2. EPIDEMOLOGI
Urinary tract infection (UTI) dianggap sebagai infeksi bakteri yang paling
sering terjadi. Rata-rata UTI tercatat memiliki 7 juta kunjungan rumah sakit
dan 1 juta kunjungan departeman gawat darurat. Wanita lebih signifikan
mendapatkan UTI daripada pria. 1 dari 3 wanita dapat dipastikan pernah
mengalami UTI sekali seumur hidup. Catheter-associated UTI merupakan
infeksi nososkomial yang paling umum, terhitung ada > 1 juta kasus di rumah
sakit. Resiko UTI meningkat seiring dengan semakin lamanya penggunaan
kateter. Pada populasiusia lanjut noninstitusional, UTI merupakan bentuk
infeksi terbanyak kedua, tercatat sebanyak 25% dari seluruh kasus infeksi
(Foxman, 2003).
UTI tergantung banyak faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria,
dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun
perempuan cenderung menderita UTI dibandingkan laki-laki. UTI berulang
pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus).
Prevalensi bakteriuria simtomatik ebih sering ditemukan pada perumpuan.
Prevalensi selama periode sekolah 1 % meningkat menjadi 5 % selama periode
aktif secara seksual. Prevalensi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik
laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti berikut :
litiasis, obstruksi saluran kemih, pentakit ginjal polikistik, nekrosis papilar,
diabetes mellitus pasca trasnplantasi ginjal, nefropati analgesik, penyakit sickle
cell, intercourse, kehamilan dan peserta KB dengan tabel progesterone, serta
kateterisasi (Sukandar, E. 2007).
3. ETIOLOGI
Infeksi saluran kemih komplikata disebabkan oleh bakteria dengan
spektrum yang lebih luas dibandingkan infeksi saluran kemih non komplikata
dan lebih sering resisten terhadap antimikroba. Berkenaan dengan prognosis
dan studi klinis, pasien ISK komplikata dikelompokkan menjadi dua.
1. Pasien dengan faktor komplikasi dapat dihilangkan oleh terapi, misal.,
ekstraksi batu, melepas kateter;
2. Pasien dimana faktor komplikasi tidak bisa atau tidak dapat dihilangkan
dengan terapi, misal., penggunaan kateter menetap, sisa batu setelah
tindakan atau neurogenic bladder.
Faktor risiko terjadinya ISK komplikata antara lain
• Penggunaan kateter, splint, stent, atau kateterisasi kandung kemih berkala.
• Residual urin >100ml.
• Obstruksi saluran kemih atas maupun bawah.
• Refluks vesikoureteral.
• Diversi saluran kemih.
• Kerusakan urotelium karena kimia ataupun radiasi.
• ISK yang terjadi saat peri-/post- tindakan, contoh transplantasi ginjal.
1. Batu saluran kemih
Mikroba tersering adalah organisme penghasil urease antara lain
Proteus, Providencia, Morganella, dan Corynebacterium urealyticum.
Mikroba lain yang bisa ditemukan adalah Klebsiella, Pseudomonas,
Serratia, dan Staphyloccocci. Sekitar 88% batu staghorn didapatkan ISK
dengan 82% diantaranya mikroba penghasil urease. Urease akan mengubah
urea menjadi karbon monoksida dan ammonia, dimana ammonia akan
merusak lapisan aminoglikosida dan meningkatkan adhesi mikroba dengan
hasil akhir terbentuknya Kristal struvit.
2. Penggunaan kateter
3. Adult Polycystic Kidney Diseases (APCKD)
ISK adalah salah satu komplikasi APCKD; sekitar 23-42% kasus,
sebagian besar wanita. Pielonefritis akut sering terjadi akibat infeksi kista.
Pungsi atau aspirasi kista terinfeksi perlu dipertimbangkan sebagai cara
diagnosa mikrobial dan terapi.
4. Nefritis bakterial
5. Abses renal/perinefrik
6. Pielonefritis emfisematus
Mikroba penyebab tersering adalah E. coli, K. pneumonia, E. cloacae
yang memfermentasi glukosa. Hasil patologi ditemukan nekrosis papil,
thrombus vaskular intraparenkim, dan infark ginjal.
7. Xanthogranulomatous pielonefritis
8. Transplantasi ginjal
ISK adalah salah satu komplikasi post transplantasi ginjal dengan
kemungkinan 17% pada enam bulan pertama pasca transplantasi; 60% pada
wanita dan 47% pada pria setelah tiga tahun pasca transplantasi. ISK yang
timbul berupa akut sistitis, pielonefritis ginjal transplan atau ginjal native.
Faktor risiko berupa pengaruh imunosupresan, usia, diabetes mellitus,
dialysis, kelainan saluran kemih bagian bawah, atau penggunaan kateter atau
stent (IAUI, 2015).
4. PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme dapat mencapai saluran kencing melalui penyebaran
hematogenesis atau limfatik, namun banyak bukti-bukti klinis dan
eksperimental yang memperlihatkan bahwa naiknya mikroorganisme dari
uretra merupakan penyebab paling umum dari terjadinya infeksi saluran
kencing, terutama organisme fluonarmal yang ada di dalam uretra seperti E.
coli dan Enterobacteriaceae yang lain. Hal ini menjelaskan secara logika
mengapa infeksi saluran kencing lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
dengan laki-laki, dan terjadinya peningkatan risiko infeksi untuk pemasangan
katerisasi kandung kemih atau instrumentasi yang lain (Grabe et al., 2013).
5. TERAPI FARMAKOLOGI
Trimetoprim-sulfametoxazol telah dikenal sejak lama digunakan sebagai
terapi lini prtama untuk pengobatan ISK. Obat ini efektif untuk penggunaan
selama 3 hari, akan tetapi efek samping berupa reaksi alegri dapat timbul dan
kadang-kadang efek sampingnya berat.
b. Non-pharmacologic therapy
- Menjaga kadar gula darah dengan mengkonsumsi membatasi makanan
yang tinggi gula. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
yaitu makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan
- Tidak terlalu menahan kencing karena kencing merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.
- Banyak mengkonsumsi air putih, kecuali pada malam hari.
- Menjaga kebersihan daerah urogenital dengan menggunakan antiseptik.
- Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama
kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik
seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2011).
Sehingga setelah MRS komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang
dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2011).
Plan
Paracetamol 500 mg 3 dd 1 per oral untuk demam dan anti nyeri prn (jika
perlu)
Memaksimalkan penggunaan doxazocin yaitu berdasarkan dosis dan
kepatuhan pasien. Dosis doxazocin untuk Benign Prostatic Hyperplasia yaitu
4-8 mg per hari per oral extended release. Doxazocin merupakan golongan
alpha-blocker yang sangat baik sebagai lini pertama terapi BPH.
Penggunaan Enatin dapat direkomendasikan ke dokter karena manfaatnya
yang dapat meluruhkan batu ginjal.
Untuk penggunaan insulin, perlu dievaluasi lagi terkait kepatuhan dan
ketepatan pasien dalam penggunaan terapinya. Selain itu perlu
direkomendasikan pemeriksaan laboratorium untuk cek gula darah karena
sebelumnya pasien hanya menggunakan glukometer pribadinya sehingga
hasil yang didapat bisa lebih akurat.
a. Non-pharmacologic therapy
Pengaturan diet makanan pasien
Tidak terlalu menahan kencing karena kencing merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.
Banyak mengkonsumsi air putih, minimal 8 gelas per hari
Menjaga kebersihan daerah urogenital
Menghindari stress, pakai heatpack untuk mengurangi nyeri di perut
Monitoring:
a. Monitoring of efficacy
- Levofloxacin : gejala UTI dapat normal kembali seperti frekuensi
berkemih normal, dysuria (-), tidak ditemukan bakteri di urin, Kultur
urin 2 minggu setelah regimen pengobatan diselesaikan untuk melihat
respon terhadap pengobatan dan kemungkinan relapse.
- Doxazocin monoterapi atau kombinasi doxazocin dan 5-ari: frekuensi
berkemih normal, nyeri pada saat berkemih
- Paracetamol : suhu tubuh px kembali normal, berkurangnya rasa nyeri
di perut, bagian suprapubik dan kuadran kiri bawah
b. Monitoring of adverse reaction
- Levofloxacin : Antibiotik (Levofloxacin) : mual, muntah, pusing,
mengganggu gula darah (hiper atau hipoglikemia), pembengkakan
tendon.
- Insulin : hipoglikemia.
- Finasterid atau Dutasterid: gangguan libido, disfungsi ereksi.
- Doxazocin: pusing, lemah.
- Paracetamol : hepatotoksik namun penggunaan p.r.n jdi tidak terlalu
bermasalah.
DAFTAR PUSTAKA
Davis, Niall F. and Hugh D. Flood. 2011. The Pathogenesis of Urinary Tract
Infections, Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infectiont.
DR. Ahmed Nikibakhsh (Ed.). ISSBN: 978-953-307-393-4
Dipiro, et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. McGraw-Hill
Education. E-book version
Foxman B. 2003. Epidemiology of urinary tract infections: incidence, morbidity,
and economic costs. Dis Mon 49(2): 53-70.
Grabe, M., T. E. Bjerklund-Johansen, H. Botto, M. Cek, K.G. Naber, R.S.
Pickard, P. Tenke, F. Wagenlehner, and B. Wullt. 2013. Guidelines on
Urogical Infection. European Associatian of Urology 2013.
IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). 2015. Guideline Penatalaksanaan Infeksi
Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2015. Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Surabaya
Sukandar E. 2007. Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Dewasa, dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Suwarto, Suhendra., Santoso, Widayat Djoko., Chen, Kie., Nelwan, Erni Juwita.,
Sinto, Robert.2014. 2nd Annual Tropical Diseaseas Meeting (ATDM). J of
Implementing the clinical science in tropical medicine daily practice. 132—
139.
Syukri, Maimun. 2008. Penanganan Infeksi Saluran Kemih.Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala ,volume 8 (1): halaman 61.