Anda di halaman 1dari 8

1.

Manajemen Konflik

Defenisi Konflik

Deutsch dikutip dari Monica (1998) mendefinisikan konflik sebagai suatu

perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman keseimbangan

antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang. Konflik terjadi akibat adanya

pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada diri individu ataupun pada

tatanan yang lebih luas, seperti antar–individu, antar- kelompok, atau antar–masyarakat

(Arwani, 2006). Marquis & Huston (2010) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan

internal atau ekternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai, atau perasaan antara dua

orang atau lebih.

Walton dalam Winardi (2001) mengatakan konflik timbul apabila terdapat

ketidaksesuaian paham pada sebuah situasi sosial mengenai persoalan-persoalan

substansi dan atau antagonisme emosional. Konflik-konflik substansi biasanya berpusat

pada ketidakcocokan dengan tujuan-tujuan dan alat-alat. Konflik-konflik emosional

mencakup perasaan marah, ketidaksenangan, perasaan takut, penolakan, dan benturan-

benturan kepribadian.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa konflik adalah suatu

kondisi yang ditimbulkan karena adanya perbedaan pendapat atau perbedaan cara

pandang antara individu yang saling berinteraksi yang dimulai dari dalam individu itu

sendiri, antarkelompok dan antarorganisasi.

Kategori Konflik

Marquis & Huston (2010) mengatakan ada tiga kategori konflik yang utama :

intrapersonal, interpersonal, dan interkelompok.

(1) Konflik intrapersonal : konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini

merupakan masalah internal untuk mengklarifikasi nilai dan keinginan dan konflik yang
terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetensi peran (Nursalam,

2009). Bagi manajer, konflik intrapersonal dapat disebabkan oleh berbagai area

tanggung jawab yang terkait dengan peran manajemen (Marquis & Huston, 2010).

(2) Konflik interpersonal : konflik terjadi antara dua orang atau lebih dimana nilai,

tujuan dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara

konstan berinteraksi dengan orang lain, sehingga ditemukan perbedaan–perbedaan

(Nursalam, 2009). Ruang lingkup ini sangat tidak terbatas, konflik bisa terjadi antara

atasan dengan bawahan secara individu dalam suatu perusahaan (Bachtiar, 2004). (3)

Konflik interkelompok : konflik yang terjadi antara dua atau lebih dari kelompok orang,

departemen, atau organisasi. Sumber konflik ini adalah hambatan dalam mencapai

kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), serta keterbatasan prasarana (Marquis &

Huston, 2010). Konflik interkelompok menyebabkan tugas koordinasi dan integrasi

kegiatan-kegiatan tugas menjadi sulit (Winardi, 2007).

Penyebab Konflik

Konflik dapat terjadi karena manusia mempunyai sifat yang terbagi dalam

kuadran yaitu : (1) dominasi (dominance), sifat yang paling mendasar dalam diri

manusia yang dapat menimbulkan konflik. Dominasi muncul karena manusia ingin

mempertahankan kehidupan pribadi dan sosialnya dimata orang lain atau ingin

menguasai orang lain agar menuruti keinginannya yang tujuannya untuk mencapai

kepuasan diri. (2) Kepengaruhan (persuasiveness), hal ini terjadi jika seseorang

berusaha mempengaruhi orang lain agar mau menuruti apa yang dipengaruhkan

kepadanya, jika pengaruh tersebut membawa dampak negatif pada dirinya maka akan

terjadi konflik. (3) Keteguhan hati (steadiness), merupakan cerminan sikap egois dalam

diri manusia, yang bila bersentuhan dengan kepentingan dan harga diri manusia lain

bisa menimbulkan konflik dan (4) kepatuhan (compliance), diartikan sebagai kepatuhan
seseorang terhadap nilai- nilai dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya. Jika

ada karyawan yang tidak patuh sedangkan karyawan yang lain sudah patuh akan

memicu timbulnya konflik (Bachtiar, 2004). Beberapa alasan yang paling umun yang

menyebabkan terjadinya konflik di lingkungan kerja yaitu : kompetisi diantara

kelompok, beban kerja yang meningkat, peran ganda, ancaman identitas profesional dan

lingkungan, ancaman keamanan dan keselamatan, sumber daya yang kurang, budaya

yang berbeda, dan kondisi ruangan (Tappen, 2004).

Arwani (2006) mengatakan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik

diantaranya perilaku yang menentang, stress, kondisi ruangan, kewenangan dokter-

perawat, keyakinan, ekslusifisme, kekaburan tugas, kekurangan sumber daya, proses

perubahan, imbalan dan masalah komunikasi. Berikut ini uraian faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya konflik tersebut :

a. Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog, dapat

menimbulkan gangguan protokol penerimaan untuk berinteraksi dengan orang lain.

Perilaku ini dapat berupa verbal dan nonverbal. Terdapat tiga macam perilaku

menentang, yaitu : competitive bomber yang dicirikan perilaku yang mudah

menolak, menggerutu dan menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan

merusak secara agresif yang disengaja. Tipe perilaku menentang kedua adalah

martyred acomodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan kepatuhan semu atau

palsu dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain, namun sambil melakukan

ejekan dan hinaan. Tipe perilaku menentang ketiga adalah avoider, yang ditunjukkan

dengan pengghindaran kesepakatan yang telah dibuat dan menolak untuk berpartisipasi.

b. Banyaknya stressor yang muncul dalam lingkungan kerja seseorang menimbulkan

terjadinya stress. Stres dapat mengakibatkan tekanan fisik maupun tekanan mental

hal ini akan mudah memicu terjadinya konflik.

c. Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan kegiatan–
kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal yang memperburuk keadaan

dalam ruangan dapat berupa hubungan yang monoton atau konstan diantara individu

yang terlibat di dalamnya, terlalu banyaknya pengunjung pasien dalam suatu ruangan

atau bangsal mampu memperparah kondisi ruangan yang mengakibatkan terjadinya

konflik.

d. Kewenangan dokter–perawat yang berlebihan dan tidak saling mengindahkan

usulan–usulan di antara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya konflik.

Dokter yang tidak mau menerima umpan balik dari perawat, atau perawat yang

merasa tidak acuh dengan saran–saran dari dokter untuk kesembuhan klien yang

dirawatnya, dapat memperkeruh suasana.

e. Perbedaan nilai atau keyakinan antara satu orang lain dengan yang lainnya dapat

menyebabkan terjadinya konflik. Perawat begitu percaya dengan persepsinya tentang

pendapat kliennya sehingga menjadi tidak yakin dengan pendapat yang diusulkan

oleh profesi atau tim kesehatan lainnya. Keadaan ini akan semakin kompleks jika

perbedaan keyakinan, nilai, dan persepsi telah melibatkan pihak di luar tim

kesehatan yaitu keluarga pasien.

f. Ekslusifisme yaitu adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki

kemampuan yang lebih dibandingkan kelompok lain.

g. Kekaburan tugas atau peran ganda yang disandang seseorang (perawat) dalam

bangsal keperawatan sering mengakibatkan konflik. Seorang perawat yang berperan

lebih dari satu peran pada waktu yang hampir bersamaan masih merupakan

fenomena yang jamak ditemukan dalam tatanan pelayanan kesehatan baik di rumah

sakit maupun komunitas.

h. Kekurangan sumber daya manusia sering memicu terjadinya persaingan yang tidak

sehat dalam suatu tatanan organisasi.

i. Proses perubahan yang terlalu cepat atau proses perubahan yang terlalu lambat dapat
memunculkan konflik. Individu yang tidak siap dengan perubahan memandang

perubahan sebagai suatu ancaman.

j. Imbalan jika dikaitkan dengan pembagian yang tidak merata antara satu orang

dengan orang lain dapat menyebabkan munculnya konflik. Pemberian imbalan yang

tidak didasarkan atas pertimbangan profesioanal sering menimbulkan masalah yang

pada akhirnya menimbukan suatu konflik.

k. Masalah komunikasi, penyampaian informasi yang tidak seimbang, hanya orang

tertentu yang diajak berbicara oleh manajer, penggunaan bahasa yang tidak efektif,

dan penggunaan media yang tidak tepat sering berujung terjadinya konflik.

Proses Konflik

Proses konflik ada enam tahapan yaitu : pertama, kondisi yang mendahului,

konflik yang dipersepsi, konflik yang dirasakan, perilaku yang dinyatakan, penyelesaian

atau penekanan konflik, dan penyelesaian akibat konflik (Filley dikutip dari Monica

1998). Kondisi yang mendahului merupakan penyebab terjadinya konflik (tahap kedua).

Kondisi yang ada di antara pihak yang terlibat atau di dalam diri dapat menyebabkan

terjadinya konflik. Tahapan ketiga konflik akan dipersepsikan adalah konflik intelektual

dan sering melibatkan isu serta peran. Konflik ini dikenali secara logis dan tidak

melibatkan perasaan orang lain yang terlibat konflik. Konflik yang dirasakan ketika

konflik melibatkan emosi. Emosi yang dirasakan antara lain rasa bermusuhan, takut,

tidak percaya dan marah. Konflik ini mungkin juga dipersepsikan bukan dirasakan,

karena orang juga dapat merasakan konflik tetapi tidak mengetahui masalahnya (Marquis

& Huston, 2010). Pada tahapan keempat konflik akan dimanifestasikan ataupun ada

perilaku yang dinyatakan seperti agresif, pasif, asersif, persaingan, debat, atau beberapa

individu memecahkan konflik. Langkah selanjutnya (tahap lima) yang dilakukan

terhadap terjadinya konflik adalah perilaku untuk menyelesaikan atau menekan konflik

tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjanjian di antara yang terlibat atau kadang
melakukan tindakan penaklukan salah satu pihak. Suatu penyelesaian masalah dengan

cara memuaskan semua orang yang terlibat di dalamnya dengan prinsip win–win

solution. Pada tahap terakhir dalam proses konflik adalah akibat konflik. Konflik akan

selalu menimbulkan dampak negatif dan positif. Jika konflik dikelola secara baik, orang

yang terlibat di dalam konflik akan percaya ia akan diberlakukan secara adil. Jika konflik

tidak terselesaikan akan menimbulkan konflik yang lebih besar dari konflik yang utama

(Nursalam, 2009).

Strategi Penyelesaian Konflik

Seorang pemimpin bertugas mengenali manajemen konflik atau strategi

penyelesaian masalah yang paling tepat untuk setiap situasi. Pilihan strategi yang tepat

tergantung pada banyak variabel, misalnya situasi itu sendiri, kekuatan atau status pihak

yang terlibat dan kedewasaan orang yang terlibat dalam konflik (Marquis & Huston,

2010). Ada beberapa strategi yang digunakan dalam penyelesain konflik yaitu

kompromi atau negosiasi, kompetisi, akomodasi, smoothing, menghindar, dan

kolaborasi (Nursalam, 2009).

a. Kompromi atau negosiasi : suatu strategi penyelesaian konflik dimana semua yang

terlibat saling menyadari dan sepakat pada keinginan bersama. Penyelesaian strategi

ini sering diartikan sebagai lose–lose situation kedua unsur yang terlibat

menyepakati hal yang telah dibuat (Nursalam, 2009). Kompromi bekerja menuju

kepuasan parsial, semua pihak mencari sebuah solusi yang dapat diterima dan bukan

yang optimal dengan demikian tidak ada pihak yang menang maupun kalah secara

mutlak (Winardi, 2007). Strategi ini dapat dilakukan ketika tujuan-tujuannya penting,

ketika pihak lawan dengan persamaan kekuasaan sepakat untuk mencapai tujuan

bersama. Strategi ini dapat dilakukan dengan tujuannya untuk mencapai penyelesaian

sementara untuk isu-isu yang kompleks, untuk mencapai solusi yang bijaksana, dan

sebagai cadangan ketika gaya kolaborasi dan kompetisi tidak berhasil (Rivai, 2003).
b. Kompetisi : strategi ini dapat diartikan sebagai win–lose penyelesaian konflik.

Penyelesaian ini menekankan bahwa hanya ada satu orang atau kelompok yang menang

tanpa mempertimbangkan yang kalah. Akibat negatif dari strategi ini adalah kemarahan

putus asa dan keinginan untuk memperbaiki di masa mendatang (Nursalam, 2009).

Strategi ini sering digunakan apabila keputusan- keputusan cepat dan desisif diperlukan

sekali misalnya dalam situasi darurat dan persoalan-persoalan penting (Rivai, 2003).

c. Akomodasi : strategi ini digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan wadah

untuk menampung keinginan pihak yang terlibat konflik. Dengan cara ini

dimungkinkan terjadi peningkatan kerjasama dan pengumpulan data–data yang

akurat dan signifikan untuk pengambilan suatu kesepakatan bersama (Arwani &

Supriyanto, 2006). Strategi ini bertujuan untuk memelihara kerjasama, membangun

penghargaan sosial bagi isu-isu berikutnya, meminimalkan kerugian, keharmonisan

dan stabilitas dipandang lebih penting, dan memberi kesempatan kepada bawahan

berkembang dengan belajar dari kesalahan (Rivai, 2003)

d. Smoothing : strategi ini sering digunakan manajer agar seseorang

mengakomodasikan atau bekerjasama dengan pihak lain. Smoothing terjadi ketika

satu pihak dalam konflik berupaya untuk memuji pihak lain atau berfokus pada hal

yang disetujui bersama, bukan pada perbedaan. Pendekatan ini tepat digunakan pada

perselisihan yang kecil (Marquis & Huston, 2010).

e. Menghindar : semua pihak yang terlibat dalam konflik menyadari masalah yang

dihadapi tetapi memilih untuk menghindar atau tidak menyelesaikan masalah

(Nursalam, 2009). Strategi ini biasanya dipilih jika isu tidak gawat atau bila

kerusakan yang potensial tidak akan terjadi dan lebih banyak menguntungkan

(Swanburg, 2000).

f. Kolaborasi : strategi ini merupakan strategi win–win solution, dalam kolaborasi

kedua belah pihak menentukan tujuan bersama dan bekerja sama dalam mencapai

suatu tujuan, karena keduanya meyakini akan tercapainya suatu tujuan yang telah
ditetapkan dan masing–masing pihak yang terlibat meyakininya (Nursalam, 2009).

Anda mungkin juga menyukai