Anda di halaman 1dari 8

Prawiroharjo P, Endiyarti F, Djoerban Z, Sjamsuhidajat R, Wasisto B, Santosa F, et al.

Tinjauan Etik ISSN 2598-179X (cetak)


Penyampaian Diagnosis HIV/AIDS pada Pihak Ketiga. JEKI. 2019;3(2):45–52. doi: 10.26880/jeki.v3i2.34. ISSN 2598-053X (online)

Tinjauan Etik Penyampaian Diagnosis HIV/


AIDS pada Pihak Ketiga
Pukovisa Prawiroharjo1,2, Febriani Endiyarti1,3, Zubairi Djoerban4, R Sjamsuhidajat1, Broto Wasisto1,
Frans Santosa1,5, Rianto Setiabudi1,6, Ghina Faradisa Hatta, Anna Rozaliyani1,7
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
1

Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo


2

3
Departemen Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
4
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
5
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
6
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
7
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kata Kunci Abstrak Terdapat peningkatan prevalensi HIV/AIDS maupun


Etik, HIV/AIDS, penyampaian jumlah pasien yang mendapatkan diagnosis HIV/AIDS di
diagnosis Indonesia. Sangat disayangkan, diagnosis ini seringkali dikaitkan
Korespondensi dengan stigma bahwa penyakit ini menular secara seksual,
pukovisa@ui.ac.id walaupun banyak kasus yang tidak demikian adanya. Muncul
Publikasi pertanyaan yang sering menimbulkan konflik etis pada dokter,
© 2019 JEKI/ilmiah.id
yakni apakah dokter boleh membuka diagnosis HIV pasiennya
DOI
kepada pihak ketiga, antara lain pihak perusahaan yang membiayai
10.26880/jeki.v3i2.34 pemeriksaan, pihak asuransi yang membiayai pengobatan, atau
Tanggal masuk: 7 Agustus 2019 pasangan dan keluarga. Tinjauan etik ini diharapkan mampu
Tanggal ditelaah: 10 Oktober 2019 memberikan pemahaman kepada sejawat dalam praktik sehari-
Tanggal diterima: 15 November 2019 hari terkait dilema etis ini. Secara umum, informasi medis
Tanggal publikasi: 30 Desember 2019
terkait HIV/AIDS dapat diberikan kepada pihak ketiga sesuai
yang diperbolehkan UU seperti atas kemauan pasien sendiri,
demi kebaikan kesehatan pasien, atas perintah pengadilan, atau
dalam situasi dilema etis dengan argumentasi nilai etis keadilan
untuk membuka informasi lebih tinggi dibandingkan nilai etis
menghargai otonomi pasien, yakni demi mencegah penularan.

Abstract There is increase in the prevalence of HIV/AIDS as well as newly diagnosed HIV/AIDS
patients in Indonesia. Unfortunately, this diagnosis is often associated with the stigma of its sexual
transmission, although there are many cases transmitted in other ways. Questions arise that often
lead to ethical conflicts, namely whether doctors can divulge patient’s HIV diagnosis to third party,
including the company that funds the examination, the insurance company that funds the treatment, or
the spouse and family. This ethical review attempted to provide peer understanding in daily practices
related to this ethical dilemma. In general, medical information related to HIV/AIDS can be disclosed
to third parties based on special considerations as permitted by law, i.e. patient’s consent, for patient’s
own health, on court orders, or in ethical dilemmas where arguments for ethical ‘justice’ to disclose
information are higher than ethical respect for patient’s ‘autonomy’, which is to prevent transmission.

Pada beberapa kesempatan, kami seperti ini diperbolehkan?


menerima pertanyaan seputar pemberian Pertanyaan kedua adalah terkait
informasi medis terkait HIV/AIDS. Pertanyaan kondisi pasien yang ditanggung oleh suatu
pertama menyangkut perusahaan yang meminta asuransi yang memiliki kebijakan tidak
hasil tes HIV/AIDS karyawannya, yangmana tes akan menanggung penyakit terkait HIV/
tersebut dibiayai oleh perusahaan terkait dalam AIDS. Dalam perjalanannya, ternyata pasien
rangka kerjasama dengan suatu rumah sakit diketahui mengidap HIV/AIDS dan memiliki
(RS) atau klinik. Apakah pemberian informasi keterbatasan ekonomi jika menanggung biaya
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019 45
Tinjauan Etik Penyampaian Diagnosis HIV/AIDS pada Pihak Ketiga

pengobatannya sendiri. Apakah dokter dapat stigma dan persepsi negatif masyarakat setelah
menutupi informasi penyakit terkait HIV/ ditemukan obat yang mampu mengeliminasi
AIDS ini ke pihak asuransi dengan maksud total virus di dalam darah, dan lebih menjadi
agar pasien mendapatkan kemudahan akses “biasa” seperti penyakit serupa yang telah
pengobatan? ditemukan obatnya, seperti sifilis. Namun tak
Pertanyaan ketiga, bolehkah informasi dapat dipungkiri, kondisi saat ini penyakit
medis terkait HIV/AIDS diberikan kepada HIV/AIDS masih lekat dengan stigma negatif
pasangan dan keluarga ODHA, dalam situasi di masyarakat.
ODHA tidak menginginkan penyakitnya ini Pemahaman mengenai kondisi stigmatisasi
diketahui siapapun termasuk pasangan dan ini perlu direnungkan dengan baik situasinya,
keluarganya? Pada dasarnya, banyak pertanyaan khususnya di Indonesia yang hingga kini masih
terkait hal tersebut yang bermunculan. Tulisan menganggap tabu hal-hal terkait hubungan
ini akan membahas bagaimana sebaiknya dengan pasangan di luar nikah serta penggunaan
penyampaian informasi terkait HIV/AIDS NAPZA. Oleh karena itu, dokter Indonesia
kepada pihak ketiga. perlu mempertimbangkan kondisi sosial
Meskipun pada hakikatnya apabila ditinjau yang akan dialami pasien di tengah keluarga,
dalam aspek biomedik HIV/AIDS adalah kerabat, komunitas, lingkungan pekerjaan,
penyakit yang “biasa saja” sebagaimana penyakit dan masyarakat pasca informasi sensitif terkait
lain, HIV/AIDS menjadi “luar biasa” dan penyakit HIV/AIDS diberikan ke pihak ketiga.
sensitif penyikapannya karena terjebak pada
stigma bahwa pelakunya akan dicap “nakal” di Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
lingkungan sosialnya dan berpotensi mengalami pemberian informasi medis kepada pihak ketiga
diskriminasi dalam kesempatan akademik, Pada Sumpah Dokter Indonesia poin 4,
meniti karir, dan sebagainya. Padahal penularan setiap dokter Indonesia diambil sumpahnya
HIV/AIDS tak selalu berupa perilaku seks dengan menyatakan “Saya akan merahasiakan
menyimpang ataupun penggunaan NAPZA segala sesuatu yang saya ketahui karena
suntik. Pada beberapa kasus, HIV/AIDS keprofesian saya.”6 Pasal 16 Kode Etik
dapat ditransmisikan dari ibu ke anak melalui Kedokteran Indonesia (Kodeki) menyatakan
kehamilan, kelahiran, ataupun menyusui, “Setiap dokter wajib merahasiakan segala
tertusuk benda tajam yang telah terkontaminasi sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
dengan HIV yang umumnya dialami petugas pasien, bahkan juga setelah pasien itu
kesehatan, serta kontak kulit yang tidak intak, meninggal dunia” yang selaras dengan UU No.
walaupun kejadian ini sangatlah jarang terjadi.1,2 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Satu-satunya penyikapan khusus di internal pasal 48 ayat 1 yang menyebutkan “Setiap
tenaga medis terkait HIV/AIDS sebagai upaya dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
pencegahan rantai penularan adalah aspek praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
proteksi diri petugas medis dan aspek sterilisasi kedokteran.”7,8 Pada penjelasan Pasal 16 ayat
alat kesehatan. Terlebih dengan kemajuan obat 3 Kodeki menjelaskan “Seorang dokter tidak
antiretroviral (ARV), jumlah virus (viral load) boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk
dapat sangat ditekan sehingga memperkecil, merugikan pasien, keluarga atau kerabat
atau bahkan hingga menihilkan peluang dekatnya dengan membukanya kepada pihak
penularan. Viral load kurang dari 50 kopi/ml ketiga atau yang tidak berkaitan.” Terlebih jika
akan menunjukkan hasil yang “tidak terdeteksi” informasi medis itu adalah penyakit yang masih
disebutkan secara efektif tidak berisiko untuk kuat stigma negatifnya pada masyarakat, Kodeki
mentransmisikan virus melalui hubungan intim menyinggungnya secara khusus pada pasal 16
dan memiliki risiko kurang dari 1% untuk ayat 5 yaitu “Setiap dokter wajib hati-hati dan
menularkan kepada bayi dalam kandungan.3-5 mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi-
Bahkan ke depannya, HIV/AIDS diprediksi budaya dan legal terkait dengan pembukaan
tidak lagi tampak “luar biasa” dalam konteks rahasia pasiennya yang diduga/mengalami
46 Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019
Prawiroharjo P, Endiyarti F, Djoerban Z, Sjamsuhidajat R, Wasisto B, Santosa F, et al.

gangguan jiwa, penyakit infeksi menular 10 ayat 2 tentang pembukaan informasi medis.10
seksual dan penyakit lain yang menimbulkan Pemberian persetujuan oleh pasien merupakan
stigmatisasi masyarakat.”7 refleksi aspek autonomy yang dapat adekuat
Aturan-aturan di atas menjelaskan acuan menjadi dasar dalam menentukan kaidah dasar
umum bahwa sikap menjaga rahasia yang bioetika prioritas membuka informasi medis
muncul akibat relasi dokter-pasien adalah secara terbatas hanya kepada pihak-pihak yang
sikap etis yang utama. Sikap menjaga rahasia mendapat persetujuan oleh pasien. Hal yang
tersebut merupakan bagian dari kaidah dasar penting menjadi pertimbangan adalah pasien
bioetika autonomy karena umumnya memang serta pihak yang memberikan persetujuan perlu
diinginkan oleh pasien, serta beneficence dipahamkan mengenai implikasi sosial yang
(berbuat baik demi kepentingan pasien).9 dapat ditimbulkan, sehingga mereka juga dapat
Oleh karena itu pemberian informasi medis membangun sikap berhati-hati dan penuh
kepada pihak ketiga di luar dokter-pasien tidak tanggung jawab.
diperbolehkan, kecuali terdapat alasan etis Argumen lain adalah membuka informasi
yang kuat dan dilakukan secara penuh kehati- medis ke asuransi kesehatan. Asuransi
hatian. Jika alasan etis pembanding untuk didefinisikan menurut UU No. 40 tahun 2014
membuka informasi medis tersebut sama pasal 1 ayat 1 sebagai “perjanjian antara dua
kuatnya, maka di sinilah muncul dilema etis. pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang
Dilema etis ini kemudian perlu diselesaikan polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan
dengan menempatkan satu dimensi bioetika premi oleh perusahaan asuransi sebagai
lebih prioritas dibandingkan yang lain. Aspek imbalan untuk: a) memberikan penggantian
etis lain ini sudah disadari adanya oleh Kode kepada tertanggung atau pemegang polis
Etik Kedokteran Indonesia yang dimaktubkan karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
dalam penjelasan pasal 16 ayat 4 Kodeki yaitu kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab
“Dalam hal terdapat dilema moral atau etis akan hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
dibuka atau dipertahankannya rahasia pasien, diderita tertanggung atau pemegang polis
setiap dokter wajib berkonsultasi dengan mitra karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
bestari dan/atau organisasi profesinya terhadap pasti; atau b) memberikan pembayaran yang
pilihan keputusan etis yang akan diambilnya.”7 didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau
Salah satu argumen bahwa informasi medis pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
dapat diberikan kepada pihak ketiga adalah jika tertanggung dengan manfaat yang besarnya
hal tersebut disetujui oleh pasien itu sendiri. Hal telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
ini sesuai dengan yang termaktub dalam pasal 16 pengelolaan dana.”11 Namun, belum ada pada
ayat 2 Kodeki yaitu “Seorang dokter tidak boleh hukum positif di Indonesia yang secara spesifik
memberikan pernyataan tentang diagnosis dan/ mengatur akses informasi medis pada asuransi.
atau pengobatan yang terkait diagnosis pasien Pada dasarnya, sistem asuransi menuntut
kepada pihak ketiga atau kepada masyarakat kliennya untuk melampiri resume medis agar
luas tanpa persetujuan pasien” 7 dan UU No. 29 dapat mendapatkan manfaat asuransi yang
tahun 2004 pasal 48 ayat 2 yang memasukkan dijanjikan.12 Penyelenggara asuransi berpegang
persetujuan pasien itu sendiri sebagai salah pada payung hukum Kitab Undang-undang
satu dasar yang sah dapat dibukanya informasi Hukum Perdata Pasal 1811, 1813, 1814 mengenai
medis kepada pihak ketiga dengan menyatakan surat kuasa atas aspek otonomi yang diberikan
“Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk pasien kepada penyelenggara asuransi terhadap
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi informasi medisnya.13,14 Resume medis dapat
permintaan aparatur penegak hukum dalam dikatakan bagian dari rekam medis karena sesuai
rangka penegakan hukum, permintaan pasien dengan UU RI No. 29 Tahun 2009 tentang
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang- Praktik Kedokteran Pasal 46 ayat 1 dinyatakan
undangan.”8 Hal ini juga selaras dengan bahwa yang dimaksud dengan ‘rekam medis’
Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008 pasal adalah berkas berisikan catatan dan dokumen
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019 47
Tinjauan Etik Penyampaian Diagnosis HIV/AIDS pada Pihak Ketiga

tentang identitas pasien, pemeriksaan, informasi medis, asuransi hanya dapat membuat
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang kebijakan dengan ujungnya adalah memutuskan
telah diberikan kepada pasien.8 Kelengkapan membayar (menyetujui)/tidak membayar
resume medis diatur di dalam Permenkes (menolak) klaim yang diajukan. Sementara
No. 269/Menkes/Per/III/2008 Bab II pasal perusahaan tidak terikat perundangan khusus
4. Adapun pada Bab IV pasal 10 Permenkes terkait manajemen pembatasan informasi
tersebut mengatur bahwa kerahasiaan rekam medis yang sensitif seperti ini. Perusahaan juga
medis wajib dijaga kerahasiaannya oleh dokter, memiliki potensi besar menggunakan informasi
dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas medis sebagai dasar pembuatan kebijakan yang
pengelola, dan pimpinan sarana kesehatan.10 dapat berujung pada memecat/menghentikan
Hal ini teknisnya kemudian diserahkan karir seseorang pada perusahaan tersebut. Hal
pada syarat dan ketentuan yang diajukan ini perlu menjadi pertimbangan penting dalam
perusahaan asuransi sebagai akad dengan klien membuat keputusan medis termasuk keputusan
asuransi sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1811, RS dalam hal memberi informasi kepada
1813, 1814 terkait surat kuasa, serta perjanjian perusahaan yang mensponsori pemeriksaan
kerjasama antara perusahaan asuransi dengan HIV/AIDS pada karyawannya. Di lain sisi,
RS/klinik.13,14 Pengaturan lain adalah adanya perlu diketahui juga bahwa hal tersebut sudah
kode etik perusahaan beberapa asuransi diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja
kesehatan, sebagian dapat diakses, sebagian dan Transmigrasi Republik Indonesia KEP.
tidak. Terdapat pula kode etik dari Asosiasi 68/MEN/IV2004 tentang pencegahan dan
Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI)15 dan BPJS,16 penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
namun hingga saat ini banyak belum detil Tepatnya pada Pasal 5 ayat 1 Permenaker
menyinggung bagaimana mengelola informasi 68/MEN/IV2004 yang menyatakan bahwa
medis yang didapatkan dari proses bisnis yang “pengusaha atau pengurus dilarang melakukan
mereka lakukan. tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat
suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status
Dapatkah informasi medis HIV/AIDS pekerja/buruh atau kewajiban pemeriksaan
diberikan kepada perusahaan tempat bekerja kesehatan rutin.” Sebagaimana selanjutnya
pasien? juga disebutkan bahwa tes HIV hanya dapat
Kembali ke pertanyaan pertama pemicu dilakukan atas dasar kesukarelaan dengan
di awal artikel, bagaimana kemudian jika pihak persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang
yang menanggung seluruh biaya pemeriksaan bersangkutan. Secara jelas dinyatakan pada Pasal
terkait HIV tersebut adalah perusahaan? 2 ayat 2 Permenaker 68/MEN/IV2004 bahwa
Apakah hal ini serta merta membuat pengusaha wajib memberikan perlindungan
perusahaan yang bersedia menanggung seluruh kepada pekerja/buruh dengan HIV/AIDS dari
biaya pemeriksaan tersebut memiliki status yang tindak dan perilaku diskriminatif.17 Tak hanya
sama dengan asuransi? di Indonesia, hal serupa juga diatur di negara
Meskipun masih jarang adanya kode lainnya, seperti di Amerika Serikat.18 Adanya
etik dan aturan internal yang menyebutkan peraturan ini merefleksikan seberapa seriusnya
bagaimana asuransi mengelola informasi medis, stigmatisasi pada masyarakat terhadap ODHA
namun sebagai suatu entitas usaha mereka hingga memerlukan regulasi tersendiri.
umumnya memiliki syarat dan ketentuan Oleh karena itu, seorang dokter dan RS yang
yang jelas serta perjanjian kerja sama yang mendapatkan proposal kerjasama/permintaan
detil dengan RS/klinik. Di sisi lain, asuransi dari perusahaan perlu menyadari hal tersebut
tidak memiliki kewenangan mengatur bahkan sehingga penting membuka komunikasi guna
menghentikan karir/status pekerjaan seseorang mendapatkan keterangan bagaimana rencana
yang dikhawatirkan menjadi perlakuan lanjutan perusahaan terhadap informasi medis
diskriminatif pada pasien yang didasarkan pada tersebut. Dokter perlu memberikan edukasi yang
temuan informasi medis tertentu. Terkait sebuah luas tentang HIV/AIDS dan menghapuskan
48 Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019
Prawiroharjo P, Endiyarti F, Djoerban Z, Sjamsuhidajat R, Wasisto B, Santosa F, et al.

stigmatisasi yang tidak perlu kepada perusahaan secara maksimal oleh penyelenggara asuransi
tersebut sehingga mendapatkan penjelasan kesehatan.19
atau kepastian kebijakan perusahaan lanjutan Dokter sebagai praktisi lapangan tak
terlebih dahulu bukanlah merupakan kebijakan jarang menemukan kasus pasien dengan
yang diskriminatif bagi ODHA. Hal lain yang tingkat sosioekonomi menengah-rendah dan
penting diperhatikan adalah bahwa program sebenarnya memiliki asuransi. Sayangnya,
yang diajukan perusahaan ini dan informasi asuransi tersebut memiliki kebijakan yang
medis tersebut sebagai hasil dari program tidak menanggung ODHA. Pada dasarnya,
diketahui oleh perusahaan, mendapatkan empat kaidah dasar bioetik memiliki empat
persetujuan penuh dari setiap karyawan yang kaidah turunan yang terdiri atas veracity (jujur
diikutkan dalam program. Persetujuan ini harus dan terpercaya), privacy (menghormati hak
didapatkan agar tidak melanggar UU No. 29 atas kontrol akses informasi terhadap dirinya),
tahun 2004 pasal 48 ayat 2 dan Kodeki pasal confidentiality (menjaga kerahasiaan), dan fidelity
16 ayat 2.7,9 Keseluruhan proses ini memerlukan (setia dan tepat janji).8 Sebagai profesi yang
musyawarah antarpihak, dapat pula dengan salah satu nilai etikanya dibangun atas dasar
melibatkan perwakilan dari karyawan sehingga kasih sayang (compassion), terbit rasa sayang dari
dihasilkan kebijakan yang adil, baik, serta dokter untuk melakukan sesuatu demi kebaikan
humanis dan tidak menjadi masalah di pasiennya tersebut. Namun jika ekspresi rasa
kemudian hari. sayang itu diwujudkan dalam bentuk menutup-
nutupi informasi kepada asuransi bahwa pasien
Dapatkah informasi terkait HIV/AIDS tersebut mengidap HIV/AIDS demi pasien
disembunyikan dari asuransi untuk kepentingan mendapatkan kemudahan dalam berobat, hal
pasien? ini menimbulkan dilema etis. Dilema tersebut
Beberapa asuransi membuat kebijakan mempertimbangkan antara sikap altruisme
tidak menanggung klaim obat-obatan, penuh kasih sayang dokter demi kebaikan
perawatan, dan tindakan medis pada ODHA. pasien yang menjadi semangat dari kaidah
Kebijakan ini tentu perlu dikritisi dari sisi hak dasar bioetika beneficence, dengan berlaku jujur
asasi manusia dan etika kedokteran serta etika (veracity) dan berbuat adil bagi asuransi (justice)
kesehatan masyarakat di mana asuransi masuk sebagai bagian dari kaidah dasar maupun
dalam unsur pembiayaan dalam kesehatan turunan bioetik.
masyarakat. Hal ini dapat menjadi benar hanya Dalam menjawab dilema etis ini, dokter
jika kebijakan ini didasarkan pada adanya perlu memperluas bingkai pertimbangan
penjaminan pembiayaan lain yang dilakukan keputusannya tidak hanya lingkup mikro-
bagi pasien dengan HIV/AIDS secara paripurna, etik antara dokter dengan pasien saja, tetapi
misalnya dengan program pemerintah yang setidaknya memperhatikan aspek meso-
menjamin pengobatan HIV/AIDS atau etik mempertimbangkan tingkat RS dan
semacam pengambilalihan tanggung jawab oleh asuransi.20-22 Bahwa adanya realisasi pembayaran
jaminan kesehatan nasional. Mengacu pada klaim dari asuransi terhadap perawatan, obat-
pasal 46 dan 47 Permenkes Nomor 21 Tahun obatan, dan tindakan medis yang dilakukan
2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS di suatu RS asal muasalnya adalah adanya
yang secara berturut-turut berbunyi “perawatan perjanjian kerjasama antar pihak asuransi dan
dan pengobatan bagi orang terinfeksi HIV RS dengan prinsip saling percaya. Kedua belah
yang miskin dan tidak mampu ditanggung oleh pihak harus menjaga kepercayaan pihak lainnya
negara” dan “setiap penyelenggara asuransi melalui mengindahkan perjanjian kerjasama
kesehatan wajib menanggung sebagian atau tersebut dengan sebaik-baiknya. Hal ini harus
seluruh biaya pengobatan dan perawatan dipahami dokter yang berpraktek di RS yang
tertanggung yang terinfeksi HIV sesuai dengan bekerjasama dengan asuransi tersebut. Dokter
besarnya premi.”, hal ini menunjukkan perlu menyadari bahwa dengan ia menutup-
bahwa pada praktiknya belum dilaksanakan nutupi atau menyimpangkan informasi medis
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019 49
Tinjauan Etik Penyampaian Diagnosis HIV/AIDS pada Pihak Ketiga

pada pasien yang merupakan klien asuransi Yang lebih diutamakan menjadi prioritas
dapat berimplikasi berkurangnya saling percaya (prima facie) dalam pengambilan putusan etik
antar RS dengan asuransi. Terlebih jika asuransi medis adalah kaidah keadilan (justice) yang
selama ini juga memelihara kepercayaan RS memperhatikan aspek keamanan dan kesehatan
terhadap dirinya dengan tidak melakukan pasangannya dengan dilakukan pemeriksaan
wanprestasi dari akad kerjasama yang dibuat. HIV sekaligus kepentingan kesehatan
Maka ekspresi sikap altruisme dokter membantu masyarakat dalam upaya memutus rantai
pasien dengan cara menyimpangkan informasi penularan. Namun dalam penyampaian kepada
bukan merupakan langkah yang tepat. Di keluarga terutama pasangan yang sangat rentan
satu sisi, sikap veritas seorang dokter selalu tertular, informasi yang disajikan harus lengkap.
disinggung di berbagai peraturan, sumpah, Termasuk bahwa penularan sangat dapat
serta tak terpungkiri dasar bioetik itu sendiri.6-9 dicegah, dan dengan viral load yang rendah akan
Namun situasi ini bukan berarti membuat sangat meminimalkan penularan.3-5 Diharapkan
kebijakan asuransi tersebut menjadi tidak dapat bahwa dengan disampaikannya informasi
dikritik. Sebagaimana disampaikan di awal, viral load yang rendah akan meminimalkan
bahwa kebijakan asuransi seperti ini dapat penularan, pasangan justru akan menjadi
bertentangan dengan hak asasi manusia, etika penyemangat pasien untuk disiplin dan patuh
kedokteran serta etika kesehatan masyarakat. berobat demi kesehatan diri, pasangan, dan
Upaya memperjuangkan hak-hak perawatan keluarganya.
dan pengobatan bagi ODHA, termasuk
dalam konteks ini memiliki nilai etis yang KESIMPULAN
sangat mulia, selaras dengan tujuan dibuatnya
Permenkes Nomor 21 Tahun 2013.19 Desain Informasi medis terkait HIV/AIDS dapat
perjuangan advokasi hak-hak tersebut perlu diberikan kepada pihak ketiga sesuai yang
dilakukan secara sistematis dan terstruktur, diperbolehkan UU seperti atas kemauan pasien
melibatkan seluruh pihak termasuk berbagai sendiri, demi kebaikan kesehatan pasien,
organisasi profesi, perhimpunan RS, asuransi, serta perintah pengadilan (proses hukum).
pemerintah, dan sebagainya. Informasi medis juga dapat diberikan kepada
pihak ketiga pada situasi-situasi dilema etis
Dapatkah informasi medis tidak diberikan dengan argumentasi nilai etis untuk membuka
kepada pasangan dan keluarga ODHA dalam informasi lebih tinggi dibandingkan nilai
situasi ODHA tidak menginginkan seorang etis menghargai otonomi pasien. Hal ini juga
pun tahu? mencakup kepentingan pendanaan asuransi.
Mengingat rantai penularan HIV/ Terkait perlindungan diskriminasi ODHA
AIDS salah satunya adalah dengan hubungan pada tempat kerja pun telah diatur dalam
seksual dan dalam proporsi jauh lebih kecil undang-undang, walaupun masih terdapat
dari cairan tubuh lainnya, maka penolakan kemungkinan pengetahuan perusahaan yang
ODHA mengenai pasangan serta keluarga/ minim mengenai penyakit HIV/AIDS itu
kerabat yang tinggal sehari-hari tahu sebagai sendiri dapat mengancam tindak perlindungan
kaidah autonomy akan berhadapan dengan diskriminasi tersebut. Edukasi yang luas
kaidah justice (keadilan) yang sangat perlu kepada pihak perusahaan dan aspek otonomi
mengindahkan potensi pasangan dapat tertular. karyawan terhadap pemeriksaan HIV/
Dilema etis yang sama kira-kira juga terjadi AIDS perlu dipertimbangkan. Pada sisi lain,
pada konteks bahwa informasi HIV/AIDS ini meskipun otonomi pasien tidak menginginkan
perlu diketahui calon pasangan, pada hasil yang informasi medis ini diberikan kepada siapapun
didapatkan dari pemeriksaan penapisan HIV termasuk pasangan, kaidah etis keadilan untuk
yang beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia menyelamatkan pasangan dari potensi penularan
telah menerapkannya. sekaligus konsep kesehatan masyarakat dalam
upaya memutus rantai penularan perlu lebih
50 Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019
Prawiroharjo P, Endiyarti F, Djoerban Z, Sjamsuhidajat R, Wasisto B, Santosa F, et al.

diutamakan. Informasi medis yang disampaikan 10. Kementerian Kesehatan Republik


baik kepada pasangan haruslah lengkap, Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
sehingga pasangan justru diharapkan dapat Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam
membantu memutus rantai penularan melalui Medis. 2008
pencegahan penularan serta memotivasi pasien
11. Undang-Undang Republik Indonesia
disiplin berobat untuk mencapai viral load yang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang
rendah.
Perasuransian. 2014.

KONFLIK KEPENTINGAN 12. Komaini AG, Sarwo BY, Suhandi IG. Aspek
hukum pemberian rekam medis guna klaim
Tidak ada konflik kepentingan. pembayaran jaminan pelayanan kesehatan
peserta multiguna bagi rumah sakit di Kota
REFERENSI Tangerang. Soepra. 2018;3(2):150-61.
13. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab
1. HIV Transmission [Internet]. CDC. 2019
XVI Bagian 3 tentang Kewajiban-kewajiban
[cited 23 December 2019]. Available
Pemberi Kuasa.
from: https://www.cdc.gov/hiv/basics/
transmission.html 14. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab
XVI Bagian 4 tentang Bermacam-macam
2. Shaw GM, Hunter E. HIV transmission.
Cara Berakhirnya Pemberian Kuasa.
Cold Spring Harb Perspect Med. 2012;
2(11): a006965. doi: 10.1101/cshperspect. 15. Keputusan Rapat Anggota Tahunan
a006965 Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia Nomor
02/AAJI/2012 tentang Standar Praktek dan
3. HIV Treatment as Prevention [Internet].
Kode Etik Perusahaan Asuransi Jiwa. 2012.
CDC. 2019 [cited 23 December 2019].
Available from: https://www.cdc.gov/hiv/ 16. Peraturan Direksi Badan Penyelenggara
risk/art/index.html Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 84 Tahun
2018 tentang Pedoman Kode Etik Badan
4. Cohen MS. Successful treatment of HIV
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
eliminates sexual transmission. The Lancet.
2018.
2019; 393(10189): 2366-7. https://doi.
org/10.1016/S0140-6736(19)30701-9 17. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia. Keputusan Menteri
5. Lundgren J, Phillips A. Prevention of HIV
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
transmission by antiretroviral therapy. The
Indonesia Nomor 68 Tahun 2004 tentang
Lancet. 2018; 5(3): E108-9. https://doi.
pencegahan dan penanggulangan HIV/
org/10.1016/S2352-3018(17)30204-7
AIDS di tempat kerja. 2004.
6. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
18. HIV and AIDS and the workplace [Internet].
Pasal 1: Sumpah dokter. Dalam: Kode etik
CDC. 2019 [cited 23 December 2019].
kedokteran Indonesia. Jakarta; 2012. p. 7.
Available from: https://www.cdc.gov/hiv/
7. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. pdf/workplace/cdc-hiv-and-aids-and-the-
Kode etik kedokteran Indonesia. Kode Etik workplace.pdf
Kedokteran Indonesia. Jakarta; 2012.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
8. Undang-Undang Republik Indonesia Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV
Kedokteran. 2004. dan AIDS. 2013.
9. Beauchamp and Childress. Principles of 20. Henky. Pelayanan Etika Klinis. JEKI.
biomedical ethics. 4th Ed. Oxford:1994. 2018;2(2):59–66. doi: 10.26880/jeki.v2i2.17
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019 51
Tinjauan Etik Penyampaian Diagnosis HIV/AIDS pada Pihak Ketiga

21. Komesaroff PA. From bioethics to


microethics: The need to return ethical
debate to the clinic. Dalam: Komesaroff
PA, editor. Experiments in love and death:
Medicine, postmodernism, microethics
and the body Carlton, Vic.: Melbourne
University Press; 2008. p. 20-46.
22. McClimans L, Slowther A-M, Parker M.
Can UK Clinical ethics committees improve
quality of care? HEC Forum. 2012;24(2):139-
47. https://doi.org/10.1007/s10730-012-
9175-z

52 Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3 No. 2 Des 2019

Anda mungkin juga menyukai