Anda di halaman 1dari 4

Asas-Asas Hukum Waris Islam

Hukum kewarisan Islam, adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan
dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia kepada ahli warisnya. Pengertian asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan
berpikir seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam
hidupnya.
Hukum Islam mempunyai asas-asas hukum yang diambil dari al -Qur’an dan As-
Sunnah, dan hal tersebut juga diikuti oleh para Ulama Indonesia dalam menyusun
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Asas -asas tersebut adalah:
a.Asas ijbari
Asas ijbari secara harfiah berarti memaksa. Asas ini merupakan kelanjutan dari
prinsip tauhid yang mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan
Allah tanpa digantungkan kepada kehendak si-pewaris atau ahli warisnya.

Unsur memaksa dalam Hukum waris ini karena kaum muslimin terikat untuk taat
kepada Hukum Allah sebagai konsekuensi logis dari pengakuannya kepada Allah dan
kerasulan Muhammad seperti dinyatakan melalui dua kalimah sahadat. Peralihan harta
yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia sesuai dengan firman Allah dalam al-
quran surat an-nisa ayat.
Asas ijbari Hukum kewarisan islam dapat dilihat dari unsur – unsure memaksa
atau kepastian dalam asas termaksud, yang mengandung arti bahwa peralihan harta
tersebut terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah swt. tanpa tergantung kepada
kehendak dari pewaris ataupun permintaan ahli warisnya
Asas Ijbari dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 171 bagian c,
ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang hukum untuk
menjadi ahli waris
Hal ini menjelaskan bahwa apabila si pewaris meninggal dan meninggalkan harta
waris, maka yang berhak menerima harta warisan tersebut adalah para ahli waris tanpa
harus meminta ijin kepada orang lain.Dengan perkataan lain, dengan adanya kematian si
pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, tanpa terkecuali apakah
ahli warisnya suka menerima atau tidak (Demikian juga halnya bagi si pewaris).

b. Asas Bilateral
Asas bilateral artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak,
yaitu dari pihak kerabat keturunan laki - laki dan dari pihak kerabat keturunan
perempuan. Asas ini dapat dijumpai dasar hukum nya dalam al-Qur’an surat an -Nisa
ayat 7, 11, 176. Ayat ini menjelaskan bahwa seorang laki - laki berhak mendapat warisan
dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga perempuan ia berhak mendapat
warisan dari kedua orangtuanya.

Anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana


halnya dengan anak laki - laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki - laki
sebanyak bagian dua oang anak perempuan. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya,
baik laki - laki maupun perempuan, sebesar seperenam. Demikian juga ayah berhak
menerima warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam,
bila pewaris meninggalkan anak.
Bila seorang laki - laki mati punah, maka saudaranya yang laki - lakilah yang
berhak atas harta peninggalannya, juga saudaranya yang perempuan berhak mendapat
harta warisannya itu, Bila pewaris yang mati punah itu seorang perempuan, maka
saudaranya baik laki -laki maupun perempuan berhak menerima harta warisannya.
Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara
laki -laki itulah yang berhak menerima harta warisan.
c. Individual Asas
Asas Individual artinya harta warisan dapat dibagi bagi kepada masing - masing
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan, dalam
melaksanakan asas ini seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang
kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
masing - masing.
Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat
kepada ahli waris yang lain,karena bagian masing - masing telah ditentukan. Dasar
Hukum asas ini pun merujuk kepada surat an-Nisa ayat 12, dan 176.
d. Keadilan yang Berimbang
Keadilan yang berimbang artinya harus senantiasa terdapat keseimbangan antara
hak dan kewajiban,antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus
ditunaikannya. Misalnya laki – laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan
kewajiban yang dipikulnya masing -masing kelak dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Asas keadilan atau keseimbangan disini mengandung arti bahwa harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh
seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Dalam hukum kewarisam islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris
dari pewaris pada hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap
keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing - masing ahli waris harus
berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing -masing terhadap keluarganya.
Seorang laki -laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, yakni mencukupi
keperluan hidup anak dan istrinya menurut kemampuannya.
Tanggung jawab perempuan dan laki -laki sangat berbeda, tanggung jawab
perempuan tidak seberat tanggung jawab laki -laki terhadap keluarganya. Perempuan
justru harus menerima infaq, tempat tinggal, dan nafkah lainnya dari suaminya. Dengan
demikian, sesungguh nya manfaat yang dirasakan oleh laki -laki dan perempuan dari
harta peninggalan yang mereka peroleh adalah sama. Dapatkah dipahami rasa kadilan
Hukum islam dalam kewarisan dimana bagian anak laki -laki dua kali bagian anak
perempuan itu didasarkan atas perbedaan tanggung jawab yang hakikatnya masing-
masing sama dari perbedaan pembagian tersebut.

e.Asas Waratsa
Waratsa dalam Al-Qur’an mengandung pengertian makna peralihan harta setelah
kematian. Asas waratsa ini menyatakan bahwa kewarisan itu hanya ada kalau ada yang
meninggal dunia. Ini Ini berarti bahwa kewarisan dalam hukum islam itu semata-mata
sebagai akibat dari kematian seseorang Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang
merupakan kewarisan itu hanya terjadi bila orang yang mempunyai harta meninggal
dunia. Harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan sebutan sebagai
harta warisan selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
Asas ini sekaligus menolak asas kewarisan testament yang dianut dalam asas
kewarisan hukum perdata barat. Ketentuan kewarisan dalam kompilasi hukum islam
hanya akan terjadi kalau pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar-
benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar -benar hidup pada saat meninggalnya
pewaris tersebut dalamhal ini ada dua macam yaitu :
a) Meninggal secara hakiki yaitu hakikat dapat dipersaksikan bahwa pewaris benar-benar
telah meninggal dunia.
b) Meninggal secara hukmi : yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan meninggal itu
tidak dapat disaksikan kematiannya tetapi karena dengan kuat tentang hal itu telah
terjadi maka supaya ahli waris tidak ternanti -nanti dalam ketidak pastian Hukum
kewarisan dan pemilikan harta mereka dapat meminta kepengadilan agama untuk
menetapkan matinya pewaris secara hukmi.
Hal ini bisa terjadi karena lamanya pewaris tidak pulang, untuk mencapai
kepastian Hukum seperti ini maka pengadilan dapat memberikan keputusannya. Hal ini
sejalan dengan maksud pasal 171 KHI. Dengan demikian persoalan kematian dalam
islam adalah menjadi suatu hal yang sangat menentukan dan akan menciptakan Hukum
baru, bahkan menjadi kajian yang strategis, dalam kaitannya dengan penetapan rentetan
Hukum waris.

Anda mungkin juga menyukai