masih khawatir dan gelisah, dasarnya karena tsunami sebelumnya
terjadi ketika malam hari sekitar pukul setengah sepuluh malam.
3. Mencari Kontrakan kost di area relatif aman untuk kurang lebih 1 bulan

4.6 Keberlanjutan Lingkungan

40
Proses pemulihan
3 minggu setelah tsunami terdapat 1000 bibit bakau yang d drop di Rumah RT
dan warga setempat, diberikan oleh pemerintah atau penggiat social. Bibit
tersebut hanya diberikan dengan tangan kosong, tanpa biaya dan pelatihan.
Oleh karena itu banyak bibit yang tidak ditanam dan terbengkalai oleh warga
karena kurangnya rasa gotong royong dan pemahanannya. Akhirnya
penanaman bibit mangrove hanya di tanam oleh beberapa mahasiswa dan
pihak terkait sebagai simbol dan formalitas belaka. Mangrove pun nantinya
hanya akan menjadi penghalang ombak besar bukan untuk pencegahan tsunami
yang tidak bisa di prediksi.

Dampak setelah bencana


Daerah kot akarang yang mendapatkan kerusakan paling parah adalah di pulau
pasaran yang dimana berada di garis depan laut. Banyak nelayan yang tidak
melaut sampai satu minggu di karenakan trauma dan tsunami susulan. Namun
dengan seiringnya waktu, warga pulau pasaran sudah kembbali pulih dalam
waktu dua minggu untuk mencari nafkah dan melanjutkan mata pencaharian
mereka berupa pengelolaan ikan asin dan telur asin.

Dampak yang di rasakan oleh daerah kota karang adalah dimana beberapa
rumah warga yang semi permanen mengalami kerusakan, kapal motor yang
digunakan sebagai mata pencaharian warga rusak, terdapat banyak bagan atau
tampak terapung nelayan terbawa ombak atau terbawa ke pinggir pantai.

41
Dikarenakan dampak di daerah teluk, lebih tepatnya kota karang tidak terlalu
besar dibandingkan dengan daerah kalianda dan daerah lampung lainnya, warga
semakin berani untuk membangun bangunan tepi pantai dan membuatnya
permanent dari semi permanen agar semakin kuat. Warga pu nmembuat
reklamasi pantai secara tradisional.

42
BAB V
SIMPULAN DAN ARAHAN

5.1 Simpulan

- Kotakarang berasal dari kata aslinya yaitu Kutakakhang (berasal dari


bahasa Lampung) yang diartikan sebagai Pagar Karang, sebab pada
zaman dahulu Kelurahan ini dipinggir pantai Teluk Lampung, yang
pada waktu itu tempat bersandarnya gerombolan bajak laut. Maka untuk
pengamanannya dipagar dengan batu karang, maka kelurahan ini
dinamakan Kotakarang sampai pada saat ini.
- Gambaran Kondisi Kotakarang:
a) Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Kelurahan Kota Karang Raya pada tahun 2014,
yaitu sebesar 6076 jiwa, terdiri dari 3063 jiwa (50,41%) penduduk
laki-laki dan 3013 (49,59%) penduduk perempuan, sedangkan
jumlah rumah tangga di Kelurahan Kota Karang Raya sebanyak
1451 KK, Maka angka ketergantungan hidup sebesar 4 orang.
b) Sarana dan Prasarana
Sebagai Kelurahan yang tergolong masih baru, Kelurahan Kota
Karang Raya memiliki sarana dan prasarana yang cukup lengkap.
Sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Kota Karang Raya
terdiri dari sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, pengairan,
pemerintahan, peribadatan, olahraga, kesenian, pendidikan, dan
industri.
c) Gambaran Masyarakat Nelayan di Kelurahan Kota Karang Raya
Berdasarkan data dari buku monografi Kelurahan Kota Karang Raya
tahun 2014, Kelurahan Kota Karang Raya dihuni oleh 2549 keluarga
yang terdiri dari beberapa kategori; kategori prasejahtera, sejahtera 1,
sejahtera 2, sejahtera 3.
- Aspek Mitigasi Bencana
terdapat 6 langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan mitigasi
bencana tsunami.
a) Kebijakan pertama, adalah dengan melakukan upaya-upaya
perlindungan kepada kehidupan, infrastruktur dan lingkungan pesisir.
Pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) dan

43
pembuatan bangunan pelindung merupakan contoh upaya
perlindungan yang bisa dikembangkan.
b) Kebijakan ke dua adalah dengan meningkatkan pemahaman dan peran
serta masyarakat pesisir terhadap kegiatan mitigasi bencana
gelombang pasang. Kebijakan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai bencana alam dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,
mengembangkan informasi bencana dan kerusakan yang ditimbulkan
termasuk pengembangan basis data dan peta resiko bencana, menggali
berbagai kearifan lokal dalam mitigasi bencana.
c) Kebijakan ke tiga adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
terhadap bencana. Kebijakan ini bisa diimplementasikan dalam hal-hal
sebagai berikut: pengembangan sistem yang menunjang komunikasi
untuk peringatan dini dan keadaan darurat, menyelenggarakan latihan
dan simulasi tanggapan terhadap bencana dan kerusakan yang
ditimbulkan, serta penyebarluasan informasi tahapan bencana dan
tanda-tanda yang mengiringi terjadinya bencana.
d) Kebijakan ke empat adalah meningkatkan koordinasi dan kapasitas
kelembagaan mitigasi bencana. Implementasi dari kebijakan ke empat
ini antara lain peningkatan peran serta kerjasama yang sinergis dari
berbagai pihak, pengembangan forum koordinasi dan integrasi
program antar sektor, antar level birokrasi.
e) Kebijakan ke lima adalah menyusun payung hukum yang efektif
dalam upaya mewujudkan upaya-upaya mitigasi bencana yaitu dengan
jalan penyusunan produk hukum yang mengatur pelaksanaan upaya
mitigasi,
f) kebijakan yang ke enam adalah mendorong keberlanjutan aktivitas
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui
melakukan kegiatan mitigasi yang mampu meningkatkan nilai
ekonomi kawasan, meningkatkan keamanan dan kenyamanan kawasan
pesisir untuk kegiatan perekonomian.
- Ketanggapan Penduduk akan Bencana
a) warga sudah menyadari dan mengerti akan tanda atau gejala bencana
alam tsunami
b) Banyak warga yang berpindah tempat dari araah pesisir kearah dataran
atas yang lebih aman. Seperti banyak nya warga yang berpindah
tempat dari daerah teluk timur dan teluk sealatan ke teluk utara.
Sebgain warga berpindah ke daerah teluk barat.

44
c) Pada proses pengunsian, semua dilakukan oleh inisiatif warga
tersendiri karena tidak ada bantuan atau instruksi dari aparatur
pemerintahan.wrag berkumpul di beberapa titik pengungsian 24 jam.
- Aspek Keberlanjutan Lingkungan
Proses pemulihan
a) 3 minggu setelah tsunami terdapat 1000 bibit bakau yang d drop di
Rumah RT dan warga setempat, diberikan oleh pemerintah atau
penggiat social.
Dampak Bencana
warga semakin berani untuk membangun bangunan tepi pantai dan
membuatnya permanen dari semi permanen agar semakin kuat.
Warga pu nmembuat reklamasi pantai secara tradisional.

5.2 Arahan dan Saran


Daerah pesisir memiliki sangat banyak potensi, contohnya daerah pesisir kaya
akan baharinya dan pantainya yang dapat mengembangkan sector pariwisata.
Daerah pesisir dapat juga menjadi sumber mata pencaharian penduduk
sekitarnya, seperti nelayan yang menjadikan bahan utama pangannya adalah
ikan. Namun, dilain sisi dari keindahan dan manfaat nya, ternyata daerah
pesisir juga dapat menjadi suatu ancaman. Ancaman alam yang tak dapat
dihindari yaitu bencana. Maka suatu Kawasan yang terletak di daerah pesisir
harus mempunyai ketahanan masyarakat agar dapat bertahan dari suatu
bencana.
Tentunya dalam melakukan penataan ruang khususnya di Wilayah Pesisir
diperlukan perencanaan khusus dengan berpedoman pada dasar-dasar hukum
perencanaan tata ruang wilayah pesisir agar potensi pada wilayah pesisir dapat
tereksplor dengan baik dan anacaman-ancaman yang mungkin timbul di
kemudian hari dapat tertanggulangi.

45
DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, 1999, Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir


Lampung Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, BAPPEDA. 2000. Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi Lampung. Bandar Lampung.

46

Anda mungkin juga menyukai