17025424500
Daftar Kode Referensi
No Tahun Penulis Judul Referensi Topik Link Kode
1. 2013 Iin Indarti, Metode Penelitian https://publikasiilmiah.ums.ac.i A_001
Dwiyadi Pemberdayaan Kualitatif d/xmlui/bitstream/handle/1161
Surya Masyarakat Pesisir
7/4474/9.pdf?
Wardana Melalui Penguatan
Kelembagaan Di sequence=1&isAllowed=y
Wilayah Pesisir Kota
Semarang
2. 2010 S. Peran Komunikasi https://jurnal.ipb.ac.id/index.ph A_002
Amanah Pembangunan p/jurnalkmp/article/view/5691/
Dalam 4319
Pemberdayaan
Masyarakat
Pesisir
3. 2001 DR. Aspek Sosial https://www.crc.uri.edu/downl B_001
VICTOR Ekonomi oad/Proceeding_ToT_ICM.pdf#
P.H. Masyarakat Pesisir page=17
NIKIJULU Dan Strategi
Pemberdayaan
W
Mereka Dalam
Konteks Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir
Secara Terpadu
4. 2005 Yudi Sistem Sosial https://www.researchgate.net/ C_001
Wahyudin Ekonomi Dan profile/Yudi_Wahyudin2/public
Budaya Masyarakat ation/282662169_Sistem_Sosial
_Ekonomi_dan_Budaya_Masyar
Pesisir akat_Pesisir/links/5616cd5d08a
e90469c611602.pdf
Wilayah pesisir dan laut merupakan sebuah kawasan dinamis yang strategis untuk
pengembangan berbagai sektor usaha. Berkembangnya sejumlah sektor usaha, dengan
sejumlah stakeholder dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut, tanpa adanya
keterpaduan dalam pengembangannya justru akan menciptakan konflikkonflik baru. Untuk
memecahkan permasalahan konflik antar kepentingan dalam pembangunan kawasan pesisir
dan laut, The World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun
1987 memberikan batasan dalam pembangunan suatu kawasan, termasuk pesisir dan laut.
Batasan tersebut meliputi 3 dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi (efisien serta layak), sosial
(berkeadilan) dan ekologis (ramah lingkungan).Di sisi lain hasil tangkapan yang merupakan
sumber utama dijual bukan kepada konsumen langsung tapi kepada tengkulak atau kepada
nelayan lain yang kondisi ekonominya lebih baik (bakul ikan atau pedagang ikan), yang
mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai pedagang ikan dan rentenir. Nelayan harus menjual
ikannya dengan harga yang sangat murah sebagai kompensasi pinjaman yang telah diberikan.
Kondisi ini yang menjerat leher nelayan, yang mau tidak mau harus dijalani demi kehidupan
dan di sisi lain mereka harus membayar bunga yang cukup tinggi.
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir, hidup di dekat pantai merupakan hal yang
paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat mereka
peroleh dalam berbagai aktivitas kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan-
kemudahan tersebut diantaranya: Pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke
sumber mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir
menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang terdapat
di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut, dan
sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi,
cuci dan kakus), dimana mereka dapat dengan serta merta menceburkan dirinya untuk
membersihkan tubuhnya; mencuci segenap peralatan dan perlengkapan rumah tangga, seperti
pakaian, gelas dan piring; bahkan mereka lebih mudah membuang air (besar maupun kecil).
Selain itu, mereka juga dapat dengan mudah membuang limbah domestiknya langsung ke
pantai/laut. Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang
khas/unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri.
Karena sifat dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut. Beberapa
masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan
sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan
sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada
dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari
nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang
ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan,
masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta
kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir
untuk menyokong kehidupannya. Namun untuk lebih operasional, definisi masyarakat pesisir
yang luas ini tidak seluruhnya diambil tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan
pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung
mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan
budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh
Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini
adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat
subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri,
dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
jangka waktu sangat pendek. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir
miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa
menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel.
Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat
pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara
bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan
seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang
begitu banyak.
laut adalah sumber utama penghidupan masyarakat pesisir yang hidup dari hasil laut atau
bahkan dapat dikatakan bahwa basis perekonomian masyarakat pesisir adalah sektor
perikanan. Tingginya unsur ketidakpastian dalam melaut, khususnya bagi masyarakat pesisir,
telah menjadi persepsi umum yang berkembang menyangkut kebutuhan hidup keluarga
nelayan dan umumnya masyarakat pesisir. Sejarah kemiskinan keluarga yang mengantungkan
hidup dari apa yang diberikan laut kemudian sering menjadi gambaran tekanan situasi sektor
ini. Di Kemukakan oleh Fadel Muhammad (2009) bahwa “Saat ini masih banyak nelayan
hidup dibawah garis kemiskinan, Kita upayakan dengan adanya regulasi mengenai nelayan
kita berharap bisa meningkatkan kesejahteraan yang lebih baik lagi dari sebelumnya.”
Pernyatan ini sesuai dengan kondisi nelayan di Pesisir pantai, yang sampai saat ini masih
bergelut dengan kemiskinan. Penghasilan yang didapat oleh buruh nelayan dan nelayan kecil
tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain budaya konsumtif, kecilnya
pendapatan telah menyebabkan mereka terjerat lingkaran hutang. Pengeluaran terbesar
mereka digunakan untuk melunasi hutang, belanja kebutuhan sehari-hari dan membayar
biaya sekolah. Penghasilan dari melaut langsung habis, sehingga mereka berhutang lagi dan
sulit keluar dari kemiskinan. Jika sudah begitu, kelompok perempuanlah yang bertanggung
jawab untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dengan berjualan, mencari hutang, dan
menggadaikan barang yang dimilikinya. Tekanan situasi yang dialami masyarakat pesisir
tersebut diatas memungkinkan penggunaan segala cara dalam pemanfatan sumberdaya laut,
termasuk cara- cara yang tidak ramah lingkungan. Pernyatan tersebut bukanlah sebuah issue
belaka, tetapi sebuah realitas yang terjadi dan berkembang saat ini di hampir semua lokasi di
wilayah pesisir di Indonesia. Penduduk di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat ekonomi
yang relatif rendah, dimana pada musim barat, sebagian nelayan tidak melaut dan sebagian
besar dari mereka hanya mengantungkan hidupnya pada ikan di laut. Dengan melihat hal
tersebut diatas, maka perlu dilakukan upaya pengembangan mata pencaharian alternatif
sebagai salah satu cara yang harus diprioritaskan.
Laporan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI tahun 2001 menyatakan
bahwa dari sejumlah penyakit yang dikeluhkan dan tidak dikeluhkan, prevalensi penyakit gigi
dan mulut adalah yang tertinggi meliputi 60% penduduk. Gigi dan mulut merupakan investasi
bagi kesehatan seumur hidup (Situmorang, 2008 dikutip Muliadi, 2014). Persentase
penduduk yang mempunyai masalah gigi dan mulut menurut Riskasdes tahun 2007 dan 2013
meningkat dari 23,2% menjadi 25,9%. Persentase penduduk yang menerima perawatan medis
gigi dari seluruh penduduk yang mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut meningkat
dari 29,7% tahun 2007 menjadi 31,1% pada tahun 2013. EMD (persentase penduduk yang
bermasalah gigi dan mulutnya dalam 12 bulan terakhir dikali persentase penduduk yang
menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis gigi) meningkat dari tahun 2007
(6,9%) menjadi 8,1% pada tahun 2013 . Masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup tinggi
(>35%) pada tahun 2013 berdasarkan Provinsi antara lain adalah Provinsi Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah dengan EMD masing-masing 10,3%, 8% dan 6,4%.
Kabupaten Tanah Laut, salah satu daerah di Kalimantan Selatan pada tahun 2010 mempunyai
masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup tinggi (>35%), di mana dari 14.464 orang yang
diperiksa keadaan mulutnya, 5.140 orang perlu perawatan sedangkan jumlah yang menerima
perawatan hanya mencapai 4.095 orang (Bidang Bina Pelayanan Kesehatan 2010).
Berdasarkan kunjungan masyarakat yang bermasalah gigi dan mulutnya di Puskesmas
Takisung yaitu sejumlah 206 orang, 84 orang di antaranya perlu perawatan (Bidang Bina
Pelayanan Kesehatan 2010). Masyarakat pesisir adalah sekelompok warga yang tinggal di
wilayah pesisir yang hidup bersama dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya di
wilayah pesisir. Masyarakat yang hidup di kota-kota atau permukiman pesisir memiliki
karakteristik secara sosial ekonomis sangat terkait dengan sumber perekonomian dari wilayah
laut (Prianto, 2005), yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam atau jasa-jasa lingkungan
yang ada di wilayah pesisir, seperti nelayan, petani ikan, dan pemilik atau pekerja industri
maritim. Masyarakat pesisir yang didominasi oleh usaha perikanan pada umumnya masih
berada pada garis kemiskinan, mereka tidak mempunyai pilihan mata pencaharian, memiliki
tingkat pendidikan yang rendah, serta kurang mengetahui dan menyadari kelestarian sumber
daya alam dan lingkungan (Lewaherilla, 2002).
Kabupaten Balangan mempunyai sumber daya perairan yang cukup besar dan berpotensi
sebagai sumber pendapatan bagi keuangan daerah dalam upaya meningkatkan pendapatan
asli daerah, diharapkan peran pemerintah Kabupaten Balangan yang mempunyai wewenang
sebagai pelaksana eksplorasi dan pengelolaan kekayaan perairan harus bisa menggali potensi
dari sektor perikanan agar lebih optimal dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan pokok yang akan dikembangkan
adalah bagaimana peranan sektor perikanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
alternatif strategi pengembangan sektor perikanan dalam rangka otonomi daerah kabupaten
Balangan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknik perencanaan
pembangunan wilayah Kabupaten Balangan. Sedangkan secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui peranan sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten
Balangan dan menetapkan alternatif strategi pengembangan sektor perikanan dalam rangka
otonomi daerah di Kabupaten Balangan.
Mayoritas warga di Kota Bitung bekerja sebagai nelayan, selain sebagai nelayan ada juga
yang menjadi ANS, pedagang dan sebagainya. Kota Bitung merupakan kota yang penduduk
perempuannya ikut turut serta berperan dalam membantu perekonomian keluarga, salah satu
contohnya yaitu sebagai pedagang ikan. Perempuan merupakan topik yang menarik untuk
ditelaah permasalahannya, baik dari segi peran, status, hak maupun kewajibannya. Tujuan
dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Untuk menganalisis peran, akses
dan kotrol atas asset dan sumberdaya dan kekuatan pengambilan kepeutusan perempuan
pedagang ikan (2) Untuk menganalisis peranan perempuan pedagang ikan pada rantai nilai
pemasaran tuna-cakalang. Penelitian bermanfaat sebagai : (1) Menerapkan ilmu pengetahuan
yang telah diperoleh selama kuliah melalui penelitian yang dilakukan dilapangan (2)
Menambah pengetahuan sebagai bekal dalam mengaplikasikan pengetahuan teoritik terhadap
masalah praktis (3) Memberikan sumbangan yang berarti bagi pemerintah dan berbagai pihak
juga sebagai bahan tambahan informasi pada yang membutuhkan.
Usaha rehabilitasi hutan bakau di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi,
maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan, namun hasil yang diperoleh relatif tidak
sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya
adalah kurang keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam pengembangan wilayah,
khususnya rehabilitasi hutan bakau; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek dan
bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995). Rehabilitasi hutan bakau
merupakan langkah perlindungan yang ramah lingkungan. Pelibatan masyarakat dalam
kegiatan rehabilitasi atau perbaikan ekosistem bakau penting untuk menumbuhkan rasa
memiliki dan rasa tanggung jawab dalam menjaga sumberdaya alam di sekitar tempat
tinggalnya. Pelibatan masyarakat dalam melestarikan hutan bakau ini perlu dimulai dari
pelatihan mengenai teknik-teknik rehabilitasi untuk mendukung program konservasi hutan
bakau