Dosen Pengampu:
Mardiyana S.pd
Disusun oleh:
Nadia Ananda (1800032070)
Tsania Hikmah Septiani (1800032077)
Syafira Salsabila(1800032161)
Maulana Yusuf(1800032177)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis tentu menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.Demikian,semoga malalah ini dapat bermanfaat Terimakasih.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembiayaan merupakan salah satu bentuk dari solidaritas sosial. Pemiliki modal dan orang
yang membutuhkan modal untuk melakukan suatu kegiatan usaha atau untuk mengembangkan
suatu usaha yang telah berjalan. Menggerakkan roda perekonomian agar lebih produktif untuk
menekan tingkat pendapatan masyarakat agar mengalami peningkatan. Terciptanya lapangan
pekerjaan baru dan berkurangnya angka pengangguran dengan luasnya lapangan pekerjaan
yang di buka dengan adanya pembiayaan modal bagi para pebisnis.
Sejak terbentuknya undang-undang mengenai perbankan syariah yang bermula dari Undang-
undang No 7 Tahun 1992. Kemudian undang-undang perbankan syariah yang dipertegas
kembali pada Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Undang-undang mengenai perbankan
syariah lebih memiliki titik terang ketika disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2008.
Akhirnya banyak dari sebagian perbankan membuka atau melakukan peralihan dengan
membentuk perbankan syariah demi menjaga kondisi kestabilan keuangan.
Dalam dunia perbankan dikenal dengan yang dinaman dengan produk pembiayaan. Pada
dasarnya sepintas dari segi tujuan produk pembiayaan yang dilakukan pihak perbakan
konvensional dan perbankan syariah memiliki persamaan yaitu melakukan pembiayaan atas
barang atau jasa yang di kehendaki oleh nasabah dengan tujuan memperoleh keuntungan yang
hanya dikehendaki pihak perbankan. Namun pada prinsipnya produk pembiyaan perbankan
syariah lebih mengarah pada ahklak yaitu mengedepankan pemberian bantuan pembiayaan
untuk mensejahterakan masyarakat dengan produk pembiayaan perbankan syariah itu sendiri
B.Rumusan Masalah
1. Apa saja yang ada pada produk pembiayaan bank syariah dengan Prinsip Jual beli pada
perbankan Syariah ?
2. Apa saja yang ada pada produk Pembiayaan Bank Syariah dengan Prinsip Syirkah pada
bank syariah ?
3. Apa saja yang ada pada produk Pembiayaan Bank Syariah dengan Prinsip Upah pada bank
syariah ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pengertian, syarat dan rukun serta ketentuan pada pembiayaan bank
syariah dengan prinsip Jual Beli.
2. . Untuk mengetahui Pengertian, syarat dan rukun serta ketentuan pada pembiayaan bank
syariah dengan prinsip Syirkah.
3. Untuk mengetahui Pengertian, syarat dan rukun serta ketentuan pada pembiayaan bank
syariah dengan prinsip upah.
BAB II
PEMBAHASAN
2. SALAM
Salam dalam akuntansi syariah adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih)
dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan
oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Landasan Hukum Akad Salam Bila merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, terdapat
dalam Q.S. Al-Baqarah(2): 282. Kemudian dirujuk pada Hadist Nabi SAW, yaitu “Dari Ibn
‘Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika datang ke Madinah, dan mendapati
penduduknya menggunakan akad salaf (salam) pada buah-buahan untuk 1,2,3 tahun. Dia
(SAW) berkata: “Barangsiapa yang melakukan transaksi salaf (pemesanan didepan),
hendaknya menyatakan (spesifik) dalam volume jelas, takaran jelas dan waktu yang jelas”.
Kemudian secara legal, akad salam tertulis dalam fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Syarat akad salam :
a.Bank dapat bertindak sebagai pembeli dan atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika
Bank bertindak sebagai pembeli maka Bank melakukan transaksi salam, dan jika Bank
bertindak sebagai penjual maka Bank akan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan
barang pesanan dalam salam paralel.
b. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad oleh nasabah dan Bank pada
akad pertama atau Bank dengan pemasok pada akad kedua. Ketentuan harga barang pesanan
tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.
c. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, macam,
kualitas dan kuantitasnya.
d. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara nasabah dan
Bank atau Bank dan pemasok. Jika barang pesanan yang dikirim salah atau cacat maka Bank
atau pemasok harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
e. Pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah
atau dalam bentuk pemberian piutang.
f. Pendapatan salam diperoleh dari selisih harga jual kepada nasabah dan harga beli dari
pemasok.
g. Bank melakukan analisis atas permohonan pembiayaan dari nasabah yang antara lain
meliputi aspek personal berupa analisa karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain
meliputi analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha
(condition).
h. Kesepakatan dituangkan dalam perjanjian tertulis atau bentuk lain yang dapat dipersamakan
dengan itu.
i. Bank menerapkan transparansi informasi produk dan perlindungan nasabah sesuai ketentuan
yang berlaku. dan
j. Bank memiliki kebijakan dan prosedur untuk mitigasi risiko.
Tujuan/ Manfaat akad Salam :
a. Bagi Bank, (Sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dan Memperoleh pendapatan)
b. Bagi Nasabah Memperoleh barang yang dibutuhkan sesuai spesifikasi tertentu.
Rukun akad salam :
a. terjadi antar dua belah pihak yang berakad yaitu penjual & pembeli
b. adanya ijab qabul
c. harga barang disepakati sesuai dengan kualitas barang dan harus diserahterimakan pada
waktu yang telah ditetapkan
Syarat-syarat akad salam
a.Tidak ada unsur penipuan
b. tidak ada unsur riba
c. waktu penyerahan barang pesanan harus sesuai dengan waktu yang ditetapkan,kalau tidak
ditetapkan maka tidak terjadinya jual beli.
3. ISTISHNA’
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni')
dan penjual (pembuat/shani'). Sedangkan Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad Istishna
antara pemesan (pembeli/mustashni’) dengan penjual (pembuat/shani’), kemudian untuk
memenuhi kewajibannya kepada mustashni’, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani’.
Pembiayaan Istishna’ adalah penyediaan dana dari Bank kepada nasabah untuk
membeli barang sesuai dengan pesanan nasabah yang menegaskan harga belinya kepada
pembeli (nasabah) kemudian pembeli (nasabah) membayarnya dengan harga yang lebih
sebagai keuntungan Bank yang disepakati.
Fatwa DSN MUI Nomor 06/DSN-MUI/VI/2000 Tentang Jual Beli Istishna’
menetapkan Fatwa tentang jual beli Istishna :
Pertama
Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua
Ketentuan tentang Barang:
Ketiga:
Ketentuan lain:
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya
mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula
pada jual beli istishna'.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
Dalam jual beli istishna, terdapat rukun yang harus dipenuhi yakni, pemesan
(mustashni’), penjual/pembuat (shani’), barang/objek (mashnu’), dan sighat (ijab qabul).
Sedangkan Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkan transaksi jual beli istishna’adalah:
a. Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek
transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.
b. Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dakam hubungan antar manusia. Dan
c. Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang
ditetapkan, maka kontak ini akan berubah menjadi akad salam.
a. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana maupun penjual untuk kegiatan transaksi
istishna’ dengan nasabah sebagai pihak pembeli.
b. Spesifikasi dan harga barang pesanan dalam istishna disepakati oleh pembeli dan penjual di
awal akad.
c.Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, macam,
kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah
disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat
maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
d. Pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah
atau dalam bentuk pemberian piutang.
e. Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima barang dengan
kualitas yang lebih tinggi, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
F. Bank tidak harus memberikan potongan harga (diskon) apabila nasabah menerima barang
dengan kualitas yang lebih rendah, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
i. Kesepakatan pembiayaan dituangkan dalam perjanjian tertulis atau bentuk lain yang dapat
dipersamakan dengan itu.
j. Bank menerapkan transparansi informasi produk dan perlindungan nasabah sesuai ketentuan
yang berlaku.
Karakteristik untuk akad Istishna yaitu: dapat dilakukan untuk mata uang rupiah atau
valuta asing (khusus untuk pembiayaan dalam valuta asing hanya hanya berlaku bagi Bank
yang telah mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha dalam va-luta asing),
Pembiayaan dapat digunakan untuk tujuan modal kerja, investasi, atau konsumsi, Obyek
istishna’ dapat berupa properti, kendaraan bermotor, atau aset lainnya, Metode pengakuan
pendapatan istishna’ dapat dilakukan dengan menggunakan metode persentase penyelesaian
atau metode akad selesai, Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan
waktu penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah memiliki
pilihan untuk: (membatalkan akad dan meminta pengembalian dana kepada bank, menunggu
penyerahan barang tersedia; atau, meminta kepada bank untuk mengganti dengan barang
lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan
semula) dan, mekanisme pembayaran istishna’ disepakati dalam akad dan dapat dilakukan
dengan cara:
a. Pembayaran dimuka secara keseluruhan atau sebagian setelah akad namun sebelum
pembuatan barang.
b. Pembayaran saat penyerahan barang atau selama dalam proses pembuatan barang
(pembayaran per termin)
A. MUDHARABAH
1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Dalam konteks
praktisnya mudharabah adalah akad kerjasama bisnis anatara 2 pihak, yaitu pihak yang
mengelola usaha/pemilik bisnis (mudharib) dan pihak yang memiliki modal (shahibul maal).
Dalam akad tersebut poin pentingnya adaslah terletak diawal yaitu kesepakatan atas nisbah
bagi hasil.
Pada hari dimana mudharib telah balik modal dan memperoleh keuntungan maka ia akan
mengembalikan pokok modal yang didapat dari si shahibul maal ditambah keuntungan yang
dibagikan sesuai kesepakatan nisbah bagi hasil diawal akad.
2. Fatwa Mudharabah
Konsep akad mudharabah termaktub dalam Fatwa DSN MUI No : 07/DSN-
MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah (qiradh). Dalam konteks fatwa tersebut
adalah mudharabah yang diterapkan oleh Lembaga Keuangan Syariah.
Q.S. Al-Baqarah: 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
kemudian pada Q.S. Al-Baqarah: 278, “Hai orang–orang yang beriman! Bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman”. Ayat tersebut menjelaskan
solusi atas pengharaan riba yaitu jual-beli.
Selain itu, Nabi SAW bersabda,”Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka
buat kecuali syarat yang mengharamkan halal atau mengalalkan yang haram” (HR. Muslim,
Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu Majah). Ayat tersebut menjelaskan solusi atas
pengharam riba yaitu jual-beli.
Akad Mudharabah memiliki karakteristik yang berbeda tergantung dari jenisnya. Umumnya
terdapat dua jenis akad mudharabah diantaranya:
a. Mudharabah Mutlaqah
Akad Mudharabah ini memiliki karakteristik yaitu pemilik dana/modal (shahibulmaal)
memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja atau mengintervensi bisnis yang berjalan
agar berhasil dan sesuai dengan tujuan bisnis yang telah disepakati antar kedua belah pihak.
Jadi misalkan kamu punya bisnis peternakan ikan, terus kamu melakukan
akad mudharabah dengan salah satu investor. Nah, investor tersebut berhak untuk
mengintervensi bisnis kamu sehingga ia dapat merubah sistem dalam bisnis kamu semisal
cara penjualan, rekrutmen sdm, pengelolaan keuangan dan sebagainya.
Tapi kamu tetap punya hak untuk mengelola bisnismu kok. Meskipun begitu apa yang akan
kamu lakukan perlu untuk didiskusikan dengan investormu.
b. Mudharabah Muqayyadah
Lain halnya dengan mudharabahmutlaqah yang mana shahibulmaal memiliki hak untuk
intervensi bisnis, pada mudharabahmuqayyadah, si shahibulmaal tidak memiliki hak untuk
mengatur bisnis si pengusaha.
Jadi ketika ada kesepakatan
akad mudharabah antara shahibulmaal dengan mudharib (pengusaha) maka kewenangan
untuk mengatur usaha 100% adalah hak dari pengusaha. Pemilik modal tidak memiliki hak
untuk mengatur usaha yang ia berikan modal.
Nasabah mengajukan pembiyaan kepada bank untuk memperoleh modal usaha. Bank
memberikan modal sebesar 100% untuk di kelola oleh nasabah yang memiliki keahlian
tertentu. Ketika akad berlangsung telah ditentukan proporsi bagi hasilnya. Jika terjadi
kerugian ketika menjalankan usaha yang bukan merupakan kelalaian nasabah maka kerugian
di tanggung oleh bank. Setelah proses usaha berjalan lalu keuntungan dibagi sesuai ketentuan
nisbah. Selain itu nasabah juga mengembalikan modal pokok kepada bank.
B. MUSYARAKAH
1. Pengertian Musyarakah
Musyarakah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
kata musyarakah berasal dari kata syaraka-yusyriku-syarkan-syarikatan-syirkatan yang
memiliki makna kerjasama atau kelompok. Bila merujuk pada definisi dari DSN
MUI, musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.Sehingga dalam hal ini akad musyarakah menekankan pada keterlibatan dua
pihak yang saling memberikan kontribusi berupa dana. Lain halnya dengan
akad mudharabah yang mana satu pihak memberikan dana sedangkan pihak lain
berkontribusi dalam bentuk tenaga. Hal lain yang membedakan
antara musyarakah dan mudharabah adalah bahwa ketika terjadi kerugian, pembagian atas
kerugian tersebut ditentukan berdasarkan porsi modal. Sedangan mudharabah kerugian
ditanggung penuh oleh pemilik modal. Adapun apabila dari perkongsian tersebut
memunculkan laba, maka pembagian atas laba tersebut sesuai dengan kesepakatan.
2. Fatwa Musyarakah
Akad musyarakah telah memiliki fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yaitu pada
Fatwa DSN No: 08/DSN-MUI/IV/2000.
Wujuh
Syirkah wujuh kerja sama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain
yang memiliki kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkahwujuh dinamakan demikian karena
syirkah ini hanya mengandalkan wujuh (wibawa dan nama baik) para anggota, pembagian
untung rugi dilakukan secara negosiasi diantara para
Nasabah mengajukan pembiyaan kepada bank dengan akad musyarakah untuk mendapatkan
tambahan modal. Antara nasabah dan bank saling berkontribusi dalam usaha ini. Dalam hal
ini antara kedua belah pihak saling bekerja sama dalam mengelola usaha yang mana
keuntunganya dibagi sesuai kesepakatan, jika terjadi kerugian maka di tanggung bersama
sama dan tidak ada pihak yang dirugikan, jika terjadi kerugian maka di tanggung bersama
sama dan tidak ada pihak /yang dirugikan.
3. Tujuan / manfaat
a. Bagi Bank
- Sebagai salah satu bentuk penyaluran dana.
- Memperoleh pendapatan dalam bentuk imbalan/ujrah/fee.
b. Bagi Nasabah
- Memperoleh manfaat atas jasa tertentu seperti pendidikan, kesehatan, wisata,
dan/atau jasa/manfaat lainnya.
BAB.III
PENUTUP
Kesimpulan
Maskud pembiayaan perbankan syariah merupakan aktifa produktif dimana perbankan
memeberikan sejumlah dana kepada nasabah untuk memutar uang yang dimiliki oleh
perbankan dengan memperoleh margin (tambahan) atas pembiayaan.Beberapa tujuan daripada
pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah berdasarkan penempatan (stakeholder) yaitu
ditujukan kepada pemilik, pegawai, masyarakat, pemerintah,bank.Manfaat daripada
perbankan syariah diantaranya yaitu Sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan
nasional atau tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Produk pembiayaan
perbankan meliputi pembiayaan yang bersifat konsumtif atau pembiayaan yang bersifat
produktif. Antara lain pembiayaan-pembiayan perbankan syariah Pembiayaan berprinsip jual
beli yaitu Murabahah, Salam, Istisna’ Pembiayaan berprinsip sewa yaitu Ijarah dan Ijarah
munthia bit-Tamlik Pembiayaan berprinsip bagi hasil yaitu Musyarakah, Mjdharabah dan
beberapa pembiayaan pelengkap yaitu, Hawalah, Kafalah, Rahn, Qard, dan wakalah
Saran
Bank syariah harus lebih memperhatikan strategi pembiyayan serta resiko apa saja yang akan
dihadapi Bank Syariah didalam menjalankan aktivitas operasionalnya yang sesuai dengan
prinsip syariah, tidak menggunakan sistem bunga melainkan sistem bagi hasil. Dalam
pembiayaan mudharabah, Bank Syariah berperan sebagai shahibul maal (pemilik dana). Oleh
karena itu semakin berkembangnya kompleksitas maka diperlukan adanya manajamen resiko
didalam perbankan syariah untuk bisa mengatur segala dan dapat menyeimbangkan strategi
bisnis dan juga masalah apa yamg akan dihadapinya harus lebih dulu siap .