Anda di halaman 1dari 3

Perempuan dan Enviropreneur: Peluang Besar Berbisnis dan Menjaga Semesta

Oleh: Eka Imbia Agus Diartika


Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang, Ketua Bidang Literasi
Program Donasi Sampah untuk Literasi

Dalam sebuah diskusi yang saya ikuti, Ranitya Nurlita, seorang aktivis lingkungan, menyampaikan
bahwa bekerja di bidang lingkungan hidup bisa menghadirkan keseimbangan antara manusia dan
alam. Oleh karenanya, ia sangat bersemangat dalam mempromosikan usahanya menjaga bumi,
termasuk dalam bisnisnya. Waste Solution Hub ialah salah satu perusahaan bisnis yang tengah ia
kembangkan untuk menjaga bumi dengan menjembatani pengelolaan sampah agar lebih tersistem.

Namun sayangnya, berbisnis dengan mengangkat potensi lingkungan tak begitu banyak digandrungi
orang-orang, terlebih bisnis yang kaitannya dengan sampah. Jamak orang yang anti dengan sampah,
sebab menganggapnya sebagai barang tak berharga dan menjijikkan.

Masalah ini diungkapkan oleh Freddy Rangkuti, pakar strategi bisnis dan marketing dari MD Frai
Marketing. “Masalah sampah merupakan perihal serius, namun tak banyak yang peduli. Sangat
sedikit orang yang mau menggali potensi bisnis sampah. Jamak masyarakat yang menggantungkan
pengelolaan sampah pada pemerintah”, begitulah ungkapnya.

Padahal, jumlah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) selalu meningkat di setiap tahunnya.
Mari menengok data jumlah sampah di Kota Malang. Tahun 2019, TPA Supit Urang, satu-satunya
TPA di Kota Malang memproduksi sekitar 600 ton sampah setiap harinya (malangkota.go.id, 2018).
Belum lagi Jakarta yang memproduksi sekitar 7700 ton sampah perhari (Kompas, 2019). Bahkan,
Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua sebagai produsen sampah terbanyak di dunia, satu
tingkat di bawah China (binus.ac.id, 2019).

Ironisnya, sejauh ini masih 24% sampah yang belum terkelola (CNN Indonesia, 2018), sehingga,
masih banyak sampah yang menumpuk di TPA yang kian hari kian overload.

Belajar dari Lorna Rutto


Informasi tentang enviropreneur atau bisnis berbasis lingkungan masih belum banyak kita dapatkan
karena masih sedikit orang yang terlibat di dalamnya. Namun setidaknya, kita bisa belajar dari
seorang perempuan dari Kenya, Lorna Rutto.
Lorna Rutto adalah seorang enviropreneur Kenya, yang hendak menjadikan “Afrika Hijau” dan
bebas dari kemiskinan. Saat kecil, ia hanyalah gadis biasa yang besar di daerah kumuh Kaptembwa
di Kenya. Lorna pun melihat fakta kemiskinan, pengangguran, sampah yang membusuk di jalanan,
dan selokan yang tersumbat, meluap, dan merambah ke rumah-rumah penduduk.

Ia pun akhirnya tergerak. Ia mendaur ulang sampah plastik serta membuat perhiasan kreatif dan
ornamen kecil dengan melelehkan plastik, membentuk kembali dan menghiasnya menjadi benda-
benda baru. Ia menjual karya kreatifnya di sekolah. Meski tak banyak uang yang didapatkan, ia
paham betul bahwa langkahnya akan membawa perubahan baik bagi lingkungan.

Untuk melanjutkan perjuangannya dalam menjaga lingkungan, ia pun mendirikan EcoPost dan
memiliki visi untuk “Mengubah Sampah Afrika menjadi Kekayaan”. EcoPost merupakan sebuah
perusahaan sosial yang berdiri sebagai tanggapan terhadap kebutuhan untuk menemukan solusi
alternatif pengelolaan sampah, utamanya sampah plastik Kenya yang sangat besar.

Lorna sukses menjadi enviroprenur. Ia berhasil menyelamatkan lingkungan dan memberdayakan


masyarakat dalam mengelola sampah plastik menjadi benda berguna, seperti tiang dan furnitur. Ia
berhasil menciptakan lebih dari 300 pekerjaan, menghasilkan pendapatan yang sangat dibutuhkan,
menyelamatkan lebih dari 250 hektar hutan, dan mengambil lebih dari 1 juta kilogram sampah
plastik dari lingkungan. Usahanya telah memenangkan banyak penghargaan, baik di dalam maupun
luar negeri.

Lorna dan bisnis ramah lingkungannya sungguh sangat menginspirasi dan menunjukkan bahwa
sangat mungkin bagi seorang perempuan untuk menciptakan bisnis yang berkelanjutan.

Perempuan serta Perannya dalam Bisnis dan Penyelamatan Semesta


Belajar dari keberhasilan Lorna Rutto dalam membesarkan enviropreneur sampahnya, agaknya hal
ini bisa diambil pelajaran oleh para perempuan.

Perempuan notabenenya memang dekat dengan kerja-kerja yang menghasilkan sampah. Kita bisa
melihat data yang dirilis Tempo (2020) bahwa 60% sampah diproduksi oleh rumah tangga. Terlebih
di masa pandemi Covid-19 ini, meski jumlah total produksi sampah menurun drastis, namun jumlah
sampah rumah tangga justru meningkat. Penyebabnya ialah karena terfokusnya banyak kegiatan di
rumah, sehingga menghasilkan banyak sampah dapur.
Oleh karenanya, masalah ini membutuhkan sikap responsif, utamanya bagi perempuan---meski
tidak menutup kemungkinan bagi laki-laki. Perempuan yang dinilai sangat dekat dengan alam
harusnya melihat kenaikan jumlah sampah ini sebagai potensi bisnis sekaligus tergerak dalam upaya
pengelolaannya.

Perempuan dapat memulai pengelolaan sampahnya dengan cara sederhana. Mengelola sampah
anorganik menjadi hiasan dinding, tas, gantungan kunci, dan dompet rupanya dapat menjadi bisnis
lingkungan yang potensial. Untuk sampah anorganik yang tak bisa diolah mandiri, bisa dipilah dan
disetorkan ke pengepul sampah untuk menghasilkan rupiah. Sementara sampah organik, bisa
dimanfaatkan menjadi pupuk kompos, dengan pembuatan yang sederhana, seperti dengan takakura.
Tak hanya itu, sampah sisa makanan bisa pula dibuat pellet, sebagai pakan ayam maupun pakan
ikan.

Tak hanya terbatas pada kerja di rumah tangga. Perempuan juga bisa bergabung dalam komunitas
dan mendirikan bisnis berbasis sampah. Contohlah bank sampah dan Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) yang menerapkan sistem reduce, reuse, recycle (3R) juga banyak melibatkan para
perempuan dalam praktiknya.

Dari upaya-upaya tersebut, tujuan terbesarnya ialah dapat meminimalisasi jumlah sampah yang
sampai pada landfill. Pengelolaan sampah yang baik akan mengurangi timbunan sampah di landfill,
sehingga jumlah sampah di Indonesia, pun sampah global akan menurun. Jika tekun
mengembangkan, bisnis ini tak hanya mengantongi keuntungan, namun juga untuk penyelamatan
lingkungan dalam skala besar.

Berbisnis dengan memanfaatkan sampah dapat menjadi ladang bisnis baru bagi perempuan.
Anggapan bahwa sampah sebagai barang tak berharga perlu diubah, justru hal ini menjadi potensi
yang sangat besar untuk dikembangkan. Hingga pada akhirnya, visi besar Lorna untuk mengubah
sampah menjadi kekayaan juga bisa dicapai oleh Indonesia.

Apalagi sebagai muslimah, langkah pengelolaan sampah ialah manifestasi dari tauhid ekologis
sebagai khalifah di muka bumi untuk selalu menjaga lingkungan hidup. Jika hal ini diterapkan,
maka hal ini akan menjadi angin segar bagi majunya bisnis berbasis lingkungan hidup untuk
penyelamatan semesta.

Anda mungkin juga menyukai