Anda di halaman 1dari 25

PROFESSIONALISME GURU: ANTARA MOTIVASI, PERSIAPAN, DAN

KONDISI MENJADI SEORANG GURU DI NEGARA INDONESIA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah Kajian Pedagogik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa’I, M.Pd.

oleh

Firdamdam Sasmita
NIM 1906671

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh, segala puji bagi Allah,


pengatur dan pemilik langit dan bumi, saya ucapkan terima kasih kepada-Nya atas
segala pertolongan yang diberikan dalam proses penyusunan makalah ini untuk
memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah Kajian Pedagogik dengan dosen
pengampu Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa’I, M.Pd. Tidak lupa juga, shalawat
serta salam saya selalu curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat-sahabat, serta para pelanjut – pelanjutnya di setiap umat yang
sudah berjuang untuk menanamkan ilmu secara turun – temurun kepada generasi
selanjutnya, yang sehingga pada akhirnya ilmu tersebut sampai kepada saya dan
dapat digunakan untuk memenuhi tugas pembuatan makalah ini.

Penulis ingin berterima kasih pula kepada dosen pengampu Kajian


Pedagogik, yaitu Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri Rifa’I, M.Pd yang sudah
memberikan ilmu, arahan, dan bimbingan mengenai mata kuliah Kajian
Pedagogik. Karena, tanpa ada beliau, saya selaku penulis seringkali lupa bahkan
tidak memikirkan mengenai kebermanfaatan pedagogik di dalam kehidupan
penulis. Dan yang paling utama, dengan adanya beliau, penulis merasa terarahkan
untuk mampu menyelesaikan tugas makalah ini.

Dengan demikian, penyusun berharap, mudah-mudahan makalah ini bisa


memberikan manfaat bagi pihak yang memiliki relevansi terkait pembahasan di
makalah ini. Dan dengan makalah ini, penulis berharap agar adanya kritikan
maupun saran dari semua pihak. Yang terakhir, penulis berharap agar makalah ini
dapat Allah ridhoi sebagai jalan kebaikan untuk penulis/peneliti lainnya dalam
memperoleh informasi yang bermanfaat.

Bandung, 12 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah...........................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.4 Tujuan Penulisan................................................................................................3
1.5 Manfaat Penulisan..............................................................................................3
1.6 Sistematika Penulisan.........................................................................................3
BAB II TEORI PROFESSIONALISME GURU................................................................5
2.1 Guru: Suatu Profesi Mulia dalam Mendidik.......................................................5
2.2 Motivasi: Penggerak Hati dan Diri dalam Mendidik..........................................6
2.3 Persiapan: Bentuk Konkrit Seorang Guru dalam Mendidik................................6
2.4 Kondisi Seorang Guru Memasuki Fase Mendidik..............................................8
BAB III PEMBAHASAN................................................................................................11
3.1 Professionalisme: Mutu Seorang Guru Indonesia.............................................11
3.2 Kualifikasi: Membumikan Standarisasi Guru Indonesia..................................13
3.3 Motivasi: Berawal dari Mindset, Minat, dan Niat.............................................15
BAB IV KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI....................................17
4.1 Kesimpulan......................................................................................................17
4.2 Implikasi...........................................................................................................17
4.2.1 Implikasi Teoritis.........................................................................................17
4.2.2 Implikasi Praktis...........................................................................................17
4.3 Rekomendasi....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Di tahun 2020, pendidikan menjadi salah satu wadah yang sangat
menentukan untuk keberhasilan Indonesia menjadi Negara Maju.
Melalui hal itu, beberapa kebijakan telah diberlakukan oleh
KemenDikBud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk
jenjang pendidikan dasar dan pendidikan tinggi dalam salah
programnya, yaitu Link and Match (Rohman, n.d.). Tentu, dalam
merealisasikan program Link and Match, hal itu tidak semudah yang
dibayangkan. Perlu ada beberapa komponen yang saling mendukung
dalam keberhasilan merealisasikan program Link and Match, seperti
kebijakan, sarana prasarana, kurikulum, pembiayaan, dan sumber daya
manusia.
Komponen SDM (Sumber Daya Manusia) menjadi salah satu
faktor yang sangat menentukan keberhasilan setiap manusianya yang
berada dalam lingkungan pendidikan, seperti kepala sekolah dengan
guru atau guru dengan siswa. Guru merupakan salah satu SDM yang
menjadi faktor keberhasilan siswanya dalam melaksanakan
pembelajaran, baik dalam ruang lingkup pendidikan formal, non-
formal, maupun informal. Tidak terbatas pada ruang lingkup apapun,
seorang guru di negara Indonesia tetaplah harus memiliki jiwa tut wuri
handayani (memiliki dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa
(menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung talada (tindakan
atau teladan yang baik) (Nisa, Prasetyo, & Istiningsih, 2020). Dalam
artian lain, guru haruslah professional yang meliputi dua aspek
konkrit, philosophy orientation dan delevopment orientation, yaitu
sertifikasi dan keminatan menjadi seorang guru (Prof. Dr. H.
Mahmud, 2012).
Di Indonesia, sampai saat ini, kualitas guru yang ber-title
professional tentunya sangat minim sekali. Hal itu dikarenakan guru

1
tidak termasuk pada kualifikasi minimal yang dicantumkan dalam
UUGD (UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen)(Kartowagiran,
2011) dalam pasal 8 yang menyatakan bahwa “Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional” (Ristekdikti, 2005). Di tahun 2019,
KemenDikBud mencatat bahwa sekitar 21% di jenjang pendidikan SD
(Sekolah Dasar), 18% di jenjang PLB (Pendidikan Luar Biasa), 9% di
jenjang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan 5% di jenjang SMA
(Sekolah Menengah Atas), guru – guru tidak termasuk pada
kualifikasi minimal undang – undang (Databoks, 2019). Dilain itu,
dilansir dari situs Indonesiana bahwa kenyataan dari rendahnya
kualifikasi disebabkan oleh minatnya seorang guru dalam
mengembangkan diri, dalam artian lain, motivasi seorang guru untuk
menjadi seorang guru yang professional sangat minim (Yunus, 2019).
Menanggapi hal itulah, maka perlu adanya guru yang memiliki
kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan
tugas professionalnya (Maisah, Sri Sudiarti, Aris Dwi Nugroho,
2019).
Berdasarkan permasalahan yang terjadi dilapangan, yang
berkenaan dengan professionalisme guru, dalam penulisan ini, penulis
berkeinginan untuk memaparkan tentang profesi guru yang ditinjau
dari segi motivasi, persiapan, dan kondisi yang harus dihadapinya.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian, permasalahan yang terjadi di
lapangan diidentifikasi oleh penulis, yang meliputi:
1. Kualitas guru yang ber-title professional tentunya sangat minim
sekali.
2. Guru tidak termasuk pada kualifikasi minimal yang dicantumkan
dalam UUGD.

2
3. Motivasi seorang guru untuk menjadi seorang guru yang
professional sangat minim.

1.3 Rumusan Masalah


Melalui identifikasi masalah yang dilakukan oleh penulis,
dirumuskanlah permasalahan yang akan diteliti, yaitu bagaimana
mempersiapkan seorang guru agar professional, memiliki motivasi
yang kuat dan termasuk pada kualifikasi minimal dalam undang-
undang?

1.4 Tujuan Penulisan


Penulisan ini memiliki tujuannya, yaitu:
1. Memberikan informasi mengenai persiapan yang harus dilakukan
seorang guru untuk meningkatkan profesionalismenya.
2. Memberikan informasi mengenai persiapan yang harus dilakukan
seorang guru untuk menjadikan seorang guru agar termasuk pada
kualifikasi minimal sesuai undang – undang negara.
3. Memberikan informasi mengenai persiapan yang harus dilakukan
seorang guru untuk membangkitkan motivasi seorang guru dalam
menjadi seorang guru.

1.5 Manfaat Penulisan


Penelitian ini memiliki manfaatnya, yaitu:
1. Bagi seorang guru yang dinilai belum professional.
2. Bagi seorang guru yang tidak termasuk pada kualifikasi minimal
undang – undang.
3. Bagi seorang guru yang kurang memiliki motivasi dalam mengajar.
4. Bagi penulis dalam wawasan keguruan.

1.6 Sistematika Penulisan

3
Sistematika penulisan dalam makalah ini meliputi BAB I, BAB II,
BAB III, dan BAB IV. Uraian dalam masing-masing BAB,
diantaranya:
 BAB I menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan,
dan Struktur Sistematika Penulisan.
 BAB II memaparkan teori – teori yang berelevansi dengan
penulisan yang dilakukan.
 BAB III memaparkan pembahasan mengenai persiapan menjadi
seorang guru, kondisi yang terjadi, serta motivasi untuk seorang
guru.
 Dan yang terakhir BAB IV, yaitu menyimpulkan, memberikan
implikasi dan rekomendasi.

4
BAB II
TEORI PROFESSIONALISME GURU

2.1 Guru: Suatu Profesi Mulia dalam Mendidik


Menjadi seorang guru dimulai ketika “mengajar” (teaching)
menjadi salah satu pilihan untuk memulai karir dalam hidup. Memulai
untuk menjadi seorang guru tentu tidak mudah, banyak tantangan
yang harus dilalui. Salah satu tantangan nya yaitu memahamkan
peserta didik untuk mempelajari bagaimana cara mereka untuk belajar
(learn how to learn). Hal demikian terjadi karena fakta di lapangan
menunjukan bahwa contohnya, ketika kita telah siap dengan materi
pelajaran yang akan kita ajarkan, seringkali terdapat siswa yang
kinerjanya buruk dalam membaca (Ornstein, Levine, & Gutek,
2011a). Maka dari itu, berprofesi sebagai guru, sangatlah mulia
(Mulyana, 2010).
Peran seorang guru tentu sangat strategis dalam bidang pendidikan
(Kartowagiran, 2011). Bahkan, peran seorang guru dalam ruang
lingkup profesi berada pada peringkat ke-3 berdasarkan NORC
(National Opinion Research Center) di negara Amerika Serikat
setelah profesi pemadam kebaran dan dokter, yang besaran
persentasenya sebesar 52%, walaupun pada kenyataanya bila ditinjau
dari segi gaji, profesi guru tetaplah rendah (Ornstein, Levine, &
Gutek, 2011k). Professionalisme pada seorang guru tentu harus
dipenuhi melalui dua aspek, yaitu hukum dan kemasyarakatan
(Hasanah, 2012). Pada tahun 2001, aspek tersebut di landingkan di
negara Amerika melalui reformasi sekolah secara nasional, yaitu
disahkannya undang – undang NCLBA (No Child Left Behind Act)
bahwa seorang guru bisa dinyatakan memiliki kualifikasi yang tinggi
jika (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011b) :
1) Bergelar Sarjana
2) Tersertifikasi dan memiliki lisensi sebagai seorang guru

5
3) Mampu menunjukan kompetensinya yang mengacu pada standar
negara di dalam setiap mata pelajaran
Selain ditinjau dari kualifikasi, adapun dua aspek dari segi
pengajaran seorang guru yang harus diperhatikan untuk
menjadikannya professional, yaitu dengan melakukan perundingan
bersama (collective bargaining) dan pengambilan keputusan bersama
(shared decision) (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011l).

2.2 Motivasi: Penggerak Hati dan Diri dalam Mendidik


Dalam memulai karir menjadi seorang guru, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari motif yang mendukungnya, diantaranya karena :
1) Kecintaan kepada anak.
2) Keinginan untuk memberikan pengetahuan.
3) Berminat dan gembira untuk mengajar.
4) Keinginan untuk melayani masyarakat.
Dilain itu, dalam penelitian yang dilakukan di negara amerika,
sekitar 90% memiliki motif untuk menolong anak untuk tumbuh dan
belajar (Ornstein et al., 2011a). Seringkali, motivasi yang tumbuh dan
kuat diidentikan dengan calon guru yang berprestasi. Seperti halnya di
beberapa kota di negara Amerika Serikat, bahwa di kota Boston,
Chicago, dan Denver, telah dilaksanakan program Urban Teacher
Residency, yaitu perekrutan calon guru melalui motivasi yang kuat
tanpa dilatih sebelumnya (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011c).

2.3 Persiapan: Bentuk Konkrit Seorang Guru dalam Mendidik


‘Persiapan’ menjadi salah satu syarat yang harus dimiliki setiap
orang untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan (Astarina, 2019).
Sejarah mengatakan, bahwa di Negara Amerika Serikat pada awal
abad ke-19, menjadi seorang guru memerlukan syarat, yaitu
persetujuan dari menteri setempat atau dewan pengawas yang terkait
dengan lembaga keagamaan. Sampai saat ini, setiap calon guru di
Negara Amerika Serikat, yang berkeinginan untuk mengajar haruslah

6
mempersiapkan dirinya untuk memiliki sertifikasi yang diberikan oleh
negara berdasarkan mata pelajaran yang mereka ambil. Berlakunya
sertifikasi dihitung sejak 3 hingga 5 tahun kedepan. Namun, sertifikasi
tersebut tidak berlaku jika seorang guru berpindah ke negara bagian
lainnya, misalnya seorang guru di New York yang memiliki sertifikasi
tidak akan berlaku di Illonis, karena berbeda wilayah (Ornstein,
Levine, & Gutek, 2011d). Proses kepemilikan sertifikasi tersebut tidak
terlepas dari standarisasi mengajar yang diberikan oleh negara kepada
seorang guru, seperti halnya di negara Amerika, ada yang dinamakan
dengan NCATE (The National Council for Accreditaion of Teacher
Education) (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011m).
Dalam rangka untuk menarik calon guru yang lebih berbakat dalam
mengajar, contohnya seperti pada bidang sains dan matematika,
sebagian negara telah memperkenalkan program sertifikasi alternatif
(alternative certification). Program sertifikasi alternatif tidak melalui
jalur persiapan yang semestinya dilakukan di sekolah atau perguruan
tinggi. Persyaratan yang harus ditempuh yaitu memiliki skor prestasi
yang tinggi, berpotensial, dan siap dilatih secara intensif selama
delapan minggu, seperti halnya pada program TFA (Teach for
America) di negara Amerika. Dengan demikian, calon guru tersebut
bisa ditempatkan di pendidikan daerah perkotaan yang dinilai
memiliki banyak masalah (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011e).
Dilain itu, selain program sertifikasi, beberapa program lainnya
untuk mempersiapkan guru atau masa pra-jabatan, secara konkrit
ditunjukan dalam bentuk layanan. Layanan yang diberikan setidaknya
meliputi 3 poin penting, diantaranya :
1) Program empat sampai lima tahun
2) Pengajaran reflektif
3) Penggunaan komputer dan teknologi
Satu, program empat sampai lima tahun (Fifth-Year and Five Year
Programs) dimaksudkan untuk memperluas wawasan pendidikan
seorang guru selama lima tahun. Tepatnya, selama empat tahun calon

7
guru memperoleh gelar sarjana, dan di tahun kelimanya
dikonsentrasikan agar lebih professional. Dua, pengajaran reflektif
(Reflective Teaching) dimaksudkan untuk menghasilkan calon guru
yang mampu untuk meningkatkan keterampilan berpikir dan
pemahaman siswa, konkritnya calon guru seringkali mengamati dan
memikirkan hasil pengajaran mereka dan menyesuaikan metode
pengajarannya. Tiga, penggunaan komputer dan teknologi
dimaksudkan untuk melatih wawasan guru terhadap penggunaan dan
akses komputer (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011f).

2.4 Kondisi Seorang Guru Memasuki Fase Mendidik


Menjadikan seorang guru yang memiliki professionalisme harus di
imbangi dengan kondisi yang mengikutinya. Menurut Susan Black,
kondisi awal yang sering dialami oleh seorang guru pada umumnya
merasa cemas, kesepian, takut, trauma, bahkan sebagai hasilnya,
seorang guru lebih memutuskan untuk meninggalkan profesinya di
tahun pertama mengajar (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011n). Dalam
pengajaran yang diberikan kepada siswa, yang namanya kondisi,
seringkali diidentikan dengan “kualitas”. Di negara Amerika, kualitas
/ kemampuan seringkali dinilai melalui “nilai” yang berasal dari tes,
seperti halnya dalam program Scholastic Assessment Test (SAT) dan
American College Test (ACT). Tes yang diujikan berfokus pada tes
keterampilan dasar (basic skill testing), baik itu guru yang
berpengalaman maupun tidak, seperti pengetahuan membaca,
perhitungan matematika, komunikasi, maupun pengetahuan lainnya
(Ornstein, Levine, & Gutek, 2011g).
Pada fase awal mendidik, kondisi positif maupun negatif terkadang
muncul bagi guru baru, karena mungkin terkesan dengan kondisi
lingkungan yang baru. Di negara Amerika, dilaporkan bahwa sekitar
40%, guru baru merasa puas dan antusias dalam mengajar, dan itupun
telah meningkat di tahun 2008, dengan nilai persentasenya sebesar
62%. Adapun ketidakpuasan seorang guru diakibatkan karena

8
ketidakcukupan waktu untuk menangani konseling, merencanakan
pelajaran, dan fungsi pengajaran lainnya, seperti kurangnya
persediaan dan peralatan, serta adanya kewajiban untuk ikut
berpartisipasi dalam pengembangan yang dianggap olehnya tidak
revelan atau tidak efektif (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011h).
Diantara puas atau tidaknya seorang guru, adapun beberapa
langkah untuk memberdayakan seorang guru melalui (1) manajemen
berbasis sekolah (school-based management), (2) kepemimpinan
untuk para guru (lead teachers), dan (3) komunitas keguruan yang
professional (professional practices communities). Upaya dalam
manajemen berbasis sekolah diberikan kepada guru yang berasosiasi
dengan dewan sekolah dalam menentukan kebijakan dan praktek
sekolah. Penentuan kebijakan tersebut memberikan peluang pada
fakultas untuk memberikan metode, bahan pengajaran, dan akumulasi
dana yang akan dipakai untuk berbelanja akan kebutuhan sekolah.
Sedangkan, Lead teachers berarti menjadi seorang pemimpin yang
dapat menjadi mentor atau merencanakan perbaikan terhadap
pengajaran. Dan yang terakhir komunitas, komunitas keguruan yang
professional dapat memberikan ide-ide yang bermanfaat melalui guru
lainnya, saling bekerja sama dan berkoordinasi mengenai kegiatan
pembelajaran (Ornstein, Levine, & Gutek, 2011i).
Melalui masa awal pengajaran, terkadang kondisi seorang guru
cenderung merasa tertekan (stress), khususnya pada pendidikan dasar
dan menengah, dengan tekanan yang unik (berbeda yang satu dengan
yang lainnya). Maka dari itu, terdapat 2 pendekatan dalam menangani
tekanan seorang guru, pertama menggunakan pendekatan coping
techniques dan stress-reduction. Berikut langkah untuk mereduksi
tekanan menjadi seorang guru melalui coping techniques:
1) Berolahraga
2) Beristirahat
3) Memenuhi kegiatan dengan hobi yang diminati
4) Memakan nutrisi makanan yang baik

9
5) Meditasi atau teknik relaksasi lainnya
Selain kelima langkah diatas, jika tekanan (stress) tinggi dirasakan
oleh seorang guru, maka disarankan untuk melakukan aktifitas pribadi
yang dinilai lebih efisien atau pergi untuk berlibur sebagai bentuk
implementasi dari teknik stress-reduction (Ornstein, Levine, & Gutek,
2011j).

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Professionalisme: Mutu Seorang Guru Indonesia


Kata Professionalisme bila kita tinjau dari segi kata merujuk pada
kata profesi. Makna dari professionalisme sendiri memang berkaitan
dengan yang namanya kualitas. Kualitas inilah yang menjadi ciri
seorang guru yang dinilai professional. Memulai karir menjadi
seorang guru seperti memulai diri untuk menjadi seorang siswa yang
baru. Dalam hal ini, siswa yang baru di lingkungan baru, yaitu
sekolah. Begitupula guru, guru yang baru di lingkungan baru, yaitu
sekolah, spesifiknya di ruang pengajar dan belajar.
Menuju professional tidak terlepas dari langkah konkrit atau
prosedur atau beberapa fase yang harus dilalui. Melihat negara
Amerika dalam segi kondisi gurunya yang baru mengajar, normalnya
selalu muncul rasa cemas, takut, kesepian, dan stress (tekanan). Hal
itu dirasakan khususnya bagi para pengajar di pendidikan dasar dan
menengah. Begitupun di Indonesia, dilansir dari situs Quora, salah
seorang wanita pernah berpengalaman menjadi guru di SD, faktanya
menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena ketika ada suatu kasus
yang terjadi, yang dialami oleh siswa, seorang guru dituntut untuk
tidak cemas, takut, atau tertekan (Sandyta, 2018). Berbicara kondisi
sifatnya dinamis, mungkin itu yang dirasakan oleh wanita tersebut,
namun bagaimana dengan kondisi guru lainnya? Tidak menutup
kemungkinan, perasaan – perasaan itu akan muncul. Maka dari itu, di
negara amerika, sebagai bentuk upaya meningkatkan keprofessionalan
seorang guru dalam segi kondisi bisa dilakukan pendekatan dengan
teknik coping dan stress-reduction yang meliputi (1) olahraga, (2)
istirahat, (3) menghabiskan waktu dengan hobi, (4) memakan nutrisi,
(5) meditasi dan relaksasi, (6) aktifitas pribadi lainnya, (7) berlibur.
Terlepas dari perasaan – perasaan yang muncul bagi seorang yang
baru berprofesi sebagai guru, segi kredibilitas pun menjadi salah satu

11
faktor bagi guru Indonesia dalam menangani murid – muridnya dalam
proses belajar mengajar. Kredibilitas berarti kredibel atau dapat
dipercaya, salah satunya dalam aspek keilmuan yang diberikan oleh
seorang guru. Keilmuan inilah yang berkaitan dengan wawasan yang
luas. Pada bulan Februari 2020, Indonesia dinilai darurat guru teladan.
Hal itu dilatarbelakangi oleh kasus – kasus yang terjadi pada seorang
guru, seperti memukuli siswa, ceroboh dan membahayakan siswa,
bahkan sampai memperkosa siswa. Penyebab dari peristiwa tersebut
dikarenakan faktor kredibilitas seorang guru yang dipertanyakan.
Menaggapi hal tersebut, salah seorang peneliti bernama Yusparizal
memaparkan beberapa langkah dalam memberdayakan seorang guru,
diantaranya (1) melakukan kolaborasi dengan teman sejawat dan (2)
membentuk kelompok belajar guru (Yusparizal, 2008).
Memberdayakan seorang guru telah dilakukan pula oleh negara
Amerika yang meliputi pengadaan komunitas keguruan yang
professional (professional practices communities). Hal tersebut
tentunya tidak jauh dengan apa yang dilakukan oleh negara Indonesia
dalam memberdayakan seorang guru. Penulis setuju dengan adanya
bentukan komunitas bagi seorang guru, karena di dalam komunitas
bentukan tersebut, diharapkan terjadi perundingan (collective
bargaining) untuk memikirkan kendala – kendala seorang guru atau
langkah teknis dalam meningkatkan performa siswa, yang pada
akhirnya akan menghasilkan suatu keputusan bersama (shared
decision) dari diskusi yang dilakukan. Jadi, seorang guru tidak
terbatas hanya kenal nama atau saling sapa saja, namun ada hal – hal
yang perlu didiskusikan dalam menyelsaikan permasalahan
pendidikan, baik dari segi guru maupun siswa, yang di sisi lain,
membangun keakraban yang pada akhirnya akan mencerminkan
kredibilitas – kredibilitas pada setiap guru dan diharapkan akan
meminimalisir tingkat kriminalitas yang tinggi di lingkungan
pendidikan, khususnya di Indonesia.

12
3.2 Kualifikasi: Membumikan Standarisasi Guru Indonesia
“Membumikan” menjadi kiasan bagi kita unuk merealisasikan
standarisasi seorang guru dari nilai – nilai yang terkandung dalam
ketetapan undang – undang negara di Indonesia. Seperti yang kita
ketahui bahwa ketika kita berbicara “guru” pasti tidak jauh dari kata
“mengajar” (teaching), karena memang itu khas dari pekerjaan nya.
Mengajar tentu memiliki makna untuk mentransfer atau memberikan
ilmu atau pemahaman kepada khalayak yang membutuhkannya, dalam
hal ini, secara signifikan ditujukan pada seorang guru. Kita sebagai
manusia yang dicap sebagai mahluk berkategori homo economicius
(tidak pernah puas) oleh Adam Smith (Fleming, n.d.) tentu
berkeinginan untuk menggali secara terus menerus mengenai
pemahaman atau ilmu yang kita peroleh, yang dalam hal ini dilakukan
oleh seorang Guru.
Dalam proses mengajar, siswa dapat belajar dengan benar bila
ilmu benar. Kebenaran akan ilmu yang dimilikinya tentu berelasi dari
kebenaran akan ilmu yang disampaikan oleh seorang guru. Maka dari
itu, di negara Indonesia, seorang guru setidaknya harus memenuhi
“kualifikasi” yang telah ditetapkan oleh undang – undang negara.
Sebagaimana yang dipaparkan dalam Peraturaan Menteri Pendidikan
Nasonal Nomor 16 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) bahwa “Setiap guru
wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru
yang berlaku secara nasional.”. Dalam standar kualifikasi akademik,
salah satunya berada pada ruang lingkup pendidikan formal, yang
dimana pada semua jenjang nya, minimal bergelar D-IV (Diploma
IV). Sedangkan untuk standar kompetensi guru, setidaknya meliputi
beberapa kompetensi, diantaranya pedagogik, kepribadian, sosial, dan
professional (Nasional, 2007). Seperti halnya di Amerika, dalam
NCLBA (No Child Left Behind Act) yang telah dipaparkan di BAB 2,
seorang guru dinyatakan memenuhi kualifikasi jika (1) bergelar
sarjana, (2) tersertifikasi dan memiliki lisensi sebagai seorang guru,

13
dan (3) mampu menunjukan kompetensinya yang mengacu pada
standar negara di dalam setiap mata pelajaran. Mengenai
tersertifikasinya seorang guru, dalam peraturan yang dipaparkan
sebelumnya, ada yang dinamakan dengan Standar Antara yang
berisikan bahwa “Sebelum standar kualifikasi akademik berlaku
efektif, BSNP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) mengembangkan
Standar Antara yang secara bertahap menuju pencapaian standar
kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 Peraturan
Pemerintah ini”.
Berkenaan dengan ketiga nilai yang dipaparkan oleh negara
Amerika, penulis melihat bahwa ada kesesuaian dalam membumikan
undang – undang yang telah ditetapkan untuk proses kualifikasi
seorang guru. Namun, ada sedikit perbedaan yang terjadi pada nilai
pertama. Di negara Amerika, gelar Diploma atau Diploma-IV tidak
menjadi standar kualifikasi minimal, namun kenyataannya gelar
sarjana lah yang menjadi kualifikasi minimalnya. Dalam hal ini, tentu
ada maksud dibalik “kenapa di Indonesia tidak ditetapkan saja
standar minimalnya seperti amerika? Yaitu bergelar sarjana?”.
Penulis mencoba berhipotesis bahwa mungkin karena disebabkan oleh
faktor masyarakatnya yang dalam segi pengembangan dinilai kurang,
sebagaimana dilansir dalam penelitian Ali Muhson, UNY (Universitas
Negeri Yogyakarta) bahwa negara Indonesia di tahun 2002, nilai
HDInya (Human Development Index) dinyatakan kurang (Muhson,
2012). Lalu, bagaimana di tahun 2020 atau tahun sebelumnya 2019?
Data mengatakan bahwa negara Indonesia berada pada peringkat ke-
111 (Nations, 2019). Maka dari itu, penulis lebih setuju apabila
Indonesia sekarang lebih menetapkan gelar Diploma-IV sebagai batas
minimalnya, dikarenakan kondisi Indonesia masih belum dapat
berkembang dengan pesat dalam pendidikannya, sehingga perlu solusi
yang benar – benar konkrit dan benar – benar mengatasi permasalahan
dalam pendidikannya, yang pada akhirnya bisa membawa Indonesia
menjadi negara yang lebih maju setelah berkembang dan bisa

14
menetapkan standar minimal pada kualifikasi seorang guru yang
bergelar Sarjana.

3.3 Motivasi: Berawal dari Mindset, Minat, dan Niat


Memaknai kehidupan berarti mengetahui makna hidup. Makna
hidup secara arti kata memiliki maksud untuk bergerak dan bekerja
sebagaimana mestinya. Bergerak atau bekerja berarti melakukan
sesuatu hal yang konrkit dan realistis, baik itu dari konsep maupun
nilai – nilai yang terkandung dalam diri, letaknya pada akal dan hati.
Akal berarti daya pikir terhadap sesuatu dalam rangka untuk
memahaminya, begitupun hati untuk merasa. Daya pikir dapat kita
katakan sebagai sesuatu hal yang abstrak yang terdapat dalam salah
satu komponen manusia, yaitu otak. Begitupun hati, keabstrakan tidak
dapat kita telaah lebih menjauh, namun dapat kita rasakan dengan
melekatnya dalam diri.
Berbicara pemahaman seseorang, tentu sifatnya dinamis, karena
hal itu berkaitan dengan Mindset (pola pikir). Dilansir dari salah satu
media berita Pikiran Rakyat, di tahun 2020, tepatnya bulan januari,
Indonesia kekurangan 1,5 juta Guru dengan problematika sekolah
kompleks. Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI
mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi pada seorang guru tidak
hanya dalam ruang lingkup kesejahteraan saja (faktor penaggajian),
namun kualitasnya pun harus diperhatikan (Sarnapi, 2020). Memaknai
kualitas, tentu merujuk pada tingkatan baik atau buruknya sesuatu,
dalam hal ini, baik atau buruknya dapat tercerminkan melalui Minat
dan Niat dalam mindset seorang guru.
Anggaplah kita memulai karir untuk menjadi seorang guru,
apakah terbatas pada minat dan niat yang kita urungkan yang sifatnya
dinamis? Tentu iya jika kita merujuk pada teori keminatan yang
memunculkan niat yang didasari dari nilai – nilai yang membentuk
mindset, yang kita katakana sebagai motivasi. Nilai awal yang harus
dimiliki tentu (1) cinta pada anak, (2) ingin untuk memberikan

15
pengetahuan, (3) karena suka mengajar, dan (4) ingin
melayani/menolong masyarakat. Nilai – nilai itulah yang setidaknya
dilakukan oleh negara Amerika untuk menjadi standar seorang guru
dalam memasuki awal karirnya sebagai seorang guru.
Berdasarkan keempat nilai untuk membangkitkan niat, penulis
kurang setuju karena tidaklengkapannya pada nilai – nilai tersebut.
Penulis meninjau bahwa dengan rasa cinta pada anak, memberikan
pengetahuan, suka mengajar, melayani atau menolong, tidak beda jauh
dengan guru – guru yang ada di SD (Sekolah Dasar), yang terjangkit
dengan kasus – kasus kriminal, seperti pemerkosaan yang dilakukan
oleh seorang siswa-siswi, dan seorang guru menutupi kasusnya
melalui sogokan uang (Santoso, 2020). Kenapa hal itu bisa terjadi
pada seorang guru? kita buatlah hipotesis bahwa seorang guru tersebut
memang pintar dan memenuhi aspek ke empat nilai diatas, karena
berdasarkan wawancara tidak ada data yang merujuk pada keempat
nilai diatas, namun, berdasarkan data, guru tersebut sudah lama
mengajar disitu, dan yang namanya lama, tentu sudah mengetahui
situasi dan kondisi sekolah, alias paham betul akan proses mengajar
dan pengajaran yang dilakukan. Dengan demikian, salah satu nilai
yang dinyatakan tidak lengkap itu termasuk pada nilai – nilai rohani.
Karena hal itulah, rohani menjadi “komando” terhadap jasmani
(Mustari, 2011).

16
BAB IV
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat dipaparkan melalui tujuan pada
penulisan ini, yang meliputi :
1. Dalam meningkatkan professionalisme seorang guru, segi kondisi
dan kredibilitas perlu diperhatikan, yaitu dengan memenuhi ketujuh
aspek dalam mengembalikan kondisi guru dan adanya pembentukan
komunitas guru untuk meningkatkan kredibilitasnya.
2. Berdasarkan kondisi HDI Indonesia, seorang guru di Indonesia
tidak dituntut untuk memenuhi kualifikasi minimal bergelar Sarjana,
namun Diploma-IV.
3. Untuk membangkitkan motivasi tidak hanya dibangun melalui (1)
cinta pada anak, (2) ingin untuk memberikan pengetahuan, (3) karena
suka mengajar, dan (4) ingin melayani/menolong masyarakat, namun
perlunya juga memiliki aspek - aspek kerohanian.

4.2 Implikasi
4.2.1 Implikasi Teoritis
Adapun implikasi secara teoritis untuk meningkatkan wawasan
masyarakat, khususnya seorang guru dalam ruang lingkup pengenalan
terhadap professionalisme guru, undang – undang, dan motivasi yang
harus dimiliki.

4.2.2 Implikasi Praktis


Adapun implikasi secara praktis dengan mendorong para guru di
Indonesia untuk lebih meningkatkan professionalisme nya sebagai
guru, melaksanakan keguruannya sesuatu standarisasi kualifikasi
negara, dan merealisasikan aspek – aspek yang harus diperhatikan
dalam pengajaran melalui nilai – nilai motivasi.

17
4.3 Rekomendasi
Penulis merekomendasikan kepada seorang guru untuk lebih
memahami professionalisme guru dalam sudut pandang kondisi yang
terjadi di zaman sekarang, lebih merealisasikan dari konsep teori yang
telah dipaparkan pada penulisan ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Astarina, S. (2019). Lakukan 7 Langkah Mencapai Tujuan yang Diinginkan.


Retrieved March 12, 2020, from koinworks website:
https://koinworks.com/blog/mencapai-tujuan/

Databoks. (2019). Persentase Guru Kualifikasi (Minimal S1). Retrieved March


12, 2020, from databoks website:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/12/masih-ada-guru-yang-
berpendidikan-di-bawah-s1

Fleming, P. (n.d.). The Death of Homo Economicus: Work, Debt and the Myth of
Endless Accumulation.

Hasanah, A. (2012). Pengembangan Profesi Guru (p. 278). p. 278. Bandung:


Pustaka Setia.

Kartowagiran, B. (2011). Kinerja Guru Profesional (Guru Pasca Sertifikasi).


Cakrawala Pendidikan, 3.

Maisah, Sri Sudiarti, Aris Dwi Nugroho, A. B. (2019). JMiE Journal of


Management in Education Dampak Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru. 4(2),
1–11.

Muhson, A. (2012). Meningkatkan Profesionalisme Guru: Sebuah Harapan.


Jurnal Ekonomi Dan Pendidikan, 1(2). https://doi.org/10.21831/jep.v1i2.665

Mulyana, E. H. (2010). Guru Berkualitas: Profesional dan Cerdas Emosi. Jurnal


Saung Guru, 1(2), 1–11.

Mustari, M. (2011). Refleksi Untuk Pendidikan Karakter. Yogyakarta.

Nasional, M. P. (2007). LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN


NASIONAL MENGENAI STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN
KOMPETENSI GURU.

Nations, U. (2019). Education index. Retrieved March 12, 2020, from United
Nations Development Programme website:

19
http://hdr.undp.org/en/indicators/103706

Nisa, A. F., Prasetyo, Z. K., & Istiningsih. (2020). The Teachings of Ki Hadjar
Dewantara in Improving the Character of Elementary School Students in the
Revolution of Industry 4.0 Era*. 401(Iceri 2019), 49–56.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.200204.010

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011a). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education
(Eleventh, p. 3). Wads Worth Cengage Learning.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011b). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education
(Eleventh, p. 22). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011c). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education
(Eleventh, p. 14). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011d). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education
(Eleventh, p. 11). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011e). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education2
(Eleventh, p. 12). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011f). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education
(Eleventh, pp. 14–15). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011g). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education
(Eleventh, p. 17). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011h). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education2
(Eleventh, p. 19). Wadsworth.

20
Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011i). Motivation, Preparation,
and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education2
(Eleventh, p. 25). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011j). Motivation, Preparation,


and Conditions for the Entering Teacher. In Foundations of Education
(Eleventh, pp. 19–20). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011k). The Teaching Profession.
In Foundations of Education (Eleventh, p. 33). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011l). The Teaching Profession.
In Foundations of Education (Eleventh, pp. 35–41). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011m). The Teaching Profession.
In Foundations of Education (Eleventh, p. 30). Wadsworth.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., & Gutek, G. L. (2011n). The Teaching Profession.
In Foundations of Education (Eleventh, p. 36). Wadsworth.

Prof. Dr. H. Mahmud, M. S. (2012). Pengembangan Profesi Guru (1st ed.).


Bandung: CV Pustaka Setia.

Ristekdikti. (2005). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14


TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN. Retrieved from
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_guru_dosen.htm

Rohman, H. (n.d.). Nadiem Makarim dan “Link and Match.” Retrieved from
https://news.detik.com/kolom/d-4759461/nadiem-makarim-dan-link-and-
match

Sandyta, F. (2018). Bagaimana rasanya bekerja sebagai guru? Apa hal yang paling
berkesan saat kamu menjadi guru? Retrieved March 12, 2020, from Quora
Indonesia website: https://id.quora.com/Bagaimana-rasanya-bekerja-sebagai-
guru-Apa-hal-yang-paling-berkesan-saat-kamu-menjadi-guru

Santoso, B. (2020). Siswi SD di Jambi Diduga Diperkosa 4 Senior di Kelas Saat


Jam Sekolah. Retrieved March 15, 2020, from Suara.com website:

21
https://www.suara.com/news/2020/03/12/150154/siswi-sd-di-jambi-diduga-
diperkosa-4-senior-di-kelas-saat-jam-sekolah

Sarnapi. (2020). Indonesia Kekurangan 1,5 Juta Guru, Dewan Khawatirkan


Sekolah Swasta. Retrieved March 12, 2020, from Pikiran Rakyat website:
https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01331074/indonesia-
kekurangan-15-juta-guru-dewan-khawatirkan-sekolah-swasta

Yunus, S. (2019). Kenali 4 Penyebab Rendahnya Kompetensi Guru. Retrieved


March 12, 2019, from Indonesiana website:
https://www.indonesiana.id/read/119880/empat-sebab-rendahnya-
kompetensi-guru

Yusparizal. (2008). Enam langkah praktis dalam upaya pemberdayaan guru.


Jurnal Ilmu Pendidikan, (2008), 156–168.

22

Anda mungkin juga menyukai