Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CA COLON

OLEH :
RIZKI SAPUTRI RAMADHANI
S18127025

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMADIYAH


PONTIANAK
TA 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CA COLON

A. Pengertian
Kanker adalah proses pernyakit yang bermula ketika sel abnormal diubah oleh
mutasi genetik dari DNA seluler (Smeltzer & Bare, 2001). Kanker kolorektal adalah
kanker yang berasal dalam permukaan usus besar (kolon) atau rektum/rektal,
umumnya kanker kolorektal berawal dari pertumbuhan sel yang tidak ganas terdapat
adenoma atau berbentuk polip Distribusi kanker pada kolon adalah 20% terdapat di
sepanjang kolon asenden, 10% di kolon transversum, 15% di kolon desenden, dan 50
% di rektosigmoideus.
Kanker kolon suatu bentuk keganasan dari masa abnormal / neoplasma yang
muncul dari jaringan ephitel dari kolon (Haryono, 2010). Kanker kolorektal
ditunjukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan
rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut traktus
gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan
rektum dibagian distal sekitar 5-7 cm diatas anus. Kolon dan rektum merupakan
bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointestinal di mana fungsinya
adalah untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak
berguna (Penzzoli dkk, 2007).
Kanker kolorektal merupakan suatu tumor malignant yang muncul pada
jaringan ephitelial dari colon/rectum. Umumnya tumor kolorektal adalah
adenokarsinoma yang berkembang dari polip adenoma (Wijaya dan Putri, 2013).
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks dan rektum. Kolon yng membentuk
sebagian usus besar tidak bergelung seperti usus halus dan terdiri dari tiga bagain
besar yaitu kolon asendens, kolon tranversum dan kolon desenden (Sherwood,
2011). Bagian kanan kolon transversum didarahi oleh cabang arteri mesenterika
superior yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media.
Sedangkan kolon transversum bagian kiri, kolon desendens, kolon sigmoid dan
sebagian besar rektum didarahi oleh a.mesenterika inferior melalui a.kolika sinistra,
a.sigmoid dan a.hemoroidalis superior. Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang
berasal dari nervus splanknikus dan pleksus presakralis serta serabut parasimpatis
yang berasal dari n.vagus. Oleh karena distribusi persarafan usus tengah dan usus
belakang sehingga nyeri alih pada kedua bagian kolon kiri dan kanan akan berbeda.
Penyebab kanker kolon dan rectal tidak diketahui secara pasti, tetapi factor
resiko tinggi telah teridentifikasi, termasuk usia lebih dari 40 tahun, darah dalam
feses, riwayat polip rectal atau polip colon, adanya polip adematosa atau adenoma
villus, riwayat kanker kolon atau polip dalam keluarga (100%), riwayat penyakit
usus inflamasi kronis/colitis ulceratif selama 20 th (50%), diet tinggi lemak, protein,
daging dan rendah serat (Smeltzer & Bare, 2002). Kanker ini mungkin juga
berhubungan dengan residu rendah, diet tinggi lemak dan makanan yang asupan
buah dan sayurnya tidak adekuat (Black & Hawks, 2014). Dua jenis kanker
kolorektal herediter disebabkan oleh mutasi genetik. Orang dengan HNPCC
(hereditary nonpolyposis colorectal cancer) menunjukan predisposisi kanker
kanker kolon 90% dengan onset tipikal pada usia 40n (Black & Hawks, 2014).
Risiko kanker meningkat tajam pada usia setelah 50 tahun, serta sangat sering
terjadi pada orang dengan riwayat kanker payudara, ovariium dan endometrium.
B. Anatomi Fisiologi

Diyono (2013).
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Pada mamalia, kolon
terdiri dari kolon menanjak (ascending), kolon melintang (transverse), kolon
menurun (descending), kolon sigmoid, dan rektum. Bagian kolon dari usus buntu
hingga pertengahan kolon melintang sering disebut dengan "kolon kanan", sedangkan
bagian sisanya sering disebut dengan "kolon kiri".
C. Etiologi
Adapun beberapa faktor yang menpengaruhi kejadian kanker kolorektal
menurut (Soebachman, 2011) yaitu :
1. Usia
Risiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60 - 70 tahun. Jarang sekali
ada penderita kanker kolon yang usianya dibawah 50. Kalaupun ada, bisa
dipastikan dalam sejarah keluarganya ada yang terkena kanker kolon juga.
2. Polip
Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis adenomatosa. Jika polip ini
langsung dihilangkan pada saat ditemukan, tindakan penghilangan tersebut akan
bisa mengurangi risiko terjadinya kanker kolon di kemudian hari.
3. Riwayat kanker
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon ( bahkan pernah
dirawat untuk kanker kolon ) berisiko tinggi terkena kanker kolon lagi
dikemudian hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium ( indung telur),
kanker uterus, dan kanker payudara juga memiliki risiko yang lebih besar untuk
terkena kanker kolon.
4. Faktor keturunan / genetika
Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada keluarga
dekat. Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP ( Familial
Adenomatous Polyposis ) atau polip adenomatosa familial memiliki risiko 100%
untuk terkena kanker kolon sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati.
Penyakit lain dalam keluarga adalah HNPCC ( Hereditary Non Polyposis
Colorectal Cancer ), yakni penyakit kanker kolorektal nonpolip yang menurun
dalam keluarga, atau sindrom Lynch.
5. Penyakit kolitis ( radang kolon ) ulseratif yang tidak diobati.
6. Kebiasaan merokok.
Perokok memiliki risiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolon
dibandingkan dengan yang bukan perokok.
7. Kebiasan makan
Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah ( dan
sebaliknya sedikit makan buah, sayuran serta ikan ) turut meningkatkan risiko
terjadinya kanker kolon. Mengapa? Sebab daging merah ( sapi dan kambing )
banyak mengandung zat besi. Jika sering mengonsumsi daging merah berarti
akan kelebihan zat besi.
8. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi jika
pewarnanya adalah pewarna nonmakanan.
9. Terlalu banyak mengonsumsi makanan makanan yang mengandung bahan
pengawet.
10. Kurangnya aktivitas fisik, Orang yang beraktivitas lebih banyak memiliki risiko
lebih rendah untuk terkena kanker kolon.
11. Berat badan yang berlebihan ( obesitas ).
12. Infeksi virus tertentu seperti HPV (Human Papiloma Virus) turut andil dalam
terjadinya kanker kolon.
13. Kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Misalnya logam berat, toksin, dan
ototoksin serta gelombang elektromagnetik.
14. Keniasaan mengonsumsi minuman beralkohol, khususnya bir. Usus mengubah
alkohol menjadi asetilaldehida yang meningkatkan risiko terkena kanker kolon.
15. Bekerja sambil duduk seharian. Misalnya para eksekutif, pegawai administrasi,
atau pengemudi kendaran umum.
D. Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup
serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel
kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain
(paling sering ke hati) Japaries, 2013.
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi
penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta
perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta
timbulnya metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila lesi terbatas
pada mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih jelek telah
terjadi mestatase ke kelenjr limfe (Japaries,
2013).
Menurut Diyono (2013), tingakatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut :
1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon).
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh
secara lokal dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini melalui beberapa
cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam lapisan dinding usus sampai
keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akanmengenai organ
disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi didalam lumen usus yaitu
melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem
sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian
metastase ke orgab paru-paru. Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang,
dan otak. Sel kanker pu dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan
dilakukan reseksi tumor (Diyono, 2013).
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis
villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis
villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaligna. Jenis tubular
berstruktur seperti bola dan bertangkai, sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan
seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai
bunga kol didalam kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa
kolon. Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang
akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruksi pun
kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan.
Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (ascendens dan transversum), maka
obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi ( feses masih mempunyai
konsentrasi air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah
bentuk (disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila
adenoma tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit
(descendens atau bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat
melewati lumen yang telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut
dapat menjadi total atau parsial (Diyono, 2013).
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan
genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permalignan (adenoma)
untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa molekuler dan genetik yang
menyebabkan transformsi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah
mutasi APC (adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada
individu dengan keluarga adenomatosa poliposis (FAP= familial adenomatous
polyposis). Protein yang dikodekan oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-
myc dan siklinD1, yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas
(Muttaqin, 2013).
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Keluhan utama pasien pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar
dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon
berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali sedikit kecenderungan
menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dari feses masih encer.
Gejala klinis sering brupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatik
anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang
berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai
akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan
komplikasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan
obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih infiltratif pada waktu
diagnosis dari leksi proksimal, maka prognosisnya lebih jelek (Kumar dkk, 2010).
Menurut Japaries (2013) Kanker usus besar dibagi menajadi dua stadium
yaitu :
1. Stadium dini
a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi : sering buang air
besar, diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih berganti,
tenesmus, anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar abdomen. Pasien
lansia bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka nyeri, kadang kala
setelah terjadi perforasi tumor, peritonitis baru merasakan nyeri dan
berobat.
b. Hematokezia : tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah segar atau
merah gelap, biasanya tidak banyak, intermitan. Jika posisi tumor agak
tinggi, darah dan feses becampur menjadikan feses mirip selai. Kadang
kala keluar lendir berdarah.
c. Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker kolon. Ileus kolon sisi kiri
sering ditemukan . kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplstik menginvasi
kesekitar dinding usus membuat lumen usus menyempit hingga ileus,
sering berupa ileus mekanik nontotal kronis, mula-mula timbul perut
kembung, rasa tak enak perut intermiten, borborigmi, obstipasi atau feses
menjadi kecil (seperti pensil atau tahi kambing) bahkan tak dapat buang
angin atau feses. Sedangkan ileus akut umumnya disebabkan karsinoma
kolon tipe infiltratif. Tidak jarang terjadi intususepsi dan ileus karena
tumor pada pasien lansia, maka pada lansia dengan intususepsi harus
memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada ileus akut maupun
kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat muntah, mungkin usus
kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.
d. Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu didaerah
abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan pada koon belahan
kanan. Pasien lansia umumnya mengurus, dinding abdomen relatif
longgar, massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat mobil, setelah
menginvasi sekitar menjadi infeksi.
e. Anemia, pengurusan, demam, astenia dan gejala toksik sistemik lain.
Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan kronis
jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor
menyebabkan demam dan gejala toksik.
2. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumo
adalah penyakit sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar timbul
grjala stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam kavum pelvis
menimbulkan nyeri daerah lumbosakra, iskialgia dan neuralgia obturatoria; ke
anterior menginvasi mukosa vagina dan vesika urinaria menimbulkan
perdarhan pervaginam atau hematuria, bila parah dapat timbul fistel
rektovaginal, fistel rektovesikel; obstruksi ureter bilateral menimbulkan anuria,
uremia; tekanan pada retra menimbulkan retensi urin; asites, hambatan saluran
limfatik atau tekanan pada vena iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal,
labial; perforasi menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis ke
paru menimbulkan batuk, nafas memburu, hemoptisis; metastasis ke otak
menyebabkan koma; metastasis tulang menimbulkan nyeri tulang, pincang dll.
Akhirnya dapat timbul kakeksia, kegagalan sistemk (Japaries, 2013).
F. Pemeriksaan penunjang
Menurut Casciato (2004) ada beberapa macam pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi kanker kolon yaitu :
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting
jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukanya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna (Casciato, 2004).
2. Carsinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikopretein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan
sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum,
bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan
kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum
merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan
bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan (Casciato, 2004).
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini
sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum
opersai sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer
berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA
preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari dari metastase karena sel tumor
yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA (Casciato, 2004).
3. Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral,posterior, dan anterior,
serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana
sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel
neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin
dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat
dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang tidak
dapat begitu saja diabaikan (Schwartz, 2005).
4. Barium Enema
Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras
varium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang
tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan
jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang
telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium eneme sangat
rendah, yaitu sebesar 0,02% jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah
kontras larut air harus digunakan dari pada barium enema. Barium peritonitis
merupakan komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai
infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak
dapat menunjukan detail yang penting untuk menunjukam lesi kecil pada
mukosa kolon (Schwartz, 2005).
5. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3%
dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk
mempunyai polip premaligna (Casciato, 2004).
6. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160
cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukan
polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan
kolonoskopi sebesar sebesar 94%, lebih baik dari pada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah kolonoskopi juga
dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi
dari struktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul
kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat
berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari Inflamatory Bowel Disease,
non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleedin, megakolon
non toksik, struktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada
kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik (Schwartz, 2005).
G. Penatalaksanaan umum
1. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima
sebagai penangan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif untuk
kaker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas
dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari
kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum
margin 5 cm bebas tumor (Casciato, 2004).
Menurut Haryono (2012), pembedahan merupakan tindakan primer pada
kira-kira 75% pasien dengan kanker kolorektal.
Pembedahan dapat bersifat kuratif atau palliative. Kanker yang terbatas
pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolosotomi laparoskopik
dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk
meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop
digunakan sebagai pedoman dalan membuat keputusan dikolon massa tumor
kemudian dieksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A
dan semua kelas B serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi
kanker kolon D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah palliative. Apabila
tumor telah menyebar dan mencangkup struktur vital sekitarnya, maka operasi
tidak dapat dilakukan.
2. Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian
terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara
radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker (Henry Ford,
2006).
3. Kemotherapi
Kemoterapi dalam bahasa inggris (chemotherapy) adalah penggunaan zat
kimia untuk perawatan penyakit. Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia untuk
perawatan penyakit. Dalam penggunaan modernnya, istilah ini hampir merujuk
secara eksklusif kepada obat sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker.
Kemoterapi bermanfaat untuk menurunkan ukuran kanker sebelum operasi,
merusak semua sel-sel kanker yang tertinggal setelah operasi, dan mengobati
beberapa macam kanker darah. Kemoterapi Merupakan bentuk pengobatan
kanker dengan menggunakan obat sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat
menghambat proliferasi sel- sel kanker.
Kemoterapi memerlukan penggunaan obat untuk menghancurkan sel kanker.
Walaupun obat ideal akan menghancurkan sel kanker dengan tidak merugikan
sel biasa, kebanyakan obat tidak selektif. Malahan, obat didesain untuk
mengakibatkan kerusakan yang lebih besar pada sel kanker daripada sel biasa,
biasanya dengan menggunakan obat yang mempengaruhi kemampuan sel untuk
bertambah besar. Pertumbuhan yang tak terkendali dan cepat adalah ciri khas sel
kanker. Tetapi, karena sel biasa juga perlu bertambah besar, dan beberapa
bertambah besar cukup cepat (seperti yang di sumsum tulang dan garis sepanjang
mulut dan usus), semua obat kemoterapi mempengaruhi sel biasa dan
menyebabkan efek samping.
Tujuan pemberian kemoterapi : Pengobatan, Mengurangi massa tumor
selain pembedahan atau radiasi, Meningkatkan kelangsungan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup, Mengurangi komplikasi akibat metastase.
Kemoterapi dapat diberikan dengan cara Infus, Suntikan langsung (pada otot,
bawah kulit, rongga tubuh) dan cara Diminum (tablet/kapsul).
Efek samping yang bisa timbul adalah antara lain: Lemas, Mual dan
Muntah, Gangguan Pencernaan, Sariawan, Efek Pada Darah, Otot dan Saraf,
Kulit dapat menjadi kering dan berubah warna, dan Produksi Hormon.
Dalam beberapa penelitian kemoterapi mampu menekan jumlah kematian
penderita kanker tahap dini, namun bagi penderita kanker tahap akhir /
metastase, tindakan kemoterapi hanya mampu menunda kematian atau
memperpanjang usia hidup pasien untuk sementara waktu. Bagaimanapun
manusia hanya bisa berharap sedangkan kejadian akhir hanyalah Tuhan yang
menentukan.
H. Asuhan Keperawatan teori
Pengkajian yang dapat dilakukan menurut wijaya dan putri (2013),
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian
a. Data Demografi
1) Kanker klorektal sering ditemukan terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
2) Pada wanita sering ditemukan kanker kolon dan kanker rekti lebih sering
terjadi pada laki-laki.
b. Riwayat kesehatan dahulu
1) Kemungkinan pernah menderita polip kolon, radang kronik kolon dan
kolitis ulseratif yang tidak teratasi.
2) Adanya infeksi dan obstruksi pada usus besar.
3) Die atau konsumsi diet yang tidak baik, tinggi protein, tinggi lemak dan
rendah serat.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat kanker pada keluarga, diidentifikasi kanker yang
menyerang tubuh atau organ termasuk kanker kolorektal adalah diturunkan
sebagai sifat dominan.
d. Riwayat kesehatan sekarang
1) Klien mengeluh lemah, nyeri abdomen dan kembung.
2) Klien mengeluh perubahan pada defekasi : Buang Air Besar (BAB) seperti
pita, diare yang bercampur darah dan lendir dan rasa tidak puas setelah
buang air besar.
3) Klien megalami anoreksia, mual, muntah dan penurunn berat badan.
e. Pemeriksaan fisik
1) Mata : konjungtiva subanemis / anemis.
2) Leher : distensi vena jugularis (JVP).
3) Mulut : mukosa mulut kering dan pucat, lidah pecah – pecah dan bau
yang tidak enak.
4) Abdomen : distensi abdomen, adanya teraba massa, penurunn bising usus
dan kembung.
5) Kulit : turgor kulit buruk, kering (dehidrasi / malnutrisi.
f. Pengkajian Fungsional Gordon
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, merasa gelisah dan
ansietas, tidak tidur semalaman karena diare, pembatasan aktivitas / kerja
sehubungan dengan efek proses penyakit.
2) Pernafasan : nafas pendek, dispnea (respon terhadap nyeri yang dirasakan)
yang ditandai dengan takipnea dan frekuensi menurun.
3) Sirkulasi
Tanda : Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan
nyeri), hopotensi, kulit/membran : turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah,
(dehidrasi/malnutrisi).
4) Integritas Ego
Gejala : ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal : perasaan tak berdaya/tak
ada harapan.
Faktor stress akut/kronis : misal hubungan dengan keluarga / pekerjaan,
pengobatan yang mahal.
Tanda : menolak, perhatian yang menyempit, depresi.
5) Eliminasi
Gejala : tekstur feses bervariasi dan bentuk lunak sampai bau. Episode
diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tak dapat
dikontrol (sebanyak 20-30 kali/hari), perasaan tidak nyaman/tidak puas,
deteksi berdarah/ mukosa dengan atau tanpa keluar feses.
Tanda : menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya
peristaltik yang dapat dilihat, oliguria.
6) Makan / Cairan
Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tidak toleran
terhadap diit/sensitif (misal : buah segar/massa otot, kelemahan, tonus otot
dan turgor kulit buru, membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga
mulut.
7) Hygine
Tanda : ketidakmampuan melakukan perawatan diri, stomatitis,
menunjukan kekurangan vitamin.
8) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri bawah.
9) Keamanan
Gejala : adanya riwayat polip, radang kronik viseratif.
10) Muskuloskeletal : penurunan kekuatan otot, kelemahan dan malaise (diare,
dehidrasi, dan malnutrisi).
11) Seksualitas
Gejala : tidak bisa melakukan hubungan seksual/ frekuensi menurun.
12) Interaksi Sosial
Gejala : masalah hubungan / peran sehubungan dengan kondisi
ketidakmampuan aktif dalam sosial. Diyono, Japaries, Kumar dkk, Muttaqin
(2013).
I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan berdasarkan analisa data menurut (Marilynn E,
1999) (Brunner & Suddarth, 2001)  dan (Lynda Juall, 1997) Ansietas / ketakutan
berhubungan dengan krisis situasi (kanker)
1. Ansietas/ ketakutan berhubungan dengan krisis situasi (kanker)
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan kulit sekunder
terhadap tindakan pembedahan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status
hipometabolik berkenaan dengan kanker.
j. implementasi
1. Ansietas/ ketakutan berhubungan dengan krisis situasi (kanker)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan ansietas dapat berkurang atau
dapat dikontrol.
Intervensi :
a) Dorong pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan.
b) Berikan lingkungan terbuka dimana pasien merasa aman.
c)  Pertahankan kontak sering dengan pasien.
d) Bantu pasien/ orang terdekat dalam mengenali rasa takut
e) Tingkatkan rasa tenang dan lingkungan tenang
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan kulit sekunder
terhadap tindakan pembedahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat
melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh minimal.
Intervensi:
a) Tentukan riwayat nyeri, misalnya lokasi nyeri, frekuensi, durasi, dan intensitas,
serta tindakan penghilang yang dilakukan.
b)  Berikan tindakan kenyamanan dasar dan aktivitas hiburan.
c) Dorong ketrampilan manajemen nyeri misalnya teknik relaksasi napas dalam
(dengan cara tarik nafas melalui hidung tahan sampai hitungan sepuluh lalu
hembuskan pelan -pelan melalui mulut sambil dirasakan), tertawa, musik, dan
sentuhan terapetik.
d) Evaluasi penghilangan nyeri/ kontrol.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status
hipermetabolik berkenaan dengan kanker .
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat
mendemonstrasikan berat badan stabil.   
Intervensi :
a) Pantau masukan setiap hari.
b) Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
c) Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori dan kaya nutrien dengan
masukan cairan adekuat.
d) Dorong pasien untuk makan dengan porsi kecil tetapi sering.
e) Ciptakan suasana makan yang menyenangkan.
f) Identifikasi pasien yang mengalami mual/muntah yang diantisipasi.
DAFTAR PUSTAKA

Haryono, R. 2010. Medikal Keperawatan Sistem Pencernaan. Yogyakarta: Gosyen


Publising

Penzzoli A, Matarese V, Rubini M. (2007). Colorectal Cancer Screening : Result Of 5-


Years Program In Asymptomatic Subjects At Increased Risk. Difestive and liver
disease

Diyono. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan. Jakarta : EGC

Japaries, W. (2013). Onkologi Klinis. Jakarta : fakultas kedokteran universitas indonesia.

Casciato, DA., 2004. Manual of Clinical Oncology. 5th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins. USA

Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.

Soebachman, Agustina. (2011). Awas, 7 Kanker Paling Mematikan !. Yogjakarta : Syura


Media Utama.

Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai