Anda di halaman 1dari 153

PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN INFEKSI (PPI)

Tim Penyusun:

Belian Anugrah Estri, S.ST., MMR

Intan Mutiara Putri, S,ST., M.Keb

Luluk Rosida S.ST., MKM

Agustin Endriyani S.ST., M.Keb

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

TAHUN 2019

i
PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN INFEKSI (PPI)

Disusun oleh :

Belian Anugrah Estri, S.ST., MMR

Intan Mutiara Putri, S,ST., M.Keb

Luluk Rosida S.ST., MKM

Agustin Endriyani S.ST., M.Keb

Setting & Layout : Unisa Creative

Desain Cover : Unisa Creative

Cetakan 1, 3 Juli 2019

ISBN 978-602-0739-21-2

Diterbitkan

Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

JL. Siliwangi Rig Road Barat No. 63, Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman,

Yogyakarta

Telp: (0274) 4469199, Fax : (02740 4469204

Email: info@unisayogya.ac.id

Website : www.unisayogya.ac.id

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakaatuh

Alhamdulillahirobbil ‘alamiin, dengan mengucap syukur kehadirat Allah

SWT, kami dapat menyelesaikan Buku Panduan “Pelatihan Pengendalian dan

Pencegahan Infeksi” sehingga dapat digunakan dalam kegiatan Pelatihan

mahasiswa Prodi Kebidanan Program Sarjana Terapan Universitas ‘Aisyiyah

Yogyakarta.

Buku Panduan ini dibuat untuk dengan tujuan untuk meningkatkan

kompetensi mahasiswa, sebagai pendoman serta acuan dalam pemberian

pelayanan prima di instansi kesehatan . Buku Panduan Pelatihan ini ditujukan

kepada peserta pelatihan Pengendalian dan Pencegahan Infeksi. Penulis

menyadari buku ini memiliki kekurangan. Penulis menerima dan sangat

menharapkan berbagai masukan dankritikan yang membangun demi

penyempurnaan panduan ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Yogyakarta, Juli 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................i

KEPENGARANGAN ......................................................................................ii

KATA PENGANTAR ......................................................................................iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................1

A. Latar Belakang ..........................................................................1

B. Tujuan dan Sasaran ...................................................................4

C. Ruang Lingkup...........................................................................4

D. Konsep Dasar Penyakit Infeksi ..................................................4

BAB II KEWASPADAAN STANDAR DAN BERDASARKAN TRANSMISI ... 12

BAB III KEWASPADAAN TRANSMISI .....................................................68

BAB IV STANDAR KESELAMATAN PASIEN .................................................. 74

BAB V PENGELOLAAN DAN PEMBELAJARAN LABORATORIUM .......... 90

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................149

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penularan infeksi yang sering terjadi di lingkungan pelayanan medis,

sangat beresiko terpapar ke tenaga kesehatan, pasien, pengunjung dan

karyawan. Pelayanan kesehatan yang diberikan ke pasien harus didukung

oleh sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai pelayanan yang

prima dan optimal. Proses dalam mewujudkan Pelayanan yang prima dan

optimal dapat diwujudkan dengan kemampuan kognitif dan motoric yang

cukup yang harus dimiliki oleh setiap petugas kesehatan. Seperti yang kita

ketahui pengendalian infeksi di setiap pelayanan kesehatan merupakan

rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib dilakukan oleh Tim Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi dan merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan

administrasi menuju proses akreditasi. Infeksi nosokomial adalah suatu

infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dirawat di Rumah Sakit,

puskesmas, dan layanan kesehatan lainya.

Infeksi Nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba

pathogen yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya.

Akibat lainnya yang juga cukup merugikan adalah hari rawat penderita yang

bertambah, beban biaya menjadi semakin besar, serta merupakan bukti bahwa

manajemen pelayanan medis rumah sakit kurang membantu. Infeksi

nosokomial yang saat ini disebut sebagai healthcare associated Infection

(HAIs) merupakan masalah serius bagi semua sarana pelayanan kesehatan di

1
seluruh dunia termasuk Indonesia. Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan

merupakan tempat pemeliharaan kesehatan. Pasien mempercayakan

sepenuhnya kesehatan dirinya atau keluarganya kepada petugas kesehatan,

maka kewajiban petugas kesehatan adalah menjaga kepercayaan tersebut.

Pelaksanaan Kewaspadaan Universal merupakan langkah penting

untuk menjaga sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai

tempat penyembuhan, bukan menjadi sumber infeksi. Berkaitan dengan hal

di atas maka diperlukan rangkaian program yang berkesinambungan dalam

rangka pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI). Untuk meminimalkan

risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan

lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI). Rumah

Sakit/Klinik sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak saja

memberikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif tetapi juga memberikan

pelayanan preventif dan promotif.

Pengendalian dan pencegahan infeksi telah mengalami bebrapa

perubahan, menyesuaikan dari hasil monitoring evaluasi selama dilahan. Di

Indonesia, secara Nasional, telah dimulai pembangunan sistematik kerangka

pikir dan pengorganisasian upaya PPI RS oleh Kementerian Kesehatan.

Upaya ini dibangun melalui penyusunan struktur organisasi dan tatakelola

PPI di RS (dijabarkan dalam Pedoman Manajerial PPIRS–KepMenKes No.

27/Menkes/SK/III/2007; revisi 2011). Program dasar PPI RS di Indonesia

dikembangkan berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

di RS dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lain (Depkes, 2007; revisi 2011)

2
meliputi pencegahan transmisi infeksi melalui penerapan kewaspadaan

standar dan kewaspadaan isolasi, pengendalian resistensi antibiotika melalui

penggunaan antibiotika dan disinfektan secara bijaksana, surveilans infeksi

RS yang berfokus pada studi epidemiologi dan analisis risiko, pengelolaan

peralatan dan kebersihan lingkungan, perlindungan dan profilaksis petugas

serta edukasi staf. Penyiapan sumber daya manusia yang kompeten dalam

bidang PPI difasilitasi melalui berbagai pelatihan dan lokakarya berjenjang

mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjut secara berkesinambungan

(Sulistomo et al., 2009 ; KARS, 2011 ; JCI, 2014).

Pedoman ini memberi panduan bagi petugas kesehatan di Rumah

Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam melaksanakan

pencegahan dan pengendalian infeksi pada pelayanan terhadap pasien

yang menderita penyakit menular melalui udara (airborne). Dengan

pengalaman yang sudah ada dengan pelayanan pasien SARS, pedoman ini

dapat juga diterapkan untuk menghadapi penyakit-penyakit infeksi

lainnya (Emerging Infectious Diseases) yang mungkin akan muncul di

masa mendatang, baik yang menular melalui droplet, udara atau kontak.

Melihat pentingnya pemahaman terkait pencegahan dan pengendalian

infeksi di layanan kesehatan, memberikan masukan bagi institusi pendidikan

dalam peningkatan proses pembelajaran yang dilakukaan di pendidikan dalam

persiapan mencetak SDM yang mumpuni. Salah satu upaya yang dilakukan

untuk menambah pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dalam persiapan

kebutuhan SDM di dunia kerja, yaitu dengan dilaksanakannya pelatihan

3
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI). Pelatihan Pengendalian dan

Pencegahan Infeksi akan dilaksanakan seama 2 hari dimana meliputi

pembelajaran teori dan praktik ketrampilan. Pelatihan PPI ini dilakukan

sesuai pedoman terbaru yaitu Permenkes No 27 Tahun 2017. Pelaksanaan

pelatihan PPI diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi alumni

institusi pendidikan yang khusunya adalah layanan kesehatan. Pelatihan ini di

rancang guna memberikan bekal dan penguatan yang sudah diberikan

mampu menciptakan lulusan Kebidanan Program Sarjana Terapan

Universitas ‘Aisyiyah yang mampu bersaing dan siap pakai dalam dunia

kerja.

B. Tujuan dan Sasaran

Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga

melindungi sumber daya manusia kesehatan, pasien dan masyarakat dari

penyakit infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

Sasaran Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan disusun untuk

digunakan oleh seluruh pelaku pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan

yang meliputi tingkat pertama, kedua, dan ketiga.

C. Ruang Lingkup

4
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan

PPI terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs)

berupa langkah yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs

(bundles), surveilans HAIs, pendidikan dan pelatihan serta penggunaan anti

mikroba yang bijak. Disamping itu, dilakukan monitoring melalui Infection

Control Risk Assesment (ICRA), audit dan monitoring lainya secara berkala.

Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Praktik Mandiri

wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk fasilitas pelayanan

kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan yang di

lakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

D. Konsep Dasar Penyakit Infeksi

Infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, termasuk

Indonesia. Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari

komunitas (Community acquired infection) atau berasal dari lingkungan

rumah sakit (Hospital acquired infection) yang sebelumnya dikenal

dengan istilah infeksi nosokomial. Dengan berkembangnya sistem

pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang perawatan pasien, sekarang

perawatan tidak hanya di rumah sakit saja, melainkan juga di fasilitas

pelayanan kesehatan lainnya, bahkan perawatan di rumah (home care).

Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

dimaksudkan untuk tujuan perawatan atau penyembuhan pasien, bila

dilakukan tidak sesuai prosedur berpotensi untuk menularkan penyakit

infeksi, baik bagi pasien (yang lain) atau bahkan pada petugas

5
kesehatan itu sendiri. Karena seringkali tidak bisa secara pasti ditentukan

asal infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital acquired

infection) diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare-associated

infections” (HAIs) dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah

sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Juga tidak

terbatas infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas

kesehatan yang didapat pada saat melakukan tindakan perawatan pasien.

Khusus untuk infeksi yang terjadi atau didapat di rumah sakit,

selanjutnya disebut sebagai infeksi rumah sakit (Hospital infection).

Pencegahan dan Pengendalian infeksi menjadi bagian penting dalam

upaya meningkatkan mutu pelayanan medis dan asuhan keperawatan di

Puskesmas yang berfokus pada keselamatan pasien, petugas dan lingkungan

puskesmas. Kinerja PPI dicapai melalui keterlibatan aktif semua petugas

Puskesmas, mulai dari jajaran manajemen, dokter, perawat, paramedis,

pekarya, petugas kebersihan, sampai dengan petugas parkir dan satpam

maupun seluruh masyarakat di puskesmas seperti pengunjung, mitra kerja

puskesmas (Bank, asuransi, rekanan penyedia barang, dll). Kegiatan PPI

harus dilakukan secara tepat di semua bagian/area di Puskesmas, mencakup

seluruh masyarakat puskesmas dengan menggunakan prosedur dan petunjuk

pelaksanaan yang ditetapkan oleh Puskesmas. Upaya pokok PPI mendasarkan

pada upaya memutus rantai penularan infeksi berfokus pada Kewaspadaan

Standar (Standart Precautions) yang merupakan gabungan Kewaspadaan

Universal (Universal Precautions) dan BSI (Body Substance Isolation) , serta

6
Kewaspadaan Isolasi berdasarkan transmisi penyakit.

Untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi

khususnya infeksi rumah sakit, perlu memiliki pengetahuan mengenai

konsep dasar penyakit infeksi. Pada bab ini akan dibahas mengenai

beberapa pengertian tentang infeksi dan kolonisasi, inflamasi, rantai

penularan penyakit, faktor risiko terjadinya infeksi (HAIs), serta strategi

pencegahan dan pengendalian infeksi.

1. Beberapa Batasan/Definisi

a. Kolonisasi : merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya

agen infeksi, dimana organisme tersebut hidup, tumbuh dan

berkembang biak, tetapi tanpa disertai adanya respon imun atau

gejala klinik. Pada kolonisasi, tubuh pejamu tidak dalam keadaan

suseptibel. Pasien atau petugas kesehatan bisa mengalami kolonisasi

dengan kuman patogen tanpa menderita sakit, tetapi dapat

menularkan kuman tersebut ke orang lain. Pasien atau petugas

kesehatan tersebut dapat bertindak sebagai “Carrier”.

b. Infeksi : merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen

infeksi (organisme), dimana terdapat respon imun, tetapi tidak

disertai gejala klinik.

c. Penyakit infeksi : merupakan suatu keadaan dimana ditemukan

adanya agen infeksi (organisme) yang disertai adanya respon imun

dan gejala klinik.

7
d. Penyakit menular atau infeksius : adalah penyakit (infeksi)

tertentu yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

e. Inflamasi (radang atau perdangan lokal) : merupakan bentuk

respon tubuh terhadap suatu agen (tidak hanya infeksi, dapat

berupa trauma, pembedahan atau luka bakar), yang ditandai

dengan adanya sakit/nyeri (dolor), panas (calor), kemerahan

(rubor), pembengkakan (tumor) dan gangguan fungsi.

f. “Systemic Inflammatory Response Syndrome ” (SIRS) : sekumpulan

gejala klinik atau kelainan laboratorium yang merupakan respon

tubuh (inflamasi) yang bersifat sistemik. Kriteria SIRS bila

ditemukan 2 atau lebih dari keadaan berikut : (1) hipertermi atau

hipotermi atau suhu tubuh yang tidak stabil, (2) takikardi (sesuai

usia), (3) takipnoe (sesuai usia), serta (4) leukositosis atau

leukopenia (sesuai usia) atau pada hitung jenis leukosit jumlah sel

muda (batang) lebih dari 10%. SIRS dapat disebabkan karena

infeksi atau non-infeksi seperti trauma, pembedahan, luka bakar,

pankreatitis atau gangguan metabolik. SIRS yang disebabkan

infeksi disebut “Sepsis”.

8
2. Rantai Penularan

Untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian

infeksi perlu mengetahui rantai penularan. Apabila satu mata rantai

dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan.

Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan tersebut adalah:

a. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang

dapat menyebabkan infeksi. Pada manusia, agen infeksi dapat

berupa bakteri virus, jamur dan parasit. Ada 3 faktor pada agen

penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu :

patogenesis, virulensi dan jumlah (dosis atau “lood”).

b. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh,

berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir

yang paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,

tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada orang sehat,

permukaan kulit, selaput lendir saluran napas atas, usus dan vagina

merupakan reservoir yang umum.

c. Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan darimana agen infeksi

meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi saluran pernapasan,

pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana

mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.

d. Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi

memasuki pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui

9
saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin,

selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).

e. Pejamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak

memiliki daya tahan tubuh yang cukup untuk melawan agen

infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau penyakit. Faktor

yang khusus dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi, status

imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau

pembedahan, pengobatan dengan imunosuresan. Faktor lain yang

mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis

tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

Agen
Host/Pejamu
Reservoar
Rentan

INFEKSI

Tempat Tempat
Masuk Keluar
Metode
Penularan

Gambar 1. Skema rantai penularan penyakit infeksi

3. Faktor Risiko “Healthcare-associated infections” (HAIs)

a. Umur : neonatus dan lansia lebih rentan.

10
b. Status imun yang rendah/terganggu (imuno-kompromais)

:penderita dengan penyakit kronik, penderita keganasan, obat-

obat imunosupresan.

c. Interupsi barier anatomis : kateterisasi meningkatkan

kejadian infeksi saluran kemih (ISK).

d. Prosedur Operasi : dapat menyebabkan infeksi luka operasi (ILO)

atau “Surgical Site Infection” (SSI).

e. Implantasi benda asing :

1) “indwelling catheter”

2) “surgical suture material”

3) “cerebrospinal fuid shunts”

4) “valvular / vascular prostheses”

f. Perubahan mikroflora normal : pemakaian antibiotika yang

tidak bijaksana menyebabkan timbulnya kuman yang

resisten terhadap berbagai antimikroba.

4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara

suseptibilitas pejamu, agen infeksi (patogenitas, virulensi dan dosis)

serta cara penularan. Identifikasi faktor risiko pada pejamu dan

pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden

terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas

kesehatan.

11
5. Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :

a. Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat

meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi

Hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin).

Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat

akan meningkatkan daya tahan tubuh.

b. Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat

dilakukan dengan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode

fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan memasak

makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air,

disinfeksi

c. Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling

mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya

sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan

prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah

disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi)

yang terdiri dari dua pilar/tingkatan yaitu “Standard Precautions”

(Kewaspadaan standar) dan “Transmission- based Precautions”

(Kewaspadaan berdasarkan cara penularan). Prinsip dan komponen

apa saja dari kewaspadaan standar akan dibahas pada bab

berikutnya.

d. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure

Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas kesehatan. Hal ini terutama

12
berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui

darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka

tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu

mendapat perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C dan HIV. Untuk

lebih jelasnya akan dibahas pada bab selanjutnya

13
BAB II

KEWASPADAAN STANDAR DAN BERDASARKAN TRANSMISI

Ketika HIV/AIDS muncul pada tahun 1985, dibutuhkanlah suatu pedoman

untuk melindungi petugas pelayanan kesehatan dari terinfeksi. Oleh karena

penularannya termasuk Hepatitis C virus adalah melalui darah, maka disusunlah

pedoman yang disebut Kewaspadaan Universal (Universal Precaution). Sejak

diberlakukan dan diterapkan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya,

strategi baru ini telah dapat melindungi petugas pelayanan kesehatan (penularan

dari pasien ke petugas) serta mencegah penularan dari pasien ke pasien dan dari

petugas ke pasien.

Individu yang terinfeksi HIV atau HCV tidak menunjukkan gejala

penyakit atau terlihat sebagai layaknya seseorang yang terinfeksi, maka

Kewaspadaan Universal di modifikasi agar dapat menjangkau seluruh orang

(pasien, klien, pengunjung) yang datang ke fasilitas layanan kesehatan baik yang

terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.

Pada tahun 1987 diperkenalkan sistem pendekatan pencegahan infeksi

kepada pasien dan petugas kesehatan, yaitu Body Substance Isolation (BSI)

sebagai alternatif dari Kewaspadaan Universal.Pendekatan ini difokuskan untuk

melindungi pasien dan petugas kesehatan dari semua cairan lendir dan zat tubuh

(sekret dan ekskret) yang berpotensi terinfeksi, tidak hanya darah.Body Substance

Isolation (BSI) ini juga meliputi: imunisasi perlindungan bagi pasien dan staf

fasilitas layanan kesehatan yang rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui

14
udara atau butiran lendir (campak, gondong, cacar air dan rubela), termasuk

imunisasi hepatitis B dan toksoid tetanus untuk petugas, mengkajiulang instruksi

bagi siapapun yang akan masuk ke ruang perawatan pasien terutama pasien

dengan infeksi yang ditularkan lewat udara (Lynch dkk, 1990).

Sistem Body Substance Isolation (BSI) lebih cepat diterima daripada

sistem Kewaspadaan Universal karena lebih sederhana, lebih mudah dipelajari

dan diterapkan dan dapat diberlakukan untuk semua pasien, tidak hanya pada

pasien yang didiagnosis atau dengan gejala yang mungkin terinfeksi tetapi tetap

berisiko bagi pasien dan staf lainnya. Kelemahan sistem ini antara lain:

membutuhkan biaya tambahan untuk perlengkapan pelindung terutama sarung

tangan, kesulitan dalam perawatan rutin harian bagi semua pasien, ketidak pastian

mengenai pencegahan terhadap pasien dalam ruang isolasi serta penggunaan

sarung tangan yang berlebihan untuk melindungi petugas dengan biaya

dibebankan kepada pasien.

Keberadaan kedua sistem ini pada awal 1990 mengakibatkan fasilitas

pelayanan dan petugas kesehatan tidak dapat memilih pedoman pencegahan mana

yang harus digunakan. Sehingga pada beberapa rumah sakit telah diterapkan

Kewaspadaan Universal, sedangkan yang lainnya menerapkan Isolasi Zat Tubuh.

Kebingungan yang terjadi semakin besar dimana rumah sakit dan staf merasa

telah menerapkan Kewaspadaan Universal, padahal sebenarnya mereka

menerapkan Isolasi Zat Tubuh dan sebaliknya, termasuk banyaknya variasi lokal

dalam menginterpretasikan dan menggunakan Kewaspadaan Universal dan Isolasi

Zat Tubuh serta variasi kombinasi penggunaan kedua sistem tersebut. Ditambah

15
lagi dengan adanya kebutuhan untuk menggunakan kewaspadaan tambahan bagi

pencegahan penyakit yang ditularkan lewat udara (airborne), droplet dan kontak

badan, yang merupakan keterbatasan utama Isolasi Zat Tubuh (Rudnick dkk

1993).

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung

yang menerima pelayanan kesehatan serta masyarakat dalam lingkungannya

dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan

standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang memerlukan isolasi, maka

akan diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan standar dan

kewaspadaan berdasarkan transmisi.

16
A. Kewaspadaan Standar

Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama, dirancang untuk

diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan

fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik yang telah didiagnosis,diduga

terinfeksi atau kolonisasi. Diterapkan untuk mencegah transmisi silang

sebelum pasien di diagnosis, sebelum adanya hasil pemeriksaan laboratorium

dan setelah pasien didiagnosis.Tenaga kesehatan seperti petugas laboratorium,

rumah tangga, CSSD, pembuang sampah dan lainnya juga berisiko besar

terinfeksi. Oleh sebab itu penting sekali pemahaman dan kepatuhan petugas

tersebut untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak terinfeksi.

Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11 (sebelas)

komponen utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan

standar, yaitu kebersihan tangan, Alat Pelindung Diri (APD), dekontaminasi

peralatan perawatan pasien,kesehatan lingkungan, pengelolaan limbah,

penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas, penempatan pasien,

hygiene respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman dan

praktik lumbal pungsi yang aman

17
Kesebelas kewaspadaan standar tersebut yang harus di terapkandi

semua fasilitas pelayanan kesehatan, sebagai berikut:

1. Kebersihan Tangan

Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan

menggunakan sabun dan air mengalir bila tangan jelas kotor atau terkena

cairan tubuh, atau menggunakan alkohol (alcohol-based handrubs)bila

tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus selalu bersih dan terpotong

pendek, tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan cincin. Cuci tangan

dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir, dilakukan

pada saat:

a. Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu

darah, cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti

verband, walaupun telah memakai sarung tangan.

18
b. Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya

yang bersih, walaupun pada pasien yang sama.

c. Indikasi kebersihan tangan:

1) Sebelum kontak pasien;

2) Sebelum tindakan aseptik;

3) Setelah kontak darah dan cairan tubuh;

4) Setelah kontak pasien;

5) Setelah kontak dengan lingkunga sekitar pasien

6) Kriteria memilih antiseptik:

7) Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak

mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram negative,virus

lipofilik,bacillus dan tuberkulosis,fungiserta endospore)

8) Efektifitas

9) Kecepatan efektifitas awal

10) Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam

pertumbuhan

11) Tidak menyebabkan iritasi kulit

12) Tidak menyebabkan alergi

Hasil yang ingin dicapai dalam kebersihan tangan adalah mencegah

agar tidak terjadi infeksi, kolonisasi pada pasien dan mencegah

kontaminasi dari pasien ke lingkungan termasuk lingkungan kerja petugas.

19
Gambar 2. Cara Kebersihan tangan dengan Sabun dan Air

Diadaptasi dari: WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First

Global Patient Safety Challenge, World HealthOrganization, 2009.

20
2. Alat Pelindung Diri (APD)

a. UMUM

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai berikut:

1) Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di

pakai petugas untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia,

biologi/bahan infeksius.

2) APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat,

pelindung mata (goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup

kepala, gaun pelindung/apron, sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot).

3) Tujuan Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran

mukosa dari resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta,

kulit yang tidak utuh dan selaput lendir dari pasien ke petugas dan

sebaliknya.

4) Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang

memungkinkan tubuh atau membran mukosa terkena atau terpercik

darah atau cairan tubuh atau kemungkinan pasien terkontaminasi

dari petugas.

5) Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di

lakukan.

6) Tidak dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung

tangan sambil menulis dan menyentuh permukaan lingkungan.

21
Gambar 4. Alat Pelindung Diri (APD)

b. JENIS-JENIS APD

1) Sarung tangan

Terdapat tiga jenis sarung tangan, yaitu:

- Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan

tindakan invasif atau pembedahan.

- Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk melindungi

petugas pemberi pelayanan kesehatan sewaktu melakukan

pemeriksaan atau pekerjaan rutin

- Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses

peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu

membersihkan permukaan yang terkontaminasi.

Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks

karena elastis, sensitif dan tahan lama serta dapat disesuaikan dengan

ukuran tangan. Bagi mereka yang alergi terhadap lateks, tersedia dari

bahan sintetik yang menyerupai lateks, disebut „nitril‟. Terdapat


22
sediaan dari bahan sintesis yang lebih murah dari lateks yaitu „vinil‟

tetapi sayangnya tidak elastis, ketat dipakai dan mudah robek.

Sedangkan sarung tangan rumah tangga terbuat dari karet tebal, tidak

fleksibel dan sensitif, tetapi memberikan perlindungan maksimum

sebagai pelindung pembatas.

23
24
Gambar 5. Pemasangan sarung tangan
2) Masker

Masker digunakan untuk melindungi wajah dan membran

mukosa mulut dari cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien atau

permukaan lingkungan udara yang kotor dan melindungi pasien atau

permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat batuk atau

bersin. Masker yang di gunakan harus menutupi hidung dan mulut

serta melakukan Fit Test (penekanan di bagian hidung).

Terdapat tiga jenis masker, yaitu:

- Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah penularan

melalui droplet.

- Masker respiratorik, untuk mencegah penularan melalui

airborne.

- Masker rumah tangga, digunakan di bagian gizi atau dapur.

25
Gambar 6. Memakai Masker

Cara memakai masker:

o Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika

menggunakan kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang

kepala jika menggunakan tali lepas).

o Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher.

o Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung

dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk.

o Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di

bawah dagu dengan baik.

o Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker telah melekat

dengan benar.

26
Gambar 7. Menekan klip pada tulang hidung

Gambar 8. Masker respirator/partikulat

Pemakaian Respirator Partikulat

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau

FFP2 (health care particular respirator), merupakan masker khusus

dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel

berukuran <5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini

terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel

erat pada wajah tanpa ada kebocoran.Masker ini membuat

27
pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Sebelum memakai masker

ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit test :

o Ukuran respirator perlu disesuaikan dengan ukuran wajah.

o Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk

melihat adanya cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika cacat

atau terdapat lapisan yang tidak utuh, maka tidak dapat

digunakan dan perlu diganti.

o Memastikan tali masker tersambung dan menempel dengan baik

di semua titik sambungan.

o Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam dapat

disesuaikan bentuk hidung petugas.

Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan kurang aman

bila tidak menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang

dapat menimbulkan keadaan demikian, yaitu:

a) Adanya janggut dan jambang

b) Adanya gagang kacamata

c) Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat

mempengaruhi perlekatan bagian wajah masker.

28
29
Gambar 9.Langkah-langkah menggunakan respirator

Pemeriksaan Segel Positif

Hembuskan napas kuat-kuat. Tekanan positif di dalam

respirator berarti tidak ada kebocoran.Bila terjadi kebocoran atur

posisi dan/atau ketegangan tali.Uji kembali kerapatan respirator.

Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar-benar tertutup rapat.

Pemeriksaan Segel Negatif

a) Tarik napas dalam-dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan

negatif di dalam respirator akan membuat respirator menempel

ke wajah. Kebocoran akan menyebabkan hilangnya tekanan

negatif di dalam respirator akibat udara masuk melalui celah-

celah segelnya.

b) Lamanya penggunaan maksimal 1 (satu) minggu dengan

pemeliharaan yang benar.

c) Cara pemeliharaan dan penyimpanan yang benar (setelah dipakai

diletakkan di tempat yang kering dan dimasukkan dalam kantong

berlubang berbahan kertas).

30
3) Gaun Pelindung

Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju petugas dari

kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan tubuh, sekresi,

ekskresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian petugas pada

tindakan steril.

Jenis-jenis gaun pelindung:

o Gaun pelindung tidak kedap air

o Gaun pelindung kedap air

o Gaun steril

o Gaun non steril

Indikasi penggunaan gaun pelindung

Tindakan atau penanganan alat yang memungkinkan pencemaran

atau kontaminasi pada pakaian petugas, seperti:

o Membersihkan luka

o Tindakan drainase

o Menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang

pembuangan atau WC/toilet

o Menangani pasien perdarahan masif

o Tindakan bedah

o Perawatan gigi

Segera ganti gaun atau pakaian kerja jika terkontaminasi cairan

tubuh pasien (darah).

31
Cara memakai gaun pelindung:

Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga

bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang punggung.

Ikat di bagian belakang leher dan pinggang.

Gambar 10. Gaun pelindung

4) Goggle dan perisai wajah

Harus terpasang dengan baik dan benar agar dapat

melindungi wajah dan mata. Tujuan pemakaian Goggle dan perisai

wajah:

 Melindungi mata dan wajah dari percikan darah, cairan

tubuh,sekresi dan eksresi Indikasi:

 Pada saat tindakan operasi, pertolongan persalinan dan tindakan

persalinan tindakan perawatan gigi dan mulut, pencampuran B3

cair, pemulasaraan jenazah, penanganan linen terkontaminasidi

laundry, di ruang dekontaminasi CSSD.

32
Gambar 11. Penutup Wajah

Gambar 12. Memakai Goggle

5) Sepatu pelindung

Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah melindung kaki

petugas dari tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya

dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan

alat kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar berfungsi optimal.

Jenis sepatu pelindung seperti sepatu boot atau sepatu yang menutup

seluruh permukaan kaki.

33
Indikasi pemakaian sepatu pelindung:

o Penanganan pemulasaraan jenazah

o Penanganan limbah

o Tindakan operasi

o Pertolongan dan Tindakan persalinan

o Penanganan linen

o Pencucian peralatan di ruang gizi

o Ruang dekontaminasi CSSD

Gambar 13. Sepatu Pelindung

6) Topi pelindung

Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk mencegah

jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala

petugas terhadap alat-alat/daerah steril atau membran mukosa pasien

dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari

percikan darah atau cairan tubuh dari pasien.

Indikasi pemakaian topi pelindung:

o Tindakan operasi

o Pertolongan dan tindakan persalinan

34
o Tindakan insersi CVL

o Intubasi Trachea

o Penghisapan lendir massive

o Pembersihan peralatan kesehatan

Gambar 14.Topi Pelindung

c. PELEPASAN APD

Langkah-langkah melepaskan APD adalah sebagai berikut:

o Lepaskan sepasang sarung tangan

o Lakukan kebersihan tangan

o Lepaskan apron

o Lepaskan perisai wajah (goggle)

o Lepaskan gaun bagian luar

o Lepaskan penutup kepala

35
o Lepaskan masker

o Lepaskan pelindung kaki

o Lakukan kebersihan tangan

Gambar 15. Pelepasan APD

36
1) Melepas sarung tangan

a) Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi.

b) Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan

lainnya, kemudian lepaskan.

c) Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan menggunakan

tangan yang masih memakai sarung tangan.

d) Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan

di bawah sarung tangan yang belum dilepas di pergelangan

tangan.

e) Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama.

⁻ Buang sarung tangan di tempat limbah infeksius

Gambar 16. Melepaskan Sarung Tangan

2) Melepas Goggle atau Perisai Wajah

a) Ingatlah bahwa bagian luar goggle atau perisai wajah

telah terkontaminasi.

b) Untuk melepasnya, pegang karet atau gagang goggle.

c) Letakkan di wadah yang telah disediakan untuk diproses

37
ulang atau dalam tempat limbah infeksius.

Gambar 17. Melepaskan GoggleatauPerisaiWajah

3) Melepas Gaun Pelindung

a) Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun

pelindung telah terkontaminasi

b) Lepas tali pengikat gaun.

c) Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam

gaun pelindung saja.

d) Balik gaun pelindung.

⁻ Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah

yang telah di sediakan untuk diproses ulang atau buang di

tempat limbah infeksius.

38
Gambar 18. Melepas Gaun Pelindung

4) Melepas Masker

a) Ingatlah bahwa bagian depan masker telah terkontaminasi-

JANGAN SENTUH.

b) Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali/karet bagian

atas.

c) Buang ke tempat limbah infeksius.

Gambar 19. Melepas Masker

Penggunaan APD pada pasien harus ditetapkan melalui Standar

Prosedur Operasional (SPO) di fasilitas pelayanan kesehatan

terhadap pasien infeksius sesuai dengan indikasi dan ketentuan

39
Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI), sedangkan penggunaan

APD untuk pengunjung juga ditetapkan melalui SPO di fasilitas

pelayanan kesehatan terhadap kunjungan ke lingkungan infeksius.

Pengunjung disarankan untuk tidak berlama-lama berada di

lingkungan infeksius.

3. DEKONTAMINASI PERALATAN PERAWATAN PASIEN

Pada tahun 1968 Spaulding mengusulkan tiga kategori risiko

berpotensi infeksi untuk menjadi dasar pemilihan praktik atau proses

pencegahan yang akan digunakan (seperti sterilisasi peralatan medis,

sarung tangan dan perkakas lainnya) sewaktu merawat pasien. Kategori

Spaulding adalah sebagai berikut:

a. Kritikal

Bahan dan praktik ini berkaitan dengan jaringan steril atau sistem

darah sehingga merupakan risiko infeksi tingkat tertinggi. Kegagalan

manajemen sterilisasi dapat mengakibatkan infeksi yang serius dan

fatal.

b. Semikritikal

Bahan dan praktik ini merupakan terpenting kedua setelah kritikal

yang berkaitan dengan mukosa dan area kecil di kulit yang

lecet.Pengelola perlu mengetahui dan memiliki keterampilan dalam

penanganan peralatan invasif, pemrosesan alat, Disinfeksi Tingkat

Tinggi (DTT), pemakaian sarung tangan bagi petugas yang menyentuh

40
mukosa atau kulit tidak utuh.

c. Non-kritikal

Pengelolaan peralatan/ bahan dan praktik yang berhubungan dengan

kulit utuh yang merupakan risiko terendah. Walaupun demikian,

pengelolaan yang buruk pada bahan dan peralatan non-kritikal akan

dapat menghabiskan sumber daya dengan manfaat yang terbatas

(contohnya sarung tangan steril digunakan untuk setiap kali memegang

tempat sampah atau memindahkan sampah).

Dalam dekontaminasi peralatan perawatan pasien dilakukan

penatalaksanaan peralatan bekas pakai perawatan pasien yang

terkontaminasi darah atau cairan tubuh (pre-cleaning, cleaning,

disinfeksi, dan sterilisasi) sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)

sebagai berikut:

1) Rendam peralatan bekas pakai dalam air dan detergen atau enzyme

lalu dibersihkan dengan menggunakan spons sebelum dilakukan

disinfeksi tingkat tinggi (DTT) atau sterilisasi.

2) Peralatan yang telah dipakai untuk pasien infeksius harus

didekontaminasi terlebih dulu sebelum digunakan untuk pasien

lainnya.

3) Pastikan peralatan sekali pakai dibuang dan dimusnahkan sesuai

prinsip pembuangan sampah dan limbah yang benar. Hal ini juga

berlaku untuk alat yang dipakai berulang, jika akan dibuang.

41
4) Untuk alat bekas pakai yang akan di pakai ulang, setelah

dibersihkan dengan menggunakan spons, di DTT dengan klorin

0,5% selama 10 menit.

5) Peralatan nonkritikal yang terkontaminasi, dapat didisinfeksi

menggunakan alkohol 70%. Peralatan semikritikal didisinfeksi atau

disterilisasi, sedangkan peralatan kritikal harus didisinfeksi dan

disterilisasi.

6) Untuk peralatan yang besar seperti USG dan X-Ray, dapat

didekontaminasi permukaannya setelah digunakan di ruangan

isolasi.

42
Gambar 20. Alur Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien
Keterangan Alur:

1) Pembersihan Awal (pre-cleaning): Proses yang membuat benda

mati lebih aman untuk ditangani oleh petugas sebelum di

bersihkan(umpamanya menginaktivasi HBV, HBC, dan HIV) dan

mengurangi, tapi tidak menghilangkan, jumlah mikroorganisme

yang mengkontaminasi.

2) Pembersihan: Proses yang secara fisik membuang semua

kotoran, darah, atau cairan tubuh lainnya dari permukaan benda

mati ataupun membuang sejumlah mikroorganisme untuk


43
mengurangi risiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau

menangani objek tersebut. Proses ini adalah terdiri dari mencuci

sepenuhnya dengan sabun atau detergen dan air atau

menggunakan enzim, membilas dengan air bersih, dan

mengeringkan.

3) Jangan menggunakan pembersih yang bersifat mengikis, misalnya

Vim®atau Comet® atau serat baja atau baja berlubang, karena

produk

4) produk ini bisa menyebabkan goresan. Goresan ini kemudian

menjadi sarang mikroorganisme yang membuat proses

pembersihan menjadi lebih sulit serta meningkatkan pembentukan

karat.

5) Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT): Proses menghilangkan

semua mikroorganisme, kecuali beberapa endospora bakterial

dari objek,dengan merebus, menguapkan atau memakai

disinfektan kimiawi.

6) Sterilisasi: Proses menghilangkan semua mikroorganisme

(bakteria, virus, fungi dan parasit) termasuk endospora

menggunakan uap tekanan tinggi (otoklaf), panas kering

(oven), sterilisasi kimiawi, atau radiasi.

a) Sterilisator Uap Tekanan Tinggi (autoklaf):

Sterilisasi uap tekanan tinggi adalah metode sterilisasi yang

efektif, tetapi juga paling sulit untuk dilakukan secara

44
benar.Pada umumnya sterilisasi ini adalah metode pillihan

untuk mensterilisasi instrumen dan alat-alat lain yang

digunakan pada berbagai fasilitas pelayanan kesehatan. Bila

aliran listrik bermasalah, maka instrumen-instrumen tersebut

dapat disterilisasi dengan sebuah sterilisator uap non-elektrik

dengan menggunakan minyak tanah atau bahan bakar lainnya

sebagai sumber panas.Atur agar suhu harus berada pada 121°C;

tekanan harus berada pada 106 kPa; selama 20 menit untuk alat

tidak terbungkus dan 30 menit untuk alat terbungkus. Biarkan

semua peralatan kering sebelum diambil dari sterilisator. Set

tekanan kPa atau lbs/in² mungkin berbeda tergantung pada jenis

sterilisator yang digunakan. Ikuti rekomendasi pabrik, jika

mungkin.

b) Sterilisator Panas Kering (Oven):

Baik untuk iklim yang lembab tetapi membutuhkan aliran

listrik yang terus menerus, menyebabkan alat ini kurang praktis

pada area terpencil atau pedesaan. Selain itu sterilisasi panas

kering yang membutuhkan suhu lebih tinggi hanya dapat

digunakan untuk benda-benda dari gelas atau logam–karena

akan melelehkan bahan lainnya. Letakkan instrumen di oven,

panaskan hingga 170°C, selama 1 (satu) jam dan kemudian

didinginkan selama 2-2,5 jam atau 160°C selama 2 (dua)

jam.Perlu diingat bahwa waktu paparan dimulai setelah suhu

45
dalam sterilisator telah mencapai suhu sasaran. Tidak boleh

memberi kelebihan beban pada sterilisator karena akan

mengubah konveksi panas. Sisakan ruang kurang lebih 7,5 cm

antara bahan yang akan disterilisasi dengan dinding sterilisator.

4. PENGENDALIAN LINGKUNGAN

Pengendalian lingkungan di fasilitas pelayanan kesehatan, antara

lain berupa upaya perbaikan kualitas udara, kualitas air, dan permukaan

lingkungan, serta desain dan konstruksi bangunan, dilakukan untuk

mencegah transmisi mikroorganisme kepada pasien, petugas dan

pengunjung.

1) Kualitas Udara

Tidak dianjurkan melakukan fogging dan sinar ultraviolet untuk

kebersihan udara, kecuali dry mist dengan H2O2 dan penggunaan sinar

UV untuk terminal dekontaminasi ruangan pasien dengan infeksi yang

ditransmisikan melalui air borne. Diperlukan pembatasan jumlah

personil di ruangan dan ventilasi yang memadai. Tidak

direkomendasikan melakukan kultur permukaan lingkungan secara

rutin kecuali bila ada outbreak atau renovasi/pembangunan gedung

baru.

2) Kualitas air

Seluruh persyaratan kualitas air bersih harus dipenuhi baik

menyangkut bau, rasa, warna dan susunan kimianya termasuk debitnya

46
sesuai ketentuan peraturan perundangan mengenai syarat-syarat dan

pengawasan kualitas air minum dan mengenai persyaratan kualitas air

minum.

Kehandalan penyaluran air bersih ke seluruh ruangan dan gedung perlu

memperhatikan :

a) Sistem Jaringan. Diusahakan ruangan yang membutuhkan air yang

bersih menggunakan jaringan yang handal. Alternatif dengan 2

saluran, salah satu di antaranya adalah saluran cadangan.

b) Sistem Stop Kran dan Valve.

3) Permukaan lingkungan

Seluruh pemukaan lingkungan datar, bebas debu, bebas sampah, bebas

serangga (semut, kecoa, lalat, nyamuk) dan binatang pengganggu

(kucing, anjing dan tikus) dan harus dibersihkan secara terus menerus.

Tidak dianjurkan menggunakan karpet di ruang perawatan dan

menempatkan bunga segar, tanaman pot, bunga plastik di ruang

perawatan. Perbersihan permukaan dapat dipakai klorin 0,05%, atau

H2O2 0,5-1,4%, bila ada cairan tubuh menggunakan klorin 0,5%.

Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat dan melaksanakan SPO

untuk pembersihan, disinfeksi permukaan lingkungan,tempat tidur,

peralatan disamping tempat tidur dan pinggirannya yang sering

tersentuh.

Fasilitas pelayanan kesehatan harus mempunyai disinfektan yang

sesuai standar untuk mengurangi kemungkinan penyebaran

47
kontaminasi.

Untuk mencegah aerosolisasi kuman patogen penyebab infeksi pada

saluran napas, hindari penggunaan sapu ijuk dan yang sejenis, tapi

gunakan cara basah (kain basah) dan mop (untuk pembersihan

kering/lantai),bila dimungkinkan mop terbuat dari microfiber.

Mop untuk ruang isolasi harus digunakan tersendiri, tidak digunakan

lagi untuk ruang lainnya.

Gambar 21. Mop

Larutan disinfektan yang biasa dipakai yaitu natrium hipoklorit 0,05-

0,5%. Bila ada cairan tubuh, alcohol digunakan untuk area sempit,

larutan peroksida (H2O2) 0,5-1,4% untuk ruangan rawat dan 2%

untuk permukaan kamar operasi, sedangkan 5-35% (dry mist) untuk

udara.

Ikuti aturan pakai cairan disinfektan, waktu kontak dan cara

pengencerannya. Untuk lingkungan yang sering digunakan

pembersihannya dapat diulang menggunakan air dan detergen,

terutama bila di lingkungan tersebut tidak ditemukan mikroba multi

48
resisten.

Pembersihan area sekitar pasien:

a) Pembersihan permukaan sekitar pasien harus dilakukan secara rutin

setiap hari, termasuk setiap kali pasien pulang/keluar dari

fasyankes (terminal dekontaminasi).

b) Pembersihan juga perlu dilaksanakan terhadap barang yang sering

tersentuh tangan, misalnya: nakas disamping tempat tidur,tepi

tempat tidur dengan bed rails,tiang infus, tombol telpon, gagang

pintu, permukaan meja kerja, anak kunci, dll.

c) Bongkaran pada ruang rawat dilakukan setiap 1 (satu) bulan atau

sesuai dengan kondisi hunian ruangan.

4) Desain dan konstruksi bangunan

Desain harus mencerminkan kaidah PPI yang mengacu pada pedoman

PPI secara efektif dan tepat guna. Desain dari faktor berikut dapat

mempengaruhi penularan infeksi yaitu jumlah petugas kesehatan,

desain ruang rawat, luas ruangan yang tersedia, jumlah dan jenis

pemeriksaan/prosedur, persyaratan teknis komponen lantai, dinding

dan langit-langit, air, listrik dan sanitasi, ventilasi dan kualitas udara,

pengelolaan alat medisreused dan disposable, pengelolaan makanan,

laundry dan limbah. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:

a) Desain jumlah petugas kesehatan

(1) Perencanaan kebutuhan jumlah petugas kesehatan disesuaikan

dengan jumlah pasien

49
(2) Pertimbangan faktor kelelahan bisa berakibat kelalaian.

(3) Tingkat kesulitan pelayanan terhadap pasien berdasarkan

tingkat risiko jenis penyakit

b) Desain ruang rawat

(1) Tersedia ruang rawat satu pasien (single room) untuk isolasi

pasien infeksius dan pasien dengan imunitas rendah.

(2) Jarak antar tempat tidur adalah ≥1 meter. Bila memungkinkan

1,8 m.

(3) Tiap kamar tersedia fasilitas Alcohol–Based Hand Rub

(ABHR), disarankan untuk ruang rawat intensif tersedia

ABHR di setiap tempat tidur.

(4) Tersedia toilet yang dilengkapi shower di setiap kamar pasien.

c) Luas ruangan yang tersedia

(1) Ruang rawat pasien disarankan mempunyai luas lantai bersih

antara 12-16 m2 per tempat tidur.

(2) Ruang rawat intensif dengan modul kamar individual/kamar

isolasi luas lantainya 16-20 m2 per kamar.

(3) Rasio kebutuhan jumlah tempat duduk diruang tunggu bagi

pengunjung pasien adalah 1 tempat tidur pasien:1-2 tempat

duduk.

d) Jumlah, jenis pemeriksaan dan prosedur

(1) Kebutuhan ketersediaan alat medis dan APD berdasarkan jenis

penyakit yang ditangani.

50
(2) Lokasi penyimpanan peralatan medis dan APD di masing-

masing unit pelayanan harus mudah dijangkau, tempat

penyimpanannya harus bersih dan steril terutama peralatan

medis harus steril.

e) Persyaratan teknis komponen lantai, dinding dan langit-langit

(1) Komponen lantai dan permukaan lantai meliputi:

o Kontruksi dasar lantai harus kuat di atas tanah yang sudah

stabil, permukaan lantai harus kuat dan kokoh terhadap

beban.

o Permukaan lantai terbuat dari bahan yang kuat,halus,

kedap air mudah dibersihkan, tidak licin, permukaan rata,

tidak bergelombang dan tidak menimbulkan genangan air.

Dianjurkan menggunakan vinyl dan tidak dianjurkan

menggunakan lantai keramik dengan nat di ruang rawat

intensif dan IGD karena akan dapat menyimpan mikroba.

o Permukaan lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah

dibersihkan secara rutin minimal 2 (dua) kali sehari atau

kalau perlu dan tahan terhadap gesekan dan tidak boleh

dilapisi karpet.

o Penutup lantai harus berwarna cerah dan tidak

menyilaukan mata.

51
o Lantai yang selalu kontak dengan air harus mempunyai

kemiringan yang cukup ke arah saluran pembuangan air

limbah.

o Pada daerah dengan kemiringan kurang dari 7O, penutup

lantai harus dari lapisan permukaan yang tidak licin.

o Pertemuan antara lantai dengan dinding harus

menggunakan bahan yang tidak bersiku, tetapi melengkung

untuk memudahkan pembersihan lantai (hospital plint).

o Memiliki pola lantai dengan garis alur yang menerus ke

seluruh ruangan pelayanan.

(2) Komponen dinding meliputi:

o Dinding harus mudah dibersihkan,tahan cuaca dan tidak

mudah berjamur.

o Lapisan penutup dinding harus bersifat tidak berpori

sehingga dinding tidak menyimpan debu.

o Warna dinding cerah tetapi tidak menyilaukan mata.

o Pertemuan antara dinding dengan dinding harus tidak

bersiku, tetapi melengkung untuk memudahkan

pembersihan dan mikroba tidak terperangkap di tempat

tersebut.

52
(3) Komponen langit-langit meliputi:

o Harus mudah dibersihkan, tahan terhadap segala cuaca, tahan

terhadap air, tidak mengandung unsur yang dapat

membahayakan pasien, serta tidak berjamur.

o Memiliki lapisan penutup yang bersifat tidak berpori sehingga

tidak menyimpan debu.

o Berwarna cerah, tetapi tidak menyilaukan.

f) Air, Listrik dan Sanitasi

Air dan Listrik di RS harus tersedia terus menerus selama

24 jam. Air minum harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan

oleh pemerintah, jadi harus diperiksa secara teratur dan rutin setiap

bulan sekali.Pengelolaan air yang digunakan di unit khusus [kamar

operasi, unit hemodialisis, ICU (pasien dengan kebutuhan air

khusus)] harus bisa mencegah perkembangan mikroba lingkungan

(Legionella sp, Pseudomonas, jamur dan lain-lain) dengan metode

Reverse Osmosis (di dalamnya terjadi proses penyaringan atau

desinfeksi menggunakan sinar ultraviolet atau bahan lainnya).

Toilet dan wastafel harus dibersihkan setiap hari.

g) Ventilasi dan Kualitas udara

Semua lingkungan perawatan pasien diupayakan seminimal

mungkin kandungan partikel debu, kuman dan spora dengan

menjaga kelembaban dan pertukaran udara. Pertukaran udara

dalam tiap ruangan berbeda tekanan dengan selisih 15 Pascal.

53
Ruang perawatan biasa minimal 6X pergantian udara per jam,

ruang isolasi minimal 12X dan ruang kamar operasi minimal

20Xperjam. Perawatan pasien TB paru menggunakan ventilasi

natural dengan kombinasi ventilasi mekanik sesuai anjuran dari

WHO.

(1) Pemanfaatan Sistem Ventilasi:

Sistem Ventilasi adalah sistem yang menjamin terjadinya

pertukaran udara di dalam gedung dan luar gedung yang

memadai, sehingga konsentrasi droplet nuklei menurun.

(2) Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi yaitu:

o Ventilasi Alamiah: sistem ventilasi yang mengandalkan pada

pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan

yang bisa dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar

kedalam gedung dan sebaliknya. Sebaiknya menggunakan

ventilasi alami dengan menciptakan aliran udara silang

(cross ventilation) dan perlu dipastikan arah angin yang

tidak membahayakan petugas/pasien lain.

o Ventilasi Mekanik: sistem ventilasi yang menggunakan

peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi

udara di dalam ruangan secara paksa untuk menyalurkan/

menyedot udara ke arah tertentu sehingga terjadi tekanan

udara positif dan negatif termasuk exhaust fan, kipas angin

berdiri (standing fan) atau duduk.

54
o Ventilasi campuran (hybrid): sistem ventilasi alamiah

ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk

menambah efektifitas penyaluran udara.

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas

dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi

suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur

bangunan, iklim – cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan

kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan

pemeliharaan secara periodik.

(3) Ventilasi campuran:

Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara

sentral, sebaiknya menggunakan ventilasi alamiah dengan

exhaust fan atau kipas angin agar udara luar yang segar dapat

masuk ke semua ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela

maupun langit-langit di ruangan di mana banyak orang

berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuka maksimal.

Sistem ventilasi campuran (alamiah dengan mekanik), yaitu

dengan penggunaan exhaust fan/kipas angin yang dipasang

dengan benar dan dipelihara dengan baik, dapat membantu

untuk mendapatkan dilusi yang adekuat, bila dengan ventilasi

alamiah saja tidak dapat mencapai rate ventilasi yang cukup.

Ruangan dengan jendela terbuka dan exhaust fan/kipas angin

cukup efektif untuk mendilusi udara ruangan dibandingkan

55
dengan ruangan dengan jendela terbuka saja atau ruangan

tertutup. Penggunaan exhaust fan sebaiknya udara

pembuangannya tidak diarahkan ke ruang tunggu pasien atau

tempat lalu lalang orang. Bila area pembuangan tidak

memungkinkan, pembuangan udara dihisap dengan exhaust

fan, dialirkan melalui ducting dan area pembuangannya

dilakukan di luar area lalu lalang orang (≥ 25 feet).

Dengan ventilasi campuran, jenis ventilasi mekanik yang akan

digunakan sebaiknya di sesuaikan dengan kebutuhan yang ada

dan diletakkan pada tempat yang tepat. Kipas angin yang

dipasang pada langit-langit (ceiling fan) tidak dianjurkan.

Sedangkan kipas angin yang berdiri atau diletakkan di meja

dapat mengalirkan udara ke arah tertentu, hal ini dapat berguna

untuk PPI TB bila dipasang pada posisi yang tepat, yaitu dari

petugas kesehatan ke arah pasien.

Gambar 22. Tata Letak Furniture Ruang Periksa Pasien dan Alur Udara
56
Pemasangan Exhaust fan yaitu kipas yang dapat langsung

menyedot udara keluar dapat meningkatkan ventilasi yang sudah

ada di ruangan. Sistem exhaust fan yang dilengkapi saluran

udara keluar, harus dibersihkan secara teratur, karena dalam

saluran tersebut sering terakumulasi debu dan kotoran, sehingga

bisa tersumbat atau hanya sedikit udara yang dapat dialirkan.

Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang jendela

yang dapat dibuka dengan maksimal dan menempatkan jendela

pada sisi tembok ruangan yang berhadapan, sehingga terjadi

aliran udara silang (crossventilation). Meskipun fasyankes

mempertimbangkan untuk memasang sistem ventilasi mekanik,

ventilasi alamiah perlu diusahakan semaksimal mungkin.

(4) Yang direkomendasikan adalah ventilasi campuran:

o Usahakan agar udara luar segar dapat masuk ke semua

ruangan.

o Dalam ventilasi campuran, ventilasi alami perlu diusahakan

semaksimal mungkin.

o Penambahan dan penempatan kipas angin untuk

meningkatkan laju pertukaran udara harus memperhatikan

arah aliran udara yang dihasilkan.

o Mengoptimalkan aliran udara.

o Menyalakan kipas angin

57
o selama masih ada orang-orang di ruangan tersebut

(menyalakan kipas angin bila ruangan digunakan).

(5) Pembersihan dan perawatan:

o Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu dan kotoran

dari kipas angin.

o Perlu ditunjuk staf yang ditugaskan dan bertanggung jawab

terhadap kondisi kipas yang masih baik, bersih dll.

o Periksa ventilasi alamiah secara teratur (minimal sekali

dalam sebulan)/dirasakan ventilasi sudah kurang baik.

o Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan simpan

dengan baik.

Gambar 23. Ruang tunggu yang memanfaatkan ventilasi alami

Penggunaan ventilasi alamiah dengan kipas angin masih ada

beberapa kelemahan, selain keuntungan yang sudah dijelaskan

diatas.

Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan sisten

ventilasi ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


58
Tabel 1. Kelebihan dan kelemahan penggunaan system ventilasi campuran

(6) Ventilasi mekanik:

Pada keadaan tertentu diperlukan sistem ventilasi mekanik, bila

sistem ventilasi alamiah atau campuran tidak adekuat, misalnya

pada gedung tertutup.

Sistem Ventilasi Sentral pada gedung tertutup adalah sistem

mekanik yang mensirkulasi udara didalam suatu gedung.

Dengan menambahkan udara segar untuk mendilusi udara yang

ada, sistem ini dapat mencegah penularan TB. Tetapi dilain

pihak, sistem seperti ini juga dapat menyebarkan partikel yang

mengandung M.Tb ke ruangan lain dimana tidak ada pasien TB,


59
karena sistem seperti ini meresirkulasi udara keseluruh gedung.

(7) Persyaratan sistem ventilasi mekanik yang dapat mengendalikan

penularan TB adalah:

o Harus dapat mengalirkan udara bersih dan menggantikan

udara yang terkontaminasi di dalam ruangan.

o Harus dapat menyaring (dengan pemasangan filter) partikel

yang infeksius dari udara yang di resirkulasi.

o Bila perlu ditambahkan lampu UV untuk mendesinfeksi

udara yang di resirkulasi.

Gambar 24. Bagan sistem ventilasi tertutup

h) Pengelolaan alat medik reused dan disposable

Pengelolaan alat medik bersih dengan yang kotor harus

terpisah.Persiapan pemasangan infus dan suntikan dilakukan di

ruang bersih dan terpisah dari ruang prosedur kotor (pencucian

pispot pasien, alat terkontaminasi, dan lain-lain). Harus tersedia

ruangan sterilisasi alat medik. Semua alat steril harus disimpan di


60
lemari/wadah tertutup dan bebas debu dan kuman. Alat disposable

tidak boleh diproses/dicuci, tetapi langsung dibuang di tempat

sampah sesuai jenis limbahnya, baik yang infeksius maupun atau

non-infeksius.

(1) Pengelolaan makanan

o Pengelolaan makanan pasien harus dilakukan oleh tenaga

terlatih. Semua permukaan di dapur harus mudah

dibersihkan dan tidak mudah menimbulkan jamur.

o Tempatpenyimpanan bahan makanan kering harus

memenuhi syarat penyimpanan bahan makanan, yaitu bahan

makanan tidak menempel ke lantai, dinding maupun ke atap.

o Makanan hangat harus dirancang agar bisa segera

dikonsumsi pasien sebelum menjadi dingin. Makanan

dirancang higienis hingga siap dikonsumsi pasien.

5. PENGELOLAAN LIMBAH

a. Risiko Limbah

Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain sebagai

sarana pelayanan kesehatan adalah tempat berkumpulnya orang sakit

maupun sehat, dapat menjadi tempat sumber penularan penyakit serta

memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan

kesehatan, juga menghasilkan limbah yang dapat menularkan penyakit.

Untuk menghindari risiko tersebut maka diperlukan pengelolaan

61
limbah di fasilitas pelayanan kesehatan.

b. Jenis Limbah

Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu melakukan

minimalisasi limbah yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi

jumlah limbah yang dihasilkan dengan cara mengurangi bahan

(reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang limbah

(recycle).

Tabel 2. Jenis wadah dan label limbah medis padatsesuai kategorinya

c. Tujuan Pengelolaan Limbah

1) Melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat

sekitar fasilitas pelayanan kesehatan dari penyebaran infeksi dan

cidera.
62
2) Membuang bahan-bahan berbahaya (sitotoksik, radioaktif, gas,

limbah infeksius, limbah kimiawi dan farmasi) dengan aman.

d. Proses Pengelolaan Limbah

Proses pengelolaan limbah dimulai dari identifikasi, pemisahan,

labeling, pengangkutan, penyimpanan hingga pembuangan/

pemusnahan.

1) Identifikasi jenis limbah:

Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat, cair, dan gas.

Sedangkan kategori limbah medis padat terdiridari benda tajam,

limbah infeksius, limbah patologi, limbah sitotoksik, limbah

tabung bertekanan, limbah genotoksik, limbah farmasi, limbah

dengan kandungan logam berat, limbah kimia, dan limbah

radioaktif.

2) Pemisahan Limbah

Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah dihasilkan dengan

memisahkan limbah sesuai dengan jenisnya. Tempatkan limbah

sesuai dengan jenisnya, antara lain:

a) Limbah infeksius: Limbah yang terkontaminasi darah dan cairan

tubuh masukkan kedalam kantong plastik berwarna kuning.

Contoh: sampel laboratorium, limbah patologis (jaringan, organ,

bagian dari tubuh, otopsi, cairan tubuh, produk darah yang

terdiri dari serum, plasma, trombosit dan lain-lain), diapers

dianggap limbah infeksius bila bekas pakai pasien infeksi

63
saluran cerna, menstruasi dan pasien dengan infeksi yang di

transmisikan lewat darah atau cairan tubuh lainnya.

b) Limbah non-infeksius: Limbah yang tidak terkontaminasi darah

dan cairan tubuh, masukkan ke dalam kantong plastik berwarna

hitam.

Contoh: sampah rumah tangga, sisa makanan, sampah kantor.

c) Limbah benda tajam: Limbah yang memiliki permukaan tajam,

masukkan kedalam wadah tahan tusuk dan air.

Contoh: jarum, spuit, ujung infus, benda yang berpermukaan

tajam.

d) Limbah cair segera dibuang ke tempat pembuangan/pojok limbah

cair (spoelhoek).

3) Wadah tempat penampungan sementara limbah infeksius

berlambang biohazard. Wadah limbah di ruangan:

a) Harus tertutup

b) Mudah dibuka dengan menggunakan pedal kaki

c) Bersih dan dicuci setiap hari

d) Terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan tidak berkarat

e) Jarak antar wadah limbah 10-20 meter, diletakkan di ruang

tindakan dan tidak boleh di bawah tempat tidur pasien

f) Ikat kantong plastik limbah jika sudah terisi ¾ penuh

64
4) Pengangkutan

a) Pengangkutan limbah harus menggunakan troli khusus yang

kuat, tertutup dan mudah dibersihkan, tidak boleh tercecer,

petugas menggunakan APD ketika mengangkut limbah.

b) Lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, bila tidak

memungkinkan atur waktu pengangkutan limbah

5) Tempat Penampungan Limbah Sementara

a) Tempat Penampungan Sementara (TPS) limbah sebelum

dibawa ke tempat penampungan akhir pembuangan.

b) Tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat.

c) Beri label pada kantong plastik limbah.

d) Setiap hari limbah diangkat dari TPS minimal 2 kali sehari.

e) Mengangkut limbah harus menggunakan kereta dorong khusus.

f) Kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup limbah

tidak boleh ada yang tercecer.

g) Gunakan APD ketika menangani limbah.

h) TPS harus di area terbuka, terjangkau oleh kendaraan, aman

dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi kering.

7) Pengolahan Limbah

a) Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator.

b) Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan akhir

(TPA).

65
c) Limbah benda tajam dimusnahkan dengan insenerator. Limbah

cair dibuang ke spoelhoek.

d) Limbah feces, urin, darah dibuang ke tempat pembuangan/

pojok limbah (spoelhoek).

8) Penanganan Limbah Benda Tajam/ Pecahan Kaca

a) Janganmenekuk atau mematahkan benda tajam.

b) Jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat.

c) Segera buang limbah benda tajam ke wadah yang tersedia

tahan tusuk dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi.

d) Selalu buang sendiri oleh si pemakai.

e) Tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai

(recapping).

f) Wadah benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.

g) Bila menangani limbah pecahan kaca gunakan sarung tangan

rumah tangga.

h) Wadah Penampung Limbah Benda Tajam

 Tahan bocor dan tahan tusukan

 Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing dengan

satu tangan

 Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi

 Bentuknya dirancang agar dapat digunakan dengan satu

tangan

 Ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi dengan limbah

66
 Ditangani bersama limbah medis

Gambar 25. Wadah Limbah Laboratorium

Gambar 26. Wadah Tahan Tusuk

9) Pembuangan Benda Tajam

a) Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan harus

dimasukkan kedalam kantong medis sebelum insinerasi.

b) Idealnya semua benda tajam dapat diinsinersi, tetapi bila

tidak mungkin dapat dikubur dan dikapurisasi bersama limbah

lain.

c) Apapun metode yang digunakan haruslah tidak memberikan

kemungkinan perlukaan.

67
Gambar 27. Alur Tata Kelola Limbah

Debu sisa pembakaran dari hasil incinerator dapat

menimbulkan resiko, debu hasil pembakaran incinerator dapat

terdiri dari logam berat dan bahan toksik lain sehingga

menimbulkan situasi yang menyebabkan sintesa DIOXIN dan

FURAN akibat dari incinerator sering bersuhu area 200-450ᵒC.

Selain itu sisa pembakaran jarum dan gelas yang sudah

terdesinfeksi tidak bisa hancur menjadi debu dapat masih

menimbulkan resiko pajanan fisik.

Metoda penanganan autoclave dan disinfeksi dengan uap

panas juga dapat menimbulkan produk hazard yang perlu

penanganan yang lebih baik. Pada prinsipnya, untuk menghindari

pajanan fisik maka perlu perawatan dan operasional incinerator

yang baik

68
6. PENATALAKSANAAN LINEN

Linen terbagi menjadi linen kotor dan linen terkontaminasi.

Linen terkontaminasi adalah linen yang terkena darah atau cairan tubuh

lainnya, termasuk juga benda tajam. Penatalaksanaan linen yang sudah

digunakan harus dilakukan dengan hati-hati. Kehatian-hatian ini

mencakup penggunaan perlengkapan APD yang sesuai dan

membersihkan tangan secara teratur sesuai pedoman kewaspadaan

standar dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat SPO penatalaksanaan

linen. Prosedur penanganan, pengangkutan dan distribusi linen harus

jelas,aman dan memenuhi kebutuhan pelayanan.

b. Petugas yang menangani linen harus mengenakan APD (sarung tangan

rumah tangga, gaun, apron, masker dan sepatu tertutup).

c. Linen dipisahkan berdasarkan linen kotor dan linen terkontaminasi

cairan tubuh, pemisahan dilakukan sejak dari lokasi penggunaannya

oleh perawat atau petugas.

d. Minimalkan penanganan linen kotor untuk mencegah kontaminasi ke

udara dan petugas yang menangani linen tersebut. Semua linen kotor

segera dibungkus/dimasukkan ke dalam kantong kuning di lokasi

penggunaannya dan tidak boleh disortir atau dicuci di lokasi dimana

linen dipakai.

69
e. Linen yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh lainnya

harus dibungkus, dimasukkan kantong kuning dan diangkut/

ditranportasikan secara berhati-hati agar tidak terjadi kebocoran.

f. Buang terlebih dahulu kotoran seperti faeces ke washer bedpan,

spoelhoek atau toilet dan segera tempatkan linen terkontaminasi ke

dalam kantong kuning/infeksius. Pengangkutan dengan troli yang

terpisah, untuk linen kotor atau terkontaminasi dimasukkan ke dalam

kantong kuning. Pastikan kantong tidak bocor dan lepas ikatan selama

transportasi.Kantong tidak perlu ganda.

g. Pastikan alur linen kotor dan linen terkontaminasi sampai di laundry

TERPISAH dengan linen yang sudah bersih.

h. Cuci dan keringkan linen di ruang laundry. Linen terkontaminasi

seyogyanya langsung masuk mesin cuci yang segera diberi disinfektan.

i. Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius pada linen

dilakukan melalui 2 tahap yaitu menggunakan deterjen dan selanjutnya

dengan Natrium hipoklorit (Klorin) 0,5%. Apabila dilakukan

perendaman maka harus diletakkan di wadah tertutup agar tidak

menyebabkan toksik bagi petugas.

70
Gambar 28. Linen Siap Pakai

Gambar 29. Gambar Pengangkutan Linen terkontaminasi; Kantong Linen

terkontaminasi

7. PERLINDUNGAN KESEHATAN PETUGAS

Lakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap semua petugas

baik tenaga kesehatan maupun tenaga nonkesehatan. Fasyankes harus

mempunyai kebijakan untuk penatalaksanaan akibat tusukan jarum atau

benda tajam bekas pakai pasien, yang berisikan antara lain siapa yang
71
harus dihubungi saat terjadi kecelakaan dan pemeriksaan serta konsultasi

yang dibutuhkan oleh petugas yang bersangkutan.

Petugas harus selalu waspada dan hati-hati dalam bekerja untuk

mencegah terjadinya trauma saat menangani jarum, scalpel dan alat tajam

lain yang dipakai setelah prosedur, saat membersihkan instrumen dan saat

membuang jarum.

Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah

dipakai, memanipulasi dengan tangan, menekuk, mematahkan atau

melepas jarum dari spuit. Buang jarum, spuit, pisau,scalpel, dan peralatan

tajam habis pakai lainnya kedalam wadah khusus yang tahan tusukan/tidak

tembus sebelum dimasukkan ke insenerator. Bila wadah khusus terisi ¾

harus diganti dengan yang baru untuk menghindari tercecer.

Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti tertusuk

jarum suntik bekas pasien atau terpercik bahan infeksius maka perlu

pengelolaan yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah

semaksimal mungkin terjadinya infeksi yang tidak diinginkan.

Sebagian besar insiden pajanan okupasional adalah infeksi melalui

darah yang terjadi dalam fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). HIV,

hepatitis B dan hepatitis C adalah patogen melalui darah yang berpotensi

paling berbahaya, dan kemungkinan pajanan terhadap patogen ini

merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas kesehatan di seluruh

dunia.

Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah

72
(bloodborne) seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan

mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan okupasional

terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP HIV saja.

Di seluruh fasyankes, kewaspadaan standar merupakan layanan

standar minimal untuk mencegah penularan patogen melalui darah.

a. TATALAKSANA PAJANAN

Tujuan tatalaksana pajanan adalah untuk mengurangi waktu

kontakdengan darah, cairan tubuh, atau jaringan sumber pajanan dan

untuk membersihkan dan melakukan dekontaminasi tempat pajanan.

Tatalaksananya adalah sebagai berikut:

1) Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan

sabun/cairan antiseptik sampai bersih

2) Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa luka atau

tusukan, cuci dengan sabun dan air mengalir

3) Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan kumur-

kumur dengan air beberapa kali.

4) Bila terpecik pada mata, cucilah mata dengan air mengalir (irigasi),

dengan posisi kepala miring kearah mata yang terpercik.

5) Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar dan bersihkan

dengan air.

6) Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan dihisap dengan

mulut.

73
b. TATALAKSANA PAJANAN BAHAN INFEKSIUS DI TEMPAT

KERJA

Langkah 1: Cuci

1) Tindakan darurat pada bagian yang terpajan seperti tersebut di atas.

2) Setiap pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang

yaitu atasan langsung dan Komite PPI atau K3. Laporan tersebut

sangat penting untuk menentukan langkah berikutnya. Memulai

PPP sebaiknya secepatnya kurang dari 4 jam dan tidak lebih dari

72 jam, setelah 72 jam tidak dianjurkan karena tidak efektif.

Langkah 2: Telaah pajanan

a) Pajanan

Pajanan yang memiliki risiko penularan infeksi adalah:

 Perlukaan kulit

 Pajanan pada selaput mukosa

 Pajanan melalui kulit yang luka

b) Bahan Pajanan

Bahan yang memberikan risiko penularan infeksi adalah:

 Darah

 Cairan bercampur darah yang kasat mata

 Cairan yang potensial terinfeksi: semen, cairan vagina,

cairan serebrospinal, cairan sinovia, cairan pleura, cairan

peritoneal, cairan perickardial, cairanamnion

 Virus yang terkonsentrasi

74
c) Status Infeksi

Tentukan status infeksi sumber pajanan (bila belum diketahui),

dilakukan pemeriksaan :

 Hbs Ag untuk Hepatitis B

 Anti HCV untuk Hepatitis C

 Anti HIV untuk HIV

 Untuk sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan adanya

 Faktor risiko yang tinggi atas ketiga infeksi di atas

d) Kerentanan

Tentukan kerentanan orang yang terpajan dengan cara:

 Pernahkan mendapat vaksinasi Hepatitis B.

 Status serologi terhadap HBV (titer Anti HBs ) bila pernah

mendapatkan vaksin.

 PemeriksaanAnti HCV (untuk hepatitis C)

 Anti HIV (untuk infeksi HIV)

8. LANGKAH DASAR TATALAKSANA KLINIS PPP HIV PADA

KASUS KECELAKAAN KERJA

a. Menetapkan memenuhi syarat untuk PPP HIV.

b. Memberikan informasi singkat mengenai HIV untuk mendapatkan

persetujuan (informed consent).

c. Memastikan bahwa korban tidak menderita infeksi HIV dengan

melakukan tes HIV terlebih dahulu.

75
d. Pemberian obat-obat untuk PPP HIV.

e. Melaksanakan evaluasi laboratorium.

f. Menjamin pencatatan.

g. Memberikan follow-up dan dukungan

h. Evaluasi memenuhi syarat untuk PPP HIV adalah meliputi penilaian

keadaan berikut:

1) Waktu terpajan

2) Status HIV orang terpajan

3) Jenis dan risiko pajanan

4) Status HIV sumber pajanan

Waktu memulai PPP HIV

PPP harus diberikan secepat mungkin setelah pajanan, dalam 4 jam

pertama dan tidak boleh lebih dari 72 jam setelah terpajan. Dosis pertama

atau bahkan lebih baik lagi paket PPP HIV harus tersedia di fasyankes

untuk orang yang potensial terpajan setelah sebelumnya dilakukan tes HIV

dengan hasil negatif. Infeksi HIV yang sebelumnya sudah ada Kita harus

selalu menyelidiki kemungkinan orang yang terpajan sudah mendapat

infeksi HIV sebagai bagian dari proses penilaian memenuhi syarat untuk

PPP, dan jika orang tersebut telah mendapat infeksi HIV sebelumnya,

maka PPP tidak boleh diberikan dan tindakan pengobatan dan semua paket

perawatan seperti skrining TB, IMS, penentuan stadium klinis dll sesuai

dengan pedoman ARV mutlak perlu dilakukan.

76
Penilaian pajanan HIV

Orang yang terpajan pada membran mukosa (melalui pajanan

seksual atau percikan ke mata, hidung atau rongga mulut) atau kulit yang

tidak utuh (melalui tusukan perkutaneus atau abrasi kulit) terhadap cairan

tubuh yang potensial infeksius dari sumber terinfeksi HIV atau yang tidak

diketahui statusnya harus diberikan PPP HIV.Jenis pajanan harus dikaji

lebih rinci untuk menentukan risiko penularan. Dokter dapat menerapkan

algoritma penilaian risiko untuk membantu dalam proses penentuan

memenuhi syaratnya.

Penilaian status HIV dari sumber pajanan

Mengetahui status HIV dari sumber pajanan sangat

membantu.Pada kasus kekerasan seksual, sulit untuk mengidentifikasi

pelaku dan memperoleh persetujuan untuk dites. Jika sumber pajanan HIV

negatif, PPP jangan diberikan.

Pemberian informasi singkat mengenai HIV dan tes HIV yang

standar harus diikuti dalam melakukan testing terhadap sumber pajanan,

yang meliputi persetujuan tes HIV (dapat diberikan secara verbal) dan

menjaga kerahasiaan hasil tes.

Tidak ada formula atau mekanisme yang sederhana dapat

diterapkan untuk menentukan kemungkinan bahwa sumber yang tidak

diketahui atau dites terinfeksi HIV.Karena itu, penilaian status HIV dari

sumber dan keputusan tentang memenuhi syarat PPP harus berdasarkan

data epidemiologi yang ada.

77
a. Informasi Singkat Untuk PPP HIV

Orang yang terpajan harus mendapat informasi singkat tentang

aspek spesifik PPP, idealnya pada saat mereka melaporkan kejadian

pajanan. Informasi tersebut harus meliputi informasi tentang

pentingnya adherence dan kemungkinan efek samping serta nasehat

tentang risiko penularan sebagai bagian dari konseling. Informasi

singkat tersebut harus didukung dengan tindak lanjut layanan

dukungan yang tepat untuk memaksimalkan kepatuhan terhadap

paduan obatPPP HIV dan mengelola efek samping.

Pemberian informasi untuk menurunkan risiko juga perlu

untuk mencegah penularan HIV kepada mitra seksual dan penerima

darah donor, jika orang terpajan telah menjadi terinfeksi. Konseling

penurunan risiko harus diberikan selama kunjungan awal dan diperkuat

pada kunjungan selanjutnya. Penggunaan kondom dan/atau tindakan

percegahan lain harus didorong sampai tes HIV setelah 6 bulan

hasilnya negatif.

Memberitahukan kepada korban mengenai perlunya

menggunakan kondom jika berhubungan seks setelah seseorang

terpajan secara okupasional atau kekerasan seksual mungkin sulit

karena merupakan hal yang sensitif, tetapi pemberitahuan ini penting.

Orang yang terpajan mungkin memerlukan dukungan

emosional pada masa setelah pajanan.Konseling psikososial dan

trauma dianjurkan untuk orang yang mendapat kekerasan seksual,

78
maupun yang terpajan okupasional.

Orang yang sudah menerima informasi (syarat, risiko serta

manfaat) yang tepat tentang HIV dan PPP dapat memberikan

persetujuan secara verbal. Jika pasien menolak, harus menandatangani

formulir penolakan.

Informasi yang diberikan sebagai bagian dari proses

persetujuan harus disesuaikan dengan usia, ketrampilan membaca dan

tingkat pendidikan. Dalam hal kasus anak-anak atau kasus lain yang

kurang dalam kapasitas untuk menyetujui, maka seseorang (seperti

anggota keluarga atau wali) dapat menandatangani surat

persetujuannya.

b. Pemberian Obat-Obat Untuk PPP

Paduan obat ARV untuk PPP HIV

Pemilihan obat antiretroviral

Paduan obat pilihan yang diberikan untuk PPP adalah 2 obat NRTI + 1

obat PI (LPV/r).

Tabel 3. Paduan obat ARV untuk PPP

79
Tabel 4. Dosis obat ARV untuk PPP HIV bagi orang dewasa dan remaja

Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa adherence terhadap

pengobatan yang sangat baik (> 95%) berkaitan dengan perbaikan dampak

pada virologi, imunologi dan klinis. Meskipun data adherenceuntuk PPP

tidak ada, tetapi besarnya efek positif dari derajat adherence yang tinggi

pada umumnya dianggap serupa. Meskipun PPP diberikan untuk periode

yang relatif pendek (4 minggu), pemberian informasi adherence dan

dukungan masih penting untuk memaksimalkan efektifitas obat.

Efek samping

Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual dan lelah.

Orang harus mengerti bahwa efek samping yang timbul jangan disalah

tafsirkan sebagai gejala serokonversi HIV. Penanganan efek samping

dapat berupa obat (misalnya anti mual) atau untuk mengurangi efek

samping menganjurkan minum obat bersama makanan.

80
Profilaksis Pasca Pajanan untuk Hepatitis B

Sebelum memberi obat PPP untuk hepatitis B, perlu dikaji keadaan

berikut:

a. Pernahkah mendapat vaksinasi hepatitis B

b. Lakukan pemeriksaan HBsAg

c. Lakukan pemeriksaan anti HBs jika pernah mendapat vaksin

Tabel 5. Profilaksis Pasca Pajanan untuk Hepatitis B

81
Lama pemberian obat untuk PPP HIV

Lama pemberian obat ARV untuk PPP adalah 28 hari.

Strategi pemberian obat Dosis awal . Dosis pertama PPP harus

selalu ditawarkan secepat mungkin setelah pajanan, dan jika perlu, tanpa

menunggu konseling dan tes HIV atau hasil tes dari sumber

pajanan.Strategi ini sering digunakan jika yang memberikan perawatan

awal adalah bukan ahlinya, tetapi selanjutnya dirujuk kepada dokter ahli

dalam waktu singkat.

Langkah selanjutnya setelah dosis awal diberikan, adalah agar


82
akses terhadap keseluruhan supplai obat PPP selama 28 hari dipermudah.

Paket awal PPP HIV

Paket awal ini cocok disediakan di unit gawat darurat. Paket ini

biasanya berisi obat yang cukup untuk beberapa hari pertama pemberian

obat untuk PPP (1 – 7 hari) dan diresepkan atas kondisi bahwa orang

tersebut akan kembali ke klinik yang ditunjuk dalam waktu 1-3 hari untuk

menjalani penilaian risiko dan konseling dan tes HIV serta untuk

memperoleh sisa obat. Strategi ini sering disukai karena pada umumnya

sedikit obat yang akan terbuang. Contoh, jika seseorang memutuskan

untuk tidak melanjutkan PPP HIV, sisa obat yang seharusnya diberikan

tidak akan terbuang. Selain itu, menggunakan paket awal PPP HIV berarti

bahwa fasilitas yang tidak mempunyai dokter ahli hanya perlu

menyediakan sedikit obat. Manfaat lainnya adalah bahwa pada kunjungan

follow-up dapat mendiskusikan mengenai adherence terhadap pengobatan.

Perhatian utama terkait dengan pemberian awal PPP HIV sebelum

hasil tes HIV diketahui adalah risiko timbulnya resistensi terhadap terapi

antiretroviral diantara orang yang tidak menyadari dirinya terinfeksi HIV

dan yang diberikan paduan 2-obat. Resistensi sedikit kemungkinan terjadi

dengan paket awal PPP HIV yang diberikan dalam waktu singkat. PPP

HIV dihentikan jika selanjutnya orang terpajan diketahui HIV positif.

Penambahan dosis

Banyak program PPPHIV memilih untuk memberikan obat selama

2 minggu pada setiap kunjungan. Dan seperti pada paket awal PPP HIV,

83
pada strategi penambahan dosis ini juga mengharuskan orang datang

kembali untuk pemantauan adherence, efek samping obat dan memberikan

kesempatan untuk tambahan konseling dan dukungan.

Dosis penuh 28 hari

Pada beberapa keadaan, pemberian dosis penuh 28 hari obat PPP

HIV akan meningkatkan kemungkinan dilengkapinya lama pengobatan,

misalnya, yang tinggal di pedesaan. Kerugian utama dari strategi ini adalah

mengurangi motivasi untuk kunjungan ulang.

Keahlian (kompetensi) yang diperlukan untuk meresepkan obat

untuk PPP

Obat PPP HIV awal, dapat diberikan oleh dokter/petugas

kesehatan yang ditunjuk/bertugas dan pemberian obat selanjutnya

dilakukan di klinik PDP.

Obat-obat lain

Paket PPP HIV sebaiknya juga mencakup obat yang berpotensi

dapat meringankan efek samping tersering dari obat ARV, sehingga dapat

meningkatkan adherence. Misalnya, obat untuk mengurangi mual, sakit

kepala (jika menggunakan zidovudine).

a. Evaluasi Laboratorium

Tes HIV

Tes antibodi HIV untuk orang terpajan harus dilakukan, karena

PPP tidak diberikan pada orang yang telah terinfeksi. Orang terinfeksi

harus mendapatkan pengobatan bukan pencegahan. Namun tes HIV

84
tidak wajib dilakukan dan pemberian PPP HIV tidak wajib diberikan

jika orang terpajan tidak mau diberikan obat untuk profilaksis.

Pemeriksaan tes HIV dengan tes cepat (rapid) – yang

memberikan hasil dalam 1 jam – merupakan pilihan utama baik untuk

orang terpajan maupun sumber pajanan.

Pemeriksaan laboratorium lain

Pemeriksaan laboratorium lain harus ditawarkan sesuai dengan

pedoman nasional dan kapasitas layanan. Pemeriksaan haemoglobin

(Hb) perlu dilakukan, terutama jika memberikan zidovudine dalam PPP

HIV.

Pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui darah

(bloodborne) – seperti Hepatitis B dan C – juga penting dilakukan,

tergantung kepada jenis risiko dan prevalensi setempat serta kapasitas

di layanan.

b. Pencatatan

Setiap layanan PPP harus didokumentasikan dengan

menggunakan pencatatan standar. Di tingkat layanan, antara lain

mencatat kapan dan bagaimana terjadinya pajanan, mengidentifikasikan

keselamatan dan kemungkinan tindakan pencegahan dan sangat penting

untuk menjaga kerahasiaan data klien.

c. Follow-up dan Dukungan

Follow-up klinis

Orang terpajan dan mendapat PPP harus dilakukan follow-up

85
dan pemantauan klinis, dengan maksud untuk memantau adherence dan

mengetahui efek samping obat.Jika memungkinkan, perlu disediakan

nomor telepon kontak yang dapat dihubungi jika timbul efek samping.

Follow-up tes HIV

Tes HIV (jika ada yang sangat sensitif) berikutnya bagi orang

terpajan dilakukan 4 – 6 minggu setelah pajanan, tetapi pada umumnya

belum cukup waktu untuk mendiagnosis sero konversi. Sehingga

dianjurkan untuk melakukan tes HIV 3 – 6 bulan setelah pajanan.

Timbulnya sero konversi setelah PPP tidak berarti bahwa tindakan PPP

ini gagal, karena sero konversi dapat berasal dari pajanan yang sedang

berlangsung.

Follow-up konseling

Selain informasi singkat yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka dukungan piskososial yang tepat dan/atau bantuan pengobatan

selanjutnya harus ditawarkan ke orang terpajan yang menerima PPP.

Orang terpajan harus menyadari layanan dukungan yang ada dan

mengetahui bagaimana untuk mengaksesnya.

Menyarankan orang terpajan sejak terjadinya pajanan sampai 6

bulan kedepan, tidak melakukan perilaku berisiko (penggunaan kondom

saat berhubungan seks, tidak berbagi alat suntik), dan tidak

mendonorkan darah, plasma,organ, jaringan atau air mani.

86
Follow-up PPP untuk Hepatitis B

 Lakukan pemeriksaan anti HBs 1-2 bulan setelah dosis vaksin yang

terakhir; anti HBs tidak dapat dipastikan jika HBIG diberikan dalam

waktu 6-8 minggu.

 Menyarankan orang terpajan sejak terjadinya pajanan sampai 6

bulan kedepan, tidak melakukan perilaku berisiko (penggunaan

kondom saat berhubungan seks, tidak berbagi alat suntik), dan tidak

mendonorkan darah, plasma,organ, jaringan atau air mani.

Gambar 30. Alur luka tusuk jarum

9. PENEMPATAN PASIEN

a. Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non infeksius.

87
b. Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi penyakit

pasien (kontak, droplet, airborne) sebaiknya ruangan tersendiri.

c. Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat bersama pasien

lain yang jenis infeksinya sama dengan menerapkan sistem cohorting.

Jarak antara tempat tidur minimal 1 meter. Untuk menentukan pasien

yang dapat disatukan dalam satu ruangan, dikonsultasikan terlebih

dahulu kepada Komite atau Tim PPI.

d. Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda kewaspadaan

berdasarkan jenis transmisinya (kontak,droplet, airborne).

e. Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau lingkungannya

seyogyanya dipisahkan tersendiri.

f. Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui udara

(airborne) agar dibatasi di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan

untuk menghindari terjadinya transmisi penyakit yang tidak perlu

kepada yang lain.

g. Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien TB

dalam satu ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat dengan

sesama pasien TB.

10. KEBERSIHAN PERNAPASAN/ETIKA BATUK DAN BERSIN

Diterapkan untuk semua orang terutama pada kasus infeksi dengan

jenis transmisiairborne dan droplet. Fasilitas pelayanan kesehatan harus

menyediakan sarana cuci tangan seperti wastafel dengan air mengalir, tisu,

88
sabun cair, tempat sampah infeksius dan masker bedah.Petugas, pasien dan

pengunjung dengan gejala infeksi saluran napas, harus melaksanakan dan

mematuhi langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau lengan

atas.

b. Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian mencuci

tangan.

Edukasi/Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dan fasilitas

pelayanan kesehatan lain dapat dilakukan melalui audio visual, leaflet,

poster, banner, video melalui TV di ruang tungguataulisan oleh petugas.

Gambar 31. Etika Batuk

11. PRAKTIK MENYUNTIK YANG AMAN

Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap

89
suntikan,berlaku juga pada penggunaan vial multidose untuk mencegah

timbulnya kontaminasi mikroba saat obat dipakai pada pasien lain. Jangan

lupa membuang spuit dan jarum suntik bekas pakai ke tempatnya dengan

benar.

Hati-hati dengan pemakaian obat untuk perina dan anestesi karena

berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).

Rekomendasi Penyuntikan Yang Aman

a. Menerapkan aseptic technique untuk mecegah kontaminasi alat- alat

injeksi (kategori IA).

b. Tidak menggunakan semprit yang sama untuk penyuntikan lebih dari

satu pasien walaupun jarum suntiknya diganti (kategori IA).

c. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali pakai untuk satu

pasien dan satu prosedur (kategori IA).

d. Gunakan cairan pelarut/flushing hanya untuk satu kali (NaCl, WFI, dll)

(kategori IA).

e. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila memungkinkan) (kategori

IB).

90
f. Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari satu pasien

atau mencampur obat-obat sisa dari vial/ampul untuk pemberian

berikutnya (kategori IA).

g. Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat yang akan

dipergunakan harus steril (kategori IA).

h. Simpan obat-obat multi dose sesuai dengan rekomendasi dari pabrik

yang membuat (kategori IA).

i. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1 pasien (kategori

IB)

12. PRAKTIK LUMBAL PUNGSI YANG AMAN

Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih, sarung

tangan steril saat akan melakukan tindakan lumbal pungsi, anestesi

spinal/epidural/pasang kateter vena sentral. Penggunaan masker bedah

pada petugas dibutuhkan agar tidak terjadi droplet flora orofaring yang

dapat menimbulkan meningitis bakterial.

91
BAB III

KEWASPADAAN TRANSMISI

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung

yang menerima pelayanan kesehatanserta masyarakat dalam lingkungannya

dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan

standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang memerlukan isolasi, maka

akan diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan standar dan

kewaspadaan berdasarkantransmisi.

Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan Kewaspadaan

Standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis dan setelah terdiagnosis

jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagaiberikut:

1. Melaluikontak

2. Melaluidroplet

3. Melalui udara (AirbornePrecautions)

4. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat,peralatan)

5. Melalui vektor (lalat, nyamuk,tikus)

Suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara. Dalam buku

pedoman ini, akan di bahas yang berkaitan dengan HAIs yaitu transmisi kontak,

droplet dan airborne.

1. Kewaspadaan Transmisi Melalui Kontak

Kewaspadaan ini bertujuan untuk menurunkan risiko timbulnya

Healthcare Associated Infections (HAIs), terutama risiko transmisi mikroba

92
yang secara epidemiologi diakibatkan oleh kontak langsung atau tidak

langsung.

a. Kontak langsung meliputi kontak dengan permukaan kulit yang terbuka

dengan kulit terinfeksi atau kolonisasi. Misalnya pada saat petugas

membalikkan tubuh pasien, memandikan, membantu pasien bergerak,

mengganti perban, merawat oral pasien Herpes Simplex Virus (HSV) tanpa

sarungtangan.

b. Transmisi kontak tidak langsung adalah kontak dengan cairan sekresi

pasien terinfeksi yang ditransmisikan melalui tangan petugas yang belum

dicuci atau benda mati dilingkungan pasien, misalnya instrumen, jarum,

kasa, mainan anak, dan sarung tangan yang tidakdiganti.

c. Hindari menyentuh permukaan lingkungan lainyang tidak berhubungan

dengan perawatan pasien sebelum melakukan aktivitas kebersihan tangan

(handhygiene).

d. Petugas harus menahan diri untuk tidak menyentuh mata, hidung, mulut

saat masih memakai sarung tangan terkontaminasi/tanpa sarungtangan.

2. Kewaspadaan Transmisi Melalui Droplet

Transmisi droplet terjadi ketika partikel droplet berukuran >5µm yang

dikeluarkan pada saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction,

bronkhoskopi, melayang di udara dan akan jatuh dalam jarak <2 m dan

mengenai mukosa atau konjungtiva, untuk itu dibutuhkan APD atau masker

yang memadai, bila memungkinkan dengan masker 4 lapis atau yang

mengandung pembunuh kuman (germ decontaminator). Jenis transmisi

93
percikan ini dapat terjadi pada kasus antara lain common cold, respiratory

syncitial virus (RSV), Adenovirus, H5N1,H1N1.

3. Kewaspadaan Transmisi Melalui Udara (Air-Borne Precautions)

Transmisi melalui udara secara epidemiologi dapat terjadi bila

seseorang menghirup percikan partikel nuclei yang berdiameter1-5µm (<5

µm) yang mengandung mikroba penyebab infeksi. Mikroba tersebut akan

terbawa aliran udara >2 m dari sumber, dapat terhirup oleh individu rentan di

ruang yang sama atau yang jauh dari sumber mikroba. Penting mengupayakan

pertukaran udara >12 x/jam (12AirChanges per Hour/ACH)

94
Gambar. Perhitungan Laju Pertukaran Udara

a. Pertukaran udara alamiah (natural ventilation) dapat dikombinasikan

dengan pertukaran udara mekanis yang menggunakan kipas angin dan

ekshaust fanuntuk mengatur udara di dalam suatu ruangan agar

menghindari/meminimalkan terjadinya penularan. Hal ini selaras

dengan rekomendasi dari WHO. Langkah-langkah penerapan

kewaspadaan transmisi melalui udaraantaralain:

b. Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien dan ventilasi mekanis

di dalam suatu ruangan dengan memperhatikan arah suplai udara

bersih yang masuk dankeluar.

c. Penempatan pasien TB yang belum pernah mendapatkan terapi OAT,

harus dipisahkan dari pasien lain, sedangkan pasien TB yang telah

mendapat terapi OAT secara efektif berdasarkan analisis resiko tidak

berpotensi menularkan TB baru dapat dikumpulkan dengan pasienlain.

95
d. Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan penggunaan APD pada

pasien, petugas dan pengunjung penting dicantumkan di pintu ruangan

rawat pasien sesuai kewaspadaan transmisinya.

e. Ruang rawat pasien TB/MDR TB sebaiknya menggunakan ruangan

bertekanan negatif. Untuk RS yang belum mampu menyediakan ruang

tersebut, harus memiliki ruang dengan ventilasi yang memadai,

minimal terjadi pertukaran udara 12x/jam (diukur dengan alat

Vaneometer).

Gambar Vaneometer

Jenis transmisi airborne ini dapat terjadi pada kasus antara lain

tuberkulosis, measles/campak, SARS. Transmisi juga terjadi pada

Tuberkulosis, untuk pencegahan dan pengendaliannya dilakukan strategi

96
TEMPO. Strategi TEMPO merupakan strategi yang mengutamakan pada

komponen administratif pengendalian infeksi TB.

Kunci utama dari strategi TEMPO adalah menjaring, mendiagnosis

dan mengobati TB segera dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan

TB secara efektif. Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya

besar, dan ideal untuk diterapkan oleh layanan kesehatan primer dengan

keterbatasan sumber daya yang belum dapat menjalankan komponen PPI

lainnya secara lengkap. Dengan menggunakan strategi TEMPO akan

mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB Resistan Obat yang belum

teridentifikasi.

Penelitian menunjukkan bahwa melalui cara aktif untuk

menemukan pasien TB yang sebelumnya tidak terduga TB, dapat

dilakukan melalui surveilans batuk secara terorganisasi di faslilitas

pelayanan primer. Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan

Obat yang tidak terdiagnosis, dilaksanakan strategi TemPO dengan

skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk.

Pada strategi TEMPO, ditugaskan seseorang sebagai petugas

surveilans batuk (Surveyor), yang melakukan triase, yaitu menemukan

secara aktif pasien batuk. Surveyor batuk harus bekerja sama dengan

petugas laboratorium secara baik, sehingga pasien yang dirujuk ke

laboratorium untuk pemeriksaan dapat memperoleh hasil pemeriksaan

BTA positif dalam 1-2 hari, khusus bagi pasien terduga TB Resistan Obat

segera dirujuk ke pusat rujukan TB Resistan Obat.

97
BAGAN KEWASPADAAN BERBASIS TRANSMISI

98
TABEL JENIS KEWASPADAAN TRANSMISI

JENIS KONTAK DROPLET UDARA/AIRBONE

Penempatan1. Tempatkan di ruang1. Tempatkan diruang1. Tempatkan diruang

Pasien rawat terpisah, atau rawat inap terpisah rawat inap terpisah

cohorting atau atau cohorting atau atau cohorting atau

dipertimbangkan dipertimbangkan dipertimbangkan

bersama Tim PPI bersama Tim PPI bersama Tim PPI

2. Tempat tidur2. Tempat tidur2. Tempat tidur dengan

dengan jarak ≥ 1 dengan jarak ≥ 1 jarak ≥ 1 meter

meter meter 3. Ruang bertekanan

3. Cegah terjadinya negatif atau ruang

kontaminasi

Transport Batasi gerak Batasi gerak Batasi gerak

pasien Bila perlu keruang Bila perlu keruang

ruangan pasien ruangan pasien diberi

diberi pengaman pengaman

APD 1. Kebersihan tangan1. Kebersihan tangan1. Kebersihan tangan

sebelum sebelum sebelum

menggunakan APD menggunakan APD menggunakan APD

2. Sarung tangan dan2. Sarung tangan, 2. Masker bedah untuk

gaun bagi petugas gaun dan masker pasien dan respirator

saat masuk ke dipakai bila bekerja partikulat untuk

ruang pasien dalam radius 1-2 m petugas saat masuk

99
3. Ganti sarung tangan terhadap pasien saat ke ruang pasien

setelah kontak kontak erat. 3. Orang yang rentan

dengan bahan3. Gaun dan apron tidak boleh masuk

infeksius (feses, sama seperti ruang pasien yang

cairan tubuh, darah) transmisi kontak diketahui atau suspek

4. Pakai gaun bersih campak, cacar air

saat masuk ruang 4. Bila masuk atau

pasien untuk melakukan tindakan

melindungi petugas dengan kemungkinan

dari kontak dengan timbul aerosol, maka

pasien, permukaan petugas harus

lingkungan, barang mengenakan

di ruang pasien, respirator partikulat

cairan diare pasien,

ileostomy,

colostomy, luka

terbuka

5. Lepaskan gaun

sebelum keluar

ruangan

6. Apron digunakan

untuk mengurangi

100
penetrasi cairan

7. Bila

memungkinkan

peralatan non

kritikal dipakai 1

pasien atau pasien

dengan infeksi

mikroba yang sama

Peralatan 1. Perlu terminal1. Ruang rawat inap1. Terminal

untuk dekontaminasi area pasien dengan dekontaminasi

perawatan sekitar pasien atau transmisi droplet dilakukan secara

pasien dan ruangan setelah tidak perlu dekontaminasi

lingkungan pasien pulang penanganan udara permukaan

2. Dapat dipakai Na secara khusus menggunakan H2O2

hipokrolit 0,5% karena mikroba 0,5 – 1,4% dengan

bilas dengan air tidak bergerak jauh lama kontak 30 detik

atau dengan H2O22. Perlu terminal – 1 menit

0,5 – 1,4% dekontaminasi area 2. Bactericidal,

sekitar pasien atau virusidal atau lama

ruangan setelah kontak 5 menit bila

pasien pulang dengan tujuan

3. Dapat dipakai Na mikrobakterisidal

hipokrolit 0,5% atau dry mist dengan

101
bilas dengan air H2O2 5%

atau dengan H2O2 dikombinasi dengan

0,5 – 1,4% Ag dengan lama

kontak 55 menit

untuk luas ruangan

0,125 m3

102
BAB IV

STANDAR KESELAMATAN PASIEN

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua

rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan

sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO

Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien

Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International

(JCI).

Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan

spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang

bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari

konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain

sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan

yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan

pada solusi-solusi yang menyeluruh.

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit

membuat asuhan pasien lebih aman. Insiden keselamatan pasien adalah setiap

kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi

mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien.

Insiden Keselamatan Pasien

1. KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) – Adverse event: insiden yang

mengakibatkan pasien cedera

103
2. Kejadian Sentinel : Kejadian Tidak Diharapkan yang mengakibatkan

kematian atau cedera yg serius

3. KNC (Kejadian Nyaris Cedera ) – Near miss, Close call : terjadinya insiden

yg belum sampai terpapar ke pasien ( pasien tidak cedera)

4. KTC (Kejadian Tidak Cedera) – No harm incident: insiden sudah terpapar ke

pasien, tetapi pasien tidak timbul cedera

5. KPC (Kondisi Potensial Cedera) – Reportable circumstance: kondisi / situasi

yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi

insiden. Contoh :Alat defibrilator yang standby di IGD, tetapi kemudian

diketahui rusak ; ICU yg under staff

JENIS INSIDEN YANG HARUS DILAPORKAN

1. Kejadian Sentinel

2. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

3. Kejadian Tidak Cidera (KTC)

4. Kejadian Nyaris Cidera (KNC)

Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai

berikut

1. Ketepatan Identifikasi Pasien

2. Peningkatan Komunikasi Yang Efektif

3. Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)

4. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepatpasien Operasi

5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

104
6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

SASARAN I : KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN

Standar SKP I Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk

memperbaiki/ meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.

Maksud dan Tujuan Sasaran I

Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di

hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi

pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami

disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit,

adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain.

Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu:

pertama, untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima

pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau

pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara

kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada

proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk

darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau

pemberian pengobatan atau tindakan lain.

Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk

mengidentifikasi seorang pasien :

1. Nama pasien

2. Nomor rekam medis

3. Tanggal lahir

105
4. Gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.

Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk

identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua

identitas berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan

rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada

pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk

mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua

kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.

Elemen Penilaian Sasaran I

1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh

menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.

2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.

3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk

pemeriksaan klinis.

4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.

5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten

pada semua situasi dan lokasi.

Macam-macam warna Gelang Identitas Pasien

Gelang Biru : Untuk pasien dewasa atau anak-anak berjenis kelamin Laki-laki

Gelang Merah muda/Pink : Untuk pasien dewasa atau anak-anak berjenis kelamin

Perempuan

Gelang Merah : Untuk pasien dewasa atau anak-anak dengan Alergi

Gelang Kuning : Untuk pasien dewasa atau anak-anak dengan Resiko jatuh

106
Gelang Ungu : Untuk pasien DNR (Do Not Resusitation) atau pasien yang tidak

ingin dilakukan Tindakan Pijat Jantung atau RJP

Gelang Hijau : Untuk pasien dengan alergi latek

Gelang Abbu-abu: Untuk pasien yang m: Untuk pasien dengan jenis kelamin

ganda

SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF

Standar SKP II Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan

efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan.

Maksud dan Tujuan Sasaran II

Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang

dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan

keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.

Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah

diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi

kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti

melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan.

Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau

prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (atau memasukkan

ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima

perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah

atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan

dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga

menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read

107
back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat

di IGD atau ICU.

Elemen Penilaian Sasaran II

1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan

dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.

2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali

secara lengkap oleh penerima perintah.

3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang

menyampaikan hasil pemeriksaan

4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan

komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.

Peningkatan Komunikasi efektif dengan metode SBAR

Penerapan komunikasi efektif dalam pelayanan kebidanan menggunakan

metode SBAR. Model komunikasi dengan metode SBAR menawarkan sebuah

cara yg simple untuk standard komunikasi dengan menggunakan 4 elemen dengan

bahasa yang umum, sehingga komunikasi akan menjadi efektif & efisien. Dengan

metode ini akan mencerminkan ilmu dan midwifery process.

Pelaksanaan metode SBAR digunakan oleh bidan, perawat, dokter dan

petugas kesehatan lainnya. Dilakukaan pada saat :

1. Serah terima pasien antar ruangan

2. Serah terima pasien antar shif

3. Saat pelaporan kondisi pasien (contohnya : bidan laporan kepada dokter)

melalui telefon

108
A. METODE SBAR

S  SITUATION : Kondisi terkini yg terjadi pada pasien

B  BACKGROUND : Informasi penting apa yg b.d. kondisi psn

terkini

A  ASSESSMENT : Hasil pengkajian kondisi pasien terkini

RRECOMMENDATION : Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi

masalah pasien saat ini

B. ASPEK LEGAL HUKUM DALAM KOMUNIKASI SBAR

1. Siapkan buku catatan

2. Siapkan rekam medis

3. Tulis tanggal dan jam pada saat menelpon

4. Tulis semua instruksi direkam medis pasien/buku catatan telpon

C. LANGKAH-LANGKAH LAPORAN KONDISI PASIEN BIDAN–

DOKTER :

Sebelum menghubungi dokter:

1. Kaji kondisi pasien

2. Kumpulkan data-data yang diperlukan oleh bidan seperti kondisi pasien

yang akan dilaporkan

3. Pastikan diagnosa medis pasien

4. Baca dan pahami catatan perkembangan terkini dan hasil pengkajian

perawat shift sebelumnya

109
5. Siapkan : medical record pasien, riwayat alergi, obat –obatan / cairan infus

yg digunakan saat ini

6. SITUATION : Sebutkan nama anda dan nama departemen, tanggal

masuk pasien Jelaskan secara singkat masalah kesehatan pasien atau

keluhan utama termasuk pain score/ skala nyeri

7. BACKGROUND : Sebutkan riwayat alergi dan obat – obatan termasuk

cairan infus yang digunakan. Jelaskan hasil pemeriksaan yang mendukung

dan pemeriksaan laboratorium.Jelaskan informasi klinik yang mendukung

8. ASSESSMENT : Jelaskan secara lengkap hasil pengkajian pasien terkini,

seperti vital sign, status mental, status emosional, kondisi kulit, saturasi

oksigen dll. Nyatakan kemungkinan masalah, seperti gangguan

pernafasan, gangguan neurologi, gangguan perfusi dll.

9. RECOMMENDATION: Meminta dokter untuk datang melihat pasien.

Pastikan jam kedatangan dokter .Tanyakan pada dokter langkah

selanjutnya yang akan dilakukan.

10. Dokumentasikan

D. Langkah-langkah laporan pasien antar shif dinas dengan metode SBAR

Sebelum serah terima pasien :

1. Dapatkan pengkajian kondisi pasien terkini.

2. Kumpulkan data-data yang diperlukan oleh bidan seperti kondisi pasien

yang akan dilaporkan.

110
3. Pastikan diagnosa medis pasien dan prioritas masalah yang harus

dilanjutkan.

4. Baca & pahami catatan perkembangan terkini & hasil pengkajian petugas

shift sebelumnya

5. Siapkan medical record pasien termasuk rencana perawatan harian

6. SITUATION : Sebutkan nama anda dan nama departemen, tanggal masuk

pasien Jelaskan secara singkat masalah kesehatan pasien atau keluhan

utama termasuk pain score/ skala nyeri

7. BACKGROUND : Sebutkan riwayat alergi dan obat – obatan termasuk

cairan infus yang digunakan. Jelaskan hasil pemeriksaan yang mendukung

dan pemeriksaan laboratorium.Jelaskan informasi klinik yang mendukung

8. ASSESSMENT : Jelaskan secara lengkap hasil pengkajian pasien terkini,

seperti vital sign, status mental, status emosional, kondisi kulit, saturasi

oksigen dll. Nyatakan kemungkinan masalah, seperti gangguan

pernafasan, gangguan neurologi, gangguan perfusi dll.

9. RECOMMENDATION : Meminta dokter untuk datang melihat

pasien. Pastikan jam kedatangan dokter .Tanyakan pada dokter langkah

selanjutnya yang akan dilakukan.

10. Dokumentasikan

E. Langkah-Langkah Apabila Berkomunikasi Melaporkan Kondisi Pasien

Lewat Telfon

1. Siapkan data –data pasien (rekam medik) dan siapkan alat tulis

111
2. Tekan nomor telfon yang akan dituju

3. Ucapkan salam sesuai dengan kondisi

4. Menanyakan cek ulang apakah betul yang ditelfon adalah benar sesuai

yang dituju

5. Sebutkan nama,asal,puskesmas/rs,ruangan

6. Sampaikan keadaan pasien saat ini

7. Catat semua instruksi yang diberikan

8. Ulang kembali apa yang telah diinstruksikan

9. Menutup telpon mengakhiri pembicaraan

10. Mengucapkan salam

SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU

DIWASPADAI (HIGH-ALERT)

Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert).

Maksud dan Tujuan Sasaran III

Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien,

manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien.

Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang

sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang

berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)

seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa

dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA).

112
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah

pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja :

1. Kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat

2. Kalium fosfat

3. Natrium klorida lebih pekat dari 0.9%,

4. Magnesium sulfat =50% atau lebih pekat

Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi

dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak

diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat

darurat.

Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi

kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat

yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit

pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan

suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu

diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau

prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit

konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara

benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut,

sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak

sengaja/kurang hati-hati.

113
Elemen Penilaian Sasaran III

1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses

identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan

elektrolit konsentrat.

2. Implementasi kebijakan dan prosedur.

3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika

dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian

yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus

diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat

(restricted).

SASARAN IV : KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR,

TEPAT-PASIEN OPERASI

Standar SKP IV Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat- pasien.

Maksud dan Tujuan Sasaran IV

Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah sesuatu

yang menkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini

adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara

anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi

(site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping

itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak

114
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim

bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca

(illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi

yang sering terjadi.

Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu

kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang

mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang

digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety(2009), juga di

The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong

Procedure, Wrong Person Surgery.

Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu

pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di

rumah sakit dan harus dibuat oleh operator/orang yang akan melakukan tindakan,

dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat

sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus

termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau

multipel level (tulang belakang). Maksud proses verifikasi praoperatif adalah

untuk memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar; memastikan

bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia,

diberi label dengan baik, dan dipampang; dan melakukan verifikasi ketersediaan

peralatan khusus dan/atau implant2 yang dibutuhkan. Tahap “Sebelum insisi”

(Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time

out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan

115
dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana

proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist.

Elemen Penilaian Sasaran IV

1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk

identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses

penandaan.

2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk

memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien

dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan

fungsional.

3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum

insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan

pembedahan.

4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang

seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien,

termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar

operasi.

116
Gambar. Surgical Safety Cheklist WHO

SASARAN V : PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT

PELAYANAN KESEHATAN

Standar SKP V Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

Maksud dan Tujuan Sasaran V

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam

tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang

berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi

pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai

dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi
117
pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali

dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun

infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand

hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan

internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan

kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand

hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di

rumah sakit.

Elemen Penilaian Sasaran V

1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand

hygieneterbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari

WHO Patient Safety).

2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.

3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan

pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait

pelayanan kesehatan.

Hand hygiene

Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun

dan air mengalir bila tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau

menggunakan alkohol (alcohol-based handrubs)bila tangan tidak tampak kotor.

Kuku petugas harus selalu bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa

memakai perhiasan cincin. Cuci tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas

dengan air mengalir, dilakukan padasaat:

118
1. Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu darah,

cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband,

walaupun telah memakai sarungtangan.

2. Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya

yang bersih, walaupun pada pasien yangsama.

Indikasi kebersihan tangan:

a) Sebelum kontakpasien;

b) Sebelum tindakanaseptik;

c) Setelah kontak darah dan cairantubuh;

d) Setelah kontakpasien;

e) Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

119
Gambar. Cara Kebersihan tangan dengan Sabun dan Air

Diadaptasi dari: WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First

Global Patient Safety Challenge, World HealthOrganization, 2009.

120
Gambar . Cara Kebersihan Tangan dengan Antisepsik Berbasis Alkohol

Diadaptasi dari WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First Global

Patient Safety Challenge, World Health Organization,2009.

121
SASARAN VI : PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH

Standar SKP VI Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh.

Maksud dan Tujuan Sasaran VI

Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien

rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang

disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh

dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.

Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol,

gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh

pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.

Elemen Penilaian Sasaran VI

1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko

jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi

perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain.

2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka

yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.

3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan

cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.

4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan

pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah

sakit.

122
KLASIFIKSAI TINGKAT RESIKO JATUH

Morse Fall
Risk level Action
Scale Score

Low risk 0 – 24 Implement Low risk fall prevention

interventions

Medium 25 – 44 Implement Medium risk fall

Risk prevention interventions

Hihg Risk 45 and higher Implement High risk fall prevention

interventions

123
BAB V

PENGELOLAAN DAN PEMBELAJARAN LABORATORIUM

A. Standar Laboratorium Pendidikan Kesehatan Sebagai Pendukung Mutu

Pendidikan Tinggi

Dalam sebuah institusi pendidikan kesehatan keberadaan

laboratorium sangatlah penting. Peran laboratorium dalam sebuah institusi

pendidikan untuk menunjang keberhasilan mahasiswa dan mahasiswi dalam

menyelesaikan study mereka. Pembelajaran praktikum mempunyai komposisi

yang besar dalam dunia pendidikan kesehatan sehingga keberadaan

laboratorium yang ideal dalam sebuah insitusi pendidikan akan menentukan

mutu pendidikan dalam perguruan tinggi.

Standar Nasional pendidikan Tinggi telah diatur dalam Peraturan

Mentri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang tertuang didalam

PERMENRISTEK DIKTI NOMOR 44 Tahun 2015. Standarnasional

pendidikan adalah kriteria minimaltentang pembelajaran pada jenjang

pendidikan tinggi di perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Ruang lingkup standar nasional pendidikan

terdir atas :

1. Standar kompetensi lulusan

2. Standar isi pembelajaran

3. Standar proses pembelajaran

4. Standar penilaian pembelajaran

5. Standar dosen dan tenaga pendidikan

124
6. Standar sarana dan prasarana pembelajaran (Pasal 31-33)

7. Standar pengelolaan pembelajaran dan

8. Standar pembiayaan pembelajaran

Dalam standar nasional pendidikan tinggi terdapat point standar sarana

dan prasarana pembelajaran. Standar sarana dan prasarana pembelajaran

merupakan kriteria minimal tentang sarana dan prasarana sesuai dengan

kebutuhan isi dan proses pembelajaran dalam rangka pemenuhan capaian

pembelajaran lulusan. Standar prasarana pembelajaran sebagaimana yang

dimaksud salah satunya sebuah institusi pendidikan tinggi harus memiiki

laboratorium.

B. Kualifikasi Tenaga Kependidikan

Tenaga pendidikan merupakan bagian penting dalam keberhasilan

anak didik. Sehingga dlam sebuah institusi pendidikan untuk mendapatkan

sebuhah tenaga pendidikan harus ada kualifikasi tenaga pendidikan agar

memiliki tenaga pendidikan yang berkualitas sehingga tercipta lulusan yang

bekualitas pula. Berikut merupakan standar tenaga pendidikan yang diatur

dalam (SN DIKTI PASAL 30):

1. Tenaga kependidikan memiliki kualifikasi akademik paling rendah lulusan

program diploma 3 (tiga) yang dinyatakan dengan ijazah sesuai dengan

kualifikasi tugas pokok dan fungsinya.

2. Tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan

bagi tenaga administrasi.

125
3. Tenaga administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki

kualifikasi akademik paling rendah SMA atau sederajat.

C. Standar Sarana dan Prasarana Pembelajaran (PS 31-33)

Fasilitas dalam sebuah Institusi pendidikan sangatlah penting untuk

menunjang berjalannya suatu proses kegiatan belajar dan mengajar. Karena

sarana dan prasarana merupakan salah satu alat prantara atau media untuk

mempermudah mentransfer segala bentuk informasi dari tenaga pendidik

kepeserta didik. Standar prasarana pembelajaran sebagaimana dimaksud

dalam pasal 31 paling sedikit terdiri atas:

1. lahan;

2. ruang kelas;

3. perpustakaan;

4. laboratorium/studio/bengkel kerja/unit produksi; tempat berolahraga;

5. ruang untuk berkesenian;

6. ruang unit kegiatan mahasiswa;

7. ruang pimpinan perguruan tinggi;

8. ruang dosen;

9. ruang tata usaha; dan

10. fasilitas umum.

126
D. Kewajiban Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

Sebagai seorang tenaga pendidik yang sudah terkualifikasi tentunya

dalam proses kegiatan belajar mengajar bisa menciptakan suasana yang

bermakna, menyenangkan, kreatif dinamis, dan dialogis. Sehingga peseta

didik tidak merasa bosan dalam menjalani proses kegiatan belajar mengajar.

Dengan suasana belajar yang menyenangkan maka akan tercipta proses belajar

yang efektif sehingga peserta didik lebih mudah untuk mencerna informasi

yang disampaikan oleh tenaga pendidik.

Menciptakan mutu pendidikan yang berkualitas berangkat dari tenaga

pendidikan yang berkualitas pula. Untuk selalu meningkatkan mutu

pendidikan maka sebagai seorsng tenaga pendidikan harus mempunyai

komitmen secara profesional untuk selalu berusaha meningkatkan pendidikan.

upaya yang dilakukan bisa dimulai dari diri sendiri dengan selalu

mengembangkan diri sebagai seorang tenaga pendidik.

Sebagai seorang tenaga pendidikan yang profesional maka selalu

berusaha untuk memberikan teladan kepada peserta didik, menjaga nama baik

lembaga pendidikan, menjaga nama baik profesi dan kedudukan sesuai

dengan kepercayaan yang diberikan.

E. Tenaga Laboran

Dalam peraturan akreditasi BAN PT/LAMPTKES Borang 3A Standar

: Tenaga laboran sesuai kebutuhan dan lualifikasi pendidikan (pendidikan

formal/pelatihan)

127
Jenis-Jenis tenaga laboran antara lain :

1) Laboran Kebidanan

2) Laboran Microteaching

3) Laboran Keperawatan

4) Laboran Biomedik

5) Laboran Fisiotherapi

6) Laboran Bahasa

7) Labor /Teknisi/Analis/Operator/Programer dsb

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diatur dalam Akreditasi

BAN PT/LAMPTKes Borang IIIA Standar 5, yaitu Substansi dan pelaksanaan

praktikum /praktek sesuai dengan mata kuliah yang bermuatan praktikum

yang dijabarkan dalam panduan praktikum, pelaksanaan modul

praktik/praktikum lebih dari cukup di Prodi sendiri, kegiatan yang dilakukan

dengan cara Peer group diharapkan menentukan modul-modul praktikum/

praktek yang harus dilakukan syarat minimal maupun yang lebih baik, adanya

peraturan tentang budaya keselamatan kerja dalam kegiatan praktikum/

praktek, dan ketersediaan pedoman, keefektifan (sosialisasi dan

pelaksanaannya) kelengkapan peralatan dan bahan. Dengan terpenuhinya

standar ini maka diharapkan pelaksanaan kegiatan pembelajaran bisa berjalan

dengan lancar.

Laboratorium adalah ruangan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan

untuk melakukan aktifitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi Tri Dharma

PT seperti pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

128
Sehingga betapa pentingnya keberadaan sebuah laboratorium instirusi

pendidikan. Karena laboratorium merupakan sebagai tempat untuk

mengaktualisasikan pembelajaran teori yang didapatkan oleh mahasiswa

dikelas. Sehingga dengan adanya pembelajaran dilaboratorium ilmu yang

didapatkan mahasiswa akan terasa lebih nyata.

F. Visi dan Misi

Untuk menciptakan sebuah laboratorium yang terpadu diperlukan

adanya visi dan isi dari laboratorium sehingga jelas bagaimana cara

pengelolaan dari laboratorium tersebut. Dimana perumusan visi dan misi

laboratorium mengacu pada visi institusi. Visi Laboratorium merupakan pusat

penelusuran kembali konsep-konsep ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu

pengetahuan, dan atau ditemukannya ilmu pengetahuan baru dan aplikasi ilmu

pengetahuan. Misi laboratorium Mencakup beberapa hal yaitu menciptakan

laboratorium sebagai pusat penemuan dan pengembangan IPTEK, memahami

menguji dan menggunakan konsep/teori untuk diterapkan pada saat praktik,

menciptakan keamanan dan keselamatan kerja di laboratorium dan

menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Selain memiliki visi dan misi, sebuah laboratorium juga harus

memiliki tujuan. Dimana tujuan laboratorium menguji ilmu, teori dan konsep

yang telah dipelajari, kegiatan praktikum dan penelitian yang menunjang

pembelajaran dan pengembangan ilmu dan untuk melakukan pengujian dan

kalibrasi peralatan.

129
G. Pengelolaan Laboratorium

Dalam pengelolaan laboratorium terdapat struktur kepengurusan agar

dalam mengelola laboratorum dapat berjalan dengan baik. Berikut tim

pengelola laboratorium :

1. Kepala unit laboratorium bertanggung jawab terhadap semua kegiatan

administrasi maupun akademik.

2. Penanggung jawab laboratorium membantu secara langsung tugas kepala

unit laboratorium dalam bidang administrasi, kualifikasi pendidikan

minimum Sarjana Sains Terapan (D IV)/S.1.

3. Teknisi/tenaga bantu laboratorium adalah seseorang yang bertugas

membantu aktifitas peserta didik dalam melakukan kegiatan praktek

laboratorium

Suatu laboratorium dapat berjalan dengan baik jika memiliki sistem

manajemen yang baik pula. Manajemen laboratorium yaitu suatu bagian yang

tidak dapat dipisahkan dari kegiatan laboratorium. Suatu manajemen lab yang

baik memiliki sistem organisasi yang baik, uraian kerja (job description) yang

jelas, pemanfaatan fasilitas yang efektif, efisien, disiplin, dan administrasi lab

yang baik pula.

130
H. Pengelolaan Laboratorium

Terdapat empat komponen didalam pengelolaan laboratorium yaitu :

1. Planning

Keseluruhan proses dan penentuan secara matang tentang hal-hal

yang akan dikerjakan dimasa akan datang dalam rangka pencapaian tujuan

yang telah ditentukan. Dan berbuatlah kebajikan supaya kamu

mendapatkan keberuntungan (Al-Hajj : 77).

“Apakah manusia mengira ia dibiarkan saja tanpa pertanggungjawaban

(Al-Qur’an 75:36)

2. Organizing

Melaksanakan perencanaan secara oprasional. Dan taatilah Allah

dan Rasulnya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan

kamu menjadi gentar, hilang kekuatanmu, dan bersabarlah, sesungguhnya

Allah beserta orang-orang yang sabar (Al-Anfal : 46)

3. Penggerak (actuating)

Memberikan penggerak dan kesadaran terhadap dasar dari pada

pekerjaan yang mereka lakukan, yaitu menuju tujuan yang telah

ditetapkan, disertai dengan memberi motivasi-motivasi baru, bimbingan

atau arahan. Actuating merupakan inti dari manajemen yang menggerakan

untuk mencapai hasil. “…….memberi berita gembira kepada orang-orang

yang beriman, yang engerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat

pembalasan baik”(QS.al-Kahfi: 2)

131
4. Evaluasi (Controlling)

Proses untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilaksanakan benar

sesuai apa tidak dengan perencanaan sebelumnya. Evaluasi yaitu penilaian

dan pengukuran untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu, maka

dilakukan pengukuran dan wujud dari pengukuran itu adalah pengujian.

“padahal sesungguhnya bagi kamu ada malaikat yang mengawasi

pekerjaanmu (10) yang mulia disisi Alah dan yang mencatat pekerjaan itu

(11) mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”(12) (Al-Qur’an 82: 10-

12). Implementasi dalam pengelolaan terbagi menjadi empat bagian yaitu,

Fleksibel, efektif efisien, terbuka dan cooperatif dan partisipasif.

I. Persyaratan Laboratorium

Beberapa yang perlu diperhatikan dalam penyediaan laboratorium

yaitu, jenis dan peralatan, bentuk/disain memperhatikan aspek keselamatan

atau keamanan, ada standar operating prosedures atau instruksi kerja (IK)

bersifat mengikat bagi pengguna laboratorium, ada sistem pelapor dan

dokumentasi

1. Tata Ruang Lab

a. Jenis Ruang Laboratorium

b. Ruang pengelola laboratorium;

c. Ruang praktik peserta didik;

d. Ruang kerja dan persiapan dosen;

e. Ruang/tempat penyimpanan alat; dan

132
f. Ruang/tempat penyimpanan bahan.

2. Bentuk Ruang

Bentuk ruang laboratorium sebaiknya bujur sangkar atau

mendekati bujur sangkar atau bisa juga berbentuk persegi panjang. Bentuk

bujur sangkar memungkinkan jarak antara dosen dan peserta didik dapat

lebih dekat sehingga memudahkan kontak antara dosen/instruktur dan

peserta didik.

3. Luas Ruang

a. 1 orang peserta didik memerlukan ruang kerja minimal 2,5 m²

b. Disediakan ruang kosong antara tembok dan meja kerja sekitar 1.7 m

untuk memudahkan dan mengamankan sirkulasi alat dan peserta didik

di laboratorium.

c. Jarak antara ujung meja yang berdampingan sebaiknya tidak kurang

dari 1.5 m, sehingga peserta didik dapat bergerak leluasa pada waktu

bekerja dan pada waktu pindah atau memindahkan alat (bahan) dari

satu tempat ke tempat lain.

d. Luas ruang harus sebanding dengan banyaknya peserta didik dan jenis

pendidikan.

e. Luas ruang penyimpanan alat dan bahan disesuaikan dengan jenis

alat/bahan yang ada di setiap jenis pendidikan.

f. Fasilitas ruangan disesuaikan dengan kebutuhan teknis masing-masing

laboratorium.

133
J. Pengelolaan Laboratorium

1. Perencanaan

Perencanaan merupakan sebuah proses yang sistematis, analitis, logis

tentang kegiatan yang harus dilakukan, metode, SDM, tenaga dan dana yang

dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efisien.

Perencanaan ini dimaksudkan untuk merencakan konsep dari suatu laboratorium

agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Sehingga perlu diperhatikan pembanguan

sebuah laboratorium akan digunakan untuk apa saja. Selain keperluan ruangan

yang perlu diperhatikan juga bentuk, ukuran laboratorium perlu mendapat

perhatian, karena fungsi laboratorium . Umumnya laboratorium digunakan

untuk berbagai kegiatan percobaan dalam konteks proses belajar mengajar.

Jumlah peserta didik yang melebihi kapasiitas ruangan laboratorium dalam

satu kali percobaan akan mengganggu kenyamanan dan jalannya aktivitas

dalam laboratorium.

2. Penataan

Tata letak peralatan adalah suatu bentuk usaha pengaturan

penempatan peralatan di laboratorium, sehingga laboratorium tersebut

berwujud dan memenuhi persyaratan untuk beroperasi. Kata pengaturan

dalam kalimat di atas mengandung makna yang sangat luas, yaitu bahwa

dalam mewujudkan suatu laboratorium yang layak operasi diperlukan

penempatan perlatan yang tersusun yang rapi berdasar kepada proses dan

langkah-langkah penggunaan/aktivitas dalam laboratorium yang

diharapkan, begitu pula dengan daerah kerja harus memiliki luas yang

memungkinkan pengguna/pekerja/operator dapat bergerak bebas, aman


134
dan nyaman, di samping lalu lintas bahan yang akan digunakan dapat

sampai ke tempat kerja dengan mudah dan lancar.

3. Pengadministrasian

Pengadministrasian sering juga disebut sebagai kegiatan

menginventaris. Inventaris adalah suatu kegiatan dan usaha untuk

menyediakan catatan tentang keadaan semua fasilitas, barang-barang yang

dimiliki laboratorium. Kegiatan invetarisasi yang memadai akan dapat

diperoleh pedoman untuk mempersiapan anggaran atau mempersiapkan

kegiatan pada tahun yang akan datang. Catatan inventaris yang baik akan

mempermudah pergantian tanggung jawab dari pengelola yang satu ke

yang lainnya. Inventaris juga akan mempermudah untuk mengetahui

dimana suatu peralatan akan ditempatkan. Dengan demikian akan

mempermudahkan pengontrolan, seperti terhadap kehilangan yang

disebabkan oleh kecerobohan atau kecurian.

4. Pengamanan dan pemeliharaan

Pada dasarnya pengamanan, perawatan dan pengawasan laboratorium

merupakan tanggung jawab bersama baik pengelola maupun pengguna.

Mengatur dan memelihara laboratorium merupakan upaya agar laboratorium

selalu tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan upaya menjaga

keselamatan kerja mencakup usaha untuk selalu mencegah kemungkinan

terjadinya kecelakaan sewaktu bekerja di laboratorium dan penangannya bila

terjadi kecelakaan.

135
5. Pemeliharaan Alat-alat Laboratorium

a. Pemeliharaan umum alat dan bahan : Alat dan bahan memerlukan

pemeliharaan secara rutin dan berkala.

b. Prinsip-prinsip pemeliharaan alat dan bahan : Memperhatikan aspek

kebersihan, mempertahankan fungsi, kalibrasi jika diperlukan,

pengemasan, penggantian yang diperlukan, penyimpanan

c. Cara pemeliharaan alat dan bahan laboratorium: tergantung jenis alat

6. Penyimpanan Alat-alat laboratorium

a. Penyimpanan dan penempatan alat-alat atau bahan kimia menganut

prinsip

b. tidak menimbulkan kecelakaan pada pemakai ketika mengambil dari

dan mengembalikan alat ke tempatnya.

c. Bahan Habis Pakai

d. Peralatan Bahan Kimia

136
Pengelolaan Laboratorium Pendidikan Kesehatan

Di Unit Laboratorium Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Aisyiyah Yogyakarta

A. Manajemen Laboratorium

Laboratorium merupakan unit penunjang akademik pada lembaga

pendidikan yang dikelola secara sistematis untuk kegiatan pengujian,

kalibrasi dan atau produksi dalam skala terbatas. Kebutuhan untuk alat dan

bahan berdasarkan metode keilmuan yang diperlukan di fakultas ilmu

kesehatan. Selain itu laboratorium Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta juga

memfasilitasi dalam rangka pendidikan, penelitian dan pengabdian

masyarakat baik dosen maupun mahasisiwa. (Menurut Peraturan Menteri

Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

No.03/Januari/2010 dan Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan

Kepala Badan Kepegawaian Negara No.02 dan No.13/Mei/2010).

Demi kelancaran dalam proses kegiatan pelayanan laboratorium maka

kami mempunyai manajemen laboratorium pendidikan kesehatan. Strategi

untuk mencapai tujuan laboratorium melalui perencanaan, pengorganisasian,

pengerakan, penggunaan dan pengawasan segenap sumberdaya laboratorium

untuk mencapai tujuan laboratorium secara optimal (Ali, 2010). selain itu

sumberdaya manusia yang ada didalam lingkar manajemen yang perlu

diperhatikan adalah instruktur, mahasiswa, laboran dan sarana laboratorium.

137
Dalam penyelenggaraan laboratorium memilki beberapa syarat yang

perlu diperhatikan yaitu :

a. Jenis dan jumlah peralatan sesuai dengan rasio mahasisiwa,

b. Desain lab memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan,

c. laboratorium agar aman dan nyaman maka alat yang dipasang di dinding

tidak mengganggu sirkulasi dan tersedia buku referensi

d. Tersedia air mengalir

e. Meja praktikum tidak tembus air, tahan asam dan basa

f. Tersedia sumber listrik

g. Tersedia ruang dosen

h. Terdapat SOP/instruksi kerja

i. Adanya sistem pelaporan dan dokumentasi pada setiap kegiatan praktikum

B. Pengelolaan Laboratorium

Pengelolaan laboratorium merupakan sistem manajemen untuk

mengelola kegiatan laboratorium supaya dapat berjalan dengan lancar.

Sehingga dalam sebuah laboratorium diperlukan tim pengelola laboratorium,

meliputi :

1. Kepala unit laboratorium: bertanggung jawab pada semua kegiatan di

lab, mengkoordinir aktifitas internal dan kerjasama eksternal dalam

mengembangkan laboratorium. Pejabat ini memerlukan seseorang

dengan komitmen, kemampuan dan ketrampilan manajemen dengan

pendidikan sesuai dengan jenis laboratorium minimal S2.

138
2. PJ laboratorium (Admin): membantu tugas kepala unit dalam bidang

administrasi, pendidikan minimal S1.

3. Teknis/Laboran: membantu aktifitas peserta didik dalam kegiatan praktek

laboratorium.

Gambar 1 : Struktur Organisasi Laboratorium Fikes UNISA

Jenis ruang laboratorium yang ada di UNISA, yaitu Ruang Pengelola

Laboratorium, Ruang Praktek peserta didik, Ruang kerja dan Persiapan dosen dan

Ruang penyimpanan Alat & Bahan. Spesifikasi untuk ruangan laboratorium yaitu

bentuk ruang laboratorium sebaiknya bujur sangkar atau persegi panjang, untuk

memudahkan kontak antara dosen/instruktur dan peserta didik, satu orang peserta

didik memerlukan 2,5 m 2 ruangan, luas ruang harus sebanding dengan

banyaknya peserta didik dan jenis pendidikan dan luas ruang penyimpanan alat

dan bahan disesuaikan dengan jenis alat/bahan yang ada.

139
Gambar 2 : Denah Laboratorium

Jenis Ruang Laboratorium Pendidikan Kesehatan di UNISA

Laboratorium Keperawatan : Laboratorium Kebidanan:

- Ruang gawat darurat - Ruang antenatal

- Intensive care unit - Ruang Intranatal

- Ruang perawatan dewasa - Ruang Postnatal

- Ruang perawatan anak - Ruang neonatus

- Ruang komunitas - Ruang KB

- Ruang operasi - Ruang patologi obstetri ginekologi

- Ruang perawatan jiwa - Ruang kebidanan komunitas

- Ruang perawatan gerontik - Ruang ketrampilan dasar

- Ruang keperawatan maternitas

140
- Ruang bayi baru lahir

- Ruang perawatan dasar

Laboratorium Biomedis : Laboratorium Fisioterapi :

- Laboratorium anatomi dan - Lab. aktino terapi

fisiologi - Lab.elektro terapi

- Laboratorium Histologi - Lab. stroke service

- Laboratorium Mikrobiologi - Lab. gymnasium

- Laboratorium parasitologi dan - Lab.pediatri

mikologi - Lab. EMG (terapi latihan)

- Laboratorium kimia klinik - Lab. SWD/MWD

- Laboratorium Analisa makanan - Lab. asessment fisioterapi

minuman dan biokimia Laboratorium Tehnik

Radiodiagnostik dan Radioterapi.

Untuk memperlancar jalannya pelayanan dalam laboratorium maka

diperlukan perencanaan kegiatan disetiap harinya yaitu seperti pelayanan alat dan

bahan praktikum dan rekapitulasi transaksi pembelajaran praktikum. Kemudian

untuk perencanaan di setiap bulannya seperti pengadaan bahan laboratorium,

pengusulan anggaran bulanan dan laporan dan rekapitulasi transaksi mengajar.

Agenda untuk disetiap semester yaitu seperti menyusun jadwal praktikum,

pemeliharaan alat: kalibrasi/service, stock opname set alat laboratorium,

pengusulan dan penambahan alat, rekapitulasi ketercapaian pembelajaran

praktikum dan audit mutu internal. Agenda untu disetiap tahun menyusun

141
program kerja, sasaran mutu, menyusun rencana anggaran tahunan dan menyusun

laporan ketercapaian program kerja tahunan.

Untuk memenuhi kebutuhan alat dan bahan yang dibutuhkan oleh sebuah

laboratorium harus dibuat sebuah perencanaan dan pengadministrasian alat dan

bahan lab. Merencanakan penambahan atau pengadaan alat laboratorium

berdasarkan kebutuhan dan rasio pemenuhan antara alat dan jumlah mahasisiwa.

Seluruh alat yang ada di laboratorium dilakukan pencatatan dalam sisitem

inventaris alat laboratorium. Untuk mempermudah dalam pencatatan alat dan

bahan laboratorium, maka UNISA memiliki SIM inventaris alat dengan alamat

URL sim.unisayogya.ac.id/simptt inventaris/zul/adlab_menu.zul , berikut contoh

tampilan dari SIM Inventaris unisa.

Gambar 3 : SIM Inventaris Alat

Dalam pengadaan barang harus dilakukannya sebuah perencanaan agar

dalam pengadaan barang tersebut dapat berjalan dengan lancar. Menjelang awal
142
semester kepala unit laboratorium membuat surat kepada ketua program studi

untuk mengajukan pengusulan alat dan bahan yang diperlukan oleh masing-

masing prodi dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kepala prodi

akan menginformasikan kepada dosen yang ada diprodi tersebut untuk mencatat

alat dan bahan apa saja yang harus diadakan atau diperbaiki untuk persiapan

mengajar di semester berikutnya. Sehingga dari proses tersebut pengadaan alat

dan bahan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Ketika alat dan bahan sudah

diinventaris oleh prodi maka ketua prodi akan melaporkan ke kepala unit

labortorium.

Setelah menginventaris seluruh alat dan bahan yang akan dibeli.

kemudian unit laboratorium membuat perencanaan pembelian alat dan BHP

(Bahan Habis Pakai) dan diusulkan kebagian tim pengadaan barang. Apabila

inventaris tersebut sudah disetujui oleh tim pengadaan barang maka unit

laboratorium membeli alat dan bahan habis pakai dengan cara survei rekanan dan

menentukan pemenang tender pembelian barang atau asset laboratorium.

Keamanan dan keselamatan kerja (K3) dilaboratorium merupakan upaya

menjamin kebutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani seluruh

tenaga yang terlibat di dalamnya (instruktur, mahasiswa, laboran dan orang di

sekitarnya dalam proses praktikum yang aman dan nyaman). Karena laboratorium

merupakan tempat melakukan berbagai aktifitas yang melibatkan bahan,

peralatan maupun instrumen khusus yang dapat menyebabkan terjadinya

kecelakaan akibat penggunaan tidak sesuai, maupun kecerobohan kerja. Selain itu

kemungkinan karena petugas kurang menguasai prosedur kerja.

143
Berbagai macam resiko yang dapat terjadi di laboratorium seperti terluka

(tertusuk), terbakar, terkena zat korosif, terkena radioaktif. Sehingga diperlukan

upaya Upaya keselamatan kerja di laboratorium yang perlu disiapkan yaitu :

1. Instruksi kerja alat, merupakan sebagai upaya pencegahan kecelakaan

kerja karena kurang menguasai prosedur. Dengan adanya instruksi kerja

pengguna diharapkan membaca instruksi kerja yang sudah ada.

2. APD (Alat Pelindung Diri), alat perlindungan diri yang digunakan oleh

tenaga kerja untuk melindungi diri dari resiko keselamatan kerja. APD

yang wajib digunakan pada pembelajaran laboratorium yaitu Jas

laboratorium mahasiswa, Jas laboratorium dosen, Handscoen. Prosedur

khusus ketika melakukan tindakan laboratorium harus menggunakan

masker, tutup kepala, celemek, dan sepatu boot.

3. Sarana Hand Hygiene, pentingnya melakukan hand hygiene secara

umum yaitu sebelum dan setelah kontak dengan orang lain, makanan,

alat laboratorium maupun segala kegiatan yang beresiko infeksi. Indikasi

hand hygiene (5 moment), interaksi petugas dan klien yaitu sebelum

kontak dengan pasien, sesudah kontak dengan pasien, setelah terpapar

dengan cairan tubuh pasien, sebelum melakukan tindakan/prosedur

asepsis dan setelah kontak dengan lingkungan area pasien.

4. APAR(Alat Pemadam Api Ringan) & Petunjuk Penggunaannya, Apar

merupakan alat pemadaman yang bisa dibawa atau dijinjing dan

dugunakan oleh satu orang dan berdiri sendiri. Apar merupakan alat

pemadam api yang pemakaiannya dilakukan secara manualdan langsung

144
diarahkan pada posisi dimana api berada. Apar dikenal sebagai alat untuk

awal kebakara, selain itu karena bentuknya yang portable dan ringan

sehingga mudah mendekati daerah kebakaran. Dikarenakan fungsinya

untuk penanganan dini sehingga peletakan APAR harus ditempatkan di

tempat-tempat tertentu yang mudah untuk digunakan.

5. Jalur Evakuasi, jalur khusus yang menghubungkan semua area ke area

yang aman (Titik Kumpul). Dalam sebuah proyek konstruksi, jalur

evakuasi sangatlah penting untuk mengevakuasi para pekerja ke tempat

aman apabila di dalam sebuah proyek terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan.

6. Perlengkapan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan), suatu upaya

memberikan pertolongan pertama secara cepat dan tepat kepada pekerja

atau orang lain yang berada di tempat kerja, yang mengalami sakit atau

cidera di tempat kerja. P3K dilakukan dengan maksud memberikan

perawatan darurat pada korban, sebelum pertolongan yang lebih lengkap

diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan lainnya.

7. Perlengkapan hand hygiene (handrub & hand wash), hand hygiene

merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi nosokomial.

Tujuan hand hygiene untuk membuang kotoran dan organisme yang

menempel ditangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada

saat itu

145
8. Pengolahan limbah, bekerja sama (MOU) dengan PT Arah

Environmental Indonesia. Limbah yang dikelola yaitu seperti limbah

infeksius, laboratorium-cair, obat kadaluarsa.

Pemeliharaan alat dan bahan yang dimiliki laboratorium sangat

penting karena dengan adanya perawatan maka alat dapat terjaga dengan

baik. Prinsip yang dilakukan dalam perawatan alat yaitu penyimpanan

alat dan bahan ditempat yang ber-AC, pengecekan alat dan bahan

dilakukan setiap persemester, membuat settingan alat perketerampilan,

pemeliharaan alat berbahan karet, silikon, stainless dilakukan

persemester, pemeliharaan phantom dan alat yang berfungsi kurang

optimal melalui jasa rekanan, kalibrasi pada alat-alat dengan skala ukur.

C. SOP Laboratorium

Standar oprasional prosedur (SOP) merupakan serangkaian instruksi

kerja tertulis yang dibakukan mengenai proses penyelenggaraan administrasi

di laboratorium pendidikan kesehatan, bagaimana dan kapan, dimana dan

oleh siapa dilakukan.

SOP yang sudah dibuat oleh laboratorium bertujuan agar SDM

LAboratprium menjadi konsisten dan tingkat kinerja dalam unit kerja,

masing-masing anggota paham dengan peran dan fungsinya disetiap posisi

organisasi, memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab SDM

laboratorium, melindungi SDM laboratorium dari malpraktek atau kesalahan

146
administrasi lainnya, untuk menghindari kegagalan, kesalahan, keraguan,

duplikasi dan inefisiensi.

Dalam pembuatan SOP ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan

yaitu, harus ada pada setiap kegiatan, bisa berubah sesuai dengan perubahan

IPTEK serta peraturan yang berlaku, memuat segala indikasi dan syarat-

syarat yang harus dipenuhi pada setiap upaya, disamping tahapan-tahapan

yang harus dilalui setiap kegiatan pelayanan dan harus didokumentasikan.

Komponen dalam pembuatan SOP :

1. Nama prosedur dan nomor prosedur (ditulis dengan singkat dan jelas,

Revisi: Riwayat penulisan naskah tersebut perlu dicantumkan dan tanda

kapan mulai berlakunya prosedur tersebut).

2. Tujuan dan Ruang lingkup (spesifik)

3. Definisi

4. Referensi

5. Prosedur Kerja

6. Dokumentasi/Lampiran form

7. Penanggung jawab

SOP yang dimiliki oleh UPT UNISA :

1. SOP Praktikum

2. SOP Peminjaman, perpanjangan, pengembalian, dan keterangan bebas

peminjaman alat/bahan laboratorium

3. SOP Pengelolaan Alat dan Bahan Laboratorium

4. SOP Perencanaan Alat dan Inventaris Alat/Bahan Laboratorium

147
5. SOP Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium.

D. Audit Mutu Internal Unit Laboratorium

Merupakan proses membandingkan kriteria audit dengan kondisi

aktual untuk memonitor implementasi dari system manajemen. Audit mutu

internal dilaksanakan enam bulan sekali yaitu pada bulan Januar dan Agustus.

Auditor dalam Audit Mutu Internal (AMI) adalah tim auditor Internal yang

telah bersertifikasi. Apabila dalam proses AMI ditemui hal-hal yang tidak

sesuai dengan penilaian maka tim Auditor akan menerbitkan laporan temuan

AMI (Dibuat auditor dan diketahui oleh auditee), kemudian surat temuan

tersebut akan di serahkan ke Auditee (Unit Lab) dan BPM (Badan penjamin

Mutu). hasil temuan tersebut akan ditintak lanjuti/perbaikan oleh Auditee

(Unit Lab) kemudian melapotkan ke Auditor dan BPM. Lingkup audit yang

dilakukan oleh tim auditor memiliki tujuh standart, yaitu :

1. Standart I : Wewenang dan Tugas

2. Standart II : Sasaran Mutu Unit

3. Standart III : Program Kerja dan Renop

4. Standart IV : Prosedur Kerja

5. Standart V : Pengendalian Dokumen

6. Standart VI : Kedisiplinan dan Pengembangan Staff

7. Standart VII : Keluhan pelanggan

148
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Djojosugito, Prof.DR.Dr.M,dkk. 2001. Buku Manual Pengendalian


Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta

Depkes, RI Bekerjasama Dengan Perdalin. 2009. Pedoman Pencegahan Dan


Pengendalian Infeksi Di Rumah Sakit Dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Lainnya. Sk Menkes No 382/Menkes/2007. Jakarta: Kemnkes Ri

Fatimah,Siti, 2011 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Infeksi


Nosokomial Luka Operasi Di Ruang Bedah Rsup Fatmawati Tahun 2011.
Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.

Friedman. 1998. Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktek. Edisi 3. Jakarta:


EGC. Habni,Yulia 2009 Perilaku Perawat Dalam Pencegahan Infeksi
Nosokomial Di Ruang Rundu A, Rindu B, ICU, IGD, Rawat Jalan Di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Medan:Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara: Medan. Kkp-Rs, Laporan Insiden
Keselamatan Pasien Periode Januari-April 2011, 2011.

Kurniasari. Septi. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keejadian Infeksi


Nosokomial Di Ruang Bedah Rumah Sakit. Jurnal Kesehatan Mitra
Lampung Vol. 8 No.1, Jan 2011.

Maryana Maryana, Ria Mardikaningsih. "Penilaian Kepatuhan Perilaku Perawat


dalam melaksanakan Hand Hygiene di ruang rawat inap Rumah Sakit
Umum Daerah Depati Bahrin Sungailiat tahun 2018", Citra Delima : Jurnal
Ilmiah STIKES Citra Delima Bangka Belitung, 2019

Permenkes No 1691 Tentang Keselamatan Pasien Rumah


Sakit/MENKES/PER/VIIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah sakit

Permenkes RI no 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Infeksi di fasilitas Pelayanan Kesehatan

149

Anda mungkin juga menyukai