Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPEMIMPINAN DAN BERFIKIR SISTEM KESEHATAN

TENTANG SYSTEM HUKUM DAN POLITIK UNTUK MELAKUKAN


PERUBAHAN (POWER,POLITICS DAN LEADERSHIP)

DISUSUN OLEH :
Dirga Adiguna (18011133)
Hendriawan (18011120)
Putri Delima Romiana Silaban (18011148)
Prasika Nilasari (18011138)
Rudi Miftah (18011152)
Zulhaadi(18011126)

KELOMPOK 4 SEMESTER 4

DOSEN:
H. Ahmad Hanafi, SKM, M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH


PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa
pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah Kepemimpinan dan
Berpikir Sistem Kesehatan  yang telah memberikan tugas ini kepada kami sebagai
upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.

Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu, kami
mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga
dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Pekanbaru, 14 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II. PEMBAHASAN
A. Hubungan Hukum Dan Politik Secara Umum
B. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional
C. Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum

D. Hukum sebagai produk politik
E. Determinasi Politik atas Hukum
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran dan Keritik

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai kerangka dasar pemikiran, sebaiknya terlebih dahulu perlu di
kemukakan batasan rumusan politik. Pembahasan ini juga sangat penting guna
memperkuat khasanah pemahaman dan pemikiran menyangkut batasan pengertian
politik sehingga dapat memberikan masukan dalam mencermati terminologi politik
dalam konteks yang tidak semata bersifat kotor, licik, tipu daya dan kebohongan.
Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum
dan politik.Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi
dasar.Dapat dikatakan bahwa struktur hukum dapat berkembang dalam segala
konfigurasi politik.Kerapkali hukum itu tidak ditegakkan seperti sebagaimana
mestinya karena adanya intervensi politik.
Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya hukum-hukum
yang memiliki karakter tersendiri.Sistem hukum tercermin dari politik yang
berkembang.Tentu saja hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik.Bahwa pada
kenyataannya keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi suatu produk hukum.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan
karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya.
Idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan
untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung
perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang
berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Disini kita akan
membahas mengenai hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Sejauh mana
hubungan antara hukum dan politik tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan Hukum dan Politik secara umum ?
2.      Bagaimana Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional?
3.      Bagaimana Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum?
4.      Bagaimana Hukum sebagai produk politik?
5.      Bagaimana Determinasi Politik atas Hukum?
6.      Bagaimana Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hubungan Hukum dan Politik secara umum
2.      Untuk mengetahui Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional
3.      Untuk mengetahui Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum
4.      Untuk mengetahui Hukum sebagai produk politik
5.      Untuk mengetahui Determinasi Politik atas Hukum
6.      Untuk mengetahui Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Hukum Dan Politik Secara Umum

Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita
maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita
berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat
oleh kekuasaan politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan
hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan.Namun jika kita menganut
pandangan positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik
maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik
tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem
pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945
diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok
negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada
negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum
merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik,
dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel
terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel
berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik
yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa
kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang
imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
dan bersaingan.Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang
sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan
aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi
undang-undang.[1]
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik
menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu
dalam wujud sanksi hukum.Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya
terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum.Hukum ditegakkan oleh
kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi,
penuntut umum dan pengadilan.Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-
politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya.Dalam hal ini, tentu
saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum.

B. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional.

Dalam paradigma baru,  hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri,
melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk
mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu, tidaklah
heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik. Hukum  yang demikian ini akan lebih
mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di
masyarakat. Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog
untuk memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.
Moh. Mahfud dalam disertasinya yang berjudul ”Perkembangan Politik Studi tentang
Pengaruh Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, menunjukkan bahwa ada pengaruh
cukup signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia. Karena itu,
kata Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan.[2]
Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan
tidak dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU
No.12 Tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Pembuatan
peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai
yang urgen bagi perkembangan sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan adalah Peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu
merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada
keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi dan sosial, dan
seterusnya.[3]
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan
dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan
dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur
kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan
terbentuknya suatu produk hukum. Dengan demikian, maka adanya suatu ruang yang absah
bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu
produk hukum.
Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. [4] Dalam proses pembentukan peraturan
hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu
adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk
hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan
untuk itu.karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan
politik.
Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-
undangan, yaitu: landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan sosiologis.[5]
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum
yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik.Kekuatan tersebut berbagai kelompok
kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum
sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan,
kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya
masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat
yaitu yang diatur dalam Pasal 53: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan
Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi
pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas.Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan
ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era
reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya
sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas.

C. Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum

Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter, namun
adanya intervensi poiltik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat.Sementara Todung menjelaskan, Indepedensi peradilan itu hanya mitos
yang tidak pernah ada dalam kenyataan.Todung mencontohkan, dalam pemilihan hakim
agung.Calon hakim yang diseleksi Komisi Yudisial pada akhirnya diserahkan ke Dewan
Perwakilan Rakyat."Di sinilah transaksi politik terjadi.orang-orang yang dikirimkan ke
Mahkamah Agung merupakan hasil kompromi politik. Memang ada hakim karir, tapi bahkan
mereka pun tidak bebas dari transaksi politik. Menurut Todung, indepedensi peradilan ini
akhirnya akan bermuara pada lembaga-lembaga peradilan. Kata dia, lembaga-lembaga
tersebut perlu ditata ulang lagi.Selain lembaga peradilan, reposisi terhadap Dewan
Perwakilan Rakyat juga harus dilakukan.[6]
Produk hukum yang dihasilkan masih lebih mementingkan kepentingan dan
kompromi politik dibandingkan rakyat.Hal ini dapat terlihat banyak produk hukum yang
dihasilkan di DPR justru kemudian diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu,
menurut Wahyudi Jafar dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses
pembentukan UU memang tidak dapat dilepaskan dari adanya transaksi poltik. Namun yang
terpenting juga adalah bagaimana agar proses pelaksaan penegakan hukum oleh lembaga
peradilan menjadi mandiri.[7]
Adanya diskriminasi penegakan hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus
korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD dan Kepala Daerah kental
dengan nuansa diskriminasi. Namun diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan
masyarakat, yakni ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan
dengan kejahatan lainnya.Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah
dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan diskriminatif.Tidak
memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga diskriminatif.
Akan tetapi, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota
DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan
agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik
demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum,
dengan berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota
DPR RI.Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak
aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya,
meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.
Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi pengaruh
pada mekanisme penegakan hukum, yaitu  pertama, faktor hukum (subtance) atau peraturan
perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang
terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah
mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan
hukum. Keempat,  faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor
kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.[8]
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh
dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang
agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto
Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan
hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif.  Kedua, unsur
penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga,  unsur lingkungan yang meliputi
pribadi warga negara dan sosial.[9]
Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana
disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga unsur sebagaimana
disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto
Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebagai undang-
undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil
kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai
sarana untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-
kepentingan yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut
meliputi kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa
dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik
yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu
tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik
hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu
berada pada posisi yang lemah[10]. Kondisi demikian mengeksplisitkan bahwa perjalanan
politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perjalanan kereta api di luar relnya, artinya banyak
sekali praktik politik yang secara substantif bertentangan aturan-aturan hukum.
Statemen-statemen di atas memberikan penegasan, bahwa di dalam realitas
empirisnya  politik sangat menentukan bekerjanya hukum, mulai  sejak proses pembentukan
sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Moh Mahfud, pengaruh politik akan
berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses pembuatannya. Hubungan
kausalitas antara hukum dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik tampak dengan
jelas bahwa sistem politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang
berkarakter responsif atau populistik sedangkan sistem politik yang otoriter senantiasa
melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau koservatif.

D. Hukum sebagai produk politik

Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan sebagai suatu sifat
atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut, dan umum.Dalam berbagai studi
hukum dikemukakan bahwasanya hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum
tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akn kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku
terhadap suatu peristiwa konkret.Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni
mengatur hal-hal yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret.Selain itu juga ada yang
mengidentifikasikan hukum bersifat imperatif dan fakultatif.Dengan sifat imperatif yaitu
peraturan hukum bersifat apriori harus ditaati, mengikat, dan memaksa.Sedangkan hukum
bersifat fakultatif yaitu peraturan hukum tidak secara apriori mengikat, melainkan sekedar
melengkapi, subsidair, dan dispositif.[11]
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik
dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima
norma, sistem keyakinan dan nilai-nilai generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui
berbagai tahap dan dilakukan oleh berbagai macam agent. [12]Dalam berpolitik kita juga
dihadapkan dengan hukum. Hukum merupakan refleksi dari budaya hukum pada suatu
tatanan masyarakat.
Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk hukum akan sangat
ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Setiap
produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai
kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi.[13]
Jika melihat fenomena yang telah terjadi, hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai
penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau penjamin keadilan.Banyak sekali
peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong keseweang-wenangan, tidak mampu
menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus
diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang harusnya bisa dijawab oleh hukum.Banyak
produk hukum yang lebih diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan dominan.[14]
Ternyata hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya.Politik
kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul
pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih
suprematif.Disini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat
imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang
sebagai subsistem yang dalam kenyataan das sein bukan tidak mungkin sangat di tentukan
oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya, maupun dalam implementasi
penegakkannya.[15]
Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan.Semua pemain politik selalu
membawa kepentingan yang kadang-kadang dan bahkan selalu bertubrukan atau saling
bertentangan.Karena muara kepentingan politik adalah kekuasaan dan pengaruh, maka
konflik kepentingan politik menjadi lebih keras dari konflik lainnya. Karena itulah politik
harus diikat dengan norma-norma hukum dan tata cara yang disepakati bersama diantara para
pemain politik.
Fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, manusia, bangsa-
bangsa, provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya.Struktur politik adalah pengelompokan
sosial yang berbeda-beda.[16]
Elite politik memainkan sejumlah skenario yang mengarah kepada kepentingan diri,
partai, atau golongannya sendiri. Politics for itself  menjadi sesuatu yang lazim dan
mengobsesi pikiran banyak politikus. Politikus yang di parlemen, yang tengah menjalankan
fungsi legislasi, dalam menjalankan tugasnya tidak berorientasi kepada upaya memecahkan
problema konstitusional, melainkan didasarkan pada upaya menutup kepentingan dan
kelemahan pribadi masing-masing elite politik.[17]
Melihat logika berpikir para politikus, maka nyata benar bahwa aroma politics for
itself sangat kental.Praktik politik demikian tentu tidak dapat terlalu diharapkan untuk bisa
membangun pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap kepentingan bangsa.Akan sulit
membangun sebuah pemerintahan yang memiliki state capacity yang jelas dalam
menyelesaikan krisis, karena elite politik yang tengah memegang kekuasaan itu sendiri
ternyata menjadi sumber dan biang krisis.[18]
Politik memiliki unsur dominan dan mengintimidasi hukum.Para pembuat hukum
adalah orang-orang politik yang memegang kekuasaan dan berwenang untuk menentukan
hukum.Maka hukum yang ada adalah cerminan dari politik.Hukum berkembang sesuai
dengan perkembangan politik.Sudah dibenarkan bahwa hukum merupakan produk politik.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan
karateristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe None dan Philip Selznick
pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat mempengaruhi
pola penegakan hukumnya.[19] Maka masyarakat harus menunjukan dan membuktikan bahwa
dirinya mampu menguasai keadaan.
Hukum yang di lahirkan dari politik sudah seharusnya dapat memberikan
perlindungan bagi warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga semua orang sama
kedudukan di muka hukum itu dapat berjalan dengan baik dan sempurna. Namun karena yang
berpolitik itu adalah manusia yang memiliki nafsu akan kekuasaan maka hukum di bentuk
dan di buat atas dasar kepentingan kelompok atau golongan mereka dalam rangka
melanggengkan kekuasaan atau melindungi diri mereka. Realita ini tidak dapat di pungkiri,
bahwa siapapun yang berkuasa maka mereka akan membentuk peraturan perundang-
undangan itu atas dasar sikap egoistik pada perlindungan kelompoknya sendiri dengan
mengabaikan kepentingan rakyat pemilik kedaulatan negara.
Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu kekuatan politik yang
mengatur hukum yang direkomendasikan oleh pemangku jabatan sehingga produk-produk
hukum yang berlaku bukan menjadi suatu proyek dasar yang berdasarkan penghayatan
pengamalan pancasila, hingga tak jarang  mendengar kebijakan yang tak berpihak kepada
masyarakat dalam budaya dan etika moral kekuasaan yang diamanatkan kepada seorang
presiden dan di koordinasikan ke DPR sebagai pemangku amanat rakyat. Peradaban yang
menjunjung tinggi atas keadilan sosial bagi masyarakat yang mengartikan bahwa masyarakat
memiliki kebijakan secara sosial dan politik akan menciptakan sistem hukum yang tetap
menjunjung norma-norma produk hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan moralitas
peradaban tersebut.
Politik sebagai subsistem kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi produk hukum
sehingga muncul paham baku bahwa “hukum adalah produk politik”.[20]

E. Determinasi Politik atas Hukum

Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk politik, sehingga


hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik.Eksistensi hukum dan kinerja
hukum sangat dipengaruhi dengan konfigurasi politik yang sedang terjadi pada periode
tertentu.
Sepanjang perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah terjadi tolak dan tarik
atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan politik yang otoriter.
Penetapan demokrasi dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-indikator
tertentu sebab kedua istilah tersebut ambigu. Indikator-indikator yang dipergunakan adalah
peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberpa
hal yang juga tampak dari hasil studi tersebut adalah:[21]
7.      Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD.
UUD yang sama pada periode ynag berbeda (seperti UUD 1945) dapat melahirkan
konfigurasi politik demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan konfigurasi
politik yang otoriter (periode 1959-1966 dan 1969/1971-sekarang); Dengan demikian,
demokratis atau tidaknya suatu sistem politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya
tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain-pemain politiknya.
8.      Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan,
ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu,
yakni “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang
berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum
yang berkarakter konservatif.
Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi
pada perubahan karakter produk hukum.Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagan berikut
ini.[22]

Variabel Bebas Variabel Terpengaruh


Konfigurasi Karakter Produk
Politik Hukum
Demokratis Responsif/Populistik
Otoriter Konservatif/
Ortodoks/ Elitis

F. Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum

Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multi disiplin
ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan lain-lain.
Politik dan hukum tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan. Dalam
kaitannya dengan hubungan keduanya, ada beberapa pendapat :
1.      Menurut Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan politik memang
berjalan dalam dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini saling mempengaruhi.
2.      Menurut Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan pasangan. Politik
membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik.
Dari kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik berhubungan
sangat erat dikarenakan:[23]
1.        Hukum merupakan produk politik.
2.        Hukum merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat
mewujudkan kebijakannya.
3.        Jika sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara
subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi
yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.  Politik sangat
menentukan bekerjanya hukum.[24]
Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas
antara politik dan hukum.Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan
bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat,
termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi
kepentingan masyarakatnya akan menjadi relevan. Tetapi kaum realis pada sudut
pandang das sein mengatakan bahwa “hukum selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya”.Ini berarti hukum, mau tidak mau menjadi independent
variabel atas keadilan di luarnya, terutama keadaan politiknya.[25]
Untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang
Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama).Meskipun kedua Undang-
undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat
Islam atau hubungan antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada
dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling
curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang
melakukan akomodasi.[26]
Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi
yang mendasarinya, yaitu:[27]
1.      Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi
arah dan pengendali semua kegiatan politik.
2.      Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik
produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan
menjadi dipendent variable atas politik.
3.      Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi
bahwa, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa
politik akan jadi lumpuh.
Sebaliknya para sarjana hukum melihat negara sebagai lembaga atau institusi dan
menganggapnya sebagai organisasi hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban
manusia.Fungsi negara adalah menyelenggarakan penertiban, tetapi oleh ilmu hukum
penertiban ini dipandang semata-mata sebagai tata hukum.Manusia dilihatnya sebagai obyek
dari sistem hukum, dan dianggap sebagai pemegang hak serta kewajiban politik semata-
mata.Ilmu hukum tidak melihat manusia sebagai makhluk sosial-budaya.
Akibatnya adalah bahwa ada kecenderungan pada ilmu hukum untuk “meremehkan”
kekuatan-kekuatan social dan budaya.Namun, dari aspek-aspek daya yang “memaksa” inilah
ilmu politik memandang perlu untuk mengungkap dalam kaitannya seperti dengan kesadaran
maupun partisipasi politik.Hal ini sesuai dengan pendapat Hans Kelsen, bahwa negara
sebagai suatu badan hukum atau Rechtsperson (juristicperson).Dalam pengertian tersebut
badan hukum merupakan sekelompok orang yang oleh hukum diperlaskukan sebagai suatu
kesatuan sebagai suatu person yang mempunyai hak dan kewajiban.Setelah mengurai
mengenai hubungan antara politik dan hukum, maka penulis mengambil satu asumsi
determinan, yaitu politik yang determinan terhadap hukum, karena penulis berpendapat
bahwa asumsi inilah yang secara nyata menggambarkan kondisi di Indonesia saat ini.
Di indonesia jika dilihat secara realitanya maka akan cenderung bahwa politik
determinan atas hukum. Seperti yang telah diasumsikan penulis bahwasanya politiklah yang
berperan aktif dalam mengendalikan hukum.Dimana pada keadaan politik tertentu hukum
yang dihasilkan juga berjalan sesuai keadaan politik tersebut.
Maka hukum di pandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh),
sedangkan politik diletakkan sebagai independent variabel (variabel berpengaruh).Peletakan
hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum
itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannnya hukum dalam artian
sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.Sidang parlemen bersama
pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya
merupakan adegan kontesasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat
terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi UU.UU yang lahir dari kontesasi
tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan politik.[28]
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum kemudian lahir
sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama,
pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar
dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum
adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi
politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.[29]
Hukum menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan
dan pelaksanaan hukum. Suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat
signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya.[30]
Studi teoritis tentang politik dan produk hukum dilakukan secara lebih mendalam
akan terbukti bahwa “aksioma” tersebut berlaku pada produk hukum publik yang berkaitan
dengan hubungan kekuasaan. Hubungan kausalitas yang yang perangkat teorinya
menggunakan dikotomi tentang sistem politik demokratis dan otoriter serta dikotomi antara
hukum responsif dan ortodoks/konservatif.
Harus dipisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan way of
life masyarakat. Oleh karena demokrasi adalah sistem tang memberi kebebasan dan
partisipasi masyarakat, apa yang tampil di publik sangat tergantung dari kecenderungan
populasi. Demokrasi adalah cara yang efektif untuk mengontrol operasi kekuasaan agar tidak
menghasilkan penyalahgunaan wewenang. Hal yang lazim jika pembela demokrasi adalah
lapisan masyarakat yang terdidik, sedangkan penentangnya adalah mereka yang sedang
mengendalikan pemerintahan.[31]
Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa
negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan
kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda
dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah
kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan
kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan
pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran
berdasarkan keputusan politik.
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan
dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang
diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum.
Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak-tarik dengan senantiasa
mengikuti konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, jika masyarakat
mendambakan lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif,[32] yaitu produk hukum
yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Maka yang lebih dulu
diupayakan adalah menata kehidupan politiknya agar menjadi demokratis.Sebab
bagaimanapun juga hukum terus mengikuti arus politik.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik, hukum membentuk suatu peraturan yang
berguna bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan.Tetapi hukum di buat oleh lembaga
politik yaitu legislatif.Hal ini membuat hasil yang dibuat oleh DPR adalah produk politik
bukan produk hukum.
Relasi hukum dan politik dapat dibagi menjadi tiga model hubungan.Pertama
sebagai das sollen, hukum determinan atas politik kerena setiap agenda politik harus tunduk
pada aturan-aturan hukum. Kedua, sebagai das sein, politik determinan atas hukum karena
dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum yang ada di depan kita tak
lebih dari kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing. Ketiga, politik
dan hukum berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim
sedangkan hukum tanpa pengawalan akan lumpuh.
B.       Saran
Negara sebagai lembaga yang akan mewujudkan harapan masyarakat kepada
kehidupan yang tertib, adil dan sejahtera. Melalui pemerintahnya harus mampu
menyelenggarakan roda kenegaraan berdasarkan hukum sebagai aturan main dalam
mengeluarkan berbagai kebijakan.Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut,
maka pemerintah dalam suatu negara senantiasa menciptakan stabilitas politik, sehingga
keputusan-keputusan hukum dapat dilaksanakan secara konsisten dalam upaya menuju
kepada kepastian hukum, demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Affan Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka


Pelajar, 2006.
Bagir Manan. Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 1990.
Daniel Dhakidae, Sosiologi Politik, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Daniel S. Lev. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta:
LP3S, 1990.
Denny J.A, Demokrasi Indonesia : Visi dan Praktek, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2006.
http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12, Diakses tanggal 16 maret 2016
http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12/, Diakses tanggal 16 maret 2016
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/hubungan-kausalitas-antara-politik-dan-
hukum-di-indonesia. Diakses tanggal 16 maret 2016
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/02/26/33863-penegakan-
hukum-masih-diintervensi-politik Selasa, 13 Maret 2016.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jalarta : PT Grafindo
Persada, 2007.
Miriam Budiardjo.  Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009.
                             . Perkembangan Politik: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 1993.
Satjipto  Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum. Jakarta: Sinar Baru, 1983.
                             . Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam
Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985.
Soerjono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
Rajawali, 1983.
Zainuddin Maliki, Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite
Politik,  Yogyakarta : Galang Press, 2004.

[1]Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm


10.
[2]Moh. Mahfud MD. Perkembangan Politik: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 1993), hlm. 26.
[3]Daniel S. Lev. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
(Jakarta: LP3S, 1990), hlm. 11
[4]Miriam Budiardjo.  Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hlm. 182
[5]Bagir Manan. Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia.(Jakarta: Kencana,
1990), hlm. 14
[6]http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/02/26/33863-
penegakan-hukum-masih-diintervensi-politik Selasa, 13 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai