Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 20 April 2020


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

DIABETES INSISIPIDUS

OLEH:

Dinda Permatasari

111 2019 2124

Pembimbing:

dr. Prema Hapsari Hidayati, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Dinda Permatasari

NIM : 111 2019 2124

Judul Referat : Diabetes Insipidus

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 20 April 2020

Mengetahui,

Supervisior Pembimbing

dr. Prema Hapsari Hidayati, Sp.PD


BAB 1
PENDAHULUAN

Diabetes insipidus (DI) adalah bagian dari kelompok penyakit

poliuria dan polidipsia herediter atau didapat. Penyakit ini diakibatkan oleh

berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisme

neurohypophyseal renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh

dalam mengkonversi air. Hal ini terkait dengan sekresi arginin vasopresin

(AVP) atau sekresi hormon antidiuretik (ADH) yang tidak adekuat atau

tidak adanya respons ginjal terhadap AVP, menghasilkan poliuria

hipotonik dan terjadinya. Poliuria (>50 mL/kg), urin encer (osmolalitas

<300 mOsm/L), dan peningkatan rasa haus (asupan air hingga 3L/hari)

adalah karakteristik dari diabetes insipidus. Diabetes insipidus yang tidak

diobati dapat menyebabkan hipovolemia, dehidrasi, dan

ketidakseimbangan elektrolit.1,2

Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan

dengan prevalensi 1: 25.000. Diabetes insipidus dapat muncul pada

semua usia, dan prevalensinya sama antara pria dan wanita. Kebanyakan

kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus idiopatik yang dapat

bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin. Kurang

dari 10% diabetes insipidus adalah turun temurun. X-linked nephrogenic

DI (NDI) menyumbang 90% dari kasus NDI kongenital dan terjadi dengan

frekuensi 4-8 : 1 juta kelahiran hidup laki-laki. NDI autosomal

menyumbang sekitar 10% dari kasus yang tersisa. 1,2


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Diabetes Insipidus

Diabetes insipidus (DI) adalah kelainan homeostasis air yang

langka yang ditandai dengan ekskresi urin hipotonik dalam volume besar

yang abnormal. Diabetes insipidus ditandai oleh polidipsia dan poliuria

dengan urin encer yang memiliki berat jenis kurang dari 1,010,

hipernatremia, dan dehidrasi. Ini diakibatkan oleh defisiensi Antidiuretik

Hormon (ADH), yang disebut Diabetes Insipidus Sentral (CDI), atau dari

resistensi ginjal terhadap aksi ADH, yang disebut nephrogenic DI (NDI). 3,5

Diabetes insipidus (DI) adalah bagian dari apa yang disebut

sindrom poliuria polydipsia. Sindrom ini didefinisikan oleh output urin

hipotonik (osmolalitas <300 mOsm / kg H2O) > 50 mL / kgBB per 24 jam,

yang disertai dengan polydipsia (asupan air hingga >3L/hari). 3,4

2.2. Epidemiologi

Diabetes Insipidus adalah penyakit yang langka, dengan prevalensi

1 : 25.000. Diabetes Insipidus dapat muncul pada semua usia, dan

prevalensi jenis kelamin antara antara pria dan wanita sama. Prevalensi

usia tergantung pada etiologi dari penyakit ini. Kurang dari 10% diabetes

insipidus adalah turun temurun. X-Linked Diabetes Insipidus Nefrogenik

(NDI) menyumbang 90% dari kasus diabetes insipidus nefrogenik


kongenital dengan prevalensi 4-8 : 1 juta kelahiran hidup pada laki-laki.

Sisanya NDI autosomal menyumbang sekitar 10% dari kasus yang

tersisa.2

2.3. Etiologi

Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan

polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam

sangat banyak, dapat mencapai 5-10 liter sehari. Berat jenis urin yang

didapatkan rendah yakni <1,010, hipernatremia, dan dehidrasi. Selain

poliuria dan polidipsia, biasanya tidak terdapat gejala-gejala lain kecuali

jika ada penyakit lain yang menyebabkan timbulnya gangguan pada

mekanisme neurohy-pophyseal-renal reflex tersebut. Sedangkan gejala DI

yang tidak diobati dapat menyebabkan hipovolemia, dehidrasi, dan


1,2,5
ketidakseimbangan elektrolit.

2.4. Patofisiologi Keseimbangan Cairan

Diabetes Insipidus dapat disebabkan oleh dua kelainan yang

berbeda secara mendasar yaitu sekresi ADH yang tidak adekuat karena

adanya kelainan pada kelenjar hipofisis posterior dan gangguan atau tidak

cukupnya respons ginjal terhadap ADH.2

Keseimbangan air diatur dengan ketat oleh ADH, yang

menstimulasi reabsorpsi air oleh ginjal dan konsumsi air sebagai respons

terhadap kehausan. ADH pada dasarnya disintesis pada hipotalamus


paraventrikular dan nukleus supraoptik, dan kemudian disimpan dalam

hipofisis posterior sebelum disekresikan ke dalam sirkulasi sistemik

sebagai respons terhadap peningkatan osmolalitas plasma. Sistem ADH

mempertahankan keseimbangan air berdasarkan osmolalitas serum dan

volume darah arteri melalui reseptor vasopresin 2 (V2R). Di dalam ginjal,

AVP mengaktifkan V2R pada membran basolateral sel-sel utama dalam

tubulus convoluted distal dari saluran pengumpul. Ini mengaktifkan protein

kinase A yang pada gilirannya memfosforilasi aquaporin 2 (AQP2) saluran

cairan dalam vesikel intraseluler. Vesikel AQP2 lalu melakukan penyisipan

eksositik untuk keluar dari membrane sel dan saluran pengumpul menjadi

cairan permeable, sehingga memekatkan urin. 2,5

Gambar 1. Sistem vasopresin arginin2


2.5. Klasifikasi Diabetetes Insipidus

Berdasarkan penyebabnya, diabetes insipidus terbagi menjadi 4

klasifikasi yaitu Diabetes Insipidus Sentral (CDI), Diabetes Insipidus

Nefrogenik (NDI), Diabetes Insipidus Dipsogenik / Primary Polydipsia dan

Diabetes Insipidus Gestasional (GDI).

2.5.1. Diabetes Insipidus Sentral (CDI)

Diabetes Insipidus Sentral (CDI) atau Diabetes Insipidus

neurogenik adalah bentuk DI yang paling umum, dapat terjadi pada laki-

laki maupun perempuan dan pada semua usia. Mekanisme yang

mendasari CDI termasuk mutasi pada gen ADH, cacat anatomi

hipotalamus atau hipofisis, trauma, neoplasma, infeksi, penyakit autoimun,

atau proses infiltratif yang mempengaruhi neuron ADH atau saluran

serat.2,5

Secara anatomis, kelainan ini terjadi akibat kerusakan nukleus

supraoptik, paraventrikular dan filiformis hipotalamus yang menyintesis

ADH. Selain itu CDI juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH

akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan akson

hipofisis posterior dimana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan

ke dalarn sirkulasi jika dibutuhkan.1

Sebagian besar kasus CDI diakibatkan adanya trauma sekunder

akibat pembedahan atau cedera kepala yang menyebabkan cedera

traumatis pada hipotalamus atau kelenjar hipofisis posterior dan


penghancuran / degenerasi neuron yang berasal dari inti supraoptik dan

paraventrikular hipotalamus. Gejala DI bermanifestasi setelah 80-90%

neuron magnoseluler di hipotalamus rusak. Kerusakan pada bagian

proksimal dari wilayah hipotalamo-neurohypophyseal membunuh lebih

banyak neuron daripada melakukan cedera pada daerah distal. Namun,

cedera proksimal mencapai 30-40% dari CDI pasca-trauma dan pasca-

operasi, sedangkan cedera distal menyumbang 50-60% kasus. CDI yang

didapatkan lebih umum daripada CDI kongenital, dan sekitar 25% dari

kasus CDI dewasa idiopatik. Tumor telah dilaporkan sebagai penyebab

CDI, dengan tumor intrakranial menyumbang 23% dari kasus CDI di


2,5
antara anak-anak dan orang dewasa dalam satu studi.

Berikut adalah tabel etiologi pada Diabetes Insipidus Sentral 2:

Etiologi
Acquired (didapatkan)

 Trauma Operasi, cedera otak.

 Vaskular Perdarahan otak, infark, Anterior

communicating artery aneurysm

atau ligase, cedera

 Neoplastik intrahipotalamik

Craniopharyngioma, meningioma,

germinoma, tumor hipofisis atau

metastasis.
 Granulomatosa
Histiositosis, sarcoidosis
 Infeksi
 Radang / Autoimun Meningitis, ensefalitis

Infundibuloneurohypophysitis

 Diinduksi obat atau toksin limfositik.

 Gangguan lainnya Etanol, difenilhidantoin, racun ular.

Hydrocephalus, ventricular /

suprasellar kista, trauma, penyakit

degeneratif
 Idiopatik
Kongenital

 Autosom dominan mutase Mutasi gen AVP-NPII

 Autosom resesif mutase Sindrom Wolfram

 X-linked resesif mutase

 Idiopatik

Kerusakan pembuluh darah pada SSP telah dikaitkan dengan CDI

meskipun patofisiologi tidak sepenuhnya dipahami. Studi magnetic

resonance imaging (MRI) menunjukkan bahwa suplai darah abnormal ke

hipofisis posterior berhubungan dengan apa yang sering disebut sebagai

CDI idiopatik. Infeksi seperti meningitis kriptokokus, ensefalitis,

tuberkulosis, meningitis tuberkulosis, dan neurosarcoidosis juga

berkontribusi pada kasus CDI yang didapat. 2

Hampir lebih dari setengah pasien dengan Craniopharyngioma

disertai dengan CDI, baik sebelum atau khususnya setelah reseksi.

Biasanya, respons trifasik diikuti dengan pembedahan, dengan CDI

pertama kali bermanifestasi 1 hingga 2 hari pasca operasi, memberi jalan


pada sindrom hormon antidiuretik yang tidak sesuai 2 hingga 10 hari

pasca operasi, dan kemudian mengubahnya kembali menjadi CDI, baik

secara sementara atau permanen.5

CDI bawaan adalah kontributor kecil dalam etiologi CDI. Meskipun

demikian, lebih dari 60 mutasi gen pada gen AVP-NPII (Arginine

vasopressin-neurophysin II) telah diidentifikasi, sebagian besar berada

dalam gen NPII.2

Wolfram atau sindrom DIDMOAD (gangguan neurodegeneratif

resesif autosomal yang mengakibatkan CDI, tuli, atrofi optik, dan diabetes

mellitus [DM]) dianggap diagnosis banding CDI yang berkembang pada

periode neonatal. Mutasi telah terdeteksi pada nukleotida 997 di ekson 8

(A997G) dan penyisipan di ekson 8 gen wolframin (WFS1), yang

mengakibatkan terjadinya early-onset CDI pada anak-anak. Sindrom

Wolfram sering mengakibatkan DI dan DM tipe 1 pada anak-anak. 2

2.5.2. Diabetes Insipidus Nefrogenik (NDI)

lstilah diabetes insipidus nefrogenik (NDI) dipakai pada diabetes

insipidus yang tidak responsif terhadap ADH eksogen. Secara fisiologis

NDI dapat disebabkan oleh:

 Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient osmotik

dalam medula renalis.

 Kegagalan utilisasi gradient pada keadaan di mana ADH berada

dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal.


Diabetes Insipidus Nefrogenik (NDI) merupakan keadaan dimana

terjadi kegagalan ginjal untuk merespons ADH. Produksi urin pada pasien

dengan NDI biasanya 12 L / hari.2

Berikut adalah tabel etiologi pada Diabetes Insipidus Nefrologi 2:

Etiologi
Acquired (Didapatkan)

 Diinduksi oleh obat Demeclocycline, lithium, cisplatin,

methoxyflurane

 Lesi infitrasi Sarkoidosis, amyloidosis, multiple

myeloma, penyakit Sjorgen

 Ketidakseimbangan Hiperkalsemia, hipokalemia

elektrolit

 Vaskular Penyakit sel sabit


Kongenital

 Mutasi resesif autosomal Mutasi dalam AQP2

 Mutasi resesif X-Linked Mutasi dalam V2R

NDI yang diinduksi obat paling sering disebabkan oleh litium, lalu

diikuti dengan foskarnet dan clozapine. Lithium digunakan untuk

mengobati gangguan mood dan dikaitkan dengan cedera ginjal termasuk

gangguan kemampuan konsentrasi urin. Lithium masuk ke sel-sel utama

saluran pengumpul sebagian besar melalui saluran natrium epitel (ENaC).

Kelebihan lithium mengurangi reabsorpsi natrium. Lithium menghambat

translokasi sitoplasmik AQP2 yang dirangsang oleh ADH ke membran


apikal, sehingga menyebabkan cairan hipoosmotik. Paparan lithium dalam

jangka panjang dapat meregulasi ekspresi gen AQP2. NDI yang diinduksi

litium ini telah dilaporkan terjadi pada orang dewasa dan pasien geriatri. 2

Penyebab lain dari NDI yang didapat termasuk gagal ginjal kronis,

penyakit ginjal polikistik, sindrom Sjogren, dan penyakit sel sabit, yang

semuanya dapat menyebabkan tubulopati yang mengganggu kemampuan

konsentrasi ginjal. Untuk pasien dengan penyakit sel sabit atau sifat sel

sabit, sel sabit dan iskemia dalam vasa recta dapat menyebabkan

penurunan gradien osmotik antara saluran pengumpul dan interstitium

meduler, yang mengakibatkan gangguan reabsorpsi air bebas dan

terbatasnya kemampuan untuk mengkonsentrat urin. 5

NDI pada anak-anak biasanya bersifat herediter. Pada anak laki-

laki, biasanya muncul dalam beberapa minggu pertama setelah kelahiran,

tetapi, berdasarkan inaktivasi kromosom X, hal ini dapat mempengaruhi

anak perempuan di kemudian hari dengan dehidrasi, muntah, kegagalan

pertumbuhan, poliuria, dan polidipsia. Yang lebih jarang adalah NDI

autosom bawaan, yang bisa dominan atau resesif. Sedangkan orang

dewasa biasanya NDI bersifat acquired / didapatkan dan NDI ini

merupakan yang paling umum. Dalam kebanyakan kasus (90%), NDI

turunan adalah kondisi X-Linked yang disebabkan oleh hilangnya mutasi

fungsi pada gen Reseptor Vasopresin 2 (V2R). Jarang karena mutasi

pada gen AQP2 (10%). V2R sebagian besar diekspresikan dalam tubulus
convoluted distal dan saluran pengumpul ginjal, dimana hal itu merespons

ADH sehingga memekatkan urin.2,5

2.5.3. Diabetes Insipidus Dipsogenik / Primary Polydipsia

Polidipsia primer (PP) dapat terjadi karena asupan cairan berlebih

yang lakukan dalam waktu yang lama. Pada polidipsia primer, yang

bermasalah bukan pada sekresi ADH ataupun pada ginjalnya. Pada kasus

yang sangat jarang, hal ini diakibatkan karena adanya kelainan pada

pusat haus (dalam hal ini maka disebut DI Dipsogenik). Tetapi pada kasus

yang lebih sering, hal ini terlihat pada gangguan kejiwaan yang berbeda

(disebut psikogenik polidipsia) yang disebabkan oleh skizofrenia, perilaku

kompulsif, atau reduksi stres. PP juga terjadi pada pasien psikiatrik untuk

mengurangi efek obat antikolinergik. Pemberian fenotiazin menyebabkan

sensasi mulut kering dan dapat menyebabkan PP. 2,4

Konsumsi cairan yang berlebihan mengakibatkan penurunan

osmolalitas serum dan pelepasan AVP yang tertekan. Jika polidipsia

terjadi dalam periode waktu yang lama, hal ini dapat mengakibatkan

adaptasi fisiologis ginjal, termasuk yang pertama, berkurangnya reseptor

dari AQP2 channels di ginjal dan kedua, curiga konsentrasi gradien pada

medulla ginjal. Kedua proses ini merupakan faktor yang membatasi

kapasitas konsentrasi urin.4

DI dipsogenik atau PP dapat disebabkan oleh meningitis kronis,

penyakit granulomatosa, multiple sclerosis, atau patologi difus otak

lainnya. MRI kranial sangat penting untuk membedakan PP dari CDI. 2


2.5.4. Diabetes Insipidus Gestasional (GDI)

Gestational DI terjadi pada sekitar 1 dari 30.000 kehamilan sebagai

akibat degradasi AVP oleh enzim, sistein aminopeptidase. Kadar

vasopresinase biasanya lebih tinggi pada wanita hamil (hingga 300 kali

lebih tinggi), terutama pada kehamilan kembar. Namun, kadar hormon

seringkali normal, menunjukkan bahwa kehamilan membuka kedok

kekurangan AVP yang mendasarinya. Gestational DI biasanya muncul

pada trimester ketiga dan sembuh secara spontan sekitar 2-3 minggu

pasca persalinan, tetapi diagnosis untuk mengungkap adanya patologi

yang mendasarinya diperlukan. Diabetes insipidus gestasional biasanya

kurang terdiagnosis karena poliuria selama kehamilan dianggap normal

dan tidak menyebabkan komplikasi.2

2.6. Diagnosis Diabetes Insipidus

Anamnesis dan pemeriksaan klinis terkadang menghasilkan

petunjuk diagnostik yang bermanfaat. Riwayat terapi lithium dapat

meningkatkan kemungkinan NDI, sedangkan cedera otak sebelumnya

atau intervensi bedah saraf pada otak dapat mengindikasikan CDI.

Sejarah keluarga yang cermat adalah penting, tidak hanya untuk

mengidentifikasi anggota keluarga langka dengan DI yang diwariskan,

tetapi juga untuk mengidentifikasi penyakit endokrin autoimun, yang dapat

menyarankan CDI autoimun. Disfungsi ereksi, gangguan menstruasi dan

kelelahan mungkin merupakan manifestasi klinis hipopituitarisme.


Pemeriksaan biasanya normal, tetapi tanda-tanda klinis hipogonadisme,

seperti rambut rontok dan atrofi karakteristik sekunder seksual, dapat

mengindikasikan penyakit hipofisis dan hilangnya bidang visual temporal

akan meningkatkan kemungkinan tumor intrakranial, kemungkinan besar

kraniofaringioma.3

Langkah pertama dalam diagnosis adalah mengkonfirmasi

keberadaan poliuria hipotonik. Sekitar 15% dari pasien yang dirujuk untuk

penyelidikan poliuria memiliki volume urin normal, tetapi hadir dengan

frekuensi urin, karena infeksi, prostatisme atau kandung kemih yang

iritasi. Pada pasien dewasa, jika volume urin harian <2,5 L, tidak ada

penyelidikan lebih lanjut dari fungsi osmoregulasi, meskipun rujukan

urologis dapat diindikasikan.3

Setelah poliuria dikonfirmasi pada volume urin 24 jam, diagnosis

diabetes mellitus, gangguan ginjal, hiperglikemia, hiperkalsemia, dan

hipokalemia harus dikeluarkan dengan tes laboratorium awal. Urin dipstick

dapat mengungkapkan bukti penyakit ginjal atau infeksi, jadi ini adalah

investigasi klinik yang penting. Osmolalitas urin rendah ada dalam semua

bentuk poliuria, tetapi jika pengukuran klinik> 700 mOsm / kg, ini

menunjukkan konsentrasi AVP plasma yang baik, dan pasien dapat

diyakinkan bahwa mereka tidak memiliki CDI tanpa penyelidikan lebih

lanjut. Adapun beberapa aspek dalam menilai riwayat klinik yang

meningkatkan kemungkinan Primary Poliuria:3


1. Jika pasien memiliki gejala siang hari tetapi tidak mengalami

gangguan tidur malam.

2. Jika pasien bangun di malam hari dengan kebutuhan minum

daripada buang air kecil.

3. Jika ada penyakit kejiwaan yang terkait, polydipsia khususnya

terkait dengan skizofrenia.

Gejala utama DI termasuk poliuria persisten (menghasilkan 8-16 L

urin encer per hari) dan polydipsia (asupan hingga 20 L cairan per hari).

Gejala lainnya adalah pusing, kelemahan, nokturia, kelelahan dan tanda-

tanda dehidrasi (demam, kulit kering dan selaput lendir, penurunan berat

badan, turgor kulit yang buruk). Hipotensi dan takikardia dengan

penurunan tekanan oklusi arteri atrium dan paru kanan dan tingkat

kesadaran yang berubah dapat terjadi. Anak kecil dapat mengalami

dehidrasi parah, muntah, sembelit, demam, lekas marah, gangguan tidur,

terhambatnya pertumbuhan, dan gagal tumbuh. Keterbelakangan mental

dapat disebabkan oleh dehidrasi yang berulang dan tidak disadari. 2

Kemampuan SSP untuk menghasilkan AVP dan ginjal untuk

meresponsnya diukur dengan uji Water Deprivation (uji Hare - Hickey) dan

uji Desmopressin Challenge. Volume urin 24 jam digunakan untuk

mengkonfirmasi poliuria. Selama water deprivation, dilakukan pengukuran

berat badan dan osmolalitas urin setiap jam, sampai 2-3 sampel bervariasi

<30 mOsm / kg (atau <10%), atau sampai pasien kehilangan 5% dari

berat tubuhnya. ADH serum kemudian diukur dan ADH / desmopresin (5


unit) disuntikkan. Osmolalitas urin diukur 30-60 menit setelah ini. Tes

dihentikan jika pasien kehilangan >5% dari berat tubuhnya dan / atau

plasma Na + melebihi 143 mEq / L dan/atau osmolalitas urin meningkat ke

normal. Respon terhadap pemberian desmopressin membedakan antara

diagnosis CDI dan NDI.2

Pengukuran vasopresin endogen merupakan tes penting untuk

membedakan antara CDI dan NDI. Copeptin (glikoprotein terminal C dari

prohormon AVP) dapat dianggap sebagai pengganti yang stabil untuk

AVP plasma endogen. AVP tidak stabil, sebagian besar menempel pada

trombosit dan cepat dibersihkan. Ukuran AVP yang kecil membuat

estimasi sulit. Dalam satu penelitian, kadar copeptin ditemukan <2,5

pmol / L pada semua pasien dengan CDI, menunjukkan bahwa itu dapat

digunakan untuk membedakan CDI dari PP dan NDI. 2


Gambar 2. Diagram diagnostik untuk diabetes insipidus sentral dan
nefrogenik. AVP: Arginine vasopressin, Posm: Osmolalitas plasma, Uosm:
Osmolalitas urin2
Berikut adalah interpretasi dari tes water deprivation dan tes
desmopressin challenge untuk membedakan diagnosis dari diabetes
insibitus:2

Interpretasi Water Deprivation Test dan Desmopressin Challenge

Test pada diagnosis diabetes insipidus


Osmolalitas Urin (mOsm/kg)
Setelah Fluid Setelah
Diagnosis
Deprivation Desmopressin
Diabetes insipidus sentral <300 >750
Diabetes insipidus nefrogenik <300 <300
Primary Polydipsia >750 -
Partial CDI atau Partial NDI
300-750 <750
atau PP (?)
*CDI: Central diabetes insipidus, NDI: Nephrogenic diabetes insipidus, PP:
Primary polydipsia, ?: Dipertimbangkan

2.7. Pengobatan Diabetes Insipidus

a) Karbamazepine

Karbamazepine adalah obat antikonvulsan dan psikotropika yang

digunakan untuk mengobati epilepsi atau cacat intelektual. Ini dapat

merangsang pelepasan vasopresin dari kelenjar hipofisis dan

bertindak langsung pada tubulus ginjal. Karbamazepine

meningkatkan penyerapan air tanpa adanya AVP in vitro. Efeknya

adalah siklik adenosin monofosfat (cAMP) - dependent. Pada tikus,

karbamazepine meningkatkan permeabilitas air dan penyerapan

pada saluran pengumpul medula bagian dalam, bertindak langsung

pada kompleks protein-V2R-G dan meningkatkan ekspresi AQP2.

Meinders et al., Mempelajari enam pasien CDI yang diobati dengan


karbamazepine 200-800 mg setiap hari. Semua pasien mengalami

penurunan output air kemih (dari 8-16 L / hari menjadi 1,9–6 L /

hari) dan peningkatan osmolalitas urin (dari 60-120 mOsm / kg

menjadi 150-532 mOsm / kg). Tingkat AVP tidak terdeteksi pada

pasien DI dan subyek sehat, menunjukkan bahwa karbamazepine

tidak merangsang pelepasan, atau menghambat pemecahan AVP.

Hiponatremia telah terdeteksi pada 4,8-40% pasien yang

menggunakan karbamazepine untuk gangguan neurologis dan

adapun diantaranya pasien yang menggunakannya untuk nyeri

punggung. Penggunaan karbamazepine yang lama telah dikaitkan

dengan pengurangan aktivitas antidiuretik mungkin karena auto-

induksi karbamazepine.2

b) Klorpropamide

Klorpropamire merupakan obat antidiuretic yang dapat

meningkatkan efek ADH yang masih ada pada tubulus ginjal dan

mungkin pula dapat meningkatkan penglepasan ADH dari hipofisis.

Dengan demikian obat ini tidak dapat dipakai pada CDI komplit

atau NDI. Klorpropamid yang diberikan kepada anak-anak dan

orang dewasa (125-1.000 mg setiap hari) mengurangi keluaran urin

dari 5,4-10,7 L/hari menjadi <2 L/hari. Diuresis maksimal dicapai

dalam 3-4 hari, dan efeknya tergantung dosis. Klorpropamid dapat

meningkatkan sekresi neurohypophyseal vasopresin, memiliki efek

seperti vasopresin atau mempotensiasi efek jumlah vasopresin


menit yang bertahan dalam DI. Klorpropamid dapat mempotensiasi

transpor air yang diinduksi vasopresin melalui aktivasi adenil

siklase tubulus ginjal yang menghasilkan cAMP daripada

mempengaruhi pergerakan air. Efek samping yang harus

diperhatikan adalah timbulnya hipoglikemia. Dapat dikombinasi

dengan tiazid untuk mencapai efek maksimal. Tidak ada

sulfonilurea yang lebih efektif dan kurang toksik dibandingkan

dengan klorpropamid pengobatan diabetes insipidus. 1,2

c) Klofibrat

Klofibrate adalah agen hipolipidemik yang merangsang produksi

ADH pada pasien dengan CDI parsial. Pengobatan klofibrat (500

mg setiap 6 jam) secara signifikan mengurangi rata-rata

pembersihan urin dari 280 ml/jam menjadi 141 ml/jam, dan rata-

rata free water clearance dari 158 ml/jam menjadi 10 ml/jam dalam

6 kasus DI. Osmolalitas urin meningkat dari 152 mOsm/kg menjadi

317 mOsm/kg, dengan penurunan yang bersamaan pada ekskresi

ADH urin pada 4/6 pasien. Kekurangan klofibrat dibandingkan

dengan klorpropamid adalah harus diberikan 4 kali sehari, tetapi

tidak menimbulkan hipoglikemia. Efek samping lain adalah

gangguan saluran cerna, miositis, gangguan fungsi hati. Dapat

dikombinasi dengan tiazid dan klorpropamid untuk dapat

memperoleh efek maksimal dan mengurangi efek samping pada

CDI parsial.1,2
d) Diuretik Tiazid

Diuretik tiazid dapat digunakan untuk mengobati NDI dan CDI.

Menyebabkan suatu natriuresis sementara, deplesi ECF ringan dan

penurunan GFR. Hal ini menyebabkan peningkatan reabsorbsi Na+

dan air pada nefron yang lebih proksimal sehingga menyebabkan

berkurangnya air yang masuk ke tubulus distal dan collecting duct.

Tetapi penurunan EABV (Effective arterial blood volume) dapat

menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik.1,2

Pengobatan dengan chlorothiazide (5-10 mg/kg/hari) atau

hydrochlorothiazide (1-2 mg/kg/hari) efektif dan aman, dengan

rawat inap untuk hipernatremia hanya dibutuhkan 1/13 pasien.

Pengobatan dengan chlorothiazide atau hydrochlorothiazide

mengurangi asupan air sebesar 23-40% pada anak-anak dengan

NDI. Kombinasi amilorid dan hidroklorotiazid lebih unggul daripada

hidroklorotiazid saja dan mencegah kehilangan kalium,

hipokalemia, dan alkalosis. Meskipun hidroklorotiazid menurunkan

volume urin hingga 50% pada kehamilan, risiko hipokalemia dan

hipovolemia menyebabkannya digunakan dengan hemat dalam DI

kehamilan.2

e) Indapamide

Indapamide adalah obat antihipertensi, diuretik yang dapat

dianggap sebagai obat alternatif untuk CDI ringan. Struktur molekul

mirip dengan hidroklorotiazid dan klorpropamid. Seperti halnya


tiazid, aktivitas indapamide mungkin disebabkan oleh reabsorpsi air

tubulus proksimal. Laporan pertama tentang penggunaan

indapamide (2,5 mg / hari) untuk DI menunjukkan penurunan

volume urin 24 jam (dari 5–16 L menjadi 2,3–9,2 L) pada 3 pasien

dengan CDI.

f) Indometasin

Indometasin adalah obat antiinflamasi nonsteroid yang memiliki

aksi antidiuretik. Weinstock dan Moses melaporkan bahwa

indometasin secara efektif mengobati NDI yang bertahan setelah

terapi lithium dihentikan. Ketika digunakan bersama dengan

desmopresin, ada penurunan poliuria yang nyata. Seorang pasien

yang tidak menanggapi desmopresin, tiazid, dan amilorida untuk

pengobatan NDI yang diinduksi lithium, segera menanggapi

pengobatan indometasin dengan pengurangan volume urin dari 24

L / hari menjadi 12 L / hari, dan akhirnya menjadi 2 L / hari.

Indometasin berhasil mengobati NDI yang diinduksi streptozocin,

dengan koreksi cepat dalam poliuria yang tidak tergantung pada

laju filtrasi glomerulus. Indometasin dapat merusak fungsi ginjal dan

memiliki efek samping yang parah seperti perdarahan saluran

cerna, hiperkalemia, hipernatremia, dan peningkatan kreatinin. 2

g) Amiloride

Amiloride adalah diuretik yang berguna dalam pengobatan NDI

yang diinduksi lithium. Ini mengurangi transelular lithium transport,


konsentrasi lithium intraseluler dan inaktivasi yang diinduksi lithium

dari GSK-3-β. Pemblokiran ENaC dengan amilorida mengurangi

down regulation dari ekspresi AQP2 yang diinduksi lithium dan

melindungi komposisi seluler dari saluran pengumpul. Dalam

sebuah studi tentang efek amilorida versus plasebo pada NDI yang

diinduksi litium, amilorida yang diberikan selama 6 minggu

meningkatkan osmolalitas urin maksimal dan ekskresi AQP2. 2

h) Desmopressin

Vasopresin pertama kali digunakan untuk mengobati CDI pada

tahun 1913, menggunakan ekstrak hipofisis posterior yang

mengandung oksitosin dan vasopresin. Pitressin (tannate

vasopresin dalam minyak) lalu dapat digunakan untuk penggunaan

klinis pada 1930-an dan merupakan obat utama untuk pengobatan

DI hampir sampai tahun 1970-an ketika desmopresin

diperkenalkan. Substitusi residu ke-8 vasopresin dengan D-isomer

arginin mengurangi efek pressor dari vasopresin. Analog sintetis

vasopresin ini, 1-deamino-8-D-AVP (DDAVP), atau desmopresin,

memiliki efek antidiuretic yang tinggi dan berkepanjangan,

penurunan efek vasokonstriksi dan oxytocic, mengurangi efek

samping (hiponatremia dan kejang-kejang), dan peningkatan

ketahanan terhadap vasopressinase. Obat ini lebih mudah

diberikan, tersedia sebagai semprotan intranasal, tablet oral, dan

tablet disntegrating oral (ODT).2


BAB 3

KESIMPULAN

Diabetes Insipidius merupakan penyakit yang ditandai dengan

adanya poliuria dan polidipsia. Diabetes insipidus dibedakan menjadi 4

karakteristik yaitu DI Sentral, DI Nefrogenik, Primari Polidpsia dan DI

Gestasional. Diabetes insipidus dapat terjadi karena kurangnya sekresi

ADH di hipotalamus (terjadi pada DI Sentral) dan ginjal yang tidak dapat

merespon pada ADH (terjadi pada DI Nefrogenik). Pada Primari Polidipsia

atau biasa disebut dengan DI Dipsogenik tidak didapatkan adanya

masalah sekresi ADH ataupun ginjal, tetapi penderitanya mengkonsumsi

banyak air. Hal ini sering dikaitkan dengan adanya gangguan jiwa.

Pada diagnosis diabetes insipidus didapatkan output urin hipotonik

(osmolalitas <300 mOsm / kg H2O) > 50 mL / kgBB per 24 jam, yang

disertai dengan polydipsia (asupan air hingga >3L/hari). Untuk

membedakan diagnosis DI berdasarkan klasifikasinya, maka dilakukan uji

Water Deprivation (uji Hare - Hickey) dan uji Desmopressin Challenge.

Pada diabetes insipidus sentral (CDI) didapatkan hasil osmolalitas urin

setelah dilakukannya uji water deprivation <300 mOsm/kg lalu setelah

dilakukan desmopressin, osmolalitas urin meningkat menjadi >750

mOsm/kg. Sedangkan pada diabetes insipidus nefrogenik (NDI)

didapatkan hasil osmolalitas urin setelah dilakukannya uji water

deprivation <300 mOsm/kg lalu setelah dilakukan desmopressin,


osmolalitas urin tetap <300 mOsm/kg. Berbeda pada hasil diagnosis

primary polydipsia, jika setelah dilakukan uji water deprivation didapatkan

osmolalitas urin >750 mOsm/kg, uji desmopressin tidak harus dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ranakusuma, Asman BS. Subekti, Imam. 2015. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam: Diabetes Insipidus. Jilid II. Edisi VI. Jakarta Pusat. Hal.

2437-2441

2. Kalra, Sanjay. et al. 2016. Diabetes Insipidus: The Other Diabetes.

Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. Medknow. Hal. 9-21

3. Garrahy, Aoife. et al. 2018. Diagnosis and Management of Central

Diabetes Insipidus in Adults. Academic Department of Endocrinology,

Beaumont Hospital/RCSI Medical School. Dublin. Ireland. Wiley Review

Article. Hal. 23-30

4. Crain, Mirjam Christ. 2019. Diabetes Insipidus: New Concepts for

Diagnosis. Dept. of Endocrinology University Hospital Basel.

Switzerland. Neuroendocrinology. Karger. Hal. 1-9

5. Weiner, Alyson. 2020. Diabetes Insipidus. Columbia University Irving

Medical Center. New York. In Brief. Pediatrics in Review. American

Academy of Pediatrics. Hal. 96-99

Anda mungkin juga menyukai