(Fix) Bab 1-5 Tugas 2 LBB
(Fix) Bab 1-5 Tugas 2 LBB
Oleh
Pada
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat
dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Laporan tentang “Hasil Studi
Ketahanan Kawasan Pesisir Kelurahan Kota Karang.
Laporan ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Lingkungan
Binaan Berkelanjutan. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada Yth Dr. Ir. Citra Persada, M.Sc. dan Yth. Yunita
kesuma S.T., M.Sc sebagai dosen mata kuliah Lingkungan Binaan Berkelanjutan.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya
dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami
untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Penyusun
i
Daftar Isi
Judul
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab I Pendahuluan
ii
2.3 Studi Kasus 4
3.1 Kesimpulan 7
3.2 Arahan dan Saran 8
Daftar Pustaka 9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
permukiman yang ada mulai menurun dan pada akhirnya akan memberikan
kontribusi terjadinya permukiman yang rentan terhadap bencana.
Peristiwa bencana yang pernah dialamioleh individu, diterima sebagai stimulus
yangmemberikan pengalaman dan mempengaruhitingkat kesiapan seseorang
dalammenghadapi bencana. Bencana akanmemberikan proses pembelajaran
yangbermanfaat bagi individu dalam membentukperilaku kesiapan (Jhangiani,
2004 dalamRinaldi, 2010). Proses pembelajaran tersebuttercermin melalui
adanya langkah persiapanyang dilakukan masyarakat, sehingga
dapatmeminimalisir korban dan dampak psikologisdari bencana. Perilaku
kesiapan ini jugadidukung oleh kemampuan individu untukbangkit kembali dari
peristiwa trauma yangpernah terjadi. Kemampuan inilah yangkemudian disebut
dengan resiliensi. (Rinaldi,2010).
Resiliensi merupakan gambaran dariproses dan hasil kesuksesan beradaptasi
dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang,
terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian
traumatis (O’Leary, 1998;O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Menurut
Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency
Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya
(Reivich. K & Shatte. A, 2002 ). Resiliensi adalah indikator keberlanjutan
kehidupan seseorang yang hidup di dalam situasi yang menyulitkan. Ketika
seseorang berada pada situasi yang sulit seseorang cenderung tertekan dan
berada pada masa kritis. Konsep resiliensi lebih jelas dapat dilihat pada gambar
berikut: Sumber:Sugiri et al 2013 Gambar 1 Situasi keberlanjutan, kritis, dan
ketidakberlanjutan Konsep resiliensi dapat dilihat pada Gambar1, Titik A
menunjukkan titik stabil artinya situasi pada titik A menggambarkan situasi
normal. Sejumlah tekanan yang terjadi dapat membawa pindah ke titik B, yang
merupakan situasi kritis atau koma di dalam istilah medis. Ketika tekanan
terjadi secara terus menerus maka hal ini dapat menyebabkan situasi dapat
berpindah kepada sesuatu yang terburuk, yaitu situasi dapat menyebabkan
kematian (titik C). Pada ilustrasi tersebut ketahanan digambarkan dari titik Ake
B. Pada saat seseorang berada pada titik Batau kondisi kritis, maka sebuah
tindakan perlu dilakukan untuk mempertahankan agar hal tersebut tidak
berpindah ke titik C. Perlu danya upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
posisi pada masa kritis agar tidak menjadi mati. Lebih jelasnya diilustrasikan
pada Gambar 2 di bawahini. Sumber: Sugiri et al, 2013 Gambar 2 Perbaikan
5
situasi darurat Langkah-langkah berikutnya harus menciptakan cara-cara
mengembalikan kepada situasi berkelanjutan (Titik A). Hal ini ditunjukkan
pada Gambar3 di bawah ini. Perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan agar
tidak berada pada titik kritis secara terus menerus dan dapat kembali pada titik
A,upaya tersebut diilustrasikan oleh garis biru pada gambar di bawah ini untuk
dapat membawa kembali pada titik A. (Sugiri, et al
Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi
dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang,
terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian
traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Menurut
Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency
Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan ( adversity ) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya
(Reivich. K & Shatte. A, 2002 ).
Resiliensi adalah indikator keberlanjutan kehidupan seseorang yang hidup di
dalam situasi yang menyulitkan. Ketika seseorang berada pada situasi yang sulit
seseorang cenderung tertekan dan berada pada masa kritis. Konsep resiliensi
lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber:Sugiri et al 2013
Gambar 1
Konsep resiliensi dapat dilihat pada Gambar 1, Titik A menunjukkan titik stabil
artinya situasi pada titik A menggambarkan situasi normal. Sejumlah tekanan
yang terjadi dapat membawa pindah ke titik B, yang merupakan situasi kritis
6
atau koma di dalam istilah medis. Ketika tekanan terjadi secara terus menerus
maka hal ini dapat menyebabkan situasi dapat berpindah kepada sesuatu yang
terburuk, yaitu situasi dapat menyebabkan kematian (titik C). Pada ilustrasi
tersebut ketahanan digambarkan dari titik A ke B. Pada saat seseorang berada
pada titik B atau kondisi kritis, maka sebuah tindakan perlu dilakukan untuk
mempertahankan agar hal tersebut tidak berpindah ke titik C. Perlu adanya
upaya yang dilakukan untuk mempertahankan posisi pada masa kritis agar
tidak menjadi mati. Lebih jelasnya diilustrasikan pada Gambar 2 di bawah ini.
7
Sumber: Sugiri, et al. 2013
Gambar 3
Memperbaiki kerusakan, meningkatkan resiliensi Mengukur Tingkat
Resiliensi
Tabel 1
Kriteria Pengukuran Tingkat Resiliensi Menurut Connor-Davidson
Resilience Scale (CD-RISC)
No Kriteria 0 1 2 3 4
1 Saya mampu beradaptasi terhadap perubahan
2 Saya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan
membuat aman
3 Saya menyerahkan kepada nasib
4 Saya dapat menghadapi segala sesuatu yang datang
5 Saya memiliki keberhasilan masa lalu memberikan
kepercayaan diri untuk tantangan baru
6 Saya melihat sesuatu dari segi humor
7 Saya mengatasi tekanan/stress yang kuat
8 Saya cenderung untuk bangkit kembali setelah sakit atau
kesulitan
9 Sesuatu terjadi untuk sebuah alasan
10 Saya melakukan upaya yang terbaik untuk segala
sesuatunya
11 Saya dapat mencapai tujuan anda
12 Ketika hal-hal terlihat tidak memiliki harapan, saya tidak
menyerah
13 Saya tahu ke mana harus mencari bantuan
14 Ketika dibawah tekanan, saya fokus dan berpikir jernih
8
15 Saya lebih memilih untuk menjadi pemimpin dalam
pemecahan masalah
16 Saya tidak mudah putus asa oleh kegagalan
17 Pikirkan diri sebagai pribadi yang kuat
18 Saya mampu membuat keputusan yang sulit
19 Saya dapat menangani perasaan tidak menyenangkan
20 Harus bertindak atas firasat
21 Saya memiliki perasaan yang kuat untuk sebuah tujuan
22 Dapat mengendalikan kehidupan saya
23 Saya suka tantangan
24 Saya bekerja untuk mencapai tujuan anda
25 Saya kebanggaan untuk prestasi yang anda capai
Jumlah
Total Skor
9
Strategi adaptasi perubahan iklim untuk masyarakat yang bermukim di pesisir
1. Strategi proteksi
Strategi proteksi dapat dilakukan dengan membuat bangunan pantai yang
mampu mencegah banjir air laut (rob) agar tidak merangsek ke darat. Pola ini
bertujuan melindungi permukiman, industry wisata, jalan raya, daerah
pertanian, tambak, dan lain-lain dari genangan air laut. Tanggul dan bangunan
pantai tidak hanya dirancang berdasarkan muka air pasang tinggi dan
gelombang laut pada saat ini, tetapi juga harus memperhitungkan amblesan
tanah, kenaikan muka air laut, dan gelombang laut akibat angina pada kondisi
ekstrem.
Upaya proteksi lain yang dapat ditempuh adalah dengan menanam mangrove.
Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak
membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.Lahan hasil
timbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat meredam banjir
rob yang merangsek ke darat. Fungsi alih lain dari hutan mangrove adalah
sebagai penyerap karbon sehingga tanaman ini dapat mengurangi pemanasan
global
2. Strategi Mundur
Strategi mundur bertujuan menghindari genangan air laut dengan cara
merelokasi permukiman, industry, daerah pertanian, dan lain-lain kea rah
daratan yang jauh dari laut. Dengan demikian kawasan tersebut tidak
terjangkau air laut sebagai akibat kenaikan paras muka air laut.
3. Strategi Akomodatif
Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan kenaikan paras muka air laut.
Salah satu contohnya adalah dengan membuat rumah panggung di tepi pantai
agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir air pasang.
1. 2 Rumusan Masalah
10
1. Mengindentifikasi sejarah terbentuknya kawasan kota karang
2. Mengindentifikasi dan Menganalisa kondisi pola solid, void, dan linkage
kawasan
3. Mengindentifikasi dan Menganalisa gambaran kondisi kawasan dilihat
dari aspek soial, budaya, dan ekonomi kawasan kota karang
4. Mengindentifikasi dan Menganalisa tingkat resiko dan pengurangan resiko
bencana
5. Mengindentifikasi upaya pencegahan, dan kerentanan sosial budaya
ekonomi penduduk
6. Mengindentifikasi dan Menganalisa mitigasi bencana struktural dan non-
struktural
7. Mengindentifikasi dan Menganalisa keberlanjutan lingkungan
1. 3 Tujuan
Mengetahui kondisi permukiman di kawasan kota karang dan seberapa tingkat
resiliens yang terjadi di kawasan kota karang Kota Bandar Lampung dengan
menyesuaikan Teori Tata Ruang Kota serta menganalisis permasalahan dan
solusi bagi permukiman di kawasan pesisir kota karang.
1. 4 Lingkup Pembahasan
Adapun batasan masalah yang ditetapkan dalam laporan ini adalah hanya
berfokus pada titik kawasan permukiman di kawasan kota karang dan berakhir
hingga kawasan keteguhan, Kota Bandar Lampung sebagai objek dan sumber
data pembuatan laporan.
1. 5 Metodelogi Pembahasan
Metode pembahasan yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu
menguraikan dan menjelaskan data kemudian dianalisa untuk mendapatkan
suatu kesimpulan. Pengumpulan data diperoleh dengan cara :
a. Studi Literatur Mengumpulkan semua referensi dan data – data terkait yang
nantinya akan menjadi arahan dan panduan dalam menganalisis
permasalahan resiliensi sebuah kawasan.
11
b. Studi Kasus Melakukan perbandingan terhadap penanganan – penanganan
permukiman pesisir untuk menemukan masalah.
c. Survey Site Mengenali site dengan cara meninjau secara langsung untuk
mengetahui karakter site berkaitan dengan batasan, masalah dan potensi,
dengan pertimbangan kondisi yang ada.
d. Analisis Data Menganilisi seluruh data baik data literatur maupun data
lapangan terkait dengan kebutuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan,
standar – standar yang ada sehingga dapat mengahsilakn desain yang tepat
untuk kawasan pesisir kota karang yang berketahanan tinggi terhadap
bencana.
e. Analisis Site Analisis site dilakukan terhadap bentuk tapak dan lokasi site
yang ada.
f. Penemuan Konsep Perancangan Mengolah data yang telah didapatkan dari
analisis data dan analisis site untuk menemukan konsep perancanagan yang
kemudian akan dijadikan acuan dalam mendesain.
1. 6 Sistematika Pembahasan
BAB 1 PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
sasaran, lingkup bahasan, dan metodologi peneliatian dan sistematika
pembahasan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Memuat uraian tentang tinjauan pustaka dan teori relevan yang terkait
dengan teori figure ground dan linkage serta bahasan yang terkait
laporan.
BAB III GAMBARAN KAWASAN TERPILIH
Berisi data – data terkait kawasan yang terpilih, yaitu sejarah kawasan,
data umum kawasan dan data – data lapangan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN V
Berisi tentang hasil dan pembahasan permasalahan terkait kawasan
yang terpilih
12
BAB V SIMPULAN DAN ARAHAN
Berisi tentang Simpulan dan arahan tentang bagaimana semestinya
Ketahanan kampung kota
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
14
Pembahasan disaster resilience terbagi ke dalam beberapa sektor, beberapa di
antaranya adalah ekonomi, kesehatan, dan sosial. Definisi masing-masing
sektor sangatlah mudah dipahami yaitu kembalinya kondisi awal masyarakat
(kondisi ekonomi, kesehatan, dan sosial) pascaterjadinya bencana.
Kondisi itu sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Rendahnya
tingkat disaster resilience menyebabkan dampak negatif sebuah gempa
(walaupun berskala kecil) d apat terjadi dalam dua fase, yaitu saat kejadian
(on-occurance effect/OCF) and pasca gempa (post-occurance effect/POE).
Korban jiwa, korban luka, dan bangunan rusak adalah beberapa contoh OCF,
sedangkan pergeseran ekonomi dan trauma adalah beberapa contoh PCF.
15
royong antar penduduk. Tabah dan saling mneguatkan. Sosialisi tanggap
bencana dalam hal (pra dan pasca) bencana sangat diperlukan agar
masyarakat siap kapan pun bencana datang dan mampu menaanggulangi
pasca bencana secara Bersama-sama.
c. Ekonomi
Ketahanan Ekonomi dapat dilihat dari ekonomi mikro dan makro yang
ada di Kawasan yang terkena bencana. Pemulihan yang cepat
membuktikan ketahanan ekonomi suatu Kawasan terjalin baik.
Ketahanan Ekonomi suatu Kawasan, dalam hal keuangan pribadi,
penduduk sudah siap akan suatu bencana, jadi tidak terlalu banyak
menginvestasikan kekayaan di dalam rumha. Penduduk harus mempunyai
cadangan keuangan yang dimana agar mereka dapat bertahan hidup pasca
bencana.
Mengenai Mata pencaharian penduduk Kawasan pesisir bias di bilang
sebagian besar menjadi nelayan atau pekerjaan yang berhubungan dengan
Kawasan pesisir. Penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan pun
harus dapat berfikir satu samapi dua langkah ke depan apabila terjadi
suatu bencana dengan memikirkan pekerjaan sampingan yang dapat
membuat mereka bertahan pasca bencana.
Pasal 44
a. Kesiapsiagaan
b. Peringatan dini, dan
c. Mitigasi bencana
Pasal 45
(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 huruf a dilakukan untuk
memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana
(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Penyususunan dan uji coba rencana penggulangan kedaruratan bencana;
b. Perorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;
16
c. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar;
d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat;
e. Penyiapan lokasi evakuasi;
f. Penyususnan data akurat, informasi, dan pemukhtahiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana, dan
g. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.
Pasal 46
(1) Peringatan dini sebagaiamana dimaksud dalam pasal 44 huruf b dialakukan
untuk mengurangi resiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan
rawan bencana.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Pengamatan gejala bencana;
b. Analisis hasil pengamatan gejala bencana;
c. Pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;
d. Penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana; dan
e. Pengambilan tindakan oleh masyarakat.
Pasal 47
(1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 huruf c dilakukan untuk
mengurangi resiko bencana bagi masyarakat yang berada di kawasan rawan
bencana.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialkukan melalui:
a. Pelaksanaan penataan ruang
b. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, dan
c. Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern.
BAB X
MITIGASI BENCANA
Pasal 56
17
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan
wilayahnya.
Pasal 57
Pasal 58
Pasal 59
(1) Setiap Orang yang berada di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil wajib
melaksanakan mitigasi bencana terhadap kegiatan yang berpotensi
mengakibatkan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
(2) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan struktur/fisik dan/ atau nonstruktur/ nonfisik.
(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan oleh instansi
yang berwenang.
(4) Ketentuan mengenai mitigasi bencana dan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 1
Kegiatan Mtigasi Bencana di daerah dilaksanakan untuk mengetahui potensi
bencana yang ada di suatu daerah dan melkukan upaya antisipasi
penanganannya.
Pasal 2
Pemerintah daerah dalam melaksanakan mitigasi bencana dialakukan secara
berjenjang melalui struktur kelembagaan Satuan Koordinasi Pelaksanaan
Penaganan Bencana, Satuan Pelaksana Penanganan Bencana, Unit Operasi
Penaganan Bencana dan Kepala Desa/Lurah.
18
Pasal 3
(1) Gubernur selaku Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Bencana
bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan organisasi struktural dan non
struktural dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
provinsi.
(2) Bupati/Walikota selaku Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan
Bencana bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan organisasi struktural
dan non struktural dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di
wilayah kabupaten/kota.
(3) Camat selaku Ketua Unit Operasi Penanganan Bencana bertanggung jawab
mengkoordinasikan kegiatan organisasi struktural dan non struktural serta
masyarakat dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
kecamatan.
(4) Kepala Desa/Lurah bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan masyarakat
dalam pelaksanaan pedoman umum mitigasi bencana di wilayah
Desa/Kelurahan.
19
BAB III
GAMBARAN KAWASAN
20
o Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di
wilayah Kecamatan Teluk
21
Jumlah 126
22
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat
23
Kelurahan Kota Karang Raya merupakan salah satu kelurahan di
Kecamatan Teluk Betung Timur. Luas daerah Kelurahan Kota Karang
Raya, yaitu 22 Ha. Tinggi rata-rata Kelurahan Kota Karang Raya dari
permukaan laut yaitu 2 meter dari permukaan laut. Jarak antara Kelurahan
Kota Karang Raya dengan ibukota kecamatan, yaitu 3,5 km dan jarak
dengan Ibukota Bandar Lampung, yaitu 4 km. Batas daerah Kelurahan
Kota Karang Raya yaitu:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kota Karang.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Keteguhan.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut/Teluk Lampung.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Perwata.
24
Tabel 7. Jumlah Penduduk Kelurahan Kota Karang Raya
Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2014
25
Prasarana
Transportasi Darat a. Sepeda 23 unit
b. Gerobak 1 unit
c. Becak 26 unit
d. Sepeda Motor 1038 unit
e. Mobil Pribadi 18 unit
Transportasi Laut a. Perahu Layar 15 unit
b. Perahu Dayung 58 unit
c. Perahu Motor 94 unit
Komunikasi dan Informasi a. Pesawat Telepon 13 unit
b. Pesawat TV 141 unit
c. Pesawat Radio 28 unit
d. Dekoder TV Swasta 15 unit
e. Antene Parabola 105 unit
KUD a. Koperasi Unit Desa 1 Buah
Pasar a. Pasar Lingkungan 1 Buah
b. Kios 54 Buah
26
Olahraga a. Lapangan Sepak Bola 1 Buah
b. Lapangan Volley 1 Buah
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Kota Karang Raya, 2014
27
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Kota Karang Raya, 2014
4. Gambaran Masyarakat Nelayan di Kelurahan Kota Karang Raya
Berdasarkan data dari buku monografi Kelurahan Kota Karang Raya
tahun 2014, Kelurahan Kota Karang Raya dihuni oleh 2549 keluarga
yang terdiri dari beberapa kategori, berikut adalah jumlah keluarga di
Kelurahan Kota Karang Raya berdasarkan tingkat kesejahteraan:
28
Gambar 3. Aktivitas di pemukiman masyarakat nelayan Kota Karang Raya
Sumber: Olahan Data Primer, 2015
29
Kelurahan Kota Karang Raya sektor nelayan dan buruh mendominasi.
Sebagai nelayan tentunya para warga memiliki transportasi sebagai prasarana
penunjang kegiatan melaut, berdasarkan data dari buku monografi Kelurahan
Kota Karang Raya terdapat 15 buah perahu layar, 58 buah perahu dayung
dan 94 perahu motor
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Questioner:
30
1. Bagaimana Tingkat Resiko Bencana di Kota Karang?
2. Upaya Apa yang dilakukan untuk pencegahan Bencana? Kerentanan
Sosial, Budaya dan ekonommi Penduduk?
3. Bagaimana Mitigasi Bencana structural dan non structural?
4. Bagaimana Ketanggapan penduduk akan bencana dan bagaimana pola
evakuasi dan pengungsian jika terjadi bencana ?
5. Bagaimana Keberlanjutan lingkungan di Kota Karang setelah Bencana
Tsunami? Apa yang membuat daerah ini bisa bertahan akan bencana
tsunami/rob? Mengapa warga disini mau untuk tetap bertahan?
31
signed yang telah diberikan oleh pemerintah. DIbuktikan banyaknya warga
yang terjebak dan meninggal di jalan atau daerah macet. Ini membuktikan
bahwa kurangnya sosialisasi dan pemahaman warga mengenai jalur evakuasi
itu tersendiri.
4.4 Mitigasi Bencana Struktural dan no Struktural
Penanganan bencana merupakan proses yang dinamis, terpadu dan
berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan serangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat, evakuasi, rehabilitasi dan pembangunan
kembali. Mitigasi adalah merupakan tindakan-tindakan untuk mengurangi atau
meminimalkan potensi dampak negatif dari suatu bencana. Minimal terdapat
enam langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan mitigasi bencana
tsunami. Pertama, adalah dengan melakukan upaya-upaya perlindungan kepada
kehidupan, infrastruktur dan lingkungan pesisir. Kedua adalah dengan
meningkatkan pemahaman dan peranserta masyarakat pesisir terhadap kegiatan
mitigasi bencana gelombang pasang. Ketiga adalah meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Keempat, adalah meningkatkan
koordinasi dan kapasitas kelembagaan mitigasi bencana. Kelima adalah
menyusun payung hukum yang efektif dalam upaya mewujudkan upaya-upaya
mitigasi bencana yaitu dengan jalan penyusunan produk hukum yang mengatur
pelaksanaan upaya mitigasi, pengembangan peraturan dan pedoman
perencanaan dan pelaksanaan bangunan penahan bencana, serta pelaksanaan
peraturan dan penegakan hukum terkait mitigasi. Sedangkan kebijakan yang ke
enam adalah mendorong keberlanjutan aktivitas ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir melalui melakukan kegiatan mitigasi yang
mampu meningkatkan nilai ekonomi kawasan, meningkatkan keamanan dan
kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan perekonomian.
MITIGASI TSUNAMI
32
terutama pada negara yang memiliki pantai dangkal yang cukup panjang dan
lautan cukup luas (misal: Bangladesh). Sekitar 85 persen tsunami yang ada
adalah dibangkitkan oleh gempa tektonik. Beberapa kejadian gempa bumi yang
diikuti oleh tsunami di Indonesia antara lain yang terjadi di Pantai Barat
Sulawesi (23 Februari 1969), Sumba (19 Agustus 1977), Pulau Flores dengan
kekuatan 7,5 skala Richter (12 Desember 1992), Banyuwangi, Jawa Timur
dengan kekuatan 7,2 skala Richter (2 Juni 1994), Pulau Biak, Irian Jaya dengan
kekuatan 8,2 skala Richter (17 Februari 1996), serta yang terbaru adalah di
Nangroe Aceh Darussalam dengan kekuatan sekitar 8,9 skala Richter (26
desember 2004, Pukul 07.59). Yang juga tak kalah dahsyatnya adalah tsunami
yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau pada hari Senin tanggal 27
Agustus 1883 pada Pukul 10.02.
Poin-poin strategis yang terdiri atas komponen-komponen SWOT (Strengths,
Weakness, Opportunity, Threats), digunakan untuk merumuskan berbagai hal
yang berkaitan dengan visi, misi, kebijakan, program, strategi dan kegiatan.
Pada artikel ini uraian ditekankan pada komponen-komponen SWOT dan
kebijakan-kebijakan yang bisa diadopsi. Komponen pertama adalah kekuatan,
yang mencakup sumberdaya, potensi ataupun keunggulan lain terhadap
kompetitor dan kebutuhan yang ingin dilayani oleh suatu sistem. Beberapa
kekuatan dalam kaitannya dengan mitigasi tsunami ini antara lain: [1] Terdapat
Departemen maupun Dinas khusus yang menangani persoalan pesisir, [2]
Kawasan pesisir mempunyai keanekaragaman yang bernilai tinggi, seperti
terumbu karang, ekosistem hutan bakau, estuaria, padang lamun, mineral,
minyak bumi, [3] Sebagian besar kota-kota di Indonesia terletak di wilayah
pesisir, [4] Wilayah pesisir mempunyai fungsi penting dalam kegiatan
transportasi, industri serta distribusi barang dan jasa, serta kegiatan manuisa
yang lain.
Beberapa kelemahan yang ada antara lain: [1] Wilayah pesisir sebagai
pertemuan antara lingkungan darat, laut serta udara sangat rentan terhadap
perubahan lingkungan yang terjadi, [2] Belum optimalnya pengaturan tata
ruang serta pemanfaatan wilayah pesisir,
3. Pemahaman mengenai bencana serta dampak yang ditimbulkan, yang
dimiliki oleh stake holders masih amat beragam, [4] Wilayah pesisir rentan
terhadap kejadian bencana alam, [5] Terbatasnya akses terhadap ilmu
pengetahuan, teknologi, informasi serta pasar, serta [6] Kondisi sebagian
wilayah pesisir yang mengalami degradasi lingkungan, mengalami kerusakan
biofisik yang mengkhawatirkan.
33
Sedangkan komponen peluang adalah merupakan sesuatu ataupun keadaan
yang menguntungkan pada suatu sistem. Beberapa peluang yang ada antara
lain: [1] Wilayah pesisir mempunyai potensi ekonomi yang besar, [2] Memiliki
potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan yang indah dan nyaman untuk
rekreasi, pariwisata maupun kawasan hunian, [3] Berpeluang untuk berperan
penting dalam kegiatan transportasi, distribusi barang dan jasa, pelabuhan,
pangkalan militer dan sebagainya. Poin yang ke empat yaitu komponen
ancaman, yang merupakan sesuatu atau keadaan yang tidak menguntungkan
yang menjadi pengganggu utama terhadap sistem pada waktu sekarang maupun
di masa mendatang. Beberapa ancaman tersebut antara lain: [1] Ancaman
bencana alam seperti tsunami, banjir, kelangkaan air tawar, gelombang
pasangakibat badai, erosi serta abrasi [2] Ancaman perubahan dan degradasi
lingkungan darat, laut maupun udara, [3] Potensi konflik dalam pemanfaatan
ruang pesisir.
Dengan memperhatikan beberapa komponen-komponen strategis tersebut di
atas, beberapa faktor yang merupakan kunci keberhasilan dalam kegiatan
mitigasi lingkungan pesisir bisa disebutkan antara lain: [1] Pemahaman
terhadap karakteristik bencana alam dan kerusakan yang ada di wilayah pesisir,
[2] Pemahaman terhadap tingkat resiko dan kerentanan wilayah pesisir terhadap
bencana, [3] Pemahaman kondisi lingkungan, sosial budaya, dan kearifan lokal,
[4] Pemahaman terhadap upaya-upaya mitigasi baik yang bersifat struktural
maupun non struktural, [5] Peningkatan kapasitas kelembagaan dan law
enforcement, serta [6] Faktor yang menjamin kontinyuitas.
Minimal terdapat enam langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan
mitigasi bencana tsunami. Kebijakan pertama, adalah dengan melakukan
upaya-upaya perlindungan kepada kehidupan, infrastruktur dan lingkungan
pesisir. Pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) dan
pembuatan bangunan pelindung merupakan contoh upaya perlindungan yang
bisa dikembangkan. Kejadian gempa memang belum bisa diprediksi dengan
tepat. Gempa dahsyat Mentawai yang terjadi pada tahun 1833 diperkirakan
akan mempunyai kala ulang 200 tahun, atau sekitar tahun 2033 akan terjadi
lagi. Tapi apakah akan terjadi tepat pada tahun 2033? Belum tentu! Dalam
pendekatan statistik atau analisis frekuensi kejadian, maka kala ulang hanya
merupakan aspek probabilitas atau kebolehjadian dari suatu kejadian. Namun
demikian kejadian gempa (pusat gempa dan besarannya, misal dalam skala
richter) dapat dikuantifikasi atau dinyatakan dalam angka tertentu. Pada sisi
34
lain, penjalaran gelombang dari lokasi pembangkitan gelombang hingga ke
pesisir akan membutuhkan rentang waktu tertentu.
Seperti yang tercatat pada Pulau Biak, Irian Jaya dengan kekuatan gempa
sekitar 8,2 skala Richter (17 Februari 1996), ternyata gelombang tsunami-nya
menjalar sampai ke Jepang. Menurut Laporan Tim Survei Tsunami
Internasional (ITST) pimpinan Fumihiko Imamura, bahwa gelombang akibat
tsunami tersebut sampai di Jepang yang berjarak 2000 km setelah enam jam
semenjak terjadinya gempa. Artinya cepat rambat rerata gelombang tsunami
adalah 333,3 km/jam. Demikian juga halnya dengan yang terjadi di Aceh,
terdapat rentang waktu sekitar 50 menit antara proses terjadinya gempa bumi
dengan diterjangnya Banda Aceh oleh gelombang pasang tsunami, seperti yang
terekam oleh Cut Putri lewat camera video amatirnya. Untuk mencapai pantai
India malah dibutuhkan lebih dari satu jam. Di sinilah terdapat harapan untuk
menyelamatkan kerugian yang amat besar terutama kematian ribuan manusia
dengan menggunakan teknologi untuk sistem peringatan dini. Mengacu pada
penelitian Identifikasi Garis Pantai yang Rawan oleh Tsunami akibat Letusan
Gunung Krakatau (Jokowinarno, D., 2009) didapatkan jarak garis pantai ke
lokasi pembangkitan gelombang tsunami yaitu Gunung Krakatau seperti yang
tertera pada Tabel 1.
35
121.9
6 40.69 23 57.10 40 9
113.9
7 43.25 24 55.50 41 4
104.5
8 40.26 25 47.14 42 4
9 47.54 26 51.85 43 99.22
10 54.34 27 49.09 44 91.24
11 52.08 28 54.76 45 87.06
12 56.57 29 56.55 46 86.47
13 60.86 30 60.88 47 95.89
102.1
14 68.87 31 64.98 48 6
102.6
15 76.76 32 69.53 49 2
111.5
16 79.47 33 72.66 50 7
17 73.69 34 79.39
36
Sebelum tsunami menerjang memang air laut biasanya surut drastis, seperti
yang dituturkan oleh Riesnayanti, warga Kaju, Banda Aceh yang selamat. Air
surut secara drastis ini pula yang terjadi sewaktu tsunami akibat letusan
Krakatau. Ribuan orang berlarian ke pantai Anyer untuk menangkap ikan, yang
selanjutnya mendadak sontak gelombang tsunami dengan magnitudo ketinggian
lebih dari 10 meter menggulung mereka. Surutnya air laut tidak reliable juga
sebagai tanda akan datangnya tsunami karena memang setiap hari air laut
mengalami pasang-surut dengan amplitudo yang bervariasi sesuai dengan posisi
bumi terhadap benda-benda di ruang angkasa terutama bulan dan matahari.
Namun demikian, tanda-tanda alam dan perilaku binatang dalam merespon
akan datangnya bencana tersebut dapat digunakan untuk melengkapi
kesempurnaan teknologi sistem peringatan dini yang hendak dibangun. Artinya
dalam sistem peringatan dini, semua indikator dijadikan sebagai komponen
yang saling sinergi untuk membangun kehandalan sistem.
37
kala ulang 10 ribu tahun? Belum tentu! Konsep probabilitas inilah yang kini
gencar disosialisasikan oleh berbagai organisasi profesi yang bergerak di
bidang keteknikan. Tetap saja ada kemungkinan terlampauinya tinggi tanggul
oleh terjangan gelombang. Misal tinggi tanggul untuk banjir rancangan kala
ulang 10 ribu tahunan adalah setinggi 10 meter, maka jika datang gelombang
pasang dengan tinggi 13 meter akan terlampauilah tanggul tersebut. Namun
demikian tanggul yang dirancang dengan debit rancangan dengan kala ulang
yang lebih tinggi berarti akan mempunyai probabilitas untuk terlampaui yang
lebih rendah. Analisis frekuensi untuk data hidrologi sudah lebih akrab dan
banyak dilakukan, sedangkan untuk keperluan tinggi muka air rancangan
(desgin water level) untuk laut memang masih sangat langka. Hal ini berkaitan
dengan langkanya pencatatan mengenai gelombang (tide, waves, swell) seperti
tinggi, periode, panjang, arah serta cepat rambat gelombang dalam rentang
waktu yang relatif lama.
38
satelit yang mengandalkan pada satelit yang mempunyai orbit geostasioner
setinggi 30 ribu kilometer di atas bumi masih cukup handal. Pada waktu
mendatang prospek dari telepon satelit tampaknya akan semakin mampu
“melayani yang tidak terlayani”.
Kebijakan ke lima adalah menyusun payung hukum yang efektif dalam upaya
mewujudkan upaya-upaya mitigasi bencana yaitu dengan jalan penyusunan
produk hukum yang mengatur pelaksanaan upaya mitigasi, pengembangan
peraturan dan pedoman perencanaan dan pelaksanaan bangunan penahan
bencana, serta pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum terkait mitigasi.
Kebijakan ini relevan dengan kenyataan yang ada sekarang, misal yang
menyangkut tata ruang pesisir. Hal ini lebih urgen bila dikaitkan dengan tata
ruang pesisir, yaitu keprihatinan atas pemanfaatan sempadan pantai di Bali
yang sebagian besar dimanfaatkan untuk bangunan hotel. Seperti kita ketahui
bahwa Bali adalah salah satu lokasi yang rawan terhadap bencana tsunami.
Sedangkan kebijakan yang ke enam adalah mendorong keberlanjutan aktivitas
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui melakukan
kegiatan mitigasi yang mampu meningkatkan nilai ekonomi kawasan,
meningkatkan keamanan dan kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan
perekonomian.
39
Bisa dibilang, warga di pesisir kota karang sudah mengerti akan resiko dimana
mereka bertempat tinggal namun tetap menetap. Ketika Sebelum terjadinya
bencana, tidak ada info atau peringatan dari pihak pemerintah ataupun BMKG
mengenai bahaya bencana alam tsunami tersebut. Tetapi sebagian warga sudah
menyadari dan mengerti akan tanda atau gejala bencana alam tsunami
Kaitan Sosial dan ekonomi terdapat perubahan yg terasa pasca tsunami sampai
di h+ seminggu dimana di seluruh area kota karang mati tanpa kegiatan yang
berarti.
Banyak warga yang berpindah tempat dari araah pesisir kearah dataran atas
yang lebih aman. Seperti banyak nya warga yang berpindah tempat dari daerah
teluk timur dan teluk sealatan ke teluk utara. Sebgain warga berpindah ke
daerah teluk barat.
Pada proses pengunsian, semua dilakukan oleh inisiatif warga tersendiri karena
tidak ada bantuan atau instruksi dari aparatur pemerintahan.wrag berkumpul di
beberapa titik pengungsian 24 jam. Biasanya perempuan, manula dan anak anak
akan tetap berada di tempat selama 24 jam, sedangkan para lelaki datang ketika
hanya pada saat malam sudah menjemput.
Pengungsian dibuka selama 1-2 minggu
Proses kepulangan awalnya di inisiasi sebagian warga terutama ketua rt dan
pejabat kampung lah dinilai aman selang sehari 2 hari
Ada 3 tipe pengungsi
1. 24 jam tinggal di kamp pengungsian. Biasanya di temukan warga manla
ataupun anak kecil.
2. Hanya tinggal di kamp pengungsian ketika malam hari dikarenalan
masih khawatir dan gelisah, dasarnya karena tsunami sebelumnya
terjadi ketika malam hari sekitar pukul setengah sepuluh malam.
3. Mencari Kontrakan kost di area relatif aman untuk kurang lebih 1 bulan
40
Proses pemulihan
3 minggu setelah tsunami terdapat 1000 bibit bakau yang d drop di Rumah RT
dan warga setempat, diberikan oleh pemerintah atau penggiat social. Bibit
tersebut hanya diberikan dengan tangan kosong, tanpa biaya dan pelatihan.
Oleh karena itu banyak bibit yang tidak ditanam dan terbengkalai oleh warga
karena kurangnya rasa gotong royong dan pemahanannya. Akhirnya
penanaman bibit mangrove hanya di tanam oleh beberapa mahasiswa dan
pihak terkait sebagai simbol dan formalitas belaka. Mangrove pun nantinya
hanya akan menjadi penghalang ombak besar bukan untuk pencegahan tsunami
yang tidak bisa di prediksi.
Dampak yang di rasakan oleh daerah kota karang adalah dimana beberapa
rumah warga yang semi permanen mengalami kerusakan, kapal motor yang
digunakan sebagai mata pencaharian warga rusak, terdapat banyak bagan atau
tampak terapung nelayan terbawa ombak atau terbawa ke pinggir pantai.
41
Dikarenakan dampak di daerah teluk, lebih tepatnya kota karang tidak terlalu
besar dibandingkan dengan daerah kalianda dan daerah lampung lainnya, warga
semakin berani untuk membangun bangunan tepi pantai dan membuatnya
permanent dari semi permanen agar semakin kuat. Warga pu nmembuat
reklamasi pantai secara tradisional.
42
BAB V
SIMPULAN DAN ARAHAN
5.1 Simpulan
43
pembuatan bangunan pelindung merupakan contoh upaya
perlindungan yang bisa dikembangkan.
b) Kebijakan ke dua adalah dengan meningkatkan pemahaman dan peran
serta masyarakat pesisir terhadap kegiatan mitigasi bencana
gelombang pasang. Kebijakan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai bencana alam dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,
mengembangkan informasi bencana dan kerusakan yang ditimbulkan
termasuk pengembangan basis data dan peta resiko bencana, menggali
berbagai kearifan lokal dalam mitigasi bencana.
c) Kebijakan ke tiga adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
terhadap bencana. Kebijakan ini bisa diimplementasikan dalam hal-hal
sebagai berikut: pengembangan sistem yang menunjang komunikasi
untuk peringatan dini dan keadaan darurat, menyelenggarakan latihan
dan simulasi tanggapan terhadap bencana dan kerusakan yang
ditimbulkan, serta penyebarluasan informasi tahapan bencana dan
tanda-tanda yang mengiringi terjadinya bencana.
d) Kebijakan ke empat adalah meningkatkan koordinasi dan kapasitas
kelembagaan mitigasi bencana. Implementasi dari kebijakan ke empat
ini antara lain peningkatan peran serta kerjasama yang sinergis dari
berbagai pihak, pengembangan forum koordinasi dan integrasi
program antar sektor, antar level birokrasi.
e) Kebijakan ke lima adalah menyusun payung hukum yang efektif
dalam upaya mewujudkan upaya-upaya mitigasi bencana yaitu dengan
jalan penyusunan produk hukum yang mengatur pelaksanaan upaya
mitigasi,
f) kebijakan yang ke enam adalah mendorong keberlanjutan aktivitas
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui
melakukan kegiatan mitigasi yang mampu meningkatkan nilai
ekonomi kawasan, meningkatkan keamanan dan kenyamanan kawasan
pesisir untuk kegiatan perekonomian.
- Ketanggapan Penduduk akan Bencana
a) warga sudah menyadari dan mengerti akan tanda atau gejala bencana
alam tsunami
b) Banyak warga yang berpindah tempat dari araah pesisir kearah dataran
atas yang lebih aman. Seperti banyak nya warga yang berpindah
tempat dari daerah teluk timur dan teluk sealatan ke teluk utara.
Sebgain warga berpindah ke daerah teluk barat.
44
c) Pada proses pengunsian, semua dilakukan oleh inisiatif warga
tersendiri karena tidak ada bantuan atau instruksi dari aparatur
pemerintahan.wrag berkumpul di beberapa titik pengungsian 24 jam.
- Aspek Keberlanjutan Lingkungan
Proses pemulihan
a) 3 minggu setelah tsunami terdapat 1000 bibit bakau yang d drop di
Rumah RT dan warga setempat, diberikan oleh pemerintah atau
penggiat social.
Dampak Bencana
warga semakin berani untuk membangun bangunan tepi pantai dan
membuatnya permanen dari semi permanen agar semakin kuat.
Warga pu nmembuat reklamasi pantai secara tradisional.
45
DAFTAR PUSTAKA
46