Disusun oleh :
Devita Ayu Safitri
P1337420418080
II B
1. Pengertian
Stroke non hemoragik merupakan stroke yang terjadi akibat adanya bekuan atau
sumbatan pada pembuluh darah otak yang dapat diakibatkan oleh tumpukan thrombus
pada pembuluh darah otak. Stroke non hemoragik merupakan sebagian kematian jaringan
otak karena pasokan darah yang tidak kuat dan bukan disebabkan karena perdarahan.
Stroke non hemoragik biasanya disebabkan oleh tertutupnya pembuluh darah di otak
akibat adanya penumpukan penimbunan lemak atau plak dalam pembuluh darah besar
(arteri karotis), pembuluh darah sedang (arteri serebri), atau pembuluh darah kecil. (Arya,
2011)
Stroke Non Hemoragik merupakan kelainan fungsi otak yang di sebabkan karena
sumbatan pada arteri sehingga suplai oksigen ke otak berkurang yang mengakibatkan
iskemia atau infark (Irfan, 2010).
2. Etiologi
Stroke non hemoragik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Hal ini
disebabkan oleh aterosklerosis yaitu penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh
darah atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak
(Pudiastuti, 2013).
Stroke non hemoragik terjadi pada pembuluh darah yang mengalami sumbatan
sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan otak, thrombosis otak,
aterosklerosis, dan emboli serebral yang merupakan penyumbatan pembuluh darah
yang timbul akibat pembentukkan plak sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah
yang dikarenakan oleh penyakit jantung, diabetes, obesitas, kolesterol, merokok,
stress, gaya hidup, rusak atau hancurnya neuron motorik atas (upper motor neuron),
dan hipertensi (Mutaqqin, 2011).
Stroke non hemoragik dapat berupa iskemik, emboli, spasme ataupun thrombus
pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau gangguan
tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses udema
oleh karena hipoksia jaringan otak (Price, 2006).
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Stroke Non Hemoragik menurut Misbach (2011) antara lain :
1. Hipertensi
2. Gangguan motorik (kelemahan otot, hemiparese)
3. Gangguan sensorik
4. Gangguan visual
5. Gangguan keseimbangan
6. Nyeri kepala (migran, vertigo)
7. Muntah
8. Disatria (kesulitan berbicara)
Tanda dan gejala yang timbul dapat berbagai macam tergantung dari berat
ringannya lesi dan juga topisnya. Namun ada beberapa tanda dan gejala yang umum
dijumpai pada penderita stroke non hemoragik yaitu (Hassmann KA, 2013):
1. Gangguan Motorik
Disfungsi motorik itu mengakibat pasien mengalami keterbatasan dalam
menggerakkan bagian tubuh sehingga menyebabkan hambatan mobilitas fisik yang
dapat menurunkan kemampuan aktivitas fungsional individu sehari-hari (Irfan, 2010).
- Tonus abnormal (hipotonus/ hipertonus)
- Penurunan kekuatan otot
- Gangguan gerak volunter
- Gangguan keseimbangan
- Gangguan koordinasi
- Gangguan ketahanan
2. Gangguan Sensorik
- Gangguan propioseptik
- Gangguan kinestetik
- Gangguan diskriminatif
3. Gangguan Kognitif, Memori dan Atensi
- Gangguan atensi
- Gangguan memori
- Gangguan inisiatif
- Gangguan daya perencanaan
- Gangguan cara menyelesaikan suatu masalah
4. Gangguan Kemampuan Fungsional
- Gangguan dalam beraktifitas sehari-hari seperti mandi, makan, ke toilet dan
berpakaian.
4. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah sebagai
berikut :
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah rutin
b. Pemeriksaan kimia darah lengkap
Gula darah sewaktu
Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT/SGPT/CPK dan
Profil lipid (trigliserid, LDL-HDL serta total lipid)
c. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap)
Waktu protrombin
APTT
Kadar fibrinogen
D-dimer
INR
Viskositas plasma
2. Foto Thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung. Serta mengidentifikasi kelainan paru yang
potensial mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk prognosis
3. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskular.
4. Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carran lumbal menunjukkan
adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan
jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah
biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih
normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
5. CT scan.
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau
menyebar ke permukaan otak.
6. MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetik untuk
menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5. Patofisiologi
Ketidakadekuatan sirkulasi yang terjadi pada stroke non- hemoragik disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya thrombus dan emboli. Stroke Non Hemoragik
disebabkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis yang memberi vaskularisasi pada
otak atau oleh emboli dari pembuluh darah diluar otak yang tersangkut di arteri otak. Saat
terbentuknya plak fibrosis (ateroma) di lokasi yang terbatas seperti di tempat
percabangan arteri. Trombosit selanjutnya melekat pada permukaan plak bersama dengan
fibrin, perlekatan trombosit secara perlahan akan memperbesar ukuran plak sehingga
terbentuk trombus (Sudoyo, 2007).
Trombus dan emboli di dalam pembuluh darah akan terlepas dan terbawa hingga
terperangkap dalam pembuluh darah distal, lalu menyebabkan pengurangan aliran darah
yang menuju ke otak sehingga sel otak akan mengalami kekurangan nurisi dan juga
oksigen, sel otak yang mengalami kekurangan oksigen dan glukosa akan terjadi hipoxsia
cerebral (Esther, 2010).
Ketidakefektifan perfusi jaringan yang disebabkan oleh trombus dan emboli akan
menyebabkan iskemia pada jaringan yang tidak dialiri oleh darah, jika hal ini berlanjut
terus-menerus maka jaringan tesebut akan mengalami infark atau kerusakan atau
kematian sel-sel jaringan otak (Lingga,2013).
Menurut Smeltzer (2008) lokasi kerusakan atau causal topis terjadi pada kawasan
pyramidal sesisi yang menyebabkan hemilegia atau hemiparesis yang diikuti kelaianan
pada saraf ke III (Okulomotoricus) dimana terjadi paralise musculus rectus medialis yang
didapatkan bola mata tidak dapat digerakkan kearah nasal, bayangan kontra lateral dari
gambar sebenarrnya( bila melihat kearah yang sehat), paralise musculus rectus superior
didapatkan bola mata jatuh kebawah, abduksi minimal bola mata yang paralitik tidak
dapat digerakkan keatas, bayangan pada sisi kolateral bila bola mata menatap benda yang
lebih tinggi dari bidang mata, bila bola mata digerakkan keatas / kesamping bayangan
akan menjauh dari gambar sebenanrnya, paralisis musculus rectus inferior didapatkan
bola mata tidak dapat di gerakkan kebawah dan samping.
Posisi bola mata terangkat dan berputar kedalam. Selain itu terjadi kelainan pada
saraf ke VI (Abdusen) yaitu paralise musculus lateralis didapatkan bola mata pada lesi
akan bersikap konvergensi, bola mata tidak dapat digerakkan ke lateral, bayangan jatuh
disebelah lateral dari benda sbenarnya (bila melihat kearah lesi). Kelainan saraf ke VII
(Facialis) umumnya lesi terjadi pada capsula interna. Kelainan saraf ke XII (Hipoglosus)
biasanya sering terjadi pada perifer, maka atrofi otot lidah dengan cepat.
Lokasi kerusakan kedua yaiu terjadi pada kawasan pyramidal bilateral (Segmen
C5). Lesi pada medulla spinalis pada segmen C5 mengakibatkan kelumpuhan UMN pada
otot-otot dibawah segmmen C5 yaitu, otot kedua lengan (C6-C8), otot thoraks, dan otot
abdominal, serta otot tungkai bawah. Kondisi ini disebut tetraplegia. Lesi pada segmen
C5 juga akan merusak lintasan asenden dan desenden lain sehingga motor neuron juga
ikut rusak, maka tingkat kelumpuhan ini bersifat Lower Motoric Neuron (LMN) karena
lintasan somatosensorik dan lintasan autonomy neurovegetatif asenden dan desenden
terputus. Akibatnya pasien akan mengalami gangguan sensibilitas(tidak dapat merasakan
apa-apa) dan mengakibatkan rusaknya lintasan neurovegetatif yang menimbulkan
gangguan fungsi sistem urinaria yaitu terjadinya inkontinensia alvi atau inkontinensia uri.
Lokasi kerusakan ketiga yaitu pada segmen lumbal yang menyebabkan paraplegia
sehingga didapatkan tanda hipertonia pada otot abdomen, reflek dinding perut meningkat,
kelumpuhan kedua tungkai secara lengkap.
Apabila kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengatur fungsi motorik atau
sistem neuromuskuloskeletal itu terjadi, penderita akan mengalami kesulitan saat berjalan
karena mengalami gangguan pada kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi gerak
sehingga menyebabkan seseorang mengalami hambatan mobilitas fisik. (Nurarif, 2015)
6. Pathway
Gambar 2. Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015)
Trombosis Embolisme Hipertensi, DM, penyakit
jantung, obesitas, merokok
Adanya penyumbatan aliran Embolus berjalan menuju
darah ke otak oleh thrombus arteri serebral melalui arteri Penimbunan lemak/Kolesterol
karotis yang meningkat dalam darah
Berkembang menjadi
aterosklerosis pada dinding Terjadi bekuan darah pada
Pembuluh darah menjadi kaku
pembuluh darah arteri
Berkurangnya darah ke
area thrombus
9) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental
klien mengalami perubahan.
1) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
2) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada
4) Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
5) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus
dan eksternus.
6) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
7) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
8) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
9) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
10) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.
i. Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN
bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi ng berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh
adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
j. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu :
4 Risiko kerusakan Tujuan (NOC) : 1) Anjurkan pasien untuk 1. Kulit bisa lembap dan
integritas kulit b.d Tissue Integrity : menggunakan pakaian mungkin merasa tidak
factor risiko : Skin and Mucous yang longgar dapat beristirahat atau
lembap Membranes 2) Hindari kerutan pada tempat perlu untuk bergerak
Kriteria Hasil : tidur 2. Menurunkan terjadinya
Integritas 3) Jaga kebersihan kulit agar tetap risiko infeksi pada
kulit yang bersih dan kering bagian kulit
baik bisa4) Mobilisasi pasien (ubah posisi 3. Cara pertama untuk
dipertahanka pasien) setiap dua jam sekali mencegah terjadinya
n (sensasi,5) Monitor kulit akan adanya infeksi
elastisitas, kemerahan 4. Mencegah terjadinya
temperatur, 6) Oleskan lotion atau komplikasi selanjutnya
hidrasi, minyak/baby oil pada derah 5. Mengetahui
pigmentasi) yang tertekan perkembangan terhadap
Tidak 7)
ada Kolaborasi pemberian terjadinya infeksi kulit
luka/lesi pada antibiotic sesuai indikasi 6. Menurunkan pemajanan
kulit terhadap kuman infeksi
Menunjukka pada kulit
n 7. Menurunkan risiko
pemahaman terjadinya infeksi
dalam proses
perbaikan
kulit dan
mencegah
terjadinya
sedera
berulang
Mampu
melindungi
kulit dan
mempertahan
kan
kelembaban
kulit dan
perawatan
alami
5 Gangguan Tujuan (NOC): Intervensi (NIC) :
komunikasi 1. Lakukan komunikasi 1. Mencek komunikasi
verbal b.d. Komunikasi dapat dengan wajar, bahasa klien apakah benar-
kerusakan berjalan dengan baik jelas, sederhana dan benar tidak bisa
neuromuscular bila perlu diulang melakukan komunikasi
, kerusakan 2. Dengarkan dengan 2. Mengetahui bagaimana
sentral bicara tekun jika pasien mulai kemampuan
Kriteria hasil : berbicara komunikasi klien tsb
3. Mengetahui derajat
a. Klien dapat 3. Berdiri di dalam lapang /tingkatan kemampuan
mengekspresikan pandang pasien pada berkomunikasi klien
perasaan saat bicara 4. Menurunkan terjadinya
4. Latih otot bicara secara komplikasi lanjutan
b. Memahami optimal 5. Keluarga mengetahui &
maksud dan 5. Libatkan keluarga mampu
pembicaraan orang dalam melatih mendemonstrasikan
lain komunikasi verbal pada cara melatih
pasien komunikasi verbalpd
c. Pembicaraan
6. Kolaborasi dengan ahli klien tanpa bantuan
pasien dapat
terapi wicara perawat
dipahami
6. Mengetahui
perkembangan
komunikasi verbal klien
DAFTAR PUSTAKA
Arya W.W. (2011). Strategi Mengatasi & Bangkit dari Stroke, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Misbach, J. (2011), Pandangan Umun Mengenai Stroke, dalam Al Rasyid & Soertidewi, L.
(Eds), Unit Stroke : Manajemen Stroke secara Komprehensif. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Nurarif & Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan KeperawatanProfesional. Yogyakarta :
Mediaction Jogja.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol.3.
Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith. 2013. Diagnose NANDA Intervensii NIC Kriteria Hasil NOC. Jakarta :
EGC.