Faktor Penyeimbang Pemberian Hak Paten Dan Kepentingan Umum
Faktor Penyeimbang Pemberian Hak Paten Dan Kepentingan Umum
DISUSUN OLEH:
Rivaldo Siburian 188400062
Jonggi Sumanro M. 188400128
Elisabeth Paulina S. 188400138
Selvy Kartika 188400234
Jeriko Gultom 188400292
Penulis
1
DAFTAR ISI
BAB HALAMAN
I PENDAHULUAN.................................................................. 3
II PEMBAHASAN.................................................................... 6
III PENUTUP.............................................................................. 11
Kesimpulan............................................................................. 11
Saran........................................................................................ 11
Daftar Pustaka......................................................................... 12
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad 14, hak paten muncul secara jelas di Eropa dimana pada
awalnya diberikan sebagai hak istimewa untuk mendirikan usaha industri baru
dengan menggunakan teknologi yang diimpor. Maka dengan hal tersebut, pemiliki
usaha yang berhubungan dengan industri tersebut diberikan hak dalam jangka
waktu tertentu untuk menggunakan teknologi yang mereka impor dan diberikan
dalam bentuk Surat Paten.1 Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang
sama kepada pengusaha untuk menggunakan teknologi baru. Dengan demikian,
paten yang diberikan pada masa tersebut bukan untuk memberikan perlindungan
kepada penemu melainkan agar merangsang berdirinya industri-industri baru serta
pengalihan teknologi.
Sedangkan di Indonesia sendiri, pemberian hak paten sudah lama
dilakukan sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia. Hingga pada tahun 1945,
ada lebih dari 18.000 paten yang diberikan. Setelah merdeka, tumbuh kesadaran
baru di kalangan pemerintah untuk memperbaharui dan melengkapi keseluruhan
peraturan di bidang HaKI termasuk paten karena semakin meningkatnya investasi
yang dilakukan oleh negara-negara maju di Indonesia. Dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten pada tahun 1989 dan
kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 dan yang pada
akhirnya diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Hal ini
bertujuan untuk menyesuaikan perlindungan hak kekayaan intelektual di
Indonesia dengan standar internasional yang terdapat dalam Perjanjian TRIPs.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pengertian
dari paten ialah : 2
“Paten ialah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor
atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
1
Djumhana dan R Djubaedillah, Hak Kekayaan Intelektual Sejarah, Teori, dan Prakteknya di
Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 121.
2
Lihat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
3
melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada pihak lain untuk melaksanakannya”.
Perjanjian tentang Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual yang Terkait
Perdagangan (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights untuk
selanjutnya disingkat TRIPs) adalah perjanjian yang dicapai melalui Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the
World Trade Organization, yang selanjutnya disingkat dengan WTO).3 Secara
umum Perjanjian dalam TRIPs meliputi ketentuan mengenai jenis hak kekayaan
intelektual, standar minimum perlindungan atau rincian ketentuan mengenai ruang
lingkup perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara peserta, ketentuan
mengenai pelaksanaan kewajiban perlindungan hak kekayaan intelektual,
ketentuan mengenai kelembagaan, dan ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa. Dalam standar perlindungan minimum, Perjanjian tersebut menetapkan
norma-norma dan standar substantif minimum terhadap hak kekayaan intelektual
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-
konvensi yang sudah ada yang berada di bawah naungan World Intellectual
Property Organization (selanjutnya disingkat WIPO).4
Dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan dan
penggunaan hak eksklusif oleh pemilik hak kekayaan intelektual, termasuk
pemilik paten, telah menimbulkan persoalan-persoalan keadilan ekonomi dan
konflik kepentingan, yang dapat menimbulkan permasalahan dan pada akhirnya
dapat mengancam kehidupan manusia. Kerangka hukum yang ada tampaknya
kurang menjamin pemanfaatan dan penggunaan hak ekslusif yang adil dalam
upaya untuk melindungi kepentingan umum. Persetujuan mengenai aspek-aspek
hak kekayaan intelektual yang terkait Perdagangan atau TRIPs (Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights), sebagai kerangka hukum pengaturan hak
kekayaan intelektual secara internasional, kurang menjamin keseimbangan
kepentingan perlindungan hak eksklusif pemilik hak kekayaan intelektual dan
kepentingan umum, sehingga dalam praktiknya banyak menimbulkan masalah.
Sifat eksklusif hak kekayaan intelektual sering kali melanggar kepentingan
umum yang seharusnya menjadi dasar dalam pemberian hak eksklusif tersebut.
3
Ismayana, Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Hak Cipta Di Indonesia,Cirebon, hlm.1.
4
Ibid. hlm.2.
4
Hal ini disebabkan adanya eksploitasi secara berlebihan terhadap hak tersebut
sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial. Selain memberikan perlindungan
terhadap kepentingan privat, TRIPs juga memberikan perlindungan terhadap
kepentingan umum. Namun, sayangnya hal ini tidak diatur secara jelas dalam
TRIPs melainkan diberikan wewenang kepada masing-masing negara anggota
WTO untuk mengaturnya dalam hukum negaranya. Hal inilah yang pada akhirnya
menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda di tiap negara untuk
mendefenisikan kepentingan umum tersebut secara tepat dan menentukan kriteria
kepentingan umum yang tepat dalam pemberian hak paten. Oleh karena itu, perlu
adanya kriteria kepentingan umum yang baku yang menjadi acuan dalam
mempertimbangkan pemberian hak paten berdasarkan yang berlaku.
5
BAB II
PEMBAHASAN
5
Winner Sitorus, Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Paten, Jurnal Yuridika
Vol.21 No. 1, 2014, hlm.42.
6
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm.296.
6
Undang Dasar 1945 dan sekaligus menjadi cita-cita negara, yakni negara yang
berdasarakan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan kemanusiaan
yang adil dan beradab, kedaulatan negara yang didasarkan kepada
permsyawaratan perwakilan, negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, dan negara melindungi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan
persatuan.7 Dengan demikian, maka dapat dinyatakan bahwa perlindungan
atas hak-hak individu termasuk hak kekayaan intelektualnya, melahirkan hak
dan kewajiban dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlindungan hak
individu tersebut tidak boleh mengabaikan kepentingan umum.
Selain itu, perlindungan hak kekayaan intelektual harus memberikan
jaminan keadilan dalam mendistribusikan dan memanfaatkan produk-produk
yang berasal dai hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual
memberikan jaminan kepada setiap individu untuk memperoleh haknya,
namun harus tetap memperhatikan kepentingan umum. Oleh karena itu, perlu
adanya keterlibatan pemerintah secara langsung mengatur tatanan masyarakat
yang lebih setara.
7
Lihat Pembukaan UUD 1945.
8
Boedi Harsono, Op.cit. 51.
7
Kedua, adanya ketentuan yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan
bagi tiap pihak yang memanfaatkan invensi untuk pendidikan dan penelitian. 9
Hal ini secara tidak langsung mencerminkan adanya pengakuan terhadap hak
asasi manusia dalam hal akses terhadap informasi dari sisi pengguna paten,
dan perlindungan hak milik (paten) dari sisi pemegang paten. Pengaturan
pembatasan dengan alasan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan percobaan
ini adalah sejalan dengan ketentuan Article 30 TRIPs. Dengan demikian
ketentuan ini secara tidak langsung mencerminkan kriteria kepentingan umum
dalam hal peruntukan hak kekayaan intelektual bagi masyarakat. Selanjutnya,
ketentuan mengenai pengumuman dimana permohonan paten diumumkan
dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala oleh Direktorat
Jenderal dan/atau menempatkannya pada sarana khusus yang disediakan oleh
Direktorat Jenderal yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh
masyarakat.
Adanya pengumuman yang dapat dilihat oleh masyarakat umum akan
memudahkan dalam mengajukan secara tertulis pandangan dan/atau
keberatannya atas permohonan yang bersangkutan dengan mencantumkan
alasannya. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan ini memberi perlindungan
terhadap kepentingan umum dalam hal mencegah pengakuan invensi yang
telah dimiliki oleh orang lain atau orang yang tidak memiliki wewenang.
Keempat, adanya ketentuan yang mengatur isi dari perjanjian lisensi yang
mensyaratkan bahwa tidak boleh memuat ketentuan yang dapat merugikan
perekonomian negara atau menghambat pengembangan teknologi. Hal ini
dimaksudkan agar mencegah kecurangan atau persaingan usaha yang tidak
sehat. Ketentuan ini merupakan wujud kepentingan umum karena mencegah
adanya penyalahgunaan oleh pemilik hak eksklusif terhadap hak kekayaan
intelektual.
Kelima, adanya ketentuan yang mengatur tentang lisensi wajib dalam
melaksanakan paten yang menentukan bahwa jika dalam jangka waktu dua
tahun setelah lisensi wajib diberikan, keberadaan lisensi wajib tersebut
ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya pelaksanaan paten dalam
9
Boedi Harsono, Loc.Cit.
8
bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat, paten tersebut
dimintakan pembatalan melalui gugatan. Ketentuan-ketentuan tentang lisensi
wajib tersebut mencerminkan kepentingan umum dalam perlindungan paten.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan untuk pemberian lisensi wajib tersebut
tercermin kriteria kepentingan umum dalam hal peruntukan hak kekayaan
intelektual bagi masyarakat, negara, dan tidak bertentangan dengan persaingan
usaha yang sehat, remunerasi yang layak, dan intervensi negara.
Keenam, adanya ketentuan yang menentukan bahwa pemerintah dapat
melaksanakan sendiri suatu paten apabila pemerintah berpendapat bahwa
suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan
negara dan terdapat kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan
masyarakat. Kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional
mencakup, antara lain bidang kesehatan seperti obat-obatan yang masih
dilindungi paten di Indonesia yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit
yang berjangkit secara luas (endemi). Demikian juga dalam bidang pertanian,
misalnya pestisida yang sangat dibutuhkan untuk menanggulangi gagalnya
hasil panen secara nasional yang disebabkan oleh hama. Sebagaimana
diketahui, salah satu fungsi suatu paten adalah untuk menjamin kelangsungan
hidup perekonomian negara serta mengupayakan makin meningkatnya
kesejahteraan masyarakat di negara yang bersangkutan. Ketentuan ini
menunjukkan kepentingan umum dalam hal pengakuan terhadap hak asasi
manusia atas kesehatan dan makanan dari sisi orang-orang yang membutuhkan
obat dan makanan dan pengakuan terhadap hak milik (paten) dari sisi
pemegang paten.
Ketujuh, adanya ketentuan mengenai alasan pengecualian terhadap
tuntutan pidana terhadap pelanggaran paten. Pertama adalah terkait dengan
impor paralel produk farmasi (obat-obatan). Kedua adalah memproduksi
produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sebelum berakhirnya perlindungan paten dengan tujuan untuk
proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan paten
tersebut berakhir. Tujuannya adalah untuk menjamin adanya harga yang wajar
dan memenuhi rasa keadilan dari produk farmasi yang sangat dibutuhkan bagi
9
kesehatan manusia. Tujuan pengecualian ini adalah untuk menjamin
tersedianya produk farmasi oleh pihak lain setelah berakhirnya masa
perlindungan paten. Dengan demikian, harga produk farmasi yang wajar dapat
diupayakan.
Kedelapan, ketentuan mengenai persyaratan substantif perlindungan paten
(patentable subject matter) yang menentukan bahwa paten diberikan untuk
Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapatditerapkan
dalam industri. Ketentuan ini mencerminkan kepentingan umum dalam hal
domain publik. Hanya invensi yang dapat menambah dan bukan mengurangi
domain publik yang patut dilindungi, sehingga dapat meningkatkan
pembangunan di bidang sosial ekonomi dan teknologi. Ketentuan ini secara
tidak langsung mencerminkan kriteria kepentingan umum dalam hak kekayaan
intelektual.10
Terakhir, adanya ketentuan mengenai jangka waktu perlindungan paten
menentukan bahwa paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh)
tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat
diperpanjang. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Article 32 TRIPs.
Setelah berakhirnya masa perlindungan paten ini, maka teknologi yang ada
menjadi milik publik (public domain). Dengan berakhirnya perlindungan
paten, maka bertambah invensi dan teknologi yang menjadi domain publik.
Secara tidak langsung ketentuan ini mencerminkan kriteria kepentingan umum
dalam hal peruntukan hak kekayaan intelektual bagi masyarakat dan negara.
BAB III
10
M. Hawin,Intellectual Property on Parallel Importation, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2010, hlm. 272.
10
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
11
Apeldoorn, (2001) Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita.
12