Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

INFEKSI, KANKER, DAN GANGGUAN NUTRISI


(DEF4177T)
SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH KELOMPOK B2


ANGGOTA:
Afifah Nuraini 155070501111004
An Nisa Rizqa 155070501111020
Anindhita Dwi Safitri 155070501111038
Regiana Ramadanti W. 155070501111032
Ni Putu Ayu Rima Agustia 155070501111034
Habsari Yusrindra 155070500111010
Haifa Nurmahliati 155070500111008
Nikmatur Rohmah 155070500111006
Intan Maysaroh 155070500111002

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2017/2018

Infeksi Saluran Kemih


1. DEFINISI
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi pada sistim saluran
kemih, mulai dari meatus uretra sampai ke grnjal. Susunan anatominya
meliputi uretra, kandung kemih, ureter, pelvis renalis, dan parenkim ginjal.
Organ lain yang kadang dapat memberikan manifestasi ISK berulang adalah
prostat, epididimis dan juga fasia perirenal (Syukri, 2008).
Menurut Dipiro, Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan sebagai
munculnya mikroorganisme dalam urin yang tidak dapat dipastikan
diakibatkan oleh kontaminasi. ISK kambuhan didefinisikan sebagai kejadian
dua atau lebih ISK terjadi dalam 6 bulan atau tiga atau lebih pengulangan
dalam 1 tahun, yang dicirikan dengan adanya keterulangan episode gejala dan
periode asimptomati. Infeksi ini disebabkan oleh infeksi ulang atau kambuh.
Reinfeksi disebabkan oleh organisme yang berbeda dan merupakan penyebab
sebagian besar ISK berulang. Relaps mewakili perkembangan infeksi berulang
yang disebabkan oleh organisme awal yang sama.
Infeksi saluran kemih komplikata adalah sebuah infeksi yang diasosiasikan
dengan suatu kondisi, misalnya abnormalitas struktural atau fungsional
saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar yang mengganggu dengan
mekanisme pertahanan diri individu, yang meningkatkan risiko untuk
mendapatkan infeksi atau kegagalan terapi (IAUI, 2015).

2. EPIDEMOLOGI
Urinary tract infection (UTI) dianggap sebagai infeksi bakteri yang paling
sering terjadi. Rata-rata UTI tercatat memiliki 7 juta kunjungan rumah sakit
dan 1 juta kunjungan departeman gawat darurat. Wanita lebih signifikan
mendapatkan UTI daripada pria. 1 dari 3 wanita dapat dipastikan pernah
mengalami UTI sekali seumur hidup. Catheter-associated UTI merupakan
infeksi nososkomial yang paling umum, terhitung ada > 1 juta kasus di rumah
sakit. Resiko UTI meningkat seiring dengan semakin lamanya penggunaan
kateter. Pada populasiusia lanjut noninstitusional, UTI merupakan bentuk
infeksi terbanyak kedua, tercatat sebanyak 25% dari seluruh kasus infeksi
(Foxman, 2003).
UTI tergantung banyak faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria,
dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun
perempuan cenderung menderita UTI dibandingkan laki-laki. UTI berulang
pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus).
Prevalensi bakteriuria simtomatik ebih sering ditemukan pada perumpuan.
Prevalensi selama periode sekolah 1 % meningkat menjadi 5 % selama periode
aktif secara seksual. Prevalensi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik
laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti berikut :
litiasis, obstruksi saluran kemih, pentakit ginjal polikistik, nekrosis papilar,
diabetes mellitus pasca trasnplantasi ginjal, nefropati analgesik, penyakit sickle
cell, intercourse, kehamilan dan peserta KB dengan tabel progesterone, serta
kateterisasi (Sukandar, E. 2007).

3. ETIOLOGI
Infeksi saluran kemih komplikata disebabkan oleh bakteria dengan
spektrum yang lebih luas dibandingkan infeksi saluran kemih non komplikata
dan lebih sering resisten terhadap antimikroba. Berkenaan dengan prognosis
dan studi klinis, pasien ISK komplikata dikelompokkan menjadi dua.
1. Pasien dengan faktor komplikasi dapat dihilangkan oleh terapi, misal.,
ekstraksi batu, melepas kateter;
2. Pasien dimana faktor komplikasi tidak bisa atau tidak dapat dihilangkan
dengan terapi, misal., penggunaan kateter menetap, sisa batu setelah
tindakan atau neurogenic bladder.
Faktor risiko terjadinya ISK komplikata antara lain
• Penggunaan kateter, splint, stent, atau kateterisasi kandung kemih berkala.
• Residual urin >100ml.
• Obstruksi saluran kemih atas maupun bawah.
• Refluks vesikoureteral.
• Diversi saluran kemih.
• Kerusakan urotelium karena kimia ataupun radiasi.
• ISK yang terjadi saat peri-/post- tindakan, contoh transplantasi ginjal.
1. Batu saluran kemih
Mikroba tersering adalah organisme penghasil urease antara lain
Proteus, Providencia, Morganella, dan Corynebacterium urealyticum.
Mikroba lain yang bisa ditemukan adalah Klebsiella, Pseudomonas,
Serratia, dan Staphyloccocci. Sekitar 88% batu staghorn didapatkan ISK
dengan 82% diantaranya mikroba penghasil urease. Urease akan mengubah
urea menjadi karbon monoksida dan ammonia, dimana ammonia akan
merusak lapisan aminoglikosida dan meningkatkan adhesi mikroba dengan
hasil akhir terbentuknya Kristal struvit.
2. Penggunaan kateter
3. Adult Polycystic Kidney Diseases (APCKD)
ISK adalah salah satu komplikasi APCKD; sekitar 23-42% kasus,
sebagian besar wanita. Pielonefritis akut sering terjadi akibat infeksi kista.
Pungsi atau aspirasi kista terinfeksi perlu dipertimbangkan sebagai cara
diagnosa mikrobial dan terapi.
4. Nefritis bakterial
5. Abses renal/perinefrik
6. Pielonefritis emfisematus
Mikroba penyebab tersering adalah E. coli, K. pneumonia, E. cloacae
yang memfermentasi glukosa. Hasil patologi ditemukan nekrosis papil,
thrombus vaskular intraparenkim, dan infark ginjal.
7. Xanthogranulomatous pielonefritis
8. Transplantasi ginjal
ISK adalah salah satu komplikasi post transplantasi ginjal dengan
kemungkinan 17% pada enam bulan pertama pasca transplantasi; 60% pada
wanita dan 47% pada pria setelah tiga tahun pasca transplantasi. ISK yang
timbul berupa akut sistitis, pielonefritis ginjal transplan atau ginjal native.
Faktor risiko berupa pengaruh imunosupresan, usia, diabetes mellitus,
dialysis, kelainan saluran kemih bagian bawah, atau penggunaan kateter atau
stent (IAUI, 2015).
4. PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme dapat mencapai saluran kencing melalui penyebaran
hematogenesis atau limfatik, namun banyak bukti-bukti klinis dan
eksperimental yang memperlihatkan bahwa naiknya mikroorganisme dari
uretra merupakan penyebab paling umum dari terjadinya infeksi saluran
kencing, terutama organisme fluonarmal yang ada di dalam uretra seperti E.
coli dan Enterobacteriaceae yang lain. Hal ini menjelaskan secara logika
mengapa infeksi saluran kencing lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
dengan laki-laki, dan terjadinya peningkatan risiko infeksi untuk pemasangan
katerisasi kandung kemih atau instrumentasi yang lain (Grabe et al., 2013).

Infeksi saluran kencing dapat diakibatkan dari rute kenaikan


bakteri, hematogenus atau limfatik. Rute naiknya bakteri merupakan rute
yang paling umum terjadi pada pasien dengan ISK stabil (Davis and
Flood, 2011).
Pemasangan kateter tunggal pada kandung kemih pada pasian yang masih
dapat berjalan-jalan mengakibatkan infeksi saluran kencing sebanyak 1-2%
kasus. Kateter indwelling dengan sistem drainase tertutup termasuk valve untuk
mencegah pemburukan aliran dapat menunda onset dari infeksi, namun tidak
dapat mencegah terjadinya infeksi karena bakteri bermigrasi pada ruang antara
uretra dan kateter, dan hal tersebut mengakibatkan perkembangan bakteriuria
dalam sekitar 4 minggu pada kebanyakan pasien. Faktor predisiposisi dari
infeksi saluran kencing lain selain kateter dapat meliputi usia, diabetes melitus
adanya komoirbit dari pasien pediatrik, dan adanya luka pada spinal kord.
Faktor predisiposisi untuk infeksi saluran kencing kompleks (Davis and
Flood, 2011).
Infeksi hematogenus dari saluran kencing terbatas pada beberapa mikroba
yang tidak umum seperti Staphylococcus aureus, Candida sp., Salmonella sp.,
dan Mycobacterium tuberculosis, yang menyebabkan infeksi primer pada
dimanapun bagian tubuh. Candida albican dengan mudah dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih secara klinis melalui rute hematogenus, namun juga
bukan merupakan penyebab yang sering dari infeksi akibat kenaikan mikroba
jika dilakukan pesangan kateter indweling, atau yang diikuti dengan terapi
antibiotik (Grabe et al., 2013).
Uropatogen yang kebanyakan diisolasi pada ISK komplek dan tidak
kompleks (Davis and Flood, 2011).

Konsep dari virulens bakteri atau patogenisitas dari infeksi saluran


kencing dapat disimpulkan bahwa tidak semua spesies bakteri dapat
mengakibatkan infeksi. Mekanisme alami (obtrusksi atau kateriterisasi kemih)
menyatakan bahwa hanya beberapa bakteri dari strain bakteri yang dapat
mengakibatkan infeksi. Hal ini didukung dengan adanya dokumentasi
observasi in-vitro pada bakteri yang diisolasi dari pasien dengan infeksi saluran
kencing kompleks yang sering gagal untuk menunjukkan faktor-faktor virulens.
Konsep virulens juga mengusulkan bahwa bakteri yang merupakan faktor
virulens merupakan spesies yang unik dengan tipe-tipe pili yang berbeda yang
memfasilitasi naiknya bakteri dari tempat ia berfloranormal, vagina introitus
atau daerah periuretra hingga uretra ke dalam kemih, atau mengakibatkan
organisme dapat mencapai ginjal yang mengakibatkan inflamasi sistemik,
namun hal ini jarang terjadi (Grabe et al., 2013).

5. TERAPI FARMAKOLOGI
Trimetoprim-sulfametoxazol telah dikenal sejak lama digunakan sebagai
terapi lini prtama untuk pengobatan ISK. Obat ini efektif untuk penggunaan
selama 3 hari, akan tetapi efek samping berupa reaksi alegri dapat timbul dan
kadang-kadang efek sampingnya berat.

Nitrofurantoin merupakan antimikroba dengan spektrum yang sempit


tanpa mempunyai efek sistemik. Obat ini hanya diindikasikan untuk
pengobatan ISK yang disebabkan E.coli atau Staphyloccus saprophyticus,
kedua kuman ini merupakan kuman patogen penyebab (95%) dari ISK.
Nitrofurantoin mempunyai efek keberhasilan terapi 85-90% dalam waktu 7 hari
pengobatan, akan tetapi bila diberikan dalam waktu 3 hari efek keberhasilan
pengobatan menjadi 70-80% (Suwarto dkk, 2014).
Fluorokuinolon yaitu ciprofloksasin, ofloksasin dan levofloksasin dapat
digunakan pada ISK selama 3 hari dan dapat ditoleransi dengan baik.
Pengobatan penderita dengan ISK yang sensitif terhadap fluorokuinolon akan
memberikan hasil yang sama baiknya dengan pengobatan yang menggunakan
kotrimoksazol, dengan tingkat keberhasilan 90-95%. Penggunaan
fluorokuinolon sebagai dosis tunggal mempunyai efek terbatas terhadap S.
saprophyticus (Suwarto dkk, 2014).
6. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Terapi non-farmakologi yang disarankan untuk pasien dengan infeksi
saluran kemih adalah sebagai berikut:
1. Minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang keluar juga
meningkat (merangsang diuresis).
2. Buang air kecil sesuai kebutuhan untuk membilas mikroorganisme yang
mungkin naik ke uretra.
3. Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing
agar bakteri tidak mudah berkembang biak.
4. Mengkonsumsi jus anggur atau cranberry untuk mencegah infeksi saluran
kemih berulang.
5. Tidak menahan bila ingin berkemih.

7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI


Kasus:
Seorang pria lansia diabetik berusia 75 tahun dirujuk ke rumah sakit
dengan gejala demam, berkurangnya frekuensi berkemih dan disuria selama 3
hari terakhir.. Beliau memiliki riwayat kesulitan pengosongan kandung kemih
dikarenakan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), tang telah diterapi lebih
sering dengan doxazocin oral. Sementara menunggu konsultasi, dan dirujuk ke
layanan Urologi, pasien mengeluhkan peningkatan kram perut dan peningkatan
rasa perih pada kuadran kiri bawah dan daerah suprapubik
Hasil urinalisis menunjukkan 2+ proteinuria, 4+ glikosuria, masing-
masing 25–30 sel darah merah dan putih per lapang pandang kekuatan tinggi.
Tomografi abdominal (X Ray) menunjukan bahwa adanya batu uroteral.
Ceftriaxone 1 gram dan Gentamycin 500 mg dimulai secara empiris bersamaan
dengan pemberian cairan bolus berulang dan pemasangan kateter Foley.. Hasil
kultur urin menunjukkan adanya Proteus mirabilis and E.coli dan pasien tetap
diteruskan terapi atibiotik intravena-nya. Pasien kemudian dipulangkan dan
diberikan resep yang berisi Levofloxacin 500 mg setiap hari untuk 14 hari.
TUGAS
Lakukan analisis menggunakan pendekatan metode FARM (Finding,
Assessment, Resolution, Monitoring)
Subjektif
 Seeorang pria lansia diabetik berumur 75 tahun datang dengan keluhan
demam, penurunan frekuensi berkemih dan disuria selama 3 hari terakhir,
dan nyeri perut.
 Pasien mengalami disuria selama 3 hari terakhir  mungkin disebabkan
karena retensi urin yang dialami pasien akibat BPH. Merupakan salah satu
tanda dan gejala yang terjadi pada pasien yang terkena UTI pada saluran
urin bawah.
 Pasien mengalami gejala-gejala dari UTI, hal ini juga diperkuat dengan
riwayat penyakit pasien yang mengalami BPH sehingga urin bertahan lebih
lama di kandung kemih yang menyebabkan perkembangan bakteri lebih
mudah.
 Saat menunggu konsultasi dan masuk ke bagian urologi, pasien
mengeluhkan adanya peningkatan rasa nyeri pada abdominal dan adanya
peningkatan rasa perih pada kuadran kiri bawah dan di area suprapubik 
manifestasi klinik dari ISK.
 Pasien mengalami demam  Pireksia/febris (37-41,1° C)  dapat terjadi
karena infeksi yang dialami oleh pasien.
 Seorang pria diabetes berusia 75 tahun  Pada usia ≥45 tahun terdapat
peningkatan risiko DM karena faktor degenerative, yaitu menurunnya
fungsi tubuh untuk memetabolisme glukosa. Terjadi penurunan sekresi atau
resistensi insulin secara fisiologis, sehingga kemampuan fungsi tubuh
terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal.
Prevalensi ISK meningkat secara signifikan pada manula. Bakteriuria
meningkat dari 5-10% pada usia > 70 tahun. Pada usia tua, seseorang akan
mengalami penurunan sistem imun, hal ini akan memudahkan timbulnya
ISK.
 Riwayat penyakit: Diabetes dan BPH.
 Riwayat pengobatan: Doxazosin.
 Doxazosin ini merupakan alfa blocker, yang diindikasikan untuk kondisi
stroma prostat dan jaringan kandung kemih. Obat ini bekerja dengan
menurunkan kerja syaraf simpatis yang memicu penyempitan uretra dan
menyebabkan gejala BPH.
Objetif
Data lab urinalisis pasien : Proteinuria (2+)
Data lab urinalisis Nilai Normal Interpretasi
Proteinuria (2+) Protein (-) Menunjukkan adanya
Glikosuria (4+) Glukosa (-) gangguan pada permeabilitas
WBC 25-30 sel Darah (WBC, RBC) (-) glomerulus atau gangguan
RBC 25-30 sel pada tubular ginjal  pada
pasien ini dapat disebabkan
karena infeksi saluran kemih
yang diduga telah menginfeksi
bagian atas saluran kemih
(nefron dan ureter).
Assessment
Explain the patient disease
Pasien memiliki riwayat diabetes dan BPH. UTI adalah komplikasi yg
umum terjadi pada pasien DM dengan mekanisme peningkatan sekeresi sitokin
dan perlekatan bakteri pada sel uroepitelial (Hoepelman et al, 2003). UTI pada
pasien diduga adalah pyelonefritis yang didefinisikan sebagai peradangan pada
pelvis dan parenkim ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada pasien
ini kemungkinan bakteri menyebar ke ginjal naik dari ureter ke ginjal.
Pyelonephritis dapat ditandai dengan proteinuria, disuria, WBC dan RBC
meningkat pada urin, serta peningkatan BUN dan kreatinin (Colgan et al,
2011).
Problem list
- Pasien mengalami infeksi saluran kemih ditandai gejala disuria, nyeri di
suprapubic, anyang-anyangan dan didukung adanya bakteri pada hasil kultur
urin yang diduga adalah pyelonefritis
- Adanya penurunan fungsi ginjal yang dapat dilihat dari data laboratorium
kreatinin dan BUN
- Adanya keluhan nyeri tapi belum diberikan terapi
- Pasien mengalami demam namun belum diberikan terapi antipiretik
- Pasien mengalami anemia
- Glukosa darah pasien masih diatas normal dan dapat memperparah kondisi
UTI pasien walaupun telah menggunakan terapi insulin
Therapeutic Goals
- Gula darah terkontrol dengan penggunaan insulin yang adekuat
- Tidak lagi mengalami gejala demam, nyeri abdominal dan daerah
suprapubic, dapat berkemih dengan normal
- Infeksi dihentikan dengan penggunaan antibiotik yang sesuai, tidak
mengalami rekuren atau reinfeksi.
Resolution
a. Pharmacologic therapy (as your suggestion)
- Fluoroquinolon menjadi pilihan pertama untuk pasien BPH dengan UTI.
Hal ini karena spektrumnya luas dan kemampuan penetrasi ke dalam
jaringan pada saluran urogenital yang baik. Sehingga penggunaan
levofloxacin pada pasien ini telah sesuai namun dosis yang disarankan
yaitu 250 mg PO/IV per hari selama 10 hari atau 750 mg/hari selama 5
hari . Penggunaan obat lain yang dapat diberikan yang efektif untuk s.
faecalis yaitu ampicillin, namun di Indonesia ampicillin biasanya sudah
resisten sehingga dapat diberikan amoksiclav dengan dosis yang
disarankan yaitu . penggunaan fluoroquinolon seharusnya yaitu diberikan
iv dulu dan bisa dilakukan konversi ke oral bila px sudah tidak demam
selama 48 jam atau setelah 3-5 hari iv.
- Insulin untuk mengontrol gula darah yaitu basal insulin dengan NPH dan
rapid acting dengan Lispro. Dimulai dengan dosis 0,2 U/kg BB.
- Memaksimalkan penggunaan doxazocin yaitu berdasarkan dosis dan
kepatuhan pasien. Dosis doxazocin untuk Benign Prostatic Hyperplasia
yaitu 4-8 mg per hari per oral extended release (Anonim2, 2015).
Doxazocin merupakan golongan alpha-blocker yang sangat baik sebagai
lini pertama terapi BPH. Pilihan lain dari golongan alpha-blocker yaitu
alfuzosin, tamsulosin dan terazosin. Perbedaan pada obat tersebut yaitu
pada adverse event yang ditimbulkan. Keefektifannya tidak memiliki
perbedaan yang signifikan. Jika penggunaan doxazocin telah maksimal,
dapat dikombinasi dengan golongan 5 alpha-reductase inhibitor
(dutasteride dan finasteride). Hasil uji klinis telah menunjukkan bahwa
terapi kombinasi secara signifikan dapat menurunkan gejala dibandingkan
dengan monoterapi (Nickel et al, 2010).
- Untuk mengatasi demam dan nyeri yang dialami px dapat diberikan
paracetamol 500 mg 3x1.

b. Non-pharmacologic therapy
- Menjaga kadar gula darah dengan mengkonsumsi membatasi makanan
yang tinggi gula. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
yaitu makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan
- Tidak terlalu menahan kencing karena kencing merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.
- Banyak mengkonsumsi air putih, kecuali pada malam hari.
- Menjaga kebersihan daerah urogenital dengan menggunakan antiseptik.
- Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama
kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik
seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2011).
Sehingga setelah MRS komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang
dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia, 2011).
Plan
 Paracetamol 500 mg 3 dd 1 per oral untuk demam dan anti nyeri prn (jika
perlu)
 Memaksimalkan penggunaan doxazocin yaitu berdasarkan dosis dan
kepatuhan pasien. Dosis doxazocin untuk Benign Prostatic Hyperplasia yaitu
4-8 mg per hari per oral extended release. Doxazocin merupakan golongan
alpha-blocker yang sangat baik sebagai lini pertama terapi BPH.
 Penggunaan Enatin dapat direkomendasikan ke dokter karena manfaatnya
yang dapat meluruhkan batu ginjal.
 Untuk penggunaan insulin, perlu dievaluasi lagi terkait kepatuhan dan
ketepatan pasien dalam penggunaan terapinya. Selain itu perlu
direkomendasikan pemeriksaan laboratorium untuk cek gula darah karena
sebelumnya pasien hanya menggunakan glukometer pribadinya sehingga
hasil yang didapat bisa lebih akurat.
a. Non-pharmacologic therapy
 Pengaturan diet makanan pasien
 Tidak terlalu menahan kencing karena kencing merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.
 Banyak mengkonsumsi air putih, minimal 8 gelas per hari
 Menjaga kebersihan daerah urogenital
 Menghindari stress, pakai heatpack untuk mengurangi nyeri di perut
Monitoring:
a. Monitoring of efficacy
- Levofloxacin : gejala UTI dapat normal kembali seperti frekuensi
berkemih normal, dysuria (-), tidak ditemukan bakteri di urin, Kultur
urin 2 minggu setelah regimen pengobatan diselesaikan untuk melihat
respon terhadap pengobatan dan kemungkinan relapse.
- Doxazocin monoterapi atau kombinasi doxazocin dan 5-ari: frekuensi
berkemih normal, nyeri pada saat berkemih
- Paracetamol : suhu tubuh px kembali normal, berkurangnya rasa nyeri
di perut, bagian suprapubik dan kuadran kiri bawah
b. Monitoring of adverse reaction
- Levofloxacin : Antibiotik (Levofloxacin) : mual, muntah, pusing,
mengganggu gula darah (hiper atau hipoglikemia), pembengkakan
tendon.
- Insulin : hipoglikemia.
- Finasterid atau Dutasterid: gangguan libido, disfungsi ereksi.
- Doxazocin: pusing, lemah.
- Paracetamol : hepatotoksik namun penggunaan p.r.n jdi tidak terlalu
bermasalah.
DAFTAR PUSTAKA

Davis, Niall F. and Hugh D. Flood. 2011. The Pathogenesis of Urinary Tract
Infections, Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infectiont.
DR. Ahmed Nikibakhsh (Ed.). ISSBN: 978-953-307-393-4
Dipiro, et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. McGraw-Hill
Education. E-book version
Foxman B. 2003. Epidemiology of urinary tract infections: incidence, morbidity,
and economic costs. Dis Mon 49(2): 53-70.
Grabe, M., T. E. Bjerklund-Johansen, H. Botto, M. Cek, K.G. Naber, R.S.
Pickard, P. Tenke, F. Wagenlehner, and B. Wullt. 2013. Guidelines on
Urogical Infection. European Associatian of Urology 2013.
IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). 2015. Guideline Penatalaksanaan Infeksi
Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2015. Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Surabaya
Sukandar E. 2007. Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Dewasa, dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Suwarto, Suhendra., Santoso, Widayat Djoko., Chen, Kie., Nelwan, Erni Juwita.,
Sinto, Robert.2014. 2nd Annual Tropical Diseaseas Meeting (ATDM). J of
Implementing the clinical science in tropical medicine daily practice. 132—
139.
Syukri, Maimun. 2008. Penanganan Infeksi Saluran Kemih.Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala ,volume 8 (1): halaman 61.

Anda mungkin juga menyukai