Anda di halaman 1dari 12

Catatan Kecil Sejarah Gerakan Perempuan

Indonesia
March 27, 2017 by satunama

Berbicara gerakan perempuan di Indonesia, kita bisa melihatnya dari Masa Colonial (sebelum
1945). Pada masa itu, muncul tokoh-tokoh perempuan di daerah-daerah yang aktif melawan
penjajah untuk meraih kemerdekaan. Misalnya, seperti halnya di aceh ada Cut Nya Dien
(komandan perang aceh) dilanjutkan perjuangan Cut Mutia. Ratu Sima (618) menjadi pemimpim
perempuan yang jujur di Jateng, selain itu ada juga RA Kartini yang kita kenal sebagai tokoh
emansipasi perempuan Indonesia.

Kebangkitan gerakan perempuan pada masa kolonial semakin terasa di tahun 1928 dengan
diselenggarakannya kongres Perempuan 1 (22-25 Desember) di Yogyakarta dengan tujuan
memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan.
Menurut catatan Susan Blackburn beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena
kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi “kaum pribumi”, suatu identitas yang membedakan
mereka dari perempuan-perempuan lain.

Pada masa pasca kolonial 1945-1966, gerakan perempuan semakin mewarnai kemerdekaan
bangsa Indonesia. Kala itu muncul PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang
terbentuk tanggal 17 Desember 1945. Sewaktu berlangsung perang, kegiatan PERWARI
merupakan kegiatan “homefront”, mengurus dapur umum dan membantu PMI. Setelah perang
kemerdekaan reda, PERWARI menggiatkan diri dalam mengisi kemerdekaan dengan
memusatkan perhatiannya dalam bidang pendidikan.

Ada juga GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang aktif di tahun 1950-1960-an. Gerwani
merupakan organisasi independen yang memberikan perhatian pada reformasi sistem hukum di
Indonesia untuk membuat wanita dan pria sama di mata hukum termasuk hukum perkawinan,
hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia. Pada skala lokal, Gerwani juga memberikan
dukungan individu untuk perempuan yang telah disalahgunakan atau ditinggalkan oleh suami
mereka.

Sementara pada masa orde baru (1967-1998), Gerakan perempuan seolah-olah mati bahkan
dimatikan dengan munculnya organisasi-organisasi bentukan pemerintah, seperti Dharma Wanita
yang isinya istri-istri PNS, kemudian ada PKK yang isinya istri-istri pejabat. Organisasi-
organisasi tersebut memainkan perannya bahwa kewajiban perempuan itu adalah mengerjakan
urusan-urusan domestik dalam istilah yang saat ini populer adalah “macak, manak, masak”,
“Manut ing Pandum” dan “Konco Wingking”.

Jargon-jargon tersebut ternyata sangat mudah dan cepat sekali diterima perempuan-perempuan
pada masa itu, dimana peran perempuan dalam publik sangat minim bahkan perempuan
cenderung dijadikan alat politik oleh pengusasa untuk melanggengkan kekuasaanya. Dan itu
berlangsung selama 32 tahun.
Meski demikian tidak lantas perempuan-perempuan Indonesia semua diam. Di balik peristiwa 
tersebut ternyata banyak perempuan-perempuan yang kritis dan sadar akan hak-haknya.
Menjelang awal millennium baru, muncul banyak perempuan Indonesia yang berani
mengekspresikan idenya dengan tulisan atau buku. Ayu Utami adalah salah satu yang kemudian
muncul lewat bukunya tentang seksualitas. Kemudian ada Saparinah Sadli, Marsinah dan yang
lainnya.

Gerakan perempuan di Indonesia kemudian berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk


meratifikasi CEDAW lewat UU no. 7 tahun 1984 yang memiliki konsekuensi mengikat bagi
negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan warganya. Periode
ini juga diwarnai lahirnya Beijing Platform (1995) dalam Konferensi Dunia Tentang Perempuan
ke 4. Beijing Platform merupakan landasan aksi bagi negara-negara di dunia untuk
melaksanakan CEDAW.

Sejak dimulainya reformasi sampai sekarang, banyak organisasi perempuan yang muncul
sebagai pengejawantahan gerakan perempuan dalam berserikat seperti Komnas perempuan,
Jurnal Perempuan, JARPUK, Fahmina, PEKKA, FAMM dsb. Meski demikian, masih banyak
pekerjaan rumah bagi gerakan perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya
khususnya hak-hak kaum perempuan yang termarginalkan.

Kasus TKI illegal yang terkena kasus hukum, pernikahan anak, KDRT, pelecehan seksual,
double burden, human trafficking, dll. Belum sadarnya kaum laki-laki yang duduk dalam
parlemen maupun pemerintahan akan hal-hal tersebut, juga menjadi perhatian tersendiri bagi
gerakan perempuan untuk duduk dalam panggung politik sebagai pembuat kebijakan yang pro
terhadap perempuan dan anak.

Asep Nanda Paramayana


Staf Departemen Penguatan Masyarakat dan Desa Yayasan SATUNAMA
Pemerhati Isu Perempuan

Gerakan Perempuan di Indonesia: Pasang


Surut Memperjuangkan Hak
 

GERAKAN perempuan di Indonesia tumbuh pada awal abad 20 ketika sekolah modern didirikan
oleh pemerintah kolonial Belanda, dan organisasi modern didirikan oleh “kaoem bumiputera”.
Hingga saat ini, hampir satu abad lamanya, perjuangan itu mengalami pasang surut. Bahkan apa
yang disebut capaian tentang “Hak Perempuan” saat ini, pada prinsipnya belum dapat menjawab
problem penindasan yang dialami kaum perempuan itu sendiri.

Tulisan singkat ini hanya akan menguraikan secara umum kecenderungan gerakan perempuan di
Indonesia dalam memperjuangkan hak perempuan dan hubungannya dengan pembentukan
negara Indonesia.

1. Periode Melek Pengetahuan – Melawan Adat

Titik awal mengambil tahun 1900-an, sebagai tahun yang ditandai dengan babak baru yang
umum disebut kebijakan “etis” kolonial Belanda serta kehadiran gerakan nasionalis terorganisir
di Indonesia, yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan perempuan. Abad baru tersebut menandai
awal nasionalisme Asia (de-Stuers: 1960).

Kebijakan “etis” Belanda yang terkemuka ialah pembukaan sekolah modern bagi perempuan.
Jika kita telisik, pembukaan sekolah perempuan ini berada di kota yang merupakan pusat
industrialisasi perkebunan kolonial. Pendiri sekolah perempuan adalah aktivis perempuan dari
kalangan priyayi maupun pegawai birokrasi kolonial, namun kemudian mendapat izin dari
pemerintahan Belanda untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Contoh di Minahasa,
sekolah perempuan itu dibangun di kota Tomohon –pusat pendidikan dan agama masa kolonial
yang dikelilingi oleh perkebunan cengkeh yang sangat subur. Di Sumatra, sekolah perempuan itu
dibangun di Bukittinggi, yang dikelilingi pula oleh perkebunan kolonial. Di Medan, sebuah
gereja protestan juga diketahui membangun sekolah bagi perempuan, di mana kita mengenal
perkebunan Deli yang sangat terkenal. Di Jawa, sekolah perempuan di Bandung, Yogyakarta,
Salatiga, Surabaya, Malang, adalah kota yang dijadikan pengepul hasil perkebunan kolonial.

Mengapa sekolah perempuan dan industrialisasi perkebunan berseiring? Ini ada hubungannya
dengan kebutuhan pemerintah kolonial terhadap pekerja kerani (juru catat) di perkebunan atau
perkantoran usaha perkebunan. Di samping itu berhubugan pula dengan kebutuhan menyetak
“nyonya-nyonya” Boemipoetera seperti “mevrouw-mevrouw” Belanda, yang pandai merajut,
menyelenggarakan upacara makan, berdandan modern, bisa baca tulis dan sedikit bahasa
Belanda untuk membangun keluarga “boemipoetra kolonial” (holy family). Tetapi, pada
perkembangannya, setelah melek huruf dan bahasa, para perempuan ini jauh melebihi harapan
pemerintah kolonial. Mereka menjadi kritis dan melakukan perlawanan pertama terhadap adat
kawin-cerai yang merendahkan kedudukan perempuan dalam keluarga. Para perempuan ini pun
mempunyai pergaulan yang melampaui rumah atau desanya, sehingga berkenalan dengan aktivis
laki-laki yang terpelajar, yang juga sedang bergairah melawan penjajah. Diskusi yang mengarah
pada kesadaran identitas sosial “perempuan” telah berkembang mencapai kesadaran untuk
menjadi “perempuan” bangsa yang merdeka (identitas nasional)

2. Periode Melek Nasionalisme – Melawan Kolonialisme/Imperialisme

Meski tidak bermaksud membangun pembatasan secara berangka tahun, periodisasi yang saya
sebut “Melek Nasionalisme” ini mengkristal di kalangan aktivis organisasi perempuan setelah
Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928. Pada saat itu, seorang aktivis perempuan, yakni Siti
Soendari (seorang wartawan dan pendiri buletin perempuan Swara Pacitan), mendapat
kesempatan untuk berpidato di Kongres Soempah Pemoeda tersebut. Dua bulan sesudah
peristiwa penting ini, organisasi-organisasi perempuan di Hindia Belanda (“Indonesia”)
menyelenggarakan Kongres Perempuan I, pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Tema sentral
pembahasan pada saat itu ialah mengonsolidasi perjuangan khusus perempuan pada perjuangan
yang lebih besar, yaitu memerdekakan Indonesia. Meski tidak meninggalkan agenda khusus
memperjuangkan “hak perempuan” dalam perkawinan (melawan perkawinan dini, hak bercerai
dan poligami) untuk menjadi kebijakan pemerintah kolonial.

Isu tentang Hak Dipilih (women’s suffrage) perempuan pribumi sebagai anggota Dewan Kota,
menjadi agenda pembahasan dalam Kongres Perempuan ketiga di Bandung pada Juli 1938.
Keputusan Kongres menghasilkan amanat untuk memperjuangkan Hak Dipilih bagi perempuan
pribumi sebagai langkah perjuangan pergerakan perempuan pada masa itu. Tetapi kebijakan Hak
Dipilih bagi perempuan pribumi baru diberikan pemerintah kolonial pada suatu malam ketika
Perang Pasifik terjadi, yakni pada 1942.

Kecenderungan perjuangan pada periodisasi ini ialah gerakan perempuan memasukkan agenda
“hak perempuan” untuk menjadi kebijakan negara kolonial. Urusan perempuan yang dipandang
domestik (contoh perkawinan dan perceraian) ditransformasikan oleh gerakan perempuan
menjadi agenda publik –negara, yang hal ini tetap berlangsung hingga Indonesia Merdeka.
Ketika Indonesia telah merdeka, perjuangan “hak perempuan” berlangsung di arena “negara”,
untuk meneguhkan identitas kewarganegaraannya secara otonom. Meski, serta merta perempuan
adalah warganegara Indonesia, namun demikian masih harus berjuang keras untuk
memperjuangkan hak perempuannya sebagai warganegara yang sejajar dengan warganegara
yang laki-laki. Dukungan partai politik turut serta mendekatkan isu perempuan ini dengan
kebijakan negara, meski tetap ada soal perempuan yang secara umum tidak pernah didukung
oleh partai politik beraliran Islam, yakni tentang poligami (poligini).

Sebagai catatan: tidak semua organisasi perempuan pasca-kemerdekaan melawan imperialisme


(sebagai saudara kembar kolonialisme) sebagai akar penindasan perempuan. Secara umum,
ideologi politik yang dipeluk organisasi-organisasi perempuan sepanjang dekade 1950-1960an
adalah Nasakom (nasionalisme-agamaisme-komunisme), meskipun ada yang tidak mengikuti
pendirian ideologi-politik tersebut.

3. Periode Koncowingking – Mengikuti Suami

Periode ini harus saya kemukakan sebagai periode penghancuran gerakan perempuan Indonesia,
yang titik awalnya dilakukan melalui penghancuran terhadap Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia) melalui kampanye media massa antara 10 Oktober 1965 – 12 Oktober 1965. Melalui
surat kabar militer Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, dikampanyekan bahwa pembunuh tujuh
orang jenderal di Lubang Buaya adalah Gerwani. Aktivis organisasi perempuan ini dituduh
membunuh para jenderal itu secara keji, dengan cara mencungkil mata dan menyilet-nyilet alat
kelaminnya. Kampanye itu telah dibongkar oleh seorang peneliti Belanda, Saskia Wieringa
(1995) sebagai kebohongan belaka. Ia menemukan visum et repertum kondisi tujuh jenderal
tersebut mati dalam keadaan ditembak tanpa luka siletan ataupun pencungkilan mata. Tetapi,
Gerwani sebagai organisasi massa perempuan telah diberangus oleh rezim Orde Baru dan
aktivisnya kemudian ditangkap, dibuang ataupun dibunuh sejak itu hingga 1968.

Sejak militer Orde Baru berkuasa melalui penghancuran citra gerakan perempuan kerakyatan
yang melawan adat dan imperialisme, maka tak dibenarkan kaum perempuan memperjuangkan
hak perempuan dan ideologi-politiknya. Yang diperbolehkan adalah menjalankan program
nasional, yakni Keluarga Berencana dan menjadi anggota organisasi isteri yang disebut Dharma
Wanita (untuk isteri PNS) dan Dharma Pertiwi untuk isteri ABRI). Sedangkan untuk perempuan
kampung yang bukan isteri PNS maupun ABRI diarahkan untuk aktif di PKK, Posyandu atau
pun menjadi penyuluh KB. Agar kaum perempuan tidak melanggar aturan ini, maka dikemaslah
sebuah ideologi peran yang disebut Panca Dharma Wanita, dan kaum perempuan dikontrol oleh
suami atau penjabat negara dari lokal hingga pusat.

Periode ini membuat gerakan perempuan Indonesia hanya menjadi alat mobilisasi politik rezim
militer yang pro-kapitalisme. Adat dan paham tua dikembangkan kembali untuk proses
penundukan daya kritis organisasi perempuan. Sejalan dengan itu, industri majalah perempuan
bertumbuhan dan mengusung “citra perempuan ideal modern” yang menerima beban ganda
dengan tetap fashionable. Perempuan yang ideal ialah yang berkarier tetapi tidak melupakan
peran domestiknya.
Maka, tak ada yang menyadari bahwa tubuh perempuan sejak periode ini telah dijadikan pasar
bagi industri kosmetik dan busana; dan juga seksualitas perempuan dijadikan pasar bagi industri
alat kontrasepsi. Di antara tubuh dan seksualitasnya, tenaga kerja perempuan dieksploitasi
sebagai buruh di industri manufaktur, garmen, dan sebagainya. Di sini “negara” hilang sebagai
arena pertarungan merebut “hak perempuan”, tetapi sebaliknya “negara” berhasil memanipulasi
“hak perempuan” seakan-akan telah meretas batas domestik-publik, namun realitasnya tetaplah
koncowingking.

4. Periode Melek Demokrasi Melawan Otoritarianisme Militer

Periodisasi ini kira-kira pada awal dekade 1980-an. Dipengaruhi oleh Dekade Perempuan
Internasional 1975-1985 dan situasi nasional yang represif, tumbuhlah organisasi perempuan
“baru’ yang berjuang untuk merebut kembali hak perempuannya yang dihancurkan. Organisasi
perempuan ini populer disebut LSM Perempuan yang beragam kegiatannya, mulai dari
pengembangan ekonomi, advokasi kekerasan terhadap perempuan, hingga mengangkat kembali
hak dipilih bagi perempuan untuk keterwakilan di parlemen. Di kalangan kelompok-kelompok
studi mahasiswa, juga bertumbuhan gairah untuk mengkaji realitas persoalan perempuan, namun
masih gagap di dalam praktik perjuangannya.

LSM Perempuan yang tumbuh sekitar dekade 1980-an, contohnya Yayasan Annisa Swasti di
Yogya dan Kalyanamitra di Jakarta, mulanya memusatkan perhatian pada masalah eksploitasi
tenaga kerja perempuan (buruh perempuan). Buruh perempuan adalah realitas kelas tertindas
yang digempur oleh patriarki di dalam rumah tangga, militerisme dan kapitalisme. Setelah
dekade 1990-an, perjuangan merebut hak perempuan bergerak ke isu kekerasan terhadap
perempuan yang memusatkan aspek seksualitas dan gender sebagai basis penindasan militerisme
negara. Di sini feminisme dan hak asasi manusia komplementer membangun gerakan yang
membongkar kekerasan negara terhadap perempuan, yang contohnya terjadi sejak Tragedi 1965
di seluruh Indonesia, DOM di Aceh, Kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta, DOM di Papua, invansi
militer di Timor Leste, dan sebagainya. Adapun LSM Perempuan yang memusatkan perhatian
pada masalah kemiskinan dengan kegiatan peningkatan ekonomi sebagai ibu rumah tangga juga
cukup berkembang –terutama di pedesaan.

Selama periodisasi ini, perjuangan untuk merebut hak perempuan termanifestasi ke dalam isu-isu
perempuan guna memobilisasi perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru. Maka negara
menjadi arena pertarungan –antara perempuan dan penguasa militer Orde Baru.

5. Periode 30 Persen Keterwakilan Perempuan

Setelah penguasa Orde Baru mundur sebagai presiden pada 21 Mei 1998, Kongres Perempuan
Indonesia digelar oleh LSM perempuan sejak 14 Desember hingga 22 Desember 1998 di
Yogyakarta. Salah satu mandat Kongres yang utama ialah memperjuangkan isu Hak Dipilih
perempuan dalam parlemen. Sebab realitasnya sejak Indonesia merdeka hingga saat ini,
keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah beranjak dari 10 persen.

Selanjutnya, dari pemilu ke pemilu, perjuangan untuk merebut hak dipilih perempuan ini
mengemuka. Gerakan perempuan mendeklarasikan affirmative action (tindakan khusus
sementara) kuota 30 persen untuk memastikan kemajuan perjuangan hak dipilih bagi perempuan.
Affirmatif action untuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini pada akhirnya diterima dan
dicantumkan ke dalam UU Pemilu –sekalipun masih penuh dengan catatan kelemahan. Begitu
pun, di bidang isu hak asasi perempuan juga mengalami pengakuan negara, yakni ketika Komisi
Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan dibentuk atas keputusan Presiden Habibie dan
perjuangan perempuan untuk membongkar kekerasan negara mendapatkan aksesnya.

Pada periodisasi ini, hampir seluruh organisasi perempuan memuarakan persoalan isu hak
perempuan ke ranah kebijakan yang berujung pada produksi legislasi dan anggaran untuk
kepentingan perempuan. Agenda perempuan itu tidak ditolak oleh penyelenggara negara, bahkan
diberi akses, namun demikian tetap terjadi pertarungan perspektif antara organisasi perempuan
dengan penyelenggara negara, terutama partai-partai politik.

6. Periode Melawan Neoliberalisme

Krisis ekonomi dunia yang berlangsung terus menerus mengakibatkan posisi Indonesia –sebagai
negara mantan jajahan—dijadikan objek untuk pemulihan krisis tersebut. Apa yang dijadikan
objek yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja manusianya yang murah. Pada awal 1970an,
Indonesia menjadi objek industri manufaktur dan pertanian pangan (beras), dan kemudian sejak
2000an Indonesia menjadi objek bagi industri ekstraktif (pertambangan dan perkebunan sawit).

Masalah yang dihadapi petani dan nelayan perempuan saat ini berhubungan dengan terjadinya
pemisahan ruang produksi dan reproduksi dalam ruang hidup mereka. Pemisahan itu terjadi
setelah perusahaan-perusahaan TNC/MNC memperoleh konsesi dari pemerintah untuk
mengeksploitasi sumberdaya alam stempat. Akibat pemisahan itu maka perempuan petani
kehilangan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bagi anggota
keluarga. Sementara bagi perempuan yang menjadi buruh (pabrik, perkebunan, rumah tangga,
migran) mengalami eksploitasi waktu dan tenaganya.

Akibat masalah-masalah itu, mulai muncul perlawanan perempuan buruh, petani, nelayan,
miskin kota (yang kerjanya serabutan) terhadap perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi
dirinya, atau yang merampas alat-alat produksinya. Di seluruh Indonesia saat ini telah muncul
perempuan-perempuan rakyat pekerja yang melawan korporasi-korporasi ekstraksi, melakukan
protes dan pemogokan di perusahaannya, sekali pun masih dalam cakupan lokal dan sektoral.

Gerakan perempuan rakyat pekerja ini sebenarnya telah muncul sejak masa perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Belanda pada 1920an, tetapi gerakan ini kemudian ditumpas pada saat
melawan pemerintah kolonial pada 1926 (dalam sejarah Indonesia disebut “pemberontakan PKI
1926”, suatu istilah yang tidak tepat). Gerakan perempuan rakyat pekerja tumbuh kembali
melawan imperialisme setelah Indonesia merdeka, tetapi lagi-lagi ditumpas pada 1965 oleh
kekuatan militer yang melahirkan Orde Baru. Sayang sekali gerakan perempuan rakyat pekerja
ini tidak menjadi unit analisa dalam narasi sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Unit analisa
dalam narasi sejarah gerakan perempuan di Indonesia sejak Kongres Perempuan I, 22 Desember
1928 sampai dengan dewasa ini adalah organisasi perempuan borjuasi.

***

Penyususunan periodisasi di atas lebih sebagai penanda waktu dan kecenderungan, guna
menunjukkan dimana standpoint gerakan perempuan dalam relasinya dengan peristiwa-peristiwa
politik dan ekonomi. Tentu saja analisa ini membutuhkan pendalaman riset guna menemukan,
menguji dan menjelaskan fakta-fakta baru mengenai pasang surut gerakan perempuan di
Indonesia.***

 Home
 News
 Tentang Kami
 Daftar Isi
 Kontak Kami
 Privacy Policy
 Disclaimer

Home » sejarah » Sejarah. » Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)

Sejarah Pergerakan Kaum Wanita


(R.A.Kartini)
Advertisement

Sejarah : Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)|RA. Kartini adalah Pelopor


Pergerakan kaum wanita. R.A. Kartini telah menjadi sejarah dalam keikutsertaan kaum hawa
diberbagai bidang kehidupan,baik non pemerintahan dan pemerintahan, R.A. Kartini sangat
diharumkan namanya terlihat dari tanggal lahirnya yang selalu diperangati oleh berbagai
kalangan bukan hanya kaum hawa tetapi kaum adam pun ikut serta dalam memperingati hari
pergerakan kaum wanita atau hari R.A.Karitini atau Hari ibu, R.A. Kartini merupakan beberapa
kaum atau salah satu kaum hawa yang sangat memperjuangkan hak-hak perempuan atau kaum
hawa untuk ikut serta dalam berbagai bidang kehidupan dan karna R.A.Kartini berbagai kaum
hawa dapat kerja diberbagai bidang kehidupan, dan Setiap 21 April diperangati Hari ibu untuk
mengenang dan memperingati Pergerakan Kaum Wanita dan Perjuangan R.A. Karitini sebagai
pelopor Para Pergerakan kaum wanita. Untuk mengetahui Sejarah Sejarah Pergerakan Kaum
Wanita (R.A.Kartini) Mari kita lihat artikel dibawah ini.. 
Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)
R.A. Kartini (21 April 1879-1904) dianggap sebagai pelopor Pergerakan kaum wanita
Indonesia. Beliau wanita Indonesia pertama yang mempunyal cita-cita untuk memajukan
kaumnya dalam bidang pendidikan-pengajaran. Sebagai akibat kurang mendapat pendidikan-
pengajaran. kaum wanita diperlakukan tidak adil. Hal itu ditunjukkan. oleh adat-kebiasaan sbb:
1. Adanya kawin-paksa.
2. Polygami,
3. Kaum pria mempunyai kekuasaan tak terbatas dalamperkawinan,
4. Sesudah menginjak dewasa, gadis-gadis dilarang ke luar rumah (= dipingit). 

           Adat kebiasaan semacam itu lambat laun ditentang oleh kaum wanita yang mempunyai
pikiran maju. Diilhami oteh cita-cita Kartini, merek mulai bergerak untuk merombak tradisi yang
tidak adil
tersebut.

1,. Keluar: berusaha memperoleh persamaan hak setaraf dengan kaum pria, agar supaya tidak
diperlakukan sewenang-wenang.
2. ke dalam : berusaha meningkat/sempurnakan kemampuan dan kecerdasan kaum wanita
sendiri sebagal ibu dan pemeg ang kendali rumah-tangga.
 Organisasi wanita Indonesia yang pertama didirikan di Jakarta pada tahun 1912 dengan nama
Putri Mardika. Berdirinya organisasi itu berkat bantuan Budi Utomo, dengan tujuan:
Berusaha memajukan pendidikan-pengajaran anak-anak wanita. Sesudah berdiri Putri Mardika
kemudian muncul/berdiri organisasi-organisasi Iainnya. Hampir di tiap-tiap kota penting terdapat
organisasi wanita, hingga jumlahnya banyak sekali.

Organisasi kaum wanita yang banyak sekali itu dapat dibagi sebagai berikut:
1. Organisasi-wanita yang menjadi bagian dan sesuatu organisasi, contohnya:
a). Wanudyo Utomo, bagian dan Sarekat Islam.
b). Aisyiyah, bagian dan Muhammadiyah.
2. Organisasi-wanita yang berdiri sendiri. Kebanyakan merupakan organisasinya kaum ibu,
contohnya:

1. Wanito Mulyo, 
2. Wanito Katholik
3. Wanito Ut omo.

    Antara tanggal 22 — 25 Desember 1928 organisasi-Organisasi wanita Indonesia mengadakan


Konggres di Yogyakarta. Konggres yang pertama kali ini mempunyai tujuan sebägai berikut:

1. untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan kaum wanita.


2. untuk membentuk gabungan antara organisasi-organisasi yang beraneka-ragam coraknya.
        Konggres berhasil mendirikan suatu gabungan organisasi wanita dengan nama Perikatan
Perempuan Indonesia (PPI). Nama ini kemudian diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Istri
Indonesia (PPII).
      Tanggal dimulainya Konggres kaum wanita yang pertama kali tersebut dijadikan Hari Ibu,
dan diperingäti setiap tahun (hingga sekarang).

        Meskipun belum tercapai seluruhnya, namun setahap demi setahap perjuangan kaum wanita
banyak juga hasilnya. Adat-kebiasaan yang menghinakan derajat kaum-wanita makin lama
makin berkurang. Bahkan sekitar tahun 1938 telah ada beberapa orang wanita Indonesia yang
diangkat oleh Pemerintah Belanda.menjadi anggota Dewan Kota, misalnya di Bandung, Cirebon
dan Surabaya.

Sekian Artikel tentang, Sejarah : Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini), Semoga
Bermanfaat. (Sumber : Pelajaran Sejarah, Hal : 79-80, Penerbit : Widya
Duta.Surakarta.1795, Penulis : Ibnoe Soewarso)

Sejarah Pergerakan Kaum Wanita


(R.A.Kartini)
Oleh parta setiawanDiposting pada 27/08/2018

Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini) -RA. Kartini adalah seorang Pelopor
Pergerakan kaum wanita. R.A. Kartini sudah menjadi sejarah didalam keikutsertaan kaum wanita
(hawa) diberbagai bidang kehidupan,baik itu dari hal non pemerintahan serta pemerintahan, R.A.
Kartini itu sangat diharumkan namanya yang terlihat dari tanggal lahirnya yang selalu
diperangati dari berbagai kalangan bukan daro hanya kaum hawa namun tetapi kaum adam
juga ikut serta dalam memperingati hari pergerakan kaum wanita atau hari R.A.Karitini .

http://jakartakita.com/2012/04/20/sepenggal-
kisah-kartini/

Kartini adalah seorang dari beberapa kaum atau juga salah satu kaum hawa yang sangat
memperjuangkan hak-hak perempuan ataupun kaum hawa untuk ikut serta didalam berbagai
bidang kehidupan serta juga karna R.A.Kartini berbagai kaum hawa tersebut bisa bekerja
diberbagai bidang kehidupan, dan pada tiap 21 April diperangati Hari ibu untuk mengenang serta
juga memperingati Pergerakan Kaum Wanita dan juga Perjuangan R.A. Karitini ialah  sebagai
pelopor Para Pergerakan kaum wanita.

Contents

 1 Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)


o 1.1 Posting terkait:

Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)


R.A. Kartini (21 April 1879-1904) ini dianggap ialah sebagai pelopor Pergerakan kaum wanita
Indonesia. Beliau adalah wanita Indonesia pertama yang memiliki cita-cita untuk dapat
memajukan kaumnya dalam bidang pendidikan atau pengajaran. Sebagai akibat dari kurangnya
mendapatkan pendidikan atau pengajaran. kaum wanita tersebut diperlakukan tidak adil. Hal
tersebut ditunjukkan. oleh adat-kebiasaan ialah sebagai berikut :

 ada kawin-paksa.
 Polygami,
 Kaum pria memiliki kekuasaan tak terbatas dalam suatu perkawinan,
 Sesudah menginjak dewasa, gadis-gadis tersebut dilarang unutk ke luar rumah (=
dipingit).

Adat kebiasaan semacam tersebut lambat laun ditentang oleh kaum wanita yang memiliki pikiran
maju. Diilhami oleh cita-cita Kartini, mereka mulai untuk bergerak dan untuk merombak tradisi
yang tidak adil itu.

Pergerakan dari kaum wanita pada umumnya bersifat sosial, dengan tujuan ialah:
Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)

Baca Juga :  "Proyeksi Peta" Pengertian & ( Macam - Macam )

 Keluar: berusaha untuk memperoleh persamaan hak setaraf dengan kaum pria, supaya
tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang.
 ke dalam : berusaha meningkat atau juga sempurnakan kemampuan serta juga kecerdasan
kaum wanita sendiri sebagal ibu serta sebagai pemegang kendali rumah-tangga.

Organisasi wanita pertama  di Indonesia , didirikan di Jakarta 1912 dengan nama Putri Mardika.
Berdirinya organisasi tersebut berkat bantuan dari Budi Utomo, dengan tujuan ialah: Berusaha
memajukan pendidikan atau pengajaran anak-anak wanita. setelah berdiri Putri Mardika
kemudian muncul atau juga berdiri organisasi-organisasi Iainnya. Hampir pada setiap kota
penting terdapat suatu organisasi wanita, hingga jumlahnya banyak.
Organisasi kaum wanita yang banyak sekali tersebut dapat dibagi antara lain sebagai berikut:

1. Organisasi-wanita yang menjadi suatu bagian serta sesuatu organisasi, contohnya:

1. Wanudyo Utomo, bagian serta Sarekat Islam.


2. Aisyiyah, bagian serta Muhammadiyah.

2. Organisasi-wanita yang berdiri dengan sendiri. Kebanyakan adalah organisasinya kaum ibu,


contohnya:

1. Wanito Mulyo,
2. Wanito Katholik
3. Wanito Utomo.

Di antara tanggal 22 — 25 Desember 1928 organisasi wanita Indonesia tersebut mengadakan


Konggres di Yogyakarta. Konggres yang pertama kali tersebut memiliki tujuan antara lain
sebagai berikut:

1. untuk mempersatukan cita-cita serta juga usaha memajukan kaum wanita.


2. untuk membentuk gabungan diantara organisasi-organisasi yang berbeda-beda atau
beraneka-ragam coraknya.

Konggres tersebut berhasil mendirikan sebuah gabungan organisasi wanita dengan nama ialah
“Perikatan Perempuan Indonesia disingkat dengan (PPI)”. Nama tersebut kemudian diubah
menjadi “Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia disingkat dengan (PPII)”.

Tanggal dimulainya Konggres kaum wanita yang pertamaitu dijadikan ialah sebagai Hari Ibu,
serta juga diperingäti di setiap tahunnya (hingga sekarang).

Walaupun belum tercapai seluruhnya, tetapi setahap demi setahap perjuangan kaum wanita


tersebut banyak juga hasilnya. Adat-kebiasaan yang menghinakan atas derajat kaum-wanita
semakin lama semakin berkurang. Bahkan disekitar tahun 1938 sudah ada beberapa orang wanita
Indonesia yang diangkat oleh Pemerintah Belanda ialah menjadi anggota Dewan Kota, misalnya
di Bandung, Cirebon serta juga Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai