Anda di halaman 1dari 1412

Cin Cu Ling

Karya : Tong Hong Giok Saduran : Gan KL


Ebook oleh : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/


http://kangzusi.info/ http://cerita-silat.co.cc/

Cuaca cerah, udara terang, tiada badai, tidak ada ombak di


tengah sungai atau danau, namun de mikian gelombang omba k
tetap mendampar, yang di belakang mendorong ke depan, air tetap
menga lir tak ter-putus2. Demikian pula suasana Kangouw (sunga i-
telaga), mengejar na ma, berebut rejeki, yang kuat mencaplok yang
le mah kelaliman, kesadiaan kejahatan tetap merajalela, liku
kehidupan dunia persilatan penuh diliputi muslihat, kapan insan per-
silatan pernah mengenya m kehidupan a man dan da mai?
Sepanjang musim se mi tahun ini suasana Kangouw atau dania
persilatan me mang agak tenteram, na mun keadaan ini tida k
bertahan lama, karena kabar yang mengejutkan tiba2 me mbikin
keadaan yang aman tenteram menjadi ge mpar dan bergolak.
Kabar pertama yang mengejutkan ada lah lenyapnya Tong-Thian-
jong, tertua keluarga Tong di Sujwan yang terkenal dengan ilmu
senjata rahasia dan racunnya. Kabar kedua yang mengge mparkan
adalah hilangnya Un It-hong, tertua keluarga Un di Ling la m yang
terkenal dengan obat bius dan wewangian yang memabukkan,
Keduanya menghilang secara beruntun tak keruan parannya .
Konon periatiwa ini terjadi pada permulaan tahun lalu, soalnya
keluarga yang kehilangan ketuanya ini tutup mulut dan
merahasiakan hal itu sehingga urusan baru bocor setelah berselang
tiga bulan ke mudian, sudah tentu berita ini menjadi topik
pembicaraan setiap insan persilatan.
Keluarga Tong di Sujwan berada di utara, se-mentara keluarga
Un di Ling-la m ada di selatan- Sebetulnya kejadian hilangnya ketua
dari kedua keluarga ini betapapun tiada sangkut pautnya satu sama
yang lain- Soalnya peristiwa ini berlangsung sebelum dan sesudah
tahun baru, sehingga orang mau tidak ma u menganggap kejadian
itu suatu kebetulan, apalagi kabar yang tersiar luas di dania
persilatan bersimpang siur sehingga umum merasa urusan ini agak
miaterius.
Kabarnya setelah kedua tokoh ini hilang secara aneh, orang2 dari
kedua keluarga ini mene mukan sebutir mutiara sebesar kacang di
bawah bantal mereka. Menemukan mutiara di bawah bantal
sebetulnya bukan suatu hal yang aneh, cuma mutiara yang mereka
temukan ini terukir sebuah huruf "LING" (perintah atau firman)
sebesar kepala lalat bewarna merah menyolok. Dan karena adanya
huruf "LING" yang terukir di atas mutiara inilah menjadikan urusan
menarik perhatian orang banyak.
"cin-cu-ling" (firman mutiara), hampir setiap insan persilatan
tiada yang pernah dangar nama ini di Kangouw. Lambang
seseorang ataukah golongan?
Soal ini simpang siur dan tiada scorangpun yang bisa
menje laskan secara ga mblang dan pasti. .
Yang terang cin-cu-ling menyebabkan dua orang tertua dari
keluarga besar yang tersohor di dania persilatan lenyap. Kini tiga
bulan sudah lalu, soal ini masih ra mai dibicarakan orang, namun
kejadian masih terselubung, bagai batu kece mplung laut, sejauh itu
masih menjadi teka-teki.
Yang terang orang2 dari kedua ke luarga ini masih terus mencari
dan menyelidiki.
cin-cu-ling me mang me nimbulkan ge lombang besar di dania
persilatan untuk beberapa la manya tapi la mbat laun ha l inipun
dilupa kan orang.
Thay goan-tang merupakan pegadaian terbesar di kota Kayhong,
letaknya dijalan besar di timur kota. Huruf "Tang" (gadai ) bagai
poster raksasa menghias tembok tinggi yang me lintang di depan
rumah setinggi dua tombak. Begitu masuk, pintu angin lebar dari
papan tebal mengadang dijalan- pintu angin inipun dihiasi huruf
gadai yang melebihi besar manusia sehingga keadaan di dalam tida k
kelihatan dari luar. Me mangnya siapa yang tidak malu
menggadaikan barang miliknya kalau tidak kepepet karena
"tongpes" alias kantong ke mpes?
Hari sudah lewat lohor, keadaan rumah gadai Thay-goan sudah
sepi, pada saat itulah seorang pemuda me masuki pintu pegadaian
itu. Pemuda ini berjubah hijau, usianya likuran tahun, mukanya
cakap. alia tegak. mata besar bersinar taja m, sikap-nya ra mah dan
halus mirip seorang pe lajar, tapi sebuah buntalan panjang tiga kaki
me lintang di punggungnya, tidak mirip payung, mungkin senjata
yang selalu dibawanya untuk me mbela diri.
Pemuda jubah hijau langsung menuju ke loket terdekat, sebentar
dia berdehe m, lalu bersuara le mbut. "Mana petugasnya"
Seorang laki2 tua berkaca mata berlari2 dari sebelah dala m,
sekilas diawasinya pemuda jubah hijau ini, lalu berseri tawa sambil
menyapa: "Siangkong (tuan) henda k menggada i barang apa."
Pemuda jubah hijau manggut2, tangan mero-goh kantong dan
menge luarkan sebutir mut iara terus diangsurkan- Mutiara ini
sebesar telur burung puyuh, lapat2 berse mu kuning, sinarnya
mencorong benderang, orang awampun tahu bahwa benda ini
adalah barang mestika yang tak ternila i harganya.
Petugas tua ini menerima serta di-timang2 di telapak tangan, lalu
tanyanya: "Mau digada ikan berapa, Siang kong?"
"Lima ribu tahil perak." sahut pe muda jubah hijau.
Sebetulnya nilai mutiara ini sedikitnya la ksaan tahil, tapi petugas
ini tak berani se mbarangan bertindak, dengan seksama dia a mat2i
mut iara serta memeriksanya dengan lebih teliti. Akhirnya ditemukan
sebuah ukiran huruf "LING" warna merah di atas mutiara yang
menguning terang itu Seketika jantungnya berdetak keras seperti
hendak meloncat keluar dari rongga dadanya.
Sekilas ta mpak berubah air muka petugas tua ini, Tapi kejap lain
rona mukanya berobah pula seperti kegirangan- sudah tentu semua
perubahan ini tak lepas dari pengamatan si pe muda jubah hijau.
Tapi pe muda itu anggap tidak tahu saja.
Sengaja petugas tua ini me meriksa dan menimang2 sekian
la manya, habia itu baru berkata dengan tertawa lebar: "Mutiara
Siangkong ini tak ter-nila i harganya, hanya digadai lima ribu tahil
saja...."
"Ya, baiklah kugadaikan," ujar pe muda jubah hijau.
"Tapi lima ribu tahil juga bukan jumlah yang kecil, ma ka ........."
"Lho, kenapa, kau t idak mau terima?"
"Tida k. tidak. kami buka pegadaian, mana tidak terima gadai?
Soalnya lima ribu tahil, ka mi tiada uang kontan sebanyak itu, dan
lagi mutiara ini harus di unjukkan dulu kepada majikan ka mi."
"Boleh saja," ujar si pe muda, "silakan undang majikanmu."
"Sebagai langganan, mari silakan Siang kong duduk didala m dan
minum secangkir teh, segera kusuruh orang mengundang majikan,"
sembari bicara dia me mbuka pintu di ujung sana, lalu menya mbut
dengan munduk2: "sila kan duduk. Siang kong."
Si pe muda tidak sungkan dengan tegap ia masuk ke dala m.
Petugas tua menyilakan duduk. seorang kacung menyuguhkan
secangkir teh.
Petugas tua menge mbalikan mutiara dengan ke dua tangannya,
katanya. "Siangkong, simpan dulu mutiara ini, setelah berhadapan
dengan majikan boleh kau perlihatkan kepada beliau." lalu ia bisik2
kepada si kacung sekian la manya, kacung itu mang-gut2 terus
berlari keluar.
"Majikan tinggal di pintu selatan, sebentar be-liau akan datang,
Entah siapakah she Siang kong"
"Aku she Ling" sahut si pe muda. "Siangkong kelahiran mana?"
"Ing-ciu," aga knya dia sungkan bicara, maka jawabannya
pendek2 saja.
"Te mpat bagus," ujar si petugas tua. Si pe muda hanya
tersenyum saja.
Pembicaraan terputus sampai se kian saja, sipetugas lalu
menge luarkan pipa cangklong dan mengiaap te mbakaunya. Kira
setanakan nasi kemudian, tampak dari luar datang seorang laki2
setengah baya berpakaian ketat warna biru, laki2 ini beralis tebal,
mukanya kasar kereng, badannya tegap kuat. Kacung cilik tadi
tampak ber-lari2 di belakangnya.
Lekas si petugas tua menurunkan pipa sambil berdiri, serunya
tertawa: "Nah, sudah datang." Si Pe muda ikut berdiri.
Sementara laki2 setengah baya sudah beranjak masuk. matanya
langsung menatap si pemuda jubah hijau, sekedar menyapa pada si
petugas, katanya: "Apakah saudara ini yang hendak
menggadaikan?"
Si petugas manggut2, sahutnya: "Ya, ya inilah Ling-s iangkong
dari Ing-ciu." Kepada si pe muda segera ia me mperkena lkan: "Inilah
murid terbesar majikan ka mi The Si- kiat The-toaya, belakangan
majikan jarang menca mpuri urusan perusahaan, semuanya The-
toaya inilah yang me mberes-kannya."
" Kiranya The-ya," si pe muda me mberi sala m.
The Si- kiat me mbalas hormat, katanya: "Tidak berani, cayhe
diperintahkan guru ke mari untuk mengundang saudara ke sana
untuk bicara."
" cayhe hanya menggadai barang saya," sahut si pe muda.
Umumnya gadaian hanya mengenal barang tanpa kena l orang,
kalau harganya cocok boleh di bayar, kalau tidak boleh ditolak.
The Si- kiat tertawa, ujarnya: " Guruku berkata, mutiara yang tak
ternilai harganya hanya digadai lima ribu tahil, menurut aturan,
jumlah ini merupakan nilai yang besar, maka kedua belah piha k
perlu bicara langsung, oleh karena itu harap saudara sudi terima
undangan ini."
Si pe muda tertawa tawar, katanya: "Kalau de mikian, terpaksa
aku terima undangan ini."
"Marilah, kutunjukkan jalannya," ujar The Si-kiat terus melangkah
keluar lebih dulu. Si pemuda mengikut di belakang meninggalkan
rumah gadai ini.
Mereka jalan beriring, The Si- kiat me mbawa-nya berputar
menyusuri dua jalan raya panjang dan ramai. Kira2 setengah li
ke mudian, mereka me m-belok ke sebuah lorong lebar yang beralas
batu besar dan bersih mengkilap. pohon2 tua dan tinggi berderet di
kedua pinggir jalan-.
Entah sengaja atau tidak The Si-kiat seperti hendak menjajal si
pemuda, begitu me masuki lorong ini langkahnya tiba2 dipercepat,
kelihatannya langkahnya lambat tidak ter-gesa2, namun tubuhnya
bergerak bagai terbang, orang biasa umpa ma berlari sekencang2nya
juga takkan biaa menyusulnya.
Pemuda jubah hijau mengikut di belakang, langkahnya juga
la mban saja seperti tidak ingin berlomba lari, berlangsung seperti
tidak terjadi apa2, na-mun jaraknya dengan The Si-kiat tetap sama,
hanya beberapa kaki, sedikitpun tak pernah ketinggalan-
Jalanan batu mengkilap ini panjangnya ada dua li, sepanjang
jalan ini The Si-kiat melangkah dengan amat pesatnya, hanya
sekejah saja sudah tiba di depan sebuah gedang besar dan
berhenti. Dia kira sipe muda tentu ketinggalan jauh dibelakang, tak
tahunya waktu dia berpaling, ternyata si pemuda dengan sikap
wajar juga berhenti di bela kangnya, -Keruan ia kaget, batinnya: "Di
antara murid Siau-lim-pay dari kaum pre man, aku diberi julukan Sin-
hing thay-po (malaikat jalan pesat), kecuali orang mengerahkan
tenaga dan menggunakan Ginkang, rasanya tidak sembarang orang
bisa menyusul diriku, tapi bocah ini a mat lihay juga Ginkangnya.
sedikitpun tidak mau ketinggalan di belakang." Segera dia menghe la
napas panjang serta berkata dengan tertawa: "Sudah sa mpai"
Si pe muda angkat kepala, dilihatnya gedang besar memakan
tanah yang amat luas, rumahnya ber-lapia2 me manjang ke
belakang, bentuknya megah serta mewah. Kedua pintu besar yang
bercat hitam sudah terbentang lebar, di depan pintu berdiri dua
laki2 muda berpaka ian jubah hijau, sikapnya gagah dan kereng.
Kiranya adalah Kim-ing-ceng yang tersohor di kalangan persilatan-
Locengcu atau pemilik perka mpungan tua ini bernama Kim Kay-
thay, dia pula yang menjabat ciangbunjin dari murid pre man Siau-
lim-pay. Kaum persilatan sa ma me manggilnya Kim- ting, Kim loyacu.
"Kim-ting" (hianglo e mas te mpat dupa) adalah julukan Kim
loyacu, konon dulu dua dijuluki It-kun-cui-kim-ting (seka li pukul
menghancurkan Hianglo), tapi karena kelima huruf ini kurang enak
dibaca, maka orang lebih suka me manggilnya Kim-ting saja. Dan
lagi Kim-ting secara kiasan juga mengandang arti dapat dipercaya
katanya.
Di bawah iringan The Si-kiat, si pe muda terus me masuki pintu
besar, melewati pekarangan luas dan panjang, me masuki pintu
kedua, di sini terjaga oleh dua pemuda baju hijau. begitu The Si-kiat
datang, segera mereka me mbungkuk hormat dan menyapa: "Suhu
sudah menunggu di ruang barat, sila kan Toasuheng bawa ta mu ke
kamar barat."
The Si-kiat mengiakan saja terus me mbelok ke arah kiri, setelah
menyusuri serambi panjang yang ber-belok2, mereka tiba di ka mar
di sebelah barat.
Itulah sebuah ka mar tersendiri yang berjendela kaca, sekeliling
kamar dipagari tanaman bunga aneka warna, gunung2an dan kolam
ikan, pajangan di sini sangat perma i, terang ditangani seorang ahli.
Undak2an di depan pintu ka mar berdiri pula dua laki2 jubah
hijau, kiranya mereka ada lah murid Kim- loyacu.
Mengikuti langkah The Si-kiat, si pe muda langsung me masuki
kamar bunga itu, tampak di atas sebuah kursi besar me mbe lakangi
dandang sebelah timur sana duduk seorang laki2 tua berkepala
botak. berjenggot putih bermuka merah, sorot matanya bersinar
tajam. begitu melihat muridnya me mbawa si pemuda masuk. segera
dia unjuk tawa serta berdiri menya mbut.
Setelah dekat The Si-kiat berhenti serta berkata pada tamunya:
"Inilah guru ka mi."
Si Pe muda maju me langkah, kedua tangan terangkap me mberi
hormat, katanya lantang: "Sudah lama kudengar na ma besar Kim-
loyacu, atas undangan ini, Wanpwe amat bersyukur dan
beruntung." Lekas The Si-kiat berkata lirih kepada gurunya: "Suhu,
inilah Ling-siangkong . "
Kim Kay-thay bermata panjang, dengan seksama dia awasi
pemuda jubah hijau ini, sudah tentu yang menarik perhatiannya
adalah buntalan panjang di belakang punggung si pe muda, bagi
seorang ahli tentu segera tahu bahwa buntalan ini berisi pedang
panjang.
Sambil mengawasi orang, tangan kanan Kim- loyacu terangkat
sambil berkata: "Ta mu agung, tamu agung Silakan duduk. Sila kan
duduk"
Si pe muda juga tida k sungkan2, dia duduk di kursi depan orang.
Seorang pemuda la in berbaju hijau lantas menyuguhkan minuman-
Kim Kay-thay berdehem kecil, lalu berkata dengan tertawa:
"Ling-siangkong, siapakah na ma leng-kapmu .........."
"cayhe bernama Kun-gi."
"Tinggal di ma na?"
"Di Ing- Ciu," sahut si pe muda a lias Ling Kun-gi.
Kim Kay-thay manggut2, katanya: "Lohu dangar Ling-s iangkong
punya sebutir mutiara hendak digadaikan lima ribu tahil perak?
Bolehkah kuperiksa?"
Ling Kun-gi merogoh kantong dan mengeluar-kan mutiara yang
terikat benang e mas dan di- angsurkan-
Kim Kay-thay menerimanya serta menga mati-nya dengan teliti,
katanya kemudian: "Lohu ingin mohon sedikit keterangan dari Ling-
siangkong, entah sudikah menerangkan?"
Ling Kun-gi tertawa tawar, ujarnya: "Kim-loyacu ingin tanya soal
apa?"
Tajam tatapan mata Kim Kay-thay, katanya: "Apakah Ling-
siangkong tahu asal-usul mutiara ini?"
"Inilah barang peninggalan leluhur ka mi," jawab Ling Kun-gi. Jadi
mut iara itu adalah warisan leluhurnya.
"Siapakah na ma ge laran ayah Ling-siangkong?" tanya Kim Kay-
thay.
"Ayah almarhum sudah meningga l sejak beberapa tahun, Kim-
loyacu tanya soal ayah, apa-kah beliau ada sangkut pautnya dengan
mut iara ini?"
"Lohu hanya tanya sambil lalu saja, Ling-kongcu me mbekal
pedang ke mana2, tentunya kaupun dari ka langan persilatan?"
"cayhe hanya belajar beberapa jurus pukulan dan ilmu pedang,
baru saja mula i berkecimpung di Kangouw."
Sekilas terpancar sinar terang dari kedua biji mata Kim Kay-thay
yang sipit, katanya sambil manggut2: "Ling-siangkong gagah dan
cakap. tentunya dari keluarga persilatan ternama juga."
"Ayah almarhum dan ibu sama2 tak mahir ilmu silat, kepandaian
rendah yang cayhe miliki kuperoleh dari didikan guru."
"o, entah siapa na ma crelaran guru Ling-s iangkong?"
"Guruku tidak punya gelaran, namanya juga tidak ingin diketahui
orang lain."
Kim Kay-thay mengelus jenggot, katanya: "Guru Ling-s iangkong
mungkin seorang tokoh persilatan lihay dan aneh tabiatnya."
"Dari mutiara wariaan keluarga ka mi ini, Kim- loyacu tanya asal-
usul dan riwayat hidupku, apakah engkau menaruh perhatian atau
curiga terhadap mu-tiara milikku ini"
Sejenak Kim Kay-thay melengak. katanya ke-mudian sa mbil
tertawa: " Ling-siangkong jangan salah paha m."
"Apa yang ingin Kim- loy acu ketahui sudah kujawab terus
terang. kini cayhe juga ingin tanya satu hal, entah Kim- loy acu sudi
me mberi penjelasan t idak?"
Kim Kay-thay tetap tersenyum simpul, katanya: "Boleh Ling-
siangkong katakan."
"Kukira Kim- loyacu tentu pernah melihat mu-tiara yang mirip
dengan mutiara milikku ini?" kata Ling Kun-gi.
Sedikit berubah air muka Kim Kay-thay, ka-tanya tertawa: " Ling-
siangkong adalah kaum persilatan, tentunya juga sudah mendangar
peristiwa cin-cu-ling di kalangan Kangouw?"
"Ya, cayhe datang ke Kayhong memang ingin cari tahu tentang
cin-cu-sing yang mengge mparkan dania persilatan itu."
Terunjuk rasa heran pada wajah Kim Kay-thay, tanyanya:
"Apakah Ling-siangkong sudah tahu?"
Menegak alis Ling Kun-gi, katanya sambil ter-tawa keras. "Itu
terserah kepada Kim- loyacu. apakah sudi mengunjukkannya kepada
cayhe"
Tak urung berubah juga roman muka Kim Kay-thay, katanya: "
Ucapan Ling-siangkong tida k beralasan, darimana lohu biaa
me mpunyai cin-cu-ling itu?"
"Waktu cayhe berangkat, sudah kudangar bahwa Lok-san Taysu,
pimpinan ruang Yok-ong-tian di Siau lim-si mendadak hilang, di
tempatnya tertinggalkan sebutir cin-cu-ling, Hongt iang ketua Siau-
lim-si sudah serahkan cin cu-ling itu kepada Kim-loyacu,
me mangnya kabar ini hanya berita angin be laka?"
Dingin sikap Kim Kay-thay, katanya: "Semula kukira guru Ling-
siangkong adalah tokoh aneh yang mengasingkan diri dan jarang
berkecimpung di dunia persilatan- .... "jelas nadanya penuh
sindiran-
Ling Kun-gi tertawa lebar, katanya: "Guruku me ma ng suka
menca mpuri urusan tetek-bengek, sejak tiga puluh tahun yang lalu
sampai sekarang, tabiat ini tak pernah berubah."
Sekilas terpancar perasaan aneh pada wajah Kim Kay-thay,
tanyanya prihatin: "Siapakah sebetulnya gurumu?"
"Tadi sudah cayhe jelaskan, guruku tidak punya gelar, kalau Kim-
loyacu ingin tahu, boleh selidiki dari perma inan beberapa jurus
pukulanku"
Kim Kay-thay naik pitam, katanya kereng: "Jadi maksud
kedatanagnmu bukan ingin me nggadai mutiara mu itu?"
"Sa ma2," ujar Ling Kun-gi tertawa: "Kim-loyacu mengundangku
ke mari, tentunya juga bukan ingin bicara soal nilai gada i mutiaraku,
bukan?"
"Sombong benar kau ana k muda" dangus Kim Kay-thay. Sudah
banyak tahun tiada orang berani bertingkah dihadapan Kim-loyacu,
tak heran dia naik pita m.
Ling Kun-gi tertawa lebar, katanya: "Setua umur guruku,
selamanya tak ada yang terpandang olehnya, cayhe adalah ahli
waris guruku satu2nya, me mangnya siapa pula yang bisa
terpandang dalam mataku?"
Berubah gusar wajah Kim Kay-thay, serunya tertawa: "Bagus
sekali, Lohu ingin tahu murid siapa kau sebetulnya?" lalu ia letakkan
mut iara itu diatas meja, katanya pula: "Kalau Ling siangkong tida k
menggadaikan mutiara ini, silahkan a mbil ke mbali."
"Me mang betul ucapan Kim-loyacu." Kata Ling Kun-gi, segera
tangan di ulur menga mbil mutiara itu terus dimasukkan ke kantong
bajunya. Berkilat biji mata Kim Kay-thay, serunya berat: "Si-kiat"
"Tecu siap" sahut The Si-kiat me mbungkuk.
Kim Kay-thay berpesan: "Tujuan Ling-siang-kong adalah gurumu,
boleh kau minta belajar beberapa jurus padanya, dari permainannya
nanti, mungkin aku bisa mengenal perguruannya. "
"Tecu mengerti," sahut The si- kiat, lalu dia menjura kepada Ling
Kun-gi, katanya: "Ling-siangkong ingin me mberi petunjuk. mari
silakan bergebrak di luar, di sana lebih luas."
"Menjajal kepanda ian bukanlah main tombak di atas kuda, cukup
dua-tiga langkah saja cukup, kalau bergebrak di sini Kim- loyacu
tentu bisa dapat menyaksikan lebih jelas."
The Si-kiat tertawa dingin, katanya: "Kalau Ling-s iangkong
berpendapat demikian, bolehlah gebrak di sini saja." ke mba li dia
menjura serta mena mbahkan: "Sila kan Ling-siangkong me mberi
pelajaran,"
Sambil mengawasi orang Ling Kun-gi mengulum senyum lebar,
katanya: "Selamanya cayhe tidak pernah menyerang lebih dulu,
harap The-ya tidak usah sungkan-" terang dia sangat meremehkan
The Si-kiat.
The Si-kiat adalah murid tertua Kim-t ing Kim-loyacu, di antara
murid2 pre man Siau-lim-pay, dia merupakan jago yang
berkepandaian tinggi, kini ia dipandang hina sede mikian rupa oleh
Ling Kun-gi yang masih muda belia dan pupuk bawang lagi, sudah
tentu hatinya geram setengah mati, namun dia hanya mendengus,
katanya: "Baiklah bila a ku berlaku kasar" dia m2 dia menghirup
napas panjang dan mengerahkan tenaga, tangan kanan melindungi
dada, serangan segera siap dilancarkan.
"Si-kiat," tiba2 Kim Kay-thay me mbentak. "tunggu sebentar."
Lekas The Si-kiat me mbatalkan dan menarik kuda2nya, sahutnya
me mbungkuk: "Ada pesan apa, suhu?"
"Betapapun Ling siang kong adalah ta mu kita, jangan se-kali2
berlaku kasar padanya," kata sang guru.
Berlaku kasar artinya tidak boleh mencabut nyawanya tapi boleh
kau beri ajaran setimpal biar kapok.
"Tecu mengerti," sahut The Si-kiat. ia membalik badan dan
telapak tangan kiri terbuka, kepalan tangan kanan melingkar di
depan dada, serunya: " Ling-siangkong, hati2lah" begitu telapak
tangan kiri bergerak. tahu2 kepalan tangan kanan mendahului
menggenjot pundak Ling Kun-gi, yang dilancarkan adalah ilmu coan-
hoa-kun (pukulan menyelinap bunga)... .
Ling Kun-gi pun tidak menyingkir, ia tunggu kepalan The si- kiat
hampir mengenai pundaknya, mendadak sedikit miringkan badan,
kaki kiri me langkah setengah tindak. di ma na tangan kiri terangkat,
dia tepuk pundak kanan The si-kiat, serangan balasan ini datang
lebih dulu ma lah. Justru yang dimainkan ini aneh dan lucu
tampaknya, walau tepukannya enteng seperti tidak mengguna kan
tenaga, tapi pukulan The Si-kiat mengenai te mpat kosong,
gerakannya sukar dihentikan lagi, dia terhuyung ke depan lima
langkah.
Berubah air muka Kim Kay-thay karena gerakan Ling Kun-gi mirip
sekali dengan Tui-liong-jip-hay (dorong- naga masuk laut), salah
satu jurus cap-ji-kim-liong jiu dari perguruannya, cuma Ling Kun-gi
me lancarkan jurus ini dengan tangan kiri, jadi berlawanan dengan
kebiasaan-
cap-ji-kim-liong-jiu (dua belas jurus tangkap naga) adalah salah
satu dari 72 ilmu silat Siau-lim-pay. Termasuk 12 tingkatan teratas
dari deretan ilmu lihay Siau-lim-pay, ilmu ini diciptakan oleh cika l
bakal Siau-lim-pay yaitu Bodhi Dharma setelah dia menyela mi Ih
Kin-keng, kecuali murid2 Hou-hoat atau pe mbela biara, ilmu ini tida k
pernah di ajarkan kepada murid2 pre man-
Sebagai murid tertua dan berkepandaian paling tinggi di antara
murid2 Kim Kay-thay, ternyata dalam gebrak permulaan saja dirinya
sudah kecundang, sudah tentu The Si-kiat malu bukan main, mulut
menggerung, tiba2 badannya berputar cepat, berbareng kedua
tangan menyerang secara me mbadai.
Karena sudah kecundang, maka jurus perma inan selanjutnya
tidak kepa lang tanggung lagi, ia me lancarkan Ha k hou cio hoat (ilmu
pukulan penakluk harimau) dari Siau lim-pay. Ilmu ini cukup
terkenal dala m bu-lim dengan kekuatan dan kekasarannya, begitu
dike mbangkan perbawanya ternyata bukan olah2 hebatnya, setiap
gerakan jurus tangannya membawa deru angin kencang seperti
badai menga muk, kekuatannya cukup menghancurkan pilar batu.
Tak tahunya Ling Kun-gi melayaninya seperti tidak terjadi apa2,
sikapnya adem aye m, kedua kaki tetap berdiri di te mpat tak
bergeser sedikitpun, hanya badannya saja yang bergontai kian
ke mari, namun setiap serangan lawan dapat dihindarinya dengan
mudah.
Dirangsang a marah, tentu saja serangan The Si-kiat sema kin
bersemangat dan tumple k seluruh kepandaian silatnya, jurus ketiga
adalah Jiu kip-pau-tan (tangan merogoh ulu harimau), jari2nya
berbalik merogoh ke bawah dari bawah pergelangan tangan yang
lain, bagai kilat tahu2 serangannya mengincar ulu hati Ling Kun-gi.
Begitu cepat dan ganas serangan ini. Jarak keduanya dekat lagi,
pula badan Ling Kun-gi masih miring ke sa mping karena
menghindari jurus kedua tadi, gerakannya jadi sukar berubah dan
tak mungkin berkelit lagi. Dia m2 The Si- kiat mendengus hina,
tenaga dia kerahkan ketangan kanan, gerakanpun dipercepat.
Tatkala jari tangannya menyentuh baju Ling Kun gi itulah,
mendadak terasa pergelangan tangan kanan mengencang sakit,
tahu2 tangan orang sudah mencengkera m pergelangan tangannya.
keruan hatinya mencelos kaget, baru saja dia hendak meronta,
namun sudah terla mbat.
Kejadian berlangsung begitu cepat dalam sekejap saja, Ling Kun-
gi tetap mengulum senyum. sedikit dia gerakkan tangan kiri. badan
The Si-kiat yang tinggi tegar itu tiba mencelat dan terbanting jatuh..
Sebagai murid pre man angkatan kedua dari Siau-lim-pay.
kepandaian The Si-kiat sebetulnya tidak le mah, di tengah udara dia
sempat mengarahkan Jian-kin-tui, kedua kakinya hinggap di atas
tanah dan berhasil me mpertahankan diri. Sehingga tidak jatuh
namun mukanya yang sudah merah ke la m menjadi se ma kin ge lap
seiring malu, katanya dengan tertawa tawa: " Ling-siangkong
me mang hebat." Segera dia hendak menubruk maju lagi.
Betapa tajam pandangan Kim Kay-thay, dari jurus kedua yang
dimainkan Ling Kun-gi ini dia sudah yakin bahwa ilmu itu adalah cap
ji-kim-liong-Ciu, tipu yang dinamakan Ih-kim-ko-Yong (henda k
ditangkap sengaja menurut saja), cuma bedanya dia tetap
me lancarkan jurus secara terbalik, dengan tangan kiri, keruan
hatinya terkesiap. diam2 ia me mbatin: "Mungkinkah dia murid
beliau?" Tanpa menunggu The Si-kiat bergerak lebih lanjut, cepat ia
me mbentak: "Si-kiat berhenti"
Mendangar seruan gurunya, lekas The Si-kiat meluruskan kedua
tangan, sahutnya mengangkat kepala:
"Suhu, ini ......". dia ingin bilang "Tecu belum kalah."
Namun Kim Kay-thay segera menyela: "Tak usah dilanjutkan, kau
bukan tandingan Ling-lote. "
The Si-kiat tak berani banyak bicara, namun batinnya tidak
terima dan penasaran sekali.
Kim Kay- thay tidak hiraukan sikap muridnya, ia berdiri dengan
muka berseri ia berkata kepada Ling Kun-gi: " Ling-lote, sila kan
duduk."
Dari Ling-siangkong mendadak dia menyebutnya Ling-lote
(saudara Ling), nadanyapun jauh lebih ra mah dan hormat.
Dia m2 The Si-kiat menggerutu dala m hati, na mun dia juga dapat
mengira gurunya berpengalaman luas, dari dua gebrakan tadi, tentu
beliau sudah tahu asal-usul Ling-siangkong ini.
Ling Kun-gi tersenyum penuh arti, tanpa bicara ia ke mbali ke
tempat duduk se mula.
Mengawasi Ling Kun-gi, berkatalah Kim Kay-thay dengan tulus:
"Ingin kutanya suatu hal, entah sudikah Ling-lote me mberitahu?"
Dari nada ucapannya jelas berubah jauh sekali pandangannya
terhadap anak muda ini, walau dirinya lebih tua, sedikitpun ia tak
berani angkuh lagi. "Kim-loyacu ingin tanya apa?" jawab Ling Kun
gi.
"Gurumulah yang ingin kutanyakan, apakah beliau seorang
beribadat?"
Ling Kun-gi hanya tertawa, katanya: "Tadi sudah kukatakan,
guruku tidak punya gelar dan tidak mau disebut na manya, terpaksa
tak bisa kujawab pertanyaan Kim loyacu."
"Tida k apa, kalau Ling-lote tidak mau me mberitahu, akupun tidak
me ma ksa," sebentar Kim Kay-thay merandek lalu bertanya pula
dengan tatapan tajam: "Jadi Ling-lote ke mari lantaran cin-cu-ling
itu"
"Betul," Ling Kun-gi mengangguk.
"Bolehkah Ling-lote bicara sedikit lebih je las?"
"Baiklah akan kujelaskan- Akhir tahun yang lalu, secara
mendadak ibuku menghilang. ."
"o," Kim Kay-thay bersuara kaget, "apa-kah ibumu juga orang
persilatan?"
"Tida k. ibu sedikitpun t idak mahir ilmu silat."
"lbumu tidak bisa silat?" seru Kim Kay-thay penuh keheranan.
"Aneh sekali, jadi Ling-lote, kira hilangnya ibumu ada sangkut
pautnya dengan cin-cu-ling?"
"Aku sendiripun tidak tahu, tapi begitulah kata guruku. Loh-san
Taysu, pimpinan Yok-ong-tian di Siau-lim-si mendada k lenyap. di
tempatuya konon ditinggalkan sebutir cin-cu-ling, ma ka cayhe
disuruh ke sini mene mui Kim-loyacu untuk mencocokkan apa kah
cin-cu-ling itu mirip dengan mutiara warisan ke luargaku atau tida k?"
"Peristiwa hilangnya Loh-san suheng amat dirahasiakan, hanya
beberapa orang saja dari pihak Siau-lim-si yang mengetahui, boleh
dikatakan tiada seorang kangouwpun yang tahu, bahwa Ling-lote
ke mari atas perintah gurumu, baiklah tak perlu kumain sembunyi
lagi, Waktu Loh-san Suheng hilang, di tempat tingga lnya me mang
ditemukan sebutir cin-cu-ling, karena para paderi Siau-lim-si jarang
yang keluyuran di Kangouw, maka tugas mencari jejak Loh-san
Suheng ini oleh ciangbun Hong-t iang diserahkan kepadaku, ma ka
mut iara itupun kini berada ditanganku"- Sa mpa i di sini dia berdiri
dan menambahkan, "Harap Ling-lote tunggu sebentar, biar
kua mbilkan mutiara itu."
"Kim- loyacu boleh sila kan," sahut Ling-Kun gi sa mbil berdiri. .
Bergegas Kim Kay-thay masuk ke dala m, tak lama ke mudian
keluar pula sa mbil menenteng sebuah bungkusan kain warna
kuning, ia duduk ke mbali di kursinya terus me mbuka bungkusan
kain kuning itu, isinya adalah sebuah kotak persegi kecil dari kayu.
Dengan hati2 dia buka kotak kecil itu, lalu mengeluarkan sebutir
mut iara sebesar telur burung dara, katanya: " Ling-lote, inilah cin-
cu-ling itu." Ling - Kun-gi menerimanya serta meng-amat2i dengan
seksama, mutiara inipun bolong tengahnya dan disisipi benang
emas, sebelah atasnya ada ukiran huruf "Ling" warna merah
menyolok, bentuknya mirip seka li dengan mutiara warisan
keluarganya, cuma besar kecilnya saja yang berbeda, sampaipun
ikatan benang emas itu satu sama lain juga sama. Ling Kun-gi
angkat kepala dan bertanya:
"Apakah Kim- loyacu sudah mendapatkan hasil penyelidikan yang
diharapkan?"
Kim Kay-thay menggeleng kepala, katanya tertawa getir: " Walau
Ling-lote tidak mau katakan asal-usul perguruan, bahwa gurumu
suruh kau ke Kayhong untuk mene muiku, itu pasti ada hubungan
intim ada diantara kita. maka biarlah kuterus terang, anak murid
preman Siau-lim si tersebar luas di-mana2, dan banyak diantaranya
yang membuka Piaukiok, cabang kitapun tersebar ke segala
pelosok. dalam jangka tiga bulan ini sudah kuberi instruksi kepada
mereka untuk menyelidikinya secara ketat. di samping mengada kan
sergapan bila mana yang dianggap mencurigakan, na mun bukan saja
jejak Loh-san Suheng tetap tidak dite mukan, soal cin-cu-ling inipun
nihil hasilnya, cuma aku jadi ingat a kan suatu hal"
Sambil mengelus jenggotnya, tiba2 dia berhenti.
"Kim loyacu ingat akan hal apa?" tanya Ling Kun-gi.
Kim Kay-thay tidak segera menjawab, dia merenung sebentar,
lalu ba las bertanya: "Apakah ibumu pandai mengguna kan racun?"
Ling Kun-gi tertegun, sahutnya tertawa: "Tadi sudah kukatakan,
ibu bukan kaum persilatan, sudah tentu beliau tidak bisa
menggunakan racun."
"Kalau de mikian apakah ibumu pandai tata rias atau..
pengobatan?"
Tanpa pikir Ling Kun-gi menjawab, "ibu t idak tahu soal obat2an-"
"Aneh kalau begitu," Kim Kay-thay, "sebetulnya tiada alasan
mereka menculik ibumu."
Ling Kun-gi ta mpak bingung, tanyanya: "cayhe tidak tahu, apa
maksud ucapan Kim-loyacu."
"Itu dasarnya pada analisa dari tiga peristiwa yang baru2 ini
terjadi di Kangouw. Tapi ibumu bukan kaum persilatan, tidak tahu
obat2an, juga tidak mengerti soal racun, na mun juga lenyap tak
keruan parannya, kini gurumu suruh kau ke mari mene muiku pula,
kalau gurumu anggap soal ini ada sangkut pautnya dengan cin-cu-
ling, tentu urusan tidak akan me leset sama seka li analisaku tadi
menjadi harus diragukan-"
"Bagaimana analisa Kim-loyacu, bolehkah diterangkan?" tanya
Ling Kun-gi.
"Setelah Loh-san Suheng lenyap. tersiar pula berita di kalangan
Kangouw bahwa ketua keluarga Tong di Sujwan dan keluarga Un di
Lingla m juga lenyap secara aneh, keluarga mereka juga mene mu-
kan cin-cu-ling di ka marnya, ini me mbuktikan bahwa ketiga orang
ini pasti dikerjai orang dari suatu golongan-"
"Kenapa mereka tidak meninggalkan cin-cu-ling dikala ibuku
lenyap?" tanya Ling Kun-gi.
"Tiga orang yang lenyap itu, keluarga Tong di Sujwan adalah ahli
dibidang ilmu senjata rahasia dan racun, ke luarga Un di Ling la m
tersohor karena obat2 bius, sedang Loh-san Suheng menguasai ilmu
obat2an, karena itu aku menduga, bahwa ketiga orang ahli dibidang
masing2 ini sengaja diculik dan tidak terlepas dari dua kemungkinan
. ... ..."
"Dua ke mungkinan apa?" tanya Ling Kun-gi tak sabar.
"Pertama, di antara komplotan orang2 itu pasti terdapat salah
seorang tokoh penting yang terluka oleh sesuatu racun jahat,
mungkin sudah diobati berbagai maca m obat dan tetap tak
sadarkan diri. oleh karena itu terpaksa mereka menculik kedua ahli
racun dan obat bius dari keluarga Tong dan Un itu, demikian pula
Loh san Suheng yang ahli dala m bidang pengobatan, dugaan ini
menjurus pada darma bakti de mi kesela matan jiwa orang, jadi
mereka diculik untuk menolong jiwa ma nusia."
"Lalu bagaimana dugaan yang menjurus ke kejahatan?"
"Itulah dugaan kedua, komplotan ini me mpunyai maksud2
tertentu dengan ambisi besar, bahwa ketiga orang ini diculik untuk
alat pemeras kepada keluarga Tong dan Un agar menyerahkan
catatan rahasia dari ilmu masing2 yang sudah turun te murun seja k
leluhur mereka."
"Lalu apa pula tujuan mereka menculik Loh--san Taysu?" tanya
Ling Kun-gi.
Kim Kay-thay menghela napas, katanya: "Kak-tam-wan buatan
Siau-lim-si dapat mengobati segala maca m racun, resep
pembuatannya sudah turun temurun sejak ratusan tahun lumanya,
hanya pimpinan di Yok-ong-thian saja yang tahu akan resep ini,
bahwa Loh-san suheng juga mereka culik, tujuannya sudah tentu
untuk me mbuat Kak-ta m-wan. Ini sih urusan kecil, sebab kecuali
tiga orang ini bukan mustahil mereka juga menculik tokoh2 lain
yang ahli da la m bidang ini? Ha l inilah jauh lebih mengerikan-"
" Kenapa?" Ling Kun-gi menegas.
"Ini me mbuktikan bahwa komplotan ini sedang merancang suatu
muslihat yang besar. Mereka khusus menculik orang2 ahli di bidang
racun, obat bius dan obat2an, tujuannya tentu hendak- me mbuat
suatu obat yang mengerikan untuk mencela kai jiwa kaum
persilatan" Sampa i di sini nadanya jadi lebih tandas: "Gerak-gerik
komplotan ini serba misterius dan sangat rahasia, kalau mereka
tidak meningga lkan cin-cu-ling, bukankah kita lebih sukar lagi untuk
menyelidiki hal ini?" mendadak sorot matanya menjadi berkilau,
tanyanya: "Apakah Ling-lote tahu asal-usul dari mutiara warisan
keluarga mu itu?"
"Entah, sejak kecil mutiara ini sudah selalu berada dibadanku,"
Ling Kun-gi me njelaskan-
"Gutumu juga tida k pernah menjelaskan"
"Tida k." jawab Ling Kun-gi, tiba2 dia berdiri serta menjura:
"Terima kasih atas petunjuk dan kete-rangan Kim- loy acu, sekarang
cayhe mohon diri saja."
"Harap Ling-lote duduk lagi sebentar, masih ada suatu hal perlu
kusa mpaikan-"
"Kim-loyacu masih ada petunjuk apa?."
"Menurut apa yang kuketahui, kecuali keluarga Tong dan Un, di
kalangan Kangow masih ada satu keluarga yang pandai dan ahli
juga menggunakan racun- ........"
" Ke luarga mana," tanya Ling kun-gi.
"Llong-bin-san-ceng (perka mpungan gunung naga tidur), tapi
mereka jarang bergerak di ka langan Kangouw), maka jarang orang
tahu akan kehadiran mereka, menurut apa yang kuketahui,
komplotan cin-cu-ling agaknya belum bertindak terhadap Liong-bin-
san-ceng, tidak ada ruginya Ling-lote me mperhatikan juga soa l ini."
"Terima-kasih atas petunjuk ini" habis menjura Kun-gi panggul
buntalannya serta melangkah Keluar. Ter-sipu2 kim Kay-thay
mengantar sampai undakan. lalu dia suruh The si-kiat antar
tamunya sampai diluar pintu. Sudah puluhan tahun The Si kiat
mendapat bimbingan gurunya, dia tahu bahwa pemuda she Ling ini
punya asal usul yang bukan se mbarangan, setelah Ling Kun-gi
pergi, lekas dia kembali keka mar dan bertanya pada gurunya:
"Suhu, apakah engkau sudah tahu asal usulnya?"
Prihatin air muka Kim Kay-thay, katanya sungguh2 "Dua jurus
yang dia tunjukan tadi adalah tipu2 dari cap-ji-kim-liong-jiu, cuma
dia bergerak secara kidal, kalau dugaan gurumu tidak me leset,
ke mungkinan dia adalah ......."
The Si-kiat terperanjat, serunya: "Maksud suhu, dia murid
Susiokco?" Kim Kay-thay tidak bicara lagi, dia hanya manggut2.
Konon 50 tahun yang lalu pernah muncul seorang ma ling
pendekar. Maling pendekar maksudnya dia mencuri untuk piha k
yang lemah, bukan saja dia me mberantas kelaliman dan kejahatan,
iapun me mbantu kaum miskin dan le mah melawan yang kuat dan
batil, karena dia bekerja secara terbuka dan terang2an, ilmu silatnya
teramat tinggi lagi, biasanya jejaknya sukar ditemukan, hanya
sering mendengar na manya tapi tidak pernah melihat orangnya,
sudah tentu jarang ada orang yang tahu asal-usulnya. Maka orang
banyak lantas memberi julukan It-tin-hong (angin la lu) kepadanya.
Maksudnya dia pergi datang seperti angin lalu.
It-tin-hong punya tabiat aneh, yaitu dia pandang kejahatan
sebagai musuh kebuyutan, pejabat korup dan kikir, buaya darat dan
tuan tanah yang me meras rakyat jelata semua disikatnya habis2an.
Kaum persilatan dari golongan hita m yang sudah berlepotan darah
kedua tangannya karena kejahatan yang kelewat batas juga
diganyang olehnya, mending ka lau hanya dipunahkan ilmu silatnya,
bagi yang berdosa di luar batas, kalau tidak terluka parah tentu jiwa
me layang.
Entah bagaimana ke mudian jejaknya menghilang dari kalangan
Kangouw, It tin- hong lenyap tak karuan paran, ternyata ia telah
cukur ra mbut dan menjadi pendeta di kuil Siau-lim-si di Hoala m,
setelah jadi Hweslo ge larannya adalah Tay-thong.
Sekejap mata 20 tahun telah berlalu, umumnya ajaran agama
menguta makan we las asih dan bijaksana, setelah dia insyaf tindak
kekerasannya dan patuh kepada ajaran agama, tak terduga pada
suatu hari seorang musuh yang pernah dipunahkan ilmu silatnya
dapat mengenali dia bahwa Tay-thong Hwesio adalah It-tin-hong.
Tata tertib siau lim si a mat keras, begitu para Hweslo da la m kuil
agung itu tahu bahwa Tay-thong Hweslo adalah It-tin-hong yang
dosanya bertumpuk2, mereka anggap kehadirannya dibiara besar
itu menodai dan merusak kesucian aga ma mereka, maka t imbul
keributan dan pertentangan, ada yang mengusulkan supaya
punahkan saja ilmu silatnya serta mengusirnya pergi dari kuil. sudah
tentu Tay-thong Hweslo marah, katanya:
"Kalau sang Budha tidak meluluskan aku me letakkan golok
pembunuh, akupun tidak pingin menjadi seorang Budhis lagi, tapi
ilmu silat yang kumiliki tidak melulu kupelajari dari siau-lim-si saja,
kalian tidak berhak me munahkan ilmu silatku. Soal apa yang pernah
kupelajari di Siau- lim-si ini, setelah meninggalkan Siau-lim-s i pasti
tidak akan kugunakan lagi."
Begitulah akhirnya Tay-thong Hweslo meninggalkan Siau- lim-si.
Sudah tentu ada juga para Hweslo yang ingin menahan dan
merintangi kepergiannya, tapi selama dua puluhan tahun
mengge mbleng diri di biara agung itu, pelajaran silat yang
diyakinkan sudah tera mat tinggi, tiada seorangpun yang ma mpu
menahannya.
Sejak itu, muncul pula di kalangan Kangouw seorang pende kar
aneh yang menyebut dirinya Tay-thong Hwesio, sifanya tidak
pernah berubah, kejahatan dipandangnya sebagai musuh, ilmu silat
yang dima inkan sudah tentu ada yang berasal dari Siau-lim-pay,
cuma setiap jurus yang dia gunakan dengan tangan kiri, jadi jurus
permainannya terbalik dan berlawanan dengan silat Siau-lim-pay.
Maka orangpun me mberinya na ma Hoan-jiu-ji-lay (Buddha Kidal).
Itulah peristiwa tiga puluh tahun yang la lu. Maka bicara soal
tingkatan, Hoan jiu-ji-lay masih terhitung Susiok dari It-wi Taysu,
Hongtiang siau-lim-si sekarang, juga dengan sendirinya Susiok dari
Kim-ting Kim Kay thay.
Hari belum ge lap. namun rumah2 penduduk Kayhong sudah
sama pasang la mpu. Lalu lintas masih ra ma i dija lan raya. Tampak
diantara sekian yang mengayun langkah itu ada seorang pemuda
baju hijau me manggul buntalan panjang melintas jalan menuju ke
ujung jalan sana, di mana terdapat sebuah gang kecil yang se mpit,
di mulut gang sempit ini berdiri seorang, tak terlihat wajahnya.
Umumnya orang2 yang berdiri di mulut gang kalau bukan begal,
tentu juga bukan orang baik2 yang sedang mengincar mangsanya.
Begitu me lihar pe muda jubah hijau mengha mpiri orang itu segera
me me luk kedua tangan di depan dadanya, kedua biji matanya
dengan nanar mengawasi gerak-geriknya, lekas sekali si pe muda
sudah mende kat dan lewat di mulut gang, dala m se kejap orang
itupun sudah mene mukan apa2 yang diincar dari badan pe muda
jubah hijau, ternyata pemuda jubah hijau mengenakan ikat
pinggang atau sabuk yang terbuat dari kain sutera warna kelabu. .
tepat di ujung kiri pinggangnya dihiasi sebutir mutiara dengan
seutas benang mas. Mut iara itu sebesar telur burung dara.
Maka orang itu tidak sangsi lagi, bergegas dia melompat keluar
serta mengejar dua langkah, katanya sambil unjuk tawa lebar:
"Siangkong, inilah surat untukmu."
Si pe muda me lengak dan berhenti, dengan tajam ia menatap
muka orang di depannya.
Dengan gugup orang itu menyetahkan sepucuk surat kepada si
pemuda terus tinggal pergi dengan langkah tergopoh2.
Pemuda jubah hijau ini ialah Ling Kun-gi, sekian la manya ia
me longo mengawasi sa mpul surat ditangannya, walau merasa
heran, akhirnya dia buka sa mpul itu dan me mbaca isi surat yang
tertulis di atas secarik kertas kuning, bunyinya demikian: "Serahkan
kepada si mata satu di luar Ho-sing-bio di He k-kang."
Ling Kun-gi tertegun me mbaca surat ini, cepat otaknya berpikir:
"Jelas surat ini salah ala mat, mungkin orang tadi salah mengenali
aku." Waktu ia angkat kepala, orang yang menyerahkan surat tadi
sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
Mau tak mau tergerak juga hati Ling Kun-gi, batinnya: " Dari
nada surat ini, agaknya seorang persilatan hendak mengirim
sesuatu barang. Memangnya aku sedang menyelidiki cin cu-ling,
kenapa tidak kupergi ke Hek-kang menunggu di luar Ho-sio-bio
untuk me lihat apa yang akan terjadi di sana"
Tapi segera dia berpikir pula:" Dala m surat sudah dijelaskan
untuk menyerahkan entah barang apa kepada seorang yang buta
sebelah matanya di luar Ho-sin-bio. Liu apa gunanya ku pergi ke
sana. toh aku tidak punya barang yang dimaksud? Sedangkan surat
pengantar ini sudah terjatuh ke tanganku, orang yang harus
menyerahkan barang tak mungkin menuju ke ala mat yang
ditentukan tanpa me mbawa surat ini."
Sampa i di sini tiba2 dia menduga kalau orang tadi telah salah
menyerahkan sampul surat ini kepada dirinya, pasti orang yang
seharusnya menerima sampul surat ini berperawakan mirip dirinya,
kenapa tidak kutunggu saja di sini, kalau nanti ada orang yang mirip
diriku datang ke mari? Bukankah lebih ba ik kalau dia yang
menyerahkan barang itu ke Ho-sin-bio?
Dengan bibirnya dia basahi sampul surat serta menutup rapat
pula sampul surat itu, kini ganti dia yang berjaga di ujung gang
sempit tadi, buntalan panjang dipunggungnya dia turunkan dan
diletakkan di kaki te mbok yang gelap. Tak lupa dia meraih
segenggam tanah kering lalu mengusap muka sendiri dengan debu
tanah itu lalu ia berdiri bertopang dinding dan menunggu dengan
sabar.
Tak la ma ke mudian, betul juga dari ujung jalan raya sebelah
barat sana muncul sesosok bayangan orang, ternyata iapun
me manggul sebuah buntalan panjang, perawakannya tinggi lencir,
karena jarak masih jauh, tak terlihat jelas wajahnya. Langkahnya
tampak tenang2, tidak gugup dan mantap, se-akan2 dijalan raya itu
hanya dia sendiri yang berjalan-
Sekejap saja si baju biru ini sudah tiba di ujung gang. Kini Ling
Kun-gi dapat me lihat jelas, laki2 ini berusia e mpat- lima likuran,
wajahnya me mang cakap. cuma sikapntya angkuh, dingin dan kaku.
Ling Kun-gi tunggu orang berjalan sa mpa i di mulut gang dan
segera me mburu maju serta berkata: "Siangkong, inilah surat
untukmu" Dengan kedua tangan dia angsurkan sa mpul tadi.
Langkah si baju biru merandek. dengan sebe lah tangan dia
terima sampul itu tanpa berpaling, sekenanya tangan yang lain tiba2
menggablok ke be lakang.
Tak pernah terpikir oleh Ling Kun-gi orang akan menyerang
dirinya dengan cara ganas ini, ada niat menangkis, tapi cepat sekali
otaknya bekerja, pikirnya: "Dia ingin me mbunuhku untuk menutup
mulutku, ma ka aku jangan menangkis."
Dia m2 ia kerahkan hawa murni untuk me lindungi Hiat-to dan
terima pukulan keras orang.
"Blang", walau tidak berpaling, namun gerakan tangan orang
mengincar sasaran secara tepat, pukulannya tepat mengenai dada
Ling Kun-gi. Dengan mengeluarkan keluhan tertahan Ling Kun-gi
terjengkang roboh. Tanpa berhenti atau meneliti korbannya si baju
biru terus beranjak ke depan tanpa menoleh.
Dia m2 Ling Kun-gi tersirap darahnya setelah menerima pukulan
keras laki2 baju biru ini, pikirnya: "Tak nyana pukulannya ini
mmggunakan Jong-jiu-hoat dari aliran Lwekeh."
Sudah tentu tak pernah terpikir oleh si baju biru kalau ada orang
menguntit dirinya, dengan langkah berlenggang dia terus beranjak
ke depan, setiba di pintu utara, di depannya mengadang tembok
kota yang beberapa tombak tingginya.
Sekali kaki menutul, si baju biru segera melayang naik la ksana
luncuran anak panah ke atas tembok kota yang tinggi, sekali kaki
menutul pula dengan enteng, badannya me layang turun ke luar
tembok kota.
Dari tempatnya Ling Kun-gi dia m2 kaget me myaksikan
kepandaian orang, batinnya: "Bagi jago kosen Bulim bukan soal
untuk melompat setinggi e mpat-lima tombak, tapi orang ini masih
begini muda, namun sudah me miliki kepandaian setinggi ini" Karena
merasa curiga, bertambah besar pula hasratnya untuk menguntit
laki2 baju biru untuk me-nyaksikan barang apa pula yang hendak di
antar ke Ho-sin-bio
Segera iapun melayang ke atas tembok kota, dari tempat
ketinggian dilihatnya sesosok bayangan meluncur di kejauhan sana
secepat terbang, arahnya ke utara. Ling Kun-gi tidak berani ayal, dia
menghirup napas panjang dan melayang turun sa mbil
menge mbangkan Ginkang terus menguntit laki2 baju biru dari
kejauhan-
Kira sepuluh li ke mudian, di depan sana adalah sebuah bukit
kecil, kiranya itulah Hek-kang atau bukit tandus hitam. Setiba di
bawah bukit, gerakan la ki2 baju biru menjadi la mbat, ke mbali dia
berjalan dengan langkah lebar, lambat tapi mantap. terus menanjak
ke atas bukit.
Dla m2 Ling Kun-gi geli, pikirnya: "Orang ini pandai berpura2 dan
ber-muka2, sungguh terlalu angkuh dan sombong." Setelah tiba di
Hek-kang, sudah tentu sebentar lagi akan sa mpai di Ho sin-bio.
Ingin Ling Kun-gi mengetahui barang apa yang hendak
diserahkan kepada orang buta satu itu? Maka jaraknya tidak boleh
terlalu jauh. Untung se makin dekat puncak bukit, tetumbuhan
pohon juga lebih lebat, sebat sekali Ling Kun-gi menyelinap masuk
ke dala m hutan, dari balik bayang2 pohon dengan cepat dia
me luncur ke atas bukit. cepat sekali dilihatnya bayangan tembok
merah dan ujung wuwungan, sebuah kelenteng terselubung di ba lik
lebatnya pepohonan di atas sana, ternyata dirinya berada di
belakang kelenteng, jadi Ho sin-bio ini di bangun menghadap utara.
Ling Kun-gi t idak tahu siapa dan bagaimana asal-usul orang buta
sebelah yang akan menerima barang, maka dia tidak berani
gegabah, dengan menge mbangkan Ginkang dia berlompatan di
pucuk pohon terus berputar dari arah kanan me nuju ke depan-
Ho-sin-bio terdiri dari tiga lapis bangunan ke-lenteng, waktu Ling
Kun-gi tiba di sebelah kanan, betul juga dilihatnya seorang tua buta
sebelah mata berpakaian hitam telah berdiri menunggu dengan laku
hormat di luar ke lenteng. . Tak lama ke mudian laki2 baju birupun
muncul dengan langkah pelan2.
Ter-sipu2 laki2 tua mata satu menyongsong ma ju, sambil
munduk2 dia menyambut dengan tawa lebar, katanya: "Atas
perintah Ho-sin-ya, sejak tadi ha mba sudah me nunggu disini"
Laki2 baju biru berkata dingin: "Mata kirimu picaku ternyata mata
kananmu masih awas"
Si mata satu munduk2 lagi, katanya tertawa: "Ya, ya, hamba
picak mata kanan bukan mata kiri."
"Bagus sekali" kata si baju biru, tangan merogoh kantong dan
menge luarkan sebuah bungkusan kertas terus diangsurkan,
katanya: "Barang ini a mat penting, kau harus ber-hati2"
Si mata satu menyambut dengan kedua tangannya, sahutnya
tetap munduk2: "Ya, hamba tahu"
"Baiklah, setiba kau di Hoay-yang, ada orang memberi petunjuk
padamu ke mana kau harus antar barang ini."
"Ha mba mengerti" orang tua mata satu menjawab.
Laki2 baju biru mendengus kereng, dimana dia jejak kedua
kakinya, tlba2 badannya mela mbung tinggi ke udara, bayangan
tubuh secepat kilat meluncur turun ke bawah bukit.
Ling Kun-gi se mbunyi di te mpat yang cukup dekat, maka
percakapan mereka di dengarnya dengan jelas, batinnya " Entah
apa isi bungkusan kertas itu. begitu besar perhatian mereka, sampai
harus dikirim secara rahasia lagi, si mata satu adalah pesuruh,
namun dia sendiri juga belum tahu ke mana dan kepada siapa dia
harus serahkan barang itu?" lalu dia berpikir lebih lanjut: "Ka lau
laki2 baju biru tadi tidak menerima surat rahasia dariku tadi, iapun
tak tahu ke mana dan kepada siapa dia harus serahkan barang yang
terbungkus di kertas itu?"
Dari sini lebih mudah diraba, kalau bukan barang pusaka yang
tak ternilai harganya, tentu bungkusan itu berisi suatu barang yang
amat rahasia dan penting artinya. Setelah hati merasa curiga, sudah
tentu Ling Kun gi tida k abaikan kejadian ini, dia bertekad
menyelidiki hal ini sa mpai terang duduk persoalannya meski harus
mene mpuh bahaya dan maca m2 kesulitan-
Di kala dia menerawang tinda k lanjut diri sendiri, sementara si
mata satu sudah beranjak pergi dengan langkah tergesa-gesa.
Dari langkah orang Ling Kun-gi dapat menila i kepandaian silat
orang ini tidak seberapa tinggi, kalau dibanding la ki2 baju biru tadi,
jaraknya terlampau jauh. Untuk menguntit seorang keroco seperti
laki2 tua mata situ ini bagi Ling Kun-gi merupa kan kerja sepele.
Tapi Ling Kun-gi cukup cerdik dan teliti, dari penga la man mala m
ini yang penuh liku2 dia ingat bahwa komplotan orang ini serba
misterius, diduganya bungkusan itu sangat penting dan a mat besar
artinya, teramat ganjil kalau diserahkan dan dipercayakan kepada si
mata satu yang berkepandaian silat begitu rendah, maka ia
menduga secara sembunyi pasti masih ada orang la in yang
berkepandaian tinggi melindunginya. oleh karena itu dia tidak berani
gegabah, setelah si mata satu pergi jauh dan me nelit i sekelilingnya
me mang t iada orang lain yang berse mbunyi, barulah dia berkelebat
keluar hutan, menyusul ke bawah gunung.
Si mata satu menempuh perjalanan dengan langkah cepat, Ling
Kun-gi tetap menguntit dari kejauhan- Supaya tidak menimbulkan
perhatian orang, maka mut iara yang dia ikat dipinggang kiri seperti
pesan gurunya dia simpan da la m kantong baju.
Mala m itu si mata satu mene mpuh tujuh li perjalanan, setelah
hari terang tanah, ia sa mpai di Kip-sian dan langsung masuk kota.
Tak jauh di be lakangnya Ling Kun-gi juga ikut masuk kota,
agaknya si mata satu sudah apal jalanan dalam kota ini, di pinggir
jalan dia minum dulu se mangkuk bubur kacang serta makan
beberapa kue untuk mengganjal perut, lalu menuju ke ujung ja lan
dan me masuki hotel Hin-liong, sebuah penginapan kecil.
Setelah sema la m suntuk mene mpuh perjalanan, Ling Kun-gi duga
orang perlu istirahat, maka ia-pun masuk ke warung yang letaknya
di seberang hotel, disini dia sarapan pagi. Dia m2 dia perhatikan
setiap orang yang hilir mudik, dilihatnya seorang laki2 yang bertopi
bulu dengan pakaian abu2 datang dari sana dan langsung masuk ke
dalam hotel Hin-liong. Dari langkahnya yang enteng, Ling Kun-gi
tahu kalau orang ini adalah seorang jagoan, kalau hari sudah
seterang ini baru masuk penginapan, tentu diapun mene mpuh
perjalanan di waktu ma la m.
Berdegup jantung Ling Kun-gi, pikirnya: "Mungkinkah orang ini
sekomplotan dengan si mata satu?"
Setelah perut kenyang dan membayar rekening makanan, Ling
Kun-gi juga masuk ke hotel Hin-liong di seberang, biasanya yang
menginap di hotel sekecil ini adalah tukang kereta atau kuli
angkutan yang me mbawa barang dari te mpat jauh, begitu hari
terang tanah mereka lantas berangkat, maka keadaan hotel
sekarang terasa sepi.
Melihat ada ta mu datang, pelayan menyambut dengan sikap
hormat: "Tuan ta mu, kau akan..."
"Menginap." sahut Ling Kun-gi.
Pelayan kegirangan, katanya sambil munduk2: "Ya, ya, silakan
tuan ikut ha mba." lalu ia bawa Ling Kun-gi ke dala m.
Sambil jalan Ling Kun-gi bertanya kepada si pe layan: " Hotel
kalian ini apa ra ma i dikunjungi tamu."
"Tarip hotel ka mi murah, maka ra ma i juga tamu2 yang suka
menginap di sini," sahut pelayan- "Kalau setiap pagi ada tamu
masuk hotel seperti tuan sekarang. penghasilan hotel ka mi tentu
bertambah besar."
Sementara itu mereka sudah sa mpa i di depan sebuah ka mar,
pelayan me mbuka pintu serta bertanya sambil me langkah masuk: "
Kamar ini bagaima na tuan?"
Sebentar Ling Kun-gi celingukan, lalu menjawab: "Ya, bolehlah.
Biasanya apakah jarang ta mu yang menginap di pagi hari?"
"Orang yang menginap pagi tentu semalam suntuk mene mpuh
perjalanan, belakangan ini kea manan dijalan banyak terganggu,
sudah tentu jarang orang mau mene mpuh perjalanan ma la m hari
......" mendadak dia ce kikikan, serta menambahkan: "Pagi hari ini,
termasuk Siang kong ka mi telah kedatangan tiga ta mu"
Ling Kun-gi mengiakan secara tak acuh tanyanya seperti tidak
ambit perhatian: "Mereka tinggal ka mar mana?"
"Hotel ka mi hanya me miliki ena m ka mar, diseberang sana adalah
ruang umum, ka mar tuan nomor t iga, dua tamu yang lain
mene mpati ka mar satu dan dua."
Ling Kun-gi me mbatin: "Jadi si mata satu mene mpati ka mar ke
satu, lelaki baju abu2 tinggal di ka mar nomor dua."
Sementara itu pelayan telah keluar dan kembali me mbawa sepoci
air teh, katanya tertawa sam-bil menyuguh: ."Tuan, sila kan
minum?"
Sengaja Ling Kun-gi menggeliat dan menguap. katanya: "Aku
ingin t idur, tutuplah pintu dari luar, tak usah kau layani aku lagi."
Pelayan mengiakan terus keluar sa mbil merapatkan pintu.
Ling Kun-gipasang kuping sebentar, didengarnya laki2 baju abu2
di sebelah agaknya belum tidur, pikirnya: "Kalau orang ini bukan
sekomplotan dengan si mata satu, tentu iapun seperti diriku sedang
menguntit si mata satu."
Setelah meneguk habis secangkir teh, tanpa buka pakaian dia
rebahkan diri. Dengan be kal kepandaian silatnya, umpa ma dia tidur
pulas, asal kedua orang di ka mar sebelah ada sedikit ulah pasti tida k
dapat mengelabui kupingnya, karena untuk keluar hotel mereka
harus lewat depan ka marnya betapapun derap langkah mere ka
tetap bisa didengarnya. Maka dengan hati lega ia pejamkan mata
sebentar saja sudah pulas.
Tak terduga belum la ma dia tertidur, tiba2 didengarnya orang di
kamar sebelah mengumpat marah2: " Keparat, cukup licin juga
kau."
Kata2nya tidak keras, menyerupai orang berguman, tapi cukup
mengejutkan Ling kun-gi dari pulasnya, bergegas dia duduk serta
pasang kuping, didengarnya laki2 di ka mar sebelah mendorong
jendela terus melompat keluar . . .. "Mungkinkah si mata satu sudah
merat?" de mikian batin Ling Kun-gi.
Ketiga ka mar berjajar in masing2 ada jendela belakang, waktu
masuk ka mar tadi Ling Kun-gi sudah me meriksanya, di luar jende la
adalah sebuah gang sempit, agaknya lelaki baju abu2 sudah
mengejar lewat gang dibelakang itu.
Bergegas Ling Kun-gipun turun dari ranjang dan buka jendela, ia
me lompat keluar, betul juga dilihatnya jendela di kedua ka mar
sebelah sudah terpentang lebar, jadi si mata satu sudah merat dan
dikejar lelaki baju abu2. Dia m2 Ling Kun-gi ma lu diri, ka lau le laki
baju abu2 tidak mengumpat, diri-nya tentu juga kena dikelabui, dari
sini terbukti bahwa pengala man dirinya masih terlalu cetek untuk
bekal kelana di Kangouw.
Lekas dia ke mbali ke ka mar menje mput buntalannya terus buka
pintu. Melihat Ling Kun-gi keluar, lekas si pelayan menyongsong
maju, tanyanya keheranan: " Katanya tuan mau tidur, kenapa buru2
berangkat ma lah?"
"Sudan tidur sejenak. masih ada urusan- Nah, inilah uang
rekeningku, masukkan juga rekening ka mar ke satu," ternyata
sebelum pergi le laki baju abu2 di ka mar kedua meningga lkan uang
di atas meja, tapi si mata satu menginap dengan gratis.
Karena sudah dengar si baju biru berpesan "Ada orang
menunggumu di Hoay-yang," ma ka Ling Kun-gi t idak perlu buru2,
dari sini ke Hoay-yang sudah dekat, maka dia me ne mpuh perjalanan
ke selatan dengan langkah seenaknya. Kira2 tengah hari ia tiba di
Liong-ki.

Liong-ki adalah sebuah kota kecil, hanya ada sebuah warung


bakmi yang terletak di ujung ja lan raya, maka pejalan kaki atau
orang yang menempuh perja lanan jauh suka ma mpir di warung ba k-
mi ini.
Karena saatnya orang makan, ma ka meja warung kecil ini penuh
sesak. Waktu Ling Kun-gi me masuki warung ini, sekilas dia menjadi
tercengang, maklumlah warung kecil, hanya ada enam meja dengan
masing2 empat kursi, setiap meja diduduki tiga atau empat orang.
Sekilas matanya menjelajah maka dilihatnya di meja sebelah timur
sana duduk seorang diri si mata satu, dia pesan sepoci arak dan
semangkok kuah sayur asin, dengan lahapnya dia tengah melahap
makanannya. Lelaki baju abu2 terlihat duduk di meja dekat pintu,
mungkin takut dikenali orang, maka topi bulu di atas kepalanya
ditarik serendah mungkin sa mpai menutup muka, tapi Ling Kun-gi
tetap mengenalinya.
Baru saja Ling Kun-gi masuk pintu, pelayan sudah
menya mbutnya dan menunjuk te mpat duduk yang masih kosong,
setelah menyuguh secangkir teh dia tanya mau pesan makanan apa,
Ling Kun-gi minta sepoci arak dan beberapa maca m masakan-
Setelah pelayan mengundurkan diri, Ling Kun-gi coba mengawasi
orang sekelilingnya, semua adalah kaum pedagang yang kebetulan
lewat dan mampir, hanya si mata satu dan laki2 bertopi bulu itu
termasuk kaum persilatan- Pada saat itulah dilihatnya dari luar
masuk pula seorang berjubah hijau pupus.
Perawakan orang ini tinggi kurus, kulit mukanya kuning ke
hijau2an, begitu melangkah masuk sorot matanya menjelajah ke
seluruh ruangan, akhirnya dia pilih tempat duduk dekat pintu keluar,
tiga jari tangan kirinya mengetuk meja, mulutpun berkaok keras:
"Hai, pelayan"
Kelihatan ketukan ketiga jari tangan di atas meja enteng saja,
tapi piring mangkuk yang berisi makanan diatas meja seketika
berloncatan semua.
Si baju abu2 tengah menunduk menikmati hidangannya, selebar
muka dan dadanya menjadi basah kuyup oleh kuah makanannya
sendiri yang muncrat.
Keruan tidak kepalang marah si baju abu2, topi bulu dia angkat
keatas, tangannya mengusap muka, bentaknya marah, sambil
mende lik kepada laki2 baju hijau: "Saudara tidak lihat kalau aku
sedang ma kan di sini? kenapa ma in kasar begini rupa?"
Tidak terunjuk sedikit perobahan mimik wajah laki2 baju hijau,
sahutnya dingin, "Kalau kau anggap aku kasar, kenapa tidak pindah
ke meja lain saja?"
Bukan saja tidak minta maaf malah dirinya disuruh pindah
ke meja lain, keruan si baju abu2 naik pita m?, hardiknya murka:
"Kau ma in tepuk meja, sampa i ma kanan muncrat mengotori
badanku, me mangnya aku yang salah?"
"Kusuruh kau pindah ke meja la in, me mangnya aku juga
salah?"jengek laki2 baju hijau pupus.
Mendengar ada keributan, semua tamu yang hadir sa ma
berpaling ke arah sini.
Mencorong biji mata si baju abu2, katanya tertawa lebar:
"Saudara bertingkah dan main kayu, agaknya sengaja hendak cari
perkara padaku?"
"cari perkara?" dengus laki2 baju hijau. " Kau setimpal?"
Lelaki baju abu2 berjingkrak berdiri, dari kantong kain yang
terselip dipahanya dia lolos sebilah Yap-hap-to, bentaknya: "Mari
keluar, aku ingin belajar kenal kepandaianmu."
Laki2 baju hijau tetap bersikap dingin dan menghina: "Kau berani
ma in senjata dengan aku? Me mangnya kau sudah bosan hidup?"
"Entah siapa yang bosan hidup?" jengek si baju abu2.
"Aku sudah me mperingatkan, kau sendiri yang ingin ma mpus,
maka jangan aku yang disa lahkan-" se mbari bicara tiba2 laki2 baju
hijau sedikit angkat tangan kirinya, selarik sinar hijau t iba2 melesat
ke arah tenggorokan si baju abu2, bukan saja luncurannya cepat,
tidak bersuara lagi.
Pada waktu yang sa ma, tampak dari arah samping sana
me luncur pula sebuah cangkir arak. "Tring", dengan tepat
me mbentur sinar hijau itu sehingga sinar hijau melayang ke
samping laki2 baju abu2 dan "crat" terpaku di atas te mbok.
Waktu semua hadirin berpaling ke sana, Itulah sebatang panah
kecil sepanjang dua dim berwarna hijau, dasar cangkir tertembus
bolong, dan tergantung di atas panah yang terpaku di dinding.
Beringas si baju abu2, bentaknya: "Berani kau melukai orang
dengan panah gelap." Mendadak ia menubruk maju, tangan kiri
terus mencengkeram ke pundak laki2 baju hijau.
Sibaju hijau menjenge k. sekali tangan kiri me mba lik, belum lagi
orang lain melihat gerakannya, tahu2 si baju abu2 tersentak mundur
dua langkah. punggung tangan kirinya ternyata tergores luka, darah
yang meleleh berwarna hitam, kulit dagingnya hangus berwarna
hijau. Seketika ia megap2, ternyata dia tak sanggup bwrsuara lagi,
pelan2 badannya roboh tersungkur.
Kejadian berlangsung dala m waktu yang amat singkat. tanpa
hiraukan korbannya, laki2 baju hijau ma lah me lotot dan berpaling ke
arah Ling Kun-gi, tanyanya dingin, "Kaukah yang menimpuk cangkir
itu?"
"Betul," sahut Ling Kun-gi, "aku tak senang melihat kau
me mbokong orang."
"Anak muda," laki2 baju hijau mendengus "Jangan kau turut
campur."
Ling Kin-gi berdiri pelan2, sekilas matanya me lirik kearah si baju
abu2, tanyanya: "Bagaimana keadaan saudara itu?"
"Setanakan nasi lagi, jiwanya takkan tertolong," kata laki2 baju
hijau.
"Kau mence lakai jiwanya?" tanya Ling Kun-gi gusar.
Menyeringai lebar laki2 baju hijau, jawabnya: "Betul, dia terkena
racun jahat, sudah tentu jiwanya takkan tertolong lagi."
Ling Kun-gi menarik muka, tanyanya dingin: "Mana obat
penawarnya?"
"Benar, me mang ada obat penawarnya padaku."
"Lekas keluarkan," desak Ling Kun-gi
Si baju hijau tergelak, katanya: "Sungguh lucu, kalau harus
me mberi obat penawarnya, buat apa tadi kukerjai dia?"
"Utang jiwa bayar jiwa, utang uang bayar uang setelah kau
mence lakai dia, maka harus keluarkan obat penawarnva,
me mangnya hanya karena adu mulut, kau lantas mencabut
jiwanya?"
"Dia me mang pantas ma mpus," jengek si baju hijau.
"Keluarkan obat penawarnya?" bentak Ling Kun-gi.
Laki2 baju hijau hanya melirik saja kepada Ling Kun-gi, katanya
dingin: "Janganlah kau cari kesulitan sendiri, usia mu masih muda,
kalau jiwa me layang percuma, apakah tidak sayang?"
Melotot gusar biji mata Ling Kun-gi, bentak-nya: "Jiwa manusia di
buat ma in2, hayo, keluarkan obat penawarnya." .
"Anak muda,"^ ujar laki2 baju hijau manggut2, "agaknya kau
me mang usil, ketahuilah obat penawarnya ada di dalam kantongku,
kalau kau ma mpu boleh menga mbilnya sendiri."
"Baiklah kalau begitu," pelan2 Ling Kun -gi mengha mpiri..
Laki baju hijau menyeringa i di mana tangan kanan terangkat,
"Wut" tiba2 ia layangkan kepalannya ke muka si pe muda. Tujuan
Ling Kun-gi hendak menawannya hidup2, me lihat tangan orang
menggenjot tiba, tangan kiri segera menapak maju mencengkera m
pergelangan tangan lawan- Gerakan mencengkera m ini
mengandung beberapa perubahan yang lihay, gerakan laki2 baju
hijau juga tidak kalah aneh dan lihaynya, baru kepalan kanan
sampai di tengah jalan, terus ditarik balik, sementara tangan kiri
segera ganti mencengkeram tulang iga Ling Kun-gi. Lekas Kun-gi
turunkan tangan kanan, gerakan mencengkera m dia ubah
mengebas turun- Tangan mereka segera beradu, keduanya sama
bertolak mundur selangkah.
Terasa oleh Ling Kun-gi tangan si baju hijau sekeras baja
sedingin es, pegangannya seperti mencengkera m tongkat besi yang
keras, keruan hatinya terkejut.
Begitu mundur laki2 baju hijau ternyata tidak segera merangsak
pula, katanya dingin sa mbil mengulap tangan: "Anak muda, kau
sendiri yang paksa aku turun tangan, sekarang lekas kau pulang
mengurus keberangkatanmu ke a la m baka."
"Ah, kenapa?" tanya Ling Kun-gi tak acuh-
"Hidupmu tinggal 12 jam lagi, setelah itu jiwamu bakal me layang,
sekarang masih keburu kalau kau pulang ke rumah," ujar laki2 baju
hijau.
Menegak alis Ling Kun-gi,jengeknya sambil me natap tajam: "Kau
gunakan racun atas diriku?"
"Kau sendiri yang menyentuh tanganku."
"Jadi tanganmu beracun?" sekilas mencorong sorot mata Ling
Kun-gi. "Berulang kali kau menggunakan racun mencela kai orang,
hari ini terpaksa aku tak bisa melepaskanmu pergi..." Habis
kata2nya tiba2 ia me langkah maju, ke lima jari tangan kirinya
laksana cakar terus mencengkera m bahu kanan si baju hijau.
Melihat orang sudah keracunan masih bergerak ce katan dan
menyerang, bukan kepalang kejut si baju hijau. Teruta ma usia Ling
Kun-gi masih begini muda, tapi serangan dan sikapnya begini
berwibawa seperti jagoan angkatan tua layaknya, sudah tentu dia
tidak mau lengannya terpegang, cepat ia putar tubuh sam-bil
merendahkan punda k. ia meluputkan diri dari serangan tangan kiri
Ling Kun-gi.
Ling Kun-gi tetap menggunakan tangan kiri. sementara tangan
kanan me lindungi dada, gerakan- menggunakan Kim-na-jiu
(gerakan me megang dan me muntir), yang diincar adalah Hiat-to
penting tubuh lawan, serangan aneh dan la in daripada yang lain-
Dari gerakannya yang begitu tangkas, siapapun pasti ma klum
bahwa dia pasti didikan seorang guru yang.
Beruntun laki2 baju hijau berke lit tiga kali, pikirnya setelah
merangsak beberapa jurus, racun di badan Ling Kun-gi pasti sudah
bekerja, tak perlu dia melayani orang lebih lanjut. Tapi pada jurus
ke empat ia merasa tak ma mpu berkelit lagi, terpaksa dia ulurkan
lengan kiri sendiri ma lah. Sekali pegang Ling Kun-gi lantas pencet
pergelangan tangan laki2 baju hijau, terasa yang dipegang itu
dingin dan keras, tak ubahnya me megang besi.
Waktu dia awasi, dilihatnya tangan kirinya sudah berubah warna
menjadi kehijauan, kelima jari orang setajam pisau seruncing duri
landak. nyata tangannya me mang terbuat dari besi baja. Kiranya
lengan kiri orang ini me mang tangan palsu yang terbuat dari besi,
ma lah dilumuri racun lagi.
Ling Kun-gi kerahkan tenaga dan pegang tangan besi orang,
jengeknya dingin: "Ternyata kau pakai senjata lengan besi dan
beracun lagi. sungguh kejam kau."
Si baju hijau meronta sekuatnya, namun pegangan orang
sedikitpun tidak berge ming, keruan hatinya mencelos, tanpa bicara
tangan kanannya tiba2 menggenjot ke dada Ling Kun-gi. Ta k
terduga Ling Kun-gi juga angkat kepalannya me mapak genjotan
lawan, "Blang", kepalan lawan kepalan, sibaju hijau tergentak
mundur selangkah.
Gusar dan gelisah si baju hijau, se mbari me mbentak. tubuhnya
ma lah menumbuk maju, tangan kanan bergerak turun naik, dalam
sekejap mata, tangan kanannya sudah menyerang tiga kali.
Ketiga jurus ini rapat dan cepat laksana kilat, tak urung Ling Kun-
gi terdesak mundur dua langkah, tapi pegangan tangan kirinya tetap
tidak terlepas sehingga si baju hijau ikut terseret maju dua langkah,
Mendapat sedikit kese mpatan, Ling Kun-gi segera balas
merangsak. iapun menyerang berantai tiga jurus, jari menutuk
telapak tangan menabas serangannya semua merupakan jurus2
yang me matikan, karena sebelah tangannya memegang lengan
lawan, maka kedua orang hanya bergerak dari jarak. dekat,
masing2 hanya mengguna kan sebelah langan-
Beberapa gebrak jarak dekat ini ke lihatan masing2 tidak
menunjukkan ilmu2 silat yang mengejutkan, tapi bagi seorang ahli
pasti dapat merasakan betapa hebat dan bahayanya, karena mati-
hidup hanya terpaut serambut saja. Betapa cepat serangan dan
betapa tangkas pula perubahan gerak serangan masing2, se mua
hanya berlangsung dala m sekejap mata belaka.
Mungkin karena me mandang rendah lawan, si baju hijau tak
pernah pikir bahwa lawannya yang masih begini muda ternyata
me mbe kal ilmu silat kelas tinggi. Dan yang lebih mengejutkan lagi
adalah pemuda ini tak gentar menghadapi racun jahatnya, orang
lain cukup kesere mpet saja, dalam sekejap racun akan menjalar,
tapi Ling Kun-gi masih terus me megangi lengan besinya yang
beracun tanpa kurang apa2 dan tetap segar bugar, oleh karena itu
tanpa terasa dia menjadi kerepotan dicecar oleh serangan Ling Kun-
gi yang ber-tubi2.
Untunglah pada detik gawat itu, mendadak sebuah suara dingin
kereng me mbentak. "Berhenti"
Mendengar bentakan itu, lekas sibaju hijau me mbentak tertahan:
" Lepaskan"
Ling Kun-gi me nghentikan, serangan tangan kanan, tapa tangan
kiri tetap me megang tangan besi si baju hijau, lalu tanyanya: "Siapa
itu?"
Sibaju hijau meronta sekuat tenaga, dampratnya gusar: "Le kas
lepaskan"
"Setelah kau me mberi obat penawarnya, segera kulepaskan
tanganmu."
Karena usahanya tidak berhasil, si baju hijau me njadi gugup,
"Wes" tangan kanan tiba2 menepuk ke dada Ling Kun-gi.
Ling Kun-gi berdiri tegak tanpa berge ming. na mun baju didepan
dadanya mendadak mele mbung seperti layar berkembang, maka
tepukan sibaju hijau seperti mengenai benda empuk. laksana
menepuk permukaan air, seperti kosong tapi masih berisi, seperti
mengenai sesuatu tapi mirip me ngenai te mpat kosong, hakikatnya
dia tidak kuasa mengerahkan tenaganya, keruan tidak kepalang
kejutnya.
Tiba2 Ling Kun-gl kipatkan tangan kirinya, sementara tangan
kanan tegak menabas punggung, pergelangan tangan kanan lawan,
berbareng dia me mbanting si baju hijau ke atas tanah. Sudah tentu
si baju hijau mati kutu, "Blang," dengan keras badannya terbanting
dan tidak ma mpu bergerak lagi.
Menatap sibaju hijau, Ling Kun-gi me ngan-ca m dengan nada
keren: "Serahkan tidak obat penawarnya? "
Dari kumandangnya suara bentakan "Berhenti" seseorang,
sampai si baju hijau me nyerang serta dibanting oleh Ling Kun-gi,
semua, itu berlangsung hanya beberapa detik saja. Maka
terdangarlah orang yang bersuara tadi kembali berseru me muji:
"Gerakan bagus"
Ling Kun-gi angkat kepalanya, dilihatnya se-orang berjubah biru,
entah sejak kapan sudah berdiri di a mbang pintu sambil meng
gendang kedua tangan, Usia laki2 ini sekitar 25 tahun, wajahnya
cakap bersih, me mondang buntalan panjang di punggungnya,
berdiri sa mbil bertola k pinggang, wajahnya tidak mengunjuk
sesuatu perasaan hatinya, sikapnya angkuh. Si baju biru ini ternyata
adalah orang yang pernah ditemuinya di kota Kayhong beberapa
hari yang la lu.
Sementara itu, si baju hijau sudah berdiri dengan sikap patuh dia
me mberi hormat kepada si baju biru, katanya: "Hamba me nghadap
majikan muda,"- Kiranya si baju biru adalah putera majikannya.
Si baju biru mendengus dengan suara hidang, katanya: "Kau
me mbuat onar lagi di sini?"
"Ha mba tida k berani," sahut si baju hijau ter-sipu2.
Sorot mata si baju biru me natap Ling Kun-gi, katanya dingin:
"Agaknya kita pernah berjumpa entah dimana??"
"Sela manya cayhe belum pernah berkelana di Kangouw," sahut
Ling Kun-gi.
"Siapa na ma tuan?" tanya si baju biru.
Tidak menjawab Ling Kun-gi malah balas bertanya: "Dia ini
pembantumu?"
si baju biru na ik pita m, alis menegak. wajahnya diliputi nafsu
me mbunuh, jengeknya: "Betul, nah dalam hal, apa dia berbuat
salah terhadap-mu?"
Sikap Ling Kun-gi tidak ka lah congkak, ujarnya: "Masuk rumah
makan ini, pembantumu lantas cari perkara dengan orang, main
serang dengan panah beracun lagi, untunglah kena kutimpuk
dengan cangkir sehingga tidak mengenai sasaran, tak terduga
dengan tangan besinya yang beracun dia main kasar lagi, kukira
hanya sedikit perselisihan, kenapa harus mena matkan jiwa orang
lain, bukankah perbuatannya terlalu keji, maka kuahrap dia suka
menge luarkan obat penawarnya."
cemberut dingin wajah si baju biru, katanya sambil melirik sibaju
hijau: "Apa betul de mikian halnya?"
si baju hijau tidak berani bersuara, maka si baju biru
mena mbahkan- "Lekas serahkan obat penawar kepadanya."
Tidak berani me mbangkang, lekas sibaju hijau merogoh kantong
menge luarkan botol kecil porselin gepeng, ia menuang sebutir pil
terus diangsurkan- Ling Kun gi menerimanya, lalu manggut2 kepada
si baju biru dan berkata: "Terima kasih banyak."
"Dia kawanmu?" tanya si baju biru mengawasi laki2 baju abu2
yang mengge letak di lantai.
"Sela manya belum pernah kukena l," sahut Ling Kun-gi tertawa,
lalu dia berpaling: "Pelayan, ambilkan segelas a ir putih."
cepat pelayan me mbawakan air putih yang diminta, Ling Kun-gi
lantas pencet dagu laki2 baju abu2 sehingga mulutnya terpentang,
pil itu terus dijeja lkan ke mulutnya serta dilolohkan beberapa teguk
air.
Dika la keributan berlangsung tadi, secara dia m2 si mata satu
sudah berdiri me mbayar rekening terus bergegas tinggal pergi.
Sambil mengawasi Ling Kun-gi, si baju biru berkata pula: "
Kepandaian tuan me mang hebat, entah dari perguruan aliran
mana?"
Ling Kun-gi tertawa tawar, sahutnya: "cayhe, Ling Kun-gi, tidak
punya golongan atau aliran segala."
"Um," si baju biru mendengus kurang senang, tiba2 dia me mbalik
badan serta berkata: "Hayo pergi"- cepat sibaju hijau mengikut di
belakangnya.
Dala m hati Ling Kun-gi berkata: "Ternyata inilah yang melindungi
si mata satu sepanjang perjalanan ini."
Mendadak dia sadar, dirinya telah perkenalkan diri, kenapa tidak
balas tanya nama orang. Da la mpada itu si baju abu2 sudah
merangka k bangun, katanya sambil menjura kepada Ling Kun-gi:
"Terima kasih atas pertolongan Siang kong."
Ling Kun-gi balas me mberi hormat, katanya tertawa: "Saudara
tidak usah sungkan-".
Lalu si baju abu2 me manggil pe layan, katanya: "Rekening
Siangkong ini biar kubayar sekalian, siaanya bolehlah kau ambil." -
Si pelayan terima uang sembari munduk2 dan mengucapkan banyak
terima kasih.
Kembali si baju abu2 me njura, katanya: "cayhe masih ada
urusan, tidak boleh tertunda di sini, maaf aku mohon diri lebih
dulu."
orang ter-gesa2 mau pergi setelah jiwanya di tolong, tapi tidak
tanya nama penolongnya, jelas dia kuatir kalau Ling- Kun-gi balas
tanya namanya. Diam2 Kun-gi me mbatin: "Mungkin kau tidak tahu,
si baju biru dan pe mbantu2nya adalah sekomplotan dengan si mata
satu dan secara diam2 melindunginya sepanjang jalan-" - Tapi ha l
ini tak enak dia utarakan, ia hanya tertawa tawar, katanya:
"Saudara ada urusan, boleh silakan saja."
Si baju abu2 menjura pula terus putar badan dan keluar.
Mengantar kepergian bayangan punggung orang, seketika terasa
oleh Ling Kun-gi buntalan kertas yang dibawa si mata satu pasti
penting artinya. Setelah menghabiskan dua cangkir arak pula,
sementara si baju abu2 juga sudah pergi cukup jauh, maka lekas
iapun berdiri terus menuju ke luar kota. Dia tahu setelah di warung
tadi dia mende monstrasi-kan kepandaiannya, mungkin si baju biru
sudah curiga dan menaruh perhatian terhadap dirinya, ma ka gerak-
gerik dirinya selanjutnya tentu kurang leluasa, maka setelah t iba di
luar kota, tanpa pikir dia terus menyelinap masuk ke dala m hutan
dengan gerakan cepat dan enteng.
Pada saat badannya meluncur ke dala m hutan itulah, tiba2 ia
mendengar hardikan nyaring merdu: "Siapa, hayo berdiri?"
Begitu suara berkumandang, di depan muncul sesosok bayangan
hijau, berbareng hidung dirangsang bau wangi, sebuah tangan
halus putih tahu2 mendorong ke arah dadanya.
Belum lagi jelas melihat bayangan orang, secara refteks Ling
Kun-gi gerak tangan kiri menangkap pergelangan tangan yang
menyelonong ke arah dadanya ini.
"Eh" itulah teriakan kejut seorang gadis, tangan yang halus
itupun tergetar serta ditarik mundur, se mentara mulutnya lantas
menda mprat: "Bu jangan bernyali besar, hayo lepaskan" Sepatu
yang ujung-nya melengkung tahu2 menendang tanpa bersuara.
Semua kejadian itu berlangsung begitu cepat sesingkat Ling Kun-
gi menerobos ke dala m hutan-
Begitu mendengar suara nyaring merdu, berbareng merasakan
tangan yang dipegangnya halus dan licin, sesaat dia melongo dan
segera lepas tangan, ber-bareng ia melompat mundur. Waktu dia
mengawasi tampa k diantara semak pohon sana berdiri seorang
gadis jelita berpakaian kuning. Kedua pipinya tampak bersemu
merah, kedua biji matanya melotot gusar lagi me mbentak sambil
menuding dirinya: "Bajingan tengik, apakah mata mu buta?"
Sesaat Ling Kun-gi terlongong mengawasi gadis je lita ini, secara
semberono terobosan di sini dan pegang tangan pula, sebetulnya
dia ingin minta maaf, serta mendengar caci maki orang, dia m2 ia
mendongkol, pikirnya: "Waktu aku menyelinap ke mari tadi tak
kelihatan bayangan orang, jadi dia menapakku waktu me lihat aku
masuk. dia sendiri yang menyerang lebih dulu baru terpaksa
kupegang tangannya, kalau tidak, bukankah dadaku terpukul
olehnya? Kalau dipikir, bukan aku yang salah?" Tanpa terasa ia
tersenyum geli sendiri
Melihat orang cengar-cengir mengawasi dirinya, hati si gadis
semakin dongkol, namun wajahnya sema kin jengah, kini diapun
dapat melihat jelas orang yang berdiri di hadapannya ternyata
seorang pemuda gagah dan berwajah cakap. cuma senyumannya
itu rada kurang ajar? Kejap la in si nona sudah ce mberut lagi,
katanya dengan bibir menyungkit:
"Bajingan kurang ajar, apa yang kau gelikan? Me mangnya kau
sudah bosan hidup?" Dingin pancaran sorot mata Ling Kun-gi,
suaranyapun kaku: "Nona me ma ki siapa?"
Si nona baju kuning bertolak pinggang, ma kinya sambil
menuding Ling Kun-gi: "Me ma kimu, sekali pandang lantas kutahu
kau ini bukan orang baik2.
Dimaki tanpa alasan Ling Kun-gi menjadi berang, jengeknya:
"Nona tahu aturan tidak? Cayhe yakin tidak pernah berbuat salah,
kau sendiri yang muncul tiba2 lantas menyerangku dan me makiku
tanpa alasan, me mangnyu aku yang salah?"
"Mau bicara soal aturan?" si nona sema kin gala k.. "Matamu tidak
buta, kenapa main terobosan ke mari?"
"Aku sudah mengalah, kuharap nona tahu sopan santun, hutan
ini toh bukan milik nona, umpa ma orang dilarang masuk,
sepantasnya kau bicara lebih dulu . . . ."
Merah muka si nona, dia makin dongkol, katanya: "Kularang kau
masuk, maka kau tidak boleh masuk,"
" Kenapa tidak boleh masuk?" Ling Kun-gi menegas. "Tidak apa2,
kau terobosan, maka kau harus kuhajar."
"cayhe tidak sepandengan nona." jengek Ling Kun- gi, ia putar
badan terus tinggal pergi.
Si nona sema kin marah, bentaknya sambit me mbanting kaki,
"Berdiri di te mpat mu"
Ling Kun gi me mbalik badan, alisnya menegak. suaranya kereng:
" Apa pula kehendak nona?"
"Kau menghinaku, lantas tinggal pergi begini saja?" da mprat si
nona.
"Siau Yan," tiba2 sebuah suara merdu bak bunyi kelintingan
berkumandang dari sebelah dalam hutan sana, "kau sedang ribut
dengan siapa?"
Si nona baju kuning Siau Yan, tampak kegirangan, serunya:
"Syukurlah engkau datang Sio-cia, lekas kemari." - Dari dala m hutan
tampak melangkah keluar sesosok bayangan semampai berpaka ian
warna merah apel, itulah seorang gadis jelita yang menggiurkan.
03
Terbeliak pandengan Ling Kun-gi, nona ini berperawakan
ramping, kulitnya putih halus, raut wajah bundar telur, alis lentik
laksana bulan sabit dengan biji mata bening ce merlang
me mancarkan sinar keagungan yang tak terlawan oleh siapapun.
Tiba2 wajah Ling Kun-gi menjadi panas jengah, baru se karang
dia maklum duduknya perkara, kenapa nona Siau Yan ini berjaga di
luar hutan, kiranya nona cantik ini sedang buang air di dala m hutan-
Setelah si nona cantik mendekat, Siau Yan me mberi hormat,
katanya aleman: "siocia, bajingan ini kurang ajar"
Si jelita menarik muka, bentaknya: "Siau Yan, jangan me maki
orang" Matanya yang bening tajam mengawasi Ling Kun-gi,
kalanya: "Aku sudah dengar, kau lebih dulu menyerang dia, betul
tidak?"
"siocia, dia .... karena dia .... " Seru Siau Yan tergagap.
"Jangan ceriwis, lekas minta maaf kepada Siang kong ini,"
perintah si je lita.
Siau Yan me lengak. wajahnya merah padam debatnya: "Siocia
dia yang menghinaku, main pegang segala .... "
"Jangan banyak omong, hayo minta maaf kepadanya"
Ber-kedip2 lagi sinar mata Siau Yan, sejenak dia awasi si nona,
lalu berpaling kepada Ling Kun-gi, akhirnya seperti menyadari apa2,
tiba2 ia cekikikan sa mbil menutup mulut dengan tangannya, lalu
mende kat ke depan Ling Kun-gi serta menjura dan berkata dengan
nada menggoda: "siocia suruh aku minta maaf kepada Siang kong."
Sebesar ini belum pernah Ling Kun-gi bergaul dengan kaum
hawa, mukanya menjadi merah dan me mbalas hormat, katanya:
"Nona tak usah kecil hati, anggap saja tak pernah terjadi."
Siau Yan ce kikikan sa mbil me lirik. katanya: "Lha ka lau sejak tadi
kau bilang de mikian, kan t idak perlu kita perang mulut."
Ling Kun-gi hanya tertawa saja, ia putar badan hendak tinggal
pergi. Tiba2 didengarnya suara merdu tadi berteriak:
"Siangkong ini harap tunggu sebentar" Senyaring bunyi
kelint ingan teriakannya. jelas yang ber-suara adalah nona jelita itu.
Tanpa terasa merandek langkah Ling Kun-gi dan me mandang ke
sana, katanya sambil merangkap kedua tangan: " Entah nona ada
petunjuk apa?"
Siau Yan segera menyela "siocia me manggilmu, sudah tentu ada
urusan-"
"Siau Yan, jangan banyak mulut," bentak sijelita, lalu berkata
pula lirih kepada Ling Kun-gi: "Kulihat Siangkong berkepanda ian
tinggi, entah siapa na ma terhormat Siang kong?"
"cayhe Ling Kun-gi" Kun-gi me mperkenalkan diri. "nona. ......."
"siocia ka mi she Bun . . .. . . ." sela Siau Yan tertawa sambil
me lirik ma jikannya.
Ling Kun-gi me mberi hormat pula, katanya " Kiranya nona Bun,
maaf cayhe kurang adat."
siau Yan ter-pingka l2, dan katanya pula "Bicaraku belum habis,
Siocia berna ma Hoan kun, jadi punya satu bagian yang sama
dengan na ma Siangkong. sungguh kebetulan bukan?"
Merah selebar muka sijelita. "Siau Yan" Seruannya seperti ingin
mencegah, tapi da la m hati se-benarnya merasa senang.
Pada saat itulah tiba2 dari tempat jauh sana berge ma lengking
suitan keras. Seketika berubah roman Bun Hoan-kun, katanya
terperanjat: "Agaknya paman sedang me manggilku, bagaimana
baiknya."
siau Yan berkata: "Mungkin Ji cengcu akan ke mari, menurut
pendapat hamba, lekas siocia dan Siangkong se mbunyi ke dala m
hutan saja."
Sudah terbuka mulut Bun Hoan-kun, tapi urung bicara, namun
matanya me mandang Ling Kun-gi penuh arti.
Kelihatan gugup dan takut2 sikap kedua nona ini, tapi Ling Kun-
gi tetap berditi ditempatnya, ta-nya: "Kenapa cayhe harus ikut
sembunyi?"
Tiba2 Bun Hoan-kun menghela napas, katanya rawan- "Tabiat
paman a mat buruk." Sorot matanya me mandang ke tempatjauh,
lalu me na m-bahkan: "Se moga pa man tidak menuju kesini."
Belum selesai bicara, suitan melengking tadi ke mbali mengalun di
udara, dari suara suitan yang keras dan meme kik telinga ini, jelas
bahwa jarak- nya sudah jauh lebih de kat.
Hilang senyuman manis yang menghias wajah Bun Hoan-kun
tadi, sikapnya tampak gugup dan takut, katanya: "Ling -s iangkong,
tiada waktu lagi, lekas ikut aku sembunyi." Segera ia berputar,
namun langkahnya tidak bergerak, ia berpaling mengawasi Ling
Kun-gi.
Sebetulnya Kun-gi merasa heran dan curiga, na mun me lihat sikap
dan mimik Bun Hoan-kun begitu gugup se-akan2 harus dikasihani,
ia menjadi tak tega hati, katanya mengangguk: "Ba iklah, biar cayhe
ikut se mbunyi sebentar di dala m hutan-"
Penuh rasa terima kasih tatapan mata Bun Hoan-kun, pipipun
bersemu merah, ter-sipu2 dia putar tubuh dengan setengah berlari
masuk ke dala m hutan. Sedikit merandek akhirnya Ling Kun-gi ikut
me langkah ke sana.. Siau Yan me ngikut di bela kang mereka.
Tidak la ma setelah ketiga orang ini menyelinap se mbunyi ke
dalam hutan, ma ka tampa k dari kejauhan datang dua bayangan
orang bagai terbang. Diam2 Ling Kun-gi me mbatin dala m hati: "
Entah siapa kedua orang ini? Dari langkah mereka yang enteng,
terang me miliki Ginkang yang luar biasa."
Tengah pikirannya melayang, tiba2 terasa telapak tangan nan
halus le mbut pelan2 menarik tangan kirinya, terdengar bisikan Bun
Hoan-kun di tepi telinganya: "Ling-siangkong, pamanku segera tiba,
lekas kau berjongkok."
Belum pernah Ling Kun gi bersentuh tubuh dengan gadis be lia,
bau harumpun merangsang hi-dung, seketika jantungnya berdebur
keras, tanpa terasa dia berjongkok ke dala m sema k2. Tapi dia tetap
mengintip keluar sana.
Itulah seorang tua kurus berjubah panjang warna kuning kela m,
berikat pinggang ka in sutera, berusia lima puluhan, roman mukanya
merah, de-ngan tulang pipi menonjol, sorot matanya tajam berkilau,
punggungnya menyandang sebilah pedang.
Di be lakang laki2 tua mengintil ketat seorang -pe muda berjubah
kuning muda, kelihatan baru ber-usia dua puluhan tahun, alis lentik,
mata berkedip bagai bintang, wajahnya sungguh cakap. bibir tipis
merah delima, sayang hidungnya sedikit bengkok. Tetapi dia benar2
terhitung laki2 yang -bagus. Di pinggang si pemuda tergantung
sebilah pedang panjang dengan hiasan ronce benang merah
diaagangnya, kelihatan gagah dan menarik sikapnya.
Di kala Ling Kun-gi mengawasi orang, terasa oleh Ling Kun-gi
bukan saja jari2 tangan Bun Hoan-kun yang menarik tangannya tadi
tidak di-lepaskan, malah pegangan orang se makin erat dan sedikit
gemetar.
Sorot mata si orang tua yang tajam berkilau menyapu pandang
keseluruh penjuru, sebelah tangannya mengelus jenggot ka mbing
dibawah dagu-nya, katanya sambil batuk2 kecil: "Bukankah Hoan-rji
berdua tadi menuju ke sini?" . . .
Hormat dan patuh sekali ta mpaknya sikap sipe muda, sahutnya:
"Betul pa man, mungkinkah adik Hoan mengala mi apa2 di tengah
jalan?" Si tua batuk2 lagi, katanya dengan tertawa:
"Keponakan tidak usah kuatir, bekal ilmu silat yang dipelajari
Hoan-ji cukup berlebihan buat Hoan-ji berkelana di Kangouw.
Mungkin mereka istirahat di dala m kota, marilah kau ikut Lohu
mencarinya di kota."
Sipe muda mengiakan penuh hormat, bayangan mereka lantas
berkelebat menuju ke arah kota di balik hutan sana.
"Agaknya kedua orang ini tengah mencari nona Bun," de mikian
batin Ling Kun-gi, " kenapa dia malah menyembunyikan diri?" Waktu
dia ber-paling, tertampak air mata ber-kaca2 di kelopak mata Bun
Hoan-kun, tentu saja se makin heran hati Kun-gi. .
Agaknya Bun Hoan-kun sadar bahwa dirinya diperhatikan, cepat
dia berdiri, mukanya merah ma lu, katanya getir: "Tadi aku
ketakutan, maaf akan sikapku yang tidak pantas, Ling-siang kong . "
Ling Kun-gi pun berdiri, sahutnya: "Nona tak usah berkecil hati."
Lalu dia tanya penuh perhatian: . "Apakah pa manmu pe mberang? "
Bun Hoan-kun menggeleng, katanya: "Biasa-nya paman sayang
padaku, cuma .... aku tidak ingin pulang ....".
"Siccia," Seru Suan Yan, sikapnya gugup, "Ji-cengcu dan Sia u-
kong cu pasti akan balik lagi, lekaslah kita pergi."
"Tak usah kau ceriwis," bentak Bun Hoan--kun, "me mangnya aku
tidak tahu, kalau aku t i-dak mau pergi, siapa bisa me ma ksaku?"
Lekas Ling Kun-gi berkata: "Kalau nona ti-dak ingin bertemu
dengan pa manmu, sebaiknya me mang lekas .pergi saja dari sini."
"Nanti sebentar lagi juga tidak jadi soal," sahutBun Hoan-kun,
"Sebetulnya bukan kuingin menghindari pa man .... " sampa i disini
dia ragu, lalu bertanya dengan sikap prihatin: " Kulihat usia Ling
siangkong masih begini muda, mungkin baru pertama kali berkelana
di Kangouw?"
Ling Kun-gi manggut2, sahutnya. "Betul, ba-ru sekali ini aku
keluar pintu."
Tiba2 berseri girang wajah Bun Hoan-kun, dia ke luarkan sebuah
kantong kecil yang terbuat dari benang sulam sutera, di dalamnya
berisi sebuah botol kecil porselin berbentuk bundar gepeng warna
putih hijau dan diangsurkan pada Kun-gi. katanya dengan tunduk
ma lu2: " Dengan Ling siang- kong baru pertama ka li ini aku
berjumpa secara kebetulan, tiada barang lain kecua li Jing-s in-tan
buatan keluarga ka mi sekedar sebagai kenangan, obat ini dapat
me munahkan segala maca m obat bius, Ling-siangkong baru mula i
berkelana di Kangouw. . perlu kau me mbawanya untuk menjaga
diri." Dia tida k menjelaskan bahwa kantong sutera itu ada lah
buatannya sendiri.
Ling Kun-gi me lengak, katanya. "Besar arti pemberian nona,
namun cayhe tak berani menerimanya. . ."
Semakin jengah wajah Bun Hoan kun, kata-nya malu2 dan
gugup: "Lekaslah terima, Ling-siang-kong, kau belum penga la man
menge mbara di Kang-ouw yang penuh bahaya ini, obat2an ini dapat
menolong kesulitanmu."
Lekas Siau Yan tampil kedepan, dari tangan majikannya dia rebut
kantong sulam itu terus dijejalkan ke tangan Ling Kun-gi, katanya:
"De mi kebaikanmu, kenapa Ling-siangkong ta mpik pe mberian
siocia?"
Me megangi kantong sula m itu, merah muka Ling Kun-gi karena
ma lu, mulutnya melongo:
"Jangan ini itu lagi," tukas Siau Yan, " kantong itu sula man siocia
sendiri, setiap melihat kantong sula m itu berarti Siangkong selalu
berhadapan dengan nona."
Sudah tentu gugup dan malu bukan ma in Bun Hoan-kun,
ome lnya: "Siau Yan, siapa suruh kau ceriwis?"
"Ha mba tidak berani," sahut Siau Yan sambil menyingkir dan
me lelet lidah.
Dengan kasih mesra sekilas Bun Hoan-kun me lirik Ling Kun-gi,
lalu katanya dengan nada masgul: "Ling - siangkong jagalah dirimu
baik2, ka mi akan berangkat."
Terharu Ling Kun-gi dia menjura sa mbil me-megangi kantong
sula m itu, katanya: "Terima kasih nona, harap nona juga jaga diri
baik2."
Bun Hoan-kun tertunduk, air mata sudah berlinang, lantas ia
beranjak keluar hutan-Siau Yan mengikuti di be lakangnya, serunya
sambil berpaling: " Ling-siangkong, jangan lupa ma mpir ke Ling la m
menengok siocia."
Lambat laun bayangan mereka se makin jauh dan tak kelihatan
lagi, Ling Kun-gi masih berdiri menjublek di luar hutan-Jari2
tangannya membolak -balik kantong sula man itu, bau harum yang
me mabokkan merangsang hidungnya, masih terngiang ka-ta2 Siau
Yan sebelum berpisah tadi: "siocia sendiri yang menyula m kantong
itu, me lihat kantong seperti berhadapan dengan siocia sendiri."
Pada saat itulah tiba2 seseorang berkata dengan suara dingin:
"Barang apa yang saudara pegang itu?"
Sebetulnya kepandaian silat Ling Kun-gi cukup tinggi, kalau ada
orang mende kat masakah tidak diketahui? Soa lnya baru pertama
kali ini dia jatuh kasmaran, dia me megangi barang pemberian
sijuita. tak heran dia sampai terlongong lupa diri, Keruan kejutnya
bukan main mendengar teguran orang, waktu dia angkat kepala,
dilihatnya pemuda jubah kuning tadi sudah berdiri di depannya,
mulutnya me-nyungging senyum dingin, matanya menatap taja m
dan beringas ke arah kantong sula m yang dipegangnya. Lekas Ling
Kun-gi masukkan kantong sula m itu ke da la m bajunya.
"Nanti dulu," cegah pemuda jubah kuning, "barang apa yang kau
pegang itu?"
Dengan sikap angkuh Ling Kun-gi menjawab: "Apa kau bicara
dengan aku?"
Si pe muda jubah kuning menyeringai, katanya dingin. "Apa ada
orang ketiga di sini?"
"Sela manya kita be lum pernah kena l, ada petunjuk apa?"
Agaknya pemuda jubah kuning kurang sabar. katanya. " Kutanya
barang apa yang kau pegang tadi?"
"lnilah barangku sendiri, kenapa kau tanyakan?" jawab Kun-gi tak
acuh.
"Aku merasa kena l sekali a kan barang itu, coba keluarkan biar
kuperiksa."
"Me mang a ku harus menurut?"
Berubah roman pe muda jubah kuning, katanya menganca m
sambil me ndekat selangkah. "Keluar-kan tida k?"
Terangkat alis Ling Kun-gi, jengeknya. "Kau mau main kasar?"
Sipe muda seperti me mpertimbang apa2, maka kata Ling Kun--gi
seperti tidak didengarnya, sesaat kemudian dia baru berkata.
"Mungkinkah barang miliknya?" - "NYA" atau si dia yang dimaksud
sudah tentu adalah Bun Hoan-kun. Panas muka Ling Kun-gi,
katanya. "Kau sedang mengoceh apa?"
Mendadak sipe muda berseru keras. "Betul, me mang itu kantong
yang selalu di- bawa adik Hoan." Tiba2 dengan pandangan penuh
ke marahan dia tatap muka Ling Kun-gi, hardiknya beringas: "
Kantong sula m itu kau dapat dari mana?"
"Peduli kudapat dari mana?" jenge k Ling Kun-gi marah juga.
"Barang milik keluarga Un dari Ling-la m, bagaimana mungkin
berada di tanganmu?"
Keluarga Un dari Ling la m, jadi nona Bun itu sebetulnya she Un?
Tapi Ling Kun-gi lantas menjawab: "Aku t idak kenal keluarga Un dari
Ling-la m yang terang orang lain yang me mberi kantong ini padaku."
Berubah air muka si pemuda jubah kuning, tanyanya tak sabar:
"Siapa dia?"
"Seorang sahabat. Kau tak mungkin kena l dia."
"Katakan, dia she apa?-
"She Bun."
"Laki atau Pere mpuan?"
"Dia adalah Piaumoayku."
"Keluarkan kantong itu untuk kuperiksa, asal bukan milik adik
dari ke luarga Un segera kuke m-ba likan pada mu."
Ling Kun-gi me nggeleng, katanya: "Kau terla lu me ma ksa .........."
"Jadi kau ingin dipaksa pakai kekerasan?"
"Pakai kekerasan aku juga t idak gentar."
"Baiklah, nah rasakan-" mendadak pergelangan tangannya
bergerak. tahu2 sebuah jarinya menuding ke dada Ling Kun-gi,
sekali tutuk lantas menye-rang Hiat-to me matikan, dari sini dapatlah
dinilai orang ini berhati keja m.
Ling Kun-gi menya mbut dengan sikap pongah, "Rasakan juga
boleh" Dengan enteng tiba2 dia miringkan badan dan berkelit ke
samping.
Tapi pada saat ia bergerak itu, mendadak terasa pula sejalur
angin kencang yang tidak kelihatan me-nerjang dadanya. Untung
Ling Kun-gi sudah me-ngerahkan hawa murni pelindung badan,
walau angin pukulan ini menerjang secara mendadak tetap tertolak
oleh hawa pelindung badannya sehingga tidak ci-dera sedikitpun.
Namun hatinya kaget dan heran, batinnya: " Entah kapan dia
lancarkan angin pukulan ini, begini cepat dan tangkas?"
Waktu dia angkat kepala, dilihatnya pemuda jubah kuning
mengepal tinju tangan kanan dan kiri me lintang di depan dada,
kelihatannya tidak bergerak sedikitpun. Tapi gaya orang sudah
cukup mengejut-kan Ling Kun-gi, dia m2 ia berteriak kaget dala m
hati: "Bu sing- kun."
Melihat Bu-sing- kun (pukulan tanpa suara) yang dilancarkannya
secara diam2 jelas mengenai dada orang, tapi kenyataan lawan
tetap segar bugar seperti tak terjadi apa2, mau tak mau berubah air
muka pe muda baju kuning, pikirnya : " Kiranya dia telah
meyakinkan Hou-sin-cin-khi (hawa murni pe lindung badan)." Se mua
ini hanya berlangsung da la m sekejap.
Walau dala m hati kedua pihak sa ma kaget, namun mere ka tidak
lantas berhenti. Sambil menyeringai tinju kanan si pe muda jubah
kuning terbuka, telapak tangannya menepuk ke pundak kiri Ling
Kun-gi se mentara tangan kiri menekan turun, dua jari tangannya
secepat kilat menutuk Ki-hay-hiat di iga Ling Kun-gi.
Sedikit miringkan badan berbareng Ling Kun-- gi lancarkan jurus
No-liong-tui-hun (naga marah mendorong mega), secara terbalik dia
menapak serangan tangan kanan lawan, sementara tangan kiri
seperti menangkis tapi kelima jarinya tergenggam, yang digunakan
adalah tipu To-pan -liong- ka (menjungkir balik tanduk naga),
dengan mudah dia tangkap kedua jari pe muda jubah kuning.
Dua jurus serang menyerang ini berlangsung dalam waktu
singkat, semula terdengar suara plok. tangan kanan Ling Kun-gi
dengan telak saling ber-adu dengan telapak tangan kiri pe muda
jubah kuning. Terasa oleh pe muda jubah kuning telapa k tangan
Ling Kun-gi menimbulkan guncangan tenaga yang luar biasa besar
dan keras, tanpa kuasa dia tertolak setengah tindak ke kanan-
Berbareng terasa pula kedua jari kirinya tahu2 sudah tertangkap
Ling Kun--gi yang terus mene likungnya ke belakang.
Semula kedua orang ini berdiri berhadapan, tapi karena lengan si
pemuda jubah kuning ditelikung ke be lakang, dengan sendirinya
badannya ikut berputar, jadi dia kini me mbe lakangi Ling Kun-gi.
Dengan lutut kaki kanan Ling Kun-gi depak pantat orang serta
me lepas pegangan tangan kirinya, maka pemuda jubah kuning
tersuruk sempoyongan lima langkah ke depan, Lintg Kun-gi tida k
mengejar. katanya dingin : "Maaf, aku sih tidak suka main kasar.."
Mendadak pemuda jubah kuning me mba lik badan, wajahnya
merah pada m. "Sret", dia cabut pedang yang berkilau, hardiknya
bengis: " Keluarkan senjata mu."
Ling Kun-gi tidak acuh, ujarnya,: "Barusan cayhe menaruh
kasihan pada mu. tapi kau t idak tahu diri?"
"Hari ini ada kau tiada aku, marilah kita perang tanding pakai
senjata."
Bertaut alis Ling Kun-gi, katanya: "Apa perlu sampai demikian?"
^
Seperti dirasuk setan si pemuda jubah kuning menca k: "Jangan
cerewet, jiwamu tetap kubunuh walau tidak pa kai senjata."
"Kalau de mikian sila kan turun tangan saja".
"Baik. Hati2lah," tiba2 pedangnya menutul, batang pedangnya
menge luarkan suara mendengung, di tengah jalan tiba2 sinar
ke milau berke mbang se-perti tiga kuntum bunga yang me kar.
"Ilmu pedang bagus" Ling Kun-gi berseru me-muji. Sedikit
menarik napas, mendadak dia me nyurut mundur t iga ka ki.
Melihat lawan berke lit mundur, tapi tetap tidak mau melolos
senjata, pemuda jubah kuning, menyeringai dingin, dengan cepat
dia mendesak maju seraya mengayun pedang, beruntun dia
menyerang tiga kali. Walau hanya tiga jurus, namun sinar ke milau
pedangnya sudah me menuhi udara sekitarnya laksana deburan
omba k sa mudera yang ber-gulung2.
Ling Kun-gi berge lak panjang, tiba2 kedua tangannya bergerak
sekaligus, entah bagaimana tahu2 jari2nya mencengkera m ke
tengah tabir sinar pedang lawan, gerakannya ini sangat aneh dan
lucu.
Kepandaian pemuda jubah kuning bukan olah2 tingginya, pedang
pusaka ditangannyapun tajam luar biasa, ternyata Ling kun-gi
berani menangkap taja m pedangnya dengan tangan telanjang,
keruan pemuda jubah kuning yang biasanya tinggi hati ini menjadi
kaget.
Maklumlah biasanya dia selalu me-ngagulkan diri. na mun dia
me mang didikan dari ke luarga persilatan terna ma, pengalaman dan
pengetahuannya cukup luas dan tinggi, otaknyapun dapat hekerja
cepat, pikirnya: "Kalau bocah ini tidak me miliki kepandaian khas, tak
mungkin dia berani mengadu tangan dengan pedang pusa kaku."
Sebelum dapat menyela mi gerakan lawan- betapapun dia tidak
rela kalau pedangnya ketangkap Ling Kun-gi. Sigap seka li dia
mundur setengah langkah berbareng pergelangan tangan
menyendal, ujung pedang seketika menerbitkan sinar benang beribu
banyaknya dan mengurung rapat ke seluruh badan Ling Kun-gi.
Jurus Ban-liu-biau-si (berlaksa jalur daun liu bertaburan) yang
dilancarkan ini mengincar seluruh Hiat-to musuh bagian depan,
kalau latihan sudah mencapa i tarap tertinggi, hanya sekali tusukan
pedang saja dapat me luka i 36 hiato-to me matikan, ilmu pedang ini
merupakan sa lah satu dari tujuh ilmu khas ke luarga Siau yang
tersohor di daerah La m siang.
Baru saja sipemuda jubah kuning me lancarkan serangannya, Ling
Kun-gi mendadak menghardik keras, tangan kanan menegak terus
menabas, sementara tangan kiri secepat kilat meraih ke depan,
tangannya merebut pedang lawan- Serangan telapak tangan di
kanan dan mencengkera m dari kiri ini dilancarkan secara serentak.
Serangan telapak tangannya menerbitkan angin kencang dan
dahsyat, sehingga jurus Ban-liu-biau-si si pe muda jubah kuning
betul2 mirip dahan2 pohon liu yang tertiup angin dan tercerai berai
me layang tak keruan- Sedang kelima jarinya dengan tepat dapat
menindih batang pedang orang pula.
Mimpipun tak pernah terpikir oleh pe muda jubah kuning bahwa
Ling Kun-gi me miliki Lwe kang selihay dan setinggi ini, lekas dia
me lejit mundur beberapa kaki dengan darah tersirap. Sudah tentu ia
tak tahu bahwa gerakan telapak tangan dari men-cengkeram secara
berbareng dari serangan Ling Kun--gi ini me mang me mpunyai asal
usul yang luar biasa. Pukulan telapak tangan adalah mo-ni-in, suatu
ca-bang ilmu pecahan dari ilmu tingkat tinggi Ih-kin- king,
sedangkan cengkera man tadi adalah jit-jiu--pok-liong (tangan
kosong mengikat naga), salah satu tipu dari cap-ji-kim-Liong-jiu
(dua belas jurus penangkap naga), cuma dia melancarkan serangan
lengan tangan kiri, jadi secara terbalik dari jurus2 ilmu silat Siau-lim-
pay yang semestinya.
Pada saat pemuda jubah kuning me lompat mundur itulah
sesosok bayangan lainpun kebetulan meluncur turun di depan hutan
sana. Kedatangan orang ini tidak menimbulkan suara, belum lagi
kedua orang yang berhantam me lanjutkan gebrakannya, cepat
orang itu me mbentak: "Kalian lekas berhenti"
Ling Kun-gi berpaling, yang datang adalah laki2 tua kurus
berwajah merah, jubah panjang dengan ikat pinggang sutera, dia
inilah pa man Bun Hoan-kun ladi.
Terunjuk rasa girang pada wajah pe muda ju-bah kuning, le kas
dia menyambut dengan laku hormat, "Pa man sudah datang"
Dengan pandangan tajam si orang tua menatap Ling Kun-gi,
tanyanya: "Siapakah saudara ini? Kenapa kalian berkelahi?"
"Siautit tida k tahu siapa dia?" sahut pe muda ju-bah kuning,
"cuma tadi kulihat dia me megangi kantong sula m mirip milik adik
Hoan, maka kutanya dia peroleh dari mana? Ternyata dia tidak
menjawab dan tidak mau me ngeluarkan agar dapat kuperiksa."
" omong kosong, kantong itu pe mberian Piaumoayku, apa
sangkut pautnya dengan kau?" bentak Ling Kun-gi. Apa yang
diucapkan Ling Kun-gi me mang cukup beralasan, perempuan mana
dalam kolong langit ini yang tidak pandai menyula m, barang
kenang2an pe mberian adik misan sendiri, mana boleh ditunjukkan
kepada sembarang orang.-
Tersenyum orang tua muka merah sa mbil mengelus jenggot,
katanya: " Kalian masih sama muda dan berdarah panas, ini hanya
salah paham, kini duduk persoalan sudah terang, toh kalian tida k
ada permusuhan, buat apa harus bertempur mati2an?"
"Tapi kantong itu jelas milik adik Hoan, Siautit tidak salah lihat,"
pemuda jubah kuning, masih uring-uringan-
Ling Kun-gi mengejek: "Kau terlalu menghina orang, me mangnya
hanya keluargamu saja yang bisa menyulam kantongan (sejenis
dompet dari kain) begini?" .
orang tua muka merah ter-gelak2, katanya: "Di sinilah letak
persoalannya, kalian tidak mau menga lah, semakin debat urusan
semakin runya m. Nah marilah, kalau tida k bertempur tidak a kan
kenal, kalian sama2 muda dan gagah, bagaimana kalau Losiu (aku
yang tua) menjadi penengahnya?" Sa mpai di sini dia berpaling
kepada Ling Kun-gi dan me m-perkenalkan diri: "Losiu Un It-kiau."
lalu dia tunjuk pe muda jubah kuning dan mena mbahkan: "Inilah Lo-
llok (anak keena m) keluarga Siau dari La m-s iang, orang suka
me manggilnya Kim-hoan-lok- long Siau Ki-jing ......."
Waktu bicara secara diam2 dia mengedip mata kepada pemuda
jubah kuning yang masih ber-sungut2, kemudian dia berpaling dan
mengawasi Ling Kun-gi, tanyanya, "Dan saudara? Di mana tempat
tinggalmu? Siapa oula saudara yang terhormat?"
"cayhe Ling Kun-gi dari Ing-cu," Kun-gi menjawab.
"Ling-lote berkepandaian tinggi, entah pernah apa dengan Hoan-
jiu-ji-lay, paderi sakti nomor satu yang dulu tersohor di kalangan
Bu-lim itu?" kiranya dia sudah dapat meraba asal-usul perguruan
Ling Kun-gi.
Kejut juga hati Ling Kun-gi, batinnya: "Bu-kan saja tinggi
kepandaian silat orang ini, pengala mannya ternyata juga luas,
sekilas pandang lantas tahu seluk belukku. Tapi meski kau tahu asal
usul perguruanku, me mangnya kau tahu bahwa guruku sengaja
suruh aku pa mer kepandaiannya, guru pernah berpesan:
"Tunjukkan asal usul perguruan untuk menyembunyikan asal-usul
riwayat hidupku." Tapi bagaimana riwayat hidup dirinya, Kun-gi
sendiri juga tidak tahu.
Sesaat Ling Kun-gi bimbang, jawabnya kemudian: "Be liau adalah
guruku."
Terkejut dan terpancar pula mimik aneh pada muka Un it-kiau,
katanya ter-bahak2 "Ternyata Ling-lote me mang betul murid paderi
sakti, sungguh beruntung dapat bertemu."-Tiba2 sorot matanya
menjadi tajam, katanya pula: "Jadi gurumu masih sehat walafiat,
entah di mana be liau sekarang tingga l?"
"Jejak guru tidak menentu, cayhe sendiri tidak^elas," sahut Kun-
gi.
Un It-kiau manggut2, katanya: " Waktu gurumu me nge mbara di
Kangouw dulu, jejaknya me mang seperti naga di da la m awan yang
kelihatan ekornya tapi tidak na mpak kepalanya, tadi Losiu hanya
tanya sambil la lu saja."
Lekas Kun-gi menjura, katanya: "cayhe masih punya urusan, tak
bisa berdia m la ma, maaf cayhe mohon diri."
"Ling-lote ada urusan, boleh silakan pergi," ujar Un It-kiau.
Ling Kun-gi manggut2 kepada mereka berdua terus melangkah
pergi dengan cepat.
Setelah bayangan Ling Kun-gi sudah jauh, terunjuk senyum sinis
pada wajah Un It-kiau katanya kepada Siau Ki-jing: "Mari kita kuntit
dia"
"Paman juga curiga kepada bocah itu... . " ta-nya Siau Ki-jing.
Un It-kiau sedikit manggut, katanya: "Lohu kira munculnya bocah
ini di sini tentu ada sebab-nya," tanpa menunggu Siau Kijing tanya
lebih lanjut. dia lantas mendahului berlari pergi.
Dengan langkah cepat Ling Kun-gi mene mpuh pula perjalanan
cukup jauh, mendadak dia hentikan langkahnya, matanya
menje lajah keadaan sekeliling, tiba2 dia berkelebat masuk ke dala m
hutan dipinggir jalan-
Tujuan perjalanannya ini adalah menguntit si mata satu, tapi
karena di Liong- kip tadi terpaksa dia harus mende montrasikan
kepandaiannya, mungkin laki2 yang berbaju biru sudah
me mperhatikan dirinya, jelas gerak gerik dirinya selanjutnya
menga la mi kesulitan.
Maka setelah keluar dari kota, dia cari tempat sunyi dan
tersembunyi untuk merias diri, tak tahunya dia bersua dengan Un
Hoan-kun dan pelayan pribadinya.
Gurunya Hoan-jiu-ji-lay sebelum mencukur ra mbut menjadi
Hwesic di Siau-lim-si, Hoan--jiu-ji-lay adalah maling pendekar di
kalangan kangouw, pandai tata rias, sudah tentu dalam bidang ini
Ling Kun-gi juga seorang ahli. Begitu masuk hutan dia lantas cari
tempat se mbunyi, segera ia merias dan berdandan diri.
Tak la ma ke mudian dia sudah ubah dirinya jadi seorang tua desa
dengan rambut di samping kepala sudah ubanan, jenggot kambing
menghias dagunya, setelah membereskan buntalannya. dia simpan
pedang di da la m baju, baru saja dia mau ke luar, mendada k
didengarnya dua orang mendatangi sa mbil ber- ca kap2.
Kun-gi merande k. didengarnya seorang yang muda berkata:
"Bocah itu cukup licin, jelas tadi dia menuju ke mari, kenapa jejaknya
menghilang?"
Disusul suara serak berkumandang: "Sebetulnya tidak perlu
harus mengunt it dia, Lohu hanya merasa . . . ." hanya merasa apa?
karena jaraknya semakin jauh, maka tak terdengar. Tanpa melihat
bayangan mereka Ling Kun-gi tahu bahwa kedua orang ini ada lah
Un It -kiau dan Kim-hoau-llok--long siau Ki-jing.
Dia melenggong mendengar percakapan mereka. batinnya:
"Kiranya mereka sedang menguntitku, jangan anggap aku ini
muridnya Hoan-jiu-ji-lay."
Waktu dia tiba di Thay-khong, hari sudah maghrib, rumah2
sudah pasang lentera. Thay khong merupakan kota persimpangan
jalan utara dan selatan, meski kota kecil, namun suasana kota
cukup ra ma i dala m kota kecil ini terdapat tiga buah hotel.
Ling Kun-gi putar kayun sebentar dijalan raya, ia mene mukan
jejak si baju biru bersa ma pe mbantunya, mereka tengah ma kan
minum di sebuah restoran, tapi dia tidak masuk ke sana, Dengan
menghabiskan beberapa keping uang receh, dia mengorek
keterangan pelayan hotel, ternyata dengan mudah dan cepat sekali
dia menentukan te mpat di mana si mata satu menginap. .Itulah
sebuah losmen kecil yang kotor di gang yang melintang di sebe-lah
timur sana. Maka Kun-gi juga mondok di losmen kecil ini. Uang
me mang berkuasa, jangan kata manusia, setanpun doyan duit,
demikianlah pelayan losmenpun mengatur segala keperluan Ling
Kun-gi, dia dite mpatkan di ka mar seberang si mata satu.
Semala m suntuk tiada terjadi apa2, hari kedua pagi seka li
sebelum si mata satu bangun tidur, Ling Kun-gi sudah mendahului
mene mpuh perjalanan- setibanya di luar kota di sebuah te mpat.
Kun-gi ubah diri pula menjadi pedagang setengah baya.
Dari toko kelontong tadi dia se mpat me mbe li sebuah payung dari
kertas minyak, maka dia sembunyikan pedangnya di dala m payung,
payung di bungkus hingga cuma kelihatan gagangnya, orang tentu
takkan curiga ka lau dia me mbeka l senjata.
Dengan me manggul buntalannya, dia langsung menuju ke Hoay-
yang. Dari Thay-khong ke Hoay-yang jaraknya cuma tujuh li. setelah
menya mar jadi saudagar. sudah tentu dia tidak boleh jalan terlalu
cepat, dengan jalan lambat, diharap si mata satu dapat menyusul
dirinya.
Tengah hari ia istirahat di Lo-bong-kip, tak lama ke mudian
dilihatnya si mata satu lewat di depan warung dengan langkah
cepat. Kejap lain Ling Kun-gi juga sudah mene mpuh perjalanan
serta menguntit dari kejauhan-.
Sebelum petang dia tiba di Hoay- yang. Karena si mata satu
sudah sampai tempat tujuan, maka tidak berani berlaku lena, begitu
masuk kota dengan ketat dia me mbayangi gerak-gerik orang. Si
mata satu sebaliknya me mperla mbat langkah setelah berada dala m
kota, sambil berlenggang seperti tuan layaknya dia putar kayun
dijalan raya, akhirnya me masuki sebuah restoran berloteng yang
bernama Ngo hok ki.
cepat Ling Kun gi juga sudah berada di Ngo-hok-ki, sekilas
pandang, dilihatnya si mtaa satu duduk sendirian di meja timur yang
dekat jendela. maka dia me milih meja yang letaknya tidakjauh serta
pesan ma kanan-
Hari sudah gelap. tiba saatnya orang makan mala m, lenterapun
sudah dipasang terang benderang, maka ta mu2 yang mau isi perut
juga ber-duyun2 datang.
Si mata satu dengan asyiknya tenggak arak pesanannya, tapi
mata tunggalnya selalu plirak-plirik me mperhatikan setiap tamu
yang baru datang. Sudah tentu Kun gi tahu ma ksud orang, setelah
tadi putar kayun dijalan raya, kini si mata satu duduk di tempat
yang menyolok, ma ksudnya supaya menarik perhatian orang.
Karena Hoay- yang adalah tujuannya yang terakhir, entah kepada
siapa dia harus menyerahkan barang yang dibawanya?
Sudah tentu Kun-gi juga perhatikan setiap tamu yang datang,
namun para tamu sudah gant i berganti dan pergi datang, tapi
selama itu tiada satupun yang me ngadakan kontak dengan si mata
satu. Kini ta mu2 yang hadir sudah mula i berkurang, tingga l
beberapa orang saja. Agaknya si mata satu tidak sabar lagi setelah
me mbayar rekening bergegas dia turun dari loteng restoran-
Kun-gi juga bayar rekening dan menguntit dari kejauhan- Tidak
la ma mendadak si mata satu mem-percepat langkah, me mbelok dua
kali dari jalan raya yang satu kejalan raya yang lain, terus menyusur
ke arah selatan, dua li ke mudian keadaan di sini sudah mulai sepi
dan banyak belukar, tak la ma dia tiba di sebuah biara.
Tampak dia celingukan ke bela kang sebentar, mendadak dia
me lompat ke pagar te mbok terus turun di sebelah da la m. cepat
sekali Kun-gi juga menye-linap masuk ke dala m biara lewat samping
kanan, di atas tembok dia melihat si mata satu lewat pelataran terus
masuk ke da la m, sejenak dia merandek terus me masuki ruang
pendopo.
Ling Kun-gi tak berani ceroboh dan bertinda k la mbat, dengan
enteng dia mendahului merunduk masuk ke dala m ruang pendopo.
cepat matanya menje lajah sekelilingnya, segera ia melompat ke atas
besandar yang melintang tepat di tengah ruang itu. Gerak-geriknya
sungguh teramat cepat dan cekatan, ruang pendopo ini lebarnya
ada belasan tombak. Ling Kun-gi menyelinap masuk dari arah
kanan, untung kepandaian si mata satu rendah, su-dah tentu
sedikitpun dia tidak tahu.
Mungkin tadi terlalu banyak minum arak. setelah mene mpuh
perjalanan jauh, napasnya rada tersengal, maka begitu masuk
ruang pendopo, si mata satu terus menjatuhkan diri di atas meja
rebah celentang melepaskah lelah.
Tak la ma setelah dia rebah, mendada k di luar terdengar dua kali
suara jeritan rintihan tertahan- Malam sunyi senyap. maka keluhan
tertahan terdengar amat jelas, letaknya tidak terlalu jauh di luar
biara ini, mungkin orang itu kena dibokong orang dan jiwanya
terancam.
si mata satu berjingkrak kaget, lekas dia melompat bangun,
maka dilihatnya sesosok bayangan tinggi laksana setan tahu2 sudah
muncul di depan serambi ruang pendopo sana, lambat2 langkahnya,
me mburu ke ruang pendopo.
Kaget dan ketakutan si mata satu, tegurnya suara gemetar:
"Siapa ....?"
Dari tempat se mbunyinya, sebaliknya Ling Kun-gi dapat melihat
jelas bahwa pendatang ini adalah laki2 baju hijau yang lengan
kirinya pakai tangan palsu dari besi. Begitu masuk pendopo dia
lantas berhenti, suaranya dingin: " Kuantar surat untukmu, apa kau
ini si picak kanan-"
Mendengar orang datang mengantar surat, cepat si mata satu
menyongsong maju, katanya berseri ketawa: "Bukan, bukan,
hamba, ha mba picak kiri bukan picak kanan-"
Bayangan kurus tinggi mendengus sekali, dari dala m kantongnya
dia merogoh keluar sebuah sa mpul terus diangsurkan, katanya^
"Ambil"
si mata satu menerima dengan kedua tangan. Tanpa bicara lagi
bayangan kurus tinggi terus tinggal pergi.
Dia m2 Kun-gi me mbatin dite mpat sembunyinya: "cara sibaju
hijau mengantar surat mirip dengan caranya waktu me mberikan
surat kepada si baju biru kemarin mala m, surat itu tentu memberi
petunjuk ke mana harus menyerahkan barang yang dibawanya?
Mungkinkah belum sa mpai di tempat tujuan terakhir?"
Setelah terima surat, dengan sikap hormat si mata satu antar si
baju hijau pergi, setelah itu dengan seksama dia baca tulisan yang
ada di atas sampul surat itu, lalu kembali ketempat dia me-rebahkan
diri tadi "cret"., dia menyalakan api dan menyulut sebatang lilin-
Lalu dia menga mbil sebatang dupa wangi dan disulut terus
ditancapkan pula di atas Hiolo, setelah itu dengan laku hormat dia
taruh sampul itu di atas meja.
Kebetulan Ling- Kun-gi se mbunyi di atas belandar, melihat
kelakuan si buta yang aneh dan ganjil ini, dala m hati dia merasa
heran, dia pu-satkan ketajaman matanya me mandang kearah
sampul di atas meja. Lwekangnya me mang sudah tinggi, walau
jaraknya cukupjauh, namun huruf di atas sampul masih bisa
dibacanya dengan jelas. Bunyinya de mikian: "Sulut dupa di atas
Hiolo, habis sebatang baru buka sa mpul ini"
Entah apa maksud dan perma inan aneh apa pula yang dilakukan
penulis surat ini? Yang terang terasa oleh Kun-gi bahwa bungkusan
kertas yang mereka kirim dengan cara misterius ini tentu
me mpunyai arti yang a mat besar.
Dupa itu terbakar dengan cepat, asap dupa mengepul me menuhi
ruangan pendopo, tapi asap itupun cepat sekali sudah sirna tertiup
angin, tinggal bau wangi saja yang masih merangsang hidung.
Agaknya dupa wangi ini terbuat dari kayu cendana asli. Melihat
dupa sudah terbakar habis, simata satu lantas ambil sa mpul terus
dirobek.
cepat Kun-gi menunduk, dilihatnya si mata satu mengeluarkan
secarik kertas, di dalam lipatan kertas terdapat sebutir pil warna
putih, di atas kertas tertulis sebaris huruf2 yang berbunyi: "Le-kas
telan pil ini, keluar dari pintu selatan, sebelum kentongan kelima
sudah harus tiba di Liong-ong--bic"
Me megangi pil putih itu, agaknya si mata satu ragu2, mendadak
tampak tubuhnya sempoyongan, hampir saja dia roboh terjungkal.
lekas dia jejal-kan pil itu ke dala m mulut, sekalian dia raih kertas itu
terus dibakar.
Pada saat itulah, bayangan seorang tiba2 terjungkal jatuh dari
belakang patung pemujaan, "Blang" roboh terkulai tak bergerak
setelah mengge linding dua ka li.
Si mata satu a mat terkejut, dia me lompat mun-dur beberapa
kaki, dengan mata me lotot dia mengawasi sosok tubuh yang
meringkal dilantai itu.
Ternyata yang terjungkal jatuh dari belakang patung adalah
seorang gadis yang berpakaian coklat, kedua matanya terpejam,
rebah tanpa bergerak sedikitpun. Di pinggangnya kelihatan terselip
sebatang pedang pendek. jelas iapun seorang persilatan-
Melihat gadis itu rebah terkulai tak bergerak lama2 bangkit
keberanian si mata satu, katanya dengan tertawa dingin: "Pantas
aku diperintah me mba kar dupa wangi baru boleh me mbuka surat
ini, ternyata me mang ada orang menguntit diriku, pihak atas
me mang ada perintah, kalau temukan orang menguntit boleh bunuh
saja habis perkara, nona cantik, jangan kau sa lahkan aku berlaku
kejam ........." dari samping tubuhnya, dia mencabut sebilah golok
terus mendekati. Mendadak seorang me mbentak keras: "Berdiri"
Terasa angin menya mber, tahu2 di depan si mata satu sudah
berdiri la ki2 setengah baya dengan wajuh kereng, setajam pisau
matanya menatap si mata satu, bentaknya pula: " Tidak lekas kau
enyah?"
Sorot matanya cukup menggetarkan nyali, bentrok dengan sorot
mata orang, tanpa terasa si mata satu bergidik, ter-sipu2 dia
mengiakan terus putar tubuh dan lari sipat kuping.
Laki2 setengah baya ini adalah samaran Ling Kun-gi, dia tidak
hiraukan si mata satu, dia coba me meriksa si nona.
Kedua mata gadis baju cokelat terpejam, bulu matanya panjang
me lengkung, wajahnya cantik tam-pak masih ke-kanak2an, pipinya
merah seperti buah apel yang masak. hidungnya mancung,
mulutnya kecil, usianya paling2 baru tujuh be lasan-
Sekirang Ling Kun-gi baru mengerti bahwa dupa yang disulut si
mata satu tadi kiranya dupa wangi yang me mbiuskan- Tapi kenapa
dirinya tidak kurang suatu apa2. Bukankah dirinya jauh lebih banyak
menghirup asap dupa di tempat yang lebih tinggi? Beberapa kejap
dia berdiri me lenggong, akhirnya dia ingat akan kantong sula m
pemberian Un Hoan-kun, bukankah di dala mnya berisi obat2an
piranti menawarkan obat bius. Lekas dia keluarkan kantong sula m
itu, setelah ikatan teratas dia buka, di dalamnya berisi sebuah botol
gepeng warna pu-tih halus.
Begitu botol gepeng dikeluarkan, bau harum yang menyegarkan
seketika merangsang hidung, ter-nyata di atas tutup botol terdapat
lima lubang kecil yang berbentuk menyerupai bunga bwe, bau
harum teruar dari lubang2 kecil2 ini. Waktu dia teliti lebih lanjut,
tepat diperut botol gepeng ini terukir tiga huruf Jing-s in-tan-, di
bawahnya terdapat sebaris huruf2 kecil yang berbunyi: "Buatan
khusus keluarga Un di Ling- la m."
cepat Kun-gi buka tutup botol kecil ini ternyata terdiri dari dua
bagian- lapisan atas berisi puyer warna kuning, lapisan kedua berisi
beberapa pil warna hitam sebesar biji kapok. Sekarang Ling Kun-gi
baru mengerti, bahwa puyer warna kuning itu adalah obat penawar
bau wangi yang me mabukkan, ma ka diatas tutup botol di beri
lubang supaya bau harum penawar ini dapat teruar keluar, oleh
karena itu botol ini harus di simpan da la m kantong benang sula m
dan digantung di atas leher, cukup mengendus bau harum yang
teruar dari tutup botol, segala obat bius yang wangi memabukan
akan menjadi tawar dengan sendirinya. Sementara pil hita m di
bagian bawah itu adalah obat penawar yang harus ditelan-
Jadi gadis baju coklat ini terbius oleh bau wangi, cukup asal botol
ini di ciumkan ke dekat hidungnya, tak usah diminumi pil tentu
sebentar akan siuman- Betul juga, kira2 sepeminum teh ke-mudian,
pelan2 gadis baju cokelat mulai me mbuka kedua mata.
Melihat dirinya rebah di lantai, di sa mpingnya berjongkok seorang
laki2 yang tak dikenalnya, ke-ruan kagetnya bukan main, lekas si
nona me mba lik tubuh dan berduduk seraya berteriak: "Siapa kau?
Kau .... apa yang kau lakukan .... " wajahnya pucat, sctelah duduk
baru dia melihat Kun-gi me megangi sebuah botol, sikapnya jelas
tidak ber-maksud jahat.
Kun-gi unjuk senyum manis, katanya: "Nona jangan takut,
barusan kau terbius oleh bau wangi, akulah yang me mberikan obat
penawarnya."
Merah kedua pipi si gadis, kedua biji mata-nya terbeliak
mengawasi Kun-gi, lekas dia me mbungkuk badan, katanya: "Jadi
paman yang meno-longku, entah bagaimana aku harus menyatakan
terima kasih."
Panggilan se kilas me mbuat Ling Kun--gi melenga k. tanpa segera
dia sadar bahwa dirinnya sedang menya mar pedagang setengah
baya, tanpa terasa dia tersenyum lebar, ujarnya sambil mengelus
jenggot pendek dibawah dagunya: "Nona jangan sungkan,
kebetulan cayhe lewat sini, kulihat si mata satu itu hendak
mence lakai nona. sudah tentu aku t idak boleh berpe luk tangan?"
04
Terbayang rasa kaget dan heran pada wajah si gadis, katanya,
"pa man bilang si matu satu itu hendak mencelakai aku? Padahal aku
tidak ber- musuhan dan tiada dendam, kenapa dia hendak
me mbunuhku?"
"Karena kuatir rahasianya bocor, membunuh nona untuk
menutup mulut," sahut Kun-gi. -kedip2 mata si gadis baju cokelat,
kata-nya ketarik: "Dia punya rahasia apa? Jahat betul orang itu."
Berhadapan dengan gadis yang lucu dan masih punya bersifat
kanak2, suaranya merdu lagi, tanpa terasa Kun-gi sampa i mela mun.
Melihat Kun-gi menatap dirinya dengan pandangan aneh, merah
pula muka si gadis, dengan lirih dia berte-riak: ....
Teriakan ini me mbuat Ling Kun-gi tersentak kaget, sadar akan
sikapnya yang tidak wajar barusan, seketika mukanya terasa panas,
dia tertawa tawa, tanyanya: "Bagaimana nona bisa sembunyi
seorang diri di sini?"
"Sering pa manku bilang, hotel bukan penginapan yang baik bagi
seorang gadis yang mene mpuh perjalanan seorang diri, katanya
bisa dihina dan dirugikan orang lain, maka aku pilih biara ini... "
Ling- Kun-gi tertawa, ujarnya: "Akhirnya kau lihat si mata satu itu
me lompat tembok masuk ke mari, maka kau lantas sembunyi di
belakang patung."
"Ya," mata si nona berputar, lalu katanya: "kini teringat olehku,
sebelum si mata satu masuk ke mari, jelas kulihat bayangan orang
berkelebat sekali terus menghilang, se mula kukira pandanganku
yang kabur, ternyata paman adanya, jadi kau menguntit si mata
satu, betul tidak?"
Dia m2 Kun-gi pikir gadis ini cukup cerdik dan pintar, ma ka
dengan tertawa dia berkata: "cayhe hanya ketarik saja dan ingin
tahu."
Bahwa Ling Kun-gi ternyata betul menguntit si mata satu, jadi
tebakkannya tepat, seketika si gadis baju coklat berjingkrak girang,
tanyanya cepat :"Ya, tadi paman bilang karena kuatir rahasianya
bocor, maka si mata satu hendak me mbunuhku, soal apa pula yang
me mbuat pa man ketarik sa mpai menguntit dia ke dala m biara ini?"
"Dia ditugaskan mengantar sesuatu benda, kulihat gerak-
geriknya aneh dan me ncuriga kan, ma ka kuikuti dia."
si gadis mendesak lagi: "Barang apakah yang dia antar-?"
"cayhe juga tidak tahu, selanjutnya tak perlu aku menguntitnya
lagi."
"tahu ke mana tujuan selanjutnya."
"Kalau t idak salah harus dikirim ke Liong--ong-Bio .... " tiba2 dia
tersentak sadar, soal ini sebetulnya jangan diberitahu kepadanya,
dunia persilatan penuh liku2, kalau gadis ini sa mpai ketarik dan ikut
menguntit si mata satu serta kebentrok si baju biru, pasti celaka lah
dia. Maka lekas dia tutup mulut, lalu alihkan pe mbicaraan,
tanyanya: "cayhe mohon tahu siapa na ma harum nona?"
"Aku she Pui....." sahutnya, pikirannya masih tidak me lupakan
barang yang diantar si mata satu, maka dia ba las bertanya pula:
"Liong ong-bio diluar pintu selatan kota, paman mari kita kuntit dia,
pasti bisa menyusulnya."
"Hanya ketarik oleh gerak-gerik si mata satu ma ka aku ke mari
untuk melihatnya. Setiap golongan dan aliran persilatan di Kangouw
umumnya punya rahasia masing2, orang dilarang mengetahui,
apalagi Licng-ong-Bio dari sini ada tujuh li jauhnya, aku punya
urusan lain, kukira nona jangan mene mpuh bahaya?"
Si gadis baju cokelat kurang senang, katanya menjengek:
"Me mangnya aku takut, paman tidak mau pergi, biar aku pergi
sendiri. Em, dia berani kerjai aku dengan dupa wangi, aku harus cari
perhitungan sa ma dia, jangan dikira aku dapat dihina dan
dipermainkan."
Lekas Ling Kun-gi me mbujuk: "Dia sulut dupa karena kuatir
orang mencuri lihat rahasianya, tujuannya bukan hendak me ncelaka i
nona, kenapa nona harus berurusan dengan orang kasar seperti dia.
Nona mene mpuh perjalanan seorang diri, tentunya punya urusan
juga, lebih baik mala m ini istirahat di sini, selesaikan dulu urusanmu
sendiri"
"Aku keluar ber-ma in2, aku tidak punya urusan apa2, paman take
mau pergi, permisi a ku mau pergi sendiri," habis berkata si nona
bangkit terus mau pergi. Tapi seperti mendadak teringat apa2, kaki-
nya berhenti serta berpaling, tanyanya mengawasi Kun-gi:
"Maaf paman, aku lupa mohon tanya nama pa man-?"
"cayhe Ling Kun-gi dari Ing-Ciu."
"Akan selalu kucatat dalam hati, sa mpai ber-te mu, pa man Ling"
Sekali bilang pergi terus pergi, keras juga tabiat nona ini, Kun-gi
jadi menyesal, kenapa tadi dia me mberitahu persoalan sebenarnya
kepadanya, se orang gadis belia, kalau sampai mengala mi bahaya,
bukankah secara tidak langsung aku yang mence-lakai dia? Ma ka
cepat dia berteriak: "Nona Pui, tunggu sebentar"
Si gadis sudah tiba di luar pintu, dia behenti dan bertanya:
"Paman Ling masih ada urusan apa lagi?"
"Kalau nona ingin pergi, baiklah bersama aku saja," ujar Kun-gi. .
Sudah tentu gadis baju cokelat kegirangan. katanya cekikan-
"Paman Ling, kau sungguh baik..." -.Tawanya segar bak sekuntum
bunga me kar, pipi-nya yang merah tersungging dua pipit di kanan
kiri. Begitu anggun me mpesonakan sa mpai Ling Kun-gi t idak berani
me lihatnya lama2, katanya sambil me lengos: "Marilah lekas
berangkat."
Gadis baju cokelat me ngangguk. mereka menuju ke pe karangan
luar, agaknya si gadis sengaja hendak pa mer, tiba2 dia meluncur
mendahului ke depan, dengan enteng ia melayang ke atas terus
hinggap di atas tembok. Gerakannya ini adalah ci-yan--liang-poh
(sarang walet mela mpaui gelombang), tangkas dan cekatan sekali
gerak geriknya.
Ling Kun-gi ikut enjot tubuhnya, katanya sambil tertawa lantang:
" Hebat benar Ginkang nona Pui." Gadis mana yang tidak senang
dipuji. Dengan ringan si gadis me luncur turun di luar te mbok, kata-
nya berpaling dengan senyum bangga: "Pa man Ling terlalu
me muji"--- Sirap kata2nya mendadak dia menjerit me lengking,
wabahnya pucat ketakutan dan ngeri.
"Nona kenapa?" tanya Kun-gi.
Si gadis tidak berani berpaling, katanya sambil menuding ke
ujung te mbok sana: "Di sana ada dua orang."
Geli Ling Kun-gi, batinnya: "Nona kecil biasanya me mang bernyali
kecil" Dengan sabar dia me mbujuk: "Nona tida k usah takut, biar
kulihat kesana." Ta mpak di kaki te mbok sana me mang meringkuk
dua bayangan orang. Betapa tajam pandangan Ling Kun-gi, sekilas
pandang dia lantas mengenali salah satu di antaranya adalah laki2
baju abu2 yang dilihatnya di warung makan di Liong-kip, seorang
lagi tentu te mannya.
Mendadak Kun-gi ingat, sebelum laki2 baju hijau muncul, di luar
ada dua kalijeritan orang, mungkinkah kedua orang ini sudah
dikerjai musuh?
Bergegas dia me lompat maju terus me meriksa de-ngan
berjongkok, tampak kedua orang ini meringka l mirip udang kering,
yang dijemur di panas matahari, kepala dan mukanya berubah
kehijauan, jelas mereka me mang kena serangan racun-
Topi bulu yang dipa kai la ki2 baju abu2 tampa k terpental jatuh,
tepat di tengah ubun-ubun kepalanya ada tanda2 bekas keselomot
dupa, kiranya dia seorang Hwesio. Tergerak hati Kun--gi, pikirnya.
Hwesio Siau lim si, mungkin barang yang diantar si mata satu ada
sangkut pautnya dengan lenyapnya Loh-san Taysu, pimpinan Yok-
ong-tian dari Siau-lim-pay? "
"Paman Ling," tanya gadis baju cokelat dari kejauhan.
"Bagaimana kedua orang itu?"
Pelan2 Ling Kun-gi berdiri, katanya: "Sudah meningga l."
"Apakah mereka terbunuh si mata satu?"
Kun-gi rnengeleng: "Bukan, pe mbunuhnya ada orang lain-".
"Apakah orang yang mengantar surat itu?" tanya gadis itu,
"tentunya untuk menyumbat mulut mereka? Kulihat dala m perist iwa
ini pasti ada latar belakang yang besar artinya."
Kuatir orang bertanya berkepanjangan, lekas Kun gi berkata:
"Marilah berangkat" Mereka berputar ke pintu selatan, setelah
me lompat ke luar dari tembok kota, terus menuju ke arah selatan
dengan langkah cepat.
Jarak enam-tujuh puluh li tidak terhitung jauh bagi mereka.
untung mala m gelap. di jalanan sepi, maka dengan leluasa mereka
dapat menge m-bangkan ilmu entengkan tubuh mene mpuh
perjalanan dengan cepat.
Betapapun Lwekang si gadis jauh lebih rendah, setelah ber-lari2
sekian la manya, pipinya sudah merah, napasnya mulai sengal2, tapi
dia masih berlari setaker kekuatannya.
Kun-gi melihat keadaan orang mulai keletihan, hatinya menjadi
tidak tega, terpaksa dia kendorkan larinya, dengan begitu barulah si
nona dapat mengimbanginya.
Agaknya sigadis tahu diri, alisnya berjengkit, katanya dengan
muka merah, "Pa man Ling, agaknya kepandaian silat mu tidak lebih
rendah dari pa manku,"
Siapa pa mannya, sudah tentu Ling Kun-gi tidak tahu?
Tanyanya dengan tersenyum: "Apakah pa manmu berkepandaian
tinggi?"
"Sudah tentu kepandaian silat paman tera mat tinggi, aku dan
Piauci sama2 belajar kepadanya, Piauciku malah lebih hebat
daripada ku, mungkin aku yang terlalu bodoh."
"Usia nona masih begini muda, me miliki ke-pandaian setingkat ini
juga sudah lumayan-"
Kata gadis baju coke lat dengan berseri lebar: "Piauci setahun
lebih tua daripada ku, bukan saja wajahnya secantik bidadari,
kepandaiannyapun jauh lebih tinggi, terus terang aku tunduk lahir
batin terhadapnya. Paman Ling, mungkin kau belum tahu betapa
anggun dan cantiknya, siapapun pasti tergila2 kepadanya."
Tanpa ditanya dia mengoceh dengan lincah dan Jenaka,
suaranya me mang merdu dan lucu, dari tingkah lakunya ini dapatlah
disimpulkan bahwa gadis ini terlalu polos, bersih dan halus budi
pekertinya. Dengan jujur dia puji Piaucinya bak bidadari segala,
yang terang dia sendiripun molek dan lincah penuh ga irah.
Begitulah se mbari mene mpuh perjalanan, mereka ngobrol
panjang lebar, setiba di Liong-ong-blo, waktu sudah mende kati
kentongan keempat. Liong--ong-Bio berada di pusat kerama ian
sebuah pasar yang terletak di selatan kota Hoay-yang, di antara
kota Sim-kiu, di dala m kota kecil ini kira2 dihuni dua ratus keluarga.
Mereka langsung menuju ke arah barat dan tiba di Liong-ong-Bio
(biara raja naga).
"Biara raja naga" ini terasa sepi, liar dan bobrok. te mbok bercat
merah, letaknya dipinggir hutar menghadap ke sunga i, dulu te mpat
ini me mang merupa kan pusat kerama ian penduduk sekitarnya, tapi
setelah sekian puluh tahun tak terurus, keadaan sudah serba bobrok
dan rusaki
Setiba mereka di depan pintu biara, tampak tak jauh sana
mengge letak sesosok tubuh orang, dalam kegelapan tampa k
meringkuk dia m tak ber-gerak.
Gadis baju cokelat kaget, langkahnya merandek. tanyanya:
"Paman Ling, menurut kau orang itu sudah mati atau masih hidup?"
Sudah tentu Kun gi juga ingin tahu, lekas dia me langkah maju
serta memba lik tubuh orang. se-ketika dia bersuara heran, katanya:
"Kiranya si mata satu" me mang mayat yang meringkuk kaku di
tanah ini betul adalah si mata satu yang mere ka kunt it.
Kulit kepala dan mukanya berwarna hitam, darah hitam meleleh
dari mulutnya, mata kirinya yang tunggal melotot keluar,
keadaannya sungguh seram menakutkan-Jelas dia mati keracunan-
Mungkinkah laki2 baju hijau pula yang me mbunuhnya? De mikian
batin Ling Kun-gi. Dengan teliti ia me meriksa, ternyata tiada bekas
luka apa-pun dibadan si mata satu. Selangkah mereka datang
terlambat, tahu2 orang sudah binasa, ini berarti sia2 menguntit
selama dua hari ini.
Si gadis berdiri jauh, melihat Kun-gi dia m saja, dia berseru tanya:
"Parnan Ling, kau kenal dia?"
"Inilah si mata satu," sahut Ling Kun-gi.
"o, dia sudah mat i?" tanya si gadis. Ling Kun-gi me ngangguk.
"Setelah barang diantar sampa i tempat tujuan, sudah tentu dia
harus dibunuh juga untuk menutup mulutnya," kata si gadis pula.. .
Tergerak hati Ling Kun-gi, cepat ia meraba dada si mata satu,
ternyata barang yang tersimpan di kantongnya sudah diambil orang.
Pelan2 dia berdiri, tanpa terasa ia menggerunde l: "Keja m juga cara
mereka bekerja."
"Apa katamu pa man Ling?" tanya si gadis.
"Dia mati keracunan, mungkin pil yang ada surat tadi juga
beracun."
"Bukankah pil itu sebagai penawar dupa wangi itu?"
"Kalau dugaanku tidak me leset, pil itu pasti terdiri dari dua
lapisar, lapisan luar me mang penawar obat bius, sedang lapisan
dalam adalah racun, ma lah waktu juga sudah diperhitungkan
dengan tepat, bila dia tiba di Liong-ong Bio baru racun akan
bekerja."
"Barang itu sudah dia mbil orang, pa man Ling, perlukah kita
meneruskan pengejaran ini?"
Karena menduga barang yang terbungkus kertas itu ada sangkut
pautnya dengan Loh-san Taysu yang lenyap tak keruan paran itu,
sudah tentu Ling Kun-gi tida k akan menghentikan usaha
penyelidik,an ini.
Si mata satu memang sudah mati, tapi barang yang ia bawa pasti
belum mencapai tujuan terakhir, karena kalau barang itu berakhir
sampai di Liong--ong-blo, tak mungkin mereka me mbiarkan mayat
si mata satu menggeletak de mikian saja dan kalau barang itu belum
berakhir sa mpai di sini, dala m wa ktu sesingkat ini orang
menga mbilnya tentu belum pergi jauh, meski tida k diketahui siapa
pula pengganti si mata satu tapi asal dia bisa mene mukan jeja k
sibaju hijau dan pe mbantunya, tidak sukar untuk mene mukan jeja k
si pengantar barang rahasia itu
Maka perasaannya menjadi longgar, katanya kemudian: "Aku
hanya ketarik saja, kalau tadi nona Pui tidak ingin ke mari, cayhe
juga tidak ingin menca mpuri urusan orang lain. Kini si mata satu
sudah mati, sumber penyelidikan sudah putus, kemana pula mencari
jejaknya?" .... lalu dia pandang si gadis serta mena mbahkan: "Nona
Pui, dunia persilatan penuh diliput i bahaya, seorang diri, umpa ma
kau berkepandaian tinggi, na mun kau be lum berpengala man, kukira
kaujangan main se lidik terhadap rahasia orang lain, kuharap nona
langsung pulang saja, aku masih punya urusan lain, tak bisa
mengiringi kau lagi, hari segera akan terang tanah kota Sim-kiu tak
jauh di depan sana, mari kuantar nona masuk kota, di sana nanti
kita berpisah."
Si gadis berkedip. katanya sambil cekikikan: "Pa man Ling, kalau
kau punya urusan boleh silahkan saja, aku toh bukan anak kecil,
bisa jalan sendiri tak perlu kau antar aku."
Tanpa menunggu jawaban Ling Kun-gi dia terus putar tubuh
serta mela mbai tangan, serunya: "Paman Ling, aku berangkat lebih
dulu."
Bayangan nona Pui akhirnya ditelan kegelapan, hati Ling Kun-gi
seperti kehilangan apa2, terasa hambar. Mendadak disadarinya
bahwa dirinya telah menyukai nona jelita berpaka ian cokelat yang
tidak diketahui na manya ini.
Hari sudah mendekati fajar, angin sepoi2 sejuk. Kun-gi
me mandang sekitarnya sejenak, mendadak tubuhnya mela mbung
tinggi la ksana burung elang, sedikit kaki menutul te mbok. badannya
mengapung lebih t inggi pula terus meluncur ke wu-wungan, dia
lewati pekarangan menuju ke belakang dan lompat turun di emper
rumah, tanpa berhenti dengan sebat dia menuju pekarangan
belakang Liong-ong-Bio ternyata terdiri dari dua bangunan te mpat
pemujaan, jadi tiada ka mar untuk tempat tinggal.
Ling Kun-gi turunkan buntalannya dan duduk diundakan batu,
otaknya bekerja menerawang situasi, dalam hati dia ber-tanya2
siapa pengganti si mata satu, lalu ke mana pula pengantar barang
dalam buntalan kertas itu? Dari sini ke barat adalah Siang- cui, ke
selatan adalah Sim-kiu dan Leng-cwan. ke timur adalah Thay-go dan
Put- yang. Sejak mulai Kay-hong. mereka menuju ke arah tenggara,
jadi kalau dirinya menuju ke Thay-ho atau Put- yang tentu tidak
akan me leset. Setelah ambil keputusan, dia menengadah melihat
cuaca, selarik cahaya emas sudah terpancar di ufuk t imur.
Lekas dia merogoh kantong, mengeluarkan sebuah kotak kecil,
inilah bahan obat2an peranti merias yang sela lu dibawanya. Dia
maklum si baju biru dan pe mbantunya sepanjang jalan melindungi si
pembawa barang secara dia m2, terpaksa dirinya harus sering ubah
bentuk dengan penya maran yang berbeda baru bisa me ngelabui
orang.
Dari dala m kotak dia ke luarkan sebutir pil untuk cuci muka,
setelah digosok ditelapak tangan terus dipoleskan kemuka sendiri
sambil berkaca mirip gadis je lita yang sedang bersolek saja, lekas
dia sudah me mbersihkan obat2an yang mengubah bentuk
wajahnya.
Kini dia sudah kemba li pada wajah aslinya sekejap dia
mengawasi wajah sendiri pada kaca bundar kecil yang dipegangnya,
lalu dia mbilnya sebiji obat bundar warna merah gelap. Baru saja dia
hendak mengusap muka sendiri mendadak didengarnya tawa cekikik
lirih tertahan diatas tembok,
Keruan Ling Kun-gi terperanjat. "Siapa?" bentaknya sa mbil berdiri
"Akulah pa man Ling" terdengar suara merdu menyahut.
Tertampak bayangan ramping me layang turun dari atas te mbok,
Ling Kun-gi me lenggong, tanyanya: "Kau belum pergi?"
Gadis baju cokelat berdiri di depannya, men-dadak dia menunduk
dengan muka jengah, kata-nya sambil me mbanting kaki: "Kiranya
kau menya mar yang kulihat tadi bukan wajah aslimu maka na ma
Ling Kun-gi yang kau sebut tadi pasti jugabukan na ma aslimu."
Ling Kun-gi menjadi kikuk. katanya malu2 "Aku me mang betul
Ling Kun-gi."
Gadis baju cokelat mencibir bibir, katanya "Siapa tahu kau ini
tulen atau palsu?"
"Terserah kalau nona tida k percaya," ujar Kun-gi.
Tiba2 gadis baju cokelat unjuk tawa manis, katanya: "Kenapa
tadi kau mengelabui aku?"
"Tiada ma ksudku menge labui nona."...
"Kalau tida k, kenapa tidak terus terang padaku, pakai menya mar
segala?" .
"Berkelana di Kangouw dengan menya mar, di perjalanan akan
jauh lebih leluasa, tidak menarik perhatian orang."
"Kulihat pasti kau menye mbunyikan sesuatu, apakah karena
menguntit si mata satu maka kau merasa perlu menya mar?"
Melihat sikap orang yang polos dan Jenaka. tidak tega Kun-gi
berpura2, katanya sambil manggut2: "Benar, aku me mang sedang
menguntil si mata satu."
Bahwa tebakannya tepat pula, sungguh senang hati si gadis,
katanya cekikikan: "Jadi kau sudah tahu barang apa yang dia
antar?"
"Aku betul belum tahu."
"Apakah kau sudah tahu mereka dari golongan ma na?"
"juga belum je las bagiku."
"Kalau kau t idak tahu apa2, buat apa kau mengunt it dia?"
Terpaksa Kun gi tuturkan pengala mannya, di Kay-hong tentang
seorang salah ala mat me mberi sepucuk surat kepadanya.
Asyik dan terbeliak si gadis mendengarkan kisahnya, katanya
sambil keplok2: "Sungguh menarik. pa man . . dia sudah biasa
me manggil pa man Ling, tanpa terasa dia hampir mengguna kan
sebutan itu pula, untung dia lekas sadar dan menghentikan
panggilannya.
"Kenapa tidak panggil pa man Ling pula ke-padaku?" goda Kun-gi.
"Siapa sudi panggil kau pa man?" jengek si gadis sa mbil me lerok.
"Usia mu beberapa tahun lebih tua belum setimpal kau jadi pa man,
kalau jadi Ling-toakosih boleh saja." Namun segera iapun sadar
telah kelepasan omong, wajahnya menjadi merah. lekas dia
mena mbahkan: "Aku juga tak sudi pang-gil kau Ling toako."
"Terserah maupanggil apa," ujar Kun-gi tertawa geli. "Hari sudah
terang tanah, tak baik kita la ma2 di sini, tunggulah sebentar setelah
aku ra mpung menyamar.".
"Kau boleh tetap menyamar, aku toh tidak mengganggumu" ujar
si gadis ale man.
Tanpa buang wa ktu, Ling Kun-gi hancurkan pil obat di telapak
tangannya terus dipoleskan ke muka sendiri. Dala m sekejap mata,
wajahnya yang halus putih dan cakap telah berubah jadi merah
gelap berusia setengah baya.
Si gadia menyaksikan dengan mata terbelalak tanpa berkedip dia
awasi muka Ling Kun-gi, kata-nya tertawa: "sungguh
menyenangkan permainan ini, tak ubahnya seperti anak perempuan
bersolek."
Ling Kun-gi tida k hiraukan ocehannya, dari kotak kecilnya dia
keluarkan pula sekeping arang, sebelah kanan pegang kaca, diaores
kedua alisnya menjadi lebih tebal, kini dia betul2 berubah jadi yang
lain-
Si nona jadi ketarik. tanyanya: "IHei, kau pandai tata rias, dari
siapa kau be lajar?"
Ling Kun gi bereskan kotak kecil dan disimpan ke dala m baju,
katanya tertawa: "Sudah tentu belajar pada Suhu."
"Siapakah gurumu?"
"Maaf, guruku pantang diketahui orang, tak bisa kujelaskan-"
Kini hari betul2 sudah terang, kuatir mayat si mata satu
ditemukan orang, maka Kun-gi mendesak: "Jangan lama2 di sini,
nona tiada urusan, boleh sila kan pergi."
lalu dia me langkah lebar ke luar biara. "E, eh, tunggu" seru si
nona mengejar.
"Nona masih ada urusan apa?" tanya Kun-gi sa mbil berpaling.
" Kenapa kau tida k menungguku?"
"Nona mau ke ma na?^
"Kau menya mar lagi, bukankah kau henda k mene mukan
pengejaranmu?"
"Betul, kenapa?"
"Aku ikut, boleh tidak?"
Kun-gi tertegun, sahutnya menggeleng: "Jangan, nona cantik
dan suci, mana boleh seperjalanan ber-sa maku?"
"Kau tidak sudi jalan bersa maku, kenapa kau tuturkan se mua
kisah ini?" si gadis uring2an-
Ling Kun-gi me lenggong, alisnya berkerut, sa-hutnya: "Kan nona
yang tanya jadi kujelaskan."
"Maka itu, aku harus ikut kau."
"Tida k. Kangouw banyak diliputi kejahatan, nona jangan
mene mpuh bahaya, dan lagi tidak leluasa nona berjalan bersa maku
...."
"Tida k boleh. tidak le luasa lagi," omel si nona dongkol, "yang
terang kau tidak sudi berjalan dengan aku . . . . " tiba2 dia putar
tubuh terus berlari pergi sambil menutup muka dengan kedua
tangan-
Ling Kun-gi hanya geleng2, dengan langkah ce-pat dia berjalan
keluar. Tengah hari dia tiba di perbatasan propinsi An-hwi. Tengah
ia ayun langkah, tiba2 didengarnya dari jalanan kecil sana seorang
berteriak:
"Bakpau . . . , sic . . . . "
Seorang laki2 berpakaian celana pendek berbaju kutang
mendatangi sa mbil me ma nggul sebuah keranjang, setiba di depan
Ling Kun-gi dia berhenti dan menyapa sambil tertawa: "Tuan ini
mau beli bakpau, masih panas "
Kun-gi mengge leng, belum lagi dia buka suara, mendadak
dilihatnya selarik sinar biru berkelebat, sebatang paku beracun
me luncur ketenggorokannya. Serangan gelap ini dilakukan dala m
jarak dekat dan cepat serta tak terduga lagi. Tak pernah Kun-gi
menyangka, maka dia tidak bersiaga, tahu2 pen-jual bakpau ini
menyerang dengan senjata rahasia. dalam seribu kerepotan lekas
dia menjengkang tubuh ke bela kang, sementara jari2 tangan kanan
terus menyelentik. "Triing", dengan tepat dia selentik pa ku itu.
Hatinya marah bukan main, bentaknya: "Tan-pa sebab kau
me lancarkan serangan kejam, apa tujuanmu?"
Begitu serangannya luput, tanpa menunggu Kun-gi bicara, tiba2
orang itu dorong kedua ta-ngannya, keranjang dia lempar ke arah
Kun-gi, berbareng dia melompat mundur, kejap lain tangan
kanannya sudah melolos sebilah golok baja yang berkilau
me mancarkan cahaya biru.
Pada saat orang ini me lompat mundur, dari dala m hutan
beruntun me lompat keluar dua orang lagi, dandanan mere ka sama,
tangan merekapun bersenjata golok yang serupa, kini mere ka
berdiri segi tiga mengadang di depan Ling Kun-gi.
Begitu keranjang itu menerjang de kat baru seenaknya Ling Kun-
gi kipatkan tangan, tiba2 keranjang mental balik meluncur lebih
cepat menerjang ke arah laki2 yang berdiri di tengah. Sudah tentu
bukan kepalang kaget si penjua l bakpau, ter-sipu2 dia me lompat
menghindar. Keranjang itu hancur berantakan menumbuk pohon
sebesar paha dan seketika tumbang dan mengeluarkan suara ge-
muruh.
Berubah air muka si penjual bakpau,jengek-nya: "Ternyata tuan
berkepandaian tinggi."
Terpancar sinar dingin dari biji mata Ling Kun-gi, katanya: "Apa
maksud kalian?"
Penjual bakpau bertanya: "Tuan mau ke mana?"
"Apa mau ke mana peduli apa dengan ka lian?^
"Ka mi bersaudara mEmang sedang menunggu kedatanganmu,"
ujar si penjual ba kpau.
Menegak alis Ling Kun-gi, tanyanya dingin: " Kalian tahu aku
siapa?
"Peduli siapa tuan, kami hanya kenal barang yang ada di dalam
kantongmu" jawab penjual bakpau.
"Kalian tahu barang apa yang ada di dala m kantongku?"
"Mata kami tidak kelilipan, tuan jangan pura2" ujar penjual
bakpau tergelak.
"Kalian tidak bisa me mbeda kan baik-buruk, pakai serangan
me mbokong lagi, kini mengadang jalanku pula, ingin kutanya, apa
sih sebetulnya maksud ka lian?"
Penjual bakpau tertawa dingin: "Bagus, seorang Kuncu tidak
me lakukan kerja gelap. maksud ka mi supaya tuan meninggalkan
barang yang kau bawa itu, sudah jelas bukan?."
Tegerak hati Ling Kun-gi, batinnya: "Aku hanya me mbawa sebutir
mut iara warisan keluarga serta kantong sulam pe mberian, Un Hoan-
kun, kalau ketiga orang ini bukan me ngincar Pi-tok-cu, (mutiara
penawar racun), tentw mereka diutus Siau Ki-jing untuk merebut
kantong sula m pe mberian nona Un itu."
Maka mendadak , dia tertawa keras, katanya: "Betul, barang itu
me mang kubawa, entah.. cara bagaimana kalian henda k
menga mbilnya?"
"Tuan ingin supaya ka mi paka i kekerasan?"
"Me mangnya harus kuperse mbahkan dengan kedua tanganku?"
jengek Kun-gi.
"Bagus, keluarkan senjatamu."
"Kalian punya kepandaian apa boleh keluarkan se mua, tak perlu
aku pakai senjata."
Sadis sorot mata penjual bakpau, katanya menyeringai: "Baik,
hati2lah kau"
Mendadak kakinya bertindak selangkah, golok baja ditangannya
terayun, selarik sinar biru bagai kilat menya mber ke dada Ling Kun-
gi.
Berdiri alis Ling Kun-gi, katanya: "Kau masih terla lu jauh. Nah,
berdirilah yang betul" Badan sedikit miring, tahu2 tangan kirinya
sudah pegang pergelangan tangan penjual bakpau yang pegang
golok terus dia entakkan pula ke depan.
Penjual bakpau me njerit kaget, golok jatuh ke tanah, orang
nyapun sempoyongan mundur dan ha mpir saja terperosok jatuh.
Kedua temannya juga kaget, ditengah bentakan mereka serempa k
menubruk ma ju, dua golok me mbacok bersa ma dari kanan kiri.
Kun-gi tertawa dingin, bagai terbang tiba2 badannya berputar,
tak kelihatan bagaimana dia turun tangan, tahu2 kedua laki2
penyerang mengerang, disusul suara golok jatuh berkerontangan.
Kedua laki2 itu me lompat mundur dengan muka pucat dan
berkeringat dingin, tangan kiri pegang tangan kanan- Kiranya
tangan mereka yang pegang golok kena ditabas oleh telapak tangan
Ling Kun-gi, sakitnya bukan kepalang, walau mereka menggertak
gigi tidak sa mpa i menjerit kesakitan, na mun otot diataS jidat
kelihatan merongkol ke luar karena menahan sakit.
Seperti tidak terjadi apa2, Kun-gi berkata:
"Kalian masih ingin barang yang kubawa?" Mendadak sorot
matanya menatap penjual bakpau, muka berubah kereng, katanya
dingin: "Diantara kalian bertiga, mungkin kau adalah pimpinannya,
kau pura2 menjual bakpau, dengan senjata rahasia membokong
secara keji, main cegat dan minta bekal pula, dari senjata kalian
yang beracun itu cukup me mbuktikan bahwa setiap hari kalian pasti
kenyang melakukan kejahatan, kini kebentur ditanganku,
seharusnya akan kupunahkan kepandaianmu, tapi mungkin kalian
hanya di peralat orang lain, maka cukup sebelah lengan masing2
kubikin cacat sebagai hukuman-"
Belum lagi mereka gebrak satu jurus, tahu2 sebelah lengan
masing2 sudah dibikin cacat, keruan pucat pias muka ketiga orang,
namun sorot mata mereka menjadi buas dan denda m, kata si
penjual bakpau dengan menggreget dan me lotot: "Sebutkan
nama mu."
"Kalian belum setimpa l untuk mengetahui na maku."
Insaf kepandaian mereka bertiga terlalu jauh dibandingkan
orang, akhirnya sipenjual bakpau menggerung marah, cepat dia
bawa kedua temannya pergi. Tapi baru saja mereka putar badan,
lalu ber-diri tegak me matung dengan la ku sangat hormat.
Kiranya dari jalanan kecil di tengah hutan sana tampak
mendatangi seorang laki2 tua baju hitam. Muka orang tua yang
kurus ini hita m kering, ke-lihatannya kaku me mbeku, dingin tida k
menimbul-kan perasaan- Setelah dekat, matanya yang berbentuk
segi tiga berputar, akhirnya berhenti pada ketiga laki2 itu, suaranya
seperti keluar dari kerong-kongan jenazah: "Bagaima na? Kalian
tidak ma mpu bereskan dia, malah dia yang bereskan kalian?"
Penjual bakpau tadi me mbungkuk hormat, dia yang bersuara: "
Lapor cit-ya, bocah ini sukar di layani, lengan ka mi bertiga dibikin
cacat olehnya."
"Kalian me mang tida k becus" semprot laki2 tua kurus itu,
matanya melirik ke arah Ling Kun-gi, katanya pula: "Anak muda,
siapa na ma mu?"
Dingin dan angkuh sikap Kun-gi, ia berdiri menggendong tangan
sambil me nengadah, sahutnya: "cayhe ingin tahu lebih dulu siapa
nama mu."
Terbayang rona kejam pada wajah laki2 kurus, katanya: "Bagus,
anak muda mulut mu ternyata keras juga, pernahkah kau dengar
Kwi - kian - jiu Tong cit-ya?"
"cayhe belum pernah dengar" ujar Ling Kun-gi.
Kwi- kian jiu (setanpun sedih melihatnya) Tong cit-ya
menyeringai: "Agaknya kau bocah ini baru keluar kandang."
"Kaukah yang mengutus ketiga orang ini?" tanya Kun-gi.
"Betul," sahut Kwi-kian-jiu Tong cit-ya. "Lohu suruh mereka
menunggu di sini supaya kau tinggal-kan barang yang kau bawa."
"Sayang mereka tidak berhasil."
"oleh karena itu, terpaksa Lohu susul ke mari.."
"Kau sendiri me mangnya bisa berbuat apa?"
"Pertanyaan bagus," Kwi-kian jiu Tong cit-ya ter-kekeh2. "Lohu,
boleh menjawab pertanyaanmu, kalau ingin hidup tinggalkan
barangmu itu."
"Enak betul kau bicara."
"Maksud Lohu," kata Tong cit-ya, "kau melukai ketiga orangku,
ini boleh tidak usah diperhitungkan, tapi diantara jiwa dan barang
yang kau bawa itu kau harus pilih satu."
"Setan sedih melihat mu (Kwi-kian-jiu), tapi manusia belum tentu
takut me lihat mu," Kun - gi menyindir.
"Anak muda, kau tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi,"
habis kata2nya tiba2 Tong cit-ya berkelebat maju, tangan kiri
bergerak secepat percikan api, pundak Kun-gi dijadikan sasaran
ceng-keraman jarinya.
cengkeraman ini me mbawa kesiur angin kencang, tapi hanya
sekali ke lebat lantas lenyap. aneh dan cepat serta lihay sekali gerak
serangan ini.
Sejak tadi Ling Kun-gi sudah siaga dan menunggu, waktu tangan
Tong cit-ya beberapa senti dari pundaknya, mendadak kaki
menggeser dan badan berkelit, cengkeraman lawan dia hindari,
berbareng tangan kiri menabas miring balas menyerang.
Bahwasanya Tong cit-ya tidak pandang sebelah mata pada Ling
Kun-gi, ia yakin Cengkera mannya yang lihay itu biar jago2 silat Bu-
lim umum-nya jarang yang ma mpu menghindarnya, apalagi lawan
hanya seorang bocah yang baru berusia dua puluhan, sekali pegang
pasti teringkus dengan mudah?
Tak Nyana lawan hanya sedikit miring dapatlah mengela k dengan
mudah, keruan ia terkejut, lekas dia kerahkan tenaga dala m, siap
untuk me lancarkan kepandaian kebanggaannya Ngo-ting-kay-san-
clo (pukulan telapak tangan gugur gunung), sekali gebrak ia ingin
bikin ma mpus bocah ini.
Kejadian berlangsung teramat cepat, dlkala timbul niat jahatnya
itu, tahu2 Ling Kun-gi sudah menepuk dengan jurus Liong gi-
hunjong (Awan bergerak mengikuti langkah naga), damparan angin
kencang tahu2 menerjang dadanya.
Betapapun Kwi-kian-jiu Tong cit-ya seorang kawakan Kangouw
yang banyak berpengalaman, melihat gaya pukulan lawan serta
merasakan terjangan angin kencang ini, lekas dia kerahkan tenaga
di lengan kanan terus didorong me mapak maju.. Dua gelombang
angin beradu di udara, maka terdengarlah suara benturan keras.
Sedikitnya Tong cit-ya telah kerahkan tujuh bagian tenaganya,
tak nyana hasil dari adu pukulan ini, pergelangan tangan sendiri
tergetar kesakitan dan kaku, "badanpun limbung hampir tak kuasa
berdiri tegak. jubah hitam yang dipakainyapun me-la mba i, tertiup
angin pukulan lawan, keruan ia terkesiap.
Kulit mukanya yang semula ka ku dingin dan sera m itu, kini
berubah kaget dan heran,
dua biji matanya mencorong bagai sinar kilat, dia pandang Ling
Kun-gi dari kepala sa mpai ke ka ki, akhirnya menyeringai dingin. "
Hebat jugakau anak muda." Tepat pada kata "muda" diucapkan,
tangan kiripun terayun, kembali telapak tangannya me mukul dada.
"Mari anak muda," ujarnya menye-ringai sadis, "sa mbutlah
sejurus pula pukulan lohu?" nadanya menantang dengan pongah,
seakan2 Ling Kun-gi tidak akan kuat menghadapi pukul-annyaini.
Ling Kun-gi masih muda, berdarah panas, sudah tentu dia tak
mau kalah? Tega k alisnya, katanya tertawa lantang: "Memangnya,
kenapa kalau kulayani pukulanmu?" Lengan kanan terangkat, dia
bergerak dengan tipu Sin-liong-to-sin (naga sakti menggerakkan
kepala), tangan diayun ke depan dari sa mping.
Gerak pukulan Tong cit-ya amat la mban, gayanya juga enteng,
tapi begitu Ling Kun-gi menggerakkan lengan kanan, gaya
pukulannya mendada k didorong maju dengan kecepatan berlipat
ganda. Pada detik2 kedua tangan orang itu hampir beradu
mendadak dia tarik tangan kanan, dengan sendirinya tenaga
pukulannyapun batal ditengah ja lan-
Gerakannya amat cepat, tapi menariknya juga tangkas, keruan
Ling Kun-gi keheranan, tapi pada saat itu pula mendadak dia
merasakan telapak tangannya kesakitan seperti ditusuk jarum,
kelima jari2nya seketika ka ku.
Didengarnya Tong cit-ya tertawa sinis, kata-nya: "Anak muda,
kau sudah terkena jarum telapak tangan Lohu, kuhitung, satu
sampai tujuh, kau a kan terjungka l roboh."
Mencelos hati Ling Kun-gi, lekas dia berusaha merogoh kantong.
Hanya dalam waktu sesingkat ini, Kun-gi merasakan sikutnya kaku
tak ma mpu bergerak lagi, keruan kejutnya bertambah besar,
pikirnya: "Entah pakai racun jahat apa orang she Tong ini, begini
lihay dan cepat bekerjanya?"
Untung dia merasakan kegawatan ini, ke lima jarinya sudah
berhasil menggengga m mut iara penawar racun di dala m
kantongnya.
Gurunya pernah me mberitahu, Pi-tok-cu harus selalu dige mbol di
atas badan, segala racun tidak akan bisa melukai dirinya, kalau
terluka oleh senjata beracun cukup me letakkan mut iara ini di te mpat
luka2 itu dan racun akan tersedot habis dengan sendirinya.
Melihat lawan merogoh kantong, Tong cit-ya kira orang hendak
menge luarkan obat, maka dia tertawa lebar dan senang, katanya:
"Jarum di telapak tangan Lohu ini hanya bisa dipunahkan dengan
obatku, anak muda, jiwa mu tak tertolong lagi."
Sementara itu, tangan kanan Ling Kun-gi meng-gengga m Pi-tok-
cu, terasa hawa dingin merembes dari telapak tangannya, rasa kaku
kelima jarinya seketika berkurang, maka legalah hatinya. Demi
mendengar kata2 Tong cit-ya, alisnya menega k. bentaknya: "cayhe
tak bermusuhan dengan kau, kenapa kau menyerang dengan jarum
beracun-"
Tong cit-ya ter-gelak2 sambil mendongak. katanya: "Selamanya
Lohu tidak suka ngobrol dengan orang yang bakal ma mpus, inilah
yang dina makan bunuh ayam menga mbil telurnya." Yang dimaksud
sudah tentu barang yang tersimpan di kantong Ling Kun-gi.
Semakin gusar hati Kun gi, sorot matanya semakin taja m,
bentaknya pula: "Bangsat tua, kau kejam, licik dan hina pula, kalau
tidak diberi ajaran, me mangnya kau kira orang lain takut terhadap
jarummu yang beracun?". Tiba2 dia berkelebat maju, berbareng
telapak tangan kiri me nghantam ke pundak Tong cit-ya.
Mimpipun tak pernah di duga Tong cit-ya bahwa seseorang yang
telah terkena jarum berbisa-nya dan racun sudah bekerja di dalam
badan masih ma mpu me nyerang dirinya dengan gerakan setangkas
dan selihay ini? Maka terdengarlah suara "plak", telapak tangan
Kun-gi dengan telak mengenai pundak kirinya.
"Huaaak" Tong cit-ya mengerang kesakitan, kerongkongan terasa
amis, mata ber-kunang2, tak tertahan mulutnya menyemburkan
darah segar, dengan sempoyongan dia terhuyung kebelakang dan
hampir terjungkal roboh. Ketiga laki2 itu kaget bukan kepalang,
serempak mere ka berlomba maju me mayang dari kanan kiri.
Pucat muka Tong cit-ya, darah berlepotan disekitar mulutnya,
matanya yang segi tiga mendelik ngeri dan keheranan, katanya:
"Anak muda, terhitung jiwamu yang mujur, jarum Lohu sela manya
tidak pernah gagal, agaknya seranganku tadi tidak mengena i
sasaran"
Pelan2 Ling Kun-gi ulurkan tangan kanan, katanya dengan sikap
pongah: "Sudah kena, tapi sebatang jarummu itu me mangnya
ma mpu melukai aku?"
Ditengah telapak tangannya me mang masih kelihatan bekas
lubang kecil warna kehitaman, jelas itulah bekas tusukun jarum
Tong cit-ya tadi.
Berubah kela m air muka Tong cit-ya, serunya kaget: "Kau . .. ..
kau.. . . .. kebal racun?"
Dengan angkuh Ling Kun-gi mengulap tangan, katanya^ " Kalian
boleh pergi, cayhe masih ada urusan" Selesai berkata dia
mendahului tingga l pergi.
Gemertak gigi Tong cit-ya, teriaknya beringas: "Anak muda,
sebutkan na ma mu" Tanpa menoleh Ling Kun-gi bersuara dingin:
"Ling Kun-gi "
Mengawasi bayangannya yang semakin jauh, Tong cit-ya
mendengus: "Anak muda, Lohu tidak akan telan kekalahan ini
demikian saja."
ooooooooooo
Karena tertunda oleh peristiwa kecil ini, sementara itu hari sudah
lewat lohor. Di pinggir jalan Ling Kun-gi beli beberapa buah bakpau
untuk isi perut, dalam hati masih terus men-duga2 siapa kiranya
pengganti si mata satu? Untuk ini dia harus mene mukan dulu si baju
biru dan pe mbantunya yang mengantar secara se mbunyi.
Sebelum petang dia tiba diThiat-ho, tak jauh setelah dia masuk
kota, secara kebetulan dilihatnya bayangan orang berkelebat di
ujung jalan sana, tahu2 seorang berbaju abu2 mendatang ke
arahnya. Sesaat lamanya orang ini mengawasi Ling Kun-gi, tiba2 dia
bersuara lirih: "Kau ini Ling-ya?"
Melengak Kun-gi, ia balas tanya: "Saudara siapa? Darimana kenal
aku?"
"Tida k keliru kalau begitu," kata laki2 itu girang. "cayhe
mendapat perintah Loy acu, sejak tadi menunggu Ling- yadi sini."
"Siapa Loy acu yang kau katakan?" tanya Kun-gi.
"Loyacu ada di Ting-sun-lau, setiba di sana Ling-ya akan tahu
sendiri," laki2 itu menerangkan-
Berkepandaian tinggi, besar juga nyali Ling Kun-gi, sambil sedikit
manggut2 dia berkata:. "Baik.. tunjukkan jalannya"
Laki2 itu mengia kan, ia putar tubuh terus berjalan pergi dengan
cepat. Kun-gi ikut di belakangnya. Setelah me mbelok dua kali
menyusuri jalan raya, tampak dipersimpangan jalan sana ternyata
betul terdapat sebuah Ting-sun-lau, restoran besar dan mewah
pelayanannya. Laki2 itu bawa Ling Kun-gi masuk dan me lewati
sebuah pekarangan.
akhirnya mereka tiba di pekarangan bela kang, di sini, terurus
dengan rapi, pohon dan bunga sama tumbuh subur dan me kar
semerbak. Laki2 baju abu2, terus me mbawanya putar kayun
me lewati jalan berbe lak-belok hingga tiba di depan sebuah ka mar
barulah berhenti, seru laki2 itu sa mbil me mbungkuk: "Loyacu, Ling-
ya sudah tiba"
Maka terdengarlah suara serak. berseru dari dalam: " Le kas
silakan masuk" Waktu pintu di buka, menyongsong keluar seorang
laki2 tua berkepala botak, wajah merah, jenggot ubanan, serunya
sambil tertawa: "Ling-lote, lekas silakan ma-suk."
Laki2 botak muka merah ternyata adalah ketua murid2 pre man
Siau-lim-pay, yaitu Kim-ting Kim Kay-thay.
Di da la m ka mar sudah duduk seorang laki2 tua berbaju panjang
ringkas, dia berdiri sa mbil tersenyum, agaknya mereka barusan
sedang ngobrol.
Lekas Kim Kay-thay berkata: "Ling-lote, mari kuperkena lkan.
Inilah Suteku, Au siok-ha m, dulu dia dijuluki To-pit-wah (lutung
banyak lengan), kini dia me njadi majikan dari Ting-sun-lau ini."
Lalu dia berkata kepada: Au siok-ha m "Inilah Ling- lote yang tadi
kuterangkan pada mu."
Dia m2 Kun gi perhatikan Au siok-ha m, wajahnya bersih dan
ramah, usianya sekitar 55 tahun, Thay-yang-hiat (pelipis) menonjol,
sorot matanya terang, sekali pandang dapat diketahui dia pasti
seorang ahli kekuatan luar-dalam. .Lekas Kun-gi menjura serta
menyapa: "Nama besar Au-ya sudah lama kukagumi, beruntung hari
ini dapat berkenalan."
"Tida k berani, tidak berani" lekas Au siok-ha m merendah hati,
"Ling lote gagah berani, tadi Kim-suheng sudah menjelaskan,
Silakan duduk"
"Kita semua bukan orang luar," ujar Kim Kay-thay "Silakan duduk
untuk bicara." Bertiga mereka lantas duduk mengelilingi meja
bundar kecil.
Lalu Kun-gi bertanya: "Kim- loy acu sampai perlu datang keThat-
ho, apakah cin-cu-ling sudah ada tanda2nya?"
Kim Kay- thay menggeleng, katanya: "Tanda me mang ada, tapi
boleh dikatakan juga tidak ada."
"Bagaimana ma ksud ucapan Kim- loy acu?" tanya Kun-gi
" Ling- lote tentu masih ingat, hari itu losiu pernah me mberitahu
bahwa kecuali ke luarga Tong di Sujwan dan ke luarga Un di Ling-
la m, di dunia Kangouw masih ada suatu ke luarga yang terkenal
mahir juga menggunakan racun?"
Ling kun-gi manggut2, katanya: " Kim- loy acu me mang pernah
menyinggungnya, yaitu Liong- bin--san- ceng . "
"Betul, Liong-bin-san- ceng, selama t iga bulan, tiga tokoh
kenamaan dari tiga cabang dan keluarga persilatan sama lenyap.
namun belum terdangar bahwa Cu cengcu dari Liong-bin-san- ceng
juga lenyap. itu berarti bahwa komplotan cin-cu-ling belum lagi
turun tangan terhadap Liong-bin-san-ceng. Dengan sendirinya kita
menduga bahwa cin--cu-ling ada hubungan dengan Liong-bin-san-
ceng, oleh karena itu tempo hari sudah kupesan kepada Ling- lote
supaya me mperhatikan hal ini."
"Pendapat Kim- loy acu me mang tepat," kata Ling Kun-gi "Waktu
itu cayhe juga sudah pikir-kan hal ini."
"Setelah kau pergi," tutur Kim Kay-thay, "beruntun Losiu
mendapat laporan dari para penyelidik bahwa di kota Kayhong
secara serentak di-temukan beberapa kelompok orang persilatan,
jejak dan gerak-gerik mereka a mat mencurigakan, malda m itu juga,
seorang murid keponakanku berna ma Liau Ngo datang dari Loh-
yang, ia melihat dua majikan dan pelayan yang menunjukkan gerak-
gerik mencurigakan, ilmu silat mereka a mat mengagum-kan,
menurut dugaan, kedua orang ini pasti erat hubungannya dengan
cin-cu-ling, dari Loh-yang kedua orang ini terus menuju ke mari,
maka dengan dia m-dia m mengunt itnya, di tengah jalan ku- utus
seorang lagi untuk me ne maninya .... "
Kun-gi tahu, dua orang yang dimaksud tentu si baju biru dan
laki2 berlengan besi. Sementara kedua murid Kim Kay-thay yang
ditugaskan me-nguntit tentu kedua orang yang jadi korban di luar
biara itu. Kim Kay-thay sedang asyik bicara, maka dia tidak ena k
menyela.
Terdengar Kim Kay-thay bicara lebih lanjut. "Tak terduga, pagi2
hari kedua, beruntun aku mendapat laporan pula bahwa beberapa
kelompok orang persilatan yang menginap di hotel pagi2 sudah
berangkat seluruhnya, arah mereka sama, maka Lo siu menduga
dalam hal ini pasti ada sebabnya yang amat penting artinya. Hari itu
juga ditemukan Un-loji dari Ling-la m dengan lima pe mbantu-nya,
setelah menginap se mala m di Kayhong secara ter-buru2 mereka
me lanjutkan ke Tan-liu. Un--leji me mang sering mondar-mandir di
Kangouw, tapi ka li ini dia mene mpuh perjalanan ke Tionggoan
secara tergesa2, Losiu duga perjalanannya ini pasti ada hubungan
juga dengan cin-cu-ling. oleh ka-rena itu Losiu berpendapat harus
ke mari untuk me lihat keadaan dari de kat."
Setelah orang habis bicara barulah Kun-gi berkata: "cayhe ada
sesuatu hal yang membingung-kan, mohon Kim- loy acu suka
menje laskan-"
" Ling- Lote jangan sungkan, kita terhitung satu keluarga, ada
pertanyaan apa, silakan katakan saja."
"sela ma perjalanan ini cayhe tiga kali menyamar dengan wajah
berbeda, entah dari mana Kim- loy acu dapat mengenali diriku?"
Kim Kay-thay ter-gelak2, katanya: "Kau diaembleng oleh seorang
cianpwe kosen, bekal kepandaian silat mu sekarang, siapa pula yang
kuat menandingi."
"Itu hanya pujian Kim- loy acu saja," Ling Kun-gi merendah diri.
"Apalagi Ling- Lote pandai menyamar dan tentu takkan
menga la mi kesulitan, cuma kau baru keluar kandang,
pengalamanmu masih terlalu cetek."
"Me mang benar, pengalaman cayhe terlalu sem-pit, cara
bagaimana Kim- loy acu dapat mengenali cayhe?"
Kim Kay-thay tertawa, katanya: "Sepanjang jalan ini tentu kau
pernah bersua dengan pihak mereka serta ketahuan jejakmu, oleh
karena itu, diluar tahumu ada orang me mberi tanda rahasia pada
buntalan bawaanmu, walau kau menya mar tiga kali bagi seorang
ahli, sekali pandang keadaanmu tetap dikenali."
Kun-gi tertegun, katanya: "Ada orang memberi tanda gelap di
kantongku?, hanya sebuah buntalan kain hijau yang sela lu di
bawanya, di dalamnya ber-isi pedang panjang yang menongol
keluar keluar adalah gagang payung, di samping itu dia me mbawa
bun-talan kecil berisi pakaian, ia coba me meriksa bun-talannya,
katanya keheranan: "Di mana, cayhe kok t idak me lihat apa2?"
Kim Kay-thay menunjuk ujung kantong bagian bawah, katanya
tertawa, "Beberappa titik putih dari kapur inilah, kau tida k
me mperhatikan sudah tentu t idak tahu."
Setelah ditunjukkan baru Kun-gi mene mukan tujuh titik putih
sekecil mata jarum di ujung kantong, keruan merah mukanya
katanya: "Tanpa mendapat petunjuk Kim- loy acu. cay tetap tidak
akan tahu walau sudah kese lomot orang ......."
Sampa i di sini percakapan mereka., terdengar dari luar ada
langkah orang, mendatangi dan berhenti di luar pintu.
"Thing-ing, ada urusan apa?" seru Au-s iok-ha m. Dari luar
berkumandang suara seorang anak muda: " Lapor Suhu, pelayan
dari Siang-goan-can mengantar surat untuk Ling- ya."
Ling Kun-gi me lengak, batinnya: -" Aku baru tiba di sini, siapa
yang mengirim surat kepadaku?"
sikap Kim Kay-thay pun ta mpak prihatin: "Masuklah" seru Au
siok-ha m.
Waktu pintu terpentang, maka masuklah seorang pe muda baju
ungu, tangannya me megan sepucuk surat
"Mana pelayan Siang-goan-can?" tanya Au siok-ha m.
"Sudah pergi," sahut pe muda itu
"Apa dia tidak me nerangkan, siapa pengirim surat ini?" tanya Au
siok-ha m.
Pemuda baju ungu me mbungkuk, sahutnya:
"Tecu sudah tanya, katanya seorang, tamu yang menyuruhnya."
Au siok -ham terima surat itu, lalu mengulap tangan
menyuruhnya pergi. Si pemuda me mberi hormat lalu mengundurkan
diri. Langsung Au siok--ha m angsurkan surat itu kepad Ling Kun-gi,
katanya: " Ling- lote, inilah suratmu."
Kim Kay-thay ikut bertanya: "Kau punya kenalan di Sian-goan-
can?"
Kun-gi terima surat itu, seraya menjawab: "cayhe seorang diri
dan baru saja tiba di Thay-hong, Kim- loy acu lantas suruh orang
menje mputku, dari mana ada kenalan di sini."
Bertaut alis tebal Kim Kay-thay, katanya: "Aneh kalau begitu."
Lalu mena mbahkan: "coba kau lihat apa isi surat itu?"
Ling Kun-gi robek sa mpulnya dan menarik secarik kertas, tampak
di atas kertas tertulis dua baris huruf2 yang berbunyi: "
Disa mpaikan kepada Ling-tayhiap. Adikmu sedang berta mu di
rumahku, harap tidak usah dikuatirkan, syukur ka lau tuan mau
datang dengan me mbawa barang yang kau simpan sebelum
matahari terbenam besok. Ka mi tunggu kedatangan tuan di depan
Pat-kong-san".
Gaya tulisannya amat kuat, tapi surat ini tidak bertanda tangan,
sekian la ma Ling Kun-gi me longo mengawasi surat ditangannya
tanpa bersuara. Surat ini bernada me meras, mereka me nahan Adik
perempuannya, dirinya harus menebus jiwanya dengan barang yang
menjadi incaran mereka. Waktu-nya ditentukan besok sore,
tempatnya di Pat-kong-san, Agaknya mereka mengincar Pi-tok-cu (
mut iara penawar racun ) warisan keluarganya, tapi dirinya sebatang
kara, selamanya pergi datang seorang diri, dari mana punya adik
perempuan?
Melihat dia dia m saja, Kim Kay-thay berdehem tanyanya: "Siapa
yang mengirim surat itu?"
Ling Kun-gi angsurkan surat itu, katanya "Silahkan Kim-loyacu
baca."
Kim Kay-thay tidak lantas menerimanya, tanyanya ragu2: "Boleh
kumelihatnya?"
"Silakan baca, nama pengirimnya tidak tertulis, mereka me nculik
orang hendak me merasku."
Terbeliak mata Kim Kay- thay mendengar istilah culik dan peras,
tanyanya heran: "Ada kejadian be-gitu?" Segera dia terima surat itu.
Hanya sebentar dia membaca dan air muka lantas berubah, katanya
mendengus- " Orang golongan mana berani bertingkah dan se-
wenang2 Au-sute, coba kau lihat, ada berapa kelompok golongan
hitam di daerah sini? Terang tujuan mereka adalah kita bersaudara."
Setelah me mbaca surat itu, berkerut kening Au siok-ha m,
katanya kemudian setelah termenung: " Menurut yang Siaute
ketahui, daerah ini tiada orang dari golongan hita m, diatas Pat-
kong-san hanya ada sebuah rumah milik keluarga Go. Go-si-siang-
hiong me mang anggota dari perkumpulan dagang, selamanya
mereka berdagang secara halal, begitu besar usaha dagang mereka
hingga di setiap ibu kota propinsi tentu ada cabang mereka, tak
mungkin mereka main culik dan peras segala ....."
"Go-si-siang-hiong," pikir Kim Kay-thay, "maksudmu Bun-bu-cay-
sin GoBun-hwi bersaudara?"
Au siok-ha m mengangguk sa mbil me ngiakan-
"Bukankah Au-sute kenal ba ik mereka? Lekas kau suruh Thing-
ing menanyakan, apakah tempat mereka di Pat kong-san sekarang
dalam keadaan kosong?"
"Kim suheng mengira bila rumah itu kosong ke mungkinan akan
dibuat menyekap adik Ling-lo-te oleh kawanan penclik itu?" tanya
Au siok ha m.
"Tentunya de mikian- ujar Kim Kay-thay.
"Kim- loy acu," sela Ling Kun-gi, "aku sebatangkara, selamanya
tidak pernah punya adik perempuan, "
Kim Kay-thay jadi heran, katanya- "Jadi perempuan yang mereka
culik bukan adikmu"
Sampa i di sini mendada k dia mena mbahkan dengan nada serius:
"Sebetulnya barang apakah yang mereka minta dari Ling- lote untuk
menebus perempuan itu?"
"Mungkin mereka mengincar Pi-tok-cu warisan keluargaku,"
sahut Kun-gi.
"Pi-tok-cu?" seru Kim -Kay-thay, " mutiara yang hendak kau
gadaikan itu?"
"Benar. mutiara itu sejak kecil me njadi barang hiasan dibadanku,
setelah ibu hilang, sebelum cayhe mene mpuh perjalanan barulah
Suhu me mberitahu bahwa mut iara ini dapat menawarkan racun."
"Dija lan apakah pernah kau perlihatkan kepada orang lain?"
tanya Kim Kay-thay.
"Tida k pernah, sejak meninggalkan Kayhong, cayhe selalu
menyimpannya di dala m kantong ...." mendadak dia teringat
peristiwa tengah hari tadi, di perbatasan propinsi pernah bentrok
dengan Kwi--kianjiu Tong cit-ya, tanpa terasa mulutnya meng-
guma m: "Mungkinkah Tong cit ya adanya?"
"Tong cit-ya?" Kim Kay-thay melenggong.
" ma ksud mu saudara ke 7 dari keluarga Tong? Bagaimana kau
bisa mengira dia?"
"Tengah hari tadi dia mencegatku diperbatasan, terpaksa aku
me lukainya," tutur Ling Kun-gi.
Kim Kay-thay berkata sambil menoleh pada Au siok-ha m: "Jadi
keluarga Tong juga mengutus orang kemari, orang2 itu
bermunculan di Kangouw, tentu- nyabukan secara kebetulan." Lalu
dia bertanya pada Kun-gi: "Bagaima na kau bisa bentrok dengan
pihak keluarga Tong dari Sujwan?"
"Tiga orang suruhannya mencegat dan menyerangku, mereka
menuntut barang yang kubuwa, secara singkat Kun-gi lalu
menceritakan pengala mannya. Mendadak Kim Kay-thay ter-gelak2
katanya:
"Mungkin hanya salah paha m, Tong cit-ya mungkin salah
mengenali orang.."
"Salah mengena li orang" Kun-gi menegas.
"Bukankah Losiu tadi bilang, Liau Ngo, kepona kan muridku sejak
dari Loh-yan mengikuti dua orang, kabarnya kedua orang ini
me mbawa barang sesuatu, gerak-geriknya mencurigakan- Menurut
apa yang Lohu tahu, ada beberapa kelompok orang Kangouw yang
menguntit mereka secara sembunyi, kebetulan kau berada di sana
sehingga orang2 keluarga Tong menaruh perhatian pada mu dan
terjadi salah paha m ini."
"Terus terang cayhe juga ketarik akan hal ini, maka secara diam2
menguntitnya pula," kata Kun-gi. Bercahaya mata Kim, Kay-thay,
katanya sambil ketawa keras: "Jadi kau juga menaruh perhati-an
akan hal ini?"
"Kejadiannya di mula i dari Kayhong, waktu itu cayhe juga belum
tahu apa2, soalnya pesuruh mereka yang salah menyerahkan surat
padaku." selanjutnya dia tuturkan pengalaman sepanjang jalan ini,
cuma soal kantong sula m pe mberian Un Hoan-kun tidak dia
singgung..
"Apa yang Ling- lote ketahui kira2 sa ma dengan aku," ujar Kim
Kay-thay,
" menurut dugaan Losiu, barang itu tentu sudah diantar ke
tempat tujuan terakhir."
" Kim- loy acu me merlukan datang sendiri, tentunya sudah tahu
ke mana barang itu akan diantar?"
Kim Kay-thay manggut2, katanya tersenyum^ "Lote tidak usah
terburu nafsu, mala m ini Losiu panggil Lote ke mari, pertama karena
jejak Lote su-dah terbongkar tanpa Lote sadari, untuk berke lana di
Kangouw lebih lanjut sungguh amat berbahaya. Kedua, Losiu sudah
mengutus beberapa murid dan secara bergilir menguntit dan
mengawasi si mata tunggal yang me mbawa barang itu, maka Lote
selanjutnya tidak perlu unjukkan diri."
"Bukankah si mata satu sudah mati, di luar Liong- ong-bio?"
tanya Ling Kun-gi.
"Betul, pengganti si mata tunggal adalah si mata tunggal pula,
cuma orang yang satu ini picak mata kanannya."
"o, kiranya begitu"
Tengah bicara, tampak pe muda yang tadi datang ke mbali lagi,
dan langsung me mberi hormat kepada Au Siok-ha m, katanya:
"Suhu, hidangan sudah siap. sila kan Kim-supek dan Ling-yaini
makan-"
Au Siok-ha m segera persilakan Kim Kay-thay dan Ling Kun-gi
makan, mereka ke luar ke ruang ma kan, sebuah meja pat-sian yang
besar sudah penuh berbagai maca m hidangan yang lezat.
Ditengah ma kan minum itu, Au-Siok-ha m bertanya: "Ling-Lote,
bagaimana kau a kan menyelesaikan surat yang kau terima tadi?"
Kim Kay-thay tertawa sambil menge lus jenggot, katanya: "
Kenyataan Ling-lote tidak punya adik, kemungkinan mereka salah
menangkap orang pula. Belakangan ini orang2 keluarga Un dari
Ling-la m dan keluarga Tong sa ma muncul di wil-ayah ini, menurut
rabaanku,jika orang Kangouw mendengar kabar ini pasti akan sa ma
me luruk datang, oleh karena itu dala m beberapa hari ini mungkin
akan terjadi bentrokan besar, surat itu tidak menyebutkan na ma
pengirimnya, kukira Ling-Lote tidak usah menghiraukannya."
"Tida k!! cayhe sebaliknya berpendapat lain, surat sudah
kuterima, maka aku harus menghadapinya . "
"Tong cit-ya selamanya bertindak keja m dan culas, licik dan
banyak muslihatnya lagi, maka dia dijuluki Kwi-kian-jiu (setan sedih
me lihatnya ) Ling- lote tidak perlu ikat permusuhan dengan keluarga
Tong."
"Peduli soal ini salah paha m atau bukan, yang terang Tong cit-ya
menyerangku lebih dulu, bahwa aku hanya sedikit me luka i dia
seharusnya dia tahu diri, kesalahan bukan padaku. Kini dia menculik
orang ma in peras pula, menurut he mat cayhe walau perempuan itu
bukan adikku, jelas mereka me mang telah menculik, perbuatan
kotor dan hina ini kebentur ditanganku, tak bisa kuberpeluk tangan?
Kalau Tong cit-ya sampai kebentur lagi di tanganku, bukan saja
akan kupunahkan ilmu silatnya juga akan kubuat dia rebah setahun
la manya."
Melihat orang bicara dengan nada tegas, wajuh kereng
berwibawa, Kim Kay- thay menjublek mengawasinya, katanya
ke mudian: "Ka lau Ling- lote me maksa hendak menepati undangan,
biar kuiringi-mu ke Pat-kong-san, Losiu kenal dengan ke luarga
Tong, bahwa urusan ini lantaran salah paha m, tentu persoalan bisa
dibereskan dengan ja lan da mai."
" Urusan sekecil ini cayhe tak berani me nyusahkan Kim- loy acu,
kalau Kim- loy acu kenal mereka, biarlah nanti a ku tida k
me lukainya."
Kim Kay-thay adalah ciangbunjin murid2 pre man Siau-lim-pay,,
selamanya kata2nya dipercaya dan disegani di kalangan Kangouw,
namanya cukup beken, maka dia dijuluki Kim Ting, selama beberapa
tahun ini, tiada orang berani bicara ang-kuh dihadapannya.
Maklumlah Ling Kun-gi berusia muda dan berdarah panas, tanpa
sadar dia telah banyak buka mulut. Tapi Kim Kay-thay tidak ambil
perhatian, dia hanya tersenyum, soalnya dia tahu keluarga Tong ahli
ma in senjata rahasia beracun, dia kuatir Ling Kun-gi mengala mi
cidera. Setiap insan yang berkelana di Kangouw, sekali kena
dirugikan sekali tambah pengala man, tapi jangan sekali2 kena
dirugikan oleh piha k keluarga Tong, kerena racun yang mereka
pakai teramat jahat, kena darah lantas menyumbat pernapasan,
setelah dirugikan pengala man selanjutnya tentu mengenaskan,
salah2 tentu jiwa me layang dengan percuma.
Selesai makan minum, mereka lantas berdiri. Kun-gi segera
menjura, katanya: "Beruntung mala m ini cayhe mendapat petunjuk
yang berharga, tidak sedikit hasil yang kuperoleh, waktu sudah
mendesak, biarlah cayhe mohon diri."
Au siok-ha m tertegun, katanya: " Kapan Ling--lote bisa
berkunjung lagi ke te mpatku ini, harap menginap sema la m di sini,
besok pagi boleh berangkat, kenapa buru2?"
"Mala m ini a ku sudah kenyang makan, banyak terima kasih.
Bahwa surat itu dikirim ke mari, ini me mbuktikan bahwa jejakku
telah diikuti, ma ka kupikir mala m ini juga aku harus berangkat,
pertama supaya jejakku selanjutnya tidak mereka ketahui, kedua
aku ingin pergi ke Pat-kong-san lebih dulu, akan kuse lidiki asal-usul
mereka, apa pula tujuan mereka me nulis surat ini? Siapa pula yang
mereka culik? Daripada tidak tahu apa2, kukira perlu ku-bertinda k
cepat."
"Me mang betul," ujar Kim Kay-thay, "kalau begitu kita tidak perlu
sungkan kepada Ling-lote," lalu dia berpaling pada Ling Kun-gi,
katanya lebih lanjut, "Soal si mata satu itu, walau kita belum tahu
barang apa yang mereka antar? Tapi piha k keluarga Un dan Tong
juga menaruh perhatian, kuyakin ada sangkut pautnya dengan cin-
cu-ling. Jejak mere ka sudah berada dala m gengga manku, untuk ini
Losiu ada tiga maca m kode untuk me ngadakan kontak dengan
muridku, Ling- lote, boleh mempe lajarinya agar dijalan kau dapat
mengadakan kontak dengan murid2ku," lalu dia menerangkan
ketiga tanda2 rahasia itu.
Ling Kun-gi mengingatnya terus mohon diri, "Tunggu sebentar
Ling- lote" kata Au siok-ham "Pat-kong-san ada 200 lijauhnya, biar
kusuruh Thing- ing menyiapkan seekor kuda untukmu."
"Perjalananku ini secara dia m2, aku harus menye mbunyikan
jejak, naik kuda malah kurang leluasa," setelah pamitan dia lantas
meninggalkan Ting-sun-lau langsung menuju ke hotel Siang-goan-
can-
Tiba2 dilihatnya sepuluhan tombak di depan sana ada bayangan
seorang tengah meluncur dengan enteng danter-gesa2. Gerak- g
erik orang ini cekatan dan pesat, setelah meluncur tiba di kaki
tembok. sedikit menjejak kaki, tubuhnya terus mengapung ke atas
dan dengan ringan hinggap di atas tembok seka li berkelebat,
bayangannya tahu2 menghilang.
Melengak Ling Kun-gi, batinnya: "Entah siapa orang ini, lihay
juga Ginkangnya." Hati berpikir kaki me mpercepat larinya, setiba di
kaki te mbok, dengan gaya Pek-ho-jong-thian (bangau putih
menjulang ke langit), dia mengejar ke atas tembok, waktu dia
angkat kepala, bayangan itu sudah melayang turun keluar tembok.
dalam sekejap orang sudah me luncur dua puluhan tombak. cepat
iapun me luncur turun, dengan kencang ia me ngudak.
Gerakan bayangan hitam di depan itu secepat terbang, lekas Kun
gi menghimpun tenaga murni, iapun ke mbangkan Ginkangnya, tapi
jarak tetap dipertahankan dua puluhan tombak. Hatinya heran,
batinnya: "Ginkang orang ini agaknya lebih unggul daripada ku."
Kedua orang meluncur dengan kecepatan tinggi, se mula
menyusuri ja lan besar, bayangan di depan dua kali berpaling ke
belakang, tapi dengan sigap Kun-gi selalu menye mbunyikan
jejaknya.Jarak mereka tetap dua puluhan tombak. mala m ge lap
gulita lagi, sudah tentu sukar orang di depan itu me lihatnya.
Lomba lari ini berlangsung kira2 satu jam, tem-bok kota Po-yang
di depan sana dari kejauhan sudah kelihatan, bayangan di depan itu
mendadak meninggaikan jalan besar, me mbelok kejalanan kecil di
sebelah kiri.
Bahwa orang me miliki Ginkang setinggi itu, Kun-gi menduga ilmu
silatnya tentu juga lihay, supaya jejaknya tidak konangan, dia tida k
berani mengejar terlalu dekat. Setelah bayangan itu meluncur
sekian saat baru dia berputar dari arah lain sambil main se mbunyi di
antara bayang2 pohon-Jalanan kecil ini me mbe lok ke arah timur,
karena sedikit merandek ini, bayangan di depan tadi sudah tidak
kelihatan ke mana perginya.
Kun-gi guna kan mata kupingnya, dengan saksama dia terus
merunduk maju, kira2 setengah li kemudian, dari sebelah kirija lanan
kecil sana, di antara lebatnya pepohonan tampak me mancar
secercah cahaya lampu.
Mengikuti arah sinar la mpu Kun-gi me masuki hutan- Kira2
seratus langkah kemudian, ia mendapatkan sebuah kuil, di atas
pintu bergantungan papan na ma yang bertuliskan "Jap-hoa-bio"
(kuil tancap bunga)..
Ling Kun-gi celingukan. dilihatnya tiada bayangan orang di
sekitarnya, dengan merunduk dia melompat ke te mbok terus
sembunyi di tempat gelap. dari te mpatnya ini dia me mandang ke
dalam kuil.
Di tengah ruangan besar sana tampak menyala sebatang lilin
merah, dua orang laki perempuan tengah duduk di kursi di depan-
meja se mbahyang. Perempuan yang duduk di sebelah kiri berusia
23-24, wajahnya molek berdandan seperti puteri keraton,
pakaiannya serba putih halus sambil ber-cakap2 matanya selalu
mengerling me mpesona.
Duduk dihadapannya, di sebelah kanan adalah laki2 baju biru
yang sudah dikenalnya itu. Di serambi luar sana berdiri seorang lagi,
dialah laki2 baju hijau berlengan besi beracun- Dari gaya dan letak
duduk kedua orang ini jelas kedudukan perempuan cantik lebih
tinggi, daripada laki2 baju biru, jadi orang yang barusan dia kuntit
kiranya perempuan cantik rupawan ini?
Tengah dia men-duga2 didengarnya suara laki2 baju biru tengah
berkata lantang: "Bibi coh sa mpa i menyusul ke mari, entah GihU
(ayah angkat) ada petunjuk apa?"
Perempuan cant ik tertawa manis, katanya: "Ayahmu
menguatirkan dirimu, maka aku di suruh menyusulmu ke mari."
" Kebetulan bibi coh ke mari, ada urusan yang perlu kulaporkan-,"
kata si baju biru.
Mengerling kenes mata si perempuan cantik, tanyanya tertawa-
manis: "Kau ada urusan apa?"
"Di de kat Hoay-yang cayhe menemukan orang2 keluarga Un dari
Ling la m .... "
"Un It-kiau ma ksudmu: "
Laki2 baju biru me lengak. katanya: "Bibi coh juga melihatnya?"
"Masih ada yang lain?"
"De mikian juga orang ketiga dan ketujuh dari persaudaraan
keluarga Tong."
Perempuan cantik mengangguk. katanya cekikikan: "Ternyata
kaupun telah me lihat mereka, na mun masih ada yang la in yang
tidak ku sebutkan-"
"Masih ada orang dari golongan mana?" tanya si baju biru
me lenggong.
"Pihak Siau-lim."
"o," laki2 baju biru tertawa. " Kepala gundul itu hanya murid
kelas tiga dari Siau-lim-si, sejak dari Loh-yang dia sudah menguntit
kami, sudah kusuruh Hou Thi-jiu (si tangan besi) me mbereska m
dia." - Rupanya si baju hijau berna ma Hou Ti- jiu.
Nyonya muda cantik itu cekikikan, katanya: "Dian-toa siauya
(tuan muda Dian), kukira kau melala ikan sesuatu lagi, betul t idak?"
Si baju biru me lengak pula, katanya: "Masih ada seorang
bernama Ling Kun-gi, ilmu silatnya tinggi, sukar cayhe mene mukan
asal-usulnya."
"Ling Kun-gi?" pere mpuan cantik menepekur, "Kalau Dian-toa
siauya maksudkan ilmu silatnya tinggi, tentunya tidak salah lagi,
cuma orang apakah dia?, Be lum pernah aku melihatnya."
"Usianya baru likuran tahun, wajahnya cakap."
Berkelebat sinar aneh dan biji mata nyonya cantik itu, seperti
tidak acuh dia berkata: "Hanya seorang angkatan muda yang tida k
ternama." Mendadak dia tertawa serta menambahkan- "Yang
kumaksudkan adalah Kim Kay-thay." .
Berjingkrak si baju hitu, teriaknya: "Kim Kay-thay juga datang?"
"Dian-toa siauya tidak percaya? Sekarang dia berada diTing-sun-
lau di kota That-hao"
Terkesiap hati Ling Kun-gi, batinnya: "Lihay juga nyonya muda
ini, jejak Kim-loyacu ternyata sudah diketahui olehnya."
Si baju hijau bersungut marah, katanya: "Agaknya meluruk
ke mari lantaran aku, kalau tidak di-beri ajaran sekarang, bila sampai
ketempat tujuan mungkin bisa menggagalkan usaha kita."
"Dian-toa siauya, ketiga rombongan orang2 ini sukar dilayani,
jangan kita menghadapinya secara terang2an, Dian-toa siauya boleh
silakan tetap urus tugasmu, soal ini serahkan padaku, kutanggung
takkan terjadi apa2"
"Janji bibi coh a mat meyakinkan, tidak perlu aku berkuatir" kata
si baju biru. "Kalau t iada urusan lain, cayhe mohon diri saja."
Si baju biru me mberi hormat, lalu dengan langkah lebar keluar
dari ruang besar. . Hou Thi - jiu masih berdiri di depan sera mbi,
segera dia mengikuti langkah si baju biru.
Setelah si baju biru dan pengawa lnya pergi jauh, Kun-gi hendak
mundur secara teratur, tak terduga dalam se kejap saja si nyonya
muda yang berada di ruang besar ternyata sudah menghilang.
Keruan ia terperanjat, batinnya: " Kepandaian perempuan ini
sungguh hebat, dari tempat tinggi sini akupun tidak melihat kapan
dia berlalu? Kalau berte mu dia kelak aku harus hati2."
Pada saat itulah mendadak didengarnya seorang tertawa dingin
di belakangnya. Menyusul sebuah suara merdu bergema di tepi
telinganya: "Berdiri-lah, ada pertanyaan yang akan kuajukan
padamu."
Mendengar sutra orang, seketika mengkirik Ling Kun-gi, lekas dia
berpaling, tampak nyonya muda rupawan itu sudah berdiri di
belakangnya. Wajahnya molek bak bidadari, air mukanya dingin
seperti dilapisi saiju yang sudah me mbe ku, sorot matanya tajam
laksana pisau mengawasi dirinya.
Berdegup jantung Kun-gi, le kas dia kerahkan hawa murni
me lindungi seluruh Hiat-to dan memba lik badan, katanya sambil
tertawa tawar: "Hebat benar Ginkang nyonya."
" Kau siapa? Siapa yang mengutusmu ke sini?" dingin pertanyaan
si nyonya muda.
"cayhe kebetulan lewat," ujar Ling Kun - gi, "me lihat sinar la mpu,
maka kucari ke sini."
"Sejak dari Thay-ho kau menguntit aku, kau kira a ku tidak tahu?
Kalau Hian-ih-lo-sat secero-boh yang kau duga, mana bisa aku
berkecimpung di dunia persilatan?"
Kiranya bayangan orang yang Ginkangnya tinggi tadi adalah dia,
julukannya ternyata "Hian-ih-losat" (setan buas berbaju merah).
"Betul, cayhe me mang datang dari kota Thay--ho, kulihat
bayangan nona berkelebat di depanku, gerak-gerikmu enteng dan
cekatan, karena ketarik kususul kau ke mari, untuk kesalahan ini
mohon di maafkan,"
lalu ia menjura. Hian-ih-lo-sat mencibir, katanya: "Enak betul kau
bicara"
"Maksud nona ......" suaranya dia tarik panjang sambil
mengawasi tajam.
Mendadak Hian-ih-lo-sat unjuk senynum manis menggiurkan,
katanya: "Aku ingin kau ikut a ku."
"Ha, nona jangan berkelakar"
Hian-ih-lo-sat menarik muka, dengusnya: "Selamanya tidak
pernah aku berke lakar."
Menghadapi sikap Hian-ih-lo-sat yang sebentar tawa lain saat
dingin ini, ragu2 hati Ling Kun-gi. Pada saat dan berdiri melongo
itulah, mendadak terasa olehnya seperti ada dua orang diam2
mende kati dirinya dari belakang. Gerakan kedua orang ini amat
cepat,

waktu Kun-gi menyadari kehadiran mereka, jaraknya hanya


setombak lebih, keruan ka-getnya bukan main, secepat kilat dia
putar badan-
Sekilas dilihatnya Hian-ih-lo-sat mengulum senyum se mbari
mengulap tangan, bentaknya lirih: "Bukan urusan kalian" - Kejadian
laksana kilat berkelebat, gerak memba lik tubuh Kun gi sebetul-nya
amat cepat. Tapi setelah dia me mbalik badan, yang dilihatnya dua
sosok bayangan hitam secara bergegas berkelebat lenyap seperti
hantu.
Kembali mencelos hati Kun-gi, batinnya: " Entah siapa kedua
bayangan orang ini? Begitu cepat dan tangkas gerakannya."
Terangkat alis lentik Hian-ih-lo-sat, sekilas dia mengerling ke
arah Kun-gi. sikapnya berubah ra mah, katanya lembut: "Baiklah,
apakah kau menya mar?^
Kun-gi tidak me ladani orang, dengan congkak dia berkata: "Tiada
yang perlu kubicarakan, maaf, aku pamit saja." - Kedua kaki
menutul, tubuh terus melayang pergi.
"Tunggu sebentar," Hian-ih-lo-sat cekikikan, "pertanyaanku
belum kaujawab, kenapa terus per-gi?" Seiring dengan suaranya,
tiba2 dan ayun tangan kiri ke udara, dari lengan bajunya melesat
ter-bang seutas bayangan halus dan meluncur ke arah ka ki Kun-gi.
Kala itu badan Ling Kun-gi tengah terapung di udara, pada saat
badannya hampir mela mpaui pagar tembok. mendadak terasa
kakinya seperti di tarik orang, badan yang meluncur tiba2 tertahan
terus anjlok ke bawah tanpa kuasa. Kesiur angin berbau wangi
lantas merangsang hidung, tahu2 Hian--ih-lo-sat sudah melayang
lewat di depannya, gerak-geriknya lemah ge mulai bak tangka i
bunga tertiup angin, katanya tertawa manis. " Kenapa tidak jadi
pergi?"
Begitu berhenti dan berdiri tegak. langsung Kun--gi me meriksa
kakinya, tapi tiada sesuatu perubahan, namun jelas waktu dirinya
me lompat ke atas tadi kaki terasa ditarik turun oleh sesuatu tenaga
raksasa. Tanpa terasa dia menjengek dingin, tanya-nya: " Dengan
apa kau me mbokong a ku?"^
Bersinar biji mata Hian-ih-lo-sat, katanya cekikikan genit:
"Kuserang kakimu dengan benang sutera merah." Tiba2 tangan
kanannya terayun pula, "serrr", bayangan hitam ha lus yang ha mpir
tidak ke lihatan mendada k menya mber ke batok kepala Ling Kun-gi.
Jarak mereka a mat dekat, melihat orang mendadak turun
tangan, keruan kejutnya bukan main, tapi untuk berkelit sudah tidak
sempat lagi, maka terasa ikat rambut di atas kepalanya seperti ber-
gerak sedikit, kiranya senjata rahasia, orang telah mengena i
gelungan ra mbutnya, keruan bertambah kejut hatinya.
Terdengar Hian-ih-lo-sat tertawa, katanya: "Jangan takut, kau
tanya aku menyerang dengan senjata apa bukan? Kenapa tidak kau
ambil dan periksa sendiri saja?"
Kun-gi meraba gelung ra mbut sendiri serta menurunkan
sebatang jarum sula m panjang se-tengah dim, di be lakang lubang
jarum terikat se-utas benang le mbut warna merah, ujung benang
yang lain masih terpegang di tangan Hian- ih-to sat.Jarum ini sangat
le mbut, namun seluruh batang jarum berwarna mengkilap. terang
pernah direnda m di da la m racun.
Sekali sendal benang ketarik, jarum itupun mencelat balik dan
ditangkap oleh Hian-ih-lo-sat, katanya berseri lebar: "Sudah jelas
bukan, jarumku ini mengandung racun, sedikit tertusuk saja segera
darah keracunan dan kerongkongan a kan tersumbat, tapi kau tida k
usah kuatir, tadi aku hanya me mbentur jarum pada sepatumu,
soalnya aku masih ingin bertanya padamu, maka jangan kau pergi."
"Apa yang ingin kau tanyakan?,"
Mata Hian-ih-lo-sat mengerling, katanya mesra: "Banyak sekali,
umpa manya siapa na ma mu, murid siapa ? Siapa mengutusmu
ke mari? Setelah kau jawab terus terang, kau boleh pergi."
"Tiada yang perlu kujelaskan-"
"Berani kau bande l dihadapanku? " bentak Hian-ih-lo-sat.
" Kenapa t idak berani," tantang Kun-gi.
Hian- ih-to sat ter-loroh2, katanya:. "Agaknya kau belum tahu
siapa diriku?"
"Kenapa aku tidak tahu, kau adalah Hian-ih--lo-sat."
"Siapa yang me mberitahu pada mu?"
"Kau sendiri yang bilang tadi, ka lau tidak da-rimana kutahu."
"Setelah tahu siapa diriku, tentunya kau tahu bahwa aku
bertangan gapah dan berhati keji, dan sukar dilayani."
"Sungguh menyesal, baru sekarang aku men-dengarnya."
Hian-ih-lo-sat me lenggong, mendadak dia tertawa, katanya: "O,
tampaknya kau ini masih pupuk bawang."
Merah wajah Kun-gi, katanya: "cayhe tiada tempo buat
mengobrol dengan kau."
cepat Hian-ih-lo-sat mengadang di depannya, katanya dingin.
"Sebelum kau bicara terus terang, jangan harap kau bisa pergi."
Bertaut alis Kun-gi, dia mendongak sa mbil ter-gelak2: "Kalau aku
mau pergi boleh pergi se-suka hatiku, siapapun tak dapat
menga langiku." Alis Hian-ih-lo-sat menegak. suaranya ketus: "Baik,
cobalah"
"Nona ingin berke lahi?"
"Kau bukan tandinganku."
"Belum tentu."
Hian-ih-lo-sat angkat tangannya, jari2nya tampak putih halus,
katanya: "Marilah, boleh kau coba beberapa gebrak."
"Nona ingin menjajal kepanda ianku, silakan nona turun tangan
lebih dulu."
"Begitupun baik, bila kau ma mpu menya mbut 10 jurus
seranganku, boleh segera kau pergi," berbareng tangan kiri
terangkat, dengan enteng ia menepuk ke pundak Kun-gi. Gerak
tangannya se-perti menepuk laksana mencengkera m, aneh dan
lihay, satu gerakan se-akan2 mengandung banyak perubahan-
Ling Kun-gi menggeser ke sa mping, telapak tangan terangkat, ia
siap melancarkan tipu Thian-g-wa-lay-bun (me ga tiba dari luar langit
) untuk menahan gerak serangan lawan- Tiba2 badan Hian-ih-lo-sat
menubruk maju, telapak tangan kanan menabas iga kiri Ling Kun-gi.
Gerakan belakangan menya mbung serangan tadi, sehingga tebasan
ini menimbulkan kekuatan berlipat ganda.
Tanpa pikir, punggung telapak tangan kiri Kun-gi juga me mbalik,
secepat kilat mengebas pergelangan tangan Hian-ih-lo-sat. Terpaksa
Hian--ih-lo-sat menarik ke mba li serangannya, maka telapak tangan
Kun-gi yang sempat menyelinap masuk, gerakan ini dilandasi
Lwekang tinggi, telapak tangan setajam golok dan mengeluarkan
suara menderu, perbawanya tidak kalah hebatnya.
Agaknya tak pernah terpikir oleh Hian-ih-lo-sat bahwa lawan
yang dihadapinya ini me miliki Lwekang dan kepandaian setinggi ini,
sekilas dia tertegun, sebat sekali dia berkelit mundur, mulut
menggerung gusar, teriaknya^ "Ta k nyana kau berisi juga"
Setelah bergebrak dua kali, Kun-gi insaf bah-wa Hian-ih-lo-sat
betul2 lawan tangguh, na mun Hian-ih-lo-sat juga menyadari bahwa
Ling Kun-gi me miliki ilmu silat yang tinggi diluar perhitungannya.
Begitu terpencar kedua orang terus menubruk maju lagi, tangan
mereka bergerak turun naik dengan kecepatan luar biasa, dala m
sekejap mereka telah saling serang pula tiga jurus.
Mendadak permainan Hian-ih-lo-sat berubah, gerakan tipunya
menjadi aneh dan sukar ditebak arahnya, sehingga Kun-gi terdesak
mundur ber-ulang2, hampir saja dia tak kuasa me mpertahan-kan
diri.
Meski terkejut, dia m2 Kun-gi menghimpun semangat dan
mengerahkan tenaga, sebat sekali ia balas menyerang, Lwekangnya
me mang t idak le mah, ma ka setiap gerakannya pasti menimbulkan
pergolakan angin kencang, serangannya sukar terduga juga, entah
tutukan atau pukulan telapak tangan, kadang2 keduanya
dilancarkan bersa ma, perubahan banyak ragamnya, sukar
dibendung lagi, Hlan-ih--lo-sat kena didesaknya mundur ma lah
sehingga kedudukan tetap seimbang dan sa ma kuat.
Sejak menge mbara di dunia persilatan, entah betapa banyak
pertempuran sengit pernah dia la mi IHian-ih lo-sat, namun belum
pernah dia melihat apalagi menghadapi gerak serangan tangan
kosong seaneh Kun-gi sekarang ini, sema kin te mpur se makin
terkejut hatinya,
dengan gemulai tiba2 ia mundur dua langkah, kedua tangan
me lintang bersiaga, ta-nyanya sambil mengawasi Kun-gi: "Siapa
sebetulnya gurumu?"
" Guruku tida k suka diketahui orang, aku pantang menyebut
namanya," sahut Kun-gi.
Bersungut marah Hian-ih-lo-sat, bentaknya: "Jangan bertingkah
dihadapanku, kau kira aku tida k bisa mengorek keterangan dirimu?"
Mendadak ia melompat maju, kedua tangan mencengkera m dengan
jari2 bagai cakar. Begitu le mas kedua lengannya seperti tidak
bertulang, cengkeraman-nya ini mengandung lima-enam perubahan
serangan me matikan, terutama kesepuluh ujung jarinya yang
runcing, baunya amis, warnanya merah darah me-nyolok dan
menggiriskan, bukan mustahil jari2 tangannyapun beracun
cepat Kun-gi mundur setengah langkah, telapak tangan kanan
terayun menjojoh dengan keras, tangan kiri menangkap dengan
kecepatan luar biasa sasarannya adalah tangan kanan Hian-ih-lo-sat
yang terkembang jari2nya. Hian-ih lo- sat kaget seketika, cepat dia
tarik tangannya. Tak terduga perubahan gerakan, Ling Kun-gi
teramat cepat, baru saja dia menarik tangan, kelima jari Kun-gi la k-
sana cakar besi tahu2 sudah meny amber tiba meremas tulang
pundaknya.
cepat Hiah-ih-lo-sat berkelit ke sa mping, ber-bareng telapak
kanan me mbacok punggung tangan Ling Kun-gi, terdengar suara
nyaring, tangannya berhasil menyampuk punggung tangan anak
muda itu.
Tapi pada detik2 singkat laksana percikan api itu, tiba2 terasa
oleh Hian-ih-lo-sat telapak tangan lawan telah me mbalik terus
terangkat naik. Dari telapak tangan Ling Kun-gi terdorong kekuatan
luar biasa melalui lengannya, begitu keras getaran ini sampa i
lengannya terasa kesemutan, tanpa kuasa dia tergentak mundur
tiga langkah.
Gebrakan ini berlangsung tera mat cepat dan mereka sa ma
menyurut mundur. Terunjuk secercah senyum pada wajah Hian-ih-
lo-sat, ia tatap Ling Kun-gi sekian la manya, akhirnya ia menghe la
napas pelahan tanyanya: "Kau berna ma Ling Kun-gi, betul tida k?"
Kun-gi me lengak. sebetulnya dia ingin balas tanya: "Darimana
kau tahu?" na mun dia lantas berpikir pula. "Tadi si baju biru pernah
me mberitahu bahwa diriku biasa mengguna kan tangan kiri. "
Karena itu ia tertawa, katanya: "Betul, cayhe me mang she Ling."
Berkedip sepasang mata Hian-ih-lo-sat yang me mpesona itu,
mendadak dia cekikikan, katanya: "Jangan kau anggap dirimu luar
biasa, ketahuilah, punggung tanganmu sudah tergores luka oleh
kuku jariku"
Sejak mula Kun-gi sudah tahu bahwa kuku orang rada ganjil,
ke mungkinan beracun, namun dia pura2 bodoh, katanya:
"Me mangnya kenapa kalau tergores? Kau kira telah mengalahkan
aku?"
06
Hin-ih- lo-sat angsurkan kedua tangannya, ke-sepuluh jari2nya
yang putih halus itu pelan2 ter-angkat, katanya tertawa riang. "
Lihatlah kuku jariku"
Kuku jarinya yang terpelihara ba ik itu ternyata masing2 dicat
warna berbeda, ada merah, putih, hijau, biru, ungu dan lain2,
siapapun yang menyasikannya pasti ketarik.
"Kau panda i ma in racun?" tanya Kun-gi ngeri.
"Syukurlah kalau kau tahu," ujar Hian-ih-lo-sat, "racun yang ada
dikuku jariku ini cukup menggores luka kulit daging orang, kena
pagi tidak lewat siang, kena siang tidak lewat petang,"
Tapi Kun-gi hanya mendengus: "Hm, me mang ganas, tak heran
kau berjuluk Hian-ih-lo-sat."
"Aku telah melukai punggung tanganmu, nanti pasti kuberi obat
penawar, namun .... "
"Tida k perlu, aku tida k takut segala maca m racun," tukas Kun-gi.
"Kalau begitu boleh silakan pergi."
"Baik, cayhe mohon diri," dengan beberapa lompatan dia sudah
berlari kencang menyusup ke-hutan-
Sekaligus dia menuju kejalan besar, baru saja dia ayun
langkahnya, tiba2 dibela kangnya seorang berteriak. "Anak muda,
tunggu sebentar"
Waktu Kun-gi berpaling, tidak jauh di belakangnya berlari
sesosok bayangan tinggi besar, langkahnya enteng, seperti lambat
gerakannya, namun kecepatan luncuran tubuhnya sungguh a mat
mengagumkan, se-olah2 kedua tapak kaki tidak menyentuh tanah.
Perawakan orang ini tinggi besar, wajahnya legam seperti besi,
alisnya pendek gombyok. matanya sipit, hidung singa mulut lebar,
jubah warna kuning tua sudah luntur dan sepanjang lutut, kaki
telanjang, tampang dan dandanannya sangat aneh, nyentrik. kata
orang jaman kini.
"Tuan me manggilku?" tanya Kun-gi dengan angkuh.
Bersinar taja m mata si gede menatap Kun-gi, katanya sambil
manggut2: "Ka lau bukan aku, me mangnya siapa lagi?" .
"Tuan siapa, ada perlu apa me manggil cayhe?" tanya Kun-gi.
Terkekeh si gede, katanya dengan suara rendah: "Anak muda,
besar nyalimu, menurut kebiasaan Lohu, kau hanya boleh
menjawab tapi tida k boleh bertanya, tahu tidak?"
Melihat sikap orang yang sok berlagak tua, Ling Kun-gi menjadi
geli, sikapnya semakin angkuh, katanya: "Itukan kebiasaanmu
sendiri, tuan tahu peraturanku?"
Terbeliak mata si gede, tanyanya. "Kau juga punya peraturan
segala?"
"Betul, menurut aturanku, peduli siapapun dia harus
me mperkenalkan na manya lebih dulu, setelah kupertimbangkan
apakah dia setimpa l bicara dengan aku barulah aku ma u
me ladaninya," sudah tentu omongannya ini sengaja hendak
me mancing ke marahan orang.
Tak terduga setelah mendengar uraian Kun-gi, bukan saja tidak
marah, si gede malah ter-bahak2. Gelak tawanya seperti suara
gembreng pecah, begitu keras me meka k telinga, semakin tawa
suaranya semakin tinggi dan berge ma la ksana guntur menggelegar
di le mbah pegunungan-
Sedikit berobah rona muka Kun-gi, dia berdiri tegak tidak
bergeming, na mun hatinya kaget dan me mbatin: "Lwekang orang
ini a mat tinggi."
Lenyap gelak tawanya, mata sipit si gede me lotot kereng dingin,
katanya: "Kita sama mengukuhi peraturan sendiri, nah mari kita
tentukan peraturan siapa lebih berguna ?"
Pelan2 lengan kanannya terangkat, dari lengan bajunya yang
longgar itu terjulur ke luar sebuah tangan aneh berwarna kuning
legam, kelima jarinya mene kuk laksana ca kar elang, setiap jari2
tumbuh kuku sepanjang satu dim, runcing dan tajam laksana pisau,
kiranya itulah sebuah tangan te mbaga.
Ling Kun-gi pernah me lihat tangan besi Hoa Thi-jiu, bentuknya
menyerupai cakar. gunanya seperti alat senjata tajam umumnya,
kelima jari2nya sudah tentu tidak bisa bergerak seperti jari2 tangan
manusia umumnya. Tapi tangan tembaga yang dilihatnya sekarang
ternyata tak berbeda dengan tangan manusia umumnya, kelima
jarinya dapat terkembang dan mencengkeram dengan leluasa.
Pada saat2 genting itulah, mendadak sebUnh suara merdu
berseru dipinggir telinganya: "saudara cilik, le kas mundur"
Kun-gi mengenali yang berseru me mberi peringatan itu adalah
Hian-ih-lo-sat, namun sebelum me mbukt ikan apa yang akan terjadi,
mana dia mau mundur? la berdiri tegak tidak bergerak. ia tunggu
sampai cakar te mbaga lawan yang aneh itu ha mpir mencengkera m
dirinya, mendadak ia kerahkan tenaga pada telapak tangan kanan
terus menangkis ke depan-
Gerak serangan tangan tembaga lawan me mang pelan2, sedang
tangkisan Kun-gi bergerak cepat, Tak tahunya begitu telapak
tangannya menindih pergelangan tangan lawan terasa seperti
me mbentur sebatang besi, sedikitpun tidak berge ming, cakar
tembaga orang tetap bergerak pelan mengincar punda knya.
Tangan kanan Ling Kun-gi yang menangkis terasa kesakitan, rasa
linu kesemutan sampai me njalar ke atas pundak. keruan kagetnya
bukan kepa lang, sungguh dia tida k habis mengerti bahwa sebuah
tangan tembaga bisa begini lihay, cepat dia menarik napas se mbari
me lompat mundur.
Si gede tidak mengejarnya, wajahnya menyeringai puas,
matanya melirik ke arah hutan, bentaknya: "Siapa itu di dala m
hutan? Apa yang kau katakan kepada bocah ini?"
Tiba2 terendus bau harum terbawa angin le mbut, waktu Ling
Kun-gi menoleh, tahu2 Hian-ih-lo-sat sudah berdiri di sebelahnya.
"Untuk apa kau ke mari?" se mprot si gede.
"Apa aku tidak boleh ke mari?" Hian-ih-lo-sat cekikikan, matanya
mengerling tajam, tanyanya pula: "Kau mengenalku?"
"Lohu tidak kenal," ujar si gede.
Hian-ih-lo-sat tertawa, katanya: "Kau tak kenal aku, sebaliknya
aku mengenalmu."
"Kau tahu siapa Lohu?"
"Kau adalah La m-kiang-it-ki Thong-pi-thian--ong, betul tidak?"
"Thong-pi-thian-ong (raja langit lengan te mbaga) ? Tak pernah
Suhu menyinggung na ma orang ini" de mikian Kun-gi ber-tanya2
dalam hati.
Terbeliak mata Thong-pi-thian-ong, sesaat lamanya dia
menga mati Hian-ih-lo-sat, katanya ke-mudian- " Kaum persilatan di
Tionggoan ternyata ada juga yang kenal Lohu." -Sampai di sini tiba2
dia manggut2, katanya pula: "Baiklah, Lohu tida k akan berurusan
denganmu, boleh kau menyingkir."
"Kalau aku mau pergi, takkan kumuncul di sini," ujar Hian-ih-lo-
sat.
"Kau masih ada urusan apa?" Thong-pi-thian--ong menegas.
Hian-ih-lo-sat tidak menghiraukan pertanyaan orang, katanya
berseri tawa kepada Kun-gi: "Agak-nya kau me ma ng tida k gentar
pada racunku."
"cayhe tidak mati, kau merasa di luar dugaan?" ejek Kun-gi.
"Aku bermaksud baik, mengantar obat untukmu."
Merah muka Kun-gi, lekas dia menjura, katanya: "Kalau begitu,
aku yang salah paha m."
"Syukurlah," ujar Hian-ih-lo-sat, lalu mena mbahkan- "kau
me mang tidak keracunan, lekaslah pergi saja."
"Lohu tidak menyuruhnya pergi, siapa yang berani pergi?" bentak
Thong-pi-thian-ong.
Hian-ih-lo-sat cekikikan, katanya: "Me mang-nya kau tidak
dengar, aku yang menyuruhnya pergi?"
"Nyonya sudah tahu julukanku, tapi masih bertingkah
dihadapanku, me mangnya kau sudah mene lan nyali harimau."
"Betul, kalau a ku tidak punya nyali, mana berani kusuruh dia
pergi."
Lekas Kun-gi bersuara: "Kalau cayhe mau pergi segerapun bisa
pergi, peduli a mat dengan orang lain"
Hian-ih-lo-sat mengedip seraya berkata dengan Thoan-im-jip-bit
(ilmu mengirim gelombang suara): "Thong-pi-thian-ong meraja i
Lam-kiang (wilayah selatan), saudara cilik, bukan aku merendahkan
kau, tapi kau me mang bukan tandingannya, biarlah aku
mengadangnya sesaat, lekas kau pergi."
Jelilatan mata Thong-pi-thian-ong, teriaknya murka: "Dihadapan
Lohu, kalian berani main bisik2, apa yang kalian perbincangkan?"
"Kudesak dia lekas pergi," ujar Hian-ih-lo-sat.
"Tida k boleh," bentak Thong-pi-thian-ong, " bocah ini akan
kutahan-"
"Untuk apa kau me nahannya?"
"Lohu ingin tanya seseorang kepadanya."
"Siapa yang kau tanyakan?" tanya Kun-gi,
"Hoan-jiu-ji-lay Di mana dia?"
"cayhe tidak tahu."
"Kau bukan muridnya?"
"Kalau benar mau apa?Jika bukan kenapa pula?"
"Waktu kau bergebrak sama dia tadi, jelas yang kau mainkan
adalah ilmu ajaran bangsat gundul itu, me mangnya Lohu sa lah
lihat?" Thong--pi-thian-ong terkekeh dingin-
Ternyata dia menyaksikan beberapa jurus gebrakan Kun-gi
me lawan Hian-ih-lo-sat tadi, maka dia mencegatnya di sini.
Kun-gi naik pita m mendengar orang me manggil gurunya 'bangsat
gundul', katanya gusar: "Me mang tidak sa lah, beliau me mang
guruku, ada urusan apa kau mencari beliau? Boleh kau bicara saja
dengan aku."
Mendengar Ling Kun-gi adalah murid Hoan-cjiu- ji-lay, tanpa
terasa Hian-ih-lo-sat mengawasi le kat2.
Thong-pi-thian-ong tergelak2, katanya: "Ternyata betul kau
murid bangsat tua itu, bagus sekali, lekas katakan, bangsat tua itu
sekarang berada di mana?"
"Jejak beliau tidak menentu, tak mungkin cayhe menjelaskan,"
sahut Kun-gi.
Thong-pi thian-ong mendesak selangkah, katanya sambil
menuding Kun-gi: "Kau murid bangsat tua itu, masakah tidak tahu
dia sembunyi di mana? Ka lau tidak berterus terang, jangan salahkan
Lohu tida k me mberi a mpun pada mu."
Kun-gi gusar, serunya: "Anggaplah aku tidak mau menerangkan,
kau bisa berbuat apa terhadap diriku?"
Thong-pi-thian-ong terkekeh2, jari2 tembaga yang runcing tajam
tiba2 mencengkera m, hardik-nya beringas: "Ma ka Lohu harus
menahanmu, ka-lau yang cilik kuringkus, masakah yang tua tida k
akan keluar dari kandangnya?"
"Nanti dulu" lekasi Hian-ih-lo-sat mencegah.
Tangan tembaga Thong-pi-thian-ong yang sudah terulur berhenti
di tengah jalan, bentaknya sa mbil berpa ling: "Ada apa kau?"
"Kau ingin mencari gurunya, kalau ma mpu pergilah cari sendiri,
nama Thong-pi-thian-ong cukup beken, me mangnya kau tidak malu
berkelahi dengan anak murid orang?"
"Sela manya Lohu tidak peduli soal tetek- bengek. sudah 30 tahun
Lohu mencari bangsat tua itu, kebetulan muridnya kebenturku di
sini, betapapun Lohu takkan melepaskan dia pergi"
"Tida k bisa,"jengek Hian-ih-lo-sat, "tadi aku sudah suruh dia
pergi, ma ka dia harus pergi."
Mendelik Thong-pi-thian-ong, dengan gusar dia tatap Hian-ih-lo-
sat, katanya ter-kekeh2: "Nyonya muda, kau berani ca mpur tangan
. ." tangan yang bergerak dan sedianya hendak me nye-rang Ling
Kun-gi tadi tiba2 bergerak pula pelan2 beralih ke arah Hian-ih-lo-sat.
Sementara itu Kun-gi sudah keluarkan pedang panjang dari
buntalannya, hardiknya: "Tahan"
"Kau mau ajak Lohu mencari gurumu?" tanya Thong-pi-thian-
ong.
Kun-gi berdiri kereng menenteng pedang, katanya: "Soal ini tiada
sangkut pautnya dengan nona ini. Tidak sukar me mbawa mu
mene mui guruku asal kau bisa menga lahkan pedang ditangan-ku
....."
Thong-pi-thian-ong coba pandang pedang di tangan Ling Kun-gi,
mendadak ia tertawa lebar, katanya dingin: "Lohu ingin menahan-
mu, sudah tentu harus mengalahkan kau lebih dulu."
"Adik cilik," seru Hian-ih-lo-sat, "kau bukan tandingannya, lekas
menyingkir."
"Soal ini tiada sangkut pautnya dengan nona. lekas kau pergi
saja," sahut Kun-gi.
"Anak muda, kau sudah siap?" Thong-pi--thian-ong tidak sabar
lagi, kelima jarinya terkembang terus mencengkera m ke arah Kun-
gi.
Sejak kecil Ling Kun-gi meyakinkan ilmu pedang warisan
keluarganya. cuma waktu dia henda k berangkat Suhunya pernah
berpesan wanti2, kecuali terpaksa ilmu pedangnya dilarang
sembarang ditunjukkan di depan umum. Sekarang dia menghadapi
Thong-pi-thian-ong yang berilmu silat serba aneh, lengan tembaga
dan telapak tangan tembaga pula, kerasnya laksana baja, kalau
dirinya melawan dengan bertangan kosong, mungkin untuk
me mpertahankan diri saja sukar, maka terpaksa dia keluarkan
pedangnya.
Kini melihat cakar te mbaga lawan mencengkera m tiba, secepat
kilat otaknya bekerja: " Lengan tembagamu me mangnya tidak takut
senjata tajam, tapi anggota badanmu yang la in, apa juga kebat
senjata?" Sebat sekali ia berkelebat maju, pergelangan tangan
menggentak. pedangpun menabas miring. Serangan ini dilancarkan
dengan badan miring sa mbil mendesak maju, orangnya tiba
pedangpun menganca m. Walau jurus yang dan gunakan hanya tipu
biasa Sian-niao-hoa-se (burung dewa menggores pasir), namun
dilancarkan oleh seorang ahli seperti Ling Kun-gi, bukan saja lebih
lincah dan hidup, gerakannyapun teramat cepat dan berbahaya.
Sepasang mata Hian-ih-lo-sat me mancarkan sinar terang
menyaksikan ilmu pedang yang tiada taranya ini. Selama hidup
Hoan-jiu ji-lay tidak pernah menggunakan pedang, namun murid
tunggalnya ini ternyata me miliki ilmu pedang yang tinggi dan lihay
sekali.
Kelima jari te mbaga Thong-pi-thian-ong terpentang, gerakannya
seperti amat lamban, tujuannya semula hanya mau meringkus
bocah kurang-ajar ini, tapi serta melihat gerakan pedang Ling Kun-
gi yang hebat, tiba2 ia mendengus,jari2nya malah mencengkera m
pedang yang menyamber t iba. Sungguh permainan aneh,
perubahannyapun cepat tak terduga, lengan sedikit me lint ir, tahu2
batang pedang sudah berhasil dipegangnya, sementara jari tangan
kiri berbareng menutuk ke pundak Kun-gi.
Terasa batang pedang mendada k tergetar, pergelangan tangan
anak muda itupun kese mutan, telapak tangan lecet kesakitan, tahu2
kelima jari lawan yang beruji runcing juga menyerang tiba. Keruan
bukan main kaget Kun-gi, kalau dirinya tidak lepas pedang serta
me lompat mundur, pundak sendiri pasti kena tertusuk, terpaksa dia
le mparkan pedangnya, lalu dengan gerakan Hu-kong liang-in
(cahaya mengambang me la mpaui bayangan) dia meloncat mundur
ke belakang.
Dengan mencengkera m pedang di tangan kanannya, tutukan jari
tangan kiri Thong-pi-thian--ong masih tetap mengarah ke depan,
mulutpun me mbentak: "Anak muda, robohlah kau!!"
Jarinya yang menuding ke depan tetap diacungkan, tahu2 sarung
jari tembaga yang terpasang diujung jarinya melesat ke depan
me mbawa kesiur angin kencang, sasarannya tetap tidak berubah,
pundak kiri Ling Kun-gi.
"Adik cilik, awas" Hian-ih-lo-sat berseru me mperingatkan-
Hanya sekali gebrak. pedang terampas, dikala dia merasa
bingung dan kaget, tahu2 selarik sinar kuning ke milau me lesat ke
arahnya, keruan Kun-gi ta mbah berang, serunya dengan tertawa
lantang:
"Bagus" - Tangan kiri terangkat, dia incar selong-song jari
tembaga itu terus menjentiknya sekali. Kali ini dia gunakan Tan-ci-
sin-thong (selentikanjari sakti) salah satu dari 72 ilmu silat Siau lim-
pay. "creng", selongsong jari tembaga itu kena dijentiknya mencelat
beberapa tombak jauhnya.
Selama puluhan tahun belum pernah tutukan jari terbangnya ini
menga la mi kegagalan, kini kecundang di tangan seorang muda yang
dianggapnya masih ingusan, tapi ternyata me miliki ilmu silat tinggi,
sekilas dia me lengak. dengan pandangan liar dia tatap Ling Kun-gi,
jengeknya sambil terkekeh: "Bagus, anak muda, agaknya seluruh
kepandaian si bangsat tuapun telah diturunkan pada mu."
Hian-ih-lo-sat cekikikan, selanya: "Babak ini kalian setanding alias
seri, yang satu direbut pedangnya, yang lain selongsong jarinya
terjentik jatuh, tiada pihak yang lebih unggul ."
"Omong kosong" bentak Thong-pi-thian- ong dengan mata
me lotot.
"Siapa omong kosong?" sikap Hian-ih-lo-sat tetap manis, "
me mangnya kau be lum menga ku ka lah setelah jari tembagamu
terjentik jatuh?"
Thong-pi-thian-ong menggerakkan jari2 tembaga seperti
menganca m, hardiknya gusar,
" Le kas engkau enyah dari sini"
"Ada suatu hal ingin aku berunding dengan kau, entah kau mau
tidak?" kata Hian-ih-lo-sat tetap sabar.
"Kata2ku sekukuh gunung, tiada soal berunding segala,
betapapun Lohu harus me nahan bocah ini."
"Soal yang ingin kurundingkan tiada hubungannya dengan dia."
Sebel rasa Thong-pi-thian-ong.
"Soal apa ?" tanyanya tidak sabar.
Hian-ih-lo-sat unjuk senyuman manis, ujar-nya : "Kulihat kau
me miliki ilmu silat tinggi, me miliki lengan te mbaga lagi, sungguh
mencocoki seleraku ....." tawa yang manis menggiurkan di-ta mbah
dengan gerakan badan yang bergaya menantang.
Mata sipit Thong-pi-thian-ong menjadi terbeliak, apalagi
mendengar kata2 "mencocoki selera- ku", keruan hatinya terasa
syuur, senangnya bukan main- Me mang usianya sudah setengah
abad, tapi selama ini dia tetap bujangan, sesaat dia mengawasi
Kun-gi, ingin rasanya segera menggebah-nya pergi. Tapi demi
gengsi, tadi dia menahannya, kalau sekarang mengusirnya ma lah
berarti menjilat ludah sendiri, ma ka sesaat mulutnya tak bisa bicara.
Tapi wajahnya yang tadi merah pada m sekarang ta mpak berseri
senang, katanya dengan halus: "cayhe seorang yang suka berterus
terang, Siau-nio-cu (nyonya muda) ada omongan apa, boleh sila kan
katakan saja."
Tadi dia me mbahasakan dia Lohu (aku orang tua ), sekarang
diganti cayhe (aku yang rendah), kiranya dia merasa dirinya lebih
muda beberapa tahun secara mendadak.
Hian-ih lo-sat me lerok sa mbil mencibir, katanya tertawa genit:
"Dengan adik ini kau tidak bermusuhan, biarkan dia pergi saja, nanti
kita bicara lagi."
orang suruh Kun-gi pergi, tentu saja cocok dengan ke inginan
Thong-pi- thian-ong, dia berseri tawa, katanya. "Betul Siau-nio-cu,
cayhe hanya mencari gurunya, Hoan-jlu-ji-lay, dulu aku pernah
bentrok sama dia, maka sekarang ini ingin ku bereskan perhitungan
la ma. Ha h, sebetulnya soal ini juga tidak penting, Siau-nio-cu ma u
menda ma ikan soal ini, biarlah a ku menurut saja," la lu dia berpaling
ke arah Ling Kun-gi, teriaknya: "Anak muda, kau boleh lekas enyah"
Sudah tentu Kun-gi maklum a kan watak genit Hian-ih- lo-sat,
agaknya dia sengaja hendak me mikat Thong-pi-thian-ong dengan
rayuannya, serta memperalat orang menjadi kaki tangannya.
Usia Thong-pi-thian-ong sudah setengah abad, tapi masih mata
keranjang dan suka pipi halus. naga2nya laki perempuan ini
me mang sudah sama ketagihan- Karena merasa muak dan jijik,
lekas Kun-gi je mput pedangnya, tanpa bersuara dia terus tinggal
pergi.
Sudah seperti di kili2 hati Thong-pi- thian-ong, segera dia
me langkah maju sambil me mandang Hian-ih-lo-sat lekat2 se-akan2
ingin mene lannya bulat2, katanya cengar-cengir: "Siau-nio-cu,
bocah itu sudah pergi, ingin omong apa lekas kau katakan"
Hian-ih-lo-sat gigit bibir, mata mengerling penuh arti, katanya
sambil tertawa:
"Kalau kukatakan, kau tidak marah bukan?"
Dala m jarak tiga kaki hidung Thong- pi-thian--ong sudah
mengendus bau harum yang me mabukkan, seketika jantungnya
berdegup lebih cepat. Dia m2 dia menyesali hidupnya sela ma lebih
20 tahun yang lampau secara sia2, kenapa sampai mala m ini baru
akan merasakan badan pere mpuan yang cantik dan harum
menggiurkan- Lekas dia berkata: "Boleh katakan saja, cayhe pasti
tidak akan- ..tidak akan marah."
Dengan sapu tangan menutup mulut, Hian-ih-lo-sat berkata
aleman- "Kalau kau tidak marah, biarlah aku bicara terus terang.
Kulihat lenganmu ini kalau tida k salah terbuat dari ca mpuran
tembaga dengan e mas, malah di da la mnya juga terpasang alat2
rahasia sehingga biaa digunakan secara bebas dan lincah, dibanding
12 tangan besi keluargaku je las lebih se mpurna, oleh karena itu
......."
" Karena itu apa?" tanya Thong- pi-thian-ong.
"Lengan tembaga bukankah setingkat lebih tinggi dari lengan
besi? oleh karena itu a ku ingin mengundangmu menjadi kepala dari
barisan tangan besi keluargaku .....".
Ternyata dirinya hanya akan dijadikan kepala barisan segala,
sungguh terlalu dan besar salah wesel ini. seketika beruubah kela m
air muka Thong-pi-thian-ong, dengus-nya: "Kau .....ingin Lohu
menjadi kepala barisan"
Hian-ih- lo-sat me mbetulkan letak ra mbutnya yang terurai,
ujarnya: "Eh, kau tidak mau ? Atau merasa merendahkan derajatmu
? Bicara terus terang, setiap anggota barisan tangan besi adalah
jago2 silat kelas tinggi diBu-lim, dibanding kau Thong-pi-thian-ong
rasanya tidak lebih rendah, kuangkat kau menjadi kepala barisan
mereka, karena kau punya lengan te mbaga yang lebih se mpurna, ini
berarti aku telah me ngangkat dan me nghargai dirimu?"
Naik pitam Thong-pi-thian-ong mendengar kata2 orang,
hardiknya beringas: "Pere mpuan bangsat, berani kau menggoda dan
me mperma inkan diriku?"
Mendadak berubah ka ku wajah Hian-ih lo-sat, katanya dingin:
"Aku sudah naksir lengan tembaga mu itu, maka kau harus jadi
kepala barisan lengan besi itu, kuundang kau secara hormat, kalau
tidak mau terpaksa kuguna kan kekerasan pada mu." di mana
tangannya mela mbai, tiba2 serangkum bau harum merangsang ke
muka lawan-
Betapapun Thong-pi-thian-ong juga banyakpengala man, dengan
terkesiap cepat ia melompat mundur seraya menghardik:
"Perempuan sundel ....." belum habis makiannya, tiba2 terasa di
sebelah belakang ada apa2 yang tak beres, maklumlah betapa tinggi
dan tangguh ilmu silat Thong pi-thian-ong, dala m jarak tiga tomba k
asal ada orang mendekati dirinya pasti diketahuinya.
Tapi ka li ini panca inderanya bekerja lambat, waktu dia
merasakan gejala tida k beres, orang dibelakangnya sudah dekat.
Dari suara napas orang ia tahu ada dua orang telah menganca m
dirinya dari belakang. Dia m2 dia me mbatin: " orang dapat
mende katiku da la m jarak setombak, agaknya kepandaian mereka
me mang tidak lebih rendah daripada diriku."
cemerlang sinar mata Hian-ih-lo-sat, katanya sambil tertawa:
"Baiklah, ka lian saja yang menangkapnya." Berbareng ia lantas
me lompat mundur.
Kedua orang di bela kang saling me mberi isyarat, mulut masing2
bersiul seka li, la lu me lompat maju bersa ma, kedua tangan masing2
bergerak menangkap ke tubuh Thong-pi-thian-ong .
Bukan kepa lang gusar Thong-pi-thian-ong, sambil menghardik
dia ayun lengan tembaga melayani serangan orang yang melabrak
dari kiri, berbareng badan berputar, tahu2 kaki kanan melayang
menyerampang lawan yang menubruk dari kanan-
Sekilas dilihatnya kedua orang yang melabrak dirinya adalah laki2
berbaju hijau, usianya kurang lebih 40-an, yang mengejut kan
adalah tangan kiri mereka bersemu kehijauan, kelima jari tangannya
laksana cakar yang mengkilap. kelihatan runcing taja m, dari sinar
ke milau kehijauan itu jelas bahwa lengan mereka berlumur racun
yang amat jahat.
Mau tak mau timbul rasa curiga Thong-pi-thian-ong, batinnya:
"Tadi dia bilang keluarganya punya 12 orang berlengan besi,
semuanya adalah tokoh2 Kangouw yang beken na manya,
me mangnya siapa dan bagaimana latar belakang orang2 ini?"- Hati
me mbatin, se mentara mulut menghardik: "Keparat, kalian bertiga
maju bersama juga Lohu t idak pandang sebelah mata."
"Jangan kau takabur," jengek Hian-ih-lo-sat, "kalau tiba saatnya
aku turun tangan, pasti aku akan turun gelanggang."
"Trang", suara benturan benda keras me me-kak telinga, lengan
tembaga Thong-pi-thian-ong disa mbut oleh pukulan lengan besi
orang sebelah kiri, keduanya sama terhempas mundur. Maka laki2
baju hijau di sebelah kanan mendapat peluang untuk menubruk
maju, lengan besi kirinya segera bergerak dengan tipu Hing-bok-
liong- kan (me m-belah miring ulu naga), pinggang Thong-pi-thian--
ong menjadi incaran-
Tak keburu berkelit, terpaksa Thong-pi- thian--ong kerahkan
tenaga, ia sambut pula serangan lawan dengan lengan tembaganya,
"Trang" begitu lengan tembaga, dan lengan besi beradu, la ki2 baju
hijau di sebelah sana terpental mundur tiga tindak. Thong-pi-thian-
ong sendiri juga tak kuasa menguasai diri, iapun me nyurut tiga
tindak. dia m2 batinya bertambah kejut, walau Lwekang kedua lawan
bukan tandingannya, tapi terpaut tidak jauh.
Sementara lawan di sebelah kiri sudah merangsak maju pula,
jari2 tangan besi kirinya bergerak la ksana sa mberan kilat, telapak
tangan kanan berwarna merah darah menyolok menyerang tiba
bersama, jalan mundur Thong-pi-thian-ong sudah terkurung. Sebat
sekali lawan di sebelah kananpun melompat maju pula, lengan besi
menyerang dengan jurus No liong-sip-cu (naga marah menggondol
mut iara), gerak lengannya lapat2 membawa bunyi gemuruh terus
mencakar ke batok kepala Thong-pi-thian-ong.
Thong-pi-thian-ong murka sekali, ia me mbentak keras, sambil
me loncat ke atas, di ma na lengan bajunya mengebas, segera dia
balas menyerang dengan gencar. Sebagai jago nomor satu di
daerah selatan yang dijuluki La m-kiang-it-ki, bukan saja lengan
tembaganya lihay luar biasa, kepandaian silat lainnyapun terhitung
kelas wahid di-kalangan Bu-lim. Tapi di luar dugaan bahwa ke-dua
orang baju hijau yang dihadapinya sekarang juga gembong2 aliran
hitam pilihan, ilmu silatnya sudah tentu tidak le mah.
Serang menyerang berlangsung dengan gencar, ketiganya tanpa
menggunakan senjata, tapi pertempuran ini jauh lebih berbahaya
dan sengit dari adu senjata. Gebrak dilakukan dala m jarak dekat -
semakin te mpur se ma kin sengit, sedikit lena tentu jiwa terancam,
tidak mati juga pasti terluka parah.
Dala m sekejap 30 jurus telah berlalu. Sema-kin bertempur
Thong-pi-thian ong se makin murka.. tapi juga semakin kaget, tadi
dia mengira da la m 30 jurus pasti dapat mengalahkan kedua lawan-
nya, tapi kenyataan kedua lengan besi lawan dapat bekerja sa ma
sedemikian baiknya, serangan-pun gencar dan ganas. Setelah 30-an
jurus ini ternyata dirasakan bahwa Lwekang sendiri se makin susut.
Sudah tentu keadaan ini sema kin menciutkan nyali dan
perbawanya, sekaligus menyadarkan benak-nya pula bahwa secara
tidak disadarinya tadi dirinya sudah dikerja i oleh Hian-ih-lo-sat.
Mendadak dia menggerung gusar, lengan te mbaga sebelah kanan
terayun ke atas, dari kelima ujung jari te mbaganya itu serempak
menye mperot keluar lima jalur air kuning yang deras. Kiranya
buatan lengan tembaga sebelah kanan Thong-pi-thian-ong lebih
ringan, di dalamnya ada selongsong yang berisi air beracun, asal
tekan tombolnya, air beracun akan menyemprot dari lubang di
ujung jari. Se mprotan air kuning itu dapat mencapai setomba k
jauhnya, sekali kulit badan manusia kena kese mprot, daging
seketika me mbusuk. Apalagi serangan ini sering dilancarkan secata
mendadak. ma ka ganasnya luar biasa.
Agaknya kedua laki2 baju hijau secara dia m2 telah dikisiki Hian-
ih-lo-sat dengan ilmu mengirim ge lombang suara, begitu lengan
kanan Thong-pi--thian-ong terayun ke atas, serempak dengan cepat
luar biasa mereka melompatjauh menghindarkan diri. Begitu a ir
kuning itu menyemprot bagai kabut tebal me landa ke e mpat
penjuru, kedua orang itu-pun sudah mundur setombak lebih.
Maka terdengarlah suara mendesis ra mai, air kuning itu muncrat
bertaburan di atas tanah dan seketika menimbulkan kepulan asap
kuning yang baunya teramat busuk. untunglah angin pegunungan
lekas sekali meniupnya buyar.
Melihat se mprotan air beracunnya gagal, amarah Thong-pi-thian-
ong semakin me muncak, ia menuding Hian-ih- lo-sat dan
me mbentak: "Sunde l, berani kau kerja i Lohu?"
"Baru sekarang kau tahu" jengek Hian-ih-lo-sat cekikikan-
Berkerutuk gigi Thong-pi-thian-ong, hardiknya bengis: "Keparat,
ma mpuslah kau, e mpat titik ke milau kuning laksana e mas
mendadak menjiprat ke ke luar laksana sa mbaran kilat, itulah
selongsong jari2 tembaga yang dia pasang pada ujung jari
tangannya. Maka terdengar Hian-ih-lo-sat menjerit kaget, mendadak
tubuhnya roboh ke belakang. Thong-pi thian-ong tertawa dingin,
ejeknya:
"Perempuan ja lang, sebetutulnya tiada niat Lohu, membunuhmu,
kau sendiri yang cari ma mpus, jangan sa lahkan Lohu keja m"
Sembari bicara segera ia henda k me mungut ke mbali selongsong
jari tembaga, mendadak kepalanya pusing, badan yang sudah
terbungkuk ha mpir saja jatuh terjerembab.
Pada saat yang sama, kupingnya mendengar tawa ringan merdu,
berbareng jalan darah di belakang batok kepalanya terasa sakit
tertutuk. mata menjadi ge lap. seketika dia jatuh tersungkur dan
tidak ingat diri..
Hian-ih-lo-sat berdiri di be lakang sa mbil tertawa cekikikan, di
mana tangannya mengulap. dua orang segera maju mendekat, kata
mereka sa mbil me luruskan kedua tangan: "Siancu ((dewi) ada
perintah apa."?"
Hian-ih-lo-sat mengeluarkan sebuah botol porse lin kecil serta
menuang sebutir pil warna hijau ,gelap. dianggurkannya kepada
kedua orang baju hijau, katanya: "Minumkan obat ini kepadanya."
Laki2 baju hijau sebelah kiri mengia kan, dia terima obat pil itu
serta pencet dagu Thong-pi--thian-ong, pil itu terus dia jejal ke
mulutnya. Hian-ih-lo-sat tertawa puas, katanya: "Bawa dia,
sekarang kita boleh pergi"
oooooooooo
Sepanjang jalan Ling Kun-gi ber-lari2 kencang, waktu terang
tanah dia sudah tiba di cin--siang, ia cari hotel terus masuk ka mar,
ia duduk se madi sa mpai lupa keadaan sekelilingnya.
Waktu mengakhiri se madinya, haripun sudah dekat tengah hari,
kepada pelayan ia minta diantar makanan ke da la m ka mar, setelah
kenyang dia salin pakaian, menyoreng pedang, setelah bayar
rekening terus berangkat.
Tengah hari ra mai orang yang berlalu la lang dijalan raya, sudah
tentu tak mungkin dia menge mbangkan Ginkang, tapi dari cin-s iang
sampai ke Siau-s ian, jaraknya kira2 ada 200 li, ter-paksa dia beli
kuda untuk mene mpuh perjalanan jauh ini.
Kuda dibeda l terus sampai kehabiaan tenaga dan berbuih
mulutnya, sebelum magrib dia tiba di sebuah dukuh kecil, letaknya
tidak jauh dari Pat-kong-san. Kebetulan di pinggir ja lan ada sebuah
gubug yang mengibarkan panji bertuliskan "arak", kiranya warung
arak tempat orang berteduh dari terik matahari dan sekedar
istirahat. Setelah menempuh perjalanan setengah hari, lapar dan
dahaga perut Ling Kun-gi, maka dia tambat kuda pada pohon di luar
warung terus me masuki warung arak itu.
Tampak seorang laki2 berpakaian kasar tengah me mbersihkan
meja. Kiranya hari menje lang magrib, pejalan kaki buru2
me lanjutkan perjalanan masuk kota, maka keadaan warung ini sepi.
"Pelayan, masih ada makanan apa, lekas keluarkan," begitu
masuk Kun-gi terus minta makanan serta me milih te mpat duduk.
Pelayan mengawasi Kun-gi sejenak. sahutnya: "Tuan tunggu
sebentar, makanan masih ada" buru2 dia berlari masuk.
Melihat langkah orang enteng dan gesit, diam2 tergerak hati
Kun-gi, batinnya: "Pakaian pelayan ini kelihatan kasar, gerak-
geriknya kurang me madai, langkahnya gesit lagi, tempat ini sudah
tidak jauh dari Pat-kong-san, bukan mustahil ini mata2 musuh? Aku
harus berlaku hati." De mikian dia lantas waspada.
Lekas sekali pe layan tadi sudah ke luar me m-bawa sepoci air teh
dan sebuah cangkir, katanya sambil seri tawa: "Tuan, silakan minum
dulu, bak-pau dan pangsit di warung kami me mang selalu sedia,
sebentar lagi selesai dipanasi."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ada makanan apa pula boleh kau
keluarkan saja."
Pelayan meng ia kan terus berlari masuk pula. Walau
kerongkongan merasa kering, tapi Kun-gi tidak berani segera
minum, ia keluarkan kantong sula m pe mberian Un Hoan-kun dan
ambil sebutir Jing-sim-tan terus dikulum dala m mulut, lalu dia tuang
secangkir teh dan ditenggak habis.
Tak la ma ke mudian pelayan sudah keluar me mbawa sepiring
pangsit dan bakpau, katanya tertawa: "Tuan silakan mencicipi dulu."
Setelah meletakkan piring, matanya mengerling, dilihatnya Kun-gi
sudah menghabiskan secangkir teh, seketika wajahnya menunjuk
rasa senang. Tersipu2 dia a mbil poci serta menuang pula secangkir
untuk Kun-gi, katanya tertawa: "Tuan mene mpuh perjalanan jauh,
tentu haus, daun teh warung ka mi adalah Lo-san-teh keluaran Pat-
kong-san yang segar dan nyaman rasanya, warnanya memang tida k
sedap dipandang, tapi kental dan nikmat, cocok untuk
menghilangkan dahaga."
Melihat gerak-gerik orang serta tutur kata-nya, Kun-gi tahu di
dalam air teh pasti ditaruh apa2, namun dia sudah telan Jing-sin-
tan, tak perlu takut muslihat orang, maka dia manggut2, kata-nya
"Air teh ini me mang enak rasanya." se- cangkir penuh kembali dia
tenggak habis, lalu bak-pau dan pangsit ganti berganti dia gasak
pula.
Melihat secangkir teh habis pula, se makin riang hati pelayan,
lekas dia tuang penuh pula se-cangkir. Sekejap saja Ling Kun-gi
sudah lalap-habis sepiring bakpau dan pangsit, air tehpun entah
sudah berapa cangkir masuk ke perut, katanya sambil angkat
kepala: "Berapa duitnya?"
Habis berkata tiba2 dia pegang kepala sambil mengeluh ringan,
katanya: " celaka, kenapa kepa laku jadi pusing?"
Sejak mula pelayan berdiri di sa mping me layaninya, segera dia
unjuk seri tawa, katanya: "Mungkin tuan ter-buru2 mene mpuh
perjalanan, badan penat tentu kepala pusing."
Sambil mengawasi pelayan, Kun-gi berkata: "Tidak mungkin,
barusan aku segar bugar, kenapa mendadak. bisa pusing? Mungkin
..... kau ...... . mencampur apa2 di dala m ...... air teh?"
Beberapa patah kata terakhir diucapkan dengan suara tidak jelas,
badan menjadi le mas, kepala tertunduk ke atas meja terus pulas.
Pelayan itu tiba2 tertawa lebar, katanya puas: "Anak muda, bila
kau sadar, tapi sudah terla mbat."
Dari dala m warung tiba2 berlari keluar seorang la ki2 pula,
serunya: "Sudah kau tundukkan bocah itu?"
Pelayan itu tertawa: "obatnya kutaruh satu lipat lebih banyak dari
biasanya, me mangnya kuat dia bertahan? Bocah ini me ma ng luar
biasa kekuatannya, orang lain seteguk saja pasti semaput, tapi dia
hampir menghabiskan sepoci dan sepiring bak-pau dan pangsit, cit-
ya bilang dia tidak takut racun, tadi juga aku kuatir kalau dia keba l
dari Tip- gau--bi (masuk mulut semaput, na ma obat bius)."
"Kau tunggu dia sebentar, aku akan lapor kepada cit-ya," kata
laki2 yang baru datang. Lalu melangkah ke luar.
Sudah tentu semua percakapan mereka didengar oleh Ling Kun-
gi. baru sekarang dia tahu duduk persoalannya, bahwa yang
mengundang dirinya ke Pat-kong-san ternyata me mang betul Tong
cit-ya adanya. Sudah tentu dia tidak berpeluk tangan me mbiarkan
laki2 itu pergi me mberi laporan- Dia m2 jari tangan kanan menjentik,
sejalur angin segera menerjang punggung laki2 yang sudah
me langkah ke-luar pintu. Seketika laki2 itu me matung kaku di
ambang pintu karena tertutuk Hiat-tonya.
Melihat te mannya berhenti di depan pintu, pelayan itu segera
mendesak: "Katanya mau lapor kepada cit-ya, kenapa tidak lekas
berangkat, kuda tunggangan bocah ini ditambat di luar pintu, apa
pula yang kau tunggu?"
Karena Hiat-to tertutuk. badan kaku tak ma mpu bergerak, sudah
tentu mulutnya juga kaku tak dapat bersuara. Keruan laki2 yang
menya mar pelayan itu menjadi heran dan menggerutu: "Hai, cui-
losam, kenapa kau?"
Baru saja selesai bicara, kupingnya tiba2 mendengar suara halus
berkata: "Losam ke masukan setan, lekas kau saja yang lapor
kepada cit-ya."
Pelayan berjingkat kaget seperti disengat kelabang, mata jelilatan
mengawasi sekelilingnya, tapi dalam warung hanya Ling Kun-gi
seorang dan tetap mendeka m di atas meja, sudah se maput minum
obat biusnya lalu siapakah yang berbicara?
Tahu ada gejala2 ganjil, dengan jeri dia ber-kata: "Siapa kau?"
Hanya dirinya yang masih segar bugar di dalam warung, tiada orang
lain, sudah tentu tiada orang yang menjawab pertanyaannya.
Dengan me mbusungkan dada me mperbesar nyail, pelayan ini
menjura kee mpat penjuru, katanya keras: "Sahabat dari mana kah
yang bicara dengan cayhe? Kami dari keluarga Tong di Sujwan, atas
perintah Tong cit-ya kami mela kukan suatu pe kerjaan di sini,
mungkin sahabat kebetulan lewat, umpama air sungai tida k
bercampur air sumur, kuharap sahabat tidak menca mpuri urusan
kami."
Kun-gi angkat kepa la serta berkata tertawa: "Aku akan me mberi
ampun pada mu, asal kau mau bicara terus terang."
Sudah tentu nelayan itu berjingkrak kaget pula, serunya dengan
terbeliak: "Kau . . . . kau tidak se maput?"- Ada niat lari, tapi entah
mengapa kedua ka kinya tida k mau turut perintah lagi.
Kun gi mengawasi orang dengan tertawa, ka-tanya, "Bukankah
tadi kau bilang cit-ya mengatakan aku tidak takut racun? Kalau
racun aku tidak gentar, apa lagi obat bius, me mangnya aku
gampang dibikin se maput?"
Grmetar badan pelayan itu, keringat dingin gemerobyos
me mbasahi badannya.
"Saudara harap tenang2 saja, dihadapanku kau tidak bisa lari
lebih t iga langkah," Kun-gi me m-peringatkan-
Laki2 itu me mang tidak berani bergerak. katanya tergagap:
"Toaya, kau .... kau tentu tahu, hamba hanya .... menjalankan
perintah .... "
"Jangan cerewet, jawab pertanyaanku, di mana cit ya sekarang?"
"cit-ya .... cit--ya sekarang berada di pat-kong- san."
"Pat-kong-san sebelah mana?"
"Di rumah keluarga Go."
"Siapa yang telah kalian culik?"
"Kabarnya seorang nona, dia adalah adik Toaya . ."
Heran hati Kun-gi, Entah nona siapa dan dari mana yang mereka
culik, tapi orang mengatakan dia adikku? Ma ka iapun manggut2,
katanya: "Baiklah, aku tidak akan menyakiti kalian, tapi kalian harus
tetap di sini."
Sekali tuding dari kejauhan dia tutuk Hiat-to pelayan serta
berkata dingin: "Hiat-to kalian hanya kututuk. setelah tengah mala m
nanti baru akan terbuka sendiri."
Dengan langkah lebar dia keluar dan ce mpla k kudanya terus
dibedal ke arah Pat-kong-san..
Lekas sekali dia sudah tiba di Pat-kong-san, tampak sebuah jalan
besar yang dialasi papan batu, rata memanjang langsung menuju ke
rumah milik keluarga Go di atas gunung.
Hari sudah ge lap. tapi mata Ling Kun-gi dapat melihat di te mpat
gelap. dilihatnya di depan ada sebuah hutan, di depan sana berdiri
empat laki2 seraga m hitam. Di sebelah belakangnya lagi adalah
laki2 tua berjubah biru, usianya lebih dari setengah abad, kepalanya
mengenakan topi yang bentuknya seperti semangka, mukanya
kurus tepos, matanya bersinar terang, Thay-yang-hiat dikedua
pelipianya menonjol, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia
seorang jago kosen me miliki kekuatan luar da la m, Tangan laki2 tua
bertopi me megang sebatang pipa cangklong panjang, sikapnya
dingin, dengan seksa ma dia mengawasi Kun-gi tanpa bersuara.
Tetap duduk dipunggung kudanya Kun-gi berkata dengan sikap
angkuh:
"Ada apa?"
Salah satu keempat laki2 seraga m hita m bersuara: "Kau siapa
dan mau ke mana ?"
"Siapa aku dan ma u ke mana, peduli apa dengan ka lian ?"
Laki2 yang bicara menarik muka, katanya: "Kau tahu menjurus
ke mana jalan ini?"
"coba katakan, ke mana?"
"Jalan besar ini hanya menuju ke gedung keluarga Go."
"Me mang a ku mau ke te mpat keluarga Go."
Agaknya laki2 tua bertopi tidak sabar lagi, dia mengulap tangan
menghentikan percakapan, kata-nya kepada Kun-gi: " Untuk
keperluan apa tuan pergi ke te mpat keluarga Go?"
Kun-gi tertawa dingin, jawabnya: " Untuk apa aku ke mari?
Kenapa kau tanya aku ma lah?"
"Kalau saudara tidak ingin kena perkara, kuharap le kas putar
balik saja," anca m la ki2 tua ber--topi.
Menegak alis Kun-gi, tatanya: Justeru seba-liknya, keluarga Tong
kalian yang sengaja cari perkara padaku."
Berubah air muka laki2 tua bertopi, katanya berat: "Setelah tahu
siapa yang bertempat tingga l di te mpat ke luarga Go sekarang, tapi
kau masih meluruk datang?"
-o0dw0o-

"Kalau aku takut kena perkara, me mangnya aku berani datang?"


ejek Kun-gi.
"Bocah sombong," ma ki laki2 tua bertopi dengan gusar. Tiba2 dia
berpaling kepada kee mpat la ki2 seraga m hita m, katanya sambil
menuding Ling Kun-gi dengan pipanya: "Siapa diantara kalian yang
berani meringkusnya?"
Dua orang segera tampil ke muka, masing2 me lolos golok di
tangan kanan dan kiri, dengan lang-kah lebar mengha mpiri Kun-gi.
Setelah dekat ke duanya sama2 angkat golok, bentaknya: "Saudara
mau turun dan terima diringkus? Atau ingin ka mi ajar?"
Dengan tenang Kun-gi tetap bercokol di atas kudanya, katanya
tertawa: "Boleh terserah apa ke-hendak kalian-"
Karena Kun-gi tetap duduk di punggung kuda, kedua orang ini
tahu untuk me mbuatnya turun terpaksa harus meluka i kudanya
dulu. Maka tanpa berjanji keduanya lantas me mbabat ke kaki kuda,
mulutpun menghardik: "Bocah, menggelinding turun"
Berkerut alis Kun-gi, bentaknya: "Ada permusuhan apa kudaku
dengan kalian?" Tiba2 ia me-mecut dengan ca mbuk di tangannya,
"tarr", dengan tepat ujung ca mbuknya me mbelit perge langan
tangan laki2 di sebelah kanan- Laki2 itu menjerit keras, goloknya
terlempar jatuh, sambil me megangi tangan dia menjerit2 sembari
berjongkok. Saking kesakitan keringat dingin sampa i ber-ketes2,
terang lukanya tidak ringan-
cambuk Ling Kun-gi ternyata bergerak hidup laksana ular, baru
saja di sebelah kanan me-nungging kesakitan, tahu2 bayangan
cambuk sudah melecut ke sebelah kiri. "Tarr", telak mengenai
pundak laki2 sebelah kiri. orang inipun menjerit kesakitan, goloknya
entah mencelat ke mana, saking kesakitan dia ber-guling2 di tanah.
Kedua temannya gusar, segera mereka me m-buru maju seraya
ber-kaok2, golok terayun terus menyerbu dengan beringas. Tapi
baru saja mereka beberapa langkah di depan kuda, tiba2 terasa
bayangan orang berkelebat, hakikatnya mereka tidak melihat jelas
bagaimana Ling Kun-gi me lompat turun dari punggung kuda, tahu2
orang sudah berdiri di depan mereka.
Selama 300 tahun turun temurun, keluarga Tong malang
me lintang di Kangouw dengan senjata rahasia beracun, tidak sedikit
orange dari golongan hitam dan putih yang menghormat dan
mengikat persahabatan dengan mereka, soalnya juga karena jeri
menghadapi senjata rahasia mereka yang beracun, maka jarang
yang berani cari perkara pada mereka.
orang2 keluarga Tong sendiri juga jarang berkecimpung di dunia
persilatan, oleh karena secara langsung menjadikan mereka t inggi
hati, berpendapat bahwa orang2 Kangouw jeri dan tidak berani cari
perkara pada keluarganya sehingga anak buah merekapun
bertingkah laku kasar dan sombong.
Melihat Ling Kun-gi maju, kedua orang itu-pun tida k banyak
cingcong, serentak golok mere-ka bergerak. sinar biru bersilang
seperti gunting ra ksasa dan me mbacok miring ke tubuh Ling Kun-gi.
Jangan kira mereka hanya kacung keluarga Tong, maklumlah
karena orang2 mereka tiada yang berkecimpung di dunia Kangouw,
daripada iseng, maka mereka menghabiskan waktu untuk melatih
diri. oleh karena itu setiap orang keluarga Tong, memiliki
kepandaian silat yang lumayan- Busu atau guru silat yang biasa
berkelana di Kangouw mung-kin hanya dala m gebrak sudah dapat
dipukul roboh oleh mereka, Tapi hari ini mereka justru menghadapi
Ling Kun-gi, seumpa ma telur me mbentur batu.
Begitu kaki hinggap di tanah, Kun-gi langsung menyongsong dua
larik sinar biru secara bersilang yang menggunting tiba, dia tertawa
lebar, katanya: " Kembali semua keroco tak berguna" mendadak dia
gerakkan kedua tangan, sepuluh jari terbuka, masing2
mencengkeram ke batang golok lawan-
Dengan tangan kosong, ternyata dia berani tangkap golok yang
tajam ma lah berlumu racun- Baru saja kedua laki2 itu melengak.
tahu2 terasa tangan mengencang, golok masing2 sudah terpegang
oleh musuh.
Sudah tentu kejut mereka bukan main, insaf menghadapi jago
kosen, lekas mereka menarik sekuat tenaga. Tak tahunya golok
mereka itu seperti terjepit tanggam raksasa, sedakitpun tak
bergeming.
Kun-gi menyeringa i dingin, dia m2 ia kerahkan Lwe kang, mela lui
batang golok dia salurkan tenaga dala mnya.
Terasa telapak tangan tergetar, mendadak lenganpun menjadi
linu, sudah tentu kedua laki2 itu tak kuasa me mpertahankan
goloknya lagi.
Dengan mudah Kun-gi mera mpas golok kedua lawannya,
mendadak golok terpencar ke kanan-kiri, gagang golok masing2
mengetuk ke arah kedua lawan- cara mengetuk dengan golok
sebetul-nya bukan gerakan tipu apa2, tapi serangan di-lancarkan
oleh Kun-gi, maka perbawanya tentu luar biasa, lain daripada yang
lain-
Dika la kedua laki2 itu melongo kebingungan karena golok
terampas lawan, mendadak lutut te-rasa kesakitan, mulut menjerit,
kontan mereka roboh ke tanah.
Gerakan Ling Kun-gi secara beruntun ini dilakukan dengan cepat
luar biasa, lompat turun dari kudanya sampai merebut golok serta
mengetuk kedua lawan hanya berlangsung dala m sekejap.
sampaipun orang tua bertopi yang berdiri menonton di sana hanya
mengawasi dengan mendelong, tahu2 keempat pe mbantunya sudah
diroboh-kan se muanya, untuk menolong juga tidak se mpat lagi.
Keruan ia kaget bercampur gusar, sungguh tak pernah terpikir
olehnya bahwa musuh yang masih begini muda me miliki kepanda ian
setinggi ini, sepasang matanya yang kelam seperti biji mata burung
hantu mengawasi Kun-gi, bentaknya dengan suara berat: "Ternyata
tuan me mang punya bobot, tak heran berani me luruk ke mari dan
me mbuat onar.."
Seenaknya Kun-gi le mpar kedua golok ra mpasannya, dengan
tertawa congkak dia berkata- "Aku datang me menuhi undangan,
bukan sengaja mau mencari onar, kalau saudara tidak ingin
me mberi pengajaran, lekaslah menya mpaikan laporan, katakan
bahwa aku orang she Ling telah datang."
Mendengar orang datang atas undangan sebetulnya si orang tua
bertopi mau tanya. atas undangan siapa dia ke mari? Tapi serta
mendengar kata2 terakhir yang bernada menantang serta mensindir
se-akan2 dirinya tidak berani me lawannya, air mukanya menjadi
gelap. katanya terkekeh di-ngin: "Bagus seka li, asal hari kau bisa
menga lahkan Lo-hu, nanti pasti akan kulaporkan."
Ling Kun-gi ter-gelak2 lantang, ujarnya: "Bagus, apa yang kau
katakan me mang mencocoki seleraku."
Laki2 tua bertopi mendengus, pipa cangklong dia pindah ke
tangan kiri, tangan kanan t iba2 ter-ayun, telapak tangannya yang
hitam lega m tahu2 menepuk ke dada lawan-.
"Hek-sat-ciang," dia m2 berteriak dala m hati Kun-gi waktu melihat
telapak tangan orang berwarna hitam..
Sudah tentu Kun-gi tida k gentar dan tidak unjuk kele mahan? Dia
kerahkan lwekang di tangan kanan terus dorong ke depan, secara
keras dia sambut pukulan lawan. Terdengar suara keras,
pergelangan tangan Kun-gi tergetar kesemutan, dia tahu pukulan
orang tua bertopi mengandung racun jahat, ma ka lekas dia
merogoh ke kantong menggengga m Pi-tok-cu.
Laki2 tua bertopi juga terhe mpas mundur tiga langkah, darah
bergolak dirongga dadanya, ia terkejut, batinnya "Bocah ini begini
muda, darima na me mperoleh Lwe kang setangguh ini?" Tapi
wajahnya yang kurus tiba2 me ngulum senyum sadis, katanya
mengulap tangan: "Bocah, lekas kau ke m-bali sana"
Ling Kun-gi berdiri tegak sa mbil bertolak pinggang, sahutnya
pura2 keheranan: "Lho, kenapa, apa cayhe kalah?"
"Anak muda," laki2 tua bertopi terkial2, "ingat ba ik2, hari ini pada
tahun depan adalah ulang tahun hari ke matianmu."
Kun gi tertawa tawar, katanya: "Kata2mu sulit kumengerti,
agaknya kau mau bilang bahwa jiwaku takkan bertahan sampai
ma la m ini?"
"Betul, me mang itulah maksudku."
"Aneh," kata Kun-gi dengan me mbadut, " kenapa cayhe
sedikitpun t idak merasakan? Kuha-rap kau lekas melaporkan
kedatanganku?"
Ternyata laki2 bertopi ini adalah cong-koan (kepala rumah
tangga) keluarga Tong yang bergelar Hek -sat-ciang Khing Su-kwi,
biasanya dia pendia m, banyak aka l muslihatnya dan keji.
Terutama Hek-sat-ciang yang dilatihnya amat ganas karena
menggunakan racun khas keluarga Tong sehingga lebih lihay
dibanding Hek-sat-ciang yang biasa di ka langan Kangouw, setiap
lawan yang terkena pukulannya dalam jangka setengah hari jiwanya
pasti melayang kalau tida k diberi obat penawar tunggal buatan
keluarga Tong pula.
Pemuda dihadapannya ini telah mengadu pukulan dengan
dirinya, biasanya racun pasti sudah merembes ketelapak tangan dan
tubuhnya, langsung menerjang jantung, bekerjanya racun juga jauh
le-bih cepat dari luka2 di te mpat lain karena pukulan yang sama.
Tapi pe muda ini tetap segar bugar, sedikitpun tida k menunjukkan
gejala2 keracunan-
Keruan rasa kejut orang tua itujauh lebih besar dibanding
terpukul mundur tiga langkah tadi. Dengan mende lik ia tatap Kun-gi
dalam hati me ngumpat: " Keparat, bocah ini tida k takut racun?"
Mendadak dia manggut2, katanya: "Baiklah, mari biar Lohu
menunjukkan jalan,"- la lu ia ber-anjak ke atas gunung melalui ja lan
yang berian-das papan batu besar2 itu.
Ling Kun-gi tertawa dengan pongah, sambil menarik tali kenda li
kudanya, dia ikut dibelakang orang. Jalan berbatu ini ternyata
lapang dan halus, walau terus menanjak ke atas, tapi orang tidak
merasakan le lah, deretan pohon2 siong dan pek yang sudah tua
berjajar disepanjang jalan menuju ke atas. Tanpa terasa, mereka
tiba dila mping gu-nung.
Disebelah depan adalah sebuah tanah lapang yang luas, cuaca
meski gelap. tapi Kun-gi masih dapat melihat jelas lapangan luas ini
sekelilingnya dipagari batu putih yang berukir, tumbuhan bunga
beraneka warnanya sedang mekar semerbak di se-panjang pagar
batu putih itu.
Disebelah depan sana adalah sebuah pintu gerbang besar dan
tinggi dibangun dari marmer hijau mengkilap. tepat diatas pintu
gerbang terukir beberapa huruf yang berwarna menyolok dari dasar
hijau berbunyi "Puri keluarga Go". Kedua pintu gerbang terpentang
lebar. Di kedua sisi pintu tergantung dua buah lampion besar, di
atas lampion ini bertuliskan huruf TONG, kiranya mereka menetap di
rumah keluarga Go untuk se mentara. Di depan pintu berdiri dua
orang laki2 baju hijau yang menyoreng golok, tegak tanpa bergerak.
tak ubahnya seperti dua patung.
Hek-sat-ciang Khing Su-kwi me mbawa Kun--gi ke tengah
lapangan- tiba2 dia berhenti dan berpaling, katanya dingin:
"Sahabat, tunggulah di sini sebentar, Lohu akan masuk me mberi
laporan- "-Lalu dia me langkah masuk ke pintu gerbang.
Ling Kun-gi menunggu dengan sabar, tak la-ma ke mudian
tampak Khing Su-kwi sudah keluar pula me mbawa seorang laki2
berusia 50-an, alis gombyok tebal, mata seperti burung hantu,
mengenakan jubah panjang warna biru, sikapnya kelihatan angkuh.
Pada saat kedua orang ini muncul, dari kiri kanan pintu gerbang
beruntun keluar pula delapan laki2 bertubuh kekar, berpakaian
ketat, pakai ikat kepala, golok besar yang mereka bawa berkilau
me mancarkan warna biru, semuanya serba biru.
Walau mereka tidak langsung mengepung Ling Kun-gi, tapi sigap
sekali mereka sudah me me ncarkan diri, dari jarak kejauhan mereka
menge lilingi tanah lapang ini. .
Sambil menggendong tangan Kun-gi berdiri di tengah lapangan,
me lirikpun tidak ke arah mereka. La ki2 jubah biru menatap dengan
tajam ke arah Ling Kun-gi, lalu bertanya kepada Khing Su-kwi,
"Bocah inikah yang kau katakan?" Khing Su-kwi me ngiakan
dengan hormat.
Menyipit mata laki2 jubah biru, tanyanya dingin: "Siapa na ma mu?
Untuk apa ke mari?"
Kun-gi tetap berdiri tegak dengan sikap angkuh, dia m saja
seperti tidak mendengar tegur sapa orang.
"Anak muda," laki2 jubah biru menarik mu-ka, "Lohu bertanya
padamu? Kau dengar tidak?"
"Tanya padaku ?" jawab Kun-gi sa mbil me-lirik, "Lebih ba ik kau
sebutkan dulu siapa diri-mu ini?"
Sedikit melenga k laki2 jubah biru, katanya: "Lohu Pa Thian-gi,
kepala congkoan dari keluar-ga Tong di Sujwan-"
Kun-gi tetap menggendong kedua tangan, sikapnya sombong
tidak hiraukan segala adat umumnya hanya mulutnya bersuara
"ooo" saja.
Amarah me mbayang muka Pa Thian-gi katanya: "Sekarang
katakan maksud kedatanganmu.."
"Kalau Pa- congkoan tidak tahu maksud kedatanganku, suruhlah
Kwi-kian jiu Tong-locit ke-luar, dia tahu siapa diriku."
Berkerut alis Pa Thian-gi, katanya: "Jadi saudara mencari cit-ya,
tapi cit-ya sedang keluar."
"Me mangnya dia takut mene mui a ku. Kalau begitu bebaskan
perempuan yang kalian culik itu," kata Kun-gi ketus.
Berjingkrak gusar Pa Thian - gi, bentaknya: "Anak sombong,
jangan kau bertingkah di sini."
Sambil menarik alis Kun-gi balas me mbentak: " orang she Pa,
orang she Ling ini datang menepati undangan, walau nona yang
kalian culik bukan adikku, tapi aku orang she Ling sudah meluruk ke
mari, maka nona itu harus kutolong, lekas suruh Tong cit-ya
me mbebaskan dia."
"Kau bocah ini me mbual apa? Terus terang kuberitahu, cit-ya
tidak di sini, le kas kau enyah saja."
" Kalian berani main culik, aku tidak peduli kalian dari ke luarga
Tong segala."
"Kau tahu ka mi dari keluarga Tong, berani kau ma in tuntut
segala, besar sekali nyalimu."
"Siang hari bolong menculik pere mpuan, me mangnya kalian
sudah lupa undang2 raja?"
Mendelik mata Pa Thian-gi saking gusar, sam-bil mendongak ia
ter-gelak2, katanya: "Bocah ini sungguh angkuh, berarti mencari
setori ke te mpat ini, hayo kalian bekuk dia."
Kata2nya yang terakhir ini me mberi perintah kepada delapan
laki2 seraga m biru yang berpencar di empat penjuru, dengan
langkah enteng dan gesit cepat mereka merubung maju. Mereka
berdiri dengan kedudukan Pat-kwa, beberapa kaki di sekeliling Ling
Kun-gi mereka berhenti, lalu dengan serentak mereka saling geser
kedudukan pula seraya mengeluarkan golok masing2 terus
me mbacok secara serabutan, Kun-gi merasakan sinar biru ber-lapis2
lak-sana gunung menindih dari bergagai arah.
Keruan kejut Kun-gi bukan ma in, dia m2 dia berpikir: "Agaknya
mereka sudah siap menghadapiku, barisan golok ini sungguh lihay
sekali." Otak bekerja tanganpun bergerak, "sret" tahu2 pedangnya
dia lolos, selarik sinar hijau t iba2 mengelilingi tubuhnya menjadi
semca m jaringan cahaya me m-bungkus badan-
Maka terdengarlah suara berdering keras dari kiri kanan, depan
danbelakang, secara berantai senjata beradu keras.
Walau dala m scgebrak dia berhasil me mben-dung delapan golok
lawan, Tapi hati sendiri juga mencelos, maklumlah barisan golok
yang dilakukan delapan orang ini agaknya merupakan barisan
tangguh yang amat dibanggakan oleh ke luarga Tong di Sujwan,
setiap orangnya masing2 me miliki kepandaian tinggi dan
dige mbleng secara khusus.
Begitu barisan golok berke mbang, maka yang kelihatan hanya
cahaya biru kemilau yang simpang siur menyamber kian ke mari,
la ma kela maan se makin ketat dan ganas, sudah tentu Kun-gi terke-
pung dan se makin se mpit ruang geraknya.
Betapapun tinggi ilmu silat Ling Kun-gi dibawah rangsakan sinar
golok lawan yang hebat ini, dia rada terdesak juga, terasa ilmu
pedang sen-diri yang lihay menjadi susah dike mbangkan- Su-dah
tentu dia tidak tahu bahwa yang dihadapinya ini ada lah Pat-kwa-to
tin ( barisan golok Pat-kwa ) ciptaan keluarga Tong di Sujwan,
walau tidak setaraf Lo-han-tin dari Siau-lim-si serta Ngo-heng-kia m--
tin dari Butong-pay, namun perbawanya juga amat mengejutkan,
jarang tokoh2 Bu-lim yang terkepung oleh barisan golok ini ma mpu
lolos dengan hidup,
Maklumlah ke luarga Tong di Sujwan terkenal dengan racun dan
alat2 senjata, bukan saja kedelapan orang ini mahir betul
me ma inkan barisan golok. senjata merekapun dilumuri racun dan
dina makan Thian-lan-hoa-hiat- to (golok langit biru peng luluh
darah), disamping itu merekapun meya-kinkan ilmu senjata rahasia
yang lihay dan banyak raga mnya. jurus terakhir dina makan Pat sian-
hian-siu (de lapan dewa merayakan ulang tahun), yaitu masing2
mende monstrasikan kepandaian ilmu senjata rahasia, delapan
maca m senjata rahasia serentak memberondong ke satu sasaran,
sebelum musuh ro-boh terkapar, serangan tidak akan usa i.
Tujuh kali gebrakan telah berlalu, terasa oleh Kun-gi barisan
golok lawan me libat dirinya sede-mikian kencang, ke mana dirinya
bergerak sinar biru selalu mengikuti gerak langkahnya, dibabat tidak
putus, ditusuk tak tembus, dibacokpun tidak pecah. Lama kela maan
Kun-gi merasa sebal dan ma ngkel ka lau dirinya selalu menjadi
bulan2an musuh, kapan perte mpuran berakhir? Tiba2 pedangnya
berputar, kaki menjejak dan tubuhpun me la mbung ke atas.
Di luar tahunya bahwa kedelapan orang ini dijuluki Tong- bun-
pat-ciang (delapan jago keluarga Tong), ilmu silat masing2 me mang
sangat tinggi, bila musuh melompat ke atas, merekapun turut me-
ngapung ke atas dan golok mereka tetap merangsak secara
bersilang dari delapan penjuru, tubuh musuh tetap menjadi sasaran-
Sejak berkelana di Kangouw, baru perta ma kali ini Ling Kun-gi
benar2 merasakan betapa dahsyat dan berat pertempuran yang
harus dihadap-inya ini. Badan yang terapung
mendadak dia bikin berat dan anjlok dengan cepat dari tangkas,
sekaligus dia hindarkan tabasan delapan golok beracun, begitu kaki
menginjak tanah selicin be lut tubuhnya berputar dan berkisar untuk
menerjang keluar kepungan barisan golok musuh.
Di luar tahunya bahwa kedelapan lawannya juga sudah
gemblengan, ilmu silat dan pikiran mereka boleh dikatakan sudah
bersatu padu, be-kerja serasi dan ketat- Begitu golok me mbacok
tempat kosong, sigap sekali merekapun turun- De liapan orang tetap
pada posisi semula, sedikitpun tida k kacau, delapan larik sinar biru
ke mbali me-nyamber.
congkoan Pa Thian-gi berdiri diundakan dengan air muka
me mbesi kereng. terdengar suaranya membentak: "Anak muda,
sekarang buang pedangmu, masih ada harapan jiwamu akan
hidup,"
Mendengar seruaa congkoan mereka, kedelapan orang itupun
ikut me mbentak^ "Anak muda, congkoan suruh kau me mbuang
pedang, lekas menyerah?"
Terkepung di tengah, Kun-gi menjadi berang, serunya lantang. "
Orang she Pa, soalnya aku tidak ingin melukai orang tanpa sebab,
kau kira barisan golok ini dapat mengurung diriku?" Di tengah
alunan suaranya pedangnya menusuk dengan jurus aneh dan lihay,
tampak se larik sinar le mbayung yang menyilaukan mata tiba2
menya m-ber ke samping terus barputar keluar.Jurus ini adalah
Liong- can- gi- ya (naga bertempur di sawah), merupakan sa lah
satu jurus dari delapan jurus ilmu pedang warisan keluarganya.
Gurunya pernah berpesan, tiga macam ilmu silat warisan keluarga-
nya tidak boleh sembarangan dipertunjukkan sela-ma menge mbara
di Kangouw, Tapi sekarang dia di-paksa oleh keadaan de mi
me mpertahankan diri.
Hanya sekejap saja, terdengar suara berde-ring keras
danpanjang secara beruntun, kedelapan laki2 baju biru hanya
merasa pandangan kabur dan silau oleh sa mberan sinar terang,
tahu2 pergelangan tangan tergetar lemas dan linu, Thian-lan--hoa-
hiat-to buyar, hampir dalam waktu yang sama golok mereka
terpental lepas dan berjatuhan mengeluarkan suara kerontangan di
atas lantai batu.
Sudah tentu kedelapan lelaki itu melenggong dan me matung
sesaat oleh serangan lihay dan tak terduga ini, tiada yang tahu cara
bagaimana golok mereka bisa terlepas sehingga mereka mende lik
saja mengawasi Ling Kun-gi.
Hebat perubahan air muka Pa Thian-gi, mendadak dia tepuk
kedua tangan, serunya: " Kalian tunggu apa lagi?"- kata2 ini berarti
aba2 pula ter-hadap kedelapan laki2 baju biru itu.
Dengan ter-sipu2 kedelapan orang itu serempak me lompat jauh
ke belakang, delapan tangan serentak terayun pula, bintik2 biru
ke milau yang tak terhitung jumlahnya sama me luncur ke arah Kun-
gi berdiri.
Tapi saat itu juga Kun-gi tahu2 sudah berada didepan Pa Thian-
gi, ujung pedang yang ke-milau telah menganca m tenggorokannya,
katanya dingin: " orang she Pa, berani kau bergerak segera kutusuk
tenggorokanmu."
Bahwa Pa Thian-gi bisa diangkat sebagai kepala congkoan
keluarga Tong, sudah tentu dia me miliki kepandaian silat yang
dapat diandaikan, tapi sekarang hakikatnya dia tidak melihat
sesuatu dan Ling Kun-gi tahu2 sudah berada di depan dan
menganca m tenggorokan-dengan pedang. Keruan wajahnya
seketika pucat berkeringat, tapi tidak berani bergerak sedikitpun.
Hek-sat-ciang Khing su-kwi berdiri di sa mping Pa Thian-gi, orang
ini lebih licik dan naka l, melihat gelagat jelek tanpa bersuara
mendadak telapa k tangannya menepuk ke iga Ling Kun-gi. Se-
rangan ini dilakukan da la m jarak dekat, dilancarkan secara
mendadak serta berusaha menolong atasan- nyalagi, sudah tentu
lihay luar biasa.
Seperti tumbuh mata dibelakang kepalanya, tanpa menoleh Kun-
gi geraki tangan kanan, dengan jurus Ji-jiu-po-llong (tangan kosong
me mbe kuk naga) cepat laksana kilat, tahu2 pergelangan tangan
Khing Su-kwi sudah terpegang terus dikipatkan ke belakang.
Tiada kee mpatan sedikitpun bagi Khing Su-kwi untuk
me mpertahankan diri, seperti orang2an ter-buat dari damen,
tubuhnya terlempar jauh ke be lakang, terbanting di tengah
lapangan- Untung ke delapan orang yang menimpuk senjata rahasia
itu sudah menghentikan serangannya karena bayangan Kun-gi
sudah lenyap secara mendadak. kalau tidak tentu badan Khing Su-
kwi yang menjadi sasaran- Gusar serta malu, tapi Pa Thian-gi tak
berani bergerak. dengan ganas ia me mbentak: "Apa keingin-anmu
saudara?"
"Tunjukkan jalan" sahut Kun-gi angkuh. Ge mobyos keringat Pa
Thian-gi, tanyanya: "Kau ...... ingin berte mu dengan siapa?"
"Sudah tentu majikanmu," sahut Kun-gi ketus.
"Kau .." gugup dan gelisah suara Pa Thian-gi.
Tanpa me mberi kese mpatan orang bicara, tiba2 Kun-gi tarik
pedangnya, katanya dingin, " orang she Pa, me mbaliklah pelan2 dan
masuk ke da la m, kuharap kau tahu diri, dihadapan orang she Ling-
menggunakan pedang atau tidak. sama saja, sedikit kau mengunjuk
gerakan mencuriga kan, selangkah-pun jangan harap kau bisa lari."
Kalau di wa ktu biasa tentu Pa Thian-gi t idak percaya, tapi kini
kata2 ini diucapkan dari mulut Ling Kun-gi, mau tidak mau dia harus
percaya dan betul2 tidak berani banyak tingkah.
Maklumlah kepanda ian silat anak muda ini sungguh a mat tinggi
dan sukar diukur, berani ber-kata tentu orang berani mela ksanakan
ancamannya. Memangnya manusia mana di kolong langit ini yang
berani me mpertaruhkan jiwa sendiri dengan maut? Tanpa bersuara
pelan2 Pa Thian-gi me mbalik tubuh, kini teng gorokan ada di depan,
tapi masih serasa seperti ada pedang yang tidak kelihatan
menganca m di lehernya.
Untung pedang tidak terasa mengancam punggungnya, maka
dengan leluasa ia berjalan masuk. ia tahu orang suka memberi
muka kepada dirinya.
Sebenarnya Ling Kun-gi tidak pandang sebelah mata pada
congkoan keluarga Tong ini. Se-baliknya bagi Pa Thian-gi, meski
dirinya digusur masuk. Tapi bagi pandangan orang lain se-olah2 Pa
Thian-gi menunjuk ja lan dan mengiringi Kun -gi masuk ke dala m.
Sudah tentu hal ini jauh lebih terhormat daripada dianca m dengan
ujung pedang.
Begitulah dia jalan di depan, sementara pe-dang Ling Kun-gi
sudah dimasukkan kedala m sarungnya, langkahnya mantap
mengikut i orang ke-dala m.
Di depanpintu terjaga pula oleh empat orang laki2 baju hitam
bergolok, melihat Pa-Congkoan masuk mengiringi ta mu, sudah tentu
mereka tida k berani merintangi. Masuk pintu ke dua terlihatlah
cahaya lampu terang benderang di ruang tengah, diantara undakan
di serambi luar sana, berjajar empat perempuan yang bersenjata
Thian-lan-tok-kia m. Usia keempat pere mpuan ini rata2 sudah lebih
40, masing2 me mbawa kantong kulit di kiri kanan pinggang, tangan
kiri semuanya mengenakan sarung tangan yang ter-buat dari kulit
menjangan-
Kerai bambu menjuntai menutupi pintu besar, terdengar suara
serak suara seorang perem-puan tua berkata dari balik kerai sana:
"Pa-cong-koan, kudengar katanya ada orang ma mpu me mecahkan
Pat-kwa-to-tin kita?"
Bergegas Pa- congkoan beranjak tiga langkah serta membungkuk
di undakan, serunya: "Hamba me mang ke mari untuk me mberi
laporan kepada Lohujin ( nyonya tua ), orang ini she Ling, dia minta
bertemu dengan Lohujin."
Melengak Kun-gi mendengar ucapan ini, batin-nya: "Yang kucari
adalah Kwi-kian-jiu Tong cit-ya, kapan aku pernah bilang hendak
mene mu nyonya tua ini?"
Terdengar perempuan tua di da la m berkata pula: "Mana
orangnya?"
Pa Thian-gi menjura pula, sahutnya: " Lapor Hujin, hamba sudah
me mbawanya ke mari."
Terdengar perempuan tua mendengus, jengek-nya: "Kalian
sudah kecundang bukan?"
Keringat dingin ber-ketes2 me mbasahi badan, Pa Thian-gi
bungka m t idak berani bersuara.
"Baiklah," suara perempuan tua lebih sabar dan lamban, "Bawa
dia masuk"
Pa Thian-gi mengia kan, cepat dia membalik, wajahnya tampak
mena mpilkan senyuman sinis, katanya^ "Saudara Ling, mari masuk
bersama ku."- La lu dia mendahului masuk ke dala m.
Ling Kun-gi tida k bersuara, dia ikuti orang naik ke undakan, dua
orang perempuan baju hitam maju dari kiri kanan menarik kerai ke
atas dan me mberi jalan kepada mereka.
Empat la mplon besar tergantung di empat penjuru ruang
pendopo besar dan luas ini, tepat di tengah tergantung pula sebuah
la mpu kaca yang berbentuk menyerupai sekuntum bunga teratai,
maka keadaan ruang pendopo terang benderang se-perti siang hari.
Sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang terukir indah
berduduk dengan angkernya seorang perempuan tua berbaju
kuning, wajahnya putih ber-sih, tapi kaku dingin, rambutnya sudah
ubanan di-ikat kain hitam, tepat ditengah ikal ra mbutnya ter-tancap
sebentuk mainan batu Giok yang berbentuk persis dengan
kelelawar, tangan kanan memegang sebatang tongkat berkepala
burung, usianya antara 60. Dua gadis baju hijau pelayan pribadinya
berdiri mengapit di kiri- kanan, pedang pendek tergan-tung di
pinggang masing2.
Tepat dibelakang kursi berdiri seorang nyonya muda yang cantik,
sikapnya anggun, kalau dia bu-kan menantu si pere mpuan tua,
mungkin puterinya.
Begitu me masuki ruang pendopo, langkah Pa- congkoan
dipercepat dengan sedikit munduk2, se-runya: "Hamba
menya mpaikan se mbah ba kti kepada Lohujin dan Siauhujin-"
"Pa- congkoan tidak usah banyak adat," pe-rempuan tua
mengebaskan lengan baju.
Mulut bicara, namun biji matanya yang berkilat menatap Ling
Kun-gi, lalu tanyanya dingin: "Pa- congkoan, anak muda inikah yang
mau mene muiku?"
Pa Thian-gi mengiakan sa mbil me mba lik badan, katanya pada
Kun-gi: "Saudara Ling bilang mau mene mui Lohujin, nah, beliau
inilah Lohujin-"
Pelan2 Kun-gi melangkah maju, dia me mberi hormat dan
berkata: "cayhe Ling Kun-gi, me m-beri hormat kepada Lohujin-"
"Anak muda," ujar Tong-lohujin, "katanya di luar tadi kau
berhasil menghancurkan Pat-kwa-to-tin ka mi, sungguh hebat kau
ini." Nadanya dingin, jelas hatinya mendongkol dan kurang senang,
Kun-gi tertawa, katanya. "Maaf Lohujin, demi me mpertahankan
diri terpaksa Cayhe melakukan apa saja yang bisa dilakukan, tapi
dalam hal ini a ku cukup menaruh be las kasihan, tiada seorang-pun
yang kulukai."
Sedikit berubah rona muka Tong-lohujin, "Ka lau begitu kau telah
bermurah hati, bagaimana kalau kau tidak menaruh belas kasihan?
Kau bunuh mereka se mua?" Menegak alis Ling Kun-gi, katanya
dingin:
"Mereka tidak dapat me mbedakan salah dan benar, mengepung
orang dan turun tangan dengan keji, umpama cayhe tidak
mena matkan jiwa mereka, sedikitnya pasti kukutungi lengan mereka
yang menyerang dengan senjata beracun."
"Anak muda," semprot Tong-lohujin, "takabur betul kata2 mu,
jangan kau me mandang rendah ter-hadap anggota keluarga Tong
kami."
"Kurang tepat ucapan Lohujin," ujar Kun-gi, "dala m kalangan
Kangouw hukum rimba sering terjadi, siapa le mah dia gugur dan si
kuat sering me ninda k yang le mah. cuma ke luarga Tong ka lian cukup
terkenal, seharusnya kalian bertindak menurut aturan-"
"Dala m hal apa ka mi tida k beraturan?" bentak Tong lohujin
gusar.
"Kalau Lohujin pegang aturan, coba tanya kepada Pa- congkoan,
cayhe datang atas undangan, tapi orang kalian main cegat dan
menyerang, kalau cayhe tidak ma mpu me mpertahankan diri, sejak
tadi sudah terkapar ma mpus di tengah hutan sana."
"Pa-congkoan," seru Tong-lohujin, "apa betul ucapannya?"
"Menurut laporan Khing-hucongkoan," de mikian Pa Thian-gi
menje laskan, "orang ini naik gunung mencari setori, karena sukar
dilayani, terpaksa hamba suruh mereka menghadapinya dengan
barisan golok."
"Kau tidak tanya maksud kedatangannya?" desak Tong- lohujin.
" Ha mba, sudah tanya, dia menuduh kita menculik pere mpuan
baik2, dia menuntut supaya kita me mbebaskan pere mpuan itu,"
demikian Pa-cong-koan menerangkan.
"Betulkah kalian menculik pere mpuan baik2?" desak Tong-lohujin
pula.
Gugup sikap Pa Thian-gi, sahutnya: "Harap Lohujin maklum,
mana ka mi berani melakukan perbuatan serendah ini?"
Sorot mata Tong-lohujin beralih ke arah Ling Kun-gi, tanyanya:
"Anak muda, kau minta bertemu dengan Losin (aku), maksudmu
hendak me-nuntut pe mbebasan pere mpuan itu?"
"Terus terang cayhe tidak tahu bahwa Lohujin ada di sini, jadi
tiada maksudku ingin mene mui Lohujin," sahut Ling Kun-gi terus
terang.
"Lalu kau cari siapa."
"cayhe ingin mene mui Kwi-kian-jiu Tong cit-ya. ."
"Jadi Lo-cit yang menculik pere mpuan itu?"
"Betul, dia menculik seorang pere mpuan, dia kira pere mpuan itu
adalah adikku, maka dia tan-tang aku datang ke Pat-kong-san ini,"
lalu dari sakunya Kun-gi, keluarkan surat undangan itu katanya
mena mbahkan: "Ada surat ini sebagai bukti harap Lohujin
me meriksanya . "
Seorang pelayan perempuan segera maju me-nerima surat itu
terus dipersembahkan kepada Lo-hujin.
Setelah me mbaca surat itu, Tong-hujin me ngernyitkan kening,
tanyanya^
"Kau tahu siapakah pere mpuan yang diculik Lo cit?"
"cayhe tidak punya adik, siapa pere mpuan yang dia culik, cayhe
tidak tahu, tapi dia menculik lantaran cayhe, terpaksa kudatang
ke mari menuntut pe mbebasannya."
Tong-lohujin manggut2, katanya: "Memang betul ucapanmu, lalu
barang apa yang kau bawa?"
"Hal ini cayhe sendiri juga kurang jelas, ke marin tengah hari
waktu cayhe lewat perbatasan, Tong cit- yadan anak buahnya
mencegat serta menuntut barang yang kubawa, sampai sekarang
cayhe belum tahu apa tujuannya, mencegat dan ingin mera mpas
barangku?"
Tampak marah mimik wajah Tong-lohujin, katanya kepada Pa
Thian-gi: "Pa- congkoan, apa saja yang kau urus sela ma ini? orang
datang minta bertemu dengan secara hormat, kalau Lo-cit
me lakukan kesalahan, kenapa kau be la perbuatannya? Sungguh
me ma lukan dan merendahkan derajat ke-luarga Tong kita."
Ter-sipu2 Pa Thian-gi munduk2, serunya:
"Ha mba me mang pantas mati, harap Lohujin suka me mberi
ampun-"
"Jangan banyak bicara lagi, di mana Lo cit?"
"cit-ya tidak ke mari . . . ^ "
Tong-lohujin mengetuk tongkat di atas lantai, serunya murka:
"Sekarang juga kalian pergi mencarinya dan suruh dia segera
ke mari. Keluarga Tong dari Sujwan sa mpai main culik dan peras
segala, betapa memalukan kalau sa mpai ha l ini tersiar di ka langan
Kangouw? Hayo lekas cari dia ke mari."
Tak berani ayal, cepat Pa Thian-gi berlari keluar dengan langkah
ter-gopoh2.
"Anak muda," kata Tong-lohujin ke mudian, "Kau sudah dengar,
orang2 keluarga Tong tidak seluruhnya jelek seperti dugaanmu.
Besok sebelum tengah hari kau boleh ke mari lagi, walau perempuan
itu bukan adikmu, Los in akan serahkan dia pada mu dan kau boleh
menge mba likan dia keru-mahnya, kau terima tidak?"
Ling Kun-gi menjura, serunya: "Lohujin ber-pesan, cayhe terima
dengan senang hati".
"Baik, besok sebelum tengah hari, kau boleh ke mari mene mui
Los in pula."
"Kalau begitu, cayhe mohon diri."
Setelah meninggalkan puri milik keluarga Go, segera Kun-gi
ke mbangkan ilmu ringan tubuh langsung ke mbali ke kota, setelah
me lompati te m-bok kota, dia menyelundup melalui tempat sunyi
terus berlenggang dijalan raya. Malam be lum larut, maka suasana
masih cukup rama i, setelah pu-tar kayun dijalan raya sebentar, Kun
gi me mbelok ke sebuah jalan, di sana ada sebuah hotel ber-nama
Siu-jun, keadaan di sini tenang dan tenteram di tengah kerama ian
kota.
Belum lagi Kun-gi me masuki pinto, seorang pelayan sudah
menya mbutnya munduk2 menyilakan masuk. Dengan langkah lebar
Ling Kun-gi masuk ke situ, pelayan lain me mbawanya ke sebuah
kamar kelas satu, servicenya memang cukup me mu-askan-
Setelah me mbersihkan badan dan makan ala kadarnya, Ling Kun-
gi menanggalkan pedang di atas ranjang dan duduk menyandang
secangkir teh, pikir-annya mengenang ke mbali pengala man seja k
mulai dari Kayhong waktu menguntit si baju biru, yang kini diketahui
bernama Dian-kongcu serta kejadian sepanjang penguntitan ini.
Yang terang banyak orang dari berbagai kelompok juga mengikut i
je-jaknya.
Terkenang olehnya Un Hoan-kun, si jelita yang ramah dan
anggun- Diapun tak bisa melupa-kan gadis baju cokelat yang lincah
dan berbudi halus, dia hanya tahu gadis menggiurkan ini she Pui.
Dia terkenang pada Un Hoan-kun, tapi juga rindu pada gadis baju
cokelat. Terasa kedua no-na ini bak sekuntum bunga, yang satu
merah dan yang lain kuning, sama molek dan indah, sukar dipilih
mana lebih cantik. Laki2 umumnya suka mengagumi paras cantik,
apalagi Ling Kun-gi, pemuda yang baru menanjak dewasa, pe muda
yang mula i menda mbakan jenjang asmara, Lama sekali dia
termenung sa mbil mengawasi langit2 ka mar, tanpa sadar ia
mengulum senyum manis.
Bagi Kun-gi baru pertama kali ini dia me-ngecap manisnya cinta,
belum lagi dia rasakan getirnya permainan cinta itu. Lama kela maan
dia merasa badan penat dan kepala sedikit berat, tanpa ganti
pakaian dia terus merebahkan diri di atas ranjang, tapi sekian
la manya tetap tidak bisa pulas. Tanpa terasa dari kejauhan
terdengar kentongan kedua.
Se-konyong2 didengarnya di luar jendela ada suara keresekan.
Suara lambaian pakaian yang me luncur turun serta terdengar suara
kaki hinggap di tanah, lalu mende kati jendela. orang ini jelas
menahan napas, cukup la ma dia berdiri di luar jendela.
Sudah tentu semua ini tidak dapat mengelabui Kun-gi, tapi dia
ingin tahu apa ma ksud ke-datangan orang "pejalan ma la m" ini,
maka dengan sabar dia menunggu dan pura2 tidak tahu.
Setelah menunggu sebentar dan tida k terdengar suara apa2 di
dalam ka mar, pejalan ma la m di luar itu agaknya tidak sabar lagi,
dari luar jendela dia berkata dingin: "Ling Kun-gi, ke luarlah kau"
Kata2nya tidak keras, umpama Kun-gi sudah tidur pulas, pasti
juga mendengar suara ini. Makulumlah setiap insan persilatan walau
dalam keadaan tidur nyenyak. dia tetap berlaku waspada, re-
aksinyapun sigap dan cepat, apalagi Ling Kun-gi me miliki
kepandaian tinggi, seharusnya sudah tahu akan kedatangannya ini.
Bahwa dia dia m menunggu di luar, maksudnya juga supaya Ling
Kun-gi me mburu ke luar, karena Kun-gi t idak menunjuk reaksi apa2,
terpaksa dia bersuara.
Karena orang telah menantangnya keluar, tak bisa Kun-gi
berpeluk tangan, mulutnya segera menghardik tertahan: "Siapa?"
Sekali lompat turtun ranjang, sekenanya dia mengenakan mantel
sembari meraih pedang, sekali dorong jende la, ba-gai burung
tubuhnya melayang keluar jende la. Waktu kakinya menginjak tanah
di luar pe karangan, tampak di atas wuwungan didepan sana berdiri
sesosok bayangan kecil kurus.
Melihat sikap orang yang menantang Kun-gi menjadi gusar,
sekali enjot kaki, badannya melen-ting ke atap rumah, sekali tutul
lagi dia me lesat ke arah bayangan itu.
Begitu Kun-gi menubruk datang, bayangan itupun cepat
me layang pergi, beruntun beberapa kali lompatan, pesat sekali
tubuhnya sudah melayang kewuwungan rumah yang la in, dengan
jalan main lompat di wuwungan rumah dia terus kabur laksana
terbang ke arah barat.
Karena orang tunjuk nama dan menyuruhnya keluar, sudah tentu
Kun-gi tidak mau lepas orang pergi, segera dia kerahkan tenaga,
dan mengejar dengan kencang.
Kejar mengejar terjadi, bayangan mereka me-lesat di tengah
udara. cepat sekali mereka sudah berada di tempat belukar yang
sepi di luar kota sebelah barat. Ginkang orang itu me mang tinggi,
tapi dibanding Ling Kun-gi masih kalah setingkat, maka dala m kejar
mengejar ini jarak kedua piha k sema kin dekat.. setiba di luar kota
jarak antara kedua orang hanya tingga l tiga tombak saja.
Pada saat berlari kencang itu, bayangan kecil kurus di depan
mendadak me mbalik tubuh, tangan terayun dan mulut menghardik:
"Awas serangan- Setitik bayangan langsung menerjang ke muka
Ling Kun-gi.
Tidak me ngira baka l diserang, cepat Ling Kun--gi mengerem
langkah seraya ulur tangan menangkap senjata rahasia itu, kiranya
hanya sebutir batu. Begitu dirinya berhenti, bayangan itupun sudah
ber-henti serta berpaling .Jarak kedua orang kini hanya setomba k
lebih.
Ling Kun-gi mengawasi dengan tajam, dilihat-nya orang
mengenakan topi beludru, wajahnya kuning, perawakannya kecil
kurus, pakaiannya ketat serba hitam, pedang panjang digendong
dipunggung-nya, muka ke lihatan jelek tapi sepasang matanya
sedemikian bening, cerah dan bersinar.
Di ka la dia mengawasi orang, orangpun mengawasi dirinya. Kun-
gi merasa belum pernah meli-hat orang ini. Keadaan sekeliling sunyi
senyap. tidak terlihat adanya tanda2 perangkap di sini? Dia m2 ia
heran, tak tahan Kun-gi bertanya: "Tuan me mancingku ke mari,
entah ada petunjuk apa?"
"Kau inikah Ling Kun-gi?" rendah suara si baju hitam itu.
"Betul," sahut Kun-gi, "entah siapakah tuan ini?"
"Tak perlu kau tanya siapa aku," dingin nada orang itu.
"Baiklah, sekarang coba jelaskan maksudmu?" Pe lan2 orang itu
menurunkan pedang dari punggungnya, katanya: "Kudengar kau
mengagulkan kepandaianmu yang tinggi dan konon tiada bandingan
di kolong langit ini."
Kun-gi me lenggong, katanya tertawa tawar: "Mungkin saudara
salah dengar, selamanya belum pernah aku mengagulkan ilmu
silatku, apa lagi tiada bandingan segala."
"Aku tidak peduli kau berani bilang de mikian atau tidak,
kupancing kau ke mari, ingin kujajal ke-pandaianmu, bukankah kau
me mbawa pedang pu-sa ka? Nah, marilah kita bertanding ilmu
pedang."
sekilas Ling Kun-gi pandang pedang pusaka ditangan kirinya,
katanya: "Apa perlu?"
" Kecua li kau t idak berani atau menyerah kalah kepadaku."
Menyipit mata Kun-gi, katanya tegas: "Pedang adalah senjata
tajam, kita belum saling kenal, tidak pernah bermusuhan lagi,
kenapa harus bertanding pedang?"
"Aku ingin me nentukan siapa lebih unggul di antara kita, setelah
kau berada di sini, mau atau tidak harus bertanding juga."
"Tuan dihasut orang atau atas keinginanmu sendiri."
"Tiada orang menghasutku, atas keinginanku . . ."
"Kalau de mikian silakan tuan ke mbali, maaf aku tidak bisa
me layani," habis berkata Kun-gi terus putar tubuh hendak pergi.
"Ling Kun-gi," bentak orang itu, " berdirilah ditempat mu"
"Tuan masih ada urusan la in?"
Sambil mengacung pedang orang itu berkata: "Kau mau pergi,
temanku ini yang keberatan."
Gusar Kun-gi tapi dia tetap bersabar, kata-nya: "Agaknya tuan
mahir ilmu pedang, tentunya kaupun tahu belajar ilmu pedang
bukan untuk pa mer atau buat adu kekuatan segala, tanpa sebab
cayhe tidak akan se mbarangan menggunakan pedang kau boleh
ke mbali saja."
"Tida k bisa," seru orang itu.
"Sejak cayhe belajar pedang, selamanya me m-batasi diri dan
tidak suka se mbarangan bergebrak dengan orang lain."
"Aku tidak tahu apakah itu larangan atau kebiasaan, dua
ke mungkinan kau hadapi sekarang, setelah itu baru kau boleh
pergi."
Bersinar mata Ling Kun-gi, tanyanya: "Dua ke mungkinan apa?"
"Kau mengalahkan pedangku ini atau buang pedangmu serta
menyerah ka lah."
Semakin terang sinar mata Ling Kun-gi, katanya kalem: "Kuharap
kau tahu diri, jangan menyudutkan orang sede mikian rupa."
Berkedip orang itu, katanya tertawa dingin: "Kucari kau untuk
bertanding pedang, jangan bilang ma in paksa segala."
"cayhe tadi sudah bilang tida k akan se mbarang menggunakan
pedang."
"Kalau kau tidak mau bertanding, boleh kau lempar dan
tanggalkan pedangmu di sini, kalau tidak mau menyerah, nah layani
diriku, kita tentukan siapa lebih unggul siapa asor. Kukira murid
Hoan-jiuji-lay tentu bukan kantong nasi be laka."
Me mancar terang sinar mata Ling Kun-gi, mendadak sikapnya
berubah kereng, katanya tertawa lantang: "Saudara menantang
tanpa alasan, demi me mpertahankan nama baik perguruan,
terpaksa kulayani tantanganmu." dengan tangan kanan segera dia
lolos pedangnya.
"Kau sudah siap?" tanya orang itu dengan tertawa senang.
"Tunggu sebentar," seru Kun-gi.
Kun-gi, pikirnya: " ilmu pedang apakah ini? Begini licin dan
ganas, agaknya aku terlalu pandang enteng padanya."
Sedikit menarik napas, gaya pedangnya tiba2 mengikuti gerak
lawan, pedangnya ditekan menindih pedang lawan. Sebat sekali
lawan ke mbali menarik pedangnya, tapi setelah pedang tertarik ke
belakang, tiba2 cahaya gemerlapan, sekaligus ia menusuk pula lima
kali. Kelima tusukan pedang ini boleh dikatakan dilancarkan dala m
satu gerakan, cepatnya tak terukur sehingga ta mpaknya hanya
sekali tusuk saja,
Kun-gi bergerak mengikuti gaya pedang musuh, beruntun iapUn
balas menyerang lima kali, malah kelima jurus serangan ba lasan ini
serba ragam arahnya, enteng dan cekatan, kedua pedang saling
samber dan mene mpel, tapi t idak sa mpa i menerbitkan suara.
Agaknya si baju hitam tidak menduga dibawah serangan gencar
lima ka li tusukannya tadi Ling Kun-gi masih ma mpu melancarkan
serangan balasan malah, keruan dia tertegun, serta merta dia
terdesak mundur dua langkah.
Dengan dongkol dia menggerung tertahan, tiba2 ia menubruk
maju pula, beruntun secara berantai dia lancarkan delapan kali
serangan. Begitu hebat serangan ini sehingga mata orang serasa
silau. Naga2 nya dia sudah keluarkan seluruh ke ma mpuan ilmu
pedangnya.
Sayang hari ini dia kebentur Ling Kun-gi. Anak muda itu tertawa,
katanya kalem: "Hati2lah kau." Mendadak pedang dia pindah ke
tangan kiri, tubuh bergerak laksana angin berkisar ke kiri terus
mendesak maju, mendadak sinar pedangnya berke mbang, lalu
menerjang miring laksana sinar perak. "creng" benturan keras
me me kak telinga, kedelapan jurus serangan si baju hitam seketika
sirna tanpa bekas. Karena tekanan tenaga benturan yang keras itu,
pedang di tangannya itu tak kuasa dipegang lagi dan terlepas
terbang ke belakang, menyusul terdengar jeritan kaget melengking
tajam.
Sejak tadi si baju hita m bicara dengan suara rendah dingin
sehingga sukar dibedakan dia laki2 atau perempuan, kali ini dia
menjerit melengking tanpa terduga2 dan ke luar dengan suara
aslinya, suara nyaring merdu ini terang keluar dari kerong-kongan
seorang gadis.
Begitu mendengar teriakan nyaring ini, lekas Kun-gi tarik pedang
dan melompat mundur, dengan taja m ia mengawasi orang.
Topi yang dipakai orang itu tadi sudah ditabasnya jatuh, maka
tertampaklah ra mbutnya yang panjang hita m legam terurai
dipundak. Le kas dia je mput pedangnya, dengan mendelik gusar dia
tatap Ling Kun-gi sekejap terus tinggal lari pergi.
Kun gi tida k kira bahwa lawannya pere mpuan, sesaat dia berdiri
me longo. Pada saat dia berdiri menjublek inilah, tiba2 dilihatnya tiga
titik sinar ungu me lesat tiba dengan cepat menerjang ke dadanya.
Waktu ketiga tit ik ungu itu ha mpir mengenai dada, gaya luncur yang
semula lurus itu mendadak berpencar, satu menyerang teng
gorokan, dua yang lain menerjang ke dua sisi pundak.
Betapa tajam pandangan mata Ling Kun-gi, dengan jelas dia
me lihat titik ungu timpukan pere mpuan baju hita m ini adalah t iga
ekor kumbang kecil warna ungu, lekas dia ayun pedang menabas
ketiga ekor kumbang itu. "Ting, ting, ting," be-runtun ketiga e kor
kumbang kena dipukulnya jatuh.
Mendengar suara "ting-ting" itu, ke mbali Kun-gi me lenggong,
pikirnya "Ternyata ketiga kumbang ungu ini hanyalah senjata
rahasia, tadi kukira kumbang asli."
Segera dia menje mput ketiga kumbang ungu itu, ternyata
buatannya memang hidup dan mirip sekali dengan kumbang asli,
cuma warnanya ungu, kelihatan segar dan hidup, di ujung mulutnya
terpasang sebatang jarum baja ha lus sebesar bulu kerbau,
warnanya kemilau biru, terang jarum le mbut ini beracun-
Pada saat dia berjongkok menga mbil ketiga kumbang ungu itu,
didapatinya pula secomot ra mbut hitam, le kas dia menga mbilnya
pula, terasa lembut dan halus, warnanya legam mengkilap. Iapat2
terendus bau harum, jelas ini ada lah ra mbut seorang gadis je lita.
Siapakah dia? Menggengga m potongan ra mbut itu, sementara
tangan lain menimang2 ketiga kumbang buatan, Ling Kun-gi ber-
tanya2 dalam hati: "Dari buatan ketiga kumbang yang begini
baiknya, terang perempuan ituprang dari keluarga Tong diSujwan-"
-seketika pula dia terbayang akan perempuan jelita yang berdiri di
belakang Tong-lohujin mala m tadi.
Jadi dia nyonya muda ke luarga Tong. "Hm, pasti dia, kalau tidak
buat apa dia pakai kedok segala mencari setori kepadaku? Ta k
heran dia begitu getol menantang diriku bertanding? Mungkin
karena diriku telah mengalahkan Pat-kwa-to-tin sehingga orang-
keluarga Tong penasaran, ma ka secara dia m2 dia me luruk ke mari
me mbuat perhitungan.
Besok siang aku harus mene mui Tong-lohujin pula di puri
keluarga Go, kenapa rambut dan ketiga kumbang buatan ini tida k
langsung kuke mbalikan kepadanya?" Setelah ambil keputusan, Kun-
gi simpan kedua barang itu ke da la m kantong terus. lari ke mba li ke
Hotel..
Mala m itu tak terjadi apa2 pula, Kun-gi tidur dengan nyenyak.
waktu dia mendusin hari sudah terang benderang.. Begitu bangun
segera dia bungkus ketiga kumbang buatan dan ra mbut itu dengan
kertas, lalu buka pintu me manggil pelayan. Setelah me mbersihkan
badan serta sarapan pagi, melihat hari sudah cukup siang, cepat ia
bebenah dan mau keluar bayar rekening untuk berangkat.
Tiba2 didengarnya langkah orang mendekati dari luar,
didengarnya pelayan berkata sambil tertawa ramah: "Mungkin Ling-
ya yang tuan cari mene mpati ka mar ini." - Lalu muncul dua orang di
depan ka marnya.
Dengan seri tawa lebar, pelayan berlari masuk serta berkata:
"Tuan inilah Ling-ya adanya? di luar ada seorang congkoan she Pa
hendak mencari tuan."
Pa Thian-gi yang ada diluar lantas melangkah masuk, katanya
bersoja: "Atas perintah Lohujin, aku ke mari menyambut Ling-ya ."
Kun-gi mengangguk. sapanya: "Kiranya Pa- congkoan, maaf,
cayhe tidak se mpat menyambut."
Pa Thian-gi mengawasi pelayan- Pelayan ini cukup tahu diri,
lekas dia mengundurkan diri.
Dengan berseri Pa Thian-gi segera bersoja, katanya: "Kejadian
semala m hanya lantaran salah paham, orang she Pa banyak berlaku
kasar, atas perintah Lohujin disuruh ke mari untuk menyatakan
penyesalan dan minta maaf."
Kun-gi tahu kalau orang ini licik dan banyak akalnya, diam2 dia
waspada, katanya dengan tertawa, "Pa- congkoan tidak usah
menyesal, cayhe sendiri juga bersalah"
"Sejak pagi2 tadi Lohujin suruh ke mari menyambut Ling-ya,
sayang Ling-ya belum bangun, maka kutunggu di luar, kini
kendaraan sudah tersedia, kalau Ling-ya tiada urusan la in, sila kan
berangkat."
"Baiklah, mari berangkat," ujar Kun-gi.
Tanpa sungkan2 lagi, segera dia mendahului melangkah keluar.
Seperti melayani majikan sendiri saja, dengan laku hormat Pa
Thian-gi mengikut i di bela kangnya.
Di ruang depan, Kun-gi merogoh kantong hendak bayar rekening
hotel, tapi Pa Thian-gi lantas me mburu maju, katanya: "Rekening
Ling ya sudah ka mi bayar lunas."
"Ah, mana boleh begitu?" kata Kun-gi.
"Ai, urusan sekecil ini, Ling-ya tidak usah sungkan, kami diutus
menya mbut ke mari, itu berarti Ling-ya dipandang sebagai tamu
keluarga Tong, mana ada tamu yang harus membayar rekening
hotelnya sendiri."
Hal ini sungguh di luar dugaan Ling Kun-gi, tingkah laku Pa-
congkoan sekarang jauh berubah dari sikapnya se mala m, ini betul2
me mbuatnya heran dan ragu. Tapi wajahnya tetap tenang, katanya:
"Kalau begitu Lohujin terlalu baik padaku."
"Terus terang Ling-ya , biasanya Lohujin jarang me muji
seseorang, tapi terhadap Ling-ya beliau sa-ngat ketarik, maka pagi2
kami sudah disuruh ke mari menya mbut Ling-ya," merande k
sebentar, nadanya lantas berubah, sambungnya: "Bicara
sesungguhnya, usia Ling-ya masih begini muda, jangankan ilmu silat
me mbuat orang she Pa tunduk lahir batin, bahkan sikap dan
perbawa Ling-ya juga me mbuat ka mi kagum betul2." Agaknya dia
berusaha menjilat Kun-gi.
Sudah tentu hal ini juga dirasakan oleh Kun-gi, cuma dia tidak
tahu untuk apa dan kenapa orang sampai merendah diri menjilat
sedemikian rupa? Maka dengan tertawa tawar dia berkata: "Terlalu
baik penila ian Pa- congkoan terhadap diriku."
Pa Thian-gi jadi kikuk, katanya ter-sipu2: "orang she Pa bicara
sejujurnya, bicara soal semala m Ling-ya sudah menang, tapi tidak
bersikap congka k dan takabur, kalau orang la in tentu menganca m
tenggorokanku dengan pedang untuk menunjuk jalan, tapi Ling-ya
cukup bija ksana dan percaya pada kami, jelek2 orang she Pa ini
adalah Congkoan ke luarga Tong yang disegani, ka lau sa mpai harus
menunjuk ja lan dengan anca man pedang di punggung, hidup setua
ini dika langan Kangouw aku juga punya sedikit na ma, bukankah
habis pa morku ini? Tapi Ling-ya telah me mberi muka dan
me mpertahankan gengsiku, sungguh orang she Pa merasa
bersyukur dan berterima kasih." Maklumlah, insan persilatan
umumnya me mang suka mengejar na ma, apa yang dikatakan Pa
Thian-gi me mang beralasan.
Sudah tentu lahirnya saja dia merangka i kata2 halus, bahwa dia
menjilat sede mikian rupa tentu masih ada udang diba lik batu.
Diluar pintu dua orang Busu dari keluarga Tong menuntun dua
ekor kuda, melihat Pa- congkoan keluar, lekas mereka maju
mende kat. Setelah Ling Kun-gi mence mplak ke punggung kuda baru
Pa Thian-gi naik kuda yang lain, lalu kedua Busu tadipun ikut naik
kuda mereka sendiri.
Di atas kudanya Pa Thian-gi me mberi hormat, katanya: " orang
she Pa menunjuk jalan bagi Ling-ya ." - Lalu dia mendahului bedal
kudanya. Kun-gi me ngikut di bela kangnya, disusul kedua busu itu.
Mereka langsung menuju ke Pa-kong-san. Kira2 setanakan nasi,
mereka tiba di bawah Pa-kong-san, tampak di luar hutan berbaris
delapan laki2 seragam hita m, melihat Pa- congkoan datang,
serentak mereka me mberi hormat.
Di atas kudanya Pa Thian-gi me mbalas hormat pula, katanya
tertawa: "Sebagai tamu, silakan Ling-ya berjalan lebih dulu."
"Pa-congkoan jangan sungkan, kau saja yang menunjuk ja lan,"
ujar Kun-gi.
" Ling-ya adalah ta mu, betapapun orang she Pa tida k berani
lancang."
Kun-gi tidak banyak bicara lagi, segera dia bedal kudanya ke atas
gunung, di bawah iringan Pa Thian-gi, cepat sekali mereka sudah
tiba di depan puri ke luarga Go.
Wakil congkoan Khing Su-kwi sudah menunggu di depan pintu,
segera dia suruh seorang busu disa mpingnya masuk me mberi
laporan, dua busu maju me megang kenda li kuda terus di tuntun ke
belakang.
Dengan tertawa lebar Khing su-kwi maju me-nya mbut: "Sejak
tadi ka mi ditugaskan menya mbut di sini, Ling ya tentu sudah capai,
lekas silakan masuk."
Hanya semala m saja, sikap orang2 keluarga Tong sudah berubah
seratus delapan puluh derajat, hal ini betul2 di luar dugaan Ling
Kun-gi.
Waktu mereka sa mpai di pintu kedua, tampak me nyongsong
keluar seorang pe muda berjubah sutera biru, sa mbil tertawa dia
menyapa: "Apakah ini saudara Ling? Tong Siau-khing terla mbat
menya mbut, harap dimaafkan."
Pemuda jubah biru ini berusia 25-an, wajahnya cakap. sorot
matanya tajam, kedua alisnya tebal kelihatan kereng dan
berwibawa, tapi juga ra mah dan le mbut.
Lekas Pa Thian-gi berkata: " Ling-ya, inilah Siaucengcu ( majikan
muda ) ka mi."
Lekas Kun-gi me mberi hormat, katanya: "Kiranya Tong
Siaucengcu, sejak la ma cayhe kagum, sela mat bertemu, sela mat
bertemu"
"Se mala m Siaute mendengar cerita ibunda bahwa Ling-heng
amat perkasa dan berhasil menghancurkan Pat-kwa-to-tin ka mi,
sungguh ingin rasanya cepat berhadapan dengan Ling-heng,"
tampaknya dia bicara jujur dan sesungguhnya, tidak ber-pura2.
Kun-gi unjuk rasa menyesal, katanya: "Harap. Tong-siaucengcu
suka me maafkan ke kasaran cayhe semala m."
Tong Siau-khing tertawa, katanya: "Kenapa Ling-heng bilang
demikian? Syukur se ma la m Ling-heng menaruh belas kasihan, yang
terang pihak keluarga Tong ka mi yang ma in keroyok, kesalahan
tetap berada pada pihak ka mi."
Terasa oleh Ling Kun-gi majikan muda dari ke luarga Tong ini
berwatak ramah, gagah dan sopan santun, watak ini amat
mencocoki tabiatnya sendiri, maka katanya: "Ah. semakin tak
tenang rasa hatiku mendengar ucapan Tong-s iau cengcu ini."
"Sekali kenal sudah seperti sahabat lama, kalau Ling-heng sudi,
bagaimana kalau kita saling me mbahasakan saudara saja?"
"Siaute turut saja atas kehendak Tong-heng," sahut Kun-gi.
"Dapat bersaudara dengan Ling-heng, sungguh menyenangkan
sekali"
"Tong-heng. terlalu me muji.."
Sembari bicara mereka terus menuju ke da la m, Tong Siau-khing
me mbawa Ling Kun-gi ke ruang be lakang.
Tampak Tong-lohujin duduk di sebuah kursi bersula m, dua
pelayan berdiri di bela kang sedang me mijit punggungnya. Nyonya
muda yang semala m berdiri di belakangnya kini tidak kelihatan,
mungkin karena kejadian se mala m, ma ka dia merasa rikuh tida k
berani unjuk diri.
Setelah Kun-gi merasa cocok dan sa ling me mbahasakan saudara
dengan Tong Siau-khing, maka soal ketiga ekor kumbang dan
potongan rambut yang semula henda k dikeluarkan menjadi batal.
Tong Siau-khing melangkah maju me mbungkuk hormat dan
berseru. "Bu, Ling-heng sudah t iba."
Lekas Kun-gi me mberi hormat juga, katanya: "Wanpwe
menghadap Pek bo."
Sambil tertawa Tong-lohujin angkat sebelah tangannya, katanya:
"Silakan duduk Ling-kongcu."
"Bu," kata Tong simi-khing, "anak baru bertemu lantas merasa
cocok dengan Ling-heng, maka sudah setuju untuk saling
me mbahasakan saudara."
Tong-lohujin me lirik sekejap kepada anaknya dengan wajah
welas asih, katanya. "Begini cepat kau merebutnya, kalian sama2
muda, me mang sepantasnya kalau mencocoki satu sama yang lain."
Setelah Kun-gi dan Tong Siau-khing duduk. air tehpun disuguhkan-
Sambil tersenyum le mbut Tong-lohujin mengawasi Kun-gi, katanya:
"Kejadian se mala m hanya karena salah paham, me mang tepat apa
yang sering dikatakan orang2 Kangouw, kalau tidak berkelahi tidak
akan kenal. Syukurlah kini Ling siangkong sudah me njadi sahabat
baik anak Khing, demikian juga Piaumoay Ling-s iang-kong sudah
diserahkan padaku dan kuterima menjadi puteri angkatku pula."
Heran Kun-gi, tanyanya: "Piaumoay Wanpwe?" dala m hati dia
bertanya2: "Kapan aku punya Piaumoay?"
"Begini persoalannya," Tong-lohujin menje laskan, "belakangan ini
semua orang sa ma2 mengunt it seorang misterius, konon dia
me mbawa sebuah kotak kecil, di da la mnya mungkin ada suatu
mestika, Sampaipun orang2 Siau-lim dan keluarga Un di Ling-la m
juga menguntit secara diam2, entah dari siapa Lo-cit mendapat
berita ini, dia kira Ling-siangkong adalah orang misterius itu, maka
dia salah menahan Piaumoay mu. Soal ini se mala m sudah kudengar
dari Piaumoay mu, kini kita terhitung se keluarga, Ling-s iangkong
tidak perlu merahasiakan diri pula, lekas kau cuci muka, ingin
kulihat wajah aslimu."
Tong siau-khing melenga k. serunya: "Jadi Ling-heng merias
mukanya, kenapa anak sedikit-pun tidak bisa me mbedakannya?"
Tong-lohujin tertawa., katanya: "Ling-siang-kong adalah murid
kesayangan Hoan-jiu-ji-lay, puluhan tahun Hoan-jiu-ji-lay ma lang
me lintang di Kangouw, tapi beberapa orangkah yang pernah melihat
wajah aslinya?"
Sudah tentu Kun-gi belum tahu siapa Piau-moay yang dimaksud
oleh Tong-lohujin? Tapi peduli siapa dia, kini dirinya sudah mengikat
persaudaraan, sementara Tong-lohujin menerimanya sebagai
keponakan pula, setelah kedok mukanya diketahui orang, de mi
kehormatan dirinya pula, apa boleh buat, tidak enak dia menolak.
katanya, "Perintah Pekbo t idak berani Wanpwe me nolaknya." Dari
kantong bajunya dia keluarkan sebutir obat pencuci muka, setelah
dire mas dan di-gosok2 ditelapak tangan terus diusap ke muka, lalu
dikeluarkan pula sepotong handuk kecil untuk me mbersihkan muka.
Wajahnya yang semula berwarna lega m, setelah dicuci dengan
obat, seketika Tong-lohujin, Tong Siau-khing serta kedua pelayan
terbeliak matanya.
Sungguh tak pernah mere ka bayangkan Ling Kun-gi yang
me miliki ilmu silat begini tinggi ternyata adalah pemuda ca kap
ganteng tak terhingga. Bukan saja bagus, juga le mah seperti
pemuda yang tidak panda i ma in silat.
Sebetulnya Tong Siau-khing sudah terhitung cakap. tapi sekarang
dia merasa kalah dibanding Kun-gi. Serunya ter-gelak2: " Ling-heng,
cakap benar kau ini."
Seperti mengawasi menantunya saja, semakin dipandang
semakin riang hati Tong-lohujin, dia manggut2 senang dan berkata
dengan tersenyum puas: "Ling-siangkong betul2 seorang pe muda
yang serba unggul dibanding pe muda2 umumnya," Lalu dia
berpaling serta mena mbahkan: "Jun-lan, Ling-s iangkong sudah
datang, lekas kalian suruh Toa-slocia danJi-slocia keluar."
Pelayan bernama Jun-lan mengiakan dan berlari pergi.
Kemudian Tong- lohujin bertanya: "Berapa usia Ling-siangkong
tahun ini?"
"Tahun ini Wanpwe genap 21," sahut Kun-gi sa mbil me mbungkuk
hormat.
Berseri girang wajah Tong-lohujin, sekilas dia me lirik kepada
Tong Siau-khing, katanya: " Ling-siangkong lebih muda tiga tahun
daripada mu, lebih tua dua tahun daripada adikmu." Lalu kata2nya
di-tujukan kepada Ling Kun-gi: " Kudengar ibumu juga menghilang,
apakah di culik oleh komplotan cin-cu-ling?"
"Wanpwe sendiri belum tahu, tapi Suhu suruh Wanpwe terjun ke
Kangouw, tujuannya me mang mengejar jejak cin-cu-ling, dari sini
dapatlah Wanpwe simpulkan kalau peristiwa hilangnya ibu pasti ada
sangkut pautnya dengan komplotan ini."
Tong-lohujin manggut2, katanya: "Ling-s iang-kong masih punya
keluarga la in di ruma h?"
"Tiada lagi, Wanpwe masih kecil ayah sudah meninggal, ibu yang
me mbesarkan Wanpwe."
Tong-lohujin manggut2 dan tak bicara lagi. Terdengar langkah
le mbut mendatangi, dari belakang pintu angin teruar bau harum
semerbak. la lu muncul dua gadis jelita yang me mpesonakan.
Yang sebelah kanan berperawakan t inggi se ma mpai,
mengenakan paka ian warna ungu ketat, wajahnya halus pipinya
bersemu merah, sepasang matanya nan bening ke milau
me mancarkan sinar tajam ke arah Ling Kun gi.
Seorang lagi bertubuh agak kecil ramping, mengenakan gaun
panjang warna cokelat muda dengan baju panjang warna hijau
pupus, dia bukan lain adalah nona she Pui, gadis jenaka yang lincah
itu.
Kun-gi hanya tahu nona nakal ini she Pui, na manya siapa tidak
tahu, yang terang dia suka mengenakan pakaian warna coklat.
Kejadian hanya sekejap belaka, begitu melihat Kun-gi, wajah
nona Pui yang molek seketika tertawa lebar bak bunga mekar, dia
me mburu maju seringan angin dan serunya riang: "Toa-piauko,
ternyata kau telah datang, kemarin anak buah Tong -citya menculik
aku dan minta keterangan tentang diri Piauko, me mangnya aku
tidak tahu ke mana kau sela ma ini? Se mala m Tong citya
me mbawa ku ke mari dan aku mengangkat Lohujin ini sebagai ibu
angkatku."- Mulutnya nerocos dengan nyaring dan cepat, sembari
bicara berulang kali dia mengedip kepada Ling Kun-gi, maksudnya
sudah tentu minta Kun-gi mengakui dirinya sebagai Piau-moay.
Baru sekarang Kun-gi mengerti bahwa perempuan yang diculik
Tong-cit-ya adalah gadis she Pui ini. Nona yang belum diketahui
namanya kini ternyata menjadi adiknya, sungguh brutal dan lucu.
Sudah tentu Kun-gi me lihat kedipan mata si nona dan tahu
maksudnya. Wajah nan cerah bak bunga me kar di musim se mi,
walau kelihatan malu2, tapi ta mpaknya minta dikasihani dan
mengandung permohonan yang sangat. Maka dengan tertawa
segera dia berdiri, katanya: "Surat Tong-cit-ya kemarin mengatakan
bahwa dia menculik adikku dan supaya aku menukarnya dengan
barang yang kubawa, semula a ku tidak mengerti siapa adikku yang
dia maksud? Kiranya kau yang tidak mau pulang, buat apa selalu
mengikut i diriku? Anak perempuan tidak baik ke luyuran di Kang-
ouw." Kata2nya me mang persis nada seorang kaka k me mberi
nasihat kepada adiknya.
Nona Pui tertawa riang, tawa yang manis lalu mele let lidah,
katanya: "Memangnya aku ini anak kecil, kenapa tidak boleh main2
di Kangouw? Banyak orang Kangouw yang menguntit mu sepanjang
jalan, aku hanya ingin tahu barang apa sebetulnya yang kau bawa
itu."
Sampa i di sini, dia mengeluarkan sebuah kotak perak gepeng,
lalu diacungkan di depan Ling Kun-gi, katanya sambil ce kikikan:
"inilah oh tiap-piau (piau kupu2) pemberian ibu, bila ditimpukan bisa
pentang sayap dan terbang seperti kupu2 asli, inilah salah satu dari
tiga maca m senjata rahasia keluarga Tong yang paling lihay, cici
Bun-khing biasanya menggunakan ci-hong-piau (piau kumbang
ungu) .... "
Merah muka si nona baju ungu, serunya gu-gup: "Adik Ping,
jangan usil kau."
Tergerak hati Kun-gi me ndengar "cici Bun-khing biasanya
menggunakan ci-hong-piau", batin-nya: Jadi nona yang
menantangku bertanding pedang se mala m adalah nona baju ungu
ini."
Berkedip2 mata nona Pui lalu mengerling ke arah nona baju
ungu, katanya: "Piauko, hampir saja aku lupa, inilah Bun-khing cici."
lalu dia me mbalik dan berkata kepada nona baju ungu: "Inilah Toa-
piaukoku, Ling Kun-gi." Lekas Kun-gi me mberikan hormat kepada
nona Tong.
cerah wajah Tong-Lohujin, katanya: "Bun-khing, Ling-s iangkong
sudah mengikat saudara dengan engkohmu, dia bukan orang luar
lagi, kau-pun harus me manggil Ling-toako padanya."
Sekilas mata TongBun-Khing melirik. katanya malu2: "Ling-
toako"- Se mala m dia begitu keras kepala, dingin dan me nantang.
Tapi sekarang sikapnya ma lu2, suara panggilannya merdu dan
le mbut.
Me mandangi Ling Kun-gi lalu mengawasi puteri sendiri, saking
senangnya Tong-lohujin tertawa lebar, katanya: "Bun-khing, kenapa
kau ini? Biasanya kau tidak takut langit tidak gentar bumi, seperti
kuda liar yang tidak terkendali, Ling-toako kan bukan orang luar
lagi, kenapa harus ma lu2 segala?"
Nona Pui tertawa geli, katanya, "Bu, asal kaupasang tali kendali
pada diri cici pasti dia t idak a kan binal dan liar lagi "
Sudah tentu Tong Bun- khing tahu ke mana tujuan kata2 ini,
seketika dia merengut sambil menuding. "Adik Ping, kau berani
menggoda ku?" -Segera ia hendak meng-kili2 ketiak nona Pui.
cepat nona Pui menyingkir ke belakang Ling Kun-gi, katanya
cekikikan: "Aku toh bermaksud baik, kuda yang bina l harus diikat
dengan kendali yang kokoh, apakah perlu aku bantu mencarikan
seutas tali?" dia se mbunyi di bela kang Kun-gi, se mbari bicara jarinya
menuding ana k muda itu, mukanya unjuk mimik lucu dan me lelet
lidah sega la.
Malu dan gugup juga Tong Bun-khing, serunya membanting kaki:
"Me mangnya aku seperti kau, buka mulut "Piauko", tutup mulut
"Piauko" tiada henti2nya, mesra sekali."
Nona Pui bertolak pinggang, serunya sambil me mbusungkan
dada: "Memang dia Piaukoku, apa salahnya aku memanggil dia
Piauko? Nah, dengar-kan aku me manggilnya lagi. Piauko, Piauko
....."
"Piaumoay," tukas Kun-gi sa mbil mengerut kening "sebesar ini
kau masih bertingkah seperti kanak2? Me mangnya kau tida k malu
ditertawakan Tong-pekbo?"
Nona Pui mencibir, katanya bersungut: "lbu justeru tidak akan
menertawakan aku. Me mangnya kau saja yang suka ngome l."
Sementara itu dua pelayan sudah menyiapkan sebuah meja
perjamuan- Tong Siau-khing lantas berdiri, katanya: "Bu, perjamuan
sudah siap. marilah kita makan bersama."
Tong-lohujin tertawa, ujarnya: "Ling-siangkong adalah ta mu, kau
harus mengundangnya lebih dulu." Lalu dia berpesan kepada
pelayan di sa mpingnya: "Ling-siangkong bukan orang luar, kau
panggil nyonya muda keluar."
seorang pelayan lantas masuk ke bela kang.
Tak la ma ke mudian nyonya muda atau isteri Tong Siau-khing pun
keluar.
"Silakan Ling-heng," kata Tong Siau-khing.
"Mana aku berani, silakan Pe k-bo dulu," sahut Kun-gi.
Dengan ramah Tong-lohujin berkata: "Di sini meski ka mi hanya
menumpang, tapi juga terhitung tuan rumah, Ling- siangkong
silakan, tak usah sungkan-sungkan-"
"Toa-piauko," timbrung nona Pui, "hari ini kau betul2 seorang
tamu agung yang serba komplit." -Mulut bicara sementara matanya
mengerling ke arah Tong Bun-khing.
Merah wajah Tong Bun-khing, tapi hatinya senang dan mesra.
Setelah basa-basi ala kadarnya, akhirnya Tong-lohujin duduk pa ling
atas, Ling Kun-gi duduk di tempat tamu, selanjutnya beruntun Tong
Siau khing suami isteri, lalu kedua nona jelita itu. Dua pelayan
me layani mereka ma kan minum.
Tiba2 nona Pui rebut poci arak sambil berdiri, katanya: "Bu,
kuaturkan secawan padamu serta kuaturkan selamat pula.". Dia
habiskan secangkir arak.
Pelayan kemba li mengisi cangkir mereka, nona Pui tidak lantas
duduk. ia angkat cangkir dan acungkan ke arah Tong Siau-khing
suami isteri, katanya:
"Toako, Toaso, Siaumoay juga aturkan secangkir kepada kalian,"
sekali tenggak dia habiskan pula secangkir.
Dia tetap tidak mau duduk. setelah pelayan mengisi pula
cangkirnya, dia tertawa kepada Kun-gi, katanya: "Toa-piauko, kau
tahu aku tidak bisa minum arak. Tapi dala m perja muan ini, usiaku
paling muda, seharusnya satu persatu kuaturkan arak kepada kalian
semua, tapi paling banyak aku hanya sanggup minum tiga cangkir,
terpaksa kuaturkan secangkir terakhir ini kepada Toa-piauko
bersama Bun-khing cici saja." Segera ia acungkan cangkir kepada
mereka berdua terus ditenggaknya habis.
Tong-lohujin mengawasi Kun-gi lalu berpaling kepada puterinya,
kedua muda-mudi me mang pasangan setimpal kurnia Thian. Karena
hati senang, tak henti2nya dia a mbil lauk-pauk dan diangsurkan ke
mangkuk Kun-gi. Tong Siau-khing sua mi-isteri saling pandang,
keduanya tersenyum penuh arti.
Biasanya Tong Bun-khing lincah dan suka bergerak. naka l lagi,
entah kenapa hari ini dia pendiam dan malu2, tapi sering matanya
me lirik Kun-gi.
Sejam ke mudian perja muan ini telah usai, boleh dikatakan tuan
rumah dan ta mu sa ma2 senang dan puas. Setelah kenyang
langsung Kun-gi mohon diri.
"Toa-piauko," kata nona Pui, "akupun ingin pergi"
"Piaumoay," ujar Kun-gi "Kau sudah punya ibu, tinggal saja
beberapa hari lagi, aku ada urusan penting."
"Ling-siangkong juga tidak usah ter-gesa2" kata Tong-lohujin, "
urusan yang hendak kau kerjakan sudah kusuruh Lo-cit bantu
mengawasi, sele kasnya akan datang berita."
"Adik Ping, kau tidak boleh pergi," kata Tong Bun-khing.
Nona Pui me mbisikinya: "Yang benar kau melarang dia pergi
bukan?"
Malu dan gugup Tong Bun-khing, Serunya: "Eh, minta diajar kau"
tangannya segera meng-kili2 ketia k orang.
Nona Pui berjingkra k geli sa mbil cekikikan, serunya: "cici yang
baik, a mpunilah a ku."
Lalu Kun-gi berkata kepada Tong-lohujin: "Wanpwe betul2 ada
urusan, tak bisa la ma2 di sini."
"Kalau Ling-siangkong me ma ksa, Lo-sin tak enak menahanmu
lagi," lalu dia berpaling kepada pelayan, katanya berpesan: "Pergilah
kau a mbil pedangku itu"
cepat pelayan itu berlari masuk. sekejap saja dia sudah keluar
pula me mbawa sebatang pedang kuno dan dipersembahkan kepada
Lohujin-
Setelah me megang pedang berkatalah Tong-lohujin: "Tiada apa2
yang bisa kuberikan, biarlah pedang ini kuhadiahkan kepada Ling
siangkong."
Kun-gi tahu bahwa pedang ini barang mestika, belum lagi Tong-
lohujin bicara habis, lekas dia menyela, "Begini besar pemberian
Pekbo, Wanpwe mana berani menerimanya?"
"Kau sudah bersaudara dengan Siau-khing, Piaumoaymu juga
kuangkat menjadi puteriku, Lo-sin jadi terhitung orang tua mu,
pedang ini kuberikan sebagai hadiah pertemuan ini, lekaslah kau
menerima nya."
"Me mangnya kenapa kau Piauko", timbrung nona Pui, "kalau kau
tidak terima, ada orang tidak senang dan gelisah hatinya, apalagi
maksud baik ibu masa kau tolak mentah2."
" Ling-siangkong," ujar Tong- lohujin mendesak. "ka lau kau tidak
menerima nya berarti kau tidak me mberi muka kepadaku,"
Nona Pui segera ambil pedang dari tangan Tong-lohujin dan
disisipkan ke tangan Ling Kun-gi, katanya lirih: "ibu nanti marah,
Toa-piauko, le kas kau aturkan terima kasih kepada ibu."
Didesak sede mikian rupa, terpaksa Kun-gi menerimanya, ia
menjura, katanya sungguh2: "Terpaksa Wanpwe terima hadiah
Pekbo ini."
Berseri wajah Tong lohujin, katanya manggut2: "Ya, beginikan
baik." entah sengaja atau ti-dal dia berpaling kepada puterinya,
katanya pula: "pedang ini dulu dibeli oleh ayah almarhum dengan
harga tinggi dari luar perbatasan, waktu itu usiaku. baru genap
setahun, menurut adat istiadat, anak2 yang genap setahun harus
dirayakan secara meriah. Hari itu, dihadapanku penuh berbagai
barang, ada pupur, gincu, pakaian, mainan dan perhiasan, ada
pedang, panah dan lain2, aku diberi kesempatan untuk me milih satu
diantaranya, tak terduga aku hanya menga mbil pedang pende k ini,
ayah almarhum waktu itu bilang anak sekecil ini sudah suka main
pedang, biarlah pedang ini ke lak menjadi mas kawinnya setelah
dewasa. Sejak itu, pedang ini sudah puluhan tahun mendampingi
aku."
Sambil melirik Tong Bun-khing, nona Pui tertawa, katanya. "o,
kiranya pedang ini mas kawin ibu di waktu muda."
Jengah wajah Tong Bun-khing, dia tida k berkata, cuma matanya
me lotot kepada nona Pui.
Kembali Kun-gi minta diri. Mendengar Kun-gi henda k pergi,
merah mata Tong Bun-khing, sakapnya yang malu2 tadi lenyap. kini
berganti rasa berat untuk berpisah.
Tong-lohujin manggut2, katanya kepada Tong Siau-khing: "Nak.
bersama adikmu antarkan Ling -siangkong dan budak nakal ini
berangkat."
Nona Pui maju kehadapan Tong-lohujin dan me mberi se mbah
sujut, katanya: "Bu, anak pergi, harap engkau orang tua jaga diri
baik2."
"Nak setiba di rumah, jangan lupa sampaikan sala mku kepada
ibumu," pesan Tong-lohujin.
"Terima kasih Bu," kata nona Pui.
"Dija lan kau harus dangar petunjuk Piauko, jangan turuti adat
sendiri, aku tahu kau sudah biasa disayang dan aleman, belum
tentu mau dengar petunjuk Piaukomu. Sepanjang jalan ini banyak
kaum persilatan yang berlalu lalang, kukira lebih ba ik Piau-komu
mengantarmu pulang lebih dulu."
Nona Pui manggut2, bersama Ling Kun-gi mereka keluar diantar
Tong Siau-khing dan Tong Bun-khing. Pa Thian-gi sudah
menyiapkan dua e kor kuda.
Sambil berja lan keluar Tong Siau-khing bertanya: "Entah kapan
kita baka l berkumpul lagi?"
"Setelah urusan selesai, pasti aku pergi keSujwan menjenguk
kalian," kata Kun-gi.. Urusan sudah sejauh ini, Tong Bun- khing
me lepaskan rasa malu lagi, segera dia me nimbrung. "Ling -toako,
sebutkan saja tanggalnya, kapan kau akan ke rumah ka mi?"
Berpikir sebentar baru Kun- gi me mutuskan, "Paling cepat tiga
bulan, paling la mbat setengah tahun."
"Wah, setengah tahun apa tidak terlalu la ma," kata Tong Siau-
khing.
"Ling toako," sela Tong Bun.khing. "kukira tiga bulan sudah
cukup la ma, hari ini bulan e mpat tanggal dua be las, jadi tanggal dua
belas bulan tujuh ka mi menunggu kedatanganmu." La lu dia tanya
kepada nona Pui "Dan kau adik Ping, kapan kau juga ke rumahku?"
"Setelah aku pulang dan minta izin pada ibu, segera aku
menyusul ka lian," sahut nona Ping.
Kun-gi berdua segera cempla k ke punggung kuda, katanya:
"Saudara Tong, nona Tong, selamat tinggal." La lu dia me mberi
salam pula kepada Pa Thian-gi dan Khing Su-kwi: "Pa-congkoan,
Khing-hucongkoan, sa mpai bertemu."
Ter-sipu2 Pa Thian-gi berdua me mbalas hormat, serunya: " Ling-
ya, hati2lah dijalan, ka mi tida k mengantar."
Kun-gi bedal kudanya berlari kencang turun gunung, nona Pui
mengikut inya sambil mela mba i tangan ke bela kang.
Berlinang air mata Tong Bun-khing, iapun mela mbaikan sapu
tangan, terlaknya: "Ling-toako, tiga bulan lagi kau harus datang ... .
. .." padahal kuda sudah lari jauh,
tapi Tong Bun-khing masih berdiri me longo dengan dua ja lur air
mata me mbasahi pipi.
"Dik, hayolah masuk." kata Tong siau-khing dengan tertawa,
"jangan kuatir urusanmu serahkan padaku, tanggung beres."
Merah muka Tong Bun- Khing, katanya: "Aku tak tahu apa yang
Toako ma ksudkan?" lalu dia berlari masuk lebih dulu.
ooooooooooo
Sekejap saja kuda Ling Kun-gi sudah sa mpa i dijalan raya. "Nona
mau ke mana?" tanyanya berpaling ke bela kang.
Nona Pui me mbedal kudanya dan berjalan sejajar, katanya
tertawa geli: "Toa-piauko, dengan siapa kau bicara?"
"Sudah tentu dengan kau."
"Ya, setelah meningga ikan mereka, kau lantas tidak anggap aku
sebagai Piaumoay lagi."
"Kalau a kupunya adik selincah dan secantik kau, tentu bukan
ma in senang hatiku. cuma sayang aku punya adik yang tidak
diketahui na manya."
"Hah, jadi kau mengore k keteranganku, Tidak akan kuberitahu."
"Me mangnya pantas seorang kaka k tida k tahu na ma adiknya?"
"Kau terka sendiri saja."
"Na ma orang masa kah boleh diterka segala.."
"Tak mau terka ya sudahlah, jangan harap kuberitahu."
Berpikir sejenak Kun-gi berkata: "Na ma anak perempuan
biasanya pakai Hong, Lan, sian, Ho dan maca m2 lagi ....."
"Se mua itu bukan na maku," tukas nona Pui. "Aku belum habis
bicara, kau menimbrung saja."
"Baiklah, teruskan."
"Nona secantik kau ini, bak sekuntum bunga sehalus batu jade,
adalah ja mak kalau me miliki na ma yang indah pula."
Girang hati nona Pui karena dirinya dipuji matanya yang besar
ber-kedip2, katanya cekikikan: "Barusan sudah ada satu yang telah
kau sebut."
"Tunggu sebentar, apa yang kukatakan tadi?
Ling Kun-gi mengingat2 ke mba li, "tadi aku bilang bak bunga (Ji-
hoa) dan seperti jade (Ji-giok), apakah satu diantaranya?"
Nona Pui manggut2 sa mbil gigit bibir.
"Kudengar nona Tong me manggilmu adik Ping, cantik le mbut dan
lincah bak bunga dan seperti batu jade, lala ditambah satu huruf
Ping lagi ......... mendadak bersinar matanya, serunya tertawa: "Ji-
ping, betul tida k?"
Merah muka nona Pui, serunya kaget dan senang: "Bagaima na
kau bisa menebaknya?"
"Soalnya nama yang serasi dan cocok dengan huruf Ping hanya
huruf Ji saja.jadi kau bernama Pui Ji-ping. Nona Pui, sebetulnya kau
mau ke mana?" tanya Kun-gi.
"He, kau tida k me manggilku Piaumoay lagi?"
"Aku bicara dengan sungguh2."
"Me mangnya me manggil Piaumoay lantas tida k sungguh2?"
katanya sedih, matapun merah dan ha mpir meneteskan air mata.
sepatah kata salah diucapkan menimbulkan salah paham orang,
sudah tentu Kun-gi jadi gugup, lekas dia berkata sambil unjuk tawa:
"Tanpa sengaja kata2ku menyinggung perasaanmu, kenapa lantas
keki? Kutanya kau mau ke mana, kan berma ksud ba ik juga?"
"Peduli kan aku mau pergi ke mana?"
"Tong-lohujin sudah berpesan, aku disuruh me ngantarmu
pulang."
Monyong mulut Pui Ji-ping, jengeknya: "Memangnya pesan
mertua, sudah tentu kau harus me matuhinya."
"Apa katamu?" seru Kun-gi me lenggong bingung.
"Tida k apa2," ucap Pui Ji-ping dengan cekikikan pula, "anggaplah
kau tidak mendengar"
"Jadi kau mau pulang t idak?" -
"Se mula ingin menengok ibu, tapi se karang tidak. Aku ingin ikut
kau."
"Ikut a ku? Mana boleh"
"Kenapa tidak boleh? Kau menguntit si mata satu menyelidiki
barang yang dibawanya, aku juga mau ikut."
"Tida k boleh, nona belia seperti kau tidak boleh ke luyuran di
Kangouw yang penuh bahaya, dua kali kejadian telah kau ala mi
me mangnya belum kapok."
"Soalnya aku tidak siaga, anak buah Tong citya juga kurobohkan
semua."
"Piaumoay yang baik, kau pulang saja, kalau kau anggap aku
sebagai Piauko, kau harus turut nasihatku."
"Kenapa aku tidak boleh ikut kau?"
"Kau anak pere mpuan .... "
"Aku tahu kau sudah punya si dia, mana aku ini kau taruh dalam
hati? Mertua me mang lebih sayang kepada me nantu? Kau takut
berjalan dengan aku, kuatir diketahui oleh dia?"
"Kau ini me mbua l apa?" seru Kun-gi gugup dan ma lu.
Pui Ji-ping tertawa geli, katanya: "Memang-nya salah? Kenapa
aku tidak boleh ikut? Begini saja, besok aku akan menya mar jadi
laki2, kan beres?" Apa boleh buat, Kun-gi ma nggut2.
Pui Ji-ping berjingkra k senang, serunya: "Toa--piauko, kau
sungguh baik,"
Setiba di Siu sian, Pui Ji-ping lantas beli paka ian laki2, topi,
sepatu dan segala keperluan.
Sepanjang jalan Kun-gi tidak mene mukan tanda2 rahasia yang
ditinggalkan anak murid Kim Kay-thay, agaknya si mata satu tidak
lewat jalan ini. Ma ka dia bermaksud lekas2 balik ke Thay-ho saja.
Hari itu juga mereka meninggalkan Siu-sian, belum jauh mere ka
meninggalkan kota, di sebelah depan me mbentang hutan yang
lebat.
Pui Ji-ping permisi masuk ke hutan untuk ganti paka ian, Ling
Kun-gi terpaksa menunggu di luar hutan sambil duduk di sebuah
batu besar. Dengan cepat Pui Ji-ping sudah keluar pula dengan
berdandan laki2, mengenakan jubah hijau, sepatu kulit, tangan
me megang kipas, sambil berjalan keluar, katanya dengan tertawa
lucu: "Toa-piauko, mirip tidak?"
Kun-gi geli, katanya tertawa: "Ya, sedikit mirip. cuma
perawakanmu pendek, terlalu muda lagi."
"Asal mirip saja, kau Toako, aku Siaute." ujar Pui Ji-ping sambil
mengikik.
Kemudian Pui Ji-ping berkata pula: "Sejak kini a ku me manggilmu
Toako, dan kau panggil a ku adik,"
"Ya, kau harus she Ling juga," kata Kun-gi, "maka kau harus
bernama Ling Kun ...."
Tiba2 terbeliak mata Pui Ji-ping serunya menya mbung: "Ling
Kun-ping saja, baik tidak?"
"Baik," Kun-gi manggut2, " Kun-ping sungguh bagus na ma ini."
Pui Ji-ping bertola k pinggang, katanya dengan tertawa: "Ya,
sejak kini aku berna ma Ling Kun-ping."
Magrib hari itu mereka tiba di Cing yang-koan. Pada sudut
sebuah tembok di luar kota Kun-gi mene mukan tiga tanda segi t iga
dari goresan arang, di bawahnya lagi sebelah kanan ada satu
lingkaran pula, itulah tanda2 rahasia Kim Kay-thay yang
mengadakan kontak dengan dirinya.
Sejenak Kun-gi melongo mengawasi tanda itu, batinnya: "Kiranya
Kim-loyacu datang sendiri."
Ternyata ketiga tanda itu mengga mbarkan hiolo (berka ki tiga),
lingkaran sebelah kanan me mberitahu bahwa dia datang dari kiri,
me mbe lok ke kanan, ada sebuah tanda kepala panah pula
menuding ke selatan, itu berarti jurusannya ke selatan-
Duduk dipunggung kudanya Kun-gi menerawang keadaan dan
merancang perjalanan selanjutnya. Kim-loyacu datang dari Thiat-ho,
letaknya kebetulan di barat laut Cing yang-koan, kalau me mbelok ke
kanan jurusannya jadi ke selatan, itulah jalan besar yang menuju ke
Liok-an, jadi sekarang Kim-loyacu menuju ke arah Liok-an-
Pui Ji-ping keheranan melihat tingkah Ling Kun-gi, katanya:
"Toako, soal apa yang sedang kau pikir?"
Kun-gi tersentak sadar, sahutnya: "o, tidak apa2, mari
berangkat."
Cin-yang-koan adalah sebuah kota yang cukup rama i, hari sudah
menje lang petang, tiba saatnva cari hotel untuk bermala m, tapi
Kun-gi keprak kuda me mbedalnya kejalan besar. Terpaksa Pui Ji-
ping larikan kudanya pula, tanyanya "Toako, apa yang kau
temukan?"
"Kute mukan tanda rahasia Kim-loyacu, dia sudah menyusul
ke mari."
"Siapakah Kim-loyacu?"
"Kim-loyacu adalah pejabat Ciangbun murid2 preman Siau lim-
pay."
"Jadi kau sudah berjanji mengadakan kontak dengan dia?"
Kun-gi me ngangguk. Tanpa bicara mereka terus mene mpuh
perjalanan cepat sejauh 40-an li, setiap tiba di simpang ja lan selalu
mereka mene mukan tanda rahasia Kim-loyacu, setelah petang
mereka t iba di Ing-ho.
Ing-ho adalah sebuah dukuh kecil, umumnya orang desa biasa
tidur lebih dini, jangankan men- dapatkan te mpat untuk bermala m,
mencari warung makanpun sukar.
Terpaksa Kun-gi menghentikan kudanya di tepi jalan, mereka
duduk istirahat, Pui Ji-ping ke luarkan bekal makanan yang
dibawakan oleh keluarga Tong, me mang perut sudah lapar, dengan
lahap mereka ganyang habis dua bungkus nasi dan lauk yang lezat.
"Sudah kenyang, mari berangkat," kata Ji-ping sa mbil berdiri, "di
luar In-hiap-kip di depan sana ada sebuah rumah perabuan ke luarga
ong yang besar sekali, kita istirahat di sana saja."
"Dari mana kau tahu?" tanya Ling Kun-gi.
"Aku sering lewat jalan ini, sudah tentu apal keadaan sekeliling
sini."
Mereka mene mpuh perjalanan 20-an li lagi batu sampai di In-
hiap-kip. Waktu itu sudah kentonganpertama, mereka langsung
menuju ke arah barat kota, di sana memang terdapat sebuah rumah
perabuan marga ong.
Mereka tambat kuda di ujung te mbok sana, lalu melompat ke
dalam lewat pagar tembok, setelah menyusur pekarangan dan
sampai di ruang tengah. Biara marga ong ini agaknya dari ke luarga
besar dan bangsawan, keadaan di sini terawat bersih dan teratur.
Kun-gi me milih tempat sebelah kanan, duduk di lantai terus mulai
samadi, betapapun Pui Ji-ping adalah anak pere mpuan, nyalinya
rada kecil, dia duduk de kat Kun- gi.
Karena iseng Pui Ji-ping ajak bicara terus untuk menghilangkan
lelah, sebaliknya Ling Kun-gi merasa sebal, katanya: "Adik jangan
banyak bicara, lekaslah samadi menge mbalikan semangat dan
tenaga dalam dua hari ini mungkin bisa menyusul si mata satu lagi,
gerak-gerik mere ka begini misterius, ingin kutahu barang apa yang
mereka bawa itu?"
"Lho si mata satu kan sudah me ningga l?"
"Tida k. yang mati itu picak mata kiri, yang sekarang ini picak
mata kanannya."
Pui Ji-ping ketarik, katanya: "Kenapa mereka selalu menugaskan
si mata satu untuk tugas pengantar barang ini? Kuduga pasti ada
rahasia apa2 di ba lik persoalan ini."
Kun-gi tidak bersuara, selincah kucing tiba2 dia me lompat berdiri,
desisnya lirih: "Ssst, ada orang datang, lekas sembunyi."
Hakikatnya Pui Ji-ping t idak dengar apa2, Baru dia akan tanya,
mendadak Kun-gi menghardik tertahan: " Lekas naik." Lengan Ji-
ping dipegang terus dibawa lompat ke atas dan hinggap di belandar,
katanya lirih: "Le kas se mbunyi di belakang pigura."
Lengan dipegang orang, terasa badan mumbul seringan asap.
tahu2 sudah menyelinap ke bela kang pigura besar. Kejadian terlalu
mendadak dan berlangsung a mat cepat, jantung ji-ping sa mpa i
berdetak keras.
Belum la ma mereka sembunyi di be lakang pigura, betul juga di
luar pekarangan sudah terdengar suara percakapan orang dan
langkahnya yang mendatangi. Terdengar seorang berkata dengan
suara serak: "Silakan Siau-heng" Rupanya setiba di ruang tengah
mereka sa ling me mpersilakan masuk lebih dulu.
Maka terdengar pula suara tawa lantang, seorang lagi berkata:
"Un-jiko kenapa sungkan2 padaku." Lenyap suaranya, tampak
muncul dua orang berjajar masuk ke dala m.
Betapapun tempat pigura sempit, terpaksa nona Pui harus
mende ka m dan bersentuhan badan dengan Ling Kun-gi, baru
pertama kali ini dala m hidupnya berada dala m pelukan laki2. Kedua
orang di bawah sudah de kat, maka dia tidak berani berseru
sedikitpun. Yang terang jantungnya berdebur seperti omba k
menga muk. pikirannya melayang2 entah ke mana.
Walau mencium bau harum dan bau badan anak perawan yang
me mabukkan, tapi perhatian Ling Kun-gi tumplek ke bawah pada
dua orang yang baru datang, maka pikirannya tidak menjadi
linglung.
Mala m gelap. tapi dia dapat melihat jelas kedua orang di bawah,
yang di sebelah kiri kira2 berusia 50-an, mengenakan jubah panjang
warna hijau kebiru2an, mengenakan topi beludru warna hita m,
sepatunya berlapis kulit tebal, lima jaiur jenggot hitam menjuntai
turun menghiasi dadanya. orang di sebelah kanan berpaka ian
panjang warna kuning kela m, mengenakan ikat pinggang sutera
merah, wajahnya kereng cerah, tulang pipinya menonjol, sudah
cukup tua juga, perawakannya agak pendek. orang kedua ini pernah
dilihat oleh Ling Kun- gi, dia adalah pa man kedua nona Un Hoan-
kun, yaitu Un It-kiau dari Ling-la m.
Tiba2 didengarnya Un It-kiau bersuara heran, katanya dengan
suara serak: "Tiada orang di sini, kenapa diluar ada dua e kor kuda?"
Lalu di sa mpingnya tertawa lebar, katanya: " Keluarga ong di In-
hian-kip ini sebetulnya adalah keluarga bangsawan suku Bong,
rumah abu ini adalah te mpat umum, mena mbat kuda di luar adalah
biasa, kenapa Un-jiko curiga segala?"
Un It kiau manggut2. Dari belakang kedua orang melangkah
masuk pula seorang pe muda berpakaian warna kuning, Ling Kun-gi
juga mengenalnya, dia adalah Kim-hoan-liok-long Siau Kijing,
me lihat pe muda ini Ling Kun-gi lantas menduga bahwa orang tua,
yang mengiringi Un It-kiau pasti bapaknya, yaitu Kim- hoan-s iang-
coat Siau Hong- kang. Di be lakang siau Ki jing ikut pula dua
pembantu rumah tangganya, saat mana lilin sudah dinyalakan di
dalam ruangan, keadaan semula gelap kini menjadi terang
benderang. .
Kun-gi berdua yang mende ka m di belakang pigura t idak berani
mengintip keluar pula.
Terdengar laki2 wajah merah itu berkata, "Bukankah Un jiko juga
mengundang Thong Thian-ong, kapan dia tiba?"
"Ya, sebelum Siaute ke mari sudah kusuruh mengirim surat
kepada Tong Thian-ong, dia sudah setuju untuk me mbantu, dua
hari yang lalu ada orang pernah melihat dia muncul di sekitar Poh-
yang."
"Aneh, kalau dua hari yang lalu dia sudah tiba di Poh-yang,
sepantasnya dia sudah mengadakan kontak dengan kita," kata si
muka merah.
Kun-gi me mbatin: "Thong Thian-ong yang mereka bicarakan ini
mungkin adalah Thong-pi--thian-ong? "
"siaute juga merasa heran, sepanjang jalan ini kita sudah
me mberikan tanda2 petunjuk. seharusnya dia sudah me lihatnya."
Sambil mengelus jenggot, laki2 muka merah berkata pula:
"Watak Thong Thian-ong terlalu berangasan, mungkin terjadi apa2
di tengah jalan?"
"Wataknya me mang kasar, tapi bekal kepan-daiannya cukup
tinggi, jarang ada tandingannya di Bu-lim, mana mungkin terjadi
apa2 atas dirinya?" kata Un It-kiau tertawa.
"Sukar dikatakan," kata laki2 muka merah, "Sepanjang jalan ini
kutemukan Kim Ting Kim Kay-thay, itu ketua murid2 preman Siau-
lim-pay juga telah datang ke Thay-ho, demikian pula Lo-sa m dan
Lo-cit dari ke luarga Tong di Sujwan juga ada di se kitar sini ."
"Betul, kecuali itu ingin kuberitahukan kepada Siau-heng bahwa
masih ada pula beberapa ke lompok orang yang patut diperhatikan-"
"Siapakah yang Unjiko ma ksudkan?"
" Ke lompok pertama adalah dua orang majikan dan
pembantunya, majikannya berusia 25-an berjubah biru, mirip anak
orang berada, pembantunya me makai lengan besi, ilmu silatnya
tinggi, sejak dari Kay-hong kedua orang ini terus menguntit ke mari."
Laki2 muka merah ta mpak prihatin, tanyanya: "Adakah orang
yang pernah menyaksikan kepandaian pe mbantunya itu?
"Anak sendiri pernah menyaksikan," t imbrung Siau Ki-jing.
" Kiranya dia benar adalah Kia m-hoan-siang coat (ahli pedang
dan gelang) Siau Hong-kang," de mikian batin Ling Kun-gi.
"Kau sendiri melihat dia bergebrak?" tanya si muka merah.
Siau Ki-jing menerangkan: "Beberapa hari yang lalu, anak melihat
dia merobohkan murid pre man Siau-lim hanya dalam sekali gebrak
saja."
"Kepandaian murid2 Siau-lim ada yang kuat dan yang le mah,
kalau paderi agak lumayan, murid2 pre man kebanyakan adalab
anak2 orang berada."
"Kelompok kedua adalah seorang muda berusia likuran tahun,
bernama Ling Kun-gi, diapun menguntit sejak dari Kay-hong,
kadang muncul tiba2 lenyap. dia mengaku sebagai murid Hoan jiu
ji-lay, dari gerak-gerik dan kepandaiannya kelihatan me mang tida k
salah."
Terbelalak mata Siau Hong-kang, katanya., "Hoan jiu-ji-lay juga
sudah terima murid."
"Kelompok ketiga muncul di se kitar Sha-cap--li-but, kelihatan
seperti keluarga pejabat, kabarnya majikannya orang perempuan,
tapi pengikutnya semua berkepandaian tinggi, gerak-geriknya juga
ma in sembunyi, sampa i sekarang Siaute masih men-cari2 jejak
mereka, anak buah yang bertugas menyelidiki ternyata tiada yang
ke mbali, se mua lenyap tanpa keruan paran."
Siau Hong- kang berpikir sejenak, katanya: "Unjiko tida k tahu
asal usul kelompok terakhir ini?"
"Laporan kudapat dari dua pembantuku di Sha-cap-li-but, hanya
begitu saja laporan mere ka," sahut Un It-kiau.
"Agaknya kerama ian baka l terjadi, dari beberapa kelompok itu,
kukira kita harus mengadakan kontak dengan pihak keluarga Tong
dari su-wan ......" sampai di sini dia termenung, lalu mena mbahkan:
"orang2 Siau - lim juga terjun ke dalam kancah kerama ian ini?
Mungkin ........."
"Trak." tiba2 terdengar suara seseorang melompati pagar tembok
dan turun di tengah pekarangan-
"Siapa?" bentak Un It- kiau sa mbil angkat kepala.
"Wanpwe akan keluar me lihatnya" ujar Kim--hoan-Liok-long Siau
Ki-jing. Dengan langkah lebar dia berlari keluar. Kejap lain tampa k
dia sudah kembali, di belakangnya mengint il seorang laki2 baju
abu2.
"Un Lok." seru Un it- Kiau segera, "apa yang telah kau te mukan"
Laki2 baju abu2 yang berna ma Un Lok segera me mberi hormat,
katanya: "Lapor Ji-cengcu, disekitar ma-thau-kip. ha mba
mene mukan tanda rahasia tinggalan Thong-thian-ong."
"Ga mbar apa yang dia tingga lkan?" tanya Un It-kiau.
"Tanda gambar itu diukir pada sebatang pohon di pinggir jalan,
hamba pernah mendengar penje lasan Ji-cengcu, ma ka
mengenalnya, kini hamba telah mengupas kulit pohon itu dan
kubawa pulang," dengan hati2 lalu dia keluarkan sekeping kulit
pohon-
Menerima kulit pohon, hanya sekilas pandang air muka Un it-kiau
lantas berubah, katanya dengan terbelalak: "Di mana kau
mene mukan ga mbar ini?"
"Di sebuah persimpangan jalan di dekat Ma--thau-kip."
"Men jurus ke mana persimpangan jalan itu?"
"Simpang jalan itu menuju ke Sa m- kak si."
"Keterangan apa yang dibubuhkan pada tanda gambar ini?"
tanya Siau Hong-kang.
"Inilah tanda gawat bahwa dia mengikuti seseorang, mungkin
seorang musuh tangguh, dia me mberitahu kepadaku untuk segera
menyusulnya."
"Siaute sependapat dengan Siau-heng," kata Un it-kiau, segera
dia mengulap tangan kepada Un Lok. katanya: "Tunjukan jalannya"
Un Lok mengiakan, cepat dia berjalan pergi, -Un It-kiau dan Siau
Hong-kang lantas beranjak keluar. Cepat sekali rombongan mere ka
sudah pergi jauh.
"Mereka sudah pergi, mari turun," kata Pui Ji-ping. Setelah turun
di bawah dia mengebut pakaian me mbersihkan kotoran yang
me lekat di pakaiannya, katanya: "Toako, perlukah kita menguntit
mereka?"
"Kita punya urusan sendiri, peduli dengan urusan mereka, lebih
baik istirahat, besok pagi mene mpuh perjalanan lagi."
Pui Ji-ping tidak banyak bicara pula, mereka ke mba li ke te mpat
semula, duduk samadi sampai pagi hari. Belum sinar surya
menongol keluar mereka sudah melanjutkan perjalanan-Jalan raya
ini langsung menuju ke Liok-an, di sepanjang jalan ini me mang ada
tanda peninggalan Kim Kay-thay, mereka terus bedal kuda sampa i
hari menjelang lohor baru tiba di Liok-an.
Diluar kota Liok-an Kun-gi mene mukan tanda peninggalan Kim
Kay-thay pula, arahnya seperti menuju ke sok-seng, maka mereka
makan ala kadarnya di luar kota terus menempuh perjalanan pula.
Sore hari sa mpai di Tho-sip. di sini mere ka tidak mene mukan tanda2
peninggalan Kim Kay-thay.
Pui Ji-ping mengusulkan untuk langsung ke Sok-seng, mungkin
Kim Kay-thay sudah menunggu di sana. Tapi la in pendapat Ling
Kun-gi, ka lau Kim Kay-thay pergi ke sok-seng pasti dia
meninggalkan tanda yang menjurus ke sana, di Tho-sip mereka
sudah tidak mene mukan tanda2 lagi, itu berarti kemungkinan Kim-
loyacu mene mukan apa2 di sini sehingga tida k se mpat
meninggalkan tanda2 dan tak mungkin menuju ke sok-seng.
"Lalu bagaimana menurut pendapat Toako?" tanya Pui Ji-ping.
"Kau kenal je las keadaan di sekitar sini?"
"Aku tahu, dari sini ke t imur menuju ke Jau--ouw, ke selatan ke
sok-seng, ke utara pergi ke Hoaji-kang, Thong- keh- kang, langsung
ke Hap-pui."
Tengah mereka bicara, tiba2 didengarnya suara tapal kuda
berdetak. suaranya ringan dan cepat. Waktu mereka berpaling,
tampak dari arah utara sana membedal lari seekor keledai,
dipunggung keledai bercokol seorang tua berbaju hijau dan celana
panjang kuning luntur, badan terbungkuk, mata terpejam, dia
biarkan saja keledainya lari sesukanya.
Sekilas Ling Kun-gi pandang orang tua itu tanpa me mperhatikan
lebih lanjut. Tak terduga pada saat dia me mandang orang, entah
sengaja atau tidak- orang tua itupun melirik sekejap ke arah
mereka. Betapa tajam pandangan mata Kun-gi, sekilas saja terasa
olehnya kedua biji mata yang melirik itu hanya sebelah kiri yang
bercahaya. Hanya mata kiri yang bercahaya, bukankah itu berarti
mata kanannya picak?
Mendadak tergerak hati Ling Kun-gi, dilihatnya orang tua itu
menuju ke Sok-seng, ma ka dia berkata kepada Pui Ji-ping: "Dik, hari
sudah petang, kita harus lekas masuk kota, kalau terla mbat pintu
kota mungkin ditutup." - Se mbari bicara dia me mberi kedipan mata
kepada Pui Ji-ping.
Ji-ping merasa heran, tapi dia tahu diri, tanyanya lirih: "Me mang
benar." Kendali dia tarik ke kiri sehingga kudanya jalan merendeng
lebih dekat dengan suara lebih lirih dia bertanya pula: "Siapakah
dia? Toa ko mengena lnya?"
"Kukira dia adalah orang yang ingin kita cari, si mata satu. cuma
betul atau tidak perlu dibuktikan-"
"Asal kita kuntit dia, nanti juga pasti ketahuan-" sembari bicara
mereka jalankan kuda pelan2 dari kejauhan mengunt it ke ledai itu
masuk ke kota.
Hari sudah petang, banyak orang buru2 masuk kota, maka
suasana menjadi ramai. Berbeda dengan si mata satu kiri yang telah
ajal itu, sipicak kanan ini bergerak secara terang2an, dia berhenti di
depan warung bakmi, ia me lompat turun dan masuk dengan ter-
bungkuk2
Waktu itu me mang t iba saatnya makan mala m, setelah letih
mene mpuh perjalanan me mang perlu istirahat dan mena ngsel
perut, terutama orang yang berdandan seperti orang desa, adalah
jamak ka lau makan di warung kecil dengan tarip murah.
Melihat orang ma mpir di warung bakmi, Kun-gi berdua me masuki
warung arak di seberang jalan, letaknya kebetulan berhadapan-
Mereka me milih te mpat duduk ditepi jendela, dari sini mere ka dapat
mengawasi gerak-gerik orang diseberang.
Kun-gi me mesan makanan ala kadarnya, lalu dia berkata
setengah berbisik, "Dik, kau tunggu di sini dan a mati gera k-
geriknya, aku pergi sebentar."
"Toako ma u ke mana?" tanya Ji-ping.
"Tugasmu menjaga di bagian luar sini, aku Keh- hoa akan putar
ke belakang, kalau benar dia si picak kanan yang bertugas
mengantar barang, kemungkinan bisa merat lewat pintu belakang,
hal ini harus kita jaga sebelumnya. Kalau dia pergi lewat depan, kau
harus menguntitnya dan perhatikan ke mana atau di tempat mana
dia menginap. Di sini pula kita nanti bertemu."
Mendengar dirinya di beri tugas, riang hati Pui Ji-ping, katanya
tertawa: "Tugas seringan ini, Toako tak usah kuatir, pasti
kulaksanakan dengan ba ik,"
"Baiklah sekarang aku pergi," bergegas Kun--gi keluar menuju ke
pengkolan jalan sana, di belakang deretan rumah seberang sana
me mang terdapat sebuah lorong se mpit, cepat Kun-gi menyelinap
masuk dan menghitung ruma h ke lima, itulah pintu bela kang
warung bakmi di depan, setelah memperoleh te mpat yang gelap.
dia berdiri mepet tembok, matanya memperhatikan pintu bela kang
rumah ke lima itu.
Dengan sabar dia menunggu kira2 satu jam, betul juga dilihatnya
sesosok bayangan orang tiba2 menongol ke luar dari pintu bela kang
warung bak-mi itu, me lihat tiada bayangan orang, dengan langkah
buru2 dia berlari ke arah kiri sana.
Mata Kun-gi yang tajam dapat melihat bahwa bayangan orang itu
adalah laki2 tua berbaju hijau, punggung yang tadi bungkuk kini
sudah tegak. langkahnya ringan-
Dengan sigap seperti anjing pe lacak Kun-gi terus menguntit ke
mana laki2 tua itu pergi. Ternyata laki2 tua ini juga cukup cerdik
dan licin, agak la ma dia ber-lari2, mendadak dia menghentikan
langkah se mbari berpaling ke be lakang, betapa tangkas gerakan
Kun-gi, mana mungkin jejaknya dilihat olehnya?
Melihat tiada orang yang menguntit di be lakangnya, si tua baju
hijau ke mbali berlari ke depan, keluar dari jalan raya, dia
menyelinap ke jalan me lintang di sebe lah depan sana, langkahnya
tidak pernah berhenti, kecepatan sedang, arahnya ke selatan-Lama
kela maan dia menuju ke daerah sepi.
Tak la ma ke mudian dia sa mpa i di tempat pe mbarkaran genteng,
di sini dia berpaling pula, setelah longak- longok ke belakang,
dengan langkah cepat dia lewati tempat2 pe mba karan genteng yang
tersebar luas itu terus me masuki sebuah pekarangan yang dipagari
tembok pendek. Di depan pintu terdapat sepucuk pohon, dia
berjongkok menghitung setumpukan batu yang ada di bawah pohon
lalu me ngha mpiri pintu serta mengetuknya tiga kali.
Maka terdengarlah ada orang bertanya: "Mala m selarut ini,
siapakah yang menggedor pintu?"
Laki2 tua baju hijau unjuk tawa, sahutnya: "Belum ma la m, belum
ma la m, akulah Lo-to (bungkuk) yang me ngetuk pintu."
"Kau cari siapa?" tanya orang di dala m pintu.
"Mencari orang yang menumpuk batu di batu di bawah pohon-"
"Kau sudah menghitungnya?"
"Sudah, seluruhnya 18 biji, agaknya saudara kurang menumpuk
satu biji."
orang di dala m tidak bersuara, pelan2 daun pintu terbuka.
Tampak seorang laki2 tua yang mengikat kuncir rambutnya di atas
kepala, me mbawa pipa cangklong, menyambut keluar, katanya:
"sila kan duduk di da la m."
Si tua baju hijau tidak segera masuk, katanya mengerut kening:
"Kenapa kau tidak menyalakan la mpu di da la m?"
Laki2 tua bergelak tawa, katanya: "Saudara tidak bisa melihat
dengan jelas tidak menjadi soal, asal aku dapat menghitungnya
dengan baik saja."
Melihat kata2 rahasia yang ditanyakan terjawab seluruhnya, laki2
tua baju hijau tidak banyak bicara lagi. segera dia angkat langkah
masuk ke rumah.
Laki2 bergelung kuncir cepat menutup pintu, katanya sambil
berpaling: "Mana barangnya, boleh kau ke luarkan-"
Laki2 baju hijau merogoh kantong dan menge luarkan sebuah
buntalan kain kasar terus diangsurkan, lalu katanya: "Saudara tentu
sudah capai, ini-lah perintah dari atasan, malam ini saudara dilarang
menginap di dala m kota, kau harus segera mene mpuh perjalanan
pula."
Tertegun laki2 baju hijau, katanya, "Aku sudah menunaikan
tugas ......."
"Pihak atas menghenda ki kau segera berangkat, maaf aku tidak
bisa menolongmu lagi," tiba2 tangan kanan dia ulur, tangannya
sudah me megang sebuah bumbung hitam, "sret" segulung cahaya
biru segera menyembur ke luar dari dala m bumbung melesat ke
dada laki2 baju hijau.
"Hah" terpentang mulut si laki2 baju hijau, tapi sebelum dia
menyadari apa yang terjadi, cahaya biru itu sudah nancap ke dala m
dadanya, badannya seketika terjengkang roboh.
Laki2 bergelung kuncir menyimpan ke mbali bumbung jarumnya,
katanya menyeringai sa mbil mengawasi mayat laki2 baju hijau :
"Pihak ataslah yang me mberi perintah, jangan kau sa lahkan aku
......" sampai di sini dia bicara, tampak kepala mayat laki2 baju hijau
mengepulkan asap kuning, dengan cepat sekali jasadnya berubah,
ternyata yang disambitkan tadi adalah Hoa-hiat-sian-tong (bumbung
jarum pengluluh darah). Bergidik juga laki2 bergelung kuncir melihat
hasil karyanya sendiri, tiba2 terasa punggungnya kese mutan-
Pada saat itulah di belakangnya tahu2 sudah bertambah sesosok
bayangan orang, tangan merogoh kantongnya dan mengeluarkan
buntalan kain biru tadi.
orang ini adalah Ling Kun-gi yang menguntit laki2 tua baju hijau.
Setelah menutuk Hiat-to laki2 bergelung kuncir, segera dia buka
buntalan kain biru itu, di da la mnya
berisi kotak persegi. Setelah kotak dibuka, di da la mnya dilapisi
kain saten warna kuning, di tengah2 terjahit sebutir mutiara sebesar
kacang dengan benang merah.
Walau gelap di dala m ruma h, tapi Kun-gi dapat melihat jelas, di
tengah2 mutiara terdapat ukiran huruf "Ling". Ternyata cin-cu-ling
adanya. Mutiara ini mirip dengan yang pernah dilihatnya di tempat
Kim Kay-thay itu, "Kemanakah mereka hendak mengantar cin-cu-
ling ini?" de mikian Ling Kun-gi ber-tanya2 dala m hati.
Sejenak dia termenung, lalu menutup dan me mbungkus pula cin-
cu-ling itu seperti se mula dan dike mba likan ke kantong baju laki2
bergelung kuncir, sebelum berlalu dia me mbuka tutukan tadi dan
cepat dia menyelinap sembunyi di te mpat gelap.
Laki2 tua bergelung kuncir menguap sekali lalu menggeliat
badan, sebentar dia kucek2 mata, lalu menjura ke arah tanah,
katanya dengan tertawa getir: "Saudara mati penasaran, Tapi aku
bekerja menjalankan perintah, harap saudara tidak menyalahkan
aku." Dia sangka arwah laki2 baju hijau itu tidak menerima
ke matiannya, barusan dirinya telah ditenung sebentar, maka setelah
bicara bergegas dia berlari keluar sipat kuping.
Kun-gi mengunt itnya dari kejauhan- Laki2 tua bergelung kuncir di
kepala itu berjalan cepat sekali, tak lama kemudian dia sa mpai pada
sebuah tempat pemujaan di pinggir jalan yang dibangun
menyerupai gundukan tanah, tempat pemujaan ini bukan kuil bukan
biara, tapi hanyalah sebuah barak yang beratap rumput alang2
kering, bentuknya kecil dan pendek. di dalamnya dipuja dewi bumi
suami-isteri, tanpa meja, hanya terdapat sebuah hiolo, setiap orang
yang sembahyang menancapkan dupa di sana, keadaannya amat
sederhana.
Dengan langkah ter-gopoh2 laki2 itu me masuki barak berdinding
tanah liat itu, sejenak dia celingukan, me lihat tiada orang lain, tiba2
dia mencincing lengan baju terus ulur tangan meraba ke dala m
hiolo, akhirnya dia meraba keluar sebuah bumbung ba mbu. Setelah
me mbersihkan abu di kedua tangannya, dia membuka sumbat
bumbung dan menuang keluar gulungan secarik kertas.
Pada saat itulah Kun-gi muncul di bela kangnya pula, dengan
sekali kebas dia tutuk jalan darah penidur orang, lalu ambil
gulungan kertas itu serta merentangnya. Tampak di atas kertas ada
tulisan yang berbunyi: "Besok sebelum matahari terbenam, antarkan
kepada seorang yang membe li lima blok ka in katun di toko kain
Tek-bong di kota Thung-seng, tak usah bicara, segera
mengundurkan diri saja."
Kun-gi menggulung pula kertas itu, lalu dike mbalikan ke tangan
si orang tua, kembali ia mengebas, me mbuka Hiat-to orang. Laki2
tua bergelung kuncir bcrbangkis sekali, cepat dia masukkan
gulungan kertas itu ke dala m baju, seenaknya saja dia buang
bumbung ba mbu itu ke sema k rumput di luar pintu, dengan langkah
cepat dia mene mpuh perjalanan lagi.
Kejadian ini kira2 makan waktu setengah jam, cepat2 Kun-gi
ke mbali ke warung arak. ma kanan yang dipesannya tadi sudah
dingin se mua. Untung saat itu keadaan warung ramai dikunjungi
orang, yang hendak mengisi perut, orang mengira Pui Ji--ping
sedang menunggu seseorang, maka tiada yang me mperhatikan-
Melihat Kun-gi ke mbali, Pui Ji-ping tertawa senang, cepat dia
menyongsong sa mbil bertanya: "Toako, kenapa pergi begini la ma?"
Melihat hidangan se meja penuh belum disentuh sedikitpun,
timbul rasa prihatin Ling Kun-gi, katanya: "Dik, kenapa kau tidak
makan dulu?"
"Toako ada urusan, sudah tentu aku harus menunggumu untuk
makan bersa ma"
Ji-ping menyuguh secangkir teh kepada Kun-gi, katanya:
"Bagaimana urusannya Toako? Kau pergi begini la ma, aku tida k
me lihat dia ke luar."
Kun-gi minum seteguk, katanya, "Sesuai dugaan, dia merat
daripintu bela kang. Hasil yang kucapai a mat me muaskan-" Lalu ia
ceritakan pengalamannya secara ringkas. Heran dan kaget Pui Ji-
ping, katanya lirih:
"orang yang me mbeli lima blok kain katun di toko Tek- hong, di
kota Thung-seng?Jadi sudah sa mpa i te mpat tujuan terakhir?"
"Belum bisa diraba, kalau tidak pindah tangan lagi, itu berarti
me mang sudah mencapa i te mpat tujuan terakhir."
"Lalu bagaima na tindakan kita selanjutnya, Toako?" tanya Ji-
ping.
"Sa mpai besok sore, waktunya masih cukup panjang, aku akan
cari Kim-loyacu untuk berunding dulu dengan dia."
"Tapi di Tho-sip kita tidak mene mukan tanda2 yang dia
tinggalkan-"
"Ya, tapi di San-la m-koan a ku me lihat tanda2 Kim-loyacu," alis
Kun-gi berkerut, katanya mene-pekur: "Jelas masih ada tanda2
rahasia itu di San--la m-koan, tapi setiba di Tho-s ip tanda2 itu
lenyap, mungkinkah dia mengala mi sesuatu di se kitar Sa m--la m-
Koan..

Tengah mereka bicara, pelayan sudah antar kembali makanan


pesanan mereka. Mereka makan cepat2, setelah bayar rekening
terus keluar, dengan menuntun kuda mereka berjalan kaki cukup
jauh dijalan raya. Dalam hati Ling Kun-gi menimang2, semula
banyak orang menguntit si mata satu, tapi di Sok-seng tiada
seorangpun kaum persilatan yang kelihatan, sementara sipicak ini
tahu2 muncul dari arah Hoa-ji-kang. datang dari utara, agaknya
komplotan cin-cu-ling tahu bahwa mereka dibuntuti, entah dengan
cara apa, semua orang yang menguntit itu satu persatu dipancing
ke arah la in, De mikian pula Kim-loyacu tiba2 putus hubungan,
ke mungkinan juga terkena muslihat mereka. Maka besar tekad Kun-
untuk selekasnya menyusul ke Sa m-La m Koan.
Tengah berjalan, seorang yang berdandan pelayan hotel
mengadang mereka sa mbil munduk2, katanya tertawa: "Kongcu
berdua apa cari penginapan, hotel ka mi serba bersih dan nya man
teduh, service tanggung memuaskan, kuda kalian boleh serahkan
kepada ha mba."
Waktu Kun-gi angkat kepala, dilihatnya di depan sana me mang
ada sebuah hotel sok-seng, maka dia berpaling, katanya: "Dik, biar
kita menginap saja se mala m di sini."
Panas muka Pui Ji-ping, dia mengia kan sa mbil ma nggut sekali.
Segera Kun-gi serahkan kudanya, lalu mendahului melangkah
masuk. Pelayan lain segera datang menyambut serta antar mereka
me milih ka mar, akhirnya mereka me milih sebuah ka mar besar yang
terdiri dua ruangan berdampingan, masing2 ada sebuah ranjang,
jadi mereka t idur di dua ka mar terpisah.
Menjelang kentongan kedua Kun-gi siuman dari se madi, dia
pasang kuping, tiada suara apa2 di kamar Pui Ji-ping kecuali deru
pernapasannya yang teratur, terang si nona sudah tidur nyenyak.
Pelan2 dia berdiri me mbuka jendela terus melompat keluar, dia
tutup pula jendelanya dari luar, terus meloncat ke wuwungan
rumah.
Dengan menge mbangkan Ginkang dia meluncur dengan
kecepatan luar biasa, hanya setanakan nasi dia sudah tiba di Tho-
sip. dari sini ke San-la m-koan dia terus me meriksa dengan teliti,
namun tiada tanda2 apapun yang dia temukan, tapi pada sudut
sebuah tembok di San-la m-koan masih ada tanda peninggalan Kim-
loyacu, jelas arahnya menuju ke Tho-sip. Ini me mbuktikan bahwa
Kim-loyacu sudah meninggalkan San- la m- koan, tapi tujuannya
bukan ke Tho-sip. Lalu ke mana dia? Tiba2 tergerak pikirannya:
"Sipicak datang dari Hoaji-kang yang letaknya di sebelah utara Tho-
sip. terang mereka sengaja dipancing ke jurusan lain oleh kawan2 si
picak."
Maka dia menuju ke utara, pada setiap persimpangan jalan dia
mengadakan pene litian-Tapi dari Kang-keh-tia m, Han-siau-tia m,
Hok-ma-tia m sa mpai Thong-keh-kang, sejauh puluhan li dia terus
mengadakan pe meriksaan tanpa menemukan apa2, se-olah2 Kim-
loyacu tak pernah datang ketempat2 ini.
Dia tahu Kim-loyacu sudah banyak pengalaman dan
berpengetahuan luas, kalau dia sudah me-ningga lkan tanda2 di San-
la m-koan, umpa ma ter

Jilid 6 Hala man 5/6 Hilang


Keluar dari hutan, mereka naik kuda mene mpuh perjalanan pula.
Lewat lohor baru mereka tiba di Thong-sengJi-ping apal keadaan
kota ini, ma ka dia menunjuk ja lan, setelah membelok kejalan raya
sebelah timur sana dia menuding ke depan: "Toako, waktu masih
pagi, marilah istirahat di restoran itu?"
"Baik, rumah makan berloteng itu ternyata cukup besar
bangunannya."
"Te mpo hari bersa ma Piauci ka mi menyamar laki2 dan pernah
me lancong ke mari. Ketika itu In-congkoan juga naik ke loteng
minum teh, tapi dia t idak mengenali ka mi lagi."
"Siapakah In-congkoan?" tanya Kun-gi.
"In-congkoan berna ma In Thian-lok, kepala keluarga pa man,
katanya berilmu silat tinggi."
Waktu itu mereka sudah tiba di depan restoran, pelayan
menya mbut mereka ke loteng. ji-ping lantas menuding meja dekat
jendela: "Te mpo hari ka mi duduk di meja itu."
Setelah Kun-gi duduk. waktu dia angkat kepala, dilihatnya di
seberang jalan sana adalah sebuah toko ka in "LEK HONG".
"Kebetulan kau mencari te mpat di sini," katanya tertawa.
"Te mpo hari ka mi berbelanja juga di toka kain di depan itu,
ma la mnya kami jalan2 melihat kerama ian kota," kata Ji-ping.
"Toako, jalanan di sini aku lebih apal, nanti biar aku yang menguntit
orang yang beli lima blok ka in itu. Kau tunggu saja di sini." Ling
Kun-gi manggut2 menyetujui usulnya.
Pada saat itulah, muncul seorang dari anak tangga, dia
mengenakan topi kulit berbulu, me manggul sebuah kotak kayu
warna merah, kumisnya panjang, usianya belum 50, dandanannya
mirip penge mbara, tapi juga seperti pedagang perhiasan-.
Matanya menjelajah seke lilingnya terus mengha mpiri meja di
sebelah kanan Ling Kun-gi yang berdekatan dengan jendela, peti
kayu dia letakan di atas meja, sambil me me lint ir kumis dia duduk
me mandang ke arah toko kain di depan sana. Pelayan datang
me layani pesanannya.
Sejak orang ini masuk Kun-gi sudah lantas me mperhatikan, ma ka
dia berbisik kepada Pui Ji--ping, "Sejak kini jangan bicara soal itu
pula."
Ji-ping melengak. dia berpaling, namun yang dilihat hanya
bayangan punggung orang, segera ia bertanya sambil mende katkan
tubuh: "Siapa dia?"^
Kun-gi menggeleng, lalu dengan ilmu mengirim be lombang suara
dia berkata, "Nanti kujelaskan."
Selanjutnya mereka bergurau dan bicara panjang lebar mengenai
ini itu sa mbil me mperhatikan pria bertopi di sebelah.
Menjelang sore, terdengar suara derap kaki kuda yang ra mai
mendatang dari kejauhan, tampak lima ekor kuda berjalan ke arah
sini. orang yang duduk di kuda paling depan berperawakan besar,
alis tebal mata cekung, wajahnya kelabu, berpakaian jubah biru,
iapun nengenakan topi kecil berbulu burung, kumis di atas bibirnya
terawat baik dan rapi, wajahnya kereng berwibawa, betapa gagah
dia duduk di atas kudanya.
Di belakangnya adalah orang2 yang berpakaian serba ketat,
golok tergantung di pinggang masing2, kelihatan angker dan
bersemangat barisan lima kuda ini. orang2 yang berlalu lalang sama
minggir me mberi jalan-
Melihat la ki2 muka ke labu yang bercokol di punggung kuda ini,
tak terasa ber-gerak2 bibir Pui Ji-ping, dilihatnya laki2 muka ke labu
itu mendahului mengha mpiri toko kain Te k-heng dan berhenti.
Empat orang pengikutnya ter-sipu2 turun, seorang pegang kendali,
seorang bantu dia me lompat turun, dua orang yang lain melangkah
ke dala m toko sebagai pembuka jalan-Jelas toko kain Tek-hang hari
ini kedatangan tamu yang akan me mborong dagangannya.
Maka ributlah keadaan toko ka in itu, pelayan sibuk melayani,
pemilik toko bersa ma tuan kasir keluar menya mbut. Sudah tentu
Kun-gi dan Ji--ping me nyaksikan se mua ini dengan jelas dari
tempatnya yang tinggi di atas loteng.
Setelah laki2 muka kelabu duduk. seorang pe layan toko
menyuguhkan air teh. Tanpa sungkan2 si muka kelabu angkat
cangkir dan minum seteguk. lalu berbicara kepada tuan kasir, tuan
kasir tampak munduk2 sa mbil tertawa lebar seperti mengiakan,
cepat dia berpesan apa2 kepada pelayan di sampingnya. Beberapa
pelayan toko segera bekerja penuh semangat dan sibuk seka li,
mereka me mbawa beberapa contoh kain sutera ke hadapan si muka
kelabu.
Dengan seksama laki2 muka kelabu me milih, lalu menuding
beberapa di antaranya, barang yang terpilih itu segera di kumpulkan
di meja tersendiri. Kemba li la ki2 muka ke labu berkata kepada tuan
kasir seperti ingin me mbeli ka in cora k lain- Tuan kasir munduk2 lagi,
dia pimpin beberapa pelayan
me mbuka almari dan menge luarkan lima blok kain katun warna
hijau pupus, pelayan toko langsung membawanya keluar dan
diserahkan anak buah laki2 muka kelabu, lalu diikat di punggung
kuda.
Melihat lima blok kain katun hijau pupus ini, hampir saja Pui Ji-
ping berteriak kaget.
Laki2 bertopi di meja sebelah segera merogoh sa ku me mbayar
uang teh terus berlari turun loteng sa mbil me manggul peti kayunya.
Melihat orang pergi ter-gesa2, Ji-ping bertanya, "Toako, siapakah
dia?"
Kun-gi pandang sekelilingnya baru menerangkan dengan suara
rendah: "Dia adalah laki2 tua bergelung kuncir yang mengantar cin-
cu-ling itu, baru hari ini dia me makai topi."
"dia turun ter-gesa2, jadi mau menya mpaikan barang itu?"
"Lima blok ka in katun hijau pupus sudah diikat di punggung
kuda, itu tanda yang sudah jelas, sudah tentu dia harus lekas2
mengantarkan barangnya."
Sedang mereka bicara, tampak laki2 bertopi itu sudah
menyeberang jalan langsung menuju ke toko ka in itu.
Seorang pelayan segera menyambutnya, maksudnya supaya dia
tidak serampangan masuk toko yang sedang sibuk melayani pe mbeli
besar. Laki2 bertopi manggut2 minta maaf, dia menuding laki2
muka kelabu di dala m toko serta mengucapkan beberapa patah
kata, seperti mengatakan mau menyampa ikan sesuatu barang
padanya.
Pelayan manggut2 serta me mpersila kan dia masuk. Menjinjing
peti kayunya laki2 bertopi beranjak ke dala m, langsung dia
mende kati laki2 muka ke labu dan me mberi hormat. Si muka ke labu
hanya sedikit mengangguk dan mengajukan beberapa patah
pertanyaan- Laki2 bertopi unjuk tawa lebar sambil me langkah maju,
peti kayu dia taruh di atas meja, ia mengeluarkan anak kunci dan
me mbuka petinya itu, dari da la m kotak dia keluarkan serenceng
kalung mutiara, tusuk kundai, ke mbang berlian, gelang dan lain2
maca m perhiasan, bersama dua buah kotak kecil berlapis kain,
sutera biru, satu persatu dia aturkan ke hadapan laki2 muka kelabu,
mulutnya tak berhenti menerangkan ini itu seperti penjual perhiasan
layaknya yang memuji barang dagangannya.Jadi Cin-cu-ling yang
dibawanya itu berada di dala m kotak itu.
Seenaknya saja laki2 muka kelabu me milih delapan maca m
perhiasan, sudah tentu kedua kotak itupun dipilihnya, lalu dari
lengan bajunya dia ke luarkan sele mbar uang kertas dan diserahkan
kepada laki2 tua bertopi itu.
Berseri girang laki bertopi, setelah terima uang kertas (sebangsa
cek) itu, dia bereskan dagangannya, sambil munduk2 dan berucap
terima kasih terus keluar.
Sementara itu pelayan sudah me mbuntal beberapa blok kain
sutera lainnya di atas kuda yang la in pula.
" Toa ko, hayo lekas berangkat," tiba2 ji-ping berkata gugup,
"Mau ke mana?" tanya Kun-gi heran-
"Lekaslah, kalau terla mbat, tidak ada kesempatan lagi," desak Ji-
ping.
Cepat2 mereka turun terus larikan kuda keluar kota menuju ke
utara, di luar kota ji-ping me larikan kudanya terlebih kencang.
Semula Kun-gi kira dia hendak menguntit si tua bergelung kuncir
yang menyaru pedagang perhiasan, dari uang kertas yang dia
terima dari la ki muka kelabu itu pasti bisa dise lidiki siapa sebetulnya
laki2 muka ke labu itu. Tapi se karang dia baru menyadari bahwa
dugaannya ternyata meleset jauh. Ji-ping bukan mengejar atau
menguntit orang, tapi dia me mbedal kudanya seperti orang
kesetanan sampai lima li jauhnya, lalu me mbelok ke sebuah ja lan
kecil yang berlapis batu.
Waktu itu sudah magrib, sang surya hampir terbenam, burung2
berkicau ke mbali ke sarangnya, jauh di antara gunung gemunung di
antara lebatnya pepohonan sana tampak asap mengepul di
angkasa.
Betapapun sabar hati Kun-gi, setelah heran sekian la manya, kini
tak tahan lagi, dia bedal kudanya me mburu ke depan serta
bertanya: "Dik, hendak ke mana kau sebetulnya?"
Ji-ping berpaling, sahutnya tertawa: " Kubawa kau mene mui
seorang."
"Siapa dia?" tanya Kun-gi.
"Setelah berhadapan pasti kuperkenalkan."
"Orang ini ada hubungannya dengan tujuan perjalanan kita?"
Sambil me mecut kudanya Ji-ping me njawab: "Toako tak usah
banyak tanya, setelah tiba saatnya kau akan tahu sendiri."
Kuda mereka adalah milik keluarga Tong yang terpilih, ma ka
larinya kencang sekali, 20 li sudah mereka te mpuh, pegunungan di
sini berpanora ma indah permai, pohon Siong dan hutan bambu
me magari jalanan, ke indahan ala mnya laksana dala m impian-
Tiba2 tergeraklah hati Ling Kun-gi, dia ingat Kim Kay- thay
pernah menyinggung Liong-bin-san- ceng kepadanya, letaknya di
utara kota Thung-seng, mungkinkah Liong-bin san-ceng terletak
dipegunungan ini?
Sementara itu Pui Ji-ping di sebelah depan sudah tiba di kaki
gunung, mendadak dia belokkan kudanya ke dalam hutan serta
me mperla mbat larinya, beberapa jauhnya, dia lompat turun dengan
menuntun kuda ia menyelinap semak2 pepohonan yang lebih
dalam. Ling Kun-gi ikuti si nona, tanyanya: "Sudah sa mpai be lum?"
"Belum, kita se mbunyikan dulu kuda2 ini."
"Apa kita mau pergi ke Liong-bin-san-ceng?" tanya Kun-gi.
"Darimana Toako tahu?" ba las tanya Ji-ping kaget dan heran.
"Aku hanya menduga, gunung ini adalah Liong-bin-san (gunung
naga tidur) kecuali pergi ke Liong-bin-san-ceng, ke mana lagi?"
"Em," hanya itu suara yang keluar dari teng-gorokan J i-ping, dia
tetap menuntun kuda me masuki hutan. Akhirnya mereka mena mbat
kuda di hutan yang agak gelap dengan pepohonan lebat.
Berkata Kun-gi dengan nada serius: "Dik, me mang jarang orang2
Liong- bin-san-ceng bergerak di ka langan Kangouw, tapi kabarnya
kepandaian sang cengcu, cia m-liong Cu Bun-hoa a mat tinggi, iapun
pandai me mbangun berbagai alat perangkap. demikian pula racun
dan senjata rahasia, jangan kau se mbarangan ma in2 di sini."
"Toako t idak usah kuatir, kita tida k akan mengusik mere ka."
"Jadi siapa sebetulnya yang kau cari?"
"Toako ikuti saja diriku" Ji-ping tetap tidak mau menerangkan-
Terpaksa Kun-gi mengikut i ke ma na saja Ji-ping me mbawanya,
mereka mendaki bukit tandus di sebelah kiri, lalu menyusuri
selokan, lompat ke atas pematang dan tiba di sebuah te mpat yang
banyak pohon siong, tampak sebuah jalan besar yang dibangun dari
papan batu hijau menjurus lurus ke arah sebuah perkampungan,
agaknya letak perkampungan itu masih satu li jauhnya... Hari sudah
mulai gelap. dilihat dari kejauhan hanya kelihatan bayang2 gelap
yang bertutup genteng, itulah Liong-bin san-ceng adanya.
"Marilah kita turun," ajak Ji-ping, dia bawa Kun-gi menuruni
jalanan kecil dan berputar ke belakang gunung, mene mbus hutan,
tak lama ke mudian mereka sudah berada di kiri perka mpungan
"naga tidur." Pagar tembok yang tebal dan tinggi dari Liong-bin-san-
ceng sudah ta mpak jelas.
Ji-ping berhenti, dia menggape ke arah Kun-gi menyuruhnya
mende kat. "Ada apa dik ?" Kun-gi tanya.
Ji-ping menuding dinding, katanya: "Masuk dari sini, di balik
tembok ada sebuah jalan besar yang mengitari seluruh
perkampungan untuk masuk ke perka mpungan harus me lewati jalan
besar beralas batu hijau itu, maka penjagaan sepanjang jalan ini
amat ketat dan keras, seluruhnya ada delapan pos penjagaan,
setiap pos ada dua orang, ditambah seekor anjing pelacak yang
amat gala k. kalau kita masuk dari sini harus melewati pos perta ma
....."
"Kita a kan masuk?" tanya Kun-gi.
"Sudah tentu, buat apa sejauh ini kita ke mari."
"Untuk apa kita masuk ke sana ?"
"Untuk apa kau tidak usah tahu," kata Ji-ping, "bila kita
me lompat naik ke atas tembok, kau harus menggunakan kecepatan
luar biasa untuk menutuk Hiat-to kedua orang yang berjaga dipos
pertama, kalau anjing datang, biar aku yang menghadapi, cepat kau
harus me mbebaskan pula tutukan Hiat-to kedua orang itu, tapi
jangan sampai mereka mengetahui jejakmu, dengan kecepatan
gerakanmu, se mbunyilah di te mpat gelap. di antara deretan rumah
di seberang."
"Bagaimana kau akan menghadapi anjing gala k itu?" tanya Kun-
gi.
"Aku punya caraku sendiri," sahut Ji-ping, "be kerjalah menurut
petunjukku, urusan lain kau tidak usah turut ca mpur."
Kun-gi bingung, ia termenung : "Kelihatannya dia apal sekali
mengenai seluk-beluk Liong-bin-san-ceng ini."
Ji-ping me liriknya, katanya tertawa: "Toako, apa yang sedang
kau pikir? Lekas masuk, kalau terlambat, nanti in-congkoan keburu
pulang."
"Siapakah In-congkoan?" tanya Ling Kun-gi..
"In-congkoan adalah laki2 muka kelabu yang me mbeli lima blok
kain di toko Te k-hong itu, dia bernama In Thian-lok, Congkoan dari
Liong-bin-san-ceng ini."
"Kiranya kau kenal dia."
"Kalau tidak kenal, untuk apa kita ke mari?"
Dari kejauhan mereka sudah dengar derap kuda yang lari
kencang.
"Mereka sudah kemba li," kata Ji-ping., ia tarik tangan Kun-gi
serta mena mbahkan: "Pagar te mbok ini ada tiga tombak tingginya,
kalau aku melompat setinggi itu mungkin mengeluarkan suara, kau
harus bantu menarikku."
Berdebur jantung Kun-gi me nggandeng tangan yang halus ini.
Dengan tangan bergandeng tangan mereka keluar hutan terus
menge mbangkan Ginkang berlari secepat terbang.
Setiba di ka ki te mbok. Kun-gi berseru lirih: "Naik" badan tanpa
jongkok, kaki tidak ke li-hatan menekuk, hanya kedua lengan saja
yang bergerak. sedikit ujung ka ki menutul, dengan ringan dia
me mbawa Ji-ping mela mbung ke atas seringan kapas dan hinggap
di atas pagar tembok.
Waktu dia melihat ke dalam, ada jalan lebarnya enam kaki. Tak
jauh di ka ki te mbok sana dua orang laki2 bersenjata golok
berseragam hijau tua sedang berdiri me mbela kangi mereka. Di
bawah mereka mendeka m seekor anjing galak sebesar anak sapi,
kelihatan a mat cerdas dan tangkas, agaknya lebih sukar dilayani
dari pada manusia.
Sebelum me lompat naik tadi Kun-gi sudah menje mput dua butir
kerikil, baru saya tapak kaki hinggap di atas tembok. dua butir batu
lantas me luncur ke arah kedua orang, sementara mulutnya berseru
lirih: "Lekas turun"
Tanpa ayal Ji-ping melompat turun- Belum kakinya hinggap di
tanah, anjing pelacak itu sudah melompat bangun, bulunya berdiri,
giginya menyeringai me mburu maju.
Begitu berdiri tegak Ji-ping lantas me mbentak tertahan:. "Jangan
menyalak, aku" mendengar suara Ji-ping, anjing ga lak itu
menurunkan ekor-nya, dengan langkah pelan dia mengha mpiri Ji-
ping serta meng-endus2 tangan Ji-ping, sikapnya ra mah dan
aleman- Pui Ji-ping juga ulur tangan menepuk kepalanya, cepat dia
me langkah ke depan, anjing itu mengikut di be lakangnya.
Kun-gi melongo, pikirnya:. "Mungkin iapun sa lah seorang dari
Liong-bin-san-ceng?"
Ji-ping me mbawa anjing itu ke tempat lain, Kun-gi lantas
me lompat turun sembari me mbebas-kan tutukan Hiat-to kedua
orang tadi, segera bayangan berkelebat, tahu2 sudah lenyap di balik
kegelapan di deretan rumah sana.
Terdengar derap kaki kuda yang datang semakin dekat, agaknya
sudah sampa i di depan perka mpungan-
Waktu Kun-gi ce lingukan, dilihatnya Ji-ping sudah berkelebat
datang pula, katanya lirih: "Toako, mari ikuti aku"
Banyak tanda pertanyaan dalam hati Kun-gi, tapi tak sempat
bertanya, terpaksa dia ikuti setiap kehendak Pui Ji-ping, mereka
sembunyi di antara bayang2 kegelapan, mereka menyelundup
masuk lebih dala m.
Agaknya Ji-ping apal benar mengenai keadaan Liong-bin-san-
ceng, melewati ber-lapis2 rumah, naik ke wuwungan, me mbelok
kian ke mari, se-olah2 dia berada di rumah sendiri, cuma kali ini dia
ma in se mbunyi2.
Untung beberapa bangunan loteng sudah mereka la mpaui tanpa
konangan seorangpun, akhirnya mereka mengitari sebuah sera mbi
panjang terus me masuki sebuah hala man berbunga, Jiping bawa
Kun-gi masuk mela lui pintu kanan yang berbentuk bulan, sebelah
dalam adalah pekarangan kecil, sebuah e mpang dikelilingi tana man
bunga yang mekar se merbak.
Ada jembatan batu, di antara jalanan kecil yang berliku ke
belakang dipagari pot2 ke mbang dari berbagaijenis yang indah.
Di ujung kiri pekarangan terdapat undakan batu, di mana ada
tiga baris ka mar tulis, jadi untuk masuk ke ka mar tulis orang harus
lewat ruangan bunga, maka pintu bulan di kanan kiri jarang dibuka,
namun ena m jende la di tiap2 ka mar itu se mua terpentang lebar.
Pelan2 Ji-ping tarik lengan baju Kun-gi, mereka merunduk ke
dalam se mak2 bunga terus berjongkok. Di dala m ka mar tersulut
sebatang lilin. dari jauh terlihat ka mar itu penuh rak buku yang
berjajar rapi, lukisan me menuhi dinding, pada sebuah kursi di ujung
timur duduk seorang yang berpakaian ketat warna biru laut sedang
me mbaca buku di bawah penerangan lilin besar itu. Karena dia
duduk miring, yang kelihatan hanya setengah bayangannya, tak
jelas raut mukanya.
Kun-gi berpaling henda k tanya Pui Ji-ping, tampak sikap sinona
agak tegang, sebuah jarinya tegak di depan bibir, maksudnya
supaya dia jangan bersuara.
Pada saat itulah di luar pintu bulan sabit kedengaran langkah
ringan berhenti di depan ka mar buku, lalu terdengar suara yang
serak rendah berkata: "Cengcu, ha mba sudah ke mbali."
Dia m2 Kun-gi terkejut, pikirnya: "Ternyata orang yang me mbaca
buku itu adalah Liong-bin-san-ceng Cengcu Cu Bun-hoa adanya."
Terdengar suara lantang berkata di dala m: "Masuklah?"
Lalu seorang me mbuka pintu, langkah ringan itu masuk ke dala m
kamar. Terdengar suara serak itu berkata pula: "Mengingat musim
panas sudah menjelang, para saudara perkampungan perlu berganti
pakaian, ma ka dala m perjalanan ke kota kali ini ha mba sekalian
me mbe li lima blok kain katun."
"Barang2 permintaan Hujin dan Siocia juga sudah kau belikan?"
tanya suara lantang tadi.
"Se muanya sudah hamba beli, seluruhnya habis tiga ratus tiga
puluh dua tahil perak."
"Barang apa yang mereka minta, kenapa sampai keluar uang
begitu banyak?"
Suara serak melapor: "Tujuh blok kain sutera dan empat blok
kain satin, harganya cuma 24 tahil, di sa mping itu Siocia minta
dibelikan ke mbang berlian dan kalung mut iara, harganya sebanyak
seratus lima puluh tahil, sebelum pergi Hujin berpesan, kalau beli
harus sepasang, kalau Slocoa dibelikan, Piau-siocia juga harus
dibelikan pula . . . ."
Mendengar sampai di sini, Kun-gi me lirik ke-pada Pui Ji-ping
dibelakangnya.
"o," suara lantang itu bertanya: "Kau sudah antar ke belakang?
Lalu kabar apa yang kau dengar di kota?"
"Ha mba me mang hendak lapor kepada Ceng-cu," suara serak itu
berkata, "dari That-ho dan Ing-ciu diperoleh berita bahwa Lo-sa m
dan Lo-cit dari keluarga Tong, serta Loji dari keluarga Un, demikian
pula Kim Ting Kim Kay-thay yang jarang keluar pintu bersa ma
Thong-pi-thian-ong yang berangasan itu sama muncul di sekitar
sana ...."
"O," suara lantang itu berkata: "Tanpa berjanji mereka sama
me masuki daerah ini, sudahkah menyelidiki apa tujuan mereka?"
"Ha mba sudah utus beberapa saudara yang cekatan untuk
menyelidiki jejak mereka, sekarang me mang belum berhasil
diketahui ma ksud mereka, tapi hamba sudah mendapat laporan
anak buah yang ditugaskan ke Thung-seng . . . ."
"Berita apa yag kau peroleh?"
"Kabarnya dari Poh-yang, Ing-ciu sa mpai ke Sek-song, secara
beruntun beberapa kelompok orang itu mendadak lenyap tak keruan
paran-" Tergerak hati Ling Kun-gi, pikirnya "Masa orang2 itu lenyap
seluruhnya?."
"Apa katamu?" suara lantang itu menegas.
"Mereka hilang se muanya?"
"Ya, kabarnya mereka bergerak secara sendiri2, tapi tujuan satu,
tapi di sinilah letak aneh-nya, sebelum sampa i di Sok-seng, orang2
itu seperti mendadak a mbles ke bumi. Kini hamba sudah utus orang
untuk menyelidiki lebih lanjut."
"Bagus, sebelum je las tujuan orang2 itu, penjagaan kita di sini
harus diperketat," suara lantang berpesan-
Suara serak mengia kan, lalu bertanya- "Cengcu ada pesan lain?"
"Tiada lagi."
"Ha mba mohon diri," kata suara serak terus keluar dari ka mar
buku.
Suara serak itu sudah tentu adalah laki2 muka ke labu yang
me mbe li ka in di toko kain Te k-hong, yaitu Cong-koan Liong-bin son-
ceng In Thian-lok adanya.
Setelah dia keluar dari ka mar buku, laki2 jubah hijau itupun
berbangkit dari kursi ma las, sambil menggendong tangan dia
berjalan ke jendela, mendongak menghirup hawa segar, katanya
mengguma m: "orang sebanyak itu mendadak lenyap. ada kejadian
aneh apa yang telah mereka ala mi?"
Begitu dia dekat jendela, Kun gi dapat melihat je las wajahnya,
Liong-bin-sun-ceng cengcu yang kena maan dikalangan Kangouw ini
kelihatannya berusia 45-an, wajahnya putih, jenggot hita m
menjuntai di dada, tingkah lakunya le mah le mbut mirip seorang
sekolahan. cuma kedua alisnya tebal, kedua matanya berkilau bagai
bintang, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang ahli
Lwekang yang lihay.
Pui Ji-ping yang se mbunyi di se mak2 pohon begitu me lihat laki2
jubah hijau berdiri di depan jendela, karena hati keder, tanpa terasa
dia menarik kencang lengan baju Ling Kun-gi, sedikit gerakan ini
menyebabkan daun pohon tersentuh sehingga mengeluarkan suara
kresek, walau hanya gerakan lirih sekali, tapi kedua mata laki2
jubah hijau yang mencorong itu sudah me mperhatikan ke arah sini,
mulutpun me mbentak kereng.
"Siapa ?" wa lau suarabya tidak keras, tapi sangat berwibawa.
Terpaksa Ji-ping berdiri dan ke luar dari se mak2, sahutnya
pelahan: "Aku paman" jadi dia adalah keponakan la ki2 jubah hijau
itu.
Lalu dia me mbalik tubuh serta berkata: "Ling-toako, lekas ikut
aku." - dari sebutan Toako men-dadak dia ubah menjadi "Ling-
toako" dihadapan pa mannya sehingga kedengaran lebih wajar.
Setelah Ji-ping keluar, terpaksa Kun-gi ikut keluar, satu persatu
mereka melompati jendela masuk ke dala m dan berdiri di hadapan
laki2 jubah hijau.
Dengan tajam orang mengawasi mere ka, terutama melihat
dandanan Pui Ji-ping, seketika dia mengerut alis, katanya: "Kau ini
Ji-ping?"
Si nona tertawa, katanya. "Sudan kupanggil pa man, kalau bukan
Ji-ping, siapa lagi?" lalu ia berpaling kepada Kun-gi, dan berkata:
"Ling-toako, inilah pa manku, Cengcu dari Liong-bin-san-ceng ini."
Lekas Kun-gi me mberi hormat, katanya: "Cayhe Ling Kun-gi
me mberi sala m hormat kepa-da Cu-cengcu "
"Paman, Ling-toako telah dua kali menolong jiwa keponakanmu,
maka sengaja kubawa dia ke mari untuk mene mui pa man," demikian
tutur Ji-ping,
Tajam dan lekat pandangan Cu Bun-hoa, sejenak dia awasi Kun-
gi, katanya sedikit manggut2: "Silakan duduk saudara Ling, Ji-ping,
suruhlah orang menyuguh teh." - dala m hati dia me mbatin, "Buda k
ini ma la m2 mene mui aku, entah ada urusan apa." Sambil mengelus
jenggot, dan tatap Ji-ping, tanyanya. " Kalian ada urusan apa?"
Ji-ping menekan suaranya: "Ada urusan penting yang amat
rahasia hendak ka mi laporkan kepada pa man-"
Cu Bun-hoa me lengak dan bertanya: "Urusan rahasia apa?"
Kata Ji-ping sungguh2: "Pa man, urusan ini a mat penting dan
gawat, sekali2 tidak boleh bocor."
Melihat sikapnya yang prihatin, hati Cu Bun-hoa rada bimbang,
katanya: "Ji-ping, siapapun tanpa kupanggil t iada yang berani
masuk ke ka mar buku pa man ini, maka boleh kau terangkan
sekarang."
"Aku tahu," sahut Ji-ping, "tapi lebih baik kalau kututup jendela
ini."
"Me mangnya begitu penting?" tanya Cu Bun-hoa.
"Ya" sahut Ji-ping tertawa, "tadi kami se mbunyi di luar jendela,
bukankah percakapan paman dengan In-congkoan dapat kami
dengar semua?" - lalu iapun menutup jendelanya.
Cu Bun-hoa duduk di kursi sebelah atas, tanya-nya: "Ji-ping,
apakah Toaci (maksudnya ibu J i-ping) baik2 saja di ruma h?"
"Aku belum pulang," sahut Ji-ping menggeleng.
"Lalu ke ma na saja kau sela ma ini?"
Merah muka Ji-ping, sekilas dia lirik Kun-gi, katanya: "Di tengah
jalan kuberte mu dengan Ling-toako, la lu bersa ma dia."
Pandangan Cu Bun-hoa beralih ke arah Kun-gi, katanya tertawa:
"Aku sudah tahu, walau usia Ling-lote masih muda, tapi sorot
matanya gemilang, kepandaian silatnya tentu tidak rendah, entah
siapakah gurunya?"
Belum Ling Kun-gi buka suara, Ji-ping sudah mendahului:
"pandanganmu me mang tajam, Ling-toako adalah murid Hoan-jiu ji-
lay."
Melengak Cu Bun-hoa, katanya serius: "Jadi Ling-lote adalah
murid kesayangan paderi sakti Hoan-jiu-ji-lay, maaf aku kurang
hormat."
"cengcu terlalu rendah hati" Kun-gi berkata ra mah.
Mendengar nada pe mbicaraan kedua orang Ji-ping tahu kalau
pamannya menaruh hormat dan pe muja Hoan-jiu-ji lay, ma ka
hatinya ikut senang, katanya dengan suara hampir berbisik: "Ling-
toako ke mari untuk menyelidiki peristiwa Cin-Cu-ling."
Cu Bun-hoa manggut2, katanya: "Aku pernah dengar berita dari
Kangouw bahwa keluarga Un di Ling-la m dan Tong di Sujwan
masing2 kehilangan kepala keluarganya, sanak familinya
mene mukan mutiara berukir huruf Ling di bawah bantal mereka.
Cin-Cu-ling me mang pernah mengge mparkan Kang-ouw beberapa
waktu yang lalu, tapi kejadian sudah berlarut, kini sudah mula i
dilupa kan orang, lalu bagaimana hasil penyelidikan Ling-lote?"
Ji-ping mendahului bicara pula: "Pa man, karena tiga bulan yang
lalu ibu Ling-toako juga mendadak lenyap, maka gurunya menyuruh
dia menge mbara di Kangouw untuk menyelidiki peristiwa Cin-Cu-ling
itu, Langkah pertama Ling-toako pergi ke Kay-hong mene mui Kim
Ting Kim Kay-thay, karena ketua Yok-ong-tian, Loh-san Taysu dari
Siau-lim-s juga telah lenyap tiga bulan yang lalu."
Tergetar hati Cu Bun-hoa, katanya: " Ketua Yok-ong-tian Siau-
lim-si juga lenyap. kenapa aku t idak me ndengar?"
"Panjang ka lau diceritakan, Ling-toako, kau saja yang
menje laskan pada pa man-"
Maka Kun-gi bercerita tentang pengalaman belakangan ini sejak
dia mene mui Kim Kay-thay di Kayhong serta terima surat yang
serba rahasia dan misterius itu sampai sekarang.
"Ling-lote tahu, apa isi kotak sutera itu?" tanya Cu Bun-hoa.
"Paman," sela Ji-ping, "dengarkan saja dengan sabar, semuanya
akan jelas "
Kun-gi lalu ceritakan pula penculikan Pui Ji-ping oleh orang2
keluarga Tong yang dipimpin Cit-ya dan terpaksa dirinya sampa i
me luruk ke Pat-kong-san.
Cu Bun-hoa mendengus sa mbi1 menge lus jenggot: " Ke luarga
Tong juga berani main kayu terhadap keluargaku. Ji-ping, kapan2
paman juga ringkus Kwi-kianjiu itu, akan kugantung dia tiga hari
tiga mala m."
"Jangan," seru Ji-ping, "sekarang aku sudah angkat Tong-lohujin
sebagai ibu angkatku."
"o, apa pula yang telah terjadi ?" tanya Cu Bun-hoa tak mengerti.
"Waktu Ling-toako me luruk ke Pat-kong san, dia pukul hancur
Pat-kwa to tin keluarga Tong, Tong-hujin lalu menerima ku sebagai
puteri angkat. Toako, untuk selanjutnya kau saja yang bercerita."
"Seperti apa yang telah cengcu terima beritanya tadi, sejak mula
Wanpwepun terus menguntitnya sampai sini," de mikian sa mbung
Kun-gi setelah bercerita panjang lebar.
Berkerut alis Cu Bun-hoa, katanya: " Barang apakah sebenarnya
yang diantar secara marathon dengan ganti berganti tangan, sampa i
menimbulkan perhatian banyak orang."
Maka Ling Kun-gi bercerita pula akan pengala mannya sejak turun
dari Pat-kong-san, dan barang yang diantar itu sekarang
ke mungkinan sudah mencapai tempat tujuan ya terakhir.
"Ke mana mereka antar barang itu?" tanya Cu Bun-hoa ke mudian-
"Yang jelas barang itu cin cu-ling, Wanpwe sudah membuktikan
sendiri."
"Lalu bagaimana se lanjutnya menurut apa yang kau ketahui?"
"Menurut hasil penyelidikan Wanpwe, Cin-Cu-ling harus
diserahkan kepada seorang yang me mbe li lima blok kain katun di
toko kain Te k-hong di kota Thung-seng." '
Berubah air muka Cu Bun-hoa, tanyanya. "Kalian terus
menguntitnya tidak?"
"Sudah tentu," sela Ji-ping.
"Jadi kalian sudah melihat Cin-Cu-ling itu di-terimakan kepada
orang yang beli lima blok kain katun itu?"
"Ka mi me nga mati dari warung teh diseberang jalan toko Tek-
hong, semua kejadian ka mi saksikan dengan jelas," demikian Ji-ping
bercerita, "cuma pengantar barang yang semula menggelung kuncir
di atas kepala hari itu menyamar sebagai pedagang perhiasan,
dengan caranya yang lihay dia simpan C in-Cu-ling di antara
perhiasan terus dijual kepada pembeli ka in itu, orang lain yang tidak
tahu tentu menyangka dia membe likan perhiasan untuk anak
gadisnya ......"
"Jadi dia?" desis Cu Bun-hoa dengan mata terbeliak.
"Paman tidak percaya?" Ji-ping menegas.
Pelan2 mata Cu Bun-hoa tatap mereka berdua, suaranya kalem
dan rendah: "Sudah puluhan tahun In Thian-lok mengikuti aku,
biasanya amat setia dan menyelesaikan tugasnya dengan ba ik,
selamanya belum pernah me lakukan kesalahan, kalau dikatakan dia
me mpunyai maksud jahat, sungguh sukar dipercaya..... " dia
pandang Ling Kun-gi, lalu menyambung pula: "Ling lote, di atas
loteng itu kau menyaksikan dengan jelas, coba kau jelaskan pula
lebih teliti."
Terpaksa Kun-gi me nceritakannya pula lebih terperinci.
Lama Cu Bun-hoa menepekur, katanya kemudian: "Mereka
serahkan Cin-Cu-ling kepada In Thian-lok. jadi orang berikutnya
yang hendak di-culik ada lah diriku."
" Kukira de mikian adanya," kata Ji-ping.
" Waktu Cayhe meninggaikan Kayhong, Kim-loyacu juga pernah
menyinggung diri Cu-cengcu kepada cayhe."
"Apa kata Kim Kay-thay?"
"Kim-loyacu bilang, orang2 yang diculik oleh komplotan cin-cu
ling ini kebanyakan adalah ahli2 racun, obat bius dan obat2an,
dalam Bu-lim, kecuali ke luarga Tong yang pandai mengguna kan
racun dan senjata, keluarga Un ahli obat bius, katanya Cu-cengcu
juga seorang ahli dala m bidang ini ....."
Hebat perubahan air muka Cu Bun-hoa kali ini, mulutnya
menggera m sekali.
Terbelalak lebar mata Pui Ji-ping, tanyanya "kenapa tidak pernah
kudengar engkau -orang tua juga pandai ma in racun?"
Hanya sebentar perobahan air muka Cu Bun-hoa, tuturnya sambil
menghe la napas: " Keluarga cu kita sela manya belum pernah
berkecimpung di Kangouw, mungkin itu hanya berita kosong bela ka
diluaran, soalaya kakek luarmu dulu pernah menolong seorang tua
yang terluka parah dan hampir ajal di luar perka mpungan, tiga
bulan la manya orang tua itu dirawat sampai sembuh, sebelum pergi
dia meningga lkan sesuatu resep obat. Waktu itu keamanan sering
terganggu, kawanan rampok merajale la. ma in bunuh, ra mpok.
me mperkosa kaum wanita, sehingga jaman itu keadaan kacau
balau, orang tua itu pernah berpesan kepada kakek luar-mu supaya
me mbuat obat menurut resep yang di tinggalkan serta ditaburkan di
daerah tiga li di luar perka mpungan secara melingkar, kemungkinan
rampok itu tidak akan berani mengusik ke mari . . . ."
"Tentunya obat itu racun yang a mat lihay?" tanya Ji-ping.
"Betul," Cu Bun-hoa mengangguk, "tak la ma ke mudian,
sekawanan perampok me mang meluruk datang, tapi tiga li di luar
perkampungan kita kawanan perampok ini sa ma terjungkal roboh
binasa sehingga Liong-bin-san-ceng tidak terusik sedikitpun, orang
luar yang tidak tahu persoalannya menganggap ke luarga Cu kita
juga ahli da la m bidang ini, begitulah sa mpai sekarang, berita ini
makin tersiar luas di luaran-"
"Paman, resep obat itu masih ada?" tanya Pui Ji-ping.
Cu Bun-hoa tertawa tawar, ujarnya: " Kejadian ini sudah lima
enam puluh, tahun yang lalu, kakek luarmu tidak mewariskan resep
itu padaku."
"Sayang sekali," kata Ji-ping gegetun.
"Jadi komplotan ini menyogok In Thian-lok dan berusaha
menculik diriku, tujuannya tentu juga resep obat beracun itu," ujar
Cu Bun-hoa sa mbil mengelus jeng got.
"Bagaimana sikap pa man untuk me nghadapi persoalan ini?"
tanya Ji-ping.
Cu Bun-hoa naik pita m, katanya gusar: "Biar kupanggil In Thian-
lok ke mari, akan kutanya dia."
Cukup la ma Kun-gi tidak bersuara, sekarang dia menyela: "Cu-
cengcu, jangan kau menyingkap rumput mengejut kan ular malah."
"Secara berhadapan kutanya padanya, memangnya berani dia
mungkir?" ujar Cu Bun-hoa.
"Bahwa dala m perka mpungan ini ada orang yang kena sogok
oleh komplotan itu, mungkin ada mata2 lain pula yang
diselundupkan ke mari, jumlahnya tentu tidak satu dua orang saja,
cara-paman benar In Thian-lok menga ku terus terang dihadapan
Cengcu, tapi beberapa mata2 itu tetap. menjadi rahasianya,
bagaimana Cengcu bisa me mbongkar komplotan jahat itu?"
"Betul ucapan Ling-lote," ujar Cu Bun-hoa, "Ai, sudah puluhan
tahun In Thian-lok menjadi tangan kananku yang terperCaya,
ternyata dia berani menging kariku dan berkomplot dengan musuh,
kalau dipikir sungguh a mat mengerikan-"
"Sudah beberapa bulan ibu menghilang, menurut dugaan Suhu,
ke mungkinan diapun terculik oleh kawanan Cin-Cu-ling ini, ka lau
mereka sudah menyogok In Thian-lok untuk melaksana kan perintah
mut iara itu, terang tujuannya adalah menculik cengcu secara diam2,
cayhe punya pendapat bodoh, entah bisa tidak dila ksanakan?"
Bersinar mata Cu Bun-hoa, katanya. "coba jelaskan
pendapatmu."
"Menurut pendapat cayhe, untuk sementara cengcu tetap berlaku
wajar, anggap tidak tahu apa2, kita ba las menipu mereka."
Tangan mengelus jenggot, dengan tajam Cu Bun-hoa tatap muka
Ling Kun-gi, la ma dia berdia m diri,
"cayhe sedikit menggunakan tata rias, biar cayhe menyaru Cu-
cengcu dan diculik mereka, dengan cara ini sekaligus aku akan
berhasil menyelidiki sarang mereka, akupun akan berhadapan
dengan biang keladi dari perist iwa ini dan mengetahui apa
tujuannya?"
"Baik seka li tipu ini", ujar Cu Bun-hoa.
"Bagi cayhe dapat bekerja menurut keadaan untuk menolong
ibunda, bagi cengcu, secara diam2 dapat mengawasi gerak-gerik In
Thian-lok. supaya semua mata2 yang diselundupkan sini bisa
terjaring seluruhnya."
"Masuk a kal," ujar Cu Bun-hoa manggut2, "baiklah kita bekerja
menurut pendapat Ling-lote ini."
"Ling toako, kau menya mar paman masuk ke sarang musuh, lalu
aku?" tanya Ji-ping. "Tugas apa yang kau serahkan padaku?"
"Kau sudah berada di rumah pamanmu sendiri, boleh mencuci
samaranmu. tinggal saja beberapa hari di sini, keadaan Kangouw
sekarang sudah kacau balau, tidak baik kau keluyuran lagi di luar."
"Tida k keadaanku ini tida k ada yang me mperhatikan, secara
dia m2 aku bisa kuntit mereka dengan leluasa aku bisa mengirim
kabar kepada pa man-"
"Ji-ping, jangan kau naka l, tepat ucapan Ling-lote, kau seorang
perempuan, jangan keluyuran saja, tinggal saja beberapa hari di
sini, akan kusuruh orang me mberi kabar kepada ibumu."
Dihadapan pa mannya, Ji-ping tidak berani merenge k dan banyak
bicara lagi.
"Mala m ini kukira tidak akan ada kejadian, Ling-lote boleh
menginap di ka mar rahasiaku Ji-ping lekas kau cuci muka, ganti
pakaian dan ke mbali ke bela kang.
"Tida k pa man, Ling-toako besok mungkin pergi, dia sudah janji
mengajarkan ilmu tata rias padaku, sebelum dia pergi ma la m ini aku
akan belajar padanya."
"Ilmu rias mana bisa dipe lajari se mala m saja? Belum terla mbat
untuk belajar setelah Ling-lote ke mbali nanti."
Sudah tentu dia tidak tahu perhitungan Pui Ji-ping, kata nona itu:
"Tida k. ma la m ini juga aku akan belajar, meski hanya kulitnya saja.
Ling-toako sekarang juga kau ajarkan padaku?"
Apa boleh buat terpaksa Kun gi manggut2, katanya: "Boleh saja,
nanti kuajarkan yang paling ga mpang dulu."
Pui Ji-ping berjingkrak girang, katanya: "Ling-toako, ajarkan cara
merias seperti keadaanku sekarang ini."
"Kalau belajar, ajaklah Ling-lote ke ka mar rahasiaku saja," kata
Cu Bun-hoa.
Dengan keheranan Ji-ping Celingukan, tanyanya: "Paman, di
mana letak ka mar rahasia itu? Aku kok tidak tahu?"
"Ka mar itu buat latihan kakek luarmu, bibipun tidak tahu. mana
kau bisa tahu?"
"Jadi Piauci juga tidak tahu? Pa man, di ka mar itu?"
Cu Bun-hoa tersenyum sambil mengha mpiri rak buku di sebelah
timur, tangan diulur dan sedikit ditekan, dua rak buku yang se mula
rapat berjajar tiba2 bergerak pelan2, lalu muncul sebuah pintu di
belakangnya.
Pui Ji-ping menjerit senang sambil tepuk tangan dan segera dia
mendahului menerobos masuk.
"Ji-ping, berhenti" tiba2 Cu Bun-hoa me mbentak.
Baru tiga langkah Ji-ping bergerak lantas dengar seruan
pamannya, cepat ia berpaling, tanyanya: "Paman, untuk apa kau
me manggilku?"
Cu Bun-hoa melangkah ma ju, tangannya menekan dua kali di
pinggir pintu, lalu berkata, "Sekarang boleh masuk."
Melihat kelakuan orang, dia m2 Kun-gi Me mbatin: " Kabarnya Cu
Bun-hoa pandai me masang alat2 perangkap. Liong-bin-san-ceng di
mana2 banyak jebakan, orang luar yang tidak tahu seluk-beluknya
jangan harap bisa masuk ke mari, tapi sepanjang jalan masuk
bersama Ji-ping tadi sedikitpun a ku tida k me lihat tanda apa2 di
kamar ini, terang juga dipasang alat jebakan."
Dari meja di sebelah Cu Bun-hoa ambil sebuah lentera yang
terbuat dari tembaga dan diangsurkan kepada Ji-ping, katanya:
"Sulut apinya dan tunjukan jalan bagi Ling-toako."
Pui Ji-ping mengiakan terus menyulut api, katanya: "Mari Ling-
toako" Lalu dia mendahului masuk.
Kun gi segera ikut masuk, pintu di bela kang mereka lantas
menutup secara otomatis. Dengan seksama dia menga mati, ka mar
ini t idak begitu besar, namun serba rapi dan teratur bersih, sebuah
dipan kayu terukir indah mepet dinding sebelah kanan, kedua
sampingnya masing2 terdapat sebuah meja marmer yang
bergambar indah. Delapan lukisan menghias kedua dinding yang
luas itu, tepat di tengah kamar ada sebuah meja delapan segi
berukir di kelilingi empat buah kursi berpunggung. Sebuah almari
buku ada di sebelah kiri, di atasnya berjajar berbagai barang2 antik,
dilapisan tengah tertaroh botol2 obat, entah obat2 apa karena tiada
keterangan-
Melihat gelagatnya, Ciam-Liong (naga terpenda m) Cu Bun-hoa
sering meyakinkan ilmu dan sa madi di ka mar ini seorang diri.
Dasar nakal, begitu masuk Ji-ping lantas mengha mpiri dipan dan
berduduk. katanya tertawa:
"Mungkin Gwakong (kakek luar) sering latihan di atas dipan ini,
ukirannya begini indah dan hidup,"
Entah kenapa, mungkin tanpa sengaja, tangannya yang usil telah
menyentuh alat rahasia, tanpa bersuara dipan itu bergeser ke kiri, di
bawah segera tampak sebuah lubang dengan deretan unda kan
menjurus ke bawah, kiranya itulah pintu masuk ke sebuah lorong di
bawah tanah.
Karena duduk di atas dipan, Ji-ping ikut tergeser ke kiri, keruan
kagetnya bukan main, lekas dia melompat turun. Mengawasi lubang
gelap di bawah, ia heran dan kaget, katanya: "Toako, mari kita
turun melihatnya."
"Jangan, inilah ka mar rahasia pamanmu, lekas kau betulkan ke
tempat se mula."
"cuma lihat2 saja, kenapa? Diakan pa manku."
"Setiap orang pasti punya rahasianya sendiri, bibipun tidak tahu
adanya kamar rahasia ini, bahwa dia memberi ijin kita masuk
ke mari, pertanda dia percaya pada kita, lalu jangan di luar tahunya
kita mencuri lihat rahasianya? Lekas kau betulkan ketempat
asalnya."
"Aku menyentuh tanpa sengaja, entah bagaimana aku harus
berbuat untuk me mbetulkan ke mbali,"
Baru berakhir percakapan mereka, terdengarlah suara Cu Bun-
hoa dengan tertawa, "Aku punya rahasia apa? Lorong itu mene mbus
ke belakang gunung2an palsu di tengah taman sana, dulu waktu
almarhum ayahku latihan suka ber-jalan2 di ka mar, jadi tiada
rahasia apa2."
Sebelum dia selesai bicara, dipan itupun bergerak ke mbali ke
tempat asalnya.
Kun-gi cukup tahu diri, dia tahu banyak perangkap dan alat2
rahasia lainnya dalam ka mar ini, terbukti percakapan mereka
didengar jelas oleh Cu Bun-hoa di ka mar buku, secara tak langsung
kata2nya telah memberi peringatan supaya mereka tidak sembarang
bergerak atau menyentuh apa2 yang ada di da la m ka mar ini.
Maka ia lantas berkata: "Nona Pui, le kaslah ke mari, sekarang
juga mula i kuajarkan pada mu," lalu dia tarik sebuah kursi serta
berduduk. dari bajunya dia keluarkan kotak bahan2 rias dan ditaruh
di atas meja. Dengan riang Ji-ping lantas duduk di kursi sebelah
kanan Kun-gi.
Kun-gi ke luarkan obat cuci yang berwarna madu dan
menyuruhnya mengusap muka sendiri untuk me mbersihkan
wajahnya. Lalu dimulai ajaran mengga mbar alis, bagaimana
menebalkan lekuk bibir mata, bagaimana menca mpur bahan2 serta
me moleskan ke muka, di sini tebal di sana tipis, sembari me mberi
penjelasan sebelah tangan memegang kaca kecil serta bergerak
menggoles2 muka sendiri, begitu jelas dan teliti sekali
penjelasannya.
Otak Ji-ping me mang cerdas, sudah tentu sekali dijelaskan dia
lantas tahu, cepat sekali dia sudah mahir juga menggunakan alat
rias itu terus memperagakan diri, wajah sendiri dibuat percobaan
dihadapan Ling Kun-gi, bila ada yang salah Kun-gi la lu me mberi
petunjuk. muka dicuci, diulangi sekali lagi.
Mendekati kentongan kedua, pintu kamar di-ketuk orang dari
luar, suaranya lirih. Menurut kebiasaan, setiap mala m sebelum tidur
Cengcu Cu Bun-hoa menyuruh pelayan pribadinya me mbikin sop
sarang burung, Kebiasaan ini sudah berlang-sung beberapa tahun
la manya, pada hari2 biasa ketukan pintu demikian juga sudah
terlalu biasa, tapi lain dengan mala m ini, mendengar suara ketukan
pintu ini, jantung Cu Bun-hoa lantas berdetak tegang.
Sarapan pagi setiap harinya dia makan sendiri di ka mar buku ini,
dalam keadaan terang benderang, komplotan penjahat itu jelas
tidak takkan berani turun tangan. Sementara siang dan malam dia
makan bersa ma isteri dan puterinya di belakang, ada pelayan yang
me layani kebutuhan mereka, musuh terang tiada kesempatan
bekerja. Dan untuk makan mala m menjelang tidur ini, selalu diantar
dari belakang, hari sudah larut malam, seorang diri dala m ka mar
buku lagi, inilah kesempatan paling baik untuk turun tangan bagi
komplotan itu. Secepat kilat pikirannya bekerja, segera dia bersuara
dengan rendah: "Siapa?"
Terdengar suara perempuan di luar pintu, sahutnya: " Hamba
Kwi-hoa, mengantar bubur sarang burung untuk cengcu."
"Ya, bawa masuk" sera Cu Bun-hoa.
Pintu terbuka, tampak Kwi-hoa me mbawa nampan warna merah,
di mana tertaruh sebuah mangkok yang mengepulkan bau sedap.
Nampan diletakkan di atas meja, mangkok berisi bubur itu terus
diserahkan kepada Cu Bun-hoa, mulutnya berkata manis: "Sila kan
cengcu makan-" Duduk dikursi ma las, dengan pandangan tajam Cu
Bun-hoa menatap muka Kwi-hoa.
Kwi-hoa adalah nona yang berusia delapan atau sembilan be las
tahun, gadis ini a mat cekatan dan cerdik, perasaannyapun tajam,
terasa olehnya kedua biji mata sang cengcu tengah menatap dirinya
lekat2. Biasanya hal ini tidak pernah terjadi, keruan hatinya kebat-
kebit, wajah seketika merah jengah, berdiri di samping dia
menunduk tak berani bergerak.
Sambil mengelus jenggot yang terawat baik, dengan suara
tertekan Cu Bun-hoa bertanya: "Kwi-hoa, sudah berapa tahun kau
bekerja di sini?"
"Sudah tiga tahun," sahut Kwi-hoa lirih.
"Siapa yang me mbawa mu kerja di sini?"
"In-congkoan."
Geram hati Cu Bun-hoa, ternyata memang se-komplotan,
demikian batinnya, lalu tanyanya pula:
"Bagaimana kau kenal dengan In-congkoan?"
"Se mula ha mba tidak kenal In-congkoan, tiga tahun yang lalu
setelah ayah bunda wafat, tiada orang yang kubuat sandaran,
terpaksa menjual diri sebagai pelayan, kebetulan In-congkoan
lewat, mendengar logat hamba, kiranya ka mi ada lah kelahiran
sekampung, setelah tanya jelas riwayat hidup ha mba, baru In-
congkoan me mbawa ku ke mari."
Cu Bun-hoa manggut2, tangan membuka tutup mangkok lalu
mengangkatnya, pelan2 hendak menghirupnya .
Kwi-hoa yang berdiri di sa mping melirik secara dia m2, wajahnya
mena mpilkan rasa senang. Sudah tentu perubahan mimiknya tidak
lepas dari pengawasan Cu Bun- boa, seperti merasa buburnya
terlalu panas, dia urung menghirupnya, lalu ditaruh ke mba li di atas
meja pula, tanyanya: "Kau yang masak bubur ini?"
"Ya, atas petunjuk Hujin," sahut Kwi-hog.
"Waktu kau me mbawa bubur ke mari, adakah kete mu siapa?"
Sedikit berubah air muka Kwi-hoa, sahutnya: "Ti ....... tiada."
Cu Bun-hoa pura2 mende lik, suaranya kereng: " Waktu kau
me mbuat bubur, pernah kau tinggalkan sebentar?"
Kwi-hoa mula i kurang tenteram, sahutnya lirih: "Tidak."
Terpentang mata Cu Bun-hoa, katanya: " Kurasa bau bubur ini
rada ganjil."
"Tida k mungkin," sahut Kwi-hoa, berubah air mukanya,
"bahan2nya pilihan khusus, mangkok ini-pun milik cengcu pribadi,
waktu me mbuatnya hamba tidak lena, mungkin mala m ini terlalu
banyak kuahnya, sehingga rasanya agak tawar."
Cu Bun-hoa tertawa aneh, katanya: " Kuahnya terlalu banyak?
Me mangnya Lohu tidak bisa me m-beda kan bau bubur sarang
burung?"
"Kalau begitu biar hamba buatkan lagi yang lain," kata Kwi-hoa
takut2.
"Kalau me mang kau sendiri yang me mbuatnya, coba kau saja
yang makan," ujar Cu Bun-hoa.
Kaget Kwi-hoa dibuatnya, ia menyurut mundur, katanya: "Bubur
untuk hidangan cengcu, mana ha mba berani me makannya."
"Tida k apa, Lohu suruh kau ma kan-"
Pucat muka Kwi hoa, suaranya gelisah. "Hamba tidak berani
......."
Cu Bun-hoa menukas dengan suara kereng.-"Berani kau
me mbangkang kehendak Lohu?"
Mendadak dia melompat bangun, sekali raih dia Cengkeia m
tengkuk Kwi-hoa, tangan kiri menekan dagu orang, mulut
dipepetnya sampai terbuka, semangkok bubuk itu terus dia tuang ke
mulutnya.
Kejadian berlangsung teramat cepat, tidak se mpat meronta atau
bersuara sedikitpun, sebagian besar bubur semangkok itu tertuang
masuk perut Kwi-hoa, lekas sekali Hiat-topun tertutuk dan tak
ma mpu berkut ik lagi.
Pui Ji-ping me mang cerdik, hanya sctengah jam, di bawah
petunjuk Ling Kun-gi pe lajaran tata rias tingkat pertama sudah
berhasil dikuasainya dengan baik, Kini ia sudah berhasil mengubah
bentuk mukanya menjadi apa saja yang ia kehendaki, sudah tentu
senang hatinya tak terkatakan, hanya suara-nya yang sukar dia
ubah dalam waktu singkat, tapi soal suara tidak begitu penting, asal
jarang buka suara, orang tetap dapat diketahui.
Tanpa mengenal le lah serta sabar Kun-gi terus me mberi
penjelasan segala seluk beluk tentang tata rias ini, pertanyaan Ji-
ping ber-tumpuk2, ada saja persoalan yang dia ajukan.
Pada saat itulah, pintu rahasia yang tembus ke ka mar buku tiba2
terbuka, Cu Bun-hoa melangkah masuk sa mbil menge mpit seorang
perempuan di bawah ketia knya.
Lekas Ji-ping berdiri dan menyongsong maju, tanyanya: "orang
ini ... he, kau kan Kwi-hoa?"
Cu Bun-hoa turunkan Kwi-hoa di atas lantai, wajahnya tampak
serius, katanya: "Tak tersangka komplotan penjahat itu bergerak
begini cepat."
Ji-ping kaget, tanyanya: "Maksud paman Kwi-hoa sekomplotan
dengan musuh?"
"Di da la m bubur dia ca mpur obat bius, untung Lohu sudah siaga,
setelah kupancing lantas kelihatan belangnya, sebelum dia
menyadari apa2 semangkok bubur itu sudah kucekok ke mulutnya,
betul juga dia lantas kelenger."
"Lalu bagaimana pa man?" tanya Ji-ping.
"Menurut dugaan Lohu, walau musuh sudah menyelundup di
sekitar kita, sebelum Kwi-hoa keluar, mereka takkan berani
sembarang bertindak, terpaksa kau harus me nyaru Kwi-hoa,
bawalah mangkok kosong itu ke belakang, lalu Ling-lote menyaru
Lohu, sesuai dengan rencana kita."
Kun-gi manggut, katanya: "Mau bekerja janganlah me mbuang
waktu, nona Pui, lekas duduk biar kurias muka mu." Hanya
sepeminuman teh, Kun-gi sudah selesai merias Ji-ping, kini
wajahnya mirip benar dengan Kwi-hoa seperti pinang dibelah dua.
Cepat sekali Ji-ping lucuti pa kaian Kwi-hoa terus dipaka inya.
Sementara me megangi kaca Kun-gi merias wajah sendiri seperti Cu
Bun-hoa, dengan cepat sekali dia sudah berubah jadi Cu Bun-hoa,
lalu mereka saling bertukar pakaian- Tak lupa Kun-gi simpan Pi-to-
cu warisan keluarganya, kantong sula m pe mberian Un Hoan-kun
dan pedang pan-dak di da la m bajunya. Cu Bun-hoa mendesak: "J i-
ping, kau harus le kas keluar."
Mengawasi Kun-gi, berat rasa hati Ji-ping untuk berpisah,
katanya: "Ling-toako, kau a kan masuk ke sarang harimau, hati2lah."
"Nona Pui tak usah kuatir, belum setimpal komplotan jahat ini
menjadi perhatianku."
"Lalu di mana kelak aku harus mencarimu?" tanya Ji-ping. Dia
sudah me mberanikan diri mengucapkan kata2 ini dihadapan
pamannya. Seorang gadis akan mencari laki2, ke mana maksud
tujuannya iapapun sudah mengerti.
"Seorang diri jangan nona keluyuran di Kangouw, kela k setelah
berhasil menolong ibu, pasti a ku ke mari menengokmu."
Dala m hati Ji-ping berjanji, "Tidak!! aku takkan tinggal di sini, ke
ujung langitpun akan kucari dirimu." Sudah tentu kata2 ini tida k
berani dia ucapkan.
Sudah tentu Cu Bun-hoa dapat meraba perasaan keponakannya
yang sedang kasmaran ini. soalnya waktu amat mendesak, lekas dia
mendesak lagi, "Ji-ping, sudah terlalu la ma Kwi-hoa antar bubur ini,
sekarang lekas kau keluar."
Kembali Ji-ping pandang Kun-gi lekat2, la lu dengan langkah berat
ia ke luar.
Sambil mengelus jenggot Cu Bun-hoa berpesan: "Ling-lote, kau
cerdik pandai, tentu Lohu tidak perlu banyak pesan lagi, di sini Lohu
menunggu kabar baikmu, semoga kau berhasil menolong ibumu
dengan leluasa, dan jangan lupa kemari lagi me mberi kabar, jangan
pula kau bikin telantar maksud baik Ji-ping."
Merah muka Kun-gi, katanya sambil menjura: "Terima kasih akan
perhatian cengcu."
"Maaf, Ling-lote, Lohu tidak mengantar."
Tanpa bicara lagi Kun-gi beranjak ke luar, rak buku di
belakangnya segera menutup sendiri. Waktu itu Pui Ji-ping sudah
me mbawa na mpan berisi mangkok kosong ke luar ka mar.
Pelan2 Kun-gi mendekati kursi ma las lalu duduk bersandar,
pelan2 pula me mejamkan mata, diam2 dia kerahkan hawa murni
menghimpun se mangat.
Entah berapa lama lagi, terdengar langkah gugup mendatangi
dari luar pintu, Lalu terdengar suara serak In Thian-lok
berkumandang di luar: "Lapor cengcu, ada urusan penting a kan
hamba sa mpa ikan-" Sudah tentu Kun-gi dia m saja.
Sesaat kemudian, karena tidak mendengar suara cengcu, in-
congkoan berkata pula: "Apa ceng-cu sudah tidur?" Dia tahu bahwa
Cu Bun-hoa sudah menghabiskan semangkok bubur, tentu sekarang
sudah terbius pulas, tapi dia tidak berani gegabah, mulut bicara, dia
tetap berdiri dan menunggu di luar pintu.
Begitulah sesaat lamanya lagi baru In Thian-lok pura2 bersuara
heran: "Aneh, Lwekang cengcu a mat tinggi, kenapa tak terdengar
suara apa2?"
Kata2nya ini hanya alasan belaka supaya dia dapat mendobrak
pintu masuk ke dala m. Ka li ini dia keraskan suara: "cengcu,
cengcu?"
Di se keliling ka mar buku ini sudah terpendam anak buahnya,
betapapun keras suaranya dia tidak takut mengejutkan orang lain
yang tidak bersangkutan. Maka dengan leluasa dia dorong pintu
terus me mburu masuk. Sekilas mata menjelajah, dilihatnya Cu Bun-
hoa rebah telentang di atas kursi malas.
In Thian-lok pura2 kaget, dengan lagak gopoh ia mendekat ke
depan kursi dan tanya: "ceng-cu, kenapa? Lekas bangun" Lalu dia
raba dahi Cu Bun-hoa, seketika wajahnya mengulum senyum sinis
girang, mendadak kedua tangan bekerja cepat, kesepuluh jarinya
naik turun, bagai kilat delapan Hiat-to penting didada Cu Bun-hoa
telah ditutuknya.
Kun-gi sudah me mpersiapkan diri, hawa murni sudah me lindungi
badan, seluruh Hiat-to di badan-nya sudah terlindung, sudah tentu
Hiat-tonya tidak mudah tertutuk.
Tapi Cu Bun-hoa yang sembunyi di ka mar buku dapat
menyaksikan dengan jelas, sudah tentu dia tida k tahu kalau Kun-gi
sudah meyakinkan hawa murni pelindung badan ini, karuan ia
kaget, pikirnya: "In Thian-lok berasal dari golongan hitam, beka l
kepandaiannya sendiri tida k le mah, sela ma tahun2 terakhir ini
me mperoleh banyak kemajuan lagi atas petunjukku, tingkat
kepandaiannya sekarang sudah mencapai ke las wahid, delapan
tutukan Hiat-to itu a mat lihay, meski Ling-lote tidak terbius, setelah
tertutuk Hiat-tonya, tetap dia tak dapat berkutik diantar masuk ke
mulut harimau."
Sementara itu In Thian-lok mendekati jendela sebelah selatan,
kain gordin dia singkap. daun jendela dia buka, lalu menga mbil lilin
dan di-gerak2kan tiga kali di luar jendela.
Tidak la ma ke mudian terdengar suara kesiur angin, sesosok
bayangan orang menerobos masuk lewat jendela. Lekas In Thian-
lok menyongsong maju, katanya sambil menjura: "Silakan Hou-
heng"
Orang yang baru menerobos masuk berpakaian hijau bertubuh
tinggi kurus, suaranya dingin: "in-heng menyerahkan orang tepat
pada waktunya, tidak kecil pahala mu." Tergerak hati Kun-gi,
batinnya. "Orang she Hou, mungkin Hou Thi-jiu adanya?"
In Thian-lok tertawa, katanya sambil menuding "Cu Bun-hoa"
yang rebah di kursi malas: "inilah Cu-cengcu, anak buahku sudah
tersebar di sekeliling ka mar ini, bagaimana mengangkutnya keluar,
kami tunggu petunjuk Hou-heng."
"Soal ini in-heng tida k usah mencapaikan diri. cuma jalan keluar
perkampungan ini, apakah in-heng sudah mengaturnya dengan
baik?" tanya laki2 baju hijau.
"Hou-heng tidak usah kuatir, semuanya sudah beres," sahut In
Thian-lok.
"Baiklah," ujar laki2 kurus baju hijau, lalu dia me mbalik ke dekat
jendela, ia bertepuk tiga kali. Ta mpak dua bayangan orang
me layang masuk. itulah dua laki2 baju abu2, salah seorang
me manggul sebuah karung besar.
Kepada kedua laki2 yang baru datang, si baju hijau berkata
sambil me nuding Cu Bun-hoa: "Masukkan dia ke dala m karung."
Kedua laki2 mengiakan, seorang me mbuka karung dan yang lain
angkat tubuh Ling Kun-gi terus didorong masuk ke da la m karung,
lalu di ikat kencang mulut karung itu.
Kata si baju Hijau: "Kami harus segera pergi, bagaimana keadaan
di sini selanjutnya, tidak perlu kuje laskan bukan?"
In Thian-lok manggut2, sahutnya: "Siaute sudah tahu, Hou-heng
boleh silakan-"
Sibaju hijau me mberi tanda kepada kedua anak buahnya terus
mendahului me lompat keluar. Gerak-gerik ketiga orang itu ringan
dan gesit, dengan cepat sekali bayangan mereka sudah lenyap di
luar te mbok.
Percakapan mereka sudah tentu didengar je las oleh Ling Kun-gi,
terasa karung dipanggul di atas pundak. dibawa melompat turun
naik, cepat sekali sudah meninggalkan Liong-bin-san-ceng.
Beberapa kejap ke mudian, mendadak mere ka berhenti. Terdengar
suara orang bertanya di sebelah depan: "Sudah berhasil?"
Maka terdengar penyahutan orang she Hou: "Lapor Kongcu,
sudah berhasil."
Kun-gi me mbatin: "Hou Thi-jlu me manggilnya Kongcu, itulah
Dian-kongcu atau si baju biru yang berada di Kayhong te mpo hari."
"Baik seka li," ujar Dian-kongcu.
Agaknya sambil bicara Dian-kongcu terus melangkah pergi, ma ka
kedua orang yang me manggul Ling Kun-gi ikut ber-lari2 kencang.
Dari derap langkah orang, Ling Kun-gi menghitung se muanya ada
empat orang. Hanya empat orang berani me luruk ke Liong-bin-san-
ceng, menculik "naga terpendam" Cu Bun-hoa, walau mereka sudah
tanam mata2 dan kaki tangan di Liong-bin-san-ceng, tapi
keberanian mereka sungguh luar biasa.
Mereka terus ber-lari2 satu jam lamanya, di-perhitungkan sudah
puluhan li meningga lkan Liong-bin-san-ceng, rombongan e mpat
orang ini lantas berhenti. Terdengar di pinggir jalan ada suara
rendah menyapa maju: "Kongcu sudah ke mba li"
Dian-kongcu hanya mendengus, terdengar suara pintu terbuka
dan kerai tersingkap. Dian-kongcu lantas me langkah masuk, kedua
laki2 yang me manggul karungpun menurunkannya ke tanah terus
me mbuka tutupnya, dua orang baju abu2 menyeret Kun-gi ke atas
kereta.
Kun-gi tetap pejamkan mata, dia pura2 pingsan, biarkan saja apa
kehendak mereka atas dirinya, tapi terasa bahwa ruang kereta ini
cukup lebar, dirinya diseret ke lantai kereta sebelah kanan setelah
itu baru Hou Thi-jiu naik kereta dan duduk disa mpingnya .
Kereta mulai berjalan- Kusir mengayun pecut, kudapun segera
berlari kencang menimbulkan su-ara gemeretak dari roda2 kereta
yang beradu dengan batu2 dija lanan.
Semakin cepat laju kereta, goncanganpun semakin besar, walau
tidak me mbuka mata, tapi Kun-gi merasakan bahwa bentuk kereta
ini tentu dibuat khusus dan a mat mewah.
Kun-gi tahu kepandaian silat kedua orang majikan dan pelayan
ini a mat tinggi, supaya tidak menunjukkan gejala2 yang
mencurigakan, meski kereta tergoncang semakin keras dia tetap
meringkal dia m sa mbil menghimpun se mangat. Langkah perta ma
untuk menyelundup ke sarang musuh sudah tercapai, ke mana
dirinya akan dibawa, dia tidak usah peduli lagi, ma ka di tengah jalan
ini, dia tidak perlu main int ip.
Dian-kongcu dan Hou Thi-jiu yang duduk di dala m keretapun
duduk se madi, tiada yang buka suara. Kuda penarik kereta ternyata
berlari kencang sekali.
Tanpa terasa fajar telah mnyingsing, dala m keretapun mulai ada
cahaya, maka Ling Kun-gi lebih hati2 lagi, sedikitpun dia tidak berani
lena.
Lari kereta mulai la mbat, akhirnya berhenti dipinggir hutan.
Agaknya sudah ada orang menunggu di situ, terdengar orang
mende kati kereta, katanya dengan laku hormat: "Ha mba To Siong-
kiu me mberi sala m hormat kepada Kongcu."
Kepalapun tidak bergerak. Dian-kongcu hanya mendengus saja.
Suara Hou Thi-jiu terdengar dingin:
"Mana sarapan pagi yang kau siapkan untuk Kongcu? Lekas bawa
ke mari."
Orang di luar mengia kan, pintu kereta dibuka, dengan laku
hormat dia masukkan seperangkat tenong susun dua. Hou Thi-jiu
menerima nya, orang itu menurunkan kerai terus mengundurkan diri.
Sementara itu, orang la in telah mengganti kuda, sampa i pun
kusirnyapun berganti orang, jadi orang dan kuda berganti secara
bergiliran.
Kereta mulai berangkat lagi pelan2. Terdengar suara To Siong-kiu
di belakang: "Ha mba tidak mengantar Kongcu, semoga lekas tiba di
tempat tujuan-" Sudah tentu dia tidak me mperoleh penyahutan-
Dia m2 Ling Kun-gi me mbatin: "cara kerja orang2 ini ternyata
amat teliti, sampai di suatu tempat tertentu lantas ada orang yang
ganti kusir dan kuda, dengan demikian kereta ini bisa mene mpuh
perjalanan siang mala m tanpa berhenti, cuma entah di mana letak
sarang komplotan ini?"
Hou Thi-jiu sudah me mbuka tenong berisi makanan, katanya
hormat, "Silakan Kongcu sarapan pagi."
Dian-kongcu buka tutup tenong terus makan minum seorang diri
tanpa bersuara.
Kun-gi yang rebah meringka l sudah tentu juga mencium bau
makanan yang sedap. dari bau harum yang diendusnya, dia
menduga tenong itu berisi makanan daging dan se mangkok kuah.
Melihat orang ma kan, biasanya orang bisa ngiler, apa lagi kalau
perut me mang sudah lapar. Walau Kun-gi tida k me mbuka mata,
namun hidungnya dapat mencium bau makanan, maka perutnya
terasa berontak. laparnya bukan main.
Setelah melayani Dian-kongcu ma kan selesai, Hou Thi-jiu baru
angkat susun tenong yang lain, diapun makan dengan lahap. habis
makan dia le mpar tenong ke luar kereta, katanya: "Nanti siang
apakah kita perlu menyedia kan makanan untuk Cu-cengcu?"
Sambil duduk semedhi, Dian-kongcu berkata: "Dua belas jam
ke mudian baru dia akan siuman."
"celaka," de mikian ke luh Kun-gi da la m hati.
12 jam baru sadar, itu berarti dia harus kelaparan sehari
semala m.
Kereta terus laju bagai terbang, tengah hari mereka t iba di
sebuah kota, kereta berhenti istirahat di pinggir jalan. Tanpa turun
kereta sudah ada orang mengantar tenong berisi masakan yang
serba lezat, kali ini ada pula sebotol arak wangi.
Bagi kusir juga disediakan ma kanan tersendiri, dia duduk di
pinggir pohon sa mbil me lalap ma kanannya, selesai makan mere ka
me lanjutkan perjalanan pula.
Untuk pura2 se maput orang cukup me meja mkan mata dan
meringkal tanpa bergerak. semua ini adalah kerja yang mudah
sekali, siapapun bisa me lakukannya. Tapi harus meringkal dia m
tanpa bergerak selama sehari semala m dengan posisi sa ma, itulah
yang tidak gampang. Bagi orang biasa setelah berselang sekian
la ma, kaki tangan pasti merasa kese mutan dan pegal linu. Untuk ini
Kun-gi boleh tidak usah peduli.. Lwekangnya tinggi, dengan
me meja mkan mata dan menghimpun se mangat, darah tetap
berjalan lancar dan leluasa di dala m tubuh, sudah tentu dia takkan
merasa kese mutan dan pegal. Yang pa ling menyiksa dirinya adalah
perut lapar, sejak mala m tadi perutnya tidak di isi barang sedikit-
pun, mengendus makanan dan bau wangi arak lagi, sudah tentu
hampir tak tahan dia.
Setelah kenyang dan mabuk Dian-kongcu duduk mendongak
sambil se medhi lagi ditempat duduknya yang empuk dan silir. Kedua
ekor kuda menarik kereta segera angkat langkah pula mene mpuh
perjalanan-
Hari itu berlalu dengan cepat, dari siang menjadi sore, magrib
berganti mala m, dala m sehari se mala man ini, menurut perhitungan
Kun-gi, kereta ini sudah mene mpuh perjalanan 300-an li jauhnya.
Sejak magrib tadi, jalan kereta sudah bergoncang amat kerasnya,
kereta bergunjing seperti kapal dipermainkan ombak di tengah
lautan, begitu keras goncangannya, terang jalanan yang ditempuh
ini a mat jelek dan banyak berbatu, tapi kusir kereta tidak peduli,
cambuknya terus bermain me mbedal kudanya ke depan-
Terasakan guncangan kereta sedemikian keras, itu menandakan
bahwa kereta sudah me mbelok me masuki jalan pegunungan dan
sedang menuju ke suatu punca k gunung. Kira2 satu ja m la manya
kereta melewati jalanan yang jelek ini. Kini jalan kereta mula i
tenang dan angler, agaknya melalui jalan datar yang berpasir
karena roda kereta mengeluarkan suara mendesir yang rata.
Mendadak tak jauh di depan sana terdengar seorang
me mbentak: " Langit mencipta, bumi merencana"
Tergerak hati Kun-gi, pikirnya: "Mungkin sudah tiba di te mpat
tujuan, seruan itu terang adalah kode pengenal satu sa ma lain."
Maka didengarnya Hou Thi-jiu melongok keluar kereta dan
me mbentak gera m: "Keparat yang tidak punya mata, kau tidak lihat
kereta siapa ini?"
Terdengar suara beberapa orang dari kanan kiri jalan: "Ha mba
menya mbut kedatangan Coh-siancu."
"Bedebah, Kongcu yang ada di sini," bentak Hou Thi jiu gusar.
Orang2 itu kembali munduk2, serunya: "Hamba tidak tahu
kedatangan Kong-cuya, harap diberi a mpun-"
Kereta sudah mulai jalan pula. Tak lama ke mudian, lari kereta
mulai la mbat, kusir kereta melompat turun dengan gesit terus
menyingkap kerai
Dian-kongcu berpaling me mberi pesan kepada Hou Thi-jiu:
"Suruh mereka bawa Cu-cengcu ke Hwi-pin-koan ( ka mar tamu
agung ) di taman belakang, aku akan mene mui Gihu." Sekali lompat
dia turun terus berkelebat pergi.
Hou Thi-jiu juga me lompat turun, kepada dua orang laki2 baju
abu2 dia menggapai, katanya:
"Kalian gotong dia ke dala m."
Di saat Hou Thi-jiu me lompat turun tadi, Kun-gi sempat
me mbuka mata sedikit mengawasi keadaan sekitarnya. Ternyata
kereta berhenti di depan sebuah pekarangan besar dari suatu
perkampungan. Perkampungan ini dibangun di antara lekuk gunung,
sekelilingnya dipagari bukit, jelas letaknya diperut pegunungan yang
jauh dari kera maian-
Kedua laki2 itu sudah mengha mpiri, seorang melompat ke atas
kereta dan mengeluarkan secarik ka in hitam, mata Kun-gi
ditutupnya.
Tindakan ini sebetulnya berlebihan, karena orang2 yang diausur
ke mari kebanyakan telah kena bius, dalam keadaan semaput, buat
apa harus ditutup matanya lagi? Mungkin inilah aturan mereka,
dengan sendirinya Kun-gi mandah saja apapun yang dila kukan atas
dirinya, dia tetap tak bergerak.
Dengan setengah gendang dan setengah papah, kedua orang itu
menurunkan Kun-gi dari kereta, malah seorang laki2 itu berjongkok,
Kun-gi digendongnya. Mereka ikuti Hou Thi-jiu berjalan ke dala m.
Meski mata tertutup, tapi Kun-gi pasang kuping dengan seksama,
dia me mbedakan arah, jalan yang ditempuh Hou Thi-jiu bertiga
bukan pintu tengah, mereka mengitar ke kiri di mana ada sebuah
pintu samping. Setiba di depan pintu, laki2 yang lain memburu maju
mendahului Hou Thi jiu mengetuk t iga ka li di daun pintu.
"Tek", terdengar suara pelahan, seorang membuka jendela kecil
di pintu, suara serak tua me mbentak: "Siapa?"
Lekas Hou Thi-jiu mendekat, katanya: "Lo-go, inilah aku Hou Thi-
jiu."
"o", suara serak itu menjadi lunak. "mana tanda buktinya?"
Hou Thi jiu mengeluarkan sebentuk lencana, habis itu baru daun
pintu di buka, suara serak itu me mpersila kan mereka masuk.
Dengan langkah lebar Hou Thi jiu bertiga masuk ke dala m, pintu
tertutup pula. Mereka jalan beriring, langkahnya cepat, diam2 Kun-
gi men-duga2 dari langkah mereka yang putar sana be lok ini, bahwa
mereka me lewati sera mbi lika-liku serta beberapa pekarangan,
waktu Hou Thi-jiu seperti sudah tiba di satu tempat, seorang segera
tampil ke depan menggoncang dua gelang tembaga, lalu
mengundurkan diri pula ke belakang.
Waktu daun pintu terbuka, getaran keras terasa di bawah kaki
mereka, ini me mbuktikan bahwa daun pintu terbikin dari papan baja
yang berat dan tebal. Seorang telah menghadang di tengah pintu,
Hou Thi-jiu maju mengunjuk lencananya pula, baru dia memba lik
badan dan katanya: "Serahkan dia padaku"
Laki2 yang menggendang Kun-gi me ngiakan terus berjongkok,
dia baringkan Ling Kun-gi di lantai. Dengan kedua tangannya Hou
Thi-jiu menjinjing tubuh Kun-gi, katanya: "Kalian tunggu di sini"
Ia sendiri masuk dengan langkah lebar. Pintu beratpun mulai
tertutup lagi pelan2.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Begini keras dan ketat penjagaan di
sini, entah di mana letak pusatnya?" Pada saat hati me-nimang2,
terasa angin menghe mbus silir2, kupingnya lantas mendengar
gesekan dedaunan yang tertiup angin- Agaknya mereka telah
berada di sebuah kebon.
Langkah Hou Thi-jiu a mat cepat, jelas dia apal jalanan di sini,
kira2 se masakan air ke mudian, hidung Kun-gi mulai mencium bau
harum bunga, bau kembang mawar, seruni dan lain2. Pada saat
itulah baru Hou Thi-jiu menghentikan langkah dan mengetuk pintu
pula. Sebelum daun pintu terbuka terdengar suara merdu bertanya
dari dala m: "Siapa?"
"Inilah cengcu dari Liong-bin-san-ceng, kau harus melayaninya
baik2," kata Hou Thi jiu.
"Baik, bawa dia ke dala m," sahut suara merdu itu. Lalu dia
mendahului melangkah diikuti Hou Thi-jiu.
Kun-gi me mbatin pula: "Kiranya sudah sa mpai di Kwi-pin-koan."
seorang membuka daun jendela, suara merdu berkata pula:
"Taruh dia di atas dipan"
Hou-Thi-jiu lantas merebahkan Kun-gi di atas dipan yang
beralaskan kasur e mpuk.
Suara merdu itu bertanya: "Kapan cengcu ini akan sadar?."
Pertanyaan inipun a mat penting artinya bagi Ling Kun-gi.
Didengarnya Hou Thi- hou menjawab: "Kira2 kentongan kedua
nanti."
"O," suara merdu berkata pula, "kini sudah kentongan pertama,
jadi masih satu ja m lagi."
Hou Thi-jiu lantas keluar, katanya: "Cayhe mohon diri."
Suara merdu ikut melangkah ke luar dan menutup pintu,
sekemba linya dia langsung mendekati pe mbaringan, kain hita m
penutup mata Kun-gi dia copot, lalu ditariknya ke mul untuk
menutupi badan Kun-gi, dari gerak-geriknya jelas gadis ini sudah
terlatih baik menjalankan tugasnya.
Entah apa tujuan mereka menculik Cu Bun-hoa ke mari dengan
jalan ber-liku2 sede mikian rupa? De mikian Kun-gi ber-tanya2 dala m
hati, tapi dia tidak berani me mbuka mata, karena dengan jelas dia
merasakan he mbusan napas si gadis tengah berdiri di pinggir
pembaringan, mungkin orang tengah menga mati dirinya, atau
menga mati "Cia m-liong Cu Bun-hoa Cengcu" dari Liong- bin-sun-
ceng. .
Dengan telentang di atas pembaringan, kelopak matapun Kun-gi
tak berani bergerak, karena gerakan kelopak mata menanda kan
bahwa dirinya sudah siuman- Untung hanya sejenak gadis bersuara
merdu ini menga mati dirinya, lalu mengundurkan diri dia m2.
Setelah orang sampai di luar dan menurunkan kerai, dia tetap
tidak berani me mbuka mata. ia selalu ingat pesan gurunya sebelum
berangkat, beliau bilang "Muridku, dengan bekal kepandaianmu
sekarang, tiada suatu tempat di dunia Kangouw yang pantang kau
datangi, cuma berkelana di Kangouw, bekal kepanda ian hanya
sebagai cangkingan belaka, yang penting adalah kecerdikan
bertindak dan hati2, ada sepatah kata perlu gurumu berpesan dan
kau harus mengukirnya di lubuk hatimu, yaitu semakin besar
nyalimu, kau harus se makin hati2. Peduli persoalan atau kejadian
apapun yang kau hadapi, kau harus tetep tenang dan waspada."
Sementara itu gadis bersuara merdu tadi sudah berada di luar,
tapi dia tetap rebah tak bergerak. dia sedang mengerahkan tenaga
saktinya, memusatkan seluruh perhatian mendengarkan keadaan
sekelilingnya. Umpa ma di dala m ka mar masih ada orang lain, pasti
suara napasnya bisa didengarnya.
Sepeminuman teh ke mudian barulah Kun-gi yakin bahwa di
dalam ka mar betul2 tiada orang lain kecuali dirinya, pelan2 dia
me mbuka mata, walau hanya setengah mengintip saja, tapi dia
sudah melihat jelas keadaan di depannya.
Itulah sebuah kamar tidur yang amat besar, pajangannya serba
mewah, serba antik. Di bawah penerangan cahaya yang rada redup,
semua benda pajangan yang ada di da la m ka mar kelihatan indah
menarik. letaknya juga diatur sedemikian dan serasi benar
me mbuktikan hasil dari tangan seorang ahli pajang kena maan-
Sekilas pandang Kun-gi lantas pejamkan mata pula, dalam hati ia
me-nimang2 cara baga imana dia harus menghadapi situasi
selanjutnya nanti? Akhirnya dia berkeputusan dirinya harus teguh
iman, teguh pendirian, berani menghadapi segala perubahan-
Waktu berlalu dengan cepat, sejam telah berselang, langkah le mbut
mendatang dari luar pintu, Kun-gi tahu wa ktunya sudah tiba, ia
tetap rebah di pembaringan, ia pura2 menarik napas panjang
seperti baru siuman dari tidur, dengan suara kereng dia bertanya:
"Siapa di luar? Apa Kwi-hoa? Tida k kupanggil, untuk apa kau
ke mari?"
Sembari bicara dia me mbuka mata. Begitu mata terpentang
segera dia berjingkrak berdiri, ke mana sorot matanya berpancar
seketika dia berdiri tertegun. Dia sengaja berbuat demikian- Sorot
matanya yang tajam menatap gadis baju hijau yang melangkah
masuk menyingkap kerai tanpa berkedip. lalu dengan suara kaget
dia bertanya: "Siapa kau, ini . . . . tempat apa ini? Bagaimana aku
bisa rebah di sini?" seka ligus tiga pertanyaan keluar dari mulutnya,
menandakan kegugupan hatinya yang kaget dan heran-
Gadis baju hijau kira2 berumur 20-an, perawakannya tinggi
sema mpai, ramping menggiurkan, wajahnya manis dan molek. buah
dadanya menonjol besar, dadanya dihiasi sebuah ma inan kalung
besar bentuk jantung hati, semuanya terbuat dari mas murni, dua
kuncir ra mbutnya yang besar legam menjuntai di kedua sisi
pundaknya.
Gadis ini sudah tentu amat cantik, kecuali cantik juga me mpunyai
daya tarik bagi setiap lelaki yang melihatnya. Tangannya menjinjing
sebuah nampan putih, baru saja dia menyingkap kerai melangkah
masuk lantas dijumpainya Ling Kun-gi berjingkrak dengan rentetan
pertanyaan tadi. Dia lantas berhenti di ambang pintu, sepasang
matanya yang jeli me natap Kun-gi sa mbil tersenyum mekar,
tertampak barisan giginya yang putih rata bagai biji mentimun,
begitu menggiurkan senyum tawanya. Terdengar suaranya nan
merdu mengandung rasa ma lu: "Cu-cengcu sudah bangun, ha mba
Ing jun, ditugaskan meladani Cu-cengcu di sini"
Terasa oleh Kun-gi kakinya menginjak kabut tebal, ia tetap
menatap pelayan yang bernama Ing-jun dan bertanya: "Lekas nona
beritahu, tempat apakah ini? Bagaima na aku bisa sa mpa i di sini?"
Melihat sorot mata Ling Kun-gi yang bersinar mengawasi dirinya
tanpa berkedip. Ing-jun menunduk malu, dia meletakkan na mpan di
atas meja di sa mping dipan, sahutnya:
"Inilah bubur yang ha mba sengaja buatkan untuk Cengcu."
"Nona belum jawab pertanyaanku," desak Kun-gi sa mbil
menge lus jenggot.
Ing jun tetap menunduk. sahutnya, "Tempat ka mi ini adalah Coat
Sin-san-ceng, Cu-cengcu adalah tamu agung yang diundang Cengcu
kami yang telah lama mengagumimu." Sebagai pelayan yang
ditugaskan me layani tamu, sudah tentu dia panda i bicara.
Coat Sin-san-ceng? Dia m2 Kun-gi me mbatin- "Belum pernah
kudangar nama perka mpungan ini di kalangan Kangouw?" Segera ia
tanya pula, "Entah siapa she dan na ma besar Cengcu kalian-"
Sedikit angkat kepalanya, sikap Ing jun lebih hormat, sahutnya:
"Cengcu kami she Cek, tentang nama besar beliau, kami sebagai
pelayan tiada yang mengetahui." Jelas dia t idak ma u menerangkan.
Tak enak Kun-gi bertanya lebih lanjut, katanya "Lohu ingin
bertemu dengan Cengcu ka lian-"
"Betapa sukarnya Cengcu ka mi mengundang Cu-cengcu ke mari
dan dilayani sebagai ta mu luar biasa, sudah tentu nanti beliau akan
menjenguk ke mari, cuma ......"
"Cuma apa?" desak Kun-gi.
Sekilas bentrok sorot mata mereka, lekas Ing-jun tunduk kepala
pula, katanya lirih: "sekarang sudah kentongan kedua, Cengcu kami
sudah tidur."
Kehadiran Kun-gi di sini mewakili Cu Bun-hoa, sebagai duplikat
orang, tak enak dia banyak omong, apalagi tujuannya menyelidiki
jejak ibunva, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, terpaksa Lohu
tunggu sa mpai besok pagi batu mene mui Cek-cengcu ka lian-"
Tiba2 sorot matanya menatap tajam, tanyanya: "Dapatkah nona
jelaskan, cara bagaimana ka lian me mbawa Lohu ke mari?"
Le mbut suara Ing-jun: "Ha mba hanya tahu cengcu kami a mat
mengagumi ke mashuran Cu-cengcu, maka beliau mengundang Cu-
cengcu ke mari, tentang cara bagaimana mengundangnya, hamba
tidak tahu apa2."
"Baiklah," ujar Kun-gi dengan tersenyum, "segala persoalan
terpaksa kubicarakan besok kalau berhadapan dengan cengcu
kalian-"
"Mala m sudah larut, silakan Cu-cengcu dahar dulu sebelum
istirahat," kata Ing-jun.
Me mangnya sudah sehari sema la m kelaparan, Kun-gi tidak
menolak lagi, dengan lahapnya dia habiskan semangkok bubur
sarang burung itu, semangat seketika berbangkit, rasa lapar tadipun
lenyap.
Dengan muka jengah Ing-jun mendekat, katanya: "Cu-cengcu
silakan istirahat, biar ha mba bantu menanggalkan paka ian-"
Melihat wajah orang yang merah ma lu2 dan hendak me mbuka
pakaiannya, keruan Kun-gi menjadi kelabakan, katanya gugup: "Tak
usahlah, nona sendiri pergilah tidur."
Mendadak Ing-jun berkata dengan suara pelahan: "obat bius
yang diminum Cu-cengcu semala m tercampur obat racun yang
me mbuyarkan Lwe kang, kekuatan sekarang hanya tersisa tiga
bagian, maka hamba harap cengcu hati2 dan jangan sembarangan
bergerak."
Kun-gi me lenggong, katanya sambil mengawasi Ing-jun "Terima
kasih atas kebaikan nona."
Merah pula wajah Ing-jun, katanya lebih lirih: "Ha mba lihat cu
cengcu seorang ksatria tulen, makanya berani me mberi peringatan,
kalau nasihatku tadi terdengar oleh Cengcu ka mi, ha mba pasti akan
dihukum pancung."
Dia m2 Kun-gi tertawa dingin, batinnya: "Yang terang Cengcu
kalian sengaja suruh kau bertingkah de mikian-" Tapi lahirnya dia
tetap tersenyum, katanya mengangguk: "Terima kasih nona."
Ing-jun lantas menga mbil mang kok serta me mberi hormat
kepada Kun-gi, katanya: "Ha mba mohon diri," lalu ia menyingkap
kerai dan keluar. Waktu itu kentongan kedua baru saja lewat, saat
paling tepat dan baik bagi setiap pejalan ma la m. tapi Kun-gi tahu
perkampungan ini pasti terjaga keras, dengan susah payah dan
tersiksa sehari se mala m dirinya baru berhasil me nyelundup ke mari,
sudah tentu dia tidak berani bergerak secara semberono. Maka
setelah Ing-jun mengundurkan diri, iapun ke mbali rebah di
pembaringan, lampu dia pada mkan, terus duduk semadi di atas
ranjang.
oooodwoooo
Karena menyamar sebagai Kwi-hoa, setelah meninggalkan ka mar
buku, Pui Ji-ping langsung ke mbali ke ka mar Kwi-hoa terus tutup
pintu. Dia m2 dia a mbil keputusan dala m hati bila pamannya
diketahui lenyap, seluruh perka mpungan pasti akan geger, mala m
ini baru saja dia me mpelajari ilmu tata rias, maka tiba saatnya dia
sekarang berdandan sebagai laki2, meningga lkan Liong-bin-san-
ceng secara dia m2 dan secara dia m2 pula ia henda k menguntit
musuh.
Tapi pada saat dia siap2 hendak merias diri, di bawah jende la
mendadak seorang bersuara. "Ji-ping, lekas buka pintu"
Ji-ping tahu itulah suara pamannya, sekilas dia me lengak,
bergegas dia bereskan bahan2 obat rias terus lari membuka pintu.
Sebat sekali Cu Bun-hoa menyelinap masuk, lalu menutup daun
pintu pula Ji-ping bertanya: "Pa man, darimana kau bisa ke mari?"
Cu Bun-hoa tersenyum, katanya: "Paman datang dari lorong
bawah tanah, Kwi-hoa sudah mengaku terus terang."
"Apa yang dia katakan? Ke mana mereka hendak me mbawa
paman?" Sudah tentu yang dia perhatikan adalah Ling Kun-gi.
"Diapun tidak tahu, tugasnya hanya mendesak In Thian-lok
supaya me mbius diriku dan orang la in a kan datang me mberi
bantuan," tanpa menunggu Ji-ping bertanya dia melanjutkan pula:
"Waktu terlalu mendesak. pa man tida k bisa bicara banyak lagi
dengan kau, lekas kau ke mbali ke ka mar buku, beritahu kepada In
Thian-lok bahwa di dala m ka mar buku ada ruangan rahasia, Lok-
hun-san milik pa man disimpan di ka mar rahasia itu, kau boleh bawa
dia ke depan rak buku dan pura2 mencari tombolnya, lalu bawa dia
masuk ke dala m."
Terbelalak mata Ji-ping, tanyanya: "Apa yang dinamakan Lok-
hun-san itu?"
"Jangan tanya, bekerjalah menurut pesanku, beritahukan pada In
Thian-lok saja."
"Aku toh tidak tahu cara me mbuka alat rahasianya."
"Anak bodoh, cukup asal kau pura2 saja, paman akan bantu kau
dari dala m," lalu dia mendesak. "hayolah cepat" Habis berkata dia
tarik pintu la lu menyelinap keluar pula.
Ji-ping tak berani ayal, sekali tiup dia padamkan la mpu, dengan
langkah enteng ia lari ke depan- Baru saja dia keluar dari serambi
tengah, dilihat-nya In Thian-lok sedang menimang Cin-Cu-ling
mendatang dengan langkah gopoh. Begitu melihat "Kwi-hoa" segera
dia mengulap tangan, katanya lirih: "Sudah kubereskan se mua,
lekas kau ke mba li ke ka mar, tiada urusan nona lagi di sini "
"Tunggu sebentar," kata Ji-ping dengan suara tertahan-In Tian-
lok tertegun, tanyanya: "Nona masih ada urusan?"
Berputar biji mata Pui Ji-ping, katanya lirih: "Di sini bukan tempat
bicara, ikutlah aku ke ka mar buku." Se karang dia tahu kedudukan
Kwi-hoa lebih tinggi daripada In Thian-lok. maka sikap dan nada
bicaranya kedengaran dingin dan ketus.
Lekas In Thian-lok mengiakan, tanpa bicara dia putar tubuh
me mbuka jalan. Cepat sekali langkah kedua orang, sekejap saja
mereka sudah berada di ka mar buku. Waktu Ji-ping angkat kepala,
dilihatnya jendela sudah tertutup semuanya, agaknya In Thian-lok
me mbawa Cin cu-ling hendak me mberi laporan kepada Cu-hujin di
belakang. Cara kerja yang dia lakukan sede mikian rapi, ka lau
kejadian ini tersiar di kalangan Kangouw, tentu ceritanya adalah
pintu jendela tak terbuka dan pa mannya lenyap tanpa bekas.
Dari kejadian ini dapatlah di simpulkan bahwa lenyapnya kepala
keluarga Tong dan Un pasti dilakukan secara berkomplot oleh
orang2 dalam keluarga masing2, demikian pula mata2 sudah
menyelundup ke Siau-lim-si.
Dika la dia meng-a mat2i keadaan, In Thian-lok maju setapak dan
katanya lirih: "Ada urusan apa nona, sekarang boleh kau katakan ?"
Kuatir orang mengenali suaranya, maka Ji-ping tahan suaranya:
"Tadi aku lupa me mberitahu kepada In congkoan, pa . . . . ." ha mpir
saja dan menyebut "pa man", ia pura2 merande k. lalu ber-kata pula
sambil me nghela napas: "Yaitu . . . . " dala m gugupnya timbul
akalnya, suaranya tetap lirih: "Di ka mar buku cengcu ada sebuah
kamar rahasia, Lok-hun-san tersimpan di ka mar rahasia itu."
"Ka mar rahasia?" seru In Thian-lok me longo.
"Kenapa cayhe tidak tahu?" bersinar biji mata In Thian-lok.
tanyanya cepat: "Nona tahu di mana letak ka mar rahasia itu?"
"Aku hanya pernah melihat sekali, yaitu . . . ." sembari berkata
dia pura2 mengingat2 sa mbil mengitari ra k buku seperti mencari
apa2, lain menyambung: "Agaknya di sini." Dengan badan
terbungkuk dia meraba dan menekan rak buku, dalam hati dia
menduga2: "Entah pa man sudah ke mbali ke ka mar be lum?"
Lekas In Thian-lok mendekatinya dan berdiri di bela kang Kwi-hoa
samaran Pui Ji-ping, kata-nya lirih: "Sudah puluhan tahun aku ikut
Cu-cengcu, nona baru tiga tahun, tapi sudah berhasil sedemikian
rupa . . . . "
Ji-ping hanya mendengus. Pada saat itulah, terdengar suara
getaran lemah, dua rak buku di depannya mendadak terpisah ke sisi
samping dan muncul sebuah pintu. Dengan pura2 girang .Ji-ping
berseru: "He, kute mukan sekarang"
Mendadak didengarnya suara sang paman dengan ilmu Thoan-im
jip-bit (mengirim ge lombang suara ) mengiang dipinggir kuping: "J i-
ping, suruh In Thian-lok berjalan di depan- Ingat, sedikitnya kau
harus lima ka ki di belakangnya, jangan terlalu dekat"
Sementara itu, In Thian-lok sudah menga mbil lentera di atas
meja dan mengha mpiri mulut pintu la lu berhenti, dengan seksama
dia pasang kuping dan lepas pandang ke dala m, tapi ka mar rahasia
itu gelap gulita, tiada sesuatu yang dapat dilihatnya. Agaknya dia
juga tahu bahwa Cu-cengcu sangat lihay, ma lah seorang ahli
pencipta alat2 perangkap. maka ia tidak berani sembarangan
masuk.
Melihat orang ragu2 dan jeri,Ji-ping lantas mengejek dingin: "In-
congkoan, waktu kita terlalu mendesak."
In Thian-lok menyengir, katanya: "Ya, ya, biar cayhe masuk
me lihatnya." dalam keadaan begitu, terpaksa dia keraskan kepala
dan melangkah masuk dengan hati kebat kebit.
Ji-ping tertinggal lima kaki lebih dibe lakangnya, pelan2 iapun
masuk dan pintu di bela kang mereka lantas menutup, Betapapun In
Thian-lok sudah puluhan tahun menjadi pe mbantu Cu Bun-hoa,
sedikit banyak dia juga tahu tentang segala peralatan rahasia, walau
pintu di belakang mereka menutup tanpa menge luarkan suara, tapi
nalarnya ternyata sangat tajam, reaksinyapun cepat, sigap sekali dia
me mba lik tubuh, pintu dari mana tadi mereka masuk kini sudah
menjadi sebuah dinding tebal, entah ke mana letak pintu tadi?
Keruan wajahnya yang kelam itu menjadi se makin ge lap. tangan
yang pegang lenterapun gemetar, tanyanya kepada Ji-ping "Nona
yang menutupnya?"
"Tida k." seru Ji-ping pura2 kaget dan gelisah, "aku mengintil di
belakangmu, sedikitpun tanganku tak bergerak."
In Thian-lok terbeliak, katanya: "Tak mungkin, setelah pintu ini
terbuka, tak mungkin me nutup sendiri, kecuali di da la m ka mar ini
ada orang yang menguasai alat rahasianya."
"Orang ini ternyata licik dan licin," demikian batin Ji-ping, tapi dia
tetap pura2 ketakutan, katanya: "Memangnya ada siapa pula di
dalam ka mar ini?"
Serius wajah In Thian-lok. kedua matanya jelilatan mengawasi
sekelilingnya, akhirnya ia berhenti di arah dipan yang terukir indah
itu, bentaknya kereng: "Siapa kau? Lekas bangun"- Di bawah
penerangan lentera yang dia angkat tinggi tampak di atas dipan
rebah celentang kaki seorang, badannya ditutupi kemul tipis sa mpa i
kepalanya sehingga tak diketahui siapa dia?
Me mangnya ka mar ini gelap. tahu2 melihat sesosok tubuh rebah
kaku berkerudung rapat begitu, sungguh a mat mena kutkan- Ka lau
Ji-ping tidak menduga bahwa yang rebah itu pasti paman-nya, tentu
ia sudah menjerit kaget.
Orang yang rebah itu diam saja tidak bergeming meski sudah
dihardik berulang kali oleh In Thian-lok. Keruan In Thian-lok
semakin murka, katanya geram: "Tuan tidak mau bangun, terpaksa
orang she In tidak sungkan2 lagi." tapi orang itu tetap tidak
bergerak.
Mata In Thian-lok mencorong terang laksana obor ditengah
keremangan, kelima jari tangan kiri mene kuk laksana cakar
me lintang di depan dada, mendadak dia melompat maju terus
menarik ke mul yang menutupi tubuh orang. Seketika pandangnya
yang garang buas terbeliak kaget, tubuhpun tergetar hebat.
Pui Ji-ping yang berada dibelakangnya dapat melihat jelas, orang
yang rebah di atas dipan ternyata seorang perempuan, rambut
panjang awut2an, wajah yang semula putih halus kini sudah
berubah hijau mengkilap. matanya mendelik besar ha mpir mencotot
keluar.
Warna hijau sebetulnya warna yang kalem indah, warna yang
tidak menakutkan- Tapi kulit muka manusia dan biji matanya mana
ada yang berwarna hijau? Muka hijau yang dilihatnya ini sungguh
menyerupai warna setan yang menggiriskan- Perempuan yang
rebah itu ternyata adalah Kwi-hoa. Sekali pandang sudah dapat
diketahui bahwa dia sudah mati. Mati keracunan-
Belum pernah Ji-ping menyaksikan pe mandangan yang seram ini,
kedua kaki se ketika menjadi le mas, badan ge metar.
Betapa cerdik In Thian-lok. melihat mayat yang mati keracunan
itu adalah Kwi-hoa, segera ia menyadari ganjilnya keadaan ini,
mendadak dia putar badan menatap Ji-ping, hardiknya bengis.
"Siapa kau?"
Jarak Ji-ping hanya beberapa kaki di belakang, jadi pamannya
sudah me mperingatkan supaya dia berdiri saja tanpa bergerak di
tempatnya, segera dia me mbusungkan dada, dengusnya, "coba
katakan, siapa aku?"
In Thian-lok tidak berani pandang sepele padanya, karena dia
tahu racun yang menyebabkan kematian Kwi-hoa adalah Lok-hu-
san, racun milik Liong-bun-san yang paling ganas. Bahwa dirinya
dipancing masuk ke ka mar rahasia ini, tentu orang sudah punya
cara lihay untuk menundukkan dirinya. Maka iapun tidak berani
mendesak terlalu dekat, tetap berdiri beringas ditempatnya, pelan2
dia menarik napas lalu berkata: "Kau bukan Kwi-hoa"
Belum Ji-ping me njawab mendadak sebuah suara dingin
menanggapi: "Dia me mang bukan Kwi- hoa."
Sejak masuk tadi In Thian-lok sudah yakin kecuali orang yang
rebah di pe mbaringan, ka mar ini t iada orang kee mpat. Kini sudah
jelas bahwa yang rebah dan mati adalah Kwi hoa, ini berarti tiada
orang ketiga yang masih hidup, tapi orang yang menanggapi
kata2nya ini jelas berada di dalam kamar juga, malah sela ma
puluhan tahun dia sudah sering dan apal mendengar suara orang
ini, tanpa menoleh iapun tahu siapa yang berbicara itu. Dala m
sekejap itu, laksana disamber geledek kepala In Thian-lok, darah
tersirap. dengan gugup dia berpaling ke arah datangnya suara.
Betul juga, di sa mping almari sebelah kiri sana, entah kapan
tahu2 sudah muncul satu orang. Dia berdiri menggendong kedua
tangan, wajahnya mengulum senyum, na mun kedua biji matanya
ke milau dingin, tida k kelihatan gusar, tapi wibawanya cukup
menggetar nyali In Thian-lok yang ditatapnya. Siapa lagi dia kalau
bukan cia m-liong Cu Bun-hoa adanya.
Pelan2 Cu Bun-hoa berkata: "In Thian-lok. apa pula yang ingin
kau katakan?"
Pucat pias seperti kapur wajah In Thian-lok, keringat dingin
gemerobyos, sahutnya me mbungkuk. "A mpun cengcu ......."
Sebelah tangan mengelus jenggot, tangan yang lain tetap
dibelakang punggung, dingin suara Cu Bun-hoa: "coba terangkan,
siapa yang jadi biang keladi komplotanmu ini?"
"Harap cengcu maklum, karena ceroboh...", sembari bicara
matanya melirik kearah Ji-ping, la lu meneruskan: "Kwi-hoa lah yang
menjadi biang keladinya, siapa sebetulnya orang yang berdiri di
belakang layar peristiwa ini ha mba juga t idak tahu."
"Kau sudah tahu bahwa anak Ping yang menyamar Kwi hoa,
masih berani kau mungkir menumple kkan dosa kepadanya,"
damprat Cu Bun-hoa, In Thian-lok me mang licik dan banyak
muslihatnya, jelas dia saksikan sendiri Kwi-hoa sudah mati dan
rebah di atas ranjang, jawaban itu me mang disengaja untuk
mengorek keterangan Cu Bun-hoa siapa sebetulnya orang yang
menyaru jadi Kwi-hoa ini? Se mula dia mengira puteri cengcu Cu Ya-
khim, sungguh tak diduganya bahwa Pui Ji ping yang menya mar.
Sudah tentu Ji ping juga berguna baginya, karena dia adalah
keponakan Cu-cengcu, asal dirinya berhasil me mbe kuk nona itu
sebagai sandera, dirinya tetap akan bisa lolos dengan selamat. Maka
tanpa terasa ia melirik pula ke arah Pui Ji-ping setelah mendengar
keterangan Cu Bun-hoa.
Lirikan ini dia m2 me mperhitungkan jarak kedua pihak. jarak Ji-
ping kira2 ada beberapa kaki, sementara cengcu ada di samping
almari sebelah kiri sana, jaraknya dengan dirinya ada setombak
lebih. Inilah kesempatan baik dan harus mene mpuh bahaya. Ia
cukup kenal perangai sang cengcu, jelas jiwanya takkan diampuni.
Dia m2 ia berpikir cara bagaimana harus menge labui sang cengcu
untuk secara mendadak menyergap Pui Ji-ping. Maka dengan pura2
gelisah dan jeri, berulang kali dia menjura, katanya: "Sukalah
cengcu dangarkan penjelasaan .... " mendadak tubuhnya berputar
dan melompat kesana menerka m Pui J i-ping.
Sergapan ini dilakukan secara mendadak, gerak geriknya cepat
dan gesit lagi, jelas Cu Bun-hoa tida k se mpat menolong, sementara
Ji-ping sendiri juga tak menduga bahwa orang bakal menerka m
dirinya.
Tahu2 orang sudah menubruk tiba, keruan kaget Ji-ping tidak
kepalang, secara refleks dia menjerit seraya mundur selangkah,
sementara itu tangan kanan In Thian-lok sudah berada di atas batok
kepalanya.
Pada detik2 gawat itulah mendadak didengarnya Cu Bun-hoa
bergelak tertawa, serunya:
"Anak Ping jangan takut"
Belum lenyap suaranya, terdengar dua kali "trang-trang"
beradunya barang besi. Lekas Ji-ping tenangkan diri, waktu dia
angkat kepala, tampak In Thian-lok yang menubruk ke arah dirinya
itu berdiri tanpa menggunakan ka ki, kedua tangannya terbelenggu
oleh dua gelang besi yang tiba2 turun dari langit2 rumah sehingga
tubuhnya terangkat sedikit, demikian pula kedua ka kinya
terbelenggu juga oleh dua gelang besi yang timbul dari bawah
lantai, baru sekarang dia sadar kenapa pa mannya berseru supaya
dirinya tenang dan tak perlu takut.
Karena kaki tangan terbelenggu dan tak mungkin berkutik lagi In
Thian-lok. katanya sambil menghela napas panjang, "Ha mba tahu
diri tida k sepandai cengcu, pantas segala gerak gerikku selalu di
bawah pengawasan cengcu."
Cu Bun-hoa tertawa, katanya: "Kau mengorek keteranganku,
dia m2 berniat menyergap anak Ping, kalau maksud jahatmu ini tak
bisa kuraba, memangnya Liong- bin-san-ceng bisa berdiri di
kalangan Kangouw." Setelah menghela napas, ia menambahkan:
"Tapi kalau ma la m ini anak Ping tidak keburu pulang me mberi
kabar, aku toh tetap akan terjebak olehmu."
Terpancar sorot mata aneh dari mata In Thian-lok. tanyanya
sambil mengawasi Ji-ping: "cara bagaimana Piau-slocia bisa
mengetahui?"
Pui Ji-ping tertawa dingin dengan bangga, katanya: "Ka lau ingin
orang lain tidak tahu, kecuali awak sendiri tak berbuat. Waktu aku
me lihat kelima blok kain katun yang termuat di depan toko Tek-
hong, lantas aku tahu kau adanya."
Berubah air muka In Thian-lok. dia menunduk dan tidak bersuara
lagi.
"In Thian-lok," kata Cu Bun-hoa, "sudah puluhan tahun kau
menjadi pe mbantuku, biasanya kau kerja keras dan setia terhadap
junjungan, tak pernah melakukan kesalahan pula, bagaimana kau
sampai hati timbul niat jahatmu, kalau dipikir sungguh a mat
mengecewakan- "
In Thian-lok tetap menunduk tak bersuara.
Berubah kela m air muka Cu Bun-hoa, katanya sambil
menggerung gusar: "orang lain mungkin t idak tahu, tapi kau sudah
puluhan tahun mengikutiku, tentunya sudah jelas tindakan apa yang
harus kula kukan sekarang."
Pucat muka In Thian-lok, katanya. "Selama puluhan tahun
me mbantu cengcu, ha mba banyak menerima kebaikan cengcu,
bukannya hamba berusaha me mbalas kebaikan ini, tapi ma lah
me mbantu dan diperalat orang, memang me ma lukan hidupku ini,
sekali terpeleset akan menyesal selamanya, biarlah hamba menebus
dosa ini dengan ke matian-"
"Mengingat kesetiaanmu sela ma ini, asal kau mau bertobat, Lohu
akan me mberi kese mpatan pada mu untuk menebus dosa ini."
Sedih tawa In Thian-lok, katanya: "Sudah terlambat, kalau
cengcu katakan hal ini sejak tadi mungkin masih keburu, sekarang
sudah terlambat."
Cu Bun-hoa menatap tajam muka In Thian-lok, tanyanya:
"Katakan, kenapa terla mbat?"
"Ha mba sudah menelan racun," sahut In Thian-lok.
Guram a ir muka Cu Bun-hoa, katanya: "Bahwa kau sudi diperalat
orang lain, kenapa tidak mau me mbantuku ma lah?"
"Ya, hamba akan mene mbus kesalahan ini dengan ke matian-"
Mendadak Cu Bun-hoa tanya dengan suara bengis: "Siapa pula
mata2 yang berada diperka mpungan kita ini?"
Megap2 mulut In Thian-lok, matanya melotot, tapi suaranya tidak
keluar.
Cu Bun-hoa menatap tajam, dari gerakan bibir dan lebarnya
mulut, agaknya In Thian-lok henda k mengatakan "delapan", cepat
dia tanya: "Se mua kau yang me mbawanya ke mari?"
Entah dengar atau tidak pertanyaan ini, kepala In Thian-lok
seperti mengangguk sedikit, tapi lantas lertunduk lemas tak
bergerak lagi.
"Paman, dia sudah mat i?" tanya Pui Ji-ping.
Pelahan Cu Bun-hoa mengha mpiri, ia raba dada In Thian-lok,
katanya manggut: "Ya, sudah mati"
Tiba2 kakinya menggentak lantai, terdengariah suara "cret-cret",
gelang yang me mbelenggu kaki tangan In Thian-lok tiba2 lepas,
maka tubuh In Thian-lok yang mulai dingin segera jatuh gedebukan
di lantai.
Tanpa bicara lagi Cu Bun-hoa me langkah ke sana, dari dalam
bajunya dia keluarkan sebuah botol kecil warna hijau, dia cukil
sedikit obat bubuk dengan kuku jarinya terus ditaburkan ke muka In
Thian-lok, tepat ke mulut dan hidungnya.
"Paman," tanya Pui Ji-ping, "Budak Kwi-hoa itu juga mati
menelan racun?"
"Dia mengaku bukan komplotan Cin-Cu-ling, maka secara
sukarela dia menuturkan kejadian sesungguhnya, katanya dia dibeli
seorang laki bernama Hoa Thi-jiu, lalu diselundupkan ke mari,
tugasnya mengirim kabar keluar, dia minta aku menga mpuni
jiwanya, sudah tentu dia takkan menelan racun."
"Jadi pa man yang me mbunuhnya?" tanya Ji-ping.
"Ya, kulihat dia pernah me mperoleh ge mblengan yang
meyakinkan- seorang agen yang lihay, sudah tentu takkan
kulepaskan dia .... Sekarang lekas kau ikut keluar, kita harus segera
menya mar untuk me mbuntuti jejak mereka."
Pui Ji-ping berjingkra k senang, tanyanya: "Maksud paman
hendak mengejar jejak Ling toako?"
"Ya, Kwi-hoa dan In Thian-lok tidak mau menerangkan siapa
biang keladi dari komplotan Cin-Cu-ling ini dan dimana sarangnya?
Terpaksa kita kuntit saja jejak Ling-lote secara diam2, setiba di
tempat tujuan, kita bisa me mberi bantuan kepada-nya."
"Tapi mere ka sudah pergi seja m yang lalu, ke mana kita harus
mengejarnya?"
"Paman sudah suruh orang mengejar me mbawa anjing secara
dia m2, sepanjang jalan ini mere ka pasti meningga lkan tanda
pengenal, kenapa takut tak mene mukannya? Sekarang kau ber-
siap2, aku akan bereskan mata2 yang lain, segera kita akan
berangkat."
"Bagaimana dengan kedua mayat ini, paman?" tanya Ji-ping.
Waktu dia bepa ling, seketika dia berseru kaget dan heran, hanya
sekejap saja mayat Kwi-hoa dan In Thian-lok ternyata sudah lenyap.
cairan air darah tampa k menggenang lantai.
Cu Bun-hoa berpesan- "Anak Ping, ada satu hal yang harus kau
perhatikan, jangan kau usik Piaucimu, si budak Ya-khim itu juga liar
seperti kau, kalau dia tahu, tentu dia ma u ikut."
Ji-ping mengangguk, katanya: "Pa man jangan kuatir, aku tidak
akan mengajaknya."
00oodwoo00

Fajar telah menyingsing, baru saja Kun-gi turun dari ranjang,


Ing-jun, si pe layan montok ini sudah masuk me mbawa baskom,
katanya tertawa sambil mengerling: "Cu-cengcu, sila kan cuci muka "
Sebagai tempat penginapan para tamu agung, sudah tentu semua
perabot dan peralatan yang digunakan serba baru.
Inilah hari permulaan Kun-gi datang dengan maksud tertentu,
maka sikapnya tak acuh dan dia m2 melihat gelagat saja.
Menunggu Kun-gi se lesai cuci muka, segera Ing-jun bertanya:
"Pagi ini cu-cengeu ingin sarapan apa? Ha mba akan segera
menyiapkan."
Kun-gi mendapat angin, katanya "Di tempat ini apapun yang
kuinginkan pasti akan disediakan?"
"De mi menyesuaikan se lera para tamu yang ada di sini, sengaja
cengcu mengundang koki kena maan, apapun yang diinginkan para
tamu pasti bisa disedia kan," sahut Ing-jun.
Tergerak hati Kun-gi, sambil menge lus jenggot, dia bertanya:
"Dari apa yang barusan nona katakan, jadi tamu2 yang diundang
cengcu kalian bukan hanya Lohu seorang?"
"Ha mba juga kurang jelas," sahut Ing-jun tertawa sambil
menutup mulut dengan lengan baju, "beberapa kamar di sekitar sini
me mang diperuntukkan tempat tinggal para tamu." Lalu dengan
gerakan menantang dia bertanya pula: "cengcu pesan hidangan
apa, hamba segera menyediakan."
"Licin juga budak ini," demikian batin Kuni-gi, dengan tertawa dia
lantas berkata: "Kalau pagi Lohu suka ma kan bubur."
Cemerlang biji mata Ing-jun, katanya tertawa, "Bubur selalu
tersedia, hamba akan siapkan pula beberapa lauk-pauk yang lain-"
Lalu dia putar tubuh hendak pergi.
"Tunggu dulu nona," seru Kun gi.
"Ha mba Ing-jun, harap Cu-cengcu panggil nama hamba saja,
kalau cengcu dengar hamba di-panggil nona, tentu hamba akan di
caci ma ki," tanpa menunggu Kun-gi bicara lagi, segera ia bertanya
pula: "Cu-cengcu masih ada pesan apa?"
"Setiap bangun tidur, Lohu punya kebiasaan jalan2 di kebun, apa
aku boleh ke luar?"
"Te mpat kita ini dikelilingi air, di luar air terkurung gunung lagi,
dalam kebun ada tanaman yang terus berke mbang sela ma e mpat
musim, panorama sangat permai, sebagai tamu undangan, sudah
tentu Cu-cengcu boleh pergi ke mana saja, nanti kalau Cu-cengcu
ke mbali ke ka mar, hidangan-pun sudah kuantar ke mari."
Kemanapun boleh pergi, me mangnya mereka tidak takut tamu
agung yang diundang secara paksa ini me larikan diri? Kun-gi lantas
berkata: "Baik, Lohu a kan jalan di luar."
Ing-jun menyingkap kerai, Kun-gi lantas melangkah keluar
kamar, kini dia berada di sebuab ruang tamu yang luas dan serba
mewah, pekarangan mungil di luar sana, berderet dan puluhan pot
ke mbang berbagai jenis sedang me kar se merbak, harum
me mabukkan-.
Ing-jun mendahului me mbuka pintu besar yang bercat merah,
sembari melangkah ke luar dia berkata: "Cu-cengcu baru datang,
keadaan di sini masih asing perlukah ha mba me mberi sekedar
penjelasan?" Lalu dia tuding ke tempat jauh, katanya: "Kebun ini
luasnya ada beberapa hektar, air mengelilingi te mpat ini di bagian
timur, selatan dan barat, sebelah utara adalah puncak gunung yang
terjal dan mencakar langit, tepat di sebelah selatan, di mana
bangunan gedung2 bertingkat itu adalah letak dari Coat Sin-san-
ceng, cengcu kita bertempat tingga l di sana. "
"Dari Coat Sin-san-ceng kearah timur adalah Hiat-ko-cay. Menuju
ke utara tiba di Kwi-ping-kip. di mana ada lima bilangan, tempat kita
ini adalah bilangan ketiga yang bernama Lan-wan- Dari sini ke
barat, itulah Thian-oe-tong, menuju ke selatan akan tiba di A m-
hung- ih, maju lagi adalah Goa-kia m-khe k dan Hiat-ko-cay yang
terletak secara berhadapan, tepat di tengah2 ada sebuah gunungan
palsu besar dengan puncak Kok-hun-ting, dari sini dapat melihat
pemandangan di se kitarnya, begitulah kira2 keadaan di sini."
Kun-gi manggut2 ber-ulang2, katanya tersenyum: "Terima kasih
atas petunjuk nona," Lalu dia menyusuri jalanan kecil bertabur
batu2 putih. Ta man bunga ini ternyata amat luas, di mana2
pepohonan tumbuh subur dan lebat, teratur dan terawat baik, bau
bunga semerbak, burung berkicau, suasana pagi hari ini sungguh
cerah dan segar.
Berjalan ditengah taman nan indah perma i ini, orang akan lupa
segala2nya, me mang siapa akan percaya bahwa di tengah2 taman
ini merupakan sumber kekacauan di kalangan Kangouw dan menjadi
pusat komplotan Cin-Cu-ling.
Sedikit banyak Kun-gi sudah mendapat gambaran dari
keterangan Ing jun mengenai seluk-beluk taman ini, pikirnya: "Aku
baru datang, lebih baik kupanjat gunung buatan menuju ke Ke k-
hun-ting, ingin kulihat denah dari keseluruhan ta man ini."
Langsung dia menyusuri ja lanan kecil di tengah2 itu. Tak la ma
ke mudian, betul tiba di depan gunung buatan itu.
Gunung buatan ini dibangun dari tumpukan batu2 yang diuruk
tanah, tak ubahnya seperti bukit2 umumnya, di atas gunung buatan
inipun tumbuh pepohonan, na mun yang terindah adalah pohon2
bambu kuning, berbagai jenis kembang juga tumbuh se merbak.
jauh lebih teratur dan terawat, undakan dan jalan liku2 menanja k
tinggi ke atas, untuk membangun gunung buatan yang beberapa
puluh tombak tingginya ini terang menghabiskan biaya dan pikiran
yang tidak sedikit. Tepat di puncak bukit terdapat sebuah gardu,
itulah Kek-hun-t ing, "gardu se kuntum mega ".
Dengan berlenggang Kun-gi telah menuju ke atas, lain dengan
gardu umumnya yang berbentuk petak. gardu di sini dipagari kayu2
merah setinggi pinggang yang berbela k-belok. pajangannya cukup
megah, ke arah manapun me nghadap. seluruh pe mandangan ta man
ini dapat terlihat jelas.
Begitu Kun-gi melepas pandangannya, seketika ia berdiri
me longo. Sema la m waktu turun kereta, walau kedua matanya
ditutup kain, tapi ketika dia diturunkan oleh Hou Thi-jiu, pernah dia
mengintip sebentar, kereta benar2 berhenti di depan sebuah pintu
gerbang perkampungan- Tapi te mpat sekarang dirinya berada
justeru di bangun di tengah pegunungan- Dia ingat le laki baju abu2
menggendongnya turun kereta, lalu me mbe lok ke kiri masuk pintu
seperti me lewati beberapa pekarangan dan rumah baru sa mpa i di
taman belakang. Dari pintu taman yang bersuara berat itu terang
terbuat dari besi tebal, lalu Hou Thi jiu sendiri yang menjinjing diri-
nya menyelusuri lorong berbatu ke Kwi-pin koan. Meski tida k
me lihat dengan mata terpentang, namun se mua itu diingatnya
betul2.
Menurut rekaannya, letak dari ta man bela kang ini pasti berada
paling belakang dari perka mpungan- Karena orang2 yang di
"undang" ke mari sudah di bius, malah di da la m obat bius dica mpur
obat yang dapat membuat seseorang kehilangan tenaga, betapapun
tinggi ilmu silat seseorang, setelah minum obat itu, kekuatannya
paling tersisa tiga bagian saja dari keadaan biasanya.
Untuk lari me lompat pagar tembok yang a mat tinggi terang
mustahil, apalagi penjagaan dari jago2 berkepandaian tinggi tentu
juga sangat ketat, yang terang setiap gerak-gerik dirinya tentu
diawasi secara dia m2.
Tapi kenyataan yang dilihat dan dihadapi Kun-gi sekarang justeru
berlainan. Apa yang dijelaskan oleh Ing-jun si pelayan tadi me mang
tidak salah, taman bunga ini di kelilingi air, hanya bagian utara
berdiri puncak gunung tinggi mencakar langit yang curam dan terjal.
Jadi perka mpungan besar sebetul-nya terletak di bagian selatan,
tapi yang dia lihat sekarang hanyalah Coat Sin-san-ceng, di selatan
Coat Sin-san-ceng adalah sungai yang lebarnya puluhan tombak
pepohonan Yang-liu tampa k me la mbai2 di seberang sana, mana ada
perkampungan besar lain?
Jelas semalam kereta berhenti di depan perkampungan dan
dirinya digusur turun, kalau letaknya terpaut sebuah sungai, cara
bagaimana kereta bisa sampai di sini? jelas dirinya melihat
bangunan tembok yang tinggi, pintu gerbang perka mpungan begitu
angker, lalu ke mana pula se karang perka mpungan besar itu?
Sejak dirinya masuk ke mari sa mpa i sekarang, keadaan dirinya
tetap segar bugar, terang tak mungkin dipindah ke te mpat lain-
Begitulah Kun-gi berdiri menjublek di te mpatnya.
Waktu dia berpaling ke utara, puncak mencakar langit yang terjal
itu seperti sudah amat dikenalnya, itulah puncak gunung tinggi yang
semala m dilihat berada di belakang perka mpungan itu. Dan di sini
letak keanehannya, perkampungan besar itu lenyap. namun punca k
tinggi ini tetap bercokol di te mpatnya. Ini me mbuktikan bahwa apa
yang dilihatnya semala m tentu tidak salah. Hati se makin heran dan
bingung, terasa pula bahwa urusan rada ganjil.
Coat Sin-san-ceng (perkampungan yang lepas dari kera maian
dan kotoran duniawi), na ma ini me mang tepat dan tidak
berkelebihan, karena tiga bagian seke lilingnya dilingkari permukaan
air yang luas, me mang merupa kan tempat yang terasing dan
terpencil dari luar.
Tujuan Kun-gi hanya ingin me lihat dan me meriksa keadaan
sekeliling, kini keadaan sudah dilihatnya dengan jelas, maka me lalui
jalan datangnya tadi dia me nuju ke Lan- wan-
Masih ada suatu hal yang membuatnya heran, di tempat ini tiada
seorangpun yang dijumpa inya, se-akan2 pemilik tempat ini tida k
merasa kuatir, sehingga tidak perlu mengutus orang mengawasi
dirinya secara dia m2.
Hal ini ma lah mena mbah rasa curiga Ling Kun-gi, dengan susah
payah, menggunakan berbagai daya upaya mengundang para tamu
agung ini ke mari, apakah ma ksud tujuannya?

oo 0dwoo
Lan-wan, sesuai dengan na manya, yang ada di tengah2
lingkungan ta man ini seluruhnya adalah bunga anggrek melulu,
ratusan pot2 bunga tersebar dan diatur begitu rapi, terbagi menjadi
kelompok dari berbagai jenis2 yang berlinan, di bawah pot bunga
ditaruh tatakan berisi air bening untuk me ncegah se mut
menggerogoti akarnya.
Tatkala itu Kun-gi berada di antara deretan rak bunga, sambil
menggendong tangan, dengan seksama dia me lihat2 bunga.
Sifatnya bebas dan rileks, se-olah2 dialah tuan rumah dari se mua
yang ada di ta man ini.
Waktu itu hari sudah menje lang lohor, tampak seorang pelayan
baju hijau sedang mendatangi dari jalanan kecil berbatu krikil sana.
Dari gerak langkahnya yang enteng, sekali pandang orang a kan
tahu bahwa pelayan ini me miliki dasar Ginkang yang a mat bagus.
Tiba di depan pintu Lan- wan, pelayan itu hanya bicara beberapa
patah kata dengan Ing-jun.
Tampak Ing-jun mengantarnya me masuki taman menuju ke arah
Ling Kun-gi. Tapi Kun-gi pura2 tidak tahu, dengan tekun dia
me meriksa tana man bunga. Setelah mereka de kat di belakangnya
baru Ing-jun bersuara: "Cu-cengcu"
"o." Kun gi bersuara sekali, pelan2 dia me mba lik tubuh.
Ing-jun berkata, "cengcu sudah menunggu di ruang depan Jun
hiang ci-ci sengaja diutus ke mari untuk mengundang Cu-cengcu ke
sana."
Jun- hiang, pelayan baju hijau, lantas maju selangkah dan
me mberi hormat, katanya: "Hamba Jun-hiang me mberi hormat
kepada Cu-cengcu."-Gadis pelayan ini ternyata berparas elok
laksana puteri kahyangan dala m lukisan-
Kun-gi manggut2, katanya: "Lohu me mang ingin me ne mui
cengcu kalian, silakan nona menunjukkan ja lan-" Jun-hiang
mengiakan, lalu dia mendahului jalan di muka.
Jalan yang menuju ke Coat Sin-san-ceng dari Lan-wan cukup
lebar beralas batu2 gunung, kedua pinggir jalan dipagari tana man
pohon yang tidak diketahui apa namanya, angin menge mbus
sepoi2, dahan pohon sama bergoyang menerbitkan paduan suara
yang mengasyikkan.
Berjalan di belakang Jun-hiang, tiba2 tergerak hati Kun-gi,
batinnya: "Se mala m wa ktu Hoa Thi-jiu me mbawa ku ke mari juga
kudengar suara lirih dari gesekan dedaunan pohon, mirip sekali
dengan keadaan sekarang yang kulewati ini, jadi jalan yang menuju
ke kebun kiranya berada di dala m Coat Sin-san-ceng. Ya, kebun ini
dikelilingi air tiga jurusan, Coat Sin-san-ceng tepat berada di selatan
kebun bunga, mungkin seka li harus mela lui lorong bawah tanah
untuk keluar masuk, ma ka pintunya harus menggunakan papan besi
yang berat."
Coat Sin-san-ceng terdiri dari lima lapis bangunan gedung yang
menghadap ke utara tanah-nya luas, bentuknya megah dan angker,
tembok dan pilar2 gedungnya bercat dan terhias dengan berbagai
warna lukisan berbagai corak. hanya di bilangan gedung besar inilah
Kun-gi merasakan adanya gaya hidup kaum persilatan-
Diatas undakan lebar setinggi puluhan t ingkat itu, di samping
empat saka merah besar berdiri e mpat laki2 yang me mbusungkan
dada dengan seragam hijau menyoreng golok.
Jun-hiang bawa Kun-gi naik ke atas undakan langsung menuju ke
serambi. Tepat di depan sebuah pendopo besar berdiri seorang
berperawakan sedang berjubah sutera.
Begitu melihat Kun-gi, segera ia bergelak tertawa sambil
menyongsong maju, katanya sambil menjura: "Sudah la ma siaute
mendengar na ma besar Cu-cengcu, hari ini dapat mengundang
ceng-cu ke mari sungguh merupakan kehormatan besar yang tiada
taranya, semala m tak se mpat menya mbut selayaknya, harap
dimaafkan dan jangan Cu-cengcu berkecil hati"
Orang ini le laki setengah baya, wajahnya bersih, tulang pipinya
menonjol, sorot matanya tajam, perawakannya sedang, tapi
suaranya keras bergema seperti genta, di antara sikapnya yang
ramah ta mpak kereng dan berwibawa.
Mendengar nada ucapannya, Kun-gi lantas tahu orang inilah
cengcu dari Coat Sin-san-ceng. Lekas dia balas menjura, katanya
tertawa: "Tuan ini tentunya Cek-cengcu pemilik te mpat ini? Berun-
tung Siaute bisa berkunjung ke sini."
Berulang kali laki2 jubah sutera me mbungkuk badan, katanya:
"Tida k berani, Siaute sendiri Cek Seng-jiang adanya."
"Tak pernah dengar seorang tokoh Bu lim yang berna ma Cek
Seng-jiang," de mikian batin Ling Kun-gi, "ka lau dia tida k
menggunakan na ma palsu, tentunya karena dia jarang muncul di
kalangan Kangouw." .
Tanpa menunggu Kun-gi buka suara, Cek Seng-jiang berseri tawa
sambil angkat tangan: "Silakan, silakan Harap Cu-cengcu duduk di
dalam."
Di bawah iringan tuan rumah, Kun-gi masuk ke ruang pendopo
yang penuh ukiran ini, dilihatnya tiga orang sudah di tengah ruang
pendopo sana. Ketiga orang ini adalah seorang paderi tua berjubah
abu2, alisnya panjang matanya sipit, usianya sekitar 60, duduk
tegak menunduk kepala, tangannya me megang serenceng tasbih.
Dua orang yang lain adalah kakek berjubah biru, alisnya tebal
matanya lebar, muka persegi kuping besar, jenggot hitam menjuntai
di depan dada, usianya mende kati setengah abad. Seorang lagi laki2
berjubah coklat, wajahnya putih, tubuhnya sedang tapi rada gemuk.
dagunya tumbuh ja mbang yang lebat, usianya lebih 50 tahun.
Waktu Cek Seng-jiang mengiringi Kun-gi me langkah masuk- sorot
mata mereka lantas menatap ke arah Ling Kun-gi. Dari sorot mata
mereka dia m2 Kun-gi tahu bahwa ketiga orang ini sebetulnya
me miliki dasar Lwekang yang tangguh, sayang sinarnya redup
buyar.
Sembari tertawa Cek Seng jiang angkat tangan, katanya: "Cu-
heng pertama kali datang, sila kan duduk di te mpat atas."
Kun-gi tidak sungkan2, dengan sewajarnya dia lantas duduk di
tempat yang di tunjuk. Cek Seng-jiang mengiringi duduk. dua
pelayan segera maju mengisi dua cangkir arak. Sa mbil me ngangkat
cangkirnya Cek Seng-jiang berkata: "Mari, silakan minum"
Setelah minum dan me letakkan cangkirnya, Cek Seng-jiang
lantas berdiri, katanya: "Tuan2 tentunya sudah lama saling dengar
nama masing2, tapi belum pernah berkenalan. Nah, marilah
kuperkenalkan satu persatu. Lalu dia menunjuk Ling Kun-gi,
katanya: "Inilah cengcu dari Liong-bin-san-ceng. Di ka langan
Kangouw mendapat julukan cia m-liong, tentunya, tuan2 bertiga
tidak asing akan na manya."
Lekas Kun-gi berdiri seraya menjura. Ketiga orang yang duduk
segera berdiri juga dan me mbalas hormat, sorot mata mereka
me mbayangkan rasa heran dan tida k habis mengerti. Paderi tua
jubah abu2 segera bersabda: "Kiranya cu- tayhiap. sudah lama
Lolap ingin berkena lan-"
Cek Seng-jiang tuding padri tua, katanya: inilah Lok-san Taysu."
Tergetar hati Kun-gi, Katanya: "Kiranya Taysu adalah paderi sakti
Siau-lim-si."
Melihat wajah orang mengunjuk kaget dan heran, tanpa terasa
Cek Seng-jiang mengulum senyum, katanya pula sambil me nunjuk
kakek tua berjubah biru: "Inilah Tong Thian-jong, Tong-toako dari
Sujwan-" La lu dia tunjuk la ki2 Jubah coklat pula. "Yang ini ada lah
Un It- hong, Un-lauko dari Ling-la m."
"Ketiga orang ini sudah hadir di sini, lalu di mana ibuku? Pasti
berada di dala m taman ini pula," de mikian Kun-gi me mbatin.
Karena pikiran ini, mendadak berubah air mukanya, katanya
dingin menatap Cek Seng-jiang: "Jika demikian, jadi Cek-cengcu
adalah pemimpin Cin-cu-ling yang me mbikin geger dunia
persilatan?"
Cek Seng-jiang tertawa lebar, ujarnya: "Mana berani, mana
berani. soalnya kawan2 Kangouw tidak tahu duduknya perkara
sehingga timbul sa lah paha m terhadap Siaute ...."
Kata Kun-gi tegas: "La lu apa ma ksud tujuan Cek-cengcu me nculik
kami berama i ke mari?"
"Cu-heng jangan salah paha m," ujar Cek Seng jiang tertawa,
"Sudah la ma Siaute mengagumi na ma besar kalian bere mpat,
bahwa para pendekar kami undang ke mari adalah untuk
menghindarkan suatu petaka yang bakal menimpa Bu-lim, se-kali2
tiada terkandung maksud2 pribadi, soal ini panjang kalau dijelaskan-
Nah marilah, hidangan sudah tersedia, marilah sa mbil ma kan minum
kita mengobrol."
Kun-gi menge mban tugas dari gurunya untuk menyelidiki
peristiwa Cin-Cu-ling, sudah tentu dia tidak boleh bersikap keras
terhadap si tuan rumah, maka sambil mendengus dia duduk ke mbali
ke tempatnya, walau wajah masih mena mpilkan rasa gusar, tapi dia
tekan amarahnya. Sikap pura2nya me mang tepat, seperti masih
menaruh curiga terhadap Cek Seng jiang, tapi iapun ingin
mendengar penjelasannya.
Dua pelayan mengisi pula cangkir mereka dengan arak. hanya
Lok san Taysu yang minum teh. Cek Seng jiang angkat cangkirnya
lebih dulu, katanya: "Cu-heng tiba diperka mpungan kita, demi
keselamatan Bu-lim, Siaute aturkan dulu secangkir arak ini kepada
Cu-heng." Demi kesela matan Bu-lim, tidak kecil arti kalimat yang dia
ke mukakan ini.
Setelah hadirin sa ma mengeringkan cangkirnya, maka
pembicaraan selanjutnya menjurus pada soal pokok. Kun-gi buka
suara lebih dulu: "Tadi Cek-cengcu bilang bahwa Siaute diundang
ke mari de mi untuk melenyapkan petaka Bu-lim yang sudah ada di
depan mata, bagaimana duduk persoalannya, bolehkah cengcu
menerangkan saja?"
Kembali Cek Seng-jiang tenggak habis secangkir arak. katanya:
"Tanpa Cu-heng tanya juga Siaute akan menerangkan" Setelah
merandek sebentar, lalu ia menyambung: "Soal ini harus dibicarakan
dari diriku sendiri. Keluarga cek ka mi sebetulnya mengikat
persaudaraan kental sejak beberapa keturunan dengan keluarga Ui,
dulu badanku terlalu le mah, kesehatan sering terganggu, ma ka
pernah aku menye mbah guru kepada Seks-poh Lojin, beliaupun
kuangkat sebagai ayah angkat ...."
Guru Kun-gi me mang pernah bercerita bahwa ayah Ui-san
Tayhiap Ban Tin-gak bergelar sekpoh, pada tujuh puluh tahun yang
lalu pernah dijuluki Ui-san-it-kia m,jadi Cek-cengcu ini adalah ana k
angkat Sek-poh Lojin.
Sampa i di sini Cek Seng-jiang mengawasi Ling Kun-gi, tanyanya:
"Permulaan tahun yang lalu, mendadak kuperoleh kabar bahwa
saudara angkatku telah wafat, tentunya Cu-heng juga dengar kabar
ini. Dia terluka oleh semaca m pukulan beracun yang jahat, akhirnya
muntah darah dan meninggal."
"o", Kung-gi pura2 mengunjuk rasa kaget.
"Sebab dari kematiannya itu lantaran dia mene mukan suatu
muslihat keji yang bakal menimbulkan malapetaka bagi kaum
persilatan .... "
"Muslihat apa?" tanya Kun-gi pura2 ketarik.
"Pada suatu tempat di sebuah pegunungan yang tersembunyi,
tanpa sengaja saudara angkatku itu mene mukan t iga ge mbong iblis
yang dulu terkenal jahat, telah mendirikan perkumpulan bersa ma
Sam-goan-hwe, mereka sedang me mpersiapkan diri dan mengirim
kartu hitam mencari hubungan dengan gembong2 aliran hita m
secara rahasia ..."
"Kartu undangan hita m?" Kun-gi menegas.
Cek Seng-jiang mengangguk sa mbil menoleh kepada tiga orang
yang lain- "Betul, di atas kartu undangan hita m itu mereka lumuri
semaca m racun, yang amat jahat dan aneh, setiap orang yang
menerima undangan pasti terkena racun, maka mereka harus
tunduk dan menyerahkan jiwa raga sendiri kepada Sam-goan-hwe
untuk menerima obat penawarnya dalam wa ktu terbatas, kalau
tidak jiwa takkan tertolong lagi."
"Apa tujuan mereka?" tanya Kun-gi.
"Mereka punya dua langkah kerja yang sempurna, pertama,
mengumpulkan semua tokoh2 aliran hita m, supaya menjadi anggota
dan terikat dengan Sam-goan hwe. Langkah kedua, mereka
me mbuat rencana jangka tiga tahun, semua aliran putih serta
tokoh2 silat siapa saja yang menentang Sam-goan- hwe akan
diracun satu persatu ......"
Setengah percaya setengah curiga Kun-gi mendengarkan cerita
ini, katanya bimbang "Betulkah ada kejadian ini?"
Lok-san Taysu sejak tadi mendengarkan sambil peja m mata tiba2
bersabda Buddha dua kali.
"Mereka telah berhasil menciptakan semaca m getah beracun
yang amat jahat, setetes saja orang kena jiwanya pasti melayang,
tiada obat yang dapat menolongnya. Mendengar muslihat keji ini,
tidak kepalang kaget saudara angkatku itu. Maka secara diam2 dia
berhasil mencuri sebotol kecil getah beracun itu, sayang pada saat
dia hendak meninggalkan te mpat, jejaknya konangan, sebetulnya
saudara angkatku cukup cerdik, tapi sepasang tangan sukar
me lawan empat kepalan, akhirnya dia terkena hantaman Bu-sing-
ciang lawan, dengan me mbawa luka2 dia me larikan diri."
Sampa i di sini dia mengunjuk rasa sedih, katanya lebih lanjut:
"Dia tahu lukanya tidak ringan, tapi mengingat sebotol getah
beracun yang dicurinya ini teramat besar artinya bagi keselamatan
kaum Bulim umumnya, tanpa menghiraukan kesela matan sendiri,
dengan luka parah akhirnya dia- berhasil mencapai te mpatku ini,
setelah habis mengisahkan pengala mannya, dia minta kepadaku
supaya getah beracun ini di kirim ke Siau-lim atau Bu-tong.
Mendadak dia muntah darah tak henti2-nya, melihat keadaannya
yang gawat, mala m itu juga aku me mbawanya pulang ke Ui-san,
tapi dia sudah tak bisa bicara, karena tiada obat, akhirnya dia
meninggal."
Hatinya tampak berduka, sesaat kemudian baru mena mbahkan:
"Sejak pulang dari Ui-san, belum berhasil kuperoleh langkah yang
tepat untuk menghadapi peristiwa ini, pertama lantaran Siaute tak
pernah muncul di Kangouw, umpa ma botol getah itu kuantar ke
Siau-lim atau Bu-tong, kukuatir ke dua aliran besar itu belum
percaya kepadaku. Kedua botol getah itu diperoleh saudara
angkatku dengan me mpertaruhkan jiwa raganya, kejadian
menyangkut seluruh Bu-lim, jiwa ribuan orang, jika ciangbunjin dari
kedua aliran tidak menaruh perhatian, bukankah sia2 saja jerih
payah saudara angkatku itu?"
Kun-gi hanya mendengarkan dengan tenang2, tidak bersuara.
"Oleh karena itu," tutur Cek Seng-jiang lebih lanjut, "kuputuskan
akan mencari sendiri obat penawarnya serta memikul tugas ini,
waktu itu Siaute lantas teringat kepada Ko-hi Ko Put-hwi dari ciong-
la m-san, dia pandai dan ahli dala m bidang obat2an, julukannya saja
Yok-su (juru obat) tapi Siaute sudah menje lajahi seluruh
pegunungan ciong - la m tanpa mene mukan jejak Ko Put- hi,
kudengar dari seorang penebang kayu bahwa Ko Put-hi telah
meninggal dunia tiga tahun yang lalu, maka perjalananku ke cong-
la m itu hanya sia2 bela ka."
Setelah meneguk secangkir arak baru dia me lanjutkan ceritanya:
"Ke mbali dari cong-la m-san Siaute lantas teringat kepada Tong-
heng dan Un-heng, yang seorang ahli racun yang lain ahli obat bius,
mungkin mereka ma mpu menawarkan getah racun itu"
"Terima kasih atas perhatian besar Cek-cengcu, tapi kami berdua
amat mengecewakan ........" Tong Thian-jong dan Un It-hong
bersuara bersama.
"Kedua saudara tidak usah merendah hati, disamping itu siaute
juga teringat kepada Lok-san Taysu dari Siau lim-si yang sudah
puluhan tahun mengetuai Yok-ong tian ...... " demikian sa mbung
Cek Seng-jiang.
"Pinceng juga a mat mengecewakan," ujar Lok-san Taysu.
Cek Seng-jiang tertawa tawar, katanya: "Sudah dengar bahwa
Cu-cengcu dari Liong-bin-san-ceng juga ahli racun ........."
Kun-gi tertawa sambil menge lus jenggot, katanya: "Mungkin Cek-
cengcu salah dengar. Dulu ayahku almarhum pernah menolong
seorang tua yang terluka sela ma t iga tahun sa mpai se mbuh,
sebelum pergi dia meninggalkan secarik resep obat, ayahku dipesan
untuk me mbuatnya menurut resep itu dan disebarkan tiga li di
sekeliling ka mpung, kawanan penjahat dapat dicegah menyerbu
kampung ka mi, tapi sejak ayah meningga l, resep obat itu tak
kutemukan lagi "
Belum habis dia bicara Cek Seng-jiang sudah menyela sa mbil
goyang tangan: "Cu-heng jangan curiga, tujuanku hanya mencari
penawar getah racun itu, bukan niatku mengincar resep obat itu."
Lalu dia melanjutkan: "Sebetulnya siaute hendak bawa getah itu
dan berkunjung ke tempat kalian bere mpat, tapi setelah ku-pikir2
lagi, bila perist iwa ini sa mpai bocor, tentu jiwa siaute bakal menjadi
incaran Sam-goan-hwe, jiwaku tidak jadi soal, kuatirnya kalau getah
racun ini tak kuasa kupertahankan lagi, maka setelah kupikir dengan
seksama, terpaksa kugunakan akal untuk me ngundang kalian
ke mari, atas kesalahan dan kekasaran mana harap Cu-heng suka
maklum dan me mberi maaf," lalu ia me mberi hormat kepada Ling
Kun-gi.
Tergerak hati Kun-gi, lekas dia ba las hormat, katanya sungguh2:
"De mi kesela matan insan persilatan umumnya, Cek-cengcu berjerih
payah sungguh Siaute amat kagum, me mang Siaute ada sedikit
mengenal sifat obat2an, tapi entah dapat tidak me mbantu kesulitan
Cek-cengcu ini."
Melihat cerita panjang lebarnya berhasil mengetuk hati Cu Bun-
hoa, sudah tentu bukan kepalang senang hati Cek Seng-jiang,
katanya ter-gelak2: "Kabarnya getah itu merupa kan kombinasi
berbagai racun jahat dari seluruh jagat ini, apakah kita bisa
mendapatkan penawar obatnya itu soal lain, yang terang Thian
punya kuasa manusia punya usaha, asal kita mau berusaha,
umpa ma tidak berhasil juga tidak mengapa, bahwa Cu-heng sudi
bekerja sama sungguh Siaute teramat senang dan berterima kasih"
"cengcu-jangan terlalu sungkan," ujar Kun-gi. Segera ia bertanya
lagi: "Kecuali ka mi bere mpat, entah adakah orang lain yang Cek-
cengcu undang ke mari?"
Tanpa pikr Cek Seng-jiang menjawab: "Tiada, terhadap soal ini
Siaute amat hati2, memang tidak sedikit ahli racun yang punya
nama di Kang-ouw, tapi kalau aku mengundang mereka se mua,
terlalu banyak orang, urusan tentu bisa bocor, oleh karena itu orang
lain t idak kuundang ke mari."
Dia m2 Kun-gi bertanya dalam hati: "Agak-nya dia tidak membual,
jadi ibu bukan terculik olehnya." Sa mbil ma nggut2 iapun berkata:
"Me mang betul ucapan Cek-cengcu."
Habis ma kan, dibawah iringan tuan rumah, mere ka ke luar dari
coat sin- san-ceng, menyusuri serambi menuju ke timur, berjalan
kira2 seratusan langkah, mereka tiba di Hiat-ko cay. Sesuai dengan
namanya, Hiat-ko-cay adalah kamar buku tempat menyimpan kitab2
kuno, di mana terdapat sebuah ruang tamu dan empat petak ka mar
baca. Letak kamar tamu di tengah, pajangannya serba antik, semua
perabot serba ukiran, tata warnanya serasi, dihias lukisan2 kuno
pula di dinding sehingga suasana tampa k se marak.
Cek Seng-jiang persilakan para tamunya masuk. lalu katanya
kepada Ling Kun-gi: "Di sinilah te mpat kalian bekerja, ruang tamu
ini tempat kalian ist irahat."
"Ruang kerja?" tergerak hati Kun-gi, batinnya: "ruang kerja yang
dimaksud te mpat untuk menyelidiki getah racun dan mencari obat
pemunahnya."
Dua pelayan lain berpakaian hijau pupus muncul me mbawa
nampan berisi masing2 dua cangkir teh.
"Leng hong dan Long-gwat," kata Cek Seng-jiang, "ke marilah
mene mui Cu-cengcu ini."
Lekas kedua pelayan itu maju ke depan Ling Kun-gi, sedikit
menekuk lutut dan me mberi hormat, sapanya dengan suara aleman,
"Ha mba menghadap Cu-cengcu."
"Mereka adalah pe layan yang ditugaskan melayani ta mu di sini,"
ujar Cek Seng jiang, "selanjutnya bila ada keperluan apa2 boleh Cu-
cengcu berpesan kepada mereka."
"Siaute mohon petunjuk Cek-cengcu," kata Kun gi, "bagaima na
keadaan sebenarnya dari cara kerja yang akan ka mi la kukan?"
"Me mang a kan kuterangkan," kata Cek Seng-jiang, "te mpat
kaliau menginap anggap saja rumah kalian se mentara, pagi bekerja
sore kembali, tempat ini hanya khusus untuk menyelidiki racun serta
mencari obat penawarnya. Siaute berpikir kerja ini ada lah tugas
luhur dan mulia bagi kesela matan jiwa kaum persilatan umumnya,
padahal getah racun itu adalah racun yang teramat ganas dijagad
ini, supaya kalian bisa saling tukar pikiran, sengaja kami sedia kan
kamar ini untuk kalian"
"Mungkin se la ma kerja kalian ini tidak suka diganggu orang,
maka ka mi sediakan pula masing2 -ka mar untuk bekerja, bukan saja
bisa saling berkunjung, bisa pula menyelidiki secara tersendiri,
semoga mencapai hasil yang ge milang, semua ini de mi
kesejahteraan insan persilatan umumnya . "
Kun-gi manggut2, katanya: "Sempurna sekali persiapan Cek-
cengcu.."
Cek Seng jiang berdiri, katanya: "Kamar Cu-heng adalah yang
pertama di sebelah kanan, mari sila kan periksa." La lu iapun
me mberi hormat kepada tiga orang yang lain, katanya: "Taysu,
Tong-heng dan Un-heng boleh sila kan-"
Ketiga orang itupun secara balas menghormat lalu
mengundurkan diri masuk ke ka mar masing2, Kun-gi coba
menga mati, ka mar Lok- san Taysu adalah paling kiri, sementara
kamar Thong Thian-jong ada di belakang sebelah kiri, sedangkan
kamar Un It-hong ada di sebelah kanan bagian depan .Jadi
kamarnya sendiri di bela kang ka marnya Un It-hong, seberang
menyeberang dengan ka mar Tong Thian-jong.
Cek Seng-jiang angkat tangan, katanya: "Di belakang ruang ta mu
ini adalah ka mar obat, di sana ada seorang pelayan bernama Hing
hoa yang menguasai dan me ngurusnya, semua obat2an yang
diperlukan di sini adalah bahan obat2an yang sengaja siaute
kumpulkan dari berbagai te mpat aslinya ......." sembari bicara
mereka sudah me masuki ka mar petak seluas dua tombak persegi
ini, tiga sisi ruangan me mang dipajang le mari dan ra k obat-obatan
Seorang pelayan baju hijau melihat kedatangan cek cungcu dan
Ling Kun-gi segera me mapa k maju dan me mberi hormat.
Cek Seng-jiang mengulap tangan, katanya: "inilah tamu agung
kita Cu-cengcu yang baru saja ku undang ke mari."
"Ha mba Hing-hoa," pelayan itu menjura kepada Ling Kun-gi,
"terimalah hormat ha mba."
Menuding le mari obat2an Cek Seng-jiang ber-kata: "Setiap petak
dari laci yang ada di sini sudah dibubuhi na ma2 obatnya, obat apa
saja yang Cu-heng perlukan boleh menga mbilnya sendiri atau boleh
juga suruh Hing-hoa me nga mbilkan, umpa ma obat2an perlu
digodok. boleh serahkan kepadanya pula, sudah tentu umpa ma cu-
cengcu punya cara tersendiri dari warisan keluarga dan tak ingin di-
ketahui orang lain, boleh silakan kerja sendiri, semua perabot dan
peralatan tersedia lengkap." Dari sini Cek Seng jiang ajak Kun-gi ke
kamar tugas, yaitu kamar di mana dia harus menyelidiki getah racun
itu, setelah me mberi penjelasan ala kadarnya, sebelum berialu dia
berkata pula : "Siaute doakan semoga Cu-heng mencapa i sukses
yang kita harapkan sehingga petaka yang menganca m jiwa kaum
persilatan dapat kita lenyapkan, mewakili berlaksa jiwa kaum
persilatan Siaute mendahului mengucapkan terima kasih. Nah, Cu-
cengcu terimalah hormatku."
Lekas Ling Kun-gi ba las menghormat, katanya tertawa: "Jangan
Cek-cengcu lupa, Siaute juga se-orang persilatan-"
Cek Seng-jiang tertawa keras, katanya: "Mendengar ucapan Cu-
cengcu ini, legalah hati Siaute:"
Setelah Cek Seng-jiang pergi, Kun-gi me mbuka sebuah almari
kecil, di mana tadi Cek Seng-jiang menunjuk sebuah cupu2 kecil
yang berisi getah beracun itu, sebentar dia me longo mengawasi
cupu2 hijau itu lalu dike mbalikan serta menutup dan menguncinya
pula. Pelan2 dia mundur lalu duduk kursi malas yang beralas kasur
empuk. terasa nyaman duduk di kursi malas ini.
"Sedemikian se mpurna segala keperluan yang disediakan bagi
para tamu yang diundang ke mari," de mikian batin Ling Kun-gi, "apa
yang dikisahkan Cek Seng-jiang sudah tentu bisa dipercaya, tapi
orang yang diculik ke mari bukan dipaksa menyerahkan resep
rahasia dari keluarga masing2, bukan dipa ksa untuk me mbikin
semaca m racun jahat lagi, tapi hanya diminta jerih payah kami
berempat untuk mene mukan obat penawar dari getah racun itu,
agaknya tiada maksud mencela kai orang, lalu di ma na letak
muslihatnya?"
"Kalau tidak mencela kai orang, sudah tentu tak bisa dikatakan
muslihat. Tapi Suhu berpesan sewaktu diriku akan berangkat bahwa
dibalik peristiwa Cin-Cu-ling ini pasti ada suatu muslihat jahat,
supaya diriku menyelidiki dengan seksama. Apa yang dikata guru
tentu tidak akan salah, lalu bagaimana tindakan diriku selanjutnya?"
inilah tugas berat dan rumit yang direnungkan Kun-gi pula..
oooodwoooo
Jilid 7 Halaman 61/62 Hilang
--ganas, dalam jangka satu ja m si korban akan se maput
keracunan, setengah jam ke mudian, ka lau tidak di obati sekujur
badan akan gatal2 dan linu sampa i ajal, kalau tidak kepepet,
kularang kau menggunakannya."
"Paman, mana obat penawarnya?" tanya Ji-ping.
"Ada di dala m kantong kulit itu, ditelan dan dibubuhkan pada
luka masing2 cukup satu butir, di sa mping itu pa man juga
menyediakan 120 batang yang lain, tersimpan pula di dala m
kantong itu."
Ji-ping kegirangan, serunya "ibu angkatku me mberi satu stel
oow-tiap-piau (piau kupu2 ), dita mbah bumbung ini, betapapun
lihaynya musuh tak perlu kutakuti lagi."
Tiba2 Cu Bun-hoa menarik muka, katanya serius: "Seperti Ya-
khim, kaupun punya cacat, yaitu tidak tahu tingginya langit dan
tebalnya bumi, betapa banyak orang2 lihay di Bu-lim, me mangnya
dengan senjata rahasiamu itu saja lantas boleh sembarangan
bertindak? berke lana di Kangouw yang penting ada lah
menye mbunyikan keaslian diri sendiri, sedapat mungkin jangan
pamer. "
"Baiklah pa man, marilah berangkat," desak Ji-ping.
"Nanti dulu pa man juga perlu berdandan ala kadarnya," lalu dia
buka ka mar rahasia serta masuk kedala m. Tak la ma ke mudian dia
sudah keluar mengenakan pakaian ketat dengan mantel segala,
kepala ditutupi topi lebar, wajahnya yang semula putih bersih
mendadak berubah ke la m dan tua penuh keriput, jenggot yang
hitam kini menjadi ubanan-
Melenggong Ji-ping, serunya. "Hah,jadi paman juga pandai
merias diri, sela ma ini kau mengelabuhi kita se mua."
"Ini hanya cara menyamar yang paling gampang, kaum
persilatan umumnya juga bisa, ka lau dibandingkan Ling-lote, jauh
sekali bedanya,." ujar Cu Bun-hoa.
Teringat kepada Ling-toako, Ji-ping menjadi gelisah, serunya
mendesak: "Pa man, hayolah le kas berangkat"
"Nanti dulu, paman masih ada pesan padamu, setelah
meninggalkan Liong-bin- san-ceng kita tidak boleh jalan bersama,
kau harus di belakangku, kuntitlah aku dari kejauhan, umpa ma
makan atau menginap di hotel, pura2 tida k kenal saja."
"He kenapa?" tanya Ji-ping.
"Menurut dugaan pa man, sepanjang jalan ini mata2 musuh pasti
tersebar di mana?, maka kita harus ber-hati2," sa mpai di sini dia
menggerakkan tangan- "Baiklah Ji-ping, sekarang kita berangkat,
akan kusuruh mengeluarkan dua ekor kuda"
"Tida k usah paman, waktu datang bersama Ling-toako aku sudah
mena mbat dua ekor kuda di luar hutan sana."
"Bagus kalau begitu," seru Cu Bun-hoa.
Sinar cemerlang mulai terpancar di ufuk timur, fajar telah
menyingsing. Cu Bun-hoa kepra k kudanya ke timur menuju ke Sau-
thian-tin.
Orang2 desa ber-bondong2 jalan cepat menuju ke kota, tapi Cu
Bun-hoa tidak masuk kota, sorot matanya bersinar tajam dan melirik
ke arah kaki te mbok dari sebuah gubuk reyot, lalu keprak kuda-nya
menuju ke arah barat.
Pui Ji-ping hanya tertinggal setengah li di be lakang, tidak la ma
setelah Cu Bun-hoa berlalu ia-pun tiba di luar kota Sau-thian-tin
terus menuju ke arah barat pula.
Daerah ini termasuk pegunungan Hoa-san, dengan pegunungan
Pak-say-san dari Tay-piat-san merupakan daerah segi tiga, tiada
tanah datar, aliran sungai bercabang lintang melintang, antara kota
dan kampung hanya dihubungi sebuah jalanan kecil, tiada jalan
raya.
Sebelumnya Cu Bun-hoa mengirim dua anak buahnya me mbawa
anjing pelacak mengejar dan mengikuti Ling Kun-gi, sepanjang jalan
ini sudah ditinggaikan tanda2 rahasia. Sesuai tanda inilah Cu Bun-
hoa mene mpuh perja lanan-
Kira2 tengah hari dia tiba di Tay-hoat-ping. Dia cukup teliti,
setelah me lakukan pengejaran setengah hari ini, a khirnya
ditemukan suatu rahasia olehnya. Yaitu sepanjang jalan yang
dilaluinya ini dia mendapatkan rumput2 liar dipinggir ja lan ada
bekas tergilas roda kereta, bekas roda kereta ini menjurus ke arah
yang sama dengan jalan yang harus dite mpuhnya ini.
Dala m wilayah ini umum mengetahui hanya ada kereta dorong
beroda tunggal selain gerobak keledai atau menunggang kuda,
jarang yang mengguna kan kereta kuda. Darinya ia kuda yang dia
temukan sepanjang jalan ini, dia dapat menganaliaa bahwa kereta
itu ditarik oleh dua e kor kuda.
Terutama diantara kampung dengan kampung banyak
persimpangan jalan, tapi bekas2 rumput tergilas roda itu terus
muncul di depan kudanya, Hakikatnya dia tidak perlu lagi mene lit i
tanda2 peninggalan kedua anak buahnya lagi, cukup asal mengikut i
bekas2 roda itu, pasti tida k akan salah lagi.
Maklumlah untuk menculik dirinya (yang disamar Ling Kun gi),
supaya tidak menimbulkan curiga orang lain, jalan paling baik
adalah dimasukan ke dala m kereta yang tertutup.
Dia berhenti dan sarapan di sebuah warung di luar kota. Warung
ini hanya dikuasai seorang la ki2 tua, setelah persilakan ta munya
duduk dia antar teh la lu bertanya: "Tuan mau ma kan apa?"
Cu Bun-hoa minta sekati arak. dimintanya pula sepiring sayur
asin dan kacang goreng, serta satu porsi mi. Baru saja pemilik keda i
mengiakan dan mengundurkan diri, segera Cu Bun-hoa mendengar
suara kelentingan kuda, cepat sekali seekor kuda berlari mendatang
ke warung kecil ini..
Semula Cu Bun-hoa kira Ji-ping telah menyusul tiba, tapi waktu
dia angkat kepa la, yang masuk adalah la ki2 berbaju ke labu
bercelana biru, golok terselip di pinggang, sebelah tangan
me megang pecut terus duduk di meja dekat jalan, seru-nya ke arah
dalam: "Hai, si tua, lekas beri rumput kepada kudaku, setelah aku
makan akan segera me lanjutkan perja lanan. "
Si tua tadi mengiakan sa mbil munduk2, bergegas dia lari keluar
menyediakan yang diminta.
Sekilas pandang Cu Bun-hoa lantas tahu, laki2 baju kelabu yang
bermuka tirus dan bermata tikus ini adalah orang yang menga mati
gerak-geriknya di Mo-cu-t ia m tadi, tadi dia berjongkok di kaki
tembok, kini ternyata berani terang2an me-nguntitnya. Diam2 Cu
Bun-hoa tertawa dingin.
Waktu itu Pui Ji-ping juga sudah datang menunggang kuda, dia
berpakaian pelajar, tangan pegang kipas, langkahnya me mang mirip
anak sekolahan, dia duduk di meja tengah, tanyanya: "Tia m-keh,
kalian jual apa? Ke luarkan yang enak2."
Pemilik kedai yang sudah tua itu lekas me-nyambut, katanya
tertawa: "Siangkong harap sabar, kami hanya menyediakan sayur
asin, daging rebus, telur pindang juga ada, kacang dan bakmi juga
lengkap. minum ada arak, teh dan wedang kacang, Siangkong
pesan yang mana?"
"Aku minta arak saja, seporsi daging rebus, usus babi dan dua
telur, satu porsi bakmi," de mikian pesan Ji-ping.
Dia m2 Cu Bun-hoa mengerut kening, pikirnya: "Anak perempuan
juga minum arak segala?"
Pemilik keda i menjadi repot lari kian ke mari me layani permintaan
ketiga tamunya, sebentar ke luar, lain kejap berlari ke dapur lagi.
Sembari minum arak. lelaki baju abu2 sering melirik ke arah Cu
Bun-hoa. Kalau dia ini komplotan penjahat, paling2 dia hanya
seorang keroco, maka Cu Bun-hoa anggap tidak tahu, sikapnya
tetap wajar dan ma kan minum seenaknya.
Tak la ma ke mudian le laki baju abu2 sudah kenyang makan
minum, sa mbil mengusap mulut, dia merogoh uang dan digabrukan
ke atas meja, serunya: "Hai si tua, hitung re keningnya"
Lekas pemilik kedai me mburu datang, katanya: "Semuanya 32
ketip."
Setelah me mbayar, dengan langkah lebar laki2 itu lantas keluar
menceplak kuda terus dikeprak pergi.
Cepat Cu Bun-hoa juga bayar rekening, kudanyapun dibedal
me mburu dengan kencang. Kuda tunggangannya se mula milik Ling
Kun-gi, pemberian keluarga Tong, merupakan kuda pilihan yang
larinya pesat, sekejap saja kuda di depannya itu sudah diausulnya.
Waktu menoleh dan me lihat Cu Bun-hoa mengejar datang, lelaki
baju abu2 segera pecut kuda-nya supaya lari lebih kencang lagi. Cu
Bun-hoa tertawa dingin, mendadak d ia jepit perut kuda dan kuda
itu segera berlari lebih cepat, tahu2 sudah menyusul beriring
diaampingnya. Secepat kilat Cu Bun-hoa ulur lengan mencengkera m
baju kuduk laki2 itu serta dijinjingnya dari punggung kuda
tunggangannya.
Menghadapi jago lihay seperti Cu Bun-hoa, sudah tentu seperti
kambing berhadapan dengan harimau, kecuali mencak2 dan
meronta, mulutpun ber-kaok2 seperti babi hendak diaembe lih,
orang itu tak ma mpu berbuat apa2.
Begitu Cu Bun-hoa kendorkan kakinya, kuda tunggangannyapun
berlari semakin la mban. Dengan tangkas Cu Bun-hoa lantas
me lompat turun, sekilas matanya memandang sekelilingnya,
kebetulan dilihatnya tak jauh di sana ada sebuah batu besar,
dengan tangan kanan menjinjing si baju abu2 dia mengha mpiri ke
sana. "Blang", laki2 itu dia banting ke atas tanah, saking keras laki2
itu sa mpai se kian la ma hanya mengge liat saja tak ma mpu bangun.
Terdengar Cu Bun-hoa yang duduk di atas batu bertanya dingin,
"Kenapa kau menguntit aku?"
Laki2 itu meringia kesakitan, katanya: "cayhe tidak tahu apa
maksud perkataanmu?"
Mendelik mata Cu Bun-hoa, desisnya: "Ya, sebentar akan
kuberitahu apa ma ksudku."
Selagi dia bicara, mendadak laki2 itu melolos golok di
pinggangnya, sembari menyeringai, goloknya terus me mbacok
kepala Cu Bun-hoa. Gerak-annya ternyata tangkas dan cepat,
"Trang", ke mbang api terpercik, Cu Bun-hoa yang duduk di atas
batu tetap tidak bergeming, tapi golok itu me mbacok lewat
disa mping badannya mengenai batu.
Keruan sibaju abu2 kaget, dia kira saking terburu nafsu sehingga
serangannya kurang mantap. mendadak dia menghardik,
pergelangan tangan me mbalik, golok menyamber pula melintang
me mbabat pundak Cu Bun-hoa. Kali ini dia sudah mengincar betul
baru melancarkan serangan, kalau sampai sasarannya kena, batok
kepala Cu Bun-hoa pasti dipengga lnya putus.
Tapi sa mberan goloknya hanya mengeluarkan deru angin bela ka
tanpa rintangan, itu berarti babatan goloknya mengenai te mpat
kosong. . Kini baru dia betul terperanjat, tapi untuk mengere m
gerakannya sudah tak sempat lagi, terasa sejalur tenaga maha
dahsyat tiba2 menindih punggung goloknya terus dibetot keluar
sehingga golok tak kuasa dipegangnya lagi, goloknya mence lat dan
jatuh ke se mak2 rumput di kejauhan sana, telapak tangan terasa
linu dan lecet.
Cu Bun-hoa tetap duduk di atas batu tanpa -bergerak. suaranya
kereng dingin: "sekarang mau percaya tidak- jatuh ke tangan Lohu,
mau lari atau adu jiwa hanya sia2, de mi jiwa mu lebih baik menyerah
dan menga ku terus terang, Siapa suruh kau mengunt it Lohu,
kepada siapa pula kau hendak laporan? Mungkin Lohu a kan
me mberi a mpun pada mu"
Si baju abu2 menjublek. sekian la ma dia mengawasi dengan
mata mendelong, sesaat kemudian baru tertawa getir, katanya,
"Tiada gunanya kalau cayhe mengaku, jiwa ku tetap takkan
selamat."
"Asal kau mengaku terus terang, Lohu pasti akan melindungi jiwa
ragamu."
Laki2 itu menggeleng, katanya: "Percuma, walau ilmu silat mu
tinggi ......"
Mendadak badannya mengejang, terus jatuh tersungkur.
Melihat keadaan orang agak ganjil. le kas Cu Bun-hoa
me meriksanya, setelah berkelejetan sebentar, laki2 itu tak bergerak
lagi, darah kental hita m me leleh dari ujung mulutnya,
Prihatin wajah Cu Bun-hoa, katanya menghela napas: "Bunuh diri
pakai racun, orang2 ini berani mati, tapi tak berani me mbeber
rahasia untuk cari hidup?" Ia mengge leng dan melompat ke sana
menje mput golok orang lalu mengga li liang dan mengubur mayat
laki2 itu, setelah selesai baru meneruskan perjalanan-
Sepanjang jalan ini tanda2 rahasia tinggalan anak buahnya masih
terus dia temukan, jalur bekas roda kereta juga masih kelihatan,
setelah melewati Lui-clok-ho, dia terus maju ke Wan-cui-ho, haripun
sudah petang. Maju lebih lanjut Cu Bun-hoa sudah akan berada di
pegunungan Tay-piat- san-
"Mungkinkah sarang penjahat ada di Tay-piat-san?" demikian ia
me mbatin.
Di Wan-cui-ho dia cari, sebuah rumah makan, cukup la ma dia
berhenti dan menunggu, tapi tidak tampak Ji-ping menyusul datang,
hati sedikit was2 tapi sepanjang jalan ini ia sudah meninggalkan
tanda2 rahasia, si nona pasti akan terus mengikuti jejaknya sesuai
petunjuk tanda2 itu. Maka dia lantas meneruskan pengejarannya ke
depan-
Menuju ke barat lagi ja lanan tidak rata, jalan kecil yang harus
ditempuhpun ber-liku2 me lingkar di antara pegunungan yang turun
naik, tat-kala itu sudah petang, di antara lebatnya hutan di tengah
pegunungan terdengar ge ma suara burung kokok beluk yang seram,
namun bagi cia m-liong Cu Bun-hoa yang berkepandaian tinggi,
semua itu bukan soal. cuma sejak keluar dari Wan-cui-ho, sejauh ini
tanda rahasia yang dia harapkan ditingga lkan oleh kedua ana k
buahnya ternyata tak kelihatan lagi, keruan ia heran dan mula i
curiga.
Me mang untuk meninggalkan tanda rahasia tak mungkin
ditempat yang terang dan menyolok mata, umumnya kalau tida k di
ujung atau di kaki tembok. akar pohon, kalanya di bawah batu atau
tempat yang agak tersembunyi. Kini hari sudah petang, tempat2
yang tersembunyi ini jadi lebih sukar dite mukan-
Tapi ini hanya bagi orang2 biasa, bagi jago silat seperti si naga
terpendam Cu Bun-hoa yang me miliki Lwe kang tinggi, walau di
tengah udara gelap. dalam jarak setombak masih dapat dilihat-nya
dengan jelas. Tapi tanda rahasia yang di tinggalkan oleh kedua ana k
buahnya yang menguntit kereta pengangkut Ling Kun-gi telah
putus, sementara bekas roda kerota itu masih tetap kelihatan jelas.
Kalau kedaan anak buahnya itu kesasar, ini tidak mungkin,
karena untuk menuju ke barat, sejak dari Wan cui-ho sudah tiada
jalan lain kecua li jalan pegunungan kecil yang melingkar turun naik
ini.
Kembali 20 li sudah dite mpuhnya, keadaan jalan sema kin
menanjak dan sukar dite mpuh. maju lebih jauh lagi dia akan tiba di
Liong-bun-kiu. Liong-bun-kiu adalah sebuah jalan pegunungan yang
sempit dan diapit batu2 cadas yang runcing dan semrawut letaknya,
kecuali pohon2 ce mara yang tersebar jarang2, hanya pepohonan
rambat saja yang me menuhi sekitarnya, jalan pegunungan se mpit
ini ada lima lijauhnya, setelah keluar dari daerah Liong-bun kin
barujalanan akan ke mbali agak datar.
Pada saat cu Bun-boa berjalan itulah, agak jauh di depan sana
kelihatan meringkuk segulung benda hita m, lari kudanya cukup
kencang, begitu dia me lihat gundukan hita m ini, se mentara kuda-
nyapun sudah berlari dekat, lekas Cu Bun-hoa tarik tali kendali
menghentikan kudanya. Waktu dia mengawasi gundukan bayangan
hitam yang menggeletak ditengah jalan itu, kiranya seekor anjing,
mengge letak tanpa bergerak.
Betapa tajam mata Cu Bun-hoa, sekali pandang dia lantas
mengenali anjing ini adalah anjing pelacak peliharaannya, seketika
dia menjublek. Lalu dia melompat turun, waktu diperiksa anjing ini
sudah dingin kaku, namun seluruh badannya utuh tidak kelihatan
luka apa2, mungkin terpukul mati oleh se macam pukulan luna k yang
maha kuat, atau mungkin juga mati terkena racun jahat.
Bahwa anjing pelacak ini sudah mati, bukan mustahil jejak kedua
anak buahnya pasti sudah konangan oleh musuh, pantas sejak dari
Wan-cui-ho sa mpai sini dirinya tidak mene mukan lagi tanda2 rahasia
peninggalan mere ka.
cepat ia Cempla k kudanya lari beberapa tombak ke depan pula,
seekor anjing yang lain dite mukan pula meringkuk di jalan, jelas
nasib anjing yang ini mirip juga kawanannya tadi, maka dia tida k
turun me meriksanya pula. Kuda dia keprak me mbeda l terus ke
depan, jarak lima li hanya ditempuh beberapa kejap saja, akhirnya
dia me masuki mulut le mbah, maka dilihatnya dila mping gunung
kira2 tiga tomba k tingginya, diatas pohon cemara kanan kiri
masing2 mengge lantung sesosok tubuh.
Waktu Cu Bun-hoa mengawasi, siapa lagi ka lau bukan kedua
Centingnya yang dia suruh mengunt it jejak musuh? Kedua tangan
mereka menjulur turun, kontal-kantil tertiup angin mala m tanpa
meronta lagi, jelas jiwa merekapun sudah me layang.
Sudah tentu tidak kepalang gusar Cu Bun-hoa, dada terasa
hampir meledak. dua anjing dibunuh dan dibiarkan mengge letak di
tengah jalan, kedua centingnya juga dibunuh dan digantung di atas
pohon, jelas musuh sengaja hendak pa mer ke kuatan dan
merupakan anca man terhadap dirinya.
Cu Bun-hoa kerahkan tenaga murni, sekali jejak dengan gaya
cia m-Liong-siang thian (naga terpendam naik ke langit), dia
me lompat tinggi ke atas dari punggung kudanya, di tengah udara
dia me lolos pedang me luncur ke kiri, dimana pedang berkelebat, tali
pengikat jenazah orang telah di babat putus, Dengan enteng
kakinya menutul dinding gunung, badannya mela mbung miring ke
sebelah kanan, di mana pedangnya bekerja, tali yang mengikat
jenazah disebelah kananpun dia tusuk putus, lalu dia anjlok ke
bawah. Gerakannya tangkas dan cepat luar biasa, waktu dia
menginjak tanah baru terdengar suara "bluk", mayat kedua
centingnya juga berjatuhan pula.
Kuda tunggangannya itu me mang kuda pilihan dari keluar Tong,
begitu merasakan penunggangnya meloncat ke atas, segera dia
berhenti sendiri tanpa diperintah, agaknya kuda ini me mang sudah
terlatih baik sekali.
Cu Bun-hoa simpan ke mba li pedangnya, dengan seksama dia
periksa keadaan mayat kedua centing, kematian mereka mirip
dengan kedua ekor anjing itu. tiada bekas luka apa2 yang
ditemukan- -cuma kulit anjing tumbuh bulu rada sukar diperiksa,
tapi kulit muka kedua centing ini berwarna kelabu, jelas mereka
mati oleh pukulan se macam Tok-sat-ciang yang lihay dan beracun,
kadar racun menyerang jantung, maka jiwapun melayang.
Di tempat itu juga dia kubur kedua centingnya, mulutnya berkata
lirih: "Lohu akan menuntut balas bagi ke matian kalian-" Segera dia
cemplak kuda dan dibeda l ke mulut le mbah.
Sejak ke luar dari le mbah se mpit, timbul kewaspadaan Cu Bun-
hoa, matanya menjelajah dengan teliti keadaan sekitarnya, tanah
berumput yang luas dan datar tampak sunyi di tengah kegelapan,
tapi bayangan orang tampa k berdiri di sana.
Semuanya ada empat orang, tak bersuara dan tak bergerak.
empat orang berseragam hitam, mereka seperti empat pucuk
pohon, se-olah2 dirinya sudah terkepung di antara mereka .Jelas
keempat orang inilah pe mbunuh kedua anjing dan kedua centing
nyaitu, dari posisi mereka berdiri, agaknya me mang sedang
menunggu kedatangan dirinya.
Agaknya mereka sudah memperhitungkan dengan cermat,
sekeluar dari lembah dirinya pasti akan menghentikan kuda di
tengah tanah berumput yang lapang ini, maka posisi berdiri mere ka
tepat mengepung sehingga dirinya tidak diberi kese mpatan untuk
me loloskan diri.
Sudah tentu belum tentu Cu Bun-hoa punya niat melarikan diri.
Keempat orang itu mengenakan jubah hita m yang kedodoran, dan
yang lebih aneh lagi, mereka sa ma me miliki wajah yang kaku
dingin, tak ubahnya muka mayat hidup. Mereka sama menjulurkan
tangan ke bawah, berdiri kaku seperti tonggak kayu.
Tampaknya mereka tida k me mbe kal senjata, tapi dari punggung
kuda Cu Bun-hoa dapat melihat jelas keempat orang tengah
mengumpulkan se mangat, mata merekapun berkilauan dite mpat
gelap. kepandaian keempat orang ini agaknya tidak kepalang
lihaynya. Ginkang merekapun tidak le mah. Di ka la Cu Bun-hoa
mengawasi mere ka, serentak keempat orang jubah hitam itu
me langkah ber-sa ma mengha mpiri, kira2 setombak disekitar dirinya
baru berhenti.
Sudah tentu Cu Bun-hoa pandang enteng keempat musuhnya ini,
dengan Celingukan seperti melihat suatu benda aneh layaknya, dia
berkata: "Kalian mencegat jalan Lohu, apa ma ksud kalian?"
Terdengar orang yang tepat di depannya bersuara dingin: "Tua
bangka, turunlah kau."
Cu Bun-hoa menjawab: "Lohu masih a kan meneruskan
perjalanan, kenapa harus turun?"
"Karena kau sudah sa mpai akhir jalanmu," ketus suara orang itu.
Sambil mengelus jenggot, Cu Bun-hoa terseyum, katanya:
"Kukira kalian keliru, ke utara aku masih bisa sa mpai Say-gong-kiu,
ke barat bisa mencapai ceng-thay-koan, kenapa kau bilang sudah
sampai di akhir jalan?"
"Maksudku kau sudah mencapai akhir hidupmu," jengek laki2
jubah hita m.
Cu Bun-hoa ngakak sa mbil menengadah, katanya: "Kalian sendiri
belum mencapai akhir hidup kalian, bagaimana tahu kalau Losiu
sudah mencapai a khir hidup?"
Tajam dingin sorot mata orang itu, dengusnya: "Nada dan sikap
bicara tuan ke lihatan bukan kaum keroco, sebutkan na ma mu."
"Di kalangan Kangouw ada pa meo yang bilang, di atas langit
masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai. Siapa na ma
Lohu, biar kukatakan juga ka lian tidak mengenalnya"
orang di depan ini agaknya pe mimpin rombongan, katanya
sambil me nyeringai: "Tuan me mang bermulut besar, entah
bagaimana bekal kungfumu?"
"Kalian mencegat dan mengelilingi Lohu, tentu ada maksud turun
tangan, kenapa tidak le kas coba saja?" tantang Cu Bun-hoa.
Menyipit mata orang itu, jengeknya: "Sekali ka mi turun tangan
jiwa mu pasti tamat, hanya ada satu cara untuk menghindari
ke matian atau luka2 parah."
"cara apa?" tanya Bun-hoa.
"Kutungi sendiri sebelah lenganmu, lalu ikut ka mi me ne mui
Thian-su."
"Thian-su (utusan langit)?" tergerak hati Cu Bun-hoa. "Siapakah
Thian-su kalian?"
"Setelah kau tabas lenganmu, ku bawa mu me ne mui beliau."
Lantang gelak tawa Cu Bun-hoa, ujarnya: "Suruhlah Thian-su
kalian mene muiku di sini saja."
Orang berjubah hitam sebelah kiri menggera m gusar, teriaknya:
"Jangan me mbual, tua bangka. Tak perlu kita me mbuang wa ktu
lagi, ringkus dia saja"
Cu Bun-hoa pandang sekelilingnya, katanya dengan tersenyum:
"Hanya kalian bere mpat saja, ma mpukah meringkus Lohu?"
"Berani kau me mandang enteng ka mi?" bentak orang di sebelah
kiri. Mendadak dia melompat maju seraya ulur tangan diri, secepat
kilat pundak Cu Bun-hoa dicengkera mnya.
Di atas kudanya terasa oleh Cu Bun-hoa Cengkera man orang
setajam pisau sekuat tangga m, keruan ia heran, batinnya: "Senjata
apa yang dia gunakan?" - otak bekerja, sementara tangan kanan
sudah melolos pedang terus me mbabat pergelangan tangan lawan-
Gerakan pedangnya sungguh secepat kilat, maka terdengar suara
"trang", dengan telak pedangnya me mbabat pergelangan tangan
lawan, tapi tangan orang sedikitnya tidak terluka, ma lah
menge luarkan suara keras nyaring dan me mercikkan ke mbang api.
Sudah tentu terkesiap hati Cu Bun-hoa, tapi orang berjubah
hitam itupun terpental oleh getaran pedang Cu Bun-hoa. Tapi pada
detik lain, ketiga orang yang lain juga bergerak bersama, serentak
mereka menubruk maju.
Cu Bun-hoa belokkan kudanya, pedang berputar sekeliling
menciptakan tabir sinar kemilau, maka terdengarlah suara "trang,
tang, tang," tiga kali secara berantai. Sekali gerak dia berhasil
menangkis tiga serangan musuh, tapi tangan sendiri yang
me megang pedang juga terasa kesemutan- Kini baru dia jelas
bahwa tangan keempat orang ternyata semuanya dipasang lengan
besi. Semakin kaget dan heran hatinya: "Ilmu silat keempat orang
ini a mat tinggi, entah dari aliran mana? Belum pernah terdengar
jago silat menggunakan tangan besi di tangan kirinya di ka langan
Kangouw."
Tatkala pikirannya bekerja, pada saat lawan terpental mundur,
iapun sudah me lompat turun dari kudanya serta menepuk sekali
pantat kuda. Begitu kaki menancap di tanah, Cu Bun-hoa lantas
bergelak tertawa, katanya: "Kalian mau main keroyok. nah, majulah
bersama."
Keempat orang berjubah hitam agaknya tidak mengira bahwa tua
b angka tak terna ma ini ternyata memiliki lwekang dan kepanda ian
tinggi, walau wajah mereka me mbesi kaku tidak mena mpilkan
perasaan, tapi sorot mata mereka tak urung meng- unjuk rasa kaget
dan melenggong, sekilas mereka saling pandang dan tidak lantas
turun tangan pula.
"Sebetulnya tuan dari kalangan mana?" tanya si jubah hitam
sebelah depan-
"Lohu sendiri juga ingin tanya kalian?" balas Cu Bun-hoa tak
acuh. .
"Jadi tuan tidak mau perkenalkan diri?"
"Kalian toh tak mau me mperkenalkan diri?"
"Tuan harus tahu, bukan kami gentar terhadap-mu, soalnya kami
perlu tahu siapa tuan, baru akan bertindak. menamatkan jiwa mu
atau me mbekukmu hidup,hidup,"
"Kalau begitu boleh silakan turun tangan," ujar Cu Bun-hoa
tertawa tawar.
Pemimpin berjubah hita m itu angkat sebelah tangan, matanya
yang mencorong me mandang ke-tiga kawannya, lalu berkata
dengan suara berat, "Baik, kalian dengar, tak peduli mati atau
hidup, ganyang dia" Be lum habis bicara dia sudah mendahului
menubruk maju, laksana kilat tangan kirinya mencengkeram tiba.
Tiga orang berjubah hitam yang lain sere mpak beraksi pula dengan
menubruk ma ju.
Cu Bun-hoa bergelak lantang panjang, sebat sekali pedangnya
me lingkar bundar, segera ia kembangkan ilmu pedangnya dan
me luruk sengit ke-e mpat lawannya.
Cu Bun-hoa, naga terpendam yang berkuasa di daerahnya sendiri
me mang me miliki kepanda ian yang mengejutkan seka li dan tida k
bernama kosong, pedangnya bergerak laksana naga sakt i yang
lincah dan gesit, cahaya dingin yang me mancar dari batang
pedangnya se-akan2 menaburkan bintik2 sinar ke milau ke delapan
penjuru angin.
Karena dia jarang berkelana di Kangouw, maka kee mpat
musuhnya jadi sukar dan belum dapat menyela mi ja lan ilmu
pedangnya, betapa tinggi kepandaian kee mpat orang ini dibuat
keripuhan juga, tapi kepandaian keempat orang ini me mang juga
aneh, apalagi lengan kiri mere ka semua terpasang lengan baja,
kelima jari bagai cakar tidak takut segala senjata tajam, walau
sementara Cu Bun-hoa berada di atas angin, namun dala m wa ktu
singkat terang dia tidak akan ma mpu merobohkan atau me luka i
lawan- Dengan cepat 20 jurus telah berlalu. Mau tak mau Cu Bun-
hoa mence los juga hatinya, batinnya: "Kepandaian silat kee mpat
orang ini terhitung kelas wahid di ka langan Kangouw, permainan
merekapun berlainan satu dengan yang lain, kenapa sama2
mengutungi lengan sendiri serta menggantinya dengan tangan
besi?"
Pada saat itulah, tiba2 dari kejauhan berkumandang sebuah
bentakan keras: "Kalian berhenti" Bentakan ini berge ma laksana
bunyi genta, lembah pegunungan serasa bergetar oleh bentakan
keras ini.
000dw000

Pui Ji-ping yang ketingga lan setengah li di bela kang pa mannya,


waktu Cu Bun-hoa mengompes keterangan laki2 baju abu2 dan
mene mukan bangkai anjing dan kedua anak buahnya di selat sempit
tadi, iapun menyusul tiba, sudah tentu iapun melihat se mua
kejadian yang diala mi pa mannya.
Cuma dia sela lu ingat pesan pa mannya agar diri-nya menga mbil
jarak tertentu, dilarang bicara lagi, maka kini dia hanya berdiri di
tempat kejauhan saja. Setelah Cu Bun-hoa naik kuda dan berangkat
pula baru diapun me mbedal kudanya kedepan.
Tak tahunya baru saja dia tiba di mulut le mbah, segera ia
mendengar suara beradanya senjata tajam. Lekas dia melompat
turun dari kudanya, pelan2 dia merunduk maju terus lompat ke atas
sebuah batu besar dan menyembunyikan diri serta mengintip ke
bawah.
Dilihatnya empat orang berjubah hita m tengah mengerubut
pamannya. Melihat orang2 berjubah hita m itu, tergerak pula
hatinya, pikirnya: "Hou Thi jiu juga mengguna kan lengan besi di
tangan kirinya, demikian juga keempat orang ini, terang mereka
adalah sekomplotan dengan Hou Thi-jiu."
Tak la ma ke mudian lantas didengarnya seo-rang me mbentak
keras: "..Kalian berhenti"
Kuping Ji-ping mendengung pe kak oleh bentakan keras bagai
bunyi genta itu, keruan kagetnya bukan main, lekas dia berpaling ke
sana, di-lihatnya kira2 setengah li di kejauhan sana ada dua titik
sinar seperti api setan tengah terbang turun naik menyusuri kaki
bukit berlari ke arah sini. Berta mbah besar rasa kejutnya, batinnya:
"Masih setengah li jauhnya, tapi suara orang ini dapat me mbuat
pekak kuping, kalau dia menghardik berhadapan mungkin aku bisa
jatuh semaput."
Mendengar bentakan keras ini, keempat orang jubah hitam tadi
segera melompat mundur berpencar pada posisi masing2. Dengan
pedang melintang di depan dada Cu Bun-hoa berpaling ke arah
datangnya suara, tertampak dari pegunungan sana beriring
mendatangi ena m orang berjubah hitam pula. Keena m orang ini
bukan saja berpakaian sama, wajah dan sikap merekapun sa ma.
kaku dingin tidak berperasaan- Masing2 dua orang berjajar beriring
datang, gerak langkah mereka kaku mirip mayat hidup dan seperti
tonggak berjalan-
Dia m2 kaget juga cu Bun-goa me lihat orang2 ini, dia insaf untuk
menghadapi kee mpat lawan ini sudak cukup berat, kini keta mbahan
enam orang lagi. agaknya nasib dirinya mala m ini lebih banyak
celaka daripada selamat, semoga Ji-ping jangan le kas2 menyusul ke
mari. De mikian batinnya.
Lekas sekali keena m orang ini sudah tiba di tanah berumput
sebelah kiri, mendadak ta mpak pula sesosok bayangan orang tinggi
besar berlenggang mendatangi, jangan kira gerak ka kinya kelihatan
seperti berlengang, mirip badut di atas panggung, lapi setiap
langkah kakinya mencapai jarak dua tiga tombak jauhnya, kedua
kakinya seperti tidak menyentuh tanah.
Sekali pandang Cu Bun-hoa lantas tahu bahwa kepanda ian si
gede inijauh lebih tinggi dari kawanan jubah hitam ini, ma ka dia
tumplek perhatiannya terhadap si gede ini.
Badan orang ini tingginya delapan kaki, dada lebar lengan besar,
wajahnya mengkilap mirip te mbaga, alisnya pendek. matanya sipit,
hidung besar mulut lebar, jubah sempit warna tembaga yang
dipakainya hanya sebatas di lutut, kaki telanjang me makai teKie k
tembaga.
Sebagai cengcu dari Liong-bin-san-ceng, meski jarang berkelana
di Kangouw, tapi tokoh-tokoh Kangouw kena maan pada ja man ini
tidak sedikit yang dikena lnya, paling tidak pernah mendengar na ma
atau keahlian dan keistimewaannya. Kini me lihat dandanan si gede
yang aneh ini, mendadak diingatnya seseorang, keruan hatinya
kaget bukan ma in, batinnya: "Mungkinkah dia ini La m-kiang-it-ki
Thong- pi-thian-ong?"
Jabatan atau kedudukan si gede serba tembaga ini terang jauh
lebih tinggi daripada kawanan jubah hitam, ini jelas kelihatan dari
sikap keenam orang jubah hita m yang baru datang serta cara
mereka berdiri, kelihatan me mberi peluang untuk si gede ini nanti,
tapi toh masih ada te mpat kosong lagi di sebelah mereka, hal ini
me mbuat Cu Bun-hoa men-duga2 pula bahwa kecuali si gede
agaknya pihak lawan masih ada tokoh lain pula yang berkedudukan
lebih t inggi yang belum tiba. Siapa kah orang yang be lum t iba ini?
Maklumlah si tokoh aneh dari La m-kiang (wilayah selatan) ini
biasanya merajai daerah selatan, selamanya belum pernah tunduk
terhadap orang lain, lalu siapakah yang telah ma mpu menundukkan
dia sekarang?
Begitu si gede tiba dan berdiri di samping, Cu Bun-hoa lantas
buka suara: "Yang menghentikan perte mpuran tadi apakah tuan?"
Mendelik sebesar jengkol mata si gede, bentaknya: "Diam, tak
boleh ribut" Suaranya me mang keras seperti bunyi genta.
Kini Cu Bun-hoa lebih yakin bahwa si gede me mang Thong- pi-
thian-ong adanya, tapi caranya bicara jelas dia hanya mengawa l
seseorang belaka. Sungguh luar biasa. Sema kin kejut dan heran Cu
Bun-hoa, mendadak dia mendongak sa mbil berge lak tawa, katanya:
"Dandanan dan tampang tuan ini mirip seka li dengan La m- kiang-it-
ki Thong-pi-thian-ong, entah sejak kapan tuan terima diperbuda k
orang atau jadi pengawal pribadinya"
Semakin bulat mendelik mata si gede, suara-nya menggerung
gusar: "Kusuruh kau dia m, kau harus diam, me mangnya kau tua
bangka ini sudah bosan hidup?"
Gerungannya yang dahsyat itu me mbuat Pui Ji ping yang
sembunyi di atas batu hampir pecah kupingnya,jantungnya ber-
debar2, hampir saja dia me njerit.
Tiba2 terasa dari belakang tersalur sejalur tenaga yang tidak
kelihatan me mbantu dirinya mengendalikan darah yang bergolak,
kupingpun lantas mendengar suara lirih berbisik seperti bunyi
nyamuk: "jangan bersuara Siau-sicu, itulah Kim-loh-ong yang hebat
dari Thong-pi-thian-ong. "
Heran Ji-ping, baru saja dia kendak berpaling, suara lirih seperti
nyamuk berkata pula: "Situasi ma la m ini a mat gawat dan
berhahaya, sekali2 jangan Sicu menoleh ke belakang, mata dan
kuping Thong-pi-thian-ong amat tajam. Jarakmu hanya sepuluh
tombak dengan mereka, sedikit lena, jejakmu pasti konangan."
Tatkala itu tampa k dua buah la mpion tengah mendatangi dari
jalanan gunung sana. Dua gadis belia baju hijau tengah mendatangi
dengan ge mulai sa mbil me nenteng dua la mpion-
Mala m di tengah pegunungan sudah tentu amat gelap sehingga
cahaya lampu la mpion ini terasa terang benderang. Tak jauh di
belakang kedua gadis me mbawa la mpion menyusul sebuah tandu
mewah dan indah, dan laki2 ke kar me mikul tandu mini ini, langkah
mereka enteng seperti berlari menuju ke tanah berumput ini.
Selarik ka in warna merah sutera panjang semampir di pundak
dan pinggang kedua laki2 kekar pe mikul tandu itu bertuliskan empat
huruf warna hitam yang berbunyi: "Wakil langit mengada kan
ronda".
Akhirnya tandu mini itupun berhenti dan diturunkan di tanah
berumput sebelah kanan atas. Kedua gadis pembawa la mpion
berdiri di kiri kanan tandu, di bawah sinar lampion tandu itu tampa k
indah ge merlapan, kerai menjuntai le mbut dan rapat sehingga tidak
kelihatan siapa yang duduk di dalamnya? Tapi Thong- pi-thian-ong
dan kesepuluh kawanan jubah hitam serempa k me mberi hormat lalu
berdiri tegak dengan prihatin-
Tiba2 tergerak hati, Cu Bun-hoa melihat keadaan ini, tadi dia
dengar salah seorang jubah hita m pernah menyinggung "Thiansu"
atau duta langit, setelah melihat tulisan "Wa kil langit mengada kan
ronda", jelas bahwa orang di da la m tandu adalah Thian-su yarg
dimaksud, cuma siapa dia dan tokoh maca m apa pula?
Pedang disimpan ke mbali, Cu Bun-hoa berdiri me mbusung dada
sikapnya gagah berwibawa, tapi hatinya kebat-kebit, dia m2 dia
kerahkan Lwekang-nya, me mpersiapkan diri untuk bertindak bila
menghadapi sergapan musuh.
Maka terdengarlah sebuah suara halus nyaring berkumandang
dari dala m tandu: "Thio thijiu" Suaranya bagai kicau burung kenari,
le mbut dan merdu.
Tak pernah terpikir dala m benak Cu Bun-hoa bahwa Thian-cu
atau "duta langit" ini ternyata seorang perempuan, dari suaranya
kedengaran bahwa dia adalah gadis belia pula.
Tampak salah seorang jubah hitam yang berdiri paling depan tadi
mengiakan sa mbil melangkah ke depan tandu.
Terdengar perempuan da la m tandu bertanya: "Kalian sudah
tanya asal usulnya?"
"Dia tidak mau mengatakan," sahut Thio thi-jiu.
"Bagaimana ilmu silatnya?" tanya perempuan dala m tandu pula.
"Ka mi berempat mengeroyoknya, tapi tak ma mpu mengalahkan
dia."
"Pada jaman ini. dengan kekuatan kalian bere mpat, me mangnya
siapa yang tak ma mpu ka lian kalahkan, tapi siapakah dia" kata2
terakhir a mat lirih, seperti bicara untuk dirinya sendiri.
Thio thi-jiu berdiri tegak lurus, sudah tentu dia tak berani
bersuara.
Sesaat kemudian perempuan dala m tandu berkata pula: "Baiklah,
kau boleh minggir."
Thio-thi-jiu mengia kan, lalu mundur ke te mpatnya semula.
Perempuan dala m tanda lantas berpesan kepada gadis pe mbawa
la mpion sebe lah kiri. katanya: "Mintalah orang tua itu maju ke mari,
ada pertanyaan hendak kuajukan padanya."
Gadis itu segera tampil ke depan Cu Bun-hoa, katanya setelah
me mberi hormat. "Tuan ini diharap maju kedepan, Siancu ( dewi )
kami ingin bicara dengan kau"
Cu Bun-hoa juga ingin tahu asal usul pihak sana, memangnya
siapa sebetulnya Thian-cu yang serba misterius ini? Maka dengan
menge lus jenggot dan tertawa lebar, katanya: "Lohu me mang ingin
bertemu dengan Siancu kalian." Lalu dengan langkah lebar dia
mengha mpiri, beberapa kaki di depan tandu dan berhenti, katanya
sembari me mberi hormat: "Silakan Siancu, terima kasih a kan
undanganmu, entah ada petunjuk apa?"
Perempuan dala m tandu cekikik riang, katanya: "Loyacu adalah
tokoh kosen Bu-lim, sungguh beruntung kita bertemu di sini."
Sampa i di sini tiba2 dia berseru keras: "Kenapa tidak singkap kerai
ini?"
Kedua gadis yang berdiri di kiri kanan segera menyiba k kerai
kedua sisi, kedua lampionpun di-arahkan ke depan tandu sehingga
perempuan yang duduk di dala m tandu ke lihatan wajahnya.
Ternyata "Dewi yang mewakili langit menga-dakan ronda" ini
hanyalah seorang nyonya muda belia yang berusia sekitar 25,
berpakaian serba putih, dandanannya mirip puteri keraton, tengah
tersenyum simpul me ngawasi dirinya.
Sesaat Cu Bun-hoa melenggong, dia jarang ke luar pintu, tapi
semua tokoh Kangouw yang sedikitpunya nama pasti pernah
didengarnya. Nyonya muda molek ini ma mpu menundukkan La m-
kiang-it-ki sa mpai terima menjadi pengawal pribadinya, kenapa
belum pernah dia mendengar adanya perempuan selihay ini, serba
misterius lagi da la m tindak tanduk.
Me mang otaknya cerdik, banyak akal dan pandai mengikuti
situasi, sekilas me lenggong segera Cu Bun-hoa berdehem, katanya
tertawa: "Siancu me-ronda mewakili langit tentunya kau inilah
Thian-su adanya? Entah siapakah na ma harum Siancu yang mulia?"
Jari jemari nan runcing halus dari nyonya muda itu terangkat dan
menge lus gelung kunda inya, katanya tertawa: "Agaknya tidak
sedikit yang Loyacu ketahui. aku she Coh, karena biasanya aku suka
mengenakan pa kaian serba mulus begini, maka orang me manggilku
Hian-ih-sian-cu, harap Loyacu tidak mentertawakan diriku."
"Hian-ih-sian-cu" Cu Bun-hoa tetap tidak pernah dengar na ma
julukan ini.
Mengerling biji mata Hian-ih-sian-cu, katanya sambil cekikikan
"Loyacu adalah tokoh kosen pada ja man ini, mohon tanya siapakah
nama besar Loyacu?"
Cu Bun-hoa bergelak tertawa, katanya: "Lohu Ho Bunpin, orang
liar yang hidup di gunung, mana berani disebut tokoh kosen
segala."
Hian-ih-sian-cu ce kikikan genit, katanya: "Na ma yang Loyacu
sebutkan kukira bukan na ma tulen bukan?"
"Mungkin Siancu be lum pernah dengar na ma- ku yang tidak
terkenal ini, dan lagi apa perlunya Lohu harus menye mbunyikan
nama dan asal-usul?"
"Betul," kata Hian-ih-sian-cu, "menurut penglihatanku, wajah
Loyacu juga dirias, entah betul tidak perkataanku?"
Semakin terkejut hati Cu Bun-hoa, katanya dingin: "Tidak perlu
Lohu ma in se mbunyi dengan cara me nyamar segala."
"Berkelana di Kangouw, supaya tidak menarik perhatian orang,
merias diri dan ubah wajah asli itu sudah biasa, apakah Loyacu
merias diri t iada sangkut pautnya dengan aku? cuma ingin kutanya,
Loyacu main selidik me masuki daerah Tay-piat-san ini, entah apa
maksudnya"
"Betul, Lohu juga ingin tanya kepada Siancu, tanpa sebab anak
buahmu merintangi perjalananku, apa pula maksudnya?"
"Bukankah Ho-loyacu telah saksikan sendiri? Mala m ini kebetulan
aku meronda sa mpai di sini, anak buahku me lihat Loyacu me masuki
selat gunung seorang diri, gerak-geriknya mencurigakan lagi, sudah
tentu kau harus dimintai keterangan-"
Cu Bun-hoa mendengus, katanya: "Sekarang Siancu sudah jelas
tentang keteranganku?"
"Pertanyaanku tadi sia2 belaka, karena Loyacu tidak menjawab
sejujurnya."
"Lalu apa pula kehendak siancu?"
"Silakan Ho-loyacu ikut ka mi, setelah ka mi je las menyelidiki asal-
usulmu akan kuantar kau ke luar gunung."
Terangkat alis Cu Bun-hoa, katanya: "Siancu kira orangmu
banyak. mau main keroyok terhadap-ku seorang?" Mendadak dia
mundur selangkah tangan sudah siap me lolos pedang.
"Aku tak perlu turun tangan terhadapmu," ujar Hian-ih sian-cu
sambil tertawa.
Hanya sekejap itu, Cu Bun-hoa sudah merasakan adanya gejala2
yang tidak normal pada diri sendiri. Sudah timbul pikiran Cu Bun-
hoa untuk mundur dan melolos pedang, tapi kaki tangan ternyata
tidak menurut perintah lagi, keruan kejutnya bukan ma in, air
mukapun berubah hebat, bentak-nya: "Sundel keparat .........."
Hian-ih-sian-cu tetap unjuk senyum menggiurkan, katanya riang:
"Dapat mengundang Ho-loyacu, sungguh merupakan
kebanggaanku." Lalu dia mengulap tangan dan mena mbahkan:
"Mari kita ke mbali"
Kedua gadis menurunkan kerai, pemikul tandu lalu berputar
balik, di bawah pimpinan La m-kiang-it-ki, kesepuluh kawanan jubah
hitam menggusur Cu Bun-hoa mengintil di bela kang tandu.
oooodwoooo

Hampir saja Pui Ji-ping yang sembunyi di utas batu menjerit lagi
me lihat adegan yang aneh ini. Suara le mbut bagai bunyi nya muk
mengiang pula dipinggir kupingnya "Siau-s icu harus tahan sabar,
jangan gegabah"
Mencelos hati Ji-ping, terpaksa dia tekan perasaannya, dengan
cemas dia awasi kawanan jubah hita m itu menggusur pa mannya
pergi, waktu dia menoleh, dilihatnya setombak di belakangnya
berdiri seorang Hwesio tua kurus, sorot matanya berkilauan sedang
mengawasi dirinya dengan tersenyum.
Tahu berhadapan dengan tokoh kosen, lekas Ji-ping mene kuk
lutut me mberi hormat, katanya: "Losuhu, lekas tolong pa manku"
Karena gelisah ia lupa dirinya sedang menyaru la ki2, cara me mberi
hormat seperti ana k gadis lazimnya.
Hwesio tua kurus pendek lekas merangkap kedua tangan,
katanya heran: "Sicu kiranya seorang nona, jadi yang ditawan Hian-
ih-lo-sat tadi ada lah pa manmu?"
Merah muka Ji-ping, diam2 ia sesali kecerobohan sendiri, katanya
mengangguk: "Ya, dia pa manku, apakah pere mpuan dala m tandu
itu yang Losuhu maksudkan berna ma Hian-ih-lo-sat? Jadi orang2 itu
ada hubungannya dengan Cin-Cu-ling?"
"Lolap juga be lum tahu asal-usul mereka," kata Hwesio tua itu,
"cuma menurut apa yang kuketahui, Hian ih-lo-sat ini a mat lihay,
orang2 yang terjatuh ke tangannya sudah cukup banyak, termasuk
Kwi-kian-jiu Tong- citya, Un It-kiu dari keluarga Un, suteku Kim Kay-
thay dan lain2 ....."
Ji-ping kaget, serunya: "Jadi Kim-loya cu juga tertawan oleh
perempuan siluman itu."
"Nona juga kenal Kim-sute?" tanya si Hwesio tua.
"Aku tida k kenal, Tapi Toakoku ada lah kena lan baik Kim-loyacu."
"Siapakah Toako nona?"
"Toako bernama Ling Kun-gi," sahut Ji-ping, lalu bertanya:
"Losuhu tentunya paderi sakti dari Siau-lim-si, entah siapa na ma
gelaran Taysu yang mulia?"
"Lolap Ling-san,"jawab Hwesio tua kurus, "pejabat Bun- cu- wan
dari Siau-lim-si."
Biasanya hanya paderi2 dari Lo-han-tong saja yang
diperbolehkan keluar Siau-lim-si, kini ketua Bun-cu-wan (ruangan
agama) pun terpaksa harus dikerahkan keluar, dapatlah di
simpulkan bahwa piha k siau lim me naruh perhatian besar terhadap
peristiwa Cin-Cu-ling ini.
Lekas Ji-ping menjura, katanya " Losuhu ternyata pemimpin Bun-
cu- wan, paman sudah tertawan perempuan siluman itu, aku akan
segera pergi. "
"Tunggu sebentar nona."
"Ada petunjuk apa Losuhu?"
"Bolehkah nona me mberitahu padaku, siapa sebenarnya
pamanmu itu?"
"Tak enak kumain se mbunyi atas pertanyaan Losuhu, paman
adalah cengcu Liong-bin-san-seng Cu Bun-hoa "
Bergetar tubuh Ling san Taysu, katanya: "Kiranya cu cengcu . . .
."
"Losuhu, menolong orang seperti menolong keba karan, aku
harus cepat susul mereka."
Ling-san Taysu kaget, katanya: "Hian-ih-lo-sat amat lihay,
Thong-pi-thian-ong me mbantu dia berbuat jahat, Cu-cengcupun
bukan tandingan mere ka, mana boleh nona mene mpuh bahaya
secara sia2,"
"Bukan begitu," ujar Ji-ping ce kikik geli, "aku akan sa mpaikan
kabar tertawannya Toako dan Tong- cityakepada ibu angkatku."
"Siapa pula ibu angkat nona?" tanya Ling-san Taysu.
"ibu angkatku adalah Tong-lohujin dari keluarga Tong di
Sujwan."
"Jadi Tong-lohujin juga datang?"
"ibu angkat sekarang berada di Pat-kong san"
"Baiklah silakan nona berangkat Lolap akan menguntit Hian-ih-lo-
sat lebih lanjut, akan kulihat di ma ma sarang komplotan orang2
ini?"
Ji-ping me mbatin: "Hwesio tua ini hanya berani mengunt it secara
dia m2, agaknya iapun gentar terhadap Hian-ih-lo-sat, terpaksa aku
harus cepat2 kembali kePat-kong san minta bantuan-" Tanpa
banyak bicara lagi, cepat ia lompat turun terus cemplak kuda dan
dibedal ba lik ke arah datangnya tadi.
ooo dewi ooo

Itulah hari kedua setelah Ling Kun-gi berada di Coat Sin-san-ceng


atau hari pertama mulai tugas kerjanya di Hiat-ko-cay. Pagi hari itu
setelah sarapan pagi, seorang diri dia langsung menuju ke Hiat ko-
cay, begitu tiba, Long-gwat, si pelayan segera menyambut
kedatangannya .
Long-gwat bantu me mbuka pintu kamar kerjanya, dengan
langkah tetap Kun-gi masuk serta mengeluarkan kunci me mbuka
gembok le mari kecil, dia keluarkan segala perabot keperluan
kerjanya, ada pisau, mangkok, tatakan dan cawan2 kecil serta
peralatan lain yang sukar disebut namanya, terakhir ia keluarkan
cupu2 berisi getah beracun itu. Sementara itu Long-gwat menyeduh
teh dan disuguhkan di atas meja.
Dengan hati2 Kun gi me mbuka sumbat cupu2 lalu pelan2
menuang sedikit getah di atas sebuah tatakan, kembali dia tutup
cupu2 itu serta dike mba likan ke almari.
Duduk di kursi kerjanya, sekenanya dia ambil sebatang jarum
perak. dua kali dia celupkan ke dala m getah beracun, tampak ujung
jarum yang runcing seketika berubah menjadi hita m. kadar racun ini
ternyata keras dan hebat, lalu dia mendekatkan hidang mengendus
ujung jarum-
Long-gwat berdiri di sebelahnya jadi kaget, serunya kuatir: "Awas
Cu-cengcu, racun ini a mat jahat, sedikit kena saja jiwa orang tak
dapat disela matkan."
Kun-gi tersenyum dan me mandang le kat2 pelayan itu, katanya:
"Terima kasih atas perhatian nona, Lohu hanya ingin menciumnya
apakah ada baunya?"
Merah malu Long-gwat ditatap sedemikian rupa, katanya
menunduk: "Cu-cengcu panggil Long-gwat saja, jangan
me manggilku de mikian-"
"Baiklah, Lohu akan panggil nona Long-gwat saja."
"Terinta kasih, kalau ada tugas lain ha mba di belakang, sekarang
hamba mohon diri," lalu dia dia beranjak keluar.
Sambil tetap pegang jarum perak t iba2 Kun-gi me manggilnya:
"Nona Long-gwat, tunggu sebentar."
Long-gwat berhenti di ambang pintu, tanyanya: "Ada pesan apa
lagi Cu cengcu?"
"Lohu baru datang, tidak tahu tata tertib yang ada di sini, ingin
kutanya suatu hal padamu. Di sini ada empat kamar kerja, apakah
satu sama lain boleh sa ling berkunjung?"
Long-gwat tertawa lebar, katanya: "Kalian bere mpat adalah tamu
agung undangan cengcu kami segala keperluan sudah ka mi
sediakan, sudah tentu gerak-gerik kalian juga tida k dibatasi, tempat
ini me mang khusus untuk kerja, supaya tidak terpecah perhatian
dan dapat bekerja dengan tenteram, maka masing2 diberikan satu
kamar tersendiri, me mbagi tugas untuk sa ma2 mencapai tujuan,
satu sama lain boleh saling berunding akan pene muan masing2,
Sudah tentu boleh pula sa ling kunjung me ngunjungi"
"Baiklah, getah racun ini a mat lihay, mereka datang lebih dulu,
tentunya sudah me mperoleh sedikit bahan penyelidikan, sebelum
kerja, Lohu ingin mendengar saran dan pendapat mereka bertiga."
Setelah Long-gwat keluar, Kun-gi segera buka pintu dan keluar,
dalam hati dia m2 dia menimang2, akhirnya dia berkeputusan untuk
mengunjungi Lok-san Taysu lebih dulu, setiba didepan pintu ka mar
orang, pelan2 dia mengetuk pintu. Terdengar suara Lok-san Taysu
berkata: "Siapa? Silahan masuk"
Kun-gi menjawab dengan suara lantang: "cay-he Cu Bun-hoa,
sengaja kemari mohon petunjuk Taysu." Sembari bicara dia
mendorong pintu serta melangkah masuk.
Mendengar Cu Bun-hoa yang datang, lekas Lok-san Taysu berdiri
dari kursinya, katanya sambil merangkap kedua tangan: "Maaf Lolap
terlambat menya mbut, silahkan Cu-cengcu duduk."
Ternyata Lok-san Taysu hanya duduk2 sama-dia m saja di
kursinya, tidak me lakukan kerja apa2, perabot keperluan kerja tiada
yang dia keluarkan
Setelah menutup pintu ke mbali, Kun-gi me njura, katanya,
"Sengaja cayhe ke mari mohon petunjuk Taysu."
Lok-san Taysu rendah hati, Kun-gi dipersila kan duduk di depan
meja, iapun ke mba li ke te mpat duduknya, katanya: "Entah ada
petunjuk apa kedatangan Cu-cengcu."
"Barusan cayhe sudah periksa getah beracun dari Sam-goan-hwe
itu, kukira kecua li a mat beracun, sukar diraba sebetulnya barang
beracun dari jenis apa? Taysu paham soal obat2an, selama ini juga
selalu mengadakan penyelidikan, apakah sudah berhasil
menyela minya?"- Habis berkata lalu dengan ilmu Thoa-im-jip-bit
(ilmu mengirim gelombang suara) ia mena mbahkan: "Baga imana
pendapat Taysu tentang pribadi Cek Seng-jiang?"
Lok-san Taysu berlagak merenung sebentar, yang benar dia
termenung karena mendengar pertanyaan Ling Kun-gi terakhir itu
lalu sedikit mengangguk ia menjawab: "Lolap juga a mat menyesal,
sejauh ini belum berhasil mene mukan terbuat dari bahan apakah
getah beracun ini, kalau cuma diselidiki sukar dibeda kan, obat2an
umumnya harus dicicipi dengan mulut dan diendus baunya baru bisa
dibedakan keasliannya. Tapi getah ini a mat beracun masuk mulut
jiwa me layang, hakikatnya sukar dirasakan, paling hanya bisa diraba
sesuai dengan sifatnya yang ganas, selama tiga bulan ini boleh
dikatakan hasil Lolap nol besar." Lalu ia mena mbahkan pula dengan
suara Thoa-im-jip-bit. "Menurut penga matan Lolap dala m persoalan
ini ada tersembunyi suatu muslihat besar"
Kun-gi manggut2, katanya: "Memang betul omongan Taysu,
getah ini merupakan hasil ca mpur aduk yang dlolah sede mikian rupa
sehingga sudah kehilangan bentuk aslinya, kalau beberapa jenis
racun yang sama sifatnya diaduk menjadi satu, maka kekuatan dan
keganasannya menjadi berlipat ganda pula, kalau tidak, tak
mungkin getah ini begini keras." Lalu ia mena mbahkan pula dengan
ilmu bisik2: "Apakah Taysu tahu mereka punya muslihat apa?"
"Siancai siancay" Lok-san Taysu bersabda. "Cu-cengcu benar2
seorang ahli, demikian juga pendapat Lolap, beruntung Cu-cengcu
hari ini datang, selanjutnya kita bisa saling bertukar pikiran. .... "
Lalu, iapun menjawab pe lahan: "Soa l ini Lolap belum bisa
mengatakan, yang terang tujuannya bukan untuk menghindarkan
petaka yang bakal menimpa kaum persilatan-"
"Usul Taysu baik sekali," kata Kun-gi rendah hati, "Taysu paham
ilmu pengobatan, cayhe me mang ingin mohon petunjuk." Lalu
dengan gelombang suara dan bertanya: "Apakah Taysu juga terbius
oleh mereka wa ktu diculik ke mari?"
"Me mang sudah beberapa kali Lolap mengadakan percobaan
dengan getah racun itu, tapi tiada yang kuperoleh, entah Cu-cengcu
punya pendapat apa?" Habis kata2nya lalu dia menjawab dengan
gelombang suara: "Ya, betul."
Dengan pura2 me mbicarakan penyelidikan getah beracun, kedua
orang secara diam2 tukar keterangan dengan ilmu gelombang
suara.
Kun-gi berkata lebih lanjut: "Di da la m obat mereka menca mpur
obat beracun yang membuyarkan Lwekang orang, bagaimana
Taysu?"
"Hawa murni dala m tubuh Lolap tak ma mpu dihimpun, sisa
tenaga paling2 hanya satu dua bagian dari keadaan normal, sela ma
tiga bulan ini betapapun usahaku tetap tak berhasil kukumpulkan-"
"Apakah Taysu masih ma mpu mengerahkan tenaga murni?"
tanya Kun-gi.
Terang sinar mata Lok-san Taysu tanyanya menatap Kun-gi
lekat2: "Ma ksud Cu-cengcu ."
Kun-gi tersenyum, ujarnya: "Taysu jangan tanya, jawablah dulu
pertanyaanku."
Terbayang rasa sangsi pada muka Lok- san Taysu, katanya:
"Sedapat mungkin Lolap masih bisa mengerahkan hawa murni."
Girang Kun-gi. katanya: "Itulah baik." Dia keluarkan Pi-tok-cu dan
ditaruh ke tangan Lok-san Taysu, katanya: "Genggamlah mutiara ini
pada kedua telapak tangan Taysu, pelahan2 kerahkan hawa murni
ke telapak tangan, terus disalurkan kesekujur badan”.
Betapapun Lok-san Taysu adalah orang yang cukup luas
pengetahuan dan pengala mannya dia m2 dia mengintip ke telapa k
tangan sendiri, katanya kaget dan heran, "Ini kan Le-liong-pi-tok-cu,
mut iara yang dapat menawarkan segala racun."
"Lekas Taysu merangkap tangan dan kerahkan tenaga,
lenyapkan dulu kadar racun yang mengera m da la m tubuh Taysu."
Sampa i di sini percakapan mereka me nggunakan Thoan-im-jip
bit. Lok-san Taysu sedikit mengangguk. lalu berkata: "Harap Cu-
cengcu duduk sebentar, belakangan ini Lolap sering merasa letih,
sewaktu2 harus bersamadi, harap jangan berkecil hati." Segera Lok-
san merangkap kedua telapak tangan di depan dada, pelan2
matapun terpeja m.
Kun-gi duduk di hadapannya, iapun dia m saja menunggu dengan
sabar, kira2 satu jam barulah didengarnya Lok-san Taysu menarik
napas panjang, mendadak matapun terbuka.
Begitu orang me mbuka mata, sinar matanya seketika tampak
mencorong terang dan kuat, jelas racun yang menggangu
Lwekangnya telah tercuci bersih, dalam hati dia m2 Kun-gi
bergirang, tanyanya: "Sudah agak ba ik Taysu"
Pelan2 Lok-san Taysu berdiri, katanya sambil tetap merangkap
kedua tangan: "Bikin repot Cu-cengcu menunggu la ma, kini Lolap
sudah segar ke mbali."
Sembari me mberi hormat, lekas dia angsurkan Pi tok cu pada
Ling Kun-gi, lalu berkata dengan ge lombang suara: "Terima kasih
atas bantuan Cu-cengcu, berkat kasiat Pi-tok cu, kadar racun dalam
tubuh Lolap sudah tersapu bersih, tapi karena cukup la ma Lwe kang
buyar, mungkin dala m dua-tiga hari ini baru bisa pulih seperti
sediakala."
Kun-gi terima mutiara yang dikembalikan, iapun berkata dengan
gelombang suara:
"Ku hatur-kan sela mat kepada Taysu."
"Budi dan bantuan cengcu me nyembuhkan racun yang
me mbuyarkan Lwe kangku ini takkan terlupakan sela ma hidupku,
entah apa pula rencana Cu-cengcu se lanjutnya?"
"Dala m tahap permulaan ini, rencana sih belum ada, lebih baik
kita bekerja me lihat perke mbangan selanjutnya saja".
Lok-san Taysu manggut2, katanya: "Betul ucapan Cu-cengcu,
menurut penyelidikan dan pengawasan Lolap sela ma t iga bulan ini,
Cek Seng-jiang adalah ma nusia cerdik yang licik dan licin, banyak
akal muslihatnya, terang dia bukan biang-keladi da la m peristiwa ini,
umpa ma betul ada muslihat, sekarang masih sukar dijajaki sa mpa i
di mana tujuan mereka yang sebenarnya, terutama kalau di
belakang layar peristiwa ini ada orang la in yang mengenda likan."
Berpikir sejenak. lalu Kun-gi berkata: "Bagaimana pendapat
Taysu tentang Tong Thian-jong dan Un It-hong?"
"Sela ma tiga bulan berkumpul dengan mere ka, pengalaman
merekapun sa ma seperti kita, walau Cek Seng-jiang ada maksud
merangkul mereka, segala keperluan mereka dilayani serba
berlebihan, tapi selama ini mereka tak pernah bertekuk lutut,
menurut he mat Lolap. boleh Cu-cengcu secara diam2 bantu mereka
me lenyapkan kadar racun di tubuh mereka, dengan gabungan
kekuatan kita berempat mungkin lebih gampang menyelidiki tujuan
mereka yang sebenarnya menculik kita ke mari dan dari mana asal
mula getah beracun ini."
"Pendapat Taysu me mang tepat, cayhe akan bekerja menurut
keadaan," kata Kun-gi. Untuk menjaga percakapan mereka tida k
didengar orang ma ka mereka pura2 bicara pula tentang
penyelidikan getah beracun itu, berselang agak lama baru Kun-gi
pamitan-
Kembali ke ka mar kerjanya, sengaja dia mencelup ujung jarum
ke dalam getah beracun, lalu di-a mat2i serta berpikir sambil
mengerut kening.
Betul juga belum la ma dia ke mbali ke ka mar, secara diam2 Long-
gwat sudah menarik pintu terus menyelinap masuk. dengan senyum
manis dia me mberi hormat, katanya: "Cu-cengcu tentu sudah letih,
santapan siang sudah kuantar ke mari, silakan ma kan dulu."
Dengan hati2 Kun-gi letakkan jarum perak serta getah beracun di
atas tatakan, lalu disimpan ke dala m le mari serta dikunci. Waktu dia
me masuki ka mar ma kan, hidangan me mang sudah di-persiapkan,
Lok-san Taysu, Tong Thian-jong dan Un it-hong sudah datang lebih
dulu dan sedang menunggu kehadirannya.
Ling Kun-gi, Tong Thian-jong dan Un It- hiong sa ma doyan arak
dan melalap hidangan yang tersedia dengan lahapnya, hanya Lok
san Taysu yang ciajay (makan vegetarian) dan cuma minum teh,
tapi mereka bicara amat cocok dan tak habis2 bahan yang mereka
bicarakan- Habis makan mereka duduk pula sebentar di ka mar
samping, lalu ke mba li ke ka mar kerja masing2 melanjut kan tugas
mereka.
Lewat lohor, Kun-gi istirahat sebentar, lalu keluar berkunjung ke
kamar kerja Tong Thian-jong.
Kontak pembicaraan mereka sudah tentu seperti pembicaraan
Kun-gi dengan Lok-san Taysu. cuma ka li ini Kun-gi perlihatkan
pedang pendak pemberian Tong-lohujin serta menjelaskan asal usul
sendiri secara ringkas, cara bagaimana dia menyamar cia m-Liong Cu
Bun-hoa untuk menyelundup ke sarang musuh ini. Akhirnya dia
keluarkan Pi-tok-cu, sehingga racun yang mengganggu di tubuh
Tong Thian-jong pun berhasil dicuci bersih.
Hari kedua pada waktu yang sama, dengan cara yang sama dia
berkunjung ke tempat Un It-hong serta melenyapkan racun di
tubuhnya juga.
Langkah perta ma ini dia telah berhasil dengan ba ik, sudah tentu
tetap di luar tahu Ling-hong dan Long-gwat, kedua pelayan yang
selalu mengawasi gerak-gerik mereka setiap hari, apa yang mereka
lihat dan perke mbangan apa yang terjadi pasti dilaporkan kepada
sang cengcu alias Cek Seng-jiang.
Dan Cek Seng jiang justeru menaruh curiga, ma klumlah cia m-
liong Cu Bun-hoa seorang tokoh kosen, namanya juga beken,
setelah diundang kemari dengan cara penculikan, meski dilayani
sebagai tamu agung terhormat betapapun di tempat ini dia akan
selalu kehilangan kebebasan, tak mungkin sede mikian getol dan
besar perhatiannya terhadap getah beracun serta berusaha
mene mukan obat penawarnya. oleh karena itu dia perintahkan
kepada Ling-hong dan Long-gwat yang ada di Hiat-ko-cay, serta
Hing- hoa yang ada di ka mar obat, serta ing-jun yang ada di kamar
Cu Bun-hoa, untuk lebih me mperketat pengawasan terhadap cu Bun
- hoa.
Disa mping dia suruh anak angkatnya Dian Tiong-pit bertanggung
jawab untuk me mperkuat penjagaan dan pengintipan, setiap saat
harus selalu me ngawasi gerak-gerik kee mpat "ta mu agung" itu.
Sudah tiga hari Ling Kun-gi me lakukan tugas kerja di Hiat-ko-cay.
selama tiga hari ini dia sibuk, botol2 besar kecil sama berserakan di
atas meja kerjanya, ada puyer, ada cairan obat, ada pula dedaunan,
maka ka mar kerjanya itu diliputi bau obat yang tebal.
Sudah tentu Cek Seng-jiang tidak percaya begitu saja bahwa dia
betul sedang menyelidiki obat penawar, dia berpendapat gairah
kerjanya itu justeru sedang berdaya untuk mene mukan obat
penawar Lwekang yang ada ditubuhnya. Untuk soal ini dia tida k
perlu kuatir, karena di dalam ka mar obat itu hakikatnya tiada
satupun bahan obat yang tulen untuk mera mu obat penawar racun
yang membuyarkan Lwekang mereka. Terutama "tamu" yang telah
berada di Coat Sin-san-ceng, tumbuh sayappun jangan harap bisa
terbang keluar.
Tengah hari ketiga, setelah makan siang, seorang diri Kun-gi
beranjak ke ka mar kerja sendiri, perasaannya terasa berat seperti
dibebani apa-apa. Karena selama tiga hari ini, setelah berlangsung
pembicaraan dengan Lok-san Taysu, Tong Thian-jong dan Un It-
hong, walau dia sudah punahkan racun di badan mere ka, namun
persoalan pelik yang mere ka hadapi dan sukar diatasi masih ber-
tumpuk2.
Umpa manya: "Kenapa Cek Seng-jiang bersusah payah dengan
berbagai muslihat mengundang mereka kemari? Sudah tentu soal
getah beracun ciptaan Sam-goan hwe yang diceritakan itu tak boleh
dipercaya, kalau tidak mau dikatakan hanya bualan belaka, tapi dari
mana sebetulnya getah beracun itu? Kenapa dia ingin cepat2
me mperoleh obat penawarnya?
Lok-san Taysu berpendapat, Cek Seng-jiang adalah orang yang
diberi tugas me ngepalai Coat Sin-san-ceng dan minta mereka
berdaya mene mukan obat penawarnya, di belakang tabir semua
persoalan ini tentu masih ada biang ke ladinya. Lalu siapa orang
yang ada dibalik tabir? Apa pula tujuannya?
Waktu datang jelas terlihat dirinya berada di depan sebuah
perkampangan di kaki bukit, kenapa kenyataan Coat Sin-san-ceng
sekarang dikelilingi air, di luar lingkaran air dipagari gunung pula?
Umpa ma mereka tumbuh sayap juga jangan harap bisa terbang
pergi.
Sudah tentu persoalan yang paling penting adalah getah beracun
itu, menurut Tong Thian jong dan Un It-hong yang ahli di bidang
racun, getah yang amat keras kadar racunnya ini sungguh sulit
untuk meramu obat penawarnya. Walau komplotan ini me mpunyai
getah beracun yang begini lihay, tapi selama obat penawarnya
belum diperoleh, mereka masih jeri dan ragu2 untuk bergerak. tapi
betapapun hal ini cukup prihatin dan besar bahayanya. Seumpa ma
seperti apa yang dikatakan Cek Seng Jiang, mereka bertindak
terhadap golongan hita m atau a liran putih dari kaum persilatan,
maka petaka yang akan menimpa setiap insan persilatan sungguh
sukar dibayangkan-
Duduk di bela kang meja kerjanya, pikiran Ling Kun-gi sema kin
butek. semakin dia pikir terasa persoalan semakin ruwet dan sukar
diraba.
Mendadak terpikir olehnya, segala persoalan yang dihadapinya
me lulu menyangkut getah beracun ini, se mua persoalan timbul juga
karena getah beracun ini, kalau obat penawarnya bisa dite mukan,
segala persoalan dengan sendirinya tiada lagi. Mengingat obat
penawar, seketika dia teringat pada Pi-tok-cu di dala m kantongnya.
Pi-tok-cu dapat menawarkan segala maca m racun di jagat ini, sudah
tentu bisa pula menawarkan kadar racun getah itu. Segera dia
merogoh keluar mutiaranya. dengan hati2 dan pelan2 dia tutulkan
mut iaranya ke atas getah yang dia taruh di tatakan- Sungguh tak
terduga hanya sedikit menutul saja, mendadak terdengar suara
"ces" yang cukup keras dipermukaan tatakan, bunyi seperti lembar
besi yang me mbara tiba2 di masukkan ke dala m air, getah beracun
yang ada di tatakan seketika mengepulkan asap kuning yang tebal.
Keruan kaget Kun-gi bukan main, le kas dia periksa Pi-tok-cu di
tangannya, untung tidak kurang suatu apa2.
Pada saat itulah, didengarnya pintu ka mar kerjanya terbuka,
Long-gwat, pelayannya secara diam2 me langkah masuk me mbawa
poci berisi air teh. Untung Kun-gi cukup ce katan, lekas dia
sembunyikan mut iara ke da la m bajunya.
Sudah tentu Long-gwat sempat melihat asap kuning yang
menguap dari tatakan, matanya mengerling Kun-gi, katanya
tertawa: "Kenapa Cu-cengcu tidak istirahat sebentar? Sibuk kerja
terus."
Kun-gi angkat kepala sambil berkata tertawa: "Saking iseng,
Lohu coba2 pakai beberapa macam obat ini untuk me ncoba kadar
racunnya."
"Se mangat kerja cu cengcu me mang menyala2 . . . . " sembari
bicara dia maju mende kati meja, baru saja dia mau menuang
secangkir teh untuk Kun-gi. Mendadak ia menjerit tertahan, cang-kir
dan poci dia taruh di atas meja, serunya kegirangan: "Cu-cengcu,
kau berhasil coba lihat, getah di tatakan ini se karang berubah
menjadi air bening."
Me mang betul, setelah asap kuning lenyap dari permukaan
tatakan, getah setengah tatakan yang semula berwarna hita m
legam kini telah berubah menjadi air bening.
Karena Long-gwat tadi masuk secara mendadak. Kun-gi sibuk
menye mbunyikan mutiara, bukan saja tidak me mperhatikan
perubahan yang terjadi di dalam tatakan, malah sekenanya dia
bilang sedang mencoba dengan beberapa maca m jenis obat. Kini
setelah mendengar teriakan Long-gwat, diam2 ia mengeluh: "Wah,
terlihat oleh dia, urusan mungkin bisa runyam?" Terpaksa dia harus
bersikap kejut2 girang. segera ia pura2 periksa a ir bening di dala m
tatakan dengan seksama, akhirnya ia bergela k tertawa.
Dengan tertawa senang Long-gwat memberi hormat kepada Kun-
gi, katanya: "Selamat cu-ceng-cu pasti akan berhasil mene mukan
obat penawarnya."
Tiba2 berubah kaku mimik tawa Kun-gi, kedua matanyapun
jelalatan kian ke mari se mentara tangan sibuk me mba lik2 botol
diatas meja yang berserakan, dengan lagak gugup tangan yang lain
garuk2 kepa la, serunya: "celaka, barusan Lohu a mbil beberapa
maca m obat terus diaduk dan diramu jadi satu, entah obat2 mana
saja tadi yang telah kugunakan untuk menawarkan getah beracun
ini?"
Long gwat tertawa, katanya: "cu-cengcu sudah berhasil
menawarkan getah beracun ini, asal dicoba lagi beberapa ka li pasti
akan berhasil dite mukan dengan mudah, ini kabar baik, sungguh
gembira, sayang cengcu kita tidak di rumah .. . ."
Tergerak hati Kun-gi, tanyanya: "Cek-cengcu pergi ke ma na?"
"Ha mba tidak tahu, semalam cengcu keluar, mungkin besok
ma la m baru pulang," lalu dia tuang secangkir teh dan berkata:
"cengcu tiada, tapi ada Kongcu yang bertanggung jawab di sini, Cu-
cengcu berhasil menawarkan getah beracun ini, ha mba harus
segera melaporkan kabar baik ini kepada Kongcu." Habis bicara
pelayan itu terus berlari keluar.
"Nona, tunggu sebentar," cegah Kun-gi.
"Cu-cengcu ada pesan apa?" seru Long-gwat berhenti.
"Kongcu yang nona katakan, tentunya anak Cek-cengcu?"
"Dian-kongcu adalah anak angkat cengcu kita."
"Entah siapakah na ma Dian-kongcu?"
"Dian-kongcu berna ma Tiong-pit."
Ling Kun-gi manggut2, katanya sambil menge lus jenggot: "Getah
beracun ini hanya secara kebetulan dapat kupunahkan, tapi belum
bisa aku mene mukan obat2 ra muan yang mana adalah penawar
yang sebenarnya, kalau dikatakan berhasil maka baru lima puluh
persen saja, perlu kucoba pula untuk beberapa kali, oleh karena itu,
kukira hal ini belum saatnya untuk dilaporkan kepada Kongcu kalian
........"
"Ha mba tahu, tapi kalau hal ini tidak kulaporkan, bisa jadi
kepalaku a kan dipenggal?" habis berkata buru2 dia berlari pergi.
Kun-gi jadi menjublek di te mpatnya, pada saat dia ragu2 dan
merancang sikap apa yang harus dia la kukan untuk menghadapi
perkembangan selanjutnya, tampak daun pintu terdorong, Ling-
hong tampak berlari masuk sa mbil berseri senang, katanya sambil
me mberi hormat: "Konon Cu-cengcu berhasil menawarkan getah
beracun, buru2 hamba ke mari menyampa ikan sela mat kepada Cu-
cengcu."
Kun-gi bergelak tertawa, katanya: "Terima kasih nona, Lohu
hanya mene mukan obat penawarnya secara kebetulan."
"Itupun berkat usaha Cu-cengcu. Konon getah beracun ini tiada
obat penawarnya di dunia ini, kini kenyataan Cu-cengcu berhasil
menawarkannya," de mikian Ling-hong.
"Ah, masih terlalu pagi untuk dikatakan berhasil," ujar Kun-gi.
Tengah bicara, tampak Lok-san Taysu, Tong Thian-jong dan Un
It-hong yang mendengar kabar itu serempak juga masuk ke
kamarnya. Lekas Ling-hong mengundurkan diri.
"omitohud" Lok-san Taysu bersabda, "Lolap dengar Cu-cengcu
berhasil menawarkan getah beracun itu, sungguh menyenangkan
dan harus diberi sela mat" Habis berkata lalu dengan Thoan-im-jip-
bit dia bertanya: "Apa yang telah terjadi?"
Untuk me mberi kesempatan Lok-san Taysu bicara dengan Kun-gi,
sengaja Tong Thian-jong tertawa keras, katanya: "Cu-heng me mang
lihay, tiga bulan kami bersusah payah tanpa berhasil, hanya tiga
hari Cu-heng datang lantas berhasil me munahkan getah beracun
ini."
"Ah, mana, mana?" ujar Kun-gi merendah hati, lalu dia jelaskan
kejadian tadi.
Un It-hong lantas menyambung "Dala m wa ktu singkat ini pasti
Cu-heng bisa mera mu obat penawar yang lebih se mpurna lagi"
Berkerut alis Lok-san Taysu, sejenak dia merenung, katanya
dengan mengirim gelombang suara: "Bahwa Pi-tok-cu dapat
me munahkan getah beracun me mang satu hal yang patut dibuat
girang, selanjutnya getah beracun ini tidak perlu ditakuti lagi, tapi
hal ini sudah telanjur terjadi, Cek Seng-jiang pasti akan
mendesakmu agar selekasnya meramu obat penawarnya yang asli,
sementara waktu mungkin kau bisa berpura2, kalau sa mpa i ber-
larut2 la ma mungkin mere ka akan curiga."
"Biarlah kita bekerja melihat gelagat saja," sahut Kun-gi, "yang
penting, sekarang kita harus selekasnya mene mukan muslihat dan
tujuan mereka? Siapa pula yang berada dibelakang layar
mengenda likan Cek Seng-jiang? Kalau sekaligus dapat kita bongkar
seluruhnya, sudah tentu baik se kali."
Sampa i di situ pe mbicaraan mereka, tampa k Ling-hong
me langkah datang dengan cepat, katanya me mberi hormat: "Lapor
Cu-cengcu, Kongcu ka mi tiba."
Terdengar langkah ringan dengan ter-buru2, cepat sekali Long-
gwat telah mendorong pintu. Tampak seorang pe muda berjubah
biru dengan gelung ra mbut berkundai e mas di atas kepala
me langkah masuk dengan bersenyum, katanya sambil menjura:
"Siautit Dian Tiong-pit me mberi sa la m hormat kepada pa man cu."
Sekarang lebih nyata bagi Kun-gi bahwa Dian Tiong-pit ini
me mang pe muda baju biru yang telah dikuntitnya sejak dari
Kayhong itu, lekas iapun me mbalas hormat, katanya: "Dian-siheng
tak perlu banyak adat."
Alis menega k. mata besar bersinar, sikap gagah dan kereng,
demikianlah keadaan Dian Tiong-pit, kini dia bersikap hormat dan
ramah, ber-turut2 ia-pun me mberi sa la m kepada Lok-san Taysu,
Tong Thian-jong dan Un It-hong, lalu berkata pula kepada Kun-gi:
"Siautit dengar katanya paman cu berhasil me munahkan getah
beracun, inilah kabar gembira, sungguh keberuntungan besar kaum
persilatan di seluruh jagat pula, sayang Gihu kebetulan keluar
rumah, sengaja Siautit kemari menyampaikan sela mat, sekaligus
mohon pa man cu da-tang ke Kia m-khe k sebetar untuk bicara."
"Khian-khek me ma ng belum pernah dikunjungi, kebetulan
sekiranya dirinya diajak kesana, lekas Ling- Kun-gi berkata: "Terima
kasih atas undangan Dian-siheng. Baiklah Lohu iringi kehendakmu."
Terunjuk rasa senang pada wajah Dian Tiong-pit, katanya: "Baik,
silahkan pa man cu"
Berkelebat rona curiga pada sorot mata Tong Thian-jong, le kas
dia berkata dengan Thoan-im-jip-bit kepada Ling Kun-gi: "Sorot
mata bocah she Dian ini agak mencurigakan, Ling-lote harus hati2."
Kun-gi me mberi hormat dan pamit sebentar kepada Lok-san Tay-
su bertiga terus keluar. Pada saat bicara, diam2 dia mengangguk
kepada Tong Thian-jong.
Dian Tiong-pitpun me mberi hormat dan mohon pa mit kepada
mereka bertiga, lalu berkata: "Marilah Siautit menunjukkan
jalannya." Lalu dia mendahului berjalan di muka.
Khia m-khek terletak bagian ujung barat, sekitarnya dikelingi air,
tepat di tengah2 air sana berderet tiga petak gardu yang dikelilingi
pagar kayu,jembatan batu yang menghubungkan darat dan ketiga
gardu itu berliku sembilan kali, letaknya kebetulan saling
berhadapan dengan Hiat-jo-cay di sebelah timur sana.
Di bawah iringan Dian Tiong pit, setelah melewati je mbatan batu
sembilan liku, langsung me nuju ke deretan tiga gardu di tengah a ir
sana, gardu ini ditabiri kerai ba mbu, kelihatan a mat hening dan
tenteram, Baru saja mereka t iba di depan gardu, seorang dayang
pakaian hijau segera menyingkap kerai dan me mbungkuk hormat
kepada Dian Tiong-pit, katanya: "Siancu sudah menunggu di dala m
gardu, harap Kongcu mengiringi Cu-cengcu ke dala m mene mui
beliau."
Dian Tiong-pit me mba lik dan menyila kan, "Silahkan pa man cu"
"Lohu baru datang, Dian-siheng jangan sungkan, sila kan tunjuk
jalannya," ujar Kun-gi. Ter-paksa Dian Tiong-pit beranjak masuk
lebih dulu.
Itulah sebuah ka mar ta mu yang kecil tapi terpajang serba
sederhana dan serasi dengan keadaan dan suasana, meja kursi
seluruhnya terbuat dari bambu kuning, pada sebuah kursi yang
terletak di sebelah atas duduk seorang nyonya muda berpakaian ala
puteri keraton, melihat Dian Tiong-pit masuk mengiringi Ling Kun-gi,
matanya me-ngerling pelan2 berdiri.
Sekali pandang, Kun-gi lantas kenal nyonya muda yang dipanggil
Siancu ini ternyata adalah Hian-ih-lo-sat.
Hal ini tidak menjadikan dia heran atau kaget, karena Hian-ih-lo-
sat me mang se komplotan dengan peristiwa Cin-Cu-ling itu.
Lekas Dian Tiong-pit maju me mberi hormat, katanya: "coh ih
(bibi coh), paman cu telah da-tang." Lalu dia berkata kepada Ling
Kun-gi: "inilah bibi coh, anggota keluarga Gihu, ayah sedang keluar,
segala urusan besar-kecil dalam Coat Sin-san-ceng ini ada bibi coh
yang mengurus dan bertanggung jawab, tadi mendapat laporan
bahwa paman cu berhasil me munahkan getah beracun, maka beliau
ingin berhadapan dengan pa man cu ma ka Siaut it diperintahkan
mengundang pa man Cu ke mari."
Pada saat Dian Tiong-pit bicara, sepasang mata Hian- ih-to sat
menatap Kun-gi lekat2 kini iapun berkata dengan tersenyum:
"Sudah la ma ku- dengar na ma besar Cu-cengcu dari Liong-bin-san-
ceng, hari ini dapat berhadapan dan ternyata memang tida k
bernama kosong."
Lalu dia melirik Dian Tiong-pit dan mengome l: "Dian-toasiauya,
Cu-cengcu adalah ta mu kita, lekas sila kan duduk"
Ter-sipu2 Dian Tiong-pit mengiakan, dan angkat tangan: "Silakan
duduk pa man cu"
Kun-gi me mberi hormat pada Hian-ih-lo-sat, katanya: "Kiranya
nona coh, beruntung dapat bertemu." Lalu dia duduk di hadapan
Hian-ih-lo-sat.
Dian Tiong-pit hanya berdiri saja di samping dengan sikap
hormat.
Pelayan masuk menyuguhkan air teh. Kata Hian-ih-lo-sat:
"Silakan minim Cu-cengcu." La lu dia berpaling pada Dian Tiong-pit
di samping: "Aku mau bicara dengan Cu-cengcu, kau boleh ke luar
saja."
Dian Tiong-pit mengiakan dan mohon diri.
Segera Kun gi berkata sambil menatap muka orang: "nona coh
mengundangku ke mari, entah ada urusan apa?"
"Dala m waktu dua hari Cu-cengcu berhasil me munahkan getah
beracun yang tiada obat penawarnya di kolong langit ini, sungguh
suatu hal yang mengge mbirakan, tapi juga agak mengherankan."
Tergerak hati Kun-gi, katanya: "Darimana nona tahu kalau getah
beracun milik Sa m-goan-hwe itu t iada obat penawarnya?"
Melenggong Hian-ih-lo-sat oleh pertanyaan yang tak pernah
diduganya ini, dia bersenyum lebar, katanya: "Paling tida k sebelum
hasil Cu-cengcu ini, racun ini tiada obat penawarnya . "
"Sebetulnya cayhe juga tidak yakin, namun kegaiban telah terjadi
secara kebetulan, sejauh ini caybe masih belum tahu kenapa maca m
obat di antaranya yang cocok dalam ra muan itu untuk mengubah
getah beracun itu menjadi air bening? Se mula kupikir sebelum
semua ini menjadi se mpurna, sebaiknya hal ini jangan diketahui
orang banyak."
"o, jadi Cu-cengcu mau menye mbunyikan kesuksesanmu ini?"
Ling Kun-gi menyengir, katanya: "Ada sesuatu yang tidak nona
coh ketahui, usahaku ini baru berhasil dala m langkah permulaan,
perlu diselidiki lebih me ndala m pula, setelah diadakan beberapa kali
percobaan pula baru akan bisa ditemukan obat penawarnya yang
benar2 tulen."
"Entah berapa lama Cu-cengcu akan mene mukan obat
penawarnya yang tulen itu?"
"Sukar dikatakan, yang terang aku a kan kerja keras."
Pembicaraan soal getah beracun berakhir sampai di sini. Tapi
Hian-ih-lo-sat kelihatannya suka ngobrol, dia unjuk senyum
menggiurkan kepada Kun-gi, lalu bertanya: "Kudengar Cu-cengcu
punya seorang puteri yang cantik, orang2 Kangouw me manggilnya
Liong- bin- it-hong, entah siapa na manya dan berapa usianya?"
Dia m2 Kun-gi menge luh dala m hati, ha l2 yang ditanyakan ini
padahal tidak pernah dia ketahui sebe lumnya, beruntung dia tahu
kalau Pui Ji-ping punya seorang Piauci, usianya sebaya meski agak
lebih tua sedikit, ka lau Pui Ji-ping berusia 19 ia yang sela ma bicara
Ji-ping tida k menyebut siapa piaucinya, kini Hian-ih-lo-sat bertanya,
otaknya yang cerdik segera berpikir kalau Piau-moay bernama Ji-
ping, bukan mustahil sang Piauci berna ma Ji-lan, maka dengan
gelak. tertawa dia menjawab: "Puteri- ku bernama Ji-lan, tahun ini
berusia 19"
Hian-ih-lo-sat tersenyum manis, katanya: "Cu-cengcu, di sini ada
seorang, entah kau mengenalnya tidak?" Lalu dia berpaling dan
berseru: "Giok-je, suruhlah Ho Tang-seng ke mari."
Seorang pelayan di luar pintu segera meng ia- kan terus berla lu.
Dia m2 Kun-gi menimang2. "Entah siapa pulia Ho Tang-seng ini?
Kenapa dia menyuruhnya ke mari? Mungkinkah dia kenal baik
dengan cu- ceng-cu? "
Cepat sekali pelayan itu sudah ke mba li dan berseru: "Lapor
Siancu, Ho Tang- seng sudah datang."
"Suruh dia masuk"
Kerai disingkap. masuklah seorang laki2, bermuka burik beralis
tebal dan berpakaian ketat warna ungu, dengan munduk2 dia
me mberi hormat serta berseru: "Hamba Ho Tang-seng menghadap
Siancu."
"Ya," Hian-ih-lo-sat tertawa, katanya: "Cu-cengcu masih
mengenalnya?"
"Ho- congsu ini me mang seperti pernah kulihat entah di ma na."
Seperti tertawa tapi tidak tertawa Hian-ih-lo-sat meliriknya,
katanya. "Ho Tang seng, hayo mem-beri hormat kepada Cu-
cengcu."
"congsu tida k usah banyak adat."
Hian-ih-lo-sat Cekikan, katanya: "Kalau demikian, Cu-cengcu
tidak menyalahkan dia telah berkhianat terhadap perkampunganmu,
kini dia mondok diperka mpungan ka mi."
Dia m2 tersirap darah Ling Kun-gi, bila Ho Tang-seng betul2
orang dari Liong-bin-san-ceng. kalau anak buah saja tidak kenal,
bukankah diri-nya telah menunjukkan gejala2 kurang sehat? Untung
otaknya encer, sorot matanya menunjukkan perasaan dingin
mena mpilkan amarah yang tertekan, katanya tawar sambil
menge lus jenggot: "cay-he sendiri telah kini menjadi tawanan di
sini, apa-lagi hanya seorang anak buahku?"
Hian-ih-lo-sat tetap tersenyum, katanya, "Ho Tang-seng tiada
tempat berpijak di Liong-bin-san-ceng, maka terpaksa dia lari
ke mari, harap Cu-cengcu tidak marah " Lalu dia berpaling dan tanya
pada orang itu "Berapa tahun kau berada di Liong-bin-san-ceng?"
"Dua tahun," sahut Ho Tang-seng.
"Cu-cengcu punya seorang puteri, siapa na manya dan berapa
usianya, kau tahu?"
"siocia berna ma Ya-khim, berusia 19."
Hian-ih-lo-sat manggut2, tangannya mengulap. katanya: "Kau
boleh pergi." Ho Tang seng segera mengundurkan diri.
Rada kelam a ir muka Hian-ih-lo-sat, kata-nya menatap Ling Kun-
gi dengan nada setengah menyindir: "cu cengcu, menyebut na ma
puterimu sendiri kok salah?"
Berubah roman Kun-gi, katanya dengan gusar: "Apakah tidak
keterlaluan kata2 nona?"
"Bicara terus terang, kurasa wajah Cu-cengcu mungkin juga
dirias sede mikian rupa."
Sikap Kun-gi se ma kin garang, katanya: "Lo-hu berjalan tidak
perlu ganti na ma, duduk tidak perlu mengubah she, kenapa harus
pakai merias diri segala?"
"Me mangnya aku juga berpikir de mikian, tapi melihat
kenyataannya mau t idak ma u aku harus bercuriga."
"Maksud nona, kalian salah mengundangku ke mari?"
"Mungkin de mikian, cuma kupikir apakah kau sengaja me wakili
Cu-cengcu ke mari."
"Sengaja mewa kili Cu-cengcu?" kata2 ini betul2 menggetar
sanubari Ling Kun-gi, dia m2 ia kerahkan tenaga di tangan kiri,
mukanya kereng, katanya: "Apa, maksud nona?"
"Jangan marah Cu-cengcu, aku hanya ingin me mbongkar rahasia
hatiku sendiri, tiada ma ksud jahat terhadapmu," tanpa menunggu
Kun-gi bersuara, dia lantas mena mbahkan: "peduli Cu-cengcu tulen
atau palsu kau tetap adalah tamu agung terhormat di Coat Sin-san-
ceng ini."
Kun-gi bersikap tida k mengerti, katanya sambil menatap Hian-ih-
lo-sat: "Apa maksud nona sebenarnya?"
"Dihadapan seorang asli tidak perlu berbohong," tiba2 Hian-ih-lo-
sat cekikikan, "se mala m di Liong-bun-kin aku me nawan seorang,
kalau dibandingkan dengan kau "Cu-cengcu", dia agak sedikit
mirip."
"Agak sedikit mirip", maksudnya orang yang dibe kuknya se mala m
itu pasti adalah cia m-Liong Cu Bun-hoa yang tulen.
Semula Kun-gi masih ragu, tapi setelah dia hitung waktunya,
me mang saatnya tepat sesuai janji Cu Bun-hoa untuk me luruk
ke mari menolong dirinya dari luar, jadi kini cu Bun- boa telah
tertawan oleh musuh. Bagaimana ilmu silat Cu Bun-hoa ia sendiri
tidak tahu. Tetapi Kim Kay-thay, Un It-kiau, Lam-kiang-it-ki dan
tokoh2 silat la innya ber-turut2 menghilang, ke mungkinan se muanya
telah menjadi tawanan komplotan C in-Cu-ling, bahwa cia m-Liong
juga menjadi tawanannya, kiranya dapat dipercaya.
Cuma di ma na orang2 ini di sekap? Apakah di dala m Coat Sin-
san-ceng juga? Mendadak dia ingat pada ibunya yang telah
menghilang beberapa waktu la manya, kemungkinan beliau juga
terkurung bersa ma orang banyak ini. Bukan Mustahil di ta man
bunga ini terdapat ka mar tahanan di bawah tanah.
Melihat sekian la ma orang tidak bersuara, dengan suara lembut
Hian-ih-lo-sat berkata pula: "Kini kau sudah percaya?"
"Lohu justeru tidak percaya, di kolong langit ini mana bisa
muncul dua cia m-Liong Cu Bun-hoa sekaligus."
"Yang tulen tentu hanya satu, kalau Cu- Ceng cu punya minat,
bisa kubawa kau me lihatnya," demikian ajak Hian-ih-lo-sat.
"Baik seka li, Lohu me mang ada maksud ini."
"Bolehkah ini dina ma kan pertemuan dua naga? Dua cia m-long
bernama Cu Bun-hoa akan saling berhadapan, kisah ini tentu akan
menjadi dongeng yang mengasyikan di Bu-lim."
Ling Kun-gi berdiri, katanya: "Di mana dia?"
"Mari Cu-cengcu ikut aku," lalu Hian-ih-lo-sat menuju gardu atau
paseban sebelah.
Agaknya sedikitpun dia tidak menaruh prasangka apa2, dia
berjalan di depan me mbe lakangi Ling Kun-gi, seluruh Hiat-to di
belakangnya berarti terpampang di hadapan anak muda itu. Jarak
kedua orangpun amat dekat, asal mau ulur tangan Kun-gi pasti bisa
me mbe kuknya. Tapi Hian-ih-lo-sat berjalan dengan gemulai se-
olah2 dia yakin bahwa Ling Kun-gi tidak akan berani turun tangan
terhadap dirinya.
Kun-gi sendiri juga ragu2 dan kebat-kebit, terpaksa ia ikuti
masuk ke sebuah ka mar kecil di belakang paseban.
Waku ia awasi kamar kecil ini, tampak di sebelah timur sana, di
atas sebuah dipan kayu rebah telentang seorang. Wajahnya tampak
halus putih, alisnya tebal, jenggot hitam sebatas dada, sekilas
pandang dia lantas tahu wajah orang ini mirip sekali dengan muka
dirinya, muka asli cia m-Liong Cu Bun-hoa.
Sudah tentu Kun-gi t idak tahu bahwa orang ini cia m-Liong tulen
atau palsu? Tanpa terasa ia, mengejek: "Mirip sekali sa marannya."
Hian-ih-losat meliriknya, katanya dengan hambar: "Kau tidak
percaya kalau dia ini yang tulen?"
"Nona coh tadi mengatakan, yang tulen hanya ada satu? Kenapa
tidak kau suruh dia bangun, supaya Lohu menanyai dia"
"Me mbangunkan dia boleh saja, kalau tidak mana Cu-cengcu
mau menyerah dan tunduk lahir batin, betul tida k?" la lu dia
mena mbahkan: "cu-,cengcu yang satu ini hanya tertutuk jalan darah
penidurnya, tolong kau sendiri yang turun tangan me mbuka Hiat-
tonya, kau boleh tanya siapa dia?"
Kun-gi me ndengus sekali, kuatir dijebak orang, dia m2 ia
kerahkan tenaga di kedua lengan, pelan2 dia mende kati
pembaringan dan me mbuka Hiat-to penidur Cu Bun-hoa.
Cepat sekali Cu Bun-hoa sudah me mbuka mata dan pelan2 dia
bangkit berduduk, keadaannya seperti amat payah dan letih, namun
sorot matanya me mancarkan a marah, sekilas dia pandang kedua
orang ,dihadapannya. Waktu melihat seorang laki2 yang berparas
mirip dirinya berdiri di depan pe mbaringan, sekilas dia ta mpa k
me lenggong, bentaknya rendah: "Pere mpuan hina, kalian ma u
berbuat apa terhadap diriku?"
Begitu dia buka suara, Kun-gi lantas tahu bahwa orang ini
me mang cia m-Liong cu un-hoa yang asli, keruan ia kaget.
Hian-ih-lo-sat cekikikan, katanya: "Cu-cengcu mesti marah begini
rupa? Beginilah duduk persoalan-nya, Cu-cengcu yang kami undang
ke mari tidak percaya bahwa kau adalah cengcu dari Liong-bin-san-
ceng, maka terpaksa kuiringi dia ke mari me lihat mu, kukira kalian
satu sama lain pasti kenal, tak perlu aku me mperkenalkan kalian
lagi."
Terunjuk rasa kaget, heran serta curiga sorot mata Cu Bun-hoa,
katanya setelah mengawasi Ling Kun-gi : "Siapakah cengcu Liong-
bin-san-ceng? Lohu t idak tahu."
"Kenapa Cu-cengcu masih pura2? Sejak kutawan tadi, muka mu
sudah kucuci bersih, siapa di antara ka lian adalah Cu-cengcu tulen,
tentu kalian sendiri mengerti."
"Sedikitpun aku tidak mengerti," seru Cu Bun-hoa marah. Lalu
dia berpaling kepada Ling Kun-gi, bentaknya: "Siapa kau?"
Sekilas Kun-gi mengerut kening, tapi otaknya yang cerdik lantas
berkeputusan bagaimana dia harus bersikap katanya, ter-gelak2:
"Siapa Lohu? Kalian me mang pandai ma in sandiwara. Di dala m
bubur kalian menaruh racun, menutuk Hiat-to di dadaku lagi, dala m
hati kalian sudah tahu sendiri, kenapa tanya kepadaku ma lah?"
Kalau kepepet timbul aka lnya, secara tidak langsung kata2nya ini
me mberi mengingatkan Cu Bun-hoa yang sembunyi di ka mar
rahasia, bahwa dia pasti menyaksikan bagaima na In Thian-lok
menutuk Hiat-tonya, kalau Cu Bun-hoa dihadapannya ini samaran
pihak lawan sengaja mau menjajal dirinya, maka kata2nya itupun
tidak akan menarik perhatian pihak lawan-
Ternyata sorot mata Cu Bun-hoa tampak berubah, mendadak dia
bertanya dengan mengirim gelombang suara, "Betulkah kau Ling-
lote?" - Kini terbukti bahwa Cu Bun-hoa dihadapannya me mang
tulen.
Dengan mengelus jenggot dan manggut2 Kun-gi menjawab
dengan gelombang suara: "cayhe me mang Ling Kun-gi, bagaimana
Cu-cengcu bisa tertawan mereka?"
"Lohu terjebak dan di bokong oleh perempuan siluman itu
.........."
Keduanya saling tatap dan pura2 saling menga mati, mere ka
bicara secara diam2, tapi sampai di sini pe mbicaraan mereka tiba2
Hian-ih-lo- sat cekikikan, tukasnya: "Kalian sudah selesai bicara?"
tangannya menuding ke arah Cu Bun-hoa, katanya lebih lanjut:
"Kukira Cu-cengcu yang ini perlu istirahat pula, kami tida k
mengganggumu lagi."
Tampak Cu Bun-hoa berbangkis, kelihatan semakin loyo dan
kecapaian, pelan2 dia menjatuhkan diri dan rebah pula di atas
pembaringan-
Keruan Kun-gi terperanjat, batinnya: "Mungkin pere mpuan
siluman ini mengerja inya lagi?"
Sambil tersenyum Hian-ih-lo-sat pun angkat tangannya ke arah
Ling Kun-gi, katanya. "Silakan Cu-cengcu duduk di luar."
Kun-gi sudah waspada, me lihat tangan orang bergerak ke
arahnya, lekas dia menyurut mundur sa mbil tahan napas, katanya
sambil me njengek: "Tak tersangka ia juga ahli pe makai obat bius."
"Cu-cengcu tidak usah kuatir," ujar Hian-ih-lo-sat sambil
cekikikan genit dan mengerling, "peduli kau ini yang tulen atau
palsu, kau tetap sebagai tamu terhormat Coat Sin-san-ceng kita,
aku tidak akan menggunakan obat bius terhadapmu, mari sila kan
kita bicara di luar saja."
Entah muslihat apa di balik kera mah tamahan orang, terpaksa
Kun-gi ikut keluar. Mereka ke mbali ke ka mar tamu dan duduk di
tempat se mula.
"Nona coh masih ada urusan apa, katakan saja," kata Kun-gi.
"Kau sudah berhadapan dengan Cu-cengcu yang asli, kalau tidak
salah malah kalian sudah mengada kan pembicaraan, kini tak perlu
menyinggung siapa tulen siapa palsu, tapi satu hal perlu kutegaskan
padamu ........"
"Soal apa?"
"Mengenai obat penawar getah beracun itu."
"cayhe sudah bilang ........."
"Aku mengerti," tukas Hian-ih lo-sat, "kalau kau bisa ubah getah
hitam kental itu menjadi air bening, pasti telah menemukan obat
penawarnya, setelah kau menciptakan obat penawarnya baru kalian
yang tulen dan palsu boleh pergi dari coat-sin-san Ceng dengan
selamat."
"Kau menganca m dan me meras Lohu?"jengek Kun-gi.
"Jangan pakai istilah menganca m atau me meras segala, terlalu
menusuk telinga, katakan saja sebagai syarat imba lan-"
Bertaut alis Kun-gi, katanya: "cayhe tidak begitu yakin-"
Mendadak berubah ketus nada Hian-ih-lo-sat, katanya: "Kau
harus menyelesaikan tugasmu, kuberi wa ktu sela ma 10 hari."
"Mungkin sulit, 10 hari terlalu pende k wa ktunya, cayhe . . . . "
"10 hari sudah terlalu la ma bagiku, sebetulnya cukup lima hari."
Setelah me-nimang2 Kun-gi berkata sambil menggeleng: "10 hari
betul2 a mat . . . . "
Hian ih-lo-sat berdiri, katanya tandas: "Tak usah bicara lagi,
semoga da la m 10 hari ini kau bisa menyerahkan obat penawarnya,
kalau tida k . . . ."
Kun-gi ikut berdiri, tantangnya: "Memangnya kenapa kalau
tidak?"
"Kalau tidak kau serahkan obat penawarnya dalam 10 hari,
urusan menjadi berabe bagi kita se mua. Nah, silahkan Cu-cengcu."
Mendadak tergerak hati Kun-gi, kata2 "kita se mua" mungkin
terlanjur diucapkan- Kita se mua, yang dimaksud mungkin termasuk
dia sendiri, itu berarti orang di belakang layar itu sudah mendesak
terlalu keras, maka perintah batas waktu 10 hari tidak boleh ditawar
lagi, ma ka dirinya harus tepat waktunya menyerahkan obat
penawarnya.
Kun-gipun tidak banyak bicara lagi, setelab menjura dia berkata:
"cayhe akan bekerja sekuat tenaga."- ia menyingkap kerai dan
beranjak keluar.
Ia menyusuri je mbatan liku se mbilan menuju ke deretan kola m
bunga, sepanjang jalan ini dia melangkah la mbat2, waktu dia tiba di
depan gunung buatan, tampak Tong Thian jong tengah mendatangi
dari jalanan kecil berbatu krikil sana sambil menggendong tangan,
waktu me lihat Kun-gi segera dia menyongsong sa mbil tertawa: "Cu-
heng sudah ke mbali?"
Lekas Kun-gi me mberi hormat, katanya: "o, kiranya Tong-heng
sedang jalan2 di sini."
"Menjelang magrib ini pe mandangan ala m disekitar sini sungguh
indah," ujar Tong Thian-jong. La lu dengan ge lombang suara dia
bertanya, "Ling-lote, untuk apa bocah she Dian itu mengundangmu
kepaseban sana? Kuatir me ngala mi kesulitan, Lohu ditugaskan naik
ke atas bukit mengawasi keadaan sana, sementara Un-heng berada
di kola m bunga, di bela kang gunung buatan sana, bila perlu ka mi
akan me mberi bantuan pada mu."
Demikianlah se mbari ber-cakap2 dan bersenda gurau mereka
menyusuri kola m bunga sana, setelah celingukan tida k terlihat
bayangan orang, secara ringkas Kun-gi ceritakan pengala mannya
tadi. Tong Thian jong kaget, katanya. "Cu-heng terjatuh juga ke
tangan mereka, bagaimana ini bisa terjadi?"
Kun-gi menengadah me mandang ke te mpat yang jauh, katanya:
"Hian-ih-lo-sat menjadikan cu cengcu sebagai sandera untuk
mendesakku menyerahkan obat penawarnya dalam 10 hari,
sekarang urusan belum kasip. apa2 menolong orang boleh ditunda
sementara, sulitnya kebun ini dikelilingi air, sukar untuk terbang
keluar . . . . "
"Bukankah Ling-lote pernah bilang bahwa waktu kau datang
tempo hari, jelas perkampungan ini terletak di depan kaki gunung,
tiada air yang mengelilingi perka mpungan ini?"
"Ya,justeru di sinilah letak persoalannya yang sulit terpecahkan .
. . . " lalu dengan suara lirih dia mena mbahkan, "menurut dugaan
cayhe, lorong bawah tanah untuk keluar masuk terletak di bawah
coat- sin-san-tang ini."
Tong Thian-jong manggut2 menyatakan sependapat.
Ling Kun-gi lantas utarakan pendapatnya:
"Kim-khe k itu merupa kan sebuah paseban yang berdiri di atas
air, tapi menurut dugaanku di sanalah tempat untuk menyekap para
tawanan, kalau tidak. buat apa Hian-ih-lo-sat me manggilku kesana."
Tong Thian-jong manggut2, ujarnya: "Yaa masuk aka l"
"Kalau betul paseban itu tempat untuk menyekap tawanan, pasti
bukan Cu-cengcu saja yang ditawan di sana."
Terkesiap Tong Thian-jong, tanyanya: "Jadi Ling-lote kira Locit,
Un In ji dan la in2 juga terjatuh ke tangan mereka?"
"Mungkin saja, di antara mereka termasuk Kim Kay-thay,
ciangbunjin murid2 pre man Siau-limpay, Lam-kiang-it-ki Thong-pi-
thian-ong, Kia m hoan-siang-coat Siau Hong-kang dan puteranya dari
Lam-siang."
Berpikir sebentar, Tong Thian-jong berkata dengan menghe la
napas: "Jika benar orang2 itu terjatuh ke tangan mereka, kita
berempat mungkin bukan tandingan mere ka, masa kita ma mpu
menolong mere ka?"
"Soal menolong orang bukan urusan sulit," ujar Kun-gi, "bicara
tentang kepandaian silat sejati, kuyakin sukar bagi mereka untuk
me mbe kuk orang sebanyak itu, mereka pasti mengguna kan
muslihat dan main sergap ........"
Sembari bicara tanpa terasa mereka tiba di ujung timur kebun. Di
sini letaknya sudah dekat dengan pemukaan air sunga i, sepanjang
pinggiran sunga i dipagari kayu merah, di luar pagar sana ditanami
pula pepohonan Yang-liu. Selepas mata me mandang permukaan
seluas puluhan tombak ini begitu tenang laksana kaca, di seberang
sana pohon2 Yang-liupun berderet menjuntai dahan2nya,
pegunungan nan hijau permai melatar belakangi panora ma yang
sejuk dan nya man ini.
Berpegang pada pagar kayu, mereka me mandang ke permukaan
air, perasaan seperti tertindih barang berat. Kecuali mereka bisa
mene mukan jalan ke luar dari Coat Sin-san-ceng ini, ka lau tida k-
bukan saja sulit menolong teman, untuk menyeberang sungai inipun
tak mungkin-
Dia m2 Kun-gi me-nimang2 cara bagaimana dirinya harus
menyelidiki siapa2 yang terkurung di dalam paseban itu? Menyelidiki
di mana letak mulut jalan rahasia di bawah coat -sin-san-ceng ini?
Sem-bari berpikir, tanpa sadar dia menjemput sebuah krikil, di mana
tangan kiri terayun, batu krikil itu dia sa mbitkan ke tengah
permukaan sungai, Gerakannya ini boleh dikata acuh tak acuh atau
iseng bela ka.
Betapapun usia Kun-gi baru likuran, watak kekana kan masih
belum hilang seluruhnya, belum lagi Tong Thian- jong yang sudah
berusia lebih setengah abad, tak mungkin dia main le mpar batu
segala. Bahwa Kun-gi berkebiasaan menggunakan tangan kiri atau
kidal, me mang sudah sejak kecil berkat didikan gurunya, karena
gurunya adalah Hoan-jiu-ji-lay (siBuddha kidal) yang tersohor
menggunakan tangan kiri, oleh karena itu, ke kuatan tangan kirinya
tentu jauh lebih besar daripada tangan kanan-
Walau hanya iseng dan seenaknya saja dia sa mbitkan batu krikil
itu, tapi batu krikil itu me luncur tak ka lah cepatnya daripada anak
panah yang terlepas dari busurnya, malah mengeluarkan deru angin
kencang lagi. Tong Thian-jong sa mpa i me longo, tak dikiranya
semuda ini usia Ling Kun-gi sudah me miliki ke kuatan begini hebat.
Pada saat itulah tiba2 terjadi suatu keanehan. Batu kerikil itu
me luncur kira2 lima-ena m tombak. jadi se mestinya kerikil itu masih
me luncur di atas permukaan air sungai yang lebarnya lebih sepuluh
tombak, tak terduga tiba2 terdangar suara. "traak" yang keras.
Ternyata batu krikil itu telah me nyentuh "permukaan air" yang
tenang bening itu serta mengeluarkan suara aneh, suara benda
pecah ber-keping2.
Suara "trak" yang agak keras itu sudah tentu menimbulkan
perhatian Ling Kun gi dan Tong Thian-jong. serentak mereka
me mandang ke te mpat kejadian-.
Waktu itu me mang sudah magrib, matahari sudah ha mpir
terbenam, alam semesta mulai ditaburi keremangan, tapi jarak lima-
enam tomba k tida k terlalu jauh, keadaan masih bisa terlihat je las.
Begitu mereka tumplek perhatian me mandang ke sana,
permukaan air yang kelihatan tenang itu setelah tersentuh krikil tadi
ternyata meningga lkan bekas2 warna hitam retak sebesar buah
apel. Batu krikil timpukan Kun-gi me mbuat retak permukaan air, dan
permukaan air ternyata membuat batu kerikil itu pecah ber-keping2.
Bukankah hal ini merupa kan kejadian aneh yang t idak masuk a kal?
Semula Ling Kun-gi dan Tong Thian-jong sa ma melongo,
akhirnya saling pandang sa mbil tertawa penuh arti. Karena kejadian
ini me mbuktikan bahwa permukaan air dala m jarak lima- ena m
tombak itu, hakikatnya bukan permukaan air. Kalau permukaan air
bukan permukaan air, la lu apa?
Kedua orang ini sudah tahu sekarang, permukaan air dala m jarak
enam tombak dari daratan itu, sebetulnya adalah sebuah dinding
tembok yang tinggi. cuma pada dinding itu dilukis sede mikian rupa
sehingga menyerupai permukaan air yang tulen, demikian pula
pohon2 Yang-liu yang menjuntai menyentuh permukaan air di
seberang, setelah dita mbah ala m pegunungan menghijau di luar
tembok. selintas pandang lantas ke lihatannya mirip betul a ir sunga i
yang mengalir dengan tenang.
Apalagi di luar pagar kayu, di atas tanggul sunga i sebelah luar
ditanami pohon2 asli yang rimbun dan ber-goyang2 tertiup angin
lalu, sehingga menjadi a ling2 pandangan orang di sebelah sini,
seolah2 seorang melihat sekuntum bunga di tengah kabut, maka
sulit baginya untuk me mbedakan bahwa permukaan air disebelah
luar itu hanyalah lukisan di atas dinding be laka.
Pembuat dekorasi ini me mang lihay dan ahli betul2. Kalau Kun-gi
tidak main le mpar batu tanpa sengaja, sungguh mimpipun mereka
tidak akan menduga tadinya lukisan yang mengelabui pandangan
mata ini.
Tapi hal ini tidak menjadikan persoalan lebih mudah dise lesaikan,
meski rahasia lukisan ini sudah diketahui, permukaan air yang
semula lebar puluhan tomba k kini kenyataan hanya lima-ena m
tombak. bagi seorang ahli Ginkang, untuk me lompat sejauh lima-
enam tomba k me mang bukan pekerjaan sukar.
Sukarnya justeru di luar lima-enam tombak dari permukaan a ir ini
mereka teralang oleh pagar tembok yang begitu tinggi. Tiada
tempat berpijak lagi di kaki te mbok. manusia bukan burung yang
dapat terbang, umpama ma mpu me lompati permukaan a ir ini, cara
bagaimana akan dapat me lompati te mbok setinggi itu?
Setelah saling pandang dan tertawa, wajah Ling Kun-gi dan Tong
Thian-jong akhirnya sama2 kecut dan mengerut kening, mereka
menyadari adanya kesulitan2 yang tidak teratasi ini .Jadi walau
rahasia permukaan air ini sudah terbongkar, tumbuh sayappun
mereka tak bisa keluar, umpa ma nanti berhasil mene mukan di
bawah tanah dan menolong keluar kawan2 yang dise kap di sana,
mereka tetap harus menemukan pula jalan ke luar yang mereka
duga pasti berada di bawah perka mpungan besar ini.
Dengan tajam Tong Thian-jong pandang sekelilingnya, agaknya
tiada orang menyaksikan kejadian di sini, ma ka dengan suara lirih
dia berkata: "Ling-lote, kita masih punya waktu 10 hari, soal ini
harus dirundingkan lebih dulu, kita jangan la ma2 di sini."
Kun-gi mengangguk. seperti tidak terjadi apa2, sambil mengobrol
mereka terus ke mbali ke pondok mereka.
Makan mala m mereka biasanya disediakan di te mpat
penginapan. Cek Seng- jiang pernah mengatakan pondok ini boleh
dianggap sebagai ruma h sendiri.
Setiap kali habis ma kan mala m Kun-gi pasti ke luar jalan2 di
taman, tapi ma la m ini banyak persoalan yang bergelut dala m
benaknya, maka ma la m ini dia tida k keluar jalan2 seorang diri dia
duduk di kursi ma las di bawah jendela, bermalas2an- Tapi otaknya
terus bekerja, berdaya cara bagaimana menyelidiki kurungan bawah
tanah dipaseban air itu cara baga imana supaya mene mukan ja lan
rahasia keluar masuk Coat Sin-san-ceng ini? Kedua tugas berat ini
harus dia kerjakan tanpa diketahui orang2 coat- sin-san-ceng,
langkah kedua baru berusaha me nolong para kawan yang tertawan-
Ing-jun me mang pelayan yang telaten dan cepat meraba
keinginan dan perasaan orang, melihat Kun-gi peja mkan mata
seperti sedang me meras otak. dia tahu hari ini orang berhasil
menawarkan getah beracun, mungkin sekarang sedang me mikirkan
cara pembuatan obat penawarnya, maka dia m2 dia seduh sepoci
teh, ia taruh di meja kecil di pinggir kursi malas, katanya lirih: "Cu-
cengcu, minum teh."
Terbelalak mata Kun-gi, katanya tertawa: "Ing-jun, pergilah
istirahat, tak usah kau me layani-ku lagi."
Ing-jun tertawa lebar, katanya: "Baiklah, ha mba mohon diri, hari
ini Cu-cengcu pasti lelah, lekaslah istirahat." Lalu dia mengundurkan
diri.
Kun-gi berkeputusan mala m ini dia akan menyelidiki coat-sin san-
ceng. Sudah tentu iapun menyadari bahwa menyelidiki Coat Sin-
san-ceng berarti mene mpuh bahaya besar, tapi tanpa masuk ke
sarang harimau cara bagaimana bisa mendapatkan anak harimau?
Tanpa mene mpuh bahaya, bagai-mana bisa berhasil dala m
penyelidikannya.
Sekarang baru kentongan pertama, belum saatnya dia bertindak.
pelan2 dia teguk secangkir teh, karena Waktu masih dini, dia
padamkan lentera la lu duduk samadi di atas pe mbaringan-
Kira2 setengah jam ke mudian, tiba2 didengarnya langkah cepat
tapi ringan mendatangi di luar pintu seperti takut diketahui orang,
setiap langkahnya bergerak sedemikian enteng dan hati2. Untung
Kun-gi me miliki Lwekang tinggi, kupingnya teramat tajam, kalau
orang biasa pasti tidak akan mendengarnya.
Kaget dan heran Kun-gi, orang ini bisa masuk ke pekarangan
tanpa diketahui olehnya, setelah orang merunduk dekat pintu baru
diketahui, ini me mbuktikan bahwa Ginkangnya sudah cukup tinggi.
Dia menyelundup ke pondok para tamu, langsung menuju ke ka mar
tidurnya ini, entah kawan atau lawan? Mungkin orang Coat Sin-san-
ceng? Atau orang dari luar?
Pada saat dia men-duga2 inilah orang itu sudah berada di depan
pintu ka marnya, berhenti, gerak-geriknya sangat hati2, ditunggu
sekian la ma dan ternyata keadaan tetap tenang2 saja.
Sudah tentu Kun-gi tidak berani gegabah, dengan sabar dia
menunggu perke mbangan. Ternyata orang di luar juga a mat sabar,
sudah sekian la manya tetap tidak menunjuk gerakan apa2, hanya
berdiri tenang tanpa bergerak.
Ling Kun-gi sudah mendengar suara napasnya yang lirih, tapi
karena orang tidak bergerak. maka dia tetap sa madi di atas ranjang,
tidak bergeming juga. Begitulah kira2 satu jam la manya, mendadak
Kun-gi yang duduk dikegelapan menyengir sendiri, ia tertawa tanpa
bersuara. ia tertawa karena maklum apa yang bakal terjadi. orang di
luar tetap tidak bergerak, tapi hidung Kun-gi sudah mengendus
semaca m bebauan yang semakin keras me menuhi ruang ka marnya.
Kiranya orang di luar tak bergerak karena mempersiapkan diri untuk
menggunakan Ngo- king- hoan- bun- hian, asap wangi yang
me mbius dan me mbuat orang mabuk.
Bicara soal mengguna kan obat bius, di kolong langit ini mana ada
yang bisa menandingi keluarga Un di Ling-la m, kantong sula m
pemberian Un Hoan- kun selalu tergantung di dadanya, obat khas
bikinan keluarganya tersimpan di dala m botol, khusus untuk
me munahkan segala maca m obat bius, lalu obat bius maca m apa
yang ditakuti Ling Kun-gi sekarang?. cuma hati kecilnya merasa
heran dan tak habis mengerti.
Bahwa orang di luar mengguna kan asap bius, tujuannya tentu
me mbius dirinya, lalu apa maksud tujuannya me mbius dirinya?
Maka pelan2 tanpa banyak mengeluarkan suara akhirnya dia
sengaja menjatuhkan diri, rebah miring. Ingin dia me mbuktikan
siapa yang membius dirinya? Apa pula muslihat di balik kejadian ini?
Untuk me mbongkar teka-teki ini, terpaksa dia harus pura2 terbius.
Bau wangi dala m ka mar sema kin tebal, kira2 sepere mpat jam
telah berkelang pula, di luar pintu ke mba li terdengar derap langkah
lirih mendatangi dan berhenti di depan pintu pula .Jelas ada orang
kedua yang baru datang, maka terdengar suaranya lirih bertanya:
"Sudah kau kerja kan?"
Pendatang pertama menjawab: "Sedang berlangsung."
Orang yang datang belakangan tertawa lirih: "Dia sudah teracun
oleh obat pembuyar Lwekang mereka, tenaganya paling2 tingga l
tiga puluh persen, kenapa kau bertindak begini hati2?"
"Tugas yang harus kita laksanakan harus berhasil pantang gagal,
mau tidak mau harus hati2," sahut orang pertama, setelah
merandek dia balas bertanya: "Urusan di dalam bagaima na, sudah
beres?"
Orang yang baru datang menjawab: "Sudah beres semua,
orangnyapun sudah kubawa ke mari, obat penawarnya juga sudah
kuperoleh, hanya tunggu urusan di sini selesai, kau boleh me mberi
obat penawarnya, supaya dia lekas bangun, setelah kau pergi,
paling2 mereka curiga bahwa kaulah yang me mbebaskan dia, pasti
takkan percaya adanya main tukar menukar yang kita la kukan ini."
Mereka ber-cakap2 dengan suara lirih di luar pintu, tapi Ling Kun-
gi jelas mendengar percakapan ini, ia bertambah bingung dan tak
habis mengerti.
Siapakah kiranya kedua orang yang berada di luar pintu? orang
pertama yang menebarkan asap wangi dari luar pintu, ternyata
pelayan yang diharuskan melayapi dirinya di Lan-wan, yaitu Ing jun.
Sedang yang datang belakangan adalah pelayan pribadi Hian-ih-lo-
sat, yaitu Giok-jin adanya. Dari percakapan ini Ling Kun-gi
berkesimpulan, se-olah2 mereka menolong seseorang lalu hendak
menukar orang itu dengan dirinya, me mangnya mereka bukan
sekomplotan dengan Cin-Cu-ling? Urusan agaknya berkembang
semakin ruwet. Supaya tidak mengecutkan pihak sana, Kun-gi
berkeputusan untuk mengikuti perke mbangan selanjurnya secara
dia m2.
Asap wangi masih tebal me menuhi ka mar tidur, pelan2 pintu
kamarnya di dongkel dari luar dan terbuka, yang menerobos masuk
lebih dulu adalah Ing-jun. Wajahnya yang biasa molek kini kelihatan
agak tegang, langkah kakinya begitu ringan tanpa mengeluarkan
suara, waktu dia sampai di depan pembaringan, melihat Kun-gi
rebah miring, mata terpejam, jelas sudah terbius. Rasa tegangnya
segera berubah senyum kemenangan, pelan2 dia mengulur tangan
me mba lik ke lopak mata Ling Kun-gi, dengan seksa ma dia
me meriksa sekian la manya.
Sudah tentu Kun-gi diam2 saja tanpa bergerak. terserah apa
yang akan dilakukan atas dirinya, tapi terasa olebnya jari2 Ing-jun
yang menyentuh mukanya rada gemetar, dia m2 ia ge li. Untunglah ia
berhasil menge labui Ing jun, gadis itu me mba lik badan serta berkata
ke arah pintu: "Bolehlah gotong dia masuk ke mari."
"Dia?" dia m2 Kun-gi ber-tanya2 dalam hati, entah siapa yang
hendak digotong ke mari?
Maka orang di luar segera bertepuk pelahan dua kali, tapi di
ma la m nan sunyi ini kedengaran jelas dan nyaring, jelas Giok jin
yang bertepuk tangan-
Cepat sekali kerai tersingkap. dua pelayan baju hijau
menggotong seorang masuk ke dala m ka mar, Giok jin menurunkan
kerai, cepat iapun berlari masuk.
Dia m2 Kun-gi mengintip. ia melihat orang yang dipapah masuk
kedua pelayan ini ternyata adalah ciam liong Cu Bun-hoa yang asli.
Kedua matanya terpejam, badannya lunglai jelas iapun jatuh pulas
oleh asap wangi yang me mbius.
Hal ini betul2 me mbuat Ling Kun-gi kaget dan heran, batinnya
"Cu-cengcu menjadi tawanan Hian-ih-lo-sat dan dikurung di
paseban sana, mereka menolongnya keluar lalu mengirimnya
ke mari, apa sih sebetulnya tujuan mereka?"
Maka didengarnya Ing-jun berkata: "Waktu amat mendesak.
Giok-jin cici, kalian harus le kas berangkat." Dari bajunya dia
keluarkan segulung kertas putih, katanya sambil diangsurkan: "inilah
catatan resep obat yang dibuat oleh ling-hoa ci-ci, (pelayan yang
berkuasa di ka mar obat Hiat-ko-cay), tiga kali obat2an yang diambil
cu cengcu se mua dia catat di sini, simpanlah baik2 dan jangan
sampai hilang."
Kembali Kun-gi me mbatin: "Kiranya ling-hoa di ka mar obat itu
juga sekomplotan dengan mereka, jadi para gadis cantik mole k yang
bekerja di sini agaknya dari komplotan lain yang sengaja
menyelundup ke mari."
Giok-jin terima gulungan kertas terus menyimpannya, dia
me mberi tanda pada kedua pelayan, mereka menurunkan Cu Bun-
hoa, terus mengha mpiri pe mbaringan, dengan gerakan terlatih dan
cekatan mereka angkat Ling Kun-gi beserta kemulnya. Sementara
Ing-jun desak Giok-jin angkat Cu Bun-hoa dan dibaringkan di atas
ranjang.
Baru sekarang Kun-gi mengerti. Istilah tukar-menukar yang
diperbincangkan tadi kiranya menukar Cu Bun-hoa asli dengan
dirinya. Jadi mereka berani berbuat sejauh ini, kiranya juga lantaran
dirinya berhasil menawarkan getah beracun itu. Hal ini dapat
dibuktikan oleh tiga kali catatan Hing-hoa atas obat2an yang pernah
dia mbilnya, catatan itu kini berada di tangan Giok-jin dan akan
dibawa keluar. Lalu dengan cara apa pula mereka akan mengangkut
keluar dari sini? Hal ini lantas menimbulkan persoalan lain pula
dalam benaknya. Yaitu bagaimana dirinya harus bertindak? Terus
pura2 semaput, terserah apa yang hendak mereka lakukan atau
segera me mbongkar muslihat mere ka?
Otaknya bekerja cepat sekali, setelah dia timbang antara yang
berat dan enteng, dia rasa beberapa gadis pelayan molek pasti
adalah pion dari suatu komplotan lain yang sengaja diselundupkan
ke sini, mereka sudah tersebar luas dan menduduki berbagai posisi
di dala m Coat Sin-san-ceng ini. Ka lau sekarang dia dia m saja,
terserah apa yang hendak dilakukan mereka, ke mungkinan bisa
bertemu dengan dedengkot mereka, ke mungkinan pula bisa
sekaligus me mbikin terang asal-usul Cin-Cu-ling.
Mendadak ia teringat pada Cek Seng-jiang yang pernah
menyinggung na ma Sam-goan-hwe, mungkinkah gadis mole k ini
orang2 dari Sa m-goan-hwe? Maka dia berkeputusan me mbiarkan
dirinya digotong entah ke mana, yang terang dia akan "bertamasya"
menyerempet bahaya.
Waktu itu Ing-jun sudah keluarkan sebuah karung dari bawah
kasur, Giok jin me mbantu dia me mbuka mulut karung, dua pelayan
yang lain lantas angkat Kun-gi dan didorong ke dalam karung, mulut
karung lalu diikat.
"Kebetulan malah," de mikian pikir Kun-gi, "aku diangkut ke mari
dalam karung, kini diangkut keluar pula dengan cara yang sa ma."
Setelah mulut karung terikat kencang, dengan kuku jarinya Kun-
gi me mbuat lubang kecil di atas karung.
Terdengar Giok-jin berkata: "Kita harus segera berangkat, boleh
kau beri minum obat penawar padanya, setelah bangun tentu dia
tanya tempat apakah ini? Bagaimana bisa berada di sini? Ma ka
boleh kau katakan padanya bahwa Cu-cengcu yang tinggal di sini
yang menolongnya. Dia pasti tanya pula padamu ke manakah Cu-
cengcu yang tinggal di sini? Ma ka katakanlah bahwa setelah
menolong dia, Cu-cengcu yang tinggal di sini lantas keluar dan
suruh dia bersabar, kalau dia masih mengajukan pertanyaan lain,
katakan kau t idak tahu apa2"
Ing-jun mengangguk sa mbil menjawab: "Ya, Siaumoay ingat."
"Baiklah, mari kita berangkat," kata Giok-jin,
"Dengan me mbawa karung, entah cara bagai-mana mereka akan
keluar?" de mikian batin Ling Kun-gi sa mbil mengintip ke luar.
Tampak Ing-jun dan seorang lagi beranjak ke ujung dipan lalu
mengangkatnya ke samping, mereka me nyingkap babut lalu
menyongke l ke luar dua ubin, ma ka tampa klah sebuah lubang ge lap
di bawahnya. Ternyata di bawah pembaringan ada sebuah ja lan
rahasia di bawah tanah.
Giok-jin mendahului me lompat turun, lalu me mberi tanda kepada
kedua pelayan lain, le kas kedua pe layan gotong karung ke depan
mulut lubang, seorang me lorot turun ke dala m lubang, ing-jun
segera bantu mendorong karung masuk ke lubang itu.
Ternyata lorong bawah tanah ini terlalu sempit, mereka harus
berjalan dengan merangkak. jadi karung itu terpaksa harus ditarik
dan didorong pelan2 terus me luncur ke depan-
Begitulah Kun-gi telah diselundup keluar oleh mere ka..
Pada mala m itu juga, kira2 kentongan kedua, pada jalanan yang
tembus dari Liong- bun- kin menuju ke Say-hong-kiu, muncul
serombongan orang, ada pejalan kaki ada pula yang naik kuda,
jumlah ada dua puluh orang, duduk di atas kuda yang paling depan
adalah seorang berbadan tinggi beralis hita m bermata cekung,
usianya sekitar 50-an, mengenakan jubah biru, sikapnya kelihatan
kereng dan sedikit dingin angkuh,
Di bela kangnya adalah delapan laki2 ke kar berlangkah ce katan,
kepala terikat kain biru, pakaian-pun serba biru ketat, golok besar
terpanggul dipunggung mereka. Menyusul tiga ekor kuda bagus,
yang depan ditunggangi seorang pe muda ca kap berjubah sutera
biru, di belakangnya adalah dua ekor kuda yang ditunggangi dua
gadis rupawan, yang sebelah kanan berperawakan ramping
sema mpai, dan mengena kan pakaian ungu ketat berikat pinggang
merah. Gadis sebelah kiri bertubuh agak pendek tapi cekatan dan
lincah, berpakaian serba coklat.
Di be lakang tiga ekor kuda ini adalah sebuah tandu yang dipikul
empat laki2. Di belakang tandu diiringi delapan ekor kuda pula,
penunggangnya semua berseragam hitam, berikat kepala kain hita m
pula, tapi semua penunggangnya adalah perempuan yang
menggendong pedang. Usia mere ka rata2 sudah lebih dari e mpat
puluh, kantong besar tergantung di pinggang masing2, tangan kiri
semua me makai sarung tangan terbuat dari kulit menjangan,
selintas pandang sudah je las bahwa mereka ahli mengguna kan
senjata beracun.
Rombongan cukup besar ini mene mpuh perja lanan dengan
langkah cepat, walau mala m gelap dan sunyi senyap kecuali suara
derap kuda, rombongan mereka la ksana seekor naga panjang hitam
yang menyusur ja lan pegunungan-
Kira2 setengah li mereka keluar dari Liong-bun-kiu, mendadak
dari hutan sebelah kiri berkumandang sebuah bentakan: "Langit
mencipta bumi merancang."
Laki2 paling depan yang menunggang kuda mendengus keras2,
hardiknya: "Wakil langit mengadakan ronda."
Pertanyaan tanpa juntrungnya, jawaban singkat tidak menentu
artinya. Tapi wibawa dari jawaban ini sungguh t idak terduga, ma ka
tampaklah bayangan orang bergerak. di dala m hutan puluhan laki2
berpakaian hita m berlari2 keluar la lu berbaris rapi di pinggir jalan,
mereka berdiri tegak hormat tanpa bergerak.
Seorang laki2 yang mengepala i barisan ini segera ta mpil ke
depan me mberi sala m hormat kepada kake k berjubah biru di atas
kuda: "Ha mba Kwe cit-lung t idak tahu bahwa Thian-su telah tiba . ."
Dingin kaku sikap laki2 jubah biru, tiba2 dia me mberi tanda
gerakan tangan ke belakang. Delapan Busu di belakangnya
serempak mengayun tangan kanan ke udara. Di tengah malam yang
gelap pekat itu, kecuali terlihat gerakan tangan mereka, tiada apa2
yang kelihatan lagi, tapi hanya sekejap saja, terdengarlah suara
gedebukan yang ra mai diselingi percikan api warna biru di depan
hutan, kembang api hanya berpercik sekilas lenyap. tapi puluhan
laki2 yang berbaris rapi di depan hutan di pinggir ja lan itu satu
persatu sama terjungka l roboh tanpa mengeluarkan keluhan apa2.
Kakek berjubah biru itu tida k hiraukan lagi mati hidup mereka,
ke mbali ia me mberi tanda ke belakang, lalu keprak kudanya
kedepan- Kedelapan Busu seraga m biru dibela kangnya serempa k
juga me mberi ulapan tangan ke belakang, mereka juga kepra k
kuda mengikuti langkah kakek, jubah biru.
Begitulah rombongan mereka laksana seekor naga hitam yang
me lingkar2 mene mpuh perjalanan dijalan pegunungan yang turun
naik berputar kian ke mari.Jarak antara Liong-bun-kin dengan Say-
hong kiu kira2 ada 20 an li, sepanjang jalan beruntun mereka
dicegat tujuh-delapan pos penjagaan, tapi semuanya dengan mudah
dibereskan oleh kedelapan Busu seraga m biru, semuanya roboh
binasa tersapu oleh percikan kembang api warna biru yang ganas,
sampaipun mayat dan tulang belulang merekapun lenyap menjadi
cairan darah. Maka dengan leluasa rombongan ini terus maju
menuju ke Say-hong-kiu.
Tampak dari kejauhan sebuah perka mpungan besar berdiri di
kaki sebuah gunung yang terletak di sebelah utara, perkampungan
ini berada di tanah datar yang dikelilingi gunung. Ma la m pekat, tak
terlihat setitik sinar api, tak terdengar gerakan apa2 pula dari
perkampungan besar itu.
Besar perhatian si kakek jubah biru yang berada di atas kudanya
terhadap perkampungan di depan sana, tiba2 ia angkat tangan ke
balakang, itu tanda barisan di belakang harus berhenti, tanpa
bersuara rombongan lantas berhenti di depan hutan.
Gadis lincah baju cokelat yang duduk di kuda sebelah kiri segera
keprak kudanya ke depan, tanyanya pada kakek jubah biru: "Pa-
congkoan, bagaimana keadaannya?"
Si kake k berjubah biru menggeleng dan berkala, "Tiada apa2,
cuma gelagatnya jejak kita sudah diketahui mere ka, la mpu dala m
perkampungan dipada mkan se mua, tidak menunjuk gerakan apa2
lagi, jelas mereka sudah bersiap menyambut kedatangan kita."
Nona baju ungu juga keprak kudanya ke depan, katanya sambil
mencibir bibir: "Me mangnya kenapa kalau sudah bersiap2. Kita toh
tidak akan main sergap. hayolah hadapilah secara terang2an saja."
Tengah bicara tandu yang di belakang, itupun tiba di depan
hutan, terdengar suara serak nyonya tua berkata dari dalam tandu:
"Pa congkoan, kenapa berhenti di sini?"
Ter-sipu2 kakek, jubah biru menjura di atas kudanya, sahutnya:
"Maklum Hujin, di dala m perka mpungan t iada na mpak sinar api,
mungkin mereka sudah ber-siap2, ha mba kira kita jangan bergerak
secara serampangan."
Nona baju ungu segera bicara, "Bu, kita kan henda k berhadapan
secara terang2an, tunggu apa lagi?"
Pemuda yang berjubah sutera tertawa, katanya: "Watak adik
me mang berangasan, meski kita akan berhadapan terang2an, paling
tidak harus tahu dulu gelagat dan keadaan mereka."
Nyonya tua dalam tandu tersenyum, katanya: "Kedua budak ini
me mang t idak sabaran, setiba di tempat tujuan, mana mereka ma u
menunggu lagi? Pa-congkoan-, sampaikan kartu na maku, suruhlah
majikan mere ka ke luar mene muiku."
Kakek jubah biru mengia kan, segera dia keprak kudanya ke
depan- Delapan Busu di belakangnya serempak juga me mbeda l
kuda masing2 me ngikuti langkahnya. Sembilan kuda sa ma-2
berderap ramai, mereka me lewati lapangan rumput terus menuju ke
depan perka mpungan, ketika Ka kek jubah biru tarik tali kenda li,
kuda tunggangannya yang me mang pilihan dan terlatih baik segera
berhenti tak bergerak lagi. Delapan Busu pengiringnya juga segera
menghentikan kuda mereka serta melompat turun berdiri berbaris di
belakang Kakek jubah biru.
Mala m gelap dan sunyi senyap. sudah tentu derap kesembilan
kuda itu menerbitkan suara yang gaduh dan ramai, uaranya
berkumandang sampa i beberapa li jauhnya, setiba di depan
perkampungan serentak berhenti maka keheningan ke mbah
mence ka m ala m nan ge lap gulita ini.
Seyogyanya penghuni perka mpungan ini mendengar kedatangan
kuda2 yang ramai ini, tapi suasana tetap sepi tak kelihatan reaksi
apa2. Berkilat biji mata Ka kek jubah biru, dia terke keh dingin,
katanya sambil angkat tangan kiri: "Maju dan ketok pintu."
Seorang di antara ke delapan Busu mengiakan dan ta mpil ke
depan, dengan keras dia gebrakan gelang tembaga di atas pintu
sambil berteriak keras2 "Hai, ada orang tidak di dala m?"
Sesaat lamanya baru terdengar suara serak lemah bertanya di
dalam: "Siapa di luar? Tengah ma la m buta ma in gedor segala?"
Suara orang ini seperti acuh tak acuh dan kemalas2an, pelan2 dia
buka palang pintu serta menarik daun pintu, tampak seorang laki2
tua bungkuk, tangan menenteng sebuah la mpu dan diangkat tinggi
ke atas.
Sinar la mpu me nyoroti Kakek jubah biru yang bertengger di atas
kudanya, demikian pula kedelapan Busu di be lakang si tua bungkuk
tampak bergidik, serunya gelagapan: "Toa . . . . . Toaya ...... kalian
ada ........ ada keperluan apa, aku si tua reyot .... ..hanya penjaga
pintu bela ka."
Ternyata dia kira kawanan penunggang kuda ini adalah
perampok.
Tajam sinar mata Kakek jubah biru menatap si tua bungkuk,
katanya menyeringai dingin: "Tua bangka, lekas laporkan, katakan
Tong-lohujin dari keluarga Tong di Sujwan minta berte mu majikan-"
Ternyata orang yang naik tandu itu adalah Tong-lohujin, yang
mengiring kedatangannya ada Tong Siau-khing dan Tong Bun-khing
kakak beradik, demikian pula Pui Ji-ping yang me mbawa mereka
ke mari. Sementara kakek tua jubah biru adalah congkoan keluarga
Tong, yaitu Pa Thian-gi.
Si tua kucek2 matanya, katanya sambil meng-geleng: "Toaya
mungkin kesasar atau salah ala mat, tempat ini hanya rumah
istirahat cengcu ka mi, biasanya cengcu tinggal di kota,
perkampungan ini sekarang kosong tanpa penghuni, kecuali aku si
tua bangka ini, tiada orang lain-"
Sejenak Pa Thian-gi me lenggong, melihat punggung orang yang
bungkuk serta gerak-geriknya yang le mah me mang mirip seorang
tidak mahir silat, ma ka dia bertanya: "Siapa she cengcumu itu?"
"cengcu ka mi she Cek." sahut si tua bungkuk.
"Siapa na manya?" tanya Pa Thian-gi.
"Beliau bernama Seng-jiang, seorang Wang we (hartawan) di
dusun ini, sudah cukup bukan?" Ha-bis bicara, tanpa menunggu
jawaban Pa Thian-gi, dia putar tubuh terus gabrukan daun pintu
dengan keras. Mungkin hatinya dongkol sehingga si tua bungkuk ini
lupa diri, gerakan kakinya tampak gesit dan cekatan-
Sebagai congkoan keluarga Tong, betapa tajam pandangan Pa
Thian-gi, walau hanya sedikit gerakan yang tak berarti, namun tak
lepas dari penglihatannya. Seketika mencorong biji matanya,
bentaknya dengan suara keras: "Nanti dulu, tua bangka h. . . ." Tapi
si tua bungkuk sudah tutup pintu, tidak pedulikan seruannya lagi.
Lenyap kumandang bentakan pa Thian-gi, mendadak terdengar
gelak tawa seorang yang keras seperti gembreng ditabuh. "Sudah
la ma Lohu dengar na ma besar keluarga Tong yang terkenal, kalian
sudah ke mari, biar Lohu mohon pengajaran dari kalian." Suaranya
keras bergema, kuping sa mpai me ndengung:
Lekas Pui Ji-ping lari mende kati tandu, katanya lirih. "Bu, itulah
Thong-pi-thian-ang, "
Ramah suara Tang-lohujin di dala m tandu, katanya tertawa:
"Nak, tiada urusanmu, mereka bisa me mbereskan dia." Bahwa
keluarga Tong berani me luruk kesarang harimau, sudah tentu
mereka telah siap tempur.
Dari sebuah jalan kecil di sebelah kiri sana muncul seorang gede
berjubah kuning kela m, wajahnya yang kela m na mpak mengkilap.
dia me mang La m-kiang-it-ki Thong-pi-thian-ong adanya. Di
belakangnya muncul pula ena m laki2 seraga m hita m, dengan
kerudung kepala hitam pula.
Thong-pi-thian-ong me ma kai sepasang tekle k yang terbuat dari
tembaga, tapi langkahnya tetap enteng dan cepat, keenam orang di
belakangnya ternyata juga me miliki kepandaian tinggi, mereka ikut
ketat di belakang Thong- pi-thian-ong, selangkah-pun tida k
ketinggalan-
Maklumlah La m-kiang it ki, si aneh dari daerah selatan berjuluk
raja langit berlengan tembaga ini biasanya malang melintang di
daerah selatan, betapa tinggi taraf kepandaian silatnya jarang ada
tandingannya di ka langan Kangouw. Tapi e mpat di antara ena m
laki2 baju hita m di bela kangnya jelas me miliki kepandaian yang
tidak lebih rendah dari taraf kepandaian Thong- pi-thian-ong. Hal ini
dapat dibuktikan dari gerak-gerik mere ka.
Bahwa Pa Thian-gi diangkat sebagai cong-koan keluarga Tong,
sudah tentu dia me miliki pengala man dan pengetahuan yang cukup
luas, dia m2 ia kaget. namun tidak gentar, lekas dia me mberi tanda
ke belakang. . kedelapan Busu dibelakangnya segera tarik tali
kendali kuda masing2 terus berpencar menga mbil posisi suatu
barisan.
Kejadian berlangsung hanya sekejap saja, wak-tu Thong-pi thian-
ong muncul, jaraknya masih sekitar 10 an tombak, tapi baru saja Pa
Thian-gi me mberi tanda kebelakang, tahu2 orang sudah berada di
depan Pa Thian-gi, terdengar suaranya keras bergenta: "Kau pernah
apa dengan keluarga Tong di Sujwan?"
Pa Thian-gi me mberi hormat, katanya. "cay-he Pa Thian gi,
pejabat congkoan keluarga Tong, entah siapa nama julukan tuan?"
Sudah tahu tapi dia sengaja bertanya.
Tong pi-thian-ong terbahak, katanya: "Sebagai congkoan
keluarga Tong, masakah siapa a ku kau tida k tahu?"
Pa Thian-gi menjura pula, katanya setengah mengejek: "cayhe
me mang kurang pengala man?"
Mendelik bundar mata Thong-pi-thian-ong, teriaknya gusar: "Aku
Thong Ji-hay berjuluk Thong-pi-thian-ong, di mana Lohujin ka lian,
suruh dia ke mari menjawab pertanyaanku."
Pa Thian-gi pura2 kaget, serunya: "o, kiranya Thong-toaya, maaf
cayhe kurang hormat, Lohujin ada di luar hutan, biar cayhe segera
lapor kepada be liau."
Terdengar suara Tong lohujin berkata di kejauhan "Tak usahlah,
undanglah Thong Ji hay ke-mari saja."
Maka Pa Thian-gi me mbungkuk, katanya: "Lo-hujin mengundang
Thong-thian-ong."
Bagai ke milau obor sorot mata Thong-pi-thian-ong, sekilas dia
menyapu pandang kede lapan Busu yang terpencar itu, dari
kedudukan mereka terang sudah mengatur barisan Pat-kwa,
wajahnya yang kelam mengkilap me na mpilkan senyum hina, kata-
nya tertawa ejek: "Barisan seperti ini juga berani dipamerkan,
me mangnya ma mpu mengurung Lohu?"
"Thong-thian ong tidak pandang barisan ini dengan sebelah
mata, boleh silakan masuk saja ke da la mnya," tantang Pa Thian-gi.
"Masuk ya masuk-" jengek Thong-pi-thian-ong, "Lohu ingin
buktikan kalian dapat berbuat apa atas diriku?" Dengan langkah
lebar segera dia beranjak ke depan sudah tentu enam orang di
belakangnya serempak ikut me langkah maju pula.
Terkulum senyuman riang pada wajah Pa Thian-gi, dia putar
kudanya ikut di belakang mereka. Ke delapan Busu tadi mendadak
saling berlompatan, golok terhunus, mereka berdiri tegak di atas
pelana kuda. Kuda mereka me mang sudah terlatih baik, tanpa
dikendalikan, posisi barisan tetap tidak berubah, pelan mereka
merubung maju dari jarak beberapa tombak mengikuti langkah
Thong-pi thian-ong.
Sementara itu, delapan perempuan yang ber-gelung kain yang
semula berjajar di belakang tandu sekarang juga keprak kudanya
berpencar mengelilingi tandu. Seperti delapan Busu laki2,
merekapun menga mbil posisi berpencar, dala m jarak tiga tombak.
berkeliling mengatur barisan Pat-kwa-tin dan siap menghadapi
segala ke mungkinan. Sa ma2 Pat-kwa-tin, cuma barisan kaum
perempuan lebih kecil dari kedelapan Busu pria, jadi barisan
kedelapan Busu perempuan berada dilingkaran dala m, sedang
barisan kedelapan Busu pria berada di ka langan luar. Maka
terciptalah barisan Pat- kwa lapis dua.
Thong-pi-thian-ong terlalu takabur, tiada musuh berarti yang
terpandang olehnya, sudah tentu musuh2 di depan ini dianggapnya
tidak berarti. Dengan langkah lebar dia mengha mpiri, ena m orang
baju hitam di belakangnya mengikuti dengan ketat. tatkala mereka
me masuki lingkaran Pat-kwa-tin kecil, tandu itu tiba2 terangkat ke
atas, dari sebelah kiri muncul seekor kuda, penunggangnya pemuda
berjubah sutera biru, itulah Tong Siau-khing yang menyoreng
pedang.
Keadaan sudah memuncak tegang, tak terduga tiba2 Thong-pi
thian-ong bertujuh sama2 tersungkur roboh tanpa bersuara. Dari
dalam tandu terdengar Tong-lohujin berkata: "Pa congkoan, lekas
beri obat penawar kepada mere ka, ingat, jiwa harus dipertahankan."
Lalu dia berpesan kepada delapan Busu pere mpuan: "Sekarang
kalian yang me mbuka jalan, tak peduli siapa saja yang kesamplok
dengan kalian, bikin mereka roboh keracunan-"
Sementara itu, Pa Thian-gi sudah suruh kedelapan Busu pria
menggusur Thong-pi-thian-ong bertujuh.
Kedelapan Busu pere mpuan segera kepra k kuda mere ka
menerjang ke depan pintu gerbang perkam-pungan besar. Tong
Siau-khing, Tong Bun-khing dan Pui Ji-ping mengiring di sa mping
tandu, mereka berhenti di depan pintu gerbang.
Delapan Busu pere mpuan sudah lompat turun dan berdiri di
undakan, lekas Tong Siau-khing, Tong Bun-khing dan Pui Ji-ping
juga melompat turun-
Dua pelayan yang mengikuti tandu segera maju menyingkap
kerai tandu, dengan berpegang tongkat berkepala burung Hong
warna emas Tong-lo-hujin me langkah ke luar, katanya sambil
menuding, dengan tongkat: "Gempur pintu, tak perlu kita sungkan
lagi terhadap mereka."
Begitu perintah dike luarkan, tampak seorang Busu pere mpuan
paling depan lantas mengayun tangan, dari telapak tangannya
me luncur setitik bayangan hitam langsung menerjang daun pintu
gerbang yang keras dan tebal berpaku baja.
"Blang," terjadilah ledakan keras, di tengah ledakan dan percikan
api serta ber-gulung2nya asap dan debu, daun pintu gerbang yang
kokoh kuat itu hancur ber-keping2.
Pui Ji-ping melelet kaget, katanya heran: "Bun-khing cici, senjata
rahasia apakah itu? Begitu hebat kekuatannya."
"Entahlah," sahut Tong Bun-khing, "a ku juga tidak tahu."
Dengan tersenyum Tong-lohujin berkata: "Itu-lah Pik-lik-cu
ciptaan Hwe-sin (malaikat api) Lo Hoan, dulu dia terkena senjata
rahasia musuh yang beracun, untung bersua dengan ayah Siau-
khing ma ka jiwanya tertolong, dia me mberi de lapan butir granat
tangan (Pik-lik-cu) itu, tak kira hari ini kita bisa menggunakannya."
Habis berkata segera dia me mberi aba2: "Hayo kita masuk"
Delapan Busu pere mpuan sudah melolos pedang mereka yang
ke milau tajam dan berpencar menjadi dua barisan, mereka
mendahului menerjang masuk pintu. Dua pelayan perempuan
menenteng la mplion me mbuka jalan di depan Tong-lohujin yang
me megang tongkat kepala burung Hong, Siau-khing, Bun-khing dan
Pui Ji ping meng-iringi di sebelah belakang.
Tiba di pintu kedua, ta mpak si tua bungkuk tadi sa mbil
menenteng la mpion berlari2 ke luar dengan napas ngos2an,
teriaknya marah2: "Kalian ini me mangnya mau berbuat apa?"
Busu pere mpuan paling depan segera me mbentak: "Minggir"
Tangan kiri segera terayun ke depan.
Si tua bungkuk ini jalannya tampak se mpoyongan, sudah reyot
dan loyo, tapi melihat tangan yang menyerang ini mengena kan
sarung tangan kulit menjangan, seketika mendelik kaget dan
berubah air mukanya, sebat sekali dia me lejit mundur. Gerakan
refleks ini justru me mbongkar kepura2annya, bukan saja dia pandai
silat, malah tarap kepandaiannya cukup tinggi, Tapi dia hanya
me lejit mundur tujuh kaki, tahu2 iapun roboh terkapar tak bangun
lagi.
Maklumlah, Thong-pi-thian-ong yang berkepandaian setinggi
itupun tahu2 roboh tanpa suara, betapapun tinggi kepandaian si tua
bungkuk ini takkan lebih tinggi daripada si gede itu.
Kiranya keluarga Tong kali ini sudah bersiap dengan segala bekal
ke ma mpuannya untuk me luruk ke mari, Tong-bun-bu-sing-san
warisan keluarga Tong sudah ratusan tahun sejak nenek moyang
mereka tak pernah diguna kan di Kangouw, hari ini telah
menunjukkan kehebatannya. Bu-sing-san merupakan obat beracun
paling ganas milik ke luarga Tong, puyer ini tanpa warna tida k
berbentuk, kena angin lantas sirna, tidak berbau lagi, dalam jarak
setombak. siapa saja asal mencium puyer racun ini pasti terjungka l
semaput, dala m jangka se masakan nasi, kalau tidak diberi obat,
korban akan mat i keracunan-
Me masuki pintu kedua, mereka tiba di sebuah halaman yang
luas, sebelah depan adalah sebuah bangsal besar. Apa yang
dikatakan si tua bungkuk tadi me mang tida k bohong,
perkampungan sebesar ini, ternyata keadaan sepi lengang, tak
tampak bayangan seorangpun.
Tangan kanan pegang pedang, se mentara tangan kiri Pui Ji-ping
me megang panah jepretannya dara langsung berlari ke dala m sana,
Tong Bun-khing tidak mau ketinggalan, bersama Ji-ping iapun
menerjang ke dala m. Kuatir kedua gadis ini mengala mi bahaya,
lekas Tong Siau-khing menyusul masuk.
Diiringi pelayan pribadinya yang menenteng lampion, pelan2
Tong-lohujin masuk ke bangsat besar itu, alisnya bertaut kencang,
katanya: "Kalian budak kasar ini, jangan kira tempat ini seperti
rumah sendiri, tanpa siaga main terjang, kalau ada perangkap di
sini, jiwa ka lian pasti terancam. "
Ji-ping cekikikan, katanya nakal: "Kau tak usah kuatir Bu, kalau
ada musuh di sini, tentu sejak tadi sudah kubereskan mereka."
Tengah bicara, Pa Thian-gi buru2 masuk. dan berkata kepada
Tong-lohujin- "Lapor Lohujin, tujuh orang yang kita tawan,
semuanya bukan musuh."
"Bukan musuh, me mangnya siapa mereka?" tanya Tong-lohujin,
"Kecuali Thong-pi thian-ong, ena m orang berkerudung itu di
antaranya ada Lo-cit . . . . . . "
"Lo cit?" seru Tong- Lohujin, "ma ksudmu di- antara enam orang
itu ada juga Lo-cit? Lalu siapa kelima orang yang lain?"
"Yang ha mba kenal adalah Kim Ting Kim Kay-thay, ciangbunjin
murid2 pre man Siau-lim-pay, Un It-kiau orang kedua dari keluarga
Un di Ling- la m, Kim-hoan siang- coat Siau Hong-kang, Locengcu
dari keluarga siau di La m-siang, masih ada dua pemuda, mungkin
anak murid mereka."
Terkesiap Tong-lohujin, katanya gemas: "Jahat betul akal keji
mereka, jelas mereka menggunakan para tawanan untuk
mengge mpur kita sehingga orang sendiri saling bunuh me mbunuh,
untunglah telah kita gagalkan ma ksud keji ini." Lalu ia bertanya:
"Mana mereka? Apakah se mua sudah siuman?"
"Belum," sahut Pa Thian-gi, "agaknya mereka terbius oleh
semaca m obat2an sehingga kesadaran mereka terpengaruh, kawan
atau lawan tak terbeda lagi, sampai sekarang mereka belum sadar
seluruhnya......."
"Ya, sementara ini biarlah mereka dala m keadaan kurang sadar
saja." ujar Tong -lohujin "Pa-congkoan, bawa saja mereka ke
bangsal ini, kita harus geledah dulu perka mpungan besar ini."
Pa Thian-gi mengia kan, segera dia pimpin ke delapan Busu pria
menggotong Thong-pi-thian-ong bertujuh ke sini. Kerudung hita m
mereka sudah di-tanggalkan- Pui Ji-ping kenal satu di antaranya,
yaitu pemuda berpakaian ketat warna hijau, yaitu putera Kiam-
hoan-siang-coat Siau Hong-kang yang bernama Kim-hoan-liok-long
Siau Kijing.
Tong-lohujin berpesan kepada Pa Thian-gi dan enam Busu
perempuan "Kalian berpencar dan adakan pemeriksaan, siapa saja
yang kesamplok boleh kalian turun tangan lebih dulu, ka lau
mene mukan apa2 henda klah me mberi tanda suitan, lekas kerjakan"
Pa Thian-gi mengiakan, kede lapan Busu pere mpuan ini biasanya
bertugas dibagian belakang, jadi tidak di bawah pimpinannya, maka
dia menjura kepada mereka, katanya: "Kita berpencar dari kiri dan
kanan saja, kami bergerak dari kiri, silakan Han-koh bergerak dari
kanan, kita bertemu di bela kang."
Han-koh adalah pe mimpin ke delapan Busu pere mpuan, dia
manggut2, katanya: "Petunjuk Pa-congkoan me mang tepat, baiklah
kita bekerja menurut petunjukmu." - Maka dua rombongan orang ini
segera mela kukan tugas masing2.
Setelah orang banyak keluar, dia m2 Tong Bun-khing me mberi
kedipan mata kepada Pui Ji-ping serta angkat dagu ke arah ibunya
Ji ping manggut2, dia tahu maksud orang, katanya sambil
mende kati Tong-lohujin- "Bu, bersa ma Bun-khing cici biarlah ka mi
juga me meriksa di luar."
"Kalian dua buda k ini me mang suka bertingkah, kita datang
terang2an, kini menduduki bangsal ini, musuh tetap
menye mbunyikan diri tanpa menunjuk reaksi apa2, bahwa mereka
ma mpu me mbekuk tokoh2 kosen itu, tentu bukan se mbarang
manusia, belum tentu mereka gentar terhadap kita, sekarang kita di
tempat terang, maka jangan kalian mencari kesulitan-" Lalu dia
tuding ke luar serta mena mbahkan: "Lihatlah, seorang diri Toakomu
berjaga2 di sana, lekaslah kalian bantu dia saja."
"Eh, me mang begitulah ma ksud ka mi," kata Ji-ping ale man-
Belum habis mere ka bercakap. Tong Siau-khing yang berdiri di
undakan mendadak menghardik. "Siapa itu?"
Tong Bun-khing tarik tangan Ji-ping, serunya: "Dik, lekas keluar."
cepat mereka berkelebat ke luar sana.
Terdengar sabda Buddha berkumandang di luar pintu kedua.
Maka muncullah tiga pederi tua berjubah abu2, me megang tongkat
besi besar, dengan langkah lebar mere ka me masuki pintu kedua.
Mata Ji-ping cukup jeli, selintas dia sudah kenal satu di antara
ketiga paderi yang berjalan ditengah, bertubuh kurus pendek adalah
Ling-san Taysu, kepala Bun-cu-wan Siau-lim-s i yang pernah ber-sua
di Liong-bun-kiu tempo hari, dengan girang segera dia berseru,
"Tong- toako, mereka adalah para paderi agung Siau-lim."
Menyusul di belakang ketiga paderi adalah sebarisan panjang
para paderi siau-lim-si yang mengena kan sepatu rumput. semuanya
me megang pentung besi atau golok besar, dengan langkah lebar
dan rapi masuk ke dala m.
Melihat Ji-ping, lekas Ling-san Taysu merangkap tangan,
katanya: "Omitohud, Li sicu sudah ber-ada di sini, tentunya Tong-
lohujin juga sudah tiba?"
Tong Siau-khing me mberi hormat, katanya: "Wanpwe Tong Siau-
khing, ibu berada di bangsal sana, silakan masuk para Taysu."
"o, kiranya Tong-siaucengcu," kata Ling-san Taysu, "Pinceng
Ling-san, pejabat ketua Bun-cu-wan di Siau-lim-s i."
Lalu dia perkenalkan Hwesio berbadan besar di sebelah kiri yaitu
Poh-san Taysu kepala dari Lo-han-tong Hwesio berperawakan
sedang di sebelah kanan ialah Tin-san Taysu, ketua Tat-mo wan.
Tong Siau-khing menjura berulang kali, lalu dia iringi ketiga
paderi tua itu memasuki bangsal itu. Mendengar tiga paderi agung
Siau-lim-si juga datang, lekas Tong-lohujin keluar menya mbutnya,
kini giliran Tong Siau-khing yang perkenalkan ke-tiga Hwesio sakt i
itu kepada ibunya.
Tengah bicara, dari luar ta mpa k masuk seorang laki2 tua kecil
berbaju lengan panjang warna hijau bercelana kencang, sepatu
tinggi, pipa cang-klong tergantung di pinggangnya, di belakangnya
ikut tiga laki2 kekar berbaju hijau pula.
Begitu dekat laki2 tua baju hijau lantas menjura kepada Ling-san
Taysu, katanya: "Siaute su-dah periksa sekeliling sini,
perkampungan ini di bangun me mbe lakangi gunung, paling
belakang adalah sebuah pagar tembok tinggi lima tomba k, di sana
agak luar biasa, di luar tembok ma lah di tumbuhi se mak2 berduri
yang subur dan lebat, orang tak mungkin bisa mende kat, kecuali itu
tiada tanda lain yang mencurigakan, tiada pos penjagaan yang
dipasang secara rahasia."
Ling-san Taysu manggut2, katanya: "Malam itu dengan mata
Lolap sendiri menyaksikan pere mpuan yang mena makan dirinya
Thian-su me mbawa Thong-pi-thian-ong dan lain2 masuk ke
perkampungan ini . . . . " sa mpai di sini dia merandek lalu berkata
pula: "oh Sute, mari kuperkena lkan, inilah Tong-lohujin dari
keluarga Tong di Sujwan." Lalu dia berkata juga kepada Tong-
"lohujin- Inilah suteku Oh Siok-ha m te man2 Bu-lim sa ma
menjulukinya To-pi-wan (lutung banyak lengan)."
Tong-lohujin tertawa, katanya: "Sudah lama kudengar na ma
besar oh-tayhiap. beruntung mala m ini bisa berte mu"
Lekas oh Siok ha m menjawab: "Tidak berani. sudah sekian tahun
aku tidak berkecimpung lagi di Kangouw."
Poh-san Taysu, ketua Lo-han-tong menimbrung: "Sepanjang
jalan me masuki perka mpungan ini apakah Lohujin t idak me ngala mi
rintangan dan sergapan?
Kata Tong lohujin dengan tersenyum: "Dari Liong-bun-kiu
me mang beberapa kali pernah bertemu dengan penjaga2 gelap.
setelah tanya jawab berlangsung, semuanya dibereskan oleh Pa-
congkoan, tapi setelah tiba di sini, mendadak muncul Thong-pi-
thian-ong me mbawa enam cs yang berkerudung, terpaksa mereka
kurobohkan, akhirnya baru diketahui bahwa ena m orang
berkerudung itu adalah orang2 kita sendiri, di antaranya ada Locit
dari keluarga ka mi, Kim Ting Kim-loyacu dari Siau-lim kalian dan
lain2."
Dia m2 terkejut Ling-san Taysu bahwa tokoh2 ternama itu kini
menjadi tawanan Tong- lohujin, katanya: "Keluarga Tong di Sujwan
me mang kena maan dengan obat beracun, bahwa Kim-sute dan
lain2 dapat ditundukkan, tentunya terkena senjata rahasia beracun
kalian-"
Bergetar badan oh Siok-ha m, tanyanya: "Di mana mereka
sekarang?"
Maklumlah Kim Ting Kim Kay thay adalah ciangbunjin murid2
preman Siau-lim-pay, bahwa sekarang dia menjadi tawanan Tong-
lohujin, hal ini menurunkan derajat dan pa mor piha k Siau-lim-pay.
Tong-lohujin tertawa ramah, katanya sambil menuding ke bawah
dinding sebelah barat, "Mereka rebah semua dilantai sana, cuma
sekarang jangan kita mengganggu mereka."
"Kenapa?" tanya oh Siok-ha m.
"Agaknya pikiran mere ka terpengaruh oleh se maca m obat bius,
tidak bisa me mbedakan kawan atau lawan, agaknya musuh
me mang sengaja mengatur muslihat keji ini supaya pihak kita saling
baku hantam sendiri, oleh karena itu terpaksa ku-turun tangan
merobohkan mereka, sementara mereka masih harus istirahat, tapi
oh-tayhiap tidak usah kuatir, dala m menggunakan racun sudah ku-
perhitungkan mere ka tidak akan ce laka karenanya."
"Siancay Siancay" sabda Ling san Taysu. "Mala m itu Lolap
sakslkan sendiri da la m beberapa kejap saja tahu2 Cu-cengcu sudah
kena dikerja i oleh pere mpuan yang dipanggil Thian-su itu, tentunya
kesadarannya juga telah terpengaruh, golongan kalian ahli dala m
menggunakan racun, apakah punya obat penawar untuk
menye mbuhkan orang2 yang kehilangan kesadarannya itu?"
"Harap Taysu tahu, setiap aliran punya cara tersendiri dalam
menggunakan obat pelenyap kesadaran orang, kalau salah paka i
obat penawar, malah bisa menimbulkan bahaya bagi sang korban,
kalau tida k diada kan pe meriksaan seksa ma, sukar ditentukan kadar
racun apa yang mereka gunakan, oleh karena itu sementara
kubiarkan mereka jatuh pulas dulu."
Tiba2 derap langkah ra mai me ndatangi. cong-koan Pa Thian-gi
tampak masuk- me lihat banyak tamu2 Hwesio di dala m, sekilas dia
me lengak heran-
"Pa- congkoan," tanya Tong-lohujin, "bagaimana hasil
pemeriksaanmu? Apa betul gedung sebesar ini tanpa penghuni?"
Pa Thian gi menjura, katanya: "Lapor Lohujin, perka mpungan ini
terdiri dari empat lapis bangunan, bersama IHan koh hamba
mengadakan pe meriksaan, di mana2 debu bertumpuk tebal,
agaknya me mang sudah la ma tidak dite mpati orang."
Belum Tong lohujin bicara, Ling san Taysu sudah mengerut a lis,
selanya: "Kukira tak mungkin? Tiga hari yang lalu Lolap menguntit
rombongan pere mpuan itu naik tandu masuk ke perka mpungann ini.
sarang mereka jelas di perka mpungan ini ........."
Belum habis dia bicara, mendadak kupingnya mendengar suara
lirih seperti bunyi nya muk me mbentak: "Hwesio cilik, sa mbutlah."
"Serrr", serangkum angin kencang t iba2 menerjang tengkuknya.
Keruan Ling-san kaget, lekas dia menunduk miring seraya ulur
tangan menyambut ke belakang Me mang tangannya berhasil
menangkap sesuatu tapi dorongan tenaga besar itu me mbuat
berdirinya menjadi goyah, tanpa kuasa dia terdorong maju dua
langkah.
Ternyata ada orang menggunakan Thoan-im-jip-bit bicara
padanya, kecuali Ling-san Taysu sendiri orang lain tidak mendengar,
samberan angin kencang itupun bagai kilat, Poh-san dan Tin-san
Taysu yang berdiri di sa mpingpun tidak merasakan apa-apa. .
Semua hadirin hanya melihat mendada k Ling-san Taysu
menunduk miring seraya ulur tangan meraup ke belakang, lalu
sempoyongan ke depan. Keruan yang paling kaget adalah Poh-san
Taysu dan Tin-san Taysu, tanpa berjanji mereka bertanya kuatir
"Kenapa Suheng?"
Kejadian berlangsung a mat cepat, sementara Ling-san Taysu
sudah berdiri tegak pula, didapati-nya yang berada di telapak
tangannya hanya segulung kertas kecil sebesar kacang tanah,
keruan hati-nya bertambah kejut.
Maklumlah Ling-san Taysu adalah jago kosen Siau-lim-pay yang
me miliki kepandaian tinggi, bahwa orang itu hanya menimpukkan
gulungan kertas sekecil itu, tapi Ling-san Taysu sampa i terdorong
sempoyongan, betapa tinggi Lwe kang penim-puk itu sungguh
sangat mengejutkan-
Ling-san Taysu sekarang sudah berusia 70 lebih, di Siau-lim-si
dia adalah seorang Tianglo yang amat dihormati, tapi orang itu
ternyata me manggilnya "Hwesio cilik."
Betapapun dia seorang paderi sakti yang saleh, mendadak
berkelebat suatu pikiran dalam benaknya bahwa orang itu pasti
seorang cianpwe yang kosen, gulungan kertas yang ditimpukkan
kepada dirinya pasti me mbawa pesan atau petunjuk yang amat
berharga. Maka tanpa menghiraukan pertanyaan pada Sutenya,
dengan laku hormat dan khit mad dia putar badan serta
me mbungkuk ke arah datangnya gulungan kertas tadi.
Melihat ke lakuan Suhengnya yang aneh itu, Poh-san dan Tin-san
Taysu hanya mengawasi saju dan tidak mengajukan pertanyaan
lagi.
setelah me mberi hormat baru Ling-san Tay-su keluarkan
gulungan kertas di telapak tangannya, kertas itu hanya sebesar
kuku jari, dengan arang kertas secuil itu tertulis sebaris huruf- kecil
yang berbunyi: "Masuk ruang berhala lapis e mpat, dorong patung
pemujaan-"
Hanya sekilas me mbaca Ling-san Taysu lantas manggut2, lalu dia
bertanya kepada Pa Thian-gi: "Barusan Pa cong-koan bilang
perkampungan ini terdiri dari e mpat lapis bangunan, apakah lapis
keempat pa ling belakang itu adalah sebuah ruang berhala?"
"Betul, me mang di gedung lapis kee mpat ada ruang pe mujaan,"
sahut Pa Thian-gi.
Ling-san Taysu tersenyum, katanya: "Tidak salah lagi, sarang
rahasia dari komplotan Cin-Cu-ling itu pasti berada di dalam ruang
berhala itu?"
Kaget dan heran oh Siok-ha m, tanyanya:
"Darimana Suheng tahu?"
Ling-san Taysu keluarkan gulungan kertas itu dan diperlihatkan
kepada orang banyak, lalu men-jelaskan kejadian barusan dengan
suara lirih, Sudah tentu orang yang memanggilnya "Hwesio cilik"
tidak diceritakannya.
"Ada orang kosen me mberi petunjuk secara dia m2 kepada kita,
hayolah jangan kita bekerja la mbat2, kita masuk bersa ma
mendobra knya," ajak Tong-lohujin-
Ling-san Taysu berkata: "Kim-sute dan la in2 masih belum
siuman, perlu ada orang jaga di sini, oh-sute, kau bersama The Si-
kiat bertiga tinggal saja di sini.."
Tong-lohujin juga perintahkan Pa Thian-gi bersa ma kede lapan
Busu seraga m biru tinggal di bangsal ini.
Maka dibawah petunjuk Han-koh be ra mai2 orang banyak lantas
menuju ke belakang. Bangunan lapis kee mpat merupakan lapisan
terakhir pula. Pohon2 tua tinggi besar tersebar di pekarangan
belakang, orang akan merasa dingin dan sera m di te mpat yang
le mbab ini.
Setelah menyusuri hala man yang penuh lumut hijau, mereka
terus naik keunda kan langsung me masuki sebuah ruangan besar
dan luas, tepat di tengah ruangan memang terdapat sebuah patung
pemujaan, yang dipuja di sini adalah mala ikat ber-tenaga raksasa.
Delapan Busu pere mpuan me langkah masuk lebih dulu terus
berjajar di dua sisi, Tong-lohujin beriring dengan Ling-san Taysu
dan lain2 ikut masuk. Ketua Lo-han-tong Poh-san Taysu jalan pa-
ling belakang, dia me mberi tanda kepada 18 muridnya untuk
bersiaga di luar pe karangan.
Ling-san Taysu maju beberapa langkah lebih dekat dan me mberi
hormat ke arah patung pe mujaan, lalu dia mundur ke mba li.
Sementara Tin-san Taysu juga maju me ndorong patung pe mujaan-
Tapi patung itu tak berge ming sedikitpun.
"Taysu bertiga harap mundur agak jauh," kata Tong-lohujin, "kita
tak tahu cara bagaimana me mbuka alat2 rahasia di sini, terpaksa
hancurkan saja Han-koh, kau saja yang turun tangan-"
Sementara itu orang banyak sudah mundur agak jauh, Han-koh
mengiakan, dari dalam kantong kulit harimau dia ke luarkan sebutir
besi bundar sebesar biji kenari, sekali ayun dia timpuk ke arah
patung-pemujaan-
"Dar", hebat sekali ledakan ini, patung pe mujuan yang tinggi
besar itu roboh ber-keping2. Ta mpa k di belakang patung pe mujaan
terdapat sebuah pintu besi, bawah tembok juga sudah berlubang,
tapi pintu besi itu tetap utuh tidak kurang sesuatu apapun, tanpa
disuruh Han-koh timpuk lagi sebutir granat tangan ke arah pintu
besi. Ledakan keras kembali menggetar ruang pemujaan, kedua
daun pintu besi kini roboh berserakan, di belakangnya adalah lorong
panjang yang gelap gulita.
"Kalian geledah ke dala m," Tong-lohujin me m-beri aba-aba
kedelapan Busu pere mpuan-
Di bawah pimpinan Han-koh kede lapan orang itu segera
menerjang ke dala m terbagi dua barisan- Bersa ma Tong Siau-khing
bertiga Tong-lohujin mengiringi Ling-san Taysu masuk lebih jauh,
Poh-san Taysu tetap berada paling belakang, dia suruh delapan
paderi berjaga di ruang pe mujaan ini, lalu kedelapan paderi yang
lain dia ajak masuk ke da la m.
Lorong gelap ini panjangnya puluhan tombak. mereka tiba di
ujung sana dan diadang dinding te mbok. Han-koh lantas timpukkan
granat lagi, debu pasir beterbangan sehingga orang banyak sukar
me mbuka mata. Tapi dinding pengadang ja lan sudah jebol. Lekas
sekali kedelapan Busu pere mpuan yang tetap berkerudung kain
hitam itu menerobos masuk lewat lubang besar itu.
Waktu Tong-lohujin dan Ling-san Taysu be-ramai keluar dari
lubang te mbok, mereka tiba di sebuah ta man bunga yang a mat
luas, mala m re mang2, tampak bayangan pohon dan gardu tersebar
di sana-sini.
Waktu orang banyak menga mati keadaan sekelilingnya, mereka
berada di depan sebuah bangunan berloteng yang dibangun megah
dan mewah, di bagian depan terdapat undakan batu me manjang
tinggi, sekarang mereka berada di tengah2 undakan batu yang jebol
oleh ledakan granat tangan tadi.
Di antara bayang2 pohon yang gelap di sekitar mereka ta mpak
bermunculan bayangan puluhan laki2 bersenjata golok, dari
kejauhan mereka merubung maju mengepung.
Pui Ji-ping yang berangasan ajak Tong Siau-khing untuk
me labrak orang2 itu. Tapi Tong-lohu-jin lantas mencegah, katanya:
"Tak perlu kalian be kerja susah payah " Tiba2 tampak orang2 yang-
mengepung mereka itu satu persatu, sama terjungka l roboh tak
bergerak lagi.Jelas semuanya terkena Bu sing-san yang lihay dan
me matikan-
Dia m2 berkerut alis Ling-san Taysu, lekas dia bersabda dan
komat-ka mit me manjatkan doa bagi arwah para korban supaya
mendapat te mpat tenteram di ala m baka.
Pada saat itulah dari arah pintu yang terbuka di depan sana
muncul di atas undakan batu dua pelayan perempuan cilik
me mbawa dua la mpion, lalu berdiri di kanan kiri. Segera terdengar
pula suara ge mericik sentuhan batu manika m dan perhiasan yang
bertaburan di tubuh seorang perempuan cantik jelita, seorang
nyonya muda berpakaian puteri keraton pelan2 beranjak keluar,
sebelah tangan terpapah dipundak seorang dayang di sebelahnya.
Yang muncul ternyata Hian-ih-lo-sat, wajahnya nan ayu
mena mpilkan rasa kaget dan heran- na mun mulutnya yang kecil
mungil mengulum senyum, katanya: "Kalian siapa? Ma la m buta
menjebol dinding ma in terjang di rumah orang, mau apa?"
Sementara itu Pui Ji-ping sudah sembunyi di belakang Tong-
lohujin serta berbisik. "Bu, perempuan siluman itulah yang
mena makan dirinya Hian-ih-lo-sat."
"Jangan ribut," Tong- lohujin manggut2, "dengar saja apa yang
dia katakan-"
Sementara itu Ling-san Taysu sudah perkenalkan diri dan
nyatakan maksud kedatangannya. Tapi Hian-ih lo-sat malah menista
bahwa kedatangannya mau mera mpok atau me mperkosa kaum
perempuan di sini. Sebagai paderi agung yang alim, sudah tentu
Ling-san me njadi gelagapan dan t idak ma mpu menjawab.
Tong lohujin tertawa dingin, bentaknya: "Nona tidak usah banyak
omong, siapa kau me mangnya ka mi tida k tahu?"
Kerlingan mata Hian-ih-lo sat me mpesonakan, katanya sambil
berpaling ke arah Tong-lohujin: "Apakah nenek tua ini juga orang
dari Siau-lim?"
"Dari keluarga Tong di Sujwan," jenge k Tong-lohujin-
Hian-ih-lo-sat pura2 tidak tahu, katanya: "Keluarga Tong di
Sujwan? Te mpat apakah itu, belum pernah kudengar."
"Itu tidak penting, satu hal perlu kuperingatkan, komplotan Cin-
Cu-ling kalian main culik orang, sekarang kita sudah berhadapan,
lekas kau bebaskan para tawanan, kalau tidak jangan menyesal
kalau ka mi turun tangan keji."
Sambil me mbetulkan sanggulnya, Hian-ih-lo-sat berkata dengan
mengunjuk rasa kaget dan heran: "Apa katamu nenek tua ? Siapa
yang harus kubebaskan?"
Pada saat itulah, ke delapan Busu perempuan yang berjaga di
sekeliling Ting- lohujin ere mpak berteriak seraya mengayun tangan
ke udara. Tapi mere ka bukan menimpukkan senjata rahasia, juga
bukan melancarkan pukulan, hanya seperti tanda gerakan tangan
aja, Sudah tentu Ling-san Taysu dan lain2 yang tidak tahu apa2 jadi
heran-
Tong-lohujin menyeringai hina, katanya: "Memang sudah kuduga
bahwa Hian-ih-lo-sat pandai menggunakan bubuk racun yang tidak
kelihatan, kepandaian rendah ini me mangnya dapat mengelabui
mataku?"
Dengan mengangkat tangan me mbetulkan sanggulnya tadi,
ternyata secara diam2 Hian-ih-lo-sat sudah menaburkan bubuk
beracun yang tidak kelihatan- Keruan kaget dan berubah air muka
para paderi Siau-lim.
Hian-ih-lo-sat sendiri juga berubah air mukanya, tapi segera dia
cekikikan, katanya: "Nenek tua, ternyata kau memang me mada i
untuk lawanku, entah bagaimana kau tahu ka lau aku Hian-ih-lo-
sat?"
"Perbuatanmu menawan Cu Cengcu secara licik di Liong-bun-kin
kusaksikan diatas batu bersa ma Ling-san Taysu ini, berani kau
mungkir?" de mikian t imbrung Ji-ping. "Ketahuilah Thong-pi-thian-
ong dan lain2 yang kau bius kini sudah sadar seluruhnya, kalian
masih ma mpu berbuat apa lagi?"
"Nona cilik," ujar Hian-ih-lo-sat cekikikan, "ma la m ini kalian
berada di atas angin, aku hanya sendirian, ma mpu berbuat apa lagi?
Tapi kalian harus ingat, Lok san Taysu berempat masih tergengga m
di tanganku, kalau terpaksa, ya apa boleh buat, jangan salahkan
aku bertangan keji."
Dia m2 kaget Tong-lohujin, katanya dengan suara geram: "Kau
berani?"
Tengah bicara tiba2 muncul e mpat bayangan orang melayang ke
depan undakan- Itulah seorang Hwesio dan tiga orang preman,
orang terdepan adalah paderi berjubah abu2, tangan menenteng
tasbih, usianya 6o-an- Mereka bukan lain adalah para tamu agung
yang diculik ke Coat Sin-san-ceng, yaitu Lok-san Taysu, Tong Thian-
jong, Un It-hong dan Cu Bun-hoa.
Melihat kedatangan Lok-san Taysu, lekas Ling-san, Po san cian
Tin-san Taysu me mburu ma ju, seru mereka: "Suheng berhasil
menjebol kurungan musuh"
Lok-san Taysu berkata: "Kami bere mpat tinggal di kebun ini,
mendengar keributan di sini segera ka mi datang kemari. Ai,
pengalaman pahit ini agak panjang untuk diceritakan"
Sementara itu, Tong-lohujin juga sudah me lihat suaminya, kejut
dan girang hatinya, serunya: "Loyacu, kau tidak apa2 bukan?"
Tong Siau-khing dan Tong Bun-khing juga berseru: "Ayah"
"Masih baik," ujar Tong Thian-jong sa mbil mengelus jenggot,
"beruntung kedatangan Ling-lote, dia bantu kami me munahkan
kadar racun yang mengera m dala m tubuh ka mi, kalau tida k mala m
ini tetap takkan bisa ke mari."
Sementara itu Ji-ping sudah me mburu ke de-pan Cu Bun-hoa,
teriaknya: "Ling-toako, kau tahu di mana pa manku dikurung?"
"Ji-ping, akulah pa manmu," ujar Cu Bun-hoa.
Berkedip mata Ji-ping, serunya heran, "Lantas di mana Ling-
toako?"
"Paman terjebak oleh pere mpuan siluman itu dan dikurung di
bawah tanah, mala m tadi Ling-lote menolongku keluar, dia sudah
pergi."
"Dia tidak bilang mau ke ma na?" tanya Ji-ping gelisah.
"Waktu pa man bangun, Ling-lote sudah t iada lagi."
Mendadak Tong lohujin berseru kaget: "Wah, perempuan siluman
itu sudah merat, hayo kejar"
Melihat gelagat jelek. tahu seorang diri takkan mampu melawan
musuh sebanyak ini, pada saat orang banyak ribut bicara, diam2
Hian-ih-lo-sat kabur bersama ketiga dayangnya.
Un It-hong tida k berbicara, maka dia bertindak lebih dulu, tapi
waktu dia tiba di depan pintu mendadak ia berhentikan- Se mentara
itu Lok -san Taysu, Tong thian- bong, Tong-lohujin Cu Bun-hoa
serta yang lain juga telah me mburu ma ju. Lekas Un It- hong
mencegah: "Se mua berhenti, ada perangkap dalam ruangan-"
Waktu semua berhenti, tertampak di dalam ruangan besar itu penuh
asap hitam seperti kabut tebal sehingga sulit me mandang keadaan
di dala m. "Seperti kabut tebal," ujar Lok-san Taysu.
Tong Thian-jong tertawa dingin,jengeknya: "inilah cek-yu-tok-bu
(kabut beracun) le kas mundur" Lalu dia berpaling, tanyanya: "Hujin
me mbawa Lan ling-tan?"
"Barang2 yang diperlukan tentu kubawa seluruhnya," ucap Tong-
lohujin sambil tersenyum, lalu dia me mberi tanda ke belakang. Han-
koh segera tampil ke depan, tangan kiri terayun, tiga bintik cahaya
ke milau biru me luncur kedala m ruangan-
"Blang", terdengar ledakan keras dibarengi dengan muncratnya
ke mbang api. Bintik2 sinar ke milau biru itu segera menyala dan
berkobar waktu terkena asap hitam, terdengar suara mendesis di
tengah kabut hita m itu.
Ternyata Lan ling-tan (granat belerang biru) me mang pe munah
dari cek-yu-tok-bu atau kabut beracun itu, dalam sekejap kabut
gelap yang me menuhi ruangan segera sirna tanpa bekas. Kobaran
apipun lantas padam.
Tanpa diperintah Han-koh, pimpin anak buah-nya menerjang
masuk lebih dulu, Tong Thian-jong sua mi-isteri, Lok-san Taysu dan
lain2 bera mai2 ikut masuk, para paderi Siau-lim menyalakan obor
berada di barisan belakang. Ruang besar seketika terang
benderang, tapi bayangan Hian- ih-lo- sat sudah tak kelihatan lagi.
Berkerut alis Tong Thianjong, serunya: "Lekas periksa rumah
yang ada di sini." -Tangan kiri terayun, dia pukul roboh daun pintu
yang menutup ka mar di sebelah kiri.
Tapi hasil pe meriksaan semua orang tetap nihil, tiada bayangan
seorangpun di da la m perka mpungan sebesar ini. Bukan saja
bayangan Hian-ih-lo-sat tidak kelihatan, para kacung, pelayan dan
penjagapun tiada lagi.
"cepat juga perempuan siluman itu me larikan diri," kata Un It-
hong gusar.
Sementara itu Cu Bun-hoa masih sibuk lihat sana periksa sini,
akhirnya dia menuju ke belakang pintu angin, ia mene kan dua kaki
di-sela2 dinding, maka terdengarlah suara keresekan, lantai di
tengah ruang tiba2 a mbles ke bawah, muncul sebuah lubang bundar
yang disambung undakan menjurus ke bawah.
"Lorong bawah tanah," seru Tong Thian-jong, "Pere mpuan
siluman, itu lari dari sini."
"Lekas kita kejar," seru Un It-hong.
"Menurut pendapat Siaute," timbrung Cu Bun-hoa, "lorong ini
mungkin mene mbus keluar taman, sekarang tentu perempuan
siluman itu sudah merat jauh."
Tenaga segera dikerahkan, semua orang dibagi tiga ke lompok
mengadakan pengge ledahan, tapi hasilnya tetap nihil, terpaksa
mereka keluar dari lubang ledakan se mula dan ke mba li ke bangsal.
To-pi-wan oh Siok-ha m maju me mberi hor-mat kepada Lok-san
Taysu. Tong Thian-jong lalu periksa keadaan Thong-pi-thian-ong
bertujuh, dalam setengah jam setelah diberi obat, ketujuh orang
berturut2 siuman, melihat orang banyak merubung mereka di dala m
ruangan, mereka merasa heran-
Begitu melihat Un It-hong, Thong pi-thian-ong lantas berteriak:
"Un-lotoa, tempat apakah ini?"
Melihat Lok-san Taysu dan paderi yang lain, sudah tentu Kim
Kay-thay juga kaget dan girang, lekas ia bangkit berdiri, serunya:
"Lok-san Suheng sudah lolos."
Setelah banyak mengala mi kesukaran, panjang lebar
pembicaraan mereka. Bahwa orang2 yang hi-lang kini sudah
dikete mukan dan tertolong semuanya, hanya Ling Kun-gi saja entah
ke mana perginya, maka Pui Ji-ping menjadi masgul, seorang diri
dia menunggu di serambi luar, ia menengadah mengawasi
rembulan, guma mnya: "Ke manakah Ling-toako?"
Terdengar suara Tong Bun-khing ce kikikan di be lakang, katanya:
"Adik Ji-ping, kutahu apa yang sedang kau pikirkan-"
Merah muka Ji-ping, omelnya: "cis, kau sendiri yang me mikirkan
dia."
oood wooo
Tepat tengah hari, di depan La m-pak-ho, restoran terbesar di
kota An-khing yang terletak dija lan timur datang seekor kuda putih
yang gagah, sedemikian put ih bulunya laksana saiju, tiada bulu
warna lain di badannya. Penunggangnya seorang pemuda berjubah
hijau, usianya sekitar 19 an, wajahnya putih ha lus, bibirnya merah,
giginya putih, hidang mancung, gagah tapi juga lembut, gerak-
geriknya seperti anak sekolahan, tapi pedang tergantung
dipinggangnya sehingga ta mpak lebih perwira.
Baru saja pemuda jubah hijau melompat turun, pelayan restoran
cepat menyongsongnya, sipemuda serahkan tali kendali kudanya
kepada pelayan terus melangkah masuk langsung naik ke atas lo-
teng, dia pilih meja yang dekat jendela. Waktu itu saatnya makan
siang, tamu penuh sesak. untunglah si pe muda mendapatkan
tempat duduknya. Sambil menunggu hidangan pesanannya, dia
pandang keluar jendela me lihat pemandangan dijalan raya. Tiba2
didengarnya seorang pelayan berkata di sebelah belakang: "Siang
kong ini hanya sendirian, silahkan tuan duduk se meja saja di sana."
Waktu pemuda jubah hijau berpaling, dilihatnya pelayan
mengiringi seorang pemuda berpakaian ketat warna biru mendatang
ke arah mejanya, kursi di seberang mejanya di tarik keluar, lalu
pelayan menyilakan ta mu muda ini duduk.
Usia pe muda ini antara 27, alisnya tegak bermata besar,
wajahnya bersih kelihatan agak kurus, sebuah buntalan tergendang
di pundak. tampak gagang pedang yang beronce menongol ke luar
dari buntalannya. Sekali pandang orang tahu bahwa pe muda ini
pandai main silat, entah murid dari golongan mana dia?
Pemuda baju biru turunkan buntalannya dan taruh di pinggir
meja, katanya tertawa seraya memberi hormat pada pe muda baju
hijau : "Sungguh menyesal harus mengganggu saudara."
Pemuda baju hijau menjawab tawar: "Tidak apa2."
Pemuda baju biru lantas duduk berhadapan dengan pemuda baju
hijau, pelayan menyuguhkan pesanan pemuda jubah hyau sembari
tanya pemuda baju biru ma u pesan ma kanan apa.
Pemuda baju biru berkata, "Aku harus mengejar waktu dan
me lanjutkan perjalanan, arak jangan kau sedia kan, siapkan
makanan apa saja yang cepat, seporsi bak-pau, minum teh saja."
Pelayan mengiakan terus mengundurkan diri.
Setelah meneguk secangkir teh, pemuda baju biru berkata:
"Mohon tanya siapakah she saudara yang terhormat?"
Merah muka pe muda jubah hijau, sahutnya: "Siaute berhama Cu
Jing."
"o, kiranya Cu-heng, beruntung bertemu di sini, cayhe Ban Jin-
cun," ujar pemuda baju biru, matanya me lirik cit-sing-kia m milik Cu
Jing yang di taruh dipinggir jendela, lalu mena mbahkan dengan
tertawa: "Cu-heng me mbawa pedang, tentunya mahir bermain
pedang?"
Merah muka Cu Jing, katanya: "Siaute hanya belajar berapa jurus
cakar ayam saja, belum se mbabat dikatakan mahir."
Ban Jin-cun tertawa lebar, katanya: "Sekali bertemu rasanya
seperti sahabat lama, Cu-heng tak usah sungkan, cayhe yakin Cu-
heng bukan se mbarang orang, hari ini dapat berkenalan, sungguh
beruntung sekali . . . . " sampai di sini tiba2 sikapnya tampak
masgul, katanya: "Sayang Siaute mengala mi petaka, kalau tidak
ingin rasanya hari ini makan minum sepuasnya dengan Cu-heng . . .
."
"Ah, saudara Ban pandai bicara," ujar Cu Jing ma lu2.
Pelayan datang pula me mbawa pesanan Ban Jin-cun, ma ka
mereka lantas makan minum sendiri, begitu lahap dan bernafsu
sekali mere ka ber-santap. tanpa diaadari bahwa seseorang telah
berdiri di sa mping meja mereka. Ban Jin-cun segera menyadari
adanya seseorang disamping mereka, cepat ia angkat kepala. Cu
Jing juga sudah tahu, iapun me lirik ke atas.
Orang yang berdiri di sa mping meja mereka adalah pe muda
berusia 25-an, pakaiannya ketat, warna biru tua, mengenakan
caping ba mbu, pedang besi terselip di pinggang, alisnya tebal,
wajahnya kelam mengkilap. tulang pipinya agak menonjol, mulutnya
yang lebar terkancing rapat, sepasang matanya besar dan
me mancarkan sinar terang lagi mendelik pada Ban Jin-cun tanpa
berkedip. jelas sikapnya yang garang ini t idak berma ksud ba ik.
"Saudara cari siapa?" tanya Ban J in-cun, menghentikan ma kan-
"Kau" sahut pe muda baju biru tua, suaranya kaku dingin.
Merasa belum pernah kenal, Ban Jin-cun merasa heran,
tanyanya: "Ada petunjuk apa saudara mencariku?"
"Kau murid golongan Ui-san?" tanya pe muda baju biru tua.
Setiap murid Ui-san se mua menggunakan hiasan ronce pedang
warna kuning, soalnya tiga puluh tahun yang lalu keluarga Ban dari
Ui-san ber-turut2 pernah menjabat tiga kali Bulim-bengcu, ma ka
ronce kuning menjadi simbol kebesaran margaban dari Ui-san-dan
ini sudah diakui oleh kaum persilatan umumnya.
"Betul," sahut Ban Jin-cun, "cayhe Ban Jin-cun, entah saudara
dari aliran mana? Adakah ber-musuhan dengan pihak Ui-san ka mi?"
Pemuda baju biru tua menyeringai,jengeksnya: ."Aku datang dari
Ciok-bun, aku bernama Kho Keh-hoa."
Mendengar orang datang dari Ciok-bun, berubah hebat air muka
Ban Jin-cun, tanyanya dengan suara berat: "Pernah apa kau dengan
Liok-hap-kia m Kho cin-hoan?"
"Beliau ayahku a lmarhum," sahut Kho Keh-hoa.
Mendadak Ban Jin-cun ter-gelak2 katanya: "Ha ha, kebetulan
sekali, orang she Ban me mang-nya mau meluruk ke Ciok-bun."
Keluarga Kho dari Ciok-bun adalah marga terke muka dari Liok-
hap-bun yang sudah termashur di se luruh pelosok dunia, Liok-hap-
kia m Kho cin-hoan terkenal dengan ilmu pedangnya yang menjagoi
Bu-lim, konon tiada seorang musuh yang pernah melawannya lewat
tujuh jurus, oleh karena itu umum lantas me mberi julukan Liok-hap-
kia m (pedang ena m jurus) kepadanya.
Kho Keh-hoa terkekeh, ejeknya: "Akupun dala m perjalanan ke
Uisan untuk mencarimu."
Gemeratak gigi Ban Jin- Cun, desisnya: "Bagus sekali, hari ini kita
bertemu di sini, marilah kita cari tempat untuk menyelesaikan
pertikaian kita ini."
"Boleh kau pilih tempatnya," tentang Kho Keh-hoa.
"Lapangan latihan di pintu selatan, bagaimana?" kata Ban Jin cun
setelah berpikir sejenak.
"Boleh saja, cayhe akan berangkat lebih dulu, kalian boleh makan
minum sekenyangnya dulu," dingin dan congka k seka li kata2 Kho
Keh-hoa. Agaknya dia salah kira bahwa Cu Jing adalah teman Ban
Jin-cun, sembari bicara, dengan hina iapun melirik Cu Jing lalu
me langkah pergi.
Saking gusar muka Ban Jin-cun me mbesi hijau, ingin dia
menje laskan bahwa Cu Jing bukan temannya, tapi Kho Keh-hoa
sudah melangkah turun loteng. Ia menjadi kikuk. katanya menyesal:
"Dia kira Cu-heng adalah temanku, harap saudara cu t idak berkecil
hati."
Selamanya belum pernah Cu Jing kelana di Kangouw, tapi dia
merasakan sikap dan pembicaraan kedua orang tadi penuh dendam,
keduanya berjanji due l dilapangan latihan di pintu selatan- Sudah
tentu dia tidak tahu pertikaian apa di antara kedua orang ini? Tapi
dari sikap masing2 ia yakin bahwa permusuhan kedua orang ini
tentu amat mendala m. Maka dengan sikap tak acuh ia berkata: "Dia
telah mengundangku juga, sudah tentu aku harus me menuhi
undangannya."
"Ini. ..... ai," sikap Ban Jin-cun tampak serba salah, "soal ini tiada
sangkut pautnya dengan Cu-heng."
Cu Jing tertawa dingin: "Enteng saja saudara Ban bicara, "dia
sudah mengundangku, kalau aku t idak hadir berarti nyaliku kecil?
Ketahuilah se la manya tak pernah aku mengalah terhadap siapapun."
Ban Jin-cun melenggong, katanya tertawa: "Cu-heng me mang
belum tahu duduk persoalannya, keluargaku bermusuhan sedala m
lautan dengan keluarga Kho, hari ini kalau bukan dia yang mati
biarlah aku yang gugur, pertikaian balas me mbalas di ka langan
Kangouw ini, apalagi saudara cu orang luar, lebih ba ik engkau
jangan ikut ca mpur."
Ia rogoh uang receh serta panggil pelayan, katanya: "Rekening
saudara cu ini sekalian kubayar." Lalu ia berpaling ke arah Cu Jing
serta menjura, katanya: "Ber-hati2lah Cu-heng dala m perjalanan,
kalau aku tida k mati, kelak se moga bertemu lagi." Segera dia
panggul buntalannya terus turun loteng.
Lama Cu Jing melongo mengawasi Ban Jin-cun yang menghilang
di bawah tangga, ia berpikir: "Ban Jin-cun adalah anak didik
keturunan keluarga Ban di Ui san, sedang Kho Keh-hoa adalah
keturunan keluarga Kho di cioksbun, keduanya bukan kaum jahat,
me mangnya ada permusuhan mendala m apakah di antara kedua
keluarga besar ini ?"
Bergegas dia berdiri serta menje mput pedang terus me mburu
turun ke bawah loteng. Sementara kuda ia t itipkan kepada pelayan
restoran serta tanya di mana letak lapangan latihan di pintu selatan
itu, lalu dia cepat2 menuju te mpat yang ditunjuk.
Setiba di pintu selatan dia belok menyusuri sebuah gang dan
tibalah dia di sebuah tanah lapang berumput hijau, itulah alun2
yang cukup besar dan luas, sayang tempat ini tidak terawat, banyak
rumput liar tumbuh subur setinggi pinggang.
Tepat di tengah lapangan sana, berdiri berhadapan dua pemuda,
mereka adalah Kho Keh-hoa dan Ban Jin-cun. Karena ingin tahu
sebab musabah permusuhan kedua pe muda ini, dia m2 Cu Jing
merunduk lebih dekat, lalu sembunyi di belakang serumpun pohon
bambu yang lebih dekat dari tengah lapangan.
Terdengar Kho Keh-hoa tengah mengejek: "Kau hanya datang
sendiri?"
"Me mang cayhe hanya sendirian," sahut Ban Jin-cun.
"Lalu mana kawanmu itu?" jengek Kho Keh-hoa, "kau
sembunyikan dala m hutan untuk me mbokongku?"
"Kau menista dan me mfitnah orang," da mprat Ban Jin-cun.
"Masa salah tuduhanku?" jengek Kho Keh-hoa tak kalah
sengitnya.
Mengira jejaknya diketahui Kho Keh-hoa, dengan dongkol segera
Cu Jing melompat keluar, dengusnya: "Kau mengundangku ke mari,
me mang-nya salah bila aku hadir?"
Kurang senang ta mpaknya Ban Jin-cun, katanya: "Cu-heng,
kenapa kau-pun ikut ke mari?"
"Apa katamu? Ikut ke mari?" jawab Cu Jing, "kenapa aku harus
ikut orang? orang she Kho tadi menantangku juga, sudah tentu aku
harus ke mari."
Kho Keh-hoe ter-gelak2, serunya: "Baik seka li kau berada di sini,
anggota keluarga Ban tiada seorangpun yang a kan kulepaskan-"
Mencorong benci sorot mata Ban Jin-cun, teriaknya bengis: "Apa
yang kau katakan me mang cocok dengan maksud hatiku, setiap
insan marga Kho takkan seorangpun kua mpuni jiwanya, cuma
saudara cu ini bukan sanak keluarga Ban ka mi, kebetulan tadi ka mi
bertemu di loteng restoran, jadi tiada sangkut pautnya dengan duel
kita ini."
"Baiklah, asal dia tida k ikut turun tangan, aku tida k akan
pandang dia sebagai musuh," ujar Kho Keh-hoa. "Sreng" tiba2 dia
me lolos pedang besi yang terselip dipinggang, bentaknya:
"Sekarang kita mulai"
"Bagus sekali," seru Ban Jin-cun, pelan2 ia pun keluarkan pedang
dari buntalannya.
Sambil angkat pedangnya, berkata Kho Keh-hoa dengan
mengertak gigi: "orang she Ban dengarlah, Dengan pedang besi di
tanganku ini Kho Keh-hoa akan menagih 28 jiwa besar kecil
keluarga kho terhadap marga Ban ka lian, setiap insan she Ban
merupakan musuh bebuyutan keluarga kami, kau boleh tumple k
seluruh ke ma mpuan yang terang takkan kulepas kau pergi dengan
selamat."
Menunjuk sorot gusar pada sinar mata Ban Jin-cun, bentaknya
beringas: "Tutup bacotmu, bapakmu Kho cin-hoan yang me mimpin
segerombolan bangsat berkedok. mala m2 menggerebek
perkampungan keluarga Ban ka mi, ayah bundaku dan 19 jiwa
lainnya dibantai habis2an, aku bersumpah menuntut balas atas
ke matian keluargaku itu, kini kalau tidak kuhancur leburkan
tubuhmu, tidak terla mpias denda m kesumatku."
"Keparat kau," damprat Kho Keh-hoa, "yang terang bapakmulah
yang me mbawa gerombolan bandit menyerbu ke rumah ka mi, 28
jiwa tua muda dicacah hancur luluh, berani kau me mfitnah piha k
kami ma lah."
Kaget dan heran Cu Jing mendengar caci-maki dan saling tuduh
ini, ia me mbatin: "Kedua-nya bilang ayah mereka me mbawa
gerombolan dan ma in sergap di mala m hari, bukan mustahil dala m
persoalan ini ada latar belakangnya?"
Terdengar Ban Jin-cun berjingkrak gusar, ma kinya: "Kau kunyuk.
kau yang main tuduh dan me mfitnah."
"Perang mulut tiada gunanya, lihat pedangku" bentak Kho Keh-
hoa. "Sret", pedangnya yang pan-jang segera menusuk.
"Serangan bagus." seru Ban Jin-cun, segera ia balas menyerang.
Musuh besar berhadapan, mata sama me mbara, ma ka serangan
kedua pihak sa ma2 ganas tanpa kenal a mpun lagi, terdengar
rentetan bunyi benturan nyaring, keduanya sama menge mbangkan
ilmu pedang warisan keluarga masing2 dan saling labrak dengan
sengit.
Menyaksikan pertarungan sengit ini, berkerut kening Cu Jing,
teriaknya keras: "Hai, kalian le kas berhenti, dengarkan omonganku."
Tapi kedua pe muda ini sa ma berdarah panas, sudah kesetanan
lagi oleh denda m keluarga yang tidak terla mpias, mereka tida k
hiraukan seruan Cu Jing, malah gerakan pedang mereka semakin
gencar untuk merobohkan musuh.
Melihat seruannya dire mehkan, Cu Jing naik pitam, dengusnya:
"Patut ma mpus, kalian tida k mau dengar nasihatku, boleh sila kan
saling ganyang, mati hidup kalian me mangnya tiada sangkut
pautnya dengan aku" Karena marah, dia putar badan hendak tinggal
pergi.
Tiba2 seseorang seperti berbisik di pinggir telinganya: "Kau
ke mari sebagai penengah, belum me misah kenapa di tingga l pergi"
Cu Jing tertegun, dia berpaling dan Celingukan, tapi tiada
bayangan orang lain, keruan ia bingung dan heran- Kalau kuping
sendiri salah dengar, tapi jelas ada orang berbisik di pinggir
telinganya, tak mungkin salah lagi.
Tengah dia celingukan dengan bingung, suara itu berkata pula
"Hai, Buyung, kenapa melongo saja? Tidak lekas kau maju
me misah, satu di antara mereka mungkin bisa mati konyol."
Kali ini Cu Jing mendengar jelas, orang di belakangnya. Dengan
sigap dia me mba lik badan, tapi tetap tidak melihat bayangan
seorangpun, keruan ia terkejut, jelas orang itu bicara di
belakangnya, kenapa tidak kelihatan, dengan merinding dia
bertanya: "Siapakah kau?"
"Aku ya aku," suara itu berbisik pula.
"Masa kau tidak punya she dan na ma?" ta-nya Cu Jing.
"Betul, aku orang tua me mang tidak punya she dan nama," sahut
suara itu dengan tertawa.
Di kala orang bicara, dengan gerakan cepat Cu Jing me mbalik
badan, tapi tetap tidak melihat bayangan orang. Malah suara orang
berkumandang di telinganya: "Kau tidak usah berpaling, umpa ma
kau putar2 sampai pusing tujuh keliling juga tidak akan bisa melihat
aku orang tua."
"Me mangnya kau setan" seru Cu Jing. Tanpa terasa dia
merinding.
"Di siang hari bolong mana ada setan" seru suara itu. "Aku orang
tua ini adalah dewa hidup sungguhan, kau percaya tidak?"
Cu Jing geleng kepala, katanya: "Aku t idak percaya."
"Tida k percaya tidak jadi soa l, lekas me lerai mereka."
"Mereka lagi berhanta m sengit, bagaimana aku bisa
me misahnya?"
"Kau tidak usah kuatir, loloslah pedangmu, gunakan jurus Thian-
to-tiong-ho terus terjang ke tengah mereka, aku akan membantumu
secara diam2."
Segera bisikan suara itupun menerangkan lebih lanjut: "Thian-to-
tiang-ho adalah sejurus ilmu pedang dari Bu-tong-pay, kau bisa
ma inkan t idak? Yaitu pedang tusuk lurus ke depan, la lu ujung
pedang mendongak ke atas terus di sendal saja begitu."
"segampang itu?" seru Cu Jing tidak percaya.
"Kan ma ksudmu me misah? sudah tentu se makin ga mpang
semakin bermanfaat. Ai, buyung, jangan banyak bertanya, cukup
asal kau bergaya dan berpura2 saja, biar a ku yang me mbantumu. "
"Umpa ma berhasil me misah mereka, apakah mereka mau di
lerai?" tanya Cu Jing.
"Setelah mereka kau pisah, bekerjalah lebih lanjut menurut
petunjukku."
Dengan seksama Cu Jing dengarkan suara orang, terasa serak
dan rendah berat, ia tahu pasti seorang cianpwe kosen yang aneh
tabiatnya, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, aku akan bekerja
menurut petunjukmu " Setelah berpikir la lu dia bertanya pula
"Apakah nanti kau tida k akan unjukkan dirimu?"
"Kau Buyung ini mewakilkan aku bekerja kan sudah cukup,
muncul atau tida k bagiku sa ma saja. Nah, lekas maju, ingat jangan
pedulikan jurus serangan apapun yang tengah mereka lancarkan,
kau tetap gunakan jurus Thian-to-tiong-ho saja."
Dengan heran dan penuh tanda tanya Cu Jing keluarkan pedang
terus mendekati gelanggang.
Waktu itu pertempuran Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa sudah
mencapai babak genting me nentukan, pedang mereka dengan
berlomba kecepatan merobohkan lawan, lingkaran sinar pedang
laksana ke lebat kilat menyamber.
Ui-san kia m-hoat menguta makan ketenangan dan ke mantapan-
Sebaliknya Liok-hap-kia m dari keluarga Kho yang tersohor
menguta makan tusukan dan menutuk. oleh karena itu murid
didiknya semua menggunakan batang pedang yang tipis dan
panjang, begitu ilmu pedang dike mbangkan, bagai bint ik2 sinar
perak bertaburan. Konon kalau Liok-hap-kia m-hoat diyakinkan
sampai taraf tertinggi, sejurus gerakan pedang sekaligus dapat
menusuk telak 36 Hiat-to musuh, maka dapatlah dibayangkan
betapa cepat gerak serangannya.
Kira2 tujuh kaki di luar gelanggang pertempuran Cu Jing sudah
merasa silau dan tersampuk oleh angin kencang yang me mbendung
langkahnya, bayangan orang dan sinar pedang sukar dia bedakan,
sesaat ia berdiri me longo tak tahu apa yang harus dia kerjakan?
Baru saja ia merandek, suara tadi lantas mendesaknya: "Sudah
kubilang jangan kau pedulikan mereka. Nah, bersiaplah, angkat
pedangmu dan cungkil." -Begitu suara orang masuk telinga, tanpa
kuasa tangan kanan Cu J ing yang me megang pedang tiba2 bergerak
terus menyongke l ke depan-
Kalau dituturkan me mang aneh, dengan serampangan
pedangnya menyongkel, tapi justru menimbulkan kejadian aneh.
Terdengar "trang-tring" dua kali, kedua batang pedang Ban Jin cun
dan Kho Keh-hoa yang sedang saling labrak dengan sengit itu
lengket seperi tersedot oleh besi sembrani, se muanya menindih
pada ujung pedang Cu Jing tanpa bisa berge ming lagi.
Keruan kedua orang sa ma terbelalak kaget, mereka kerahkan
tenaga dan menarik sekuatnya, tapi pedang mereka seperti
me lengket di ujung pedang Cu Jing, tak kuasa mereka menariknya.
Merah mata Ban Jin-cun, serunya: "Cu-heng, aku takkan hidup
berjajar dengan dia, lebih baik jangan kau turut ca mpur."
Kho Keh-hoa juga menggerung murka, teriaknya:. "Apa2an
maksud saudara ini?"
Pada saat itulah, suara tadi mengiang pula di telinga Cu Jing:
"Buyung, sekarang beritahu mereka bahwa atas perintah gurumu,
kau disuruh me lerai perke lahian mereka."
Cu Jing merasa heran, batinnya: "Masa kedua orang ini juga
tidak me lihat bahwa di belakangku ada orang?" Maka sa mbil
menuding pedangnya ia berkata: "Kalian harap berhenti dulu, atas
perintah guru cayhe sengaja kemari untuk me lerai permusuhan
keluarga ka lian."
"Cu-heng," kata Ban Jin-cun, "Sakit hati ke matian orang tua
setinggi langit, ini bukan permusuhan biasa, buat apa Cu-heng
menca mpuri urusan ini"
"Betul,"jengek Kho Keh-hoa, "aku pantang berdiri sejajar di dunia
ini dengan dia, kalau bukan aku yang gugur, biar dia yang mampus,
tak usah orang lain melerai segala."
Cu Jing tersenyum, katanya: "Kalian sama2 menuduh ayah lawan
menyerbu rumah kalian serta me mbunuh segenap anggota
keluarganya, kukira dala m peristiwa ini ada latar bela kang ....."
Tiba2 suara tadi terke keh dipinggir telinganya, katanya: "Tepat
sekali ucapanmu Buyung."
"Me mang betul omongan Cu-heng, ayahku almarhum sudah
meninggal setahun yang la lu karena sakit, mana mungkin
me mimpin orang menyerbu ke C iok-bun segala, keparat ini hanya
me mbua l be laka."
"Kaulah yang me mbuat," maki Kho Keh-hoa, "Sudah terang
bapakmu me mbawa gerombolan penjahat menyergap rumah ka mi,
seluruh keluargaku tiada yang ketinggalan hidup, ayahku jelas
meninggal di bawah pedang bangsat she Ban, mana mungkin
me mbawa orangnya menyerbu ke Ui-san, jelas kau me mfitnah dan
cari alasan belaka untuk menista pihak ka mi, aku bersumpah takkan
hidup berda mpingan dengan keluarga Ban kalian- Keparat, lihat
pukulan"
Karena pedang mereka lengket dengan pedang Cu Jing dan tak
kuat ditarik ke mbali, saking murka Kho Keh-hoa lantas ayun kepalan
menggenjot ke muka Ban Jin- cun, Sudah tentu Ban Jin-cun tak
mau kalah, jengeknya: "Me mangnya aku takut pada mu?" iapun
ayun tangan kiri balas me nyerang.
Jarak kedua orang cukup dekat, maka kedua pihak lantas beradu
pukulan- Tapi begitu kepalan saling sentuh, seketika mereka
merasakan sesuatu yang ganjil, hakekatnya kepalan sendiri tida k
bersentuhan dengan kepalan lawan, di tengah antara mereka se-
olah2 ada lapisan lunak yang tida k ke lihatan me mbendung pukulan
mereka, musuh jelas terlihat di depan mata, tapi pukulan sukar
mencapai sasaran. Hati mereka sa ma2 mencelos, pikirnya: "Entah
siapa orang she cu ini? Usianya masih begini muda, tapi me mbeka l
Lwekang begini tinggi. "
Sudah tentu Cu Jing juga menyaksikan dengan jelas, dia tahu
bahwa tokoh di belakang dirinya yang me misah pukulan kedua
orang, dan anehnya mereka berdiri di samping dirinya, kenapa tidak
me lihat tokoh yang ada dibe lakangnya.
Maka didengarnya suara tadi berkata pula: "Nah, sekarang boleh
kau turunkan pedangmu, katakan urusan ada pangkal ujungnya,
utang bisa ditagih, ka lau mau berke lahi juga boleh setelah terang
persoalannya,"
"Harap kalian berhenti dulu," kata Cu Jing menurut petunjuk itu,
"utang jiwa bayar jiwa, utang uang harus ditagih, kalau mau
berkelahi boleh juga, tapi urusan harus dibikin terang lebih dulu."
Lalu pe lan2 dia turunkan pedangnya.
Begitu pedangnya ia tarik, kedua orang segera merasa longgar,
cepat mundur seraya menurunkan pedang .
Kata Ban Jin-cun- "cara bagaimana Cu-heng hendak me mbikin
terang urusan ka mi?"
Belum Cu Jing menjawab, suara tadi sudah berkata: "Suruh
mereka menceritakan kejadian yang menimpa keluarga mereka
masing2?"
Cu Jing lantas berkata: "Siaute ke mari atas perintah guru,
soalnya urusan kalian terlalu janggal, banyak liku2 yang
mencurigakan, sudikah kalian menuturkan dulu peristiwa yang
menimpa keluarga kalian masing2?"
Terpaksa kedua orang memasukkan pedang kedala m sarung
serta mundur lagi selangkah.
Ban Jin-cun lantas berkata: "Boleh cu- heng suruh dia men-
jelaskan lebih dulu."
Kho Keh-hoa menyeringai dingin: "Boleh saja, kenyataan
terpampang di depan mata, me mangnya kau dapat mungkir?"
"Marilah kita duduk di sini," ajak Cu Jing.
Ban Jin- Cun dan Kho Keh-hoa menurut, mereka bersimpuh di
atas rumput tanpa bicara. Terdengar suara tadi me mbisiki pula:
"Suruhlah bocah she Kho tuturkan pengala mannya."
"Kho- heng," kata Cu Jing segera, "boleh kau bercerita lebih
dulu."
Terpancar sinar beringas dari mata Kho Keh-hoa menatap Ban
Jin-cun, katanya penuh kebencian.
"Pada suatu mala m kira2 setengah bulan yang lalu, baru
kentongan pertama, tanpa sengaja pamanku kedua melihat
bayangan puluhan orang bergerak di bawah gunung dan berlari2
naik ke punca k, waktu itu jaraknya masih beberapa li dari ruma h
kami, pa man tida k tahu pendatang kawan atau lawan? cepat ia
me mberitahukan kepada ayah disa mping me mberi peringatan
kepada semua orang untuk bersiaga. Di bawah pimpinan pa man
sendiri bersa ma beberapa centeng se mbunyi di depan rumah, ka mi
ingin tahu siapakah pendatang itu ....." sekaligus bicara sampa i
disini baru ia berganti napas: "mala m itu kebetulan tanggal 14,
bulan terang benderang, baru saja aku bersama paman dan lain
menye mbunyikan diri, puluhan orang itupun sudah tiba, tampak
yang berlari paling depan adalah seorang laki2 tegap bermuka
merah berja mbang hita m, mengenakan baju hijau, menenteng
pedang beronce kuning, begitu melihat orang ini pa man lantas
bersuara heran, cepat dia melompat keluar menyongsong, serunya:
Ban bengcu ma la m2 berkunjung, Siaute Kho cin-sing terla mbat
menya mbut, harap dimaafkan- Dari seruan paman itu aku baru tahu
bahwa pendatang adalah Thok-tah-thian-ong Ban Tin- ga k. yang
dulu pernah menjabat Bu-lim Bengcu, maka akupun me lompat
keluar ikut menya mbut"
Belum orang selesai bicara tiba2 Ban Jin-cun menyengek: "Kukira
tidak benar, ayahku sudah meninggal setahun yang lalu, mana
mungkin orang yang sudah mati setahun la manya muncul di cioks-
bun?"
"Apa yang kututurkan adalah kejadian yang nyata," teriak Kho
Keh-hoa gusar. "Me mangnya aku mengarang cerita bohong?"
Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah bo-cah she Ban itu tidak
menyela lagi, dengarkan dulu cerita bocah she Kho sa mpai se lesai."
Cu Jing lantas berkata: "Kalian tida k usah ribut, di sinilah
kejanggalan yang kumaksud tadi, sementara harap saudara Ban
bersabar, dengarkan dulu cerita saudara Kho sa mpai habis."
Kho Keh-hoa meneruskan ceritanya: "Melihat pa manku, Ban Tin-
gak manggut2 sambil balas hormat, tanyanya: Kho ji-heng jangan
sungkan, apakah kakakmu di rumah? Pa man mengangguk sambil
berpesan padaku: Keh-hoa, lekas lapor pada Toa-ko, katakan Ban-
bengcu dari Ui-san datang. Belum lagi aku sempat mengia kan Ban
Tin-gak telah berkata pula dengan nada berat: Tak usahlah. Belum
habis dia bicara, mendadak ia melolos pedang terus menusuk
paman, karena sedikitpun tidak bersiaga dan tidak menduga, kontan
paman tertusuk mati . . . . "
"Waktu itu saudara Kho kan berdiri di be lakang pa manmu, kau
tidak se mpat turun tangan?" tanya Cu Jing.
"Waktu paman bicara padaku, aku sudah melangkah setindak.
jadi berdiri di sa mping pa man, tapi tusukan Ban Tin-gak me mang
amat cepat, apalagi kejadian teramat mendadak dan di luar dugaan,
baru saja aku mendengar suara pedang terlolos, sinar pedang sudah
berkelebat laksana kilat, tahu2 pamanpun roboh mandi darah,
keruan kagetku bukan ma in, waktu aku mendelik ke arah Ban Tin-
gak, bangsat tua itu menyeringai, kata-nya: Lohu me nga mpuni
jiwa mu, supaya keluarga Kho kalian tida k putus turunan- Menyusul
telapak tangan terayun ke arahku . . . . "
"Tanpa me mba las saudara Kbo lantas terluka?" tanya Cu Jing.
Gemeretak gigi Kho Keh-hoa. "Entah gerakan apa yang
digunakan bangsat tua itu? Hanya terasa dadaku sepeiti dipukul
godam, badan lantas mencelat tiga tombak jauhnya, pikiran masih
sadar, tapi tenaga habis badan lunglai, Lwe kang dan kepandaianku
telah punah dalam sekali pukul tadi, maka dengan mata terbelalak
aku hanya bisa mengawasi bangsat tua itu pimpin anak buahnya
menerjang ke dala m rumah, keadaan menjadi kacau-balau, suara
benturan senjata berkumandang, sungguh mengenaskan 28 jiwa
penghuni perka mpungan ka mi itu tiada satupun yang ketinggalan
hidup oleh sergapan me ndadak ini, ayah-bunda mati tertusuk
pedang . . . "
Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah dia berpikir cermat,
adakah bagian ceritanya yang ketinggalan?"
Cu Jing segera menurut, tanyanya, "coba saudara Kho pikir lagi
lebih se ksa ma, adakah kejadian lain yang terlepas dari ceritamu
tadi."
Kho Keh-hoa berpikir sejenak. katanya: "Tiada lagi, kerja
gerombolan itu cukup rapi, di antara 28 korban yang meninggal,
kecuali ayah bundaku yang terbunuh oleh pedang, yang lain terluka
oleh berbagai maca m senjata. ada senjata rahasia beracun lagi, tapi
tiada satupun senjata rahasia yang kute mukan, tiada pula tanda2
lain yang mencurigakan. "
Sampa i di sini, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran,
katanya sambil menuding Ban Jin-cun- "Denda m kesumat sedala m
lautan ini, kaulah yang harus melunasinya . "
Kuatir kedua orang timbul keributan lagi, lekas Cu Jing
me mbujuk: "Harap Kho-heng bersabar sebentar, sekarang giliran
Ban-heng menceritakan pengala mannya."
"Akhir musim se mi tahun yang lalu," de mikian Ban Jin-cun
mengawali ceritanya, "ayahku keluar menya mbangi sahabat, kira2
setengah bulan ke mudian be liau pulang diantar seorang pa man
angkatku, katanya dibokong orang, waktu pulang sampai rumah
sudah tak mampu bicara, akhirnya beliau meninggal karena tidak
terobati."
Terdengar suara tadi berkata kepada Cu Jing "Tanyakan Tok-tah-
thian-ong dibokong oleh siapa, di mana letak luka2nya?"
Cu Jing lantas bertanya: "Entah siapakah yang melukai ayahmu,
di bagian mana letak luka2nya?"
"Setiba di rumah ayah sudah tak bisa bicara," demikian tutur Ban
Jin-cun lebih lanjut," menurut pa man, ayah dibokong orang pada
suatu pegunungan, setelah beliau terluka dan lukanya cukup parah,
tak mungkin buru2 pulang ke rumah, ma ka beliau ber-lari ke Kim-
keh-ce, tempat kedia man pa manku itu, dia hanya bilang terkena
pukulan Bu-sing-ciang, jiwanya pasti mangkat dala m tujuh hari,
beliau minta pa man suka me lindungi ke luarganya ........."
"Siapa pa man angkat yang Ban-heng maksudkan?" tanya Cu
Jing.
"Pamanku she cek bernama Seng-jiang, kenalan turun temurun,
sejak kecil pa manku itu sudah angkat kakekku sebagai ayah angkat,
pernah dia menjabat suatu pangkat dala m pe merintahan, sekarang
dia sudah pensiun dan menikmati hari tuanya di rumah."
Terdengar suara orang tadi tidak sabar lagi, dia mendesak:
"Suruh dia lekas tuturkan persoalannya, aku masih ada urusan la in-"
"Kapankah keluar Ban-heng mengala mi sergapan musuh?" tanya
Cu Jing segera.
"Pada tanggal 16 ma la m," sahut Ban Jin-cun.
Kho Keh hoa segera menjengek: " Keluargaku mengala mi petaka
pada tanggal 14 mala m, Jadi ayahku sudah meninggal dua hari
la manya, bagaimana mungkin be liau me mbawa orang menyerbu ke
Ui-san me mbunuh keluarga mu?"
Ban Jin-cun tida k hiraukan ucapan, orang tuturnya lebih lanjut:
"Sejak ayah meninggal, ibu sangat sedih dan menangis terus
menerus, akhirnya beliau jatuh sakit dan tak bangun lagi, mala m itu
kira2 baru lewat kentongan pertama, baru saja aku keluar dari
kamar ibu hendak ke mbali ke ka marku, mendadak kudangar suara
ribut dan bentakan orang ramai serta benturan senjata, waktu aku
me mburu keluar, tampak puluhan laki2 berkerudung sedang lari
kian ke mari, melihat orang lantas bunuh, banyak korban sudah
berguguran, gerombolan itu semua berkepandaian tinggi, cara turun
tangannya juga amat keja m.
"Liok-siok (pa man keena m) Lui-kong (aki petir) Ban Liok-jay
tampak sedang berhantam dengan seorang laki2 berja mbang dan
berpedang, kudengar paman mencaci dengan murka: Kho cin-hoan,
keluarga Ban ka mi ada permusuhan apa dengan Liok-hap-bun
kalian? Tanpa hiraukan peraturan Kangouw ma la m2 kau bawa
gerombolan penjahat menyerbu ke mari, me mbantai ke luarga ka mi
......"
"Mungkin dia sedang berhanta m dengan setan," ejek Kho Keh-
hoa.
Terdengar suara tadi berkata: "Tanyakan, apakah hanya Liok-
hap-kia m Kho cin-hoan saja yang tidak berkerudung?"
Cu Jing lantas tanya: "Ban-heng melihat je las, di antara sekian
banyak : gerombolan berbaju hitam itu, hanya Liok-hap-kia m Kho
cin-hoan saja yang tida k berkedok?"
"Ya, dia tida k me ma kai kerudung."
"Suruh dia me lanjutkan," pinta suara tadi.
"Akhirnya bagaimana"" tanya Cu Jing segera,
"Sudah tentu aku a mat murka," tutur Ban J in-cun, "wa ktu aku
me lolos pedang, mendadak kudengar seorang me mbentak
disa mpingku, robohlah kau." Batok kepalaku seperti ditempeleng
sekali, kontan aku jatuh semaput, waktu aku siuman ke mbali hari
sudah terang tanah, kawanan penjahat sudah tak kelihatan
bayangannya, tapi anehnya setelah semaput setengah malaman,
waktu siuman, aku tidak kurang suatu apa2, sampai sekarang aku
masih tak habis mengerti, kenapa orang itu tida k me mbunuhku?
Sedang seluruh penghuni ruma hku se muanya mati dala m keadaan
yang mengenaskan. cepat aku lari ke ka mar ibu, kedua pelayan
pribadi ibu terbunuh dengan senjata rahasia beracun dan ibuku . . .
."
Menyinggung ibunya, tak tertahan air mata bercucuran saking
sedih, tuturnya lebih lanjut. "Beliaupun rebah kaku di atas ranjang,
darah hitam mele leh dari pundak kirinya, jelas beliaupun terbunuh
oleh senjata beracun, tapi tak kutemukan senjata rahasia apapun . .
. . akhirnya setelah pikiran agak tenang baru kudapati jari tangan
kanan ibu menggengga m kencang, ternyata dalam telapak
tangannya menggengga m sebuah senjata rahasia."
Tak tahan Kho Keh-hoa menyela: " Liok- hap-kia m sela manya tak
pernah me ma kai senjata rahasia, apalagi beracun, entah senjata
rahasia macam apakah itu?"
"Suatu benda berbentuk bintang sebesar biji melinjo, berwarna
hitam lega m."
Suara tadi berbunyi pula di telinga Cu Jing: "Tanyakan apa dia
me mbawa senjata rahasia itu, suruh dia ke luarkan supaya kulihat."
"Entah senjata rahasia itu Ban-heng bawa atau tidak sekarang?"
tanya Cu Jing.
"Selalu kubawa ke manapun aku pergi," sahut Ban Jin-cun.
"Bolehkah Ban-heng perlihatkan pada ku?" tanya Cu Jing.
"Sudah tentu boleh," ujar Ban J in-cun- Lalu di merogoh kantong
menge luarkan sebuah buntalan kecil.
Pada saat itulah, mendadak bayangan seseorang laksana burung
elang menukik dari angkasa meluncur turun cepat dan hinggap di
depan Ban Jin cun, di mana sinar berkelebat, sebatang pedang tipis
panjang tahu2 menyongkel ke depan, maka buntalan ka in di tangan
Ban Jin-cun seketika mencelat ke atas, sekali samber orang itu
menangkapnya dengan tangan lain, berbareng kedua kaki menjeja k
tanah, tubuhnya mencelat pula ke udara.
Kejadian ini terla lu mendadak, gerakan orang-pun teramat cepat
dan tangkas lagi, hakikatnya tiga anak muda itu t idak me lihat jelas
bayangan siapa orang tadi dan tahu2 buntalan ditangan Ban Jin-cun
sudah direbut orang.
Sudah tentu Ban Jin cun yang paling kaget, cepat ia me mbentak
seraya berdiri, baru saja dia hendak mengudak. tiba2 dilihatnya
bayangan orang yang sudah mela mbung ke udara itu berjumpalitan
beberapa kali di atas terus melayang turun pula dan "bluk",jatuh
dengan keras di tanah.
Baru sekarang mereka bertiga sempat melihat jelas orang itu
berpakaian hita m, bertubuh tinggi kurus, wajahnya kuning, gerak-
geriknya gesit, dengan tangkas dia melejit bangun terus henda k
me larikan diri pula, tapi baru saja dia lari beberapa tindak,
mendadak badannya bergetar terus berhenti dan mematung kaku di
tempatnya.
Sudah tentu Cu Jing bertiga menyaksikan dengan melongo
keheranan. Mendadak terdengar suara serak tua bergelak tertawa.
katanya: "Dihadapan aku orang tua, dengan sedikit kepandaianmu
ini berani kau bertingkah?" - Suara ini berge ma seperti
berkumandang dari angkasa, tapi seperti juga bicara di sa mping
mereka bertiga, keruan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa melongo
kaget. tanpa janji mereka celingukan kian ke mari, tapi mana ada
bayangan orang?
Cu Jing maklum Hiat-to la ki2 kurus baju hita m ini terang ditutuk
oleh orang tua yang sejak tadi bicara dengan dirinya itu, diam2 ia
kaget dan kagum luar biasa, bayangan orang tua ini tidak kelihatan,
entah dengan cara apa dia menundukkan orang berbaju hitam ini? .
Terdengar orang berbaju hitam mencaci ma ki dengan beringas:
"Bangsat tua, siapa kau? Ma in se mbunyi, terhitung orang gagah
maca m apa? Me mangnya kau tida k cari tahu siapa tuan besarmu
ini"
Suara serak tua itu tergelak2, ujarnya: "Kau bocah ini belum
setimpal tanya siapa aku orang tua ini. Tapi berani kau kurang ajar
padaku, ma ka kau harus kuhukum. Nah, sekarang ga mparlah
mulut mu sendiri"
Sungguh aneh, mendadak si baju hitam angkat kedua tangan
sendiri, "Plak-plok," berulang kali ia benar2 mengga mpar mukanya
sendiri.
Cu Jing bertiga yakin si baju hita m terang tak rela mengga mpar
muka sendiri, sorot matanya tampak mena mpilkan rasa kebencian,
tapi juga jeri dan tak berani bersuara lagi. Keruan ketiga anak muda
yang menyaksikan itu sa ma tertegun.
Terdengar suara serak itu berkata "Nah, urusan kedua keluarga
kalian akupun tidak perlu banyak mulut, kalian tidak perlu saling
bunuh pula, sebab musabab peristiwa yang menimpa ke luarga
kalian boleh tanyakan pada kunyuk hitam ini, aku orang tua hendak
pergi."
Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa menengadah ke atas, tanyanya
dengan hormat: "Terima kasih atas petunjuk Locianpwe, mohon
tanya siapakah gelaran engkau orang tua yang mulia?"
Tapi seke lilingnya sunyi senyap. kiranya cian-pwe kosen yang
terdengar suara tapi tak terlihat bayangannya itu sudah pergi entah
ke mana.
Ban Jin-cun lantas menjura kepada Kho Keh-hoa, katanya: "Kho-
heng, perihal permusuhan keluarga kita, berkat petunjuk Locianpwe
itu, bukan saja telah menghimpas kesalah paha man kita berdua,
beliaupun telah menawan seorang musuh, pada dirinyalah kita
harus menuntut balas dan menyelidiki siapa gerangan biang keladi
dari se mua petaka yang menimpa keluarga kita ini."
"Apa yang dikatakan Ban-heng me mang benar," ujar Kho Keh-
hoa.
Mereka lantas mengha mpiri si baju hita m, Ban Jin-cun merogoh
kantong orang menga mbil balik buntalan kainnya tadi dan dibuka,
isinya me mang benda hita m berbentuk bintang sebesar biji me linjo."
Haru dan pedih hati Ban Jin-cun, katanya berlinang air mata:
"Silakan periksa Kho-heng, inilah senjata rahasia yang kuperoleh
dari tangan ibuku.."
"Simpanlah dulu saudara Ban," kata Kho Keh-hoa, "tawanan
hidup ada di depan mata, me mang-nya berani dia tidak mengaku."
Ban Jin-cun segera bungkus lagi senjata rahasia itu dan disimpan
dalam baju.
Dengan ujung pedangnya Kho Keh hoa ancam tenggorokan
orang berbaju hitam, desisnya dengan penuh dendam: "Kau sudah
berada di tangan kami, mau hidup atau ingin mati, terserah padamu
mau tidak menjawab pertanyaan ka mi."
Waktu mereka mendekat, orang kurus berbaju hitam lantas
pejamkan mata tanpa bersuara sekecap-pun-
Dingin suara Ban Jin cun- "Apa yang dikatakan saudara Kho
sudah kau dengar bukan? Yang ingin ka mi cari adalah biang
keladinya, asaikan kau terangkan siapa perencana peristiwa ini,
kami a kan a mpuni jiwa mu."
Orang itu tetap berdiri tegak, bibirnya tetap terkancing rapat, se-
olah2 buta dan tuli, anggap tidak dengar semua pertanyaan
mereka.. .
Kho Keh-hoa naik pitam, ujung pedangnya yang mengancam
tenggorokannya bergetar, bentaknya: "Keparat, dengar tidak
pertanyaan kami?" Betapa runcing ujung pedangnya itu, sedikit
menggunakan tenaga saja kulit daging teng gorokan si baju hita m
sudah terluka, tampa k darah hita m me mbasahi dada.
Manusia umumnya berdarah merah, tapi la ki2 kurus berbaju
hitam ternyata mengeluarkan darah warna hitam, darah hita m
kental seperti tinta.
Tergerak hati Ban Jin-cun, katanya gugup: "Kho-heng, agak
ganjil keadaannya" Kho Keh-hoa melongo, tanyanya: "Apanya yang
ganjil?"
Hanya beberapa patah kata bicara, tertampak darah kental hitam
yang mengucur dari tenggorokan laki2 baju hita m itu sema kin deras
me mbasahi se kujur badan, segera hidung mereka mengendus bau
busuk. Sebetulnya tenggorokannya hanya tertusuk sedikit, tapi
dalam sekejap luka itu sudah me lebar dan me mbusuk. darah yang
me leleh keluar se makin banyak, bau busuk se makin keras dan
menja lar ke sekujur badan. Ban Jin-cun jadi curiga, tanyanya: "Kho-
heng, pedangmu kau lumuri racun?"
Kho Keh-hoa sendiri terkesima sahutnya gugup: "Belum pernah
kulumuri racun pedangku ini ..... " sembari bicara dia angkat
pedangnya, ternyata ujung pedangnya telah berwarna hitam legam.
seketika ia bersuara kaget dan heran-
Sudah tentu Ban Jin-cun juga kaget dan heran pula, mendadak
tergerak pikirannya, tanpa bicara dia angkat pedang dan menggores
pundak serta lengan la ki2 baju hita m, ke mbali darah hita m mele leh
keluar.
Ternyata ujung pedang Ban Jin-cun juga segera berubah hitam
legam, mirip dengan ujung pedang Kho Keh-hoa, seperti pernah
direnda m dala m racun- Tak kepalang kagetnya, serunya: "Racun
yang jahat sekali"
"Me mangnya dia sudah ma mpus?" tanya Kho Keh- hoa.
"Ya, mungkin tahu tiada harapan hidup, dia telan racun yang
keras sekali bekerjanya."
Kho Keh-hoa menghela napas, katanya: "Dia sudah mat i, tak
mungkin dimintai keterangan lagi."
"Dia meninggalkan sebatang pedang," ujar Ban Jin-cun, "tidak
sukar mencari tahu asal usul-nya dari senjatanya ini." Tiba2
mulutnya bersuara seperti ingat apa2, katanya pula: "Saudara cu
ke mari atas perintah gurunya untuk melerai permusuhan kita, kukira
gurunya pasti tahu siapa musuh kita bersa ma?"
Kho Keh-hoa me mbenarkan, berbareng mereka me noleh ke sana.
Selama beberapa saat itu Cu Jing tidak ikut ke mari, dikiranya dia
sudah pergi, tak tahunya dia sedang berdiri menengadah sambil
me la mun, entah apa yang sedang dipikirkan. Te mpat di mana dia
berdiri jaraknya hanya dua tombak dengan Ban dan Kho berdua,
jadi badan laki2 kurus berbaju .hita m yang mula i me mbusuk itupun
tidak dilihatnya.
Me mang dala m sekejap ini kulit daging si baju hita m bagian atas
sudah mula i jadi cairan darah dan membusuk dengan cepat sekali,
tulangnya
====================================
Jilid 10 Halaman 55/58 Hilang
====================================
--rangan tangan- Soalnya gerakan Jiau-kau-sek ini terlalu
gampang, sekali belajar siapapun pasti bisa, selanjutnya dia ulangi
jurus kedua Bak-kau-sek. tangan kiri pe lan2 terayun ringan ke
belakang, sudah tentu gerakan ini dia sudah mahir seka li.
Setelah beberapa kali dia ulangi kedua jurus ini, terasa tiada
sesuatu yang istimewa dala m ke-dua tipu silat ini? Ia heran kenapa
si orang tua berpesan sedemikian serius padanya, nadanya malah
seolah2 bila dirinya berhasil meyakinkan kedua jurus ini takkan
mendapatkan tandingan di kolong langit ini.
Tapi Cu Jing yakin si orang tua tak mungkin berdusta, bisa jadi
kedua jurus yang kelihatan sangat sederhana ini mengandang
intisari ilmu silat kelas tinggi yang tersembunyi? Mengingat hal ini,
tak tertahan dia ulangi berlatih sekali lagi kedua jurus Jiau-kau-sek
dan Bak-kau-sek tadi.
Aneh juga, semakin merasa gerakannya sederhana, semakin
lancar dan enak dilatih, tapi setelah diselami, kenyataan tidak
segampang dugaan semula. Tapi hanya sampai taraf sekian saja,
yang kalau ditanya di mana letak ga mpangnya gerakan jurus2
pemukul anjing itu ia sendiripun tak ma mpu me mberi penjelasan-
Cu Jing me mang bukan orang bodoh, otaknya encer, dari kedua
gerakan sederhana yang sebenarnya sukar disela mi ini dia se makin
yakin dugaannya pasti tidak me leset, bahwa di dalam kedua jurus
ilmu silat yang sederhana ini tersembunyi ilmu silat taraf tinggi.
Sesaat dia menengadah, me longo mengawasi langit.
Begitulah, waktu Cu Jing me mburu kesana, sementara itu yang
berbaju hitam sudah tinggal tulang yang berwarna hitam, berdiri
tegak dan seram kelihatannya, keruan dia bergidik serunya kaget:
"kenapa dia?"
"Mati minum racun," kata Kho Keh-hoa.
Ban Jin-cun sedang ambil pedang milik laki2 berbaju hitam tadi
katanya: "Pedang inipun dilumuri racun, racunnya bukan sembarang
racun, belum banyak orang2 Kangouw ya me maka i racun, seperti
ini, maka tidak sulit untuk menyelidiki asal-usulnya."
"Waktu ibunda saudara Ban meningga l, tangannya menggengam
senjata rahasia yang dilumuri racun juga, dalam Bu-lim yang
terkenal suka me ma kai racun hanya ke luarga Tong di Sujwan,
marilah kita me luruk ke Sujwan saja," ajak Kho Keh-hoa.
Karena badan sudah luluh menjadi cairan darah hitam. ma ka
sarung pedang si baju hita m yang se mula tergantung di
pinggangnya ini terjatuh di tanah dan berlumuran darah kotor, Ban
Jin-cun tidak berani menga mbilnya, maka dia tetap genggam
pedang milik si baju hita m, katanya sambil me mberi hormat pada
Cu Jing,
"Berkat usaha saudara cu yang mulia dan bijaksana sehingga
permusuhan keluarga ka mi berdua tida k sa mpai berlarut2
menimbulkan korban pula, bangsat inipun sudah mati minum racun,
tiada keterangan yang dapat kita peroleh, oleh karena itu, kumohon
Cu-heng suka menje laskan satu hal"
"Ban- heng mau tanya soal apa?" jawah Cu Jing.
"Cu-heng ke mari atas perintah guru untuk me lerai permusuhan
kedua keluarga kami, jadi mestinya tahu siapa sebetulnya musuh
keluarga ka mi bukan?"
"Wah, maaf, aku justeru tidak tahu apa2," ucap Cu Jing sambil
mengge leng,
"Cu-heng mungkin tidak tahu, tapi gurumu pasti tahu, entah
siapakah gelaran na ma gurumu?"
Merah muka Cu Jing, karena tidak biasa berbohong, terpaksa ia
berterus terang apa yang terjadi sebenarnya.
"Jadi Cu-heng juga tidak tahu siapa gerangan cianpwe kosen
itu?" tanya Kho Keh-hoa. Cu Jing mengia kan sa mbil me nggeleng.
"Aku yakin be liau pasti tahu siapa musuh keluarga ka mi, tapi
tiada harapan lagi untuk mene mukan jejak orang tua ini," de mikian
keluh Kho Keh-hoa.
"Menurut apa yang kutahu," ujar Ban Jin-cun sesaat ke mudian
setelah merenung, "banyak sekali tokoh2 kosen yang lihay dalam
Bu-lim, tapi yang memiliki kepandaian sakt i seperti orang tua itu
hanya ada seorang saja, malah dari cara beliau campur tangan tadi,
tak ubahnya seperti sepak terjang cianpwe kosen yang suka
menge mbara itu .... ..".
"Siapakah cianpwe kosen yang saudara Ban maksudkan?" tanya
Kho Keh-hoa.
"Hoan jiu ji lay," sahut Ban Jin-cun.
"Betul," tukas Kho Keh-hoa, "cuma orang tua ini mirip naga yang
hanya kelihatan eklornya dan menyembunyikan kepala, entah
ke mana saja dia pergi, cara bagaimana kita mene mukan be liau?"
Cu Jing jarang berke lana di Kangouw, dia tidak tahu siapa Hoan
jiu ji- lay yang dibicarakan ini, tapi dia ma lu untuk bertanya.
"Di atas Pak-sia m-san ada bersemayam seorang kosen bergetar
Cu-ki-cu, dia amat apal terhadap segala peristiwa yang terjadi di Bu-
lim, kejadian masa sila m dan apa yang bakal terjadi pada masa
yang akan datangpun dapat dia ramal dengan tepat, dari sini ke
Pak-sia m-san tidak jauh lagi, marilah kita ke sana dan tanya
padanya, mungkin dari mulutnya kita bisa mendapat keterangan
asal-usul racun dan senjata rahasia seperti bintang itu. Bagaimana
pendapat Kho-heng?"
"Akupun pernah dengar na ma Cu-ki-cu ini" ujar Kho Keh-hoa,
"konon sangat luas pengetahuannya dan tinggi ilmunya, mahir
me mecahkan segala kesulitan di dunia ini, tiada jele knya kita
mengadu untung dan tanya padanya."
Ban Jin-cun melirik ke arah Cu Jing, tanya-nya: "Apakah Cu-
heng, ada minat ikut bersa ma ka mi ke Pak sia m-san?"
"Aku masih punya urusan lain, maaf tak dapat mengiringi
perjalanan kalian," sahut Cu Jing.
"Baiklah kita berpisah di sini saja, semoga jaga diri baik2 dan
selamat berte mu pula," ujar Ban Jin-cun.
Kho Keh-hoe juga menjura, katanya: "Ber-hati2lah saudara cu."
Maka merekapun berpisah, Cu Jing sendiri tidak punya tujuan
pasti, dia ingat si orang tua pernah bilang "kalau se mpat pulang,
nanti ma la m kita bertemu di La m-pa k-ho," ma ka dia berkeputusan
untuk mene mui si orang tua misterius itu nanti ma la m di restoran
Lam-pak ho.
Waktu itu sudah magrib, Cu Jing langsung kemba li ke La m-pak-
ho menga mbil kuda terus cari penginapan, dia me milih ka mar yang
terletak di ujung be lakang, tempatnya nyaman dan sepi.
Setelah me mbersihkan badan, untuk me mbuang waktu, Cu Jing
tutup pintu, seorang diri dia ulangi latihan kedua jurus Jiau kau-se k
dan Bak-kau-sek itu, sekarang dia betul2 yakin, walau kedua jurus
itu namanya aneh dan lucu, ternyata mengandung ilmu silat tingkat
tinggi yang tiada tara-nya, maka kali ini dia betul2 tumple k seluruh
perhatian untuk mengulang ke mbali, gerakannya kini jauh lebih
la mban dan ma ntap.
Tak terduga setelah sekian la ma ia mengulang beberapa kali,
meski diketahui bahwa di balik gerakan sederhana itu mengandang
intisari yang mendala m, tapi se makin dianggap t inggi dan
menda la m kenyataan berbalik terasa sepele dan biasa saja, tiada
tanda2 mukjijat yang dia te mukan- Begitulah setelah dia latihan
beberapa kali, keringat sudah gemerobyos baru dia menemukan
letak rahasia sebenarnya dari kunci kesederhanaannya.
Yaitu jangan kau pandang kedua jurus sederhana ini begitu tinggi
dan mujijat, semakin mujijat yang kau tafsirkan, maka kau akan
mengerahkan hawa murni dan mengerahkan tenaga, gerakanpun
jadi la mban, itu berarti permainanmu menjadi kaku dan kurang
wajar, kurang variasi dan tiada perubahan- Tapi sebaliknya jika kau
pandang kedua gerakan sederhana ini sebagai sangat gampang dan
sepele saja, maka dengan mudah pula kau akan menguasai setiap
gerak tipunya.
Dengan penemuannya ini, tidak kepalang senang hati Cu Jing,
pikirnya: "Setengah harian aku bersusah-payah, meraba sana sini,
tak tahunya be-gini mudah dipecahkannya."
Hari sudah gelap. pelayan datang me mbawakan makan ma la m,
tapi Cu Jing menolaknya dengan alasan sudah janji makan di
restoran dengan seorang kenalan- Cu Jing lantas bawa cit-sing-kia m
dan keluar.
Sinar la mpu sudah menerangi segenap pelosok kota, orang yang
lalu lalang dijalan raya semakin ra mai, lebih berjejal dari siang hari,
banyak muda mudi yang pe lesir dan berbelanja di toko2, tapi Cu
Jing tiada minat melihat kerama ian kota, langsung ia menuju ke
Lam-pak-ho terus na ik ke loteng tingkat dua
Pelayan yang siang tadi melayani Cu Jing me milih meja dekat
jendela, kali ini Cu Jing tidak ma u banyak bicara, setelah me mesan
beberapa masakan dan melongok pe mandangan jalan raya di
bawah sana.
Pada saat dia melihat2 itulah mendada k didepan sebuah toko
kain sana berdiri seorang berbaju hita m, orang itu tengah
menengadah mengawasi ke arah dirinya. Semula dia tidak a mbil
perhatian dan melengos kejurusan lain, tapi pikirannya tiba2
tergerak, dandanan dan muka si baju hitam ini mirip benar laki2
kurus, berbaju hita m yang mati ditanah lapang tadi siang itu, lekas
dia melongok ke sana pula, tapi bayangan orang berbaju bitam itu
sudah tiada lagi, entah ke mana?
Kebetulan pelayan menyuguhkan hidengan yang dia pesan-
Dengan peja m mata Cu Jing coba menghirup seteguk arak. Kiranya
dia belum pernah minum arak. baru hari ini akan coba2 seorang diri.
Tiba2 terdengar seorang bersenandang dengan suara seperti
bambu pecah: "Hwesio kere (miskin), kere Hwesio, tak punya batok
tiada pondok. Tidak sembahyang, tidak menabuh genta, Telanjang
kaki, kelana ke-mana2. jubah koyak untuk menahan angin kencang,
demi me mbangun kelenteng bobrok. cari sedekah di rumah arak,
bertemu dengan orang berjodoh (dermawan), daging arak harap
menyuguh"
Menyusul di ujung tangga loteng lantas muncul pula seorang
Hwesio kelilingan-
Hwesio ini mengenakan kopiah rombeng, jubah ke labu yang
dipakainyapun sudah berta mbal sula m, tapi badannya gemuk putih,
alisnya nan uban menjuntai panjang ke samping, kedua tangan
terang kap didepan dada dengan cengar-cengir dia mondar-mandir
di antara tetamu yang me menuhi meja makan, lalu katanya dengan
suara lantang: "Silakan, silakan, Hwesio kere berke lana di dunia
fana, sebelum pulang ke ala m ba ka, entah tuan dermawan mana
yang berjodoh dengan sang Buddha, semoga dapat rejeki besar dan
bernasib baik. Siancay, Siancay, omitohud" sembari mengoceh
kakinya melangkah ke sana-sini, dan sepasang matanya berjelilatan
kian- ke mari.
Pada suatu meja, kebetulan dua orang tamu sedang saling
dorong menyodorkan cangkir arak, Hwesio keretiba2 berhenti di
sana, dengan kedua tangan dia jemput kedua cangkir arak itu
sembari berkata dengan tawa lebar: "Kalian tidak perlu sungkan,
kedua cangkir arak ini biar aku Hwesio kere yang minum saja" Satu
tangan satu cangkir-ganti berganti dia tenggak habis isi kedua
cangkir arak.
Sudah tentu kedua tamu itu gusar, orang disebelah kiri
menghardik murka: "Hwesio je mbe l, apa2an kau ini?"
Si Hwesio kere tertawa lucu, katanya: "De mi secangkir arak
kalian tolak sana dan dorong sini hingga muka merah pada m,
Hwesio kere orang beribadah dan suka menolong sesa ma manusia,
biarlah aku mewa kili ka lian minum arak ini, kan beres?" se mbari
bicara tahu2 tangannya, mencomot sepotong daging terus dijejal ke
mulut.
Tamu di sebelah kanan menggebrak gusar, bentaknya: "Kenapa
kau a mbil ma kanan dengan tangan telanjang?"
"Setelah minum arak harus didorong dengan daging baru arak
bisa turun ke perut." de mikian kata Hwesio itu. "Sede kah sepotong
daging ini akan Hwesio kere bawa kedunia akhirat, sebagai sangu
untuk menghadap sang Buddha, bukankah berarti kau telah
berdarma bagi sesamanya, budi kebaikanmu akan dikenang
sepanjang masa." Habis berkata, dia terus me langkah pergi
Kedua tamu itu hanya mencaci ma ki tanpa bisa berbuat apa2.
Hwesio itu tidak hiraukan kedua tamu yang mencak2 itu, kemba li
mulutnya tarik suara bersenandung pula: "Daging harus
dipanggang, arak harus dimasak, makan daging minum arak di
dunia fana. biar sepatu butut, jubah koyak ditertawakan orang,
me mangnya aku bukan manusia gede atau orang kaya"
Tenggorokannya mengeluarkan suara serak aneh dan sumbang
seperti bambu pecah, tapi dia justeru bersenandung dengan
gembira sa mbil berjoget segala.
Sembari ja lan matapun jelatatan, ia longok sana toleh sini yang
diperhatikan hanya meja para tamu, akhirnya dia menuju ke meja
yang ditempati Cu J ing, mendadak ia berhenti serta ter-gelak2
riang, katanya: "Me mang di sini lebih sunyi dan bersih"
Kepada Cu Jing dia me mberi sala m lalu berkata: "Sicu duduk
sendirian di sini, agaknya ada jodoh dengan sang Budha, hidangan
untuk Hwesio kere hari ini agaknya tidak. . menjadi kapiran-" ..
Tanpa tunggu jawaban Cu Jing, dia tarik kursi terus duduk
dihadapannya.
Tingkah laku Hwesio miskin ini kelihatan sinting, tapi kata2
senandungnya tadi me mang tepat, mau tida k mau timbul rasa
hormat Cu Jing terhadap Hwesio ini, lekas Cu Jing menjura, ka-
tanya: "Silakan duduk. Toasuhu."
Hwesio kere menyengir, katanya manggut2: "siausicu me mang
berbakat sejak kecil, kau me mang berjodoh dengan ajaran Budha,
terpaksa aku Hwesio miskin mengganggumu saja." Habis berkata
dia lantas menggebrak meja, serta menggembor keras2: "Pelayan- .
. . pelayan....."
Seorang pelayan berlari datang, serunya sambil mengerut
kening: "Hwesio, kenapa berkaok2?"
Berdiri alis panjang si Hwesio, katanya dengan mendelik:
"Pelayan, restoran ini kan me layani orang , makan minum? Bahwa
Hwesio kere sudah datang kemari juga berarti tamu, kenapa seenak
perutmu ma in panggil Hwesio segala?"
"Habis harus kupanggil apa ?" tanya sipelayan bingung..
"Lain kali kalau ada Hwesio ke mari, kau harus me manggilnya
bapak Taysu, kalau yang datang Hwesio setua diriku ini, maka kau
harus me mangilnya kakek Taysu."
"Sering kudengar orang hanya memanggil Tay-su saja, mana ada
yang memanggil bapak Taysu atau kakek Taysu?" sipelayan
menggerunde l.
"Hai jadi kau sudah tahu, lalu apa bedanya Taysu dan bapak
Taysu? Me mangnya ayahmu bukan bapakmu?"
Sipelayan tidak sabar lagi, serunya: "Sudahlah, kau ma kan apa?"
"Kau tidak me manggilku kakek Taysu, kalau sang Buddha marah,
kau akan dihukumnya terperosot jatuh."
"Sudah puluhan, tahun aku jadi pelayan di sini, belum pernah
terpeleset jatuh, lekaslah kau pesan apa?, cuma di sini tida k sedia
hidangan ciacay (vegetarian)."
"Ya, ya Hwesio kere me mang tidak pernah me mbaca mantra,
sudah tentu tak perlu ciacay segala"
"Baiklah, lalu kau pesan apa?" tanya sipelayan, dia tetap tak mau
panggil Taysu.
"Nah, dengarkan, seporsi daging e mpal, satu porsi sayap bebek.
dua kati arak. tapi suruh koki masak dulu seporsi paha aya m
panggang, semangkok besar kuah ikan, udang, jamur dan daging
babi,." seorang diri tapi santapan yang dipesan ternyata sangat
banyak.
pelayan mangiakan saja terus putar tubuh menuju ke belakang.
Tak la ma ke mudian dia sudah balik dengan tangan kosong. Tapi
sebelum dia datang ke depan si Hwesio, tiba2 kakinya keserimpet,
kontan tubuhnya terbanting jatuh. Untung dia tidak me mbawa
nampan hidangan,jatuhnya amat keras, dengan menyengir
kesakitan pelayan itu merangka k bangun, tangan meraba2 pantat
serta mengha mpiri dengan ter-pincang2.
Hwesio tadi tergelak2, serunya: "Nah, tadi Hwesio kere sudah
bilang, kau tida k mau panggil kake k Taysu. padaku, sang Buddha
kini betul2 marah serta menghukummu." Tiba2 dia bersuara kaget
dan tanya: "He, mana pesananku, kenapa tidak kau bawa ke mari?"
Dia m2 tergerak hati Cu Jing, dia duduk di depan si Hwesio,
hakikatnya dia tida k me lihat Hwesio itu menunjuk gerak apa2. Tapi
sipelayan di-buatnya jatuh bangun.
Dengan mendongkol si pelayan tertawa dingin: "Masakan yang
kau pesan se mua berharga dua tahil, bayar dulu."
Mendelik si Hwesio, teriaknya marah: "Me mangnya kau kira
Hwesio kere makan tak me mbayar?"
"Sudah sering orang gegares gratis di sini, kau seorang diri, tapi
pesan hidangan terlalu banyak. terang sengaja . . . . "
Si Hwesio berjingkra k marah, dia cengkera m dada baju sipelayan,
teriaknya gusar: "Kau kira aku mau ma kan gratis? Hwesio kere
me mang miskin, tapi kebetulan aku bertemu dengan seorang
dermawan yang ada jodoh, tanpa tanya kau lantas pandang orang
rendah dengan mata anjing, kalau aku masih muda seperti dulu,
sudah kule mpar kau ke luar jendela, tahu?" Sembari bicara, seperti
menjinjing seekor ayam dia angkat tubuh pelayan terus diulur ke luar
jendela sehingga kontal-kant il di udara.
Sudah tentu sipelayan menjerit ketakutan setengah mati,
ratapnya: "Kakek Taysu, ampunilah jiwaku, hamba ada mata tidak
me lihat gunung, kau. . . . .jangan kau lepaskan peganganmu.."
Sudah tentu semua tamu yang ada di atas loteng sama kaget
dan melongo heran melihat Hwesio ini me miliki tenaga begitu besar
serta me mpermainkan sipelayan-.
Hwesio itu ce kakakan, dia tarik tangannya dan turunkan
sipelayan di lantai, katanya: "Sejak tadi kau panggil kakek Taysu
kan beres?" Lalu dia tuding Cu Jing dan katanya pula: " Kau tanya
Sicu ini, maukah dia me mbayar semua rekeningku nanti?" saking
ketakutan, begitu diturunkan segera sipelayan mendeprok di lantai.
Lekas Cu Jing berkata: "Ucapan Taysu ini me mang tidak salah,
apa yang dimintanya boleh kau sediakan, rekeningnya aku yang
bayar."
Sudah tentu si pelayan jadi kapok betul2, le kas dia kerja kan apa
yang dipesan. Agaknya memang t idak sabar lagi, begitu arak
diantar, Hwesio itu lantas angkat poci terus tuang arak langsung
ke mulut sa mpai habis, katanya sambil seka mulut dengan lengan
bajunya yang kotor: "Sedap. Segar Hayolah Siausicu jangan
sungkan, mari, mari" paka i sumpit atau sendok segala, kedua
tangannya bekerja bergantian mencomot daging dan menggaruk
ikan ke dala m mulut, begitu lahap dia makan sambil mulut kecap2
keras seperti induk babi.
Dia m2 Cu Jing me ngerut kening melihat cara ma kan seperti
orang kelaparan itu, mulut Hwesio itu terus be kerja, belum lagi paha
ayam dilalap habis, arak sudah dituang ke mulut lagi, lalu
menyeruput semangkok kuah ikan pula, begitu sibuk dia sikat
semua hidangan dihadapannya tanpa rikuh sedikitpun- .
Me mang saatnya orang makan mala m, maka restoran ini penuh
sesak. keadaan menjadi ribut dan gaduh, Cu Jing tidak hiraukan si
Hwesio yang sibuk makan seadiri, dia Celingukan kian ke mari,
matanya sibuk me ncari si orang tua misterius yang ternyata tidak
kunjung tiba.
Sementara hidangan si Hwesio sudak dilalapnya habis satu
persatu, sambil tertawa dia me micing mata si Hwesio tepuk2
perutnya yang gendut, katanya sambil ngaka k: "Hari ini kau sudah
kenyang dan puas bukan? Semua ini berkat kebaikan Siau-sicu. ini
yang berjodoh dengan sang Buddha, me mberi sedekah dan
me mbayar rekening, tak terbalaslah luhur budinya, omitohud" Lalu
dia rangkap kedua tangan sambil mundur tiga langkah, setelah
me mberi sala m terus tinggal pergi dengan langkah se mpoyongan..
Tapi, baru tiga langkah mendadak dia berpaling katanya, sambil
pandang Cu Jing dengan sikap lucu seperti mabuk:." Siausicu tida k
perlu menunggu pula, orang yang kau tunggu mala m ini tidak a kan
datang lagi." .
Cu Jing melenga k. tanyanya "Darimana Taysu tahu ?. ."
Hwesio je mbe l tertawa lebar, ujarnya: "Yang kau tahu sudah
tentu Hwesio juga tahu, apa yang kau tidak tahu Hwesio tetap tahu,
kalau Hwesio kere tidak tahu, me mangnya siapa yang tahu?" -
Sembari bicara dengan sempoyongan dia melangkah ke arah
tangga.
Melihat tingkah orang yang angin2an itu, tiba2 tergerak hati, Cu
Jing, dia ingat apa yang pernah dikatakan Ban Jin-cun bahwa orang
tua misterius itu mungkin adalah Hoan-jiu-ji-lay, walau dia tida k
tahu siapa itu Hoan jiu ji-lay, tapi kalau dia berjuluk "Ji-lay" tentu
dia seorang Hwesio mungkinkah Hwesio kere inilah Hoan-jiu-ji-lay?.
"Tak salah lagi, kalau tidak bagaimana dia tahu aku ada janji
dengan orang, iapun tahu orang tua itu tidak akan datang lagi?
Setelah datang dan pergi dengan kenyang dan mabuk, sudah tentu
dia tidak akan datang pula, maka diriku disuruh jangan menunggu
lagi." cepat Cu Jing berdiri, teriaknya: "Pelayan, berapa
rekeningnya." Dia rogoh sekeping uang perak terus ditaruh di meja.
"Sisanya buat kau" habis berkata dengan setengah berlari dia
terus turun loteng.
Hanya beberapa detik saja jarak antara si Hwesio pergi dan dia
berlari menyusul ke bawah, tapi waktu dia tiba di bawah sana,
bayangan si Hwesio sudah tida k kelihatan lagi?
Pasar ma la m masih ra mai di luar, orang berlalu la lang berjejal, ke
mana lagi dia akan mencari si Hwesio. Pula orang sengaja tidak mau
bicara lebih lanjut, umpa ma dikejar juga orang t idak ma u
mene muinya.
Sekian la ma Cu Jing berdiri melongo me ngawasi orang2 yang
bersimpang siur dijalan raya, sesaat kemudian baru dia beranjak ke
ujung jalan sana langsung ke mbali ke tempat penginapannya .
Mala m sudah larut, para tamu yang lain sudah masuk ka mar dan
tidur, maka Cu Jing langsung menuju ke ka marnya, waktu dia
me mbuka pintu ka mar dan ha mpir me langkah masuk, tiba2 dia
tertegun dan berdiri me matung.. Dilihatnya seseorang duduk dikursi
didekat jendela sana. Lampu me mang tidak dinyalakan tapi sinar
rembulan di luar jendela cukup menerangi keadaan kamar sehingga
tertampak re mang2. .
Terlihat jelas oleh Cu Jing orang yang berada dika marnya ini
berpakaian hita m, bermuka kuning, orang ini adalah orang yang
dilihatnya berdiri di depan toko kain tadi, diam2 Cu Jing mengumpat
dalam hati, batinnya: "Kiranya dia me mang hendak- cari perkara
padaku."
Si baju hitam angkat kepala, katanya tersenuyum: "Kau hanya
berdiri di luar pintu, me mang-nya tidak berani masuk?"
Dingin suara Cu Jing: "Rasanya aku kesasar, salah masuk ke
kamar orang lain."
Pelan2 si baju hitam berbangkit, katanya: "Kau tidak kesasar."
Cu Jing beranjak masuk- katanya sambil menatap orang: "Jadi
saudara yang kesasar ke ka marku?"
"Akupun tida k kesasar," ujar si baju hita m, "Sebab aku sedang
menunggumu."
"Ada urusan apa kau menungguku" tanya Cu Jing.
Berkedip2 mata si baju hitam, katanya setelah menatap lekat2
sebentar: "Aku ingin bicara dengan kau."
Mendadak si baju hitam tertawa lebar, katanya: "Agaknya kau
curiga bahwa aku bermaksud tidak baik, terhadapmu?" Tawanya
manis sehingga kelihatan baris giginya nan putih rata dan a mat
kontras dengan kulit mukanya yang kuning. "Kalau dia seorang
perempuan, mestinya dia pere mpuan cantik, molek. sayang giginya
yang rajin dan putih itu tumbuh di mulut laki2 yang bermuka jele k
dan me muakkan-
Tapi Cu Jing tidak perhatikan senyuman yang kaku, iapun tak
pedulikan gigi orang yang putih indah, sikapnya tetap dingin,
dengusnya: "Umpa ma betul kau bermaksud jahat, me mangnya
kenapa?"
Agaknya si baju hitam me mang tidak bermaksud jahat, kemba li
ia me mandang Cu Jing,
katanya:"ini ka marmu, aku ke mari sebagai tamu, sikapmu begini
kaku, apa begini layaknya kau melayani tamu?"
Cu Jing habis sabar, katanya sambil berkerut alis: "Ada omongan
apa lekas katakan saja."
"Kukira kau tidak asing lagi dengan dandananku ini bukan2" ujar
si baju hitam: "Kutahu ke dua, temanmu sudah berangkat ke Pa k-
siam san-"
Cu Jing mendengus sambil mengawasi muka orang yang kuning
kaku itu: "Hm, agaknya kau serba tahu."
"Apa yang kutahu, belum tentu kaupun tahu," ujar si baju hita m.
"Apa pula yang kau ketahui?" tanya Cu Jing.
Kata si Baju hita m sungguh2: "Kedua te manmu itu mungkin
takkan ke mba li lagi."
"Apa katamu?" Cu Jing mende lik :"Ban Jin-cun. . . mereka
menga la mi bahaya?"
Mendadak dia maju se langkah, berbareng ta-ngan kiri
mencengkeram perge langan tangan si baju hita m, sekenanya dia
menggentak mundur ke bela kang se mbari lepas ke lima jarinya,
dalam keadaan tidak siaga dan tak terduga2 si baju hitam kena
disengkelitnya jatuh di lantai.
Karena, gugup, tanpa sadar Cu Jing melancarkan gerakan Jiau-
kau-sek. dan hasilnya betul2 di luar dugaannya. Tapi dia tida k
pedulikan keadaan si korban, "sret" dia melolos pedang serta
menganca m tenggorokan orang, bentaknya: "Lekas katakan, kalian
mengatur muslihat apa ....."
Tak tahunya bahwa kepandaian silat si baju hita m ternyata juga
cukup lihay, walau pecundang dalam keadaan tidak siaga, waktu
ujung pedang Cu Jing menganca m, cepat dia mengkeret mundur.
Selicin belut tiba2 badannya meluncur di lantai dan mundur
beberapa kaki jauhnya. Dengan tangkas dia melompat berdiri, "s
reng", iapun cabut sebatang pedang panjang, katanya dongkol:
"Kau tidak tahu diri, kalau aku mau mencela kai kau, sejak tadi
jiwa mu sudah melayang, tahu2 Seperti tidak mendengar apa yang
dikatakan orang, Cu Jing malah tertawa dingin, jengeknya: "Aku
tidak akan me mbunuhmu, katakan muslihat apa yang kalian
rencanakan untuk me ncelaka i jiwa Ban Jin-cun berdua"
Si baju hita m acungkan pedangnya, katanya dingin: "Tidak sukar
jika kau ingin tahu, pertama kau harus kalahkan dulu pedangku, hal
kedua umpa ma aku yang menang, aku akan tetap menerangkan
padamu,"
Agaknya, dia penasaran karena barusan kena disengkelit jatuh
oleh Cu Jing, ma ka setelah menang baru dia mau menerangkan
maksud kedatangannya.
Tapi Cu Jing berwatak keras, Tak mau kalah, "kalau aku kalah,
kaupun tida k perlu jelaskan-"
"Jadi kau tidak ingin tahu berita tentang temanmu itu?"
Menyinggung Ban Jin cun, entah kenapa Cu Jing jadi naik pita m,
katanya dengan mata mendelik: "Kau kira aku tidak bisa
menga lahkan kau?" tiba2 pedangnya bergetar terus, menusuk ke
depan.
Si baju hita m miringkan badan tida k mundur dia ma lah mendesak
maju, sinar pedang berkelebat, menghindari tusukan se mbari balas
menyerang. Sasarannya adalah pundak kiri Cu Jing.
Terkesiap hati Cu Jing me lihat gerakan lawan yang aneh dan
cekatan, badan setengah berputar, gerakan dipercepat, dalam
sekejap dia berturut menika m tiga kali. Ternyata permainan pedang
si baju hitam juga lincah dan gesit, tiga kali tikaman Cu Jing meleset
semua di samping tubuhnya, ujung bajupun tidak kena. Kini berbalik
sinar pedang lawan berkelebat cepat dan ganas serangannya, Hiat-
to me matikan di tubuh Cu Jing menjadi sasaran-
Namun setiap serangan ganas selalu ditarik lagi di tengah jalan,
jelas lawan sengaja mengalah..
Cu Jing jadi marah, segera ia ke mbangkan ilmu pedangnya,
gerakannya semakin gencar dan sengit, ingin rasanya sekali tika m
dia bikin ma mpus lawannya, begitulah mereka serang menyerang,
maju mundur silih berganti, belasan gebrak telah berlangsung di
dalam ka mar yang se mpit itu.
Keringat sudah me mbasahi badan Cu Jing, dia sudah keluarkan
seluruh ke mahiran ilmu pedang-nya, tapi si baju hitam tetap tak
dapat dirobohkan, keruan ia gemas dan gelisah. Mendadak tergerak
pikirannya, sengaja dia melakukan gerakan lambat dan
menunjukkan lubang ... .
Perlu diketahui pedang yang digunakan si baju hitam lebih
pendek daripada Cit-sing-kia m Cu Jing yang panjangnya tiga kaki
lebih itu, oleh karena itu baik maju mundur, menyerang atau
me mbe la drii, gerakannya selalu berpadu dengan gemulai tubuhnya
yang lincah dan licin itu, setiap ada kese mpatau tentu diterobosnya.
Kini melihat Cu Jing ada lubang kele mahan, cepat ia menyelinap
maju, pedangnya dari menabas berubah menjadi mengetuk. dengan
batang pedang dia mengetuk Hiat-to pergelangan tangan Cu Jing
yang me megang pedang.
Kalau serangannya berhasil mengenai sasaran, maka pedang cu-
Jing pasti terketuk jatuh. Tak ter-duga2 tiba2 ia merasakan
pergelangan tangan kanan sendiri kese mutan kaku, entah
bagaimana Cu Jing telah menangkap urat nadinya, berbareng ujung
pedang menganca m tenggorokannya. Terdengar Cu Jing berkata
dengan nada ke menangan dan puas: "Tak kau lepaskan
pedangmu?".
Kiranya dala m keadaan terdesak. serta merta Cu Jing
me lancarkan gerakan Jiau-kau-sek, betul juga dengan mudah dia
berhasil me mbe kuk si baju hita m. ....
Berkedip mata si baju hitam yang besar dan jeli itu, pancaran
sinarnya marah, tapi juga kagum dan me muji, na mun mulutnya
menjenge k: "Hanya gerakan begini saja ke ma mpuanmu. ."
"cukup Asal bisa me mbekukmu" jawab Cu Jing "Le mpar
pedangmu dan bicaralah terus terang."
Si baju hita m sedikit meronta, katanya: "Lekas lepaskan, baiklah
akan kukatakan, me mangnya Aku ke mari henda k me mberi kabar
padamu, ka lau tidak buat apa aku menunggumu di sini?"
"Kau henda k me mberi kabar padaku?" Cu Jing menegas. .-. . .
Terpancar rasa masgul pada sorot mata si baju hitam, katanya:
"Kau masih tidak percaya?"
"Mengapa tingkah la kunya seperti anak perempuan,?" de mikian
batin Cu Jing. Segera ia turunkan pedangnya, katanya: "Asal kau
bicara terus terang, kulepas kau pergi."
"Baiklah, lepaskan dulu tanganmu."
Yakin orang takkan bisa meloloskan diri, Cu Jing lantas lepaskan
peganannya. Si baju hitam lantas simpan juga pedangnya, lalu dia
meraih kain hita m yang mengikat kepa lanya, rambut panjang hita m
kilap seketika terurai di pundaknya. . . Cu Jing berseru kaget: "Kau
perempuan?"
Si baju hitam tertawa lebar, kembali ia menanggalkan kedok
mukanya yang tipis. Wajahnya yang tadi kuning kaku mengkilap kini
berubah seraut wajah molek seorang gadis, tampaknya ma lu2 dan
ingin bicara tapi urung.
Heran Cu Jing mengawasi orang sekian la manya, tanyanya:
"Siapakah kau sebetulnya?"
"Aku berna ma Hek-bi-kwi (ma war hita m)."
"Kalian se muanya pere mpuan?
"Bukan, mereka adalah orang2 Hek-liong-hwe (sindikat naga
hitam)."
"Kau sendiri bukan anggota Hek-liong-hwe?"
Hek-bi-kwi atau si mawar hita m mengge leng, katanya sungguh2:
"Terus terang, aku sebetulnya, orang Pek- hoa-pang, tapi bertugas
di dala m Hek-liong-hwe, kini tugasku sudah selesai, saatnya aku
harus kembali." Tanpa menunggu Cu Jing bertanya, dia
mena mbahkan lagi: "Soalnya kedua temanmu yang pergi ke Pek-
siam-san sudah diketahui oleh pihak mereka, Hek-liong-hwe sudah
mengirim berita dengan merpati pos, sebelum kedua te manmu t iba
di Pak sia m-san mereka sudah pasang jala henda k menjaringnya,
aku tak dapat membantu, terpaksa menyerempet bahaya
mengabarkan hal ini kepadamu, syukur kalau engkau bisa menyusul
mereka serta me mbujuknya agar me mbatalkan nitanya untuk
menyelidiki senjata rahasia beracun itu, kalau t idak. orang2 He k
liong- hwe pasti t idak a kan berpeluk tangan, demikian pula kau
sendiri kuberitahu supaya jangan mencampuri urusan ini .... . "
sembari bicara dengan cekatan ia sudah menggelung ra mbut serta
me mbungkusnya dengan kain hita m, katanya pula: "Sudahlah, apa
yang ingin kusa mpaikan sudah kusa mpaikan, sekarang aku mohon
diri, harap engkau jaga dirimu baik2."
Habis berkata dengan cepat dia melangkah keluar. Tapi di
ambang pintu dia berpaling serta pandang Cu Jing lekat2. Hanya
sekejap ini mukanya sudah ke mbali menjadi kuning kaku dan
mengkilap. tapi matanya yang bundar besar itu me mancarkan
perasaan berat dan kasih mesra, lalu dengan cepat ia berkelebat
keluar dan menghilang.
Dia m2 Cu Jing tertawa geli, batinnya: "Agaknya bocah ayu ini
menaruh hati kepadaku."
Si mawar hita m melompat ke atas genting terus keluar dari hotel,
seringan kapas ia me lompat turun dijalan raya yang sepi terus ber-
lari2 menpuju ke selatan- Setiba di daerah Sam-koan-tia m takjauh
di depannya dilihatnya bayangan dua orang mengadang di kiri-
kanan jalan.
Dala m kegelapan darijauh pasti tidak akan melihat dua orang di
depannya ini, untung mala m ini ada sinar bulan, maka mawar hita m
segera melihat bayangan kedua orang dari kejauhan..
Betapa cerdik si mawar hitam, me lihat dua orang berdiri di
pinggir jalan, karena kawan atau lawan sukar diraba, sudah tentu
dia tidak berani mendekat secara gegabah, segera dia berhenti
beberapa jauh dari mereka. Begitu dia berhenti, ke dua bayangan
orang itu mulai bergerak dan pelahan2 mende kati dirinya. . .
Mawar hita m tetap berdiri tak bergerak. tapi jari2, tangan
kanannya sudah menggengga m gagang pedangnya. Cepat sekali
seperti bayangan setan kedua orang itu sudah berada
dihadapannya. Kini mawar hitam me lihat jelas kedua orang ini sa ma
mengenakan seraga m hita m, mukanya juga kuning seperti mala m,
seorang lagi mukanya malah lebih legam sehingga tertampak
menyeramkan-
Kini mawar hita m dapat me lihat je las kedua orang ini teman yang
tadi bertugas bersama dirinya, yaitu dengan kode huruf kuning
nomor 27. "Bukankah mereka bertugas menguntit Ban Jin-cun dan
Kho Keh-hoa menuju ke Pak-sia m-san? Tapi kedua orang itu
mendadak muncul di sini," keruan ia kaget, lekas dia me mberi
hormat, katanya: "Hamba huruf kuning 29, menyampa ikan hormat
kepada Sincu"
Ternyata laki2 muka kuning kelabu berna ma Sin-cu "sincu adalah
suatu jabatan tertentu di dala m He k-liong-hwe.
"Nomor28," desis la ki2 muka kelabu, "Kau tahu apa dosamu?”
Bergetar hati mawar hitam, tapi dia me makai kedok, sudah tentu
perubahan air mukanya tidak -kelihatan, tapi sikapnya kelihatan
gugup, sahutnya: "Entah ha mba melanggar kesalahan apa?"
"Budak bernyali besar," damperat laki2 muka kelabu,
"dihadapanku masih berani mungkir."
"Harap Sincu periksa yang betul, ha mba betul2 tidak tahu
berbuat kesalahan apa? Memangnya melanggar peraturan
organisasi? "
si muka ke labu menjengek dingin: "Apa betul kau tida k tahu?
Baiklah, nornor 27 jelaskan padanya."
Laki2 muka lega m mengia kan, dengan menyertingai dia berkata:
"Sebelum berangkat menunalkan tugas kali ini ha mba menerima
perintah rahasia Ji tongcu, beliau merasa nomer 28 agak
mencurigakan, maka ha mba diperintahkan me mperhatikan gera k-
geriknya . . . ."
"Aku toh bukan anak buah Ji-tongcu," debat mawar hita m, "dari
mana dia tahu letak ke le mahanku sehingga menaruh curiga padaku"
"Kau adalah anak buah cui tongcu," kata laki2 muka lega m,
"sudah tentu perintah Ji tongcu ini juga setahu cui tongcu sendiri."
Lalu dia mena mbahkan: "Setelah nomor sembilan mati mene lan
racun, sengaja hamba bilang mau menguntit kedua bocah Ban dan
Ko itu, sebetulnya di Kim-sim-tun piha k kita juga ada orang,
hakikatnya tidak perlu me nguntit mereka segala, apa yang hamba
lakukan hanya untuk mengelabui nomor 28 dan mengawasi tingkah
lakunya apakah betul dia melanggar. ..."
"Me mangnya aku melanggar aturan apa?" tanya mawar hita m.
"Untuk apa ma la m ini kau pergi ke hotel Ko-seng-can?" tanya
laki2 muka lega m. .
"Karena bocah she cu itu tinggal di hotel itu maka ingin aku
menyelidiki gerak-geriknya, me mangnya maksudku ini salah?"
dengus mawar hitam.
"Apa saja yang telah kau bicarakan dengan dia?" tajam
pertanyaan laki2 muka lega m.
"Jadi kau menguntitku secara dia m2, apa yang kulakukan tentu
sudah kau sakslkan, kenapa tanya lagi?"
"Akulah yang ingin tanya padamu," sa mbung laki2 muka kelabu. .
Mawar hitam me liriknya, katanya dengan membungkuk hormat:
"Sin-cu boleh tanya nomor 27 saja, yang terang hamba yakin tida k
me lakukan kesalahan-"
"Kau tidak usah berdebat lagi, serahkan senjatamu, pulang ikut
aku menghadap Cui-tongcu"
Tanpa terasa mawar hitam menyurut mundur selangkah,
semakin kencang jari2nya me megang gagang pedang, katanya:
"Jadi Sincu juga tidak percaya padaku, baiklah aku akan menghadap
cui-tongcu sendiri"
Sorot matanya yang kelabu menatap mawar hitam, tegas suara si
muka kelabu: "28, kau berani melawan perintah?" Dari dala m
bajunya dia keluarkan seutas rantai lembut, di ujung rantai terikat
sebuah gembok kecil, "trang", dia le mpar ge mbok borgol itu ke
tanah, bentaknya bengis: "Belenggu tanganmu sendiri."
Melihat orang ke luarkan borgol, rasanya berdebat juga tak
berguna, maka mawar hita m mundur ber-siap2, katanya tertawa
dingin: "Sin-cu sendiri me ma ksa aku mela kukan pe langgaran-
Baiklah, aku akan ke mbali ke markas saja," Segera dia putar tubuh
dan lari.
"Bangsat bernyali besar" bentak si muka kelabu. "Kau mau lari?"
Tanpa diperintah laki2 muka legam melolos senjata terus
me lompat ke depan menghadang si ma-war hita m, Urusan sudah
kadung begini, terpaksa mawar hita m harus bertindak cepat,
mendadak ia menghardik keras "Minggir"
Begitu pedang terlolos dan bergerak, dengan jurus jun-seng-hwi-
hoa segera sinar pedang menggulung ke dada la ki2 muka lega m.
Agaknya orang itu tidak menduga di hadapan sincu orang berani
bergerak senekat ini ehingga si mawar hita m se mpat merangsaknya
lebih dulu, ma ka dia tidak berani menya mbut ecara keras, ia
me lompat mundur beberapa kaki. Begitu kaki turun ke tanah,
pedangnyapun udah terlolos, bentaknya.: "Perempuan keparat,
berani kau melawan?" Tiba2 ujung pedangnya bergetar, dia
menubruk ke arah mawar hita m.
Sebelum lawan menubruk tiba, mawar hita m me mbentak seraya
putar pedang dengan kencang, beruntun dia menusuk dan menika m
delapan kali, Delapan ka li serangan ini dilancarkan secara ganas,
beberapa kaki sekeliling dirinya bertaburan sinar pedangnya yang
ke milau.
Karena di dahului, si muka lega m tepaksa hanya me mbela diri
sambil mundur, ia kaget danjeri, sembari bertahan mulutnya
berkaok2. "Sincu, coba lihat ilmu pedang apakah yang dimainkan
keparat ini?"
Tujuan mawar hita m hanya me loloskan diri, sudah tentu
serangannya tak mengenal kasihan, beruntun beberapa kali
serangan pedangnya hampir saja mena matkan jiwa si muka lega m,
tapi begitu orang mundur, sebat sekali dia tutul kedua kaki terus
me la mbung setombak lebih jauhnya. Namun waktu ia henda k
mengenjot ka linya lagi, mendadak badannya bergetar, "bluk", tanpa
kuasa ia jatuh terjere mbab.
Terdengar si muka kelabu terkekeh sa mbil mengha mpiri,
suaranya sinis: "Perempuan hina, dengan sedikit ke ma mpuanmu ini,
me mangnya mau lolos dari tangan aku orang she Tin? Lekas kata-
kan, siapa yang mengutusmu menjadi mata2 di perkumpulan kita?"
dia rebut pedang dari tangan laki2 muka lega m, seka li ujung pedang
bergetar, beruntun dia tutuk tujuh kali Hiat-to di tubuh si mawar
hitam.
Karena terjatuh ke tangan musuh, mawar hita m peja mkan mata
saja tanpa bicara, dia pasrah nasib . . .
"Dihadapan orang she Tin jangan kau pura2 mampus, kau akan
menderita tanpa bisa berkutik sedikitpun," desis la ki2 muka kelabu,
mendadak ia putar balik pedangnya, dengan gagang pedang dia
mengetuk ke bawah dada mawar hita m. Ketukannya tidak berat,
tapi sasarannya telak. gerakannya-pun berbeda dengan ilmu tutuk
umumnya. Badan mawar hitam seketika mengejang, tanpa kuasa
mulutnya mengerang kesakitan-
Dengan keheranan laki2 muka legam pandang laki2 muka kelabu,
katanya: "Budak keparat ini teramat keras kepala, biar hamba
menyiksanya lebih parah . . "
Laki2 muka ke labu menyeringai: "Tak usah kau turun tangan,
dalam sepe minum teh, mustahil dia tidak mengaku."
Laki2 muka lega m mundur dengan ragu2, tapi dia tida k berani
banyak mulut lagi.
"Nah," ujar laki2 muka ke labu, "sekarang tanggalkan kedok
mukanya, kini dia sudah bukan orang kita, tak boleh mengena kan
kedok ini, nanti akan kukorek kedua biji matanya."
Laki2 muka lega m mengiakan, segera dia mendekat dan menarik
kedok si mawar hita m.
Dilihatnya wajah si mawar hita m yang mole k berubah pucat dan
basah oleh keringat dingin. Dengan hati tak tenteram ia angsurkan
kedok itu kepada atasannya.
Laki2 muka ke labu simpan kedok itu ke dala m bajunya, sikapnya
tampak tenang2, ia berjalan ke sana lalu duduk di atas batu besar
dipinggir ja lan sana.
Sementara itu wajah mawar hitam yang pucat berkerut2 itu
sudah dibasahi keringat dingin, badan mengejang dan bergetar
semakin keras, giginya berkerutuk menahan sakit. Jelas dengan
segala daya dia bertahan akan siksaan yang luar biasa ini. Tidak
merintih juga tidak menjerit, hanya giginya yang berkeriut, dia
terima siksaan ini dengan tabah dan berani. Dia tahu setelah rahasia
dirinya ketahuan, dia terima segala akibat yang bakal menimpa
dirinya.
Laki2 muka lega m sa mpai merinding menyaksikan perubahan air
muka si mawar hita m, tapi laki2 muka kelabu justeru tetap
ongkang2 duduk di sana dengan sabar, hatinya seperti terbuat dari
besi tanpa perasaan, seakan2 dia a mat puas dan senang melihat
Keadaan si mawar hitam yang begitu menderita. Dengan
terkekeh dingin tiba2 dia berdiri mengha mpiri, tetap dengan gagang
pedang, kembali dia mengetuk badan si mawar hita m. Kiranya,
ketukan ka li ini untuk me mbuka Hiat-to yang menyiksa mawar hita m
tadi. Si mawar hita m yang sejak tadi duduk bertahan kini menjadi
lungla i dan terkapar di tanah.
Dengan terkekeh dingin si muka kelabu mendelik bengis,
katanya: "Nomor 28, kau sudah rasakan, kenikmatannya?
Ketahuilah, ini baru permulaan supaya kau tahu rasa, yang lebih
enak masih bisa kau rasakan jika kau tetap me mbangkang,
ketahuilah kesabaranku juga terbatas."
"Bunuhlah a ku," teriak mawar hita m serak.
"Me mangnya begini mudah?" jengek muka ke labu. "Sebelum kau
mengaku siapa yang mengutusmu ke mari? Aku tida k akan
me mbikinmu ma mpus,"
Mawar hitam me mbuka pula matanya, mulutnya terkancing
rapat2.
"Aku tak percaya, memangnya badanmu ini berotot kawat
bertulang besi," demikian ejek si muka kelabu, "Tak mau bicara,
jangan sesalkan aku berlaku keji. ......" ia angkat pedang pula dan
pelan2 gagang pedang ke mbali henda k menutuk ke dada si mawar
hitam.
Pada saat2 genting itulah, tiba2 dari belakang pohon sebelah
kanan sana orang me mbentak nyaring: "Berhenti" - Suaranya
merdu, terang itulah suara perempuan, malah pere mpuan yang
masih muda belia.
Gagang pedang di tangan si muka kelabu yang sudah teracung
berhenti di tengah jalan, ia melirik ke arah datangnya suara, Pohon
di pinggir ja lan itu berada beberapa pelukan orang besarnya,
bentuknya menyerupai payung, Ta mpak dua bayangan orang
me lompat ke luar dari balik pohon besar itu.
Dua bayangan semampai dan ra mping, yang di depan berusia
19-an me makai gaun panjang warna hijau pupus dengan baju
panjang putih mulus, wajahnya tampak jelita dan anggun, di bawah
sinar rembulan yang remang2 kelihatannya dia seperti bidadari yang
baru turun dari kahyangan. Agak di belakang adalah seorang gadis
pula lebih muda berpaka ian serba hijau, kuncir ra mbutnya yang
hitam me njuntai turun menghias dada, dandanannya mirip pelayan,
tapi wajahnya juga cantik molek.
Melihat yang muncul hanya dua gadis ayu, si muka kelabu
tertawa lebar, katanya: "Agaknya kalian me mang sekomplotan,
kebetulan kalian akan punya kawan dala m perjalanan ke alam baka,
supaya aku tidak me mbuang wa ktu di sini"
Menjengkit a lis gadis bergaun panjang, bentaknya: "Kau
me mbua l apa? Kebetulan aku lewat di sini, tak senang kumelihat
perbuatan kejammu ini terhadap seorang gadis lemah yang tak
ma mpu melawan ini."
Si muka ke labu me micingkan matanya, desisnya tertawa:
"Me mangnya kenapa ka lian nona2 cantik ini tida k senang. Aku
justru ingin perlihatkan pada mu." gagang pedang yang sudah
teracung pelan2 bergerak turun pula.
Gadis baju hijau bertolak pinggang, bentaknya: "Kunyuk kurang
ajar, di hadapan Siocia berani kau bertingkah"
"Me mangnya kenapa tuan besarmu ini tidak berani" jenge k si
muka kelabu.
"Berani kau menyentuhnya, segera kubuntungi lengan kananmu .
. . . " ancam si nona bergaun panjang dengan gusar..
Si muka kelabu tertawa, katanya: "Budak cilik, kalau tuan
besarmu ga mpang digertak orang, aku takkan berjuluk Thian-kau
(anjing langit). Nah lihatlah"
Gerak gagang pedangnya lambat2, tapi sudah hampir menyentuh
dada si mawar hita m.
Pada saat itulah jari gadis gaun panjang tiba2 terangkat,
bentaknya: "Betul kau berani ."
Gagang pedang si muka ke labu sudah ha mpir mengenai
sasarannya, tapi mendadak dia merasa adanya sesuatu yang ganjil,
lengan kanannya itu tahu2 kaku dan pati rasa, lemas tidak me nurut
perintah lagi. Baru saja ia terkejut, segera pedang yang
dipegangnya berkelontangan jatuh di tanah.
Sudah tentu laki2 muka lega m kaget, tanyanya lirih sambil
me mburu maju: "Kenapa Sincu?"
Pucat dan ketakutan me mbayang pada wajah muka kelabu:
"Lekas pergi" Dengusnya pelahan, cepat dia mendahului berlari
pergi ..
Melihat pe mimpinnya lari me mbawa luka, sudah tentu si muka
legam tak berani tingga l la ma2, lekas iapun angkat langkah seribu.
Gadis baju hijau cekikikan, katanya:. "Tidak berguna, sekali
gertak lantas lari mencawat ekor."
Gadis majikannya berkata sungguh2: "Jangan kau pandang
ringan mereka, kepandaian mereka tinggi, kalau bertempur betul2
mungkin aku bukan tandingannya." lalu dia menambahkan- "Lekas
kau periksa luka nona itu."
Dengan langkah ringan dia mengha mpiri lalu berjongkok di
samping si mawar hita m, katanya, "Entah di mana luka nona, apa
tertutuk Hiat-to mu. ."
Dengan telentang lemas pelan2 mawar hita m me mbuka mata,
suaranya lemah tak bertenaga: "Terima kasih atas pertolongan
nona, cuma. .... keadaanku sudah payah" matanya berkedip2, tak
tertahan dua titik air mata berlinang dikelopak matanya.
"Di mana luka mu," tanya gadis gaun panjang, "lekas katakan biar
kuperiksa?"
Mawar hitam menggeleng, katanya lemah: "Jangan nona
menyentuhku, aku terkena senjata rahasia beracun keparat itu
........"
"Terkena senjata rahasia beracun?Jangan kuatir a ku me mbawa
obat mujarab, mungkin bisa menawarkan racun dala m tubuhmu."
"Tak berguna," ujar mawar hitam rawan, "racun dibadanku t iada
obat pemunahnya di kolong langit ini, bahwa aku tidak segera mati,
karena Thian-kau-sing (anjing langit) tadi menutuk Hiat-toku
sehingga kadar racun se mentara tidak me njalar ke jantung . ....."
lalu dia pandang gadis penolongnya, "nona baik hati menolongku,
ada pesan ingin kut itipkan pada mu, entah nona sudi me mbantuku
lagi t idak?"
"Pesan apa katakan saja, asal bisa kula kukan pasti kubantu
kau.". .
"Terima kasih, di dala m bajuku ada sebuah kantong kain
bersulam, barang ini jangan sa mpai terjatuh ke tangan orang2 He k
liong hwe, oleh karena itu terpaksa kutitipkan pada nona ....."
"Kantong ini tentu penting artinya, entah kepada siapa harus
kuserahkan?"
"Penting sih t idak. juga tidak perlu diserahkan kepada siapa2,
cuma tolong kau me mbakarnya saja, di dala m kantong ada sekeping
besi tipis, di tengahnya ada ukiran sekuntum bunga mawar, besok
pagi tolong adik ini suka cantolkan di mana saja asal dipojok te mbok
di pinggir jalan, harus dicantolkan terbalik ke bawah, lalu dilingkari
tinta hitam, cukup di dua-tiga tempat saja, kawan2ku tentu akan
tahu bahwa aku sudah gugur."
"Baiklah, akan kulakukan pesanmu ini."
"Soal ini a mat rahasia, waktu me mbuat lingkaran hita m jangan
sekali2 dilihat orang."
"Aku dan Siau Yan jarang berke lana di Kangouw," kata gadis
gaun panjang, "entah kau dari Pang atau Pay mana?"
"Aku tak berani mengelabui nona, aku orang Pek-hoa-pang,
harap nona tidak ceritakan peristiwa ma la m ini kepada orang lain-"
"Aku tahu, setiap Pang atau Pay di kalangan Kangouw ada
peraturan dan rahasianya sendiri, aku tidak akan beritahu kepada
orang lain-"
"Baiklah, tolong ke luarkan kantong kain dala m bajuku, waktuku
tak banyak lagi " . .
"Biar kua mbil," kata gadis baju hijau, segera ia berjongkok serta
merogoh keluar sebuah kantong kecil dari dala m baju si mawar
hitam.
Sekilas me lihat cuaca, tak tertahan air mata mawar hitam lantas
bercucuran, katanya sedih: "Masih ada satu hal hampir kulupakan,
di dala m kantong ada sebuah botol kecil warna hitam, setelah aku
mangkat, tolong enci siau Yan tuang sedikit bubuk obat dala m botol
itu ke atas mukaku."
Gadis baju hijau me mbuka kantong kecil dan mengeluarkan
sebuah botol tanyanya,
"Apakah ini?"
Mawar hitam mengangguk, katanya kepada nona bergaun
panjang: "Apa yang ingin kupesan sudah kukatakan, tolong Siocia
me mbuka Hiat-toku."
Berkerut alis si nona, katanya "Membuka Hiat-to, bukankah racun
akan segera menyerang jantung? "
"Ya, enam Hiat-to didadaku me mang tertutup, tapi setengah jam
lagi racun akan mere mbes pelan2, penderitaan waktu itu luar biasa,
lebih ba ik kau buka Hiat-toku supaya racun lekas menyerang
jantung, dengan demikian aku tidak akan menderita. Lekaslah,
harap Siocia tolong diriku."
Si gadis gaun panjang ragu2, katanya:. "Aku belum pernah
me mbunuh orang, cara bagaimana aku tega turun tangan? . . ."
"Yang me mbunuh aku adalah Thian-kau-sing. Siocia malah
menolongku, kalau Siocia tidak me m-buka Hiat-toku, karena jalan
darahku tersumbat, racun akan bekerja la mbat sehingga siksaan
yang kualami akan jauh lebih me ngerikan- Siocia, aku orang yang
hampir mati, kalau kau buka hiat-toku, aku tidak akan tersiksa, lebih
la ma lagi."
Akhirnya gadis gaun panjang manggut2, katanya. "Baiklah,
kutolong kau me mbuka Hiat-to" lambat2 dia ulur tangan, tapi
hatinya tidak tega hingga tanganpun gemetar, tanyanya lagi dengan
sedih: "Kau masih ada pesan apa?" Pilu senyuman mawar hitam,
sahutnya: "Terima kasih, tiada lagi. ."
"Aku. .... .ai, aku.. .. ..sungguh tidak tega turun tangan," kata
gadis gaun panjang sa mbil menyeka a ir mata.
Mendadak badan si mawar hita m bergetar terus mengejang dan
berkelejetan, air mukanya berubah hebat, suaranynya gemetar: "
Racun .....sudah mula i . bekerja Siocia le .. lekas . . ." Melihat
penderitaan yang hebat ini, gadis gaun panjang tidak sampai hati,
tanpa pikir ulur tangan ke dada mawar hitam, beberapa Hiat-to,
yang tertutuk tadi dibuyarkannya .
Badan mawar hita m ta mpak berkelejetan, wajahnya yang semula
pucat berkeringat seketika berubah hitam, darah kental hitampun
me leleh dari mulut hidang dan mata kupingnya.
Bergidik sera m si gadis gaun panjang, katanya menghe la napas:
"Senjata rahasia yang ganas sekali. Ai, Siau Yan, dia minta kau
menaburkan bubuk obat itu ke mukanya, lekas kau la kukan, kita
harus segera berangkat."
Siau Yan mengiakan, dengan tabahkan hati ia taburkan bubuk
obat di botol kecil itu ke muka si mawar hitam, katanya: "Siocia,
marilah le kas pulang ke hotel." wajahnya tampak pucat dan
tangannya gemetar, agaknya iapurt ketakutan- . .
Gadis gaun panjang mengge leng2, katanya: "Tadi. kita sudah
menerima pesannya yang terakhir. setelah me mbakar kantong kain
itu baru kita pulang. ."
"Diba kar di sini juga, Siocia?" tanya siau Yan. "apa jangan di
tengah jalan, kalau dilihat orang bisa dicurigai, malah bakar di
depan biara bobrok di depan sana"
Pada saat mereka bicara itulah jenazah mawar hita m se mentara
itu sudah mula i lumer, kini tinggal cairan darah kuning menggenangi
tanah sekitarnya..
"Siocia me mang lebih cermat," ujar Siau Yang, tiba2 ia menjerit
kaget me lihat ca iran darah kuning itu.
Gadis gaun panjang menoleh se kejap lalu melengos pula,
katanya. "Bubuk obat yang kau taburkan di mukanya tadi tentu
Hoa-kut-san (puyer pelebur tulang), tujuannya untuk melenyapkan
jenazah si korban, agaknya dia tidak ingin orang tahu, asal-usulnya,
maka suruh kita menaburkan puyer pelebur tulang itu pada
wajahnya supaya tidak meningga lkan be kas."
Kejap lain kedua nona ini sudah beranjak me masuki ke lenteng
bobrok yang sudah la ma tidak dihuni dan dirawat, kecuali untuk
bangunan di bagian depan masih kelihatan utuh, bagian bela kang
boleh dikatakan sudah runtuh, rumput sudah tumbuh tinggi di sana-
sini.
Dari tangan si nona baju hijau, gadis gaun panjang terima
kantong kain kecil itu serta menge luarkan isinya, ada tiga maca m
barang di da la m kantong, yaitu sekeping besi t ipis, bagian depan
terukir sekuntunt bunga mawar, sebuah kedok muka yang tipis
halus terbuat dari karet dan sebatang tusuk kundai, di ujung tusuk
kundai terdapat hiasan bunga mawar warna ungu. Keping besi itu
diberikannya kepada nona baju hijau, kata si gadis gaun panjang:
"Mungkin inilah tanda pengenal mereka, dia minta kau me mbuat
lingkaran di beberapa tempat di atas tembok di mana saja yang kau
sukai, sekarang kita bakar saja barang peningga lannya ini."
"Dia kan sudah meninggal, buat apa aku harus meninggalkan
tanda rahasia segala?" gerutu gadis baju hijau. "Memangnya siapa
akan perhatikan lingkaran hitam di dinding rumah orang?"
"Kukira orang2 Pek-hoa-pang mereka sering mondar-mandir di
sini, itulah tanda rahasia untuk me lakukan hubungan di antara
mereka, tanda yang kau buat pasti akan menimbulkan perhatian
pihak mereka" se mbari bicara dia mendekati Hiolo, lalu katanya pula
sambil berpaling: "Siau Yan ke luarkan ketikan apimu."
Pada saat itulah, dari kejauhan tiba2 berkumandang derap kaki
kuda ke arah kelenteng ini, tiba2 gadis gaun panjang me mba lik
badan, katanya lirih: "Ada orang datang"
"Lekas, Siocia bakar saja dan kita kembali ke penginapan," kata
si nona baju hijau.
Tak se mpat lagi ujar gadis gaun panjang, "aga knya mereka
me mang me luruk ke mari, lekas se mbunyi" ia celingukan, lalu Siau
Yan ditariknya menyelinap ke belakang t iga patung besar yang
dipuja di kelenteng ini.
Baru saja mereka berjongkok di bela kang patung yang penuh
gelaga dan berdebu tebal itu, suara derap kuda sudah berhenti di
depan kelenteng, dari suaranya yang ramai ke mungkinan ada
empat- lima orang penunggang kuda yang datang, entah untuk apa
mereka datang ke kelenteng bobrok pada ma la m gelap begini?
Tampak dua bayangan orang melompat masuk ke dala m
kelenteng, sinar bulan purnama di luar cukup terang, kedua orang
ini ta mpa k berperawakan sedang, semua me makai baju dan celana
setelan hijau, masing2 menggendong buntalan panjang di bela kang
punggung, kakinya mengenakan sepatu tinggi, langkahnya ringan
cekatan, jelas mereka me miliki kepandaian yang tidak rendah.
Begitu masuk ke ruang se mbayang, sorot mata mereka tampak
bercahaya terang, dengan seksama mereka me meriksa
sekelilingnya, lalu berpencar ke kanan-kiri, masuk ke arah belakang.
Entah apa yang mereka periksa dan cari, sesaat kemudian
mereka sudah putar balik, seorang yang berperawakan lebih tinggi
berkata, "Bagaimana, Poa-heng, di sini saja?". .
orang itu manggut2, katanya: "Tempat ini me mang agak sepi,
boleh saudara Siang istirahat di sini." Se mentara te mannya itu
sedang mengeluarkan ketikan api lalu menyalakan lilin, keadaan
ruang sembahyang menjadi terang.
Lekas gadis gaun panjang tarik ujung baju si nona baju hijau,
mereka mengkeret ke dala m yang lebih gelap. dari situ mengintip
keluar.
Sementara itu dua orasg telah masuk pula sa mbil menggotong
sebuah karung besar, orang di sebelah kiri bertubuh kurus aga k
pendek, lagaknya seperti anak sekolahan, sementara orang di
sebelah kanan adalah kacung pe mbantunya, karung besar yang
mereka gotong tampa k agak berat, entah barang apa yang ada di
dalamnya?.
Pelan2 dan hati2 seka li kedua orang itu gotong karung itu lalu
ditaruh di depan meja se mbahyang, pemuda sekolahan itu menarik
napas sambil menggeliat, katanya pada kedua orang yang masuk
duluan. "syukur tiba di sini, setiba di tepi sungai besok pihak atas
akan mengutus orang menyambut kita, tugas kalian berdua menjadi
selesai, dua hari ini me mbikin susah kalian saja."
"Nona terlalu me muji," kata kedua orang yang masuk duluan,
"tugas kami adalah Hou-hoa (pengawal bunga/wanita), ini adalah
tugas rutin ka mi."
Ternyata pemuda sekolahan itu adalah sa maran seorang nona.
Sementara kacung itu keluarkan sebatang lilin serta disulutnya terus
ditancapkan diatas meja.
Keruan kedua orang yang se mbunyi di belakang patung menjadi
gelisah, pikir mere ka:
"celaka, agaknya mereka hendak bermala m di sini, ka mi
sembunyi di tempat sempit dan se kotor ini, bagaimana ba iknya?"
Tengah gadis gaun panjang menimang2, tiba2 didengarnya,
derap seekor kuda tengah mendatangi pula dari kejauhan, lekas
sekali muncul seorang baju hijau dari luar kedua tangannya
me mbopong buntalan besar.
"Kau sudah me ne mui Kang-lotoa?" tanya pemuda se kolahan,
me mapak kedatangan orang itu.
Pendatang itu meletakan buntalan besar itu di depan pe muda
sekolahan, sahutnya dengan napas memburu: "Sudah kute mui.
Wah, Giok je cici, aku me ndengar sebuah berita besar . . . . "
Pemuda sekolahan itu angkat kepala, katanya:
"Berita apa, kau sa mpa i me mbedal kuda mu begitu cepat?"
Sembari bicara dia buka buntalan besar itu, Ternyata isinya adalah
makanan, ada pangsit, bakpau, sayur asin dan makanan lainnya
yang masih mengepul panas.
"Pe muda" berna ma Giok-je itu lantas berpaling dan me manggil:
"Marilah kita se mua ma kan bersa ma"
Kiranya kedua la ki2 yang masuk duluan tadi adalah Hou hoa-su-
cia, duta pelindung bunga.
mereka duduk mengelilingi buntalan berisi makanan itu serta
me lalapnya dengan lahapnya.
Si baju hijau yang baru datang duduk di samping "pe muda"
sekolahan berna ma Giokje itu, katanya: "Kabarnya Coat Sin-san-
ceng sudah bobol dan hancur."
"coat-sin san-ceng hancur" ta mpak pe muda sekolahan melengak
kaget, "darimana kau dengar kabar ini?"
"Kang-lotoa yang bilang," kata si baju hijau, "berita ini dapat
dipercaya, Kang-lotoa sudah mendapat petunjuk dari atas, dia
diperintahkan me mbantu orang2 kita yang melarikan diri bersa ma
orang2 warung teh di Hin-liong itu."
"Kau tahu siapa gerangan yang menghancurkan coat-sin-san
Ceng?"
"Konon orang Siau-lim-pay bergabung dengan Lohujin ke luarga
Tong dari Sujwan." . .
"Cek Seng-jiang me mang tiada di sana, lalu bagaimana Hian-ih-
lo-sat?"
"Melarikan diri, bagaimana keadaan yang sebenarnya, pihak luar
belum tahu je las."
"Lalu kee mpat ta mu agung yang berada di sana?"
"Kabarnya semula Hian-ih-lo-sat hendak gunakan mereka sebagai
sandera, tak tahunya racun pembuyar Lwekang di tubuh mereka
sudah punah, tatkala orang2 keluarga Tong dan para Hwesio me-
nyerbu tiba, keempat tamu agung itupun mendadak berontak.
me lihat gelagat tidak menguntungkan, Hian-ih-lo-sat lantas lari
me lalui lorong bawah tanah."
"Beberapa bulan sudah berselang, sejak Lok-san Taysu, Tong
Thian-jong dan Un It-hong dikurung di sana tak pernah terjadi suatu
apa, tak nyana setelah Cu-cengcu ini datang, racun pembuyar
Lwekang mereka lantas punah, bukan mustahil semua itu gara2,
Cu-cengcu ini."
Kedua nona yang mencuri dengar dari te mpat persembunyian
mereka tergetar hatinya, pikir mereka: "Kiranya ayah diculik
mereka."
"Giok-je cici" terdengar seorang berkata dengan suara tertahan:
"katanya orang yang kita tukar itu adalah Cu-cengcu tulen, orang
yang kita gusur keluar ini hanyalah barang tiruan be laka."
"Entah siapa dia?" ujar "pe muda" sekolahan, "dia berhasil
me munahkan getah beracun, juga me munahkan racun penawar
Lwekang di tubuh Lok-san Taysu bertiga, jelas kalau diapun seorang
ahli da la m bidang racun."
Si baju hijau cekikikan, katanya: "Bukankah kita me mang
me merlukan tenaga ahli seperti dia ini?"
Baru saja dia habis bicara, kelima orang yang duduk berke liling
itu tiba2 sama mengge liat dan menguap kantuk. tubuh merekapun
limbung dan akhirnya rebah di lantai. Gadis gaun panjang berkata:
"Siau Yan, mari turun tangan"
"Siocia, jadi kau yang merobohkan mereka?" tanya si nona baju
hijau tertawa.
Gadis gaun panjang me lompat turun mendekati karung besar itu,
ujarnya: "Aku akan me nolong seseorang."
"Menolong orang? Dima na dia?"
"Di dala m karung ini."
"Siocia tahu siapa yang ada di dala m karung ini?"
"Entahlah, tapi dia pasti orang baik2, kebetulan kita pergoki,
mana boleh me mbiarkan mereka menculiknya pergi?"
"Siocia, apakah lagi pengikat karung ini harus dipotong?" se mbari
bicara Siau Yan sudah ke luarkan sebatang golok kecil me lengkung.
Baru saja dia bergerak hendak me motong tali pengikat karung,
tiba2 didengarnya seorang berkata:
"Nona Siau Yan, jangan kau potong dengan pisau."
Nona baju hijau alias Siau Yan berjingkat kaget, tanyanya
terbelalak: "Kau bisa bicara?"
orang dalam karung tertawa, katanya: "Aku tidak bisu, sudah
tentu bisa bicara."
"Siapa kau? Dari mana tahu aku berna ma Siau Yan?"
"None Siau Yan, buka lah dulu mulut karung ini supaya aku
keluar, nanti kujelaskan-"
Gadis gaun panjang mengangguk sa mbil berkata kepada siau
Yan: "Lepaskan tali pengikatnya"
Sambil me lepaskan tali pengikat mulut karung Siau Yan, berkata:
"Aku tahu, tadi kau dengar Siocia panggil na maku, betul tidak?"
Setelah tali terlepas, dia terus me mbuka mulut karung lebar2..
Orang dala m karung pelan2 merangkak bangun dan berdiri.
Perawakan orang ini tinggi, mengenakan jubah hijau pupus
usianya sekitar 45, wajahnya putih cakap. jenggot hita m menjuntai
menyentuh dada. cuma kedua alisnya terlalu gombyok, orang a kan
merasa wajahnya berwatak kejam dan suka me mbunuh. sepasang
matanya tampak bersinar, terang seolah2 pandangannya dapat
meraba jalan pikiran orang, dan orang akan jeri beradu pandang
dengan dia.
Gadis gaun panjang jarang menge mbara di Kangouw, sudah
tentu dia tidak kenal siapa laki2 ini, tapi sekilas me lihat sorot mata
orang, dia merasa sudah apal dan mengenalnya dengan ba ik, tak
merasa jantungnya berdebar2.
Laki2 berjenggot hita m me mberi hormat, katanya tertawa:
"Sungguh cayhe tak sangka dapat berte mu dengan nona Un disini."
Melengak si gadis gaun panjang, matanya terbeliak. lekas dia
balas me mberi hormat dan berkata lirih: "Entah dimanakah cianpwe
bisa kenal diriku?"
Laki2 jenggot hitam tersenyum, katanya: "Aku sudah mengubah
wajah sudah tentu nona tida k mengena lku lagi."
Siau Yan periksa sini dan pandang sana, sekian lama dia
menatap wajah orang, la lu me nyeletuk: "Siapakah kau sebenarnya?"
"cayhe Ling Kun-gi," kata laki2 jenggot hita m.
Seketika merah jengah muka si gadis gaun panjang mendengar
nama yang disebut laki2 jenggot hitam, kaget dan girang pula
hatinya. Ling Kun-gi, me mangnya perjaka ini yang selalu menjadi
kenangan dan pujaan hatinya?.
"Kau ini Ling siangkong" teriak Siau Yan tidak percaya, "Kenapa
tidak mirip. sejak kapan Ling siangkong me me lihara jenggot?"
Ling Kun-gi tertawa, katanya "Tadi aku sudah bilang, aku telah
mengubah wajahku." Lalu dia dia merogoh keluar kantong benang
sula m serta diacungkan ke depan Siau Yan, katanya: "Sekarang
percaya tidak?"
Semakin jengah muka si gadis gaun panjang, serunya girang:
"Siau Yan, me mang betul dia, masakah suara Ling siangkong tida k
kau kena li lagi?"
"Hihi, lucu dan menarik sekali, kenapa Ling siangkong menya mar
begini?" seru Siau Yan-
"Aku sedang menya mar sebagai cia m-liong Cu Bun-hoa, cengcu
dari liong-bin-san-ceng." Lalu Kun-gi berpaling ke arah si gadis
bergaun panjang dan katanya pula: "Waktu di Coat Sin-san-ceng,
cayhe pernah berkumpul tiga hari dengan ayah nona. ..."
Ternyata gadis gaun panjang adalah Un Hoan-kun, sebelum Ling
Kun-gi bicara habis, dia sudah menyeletuk: "Bagaimana ayahku?"
"Ayahmu bersa ma Lok-san Taysu dan Lo- cengcu ke luarga Tong
dari sujwan semua berada di Coat Sin-san-ceng, mereka sama2
kena racun pembuyar Lwekang, maka kepandaian silat terganggu
banyak sekali. . . ."
Berkerut alis Un Hoan-kun, teriaknya kuatir: "Lalu bagaimana?
Me mangnya siapa penghuni Coat Sin-san-ceng itu?"
"Nona tidak usah kuatir, ayahmu bertiga sudah kuse mbuhkan,
dari pe mbicaraan orang2 ini tadi, agaknya Coat Sin-san-ceng sudah
diserbu dan bobol oleh para Hwesio Siau-lim serta Lohujin dari ke-
luarga Tong, tentunya ayahmu bertiga juga sudah bebas"
"Waktu coat- sin-san-ceng bobol, apakah Ling-siangkong tidak
berada di sana?" tanya Un Hoan-kun.
Ling Kun-gi tertawa, katanya: "cayhe sudah diselundupkan keluar
oleh mereka," Melihat bungkusan besar berisi ma kanan, perutnya
seketika keroncongan, katanya pula dengan tertawa: "Sudah dua
hari aku berada di dalam karung, perutku sudah berontak minta di
isi."
"Mereka tidak me mberi kau ma kan?" tanya Siau Yan merasa
kasihan-
"Mereka me mbiusku dengan asap wangi, beberapa Hiat-toku
ditutuk pula, seorang yang pingsan sela ma beberapa hari sudah
tentu tidak perlu makan," sembari bicara Kun-gi mende kati buntalan
makanan terus duduk bersila, tanpa sungkan dia comot bakpau dan
pangsit terus dima kan dengan lahap . .
Un Hoan-kun dan Siau Yan ikut merubung maju seperti ingat
sesuatu, Siau Yan bertanya: "Ling siangkong, kenapa tadi kau
me larang aku me motong tali itu?"
"Aku hanya ingin keluar sebentar dan mengisi perut, nanti aku
harus meringkuk dala m karung pula, kalau dipotong talinya,
bukankah a kan menimbulkan curiga mere ka?"
Un Hoan-kun me mandangnya penuh rasa mesra, tanyanya: "Ling
siangkong sengaja me mbiarkan diri di culik mereka, maksudmu
hendak menyelidik ke sarang harimau."
Ling Kun-gi manggut2, katanya: "Betul, sudah beberapa bulan
ibuku hilang, dengan menyaru cu cengcu dan menyelundup ke Coat
Sin-san-ceng tujuanku untuk mencari ibundaku."
Prihatin sikap Un Hoan-kun, katanya: "Apa Ling siangkong perlu
bantuanku?"
Haru dan terima kasih Ling Kun-gi, katanya: "Tujuanku hanya
mencari ibu, tiada niat bentrok dengan mereka, cayhe yakin tidak
akan mengala mi bahaya, maksud baik nona kuterima di dala m hati."
Menatap orang, lirih suara Un Hoan-kun: "Tapi kau a kan dibawa
ke markas pusat Pek-hoa-pang, kau seorang diri, bagaimana hatiku
takkan- . . . ." sebetulnya dia hendak mengatakan "takkan kuatir",
tapi sampai di situ dia berhenti, mukanya merah jengah dan
menunduk.
Melihat sikap orang yang malu2, tanpa terasa berdebar juga
jantung Ling Kun-gi, katanya:. "Jing sin-tan pemberian nona selalu
kubekal, Pi tok-cu warisan keluargakupun se lalu kuge mbol, aku
tidak takut obat bius, tidak gentar racun, dengan kepandaian sejati,
walau berada di kubangan naga atau sarang harimau, cayhe yakin
cukup ma mpu untuk menyela matkan diri." Sa mpai di sini dia
tertawa, lalu mena mbahkan- "Hanya satu kuharapkan bantuan
nona, yaitu setelah aku kenyang nanti, tolong ikat pula mulut
karung ini setelah aku masuk kedala mnya, jangan sampai mere ka
curiga."
"Aku tahu" ujar Un Hoan-kun manggut2.
"Syukur, mala m ini bertemu dengan nona, kalau tida k tentu aku
kelaparan entah berapa hari lagi," kata Kun-gi berdiri, dia
menghabiskan belasan pangsit dan beberapa biji bakpau. "Nona Un,
harap jaga diri baik2, cayhe mohon diri." Lalu dia masuk ke mbali ke
dalam karung. . . .
Siau Yan lantas mengikat ke mbali mulut karung dengan tali yang
ada.
Dengan suara lirih Un Hoan-kun berpesan: "Ling-siangkong harus
hati2 dan waspada, menghadapi setiap persoalan-"
"Kalau nona pergi, tolong pada mkan api lilin, lalu berikan obat
penawar pada mereka."..
"Jangan kuatir, aku bisa bekerja. tanpa meningga lkan be kas
apapun" sahut Un Hoan-kun. La lu dia berpesan kepada Siau Yan:
"Enduskan obat penawar kepada mereka, kita harus lekas pergi."
Siau Yan mengiakan, lalu berseru: "Ling-s iang-kong, ka mi pergi
ya"
"Sa mpai berte mu lagi." ujar Kun-gi di dala m karung. .
Siau Yan keluarkan obat penawar, dengan kuku jari dia selentik
sedikit bubuk kehidung orang2 itu.. Sementara Un Hoan-kun meniup
padam api lilin, cepat2 mereka berkelebat pergi dan menghilang.
Sampa i sekian la manya, kelima orang yang rebah di lantai sa ma
me mbuka mata. orang she Siang yang bertubuh sedang itu, segera
me lompat bangun, dia menyalakan api, dan menyulut lilin, ruang
sembahyang ke mba li terang.
"Sret" sementara laki2 she Phoa melolos pedang, setangkas kera
segera dia melompat ke atas wuwungan, tak kalah sebatnya orang
she Siang segera ikut me lompat keluar ke arah la in.
"Pe muda" Giokje, segera berpesan "Liau-hoa, Ping-hoa, lekas
kalian periksa apakah mulut karung pernah disentuh orang?"
Kedua orang itu mengiakan, bersama mereka mengha mpiri
karung serta me meriksa dengan teliti, la lu kata Liau-hoa: "Tida k
apa2, karung ini masih terikat kencang, tak pernah disinggung
orang."
"Aneh sekali, lalu kenapa tanpa sebab kita jatuh terpulas
bersama." ujar "Pe muda" Giok-je,
"Tadi angin bertiup kencang sehingpa lilin padam, aku hanya
merasa keadaan mendadak jadi gelap"
"mana pernah terpulas?"
"Me mangnya akupun tetap berada di sini, hanya sekejap api
padam dan Siang sucia segera menyalakan api." Sela Ping-hoa.
"Tida k mungkin- . . ." ujar Giok-je, sementara itu tampak orang
she Phoa dan she Siang telah melompat masuk.
"Ada yang aku te mukan, Phoa sucia?" tanya Giokje,
Orang she Phoa menggeleng, katanya: "Aku na ik ke wuwungan,
penduduk di sekitar sini tidak ada, sejauh beberapa li dapat kulihat,
tapi tidak ada bayangan orang." orang she Siang juga berkata:
"Bagian belakang juga tiada orang."
Ternyata mereka lalai akan buntalan ma kanan yang tertaruh di
lantai, paling tidak beberapa buah pangsit dan bakpau telah
dilangsir ke perut Ling Kun-gi. Mereka tiada menduga api yang
mendadak pada m dala m sekejap itu, siapa yang mampu mencuri
makanan mereka? Wa ktu makan tadi mere ka sedang ma kan minum,
hilang beberapa pangsit dan bakpao tentu dikira dima kan oleh
mereka sendiri.
Liau-hoa si kacung tiba2 bergidik, katanya jeri: "Giok- "cici"
mungkin di sini ada setan."
Merindang juga bulu kuduk Ping-hoa, katanya sambil celingukan:
"Ya, angin tadi terasa dingin se milir me mbuat a ku merinding"
Walau merasa curiga, tapi "Pe muda" Giok-je tak bisa berbuat
apa2, katanya: "Jangan membual, makanan sudah dingin, hayolah
dihabiskan bersa ma."
-ooo0dw0ooo-

Dari penuturan si mawar hita m Cu Jing mengetahui bahwa Ban


Jin-cun mungkin menga la mi bahaya di tengah jalan, entah kenapa
jantungnya jadi dag-dig-dug, sema la m suntuk dia gulak-gulik tak
bisa nyenyak. Untung dia menunggang kuda Giok-liong-ki, larinya
jauh lebih kencang daripada kuda biasa, walau Ban Jin-cun dan-
Kho Keh hoa sudah berangkat dulu setengah hari, tapi dia yakin,
masih bisa menyusul mereka, Baru saja hari terang tanah dia sudah
ber-siap2 terus berangkat keluar kota.
Cu Jing jarang keluar pintu, tapi jalan yang harus dite mpuhnya
ini sudah apal se kali baginya, sepanjang jalan dia bedal kudanya,
sampai tengah hari dia t iba di Tong-seng, sepanjang jalan ini tida k
dilihatnya bayangan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa, hatinya semakin
murung dan gelisah.
Tanpa masuk kota dia ma mpir di warung makan di pinggir jala n
dan makan sekenyangnya. Tak lama ke mudian dia sudah congklang
kudanya melanjutkan perjalanan-
Beberapa jam ke mudian dia tiba di Sha-cap-li-poh, dipinggir jalan
ada orang menjual minuman.
Pesat sekali Cu Jing me mbedal kudanya, tapi sekilas ia melihat di
dalam barak penjual minuman ta mpak bayangan Ban Jin-cun
bersama Kho Keh-hoa yang sedang minum sa mbil istirahat, keruan
hatinya girang, lekas dia hentikan kudanya terus melompat masuk.
serunya tertawa: Ban-heng, Kho-heng, kirauya kalian berada di sini,
beruntung aku bisa susul kalian"
Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa berdiri menyambut kedatangannya.
"Silakan duduk Cu-heng" kata Kho Keh-hoa.
Cu Jing duduk di sa mping mere ka, dia minta secangkir teh.
Mengawasi Cu Jing, Ban Jin-cun bertanya: "Cu-heng menyusul
ke mari, entah ada urusan apa?"
Merah muka Cu Jing, katanya: "Kalau tida k ada urusan buat apa
jauh2 aku me nyusul ke mari?"
Tanpa tunggu pertanyaan lagi, dia balas bertanya: "Kalian tidak
menga la mi sesuatu kesukaran da la m perjalanan?"
"Tida k." sahut Ban Jin-cun heran, "Cu-heng mengala mi kejadian
apa?"
"Jadi mereka be lum bergerak" Cu J ing menghela napas lega.
"Cu-heng mendengar berita apa?" tanya Kho Keh-hoa.
"Se mala m aku berte mu seorang anggota Pek-hoa-pang,"
demikian tutur cu-Jing, "dia bilang komplotan jahat Hek-liong-hwe
mungkin henda k me lakukan pencegatan terhadap kalian- . . "
"Pek-hoa-pang?, Hek-liong-hwe?" tanya Ban Jin-cun kepada Koh
Keh-hoa. "Belum pernah kudengar na ma ini, saudara Kho tahu?"
"Aku juga belum pernah dengar," sahut Kho Keh-hoa.
"Cu-heng, apa pula yang dikatakan?" tanya Ban Jin-cun.
Sementara pemilik warung seorang kake k tua menyuguhkan
secangkir teh, Setelah orang pergi baru Cu Jing menceritakan
pengalamannya se mala m.
"Hek-liong-hwe" ujar Ban Jin-cun, "kukira suatu sindikat gelap
dari Kangouw, me mangnya punya permusuhan apa mereka dengan
keluarga kita,? Kenapa ingin main bunuh?"
"Me mangnya kita hendak cari mereka, kebetulan biar mereka
rasakan kelihayan kita" kata Kho Keh hoa.
Cu Jing mengge leng, katanya: "orang2 itu jahat dan banyak
muslihatnya, bahwa aku susul ka lian ke sini karena kuatir kalian
tidak tahu apa2 dan dikerjai mere ka tanpa sadar"
"Terima kasih atas perhatian Cu-heng" kata Ban Jin-cun.
Panas muka Cu Jing, matanya memancarkan cahaya, katanya:
"Sesama saudara, kenapa sungkan?"
"Hayolah kita berangkat, "ajak Kho Keh-hoa.
Ban Jin-cun ke luarkan uang bayar rekening, bertiga lantas keluar
menuntun kuda. Tanya Ban Jin cun. "Ka lian tahu di mana letak
tempat tinggal Cu-ki-cu di -Pa k-sia m-san?"
"Kabarnya dia bersemaya m di cit-sing-wan (ngarai tujuh
bintang)," ujar Cu Jing, "cuma aku be lum pernah ke sana."
"Asal tempat itu ada namanya, tidak sulit mene mukannya," ujar
Ban Jin-cun.
Cu Jing menuntun kuda, Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa tidak
me mbawa tunggangan, ma ka Giok-liong-ki diumbar jalan sendiri.
Untung jarak Pak-sia m-san hanya ena m-tujuh li saja, dengan cepat
mereka sudah tiba dite mpat tujuan, yang tampak hanya gunung
gemunung, entah di ma na letak cit-sing-wan itu?. . .
Dika la mereka berjalan sa mbil Celingukan, dari jalan kecil di
la mping gunung sana ta mpak seorang penebang kayu sedang
mendatangi. Ban Jin-cun lantas menapak maju, katanya sambil
me mberi hormat: "Numpang tanya pada Toako ini, entah di mana
letak cit sing- wan?"
Sekilas penebang kayu menga mati mereka lalu, menuding ke
timur, katanya: "Dari sini ketimur kira2 lima li, di sana ada Mo-thian-
hong (bukit pencakar langit) disanalah letaknya cit-sing-wan." Lalu
dia pikul kayu dan pergi.
Melihat langkah orang yang ringan dan tangkas seperti orang
biasa berlari, diam2 tergerak hati Ban Jin-cun, katanya ragu2:
"langkahnya enteng dan cekatan, agaknya seorang persilatan-"
Begitulah mereka terus menuju ke timur, Giok-liong-ki terus
mengintil di bela kang Cu Jing Jarak lima li sebentar saja sudah
mereka te mpuh, me mang di depan me ngadang sebuah punca k
yang bertengger tinggi mene mbus awan, pepohonan yang tumbuh
lebat, sungai menga lir menge lilingi bukit, pe mandangan permai,
hawa sejuk. Mereka maju terus menyusuri sungai terus menanja k
ke atas, di lamping gunung mere ka mendapatkan sebuah gubuk
beratap alang2 kering terdiri dari t iga petak berjajar.
Ban Jin-cun berhenti, katanya: "Disini hanya ada gubuk ini,
mungkin itulah te mpat se mayam Cu-ki-cu."
Tiba di bawah bukit Cu Jing lantas tepuk kudanya dan berkata:
"Giok liong-ki, kau dia m disana saja, kalau ada orang
mengganggumu, cukup kau meringkik panjang seka li saja, tahu
tidak?"
Kuda ini sudah paha m kata2 orang, matanya berkedip2 seraya
bersuara pelahan serta manggut2.
"Baiklah, mari ke atas," ajak Cu Jing.
Tiba di depan gubuk mereka berhenti, Ban Jin-cun berteriak:
"Ada orang di dala m?"
"Siapakah di luar?" ada orang me nyahut di da la m gubuk.
"Ka mi bersaudara kemari mohon berte mu dengan Cu-ki-cu
Totiang," kata Ban Jin-cun.
Daun pintu yang terbuat dari ba mbu dibuka pelan2, muncullah
seorang kakek enam puluhan, pipinya ke mpot jenggot jarang2
menghiasi dagu, me makai jubah butut warna biru yang sudah luntur
warnanya. Sorot matanya jelilatan seperti mata tikus, dengan
seksama dia a mati mereka bertiga sebentar la lu bertanya: "Kalian
cari Cu-ki-cu ada keperluan apa?"
Mendengar nada orang, Ban Jin-cun tahu bahwa orang ini pasti
Cu-ki-cu sendiri. Se mula dia me mbayangkan Cu-ki-cu yang terkenal
di kalangan Kangow tentu seorang Tojin yang berpakaian bersih,
bersikap agung, seorang pertapa yang berwibawa dan welas asih.
Tapi kake k dihadanan mereka ini berkepa la botak berjenggot
jarang, mukanya tirus lagi, sekujur badannya tinggal kulit
pembungkus tulang, keruan hatinya merasa kecewa, tanyanya:
"Apakah Lotiang ini adalah Cu-ki-cu Totiang."
Sebelah tangan mengelus jenggotnya yang jarang2, kakek itu
tersenyum, katanya: "Losiu me mang Cu-ki-cu, silakan ka lian duduk
di dala m."
"Ternyata me mang Totiang adanya," ujur Ban Jin-cun me mberi
hormat. "cayhe bersaudara sudah lama kagum akan na ma besar
Totiang, kami sengaja ke mari mohon petunjuk." bera mai mere ka
lantas masuk ke dala m gubug.
Di dala m rumah hanya ada sebuah meja kayu, empat kursi rapuh
tanpa ada perabot lainnya lagi.
Setelah silakan tamunya duduk, Cu-ki-cu batuk2 kering, lalu
berkata dengan nada menyesal.
"Lohu orang gunung, sela ma hidup jarang kedatangan tamu,
gubugku yang reyot ini tidak sesuai untuk melayani tamu, harap
kalian duduk seadanya saja," sembari bicara dia sudah mendahului
duduk di kursi paling da la m.
Ban Jin-cun bertiga lantas duduk, katanya: "Kami bersaudara
sengaja mengganggu ketenangan Tot iang, mohon Totiang suka
me mberi penerangan kepada ka mi."
"Jadi ka lian minta Losiu mera mal?" tanya cu- ki-cu
"Totiang sudah la ma terkenal, luas pengalaman dan
pengetahuan, terhadap segala peristiwa dan seluk-beluk Kangeuw
amat apal, kami bertiga ke mari mohon petunjuk satu hal kepada
Totiang."
"Tentang apa?" tanya Cu-ki-cu.
Dari dala m kantongnya Ban Jin-cun keluarkan buntalan kain kecil
terus dibeberkan di atas meja, isinya adalah sebentuk senjata
rahasia bersegi delapan, dengan kedua tangan dia angsurkan benda
itu, katanya: "Totiang luas pengalaman, entah pernahkah melihat
senjata rahasia maca m ini?"
Begitu melihat bentuk senjata rahasia itu, tampak berubah air
muka Cu-ki-cu, dia terima bersa ma ka in buntalannya, dengan
seksama dia bolak-balik me meriksanya, katanya kemudian:
"Sungguh a mat menyesal, Losiu hanya tahu senjata rahasia ini
dibubuhi racun jahat. kadar racunnya keras sekali, bentuk senjata
rahasia seperti ini me mang belum pernah kulihat."- lalu dia bungkus
ke mbali serta dike mbalikannya kepada Ban Jin-cun.
Sudah tentu Ban Jin-cun me lihat perubahan air muka orang
waktu melihat senjata rahasianya tadi, jelas orang sengaja tak mau
bicara terus terang, maka dia bertanya lebih lanjut: "Apakah Totiang
pernah dengar di kalangan Kangouw ada suatu perkumpulan gelap
yang bernama Hek-liong-hwe?"
Cu-ki-cu tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Sudah 20
tahun Losiu mengasingkan diri di sini, jadi sudah la ma terasing dari
percaturan Kangouw, tapi Losiu dapat me mberitahu, 20 tahun yang
lalu t iada Hek-liong-hwe dikalangan Kangouw."
Ban Jin-cun menoleh kepada Kho Keh-hoa, sorot matanya
seakan2 menyatakan sia2 kedatangannya ini, mereka bertiga sama
kecewa.
Seperti dapat meraba isi hati mereka, Cu-ki-cu tertawa sambil
me megang jenggotnya, katanya.- "Lo-siuorang gunung, sejak lama
lepas dari percaturan Kangouw, tentunya mengecewakan kalian
bertiga, tapi Losiu bisa mera mal, biarlah ka lian kura mal saja,
mungkin dari ra ma lanku dapat kulihat gejaia2 yang dapat
kuberitahukan, entah bagaimana pendapat kalian."
Bahwa Cu-ki-cu pandai mera mal me mang sudah terkenal di
Kangouw, kini dia bilang mau mera mal mereka, sudah tentu sangat
kebetulan. "Harap Totiang suka me mberi petunjuk dan petuah,"
kata Ban Jin- cun.
Pelan2 Cu-ki-cu berdiri, katanya: "Kalian ikut Losiu." Lalu dia
putar masuk ka mar di sebelahnya.
Ban Jin-cun, Kho Keh-hoa dan Cu J ing mengikuti di be lakangnya.
Itulah sebuah ka mar yang dipisah jadi dua, bagian depan adalah
kamar prakteknya, tepat di tengah dinding bergantung sebuah
gambar Pat-kwa, ada sebuah meja, di mana ada sebuah hlolo,
bumbung ba mbu berisi batang2 bambu kecil bertulisan serta enam
keping uang te mbaga, segelas air putih, ada bak. pensil dan kertas,
sebuah kursi mepet dinding, jadi tempat luangnya hanya cukup
untuk tiga orang berdiri saja. Bagian belakang kamar tertutup kain
gordyn, agaknya kamar tidurnya.
Dengan gerakan tangan Cu-ki-cu suruh mereka berdiri jajar di
depan meja, lalu dengan gayanya tersendiri dia duduk di kursi.
Terlebih dulu dia menyalakan api menyulut tiga batang dupa wangi,
entah apa yang diucapkan, mulutnya berkomat-ka mit, la lu satu
persatu dia tancapkan dupa itu di atas hlolo, wajahnya tampak
serius dan khidmat, katanya kepada mereka bertiga: "Soal apa yang
ingin kalian tanyakan, boleh kalian berdoa menghadap gambar Pat
kwa di bela kangku ini, tapi tidak boleh bersuara."
Mereka menurut dan menghadap gambar Pat-kwa dengan sedikit
mendonga k, mata mengawasi ga mbar Pat-kwa serta berdoa di
dalam hati. Se mentara Cu-ki-cu jemput keenam keping mata uang
tembaga terus dimasukkan ke bumbung ba mbu yang lain, pe lan2
dia menggoncang bumbung itu sehingga menge luarkan suara
berisik, la lu satu persatu dia keluarkan mata uang te mbaga itu dan
dijajar di atas meja, dengan melotot dia awasi keenam mata uang.
Sesaat kemudian baru dia angkat kepala mengawasi mere ka
bertiga, sikapnya kelihatan aneh, katanya: "Sekarang kalian satu
persatu sebutkan nama masing2."
"cayhe Ban Jin cun" Ban Jin-cun mendahului bersuara. sorot
mata Cu-ki-cu menatap Kho Keh-boa. "cayhe Kho Keh-hoa."
Sorot mata Cu-ki-cu lantas beralih ke arah arah Cu Jing. "cayhe
bema ma Cu Jing."
Pada saat itulah mendadak dari bawah gunung terdengar suara
ringkik Giok-Liong-ki yang panjang dan ketakutan- Cu-ki-cu
mendadak mendelik, terbayang senyuman sadis pada mukanya,
sekali raih dia ambil bumbung ba mbu terus digabrukan keras- keras
di atas meja seraya tertawa: ."Kalian tidak segera roboh, tunggu
apa lagi?" Belum habis dia berkata, Ban Jin-cun, Kho Keh-hoa dan
Cu Jing mendadak merasakan kepala pusing dan pandangan
menjadi gelap. kedua lutut le mas lunglai, tanpa berjanji mere ka
sama jatuh terkapar.
Ooood woooo

Ling Kun-gi meringkuk di dala m karung dan sema la m telah


berlalu.
Fajar baru menyingsing, Giok-ji segera perintahkan Liau-hoa dan
Ping hoa angkut karung besar itu ke atas kuda, tanpa membuang
waktu mereka berangkat, setelah keluar kota langsung menuju ke
sungai.
Kota An-khing terletak di utara tiang-kang, merupakan kota yang
penting di darat dan di a ir maka suasana di sini a mat ra mai. Giok-ji
berlima tidak hiraukan kera maian sekitarnya, mereka langsung
mengha mpiri sebuah perahu besar, seorang yang berpakaian kelasi
segera me mapak, katanya sambil menjura: "Ha mba menya mbut
kedatangan Hoa- kongcu "Pe muda " Giok-ji bertanya: " Kau inikah,
Kiang-lotoa?"
Sikap tukang perahu sangat hormat, sahutnya: "Ya, ya, hamba
adalah Kiang- lotoa. Perahu berada di depan sana, silakan turut
hamba."
Mereka menuju ke barat, kira2 lima puluhan meter, betul juga di
mana ada sebuah perahu besar dan t inggi.
Mereka turun punggung kuda, seorang me masang sebuah papan
besar, empat laki2 berpakaian ketat lantas keluar me mberi hormat
kepada Giok-je, kata salah seorang: "Ka mi mendapat perintah
menya mbut kedatangan Kongcu"
"Bikin repot ka lian saja," kata Giok-je, lalu ia berpaling kepada
Ping-hoa berdua: "Naikkan dulu karung itu ke atas perahu."
Kedua Hoa-hoat-su-cia segera menjura, katanya: "Semoga
Kongcu sela mat sampai di te mpat tujuan, kami berdua tidak
menghantar lebih lanjut." mereka ce mpla k kuda terus pergi.
Giok-ji bertiga naik ke atas perahu baru keempat laki2
berpakaian ketat ikut melompat naik, terakhir adalah Kiang- lotoa,
segera dia perintahkan pe mbantunya pasang layar dan melajukan
perahu ke tengah sunga i.
Daripada meringkuk di dala m karung, kini Ling Kun-gi bisa tidur
nyaman di atas kasur, ternyata setiba di atas perahu Giok-ji suruh
Ping-hoa berdua ke luarkan Ling Kun-gi serta ditidurkan di
pembaringan- Dia ke luarkan sebutir pil dan dimasukkan ke cangkir
berisi teh terus dicekokkan pada Ling Kun-gi, katanya: "Kira2
setengah jam lagi baru dia akan siuman, kalian ikut aku keluar."
pelan2 pintu ka mar lantas ditutup dari luar.
Sudah tentu Kun-gi mendengar percakapan mere ka. Setelah
mereka keluar segera dia membuka mata, ternyata dirinya
berbaring di dala m ka mar yang bersih dan sederhana, dinding
dile mbari ka in kuning, lantai papan tampak mengkilap. Kecuali dipan
dimana dia rebah, di bawah jendela sana terdapat sebuah meja
kecil persegi dan sebuah kursi. Kalau perahu ini tidak bergoyang
turun naik serta mendengar suara percikan air, orang tidak akan
mengira bahwa ka mar ini berada di dala m perahu.
Dia m2 Ling Kun-gi me mbatin: "Entah perkumpulan maca m apa
Pek-hoa-pang mereka?"
Satu hal sudah meyakinkan dia bahwa anggota Pek-hoa-pang
semua terdiri dari kaum wanita, ma lah setiap orang me makai na ma
ke mbang. inilah perjalanan serba romantis, tamasya yang aneh dan
menyenangkan-
Dari Coat Sin-san-ceng dirinya diselundup ke-luar, entah apa
tujuannya? Ke mana pula dirinya akan dibawa? Bahwa dirinya
dibawa naik perahu, me mangnya markas mereka berada di
sepanjang pesisir sungai besar ini?
Langkah pelahan me ndatang dari luar, le kas Kun-gi peja mkan
mata, waktu pintu terbuka, yang masuk hanya seorang, Kun-gi
me mbatin: "Agak-nya mereka sudah ganti pakaian perempuan- "
Setelah orang itu maju ke dekat pe mbaringan sengaja Kun-gi
mengge liat, lalu berbangkit. Pelan2 dia me mbuka mata. Pandangan
pertama hinggap pada tubuh sema mpa i menggiurkan seorang gadis
nelayan berpakaian warna hijau. Usianya enam- belasan, berwajah
bulat telur, bola matanya bundar besar dan hitam bening, pipinya
bersemu merah, sikapaya malu2. Wajahnya memang tida k begitu
cantik, na mun cukup menggiurkan hati setiap laki2:
"Cu-cengcu sudah bangun," sapa pelayan baju hijau.
Sudah tentu Kun-gi tahu gadis inilah yang bernama Liau-hoa, tapi
dia sengaja bersuara heran, katanya: "Siapa kau? Mana Ing-jun?"
ing-jun ada lah pelayan yang melayani segala keperluannya di coat-
sin-san-ceng.
"Ha mba adalah Liau-hoa," pelayan itu menekuk lutut me mberi
hormat.
"Te mpat apakah ini?" tanya Kun-gi sa mbil me nyapu pandang ke
sekitarnya. "Rasanya seperti di atas kapal?"
Liau-hoa menyilakan sa mbil menunduk. Kun-gi ta mpa k kurang
senang, katanya mendengus: "Apa yang terjadi? Kalian mau bawa
Lohu ke mana lagi?"
"Ha mba tida k tahu," sahut Liau-hoa takut2.
Kun-gi tahu orang sengaja bohong, tapi melihat sikap nona itu
jeri dan ma lu2, tak enak dia bertanya lebih lanjut.
Mengawasi Kun-gi, Liau-hoa bertanya dengan suara lembut:
"Apakah Cu-cengcu mau sarapan pagi?"
"Lohu belum lapar."
"Baiklah ha mba a mbilkan air teh saja," bergegas dia hendak
mengundurkan diri, jelas hendak me mberi laporan kepada Giok-je,
"Tak usahlah Lohu t idak haus. Ada persoalan yang ingin
kutanyakan, apakah di atas kapal ini ada orang yang berkuasa?"
"Harap cengcu tunggu sebentar, hamba akan panggil Giok je cici
ke mari."
"Giok-je, kan pelayan pribadi Hian-ih-lo-sat itu? Apa
kedudukannya tinggi?" sengaja Kun-gi bertanya, secara tidak
langsung dia ingin tahu betapa tinggi kedudukannya Giok-je didala m
Pek-hoa-pang.
Liau- hoa manggut2 sa mbil mengiakan terus melangkah pergi
dengan buru2.
Tak la ma ke mudian, tampak dengan langkah le mbut gemulai
Giok je menyingkap kerai dan masuk ke kamar, katanya sambil
me mberi hormat kepada Kun-gi: "Cu-cengcu me manggil ha mba,
entah ada urusan apa?" Perawakannya me mang yahut, setelah
ganti pakaian perempuan ke lihatan lebih menarik setiap laki2 yang
me mandangnya.
"Ada satu hal ingin Lohu minta keterangan nona," kata Kun-gi.
"Terlalu berat ucapan cengcu, entah soal apa yang hendak
ditanyakan?"
"Lohu ingin tahu ke mana diriku hendak di- bawa?"
"Soal ini ........."
"Nona tida k mau menjelaskan?"
Giok-je tertawa manis, katanya: "Lebih baik Cu-cengcu ajukan
persoalan lain saja, asal ha mba bisa menjawab tentu kuterangkan-"
"Pintar dan licik juga gadis ini," de mikian ba-tin Kun-gi, katanya:
"Baiklah, Lohu ingin tanya, nonakan anak buah kepercayaan coh-
siancu, tentu kau tahu seluk-beluk Coat Sin-san-ceng, entah
bagaimana asal-usulnya?"
"0, mereka ........."
"Apakah nona tidak mau menerangkan? Baiklah persoalan ini tak
usah dibicarakan-"
Giok-je me liriknya sekali, katanya kemudian dengan sikap apa
boleh buat:- "Mereka adalah orang2 He k liong- pang."
"Hek-Liong-pang? Be lum pernah kudengar na ma ini?"
"Jejak mereka serba tersembunyi, umpa ma berkecimpung di
Kangouw juga belum tentu diketahui orang, sudah tentu Cu-cengcu
belum pernah mendengarnya."
"Apa kedudukan Cek Seng jiang di Hek-Liong-pang?"
"Mereka hanya me manggilnya cengcu, apa kedudukannya hamba
tidak tahu."
"Lalu, coh-siancu?"
"Ha mba tahu dia adalah salah satu dari Su-toa-thian-su (e mpat
besar rasul langit), tugasnya mengawasi daerah selatan"
"Apakah tujuan mereka menculik Lok-san Taysu bertiga hanya
lantaran getah beracun itu?"
"seharusnya demikian-"
"Nona bukan orang Hek-Liong-hwe?"
"Darimana Cu-cengcu tahu ha mba bukan orang dari Hwe itu?"
"Kalau kau orang mereka, tak mungkin me mbongkar rahasia
mereka."
Giok-je tertawa, ujarnya: "Cu-cengcu me mang a mat cermat."
Sampa i di sini pe mbicaraan mereka, tiba2 Liau-hoa muncul di
pintu, katanya: "Giok-je cici, harap ke luar sebentar"
Giok-je melangkah keluar, tanyanya: "Ada apa?" di ambang pintu
dia me mba lik dan berkata: "Cu-cengcu, hamba mohon diri
sebentar."
Mendadak dia angkat jari terus menjentik, dari balik lengan
bajunya menyamber keluar sejalur angin kencang meluncur ke Hiat-
to Ling Kun-gi. Gerakannya aneh dan cepat, di luar dugaan lagi,
Kun-gi pura2 tidak tahu, dia duduk di kursi tanpa bergerak, hatinya
dia m2 kaget, batinnya: "Tak nyana gadis semuda ini me miliki
kepandaian begini tinggi, aku me mandang rendah dirinya."
Maklumlah Kun-gi sendiri meyakinkan hawa murni pelindung
badan, asal pikiran bergerak dan hati ada niat, hawa murni dala m
tubuhnya akan timbul daya perlawanan, walau cepat jentikan
Gioknje, tak mungkin bisa menutuknya pingsan-
Melihat Kun gi duduk me matung dan tida k bergerak. segera
Giok-je menyelinap keluar, tanyanya: "Ada apa sih?"
"Kiang lotoa melihat di belakang perahu kita ada dua kapal besar
menguntit dari kejauhan-"
"Mungkin orang2 Hek liong-hwe?" kata Giok-je,
"Cu-cengcu . . . . "
"Tida k apa2, aku telah menutuk Hiat-tonya."
Lalu mereka keluar dan naik keatas dek, entah apa pula yang
mereka bicarakan-
Kun-gi tersenyum, pelan2 dia mendekati jende la, dengan ujung
jarinya dia me mbuat lubang kecil pada kertas jendela, lalu
mengintip keluar, air sunga i luas menyentuh langit di kejauhan, tak
kelihatan bayangan apa2, agaknya kedua kapal yang dicurigai masih
menguntit dari jarak yang jauh sekali.
Pada saat itulah tiba2 didengarnya suara gaduh air bergolak dari
buritan, kejap lain mendadak sebuah sa mpan yang laju cepat tahu2
muncul kira2 tiga tomba k di sebelah belakang.
Dia m2 Kun gi me mbatin: " Apaknya kedua piha k akan bentrok."
Ter-sipu2 Giok-je menuju ke belakang. Sikap Ping-hoa tampak
tegang, serunya: "Giok-je cici, lekas ke mari, kedua sa mpan itu
sudah makin dekat."
"Jangan kita perlihatkan diri, belum waktunya biar mereka yang
menghadapi," kata Giok-je, mereka yang dia maksud ada lah
keempat laki2 berpakaian ungu itu.
Sembari bicara mere ka mene mpelkan muka ke jende la yang
teraling kain, tampa k ke dua sa mpan itu sedang melaju me mecah
gelombang ke arah sini, jaraknya tetap bertahan puluhan tombak.
Tak la ma ke mudian kedua sa mpan itu tiba2 berpencar ke kanan-kiri
terus berlaju lebih cepat mendahului ke depan-
"Keparat, jelas mereka sengaja hendak cari perkara pada kita"
kata Giok-je,
Terdengar suara Kiang- lotoa berkata di luar: "Nona, kedua
sampan ini menunjuk tanda2 sengaja menunggu kita."
"Kiang- lotoa," seru Giokrje, "Kau sudah lihat betul, siapakah
orang di atas sa mpan?"
"Mereka berada di dala m barak perahu, ke-cuali dua orang yang
pegang dayung, hamba tidak me lihat orang yang lain-"
"mereka sengaja mau cari perkara, nanti juga pasti unjuk diri."
"Ya, hamba mohon petunjuk nona."
"Jangan hiraukan dulu, lajukan perahumu seperti biasa."
Kiang-lotoa mengiakan, baru saja dia henda k mengundur diri.
"Kiang- lotoa," tiba2 Giok-je me manggilnya pula.
Lekas Kiang-lotoa berhenti dan menyahut hormat: "Nona masih
ada pesan apa?"
"Di An-khing kau sudah tinggal beberapa tahun, situasi di
perairan sini tentu apal, belakangan ini ada kah orang2 Hek-Liong-
hwe yang muncul diperairan?"
"Terus terang nona, belum pernah hamba mendengar nama Hek-
liong-hwe, terutama di perairan sini se la manya tenang2 saja tak
pernah terjadi seperti hari ini."
"Jadi, mereka me mang betul2 mau cari perkara pada kita,"
dengus Giok je, "kau boleh pergi urus tugasmu. o, ya, kau harus
tetap berdiam di An-khing, kalau t idak terpaksa jangan kau
bocorkan asal usul dirimu, nanti kalau kedua piha k bentrok, kau
bersama2 kawanmu tidak usah turut campur, kalian menyingkir
saja, anggaplah perahumu ini kita sewa." Kiang- lotoa mengia kan
dan mengundurkan diri.
Baru saja Giok-je ke mba li ke kursinya, terdengar Ping-hoa
berkata: "Giokje cici, di bela kang kita muncul pula dua sa mpan-"
"Bagaimana kedua sa mpan yang laju ke depan tadi?"
"Kok tidak ke lihatan-"
"Mereka kerahkan e mpat sampan, agaknya hendak turun tangan
di air" ujar Giok-je,
Belum habis dia bicara Liau-hoa sudah berteriak pula, "Giok-je
cici, itu dia dua sa mpan yang lewat tadi kini putar ba lik pula."
Giok je menuju kejende la sebelah kiri serta melongok keluar,
waktu itu hawa sejuk dan angin menghe mbus sepoi2, tiada
gelombang tiada badai, air tenang2 saja, sementara kedua sa mpan
di bela kang sudah sema kin dekat.
Giok-je merogoh sebuah kaca tembaga dari dala m bajunya,
badan sedikit miring terus me mandang haluan perahu yang mereka
naiki ini, empat sampan jadi dala m posisi mengepung, setelah jarak
semakin de kat laju sa mpanpun diperla mbat.
Tiba2 pada sa mpan sebelah kiri sana menyelinap ke luar seorang
laki2 jubah hita m panjang, mukanya kelabu kaku, berdiri di depan
sampan dan me mbentak: "Hai, tukang perahu, me mangnya matamu
buta, hayo hentikan perahumu"
Pada waktu yang sama muncul pula dua orang di sampan
sebelah kanan, muka mereka kuning seperti ma la m, keduanya
me mbe kal pedang panjang. Agaknya mereka betul2 hendak turun
tangan-
Sesuai petunjuk Giok-je, lekas Kiang-lotoa perla mbat laju perahu
lalu me nghentikannya di tengah2 sunga i.
Arus sungai cukup deras sehingga perahu besar mereka terseret
miring, Kiang-lotoa bersama beberapa kelasi dengan gugup sibuk
bekerja, sedapat mungkin mereka kenda likan perahu supaya tidak
oleng.
Sementara seorang laki2 setengah baya muncul di depan perahu,
dengan mendelik dia pandang orang2 di atas sampan,jengeknya
dingin: "Siang hari bolong, kalian mencegat perahu, me mangnya
mau apa?"- Di belakang laki2 setengah baya berbaju abu2 ini
mengintil dua laki2 kekar bergolok berpa kaian ketat.
Dingin sorot mata si muka kuning kaku di atas sa mpan sana
sekilas dia lirik laki2 setengah baya baju kelabu, tanyanya: "Tuan ini
siapa?"
Laki2 setengah baya baju kelabu berkata dengan kereng: "cayhe
Liok Kian-la m dari Ban-ceng-piaukiok di La m-jiang." La lu dia
menarik muka dan balas bertanya: "cayhe sudah sebutkan na ma,
saudara harus perkenalkan diri? Apa tujuan kalian mencegat perahu
di tengah sunga i?"
"Tiga budak yang melarikan diri rupanya menyewa pengawal?
Ketahuilah, ka mi sedang menguber buda k2 yang lari itu."
Liok Kian la m menjengek. katanya, "Saudara salah ala mat, ka mi
sedang mengantar Hoa-kongcu dari La m-jiang, orang Kangouw
menguta makan kebenaran, untuk itu harap kalian me mberi muka
kepada ka mi."
Berkedip2 mata si muka kuning, ia menyeringai dan berkata:
"Tuan besarmu sela manya belum pernah dengar di La m-jiang ada
Ban-seng-piaukiok segala, hayolah, periksa perahu ini" Kedua laki2
baju hita m di sa mpan sebelah kiri mengiakan, sampan mere ka
mendadak menerjang maju, kedua laki2 itu terus melompat keatas
perahu sini.
Mendelik mata Liok Kian-la m, bentaknya: "Saudara tidak patuh
aturan Kangouw, jangan salahkan kalau kami tida k kenal kasihan-"
Sembari bicara dia me mberi tanda kepada kedua laki2 di
belakangnya.
Sejak tadi kedua laki2 ini me mang sudah pegang golok. sigap
sekali mereka berkelebat maju me mapak kedua laki2 muka kuning
yang menubruk tiba, maka terjadi perte mpuran sengit dihaluan
perahu.
Si muka ke labu tergelak2, serunya: "Agak-nya sebelum melihat
peti mati saudara Liok ini tidak a kan mengucurkan air mata, biarlah
Tin-toaya sempurnakan kau." sekali menutul, dia keluarkan gaya It-
ho-coan-thian, tubuhnya mela mbung tinggi terus menukik turun ke
arah Liok Kian-la m, kelima jarinya terpentang dengan jurus Hwe-
ing-kik-tho (burung elang menerka m kelincil) terus mencengkra m
batok kepala lawan-
Melihat serangan orang agak aneh dan lihay, Liok Kian-la m tidak
berani pandang rendah mu-suh, ka ki geser mundur setengah tindak.
sementara tangan kiri me mutar terus menutuk perge langan tangan
si muka ke labu.
”Jeng-bun ci (jari mene mbus awan)," seru si muka kelabu
tertawa aneh, "kiranya saudara murid Hoa -san-pay." Mendadak ia
mendesak maju, tangan kiri me nggunakan jurus lay-san-im-ciang
menebas lurus kedepan, cara turun tangan orang ini rada aneh,
gerakannya me mbawa deru angin kencang lagi sehingga Liok kian-
la m kena didesak mundur selangkah.
Tapi Liok Kian-la m juga bukan lawan enteng, setelah dia
menyingkir dari tebasan telapak tangan si muka ke labu, cepat iapun
menge luarkan pedang, "sret", tahu2 pedangnya me mbabat miring
dari samping bawah.Jurus ini merupakan gerakan kombinasi di
samping meluputkan serangan musuh sekaligus balas menyerang
gerakannyapun cepat leksana kilat.
Si muka, kelabu yang merangsak dengan bernafsu tidak
menduga sa ma sekali, ha mpir saja dia kecundang, dala m
kesibukannya, lekas ia tekuk kedua ka ki me lompat mundur, untung
dia terhindar dari babatan pedang Liok Kian la m.
Berhasil mendesak lawan, sudah tentu Liok Kian-la m tidak
me mberi peluang lagi, sembari menghardik iapun me lompat tinggi,
pedangnya menge mbangkan jurus Hoat-bun-kay-loh (menyiba k
awan me mbuka jalan) ia mencecar musuh lebih sengit.
Dika la tubuh me la mbung mundur itulah, si muka kelabu juga
telah mengeluarkan pedang, ia segera menangkis, "trang", kedua
pedang beradu, keduanya sama terpental dan meluncur turun di
atas geladak.
Begitu kaki menginjak lantai perahu si muka kelabu
perdengarkan tertawa gusar, pedang panjangnya berwarna hitam
legam terus merangsak pula dengan beringas.
Liok Kian-la m me mang murid Hoa-san-pay, Hoa-san-kia m-hoat
yang dia ma inkan me mang lincah dan tangkas sekali, maju mundur
sangat cepat, setiap jurus permainannya matang dan mantap. Ke-
dua orang sama melancarkan ilmu pedangnya, sinar perak laksana
ular sakti berkelebat naik turun dan saling gubat dengan bayangan
hitam yang menga muk seperti naga mengaduk air, pertempuran
semakin me muncak dan seru.
Sementara itu, kedua sampan di belakang sudah mendekati
perahu, di atas sampan masing2 berdiri seorang berjubah hijau,
mukanya lonjong kurus, kulitnya kuning semu hijau, tampangnya
kelihatan kejam, seorang lagi berwajah agak ta mpa m, itulah
seorang pemuda berjubah biru yang bersikap angkuh, pedang
tergantung di pinggangnya, bajunya mela mbai dit iup angin,
kelihatan gagah dan berwibawa sekali.
Kedua orang ini lebih mirip majikan dan kacung, jarak sa mpan
mereka masih dua tomba k lebih dari perahu besar, tiba2 si kurus
jubah hijau me mbentang kedua lengan, tahu2 tubuhnya melejit ke
atas dan bersalto sekali di tengah ualara terus meluncur ke arah
perahu. Gerakan ini sangat tangkas, sedikit kakinya menutul di
pinggir perahu, tubuhnya terus berkelebat ke depan menembus
sinar pedang yang silau dan langsung, me luncur ke da la m perahu.
Pada saat itulah seorang laki2 yang berdiri di luar pintu
menghardik sekali terus mengadang, di mana pedangnya bergetar,
kontan ia menusuk dua Hiat-to si jubah hijau.
Tapi sijubah hijau tak berke lit juga tak menangkis, tangan malah
dia angkat terus menyentak ke pedang lawan- Sudah tentu gerakan
ini di luar dugaan la ki2 berpaka ian ketat yang berjaga di depan
pintu, betapa tajam pedangnya ini, tapi orang ini berani me lawan
pedangnya dengan tangan telanjang? Sekilas me lengak. tahu2
didengarnya suara keras beradu, pedang panjangnya telah kena
dijepitjari lawan-
Ternyata lengan kiri sijubah hijau kelihatan berwarna hijau ke-
coklat2an, kelima jarinya runcing kaku seperti baja, jelas itulah jari2
yang terbuat dari besi. Jadi lengan kirinya itu adalah tangan palsu
yang terbuat dari besi, dari warnanya yang mengkilap itu, jelas jari2
besi itu telah dilumuri racun jahat.
Kejadian begitu cepat laksana percikan api, begitu tangan
besinya berhasil menjepit pedang panjang lawan, tangan kanan
sijubah merah lantas menghanta m ke muka lawan pula.
Sebenarnya kepandaian laki2 berpakaian ketat itu tidak rendah,
tapi lantaran pedang dijepit lawan, sedetik dan melengak. tahu2
pundak kiri sudah kena dita mpar oleh angin pukulan lawan, walau
dia bisa bergerak cepat sehingga tubuhnya tidak terpukul telak, tapi
samberan angin pukulan yang mengenai tubuhnya juga tidak
ringan.
Terasa tulang pundak kirinya sakit luar biasa, hampir saja ia
jatuh kelengar, tatkala tubuhnya terlempar hampirjatuh, sigap sekali
kakinya me layang menendang ke ulu hati sijubah hijau.
Sijubah hijau menjengek: "Tong- long- cui, ternyata kau murid
Tong- long- bun. " Jari besi tangan kirinya segera mencengkera m ke
tungkak kaki orang.
Setelah pundak kiri teriuka, sudah tentu gerak-gerik laki2 baju
ketat ini menjadi kurang tangkas, tapi mengingat mati-hidup jiwa
sendiri terletak pada gerak tendangan kakinya ini, maka dengan
nekat dia meyerempet bahaya dan melancarkan serangan,
harapannya cukup bertahan untuk sementara waktu lagi.
Sekali berhasil sijubah hijau kerjakan kedua tangannya dengan
kencang, beruntun tangan kanan menggempur dengan gencar,
sehingga la ki2 baju ketat didesaknya mundur keripuhan-
Sementara itu perte mpuran sengit di haluan perahu di depan
sana semakin sengit, senjata terus berdenting keras, mendadak
terdengar suara "byuur", salah satu dari laki2 baju ketat warna
kelabu yang melawan kedua musuh baju hita m tercebur ke air
dengan luka parah. Sementara seorang lagi juga sudah terluka, tapi
dia bertahan mati2an dengan nekat.
Melihat anak buahnya bukan tandingan lawan2nya dan tahu
gelagat jelek. sema kin berkobar a marah Liok Kian-la m, kedua
matanya mendelik dan me mbara seperti terbakar, pedang berputar
laksana tabir cahaya, sekuat tenaga dia mengge mpur musuh.
Sayang musuh yang satu ini berkepandaian tinggi, meski sudah
seratus jurus ke mudian dia tetap tak ma mpu merobohkan lawan-
Setelah musuhnya jatuh ke air, salah seorang baju hitam menjadi
tiada lawan lagi, maka sa mbil menenteng pedang segera dia
me lurukpada musuh yang sedang di cecar kawannya. Memangnya
sudah terdesak di bawah angin, kini digencet lagi dari depan dan
belakang, sudah tentu dia bukan tandingan kedua musuhnya, hanya
beberapa gebrak saja, dia kena terbabat oleh lawan di depan,
lengan kanannya terbacok putus. Laki2 baju ketat warna ke labu
menjerit ngeri, saking kesakitan dia jatuh se maput, serempa k
musuh di be lakangnya ayun kaki menendangnya tertempar jatuh
keair juga.
Liok Kian-la m jadi beringas, bentaknya: "Biar aku adu jiwa
dengan kalian- Tiba2 dia gentak pedang menaburkan tabir ke milau,
ia bertekad gugur dan menyerang dengan gencar, yang dicecar
adalah Hiat-to me matikan ditubuh si muka kelabu.
Rangsakan gencar ini dilakukan tanpa mengingat kesela matan
jiwa sendiri, sudah tentu sijubah hijau tida k mau diajak gugur
bersama, dia berkelit mundur berulang2. Liok Kian-la m me mperoleh
peluang untuk mencecar lebih sengit, serangannya semakin ganas
hingga si muka kelabu juga kerepotan-
Sementara itu, pemuda jubah biru yang sejak tadi hanya
menonton di atas sampannya tiba2 melompat ke atas perahu, gerak
tubuhnya sungguh amat aneh dan cepat sekali, hanya sekali
berkelebat bayangan biru, tahu2 dia sudah berada di tepi perahu,
dari kejauhan jarinya menuding, sekali tutuk dia me mbikin Liok
Kian- la m lumpuh tak berdaya.
Tatkala melancarkan serangan gencar, tiba2 Liok Kian- la m
merasakan pinggang kese mutan, badan lantas tersungkur ke depan,
pedangnya menusuk tembus ke dala m papan geladak yang tebal
itu.
Lekas si muka kelabu ra mpas senjata lawan, memberi hormat
kepada pemuda jubah biru, kata-nya: "Terima kasih atas bantuan
Kongcu."
"Tin-sincu tida k usah sungkan," kata pemuda jubah biru.
Ternyata si muka kelabu adalah Thian-kau-s ing, si bintang anjing
langit.
Thian-kau-sing me langkah ma ju, sekali cengkera m dia jinjing
tubuh Liok Kian- la m, sementara tangan lain menekan punggung
orang, katanya kepada si jubah hijau. "Hou-heng, harap berhenti."
lalu dia me mbentak la ki2 baju ke labu "Kawan ini supaya dengarkan,
Liok-piauthau ka lian sudah berada di tangan orang she Tin, ka lau
kau tidak ingin dia ma mpus, lekas minggir dan buang senjata."
Sijubah biru segera tarik tangan seraya melompat mundur, lalu
berdiri di be lakang pe muda jubah biru.
Laki baju ke labu me mang sudah terluka, ter-desak di bawah
angin lagi, melihat Liok Kian la m tertawan musuh, e mpat orang
kawannya hanya tinggal dirinya seorang, jelas lebih2 bukan
tandingan musuh, terpaksa dia melompat mundur sambil
me lintangkan pedang, katanya setelah menarik napas panjang:
"Kalian sebetulnya orang dari golongan mana? Sela ma ma lang
me lintang di utara dan selatan belum pernah pihak Ban-seng
piaukiok berbuat sa lah kepada kawan2 Kangouw . . . . "
Sebelum orang habis bicara Thian-kau-sing segera menukas,
"Saudara tak usah banyak omong, tadi sudah kujelaskan kepada
Llok-piauthau, tujuan ka mi adalah budak2 yang melarikan diri itu,
tiada sangkut pautnya dengan piaukiok kalian, sekarang ada Dian-
kongcu ka mi di sini, lekas suruh orang2-mu ke luar, biar kami
geledah perahu ini."
Pada saat itulah terdengar suara merdu nyaring menanggapi:
"Aku ada di sini, kalian main cegat, melukai para Piausu,
perbuatanmu mirip penjahat, memangnya apa maksudmu?" Dari
dalam perahu me langkah keluar seorang pe muda sekolahan
berjubah hijau dengan kepa la dibungkus kain. Di belakangnya
kanan kiri mengint il kacungnya dengan langkah ringan dan mantap
mereka beranjak ke depan, Ketiga orang ini terang adalah Giok-je
bersama Ping-hoa dan Liau-hoa.
Laki2 baju kelabu segera mengha mpiri, katanya dengan nada
penuh sesale "cayhe berama l bukan tandingan mereka, tak ma mpu
bertanggung jawab sebagai pelindung, sehingga Kongcu dibuat
kaget "
Dengan tak acuh Giok je menukas: "Bukan sa lah ka lian."
Dingin dan tajam sorot mata pemuda jubah biru menatap Giok je
bertiga seperti ingin mencari apa2, tanyanya: "Kalian dari mana dan
mau ke mana?"
Giok-je mendengus seperti sengaja mere mehkan mereka,
katanya: "Apakah aku harus menjawab?"
"Apa yang kutanyakan, mau atau tida k hartus kau
menjawabnya," dengus pe muda jubah biru.
Seperti apa boleh buat Giok-je berpikir sebentar, lalu berkata:
"Baiklah, cayhe Hoa Siang- yong dari An-khing, mau pergi ke La m-
Siang."
Waktu orang bicara, pemuda jubah bieu sedikit miringkan muka
me mberi isyarat kepada sijubah biru yang berdiri di sa mpingnya.
Tanpa bersuara sijubah biru tiba2 mengayun tangan kanan, tampak
dua titik sinar cokelat me lesat terbang terpencar ke arah Liau -hoa
dan Ping-hoa.
Sejak keluar Liau-hoa dan Ping-hoa sudah bersiaga, dia m2
merekapun perhatikan setiap gerak-gerik lawan- Me lihat sijubah
hijau menimpukkan dua titik coklat ke arah mereka, keduanya
bersama menge luarkan pedang, seka li sinar dingin berkelebat,
"Ting, ting", dua panah kecil berwarna kehijauan tersampuk jatuh di
atas geladak. Betapa cepat dan tangkas gerakan mencabut pedang
serta menyampuk itu sungguh a mat mengagumkan-
Pemuda jubah biru tersenyum, sorot matanya bercahaya,
katanya: "Budak hina, kalian lari dari coat- sin-san-ceng dan
menyaru sebagai laki2, me mangnya aku tak bisa mengenali? Kini
berhadapan dengan Kongcu, tidak lekas kalian le mparkan pedang
dan menyerah saja?
Tenang saja sikap Giok-je, katanya sambil menatap tajam: "Apa
katamu? Aku t idak mengerti."
"Giok je, kau masih berani mungkir, atas dirimu?" bentak
pemuda-jubah biru.
"Kalau bicara harap tuan tahu aturan, cayhe Hoa Siong- yong,
penduduk asli kota La m jiang, siapa itu Giok-je?" menghadapi situasi
yang berubah secara mendadak ini ternyata dia tidak kaget,
sikapnya tetap tenang.
Pemuda jubah biru naik pita m, katanya sambil me nuding: "Hou
Thi-jiu, tangkap dia"
Ternyata pemuda jubah biru ini adalah Dian Tiong-pit, anak
angkat Cek Seng-jiang yang berkuasa di coat-sin-san-ceng itu,
sijubah hijau adalah Hou Thi-jiu. Mereka ditugaskan menangkap
ketiga budak yang melarikan diri ini.
Mendapat perintah majikannya, Hou Thi-jiu segera berkelebat
maju ke depan Giok-je, kata-nya dingin: "Giok-je, kau masih
inginkan aku orang she Hoa turun tangan?"
Pucat muka Giok-je saking marah, serunya murka: "Kurang ajar,
kalian berani menghina orang sekolahan, seorang lelaki sejati
seperti orang she Hoa ini ka lian anggap sebagai buda k pelarian,
sungguh kurang ajar"
"Jangan cerewet, kalau tidak ma u menyerah, terpaksa aku tidak
sungkan terhadapmu,"
kelima jari Hou Thi-jiu terulur terus mencengkera m punda k Giok
je,
Kini Giok-je menya mar pe muda sekolahan, sudah tentu dia tidak
sudi turun tangan terhadap budak keluarga orang -lain? Sambil
menggeser selangkah dia berpaling, katanya "Hoa wok. layani dia
beberapa jurus."
Hoa wok adalah Ping-hoa, dia menyahut sekali terus me lompat
maju, pedang di tangan menuding sa mbil me mbentak: "Kau ini
barang apa? berani kurang ajar terhadap Kengcu ka mi?" -Sret,
pedangnya lantas me mapas ke pergelangan tangan Hou Thi-jiu.
Hou Thi-jiu terkekeh2, katanya: "Budak jelita, kau ini Ping-hoa
atau Liau-hoa?" Secepat kilat tangan besi segera mencengkera m
pedang.
Ping-hoa menggetar batang pedang sehingga menerbitkan
cahaya, ia menusuk tiga Hiat-to sekaligus. Lekas Hou Thi jiu
gunakan tangan kiri menangkis, dia sa mbut serangan lawan secara
keras. Dia pikir lawan adalah pere mpuan yang baru berusia belasan
tahun, betapa tinggi lwekang dan ilmu silatnya mana kuat
menandingi tangkisan lengan besinya, sekali tangkis dan kepruk
pedang lawan tentu terpental lepas.
Tak terduga kenyataan justeru diluar perhitungan Hou Thi-jiu,
tatkala lengannya menangkis ke atas, "trang", serangan Hoa-ping
me mang dia punahkan, tapi orang tidak tergetar mundur atau
terlepas pedangnya, keruan ia kaget, tahu2 pedang Hoa-ping sudah
turun ke bawah terus me motong ke la mbung Hou Thi-jiu. Jurus ini
dina makan It-yap-cu-khiu (sele mbar daun di musim rontok), gaya
pedangnya mantap dan cepat, "bret", baju di depan dada Hou Thijiu
terobek panjang satu kaki lebih.
Keruan Hou Thi-jiu marah, lengan kiri turun naik, segera dia
lancarkan serangan gencar, tampak di dala m tabir cahaya warna
cokelat kehijauan itu, jari2 besi yang runcing itu selalu mengincar
batok kepala Ping-hoa.
Sudah tentu Ping-hoa tidak berani lena, pedang dia putar secepat
angin, iapun bergerak cepat melayani kecepatan lawan, tubuhnya
terselubung tabir cahaya ke milau, gerakannya cepat dan banyak
variasinya lagi, dengan balas menyerang dia hadapi rangsakan
lawan-
Seperti diketahui Dian Tiong-pit adalah anak Cek Seng jiang,
cengcu Coat Sin-san-ceng, iapun murid kesayangan Jek-tongcu,
atasan Thian-kau-sing, maka sedapat mungkin dia me lakukan apa
saja untuk menjilat pe muda ini, kini me lihat Hou-Thi jiu melabra k
lawan, tanpa disuruh dia me labrak maju, katanya menyeringai,
"Kalian tiga budak ini, di hadapan Dian kongcu masih berani
me mbangkang, besar benar nyali kalian-"
Laki2 baju kelabu yang sudah terluka itu segera melompat maju,
hardiknya beringas: "Berani kau melangkah maju, aku tidak
sungkan2 lagi."
Thian-kau-sing me nyeringai sadis, jengeknya, "Kau ingin ma mpus
apa susahnya, orang she Tin cukup angkat sebelah tangan saja
untuk menyempurna kan keinginanmu."- "Sreng", dia cabut
sebatang pedang tipis dan se mpit.
"Sim-piauthau," kata Giok-je, "luka dipundakmu belum diobati,
kau mundur saja, orang ini biar dibereskan Hoa Lok."
Hoa Lok adalah Liau-hoa. Mendengar kisikan Giok-je segera dia
mendahului kedepan, katanya: "Kongcu suruh aku bereskan dia,
Sim-piauthau, silakan mundur." Habis kata2nya dengan jurus Ha m-
bwe-pan-jun (ke mbang Bwe menya mbut musim se mi), pedangnya
tiba2 menutul ke iga kiri Thian-kau-sing.
cepat Thian-kau-sing menangkis, di luar tahunya bahwa setiap
anggota Pek-hoa-pang pernah meyakinkan Pek hoa-kia m-hoat,
sekali gebrak. sinar pedang yang ceplok2 seperti rangkuman bunga
bermunculan silih berganti, jumlahnya se makin ber-ta mbah2.
Tenaga pembawaan pere mpuan me ma ng tidak se kuat laki2, tapi
ilmu pedang yang mereka yakinkan ini justeru teramat lincah dan
tangkas sekali untuk mena mbal kekurangan ini.
Ilmu pedang Thian-kau-sing aneh dan ganas, tapi sudah tujuh-
delapan jurus me layani Liau-hoa tetap tak kuasa mene mpatkan diri
diposisi yang lebih unggul, keruan ia bertambah gusar, mulutnya
berkaok2, pedang menyamber ke kanan-kiri, bayangannya laksana
segumpa l awan hita m yang bergola k naik turun-
Hanya menghadapi dua buda k saja Hou Thi-Tjiu dan Thian-kau
sing sekian la manya tidak bisa menang, keruan pancaran sinar mata
Dian Tiong-pit sema kin me mbara, katanya mengulum senyum sinis:
"Agaknya me mang ka lian berasal-usul luar biasa, hari ini tak bisa
kulepas kalian pergi begini saja." ia mendesak maju beberapa
langkah serta me mbentak: "Giok je budak keparat, keluarkan
pedangmu, dala m 10 jurus jiwa mu a kan kurenggut."
Insaf keadaan serba salah, Giok-je juga pantang mundur, dia
tahu kepandaian Dian Tiong-pit sangat lihay, dirinya terang bukan
tandingannya, maka sedapat mungkin sejak tadi dia bersikap
tenang, malah Ping-hoa dan Liau-hoa sudah diberi pesan supaya
tidak sembarang bertindak. Kini keadaan sudah mendesak dan
terpaksa dia harus ambil putusan nekat, katanya: "Dian-kongcu
terlalu mendesak, terpaksa kita harus menentukan ka lah dan
menang baru urusan bisa berakhir, baiklah, akan kulayani
kehendakmu." Pelan2 dia copot jubah hijau bagian luar, tampak dia
mengenakan pakaian ketat, "sreng", pedang, dilolos lalu berdiri
tenang dan tegak.
Dingin pancaran mata Dian Tiong-pit, katanya: "Budak keparat,
masih tida k mau mengaku kau ini Giok-je, buda k pelarian?"
"Siapa bakal ma mpus di antara kita belum bisa ditentukan,
setelah kau mengalahkan pedang di tanganku boleh kau mengoceh
seenakmu sendiri," jengek Giok-je,
Berkobar nafsu membunuh Dian tong-pit, sambil menggerung
gusar pelan2 dia mencabut pedang, tapi sedapat mungkin dia
bersabar, katanya menuding dengan pedang. "Asal ka lian serahkan
orang yang menyaru Cu Bun-hoa itu, aku akan menaruh belas
kasihan terhadap kalian.Jadi tujuannya mengudak ke mari adalah
orang yang memalsu Cu Bun-hoa itu. Persoalan tiada lain karena Cu
Bun-hoa palsu itu sudah berhasil menawarkan getah beracun.
Giok-je tertawa dingin: "omongan Dian-kongcu sungguh lucu dan
mengge likan kita toh belum bergebrak, menang atau ka lah belum
ketentuan, bukankah omonganmu ini terla lu dini diucapkan"
Me mbesi muka Dian Tiong-pit, jengeknya: "Baik, setelah
kuringkus kau, masa kau bisa mungkir?"
Tiba2 bentaknya mengguntur: "Budak keparat, lihat pedang"
Angin kencang terus menampar, tenaga kuat bagai gelombang
dingin t iba2 menyerang berbareng selarik sinar menya mber
menusuk ke perut lawan-
Giok-je me mang sengaja me mancing ke marahannya, melihat
Dian Tiong-pit me lancarkan serangan dengan gusar, dia m2 ia
senang, lekas dia me lompat ke sa mping, berbareng pedang di
tangan kanan berputar melint ir pedang lawan, bagai kilat berkelebat
tahu2 ia mendesak maju dan se kaligus dia melontarkan tiga kali
tusukan-
Dian Tiong-pit tertawa menghadapi tiga tusukan ini, sekali ayun
pedang, dia punahkan serangan lawan terus balas menyerang.
Tampak ceplok2 bunga bertaburan, sinar ke milau berkelebat
me mbawa sa mberan angin dingin, begitu sengit dan me munca k
pertempuran ini sehingga ta mpaknya laksana puluhan ekor ular
perak sedang terjang kian ke mari diantara taburan bunga.
Puluhan jurus ke mudian, mendada k Giok-je merasakan
pergelangan tangan bergetar, pedangnya kena dibentur oleh
pedang Dian Tiong-pit dan menerbitkan suara ge merincing nyaring,
kedua pedang terbuat dari baja murni, untung tiada yang cidera,
Giok-je tetap bergerak dengan lincah, sebat sekali dia guna kan
langkah ou-kut-lou-poh (bergerak dengan menekuk lutut), tahu2
sudah berkisar ke kanan Dian Tiong-pit, tiba2 ujung pedangnya
menusuk ke pinggang orang seperti ular me manggut.
Dian Tiong-pit tertawa dingin, setelah ujung pedang Giok-je
menyentuh pakaiannya baru mendadak dia menggeser kaki ke
belakang, sementara badan ikut berputar, pedang di tangan kanan
menabas turun ke bawah dan telapak tangan kiri terayun keatas,
dua serangan dilancarkan bersa ma.
Padahal serangan Giok-je sudah keburu dilancarkan, dia m2 ia
menge luh, untuk menarik serangan terang tidak keburu lagi, Apalagi
tabasan pedang Dian Tiong-pit dilandasi kekuatan besar, maka
terdengar suara "trang", pedang Giok-je tergetar lepas jatuh
berkelontang di atas geladak, sementara telapak tangan kiri lawan
laksana geledek menyamber tahu2 sudah menganca m dada.
Bukan kepalang kejut Giok-je, dala m keadaan gawat ini terang
tak sempat lagi menje mput pedangnya yang jatuh, cepat2 ia
mendak tubuh seraya melompat mundur ke bela kang, untung dia
lolos dari lubang jarum.
Tapi sebelum dia se mpat bernapas, sambil bergelak tawa Dian
Tiong-pit ke mbali ayun pedang setengah lingkar, kaki melangkah
setindak. mulut me mbentak: "Kalau t idak me nyerah, jangan
salahkan ka lau aku tidak kena l kasihan lagi"
Baru saja dia habis bicara tiba2 didengarnya seorang
menanggapi dengan suara lantang. "Dian-kongcu, kukira sudah tiba
saatnya kau berhenti."
Terkejut Dian Tiong-pit, lekas dia berpaling , seraya membentak:
"Siapa?"
Tampak pakaian mela mba i2 tertiup angin, entah sejak kapan
seorang telah berdiri di ha luan perahu, kepalanya pakai kerudung
hitam, sikapnya gagah, katanya setelah tertawa panjang: "Dian-
kongcu masa t idak kenal cayhe lagi?"
Kejadian hanya berlangsung dala m waktu yang amat singkat,
waktu Dian Tiong-pit menoleh ke sana, Piausu bernama Llok Kian-
la m yang tadi tertutuk roboh itu kini ta mpak merangkak berdiri.
Sementara kedua laki2 anak buah Thian-kau sing yang menjaga
tawanannya kini berbalik kena tertutuk Hiat-tonya dan berdiri kaku
ditempatnya. Dan masih ada lagi, Hou Thi jiu danThian kau-sing
yang sedang bertempur melawan Ping-hoa dan Liau-hoa itu se mula
sudah berada di atas angin, kini merekapun seperti tertutuk Hiat-to-
nya oleh orang, yang satu membentang jari2 tangan besinya
bergaya seperti hendak menerkam, seorang lagi mengangkat
pedang menusuk tempat kosong, hanya bergaya tapi tak bergerak.
Sementara Ping-hoa dan Liau-hoa sudah simpan pedang serta
menyingkir kepinggir dengan berdiri tersenyum simpul, jelas se mua
kejadian adalah hasil kerja si orang berkedok ini.
Waktu dia muncul di atas perahu, Hou Thi-jiu dan Thian-kau-sing
sedang melabrak lawannya, orang ini tiba2 me mbokong pada saat
orang tumple k perhatian menghadani musuh, sudah tentu berhasil
dengan gemilang. Tapi apapun yang telah terjadi, bahwa orang ini
bisa menutuk Hiat-to Hou Thijiu dan Thian-kau-sing dala m
segebrakan saja, terang me miliki ilmu silat yang amat mengejutkan.
Sudah tentu perubahan mendadak yang tak pernah dibayangkan ini
me mbuat Dian Tong-pit kaget dan pucat mukanya, tapi juga gusar.
Tadi pihaknya sudah diatas angin, karena orang berkedok ini
mendadak muncul, situasi lantas berubah sama sekali, dari unggul
kini menjadi asor, usahanya menjadi gagal total. Karena amarahnya
me muncak. serunya murka: "Kau yang me mbekuk mereka?"
"Betul," jawab orang berkedok, "aku tak senang me lihat mere ka
ma in keroyok. main cegat menganiaya tiga nona cantik ....." secara
gamblang dia mengatakan bahwa Giok-je bertiga me mang sa maran
gadis2 ayu.
"Siapa kau?" bentak Dian Tiong-pit gusar.
Orang berkedok tertawa, katanya: "Dian-Kongcu tak
mengenalku, umpa ma kusebutkan na maku, kau tetap tidak a kan
kenal aku, betul tidak?"
Gusar dan dangkol Dian Tiong-pit, bentak-nya: "Bagus?" Tiba2
pedangnya bergerak, selarik sinar bersa ma orangnya melesat
kencang menerjang ke arah orang berkedok.
Orang berkedok bertangan kosong, sudah tentu dia tidak berani
menya mbut secara keras, lekas dia tutul kedua kaki mela mbung
tinggi. Melihat orang berkelit dengan melompat tinggi, Dian Tiong-
pit tertewa dingin, dengan gaya Pek-hung-koan-jit (biangla la
mene mbus sinar matahari), sinar pedang berputar, laksana
anakpanah menyamber iapun meloncat ke atas me mbayangi lawan-
Mumbul sekitar dua tomba k mendadak di tengah udara orang
berkedok mengguna kan gerakan Hun-li-hoan sin (me mbalik badan
di tengah awan), pada tangannya sudah memegang sebatang
pedang pendek sepanjang satu kaki lebih, ia menukik menyongsong
Dian Tiong-pit yang baru menjulang ke atas. "Trang", di tengah
udara berkumandang suara nyaring benturan senjata.
Di tengah udara kedua orang bentrok secara keras, lalu
bayangan orang segera berpencar, keduanya sama2 meluncur ke
bawah. ilmu silat Dian Tiong-pit a mat tinggi, pendengarannya tajam
dan matanya jeli, tadi waktu kedua senjata beradu dan merasakan
bunyi benturan agak ganjil, waktu dia menatap sambil angkat
tangannya, dilihatnya pedang sendiri yang terbuat dari baja murni
ujungnya tertabas kutung sepanjang satu dua dim. Bertambah
kaget dan marah hatinya, mukanya merah pada m, sambil
menghardik dan menubruk maju, pedangnya menerbitkan kesiur
angin santer. Serangan dilancarkan dengan a marah yang meluap.
dalam sekejap beruntun dan menyerang belasan kali.
Orang berkedok layaninya dengan enteng, katanya tertawa:
"Begini besar nafsu Dian-kongcu"-Sebat sekali ia bergerak ke kanan-
kiri, badannya meliuk kesana ke mari.
Bagai angin badai rangsakan pedang Dian Tiong-pit, betapa
cepat gerak serangannya, tapi ke timur tusukan pedangnya, tahu2
lawan sudah berada di barat, menusuk ke barat, orang tahu2 sudah
berpindah ke utara, namun orang berkedok itu tida k pernah balas
menyerang.
Tiga belas serangan pedang Dian Tiong-pit menimbulkan
gelombang hawa dingin, setombak di sekeliling gelanggang
dilingkupi sinar perak laksana naga mengamuk. bayangan orang
berkedok seperti tergubat di dala mnya, dari luar kelihatan kelebat
sinar pedang yang kemilau itu saban2 ha mpir menabas kutung
bayangannya, tapi hanya terpaut serambut saja, tahu2 pedang
menya mber ke sa mping, ujung paka ian orangpun t idak ma mpu
disentuhnya.
Lama ke la maan semakin me mbara amarah Dian Tiong-pit, saking
murka hampir gila rasanya, hardiknya keras: "Kau berani tampil
menca mpuri urusan ini, kenapa tidak berani melawan pedangku ini,
ma in ke lit dan menyingkir begini terhitung apa? Me mangnya
gurumu hanya me mberi pedang pendek saja dan tidak mengajarkan
ilmunya?" kata2nya sengit dan cukup pedas menusuk perasaan-
Mendadak si orang berkedok menghentikan gerakannya, katanya
tertawa dingin: "Tiong-pit, aku ingin me mberi muka padamu,
supaya kau tahu diri dan mundur teratur, ternyata kau berhasrat
berkenalan dengan ilmu pedangku, nah awas, hati2lah"
Sembari bicara pedangnya mendadak bergetar, seketika
menaburkan delapan atau sembilan larik cahaya dan berjatuhan ke
depan Dian Tong pit. Anehnya larikan sinar pedang itu panjang
pendek berlainan satu sa ma lain, mana yang kosong dan mana yang
betul2 berisi sungguh sukar diraba, perubahannya cepat dan
mengandung banyak variasi,
Sejak kecil Dian Tiong-pit sudah dige mbleng meyakinkan ilmu
pedang, di bidang ini boleh dikatakan ahli, maka ia kira orang hanya
mengaburkan cahaya untuk menge labui pandangannya. Karena
menurut kebiasaan, orang2 yang mengembangkan ilmu pedangnya
sering juga menciptakan tabir sinar pedang seperti ini, di antara
sekian banyak jalur2 sinar yang bertebaran itu terang hanya satu
yang merupakan serangan telak. yang lain hanya merupakan
bayangan yang me mbikin kabur pandangan lawan-
Maka dala m hati Dian Tiong-pit tertawa dingin, belum lagi lawan
merangsak maju dengan sinar pedangnya, cepat ia memba lik
tangan kanan, dengan jurus Hun-kong-kik-ing (me mencar sinar
menyerang bayangan) iapun menaburkan secercah cahaya pedang
dingin, ia malah menyongsong bayangan pedang lawan-
Betapa cepat gerakan kedua pihak yang saling labrak ini,
kelihatan dua larik sinar saling gubat sekali lalu berpencar ke mba li,
dua kali berkumandang suara berdering. Karena me mandang
rendah musuh dan terburu nafsu, Dian Tiong-pit me mbuat
perhitungan salah dan menila i rendah larikan sinar pedang lawan,
jika satu di antara larikan sinar pedang itu merupakan serangan
telak. maka larik sinar yang lain hanya untuk mengaburkan
pandangan dan perhatian lawan saja dan tak mungkin menimbulkan
suara berdering ber-kali2, kini jelas bah-wa sinar pedang itu
semuanya merupakan serangan yang sesungguhnya.
Benturan pedang itu berlangsung dala m waktu yang amat
singkat sekali, tapi Dian Tiong-pit sudah merasakan sesuatu yang
ganjil, setiap ka li tabasan pedang lawan dapat mengikis pedangnya
menjadi lebih pendek. pedang yang semula panjang tiga kaki lebih
itu kini ha mpir sisa gagangnya saja.
Untunglah laki2 berkedok itu segera berhenti serta mundur,
katanya dingin. "Dian Tiong-pit, kau sudah mau mengaku kalah?"
Watak Dian Tiong-pit berangasan, tinggi hati dan angkuh, kapan
dia pernah tunduk kepada orang lain, selama berke lana di kangouw
belum pernah kecundang, apalagi dipermainkan seterunya ini,
keruan a marahnya bukan kepalang, ia berteriak. mendadak gagang
pedang digunakan sebagai senjata rahasia terus ditimpukkan,
serentak kelima jarinya menekuk la ksana cakar menyerang dengan
jurus Tok-liong ta m-jiau (naga beracun ulur cakar), secepat kilat ia
mencengkeram dada musuh,
Maklumlah pada serang menyerang tadi jarak kedua pihak hanya
kurang lebih tiga kaki jauhnya, dalam jarak sedemikian dekat,
serangan Dian Tiong-pit yang mendadak ini sudah tentu me mbuat
orang tidak menduuga dan tidak berjaga2.
Gagang pedang itu ditimpukan sepenuh tenaga, tahu2 sudah
me lesat tiba di depan hidung si orang berkedok. sementara kelima
jari tangannya tajam laksana cakar bajapun sudah mengincar dada
orang.
Si orang berkedok me mang tidak menduga akan datangnya
serangan berganda ini, se mentara gagang pedang sudah berada di
depan mata terpaksa dia doyong tubuh ke belakang sambil angkat
pedang tegak ke atas, "Trang", gagang pedang itu dia sampuk
patah menjadi dua potong.
Sementara cakar Dian Tiong-pit yang terpentang itu tahu2 juga
sudah menyentuh pakaian si orang berkedok baru saja dia kerahkan
tenaga hendak mencengkerann, tiba2 terasa urat nadi tangannya,
menjadi kese mutan dan lenganpun menjadi le mas, ternyata pada
detik yang menentukan itu pergelangan tangan Dian Tiong-pit
sudah terpegang oleh si orang berkedok malah, keruan kagetnya
bukan kepalang, lekas dia meronta sekuatnya, tak nyana orang
berkedok lebih cepat lagi, tahu2 tangan kiri terangkat, dengan jurus
"mendorong perahu menurut aliran air", dengan enteng dia
mendorong, maka Dian Tiong-pit tidak se mpat meronta lagi, tanpa
kuasa tubuhnya mencelat dan melayang setombak lebih. "Blang",
dengan keras terbanting di atas geladak. hampir saja dia terguling
jatuh ke sunga i.
Betapapun kepandaian silat Dian Tiong-pit tidak le mah, begitu
badan terbanting di lantai papan, sekali mengerahkan tenaga,
dengan lincah ia sudah me letik bangun, begitu berdiri tegak sinar
matanya seketika mencorong beringas, sekian saat dia tatap orang
berkedok itu, bentaknya: "Sebutkan na ma tuan, orang she Dian
akan segera berlalu."
Orang berkedok cudah simpan pedangnya, katanya tertawa:
"cayhe tak perlu menyebut na ma segala, ka lah menang sudah
terang, lekas kau pergi dengan anak buahmu, kelak kita masih akan
berhadapan lagi di medan laga." Habis berkata dia malah pergi lebih
dulu daripada Dian Tiong-pit, badannya meluncur ke sana dan
hinggap di atas sebuah sa mpan-
Sejak orang berkedok muncul dan ke mbali ke atas sampan,
kejadian hanya berselang beberapa kejap saja, keruan orang2 Pe k-
hoa-pang sama melongo kebingungan-Melihat orang mau pergi baru
Giok je bersuara: "Tayhiap ini, harap tunggu sebentar"
Orang berkedok itu sudah berada di atas sampan, seperti tidak
dengar seruannya, dia melajukan sa mpan itu ke arah bela kang
sana. Seperti diketahui sa mpan yang dipakai ini sebetulnya adalah
salah satu milik Dian Tiong-pit.
Sementara itu Dian Tiong-pit sedang sibuk me mbuka Hiat-to Hou
Thijiu, Thian-kau-sing dan kedua laki2 bermuka kuning itu, lalu
katanya: "Hayo pergi." Dengan anak buahnya segera mereka
berlalu.
Dika la pertempuran berlangsung dengan sengit, dia m2 Kiang-lo
toa sudah perintahkan anak buahnya menolong kedua laki2 baju
kelabu yang terjungka l ke sungai tadi, kini sudah dlobati lagi.
Dia m2 Giok-je terheran2 melihat orang berkedok itu me ndayung
sampannya sedemikian pesatnya ke arah belakang, batinnya:
"orang ini tadi muncul mendadak di atas perahu, pergi pula secara
tergesa2 dengan sampan Dian Tiong-pit, me mangnya dari mana dia
datang?"
Melihat Giok-je menjuble k mengawasi ke buritan, Llok Kian-la m
bertanya: "Apakah Hoa-kongcu sudah tahu asal-usul orang
berkedok itu?"
Giok je menggeleng, ujarnya: "Ilmu silat orang ini a mat tinggi,
begitu cepat gerakannya, sukar aku mengikuti permainannya, entah
dari perguruan mana . . . . "
Tiba2 Liau-hoa menyeletuk "He, mungkinkah orang itu adalah
Cu-cengcu?"
"Hah" mendadak Giok-je berseru. "Le kas kita tengok ....."
ooo(000dw000)ooo

Sebelum mulai dengar ra malannya Cu-ki-cu menyulut tiga batang


dupa, lalu satu persatu dia suruh Ban Jin-cun, Kho Keh-hoa dan Cu
Jing me mperkena lkan diri, jadi persoalannya ada pada ketiga batang
dupa yang mengeluarkan asap wangi yang me mabukkan ini, siapa
saja setelah bicara pasti menyedot bau harum ini, maka cepat sekali
merekapun terjungkali roboh. Keruan Cu-ki-cu tergelak kegirangan
sambil bangun dari te mpat duduknya.
Mendadak terdengar suara nyaring merdu berkumandang di luar
pondok: "Ada orang di dala m?"
Agak terkejut Cu-ki-cu, bentaknya: "siapa?"
"Ka mi mau cari tua Cu-ki-cu" agaknya dia tidak seorang diri.
Cu-ki-cu mengerut alis, sekilas dia pandang tiga orang yang
mengge letak di tanah, lalu menyingkap kerai berjalan keluar,
tertampak orang telah berada diruang ta mu. Itulah dua pe muda
sekolahan yang berusia tujuh-belasan, wajahnya sama cakap dan
ganteng.
Sambil mengelus jenggot menguning di bawah dagunya yang
jarang itu, Cu-ki-cu pandang kedua tamunya itu sekian saat, setelah
batuk2 kering baru bertanya: "Ka lian ada perlu apa?"
Salah seorang yang lebih tua berkata dengan tertawa: "Ka mi
ingin mohon tuan Cu-ki-cu mera malkan nasib ka mi, apakah kau
tuan Cu-ki-cu?"
"Sayang sekali, kebetulan Cu-ki-cu sedang ke luar," sahut Cu-ki-
cu.
Pemuda yang lebih muda ce lingukan, longok sana toleh sini, lalu
bersuara heran: "He, mana mereka?"
"Apa kata Siang kong?" tanya Cu-ki-cu.
"Tadi tiga orang teman ka mi sudah ke mari lebih dulu, di ma na
mereka?"
Terbayang sinar aneh pada mata Cu-ki-cu, katanya tersenyum:
"o, apakah ketiga pe muda yang Siang kong maksud?"
"Ya, satu di antaranya adalah Piaukoku, dimana mere ka?" tanya
pemuda yang lebih muda.
"Me mang tadi ada tiga pemuda ke mari mau cari Cu-ki-cu, Lohu
beritahu bahwa Cu-ki-cu sedang keluar, maka mereka lantas pergi."
Kedua pemuda saling pandang, kata yang lebih muda: "Tidak
mungkin, kuda tunggangan Piaukoku masih berada di luar sana,
mana mungkin dia sudah pergi?"
Kata Cu-ki-cu kurang senang: "Losiu sudah setua ini, masa
berdusta pada kalian?"
Mendadak yang lebih muda itu tertawa lebar, katanya: "Kukira
kau ini justeru Cu-ki-cu sendiri, Piauko selalu larang ka mi ikut
ke mari, katanya cu- ki-cu t idak suka digangggu orang, supaya
ramalannya tepat orang tidak boleh datang ber-bondong2, tentunya
Piauko sengaja suruh kau ke luar untuk menola k kedatangan ka mi,
betul tidak? Hm, aku t idak percaya, mereka tentu sembunyi di
dalam."
Habis berkata mendadak dia berteriak keras2: "Piauko" - Tiba2
pula dia menerobos kedala m.
Berubah air muka cu- ki-cu, sekali berkelebat dia mengadang
seraya me mbentak: "Berhenti" Tangan kanan terus menepuk ke
pundak si pe muda.
Sebelum telapak tangannya menyentuh pundak pe muda itu,
mendadak dia rasakan punggung tangannya seperti digigit nya muk,
seketika seluruh lengan menjadi le mas lungla i dan pati rasa, tenaga
yang dikerahkanpun sirna, keruan kagetnya bukan main, cepat dia
periksa tangan sendiri, dilihatnya sebatang jarum sula m menancap
di punggung tangannya, jarum ini me mancarkan cahaya kehijauan-
Seketika berubah pucat muka Cu-ki-cu, teriaknya ketakutan:
"Tong-bun-ceng-bong-cia m (jarum cahaya hijau keluarga Tong)"
Dala m berkata2 ini Cu-ki-cu ke mba li merasa kedua kakinya mulai
le mas dan pati raga pula.
Kadar racun pada jarum ke milau hijau ini tidak terla lu keras dan
me mang khusus untuk me mbe kuk musuh, yang diincar umumnya
adalah kaki dan tangan, musuh seketika a kan lena dan tak ma mpu
me lawan lagi.
Pemuda yang lebih tua mengejek. katanya: "Betul, kiranya kau
kenal juga "
Sambil me ngawasi pe muda yang lebih tua, Cu-ki-cu bertanya:
"Kau, Siangkong ini dari. . dari keluarga Tong?"
Yang lebih muda cekikikan, katanya: "Jangan cerewet, berdiri
saja di situ"
Pada saat itulah kain gordyn di kamar sebelah timur tiba2
tersingkap. dua laki2 bersenjata golok menerobos keluar. demikian
pula dari ka mar sebelah barat juga melompat keluar dua orang laki2
bersenjata golok pula, begitu ke luar mereka berpencar terus
menganca m dengan golok mereka.
Gerakan kee mpat laki2 baju hita m cukup tangkas, begitu lompat
keluar terus berpencar, dari kerja uhan mereka acungkan golok
mengincar kedua pe muda yang terkepung itu.
Pemuda yang lebih muda melirik dan mencibir, katanya tak acuh:
"Kalian mau apa?"
Laki2 yang berdiri di muka mereka menyeringai, katanya. "Anak
kura2, ini yang dina makan sorga ada pintu tak mau masuk- neraka
tertutup rapat kau malah menerjangnya, rupanya kau sendiri ingin
ma mpus, jangan menyesal bila tuan besarmu berlaku keja m."
"Ka mi hendak mencari Cu-ki-cu, siapa bilang ingin mati?" ujar si
pemuda.
"Tuanmu bilang, kalian anak kura2 ini ta matlah hari ini."
Pemuda yang lebih tua tidak sabar lagi, matanya me mancarkan
cahaya terang, katanya dingin: "Dik, tak perlu banyak omong
dengan mereka, kaum keroco ini bukan orang baik, enyahkan
mereka saja."
Yang lebih muda mengiakan seraya mencabut pedang pendek,
berbareng pemuda yang lebih tua juga mengeluarkan sebatang
pedang panjang.
Laki2 yang bicara tadi menyeringai hina, katanya tergelak2:
"Anak kura2 ini ternyata pandai main silat juga."
Cu-ki-cu yang menyingkir ke sa mping segera menyela: "Mereka
adalah anak murid keluarga Tong dari Sujwan-"
"Berani kau omong, biar kuga mpar muka dan kutamatkan
jiwa mu" bentak pe muda yang lebih tua. Sorot matanya yang dingin
menyapu pandang, lalu menudingkan pedangnya kepada kee mpat
musuh, katanya: "Siapa di antara kalian yang maju lebih dulu."
Laki2 yang bicara tadi berkata pula: "Keluarga Tong kalian
sebetulnya tak pernah bermusuhan dengan ka mi, tapi kaliann
justeru ma in seruduk ke mari mencari gara2, umpa ma kalian putera
raja juga, hari ini tak boleh dilepaskan lagi"- Golok bergerak. dia
me mberi tanda, dua orang laki2 baju hita m segera menubruk ke
depan pemuda yang lebih tua. ia sendiri dengan seorang laki2 lain
segera meluruk pe muda yang lebih muda, empat orang mengeroyok
dua orang.
Pemuda yang lebih tua berdiri tenang2 tanpa bergerak. kedua
musuh yang menyerbu berpencar dari kanan kiri, yang kanan
menabas lengan kanan yang me megang pedang, sementara musuh
yang sebelah kiri menggerakkan golok menganca m pinggang.
Ketika senjata kedua musuh hampir menyentuh badan baru
pemuda yang lebih tua mengejek. mendadak ka ki kiri menggeser
mundur berbareng pedang di tangan bergetar, selarik sinar ke-milau
segera berputar. "Trang, trang", sekaligus dia tangkis golok kedua
musuhnya, pedangnya masih bergerak menabas miring.
Kepandaian silat kedua laki2 ini ternyata tidak lemah, sebat sekali
mereka berke lit se mbari angkat golok balas menyerang, gabungan
serangan golok mereka cukup gencar dan mengincar te mpat
me matikan di tubuh pe muda yang lebih tua.
Sementara pemuda yang lebih muda menge mbangkan ilmu
pedangnya yang cukup hebat, sinar pedangnya menyamber seperti
rantai ke milau menciptakan bayangan cahaya yang berlapis2.
Hanya beberapa gebrak. kedua musuhnya telah dicecar di bawah
angin. Sebetulnya kedua laki2 ini biasanya me mpunyai cara
tersendirijlka mengeroyok musuh, tapi entah mengapa hari ini
rangsakan sengit mereka t idak ma njur lagi.
Lain halnya dengan kedua temannya yang mengeroyok pemuda
yang lebih muda, mereka sudah berada di atas angin- Pemuda yang
lebih muda bersenjata pedang pendek. Lwekangnya me mang lebih
rendah dan latihan kurang matang, kalau satu lawan satu mungkin
lebih unggul, tapi dikeroyok dua, dia betul2 kewalahan, niatnya
me lawan dan merobohkan kedua musuh itu, apa daya tenaga tak
sampai. Sepuluh jurus ke mudian keadaannya sudah semakin
runyam, pedang pendeknya tangkis kanan pukul kiri, gerak
pedangnya menjadi kacau dan tak teratur lagi. Sudah tentu hatinya
kaget tapi juga gera m, teriaknya: "Kalian kawanan kunyuk yang
ingin ma mpus, jangan bikin marah hatiku, nanti kupenggal kepala
kalian."
Laki2 baju hita m disebe lah kiri tertawa, ejeknya: "Anak kura2,
pandai juga me mbual." - Sret, sret, tiba2 gerak goloknya dipercepat,
dua kali dia me mbacok dan me nabas.
Pemuda yang lebih muda dipaksa menangkis dan me lompat
mundur dengan kalang kabut. Laki2 baju hitam tertawa riang, golok
dibolang-ba lingkan, mendadak dia mendesak maju seraya
me mbentak:
"Anak kura, baru se karang kau tahu rasa"
Belum habis bicara, pada saat mulutnya masih terbuka,
mendadak dia menjerit keras dan roboh terjungkaL
Melihat temannya tanpa sebab mendadak terjungkal, keruan
laki2 yang lain terperanjat, sedikit lena tahu2 pedang si pe muda
sudah menya mber tiba, hendak berkelitpun kasip. baju pundaknya
terpapas, walau kulitnya tidak terluka, namun dia sudah patah
semangat, bergegas dia jejak kaki dan melompat mundur.
Si pe muda meradang seraya me mbentak: "Kaupun jangan harap
bisa lari" - Dari balik lengan bajunya tiba2 menyamber keluar
sebatang panah kecil le mbut. Baru saja laki2 baju hitam mau
berkelit, tapi sudah terlambat, terasa pergelangan kanan yang
me megang golok kesakitan, "trang", golok jatuh terlepas di tanah,
tanpa kuasa iapun jatuh tersungkur.
Kejadian berlangsung da la m beberapa kejap saja, kedua
temannya yang mengeroyok pemuda lebih tua itu sebetulnya sudah
berada di atas angin, serta melihat kedua temannya roboh terkena
senjata rahasia, mereka menjadi gugup dan ciut nyalinya, sedikit
lena pedang pemuda lebih tua segera menusuk iga kiri la ki2 yang
berada di sebelah kanan-Laki2 itu menjerit keras2, sa mbil mende kap
lukanya dia terjung ke luar dan me larikan diri. Sudah tentu temannya
tak berani bertempur lebih lanjut, segera iapun ngacir masuk ke
kamar sebelah barat.
Empat musuh, dua rebah tak berkutik, dua lagi lari mencawat
ekor. Tinggal Cu-ki-cu yang masih berdiri di sana seperti patung,
wajahnya cemberut kecut, katanya dengan nada yang minta
dikasihani: "Siangkong berdua harap tahu, orang2 jahat sudah ada
yang ma mpus, yang masih hidup juga terluka melarikan diri,
ampunilah jiwa Losiu."
Pemuda lebih muda menjengek. serunya: "orang jahat,
me mangnya kau tidak jahat?"
"Sungguh penasaran, itu fitnah, Losiu . . . . "
"Bukankah tadi kau bilang Cu-ki-cu tidak di rumah?" ejek pemuda
lebih muda.
Cu-ki-cu menghela napas, katanya: "Siang kong tidak tahu latar
belakang persoalannya, tadi Losiu bilang Cu-ki-cu tidak ada,
maksudku mau me mberi peringatan kepada kalian supaya lekas
pergi, karena Losiu dianca m oleh kee mpat penjahat tadi dan tak
mungkin me mberi penje lasan kepada kalian-"
"Mana Piaukoku bertiga" desak pe muda yang lebih muda.
"Ada, ada," kata Cu-ki-cu sambil menyengir, "mereka se maput
terkena dupa wangi, harap Siang-kong a mpuni Losiu, segera
kua mbil obat pe munahnya."
Pemuda yang lebih tua sudah simpan pedangnya, dari dala m
kantong dia ke luarkan sebutir obat dan diangsurkan, katanya:
"cabutlah ceng-bong-cia m dan telan obat ini."
Dengan tangan kiri Cu-ki-cu terima obat itu, sambil berterima
kasih ia mencabut jarum yang menancap dipunggung tangannya,
lalu telan pil itu.
Mengawasi kedua orang yang mengge letak di tanah, pemuda
yang lebih tua bertanya sambil menoleh: "Dik, panahmu dibubuhi
racun, apakah kedua orang ini masih bisa ditolong?"
Pemuda lebih muda cekikikan, katanya: "Baru pertama kali ini
aku gunakan senjata rahasia pe mberian pa man, paman pernah
bilang, dalam setengah jam kalau mereka tidak dlobati, jiwa bisa
me layang."
"Kau punya obatnya? Kedua orang ini harus ditawan hidup2."
"Ada saja, obatnya kusimpan di da la m kantong." Mendengar
percakapan mereka, terunjuk cahbaya aneh pada sorot mata cu-ki-
cu, setelah makan obat, lengan kanannya kini sudah bisa bergerak.
lekas dia me nuding sa mbil berkata: "Siang kong, silakan ikut Losiu,
teman ka lian di sebelah timur, Losiu akan a mbil obat penawarnya."
Dia lantas menyingkap kerai, tertampak tiga orang menggeletak di
dalam ka mar, mereka ialah Ban Jin-cun, Kho Keh hoa dan cu-jing.
"Di ma ma kau simpan obat mu, le kas a mbil"
"Kusimpan di ka mar, segera Losiu menga mbilnya," sahut Cu-ki-
cu, bergegas dia lari ke ka marnya.
Pemuda yang lebih muda sudah keluarkan obat penawar
mende kati kedua laki2 baju hitam, panah dia cabut lalu me mbubuhi
obat di te mpat luka serta me mbuka hiat-to, tapi mendadak ia
menjerit: "He, kenapa kedua orang ini sudah mati?"
"Tadi kau bilang setengah ja m baru racun bekerja, mana
mungkin mati?" ujar pe muda yang lebih tua.
"Me mang, tapi mereka. ......" mendadak dia berseru heran:
"He,Ji-ko, bukankah ini ceng-bong-cia m miiikmu?" .
"ceng-bong-cia m milikku?" seru pemuda yang lebih tua. "Di
mana?"
Dilihatnya pada dada kedua laki2 yang rebah di tanah masing2
tertancap sebatang jarum sula m yang kemilau kehijauan, me mang
itulah ceng-bong-cia m. seketika alianya menegak. katanya gusar:
"Bangsat keparat, kita ditipu olehnya. Cu-ki-cu jelas sekomplotan
dengan kawanan penjahat ini."
"Pantas" ujar pe muda yang lebih muda. Jarum yang me luka i dia
tadi dia gunakan untuk me mbunuh kedua orang ini. Kenapa mereka
dibunuh? Kuatir me mbocorkan rahasia?
"Agaknya kau sudah ta mbah pintar." Sahut pemuda yang lebih
tua. "Nah, sekarang kita semprot muka mereka dengan air dingin
supaya siuman."
"Me mangnya begitu ga mpang?"
"Tida k percaya, boleh kau buktikan"
Dari te mpat se mbahyang pe muda yang lebih muda a mbil
secangkir kecil air suguhan terus di -semprotkan kemuka ketiga
orang.
Ban Jin-cun melompat bangun lebih dulu, segera ia menjura
kepada mereka, katanya: "Apakah saudara berdua yang menolong
kami bertiga?"
Pemuda yang lebih muda me mang ceriwis, katanya:
"Me mangnya Cu-ki-cu mau menolong ka lian pula?"
Kho Keh hoa pun sudah berdiri, tanyanya: "Kemana bangsat Cu-
ki-cu itu?"
"Dia sudah lari," kata pe muda yang lebih tua.
Yang lebih muda, mendekati Cu J ing, katanya., "Piauko, kau tidak
kenal Siaute lagi?"
Sekilas Cu Jing me lengak karena dipanggil Piauko, dengan
menatap muka orang ia menjura dan bertanya: "Saudara ini siapa?"
"Kenapa Piauko jadi pelupa, me mang sesama saudara misan kita
baru bertemu sekali, mungkin Piauko sudah lupa, entah Ya-khim
Piauci baik2 saja?”
Merah muka cu-Jing, tanyanya heran, "Kau. . ."
"Siaute Ling Kun- ping . . . . " tukas pemuda yang lebih muda.
Mendadak dia pegang lengan Cu Jing terus diseret ke sana serta
berbisik di telinga-nya: "Piauci, aku adalah Ji-ping." Ternyata
pemuda ini sa maran Pui Ji-ping, jadi Cu Jing adalah Piaucinya, yaitu
Cu Ya-khim.
Cu Ya-khim a lias Cu Jing ke mba li me lenggong, ia tatap muka
"Ling Kun-ping", katanya: "Jadi kau . . . . "
"Aku menya mar," kata Ji-ping lirih.
Mendengar suara orang memang betul Pui Ji-ping, lekas Cu Ya-
khim berpesan dengan suara lirih: "Jangan kau bocorkan rahasia ku."
"Ya, tahu sama tahu," ujar Ji-ping.
Cu Ya-khim gengga m tangannya, cepat katanya dengan girang:
"Piaute, siapakah dia? Lekas perkenalkan pada Piauko."
Pui Ji-ping menjawab: "Dia adalah nona kedua keluarga Tong
dari Sujwan dan berna ma Tong Bun-khing." Lalu dengan suara
keras dia tuding pe muda lebih tua dan berkata: "Inilah Tong Bun-
khing, Tong-jiko."
Lekas cu Ya khim menjura, katanya: "Kira-nya Tong-heng, sudah
la ma siaute ingin berkenalan-"
Tong Bun-khing tertawa, katanya: "Akupun sudah la ma dengar
nama besar Cu-heng."
Tak lupa Cu Ya-khim perkenalkan juga mere ka kepada Ban Jin-
cun dan Kho Keh-hoa.
Ban Jin-cun lantas berkata: "Entah Tong-heng dan Ling-heng
bagaimana bisa mencari ke te mpat ini?"
"Hanya kebetulan saja, kami berdua lewat di Tong-seng, kulihat
cu- piauko ter-buru2 mene mpuh perjalanan ke utara, entah apa
yang telah terjadi? Maka secara diam2 ka mi mengunt it ke mari," lalu
dia ceritakan kejadian yang baru la lu.
"Bangsat itu lari terbirit2, dala m ka marnya ini tentu ketinggalan
barang2nya, mari kita periksa bersama," de mikian usul Ban Jin-cun.
Demikianlah wa ktu mereka sibuk be kerja, tiba2 didengarnya
suara deru angin, Ban Jin- can cukup cerdik, le kas dia me mberi
tanda kepada yang lain supaya diam, pelan2 dia menyingkap gordyn
dan me longok keluar. Dilihatnya seekor burung dara pos tengah
hinggap di depan gubuk. seketika tergerak hatinya, lekas dia
menerobos keluar. Agaknya burung dara itu cukup terlatih, melihat
orang asing yang tidak di kena lnya, segera dia pentang sayap
hendak terbang pergi,
Sudah tentu Ban Jin-cun tidak berpeluk tangan, sigap dia
menje mput sebutir batu terus ditimpukkan, berbareng dia jejak ka ki,
badan me la mbung ke atas sambil ulur tangan menangkap burung
yang meluncur jatuh terkena timpukan batunya. Lekas Cu Ya-khim
ikut lari keluar, tanyanya: "Bagaimana Ban-heng?"
Dengan kedua tangan me megang burung dara jin-cun sudah
me langkah ba lik, katanya: "inilah burung dara pos."
Sementara itu Tong Bun -khing, Kho Keh-hoa dan Pui Ji-ping
juga sudah keluar. Ban Jin-cun bertanya: "Ada yang ditemukan di
dalam rumah?"
"Tiada, kecua li pakaian t iada benda2 lain di rumahnya."
Dari ka ki burung dara Ban Jin-cun melepaskan sebuah bumbung
kecil, la lu dituang keluarkan secarik kertas gulungan serta
dibeberkan dan dibaca, tulisan itu berbunyi:
"segera diperiksa asal usul Kiang-lotoa pemilik warung
teh Hin-liong di dermaga An-khing. orang ini ada sangkut
pautnya dengan para budak yang lari menculik Cu Bun-hoa
palsu, segera bekerja, jangan terlambat. Tertanda Tin.”
Mendelu hati Cu Ya-khim me lihat bunyi "Cu Bun-hoa pa lsu",
batinnya: "Entah siapa yang me ma lsu ayahku?"
Ban Jin-cun angsurkan kertas itu kepada yang lain, katanya:
"Peristiwa buda k2 lari, entah apa yang terjadi? Agaknya bertambah
ruwet persoalan dala m Kangouw."
Mendadak Pui Ji-ping berjingkrak kegirangan sambil goyang2
lengan Tong Bun-khing, teriaknya: "Jiko, jejak Piauko sudah
diketahui, tekas kita susul ke An-khing."
"Piaute, apa katamu?" tanya Cu Ya-khim heran- "Siapa Piaukomu
itu?"
Jengah muka Pui Ji-ping, katanya sambil mengawasi Tong Bun-
khing: "Panjang ka lau diceritakan, nanti kujelaskan, sekarang lekas
kita susul ke An-khing."
Cu Ya-khim menoleh kepada Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa,
tanyanya: "Ban heng dan Kh-o-heng mau pergi ke An- khing juga?"
"Ka mi hendak cari klomplotan He k-liong-hwe. dari tulisan ini
dapat kami simpulkan bahwa kasus larinya budak2 ini pasti ada
hubungannya dengan He k liong-hwe, sudah tentu kita akan pergi
kesana juga.
Girang Cu Ya-khim, katanya: "Syukurlah, kita masih
seperjalanan-"
Mimiknya yang berseri senang itu dia m2 di-perhatikan oleh Pui Ji-
ping, dalam hati ia me mbatin: "Agaknya Piauci sudah kasmaran
terhadap Ban Jin-cun ini."
ooo(000dw000)ooo

Layar sudah berkembang sehingga perahu laju dengan pesatnya


me lawan gelombang ombak sungai.
Waktu pintu ka mar dibuka, Cu Bun-hoa palsu yang mengenakan
jubah biru berjenggot hitam tampak duduk menyandang meja, mata
terpejam seperti tertidur. Pelan2 gordyn tersingkap. Giok-je, Ping-
hoa dan Liau-hoa satu persatu melangkah masuk. . Setelah berada
di dala m ka mar, Liau-hoa lantas berbisik: "Agaknya bukan dia."
Sebelum berlalu tadi. Giok-je telah menutuk Hiat-tonya, kini
orang tetap berduduk dalam sikap yang sama, sudah tentu dia
bukan orang berkedok tadi.
Giok-je menoleh kepada Liau-hoa maksud-nya supaya jangan
banyak bicara, pelan2 dia maju ke depan Ling Kun-gi, dengan
seksama ia me meriksa. Baru sekarang dia mau percaya, karena tadi
dia menutuk Ki-bun-hiatnya, sampai sekarang kain baju tepat
dibawah dada kiri mende kuk ke dala m sebesar kacang, jelas sejak
tadi dia t idak pernah bergerak. Tujuannya menutuk Hiat-to orang
bukan untuk mencegah orang bergerak. tapi henda k menjaja l
apakah kepandaian silatnya sudah pulih ke mbali.
Seperti diketahui, setiap "tamu agung" yang di "bertandang" ke
coat- sin- san-ceng semuanya sudah dicekoki racun pe mbuyar
Lwekang. Tapi kabar yang menyusul belakangan mengatakan waktu
Coat Sin-san-ceng di serbu musuh, Lok-san Taysu berempat sudah
pulih kepanda iannya sehingga Hian-ih-lo-sat menga la mi keka lahan
total. Cu Bun-hoa asli yang ada di Coat Sin-san-ceng itu ada lah
usaha selundupan Giok-je sendiri, kalau tiga yang lain sudah pulih
kepandaiannya, maka Cu Bun-hoa tentu juga sudah pulih
Lwekangnya.
Sejak terjadi peristiwa aneh di Sam-koan-tian mala m itu, di mana
secara mendadak dan di luar sadar mereka jatuh se maput serta
kedatangan orang berkedok di atas perahu tadi, diam2 Giok-je
sudah curiga hahwa se mua itu adalah ulah atau perbuatan orang
yang menya mar jadi Cu Bun-hoa ini.
oleh karena itu, sebelum berlalu tadi, dia mbang pintu mendadak
dia menutuk dengan kekuatan angin jarinya, kelihatan orang tidak
siaga dan tanpa melawan, ini me mbuktikan bahwa racun penawar
Lwekang dibadannya masih bekerja. Kini setelah terbukti bahwa
kecurigaannya me leset, dia lebih yakin bahwa orang berkedok yang
muncul tadi juga bukan orang yang menya mar Cu Bun-hoa ini.
Kalau bukan dia, lalu siapa? Jelas orang itu datang tanpa naik
perahu atau sampan, waktu pergi dia bawa sampan orang2 Hek-
liong-hwe, meluncur kira2 puluhan tombak, sampan itu tahu2 sudah
berhenti, sementara orang berkedok di atas sampan itupun lenyap
tak keruan parannya. Kecuali dia terjun ke air, hanya ada situ
ke mungkinan, yaitu dia menyelundup balik ke atas perahu. Analisa
ini me mang masuk aka l, tapi kini dia harus menumbangkan
rekaannya sendiri, sebab kecuali Cu-cengcu palsu ini boleh
dikatakan tiada orang lain yang patut dicurigai di atas perahu ini.
Sekian la ma Giok-je berdiri menjublek dihadapan Ling Kun-gi tanpa
bersuara.
"cici, bukankah engkau hendak me mbuka Hiat-tonya?" kata Ping-
hoa.
Mendadak tergerak hati Giok-je, la manggut2 dan menepuk seka li
dipundak orang untuk me m-buka hiat-tonya, mulutnya bersuara
lirih: "Cu-cengcu bangunlah"
Badan Ling Kun-gi sedikit bergetar, tiba2 dia me mbuka mata,
katanya sambil mengawasi Giok-je "Lohu tertidur sambil duduk.
entah waktu apa sekarang?"
"Sudah lewat lohor, tiba saatnya ma kan siang," sahut Giok-je,
Ping-hoa dan Liau hong sudah buka tenong dan keluarkan
hidengan dan arak ditaruh di atas meja.
Giok-je berpaling, katanya: "Kalian ke luar saja." lalu ia
mena mbahkan: "Cu-cengcu silahkan ma kan-"
Kun-gi berdiri, dilihatnya empat maca m hidangan sudah tersedia
di atas meja, sepoci arak dan seteko teh, tanyanya: "Apakah nona
sudah makan?"
"Ha mba sudah makan di luar," sahut Giok-je, la mengisi
secangkir arak dan disuguhkan kepada Ling Kun-gi, katanya dengan
tersenyum manis: "Yang tersedia di perahu hanya hidangan kasar,
harap Cu-cengcu makan seadanya saja."
Kun-gi tidak sungkan, baru saja dia angkat cangkir arak hendak
minum, mendadak cangkir dia turunkan pula, tanyanya: "Nona2
menolongku ke luar dari Coat Sin-san-ceng, tertunya punya maksud
tujuan tertentu?"
Giok-je pandang cangkir arak orang, sahutnya: "Cu-cengcu kuatir
hamba menaruh racun dalam arak? Ka lau begitu biarlah ha mba
minum dulu secangkir arak ini."
Kun-gi tertawa, katanya: "Nona tidak menjawab pertanyaanku,
itu berarti tidak mau me mberi keterangan-" Tanpa tunggu reaksi si
nona ke mbali ia angkat cangkir arak, ujarnya: "Lohu sudah terkena
racun penawar Lwekang di Coat Sin-san-ceng, buat apa nona harus
taruh racun lagi dala m arak ini, untuk ini Lohu t idak perlu kuatir."
Sekali tenggak ia habiskan arak itu.
Giok-je tertawa tawar, kembali dia isi cangkir orang, katanya:
"Cu-cengcu berhasil menawarkan getah beracun mereka, tentunya
tak perlu takut orang menaruh racun di dala m arak."
Kun-gi cukup cerdik, dia tahu orang sengaja hendak me mancing
keterangan dirinya tentang getah beracun itu, maka iapun sengaja
mengge leng, katanya: "Bicara soal obat penawar getah beracun itu,
terus terang Lohu sendiri juga tidak percaya akan hasil yang telah
kucapai itu."
"Tong-locengcu dari Sujwan adalah ahli racun di Bu-lim dan
terkenal sebagai dedangkotnya racun, sela ma tiga bulan dia tak
ma mpu berbuat apa2, namun Cu-cengcu hanya dalam tiga hari
berhasil menawarkan getah itu menjadi air jernih, se mua ini jelas
me merlukan pengetahuan luas dan pengala man yang dala m, tak
mungkin hanya terjadi secara kebetulan saja."
Kun-gi ge li, katanya sambil mengawasi Giok-je. "Jadi nona juga
yakin bahwa Lohu pasti bisa me nawarkan getah beracun itu?"
Giok-je menarik kursi dan duduk di sebelah sa mping, katanya
sambil me mbetulkan sanggul ra mbutnya: "Apa perlu dikatakan lagi,
bukankah sudah terbukt i Cu-cengcu berhasil menawarkan getah
beracun itu?"
"Ya, oleh karena itulah Lohu menduga nona me njalankan
perintah menyelundupkan Lohu ke luar dari Coat-siu-sau-ceng,
tentunya punya tujuan tertentu bukan?"
Giok je me lengos dari tatapan tajam Ling Kun-gi, katanya:
"Pandangan Cengcu me mang tajam dan teliti, untuk ini hamba tidak
perlu mungkir lagi"
"Kalau begitu, kenapa nona t idak berterus terang kepada Lohu?"
"Bukan ha mba t idak ma u menerangkan, soalnya apa yang ha mba
ketahui amat terbatas, ini disebabkan oleh kedudukan ha mba, ada
persoalan yang tak boleh dibocorkan kepada orang luar."
"Tak banyak yang ingin kuketahui, misalnya nona dari Pang atau
Hwe mana, ke mana Lohu hendak dibawa, soal ini tentu nona bisa
me mberi keterangan?"
Terunjuk sikap serba salah pada wajah Giok-je katanya setelah
menepekur sebentar:
"Bicara terus terang, ka mi dari.....dari Pek-hoa-pang......"
Sebetulnya Ling Kun-gi sudah tahu, dengan tersenyum dia
berkata: "Pek-hoa-pang, bukan saja na manya segar dan enak
didengar, tentunya anggota Pang kalian seluruhnya terdiri dari kaum
hawa?"
Merah muka Giok-je, tapi dia manggut2.
"Ke mana Lohu henda k dibawa?"
"Hal ini ha mba tidak berani menjelaskan."
"Tentunya tujuan kita adalah suatu tempat yang terahasia sekali?
Lalu siapa na ma ge laran Pangcu kalian?"
Berkedip2 bola mata Giok-je, katanya dengan tertawa nakal:
"Setelah Cengcu tiba di sana dan berhadapan dengan Pangcu, boleh
kau tanya sendiri."
"Jadi nona tak berani menerangkan?""
"Cu-cengcu jangan me mancing, hamba adalah anak buahnya,
betapapun hamba t idak berani se mbarang menyebut na ma gelaran
Pangcu."
Sesaat lamanya keduanya bungkam, suasana menjadi hening
sekejap. Kun-gi sikat hidangan yang tersedia, kejap lain Ping-hoa
dan Liau-hoa sudah bereskan piring mangkuk, lalu me nyuguh
secangkir teh. Giok-je berdiri serta me mberi hormat, kata-nya:
"Silakan Cengcu istirahat, hamba mohon diri."
Dengan langkah le mbut dia lantas ke luar. Beruntun dua hari,
kecuali Ping-hoa dan Liau-hoa yang me ladani makan minumnya,
Giok-je tidak pernah unjuk diri. Agaknya dia sudah kapok dan
berlaku hati2 terhadap Ling Kun-gi, banyak bicara tentu bisa
kelepasan omong, ma ka lebih baik dia hindari bicara atau ngobrol
dengan Ling Kun-gi.
Selama itu Kun-gi juga tida k keluar ka mar, tapi dia tahu bahwa
kamar te mpat tinggalnya selalu diawasi orang,jelas mereka adalah
Liok-piauthau dari Bau-seng-piau-kiok dan anak buahnya. Kamar
belakang yang terletak di buritan dan terpisah oleh dinding papan
dengan ka mar Ling Kun-gi adalah ka mar tingga l Giok-je bertiga.
Selama dua hari ini Giok-je se mbunyi dala m ka mar, dari celah2
dinding papan secara diam2 selalu dia mengawasi gerak-gerik Ling
Kun-gi. Tapi Kun-gi pura2 t idak tahu.
Perjalanan dua hari ini mereka lewatkan dengan tenang dan
tenteram, tak pernah bentrok atau bersua dengan orang2 Hek-
liong-hwe lagi. Hari kedua setelah nakan malam, cuaca sudah gelap,
terasa perahu ini seperti me mbelok me masuki sesuatu selat.
Biasanya di waktu petang perahu me mang cari tempat yang
terlindung dari hujan badai, tapi hari ini sudah ge lap, perahu masih
terus laju dengan kecepatan sedang, malah selat ini rasanya terlalu
sempit dan belak-belok ke kanan-kiri, ini terasa dari seringnya
perahu oleng ke kanan atau ke kiri.
Peralatan perahu ini serba lengkap, tapi tiada me mbawa la mpu
atau lentera sehingga keadaan dala m perahu a mat ge lap, ma ka
para kelasi bekerja mengandalkan ke mahiran dan penga la man saja.
Kira2 setengah jam kemudian hingga hampir mende kati kentongan
pertama, laju kapal baru mulai terasa tenang, tak lama lagi
terdengar suara rantai gemerincing, agaknya kelasi menurunkan
jangkar menghentikan perahu, suara ombak berdebur2 kiranya
kapal telah merapat di dermaga.
Dala m keheningan itulah, tiba2 pintu diketuk pelahan, lalu
terdengar suara Liau-hoa berkata: "Apakah Cu cengcu sudah tidur?"
Sengaja Kun-gi mengge liat seperti terjaga dari tidurnya, tanyanya
dengan suara parau: "Siapa ?"
"Ha mba Liau-hoa," sambut orang di luar pintu, "sila kan Cengcu
mendarat."
"O,jadi sudah sampa i tempat tujuan ?" tanya Kun-gi, "tunggu
sebentar, segera Lohu ke luar."
Sengaja dia malas2 mengenakan paka ian, lalu me mbuka pintu.
Tampak Liau-hoa menenteng sebuah lampion yang terbuat dari kulit
hitam, maka sekelilingnya tetap gelap, cahaya lampu hanya
remang2.
Melihat Kun-gi keluar, lekas Liau-hoa me mberi hormat, katanya:
"Mala m pe kat, harap Cengcu ikuti hamba" La lu dia mendahului
beranjak ke sana.
Mata Kun-gi bisa me lihat di tempat gelap, walau mala m pekat dia
masih bisa me lihat jelas keadaan sekelilingnya. Ternyata perahu
berhenti disuatu tempat penuh belukar, tak jauh di sebelah depan
adalah hutan lebat, lebih jauh lagi adalah tanah pegunungan yang
semakin meninggi. Ping-hoa tampa k berdiri dipinggir sungai,
tangannya juga me mbawa la mpion berkerudung kulit hita m,
agaknya hendak menyambut dirinya. Beberapa tombak di daratan
tersebar puluhan orang berseragam hita m, itulah Liok Kiau-la m
bersama anak buahnya serta orang2 Kiang-lotoa, semuanya
bersenjata lengkap, penjagaan ketat,jelas mereka kuatir kalau
dirinya melarikan diri. Kun-gi anggap tida k melihat, dia ikuti Liau-
hoa terus naik ke daratan. Di tempat atas berhenti sebuah kereta
yang tertutup rapat, Ping-hoa berhenti di samping kereta, katanya
sambil angkat la mpion t inggi: "Cu-cengcu naik ke atas kereta."
Waktu Kun-gi naik ke dala m kereta, tampak Giok-je sudah duduk
di situ, disusul Ping-hoa dan Liau-hoa juga naik, keduanya
padamkan la mpion, duduk di dua sisi.
Kusir kereta segera tarik tali kendali menjalankan kereta. Dalam
kereta gelap gulita, lima jari tangan sendiri juga tidak kelihatan,
masing2 duduk tegak tak bergerak dan tak bersuara, maka suasana
menjadi hening mence ka m. Akhirnya Kun-gi tidak tahan, setelah
menarik napas panjang.dia buka suara: "Kenapa belum sa mpa i juga
?"
Giok-je terpaksa berkata. "Cu-cengcu bisa beristirahat saja,
setelah sampai nanti ha mba me mberi tahu."
"Agaknya nona segan berbicara dengan Lohu," kata Kun-gi.
"Cengcu adalah tamu agung Pang kita, mana ha mba berani
kurang adat? Soalnya peraturan Pang kami a mat keras, banyak
bicara pasti ke lepasan omong, terpaksa ha mba bungka m saja."
"Me mangnya banyak persoalan yang ingin Lohu ajukan, agaknya
sebelum t iba di te mpat tujuan Lohu tidak akan me mperoleh
jawaban."
"Betul, kedudukan ha mba rendah, apa yang Cengcu ingin ketahui
mungkin ha mba tida k bisa me nerangkan, tapi setiba di te mpat
tujuan pasti ada orang yang ditugaskan melayani Cengcu, semua
pertanyaan pasti terjawab dengan me muaskan." Habis berkata
Giok-je pe luk tangan duduk ke be lakang serta pejamkan mata.
Begitulah tanpa terasa beberapa jam telah berlalu, kereta yang
berjalan di atas tanah pegunungan berbatu berguncang dengan
hebatnya, kini me ndadak berjalan dengan enteng dan rata, derap
kuda-pun terdengar pelahan teratur dan berirama, kiranya kereta
sudah berada dijalan raya yang lapang dan rata.
Kira2 satu jam lagi baru kereta berhenti, lima tombak disebelah
kanan sana terdengar ada orang membuka sebuah pintu besar,
cepat kereta bergerak pula ke depan. Hanya sejenak lagi akhirnya
kereta benar2 berhenti.
Terdengar suara kusir kereta berseru lantang: "Hoa-kongcu
sudah sampai, Giok-je sudah berpakaian pere mpuan, tapi orang
masih me manggilnya Hoa-kongcu..
Begitu kusir me mbuka pintu, Ping-hoa dan Liau-hoa mendahului
me lompat turun. Melihat Kun-gi me meja mkan mata, Giok-je kira
orang tertidur pulas, maka ia me manggil lirih: "Bangunlah Cu-
cengcu, kita sudah sa mpa i."
Waktu Kun-gi me langkah turun, dilihatnya dua gadis re maja
berpakaian serba hijau me mhawa la mpion berdiri di kanan kiri.
Waktu dia angkat kepala ternyata mereka sekarang berada di
sebuah pekarangan dari sebuah gedung besar.
"Silakan masuk" kata Giok-je yang turun terakhir dari kereta.
Kedua gadis re maja pe mbawa la mpion segera bergerak lebih dulu
menunjukkan jalan.
Tanpa bersuara Kun-gi ikut i langkah mere ka me masuki sebuah
lorong panjang yang tembus pada sebuah pekarangan, di depan
berderet tiga buah petak bangunan, tanaman bunga bertebaran rapi
dan teratur, suasana sejuk nyaman. Kedua gadis re maja bawa
mereka menuju ke gedang sebelah kiri, langsung dorong pintu terus
me langkah masuk, Giok-je berkata: "Silahkan masuk Cu-cengcu."
Kuw-gi melangkah masuk, ta mpak me ja kursi lengkap, pajangan
kamar ini serba berke lebihan, mepet dinding sebelah kiri terdapat
sebuah ranjang kayu besar yang terukir indah, kasur seprei dan
bantal guling serba baru. Giok-je berada di belakangnya.
Katanya dengan tertawa: "Inilah ka mar untuk Cu-cengcu, ka mar
sebelah adalah ruang perpustakaan, entah Cu-cengcu kerasan tidak
tinggal di sini?"
Kun-gi tertawa sambil menge lus jenggot, katanya: "Baik sekali,
setelah berada di sini, tidak kerasan juga harus kerasan, rasanya
Lohu masih bisa menyesuaikan diri."
Seorang gadis remaja yang lain datang membawa kan sebaskom
air buat cuci muka.
Giok-je segera menuding gadis remaja ini, katanya: "Dia,
bernama Sin-ih, khusus tugasnya disini meladeni segala keperluan
Cu-cengcu, kalaun perlu apa2 boleh Cengcu berpesan padanya"
Kun-gi pandang nona bernama Sin-ih ini, usianya sekitar tujuh-
belasan, alisnya lentik melengkung, wajahnya molek dan mungil,
kulitnya yang putih bersemu merah, ditambah pupur yang
semerbak, ke lihatan agak kurang wajar.
Lekas Sin-ih melangkah maju serta me mberi hormat, katanya:
"Ha mba menyampaikan hormat dan selamat datang kepada Cu-
cengcu, ada perlu apa2 silahkan Cengcu pesan saja kepada ha mba."
"Cu-cengcu tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh,
biarlah ha mba mengundurkan diri saja," kata Giok je.
Kun-gi tahu orang terburu2 hendak me mberi laporan kepada
Pangcunya, maka dengan tertawa dia berkata: "Nona sendiri tentu
juga letih dan perlu ist irahat, silakan saja."
Waktu Giok-je keluar, Kun-gi menutup pinggir jendela mencuci
muka, belum lagi dia duduk Sin—ih sudah menyuguhkan secangkir
teh. Kun-gi menerimanya dan meneguknya sekali la lu ditaruh di
meja, katanya: "Lohu ingin t idur, nona tida k usah repot2 lagi."
"Ha mba bertugas disini, kalau sa mpa i Cengcu kurang puas dan
pekerjaan tidak beres, bila ketahuan Congkoan, tentu hamba bisa
dihukum."
"Tida k, Lohu tidak ingin bikin repot kau, boleh kau pergi tidur
juga . Eh, nanti dulu, siapakah Cong-koan kalian?"
"Congkoan berna ma Giok-lan, apa Cengcu ada pesan?"
"Tida k, Lohu hanya tanya sambil lalu saja. Kau boleh pergi."
Sin-ih mengundurkan dan merapatkan pintu sambil mengawasi
bayangan orang, diam2 Kun-gi me mbatin: "Nona ini terang
mengenakan topeng kulit yang tipis."
Bahwa dirinya me mbe kal Pi-tok-cu dan Jing-sin-tan pe mberian
nona Un, maka dia tidak perlu takut terhadap segala racun dan obat
bius, walau berada di sarang harimau, hatinya tetap tenteram dan
sikapnya wajar. Dia yakin Pek-hoa-pang tentu juga punya tujuan
tertentu terhadap dirinya. Malam sudah larut, dia tahu besok pasti
banyak urusan yang me libat dirinya, segera dia tanggalkan paka ian
terus merebahkan diri. Mala m ini dia tidur dengan pulas. waktu
bangun hari sudah terang tanah, lekas di kenakan pakaian, buka
pintu dan me langkah ke luar.
Sin-ih sudah menunggu di luar ka mar, melihat Kun-gi keluar
segera dia tertawa, sapanya sambil me mbungkuk: "Sela mat pagi
Cu-cengcu."
"Sela mat pagi nona" Kun-gi ba las menyapa.
"Ha mba tak berani di panggil begitu, panggil na ma ha mba saja"
Sin-ih terus lari menuju ke belakang sa mbil berkata: "Ha mba akan
bawakan air untuk cuci muka."
Lekas sekali dia sudah ke mbali me mbawa sebaskom air dan
handuk hangat, selesai Kun-gi cuci muka, iapun menyiapkan se meja
hidangan di ka mar ta mu sebelah, katanya: "Silakan Cengcu sarapan
pagi."
Kun-gi melangkah ke ka mar sebelah, tersipu2 Sin-ih tarik kursi
menyilakan dia duduk, tanpa bicara Kun-gi habiskan dua mangkuk
bubur, habis makan Sin-ih sudah sodorkan sapu tangan putih pula
untuk me mbersihkan mulut dan tangan. Pada saat itulah dari luar
pekarangan terdengar derap langkah pelahan, tampak seorang
perempuan cantik berpakaian serba putih muncul di a mbang pintu.
Kecuali ra mbutnya yang hitam lega m mengkilap, sekujur badan
perempuan cantik ini serba putih laksana salju, sampaipun
perhiasan disanggulnya juga berwarna putih, perawakannya
sema mpai, tak ubahnya seperti dewi dari kahyangan. Begitu melihat
perempuan cantik ini Sin-ih segera berbisik: "Cu cengcu, Congkoan
telah datang."
Mendengar perempuan re maja berpakaian serba putih, ini adalah
Pek-hoa-pang Congkoan yang berna ma Giok-lan, lekas Kun gi
berdiri. Se mentara itu gadis jelita itu sudah masuk ke ka mar ta mu,
dia me mberi hormat kepada Kun-gi serta menyapa: "Cu-cengcu
datang dari jauh, maaf ha mba terla mbat menyambut."
"Terlalu berat kata2 nona, mana Lohu berani menerima
kehormatan setinggi ini."
Setelah berhadapan baru Kun-gi me lihat jelas alis orang yang
me lengkung bulan sabit seperti dilukis, bola matanya bersinar
cemerlang bak bintang kejora, hidung mancung bibir tipis seperti
delima merekah, begitu cantik, begitu molek, sikapnya agung
berwibawa pula. Cuma kulit mukanya, kelihatan rada pucat. Sekilas
pandang Kun gi lantas tahu bahwa gadia secantik bidadari ini
ternyata juga mengena kan kedok muka.
Maklumlah gurunya Hoan-jiu-ji-lay, pada 50 tahun yang lalu
adalah ahli tata rias, begitu besar dan tersohor na manya di Bu-lim,
sebagai murid tunggal yang mewarisi segala kepandaian gurunya,
sudah tentu Kun-gi cukup ma hir pula me mbedakan wajah orang
apakah dia dirias atau pa kai kedok,
Dengan tersenyum manis gadisjelita ini berkata: "Hamba
bernama Giok-lan, menjabat Congkoan dalam Pang kita, mohon Cu-
cengcu suka me mberi petunjuk,"
Matanya ber kedip2 la lu mena mbahkan dengan tawa manis:
"Pangcu dengar Cu-cengcu telah tiba, maka senangnya bukan main
dan aku diutus ke mari untuk me mbawa Ceng-cu menghadap
beliau."
"Losiu sudah ada di sini, me mang sepantasnya mene mui Pangcu
kalian," ujar Kun-gi.
"Pangcu sudah menunggu di Sian-jun-koan, silakan Cu-cengcu?"
"Terima kasih, nona silahkan dulu."
Giok-lan segera mendahului berjalan keluar. Tanpa bersuara Kun-
gi mengikut di belakangnya. Keluar dari pekarangan mere ka
menyusuri sera mbi pinggir rumah, bangunan gedung di sini
berlapis2 dike lilingi serambi yang berliku2 pula. Jelas Giok-lan juga
mengenakan kedok muka yang buatannya halus dan tipis sekali
untuk menyembunyikan muka aslinya. Orang jalan di depan, Kun-gi
me lihat kuduk lehernya putih halus, rambutnya yang terurai legam
halus bak sutera, langkahnya lembut gemulai, lenggak-lenggok
dengan perawakan yang sema mpai, begitu elok menggiurkan,
pakaiannya yang serba putih halus melambai tertiup angin
me mbawa bau harum yang menimbulkan ga irah setiap laki2.
Siapapun apa lagi dia masih jejaka, kalau berjalan di belakangnya,
pasti timbul pikiran bukan2. Kun-gi bukan pe muda bergajul, bukan
laki2 mata keranjang, tapi toh dia merasa jantung berdebar,
pikirannya jadi butek dan napas sesak, berapa jauh dan tempat apa
saja yang mereka lewati tidak diperhatikan lagi. Cepat sekali mereka
sudah tiba di depan sebuah gedung berloteng yang di luarnya
dikelilingi tana man bunga dan pepehonan rindang.
Gedung yang satu ini bangunannya serba ukiran, dicat berwarna
warni disesuaikan dengan bentuk ga mbar ukiran sehingga kelihatan
semarak, tepat di atas pintu melintang sebuah pigura besar yang
bertuliskan t iga huruf "Sian-juu-koan".
Giok-lan berhenti di depan pintu sambil me mba lik badan,
katanya: "Sudah sampai, silakan Cengcu masuk"
Kun-gi tertawa, katanya:, "Losiu baru datang, silakan nona
tunjukkan jalan."
Giok-lan tertawa, dia bawa Kun-gi masuk ke da la m, kemba li
mereka menyusuri sera mbi yang dipagari ba mbu, serambi ini
dirancang sedemikian rupa sesuai keadaan taman yang di-petak2, di
dalam petak2 yang dipagari bambu itu ditanami berbagai maca m
bunga dari jenis yang sukar dicari. Akhirnya mereka tiba di depan
tiga deret villa mungil, kerai ba mbu menjuntai menutupi keadaan
dalam villa.
Di depan pintu berdiri dua gadis menyoreng pedang, melihat
Giok-lan datang me mbawa Ling Kun-gi, mereka me mberi hormat
serta menyambut dengan suara lirih:" Pangcu sudah me nunggu,
silakan Congkoan bawa ta mu ke da la m.."
Lalu seorang di antara mereka me nyingkap kerai.
Giok-lan angkat tangannya, katanya: "Silakan Cu-cengcu."
Sedikit mengangguk Kun-gi terus melangkah ke dala m. Di dala m
adalah sebuah ruang yang cukup luas,jendela berkaca, meja kursi
tampak mengkilat bersih, sampa ipun lantainya yang terbuat dari
papan kayupun me mancarkan cahaya kemilau, lukisan menghias
sekeliling dinding, pajangannya a mat serasi, mentereng tapi
sederhana. Di sebuah kursi cendana besar di sana berduduk
seorang perempuan berpakaian gaun kuning, wajahnya tertutup
kain sari. Melihat Giok-lan me mbawa Ling Kun-gi segera ia
berbangkit, bibirnyapun bergerak, katanya: "Cengcu datang dari
jauh, kami terla mbat menyongsong, mohon Cengcu me mberi maaf."
Suaranya lembut nyaring, seperti kicau burung kenari.
Sekilas Kun-gi melenggong, perempuan gaun kuning ini terang
adalah Pek-hoa-pang Pangcu, tapi dari suaranya jelas usianya tentu
masih muda belia. Giok-lan yang ada di samping Ling Kun-gi segera
berkata- "Cu-cengcu, inilah Pangcu ka mi."
Kun-gi tergelak2, katanya sambil merangkap tangan: "Pangcu
mengepala i kaum hawa, beruntung Losiu dapat bertemu."
Pek-hoa-pangcu angkat tangan kirinya, kata-nya merdu: "Silakan
duduk, Cu-cengcu"
Sambil menge lus jenggot Kun-gi mengha mpiri kursi yang di
tunjuk serta berduduk setelah sang Pangcu duduk, Giok-lanpun
duduk di kursi sebelah bawahnya. Pelayan remaja berpakaian pupus
segera menyuguhkan minuman.
Kun-gi batuk2 lirih, matanya terangkat mengawasi Pek-hoa-
pangcu serta memberi hormat, kata-nya: "Pangcu mengutus. nona
Giok-je me mbawa Losiu ke mari dari Coat Sin-san-ceng, entah ada
keperluan apa? mohon petunjuk.."
"Tida k berani me mberi petunjuk," ujar Pek—hoa-pangcu, "Giok-je
me mbawa Cengcu ke mari tanpa mendapat persetujuan Cu-cengcu
sendiri, sebagai Pek-hoa pangcu, kami mohon Cu-cengcu
me maafkan kesalahan ini, soalnya Pang ka mi me mang me merlukan
bantuan Cu-cengcu yang amat berharga dan besar sekali artinya,
untuk itu mohon Cu-cengcu ma klum."
Tutur katanya halus, enak didengar, umpa ma scorang yang
sedang naik pitam juga pasti akan reda amarahnya, apalagi Ling
Kun-gi me mang punya maksud tertentu, hakikatnya dia tidak pernah
merasa sakit hati.
Maka dengan mengelus jenggot dia berkata sa mbil tersenyum:
"Berat ucapan Pangcu, entah persoalan apa? sukalah Pangcu
menje laskan, Losiu siap mendengarkan."
Sorot matanya tajam menatap wajah orang di balik cadar itu.
Agaknya Pek hoa- pangcu sadar, sorot matanya yang bersinar di
balik cadar lekas me lengos, katanya kalem: "Soal ini menyangkut
kepentingan Pang kami, bahwa kami telah mengundang Cengcu
ke mari dengan susah payah, sukalah Cengcu me mberi bantuan
seperlunya."
"Kalau soa l itu a mat penting bagi Pang kalian Losiu pasti akan
bekerja sekuat tenaga, silakan Pangcu jelaskan dulu, supaya Losiu
dapat menimbangnya."
Senang hati Pek- hoa-pangcu, katanya: "Jadi Cu-cengcu
menerima permohonan ka mi."
"Pangcu belum menjelaskan persoalan apa sebenarnya."
Giok-lan segera menyela bicara: "Soal ini, Cu cengcu sudah
me mperoleh sukses yang besar, tentunya tidak akan menjadi
kesulitan lagi."
"O, ya," ajar Pek- hoa-pangcu, "bahwa Cu-cengcu sudah
menyanggupi. Pang kita pasti akan me mberi imba lan besar yang
setimpal."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: "Tadi Losiu sudah bilang, asal
bukan soal yang merugikan orang lain, bukan kejahatan yang
me langgar perike manusiaan, sekiranya tenaga losiu mengiz inkan,
dengan suka hati akan kubantu, soal imbalan tidak pernah
kupikirkan."
Tampak wajah Pek-hoa-pangcu yang tersembunyi di balik cadar
mengunjuk rasa melenggong, katanya kagum: "Cu-cengeu berhati
bajik, mohon maaf akan kata2ku yang telanjur tadi."
"Pangcu," ujar Giok-lan, "Biarlah ha mba yang menje laskan soal
ini kepada Cu-cengcu."
Pek-hoa-pangcu manggut2, "Begitupun baik" katanya.
"Sudah setengah tahun pihak Hek-liong-hwe menculik Lok-san
Taysu, Tong Thian-jong dan Un It-kiau kedala m Coat- sin-san-ceng
untuk me mbuat obat penawar getah beracun itu tanpa berhasil, tapi
Cu-cengcu dala m jangka tiga hari telah berhasil me mbikin getah
beracun itu menjadi a ir jernih, entah hal ini betul t idak?"
"Ya, kejadian me mang de mikian," sahut Kun-gi, "Tapi . . . . "
mendadak ia merandek.
"Tapi apa?" tanya Pek-hoa-pangcu.
"Sebetulnya Losiu sendiripun t idak habis pikir a kan kejadian itu."
"Lho, kenapa de mikian?" tanya Giok-lan.
"Bicara terus terang, waktu itu Losiu sebetul-nya tidak punya
pegangan apa2, hanya secara sekenanya kupungut obat ini
dica mpur dengan obat itu, lalu kucoba atas getah beracun itu,
demikianlah secara beberapa kali kubuat bubuk obat dari berbagai
racikan. tak terduga suatu ketika getah beracun yang kental hitam
itu berubah jadi air jernih. Hahaha, setelah getah beracun itu
berubah jadi air jernih, Losiu sendiri juga tidak ingat lagi berapa
maca m obat yang kuaduk sa mpai menimbulkan hasil yang -positip
itu."
"Itu bukan soal sulit," kata Giok-lan, "sedikitnya Cu-cengcu sudah
berhasil meski baru langkah permulaan untuk menawarkan getah
beracun itu, selanjutnya pasti tidak akan sulit me mperoleh obat
tulennya."
"Sulit, sulit," ujar Kun-gi menggeleng2 "Lo-siu sudah bilang, hasil
itu hanya secara kebetulan, hakihatnya tidak punya keyakinan
sedikitpun."
Giok-lan tersenyum: "Sela ma tiga hari berada di Coat Sin-san-
ceng Cu-cengcu telah mengambil berjenis obat racikan, semua
nama obat dan kadar timbangannya sudah dicatat oleh pihak ka mi,
menjadi suatu daftar yang terperinci,jadi obat yang tulen untuk
menawarkan getah beracun itu pasti terdapat di antara ke12 maca m
obat2an itu, asal Cu-cengcu sedikit tekun dan rajin meracik berbagai
maca m obat itu, tak sukar me mperoleh obat tulennya."
Kun-gi sudah tahu tentang pencatatan secara rahasia oleh Giok-
je di Coat Sin-san-ceng itu, tapi dia pura2 kaget, katanya: "Jadi
Pang kalian tahu selama tiga hari itu aku menggunakan bermaca m
obat racikan?"
"Pek-hoa-pang me mang jarang berkecimpung di Kangouw, tapi
tiada suatu hal atau kejadian di kolong langit ini yang tidak diketahui
oleh Pang ka mi, barang apapun yang kami inginkan, umpa ma suatu
benda yang paling rahasia di dunia ini juga bisa ka mi usahakan
untuk me mperolehnya," demikian kata Giok-lan dengan nada
bangga.
Kun-gi pandang kedua orang dengan heran, tanyanya ragu2:
"Lalu apa kehendak ka lian atas diriku?"
"Cu-cengcu luas pengala man dan cerdik panda i, kenapa tidak
menebaknya saja?" kata Giok-lan ma in teka-teki.
Kun-gi sengaja menggeleng sa mbil garuk2 kepala, tanyanya:
"Me mangnya Pang kalian juga ingin aku menyelidiki obat penawar
getah beracun itu?"
Pek-hoa-pangcu terkikik riang, katanya: "Pandangan Cu-cengcu
me mang tajam dan tepat tebakannya."
Tergerak hati Kun-gi, tanyanya: "Pang kalian dan piha k Coat-siu-
sau-ceng sama2 ingin me ncari obat penawar getah beracun itu,
me mangnya apa tujuanmya?"
"Soal ini terpaksa harus kita rahasiakan untuk sementara, tapi
atas nama Pang dan seluruh jiwa anggota kami, aku berjanji bahwa
usaha kita ini hanyalah demi mencari obat penawar getah beracun
itu,jadi tidak untuk mela kukan kejahatan mencelaka i orang lain,
kalau janji ka mi ini dilanggar, Pek-hoa-pang akan tersapu bersih dari
permukaan bumi, seluruh anggota ka mi mati tanpa liang kubur.
Tentunya Cu-cengcu dapat menerima sumpah ka mi dan mau
percaya bukan?"
"Terlalu berat ucapan nona, baiklah kupercaya saja," ujar Kun-gi.
Giok-lan tertawa: "Jadi Cu-cengcu sudah menerima tawaran
kami?"
Tujuan Kun-gi me mbiarkan dirinya diselundupkan ke luar dari
Coat- siu-sau-ceng dan dibawa ke Pek-hoa-pang ini adalah mencari
jejak ibunya. Tapi persoalan yang dihadapinya ini ke mbali menarik
perhatiannya.
Coat Sin-san-ceng, alias Hek-liong-hwe de mi me mperoleh obat
penawar getah beracun telah mengguna kan muslihat dengan
menculik Tong Thian—jong, Un It-kiau dan Lok-san Taysu, serta
Ciam—liong Cu Bun-hoa. Kini muncul lagi Pek-hoa-pang yang
menggunakan aka l muslihat menyelundupkan dirinya ke te mpat ini,
tujuannya ternyata juga mencari obat penawar getah beracun itu,
Kenapa mereka sama2 berusaha mencari penawar getah beracun
itu?
Apakah sebetulnya getah beracun itu? Bukan mustahil dala m
peristiwa ini ada latar belakang yang teramat besar artinya?
Sehingga timbul perebutan dan saling gontok kedua perkumpulan
rahasia ini? Otak Kun-gi yang cerdik sudah bekerja keras, tapi tak
berhasil me mperoleh jawaban yang me muaskan.
Melihat orang menepekur sekian la manya, akhirnya Pek-hoa-
pangcu bertanya: "Kenapa Cu-cengcu dia m saja?. Berubah pikiran
kiranya?"
Kun-gi menduga bahwa ibunya mungkin diculik orang2 Pek-hoa-
pang, maka disa mping mengulur waktu mencari kesempatan, dia
pura2 bimbang, akhirnya dia angkat kepala dan berkata: "Baik-lah,
aku menerimanya."
Cemerlang sinar mata Pek-hoa-pangcu dari balik cadar, katanya
tertawa senang: "Apa betul?"
"Losiu sudah terima dan berjanji, sudah tentu akan kutepati" ujar
Kun-gi.
"Baiklah," kata Giok-lan.
"Pangcu masih ada pesan apa?"
"Cu-cengcu sudah setuju, urusan selanjutnya boleh kau saja
yang mengaturnya," demikian pesan Pe k-hoa-pangcu.
Giok-lan menyia kan.
Pembicaraan sudah diakhiri sa mpai di sini, pelan2 Kun-gi lantas
berdiri, katanya sambil menjura: "Pangcu tiada urusan lain, baiklah
kuminta diri saja."
Tadi Giok-lan yang me mbawa Kun-gi ke mari, maka iapun ikut
berdiri, tapi secara diam2 dia me mberi lirikan mata kearah Pek-hoa-
pangcu.
Mendadak Pek-hoa pangcu mengawasi Kun-gi, katanya: "Silakan
Cengcu duduk lagi sebentar."
Terpaksa Kun-gi duduk ke mba li, tanyanya, "Pangcu masih ada
pesan apa?"
"Kaupun harus duduk," kata Pek-hoa-pangcu kepada Giok-lan.
Giok-lan tersenyum, iapun duduk pula di te mpatnya..
Menatap muka Ling Kun-gi, berkata Pek-hoa -pangcu: "Masih ada
satu hal ingin ka mi mohon petunjuk Cengcu, entah bagaimana aku
harus mula i bicara?"
"Pangcu henda k tanya soal apa?" tanya Kun-gi.
Dengan ragu2 berkatalah Pek-hoa-pangcu: "Ka lau kukatakan
harap Cengcu tidak berkecil hati."
"Kalau Pangcu anggap perlu dibicarakan, sila kan katakan saja"
"Ka mi berpendapat bahwa Cu-cengcu sudah setuju bekerja sama
dengan setulus hati dan sejujurnya, ma ka kiranya perlu ka mi
berterus terang, bila Cu-cengcu sendiri juga punya kesulitan,
kamipun tidak akan me ma ksa."
Kun-gi tertawa lebar, katanya lantang: "Seorang laki2 sejati
menghadapi persoalan t idak boleh ragu2, bila urusan me mang bisa
kubicarakan, tentu takkan kuse mbunyikan."
"Syukurlah kalau begitu," kata Pek-hoa-pangcu, sorot matanya
yang bening bersinar menatap wajah Kun-gi lekat2, katanya
ke mudian: "Ka mi dengar bahwa Hian-ih-lo-sat telah me mbekuk
seorang tua di Liong-bun-oh, setelah mukanya dicuci dengan arak
obat, ternyata dia adalah Cu-cengcu dari Liong—bin-san ceng yang
tulen, Hian-ih-lo-sat juga sudah me mpertemukan kedua Cu-cengcu
tulen dan palsu itu, tentunya hal ini benar2 terjadi?"
Giok-je adalah anak buah Pek-hoa-pang, bukan mustahil kalau
hal inipun sudah diketahui oleh Pe k-hoa-pangcu. Maka Kun-gi
mengangguk, katanya: "Me mang betul ada kejadian begitu."
"Jika de mikian, disinilah letak persoalan yang ingin ka mi ketahui,
entah mana di antara kedua Cengcu yang tulen dan palsu?" sa mpa i
disini mendadak dia mena mbahkan: "Tadi ka mi sudah bilang, ka lau
Cu cengeu tak mau menjawab, ka mi tidak akan me ma ksa."
Kun-gi menghe la napas katanya tertawa: "Pangcu memang
cerdik, sebagai pimpinan se kian banyak orang pintar, tentunya bisa
menebaknya?"
Pek-hoa-pangcu menggigit bibir, katanya sambil tertawa lirih:
"Kalau Cu-cengcu sendiri tidak mau menerangkan, terus terang
kami t idak dapat meneba knya."
"Ah, kenapa sungkan, kenapa tidak katakan saja bahwa Pangcu
curiga bahwa diriku bukan Cu Bun-hoa?"
"Jadi kau ini Cu Bun-hoa?" desak Pek-hoa pangcu.
"Aku me mang bukan Cu Bun-hoa," sahut Kun-gi tegas.
Pek, hoa-pangcu melengak, sorot matanya menjadi terang,
tanyanya: "Kau bukan Cu Bun-hoa, lalu kau ini.... "
"Cayhe Ling Kun-gi"
"O,jadi engkau Ling-lotiang, engkau merias wajahmu, betul
tidak?"
"Betul, Cayhe menyaru sebagai Cu-cengcu, tujuanku
menyelundup ke Coat Sin-san-ceng untuk, mencari jejak seseorang"
Agaknya Pek-hoa-pangcu tidak me mperhatikan beberapa patah
katanya ini, sekian saat dia awasi Ling Kun-gi, katanya: "Ling-lot iang
sudah mau terus terang, setelah berada di dalam Pang kita, ku-kira
tidak perlu menyamar lagi, entah sudikah engkau me mperlihatkan
wajah aslinya kepada ka mi?"
"Boleh saja" ucap Kun-gi tertawa, "tapi setelah aku mencuci
muka, apakah Pangcu sendiri juga sudi me mperlihatkan wajah
aslimu?"
"Maksud Ling-lot iang minta ka mi menangga lkan cadar ini?"
"Untuk kerja sa ma dengan sejujurnya, adalah jamak ka lau kita
berlaku adil"
"Baiklah," ujar Pek-hoa-pangcu tertawa sambil me mbuka cadar
yang menutupi mukanya.
Seketika pandangan Ling Kun-gi terbeliak, itulah seraut wajah
nan lembut, ayu rupawan, asri dan anggun, usianya sekitar 24
tahun. Bahwa Pek hoa-pangcu masih sedemikian muda, ma lah
cantik jelita bak sekuntum bunga mawar mekar, sesaat lamanya ling
Kun-gi sa mpai me njuble k, akhirnya dia tergelak2 katanya: "Dengan
menya mar Cu-cengcu, Cayhe telah mengelabui Cek Seng-jiang dan
Hian-ih-lo-sat, entah di mana Pangcu dan Cong-koan berdua dapat
me lihat titik kele mahan sa maranku ini."
Pek hoa-pangcu mengawasinya dengan seksama sekian la manya,
akhirnya sama2 tertawa malu, katanya: "Ilmu tata rias Ling-lotiang
me mang luar biasa, sedikitpun kami tidak melihat sesuatu yang
kurang beres."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: "Kalau Pangcu sudah tahu Cayhe
ahli dala m ilmu tata rias ini, ma ka betapapun bagus buatan kedok
muka yang kalian pakai tetap takkan dapat mengelabui
pandanganku."
Pek-hoa-pangcu melenggong, katanya: "Pandangan Ling-lotiang
me mang taja m luar biasa, kami me mang mengenakan kedok muka,
tapi karena adanya larangan dala m Pang ka mi, terpaksa ka mi tida k
bisa berhadapan dengan siapapun dengan wajah asli."
"Lalu nona Giok-je dan lain2 yang menyelundup ke Coat-siu-sau-
ceng juga me ma kai kedok muka?"
"Itu dalam keadaan istimewa, sudah tentu mereka terpaksa
harus me mperlihatkan wajah asli."
"Tadi Pangcu sendiri sudah bilang minta Cay-he me mperlihatkan
wajah asli, ma ka Pangcu seharusnya juga menanggalkan kedok
muka mu."
Pek hoa pangcu ragu2, dia berpikir sebentar, katanya kemudian:
"Ling-lotiang berkukuh pendapat, terpaksa ka mi me mperlihatkan
wajah jelek ka mi."
Habis berkata dengan hati2 dia mengelotok selapis kedok muka
yang tipis, begitu tipisnya menyerupai selaput buah salak, Seketika
pandangan Ling Kun-gi me njadi terang pesona,jantungnya
berdebar. Sekian banyak nona yang pernah dikenalnya, seperti Un
Hoan-kun, Pui Ji-ping, Tong Bun—khing bertiga adalah gadis yang
ayu jelita, tapi Pek-hoa- pangcu yang ada dihadapannya ini
me mpunyai daya pikat yang luar biasa, sikapnya agung dan
suci,jelita bak bunga mekar, kecantikannya tak kalah daripada
permaisuri raja.
Setelah menanggalkan kedok mukanya, wajah Pek-hoa-pangcu
tampak merah jengah.
Katanya malu2: "Se moga engkau tidak mentertawakan, padahal
anggota Pang kita sendiri hanya beberapa orang saja yang pernah
me lihat wajah asliku....." bola matanya nan bening me lirik Giok-lan,
katanya: "Untuk memperlihatkan ketulusan hati kita aku sudah
me langgar kebiasaan, ma ka hendaknya kaupun mencopot kedokmu
biar diperiksa oleh Ling-lotiang."
Giok-lan mengiakan. Pelan2 iapun menanggalkan kedoknya. Jika
Pek hoa-pangcu diibaratkan sekuntum bunga botan yang agung,
maka Congkoan yang satu ini me mang sesuai betul dengan
namanya bak sekuntum bunga giok-lan (ce mpaka) yang harum
semerbak.
Kembali Kun-gi terpesona, sikap Giok-lan jauh lebih wajar, tapi
dihadapan orang luar betapapun dia juga ma lu, sekilas dia melirik
kepada Ling Kun—gi, lalu berkata:
"Sekarang Ling-lotiang sudah puas? Dan kini giliranmu, cara
bagaimana untuk mencuci obat rias di muka mu?"
Kun-gi tersenyum, katanya: "Cayhe me mbawa obat pencuci"
Sembari bicara iapun melepaskan jenggot palsu la lu merogoh
kantong menge luarkan sebuah kotak kecil dan menga mbil sebut ir
obat sebesar kelereng lalu dire mas dan digosok2 di telapak tangan,
lalu ia mengusap muka sendiri, sekian saat ke mudian dikeluarkan
pula sapu tangan untuk me mbersihkan muka. Hanya dala m sekejap
wajahnya yang kelihatan tua setengah baya berjenggot dan agak
keriputan mendadak berubah jadi wajah yang cakap ganteng,
beralis tegak seperti pedang, bibir merah, gigi putih, sungguh
pemuda yang bagus la ksana Arjuna..
Sejak tadi Pek,hoa-pangcu selalu me manggilnya "Ling- lot iang",
keruan sekarang ia terbelalak lebar, wajahnya merah seperti
kepiting direbus, mulutpun me longo bersuara kaget dan Giok-lan
sendiripun a mat heran, tatapannya lekat penuh kasih mesra,
katanya sesaat kemudian: "Ling kongcu ternyata masih begini
muda, sungguh di luar dugaan."
Kun gi tertawa, katanya: "Bukankah nona berdua lebih muda dari
padaku? Sebagai Pangcu dan Congkoan dari suatu perserikatan,
kalian malang melintang di dunia persilatan, bukankah ini jauh di
luar dugaan pula?"
Lambat laun baru tenteram gejolak hati Pek-hoa pangcu, kedok
muka yang dipegangnya tadi segera dikenakan lagi, matanya
menatap tajam, bibirnya bergerak, katanya: "Ling-kongcu muda dan
gagah perkasa, tentunya juga cerdik panda i, entah siapakah
gurumu yang mulia?"
"Maaf kalau Cayhe tidak dapat menerangkan pertanyaan Pangcu,
soalnya guruku sudah la ma mengasingkan diri dari kera maian dunia,
jejaknya selama hidup tidak ingin diketahui orang lain, untuk ini
Cayhe amat menyesal tak bisa me mberi keterangan."
Pek-hoa-pangcu berseri tawa, katanya: "Gurumu pasti seorang
tokoh kosen yang luar biasa, kalau memang ada kesulitan, boleh
Kongcu tak usah menjelaskan", lalu ia berpaling kepada Giok-lan
dan berpesan: "Ling-kongcu baru datang sebagai tamu agung,
apakah kau sudah siapkan perja muan untuk menya mbutnya?"
Giok-lan me mbungkuk, sahutnya: "Hamba mohon petunjuk
Pangcu, perjamuan hendak diadakan tengah hari atau nanti
ma la m?"
Lekas Kun-gi goyang tangan, katanya: "Pang-cu tidak usah
sungkan, mana Cayhe berani bikin repot."
"Kau sudah ada di te mpat ka mi, sebagai tuan rumah selayaknya
kami meladani ala kadarnya, apalagi tenagamu amat ka mi
perlukan," lalu Pe k—hoa-pangcu berpa ling:
"diadakan tengah hari nant i saja."
Giok-lan mengiakan, segera dia pakai lagi kedok mukanya, berdiri
terus beranjak keluar. Dalam ruang tamu kini tingga l mereka berdua
saja, setelah keduanya sama2 me mperlihatkan wajah asli, yang
laki2 ca kap, yang perempuan cantik,jantung mereka sa ma
berdebar2, suasana sedikit kikuk dan risi, akhirnya Pek-hoa-pangcu
me mecah kesunyian, katanya: "Tadi Ling kongcu bilang tujuan
samaranmu untuk me ncari orang, entah siapakah dia?"
"Beliau adalah ibunda ku."
"O, kau mencari ibumu?"
Berkerut alis Kun-gi, katanya; "Ibu sudah hilang beberapa bulan
la manya, sampai sekarang belum diketahui arah parannya."
"Kulihat Ling-kongcu gagah berse mangat, sinar mata mupun
terang bercahaya,jelas membeka l kepandaian silat dan Lwe kang
yang tinggi, tidak mirip orang yang terkena racun penawar Lwekang
dari Coat Sin-san-ceng, bahwa Kongcu me mbiarkan dirimu dibawa
ke mari oleh Giok-je, tentu kau curiga bahwa ibunda mu berada di
sini bukan?"
Kun-gi cukup cerdik, tapi juga tabah, katanya: "Jadi Pangcu
curiga bahwa kedatanganku me mbawa ma ksud tujuan yang tidak
baik?"
"Tida k," sahut Pek,hoa-pangcu menggeleng, "sedikitpun aku
tidak curiga." Lalu dengan nada serius dia mena mbahkan: "Aku
dapat merasakan,.Ling-kongcu pasti seorang Kuncu."
"Ah, Pangcu terlalu me muji."
Berkedip dan bertanya Pek-hoa-pangcu: "Ling-kongcu mau
mencari ibu dan sudi t inggal di te mpat ka mi, mungkinkah dapat
me mbantu kesulitan ka mi pula?"
Kun-gi tertawa, katanya: "Cayhe sudah telanjur janji, tentu akan
kutepati."
"Terima kasih. Pang kami juga akan me mbantu sekuat tenaga
untuk mencari jejak ibumu yang hilang, paling la ma tujuh hari pasti
kami dapat me mperoleh kabar ...." sedikit merandek, dia bertanya
lebih lanjut: "Cuma siapa she dan na ma ibumu."
"Ibuku she Thi, tentang nama beliau Cayhe sendiri juga tidak
tahu."
"Ka mi jarang berke lana di Kangouw, tapi setiap orang yang
punya nama beken sedikit banyak tentu pernah ka mi dangar, tapi
tokoh perempuan she Thi yang kenamaan belum pernah kami
dengar?"
"Ibuku tidak pandai ilmu silat, selamanya tidak pernah keluar
rumah, sudah tentu Pangcu tida k pernah mendengar na ma beliau?"
Heran Pek-hoa-pangcu, katanya: "Ibumu bukan kaum persilatan,
bagaimana bisa lenyap? Mungkin dia punya musuh?"
"Watak ibuku welas-asih, bija ksana dan bajik, kecuali mengurus
pekerjaan rumah, belum pernah ribut dan bertengkar dengan orang,
mana mungkin punya musuh?"
"Aneh kalau begitu. Em, berapa usia ibumu? Bagaimana raut
wajahnya, bolehkah Kongcu me mberi gambaran secara terperinci,
supaya kuperintahkan anak-buahku untuk ikut mencari jejak be liau"
Melihat sikap orang yang prihatin dan sungguh2, Kun-gi lantas
berkata: "Ibuku berusia, badannya lemah dan sering sakit2an, maka
kelihatannya sudah tua seperti berusia lima-puluhan, mukanya
lonjong agak kurus, rambut di atas pelipis sudah beruban."
"Ling-kongcu tak usah kuatir, akan kukerahkan se luruh kekuatan
Pang kita bantu mencari jejaknya," lalu sa mbil mengerut alis dia
mena mbahkan: "Cuma ibumu bukan kaum persilatan, untuk
mencarinya tentu agak sukar, tapi kami percaya dengan kekuatan
Pang kita yang tersebar luas di seluruh Kangouw, cepat atau lambat
pasti bisa me mperoleh berita."
"Budi kebaikan Pangcu me mbuat Cayhe amat berterima kasih."
Mendadak merah wajah Pek-hoa-pangcu, katanya sambil
menatap Kun-gi: "Kalau Ling-kongcu sudi, bagaimana kiranya ka lau
anggap diriku sebagai kawan?" Agaknya dia menggunakan seluruh
keberaniannya untuk mengucapkan kata2nya ini, setelah
mengutarakan isi hatinya, dengan malu dia me nunduk kepa la.
Berdetak jantung Kun gi, mukanya merah, katanya dengan
tertawa: "Berat kata2 Pangcu, bahwa cayhe bisa berkenalan dengan
Pangcu sudah beruntung besar, bukankah sekarang kita sudah
berkawan?"
Sorot mata Pek-hoa pangcu tertuju ke lantai, jari2 tangannya
mengusap kedok mukanya yang tipis, katanya lirih: "Maksudku . . "
Belum habis dia bicara tampak: Giok-lan melangkah masuk, lekas
Pek-hoa-pangcu putuskan pe mbicaraan.
Di a mbang pintu Giok-lan menekuk lutut me mberi hormat,
katanya: "Pangcu, Ling-kongcu, meja perja muan sudah disiapkan,
silakan makan dulu."
Pek-hoa-pangcu tidak paka i lagi kedok mukanya, dia hanya
menutup dengan cadar, pelan2 ia berbangkit, katanya:."Mari,
silakan Ling-kongcu."
Di bawah iringan Pe k-hoa-pangcu mere ka meninggalkan, Ing jun-
koan, me lalui sera mbi terus menuju ke ka mar bunga di seberang
sana. Di dalam meja perjamuan me mang sudah siap. empat gadis
berdiri di e mpat sudut siap melayani, me lihat sang Pangcu
mengiringi seorang pemuda berwajah tampan, sekilas mereka unjuk
rasa kaget dan kagum, tersipu2 mereka maju menyambut.
Pek-hoa-pangcu angkat tangan: "Silakan Kong-cu duduk diatas."
Kun-gi duduk di kursi ta mu, Pek-hoa-pangcu duduk di te mpat
tuan rumahnya. Malah duduk di sebelah bawahnya. Dua pelayan
segera mengisi cangkir yang sudah tersedia.
Hidangan yang disuguhkan me mang luar biasa dan banyak
ragamnya, keempat pelayar ganti-berganti menyuguhkan
bermaca m2 masakan, sementara mereka ma kan minum sa mbil
mengobrol, banyak juga soal yang mereka bicarakan.
Mendadak di luar sana terdengar suara ribut2 beberapa orang,
Pek-hoa-pangcu bersungut, katanya dongkol: "Ada kejadian apa di
luar itu?"
Lekas Giok-lan berdiri, katanya: "Biar ha mba keluar melihatnya . .
.. " belum habis dia bicara, dari luar sudah berlari masuk seorang
pelayan dengan ter-gopoh2. .
Giok-lan lantas tanya: "Kau ter-buru2, ada kejadian apa di luar?"
"Lapor congkoan, barusan ditemukan jejak musuh di taman
depan . . . ."
Giok-lan melengak. tanyanya: "Ada kejadian begitu? Siapa yang
berani menyelundup ke ta man?"
"Pendatang berkepandaian tinggi, agaknya tida k mengusik
bagian luar, tahu2 mereka sudah ada dida la m lewat ja lan air"
seorang gadis terdengar membentak. lebih de kat di luar ta man
sana: "Pendatang dari mana? hayo berhenti"
Tiba2 terdengar suara serak tua berkata dingin, "Kami bertiga
kebetulan lewat dari danau, kulihat di sini ada sebuah taman yang
luas, sengaja kami ta masya ke Sini, kalian budak2 ini berani main
gila terhadap Lohu?"
Waktu itu tengah hari, tapi ada orang berani terobosan di markas
besar Pek-hoa-pang, sungguh besar nyali mere ka. Giok-lan tida k
banyak bicara lagi, cepat dia lari keluar.
Wajah Pek-hoa-pangcu yang jelita kelihatan berubah, cepat ia
mengenakan kedok tipis dimukanya.
Kun-gi tidak tahu siapa yang datang? Tapi dia menduga pihak
Pek-hoa-pang telah kedatangan musuh tangguh, lekas dia berdiri
dan berkata. "Pangcu ada urusan, boleh silakan-"
Tajam tatapan mata Pek-hoa-pangcu, katanya., "Apakah yang
datang temanmu?"
Kun-gi menggeleng kepala, katanya: "Bukan te manku."
"Syukurlah kalau bukan temanmu. Apakah Ling-kongcu ingin
keluar me lihatnya?"
"Kalau tiada alangan boleh saja."
Pek-hoa-pangcu tertawa manis, katanya: "Mari silakan-" Lalu dia
berpesan kepada pelayannya: "Lekas keluarkan perintah, sebelum
diketahui asal-usul pendatang, suruh orang di depan tidak usah
masuk ke mari"-
Seorang pelayan mengiakan lalu buru2 lari ke luar.
Seperti tidak terjadi apa2, bersama Ling Kun-gi, Pek-hoa-pangcu
berhenti di ambang pintu. Melalui jendela Kun-gi melongok keluar,
tampak pakaian putih Giok-lan me la mbai2 berdiri di undak2an, di
depannya adalah sebuah lapangan berumput, di sana berdiri
berjajar tiga orang menghadap ke arah ka mar sini.
Orang yang berdiri di tengah berjubah hitam, mukanya merah
beralis ketal, jenggot jarang2 menghias dagunya, pedang panjang
terpanggul dipundaknya, kedua biji matanya mencorong buas,
usianya antara setengah abad.
Di sebelah kirinya berdiri laki2 bermuka jele k berpakaian kain
belacu seperti orang berkabung, anehnya pakaian belacu yang
dipakainya hanya separo, sorot matanya me mancarkan cahaya biru,
sekilas pandang perawakannya kelihatan rada aneh dan lucu.
Yang berdiri di sebelah kanan adalah laki2 setengah baya,
menyandang pedang dipunggungnya, mukanya pucat seperti tidak
berdarah. Sikap mereka garang dan kasar, jelas kedatangan mereka
bermaksud tidak baik.
Tidak jauh di sekeliling ketiga orang ini berpencar lima gadis baju
hijau yang menenteng pedang, terang mereka adalah anak buah
Pek-hoa-pang.
Sikap Giok-lan tenang2 saja, dengan kale m dia pandang ketiga
orang, lalu menatap laki2 muka merah di tengah itu, tanyanya
dengan nada kurang senang: "Siang hari belong, tanpa sengaja
kalian ma in terjang masuk ke rumah orang, me mangnya ada
keperluan apa?"
Me mang tidak me malukan Giok-lan diangkat sebagai congkoan
Pek-hoa-pang, tindakannya tegas, tutur katanyapun tandas, orang
akan merasa bahwa dia seorang gadis bangsawan dari suatu
keluarga besar.
Laki2 muka merah menyeringai, katanya: "Jadi nona pe milik
taman ini?"
"Ta man ini dalam lingkungan keluargaku, sudah tentu aku adalah
pemiliknya," ujar Giok-lan dongkol.
"Siapakah she nona?" tanya laki2 muka merah.
"Kita belum saling kena l, tak perlu tanya nama segala, kalian
menyelundup ke rumah ku, ada keperluan apa?"
"Tadi sudah kujelaskan, ka mi hanya ingin bertamasya saja."
"Pintu ta man ka mi tidak terbuka, me mangnya dari mana kalian
masuk-?"
"Terdorong oleh ke inginan hati, kalau hanya pagar tembok
setinggi itu tidak menjadi alangan bagi ka mi bertiga."
"Ka mi adalah rakyat jelata yang bersahaja, apa tujuan kalian
ke mari?".
"Nona jangan menyindir, me mangnya kau kira ka mi bukan rakyat
baik2?"
"Siang hari be long, kalian me lompati te mbek dan masuk ke
rumah orang, tentunya punya maksud tujuan tertentu."
Si muka merah terke keh2, katanya: "Nona2 anak buahmu ini
kiranya berkepandaian t idak rendah juga ."
"juga ka lian me mang sengaja ke mari untuk cari perkara?"
Bersinar mata si muka merah, katanya sinis: "Ha mpir me ngena
sasaran kata2 nona, kudengar di Phoa-yang-ouw ini akhir2 ini ada
gerombolan nona2 cantik yang banyak menimbulkan gelombang di
Kangouw, maka Lohu bertiga ingin me meriksa ke mari apa betul
kabar yang tersiar itu?"
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Kiranya te mpat ini di tengah2 Phoa-
yang-ouw?"
Terdengar Giok-lan tertawa dingin, katanya: "Betapa luas dan
besar Phoa-yang-ouw ini, apakah kalian tida k kesasar?"
"Se mula Lohu me mang kira ta man seluas ini adalah milik
bangsawan yang telah pensiun dan mengasingkan diri disini, ma ka
ingin menengoknya ke mari, kini pandangan Lohu jadi berubah."
"Berubah bagaima na?"
"Sudah puluhan tahun Lohu berkecimpung du Kangouw,
me mangnya pandanganku bisa meleset?"
"Jadi menurut pandanganmu te mpat apakah ta man ka mi ini?"
"Justeru Lohu ingin keterangan dari nona?"
Sampa i di sini Pek-hoa-pangcu tidak sabar lagi, katanya lirih:
"Ling- Kong cu, mari kita ke luar. "
Lalu dia singkap kerai me langkah keluar, suaranya kumandang
merdu: "Sa m-moay, kedatangan mereka terang ada maksud
tertentu, coba kau tanya mereka dari kalangan ma na?"
Kun-gi ikut melangkah keluar, dala m hati dia me mbatin: "Dia
panggil Giok-lan sebagai Sa m-moay, jadi masih ada Ji-moay, lantas
siapa dia?"
Mendengar suara merdu Pek-hoa-pangcu, si muka merah bertiga
me mandang ke sini, ta mpak muncul sepasang muda-mudi, yang
laki2 ta mpan dan yang perempuan ayu jelita. Dari langkah mereka
dapat diketahui bahwa kedua muda-mudi ini bukan se mbarang
orang.
Sekilas melenga k si muka merah, lalu tertawa, katanya sambil
menjura: "Nona dan Kongcu ini tentunya ma Jikan di sini?"
Karena orang bicara sambil menatap dirinya, maka Kun-gi
tertawa tawar, katanya, "Tuan salah, cayhe hanya bertamu disini,
bukan pe milik tempat ini?"
Si muka merah la lu menga mati Pek-hoa-pang-cu, katanya
ke mudian: "La lu nona inikah ma Jikan te mpat ini."
"Kalian harus jelaskan dulu asal-usul sendiri baru nanti tanya
siapa diriku."
Si muka merah terkekeh2, katanya: "Betul, biarlah kita bicara
blak2an, Lohu Jik Hwi-bing, pejabat Ui-liong-tongcu dari Hek-liong-
hwe."
Pek-hoa-pangcu tidak kaget juga t idak heran, sikapnya tenang2,
katanya: "o, kiranya seorang Tongcu malah, jadi ka mi yang berlaku
kurang hormat, lalu siapa kedua orang ini?"
"Mereka adalah dua saudara angkat Lohu." ujar Jik Hwi-bing.
Sejak tadi kedua orang di kiri kanannya berdiam diri, mukanya
beringas dan kaku, kini laki2 muka jele k berpaka ian biru itu
bersuara: "cayhe Lan Hou"
Laki2 muka pucat di sebelah kanan juga memperkenalkan diri,
"cayhe Pek Ki-ha m."
"Ka mi bertiga sudah perkenalkan diri, giliran nona menyebut
nama mu?" ujar Jik Hwi-bang.
"Aku she Hoa," kata Pek-hoa-pangcu.
"Lohu ingin tahu, gerombolan nona yang sudah sering
berkecimpung di Kangouw secara dia m2 tentu punya na ma bukan?"
Pek-hoa-pangcu tertawa, katanya. "Terlalu t inggi penilaian Ui-
tongcu terhadap kami, yang sering menimbulkan ge lombang omba k
di kalangan Kangouw hanya beberapa saudara kami saja, hasil yang
dicapai juga tidak berarti, me mangnya ka mi punya na ma apa."
Jik Hwi-bing menarik muka, katanya mengejek: "Jadi nona tidak
mau berterus terang."
"Apa yang kukatakan adalah kenyataan, kalau Jik-tongcu tidak
percaya terserah"
Tajam sorot mata Jik Hwi-bing, katanya:
"Baiklah, Lohu anggap apa yang nona katakan me mang benar,
kedatangan kami me mang ada maksud untuk merundingkan
sesuatu hal dengan nona."
"Entah soal apa sampai J ik-tongcu me merlukan ke mari dari
tempat jauh" jengek Pek-hoa-pangcu.
"Asas berdirinya Hek-liong-hwe bertujuan hidup berda mpingan
secara damai dengan sesama golongan Kangouw, tidak ingin
menimbulkan bentrokan dengan a liran manapun, umpa ma a ir
sungai tidak menyalahi air sumur, syukurlah kalau bisa sailing
menga lah dan mengikat hubungan secara terbuka, kalau tidak juga
jangan sampai ribut, entah bagaimana pendapat nona tentang
perkataanku ini?"
"Apa yang kau katakan me mang masuk akal, cuma dengan cara
kasar kalian terobesan di ta man ka mi apakah ini bukan air sunga i
menyerang air sumur? Beginikah asas Hek-liong-hwe yang tidak
suka bentrok dengan sesama golongan Kangouw"
Lekas Jik Hwi-bing me njura, katanya, "Kalau Lohu mohon
bertemu dengan cara Kangouw, terang nona tidak sudi mene mui
kami, untuk ini sebagai Tongcu dari Hek-liong-hwe, kami mohon
maaf kepada nona."
"Soal ini tidak perlu dibicarakan lagi, katakan saja, apa maksud
kedatangan Jik-tongcu?"
"Nona me mang suka berterus terang, baiklah lohu blak2an saja,
kami me ncari seseorang."
"Siapa yang kalian cari?"
"ca m-liong Cu Bun-hoa, cengcu dari Liong-bin-san-ceng."
Tergerak hati Ling Kun-gi, pikirnya: "cepat benar kabar berita
mereka."
Pek-hoa-pangcu tertawa tawar, katanya: "Aneh, kalian mencari
Cu-cengcu pemilik liong-bin-san-ceng, kenapa tidak ke sana tapi
ma lah meluruk ke-mari?"
Jik Hwi-bing terkekeh dingin, katanya: "Lohu sudah mencari tahu
dengan jelas, buat apa nona mungkir?"
"Apa2an ucapanmu ini? Setiap insan keluarga Hoa kami selalu
bicara dengan blak2an, kenapa harus mungkir segala?"
"Baik, biarlah Lohu tanya, semalam ada sebuah perahu dari An-
khing, siapa saja orang yang berada di perahu itu?"
"Itulah adikku nomor 13 bersa ma kedua pelayannya."
"Siapa na ma adikmu itu?"
"Dia berna ma Giok-je,"
"Agaknya dia kurang pengalaman," de mikian batin Kun-gi: "Pihak
Hek-liong-hwe sudah meluruk ke mari, kenapa dia masih terang2an
menyebut na ma Giok-je,"
Betul juga Jik Hwi-bing lantas tergelak2, matanya bercahaya,
serunya: "Betul dia adanya"
"Me mangnya adikku itu berbuat sa lah apa terhadap kalian?"
"Apa yang dibawa pulang oleh nona Giok-je?" jengek Jik Hwi-
bing.
"Kusuruh dia me mbe li obat2an di An-khing, sudah tentu
me mbawa pulang bahan obat." sampai di sini dia lantas balas
bertanya: "Jik-tongcu bilang hendak cari cu-cengeu dari Liong -bin-
san-ceng, me mangnya kenapa kau tanya urusan ka mi?"
"Dia me mang tida k punya pengalaman Kangouw, ma ka kata2nya
terlalu puntul, tapi hal ini justeru memperlihatkan bahwa dia
seakan2 me mang tida k tahu apa2."
Jik Hwi-bing luas pengala man, mendengar jawaban ini timbul
juga rasa sangsinya, katanya: "Bukankah adikmu Giok-je yang
menculik cia m-liong Cu Bun-hoa ke mari."
"Apa benar? Ah, aku tidak percaya." lalu menoleh berpesan pada
seorang pelayan: "Lekas panggil cap-sha-moay (adik ke-13) ke mari,
katakan aku ingin tanya dia."- Pelayan itu mengia kan terus
mengundurkan diri.
Dia m2 Kun-gi merasa geli, pikirnya: "Agaknya dia sengaja
hendak me mpermainkan mere ka."
Didengarnya Pek-hoa pangcu berdehem sekali, lalu menoleh
kearah Kun-gi, katanya tertawa: "Ling-kongcu, apa kau tidak le lah
berdiri? Bok-hi, a mbilkan dua kursi ke mari."
Seorang pelayan dibelakangnya mengiakan terus lari ke ka mar
menga mbil dua kursi dan di-jajarkan di sera mbi.
Gerak-gerik Pek-hoa-pangcu le mah le mbut seperti tidak
bertenaga, dia duduk dikursi sebelah kanan, lalu menoleh berkata
dengan nada mesra: "Ling-kongcu silakan duduk."- Dia sengaja
bersikap kale m seakan2 tidak pandang sebelah mata pada ketiga
orang Hek liong-hwe itu.
Kun-gi t idak bersuara, dengan tersenyum dia duduk di kursi
sebelah kiri, didengarnya Pek-hoa-pangcu seperti berbisik dipinggir
telinganya: "Sebentar kau a kan menyaksikan tontonan yang
mengasyikkan."
Dari sera mbi luar ta mpak me ndatang tiga gadis dengan langkah
gopoh, yang di tengah mengenakan baju warna coklat muda diiringi
dua pelayan.
Sekali pandang Kun-gi lantas tahu bahwa ketiga orang ini adalah
Giok-je, Ping-hoa dan Liau-hoa, cuma sekarang mereka sudah paka i
kedok muka. Belum lagi mereka tiba, kesiur angin sudah me mbawa
bau harum se merbak.
Setelah dekat Giok je me langkah pelan2, waktu dilihatnya di
samping sang Pangcu duduk Ling Kun-gi, sekilas dia tertegun.
Mimpipun tak pernah terbayangkan bahwa Cu Bun-hoa yang dia
culik dan mene mpuh perjalanan bersa ma sekian jauhnya itu
ternyata adalah pemuda setampan ini. Karena perhatiannya tertuju
kepada Ling Kun-gi, maka dia tidak perhatikan t iga orang di
lapangan rumput, langsung dia mendekat ke depan Pek-hoa-
pangcu, katanya lirih: "Toaci, kau me manggilku?"-
Baru sekarang dia sempat berpaling dan melihat Jik Hwi- bing
bertiga, lalu tanyanya pula: "Siapakah mereka? Kenapa berada di
taman kita?"
"Mereka dari He k-liong-hwe, menguntit kau sejak dari An-khing,"
kata Pek- hoa pangcu.
Jik Hwi-bing dan kedua adik angkatnya sa ma menatap tajam
tanpa berkedip ke arah Giok-je, mulut mereka terkancing rapat. .
Giok-je melirik sekali, mendadak ia tertawa, dingin: "Ke luarga
Hoa kami sela manya tidak pernah bermusuhan dengan insan
persilatan manapun, kenapa kalian menguntit ka mi?"
Tinggi nada suara jawaban Jik Hwi-bing: "Kau inikah Giok-je?"
"Kau ini kutu apa?" bentak Liau-hoa, "me mangnya beleh
sembarangan kau menyebut na ma nona ka mi?"
Jik Hwi-bing terkial2, katanya: "Bukankah kalian bertiga yang
me larikan diri dari coat-sin-san- Ceng? "
"Kalian sendirilah yang me larikan diri dari coat-sin-san- Ceng,"
damperat Ping- hoa, agaknya dia merasa geli, habis bicara lantas
Cekikikan sendiri.
"Setiap golongan dan aliran di Kangouw masing2 me mpunyai
aturannya sendiri, orang tidak menggangguku, akupun tida k
mengusik orang lain, Heks liong- hwe sela manya tidak pernah
menyentuh kalian, kalian bertiga justeru menyelundup ke coat-sin-
san- Ceng, ini sudah menyalahi aturan umum, lebih celaka lagi
kalian berani menculik cu-ceng-cu, tamu undengan ka mi, bukankah
terlalu perbuatan kalian ini?"
Giok-je tampa k marah, katanya: "Toaci, dia mengoceh apa?"
"Hari ini Lohu harus minta pertanggungan jawab secara adil
kepada kalian," desak Jik Hwi-bing.
Giok-lan yang sejak tadi tidak bersuara mendadak menyela:
"Kenapa tidak kau katakan kedatanganmu ini henda k cari gara2?"
"Ketahuilah Hek-liong-hwe bukan se mbarang perkumpulan, ka mi
juga tidak gentar menghadapi peristiwa apapun, tapi demi
me megang teguh aturan Kangouw, maka perlu sedikit mengoreksi
tuduhan nona tentang mencari gara2. Kami hanya mengharap nona
suka menyerahkan Cu-cengcu, supaya tidak terjadi bentrokan di
antara kita."
Pek-hoa-pangcu tertawa, katanya: "Agaknya bentrokan kedua
pihak t idak biaa dihindari lagi."
Berubah air muka Jik Hwi-bing, katanya sambil menyeringai:
"Jadi nona tidak mau menyerahkan Cu-cengcu?"
"Darimana ka mi harus me nyerahkan Cu-cengcu, bukankah
bentrokan ini jelas akan terjadi?"
Jik Hwi-bing manggut2, katanya: "Berulang kali ka mi sudah
menyatakan sikap ka mi yang sesungguhuya, tujuannya supaya tidak
saling merugikan, jadi bukan takut urusan."
"Kalau ka mi bilang tidak menculik Cu-cengcu, Jik-tongcu tentu
tidak mau perCaya, lalu bagaima na baiknya?"
"Toaci," seru Giok-lan naik pita m, "Jika dia tidak takut urusan,
me mangnya kita yang takut malah, kalau Hoa-keh-ceng
me mbiarkan orang luar terobosan kesini, me mangnya kita
selanjutnya biaa berkecimpung di Kangouw lagi?"
"Betul," Se la Giok-je, "mereka toh tidak me matuhi aturan
Kangouw, Seenak perut sendiri main terobos di taman orang,
bermulut besar dan bersikap kasar, hakikatnya tidak pandang kita
bersaudara dengan sebelah mata, buat apa kita harus sungkan2
terhadap orang2 maca m ini?"
"Me mangnya kenapa kalau tidak sungkan terhadap ka mi?"jengek
Jik Hwi bing.
"Ka mi t idak akan berbuat apa2, hanya menahan kalian saja,
setelah pihak Hek-liong-hwe kalian mengutus orang minta maaf
baru ka mi bebaskan kau."
Berubah air muka Jik Hwi-bing, serunya tergelak2 sambil
mendonga k: "Nona begini congkak. me mangnya kalian ma mpu
menahan ka mi bertiga?"
Seorang gadis lain segera menanggapi dengan suara merdu:
"Me mangnya kalian bisa pergi?"-Ta mpa k dari be lakang gunung
buatan diseberang sana muncul seorang gadis berpakaian coke lat,
di atas sanggul tertancap sekuntum bunga Bwe, tangan menenteng
pedang, langkahnya ringan mantap, kira2 lima ka ki di depan pintu
lantas berhenti. Di belakang gadis baju coklat beriring keluar e mpat
gadis berpakaian ketat, semuanya bersenjata pedang, begitu sigadis
baju coklat berhenti, mereka lantas berdiri berjajar sambil me me luk
pedang.
Bersamaan dengan munculnya gadis baju coklat ini, dari jalanan
disebelah timur sana juga muncul seorang gadis berpakaian serba
merah menyala, di-atas sanggul ra mbutnya tertancap sekuntum
bunga anggrek merah, bersenjata pedang, empat gadis baju hijau
mengikut i di bela kangnya.
Lalu dari arah barat di antara semak2 bunga muncul juga
seorang gadis baju kuning dengan bunga seruni tertancap di
sanggul, seperti yang lain empat gadis bersenjata pedang
mengiringinya pula. Merekapun, berhenti dala m jarak lima tom-bak.
ke empat gadis pengiring itupun berjajar, di belakang. jadi sekarang
Jik Hwi-bing bertiga telah dikepung. .
Dingin sorot mata Jik Hwi-bing, dia terke keh kering, katanya:
"Hanya begini saja perbawa kalian?" Sela ma puluhan tahun
menjabat salah satu Tongcu dari tiga pejabat tinggi dalam He ks-
liong-hwe, betapa sering dia menghadapi perte mpuran besar kecil,
sudah tentu nona2 cantik ini sedikitpun tida k masuk perhatiannya.
Giok-lan berdiri di undakan, tantangnya: "Kalau kalian kurang
senang, boleh mencobanya."
"Benar, me mang Lohu ingin menjajal," sahut Jik Hwi-bing.
Gadis baju coklat alias Bwe-hoa tertawa, katanya: "Tua bangka,
muka merah, kau tidak mau menyerah tapi ingin ditelikung, ini
rasakan beberapa kali tusukan pedang nona mu."
Pek Ki-ha m yang berdiri di sebelah kanan Jik Hwi bing berpaling,
sorot matanya kelam dingin, katanya: "Tongcu biar siaute yang
menghadapinya.". Jik Hwi-bing manggut2, katanya: "Baiklah, hati2"
"Sret" Pek -Ki-ha m melolos pedang, katanya kepada Bwe-hoa:
"Hanya nona saja yang turun ge langgang?"
"Me mangnya berapa orang harus turun tangan bersa ma?"jengek
Bwe hoa.
"Baiklah," kata Pek Ki-ha m, pelan sekali dia gerakan pedang di
tangan kanan.
Bwe- hoa berpaling dan berpesan kepada ke-e mpat gadis di
belakangnya: "Kalian siap untuk bantu aku me mbe kuk dia." - Empat
gadis mengiakan.
Wajah Pek Ki-ha m yang pucat halus mengunjuk mimik keja m
diliputi hawa nafsu, dengusnya: "Nona, hati2lah."
Gaya pedangnya aneh danamat pelan, tapi lenyap suaranya
pedang panjang ditangannya tiba2 menyamber laksana selarik
rantai perak seperti bianglala, cepatnya luar biasa.
Sigap sekali Bwe- hoa menggeser, dengan enteng dia hindarkan
diri, baru saja dia siap balas menyerang, didengarnya Pek Ki-ha m
tertawa dingin, pedang tahu2 terayun balik, sekaligus dirinya dicecar
delapan kali serangan.
Bwe-hoa seakan2 tiada kesempatan untuk balas menyerang,
cuma gerak-geriknya gesit dan tangkas, dia hanya main berkelit.
Harus diketahui siapapun yang menyerang dengan gencar, pada
suatu ketika harus ganti napas dan serangan tentu sedikit la mbat
atau tertunda, tapi delapan jurus serangan Pek Ki-ha m ini
hakikatnya tidak me mberi peluang bagi Bwe-hoa untuk bertindak.
sedikit gerakannya tertunda, segera dia tutup dengan gerakan
lengan baju tangan kiri serta mencecar pula delapan kali pukulan,
setiap gerak pukulan ternyata membawa deru angin dingin luar
biasa. Bayangan pukuian me menuhi udara, sementara deru angin
dingin bergolak ditengah gelanggang. Bayangan Bwe-hoa yang
seringan daun melayang kian- ke mari, agaknya dia sudah tak kuasa
banyak karena terkurung di dala m bayangan pukuian lawan dan
serasa beku oleh hawa dingin.
Kun-gi duduk di serambi, jaraknya ada beberapa tombak dari
gelanggang, iapun merasakan damparan hawa dingin yang luar
biasa, diam2 ia me mbatin: " orang ini berna ma Pek Ki-ha m, yang
diyakinkan juga Ha m-ping- ciang (pukulan hawa dingin) dari aliran
sesat, Bwe-hoa berpakaian tipis, mungkin takkan tahan la ma."
Tanpa terasa ia melirik Pek-hoa-pangcu yang duduk di sebelahnya.
Dilihatnya sikap Pek-hoa-pangcu tenang2 saja, se-olah2 tidak
ambil perhatian sa ma seka li akan keadaan anak buahnya yang
terancam bahaya. Selagi Kun-gi keheranan, tiba2 Pek hoa-pangcu
berpaling ke arahnya sambil tersenyum.
Kejadian hanya sekilas saja dan perubahanpun telah terjadi
ditengah gelanggang, Bwe-hoa yang terombang-a mbing ditengah
bayangan pukuian lawan serta terbendung hawa dingin itu
menghardik nyaring, badannya bergontai dua kali seperti jatuh, tapi
sinar pedang mendadak bergerak. hamburan sinar, perak laksana
bertaburan, me muhiasi udara. "Tring", terdengat benturan senjata,
pedang Pek Ki-ha m tampa k ditangkis pergi. Sere mpak terdengar
serba pujian dan tepuk tangan di sekeliling gelanggang. Terbelala k
mata Ling Kun-gi melihat perubahan ini, terunjuk rasa heran dan
aneh pada wajahnya. Tampak Pek Ki-ha m yang bermuka pucat itu
sekarang merah padam, langkahnya sempoyongan mundur
beberapa tindak, lengan bajunya kiri berlepotan darah, ternyata
lengan kirinya telah tertabas buntung oleh pedang Bwe-hoa, lengan
kutungannya itu jatuh t iga ka ki di depannya.
Sanggul Poe-hoa juga terpapas bertebaran oleh pedang lawan,
baju di atas pundak kanannya juga tergores robek sepanjang tiga
dim.
Melihat lengannya putus, rasa pedih dan malu me lebihi rasa
sakit, mendadak Pek Ki ha m menghardik beringas: "Budak keparat,
biar aku adu jiwa, dengan kau." Pedang terang kat dan kemba li dia
hendak melabrak Bwe-hoa.
Tahu2 Jik Hwi-bing telah berke lebat ke sa mpingnya dan
menangkap lengan kanan orang. katanya dengan nada berat: "Kau
sudah kehilangan banyak darah, le kas istirahat."
Beruntun ia tutuk beberapa Hiat to kawannya itu untuk
menghentikan darah mengalir lebih banyak.
Lan Hau, laki2 muka buruk berbaju biru ikut melompat maju,
katanya menyeringai kepada Bwe- hoa: "Budak. mari kita juga
ma in2 beberapa jurus."
Bwe-hoa menarik napas panjang, tawanya dingin: "Kau juga
ingin ditabas buntung lenganmu?"
Bayangan merah berkelebat, tahu2 Lan- hoa melompat ke
gelanggang, serunya: "Sici (ka kak kee mpat), kali ini giliranku. Kau
boleh ist irahat."
Tanpa bersuara Bwe-hoa mundur kepinggir sa mbil me mbetulkan
sanggulnya. Lan Hau menyeringai sadis: "Kau ingin ma mpus,
baiklah, kau saja yang kubinasakan."
Kelihatan dia tidak me mbawa senjata, tapi kedua telapak tangan
segede kipas itu t iba2 me mbalik badan bergerak mengikut i
lenyapnya suara, sebat sekali dia me nubruk ke depan- Lima jari
tangan kanan terbuka mencengkeram kepundak kiri, sementara
tangan kiri tegak laksana golok menabas pergelangan tangan lawan
yang pegang pedang.
Sibaju merah alias bunga anggrek miring sedikit seraya
menurunkan punda k. kaki me langkah mundur, dia luputkan diri dari
cengkeraman lawan, berbareng pedangnya menjungkit ke atas,
menusuk urat nadi pergelangan tangan orang.
Lan Hau menjadi marah, sambil me mbentak tubuhnya menubruk
maju pula, dengan nekat dia hendak rebut pedang si bunga
anggrek, sedang dua jari tangan kiri terangkat laksana garpu
menyolok kedua mata lawan- Di tengah gerungan keras, tahu2
sebelah kakipun ikut menendang la mbung si bunga anggrek.
Tiga jurus ini merupakan serangan cepat dan serempak, bukan
saja si bunga anggrek kaget, Pek-hoa-pangcu yang menonton juga
ikut kuatir.
Maklumlah, betapapun tinggi ilmu silat seseorang pada umumnya
takkan mungkin sekali serang me nggunakan kaki tangan seka ligus.
Sudah tentu si bunga anggrek tidak berani me layani secara
kekerasan, lekas dia tarik pedang me lindungi dada se mbari
me lompat mundur beberapa kaki.
Mendapat angin sudah tentu Lan Hou se makin te mberang, sambil
menyeringai seram kedua tangannya mendadak dari depan dada
didorong ke depan. Gerakan mendorong ini menimbulkan
gelombang kekuatan dahsyat sehingga hawa udara seperti bergolak
menerjang kedepan.
Baru saja si bunga anggrek melompat mundur, dilihatnya kedua
telapak tangan musuh didorong kearah dirinya, tekanan udara yang
berat tiba2 menggulung tiba, dia tahu bahwa lawan yang tidak paka i
senjata tentu mempunyai kepandaian pukuian tangan yang hebat,
sudah tentu dia tidak berani menyambut serangan ini. Sebat sekali
dia mela mbung tinggi, badannya meluncur tegak ke atas, setinggi
setombak lebih, terasa gempuran angin badai bergulung2 di bawah
kakinya.
Berhasil menghindari pukuian dahsyat Lan hou, ditengah udara si
bunga anggrek menekuk pinggang dan bergerak indah gemulai,
pedang segera berkembang dengan jurus Hoan- kay-hoa-loh (bunga
berkembang daun berguguran), cahaya kemilau berhamburan
ceplok2 perak mengurung ke batok kepala Lan Hau.
Lan Han ternyata lihay, menghadapi ilmu pedang aneh ini, bukan
saja dia tidak menghindar atau tidak menyingkir, ia ma lah
menyeringai sadis, kedua tangan mendadak me mapak dan
mencengkeram ceplok2 sinar pedang itu, gerakannya ini sungguh
amat berani dan juga mengejutkan.
Sudah tentu si bunga anggre k tidak me mbiarkan pedangnya
ditangkap orang, dia tarik pedang seraya melompat mundur. Lan
Hau kini berbalik me mperoleh peluang, lawan tidak diberi
kesempatan ganti napas, segera ia menubruk maju, kedua tangan
bergerak naik turun menabas dan me mbacok. sekaligus dia
lancarkan delapan belas ka li pukulan gencar dan menimbulkan deru
angin kencang.
Sedikit lena dan kurang waspada si bunga anggrek kehilangan
inisiatip sehingga terdesak di bawah angin, apa lagi kedelapan belas
pukuian lawan satu bergandeng dengan yang lain secara berantai,
hakikatnya dia t idak me mperoleh pe luang untuk ba las menyerang.
Lebih celaka lagi telapak tangan lawan agaknya tidak gentar
menghadapi taja m pedangnya, terpaksa disamping me lindungi
tubuh iapun harus hati2 supaya pedang tidak terampas oleh musuh,
maka dia mundur ber-ulang2.
Delapan belas jurus serangan berantai Lari Hau itu hebat dan
dahsyat, tapi juga cepat berlalu. Karena terdesak mundur, si bunga
anggrek naik pitam, me lihat gaya pukulan lawan sedikit kendur,
peluang sedetik ini tida k di-sia2kannya, seraya menghardik
tubuhnya tiba2 berkelebat, dia gunakan gerakan "ubah bentuk
pindah kedudukan", pedangnya menyamber panjang melintang
laksana nagasakti, ia ba las mencecar musuh.
Setelah kedelapan-belas pukulannya dilancarkan, gerakan Lan
Hau me mang menjadi kendur, tapi hal ini me mang dia sengaja,
me lihat lawan balas merangsak. dia tertawa aneh, telapak tangan
kanan segera menepuk. serangan ini me mang sudah direncanakan,
begitu si bunga anggrek mendesak maju baru pukulannya
dilontarkan dengan daya dan gaya yang berbeda dengan kedelapan
-belas pukulannya tadi.
Kalau tadi pukulannya me mbawa deru angin dan perbawanya
sedahsyat gugur gunung, berbeda dengan tepuk tangan kali ini,
gerakannya seperti gertakan saja, seolah2 tidak pakai tenaga,
sedikitpun tidak menimbulkan suara apa2.
Jadi dalam babak ini, kedua pihak sama2 melancarkan tipu
serangan masing2 yang terlihay dan a mpuh.
Melihat telapak tangan Lan Hau yang menepuk itu berwarna biru
terang, Pek-hoa-pangcu yang duduk di serambi menjerit dala m hati:
"La m-sat-ciang"
Sementara Ling Kun-gi yang duduk di sebelahnya juga
terperanjat bukan main melihat gerakan pedang si bunga anggrek,
dia m2 hatinyapun berseru: "Sin- liong jut- hun (naga sakti ke luar
dari mega)"
sin-liong-jut hun, Liong- ih ya dan Niu-liong-ban-khong, tiga jurus
ilmu pedang ini merupakan ilmu warisan keluarganya. Ibunya tidak
pandai ma in silat, waktu mengajarkan ketiga jurus ilmu pedang ini
hanya secara lisan sambil mencoret2 dengan ga mbar, dengan
wanti2 beliau berpesan bahwa ketiga jurus ilmu pedang ini
perbawanya sangat hebat, kalau tidak kepepet dan terpaksa
dilarang se mbarangan me lancarkan ketiga jurus ilmu pedang ini.
Tadi waktu Bwe-hoa me lancarkan sejurus It-jiu-bwe-hoa-jeng-
ban-goh (sepucuk pohon sakura berlaksa kuntum bunga), di
dalamnya diselipi jurus Sin-liong-jut-hun, waktu itu dia kira gerakan
pedang orang cuma rada mirip secara kebetulan, karena bukan saja
gaya dan tipunya mirip. malah gerak tubuh mendesak maju itupun
persis sekali, mirip Ih-sing-hoan-wi tapi juga seperti Bu-hoan-Sin-ih
(benda berganti bintang berpindah).
Kalau betul sin-liong-jut hun adalah ilmu pedang warisan
keluarganya, me mangnya dari mana orang2 Pek-hoa-pang ini
me mpe lajarinya? pada saat menimang2 inilah, kedua orang yang
saling labrak di tanah lapang beruntun itupun sudah mencapa i
babak terakhir, kalah menang sudah na mpak.
cepat sekali bayangan kedua orang seperti berpadu terus
mence lat mundur pula. Telapak tanagan Lan Hau yang biru terang
itu a mat menyolok, setelah menepuk dari kejauhan, sebat sekali
badan lantas jungkir ba lik ke belakang sejauh tiga tombak.
Agaknya dia sudah memperhitungkan secara masak. niatnya
me mang henda k me mbunuh musuh, ma ka tepukan telapak
tangannya bukan saja cepat juga hebat.
Tapi jurus Sin liong-jut- bun yang dilancarkan -si bunga anggrek
juga cepat dan tepat. Karena waktu melancarkan jurus serangan ini
gerakannya mirip Ih-sing-hoan-wi, waktu mendesak ma ju tubuhnya
lenggak-lenggok, sekali berkelebat lantas lenyap sehingga lawan
sukar meluputkan diri. Sementara itu Lan Hau sudah jungkir balik ke
belakang, ia merasakan samberan sinar dingin dari bawah
tubuhnya. Namun La m-sat-ciang yang dia lontarkan, tidak
me mbawa kesiur angin, lawanpun sukar menduga serta sulit
menjajagi ke kuatannya. Si bunga anggre k merasakan juga tubuhnya
seperti tertahan oleh dinding yang ulet sehingga tubuhnya sukar
maju lebih jauh.
Kejadian hanya berlangsung dala m sekejap. setelah kedua orang
sama2 meluncur bersilang ke arah yang berlawanan, Lan Hau sudah
berada tiga tomba k jauhnya, dia tergelak2, serunya: "Buda k
keparat, kau ..... " karena tertawa ini tiba2 ia merasakan perutnya
sakit luar biasa.
orang2 di sekelilingpun kini melihat jelas jubah panjang di depan
perutnya sudah koyak tergores pedang si bunga anggrek, sepanjang
satu kaki.
Baru saja ia bergelak tertawa menyusul rasa sakit yang luar biasa
itu, tahu2 isi perutnya, usus besar dan kecil me mbrojol keluar.
Hakikatnya Lan Hau sendiri tidak tahu atau merasakan bahwa
perutnya sudah koyak teriris oleh pedang si bunga anggrek.
setelah dia merasakan kesakitan dan menunduk, dilihatnya isi
perutnya sudah kedodoran keluar, seketika dan menjerit terus roboh
terkapar. Taraf kepandaian si baju merah alias si bunga aggre k
me mang tinggi, tapi La msat-ciang merupakan ilmu pukulan ganas
dari aliran jahat, walau dia hanya merasa ditiup angin lunak, semula
tidak terjadi perubahan apa2, tapi setelah kedua orang sa ma
me lompat jauh, begitu berdiri tegak, seketika sekujur badan
gemetar keras, tiba2 ke sepuluh jari terasa linu dan kaku, jantung
berdetak dan kepala pusing, ha mpir saja dan tak kuasa berdiri lagi.
Menyaksikan Lan Hau roboh dengan perut terkoyak serta
ma mpus seketika, sungguh ha mpir me ledak dada Jik Hwi-bing,
matanya mendelik liar, jubah hitam yang longgar itu mendada k
me le mbung, sambil menggerung dan menubruk ke arak si bunga
anggrek seraya pentang kesepuluh jarinya.
Pikiran si bunga anggrek masih sadar, melihat Jik Hwi bing
menubruk tiba, secara refteks pedangnya terayun dengan jurus Sin
liong jut hun me mapa k kedatangan musuh. Ha mpir saja tubrukan
Jik Hwi-bing mengenai sasaran, tahu2 matanya silau oleh selarik
sinar pedang yang dingin, dala m ilmu pedang dia sendiri punya
latihan puluhan tahun, sudah tentu dia tahu betapa hebat perbawa
pedang si bunga anggrek ini, serasa pecah nyalinya, lekas ia
mengere m gerakannya serta melompat balik.
Karena menggerakkan pedang, seketika si bunga anggrek
merasakan kepala pening mata berkunang2, hampir saja dan
tersungkur ke depan- Untung kedua pe layan dibelakangnya lantas
me mburu maju me mayangnya.
"Lak-moay," seru Pek- hoa pangcu, "lekas mundur" -
Lak-moay atau adik keenam yang dimaksud adalah si baju merah
atau si bunga anggrek. Waktu Jik Hwi-bing me lompat mundur
karena diserang jurus Sin-liong- jut- hun oleh pedang si bunga
anggrek, sementara sebelah tangannya sudah melolos pedang dari
punggungnya, baru saja dia hendak menubruk maju lagi. Tahu kiok
-hoa, si baju kuning atau si ke mbang seruni sudah melompat maju
seraya membentak: "Kau masih ingin berkelahi, biar nonamu
me layani, kenapa main terjang?"
Kembang anggrek sudah dipapah mundur keluar gelanggang,
lekas Giok-lan mengha mpiri menjejalkan sebutir pil ke mulutnya,
lalu berpesan pada pelayannya: "Lekas papah dia masuk ke ka mar"
Kedua pelayan itu me ngiakan terus mengundurkan diri.
Giok-je bersa ma Ping- hoa dan Liau-hoa me lolos pedang serta
me lompat masuk lapangan, menempati kedudukan si ke mbang
anggrek, ma ka Jik Hwi-bing tetap terkepung di tengah.
Bola mata Jik Hwi bing merah jalang, mukanyapun merah padam
diliputi a marah yang me luap. giginya gemeretak saking ge mas,
bentaknya: "Bagus sekali, ingin Lohu minta belajar betapa tinggi
kepandaian ka lian yang ganas ini."
Dengan tenang Giok-lan berkata: "Jik-tongcu ma in terobesan ke
taman ka mi, sengaja cari setori lagi, kamipun tidak banyak
bertindak. hanya ingin menahan kalian beberapa hari, kini setelah
kau main senjata yang tidak bermata ini, kenapa menyalahkan piha k
kami malah? Sebaliknya kalau, pihak ka mi yang me luruk ke He k-
liong-hwe kalian, kukira Jik-tongcu akan bertindak lebih keja m dan
kasar lagi."
Dengan gusar Jik Hwi-bing menda mperat: "Budak hina, sudah
untung masih jual lagak, hari ini Lohu harus beri ajaran pada
kalian."
"Bangsat tua," hardik si ke mbang seruni sa mbil menuding
dengan pedang, "Kau tahu di mana kau berada, berani bermulut
kotor?"
Berubah juga air muka Giok-lan, katanya sambil mengulap
tangan kepada kembang seruni: "cit-moay (adik ketujuh), kau
mundur saja, dia hendak me mberi ajaran pada keluarga bunga kita,
biar aku mencoba sa mpai di mana kelihayannya?" ia ambil pedang
yang diulurkan seorang pe layan, pelan2 turun dari undakan-
Karena kedudukan Giok-lan alias ke mbang Cempa ka me mang
lebih t inggi, terpaksa ke mbang seruni mengundurkan diri.
Sementara ke mbang ce mpaka sudah berhadapan dengan Hwi-bing,
katanya dingin. "Dala m kalangan Kangouw berlaku hukum rimba,
slapa kuat dia menang, kini tidak perlu banyak omong, silakan Jik-
tongcu mula i."
Jik Hwi-bing menyeringai sadis, katanya: "Baiklah, Lohu mula i."-
"sret pedangnya bergerak. hawa pedang yang dingin menggaris
selarik sinar perak melingkar2 kedepan. .
Dia m2 Giok-lan mengerut kening, tangan kiri terangkat tinggi,
sementara pedang ditangan kanan bergerak dengan jurus swat-ih
hoa-ing (Rembulan me mindah bayangan kembang), badan bergerak
mengikut i gaya pedang, secara lincah dia hindarkan gempuran
pedang Jik Hwi-bing, sinar pedangnya melingkar terus menusuk
pundak kanan Jik Hwi-bing. Jurus ini merupakan serangan sekaligus
untuk me mpertahankan diri.
"Ilmu pedang bagus," tanpa terasa Jik Hwi-bing berseru me muji.
Pedang berputar menangkis ke atas me mapas tangan Giok-lan,
dalam sekejap pedangnya telah menusuk pula tiga kali, serangan
cepat dan ganas, memang tidak malu sebagai bangkotan ilmu
pedang, pakaian Giok-lan mela mbai2, beruntun dia bergeser tiga
kali, berbareng pedang bergetar, mendadak dia balas menika m ke
iga Jik Hwi-bing.
Jik Hwi-bing tergelak2, dia me mbolang-ba lingkan senjatanya,
gerak pedangnya bertambah kencang. Giok- lan dicecar delapan kali
tusukan secara bersambung. Semuanya merupa kan serangan
gencar, satu lebih cepat dan ganas dari pada yang lain, malah
kecepatan dan landasan kekuatan yang terpancar dari ujung pedang
semakin mantap tak tergoyahkan, yang kelihatan hanyalah sinar
pedang, yang kemilau berkelebat kian ke mari.
Giok-lan tahu lawan sudah t idak sabar lagi setelah bergerak
sekian la ma tidak me mperoleh peluang, kini iajadi ne kat dan
mencecar dengan segala ke ma mpuannya untuk mencapa i
ke menangan.
Sebetulnya hati Giok-lan mula i girang, tapi dia juga insaf
serangan gencar lawan bukan olah2 lihay-nya, maka dia tidak berani
pandang enteng, segera dia kembangkan kelincahan tubuhnya,
laksana kembang berhamburan di musim se mi, iaputar pedang tidak
kalah gencarnya, sembari menutup dan me matahkan serangan
lawan, disa mping bertahan juga ba las menyerang.
Beruntun dia berhasil menangkis delapan jurus serangan Jik Hwi-
bing, tanpa terasa mengejek, katanya: "begini saja kelihayan Jik-
tongcu yang ingin dipertontonkan pada ka mi bersaudara?"
Mendadak perma inan pedangnya berubah pula, serempak iapun
me lancarkan serangan balasan secara bertubi2. Di mana pedangnya
menuding, sinar ke milau pedangnya mirip ceplok2 kuntum bunga,
begitu Pek-hoa-kia m-hoat dike mbangkan, bunga cahaya pedang
serentak bertaburan laksana seratus ke mbang me kar bersa ma.
Sudah tentu Jik Hwi- bing tahu akan kelihayan ilmu pedang ini,
cuma dia tida k kena l ilmu pedang apa yang dia hadapi? Seraya
menghardik kedua kakinya pasang kuda2 sekokoh tongga k
menancap di tanah, tanpa menyingkir atau menghindar, dia
andalkan kekuatan Lwe kangnya, secara keras dia hadapi serangan
Giok-lan.
Ditengah berke lebatnya sinar pedang, berdentinglah suara keras
beradunya senjata mereka, Bayangan mereka berduapun terpental
mundur, masing2 se mpoyongan beberapa langkah, waktu mereka
me meriksa keadaan sendiri, ternyata pedang panjang masing2 kini
sudah sama gumpil dan cacat.
Hanya sekejap kedua bayangan terpencar lalu saling terjang pula
lebih sengit. ilmu pedang Jik Hwi-bing mantap dan matang
latihannya, dilandasi Lwekang yang kuat lagi sehingga hawa pedang
berpencar menjadi gangguan yang tidak kecil artinya bagi musuh.
Permainan pedang Giok-lan seba liknya mene mpuh jalan lincah
dan gesit, Pek-hoa kiam-hoat sendiri me mang mengutama kan
kecepatan, ditambah gerakan Hwi-hoa-sin-hoat lagi, maju
menyerang dan mundur bertahan cukup rapat, berkelebat sana
menubruk sini, perma inannya serba aneh dan mena kjubkan.
Sudah 50 jurus mere ka saling labrak. tapi masih sulit
dibayangkan, pihak mana bakal menang. Di tengah pertempuran
seru itu, mendadak Giok-lan berseru nyaring, sinar pedang laksana
cahaya bintang jatuh menyapu ke arah Jik Hwi- bing.
Sejak tadi Ling Kun-gi terus perhatikan baku bantam ini, kini
dia m2 hatinya berteriak pula: "Sin-liong- jut-hun" Didapatinya
bahwa nona2 dari Pek-hoa-pang ini seolah2 se muanya pandai
me ma inkan jurus Sin-liong jut-hun ini, bila menggunakan ilmu
pedang perguruan sendiri sukar mendesak dan mengalahkan
musuh, lalu mereka melancarkan jurus ilmu pedang yang lihay itu.
Kini Giok-lan ke mba li melancarkah jurus Sin-liong-jut-hun, sudah
tentu Kun-gi menaruh perhatian istimewa.
"Puluhan tahun sudah Jik Hwi-bing mengge mbe leng diri dala m
ilmu pedang, walau tida k tahu asal usul ilmu pedang ini, tapi
pengalaman te mpur merupa kan bekal ampuh bagi dirinya, tadi
beruntun dia sudah menyaksikan Pek Ki-ha m menghadapi musuh
pula dan terbukti Pek Ki ha m dan Lan Hau sa ma cidera oleh jurus
ilmu pedang ini, dengan sendirinya dia sudah waspada dan hati2,
segera dia me mbentak: "Serangan bagus." Pedang terangkat untuk
menutup datangnya serangan lawan-
Itulah Lot- ping-la m-thian (mengadu kekuatan dilangit selatan),
jurus adu kekuatan dengan cara keras, meski hanya jurus
permainan yang biasa dan umum, tapi dilancarkan oleh seorang ahli
pedang ternyata jauh sekali bedanya, tahu2 sinar pedangnya
berkembang laksana kipas dipentang lebar, untuk me mbendung
sinar pedang Giok-lan.
Dua pedang mereka ke mbali beradu. "Trang, krontang", sinar
pedang tiba2 sama kuncup, bayangan merekapun tergentak mundur
beberapa kaki. Gebrakan ini tetap tiada yang unggul atau asor, tapi
pedang panjang mereka sa ma2 t inggal separo.
Betapapun Giok-lan adalah perempuan, tenaganya lebih le mah,
karena adu kekuatan ini sehingga lengannya tergetar linu,
wajahnyapun merah panas pelan2 dia menarik napas, matanya
yang bening menatap Jik Hwi-bing, katanya tertawa: "ilmu pedang
Jik-tongcu me mang hebat, hayolah sambut sejurus seranganku lagi"
Beberapa patah kata ini diucapkan dengan suara halus merdu,
dia m2 ia pinja m kesempatan ini untuk me mulihkan tenaga.
Dan baru saja lenyap kata2nya, tubuhnya yang ramping itu terus
me lompat maju, pedang kutung diputar laksana kitiran- Ke mbali
cahaya berseliwer dingin, hawa pedang melingkupi gelanggang
seluas satu tomba k lebih, sayup2 terdengar suara gemuruh bada i
guntur di tengah hujan lebat.
Mendengar orang bilang "sa mbut sejurus seranganku lagi",
dia m2 Ling Kun-gi sudah tergerak pikirannya dan matanya lantas
menatap dengan tajam, dia me mbatin: "Ternyata benar liong-can-
ih-ya adanya."
Inilah jurus kedua dari ilmu pedang tunggal ke luarganya. Keruan
kaget dan heran pula Kun-gi dibuatnya. "Memangnya Pek-hoa-pang
me mpunyai hubungan erat dengan diriku?" de mikian dia bertanya2
dalam hati.
Jik Hwi-bing me ma ng tida k ma lu sebagai seorang ahli pedang,
rnenghadapi ilmu pedang Giok-lan yang lihay, hebat dan digdaya ini,
hatinya malah tenang dan mantap. pedang kutung ditangannya
terangkat menunggu, begitu cahaya pedang lawan merangsak tiba,
mendadak dia menghardik sambil menghe mbuskan deru napasnya,
berbareng pedang terayun ke atas seperti menusuk ke udara.
Tipu yang digunakan ini berna ma Pat- hong- Kong- ih (hujan
angin dari delapan penjuru) jurus serangan biasa ka lau tidak ma u
dikatakan umum, tapi dilancarkan dari tangan seorang ahli seperti
dirinya ternyata lain pula bebotnya, maklumlah se-la ma pUluhan
tahun meyakinkan ilmu pedang, jurus ini boleh dikatakan sudah
diyakinkan sede mikian rupa sempurna, dilandasi setaker
kekuatannya lagi, maka pedangnya mendesing taja m.
Benturan keras dari kedua pedang kutung kemba li terjadi, kali ini
bunyinya nyaring bergema, pedang ditangan kedua orang bukan
lagi kutung, tapi sa ma hancur ber-keping2 berha mburan di tanah.
Tak terasa rona muka Kun-gi berubah, maklumlah betapa hebat
dan sakti jurus kedua ilmu pedang warisan keluarganya ini? Tapi Jik
Hwi-bing ternyata mampu me matahkannya hanya dengan sejurus
Pat- hong-hong-ih yang sangat umum ini.
Me mang soalnya terletak pada bobot serta latihan Giok-lan,
karena inti sari dan kekuatan sesungguhnya dari jurus kedua ini
belum lagi matang dan mendarah daging pada jiwanya, sehingga
kesaktian dan gerak perubahannya tidak dapat dimanfaatkan,
sebaliknya Jik Hwi-bing me mbe kal latihan puluhan tahun,
Lwekangnya tinggi, menyerang dengan kekuatan terakhir lagi,
sudah tentu dia lebih beruntung.
Me mperoleh hasil yang di luar dugaan serta me muaskan ini, Jik
Hwi-bing tidak kepalang tanggung bertinda k lagi, sekali jejak dia
me lompat ke atas, kedua kaki serentak bekerja menendang secara
berantai, Giok-lan kena didesaknya mundur beberapa langkah,
begitu tubuh meluncur dan kaki hinggap dibumi lagi, mulut lantas
tertawa panjang, lengan terkembang bagai bangau menjulang ke
langit, tubuhnya meluncur melompati kepala orang banyak terus
ngacir seperti kesetanan.
Belum lenyap lengking tawa Jik Hwi-bing, Pek Ki-ha m yang
berdiri di luar gelanggang serentak ikut menjejak kaki mela mbung
tinggi dan mengikuti langkah Jik Hwi-bing, diapun meluncur jauh
keluar kepungan.
Karena kurang waspada Giok-lan terdesak mundur dua langkah,
me lihat kedua musuh melarikan diri, gusarnya bukan main, kontan
ia menimpuk gagang pedang yang masih dipegangnya ke punggung
Pek Ki-ha m. Lalu me mbalik badan merebut sebatang pedang dari
salah seorang pelayan terus mengejar.
Sementara itu Giok-je, Bwe-hoa dan Kiok-hoa bagai burung Hong
terbang beramai2 juga ikut mengudak dengan kencang.
Pek Ki-ha m yang kutung lengannya kehilangan banyak darah, dia
setindak lebih la mbat lari daripada Jik IHwi bing, baru saja tubuhnya
me la mbung ke atas, mendadak dirasakannya sejalur angin kencang
menerjang punggungnya, karena terapung di udara, tak mungkin
dia berkelit, terpaksa pedang menyabet ke belakang. "Trang",
gagang pedang timpukan Giok-lan kena disa mpuknya jatuh, tapi
daya luncuran tubuhnya dengan sendirinya menjadi terganggu,
tubuhnya terus anjlok ke bawah.
Giok-lan sudah mengejar tiba secepat angin, tahu2 ia berkelebat
lewat di samping Pek Ki-ha m, mulutnya me mbentak: "Kalian cegat
dia, biar kukejar bangsat she Jik itu."
Baru saja Pek Ki-ha m anjlok turun, Bwe-hoa, Kiok-hoa dan Giok-
je pun beruntun telah mengepungnya. Tahu dirinya sukar
me loloskan diri, muka Pek Ki- ha m yang pucat itu jadi beringas,
mulutnya me mbentak: "Biar tuanmu adu jiwa dengan ka lian"-
Karena nekat dan mau adujiwa ma ka gerakan pedangnya sudah
tentu kuat luar biasa.
Bwe-hoa berada paling depan, terasa sabetan pedang lawan
me mbawa tekanan yang dahsyat, belum lagi tajam pedang
menyerang tiba, hawa pedangnya yang dingin sudah merangsang
badan. Lekas dia menghimpun hawa murni dipusar, sekali jejak
tubuhnya lantas me la mbung ke atas menghindari sabetan pedang
musuh, lalu dari atas ia menubruk ke bawah.
Jeri hati Pek Ki-ha m, tapi gerakannya tidak menjadi kendur,
tenaga dia pusatkan ditangan kanan, pedang diputar sekencang
kitiran, serangan Bwe-hoa yang menukik turun ditangkisnya terus
ditolak ke sa mping.
Kiok-hoa tertawa dingin jengeknya: "Masih berani me mbandel,
biar kutabas sisa lenganmu yang satu ini" Selarik sinar betul2
menabas ke punda k kanan orang.
Saking murka wajah Pek Ki-ha m yang pucat berubah jadi merah
padam, ilmu silatnya tinggi, sayang lengannya sudah buntung,
betapapun tak kuasa menghadapi keroyokan tiga lawannya? Sambil
menangkis dan menya mpuk serabutan kakinya mundur tak teratur
lagi, kelihatannya dala m beberapa gebrak saja dia tak ma mpri
bertahan lagi.
Se-konyong2 sinar-ke milau berkelebat dari sebelah kanan,
ternyata pedang Kiok-hoa tiba2 menyelinap masuk "cret”, lengan
baju kanannya tertusuk berlubang.
Keruan Pek Ki-ha m se makin nekat dan kalap. sambil kertak gigi
dia putar pedang me lindungi badan, sekuat tenaga dia masih
bertahan tiga empat gebrak lagi. Terdengar Bwe-hoa me mbentak
nyaring. "Trang" pedang lawan kena ditindih ke bawah, sigap sekali
pedang si ke mbang seruni dan Giok -je sudah menganca m tengkuk
dan lehernya dari kiri -kanan-
Bwe-hoa mendengus. katanya: "orang she Pek, tidak lekas kau
menyerah dan terima dibe lenggu?"
Hampir menyala mata Pek Ki-ha m "cuh." tiba2 mulutnya
menye mprot riak kental ke muka Bwe-hoa, bentaknya beringas:
"Budak busuk. kalian mimpi"
Dengan mudah, Bwe-hoa menyingkir ke samping, bentaknya:
"cari ma mpus kau"
Pek-hoa-pangcu tiba2 berbangkit, teriaknya nyaring: "Selamatkan
jiwanya."
Sayang sudah terlambat se mbari menghardik tadi ternyata Pek
Ki-ha m sudah me mba lik pedang sendiri terus menusuk perut sendiri,
darah hitam segera muncrat dari luka di perutnya, pelahan2
tubuhnya pun roboh tersungkur.
Hampir saja Bwe-hoa yang menyerang lalu kecipratan darah
hitam itu, untung dia keburu melompat minggir, serunya sambil
angkat kepala "Toaci, dia sudah mati" Kiok-hoa dan Giok-je juga
tarik pedang.
Pek hoa-pangcu ta mpak mengerut kening, katanya: "Sudah mati
biarlah, suruh orang menguburnya. "
Bwe-hoa mengia kan, Mendadak Giok-je men-jerit: "Getah
beracun, pedangnya dilumuri getah beracun, Cepat sekali jasadnya
telah me mbusuk."
Ternyata dalam sekejap ini di mana perut Pek Ki-ha m terkena
pedang, kulit dagingnya telah me mbusuk jadi Cairan hita m yang
berbau busuk.
Lekas Pek-hoa-pangcu maju me meriksa. Pikiran Ling Kun-gi juga
tergerak. tanpa diminta iapun mengikuti jejak Pek- hoa-pangcu.
Me mang tubuh Pek Ki-ha m dengan cepat telah berubah jadi ca iran
darah kental hitam, rumput di sekitar mayat-pun seketika hancur
jadi cairan, sampai tanahpun ikut berubah bentuk, ma ka dapatlah
dibayangkan betapa ganas racun ini.
Tak habis mengerti, Kun-gi lantas bertanya: "Apakah benar
pedangnya dilumuri getah beracun? Memangnya getah racun
apakah itu masa begini lihay?"
Pelan2 Pek-hoa-pangcu menggeleng kepa la, katanya: "Aku tidak
tahu, inilah rahasia Hek-liong-hwe."
Entah me mang tidak tahu atau tidak mau menje laskan? Tapi
Kun-gi tak enak bertanya lebih lanjut:
"Bukan Pang kita saja yang telah mengala mi tekanan oleh
ganasnya getah beracun ini, tapi seluruh kaum persilatan dijagat ini
pun akan mengala mi petaka yang sama atau mungkin lebih
mengenaskan. Kalau Ling kongcu berhasil punahkan kadar racun
getah ini boleh dikatakan telah menolong jiwa sesama umat
manusia dijagat raya ini." - Apa yang dikatakan tak ubahnya seperti
yang pernah Ling Kun-gi dengar dari mulut Cek Sengnjiang. Kun-gi
hanya tersenyum, katanya: "cayhe akan bekerja sekuat tenaga."
Tengah bicara, tampa k Giok-lan telah ke mba li. Pek-hoa-pangcu
lantas tanya: "Dia se mpat meloloskan diri?"
Giok lan me mbungkuk, sahutnya, "Hamba me ngejarnya sampai
pinggir danau, bangsat tua itu sudah lari naik perahu."
Sambil menghela napas pelan berkata Pek-hoa-pangcu: "Latihan
ilmu pedangnya sudah matang, umpama kau bisa mengejar dia juga
sukar untuk me mbekuknya." Mendadak dia menatap sambil
mena mbahkan: "Jadi kalian tidak mene mukan perahu mereka?"
"Llok dan Li berdua Sucia yang bertugas di sebelah timur laut
ternyata tertutuk Hiat-to oleh mereka, katanya dua orang yang
me mbe kuk mere ka adalah pe muda berjubah biru dan seorang laki2
jangkung berjubah hijau, lengan kirinya terbuat dari besi dan ilmu
silat mereka a mat tinggi."
"Itulah Dian Tiong-pit dan Hou Thi-jiu" seru Giok-je,
"Meski dia se mpat lari dari tangan kita, tapi dua di antara tiga
dapat kita lumpuhkan, hasil inipun sudah cukup me muaskan."
"Jadi orang she Pe k itu telah kita tawan?" tanya Giok- lan.
Pek-hoa-pangcu menuding ke tanah, katanya: " pedangnya
dilumuri getah beracun, jazatnya telah cair dan terisap ke dalam
tanah."
Giok-lan me mandang ke tanah dengan pandangan kaget,
katanya: "Begini lihay getah beracun ini?"
"Walau amat beracun, kini kita telah mendatangkan Ling-kongcu,
kukira takkan lama lagi kita akan me mpunyai daya untuk
me munahkannya," de mikian ujar Pek-hoa-pangcu.
Kun-gi tertawa. katanya: "Jangan Pangcu mengharapkan terlalu
besar terhadapku, dapatkah cayhe mene mukan obat pe munahnya
masih belum tentu, cayhepun tidak begitu yakin-"
Pek-hoa-pangcu mengerling, katanya sambii tersenyum manis:
"Bukankah tadi kau bilang akan me mbantu sekuat tenaga?"
"Umpa ma cayhe kerja se kuat tenaga kan belum tentu berhasil?"
sahut Kun-gi.
"Janji KongCu pasti dapat dipercaya, kuyakin kau pasti akan
bekerja sepenuh hati, Ai, hidup, mati seluruh anggota Pang kami
bergantung dari usaha Ling-kongcu saja."
Sampa i disini dia berpaling kepada Giok-lan- "orang2 Hek-liong-
hwe sudah mencari ke sini Jik Hwi-bing adalah salah satu Tongcu
mereka, setelah dia berhasil melarikan diri urusan tentu takkan
berakhir sa mpai di sini saja, ma ka sejak kini sekeliling ta man ini
harus ditambah penjagaan, ronda diperkuat lebih keras" Giok-lan
menerima perintah ini.
Pek-hoa-pangcu berkata pula: "Orang2 Hek— liong-hwe telah
me lumurkan getah beracun di senjata masing2, pasti mereka juga
sudah melumuri senjata rahasianya, ma ka kita se mua harus lebih
hati2."
Merandek sekejap lalu ia mena mbahkan, "Syukurlah Ling-kongcu
telah berjanji akan me mbantu, semakin cepat diperoleh obat
penawarnya tentu akan lebih baik, lekas kau antar Ling-kongcu
ke mbali ke ka marnya, periksa lagi masih ada kekurangan apa?
Untuk ini harap Ling kongcu dapat mula i be kerja selekasnya."
Kun-gi menjura, katanya: "Pangcu tiada pesan lain, baiklah cayhe
mohon diri saja."
Sambil me mbetulkan sanggulnya, tajam dan perihatin tatapan
mata Pek-hoa-pang Cu, katanya: "Semua berkat bantuan dan usaha
Kongcu."
Giok-lan lantas bawa Kun-gi ke mbali mela lui ja lan datangnya
tadi, kali ini Giok-lan tetap berjalan di depan, lekuk tubuh orang
yang sema mpai dan menggiurkan menjadikan pikiran Kun-gi tida k
tenang, apalagi bau harum dari badan orang selalu merangsang
hidungnya. .
Setelah tiba diserambi dipinggir gunungan palsu itu baru Giok-lan
berpaling, katanya tersenyum manis, "Biasanya pangcu amat dingin
menghadapi orang, sikapnya yang lunak hari ini terhadap Ling-
siangkong sungguh a mat istimewa."
"cayhe amat beruntung sekali," ajar Kun-gi berkelakar,
"Me mangnya hanya pemuda segagah dan setampan Ling-
siangkong saja yang dapat menundukkan dan mencairkan hati
Pangcu yang kaku dan be ku."
Merah muka Kun-gi, katanya: "Ah, nona jangan menggoda."
Sambil menunduk Giok-lan ja lan di depan, katanya lirih:
"Me mangnya Kongcu masih belum merasakan? Ai, Kongcu dan
Pangcu kami me mang merupa kan pasangan yang setimpal, sayang .
. . ." suaranya semakin lirih dan akhirnya tenggelam dala m
tenggorokan-
Sayang apa? Dia tidak meneruskan, sudah tentu Kun-gi rikuh
untuk menanya, maka selanjutnya mereka berjalan tanpa bersuara
lagi.
Benak Kun-gi masih me mikirkan ketiga jurus Hwi-liong-kia m-hoat
tadi, maka tak tertahan dia bertanya: "cayhe ingin mohon petunjuk
suatu hal kepada nona."
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Giok-lan menoleh. .
"Pang Kalian menggunakan Pek-hoa (seratus kembang),
menciptakan semaca m suatu aliran ilmu pedang tersendiri,jika
dike mbangkan menciptakan kuntum bunga yang berbeda2 seolah2
seratus bunga mekar bersa ma, entah apakah nama ilmu pedang ini
juga dina ma kan Pek-hoa?"
Terunjuk rasa heran dan kaget dari sinar mata Giok-lan, katanya:
"Ling-kongcu me mang cerdik, hanya menyaksikan beberapa jurus
lantas tahu asal-usul ilmu pedang itu."
"Nona terlalu me muji, soalnya cayhe pernah dengar penuturan
guruku tentang aliran dan jurus2 ilmu pedang dari berbagai
golongan dijagat ini, tapi ilmu pedang yang diperlihatkan oleh
beberapa nona tadi semuanya merupakan Ciptaan tersendiri, dan
lagi ceplok2 sinar pedang berkuntum2 banyaknya, serasi betul
dengan perkumpulan kalian, ma ka dapatlah dibayangkan bahwa
ilmu pedang itu pasti hasil ciptaan caka l-bakal Pang kalian-"
Giok-lan manggut2, katanya: "Agaknya Ling-kongcu juga seorang
ahli pedang."
"Terlalu tinggi penilaian nona terhadap cayhe, me mang cayhe
me me lajari beberapa jurus ilmu pedang cakar ayam,jangan
dikatakan ahli? Jik Hwi-bing yang betul2 ahli dala m bidang ini
dengan landasan Lwekang yang tinggi lagi toh juga kecundang oleh
nona, kukira nona yang setimpal dijunjung sebagai ahli pedang."
Tiada manusia di kolong langit ini yang tidak senang diumpak.
Terutama pere mpuan, asal cara yang kau gunakan tepat dan
sejalan dengan isi hatinya, meski hanya beberapa patah kata,
seorang perempuan yang cerdikpun dapat kau buat senang hatinya.
Demikian pula Giok-lan, sudah tentu dia juga senang disanjung puji.
Apalagi yang dihadapinya sekarang adalah Ling Kun-gi, pe muda
gagah ganteng yang romant is ini.
Bola mata Giok-lan me mancarkan cahaya aneh, katanya sambil
tertawa: "Kau pandai berbicara."
Kun-gi hanya tersenyum, katanya pula: "Ilmu pedang yang tadi
digunakan Bwe-hoa dan Lan-hoa untuk melukai kedua orang itu
agaknya merupakan jurus aneh yang berlainan, kurasa bukan jurus
serangan yang ada di dala m Pek- hoa-kia m-hoat itu?"
"Em," Giok-lan me muji, "pandangan Kongcu me mang tajam,
jurus ini me mang bukan terdiri dari rangkaian Pek-hoa-kia m-hoat "
"Lalu jurus ilmu pedang apa? begitu lincah, sakti la ksana naga
me mperlihatkan diri di atas mega, sehingga orang sukar meraba
ekornya."
Tiba2 Giok-lan me mba lik, tanyanya sambil menatap tajam: "Ling-
kongcu kenal jurus ilmu pedang itu?"
Kun-gi menggeleng, katanya: "Kalau cayhe kenal ilmu pedang ini,
buat apa harus tanya kepada nona?"
Giok-lan menghe la napas panjang, katanya: "Me mang Kongcu
tidak malu sebagai seorang ahli pedang, jurus ilmu pedang itu
me mang tepat seperti apa yang kau katakan-"
Kun-gi pura2 bingung, tanyanya: "Kata2 apa yang tepat
kukatakan?"
"jurus itu me mang berna ma Sin-liong-jut hun (naga muncul dari
mega)."
Kini terbukti bahwa ilmu pedang yang mereka mainkan betul
adalah Sin-liong-jut- hun seperti dugaan Ling Kun-gi, tapi dia hanya
tersenyum saja, katanya: "cayhe hanya melihat Cara nona tadi
waktu me mainkan ilmu pedang itu selincah naga di atas mega, tak
kira bahwa jurus pedang itu me mang bernama Sin liong-jut-hun,
tentunya ilmu pedang ini juga ciptaan Pang kalian?"
Giok-lan seperti tersentak sadar, katanya: "Itulah ilmu pedang
pelindung Pang ka mi, untuk apa Kongcu tanya hal ini?"
"Sepuluh tahun cayhe berlatih pedang, sela manya belum pernah
me lihat ilmu pedang seaneh dan begitu digdaya, karena ketarik
adalah ja mak kalau ingin tahu lebih jelas."
Seperti tertawa tapi tidak tertawa Giok-lan me ma ndangnya,
katanya sambil mencibir: "Ketarik apa segala, yang jelas kau ingin
tahu asal-usul ilmu pedang ini bukan? Bagi orang lain, hal ini hanya
merupakan impian belaka, tapi bila Ling-kongcu ada maksud, kukira
tidak sukar . . . "
Mendadak dia berhenti bicara sa mpai di sini.
Sudah tentu Kun-gi ingin tahu asal-usul ke-3 jurus ilmu pedang
itu, tanyanya: "Tidak sukar bagaimana?"
Giok-lan tertawa penuh arti, katanya: "Asal Ling-kongcu sudi jadi
anggota Pang kami dan menjadi Huma (sua mi Pangcu) dan
bertanggungjawab menjaga kesela matan Pangcu, kau a kan
me mperoleh hak untuk me mpe lajari ketiga jurus ilmu pedang
pelindung Pang itu."
Tanpa terasa mereka sudah berada dipe karangan tengah terus
menuju ke deretan rumah di sebelah kiri. Sin-ih yang bertugas di
bilangan ini segera keluar menya mbut. Kata Giok-lan- "Ling -
kongcu adalah tamu agung Pang kita, berilah hormat kepadanya."
Sambil tertawa Kun-gi mendahului buka suara "Nona Sin-ih tidak
usah banyak adat, masa kau tidak mengena lku?" - Suaranya dibikin
serak hingga mirip logat cia m-liong Cu Bun-hoa.
Terbeliak mata Sin-ih, serunya: "Kau adalah Cu-cengcu?"
Giok-lan iringi Kun-gi masuk ke ka mar ta mu, la lu menuding
kamar sebelah kiri, katanya: "Itulah kamar buku yang disedia kan
untuk Ling- kongcu,"
Lekas Sin-ih lari ke depan me mbuka daun pintu yang bercat
merah. "sila kan," kata Giok-lan, Kun-gi tida k sungkan lagi, segera ia
beranjak masuk.
Kamar buku ini a mat besar dan panjang, tepat di tengah terdapat
sebuah pintu bulan sabit, sehingga ka mar panjang ini dipetak jadi
dua. Kamar depan bagian selatan sana ada jende la berkaca yang
bertutup kain sari bersula m indah, di luar jendela adalah ta man
bunga, di bawah jendela terdapat meja buku, di kanan-kirinya
terdapat rak buku, setiap petak penuh berisi buku2, semua diatur
begitu rapi, dise kitar meja terdapat e mpat buah kursi.
Kamar be lakang mepet dinding utara terdapat sebuah almari
bersusun, sekali pandang lantas ketahuan almari ini sengaja dibuat
khusus untuk menyelidiki getah beracun itu, di atas almari banyak
terdapat laci, pada setiap laci dite mpel kertas merah yang
bertuliskan na ma obat yang disimpan di da la m laci itu.
Dipinggir kiri almari ada sebuah pintu kecil, hanya di belakang
masih ada sebuah ruangan la in-
Menuding almari itu Giok-lan menerangkan:
"obat2 dala m laci itu berjumlah 72 maca m, se mua adalah
obat2an yang pernah Kongcu guna kan wak-tu me nawarkan getah
beracun di coat-sin-san Ceng, keCuali itu bila Kongcu masih
me merlukan obat lainnya boleh me mberi pesan kepada Sin-ih,
segera akan didapatkan." - Lalu dia menuding pintu kecil itu: "Di
kamar itulah untuk menggodok obat, Kongcu boleh menyuruh Sin-ih
atau bila perlu juga boleh menggodok sendiri."
Kun-gi ikut me langkah masuk. ka mar kecil ini berbentuk lonjong,
semua peralatan untuk meracik dan menggodok obat sudah lengkap
tersedia di sini, Setelah mengadakan pemeriksaan ala kadarnya,
Giok— lan berkata pula: "Ada kekurangan apa di sini, atau
me merlukan apa saja, Kongcu boleh minta kepada Sin-ih."
Kun-gi manggut2, katanya: "Begini rapi persiapan nona, kukira
sudah cukup," Sampa i di sini mendadak ia mena mbahkan "Tapi
masih harus disediakan air."
Giok-lan tersenyum, dia menuju ke ujung sana, me mbuka sebuah
pintu, di luar ternyata adalah serambi yang menuju kepekarangan
belakang. Diserambi, berjajar tiga gentong air, semuanya bertutup
papan kayu bundar.
Menuding ketiga gentong air Giok-lan menerangkan pula: "Inilah
tiga gentong air, gentong pertama berisi air gunung, gentong kedua
berisi air sumber, gentong ketiga beriai air sungai, sudah ku-pesan
setiap hari mereka harus mengganti air se kali."
"Nona me mang pandai bekerja, begini rapi persiapannya,"puji
Kun-gi.
Mereka keluar dari ka mar kecil itu ke mbali ke ka mar buku. Giok-
lan me mbungkuk me mbuka pintu almari bagian bawah, dengan
kedua tangan dia mengeluarkan sebuah buli2 terbuat dari porselen,
katanya dengan sikap serius: "Inilah getah beracun yang kita
peroleh dari Hek-liong-hwe, harap Ling-kongcu berhasil me mperoleh
obat penawarnya bagi Pang kita, kami se mua akan bersyukur dan
berterima kasih."
"Silakan nona menge mbalikannya kedala m almari, bila diperlukan
cayhe akan menga mbilnya, cayhe sudah janji kepada Pangcu, tentu
akan bekerja sekuat tenaga."
Setelah menyimpan buli2 itu, Giok-lan berdiri sambil
me mbetulkan ra mbut yang terurai, katanya tertawa: "Semoga
Kongcu berhasil secepatnya." lalu dia me mberi hormat dan
mena mbahkan: "Ling- kongcu, aku masih ada urusan, mohon
pamit."
"Sebentar nona," kata Kun-gi, "ada sebuah hal mohon nona suka
me mberi petunjuk."
"Masa me mberi petunjuk segala, Ling-kongcu ada urusan apa?"
"cayhe tinggal di sini, apakah diperbolehkan ja lan keluar?"
Ber-kedip2 mata Giok-lan, sesaat dia memandang Kun-gi, hatinya
tampak ragu2, tapi segera dia berkata sambil tertawa: "Ling-kongcu
adalah tamu agung, seharusnya boleh bebas mau pergi kemana,
cuma Kongcu baru datang, belum tahu seluk-beluk disini, anggota
Pang kita semua perempuan, hanya pekarangan tengah ini saja
tempat istirahat Kongcu, jadi hanya Kongcu saja seorang laki2 yang
berada di sini, kalau tiada orang yang menunjukan jalan kukira
kurang leluasa."
Me mang hal ini beralasan, sesuai dengan na ma perkumpulan,
sudah tentu seluruh anggota Pek-hoa-pang adalah pere mpuan atau
gadis2, seorang laki2 asing jika tanpa pengiring me mang kurang
leluasa bergerak di tempat ini. Tapi secara tidak langsung hal ini
berarti dirinya ditahan atau disekap dala m pe karangan luas ini?
"Kalau tidak le luasa ya sudah, cayhe hanya bertanya sambil lalu,"
ujar Kun-gi.
Giok-lan menepekur sebentar, katanya kemudian- "begini saja,
biarlah hal ini kubicarakan dulu dengan Pangcu, di bela kang sana
kita masih ada sebuah ta man, ka lau Kongcu habis be kerja, boleh
jalan2 di ta man itu, cuma hal ini harus mendapat persetujuan
Pangcu."
"Kukira tida k usahlah, bikin repot kau saja."
"Tida k, hal ini me mang belum terpikir sebelumnya olehku,
anggaplah kecerobohanku, kini Kongcu telah mengusulkan, tentu
akan kulaporkan kepada Pangcu, sebagai tamu agung yang bekerja
bagi kepentingan kita se mua, mana boleh setiap hari menyekap diri
di ka mar kerja me lulu," habis bicara lekas2 dia beranjak keluar.
Setelah orang pergi Ling Kun-gi mondar-mandir dalam ka mar
sambil menggendong tangan melihat buku2 di atas rak, akhirnya dia
duduk di kursi malas di bawah jendela sana.
Sin-ih cepat menga mbil teh serta diantar ke depan Kun-gi: "Ling-
kongcu sila kan minum."
"Ah, cayhe sampai lupa kalau nona masih berada di sini," seru
Kun-gi. "Tiada yang perlu kau kerjakan lagi di sini. boleh nona
keluar saja."
"congkoan ada pesan, Kongcu perlu bekerja seorang diri, hamba
dilarang mengganggu, tapi ha mba ditugaskan di sini meladeni
keperluan Kongcu, apapun keinginan Kongcu harus kusediakan.
Baiklah ha mba akan tunggu di luar saja, sekali panggil ha mba pasti
mendengar," lalu Sin-ih me ngundurkan diri.
Ling Kun-gi angkat cangkir dan menghirup,nya seteguk. sambit
me megangi cangkir dia menengadah mengawasi langit2, pikirannya
risau, ia rada bingung juga, tak tahu langkah apa yang harus dia
lakukan selanjutnya.
Waktu dirinya diselundup keluar oleh Giok-je, Ia mandah saja,
hanya satu tujuan ingin mencari jejak ibunya. karena waktu itu
diketahuinya selain Coat Sin-san-ceng ternyata ada pula suatu
serikat rahasia lain yang menghendaki dirinya. Di Coat Sin-san-ceng
dia gagal mendapatkan ibunya, sudah tentu dia ingin melihat2
serikat rahasia apakah yang hendak me mperalat dirinya. Maka Kun-
gi akhirnya berada di Pek-hoa-pang ini.
Pek-hoa-pang me mang suatu kumpulan gadis yang serba
rahasia, tapi dia yakin bahwa ibunya yang bilang pasti tiada
sangkut-pautnya dengan Pek-hoa-pang. Malah Pek-hoa-pangcu
berjanji akan bantu dirinya mencari jejak be liaU. Kini setelah
diketahui bahwa ibunya tak berada di sini, sepantasnya dia harus
segera berlalu, tapi dua persoalan justru terpampang dihadapannya,
tak mungkin untuk di-tinggal pergi begini saja.
Soal pertama sudah tentu menyangkut getah beracun. Semua dia
hanya tahu bahwa Coat Sin-san-ceng amat getol menginginkan obat
penawar getah beracun, kini sudah jelas bahwa Coat Sin-san-ceng
hanyalah merupakan salah satu Cabang kerja dari Hek-liong-hwe,
sedang getah beracun sebetulnya milik Hek-liong-hwe. Dan He k-
liong hwe be lum me mpunyai obat penawarnya .
Dari pe mbicaraan Jik Hwi bing dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pek-hoa-pang dan Hek-liong-hwe belum pernah bentrok atau
berselisih, la lu kenapa pihak Pe k-hoa-pang juga ingin selekasnya
me mperoleh obat penawar getah beracun? Sebetulnya barang
apakah getah beracun itu? Apa pula tujuan dan muslihat yang
tersembunyi di ba lik semua ini sa mpa i Pek hoa-pang dan Hek-liong-
hwe seakan2 berlomba untuk mendapatkan obat penawar itu?
Soal kedua adalah mengenai ketiga jurus ilmu pedang, yaitu Hwi
liong-sa m-kia m. Terang gamblang ibunya pernah menjelaskan
bahwa Hwi-liong sa m-kia m adalah warisan keluarganya. Kalau
warisan keluarga sudah tentu merupakan ilmu rahasia pula.
Kenapa Pek- hoa-pang juga me miliki ketiga jurus ilmu pedang
ini? Malah dijadikan ilmu pe lindung Pang mereka? Maka timbullah
dua pertanyaan, Pek-hoa-pangkah yang mencuri be lajar dari
keluarganya? Atau keluarganya yang mendapat ajaran ketiga jurus
ilmu pedang itu dari Pek hoa-pang?
Dari ketiga jurus ilmu pedang ini Kun-gi dapat menarik
kesimpulan, mungkinkah ibunya punya hubungan dengan Pek-hoa-
pang? Dari sang ibu dia lantas teringat kepada sang ayah, sebesar
ini dirinya belum pernah me lihat wajah ayahnya sendiri, ma lah
ibunya tidak pernah bicara soal ayah dengan dirinya. Kalau betul
ilmu pedang itu warisan keluarga, tentu warisan dari ayahnya,jadi
ayahnya yang ada sangkut paut dengan Pek-hoa-pang?
Pikirannya timbul tenggela m, ka lut dan se ma kin ruwet, cangkir
diangkat dan ke mbali dia menghirup seteguk. Ternyata teh dalam
cangkir sudah dingin- Teh dingin ini me mbuat pikirannya yang
gundah pelan2 mula i tenang ke mbali.
Suhu pernah berpesan, menghadapi urusan harus berpikir
dengan kepala dingin- Maka dia lantas berpikir pula mengenai soal
pertama getah beracun, seharusnya Pek-hoa pangcu tahu, tapi
agaknya nona itu tidak suka banyak bicara. Soal kedua Hwe liong-
sam-kia m, kalau ilmu pedang ini di anggap pelindung Pek-hoa-pang,
tentu nona itu juga tahu asal usulnya, Hanya kedua persoalan ini
saja yang ingin diketahuinya dan kunci kedua persoalan ini terletak
pada diri Pek-hoa-pangcu.
Cuaca sudah mulai gelap. Kun-gi masih duduk termenung.
Karena mendapat pesan congkoan di-larang mengganggu Ling-
kongcu, ma ka secara diam2 Sin-ih menyalakan pelita di ruang kecil.
Hidangan sudah diantar, maka Sin- ih lantas menyiapkan meja
makan di ka mar sebelah pula, tapi ditunggu sekian la manya ling
Kun-gi masih tenggela m dala m pikirannya, padahal hidangan sudah
dingin, ma ka secara dia m2 pula Sin-ih beranjak kepintu mengawasi
Ling Kun-gi serta me manggil dengan suara lirih: "Ling-kongcu,
sudah saatnya makan ma la m."
"o," Kun-gi tersentak sadar, lekas dia berdiri, katanya tertawa
geli: "begini cepat, tahu2 hari sudah petang."- ia lantas ikut ke
kamar makan-
Sin-ih tarik kursi me mpersilakan Kun-gi duduk. menga mbil poci
serta mengisi cangkir dengan arak. Lalu menyiduk se mangkok nasi
bagi Kun-gi.
Kun-gi dia m saja me mbiarkan orang meladeni, katanya kemudian
dengan tersenyum: "Nona agaknya serba pandai."
Usia Sin-ih baru belasan tahun, gadis yang sedang mekar, keruan
mukanya menjadi merah di-awasi sede mikian rupa, wajah terasa
panas, kepalanya tertunduk dan tak berani bersuara.
Kun-gi menjadi geli, tapi dia tidak hiraukan orang lagi, segera dia
sikat seluruh hidangan yang diperuntukkan dirinya. Setelah
me mbereskan mangkuk piring Sin-ih menyuguh secangkir teh pula
ke dala m ka mar, Ling Kun-gi lantas berkata: "Nona boleh istirahat
saja."
Mala m ini Sin-ih tidak berani lagi bantu Kun-gi me nanggalkan
jubah dan ganti pakaian sega la, demi mendengar perkataan Kun-gi
itu tersipu2 dia mengundurkan diri.
Kira2 kentongan pertama, ka mar Kun-gi sudah ge lap. tapi dia
tidak lantas naik ranjang, ia atur bantal guling yang ditutup selimut
hingga menyerupai bentuk tubuh wanusia. Lalu secara diam2 dia
buka jendela serta melompat keluar, dari luar dia tutup pula jendela
pelan2, sesosok bayangan lantas melambung tinggi ke udara, begitu
cepat laksana segulung asap yang tertiup angin lalu, melayang ke
belakang.
Inilah hasil pe mikiran Kun-gi sebelum makan tadi, rahasia getah
beracun dan Hwi liong-sa m-kia m tentu diketahui oleh Pe k-hoa-
pangcu, tapi orang agaknya tidak mau banyak bicara, terpaksa
dirinya harus menyelidiki secara dia m2, oleh karena itulah tadi dia
berkeputusan mala m ini juga a kan beraksi.
Menyelidiki rahasia orang lain sebetulnya merupakan pantangan
bagi kaum persilatan, tapi lantaran berkepandaian tinggi dan
nyalipun besar, dia beranggapan asal dirinya berlaku hati2, tentu
jejaknya tidak akan konangan oleh orang2 Pek- hoa-pang.
Taman keluarga Hoa yang besar dan luas ini merupakan markas
pusat yang amat penting artinya bagi Pek-hoa-pang. Karena huru-
hara tadi siang, maka penjagaan mala m ini jauh lebih keras, pada
setiap tempat gelap di sudut2 taman pasti ada pos penjagaan yang
diatur sedemikian rupa, sampa ipun pada setiap wuwungan, setiap
jendela pada setiap loteng juga ada orang berjaga dan mengawasi.
Sudah tentu semua petugasnya adalah gadis re maja.
Sebetulnya tidak sedikit pula jumlah Hou-hoat-su-cia di dala m
Pek-hoa-pang, umpa ma Liok Kian-la m dan lain2, semuanya adalah
kaum pria, maka mereka tida k berada dalam lingkungan taman luas
ini. Jika benar taman keluarga Hoa ini berada di tengah Phoa-yang-
ouw, maka tugas Hou-hoat-su-cia itu pasti berada di luar,
umpa manya meronda di perairan atau dipesisir.
Karena siang tadi Kun-gi pernah ke mari, jalan sudah apal,
dengan menge mbangkan Thian-liong-siap-Kong-s in-hoat, umpa ma
dia berkelebat di depan para petugas yang cantik jelita itu, mungkin
mereka pun mengira pandangan mereka sendiri yang kabur.
Di atas loteng Sian-jun-koan, sinar pelita tampak masih menyorot
keluar. Tanpa banyak pikir Kun-gi me luncur ke sana, pertama dia
mencari batu loncatan pada sepucuk pohon besar, meminja m aling2
bayangan pohon yang berdaun lebat, dia mendeka m serta pasang
mata me mperhatikan ke atas loteng.
Sinar la mpu menyorot dika mar pertama disebelah kiri, tempat di
mana Kun-gi se mbunyi kebetulan berjarak kira2 tujuh tombak dari
loteng melihat pajangan yang ada di ka mar itu, dia yakin pastilah
kamar tidur yang didia mi Pek-hoa-pangcu.
Jendela di sebelah selatan tampak masih terbuka, sinar lampu
justru menyorot keluar dari sini, cuma teraling oleh kain gordyn
yang terbuat dari kain sari kuning sehingga seperti berkabut selapis
asap kuning.
Pek-hoa-pangcu dan Giok-lan tampak duduk berhadapan di
sebuah meja bulat kecil, gerak-gerik mereka menunjukkan sedang
me mbicarakan sesuatu persoalan,jarak cukup jauh, maka tida k
terdengar suara percakapan mereka.
Pek-hoa-pangcu kini mengena kan gaun merah baju kuning,
rambut panjang terurai diikat benang merah, gerak-geriknya halus,
sikapnya anggun berwibawa, potongan tubuhnya begitu indah
me mpesona, tapi mukanya tetap mengenakan kedok.
Sebetulnya wajah berkedok itupun cantik jelita, cuma usianya
kelihatan lebih tua dari umur sesungguhnya sehingga t idak seayu
wajah aslinya.
Giok-lan tetap mema kai pakaian serba putih, pandangan pertama
akan menimbulkan kesan keagungan dan kesucian dirinya, sudah
tentu tak lepas dari rasa sederhana.
Teraling ka in sari mengawasi sang jelita tak ubahnya seperti
berada di dala m kabut mengawasi bunga, tapi tujuan Ling Kun gi
ke mari bukan untuk mengintip gerak-gerik nona cantik. Tujuannya
adalah menyelidiki rahasia getah beracun dan asal usul Hwi liong-
sam-kia m, maka dia merasa perlu mencuri dangar percakapan Pe k-
hoa-pangcu dan Giok-lan.
Taraf ilmu silatnya me mang tinggi sehingga keberaniannyapun
luar biasa, dengan tajam diperiksa sekelilingnya, tiba2 ia meloncat
mumbul meningga lkan pucuk pohon dan menubruk kearah loteng.
Betapa cepat gerakan tubuhnya, dengan lincah dan enteng dia
me lompat kewuwungan rumah, seka li tutul lagi, dengan jumpalitan
tubuhnya lantas hinggap di sera mbi sebelah t imur. Te mpat itu
kebetulan adalah pengkolan jalan, sinar lampu tidak menyorot ke
sini, maka tempatnya jauh lebih gelap.
Ringan dan sebat sekali tubuh Kun-gi berputar terus merunduk
ke jendela sebelah timur, didapatinya jendela tidak tertutup letak
kamar di ujung sebelah timur, jadi hanya terpaut satu kamar
dengan ka mar tidur Pek-hoa-pangcu yang sedang bicara dengan
Giok-lan.
Dari pucuk pohon tadi Kun-gi sudah me meriksa dengan teliti,
dengan enteng ia menerobos masuk dan hinggap di dala m ka mar
tanpa bersuara. Pada saat dia mendorong jendela dan berkelebat
masuk itu hidungnya berbareng dirangsang bau harum, sekali
mencium bau harum ini Kun-gi lantas tahu bau harum ini mirip
dengan wewangian yang pernah terendus dari badan Pek-hoa-
pangcu.
Dengan rasa kaget sigap sekali Kun-gi berkisar ke samping
sambil bersiaga, dia kira Pek-hoa-pangcu sudah siap menunggu
kedatangannya, tapi setelah berdiri tegak dan menga mati
sekelilingnya, baru dia sadar bahwa dirinya terlalu takut akan
bayangan sendiri.
"Agaknya kamar inilah ka mar tidur Pek-hoa-pangcu," de mikian
batin Kun-gi. Sejenak dia me meriksa keadaan ka mar ini, lalu
merunduk ke dinding barat dan bergerak kearah pintu. Itulah pintu
berbentuk bulan, sisi kanan kiri terdapat kerai yang tersingkap dan
tergantol besi mengkilap, sebelah luarnya tertutup jalur2 manik
yang direnteng benang besar. Dari tempat gelap ini dengan jelas dia
dapat mengawasi keadaan di luar, ma lah dia bisa sembunyi di
belakang kerai yang tersingkap itu.
Maka didengarnya suara Pek-hoa-pangcu sedang berkata:
"Kukira apa yang dikatakannya tidak bohong."
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Agaknya diriku yang menjadi
topik pe mbicaraan mereka."
Terdengar Giok-lan berkata: "Jadi maksud Pangcu kita harus
me mberi perintah kepada para saudara yang tersebar luas itu untuk
bantu mencari jejak ibunya yang hilang?"
"Tujuannya me mang hanya mencari ibundanya, dia berjanji akan
me mbantu kita mene mukan obat penawar getah beracun, betapa
besar arti dan pentingnya bantuan ini, kalau kita bantu dia
mene mukan ibunya juga setimpa l."
"Pangcu percaya kalau dia betul2 dapat mene mukan obat
penawar getah beracun?"
"Seharusnya tidak pantas kita curiga dala m hal ini, laporan Giok-
je sudah jelas, bukankah dia sudah mene mukan penawar getah di
Coat Sin-san-ceng?"
"Betul, cuma ha mba merasa dia terlalu muda, coba pikir, betapa
luas pengalaman Tong Thian-jong, Un-it-kiau dan Lok san Taysu,
mereka toh sia2 setelah bekerja tiga bulan, padahal usia Ling-
kongcu kukira baru likuran tahun . . . . "
"Jangan kau menilai de mikian, bahwa getah semangkuk telah dia
bikin jadi air jernih kan sudah terbukti?"
"Tapi ha mba kira bukan dia yang berhasil me nawarkan getah
beracun itu."
"Bukan dia yang menawarkan getah beracun?" seru Pek-hoa-
pangcu kaget dan heran, "maksud Sa m-moay . . . . "
"Ha mba kira dia me mbawa sesuatu obat yang khusus dapat
menawarkan segala maca m racun, adalah ja mak bagi setiap insan
persilatan selalu me mbekal obat2an maca m ini, mungkin secara
kebetulan obat yang dibawanya itu bisa menawarkan getah
beracun."
Me mang tidak malu Giok-lan diangkat menjadi congkoan Pek-
hoa-pang, pandangan dan pendapatnya me mang Cermat dan lebih
mengena sasaran daripada orang la in-
Pek-hoa-pangcu manggut, ujarnya: "Betul, kulihat sorot matanya
amat tajam, hakikatnya tidak mirip seorang yang terkena racun
pembuyar Lwekang, kalau dia selalu bawa obat penawar racun,
maka racun pe mbuyar Lwekang itupun tentu sudah punah dari
tubuhnya." Sampai di sini tiba2 dia menepuk meja sambil tertawa,
katanya: "Ya, pasti begitu, waktu Giok-je dicegat orang2 Hek-liong-
hwe di tengah sungai, katanya ditolong seorang berkedok yang
menga lahkan Dian Tiong-pit dan begundalnya, hari ini setelah
me lihat dia lantas timbul rekaan dala m benakku bahwa orang
berkedok itu pasti dia"
Pada saat itulah, di luar sana seorang pelayan bersuara lantang:
"Ha mba menya mbut kedatangan Hu pangcu."
Mendengar yang datang adalah Hu-pangcu atau wakil Pangcu
Pek-hoa-pang, cepat Kun gi sedikit menyingkap kerai dan mengintip
keluar.
Segera Pek-hoa-pangcu angkat kepala dan berseru: "Apakah Ji-
moay yang datang?"
Tampak kerai tersingkap. muncullah seorang gadis remaja
berbaju kuning ketat, langsung ia menjura kepada Pek-hoa-pangcu,
katanya: "Siaumoay me mberi hormat kepada Toaci." Lalu ia
tanggalkan mantel serta mencopot cadar kuning yang menutup
mukanya.
Kini Kun-gi dapat melihat jelas. Usia gadis ini sebaya dengan Pek-
hoa-pangcu, wajahnya berbentuk kwaci, alisnya me lengkung
laksana bulan sabit, dagunya laksana lebah bergantung, matanya
jeli seperti bintang kejora, pinggangnya ra mping diikat sabuk kain
merah, di mana terselip sebatang pedang bersarung kulit ikan
cucut, sepatunya kulit hita m tinggi, kelihatannya gagah dan angker,
itulah seorang gadis yang sudah terlatih dan ge mblengan. Ternyata
dia tidak mengenakan kedok.
"Silakan duduk Ji-moay," kata Pek-hoa-pangcu.
Sementara itu Giok-lan berdiri menya mbut, katanya sambil
menjura kepada gadis baju kuning, "Ha mba me mberi hormat
kepada Hu-pangcu."
Gadis baju kuning mengangguk, katanya tersenyum: "Sa m-moay
juga ada di sini, sesama saudara sendiri buat apa sungkan?"
Wajahnya kelihatan berseri tawa, tapi sedikitpun tida k kentara rasa
simpatik pada nada bicaranya. Dia duduk pada kursi sebelah kiri
Pek-hoa-pangcu, lalu berkada pula: "Sam-moay betul2 cerdik pandai
me lebihi orang lain, Thay-siang (junjungan maha tinggi)
menyerahkan jabatan congkoan pada mu me ma ng sangat tepat."
Tiba2 tergerak pikiran Kun-gi: "Jadi jabatan congkoan ini
diperoleh dari Thay-siang, bukan di angkat langsung oleh Pek-hoa-
pangcu, jadi masih ada lagi Thay-siang-pangcu. Me mangnya gadis2
remaja yang cantik molek. bukan saja berkepandaian tinggi, malah
berani me mbentuk serikat segala, sudah tentu semuanya hasil
didlkan seseorang dan orang itu pasti adalah Thay-siang-pangcu
yang dimaksudkan itu."
Setelah gadis baju kuning duduk barulah Giok-lan ikut duduk.
katanya: "Justeru karena Thay-siang yang menyerahkan jabatan ini
padaku, maka sedikitpun aku tidak berani lena dala m menjalankan
tugas."
Pek-hoa-pangcu menyela: "Tengah mala m begini Ji-moay ke mari,
entah ada petunjuk apa dari Thay-siang?"
"Thay-siang mendapat kabar bahwa orang2 Hek-Liong-hwe telah
menimbulkan onar di sini, beliau a mat marah, bahwa markas pusat
Pek-hoa-pang sampai dikunjungi orang luar, menimbulkan huru-
hara lagi, jelas ini merupakan kecerobohan kita, lebih celaka, musuh
masih me loloskan diri lagi . . ."
"Me mang ha mba yang tidak becus," kata Giok—lan.
"Ka mi terima kenyataan ini, soalnya penyatron berkepandaian
tinggi, beruntung dua diantara tiga musuh dapat kita bunuh," kata
Pek-hoa-pangcu.
Dengan kedua tangan me mbetulkan letak ra mbutnya, gadis baju
kuning berkata sambil miringkan kepala ke arah Pek-hoa-pangcu:
"Letak tempat kita dikelilingi air, orang2 kita juga meronda di atas
air, umpa ma tumbuh sayap juga musuh takkan mungkin lolos,
me mangnya setelah mene mukan jeja k musuh lalu kita t idak suruhan
orang menggeledah perairan?"
"Begitu tahu ada orang luar menyelundup ke-mari lantas
kuperintahkan orang mengadakan razia, ternyata Ui-Liong-tongcu
dari Hek-Liong hwe yang bernama Jik Hwi-bing cukup cerdik, dia
tinggalkan dua pembantu di atas perahu, kedua orang itu adalah
Dian Tiong-pit dan Hou Thi-jiu, Liok dan Li berdua Sucia yang
bertugas disana tertutuk oleh mere ka malah."
"Thay-siang suruh Siau-moay kemari untuk me meriksa peristiwa
ini, Liok dan Li berdua Sucia tida k menunaikan tugas dengan
semestinya, cukup setimpal dicurigai ada berkomplot dengan
musuh, me mangnya Pek-hoa pang kita boleh me mbiarkan orang
luar ke luar masuk dimarkas besar ini dengan sesukanya?"
Pek-hoa-pangcu menghela napas, katanya kemudian: "Bicara
soal ilmu silat me mang sulit dibedakan, terang kepandaian Liok dan
Li berdua sucia me mang terpaut jauh dengan musuh sehingga
dengan mudah kena dibekuk musuh, semua kesalahan tak boleh
dijatuhkan kepundak mereka."
Gadis baju kuning ce kikikan, katanya: "Biasanya Toaci me mang
bijaksana, masa engkau tidak pernah menduga, bukan mustahil
mereka berdua yang sengaja menolong orang she Jik itu meloloskan
diri?"
"Itu tak mungkin, Liok dan Li a mat setia mungkin me mbiarkan
musuh lolos," kata Pek-ho-pangcu tegas.
Kembali baju kuning ce kikikan, katanya: "Umpa ma betul mere ka
biasanya setia dan kerja keras, kenyataan bahwa orang she Jik
dibiarkan lolos, kalau yang satu ini tidak dihukum untuk peringatan
kepada yang lain, selanjutnya siapa saja boleh menggunakan alasan
yang sama untuk me mbebaskan musuh, demi menegakkan
undang2 Pang kita, maka pantas kalau kedua orang ini dihukum
mati ." Waktu mengucapkan kata2 "Mati" wajahnya tampak diliput i
hawa nafsu me mbunuh.
Pek-hoa-pangcu tertawa tawa, katanya. "Seolah2 Ji-moay
me mbe la undang2 setegak gunung, sedikit2 lantas main bunuh,
umpa ma betul Liok dan Li tidak menunaikan tugas se mestinya,
dosa-nya belum setimpal dihukum mati."
"Inilah yang dina makan bunuh yang dua ini untuk peringatan
bagi yang lain, Siau-moay sudah hukum mati mere ka," kata gadis
baju kuning.
"Ji-moay telah bunuh mereka?" seru Pek- hoa-pangcu kaget.
Gadis baju kuning tertawa lebar, katanya: "Itulah maksud Thay-
siang, para Hou-hoat-sucia ini sudah biasa ma kan kenyang kerja
ma las2an, sudah biasa hidup senang, maka perlu diberi peringatan
supaya selalu waapada dan hati2 setiap menjalankan tugas."
Peh-hoa-pangcu tampak serba kikuk. katanya kemudian sambil
manggut: "Thay-siang me mang bijaksana, tindakan demikian
me mang tepat"
"Thay-siang juga bilang, Toaci me mang cocok menjadi Pangcu
pada waktu da mai, kalau ja man ka lut dan perlu mengguna kan
tindakan keras, maka harus paka i cara keja m, oleh karena itu Toaci
selalu menjadi orang baik, dan biarlah Siaumoay jadi orang jahat."
Sampa i di sini tiba2 dia angkat kepala dan bertanya: "o,ya, orang
yang menyaru Cu Bun-hoa itu sudah berada dite mpat kita, Thay-
siang amat perhatikan obat penawar getah beracun itu, apalagi
setelah orang Hek-liong-hwe mencari setori ke mari maka obat
penawar harus diusahakan secepatnya, sebetulnya dia yakin tida k
akan mene mukan obat itu . . .?"
"Ka mi sudah bekerja sesuai petunjuk Thay-siang, semuanya
sudah dipersiapkan dengan baik, nama asli orang ini adalah Ling
Kun-gi, menurut laporan Giok-Je, dia sudah berhasil mengubah
getah beracun jadi air bening, pagi tadi akupun sudah bicara sa ma
dia supaya secepatnya bekerja, maka boleh Ji-moay sa mpaikan
semua ini kepada thay-siang supaya beliau berlega hati."
Agaknya dia tidak berani berterus terang kepada Thay-siang,
maka se mua persoalan yang menyangkut diri Ling Kun-gi tida k dia
jelaskan seluruhnya. . .
"Thay-siang suruh Siau-moay menya mpaikan perintahnya kepada
Toaci, dalam jangka tiga hari, dia harus sudah berhasil
menyelesaikan tugasnya" de mikian kata si gadis baju kuning.
"Apa?" seru Pek-hoa-pangcu bergidik: "Da la m tiga hari harus
menuna ikan tugas?"
"Bagaimana?." Gadis baju kuning cekikkan. "Tiga hari masih
belum cukup?, Di Coat Sin-san-ceng, dia sudah berhasil di situ,
cukup dia meracik obat2nya sekali lagi, kukira sehari juga sudah
bisa selesai."
"Tiga hari mungkin tida k bisa, Ling Kun-gi bilang, secara tidak
sengaja dia berhasil punahkan getah beracun jadi a ir bening, untuk
benar2 mene mukan racikan obatnya yang tulen, mungkin
me merlukan tenaga dan pikirannya pula, jadi harus diusahakan
ke mbali dari permulaan, hal ini tidak boleh didesak, apa lagi harus
buru2, nanti, kalau Ji-moay pulang bolehlah kau mohon kepada
Thay-siang agar suka undurkan lagi batas waktunya beberapa hari?"
Giok-lan menimbrung: "De mikianlah, Ling Kun-gi juga berjanji
akan bekerja sekuat tenaga untuk mene mukan obat itu, hasil
permulaan sudah dicapai, asal Thay-siang sudi me mberi
kelonggaran beberapa hari, pasti hasilnya akan jauh lebih
me muaskan."
"Wah, cara kalian bicara, Toa-ci dan Sa m-moay, se-olah2 akulah
yang me mutuskan waktu tiga hari ini, kalian kan tahu juga , setiap
perintah Thay-siang harus segera dilaksanakan, me mangnya siapa
yang berani me mbantah? Toa-ci, suruhlah Sa m-moay
menya mpaikan ha l ini kepada orang she Ling supaya dia selekasnya
menyelesaikan tugasnya, sebaiknya jangan lewat batas waktu yang
ditentukan," walau dia tertawa, namun wajahnya tidak kelihatan
berseri, nada suaranyapun dingin, kalau tak berhadapan tentu orang
tidak mau percaya bahwa dia bicara sa mbil tertawa.
Sambil me ngawasi Giok-lan, akhirnya Pek- hoa-pangcu
manggut2, katanya: "Sam-moay, besok kau beritahukan padanya,
coba saja apakah dala m jangka t iga hari dia bisa menyelesaikan? "
Giok-lan manggut sa mbil mengiakan.
Mendadak gadis baju kuning berseri tawa, matanya yang indah
mengawasi Pek-hoa-pangcu tanyanya: "Kudengar orang she Ling itu
muda, malah sangat cakap. apa benar? Sayang waktu sudah larut
ma la m, kalau tidak ingin siau-moay mene muinya," lalu dia berdiri
sambungnya pula: "Toaci, perintah sudah kusa mpa ikan, aku harus
lekas ke mbali me mberi laporan kepada Tha i-siang" cadar dia
kenakan pula, lalu mengenakan mantel lagi, setelah menjura dia
lantas me langkah pergi.
Setelah gadis baju kuning berlalu, tiba2 tergerak hati Ling Kun-gi,
batinnya: "Agaknya dia akan pulang memberi laporan kepada sang
Thay-siang".
Thay-siang mendidik sedemikian banyak gadis2 remaja dan
mendirikan Pek-hoa-pang, tentu punya suatu rencana dan tujuan
tertentu. Apa lagi dia ingin selekasnya mengguna kan obat penawar
getah beracun, naga2nya bukan hanya untuk menghadapi senjata
orang2 Hel-Liong-hwe yang dilumuri getah beracun tentu masih ada
maksud lainnya lagi? "
Pek hoa-pangcu dan lain2 mahir menggunakan Hwi Liong-sa m-
kia m, sudah tentu ilmu pedang ini hasil didikannya pula Tapi dirinya
ke mari me mang hendak me nyelidiki kedua ha l ini, kini setelah tahu
di atas Pek-hoa-pangcu masih bercokol lagi seorang Thay-siang-
pangcu, ma ka sasaran yang diincarnya ikut beralih pula.
Sekilas berpikir cepat dia bertindak. kese mpatan baik ini tak
boleh di-sia2kan, sekali berkelebat sebat sekali dia me luncur ke luar
jendela, di atas wuwungan paling tinggi matanya menjelajah ke
tempat jauh, dilihatnya bayangan ramping gadis baju kuning yang
bermantel mela mbai2 tengah meluncur cepat di kejauhan sana.
Segera Kun-gi melayang turun, dengan a lingan bayangan semak2
bunga, dia menguntit dari kejauhan-
Sudah tentu gadis baju kuning tidak pernah berpikir di
belakangnya dikuntit orang, apa lagi Kun-gi selalu menguntit dala m
jarak tertentu sehingga lebih sulit diketahui.
Bagai dua titik bintang meluncur keduanya terus menyusuri
tanaman bunga, yang terbentang luas, akhirnya tiba di ujung
taman. Tanpa berhenti gadis baju kuning melejit ke atas melompati
pagar tembok dengan gaya yang indah ge mula i.
Waktu Kun-gi melejit ke atas tembok dilihatnya bayangan gadis
baju kuning sudah puluhan tombak jauhnya, gerak-geriknya cepat
bagai terbang, tujuannya ke arah danau.
Tempat itu berada sebuah semenanjung tepi Phoa-yang-ouw,
taman bunga keluarga Hoa letaknya di bawah sebuah bukit kecil,
luasnya ada dua tiga li persegi.
Seringan mega menga mbang Kun-gi terus me-ngunt it, Kira2
setengah li ke mudian, gadis baju kuning tiba dipinggir danau disana
terdapat sebuah batu cadas, dengan enteng dia melompat ke atas
batu lalu ke bawah, dibalik sana sebuah perahu sudah me nunggu, di
situ, seorang laki2 baju hijau di atas perahu segera kerjakan
penggayuhnya, perahupun laju ke tengah danau.
Kun-gi jadi berpikir: "Agaknya Thay-siang-pangcu tidak tingga l di
sini," dengan rasa kecewa terpaksa dia putar ba lik langsung masuk
kamar terus tidur.
Esoknya baru saja Kun-gi selesai berdandan didangarnya suara
Sin-ih berkata di luar pintu: "Ling-kongcu congkoan datang."
Ling Kun-gi tahu maksud kedatangan orang, maka dia me ngiakan
dan menyambut keluar. pakaian Giok-lan tetap serba putih laksana
salju, dia sudah me nunggu di ruang ta mu, melihat Kun-gi keluar,
segera dia berdiri, katanya dengan tersenyum manis: "Se la mat pagi
Ling kongcu, hamba mengganggu."
Lekas Kun-gi menjura, katanya: "Selamat pagi nona, silahkan
duduk"
Setelah sama duduk. Sin-ih menyuguh teh, lalu menyiapkan
sarapan pagi, katanya: "Ling-kongcu sila kan sarapan."
"o, Ling-kongcu belum sarapan, silakan saja, tidak usah
sungkan," kata Giok-lan.
Kun-gi tertawa tawar, katanya: "Tidak apa, nona datang begini
pagi, entah ada pesan apa, silahkah bicara saja"
Mata Giok-lan yang hitam bening mengerling kearah Kun-gi,
katanya tertawa: "Ling-kongcu sepandai dewa mera mal, me mang
ada dua persoalan yang akan ha mba bicarakan"
Heran dan ketarik Kun-gi, katanya dengan tersenyum: "ada
urusan apa silahkan nona katakan saja."
Ragu2 sesaat dia awasi orang lalu berkata: "Bentrokan Pang kita
dengan Hek-Liong-hwe sudah terjadi, yang harus kita kuatirkan
adalah senjata mereka yang beracun, setiap korban takkan
tertolong jiwanya, petaka mungkin bisa menimpa Pang kita, ma ka
hamba perlu ke mari pagi2 untuk merundangkan soa l ini dengan
Kongcu, mungkinkah obat penawar itu dapat dihasilkan lebih
cepat?"
Hambar senyum Kun-gi, tanyanya: "Lalu ma ksud Pangcu dan
congkoan, berapa hari kiranya cayhe harus menyelesaikan tugas
ini?"
Agaknya pertanyaan ini diluar dugaan Giok-lan, katanya
ke mudian: "Kau minta aku sebutkan jangka waktunya?"
"Pengarang kalau tidak didesak takkan rampung hasil karyanya,
apalagi cayhe sudah biasa bermalas2an, kalau nona tentukan
waktunya, cayhe akan bekerja giat dan rajin, tentu hasilnyapun
akan lebih cepat."
Giok-lan tersenyum, katanya: "Bagaimana ka lau tiga hari?"
Dia m2 Kun-gi geli, tapi dia pura2 mengerut kening, katanya:"
Waktu tiga hari sebetulnya terlalu buru2, tapi baiklah, tiga hari juga
boleh.".
Giok-lan ragu2 malah, katanya sambil menatap tajam: "Ling-
kongcu t idak bergurau bukan?"
"Me mangnya nona minta aku menulis surat perjanjian?"
"Tida k, aku percaya padamu," katanya sambil me ngerling penuh
arti. "Kuyakin Kongcu pasti berhasil, akupun tak perlu kuatir lagi."
"Tadi nona bilang ada dua persoalan, lalu ada soal apa lagi?"
tanya Kun-gi.
"Mohon keterangan Kongcu, kedatanganmu ke mari apakah
sepanjang jalan ada te man yang mengunt it?"
Kun-gi melenggong, katanya: "cayhe kan di-se lundup keluar dan
diblus nona Giok-je serta di-bawa kemari, mana mungkin ada teman
yang mengunt it ke mari? Me mangya Ada..."
"Baiklah, ingin ha mba tahu apakah Kongcu punya saudara?"
Semakin heran tapi juga ketarik hati Kun-gi, jawabnya: "Aku
sebatang kara."
"Jadi beberapa orang itu tidak kau kenal?"
"Siapa mereka, coba nona sebutkan na manya."
"Mereka berlima, masing2 bernama Ban Jin-cun, Kho Keh-hoa,
Cu Jing, Tong Bun-khing dan Ling Kun-ping..
Ketiga na ma yang pertama t idak dikena l oleh Kun-gi, tapi waktu
mendangar na ma Tong Bun-khing, tergerak hatinya setelah Giok-lan
menyebut na ma Ling kun-ping, ia melonjak kaget, pikirnya:
"Tong Bun-khing tentu nona dari keluarga Tong itu, sedangkan
Ling Kun-ping adalah sa maran Pui Ji-ping, mungkinkah mere ka
sedang mencariku?" Dengan ge lisah segera dia bertanya: "Mereka
ditawan oleh Pang ka lian?"
Giok-lan menggeleng, katanya: "Bukan, mereka ditawan orang2
Hek-liong-hwe."
Kun-gi betul2 kaget, serunya: "Ditawan pihak Hek-liong-hwe?
Darimana nona tahu?"
"Kau kenal mere ka?"
"Ling Kun-ping adalah adik angkatku, Tong Bun-khing adalah
sahabat karibku, bagaimana merce ka bisa jatuh ke tangan He k-
liong-hwe? Sudikah nona menje laskan?"
Dari lengan bajunya Giok-lan ke luarkan sepucuk surat, katanya
sambil diangsurkan:."inilah surat dari Hek-liong-hwe kepada Pang
kita, mereka kira kelima orang itu adalah Hou-hoat su-cia kita, maka
syaratnya adalah menukar Ling-kongcu dengan jiwa mereka."
Setelah me mbaca surat itu, berkeringat telapak tangan Kun-gi,
Pui Ji-ping dan Tong Bun-khing ada lah pere mpuan, kalau dia
tertawan kawanan jahat itu bagaimana baiknya. Karena gelisah dia
gosok2 telapak tangan, katanya: "Bagaimana baiknya sekarang?"
Giok-lan tertawa, katanya: "Buat apa gugup, Hek-liong-hwe
minta mere ka di tukar Cu Bun-hoa, dalam waktu dekat terang tak
perlu dikuatirkan, jadi tit ik tola k persoalannya terletak pada usaha
Ling-kongcu sendiri dala m mengerjakan obat penawar getah
beracun, kalau secara mendadak kita sergap mereka tentu dengan
mudah dapat menolong mereka."
Cara ini me mang tidak jelek. yang jelas Ling Kun-gi hanya
me miliki Pi tok-cu, me mangnya dia punya cara meracik obat
pemunah?
Jadi Pek-hoa pang sudi me mbantu dengan syarat Ling Kun-gi
harus cepat menyelesaikan pe mbuatan obat pe munah getah
beracun, Sebenarnya soal menolong orang tida k jadi soal bagi Ling
Kun-gi, cuma di mana letak sarang Hek-liong-hwe, untuk ini dia
perlu bantuan Pek-hoa-pang.
Maka persoalan hanya bergantung dari obat penawar itu,
sebelum obat penawar diserahkan pada Pek-hoa-pang, mereka
takkan me mberi tahu dimana letak sarang He k-liong-hwe. Untuk ini
cukup la ma Kun-gi me meras otak. sambil merentang tangan dia
mondar-mandir di da la m kumar, akhirnya dia duduk me nepekur.
Mendadak timbul suatu ilha m aneh dala m benaknya. cepat2 ia
berdiri menuju ke almari di sebelah utara, membuka almari bawah
serta mengeluarkan buli2 berisi getah beracun, diambilnya sebuah
mangkuk porse len, dengan hati2 dia tuang getah beracun ke dala m
mangkuk kecil ini, lalu dia pergi ke belakang menga mbil segayung
air jernih, semua dia taruh di atas meja. Lalu dia buka beberapa laci
mencomot berbagai maca m obat, dan dimasukkan ke dala m
lumpang besi dan menumbuk obat2 itu menjadi bubuk. dituangnya
ke dala m sebuah guci kecil. Se mua kerja ini sudah tentu me mang
sengaja dia la kukan karena wa ktu berjongkok me nga mbil buli2
berisi getah beracun tadi, dia dapati seorang berse mbunyi di
belakang almari mengintip gerak-geriknya. Terang Pek-hoa-pang
suruhan orang mengawasi dirinya secara dia m2.
Siang hari belong me ngintip gerak-geriknya terang hanya ada
satu tujuan, yaitu memperhatikan dan mencatat semua obat2an
yang dia mbilnya, cara bagaimana meraciknya hingga bisa
menawarkan getah beracun.
Maka Kun-gi pura2 tidak tahu, dia tetap bekerja, di waktu
me mba lik badan, Pik-tok cu sudah dia keluarkan dan dimasukkan ke
dalam air jernih yang diambilnya, ia berpindah ke sebelah, dengan
sendok perak dia mengaduk bubuk obat tadi di dalam guci hingga
kira2 sepe mpat ja m ke mudian baru berhenti.
Dia ke luar ke mba li ke ka mar buku, duduk dikursi serta menuang
secangkir teh la lu di minumnya pelan2. Kira2 setengah ja m
ke mudian dia ke mbali dengan gayung berisi air jernih, waktu
me mutar tubuh secepat kilat Pi-tok-cu di dalam gayung dia jemput
dan disimpan ke dala m lengan baju.
Waktu di Coat Sin-san-ceng dia pernah mencoba mutiara mestika
itu, ternyata berhasil mengubah getah hitam kental itu menjadi air
jernih. Maka timbul ilha mnya yang aneh yaitu coba2 merenda m
mut iara ini di dala m air, dengan air rendaman mutiara ini mungkin
berkasiat untuk menawarkan getah beracun. Kalau berhasil berarti
obat penawar getah beracun yang dituntut Pek-hoa-pang tidak akan
jadi persoalan lagi, Sela ma urusan jadi beres.
Dengan menjinjing gayung berisi air jernih pelan2 dia tuang ke
dalam guci berisi bubuk obat serta diaduk beberapa kali, ke mudian
air obat ini ia saring sedikit la lu dituang kedala m mangkok berisi
getah beracun.. Kali ini t idak terjadi perubahan drastis seperti tempo
hari waktu dia masukkan mut iara kedala m getah yakni
menge luarkan suara serta mengeluarkan asap kuning. tapi setelah
dituangi air obat, getah kental hitam sekarang pelan2 mulai cair dan
berubah warnanya, berubah bening seperti air jernih.
Dengan tajam Kun-gi ikuti perubahan ini, tanpa terasa sorot
matanya me mancarkan cahaya terang, Wajahnya nan cakap
mengulum senyum puas kemenangan. Dia berhasil. Sebetulnya dia
tidak yakin akan ilha mnya yang aneh dan hanya ingin coba2, tapi
ternyata berhasil dengan baik, keruan bukan kepalang senang
hatinya.
Tapi dia tahu, ada orang mengawasi gerak geriknya dari pintu
rahasia. Maka dengan wajar dia la lu pindah mangkok berisi getah
beracun tadi kete mpat yang agak jauh, ke mbali dia a mbil cangkir
teh serta menghirupnya seteguk. lalu menengadah seperti
me mikirkan sesuatu. Tiba2 dia letakan cangkir dengan cara
terburu2, dengan langkah lebar menuju ke almari obatan, dari sini
,sekenanya pula dia mencomot dua tiga puluh maca m obat2an, kali
ini dia tidak me numbuknya dengan lumpang besi, tapi diusap di
telapak tangannya, obat2an itu segera diusapnya jadi bubuk yang
le mbut.
Tiba2 di luar ada orang mengetuk pintu, lalu terdengar Sin-ih
berteriak: "Ling-kongcu"
Tanpa berpaling Kun-gi menjawab: "Masuklah"
Pelan2 daun pintu terbuak. Sin-ih me langkah masuk, biji matanya
yang jeli mengawasi Kun-gi, katanya heran: "Ling-Kongcu apa yang
sedang kau lakukan"
Kun-gi sebarkan bubuk obatnya ke atas meja sambil menjawab
tertawa: "Malas aku menumbuknya, maka ku-usap2 saja."
"Kenapa tidak serahkan pada ha mba untuk menumbuknya?"
"Pekerjaan ringan saja kenapa harus menyusahkan orang lain-
Baiklah nona bantu aku ambil segayung air hujan saja, lalu
masukkan se mua bubuk obat yang dime ja ini."
"Ha mba tahu, hidangan makan siang sudah tersedia, hamba
ke mari me manggil kongcu untuk ma kan," lalu dia kumpulkan bubuk
obat yang terserak di atas meja dan dibungkusnya kertas terus di
bawa ke bela kang.
Lekas Kun-gi ambil mangkok berisi getah beracun yang sudah
menjadi air jernih itu dan dibuang keluar taman, lalu ia ke mbali ke
kamar buku.
Hidangan me mang sudah tersedia. Setelah berhasil me mbuktikan
air bekas rendaman Pi tok-cu juga berkhasiat menawarkan getah
beracun, legalah perasaan Kun-gi, maka makannya jadi ta mbah
lahap.
Sin-ih keluar dari ka mar buku, katanya: "Hamba sudah renda m
racikan obat di dala m air."
Kun-gi mengangguk, Sin-ih lalu meladeni dia ma kan- Selesai
makan Sin-ih angsurkan handuk pada Kun-gi untuk cuci muka.
Setelah me mbersihkan muka dan cuci tangan Kun-gi berkata: "Aku
perlu ist irahat, nona tidak usah me ladeni lagi."
"Ha mba ditugaskan me mbantu Ling Kongcu, kalau nanti di tanya
congkoan, bagaimana ha mba harus menjawab?"
"Baiklah, setelah kau makan, ada satu hal boleh kau kerjakan."
"Tugas apa yang Kongcu serahkan pada ha mba?"
"Dua maca m racikan obat yang direnda m air harus diaduk
dengan sendok perak. tugas ini kuserahkan padamu," habis bicara
dia melangkah ke ka mar buku.
"Ha mba terima tugas," seru Sin-ih berseri sengan.
Belum la ma Kun-gi duduk di kursi ma las, Sin-ih sudah datang
menyuguhkan teh,
"Letakkan saja di me ja, kau boleh pergi makan," katanya.
Manis tawa Sin-ih, katanya: "Ha mba sudah makan, sekarang juga
mulai be kerja," setelah me letakkan cangkir dan poci teh lantas
berlari keluar.
Pelan2 Kun-gi peja mkan mata, ia istirahat di kursi ma las sambil
menenangkan pikiran, di dengarnya suara lirih di belakang a lmari,
kiranya orang yang sembunyi dan mengawasi dirinya sedang
mengundurkan diri.
Kun-gi tersenyum, lekas dia berdiri, lalu menuang setengah
mangkuk getah beracun pula ditaruh di meja. Lalu cepat2 dia tarik
setiap laci, 72 maca m obat2an yang ada tanpa ukuran asal comot
terus di-gosok2 di telapak tangan sehingga jenis obatnya sukar
dibedakan lagi, se muanya dia bagi menjadi tujuh tumpuk, lalu
disingkirkan satu persatu, setelah itu di ke mbali ber-malas2an di
kursi ma las.
Tak la ma ke mudian di dengarnya langkah pelahan masuk. terang
Sin-ih yang masuk. Kun-gi bertanya: "Apakah Sin-ih?"
"Ya, inilah ha mba," sahut Sin-ih, sekilas dia me lirik, ma ka
dilihatnya tujuh kelompok obat2 di atas meja, dengan suara heran
dia bertanya: "Ling-kongcu mau diapakan ketujuh tumpuk obat
bubuk ini?"
Kun-gi menggeliat la lu berbangkit, katanya:
"Boleh nona merendam ketujuh, kelompok obat bubuk itu
dengan air hujan, di dalam tujuh guci yang berbeda," Lalu dia
berbangkit dan katanya pula:
"Setelah obat2 ini direnda m nona harus mengaduknya dengan
sendok perak. aku terlalu penat, ingin ke mba li keka mar, kalau tiada
urusan, jangan ganggu aku" lalu dia ke mbali ke ka mar tidurnya..
Sin-ih mengia kan. Sesuai pesan Kun-gi, dia masukkan tumbukan
obat bubuk itu ke dala m tujuh guci, kecil, lalu direnda m dengan a ir
hujan dan pada setiap guci dia mengaduk sekian la manya secara
bergiliran. ..
Pada saat dia sibuk mengaduk. terdengar suara Giok-lan sang
congkoan me manggil: "Sin-ih"
Lekas Sin-ih letakkan sendok. serta menyahut:
"Ha mba ada di sini." Buru2 dia berlari keluar, dilihatnya sang
congkoan Giok-lan mengiringi Hu-pangcu So-yok (bunga melur)
sudah masuk ka mar buku. Ter-sipu2 dia menekuk lutut me mberi
hormat seraya berkata: "Hamba menya mbut kedatangan Hu-pangcu
dan congkoan."
"Berdirilah." kata Giok-lan "sedang apa kau barusan?"
Sin-ih berdiri lurus, sahutnya: "Atas pesan Ling kongcu hamba
sedang mengaduk obat"
"Mana Ling Kun-gi?" tanya So-yok. sang Hu-pangcu.
"Ling-kongcu ke mba li ke ka marnya, katanya mau tidur" sahut
Sin-ih.
So-yok berdehem keras2, jengeknya "Memangnya dia ke mari
untuk tetirah?" merandek sebentar, dia berpesan: "Pergi kau
panggik dia, katakan aku sengaja ke mari menengoknya."
Sin-ih mengiakan, lalu me mbungkuk badan dan berkata dengan
serba susah: "Lapor Hu-pangcu, Ling-kongcu sudah tidur, tadi dia
berpesan, kalau tiada urusan penting dilarang mengganggu dia."
"Huh, bertingkah, besar kepala," jengek So-yok uring2an
"Dia tidak tahu ka lau Hu-pangcu akan datang, ia pesan Sin-ih
supaya tidak mengganggu, betapapun dia adalah ta mu kita,
silahkan Hu-pangcu duduk di ka mar buku untuk menunggu
sebentar," lalu Giok-lan berpaling me mberi kedipan mata pada Sin-
ih, katanya: "Lekas seduhkan secangkir teh untuk Hu-pangcu."
Sin-ih mengiakan dan buru2 mengundurkan diri. So-yok
tersenyum, katanya: "Sam-moay me mang pintar jadi tuan rumah,
teramat sayang pula kepada ta mu," kata2nya bernada menyindir.
Merah muka Giok-lan, katanya serba salah: "Kita mengundang
Ling-kongcu untuk me mbuat obat penawar getah beracun, urusan
menyangkut kepentingan Pang kita, adalah jama k ka lau kita
me layaninya sebagai tamu terhormat."
So-yok mendekati rak obat, dia melihat getah beracun yang ada
di dla m mangkuk, katanya: "Thay-siang minta dia di dala m tiga hari
menyelesaikan obat penawarnya, kalau setiap siang dia harus tidur,
kapan dia bisa menunaikan tugas?"
"Ha mba sudah sampaikan perintah ini kepada Ling-kongcu, dia
berjanji akan menyelesaikan tugasnya dala m t iga hari."
"Sa m-moay juga katakan kalau gagal Thay-siang akan
me mengga l kepalanya?"
"Ha mba pikir dia berjanji menyelesaikan tugas da la m tiga hari,
jadi tidak kukatakan perintah ini."
"Me mangnya kuduga Sa m-moay tenntu rikuh mengatakan hal ini
kepadanya, maka sengaja aku ke mari untuk me mbereskan soa l ini."
Waktu mereka bicara Sin-ih sudah datang me mbawa dua cangkir
teh yang masih mengepul, katanya: "Hu-pangcu, congkoan,
silahkan minum."
"Sin-ih.." tanya So-yok, "Ling Kun-gi menyuruhmu mengaduk
kedua guci air obat ini?"
"Ya, semuanya ada se mbilan guci."
"Apa sembilan guci?" seru So-yok heran, "Giok-je bilang perta ma
kali dia me nga mbil ena m belas maca m obat lalu a mbil dua puluh
tiga maca m, semua hanya direnda m jadi dua guci, bagaimana bisa
jadi se mbilan?"
Kiranya yang sembunyi di be lakang almari mengintip gerak-gerik
Ling Kun-gi ada lah Giok-je,
"Se mula me mang merenda m dua guci, akhirnya ditambah lagi
sembilan guci, ini dilaksakan setelah ma kan Siang, Sin-ih
menerangkan"
So-yok melengak, tanyanya: "obat apa saja yang dia ambil, apa
kau masih ingat?"
"Ling-kongcu sendiri yang menga mbilnya, dari laci, waktu hamba
masuk. semua sudah dibagi menjadi tujuh ke lompok. semuanya
sudah jadi bubuk. jadi sukar diketahui obat apa yang telah dia
ambil"
"Me mangnya perma inan apa yang sedang dia lakukan?" kata So-
yok bingung.
"Hakikatnya Ling-kongcu tanpa menggunakan lumpang besi, dia
hanya menggosok2an obat ditelapak tangannya, semua lantas
hancur jadi bubuk"
Berubah air muka So-yok, katanya sambil berpaling pada Giok-
lan- "orang ini ma mpu menggosok obat menjadi bubuk,
Lwekangnya tentu tidak le mah. "
"Menggosok batu jadi bubuk. sudah teramat sukar dilakukan
kaum persilatan umumnya, tapi di hadapan Hu-pangcu kepandaian
sepele ini tentu tidak jadi soal" de mikian Giok-lan mengumpa k.
"Kepandaian setaraf itu, Sam-moay sendiri kan juga sanggup"
kata So-yok.
Terdengar pintu di seberang sana berkeriut di buka orang lalu
terdengar suara berkumandang : "Sin-ih, siapa yang datang?"
"Ling-kongcu," seru Sin-ih berjingkrak girang, "Inilah Hu-pangcu
dan congkoan yang ke mari menengokmu."
Terdengar langkah cepat mendatang, tampak pe muda cakap
gagah melangkah masuk.
Seketika terbeliak mata So-yok. dengan tajam dia tatap wajah
Kun-gi, la lu berkata dengan tertawa lebar: "Sa m-moay, inikah Ling-
kongcu?"
"Ling-kongcu" sa mbut Giok lan: "Inilah Hu-pangcu, ka mi sengaja
datang mene mui kongcu."
Kun-gi tertawa ramah, dia menjura kepada So-yok, katanya: "Hu-
pangcu sudi berkunjung, cayhe terlambat menyambut, sungguh
kurang hormat, harap di maafkan- . . . ."
Gemerlap biji mata So-yok, katanya sambii menba las hormat:
"Ling kongcu cakap ganteng dan gagah perwira, beruntung aku
dapat bertemu"
"Hu-pangcu terlalu me muji," ujar Kun-gi.
"Kabarnya Kongcu berhasil menyelesaikan tugas dalam tiga hari
di Coat Sin-san-ceng, tentunya mahir dan ahli dala m ilmu obat2an,
entah siapakah guru besarmu?" biasanya sikapnya dingin dan
angkuh terhadap siapapun, tapi setelah berhadapan dengan Ling
Kun-gi, entah kenapa sikap dinginnya lantas berubah, wajahnya
dihiasi senyuman ge mbira.
"Guruku, seorang pelancongan yang suka mengembara di
Kangouw, beliau tida k suka diketahui na manya harap Hu-pangcu
maaf."
"Tida k apa2," "ujar So-yok. "gurumu seorang kosen, kalau tidak
boleh diketahui na manya, kongcu tidak usah merasa rikuh."
Dia m2 Giok-lan me mbatin: "Entah kenapa hari ini J i ci berubah
sikap?"
Tiba2 So-yok. menegurnya "Sa m-moay, kenapa kau dia m saja
dan me mbiarkan aku ngoceh?"
Lalu dengan tertawa dia mena mbahkan: "silakan duduk Ling-
kongcu." setelah berduduk: So-yok mengawasi Kun-gi dan berkata:
"Kudengar dari Sa m-moay bahwa Kongcu berjanji dala m tiga hari
akan me mbuatkan obat penawarnya, entah bagaimana hasil
usahamu?"
Kun-gi tertawa, katanya: "cayhe sudah meracik tujuh maca m
obat, terbagi menjadi tujuh guci dan direndam air, apakah bisa
untuk menawarkan getah beracun, besok baru dapat diketahui
setelah dicoba"
Mata So-yok mengerling, katanya: "Agaknya Ling-kongcu sudah
punya persiapan dan yakin akan berhasil."
Kun-gi tertawa dan katanya. "Kalau cayhe tidak yakin ma na
berani berjanji tiga hari menuna ikan tugas?"
"Syukurlah kalau begitu," ujar So-yok, "ka lau Ling-kongcu betul2
dapat membuat obat penawar dalam tiga hari, betapa senang hati
suhu."
Tergerak hati Kun-gi, tanyanya: "Entah cianpwe siapa kah guru
Hu-pangcu?"
So-yok tertawa, katanya: "Suhu adalah Thay-siang-pangcu dari
Pang kita, setelah kau berhasil me mbuat obat penawar, akan
kubawa kau menghadap be liau."
"Setelah cayhe menyelesaikan tugas hanya satu keinginanku,"
ujar Kun-gi.. .. .
"coba katakan keinginanmu," tanya So-yok berseri.
"cayhe harap Pang kalian suka me mberitahu di mana sarang
Hek-Liong-hwe sebenarnya."
"Apa?" seru So-yok terbeliak heran, "Kau ingin pergi ke sarang
Hek-Liong-hwe.?"
Giok-lan segera menimbrung "Dua teman Ling-kongcu ditawan
orang2 Hek-Liong-hwe."
Sesaat So-yok menepekur, lalu bersuara lagi:
"Jejak orang2 Hek-Liong-hwe a mat rahasia dan terse mbunyi,
sudah tentu sarang merekapun sukar diketahui, jangan kata Pang
kita, orang? Hek-Liong-hwe sendiripun hanya beberapa gelint ir saja
yang tahu, dipihak kita kecuali Thay-siang mungkin tiada orang
kedua yang tahu." Lalu dengan cekikikan dia mena mbahkan:
"Jangan kuatir, setelah kutanya kepada Thay-siang, nanti
kuberitahukan padamu."
"Terima kasih atas bantuan Hu-pangcu, soal ini tidak perlu ter-
buru2, Bila cayhe berhadapan dengan Thay-siang belum terla mbat
kuajukan pertanyaan ini."
"Begitupun baik, akan kunanti kau bicara, asal Suhu
mengangguk, seluruh Pek-hoa-pang akan bantu kau meluruk ke
Hek-liong-hwe dan menolong kawanmu."
"cayhe hanya ingin tanya alamat mereka saja, soal menolong
orang tak berani a ku bikin repot Pang ka lian-"
"Kalau begitu Ling-kongcu kurang simpatik," ujar So-yok. "kau
telah bantu kesulitan ka mi, kan ja mak kalau ka mi Bantu kau
menolong te manmu?" Tanpa menunggu Kun-gi bersuara segera dia
mena mbahkan, "Baiklah, hal ini diputuskan begini saja, besok aku
datang untuk me lihat Ling-kongcu mela kukan percobaan, entah
kehadiranku diperbolehkan t idak?"
"Berat ucapan Hu-pangcu," jawab Kun-gi. "Mencoba obat bukan
soal rahasia, Hu-pangcu dan congkoan kalau berminat boleh saja
datang dan akan kusa mbut dengan senang hati"
"Baik besok aku pasti datang" kata So-yok dengan tertawa, lalu
ia berbangkit, serunya: Sam-moay hayolah kita pergi." Giok-lan
lantas iringi So-yok ke luar.
Kun-gi mengantar sampai depan pintu, katanya: "Maaf cayhe
tidak mengantar lebih jauh."
Setelah kedua orang itu pergi, Sin-ih unjuk tawa lucu penuh arti,
katanya: "Ling-kongcu baru pertama kali ha mba melihat Hu-pangcu
bersikap begini ra mah terhadap tamu."
Kun-gi tertawa, katanya: "Apakah biasanya Hu-pangcu galak?".
"Dala m Pang kita hanya Hu-pangcu saja yang sukar diajak bicara,
semua orang tak berani banyak bicara sama dia, kuatir kalau
kelepasan omong."
Mendadak dia merendahkan suara, katanya: "Kabarnya semalam
Hu-pangcu menjatuhkan hukuman mati kepada dua Hou-hoat-sucia
lantaran seorang Hek-Liong-hwe, berhasil lolos, tapi sikapnya tadi
ramah dan gembira terhadap Kongcu, baru hari ini dia betul2
tertawa."
"Me mangnya tertawa saja ada betul dan salah?" goda Kun-gi. .
"Me mang ada, biasanya kalau Hu-pangcu tertawa suaranya
terasa dingin kaku, tidak seperti tadi"
XXdewiXX

Kentongan pertama baru saja lewat, Kun-gi bersimpuh di atas


ranjang mulai berse medi, mendada k indranya merasakan sesuatu di
luar. Setiap insan persilatan dikala berse madi mengerahkan
kekuatan batinnya, dalam jarak dua puluhan tombak umpa ma ada
jarum jatuh di atas tanah juga dapat didengarnya dengan jelas.
Maka dalam perasaannya sayup2 ada sesosok bayangan orang
me lompat masuk ke dala m pekarangan. Tergerak pikirannya, segera
dia pasang kuping mendengarkan lebih cermat, terasa gerak- gerik
orang ini a mat hati2 dan waspada.
Malah me-runduk2 maju mepet dinding, kalau dirinya tidak selalu
waspada tentu takkan mendengar apa2, setelah berada di
pekarangan orang itu lewat ka mar tengah dan cepat menuju ke
rumah kecil di belakangh taman
Kun-gi me mbatin: "Rumah kecil di belakang itu adalah tempat
tinggal nenek tua yang bekerja di dapur bersama Sin-ih, orang ini
dia m2 masuk kesana untuk apa?" Se mbari berpikir se kenanya dia
raih jubah luarnya, baru saja hendak buka pintu untuk periksa
keluar, tiba2 didengarnya pula suara lambaian pakaian orang tertiup
angin, orang itu sudah bergerak keluar pintu pula dari belakang, kali
ini gerak-geriknya lebih berani, agaknya tidak main se mbunyi lagi,
arahnya ke ka marnya.
Sudah tentu Kun-gi tida k tahu orang itu kawan atau lawan? Tapi
dia berani pastikan bahwa orang diluar adalah seorang gadis. ini
dapat dibedakan dari langkahnya yang lembut dan ringan, malah
ginkang orang ini a mat tinggi, rasanya lebih unggul daripada Giok-
je,
Tangan Kun-gi yang terulur hendak me mbuka pintu tak bergerak.
soalnya dia hendak melihat gerak-gerik orang selanjutnya, maka dia
berdiri dia m menunggu. Setelah sa mpai di depan pintu, orang itu
juga menghentikan langkah dan lantas mengetuk pintu dua ka li,
ketukan yang a mat pelahan serta me manggil lirih: "Ling-s iangkong."
Melenggong Kun-gi mndengar panggilan ini, batinnya: "Siapa
dia? Kukenal suaranya." Segera iapun me mbuka pintu.
Tampak seorang gadis berperawakan ramping sema mpa i, padat
dan menggiurkan berdiri anggun di depan pintu, kedua bola
matanya tampak bersinar bak bintang kejora di mala m gelap. Begitu
ma la saling pandang, timbul suatu perasaan aneh dalam benak Kun-
gi, terasa olehnya sorot mata inipun sudah a mat dikenalnya, sekilas
dia melenggong, tapi segera ia bertanya: "Nona. ..."
Tanpa bersuara gadis itu menyelinap masuk ka mar.
Cepat Kun-gi putar badan seraya membentak dengan suara
tertahan, "Siapa kau?".
Mungkin teramat gelap. kalau Kun-gi dapat melihat jelas orang,
tapi nona itu tidak jelas me lihat keadaan ka mar.
Terdengar nona itu telah menyalakan sebatang obor kecil,
katanya dengan suara lembut: "Kalau mau bicara, tunggulah setelah
aku menyulut api." Dia mendekati meja menyulut lentera, lalu
me mba lik, suaranya tetap lembut: "Aku berna ma Bi-kui (bunga
mawar)."
Sudah tentu Kun-gi tidak kena l siapa Bunga mawar, jelas iapun
orang Pek-hoa-pang, namun sorot matanya yang me mancarkan
kasih mesra ini se makin dipandang se makin mengetuk hatinya,
katanya kemudian: "Ma la m2 nona datang ke mari, entah ada
keperluan apa?"
Tiba2 gadis itu tertawa, katanyanya: "Lantaran kau maka aku
ke mari, me mangnya Ling-siangkong t idak ingat padaku lagi?"
Kikuk juga Kun-gi, katanya: "cayhe memang seperti kenal sorot
mata nona, tapi nona pakai topeng, bagaimana aku bisa tahu?
Silahkan duduk nona."
"Aku tida k mau duduk." sahut gadis baju hitam.
"Kurasa kedatangan nona tentu ada urusan, betul tidak?"
"Kalau tidak ada urusan, untuk apa aku ke mari?" kata gadis tiu
cekikikan-
Kali ini Kun-gi merasa kenal suaranya, sekilas ia tertegun, dengan
tajam dia tatap orang, katanya: "Kau . . . ."
Gadis baju hita m sudah angkat sebelah tangan me mbuka
topengnya, katanya tertawa manis: "Sekarang tentu Ling-s iangkong
dapat mengenalku?"
"Ternyata betul kau" seru Kun-gi kaget dan heran. Gadis baju
hitam ini ternyata Un Hoan-kun adanya, lekas dia menutup pintu.
"Siangkong tak usah kuatir," kata Un Hoan-kun, "Sin-ih berdua
takkan siuman sebelum terang tanah."
Kun-gi me ndekati nona itu, tanyanya pelahan: "pulau ini
dikelilingi air dan penjagaan a mat ketat, bagaimana kau bisa
menyelundup ke mari?"
Dengan kedua tangan Un Hoan-kun me mbetulkan rambut
dipelipisnya, katanya tertawa dengan kepala mendongak: "Aku
punya lencana dan paham sandi rahasia mereka, sudah tentu dapat
keluar masuk dengan leluasa."
"Apa tujuanmu menyelunduk ke Pek-hoa-pang" tanya Kun-gi.
Merah muka Un Hoan-kun, katanya sambil mengerling: "Apa
tujuanku? Soalnya kau disekap dala m karung dan dibawa masuk ke
Pek-hoa-pang ini, aku. . . kuatir, maka kuikut ke mari."
Terharu hati Kun-gi, kedua tangan terulur me megang pundak
orang, katanya halus: "Me mang cayhe sengaja me mbiarkan mereka
mengangkut ke mari. Terus terang hanya karung saja takkan mampu
mengurungku, kenapa nona harus me ne mpuh bahaya begini besar."
Un Hoan-kun biarkan saja orang pedang punda knya, katanya:
"Aku tahu Pek-hoa-pang takkan kuasa menahanmu, tapi aku tetap
kuatir, maka kuikuti kau ke mari dengan adanya aku di antara
mereka, sedikit banyak bisa me mbantumu juga ."
Kini Kun-gi gant i pedang kedua tangan orang, katanya le mbut:
"Betapa haru dan terima kasihku akan kebaikan nona, tapi kau lihat
aku tidak kurang suatu apapun, kalau nona berada di antara
mereka, rasanya juga berbahaya, bila jejakmu konangan pasti
menggagalkan urusan, lebih baik nona cepat meninggalkan tempat
ini."
Pelas2 Un Hoan-kun tarik tangannya, katanya: "Mereka
me ladenimu sebagai ta mu terhormat lantas tidak berbahaya
bagimu?"
"Paling tidak. dala m wa ktu dekat ini aku tidak akan menga la mi
bahaya."
"Kalau tidak ada bahaya, memangnya untuk apa mala m2 begini
aku mengunjungimu?"
Ling Kun-gi me lengak. tanyanya: "Nona mendengar khabar apa?"
"Tujuan mereka menculikmu ke mari supaya kau me mbuatkan
obat penawar getah beracun bukan?, Thay-siang suruh kau
menyelesaikan tugas dala m tiga hari, betul tidak?"
"Betul, kenapa?"
"Ketahuilah, Thay-siang sudah me mberi perintah kepada Hu-
pangcu, kalau dala m tiga hari kau tida k bisa menyelesaikan
tugasmu, dia harus me mbawa kepala mu menghadap beliau?"
"Hal ini a ku me mang tida k tahu," kata Kun-gi, "tapi tidak perlu
tiga hari, besok juga aku sudah berhasil menyelesaikan tugas."
Kini ganti Un Hoan-kun yang tertegun, katanya dengan suara
ragu2: "Kau sudah berhasil me mbuat obat itu?"
"Belum," sahut Kun-gi meng-geleng2, "tapi a ku sudah ada aka l,"
Lalu dia jelaskan cara bagaimana dia merendam mutiara ke dala m
air dan ternyata bisa menawarkan getah beracun itu..
"Kau pernah bilang mau mencari jejak bibi yang hilang, kini
kenyataan bahwa bibi t idak berada di Pe k-hoa-pang ini, buat apa
kau harus me mbuat obat itu pula?"
"Nona hanya tahu yang satu dan tak tahu yang lain, bahwa aku
rela disini se mentara, maksudku hendak mencari tahu asal usul
getah beracun dan Hwi-Liong sa m-kia m."
"Hwi-Liong sa m-kia m?" Hoan-kun menegas.
"Hwi-liong-sa m-kia m sebetulnya ilmu pedang warisan ke luargaku,
tapi Tin-pang-sa m-kia m (tiga jurus pelindung Pang) dari Pek-hoa-
pang ternyata Hwi-liong-sam-kia m ke luargaku."
"Bisa de mikian?" seru Un Hoan-kun heran, "Ehm, sudah kau
selidiki?"
"Belum se mpat, tapi sekarang ketambahan lagi suatu kejadian."
"Kejadian apa?" tanya Hoan-kun.
"Beberapa temanku khabarnya ditawan orang2 Hek-Liong-hwe,
disangka bahwa mereka dijadikan sandera disangka bahwa mere ka
adalah Hou-hoat-su-cia dari Pek-hoa-pang, maka mereka dijadikan
sandera supaya Pek-hoa-pang menyerahkan diriku sebagai
imbalannya."
Bertaut alis Un Hoan-kun, tanyanya: "Lalu apa tinda kanmu?
"Kecuali Thay-siang, tiada orang kedua yang tahu letak sarang
Hek-Liong-hwe, terpaksa aku harus tanya kepada Thay-siang."
Un Hoan-kun kaget, serunya: "Kau mau mene mui Thay-siang?"
"Hu-pangcu sudah berjanji, bila a ku selesai me mbuat obat, dia
akan me mbawaku mene mui Thay-siang."
"Kudengar Hu-pangcu So-yok, pere mpuan yang berdarah dingin,
cantik rupanya, keja m hatinya, banyak curiga dan ga mpang berubah
pendirian, kau harus hati2"
"Aku dapat melayaninya."
Un Hoan-kun melirik. mencibirnya serta berkata dengan tertawa:
"Kelihatannya kau banyak akal, kudengar Pe k-hoa-pangcu Bok-tan
amat ra mah terhadapmu, mungkin So-yok juga."
"Kiranya Pek-hoa-pangcu berna ma Bok-tan."
Merah muka Kun-gi, katanya lirih: "Nona jangan kuatir, aku
bukan laki2 bergajul."
Pipi Hoan-kun jadi merah, tapi hatinya merasa bahagia, kepala
terunduk mulutpun menggerutu: "Me mangnya aku peduli pada mu."
Lalu ia mena mbahkan: "Wa ktu sudah larut, aku harus lekas pergi."
"Kuharap nona selekasnya meninggalkan tempat ini saja," bujuk
Kun-gi.
Hoan-kun sudah melangkah beberapa tindak. tiba2 berpaling:
"Setelah kau menanyakan sarang Hek-Liong-hwe, aku akan pergi
bersama mu." Begitu pintu terbuka, cepat ia berkelebat ke luar.
Setelah Un Hoan-kun pergi, sementara sudah mendekati
kentongan kedua, Kun-gi dorong pintu ka mar buku langsung
menuju ka mar masak obat, ia mengeluarkan Pi-tok-cu terus
dimasukkan ke dalam guci yang merendam obat bubuk. lalu ke mbali
menutup pintu dan masuk ke ka mar t idur.
Ooo d-w ooO

Matahari sudah tinggi, Kun-gi masih tidur nyenyak.


Pagi2 Hu-pangcu So-yok bersama congkoan Giok-lian sudah
datang, mereka duduk menunggu di ka mar buku.
Giok-lan mondar-mandir tidak sabar, katanya kepada Sin-ih:
"coba dilihat apakah Ling-kongcu sudah bangun?"
So-yok menggoyang tangan, katanya tertawa: "Sam-moay,
kenapa tabiatmu sekarang lebih gopoh daripada ku, kita sudah
menunggu, lebih la ma sedikit tidak jadi soal Sin-ih, biarkan Ling-
kongcu t idur lebih la ma, jangan ganggu dia."
Sin-ih mengiakan lalu berdiri meluruskan tangan
Sudah tentu Giok-lan tahu Hu-pangcu yang biasanya bertabiat
kasar, angkuh dan tinggi hati serta suka aleman ini, ternyata
sekarang begini sabar, rupanya dia telah jatuh hati pada Ling
Kongcu
Dia cukup kenal Thay-siang, kalau Ling Kun-gi tida k berhasil
me mbuat obat, jiwanya tentu amblas. Umpa ma betul dia berhasil
me mbuat obat, Thay-siang juga takkan gampang me mberi
kebebasan padanya untyuk meninggalkan Pek-hoa-pang. Maka
sejak mula dia sudah berpikir, pemuda seperti Kun-gi, jalan paling
baik adalah mela marnya menjadi Huma, ka lau tida k nasibnya tentu
akan menyedihkan.
Tentunya hal ini juga sudah terpikir oleh Toaci (Pe kshoa-pangcu),
ini dapat dilihat sikapnya waktu dia menya mbut dan me nja mu Ling
Kun-gi. Pada hal dia baru merancang cara bagaimana untuk
merangkap perjodohan ini, tahu2 sekarang dilihatnya Ji-ci (So-yok)
juga kepincut pada Kun-gi, sudah tentu urusan bisa runyam. Dika la
hatinya gundah itulah, didengarnya pintu ka mar Kun-gi berkeriut
dan pelan2 terbuka.
Cepat Sin-ih berlari kesana, serunya: "Ling-s iangkong sudah
bangun, sebentar hamba a mbilkan air buat Cuci muka "
Kun-gi mengge liat, katanya tertawa: "Hampir tengah hari, hari ini
tiada kerja apa2, lebih baik tidur lebih la ma " Habis berkata dia putar
ke mbali ke ka marnya.
Sin-ih sudah dipesan oleh Hu-pangcu agar jangan bilang mere ka
berdua sudah menunggu di ka mar buku, ma ka dia tidak berani
banyak mulut, dia me mbawa sebaskom a ir dan melayani Kun-gi
me mbersihkan badan- La lu dia menyuguhkan sarapan pagi.
Setelah ma kan Kun-gi mendongak me lihat cuaca, katanya:
"Waktu hampir tiba, nona Sin-ih, siang nanti mula i meracik obat,
pergilah kau panggil Hu-pangcu dan congkoan ke mari."
Sin-ih tertawa, katanya: "Hu-pangcu dan congkoan sudah sejak
tadi menunggu di ka mar buku."
"Apa?" Kun-gi pura2 berjingkrak bangun dengan kaget, "Hu-
pangcu dan congkoan sudah datang, kenapa kau tidak bilang?"
Bergegas dia me langkah ke ka mar buku.
Terdengar tawa So-yok semerdu kelinting dan berkata: "Jangan
Ling-kongcu sa lahkan Sin-ih, akulah yang suruh dia jangan
mengganggu tidurmu."
Bayangan merah menyala tahu2 berdiri se ma mpai di depan
pintu, bau harum seketika merangsang hidung pula, Hari ini So-yok
mengenakan gaun panjang berke mbang sakura berwarna dasar
merah mulus, buatannya sopan, tepat didepan dadanya bersulam
sekuntum bunga me lur yang indah hingga mena mbah asri
dandanannya, wajahnya nan ayu dihiasi senyum manis, ternyata
hari ini dia bersole k lebih daripada biasanya.
Ber-ulang2 Kun-gi menjura, katanya: "Maaf Hu-pangcu, soalnya
obat yang direndam barus menunggu wa ktu baru bisa dica mpur,
karena kerja sampa i jauh ma la m dan mengingat pagi ini tiada
pekerjaan, maka t idurku sa mpai kesiangan-"
Dengan berani So-yok mengawasi Ling Kun-gi muda belia, gagah
dan tampan, "kulihat kau terlalu hati2 dan me mbatasi diri,
selanjutnya tidak perlu kau bicara begini sungkan kepadaku."
Giok-lan berdiri di bela kang, segera dia menimbrung: "Hu-pangcu
seorang yang terbuka dan suka bla k2an, harap Ling kongcu tida k
usah sungkan-"
Setelah berada di kamar buku, masing2 mene mpati te mpat
duduknya, So-yok lantas buka suara lebih dulu: "Mendapat
laporanku, Thay-siang sangat senang, beliau bilang kalau percobaan
berhasil aku disuruh segera me mbawa mu me me mui be liau."
"Hari ini baru akan diadakan percobaan pertama, bagaimana
hasilnya belum diketahui, kenapa buru2 dilaporkan, kalau gagal,
bagaimana cayhe harus bertanggung jawab?"
"Kau pernah berhasil sekali, aku yakin Kongcu pasti akan berhasil
pula, kalau pertama gaga l boleh diulangi sa mpa i berhasil, kepada
Thay-siang akan kubantu me mberi penje lasan."
"Terima kasih Hu-pangcu" Kun-gi menjura pula.
"Kapan Ling-kongcu akan mulai?" tanya Giok-lan, "apa yang
harus dipersiapkan?"
"Tiada yang perlu dipersiapkan, waktunya sudah tiba, cukup asal
menuang getah beracun didala m ma ngkuk saja."
"Biar ha mba yang menuangnya," kata Sin-ih.
"Jangan nona, getah itu amat beracun, biar aku sendiri yang
turun tangan-" Kata Kun-gi, "sekarang kau kumpulkan seluruh
wadah yang tersedia disini dan dijajar di atas meja."
"He, di almari ada seratus wadah porselen, apa semua harus
dikeluarkan?" tanya Sin-ih.
"Se mbilan guci, kalau satu sa ma lain se muanya begiliran harus
dica mpur, seluruhnya berjumlah 9x9 - 81, cukup kau keluarkan 81
saja."
Sin-ih mengia kan, segera dia bekerja. Sementara Kun-gi
keluarkan buli2 berisi getah beracun, So-yok dan Giok-lan tida k
bersuara, mereka ikut mondar-mandir mengikuti Kun-gi. Sementara
itu, sesuai pesan Kun-gi, Sin-ih sudah keluarkan wadah dan dibaris
di atas meja.
Kun-gi me mbuka tutup buli2, dengan hati2 ia pegang buli2 serta
menuang ke dala m se mbilan wadah, masing2 diisi setngah getah
beracun, lalu dia taruh buli2, menga mbil sendok perak mengaduk
guci obat yang pertama, lalu mengedus baunya, mulutnya
berguma m: "Ya,sudah boleh" Dia taruh sendok ganti menya mbar
cangkir kecil, dari dala m guci dia menyendok sedikit air obat terus
dicicipi dengan mulut seperti me mbedakan kadar obatnya. So-yok,
Giok-lan dan Sin-ih me nyaksikan dengan dia m saja dan terbeliak.
Lalu Kun-gi berpaling, katanya "Sembilan guci obat ini adalah
hasil yang kucapai waktu berada di coat- sin-san-ceng untuk
me munahkan getah beracun, cuma waktu itu aku belum punya
keyakinan,jadi sudah lupa obat2 apa saja yang kuracik dan akhirnya
berhasil menawarkan getah beracun? Kalau mala m itu nona Giok-je
tidak menyelundupkan diriku keluar, satu dua kali percobaan lagi
mungkin obat penawarnya sudah kuperoleh. Jadi tida k perlu
mengulang lagi seperti sekarang."
So-yok manggut2, ujarnya: "Memang, kenapa Giok-je terburu
nafsu waktu itu."
"Ini tak bisa salahkan Giok-je," sela Giok-lan, "mala m itu juga
coat-sin-san-ceng dige mpur bobol oleh gabungan kekuatan para
Hwesio dan orang2 keluarga Tong, kalau tidak, mana kita bisa
mengundang Ling kongcu ke mari?"
Sementara Ling Kun-gi sedang menggunakan sendok yang
terbuat dari Giok untuk menga mbil air obat, lalu pelan2 dituang ke
dalam wadah yang berisi getah beracun. Getah beracun itu kental
gelap. setelah dituangi sesendok air obat, sedikitpun tida k
me mperlihatkan sesuatu perubahan.
Serta merta So-yok dan Giok-lan angkat kepala, me mandang Ling
Kun-gi. Tapi yang dipandang tetap tak acuh, seperti apa yang
dikatakannya, untuk mene mukan obat penawar getah yang tulen
paling tidak dia harus mengadakan delapan puluh satu kali
percobaan. Kini baru yang pertama, sudah tentu belum berarti
gagal.
Dengan sendok perak yang lain Kun-gi ke mbali mengaduk guci
obat kedua seperti cara se mual, percobaan kedua inipun tida k
berhasil. Sudah tentu semua ini me mang disengaja diatur oleh Kun-
gi.
Sebetulnya dalam hati dia sudah punya perhitungan matang,
cuma sengaja dia hendak menggunakan beberapa guci obat itu
untuk mencoba supaya permainan sandiwaranya kelihatan
sungguh2.
Getah beracun dalam buli2 berturut telah dia tuang kedalam
beberapa wadah pula, semua dia masih guna kan cangkir kecil untuk
menciduk air obat, belakangan karena tak sabar dia angkat gucinya
terus dituang kesana ke mari, beruntun puluhan kali telah dia
lakukan, betapapun cerdik otak So-yok dan Giok-lan juga sukar pula
untuk mengingatnya campuran obat2 dari guci yang mana?
Me mangnya inilah tujuan Kun-gi supaya mereka kebingungan
sendiri.
Setengah jam telah berselang, getah beracun yang digunakan
percobaan sudah 36 wadah, kini Kun-gi ke mbali me megangi buli2,
sedang mengadakan percobaan ulang yang kelima kalinya, dia isi
sembilan wadah dengan getah kental hitam itu. Lalu dengan cangkir
kecil dia menciduk sedikit air obat, setelah diaduk dengan sendok
lalu pelan2 dituang ke dala m getah beracun pada wadah ke 37. Kali
ini dia sudah perhitungkan air obat pada guci inilah yang pernah dia
rendam mutiara.
Jika khasiat mutiara untuk menawarkan getah beracun masih
bekerja, maka percobaan ka li ini pasti berhasil. cuma satu hal yang
me mbuatnya kuatir, yakni apakah air be kas renda man mut iara ini
setelah bercampur dengan racikan obat2an itu masih berkhasiat
seperti semula.
Dengan tegang dan seksama So-yok, Giok-lan dan Sin-ih
mengawasi setiap tetes aitr obat itu masuk kedalam wadah, napas
tertahan jantungpun ikut berdebar keras. Tetes pertama air obat
tetap tidak membawa perubahan- Kini tetes kedua telah jatuh. Jidat
Kun-gi sendiri juga telah dibasahi keringat. Ketika tetes ketiga jatuh,
terlihat seperti setetes air kece mplung dipermukaan cat berminyak.
tetes air obat ketiga seketika menjadi bening dan bergerak2 kian
ke mari dipermukaan getah kental itu.
"Nah, kali ini takkan salah lagi," seru So-yok terbelalak tegang.
"Se moga de mikian," ujar Kun-gi, tetes ke empat dia jatuhkan
pula kedala m wadah, perubahan kini semakin nyata dan kerja
perpaduan obat dengan getahpun cepat sekali, getah kental hitam
itu kini sudah mulai cair dan berubah warnanya, dengan cepat
berubah menjadi a ir bening.
So-yok bersorak girang sa mbil berkeplok: "Ling-kongcu, kau
berhasil."
Kun-gi menengadah sa mbil tertawa, katanya: ”Akhirnya cayhe
mene mukan obat penawarnya".
Sepasang mata Giok-lan me mancarkan cahaya terang, bukan
kepalang senang hatinya, serunya: "Ling-kongcu, kuaturkan selamat
padamu"
Sin-ih juga terbelalak. serunya: "Ling-kongcu hanya pakai e mpat
tetes obat dan getah setengah wadah ini telah tawar sama sekali,
air obat ini tentu a mat lihay."
Tiba2 So-yok bertanya: "dari guci yang mana kau tadi mengambil
air obat itu, apa kau masih ingat?"
Sengaja Kun-gi mengingat2, lalu mengasi guci2 obat, katanya
sambil menghitung: "Ka li ini aku me nga mbil dari guci ke 3, 5, 6, 8,
dan 9 lima guci. Lalu dia berpesan kepada Sin-ih: "Sisa yang lain
boleh kau buang ke belakang." cepat Sin-ih bersihkan sisa obat lain
yang tidak terpakai lagi.
Kun-gi a mbil dua te mpayan kosong, lalu dia ukur a ir obat guci
ketiga dan kelima, masing2 di a mbil 20 mangkuk, de mikian pula
pada guci keena m dan kese mbilan masing2 dia a mbil 30 mangkuk,
lalu guci kedelapan dia angkat, setelah sari obatnya dia bersihkan,
seluruh air obatnya dia tuang kedalam te mpayan serta diaduk lagi
dan kebetulan penuh kedua tempayan itu.
Menunjuk kedua tempayan obat itu, Kun-gi berkata kepada Giok-
lan- "congkoan me mbatasi cayhae tiga hari untuk menyelesaikan
tugas, hari ini telah kubuat dua tempayan air obat penawar getah
beracun, harap congkoan suka menerimanya."
Lekas Giok-lan ba las hormat, katanya: "Ling-kongcu me mang
dapat dipercaya, hamba mengaturkan terima kasih."
Kata Kun-gi kepada So-yok: "Tadi aku sendiri yang mencoba dan
berhasil, kini silahkan Hu-pangcu mencobanya sekali lagi." Lalu dia
ambil sendok dan diangsurkan kepada So-yok.
So-yok tertawa manis, katanya: "Aku belum pernah mencoba,
me mang ingin aku mencobanya."
Dengan sendok itu dia menyiduk air obat terus dituang pelan2 ke
dalam wadah la in yang berisi getah beracun. Perubahan pada getah
beracun dalam wadah kali ini lebih cepat, dari kental segera menjadi
cair dan bening. Seru So-yok girang: "obat penawar ini me mang
betul2 mujarab."
"Setengah sendok air obat yang dia mbil Hu-pangcu tadi
sedikitnya bisa menawarkan satu baskom getah beracun."
"Jadi, berapa banyak getah beracun dapat di-tawarkan oleh air
obat kedua tempayan ini?".
Kun-gi tertawa, katanya: "Thay-ouw seluas tiga puluh ena m ribu
hektar, kalau air danau se muanya getah beracun, kiranya cukup
ditawarkan dengan air obat kedua tempayan ini"
Giok lan segera berpesan kepada Sin-ih: "Laporkan kabar
gembira ini kepada Pangcu, katakan bahwa Ling-kongcu telah
berhasil me mbuat obat penawarnya,"
Sin-ih mengiakan dan buru2 lari keluar.
"obat penawar sudah kubuat, air obat kedua te mpayan ini boleh
silakan congkoan menerimanya "
Giok-lan manggut2, katanya: "Nanti kusuruh agar orang
menggotongnya ke luar," lalu dia tatap Kun-gi, "Cuma sudikah Ling-
kongcu serahkan pula resep obatnya?".
Kun-gi, sudah menduga akan ha l ini, katanya tersenyum: "obat
penawar yang kubuat sudah ku-serahkan dan Pang kalian boleh
me ma kainya, tentang resep obat......."
So-yok mengedip mata, katanya riang: "Mungkin resep itu
warisan keluarga Ling-kongcu, jadi harus dirahasia kan?" .
"Bukan begitu," ujar , Kun-gi tertawa: "Jiwa raga cayhe ada di
dalam Pang kalian, kesela matan jiwapun sukar dira malkan, kalau
dalam jangka t iga hari cayhe tidak berhasil, batok kepala cayhe
tentu sukar dipertahankan, tapi setelah berhasil mungkin tetap
menghadapi kesulitan, salah2 bisa dibunuh untuk me nutup mulut. .
. . ."
Berubah air muka Giok-lan, katanya: "Ling-kongcu berjerih payah
me mbuat obat untuk Pang kami, Pang kami berkecimpung dala m
kangouw dan selalu menguta makan keadilan dan kepercayaan,
mana mungkin me mbalas a ir susu dengan air tuba?"
"Dari siapa Ling-kongcu dengar orang bilang de mikian?" sela So-
yok. "terang sengaja hendak me mecah be lah bela ka."
"Maaf, mungkin cayhe mengukur seorang Kuncu dengan hati
seorang Siaujin, cuma dala m percaturan kangouw, tiada jeleknya
berlaku hati2 terhadap sesama insan persilatan, air obat dalam
kedua tempayan itu bertahan tiba bulan, selama itu bertahan pula
jiwa raga cayhe, harap kalian tidak salah paha m."
"Ucapan Kongcu me mang masuk akal," Ujar Giok-lan, "liku2
kehidupan kangouw me mang serba buruk dan bahaya, adalah
pantas kalau berlaku hati2. cuma Pek-hoa-pang kami takkan berlaku
curang dan lupa budi terhadap Kongcu."
Kata So-yok manis mesra: "Kalau Ling-kongcu tidak mau
serahkan resep obatnya juga tidak soal, kau boleh tinggal saja
disini, me mangnya kau akan me mbocorkan hal ini kepada Hek-
Liong-hwe?"
Sementara itu Sin-ih sudah balik bersa ma seorang pelayan baju
hijau, "Lapor congkoan," kata Sin-ih, "Pangcu sudah siapkan
perjamuan di Ing-jun-koan, Bak-ni (me lati) disuruh mengundang
Ling-kongcu, Hu-pangcu dan congkoan kesana."
Si me lati adalah salah satu pelayan pribadi Pek-hoa-pangcu, le kas
dia tampil me mberi hormat, katanya: "Mendengar Ling-kongcu
berhasil me mbuat obat penawar, Pangcu sengaja mengada kan
perjamuan di Ingjun-koan untuk merayakan keberhasilan Ling
kongcu ini, silahkan pula Hu-pangcu dan congkoan mengirinya."
So-yok tertawa riang, katanya: "Toaci mengadakan perja muan di
Ingrjun-koan, ini jarang terjadi, silakan Ling-kongcu"
Ing-jun-koan adalah tempat tinggal Pek-Hoa-pangcu, "ucapannya
kedengaran simpatik, tapi mengandung nada sindiran," Lalu ia
berpaling kepada si melati, katanya: "Hayo tunjukkan ja lan. "
Bak-ni atau ke mbang melati mengiakan, dia berjalan di depan
So-yok dan Giok-lan mengiringi Ling Kun-gi langsung menuju ke Ing
Jun-koan-
Setelah dekat si melati mendahului beberapa langkah serta
me mbungkuk sa mbil berseru: "Lapor Pangcu, Ling-kongcu telah
tiba"
Lenyap suaranya tertampak Pek hoa-pangcu sudah beranjak
keluar menyongsong di a mbang pintu. Hari ini dia mengguna kan
baju merah ge merlap dengan gaun panjang kain sutera bersula m
mengikat pinggang, pada dua ujungnya dihiasi ronce beludru dan
diikat menyerupai telur angsa, langkahnya ringan le mbut tak
ubahnya bidadari, kelihatan suci dan anggun. Me mang setimpa l
sebagai bunga peoni (Bok-tan) yang menjadi raja dari segala bunga.
Pek-Hoa-pangcu tetap mengenakan kedok, tapi sepasang
matanya nan jeli dan bening tampa k bercahaya penuh kasih mesra,
katanya merdu: "Sudah kutunggu cukup la ma, silakan Ling-kongcu
masuk dan duduk."
Begitu beradu pandang, jantung Kun-gi lantas berdebar keras,
tanpa terasa timbul semaca m perasaan aneh dalam benaknya,
sesaat dia melongo mengawasi orang. Ha l ini tak perlu dibuat
heran, pemuda mana yang tidak terpesona berhadapan dengan
sang jelita, apalagi pandangan Pek-Hoa-pangcu sedemikian mesra.
Tapi cepat Kun-gi sadar, dengan muka merah ia menjura, katanya:
"Pangcu mengundang dan menja mu secara besar2an, sungguh
cayhe amat bangga dan terima kasih."
Pek-hoa-pangcu mengiringinya masuk ke ka mar makan, mereka
jalan berjajar, katanya tersenyum manis: "Kongcu berhasil me mbuat
obat, besar artinya bagi kepentingan Pang ka mi, aku hanya suruh
mereka sekedar menyiapkan perjamuan untuk me mbalas budi
kebaikan ini, rasanya masih jauh untuk mengimbali jerih payah
Kongsu, ha rap tida k usah sungkan-"
"Bantuan yang tak berarti kenapa harus dipikirkan, Pangcu
menya mbut begini rupa sungguh tidak tenteram perasaan cayhe."
Sebuah meja besar segi delapan berada di tengah ruangan
sebelah timur yang bertutup kain gordyn, Pek-hoa-pangcu
persilakan tamunya duduk di sebelahnya, sementara So-yok di
sebelah kiri dan Giok-lan di depannya. Tanpa diperintah delapan
pelayan bergiliran menyuguhkan hidangan dan arak.
Pek Hoa pangcu angkat cawan araknya, katanya: "Ling-kongcu
sudah me mbuatkan obat mujarab bagi Pang ka mi, seluruh anggota
Pek-Hoa-pang merasa bersyukur dan berterima kasih, secawan arak
ini kusa mpaikan sela mat dan terima kasih, haraf kongcu sudi
menerima nya . "
Kun-gi angkat cangkir araknya dan me njawab: "Seharusnya
cayhe yang menyampaikan selamat pada Pangcu, sayang cayhe
tidak biasa minum arak. apalagi nanti akan menghadap Thay-siang,
terpaksa cayhe harus membatasi diri minum arak." La lu dia teguk
habis isi Cangkirnya.
"Kau akan menghadap Thay-siang?" seru Pek-hoa-pangcu heran
"Ya, hal ini me mang akan kulaporkan kepada Toaci," ujar So-yok.
"waktu aku datang pagi tadi Thay-siang sudah berpesan bila Ling-
kongcu berhasil, beliau minta aku me mbawanya mene muinya."
"Thay-siang a mat besar perhatiannya terhadap getah beracun ini,
Ling-kongcu berhasil temukan obat penawarnya dala m wa ktu
sesingkat ini, tak heran beliau ingin benar bertemu," lalu Pek- hoa-
pangcu berkata kepada Kun-gi: "Biasanya thay-siang tak mau
mene mui orang luar, umpa ma anggota Pang kita sendiri juga jarang
dipanggil, Ling Kongcu ternyata lebih beruntung."
Sedemikian besar perhatiannya membicarakan undangan Thay-
siang ini, padahal sinar matanya tidak mengunjuk rasa senang kalau
tidak mau dikatakan mena mpilkan rasa kuatir dan gelisah ma lah.
Sudah tentu Kun-gi tak bisa menyela mi pikiran Pek hoa pangcu,
katanya tertawa lebar: "Beruntung cayhe diundang Thay-siang, hal
ini merupakan kebanggaanku seumur hidup,"
Pek hoa pangcu tersenyum, katanya: "Hanya bicara saja sa mpai
lupa makan, hidangan sudah dingin, silakan ma kan-"
Baru dua cangkir arak masuk perut, muka Ling Kun-gi lantas
merah seperti kepiting rebus, celakanya So-yok selalu a mbilkan
hidangan terus main dorong kepiringnya, ditolak tidak bisa, diterima
akhirnya perutnya kekenyangan. Perjamuan ini untuk merayakan
kesuksesan Ling Kun-gi, tapi lantaran yang dijamu tidak panda i
minum arak sehingga makan minum berjalan kurang semarak, Pek
hoa pangcu dan Giok-lan bersikap pasif pula karena tingkah So-yok
yang ber-muka2. Ha mpir setiap masakan yang dihidangkan sedikit
atau banyak masuk ke perut Kun-gi, untung perja muan ini berakhir
juga , Kun-gi merasa seperti lepas dari hukuman, buru2 dia berdiri.
Pek hoa pangcu mengiringinya ke mbali ke ruang tamu.
Baru saja Kun-gi menghabiskan teh panas yang disuguhkan, So-
yok lantas berkata sambil berdiri "Toaci, hari sudah siang, kiranya
Ling-kongcu harus berangkat."
"Mungkin Thay-siang akan menguji Ling kongcu me mbuat obat
itu, Ji-moay sudah bawa obatnya belum?" tanya Pek hoa pangcu.
"Sa m-moay sudah menyiapkan untukku," sahut So-yok tertawa.
"Baiklah, bolehlah kau bawa Ling kongcu dan segera berangkat,
supaya Thay-siang tidak terlalu la ma menunggu."
So-yok mengia kan, dia menoleh dan berpesan kepada si melati:
"Bak-ni, lekas kau beritahu supaya perahu disiapkan-" Si me lati
mengiakan terus berlari pergi.
So-yok berdiri, katanya: "Ling kongcu, hayo berangkat" Sembari
bicara dia me ngenakan mantel terus beranjak ke luar.
Kun-gi me mberi hormat kepada Pek hoa pangcu serta Giok lan
dan mohon diri. Mereka mengantar sa mpai di depan pintu.
Sepasang mata Pek hoa pangcu sejeli mata burung hong
menatap Kun-gi, katanya: "Ka mi tidak mengantar lebih jauh."
Beradu pandang seketika terasa oleh Kun-gi sorot matanya
mengandung kasih mesra nan penuh arti, diam2 terkesiap hatinya,
berkumandang pula suara Pek hoa pangcu selirih bunyi nya muk di
tepi telinganya: "Dihadapan Thay-siang kau harus berlaku hati2,
setiap pertanyaan harus kau jawab dengan baik, kalau dia tida k
tanya, jangan banyak bicara."
Segera Kun-gi balas menjawab dengan ilmu gelombang suara:
"cayhe tahu." Lalu cepat2 dia megikuti langkah So-yok.
Perahu yang disiapkan ternyata kecil saja, di tengahnya beratap
jerami, bentuknya bulat panjang, di kedua ujung perahu masing2
duduk seorang perempuan setengah umur berperawakan kekar
kuat, So-yok melompat turun lebih dulu terus menyelinap masuk
dan duduk, terpaksa Kun-gi ikut melompat turun, tapi dia berdiri
saja, karena ruang perahu sempit, hanya cukup untuk dua orang
bersimpuh berhadapan, di kanan kiri terdapat sebuah meja kecil
rendah di mana ditaruh cangkir minuman, jadi tiada barang perabot
lainnya, laki-pere mpuan duduk dekat berhadapan rasanya kurang
leluasa, tapi setelah berada di atas perahu tak mungkin dia duduk. .
.
Apa boleh buat, akhirnya dia menyelinap masuk dan duduknya
sedikit mundur di atas kasuran berhadapan dengan So-yok. dengan
menyengir dia berkata: "Perahu ini terlalu kecil.".
"Perahu ini me mang khusus ka mi buat secara istimewa, kalau
badan perahu lebih besar sedikit t idak a kan bisa masuk."
Perempuan di buritan segera angkat galah, ia menarik tali kerai
bambu yang bentuknya bundar segera bergerak menutup tempat
duduk So-yok dan Kun-gi. Keruan keadaan menjadi gelap. untung
Lwekang Kun-gi. cukup tinggi, dia masih bisa melihat jelas keadaan
sekitarnya. Tak la ma ke mudian So-yok me nyalakan lentera yang
terletak di sa mping atas.
Terasa oleh Kun-gi perahu mula i bergerak. pengayuh bekerja
menerbitkan gemercik air. Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Kiranya tutup
ini sengaja dipasang supaya aku tidak dapat melihat pe mandangan
di luar"
Setelah api menyala, So-yok tersenyum, kata-nya: "Tentunya
Ling-kongcu merasa heran kenapa perahu ditutup begini rapat?"
"Mungkin daerah rahasia yang penting artinya, orang luar
dilarang me lihat keadaan di sini," kata Kun-gi..
"Bukan begitu, perahu ini khusus dibuat-untuk Thay-siang
seorang saja. Beliau tidak ingin dilihat orang, apalagi diketahui
tempat tinggalnya. Dalam Pang kita kecuali aku, Toaci dan Sa m-
moay tiada orang lain yang tahu tempat be liau berse mayam, kau
adalah orang luar satu2nya yang melanggar kebiasaan Thay-siang,
ini menandakan betapa besar perhatian Thay-siang kepada mu."
"Sungguh cayhe amat bangga dan senang hati."
"Maukah kau tinggal di tempat kita ini untuk sela manya?" tanya
So-yok menatap Kun-gi lekat2..
Berdetak jantung Kun-gi, katanya tawar: "Anggota Pang kalian
semua pere mpuan, boleh cayhe tinggal di sini?"
"Asal kau manggut, aku akan bicara dengan Thay siang, dalam
Pang kitakan juga ada laki2 lain-"
"Merekakan Hou-hoat-su-cia."
"Jangan kau pandang enteng para Hou-hoat-su-cia itu, di antara
mereka t idak sedikit murid perguruan terna ma, ilmu silatnya tinggi,
kalau Ling-kongcu mau tinggal di sini, kau tidak akan dijadi-kan
Hou-hoat-su-cia"
Sengaja Kun-gi, bertanya: "Hu-pangcu hendak me mberi jabatan
apa kepada cayhe.?"
Merah muka So-yok, katanya menunduk malu. "Dinilai dari ilmu
silat mu, masakah kau boleh diberi kedudukan rendah?, Sekarang
kau tidak perlu tanya, soal ini akan kurundingkan dengan Thay-
siang"
"Masakah Hu-pangcu tida k bisa me mperkira kan supaya cayhe
bisa me mpertimbangkannya?" Se makin merah wajah So-yok.
suaranya lirih:
"Bagaimana maksuk hatiku pada mu, me mangnya tidak terasa
olehmu? Kalau tida k buat apa kubawa kau menghadap Thay-siang?"
cukup je las dan ga mblang kata2nya.
Tanpa terasa tergunang juga hati Kun-gi, laki pere mpuan duduk
berhadapan dan me mbuka isi hatinya lagi seCara blak2an, lalu
bagaimana dia harus menanggapi? Terpaksa Kun-gi berkata
sekenanya: "Hu-pangcu bermaksud baik, me mbimbingku, setulus
hati kunyatakan terima kasih, soalnya beberapa temanku berada di
tangan Hek liong-hwe, setelah kuketahui mereka terjeblos di sarang
iblis, betapapun aku harus berusaha menolong mereka, karena itu
sukar untukku tinggal dala m Pang ka lian-"
"Menurut Thay-siang, Hek liong-hwe merajalela me lakukan
kejahatan, kelak pasti mendatangkan petaka di Kangouw, sudah
la ma kita berma ksud menumpasnya, cuma mereka me miliki getah
beracun yang tiada obatnya sehingga soal ini tertunda sampai
sekarang, kini setelah obat penawar getah telah kau buat, mungkin
Thay-siang akan pimpin sendiri gerakan besar2an untuk
mengge mpur He k liong-hwe, itu berarti kawanmu juga a kan
tertolong pula."
Tengah bicara gemercik air tiba2 se makin keras, Kun-gi dapat
me mbedakan suara gemercik air ini me mbawa pusaran yang keras
dan berdaya sedot yang kuat, kalau tidak salah perahu kini tengah
me masuki suatu gua yang dala m dan luas.
Terasakan pula laju perahu tiba2 menjadi la mbat, kalau tadi
perahu bergerak melawan arus sehingga menimbulkan guncangan
cukup keras, tapi laju perahu sekarang mesti la mbat namun kira2
tiga puluhan tombak ke mudian lantas pelahan dan Akhirnya
berhenti. Tak tertahan Kun-gi bertanya: "Apakah sudah sa mpa i?"
So-yok cekikikan, katanya: "Kupingmu tajam juga ."
"Kurasa perahu sudah berhenti."
"Krek." tiba2 kerai ba mbu yang rapat itu tersingkap. Tapi
keadaan sekeliling gelap. tak terlihat bintang2 di langit, kiranya
perahu berlabuh di bawah dinding batu yang terjal gelap.
So-yok mendahului berdiri, katanya: "Letak puncak tebing di atas
cukup tinggi, biarlah ku lompat naik dulu, kau boleh me nyusul."
Sekali tutul kaki, dengan enteng tubuhnya lantas melejit ke atas,
hanya sekali berkelebat lantas tak kelihatan- Kejap lain terdengar
suara So-yok berseru di atas batu: "Ling-kongcu, boleh kau lompat
ke mari, tapi hati2, batu ini berlumut dan sangat licin-" Lalu
terdengar suara percikan api.
Mata Kun-gi dapat melihat di tempat gelap. tanpa sinar api iapun
bisa me lihat cukup jelas keadaan sekelilingnya, segera dia
menjawab: "Ya, cayhe segera naik," iapun tiru gerakan orang, ujung
kaki menutul papan perahu, tubuhnya terus mela mbung ke atas.
Karena tidak ingin pa mer kepanda ian di depan So-yok, kira2
setombak lebih badannya melejit ke atas ia terus meluncur turun ke
samping So-yok,
Buru2 So-yok ulur tangan pegang lengannya, katanya: "Berdiri ke
sini sedikit, batu sebelah pinggir berlumut dan licin-" Karena tarikan
ini badan mere ka ha mpir berhimpitan. Lekas So-yok menunduk dan
meniup pada m obor, seketika keadaan gelap gulita pula.
Dala m kegelapan So-yok berkata pula: "Disini sebenarnya
dilarang menyalakan api, demi kesela matanmu barusan aku
me langgar larangan untuk selanjutnya kau harus menggre met di
tempat gelap." Tanpa tunggu Kun-gi bersuara cepat ia
mena mbahkan: "Tak usah kuatir, jalanan di sini aku sangat apal,
asal kau gandeng tanganku, pasti takkan terjatuh dari ketinggalan-"
Jari tangan yang halus segera menarik Kun-gi, katanya manis:
"Hayo, kita ke atas, hati2 lima langkah lagi ke atas adalah lorong
sempit yang harus dilewati dengan badan miring, jangan sampa i
kepala mu kebentur benjut."
Kun-gi t idak ingin orang tahu dirinya dapat melihat di te mpat
gelap. maka ia biarkan saja dirinya ditarik dan digandeng. Apa yang
dikatakan So-yok me mang tidak sa lah, di depan hanya sebuah
lorong sempit, hanya cukup untuk tubuh seorang, kaki terasa
menginjak tanah berbatu yang naik turun tidak rata.
Walau So-yok sudah apal tempat ini juga ja lan menggre met
hati2, kembali dia bertanya: "Ling kongcu, di rumah masih adakah
sanak saudaramu?"
"Keluargaku hanya ibu dan a ku saja," sahut Kun-gi.
Bersinar mata So-yok di te mpat gelap. tanyanya: "Kau tidak
punya adik perempuan?" tiba2 dia menghentikan langkah.
"Bagaimana kalau aku menjadi adikmu?" Badannya yang padat dan
montok tiba2 me nggelendot ke dada Kun-gi.
Kun-gi tahu, nona ini bertabiat buruk. ale man, keras kepala dan
suka menang, Pek-hoa-pangcupun suka mengalah padanya, kalau
dirinya sampa i me mbuatnya marah, bukankah usaha dan
rencananya bakal gagal total? Maka tanpa pikir tangannya segera
me mapah badan orang, katanya: "Hu-pangcu suci dan berbudi
luhur, laksana berbadan e mas, mana cayhe berani terima?"
Menggeliat pinggang So-yok yang ramping, katanya aleman: "Ah,
kau kira aku tidak setimpal? Jelas kau me mandang rendah aku."
"Mana cayhe berani pandang rendah dirimu?".
So-yok mendongak, katanya, "Kami ada banyak saudara
perempuan di sini, tapi tiada punya toako, mungkin ada jodoh, sejak
pertama kali melihat mu se-olah2 kau sudah menjadi Toa koku,
bagaimana jika betul kau me njadi, Toakoku?"
"Sungguh, cayhe tidak berani terima."
"Mau tidak mau aku tetap anggap kau sebagai Toa ko," omel So-
yok seperti anak kecil merengek minta permen, Kedua bola matanya
terpentang lebar, walau dalam gelap dia tidak me lihat wajah Kun-gi,
tapi badannya yang halus padat menempel badan Kun-gi, kepala
mendangak dengan ma lu2 dan merdu dia me manggil: "Toako."
Kecuali tabiatnya yang jelek. perawakan So-yok boleh masuk
hitungan, apalagi cantik menggiurkan, suara panggilannya berdaya
tarik menggetar sukma, seketika hati Kun-gi terguncang, tanpa
sadar dia me meluk pinggang So-yok yang ra mping dengan erat.
So-yok bersuara lirih terus merebahkan badannya ke dalam
pelukan Kun-gi serasa lunglai otot tulang tubuhnya, maklumlah dia
masih perawan ting-ting, tumbuh dewasa di kalangan wanita yang
tidak pernah bergaul dengan le laki, apalagi disentuh dan dipeluk
begini rupa, keruan hatinya berdebur seperti gelombang sa mudara
me mukul pantai, seperti anak ka mbing yang kaget, takut dan jina k
pula, badannya rada gemetar.
Kun-gi juga pe muda yang baru menanjak dewasa, jiwa laki2nya
baru mekar pula begitu dia peluk So-yok, badannya seketika
bergetar seperti kena aliran listrik, jantung seperti hendak copt,
tiba2 pikirannya tersentak sadar dan cepat2 melepaskan
pelukannya.
Walau ditempat gelap. tapi Kun-gi sendiri merasakan mukanya
panas, katanya tergagap: "cayhe pantas mati, berani kurang ajar,
terhadap Hu-pangcu, harap . . . ."
Cepat So-yok mendekap mulut anak muda itu, katanya lirih: "Tak
usah menyalahkan diri sendiri, aku tidak menyalahkan kau, karena
aku sudah anggap kau sebagai Toakoku"
"Bisa punya adik seperti kau, sungguh a mat beruntung dan
berbesar hati, cuma. . . "
"Tida k usah pakai alasan, kau mau terima aku sebagai adikmu?"
Apa boleh buat, terpaksa Kun-gi berkata: "Baiklah, kupanggil kau
adik."
"Nah kan begitu, Toa ko yang baik."
Muka Kun-gi masih terasa panas, lekas dia mendesak: "Hayolah
kita melanjutkan perjalanan."
"Biar tetap kugandang tanganmu, setelah lewat lorong sempit ini
baru jalan agak datar"
Cukup panjang juga lorong sempit ini, kalau badan sedikit ge muk
takkan bisa lewat lorong se mpit ini. Dinding batupun tida k rata, ada
yang runcing, kurang hati2 sedikit pakaian biaa tercantol sobek.
Begitulah mereka menggeremet miring ke depan. Kira2 semasakan
air baru mereka keluar dari lorong se mpit ini: Di luar tanah me mang
datar dan lapang, mereka berada di dala m gua ala m yang besar,
tapi tetap gelap dan lembab, sayup2 terdengar suara tetesan air
dari langit2 gua.
Dia m2 Kun-gi heran, pikirnya: "Thay-siang-pangcu dari Pek-hoa-
pang kenapa malah bertempat t inggal di tempat seperti ini?". .
So yok tetap menggandeng tangannya terus maju ke depan
menuju dinding batu di depan. Ta mpa k dia ulur tangan mene kan
sebuah lobang kecil di atas dinding. . . Maka terdengar seorang
me mbentak tanya dari balik dinding: "Siapa?"
"Aku, So-yok" sahut So-yok. Lalu terdengar suara gemuruh,
dinding batu persegi di depan mereka tiba2 bergerak dan ta mpa k
sebuah pintu, sinar lampupun menyorot keluar, dari balik batu. Lalu
muncul seorang pere mpuan setengah umur berbadan tinggi, sorot
matanya dingin kaku, sekilas dia lirik Kun-gi, tanyanya: "Dia inikah
yang di-panggil Thay-siang?"
So-yok manggut, katanya: "Dia berna ma Ling Kun-gi." Lalu dia
berpaling, katanya pula: "Ling-kongcu, mari kuperkenalkan inilah
Ciok-lolo."
Lekas Kun-gi menjura, katanya: "cayhe menyampaikan hormat
kepada Ciok-lolo."
Tidak na mpa k secercah senyum pada wajah keriput Ciok-lolo
atau nenek ciok: "Tida k usah sungkan, le kas ka lian naik ke atas."
So yok aturkan terima kasih dan ajak Kun-gi masuk. Kini mere ka
berada di sebuah kamar batu berbentuk lonjong persegi, di depan
ada undakan batu, di sebelah kiri ada sebuah pintu, agak-nya di
sanalah ka mar tidur Ciok-lolo.
Dari atas dinding So-yok menurunkan sebuah la mpion, setelah
menyulutnya dia berkata tertawa: "Ling-kongcu, ikutilah aku." Dia
mendahului naik ke undakan batu. Undakan batu Cukup lebar, ia
menenteng la mpion, ma ka tidak perlu bergandeng tangan lagi.
Undakan batu ini me lingkar naik ke atas, langkah mereka
dipercepat, setiba di ujung undakan ke mbali mereka dia dang
dinding batu.
Dia m2 Kun-gi menghitung sedikitnya dia sudah na ik lima-ena m
ratus undakan-Di depan dinding So-yok menekan dua kali,
terdengar suara berkeriat-keriut, muncul sebuah pintu di dinding itu,
pandengan mereka menjadi silau oleh benderangnya sinar matahari.
So yok tiup pada m la mpion dan menggantung di atas dinding,
lalu katanya: "Sila kan Toa ko."
Kun-gi tidak rikuh2 lagi, segera dia melangkah ke luar, terasa
angin menghe mbus se milir, semangat seketika terbangkit. So-yok
mengintil di be lakangnya, setelah berada di luar, dia mene kan
dinding dua kali pula, pintu batu pelan2 menutup sendiri.
Di luar pintu batu ini letaknya di sebuah paseban di la mping
gunung, paseban ini besar dan megah, enam sakanya berwarna
merah cukup sepelukan satu orang. Bunga bertaburan di segala
pelosok me menuhi lereng yang terbentang luas, anehnya bunga
yang tak diketahui namanya ini beraneka maca m jenis dan
warnanya, Semuanya, mekar Se merbak. Tepat di tengah paseban
ini di-pasang sebuah panggung batu kecil bulat ha lus mengkilap
menyerupai meja bundar dike lilingi kursi bundar yang berbentuk
men erupai gendang, se muanya terbuat dari batu gunung..
Setelah pintu merapat, tampak di pagan batu yang besar itu,
setinggi setombak berukir e mpat. huruf yang berbunyi "Pek-hoa-
thing-kip". "Te mpat apakah ini? " seru Kun-gi heran.
"Inilah Pek-hoa-kok (le mbah seratus bunga)," sahut So-yok.
“Hayolah, setelah me mbe lok ke la mping gunung sana, kau dilarang
buka suara lagi." La lu dia mendahului jalan me nyusuri jalanan yang
dilandasi pagar batu.
Sambil mengikuti langkah orang Kun-gi ber-tanya: "Kenapa? "
"Thay-siang tidak senang kalau ada orang suka bertanya, apalagi
beliau sudah berhasil meyakinkan Thian-ni-thong, setelah me mbelok
pengkolan gunung itu, semua pe mbicaraan kita akan terdengar
olehnya."
Kun-gi manggut2. Langkah mere ka dipercepat, setelah keluar
dari pengkolan gunung, seluas mata me mandang le mbah ini baga i
bertaburkan bunga, beraneka warnanya, di antara bayang2
pepohonan sana ada bangunan rumah bersusur, dengan berbagai
bentuk artistik,
Jauh di atas sana, seperti ada jembatan gantung yang
menghubungkan satu rumah berloteng dengan bangunan megah
yang lain-Sungguh pe mandangan permai yang menyegarkan
semangat dan perasaan. Tak tertahan Kun-gi menarik napas
panjang, katanya memuji: "Bile cayhe tidak tahu tempat ini adalab
tempat semaya m Thay-siang, melihat keadaan lembah yang perma i
dan teratur rapi ini tentu membayangkan bahwa pemiliknya pasti
seorang aneh dan me miliki kepanda ian yang jauh me lebihi orang."
Mendengar Kun-gi buka suara. So-yok tampak kaget, mau
mencegah tapi tak se mpat lagi. Syukurlah yang didengar ada lah
kata2-pujian, barulah lega hatinya. Tapi pada kejap lain ia
mendengar seseorang mendengus sayup2 dari kejauhan.
Suara dengus ini kedengarannya sangat jauh, tapi seperti juga
sangat dekat sehingga sukar orang meraba dari mana datangnya.
Yang terang So-yok berubah air mukanya, seketika dia bergidik,
katanya lirih: "Le kaslah" Bergegas dia masuk ke le mbah sana.
Sudah tentu Kun-gi tahu suara dengus tadi dikeluarkan seorang
yang memiliki Lwekang tinggi dan dia pasti Thay-Siang adanya.
Ucapan Kun-gi tadi juga diutarakan secara spontan karena melihat
panorama le mbah yang me mpesona ini, padahal kata2 pujiannya
diucapkan setulus hati, me mangnya kenapa orang mendengus?. Ini
berarti bahwa jiwa Thay-siang rada nyentrik, wataknya, pasti aneh
dan menyendiri, tak heran Pek-hoa-pangcu dan So-yok berpesan
wanti2 dihadapan Thay-siang nanti supaya dirinya tidak banyak
bicara kalau tidak di-tanya.
Cepat sekali mereka sudah tiba di depan sebuah rumah berloteng
yang dibangun a mat megah. So-yok berhenti, katanya menoleh:
"Ikutilah aku." Dia bawa Kun-gi masuk ke sebuah ka mar tamu yang
bentuknya agak kecil, katanya pula: "Ling-kongcu duduklah
menunggu di sini, aku akan masuk me mberi laporan kepada Thay-
siang, sebentar ku-ke mbali.”
“Hu-pangcu boleh silakan," ucap Kun-gi.
Tanpa bicara lagi So-yok beranjak keluar. Seorang diri Kun-gi
duduk di kursi, dia kira So-yok akan segera ke mba li, tak tahunya
ditunggu setanakan nasi masih belum keluar, la mbat laun hatinya
menjadi gundah dan tidak tenteram, sa mbil menggendong tangan
dia mondar-mandir melihat lukisan di dinding. cukup la ma juga dia
meneliti setiap lukisan itu baru didengarnya langkah ringan
seseorang mendatangi. cepat Kun-gi me mbalik badan, tampak yang
datang adalah seorang gadis berpaka ian kain ke mbang.
Usia gadis Cilik ini se kitar 12-an, tapi wajahnya tampak ayu
jenaka, rambutnya dikuncir, bagian depannya dipotong poni,
bibirnya yang merah delima ta mpak mungil dan mengulum senyum,
kelihatannya masih kanak2: Waktu dia me langkah masuk kebetulan
Kun-gi me mbalik badan, biji mata yang je li dan bening itu seketika
menatap Kun-gi dengan tajam, langkahnyapun berhenti, pipinya
yang putih halus seketika bersemu merah, cepat dia menunduk
ma lu.
Maklumlah, sejak kecil nona ini dibesarkan di le mbah nan sunyi
dan putus hubungan dengan dunia luar, kapan dia pernah melihat
seorang laki2, apa-lagi la ki2 seperti Kun-gi yang ca kap ganteng ini,
karena malu, ha mpir saja dia tidak kuasa berbicara.
Kun-gi ma lah bersuara dulu dengan tertawa: "Apakah Hu-pangcu
suruh nona me manggil cayhe? "
Setelah tenang hatinya baru gadis cilik itu manggut2 dengan
ma lu2, katanya: "Jadi kau ini Ling kongcu? Thay-siang
mengundangmu."
"Silakan nona tunjukkan jalan," kata Kun-gi.
Sambil menunduk gadis cilik itu me mbalik terus melangkah pergi,
katanya: "Marilah Ling-kong-cu ikut aku." .
Keluar dari ruang ta mu dia belok ke kiri adalah serambi panjang
yang menjurus ke le mbah diseberang sana, pemandangan
menghijau permai, air terjun mencurah deras di ujung timur sana,
seluruh pe mandangan didasar le mbah terlihat amat je las.
Pada ujung puncak di atas lembah itulah di-bangun rumah lima
tingkat, yang ditengah merupakan pendopo luas dari besar,
kelihatannya seperti ruang sembahyang, tepat di tengah ada sebuah
meja panjang dengan patung Hud-co yang terbuat dari batu jade
putih. Kiranya Thay-siang yang diagungkan itu beragama Buddha.
Gadis berpakaian ke mbang me mbawa Ling Kun-gi masuk ke
ruang sembahyang, terus menuju ke pintu di sebelah timur dan
berhenti di depan sebuah ka mar, dari luar kerai dia me mbungkuk
serta berseru. "Lapor Thay-siang, Ling-kongcu telah tiba"
Terdengar seorang perempuan tua bersuara dari dalam: "Suruh
dia masuk."
Gadis baju ke mbang segera menyingkap kerai dan berkata lirih:
"sila kan masuk, Ling-kongcu."
Sedikit me mbungkuk badan Kun-gi melangkah masuk. Kiranya di
sinilah Thay-siang bermukim, di sebelah sana adalah sebuah dipan
yang berukir, bantal guling lengkap. serba baru bersih dan rapi, di
atas dipan inilah duduk seorang perempuan berpakaian serba hitam.
Wajahnya berkeriput tua, tulang pipinya sedikit menonjol, kulit
badannya putih, rambutnya bercampur uban, tapi disisir rapi
berminyak. jidatnya terikat selarik kain hitam bersula in indah dan
tepat diantara kedua alisnya dihiasi sebutir mutiara.
Melihat sikap duduk orang yang kelihatan angker berwibawa
meski wajahnya tidak ke lihatan marah, jelas perempuan tua inilah
Thay-siang-pangcu dari Pek-hoa-pang.
So-yok tampak berdiri di be lakangnya, kedua tangan lurus ke
bawah, sikapnya kelihatan amat hormat dan patuh. Di kedua sisi
dipan ada delapan kursi, tepat di tengah ada sebuah meja segi
delapan, di atas meja terletak semangkuk getah beracun dan
sebotol air obat buatan Kun-gi.
Tak heran setelah So-yok masuk sekian la manya baru
mengundang dirinya, kiranya ia hendak mencoba dulu kasiat
obatnya dihadapan-Thay-siang.
Baru saja Kun-gi melangkah masuk. suara So-yok lantas
berkumandang: "Ling-kongcu, inilah Thay-siang dari Pang kita."
Karena dia berdiri di bela kang Thay-siang, maka dengan leluasa dia
bisa me mberi kedipan mata dan monyongkan mulut kepada Ling
Kun-gi, ma ksudnya supaya Kun-gi le kas menyembah.
Kun-gi justeru anggap tidak tahu, ia maju dua langkah dan hanya
menjura dengan me mbungkuk badan, serunya: "cayhe Ling Kun-gi,
menya mpaikan hormat kepada Thay-siang."
Thay-siang duduk dia m saja, kedua biji matanya setajam ujung
pisau menatap Kun-gi le kat2, seakan2 dari wajah orang dia henda k
mene mukan apa2, sesaat lamanya baru dia berkata: "Kau duduklah"
"Di hadapan Thay-siang, mana cayhe berani duduk? "
Terunjuk rasa dongkol pada sinar mata Thay-siang, suaranya
lebih dingin: "Kusuruh kau duduk. maka kau harus duduk, ada
pertanyaan akan ku-ajukan."
Sorot mata So-yok tampa k gelisah dan tidak tenteram, beberapa
kali dia berkedip kepada Kun-gi. Maksudnya menganjurkan supaya
anak muda itu menurut dan le kas duduk.
Kun-gi tertawa dengan tabah, katanya: "Terima kasih."
Ia lantas duduk dikursi sebelah kiri, lalu bertanya: "Thay-siang
me manggil, entah ada keperluan apa, cayhe siap mendengarkan. "
Tertampak rasa dongkol pada rona muka Thay-siang, katanya
tidak sabar, "Kau she Ling? Kelahiran mana? "
"Ya, hamba dilahirkan di cin-ciu dan sejak kecil tinggal di sana.”
“Siapa na ma ayahmu? "
Kun-gi heran, agaknya Thay-siang amat me mperhatikan riwayat
hidupnya, malah diwa ktu mengajukan pertanyaan matanya
menatapnya lekat2, mimiknya menunjukkan sikap yang kurang
bersahabat. Memangnya dirinya pernah melakukan kesalahan
terhadapnya? Tapi dengan kale m dia menjawab: "Ayah bernama
Ling Swi-toh." .
"Ling Swi-toh?" Thay-siang mengulang na ma itu dengan suara
lirih, lalu bertanya pula: "Ayah-mu sudah marhum? Berapa tahun dia
meninggal? ”
“Waktu ayah wafat aku berumur tiga tahun, sa mpai kini sudah 19
tahun."
"Di waktu hidupnya apa kerja ayahmu?" pertanyaannya semakin
aneh dan ber-belit2, So-yok yang berdiri dibelakangnyapun melongo
heran
"Ayah hidup bercocok tana m dan belajar me mbaca."
"Siapa pula keluarga mu? ”
“Hanya ibunda seorang saja.”
“Ibumu she apa? "
Pertanyaan semakin jelas dan teliti, mau tidak-mau timbul
kewaspadaan Ling Kun-gi, maka sekenanya dia menjawab: "ibu she
ong."
Setelah menjawab baru hatinya mence los, mendadak ia ingat
pernah me mberitahukan kepada Pek-hoa-pangcu bahwa ibunya she
Thi, untung Thay-siang tida k
Jilid 16 Halaman 17/18 Hilang--
jaman ini, tokoh Bu-Iim yang tiada bandingannya pula, sudah
la ma Losiu mengaguminya, sayang tiada jodoh bertemu, Ling-
siangkong adalah murid kesayangan Taysu, Losiu merasa beruntung
dapat bertemu denganmu."
Ling Kun-gi berdiri dan menyatakan tidak berani dan bersyukur
juga . Dilihatnya So-yok yang berdiri di belakang Thay-siang
menunjuk mimik aneh, kaget, heran, tidak percaya dan berbagai
perasaan yang campur aduk. selamanya belum pernah dia
mendengar Thay-siang bicara seramah ini, apa lagi merendah diri
terhadap orang lain, lambat laun sorot matanya yang menatap Ling
Kun-gi berubah menjadi tatapan mela mun, wajahnyapun berseri
tawa.
Lebih lanjut Thay-siang berkata: "Ling-siangkong berhasil
me mbuatkan obat penawar getah beracun itu, sungguh Losin a mat
senang dan berterima kasih." Setelah batuk2 kering dengan sikap
rikuh dia mena mbahkan-. "Bolehkah Ling-s iangkong sekalian
me mberitahu resep obatnya kepada Losin? "
Sebetutnya hal ini sudah dala m pikiraan Kun-gi, cuma sejauh ini
dia belum berhasil mene mukan a lasan apa untuk menolak. apa lagi
dia me mang tida k punya resep segala, sesaat dia jadi ragu2,
sahutnya: "Ini. . . . ."
So-yok segera menyeletuk: "Thay-siang, agak-nya Ling-
siangkong sungkan bicara, biar Tecu saja yang menje laskan."
"Baiklah, coba katakan," ucap Thay-siang sa m-bil menoleh.
Berseri tawa So-yok, Kun-gi dipandangnya lekat2, katanya: "Tecu
pernah tanya soal resep itu kepada Ling-kongcu, katanya
keselamatan jiwa raganya ditempat kita ini susah dira malkan, ka lau
resep obat diserahkan, dia kuatir kita mengambil tinda kan yang
merugikan dirinya."
Ternyata Thay-siang tidak marah, malah manggut2, katanya:
"Liku2 kehidupan Kangouw me mang serba-serbi, penuh kejahatan
dan berbahaya, me mang cukup beralasan kekuatiran Ling-
siangkong, tapi selama hidup ini Los in sudah patuh akan ajaran
agama, Pek-hoa-pang yang kudirikan inipun khusus untuk
menghadapi kelaliman Hek-liong-hwe, mungkinkah sampa i
me lakukan perbuatan sekotor dan sekeja m itu?"
"Tecu juga bilang de mikian," ujar So yok.
Kun-gi menjura, katanya: “Harap Thay-siang tidak salah paham,
sebetulnya tiada maksud apa2 cayhe terhadap Pek-hoa-pang kalian,
cuma. . sebetulnya."
"Ling-siangkong ada kesulitan apa, silakan bicara saja," tatap
Thay-siang dengan mata bersinar.
Dasar otak Kun-gi me mang cerdas, tiba2 berkelebat suatu ilha m
dalam benaknya, seketika terpikir olehnya jawaban atas pertanyaan
orang.
Soalnya wajah Thay-siang tadi berubah dan kini sikapnyapun
berganti ramah tamah setelah dirinya menyebut nama kebesaran
gurunya, biarlah soal resep obat ini dikatakan berada ditangan
gurunya.
Maka dia lantas berkata sambil sedikit me mbungkuk: “Harap
Thay-siang maklum, resep obat ini diperoleh guruku dari seorang
pendeta asing dari benua barat, me mang khusus untuk
me munahkan segala racun aneh dan jahat di kolong langit ini,
cayhe hanya bisa me mbuat obat itu menurut catatan, soal resepnya
kalau belum me mperoleh iz in langsung dari guru, cayhe tidak berani
me mbocorkan kepada siapapun, untuk ini harap Thay-siang suka
me maafkan-"
Alasannya memang tepat dan dugaan Kun-gi ternyata tidak
me leset.
Mendengar resep obat itu milik Hoan-jiu-ji-lay yang dirahasiakan,
Thay-siang tidak tanya lebih lanjut, katanya dengan tertawa lebar:
"Ling-siangkong tidak usah rikuh, setiap aliran me mpunyai ilmu
yang dirahasiakan, Losin takkan main paksa, untung Ling-s iangkong
sudah bikin dua guci besar obat penawar itu, kukira cukup
berkelebihan untuk diguna kan-"
"Thay-siang," sela So-yok, "Ling-siangkong bilang, dua guci obat
hasil buatannya itu hanya berkasiat sela ma tiga bulan saja."
"Ya, itu dapat dimengerti," ujar Thay-siang, "kalau obat itu dibuat
dari air, maka t idak boleh disimpan la ma2."
Mendadak ia seperti teringat sesuatu, katanya pula: "Ada sebuah
permintaan Lo-sin, entah Ling-siangkong sudi me mberi persetujuan
tidak? "
"Berat kata2 Thay-siang" Kun-gi merendah, "Thay-siang ada
pesan apa, silakan katakan."
Berkata Thay-siang dengan kale m: "Pek-hoa-pang a ku yang
mendirikan, maka seluruh anggota dimulai dari Pangcu sa mpai para
dayang dan semua pembantunya adalah murid-muridku semua, tapi
Pang kita juga ada puluhan Hou-hoat-su-cia, mereka adalah murid2
dari aliran ternama yang berhasil ka mi undang. Ling-s iangkong
didikan Hoan-jiu-ji-lay, soal watak dan kepandaian silat jelas tida k
perlu diragukan lagi, tapi Losin juga tahu, Pek-hoa-pang sebagai
organisasi kecil terdiri dari kaum hawa ini mungkin sukar untuk
menahan Ling-siangkong di sini meski ka mi mengangkatmu sebagai
Hou-hoat-su-cia segala, Tapi terus terang, dalam lubuk hatiku a mat
ingin bantuan Ling siangkong terhadap Pek-hoa-pang, ma ka
menurut he mat Losin, bagaimana kalau Ling-siangkong kita angkat
sebagai kepala dari para Houhoat itu, entah bagaimana pendapat
Ling-siangkong? "
So-yok yang berdiri di bela kang Thay-siang tertawa lebar,
matanyapun bercahaya.
Ber-ulang2 Ling Kun-gi menjura, katanya: "cayhe sebagai
angkatan muda dari Kangouw a mat bersyukur dan terima kasih
mendapat perhatian Thay-siang, sebetutnya sukar menampik
kebaikan Thay-siang, tentang obat yang diperlukan se mbarang
waktu cayhe masih bisa me mbuatnya pula, soal pengangkatan tadi,
Harap Thay-siang suka menunda-nya saja."
"Losin tahu, Ling-siangkong bak naga di antara sesama manusla,
agaknya sukar Pek-hoa-pang menahanmu: tapi Houhoat yang
kumaksud jauh berbeda dengan kedudukan para Hou-hoat-su Cia,
Houhoat boleh bebas, tidak perlu selalu tinggal dala m Pang,
kedudukan ini a mat cocok dengan Ling-siangkong, dan harap Ling-
siangkong tidak menolak pengangkatan ini."
"Betapa senang dan terima kasih cayhe akan maksud baik Thay-
siang, cuma cayhe masih muda dan Cetek pengala man, sungguh tak
berani menerima kedudukan setinggi dan seberat ini. Malah cayhe
me mberanikan diri mohon petunjuk suatu hal kepada Thay-siang."
Terunjuk mimik aneh pada wajah Thay-siang, tanyanya: "Soal
apa yang ingin Ling-siangkong tanyakan? "
"Mohon Thay-siang suka me mberitahu di mana letak sarang Hek-
Liong-hwe?"
Berubah air muka Thay siang, la ma ia menatap lekat2, tanyanya
pula: "Ling-siangkong ingin mencari sarang Hek-Liong-hwe?" Pe lan2
sorot matanya yang tajam mulai pudar la lu berkata pula:-"Me mang
tepat kalau Ling-siangkong tanya padaku, Hek-Liong-hwe merajalela
di Kangouw, tapi mereka beraksi secara dia m2, kecuali beberapa
pentolan tinggi, meski anggota setia mereka sendiri juga tiada orang
yang tahu di mana letak sarang mereka yang sebenarnya, hanya
aku saja yang tahu paling jelas. Untuk apa Ling-siangkong henda k
pergi ke Hek-Liong-hwe"
Sudah tentu Kun-gi juga merasakan tatapan tajam serta
perubahan air muka orang tadi, "Me mangnya ada hubungan rahasia
yang sukar diketahui orang luar antara Hek-Liong-hwe dengan Pe k-
hoa-pang?" de mikian batinnya, pikiran ini hanya berkelebat dala m
benaknya, sementara mulutnya berkata: "Dari congkoan cayhe
pernah dengar bahwa dua temanku katanya terjatuh ke tangan
orang2 Hek-Liong-hwe, mereka menuntut barter dengan diriku."
"Ya, soal ini So-yok sudah me mberitaku kepada Losin, la lu bagai
mana pendapat Ling-siang-kong sendiri? "
"Kedua te man itu adalah sahabat setia cayhe, demi kesela matan
mereka cayhe rela berkorban, semoga Thay-siang suka
me mberitahu letak sarang Hek-Liong-hwe, menolong orang baga i
menolong kebakaran, maka kupikir harus berangkat secepatnya."
Thay-siang manggut2, katanya tersenyum: "Ling-s iangkong
me mang gagah perwira, keberanian dan kesetiaan diri terhadap
kawan sungguh mengetuk sanubariku, cuma harus diketahui tida k
sedikit jumlah jago2 kosen Hek Liong hwe, meski Ling-s iangkong
murid Hoan-jiu-ji-lay, tapi seorang diri mene mpuh bahaya, bukan
saja mungkin tak berhasil menolong teman ma lah awak sendiri
salah2 bisa cela ka pula . . . . " merandek sebentar lalu ia
menya mbung pula:. "Losin sendiri juga punya denda m kesumat
sedalam lautan dengan Hek-Liong-hwe, sela ma 20 tahun
bersemayam di sini, soalnya racun getah itu amat jahat dan lihay,
sejauh ini sukar me mperoleh obat penawarnya, pula Losin seorang
diri, jelas takkan unggul melawan keroyok-an musuh, tujuan Losin
mendirikan Pek-hoa-pang adalah untuk menghadapi mere ka."
Kun-gi manggut2. Thay-siang berkata lebih lanjut: "Syukurlah,
Thian me mang maha pengasih, hari ini Ling-siang-kong datang dan
telah bikin obat penawar getah beracun itu, selama kuge mbleng 20
tahun ini, tidak sedikit pula kekuatan murid2 perempuan yang
kudidik dala m Pek-hoa-pang. Harap Ling-siangkong suka bersabar
dua tiga hari, setelah Losin me mpersiapkan seluruhnya, akan
kupimpin sendiri seluruh kekuatan kita untuk bikin perhitungan la ma
dengan mereka, kalau Ling-siangkong hendak menolong teman2,
boleh kau ikut bersa ma Losin"
Tanpa menunggu jawaban Kun-gi, dia lantas berpaling kepada
So-yok dan me mberi pesan: "So-yok, suruh Teh-hoa antar Ling
siangkong turun gunung.”
"Biar Tecu sendiri yang mengantar Ling-siangkong" kata So-yok,
"Tida k, kau tinggal di sini saja, ada tugas lain untukmu."
Terpaksa So-yok mengiakan lalu beranjak ke pintu me manggil
Teh-hoa.
Teh-hoa, si bunga kamelia adalah gadis kecil yang tadi me mbawa
Kun-gi ke mari, segera muncul di a mbang pintu dan me mbungkuk
berkata, “Hu-pangcu ada pesan apa?”
“Atas perintah Thay-siang, antarlah Ling-s iang-kong turun
gunung."
Dia m2 Teh-hoa melirik Kun-gi, pipinya merah seketika, mulut
mengiakan sambil berputar ke arah Kun-gi, katanya, "Silakan Ling-
siangkong ikut ha mba."
Kun-gi menjura kepada Thay-siang mohon pa mit, Thay-siang
manggut2 tanpa bersuara. Setelah Kun-gi pergi, muka Thay-siang
tampak me mbesi dingin, katanya mendesis: "So-yok, bagaimana
pandanganmu mengenai dia? "
Tercekat hati So-yok. katanya: "Tecu rasa kita jangan
me mbiarkan dia meninggalkan gunung de mikian saja."
"Betul" pandangan Thay-siang ta mpak me muji, "sejak pertama
me lihat bocah ini", gurumu sudah bermaksud me lenyapkan dia."
So-yok kaget, serunya terbeliak: "Thay-siang hendak
me mbunuhnya? ”
“Sungguh tak nyana bahwa bocah ini adalah murid Hoan-jiu-ji-
lay."
So-yok merasakan nada perkataan Thay-siang agak ganjil, se-
olah2 kalau murid Hoan-jiu-ji-lay dia tida k berani me mbunuhnya,
maka hatinya jadi senang, tanyanya: "Apakah Hoan-jiu-ji-lay amat
lihay? "
"20 tahun yang la lu, dia me mbuat onar di Siau-lim si, menjadi
murid murtad dari aliran-hud, padahal pihak Siau-lim-si tiada yang
dapat menandingi dia, maka dapatlah kau bayangkan betapa hebat
kepandaian silatnya. Selama bertahun2 tak pernah dia menerima
murid, kalau se karang telah mendidik bocah she Ling ini, sudah
tentu segala kepandaian telah diturunkan kepadanya, kalau gurumu
bunuh bocah ini, me mangnya Hoan-jiu-ji-lay terima? "
"Lalu bagaimana sikap dan tinda kan Thay-siang? " tanya So-yok.
"Sudah tentu Losin punya perhitungan sendiri," ujarnya sambil
menge luarkan sebutir pil warna putih dari lengan bajunya terus
diangsurkan kepada So-yok, katanya: "Serahkan kepada Toacimu,
suruhlah Giok lan berusaha menca mpurkan di dala m ma kanan
bocah she Ling, hati2, jangan gagal."
"Bi-sin-hiang-wan" (pil wangi penyedap pikiran), tangan So-yok
yang menerima pil itu rada ge metar.
Tajam dan dingin penuh wibawa tatapan mata Thay siang,
katanya: "Asal dia telah telan Bi-sin-hiang-wan ini baru dia akan
tunduk dan patuh selama hidupnya terhadap Pek-hoa-pang, secara
tidak langsung kita tida k akan menyalahi pula pada Hoan-jiu-ji-lay."
So-yok mengiakan dan me muji t indakan gurunya, Thay-siang
mengulap tangan, katanya: "Beritahu pula kepada Toacimu, besok
saat tengah hari, gurumu akan me milih orang2 yang akan diikut
sertakan dalam gerakan di Pek-hoa-tian, maka seluruh Hou-hoat-su-
cia dan anak didik Pang kita harus hadir sebelum waktunya." So-yok
mengiakan dan cepat mengundurkan diri. .
Bahwa Thay-siang sendiri akan pimpin gerakan besar2an ini
sudah tersiar luas ke seluruh Pek-hoa-pang.
Seperti dibakar dan penuh semangat 36 Hou-hoat-su-cia serta
ratusan murid2 pere mpuan Pek-hoa-pang, semuanya mengepa l
tinju dan menggosok tangan serta menyinsing lengan baju siap
tempur.
ooo00d w00ooo

Cuaca masih re mang2, Pek-hoa-pangcu yang ke mba li dari ruang


pendopo tampak melangkah berat dan lesu, pelan2 dia me masuki
Ing-jun-kuan. Di ruang pendopo dia hanya mengumumkan perintah
Thay-siang, tapi tugas ini serasa beban berat yang menindih
tubuhnya sehingga seperti orang yang baru sembuh dari sakit
parah. Begitu masuk ka mar dia terus menjatuhkan diri di atas kursi
kebesarannya, badannya lunglai, pelan2 dia pejamkan mata.
Dengan mata terbeliak. Bak-ni, si melati bertanya penuh
perhatian: "Pangcu, kenapa kau? Badan kurang sehat? "
Pek-hoa-pangcu menggeleng dan berkata: "Tidak apa2, hanya
sedikit pening."
Lekas Ba k-ni tuang secangkir the terus di bawa ke depan Pangcu,
katanya: "Minumlah teh panas ini, mungkin peningnya akan sedikit
baik.”
“Taruh saja di meja," ucap Pek-hoa-pangcu.
Dari luar didengarnya langkah enteng yang tersipu2 mendatangi,
cepat sekali Giok sian telah melangkah masuk. Bak-ni me mberi
hormat lalu mundur ke sa mping. Terpentang lebar mata Pek-hoa-
pangcu, tanyanya: "Sam-moay, kau sudah ke mba li."
"Pangcu tadi berpesan, setelah menyelesaikan tugas, harus lekas
ke mari," sahut Giok sian.
"Ya!" Pek-hoa-pangcu manggut2, "ada satu hal ingin
kurundingkan denganmu." La lu dia berpaling kepada Bak-ni
katanya: "Jagalah di luar pintu, siapapun tanpa seizinku dilarang
masuk ke mari."
Si me lati mengiakan terus beranjak ke luar.
"Duduklah Sa m-moay."
"Pangcu tidak enak badan? Ada soal apa serahkan kepada hamba
saja? "
Dengan lesu Pe k-hoa-pangcu mengeluarkan sebutir pil putih dan
diangsurkan kepada Giok-lan.
Mendelik mata Giok-lan melihat pil itu, mulutpun mendesis: "Bi-
sin-hiang-wan." Lalu dia ulur tangan menerima, tanyanya tak
mengerti: "Untuk apa ini Pangcu? "
Bola mata Pek hoa pangcu yang jeli la mbat laun berkaca2,
suaranya lesu dan putus asa, katanya masguh "Usahakan supaya
diminum olehnya."
Bergetar tubuh Giok sian, serunya heran: "Di-minumkan dia? "
Seperti main teka-teki saja, namun mereka sa ma maklum, apa
artinya. "dia" dan siapa yang dimaksud, cuma mereka tidak mau
bicara terus terang.
"Ya," suaranya sumbang, se-olah2 sukma Pek-hoa-pangcu telah
meninggalkan raganya, badannya tampak le mah sekali.
Gemetar semakin keras tangan Giok sian yang menggenga m pil
putih itu, suaranya tergagap: "Ini .... maksud .... Pangcu .... sendiri?
". .
Sedikit mengge leng, lemah suara Pek-hoa-pangcu,
senyumnyapun pilu: "Sa m-moay, kau salah sangka terhadapku “
“Me mangnya maksud siapa? ”
“Inilah perintah Thay-siang.”
“Perintah Thay-siang? Pangcu tega?"
"Apa yang dapat kita la kukan? Kita tak ma mpu menolongnya.”
“Kalau Pangcu ada ma ksud ......"
"Sa m-moay," tukas Pek-hoa-pangcu, "jangan kau berkata
demikian."
"Kurasa dia seorang berbakat, tunas muda punya harapan besar
di ke mudian hari, sayang kalau Pangcu menyia2kan kese mpatan
baik ini.”
“Aku. .....". Pek-hoa pangcu menggeleng malu. .
"Siau-moay merasa engkau penujui dia. . Demi tercapainya
keinginan Toaci, aku rela mene mpuh bahaya dan berkorban mala m
ini biarlah dia... . "
Mendadak bercucuran dua baris air mata Pek-hoa-pangcu,
katanya sambil me nggeleng: "Sa m-moay, aku amat berterima kasih
akan keluhuran budimu, tapi ini bukan aka l yang baik."
"Me mangnya Toaci ingin dia betul2 menelan pil penyerap pikiran
ini?
"Kukira belum tentu pikirannya bisa terserap oleh pil ini,"
demikian ujar Pek-hoa-pangcu, "sudah lama hal ini ku timang2,
yang terang kita tak mungkin me mbangkang perintah Thay-siang,
sementara biarlah ia ma kan, obat ini ........"
"Tapi Toaci pil ini tiada obat penawarnya" seru Giok-lan. .
Pek-hoa-pangcu tertawa getir, katanya: "Sam-moay jangan lupa,
kitakan juga tak punya obat penawar getah beracun"
Giok-lan menjerit tertahan sambil me mbanting kaki.
"Tadi J i-moay, ada bilang padaku, katanya dia murid Hoan-jiu-ji-
lay, obat penawar itu juga buatan gurunya, bilamana dapat
menawar getah beracun, sudah tentu juga dapat me munahkan
racun dari Bi-sin-hiang-wan ini." Bercahaya mata Giok-lan.
"oleh karena itu, maksudku biar se mentara dia telan pil ini,
setelah persoalan lewat, belum terla mbat kita berusaha lagi pe lan2."
Berkedip2 mata Giok-lan, katanya sambil keplok tangan: "Kiranya
Toaci sudah punya perhitungan-”
“Tapi hal ini harus kurundingkan dulu dengan kau baru berani
kua mbil putusan"
"Apa yang Toaci pikir me ma ng tida k salah."
"Kalau perintah sudah kita terima dari Thay-siang, tak boleh tidak
dilaksanakan, biarlah persoalan ini berlalu sa mpa i besok pagi,
untung kadar racun Bi-sin-hiang wan ini bekerja lambat dan lunak.
kecuali tunduk dan patuh lahir batin, setia terhadap junjungan, tiada
pengaruh sa mpingan terhadap kesehatan urat syaratnya, besok
akan kita pikirkan lagi tindakan selanjutnya."
"Sa m-moay, kau me mang dapat menyela mi pikiranku, sungguh
mengharukan."
"Toaci, jangan kau berkata demikian, sesama saudara sendiri
pakai terima kasih segala? cuma kuharap ...... "
"Sa m-moay," ucap Pek-hoa-pangcu dengan lembut, "kau tak
usah kuatir, apa yang dapat kumiliki berarti menjadi milikmu juga ."
Seketika merah jengah selembar muka Giok-lan, suaranya lirih
sambil me nunduk: "Ah, Toaci."
"Sa m-moay, hal ini tak usah diragukan lagi, Waktu a mat
mendesak, le kaslah kau kerjakan."
Giok-lan mengiakan, setelah me mberi hormat terus berlari keluar.
Tapi dika la dia melangkah keluar pintu tiba2 dia berhenti dan
bersuara heran dan kaget.
Sudah tentu Pek-hoa-pangcu mendengar seruan kaget ini,
seketika mencelos hatinya, lekas dia me mburu maju, tanyanya:
"Sa m-moay ....." begitu dekat dan mata melihat, seketika wajahnya
berubah, teriaknya "Bak-ni, kenapa kau? "
Ternyata si melati yang ditugaskan jaga di luar pintu entah
mengapa badan tampak lunglai bersandar dinding dengan mata
terpejam, lagaknya seperti orang t idur pulas. Waktu itu hari baru
saja gelap. belum saatnya tidur, meski capai dan mengantuk juga
tak mungkin tidur sa mbil bersandar begitu.
Giok lan sudah coba meraba dan mengurut beberapa Hiat-to
ditubuhnya, tapi Bak-ni tetap tidur pulas, ia jadi heran, katanya:
"Kelihatannya bukan tertutuk Hiat-tonya."
Pek-hoa pangcu mendekatinya ia me mbalik ke lopak mata si
me lati dan diperiksa kanan-kiri, ia meraba tangan kiri Ba k-ni,
me meriksa nadinya, lalu katanya: "Darah berjalan normal, napas
teratur, me mang bukan tertutuk Hiat-tonya, kelihatan me mang
mirip tidur nyenyak. "Sembari bicara kedua tangannya menepuk pipi
si melati seraya me manggil: "Bak-ni, hayo bangun "
Kepala Ba k-ni tetap le mas lunglai, tetap tidak me mberi reaksi.
Tiba2 tergerak hati Giok-lan, lekas dia lari balik ke ka mar dan
menga mbil secangkir air teh dingin terus diguyurkan ke muka Ba k-
ni. Bak-ni tampa k gelagapan, badannya bergetar serta membuka
mata. Giok-lan menggeram, katanya gemas: "Kiranya terbius oleh
obat wangi musuh,”
“Bagaimana perasaanmu? Adakah kau me lihat siapa dia? " tanya
Pek-hoa-pangcu.
Bak-ni terbeliak. sahutnya: "Tiada kulihat apa2, sejak tadi aku
berdiri di sini, cuma, tiba2 kurasa mengantuk. tahu2 jadi begini.”
“Lekas kau periksa keluar," suruh Giok-lan "Apakah Sui-hiang dan
Jiang-hwi juga kecundang? " Kedua orang yang disebut mala m ini
bertugas jaga dipintu besar bagian luar, Bak-ni mengiakan,
bergegas dia lari keluar. Bertaut alis Pek-hoa-pangcu, katanya:
"Sa m-moay, mungkin tidak ... ."
"Kukira bukan Ji-ci," tukas Giok-lan, "dia sudah pergi sejak tadi,
tak mungkin dia bisa menggunakan obat bius segala" Setelah
menepekur lalu mena mbahkan: "La lu siapa orangnya yang bisa
menggunakan obat bius ini, bahwa dia beroperasi di Ing-jun-koan
ini pasti berma ksud tujuan tertentu, jadi jelas dia bukan anggota
Pang kita."
Tampak Bak-ni melangkah masuk, Swi-hiang dan Jiang-hwi ikut
di bela kangnya. .
"Swi-hiang," tanya Giok lan, "ma la m ini kau berdua yang tugas
dipintu luar, adakah me lihat orang masuk ke mari? "
"Lapor congkoan," seru Swi-hiang., "kecuali engkau, tiada orang
kedua yang masuk ke mari."
Rada berubah air muka Giok-lan, katanya sambil mengulap
tangan: "Baiklah, kalian boleh pergi, tiada urusan ka lian di sini."
Swi-hiang berdua me mberi hormat dan mengundurkan diri.
"Toaci," ucap Giok-lan sa mbil mengawasi Pek-hoa-pangcu,
"kuduga orang itu masuk dari jendela bela kang, agaknya dia sudah
apal seluk-be luk ke luarga "bunga" kita ...."
Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Sa m-moay, lekaslah kau
pergi, jangan menunda urusan, kejadian di sini a kan kusuruh orang
menyelidiki." Giok-lan me ngiakan terus mohon diri.
o0dw0o
Hari kedua pagi2 benar, mentari baru raja menongol. Di tengah
pekarangan luas di depan pendopo keluarga Hoa (bunga) sudah
berkumpul sekian banyak ke mbang2 nan molek. Me mang tida k
berkelebihan kalau gadis2 cant ik dan ayu itu diibaratkan ke mbang
yang mole k dan mekar, karena mereka semua adalah anggota Pek-
hoa-pang, gadis2 belia jelita, pakaiannya berwarna-warni, paka ian
ketat dan me manggul senjata, dandanannya ringkas tapi juga
sederhana, di sanggul mereka masing2 terselip se kuntum bunga
yang beraneka warna dan berbeda pula jenisnya untuk
me mbedakan na ma dan julukan mere ka.
Umumnya di mana berkumpul sekian banyak gadis belia dan
cantik2, ada berbisik, tapi ratusan gadis2 berpakaian ringkas yang
berdiri teratur dipelataran ini se muanya berdiri tegak tanpa
bersuara. Maklumlah karena "apel" pagi hari ini a kan langsung
dipimpin oleh junjungan besar mereka. Thay-siang-pangcu simbol
junjungan mereka yang termulia dan agung bagai dewata, hanya
dapat dipandang tak boleh disentuh. Bahwa Thay-siang sendiri yang
akan pimpin pertemuan besar ini, betapa besar arti dan khidmat
pertemuan ini, me mangnya siapa pula yang berani ribut, berkelakar
atau bisik,?
Pandangan semua hadirin lurus kedepan, di atas undakan batu
yang tinggi di depan ruang pendopo sana ditaruh sebuah kursi
kebesaran yang berlapis kain sutera mengkilap. itulah tempat duduk
Thay-siang. Di kedua siai kursi kebesaran ini masing2 ditaruh pula
dua kursi yang sama bentuknya, cuma lebih kecil dan dilapisi sutera
warna lain, itulah tempat duduk untuk Pangcu dan Hu-pangcu. Tapi
di sebelah kursi kiri itu ditaruh pula sebuah kursi yang sama.
Perhatian hadirin justeru tertuju pada kursi ketiga di sebelah pinggir
ini, timbul herbagai pertanyaan dala m benak mereka, diperuntukan
siapakah kursi yang satu ini?
Selain Pangcu dan Hu-pangcu, jabatan congkoan me mang cukup
tinggi didala m Pek-hoa-pang, tapi dihadapan Thay-siang, dia masih
belum setimpa l duduk berjajar di antara deretan kursi itu. Malahan
didala m rapat besar yang langsung dipimpin Pangcu sendiri
congkoanpun hanya boleh berdiri di sa mping kursinya.
Tak la ma ke mudian, dari kanan-kiri pintu beriring keluar
serombongan orang. Kedua rombongan ini dipimpin dua orang laki2
tua berjubah biru. di belakangnya berbaris laki2 muda berseragam
hijau pupus, jumlahnya ada 32 orang, dengan derap langkah rapi,
teratur mereka berjajar dan berdiri di sebelah kiri unda kan. Mereka
inilah Hou-hoat-su-cia dari Pek-hoa-pang yang berjumlah 36 orang
itu, dua diangkat sebagai pimpinan mereka. Seperti diketahui, dua
orang Hou-hoat-su-cia telah dibunuh oleh So-yok dengan alasan
lalai menjalankan tugas sehingga jumlahnya sekarang tingga l 34 . . .
Waktu berlalu tanpa terasa, sementara itu sudah menjelang
tengah hari. Terdengar tiga kali bunyi lonceng dari dala m pendopo.
Semua hadirin se ketika berdiri tegak dan khidmat, begini banyak
hadirin di tengah iapangan ini, tapi suasana begitu sunyi, napas
merekapun tertahan.
Dari serambi kiri di mana terdapat pintu bundar, dibawah iringan
Congkoan Giok-lan beranjak ke luar seorang pemuda berjubah
panjang warna biru. Usia pe muda ini baru likuran tahun, kulit
mukanya putih cakap, bibirnya merah, matanya terang bercahaya,
di tengah pancaran sinar matahari pagi tampak gagah dan
berwibawa.
Sudah tentu munculnya pemuda ini menarik perhatian seluruh
hadirin, terutama para anggota Pe k-hoa-pang, semuanya masih
muda belia, tiada sepasang mata mereka yang terkesip mengawasi
pemuda ganteng ini. Tapi 34 Hou-boat-su-cia itupun tak kalah tajam
pandangannya mengawasi pemuda yang satu ini. cuma sorot mata
mereka me mancarkan perasaan lain, disamping kaget heran,
merekapun merasa iri dan ce mburu.
Semua orang sudah dengar bahwa Pang mereka kedatangan
tamu agung, katanya seorang pemuda she Ling yang berwajah
tampan kabarnya pemuda inilah yang berhasil me mbuat obat
penawar getah beracun itu. Sebagai tamu terhormat adalah
selayaknya kalau dia mendapat tempat duduk di bawah kursi
Pangcu mereka.
Tapi Hou-boat-su-cia itu tiada yang tahu siapakah pe muda
berjubah biru ini? Sebetulnya mereka terdiri dari orang2 yang cukup
luas pengala man dan punya na ma di kalangan Kangouw, tunas2
muda dari berbagai a liran yang berkepandaian tinggi, tapi belum
pernah mereka lihat atau dengar adanya pemuda seperti yang ada
dihadapan mereka, sudah tentu mereka merasa kaget dan
keheranan.
Kaget dan heran karena Giok-lan atau si Cong-koan sendiri yang
mengiringi pe muda ta mpan ini malah sikapnya tampa k ra mah dan
hormat, orang dipersilakan duduk di kursi ketiga yang disedia kan-
Hadirin juga tahu bahwa Thay-siang pendiri Pek-hoa-pang yang
mereka agungkan adalah tokoh kosen yang punya kedudukan tinggi
dan disanyung hormat di Bu-lim, padahal kedua pemimpin Hou-hoat
itu juga sudah beken di kalangan Kangouw, termasuk orang kosen
kelas satu dala m dunia persilatan, tapi mereka toh cukup berdiri di
bawah undakan saja.
Me mangnya siapa dan bagaimana asal-usul pe muda yang
mendapatkan kedudukan yang tinggi dan terhormat di dala m Pe k-
hoa-pang.
Tamu terhormat Ling Kun-gi telah berduduk, Cong koan Giok-lan
segera mengundurkan diri berdiri ke sebelah kanan.
Menyusul empat perempuan berpakaian dayang terbagi menjadi
dua pasangan berpakaian serba kuning beranjak keluar dari
pendopo, dua orang di depan masing2 me meluk sebatang mistar
dari batu jade warna hijau, dua orang di belakangnya, seorang
me megang kebutan bergagang batu jade warna putih, seorang lagi
me mbawa pedang kuno yang gagang dihiasi tujuh butir mutiara
warna-warni, sesampai di belakang kursi kebesaran ditengah itu,
keempat dayang ini lantas berdiri berjajar.
Melihat kee mpat dayang ini, hadirin lantas tahu sebentar Thay-
siang pasti a kan ke luar, maka para hadirin sa ma tahan napas
menatap ke depan, tapi sikap mereka tetap tegak dan hormat.
Demikian Ling Kun-gi yang duduk di kursi ta mu juga pelan2 berdiri.
Sementara itu dari pintu pendopo yang besar itu muncul pula tiga
orang.
Yang di tengah mengenakan gaun panjang warna hitam,
kepalanya berbalut kain sari, bagian depannya menjuntai turun
menjadi cadar muka, itulah nyonya tua dan bukan lain Thay-siang
adanya. Pek-hoa-pangcu disebelah kiri, Hu-pangcu So-yok berada
disebelah kanan, mereka me mbimbing Thay-siang berjalan ke luar
pelan2.
Hari ini Pek-hoa-pangcu mengenakan pa kaian warna kuning
seperti bulu angsa, di depan dadanya bersulam sekuntum ke mbang
Bok-tan sebesar mangkuk berwarna merah dadu bergaris benang
emas.
Sedang So-yok juga mengena kan mode l pakaian yang sa ma
cuma warnanya merah delima, bagian depan dadanya juga disula m
sekuntum bunga warua kuning yang sedang mekar, pinggangnya
ramping ge mulai.
Mereka bimbing Thay-siang menuju ke kursi tengah, lalu masing2
mundur mene mpati kursi yang telah disedia kan untuk mereka.
Kedua laki2 tua jubah biru segera pimpin ke 32 Hou-hoat-su-cia
me mbungkuk seraya berseru: “Hamba co houhoat (pelindang kiri
agama) Leng Tio-cong. Yu houhoat (pelindang kanan aga ma) coa-
Liang bersama seluruh Hou-hoat-su-cia menyampa ikan se mbah
sujud kepada Thay-siang."
Disusul seratusan gadis yang berada di sebelah kanan sere mpak
berlutut dan menye mbah, suaranya nyaring merdu berpadu: "Para
Tecu menya mpaikan se mbah sujud kepada Thay-siang."
Thay-siang duduk tegak di kursinya, sorot matanya yang tajam
seolah2 mene mbus cadar laksana sinar matahari pagi, dingin
laksana kilat menyapu pandang ke seluruh hadirin, akhirnya sedikit
mengangguk sebagai jawaban. Lalu tangan kiri sedikit diangkat
sambil menoleh kepada Hupang-cu yang duduk di sebelah kanan-
Hu-pangcu So-yok segera berdiri, matanya yang jeli berputar,
suaranya merdu: "Thay-siang suruh aku me mperkenalkan seorang
tamu agung kepada hadirin . . . . " nada suaranya sengaja
diperpanjang, sementara tangan menunjuk kearah Ling Kun-gi,
suaranya semakin lantang,
"Inilah Ling Kun-gi, Ling-kongcu, murid kesayangan Put-thong
Taysu dari siau-lim."
Lekas Kun-gi berdiri dan menjura ke arah hadirin-Hadirin
menya mbut dengan tepuk tangan yang riuh-rendah. Sudah tentu
suara tepuk tangan paling ramai datang dari sebelah kanan,
seakan2 para nona itu ingin berlomba keplok tangan, sementara
para Hou-hoat-su-cia hanya beberapa orang saja yang ikut2an
tepuk tangan-Malah kedua pemimpin Hou-boat yang berdiri di kiri-
kanan, yaitu kedua laki2 tua jubah biru itu, hanya menatap tajam
setengah mendelik kepada Ling Kun-gi, se-olah2 mereka tida k
percaya.
Put-thong hwesio alias Hoan-jiu-ji-lay, sudah 10 tahun tak
terdengar kabar-beritanya lagi, mungkinkah bocah semuda ini
betul2 murid didik Hoan-jiu-ji-lay?
Setelah suara keplok tangan tak terdengar lagi baru So-yok
me lanjutkan kata2nya: "Ling-kongcu masih muda tapi penuh bakat
dan serba mahir, kepandaiannya tinggi pengetahuan luas, atas
undangan Pang kita, kali ini dia telah menyelesaikan suatu tugas
yang teramat besar artinya bagi Pang kita semua. Yaitu berhasil
me mbuat obat penawar getah beracun itu demi kesela matan Pang
kita. Maka getah beracun milik He k-liong-hwe itu selanjutnya tidak
perlu kita takuti lagi."
Baru sekarang seluruh hadirin tahu duduk persoalan, tak heran
pemuda she Ling ini bisa me mperoleh tempat kedudukan yang
terhormat di hadapan Thay-siang, ke mbali tepuk tangan diiringi
suara tawa ramai lebih riuh daripada tadi.
So-yok berkata pula setelah tepuk tangan tak terdengar:
"Sekarang akan kami perlihatkan obat penawar dari getah beracun
ini kepada seluruh hadirin." Lalu dia me mberi tanda gerakan tangan
kepada congkoan Giok-lan-Giok-lan mengangguk, dia mengulap
tangan kependopo, dua orang gadis segera keluar masing2
me mbawa sebuah tempayan dan ditaruh di atas undakan batu.
Seorang disebelah kanan segera melolos pedang dan dicelupkan ke
dalam te mpayan terus di angkatnya tinggi2
Hanya sebentar dicelup ke dala m getah beracun, semua hadirin
sudah melihat jelas batang pedang yang semula ke milau cerah itu
kini bagian depannya telah berubah warna hita m legam tak
bercahaya, jelas ujung pedang itu sudah berlumur racun yang amat
jahat, keruan hadirin sa ma terbelalak dan ciut nyalinya.
Maklumlah, biasanya senjata tajam atau senjata rahasia apapun
sukar melumuri racun diatasnya, karena besi bukan benda yang
gampang me nyerap sesuatu cairan, maka untuk melumuri senjata
dengan racun harus dilakukan berulang kali dan me ma kan waktu
yang cukup panjang. Untuk lebih meyakinkan, biasanya senjata
tajam itu dibakar sa mpai menganga berulang ka li serta dicelup
beberapa kali pula ke dala m air yang mengandung racun itu.
Tapi ka li ini gadis ini hanya sekali celup tanpa me mbakar senjata
dan getah beracun itu sudah me mbuat ujung pedang bewarna
hitam lega m, terang kadar racun yang menempel di atas pedang
betul2 amat jahat. Dapatlah dibayangkan betapa ganas dan keras
kadar racun getah hitam ini?
Dengan mengacungkan pedang tinggi2 di atas kepala, gadis itu
mondar-mandir ke kiri-kanan undakan supaya hadirin dapat melihat
lebih je las. Sementara gadis yang lain sudah menga mbil sebuah
papan kayu dan diletakkan di lantai, gadis pemegang pedang segera
tusukkan pedangnya ke papan kayu, hanya ujungnya saja yang
mene mpe l sedikit, tapi ujung pedang yang mengenai papan seketika
menimbulkan suara "ces" dan mengepulkan asap warna kuning.
Seperti terbakar bagian papan yang kena ujung pedang, malah
meninggalkan bekas lubang sebesar mata uang.-Menyaksikan
semua ini, Kun-gi sendiri juga merasa diluar dugaan, batinnya:
"Entah racun jenis apakah getah beracun ini? begitu ganas dan
lihay? "
Melihat ujung pedang yang berlumur getah ternyata begitu ganas
kadar racunnya, semua hadirin sama berubah pucat dan terbelalak
matanya. Gadis pemegang pedang tetap kalem, dia tarik pedangnya
mundur la lu mengha mpiri tempayan la innya disebelah kiri, ujung
pedang yang berlumur racun warna hitam itu segera dia ce lup pula
ke dalam tempayan yang satu ini, hanya sebentar terus diangkat
pula pedangnya.
Hadirin sudah menunggu sambil tahan napas, pandangan semua
orang. tanpa berkedip mengawasi pedang di tangan si gadis. Ujung
pedang yang berlumur racun warna hitam tadi, setelah diangkat
warna hitam hita m tadi kiri telah putih dan la mbat laun warna
itupun sirna sa ma sekali, maka ta mpaklah cahaya cemerlang yang
menyilaukan mata dari ujung pedang tadi maka ge muruhlah tepuk
tangan dan sorak sorai dari ratusan gadis ayu dan puluhan Hou-ho-
at-su-cia itu. Sementara kedua pelayan tadi menjura kearah Thay-
siang lalu menje mput te mpayan serta menenteng pedang terus
mengundurkan diri.
Wajah Thay-siang tampak mengunjuk rasa senang, meski
teraling cadar, tapi sorot matanya kelihatan mencorong, katanya
dengan nada tinggi: "Kalian sudah sa ksikan betapa lihay dan ganas
racun getah ini, kita sudah punya obat penawarnya, Hek-liong-hwe
tidak habis2 mengguna kan getah beracun ini, kelak pasti merupa kan
petaka bagi insan persilatan khususnya, dan rakyat jelata pada
umumnya...."
Dia m2 tergerak Kun-gi, pikirnya: "Betulkah Hek-liong-hwe tidak
akan pernah kehabisan getah beracun untuk sela manya.
Me mangnya getah itu sudah tercipta oleh alam dan takkan pernah
kering dan habis dipa kai? "
Sorot mata Thay-siang menjelajah ke muka seluruh hadirin,
semua orang berdiri tegak dan hormat, lalu dia m meneruskan
kata2nya: "Azas tujuan Losin mendirikan Pek-hoa-pang adalah
untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan menunjang yang lemah
me lawan kelaliman, maka Losin berkeputusan dala m waktu dekat ini
akan pimpin kalian untuk bergerak menyerbu Hek-liong-hwe,
me lenyapkan bibit bencana de mi kesejahteraan kaum Bulim ...."
Pidato Thay-siang me mperoleh sa mbutan yang gegap gempita
dari seluruh hadirin.
Lebih lanjut Thay-siang berkata: "Jumlah kita boleh dikatakan
terlalu banyak, tingkat kepandaian kalian juga tinggi rendah sukar
dibedakan, apalagi gerakan besar2an ini adalah meluruk jauh ke
sarang Hek-liong hwe, kita harus beraksi secara mendadak di wa ktu
mereka tida k siaga, ma ka kekuatan kita harus bisa diandalkan,
semua harus bergerak cepat, tegas dan perwira, oleh karena ini
Losin putuskan, mula i hari ini diadakan seleksi untuk me milih orang2
yang akan kubawa serta"
Sampa i di sini, dia berpaling kepada So-yok dan berkata: "So-
yok. umumkan peraturan seleksi ini."
So-yok me mbungkuk dan menerima perintah. Lalu dari dala m
lengan bajunya dia keluarkan sele mbar kertas, ia me mandang
hadirin sejenak lalu terdengar suaranya lantang nyaring
berkumandang
"Sejak sekarang Pang kita mengangkat seorang cong-hou-hoat-
su-cia, kedudukannya sejajar dengan Hu-pangcu. Di bawah cong
hou-hoat dibantu dua orang pe mimpin Houhoat, Houhoat ada
delapan orang, semetara Hou hoat-su-cia berjumlah dua puluh
empat, semua calon2 Houhoat ini akan dipilih dari para Hou-hoat-
su-cia yang hadir sekarang."
Sudah tentu dihadapan Thay-siang para Hou-hoat-su-cia yang
berada di bawah undakan tak berani bicara atau berbisik, tapi dalam
hati semua orang menimang2 sa mpai dimana tarap kepandaian
sendiri serta jabatan apa nanti yang a kan dira ihnya?
Terdengar So-yok bersuara lebih lanjut: "Peraturan seleksi babak
pertama, 32 Hou-hoat-su-cia akan dibagi dua barisan, setiap barisan
16 orang, jadi masing2 orang mendapat satu lawan, main kepa lan
atau pakai senjata diperbolehkan, kepandaian siapa lebih tinggi dia
akan maju ke baba k selanjut-nya, diwaktu bertanding hanya
dibatasi saling tutul dan tidak boleh me luka i lawan, 16 orang
pemenangnya, akan mendapat kese mpatan maju ke babak kedua
....."
Sampa i di sini dia merandek. menelan ludah lalu meneruskan:
"Babak kedua, 16 pemenang tadi dibagi dua ke lompok. masing2
tetap memperoleh satu lawan, siapa lebih Unggul dialah yang
me masuki baba k kede lapan besar, kedelapan orang ini a kan
diangkat jadi Hou-hoat, para Hou-hoat yang ter-pilih ini boleh
berlomba pula untuk merebut co-yu-hou-hoat, yang berkepandaian
paling tinggi akan diangkat cong-hou-hoat."--Pandangannya tertuju
ke bawah sebelah kanan-
"Di antara para saudara dalam Pang kita, kecuali 12 Tay-cia
(peladen), diserahkan kepada congkoan untuk me milih dua puluh
orang pula untuk ikut, jadi tidak usah diadakan pertandingan-" Giok-
lan berdiri dan menerima tugas.
So-yok berkata lebih lanjut: "Baiklah, pertandingan boleh segera
di mulai, Babak pertama ini seluruh Hou-hoat-su-cia terbagi menjadi
dua baris."
Me mangnya 32 Hou-hoat-su-cia itu sudah terbagi menjadi dua
barisan, maka cepat sekali mereka beranjak ke tengah arena, tetap
dengan formasi barisan yang sa ma.
"Sekarang antara barisan A dan barisan B menghadap ke utara
dan selatan saling berhadapan, masing2 satu lawan satu dan siap."
Tanpa bersuara 32 Hou-hoat-su-cia berpencar mencari te mpat
kosong, semua berdiri satu2 saling berhadapan-So-yok berkata
pula: "Kalian boleh saling tanya pendapat lawan masing2, mau main
kepalan atau adu senjata, kalau kedua pihak tidak tiada kecocokan,
boleh saling tukar lawan-"
Pengumuman ini, me mang menimbulkan sedikit perubahan, bagi
yang ingin main kepa lan segera mencari lawan yang sama, de mikian
pula yang ingin adu senjata mendapatkan lawan yang setimpal, jadi
satu sama lain bertukar lawan bertanding.
Setelah semua mendapatkan lawan dan ke mbali keposisi se mula,
So-yok bersuara pula: "Ba-bak ini ada 16 pasang akan mula i
bertanding, maka diperlukan ena m belas wasit, setiap pasang
seorang wasit untuk menentukan siapa kalah dan menang, supaya
pertandingan ini berjalan secara adil, sekarang persilakan Ling-
kongcu, congkoan dan 12 Tay-cia bersa ma co yu-hou-hoat menjadi
wasit. silakan ke luar. "
Terpaksa Kun-gi ta mpil ke bawah unda kan, berdiri berendeng
bersama Giok-lan dan kedua Hou-hoat berjubah biru. sementara
kedua belas Tay-Cia yaitu Bwe-hoa, Lian-hoa, tho-hoa, Klok-hoa,
Giok— ti, Bir kui, Ci-hwi, Hu-yong, Hong-sian, Giok-je, Hay-siang
dan Loh-bi-jin beruntun keluar pula.
Dengan senyuman manis So-yok mengerling kearah Kun-gi lalu
angkat tangan berseru:
"Pertandingan akan dimula i, silakan para wasit turun gelanggang,
setiap pasang satu wasit."
16 wasit segera beranjak turun ke ge langgang.
Terdengar So-yok bersuara pula: "Perlu ditegaskan seka li lagi,
setiap peserta pertandingan dilarang menggunakan senjata rahasia,
cukup saling tutul dan raba saja, ketentuan kalah menang berada
ditangan wasit, keputusannya tidak boleh di gugat, kecuali me mang
salah tangan melukai orang, dilarang saling denda m"-La lu dia
berpaling menghadap Thay-siang, serunya: "Mohon petunjuk Thay-
siang, apakah pertandingan boleh dimulai? "
Thay-siang mengangguk katanya: "Ya, suruh mereka segera
mulai."
So-yok mengiakan, dengan suaranya lantang ia lantas berteriak:
"Pertandingan boleh dimulai, sekarang semua siap. yang pakai
senjata boleh keluarkan senjata masing2 dan dengarkan aba2ku."
Maka terdengar suara "srat-sret dan trang-treng" yang ramai,
ternyata sebagian besar yang bertanding itu menggunakan senjata.
Terdengar So-yok berseru keras: "Satu, dua, tiga. .... ."
Pada hitungan ketiga, 16 pasang Hou-hoat-su-cia yang
bertanding serentak mengembangkan ke mahiran masing2 dan
saling gebrak. 32 orang menjadi 16 pasang mulai serang
menyerang. Lapangan di bawah undakan ini me manga mat luas,
kiranya, cukup buat berdiri seribu orang, untuk bertanding 16
pasang orang ternyata masih cukup luang, suasana amat ramai dan
menarik sekali. Ling Kun-gi menjadi wasit dari dua orang yang
berusia 27-28 tahun, keduanya kebetulan bersenjata pedang.
Seorang bermuka bersih, berperawakan kurus tinggi,
kelihatannya ramah dan lembut. Lawannya bertubuh agakpendek.
tapi badannya kekar, otot-nya merongkol dan dagingnya kencang,
kelihatan amat garang. Begitu kedua orang saling gebrak. Kun-gi
lantas mendapatkan ilmu pedang kedua orang cukup terlatih baik
dan cukup tinggi kepandaiannya.
Gerak-gerik dan gaya permainan pedang si tinggi, ternyata rada
aneh, semula me lancarkan serangan dibarengi dengan tubrukan ke
depan, sekali tubruk terus melabrak dengan gaya seorang yang
hendak menunggang kuda, tapi bukan naik kuda, sementara kedua
matanya mencorong liar dan buas, sedang pedangnya menutul dan
menusuk juga me mapas dan menabas tenggorokan lawan,
permaima n pedangnya yang ganas dan keji ini terang bukan dari
aliran yang baik.
Ilmu pedang sipendek kekar ternyata bergaya mantap dan kokoh
seperti perawakannya, tenang dan kuat, yang dimainkan adalah
Llok-hap-kia m, setiap jurus pedangnya merupakan rangsa kan
terbuka dan sekaligus me mbendung serangan lawan, terang
ke mahirannya cukup meyakinkan-Dala m sekejap kedua orang sudah
saling gebra k belasan jurus.
Setelah menyaksikan sekian gebrak, didapati oleh Kun-gi, setiap
kali si kurus menubruk dan me lompat, salah satu kakinya entah
kanan entah kiri pasti terseret ke belakang, sementara sorot
matanya melirik buas, hatinya berdetak dan ingat sesuatu, diam2 ia
berteriak dala m hati: "Thian-long-kia m? "
Gurunya pernah bercerita, kira2 30 tahun yang lalu, di daerah ce-
pak beliau pernah berte mu dengan seorang Lo-long-sin yang aneh,
dengan meniru gerakan serigala dia berhasil menciptakan Thian-
long-kia m-hoat, dikiranya Ciptaan ilmu pedangnya ini a mat lihay dan
tiada bandingan di kolong langit, wataknyapun angkuh. Tapi sekali
gebrak gurunya berhasil menyengkelitnya jatuh ter-guling2 dengan
gerakan tangan kidalnya.
Gurunya pernah bilang, bahwa Thian-long-kia m-hoat ciptaan Lo-
long-sin ini bukan saja gayanya amat ganas, gerak-geriknya juga
mirip serigala yang liar dan buas itu, seperti serigala yang
kelaparan, berputar kian-kemari mencari kese mpatan menyergap
lawan-Dirinya diperingatkan supaya hati2 bila kelak berkecimpung di
Kangouw, kalau bertemu dengan orang yang main pedang mata liar
berjelilatan dan gayanya seperti serigala hendak menerka m
mangSanya.
Kini dilihatnya orang ini menggunakan Thian-long-kia m,
mungkinkah dia murid Lo-long-sin? Pada saat itulah matanya yang
jeli berputar, cepat dia angkat tangan kiri serta menjentik sekali
hingga menerbitkan sejalur angin kencang, mulutpun berseru
tertahan-"Harap kalian berhenti." begitu dia membuka suara, maka
terdengarlah suara "creng", pedang panjang si kurus t inggi
menerbitkan suara getaran-.
Mendengar teriakan "berhenti" dari sang wasit, kedua orang yang
bertanding segera melompat mundur sambil tarik pedang, bahwa
pedang panjang si kurus tergetar dan mengeluarkan suara,
hakikatnya orang lain t iada yang mengetahui atau me lihat je las.
Sebaliknya rangsakan si pendek ta mpak a mat bernafsu, ketika
mendadak mendengar wasit menghentikan pertandingan, hatinya
merasa heran ma ka matanya melirik kearah Ling Kun Kun-gi
tersenyum, katanya:
“Saudara yang kalah"
Melengak heran si pendek. serunya: "Masa aku yang kalah?" Dia
yakin gerak serangan terakhir barusan hampir mengenai sasaran,
sudah tentu ia tak percaya bila dirinya yang ka lah ma lah. . .
Dia m2 Kun-gi berkata, dalam hati: "Thian-long-kia m-hoat
me mang buas dan keji, ka lau pedang orang tidak kujentik pergi
sehingga ujung pedangnya tergetar miring beberapa mili, mungkin
sekarang kau sudah menggeletak di tanah." Tapi lahirnya dia
tersenyum ra mah, sahutnya: "Betul, saudara yang kalah"
Sipendek naik pita m, serunya: "Dala m jurus mana cayhe kalah? "
Kun-gi menuding pinggang kanan sipendek. katanya: "Silakan
saudara periksa pinggang sebelah kanan."
Cepat sipendek menunduk. me mang dilihatnya pakaian di bagian
pinggang sebelah kanan telah tergores robek me manjang beberapa
dim oleh ujung pedang, seketika mukanya merah malu, lekas dia
menjura dan mengundurkan diri.
Sementara si kurus tinggi telah masukkan pedang ke dala m
sarungnya, dengan gaya yang lengang dia menjura kepada Kun-gi,
katanya: "cayhe Keng-sun Siang, selanjutnya harap Ling-kongcu
suka me mberi petunjuk,"
Lekas Kun-gi balas menjura, sahutnya: "Mana berani, silakan
saudara." Kongsun Siang segera memba lik badan dan
mengundurkan diri. Terdengar So-yok berteriak: "Silakan Ling-
kongcu duduk ke mbali." . Kun-gi menjura kearah sana dan ke mbali
ke tempat duduknya.
Sementara itu, sepertiga dari 16 pasangan petanding sudah
berhenti, yang masih gebrak sudah mencapa i babak yang
menentukan, sinar golok dan cahaya pedang saling samber, gempur
mengge mpur Silih berganti a mat Seru. Maklumlah pertandingan ini
bukan saja untuk menaikkan gengsi, tapi juga Sekaligus merebut
kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi di dala m Pe k-hoa-pang
Selanjutnya.
Sudah tentu Kun-gi bisa menilai bahwa kepandaian silat orang2
itu tiada yang le mah. So-yok me mang tidak bohongi dia, para Hou-
hoat-su-cia Pek-hoa-pang ini me mang murid2 dari berbagai aliran
besar. Dari gaya permainan silat mereka Ling Kun-gi dapat
me mbedakan mere ka ini terdiri dari murid2 siau-lim, Bu-tong, Hing-
san, Hoa-san dan Go-bi, tapi juga ada murid2 dari a liran Kong-tong,
ji-lay, Soat-san, dan aliran lain pula yang dipandang sebagai
golongan luar garis yang aneh2 permainannya. Pendek kata ke 32
Hou-hoat-su-cia itu merupakan kumpulan tunas2 muda dari
berbagai golongan dan aliran baik dan sesat.
Hal ini sungguh me mbuat Kun-gi tak habis mengerti mereka itu
terang adalah perjaka yang belum la ma lulus dari perguruan, cara
bagaimana bisa sekaligus berkumpul dan me ndarma-baktikan diri
pada Pek-hoa-pang? Memangnya dengan cara dan akal apa Pek-
hoa-pang berhasil menjaring tokoh2 muda yang kosen ini?
Mendadak pikirannya jadi jernih, segalanya jadi jelas dan dimengerti
olehnya. Terang tanpa disadari mereka juga kena dikerjai Bi-sin-
hiang-wan yang dica mpur di dala m makanan. Hanya orang yang
telah makan Bi-sin-hiang-wan, lahirnya tetap segar bugar, gagah tak
ubahnya seperti orang biasa, kepandaian silat yang dimiliki-pun
tidak berkurang tapi jiwa danpikiran mere ka seratus persen dapat
diperbudak oleh Pe k-hoa-pang.
Beberapa la ma lagi baru orang2 yang bertanding pada babak
pertama sudah ada yang kalah dan menang, para wasitpun
mengundurkan diri.
So-yok bediri di undakan, dia me mberi petunjuk pada ke-16 Hou-
hoat-su-cia yang kalah di medan laga untuk mengundurkan diri ke
tempat semula. Sementara 16 peserta yang menang disuruh
berkumpul dan berdiri di tengah arena menghadap kearah Thay-
siang. Tanpa diperintah sikap mereka ta mpak patuh dan tunduk.
serempak mere ka me mberi hormat.
Thay-siang sedikit manggut, katanya "Bagus sekali, kalian boleh
berjuang lebih keras."
So-yok segera mengumumkan: "Sekarang pertandingan babak
kedua dimulai, ke-16 pe menang babak pertama tadi dibagi menjadi
dua baris saling berhadapan dan boleh me ncari lawan masing2 dan
tunggu aba2ku lebih lanjut."
cepat sekali ke-16 pemenang babak, pertama lantas berbaris
saling berhadapan ditengah lapangan.
So-yok berpaling kearah kanan, serunya: "sekarang diperlukan
delapan wasit lagi, kita panggil saja Bwe-hoa, Lian-hoa, Tho-hoa,
Giok-li, Bi-kui, Ci-hwi dan Hu-yong berdelapan-" orang2 yaug
disebut na manya beranjak masuk arena.
"Baik, semua siap." teriak So-yok, "mulai kuhitung. satu, dua,
tiga ......"
Delapan orang daripada ena m belas petanding ini akhirnya akan
tersisih dan tiada hak maju lagi, mereka a kan tetap sebagai Hou-
hoat-su-cia, sementara delapan orang yang menang diangkat
menjadi Hou-hoat, kedudukan setingkat lebih tinggi. Maka
pertandingan babak kedua ini cukup besar artinya bagi mereka,
karena ini menyangkut masa depan mereka di Pek-hoa-pang, sudah
tentu pertandingan babak kedua ini jauh lebih sengit.
Begitu So-yok mengeluarkan aba2, enam belas orang itu segera
mulai saling labrak. Delapan wasit ikut berlompatan kian ke mari, lari
sana putar sini mencari posisi lebih baik untuk mengawasi
pertandingan.
Duduk di atas undakan batu puala m, sudah tentu Kun-gi dapat
menyaksikan dengan jelas di-dapatinya antara kedelapan pasangan
orang yang lagi berbaku bantam itu ada empat orang me miliki
kepandaian yang agak menonjol dari pada yang lain-Pertama adalah
Kongsun siang yang ma inkan Thian-long-kia m-hoat di ujung kiri
sana, gerak-geriknya mirip sekali dengan serigala liar, buas dan
serakah. Lawannya adalah murid Bu-tong-pay, kepandaian Liang-gi-
kia m-hoat yang dima inkan menciptakan lingkaran2 bundar yang
bersusun dan berlapis2, dia hanya bertahan dan jarang balas
menyerang.
Dua la innya adalah murid Go-Bi yang ma inkan Loan-poh-hong-
kia m-hoat ( ilmu pedang angin ribut), setiap putaran pedangnya
sekencang angin badai yang ribut, kelihatannya pedangnya
menuding ke timur dan menusuk ke barat, gerakannya seperti
kalang kabut dan tidak teratur, namun sesungguhnya merupa kan
permainan ilmu pedang yang rapi dan mengandung banyak
perubahan, sukar ditebak ke mana sasaran pedangnya. Lawannya
adalah murid Pat-kwa-bun yang melancarkan ilmu Pat-kwa-kia m-
hoat, dia hanya bertahan dengan rapat, tapi lambat laun menjadi
kewalahan me mbendung rangsakan pedang lawan dari berbagai
penjuru.
orang ketiga adalah pe muda yang me mainkan Hing-san-kia m-
hoat, kadang kala dia melejit tinggi menubruk maju, di tengah
udara jumpalitan sembari me lancarkan serangan, se-akan2 pedang
dan tubuhnya terbaur menjadi satu, sinar pedang kemilau
me manjang, naga2nya pemuda ini sudah me mperoleh ajaran ilmu
pedang Hing-san-pay murni, lawannya tampak kewalahan dan
terdesak dibawah angin-orang keempat adalah laki2 bersenjata
kipas le mpit, geraknya lincah me layang kesana berkelebat ke sini,
kipas le mpit ditangannya bergerak dengan gaya yang gemulai.
Lawannya bersenjata Kiu-goan-to yang besar dan berat, sinar golok
berkemilau dan menge luarkan suara nyaring dari se mbilan ge lang
pada goloknya. Dahsyat putaran golok berge lang e mbilan ini.
Sudah tentu Kun-gi dapat mengukur sa mpai di mana tarap
kepandaian orang ini, bukan saja gerak-geriknya lincah dan enteng,
Lwekangnyapun cukup tinggi. Apalagi setiap kali kipas le mpitnya
yang berjeruji besi itu saling bentur dengan golok lawan yang
bergelang dan berat itu hanya mengeluarkan suara lirih, ma lah
sekali sendal, lawan yang bertenaga raksasa lantas sempoyongan
dengan golok tersampuk pergi, maka dapatlah dibayangkan betapa
lihay kepandaian silatnya.
Sudah tentu empat partai yang sedang saling labrak juga
berkepandaian lumayan, kalau t idak masakah Pek-hoa-pang ma u
menjaring mereka, cuma kalau kepandaian mereka betul2 diukur
dengan kee mpat orang ini, rasanya masih setingkat lebih rendah.
oleh karena itu perhatian Kun-gi hanya tertuju pada e mpat orang
ini. Dia m2 dia sudah berkesimpulan, empat orang ini nanti pasti
akan lulus dengan angka terbaik.
Dugaan Kun-gi me mang t idak me leset, kejap lain Kongsun Siang
yang melancarkan Thian-long-kia m-hoat tiba2 merangsak maju lalu
menyelinap ke samping kanan murid Bu-tong lawannya, lawan
dipaksa menarik pedangnya, sedangkan pedang Kong-sun Siang
justru sudah menanti, pada saat lawan menarik pedang dan gant i
gerakan, ujung pedangnya menyelinap masuk menusuk iga lawan-
Sang wasit adalah Bwe-hoa, cepat dia berteriak: "Berhent i"
Tapi sudah terlambat, Thian-long-kia m-hoat yang dima inkan
Kongsun Siang me mang ganas, sekali serangan dilancarkan, dia
sendiri tak kuasa mengendalikan diri sendiri. Terdengar murid Bu-
tong itu mengeluh tertahan, langkahnya sempoyongan, darah
mengucur me mbasahi badan.
Terunjuk rasa menyesal pada wajah Kongsun Siang, katanya
sambil me njura: "Ji-heng, harap maaf akan kesalahan tanganku ini."
Lekas Giok-lan me mberi tanda pada dua pe mbantunya yang
berdiri di be lakang, le kas mereka maju me mayang murid Bu-tong itu
serta me mbubuhi obat dilukanya.
Sementara itu, keenam pasangan yang lainpun sudah hampir
mencapai saat2 yang menentukan. Mungkin terburu nafsu ingin
menang dia terla lu yakin akan kekuatan sendiri yang sejauh ini tak
berhasil merobohkan lawan, la ki2 bersenjata golok gelang sembilan
mendadak menghardik, berbareng gerakan goloknya berubah,
dengan gencar dia melabrak dengan seluruh kekuatannya.
Permainan ilmu goloknya yang berbobot berat benar2 sudah
matang, bukan saja gerakannya tangkas, cepat, tapi juga mantap
dan tenang, sinar golok berke mbang laksana tabir ke milau,
me mbacok. me mbabat, semuanya mengincar te mpat2 berbahaya di
tubuh lawan-
Ilmu golok yang hebat ini me mang luar biasa perbawanya, laki2
bersenjata kipas le mpit tertawa dingin, berbareng dia imbangi
rangsakan golok lawan dengan kelincahan tubuhnya, kipasnya
berkembang atau mele mpit tak menentu, pakaian hijau yang
dipakainya mela mbai2, serangan lawan sederas itu, tapi dia tak
pernah mundur, malah balas menyerang tak kalah gencarnya, sekali
me mberosot ke sa mping, tahu2 dia malah menerobos masuk ke
lingkaran sinar golok lawan-
Badannya berputar cepat sekali, selincah kumbang terbang
mencari madu berlomba dengan kupu2, badannya berkelebat di
antara samberan sinar golok yang terang itu, betapapun kencang
golok berputar, sejauh itu tak ma mpu menyentuh ujung pa kaiannya,
sebaliknya kipas le mpit itu kadang2 terke mbang dan tahu2
me le mpit pula tipU gerakannya juga aneh.
"Plak ", sekonyong2 terdengar suara keras, karena tak se mpat
menghindar dan menangkia, kipas le mpit lawan tahu2 mengetuk
hiat-to dipundak laki2 bergolok, golok terjatuh dan mengeluarkan
suara keras, sementara laki2 itu ter-huyung2 beberapa tindak.
Gerak serangan laki2 bersenjata kipas lempit yang memang
cepat luar biasa sehingga sang wasit, yaitu Bi-kui yang menyaksikan
dengan penuh perhatianpun terlambat dan tak sempat
menghentikan pertarungan ini.
Laki2 bersenjata kipas menyimpan kipas le mpitnya serta menjura
dengan tertawa: "Terima kasih, saudara sudi mengalah."-cepat
iapun mengundurkan diri.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Entah siapa sebenarnya laki2 bersejata
kipas le mpit itu? "
Didengarnya wasit ketiga di tengah arena berseru: "Berhenti."
Itulah suara Tho-hoa.
Waktu hadirin me mandang ke sana, lawan laki2 yang mema inkan
Hing-san-kia m-hoat ta mpak tergores dipelipianya, secomot
rambutnya tercukur rontok, dengan merah ma lu laki2 itu segera
mengundurkan diri. Sementara murid Hing-san itu lantas menjura
serta menyarungkan pedang terus me ngundurkan diri pula.
Kejap lain Lian-hoa yang jadi wasit pada pasangan kedua juga
menyerukan berhenti. Pasangan yang saling labrak adalah murid
Gobi pay yang me mainkan ilmu pedang angin ribut itu me lawan
murid Pat-kwa-bun, kekuatan mere ka boleh dikatakan sa ma kuat.
Pat-kwa-kia m-hoat merupakan ilmu silat bertahan yang kokoh dan
meyakinkan, gerakan pedangnya mencakup kedelapan penjuru
angin, setiap jurusan dijaga dan dibendung rapat, sayang sekali dia
berhadapan dengan murid Gobi pay. seperti diketahui ilmu pedang
Go-bi-pay yang bergerak laksana angin ribut ini ternyata biaa
setenang ikan berenang di dalam air, selincah burung melayang di
udara, perubahannya memang me mbingungkan, gerakannya seperti
tidak menentu arah yang pasti.
Begitu sang wasit menyerukan "berhenti", ternyata pundak dan
lengan baju serta tiga tempat lainnya di tubuhnya sudah tergores
robek oleh ujung pedang lawan-Keduanya lantas menjura saling
hormat dan minta maaf, lalu mengundurkan diri.
Dala m pada itu pasangan ketiga dan kedelapan juga sudah
menentukan kalah dan menang, suara sang wasit lantang
menyerukan perte mpuran berhenti. Maka dala m arena kini tingga l
dua pasangan yaitu pasangan kelima dan pasangan ketujuh, kedua
pasangan ini sa ma tingkat kepandaiannya, ma ka mereka masih
tetap bertahan untuk sekian la manya lagi.
Pasangan kelima sama2 mengguna kan senjata yang jarang
digunakan kaum persilatan. seorang mema kai sepasang gelang
besar kecil, dina makan cu-bo-siang goan (sepasang gelang ibu-
beranak), pada lingkaran luar gelang terpasang gigi runcing
mengkilap. begitu bergerak gelangnya, angin mendesir taja m, gigi
runcing itu me mancarkan cahaya kehijauan.
Sementara lawannya menggunakan sepasang ruyung pendek.
pada batang ruyungnya ini terdapat dua cabang pendek yang
me lintang tegak. batang ruyung kelihatan mengkilap biru, terang di
lumuri racun, anehnya cara dia pegang senjata berbeda dengan
lazimnya, ruyung dia pegang bagian tengahnya, sementara gagang
ruyungnya dia sembunyikan di belakang sikut, kadang2 dia gunakan
gagang ruyung sebagai tongkat penggebuk. tiba2 dia me mba lik
tangan dan dua tangan sekaligus mencecar musuh, gerak dan tipu
permainannya agak aneh.
Baru sekarang Ling Kun-gi se mpat me mperhatikan lebih
seksama, ternyata permainan aneh ruyung pendek orang ini ha mpir
sama ganas dan keji seperti Thian-long-kia m.
Pasangan ketujuh tidak menggunakan senjata, mereka bersilat
tangan kosong, seorang melancarkan pukulan atau tutukan silih
berganti dengan berbagai gerak raga mnya. Tapi lawannya mahir
me ma inkan Pat-siang-ciang (pukulan delapan penjuru angin), luna k
dan keras saling berganti sehingga permainannya semakin mantap
dan kekuatannyapun bertambah. Angin kepa lan dan bayangan
tangan menimbulkan deru angin, tidak kalah ra mainya dari pada
pasangan lain yang adu senjata. Sedikit lena dan keserempet angin
pukulan lawan, jiwa biaa ce laka.
Sang wasit Ci-hwipun terpaksa harus berdiri di luar lingkaran,
sikapnya tampak tegang dan penuh perhatian oleh pertempuran
yang sengit ini.
Terdengar laki2 yang bersenjata gelang me mbentak keras, gigi
gelang kirinya tiba2 berhasil menggantol ruyung lawan, seCepat
kilat gelang di tangan kanan dengan jurus Thay-san ap ting (gunung
Thay menindih kepala) mengepruk batok kepala lawan dengan
me mbawa suara ge muruh.
Menghadapi rangsakan hebat ini, laki2 bersenjata ruyung tertawa
dingin, cepat badan mendak ke bawah sambil miring
menghindarkan serangan lawan tiba2 dia me mberosot ke sa mping
sehingga ruyungnya yang tergantol lawan terlepas, di mana sinar
biru berke lebat, tahu2 gagang ruyung sudah menyodok ke dada
lawan-Me mangnya yang bersenjata elang sudah merasa jeri
terhadap ruyung lawan yang dilumuri racun, cepat dia menyingkir,
sayang dia tidak menduga tatkala kedua ruyung lawan bekerja,
sebelah kaki orang juga ikut menyerampang, begitu dia menyadari
bahaya, untuk berkelit sudah terla mbat "Blang", kontan dia tersapu
jatuh jauh, pantatnya beradu dengan lantai.
Untung dia me miliki kepandaian tinggi begitu punggung
menyentuh tanah, dengan tangkas dia melejit berdiri lagi, kedua
gelang terangkat tinggi, dan sudah slap me labrak lawan pula.
"Berhenti" sang wasit Giok-li segera berseru.
Terpaksa orang yang bersenjata gelang me nghentikan
gerakannya, tanyanya: "Belum ada yang kalah atau menang,
mengapa nona menghentikan pertandingan? "
"Kau tersapu jatuh, sudah terhitung kalah" ucap Giok-li.
Orang itu berkata: "Putusan nona tidak adil, yang kita tandingkan
adalah kepandaian menggunakan senjata, walau aku terjatuh, tapi
dalam permainan senjata toh belum kalah, kenapa aku di-putus
kalah? "
Laki2 bersenjata ruyung tertawa, selanya: "Kalau Ho-heng tidak
terima, boleh kita lanjutkan pertandingan ini."
"Me mangnya, sebelum ada yang menggeletak tak bernyawa di
antara kita belum bisa dikatakan kalah dan menang."
Berdiri a lis Gok-li, bentaknya: “Ho Siang, waktu bertanding kau
tersapu jatuh oleh lawanmu, kau tida k mau mengaku ka lah? "
Merah mata laki2 bersenjata gelang, jengeknya: "Nona, kau
sebagai Tay-cia dan aku adalah Su-cia, kedudukan dan jabatan kita
sembabat. belum setimpa l kau ge mbar-ge mbor me manggil na maku,
tadi Hu-pangcu sudah mengumumkan cara dan tata tertib
pertandingan, bagi yang bertanding menggunakan senjata baru
terhitung kalah kalau senjata salah satu pihak menyentuh tubuh
lawan, maka aku ingin minta penjelasan dari nona, kapan ruyung
Yap Kay-sian pernah menyentuh tubuhku? " karena penasaran dia
berani debat dan me lawan putusan wasit.
Lekas So-yok berdiri dan me mbentak: "Ho Siang-sing mundur
kau"
Ho Siang-sing, la ki2 bersenjata gelang, sekali-ini tak berani bicara
lagi, dengan menggerutu terpaksa dia mengundurkan diri.
Kini ditengah arena tinggal pasangan yang adu kepalan-Melihat
tujuh pasang yang lain sudah berakhir dan ada yang kalah serta
menang, kini tinggal mere ka berdua yang masih terus berhanta m
tanpa kesudahan, tanpa terasa terbangkit dan berkobar nafsu
mereka, serempak keduanya kerahkan sekuat tenaga berusaha
merobohkan lawan-
Laki2 yang menyerang dengan kepalan diselingi tutukan itu
mendadak melancarkan jurus yang lihay, badan bagian atas
mendadak doyong menubruk ke depan. Tatkala tubuhnya bergerak
maju kini, kepalan kanan mendadak pura2 menghantam, sementara
tangan kiri dengan jari tengah yang terjulur berwarna merah darah,
diiringi hardikan, sejalur angin tutukan menerjang ke tenggorokan
lawan-
Menyaksikan jari orang yang menjulur dan mendada k berubah
merah darah, tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Ilmu yang diyakinkan
orang ini tidak mirip cu-sa-ci dari perguruan Gan, lebih mirip Hiat-
ing-ci dari aliran liar."
Kejadian berlangsung dala m sekejap seperti percikan api. Laki2
yang mema inkan Pat-sian-ciang mendadak melihat sorot mata
lawan yang buas mengandung nafsu me mbunuh, diam2 ia sudah
siaga. Kini melihat jari lawan yang merah darah menyerang tiba dan
hidangnya telah mengendus bau a mis yang me muakan, keruan ia
terkejut, batinnya: "sebetulnya aku tidak bermaksud me mbunuhmu,
ternyata kau malah turun tangan keji lebih dulu padaku." Pikiran ini
berkelebat laksana kilat dala m benaknya, sementara sebat sekali dia
sudah melompat mundur, menyusul tangan kanan terayun, dengan
berani dia balas menyerang.
Pukulannya inipun mengandang maksud jahat, ingin me mbunuh
lawan pula, apalagi dilancarkan dengan kekuatan yang sudah
disiapkan, ma ka angin pukulannya teramat dahsyat.
Begitu tutukan jarinya luput, laki2 yang menyerang dengan Hiat-
ing ci (tutukan jari darah bayangan) tahu2 merasa tubuhnya
diterjang angin puyuh yang bersuhu dingin sekali, dia tak berani
menangkis, cepat2 ia me nggeser ke sa mping.
Me mang terjangan angin yang telah dapat dia hindarkan. Tapi
dikala me ngegos itulah mendadak badannya bergetar keras,
bergidik dan merinding tanpa kuasa langkahnya sempoyongan
mundur ke belakang.
Dipihak la in, laki2 yang menyerang dengan pukulan dingin inipun
telah mengendus bau a mis yang me mualkan tadi, dia m2 iapun
kuatir akan kesela matan sendiri, maka ia tidak meneruskan
serangan, lekas dia kerahkan hawa murni me lindungi badan, diam2
ia atur jalan darah dan tenaga murninya.
Sebelum wasit yaitu Ci-hwi menyerukan berhenti, kedua orang ini
sudah sama berdiri tak bergerak. seluruh hadirin adalah ahli silat,
tapi tiada yang melihat jelas apa sebabnya kedua orang ini
mendadak sa ma berhenti.
Tadi orang me lihat tutukan jari yang merah darah itu
dilancarkan, maka orang banyak mengira dia telah terluka oleh
tutukan itu. Ci-hwi sang wasitpun kira demikian, dia ragu2 dan
hendak mengumumkan ke menangan laki2 yang main tutukan tadi.
Untung dia melenggong sebentar, tahu2 laki2 yang menyerang
dengan tutukan itu roboh terjengkang. Keruan Ci-hwi kaget sekali,
ia melongo tak ma mpu bersuara.
Maklumlah, bukan saja dia, sampaipun So-yok Hu pangCu yang
berdiri di atas unda kan batu juga mendelong bingung.
Laki2 berkepandaian tutukan jari berdarah itu seperti jatuh
semaput, sekian la ma tak na mpak bergerak atau kelejetan. Malah
wajahnya yang semula kuning terang, cepat sekali telah berubah
ungu meng hita m.
Dala m pada itu, setelah mengatur napas, laki2 yang main
pukulan tadi melihat lawan rebah tak bergerak. wajahnya
mena mpilkan rasa bangga dan puas. "Cin Te-khong" terdengar
Thay-siang yang duduk di atas sana berteriak kereng. Ter-sipu2
orang itu maju beberapa langkah seraya munduk2: "Ha mba disini."
Thay-siang berkata: "Losin suruh Hu-pangcu mengumumkan
bahwa dala m pertandingan ini hanya boleh saling ja mah dan
dilarang me luka i lawan, kenapa kau me lancarkan serangan
me matikan, kini dia terluka parah""
Cin Te-khong munduk2, serunya: “Harap Thay-siang maklum,
waktu bergebrak tadi hamba selalu ingat dan patuh akan larangan
pertandingan, tak pernah melancarkan serangan jahat, dia lebih
dulu menyerang dengan Hiat-ing-ci, untuk me mbela diri terpaksa
hamba balas menyerangnya, Han-si-ciang (pukulan sutera dingin)
yang hamba yakinkan ini sekali dilancarkan, ha mba sendiri tak
kuasa mengendalikan lagi,"
Han-si ciang, hakikatnya hadirin tiada yang pernah dangar na ma
ilmu pukulan dingin ini. Dia m2 Kun gi me mbatin: "Entah ilmu
maca m apa Han-si-ciang itu? Kenapa Suhu tidak pernah bilang
tentang ilmu ini? "
Thay-siang mendengus: "Pertandingan besar kuadakan ini
dilarang me mbunuh sesa manya, hayo lekas keluarkan obat penawar
dan cekokan padanya? "
Ternyata Han-si-ciang ada obat penawarnya, Cin Te-khong
mengiakan dia melangkah mundur kearah la ki2 yang menyerang
dengan Hiat-ing-ci, dia ke luarkan sebuah kotak kecil, mengeluarkan
sebutir pil warna merah terus dijejalkan ke mulut orang.
Sesuai na manya, Han-si-ciang me mang pukulan dingin luar biasa,
tak heran lawan yang terkena pukulannya seketika beku kedinginan,
sampaipun wajahnyapun berubah biru. Setelah dicekoki obat, kira2
semasakan air mukanya yang biru menghitam mulai pudar, tiba2 dia
menarik napas panjang terus me mbuka mata.
Dilihatnya Cin Te-khong berdiri di depannya, seketika dia
menggerung murka, ia melejit berdiri, secepat kilat jarinya menutuk
keulu hati Cin Te-khong. Untung Cin Te-khong waspada, hanya
sedikit berkelit, dengan mudah dia luputkan diri.
Lekas Ci-hwi berteriak: "Berhenti, ka lah menang sudah
ditentukan, kalian dilarang gebrak lagi."
So-yok juga lantas berteriak: "Auw Kiu-ciu, mundur kau."
Laki2 itu tak berani bertingkah lagi, dari segera mengundurkan
diri.
Sampa i di sini pertandingan seleksi babak kedua telah berakhir,
setelah dua kali bertandang secara beruntun, delapan orang telah
tersisa dan delapan yang menang diangkat jadi Hou-hoat.
Berdiri di atas undakan batu, So-yok berseru mengumumkan:
"Pertandingan babak kedua telah berakhir delapan orang yang
menang adalah Kong-sun Siang, me ma inkan Thian-long-kia m-hoat,
Ting Kiau menggunakan kipas le mpit beruji besi, Thio La m jiang
dengan Hing-san-kia m hoat, Song Te k-seng menggunakan Loan-
poh-hong-kia m-hoat, Lo-Kin-bun menggunakan pedang berkait, Toh
Kan-ling bersenjata Boan koan-pit, Yap Kay-sian pa kai sepasang
ruyung, Cin Te-khong dengan ilmu pukulan Han-si-ciang, sejak kini
mereka diangkat menjadi Hou-hoat dala m Pang kita."
Tepuk tangan nun menya mbut pengumuman ini..
Pek-hoa-pangcu Bok-tan dan Ling Kun-gi juga ikut bertepuk
tangan menya mpaikan sela mat.
Terdengar So-yok berseru pula: "Sekarang silakan kedelapan Hou
hoat yang baru berdiri ke depan terima lah anugerah medali e mas
dari Thay siang."
Di bawah pimpinan Kongsun Siang, kedelapan Hou-hoat itu
segera tampil ke muka dan berdiri sejajar menghadap ke atas.
Giok-lan, si congkoan segera me mberi tanda dan seorang gadis
beranjak keluar me mbawa na mpan langsung me ndekati Giok-lan-
Nampan itu di-lapisi kain sutera, diatas nampan ini tertaruh delapan
medali e mas tanda pangkat para Hou-hoat. Menerima na mpan itu
Giok-lan lalu me langkah ke tengah. Sementara Thay-siangpun
berdiri dan beranjak turun-Secara beruntun So-yok panggil
kedelapan Hou-hoat menerima meda li dari Thay-siang. Hadirin
keplok tangan serta berteriak2 hiruk-pikuk.
Sorot mata Thay siang menyapu kedelapan Hou-hoat, katanya:
"Losin telah langsung melihat pertandingan kalian, masing2 telah
unjuk ke mahiran dan kalian bukan menang secara kebetulan, tapi
berkat perjuangan yang gagah, jadi merupakan pilihan tulen di
antara ke 32 peserta. Jabatan Hou-hoat dalam Pang kita merupa kan
kedudukan yang tinggi dan mulia, selanjutnya diharap ka lian bekerja
dan berjuang demi kepentingan Pang kita, serta dan berbakti tanpa
luntur, Ciptakanlah pahala yang lebih besar dan rebutlah anugrah
yang lebih t inggi."
Sampa i di sini dia berpidato hadirin menya mbut dengan tepuk
tangan lebih riuh rendah, sampa i sekian la manya keplok ra mai ini
tidak berhenti. Terdengar kedelapan Hou-hoat berseru lantang:
"Berkat anugrah Tay-siang yang berbudi luhur, kami bersumpah
setia me mbe la kepentingan Pang kita sa mpa i titik darah terakhir."
Thay-siang manggut2 pertanda telah menerima sumpah setia
para pengikutnya ini, lalu berkata: "Bagus sekali, kalian boleh
me mberi hormat kepada Pangcu."
Delapan Hou-hoat yang baru serentak menjura kearah Pek-hoa-
pangcu, serunya: "Hamba menyampa ikan hormat kepada Pangcu."
Pek-hoa-pangcu yang sudah berdiri balas menghormat, katanya
dengan suara merdu. "Kuberi sela mat kepada kalian yang telah naik
pangkat jadi Hou-hoat Pang kita, kami ikut ge mbira dan merasa
beruntung bagi Pang kita."
Ditengah sorak-sorai yang riuh rendah itu, Thay-siang beranjak
balik ketempat duduknya. Lalu Pek-hoa-pangcu juga ke mbali ke
tempat duduknya.
Pelan2 Thay-siang menggeser duduk miring kearah Ling Kun-gi,
sorot matanya se-olah2 mene mbus cadar hita m, suaranya kale m:
"Ling-siangkong"
Lekas Kun-gi me mbungkuk, tanyanya: "Thay-siang ada petunjuk
apa? "
"Ke marin Losin telah bicara dengan kau, akan kuangkat sebagai
Hou-hoat Pang kita, entah Ling-siangkong sudah me mikirkan hal ini
belum? "
Dia m2 senang hati kede lapan Hou-hoat yang baru saja
menduduki jabatannya, semua berpikir: "Ta mu agung yang duduk di
bawah Pangcu betapa sih lihaynya, ternyata juga setaraf Hou-hoat
saja di dala m Pang kita."
Baru saja Thay-siang selesai bicara, Kun-gi lantas dengan suara
lirih seperti berbisik dipinggir telinganya: "Ling-kongcu lekas terima
tawarannya"-
Itulah suara Pek-hoa-pangcu, Kun-gi dapat me mbedakan
suaranya.
Kun-gi me mang sudah berdiri, sikapnya amat tunduk dan patuh,
dia menjura kearah Thay-siang serta berkata: "Berkat junjungan
Thay-siang yang maha pengasih, cayhe tak berani menola k tugas
mulia ini? " Itulah pertanda bahwa Bi-sin-hiang-wan telah bekerja di
dalam tubuhnya.
Terunjuk senyuman yang terkulum diujung bibir Thay-siang,
katanya manggut2: "Bagus sekali, Losin tahu ka lau Ling-s iangkong
hanya diangkat sebagai Hou-hoat dala m Pang kita, tentunya rada
merendahkan derajatmu ..... " sengaja dia menarik panjang
suaranya serta berhenti.
Kun-gi baru saja akan duduk. mendengar kata2 Thay-siang ini,
seketika terunjuk rasa gugup dan ge lisah, tersipu2 dia menjura,
katanya: "Hamba sebagai tunas muda kaum persilatan, bahwa
Thay-siang sudi me mupuk ha mba, sungguh me mbuat hamba tida k
tenteram lahir batin, kesetiaanku selama hidup rasanya takkan
setimpal me mba las kebaikan Thay-siang ini."
Kalau ke marin je las dia takkan sudi menge luarkan kata2nya ini,
tapi sekarang dia sudah ma kan Bi-sin-hiang-wan, maka sela ma
hidupnya dia hanya akan setia dan tunduk lahir batin terhadap Pek-
hoa-pang, terutama terhadap Thay-siang.
Thay-siang manggut2, katanya lebih lanjut: "Jabatan Hou-hoat
sebetulnya juga tidak terhitung rendah di dalam Pang kita, terutama
cong-hou-hoat dan coh-yu-huhoat, semuanya merupa kan pilihan
dari para Hou-hoat, maka setiap Hou-hoat mempunyai hak dan
kesempatan untuk menjadi cong-hou-hoat, apalagi selamanya Losin
menguta makan kepandaian sejati, bukan saja kepandaian silatnya,
juga kecerdikan dan tindak-tanduknya harus tegas, maka jabatan ini
harus diperebutkan secara adil. Sampai di mana tingkatan yang
dapat kalian jabat? Itu tergantung sampa i di mana pula tarap
kepandaian ka lian yang sejati."
Secara tidak langsung kata2nya ini me mberi kisikan bagi Ling
Kun-gi bahwa sekarang aku hanya bisa mengangkatmu sebagai
Hou-hoat, kalau kau ma mpu dan punya kepandaian boleh kau
berusaha me mperebutkan kedudukan cong-hou-hoat. Secara tidak
langsung pula dia me mberi pernyataan kepada kedelapan Hou-hoat
yang lain bahwa merekapun boleh menca lonkan diri merebut
jabatan itu secara adil.
Habis Thay-siang bicara, Giok-lan segera mendekati sa mbil
me mbawa na mpan. Thay-siang menje mput sebuah medali e mas
dan berkata: "Ling-siang-kong, ke marilah terima medali e mas
sebagai tanda kebesaran Hou-hoat dari Pang kita."
Lekas Kun-gi berdiri dan maju mengha mpiri, sambil menjura dia
terima medali e mas itu dengan kedua tangan. Lalu putar ke mba li,
tapi dia cukup tahu diri dan tidak berani duduk dikursinya semula,
karena kedelapan Houhoat yang lain juga hanya berdiri sejajar di
bawah undakan.
Thay-siang sedikit angkat tangan, katanya: "Hari ini kau hadir
dalam pertandingan seleksi ini sebagai tamu kehormatan, meski kau
sudah terima jabatan Pang kita sebagai Hou-hoat, tapi sekarang kau
masih terhitung seorang tamu, boleh silakan duduk saja."
Kun-gi tak berani banyak bicara, lekas dia turut perintah dan
duduk di kursinya. Pek-hoa-pangcu Bok-tan dan Hu pangcu So-yok
dan cong-koau Giok-lan segera me mberi ucapan sela mat kepada
Ling Kun-gi. Tentu saja ke-8 Hou-hoat yang baru merasa sirik dan
terbakar perasaannya .
So-yok segera berseru lantang kearah kedua laki2 tua ber jubah
biru: "Leng-co houhoat dan coa-yu houhoat, pertandingan hari ini
langsung dipimpin oleh Thay-siang, tujuan yang utama adalah
me milih seorang cong-houhoat, oleh karena itu jabatan cong yu-
houhoat harus sekaligus dipilih ulang ke mbali, maka sebelum seleksi
dimula i, kalian harus menyerahkan kemba li mendali e mas tanda
kebesaran itu."
Co houhoat Leng Tia-cong dan Yu-houhoat coa Liang segera
menge luarkan meda li e mas dan diserahkan ke mbali.
Setelah terima medali e mas itu So-yok berseru lebih lanjut: "Tadi
sudah kuumumkan, para Hou-hoat boleh mencalonkan diri untuk
merebut cong-hou-hoat dan co-yu-hou-hoat, maka kalian yang ingin
ikut bertanding boleh mendaftarkan diri."
So-yok me mbetulkan sanggulnya, lalu berseru pula: "Setiap
orang yang didaftatkan atau mendaftar sendiri dianggap Calon
untuk jabalan cong-hou-hoat, maka Calon ini harus menghadapi
beberapa kali tantangan para Hou-hoat, setelah menang beberapa
babak dan nyata kepandaiannya me mang nomor satu, maka dia
diangkat menjadi cong-hou-hoat, nomor dua dan ketiga diangkat
sebagai Yu-co-hou-hoat.
"Bila calon dikalahkan oleh penantangnya, maka dia dianggap
gugur dan penantang yang menang, boleh menerima tantangan
para peserta yang lain sa mpai tiada yang melawannya lagi, cuma
bagi yang gugur tadi masih ada hak me mperebutkan kedudukan co-
yu-houhoat, Caranya seperti yang telah dilaksanakan dala m me milih
para Houhoat tadi."
Dia m2 Kun gi me mbatin: "cara yang diumumkan ini terasa cukup
berat bagi calon cong-hou-hoat, karena dia harus me nghadani 10
kali tantangan malah setiap kali harus menang baru boleh
menduduki jabatan tinggi ini."
Habis me mberi pengumuman, sorot mata So-yok tertuju ke
bawah undakan, serunya pula: "Baiklah, aturan pertandingan sudah
kuumumkan, kalau hadirin tiada pendapat, sekarang kumula i terima
pendaftaran, siapa yang ingin ikut serta boleh me ndaftar padaku"
Lenyap suaranya, tampak co-houhoat Leng Tio-cong angkat
tangan sambil berseru: "Ha mba Leng Tio cong mendaftarkan diri.”
“Baik," seru So-yok mengangguk.
Yuhouhoat coa Liang juga ikut acung tangan dan berseru:
"Ha mba coa Liang juga me ndaftarkan diri."
So-yok tersenyum sambil mengangguk. "Masih adakah orang lain
yang mendaftarkan diri? " beberapa kali dia bertanya, tapi
kedelapan Houhoat yang berjajar di depan itu t iada yang bersuara.
Mereka cukup cerdik, ma klumlah, setiap Hou-hoat walau tak
mendaftarkan diri menjadi calon cong-houhoat, tapi mereka punya
hak untuk menantang calon itu, kalau menang, bukankah berarti
mereka sendiri yang akan menjadi calonnya? Apa-lagi dala m situasi
sekarang mereka anggap lebih baik menonton saja sambil
menunggu perke mbangan selanjutnya baru nanti menentukan
pilihan-Sekian la ma So-yok menunggu, tetap tiada orang lain yang
daftar lagi, apa boleh buat, akhirnya matanya mengerling tertuju
kearah Ling Kun-gi, katanya dengan nada ale man: "Bagaimana Ling-
kongcu? "
Lekas Kun-gi menjura, katanya: "Ha mba hanya me miliki
kepandaian beberapa jurus cakar kucing saja, mana berani
mena mpilkan diri? "
Pek-hoa-pangcu tersenyum, serunya: "Ling-kongcu terlalu
merendah diri, pertandingan diadakan secara adil dan terbuka,
siapapun boleh ikut, bahwa Ling-kongcu tidak mau mendaftarkan
diri, baiklah biar a ku yang menca lonkan dia.”
“Ha mba tidak berani" lekas Kun-gi berdiri seraya membungkuk
badan.
Mendengar Pangcu mereka mencalonkan Ling Kun-gi, para nona
yang hadir seketika menya mbut dengan keplok tangan ra mai,
sebaliknya cohouhoat yang bergetar Kin-cay-poan-koan Leng Tio-
cong dan Yuhouhoat yang bergetar Sam-gam-sin coa Liang mendelu
hatinya, tanpa terasa mereka saling pandang se kilas, keduanya
sama mengulum senyum dongkol.
So-yok menyapu pandang hadirin, suaranya lantang: "Ada lagi
yang mendaftarkan diri? "
Setelah ditunggu sekian la ma tiada reaksi dari hadirin, akhirnya
dia mengumumkan: "Baiklah, pendaftaran ditutup, peserta hanya
tiga orang, yaitu Leng Tio-cong, coa-Liang dan Ling Kun-gi"
Sampa i di sini dan berhenti sebentar, mendongak me lihat cuaCa,
lalu me nyambung:
"sekarang sudah lewat lohor, pertandingan sementara ditunda,
meja perja muan sudah disiapkan dipendopo, seluruh hadirin boleh
tangsel perut dulu."
Thay-siang berdiri lebih dulu dan beranjak ke dala m diiringi Pek-
hoa-pangcu dan Hu-pangcu. e mpat pelayan berpakaian serba
kuning mengikuti langkah mereka. congkoan Giok-lan mengha mpiri,
katanya: "Silakan Ling-kongcu."
"Silakan congkoan," ucap Kun-gi, "sekarang cayhe adalah peserta
pertandingan, Layaknya beriring dengan Leng dan coa berdua."
Giok-lan mengangguk. tanpa bicara segera dia mendahului
masuk keda la m.
Tajam dingin sorot mata Leng Tio-cong, dengan sinis katanya:
"Silakan Ling-kongcu." Lalu dia mendahului melangkah ke dala m.
Sudah tentu coa Liang juga tidak mau mengalah, dia mengintil di
belakang Leng Tio-cong, Sudah tentu Kun-gi merasakan sikap
permusuhan kedua orang, tapi dia tidak peduli, dengan tertawa
lebar dia me langkah di belakang mereka.
Meja di tengah pendopo berduduk Thay-siang, Pek-hoa-pangcu
dan Hu-pangcu. Meja di sebelah kiri atas diduduki para calon
peserta, lebih bawah lagi diduduki para Houhoat dan ke-24 Hou-
hoat-sucia. Meja teratas di sebelah kanan diduduki para gadis2 ayu
anggota Pek-hoa-pang.
Arak tersedia dalam perjamuan ini, tapi jarang yang berani
minum banyak. ma klumlah Thay-siang berada di antara mereka,
apalagi sebentar bakal ada pertandingan besar bermutu dari
tingkatan yang lebih tinggi, kalau diri sendiri minum sa mpai ma buk,
kapan mereka akan mendapat kese mpatan menyaksikan
pertandingan ini. Maka hadirin hanya ma kan ala kadarnya secara
tergesa2.
Habis makan Pek-hoa-pangcu dan Hu-pangcu me ngiringi Thay
siang ke ka mar sebelah untuk ist irahat. Sementara hadirin yang lain
boleh ist irahat dan bergerak bebas sesukanya.
Karena tidak akrab dengan hadirin yang lain, sendirian Kun-gi
keluar berjalan2 di pelataran luar. Tiba2 didengarnya seorang
menegur di belakangnya: "Ling-kongcu."
Tanpa menoleh Kun-gi kenal suara orang, itulah congkoan Giok-
lan yang memanggilnya, dengan tertawa dia menyahut: "congkoan
tentu amat letih."
Congkoan Giok-lan tertawa, ujarnya: "Memang banyak kerja
untuk menyiapkan pertandingan besar ini, tapi tenaga pe mbantu
cukup banyak, cukup kubuka suara saja." Tiba2 dia me lirihkan
suara, katanya: "sebentar pertandingan bakal dimula i, sikap Leng
Tio-cong dan coa Liang a mat bermusuhan terhadapmu, kau harus
hati2."
Kun-gi me ngangguk, katanya: "Terima kasih akan perhatian
congkoan, akupun sudah ma klum."
"Delapan Hou-hoat yang baru diangkat sudah kau selami
kepandaian mereka, tapi terhadap Leng dan coa ini kau belum
pernah menyaksikan perma inan mereka. jiwa mereka Culas dan
keji, kalau dia sudah dengki pada mu, ma ka kau harus selalu
waspada ..... ." sampa i di sini tiba2 dia guna kan ilmu gelombang
suara: "Leng Tio-cong bergelar Kiu-cay-poan-koan, disamping mahir
menggunakan sepasang potlot baja, kepandaian tutukannya amat
lihay, terutama jurus Kwi-cian-siok-hou (panah setan menyumbat
tenggorokan) sembilan jari menutuk bersama, kabarnya belum ada
tokoh Kangouw yang pernah lolos dari jurus ganas ini. Sementara
coa Liang berasal dari Tiang-pek-san di luar perbatasan,
ke mahirannya Bu-ing-sin-kun (pukulan tanpa bayangan), setiap
gerak pukulannya tiada suara sehingga susah dijaga ......." sampai
di sini dia berhenti.
Kiranya Giok-je dan Giok-li ta mpak mendatangi. Sebagai kawan
seperjalanan sudah tentu Giok-je a mat kenal Kun-gi, dengan
tertawa dia lamas menyapa: "Ling-kongcu, kuaturkan sela mat
padamu, obat penawar getah beracun berhasil kau buat, kini
sebagai calon cong-houhoat lagi, seluruh persaudaraan kita dala m
Pang sama mendoakan supaya kau berhasil menduduki jabatan
tinggi itu."
Kun-gi tertawa hambar, katanya: "Terima kasih akan pujian
nona, dengan kepandaianku yang tak becus ini, bagaimana biaa
terpilih nanti? "
Giok-je me liriknya, katanya: "Baru sekarang aku mengerti, orang
berkedok yang me mukul Dian Tiong-pit dan Hou Thi-jiu di atas
perahu itu ternyata adalah Ling-kongcu, sungguh kagum dan terima
kasih ka mi terhadapmu."
Kun-gi hanya tersenyum saja tanpa menanggapi, Giok-li berdiri di
samping tanpa bersuara, tapi sepasang matanya menatap wajah
pemuda ini dengan lekat tanpa berkedip.
"Pat moay, cap sah-moay," kata Giok-lan, "te manilah Ling-
kongcu ngobrol sebentar, aku masih ada urusan." Lalu dia putar
badan dan berlalu.
Melihat Giok-je dan Giok-li datang omong2 dengan Kun-gi, Bwe-
hoa, Tho-hoa, Hay-siang dan nona2 lain segera berdatangan,
sebentar saja Kun-gi sudah dirubung nona2 cantik yang bersendau-
gurau serta menggodanya.
"Ting, ting, ting," suara kelinting berkumandang dipendopo.
"Nah pertandingan dimulai lagi terdengar seorang berseru.
Bagai penganten yang disambut para pemujanya Kun-gi segera
masuk kesana diiringi nona2.
Sudah tentu bertambah iri dan dengki perasaan Leng Tio-cong
dan coa Liang terhadap Ling Kun-gi, dia m2 mereka me ngumpat
dalam hati. Para Hou-hoat dan Sucia juga mende lik ge mas pula.
Kun-gi tidak ke mbali ke te mpat duduknya, dia langsung berdiri
sejajar di samping coa Liang dan Leng Tio-cong di bawah undakan.
Sementara empat pelayan baju hitam sudah ke luar dari pendopo
mengiringi Thay-siang dan Pek-hoa-pangcu, IHu-pangcu. Seluruh
hadirin dia m me matung dan sama me mberi hormat.
So yok langsung tampil ke depan, serunya lantang: "Sekarang
pertandingan ketiga di mulai, babak pertandingan ketiga ini
me mperebutkan jabatan cong-houhoat dan co-yu-houhoat. Atas
perintah Thay-siang, ka mi sendiri yang akan me njadi wasit
pertandingan ini, waktu pertandingan berlangsung, ba ik adu jotos
atau main senjata, tetap hanya saling jamah dan sentuh saja,
dilarang keras melukai atau bermaksud me mbunuh lawan." Hadirin
menya mbut pengumuman ini dengan tepuk tangan.
Suara So-yok lebih keras lagi: "Ba iklah, sekarang persilakan
ketiga calon peserta satu persatu menerima tantangan"
Kiu-cay-poan-koan Leng Tio-cong segera mendengus: "Ling-
kongcu tunas muda yang serba pandai, didikan Put-thong TaysU
yang termashur lagi, bahwa dia rela mengabdi kepada Pang kita,
inilah kesempatan yang sUkar didapat, hamba yang tidak becus ini
ingin mohon petunjuk beberapa jurus pada Ling kongcu."
Kun-gi bersoja, katanya: "cayhe masih muda dan Cetek
pengalaman, masakah berani menandingi co-hou-hoat? "
"Ling-kongcu jangan sungkan," dingin suara Leng Tio-cong,
"jabatanku se mula sudah dicopot, sekarang hanya sebagai calon
biasa, apalagi kita kan sama2 calon untuk me mperebutkan jabatan
cong-hou-hoat, setelah mencalonkan diri, adalah jama k kalau di
antara kita harus mentukan siapa unggul dan asor."
"Apa boleh buat, terpaksa cayhe turuti saja ke mauan Leng-
heng," ujar Kun-gi, sikapnya tetap ramah dan wajar.
Keduanya lantas beranjak ke tengah gelanggang, So-yok sebagai
wasit segera turun dan berdiri disamping. Tanyanya: "Kalian paka i
senjata atau adu kepalan? "
"Sela manya hamba tak pernah pakai senjata," ucap Leng Tio-
cong,
"kalau Ling-kongcu suka pakai senjata juga boleh."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: "Kalau Leng-heng tidak pakai
senjata, sudah tentu cayhe ingin adu jotos saja."
Agak berkerut alis So-yok, katanya menegas: "Thay-siang
berpesan wanti2, pertandingan ini menguta makan kepanda ian
sejati, kedua pihak hanya dibatasi saling sentuh saja, siapapun
dilarang melancarkan serangan me matikan, untuk ini jangan kalian
lupa diri."
Sebagai kawakan Kangouw sudah tentu Leng Tio-cong
merasakan peringatan ini menyudutkan dirinya, supaya tidak
me lancarhan Siok-hou-bang kebanggaannya, kalau dalam hati
bertambah rasa dengkinya, tapi lahirnya dia bersikap patuh dan
mengiakan.
"Baiklah, sekarang kalian boleh mula i," kata So-yok. lalu dia
mundur beberapa langkah.
Kiu-cay-boan-koan tetap mengenakan jubah biru, itu berarti dia
menjaga gengsi dan mere mehkan Ling Kun-gi. Tapi Kun-gi sendiri
juga mengenakan jubah panjang, dia tida k mencopotnya, jubahnya
yang longgar mela mba i tertiup angin, sikapnya gagah.
Sementara hadirin merubung ma ju berke liling setengah
lingkaran, banyak orang belum pernah tahu betapa tinggi pe muda
sekolahan yang lemah-le mbut ini, hanya Giok-je yang yang pernah
menyaksikan kepandaian Ling Kun-gi, ma ka dia tidak ikut merasa
kuatir seperti te man2nya.
Perawakan Leng Tio-cong kurus kecil, tapi sorot matanya
mencorong dingin dan keja m menatap Ling Kun-gi, ka ki kiri maju
setengah langkah, telapak tangan mengatup di depan dada. Jelas
dia sedang mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, seumpa ma
panah yang sudah terpasang dibusur dan siap dibidikkan.
Setelah menunggu sekian saat dan melihat Kun-gi tetap diam
saja, Leng Tio-cong hilang sabar, tanyanya: "Ling-kongcu sudah
siap? "
"Silakan mulai Leng-heng," sahut Kun-gi tertawa. Ternyata tanpa
me ma kai gaya segala, dia tetap berdiri tanpa bergerak.
Agakya Leng Tio-cong naik pita m melihat sikap Kun-gi yang tidak
pandang sebelah mata padanya, dia tertawa katanya: "Baiklah, aku
berlaku kasar lebih dulu." Suaranya bagai pe kik lutung ditengah
hutan melengking menusuk kuping.
Lenyap suaranya tiba2 ia menubruk ke arah Kun-gi, gerakannya
lincah secepat kilat,
Sekali berkelebat tahu2 sudah berada di samping kiri Kun-gi,
tangan kiri me lintang kesamping dan telapak tangan tegak seperti
golok me mbelah ke rusuk bawah. Selanjutnya dia me mutar tubuh,
tahu2 sudah berkisar ke belakang Ling Kun-gi, lima jari tangan
kanan terpentang mencengkra m tulang punggung. Gerakan
serempak ini boleh dikatakan dilaksanakan secepat angin, ma lah
satu sama lain sukar di-diraba mana yang serangan betul dan mana
yang gertakan belaka.
Dia meyakinkan Eng-jiau-kang, sejenis kungfu yang keji, setiap
serangan selalu menyembunyikan gerakan licik, tampa knya dia
menyerang dari depan, tahu2 sudah berkisar ke belakang dan
mengincar tempat lawan yang lemah, kalau cengkeraman jari2
tangannya mengenai sasaran dengan telak. punggung Kun-gi pasti
berlubang. Sudah tentu So-yok melihat betapa keji, serangannya ini
dia m2 dia mengerut kening.
Betapapun cepat dan tangkas serangan Leng Tio-cong, tapi Kun-
gi juga tida k la mbat, pada kelima jari lawan ha mpir mengena i
sasaran, tiba2 Kun-gi berputar, tubuhnya kini berhadapan dengan
Leng Tio-cong, berbareng tangan kiri, terangkat dan sedikit
menyanggah, dengan tepat dia tahan ruas tulang pergelangan
tangan lawan, ia pegang tangan orang terus dibetot keluar,
berbareng tangan kanan menutuk ke dada lawan-Tak pernah
terpikir oleh Leng Tio-cong lawan bisa bergerak secepat ini,
terutama tangan kanannya dipegang lawan sehingga dadanya
terbuka, karuan kagetnya tidak kepalang, dalam seribu
kesibukannya lekas dia tarik telapak tangan kiri melindungi dada,
sementara kaki menjeja k tanah dan me lompat ke belakang.
Waktu dia berdiri tegak dan angkat kepala, dilihat Kun-gi tetap
berdiri di te mpatnya sambil tersenyum Simpul. pakaiannya
me la mbai terttiup angin, Sikapnya acuh tak acuh seperti tak pernah
terjadi apa2.
Betapa gusar Leng Tio-cong, Sekali mundur segera ia rnendesak
maju pula, tangan menepuk ke muka, tepukan tangan yang
kelihatan enteng ini seketika me mbawa deru angin kencang,
sungguh dahsyat perbawanya.
Wajah Kun-gi tetap mengulum senyum, na mun dia m2 iapun
kaget, batinnya: "Lwekang orang ini ternyata hebat sekali." Segera
dia himpun tenaga dan melejit ke sa mping.
Perawakan Leng Tio-cong kurus kecil, gerak-geriknya tangkas
cepat, begitu tangan menepuk orangnyapun menubruk maju dan
mencengkeram miring ke sa mping. Kecepatan permainannya
ternyata sudah diperhitungkan, dia yakin Kun-gi takkan berani
menya mbut pukulannya ini dan pasti akan berkelit ke samping, oleh
karena itu walau tepukan tangannya tadi membawa da mparan
angin kencang, tapi yang dia utama kan adalah cengkermannya ini.
Baru saja Kun-gi berkelit, belum lagi kakinya berdiri tegak, lima
jalur angin kencang tahu2 sudah menerjang pundak. cengkera man
ini t idak kelihatan di ma na letak keiatimewaannya, tapi pada saat
kelima jarinya bergerak ini dia m2 telah menye mbunyikan tiga kali
gerak perubahan susulan, cara bagaimana Kun-gi akan me nangkis
atau berkelit tetap takkan luput dari ketiga gerak serangan susulan
itu. Inilah salah satu jurus Kim-na-jiu-hoat yang lihay sekali dari
aliran Eng-jiu-bun.
Penonton me mang tiada yang melihat jelas adanya perubahan
susulan dala m cengkera man ini, cuma terdapat orang dari menepuk
berubah mencengkera m dan tahu2 pundak Kun-gi ha mpir saja
dipegangnya, keruan semua orang berkuatir bagi Ling Kun-gi.
Kejadian berlangsung cepat bagai percikan api, ke lima jari Kiu-
cay-boan-koan bagai kaitan besi tajam, pada detik2 ha mpir
menyentuh pundak lawan, dalam hati dia bersorak girang,
wajahnyapun mengulum senyum sinis.
Tak terduga ketika ujung jarinya menyentuh baju dipundak Ling
Kun-gi, tiba2 Kun-gi mendak sa mbil berkisar dan tahu2 lenyap dari
pandangan. Bukan saja Leng Tio-cong, penontonpun tiada yang
me lihat jelas cara bagaimana Kun-gi berhasil menghindarkan diri.
Bukan saja meluputkan diri dari cengkera man ganas, dia malah
sudah berkisar ke bela kang lawan-
Begitulah pertandingan itu terus berlangsung dan sudah dapat
diduga lebih dulu, akhirnya Ling Kun-gi keluar sebagai juara dan
diangkat sebagai cong-hou-hoat, Sebagai co-yu-hou-hoat masing2
adalah Leng Tio-cong dan coa Liang.
Semua anggota Pek-hoa-pang bersorak ge mbira dan suara
ucapan selamat datang diri segenap penjuru. Para Hou-hoat yang
sudah terpilih juga tunduk kepada pengangkatan itu mengingat Ling
Kun-gi me mang telah me mperlihatkan kepandaiannya yang sejati.
Dala m ucapara pengangkatan jabatan baru itu, Thay-siang
menyerahkan pula sebilah pedang pusaka "Ih-thian-kia m" kepada
Kun-gi dan diputuskan pula ma la m nanti akan diadakan pesta besar.
Petangnya setelah istirahat, datanglah pelayan me mberitahukan
kepada Kun-gi bahwa perjamuan sudah siap dan Pangcu serta Hu-
pangcu telah menunggu. . .
Kun-gi bergegas menuju kependopo disertai para co-yu-hou-boat
dan Hoa-hoat-su-cia.
Ling Kun-gi mengena kan jubah hijau dengan lh-thian-kia m
tergantung dipinggang, mendahului rombongannya masuk
kependopo, para dara kembang yang sudah hadir la ma bertepuk
tangan menya mbut kedatangannya.
Pada meja ujung kanan sana berduduk Pek-hoa pangcu dan Hu-
pangcu, merekapun berdiri menyambut kedatangannya. Dalam
perjamuan besar mala m ini, Pangcu dan Hu-pangcu adalah tuan
rumah. begitu berdiri Pek-hoa-pangcu segera buka suara: "Dengan
bersyukur dan senang yang tak terhingga, kita seluruh
persaudaraan Pek-hoa-pang menya mbut kehadiran cong-hou-hoat.
coh-yu-hou-hoat dan para Hou-hoat serta yang lain2, hidangan arak
kami suguhkan untuk merayakan hari bahagia yang takkan
terlupakan untuk sela manya ini, sila kan-"
Kun-gi rnerangkap tangan, katanya: "Pangcu dan Hu-pangcu
mengadakan perja muan ini, ha mba berama i sungguh sangat
berterima kasih"
Di tengah pendopo berjajar tiga meja besar yang ditata segi tiga.
Tamu hari ini adalah cong-hou-hoat, coh-yu-hou-hoat dan
kedelapan Hou-hoat, maka meja di tengah diduduki Ling Kun-gi.
Leng Tiong-ciong dan coa Liang bertiga. Meja perta ma di sebelah
kiri diperuntukan kedelapan Hou-hoat. Sebagai tuan rumah Pangcu
dan Hu-pangcu duduk di meja paling atas sebelah kanan-Lalu ber-
turut2 di sebelah kiri adalah ke 24 Hou-hoat-su-cia, Giok-lan
congkoan dan 12 Taycia duduk di sebelah kanan dikerubung para
dara2 ke mbang.
Perjamuan ini untuk merayakan pengangkatan cong-hou-hoat-su-
cia yang baru, walau Pangcu mereka juga hadir, tapi Pangcu lain
dengan Thay-siang yang menimbulkan rasa segan dan hormat, oleh
karena itu perasaan para hadirin tidak tertekan dan dibatasi, semua
riang gembira. Apalagi pada Saat Pangcu dan Hu-pangcu bergantian
menyuguh arak, lalu disusul congkoan dan 12 Taycia, sudah tentu
dara2 kembang yang lain juga tidak mau ketinggalan, semuanya
mencari kesempatan untuk menonjolkan diri. yang susah adalah
Ling Kun-gi, entah berapa banyak Cangkir arak telah masuk
perutnya yang menjadi ke mbung. De mikian pula para Houhoat yang
lain se muapun setengah kelengar karena terlalu banyak menengga k
arak. Sebaliknya Pangcu, Hu-pangcu, congkoan dan ke12 Taycia
sendiri yang biasanya jarang minum sebanyak ini kini juga sa ma
lungla i dan mabuk.
-oo0dw0oo-

Menjelang tengah ma la m. Kun-gi yang sudah mabuk dibimbing


dua pelayan yang disuruh Giok-lan ke mba li ke tempat
penginapannya semula. Sinar bulan purna ma sedemikian bening
dan le mbut, menyorot masuk menyinari jende la ka mar.
Daun jendela di sebelah kanan ka mar tidur Ling Kun-gi masih
terpentang lebar, sinar lampu sudah dipada mkan sehingga suasana
gelap gulita tak terdapat apa2. Bau arak yang tebal terurar keluar
terbawa angin la lu.
Kun-gi tengah duduk bersimpuh di atas ranjang, dengan
Lwekang yahg tinggi dia desak arak ke luar dari badannya sehingga
basah kuyup berbau arak. Sekarang dia sudah sadar. Untung juga
maka dia baru saja sadar dan duduk semadi. dalam keadaan hening
dan tajam indranya, tiba2 didengarnya suara lirih dari pucuk pohon
di luar pekarangan sana. Itulah suara pakaian yang tergores ranting
pohon, sudah tentu suaranya amat lirih. jelas bahwa Ginkang
pendatang ini teramat tinggi. Tergerak hati Kun-gi dia angkat kepala
menoleh ke luar.
Tampak di antara celah2 dedaunan yang di atas pohon sana
seperti berkelebat selarik sinar perak. lalu disusul suara jepretan
keras, serumpun bint ik2 perak ke milau secepat kilat menya mber
masuk dari jendela. Untung Kun-gi sudah waspada begitu
mendengar suara mencurigakan itu segera dia sudah siaga, kalau
dia tidak me ndengar suara keresekan tadi, mungkin dia terla mbat
dan jiwanya akan me layang oleh serangan gelap yang keji ini.
Tatkala bintik2 perak itu menyamber datang, dia sudah kerahkan
tenaga pada kedua lengan bajunya, ia tetap bersimpuh, tapi
badannya mengelak mundur ke dala m ranjang. Begitu hujan senjata
tiba ia terus kebut kedua lengan bajunya, ilmu sakti ajaran Hoan-jiu-
ji-lay yang dina makan "Kian-kun-siu" (lengan baju sapu jagat)
segera dikembaskan, bintik2 perak yang tak terhitung banyaknya itu
kini digulung se luruhnya. Bak batu jatuh ke dala m hutan tida k
menimbulkan riak gelombang apapun.
Pembokong di atas pohon seketika sadar adanya gejala ganjil,
sesosok bayangan hitam segera me layang dari pucuk pohon
me lompati te mbok pagar terus ngacir ke luar pekarangan-
Kun-gi mendengus: "Kau mau lari? " Berbareng dia sendal lengan
bajunya, jarum2 yang tak terhitung banyaknya itu dia buang
kepinggir dinding sana, segesit tupai ia me lejit keluar jende la terus
menguda k ke arah bayangan hita m yang me larikan diri tadi, hanya
sekejap bayangannyapun lenyap di kejauhan-sana
oooodwoooo
Cahaya bulan yang remang2 kebetulan tertutup oleh awan lalu,
sehingga keadaan dala m ka mar se makin ge lap lagi. pada waktu itu
dari tembok sebelah t imur sana tiba2 muncul sesosok bayangan
tinggi, tanpa mengeluarkan suara bayangan ini meluncur ke arah
jendela ka mar Ling Kun-gi, sekali lompat dengan gesit dia
menyelinap masuk ka mar.
Segala kejadian di dunia ini se-akan2 sudah ditakdirkan, baru
saja bayangan hitam tadi menyelinap masuk ka mar, dari arah
serambi sana tampak pula bayangan se ma mpai yang ge mula i
tengah mendatangi dengan langkah ringan-Inilah seorang nona
berperawakan ramping, montok berisi. Sinar bulan tertutup awan
tebal, dan sekelilingnya gelap gulita, umpa ma tidak melihat
wajahnya, tapi kebentur badan orang yang putih halus dan lembut
serta lekuk badannya, yang jelas laki2 siapa yang takkan terpikat,
me mang dia inilah nona cantik yang genit dan sedang kasmaran.
Langkah yang enteng cepat, tidak mengeluarkan suara. Di
tengah ma la m gelap. sepasang matanya berkelap-ke lip seperti
bintang dilangit, tiba2 biji matanya mengerling ke sana, kiranya dia
me lihat jende la ka mar yang terpentang lebar itu, tanpa terasa
mulutnya bersuara kuatir dan penuh perihatin, cepat2 dia
mengha mpiri jendela.
Orang di dalam ka mar itu ternyata punya pendengaran yang
amat tajam pula, mendengar suara tadi, seketika jantungnya seperti
hampir copot, dala m suasana yang kejepit ini terang tak mungkin
dia menyingkir lagi, maka cepat2 dia melompat ke ranjang, ia
menyingkap kela mbu terus menerobos masuk dan merebahkan diri.
Sementara itu bayangan se ma mpai sudah tiba di depan jendela,
terdengar omelnya: "Sin-ih itu me mang budak pantas ma mpus,
kenapa jendela tida k ditutup,"
Lirih suara orang di luar jendela. tapi orang yang sembunyi di
atas ranjang seketika tahu dan dapat me mbedakan siapa gerangan
nona yang berada di luar itu, seketika darahnya tersirap.
Bayangan ramping itu me mbetulkan letak sanggulnya, lalu
dengan suara lirih ale man ia berseru ke dala m: "Ling-toako, kau
sudah sadar belum? " Sudah tentu orang di dala m ka mar tida k
berani bersuara.
Cekikikan bayangan sema mpai di luar itu, sekali menggeliat
pinggang, seperti sengaja mengha mburnya bau harum di badannya,
sigap sekali dia me lompat masuk ke dekat ranjang. Bau arak masih
me menuhi ka mar, sudah tentu iapun merasakan ini, maka a lisnya
berkerut, tapi suaranya lebih le mbut dan prihatin: "coba lihat,
mabuk sampa i begini" Sembari omong tangannya lantas
menyingkap kela mbu, jari2 yang runcing halus segera meraba dan
menepuk pundak, teriaknya tertahan: "Ling-toako, Ling-toako,
bangunlah"
Sudah tentu jantung orang di ranjang seperti hendak melompat
keluar dari rongga dadanya, dia pejamkan mata dan tak berani
bersuara atau bergerak2 Tapi rasanya janggal kalau tida k
menyahut, maka dengan samar2 dan bersuara dala m
kerongkongan..
Bayangan semampa i itu mengelupas kedok mukanya yang tipis,
pelan2 ia me mbungkuk badan, mulutnya meniup pelan ke kuping
orang, lalu berkata ale man: "Kenapa kau? "
Betapa besar daya tarik suaranya?
Manusia tetap manusia, apalagi di dala m ka mar yang gelap
gulita, satu sama lain toh tak melihat wajah masing2 segera orang
itu me megang tangan si ra mping yang le mbut halus dan berdesis
dengan suara ge metar: "Kau . . . . "
Si ra mping biarkan saja tangannya dipegang, tidak menarik juga
tidak meronta, suaranya semakin riang dan lirih: "Aku kuatir a kan
keadaanmu, maka kutengok ke mari."
Orang itu menekan suaranya menjadi serak. katanya: "Terima
kasih"
"Me mangnya siapa suruh kau menjadi Toako-ku . . . . " omel si
ramping dengan suara genit menawan hati.
"Kau ba ik sekali," suara orang itu lebih ge metar.
Si ra mping cekikikan, katanya lirih: "Kau, .... kenapa kau
gemetar?"
Begitu dekat jarak mereka, bau badannya yang harum semerbak
bikin laki2 manapun akan mabuk kelengar.
Sudah tentu jantung orang yang rebah di atas ranjang itupun
berdebur keras, dia tidak bersuara, tapi kedua tangan mendadak
merangkul. Dengan menjerit kaget mendadak bayangan ra mping
itu-pun menjatuhkan diri ke dala m pe lukannya. Tanpa diberi
kesempatan orang bicara, bibirnya yang kasar dan hangat segera
me lumat bibir si ra mping yang merekah bagai delima. Ternyata si
ramping tidak meronta dan biarkan saja dirinya ditindih dan
menurut saja apa kehendak lawan jenisnya, sejenak kemudian
hanya terkadang terdengar suara rintihan tertahan.
Mala m sunyi, debar jantung dua insan sa ma bersahutan, kecuali
dengus napas mereka yang se makin me mburu, tak terdengar suara
lain-Tapi jari tangan yang kasar mulai nakal, beraksi turun naik
me mbuat olah kasar. caranya yang semakin berani ini se makin
mantap dan tenang, sebaliknya si ramping jadi ge metar dan
mengge liat, menggelinjang, dala m seribu kegelian.
Sayang keadaan gelap gulita sehingga ia tak bisa me lihat warna
merah delima nan me mpesona lesung pipit dipipisi ra mping, sorot
matanya me mancarkan kenikmatan yang luar biasa, tapi secara
langsung dia merasakan suhu badan si ramping semakin hangat dan
berkobar, menimbulkan daya tarik yang tak tertahankan. Kini yang
gemetar, yang menggelinjang kenikmatan malah si ra mping.
Maklumlah kejadian ini me mang sebelumnya sudah di dala m
dugaannya, karena kasmaran yang tak tertekan, demi mendapatkan
pujaan hati, sehingga tak kuasa menahan buruan kalbu lagi,
betapapun dia tidak rela orang lain merebut laki2 yang mengukir di
kalbunya ini.
Pola lawan jenisnya me mang terlalu keras kalau tidak mau
dikatakan terlampau kasar dan bernafsu, tapi sedikitpun dia tidak
dendam, malu atau kesakitanpun tida k terasakan lagi, karena
semua ini me mang sudah dala m bayangannya, sudah direlakan
Yang jelas badannya gemetar, disamping merasa nikmat hatinyapun
kuatir dan ce mas. Maklumlah biasanya betapa tinggi harga dirinya?
Betapa dirinya penuh wibawa dan diagungkan? Tapi kini segala
keagungan, kesucianpun tiada bekas lagi, bak umpa ma burung kecil
yang ketimpa musibah, pasrah nasib be laka.
Rembulan tidak pernah menongol ke luar pula dari balik awan,
keadaan tetap gulita di dala m ka mar, setelah mengala mi gejola k
me mbara yang me mbawa tautan hati ke sorga loka, lambat laun
rangsangan yang me mbara itu mereda dan akhirnya padam
me mbuat se luruh tubuh le mas lunglai.
Bayangan ramping itu angkat kepala, suaranya lembut dan
aleman: "Toa ko, kau. ... .
Diciumnya sekali pipi si nona, lalu, berkata orang itu: "Moay-cu
(adik), kau harus lekas pergi"
"Kau takut? " tanya bayangan ramping itu.
"Bukan," sahut laki2 itu dengan hangat dan rawan, "bukan takut,
tapi aku kuatir bila kau dilihat orang, tentu a mat merugikan
pribadimu."
Bayangan ramping itu bersuara dala m mulut. Me mangnya dia
berwatak angkuh, tinggi hati, sudah tentu perbuatannya ini pantang
kepergok orang, lekas2 dia berdiri serta mengenakan paka ian lagi,
lalu katanya berpesan: "Aku pergi, besok persoalan apapun yang
dibicarakan Thay-siang, jangan kau .... "
"Adikku yang baik," sela orang itu, "jangan kuatir, aku sudah
tahu ma ksudmu."
"Hm, me mangnya kau berani," kata si ramping sambil angkat jari
telunjuk menutul jidat orang, lalu seringan asap bayangannya
me layang keluar jende la dan lenyap ditelan gelap.
Tiba2 timbul rasa penyesalan dalam benak si laki2, tak berani
ayal iapun kenakan pakaiannya, sesaat dia berdiri menjublek di
dalam ka mar, akhirnya ia menarik napas panjang, ia mengguma m
sendiri: "Ini bukan salahku." Setelah me mbanting kaki, iapun
menge luyur pergi melalui jendela .
OodwoO
Beruntun kedua orang ini berlalu, sebetulnya bak umpa ma awan
berlalu dan hujan sudah mereda, impian dala m sorgapun sudah tak
berbekas lagi, tatkala itu kentongan ketigapun sudah lewat, siapa-
pun takkan tahu akan kejadian di da la m ka mar ini. Tapi segala
sesuatu di dunia ini justeru sering terjadi di luar dugaan, sesuatu
yang dikira tidak di ketahui orang atau iblis justeru bisa bocor di luar
dugaan-
Waktu perbuatan mesum dua insan ini sedang berlangsung,
sekuntum bunga mawar telah menyaksikan di luar jende la. Dia
bukan lain ada lah Un Hoan-kun yang menyaru si ke mbang mawar
alias Bi-kui. Ia berdiri di bawah jendela, mendengar dengus napas
me mburu dari sepasang manusia yang dibua i nafsu birahi, merah
jengah selebar mukanya, sungguh hatinya terasa hancur luluh.
Sungguh tak pernah terpikir olehnya laki2 tambatan hatinya
ternyata adalah hidung belang yang begini kotor dan tak kenal
ma lu. Dia marah, malu, penasaran dan benci, perasaannya hancur
berderai, dengan berlinang air mata dia m2 dia tinggal pergi.
00odwo00

Waktu Kun-gi me mburu sa mpa i di atas tembok tadi, bayangan


hitam yang menyerang dirinya dengan senjata rahasia itu sedang
me luncur pesat keluar pe karangan-
Dia m2 dia mengerut kening, pikirnya: "Ginkang orang ini a mat
tinggi, apalagi dia melangkah lebih dahulu, betapa luas markas Pek-
hoa-pang ini, asal dia menyelinap ke te mpat gelap. kemana pula
aku akan me ngubernya? "
Hati berpikir, tapi kaki tetap mengudak dengan kencang.
Gerak-gerik bayangan hitam itu a mat tangkas dan cekatan, baru
saja Kun-gi mela mpaui pagar tembok, didapati bayangan itu sudah
berada 20 tombak lebih, tapi masih berlari kencang seperti dikejar
setan. Mungkin takut me mbuat berisik sehingga jejaknya ketahuan
orang Pek-hoa-bun, maka dia tida k berani menuju ke bangunan
gedung yang berlapis2 itu, pada hal disana banyak tempat gelap
untuk menye mbunyikan diri.
Melihat orang belari2 lurus menuju keluar, sudah tentu kebetulan
bagi Kun-gi, dia menguda k terus sambil menge mbangkan
ginkangnya. Bayangan didepan ternyata sangat apal tentang liku2
Hoa-keh-ceng ini, jarak mere ka me mang cukup jauh, kebetuan
rembulan sembunyi di ba lik awan lagi sehingga keadaan gelap.
kadang2 dia menghilang lalu muncul lagi di antara bayang2
bangunan gedung. Betapapun cepat Kun-gi mengudak tetap
ketinggalan-
Hoa-keh-ceng merupakan markas pusat Pek-hoa-pang, banyak
terdapat pos penjagaan, bahwa orang ini dapat mengelabui mata
kuping para penjaga dan ronda mala m, je las menandakan bahwa
orang itu tentu bukan orang luar.
Dala m sekejap mata mereka sudah saling kejar ke luar dari pagar
tembok Hoa-keh-ceng yang tinggi. Kini mereka berada di lereng
sebuah bukit yang penuh ditumbuhi rumput hijau, batu2 gunung
terserak di sana-sini, se mak belukar jarang terinja k manusia.
Melihat Kun-gi terus mengudak dengan kencang, bayangan hitam
di depan itu semakin gugup, maka dia mene mpuh jalan belukar dan
lari tanpa menentukan arah. Sudah tentu hal ini menimbulkan rasa
curiga Kun-gi, pikirnya: "Untuk apa dia me mancingku ke tempat ini,
me mangnya disini ada jebakan? "
Tapi dia berkepandaian t inggi dan bernyali besar, umpa ma betul
musuh ada bala bantuan di depan sana juga dia tidak gentar. Pula
bila orang ini betul adalah anggota Pek-hoa-pang, tentulah salah
seorang yang tadi siang telah dikalahkan dala m pertandingan,
karena merasa dengki dan penasaran, maka mala m ini dia hendak
menuntut balas dengan me mbokong secara keji dengan senjata
rahasia beracun. Walau awak sendiri tidak ingin mencari musuh,
betapapun Kun-gi ingin me mbongkar kejahatannya. Kalau bisa
dibujuk agar mene mpuh jalan benar dan menjadi orang baik.
Sekarang mereka saling kejar di lereng bukit yang belukar, tapi
tiada suatu tempat untuk menyembunyikan diri, kepandaian Kun-gi
me mang lebih tinggi, ma ka jarak kedua pihak telah ditarik pendek.
Jelas sebentar lagi dia akan berhasil menyandak musuh, sementara
itu mereka sudah saling udak mende kati tepi danau, air danau
setenang kaca tertimpa sinar re mbulan menimbulkan cahaya
ke milau yang mempesona, sementara kabut mengembang datang
mena mbah suasana menjadi redup,
Bayangan hitam di depan tiba2 berlompat meluncur ke atas batu
gunung yang tinggi, laksana elang yang berhasil menya mber anak
ayam, dengan tangkas dia meluncur turun ke balik batu padas besar
sana.
Jarak kedua pihak kini tingga l sepuluhan tombak. beruntun dua
kali lompatan Kun-gi sudah mengejar tiba. Batu cadas itu setinggi
tiga tombak, di bawah adalah air danau, jelas tiada jalan la in untuk
me larikan diri, tapi selepas mata Kun-gi menjelajah, Sekelilingnya
sunyi senyap tiada kelihatan ada tanda apa2, entah ke mana
gerangan bayangan hitam tadi? Me mang te mpat ini dikelilingi
belukar, tapi rumput tumbuh hanya setengah pinggang orang, tak
mungkin orang se mbunyi di se mak2 rumput, kecuali sudah kepepet
maka dia nekat terjun ke air? Inipun t idak mungkin, betapapun
lihaynya seseorang main dala m a ir, begitu dia terjun pasti
menimbulkan riak gelombang dan tak mungkin selekas ini tenang
ke mbali. Kenyataan air danau setenang kaca, cipratan airpun tak
kelihatan.
Berdiri sejenak di atas batu cadas, dia menunggu dan menanti
reaksi, tapi tetap tak me mperoleh jawaban, mendadak tergerak
hatinya: "Jelas dia tadi lari ke mari kenapa jejaknya menghilang,
kalau dia apal se luk-be luk dala m perka mpungan ini tentu apal juga
keadaan luar sini, sengaja aku dipancing ke mari, lalu tiba2
menghilang, me mangnya di bawah batu ini ada jalan lain yang
mene mbus entah ke mana? " Segera dia me longok ke bawah
mengincar suatu tempat untuk te mpat berpijak. la lu dengan enteng
dia melompat turun.
Kakinya berpija k pada sebuah batu di antara semak2, betul juga
didapatinya bagian bawah ini longgar dan lapang, seperti serambi
panjang di rumah gedung layaknya, sebuah jalanan kecil berlumut
menjurus masuk ke sela2 batu besar yang tiba cukup untuk berjalan
satu orang. Bagian luarnya tertutup rumput tinggi, umpa ma siang
hari juga sukar orang menemukan te mpat ini, apalagi dipandang
dari atas takkan kelihatan.
Tempo hari Kun-gi mendengar dari Giok-lan yang mengatakan
bahwa perahu orang2 Hek-liong-hwe yang menyelundup ke mari
dise mbunyikan di bawah tebing, "Mungkin di sinilah letak dari tebing
itu?" otak berpikir, sementara kaki me langkah ke depan-Kira-2
puluhan tomba k ke mudian, tiba2 di-lihatnya seperti ada sesosok
bayangan orang rebah tengkurap di atas pasir di depan sana.
Sekali lompat Kun-gi me mburu maju, ia dapat me lihat di te mpat
gelap. setelah dekat didapatnya orang ini mengenakan paka ian
ketat warna hijau, golok terselip dipinggangnya, dandanannya mirip
centing Pek-hoa-pang. Setelah diteliti didapatinya pula jiwa orang
sudah melayang, sesaat lamanya karena terhantam dadanya oleh
pukulan berat.
Terpancar cahaya gemerdep dari bola mata Ling Kun-gi.
batinnya: "orang ini jelas adalah centing yang ditugaskan berjaga di
sini, golok yang tergantung dipinggangpun belum se mpat tercabut,
tahu-jiwa sudah melayang, tentunya orang tadi kuatir centhing ini
me mbocorkan rahasianya maka dia di bunuh untuk menutup
mulutnya." Waktu dia berdiri tegak. dilihatnya dise mak2 rumput di
depan sana ada sesosok mayat pula. orang inipun mengena kan
seragam warna hijau berdandan sebagai centing. Kemungkinan dia
terpukul mencelat sehingga terlempar sejauh itu, jiwanya jelas
sudah amblas.
Berkeriut gigi Kun-gi saking ge mas, dia m2 dia berjanji akan
mengusut perkara ini dan mencari tahu siapa gerangan bayangan
itu untuk menghukumnya secara setimpal. Kedua centing ini sudah
mati beberapa saat, ini berarti pembokong itu tentu sudah pergi
jauh dan tak mungkin dikejar lagi, ia putar balik dan akan melompat
ke atas tebing.
Pada saat itulah mendadak didengarnya suara isak tangis sedih
me milukan di atas, isak tangis se-orang pere mpuan, begitu sedihnya
sampai tersendat2 dan banting2 kaki.
Heran Kun-gi, waktu ini sudah kentongan ketiga lewat tengah
ma la m, me mangnya siapa yang datang kepinggir danau dan
bertangisan disini? suara tangis seorang perempuan, tentu dia salah
satu dara kembang dari Pek-hoa-pang. Mungkin dia mene mukan
ke matian kedua centing, salah seorang centing adalah kekasihnya,
maka dia menangis begini sedih?
Tengah Kun-gi menduga2, tiba2 didengarnya perempuan itu
berkata sambil sesenggukan: "Ling Kun-gi, oh, Ling Kun-gi, akulah
yang buta, sungguh tak nyana kau . . . . . Ai, aku ....... aku juga
tidak ingin hidup lagi ......" Suaranya terputus2 oleh sendat
tangisnya, lemah dan lirih, tapi di ma la m sunyi ini Kun-gi dapat
mendengarnya jelas sekali, terutama setelah akhir kata2nya,
langkah kakinyapun terdengar menuju ke pinggir danau. Jelas dia
nekat hendak bunuh diri.
Sudah tentu Kun-gi berjingkat kaget, lekas dia berteriak: "Jangan
nona" Sebat sekali dia men-jejak ka ki mengapung ke atas.
Bahwa di bawah tebing ada orang sudah tentu tidak terpikir oleh
si nona, tanpa sadar dia menyurut mundur, bentaknya: "Siapa kau?
"
Kini Kun-gi sudah melihat jelas siapa nona di hadapannya yang
menangis ini, ia kaget dan keheranan, katanya sambil mengawasi
tak berkedip: "Apakah yang terjadi? Bilakah aku pernah berbuat
salah padamu ......"
Nona ini bukan la in adalah Un Hoan-kun yang menyamar jadi Bi-
kui, air mata masih berlinang2 di kelopak matanya, ia terbeliak
mengawasi Kun-gi, iapun kaget dan heran, tanyanya: "Kau ......
bagaimana kau bisa berada disini? "
"coba kau dulu yang bicara, kenapa kau sembunyi di sini dan
menangis? "
Nanar pandangan Un Hun-kun, katanya dingin: "Tidak. kau dulu
yang bicara, bukankah kau mengunt it aku ke mari? " Dia
mengenakan kedok sehingga sukar terlihat mimiknya, cuma
biasanya dia bersifat lembut dan ha lus, bijaksana lagi, kata2nyapun
ramah, kini dia bicara dingin ketus, jelas gelagatnya jelek.
Dia m2 Kun-gi ber-tanya2 dalam hati, katanya kemudian "Cayhe
me mang menguntit seseorang ......." sampai di sini mendadak dia
seperti ingat sesuatu, lalu tanyanya gugup: "Waktu kau kemari
adakah kau berte mu dengan seseorang? "
Un Hoan-kun dapat merasakan nada ucapan Kun-gi itu me mang
menguntit seseorang, maka dia bertanya siapa yang di maksud?
"Entah siapa dia, dia keja m dan licin, aku menguntitnya sa mpai di
sini, sayang dia berhasil lolos, malah dua centing di bawah sana
juga dibunuhnya ....."
Betapapun Un Hoa-kun ada lah nona yang cerdik, dia tahu dala m
soal ini mungkin ada latar belakangnya yang ber-belit2, segera dia
balas bertanya: "Coba katakan, berapa lama kau keluar? "
"Cukup la ma, sedikitnya sudah satu ja m."
Un Hoa-kun mendesak lagi: "Bahwa kau tak tahu siapa dia,
kenapa kau menguntitnya ke mari? "
Terpaksa Kun-gi tuturkan kejadian yang diala mi, lalu
menya mbung tertawa: "Sudah, kini giliranmu yang bicara, untuk
apa seorang diri kau lari ke mari? Tadi seperti kudengar kau tida k
ingin hidup segala, me mangnya kenapa? "
Mendengar cerita Kun-gi, Hoan-kun sudah tahu akan duduknya
persoalan, tapi sebagai seorang gadis perawan yang masih suci
bersih, sudah tentu tak mungkin dia menceritakan adegan mesum
yang disaksikannya tadi. Dengan muka merah terpaksa dia
menjawab: "Kau tak usah tanya, hatiku amat risau, perlu ja lan2
keluar untuk menenangkan perasaanku, lekas kau ke mbali, lebih
cepat lebih ba ik."
Sudah tentu Kun-gi juga bukan pemuda goblok. iapun merasakan
dibalik ucapan Un Hoan kun ini masih ada persoalan tersembunyi,
maka dia bertanya: "Dari omonganmu kurasakan seperti terjadi
sesuatu? "
"Lekas pergi, setelah kemba li kau akan tahu sendiri," kata Un
Hoan-kun.
Dirundung berbagai pertanyaan, Kun-gi masih menegas: "Kau
tidak pulang saja bersa maku? "
"Kalau jalan bersa ma mu, dilihat orang tentu kurang le luasa, kau
boleh berangkat lebih dulu, tunggulah aku dipekarangan yang
gelap."
"Kutinggal kau di sini, hatiku tidak tenteram, ayolah pulang
bersama."
"Bikin jengkel orang saja," ome l Un Hoan-kun, "kalau terla mbat
sudah tiada gunanya lagi."
Kun-gi tidak bergerak. tanyanya: "Kau pasti ada urusan, kenapa
tidak kau beritahukan padaku? "
"Tiada waktu untuk kujelaskan, hayolah pulang bersama, nanti
berpisah di luar tembok, soal ini a mat besar artinya, jangan kau
tunda2, pulanglah dulu ke ka marmu dan kau akan tahu, tapi jangan
kau masuk begitu saja, biar aku me mberitahukan Congkoan dulu,
ma la m ini a ku bertugas bersama Hong-sian, katakan saja waktu
ke mbali kau bersua dengan aku."
Mendengar orang berpesan secara serius, se-olah2 ditempat
tinggalnya telah terjadi sesuatu, maka Kun-gi mengangguk.
katanya: "Baiklah, hayolah pulang."
Mereka tidak bicara lagi, keduanya sama2 menge mbangkan
Ginkang dengan cepat tiba di luar pagar tembok tinggi yang
menge lilingi Hoa-keh-ceng. Un Hoan-kun me mberi tanda gerakan
tangan terus mela mbung ke atas tembok dan melesat ke belakang
sana.
Sementara Kun-gi juga mengapung terus me lejit lebih jauh ke
depan-mendadak didengarnya seorang me mbentak tertahan:
"Siapa? "-setitik sinar ke milau tahu2 meluncur ke muka Kun-gi.
Sekali raih dengan mudah Kun-gi tangkap senjata rahasia itu,
kiranya sebutir pelor perak. sementara mulutnya berseru: "Cayhe
Ling Kun-gi"
Dari te mpat gelap ta mpak melompat keluar seorang laki2
berseragam hitam, begitu me lihat jelas akan Ling Kun-gi, lekas dia
me mbungkuk dengan gugup, katanya: “Ha mba Kho Ting-seng,
maaf, kesembronoanku patut dihukum mati ......"
Laki2 ini ada lah salah satu Hou-hoat-su-cia yang dinas jaga,
maka dengan tertawa Kun-gi lantas berkata: "Kho-heng tak usah
berkecil hati. Cayhe meluncur dari luar te mbok. adalah jama k ka lau
menimbulkan rasa curiga. Cuma untuk selanjutnya Kho-heng harus
lihat jelas dulu baru boleh turun tangan-"-Se mbari bicara dia
angsurkan ke mba li pelor perak itu.
Orang she Kho mengia kan sa mbil menerima pelor peraknya, Kun-
gi bertanya pula: "Apakah mala m ini giliran Kho-heng berjaga? "
"Ya," sahut Kho Ting-seng, "ada empat orang yang mendapat
giliran jaga, ha mba ditugaskan jaga di sebelah tenggara sini.”
“Apakah Kho-heng tadi me lihat ada orang masuk ke mari? "
Kho Ting-seng melengak. katanya: "Maksud Cong-hou-hoat ada
musuh yang menyelundup ke-mari? "
"o, tidak." ujar Kun-gi, "aku hanya tanya sambil la lu, kalau t iada
me lihat ya sudahlah."
"Sejak giliran ha mba berjaga tadi terus mondar-mandir di sekitar
sini, kalau ada orang menyelundup masuk tentu hamba dapat
me lihatnya."
Kun-gi manggut2. "Bagus sekali, baiklah aku mohon diri," setelah
balas hormat, sekali jejak kedua ka ki ia lantas melejit t inggi
me luncur kepekarangan bela kang.
Karena pesan Un Hoan-kun tadi amat wanti2 dan serius, se-olah2
telah terjadi suatu peristiwa di dalam ka marnya, maka sepanjang
jalan ini dia tingkatkan perhatian dan kewaspadaan, sinar pelita
sudah padam di daerah pekarangan tengah, keadaan sunyi tenang
tiada gerakan apa2 yang mencurigakan-
Secara diam2 dia meluncur turun di balik pagar te mbok serta
me mperhatikan ka mar tidurnya, dua jendela disebelah selatan tetap
terpentang lebar, keadaan hening, lelap seperti dirinya keluar tadi,
tiada tanda2 perubahan lainnya puia, keruan ia heran dan ber-
tanya2 kenapa Un Hoan-kun mendesak dirinya lekas ke mbali ke
kamar tidur? Mengingat nona Un biasanya hati2 dan cermat, setiap
menghadapi persoalan tentu dikerjakan dengan ba ik dan rapi, tak
mungkin kali ini dia menipu diri nya..
Entah kenapa pula nona itu tida k mau menjelaskan persoalannya,
seakan2 bila dirinya lekas ke mbali akan segera mendapat jawaban,
tapi kenapa pula dirinya diharuskan menunggu dia menyusul datang
setelah me mberi laporan kepada Congkoan-Me mangnya ada
kejadian apa? Se marin dipikir se makin mengganjel perasaan.
"Me mangnya ada orang hendak mence lakai diri-ku secara
dia m2?" de mikian batinnya. Inipun tidak mungkin, umpa ma betul
seorang ada maksud mencela kai jiwanya, tak mungkin dia sembunyi
di dala m ka marnya. Maka sekian lamanya dia berdiri dia m di tempat
gelap. tapi setelah ditunggu beberapa kejap tetap tidak terlihat ada
tanda apa2.
Untunglah dikala Kun-gi sudah ha mpir kehilangan kesabaran,
didengarnya desir angin mala m yang lirih dari ba lik te mbok sana,
waku Kun-gi menoleh, dilihatnya dua bayangan orang muncuf di
atas tembok. Seorang mengenakan pakaian serba putih, pedang
tergantung dipinggang, gayanya lembut laksana dewi kahyangan.
Seorang lagi berpakaian kencang, tubuhnya sema mpa i
menggiurkan-Mereka bukan la in adalah Congkoan Giok-lan dan Un
Hoan-kun yang me nyaru Bi kui.
Lekas Kun-gi menyongsong ke sana, katanya menjura:
"Mengganggu Congkoan saja."
Lekas Giok-lan balas hormat, matanya yang bening mengawasi
Kun-gi, katanya: "Bi kui Ling-kongcu menunggu, entah apa yang
telah terjadi di sini? "
Apa yang terjadi, Kun-gi sendiri juga tidak tahu, sudah tentu dia
tidak bisa menjawab, terpaksa dia berkata sekenanya: "Congkoan
sudah tiba, marilah bicara di da la m saja."
Sekilas Giok-lan mengerling, katanya: "Kiu-moay barusan lapor
padaku, katanya waktu dia lewat sini telah mendangar orang bicara
dalam ka mar, semula dikira Ling-kongcu sendiri, ternyata waktu dia
ronda sampai pekarangan tengah telah bertemu dengan Ling
kongcu yang sedang mengejar musuh, maka dia sadar adanya
gejala yang tidak sehat, cepat dia memberi laporpadaku, kini Ling-
kongcu sudah ke mbali, entah adakah sesuatu yang mencurigakan di
dalam ka mar ini? "
Kun-gi me mbatin: "o, ada orang sembunyi di dala m ka marku,
hanya soal begini saja kenapa t idak dijelaskan padaku? "
Dengan tersenyum dia lantas berkata: "Sejak Cayhe datang tadi
sudah kuperhatikan, tiada gerakan apa2 di sini, biarlah aku masuk
me meriksanya lebih dulu." Lalu dia hendak menerobos masuk lewat
jendela. “Hati2 Ling-kongcu" seru Un Hoan-kun gugup,
"Betul," sambung Giok-lan, "me mang Ling-kongcu harus lebih
hati2."
Kun-gi tertawa tawar, ujarnya: "Ya, tidak jadi soal."-Sekali lompat
dia menerobos masuk ke ka mar, matanya menje lajah seluruh
penjuru kamar, tapi tetap tiada kelihatan bayangan prang? Kiranya
sejak di luar dan waktu me lompat masuk tadi dia m2 dia sudah
pasang kuping danpentang mata, asal ada orang sembunyi di dala m
kamar pasti didengarnya. Kun-gi keluarkan geretan api, setelah
menyulut la mpu dia terus angkat palang dan membuka pintu,
katanya: "silakan kalian masuk"
Dia m2 Un Hoan-kun me mbatin: "Agaknya sudah terlambat,
kedua orang itu sudah pergi."
Giok-lan melangkah masuk lebih dulu, mata-nya yang jeli tajam
menje lajah ke segala penjuru, lalu berkata: "Kiu-moay bilang bahwa
Ling-kongcu mengejar musuh yang me mbokongmu, laporannya
tidak jelas, me mangnya siapa yang bernyali besar berani bertingkah
di te mpat kita ini? Harap Ling-kongcu sudi me njelaskan? "
Kecut tawa Kun-gi, katanya: "Cukup lama juga aku mengudak
dia, sayang tak berhasil kususul, malah dua Centing kita dibunuh
oleh nya, sungguh harus diaesalkan" Lalu dia ceritakan kejadian
yang diala minya.
Berkilat mata Giok-lan, katanya setelah merenung sebentar:
"orang ini bisa bergerak bebas menghindari pos2 penjagaan, jelas
ialah orang kita sen-diri, mungkin karena siang tadi dia kau
kalahkan dala m pertandingan, karena dendam maka mala m ini
hendak menuntut ba las secara menggelap."
"Cayhe juga pikir de mikian, pikirku hendak mengejarnya untuk
me mberi penjelasan dan me mbujuknya . "
"Besar nyali orang ini, berani ma in gila di sini, tapi dia bisa lolos
dari kuntitan Ling-kongcu, jelas Ginkang dan kecerdikannya
me mang lebih tinggi daripada orang lain," ujar Giok-lan-"Lalu
senjata rahasia yang Ling-kongcu gulung tadi entah ditaruh di
mana? "
Kun-gi menuding kepojok dinding, katanya: "Karena buru2
hendak mengejar musuh, maka kule mpar ke kaki te mbok itu."
Sinar la mpu me mang tidak sa mpai menyoroti ka ki tembok sana,
Giok-lan tidak perhatikan ka lau di ka ki te mbok ada jarum2
berserakan-Kini dengan cermat dia me mperhatikan, seketika
berubah rona mukanya. Dingin sorot matanya, katanya: "Mung-
kinkah dia orang Hek-liong-hwe?"
"Sa m-ci," Un Hoan-kun menyeletuk. "darimana kau tahu dia
orang Hek-liong-hwe? "
Dari kantong bajunya Giok-lan keluarkan sekeping besi se mbrani,
lalu menyedot sebatang jarum. Jarum ini lebih kasar dari jarum jahit
umumnya, seluruh batangnya berwarna hitam lega m, jelas dilumuri
racun jahat, Lalu sambil mengacungkan besi se mbrani, dia bertanya
kepada Kun-gi: "Apakah Ling-kongcu tahu asal-usul jarum baja ini?
"
"Cayhe tidak tahu," sahut Ling Kun-gi. .
Giok-lan tertawa tawar, katanya: "Racun yang dilumurkan di
jarum ini adalah getah beracun."
Sejak mula Kun-gi kira sipe mbokong adalah orang dala m Pek-
hoa-pang, mendangar Giok lan bilang dia orang Hek-liong-hwe,
tanpa terasa ia bersuara heran-Giok-lan berkata lebih lanjut, Jarum
baja ini dilepaskan dari Som-lo-ling, na manya adalah Sha-cap-lok-
khong-wi-hong-cia m (Jarum kumbang kuning 36 lubang)."
"Pengetahun Congkoan me mang luas, melihat jarum lantas tahu
nama dan asal-usulnya," demikian puji Kun-gi.
Manusia di kolong langit ini baik pria atau wanita, kalau dirinya
dipuji, tentu tidak kepalang riang hatinya. Terutama Giok-lan yang
sudah kasmaran terhadap perjaka di depannya ini, maka ia pandang
Kun-gi seolah2 sudah setengah miliknya-. Dengan penuh arti
matanya mengerling Kun-gi, katanya tersenyum malu2: "Thay-siang
pernah menerangkan soa l jarum ini, katanya jarum2 ini disimpan di
dalam kotak gepeng terbuat dari baja, seluruhnya ada 360 batang
yang tersimpan di da la mnya, maka dina makan Som-lo ling. yakni
seumpa ma firman raja akhirat (som-lo), sekali tekan bisa
menya mbitkan 36 batang, maka dina makan pula jarum kumbang
kuning 36 lubang."
"Senjata rahasia macam ini hanya dibikin oleh ahli yang luar
biasa," demikian tutur Giok— lan lebih lanjut, "konon jarum ini
adalah buah karya seorang pandai besi yang lihay, sampai sekarang
jarang ada orang Kangouw yang ma mpu meniru me mbuatnya.
belum pernah terjadi lawan yang diserang bisa selamat, kalau
ma la m ini yang diserang orang lain, tentu jiwanya takkan selamat
dari jarum2 berbisa ini."
"Mungkin nasib Cayhe lagi mujur," ujar Ling Kun-gi, "untung aku
sudah bersiaga sebelumnya."
Mengawasi jarum ditangannya, Giok-lan me nepekur sejenak,
katanya kemudian: "Jarum ini sudah dilumuri getah beracun, ini
berarti mereka sudah ma mpu me mbuat Som-lo-ling ini," sampa i
disini mendadak dia menoleh kepada Un Hoan-kun, katanya: "Kiu-
moay, coba kau hitung jumlahnya, apakah 36 batang? " .
Un Hoan-kun segera menghitung, lalu berka-ta: "Betul, di sini
ada 35 batang, ditambah satu menjadi 36 batang"
Bertaut alis Giok-lan, katanya: "Agaknya mereka me mang sudah
berhasil me mproduksi Som-lo-ling, malah seluk beluk markas
kitapun telah sede mikian apalnya, soal ini tidak boleh dipandang
remeh."
"Bukan mustahil ada mata2 musuh yang berada diantara kita,"
ujar Bi-kui alias Un Hoan-kun.
Giok-lan manggut2, teringat laporan Bi-kui bahwa dua orang
pernah berbicara di dala m ka mar ini, maka dia bertanya "Kiu-moay,
dapatlah kau menjelaskan suara pe mbicaraan di ka mar ini pria atau
wanita? "
Seketika panas muka Un Hoan-kun, untung dia mengenakan
kedok sehingga mimik mukanya tidak dilihat orang, ia pura2 berpikir
lalu berkata: "Kalau t idak salah suara lelaki dan perempuan .....
"merandek sebentar lalu mena mbahkan.
"Waktu itu kukira Ling-kongcu masih dala m keadaan setengah
mabuk dan berbicara dengan Sin-ih."
"Waktu aku bangun dan semadi diatas ranjang untuk mendesak
keluar arak dari badanku, Sin-ih langsung ke mbali ke ka marnya, tak
pernah masuk ke mari lagi," demikian Kun-gi menerangkan sambil
berjalan mendekati te mpat tidur serta menyingkap kela mbu.
Dilihatnya seprei acak2an, bantal guling tidak terletak pada tempat
semestinya lagi, ma lah tepat di tengah ranjang kedapatan noktah
darah.
Kun-gi terbeliak kaget, teriaknya: "Darah Darah siapa ini?
Me mangnya dia terluka dan se mbunyi di te mpat tidurku? "
Karena kela mbu tersingkap oleh tangannya, maka keadaan
ranjang itupun terlihat oleh Giok-lan dan Un Hoan-kun. Ada kalanya
nona2 atau para gadis jauh lebih tajam perasaan dan firasat-nya
daripada kaum pria. Umpa ma soal noktah darah ini, bagi Kun-gi
yang masih perjaka dan hijau plonco ini, dia mengira ada seseorang
telah terluka, tapi kedua nona di belakangnya ini cukup cerdik,
me lihat keadaan ranjang itu seketika terbayang oleh mereka .. . .
....
Jengah Giok-lan dan Un Hoan-kun, sekujur badan terasa panas
dan gemetar, untuk sesaat mereka sama melenggong tak tahu apa
yang harus di-ucapkan. Tapi Giok-lan me mang lebih tabah, katanya
sambil me mbalik badan: "Kiu-moay, pergilah kau panggil Sin-ih,
suruhlah dia mengganti seprei dan bantal guling yang baru," Hoan-
kun mengiakan terus beranjak ke luar.
Waktu me mbalik tubuh tadi, mendada k didapatinya sesuatu
benda di bawah bantal, tergerak hati Giok-lan, sebagai Congkoan
Pek-hoa-pang, ma ka dia tidak perlu ma in malu lagi, tanyanya: "Ling-
kongcu hanya bersemadi di ranjang, seperai dan bantal guling tida k
mungkin menjadi acak2an begini? "
"Ya, ma lahan Cayhe belum pernah menyentuh bantal guling dan
ke mul itu," sahut Kun-gi.
Sengaja Giok-lan ajak mengobrol: "Aneh kalau begitu,
me mangnya kenapa orang itu se mbunyi di atas ranjang Ling-
kongcu? " Sa mbil bicara dia melangkah maju badan sedikit miring
sehingga pandangan Kun-gi teraling, dia m2 dia ulur tangan ke
bawah bantal, gerakannya pura2 memeriksa, kalau2 sebatang tusuk
kundai e mas sudah dia simpan ke dala m lengan bajunya.
Kebetulan Un Hoan-kun, sudah ke mbali mengajak Sin-ih, Giok-
lan lantas tanya kepadanya: "Tadi adakah kau mendengar suara
apa2 di ka mar ini? "
Terbeliak mata Sin-ih mengawasi Kun-gi sahutnya bingung:
"Tiada suara apa2, ha mba tidak mendengar apa2"
Giok-ian mendengus, katanya: "Kalian tidur mendengkur seperti
babi, Ling-kongcu keluar mengejar bangsat, ada orang masuk
kamar ini, tapi tiada orang tahu."
Gemetar tubuh Sin ih, ratapnya menunduk: "Ya, hamba me mang
pantas ma mpus ..."
"Sudah, jangan banyak bicara, lekas bersihkan ranjang Ling-
kongcu," perintah Giok-lan, lalu dengan menggunakan ilma
mengirim gelombang suara dia mena mbahkan: "Ingat, kejadian
ma la m ini dilarang beritahu kepada siapapun tahu? "
Sin-ih mengangguk. sahutnya: “Ha mba tahu"-Bergegas dia
bekerja seperti yang di pesan-Cepat sekali dia sudah menggant i
bantal guling dan ke mul serta seprei baru ranjang Kun-gi.
"Waktu sudah larut, besok pagi2 Ling-kongcu harus menghadap
Thay-siang, lebih baik istirahat saja," demikian kata Giok-lan setelah
Sin-ih mengundurkan diri. Lalu dia berpa ling, " Kiu-moay, hayolah
ke mbali."
"Cayhe amat menyesal, penjahat tidak berhasil kutangkap.
Congkoan malah susah payah setengah ma la man," Kun-gi berucap.
"Jangan sungkan Ling-kongcu, me mang ini tugasku, tadi sudah
kusuruh Hong-sian pergi ke danau me meriksa sebab ke matian
kedua Centing serta para ronda lain yang bertugas sepanjang pesisir
danau, adakah perahu yang mencurigakan di sana? Tentunya kini
sudah ke mbali, biar aku mohon diri," bersa ma Hoan-kun mere ka
lantas beran-jak ke luar.
Bertimbun tanda tanya yang menekan perasaan Kun-gi. Menurut
rekaan Giok-lan, orang yang membokong dirinya mengguna kan
Som-lo-ling, maka dia diduga adalah mata2 Hek-liong hwe yang
diselundupkan ke mari. Hal ini kiranya tidak me leset, di depan
pertemuan besar siang tadi Thay-siang telah mengumumkan bahwa
dirinya berhasil me mbikin obat penawar getah beracun, akhirnya
diangkat menjadi Cong-hou-hoat dari Pek-hoa-pang, soal ini jelas
merupakan tekanan dan anca man serius bagi Hek-liong-hwe. Ka lau
dirinya bisa terbunuh atau dilenyapkankan merupakan pahala yang
amat besar sekali artinya, Kalau tidak, kapan dirinya pernah
bermusuhan dengan orang, untuk apa pula orang malam2
menyelundup ke mari dan menyerangnya? Atau mungkin ada tujuan
lain lagi?
Un Hoan-kun bilang mendengar kasak-kusuk dua orang
perempuan dan laki2, satu di antaranya terluka, mungkin lantaran
me lihat nona Un, ter-paksa sembunyi ke atas ranjangku sehingga
meninggalkan noktah darah di sini. Lalu siapa kedua orang ini? Di
mana pula mereka bergebrak dengan musuh sehingga terluka?
Kenapa sembunyi dika marku? De mikian Kun-gi merasa bingung.
Tapi yang me mbuatnya paling bingung adalah nona Un sendiri,
me mangnya dia merasa sesal atau direndahkan? Apa pula yang
disedihkan sa mpai mala m2 lari kepinggir danau dan bertangisan
seorang diri? Malah dari apa yang dia guma mkan seperti menaruh
salah paham dan penasaran terhadap dirinya, memikirkan persoalan
ini, tanpa merasa Kun-gi tertawa geli sendiri.
Maklumlah kaum re maja, terutama anak gadis yang sedang
kasmaran biasanya me mang suka ce mburu. De mi dirinya, tanpa jeri
Un Hoan-kun mene mpuh bahaya ikut menyelundup ke Pek-hoa-
pang, dengan menyaru Bi-kui, tentu siang tadi dia me ltihat sikap So-
yok. sang Hu-pangcu yang begitu mesra dan kasih sayang
terhadapnya sehingga hatinya-merasa iri, padahal se mua ini
merupakan salah paha m belaka .
Tengah dia berpikir terdengar suara kokok aya m, ternyata hari
sudah menjelang pagi.. Maka dia ti-dak banyak pikir lagi, tanpa
copot pakaian terus duduk ke mbali se madi di atas ranjang.
Tak la ma ke mudian haripun sudah terang tanah. Di dengarnya
suara Sin-ih berkumandang di depan pintu: "Ling-kongcu, sudah
bangun? "
Kun-gi mengiakan terus melangkah turun dan me mbuka pintu.
Sin-ih sudah menunggu depan pintu sa mbil me mbawa sebaskom a ir
untuk cuci muka. Setelah Kun-gi selesai me mbersihkan badan,
sementara Sin-ih sudah menyiapkan sarapan pagi dan persilakan dia
makan.
Baru saja Kun-gi ke mba li ke ka marnya habis ma kan, Congkoan
Giok-lan sudah datang, katanya tertawa: "Selamat pagi Ling-
kongcu, perahu sudah siap. marilah kita berangkat.”
“Cayhe sudah menunggu sejak tadi, apakah Congkoan sudah
makan? "
"Sela manya aku tidak pernah ma kan pagi," ucap Giok-lan,
"hayolah lekas berangkat, pantang terlambat kalau menghadap
Thay-siang," lalu dia mendahului jalan keluar.
Mengiringi orang keluar, Kun-gi bertanya: "Bagaimana hasil
penyelidikan nona Hong-sian sema la m? "
“Hasilnya nihil," tutur Giok-lan sambil mengge leng, tiba2 dia
me mba lik tubuh, katanya lirih. "Kejadian se mala m kecua li aku dan
Kiu-moay, Hong-sian sendiri juga tidak tahu, Ling-kongcu harus
ingat, kepada siapapun jangan bicarakan soal ini."
Kun-gi melenga k. tanyanya: "Kenapa? "
Giok-lan menghela napas "Liku2 persoalan ini cukup rumit, sulit
juga aku menyela mi soal ini dala m wa ktu singkat dengan hanya
tanda2 yang tidak seberapa ini, tapi Ling-kongcu harap percaya
saja."
Walau merasa heran, tapi melihat sikap dan nada suaranya
begini serius, Kun-gi manggut2, sahutnya: "Pesan nona pasti
kuperhatikan."
Giok-lan tersenyum lebar, suaranya lebih lirih.. "Syukurlah,
apapun yang terjadi, aku takkan me mbikin susah pada mu."
Tak la ma ke mudian mere ka sudah berada di atas tanggul sungai
yang letaknya di be lakang ta-man, sepanjang tanggul ditana mi
pohon Yang-liu. tertampak sebuah perahu beratap alang2 sudah
menanti di bawah sana.
Tempo hari Kun-gi pernah naik perahu yang sa ma dengan So-
yok, punya pengalaman satu kali, ma ka kali ini dia tidak main
sungkan lagi, dengan ringan dia lantas melompat ke atas perahu
dan menyusup ke dala m serta duduk bersimpuh. Giok-lan juga
me lompat naik dan duduk bersimpuh pula, tanpa dipesan
perempuan pendayung diburitan segera menjalankan perahunya .
Terdengar Giok-lan berbisik dengan ilmu gelombang suara:
"Kedua orang yang menguasai perahu adalah pengikut Thay-siang
sejak muda, harap Ling-kongcu hati2 kalau bicara." Secara tidak
langsung dia me mperingatkan Kun-gi bahwa kedua orang ini adalah
kepercayaan So-yok.
Sudah tentu Kun-gi sukar menangkap maksud kisikannya ini, dia
hanya melongo bingung saja. Melihat sikap orang, maka Giok-lan
mena mbahkan: "Jangan Ling-kongcu takut atau curiga, aku hanya
me mberi peringatan padamu, jangan sembarang bicara di atas
perahu ini. Thay-siang tidak suka kalau orang me mbicarakan
pribadinya."
Kun-gi me ngangguk sa mbil me njawab dengan cara yang sama:
"Terima kasih atas petunjukmu.
"Masih ada satu hal," demikian Giok-lan mena mbahkan lagi, "dan
ini yang terpenting, Pangcu minta aku menyampaikan pada Ling-
kongcu.”
“Pangcu ada pesan apa? "
Ber-kedip2 bola mata Giok-lan, senyumnya tampak penuh
mengandang arti, katanya: "Kemarin kau baru diangkat jadi Cong-
houhoat, hari ini Thay-siang sudah mengundangmu ke Pe k-hoa-kok
pasti beliau punya maksud2 tertentu, maka Pangcu minta supaya
aku menyampa ikan pesannya, apapun yang dikatakan Thay-siang,
kau harus segera mengiakan."
Kembali Kun-gi dibuat melenggong, tanyanya: "Memangnya
Thay-siang hendak suruh aku berbuat apa? " .
Melihat sikap dan air muka serta sorot matanya, diam2 Giok-lan
me mbatin: "Me mang tidak meleset dugaan Toaci, agaknya
pikirannya tidak terpengaruh oleh Bi-sin-hiang."
Tapi dia tetap bicara dengan ilmu suara itu: "Tak peduli kerja
apapun yang diserahkan padamu, tanpa ragu2 kau harus segera
menerima tugas itu.?"
"Ini. ..... " berkerut kening Kun-gi.
Giok-lan tersenyum, katanya: "Toaci bilang, Ling-kongcu ma mpu
menawarkan getah beracun yang tak bisa ditawarkan oleh manusia
manapun di dunia ini, sudah tentu kaupun bisa memunahkan segala
obat bius yang me mpengaruhi pikiran orang, oleh karena itu, setiba
di perahu ini perlu aku me mberi peringatan padamu. Sela manya
tiada seorangpun yang berani me mbangkang dan me nolak perintah
Thay-siang, sudah tentu semakin cepat kau terima tugasnya itu
akan lebih baik, celakalah kalau sa mpai me mbuatnya kurang senang
atau curiga."
Apa yang dikatakan ini cukup ga mblang, walau tak secara
langsung, tapi artinya sudah diketahui bahwa kau ternyata tidak
terpengaruh oleh obat Bi-sin-hiang itu.
Kejadian ini me mang ada latar belakangnya. Tatkala So-yok
diperintahkan menyerahkan Bi-sim-hiang ini kepada Bok-tan sang
Pangcu, dari Bok-tan diserahkan pula kepada Giok-lan supaya
menuna ikan perintah Thay-siang ini, kebetulan pembicaraan mereka
dicuri dengar oleh Bi-kui alias Un Hoan-kun, jing-s in-tan buatan
keluarga Un ada lah obat mujarap yang khusus diperuntukan
menawarkan segala obat bius di kolong langit ini, sudah tentu
dengan me mbekal obat mujarab ini Ling Kun-gi tidak pernah
terpengaruh pikirannya, tapi soal ini hanya dlketahui oleh Ling Kun-
gi dari Un Hoan-kun saja.
Bahwa dia pura2 terbius-oleh obat itu dan mau terima jabatan
dalam Pek-hoa-pang lantaran ingin cari tahu dari mana Pek— hoa-
pang me mperoleh t iga jurus ilmu pedang warisan keluarganya,
ma lah Hwi-liong-sa m-kia m merupakan ilmu pelindung Pe ks hoa-
pang lagi? Un Hoan-kun pula yang mengajukan aka l dan usul ini.
Sekarang dari mulut Giok-lan secara tidak langsung didengarnya
sindiran dirinya tidak terpengaruh oleh obat bius, bahwa hal ini
sudah mereka ketahui, sungguh tidak kepa lang kagetnya... maklum
seseorang yang merasa bersalah-dala m hati akan merupa kan
tekanan batin, sekali rahasia ini terbongkar, pastilah selebar
mukanya merah padam. Demikianlah keadaan Ling Kun gi sekarang.
Tapi dia tetap berkata dengan gelombang suara: "Pangcu. . ."
Tersenyum Giok-lan me ngawasi wajah orang
"Jangan kuatir, Toaci berma ksud baik, cukup asal kau selalu
mengingat kebaikannya."
Lalu dia menyodorkan secangkir teh dan menengga knya dulu se-
cangkir yang lain, katanya: "Cong-sucia, enak bukan rasa teh ini? "
Kun-gi segera tahu maksud orang, sahutnya tertawa: "Ya, enak
dan segar, rasanya seperti bunga ce mpaka." Dua patah terakhir ini
mereka t idak me nggunakan ilmu gelombang suara pula.
Laju perahu amat pesat, hanya sekejap mereka sudah berada
diterowongan air yang masuk keperut gunung, setelah mengikut i
arus yang deras dan ber-belok2, akhirnya laju perahu menjadi
la mbat dan tak lama kemudian berhenti. Kerai tersingkap. Giok-lan
lantas berdiri, katanya. "Sudah-sampai. Cong-sucia pernah datang
sekali, tapi jalanan mungkin masih belum apal, biarlah aku naik
lebih dulu" Sedikit tutul kaki, badannya segera mengapung tinggi ke
atas dan ditelan kegelapan di sebelah sana, La lu terdengar suara
bergerit: "Silakan Cong-sucia naik ke mari, cuma harus hati2, lumut
di sini a mat licin."
"Cayhe tahu," kata Kun-gi, belum lenyap suaranya badannya
sudah hinggap di sisi lok-lan. Tempat ini berada diperut gunung,
gelapnya bukan ma in, jari sendiripun tida k ke lihatan.
Betapapun Lwekang Giok-lan agak rendah, ka lau mala m biasa di
tempat terbuka dia masih bisa me lihat sesuatu dalam jarak de kat,
tapi di dalam terowongan bawah tanah yang gelap begini, sudah
tentu dia tidak bisa melihat apa2. Tapi kupingnya tajam, dari desir
angin dia tahu bahwa Ling Kun-gi sudah berada di sa mpingnya,
maka dengan suara lirih dia berkata: "Inilah jalan rahasia satu2nya
yang bisa mene mbus ke Pek-hoa-kok dilarang keras menyalakan
la mpu, jalanan disini-pun a mat jelek. tempo hari kau pernah kemari,
tentunya sudah tahu, Thay-siang suruh aku me mbawa mu ke mari,
biarlah kau jalan mengikuti langkahku dengan bergandengan
tanganku."
Jari2nya yang halus tahu2 sudah pegang tangan Ling Kun-gi
terus ditariknya ke depan-Kun-gi biar-kan saja tangannya dipegang
dan menurut saja kemana dirinya ditarik. Terasa jari jemari yang
me megang tangannya begitu halus dan le mas seperti tida k
bertulang, seketika sekujur badannya gemetar seperti kena aliran
listrik.
Terdengar Giok-lan berkata: "Sebagai anak perempuan yang
telah dewasa, selamanya belum pernah kubersentuh tangan dengan
laki2 manapun, ma ka hatiku sedikit tegang, harap Ling-kongcu tida k
mentertawakan aku."
Berdebar juga hati Kun-gi, tapi tak mungkin dia melepaskan
tangannya, terpaksa dia bilang: "Di sinilah letak kesucian Congkoan-
"
"Justeru karena aku yang ditugaskan membawa Kongcu ke mari,
umpa ma orang lain, aku tak sudi saling bergandengan tangan
seperti ini."
Kali ini Kun-gi bungka m saja, tak enak banyak bicara lagi.
Didengarnya Giok-lan bicara lebih lanjut, suaranya syahdu:
"Soalnya Ling-kongcu adalah perjaka yang patut dibuat teladan,
seorang Kuncu sejati, kaulah pe muda yang menjadi pujaan hatiku
......."
Bertaut alis Kun-gi, katanya: "Ah, Congkoan terlalu me muji
diriku."
Jari2 Giok-lan yang menariknya itu tiba2 me megang lebih
kencang, katanya sambil ja lan ke depan: "Untuk selanjutnya.
tanganku yang satu ini tidak akan bersentuhan lagi dengan laki2
manapun jua." Mendadak dia berpaling dan bertanya: "Kau percaya
apa yang kukatakan? " Suaranya kedengaran le mbut, tapi bola
matanya tampak berkilauan ditengah kegelapan, me mancarkan rasa
tekad penuh keyakinan.
Gugup dan gelisah Kun-gi, "Nona. ...... ."
"Tak usah kau gelisah, apa yang pernah ku-katakan selamanya
tak pernah kujilat ke mbali, tak perlu kutakut ditertawakan Ling
kongcu, dalam kalbuku me mang hanya .... . . hanya ada seorang,
maka tidak a kan kuizinkan laki2 la in untuk menyentuh badanku,
siapa berani menyentuh tanganku segera kutabas buntung
tanganku ini . "
Keruan Kun-gi gugup setengah mati, katanya: "Nona, jangan se-
kali2 kau berbuat menurut dorongan hatimu "
"Jangan kau me mbujukku, yang jelas akupun tidak akan
sembarangan me mbiarkan orang menyentuhku," ujar Giok-lan
tertawa, jari2nya memegang lebih kencang lagi. "Nah, ha mpir
sampai, jangan bersuara lagi."
Terpaksa Ling Kun-gi terus menggre met maju me nyusuri dinding
gunung dengan badan miring .-Tak la ma ke mudian Giok-lan lepas
tangannya serta maju ke dinding yang mengadang di depan serta
mengetuk sekali.
Terdangarlah suara Ciok-lolo bertanya dari dalam: "Apakah Giok-
lan? "
Lekas Giok-lan berseru: "Ciok-lolo, aku mendapat perintah
me mbawa Cong-sucia ke mari"
"Nenek sudah tahu," ujar Ciok-lolo, pelan2 pintu papan batu di
depan mereka me nggeser mundur dan terbuka, bayangan Ciok lolo
yang tinggi besar itu segera muncul di ba lik pintu. Sorot matanya
dingin tajam, dari kepala sa mpai ka ki Ling Kun-gi diawasinya
dengan teliti, mulutnya terkekeh sekali, lalu berkata: "Bocah inikah,
kalau Thay-siang mau cari mantu kiranya cukup setimpal, kalau
diangkat jadi Cong-sucia, kukira Thay-siang rada berat sebelah,
terus terang aku nenek tua ini mengukurnya terlalu rendah."
Giok-lan unjuk tawa manis, katanya: "Kemarin Lolo tidak hadir,
sudah tentu tidak menyaksikan betapa perkasa Cong-sucia
menga lahkan para lawannya dala m lima babak berturut2, ini
kenyataan, apalagi dalam pertandingan besar dan terbuka itu,
semua peserta boleh ikut bertanding secara adil, mengapa Thay-
siang kau katakan berat sebelah? "
Ciok-lolo ter-kekeh2, katanya: "Bocah se kolahan sele mah ini,
satu jari nenek saja sudah cukup me mbuatnya berjongkok setengah
hari dan tidak ma mpu berdiri, ka lau bicara soal kepandaian sejati,
dia bisa menang lima babak secara beruntun, betapapun nenek
tidak mau percaya."
Bagaimana juga Kun-gi masih muda dan berdarah panas, melihat
sikap orang yang terlalu me mandang rendah dirinya, ia naik pita m,
pikirnya: "Jangan kau kira sebagai anak buah Thay-siang, biar
kuajar adat padamu."
Maka dengan tersenyum segera ia menimbrung: "Ka lau Ciok-lolo
tidak percaya, kenapa tidak mencobanya, apakah betul Cayhe dapat
dibikin jongkok seperti kata mu."
Sudah tentu Giok-lan jadi rikuh. Tapi ge lak tawa Ciok-lolo yang
tajam me lengking itu sudah berkumandang, katanya: "Anak bagus,
sombong juga kau, nah, mari kita coba." Dima na tangan kanannya
terangkat, betul2 dia cuma acungkan sebuah jari telunjuk. pelan2
terus menekan kepunda k Ling Kun-gi.
Giok-lan menjadi kuatir, serunya: "Ciok-lolo, taruhlah belas
kasihan."
Jari telunjuk Clok-lolo sudah menekan pundak Kun-gi, mulutnya
menggera m sekali: "Giok-lan, apa yang kau risaukan? Nenek tentu
punya perhitungan." Dia m2 dia kerahkan lima bagian tenaganya.
Tak nyana pundak Kun-gi seperti batu laksana besi kerasnya,
lima bagian tenaganya ternyata tak ma mpu me mbuat tubuhnya
bergeming. Baru sekarang si nenek kaget, pikirnya: "Bocah ini
kelihatan le mah le mbut, seperti anak sekolahan yang tak mampu
menye mbelih ayam, ternyata me miliki bekal kepandian selihay ini,
agaknya nenek tua terlalu me mandang enteng padanya." Serta
merta ke kuatan jarinya bertambah, akhirnya dia kerahkan setaker
tenaga menekan ke bawah.
Tak terduga meski dia sudah kerahkan sepuluh bagian
tenaganya, daya perlawanan diatas pundak Ling-Kun-gi juga cerlipat
ganda, tetap sekeras baja, sedikitpun t idak berge ming.
Keduanya jadi sama2 adu otot dan mengerahkan segenap daya
kekuatanya, rambut uban dipelipis Ciok-lolo tampak bergetar berdiri,
wajahnya yang sudah keriput juga tampak merah pada m. Tapi Ling
Kun-gi tetap adem ayem, sikapnya tak acuh seperti tak pernah
terjadi apa2 atas badannya2, sedikitpun tidak ke lihatan bahwa
diapun mengerahkan tenaga untuk melawan tekanan si nenek.
Semula Giok-lan merasa kuatir bagi Kun-gi. Maklumlah Ciok-lolo
dulu adalah pelayan pribadi Thay-siang, kepandaian silat dan
Lwekangnya merupa kan tokoh kelas satu yang jarang ada
tandingan dala m Peks hoa-pang, dikuatirkan Kun-gi bu-kan
tandingan Ciok-lolo. Kini melihat keadaan mereka, maka tahulah dia
bahwa Lwekang Ling Kun-gi ternyata jauh lebih unggul dibanding
Ciok-lolo, dari kuatir dia m2 ia merasa kaget dan senang malah. Tapi
mulutnya sengaja pura2 bersuara gugup: "Ciok-lolo . . . . "
Muka Ciok-lolo se makin gelap. keringat sudah me mbasahi
jidatnya, sementara tangannya yang menekan pundak Kun-gi
tampak mulai ge metar, tapi dia tetap ngotot tidak mau menarik
balik tangannya. Maklumlah, dengan cara adu tenaga seperti ini,
kedua pihak sudah sama2 mengerahkan tenaga dalam, bila salah
satu pihak sedikit mengalah saja, ma ka kekuatan lawan yang
dahsyat akan segera menerjang dan menggetar putus urat nadi
dalam tubuh. oleh karena menyadari bahaya ini, meski sudah
merasa kewa lahan, Ciok-lolo toh terpaksa harus bertahan. .
Sudah tentu Kun-gi maklum, apa maksud teriakan Giok-lan tadi,
semula dia hendak bikin kapok nenek ini, tapi sekarang dia
urungkan niatnya. Katanya dengan tersenyum tawar: "Ciok-lo-lo,
boleh berhenti tidak? Ka lau hanya dengan sebatang jari tanganmu
mungkin takkan ma mpu menekan aku sa mpa i berjongkok."
Terasa oleh Ciok-lolo, seiring dengan pembicaraan Kun-gi pundak
anak muda yang sekeras baja itu tiba2 semakin lunak. kiranya dia
sudah mula i mengendurkan tenaganya.
Sudah lanjut usia Ciok-lolo, tapi masih berdarah panas dan masih
suka menang, merasakan lawan menarik tenaganya, hatinya
senang, segera dia kerahkan tenaga lebih besar, jarinya mene kan
lagi ke bawah. Di luar tahunya, pundak Kun-gi mendadak berubah
jadi
Jilid 18 Halaman 29/30 Hilang
Melihat Ciok-lolo menaruh Curiga, lekas Giok— lan menyela
bicara: "Me mangnya Ciok-lolo tida k tahu bahwa cong-sucia adalah
murid kesayangan Hoan-jiu-ji-lay Put-thong Taysu yang terkenal di
kalangan Kangouw"
Me mangnya selama 30-an tahun ini tiada kaum persilatan yang
tidak mengenal kebesaran nama Hoan-jiu-ji-lay, tokoh kosen yang
sudah menjadi dongeng Bu-lim, umpa ma belum pernah lihat tentu
juga pernah mendengar na manya.
Terpantul mimik aneh pada wajah Ciok-lolo, katanya dengan
suara tinggi: "Pantas kalau begitu, nenek tua dikalahkan oleh
muridnya Hoan-jiu ji-lay, ya, cukup setimpal juga."-La lu dia dia
mengulap tangan: "Nah, lekas kalian pergi: "
"Terima kasih Ciok-lolo," seru Giok-lan sa mbil me mberi hormat.
Setelah masuk kepintu besar, dari dinding dia menga mbil sebuah
la mpion serta menyalakan lilin di dala mnya, katanya, "cong-sucia,
marilah lekas."-Mereka menaiki tangga batu yang menanjak ke atas,
beberapa kejap kemudian Giok-lan bertanya sambll me noleh: "Ling-
kongcu, kau masih begini muda, tapi bekal Kungfumu sungguh luar
biasa."
Tawar tawa Kun-gi, katanya: "Nona jangan terla lu me muji."
"Apa yang kukatakan benar2 keluar dari lubuk hatiku yang
dalam. Kepandaian Ciok-lolo termasuk nomor satu dua di
lingkungan kita, hari ini dia terjungkal ditanganmu, tapi dia tunduk
lahir-batin."
Mendadak Kun-gi teringat sesuatu, hal ini masih melingkar2
dalam benaknya, Cuma dia merasa serba susah apakah hal ini patut
dia bicarakan dengan Giok-lan? Tengah dia me nimang2, mendada k
tergerak hatinya, dia ingat pembicaraannya dengan Giok-lan
diperahu tadi, kenapa sekarang tidak mengorek keterangannya?
Maka dia lantas bertanya: "Mengenai pe mbicaraan kita di atas
perahu tadi, ada sebuah pertanyaan ingin kuajukan.”
“Ada partanyaan apa? " jawab Giok-lan.
"Nona pernah bilang bahwa Pangcu mengata-takan cayhe dapat
menawarkan getah beracun yang tak bisa dipunahkan oleh
siapapun,, maka tiada obat bius apapun di kolong langit ini yang
bisa me mbius pikiran cayhe, oleh karena itu kau merasa perlu untuk
me mperingatkan kepada cayhe, apapun yang dikatakan Thay-siang
harus kupatuhi, betul tidak? ”
“Betul, Toaci me mang suruh a ku menya mpaikan de mikian.”
“Kenapa harus de mikian? "
"Apa yang dikatakan Thay-siang selamanya tiada orang berani
me mbangkang, tiada yang pernah ragu2."
"Itu cayhe tahu, tapi Pangcu suruh nona me mperingatkan hal ini
padaku, tentu ada sebabnya."
"Asal kau bekerja dan me laksanakan tugas seperti pesan ka mi,
tanggung kau t idak mengala mi kesulitan.”
“Agaknya nona tidak suka menerangkan."
"Kalau kau tahu, tak perlu aku menje laskan, kalau belum tah
lebih baik tidak tahu saja."
"Kalau cayhe terkena racun yang tak terobati dan terkena obat
bius yang pengaruhi pikiran cayhe? "
Giok-lan me lengak, tanpa pikir ia berkata: "Kalau terjadi
demikian, aku dan Toaci pasti takkan berpeluk tangan."
Terharu Kun-gi: " Kalau de mikian cayhe ha-rus berterima kasih
atas kebaikan kalian."
Giok-lan menghentikan langkah, tiba2 dia me mbalik badan,
katanya dengan nada penuh perhatian: "Apakah kau merasakan
gejala tidak ena k pada tubuhmu? "
Kun-gi tersenyum, ujarnya: "Beruntunglah aku ini, tiada sesuatu
obat bius apapun yang tak dapat kutawarkan."
"o, jadi kau sedang menggoda ku, "rengek Giok-lan, "sla2 aku
berkuatir bagimu"
"Mana berani cayhe menggoda nona, soal-nya ....."
"Ada, omongan apa sila kan Ling-kongcu kata-kan saja, omongan
seorang Kuncu pasti tidak akan kubocorkan, tak usah kuatir."
"Legalah cayhe mendengar ucapan nona ini," kata Kun-gi,
mendadak dia gunakan ilmu gelombang suara "cayhe masih ingat
waktu pertama kali berte mu dengan Pangcu, atas pertanyaan
Pangcu cayhe pernah menyebut ibuku she Thi."
Semula Giok-lan kira ada persoalan penting apa yang hendak
dibicarakan oleh Kun-gi sa mpai dia merasa perlu menggunakan ilmu
bisikan, tak tahunya hanya membicarakan she ibunya. Tapi ter-
paksa dia menjawab dengan ilmu suara pula: "Me mangnya ada apa?
"
Tetap menggunakan ilmu suara Kun-gi berkata pula: "Waktu itu
Cayhe hanya bicara sekenanya, pada hal waktu Cayhe keluar
rumah, ibunda pernah berpesan wanti2, Cayhe dilarang menyebut
she beliau dihadapan orang luar."
"Soal ini hanya diketahui aku dan Toaci, ka mi pasti tidak akan
bicarakan kepada siapapun."
"Ke marin waktu Cayhe mene mui Thay-siang, besar sekali
perhatiannya terhadap riwayat hidup-ku .... "
"Lalu kau juga katakan hal itu kepada Thay-siang? "
"Waktu itu aku lupa akan pembicaraanku dengan Pangcu, maka
kukatakan ibuku she ong."
"Jadi kau kuatir Thay-siang tanya soal ini padaku dan Toaci,
padahal jawabanmu satu sa ma lain tidak cocok? ”
“Begitulah maksudku, maka .....”
“Kau ingin aku bantu kau berbohong? "
"Sela ma hidup belum pernah Cayhe berbohong, soalnya pesan
ibu, harap nona ....."
"Tak usah sungkan, nanti sekembali akan ku-sa mpaikan Toaci,
kalau Thay-siang tanya, anggap-lah ka mi sendiri juga t idak tahu."
"Bukan sengaja Cayhe hendak me mbohongi Thay-siang, kalau
nona dan Pangcu dapat me mbantu, sungguh betapa besar terima
kasih Cayhe."
"Baiklah, hayo lekas jalan, jangan bikin Thay-siang menunggu
terlalu la ma," langkah mereka segera dipercepat.
Setiba di ujung tangga batu, Giok-lan mendorong sebuah pintu
batu serta meniup padam api la mpion dan digantung diatas tembok.
lalu mere ka melangkah keluar.
Tahu2 sang surya ternyata sudah tinggi di tengah angkasa, tapi
kabut masih tebal di Pek-hoa-kok. pancaran sinar surya nan kuning
emas mena mbah se marak panora ma le mbah yang penuh di-taburi
ke mbang mekar semerba k. Pek-hoa-teng (gardu seratus bunga) di
tengah lembah sana seperti bercokol di antara taburan bunga yang
menyongsong pancaran sinar mentari.
Duduk mengge lendot di kursi malas di dala m gardu yang
dibangun serba antik dan megah itu, gadis rupawan yang
mengenakan paka ian warna merah menyala, wajahnya ber-seri2
seperti mekar-kuntum2 bunga di Seke lilingnya, biji matanya
mengerling le mbut, penuh gairah hidup nan bahagia, pelan2 dia
berdiri, bola matanya lekat meratap wajah Ling Kun-gi, katanya
dengan tertawa: "Kenapa Ling-heng Sekarang baru tiba? Sudah
sekian la ma orang menunggumu di sini." Dia ubah panggilannya
menjadi Ling-heng (kaka k Ling), terasa betapa mesra dan dekat
hatinya? Gadis rupawan ini bukan lain adalah Hu-pangcu So-yok.
Hari ini bukan saja dia bersolek dan berdandan, malah sinar
matanya tampak bercahaya, wajahnya berseri2 penuh gairah.
Sudah tentu kali ini dia tidak me makai kedok.
Tersipu2 Kun-gi menjura, katanya: "Maaf Hu-pangcu menunggu
terlalu la ma."
Giok-lan tertegun, selamanya belum pernah dia me lihat So-yok
berdandan begini cantik, ma klumlah biasanya dia begitu angkuh,
dingin dan ketus.
So-yok mengiringi Kun-gi jalan ke depan, agak-nya Giok-lan
sengaja ketinggalan di belakang. Diam2 ia perhatikan So-yok hari ini
seolah2 telah ganti rupa, se mbari jalan mukanya berseri tawa,
tangannya bergerak mengikuti celoteh mulutnya, sikapnya begitu
mesra.
Sikap Kun-gi sebaliknya kelihatan risi dan kikuk, kadang2 dia
sengaja menjauhkan diri, mungkin karena So-yok bersikap
merangsang sehingga perasaannya tidak tenteram, malah saban2
dia menoleh ajak Giok-lan bicara juga. Untunglah langkah mere ka
lebar, lekas sekali mereka sudah tiba di depan gedung bertingkat
yang megah dan mentereng seperti dala m lukisan itu.
So-yok ajak mereka masuk ke ruang kecil di sebelah sa mping,
katanya tersenyum manis: "Silakan duduk Ling-heng." sekali tangan
bertepuk seorang pelayan berpakaian ke mbang lantas keluar,
katanya sambil me mbungkuk: "Ada pesan apa Ji-kohnio (nona
kedua)? "
So-yok menarik muka, katanya: "Memangnya kalian tidak tahu
aturan, Cong-sucia dan Cong-koan telah tiba, kenapa tidak lekas
tuang air teh, me mangnya perlu kuperintahkan."
Gemetar tubuh pelayan itu, sambil munduk2 dia mengiakan terus
berlari keluar. Cepat dia sudah kembali me mbawa tiga cangkir teh
yang masih mengepul.
So yok berpesan: "Pergi kau tanya kepada Teh-hoa, bila Thay-
siang selesai dengan acara paginya, selekasnya me mberitahu
ke mari."
Pelayan itu mengia kan terus mengundurkan diri. Kira2 setanakan
nasi ke mudian pe layan tadi kembali dengan langkah tergesa,
serunya membungkuk: "Thay-siang persilakan Conghouhoat dan
Congkoan menghadap."
So-yok manggut2, katanya sambil berdiri: "Ling-heng, Sam-
moay, marilah kita masuk."
Mereka terus menyusur ke dalam, setiba di depan sebuah kamar,
So-yok langsung me langkah masuk serunya: "Suhu, Ling-heng dan
Sam-moay telah datang."
Maka terdengar suara Thay-siang dari dalam. "Suruh mereka
masuk."
So-yok me mbalik berkata kepada Kun-gi dan Giok-lan: "Thay-
siang suruh kalian masuk."
Sikap Kun-gi a matpatuh dan hormat, begitu melangkah masuk
segera dia menjura, serunya: “Hamba Ling Kun-gi me mberi se mbah
hormat ke-pada Thay-siang." Mulut mengatakan sembah hormat,
hakikatnya dia t idak berlutut sa ma sekali.
Sebaliknya Giok-lan lantas tekuk lutut menyembah, serunya:
"Tecu mendoakan Suhu sehat walafiat."
Duduk di atas kursi besar, sepasang mata Thay-siang setajam
pisau menatap Ling Kun-gi, sesaat kemudian baru manggut2,
katanya kepada Giok-lan.
"Bangunlah." Giok-lan mengiakan dan berdiri.
Thay-siang bertanya: "Sudah kau pilih dua be las dara kembang
yang kuminta itu? " Giok-lan menjawab sudah.
"Baik sekali," ucap Thay-siang, ke mba li sorot matanya berputar
ke arah Kun-gi, suaranya kalem: "Ling Kun-gi, tahukah kau untuk
apa Losin me manggilmu ke mari? "
Hormat dan patuh suara Kun-gi: "Hamba menunggu perintah
Thay-siang."
Mendengar ucapannya ini, dia m2 Thay-siang ma nggut2, katanya
lebih lanjut: "Kau terpilih menjadi Cong-hou-hoat-su-cia tahukah
apa tugas dari Cong-hou-hoat-su-cia sebenarnya? "
“Harap Thay-siang suka me mberi petunjuk." seru Kun-gi.
"Cong-hou-hoat-su-cia me mikul tugas mengawal Pangcu,
me mbe la kepentingan Pang kita dan me mberantas setiap musuh."
Kun-gi mengiakan sa mbil me mbungkuk.
"Walau di bawah Cong-hou-hoat-su-cia masih ada Houhoat
kanan kiri dan delapan Hou hoat serta 24 Su-cia yang berada di
bawah perintahmu, tapi tugas dan tanggung jawabmu adalah yang
terbesar.”
“Ya," ke mba li Kun-gi mengiakan-"Sebagai murid Put-thong
Taysu, dengan bekal kepandaianmu sekarang, kalau ada musuh
tangguh menyatroni ke mari, sudah cukup kuat kau menghadapinya,
cuma dala m wa ktu dekat ini kita akan me luruk ke Hek-liong-hwe,
selama dua puluh tahun ini, tidak sedikit kaum persilatan dan
pentolan penjahat yang di jaring pihak Hek-liong-hwe, sebagai
Cong-hou-hoat Pang kita dengan tugas dan tanggung jawabmu itu,
kuyakin kau tidak akan me mbikin ma lu kita se mua."
Jilid 18 Halaman 41/42 Hilang-
bakal atau telah menjadi ca lon sua mi Hu-pangcu?
Sudah tentu Kun-gi tidak tahu a kan liku2 ini, apa yang dia
harapkan hanya mencapai tujuannya sendiri, kenapa ilmu pedang
warisan keluarganya menjadi ilmu sakti pelindung Pek-hoa-pang? .
Dia yakin kedua jurus ilmu pedang yang akan diturunkan kepadanya
oleh Thay-siang tentu dua jurus ilmu sakti pelindung Pang itu..
Umpa ma kata hanya sejurus saja dirinya me mperoleh kese mpatan
belajar, maka dirinya pasti akan me ndapat peluang untuk
menanyakan asal-usul dari ilmu pedang ini.
Kejadian ini sungguh sukar dicari, juga merupakan harapan yang
di-ida m2kan setiap orang, keruan hatinya senang bukan main, lekas
dia menjura, serunya: "Dua jurus ilmu pedang yang diajarkan Thay-
siang tentu adalah ilmu pedang sakti yang tiada taranya, hamba
baru saja menjadi anggota, setitik pahala belum lagi kuperoleh,
mana kuberani ...."
Lekas So-yok menyela bicara: "Kau adalah Cong-hou-hoat-su-cia,
besar tanggung-jawabmu, maka Thay-siang melanggar kebiasaan
mengajar ilmu pedang padamu, lekaslah menye mbah, dan
mengaturkan terima kasih? "
Thay-siang mengangguk, katanya "Kalau orang lain mendengar
Losin mau mengajarkan ilmu pedang padanya, entah betapa riang
hatinya, tapi kau bisa tahu diri mengingat baru masuk jadi anggota
dan belum se mpat mendirikan pahala, inilah letak titik kebaikannya.
Ilmu silat me mang teramat penting artinya bagi setiap insan
persilatan, karakter dan tindak tanduk merupakan pupuk dasar yang
utama pula, agaknya aku tida k salah menilai dirimu"
Sampa i di sini dia menoleh kepada So-yok dan Giok-lan, katanya:
"Dala m me luruk ke Hek-liong-hwe kali ini, menurut perhitungan
gurumu kcse mpatan menang hanya lima puluh persen saja, ma ka
setiap orang harus mempunyai bekal yang cukup untuk
menge mbangkan ke ma mpuan barte mpur secara tersendiri, maka
kalianpun boleh ikut masuk bersa maku, akan kutambah sejurus ilmu
pedang pula kepada kalian, bagi Giok-lan nanti kuizinkan
mengajarkan jurus kedua, kepada Bwe-hwa dan lain2, tapi dala m
jangka tiga hari, semua orang sudah harus sempurna dalam latihan,
kini kita tentukan tiga hari lagi la lu akan mulai bergerak."
Bahwa Thay-siang juga akan mengajarkan lagi sejurus ilmu
pedang, tentu saja So-yok kegirangan, serunya berjingkrak: "Suhu,
kau baik seka li."
Giok-lan menjura hormat: "Tecu terima perintah."
Thay-siang sudah berdiri, sekilas dia pandang Kun-gi, katanya
le mbut. "Kalian ikut a ku." segera ia melangkah masuk.
Lekas So-yok me ndorong pe lahan punggung Kun-gi, katanya
lirih. " Lekas ja lan"
Me mangnya Kun-gi ingin cepat2 masuk dan melihat keadaan
yang sebenarnya, tanpa banyak bersuara segera ia melangkah
masuk. mereka berada di sebuah pekarangan di belakang aula
pemujaan-dipinggir sana berjajarpot2 bunga ce mpaka, begitu
mereka me masuki pekarangan bela kang, bau harum bunga
semerbak merangsang hidung me mbangkit kan se mangat dan
menyegarkan badan-Suasana hening sepi dan terasa khidmat,
dengan langkah pelan dan mantap Thay-siang berjalan di depan, dia
menyingkap kerai terus masuk ke dala m. Kun-gi, So-yok dan Giok-
lan beruntun ikut masuk juga .
Kun-gi ce lingukan kian ke mari, ka mar ini berbentuk panjang.
tepat di atas dinding tengah terpancang sebuah lukisan seorang
laki2 berwajah merah berjambang mengenakan jubah kelabu, kedua
matanya tajam, kelihatan gagah perkasa.
Di atas gambar orang terdapat sebaris huruf yang berbunyi:
"Ga mbar ayah almarhum Thi Tiong hong."
Mencelos hati Kun-gi, tempat ini adalah kedia man Thay-siang,
ayah almarhum di dala m ga mbar itu tentu ayah dari Thay-siang.
Me mangnya Thay-siang juga she Thi? Jadi dia satu she dengan
ibunda. Me mang tidak sedikit orang she "Thi" di kolong langit ini,
tapi bagaimana dengan Hwi-liong sa m-kia m? Hanya beberapa
gelintir orang saja yang pernah mempe lajari ilmu pedang sakti mi.
Mungkinkah dia dengan ibu .... Terasa persoalan pelik ini pasti
sangat ada hubungannya, tapi sukar menyela minya.
Tiba dihadapan lukisan, Thay-siang menyulut tiga batang hio,
pelan2 dia tekuk lutut dan berse mbahyang, mulutnya komat-ka mit,
sesaat kemudian baru berdiri, katanya dengan me mbalik badan-
"Ling Kun-gi, majulah ke mari, se mbah sujud kepada Cosu."
Kun-gi berdiri tida k bergerak. katanya hormat: "Lapor Thay-
siang, me mang ha mba sudah jadi anggota Pek-hoa-pang, tapi tak
mungkin aku mengangkat guru lagi."
Sudah tentu So-yok dan Giok-lan terperanjat, mereka kenal
betapa buruk watak Thay-siang, setiap orang tunduk dan patuh
pada setiap patah katanya, belum pernah terjadi seorang berani
menolak keinginannya.
Tapi di luar dugaan kali ini Thay-siang ternyata tidak marah,
ma lah dia unjuk senyum manis, katanya: "Losin tahu kau adalah
murid Put-thong Taysu, mana berani kupaksa kau menjadi murid ku,
apa lagi tiada laki2 yang pernah kuterima menjadi murid, tapi
sekarang Losin harus ajarkan ilmu pedang pada mu betapapun kau
harus bersembah sujud dulu kepada Cosu (cakal bakal) ilmu pedang
itu"-Apa yang diura ikan ini me mang juga masuk aka l.
Maka Ling Kun-gi berkata dengan hormat:
"Baiklah, ha mba terima perintah."-Lalu dia berlutut di depan
gambar dan menyembah e mpat ka li.
Di atas meja Thay-siang me mungut dua gulung a m kertas terus
diangsurkan kepada Kun-gi katanya: "Inilah jurus pertama dan
kedua dari Tin-pang-kia m-hoat kita, Losin kali ini me ngajar padamu
dengan melanggar pantangan-. setelah kau berdiri akan kumula i
mengajarkan teorinya."
Kun-gi terima gulungan kertas itu katanya: "Terima kasih akan
kebaikan Thay-siang." La lu dia berdiri:
Kata Thay-siang: "Walau Losin dengan kau tiada hubungan guru
dan murid, tapi aku punyatangung jawab sebagai orang yang
mengajarkan ilmu pedang ini padamu, maka selanjutnya jangan kau
sia2kan pengharapan Losin-"
"Sela ma hidup ha mba tidak a kan me lupakan keba ikan ini," seru
Kun-gi khidmat. Thay-siang menuding ke dinding sebelah timur,
katanya: "Gantunglah di sana"
Kun-gi beranjak ke arah yang ditunjuk, di-lihatnya ada dua paku
di atas dinding, maka dia buka gulungan kertas lalu
menggantungnya di dinding. Gambar pertama adalah lukisan jurus
Sin-liong jut-hun (naga sakti muncul dari mega), tepat di atas
gambar bertuliskan-“Hwi-liong-sa m-kia m jurus pertama Sin-liong
jut-hun."
Tersirap darah Kun-gi, timbul berbagai tanda tanya dalam
benaknya, mendadak ia bertanya: "Tin-pang-sam-kia m yang Thay-
siang maksud apakah Hwi-liong-sa m-kia m ini?"
"Betul, ketiga jurus ilmu pedang ini dulu dina ma kan Hwi-liong-
sam-kia m. Sejak Losin mendirikan Pek-hoa-pang, namanya kuganti
menjadi Tin-pang-sa m-kia m.”
“Apakah ketiga jurus ilmu pedang ini adalah ciptaan Cosu yang
barusan kuse mbah ini? ”
“Ya, bolehlah dikatakan de mikian," ucapnya. ini berarti mungkin
juga bukan ciptaannya.
Agaknya Thay-siang merasa terlalu banyak pertanyaan yang
diajukan Kun gi, maka sikapnya tampak kurang sabar, katanya:
"Ling Kun-gi, mungkin mereka sudah pernah me mberitahu pada mu,
Losin ada lah orang yang tida k senang ditanyai tetek-bengek."
Kun-gi mengia kan, katanya: "Karena mendapat berkah pe lajaran
ilmu pedang ini, maka ha mba ingin mengetahui sedikit asal-usul
ilmu pedang ini saja."
Thay-siang mendengus, katanya: "Ajaran pedang adalah cara
bagaimana kau me mainkan pedang, cukup asal kau belajar dan apal
cara bagaimana menggerakkan pedang ditanganmu." Kali ini Kun-gi
tidak berani bicara lagi, le kas ia mengia kan sa mbil munduk2.
Tanpa bicara lagi Thay-siang lantas mengajarkan teorinya kepada
Ling Kun-gi, lalu dia tunjuk lingkaran2 di dala m ga mbar serta
me mberi penjelasan secara terperinci, dia terangkan pula gerak
tubuh, langkah kaki serta gerak pedangnya serta variasi
perubahannya. Lalu dia suruh So-yok dengan gerak dan gaya yang
jelas mende monstrasikan jurus yang dia jelaskan beruntun dua ka li.
.
Sebetulnya ketiga jurus ilmu pedang ini sudah terlalu apal kalau
tidak mau dikatakan sudah di luar kepala Kun-gi, tapi sekarang dia
pura2 menaruh perhatian dan mendengarkan dengan seksa ma.
Setelah So-yok berhenti baru Thay-siang ber-tanya: "Kau sudah
paham? "
“Hanya gaya pedang dan jurus2nya saja yang hamba ingat,
sementara variasi perubahannya dalam waktu de kat masih sulit
kusela mi" de mikian jawab Kun-gi.
Thay-siang tersenyum senang, katanya: "Perubahan kedua jurus
ilmu pedang ini me mang ruwet dan banyak cabangnya pula, bahwa
kau bisa mengingat gerak-tipunya sudah terhitung bolehlah, inti sari
jurus pedang ini harus lebih meresap kau pelajari, me mangnya
dalam jangka sesingkat ini kau dapat me maha minya? Terus kan
latihanmu di sini, sebelum matahari tenggela m kau harus, apal dan
sempurna me mpelajari kedua jurus ilmu pedang ini, sekarang a kan
kua mbil ke mba li lukisan ini." Kun-gi munduk2 sa mbil mengia kan-
Thay-siang menga mbil pula gulungan kertas lain yang lebih kecil
dari meja pe mujaan, katanya me mbalik kearah So-yok dan Giok-lan,
"Kalian masuk ke sana ikut gurumu."-Lalu dia mendahului
me langkah ke ka mar sebelah kiri, Giok-lan dan So-yok mengikut i di
belakang tanpa bersuara, tentunya mereka juga akan diajari jurus
ketiga da-ri Tin-pang-sa m-kia m itu.
Selama tiga hari ini, seluruh penghuni Pek— hoa-ceng, seluruh
anggota Pek-hoa-pang sibuk dan giat latihan memperdala m ilmusilat
masing2, ada yang sibuk latihan pedang,
Ada yang menggosok golok atau gaman masing2, tak sedikit pula
yang mengeraskan kepalan dan meringankan tendangan kaki,
suasana ramai penuh dihinggapi se mangat tempur yang berkobar.
Semua satu hati, ingin unjuk kepandaian sendiri di medan tempur
me lawan jago2 Hek-liong-hwe.
ooooodwooooo
Sampa i hari kee mpat, hari masih pagi, bintang masih berkelap-
kelip di cakrawala, udara masih dingin diliputi kabut tebal, Tiada
nampak sinar la mpu di Hoa-keh-ceng yang terletak diPek-ma-kok.
tapi adalah serombongan orang berbaris sedang keluar dari pintu
gerbang.
Barisan ini dipimpin sendiri oleh Thay-siang yang berpakaian
serba hitam dengan cadar hita m pula, di belakangnya berturut2
adalah Bok-tan, Pek-hoa-pangcu, Hu-pangcu So-yok, Congkoan
Giok-lan serta tujuh Tay-cia, mereka adalah Bi-kui, Ci-hwi, Hu-yong,
Hong-sian, Giok-je, Hay-siang dan Loh-bi-jin, paling belakang adalah
barisan 24 dara2 kembang, semua berpakaian ringkas ketat warna
gelap.
Inilah kekuatan inti Pek-hoa-pang yang langsung di bawah
komando Thay-siang. Sementara Bwe-hoa, Liau-hoa, Tho-hoa, Kick-
hoa dan Giok-li berlima mengantar ke luar, mereka berlima tida k
turut serta, tapi ditugaskan me njaga Hoa-keh-ceng.
Hari masih gelap. sepanjang pesisir danaupun masih pe kat tiada
sinar lampu. Tapi di tengah kegelapan berkabut tebal itu, dipinggir
danau pada dermaga paling utara berlabuh sebuah kapal besar,
bertingkat tiga, dari ujung yang satu ke ujung yang lain kapal ini
bercat hitam lega m, maka kelihatannya seperti sebuah bukit kecil
yang bertengger di pinggir danau.
Karena tidak tampak sinar la mpu sehingga terasa kapal
bertingkat ini rada misterius. Di daratan tampak bayangan orang
berbaris berjajar me manjang, tegak siap tanpa bersuara. Mereka
dipimpin oleh Ling Kun-gi, disambung Leng Tio-cong, Coa Liang, lalu
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Cin Te-khong, Thio La m-jiang, Toh
Kian-ting, Lo Kun-hun, Yap Kay-sian, Liang lh-jun, pa ling akhir
adalah ke-12 Houhoat-sucia.
Setelah mereka me nyambut kedatangan Thay-siang ke atas
kapal, lalu beruntun merekapun naik ke atas kapal pula. Kejap lain
kapal besar ini telah berlayar kearah utara, suasana tetap hening
tak ada yang bersuara.
Tak la ma ke mudian kegelapanpun berganti re mang2 la lu muncul
sinar emas ke milau di ufuk timur, kabut semakin tipis, sinar surya
terang benderang me mancarkan cahaya di permukaan danau nan
tenang, tiada yang tahu bahwa di balik ke tenangan ini laksana bara
di dala m seka m.
Kapal yang ditumpangi Pek-hoa-pang Thay-siang Pangcu untuk
menyerbu Hek-liong-hwe ini sudah tentu dibuat khusus,
kekuatannya berlipat ganda. berlaju lebih cepat daripada kapal
besar seukurannya. Kapal ini terbagi tiga tingkat tapi yang kelihatan
dipermukaan air hanya dua tingkat. Tingkat paling atas tempat
kedia man Thay-siang, Bok-tan, So-yok, Giok-lan dan ena m Taycia.
Ting-kit kedua untuk Ling Kun-gi bersa ma para hou-hoat-sucia,
Tingkat paling bawah diperuntukanpara dara ke mbang yang
dipimpin Loh-bi-jin.
Kapal terus laju ke utara. Semua hanya tahu tujuan mereka
untuk bertempur mati2an dengan orang2 Hek-liong-hwe, sementara
di mana letak sarang Hek-liong-hwe tiada seorangpun yang tahu,
berapa lama pula mereka harus berlayar baru akan tiba dite mpat
tujuan? Ini merupakan rahasia, sampaipun Bok-tan dan So-yok,
pimpinan tertinggi Pek-hoa pang juga tidak tahu. . Sudah tentu
mereka sa ma heran dan ber-tanya2, Kalau Hek-liong-hwe musuh
Pek-hoa-pang, kenapa Thay-siang harus merahasiakan sarang
musuh?
Pagi hari kedua setelah mereka berlayar, udara masih remang2,
semala m kapal bertingkat ini berlabuh di Tay koh-teng, sejauh ini
belum lagi berangkat. Enam sa mpan berbentuk lonjong yang bisa
bergerak gesit dan cepat dipermukaan air ta mpak berdatangan,
kiranya tiba saatnya berganti piket 12 Houhoat-sucia bergiliran
ronda mala m dengan kedelapan Houhoat di sekeliling perairan-Pada
tingkat kedua terdapat sebuah ruangan ma kan yang luas, tempat
untuk istirahat pula, tiga meja segi de lapan berjajar dalam bentuk
segi tiga terletak di tengah ruangan-Pada saat mana Cong-houhoat-
sucia, Coh-yu-hou-hoat dan delapan Hou-hoat berada di ruang
besar ini. Inilah saatnya sarapan pagi.
Derap kaki yang berat berdantam di atas geladak, dua bayangan
orang cepat sekali sedang turun ke-ruang makan ini. Leng Tlo-cong
yang duduk paling ujung kiri sedang menggerogot sebuah bakpau
sambil menoleh, mendadak matanya terbeliak dan bertanya kereng:
"Apa terjadi sesuatu Toh-houhoat dan Lo-houhoat? "
Toh Kian-ling dan Lo Kun-hun semala m bertugas dengan empat
Houhoat lain meronda perairan, setelah terang tanah baru kemba li,
untuk ke mba li sebetulnya tidak perlu tergesa2, karena mendengar
langkah mereka yang gugup inilah ma ka Leng Tlo-cong merasa
curiga la lu bertanya.
Yang masuk me mang Toh Kian-ling dan Lo Kun-hun, keduanya
menjura. Toh kian-ling men-jawab: "Apa yang dikatakan Coh-
houhoat me mang betul, Nyo Keh-cong dan Sim Kian-sin sa ma2
terluka."
Tergetar Leng Tiong cong, tanyanya: "Terjadi apa, di mana? ”
“Di sebelah utara Toa-hou-san.”
“Dima na mereka? "
"Sudah ke mba li, cuma dua kelasi diperahu Sim Kian-sin sa ma
tewas."
Tengah bicara, tampa k datang Ban Yu-wi, Coh Hok-coan berdua
me mapah Sim Kian-sin dan Nyo Keh cong yang terluka itu.
Kun-gi berdiri menya mbut kedatangan mere-ka, tanyanya:
"Bagaimana luka2 ka lian?"
Toh Kian-ling menerangkan: "Nyo-sucia terluka dipaha oleh
senjata gelap musuh, untung dia selalu me mbawa obat, racun
sudah dikupas, cuma senjata rahasia terlalu kecil, masih sukar
dikeluarkan-badan Sim-sucia terluka tiga bacokan pedang, terlalu
banyak keluar darah, tadi sampai pingsan, setelah kubalut dan telan
dua butirobat, keadaannya sudah agak pulih, kesehatan mereka
tidak perlu di-kuatirkan lagi.”
“Bagus, biar mere ka duduk. coba akan kuperiksa," kata Kun-gi.
Ban Yu-wi dan Coh Ho-coan mengiakan, mereka bimbing kedua
orang yang terluka itu duduk di kursi.
Ting Kiau tampa k beranjak masuk dari dala m baju dia keluarkan
sebuah lempengan besi persegi, katanya: "Cong coh (panggilan
dinas pada Ling Kun-gi), inilah senjata rahasia lembut dipaha Nyo-
heng, mungkin sebangsa jarum beracun. bagaimana kalau kuperiksa
dan menyedotnya keluar? "-Dia bersenjata kipas le mpit yang
biasame-nye mburkan jarum2 beracun, maka selalu ia bawa besi
sembrani untuk menyerap jarum2 beracun itu.
Kun-gi tahu bahwa anak buahnya ini sa ma merasa sirik padanya
karena merebut jabatan Cong-houhoat, kinilah kese mpatan
untuknya mende montrasikan kepandaiannya di depan orang
banyak. maka dia berkata: "Tak usalah, biar kuperiksa lebih dulu."
Lalu dia singkap ka ki celana Nyo Keh-cong yang telah dirobek.
tampak lima lubang kecil berwarna biru, kulit dagingnya sudah di-
polesi obat penawar getah bercun, kadar racunnya boleh dikatakan
sudah tawar, tapa batang jarum masih berada di dala m daging,
maka dia berpaling sa mbil menuding lubang kecil itu, katanya:
"Jarum ini me mang beracun, meski sudah dipolesi obat penawar,
daging dan darah tetap keracunan, kalau hanya menyedot keluar
jarumnya saja tanpa mengeluarkan darah yang sudah keracunan,
kalau terlalu la ma tetap akan me mbahayakan badan."
Toh Kian-ling berkata: "Ha mba sudah me mberi minum t iga butir
pil penawar racun buatan Pang kita,"
Kun-gi menggeleng dan berkata: "Kukira tidak berguna, kecuali
Nyo-heng sendiri ma mpu mengerahkan hawa murni dan mendesak
jarum keluar dari kulit dagingnya."
Sudah tentu keterangannya ini sia2 belaka, duduk saja Nyo Keh-
cong sudah payah, mana ma mpu me ngerahkan tenaga segala?
Kun-gi lantas mengusap permukaan kulit paha Nyo Keh-tong
yang bengkak, kejap lain dia me mbalik tangan, tampak lima batang
jarum baja sele mbut bulu kerbau berjajar di telapak tangannya.
Leng Tio-cong terbelia k serunya tertahan: “Hebat betul Lwekang
Cong coh."
Kun-gi tertawa, ujarnya: "Bicara kekuatan Lwekang sejati, mana
aku bisa menandangi Leng-heng, apa yang kuguna kan barusan
adalah daya sedot dari Kim-liong-jiu saja."
Dipuji dihadapan umum, sudah tentu Leng Tio-cong merasa
bangga dan besar pula artinya bagi pribadinya. Maka mukanya
berseri, berulang dia menjura, katanya: "Cong coh terlalu me muji "
Sementara itu Kun-gi ulur tangan kiri menggengga m telapak
tangan kanan Nyo Koh-cong, diam2 dia kerahkan hawa murni
me lalui lengan orang terus mendesak kepaha orang, Maka Kelihatan
darah hitam mulai me leleh keluar dari kelima lubang jarum. Ta k
la ma kemudian, darah hitam telah berganti darah merah segar.
Kun-gi lantas lepas genggamannya, katanya:. "Sudah, racun sudah
menga lir keluar, le kas ka lian bantu me mberi obat luar serta dibalut."
Nyo Keh-cong menarik napas panjang, hatinya lega, tapi masih
le mah, katanya: "Terima kasih, Cong coh."
Ban Yu-wi mengeluarkan obat dan me mbalut luka kawan itu.
Kemudian Kun-gi bertanya. “Hari ini siapa yang piket? "
Coa Liang menjawab: "Yap Kay-sian dan Liang Ih-jun."
Yap Kay-sian dan Liang Ihjun, segera tampil ke muka, katanya
sambil menjura: "Entah Congcoh ada pesan apa?" Empat Houhat-
sucia juga ikut berbaris di be lakang mereka.
"Waktu berlayar lagi, kalian harus segera berangkat, periksa dulu
daerah sekitar Toa-hou-san. kalau menemukan jejak musuh, berilah
tanda penghubung.".
Yap Kay-sian dan Liang Ih-jun mengiakan, setelah menjura terus
bawa empat Hou-hoat-sucia berangkat.
Baru saja Kun-gi hendak minta keterangan lebih jelas dari Nyo
Keh-cong dan Sim Kian-sin tentang peristiwa yang terjadi. Tiba2
Congkoan Giok-lan melangkah masuk.
Kun-gi mendahului berdiri serta menyapa, Giok-lan ba las hormat
dan berkata: "Cong-sucia, kalian boleh duduk. tak berani kuterima
penghormatan ini."
Leng Tio-cong menyingkir ke kanan bersa ma Coa Liang, tempat
duduknya diperuntukan Giok— lan. Semua orang kemba li duduk
berurutan.
Giok-lan me mandang Nyo dan Sim berdua, tanyanya: "Cong-su-
cia, mereka berdua terluka, apa yang terjadi? "
"Mereka mengala mi sergapan di sekitar Toa-hou-san," tutur Kun-
gi.
"Orang Hek-liong-hwe? "
Menuding jarum yang terletak di meja, Kun-gi berkata: " orang
itu menggunakan Bhe-hay-cia m yang direnda m getah beracun,
tentunya orang Hek— liong-hwe.”
“Apakah sudah kau kirim orang me nyelidiki te mpat kejadian? "
tanya Giok-lan-
"Yap dan Liang berdua Hou-hoat sudah ku-utus kesana, menurut
dugaanku bangsat itu tentu sudah angkat kaki, apa lagi sekarang
sudah terang tanah, mungkin takkan me mperoleh apa2."
Tengah bicara dilihatnya Hu-pangcu So-yok me langkah tiba,
matanya mengerling kearah Kun-gi, katanya lincah: "Ling-heng,
katanya orang kita mengala mi sergapan? Apakah bentrok dengan
orang2 Hek-liong hwe"
Kun-gi berdiri, katanya tertawa: "Kebetulan Hu-pangcu ke mari,
duduk persoalannya aku sendiri juga be lum jelas, Sila kan duduk."
Dia berdiri lalu menyilakan So-yok duduk di te mpatnya.
"Silakan duduk Ling-heng, aku duduk bersa ma Sa m-moay saja."
Terpaksa Kun-gi duduk ke mba li di te mpatnya. Toh Kian-ling dan
Lo Kun-hun sa ma2 berdiri dan menyapa: "Hamba me mberi hormat
kepada Hu-pangcu.”
“Se mala m kalian berdua yang piket? " tanya So-yok. Toh dan Lo
mengiakan-
"Kapan perist iwa itu terjadi? " tanya So-yok pula.
"Kira2 kentongan ke-lima," tutur Toh Kian-ling, la lu dia
menerangkan lebih lanjut: "Se mala m wa ktu ka mi keluar, bersa ma
Lo-heng ka mi terbagi dua kelompok. Lo-heng bersama Ban dan Coh
bertiga meronda ke selatan Toa-hou-san, ha mba bersa ma Nyo dan
Sim tiga orang me meriksa bagian utara, kentongan kelima, cuaca
amat gelap. permukaan danau diliputi kabut tebal, dalam jarak lima
tombak tak terlihat apa2 .....”
“Ceriterakan secara singkat, jangan bertele2," tukas So-yok tak
sabar.
Toh Kian-ling tahu watak Hu-pangcunya ini, maka cepat ia
meneruskan: "Sa mpan kita bertiga beriring dala m jarak belasan
tombak. karena kabut a mat tebal, hamba berdiri di ujung perahu,
mendadak kudengar suara bentakan di depan, cepat kusuruh kayuh
sampan ke arah datangnya suara, tapi Waktu. . .. waktu hamba
tiba, dua tukang perahu disampan Sim-sucia sudah menjadi korban,
Sim-heng terkena tiga bacokan pedang, badan berlumuran darah
dan rebah di atas sampan, melihat hamba datang mulutnya masih
sempat berteriak. "Kejar" lalu jatuh semaput, sedang Nyo-sucia juga
mengge letak di ujung sana terkena senjata rahasia musuh dan tak
sadarkan diri."
"Kau sendiri tidak melihat bayangan musuh? " tanya So-yok
"Waktu itu kabut amat . . . ." sebetulnya dia hendak mengatakan
"amat tebal", tapi dia lantas berhenti lalu menyambung pula: "waktu
hamba me nyusul tiba, kapa l musuh sudah tidak kelihatan lagi."
Karena terluka tiga bacokan pedang dan terlalu banyak keluar
darah, keadaan Sim Kian-sin paling payah, sambil berpegang pinggir
meja dia berdiri dan berkata: "Lapor Hu-pangcu, duduk kejadiannya
hanya hamba yang paling jelas.”
“Luka Sim-heng tida k ringan, bicaralah sambil duduk saja," ujar
Kun-gi. Mengawasi So-yok. Sim Kian-sin tida k berani bersuara.
Giok-lan lantas menyela: "Cong-sucia suruh duduk, ma ka
duduklah kau sa mbil bicara."
Sim Kian-sin berduduk. lalu sambungnya: "Te mpat kejadian kira2
di sebelah barat laut Toa-hou-san, sampan hamba waktu itu kira2
hanya lima li dari daratan, kudengar suara percikan air, semula
kukira sampan Nyo heng yang mendekat, maka tidak kua mbil
perhatian ....." So-yok mendengus tidak sabar.
Sim Kian-sin merandek dan tergagap. lekas dia meneruskan
kisahnya: "Akhirnya kudengar pula suara benda kecebur, waktu aku
berpaling, terlihat bayangan hitam me lesat di buritan, baru saja
hamba menghardik, gerak-gerik bayangan itu a mat lincah, tahu2
pedangya sudah menusuk t iba terpaksa ha mba me lawannya."
"Kau tidak me lihat je las wajahnya? " tanya So-yok,
"Bukan saja dia herpakaian serba hitam, batang pedangnya
itupun hita m lega m, ha mba hanya melihat perawakannya kurus
tinggi, sayang tidak se mpat me lihat wajahnya."
"Bagaimana perma inan pedangnya? " tanya Giok— lan-
"Ilmu pedangnya keras dan ganas, hamba me lawannya dua
puluhan gebra k, paha terkena bacokan seka li "
"Kapan Nyo Keh-cong me nyusul tiba?" tanya So-yok,
"Kira2 setelah ka mi bergebrak sepe minuman teh, sampan Nyo-
heng datang dari arah kiri, kudengar Nyo-heng me mbentak se mbari
menubruk datang, maka kulihat orang berbaju hntam itu
mendengus dan mengayun tangan kiri sa mbil menyeringa i:
Turunlah Kabut amat tebal, kuatir Nyo-heng kena dikerjai ma ka
hamba berteriak: Awas Nyo-heng Tapi Nyo-heng sudah telanjur
me lompat datang, kudangar dia mengeluh seka li terus tersungkur di
buritan, karena sedikit terpencar perhatianku ke mbali aku terkena
serangan lawan, pedangnya dilumuri getah beracun, kaki ha mba
seketika menjadi ka ku dan roboh terkapar, untung sa mpan yang lain
sudah berdatangan, bangsat itu tampak gugup terus melarikan diri,
kejap lain Toh-houhoatpun tiba."
So-yok menggeram gusar, katanya: "Musuh hanya datang satu
orang, bayangannya saja kalian tidak jelas, pihak kita sudah jatuh
dua korban, kalau seperti ini gelagatnya, me mangnya ada harapan
kita meluruk ke sarang Hek-liong-hwe? "
Gelisah sikap Toh Kian-ling, jawabnya malu: "Ya, ha mba me mang
tidak becus. . . ."
"Kalian ini me mang cuma setimpal makan minum dan ber-foya2
saja di Hoa-keh-ceng." So-yok muring2.
"Kejadian di luar dugaan, kabut tebal lagi, berhadapanpun sukar
me lihat wajah orang, cuaca buruk ini me mang a mat
menguntungkan musuh," de mikian timbrung Kun-gi.
So-yok mencibir, katanya: "Kalau peristiwa se ma la m diketahui
Thay-siang, siapa yang akan ber-tanggung jawab kalau dicaci maki?
"
Kun-gi tertawa, katanya: "Sejak mula Thay-siang sudah bilang,
tanggung jawab kepentingan Pang kita berada dipundakku, sudah
tentu akulah yang harus bertanggung jawab? "
"Bagaimana kau akan bertanggung jawap? " tanya So-yok
dengan kerlingan mata genit.
"Dala m beberapa hari lagi, Cayhe yakin akan berhasil menangkap
bangsat itu, cukup bukan? "
So-yok berdiri, katanya: "Bicaralah setelah bangsat itu betul2 kau
tangkap. jangan takabur lebih dulu, dihadapan Thay-siang jangan
sekali2 kau bicara de mikian-"
Melihat Hu-pangcu berdiri, lekas Giok-lan ikut berdiri, kata Kun-
gi: "Me mangnya Hu-pangcu tidak percaya kepadaku? "
Menggiurkan tawa So-yok. katanya: "Aku percaya . . . .
"bergegas dia me langkah pergi dan Giok-lan ikut di be lakangnya.
Setelah So-yok pergi, perasaan para Houhoat sama lega dan
enteng, mereka bersenda gurau sebentar, lalu Leng Tiong-cong
berdiri sambil menenteng pipa cangklong. katanya: "Sudahlah, kapal
sudah berlayar cukup jauh, sudah hampir sa mpai Toa-hou-san, hari
ini yang piket di kapal besar adalah Cin Tek-khong dan Tio La m-
jiang bukan? Marilah kita naik ke atas geladak."
Cin Tek-khong dan Thio La m-jiang mengiakan bersama, mereka
ikut Leng Tio-cong naik keatas.
Kamar tidur Ling Kun-gi terletak di sebelah kiri ruang makan,
kecuali dipan, dipinggir jendela masih ada sebuah meja kecil dan
dua buah kursi. Pajangan amat sederhana, tapi di atas kapal
keadaan ini sudah cukup bagus untuk te mpat tinggal. Waktu Kun-gi
ke mbali ke ka marnya, sepoci teh kental sudah tersedia di mejanya,
dia tuang secangir teh lalu duduk di kursi yang dekat jendela,
didengarnya seorang mengetuk pintu pelahan.
"Siapa?" tanya Kun-gi.
Orang di luar menjawab: "congcoh, ha mba Kongsun Siang."
"Silakan masuk Kongsun-heng," seru Kun-gi.
Kongsum Siang dorong pintu me langkah masuk. katanya
menjura: "Ha mba tidak mengganggu congcoh bukan."
Kun-gi taruh cangkir tehnya di atas meja, katanya berdiri:
"Silahkan duduk Kongsun-heng, marilah minum secangkir," dia
ambil cangkir lain hendak menuangkan a ir teh.
Buru2 Kongsun Siang maju sa mbil berkata gugup: "Biarlah
hamba a mbil sendiri."
"Jangan sungkan Kongsun-heng, berada di ka marku ini, aku jadi
tuan rumah," Kun-gi tuang secangkir air teh terus ditaruh di meja.
"Terima kasih congcoh," Ucap Kongsun Siang.
"Usia kita sebaya, kenapa tidak mebahasakan saudara saja,
dipanggil congcoh rasanya risi," kata Kun-gi berkelakar.
Bersinar biji mata Kongsun Siang, katanya: "Pertama kali ha mba
berhadapan dengan congcoh lantas timbul perasaan cocok. dala m
pertandingan tempo hari sungguh me mbuat ha mba kagum dan
tunduk lahir batin. Sayang jabatan me mbatasi kita, kalau tida k
hamba ingin benar angkat persaudaraan-"
Kun-gi tertawa, katanya: "ini cocok dengan pikiranku, me mang
sudah kulihat Kongsun-heng punya pambek luar biasa, selanjutnya
bolehlah kita saling me mbahasakan saudara saja?"
Haru dan terima kasih Kongsun-siang, katanya: "Maksud baik
congcoh sungguh tak terhingga terima kasih hamba, tapi ada aturan
Pang kita yang membatasi diri kita, betapapun hamba tidak berani
me langgarnya.
"Pangcu, Hu-pangcu dan congkoan serta dua belas TayCia
bukankah juga saling me mbahasakan saudara, mereka toh tida k
me langgar aturan Pang."
"Betapapun ha mba tida k berani gegabah."
"Kalau Kongsun-heng kukuh pendapat, biarlah di kamarku
sekarang kita tidak perlu sungkan dan kikuk. Mari sila kan duduk
Kongsun-heng, kita mengobroL"
"Ling-heng sudi merendahkan derajat bersahabat dengan hamba,
baiklah aku menurut perintah saja," demikian ucap Kongsun Siang,
lalu dia duduk di kursi di depan Kun-gi, katanya: "Guruku berwatak
jujur dan setia, walau orang2 Kangouw me mberi julukan Sia-long (
serigala sesat ) kepada beliau, yang betul beliau lurus dan
bijaksana, cuma jarang bergaul, selama hidup tak pernah tunduk
kepada siapapan, hanya terhadap guru Ling-heng seorang beliau
tunduk dan kagum setinggi langit, pernah beliau bilang, hanya
gurumu seorang di wilayah Tionggoan yang dipuja dan
dikaguminya."
"Guruku juga pernah menyinggung guru Kong-sun-heng, ilmu
pedangnya menyendiri merupakan aliran yang tiada bandingan,
me mang tidak malu beliau sebagai cika l baka l suatu a liran-"
"Sudah tiga tahun aku masuk ke daerah sini, tidak sedikit kaum
persilatan yang kukenal, sampai akhirnya mendarma baktikan diri
pada Pek-hoa—pang, kurasa kaum Bu-lim di Tionggoan hanyalah
bernama kosong belaka, bahwa guruku hanya mengagumi gurumu
saja, maka akupun,hanya kagum dan simpatik terhadap Ling-heng
seorang."
"Mungkin inilah yang dina ma kan jodoh," ujar Kun-gi.
Habis minum, mendadak ia bertanya: "Sejak kapan Kongsun-
heng bekerja di Pek-hoa-pang?"
"Pada tahun lalu, di Lo-san aku bertemu dengan seorang
pemuda, ka mi bicara panjang lebar dan terasa cocok satu sa ma lain,
akhirnya kuketahui bahwa dia adalah salah satu dari ke-12 Taycia,
yaitu Hong-sian, dia yang menarikku ke dala m Pek-hoa-pang."
"O, kiranya nona Hong-sian, memangnya kalian sudah
berhubungan a mat int im."
Merah muka Kongsun siang, katanya malu2: "Ling-heng jangan
menggoda, hubungan ka mi hanya sahabat biasa saja."
"De mi si dia Kongsun-heng rela masuk jadi anggota Pek-hoa-
pang, mana boleh dikatakan tiada hubungan intim? Soal ini
serahkan saja padaku, pasti kubantu sekuat tenaga .... "
Bertaut alis Kongsun Siang, mendadak dia angkat kepala,
katanya: "Kupandang Ling-heng sebagai kawan de katku, ma ka
kubicara terus terang, harap Ling-heng suka merahasiakan hal ini."
"Jangan kuatir Kongsun-heng, dihadapan orang lain pasti tidak
akan kusinggung," lalu dia ba las bertanya: "Apakah Kongsun- heng
tahu asal-usul Nyo Keh cong dan Sim Kia m-sin?"
"Nyo Keh- cong adalah murid Hoa-san-pay, Sim Kian-sian punya
seorang engkoh bernama Sim Pe k sin, julukannya Hwi-hoa-khia m-
khek. namanya terkenal di daerah Kian-hoay, Kenapa? Ling-heng
merasa . . . . "
"Tida k" tukas Kun-gi, "aku tidak je las keadaan mereka, kutanya
sambil lalu saja.."
Kongsun Siang berdiri, katanya menjura: "Menggangu Ling-heng
saja, biarlah aku minta diri,"
Kun-gi tertawa, katanya: "Terasa sepi juga di kapal ini, Kongsun-
heng boleh sering ke mari, ku-sa mbut dengan ge mbira."
Setelah Kongsun Siang pergi, tak la ma ke mudian Kun-gi juga
keluar ka mar, langsung pergi ke ka mar Nyo Keh-cong dan Sim
Kia m-sin menengok keadaan mereka. Tak la ma ke mudian dia sudah
berada di haluan kapal, tampak Leng Tio-cong sedang bicara
dengan Cin Te-khong.
Lwekang Leng Tio cong me mang tinggi, baru saja Kun-gi muncul
di geladak dia sudah berpaling, melihat Kun-gi segera ia
menyongsong sa mbil menjura: "congcoh juga cari angin?"
Tertawa Kun-gi, dia berkata: "Terasa gerah di dalam ka mar.
Sudah sa mpai di ma na sekarang?"
Leng Tio cong menuding ke depan, katanya: "Baru saja
me la mpaui Toa-hou-san, sebelah depan adalah Siau-hou-san."
"Tida k terjadi apa2 diperairan?" tanya Kun-gi.
Dengan pipa cangklong ditangannya, Leng Tio cong menuding
permukaan air, katanya: "cuaca cerah, gelombang tenang, dalam
jarak dua puluhan li sekitar kita bisa terlihat je las, sampan ronda
kita ada di sebelah depan, siang hari pasti tida k akan terjadi apa2."
"Leng-heng me mang luas pengetahuan, pengalaman
Kangouwpun a mat matang, menurut pandanganmu, di mana kah
kiranya letak sarang Hek- Liong-hwe?"
Sambil mengelus jenggot ka mbingnya Leng Tio-cong menepekur
sebentar, katanya: "Sulit dikata-kan, dari sini masih ada Pek-s ian-
san, coh-ouw, Sek-ciu, ada pula Ang-tek-hou di le mbah Hoay, cuma
tempat2 ini kabarnya tak pernah nampak ada kawanan penjahat
yang bermukim disana, cin-houhoat paling apa l akan daerah ini,
hamba tadi merundingkan hal ini sama dia, terasa tak mungkin
sarang Hek- Liong-hwe berada di sekitar daerah itu."
Me mang licin orang ini sebagai kawakan Kang-ouw, tadi dia bisik,
dengan Cin Te-khong, entah apa yang dibicarakan, kuatir
menimbulkan rasa curiga Ling Kun-gi, maka dia sengaja
menga lihkan pokok pe mbicaraan-
"Lalu me nurut pandangan Leng-heng bagai-ma na?" tanya Kun-gi
pula.
"Kalau sarang He k- Liong-hwe tidak di daerah itu pasti berada di
hulu Tiangkang," sampai di sini dia melirik ke arah Kun-gi, lalu
mena mbahkan: "yang benar, congcoh harus minta petunjuk ke-
pada Thay-siang, sebetulnya ke mana arah tujuan kita, supaya kita
semua lega hati dan selalu slap siaga."
Kun-gi tertawa tawar: "Tentunya Thay-siang sendiri sudah punya
perhitungan, bila hampir sampai tujuan tentu dia akan umumkan
kepada kita se mua, tanpa penjelasannya, siapa berani tanya?"
Leng Tio-cong menyengir, katanya: "Betul juga ucapan congcoh."
Menyusuri dek sebelah kiri Kun-gi menuju ke buritan, dilihat
seorang diri This La m-jiang sedang berdiri bersandar pagar
me la mun, serta merta Kun-gi menyadari bahwa diantara delapan
Houhoat se-akan2 terbagi menjadi dua kelompok. Hal ini me mang
tidak perlu dibuat heran, waktu masih Hou-hoat-su-cia dulu mere ka
juga terbagi dua di bawah pimpinan coh- yu- houhoat.
Melihat Kun-gi datang, lekas Thio La m-jiang menyongsongnya
serta memberi hormat. Kun-gi tertawa: "Thio-heng jangan sungkan,
aku hanya jalan2 saja." Sembari bicara dia sudah sampai di ujung,
dilihatnya yang pegang kemudi seorang la ki2 tua kurus kecil, kuncir
digelung melingkar di atas kepalanya, tapi Kun-gi dapat melihatnya
bahwa ilmu silat orang ini tentu a mat tinggi.
Kemarin dia sudah mendengar bahwa Ku-lotoa yang pegang
ke mudi ini dulu bekas begal di Ang-tiksouw, sudah 1o tahun
mengabdi di Pek-hoa—pang, semua kendaraan air yang dibutuhkan
Pek-hoa-pang berada di bawah pimpinannya.
Namun tujuan pelayaran kali ini dia sendiri juga tidak tahu,
katanya setiap saat tertentu, Thay-siang langsung memberi perintah
yang disampaikan oleh pelayannya kepada Ku-lotoa kearah mana
pelayaran hari ini, lalu di mana nanti mala m harus berlabuh, Ku-
lotoa hanya bekerja sesuai petunjuk itu.
Sepasang mata Ku-lotoa yang mencorong me mandang jauh ke
depan, seluruh perhatiannya tertumplek pada ke mudinya, se-olah2
tidak melihat kedatangan Kun-gi, maka iapun tidak ena k
mengganggunya. cuma dalam hati dia m2 ia me mbatin: "He k- Liong-
hwe, me mangnya dala m hal ini ada rahasia dan latar be lakangnya?"
Di sa mping itu iapun sedang me mikirkan soal la in, yaitu kejadian
ke marin mala m, orang yang me mbokong dirinya pakai Som-lo-ling
serta orang yang menyergap Nyo Keh- cong dan Sim Kian-sin
diperairan, dua peristiwa yang berbeda, tapi dapat diusut bersa ma..
Delapan Houhoat dan 12 Houhoat-sucia, diri-nya masih asing dan
belum mengenal pribadi dan asal usul mereka. Walau dirinya
berkuasa me mimpin mereka, tapi tiada seorangpun yang patut
diajak berunding. Setelah berpikir pulang pergi, dia merasa lebih
tepat berunding dengan Un Hoan-kun, tapi semua orang berada di
atas kapal, kalau ajak nona itu bicara rasanya kurang le luasa.
Langit biru cerah,awan terbang mengapung, dia m2 Kun-gi
me mbatin: "Agaknya persoalan ini harus kukerjakan seorang diri"
Apa yang harus dikerjakannya? Tanpa dijelaskan me mangnya
siapa yang tahu?. Menjelang magrib, sang surya mulai terbenam,
cahayanya nan kuning, cemerlang menimbulkan ke milau laksana
ekor ular emas yang berenang dipermukaan air, indah perma i
menakjubkan sekali.
Menggelendot ditepi jendela Kun-gi me la mun mengawasi
panorama ini. Tiba2 didengarnya suara manis kumandang di
belakangnya: "Eh, apa yang sedang kau la munkan?"
Cepat Kun-gi menoleh, ta mpak So-yok sudah berdiri di
belakangnya, bau harum semerba k segera menyampuk hidung,
dengan tertawa dia menyambut: "Kukira siapa, rupanya Hu-pangcu,
silakan duduk."
"Kecuali aku, me mangnya siapa yang bisa kemari?" kata So-yok
sambil me ngerling penuh arti.
Kun-gi melenggong, katanya: "Hu-pangcu mencariku ada urusan
apa?"
"Em" So-yok bersuara sa mbil melangkah maju dan berduduk.
matanya melerok sekali lalu melengos kejurusan lain, kedua pipinya
tampak merah jengah, katanya lirih: "Mala m itu ..... aku kehilangan
..... sebatang tusuk kunda i, apakah kau yang menyimpannya? "
"o, tidak, cayhe tidak pernah melihat tusuk kundai, coba ingat
ke mbali, apakah betul terjatuh dika marku?"
Semakin merah wajah So-yok, kembali ia melerok sambil
menggerunde l: "Ka lau tidak jatuh di ka marmu, me mangnya jatuh di
mana?"
"Kenapa tidak sejak mula kau katakan? Atau tanya Sin-ih, apakah
dia mene mukannya?"
"Me mangnya tidak malu tanya pada Sin-ih segala? Tusuk
kundaiku, mengapa ..... mengapa . . . Ah, kena. ........ habis itu
kenapa tidak kau bebenah sendiri?"
Hakikatnya Kun-gi tidak tahu apa arti ucapannya ini, dengan
tertawa ia berkata: "Maaf Hu-pangcu, kalau kulihat barang itu tentu
sudah kua mbil."
"Dasar kau ini, Sin-ih si budak busuk itu kalau berani usil mulut,
mustahil kua mpuni dia."
"Hanya sebatang tusuk kundai kenapa harus marah2? Besok
kalau pulang boleh tanya padanya."
"Kau tahu apa? Dia orang kepercayaan Sam-moay, tusuk kundai
itu terang jatuh di . . . . . di . . . . . jika sampai diketahui Sa m-moay
....." sampai di sini mendada k dia mendengus, "sebetulnya kenapa
aku harus takut pada mere ka, umpa ma diketahui Toaci,
me mangnya dia bisa berbuat apa?"
Kun-gi kebingungan, terasa olehnya se-akan2 tusuk kundai itu
amat penting dan besar artinya, baru saja dia hendak tanya, So-yok
sudah berdiri, katanya: "Hari sudah petang, Thay-siang ha mpir
bangun, aku harus lekas ke mba li." dia m2 ia lantas menyelinap
keluar ke atas dek.
Senja telah tiba. Tabir mala m me mang datang terlampau cepat.
Tahu2 cuaca sudah gelap gulita. Laju kapal sudah mulai la mbat,
akhirnya berlabuh pada sebuah teluk yang letaknya dekat Hiang-
gou.
Kapal sebesar ini bertengger di tempat gelap tanpa terlihat setitik
sinar api. La mpu sebetulnya sudah terpasang di dala m kapal, cuma
setiap jendela tertutup oleh kain tebal warna hitam sehingga sinar
la mpu tida k te mbus keluar.
Di ruang makan terpasang dua lentera minyak besar, lauk-pauk
tersedia lengkap di atas meja. Kun-gi duduk ditengah, yang lainpun
duduk berurutan sa ma tangsal perut. Waktu kerai tersingkap. Yap
Kay-sian dan Liang Ih-jun yang bertugas ronda di siang hari berja lan
masuk diiringi e mpat Houhoat. Yap Kay-sian dan Liang Ih-jun
menjura bersama, katanya: "Hamba menyerahkan ke mbali tugas
kepada congcoh"
Kun-gi menyapu pandang wajah keenam orang, katanya tertawa:
"Kalian sudah capai, sila kan duduk dan makan."
"Terima kasih" sahut Yap dan Liang terus cari te mpat duduk.
"Mala m ini, giliran siapa yang piket?" tanya Kun-gi.
Dilihatnya Kongsun Siang, Song Teksseng dan e mpat Houhoat
berdiri, Kata Kongsun Siang: "Mala m ini ha mba dan Song-heng yang
bertugas."
Kun-gi menoleh ke arah kee mpat Houhoat, belum lagi bersuara
Song Tek seng sudah mulai tunjuk satu persatu, katanya: "KikTian-
yu, Ki yu ceng, KhoTing-seng, Ho Siang-seng."
Kho Ting-seng dan Ho Siang-seng sudah dikena l oleh Kun-gi,
mereka seka mar dengan Nyo Keh- cong dan Sim Kian-sim. Dan Kho
Ting-seng adalah orang yang menyerang dirinya dengan pelor perak
dipekarangan waktu dirinya pulang mengudak musuh ma la m itu.
Tanpa terasa Kun-gi lebih banyak mengawasi kedua orang ini, ia
bertanya: "cara bagaimana ka lian akan me mbagi tugas?"
Kongsun Siang menerangkan: "Ha mba bersama Kik dan Ki
bertiga bertugas diperairan sebelah utara. Song-heng bersa ma
saudara Kho dan Ho bertugas di sebelah se latan."
Dia m2 Kun-gi menggerutu dala m hati: "Hm, kiranya tidak
me leset dari dugaanku."
Katanya, kemudian "Begitupun baik, semala m peristiwa telah
terjadi, untung Thay-siang tidak menghukum kita, mala m ini kalian
harus hati2"
Kongsun Siang dan Song Teksseng mengia kan bersa ma, katanya:
"congcoh tak usah kuatir, kalau mala m ini bangsat itu berani
datang, umpama ha mba tak ma mpu me mbekuknya hidup2, paling
tidak akan kupengga l kepalanya."
Kun-gi tersenyum, katanya: "Perairan amat luas, kalau betul ada
musuh datang menyergap. jangan terburu nafsu mengejar pahala,
yang penting lepaskan dulu tanda ke mbang api ke udara." Lalu
dengan menggunakan ilmu suara dan berpesan kepada Kongsun
Siang: "Ma la m ini Kongsun-seng harus lebih hati2, begitu ada
tanda2 bahaya harus segera me mberi tanda."
Kongsun Siang agak me lengak. segera iapun menjawab dengan
ilmu suara: "Pesan Ling-heng pasti a kan kuperhatikan-"
Ling Kun-gi angkat tangan, katanya, "Sekarang kalian boleh
berangkat."
Kongsun Siang dan Song Tek-seng menjura, ia bawa keempat
Houhoat mengundurkan diri.
Setelah selesai makan Kun-gi mendahului berjalan katanya
kepada Sam-gan-sin coa Liang: "Mala m ini coa-heng yang jadi
komandan jaga bukan?"
"Betul, apakah congcoh ada pesan?" tanya coa Liang.
"Pesan sih tidak berani, cuma sema la m sudah ada peristiwa,
cayhe mendapat firasat bangsat itu akan melakukan aksinya lagi
ma la m ini."
"Untuk ini congcoh tida k usah kuatir, kalau mala m ini terjadi
apa2, akulah yang bertanggung jawab," kata coa Liang sambil tepuk
dada.
"Bukankah kita masih sedia dua sa mpan pesat, maksudku
suruhlah tukang perahu kedua sa mpan ini Se lalu siap menerima
tugas untuk berangkat."
Sam-gan-sin coa Liang manggut, katanya: "Rencana congcoh
me mang baik, Toh Kian-ling, pergilah kau suruh mereka siap
menunggu perintah se-waktu2."
Toh Kian-ling meng ia kan terus beranjak keluar, Setelah bubaran
makan, yang tida k bertugas langsung ke mbali ke ka mar masing2.
Sebagai cong- houhoat dari Pek-hoa pang sudah tentu berat
tugas dan tanggung jawab Ling Kun-gi, apalagi dalam menghadapi
situasi buruk seperti ini.
Kongsun Siang adalah ahli pedang kaum muda yang me miliki
kepandaian tinggi, walau dari aliran sesat, tapi dia amat mencocoki
seleranya, bahwa ma la m ini dia bertugas ronda, sudah tentu hati
Kun-gi ikut kebat-kebit, kuatir akan kesela matannya, bukan lantaran
saling cocok selera, tapi bagi seorang kaum persilatan yang memiliki
kepandaian se makin tinggi, tentu akan sela lu menjadi incaran
musuh untuk me mbokongnya, terutama senjata rahasia seperti
Som-lo-ling yang ganas dan beracun itu. Secara langsung dia ingat
akan persoalan lain, bila betul pihak lawan sudah mengatur
muslihat, maka sasaran utama pasti akan terjadi pada diri Kongsun
Siang.
Keluar dari ruang ma kan, berjalan di atas dek Kun-gi
me mandang lepas ke depan-Bintang berkelap-ke lip me nghiasi
cakrawala, mala m gelap angin sepoi2, suasana terasa lengang dan
sunyi menceka m.
"Kabut tebal juga mala m ini," de mikian Kun-gi berguma m, sambil
menghe la napas panjang.
"congcoh," tiba2 seorang menegur di belakangnya. Kun-gi
menoleh, sahutnya: "coa-heng di sana?"
Sambil me mbawa buli2 araknya coa Liang maju ke sa mpingnya
dengan tertawa, katanya: "Agaknya congcoh dirundung suatu
persoalan?"
"Tiada," ajar Kun-gi tawar, "Aku hanya jalan2 mencari angin
ma la m."
"congcoh bicara tidak sesuai isi hati, berarti me mandangku
seperti orang luar, setengah abad aku berkecimpung di Kangouw,
sejak makan mala m tadi congcoh selalu mengerut kening, bukankah
itu pertanda di rundung persoalan?"
"Mungkin coa-heng salah terka, terus terang Cayhe merasa kesal
dan geram, ma ka ke luar jalan2."
Orang tidak mau terus terang, terpaksa coa Liang tidak
mendesak. katanya tertawa: "Sayang congcoh tidak suka minum
arak. tinggal di atas kapal, minum arak ada lah cara terbaik untuk
menghilangkan rasa kesal, mari silakan minum dua tegak," dia buka
tutup buli2 serta diangsurkan: "Mau mi-num tidak, congcoh?"
Sedikit menggeleng Kun-gi berkata: "Silakan coa heng minum
sendiri, terus terang cayhe tidak berjodoh dengan arak,"
Coa Liang angkat buli2 terus tuang arak ke mulutnya, katanya
tertawa sambil menyeka mulut: "Se la ma hidup tiada hobi lain
kecuali minum arak. nasi boleh tida k makan, asal sehari penuh aku
minum arak dan se mangatku tetap menyala." Tanpa menunggu Ling
Kun-gi bersuara dia menya m-bung pula: "saking de men minum arak
sehingga aku me mperoleh julukan Sa m-gan-sin ini."
"o,jadi julukan coa-heng ada sangkut-paut-nya dengan arak?"
tanya Kun-gi.
"Me mangnya, waktu itu aku masih berusia dua puluhan, sejak
mudaaku me mang sudah ge mar minum, bagi kami orang2 di daerah
perbatasan yang selalu hidup di tanah dingin, semua orang suka
minum arak. karena minum arak bisa menghangatkan badan, tapi
peraturan perguruanku amat ketat dan keras, pada suatu pagi baru
saja bangun tidur, secara dia m2 aku mencuri sepoci, tak tahunya
lantaran sepoci arak itulah aku tertimpa malang ......." dia tenggak
lagi beberapa teguk lalu meneruskan: "hari itu kebetulan harus
latihan ma in golok, waktu aku mela kukan gerak tipu menyingkap
rumput mencari ular, badan bagian atas harus terbungkuk ke
depan, tak terduga karena minum sepoci arak tadi, kontan aku
tersungkur ke depan, jidatku tepat tertusuk ujung golokku sendiri
sehingga meninga lkan codet di tengah alis ini. Sejak peristiwa itu,
begitu aku minum arak mukaku t idak pernah merah, tapi codet
inilah yang merah dulu, maka kawan2 Kangouw lantas me mberi
julukan Sa m-gan-sin padaku, sementara orang ada yang bilang,
kalau nafsuku berkobar, codet inipun bisa berubah merah, tapi apa
betul aku sendiri tidak tahu."
"Lantaran peristiwa itu ma ka coa-heng tidak mengguna kan golok
lagi?"
"Betul, sejak kejadian itu, lenyaplah seleraku untuk meyakinkan
ilmu golok,"
"Kalau aku yang mengala mi peristiwa itu a kan menjadi
kebalikannya, selanjutnya aku pasti tidak minum arak lagi."
Sam-gin-sin tergelak2, katanya: "Maka itu congcoh sela manya
tidak akan pandai minum."
Waktu Kun-gi ke mbali ke ka marnya, waktu sudah menjelang
ketongan kedua, mala m gelap sunyi senyap. tempat di mana kapa l
berlabuh adalah daerah belukar yang jarang diinjak manusia, kecuali
omba k menda mpar pantai, tiada suara lainnya yang terdengar.
Baru saja Kun-gi merebahkan diri di atas pembaringan tanpa
mencopot baju luarnya, tiba2 didengarnya beberapa kali suara
bentakan dari sebelah atas, suaranya ringan terbawa angin lalu
sehingga kedengaran a mat jauh, tapi sekali dengar dapatlah
dibedakan bahwa itulah suara bentakan seorang pere mpuan-
Dia m2 Kun-gi terkesiap. pikirnya: "Me mangnya terjadi apa2 di
tingkat ketiga?"
Serta merta dia berdiri, tanpa banyak pikir dia tarik pintu terus
me lesat keluar. Mala m sunyi, bentakan lirih itu dapat didengar
semua orang, maka bera mai2 bermunculan dari ka mar masing2.
Menyapu pandang sekelilingnya, Kun-gi lantas berseru: "Apa
yang terjadi?"
Thio La m-jiang yang berada tak jauh di sebelah sana segera
menjura, sahutnya: Belum di-ketahui."
Ling Kun-gi cepat berpesan: "Lekas periksa kesegenap pelosok."
Tiba2 dilihatnya kain gordyn tersingkap. Pek-hoa-pangcu Bok-tan
bersama Hu-pangcu So yok diiringi congkoan Giok-lan me-langkah
tiba, di belakang mereka mengikut pula lima gadis bersenjata
pedang, semuanya siap te mpur.
Ling Kun-gi tertegun. Tengah mala m buta Pangcu sendiri
me merlukan turun, terang ditingkat ketiga me mang telah terjadi
sesuatu. Lekas dia maju menyambut, katanya sambil menjura:
"Ha mba menya mpaikan hormat pada Pangcu."
Coh-yu hou- hoat dan para Hou-hoat juga sama me mberi
hormat.
Pek-hoa-pangcu hanya mengangguk sebagai ba las hormat, sorot
matanya yang biasa kale m dan bijak kini kelihatan penuh tanda
tanya, heran dan serba Curiga, sekilas dia pandang muka Kun-gi,
suaranya tetap merdu halus: "cong-su-cia tidak usah banyak adat."
So-yok tidak mengenakan kedok muka, tampak alisnya menegak.
katanya menyela: "Apakah Ling-heng tahu apa yang terjadi di
tingkat ketiga?"
"Ha mba tida k tahu," sahut Kun-gi.
Masam muka So-yok, katanya marah2: "Ada manusia yang tidak
kenal ma mpus berani coba me mbunuh Thay-siang."
Keruan semua hadirin tersirap darahnya. Kun-gi kaget setengah
mati, katanya: "coba me mbunuh Thay-siang, bagaimana keadaan
Thay-siang sekarang?"
Pek-hoa-pangcu tersenyum kale m, katanya:. "Thay-siang
me miliki ilmu sakti yang tiada bandingan di kolong langit.
me mangnya ga mpang beliau dapat diluka i oleh senjata gelap?"
Senjata gelap. Tergerak hati Kun-gi "Pasti Sa m-lo-ling adanya,"
demikian batinnya. Tanyanya segera- "Apakah sipembunuh berhasil
dibekuk?"
"Tida k. berhasil lari. mala m ini Giok li dan Hay-siang berjaga dan
me lihat bayangan punggung bangsat itu. katanya dia mengenakan
jubah hijau ..... " waktu mengatakan "jubah hijau" suaranya
kedengaran sumbang dan sangsi.
Berdegup hati Kun-gi, seluruh laki2 yang ada di tingkat kedua
hanya dirinya seorang yang mengenakan jubah hijau. Memang
sebelum ini para Hou-hoat juga mengenakan jubah hijau, cuma
dalam me luruk ke He k Liong-hwe ini mereka diharuskan ganti
seragam hitam.
Kecuali Kun-gi sendiri yang me mperoleh kebebasan mengenakan
pakaian yang disuka i, sementara coh-houhoat juga tetap
mengenakan jubah biru. "Apakah pe mbunuh mengguna kan Som-lo-
ling" tanya Kun-gi.
Hay-siang berdiri paling bela kang, tiba2 dia menjenge k: "0,
kiranya cong-su-cia sudah tahu"
Kun-gi menoleh sambil tersenyum, belum dia bersuara, So-yok
sudah me mbentak: "Hay-siang, di hadapan Toaci me ma ngnya kau
berani menyeletuk?,"
"Hu-pangcu," ujar Kun-gi, "karena mala m ini nona Hay-siang
yang bertugas jaga dan melihat bayangan musuh lagi, maka perlu
kita mendengar pendapatnya."
Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Ji-moay, usul Cong-su-cia
me mang betul, 'cap-si-moat', coba kau tuturkan penyaksianmu
kepada cong-su-cia, jangan ma in se mbunyi,"
Hay-siang mengia kan.
Kun-gi bertanya: "Setelab nona melihat bayangan musuh, kecuali
me lihat dia me ngenakan jubah hijau, pernahkah kau melihat jelas
maca m apa dia sebenarnya?"
"Gerak tubuh bangsat itu teramat cepat, sekali berkelebat lantas
lenyap. jadi sukar terlihat jelas, perawakannya seperti tinggi, waktu
itu dia mengapung di atas, aku lalu menyambitnya dengan panah,
tapi karena kejadian terlalu cepat, entah kena tidak timpukanku itu
kurang jelaslah."
"Waktu nona menya mbit kan panah, ke arah mana dia me larikan
diri?"
"Dia me lompat turun ke tingkat kedua, waktu aku juga lompat
turun, bayangannya sudah lenyap."
Tergerak pikiran Kun-gi, katanya. "Jadi maksud nona bahwa
pembunuh itu mungkin masih berada di atas kapal ini?"
"Entahlah, aku tak berani berkata demikian," sahut Hay-siang.
Kun-gi manggut2, katanya "Mungkin saja di kapal kita ini ada
musuh yang tersembunyi, ber-ulang2 kali orang ini me lakukan
kejahatan dengan Som-lo-ling, patut kita me mbekuk dan
menggusurnya keluar."
Sam-gan-sin coa Liang menyela, "Ma ksud congcoh di antara kita
ada mata2 musuh?"
"Betul, kukira cukup la ma dia me menda m diri di antara kita."
Kiu-cay-boan-koan Leng Tio-cong ikut bicara: "Me mangnya siapa
dia?"
"Sebelum kita mene mukan dia, setiap orang di antara kita patut
dicuriga i," sampai di sini Kun-gi menjura kepada Pek-hoa-pangcu,
katanya: "Pangcu dan Hu-pangcu kebetulan berada di sini, ha mba
pikir kalau dia berani coba me mbunuh Thay-siang, sungguh besar
dosanya, selama dia tidak dibe kuk, semua orang di kapal ini tetap
harus dicurigai, lalu kapan hati kita bisa tenteram, Kejadian baru
setengah jam berla lu, waktunya masih pendek untuk segera
diselidiki. Kecuali ena m orang yang bertugas di perairan, seluruh
penghuni t ingkat kedua hadir semua di sini, marilah kita coba
periksa sebentar, mungkin bisa mene mukan-"
Leng Tio-cong menanggapi: "Betul ucapan congcoh, semua
sudah hadir di sini, lebih baik di geledah satu persatu."
"Bagaimana cong -su-cia hendak menggeledahnya?" tanya Pek-
hoa-pangcu..
Pandangan Kun-gi menyapu hadirin, katanya: "Maksud hamba,
kita geledah satu persatu, lalu mengge ledah ka mar masing2."
"Mungkinkah bisa dite mukan?" tanya Pek-hoa-pangcu.
"Kalau betul orang itu sudah la ma me menda m diri diantara kita
dan tak pernah konangan, tentulah dia seorang yang licin dan
cerdik, bergerak menurut gelagat, geledah badan dan geledah
kamar me mang kecil manfaatnya, tapi mala m ini dia mungkin sedikit
salah perhitungan, karena kita semua berada di atas kapal, menarik
seutas rambut akan me nyebabkan gerakan seluruh badan, apa lagi
sejak peristiwa terjadi sampai se karang temponya masih pendek.
dalam waktu yang tergesa ini tentu tiada tempat untuk sembunyi,
maka cara menggeledah badan ini mungkin akan me mbawa hasiL"
Pek-hoa-pangcu mengangguk, katanya: "Ana-lisa cong-su-cia
me mang benar, baiklah segera laksanakan saja."
Kun-gi mengulap tangan, katanya, "Nah, coba semua berdiri
yang baik."
Para Houhoat segera berdiri berjajar. "Kemarilah Leng-heng,"
panggil Kun-gi.
"cong-su-cia ada pesan apa?" tanya Leng Tlo-cong sa mbil
mende kati.
"Kau geledah dulu badanku” ucap Kun-gi, melihat Leng Tio-cong
ragu2 segera dia menambahkan:. "sebagai cong-su-cia, sudah tentu
harus dimulai dulu atas diriku."
"congcoh bilang de mikian, terpaksa hamba melaksanakan
perintah," ujar Leng Tio-cong, lalu dia geledah badan Ling Kun-gi
dengan hati2, teliti dan pelahan, dari saku orang dia merogoh keluar
sebilah pedang pende k dan sebuah kotak gepeng, katanya: "Hanya
ini saja, tiada yang lain-"
"Terima kasih Leng heng", ucap Kun-gi La lu dia buka kotak
gepeng itu sembari menje laskan: "Kotak ini berisi bahan2 riasku,
bukan Som-lo-ling."- Sekilas dilihatnya Hay-siang yang berdiri
dipinggir sana mena mpilkan mimik aneh dan sorot matanya sedikit
jalang.
Dia m2 tergerak hati Ling Kun-gi me lihat sedikit perubahan ini,
lekas dia simpan kotak dan pedang serta berkata: "Sekarang silakan
Leng dan coa saling periksa badan masing2, lalu berturut2 periksa
yang lain."
Leng Tio-cong dan coa Liang mengiakan, mereka saling periksa
badan sendiri, lalu berturut2 me meriksa badan para Houhat.
Peristiwa menyangkut jiwa Thay-siang, ma ka siapapun tiada yang
berani semberono, Cara periksa satu persatu tni sudah tentu Cukup
menghabiskan tenaga dan waktu. kira2 sejam baru pe meriksaan
berakhir, Hasilnya nihil.
Berkata Kun-gi kepada Pek-hoa-pangcu: "Pe meriksaan badan
sudah berakhir tanpa menghasilkan apa2, kini mulai mengge ledah
kamar, cuma ka mar2 di t ingkat kedua ini aga k kotor dan se mpit,
harap Pangcu utus seorang saja untuk mengikut i cayhe
mengge ledah."
"Toaci, biar aku yang menyaksikan,"sela So-yok
Pek-hoa-pangcu mengangguk, katanya: "Baiklah, bawa juga cap-
si-moay, dia melihat jubah hijau itu, mungkin bisa mengena linya."
Terunjuk rasa riang pada sorot mata Hay-siang, sahutnya
me mbungkuk: "Ha mba terima perintah."
"Harap Leng- heng ikut aku, sementara coa- heng tetap tinggai
di sini, se mua saudara juga tetap disini, tidak boleh bergerak.
tunggu hasil pe meriksaan ka mar." kata Kun-gi,
Sam-gan-sin mengiakan, Leng Tio- cong mohon petunjuk:
"congcoh, dari ma na kita mulai?"
Kun gi tertawa, ujarnya: "Sudah tentu dimulai dari ka marku,"
Lalu dia angkat tangan- "Silakan Hu-pangcu:"
So-yok tertawa lebar, katanya: "Kamar Ling-heng sendiri, sudah
tentu kau jalan dulu."
"Tida k. Hu-pangcu mewakili Pangcu, orang yang berkuasa penuh
dalam penggeledahan ini, terutama untuk menggeledah ka mar
cayhe, maka cayhe harus me mberi segala kelonggaran, sila kan Hu-
pangcu."
So-yok mencibir, katanya sambil ce kikik: "Me mang kau ini selalu
ada2 saja alasannya." Lalu dia mendahului menuju ke ka mar Ling
Kun-gi diikut i Leng Tio-cong.
Leng Tio cong mendahului me mbukakan pintu So-yok lalu
me langkah masuk dan Kun-gi di be lakangnya, begitu dia melangkah
masuk ka mar, seketika dia merasakan hal2 yang tidak beres. Waktu
keluar tadi terang jendela tidak terbuka, kini terpentang lebar,
terutama di dekat jende la, lapat2 terasa olehnya adanya bau
semaca m pupur wangi,jelas seseorang telah menyelundup masuk
lewat jendela. Diam2 me ncelos hatinya, pikirnya: "Me mang-nya ada
orang menyelundupkan sesuatu ke mari?"
Berdiri ditengah kamar, So-yok berpaling, tanyanya: "Ling-heng,
bagaimana cara menggeledahnya? "
Urusan sudah telanjur, terpaksa Kun-gi me ngeraskan kepala dan
menabahkan hati, katanya: "Kamar ini tidak besar, boleh Hu-pangcu
suruh Hay-siang menggeledah saja.
"Betul," ujar So-yok, "Hay-siang, nah, periksa lah dengan teliti."
Hay-siang mengiakan- Matanya menyapu keseluruh ka mar,
kecuali sebuah dipan, sebuah meja kecil dan dua buah kursi seluruh
benda yang ada di dalam kawar dapat terlihat dari segala sudut,
maka langsung dia melangkah kepembaringan.
Kecuali sebuah bantal, masih ada sebuah kemul tebal yang
dile mpit rapi di atas ranjang. Kerja Hay-siang yang pertama ada lah
menyingkap bantaL Maka dilihatnya sinar ke milau perak di bawah
bantal, kiranya itulah sebuah kotak perak yang ber-bentuk gepeng
panjang.
Dingin dan taja m sorot mata Ling Kun-gi, dia m2 dia mengumpat
di dala m hati: "Bangsat keparat, aku betul2 dijadikan ka mbing
hitam."
Hay-siang je mput kotak perak itu, tanyanya: "Apakah ini?"
Lekas sekali Kun-gi sudah tenangkan diri, katanya kale m dan
tabah: "Itulah Som-lo-ling."
Hebat perubahan rona muka So-yok, tanpa terasa bergetar
badannya, teriaknya: "Som-lo-ling?Jadi kau..."
"Bolehlah Hu-pangcu suruh Hay-siang menggeledah lagi,
mungkin jubah hijau itupun berada di atas ranjang."
Pucat muka So-yok, tanyanya: "Kau ..... betulkah kau
pembunuhnya?"
Leng Tio-cong melintangkan tangan didepan dada, sembilan
jarinya tertekuk, sorot matanya liar menatap Kun-gi, agaknya dia
siap turun tangan bila perlu.
Tanpa menghiraukan sikap orang Kun-gi tertawa, katanya:
"Apakah Hu-pangcu tidak me lihat jendela ka marku terpentang?
Kalau bangsat itu sengaja mau me mfitnah aku dengan
menye mbunyikan barang bukti ini di dala m ka marku, me mang
banyak waktu untuknya bekerja disaat kita semua berada di ruang
makan."
Sementara itu Hay-siang telah angkat ke mul itu serta
me mbentangnya, maka terlihat di tengah le mpitan ke mul itu
me layang jatuh seperangkat jubah hijau, teriaknya: "Hu-pangcu,
inilah di sini. "-
Dia ambil jubah itu la lu menuding kebagian lengan, katanya: "Ya,
betul ini. di sini ada sebuah lubang kecil, itulah tanda sambitan
panahku."
Gusar wajah So-yok, katanya menggera m: "Ling-heng me mang
benar, bangsat itu me mang hendak me mfitnahmu, soal ini harus
diperiksa dan diselidiki dengan seksama sa mpai seterang2nya,
hayolah keluar." Segera ia mendahului keluar
Dengan me mbawa Som-lo-ling dan jubah hijau itu, lekas Hay-
siang mengint il di belakang So-yok, Leng Tio-cong mengira begitu
barang bukti tergeledah, Hu-pangcu akan segera me merintahkan
me mbe kuk Ling Kun-gi, tapi perke mbangan selanjutnya dan dari
nada bicaranya se-olah2 me mbela anak muda itu, dia m2 ia
menggerutu di dala m hati. Tapi So-yok adalah murid kesayangan
Thay-siang, mana berani dia bertindak gegabah, maka pelan2 dia
turunkan kedua tangan, katanya dengan suara sinis: "congcoh, ini
..... bagaimana baiknya?"
Dengan tertawa tawar Kun-gi berkata: "Barang bukti sudah
dikete mukan di ka marku, kamar2 lain tida k perlu, di geledah,
marilah keluar saja."
Waktu Kun-gi tiba di ruang makan, hadirin sudah tahu bahwa
barang bukti tergeledah di ka mar cong su Cia, maka ge mparlah
semua hadirin, ada yang geleng2, ada yang menghela napas, ada
pula yang me mandangnya dengan rasa belas kasihan, tapi ada juga
yang me mandangnya dengan gusar penuh dendam. Sambil
mengangkat tinggi kedua barang bukt i Hay-siang tengah
menerangkan hasil kerjanya.
"Betulkah hal ini terjadi?" ujar Pek-hoa-pangcu, nadanya kurang
yakin dan ragu2. Giok-lan segera bersuara: "Kurasa cong-sucsia
bukan orang de mikian."
"Pendapat Sam-moay betul," seru So-yok. "pasti ada orang
sengaja me mfitnah dia."
"Nah, sekarang kita dengar dulu pendapat cong-su-cia sendiri,"
sela Pek-hoa-pangcu.
Hay-siang mena mbahkan: "Tadi cong-su-cia bilang jende la
kamarnya terbuka, kemungkinan bangsat itu sengaja sembunyikan
barang bukti ini di dala m ka marnya, tapi bayangan tinggi yang
kulihat tadi me mang mirip dia, soalnya belum ada ada bukti, hamba
tidak berani terus terang. Soal jendela terbuka, me mang mungkin
bangsat itu menyelundup ke kamarnya serta sembunyikan barang2
bukti ini, tapi dapat juga diterangkan, waktu dia melayang turun
dari tingkat atas dan langsung, masuk jendela serta
menye mbunyikan kedua barang ini la lu buka pintu lari keluar,
karena waktu amat mendesak belum se mpat dia menutup jendela,
atau sengaja dibiarkan terbuka, umpa ma perbuatannya kebongkar,
bisa saja dia mengguna kan alasannya tadi. Maka menurut pendapat
hamba, soal ini harus segera dilaporkan kepada Thay-siang dan
dengarkan putusan beliau."
So-yok mentang2 tidak terima: "Soal menggeledah ka mar adalah
usul Ling heng sendiri, kalau dia menyembunyikan barang bukti di
kamarnya, me mangnya dia berani suruh kita menggeledahnya
ma lah?"
Hay-siang tidak berani debat, katanya: "Betul Hu-pangcu, tapi
kedua barang bukti ini jelas kita temukan dika marnya, ini
kenyataan."
Pek-hoa-pangcu berkata kepada Kun-gi: "cong-sucia, ingin
kudengar pendapat mu."
Kun-gi tahu perhatian seluruh hadirin tertuju pada dirinya, tapi
sikapnya tenang dan wajar, katanya sambil tertawa lebar: "Salah
atau benar pasti ada keadilannya, kurasa apa yang dikatakan nona
Hay-siang juga tidak salah, kenyataan kedua barang bukti me mang
berada di kamarku, sudah tentu cayhe patut dicurigai, lebih baik
laporkan saja kepada Thay-siang, biarlah beliau yang menga mbil
kesimpulan dan putusan-"
Dia m2 gelisah hati So-yok, katanya tak tahan: "Toaci, kurasa hal
ini me mang sengaja ada orang me mfitnah dia, kita harus me meriksa
dan menyelidikinya sampai terang baru laporkan kepada Thay-
siang."
Pek-hoa-pangcu sendiri juga bingung dan sukar a mbil putusan,
menoleh ke arah Giok-lan dia bertanya: "Sam-moay, bagaimana
pendapatmu?"
Giok-lan menepekur sebentar. katanya kemu-dian: "Kurasa
pendapat cong-su-cia me mang tepat dan masuk akal, ka lau musuh
sengaja mau me mfitnah dia, ma ka laporkan saja soal ini kepada
Thay-siang."
"Baiklah," Pek-hoa-pangcu mengangguk, "Ji-moay, cong-su-cia,
marilah kita menghadap Thay-siang." Lalu dia berdiri lebih dulu.
Walau merasa ogah, tapi So-yok sungkan membe la Kun-gi
terang2an, apa lagi dihadapan umum, terpaksa dia mengikuti Pe k-
hoa-pangcu ke-luar dan disusul Kun-gi.
Giok lan ikut di belakangnya, dengan membawa kedua barang
bukti Hay-siang mengintil di be-lakang Giok lan, beberapa orang
lainnya mengekor pula di be lakang Hay-siang dan bera mai2 na ik ke
tingkat ketiga.
Setelah orang banyak berlalu, Sa m-gan-sin coa Liang geleng2
kepala, ujarnya: "Bahwa pemimpin kita adalah mata2 Hek liong-hwe
yang akan me mbunuh Thay-siang, aku orang perta ma yang tida k
percaya."
Leng Tio-cong me nyeringai, jengeknya: "Bukti sudah nyata,
me mangnya harus diragukan?"
Maklumlah dia sebagai coh-hou-hoat, kalau kedudukan Kun-gi
dicopot, maka jabatan cong-hou-hoat yang kosong akan menjadi
miliknya, maka dia m2 ia berdoa semoga Ling Kun-gi me mang mata2
musuh adanya.
Sam-gan-sin tertawa dingin, katanya: "Manusia paling goblok di
dunia ini juga tidak akan mengangkat batu menimpuk kaki sendiri,
kalau betul cong-su-cia menyembunyikan barang bukti di ka mar
sendiri, masadia mengusulkan ge ledah ka mar malah? Ka lau betul
dia pe mbunuhnya, waktu dia lompat turun dari tingkat atas, Cukup
sekali ayun dia buang kedua barang bukti ke air kan segalanya
beres, kenapa harus disembunyikan di ranjang. Beberapa hal yang
meragukan ini lebih meyakinkan bahwa me mang ada orang sengaja
mau me mfitnah dia."
Sudah tentu bukan maksudnya ingin me mbe la Ling Kun gi,
soalnya dia juga iri dan tidak terima kalau jabatan cong-su-cia jatuh
ke tangan Leng Tio-cong. Dari pada Leng Tio-cong me mungut
keuntungan, biarlah tetap dijabat oleh Ling Kun-gi saja. Maklumlah
kedua orang ini me mang sering perang dingin dan tarik urat.
Baru pertama kali ini Kun gi na ik ke tingkat ketiga yang jauh lebih
sempit daripada tingkat kedua.
Thay-siang mene mpati ruang tengah, sebelah depannya ada
sebuah ruang kumpul, di mana terdapat kursi berjajar, ditengahnya
ada sebuah meja dan kursi. Kamar tidur Thay-siang di sebelah
dalam. Di sebelah kiri masih terdapat dua ka mar lagi, tertutup oleh
kain gordyn yang tersula m indah, itulah te mpat tingga l Pangcu dan
Hu-pangcu.
Dari letak beberapa kamar ini, dapatlah disimpulkan jendela
kamar Thay-siang tentu berada di sebelah kanan, jadi berlawanan
dengan jendela ka mar Pangcu dan Hupangcu.
Begitu Kun-gi melangkah masuk ruang pertemuan, Pek-hoa-
pangcu lantas angkat tangannya, katanya: "Silakan duduk cong-s u
Cia."
Kun-gi menjura, sahutnya: "Hamba sebagai tertuduh yang patut
dicuriga i, biarlah berdiri di sini saja."
Tengah bicara, dua pelayan menyingkap kerai, tertampak Thay
siang melangkah datang dari ka marnya. Pek-hoa-pangcu, Hu-
pangcu, Ling Kun-gi dan Giok-lan sa ma berdiri serta me mbungkuk
menya mbut kedatangannya.
Menyapu pandang wajah para hadirin, Thay-siang mengangguk
serta berkata: "Kalian sudah mene mukan pe mbunuhnya?"
"Lapor Thay siang," seru Pe k-hoa-pangcu, "Som-lo-ling dan jubah
hijau sudah dite mukan, cuma . ...."
Thay siang menuju ke kursi besar berlapis bulu binatang dan
duduk. dia lantas menukas: "Ba ik, sekali kalau sudah ditemukan-"
So-yok menyela dengan gugup: "Thay-siang, walau kedua
barang ini dite mukan di ka ma cong-su-cia, tapi Tecu berpendapat
pasti musuh sengaja hendak me mfitnah dia."
Pek-hoa-pangcu mena mbahkan: "Tecu juga berpendapat musuh
sengaja hendak mengka mbing hita mkan dia, harap Thay-siang suka
periksa."
"Bagaimana duduk persoalannya? tanya Thay-siang.
Maka So-yok lantas Ceritakan usul Ling Kun-gi serta Cara
pemeriksaan seorang de mi seorang, lalu menggeledah ka mar.
Setelah mendengar laporan So yok, Thay-siang berkata: "Hay-
siang, bawa ke mari barang2 bukti itu."
Hay-siang mengia kan, tersipu-sipu dia perse mbahkan kotak
perak dan jubah hijau itu dengan kedua tangannya. Memegang
kotak perak Som-lo-ling itu Thay-siang me nga mati sekian la ma
dengan teliti, katanya kemudian: "Benda ini a mat ganas sekali,
me mang barang tiruan,yang mereka buat dari seorang ahli, tak
ubahnya dengan barang aslinya."
Dia letakkan kotak itu, diatas meja lalu bertanya: "Hay-siang, kau
bilang pernah menyambit penyantron dengan panah, apakah
timpukanmu mengenai sasaran?"
Hay -siang me mbungkuk, sahutnya: "Lapor Thay-siang, lengan
kanan jubah hijau itu ada lubang kecil, itulah bekas kena t impukan
panah Tecu."
"Kau pernah me lihat bayangan punggung pe mbunuh itu, apakah
mirip Ling Kun-gi?"
Hay-Siang ragu2 sebentar, sahutnya: "Gerak tubuh orang itu
teramat cepat Tecu tidak melihat jelas wajahnya, jadi tak berani
sembarang bicara, tapi kalau dilihat bentuk perawakannya me mang
rada2 mirip cong-su-cia."
"Nah, itulah," ujar Thay-siang.
Berdegup jantung Pek-hoa-pangcu, Hu-pangcu dan Giok-lan
serentak mereka berteriak: " Thay-siang"
Sedikit menggerak tangan, Thay-siang cegah mereka bicara,
matanya tertuju kearah Kun-gi, katanya: "Ling Kun-gi, apa pula
yang hendak kau katakan?"
Sikap Kun-gi t idak berubah, katanya me mbungkuk: "Apa yang
ingin ha mba sa mpaikan tadi sudah dijelaskan oleh Hu-pangcu,
Thay-siang maha bijaksana, salah atau benar persoalan ini tentu
dapat diselidiki dengan adli, hamba terima apa saja putusan Thay-
siang."
Karena mengena kan cadar, sukar dilihat bagaimana mimik muka
Thay-siang, tapi Bok-tan, So-yok dan Giok-lan sa ma tertekan
perasaannya, napas-pun terasa sesak.
Menoleh kearah Hay-siang, Thay-siang bertanya: "Begitu kau
me lihat pe mbunuh lalu menyerangnya dengan panah? " Hay-siang
mengiakan.
"Waktu itu, berapa jauh jarakmu dengan dia?" Hay-siang
berpikir, sahutnya: "Kira2 tiga tombak."
"Baik, Ling Kun-gi, putar badanmu dan majulah setombak lebih."
Pek-hoa-pangcu, So-yok dan Giok-lan t1dak tahu apa maksud
Thay-siang, dia m2 mereka berkuatir bagi Kun-gi.
Jarak setombak setengah berarti sudah berada di luar ka mar.
Maka Kun-gi melangkah keluar.
"Sudah cukup, berhenti, kau berdiri saja di situ," ucap Thay-
siang, "akan kusuruh Hay-siang menimpuk panah ke be lakangmu,
kau tak boleh berkelit, hanya boleh menyampuk dengan lengan
bajumu, sudah tahu?"
Bahwa dirinya hanya boleh menya mpuk ke belakang dengan
lengan bajunya saja, Kun-gi lantas tahu ke mana maksud Thay-
siang, cepat dia menjawab: "Ha mba me ngerti."
"Hay-siang, kau sudah siap?" tanya Thay siang.
"Tecu sudah siap." sahut Hay-siang,
"Bagus, timpuk pundak kanannya," seru Thay-siang.
Sejak tadi Hay-siang sudah gengga m sebatang panah kecil
ditelapak tangan kanannya, belum lenyap seruan Thay-siang,
tangan kanannyapun sudah terayun, "Ser," sebatang panah kecil
bagai bintang meluncur kepundak kanan Ling Kun-gi.
Agaknya kali ini Kun-gi hendak pa mer kepandaian, dia dia m saja
tanpa menoleh, setelah panah melesat tiba lebih dekat, tangan
kanan pelahan mengebut ke belakang. Gayanya indah gerakannya
ringan dan gagah, lebih harus dipuji lagi karena dia
me mperhitungkan wa ktu dengan tepat, ujung lengan bajunya
bergerak la mban seperti me la mbai tertiup angin, kebetulan panah
kecil sa mbitan Hay-siang kena disampuknya. "creng", panah kecil
terbuat dari batang baja itu berdering nyaring seperti me mbentur
benda keras, lengan baju Kun-gi lunak tapi panah baja itu kena
disa mpuknya terpental balik. "Ta k", tepat dan persis menancap
dipapan lantai didepan Hay-siang.
Sudah tentu Hay-siang terperanjat dengan sigap dia berjingkrak
mundur. Demontrasi kepandaian yang tiada taranya ini sungguh
me mbuat kagum dan riang hati Pek-hoa-pangcu. Hu-pangcu dan
lain, siapapun tak pernah me mbayangkan bila kepandaian silat Ling
Kun-gi bukan saja tinggi, malah sudah begitu matang dan
sempurna.
Thay-siang manggut2 senang dan puas, kata-nya tersenyum
ramah: "Me mang tidak ma lu sebagai murid Put-thong Taysu, balik
sini."
Ling Kun-gi ba lik ke depan Thay-siang, katanya membungkuk:
"Thay-siang masih ada pesan apa?"
Le mbut suara Thay siang: "Perlihatkan kepada mereka, apakah
ujung lengan bajumu tertimpuk berlubang oleh panah kecil itu?"
Panah kecil itu terbuat dari baja, bobotnya cukup lumayan, tapi
lengan baju Ling Kun-gi ternyata tetap utuh tidak kurang suatu apa.
Dala m jarak setombak setengah panah kecil itu tak ma mpu
me lubangi lengan baju Kun-gi, apalagi ka lau dala m jarah tiga
tombak. Seketika tersimpul senyuman riang lega pada wajah So
yok.
Pek-hoa-pangcu dan Giok-lan dia m2 juga menghe la napas lega,
rasa kuatir dan jantung dag-dig-dug tadi seketika sirna.
Hay-siang tunduk. katanya: "Ilmu sakti cong-su-cia tiada taranya,
kiranya Tecu yang salah lihat orang." Nyata nada bicaranyapun
menjadi lunak dan putar haluan-
Thay-siang mendengus, kedua matanya mencorong menatap
Ling Kun-gi, katanya kale m: "Kalau Losin t idak ma mpu menila i
orang, me mangnya kuangkat dia menjadi cong-hou-hoat-su-cia?
Kalau jabatan tinggi ini sudah kuserahkan padanya, maka aku harus
percaya begini saja akan cara keji musuh untuk me mfitnah dia?"
Sejak tadi sikap Kun-gi tetap tenang dan wajar meski dirinya
difitnah dengan barang2 bukti yang me mberatkannya, tapi setelah
mendengar kata2 Thay-siang ini, tanpa terasa keringat membasahi
badan, serunya hambar: "Sela ma hidup ha mba tidak akan lupa akan
budi dan kebijaksanaan Thay-siang."
Sudah tentu ini bukan kata2 yang terlontar dari lubuk hatinya,
tapi dihadapan Thay-siang terpaksa dia harus ber-muka2.
Nada Thay siang tiba2 berubah kereng: "Ling Kun-gi, walau Losin
me maafkan dan menga mpunimu, tapi bangsat yang coba
me mbunuh Losin itu menjadi tanggung jawabmu untuk
me mbe kuknya, kau ma mpu tida k?"
Kun-gi me mbungkuk, serunya: "Sesuai dengan jabatanku ha mba
me mang wajib me mbekuknya . "
"Aku berikan batas waktu untukmU me mbongkar perkara ini,"
desak Thay-siang.
"Entah berapa lama batas waktu yang Thay-siang berikan kepada
hamba."
Thay-Siang gebrak meja, serunya gusar: "Dia berani coba
me mbunuh Losin, me mangnya Losin harus berpeluk tangan
me mbiarkan dia bebas bergerak sesukanya, kau harus dapat
me mbe kuknya sebelum terang tanah atau kau menyerahkan batok
kepala mu sendiri."
Tatkala itu sudah kentongan ketiga, kira2 masih satu dua jam
lagi sebelum fajar menyingsing . .
Perkara ini masih merupakan teka teki, bayangan untuk
menyelidikipun tiada, cara bagaimana harus me mbe kuk biang keladi
pelakunya. Yang terang perintah harus dilaksanakan, walau wa ktu
sudah teramat mendesak.
Pek-hoa-pangcu bermaksud mohonkan keringanan, tak terduga
Kun-gi lantas menjura, katanya: "Ha mba terima perintah Thay-
siang." Tanpa ragu2 dia terima perintah yang menyudutkan dirinya
ini.
Sudah tentu hal ini lagi2 me mbuat Pek-hoa-pang-cu, Hu-pangcu
dan Giok -lan me lengak heran, tanpa berjanji mereka sama tumple k
perhatian padanya.
Thay-siang manggut2, katanya me muji: "Losin tahu kau punya
bakat dan ma mpu melaksanakan tugas."
"Thay-siang terlalu me muji, cuma ha mba kebentur suatu hal
yang menyulitkan ...."
"Ada kesulitan apa boleh kau katakan, Losin akan me mberi
kelonggaran pada mu."
"Walau ha mba sebagai cong-hou-hoat-su-cia dari Pang kita, tapi
hak kuasa hamba terbatas, gerak lingkungan ha mba hanya terbatas
pada tingkat kedua maka, umpa ma tingkat ketiga ini bukan lagi
menjadi daerah operasiku ....."
Terunjuk senyum lebar pada wajah Thay-siang di balik cadar,
katanya: "Baik", Lalu dia berpaling pada salah seorang pe layannya,
katanya: "Liu-hoa, pergilah a mbilkan Hoa-sin-ling ke mari, sa mpaikan
pula perintah ku kepada semua orang, sejak kini sa mpa i terang
tanah nanti, Losin serahkan kekuasaan tertinggi kepada cong-su-cia
sebagai wakil Losin untuk me laksanakan tugas, tak peduli Pek—hoa-
pangcu atau Hu-pangcu juga harus siap terima tugas dan
perintahnya, siapa berani me mbangkang akan dijatuhi hukuma n
yang berlaku."
Pelayan itu mengiakan- Baru saja dia bergerak hendak putar ke
belakang, tiba2 Kun-gi berseru:
"Nona tunggu sebentar"- Lalu dia menjura kepada Thay-siang,
katanya: "Sudah cukup dengan kata2 Thay-siang tadi, tak perlu
pakai Hoa-sin-ling sega la.."
Tiba2 dia berkata kepada Giok-lan dengan ter-tawa: "Thay-siang
sudah serahkan kekuasaan untuk menjalankan tugas, tentunya
congkoan sendiri juga telah dengar."
Pek-hoa-pangcu yang berdiri disa mping ha mpir tida k berani
percaya akan apa yang di dengarnya ini, sungguh dia tidak habis
mengerti kenapa Thay-siang berubah begini mendadak? Dan yang
me mbuatnya heran adalah Ling Kun-gi, entah akal muslihat apa
pula yang tersembunyi di dala m benaknya.
Demikian pula So-yok me mpunyai rasa curiga yang sa ma, kedua
matanya terbeliak menatap Kun-gi tanpa berkedip.
Mendengar ucapan Kun gi, lekas Giok-lan menjura, sahutnya:
"Ha mba sudah dengar."
Lebar tawa Kun-gi, katanya balas menjura: "Kalau begitu tolong
congkoan sa mpaikan perintahku, suruhlah ketujuh TayCia datang
ke mari."
Hay-siang sudah berada disini, berarti Giok-lan harus me manggil
enam Tay-cia yang la in- Setelah me ngiakan Giok-lan lantas keluar.
Kun-gi menjura pula kepada So-yok, katanya: "Ada pula sebuah
tugas, mohon Hu-pangcu suka me mbantu."
So-yok mengerling penuh arti, katanya tertawa: "cong-su-cia
hendak menugaskan apa?"
"cayhe minta Hu-pangcu suka berjaga dipintu keluar, kalau ada
orang berusaha melarikan diri, harap Hu-pangcu me mbe kuknya
hidup2, kalau terpaksa boleh juga me mbunuhnya . "
"Me mangnya perlu dije laskan, siapa berani me larikan diri lewat
pintu, pasti tidak akan kulepas dia."
"Hu-pangcu perlu hati2, bukan mustahil kalau kepepet orang itu
jadi nekat, diapun bisa menggunakan Som-lo-ling," Kun-gi
me mperingatkan-
"Aku tahu," ucap So-yok, "begitu ia merogoh kantong, akan
segera kuserang dulu, umpa manya kutabas lengannya."
"Tapi Hu-pangcu harus bertindak menurut aba-abaku."
So-yok cekikik ge li, katanya: "Aku tahu, aku akan menurut
petunjukmu."
"Terima kasih Hu-pangcu, sekarang silakan kau berdiri dipintu."
Sambil me megang gagang pedang dipingggang So-yok keluar
dan berdiri di a mbang pintu. Kun-gi menghadapi Pek-hoa-pangcu
lalu katanya: "Sila kan duduk Pangcu."
Pek-hoa-pangcu melirik mesra, tanyanya: "cong-su-cia tidak
me mberi tugas kepadaku?"
"Tida k. sila kan Pangcu duduk saja."
Karena Kun-gi bekerja mewakili Thay-siang, maka Pek-hoa-
pangcu menurut saja permintaan Kun-gi, dia duduk di sebuah kursi
di bawah Thay siang. Se mentara Thay-siang tetap duduk di kursi
kebesarannya tanpa bersuara, dia melihat saja apa yang dilakukan
Ling Kun-gi tanpa me mberi komentar karena dirinya tidak
dihiraukan, tak tahan Hay-siang buka suara: "cong-su-cia, apakah
hamba t idak diberi tugas?"
Kun-gi tertawa, ujarnya: "Nona adalah saksi satu2nya yang
me lihat bayangan musuh, kunci me mbongka peristiwa mala m ini
berada dipundak nona," lalu tangannya menuding: "Sila kan nona
duduk di sebelah Pangcu." Hay-siang mengiakan lalu duduk di
tempat yang di tunjuk.
Kerai tampak tersingkap. Giok-lan melangkah masuk lebih dulu,
di belakangnya mengikuti ber-turut2 adalah Bi-kui, Ci-hwi, Hu-yong,
Hong-sian, Giokju dan Loh-bi-jin.
Giok-lan menjura kepada Kun-gi, serunya: "Lapor cong-su-cia,
enam Taycia yang la in sudah kumpul seluruhnya."
Keenam Taycia ini dipimpih oleh Bi-kui (Un Hoan-kun), melihat
So-yok berjaga di pintu, semuanya tertegun, ter-sipu2 mereka
berlutut dan berseru bersa ma: "Tecu menghadap Thay-siang."
Thay-siang angkat tangan, katanya: "Bangunlah, kalian harus
tunduk kepada cong-su-cia, mala m ini dia bekerja mewakili Losin
untuk menyelesaikan perkara besar. kalian harus dengar
perintahnya, tidak boleh me mbantah."
Para Taycia sudah tahu akan peristiwa usaha pembunuhan atas
junjungan mereka dan Ling Kun-gi sebagai tertuduh utama,
sungguh tak nyana dari nada bicara Thay-siang sekarang tertuduh
justeru diberi kuasa mewa kilinya untuk mengusut perkara ini,
Pangcu mereka sendiripun harus tunduk di bawah perintahnya,
keruan jantung mereka ber-debar2.
Sudah tentu yang paling merasa diluar dugaan adalah Bi-kui
samaran Un Hoan-kun, sehingga ia me lirik kearah Kun-gi.
Giok-lan bawa keenam orang ini berbaris di depan Kun-gi. Sambil
mengawasi Bi-kui, Kun-gi berkata: "Nona Bi-kui, harap maju."
Di antara ke-12 Taycia Bi-kui mendapat urutan nomor se mbilan,
tapi dalam perjalanan kali ini dia merupa kan tertua dari tujuh Taycia
yang ikut, maka Kun-gi mena mpilkan dia, Un Hoan-kun segera
tampil ke depan Kun-gi.
"Silakan duduk," kata Kun-gi menunjuk sebuah kursi di depannya
sana.
Sedikit merandek, akhirnya Un Hoan-kun duduk di kursi yang
teraling meja bundar di depan Kun-gi.
"Lepaskan kedok nona," kata Kun-gi. Perlu diketahui Un Hoan-
kun sudah dirias oleh Kun-gi sehingga sekarang bukan dengan
wajah aslinya, maka dia tidak usah kuatir a kan konangan
kepalsuannya, tanpa ragu2 dia mengelupas kedok mukanya.
Tajam pandangan Kun-gi, sekian la manya dia menga mati wajah
orang, akhirnya manggut2, katanya: "Baiklah, nona boleh paka i lagi
kedok itu."
Un Hoan-kun segera tempelkan lagi kedok mukanya yang tipis ke
wajahnya serta mengelusnya dengan telapak tangan, tanyanya:
"Masih ada pesan la in cong-su-cia?"
"Nona boleh ke mbali ke te mpat semula," ujar Kun-gi, lalu dia
angkat kepala dan berkata pula:
"Nona Ci-hwi sila kan maju."
Ci-hwi segera duduk juga dihadapannya. "Bukalah kedok nona,"
kata Kun-gi.
Karena Thay-siang sudah keluarkan perintah, terpaksa dia
mencopot kedoknya meski dengan rasa berat. Duduk berhadapan
dengan pemuda gagah ca kap ini, setelah kedok mukanya dicopot,
tampak wajahnya yang putih halus bersemu merah jengah. Kun-gi
juga menga mati muka orang sekian la ma dengan teliti, akhirnya
menyuruhnya mengenakan kedok dan ke mbali ketempatnya.
Para Taycia yang lain tidak luput menga la mi pe meriksaan yang
sama, semua sa ma menunduk ma lu dengan muka merah, ena m
Taycia sudah di-periksa wajah aslinya, tinggal Hay-siang seorang
yang belum diperiksa. Kun-gi berdiri lalu katanya kepada para
Taycia dengan tertawa: "Sekarang para nona boleh ke mba li,
sementara nona Bi-kui harap tinggal di sini, ada tugas lain untuk
nona."
Un Hoan-kun menjura, sahutnya: "Hamba menunggu perintah."
Lima Taycia mengundurkan diri.
Hay-siang bersuara: "cong-su-cia tiada tugas untukku bukan?"
"Tadi sudah kubilang, untuk me mbongkar peristiwa mala m ini,
bantuan nona amat diharapkan, sudah tentu kau harus tetap di
sini." lalu ia berpaling kepada Giok-lan-"cayhe masih menyusahkan
congkoan, suruhlah 20 dara ke mbang yang ada naik ke mari."
"Dara2 ke mbang itu dipimpin oleh cap-go-moay (Loh-bi-jin),
Cukup hamba me mberitahu kepadanya supaya membawanya
ke mari." habis berkata dia keluar dan Cepat sekali sudab ke mbali
pula.
Tidak la ma ke mudian Loh-bi-jin sudah me langkah masuk.
katanya membungkuk: "20 dara ke mbang sudah hadir seluruhnya,
apakah cong su-cia hendak suruh mereka masuk ke mari?"
"Te mpat ini se mpit, suruhlah mereka masuk satu persatu," ujar
Kun-gi, Loh-bijin mengiakan lalu me nyapa keluar, seorang dara
terdepan segera melangkah masuk. Loh-bi-jin berkata: "Gong-su-cia
ingin berkenalan dengan kalian, majulah."
Melihat Thay-siang, Pangcu dan la in2 sa ma hadir, dengan
menunduk dan ge metar dia melangkah ke depan Ling Kun-gi,
katanya sambil bertekuk lutut dan merangkap kedua tangan:
"Ha mba menya mpaikan hormat kepada cong-su-cia."
Para dara kembang ini tiada yang mengenakan kedok, ma ka Ling
Kun-gi t idak perlu menggunakan banyak waktu, dengan tertawa dia
cuma pandang kiri lihat kanan, lalu tanya Siapa namanya dan di
Suruhnya keluar. Dala m wa ktu Singkat 20 dara ke mbang telah
diperiksanya Se mua, dia berdiri me mberi Sa la m kepada Loh-bi-jin:
"Bikin Susah nona saja, boleh kau bawa mere ka turun."
Dia m2 Loh-bi-jin menggerutu dalam hati, suruh mereka naik,
kerjanya cuma menikmati wajah para dara yang jelita dan tanya
namanya saja, me mangnya apa ma ksudnya? Tapi dihadapan Thay-
siang dan Pangcu sudah tentu dia tak berani bertingkah, lekas dia
me mbungkuk serta menjawab: "Baiklah, ha mba mohon diri."
Pek-hoa-pangcu dan So-yok dia m2 saja mengawasi tingkah Ling
Kun-gi yang mirip pe muda binal sedang me milih kesukaan, mereka
heran dan tak habis mengerti apa maksud Kun-gi. Thay-siang dia m
saja se-olah2 setuju tindakan Ling Kun-gi. .
Semua sudah mengundurkan diri, tinggal Bi-kui seorang yang
ditahan disini, me mangnya Bi-kui inikah mata2 musuh? Sejak tadi
So-yok ber-diri di depan pintu, setelah semua orang pergi, tanpa
kuasa dia bertanya: "cong-su-cia, tugasku sudah selesai?"
"Belum, kau be lum boleh meningga ikan tugas-mu," ujar Kun-gi.
Hay-siang berkata: "Bayangan yang kulihat terang seorang laki2,
orang2 yang diperiksa cong su-cia justeru para saudara kita yang
nona, kenapa yang laki2 tidak diperiksa?"
Kun-gi tertawa, katanya: "Para Taycia dan dara2 kembang ini
semuanya belum kukenal. Se mentara para Hou-hoat su-cia yang
ada boleh di katakan setiap hari berkumpul bersa maku, dan
keadaan mereka sudah Kuketahui jelas, sudah tentu tak perlu
kuperiksa mereka."
"Jadi cong-su-cia sudah me mperoleh apa yang diharapkan?"
tanya Hay-siang.
"Belum," ujar Kun-gi menggeleng. "sekarang giliran nona, harap
duduk dan copot kedokmu, biar kuperiksa juga ."
Hay-siang malu2, katanya: "Apakah cong-su-cia mencurigai
hamba?" pelan2 tangannya mengelupas kedok mukanya yang tipis
halus. Hay-siang me miliki seraut wajah bundar, kulitnya putih
mulus, sepasang matanya tampak hidup lincah, bibirnya tipis,
me mang sesuai seka li dengan na ma yang diberikan kepadanya.
Sorot mata Kun-gi mendadak taja m, katanya tertawa:
"Berhadapan dengan wajah mole k begini tidak puas hanya
me mandangnya berhadapan, ingin kududuk disa mpingnya dan
merebahkan diri menikmat i kecantikan yang molek ini." Betul juga
dia lantas duduk di sisinya mengawasi wajah Hay-siang dari
samping kiri la lu ke sa mping kanan. Sungguh aneh, di hadapan
Thay-siang dia berani bertinda k begini kasar.
Sudah tentu Pek-hoa-pangcu merasa heran, sedangkan So-yok
yang berdiri di depan pintu segera me lengos, wajahnya merah
bersungut.
Sementara pipi Hay-siang sendiri me njadi merah, katanya
menunduk: "cong- su-cia jangan menggoda."
Kun-gi tida k pedulikan, dia putar ke belakang dan berdiri sejenak
seperti seorang pembeli yang sedang menikmati barang pilihannya
saja, sementara mulut bersenandung me mbawakan syair pujangga
dinasti Tong.
Sudah tentu Hay-siang tidak tahu apa maksud orang
bersenandung, karena dirinya dipuji, hatinya merasa senang. namun
rasa malunya semakin jadi, akhirnya tak tahan dia berkata: "Sudah
puas cong-su-cia?"
Kun-gi goyang2 tangannya: "Nanti dulu nona" Dari kantong
bajunya dia keluarkan kotak gepeng serta membuka tutupnya,
dije mputnya sebutir obat warna madu terus diangsurkan, katanya
dengan tertawa tawar: "Sayang sekali kalau pupur menutupi warna
yang asli, kukira nona terlalu tebal me maka i pupur, bagaimana
kalau nona cuci muka saja?" obat bundar berwarna seperti madu itu
adalah obat khusus untuk mencuci muka yang telah di ma ke-up,
Mendadak berubah hebat sikap Hay-siang, tiba2 dia berjingkrak
berdiri, baru saja pergelangan tangannya terayun. Tapi Kun-gi lebih
cepat lagi, jari tangan kiri dengan enteng menyentik, sejulur angin
segera menerjang Ki-ti-hiat di pergelangan tangan Hay-siang,
mulutpun tertawa: "Lebih baik nona tetap duduk saja, ada
pertanyaan yang ingin kuajukan pada mu."
Pada saat Hay-siang berjingkrak berdiri itulah, Bi-kui alias Un
Hoan-kun telah bertindak pula di bela kang Hay-siang, kedua tangan
bekerja cepat, beruntun dia tutuk tiga Hiat-to besar dipunggung
orang, lalu menekan pundak orang, bentaknya: "Duduk" Tanpa
kuasa Hay-siang tertekan duduk ke mbali di kursinya.
Thay-siang manggut2 dan berkata sambil tersenyum senang:
"Ternyata kau me mang sudah tahu akan dia."
Serius sikap Ling Kun-gi, katanya: "Thay-siang serba tahu, soal
ini tentunya juga sudah di-ketahui. Waktu ha mba me meriksa ka mar
tadi kudapati jende la terbuka, kucium pula bau pupur yang
tertinggal di dala m ka mar dan pupur itu sa ma dengan bau pupur
yang dipakainya, cuma waktu itu belum berani kupastikan, kini
setelah melihat make- up dimukanya baru aku lebih yakin dan
ternyata me mang terbukti betul adanya."
Thay-siang mengangguk. ujarnya: "Betul, gurumu ahli rias yang
tiada duanya di kolong langit, cara make-up yang dia gunakan ini,
sudah tentu takkan bisa menge labui dirimu yang cukup ahli pula
dalam bidang ini."
Kaget dan girang hati So-yok, katanya sambil melerok: "Kenapa
tidak kau jelaskan sejak tadi."
"Tentunya Hu-pangcu sudah lihat, baru saja cayhe sendiri
me mperoleh buktinya." sahut Kun-gi. Pek-hoa-pangcu menghela
napas, katanya: "Dia ternyata bukan cap-si-moay, tentu cap-si-moay
sudah dia Celaka i."
Kun-gi serahkan obat berwarna madu itu kepada Bi kui, katanya:
"Tolong nona, remas saja obat ini di telapak tangan dan poleskan ke
mukanya, bahan ma ke up di mukanya akan tercuci bersih."
Bi-kui lantas bekerja, obat itu dia taruh di tengah telapak tangan
terus di-gosok2 lalu mula i me moles di muka Hay-siang. Me mang
aneh sekali, di mana jari2nya bergerak di muka Hay-siang, bahan2
rias di muka Hay-siang seketika menge lotok lenyap. dengan cepat
wajah Hay-siang nan molek itu sudah berganti rupa.
Dia ternyata seorang perempuan berusia sekitar 25, bentuk
wajahnya bundar agak mirip Hay-siang yang asli. Kerena tertutuk
Hiat-tonya oleh Bi-kui, kecuali kedua biji matanya yang masih bisa
bergerak, mulutpun tak ma mpu bersuara. Kun-gi bertanya kepada
Bi-kui: "Nona, buka-lah Hiat-to yang me mbisukan dia itu."
Bi-kui me mukul pelahan di be lakang leher Hay-siang. Hay-siang
menjerit tertahan, gerahamnya tampak bisa bergerak.
Tiba2 Kun-gi me mbentak pula: "Lekas tutuk lagi Hiat-to
pembisunya."
Untung Bi-kui bekerja cepat dan sigap. sekali gerak dia tutuk pula
Hiat-to bisunya.
Kata Kun-gi: "Sekarang nona buka lagi tutukan Hiat-to barusan,
cuma gunakan tenaga lebih keras sedikit."
Bi-kui menurut petunjuk. telapak tangan terangkat, dia gablok
keras tengkuk Hay-siang. Kembali Hay-siang menjerit, dari mulutnya
mendadak mence lat keluar sebutir obat bungkus lilin sebesar
kacang tanah.
Sigap sekali Kun-gi menya mbarnya, katanya tertawa: "Sepatah
kata saja belum nona katakan, mana boleh kubiarkan kau
ma mpus?"
Mendelik mata Hay-siang, semprotnya: "Kau me nggagalkan
tugasku, aku benci pada mu."
"Nona harus salahkan dirimu sendiri," ujar Kun-gi, "Kenapa kau
me mfitnah diriku?"
"Kau kira aku akan menga ku? Hm, mau bunuh atau hendak
dise mbelih boleh silakan, jangan kau harap akan mendapatkan
keterangan dari mulutku."
So-yok mengejek: "Keparat kurang ajar, jiwa mu sudah berada di
tangan kami masih berani bertingkah? Ka lau tidak diberi ajaran kau
tidak tahu kelihayanku." Sembari bicara dia lantas melangkah
masuk.
Hay-siang menyeringai ejek: "orang2 Pek-hoa-pang siapa yang
tidak tahu kalau kau bertangan gapah dan berhati keji, tidak punya
rasa perikemanusiaan, me mangnya kau berani berbuat apa
terhadap diriku"
Mengela m wajah So-yok saking murka, teriaknya: "Kau kira aku
tidak berani me mbunuh mu?"
Pedang So-yok segera menusuk kebela kang kepala Hay-siang..
"Ji-moay ..... "teriak Pek-hoa-pangcu.
Tapi Kun-gi turun tangan lebih cepat lagi, jarinya menjentik
sekali, "creng", sejalur angin kencang me mbikin pedang So-yok
tergetar sehingga menusuk tempat kosong, katanya: "Jangan
Hupang-cu tertipu olehnya, sengaja dia memancing ke marahanmu,
maksudnya supaya bisa mati se ketika."
Thay-Siang yang duduk di atas sana manggut2, katanya
tersenyum: "So,-yok, kau me mang terburu nafsu, kalau gurumu
mau me mbunuh dia, ketika dia menyambit dengan Som-lo-ling
tentu jiwanya sudah amblas, me mangnya kau kira gurumu tida k
tahu kalau penyerangnya ialah dia ini? Kalau langkahnya tida k
gurumu ketahui, sia2lah a ku berkedudukan sebagai Thay-siang.
Terus terang, gurumu me mang sengaja ingin me lihat permainan
licin apa yang akan dia lakukan pula, di samping itu akupun ingin
menguji ketra mpilan kerja Ling Kun-gi, sampai di mana
kecerdikannya pula, maka peristiwa ini kuserahkan kepada Ling
Kun-gi untuk me mbongkarnya. Kalau menuruti watakmu yang
sembrono itu, susah payah Ling Kun-gi setengah mala m ini
bukankah a kan sia2 belaka?"
Merah muka So-yok. katanya menunduk: "Peringatan guru
me mang betul."
Kun-gi berdiri tegak lalu me njura ke arah Thay-siang, katanya:
"Terlalu tinggi Thay-siang menila i ha mba, untuk ini ha mba merasa
gugup sekali."
Ramah tawa Thay-siang, katanya: "Kenyataan sudah demikian,
kini kau sudah bongkar kejahatan ini, soal mengompes keterangan
dari mulutnya tetap kuserahkan pada mu, kau harus berhasil
me mperoleh keterangannya."
"Ha mba terima perintah," seru Kun-gi sa mbil menjura.
Hay siang mengertak gigi, katanya mendesis: "orang she Ling,
kau me mbongkar kedokku, sema kin besar pula kepercayaan Thay-
siang terhadap-mu, semakin tinggi pula kedudukkanmu, sekali
gebrak berhasil mengangkat dirimu, mungkin kau akan menjadi
calon suami sang Pangcu, ini tentu akan memuaskan cita2mu, tapi
untuk mengorek keterangan dari mulutku, jangan kau harap"
Tawar tawa Kun-gi, katanya sembari mengha mpiri Hay-siang,
suaranya lembut: "Nona sendiri sudah dengar, Thay-siang me mberi
tugas kepadaku untuk mengorek keteranganmu maka kuharap nona
tahu diri."
"Kau henda k menyiksaku?" tanya Hay-siang.
"Syukurlah kalau nona tahu?" kata Kun-gi.
Penuh kebencian nada Hay-siang: "Kau adalah murid paderi Siau-
lim yang agung dan kosen, sampai hati kau mengorek keterangan
mulut seorang pere mpuan dengan cara ke kerasan, me mangnya
tidak takut merendahkan derajat dan merusak na ma baik
perguruanmu?"
Kun-gi bergelak-tawa, katanya: "Salah nona, guruku Hoan jiu
julay sudah keluar dari Siau-lim, maka hakikatnya beliau bukan
murid Siau-lim lagi, kalau ada orang bilang aku ini lurus, aku akan
bertindak lurus, bila dikatakan aku sesat, aku ma lah akan bertinda k
lebih sesat, soal perguruan tidak pernah kupikirkan,jangan kau
menakuti diriku dengan e mbel2 itu."
Merandek sejenak lalu dia menyambung: "Perlu kuberitahu
kepada nona, jika kau mau bicara terus terang, menjawab apa yang
. . .."
Sebelum Kun-gi habis bicara, tiba2 Hay-siang angkat kepala,
"cuh", se-keras2nya dia me ludah ke muka Ling Kun-gi.
Jarak mereka teramat dekat, sudah tentu Kun-gi tidak sempat
menghindar, maka mukanya basah berlepotan ludah.
Bi-kui naik pita m, sekali te mpeleng dia ga mpar muka Hay-siang
sekeras2nya, teriaknya: "Berani kau kurang ajar terhadap cong-su-
cia."
Hay-siang tertawa dingin, jengeknya: "Bagus seka li pukulanmu,
me mangnya kau juga kepincut pada orang she Ling ini. Hm Bok-tan,
So-yok. semua rela mengorbankan kesucian sendiri padanya,
me mangnya kau juga ma u ........"
Merah jengah wajah Bok-tan, So-yok dan Giok-lan mendengar
ocehan ini.
Malu dan murka pula Bi-kui, hardiknya gusar: "Berani usil
mulut mu." Ke mbali tangan terayun, dia ga mpar pula muka orang,
Panas muka Kun-gi mendengar ocehan Hay-siang yang
terang2an itu, dia angkat lengan baju membersihkan kotoran di
mukanya, lalu mencegah ga mparan Bi-kui lebih lanjut, katanya
kepada Hay-siang: "Nona juga seorang perempuan kenapa bicara
sekotor ini, kalau nona tetap berkeras kepala, jangan salahkan aku
tidak kena l kasihan lagi."
"Kau boleh bunuh aku saja," teriak Hay-siang.
Kun-gi tersenyum, katanya ramah: "Agaknya nona amat bandel
dan tak mau mendengar nasehat-ku, terpaksa kau akan merasakan
betapa siksa derita bila darah tubuhmu mengalir sungsang terbalik,
sehari kau t idak bicara, sehari jiwa mu t idak a kan me layang, asal kau
sanggup bertahan, berapa lama terserah pada dirimu"
"Buat apa Ling-heng hanya bicara saja?" desak So-yok tak sabar.
"Tida k, cayhe harus jelaskan lebih dulu, supaya dia ada waktu
untuk me mpertimbangkan. "
"Aku tidak akan mengaku, kau boleh mulai dengan
siksaanmu,"jawab Hay-siang ketus.
"Kuberi waktu satu jam, kau boleh katakan siapa na ma mu, siapa
yang mengutusmu ke mari, berapa banyak komplotanmu yang ada
di kapal ini?"
Sorot mata Hay-siang diwarnai denda m me mbara, teriaknya
keras: "Aku adalah ibu gurumu, Hoan-jiu ji-lay yang menyuruhku
ke mari ......."
Mencorong sorot mata Ling Kun-gi, desisnya dingin: "Dengan
baik hati kuberi nasehat, kau malah bermulut kotor, baiklah biar kau
rasakan dulu betapa nikmatnya bila darahmu menyungsang balik,"
Sembari bicara sekaligus ia menutuk delapan Hiat-to di tubuh Hay-
siang, gerakannya amat cepat, seperti menutuk tapi juga seperti
mengusap saja.jelas gayanya berbeda dengan ilmu tutuk umumnya.
Tubuh Hay-siang seketika mengejang ge metar, seperti orang
mendadak terserang ma laria, terasa darah sekujur badannya
mendadak bergolak. se mua menuju ke ulu hati.
"sekarang masih ada waktu kalau kau mau bicara," desak Kun-gi.
Walau sudah kesakitan Hay-siang tetap bandel, dia peja mkan mata
tanpa bUka sUara.
Tapi hadirin jelas menyaksikan dala m wa ktu sesingkat ini,
wajahnya yang semula putih halus telah berubah merah melepuh
seperti darah, badannya kelejetan, keringat dingin sebesar kacang
me mbasahi mukanya, tapi dia tetap mengertak gigi, bertahan
mati2an dari siksaan tanpa mau berbicara sepatah katapun.
Kira2 semasakan air terdengar Hay-siang merint ih, teriaknya
serak: "Kau bunuhlah a ku saja." Mendadak tubuhnya terguling,
kiranya jatuh pingsan.
"Budak bangsat sungguh bandel sekali," Thay-siang menggeram
dingin.
Sekali mengebas tangan kiri, Kun-gi buka Hiat-to di badan orang,
lalu menutuknya pula pada dua Hiat-to yang lain, katanya kepada
So-yok: "Hu-pangcu, cayhe ingin pinja m ka marmu, apa boleh?"
Merah muka So-yok. katanya. " Untuk apa?"
Kun-gi tersenyum, katanya: "Untuk ini harap Hu-pangcu jangan
tanya."
Kata So-yok: "Itulah ka marku, silakan masuk."
"Terima kasih Hu-pangcu," ucap Kun-gi la lu ia me manggil Bi-kui,
katanya "Marilah nona ikut masuk."
Bi-kui ragu2, katanya: "cong-su-cia ....."
"Bi-kui," seru Thay-siang, "cong-su-cia menyuruhmu, kau boleh
ikut masuk tak usah banyak tanya."
Bi-kui me mbungkuk sahutnya: "Tecu terima perintah."
"Saat latihan sudah tiba. perkara ini kuserahkan padamu untuk
me mbongkar seluruhnya, kekuasaan penuh kuberikan pada mu,"
ujar Thay-Siang sa mbil berdiri.
"Terima kasih Thay-siang, musuh dala m selimut yang ada kapal
ini akan ha mba jaring seluruhnya," seru Kun-gi sa mbil menghormat.
Thay-siang mengangguk. ujarnya: "Ya, kau me mang anak baik."
Lalu me langkah ke da la m.
Setelah Thay-siang masuk. Kun-gi menjura kepada Pek hoa-
pangcu dan Hu-pangcu, katanya: "Pang cu dan Hu-pangcu harap
tetap duduk dan tunggu saja di sini." Lalu dia me manggil Bi-kui:
"Marilah, nona ikut cay he."
Karena sudah dipesan oleh Thay-siang, tak berani Bi-kui
me mbantah, terpaksa dia ikut Kun-gi masuk ke ka mar So yok.
Begitu berada di dala m ka mar Kuu-gi segera menutup pintu,
"Untuk apa ini" tanya Un Hoan-kun lirih.
"Kuminta nona suka menya mar seseorang."
"Menyamar siapa?"
"Jangan banyak tanya, lekas buka kedokmu."
Un Hoan-kun me ngelupas kedok mukanya, sementara cepat
sekali Kun-gi sudah keluarkan bahan2 rias dala m kotak kayunya,
pertama dia cuci bersih wajah Un Hoan-kun. lalu secara teliti dia
merias wajah orang me njadi bentuk lain-
Kira2 satu ja m la manya baru dia me mbereskan barang2nya ke
dalam kotak serta disimpan dala m baju, katanya: "Sejak kini nona
tidak usah lagi mengenakan kedok, duduk saja di ka mar ini,
menunggu panggilan baru boleh ke luar."
Le mbut suara Un Hoan-kun: "Ya, kuturut segala petunjukmu."
"Terima kasih nona," ucap Kun-gi seraya me mbuka pintu dan
keluar, daun pintu dia tutup pula dari luar.
Sudah tentu Bok-tan, So-yok dan Giok-lan tidak tahu apa kerja
Kun-gi bersa ma Bi-kui di-dala m ka mar tertutup sekian lamanya?
Melihat dia keluar, sorot mata mereka setajam pisau menatapnya.
Anehnya setelah keluar dia tutup pula pintu dari luar, jadi Bi-kui dia
kurung di da la m ka mar.
Dasar suka blingsatan, So-yok tak tahan, tanyanya: "Ling heng,
mana Bi-kui? Apakah dia mata2 musuh?"
"Sebentar lagi Hu-pangcu akan je las duduk persoalannya," sahut
Kun-gi. Lalu ia berpaling ke arah Giok-lan, katanya: "Kini mohon
bantuan congkoan lagi"
"Tida k apa," sahut Giok-lan- "Ada pesan apa cong-su-cia."
"Harap congkoan panggil Loh-bi-jin ke mari dengan me mbawa
empat dara ke mbang," la lu ia berbisik beberapa patah kata pula.
Giok-lan berkata: "Ha mba mengerti." Lalu berjalan keluar.
So-yok melerok pada Kun-gi, katanya: "Ling-heng, sebetulnya
langkah apa yang sedang kau atur?"
Pek-hoa-pangcu juga tertawa, katanya "Kukira cong-su cia sudah
punya perhitungan matang, buat apa Ji-moay banyak tanya, nonton
saja dengan sabar, nanti kau juga akan mengerti."
"Aku tidak sabar melihat caranya jual mahal, bikin dongkol saja,"
ome l So-yok.
Lebar senyum Kun-gi, katanya me mbungkuk: "Rahasia ala m tidak
boleh bocor, hamba harus berikhtiar dan me mutuskan langkah2
yang penting, untuk ini harap pangcu, Hu-pangcu ma klum."
So-yok me lerok pula, katanya sambil ce kikiksan: "Sekarang Ling-
heng adalah orang kepercayaan Thay-siang, bila Thay-siang sudah
serahkan kuasa padamu untuk me mbongkar peristiwa ini, me mang-
nya siapa yang berani menyalahkan kau."
Tengah bicara Giok-lan tampak menyingkap kerai berjalan
masuk, katanya: "cap-go-moay telah datang."
"sila kan dia masuk." ujar Kun-gi.
Loh-bi-jin mengia kan di luar pintu, lalu katanya kepada orang2 di
belakangnya: "Cucu, kau ikut aku masuk. kalian bertiga tunggu
giliran di luar sini."- Lalu dia singkap kerai dan berjalan masuk.
Cu-cu ikut di belakang Loh-bi-jin. begitu masuk langsung ia
me lihat Hay-siang yang meringkuk le mas di lantai dengan wajah
yang sudah tercuci bersih, seketika dia bergidik ngeri, serta merta
langkahnya agak merande k.
"Nona Cu-cu," kata Kun-gi tertawa, "tolong kau papah dia."
Cu-cu mengia kan sembari mengha mpiri Hay-siang dengan
takut2, baru saja dia me mbungkuk badan secepat kilat telunjuk jari
Kun-gi menutuk Hiat-to di be lakang badannya. Tanpa ayal Giok—
lan maju menge mpitnya terus diseret ke ka mar So-yok.
Cepat2 Kun-gi dorong daun pintu se mbari berkata kepada Bi-kui:
"Lekas nona tukar pa kaian dengan dia."
Giok-lan Cepat menutup pintu. Tak la ma ke mudian pintu terbuka
lagi, Giok-lan melangkah, keluar bersama Cu-cu
Semua orang tahu Cu-cu yang satu ini adatah samaran Bi-kui.
Tanya Kun-gi lirih kepada Loh-bi-jin: "Apakah nona sudah
me mpersiapkan seluruhnya?"
Loh-bi-jin mengangguk. sahutnya: "Sudah kusampa ikan pesan
sesuai permintaan cong-su-cia, semuanya sudah siap."
"Baik sekali, sekarang boleh nona menggusurnya keluar," kata
Kun-gi.
Dengan bimbang Loh-bi-jin bertanya: "Apa betul tidak perlu
menugaskan beberapa orang lain untuk me njaganya?"
"cayhe sudah menutuk beberapa Hiat-tonya, sementara dia
kehilangan kepandaian silatnya, nona Cukup bekerja menurut
rencana yang telah kuatur itu."
"Ha mba mengerti," sahut Loh-bi-jin, dia me mbalik kepintu lalu
me manggil "Kalian masuk lagi seorang."
Seorang dara kembang mengia kan dan me langkah masuk. Kata
Loh-bi-jin sa mbil menuding: "Kalian gusur dia ke luar."
Cu-cu tiruan alias Bi-kui dan dara kembang baru ini mengiakan,
mereka angkat tubuh Hay-siang terus dibawa keluar.
Loh-bi-jin tidak berani gegabah, lekas dia me mbungkuk: "Ha mba
mohon diri " cepat2 dia ikut keluar menjaga Hay-siang.
So-yok bertanya: "Ling-heng, Cu-cu masih ada dikamarku, apa
tindakanmu terhadapnya?"
"orang ini lebih penting dari Hay-siang, kita harus mengompes
keterangan dari mulutnya, sebentar kumohon Hu pangcu sendiri
yang mengompes dia."
"Kenapa aku yang mengompesnya?" tanya So-yok.
"Karena Hu pangcu juga menjabat kepala Hukum, biasanya
me laksanakan peraturan sekokoh gunung, seluruh anggota Pang
kita sa ma segan dan hormat kepada mu, kalau Hu pangcu yang
tanya dia pasti dia takut dan mau bicara terus terang."
So-yok mencibir,jengeknya: "Kenapa tidak katakan saja ini
perempuan galak dan bawel."
"Sebagai pelaksana hukum yang harus me megang teguh
peraturan sudah tentu Hu pangcu harus bermuka ka ku dingin tanpa
kenal be las kasihan terhadap yang salah," ujar Kun-gi.
Cerah sorot mata So-yok. katanya tersenyum: "Kau me mang
pandai bicara"
Tampak kerai tersingkap. ternyata Bi-kui telah ke mbali. Kini dia
telah ganti seperangkat pakaian warna hijau kembang, mengena kan
kedok muka Bi-kui yang asli lagi.
"Kiu-moay," seru So-yok heran, "kenapa kau ke mbali?"
Bi-kui me mberi hormat, katanya tertawa: "cong-su-cia suruh
hamba untuk me ndengarkan apa2 yang terjadi di sini."
"o." So-yok bersuara singkat, lalu dia bertanya sambil menatap
Kun-gi: "Sekarang boleh mula i?"
"Waktu a mat mendesak. lebih Cepat lebih baik," ujar Kun gi.
So-yok me mbalik, katanya kepada Pek-hoa-pangcu: "Toaci
silakan duduk di atas," Lalu dia berkata kepada Giok-lan dan Bi-kui:
"Sekarang harap Sa m-moay dan Kiu-moay gusur Cu-cu keluar."
Ruang sidang ini adalah te mpat kedia man Thay-siang, tanpa
dipanggil para pelayan tidak berani masuk, ma ka sekarang terpaksa
Giok-lan dan Bi-kui harus kerja sendiri, atas perintah So-yok mereka
gusur Cu-cu keluar dari ka mar.
Kun-gi serahkan sebutir obat mencuci bahan rias pada Giok-lan
dan Giok-lan langsung mencuci bersih wajah Cu-cu dengan obat
yang diterimanya itu. Cu-cu yang asli baru berusia 17- an, ternyata
gadis yang menyamar jadi Cu-cu ini kelihatan juga baru berusia 17-
an-
So-yok duduk pada kursi disebelah bawah te mpat duduk Pek-
hoa-pangcu, lalu me mberi tanda anggukan Kepada Giok-lan dan Bi-
kui.
Sekali gablok Giok-lan buka tutukan hiat-to Cu-cu. seketika gadis
yang menyaru Cu-cu me mbuka mata dan mendapati dirinya rebah
di lantai, sesaat dia melenggong, waktu dia angkat kepala, di
lihatnya Pangcu, Hu pangcu, cong-su-cia dan la in2 berada di
Sekelilingnya. diam2 hatinya terkesiap. bergegas dia merangkak dan
menye mbah, serunya: "Hamba menyampa ikan se mbah hormat
kepada Pangcu, Hu pangcu ... ."
Tegak alis So-yok. hardiknya: "Tutup mulutmu, tiada dara
ke mbang seperti dirimu dala m Pang kita, ketahuilah, Hay-siang
sudah mengaku terus terang, maka bicaralah secara bla k2an juga ,
me mangnya kau ingin disiksa dulu?”
Gemetar gadis yang menyaru Cu-cu, katanya sesenggukan
sambil mende ka m di lantai: "Pangcu, Hu pangcu, ha mba sungguh
penasaran-"
"Kiu-moay," kata So-yok angkat tangan, "serahkan sebuah
cermin padanya, biar dia melihat tampangnya sendiri."
Bi-kui me ma ng sudah me nyiapkan sebuah cermin bundar terus
diangsurkan. Gadis penya mar Cu-cu masih belum tahu kalau ma ke-
up dimukanya sudah dicuci, begitu me lihat wajah sendiri di cermin
seketika merasa terbang sukmanya, mukanya pucat, bibir gemetar
tak ma mpu bicara lagi.
"Hay-siang berani coba me mbunuh Thay-siang, kini telah dijatuhi
hukuman mat i,"
Demikian gera m So-yok katanya dingin. "Sepatah kata saja kau
berani bohong, jangan harap kau bisa hidup."
Dia m2 Kun-gi me mberi isyarat kedipan mata kepada Pek-hoa-
pangcu. Segera Pek-hoa-pangcu buka suara: "Cu-cu, mengingat
usia mu masih muda belia, mungkin lantaran dipaksa dan dianca m
orang sehingga kau menyelundup ke tempat kita ini, tapi asal kau
suka bicara terus terang, akan kuberi kelonggaran padamu,jiwa mu
akan dia mpuni, sebaliknya ka lau berkukuh dan tida k menyadari
kesalahanmu, ke matian Hay-siang akan me njadi contoh bagimu."
Semakin takut dan gemetar gadis yang menyaru Cu-cu,
tangisnya terisak. katanya: "Pangcu dan Hu pangcu harap periksa,
semula aku adalah pelayan yang ditugaskan di bawah cui- tongcu,
lantaran Ci-Gwat-ngo yang ditugaskan di sini bilang wajahku mirip
Cu-cu, demikian juga usia ka mi sebaya, maka aku disuruh menyaru
jadi Cu-cu dan menyelundup ke mari. cui-tongcu menahan ibuku,
katanya kalau aku gagal menunaikan tugas ibuku a kan dibunuhnya.
Mohon Pangcu dan Hu pangcu menaruh belas kasihan terhadap
nasib jele kku ini dan a mpunilah diriku."
Ci-Gwat-ngo yang di-katakan ini sudah tentu adalah perempuan
yang menya mar jadi Hay slang.
"cara bagaimana ka lian menyelundup ke mari"" tanya So-yok.
Tutur gadis yang menyamar Cu-cu: "Bagaimana cara Gwat-go
cici masuk ke mari aku tidak tahu, kira2 tiga bulan yang lalu aku
diantar ke suatu te mpat yang dekat dengan Hoa keh-ceng, lalu
Gwat-go cici me mancing Cu-cu keluar serta menutuk Hiat tonya,
sejak itu a ku dibawanya masuk Hoa- keh-ceng."
"Kau tahu berapa lama Ci-Gwat-ngo menyelundup ke mari setelah
menyaru jadi Hay-siang" tanya So-yok.
"Entah, hamba tidak tahu," sahut gadis itu, "agaknya sudah
cukup la ma"
"Setelah kalian berada disini, cara bagaimana pula mengadakan
kontak dengan pihak Hek-liong-hwe?"
"Itu urusan dan tugas Gwat-go cici, aku sendiri t idak je las, kalau
tidak salah ada seorang lain lagi yang bertugas dalam ha l ini." Kun-
gi manggut2, tapi dia dia m saja tidak me mberi komentar.
Tiba2 Bi-kui menyelutuk: "Biasanya kalau berte mu dengan Ci-
Gwat-ngo, bagaimana sebutanmu kepadanya?"
"Di muka umum aku me manggilnya cici dan dia me manggilku Cu-
cu," sahut gadis itu.
"Kau pernah me lihat orang yang ditugaskan me ngadakan kontak
rahasia dengan dia?" tanya So-yok.
"Pernah kulihat sekali," tutor gadia itu, "dia mengenakan kedok.
di mala m hari lagi, jadi sukar melihat wajahnya? Tapi Gwat-go cici
juga mengena kan kedok, mungkin orang itu juga tida k tahu siapa
sebetulnya Gwat-ngo cici."
"Mereka sama2 mengenakan kedok. untuk berhadapan dan
saling kenal tentu digunakan tanda2 rahasia yang diperlukan?" sela
Bi-kui lagi.
"Waktu itu Gwat-ngo cici menyuruhku berjaga di sekeliling
tempat itu, waktu ka mi sa mpai di te mpat tujuan, orang itu sudah
ada di sana, aku hanya melihat orang itu angkat sebelah tangan
kanan serta menekuk jari telunjuk. se mentara Gwat-ngo cici
menggerakkan tangan me mbuat lingkaran ditengah udara lalu
menutul ke-tengah2 lingkaran."
"Sudah cukup?" tanya So-yok berpaling ke arah Kun-gi.
Lekas Kun-gi menjura, katanya: "Memang Hu-pangcu lebih
berhasil. Ya, sudah cukup,"
"Sa m-moay," kata So-yok. "tutuk Hiat-tonya, sementara sekap
dia di ka mar Hay-siang, tugaskan beberapa orang lagi untuk
menjaganya." Giok-lan menutuk Hiat-to orang terus mengempitnya
keluar.
"congkoan, biar ha mba bantu menggusurnya keluar," kata Bi-kui.
"Tida k usah," ujar Giok-lan me noleh," kau masih punya tugas
sendiri.
Bi-kui putar tubuh serta memberi hormat kepada Kun-gi,
katanya: "Entah cong-su-cia masih ada pesan apa?"
"Nona sudah dengar apa yang dikatakan tadi, maka boleh kau
bekerja sesuai rencana se mula."
"Ha mba terima tugas," sahut Bi-kui. Setelah me mberi hormat
kepada Pangcu dan Hu pangcu segera dia mengundurkan diri.
Bertaut alis Pek-hoa-pangcu, matanya yang bundar besar
terbelalak, bibirnya yang tipis bak delima merekah bergerak2,
tanyanya: "cong-su-cia, di atas kapal kita ini adakah mata2 yang
lain lagi?"
Kun-gi menepekur sebentar, katanya kemudian: "Sekarang masih
sukar dikatakan, asal rencana ku berjalan dengan lancar, kukira
perkara ini segera akan terbongkar."
Sampa i di sini t iba2 dia menjura: "Hari ha mpir terang tanah,
Pangcu dan Hu-pangcu sudah lelah setengah mala m, sekarang
bolehlah istirahat, hamba t idak punya urusan lagi dan mohon diri."
Fajar menyingsing, sang surya mulai me ma ncarkan cahayanya
yang terang benderang.
Lilin masih menyala di ruang makan tingkat kedua. Di atas meja2
yang berbentuk segitiga itu sudah ditaruh beberapa maca m sayur
dan bubur yang masih mengepul serta senampan besar bakpau
yang banyak jumlahnya.
Kini tiba saatnya sarapan pagi, dari setiap pintu kamar di tingkat
kedua beruntun menongol keluar para Busu yang berpakaian
seragam Hijau pupus (Hou hoat) dan hijau kelabu (Hou-hoat-su-
cia), mereka berbaris menjadi dua baris, tiada seorangpun yang
bicara. Tak la ma ke mudian pintu ka mar disebelah kanan terbuka,
munculah coh-houhoat Kiu-cay-boan-koan Leng Tio-cong dan Yu-
houhoat coa Liang. Hanya cong-su-cia saja seorang yang
mene mpati sebuah ka mar tersendiri pada tingkat kedua ini, coh- yu-
hou hoat berdua menempati satu kamar, sementara yang lain2
empat orang satu ka mar.
Setelah coh-yu-hou-hoat muncul, para Hou-hoat dan Hou-hoat-
su-cia segera me mbungkuk badan lalu menegak pula se mbari
berseru: "Hormat kepada coh- yu-hou- boat."
Kulit muka Leng Tio-cong yang tirus itu kelihatan me mancarkan
senyum lebar yang licik, sebelah tangannya mengelus jenggot
kambing di bawah dagunya, katanya manggut2 dengan mata
menyapu hadirin: "Ka lian cukup pagi, silakan se mua duduk."
Barang bukti berupa Sam-lo-ling dan jubah hijau dite mukan di
kamar Ling Kun-gi, sejak mala m tadi tak ta mpak bayangan Kun-gi
setelah digusur naik ke tingkat atas menghadap Thay-siang. Mereka
juga tahu bahwa para dara kembang berbaris naik ke tingkat atas
serta turun pula tak kurang suatu apa. Sejauh ini Thay-siang tidak
pernah me manggil coh-yu-hou-hoat untuk dimintai keterangan, jelas
Thay-siang amat ma rah akan usaha pembunuhan atas dirinya,
mungkin secara diam2 Ling Kun gi sudah dijatuhi hukuman mati,
Cuma berita ini belum diumumkan saja.
Kalau Ling Kun-gi dihukum mati, maka jabatan cong-su-cia akan
kosong, secara langsung se-bagai coh- houhoat, Leng Tio-cong a kan
dinaikkan pangkatnya mengisi jabatan cong su-cia itu. Karena itulah
sikap Leng Tio cong ta mpak riang dan bersemangat langsung dia
menuju ke meja di sebelah kiri terus duduk, serta merta dia melirik
kursi di tengah itu yang masih kosong, baru saja ia hendak bersuara
menyuruh hadirin mulai makan, sekilas di lihatnya pintu ka mar di
ujung kiri sana tiba2 terbuka.
Cong- hou-hoat-su-cia Ling Kun-gi dengan lh-thian-kia m di
pinggang dengan jubah hijau yang longgar mela mbai tiba2 muncul
dengan langkah tenang. Tiada seorangpun tahu kapan Kun-gi
ke mbali ke ka marnya, sudah tentu hadirin kaget dan melenggong.
Sikap Ling Kun-gi yang wajar dengan senyum kemenangan dan
gagah lagi se-olah2 tak pernah terjadi apa2, agaknya perkara yang
menimpa dirinya telah berhasil dibereskan dengan baik.
Setelah melenga k sebentar, hampir seperti berlomba saja hadirin
berdiri menya mbutnya. Dengan tertawa lebar Kun-gi berkata:
"Silakan duduk saja" Dengan langkah tetap dia menuju te mpat
duduknya.
Tajam tatapan mata Sa m-gan-sin coa-Liang, tanyanya: "cong-coh
tidak apa2 bukan?"
Tawar tawa Kun-gi, ucapnya: "Terima kasih atas perhatian coa-
heng, kalau Thay-siang sendiri berpendapat peristiwa itu tida k
menyangkut diriku, sudah tentu tiada apa2 pada diriku."
Kiu-cay-boan-koan Leng Tio-cong berkata: "orang berani coba
me mbunuh Thay-siang dan me mf itnah cong-coh lagi, ini
me mbuktikan bahwa di kapal kita ini ada mata2 musuh, maka soa l
ini harus diselidiki sa mpa i sedala m2nya, entah bagaimana petunjuk
dan perintah Thay-siang selanjutnya."
"Betul juga ucapan Leng-heng," ujar Kun-gi. "Walau Thay-siang
amat murka, soalnya perkara ini tiada sumber yang dapat dijadikan
sumbu penyelidikan, untuk me mbongkar jejak mereka tentu a mat
sukar, Kini hanya ada satu cara .. . . . .."
"cara apa?" tanya Leng Tio-cong.
"Tunggu saja, nanti dia akan me mperlihatkan jejaknya sendiri."
"Kalau se lanjutnya dia tidak mengadakan aksi apa2, lantas kita
tidak ma mpu menangkap dia " kata Sa m-gan-s in-
Tengah bicara, kerai tersingkap. tampak para peronda yang
bertugas malam hari telah ke mbali. Mereka adalah Hou hoat
Kongsun Siang dan Song Tek seng, Hou- hoat-su-cia Kik Thian-yu,
Ki Yu-seng, Kho Thing song dan Ho Siang-seng. Keng-sun Siang
pimpin mereka me mberi hormat serta me mberi laporan: "Lapor
cong coh, se mala m suntuk keadaan a man tenteram, ha mba bera ma i
telah menunaikan tugas dengan ba ik."
Yang dikuatirkan oleh Kun-gi adalah kesela matan Kongsun Siang,
kini me lihat orang ke mba li dengan segar bugar, maka dia tersenyum
lebar sambil manggut2, katanya: "Kalian sudah letih se mala m
suntuk. lekas duduk dan ma kan." Sorot matanya satu persatu
menyapu wajah keenam orang, entah sengaja atau tidak ia melirik
dua kali kearah Ho Siang-seng.
Kongsun Siang berlima menjura lagi sekali lalu menuju tempat
duduknya masing2.
Kemudian Kun-gi bertanya:, "Apakah luka2 Nyo Keh-sian dan Sim
Kian-sin sudah lebih baik?"
"Mereka sudah bisa turun ranjang dan berjalan beberapa
langkah," sahut Leng Tio-cong, "cuma ha mba kira kesehatan
mereka belum pulih se luruhnya, ma ka kusuruh koki mengantar
makanan ke ka mar mereka saja."
"Ya, baik," ujar Kun-gi. Setelah makan Kun-gi langsung ke mba li
ke ka marnya pula, dia m2 Kong-sun Siang ikut di be lakangnya. Tapi
Kun-gi tida k ajak orang bicara, agaknya dia menaruh perhatian
kearah jendela, ma ka begitu masuk ka mar langsung dia me nuju ke
jendela, dengan teliti dia me meriksa dan meraba. Kejap lain tampa k
rona mukanya sedikit berubah, dala m hati dia mengumpat:
"Bedebah, besar sekali nyali orang ini."
Melihat orang hanya me mperhatikan jendela tanpa hiraukan
dirinya, Kongsun Siang kira orang tidak tahu akan kedatangannya,
maka dia berteriak: "Ling- heng." Kun gi me mbalik badan, katanya
tertawa: "Silakan duduk Kongsun heng."
Teko di meja masih me ngepulkan bau harum, Kongsun Siang
menga mbil dua cangkir lalu mengisinya penuh, katanya sambil
duduk di kursi sebelah: "Kudengar se mala m ada perkara
pembunuhan di atas kapal"
"Kongsun-heng sudah tahu?" ucap Kun-gi.
"begitu ke mbali dan tiba di kapal aku lantas mendengar kabar
ini," ujar Kongsun siang, sembari bicara tangannya mengambil
sebuah cangkir teh yang di isinya tadi, katanya pula: "orang berani
menye mbunyikan barang bukti di ka mar Ling-heng, bagaimana
Ling-heng akan me nghadapi persoalan ini?"
Kun-gi tertawa tawar, sebelum bicara kedua matanya tiba2
menatap tangan Kongsun Siang, serunya dengan suara rendah:
"Tunggu dulu, ku-kira a ir teh ini tidak boleh diminum."
Kongsun Siang sudah angkat cangkir dan menyentuh bibir, dia
me lengak mendengar seruan Kun-gi, katanya sambil menatap
cangkir ditangan-nya: "Ling-heng kira orang menaruh racun dala m
air teh ini?"
"Apakah dia menaruh racun belum bisa dipastikan, tapi setelah
aku ke luar barusan, terang ada orang masuk ke mari."
"Dari mana Ling-heng tahu?"
"orang itu masuk me lalui jendela, jejaknya tak bisa menge labuhi
mataku? Mungkin karena gagal me mfitnah diriku, ma ka dia gunakan
cara licik lainnya, segala benda yang ada di kamar ini bisa di-
pandang mata, untuk melaksanakan t ipu daya terhadapku, kecuali
menggunakan racun, kukira tiada cara lain yang lebih baik lagi."
Kongsun Siang melenggong, katanya: "Agaknya Ling-heng amat
teliti dan hati2, biasanya aku cukup cermat, kalau akal licik kaum
persilatan umum-nya takkan bisa menge labuhi diriku, tapi dengan
menaruh racun di dala m air teh yang masih mengepul hangat
seperti ini jelas sukar diketahui muslihatnya, nyata aku tak dapat
me mbedakan tipu daya musuh ini."
"Aku hanya menduga saja, apa betul air teh ini beracun biarlah
kucoba," ujar Kun-gi, dia sobek kain gordyn jendela yang terbuat
dari wool terus direnda m ke dala m a ir teh. Ujung kain sobe kan
masuk air dan jadi basah, tapi tidak menimbulkan reaksi apa2, tidak
bersuara juga tidak menimbulkan asap tebal, tapi setelah Kun-gi
mengangkatnya tinggi2, ujung kain wool yang terendam air itu
tampak berubah hitam gelap seperti hangus terbakar.
Berubah air muka Kongsun Siang, serunya: "Lihay betul racun ini,
tak berwarna dan tidak berbau, jadi sukar diketahui." Kela m a ir
muka Kun-gi, dia menenekur tanpa bersuara.
"Kalau de mikian, orang yang menyembunyikan barang bukti di
kamar ini dan orang yang menaruh racun dalam air teh ini pasti
perbuatan satu orang. "
"Yang menye mbunyikan barang2 bukt i adalah Hay-siang dan dia
sudah tertangkap," demikian batin Kun-gi. Ma ka ia lantas berkata.
"Kukira bukan perbuatan satu orang saja."
Kongsun siang berjingkra k. tanyanya: "Maksud Ling-heng mata2
musuh yang terpendam di kapa l ini bukan hanya seorang saja?"
"Me mang t idak cuma seorang saja," kata Kun-gi, "ka lau hanya
seorang, apa yang mampu dia lakukan? Saat ini aku me mang belum
punya keyakinan, tapi aku tidak a kan me mberi kelonggaran kepada
mereka."
Kongsun Siang tepuk dada, katanya: "Bila Ling-heng me merlukan
tenagaku, tugas berat apapun takkan kutola k."
"Me mang ada tugas yang perlu bantuan Kong-sun-heng, kalau
tiba waktunya pasti akan kuberitahu pada mu."
-oodwoo-
Gudang yang berbau apek dan penuh ditimbuni barang2
makanan dan benda rongsok terletak di tingkat paling bawah dari
kapal besar ini, di-batasi oleh sebuah dinding papan yang tebal,
gudang yang terletak di tengah kapal itu dijadikan dua bagian,
depan dan belakang, sehingga kedua bagian ini satu sama lain tidak
bisa berhubungan- Bagian be lakang dibagi pula menjadi dua ka mar
gudang besar, kamar disebelah depan peranti menyimpan ma kanan
dan persediaan air, pokoknya kedua rangsum. Sedang kamar
belakang adalah tempat tidur para kelasi. Kelasi yang berjumlah dua
puluh orang itu hanya mene mpati sebuah ka mar tidur besar, sudah
tentu keadaannya serba kotor dan sumpek, baunya apek dan
le mbab. Paling belakang ada lagi sebuah ruangan, letaknya dipantat
kapal, tempatnya sempit dan doyong miring, tak mungkin orang
bertempat tinggal di sini, jadi keadaannya kosong.
Sementara bagian depan hanya terdapat sebuah ruang besar dan
sebuah ka mar kecil, ruang besar itu te mpat para dara kembang
tidur, mereka adalah dara2 manis yang le mbut dan be lia, ranjang
yang mereka pakai selalu bersih dan rapi, sudah tentu tidak sekotor
dan sumpek seperti tempar para kelasi itu.
Siapapun asal bukan perempuan, bila masuk ruang besar ini pasti
hidungnya akan terangsang oleh bau parfum yang wangi semerbak.
bau pupur yang harum, se mangat akan ikut terbang ke-awang2.
Kamar kecil itu diperuntukkan Loh-bi-jin yang diserahi tugas
mengawasi dan me mimpin para dara kembang ini, ma ka seorang
diri dia me mperoleh fasilitas yang lebih ba ik.
Kecuali ruang besar dan ka mar kecil ini ada pula ruang depan
yang kosong, keadaanya seperti pantat kapal, bagian depan kapal
inipun serong, cuma miringnya menjurus ke atas, jadi berlawanan
dengan buritan yang miring ke bawah.
Ci-Gwat-ngo alias perempuan yang menyaru Hay-siang itu
dikurung di ruang depan yang miring ini. Se mua dara ke mbang
hanya tahu bahwa seseorang semala m coba me mbunuh Thay-siang,
mata2 musuh telah ditangkap. tapi tiada orang tahu kalau
perempuan inilah yang menyamar jadi Hay-siang dan hidup rukun
sekian la manya dengan mereka.
Me mang tata tertib Pek hoa pang amat keras, sesuatu hal yang
tidak diberitahukan. Siapapun di-larang mencari tahu atau bisik,
ma in kasak kusuk. Teruta ma sema la m Loh-bi jin sudah me mberi
peringatan kepada mereka, peristiwa sema la m dilarang bocor meski
hanya sepatah kata, oleh karena itulah tiada yang berani sembarang
buka suara.
Ci-Gwat-ngo sudah tertutuk oleh ilmu tutuk khas perguruan Ling
Kun-gi, ilmu silatnya sementara telah dibekukan sehingga tak
ma mpu berbuat apa2, tapi dia tetap harus dijaga. Menjadi tanggung
jawab Loh-bin-jin untuk me nugaskan e mpat dara ke mbang
bergiliran menjaganya, sudah tentu keempat dara kembang ini
sudah mendapat pesan Loh-bi-jin bahwa dikala menjaga C i-Gwat-
ngo sedapat mungkin ajak orang bicara panjang lebar, seCara halus
diharapkan bisa mengorek keterangannya. seperti diketahui wa lau
disiksa oleh tutukan Ling Kun-gi, tapi ci Gwat ngo tetap bandel tidak
mau buka suara. Maka Caranya lantas diubah diusahakan dara2
ke mbang ini akan berhasil mengoreknya dalam obrolan2 yang telah
direncanakan lebih dulu.
Ternyata Ci-Gwat-ngo me mang terla mpau bandel, meski para
dara kembang itu hampir kering ludahnya mengajaknya bicara, dia
tetap bungkam seribu bahasa, ma lah peja mkan mata lagi, anggap
tidak me lihat dan t idak me ndengar.
Maklumlah, kalau dia pantas menyamar Hay-siang sebagai mata2
terpendam di te mpat musuh, sudah tentu dia pernah mengala mi
gemblengan dan ujian berat, hanya beberapa gelintir dara2
ke mbang pingitan ini masa bisa mengore k keterangan dari
mulutnya?
Sehari telah lalu tanpa terasa. Sejak pagi sampa i mala m, dua
dara kembang yang bertugas gagal me mperoleh keterangan- Bukan
saja tak berhasil ajak orang bicara, malah makanan yang diantar
sejak pagi hingga mala m tidak pernah diusiksnya, semUa dibawa
keluar tanpa disentuh sedikit-pun- Hanya gagal mene lan pil
beracun, perempuan ini ingin menghabisi jiwa sendiri dengan
mogok ma kan.
Kini telah tiba saatnya makan ma la m, terdengar langkah2
mende kati, seorang dara muncul di ruang depan sa mbil menenteng
rantang makanan, kiranya tiba saatnya pula ganti piket.
"Siu- kui cici, kau boleh ke mba li untuk makan," Yang datang
ternyata Cu-cu. .
Pintu terbuka, dengan menenteng rantang makanan yang
dibawanya siang tadi, Siu-kiu mencibir, katanya uring2an: "Buat apa
kau bawa makanan itu? Sungguh menyebalkan, setengah hari ini
hanya menemani orang sekarat belaka," dengan ber-sungut2 ia
lantas berlari keluar.
Cu-cu tersenyum mengawasi perginya, pintu gudang dia tutup
pula serta menggantung la mpu di atas paku, lalu pelan2 dia
turunkan rantang makanan, cepat dia putar tubuh mengha mpiri C i-
Gwat-ngo seraya me manggil dengan suara lembut: "cici, kau tidak
apa2 bukan?"
Ci-Gwat-ngo yang meringkal itu tiba2 me mbuka mata, sesaat dia
mengawasi Cu-cu, katanya: "Kau?"
Cu-cu mengangguk. tanyanya penuh perhatian "Kau tidak apa2
bukan?"
Sambil mengawasi orang Ci-Gwat-ngo bangun berduduk. sekali
raih dia tarik tangan kiri Cu-cu sa mbil menunduk. entah sengaja
atau tidak dia me mandang pergelangan tangannya, sorot matanya
tiba2 me mancarkan rona yang aneh, lalu dia geleng2, katanya:
"Siau-koay, syukurlah kau ke mari, hiat-toku tertutuk oleh bocah she
Ling itu, tenagapun tak ma mpu kukerahkan-"
"cici," lirih juga suara Cu-cu, "Hiat-to mana yang ditutuk? Biar
kubantu kau me mbukanya . "
Kecut tawa Ci-Gwat-ngo, katanya: "Tutukan khas perguruannya
apalagi yang ditutuk adalah urat nadi besar, jangankan dengan
ke ma mpuanmu yang Cetek ini, umpa ma seorang ahli yang punya
kepandaian 10 kali lipat daripada mu juga takkan bisa
me mbukanya."
Bertaut alis Cu-cu, katanya kuatir: "lalu bagaimana?"
"Apa boleh buat, ingin matipun aku tida k ma mpu lagi, terpaksa
biarlah begini saja."
Kesal dan masgul Cu-cu, katanya: "Apakah mereka bakal
me mbebaskan kau?"
Ci-Gwat-ngo mendengus: "Mereka ingin mengompes
keteranganku."
Cu-cu pura2 kaget, katanya: "Sudah kau katakan?"
"Tida k," berhenti sesaat, lalu Ci Gwat Ngo tertawa, katanya: "Kau
kira aku mau bicara? Eh, waktu kau ke mari, bagaimana pesan
mereka padamu?" .
Cu-cu menekan suaranya lebih rendah: "Waktu mau ke mari Loh-
bi-jin me manggilku ke ka marnya, dia suruh aku me ngajak kau
mengobrol dan nanti me mberi laporan padanya tentang apa saja
yang telah kita bicarakan."
Ci-Gwat-ngo mendengus lagi, katanya. "Mereka ingin mengaka li
pengakuanku,jangan mimpi,"
Cu-cu berpaling mengawasi rantang makanan, katanya: "Cici,
seharian kau tidak makan apa2, mana kau kuat bertahan, kau harus
makan."
"Tida k!! aku tidak akan makan, cukup asal kau telah ke mari."
Dengan mata terbelalak Cu-cu bertanya: "Cici, masih ada pesan
apa?"
"o, ya," Ci-Gwat-ngo bersuara, "ada sebuah tugas harus kau
lakukan-"
"Apa Cici hendak suruh aku me mberitahukan seseorang?"
"Kau tahu siapa orang yang perlu kau beritahu?" Ci-Gwat-ngo
balas bertanya.
"Bukankah orang yang pernah kulihat tempo hari? Tapi aku tidak
tahu siapa dia,"
Berkelebat sinar dingin pada sorot mata Ci-Gwat-ngo, katanya:
"Tak perlu kau tahu siapa dia."
"Lalu cara bagaimana a ku harus me mberitahu padanya?"
"Asal kau mondar-mandir tiga kali di atas dek tingkat kedua
sebelah kanan, lalu akan datang orang itu mengajak kau bicara."
"Itu gampang, waktu naik ke kapal Loh Bi-jin pernah bilang bila
merasa sumpe k berada di tingkat bawah, siapapun boleh naik ke
tingkat dua setelah me mperoleh persetujuannya untuk cari angin,
api .... tapi, cara bagaimana orang itu aku ajak a ku bicara?"
"Kau tahu tanda2 gerakan tangan kita untuk pertemuan itu?"
"Ya, tahu."
Ci-Gwat-ngo berpikir sebentar, katanya: "Cukup asal kau bilang:
Rembulan yang ha mpir terbena m tida k benderang lagi, pasang laut
akan se makin tinggi. Dua patah kata ini sudah cukup,"
"Apa maksud dan gunanya kedua patah kata itu?"
"Me mberi tahu padanya bahwa aku telah tertangkap. bila ada
berita apa2 dari pihak atas biar dia sendiri yang a mbil keputusan."
Cu cu ingat betul2, tiba2 dia cekikik tawa, katanya: "Rembulan
saat ini me mang ha mpir terbenam, umpa ma ocehanku didengar
orang juga tidak menjadi soal"
"o", Ci Gwat- ngo bersuara dala m mulut.
Seperti ingat sesuatu, mendadak Cu-cu mengerut kening,
katanya: "Tapi aku harus ganti piket setelah larut malam nanti,
bagaimana baiknya?"
"Tida k jadi soal, janji pertemuanku mengadakan kontak dengan
dia setelah kentongan kee mpat nanti."
Cu-cu mengangguk. katanya: "Baiklah, akan kuingat ba ik2."
Dia awasi Ci-Gwat-ngo, lalu berkata pula: "Cici, sedikit2 kau
harus makan untuk menjaga kesehatan-"
Dingin kaku muka Ci-Gwat-ngo. "Tidak perlu," sahutnya.
"Tapi kau . . . . "
"Jangan banyak omong, cukup asal kau sampaikan pesanku
tadi."
"Cici jangan kuatir, pasti kusa mpa ikan pesan-mu itu,"
"Berani kau menjua l aku, kapan saja seseorang akan merenggut
jiwa mu."
Terunjuk rasa jeri dan takut pada wajah Cu-cu, katanya: "Masa
cici tidak percaya lagi padaku"
Melihat orang ketakutan, Ci-Gwat-ngo ganti sikap. katanya
dengan suara le mbut: "Sudah tentu aku percaya padamu, ka lau
tidak takkan ku-serahkan tugas rahasia ini padamu, tapi kau harus
hati2, bocah she Ling itu lebih cerdik dan tajam penciuma nnya dari
pada anjing pe lacak." .
"Aku akan berlaku hati2, mereka takkan tahu apa yang
kulakukan.".
Ci-Gwat-ngo manggut2, katanya: "Syukurlah, lega lah hatiku."
Waktu berlalu dengan cepatnya. Mungkin belum tengah mala m,
tapi pintu sudah gudang itu sudah berkeriut terbuka setelah rantai
gembokan berdering nyaring, seseorang memanggil lirih: "Cu-cu Cici
lekas buka pintu, tiba saatnya aku menggantimu."
Kalau dihitung dengan waktu yang tepat, saat mana sebetulnya
baru lewat kentongan kedua. Sudah tentu se mua ini sudah diatur
dengan baik2. Cepat2 Cu-cu tarik pintu lalu menga mbil rantang
makanan beranjak keluar, seorang dara kembang yang lain
me langkah masuk dan menutup pintu dari sebelah dala m.
Begitu keluar dari ruang kurungan di depan itu, sambil menjinjing
rantang makanan, langsung Cu-cu menuju ke ka mar Loh-bi-jin
untuk me mberi laporan kerjanya. Tapi tak la ma setelah dia masuk.
tampak pintu ka mar terbuka, muncul seorang gadis belia tinggi
sema mpai mengenakan gaun panjang warna putih, dengan langkah
gemulai dia menyusuri tangga naik ke atas kearah tingkat kedua
sebelah kiri. Dia bukan lain ialah salah seorang dari 12 Tay-cia yang
bernomor sembilan yaitu Bi-kui adanya.
Sudah tentu Kun-gi belum tidur, dia masih menunggu kabar baik.
Baru saja kentong kedua ber-bunyi lantas didengarnya langkah kaki
mende kati ka marnya, ketukan pintu pelahanpun terdengar, suara
seorang gadis merdu berkata di luar: "Cong-su-cia."
"Siapa?" tanya Kun-gi.
"Ha mba Ba k-ni," sahut gadis di luar, "Atas perintah Pangcu,
Cong-su-cia dipersilahkan naik ke atas."
Kun-gi me langkah keluar, katanya mengangguk: "Silakan nona
ke mbali dulu, segera aku menyusul."
Bak-ni atau si melati terus mengundurkan diri.
Kun-gi merapatkan pintu ka marnya terus naik ke tingkat ketiga.
Tampak Bak-ni dan Swi-hiang bersenjata lengkap berjaga di luar
pintu, melihat Kun-gi tiba, mereka me mbungkuk ke dalam seraya
berseru: "Lapor Pangcu, Cong-su-cia telah tiba." Suara Pek-hoa-
pangcu berkumandang dari dala m: "Silakan masuk."
Bak-ni dan Swi-hiang menyingkap kera i kiri-kanan se mbari
me mbungkuk hormat: "Silakan Cong-su-cia masuk."
Tanpa bersuara Kun-gi masuk ke da la m, dilihatnya Pek-hoa-
pangcu, Hu pangcu dan Giok-lan serta Bi-kui sudah duduk
menge lilingi meja bundar. Melihat Kun-gi masuk, Pek-hoa-pangcu
mendahului berdiri, suaranya nyaring le mbut: "Sila kan duduk Cong-
su -cia."
Sudah tentu So-yok, Giok-lan dan Bi-kui ikut berdiri pula.
Dengan berseri tawa So-yok tak mau ketinggalan, katanya:
"Muslihat Ling-heng ternyata amat manjur, lekas duduk dan
dengarkan kabar ge mbira."
Kun-gi me njura, katanya: "Pangcu, Hu pangcu, Congkoan dan
Taycia sila kan duduk." Lalu dia tarik sebuah kursi dan duduk di
sebelah kiri yang masih kosong, tanyanya sambil menoleh kepada
Bi-kui: "Nona berhasil mengorek keterangan apa?"
So-yok mendahului bicara: "Bukan saja mengorek keterangan,
ma lah ma la m ini kita akan dapat membekuk seluruh mata2 musuh
yang mengendon di kapal kita ini."
Dengan tertawa Pek-hoa-pangcu berkata: "Ji-moay me mang
berwatak keras dan terburu nafsu, duduk persoalannya biar
dijelaskan dulu oleh Kiu-moay, Cong-su-cia sendiri yang memimpin
operasi ini, dia harus mendengar laporan selengkapnya baru akan
me mberikan petunjuk dan perintah se lanjutnya."
Sedikit me mbungkuk Kun-gi berkata: "Berat ucapan Pangcu
untuk diterima." Lalu dia menga mati Bi-kui, katanya: "Bagaimana,
hasil kerja nona? Kurasa Ci-Gwat-ngo adalah perempuan yang licin
dan cerdik, apakah samaran nona tida k diketahui olehnya?"
"Aku yakin akan ilmu tata rias Cong-su-cia teramat lihay,
sedikitpun dia tidak mengunjuk perasaan curiga padaku," lalu Bi-kui
ceritakan pengalaman dan pe mbicaraannya tadi dengan ringkas dan
jelas.
Setelah mendengar laporan itu, Kun-gi angkat kepala, katanya:
"Sekarang baru kentongan kedua, masih dua ja m lagi baru
kentongan kee mpat . . . ."
"Dengan waktu yang cukup kita dapat mempersiapkan diri lebih
matang, sekarang silakan Ling-heng mengatur tipu daya dan
me mberi komando," ujar So-yok.
Tawar tawa Kun-gi, katanya: "Memberi koma ndo, terus terang
Cayhe tidak berani."
Pek-hoa-pangcu lantas berkata: "Thay-siang sudah serahkan
kekuasaan kepada Cong-su cia me mbongkar perkara ini, termasuk
aku, Ji-moay dan Sam-moay seluruhnya siap tunduk dan patuh akan
petunjuk mu, ma ka tidak perlu kau sungkan."
"Sebetulnya persoalan ini cukup sederhana," ujar Kun-gi,"kalau
betul bangsat itu muncul di de k sebelah kanan dan ajak bicara
dengan nona Bi-kui, ha mba yakin masih punya cukup waktu untuk
me mbe kuknya hidup2."
"Lalu ka mi bagaimana? Me mangnya kau suruh kami menonton
saja?" sela So-yok.
"Hu pangcu dan Congkoan harap sembunyi di atas dek tingkat
ketiga sebelah kanan, begitu melihat orang itu muncul, setelah nona
Bi-kui saling me mberi tanda gerakan tangan, kalian boleh segera
terjun ke bawah mencegat jalan mundurnya," merandek sebentar,
Kun-gi menatap Bi-kui: "Cuma ada satu hal, harap nona suka
perhatikan-"
"Hal apa?" tanya Bi-kui
"Nona harus tetap menyaru dan berpura2 lebih lanjut, bila
mendadak dia muncul, kau harus pura2 bersikap gugup dan
ketakutan sembari mundur, jangan sekali2 kau berusaha merintangi
dia,"
"Kenapa de mikian?" tanya Bi-Kui.
"Bangsat itu pasti me mbawa Som-lo sing atau senjata rahasia
lain yang jahat, umpama nona tidak berusaha merintangi dia,
mungkin karena rahasia sudah terbongkar, dia bisa turun tangan
keji untuk menutup mulut nona. Betapa dahsyat kekuatau Som-lo-
ling itu sukar dihindarkan dari jarak dekat, maka kau harus pura2
takut sambil mundur sejauh mungkin untuk menyela matkan diri dari
segala ke mungkinan."
Haru dan terima kasih Bi kui, katanya dengan prihatin: "Dan kau,
kau tidak takut diserang oleh dia?" Setelah mulut bersuara baru dia
sadar, betapa kasih mesra kata2nya dihadapan Pangcu dan Hu
pangcu bertiga.
"Me mang," timbrung Pek-hoa-pangcu, "dala m keadaan kepepet
musuh bisa berlaku nekat, maka kaupun harus hati2."
"Terima kasih atas perhatian kalian, Cayhe punya cara untuk
menghadapinya,"jawab Kun-gi.
"o, ya," kata Pek-hoa-pangcu, "apakah Cong-su-cia tidak
me mberi tugas padaku?"
"Pangcu sebagai pimpinan tertinggi da la m Pek-hoa-pang, hanya
menghadapi mata2 musuh saja mengapa harus turun tangan
sendiri, cukup asal duduk saja di sini menunggu berita ge mbira."
Baru saja dia habis bicara, terdengar suara Bak-ni berkata di luar:
"Lapor Pangcu, Taycia Loh-bi-jin ada urusan penting mohon
bertemu dengan Pangcu."
"Lekas suruh dia masuk." So-yok mendahului bersuara. Kerai
tersingkap. dengan gopoh dan tegang loh-bi-jin menerobos masuk.
"Cap go moay," tanya Pek-hoa-pangcu, "apa yang terjadi?"
Dada Loh-bi-jin masih turun naik, napasnya ter-sengal2, ia
me mbungkuk kepada Pek-hoa-pangcu dan berkata: "Lapor Pangcu,
Ci-Gwat-ngo yang dikurung di bawah gudang ternyata telah bunuh
diri dengan menggigit putus lidahnya sendiri."
"Apa?" mendelik mata So-yok. "keparat itu bunuh diri dengan
menggigit putus lidah sendiri, me mangnya kau tidak suruh orang
menjaganya?"
Loh-bi-jin me mbungkuk, serunya: "Setelah Kiu-ci (Bi-kui) pergi,
Ci-Gwat-ngo dijaga oleh Ting-hiang, dia terus meringkel tak
menghiraukan orang lain, setelah Ting-hiang me lihat darah yang
berceceran dikepalanya baru tahu kalau dia sudah mati me nggigit
lidah."
"Gentong nasi se mua," ome l So-yok. "seorang lumpuh saja tidak
ma mpu me njaganya, kau tahu dia pesakitan penting yang berusaha
me mbunuh Thay-siang?"
Loh-bi-jin menunduk. sahutnya: "Hamba ke mari untuk minta
hukuman pada Pangcu dan Hu pangcu. ....."
"Kesalahan tida k bisa dijatuhkan kepada orang yang
menjaganya, mungkin Ci-Gwat-ngo mengira setelah menyuruh Cu-
cu menya mpaikan kabar jelek tentang dirinya berarti dia sudah
menuna ikan tugas terakhir, hidup juga hanya tersiksa belaka, ma ka
dia nekat bunuh diri. Me mangnya dia meringkel tanpa buka suara,
jangan kata orang lain, umpama kita sendiri juga takkan menduga
sebelumnya, sekarang lekas nona Loh turun saja, ke matian C i-Gwat-
ngo jangan seka li2 sa mpa i bocor."
Haru dan berterima kasih sorot mata Loh-bi-jin kepada Ling Kun-
gi, katanya: "Waktu hamba kemari tadi sudah me mberi pesan
kepada Ting-hiang, kularang dia me mbocorkan kejadian ini."
"Baiklah, le kas kau turun saja," ujar Pek-hoa- pangcu. Loh-hi-jin
mengiakan dan mengundurkan diri.
"Kalau Cong-su-cia tiada pesan lainnya, hamba juga ingin mohon
diri saja," kata Bi-kui.
"Nona harus ingat perkataanku tadi, waspadalah selalu" pesan
Kun-gi.
"Ha mba mengerti," sahut Bi-kui, dia menyingkap kerai terus
keluar.
Akhirnya Kun-gi juga berdiri, katanya: "Waktu masih ada satu
setengah jam, Pangcu dan Hu-pangcu boleh istirahat, hamba juga
mohon diri dulu."
Tersenyum manis Pek-hoa-pangcu, katanya: "Tunggulah
sebentar Coh-su-cia, tadi sudah ku-suruh Sa m-moay ke dapur
me mberi tahu koki untuk me mbuat beberapa nyamikan supaya kita
tidak ke laparan tengah mala m ini."
Terbeliak So-yok. katanya tertawa riang: "Toaci, kenapa aku
tidak tahu?"
Pek-hoa-pangcu tertawa lebar, katanya: "Memang kupesan Sam-
moay supaya tidak me mberitahukan pada mu, supaya kau kaget dan
kegirangan, malah kusuruh buatkan ma kanan kege maranmu. "
So-yok cekikikan, katanya: "Ya, tentunya bolu mawar, Toaci
sunggub baik hati." Lalu dia berpaling kepada Kun-gi, katanya: "Tadi
sudah kupikir lebih baik Ling-heng tetap di sini saja, dari tingkat
ketiga ini bukan saja bisa menyaksikan dengan jelas, umpama harus
menubruk turun mencegat musuh juga lebih le luasa dan cepat."
"Banyak terima kasih atas kebaikan Pangcu, baiklah terpaksa
hamba me ngganggu," de mikian ucap Kun-gi. .
Kerai tiba2 tersingkap. tampak Toh cian ber-sa ma Siang-hwi
mengusung sebuah baki besar berjalan masuk dan diletakkan di
meja bundar sana. Lalu dengan hati2 me mbuka tutup baki dan
menge luarkan e mpat tatakan, di atas tatakan masing2 berisi bolu
mawar, manisan kenari, pangsit udang dan goreng kepiting.
Menyusul Swi hiang juga masuk me mbawa sepanci bubur sarang
burung, di hadapan e mpat orang masing2 dia isi se mangkok penuh
bubur sarang burung itu lalu mengundurkan diri.
Dengan sumpitnya So-yok jepit sepotong bolu mawar dan ditaruh
di lepek Ling Kun-gi, katanya riang: "Ling-heng,aku paling suka
makan bolu mawar, wangi lagi empuk. manis tapi tidak
me mbosankan, coba kaupun mencicipi."
Merah muka Kun-gi, katanya: "Terima kasih Hu pangcu, biarlah
aku a mbil sendiri."
So-yok melerok. katanya: "Ling-heng sekarang adalah cong-su-
cia kita, kedudukanmu sejajar dengan Hu pangcu yang kujabat,
kenapa selalu kau masih me mbahasakan ha mba pada diri sendiri?"
Pek-hoa-pangcu juga angkat sumpit yang terbuat gading,
dijepitnya sepotong pangsit udang dan diangsurkan kedepan Kun-gi,
katanya dengan tertawa: "Aku suka pangsit udang karena warnanya
putih seperti batu jade, coba cong su-sia me n-cicipi."
Muka Kun-gi yang jengah tampak berkeringat, berulang kali dia
nyatakan terima kasih, katanya: "Silakan Pangcu makan juga."
Giok lan menjadi ge li sendiri, katanya sama tengah: "Toaci dan
Ji-ci tidak anggap cong-su-cia sebagai orang luar, kenapa cong-su-
cia malah sungkan dan ma lu2? Kukira cong-su Cia suka ma kan apa
saja boleh silakan a mbil sendiri, ka lau ma in sungkan begini perut
takkan bisa kenyang."
"Sa m-moay me mang betul," ujar So-yok. "me mang itulah Cirinya,
kita tidak anggap dia orang luar, dia justeru anggap dirinya orang
asing."
"Ah. masa," ujar Kun-gi ma lu2 "cayhe tidak beranggapan
demikian."
Giok lan Cekikian geli, katanya: "Sebelum datang ke Pang kita
mungkin cong-su-cia jarang bergaul dengan anak pere mpuan, betul
tidak?"
"Ya, me mang de mikian," sahut Kun-gi manggut.
Biji mata So-yok mengerling, katanya tertawa: "o, pantas, maka
kau selalu pe malu."
Penuh kasih mesra lirikan Pek-hoa-pangcu, katanya tersenyum:
"Sudahlah, jangan ngobrol saja, mari makan mumpung masih
hangat."
Di bawah penerangan la mpu yang redup, berhadapan dengan
tiga nona secantik bidadari, dengan tutur kata le mah le mbut lagi,
perasaan laki2 mana yang takkan melayang keawang2. Selesai
sarapan, pelayan mengangkuti peralatan serta menyuguhkan sepoci
teh wangi.
Lambat laun sang waktu mendekati kentongan kee mpat. Bulan
sabit yang sudah doyong ke barat masih bercokol di cakrawala,
bintang ke lap-kelip menghiasi angkasa, cuaca re mang2.
Tiada sinar pelita di atas kapal besar ini, se mua penghuni sudah
terbuai dalam impian- Hanya ditempat yang gelap dekat daratan
sana kelihatan bayangan beberapa orang, mereka berpencar
mondar-mandir sa mbil berdiri ce lingukan. Itulah para Hou-hoat-su-
cia yang bertugas ronda.
Mendadak sesosok bayangan langsing se ma mpa i muncul dari
tangga kayu tingkat terbawah, langkahnya pelan ringan dan hati2
manjat ke atas dek- di tingkat kedua. Dilihat bentuk tubuh dan
dandanannya, jelas dia adalah salah seorang dara ke mbang.
Langkahnya enteng tidak menge luarkan suara, pelan2 dia
beranjak ke haluan kapal menyusuri pagar, kepalanya mendonga k
me mandang bulan sabit yang ha mpir tenggela m diufuk barat,
pandangannya sayu seperti orang me la mun.
Dia bukan lain adalah Un Hoan-kun yang menya mar Bi-kui.
ma la m ini Bi-kui pa lsu ini menyaru jadi cu- cu pula menjalankan
rolnya sesuai rencana Ling Kun-gi.
Berdiri sejenak di ha luan, dia menunggu dengan sabar, serta
me lihat tiada reaksi apa2 di sekitarnya, pelan2 dia putar tubuh
beralih ke dek sebelah kanan. Angin mala m meniup sepoi2 sehingga
dia tampa k suci dan anggun, setiap langkahnya beralih la mban dan
ringan- Tapi gayanya sedemikian indah ge mulai.
Kalau langkah kakinya la mban dan tenang mantap. sebaliknya
jantung tiga orang yang mengintip dari tingkat ketiga justeru
berdebar2 tegang. So-yok sembunyi di haluan depan, Giok— lan
mene mpatkan dirinya di buritan yang gelap. tugas mereka ada lah
mencegat musuh begitu melihat Bi-kui (Cu-cu) me mberi tanda. Tapi
kekuatan yang utama berada di tangan Ling Kun-gi, dia harus
mendadak muncul, secara sigap dan tangkas harus berhasil
me mbe kuk lawan sebelum sempat turun tangan atau melarikan diri.
Maka dia se mbunyi di te mpat yang paling dekat bagian kanan
deretan kamar, badannya mepet dinding tanpa bergerak.
Lamban langkah Bi-kui, secara dia m2 iapun sudah kerahkan
hawa murninya, seperti panah yang siap terpasang dibusurnya
tinggal me lepaskannya.
Bayangan Cu-cu yang anggun ini dari haluan sudah tiba di
buritan mela lui dek kanan, lalu dari buritan putar balik pula ke
haluan, langkahnya tetap pelan dan penuh perhitungan- Dia
me mang t idak tahu bahwa saat itu seseorang sedang
me mperhatikan dirinya, tapi dia yakin bahwa gerak-gerik dirinya
tentu sudah diincar orang dari tempat Se mbunyinya. Karena dia
me lakukannya sesuai janji tempat dan tepat pada waktunya, dia
me lakukan isyarat pula yang sudah ditentukan sebe lumnya.
Kini dia sudah putar balik, menuju ke buritan lagi, supaya orang
yang me mperhatikan dirinya di tempat gelap itu me lihat lebih jelas,
maka setiap langkah kakinya itu bergerak a mat pe lan sekali..
Ada kalanya dia menunduk kepa la seperti memikirkan sesuatu,
lalu me nengadah me mandang ke te mpat jauh seperti me ngenang
masa sila m, sementara jari jemarinya menguce k2 sapu tangan
sutera di tangannya.
Bagi orang yang tidak tahu duduk persoalannya tentu mengira
nona ini sedang menunggu sang kekasih ditengah mala m buta dan
hendak mengadakan pertemuan rahasia, karena tidak sabar
menunggu ma ka dia mondar-mandir menghabiskan waktu.
Dia m2 Kun-gi manggut2, batinnya: "Walau hanya sandiwara, tapi
dia dapat main dengan ba ik se kali, seperti kejadian sesungguhnya."
Kini sudah putaran yang ketiga. Dari haluan dia melangkah ke
buritan pula, lalu ke mbali lagi ke haluan, Kalau orang itu akan
muncul maka dia akan keluar di tengah perjalanan antara buritan ke
haluan ini.
"Nah, tibalah saatnya," demikian batin Kun-gi, dia sudah menarik
napas panjang, matanya menatap tajam ke arah Bi-kui, iapun
pasang kupingnya yang tajam sa mbil me lirik se kitarnya, ke segala
sudut ke mungkinan dari ma na orang itu akan muncul.
Inilah detik2 yang menegangkan, karena hal ini amat penting,
maka dia merasa perlu tahu dari arah mana orang itu akan muncul.
Karena dari mana dia keluar mungkin pula dari arah itu juga dia
akan mundur dan Kun-gi harus bersiaga mencegat jalan
mundurnya, kalau tida k jangan harap akan bisa menawannya
hidup2.
Tatapan Kun-gi ikut bergerak mengikut i lang-kah Cu-cu, dari
buritan sampai ke haluan kapal-. Kini dia sudah selesai menjalankan
isyarat yang telah dijanjikan sebelumnya, pulang pergi tiga ka li, lalu
berdiri tegak di haluan kapal.
Orang yang ditunggu dan harus keluar itu tetap tidak kunyung
tiba. Sudah tentu Cu-cu tidak akan bergerak lagi, terpaksa dia tetap
berdiri tenang di haluan, menyongsong he mbusan angin mala m,
bersikap pura2 seperti orang ke lelahan dan sedang ist irahat.
Sebetulnya pikirannya timbul tenggela m, gelisah dan masgul
pula. "Kenapa dia belum muncul juga?"
Sudah tentu yang gelisah bukan hanya dia seorang. So-yok lebih
risau lagi, tangannya sejak tadi sudah menggenggam gagang
pedang, alisnya bertaut dan sudah habis kesabarannya menunggu.
Giok lan biasanya sabar dan tenang, kini iapun ikut gelisah pikirnya:
"orang itu tak mau muncul, bisa jadi dia sudah tahu akan rencana
kita hendak menyergap dia, tapi rasanya tidak mungkin-"
Walau gelisah Kun-gi tak pernah lena, matanya tetap
me mperhatikan Cu-cu yang berdiri disana, dia masih berharap
sesuatu perubahan akan terjadi, dia menunggu penuh kesabaran-
Tak ubahnya seperti seseorang yang me mancing ikan, sedikit
bergeming, ikan yang akan terpancing bisa terkejut dan lari..
Cu-cu masih berdiri di haluan tingkat dua. Tiga orang yang
sembunyi di tingkat ketiga juga tetap berjaga2 penuh waspada.
Detik de mi detik telah berlalu, orang seharusnya muncul tetap tidak
kunjung datang. Lama2 Ling Kun-gijadi kesal.
"Mungkinkah orang itu tida k akan muncul? Kenapa dia tidak
keluar? da la m soal ini tentu ada sebab musababnya."
Mengingat sebab musabab ini, seketika dia teringat adanya
beberapa gejala yang mungkin me njadikan orang itu merasa curiga
dan bertindak hati2. Umpa manya: "Apakah betul isyarat yang
dituturkan Ci-Gwat-ngo? Tapi setelah dia berpesan kepada Cu-cu
untuk melaksana kan tugasnya sesuai apa yang dia jelaskan, lalu
bunuh diri, jelas bahwa isyarat yang dia tuturkan takkan salah.
Kalau isyarat ini t idak salah, kenapa orang itu t idak muncul?
Mungkinkah dia curiga dan tahu akan rencananya? Tapi inipun tida k
mungkin"
Mendadak ia teringat kepada Ci-Gwat-ngo suruh Cu-cu mondar-
mandar tiga kali di atas kapal, me mangnya isyarat untuk
menya mpaikan sesuatu berita? Mungkinkah rahasia Cu-cu tiruan ini
sudah diketahui oleh Ci-Gwat-ngo?
Karena yang ditunggu tetap tak kunjung tiba, sudah tentu Cu-cu
alias Un Hoan-kun masih tetap ia berdiri di tempatnya, kini dia
sudah berdiri setanakan nasi la manya, tapi orang itu tetap tidak
kunjung datang.
Kun-gi menjadi sadar bahwa langkah pionnya kali ini jelas gagal
total, kalah oleh Ci-Gwat-ngo yang telah mati dan sukses
menuna ikan tugas. Maka dia tidak perlu ragu lagi, dengan ilmu
suara dia berkata kepada Cu-cu: "Nona tak usah me nunggu-nya
lagi, dia tidak akan datang, kembalilah ganti paka ian dan segera
naik ke mari."
Mendengar seruan Kun-gi, sekilas Cu-cu melengak. dengan
kepala tunduk pelan2 dia beranjak turun lewat tangga terus ke
bawah. Habis bicara Kun-gi lalu me mberi tanda gerakan tangan ke
arah Giok lan dan So-yok terus mendahului masuk ke dalam. So-yok
menyongsong kedatangannya sambil bertanya: "Bagaimana Ling-
heng?"
"Marilah kita bicara di dala m saja," ajak Kun-gi.
"Apakah rahasia kita sudah bocor?" tanya So-yok.
Kun-gi menggeleng, katanya: "Mungkin kita tertipu malah."
"Tertipu?" seru So-yok. "Dit ipu siapa?"
"oleh Ci-Gwat-ngo," kata Kun-gi.
Melihat mere ka bertiga masuk, Pek-hoa-pangcu lantas bertanya:
"Jadi apa yang dibicarakan Ci-Gwat-ngo itu bohong belaka?"
"Paling tidak separo yang dikatakannya hanya bualan belaka,"
sahut Kun-gi.
Pek-hoa-pangcu melenggong, tanyanya: "Bualan apa
maksudnya?"
"Kita diperalat olehnya untuk me mberi kabar kepada te mannya."
Pek-hoa-pangcu me lengak, tanyanya: "Maksud cong-su-cia
bahwa Ci-Gwat-ngo sudah tahu tipu daya yang kita atur?"
"Mungkin de mikian," kata Kun-gi.
Tengah bicara ta mpak Bi-kui berja lan masuk. tanyanya: "Kenapa
cong-su-cia me manggilku ke mbali?"
"Umpa ma nona menunggunya lagi satu ja m, dia tetap takkan
keluar," ucap Kun-gi. "cong-su-cia kira apa yang dikatakan Ci-Gwat-
ngo hanya bualan be laka"
Tanpa menjawab Kun-gi mende kati meja, di-je mputnya secangkir
air teh terus ditenggaknya, lalu berkata: "Silakan duduk nona,
Ceritakan pula sejelasnya pe mbicaraanmu tadi dengan C i-Gwat-
ngo."
Bi-kui me lenggong, katanya: "Maksud cong-su-cia penyamaranku
telah diketahui oleh Ci-Gwat-ngo?"
"coba nona bayangkan kembali secara cermat, sejak kau masuk
ke sana sa mpai pe mbicaraan kalian yang terakhir."
Bi-kui duduk disebuah kursi, katanya: "Hamba menggant ikan Siu-
kin mengantar makan mala m padanya, setelah siu-kin pergi, ha mba
lantas menutup pintu, la mpu kugantung di dinding, setelah
menurunkan rantang makanan kuha mpiri dia, kupanggil dia dan
tanya: cici, kau tidak apa2 bukan? Se mula Ci-Gwat-ngo rebah tak
bergerak. mendengar suaraku tiba2 ia me mbuka mata, suaranya
lirih terCengang: Kaukah? - Ha mba manggut2 sambil tanya: Kau
tidak apa2? - Dengan susah payah dia merangka k berduduk, sambil
menarik tanganku, katanya dengan menunduk: Siau-moay, -
syukurlah kau telah datang
Mendadak Kun-gi angkat tangan, "Tunggu sebentar nona, dia
menarik tanganmu yang mana?"
"Tangan kiri."
"Waktu dia berduduk, apakah selalu tunduk kepala" Bi-kui
mengiakan sa mbil mengangguk.
Kun-gi menoleh ke arah Giok-lan, katanya: "Minta tolong
congkoan, suruhlah orang me mbawa Cu-cu ke mari."
Giok-lan mengiakan terus mengundurkan diri, tak la ma ke mudian
ia me mbawa Bak-ni dan Swi-hiang me mapah Cu-cu masuk.
Bi-kui tidak tahu dala m hal apa dirinya berbuat salah dan sudah
diduga oleh Ling Kun-gi, maka dengan melongo ia pandang Cu-cu
yang di-gusur masuk.
Kun-gi mengha mpiri dan pegang tangan kiri orang, betul juga
ditemukan sebuah tahi la lat ke-cil di ujung bawah telapa k tangan
kiri Cu-cu, meski keCil tahi lalat itu, hanya sebesar lubang jarum,
tapi warnanya hitam legam, kalau tidak diteliti me mang sukar
mene mukannya. Maka dia mendengus sekali, katanya: "Hek liong-
hwe me mang Cermat bekerja, sampai orang utusan mereka juga
sudah diberi tanda khusus di badannya, umpama orang luar bisa
menya marnya juga sukar me ngelabui orang mere ka sendiri."
"Jadi tanda ini sudah mere ka tato sebelum di utus keluar?" tanya
So-yok. Kun-gi manggut2.
"Tangannya sudah di tato, tak heran Ci-Gwat-ngo menarik
tanganku serta me meriksa dengan telit i, cermat dan cerdik serta
licin betul orang ini."
Kun-gi me mberi tanda supaya Cu-cu digotong keluar, katanya:
"Tangannya sudah di tato sele mbut ini tanpa kita ketahui, inilah
kecerobohan kita. kesalahan yang kecil dan tida k di sengaja, tapi
mengakibatkan gaga lnya urusan besar."
"Apakah ha mba perlu meneruskan bercerita?" tanya Bi-kui.
Kun-gi menggeleng dan berkata: "Sudahlah."
"Bahwa dia sudah tahu aku Cu-cu palsu, sudah tentu apa yang
dia katakan pada ku juga tak-dapat dipercaya," ujar Bi-kui pula.
"Ci-Gwat-ngo me mang cerdik dan licin, wa lau dia tahu bahwa Cu-
cu dipalsukan orang lain, tujuannya sudah tentu untuk mengorek
keterangan dari mulutnya, ma ka dia sengaja mengatur tipu untuk
balas menipu kita, dan nonalah yang diperalat untuk menyampaikan
berita buruk tentang dirinya."
"Hah, ha mba yang menya mpaikan beritanya?" teriak Bi-kui kaget.
"Ya, dia minta padamu supaya mondar-mandir t iga kali di atas
dek tingkat kedua setelah kentongan keempat, mungkin itulah salah
satu cara untuk mengadakan kontak secara rahasia, karena lena
dan kurang hati2, kita ma lah kena diselomoti mere ka."
"Bangsat keparat yang pantas ma mpus" dengus So-yok gusar.
Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Analisa cong-su-cia amat
masuk akal, dia tahu kita pasti mela kukannya sesuai pesannya,
maka dia rela gigit putus lidah sendiri mencari jalan pendek. cong-
su-cia, lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya?"
Bercahaya sorot mata Ling Kun-gi, tiba2 dia tersenyum, katanya:
"Walau Ci-Gwat-ngo licik dan licin, tapi para begundalnya itu sudah
berada dalam genggaman tanganku, kuyakin mereka tidak akan
bisa lolos."
Terbelalak mata So-yok. serunya girang: "Jadi kau sudah tahu
siapa mereka? coba sebutkan na ma2 mere ka."
"Wah, ini. ....." Kun-gi ragu2.
"Kenapa? Kau tidak mau me nerangkan?" desak So-yok.
"Maaf Hu-pangcu, sekarang belum kuperoleh bukti nyata, sudah
tentu Cayhe tak bisa menuduh seseorang yang tidak terbukt i
me lakukan kesalahan."
"Kau me mang suka jual mahal," So-yok merengut.
”Ji-moay," sela Pek-hoa-pangcu, "apa yang dikatakan cong-su-cia
me mang tida k salah, sebelum me mperoleh bukti yang nyata, tak
bisa kita me mfitnah seseorang sehingga me mbikin orang penasaran,
untuk me mbongkar komplotan ini ke-akar2nya kita harus bekerja
penuh kesabaran."
"Baiklah, aku takkan banyak bertanya lagi, lalu apa yang harus
kita kerjakan, tentunya cong-sucia bisa me mberi petunjuk?" tanya
So-yok.
Kun-gi tertawa, katanya: "Urusan selanjutnya kuyakin dapat
menyelesaikannya ditingkat kedua, ma ka Pangcu, Hu-pangcu dan
congkoan selanjutnya boleh tidak usah turut Ca mpur."
"Apakah tenaga hamba masih dibutuhkan cong-su-cia?" tanya Bi-
kui.
"Untuk se mentara tiada tugas nona lagi, setelah orang itu dapat
kubekuk, nona boleh tampil sebagai saksi."
"Eh, agaknya kau yakin benar akan rencanamu," ucap Bi-kui
dengan melerok.
"Me mangnya jabatan cong-su-cia harus sia2 berada ditanganku."
Pek-hoa-pangcu menatapnya penuh rasa kasih mesra dan
prihatin, katanya: "Thay-siang me mang tidak meleset menila i
dirimu."
oooodwoooo

Kapal besar itu laju mengikut i arus sungai Tiang-kang, kini sudah
me masuki wilayah propinsi An-hwi dan ha mpir sa mpai perbatasan
Kang-soh.
Sejak terjadi usaha pembunuhan atas diri Thay-siang dan barang
bukti ditemukan di ka mar Ling Kun-gi, Thay-siang ternyata tidak
menaruh curiga padanya. Bukan saja Ling Kun-gi t idak di-hukum,
ma lah dia tetap menjabat cong-su-cia dan diberi kuasa untuk
me mbongkar peristiwa pe mbunuhan ini. Dan peristiwa ini a khirnya
tiada kelanjutannya dan terbengkala i de mikian saja.
Beruntun dua hari keadaan a man tenteram tak terjadi apa2 lagi,
perasaan semua prang mulai tenang dan lupa a kan kejadian yang
lalu. Kapal terus berlayar sesuai haluan yang ditunjuk dan berlabuh
ditempat yang sudah ditentukan pula, selanjutnya tidak ditemukan
rintangan apa2, tiada kapal musuh yang menguntit, seolah2 Hek
liong-hwe tidak tahu bahwa Thay-siang-pangcu Pe k-hoa-pang
pimpin sendiri pasukan intinya untuk menyerbu ke sarang mereka.
Secara tidak langsung ini me mbuktikan bahwa sarang Hek-liong-
hwe yang menjadi tujuan utama mereka letaknya tentu masih
teramat jauh sekali.
Hari ketiga setelah Cu-cu palsu menyampaikan berita dengan
cara mondar-mandir tiga kali di atas dek sebelah kanan, Menje lang
senja kapal berhenti pada ka ki bukit Liang-san sebelah timur.
Gunung Liang-san dibatasi sebuah aliran sungai sehingga terbagi
timur dan barat, umpama sebuah pintu bagi Tiang-kang yang
panjang dan luas, maju lebih lanjut ada lah Gu-cu-san, karena letak
gunung itu menonjol ke luar dan menjurus ke tengah sungai, maka
dia juga dina makan Gu-cu-ki.
Enam sa mpan yang berisi para peronda yang dinas malam sudah
mulai bergerak diperairan sekitarnya, malam ini para peronda itu
tetap dibagi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh
Houhoat cin Tek khong ditemani Houhoat-su-cia Kho Ting-seng
yang pandai menggunakan pelor perak. seorang lagi adalah Ji Siu-
sang, murid Bu-tong-pay, tugas mereka adalah 10 li perairan
perbatasan timur dan barat gunung Liang-san- .
Kelompok yang lain dipimpin oleh IHouhoat Liang ih-Hun, dua
Houhoat su-cia yang mene mani adalah Ban Yu-wi dan Sun Ping-
hian. sepuluh li sebelah selatan perairan kaki gunung Liang-san
menjadi daerah operasi mereka, tegasnya 20 li sekitar kapal yang
ditumpangi Thay-siang itu kapal lain milik siapapun dilarang
mende kat.
Waktu turun kapal Cin Te-khong telah me mberi tahu kepada Kha
Ting-song danJi Siu-seng:
"Ji-heng, Khong- heng, daerah operasi kita lain dengan daerah
yang harus dijelajah oleh kelompok Liang Ih-jun, dalam jarak 20-an
li mereka masih biaa saling kontak secara leluasa, sebaliknya bagian
kita ini kalau ma ju lagi adalah Gu-Cu-ki dibawah lereng gunung
adalah perka mpungan kaum nelayan, besar kemungkinan musuh
bersembunyi di sana, maka kita harus hati2, menurut hematku
dalam ke lompok kita ini harus me mbagi tugas,
Kho-heng ke sebelah timur,Ji-heng ronda sebelah barat, aku
akan tetap berada di tengah sebagai poros untuk me mberi bantuan
ke segala jurusan, setiap setengah jam kita berte mu seka li di utara
Gu-cu-ki, semoga tidak akan terjadi apa2."
Kho Ting-seng dan Ji Siu-seng berkata bersama: "Rencana kerja
cin-houhoat me mang baik, ka mi menerima pe mbagian tugas ini."
Begitulah mereka bertiga lantas berpencar ke utara menurut arah
masing2 yang telah dirancang-. Kira2 menjelang kentongan pertama
turun hujan rintik2, permukaan air menjadi pekat diliput i kabut yang
semakin tebal, dalam jarak sedikit jauh sudah tidak kelihatan apa2
lagi.
Setiap sampan kecil yang mereka paka i rata2 menggunakan
tenaga dua orang pendayung, keduanya duduk di haluan dan
buritan, sisa tempatnya di tengah hanya cukup untuk duduk dua
orang, karena bentuknya yang kecil dan pendek, maka sa mpan ini
bisa laju cepat sekali di permukaan air.
Sampan yang berlaju ditengah itu meluncur lurus ke utara Gu-cu-
san, seorang laki2 berpakaian hijau ketat tengah me mberi aba2.
orang ini adalah Cin Te-khong, perahunya langsung menuju ke
utara dengan sendirinya lebih cepat dan dekat daripada Kho Ting-
seng dan Ji Siu-seng yang harus berputar ke arah t imur dan barat.
Utara Gu-cu-ki ini adalah pesisir belukar yang ditumbuhi se mak2
gelaga, air sungai Tiang-kang yang mengalir sa mpa i daerah ini
terbagi dua cabang aliran, menuju ke timur dan barat, mela mpaui
dan ke mudian bergabung ke mbali.
Oleh karena itu daerah pesisir sungai ini sepanjang tahun
terdampar oleh arus air yang deras sehingga dinding batu padas
menjadi terjal. Kini Cin Te-khong sedang me mberi petunjuk kepada
kedua pe mbantunya untuk menggayuh sa mpan ke arah utara di
mana tepi sungai lebih rendah dan rata.
Tepi a ir ditumbuhi daun welingi yang lebat, arus air di sinipun
agak lambat. Sesuai petunjuk Cin Te-khong kedua orang
menggayuh sampan itu me la mpaui tetumbuhan welingi dan
akhirnya berhenti di tepian. Hujan gerimis ternyata juga sudah
berhenti.
Supaya kedua sampan lain tahu tempat di mana dia berdia m,
maka Cin Te-khong suruh anak buahnya me masang la mpu angin,
sementara dia sendiri duduk di sa mpan- Kira2 setanakan nasi
ke mudian, Kho Ting seng dan Ji Siu sengpun menyusul t iba dengan
kedua sa mpan mereka.
Cin Te-khong menya mbut kedatangan mereka, katanya: "Kalian
sudah letih tentunya."
Kho Ting-seng menjura, katanya: "Sudah lama cin-houhoat tiba
di sini?"
Cin Te-khong tertawa, katanya: "Baru saja, kalian harus
berputar, sudah tentu sedikit terla mbat."
Cepat sekali kedua perahu itupun merapat di darat. Kata Ji Siu-
seng: "Untung cin-houhoat menyulut pelita di sini, kalau tidak sukar
mene mukan te mpat ini."
"Keadaan sekitar sini aku paling apal, arus air di sinipun tidak
deras, tempat ini paling cocok untuk berteduh dari hujan angin, di
daratan sebelah sana ada tanah lapang berumput, kita bisa duduk
atau merebahkan diri sa mbil mengawasi situasi perairan, ada
gerakan apapun di air tentu tak lepas dari pandangan kita. Hayolah
kita mendarat, sudah kubawakan arak dan hidangan, mari ma kan
minum sepuasnya."
"cin-houhoat," kata Ji Siu-seng, "kita bertugas meronda keadaan
perairan sini, janganlah kita lena?"
Cin Te-khong tertawa dengan pongahnya, katanya: "Ji-heng
terlalu jujur, me mangnya se mala m suntuk kita harus mondar mandir
dipermukaan air melulu, sekali2 patrolikan sudah Cukup, kita juga
perlu istirahat. Apalagi sambil ma kan minum di sana kita sekaligus
bisa mengawasi situasi perairan, setelah istirahat sejenak. kita harus
periksa juga keadaan hutan sekitar sini."
Lalu dia mendahului melompat ke sana dan menambahkan-
"Hayolah, aku na ik lebih dulu." ..
Mendengar bakal makan minum sepuasnya, Kho Ting-seng
segera tertawa, katanya: "Ji-heng, situasi daerah ini cin-houhoat
apal seperti me mbaca telapak tangannya sendiri, kita turuti saja
kehendaknya."
Lalu dia melompat ke daratan juga. Terpaksa Ji Siu-seng ikut
me lompat naik.
Apa yang dikatakan Cin Te-khong me mang tidak salah, tidak jauh
dari tepi danau adalah sebuah tanah lapang, lereng di depan adalah
hutan yang cukup lebat, di depan hutan inilah terdapat tanah
berumput yang datar.
Cin Te-khong sudah mendahului duduk di atas rumput, katanya
dengan tertawa: "Kho-heng,ji-heng, lekas duduk, sayang mala m ini
tiada rembulan, ma kan minum di te mpat gelap rasanya jadi kurang
nikmat."
Kho Ting-seng dan Ji Siu-seng juga lantas duduk di tanah
berumput, se mentara anak buah Cin Te-khong sudah menjinjing
sebuah guci arak dari atas sampan, tiga mangkuk dan sebungkus
makanan di taruh di tengah mereka. Waktu bungkusan di-buka,
ternyata isinya ada babi panggang, ayam goreng, dendeng dan telur
asin segala.
Ji Siu-seng bertanya heran- "cin-houhoat dari mana kau peroleh
makanan sebanyak ini?"
Sambil mera ih poci arak Cin Te-khong mengisi penuh mangkuk
kedua orang lalu mengisi mangkuk sendiri, katanya setelah
meneguk araknya: "Asal punya duit, setanpUn bisa kita perintah,
tahu mala m ini aku bertugas, diam2 kusogok koki untuk
menyiapkan ma kanan ini. Hawa sedingin ini, siapa tahan bergadang
semala m suntuk tanpa minum arak?"
Lalu dia Celingukan- "Hayolah, kalian jangan sungkan, sikat dulu
makanan ini" se mbari omong dia a mbil paha ayam terus dilalap.
Kho Ting-seng angkat mangkuk araknya, katanya: "cin-houhoat,
kuaturkan seCawan arak ini."
Sambil menggerogoti paha ayam Cin Te-khong angkat mangkuk
araknya dan ditenggak habis, ka-tanya menoleh ke arah Ji Siu-seng:
"Kenapa Ji-heng tidak minum arak?"
"Aku tida k biasa minum arak." sahut J i Siu-seng.
"Me mangnya Ji-heng kenapa?" eje k Cin Te-khong. "Tidak bisa
minum juga harus mencicipi sedikit, terus terang, arak yang kubawa
ma la m ini paling cocok dengan makanan yang kubawa, sengaja
kusediakan untuk J i-heng pula."
"Ah, mana berani kuterima kebaikan cin-houhoat," ujar Ji Siu-
seng.
Mendadak Cin Te-khong menarik muka, katanya: "Ji-heng kira
aku berkelakar denganmu? Terus terang se mua hidangan ini
me mang khusus kusediakan untukmu. Kau tahu apa ma ksudku?"
"Ha mba tidak tahu, harap cin-houhoat menje laskan," kata Ji Siu-
seng.
Cin Te-khong tergelak2, katanya: "Berapa kali manusia mabuk
dalam hidup ini? Kusediakan makan minum mala m ini untuk
me mperte mukan duplikat seorang kepada Ji-heng."
"o, duplikat siapa itu?" tanya Ji Siu seng.
"Duplikat yang kubawa ke mari ini punya nenek moyang yang
sama dengan Ji-heng," lalu beruntun dia tepuk tangan tiga ka li,
serunya keras2: "Ji-heng, kau boleh keluar sekarang."
Lenyap suaranya, tampak dari hutan sana beranjak keluar
seorang dan menjura pada Cin Te-khong, katanya: "Hamba sudah
datang." Cin Te-khong menuding Ji Siu-seng, katanya:
"Inilah Ji-houhoat, murid Bu-tong-pay, kalian harus berkenalan
dengan akrab."
Mala m pekat,Ji Siu-seng sukar melihat wajah orang, cuma terasa
olehnya perawakan dan dandanan orang ini agak mirip dirinya,
walau merasa heran, lekas ia menjura, katanya: "Mohon tanya siapa
nama Ji-heng yang mulia."
orang itu pelan2 mende kati sa mbil berkata: "Siaute bernama Ji
Siu-seng, mendapat perintah untuk menggantikan kau."
Ji Siu-seng berjingkat kaget dan mundur selangkah, tangan
me megang gagang pedang dan bertanya mendelik ke arah Cin Te-
khong: "Cin-houhoat, apa maksudmu ini?"
Cin Te-khong menyeringai, katanya: "Kenapa Ji-heng bersikap
sekasar ini? Maksud perjamuan yang kusediakan ini adalah untuk
menya mbut kehadiran Ji-heng ini, sekaligus untuk mengantar
keberangkatan Ji-heng pula." Sampa i di sini tiba2 dia menarik muka
serta menghardik: "Tunggu apa lagi, lekas turun tangan . . . . "
Belum habis dia bicara, tahu2 terasa pinggang sendiri menjadi
kaku. Didengarnya seorang berbisik dipinggir telinganya: "Maaf Cin-
houhoat, sementara bikin susah dirimu."
Ternyata yang bicara adalah anak buahnya yang pegang gayuh
di sampannya, yaitu Li Hek kau, Hong-gan-hiat dipinggang Cin Te-
khong telah ditutuknya.
Kejadian berlangsung dala m se kejap mata, tahu gelagat tidak
menguntungkan Ji Siu-seng lantas me lolos pedang, hardiknya: "Cin
Te-khong, Jadi kau ini mata2 Hek liong-hwe, apa yang hendak kau
lakukan atas diriku?"
Seorang anak-buah Cin Te-khong yang la in berna ma Ong Ma-cu,
sambil berdiri di sana dia pegang sebuah kotak perak yang kemilau,
itulah Som-lo-ling adanya, ia minta petunjuk kepada Cin Te-khong:
"Cin-houhoat, menurut perintahmu Ji siu-seng yang mana yang
harus kubidik?"
Cin Te-khong tetap duduk di sana, keringat ber-ketes2
me mbasahi kepa la dan se lebar mukanya, tapi mulutnya tetap
terkancing.
Mengawasi Ji Siu-seng palsu, tiba2 kelasi berna ma Ong Ma-cu itu
angkat kotak gepeng perak ditangannya sambil tertawa, katanya:
"Me mangnya saudara ini belum me lihat jelas? Kenapa tidak lekas
menyerah untuk dibe lenggu, me mangnya perlu ku-turun tangan?"
Baru sekarang orang yang menyamar Ji Siu-seng itu tahu gelagat
jelek. mendadak dia me lompat mundur terus hendak melarikan diri.
Ong Ma-cu ter-gelak2, katanya: "Aku tidak menyerangmu dengan
Som lo-ling ini lantaran ingin me mbekukmu hidup2, me mangnya
kau bisa melarikan diri?"
Melihat bangsat yang menyaru dirinya hendak lari Ji Siu-seng
segera menghardik:
"Keparat, ke mana kau lari?"
Baru saja dia hendak menubruk maju, kelasi tadi telah bergelak
tawa, serunya: "Ji heng, tak usah dikejar, dia tidak akan bisa lolos."
Betul juga, belum kata2 Ong Ma-cu itu berakhir, dari arah depan
sana dua bayangan orang tampak berkelebat maju me mapak Ji Siu-
seng palsu seraya me mbentak: "Berdiri saja kawan, jangan lari."
Ji Siu-seng me lihat jelas, kedua orang yang mencegat Ji Siu-seng
palsu adalah anak buah di sa mpan Kho Ting-seng, ia merasa heran
dan kaget, dilihatnya anak buah yang pegang kotak gepeng perak
telah menyimpan benda itu. "Sreng", tahu2 dia telah melolos
sebatang pedang panjang, teriak-nya: "Song-heng, Tio-heng,
kitakan sudah berjanji, orang ini serahkan padaku ......" sekali
lompat dia sudah menubruk tiba disa mping musuh, kata-nya:
"Saudara, keluarkan senjata mu."
Baru sekarang Ji Siu-seng sadar duduk persoalannya, serunya:
"Aha, kiranya Kongsun-houhoat adanya." Kongsun houhoat ialah
Thian long-kia m Kongsun Siang.
Terdengar seorang anak buah yang berdiri di sa mping Cin Te-
khong itu tertawa lantang, katanya: "Betul, dia me mang kongsun-
houhoat, boleh Ji-heng duduk saja, sekarang marilah minum arak
sepuasnya."
Kembali J i Siu-seng me longo kaget, lekas dia menjura dan
berteriak heran: "He, engkau kiranya Cong-su-cia adanya."
Anak buah bernama "Li He k kau" se mentara itu sudah mencuci
obat rias diwajahnya. katanya tersenyum: "Ya, aku me mang Ling
Kun-gi."
Melenggong sejenak. segera Ji Siu-seng. ber-jingkrak girang,
serunya: "Kiranya me mang Congcoh, ka lau bukan kalian yang
menya mar, pasti jiwa ha mba sudah a mblas ma la m ini."
Sementara itu Kongsun Siang yang menyaru jadi Ong Ma-cu
dengan gerakan Long-sing-poh telah menerjang ke samping Ji Siu-
seng palsu, ternyata reaksi Ji Siu-seng palsu juga sebat dan cepat
luar biasa, sekali ayun pedang me nusuk ke badan Kongsun Siang.
Betapa cepat serangan pedang orang ini, cabut pedang terus
menusuk dilakukan serentak dalam waktu yang amat singkat, jelas
iapun me miliki Ilmu pedang yang luar biasa.
"Serangan bagus" seru kongsun Siang sa mbil tertawa
"Trang", lelatu api me letik, dua pedang beradu keras dan
menerbitkan ge ma suara nyaring panjang. Kedua orang sa ma2
merasakan telapak tangan sakit kese mutan-
Kongsun Siang menerjang ke sa mping, pedang berkisar,
serangan jurus ke dua sudah dia lancarkan mendahului musuh.
Ternyata gerakan Ji Siu-seng palsu ini juga tidak la mbat,
serempak iapun me mutar, kemba li dengung suara keras beradunya
dua senjata terdengar, tusukan pedang Kongsun Siang ternyata
kena disa mpuknya pergi.
Kongsun Siang tertawa, serunya: "Kau berani menyaru Ji-heng,
kenapa Ilmu pedang Bu-tong-pay tidak kau yakinkan sekalian?"
Sambil bicara secara beruntun ia mencecar pula t iga ka li tusukan-
Lawan tidak berkata sepatahpun, pedang tetap balas menyerang
dengan sengit, beruntun iapun balas me nyerang tiga jurus.
Ini merupa kan pertandingan pedang tingkat tinggi yang jarang
terlihat, kecuali samberan Sinar pedang bagai kilat berkelebat,
Sering pula terdengar suara dering pedang yang beradu secara
keras.
Thian-long-kia m-hoat yang diyakinkan Kong-sun Siang me mang
menjurus kealiran liar yang ganas dan buas. pedangnya sering
menyerang tatkala lawan menyangka dia hendak kabur, tahu2
orang malah dicecar dengan tusukan dan tabasan yang sukar
dijaga, Tapi permainan Ilmu pedang Ji Siu-seng pa lsu ini ternyata
cepat sekali, pedangnya bergerak laksana kit iran, setiap jurus
serangan juga mematikan,jadi Ilmu pedang mereka me mang sa ma2
keji dan hebat.
Ling Kun-gi ikut menyaksikan dengan seksa ma dan penuh
perhatian, demikian pula Ji siu-seng dan kedua anak buah lainnya
sama menonton dengan berdebar.
Suatu ketika Ji Siu-seng melirik kearah Cin Te-khong dan Kho
Ting-seng yang duduk dan mengge letak tertutuk Hiat-tonya, diam2
dia me mbatin: "Syukurlah kedua orang ini sudah terbekuk lebih dulu
oleh Cong-su-cia dan Kongsun-houhoat yang muncul mala m ini,
entah bagaimana mere ka bisa tahu akan muslihat musuh yang licik
ini?"
Serta merta matanya mengerling ke arah Ling Kun-gi, diam2
hatinya menaruh hormat dan kagum luar biasa kepada Cong su-cia
yang masih muda dan gagah perkasa ini,
Dilihatnya Kun-gi pegang mangkuk sa mbil meneguk arak pelan2,
wajahnya mengulum senyum cerah, sikapnya tenang2 saja seakan2
dia sudah yakin bila Kongsun Siang akhirnya pasti menang.
Dia m2 ji Siu-seng keheranan, lekas dia menoleh pula mengawasi
kedua orang yang tengah berhantam, keduanya masih tetap saling
serang, lingkaran cahaya pedang kini bertambah luas mencakup
lima tombak di seke liling gelanggang sehingga sukar dia
me mastikan siapa bakal menang dan ka lah. Padahal kedua orang
sudah bergebrak seratus jurus lebih.
Se-konyong2 terdengar Kongsun siang me mbentak. pedang
bergerak lebih kencang lagi, beruntun tiga jurus lihay dilancarkan,
maka terbit pula dering nyaring beradunya senjata mereka, pedang
di tangan Ji siu-seng palsu ta mpak terpukul jatuh di tanah
berumput.
Sekali tuding pedang Kongsun Siang menutuk ke dada lawan,
serunya dengan gelak tertawa: "Kan sudah kepepet, memangnya
tidak terima kalah dan menyerah?"
Lekas Ji siu-seng palsu menarik napas dan menge mpiskan dada
sambil mundur dua langkah, teriaknya beringas: "Siapa bakal
ma mpus masih sukar dira maikan."
Mendadak tangan kiri ter-ayun dan mulut me mbentak, dia
me lenting tinggi me lesat miring ke sana. Kiranya dia tahu keadaan
cukup gawat, kecUali Kongsun Siang, masih ada dua orang lain
yang mencegat jalan mundurnya, ma ka dia pura2 menyerang dan
berusaha me larikan diri.
Melihat tangan orang terayun, tapi tidak menimpukkan senjata
rahasia, Kongsun Siang me mbade lawan hanya main gertak dan
berusaha melarikan diri, ma ka dengan tawa lantang dia berkata:
"Kau masih ingin ngacir, kukira tida k ga mpang."- Tangan kanan
sekali bergerak. pedang ditangannya seketika meluncur dan "crap"
menancap a mbles di tanah berumput sana, sementara seringan
burung walet badannya me la mbung t inggi berusaha mencegat
lawan di tengah udara.
Ji siu-seng palsu semakin murka, teriaknya: "Turun kau" ia
songsong tubrukan Kongsun Siang dengan pukulan telak. Sudah
tentu dikala tubuh terapung Kongsun Siang juga sudah siaga, ma ka
iapun melancarkan pukulan keras menyambut hanta man lawan-
"Brak", di tengah udara kedua orang adu jotos, kekuatan pukulan
mereka sa mpai menerbitkan suara yang me mbisingkan telinga,
kedua orang sa ma2 tertolak turun ke tanah pula.
Begitu menginjak bumi, mendadak kaki kiri Kongsun Siang
me langkah setapak. tahu2 ia sudah mendesak tiba di samping Ji
Siu-seng palsu, serentak dia tutuk siau-you-hiat di pinggang Ji Siu-
seng palsu.
Ternyata Ji siu-seng palsu tidak kalah sebatnya, dengan gaya
liong-bwe-hwi-hong (ekor naga menerbitkan angin) iapun balas
menyerang, Tangkas sekali Kongsun Siang sudah ganti gaya sambil
menyingkir ke samping, secara cepat luar biasa dan memberosot ke
sebelah kanan Ji Siu-seng palsu, secepat kilat tahu2 tangan kirinya
sudah cengkera m pergelangan tangan kanan lawan- Gerak ini
sunguh cepat luar biasa, betapa lihay rangsakannya ini sungguh
sukar dilukiskan-
Untuk punahkan serangan lawan jelas tidak se mpat lagi, maka Ji
siu-seng palsu menggera m sekeras2nya, tangan kiri mengepal,
sekuatnya dia genjot muka Kongsun Siang, sementara kelima jari
kanan me mba lik balas pegang pergelangan tangan Kongsun Siang.
Tapi tiba2 tangan kanan Kongsun Siang juga me mbalik dan
lancarkan Kim-na-jiu-hoat, tangan kiri lawanpun kena dipegangnya
pula.
Sebelah tangan masing2 sa ma2 kena dipegang lawan, tinggal
sebuah tangan yang lain saling serang secara cepat dalam jarak
dekat, tiba2 menepuk tahu2 menutuk. mendadak ganti jotosan serta
berbagai tipu lihay, keduanya berebut waktu dan mengadu
kecepatan-
Betapapun situasi me mang tidak menguntung-kan Ji Siu-seng
palsu, dia ingin lari secepatnya, mendadak dia menghardik, serentak
kaki kanan menendang ke selangkangan Kongsun Siang, sementara
tangan kanan sedang saling serang dengan lawan, tak mungkin
Kongsun Siang menghindar atau menangkis tendangan ini.
Namun Kongsun Siang bukan lawan e mpuk. tiba2 dia lepaskan
pegangannya, tangan kiri berbareng me mbalik dengan
mengerahkan tenaga sehingga tangan sendiri yang dipegang lawan
terlepas, dan jari bagai jepitan besi terus menutuk ke kaki lawan
yang menendang t iba.
Kedua pihak ha mpir bersa maan me lepas pegangan tangan- Baru
saja Ji Siu-seng merasa senang asal pegangan jari lawan terlepas,
maka ada harapan dirinya untuk me larikan diri. Tak terduga tiba2
terasa lm-koh-hiat di ka ki kirinya kesemutan, tanpa kuasa tubuhnya
lantas doyong ke depan- Secepat kilat Kongsun siang lantas susuli
pula dan ka li tutukan Hiat-to besar diantara tulang rusuknya.
"Blang" kontan dia terbanting roboh tak berkut ik.
Kongsun siang menyeringa i bangga, dia jemput pedangnya dan
dimasukkan keserangkanya, sekali ra ih dia jinjing tubuh Ji Siu-seng
palsu dan mengha mpiri Ling Kun-gi dengan langkah lebar. "Bluk" dia
banting tubuh Ji Siu-seng pa lsu ke tanah terus menjura, katanya:
"Syukurlah ha mba telah me nunaikan tugas."
Kun-gi manggut2, katanya: "Sudah kuduga Kongsun-heng pasti
berhasil me mbekuk musuh, maka sengaja kusediakan secawan arak
untuk menyuguh dan merayakan ke menangan Kongsun-heng."
"Terima kasih Cong-coh," ucap Kongsun Siang ia terima mangkuk
arak itu terus ditenggaknya habis.
"Marilah Song-heng dan Thio-heng," kata Kun-gi menoleh ke
sana, "marilah kita bersa ma2 minum beberapa mangkuk."
Heran Kongsun Siang, katanya: "Bukankah Cong-coh biasanya
tidak suka minum arak?"
"Betul, biasanya aku jarang minum arak. semangkuk saja
mungkin sudah mabuk, tapi mala m ini Cin-heng ini dengan susah
payah menyiapkan perja muan ini, hayolah jangan sia2kan maksud
baik-nya." Maka be-rama i2 mereka sama duduk di sekitar Ling Kun-
gi.
Song Tek-seng dan Thio La mjiang segera menghapus obat rias di
mukanya, sementara Ji Siu-seng mengisi arak ke da la m mangkuk.
Kun-gi duduk di tengah antara Cin Te-khong dan Ko-Ting-seng,
dengan enteng kedua tangannya bergerak, seperti mengulap saja
jari2 tangannya sudah membuka tutukan Hiat-to di tubuh orang.
Sedikit bergetar, Cin Te-khong dan Kho Ting-seng sa ma2 me mbuka
mata.
Lekas Cin Te-khong menggerakkan kedua tangan berusaha
bangun berduduk. tapi beberapa kali bergerak selalu gagal, ternyata
didapatinya kaki tangan terasa lunglai, ada Hiat-to yang masih
tertutuk, akhirnya dia menghela napas panjang, tapi sorot matanya
beringas, bentaknya: "orang she Ling, apa kehendakmu?"
"Cin-heng sudah siuman?" tanya Kun-gi tawar. "Bukankah tadi
kau bilang, kapan manusia hidup pernah mabuk. nah silakan minum
beberapa mangkuk ini."
"orang she Ling," desis C in Te-khong penuh marah, "jangan kau
ber-muka2 di depanku. Mau bunuh atau se mbelih boleh silakan,
jangan kira aku a kan mengerut kening."
Tegak alis Kongsun Siang, katanya dingin: "cin Te-khong, berani
kau kurang ajar, kau ingin kuiris sebuah kupingmu. "
Cin Te-khong me nggerung gusar, serunya: "Rahasiaku sudah
terbongkar, kecuali mati tiada urusan lain yang lebih besar lagi, kau
kira aku ini pengecut yang bernyali kecil? Apalagi umpa ma orang
she cin betul2 mati pasti juga ada orang akan me mbalas
dendamku."
Kun-gi angkat mangkuk araknya dan meneguk sekali, katanya
sambil menoleh: "Rahasia cin-heng sendiri sudah terbongkar,
me mangnya beberapa anak buahmu itu bisa berbuat apa?"
"Aku tida k punya anak buah," kata Cin Tek-hong ketus.
"Dua orang yang kau suruh menaruh a ir teh di ka marku,
bukankah mere ka anak buahmu?"
Berubah air muka Cin Te k-hong, dingin katanya: "Aku tidak tahu
apa katamu."
"Setelah kita puas makan minum dan pulang, Cin-heng akan tahu
duduk persoalannya."
Kongsun Siang heran, tanyanya: "Cong-coh bilang bahwa di
kapal kita masih ada komplotan mere ka?"
Ling Kun-gi tersenyum penuh arti, katanya: "Sudah tentu masih
ada, kalau mala m ini kita tidak me mbekuk Cin-heng, beberapa hari
lagi mungkin komplotan mereka akan berta mbah banyak lagi,
jabatan Cong-su-cia yang kududuki ini juga pasti harus kuserahkan
kepada Cin-heng ini."
Song Tek-seng menimbrung: "Benar Cong-coh, umpa ma mala m
ini bila rencana mereka berhasil baik, komplotan mereka akan
bertambah seorang lagi di atas kapa l kita."
Kun-gi tersenyum padanya, katanya: "Syukurlah kalau Song-heng
tahu, tapi tiga hari yang lalu waktu Song-heng pulang ronda, kau
pernah me mbawa pulang orang mere ka."
Song Tek-seng berjingkat kaget, tanyanya: "Hamba me mbawa
pulang orang mereka?" Lalu dia berpaling ke arah Kho Ting-seng:
"Apakah dia yang Cong-coh maksud?"
"Kho-heng ini ikut datang dari Hoa-keh-sanceng," ujar Kun-gi.
"O, Kho Ting-seng, kaukah yang mencelaka i jiwa Ho Siang-
seng?" teriak Song Tek-seng murka.
"Orang she Ling," dengus Cin Tek-hong, "agaknya kau sudah
tahu seluruhnya, tentu Li Hek-kau yang me mbeberkan se mua ini." Li
Hek-kau dan Ong Ma-cu adalah kedua kelasi disa mpan C in Te k-
hong.
Kun-gi me neguk araknya pula, katanya tertawa: "Apa yang
diketahui Li He k-kau dan Ong Ma-cu a mat terbatas, tanpa tanya
mereka a ku sudah tahu lebih banyak lagi."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Cin Tek-hong.
Sekali me ngebas tangan Ling Kun-gi bebaskan tutukan hiat-to di
lengan orang, lalu angsurkan se mangkuk padanya, katanya:
"Silakan minum Cin-heng."
Cin Tek-hong me mang setan arak, tanpa sungkan dia terima
mangkuk itu terus di tenggaknya habis, katanya sambil ber-kecap2:
"Kukira rencanaku hari ini cukup rahasia dan teliti, tak nyana
terbongkar juga oleh Cong-coh, terus terang aku me ngaku kalah,
cuma cara bagaimana Cong-coh bisa tahu?"
"Aku orang baru, semua masih serba asing, sudah tentu Cin-heng
sendiri yang me mberitahu padaku," ucap Kun-gi tertawa.
Terbeliak mata Cin Tek-hong, katanya keras: "Aku yang
me mberitahukan padamu?" Nadanya heran tak percaya dan
penasaran.
"Mala m ini aku ingin bicara blak2an dengan Cin-heng, untuk itu
terpaksa aku menyamar jadi Li He k-kau dan ikut ke mari, marilah
sambil habiskan arak kita mengobrol," lalu Kun-gi a mbil poci arak,
serta mengisi, mangkuk se mua orang.
Cin Tek-hong terkekeh, katanya: "Cong-coh mencekok aku
dengan arak untuk mengorek keteranganku??
"Segalanya sudah kuketahui, untuk apa minta keterangan
padamu. Tapi me mang ada beberapa persoalan ingin a ku minta
penjelasan Cin-heng, nanti setelah kukatakan, terserah Cin-heng
mau menjelaskan atau tidak, aku takkan me ma ksa."
Cin Tek-hong raih mangkuk araknya terus ditenggaknya,
katanya: "Baiklah, coba Cong-coh ka-takan, dalam hal apa aku telah
me mberitahukan Cong-coh."
Kun-gi angkat mangkuk arak se mbari berka-ta: "Silakan se mua
minum, tak usah sungkan."
Lalu berkata kepada Cin Tek-hong: "Mala m harinya setelah Cin-
heng diangkat menjadi Houhoat, kau mengira aku mabuk dan
tertidur pulas, maka kau guna kan Som-lo-ling berusaha
me mbunuhku secara gelap . . . . '
"Darimana Cong-coh tahu kalau itu perbuatanku?" tukas Cin Tek-
hong.
"Se mula me mang sukar kuraba dan bukan Cin-heng yang
kucuriga i, soalnya orang itu terlalu apal mengenai keadaan dan
seluk-beluk Hoa-keh-ceng, jadi jelas dia bukan orang luar,
sementara dua orang kita yang bertugas ditepi danau terpukul mat i
oleh getaran tenaga dala m dari aliran Lwekeh yang dahsyat, dari
keadaan kematian kedua orang ini dapat kusimpulkan mere ka
terpukul dala m jarak satu sampai dua tombak dengan getaran Bik-
khong-ciang, dan orang yang me miliki pukulan telapak tangan
sedahsyat itu dalam Pang kita hanya Coh-houhoat dan Cin-heng
berdua, sudah tentu Yu-houhoat sendiri juga me miliki kekuatan
yang seimbang, tapi dia ahli ilmu kepalan bukan pukulan telapak
tangan, perawakan Leng-heng kurus tinggi, jelas tidak cocok
dengan perawakan orang itu, oleh karena itu aku lebih cenderung
untuk mencurigai Cin-heng."
Cin Tek-hong tenggak beberapa teguk araknya, katanya
menyeringai: "Analisa Cong-coh sungguh teliti dan cermat, agaknya
aku me mang terlampau rendah menila imu."
Kun-gi melirik ke arah Kho Ting-seng, katanya: "Waktu aku
ke mbali, kebetulan kesamplok dengan Kho-heng, dia berjaga di
tenggara Hoa-keh-ceng, merupakan jalan satu2nya yang harus di-
lewati siapapun kalau pulang dari danau, kalau jejakku bisa
konangan dia, kenapa kedatangan Cin-heng tidak diketahui? Hal ini
sudah menimbulkan kecurigaanku, disamping itu dia berjuluk
Gintancu (si pe lor perak), seorang yang kesohor mengguna kan
senjata rahasia di kalangan Kangouw tentu me miliki kepanda ian
khusus yang betul2 lihay dan tinggi, tapi waktu dia menimpuk
diriku, tenaganya lemah dan sasaran kurang telak, kepandaian
rendah begini tak mungkin bisa kesohor dengan julukan Gintancu,
mau tak mau aku dipaksa untuk sedikit me mperhatikan dirinya,
maka kudapati pula wajahnya telah dirias, karena itu aku menarik
kesimpulan kalau dia mungkin sekongkol dan sekomplotan dengan
Cin-heng, orang ini terang adalah sa maran yang menyelundup ke
Pek-hoa-pang kita."
Berubah air muka Kho Ting-seng, tanyanya: "Jadi sejak mula
Cong-coh sudah tahu kalau wajahku ini riasan?"
"Wajah yang dirias mungkin bisa mengelabui orang lain, tapi tak
mungkin mengelabui kedua mataku. Te mpo hari waktu Nyo Keh-
cong dan Sim Kiansin ke mbali dengan terluka, akupun mendapatkan
wajah mereka juga riasan, hari kedua waktu rombongan Song-heng
pulang ronda, muka Ho Siang-seng juga telah dirias pula, oleh
karena itu dapat kusimpulkan, setiap kalian keluar bertugas dengan
cara bergilir satu persatu kalian me nculik orang kita lalu
menukarnya dengan seorang lain yang telah kalian rias mirip wajah
orang aslinya dan diselundupkan ke mari, bila kapa l kita tiba di He k-
liong-hwe, maka seluruh Houhoat dan Houhoat-su-cia telah kalian
ganti dengan begunda l kalian sendiri"
Cin Tek-hong menarik napas panjang, katanya lemas: "Inilah
yang dinamakan seka li salah langkah seluruh rencana porak-
poranda. Saudara Ling, me mang hebat kau!"
"O, pantas waktu mala m itu aku giliran tugas, Cong-coh pesan
wanti2 supaya aku berla ku hati2" kata Kongsun Siang.
"Ya, waktu itu aku kira sasaran berikutnya adalah kau, karena
sampan yang kau guna kan hari itu adalah sa mpan yang diguna kan
Sim Kian sin, tapi akhirnya kuketahui hanya kedua anak perahu
yang telah diganti," merandek sebentar la lu Kun-gi melanjutkan:
"Mala m itu dengan mengguna kan Som-lo-ling seseorang berusaha
me mbunuh Thay-siang, malah me mfitnahku pula dengan
menyelundupkan barang bukti ke ka marku . . . . . . ."
Me mang peristiwa itu tiada buntutnya, padahal barang bukti
sudah tergeledah dari kamar Ling Kun-gi dan dia sudah digusur ke
hadapan Thay-siang, kenyataan dia masih me mbawa Ih Thiankia m,
tanda kebesaran jabatannya sekarang, dia tetap menduduki Cong-
su-cia. Bagaimana kelanjutan dan akhir dari peristiwa itu? Sudah
tentu semua orang mengharap untuk mengetahui. .
Kini Ling Kun-gi menyinggung peristiwa mala m itu, ma ka
Kongsun Siang, Song Tek-song, Thio La m-jiang dan Ji Siu-seng
sama pasang kuping mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sampa ipun Cin Tek-hong, Kho Ting-seng tiruan juga terbelalak
menunggu cerita lanjutannya.
Kun-gi tersenyum, tuturnya: "Mala m itu juga, di antara para
Taycia kute mukan juga orang yang telah dirias."
Kongsun Siang tanya: "Ke12 Taycia semuanya mengenakan
kedok, cara bagaimana Cong-coh bisa tahu?"
"Karena kudapati salah seorang mereka mengunjuk aksi yang
mencurigakan, ma ka hal ini kulaporkan kepada Thay-siang, atas
persetujuan beliau kusuruh mereka mencopot kedok dan kutemukan
kepalsuannya."
Song Tek-seng tertawa riang, katanya: "Cong-coh telah
me mbe kuknya?"
"Orang ini berna ma Ci Gwat-ngo, salah seorang pimpinan orang2
Hek-liong-hwe yang dipenda m dala m Pe k-hoa-pang kita."
Berubah rona muka Cin Te k-khong, tanpa bersuara dia teguk lagi
araknya.
"Mala m itu juga berhasil kuringkus seorang dara kembang tiruan,
orang inilah yang biasa menjadi kurir antara Cin-heng dengan Ci
Gwat-ngo, mala m itu kusuruh dia mondar-mandir di de k tingkat
kedua sebelah kanan untuk me mberi kabar kepada Cin-heng."
"Kalau mereka sudah mengakui segala lakonnya, kenapa aku
tidak ditangkap pada wa ktu itu juga?" tanya Cin Tek-hong.
Kale m senyum Kun-gi, katanya: "Sepanjang perjalanan kapal kita
ini ka lian berusaha mengganti orang2 kita satu persatu, maka
kugunakan pula cara dan aka l yang sa ma untuk ba las menipu
kalian, sepanjang perjalanan akan kutangkap setiap orang utusan
kalian yang diselundupkan ke atas kapa l."
Cin Tek-hong a mbil mangkuk araknya dan ditenggaknya habis
pula, dengusnya: "Saudara me mang lihay, bukan saja jaringan
rahasia kami terbongkar seluruhnya, malah orange kita akan kau
jaring pula satu persatu sepanjang jalan ini, orang yang licik dan
licin seperti ini, mana boleh kubiarkan kau hidup." Tiba2 mangkuk
ditangannya mencelat, telapak tangan besinya secepat kilat
menekan ke dada Ling Kun-gi.
Cin Tek-hong duduk di sebelah kiri Kun-gi, pukulan ini sudah
sejak tadi dia siapkan, sebetulnya sudah bisa turun tangan sejak
tadi, tapi dia harus menunggu kesempatan. Dikala Kun-gi tida k
siaga baru akan menyerangnya secara mendadak dengan pukulan
me matikan. Seperti diketahui dia meyakinkan Hansi-ciang, pukulan
aliran sesat yang dingin beracun dan jahat sekali, sedikit hawa
dingin meresap ke badan dan cukup untuk menewaskan jiwa Ling
Kun-gi. Maka dapatlah dibayangkan bila pukulan telak ini dikerahkan
setaker kekuatannya.
Ketika Kun-gi habis bicara, tangan kanan angkat mangkuk
menghirup arak, baru saja arak masuk ke mulut, belum lagi
mangkuk arak diturunkan, sementara tangan kirinya lagi menje mput
telur asin, sudah tentu sedikitpun dia t idak siaga.
Sama se kali Kun-gi seperti tidak merasakan bahwa telapak
tangan Cin Tek-hong telah menganca m ulu hatinya, tiba2 ia
berpaling sa mbil berkata dengan tertawa kepada Cin Tek-hong:
"Kenapa Cin-heng hanya minum saja tanpa makan? Telur asin ini
enak rasanya." Karena menoleh, dengan sendirinya badan bagian
atas ikut bergerak hingga telapak tangan Cin Tek-hong yang
mengincar ulu hati menjadi nyasar beberapa senti. Gerak tangan
Ling Kun-gi kelihatan kale m dan tak acuh, dengan tepat dia jejalkan
telur asin itu ke telapak tangan Cin Te k-hong.
Telapak tangan Cin Tek-hong penuh kekuatan Hansi-ciang waktu
tangannya hampir mengena i ulu hati lawan, dia m2 ia telah bersorak
girang, tak nyana mendadak terasa adanya benda bulat licin
menahan telapa k tangannya. Benda itu je las adalah telur, ma ka
pukulan telapak tangan yang terjulur ke luar itu menjadi mati kutu
dan berhenti begitu saja karena tertahan oleh telur asin.
Kiranya dari telur asin ini terasa olehnya adanya tenaga besar
yang lunak tak kelihatan menyetop tenaga pukulannya sehingga
Hansi-ciang yang telah terpusat ditelapak tangannya menjadi macet.
Baru sekarang Song Tek-seng, Thio La m-jiang yang duduk di
sekitarnya melihat Cin Tek-hong me mbokong, karena mereka duduk
di depan dari jarak agak jauh, mereka t idak se mpat mencegah,
hanya mulut saja yang berseru kaget.
Tapi Kongsun Siang menggerung gusar, hardiknya dengan alis
berkerut: "Orang she Cin, kau ingin ma mpus!" Serta merta
tangannya terayun, "plak", pundak kiri orang telah dipukulnya,
badan Cin Te k-hong sa mpa i mence lat beberapa kaki jauhnya.
Ling Kun-gi hanya tertawa tawar padanya, katanya: "Sebetulnya
Kongsun-heng tidak perlu turun tangan, me mangnya Hansi-ciang
bisa melukai aku? Ka lau tidak tentu takkan kubebaskan hiat-to
dilengannya." Sembari bicara dia berdiri, sambungnya: "Sebetulnya
ingin aku me maksanya tahu diri dan mundur teratur dan jiwanya
dapat diselamatkan, tapi pukulan Kongsun-heng ini telah me mbikin
hawa murninya nyasar dan buyar!"
Mendengar keterangan Ling Kunggi ini, serta merta pandangan
semua orang tertuju ke arah Cin Tek-khong, me mang wajah Cin
Tek-hong ta mpak pucat, rebah celentang kaku tak bergerak,
ternyata semaput.
Heran Kongsun Siang, katanya: "Melihat dia me mbokong Cong-
coh, tanpa pikir akupun menyerangnya, pukulanku hanya pakai lima
bagian tenaga, kenapa dia terluka separah itu?"
Kun-gi mengha mpiri Cin Tek-hong dan me meriksa tubuh orang,
dia bebaskan Hiat-to orang yang tertutuk lalu direbahkan mendatar,
katanya:
"Kecuali Hiat-to lengan kanannya yang sudah bebas, yang lain
tetap buntu, untuk mela kukan pe mbokongan, sejak tadi dia sudah
menghimpun kekuatan pada telapak tangan kanan, karena ditahan
oleh telur asinku tadi, kalau mau merenggut jiwanya, cukup
kugunakan tenaga keras dan menggetar putus urat nadinya tentu
dia mati seketika, tapi aku hanya tahan tenaga di telapak tangan
supaya tidak terlontar keluar, tujuanku supaya dia tahu diri dan
mundur teratur."
Belum habis dia bicara, terlihat Cin Tek-hong sudah siuman,
tampak kulit mukanya ber-kerut2 dibasahi butiran keringat dingin
sebesar kacang, matanya mende lik, suaranya gemetar: "Saudara
Ling, keji . . . . keji betul cara mu . . . ."
Dengan tersenyum Kun-gi berkata: "'Hawa murninya
menyungsang ba lik, Hiat-to yang tertutuk sudah kubebaskan,
rebahlah dulu dan jangan bergerak, akan kubantu kau mengerahkan
tenaga mengemba likan hawa murni ke tempat asalnya." Lalu dia
berkata kepada Kongsun Siang: "Ada tiga Hiat-to kaki tangannya
masih tertutuk, hanya tangan kanannya yang mengerahkan tenaga,
pukulannya kena kubendung lagi sehingga tak ma mpu dilontarkan,
maka pukulanmu itu walau hanya setengah2 saja, tapi lantaran
gempuran tenaga dari luar inilah sehingga hawa murninya menjadi
buyar dan jatuh semaput."
Kongsun Siang kagum sekali, katanya: "Uraian Cong-coh
me mang betul, jadi akulah yang gegabah, tapi Cin Tek-hong sudah
terbukti adalah mata2 Hek-liong-hwe, umpa ma dia ma mpus juga
setimpal dengan perbuatan jahatnya, kenapa Cong-coh malah a kan
me mbantunya?"
"Dia sudah tertawan hidup2, maka tak boleh kita
menganiayanya, mati atau hidup biarlah Thay-siang yang
menjatuhkan hukuman padanya, oleh karena itu a ku harus bantu
dia me mulihkan kesehatan."
Kongsun Siang masih ingin bicara, tapi. dilihatnya Kun-gi
me mberi kedipan mata padanya, segera dia mengerti, maka katanya
manggut2 "Ucapan Cong-coh me mang betul."
Sudah tentu Cin Tek-hong ma klum, hawa murni da la m tubuhnya
yang nyungsang dan buyar kalau tidak secepatnya dihimpun
ke mbali tentu dirinya akan menga la mi "Cap-hwejip-mo" atau
menga la mi kelumpuhan total, itu berarti masa depan kehidupannya
akan sura m dan tiada artinya lagi. Maka cepat dia merangka k
berduduk dan merangkap kedua tangan mulai se madi.
Tangan kiri Kun-gi segera menekan Pe k-hwehiat di kepalanya,
katanya: " Bersiaplah saudara Cin." Sejalur hawa murni panas
pelan2 mere mbas ke Pek-hwehiat melalui telapak tangannya. Terasa
oleh Cin Tek-hong hawa panas ber-gulung2 mulai mengalir ke
sekujur badan.
Kira2 satu ja m ke mudian, terdengar Kun-gi menghela napas serta
menarik tangan, katanya: "Cukuplah, sekarang Cin-heng bisa
mengerahkan tenaga keseluruh tubuh."
"Cong-coh," tanya Song Tek-seng, "apakah kita tidak segera
pulang?"
Kun-gi mendongak lihat cuaca, katanya: "Sekarang baru
kentongan ketiga, dari sini kita bisa mengawasi putuhan li se kitar
perairan sini, menjelang fajar baru saatnya ganti piket, lebih baik
kita istirahat saja di sini, untuk apa pulang pagi2?" Lalu ia ambil
mangkuk dan menengga k arak pula.
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thio La m-jiang juga jagoan
minum, mendengar anjuran Kun-gi, tanpa sungkan mereka lantas
minum sepuasnya.
Setelah hawa murni kumpul ke mbali Cin Tek-hong merasakan
kesehatan telah pulih ke mbali, segera dia berdiri mengha mpiri Kun-
gi, sikapnya hormat dan patuh, katanya menjura: "Berkat
pertolongan Cong-coh jiwa orang she Cin selamat, sungguh tak
terhingga rasa terima kasihku."
Kun-gi menoleh, katanya: "Cin-heng sudah pulih ke mbali, marilah
duduk minum arak."
"Cong-coh," kata Cin Tek-hong, "kenapa tidak kau tutuk Hiat-
toku?"
Kun-gi berkata: "Apakah Cin-heng yakin dapat melarikan diri?"
Sungguh2 sikap Cin Te k-hong dan katanya: 'Di depan Cong-coh
me mang orang she Cin takkan ma mpu meloloskan diri."
"Kalau begitu, silakan C in-heng duduk dan menghabiskan
semangkuk arak ini."
Cin Tek-hong segera duduk kcrnbali ke tempatnya se mula.
Setelah menghabiskan semangkuk arak Cin Tek-hong comot sekerat
daging terus dijejalkan ke mulut, katanya sambil angkat kepala:
"Cong coh tadi bilang ada persoalan yang ingin di tanyakan padaku,
entah persoalan apa?"
"Aku hanya ingin tanya sedikit keadaan Hek-liong-hwe, kalau Cin-
heng ada kesulitan, tidak usah-lah kau jelaskan."
Melirik sekejap ke arah Kho Ting-seng baru Cin Tek-hong
berkata: "Rahasia perkumpulan ka mi dilarang bocor sesuai
peratutan, bagi yang me mbocorkan mendapat hukuman mati, tapi
jiwa orang she Cin tadi ditolong Cong-coh, soal apa yang ingin
Cong-coh tanyakan, asalkan tahu pasti kuje laskan."
"Me mangnya Cin-heng sudah tidak ingin ke mba li?" timbrung Kho
Ting-seng.
Song Tek-seng duduk di sebelahnya, hardiknya: "Tutup
bacotmu!"
Tenggak se mangkuk arak pula baru Cin Te k-hong berkata
kepada Kho Ting-seng dengan tertawa: "Kita sudah terjatuh ke
tangan orang2 Pek-hoa-pang, kau masih ingin ke mbali?"
Kho Ting-seng dia m saja.
"Tiada maksudku untuk mengorek rahasia Hek-liong-hwe secara
berlebihan, soalnya ada dua temanku yang terjatuh di tangan
orange Hek-liong-hwe, maka aku hanya ingin tahu keadaan Hek-
liong-hwe selayang pandang saja, umpamanya di mana letak
markas Hek liong-hwe? Siapa pe mimpinnya? Di mana mere ka
menyekap para tawanan? Apakah Cin-heng dapat menjelaskan?"
Rupanya inilah tujuan Kun-gi mencekok arak pada Cin Tek-hong
serta menyembuhkan luka2nya.
Kata Cin Tek-hong: "Hek-liong-hwe dibagi jadi dua seksi, yaitu
seksi luar dan seksi dala m, aku di bawah Ui-liong-tong, tugasku di
luar, maka keadaan dalam Hek-liong-hwe sebenarnya sedikit sekali
yang kuketahui "
"Di mana letak He k-liong-hwe, tentunya kau tahu?" tanya Kun-gi.
"Aku hanya tahu Ui-liong-tong ka mi didirikan dibelakang gunung
Kunlun diatas Ui-lionggia m."
"Kunlunsan di Shoatang ma ksudmu?" Kun-gi menegas. "Lalu
siapa pe mimpinmu?"
"Kalau kukatakan mungkin Cong-coh t idak percaya, walau sudah
tiga tahunan aku menjadi anggota Ui-liong-tong, tapi hanya sekali
pernah kulihat Hwecu ka mi, hakikatnya tiada yang tahu siapa dia
sebenarnya?"
"Dia tidak punya she dan na ma?'`
"Se mua orang hanya me manggilnya Hwecu, entah siapa
namanya."
"Cong-coh," sela Kongsun Siang dengan nada sinis, "tiga tahun
jadi anggota, tapi siapa na ma pe mimpinnya tidak tahu, apakah kau
percaya ?"
"Kenyataan me mang de mikian, buat apa aku me mbual?" Cin Tek-
khong me mbela diri, "kau Kongsunhouhoat sudah setahun menjadi
Houhoat-su-cia, tahukah na ma dan she Thay-siang?"
"Bukankah Cin-heng pernah me lihatnya sekali?" sela Kun-gi.
"Ya, aku hanya melihat seraut wajah hitam dengan jambang
legam, seorang laki2 tua kekar yang berjubah hita m pula, tapi
terasa olehku bahwa mukanya itu bukan wajah aslinya."
"Cin-heng di bawah perintah Ui-liong-tong, tugas bagian luar, lalu
bagaimana bagian da la m?"
"Hwi liong dan Ui-liong termasuk seksi luar, hanya Ceng-liong-
tong bertugas bagian dala m."
"Apa bedanya seksi luar dan seksi da la m?"
"Ceng-liong-tong berkuasa atas segala rahasia Hek liong-hwe,
anak buahnya semua perempuan, dinama kan seksi da la m dan
merupakan seksi yang paling berkuasa dari seksi lainnya. Hwi-liong
dan Ui-liong dikhususkan mengerjakan tugas luar, sedang Hwi-liong
juga boleh dina makan Hou hoat-tong, anggotanya terdiri dari jago2
kelas wahid, hari2 biasa tiada tugas rutin bagi mereka, jarang pula
beraksi, bila orang2 Ui-liong-tong yang menjalankan tugas di luar
menghadapi kesukaran, orang2 Hwi-liong-tong yang akan memberi
bantuan."
"Di mana Hwi-liong-tong didirikan?" tanya Kun-gi.
"Entah aku tidak tahu, tapi bila orang2 Ui-liong-tong menghadapi
bahaya, entah di mana saja, bila menge luarkan tanda bahaya maka
dari jauh atau dekat orang2 Hwi-liong-tong pasti akan segera
datang me mberi bantuan, oleh karena itu tiada orang tahu di mana
sebenarnya Hwi-liong-tong didirikan."
"Sunggub He k-liong-hwe yang serba rahasia dan misterius." ucap
Kun-gi la lu tanyanya pula: "Lalu Ui-liong-tong?"
"Tugas Ui-liong-tong menghadapi persoalan luar, anggotanya
scluruhnya laki2, terdiri orang2 dari golongan hita m atau putih, bila
dia seorang persilatan dan ada seorang perantara, siapapun boleh di
terima me njadi anggota.."
Mendadak Kun-gi bertanya: 'Jadi Ci Gwat-ngo orangnya Ceng
liong-tong?"
"Ya, dia utusan Cui-tongcu, ka mi se mua di bawah perintahnya.".
"Tak heran setelah Ci Gwat-ngo suruh Bi Kui menya mpaikan
berita mana, dia gigit putus lidah dan bunuh diri, ternyata dia takut
me mbocorkan rahasia Hek-liong-hwe," demikian batin Kun-gi, lalu
katanya sambil menepekur: "Jadi Cin-heng juga tidak tahu di mana
mereka menyekap para tawanan?"
"Tergantung kedua teman Cong-coh itu ditawan oleh seksi mana,
kalau ditangkap orang2 Ui-liong-tong, pasti dikurung di Ui-
lionggia m. Kalau dibe kuk orang2 Hwi-liong- tong atau Ceng-liong-
tong, tak bisa aku me nerangkan," ke mudian ia berkata pula:
"Sebelum aku diselundupkan ke Pek-hoa-pang pernah bertugas
cukup la ma di Ui-liong-tong, ada kalanya Cui-tongcu mengutus
orang menya mpaikan perintah, dari cara mereka pergi datang
leluasa dan lancar, kukira jaraknya tidak terlalu jauh, pernah aku
dia m2 me mperhatikan, 10-an li di se kitar Ui-lionggia m me mang
tidak ke lihatan adanya bayangan, Ceng-liong-tong."
Kembali Kun-gi me mbatin: "Gadis cilik yang menyaru jadi Cu-cu
katanya semula adalah pelayan pribadi Cui-tongcu, tentunya dia
tahu di mana letak sebenarnya Ceng-liong tong itu" ia angkat
mangkuk dan meneguk arak, lalu tanyanya: "Apa jabatan Cin-heng
di dala m Ui-liong-tong?"
"Dala m Ui-liong-tong kecuali Tongcu yang berkuasa penuh, di
bawahnya terbagi dua tingkat pula, yaitu Sincu dan Kia m-su, aku
menjadi anggota Sincu."
"Lalu di antara orang kalian sendiri, me maka i kode rahasia apa?"
Cin Tek-hong sudah terlalu banyak tenggak arak, keadaannya
sudah setengah sinting, ia menaruh mangkuk araknya, dari sanggul
kepalanya ia menga mbil sebuah benda, telapak tangannya di buka,
dia berkata: "Biarlah ma la m ini kubeber segalanya kepada Cong-
coh, kode rahasia kami menggunakan benda ini," Di tengah telapak
tangannya menggelinding kian ke mari sebutir mutiara sebesar
kacang tanah, mutiara ini berlubang tengahnya dan disunduk seutas
benang kuning.
Betapa tajam mata Kun-gi, sekilas pandang di lihatnya mutiara
yang kemilau itu ada terukir sebuah huruf "Ling" atau firman, tanpa
terasa mulutnya ber-suara kaget : "Cincu ling!"
"Ternyata Cong-coh sudah tahu," ujar Cin Tek-hong.
"Aku juga punya sebutir, silakan Cin-heng me lihatnya juga," ucap
Kun-gi, dari kantong bajunya dia merogoh keluar sebutir mutiara
pula.
Cin Tek-hong menyipit mata menga mati penuh perhatian,
katanya tertawa: "Inilah tanda peringatan berasal dari Hek-liong-
hwe, jadi Cong-coh me mang sejak mula menyelidiki Hek-liong-
hwe?"
"Sa ma2 CinCu-ling, entah apa bedanya?" tanya Kun-gi.
"Dala m Hek-liong-hwe ka mi hanya anggota yang berkedudukan
lebih tinggi dari Sin cu boleh menggunakan CinCu-ling ini, para
Sincu me maka i mutiara sebesar kacang tanah, kalau mutiara seperti
yang ada di tangan Cong-coh besarnya seperti buah kelengkeng
seharusnya milik Tongcu, dan lagi benang sunduknya juga
berlainan, Ceng-liong-tong pakai benang hijau, Hwi-liong-tong paka i
benang merah, untuk Ui-liong-tong me ma kai benang kuning, hanya
Hwecu saja yang mema kai benang emas. Benang mutiara milik
Cong coh ini bewarna kuning e mas, pertanda yang mewakili Hwe
kami, Cuma mutiara milik Hwe ka mi adalah mutiara asli, hanya
tanda2 kebesaran, diperuntukan pihak luar diguna kan mutiara
tiruan, sekali pandang orang akan bisa me mbedakan."
"Ternyata masih sebanyak itu perbedaannya," ucap Kun-gi.
"Malah masih ada lagi," Cin Tek-hong ngoceh sendiri, "bagi ka mi
orang2 yang bertugas di luar, huruf 'Ling' yang terukir di mutiara ini
menggunakan goresan tunggal, sebaliknya ukiran huruf 'Ling' pada
mut iara yang dipaka i orang2 seksi dala m menggunakan goresan
dobel."
Tergerak hati Kun-gi, pikirnya: "Leliong-cu warisan keluargaku itu
juga diukir dengan goresan dobel, me mangnya Hek-liong-hwe ada
hubungannya dengan diriku?" Terpikir olehnya Hwi-liong-sam-kia m
warisan keluarganya kenyataan menjadi Tinpang-sa m-kia m Pe k-
hoa-pang, kini diketahuinya pula bahwa Leliong-cu warisan
keluarganya juga ada sangkut pautnya dengan Hek-liong-hwe.
Kalau dikatakan kebetulan, masakah kedua persoalan bisa terjadi
secara kebetulan, terang terlalu jauh untuk dapat dipercaya.
Sekejap ini pikirannya jadi gundah dan resah, tanpa mengisi
mangkuknya langsung dia angkat poci terus tuang arak ke dala m
mulut.
Kongsun Siang juga tidak sedikit minum arak, keadaannya sudah
seperempat mabuk, le kas dia ber-kata: "Song-heng, Thio-heng dan
Ji-heng, mari kita iringi se mangkuk pula dengan cong-coh."
Sembari berkata dia m2 dia me mberi tanda kepada tiga te mannya
ini. Maksudnya bahwa Ling Kun-gi sudah takkan kuat minum lagi,
sisa arak tidak banyak lagi, marilah kita bagi rata dan minum
bersama sa mpai habis.
Song Tek-seng, Thio La m-jiang dan Ji Siu-seng tahu maksud
Kongsun Siang, lekas Ji Siu-song angkat guci arak terus tuang
ke mangkuk se mua orang, lalu me nenggaknya bersama.
"Ji-heng," kata Cin Tek-hong, "sisanya biar kuhabiskan saja." Dia
angkat poci itu serta tuang sisa isinya ke mulut sendiri.
Kun-gi tertawa, katanya tersenyum: "Kalian kuatir a ku mabuk?"
Belum lenyap suaranya, mendadak Cin Tek-hong menjerit sekali,
badannya mengejang terus terkapar roboh ke belakang. Kejadian
amat di luar dugaan, keruan orang2 yang duduk berkeliling ini sa ma
kaget, Gerakan Kun-gi pa ling sigap, cepat dia melompat bangun
serta memapah Cin Tek-hong, sementara jari kanan menekan Bing-
bunhiat orang, teriaknya gugup: "Cin-heng, kenapa kau?"
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thio La m-jiang dan Ji Siu-seng
berempat me lompat berdiri, Kong-sun Siang berbisik apa2 pada tiga
orang lainnya, Song Tek-seng manggut2 terus berpencar siap siaga.
Pada saat itulah mendadak Kun-gi me mbentak sa mbil berpaling:
"Siapa itu di dala m hutan?"
"Lohu!" se iring dengan suaranya dari hutan melangkah keluar
seorang kakek kurus yang menggelung kuncir ra mbutnya di atas
kepala.
Kakek ini mengena kan baju biru, celana kencang terikat bagian
bawahnya, tangan kiri me mbawa pipa cangklong sepanjang satu
setengah kaki, roman mukanya kaku ke labu, dalam kegelapan, bola
matanyapun tampa k berwarna kelabu bersinar ke milau.
Karena me mperoleh saluran hawa murni dari Ling Kun-gi,
sementara itu pelan2 Cin Tek-hong sudah me mbuka mata. seketika
ia terbelalak waktu me lihat kakek kurus ini, bibirnya bergetar,
suaranya merinding serak: "Hwi . . . . . liong. . . . . liong . . . . . "
agaknya sebisanya dia sudah kerahkan setakar tenaganya untuk
berucap ketiga patah kata ini, tapi akhirnya suaranya semakin
le mah, pelan2 kelopak matanya tertutup, darah kental hita m
seketika mele leh keluar dari mulutnya, agaknya dia tertimpuk
semaca m senjata rahasia kecil, racun telah merenggut jiwanya.
Kun-gi me lepaskan tangannya, seraya berdiri tanyanya menatap
kakek kurus: "Apakah tuan dari Hwi-liong-tong?"
Kata kakeh muka ke labu: "Lohu malah sudah tahu kau ini Cong
su-cia yang baru da la m Pek-hoa-pang, betul tidak?"
"Betul, Cayhe Ling Kun-gi, sebutkan na ma tuan."
"Lohu Nao Sa m-jun," jawab si ka kek.
Ling Kun-gi t idak tahu Kim-kau-cian Nao Sa m-jun ini adalah Hwi-
liong-tong Tongcu, tanyanya: "Apa maksud kedatangan tuan?"
Sambil mengelus jenggot ka mbing yang sudah ubanan, Nao
Sam-jun terkekeh, katanya: "Ada tiga tugas Lohu kemari, pertama
me mbunuh anggota yang murtad dan menolong orang yang
tertawan."
"Hanya dua yang kau sebutkan."
"Betul, dan yang ketiga kami mohon Ling-cong-sucia suka
meringankan langkah ikut pergi ber-sa ma Lohu."
"Ke mana tuan hendak me ngajakku?'' tanya Kun-gi.
'Sudah tentu ma mpir ke markas ka mi, kalau t idak ingin
mengundang Ling-lote buat apa Lohu meluruk ke mari," nadanya
congkak dan sombong.
Kun-gi tatap orang lekat2, katanya: "Sepongah ini tuan bicara,
me mangnya kau inikah Hwi-liong- tong Tongcu?"
"Betul, Lohu me mang Hwi-liong-tongcu, Ling-lote mau ikut Lohu
bukan?"
"Sungguh sangat beruntung dapat bertemu di sini, maksud
Cayhe malah sebaliknya, bagaimana ka lau Nao-tongcu saja yang
ma mpir ke kapa l ka mi?"
Berkedip bola mata Nao Sa m-jun yang kelabu dingin, mendadak
dia ter-bahak2, katanya: "Ling-lote, kesempatanmu sudah tiada
lagi."
"Jago2 kosen2 Hwi-liong tong me mang banyak, tentunya tidak
sedikit jago2 yang mengiringimu."
"Ling-lote me mang pandai menebak, Lohu me mang bawa Cap ji-
sing- siok (dua belas bintang kelahiran), mereka sudah tersebar di
sekeliling sini, umpa ma satu lawan satu belum tentu ka lian bisa
menang, paling2 sa ma kuat, tapi keadaan sekarang berbeda, kalian
harus satu melawan tiga, belum lagi terhitung Lohu, bagaimanapun
juga kalian tak ada kese mpatan untuk menang."
Di sini dia bicara, tahu2 tanah lapang berumput ini sudah
terkepung oleh 12 orang berpaka ian serba aneh.
"Tuan siap perintahkan mereka turun tangan?" jengek Kun-gi
dengan tersenyum.
Nao Sam-jun menyeringai, katanya: "Sudah tentu Lohu tidak
ingin bergebrak dengan kalian supaya tidak merusak persahabatan,
sebab sebelum Lohu ke mari Hwecu ada pesan . . . . " mendadak dia
tutup mulut. meski kata2nya tidak dilanjutkan, tapi ke mana
juntrungnya sudah bisa ditangkap:
"Apa kata Hwecu kalian?" desak Ling Kun-gi.
"Hwecu sudah dengar, katanya Ling-lote telah berhasil
menawarkan getah beracun itu?"
"Benar," ucap Kun-gi singkat .
Berkelebat cahaya di wajah Nao Sa m-jun yang kelabu itu,
suaranya berat: "Oleh karena itu beliau suruh Lohu ke mari untuk
mengundangmu, kalau Pek-hoa-pang bisa me mberi jabatan Cong-
su-cia, Hwe kita juga bisa me mberi jabatan Cong-houhoat
kepadamu."
Tawar tawa Kun-gi, katanya: "Wah, Cayhe menjadi tertarik
rasanya."
"Me mangnya, asal Ling-tote telah betul2 dapat menawarkan
getah beracun, Hwe kita tidak akan kikir, betapapun besar
pengorbanan yang harus dipertaruhkan, pasti akan
mengundangmu."
Dia m2 Kun-gi merasa heran, pikirnya: "Pek-hoa-pang me mang
bermusuhan dengan Hek-liong-hwe, setiap macam senjata dan
senjata rahasia orang2 Hek-liong-hwe dilumuri racun getah, adalah
jamak dan dapat dima klumi kalau Pek-hoa-pang begitu getol
me mperoleh obat penawarnya, bahwa Hek-liong-hwe sendiri juga
ingin me miliki obat pena-warnya, entah apa pula gunanya? Ya,
waktu Coat Sinsanceng me nculik Tong Thianjong, Un It-hong, Lok-
san Taysu dan Cu Bunhoa, bukankah tujuannya juga untuk
menciptakan obat penawar getah beracun itu." Segera ia bertanya:
"Getah beracun kan milik ka lian, me mangnya kalian tida k punya
obat penawarnya?"
"Untuk ini Ling-lote tidak usah urus," jenge k Nao Sa m-jun.
"Kalau Nao-tongcu tidak mau je laskan, bagaimana Cayhe harus
percaya padamu?" ejek Ling Kun-gi.
"Setelah Ling-lote berhadapan dengan Hwecu, segalanya akan
kau ketahui."
"Nao-tongcu bicara seenak sendiri, seakan2 aku harus ikut kau
pergi begitu saja."
"Ya, me mang Ling-lote harus pergi bersamaku," tandas
perkataan Nao Sa m-jun.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Kalau Cayhe tidak mau pergi?"
Mengelus jenggot, tambah kela m rona muka Nao Sa m-jun,
katanya dengan menyeringai: "Ka-lian berlima sudah berada
digengga manku, mau pergi atau tidak kau tida k kuasa menentukan
pilihanmu, cuma perlu Lohu peringatkan, sukalah Ling-lote
pertimbangkan dulu dengan masak."
"Peringatan apa coba katakan, aku ingin dengar."
Nao Sam-jun menyapu pandang ke muka Kongsun Siang
berempat, lalu katanya sinis: "Kalau Ling-lote dan saudara2 ini ma u
ikut Lohu. itulah paling baik, kalau menola k dan melawan malah,
tujuan pertama Lohu ke mari kecuali harus menawan Ling-lote
hidup2, e mpat orarg yang la in, hehe . . . . "
Kongsun Siang jadi murka, teriaknya: "Katakan saja terus
terang:"
Nao Sam-jun melirik tak acuh, dengusnya: "Tumpas seluruhnya
dan habis perkara."
Berdiri alis Kongsun Siang, sa mbil me nengadah dia ter-bahak2,
katanya: "Tumpas habis? Suruhlah mereka maju, boleh coba apa kah
pedang di tangan Kongsun Siang ini taja m atau tumpul."
Song Tek-seng, Thio Lam-jiang dan Ji Siu-seng juga naik pitam,
mereka melotot kepada Nao Sa m-jun, tangan sudah siap me me gang
gagang pedang. Sebaliknya Nao Sa m-jun seperti jijik meski hanya
me lirik kepada mereka, dingin suaranya: "Ling-lote, sudah kau
pertimbangkan?"
Cin Tek-hong tadi sudah bilang bahwa anak buah Hwi-liong-pang
semua tergolong jago2 kosen, melihat situasi sekarang dan sikap
Nao Sam-jun yang begitu yakin pula, mau tak mau Kun-gi merasa
was2, Cap-ji-sing-siok yang dibawa orang tentu hebat dan lihay
sekali. Tapi dia tetap tersenyum simpul, sikapnya tenang dan wajar,
katanya kalem; "Cayhe juga, sudah me mikirkan suatu ha l . . . . .."
"Hal apa?" tanya Nao Sa m-jun.
"Tadi Cayhe me mbekuk seorang Sincu dari perkumpulan ka lian,
jiwanya sudah melayang di tanganmu sendiri, kalau pulang nant i
Cayhe jadi kebingungan cara bagaimana me mberikan
pertanggungan jawab kepada Pangcu, tapi tuan adalah Hwi-liong-
tongcu, kedudukanmu jauh lebih tinggi daripada Sincu, kebetulan
kalau kuringkus kau hidup2, kini yang me mbuatku bimbang adalah
apakah Cap-ji-sing-siok yang kau bawa ini harus dibabat habis atau
ditawan semua . . . . . . . "
Kengsun Siang ter-gelak2, katanya: "Cong coh tidak perlu pusing,
me mbe kuk seorang Tongcu sudah jauh lebih cukup, sisa yang lain
sudah tentu babat saja sampai habis."
Song Tek-seng ikut menimbrung: "Betul, Cong-coh tangkap saja
Nao tongcu ini, yang lain serahkan kepada ka mi untuk
me mbereskannya." Di tengah kata2nya terdengarlah suara
berdering, Kong-sun Siang, Song Tek-seng, Thio La m-jiang dan J i
Siu-seng sa ma me lolos pedang.
Mengernyit dahi Nao Sa m-jun, katanya: "Bila Cap-ji sing-s iok
yang kupimpin ini sega mpang itu untuk me numpasnya tentu mereka
takkan berguna dalam Hwi-liong-tong, kalau Ling-lote tidak percaya,
boleh kau suruh seorang maju mencobanya."
Sebelum Kun-gi buka mulut, Kongsun Siang telah menyela:
"Cong-coh, biar ha mba me nghadapi mere ka."
Nao Sam-jun tertawa angkuh, tangannya menggapai ke atas.
Mungkin itu tanda gerakan mereka, 12 orang yang semula berdiri
beberapa tombak di kejauhan sana serempak bergerak maju
menge lilingi tanah lapang.
Dari dekat Ling Kun-gi dan lain2 dapat melihat je las, kiranya
mereka mengenakan kerudung kepa la warna hitam, seragamnya
ketat kencang warna hita m mengkilap, bahan bajunya agaknya
teramat tebal, sekujur badan serba lega m, hanya kelihatan kedua
biji matanya saja.
Melihat dandanan mereka yang aneh dan lucu, diam2 Kun-gi
me mbatin: "Cap ji-sing-siok berpa-kaian seaneh ini, terang bukan
gertakan belaka untuk menakuti orang, bisa jadi mere ka
meyakinkan se maca m ilmu gabungan yang aneh dari a liran sesat"
Cepat Kun-gi berpaling ke arah Kongsun Siang, katanya: "Kau harus
hati2."
"Ha mba tahu," sahut Kongsun Siang.
Sambil menenteng pedang Kongsun Siang me mapa k maju,
hardiknya: "Kalian siapa yang maju, hayolah bertanding denganku."
Nao Sam-jua mendangus: "Sebelum ajal tentu kau takkan
kapok." Segera ia menuding orang di ujung kanan.
Laki2 baju hita m yang dituding segera melesat ke depan
menubruk Kongsun Siang. Gerak-gerik orang ini aneh cekatan,
tanpa bicara, jari2 kedua tangannya yang tertekuk seperti cakar
segera mencengkera m.
Kongsun Siang meyakinkan Thianlong-kia m-hoat dan Long-hing-
poh, begitu badan bagian atas doyong ke depan, tahu2 ia
berkelebat ke sa mping baju hita m, mulutpun me mbentak: "Lihat
pedang!" Sinar pedang berkelebat, tahu2 ujung pedang sudah
menusuk ke bawah rusuk si baju hita m.
Tanpa berkelit dan menghindar si baju, hitam malah me mbalik
badan, kelima jarinya terpentang mencengkeram perge langan
tangan Kongsun Siang yang me megang pedang.
Sigap dan cepat gerak serangan Kongsun Siang. "Trang",
pedangnya dengan telak menusuk rusuk kanan si baju hita m, tapi
terasa ujung pedangnya seperti menusuk batu yang keras sekali.
Entah terbuat dari bahan apa pakain orang ini? ternyata tidak
me mpan senjata, padahal pedang Kongsun Siang terbuat dari baja
pilihan, ternyata tak ma mpu me lubangi badan lawan.
Baru saja mencelos hati Kongsun Siang, tampak sedikit
menggerakkan badan, kelima jari lawan tahu2 sudah mengincar
pergelangan tangannya, sekilas dilihatnya kuku jari lawan berwarna
hitam mengkilap, jelas dilumuri racun jahat.
Kaget dan gusar Kongsun Siang, le kas ia berkisar ke sa mping dan
sekali berkelebat dia me mutar ke bela kang lawan. "Sret", ke mbali
pedangnya menusuk.
Walau mengenakan paka ian yang kebal senjata, tapi gerak gerik
orang berbaju hitam ternyata lincah sekali, mengiringi gerakan
Kongsun siang, iapun sudah putar tubuh dan ganti posisi, tangan
ter-ayun dan segera menabas.
Pukulannya ternyata menerbitkan sa mbaran angin keras, malah
terasa sambaran angin pukulan ini berbau busuk a mis.
Guru Kongsun Siang, yaitu Lo long-sin merupa kan ge mbong
aliran "liar", setiap hari dia mendidik muridnya secara keras, sudah
tentu iapun ceritakan segala persoalan Bu-lim pada muridnya
termasuk segala maca m ilmu silat yang aneh2.
Begitu mencium bau bacin dan a mis dari angin pukulan lawan,
tergerak hati Kongsun Siang, pikirnya: "Agaknya mereka sa ma
meyakinkan Ngo-tok-ciang (pukulan lima bisa)." Maka dia tida k
berani menandangi secara keras, badan menubruk kedepan, segesit
belut tahu2 dia terjang ke sebelah kiri, pedang menusuk bagian
belakang musuh ma lah.
Dua ka li menubruk te mpat kosong, tiba2 orang baju hita m bersiul
rendah, kedua tangan menari naik turun lebih kencang dibarengi
tubruk dari terjang.
Kongsun Siang ke mbangkan langkah bentuk seriga la, kelit ke
timur menghindar ke barat, dengan kelincahannya dia menandingi
lawannya, tapi kenyataan dia sudah lebih banyak bertahan daripada
balas menyerang. Maklumlah, pakaian musuh kebal senjata, sia2lah
serangan dan tusukan pedangnya, hanya peras keringat dan
menguras tenaga be laka.
Mereka bergebrak depgan sengit, pandangan Ling Kun-gi me lulu
tertuju ke arah orang berbaju hita m, sudah tentu hanya dia yang
bisa melihat dengan jelas, akhirnya alisnya berkerut, bentaknya
tiba2 "Mundurlah Kongsun-heng."
Mendengar itu Kongsun Siang segera melompat mundur.
Ternyata si baju hita m tida k merangsak lebih lanjut, iapun berdiri
dia m.
Kongsun Siang ke mba li ke sa mping Kun-gi, katanya dengan
suara tertahan: "Cong-coh, pakaian yang mereka pakai agaknya
kebal senjata."
"Ya, aku sudah lihat,” sahut Kun-gi.
"Mereka tidak pakai senjata, tapi jari2nya berlumuran racun,"
demikian Kongsun Siang mena m-bahkan, "angin pukulan juga bacin
dan amis, mirip pukulan Ngo-tok-ciang dan sebangsanya, tak boleh
dilawan secara kekerasan."
"Ya, aku juga tahu, kalau mereka tidak punya bekal kepandaian
yang menjadi andalan orang she Nao itu takkan berani takabur dan
secongkak itu," merandek sejenak, lalu Kun gi berkata kepada
empat temannya: "Kalian berdiri di tempat masing2 dan jangan
sembarangan bertindak, biar kujajalnya sendiri." Se mbari bicara
pelan2 dia melangkah maju.
Kepandaian Kun-gi sudah sejak la ma bikin para Houhoat dan
Hou-hoat-su-cia sa ma kagum dan tunduk lahir batin, jika diapun
tidak ma mpu mengalahkan Cap ji-sing-siok, apa yang bakal terjadi
ma la m ini dapatlah dibayangkan. Dengan suara rendah mendada k
Kongsun Siang berkata: "Hati2-lah Cong-coh."
Kun-gi me ngangguk, pelan2 dia berjalan ke depan Nao Sa m-jun,
kira2 setomba k jaraknya dia berhenti, katanya: "Anak buah Nao-
tongcu ternyata memang lihay."
Mata Nao Sam-jun yang kelabu seperti mata mayat
me mancarkan sinar dingin. katanya sambil menyeringai: "Jadi Ling-
lote mau terima ajakanku? Haha, seorang ksatria harus bisa melihat
gelagat, tidak malu Ling-lote sebagai tokoh yang menonjol."
Tidak terlihat secercah senyumpun pada wajah Ling Kun-gi,
katanya dengan nada berat: "Tidak sulit untuk me ngajakku pergi,
cuma orang she Ling ingin menjajal dulu sa mpai di mana tingkat
kepandaianmu, tentunya Nao-tongcu tidak menolak ke inginanku?"
Berkelebat pula sinar kela m pada bola mata Nao Sam-jun
katanya: "Sebetulnya Lohu menerima perintah Hwecu untuk
mengundang Ling-lote, lebih baik kalau di antara kita tidak merusa k
persahabatan, apalagi ditimbang situasi ma la m ini Lohu yakin
berada di atas angin, ke menangan jelas tergengga m di tanganku,
kalau harus bertempur lagi dengan me mpertaruhkan jiwa, bukankah
aku jadi kehilangan kontrol pada diriku?"
Mendelik mata Kun-gi, katanya sambil ter-bahak2: "Ka lau orang
she Ling sudah menantang, mau atau tidak kau harus melayaniku
ma in beberapa jurus." Dia sudah berkeputusan: "menangkap
rampok harus menawan pentolannya", ma ka lenyap suaranya
tangan kanannya tiba2 terangkat, "Sreng", pedang dilolos keluar.
Ih-thiankia m me mancarkan sinar ke milau dingin, hardiknya sambil
menuding Nao Sa m jun: "Nao-tongcu, keluarkan senjatamu." Jarak
ujung pedang yang ditudingkan ke dada Nao Sa m-jun hanya
beberapa kaki saja, maka hawa pedang yang dingin tajam langsung
menerjang ke dadanya.
Julukan Nao Sa m-jun adalah Kim-kau-cian ( gunting e mas ), yang
diyakinkan adalah Kim-kau-ciansinkang, jari tangannya laksana
gunting baja, umpa ma pedang terbuat dari baja murni juga a kan
terjepit putus, dengan mengandalkan kedua jari yang hebat,
selamanya dia t idak pernah menggunakan senjata la in. Tapi serta
me lihat pedang Kun-gi, bukan saja bentuknya amat kuno dan aneh,
hawa pedangnya dingin tajam, jelas bukan se mbarangan pedang
pusaka. Walau Kim-kau-ciansinkang sudah diyakinkan se mpurna,
tapi menghadapi senjata sakti setajam ini, tak berani ia pandang
enteng dan yakin akan kekuatan jari sendiri, mendadak ia ber-siul
sekali, tiba2 badan bagian atas meliuk doyong kebelakang, kaki
menjejak tanah, dia berjumpa litan mundur.
Kun-gi tida k menduga orang akan lari sebelum bertempur, ia ter-
bahak2 sa mbil mengeje k:
"Apakah Nao-tongcu jeri dan tida k berani bertempur
me lawanku?" Belum habis bicara, tiba2 terasa angin berkesiur di
belakang mencuriga kan. Menyusul dia dengar teriakan peringatan
Kongsun Siang: "Cong-coh, awas belakang!"
Sebetulnya tak usah Kongsun Siang me mperingatkan, tangan kiri
Kun-gi sudah terayun, secepat kilat seperti percikan api tahu2
menepuk seka li, serentak badanpun berputar me mbalik.
Kiranya siulan rendah dari mulut Nao Sam-jun tadi merupakan
tanda aba2 kepada Cap-ji-sing-siok, serempak dua belas orang
bergerak, dua bayangan orang bagai "elang menubruk anak ayam"
dari kirikanan terus menyergap Ling Kun-gi.
Sebagai murid Hoan jiu-ji-lay, kepandaian "mendengar kesiur
angin me mbedakan senjata" Kun-gi sudah tentu telah mencapai
puncaknya, terutama menyerang dengan tangan kiri ke bela kang
meru-pakan ajaran tunggal perguruannya. Tepukan tangankiri dia
lancarkan sebelum badannya me mutar, sa-sarannya adalah musuh
yang menubruk dari arah kiri.
Sebetulnya orang berbaju hitam itu sudah menubruk tiba, kelima
jari2nya yang seperti cakar ayam itu ha mpir saja mencakar punda k
kiri Kun-gi, mendadak terasa segulung angin kuat menerjang
dadanya, tanpa kuasa berkelit sedikitpun, "blang" dengan tela k
dadanya kena dihantam dengan keras.
Kun-gi sudah kerahkan ena m bagian tenaganya, bukan saja daya
tubrukan si baju hitam yang kuat itu terhenti malah dia terdampar
mundur lagi tiga t indak. Begitu melancarkan tepukan tangan kiri ini
baru Kun-gi berputar, kebetulan berhadapan dengan orang berbaju
hitam yang menyerang dari sebelah kanan, dilihatnya sorot mata
orang ini mencorong buas, kelima jari2nya berwarna hita m lega m
seperti kaitan baja, hanya beberapa senti lagi ha mpir
mencengkeram punda knya, betapa ganas serangan ini sungguh
sangat mengejutkan. Dalam seribu kerepotan lekas dia tarik punda k
ke bawah, berbareng pedang menusuk ke depan, badanpun lantas
doyong miring dan berkisar ke sa mping.
Gerakan kedua pihak tera mat cepat, keduanya me mberosot
lewat hampir bersentuhan badan, tahu2 jarak keduanya sudah
terpisah lagi.
Waktu sinar pedang Kun-gi berkelebat tadi, orang berbaju hitam
mendadak menjerit tajam, ternyata jari2 tangannya yang hampir
mencengkeram pundak Ling Kun-gi itu telah tertabas kutung, darah
muncrat ke mana2.
Nao Sa m-jun terkejut, tak pernah terpikir oleh nya Kun-gi dapat
bergerak segesit dan stengkas itu, padahal Cap-ji-sing-siok yang
dipimpinnya sudah ma lang melintang di Kangouw dan jarang
ketemu tandingan, tak nyana dalam segebrak saja dua di antaranya
sudah terjungkal. Kalau anak muda ini tidak dibunuh, kelak pasti
merupakan bibit bencana yang bakal menganca m orang2 Hek liong-
hwe.
Tapi sebelum berangkat kemari Hwecu telah pesan wanti2 bahwa
orang ini hanya boleh ditawan hidup2. Sekilas berpikir mulutnya
lantas bersiul dua ka li, nada suaranya berbeda dari siulan tadi. Kini
empat bayangan prang bergerak serempak, bagai anak panah
cepatnya mereka terus menubruk ke tengah gelanggang.
Dala m segebrak tadi Kun-gi me mukul mundur seorang lawan dan
me lukai tangan seorang lagi, seketika bangkit se mangatnya,
meskipun pa kaian mereka keba l senjata dan dibuat khusus toh
hanya begini saja kekuatannya.
Kejadian hanya berlangsung sekejap saja, dan si baju hitam yang
dipukul mundur Kun-gi sudah menubruk maju lagi, kedua tangan
terpentang sam-bil menerka m. Malah si baju hita m yang terpapas
jari2nya itu tampak menjadi liar dan buas, matanya mendelik, tanpa
hiraukan darah yang bercucuran di tangan kanannya, dia menjerit
seram dengan menyeringa i sadis, kelima jari tangan kanan bagai
ganco meraih ke dada Ling Kun-gi.
Kedua orang ini ha mpir menyerang bersama, sengit dan
me mbabi buta, Kun-gi tida k berani lengah, lekas jari kanan
menuding, "sret" meluncur sejalur panah air mengincar biji mata
orang di sebelah kiri.
Ih-Thiankia m dia pindah ke tangan kiri, kaki bergerak mengikuti
gerakan pedang, segera dia lancarkan jurus Heng-sau-liok-ha m,
sinar pedangnya bagai rentengan rantai perak menyabet ke arah
orang di sebelah kanan.
Nao Sa m-jun bersiul pendek dua kali, e mpat orang baju hitam
lain segera menubruk maju dari e mpat penjuru. Biasanya mereka
tidak gentar meng-hadapi senjata musuh, tapi Ih-thiankia m di
tangan Ling Kun-gi merupakan anugerah Thay-siang, bukan saja
sakti, berada di tangan Ling Kun-gi getaran pedangnya saja segera
menimbulkan kesiur -angin yang cukup menggetar nyali setiap
lawannya, sinar kemilau tajam menyilaukan mata, perba-wanya
sungguh amat hebat. Keempat orang baju hitam yang menubruk
maju terpaksa menahan gerak-annya.
Celakalah si baju hita m yang kutung tangannya tadi, meski dia
sudah kapok dan me lompat sejauh mungkin ke samping, tapi panah
air yang meluncur dari jari tengah Kun-gi itu adalah arak yang tadi
diminumnya, menghadapi musuh2 tangguh ini, jika dengan
kekuatan Lwekangnya dia desak arak, itu keluar untuk menyerang
musuh lewat jarinya. Bagi Kun-gi senjata rahasia ini hanya
merupakan bantuan tidak berarti dikala menghadapi sergapan kalap
para musuhnya, tapi sebaliknya untuk lawannya sasaran yang
diincarnya itu justeru merupakan titik le mahnya.
Maklumlah seluruh tubuh orang itu terbungkus da la m pakaian
khusus yang tak me mpan senjata tajam, hanya kedua biji matanya
saja yang tidak terlindung dan merupakan titik sasaran terlemah.
Betapa kuat dan keras daya tubrukannya ini, tak di duganya Kun-gi
menyongsongnya dengan semburan arak yang dilandasi Lwe kang
lagi, betapa hebat pula daya luncurnya, jadi keduanya saling
songsong dengan kecepatan seperti kilat menyamber, dikala dia
sadar Ling Kun-gi me mapaknya dengan se mburan arak, untuk
mengere m dan mundur sudah tak mungkin lagi, malah untuk
me meja mkan mata juga tidak sempat pula, tahu2 rasa sakit pedas
merangsang ke dua matanya, sambil me njerit kedua tangan terus
menutup kedua mata, sudah tentu dia tidak se mpat pikir untuk
me lompat mundur lagi.
Sementara sabetan pedang Ling Kun-gi telah bikin kelima orang
baju hitam menghindar mundur, dilihatnya orang yang tersembur
panah araknya sedang mencak2 kelabakan, tapi agaknya lukanya
tidak fatal, sekali berkelebat dia menyerbu ke depan orang, telapak
tangan pelan2 dia dorong kedepan.
Pukulan ini dina makan Mo-ni-in, ilmu pukul-an dari aliran Hud
yang sakti, betapa dahsyat kekuatannya terbukti dengan suara
erangan si baju hitam yang mengenakan pakaian kebal senjata
badannya terpental jungkir balik beberapa tomba k jaubnya dan
ma mpus seketika.
Lima orang baju hitam lain yang tersapu mundur oleh pedang
Ling Kun-gi juga tidak mundur jauh, mereka sudah terlatih baik
menghadapi situasi yang terburuk seka lipun, mereka seolah2 sudah
kehilangan kesadaran akan awak sendiri, tapi rasa setia kawan
ternyata masih berkobar dala m sanubari mereka, me lihat kawannya
terpukul ma mpus, sorot mata mereka menjadi buas dan liar,
semuanya menggerung gusar, tangan sama terpentang terus menu-
bruk maju bersa maan. Terutama si orang yang terkutung jari
tangannya, meski tingga l tangan kiri yang masih be kerja, tapi dia
bersuit melengking tinggi, bagai seriga la ke laparan dia menerjang
lebih dulu dengan ca karnya yang berbahaya.
Menyaksikan pukulan Kun-gi merobohkan seorang musuh,
seketika terbangkit se mangat te mpur Kongsun Siang, melihat
musuh main keroyok, segera dia angkat pedang seraya berseru:
"Song-heng, Thio-heng, mari kita maju!"
Song Tek seng dan Thio La m-jiang meski tahu pakaian lawan
kebal senjata, tapi serentak mereka pun angkat senjata hendak
terjun ke arena.
Tapi Kun-gi keburu berseru: "Kalian tak usah maju." Lenyap
suaranya, tangan kanannya mengebut sekali, tahu2 cahaya kemilau
hijau berke lebat, entah kapan ternyata tangan kirinya sudah
me megang sebilah pedang panda k (pedang pe mberian Tong-
lohujin).
Tampak kedua pedang pusaka panjang pendek ditangannya itu
berkelebat kian ke mari mengha mburkan lingkaran sinar terang yang
menge lilingi tubuhnya.
Kelima orang itu tetap mengge mpur dengan teratur, walau amat
ketat dan kuat gaya gabungan ini, tapi mereka tahu senjata di
tangan Ling Kun-gi ini adalah pusaka yang tajam luar biasa, pakaian
kebal senjata mereka tidak akan tahan menghadapinya, mau tidak
mau mereka menjadi jeri sehingga tak berani mendesak terlalu
dekat, sembari menggerung dan meraung mereka berkelebat kian
ke mari menge lilingi Ling Kun-gi.
Melihat lima anak buahnya masih tak ma mpu merobohkan Ling
Kun-gi, ke mba li Nao Sa m-jun yang berdiri tiga tombak di luar arena
bersuit pula dua kali, orang2 berbaju hitam baru akan bertindak bila
mendengar aba2 siulan ini, maka ena m orang baju hitam yang
tersisa serentak bergerak ke arah Kongsun Siang bere mpat.
Kongsun Siang cukup cerdik, segera dia berseru
me mperingatkan: "Kalian awas!" Segera dia mendahului
menggerakkan pedang, sementara tangan kiri mencengkera m Kho
Ting-seng yang mengge letak di tanah, hardiknya beringas dengan
menganca m: "Siapa di antara kalian berani maju!"
Sementara Thio La m-jiang, Song Te k- seng dan Ji Siu-seng
me lompat maju ke kanan kiri orang, semua siap te mpur.
Karena tertutuk Hiat-tonya Ji Siu-seng palsu menggeletak tak
dapat bergerak, hanya kedua biji matanya saja masih ber-kedip2
dan tak bisa bersuara. Sementara Kho Ting-seng hanya tertutuk
Hiat-to kedua pundaknya, begitu badannya dijinjing Kongsun Siang
dan dijadikan ta meng, seketika pucat mukanya, teriaknya mendelik:
"Kongsun houhoat, lepaskan, mereka sudah kehilangan kesadaran!"
Keenam orang itu merubung maju se makin dekat, mereka
meyakinkan ilmu sesat yang beracun sehingga watak mereka
menjadi ganas dan liar, hahikatnya mereka tiada punya kesadaran
seperti manusia biasa. Kini melihat kawan sendiri yang menyaru Kho
Ting-seng berada di cengkera man musuh, sesaat mereka merande k
bimbang untuk turun tangan.
Maka didengarnya Nao Sam-jun me mbentak dingin: "Le kas turun
tangan, bunuh semua dan habis perkara."
Keruan kejut dan takut luar biasa Kho Ting-seng, teriaknya:
"Nao-tongcu. kalian kan datang untuk menolong ka mi, me mangnya
mati hidup ka mi t idak kau pikirkan lagi. . . ?”
Mendengar desakan Nao Sa m-jun tadi, enam orang baju hitam
serentak bersiul bersama, serempak mereka menubruk kee mpat
musuhnya. Sembari mengangkat tubuh Kho Ting-seng Kongsun
Siang menubruk maju dengan langkah gaya serigala, sementara
pedang panjang ditangan kanan bergetar, sinar kemilau berkelebat
terus menusuk kedua biji mata si baju hitam yang menyerbu tiba.
Serangan pedang ini dina ma kan Kim-cianjut-hong (jarum e mas
menusuk ular sanca), ujung pedangnya menaburkan bintik2 sinar
ke milau, ternyata lawannya segera mendongak ke belakang
berbareng sikut kanannya menyampuk pedang lawan.
Serangan Kongsun Siang ini hanya gertakan, begitu sinar
pedangnya bertaburan tahu2 badannya meliuk ke sebelah kanan
dan me mutar ke be lakang si baju hita m.
Berada di belakang lawan sebetulnya dia bisa menyerang, tapi
mengingat pakaian lawan kebal senjata, ditusuk atau dibabat hanya
menghabiakan tenaga sia2, tujuan me mutar ke belakang ini hanya
untuk menghindar sementara dari sergapan lawan. Maklumlah ena m
musuh sekaligus menubruk tiba, sementara pihak sendiri hanya
empat orang, betapapun dia harus melawan dengan mengguna kan
akal dan perhitungan yang tepat.
Baru saja dia berada dibelakang lawan, mendadak terasa sesosok
bayangan hitam lainnya telah menerka m dirinya dari arah kiri.
Belum lagi me lihat jelas bayangan orang, cakar hitam bagai baja
tahu2 sudah mencengkera m pundak Kho Ting-seng, sementara
tangannya yang lain me mbelah ke muka Kongsun Siang. Sementara
si baju hita m lawannya tadi juga telah putar balik, dalam keadaan
kepepet dan terdesak ini Kongsun Siang terpaksa lepas tangan,
segesit belut dia menyelinap keluar dari gencetan kedua lawannya.
Ketika merasa pundaknya kesakitan, Kho Ting-seng menjerit
ketakutan: "Nao-tongcu, ampun . . . ." belum habis dia berteriak,
orangnya sudah jatuh semaput.
Dala m pada itu Song Tek-seng, Thio La m-jiang dan Ji Siu-seng
juga sedang menghadapi bahaya. Melihat perintah Nao Sam-jun
yang tak segan2 membunuh kawan sendiri, semula Song Tek-seng
hendak meniru Kongsun Siang dengan mencengkera m Ji Siu-seng
palsu sebagai ta meng, tapi mengingat orang akan menjadi beban
belaka, terpaksa dia batalkan niatnya, malah sekali tendang dia
bikin orang mencelat jauh ke pinggir sana, dengan mengembangkan
Loanpah-hong-kia m-hoat dari Go-bi-pay segera dia bendung
serbuan musuh.
Ilmu pedang Go-bi-pay me mang terkenal acak2an, kelihatan
ngawur dan tidak teratur, tusuk ke timur potong ke barat, kian
ke mari tidak menentu, sudah tentu gerak langkahnya harus
menyesuaikan gaya pedangnya, gemulai pergi datang dan berkisar
kian ke mari.
Betapapun aneh dan lihay ilmu pedang seseorang juga tidak
berguna menghadapi orang yang mengenakan pakaian keba l
senjata, tapi ilmu pedang yang dike mbangkan Song Tek-seng ini
menguta makan kelincahan, gerak langkahnya berkisar ke sana-sini,
ternyata besar sekali manfaatnya bagi diri sendiri, paling tidak
sementara dapat menghindar dari sergapan orang2 berbaju hitam.
Thio La m jiang dari Hing-sinpay, Hing-sankia m-hoat
menguta makan gerak me la mbung ke udara lalu menyerang sambil
menukik seperti burung elang menya mbar anak ayam, tapi manusia
bukan sebangsa burung yang punya sayap dan bisa tetap terapung
di udara, dia mengandalkan kekuatan Lwekang dan Ginkangnya
saja, setiap kali senjatanya membentur lawan, meski hanya
sentuhan yang pelahan saja sudah cukup untuk membuatnya
mence lat tinggi pula ke alas. Me mangnya orang2 berbaju hita m itu
kebal senjata, tatkala menubruk turun cukup pedangnya
sembarangan menusuk badan lawan dan ke mbali ia dapat pinja m
tenaga pantulan itu untuk me la m-bung keatas pula.
Tapi kalau seseorang harus selalu tahan untuk mengentengkan
badan agar bisa me la mbung ke atas, hal ini sudah tentu terlalu
banyak makan tenaga. Tapi berseliweran di antara orang berbaju
hitam yang aneh dan kebal senjbata, cara tempurnya ini justeru
paling berhasil dan menguntungkan.
Di antara keempat hanya Ji Siu-seng saja yang paling rugi. Dia
murid Bu-tong-pay, Lianggi-kia m-hoat Bu-tong-pay punya gaya
tersendiri, setiap gerakan pedangnya selalu melingkar2, ilmu
pedang yang menguta makan kele mbutan mengatasi kekerasan,
gerak tubuh dan langkah kaki mengikuti gaya pedang menurut
perhitungan Pat-kwa.
Kini menghadapi musuh yang main sergap dan tubruk,
bersenjata cakar jari beracun dan berilmu silat tinggi lagi, maka ilmu
pedangnya yang lihay menjadi mati kutu, lebih ce laka lagi gera k
langkahnya yang harus dikembangkan menurut i gerak pedangnya
juga susah bekerja. Hanya beberapa gebrak saja dia sudah
kehilangan kontrol dan terdesak di bawah angin.
Sudah tentu tiga kawannya juga kehilangan inisiatif untuk balas
menyerang, semua berada dalam bahaya, cuma keadaan dan situasi
yang dihadapi Ji Siu-seng lebih berat. Tatkala Kho Ting-seng
menjerit, minta a mpun kepada Nao Sa m-jun itulah Ji Siu-seng juga
menjerit kaget, pergelangan tangan kanan yang pegang pedang
tahu2 sudah terpegang oleh seorang berbaju hita m.
Pedang panjang dan pendek di tangan Ling Kun-gi menari2, dia
asyik mene mpur lima lawannya. Walau mengguna kan sepasang
pedang pusaka, tapi ke lima musuhnya juga teramat tangguh,
apalagi mereka sudan tahu senjata Ling Kun-gi tajam luar biasa,
kekebalan baju mereka sudah tak berguna lagi, ma ka tiada
seorangpun yang berani menghadapinya secara langsung. Kelima
orang ini menduduki posisi tertentu, satu maju, yang lain segera
mundur secara bergantian, satu sama lain saling bantu dan mengisi.
sehingga pertempuran berlang-sung cukup la ma, tapi tetap dala m
keadaan bertahan sama kuat.
Lama2 Kun-gi hilang sabar, demi mendengar jeritan Ji Siu-seng,
dia berpaling dan dilihatnya pergelangan orang telah di tangkap
musuh dan sedang meronta, keruan ia me njadi gelisah.
Sudah tentu dia tak tahan lagi, dengan gusar sambil menghardik
tiba2 kedua pedangnya berpencar, sinar kemilau dengan hawa
pedang yang dingin taja m bertaburan bagai badai menerjang ke
empat penjuru. Lebih dahsyat lagi di antara bergulungnya sinar dan
hawa pedang itu diselingi suara gemuruh, itulah salah satu jurus
Hwi-liong-kia m-hoat warisan keluarganya, jurus kedua yang
dina makan Liong-cancay-ya (naga bertempur di tegalan), kekuatan
dan perbawanya bukan olah2 hebatnya.
Tak se mpat lagi berkelit dan mengundurkan diri, kelima musuh
yang mengepung dirinya sama jungkir ba lik, seorang terbabat putus
kedua kakinya dua tertabas buntung sebuah lengannya, sedang dua
lagi yang berdiri agak jauh sa ma ter-guling2 keterjang sambaran
angin.
Setelah melancarkan jurus pedang yang tiada taranya ini, Kun-gi
tidak sempat lagi menyaksikan hasil kerjanya, segera ia melejit
terbang ke sana, kembali ia menge mbangkan jurus Sinliong-jut-hun,
pedang mendahului orangnya laksana bianglala me nerjang orang
berbaju hita m yang me megang Ji Siu-seng itu.
Orang yang pegang pergelangan tangan Ji Siu-seng itu rada
kewalahan karena Ji Siu-seng meronta sekuatnya dengan kalap, dua
jarinya dengan tipu Siang-liong-jiang-cu (dua naga berebut mutiara)
mendadak mencolok kedua mata lawan, berbareng kedua ka kinya
bergantian menendang secara berantai, Betapapun dia adalah murid
Bu-tong-pay, kalau tidak tentu Pek-hoa-pang tidak akan
menyaringnya dan mengangkatnya menjadi Hou-hoat su-cia. Bahwa
ilmu pedangnya tadi sukar dike mbangkan, tapi kedua serangan
menyolok dan tendangan dilancarkan dalam keadaan kalap,
ternyata perbawanya cukup hebat juga.
Kedua jari yang menyolok mata orang sangat lihay, terpaksa
lawan berusaha punahkan serangan ini, pada hal tangan kirinya
dibuat pegang tangan Ji Siu-seng, dia gunakan sikut tangan kanan
untuk menya mpuk jari Ji Siu-seng yang menyolok mata. Maka
terdengarlah suara "blang-blang" dua kali, tendangan Ji Siu-seng
dengan telak mengena i perut orang, Sayang orang itu me maka i
baju yang kebal senjata, walau tendangannya mengenai sasaran
dengan telak tapi tidak ma mpu me lukainya.
Sebetulnya Ji Siu-seng juga tahu bahwa mata orang tidak akan
berhasil dicoloknya, maka tendangan kedua kakinya mengguna kan
seluruh kekuatannya, meski seluruh badan kebal senjata, tak urung
orang itu tergentak mundur juga sambil meringis kesakitan.
Pada saat itulah, sinar pedang Ling Kun-gi bagai biangla la
menya mbar kearahnya. Terasa oleh orang itu sinar kemilau menukik
turun dari udara, hakikatnya dia tak sempat melihat jelas, begitu
sinar pedang tiba seketika dia menjerit ngeri, kelima jarinya
terlepas, orangnyapun terjengkang jatuh ke belakang.
Rasa kaget Ji Siu-seng juga belum lenyap, badannya
sempoyongan dan a khirnya jatuh terduduk.
Dua jurus ilmu pedang yang dilancarkan Ling Kun-gi. boleh
dikatakan dilancarkan seka ligus dan telah me mbikin orang2 berbaju
hitam itu mati satu tiga terluka, sungguh bukan kepalang hebat
perbawanya sehingga orang2 lainnya sama berdiri me longo dan
jeri..
Menyusul segera terdengar suara siulan melengking mengge ma
di udara, orang2 berbaju hitam ber-sama2 berlompatan mundur
menyelinap masuk ke dala m hutan dan menghilang dengan cepat.
"Nao Sa m-jun!" bentak Kun-gi mendadak sa mbil me mbalik
badan.
Ternyata Kim-kau-cian Nao Sa m jun dari Hwi-liong-tong sudah
tidak kelihatan lagi mata hidungnya, orang2 berbaju hitampun
sudah tidak kelihatan pula bayangannya.
Menyeka keringat di jidatnya Kongsun Siang menuding ke sana
sambil me mbentak beringas: "Kejar!" ,
Baru saja dia angkat langkah, Kun-gi telah berteriak: "Berhenti
Kongsun-heng, jangan mengejar!"
Terpaksa Kongsun Siang urung me ngejar, katanya dengan
gregetan: "Menguntungkan orang she Nao itu."
Lekas Kun-gi me meriksa keadaan Ji Siu-seng yang matanya
terpejam, untung kecuali pergelangan tangan yang dipegang si baju
hitam itu tiada luka2 la in, pergelangan tangannya meninggalkan
lima jalur bekas jari berwarna hita m, walau tangannya keracunan,
rasanya juga tidak terlalu payah, ma ka dia tutuk dua Hiat-to di
badan orang supaya racun tidak menjalar.
Sementara itu Song Tek-seng, Thio La m-jiang telah merubung
datang, melihat keadaan Ji Siu-seng mereka sangka Ji Siu-seng
terluka parah, tanyanya berbareng: "Cong-coh, bagaimana luka Ji-
heng!"
Luka2 hita m ini jelas karena keracunan dari tangan si baju hitam,
untuk menye mbuhkan harus me nggunakan Le liong-pi-tok-cu
warisan keluarganya itu, tapi mutiara ini pantang diperlihatkan
kepada orang lain, maka dia pura2 berpikir sebentar, lalu katanya:
"Lukanya me mang tidak ringan, terpaksa harus kubantu dengan
saluran hawa murni baru jiwanya bisa tertolong, untuk itu sedikitnya
me merlukan waktu satu jam, pada saat menyembuhkan luka2nya
jangan sampai ada gangguan dari luar." Sa mpai di sini dia lolos Ih-
thiankia m dan diserahkan kepada Kongsun Siang, katanya:
"Kongsun-heng boleh pakai pedang ini, berdirilah tiga tombak ke
sana, jagalah arah utara." Lalu dia serahkan pedang pandak kepada
Thio La m-jiang, katanya pula: "Thio-heng paka i pedang ini, berdiri
tiga tomba k sebelah sana, jagalah arah barat laut."
Kedua orang terima pedang dan beranja k ke te mpat yang
dltunjuk. Ling Kun-gi menambahkan: "Song-heng ada me mbawa
kotak Som-lo-ling, jagalah di pinggir danau."
Song Tek-seng melenga k, katanya membant ing ka ki. "Wah kalau
tidak Cong-coh katakan, hamba benar2 lupa ka lau lagi me mbawa
kotak Som-lo-ling, Ai, sungguh sayang, mestinya tadi bisa
kugunakan untuk menghadapi mereka."
Kun-gi tertawa, katanya: "Tiada gunanya, betapapun kuat dan
jahatnya Som-lo-ling tetap takkan bisa melukai orang2 yang keba l
senjata itu, kecuali kau mengincar mata mereka, apalagi mereka
belum tentu me mberi kesempatan padamu, celaka ma lah ka lau
sampai terebut oleh mereka."
"Cong-coh me mang benar," ucap Song Tek-seng. Dia rogoh
keluar Som-lo-ling terus beranjak ke pinggir sungai.
Setelah ketiga orang ini disingkirkan, lekas Kun-gi keluarkan
mut iara penawar racun itu digilindingkan pergi datang di tangan
kanan Ji Siu-seng. Hanya semasakan teh ke mudian lima jalur hita m
ditangan kanan Ji Siu-seng telah lenyap. Kun-gi simpan mutiaranya,
lalu kedua tangan me mijat dan mengurut beberapa kali di leher Ji
Siu-seng untuk me lancarkan ja lan darahnya.
Tiba2 Ji Siu-seng me mbuka mata, dilihatnya Ling Kun-gi duduk
bersimpuh di sa mpingnya, segera dia berlutut di depan orang,
katanya sambil menyembah beberapa kali: "Dua kali Cong-coh
menolong jiwa ha mba, cara bagaimana ha mba harus me mbalas."
Lekas Kun-gi me mapahnya bangun, katanya: "Ji-heng, berbuat
apa kau?"
"Ayah-bunda melahirkan, aku, tapi Cong-coh dua ka li telah
menolong jiwaku . . . "
''Jangan berkata demikian Ji-heng, sebagai Cong-hou-hoat adalah
tugasku untuk me mberantas anasir2 jahat ini, demikian pula
menolong kau adalah kewajibanku. . . . "
Ji Siu-seng ingin bicara, lekas Kun-gi berkata pula: "Jangan
bicara lagi Ji-heng, marilah kita periksa keadaan, mereka
mengundurkan diri tanpa me mbawa Kho Ting-seng dan orang yang
menyaru dirimu, entah dia sudah mat i atau masih hidup?"
Dari samping tiba Song Tek-seng bersuara tertahan: "Lapor
Cong-coh, muncul lima sampan cepat di sana, kelihatan lajunya
arah kita."
Waktu Kun-gi me mandang kesana, me mang dilihat lima sa mpan
laju pesat menerjang ombak menuju ke arah mereka. Cuma
jaraknya masih terla mpau jauh, jadi sukar me mbedakan yang
datang kawan atau lawan?
Sejenak Kun-gi berpikir, katanya ke mudian: "Song-heng, coba
nyalakan ke mbang api sebagai tanda, kalau sampan, itu milik Pang
kita, mereka pasti akan menyalakan ke mbang api pula."
Song Tek-seng mengiakan, segera dia keluarkan sebatang
ke mbang api dan dipasang, "Sreng", sejalur ke mbang api meluncur
ke udara dan akhirnya ""Tar-tar-tar" me letus tiga ka li di angkasa,
tampak bola api berwarna hijau menyala menerangi langit sa mpa i
la ma sekali baru padam.
Baru saja ke mbang api yang diluncurkan di sini ha mpir pada m,
dari salah satu sampan yang mendatangi itu juga meluncur sejalur
api yang sa ma meletus di angkasa.
Song Tek-seng bertepuk girang, serunya: "Kiranya orang sendiri,
aneh sekali, Liang-heng dan kawan2nya hanya me miliki t iga
sampan, dari ma na di peroleh, dua sa mpan lagi?"
"Waktu kita melawan Cap-ji-sing-siok tadi, sinar pedang
berkelebatan, tentunya orang2 di kapal juga melihatnya, kelima
sampan cepat ini mungkin sengaja menyusul. ke mari henda k
me mberi bantuan," de mikian ucap Kun-gi.
"Kalau Cong-coh tidak unjuk kesakt ian, bila kita harus menunggu
datangnya bala bantuan, mungkin sejak tadi kita semua sudah mat i
konyol," de mikian kela kar Kongsun Siang.
Kun-gi terima ke mba li kedua pedangnya, katanya: "Ilmu silat
Cap-ji-sing-siok me mang tidak le mah, tapi mereka mengutama kan
kekebalan baju terhadap segala maca m senjata, beruntung aku
me miliki kedua maca m senjata pusaka ini yang kebetulan dapat
me mecahkan ke kebalan mereka."
Mereka lantas me meriksa kedaan sete mpat, ternyata orang yang
menyaru jadi Kho Ting-seng yang tadi direbut oleh orang2 berbaju
hitam telah menggeletak di atas rumput dan tak bernyawa lagi,
kepalanya pecah terpukul, keadaannya amat mengerikan.
Jelas orang2 baju hitam juga berlaku keja m terhadap orang
sendiri. Malah Ji Siu seng palsu yang menggeletak tertutuk Hiat-
tonya di semak rum-put sana ternyata masih hidup, tadi Song Te k-
seng me le mparnya, agak jauh dari arena pertempuran, sehingga
tidak menjadi perhatian orang berbaju hita m. Disa mping itu masih
ada pula tiga sosok mayat.
Seorang mati terpukul oleh Mo-ni-in Ling Kun-gi.
Seorang lagi adalah orang yang melawan Ji Siu-seng, kena
terbabat putus pinggangnya menjadi dua oleh pedang Ling Kun-gi.
Orang ketiga adalah yang buntung kedua kakinya karena terbabat
oleh jurus Liong-cancay-ya yang dilancarkan Ling Kun-gi, menginsafi
kedua kakinya buntung dan tak mungkin melarikan diri, dari pada
tertawan musuh, dia pukul remuk kepalanya sendiri, mati bunuh diri
atau mungkin juga dipukul mati temannya sebelum mengundurkan
diri.
Pendek kata dalam pertempuran singkat ini Cap ji-sing-siok telah
kecundang, pantas kalau Nao Sam-jun cepat2 melarikan diri dengan
anak buahnya.
Sementara itu kelima sampan tadi sudah menepi. Orang pertama
yang lompat ke daratan adalah Hupangcu So-yok, disusul Hwehoa,
Lianhoa, Giok-li dan Bikui. Di belakangnya lagi baru Coh-houhoat
Leng Tio-cong, Houhoat Liang Ih- jun dan kedua pe mbantunya Ban
Yu-wi dan Sun Ping-hian.
Lekas Kun-gi pimpin Kongsun Siang, Song Te k-seng, Thio La m-
jiang dan Ji Siu-seng me nyambut di tepi sungai, dia menjura dan
katanya: "Kenapa Hupangcu juga ikut ke mari?" .
Lekat tatapan So-yok, katanya, dengan heran: "Apa yang terjadi
di sini?"
Kun-gi tersenyum, jawabnya: "Hwi-liong- tongcu dari Hek-liong-
hwe me mbawa anak buahnya mengada kan sergapan di sini, tapi
kejadian sudah usai."
"Hwi-liong-tongcu?" seru So-yok heran sa mbil celingukan. "Mana
mereka? Tiada yang tertawan?"
"Sudah dipukul mundur, mereka meninggalkan tiga mayat," ucap
Kun-gi.
So-yok banting kaki, katanya gegetun: "Kalau datang lebih dini,
tentu mereka dapat kita jaring seluruhnya."
"Cap ji sing- siok yang datang mala m ini se muanya kebal senjata,
kalau Cong-coh t idak berada di sini, hanya kita beberapa orang ini,
pasti sudah ditumpas habis, me mangnya ma mpu ka mi me mbekuk
mereka?"
"Apa katamu?" teria k So-yok kurang senang.
Merah muka Kongsun Siang, sahutnya menunduk: "Ha mba
berkata sesuai kenyataan."
So-yok mendengus gera m. Kuatir Kongsun Siang banyak mulut
dan me mbuat So-yok gusar, lekas Kun-gi menyela: "Baga imana
Hupangcu bisa menyusul ke mari?"
Sikap kaku So-yok seketika sirna, katanya aleman setelah,
me lerok sekali: "Masih tanya lagi, kau suruh aku menangkap orang,
tapi urusannya kau rahasiakan kepadaku, tengah mala m tadi baru
Sam-moay naik ke atas me mbawa suratmu dan suruh aku bertinda k
menurut petunjuk . . . . . . "
Kongsun Siang berdiri di sebelah samping, jaraknya cukup dekat,
me lihat sikap dan mimik So-yok wa ktu bicara dengan Ling Kun-gi
begitu mesra dan aleman, tanpa terasa kepalanya menunduk
semakin rendah.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Memang Cayhe suruh Congkoan
me mberikan surat itu kepada Hu pangcu setelah lewat kentongan
kedua, harap Hu-pangcu maaf."
"Me mangnya siapa yang salahkan kau?" omel So-yok, tiba2 dia
cekikikan. "Kau diberi kekuasaan oleh Thay-siang untul
me mbongkar urusan ini, jangankan aku, Toacipun harus tunduk
pada perintah mu, me mangnya aku berani me mbangkang."
"Thay-siang me mberi kuasa, Pangcupun harus tunduk padamu",
hal ini sa ma sekali tidak diketahui oleh orang2 yang ada ditingkat
kedua, yaitu para Houhoat dan Hou-hoat-su-cia.
Dia m2 mencelos hati Coh-houhoat Leng Tio-cong, telapak
tangannya berkeringat dingin, pikirnya: "Bocah ini selangkah lagi
manjat ke atas, untung aku tidak berbuat salah terhadapnya."
"Berat ucapan Hupangcu, tentunya 'Nyo Keh-cong' bertiga telah
diringkus bukan?" (Nyo Keh-cong, Sim Kiansin dan Ho Siang-seng
asli sudah gugur dan digantikan mata2 Hek-liong-hwe, hal ini telah
dibeberkan dala m tanya jawab Ling Kun-gi dan Cin Te k-hong tadi ).
So-yok tertawa, katanya.: "Sudah tentu teringkus semua, malah
mereka sudah mengaku terus terang," lalu dia menyambung: "tadi
Kiu-moay melaporkan, katanya dari sini kelihatan cahaya pedang
me la mbung tinggi, kemungkinan Ling-heng ketemu musuh tangguh,
maka buru2 a ku menyusul ke mari."
Baru sekarang Coh-houhoat Leng Tio-cong se mpat tampil ke
depan dan berkata sambil menjura: "Cong-coh me mang ahli
mera mal dan tepat perhitungan, tajam pandangan dan tegas
tindakan, sekali jaring seluruh mata2 musuh yang terpendam telah
digaruk seluruhnya, sungguh aku merasa amat malu dan menyesal,
selanjutnya aku tunduk lahir-batin kepada Cong-coh."
"Leng-heng terlalu merendah," ucap Kun-gi tertawa, "akupun
secara kebetulan saja me mergoki muslihat mere ka."
"Eh mana Cin Tek-hong?" tanya So-yok, "apakah dia me larikan
diri? Menurut pengakuan Nyo Keh-cong, dialah pemimpin mata2
musuh."
"Cin Tek-hong sudah mati," Kun-gi menerangkan, "mati diserang
oleh orang mereka sendiri, soal tidak penting, yang paling penting
adalah para Cap-ji-sing-siok yang kita hadapi mala m ini, pakaian
yang mereka kenakan semuanya kebal senjata, untuk penyerbuan
kita ke Hek-liong-hwe kali ini, hal ini merupa kan masalah yang harus
segera dipecahkan untuk mengatasinya, kalau tidak piha k kita pasti
akan rugi besar."
"Bukankah ada tiga musuh yang mati, di mana mereka. Hayo kita
periksa bersa ma", kata So-yok.
"Nah, itulah di sana," Kun-gi menuding. Lalu dia iringi So-yok
mengha mpiri mayat2 itu.
So-yok me lolos pedang dan me mbacok tubuh salah satu mayat
itu, bacokannya mengguna kan ena m bagian tenaganya, tapi
pedangnya terpental balik tak dapat tembus badan orang. Keruan
So-yok melenggong, katanya heran: "Kulit apakah ini?"
"Cayhe tidak tahu, kita angkut saja mayat2 ini pulang dan
diperiksa lebih lanjut."
"Cara ini paling ba ik, eh, mereka dina makan Cap-ji-s ing-siok, jadi
seluruhnya ada 12 orang."
Kun-gi lalu tuturkan kejadian tadi. Sebelumnya dia suruh orang
banyak menggali liang besar, pakaian kulit hita m yang dipaka i
ketiga orang mati itu ia suruh be lejeti, mayat mereka dikubur
bersama Cin Tek-hong, Kho Ting-seng, Jiu Siu-seng sendiri
menjinjing tawanan musuh yang menyaru dirinya naik ke sa mpan
lebih dulu, kejap lain semua orang sudah berada di sampan dan lalu
balik ke kapal besar.
Laksana panglima yang ke mbali dari medan perang dengan
ke menangan gilang ge milang. Sementara itu di atas kapal, Pek-boa-
pangcu Bok-tan, Congkoan Giok-lan sudah duduk menunggu sekian
la manya di tingkat kedua. Yu-houhoat Coa Liang pimpin seluruh
Houhoat dan Hou-hoat-su-cia terpencar disekeliling kapa l
menya mbut kedatangan mereka.
Kun-gi bertanya, So-yok langsung masuk ke ruang besar, dua
orang Hou-hoat-su-cia menya mbut dia mbang pintu.
Dua pasang lilin raksasa menyala terang benderang di ruang
besar. tampak Pek-hoa-pangcu du-duk di kursi ujung atas
menyandang meja panjang, Tho-hoa dan Kiok-hoa berdiri di kanan-
kirinya, di sebelah belakang adalah para Tay-cia, pakaian mereka
ringas bersenjata siap te mpur.
Melihat Kun-gi, Pek-boa-pangcu Bok-tan berdiri, katanya sambil
tertawa lebar: "Apakah Ling-heng kepergok musuh?" Sorot matanya
menyala terang penuh perhatian. tapi juga penuh rasa kasih sayang
yang amat mendala m.
Kun-gi menjura, katanya: "Terima kasih atas perhatian Pangcu,
di Gu-cu-ki setelah Cayhe ber-hasil menangkap Cin Tek-hong, pada
saat kami mengorek keterangannya, Nao Sam-jun Hwi-liong-tongcu
dari Hek-liong-hwe tiba2 muncul dengan Cap-ji-s ing-siok yang kebal
senjata . . . . . . "
Terbeliak mata Pek-hoa-pangcu Bok-tan, katanya kaget: "Banyak
jumlah ba la bantuan musuh? Akhirnya bagaimana?"
"Syukurlah, berkat wibawa Pangcu yang sakti, musuh
meninggalkan tiga sosok mayat dan me larikan diri.'
Cerah senyuman Pek-hoa-pangcu Bok-tan katanya: "Itu berkat
kesaktian Ling-heng sebagai Cong-su-cia yang perkasa."
"Toaci," sela So-yok, "Cap-ji-sing-siok dari Hek-liong-hwe
semuanya berpakaian kulit yang kebal senjata, kita sudah be lejeti
pakaian ketiga korban itu."
Sementara itu Leng Tio-cong, Kongsun Siang dan la in2 juga ikut
masuk ke ruangan besar, baru sekarang mereka sempat maju
me mberi hormat kepada sang Pangcu. Sedangkan Song Te k-seng
dan Thio La m-jiang ta mpil ke depan menghaturkan ke tiga paka ian
kulit itu. Sementara Ji Siu-seng juga maju me mberi hormat sambil
tetap menge mpit tawanannya. '
Sebentar Pek-hoa-pangcu pandang Ji Siu-seng pa lsu, lalu
bertanya: "Mana Cin Tek-hong dan Kho Ting-seng?"
"Kedua orang ini sudah terbunuh musuh, ka mi sudah
menguburnya," tutur Kun-gi..
Sambil me lirik Ji Siu-seng pa lsu Pek-hoa-pangcu berkata pula:
"Inikah utusan mereka yang me ma lsukan Ji Siu-seng. Untung Ling-
heng me mbongkar kedok dan muslihat jahat mereka, kalau tidak
sebelum kita tiba di sarang Hek-liong-hwe, seluruh Hou-hoat-su-cia
sudah ditukar dengan orang2 mereka." La lu dia mengulap tangan
dan mena mbahkan: "Gusur dia dan sementara sekap saja di gudang
bawah."'
Ji Siu-seng mengia kan terus gusur Ji Siu-seng pa lsu keluar.
Pek-hoa-pangcu berkata lebih lanjut: "Sila kan duduk Ling-heng,
tadi Kiu-moay telah me mberi laporan padaku, dari arah Gu-cu-ki ada
cahaya pedang yang berkelebatan, dikuatirkan Ling-heng meng-
hadapi bahaya serbuan musuh, ma ka kusuruh Ji-moay menyusul ke
sana me mberi bantuan, kukira pertempuran kalian pasti sangat
sengit dan ber-bahaya, sukalah Ling-heng kisahkan kejadian tadi?"
Kun-gi menarik kursi dan berduduk.
So- yok ikut duduk di sebelahnya, sekilas dia melirik Song Tek-
song dan Kongsun Siang, katanya: "Seorang diri tadi Ling-heng
menghadapi Cap-ji-sing-siok, musuh yang tangguh dan kebal
senjata, tentu badan amat lelah, kukira kalian boleh bergantian
mengisahkan kejadian itu."
Kongsun Siang mengangguk, katanya: "Baiklah, biar hamba yang
me mberi laporan kepada Pangcu."
Pek-hoa-pangcu manggut2 setuju.
Kongsun Siang lalu bercerita cara bagaimana mereka berhasil
menjebak Cin Tek-hong , serta mengorek keterangannya, sampai
tahu2 Nao Sa m-jun muncul bersa ma Cap ji-sing-s iok, lalu mere ka
bentrok dengan sengit, seorang diri Ling Kun-gi berhasil me mbunuh
dan melukai Cap-ji-sing-siok, seluruh peristiwa diceritakannya
dengan lengkap dan teliti. Kongsun Siang berwajah cakap dan
pandai bicara, maka peristiwa menegangkan yang mereka ala mi itu
dapatlah dia kisahkan dengan baik dan menarik sehingga hadirin
yang mendengarkan seolah2 ikut menyaksikan sendiri dite mpat itu.
Waktu dia bercerita cara bagaimana pedang pusaka se kaligus
me mbabat kutung tangan orang serta me mukul mati lawan, hadirin
sama bertepuk tangan me muji.
Dengan seksama Pek-hoa-pangcu periksa baju kulit ra mpasan
yang berada di atas meja, tanyanya sambil angkat kepala: "Tahukah
kalian terbuat dari kulit apakah paka ian ini?"
Tahu bahwa pakaian kulit ini tak me mpan senjata tajam, meski
senjata rahasia dan pukulan saktipun takkan dapat me luka i
pemaka inya, maka para hadirin jadi lebih ketarik, bera mai2 mere ka
merubung maju, tapi tiada seorangpun yang ma mpu me mberi
keterangan.
Akhirnya Sa m-gansia Coa Liang buka suara: "Ha mba pernah
dengar orang mengatakan di laut utara ada tumbuh sejenis
binatang anjing laut, kulit bersisik le mbut dan halus sekali, dapat
dibuat pakaian yang kebal senjata dan tahan pukulan, sarang He k-
liong-hwe mungkin terletak tak jauh dari Pak-hay, maka tidak heran
kalau mereka bisa me mproduksi pakaian anjing laut ini secara
besar2an."
Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Ya, mungkin saja, akhir2
ini He k-liong-hwe me mang telah merangkul banyak sekali orang2
kosen dari berbagai kalangan, kalau mere ka sama mengena kan
pakaian seperti ini dan kita tidak lekas me mpersiapkan diri, mungkin
bisa mengala mi kegagalan."
"Buat apa Toaci kesal?" ujar So-yok, "Bukankah Cap ji-sing-s iok
telah dibikin pora k poranda dengan tiga mati dan tiga luka oleh
Ling-heng, akhirnya melarikan diri dala m keadaan serba runya m?"
Kata Pek hoa-pangcu: "Itu baru seorang yang me miliki Lwekang
dan kepandaian setinggi ini, diantara kita sebanyak ini, ka lau
berhadapan dengan musuh yang kebal senjata, bukankah kita
sendiri bisa runyam jadinya?" ia melongok keluar jendela melihat
cuaca, katanya pula: "Sudah terang tanah, sebentar lagi Thay-siang
akan bangun, soal ini betapapun harus cepat kulaporkan kepada
beliau." Ia berpaling dan berpesan kepada seorang pelayan: "Bak-
ni, ambillah perangkat pakaian itu dan ikut aku ke atas, dua
perangkat yang lain serahkan kepada Ling-houhoat untuk
menyimpan se mentara." Lalu ia berdiri dan mena mbahkan pula:
"Ling-heng, Ji moay, mari kita menghadap Thay-siang."
Ling Kun-gi, So-yok dan Giok-lan berdiri bersama. "Sila kan Ling-
heng," Pek-hoa-pangcu angkat sebelah tangannya.
"Pangcu silakan dulu," Kun-gi, merendah, "mana berani ha mba
mendahului.?"
Pek-hoa-pangcu tersenyum, katanya: "Mengapa Ling-heng lupa,
Thay-siang sudah me mberi mandat padamu, kau berkuasa penuh
untuk me mbongkar perkara ini, aku dan Ji-moay termasuk
pembantu saja, maka sila kan Ling-heng jalan di depan."
Kata2 ini terucap dari mulut sang Pangcu sendiri, sudah tentu
bobotnya jauh berbeda. Baru sekarang semua orang tahu bahwa,
Ling Kun-gi adalah orang kepercayaan Thay-siang, kedudukannya
seolah2 lebih tinggi dari Pangcu dan hupangcu ma lah.
Me mangnya hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran, dinilai
taraf ilmu silat dan martabat Kun-gi, dala m kalangan Bu-lim masa
kini sukar dicari orang kedua yang mirip dengan Kun-gi. Ma ka
semua orang sudah menduga dan kini se makin yakin bahwa Ling
Kun-gi akan se makin me nanjak ke atas menjadi calon menantu,
cuma ba kal me mpersunting Bok-tan, sang Pangcu yang cantik
rupawan merajai se mua pere mpuan yang ada di sini, atau menikah
dengan So-yok, Hupangcu yang cerdik panda i dan berkuasa serta
garang dan angkuh ini
Betapapun Kun-gi t idak mau jalan di depan, terpaksa Bok-tan
me mbuka jalan, disusul So-yok terus Giok-lan dan ke 10 Taycia
beriring naik ke tingkat ketiga.
Tiba di depan kabin tengah di mana Thay-siang berada, kecuali
Bwehoa yang dinas mala m ini, Bikui pernah menyaru jadi Cu-cu,
tapi iapun tidak berani sembarangan masuk ke kabin, ma ka para
Taycia lantas menyebar ke sekitarnya. Sementara Pek-hoa-pangcu
dan Ling Kun-gi bere mpat lantas masuk.
"Urusan apa, Kun-gi?" tanya Thay-siang segera.
Lekas Kun-gi menjura, sahutnya: "Hamba akan me mberi laporan
kepada Thay-siang."
"Baiklah, tunggu sebentar," seru Thay-siang.
Kun-gi me mberi hormat, hanya dia saja yang tida k tekuk lutut
menye mbah, sementara Bok-tan, So-yok dan Giok-lan sa ma tekuk
lutut menye mbah tiga kali dan berseru bersama: "Tecu
menya mpaikan se mbah sujud kepada Suhu."
Walau wajahnya tertutup cadar, tapi suara Thay-siang terdengar
le mbut ramah: "Bangunlah kalian." Lalu dia duduk di kursi
kebesarannya, tanyanya kepada Kun-gi: "Ling Kun-gi, baru sekarang
kau menghadap, me mangnya perkara. Ci Gwat-ngo dan
komplotannya sudah kau bongkar seluruhnya?"
"Lapor Thay-siang," seru Kun-gi, "syukurlah hamba tidak sia2
menuna ikan tugas berat ini."
''Em, baik sekali," tampa k sinar terang kedua mata Thay-siang
dibalik cadarnya, katanya lembut dengan tertawa: "Memang, kau
anak bagus, Losin tahu kau cukup ma mpu menjaring mere ka
semua, ma ka Losin beri kuasa penuh padamu, kiranya kau tidak
mengecewakan Losin. Oya, kalian le kas duduk, bicaralah pelan2."
Betapa halus dan kasih sayang panggilan "anak bagus" itu, bagi
Kun-gi sendiri t idak merasakan apa2 tapi Pek-hoa-pangcu seketika
merah jengah dan bukan kepa lang rasa riang dan syur hatinya,
Sejak Thay-siang menyerahkan lh-thiankia m kepada Kun-gi, sejak
itu pula perasaan Bok-tan sudah mantap seolah2 soal jodohnya
sudah terangkap.
"Terima kasih," sahut Kun-gi, lalu dia duduk di kursi sebelah
bawah. Maka Pek-hoa-pangcu, Hu pangcu dan Congkoan juga ikut
duduk.
Kun-gi mulai bercerita sejak dia diangkat menjadi Cong-su-cia,
ma la m itu seseorang coba me mbunuh dirinya menggunakan Som-
lo-ling, cara bagaimana dia menguntit musuh dan setelah dianalisa
dengan teliti, dia yakin bahwa orang itu pasti Cin Tek-hong adanya.
Waktu ke mbali didapatinya Kho Ting-seng yang berjuluk Gintancu
ternyata hanya begitu saja kepandaiannya, padahal dia tersohor
dengan pelor peraknya itu, setetah dekat dan diawasi kiranya wajah
orang sudah terias, kedua hal inilah mulai menimbulkan rasa
curiganya.
Kemudian di atas kapal, Nyo Keh-Cong dan Sim Kiansin ke mba li
dengan luka2, didapatinya pula wajah kedua orang ini riasan juga,
hari ketiga de mikian pula yang terjadi pada Ho Siang-seng dan Kho
Ting-seng yang ke mbali dari ronda. Urusan berkembang sede mikian
pesat, ini sudah jelas menandakan bahwa musuh me mang bekerja
sejak lama dan direncanakan dengan matang, setiap orang kita
yang keluar ronda, pulangnya ditukar seorang dengan kaki tangan
musuh.
Thay-siang manggut2, ujarnya: "Kau me mang cerdik, ai, ada
kejadian begitu, kenapa tidak kau katakan sejak mula?"
Sedikit me mbungkuk Kun-gi berkata: "Harap Thay-siang maklum,
urusan semaca m ini, kalau tiada bukti, mana boleh se mbarangan
menuduh orang?"
"Betul," ucap Thay-siang.," manggut2. "Coba teruskan." Kun-gi
me lanjutkan uraiannya bahwa mungkin karena waktu itu dirinya
berhasil me mbuat obat penawar getah beracun, maka pihak He k-
liong-hwe berusaha melenyapkan dirinya, maka terjadilah Ci Gwat-
ngo me mfitnah dirinya dengan menye mbunyikan barang bukt i di
kamarnya, lalu dia ceritakan sa mpai pada giliran Cin Tek-hong
mendapat tugas untuk ronda mala m. Secara diam2 ia lantas
perintahkan Kongsun Siang, Song Tek-seng dan Thio La m-jiang agar
me mbe kuk para kelasi perahu Cin Tek-hong dan Kho Ting-sing,
betul juga pada badan para kelasi ini diperoleh sebuah kotak Som-
lo-ling, maka dia lantas meninggalkan sepucuk surat rahasia kepada
Congkoan, surat harus dibuka setelah kentongan kedua dan supaya
disa mpaikan kepada Hupangcu untuk me mbekuk Nyo Keh-cong dan
Sim Kiansin berdua, sementara dirinya bersa ma Kongsun Siang
berempat menyamar ke lasi dan cara bagaimana Cin Tek-hong
me masang la mpu merah di ujung perahu la lu mendarat di Gu-cu-ki,
di sana orang telah mengatur muslihat hendak menawan J i Siu-
seng, tapi ma lah berbalik kena di-ringkus olehnya.
Pelan2 Thay-siang menepuk kursi, katanya mengangguk: "Bagus
sekali, me mang tidak malu kau sebagai Cong-su-cia Pe k-hoa-pang
kita, bagaimana selanjutnya?"
Kun-gi t idak berani ma in se mbunyi, cara bagaimana dia,
mengorek keterangan dari Cin Tek-hong dia tuturkan pula
seterang2nya, Thay-siang hanya manggut saja, tidak tanya seluk
beluk Hek-liong-hwe lebih lanjut.
Dia m2 Kun-gi merasa heran, pikirnya: "Kenapa dia tidak tanya
lebih lanjut? Me mangnya dia sudah jauh lebih tahu akan seluk-beluk
Hek-liong hwe?'
Selanjutnya dia tuturkan C in Tek-hong mendadak mati terbunuh
oleh orang2 pihak mereka sendiri dan menurut Nao Sa m-jun, atas
perintah Hwecu mereka, dia diperintah menawan Kun-gi hidup2 . . .
Tampak mimik Thay-siang menaruh perhatian akan hal ini,
matanya me mbulat ke arah muka Ling Kun-gi, tanyanya: "Apa yang
dia katakan pada mu? Katakan terus terang, jangan dise mbunyikan."
Tutur Kun-gi: "Dia bilang asal hamba betul2 bisa me mbuat obat
penawar getah beracun, Hek-liong-hwe t idak a kan kikir me mberi
imbalan upah besar dan kedudukan lebih t inggi . . . . "
"Bluk", Thay-siang menggebrak me ja, seruhya gusar: "Mereka
me mancing dan hendak menyogok kau."
Pek-hoa-pangcu, Hupangcu dan Giok-lan sa ma berjingkat kaget.
Kun-gi juga ge lisah dan jeri, katanya: "Ha mba..."
Thay-siang angkat kepala, katanya ramah: "Lo-sin tidak salahkan
kau, lanjutkan keterangan ini."
Lalu Kun-gi tuturkan cara bagaimana seorang diri dia melabrak
Cap-ji-sing-siok, meski lawan me makai seragam keba l senjata,
beruntung dia me mbekal Ih-thiankia m anugerah Thay-siang yang
tajam luar biasa, beruntun dia melukai ena m orang musuh, melihat
gelagat tidak menguntungkan cepat2 Nao Sam-jun mencawat ekor
me larikan diri.
Pada akhir ceritanya Ling Kun-gi berpaling dan berkata kepada
Giok-lan: "Tolong Congkoan suruh mereka me mbawa pa kaian keba l
senjata itu ke mari dan diperlihatkan kepada Thay-siang."
Giok-lan mengiakan, dia beranjak ke pintu serta menggapai,
maka Bak-ni me langkah masuk sa mbil me mbawa pakaian kulit itu
terus diaturkan ke hadapan Thay-siang.
Hanya sekilas Thay-sung pandang baju kulit itu lalu berkata sinis:
"Kukira Cap-ji-sing-siok apa, kiranya orang2 yang berpakaian kulit
binatang, me mang kulit anjing laut ini kebal senjata."
Mendengar nada perkataan orang Kun-gi berkesimpulan bahwa
agaknya Thay-siang sudah tahu akan pakaian kulit anjing laut ini,
dia m2 dia merasa heran.
Terdengar Thay-siang berkata lebih lanjut dengan suara le mbut:
"Ling Kun-gi, kali ini kau berhasil me mbongkar komplotan musuh
yang menyelundup ke da la m Pang kita, inilah merupa kan pahala
besar sekali . . . . ." bicara sa mpai di sini entah sengaja atau tida k
matanya melirik kearah Pek-hoa-pangcu Bok tan. "Kerjalah yaug
baik, lebih giat dan rajin, Losin tidak a kan menyia2kan bakat dan
kebaikanmu." Kata2nya sudah ga mblang, sejak mula kiranya dia
sudah ada maksud menjodohkan Bok-tan kepada Ling Kun-gi. Pe k-
hoa-pangcu tampa k ma lu dan menunduk se makin rendah.
Sudah tentu Kun-gi juga merasa ke arah mana ucapan Thay-
siang ini, tapi karena Thay-siang tidak bicara blak2an, tidak enak dia
bicara lebih banyak, ma ka sekenanya dia me mbungkuk serta
berkata: "Terima kasih Thay-siang."
Sebaliknya terasa hampir me ledak dada So-yok dengan penuh
kebencian dia me lerok ke arah Ling Kun-gi.
Kebetulan Thay-siang berpaling dan tanya: "So-yok, semua
mata2 He k-liong-hwe yang tertawan sudahkah kau tanyai
keterangannya?"
"Sudah kukompes seluruhnya," jawab So-yok.
"Bagus, penggal saja kepala mereka," Thay-siang me mberi
perintah.
"Tecu terima perintah," sabut So-yok me mbungkuk.
"Ha mba ada sebuah permohonan," sela Kun-gi.
Le mbut suara Thay-siang: "Kau ada pendapat apa, boleh kau
utarakan."
"Mata2 Hek-liong-hwe yang diselundupkan ke Pang kita semua di
bawah pengawasan Ci Gwat-ngo dan Cin Tek-hong, kedua
pemimpinnya ini sudah mati, sisa yang lain hanyalah anak buah
Hek-liong-hwe yang berkedudukan rendah, kukira dipunahkan saja
ilmu silat mereka dan berilah kese mpatan hidup kepada mereka,
semutpun ingin hidup apa lagi manusia, kukira tidaklah jelek kita
me mberikan kebijaksanaan ini dan menaruh be las kasihan terhadap
mereka. . . "
So-yok menjenge k dingin: "Hek-liong-hwe sudah je las
bermusuhan dengan kita, terhadap musuh buat apa menaruh belas
kasihan segala? Mereka menyelundup ke mari bukankan orang2 kita
juga sudah menjadi korban? Hutang jiwa harus bayar jiwa, inilah
hukum kodrat yang cukup adil."
Thay-siang tersenyum, katanya lembut: "Waktu gurumu masih
muda dulu juga tidak pernah me nga mpuni setiap musuh, beberapa
tahun belakangan ini sudah tekun me mpelajari ajaran agama, nafsu
dan e mosi sudah jauh tertekan. Begini saja, bahwa Ling Kun-gi
sudah telanjur mintakan a mpun bagi mereka, maka baiklah a mpuni
saja jiwa mereka."
"Thay-siang me mang bajik dan we las asih, hamba
menya mpaikan rasa terima kasih yang tak terhingga," seru Kun-gi.
Sejenak merandek lalu ia berkata ppla: "Hupangcu, masih ada
sebuah persoalan yang ingin ha mba sa mpaikan.".
"Ada urusan apa?" suara So-yok dingin ketus.
"Nona kecil yang menya mar Cu-cu itu adalah orang dari Ceng-
liong-tong, Ceng-liong-tong merupakan seksi dala m di Hek-liong-
hwe, sekarang baru kita ketahui bahwa Ui-liong-tong yang termasuk
seksi luar bermarkas di Ui-lionggia m di utara Kunlunsan, sejauh ini
belum diketahui dima na letak markas seksi dala m mereka, ma ka
orang ini teramat penting bagi kita, hendaklah jangan kau punahkan
dulu ilmu silatnya."
So-yok me mandangnya dengan dingin, tanpa me mberi
tanggapan terus putar badan tinggal keluar.
Melihat sikap orang yang kaku dan dingin, dia m2 Kun-gi
menggerutu dala m hati, entah soal apa yang menyebabkan dia
begitu, dihadapan sekian banyak orang juga mengumbar adat, Kun-
gi hanya menyengir saja, katanya setelah me mbungkuk kepada
Thay-siang: "Kalau Thay-siang tiada pesan apa2, hamba mohon diri
saja."
"Ya, boleh kau pergi," rujar Thay-siang. Kun-gi menjura lalu
mengundurkan diri.
Waktu itu hari sudah terang benderang, sementara kapal juga
telah berlayar. Cahaya mentari terasa hangat dan ce merlang.
Kun-gi menengadah menghirup napas panjang, sambil
berpegang langkan kapal pelan2 dia beranjak turun dari anak
tangga kemba li ke tingkat kedua, ternyata sernua orang masih
tunggu di ka mar makan kecuali yang bertugas diluar. Sekilas dia
menyapu pandang lalu berkata dengan ka le m: "Se ma la m suntuk
kalian tidak tidur, kenapa tida k bubar dan istirahat saja?"
Coh-houhoat Leng Tio-cong segera me mapak maju, katanya
tertawa:."Karena semala m Cong-coh berhasil me mbongkar seluruh
jaringan mata2 musuh yang menyelundup di Pang kita mendirikan
pahala besar lagi, maka kita semua ingin menyampa ikan sela mat
pada mu."
"Menjaring mata2 dan me lawan serbuan musuh dari luar, adalah
tugas dan tanggung jawabku, apalagi kejadian semala m juga berkat
bantuan para saudara, toh bukan pahalaku seorang, kita se mua
orang sendiri, soal me mberi hormat segala sungguh tak berani
kuterima."
Tengah bicara tampak dari luar berbaris masuk se mbilan dara
ke mbang yang menyoreng pedang, setiap dara kembang me mbawa
sebuah nampan warna merah tertutup kain warna hitam, entah
barang apa yang berada di na mpan kayu itu? Begitu masuk ke
ruang makan kese mbilan dara kembang lantas berdiri berjajar,
serempak me mberi hormat, lalu seorang yang berdiri paling ujung
buka suara: "Se ksi hukum telah menunaikan tugas me mengga l
kepala sembilan mata2 musuh, harap Cong-su-cia periksa adanya."
Seiring dengan kata2nya, berbareng kesembilan dara ke mbang itu
menyingkap kain taplak yang menutup na mpan merah itu. Ternyata
nampan kayu itu semua berisi batok kepala manusia yang masih
berlepotan darah segar..
Mata2 musuh yang dijatuhi hukuman mati penggal kepala ini
jelas adalah orang2 yang menyamar Nyo Keh-cong, Sim Kiansin dan
Ho Siang-seng, de mikian pula e mpat kelasi sa mpan yang masing2
bernama Li Hek-kau, Ong-ma-cu, Lim Telok dan Kim-lo-sa m. Batok
kepala terakhir bera mbut panjang awut2an, beralis lentik bermuka
halus, jelas adalah batok kepala gadis cilik yang menyaru Cu-cu.
Sembilan dara ke mbang yang me mbawa na mpan berisi batok
kepala manusia ini se mua masih muda belia, berparas cantik
bertubuh montok menggiurkan, pakaian mereka ringkas ketat,
dengan garis tubuh yaug me mpesona, tapi se mbilan batok kepala
manusia yang berlepotan darah itu jauh menarik perhatian orang
dan terasa menjijikan, siapapun takkan percaya bahwa dara2
kernbang ayu jelita seperti mere ka ini tega me mengga l kepala
kesembilan korbannya ini.
Semula hadirin sama bersorak tawa ge mbira, kini se muanya
me longo sera m dan berdiri bulu kuduknya. Ling Kun-gi sendiri juga
tertegun diam sekian la manya.
Maklumlah, atas persetujuan Thay-siang para mata2 ini hanya
diputus hukuman punahkan ilmu silatnya tapi diampuni jiwanya,
terutama gadis cilik yang menyaru Cu-cu dipandang lebih penting,
maka dia merasa perlu berpesan kepada So-yok untuk menjaga dan
menyela matkan jiwanya, karena hanya dara cilik inilah yang tahu
letak markas Ceng-liong-tong, musuh yang amat terahasia itu.
Dia m2 ia mendongkol, serunya naik pitam: "Siapa yang perintahkan
kalian me menggal kepala mereka?"
Terdengar seorang menanggapi di luar pintu: "Sudah tentu atas
perintahku!" Se iring suaranya tampak So-yok me langkah masuk.
Tak tertahan, seperti dibakar hati Ling Kun-gi, katanya dongkol:
"Sudah kumohon a mpunkan jiwa mereka kepada Thay-siang. ."
"Yang berkuasa dala m seksi hukum aku atau kau?" tukas So-yok
sengit. "Setiap tugas urusan dalam Pang kita masing2 diurus oleh
jabatan masing2, apakah Cong-su-cia tida k merasa menca mpuri
urusan orang la in?"
"Hupangcu me mang menjabat rangkap seksi hukum, tapi
tahukah kau telah menggagalkan urusanku?" se mprot Kun-gi.
"Menggagalkan urusan apa?"
"Umpa ma kata dara cilik yang menyaru Cu-cu ini, dia adalah
pelayan Cui-tongcu yang berkuasa di Ceng-liong-tong, hanya dia
saja yang tahu di mana letak markas Ceng-liong-tong, maka tadi
kupesan kepada Hupangcu supaya tidak me munahkan ilmu silatnya,
kini kau malah me mbunuh dia. . . ."
Me mbesi hijau muka So-yok, jengeknya: "Aku mengagalkan
urusanmu, me mangnya kau sudah kepincut pada dara molek ini,
maka kau melarang aku menyentuh dia. . . .."
Merah muka Ling Kun-gi, semprotnya marah: "Kau me mang usil
dan sengaja cari perkara."
"Ling Kun-gi!" teriak So-yok, "berani kau .... mema kiku?" Setelah
me mbanting kaki dia terus putar badan berlari keluar. Dia pikir
setelah marah dan berlari keluar, Kun-gi pasti akan mengejarnya
keluar, tak terduga beberapa langkah ke mudian, waktu dia
berpaling, Kun-gi masih berdiri me matung di tempatnya. Saking
marah tak tertahan dia berteriak: "Ling Kun-gi, keluarlah kau!"
Kun-gi tetap berdiri tidak bergerak. Dia m2 Kongsun Siang
mende kati dan berbisik: "Watak Hu pangcu sela manya angkuh,
dalam segala persoalan Ling-heng harus bersabar dan mengalah,
dia me manggilmu keluar, mungkin dia merasa menyesal, di sini
banyak orang dan malu menyatakan kesalahannya, lekaslah Ling-
heng keluar saja."
Mengingat orang adalah Hupangcu, tak pantas dihadapan orang
banyak dirinya marah2 padanya, Kun-gi mengangguk la lu beranjak
keluar. Sementara sembilan dara ke mbang masih berdiri menjublek,
karena pertengkaran Hupangcu dan Cong-su-cia menyangkut
perintah yang mereka la kukan, mereka me njadi pucat ketakutan.
Coh-houhoat Leng Tio-cong mengacung je mpol kepada Kongsun
Siang, katanya tertawa: "Kongsun lote me mang pandai bicara,
syukurlah kau berhasil me mbujuk Cong-su-cia."
"Ah, hamba hanya me mbujuk Cong-su-cia supaya tidak bekerja
menurut i adat saja."
Leng Tio-cong tetap tersenyurn, katanya sambil menoleh ke arah
para dara kembang: "Nona2, kalian boleh mengundurkan diri."
Serempak kese mbilan dara me njura terus mengundurkan diri.
Menyapu pandang seluruh hadirin, Leng Tio-cong buka suara
sambil mengelus jenggot kambing di dagunya: "Semala m kalian
tidak tidur, sekarang boleh ke mbali ke ka mar masing2 untuk
istirahat."
Hanya Kongsun Siang seorang yang bertaut ke dua alisnya,
seperti dirundung persoalan rumit yang mengganjel hatinya, dia
tetap mondar-mandir di ruang ma kan sa mbil menggendong tangan.
Keadaan sepi lengang, dala m ruang makan yang luas ini kini
tinggal Kongsun Siang dan Sa m-gansin Coa Liang yang duduk
dibangku panjang sa mbil mengangkat sebelah kakinya di atas
bangku.. Hari ini. dia menjadi komandan para petugas siang.
Dengan me micingkan mata dan miring kepa la dia me mandang
Kongsun Siang, tanyanya: "Kongsunlote, kau ada ganjelan hati
apa?"
Kongsun Siang menggeleng: "Mana ada ganje lan hati segala."
Coa Liang meraih secangkir teh terus diteguknya, katanya
terkekeh: "Kongsunlote, jangan mulut mu bicara tidak sesuai dengan
isi hatimu, aku berani bertaruh kau pasti sedang kasmaran entah
terhadap nona yang mana sampa i kehilangan se mangat seperti
orang linglung. Ke marilah, hayo ceritakan padaku, nanti kubantu
mencarikan a kal."
Merah muka Kongsun Siang, katanya tergagap: "O, sungguh
tiada persoalan apa2." Lalu dia menjura dan merna mbahkan:
"Silakan duduk lagi, ha mba akan ke mbali ke ka mar saja." Bergegas
dia lantas ke ka mar.
Mengawasi punggung orang, Coa Liang ter-kekeh2, katanya:,
"Anak bagus kau masih pura2 dan mungkir, kalau betul kau sudah
kasmaran, kau bisa sa kit rindu."
Sementara itu So-yok berdiri di ujung dek tingkat kedua. Angin
sungai menghe mbus santer. . wajah yang selama ini berseri cerah
kini kelihatan meradang ke marahan dan kesal.
Kun-gi sudah berada di sa mpingnya, jelas dia telah mendengar
langkah orang mendatangi, tapi dia sengaja me mandang ke te mpat
nan jauh di depan tanpa menoleh atau me lirik.
Kun-gi berhenti, serunya: "Hupangcu.. ... ."
Tetap tidak menoleh, suara So-yok kedengaran kaku dingin:
"Jangan panggil aku Hupangcu, untuk apa kau masih hiraukan
diriku?"
"Bukankah Hupangcu yang suruh aku ke mari?”
"Siapa suruh kau ke mari? Aku tidak me manggilmu, pergilah kau."
.
"Hupangcu me manggilku dan aku sudah keluar, kalau kau
me mang tidak me manggilku, yah anggaplah aku yang salah
dengar," pelan2 dia putar badan hendak tinggal pergi.
Mendadak So-yok putar badan, bentaknya: "Berdiri ditempat mu!"
Kun-gi masih muda dan berdarah panas juga, katanya tertawa
tawar: "Cayhe sebetulnya . . . .” dia mau berkata: "Cayhe
menghargaimu sebagai Hupangcu, tapi Cayhe bukan orang yang
boleh di panggil dan diusir begini saja." Tapi baru saja berucap
'Cayhe' itulah, sorot rnatanya kebentrok dengan wajah orang yang
kelihatan sayu rawan, seperti dirundung kesedihan dan penyesalan,
suaranya garang, tapi sorot matanya ber-kaca2 dan akhirnya
meneteskan air mata.
Hati le laki umumnya me mang le mah bila me lihat air mata
perempuan. Dan perempuan juga tahu cara menga mbil keuntungan
ini, maka dala m setiap pertengkaran air matalah yang dijadikan alat
untuk menundukkan lelaki. Sejak ja man dahulu ka la air mata
perempuan entah sudah menundukkan berapa banyak kaum la ki2.
Demikian pula hati Ling Kun-gi seketika luluh, kata2 yang sudah
siap tercetus dari mulutnya seketika dia telan ke mba li, setelah
menghe la napas, dia berkata: "Kau me mang suka me mbawa
adatmu sendiri"
"Aku me mbawa adat apa?" jengek So-yok.
"Entah karena apa Hupangcu marah2, sekaligus me mbunuh
sembilan orang, me mangnya ini bukan me mbawa adatnya sendiri."
"Ya, aku marah2 dan me mbunuh orang, me mangnya kenapa?"
Serius rona muka Kun-gi, katanya: "Kau ada-lah Hupangcu Pek-
hoa-pang, me mangnya siapa berani berbuat apa2 terhadapmu? Tapi
perlu Cayhe me mberitahukan nona bahwa kuinginkan keutuhan ilmu
silat nona cilik penyaru Cu-cu itu adalah untuk kepentingan Pang
kita, dengan tingkat kepandaiannya, utuh atau dipunahkan ilmu
silatnya tidak menjadi persoalan bagi kita, cuma menurut rencanaku
setelah nanti kita mendarat akan kuberi kese mpatan dia melarikan
diri, dengan menguntit jejaknya kita pasti akan dapat meluruk ke
Ceng-liong-tong dengan mudah, dengan Hek-liong-hwe Cayhe tiada
permusuhan apa2, tapi jelek2 Cayhe adalah Cong-su-cia Pe k-hoa-
pang, aku punya tanggung jawab untuk berbakti dan bekerja demi
kepentingan Pek-hoa-pang, dan kau me mbawa adatmu sehingga
segala rencanaku kau gagalkan."
"Gagal ya gagal, me mangnya kenapa?" ejek So-yok.
"Bagi Cayhe sendiri tiada persoalan, kalau di sini a ku tidak bisa
bekerja dan tidak betah lagi, seandainya seluruh isi kapal baka l
tertumpas habis, Cayhe yakin masih cukup ma mpu
me mpertahankan diri, aku masih tetap bisa berkelana di Kangouw,
aku tetap Ling Kun-gi, tapi kau adalah la in. . . . ."
"Dala m hal apa aku berbeda?"
"Kau kan Hupaagcu Pek-hoa-pang, kalian mengerahkan seluruh
kekuatan meluruk ketempat jauh ini, hanya boleh menang pantang
kalah dan gagal, sekali menang akan ta mbah se mangat juang yang
lebih berkobar dan menyapu segala aral rintangan, tapi bila gaga l
kalian a kan berbalik tertumpas habis seluruhnya, nama Pe k-hoa-
pang selanjutnya akan lenyap dari percaturan Kangouw, oleh karena
itu menghadapi setiap persoalan tidak boleh kita me mbawa adatnya
sendiri."
"Kau sedang me ngajar dan me mperingatkan a ku?"
"Mengajar atau memperingatkan aku tidak berani, aku hanya
me mberi ingat saja."
"Tida k perlu kau me mbujukku, me mang de mikianlah a ku ini,
watak pembawaan sejak dilahirkan, segala tindak-tanduk selalu
menurut i keinginan hati .... "
"Obat mujarab biasanya me mang pahit getir, bujuk kata
umumnya me mang menusuk telinga, kalau Hupangcu t idak suka
dengar nasihatku, ya sudahlah," Kun-gi putar badan hendak tingga l
pergi.
Melihat orang mau pergi, semakin marah So-yok, bentaknya:
"Berdirilah dite mpat mu."
"Apa pula yang ingin kau katakan?"
"Terangkan sejelasnya, ya sudahlah apa maksudmu?" kiranya si
nona salah paha m.
"Sudahlah, anggap saja aku tida k pernah bicara apa2"
Me mbesi kaku muka So-yok, serunya menuding Kun-gi dengan
menggereget: "Ling Kun-gi, jangan kau kira secara langsung Thay-
siang sudah me mberi muka padamu, maka kau lantas ingin berbuat
tidak semena2, mendapat yang baru lupa yang lama, ketahuilah,
kalau kau berani . . . . me mbuang akhir untuk permulaan yang
kalut, aku tidak akan me mbiarkan dirimu," lenyap suaranya
mendadak dia putar tubuh terus berlari ke tingkat ketiga.
"Me mbuang yang akhir untuk permulaan yang kalut" kata2 ini
umpa ma geledek mengge legar di pinggir telinga Ling Kun-gi, apa
lagi kata2 ini terucap oleh seorang perempuan maca m So-yok yang
Hupangcu ini, dia terlongong sekian lamanya. Betapa berat dan
serius kata "mendapat yang baru lupa yang lama" dari mulut
seorang perempuan? Mendapat yang baru lupa yang la ma,
me mangnya siapa yang baru dan siapa pula yang lama itu? Kapan
dirinya pernah mendapatkan yang baru? Kapan pula yang lama? . . .
.
Lama sekah Kun-gi menjuble k di atas dek, mulutnya berulang
mengguma m kata2 yang tak berujung pangkal itu, hatinya
dirundung rasa kesal dan masgul yang tak terla mpias. Sungguh dia
tidak habis mengerti darimana juntrungan kedua patah kata dan
persoalan apa yang dimaksud?
Kun-gi adalah perjaka yang punya perasaan tajam dan otak yang
encer pula, selama beberapa hari ini, bagaimana sikap dan tindak-
tanduk So-yok terhadapnya, memangnya dia tidak tahu? Tapi dia
yakin sebagai murid didik Hoanjiu-ji-lay yang kesohor itu dirinya
selalu bertindak jujur dan sopan, tak pernah melakukan perbuatan
kotor apalagi me langgar susila.
Waktu Thay-siang me manggilnya dan So-yok mengantar, di
la mping gunung yang mele kuk gelap itu, karena tak kuat menahan
gejolak perasaan lantaran dirayu pernah dia me meluk ia satu kali,
kan ia sendiri juga re la dan ma ndah dipeluk dan dicium, ka lau bukan
dia sendiri yang rela menyerahkan dirinya, memangnya dirinya
berani berbuat kurangajar? Bagaimana kejadian itu dapat dikatakan
sebagai permulaan yang kalut?
Dia tahu perempuan yang satu ini me mang angkuh dan tinggi
hati, tidak dapat disangkal bahwa sikap orang me mang teramat baik
pada dirinya, dan di sinilah mungkin letaknya kenapa dia sampa i
berkata demikian pedas dan ketus. Beginipun baik, paling tida k
selanjutnya nona itu tida k akan merecoki dirinya lagi.
Semala m suntuk Kun-gi tida k me meja mkan mata, angin sungai
terasa silir nyaman, tanpa terasa ia merasa letih, setelah menguap
dia ke mbali ke kabin. Setiba di kamar baru saja dia duduk di kursi
dekat jendela, didengarnya seseorang mengetuk pintu pelahan, lalu
daun pintu didorong orang, bayangan seorang berkelebat masuk.
Itulah Kongsun Siang, mimik mukanya ta mpak aneh, seperti
dirundung persoalan rumit saja, mulutnya berseru lirih: "Cong-coh"
Heran Kun-gi, tanyanya: "Ada urusan apa Kongsun-heng?'
"Ti . . . .tidak apa2," gagap jawaban Kongsun Siang, "kulihat
Ling-heng baru ke mba li, maka sengaja kutengok ke mari." Jelas
jawabannya sangat meng-ada2.
"Silakan duduk Kongsun-heng."
Kongsun siang duduk tanpa banyak kata, kedua tangan
tergenggam dan jari2 nya mengerat kencang di depan dada,
matanya mendelong mengawasi Kun-gi, bibirnya bergerak beberapa
kali, seperti hendak mengutarakan apa2. Tapi begitu melihat sorot
mata Kun-gi yang tajam, seketika dia menunduk, wajahnya
mena mpilkan rasa penyesalan yang tak terhingga, ingin bicara tapi
tak berani mengutarakan isi hatinya.
Kun-gi anggap t idak tahu, dia angkat poci teh dan menuang dua
cangkir, katanya: "Minumlah Kongsun-heng."
Ter-sipu2 Kongsun siang menerima cangkir teh yang disodorkan
padanya, sahutnya: "Terima kasih Ling-heng."
Dia m2 Kun-gi merasa heran melihat sikap ganjil orang. "Kong
sun-heng" katanya sambil angkat cangkir tehnya, "sema la m suntuk
kaupun tida k tidur, kenapa tidak istirahat saja?"
Mendadak Kongsun Siang berdiri, katanya: "Sila kan Ling-heng
istirahat, aku tidak menggangu lagi."
Kun-gi tertawa tawar, ujarnya: "Silakan duduk Kongsun-heng,
bukan maksudku mau mengusirmu, terus terang aku tidak merasa
kantuk, maksudku kau sendiri yang perlu istirahat?'..
"Seperti juga Ling-heng, akupun tidak merasa kantuk," sahut
Kongsun Siang.
"Kalau begitu silakan duduk lagi."
Kongsun Siang duduk pula, sekilas dia pandang Kun-gi lalu
berkata: "Ada sepatah kata yang ingin kukatakan, tapi aku jadi
ragu2 apakah pantas kuucapkan?'
"Sesama saudara, ada omongan apa, boleh katakan saja."
"Baiklah kubicara terus terang, kurasa Ling-heng dengan
Hupangcu adalah pasangan yang setimpal . . . . . . "
Mendadak Kun gi tertawa, katanya: "Apa arti kata2 Kongsun-
heng?"
Kongsu Siang me lenggong, katanya: "Apakah ucapanku salah?
Kulihat sikapnya terhadap Ling-heng begitu mesra dan manja, jelas
dia penujui kau ........."
Kun-gi mengge leng, katanya: "Kongsun heng salah paham,
watak Hupangcu dingin di luar panas di dalam, dia pandang aku
sebagai saudara, akupun memandangnya sebagai adik hakikatnya
tiada persoalan jodoh di antara ka mi."
Berkelebat sinar terang pada sorot mata Kongsun Siang,
tanyanya: "Ha, betul de mikian?"
"Terus terang Kongsun heng, aku sudah punya . .. . . . " teringat
akan Tong Bunkhing dan Pui Ji-ping yang terjatuh di tangan orang2
Hek-liong-hwe, terbayang pula akan Un Hoankun yang kini
menya mar jadi Bikui di Pek-hoa-pang ini, sesaat dia jadi sukar
bicara lebih lanjut.
Terpancar rasa senang pada wajah Kongsun Siang, katanya
tertawa: "O, kiranya Ling-heng sudah punya pacar."
Terpaksa Kun-gi manggut2, ujarnya: "Ya, boleh dikatakan
demikian "
Tiba2 serius sikap Kongsun Siang, katanya sambil menekan
suara: "Tapi dia begitu kasmaran terhadap Ling-heng, sifatnya yang
ketus dan kaku juga sudah kau ketahui, kukira urusan ini bisa jadi
runyam."
"Hubungan laki pere mpuan harus cinta sama cinta, soal asmara
sedikitpun tidak boleh dipa ksakan, aku hanya anggap dia sebagai
adik, tak pernah terpikir da la m benakku untuk me mpersunting dia
sebagai seorang yang cerdik, lewat beberapa waktu lagi pasti dia,
akan mengerti juga," sejenak dia berhenti lalu berkata menatap
Kongsun Siang: "Dan lagi aku tidak akan tinggal terla lu la ma di sini."
Kongsun Siang mengangguk, ujarnya: "Aku tahu dua saudara
Ling-heng menjadi tawanan Hek-liong-hwe, mungkin Ling-heng
harus selekasnya menolong teman dan harus meninggalkan kita
semua."
"Sekali bertemu Kongsun-heng kita lantas seperti sahabat lama,
me mang de mikianlah maksudku, hanya kau saja yang dapat
menyela mi perasaanku."
"Bila Ling-heng me merlukan tenagaku, kapan saja dan di mana
saja pasti aku rela dan senang hati me mbantumu biarpun sa mpa i
titik darah terakhir."
Mendengar orang menyinggung titik darah terakhir (gugur),
sekilas Kun-gi me lengak, katanya mengerut kening: "Soa l menolong
orang, me mang aku sedang merasa kebingungan, bahwa Kongsun-
heng suka me mbantu, kuaturkan terima kasih."
"Kalau Ling-heng merasa ke kurangan tenaga, hubunganku
dengan Thio La m-jiang a mat int im, kalau t iba waktunya cukup
kuminta tenaganya pasti dia suka me mbantu juga."
Kun-gi me nghela napas pelan2, ujarnya: "Ai, dara cilik yang
tertangkap itu sebetulnya adalah pelayan pribadi Cui-tongcu dari
Ceng-liong-tong, keterangannya amat berguna bagi kita, tapi Hu-
pangcu tadi telah me mbunuhnya, sumber penyelidikan yang
kuharapkan menjadi gagal, bukankah a mat sayang?"
Kongsun Siang bertanya: "Dari ucapan Ling-heng ini seolah2
Thay-siang telah setuju penga mpunan jiwa mereka?" .
"Ya, aku telah mohon penga mpunan mereka kepada Thay-siang."
"Lalu kenapa dia me mbunuhnya?"
"Siapa tahu apa sebabnya, tidak hujan tiada angin tiba2 dia
marah2 pada ku?"
"Waktu Ling-heng keluar tadi, apa yang dia katakan?"
''Dia sudah biasa me mbawa adat dan terlalu binal, me mangnya
dia mau me ngaku sa lah?"
"Marah2 dan main bunuh tentu ada alasannya," ujar Kongsun
Siang. "Apakah dia tidak menjelaskan kepada Ling-heng?"
"Tida k," sahut Ling Kun gi, "bicara baru beberapa patah kata lalu
dia lari ke ka marnya."
Sudah tentu Kun-gi merasa rikuh dan malu menceritakan tentang
tuduhan So-yok mengena i dirinya, apalagi dia sendiri bingung apa
maksud kata2 "mendapat yang baru lupa yang lama, membuang
yang akhir untuk permulaan yang ka lut".
"Kurasa ka lau Ling-heng ada maksud mau pergi, tida k perlu kau
me layaninya secara serius, segala urusan harus sabar dan berpikir
panjang."
"Me mang, sebetulnya wataknya yang sejati tidak jahat, cuma
terlalu bina l dan suka ma in bunuh, tangannya yang gapah itu
me mbikin a ku kurang cocok."
Sampa i di sini tiba2 Kongsun Siang berdiri, katanya: "Ling-heng
harus istirahat, aku mohon diri saja." Terus dia melangkah ke luar.
Setelah Kongsun Siang pergi sudah tentu Kun-gi tidak bisa tidur.
Seorang diri dia pegangi cangkir tehnya sambil me la mun.
Sekonyong2 dia seperti ingat sesuatu, mendadak dia berdiri dari
tempat duduknya, seketika pucat wajahnya dan badanpun gemetar,
keringat dingin ge merobyos, mulutnya berguma m: "Mungkinkah dia
...."
-o-00d0w00-o-

Mala m itu kapal besar itu berlabuh di Ko-toh-than yang terletak


di Kwanciu, Go-san. Malam sudah larut, kabut tebal. Kira2 setengah
li dari te mpat kapal besar itu berlabuh terdapat sebuah bukit kecil
yang tandus, hanya ada puluhan batang pohon saja yang tumbuh di
bukit itu, Angin ma la m menghe mbus men-desir2 seolah2 suara
berkeluh-kesah.
Pada saat itu, tampak dua sosok bayangan orang sedang ber-
lari2 ke arah bukit saling kejar. Orang yang di depan mengenakan
baju hijau, seorang laki2, yang di belakang berperawakan ramping
sema mpai, itulah seorang gadis re maja.
Mala m berkabut cukup gelap sehingga sukar terlihat jelas wajah2
mereka, tapi dari perawakan mereka jalas bahwa mereka adalah
muda-mudi yang mungkin sedang mengadakan pertemuan cinta
rahasia di sini. Memang te mpat yang sunyi dengan hawa yang sejuk
dan pemandangan mala m nan menyegarkan ini cocok benar untuk
me madu cinta.

Jilid 22 Halaman 63/64 dan Jilid 23 Halaman 4 s/d 6


Hilang
....... lagi di antara mereka sudah tidak kuperhatikan."
Si pe muda banting ka ki, katanya geram: "Bajingan la knat, selagi
aku tidak di ka mar dia menyamar diriku mela kukan perbuatan kotor
dan mesum itu."
Si gadis me liriknya sekali, tanyanya heran: "Kenapa iapun
me manggilmu Toako?" pertanyaan yang bernada cemburu.
"Hoanmoay, jangan kau salah paham, pertama kali waktu aku
harus menghadap Thay-siang, di tengah ja lan dia me maksa aku
menjadi Toa konya.”
"Tak heran, selama ini begitu besar perhatiannya terhadapmu."
Si pe muda menghela napas, ujarnya: "Ai, mala m itu juga kau
menje laskan persoalannya padaku kemungkinan aku masih se mpat
menangkap keparat itu." '
"Me mangnya kenapa kalau kau menangkapnya? Merekakan suka
sama suka, apa sangkut pautnya dengan kau?"
"Aduh, kenapa kau masih belum mengerti. Kalau ma la m itu
kutangkap keparat itu, paling tidak urusan akan me njadi je las tiada
sangkut pautnya dengan aku dan bukan aku yang dijadikan
kambing hita m:"
Ber-kedip2 bola mata si gadis, tanyanya: "Mala m itu kuseret
Giok-lan ke te mpat itu, kalau sa mpai terjadi sesuatu, dia kan bisa
jadi saksi."
Berkerut alis si pemuda, katanya: "Urusan ini me mang serba
susah, bagaimana aku harus me mberi penjelasan kepadanya?".
Bergetar tubuh si gadis, tanyanya sambil me mandangnya lekat2:
"Kenapa? Me mangnya dia cari perkara pada mu?"
Si pe muda manggut2, katanya serba runyam: "Tadi pagi, dia
me ma kiku, katanya aku mendapat yang baru lupa yang la ma
segala."
"Mendapat yang baru lupa yang lama," tanya si gadis, "Lalu
bagaimana jawabmu?"
Sipe muda menyengir kecut, katanya: "Sehabis mengataku, dia
lantas lari pergi."
Si gadis berpikir sebentar, katanya: "Kukira sudah saatnya kau
harus meningga lkan te mpat ini."
"Tida k, sekarang aku masih belum boleh pergi."
"Kenapa?"
"Pertama, perkara ini be lum kuselidiki, sela ma belum terang
persoalan ini aku tetap akan menjadi ka mbing hita m, ka lau
kutinggal pergi begini saja, bukankah aku betul2 me mbuang yang
akhir dari permulaan yang kalut? Selain itu kedua temanku berada
di tangan orang2 Hek-liong-hwe, aku harus me nolong mereka."
Berpikir sejenak si gadis mengangguk, katanya: "Alasanmu juga
betul, lalu baga imana selanjutnya?"
"Aku harus me mbekuk keparat yang me malsu diriku itu . . . . . "
sampai di sini, mendadak ia gengga m lengan si gadis, katanya lirih:
"Ada orang datang, lekas kita se mbunyi."
Pohon ce mara di atas bukit me mang tinggi besar, tapi dahannya
runcing dan daunnya jarang2, tidak cocok untuk menye mbunyikan
diri.
Si pe muda celingukan, cepat ia tarik si gadis terus me lompat jauh
ke semak2 sana dan merunduk maju, baru saja mereka sembunyi di
belakang pohon ce mara besar, Ta mpak sesosok bayangan orang
me lesat tiba, langkahnya begitu enteng dan cepat meski harus
berlari menanjak naik ke atas bukit, begitu tiba dia berdiri tegak
menghadap ke utara sambil menggendang kedua tangan. Bukit ini
kecil tapi luasnya ada belasan tombak.
Tempat orang itu berdiri sedikitnya berjarak empat-lima tombak
dari tempat se mbunyi kedua muda-mudi, di tengah ma la m yang
gelap oleh kabut ini, yang kelihatan hanya bayangan hitam belaka.
sukar melihat bentuk dan roman mukanya.
Kedua muda mudi itu mendeka m di-se mak2 di belakang pohon,
mereka mengawasi bayangan orang itu tanpa berani bergerak.
Bayangan itu tetap berdiri menghadap ke utara, juga tiga
bergerak sedikitpun. Begitulah keadaan demikian bertahan cukup
la manya, tak kuat menahan rasa heran, si gadis berbisik di pinggir
telinga si pe muda: "Untuk apa dia ke mari?"
Si pe muda menjawab dengan suara lirih: "Kelihatannya dia
sedang menunggu sesuatu."
Arah utara sebelah bukit kecil ini adalah hutan pohon cemara,
pohonnya pendek2 dan tidak begitu lebat, tapi di ma la m nan ge lap
ini kelihatannya begitu lebat dan pekat. .
Tak la ma ke mudian dari arah hutan ce mara itu berkumandang
sebuah suara rendah berat: "Kau sudah datang?"
Orang yang berdiri tegak di atas bukit segera me mbungkuk
hormat, sahutnya: "Cayhe sudah tiba."
Orang di dala m hutan ce mara ternyata tidak unjuk diri, suaranya
tetap berkumandang: "Ba ik sekali!" sesaat kemudian dia bertanya:
"Bagaimana di atas kapa l?"
Orang di bukit menjawab: "Me mang Cayhe hendak
menya mpaikan laporan kepada Cujin (majikan), sejak datang
seorang she Ling dala m Pang itu, dia diangkat menjadi Cong-su cia,
usianya masih muda, tapi berilmu silat tinggi, kabarnya adalah
murid kesayangan Hoanjiu-ji-lay. . . . . . . ."
Orang di da la m hutan bersuara kaget dan heran.
Orang di atas bukit melanjutkan: "Akhir2 ini dia berhasil
me mbongkar komplotan mata2 He k-liong-pang yang diae lundupkan
ke sana, ma ka dia mendapat kepercayaan Thay-siang . . . . . . . '"
"O," orang di dala m hutan bersuara pula.
"Kalau bocah she Ling ini tidak disingkirkan, mungkin akan
merugikan juga bagi Cujin," ucap orang di atas bukit.
Mendadak orang di dalam hutan tertawa, katanya: "Majikan
ma lah suruh aku me mberitahu padamu, sedapat mungkin kau harus
ber-muka2 kepada bocah she Ling itu, dan ikatlah hubungan intim
dan kerja sa ma baik dengan dia."
Orang diatas bukit mengia kan, sahutnya: ''Cayhe mengerti"
"Majikan ada sepucuk surat," kata orang di dala m hutan cemara,
'Kau harus menyerahkan kepada Thay-siang, cuma jangan sa mpa i
jejakmu di ketahui."
"Cayhe akan laksanakan perintah dengan hati2."
"Nah terimalah surat ini!" "Ser" se larik sinar putih tiba2
menya mbar ke luar dari hutan me layang ke atas bukit.
Orang di atas bukit cepat menangkapnya, langsung dimasukkan
ke dala m saku.
Terdengar orang dala m hutan ce mara berkata pula: "Bagus,
sekarang boleh kau ke mbali! "
Orang di atas bukit mengiakan, sekali menutul kaki terus
me luncur turun ke bawah bukit, sekejap saja bayangannya lenyap
ditelan kege lapan. Keadaan hutan ce mara juga seketika menjadi
sunyi, agaknya orang di da la m hutan itu juga telah pergi.
Selang agak la ma lagi baru kedua muda-mudi yang se mbunyi di
semak belukar itu berani angkat kepala. Kata si gadis dengan
pelahan: "Entah orang di dala m hutan itu sudah pergi belum?"
Pemuda itu mendahului berdiri, sahutnya: "Sudah pergi jauh."
Kaget dan heran si gadis, tanyanya: "Agaknya mereka bukan
orang Hek-liong-hwe?"
"Sudah tentu bukan."
"Me mangnya siapa mereka?"
"Sekarang belum jelas, sungguh tak nyana di dala m Pek-hoa-
pang kecuali ada mata2 Hek-liong-hwe, masih ada juga komplotan
agen rahasia lain."
'Tadi sudah kau lihat jelas siapa dia?"
"Kukira dia mengenakan kedok."
"Lalu suaranya? Kau tida k kenal?"
"Tentunya mereka juga sudah waapada kalau konangan orang,
maka suara pembicaraan mereka tadipun menggunakan suara
palsu, biarlah hal ini pelan2 kita selidiki."
"Bukankah kau dengar majikan mereka menginginkan dia kerja
sama dengan kau?"
"Betapapun kita harus menyelidiki asal-usul dan se luk-be luk
mereka, supaya kita tidak di peralat di luar sadar kita," berhenti
sebentar, lalu ia mena mbahkan: "Hoanmoay, hayolah pulang!"
Dua bayangan orang segera meninggalkan bukit kecil itu dan
me luncur ke bawah.
-oo0dw0oo-

Kapal besar berloteng susun tiga itu terus berlayar mengikuti


arus sejak dari Kwa-ciu menuju ke muara sungai Tiangkang.
Sekarang mereka sudah berlayar di lautan teduh.
Tiga layar besar berke mbang. Langit nan biru dihiasi gumpalan
mega putih, gelombang laut menda mpar udara cerah.
Kalau kapa l berloteng ini dapat laju dengan tenang di sungai
Tiangkang, tapi tidak demikian di lautan teduh. Gelombang di lautan
lepas ini jauh lebih besar dan kuat, kalau di Tiangkang kapa l ini
terhitung ukuran besar, tapi di lautan teduh seperti daun kering
kecil terombang ambing dipermainkan gelombang yang naik turun,
maka terasa sekali guncangan yang a mat kuat.
Kehidupan orang2 di atas kapal sudah tentu tidak setenang dan
senyaman waktu masih berlayar di sungai. Terutama para dara
ke mbang yang tidak biasa hidup di atas air, mereka sa ma pening
kepala dan muntah2, kaki enteng langkah limbung.
Setelah berada di lautan teduh ini, kapal bersusun ini putar
haluan menuju ke utara, Siang mala m tak berhenti dan berlayar
terus tanpa berlabuh lagi. Sejak Cong-su-cia Ling Kun-gi
me mbongkar mata2 Hek-liong-hwe, sepanjang jalan ini tak pernah
lagi terjadi apa2. Lantaran tak terjadi apa2 ini maka terasa sekali
kehidupan di tengah lautan ini menjadi ha mbar. Dan karena
kehidupan yang hambar ini, ma ka dua persoalan yang selama ini
masih mengganje l dala m benak Ling Kun-gi sukar diselidiki.
Kedua persoalan yang mengganjel hati Kun-gi ini adalah perta ma
dia harus mencari tahu siapa laki2 yang menya mar dirinya
me lakukan perbuatan mesum di ka marnya itu? Orang lain yang
makan nangkanya, dia sendiri yang kena getahnya, maka dia harus
menyelidikinya sa mpai persoalan ini menjadi jelas.
Kedua, siapakah orang yang mengadakan kontak dengan
temannya di atas bukit itu?
Dia harus mengetahui rencana aksi mereka supaya dirinya tidak
sampai diperalat diluar tahunya pula, sebagai Cong-su-cia Pe k-hoa-
pang, adalah tanggung jawab dan kewajibannya untuk menyelidiki
hal ini. Tapi kalau lawan tidak mengadakan aksi tentu takkan timbul
reaksi, padahal menyelidiki sesuatu me merlukan adanya aksi, ka lau
kehidupan di atas kapal ini terus tawar dan hambar begini, kecuali
sehari makan tiga kali, semua orang menganggur dan cuma ngobrol
di ka mar makan atau berma in catur be laka.
Begitulah hari ke hari telah lewat, kedua persoalan ini tetap
belum ada penyelesaian.
Beberapa hari ke mudian kapal sudah keluar dari teluk Lo-s in,
sepanjang pelayaran ini beberapa kali, mereka melihat banyak
kepulauan besar dan kecil.
Pada hari itu, pagi2 betul sa mpa i tengah hari seorang diri Thay-
siang naik ke atap tingkat ketiga memandang jauh ke depan sana.
Semua orang menduga mereka sudah hampir tiba ke tempat tujuan,
tapi tiada seorangpun yang tahu di mana mereka baka l mendarat.
Menjelang senja, di bawah pancaran sinar surya yang kuning
cemerlang, di kejauhan sana daratan sudah kelihatan sa mar2.
Thay-siang suruh Teh-hoa menya mpaikan perintahnya kepada
Ko-lotoa, mumpung mala m ini gelombang pasang, sebelum tengah
ma la m kapal harus sudah me masuki teluk kepulauan Ngo-hui-to.
Berita ini segera tersiar ke seluruh kapal.
Tahu bahwa mala m ini kapal baka l menepi dan mereka akan
mendarat, suasana menjadi hiruk pikuk, berkobar se mangat
mereka.
Hari sudah petang, Kehidupan di atas kapal sesudah makan
ma la m dan istirahat satu jam semua orang harus tidur ke ka marnya
masing2. Tapi la in dengan mala m ini. Lampu terang benderang di
kamar makan tingkat kedua, cuma pada setiap lubang dari jendela
berkaca telah dipasang kain hita m yang tebal sehingga cahaya
la mpu tida k menyorot ke luar.
Meja besar yang berjajar segi tiga di ka mar ma kan kini tinggal
satu saja, maka ruang makan ini terasa lebih luas. Orang2 sudah
berdiri berjajar di kanan-kiri, sebelah kiri dipimpin oleh Cong-su-cia
Ling Kun-gi, di belakangnya terbagi dua baris, Coh-houhoat Leng
Tio-cong dan Sa m-gansin Coa Liang, di belakang mere ka lagi adalah
ke tujuh Hou-huat, Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thi La m-jiang,
Toh Kanling, Lo Kunhun, Yap Kay-sian dan Liang Ih jun, ( Cin
Tekiong sudah gugur ). Delapan Hou-hoat-su-cia adalah Ting Kiau,
Ban Yu-wi, (e mpat diantara dua belas Hou-hoat-su-cia sudah
terbunuh oleh orang2 Hek liong-hwe ).
Barisan sebelah kanan dipimpin oleh Congkoan Giok-lan, disusul
enam Tay-cia, yakni Bikui Ci-hwi, Hu-yong, Hong-siang, Giok-je dan
Loh-bi-jin (Hay-siang sudah mati), merekapun berdiri menjadi dua
baris, Disusul oleh barisan para dara ke mbang yang berjumlah
sembilan belas, Cu-cu sudah meningga l. Mereka berdiri tegak
khidmad, suasana hening dan sunyi..
Tak la ma ke mudian ta mpak kerai tersingkap, yang mendahului
me langkah masuk adalah Thay-siang, dia tetap menggunakan
pakaian serba hita m, cadar hitam, sebutir mutiara sebesar buah
anggur bertengger di atas gelung rambutnya. Perempuan tua ini
me mang serba misterius. Di belakang Thay-siang adalah Pe k-hoa-
pangcu Bok-tan, Hupangpcu So-yok. Lalu dua pe layan Teh-hoa Liu-
hoa, satu membawa Ji-gi ( mistar batu jade ) seorang lagi
me megang kebutan bergagang batu jade pula.
Thay-siang langsung menuju ke meja di tengah ruangan, Pangcu
dan Hupangcu berdiri di kirikanan kedua pelayan berdiri pa ling
belakang. Orang2 di barisan kanan-kiri serentak bersorak
menyanjung puji dengan suara lantang.
Agaknya Thay-siang merasa puas, dia manggut2 kepada hadirin.
Me mang suasana seperti inilah yang disukai Thay-siang, dia
adalah jantan di antara kaum pere mpuan, suka menonjolkan diri
sebagai orang yang berkuasa dan berwibawa. Begitu senyap
suasana di ruang makan ini, sorot mata Thay-siang yang mencorong
tajam menyapu para hadirin, katanya kemudian: "Losin sudah
perintahkan Ko-lotoa untuk berlayar me masuki teluk kepulauan
Ngo-hui-to mala m ini selagi air laut pasang. Kita akan mendarat di
suatu tempat yang dinamakan Cu-thau .. . ..." sampai di sini dia
bicara, hadirin sudah menyambut dengan ta mpik sorak yang riang
gembira.
Setelah suara keplok tangan sirap baru Thay-siang melanjut kan:
"Cu-thau tempat kita mendarat itu kira2 puluhan li dari Kunlunsan,
kira2 seratus li lebih dari Ui-lionggia m, markas besar Hek-liong-hwe,
oleh karena itu setelah kita mendarat harus segera mendapatkan
tempat berteduh untuk istirahat di samping me mbagi tugas."
merandek sebentar lalu ia me lanjutkan: "Dari Cu-thau menuju barat,
kira2 lima li jauhnya kita akan menuju ke sebuah gunung yang
bernama Ciok santhu, di atas gunung ada sebuah Ciok-sinbio, di
biara inilah kita akan istirahat." Sampai di sini dia angkat kepala
serta berteriak; "'Ling Kun-gi!"
Lekas Kun-gi menyahut: "Ha mba ada di sini."
Kata Thay-siang "Kau pimpin Coh-yu-hou-hoat dan seluruh
Houhoat-su-cia, setelah kapal mendarat bersama Congkoan Giok-lan
kalian naik ke darat lebih dulu dan berkumpul di Ciok-sinbio itu. Di
sebelah timur Ciok-santhau adalah sungai, sebelah barat adalah
hutan, boleh kau berunding dengan Coh-yu-houhoat cara
bagaimana harus menyesuaikan diri dengan keadaan di sana dan
aturlah segala yang kita perlukan."
Kun gi mengiakan dan terima perintah.
Thay-siang berkata pula: "Giok-lan pimpin Bikui, Ci-hwi, Hu-yong,
Hong sian, Giok-je ber-lima seperjalanan dengan Ling Kun-gi
berangkat dulu ke Ciok-sinbio dan atur lebih dulu segala keperluan
kita." Giok-lan dan para Tay-cia yang disebut na manya
me mbungkuk hormat sa mbil mengiakan.
"Loh-bi-jin bersama para dara ke mbang akan me ngiringi
perjalanan Losin," de mikian pesan Thay-siang. Setelah me mbagi
tugas berkata Thay-siang lebih lanjut: "Sekarang waktu masih
cukup, kalian boleh bubar dan me mbenahi se mua yang diperlukan,
setelah tengah mala m nanti bekerjalah menurut pesanku tadi, awas
jangan gagal."
Hadirin mengia kan, Thay-slang terus meninggalkan te mpat itu di
bawah bimbingan Bok-tan dan So-yok. Setelah Thay-siang pergi,
Giok-lan bersa ma para Tay-cia dan dara2 ke mbang itu juga
mengundurkan diri ke tingkat ketiga. Maka terjadilah sedikit
kesibukan di atas kapal, semua orang sibuk me m-benahi barang
miliknya masing2.
Manusia adalah makhluk yang biasa hidup di daratan. Setelah
puluhan hari hidup di atas kapal, siapapun sudah merasa gerah,
kesal dan tak betah, semua orang ingin lekas2 na ik ke darat.
Setelah larut mala m dan re mbulan sudah mulai doyong ke barat,
tiba saatnya air laut naik pasang. Ko-lotoa adalah seorang kelasi
yang ahli, dia tahu cara bagaimana me manfaatkan tenaga angin
dan kekuatan air. Tiga layar berke mbang, mumpung air laut pasang,
kapal laju pesat mengikuti arah angin.
Sebelum kentongan ketiga, di bawah dorongan gelombang
pasang serta hembusan angin kencang kapal sudah mulai me masuki
teluk. Maka, terdengarlah dua kali suara tiupan kulit kerang, ketiga
layar yang berkembang itu segera diturunkan.
Dala m teluk sekitar kepulauan Ngo hui-to ini banyak sekali
pulau2 kecil, kini pulau2 kecil ini tenggela m di bawah air pasang,
hanya batu2 karang saja yang kelihatan menonjol dipermukaan air.
Agaknya Ko-lotoa sudah apal akan keadaan sekitar sini, maka kapa l
laju seperti ke mbali ke rumahnya sendiri.
Setelah layar diturunkan laju kapal menjadi la mbat, kalau air
pasang sudah dengan sendirinya kapal mengapung ke atas, Ko-
lotoa sendiri yang pegang ke mudi, kapal belok ke kanan dan ke kiri
me lalui batu2 karang laksana seekor ikan raksasa yang berenang di
dalam air.
Kira2 se masakan nasi ke mudian kapal mulai me masuki teluk
rendah, terdengar suara keresekan di dasar kapal, kiranya perairan
di sini sudah dangkal dan kapalpun berhenti. Tanpa diperintah para
kelasi segera sibuk be kerja menurunkan jangkar maka kapalpun tak
bergoyang lagi.
Bahwa kapal sudah berhenti di sini, itu berarti mereka sudah tiba
di tempat tujuan. Tapi orang2 yang berdiri di atas kapal menjadi
keheranan, selepas mata memandang hanya kegelapan melulu,
kiranya kapal besar ini masih dikelilingi air, jaraknya dengan daratan
paling tidak masih setengah li jauhnya.
Dengan cekatan para kelasi segera menurunkan 6 sa mpan,
sementara Ko-lotoa mengha mpiri Ling Kun-gi, katanya sambil
menjura: "Cong-su-sia, Cong-koan, sekarang boleh silakan turun ke
sampan"
Kun-gi me mperhitungkan sa mpan itu paling2 hanya muat tiga
orang, jadi sekali jalan hanya bisa me mbawa 18 orang, rombongan
sendiri bersama rombongan Giok-lan terang tidak bisa sekaligus
mendarat bersama. Maka dia lantas berkata: "Terpaksa kita harus
me mbagi dua rombongan, oleh karena itu harap Congkoan bersama
para Tay-cia, Leng-heng dan para Houhoat dan aku sendiri akan
turun lebih dulu sebagai rombongan pertama. Coa-heng bersama
delapan Hou-hoat-su-cia berangkat pada rombongan kedua.
Sekarang rombongan perta ma boleh turun ke sa mpan."
Sambil angkat tangan ke arah Giok-lan dia mena mbahkan:
"Silakan." La lu dia mendahului lompat turun ke salah sebuah
sampan.
Leng Tio cong, tujuh Houhoat dan Giok-lan serta Bikui dan lain2
juga me lompat turun. Cepat sekali keenam sa mpan ini sudah
me luncur ke arah daratan. Setelah kedua rombongan ini mendarat
semua, sementara itu mereka sudah menghabiskan waktu setengah
jam.
Setelah semua orang lengkap berkumpul, Kun-gi menjadi
kebingungan, baru saja dia hendak ajak Giok-lan berunding, tampa k
bayangan orang berkelebat, tahu2 Ko-lotoa yang kini mengena kan
topi beludru, sambil menenteng pipa cangklong me ndatang terus
menjura, katanya tertawa: "Atas perintah Thay-siang, hamba
disuruh menyusul untuk menunjukkan jalan. "
Kun-gi melenggong, katanya mengangguk: "Bagus sekali,
me mang aku hendak berunding cara bagaimana menuju ke Ciok-
santhan. Syukurlah Thay-siang mengutus Ko-lotoa ke mari, silakan."
Ko-lotoa tertawa, katanya: "Cong-su-cia terlalu sungkan, aku
orang tua memang kelahiran Mo-ping, di ka mpungnya sendiri sudah
tentu apal keadaan sini." Lalu dia menjura serta mena mbahkan:
"Ma-rilah kutunjukkan jalannya."
Kun-gi dan Giok-lan berama i lantas mengikuti langkahnya.
Sembari jalan Kun-gi berpaling dan berkata dengan mengguna kan
ilmu gelombang suara kepada Giok-lan: "Congkoan, kau tahu asal
usul Ko-lotoa?"
Giok-lan menjawab dengan gelombang suara pula: "Aku hanya
tahu dia pandai berenang, dia-lah yang me mimpin armada laut Pek-
hoa pang kita di sekitar perairan Phoa-yang-ouw, tentang asal
usulnya aku tidak tahu. Sejak aku tahu urusan, agaknya dia sudah
menjadi anak buah Thay-siang dan menjadi pe mimpin para kelasi
itu."
"Jadi sudah la ma sekali dia ikut Thay-siang?"
Giok-lan manggut, tanyanya: "Adakah Cong-su-cia melihat
gejala2 yang mencuriga kan atas dirinya?"
Kun-gi tertawa tawar, katanya: "'Tidak, aku hanya bertanya
sambil lalu saja."
Selama percakapan ini, mereka berjalan terus dengan langkah
cepat. Mendadak disadari oleh Kun-gi bahwa Ko-lotoa yang
menunjuk jalan di depan berjalan dengan langkah enteng dan
cekatan. Maklumlah rombongan di bawah pimpinan Ling Kun-gi ini
semua me miliki kepanda ian silat yang lumayan kalau tidak mau
dikatakan ke las satu, Ko-lotoa hanya kelasi, dia berjalan paling
depan lagi, padahal orang2 yang di belakangnya sudah berja lan
sambil ber-lari2 kecil, dari ini dapatlah disimpulkan bahwa Ko-lotoa
juga me miliki Ginkang yang tinggi, pa ling tidak sejajar dengan
semua orang.
Kira2 semasakan air mereka sudah tiba di Ciok-santhau. Di
tengah mala m di pegunungan yang tidak seberapa besar dan tinggi
ini bertengger seperti raksasa mendeka m terletak Ciok-sanbio di
samping gunung, jalan me nuju ke biara ini merupa kan unda kan
batu yang rata dan terawat bersih.
Di tengah perjalanan Kun-gi menga mati situasi se kelilingnya, lalu
dia perintahkan Coh-houhoat Leng Tio-cong bersa ma Toh Kanling,
Liang Ih-jun dan e mpat Houhoat-su-cia bertugas jaga di sebelah
timur yang menghadap ke sungai. Coa Liang ber-sa ma Lo Kun hun,
Yap Kay-sian bersama e mpat Houhoat-su-cia berjaga di hutan
sebelah barat. Sementara dia pimpin Kongsun Siang, Song Te k-
seng. Thio La m- jiang bersa ma Giok-lan langsung na ik ke atas
gunung.
Setiba di depan Ciok-sinbio baru Ko-lotoa menghentikan langkah,
katanya menjura: "Biarlah aku mengetuk pintu." Lalu dia
mendahului maju ke pintu serta mengetuk tiga kali.
Maka kuma ndanglah suara seorang perempuan bertanya:
"Siapakah di luar?"
"Kita ke mari bukan untuk sembahyang," sahut Ko-lotoa. Jawaban
yang tak sesuai dengan pertanyaan,
Dia m2 Kun-gi heran, tapi dia tida k bersuara.
Terdengar suara perempuan di dala m berkata pula: "Kalian tidak
akan se mbahyang, lalu mau apa ke mari?"
"La m hay Koan sim datang mene mui Ciok-sin," sahut Ko-lotoa.
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Kiranya mereka bicara dengan
bahasa rahasia."
Waktu dia berpaling ke arah Giok-lan, wajah orang juga
menunjuk mimik heran seperti tidak tahu menahu, kebetulan
orangpun menoleh ke arahnya dengan pandangan penuh tanda
tanya. Kiranya pembicaraan rahasia Ko-lotoa ini juga tida k diketahui
maksudnya oleh Giok-lan.
"O," terdengar perempuan tua di dalam ber-suara, pintu tetap
tidak dibuka, tanyanya pula: "Apakah ucapanmu ini dapat
dipercaya?"
"Kiap toaciangku dari istana bawah laut yang bilang begitu,
me mangnya omongannya bisa salah?"
"Lalu di mana dia!"
"Dia adalah aku inilah yang tidak becus," ujar Ko-lotoa tertawa.
"Hah," lirih suara kaget pere mpuan tua di da la m, "jadi kau inilah
Kiap-toaciangkun, lekas silakan!" Daun pintu segera terpentang
lebar, keluarlah seorang nenek beruban dengan muka kuning kurus,
me lihat di luar pintu berdiri sekian banyak orang seketika dia
berjublek, segera pula dia unjuk tawa sa mbil menjura: "Di te mpat
ini serba kekurangan, mari silakan kalian masuk minum teh."
Bahwa Ko-lotoa mendadak menjadi "Kiap-toa ciangkun", sungguh
aneh bin aja ib.
Ko-lotoa tertawa, katanya: "Tidak jadi soal, Lam-hay Koanseim
toh sudah ke mari, apa pula yang ditakuti?"
"Kalau begitu terpaksa aku harus me mberi lapor kepada yang
berkuasa."
"Betul, le kaslah kau laporan kepada yang berkuasa."
Bergegas si nenek lari masuk ke belakang.
Sekilas pandang Kun-gi lantas tahu bahwa si nenek mengenakan
kedok, di waktu me mbalik badan, gerak pinggangnya ge mula i dan
langkahnya enteng, tidak mirip seorang nenek yang sudah tua,
bertambah besar perhatian dan rasa curiganya. Tak tahan dia
berpaling kepada Ko-lotoa, tanyanya: "Kau kenal baik penghuni
biara ini?"
Ko-lotoa tertawa lebar, sahutnya: "Orang sekampung hala man
sendiri, sudah-tentu kami kenal baik. Mari sila kan Cong-su-ciat dan
Congkoan."
Beriring orang banyak lantas masuk ke biara menyusuri sera mbi
mereka masuk ke sebuah pe karangan, tampak bangunan biara ini
terdiri dari tiga lapis gedung, setiap lapis bangunannya amat lebar
dan luas.
Tatkala semua orang lagi mengagumi bangunan megah
dipegunungan sepi ini, tampak dari dala m beranjak keluar seorang
Nikoh tua berkopiah kain ke labu, jubah aga manyapun kelabu,
dengan merangkup tangan dia berkata kepada Ko-lotoa: "Omito-
hud! Pinni dengar katanya Ko-toasicu berkunjung, terla mbat
menya mbut, harap dimaafkan."
Ko lotoa balas hormat ber-ulang2, katanya tertawa: "Sekian
tahun tak bertemu. Lo-tang-keh masih ba ik2 saja, marilah
kuperkenalkan dua orang penting dala m Pang kita." Segera dia
menunjuk Kun-gi: "Inilah Cong-su-cia!" Lalu menunjuk Giok-lan:
"Inilah Congkoan. Atas perintah Thay-siang ia di suruh kemari
mengadakan persiapan."
Nikoh tua menga mati mereka berdua, lalu berkata: "Kiranya
Cong-su-cia dan Congkoan, maaf pinni kurang hormat."
Tajam tatapan Kun-gi, didapatinya muka Nikoh tua inipun
mengenakan kedok, bertambah tebal rasa curiganya, tapi sedikitpun
dia tidak unjuk tanda apa2, bersama Giok-lan dia ba las hormat dan
menyapa ala kadarnya.
Lalu Nikoh tua bertanya kepada Ko lotoa: "Go-po tadi
me laporkan, katanya Koanseim akan datang sendiri ke mari, apa
betul?"
"Tida k salah," ucap Ko-lotoa berseri tawa. "Posat sudah tiba di
Cu-than, sebentar juga akan tiba, maka Congkoan disuruh ke mari
mengadakan persiapan."
Baru sekarang Kun-gi dan Giok-lan jelas duduk perkaranya,
Koanseim-po-sat yang dimaksud dala m pe mbicaraan kedua orang
ini kiranya adalah Thay-siang.
Tampak sikap Nikoh tua menjadi tegang, mulutpun berseru
kaget, katanya ter-sipu2 kepada Giok-lan: "Congkoan sekalian
silakan ikut Pinni, periksalah perumahan di be lakang, supaya
dibersihkan dan dipajang se mestinya untuk menya mbut kehadiran
sang agung."
"Silakan Losuhu," ucap Giok-lan tertawa. Lalu ia berkata kepada
Kun-gi: "Harap Cong-su-cia duduk saja di sini, biar kuperiksa ke
dalam." Ia menggapai Bikui berlima: "Ka lian ikut aku."
Sebetulnya Kun-gi hendak me mberitahu Giok-lan bahwa Nikoh
tua dan nenek reyot tadi sama mengenakan kedok, supaya dia
berlaku hati2, tapi ucapan yang sudah di ujung mulut itu akhirnya
batal diucapkan.
Bahwa secara diam2 Thay-siang menyuruh Ko-lotoa menunjuk
jalan serta bicara dengan para biarawati ini secara rahasia, nenek
tua itupun me manggil Ko-lotoa sebagai. Kiap-ciangkun segala, dari
tanda2 ini tida k sukar dianalisa bahwa dala m biara ini termasuk
seluruh penghuninya pasti me mpunyai hubungan erat dengan Thay-
siang.
Setelah Giok-lan berla lu dala m ruang itu tinggal Ling Kun-gi, Ko-
lotoa dan Kongsun Siang, bertiga duduk di kursi yang ada di ruang
sembahyang itu, Kira2 kentongan ketiga baru tampak Thay-siang
datang diiringi Bok-tan, So-yok dan sekalian Taycia dan dara
ke mbang.
Ling Kun-gi, Giok-lan dan Nikoh tua beramai menyambut
kedatangannya serta menyongsongnya ke dalam ruang. Mendadak
Nikoh tua berlutut terus menyembah di depan Thay-siang dengan
air mata bercucuran, serunya sambil menyembah ber-ulang2:
"Syukurlah akhirnya hamba bisa bertemu pula dengan Tuan
Puteri."
Bahwa Nikoh tua berubah me njadi "ha mba" (pelayan) sedang
Thay-siang menjadi Tuan Puteri, sudah tentu kata2 ini me mbuat
semua hadirin me longo kaget. Terutama Ling Kun-gi, pikirnya dala m
hati: "Kiranya Nikoh tua ini adalah pelayan Thay-siang wa ktu
mudanya dulu, entah tuan puteri apa dan darimana Thay-siang
asalnya?"
Thay-siang tampak tertawa ramah: "Le kas bangun, ha mpir dua
puluh tahun kita tidak bertemu, masih banyak persoalan yang ingin
kutanya padamu." Sembari bicara sedikit dia mengangkat
tangannya, Teh-hoa dan Liu-hoa segera maju me mbimbing Nikoh
tua itu berdiri.
Nikoh tua berdiri sa mbil menyeka air mata, katanya: "Ada pesan
apa tuan puteri?"
"Coba lihat, ra mbutpun sudah ubanan, jangan kau sela lu usil
mulut me manggil Tuan Puteri segala," kata Thay-siang.
Dari samping Ko-lotoa ikut menimbrung dengan tertawa:
"Sekarang kita me manggilnya Thay-siang, kaupun harus ubah
panggilanmu. "
Nikoh tua menghormat sa mbil mengiakan.
Thay-siang duduk dikursi yang telah disedia kan, tanyanya:
"Sela ma dua puluh tahun ini tentu kau cukup kepayahan, apakah
mereka pernah mencari setori ke sini?"
"Letak te mpat ini hanya seratusan li dari Ui-lionggia m, beberapa
tahun permulaan mereka me mang menaruh curiga, beberapa kali
mengobra k-abrik tempat ini, malah secara dia m2 kita diawasi dan
gerak-gerik dibatasi, syukur tiada yang mengenali ha mba, beberapa
tahun belakangan ini ada kalanya juga mereka meronda di perairan
sekitar sini, sesuai pesanmu dulu tak pernah hamba me mperlihatkan
jejak, maka keadaan tetap aman tenteram."
Dia m2 Kun-gi mulai paha m, pikirnya: "Tak heran dia
mengenakan kedok."
"Gak-koh-tia m apa ada kabar?" tanya Thay-siang.
"Beberapa hari yang lalu masih ada kabar, mereka sudah tahu
bahwa engkau sudah berangkat kemari lewat jalan air, maka Hwi-
liong-tongcu Nao Sa m-Jun diperintahkan mencegat ka lian di tengah
jalan, di samping itu merekapun mendatangkan jago2 dari berbagai
daerah umruk me nghadapi perte mpuran besar2an."'
Thay-siang tertawa dingin, katanya: "Beberapa hari yang lalu
Nao Sam-jun dengan Cap-ji-sing-siok sudah dipukul mundur, kecuali
beberapa gelintir cakar alap2 me mangnya jago2 maca m apa yang
bisa mereka kumpulkan?"
Kembali Kun-gi melenggong mendengar percakapan ini, pikirnya:
"Kiranya Hek liong-hwe juga bersekongkol dengan alat negara."
Cakar alap2 yang dima ksud adalah petugas negara.
"Agaknya Thay siang terlalu pandang rendah mereka, kabarnya .
. . . " mendadak nikoh tua berhenti tak berani meneruskan
ucapannya, lalu menya mbung dengan ilmu gelombang suara. Jelas
percakapan selanjutnya amat penting dan rahasia, tiada seorangpun
yang tahu persoalan apa yang dipercakapkan?
Akhimya terdengar Thay-siang mendengus gusar: "Keparat, biar
kuhadapi jago2 Bit-cong andalan mereka, betapa sih lihaynya?" lalu
ia menyambung: "Kali ini kita mene mpuh perjalanan lewat air,
mereka kurang biasa, menurut rencanaku semula akan istirahat dua
hari di smi, bahwa merekapun sudah me mpersiapkan diri, biarlab
kita sergap saja sebelum mereka bersiaga." Sa mpai di sini
pandangannya menyapu hadirin lalu berkata pula: "Begitu fajar
menyingsing kita harus segera berangkat, waktu masih kira2 dua
jam, dala m waktu yang singkat ini se mua harus istirahat
secukupnya."
Habis berkata dia berdiri, Nikoh tua me mbuka jalan, mereka
mengundurkan diri ke belakang bersa ma Bok-tan dan So yok. Giok-
lan juga bawa para Tay-cia dan dara kembang istirahat ke belakang.
Kecuali mere ka yang ma la m ini tugas jaga, sisanya sama duduk
bersimpuh di ruang depan ini. .
Dengan cepat haripun mulai terang, semua orang berbaris tegak
di pekarangan depan siap menunggu perintah Thay-siang
selanjutnya.
Tak la ma ke mudian, dibawah iringan Bok-tan dan So-yok
beranjak keluarlah Thay-siang berdiri di undak2an, sorot matanya
yang berkilat tajam tampak mencorong dibalik cadar hita m, sekilas
dia menyapu pandang seluruh hadirin, lalu berkata dengan suara
lantang: "Sekarang kita akan berangkat, musuh kita adalah He k-
liong hwe, dengan banyak jago kosen merekapun sudah siap
menya mbut kedatangan kita, oleh karena itu kita harus sergap
mereka untuk merebut ke menangan dengan jumlah kita yang
sedikit ini, melumpuhkan mere ka yang berjumlah berlipat ganda.
Sepatah kata pesanku ini harus kalian ca mkan dengan baik, setiap
kali berhadapan dengan orang2 Hek-liong-hwe kalian harus turun
tangan lebih dulu bunuh seluruhnya dan habis perkara, sekali lena
dan kalah cepat me mperoleh kese mpatan, jiwa kalian sendiri yang
akan melayang dan tiada liang kubur untuk kalian."
Semua hadirin mendengarkan dengan khidmad dan patuh, tiada
yang buka suara. Sudah ribuan li mereka tempuh perjalanan inti,
tujuannya menyerbu Hek liong-hwe, medan laga sudah di depan
mata, maka berkobarlah se mangat tempur scmua orang. Apalagi
kata2 Thay siang cukup taja m dan me mba kar se mangat, semakin
besar gairah tempur mereka.
Habis bicara dari lengan bajunya yang lebar itu Thay-siang
menge luarkan sepucuk sa mpul tertutup, teriaknya: "Bok tan!"
Pek-hoa-pangcu Bok-tan mengiakan sa mbil tampil ke depan,
serunya: "Guru ada, pesan apa?"
"Kau pimpin Giok-lan, Bikui, Ci-hwi dan Coh-houhoat Leng Tio-
cong, Houhoat Liang Ih-jun, Yap Kay-sian dan Bing-gwat sebagai
petuntuk jalan, bekerjalah menurut catatan dala m surat rahasiaku
ini," Lalu ia serahkan sa mpul surat itu.
Setelah terima sa mpul surat itu, Bok-tan menjura, katanya :
"Tecu terima perintah."
Thay-siang mengulap tangan: "Kalianpun boleh pergi. "
Giok-lan, Bing-gwat ( Nikoh tua ), Leng Tio-cong dan lain2
mengiakan bersa ma, lalu mereka mengintil cepat di belakang Pe k-
hoa-pangcu Bok-tan keluar biara.
Kembali Thay-siang ke luarkan sa mpul surat kedua serta berseru:
"So-yok!"
"Tecu ada," sahut So-yok tampil ke depan.
"Kau bawa Hu-gong, Hong-sian, Giok-je, Yu-houhoat Coa Liang,
Houhoat Toh Kanling, Lo Kunhun dan Bing-cu akan menunjukkan
jalan, bekerjalah menurut petunjuk dala m suratku ini," la lu diapun
serahkan sampul surat itu.
Setelah menerima sa mpul So-yok terus mengundurkan diri
beserta orang2 yang ditunjuk Thay-siang barusan.
Untuk ketiga kalinya Thay-siang mengeluarkan pula sa mpul
ketiga, teriaknya: "Ling Kun-gi!"
"Ha mba ada," sahut Kun-gi.
Thay-siang serahkan sampul surat itu, sorot matanya menatap
tajam ke muka Ling Kun-gi, katanya dengan suara tandas: "Ling
Kun-gi, dala m tiga rombongan ini, rombonganmu merupa kan pusat
kekuatan penyerbuan kita kali ini, apakah Pek-hoa-pang dapat
menga lahkan Hek-liong-hwe, tugas berat ini terletak di atas
pundakmu, oleh karena itu kau harus me matuhi pesanku di dala m
sampul ini, jangan lena dan jangan ragu, tahu tidak?"
"Ha mba akan bekerja sekuat tenaga," sahut Kun-gi.
"Baiklah" ujar Thay-siang. "Sisa orang2 yang ada di sini boleh
kau pimpin seluruhnya, Ko-lotoa akan menjadi petunjuk jalan,
laksanakan perintahmu di dala m sa mpul, hanya boleh berhasil
pantang gagal" habis berkata baru dia serahkan sa mpul surat itu.
Waktu Kun-gi terima sa mpul itu, tampak di bagian depan sa mpul
tertulis sebaris huruf yang berbunyi: "Sebelum ja m 8 harus tiba di
Lim-cu-say dan surat ini baru boleh di buka."
Entah dimana letak Lim-cu-say? Tapi Ko-lotoa akan menunjukkan
jalannya, maka dia tidak perlu banyak tanya. Segera dia simpan
sampul itu ke dala m sa ku, terus menjura dan serunya: "Ha mba
terima perintah dan segera me laksanakannya"
"Loh-bi-jin," ucap Thay-siang lebih lanjut, "20 dara ke mbang
yang kau pimpin tinggal 19, biarlah Teh-hoa menggenapi jumlah ini,
kau tetap pimpin 20 orang." Teh-hua adalah salah satu pelayan
pribadi Thay- siang.
"Tecu terima perintab," seru Loh-bi-jin.
Kata Thay-siang: "Suruhlah mereka menggotong tandu yang ada
di bela kang itu ke luar, kalian boleh segera berangkat."
Kembali Loh bi-jin mengiakan terus ke be lakang me mbawa
empat dara ke mbang, tak la ma ke mudian dia sudah keluar,
keempat dara ke mbang itu me mikul sebuah tandu, warna tandu ini
juga serba hita m.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Tandu ini tentu buat Thay-siang."
Thay-siang mengulap tangan, katanya: "Untuk me mburu waktu,
sekarang juga kalian boleh berangkat!?` lalu dia berpaling kepada
Liu-hoa di be lakangnya: "Bawalah ji-gi itu dan jalanlah selalu
mengiring di sa mping tandu." Liu-hoa mengia kan.
Heran Kun-gi, semula dia kira Thay-siang akan naik tandu ini, tak
kira dia me mbagi seluruh kekuatan Pek-hoa-pang menjadi tiga
rombongan, ketiga rombongan dilepasnya pergi berarti seluruh
kekuatan dikerahkan. Lalu dia sendiri bagaimana? Me mangnya
seorang diri dia akan tinggal di biara ini? Atau sengaja dia me mbagi
tugas kepada orang banyak, sementara dia sendiri menuju ke suatu
tempatb tertentu? Tapid Thay-siang sudaah memerintahkabn
berangkat, kecuali berangkat menunaikan tugas, tak mungkin dia
mengajukan pertanyaan lagi.
Maka lekas dia menjura kepada Thay-siang, ia me mbawa Ko-
lotoa, Kongsun Siang, Song Tek seng, Thio La m-jiang dan
kedelapan Hou-hoat-su-cia mendahului keluar. Sementara Loh-bi-jin
mengintil dengan barisan 20 dara ke mbang yang me m-bawa tandu
kosong, sementara Liu-hoa mengiring di sa mping tandu hita m.
Setelah rombongan mereka itu meninggalkan Ciok-santhan
barulah Kun-gi bertanya kepada Ko-lotoa: "Ko-lotoa, Thay-siang
suruh kita tiba di Lim-cu-say sebelum ja m 8 pagi, apakah keburu
waktunya?"
"Lim-cu-say terletak di kaki gunung Kunlun sebelah depan, dari
sini kira2 ada 50 li, kini baru ja m 6, kalau jalan cepat, kukira masih
sempat me mburu waktu."
"Baiklah, sila kan Ko-lotoa tunjukkan jalan, kita jalan cepat2,"
demikian ucap Kun-gi.
Di bawah petunjuk Ko lotoa, mereka berja lan cepat menuju ke
arah utara. Daerah yang mereka lalui adalah pegunungan rendah,
jalan2 gunung yang berliku sukar dilalui, untung mere ka sa ma
me miliki kepandaian tinggi, dengan menyusuri ka ki gunung mere ka
maju terus, ada kalanya mereka harus melintas jurang atau
menyeberang sungai. Sela ma seja m lebih mereka mene mpuh
perjalanan dengan sangat payah, tapi tapi tiada yang mengeluh,
untungnya sepanjang perjalanan yang serba sukar ini mereka tida k
menga la mi aral rintang berarti, tepat pada jam yang ditentukan
mereka t iba di Lim-cu-say.
Itulah sebuah tanah datar yang cukup luas di bawah gunung,
hutan bambu me magari tanah lapang, berumput di depan sana,
kiranya ada beberapa petak bangunan gubuk bambu yang dihuni
beberapa keluarga.
Tiba2 tergetar pikiran Kun-gi, pikirrrya: "Agaknya beberapa
gubuk ba mbu itu ada sembunyi para mata2 Hek-liong-hwe." Serta
merta dia merogoh keluar sa mpul surat itu dan dibukanya, tampak
di atas secarik kertas tertulis:
"Pertama, kalian be lum sarapan pagi, ma ka boleh istirahat di sini
sambil me ngisi perut yang tersedia di dala m tandu.
Kedua, dari Lim-cu-say menuju ke utara, sepanjang jalan
hendaklah kibarkan panji Pang kita, para dara kembang sebagai
pelopor jalan.. Liu-hoa tetap beriring di samping tandu, kalian
menyebar mengelilingi tandu, gerak langkah kalian harus hati2 dan
selalu waspada, tapi juga tidak perlu cepat2, hal hal ini harus
diperhatikan, berbuatlah supaya pihak lawan mengira kalian akan
menyerbu setelah tabir mala m mendatang, tentang situasi
perjalanan boleh berunding dengan Ko-lotoa.
Ketiga, sebelum magrib harus tiba di Ui-lionggia m, di depan Ui-
liong gia m ada sebuah tanah lapang, kalian harus sembunyi dan
aturlah jebakan di sini, sementara perintahkan Loh-bi-jin menaruh
tandu di tengah lapangan dan berjaga mengelilinginya.
Keempat, kalau berhadapan dengan Cap-ji-sing-siok dari Ui liong-
tong, suruhlah para dara ke mbang menghadapinya.
Kelima, di antara musuh yang muncul, bila kedapatan La ma
berkasa merah, jangan dihadapi dengan kekuatan, biarkan dia
berusaha menerjang ke dekat tandu, kalau tidak kesa mplok La ma
kasa merah, tandu harus dijaga seketat mungkin, setelah tiba di Ui-
lionggia m, baru lemparkan tandu ini ke gua Ui-liong-tong, sarang
para penjahat itu.
Enam, sa mpul tertutup yang kedua ini baru boleh dibuka setelah
kalian berhasil, menduduki Ui-Liong-tong."
Setelah habis me mbaca tulisan dala m sa mpul, Ling Kun-gi
berpaling kepada Ko-lotoa, tanyanya: "Berapa jauh dari sini menuju
ke Ui-lionggia m?"
"Lima sa mpai ena m puluh li," sahut Ko-lotoa.
Perjalanan sejauh lima puluh li harus dite mpuh dari pagi sa mpai
maghib, pantas Thay-siang mene kankan supaya kita tidak usah
bergerak terlalu cepat. Kini baru Kun-gi paha m bahwa
rombongannya ini meski merupakan kekuatan utama untuk
menyerbu Ui-lionggia m, tapi kenyataan juga hanya merupakan
barisan yang main gertak belaka. Apalagi mereka tida k perlu
bergerak cepat, para dara kembang sebagai pelopor barisan jelas
tujuannya untuk menarik perhatian pihak lawan saja.
Yang pasti rombongan Bok-tan dan So-yok baru boleh dikatakan
sebagai barisan penyerbu, terang tugas mereka jauh lebih berat,
karena ke mungkinan tugas mereka adalah menyerbu Ui-liong-tong
dan Hwi-liong-tong. Dari sini dapatlah dia mbil kesimpulan bahwa
Thay-siang pasti masih me mpunyai rahasia la innya yang sengaja
dise mbunyikan. Dan yang membuatnya paling heran adalah Cap-ji-
sing siok dari Hwi-liong tong itu kebal segala maca m senjata, tapi
kenapa para dara kembang itu yang diharuskan mengadapi mere ka?
Dari mana pula Thay siang bisa tahu kalau La ma ber-kasa merah
akan muncul di antara para musuh? Kenapa pula kalau berhadapan
dengan para Lama kasa merah boleh me mbiarkan mereka
menubruk ke tandu? Kalau t idak bersua La ma kasa merah, tandu
harus dipertahankan ma lah?
Bolak-ba lik Kun-gi berusaha me mecahkan berbagai persoalan ini,
tapi tetap tidak me mperoleh jawaban yang me muaskan, terpaksa
dia simpan sa mpul surat itu, lalu berkata kepada seluruh
rombongan, "Thay-siang suruh kita istirahat di hutan ba mbu ini,
setelah mene mpuh perjalanan sejauh 50 an li, belum ma kan pagi
lagi, di dala m tandu ada disediakan rangsum, marilah kita istirahat
di sini saja."
"Cong-coh" kata Ko-lotoa, "apakah perlu kita mencari suatu
tempat yang tersembunyi untuk istirahat?"
"Begitupun boleh," sahut Kun-gi.
Ko-lotoa berseri senang, katanya. "Kalau demikian marilah ikut
aku." Agaknya dia amat apal akan daerah ini, dia bawa orang
banyak me mutar ke ka ki gunung, di mana kebetulan ada tanah
lekukan di balik hutan yang cukup tersembunyi, maju lagi beberapa
jauh mereka tiba di sunga i besar di sebelah be lakang adalah hutan
yang subur dan rimbun. tanah le kukan itu ditumbuhi rumput
menghijau, di sinilah te mpat yang cocok untuk istirahat banyak
orang.
Tandu diletakan di tengah tanah lapang, laki perempuan duduk
menjadi dua kelompok di kanan kiri me lingkari tandu. Loh-bi-jin
segera suruh dua dara ke mbang mengeluarkan rangsum di dala m
tandu dan dibagikan kepada orang banyak.
-odw0o-

Untung Ui-lionggia m sejauh 50-an li. Thay-siang berpesan supaya


mereka t idak perlu buru2, cukup asal mere ka tiba di te mpat tujuan
sebelum senja, jadi wa ktunya masih cukup luang untuk istirahat.
Setelah semua kenyang, Kun-gi suruh Loh-bi-jin maju dan suruh
dia me mbaca pesan Thay-siang secara lantang dihadapan orang
banyak. habis me mbaca Loh-bi-jin terus menyingkap tutup tandu,
betul juga di tempat duduk tandu me ma ng ada panji yang dilipat
rapi. Maka dia suruh dua dara ke mbang me motong ba mbu dan
dibuat tiang panji. Bukan saja panji2 itu berwarna warni menyolok,
sula mannya juga indah Ada yang berbentuk segi panjang, panji ini
bertuliskan Pek-hoa-pang dengan huruf besar. Ada pula yang
berbentuk segi tiga, di tengahnya bersulam huruf "Hoa" yang besar.
Ada pula panji panjang se mpit berwarna dasar putih bertulisan
hitam, hurufnya berbunyi-"Tumpas habis Hek-liong-hwe" dan
sebuah lagi bersemboyan "Lenyapkan sa mpah persilatan".
Setelah panji2 ini dipasang di ujung ba mbu panjang hingga mirip
barisan panji diwa ktu pawai, menarik dan mengesankan.
Setelah segala persiapan selesai dilakukan, Kun-gi mendekati
Loh-bi-jin, tanyanya: "Apakah nona tahu apa yang harus dilakukan
sepanjang perjalanan ini?"
"Wah, agaknya Cong-su-cia hendak menguji aku," ucap Loh-bi-jin
"dala m pesan Thay-siang suruh para dara kembang menjadi pelopor
barisan dengan panji2 serba aneka ragam ini, tapi gerak-gerik kita
sedapat mungkin harus tetap dirahasiakan, ku-kira maksud Thay-
siang supaya kita menggulung panji2 itu, barisan maju ke depan
dengan dia m2, entah betul t idak ga mbaranku ini?"
"Nona me mang cerdik," ujar Kun-gi mengangguk, "kukira
me mang de mikianlah ma ksud Thay-siang."
"Aku sangat bangga dapat seperjalanan dengan Cong-su-cia dan
berada di bawah perintahmu lagi, segalanya terserah kepada Cong-
su-cia saja."
"Jangan nona sungkan, baiklah kita bekerja sesuai pesan beliau
saja," kata Kun-gi pula. Setelah cukup la ma mereka istirahat, Ko-
lotoa tetap berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan. Kali ini
barisan dibagi menjadi beberapa kelompok, maka jalannya jauh
lebih teratur.
Ko-lotoa sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu Cong-
su-cia Ling Kun-gi, Kongsun Siang, Song Tek-sing, Thio La m-jiang
dan disusul para dara ke mbang yang me mbawa panji2.
Cuma panji yang mere ka bawa sama digulung, ada yang masih
me la mbai dan sebagian gambar kelihatan, siapapun yang
me lihatnya pasti akan tahu bahwa mereka adalah barisan orang Pek
hoa-pang.
Yang berada dibelakang barisan dara2 kembang adalah Loh-bi-jin
sang pimpinan, lalu Liu-hoa yang me megang mistar kebesaran, di
belakangnya lagi baru tandu, dibelakang tandu adalah delapan Hou-
hoat-su-cia yang mengenakan seraga m hijau pupus.
Barisan tampak megah dan merupa kan kekuatan utama Pek-hoa-
pang, siapapun bila melihat tandu serba hitam itu pasti akan
mengira orang yang duduk didalamnya Thay-siang adanya. Memang
siapa yang tahu bahwa tandu ini sesungguhnya kosong? Barisan ini
me mang dima ksud untuk menggertak musuh belaka.
Ternyata Ko-lotoa juga cukup cerdik dan pintar, dia
meninggalkan jalan raya, sengaja dia pilih ja lan pegunungan yang
jauh lebih sulit dilewati. Ma lah ada ka lanya sengaja ma in se mbunyi
dan menggere met maju seperti takut jejaknya konangan musuh.
Yang benar, waktu berada di Lim-cu-say, jejak mereka sudah
selalu diawasi oleh mata2 Hek-liong-hwe, dengan burung dara pos
mata2 itu sudah kirim berita ke markas pusat, ma lah sepanjang
perjalanan ini ada juga orang menguntit, setiap saat gerak-gerik
mereka sela lu dilaporkan lewat burung pos. Oleh karena itu piha k
Hek-liong-hwe a mat jelas akan jejak dan gerak-gerik mereka. Tapi
maksud tujuan Thay-siang akan rombongan yang dipimpin Ling
Kun-gi ini me mang hanya untuk menggertak musuh, supaya pihak
Hek-liong hwe merasa yakin sudah menguasai situasi.
Menjelang senja sesuai pesan Thay-siang mereka sudah berada
di belakang gunung, tapi mereka bergerak sembunyi2, mereka
harus menunggu hari menjadi gelap baru akan beraksi, secara
mendadak menyergap Ui-lionggia m.
Hari mulai re mang2, rombongan yang dipimpin Ling Kun-gi
dibawah petunjuk ja lan Ko lotoa akhirnya tiba di tanah lapang
berumput di luar Ui-lionggia m. Inilah te mpat yang sudah di tentukan
oleh Thay-siang, setiba di te mpat ini mere ka tidak perlu main
sembunyi lagi.
Dara2 kembang dengan mengacungkan panji2 mereka berderap
me masuki tanah lapang serta menduduki tanah berumput datar ini,
tandupun diturunkan tepat di tengah lapangan.
Sungguh aneh, dari depan sampai belakang gunung tak pernah
mereka kesamplok dengan seorang musuhpun sehingga barisan
pelopor Pek-hoa-pang yang merupakan kekuatan inti ini seolah2
me masuki daerah yang tidak dihuni lagi, Tapi Kun-gi cukup
mengerti, bila pihak lawan dia m saja dan tidak me mberikan sesuatu
reaksi, ini berarti bahwa mereka me mang sudah sejak la ma
me mpersiapkan diri dan mengekang anak buahnya secara keras dan
me mbiarkan pihak Pek-hoa-pang masuk jebakan yang telah diatur.
Maka Kun-gi berpesan kepada seluruh ana k buahnya agar selalu
siaga dan waspada. Delapan Hou-hoat-su-cia, 20 dara kembang
semua sudah melolos senjata siap me mbentuk ancang2 barisan di
tengah tanah rumput itu. Tandu tetap berada di tengah, tirai
menjuntai menutup rapat sehingga tak kelihatan siapa yang ada di
dalam, Liu-hoa berdiri tegak di sa mping tandu sambil me me luk
mistar kebesaran.
Jumlah mereka tidak sedikit, tapi gerak-gerik mereka cukup
lincah dan tangkas, langkah tidak berbunyi dan tidak menimbulkan
kepulan debu.
Sementara panji2 Pek-hoa-pang sudah dipancang di sekeliling
tanah lapang, panji berkibar tertiup angin. Empat dara kembang
yang ditugaskan mengurus komsumsi segera mengeluarkan
rangsum dan dibagikan. Setelah mala m se makin berlarut nanti
mereka akan menghadapi suatu pertempuran besar yang akan
menentukan mati dan hidup, ma ka mereka harus mengisi perut
untuk menunjang se mangat dan kekuatan fisik.
Pada saat mereka istirahat itulah tiba2 terdengar dari arah barat
di mana tadi mereka datang berkumandang suara ledakan
mengge legar. Terlihatlah serombongan bayangan orang muncul dari
balik batu2 besar dan mencegat jalan mundur mereka.
Yang terdepan adalah seorang kake k tua bertubuh kurus kering,
bermata satu sebelah kanan. Di bela kangnya berbaris sembilan
orang, dari kaki sampa i kepala di bungkus paka ian seragam. ketat
warna hitam, hanya kedua biji mata mereka yang kelihatan, itulah
sisa dari Cap ji-sing-siok yang berpakaian kebal senjata.
Kun-gi tertawa dingin, jengeknya. "Kukira siapa, rupanya kalian
yang pernah kecundang di bawah pedangku, mana Kim kao cian
Nao Sa m-jun, kenapa tida k kelihatan batang hidangnya?
Me mangnya sudah pecah nyalinya?"
Bola mata si kakek yang bermata tunggal ini mendelik besar
seperti kelereng berapi, sesaat lamanya dia menatap Kun-gi,
katanya kemudian: "Usia muda bermulut besar, kau inikah Cong-su-
cia Pek-hoa-pang yang bernama Ling Kun-gi itu?"
Kun-gi bertolak pinggang dengan angkuh, katanya: "Sebutkan
juga na ma mu?"
Si mata tunggal mencibir, dengusnya: "Cari urusan tidak tahu
diri, me mangnya siapa Lohu ini tidak pernah kau dengar orang
bilang?"
Kun-gi tertawa lantang, katanya: "Terlalu banyak sampah
persilatan, mana mungkin orang she Ling tahu akan orang2 tersisa
ini."
Seketika si mata tunggal menarik muka, teriaknya gusar: "Anak
keparat yang tidak tahu diri, nanti akan Lohu bikin kau tahu betapa
lihaynya orang tersisa ini."
Ko-lotoa berdiri di bela kang Ling Kun-gi, tiba2 dia berkata lirih:
"Dia inilah yang dipanggil Hoanthianeng Siu Ing, salah satu dari ke
36 panglima He k-liong-hwe dulu ........."
Mata tunggal Hoanthianhwe Siu Ing me mancarkan cahaya dingin
tajam, sesaat dia tatap Ko-lotoa, akhirnya ter-gelak2, katanya: "Kau
ini Ko-ciangkun, haha, tak heran kau segera tahu asal usul
saudaramu ini."
Ko-lotoa segera menjura, katanya: "Ya, memang inilah orang she
Ko, silakan Siu-ciangkun."
Dia m2 Kun-gi mengangguk, pikirnya: "Ternyata Ko-lotoa juga
salah satu dari ke36 panglima Hek-liong hwe dulu."
Tatkala dia ber-pikir2 inilah, dari arah jalan pegunungan sebelah
sana juga berdentum suara ledakan keras. Muncul bayangan dua
pasang orang berbaju hitam dari jalanan hutan sana. Empat orang
bergerak laksana setan gentayangan, pelan2 mereka beranjak
keluar dari hutan, lalu berdiri terpencar ke kirikanan, tegak laksana
patung, kedua tangan lurus ke bawah, muka ka lihatan putih kaku
seperti mayat.
Lalu disusul munculnya dua buah lampion warna merah, dua
gadis baju hijau menentengnya keluar dengan langkah le mbut dari
hutan.
Menyusul muncul sebuah tandu yang di pikul dua laki2 kekar.
hanya sebentar saja sudah berada di luar hutan dan berhenti di
ujung jalan. Kedua gadis pembawa La mpion berdiri di kirikanan
tandu, keempat laki2 serba hitam berwajah seperti mayat tadi juga
merapat ke dekat tandu.
Dia m2 Kun-gi menerawang: "Ramalan Thay-siang me mang tepat,
Hek-liong-hwe ma in pancing musuh ke daerah terlarang ini untuk
turun tangan tapi pihak musuh tida k tahu se mua ini sudah dala m
perhitungan beliau."
Maka dapatlah diduga kalau Hek-liong-hwe mengerahkan
kekuatan dan me mbuat perangkap di sini, jelas rombongan Pe k-
hoa-pangcu Bok-tan dan Hupangcu So-yok yang bertugas menyerbu
dari sayap kirikanan atas perintah Thay siang itu be lum diketahui
pihak musuh.
Apa yang dikatakan Thay-siang me mang tidak sa lah, rombongan
yang dipimpinnya ini merupakan pusat kekuatan dari barisan
penyerbu Pek-hoa-pang yang paling tangguh, agaknya Hek-liong-
hwe mengira Thay-siang berada di da la m tandu yang mere ka pikul
dan dijaga ketat ini, maka merekapun mengerahkan ke kuatan untuk
mencegat dan me numpasnya di sini.
Sambil menimang2 itulah secara dia m2 dia me mberi kedipan
mata kepada Loh bi-jin, maksudnya supaya si nona bekerja sesuai
petunjuk Thay-siang yang tertera di surat rahasianya itu, dia harus
pimpin para dara kembang menghadapi Cap-ji-sing-siok dari Hwi-
liong-tong.
Loh-bi jin mengerti, dia mengangguk, lalu me mberi tanda dengan
la mbaian tangan ke arah dara2 ke mbang. Melihat aba2 serentak
dua puluh dara kembang menggerakkan tangan, sekali tangan
me mba lik, dari pinggang masing2 mereka menge luarkan sepasang
golok me lengkung, mereka menghadap ke barat dan berbaris rapi.
Walau tidak tahu cara bagimana para dara ke mbang ini akan
menghadapi Cap ji-sing-siok, tapi Kun-gi tahu bahwa Thay-siang
sudah me mperhitungkan pihak Hek-liong-hwe pasti me masang
perangkap di sini, dengan menunjuk dara2 ke mbang ini menghadapi
Cap-ji-sing-siok, tentu hal ini tidak perlu dikuatirkan.
Musuh dibagian barat sudah dia serahkan pada Loh -bi-jin, ini
menurut pesan Thay-siang di dala m surat rahasianya, maka urusan
selanjutnya dia boleh tidak usah mengurusnya.
Mengenai rombongan musuh yang berada di arah timur,
jumlahnya me mang tida k banyak, tapi tandu hita m yang mungil itu
tidak asing lagi bagi Kun-gi, dia tahu itulah tandu yang biasa dina iki
Hianih-lo-sat. Perempuan yang satu ini panda i menggunakan obat
bius, sampa i La m-kiang-it-ki Thong-pi-thianong Tong Ji-hay yang
me miliki kepandaian tinggi itupun kecundang olehnya, tapi dia tidak
usah gentar menghadapinya karena me miliki Jing-s intan buatan
keluarga Un dari Ling-la m pe mberian Un Hoankun.
Maka pelan2 dia me mutar ke arah timur sembari tangan meraba
gagang pedang, serunya tertawa lantang: "Apakah yang datang
Hianih-lo-sat Coh-siancu? Sungguh tak nyana kita berjumpa lagi di
sini."
Maka berkumandanglah suara seorang nyonya dari dalam tandu
hitam itu: "Aku bukan Hianih-lo-sat Coh-siancu."
Mendengar logat suara orang Kun-gi tahu memang bukan suara
Coh-siancu, sekilas dia melengak, tanyanya: "Kalau kau bukan
Hianih-siancu, me mangnya kenapa kau gunakan panji2 miliknya?"
Orang dala m tandu mendengus, katanya: "Buat apa Losin harus
me ma kai panji miliknya?" Sa mpa i di sini suaranya tiba2 meninggi:
"Junhoa, Jiu-gwat, buka tirai."
Dua pelayan baju hijau yang berdiri di kanan-kiri tandu
mengiakan terus menyingkap t irai yang menutup tandu.
Kini Kun-gi bisa melihat jelas. Di da la m tandu duduk seorang
nyonya baju hijau bergaun putih, wajahnya putih, rambutnya sudah
beruban, sorot matanya berkilat, me mang dia bukan Hianih-lo-sat.
"Anak muda," ucap nyonya baju hijau, "kau kenal Coh-s iancu?"
Gagah perkasa sikap Ling Kun-gi dengan jubah yang me la mbai2,
katanya sambil mengangguk: "Cayhe pernah bertemu dengan Coh-
siancu."
"Bagus sekali" ucap nyonya baju hijau sambil mengawasinya
lekat2, tanyanya: "Siapa na ma mu?"
"Cayhe Ling Kun-gi."
Agaknya nyonya baju hijau rada melengak, beberapa saat dia
mengawasi pula, katanya ke mudian: "Jadi kau inilah Cong-su-cia
dari Pek-hoa-pang itu.."
"Ya, betul, me mang akulah yang rendah ini."
"Baiklah musuh uta ma yang kita hadapi mala m ini adalah Thay-
siang dari Pek-hoa-pang, untuk itu Losin boleh me mberi keringanan
padamu, asal kau tida k menerjang ke arahku sini, Losin t idak a kan
me mpersulit pada mu."
Tegak alis Kun-gi, katanya lantang: "Banyak terima kasih akan
kebaikanmu, Cayhe juga ada sepatah dua kata untuk disampaikan.
Pertempuran ma la m ini pihak mana bakal gugur sulit dirama lkan,
tapi asal engkau suka mengundurkan diri dari asalmu datang tadi,
Cayhe juga boleh me mberi keringanan pada mu, pasti tidak a kan
menyentuh seujung ra mbut mu."
Junhoa dan Jiu-gwat yang berdiri di kanan-kiri tandu seketika
menarik muka, sambil menuding Kun-gi mereka me maki: "Berani,
kau kurangajar terhadap Liu siancu, biar kuringkus kau lebih dulu."
Liu-siancu, kiranya nyonya berbaju hijau yang duduk di dalam
tandu adalah Jianjiu-koanim Liu-siancu yang terkenal itu. '
Mencorong terang bola mata Ko-lotoa mendengar na ma orang,
dilihatnya tangan kedua budak perempuan yang menuding itu
menge luarkan selarik sinar e mas berkelebat, segera ia berteriak:
"Cong-coh, hati2 serangan mereka." Sayang peringatannya ini
sudah terlambat.
Di tengah hardikan suara Junhoa dan Jiu gwat, dua batang jarum
emas tanpa bersuara menya mber ke kirikanan pundak Ling Kun-gi.
Tapi Kun-gi tetap menggendong tangan dengan sikapnya yang
gagah perkasa tanpa bergerak, kedua jarum emas lawan dibiarkan
saja mengenai punda knya, malah dia unjuk senyum manis dan
berkata: "Kalau jarum nona berdua bisa melukai Cayhe, jabatan
Cong-su-cia di Pek-hoa-pang me mangnya bisa kududuki." Belum
habis dia bicara, kedua jarum e mas lawan yang mengena i
pundaknya, pelan2 jatuh ke tanah.
Terbeliak Junhoa dan J iu-gwat, muka mere kapun pucat pasi. Tapi
Jiu-hoa masih bandel, dengusnya: "Jangan takabur? Hm, coba
rasakan yang ini . . . . "
Lekas Liu-siancu bersuara: "Jiu-gwat, jangan turun tangan, dia
meyakinkan ilmu sakti pe lindung badan, kalian tidak akan ma mpu
me lukai dia." Pandangannya beralih dan berkata pada Ling Kun-gi:
"Usia mu masih begini muda, tapi sudah berhasil meyakinkan ilmu
sakti pelindung badan, sungguh kagum dan harus dipuji, tak heran
kau berani bersikap angkuh dan bermulut besar, ketahuilah ilmu
silat tiada batasnya, kepandaian seorang bisa lebih tinggi daripada
yang lain, tentunya kau pernah dengar penuturan gurumu tentang
nama Kinsianyang Jianjiu-koanim bukan? Ilmu sakti pelindung
badanmu itu hanya ma mpu menolak senjata rahasia biasa, tapi
menghadapi Thay yangsincia m (jarum sakti matahari) milikku ini,
ilmu saktimu itu tidak akan berguna lagi.".
Dia m2 tergetar hati Ling Kun-gi, me mang gurunya pernah bilang
bahwa Jianjiu-koan im Liu-siancu yang berte mpat tinggal di Kiu-
sianyang me miliki ilmu senjata rahasia yang menjagoi Bu-lim,
selama berpuluh tahun malang melintang tak pernah mene mukan
tandingan, terutama "jarum sakti matahari" yang dia yakinkan itu
khusus untuk me mecahkan Khikang atau ilmu sakt i kekeba lan
pelindung badan yang tangguh bagi tokoh2 persilatan umumnya.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Kun-gi bahwa Jianjiu-koanim Liu-
siancu yang tersohor juga mau menjadi kaki tangan musuh dan
bersekongkol dengan He k-liong-hwe.
Dengan tertawa Kun-gi berkata: "Memang Cay-he pernah dengar
dari Suhu tentang na ma besar Liu-siancu, tapi ka lau Liu-s iancu yakin
bahwa jarum sakti mataharimu itu ma mpu me mbobol pertahanan
ilmu pelindung badanku, nah boleh sila kan coba."
"Suhu," teriak Junhoa gusar," usil mulut orang ini, kalau tidak
diberi tahu rasa, dia kira jarum sakti matahari Suhu tidak ma mpu
menga lahkan dia."
Liu-siancu tersenyum, katanya: "Anak muda, sekali hawa murni
pertahanan badanmu pecah, maka ta matlah jiwa mu, jangan kau
me mpertaruhkan jiwa mu sendiri, perlu kuperingatkan pada mu, asal
nanti kau tidak menerjang ke arahku, aku tetap tidak mengganggu
dirimu."
Pada saat itulah, suara ledakan ketiga menggelegar lagi. Maka
muncullah delapan la mpu yang besar terang dari ngarai batu te mpat
ketinggian sana, sehingga seluruh Ui-lionggia m ini menjadi terang
benderang seperti siang hari.
Dari sebuah mulut gua besar yang menganga di bawah Ui-
lionggia m sana muncul sebarisan orang dengan langkah la mban.
Orang yang berjalan paling depan adalah laki2 tua berjubah hita m,
wajahnya merah beralis tebal, jenggot dibawah dagunya sudah
me mut ih, pedangnya panjang beronce kuning tampak tersandang
dipundaknya, sorot matanya berkilat menghijau dingin.
Orang ini pernah dilihat Kun-gi di Pek-hoa-pang dulu, dia adalah
Ci Hwi-bing Tongcu dari Ui-liong-tong. Di bela kangnya ada dua
orang tua lagi, seorang berpakaian ka in kaci kasar, berperawakan
agak pendek, tapi raut mukanya me manjang, mirip ta mpang kuda
sehingga kelihatannya amat lucu. Seorang lagi bermuka tirus, tulang
pipinya menonjol, rona mukanya pucat seperti kertas, kedua
matanya me micing seperti mera m tapi juga melek sekilas pandang
orang akan segera tahu bahwa kedua orang tua ini berasal dari
aliran jahat. Di belakang kedua orang tua ini diikuti pula empat laki2
kekar berpakaian hita m ketat dengan pedang panjang di punggung
mereka, paling t idak kee mpat orang ini adalah para Sincu dari Ui-
liong- tong yang ber-pangkat tingkat dua.
Dia m2 Kun gi menerawang situasi yang dihadapinya, pihak lawan
sekaligus muncul tiga rombongan jago2 kosen, musuh di timur dan
barat terang akan mencegat jalan mundur pihaknya, sementara
rombongan yang dipimpin Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing sendiri
berhadapan langsung dengan dirinya.
Hoanthianeng Siu Ling yang me mimpin sisa Cap ji-sing-s iok akan
dihadapi Loh-bi-jin dengan dara2 kembang sesuai yang dipesan oleh
Thay-siang, sementara untuk menghadapi rombongan musuh di
sebelah barat dan di depan ini, dia sendiri harus berdaya upaya.
Maka dia berbisik kepada Kongsun Siang supaya me mimpin e mpat
Hou-hoat-su-cia menghadapi rombongan musuh di sebelah timur
yang dipimpin Liu-siancu. Sementara empat Hou-hoat-su-cia yang
lain di bawah pimpinan Ting Kiau di serahi tugas untuk melindungi
tandu.
Sementara Kun-gi, Ko-lotoa, Song Tek sing Thio La m-jiang
berhadapan langsung dengan kekuatan utama musuh yang dipimpin
Ci Hwi-bing. cara pembagian ini ka lau dinila i kekuatannya jelas
pihak sendiri terla mpau le mah, Tapi da la m keadaan kepepet pada
saat genting ini, cara yang ditempuhnya ini sudah merupa kan
pilihan yang terbaik.
Bersinar tajam mata Ui-liong-tongcu, dengan kale m satu persatu
dia awasi, setiap insan Pek-hoa-pang yang ada di tengah lapangan,
ke mudian terkulum secercah senyuman riang, congkak dan rasa
ke menangan, dalam jarak dua tomba k dia berdiri, suaranya
bergetar keras: "Siapakah yang berna ma Ling Kun-gi, Cong-su-cia
dari Pek-hoa-pang?'
Dengan kale m Kun-gi melangkah maju, katanya: "Cayhe inilah
Ling Kun-gi, Ci-tongcu ada petunjuk apa?" Pedang tersoreng
dipinggang, jubah hijau yang dipa kainya mela mbai tertiup angin,
sikapnya tenang dan wajar, sungguh tak ubahnya seorang panglima
perang yang sudah berpengalaman dan tabah menghadapi segala
lawan. Ko-lotoa, Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang tetap beriring di
belakangnya.
Seperti mata harimau yang buas dan liar so-rot mata Ci Hwi-bing,
katanya, menyeringai: "Kau inikah Cong-su-cia itu?". Di ta man
belakang Pek-hoa-pang dulu dia pernah me lihat Kun-gi duduk
berjajar dengan Pek-hoa-pangcu, maka dia kenal Kun-gi. "Mana
Thay-siang kalian?" tanyanya pula.
"Ya, beliaupun datang."
"Kenapa menyembunyikan diri dala m tandu, persilakan dia
keluar!'
"Apakah Hwecu kalian juga akan keluar?" ba las tanya Kun-gi.
"Dengan ke kuatan ka mi yang tangguh ini, me mangnya perlu
Hwecu sendiri yang keluar?" ejek Ci Hwi-bing.
Tawar tawa Kun-gi, ucapnya: "Kalau Hwecu kalian tida k mau
keluar, Thay-siang ka mi juga tida k sudi mene muimu."
Ci Hwi-bing terbahak sambil mendongak, serunya: "Ka lian sudah
terjatuh ke dalam gengga man tanganku, ingin Lohu lihat sampa i
kapan dia bisa se mbunyi di dala m tandu."
"Jadi Ci-tongcu sudah yakin kalau pihakmu pasti akan menang?"
jengek Ling Kun-gi.
"Me mangnya kalian ma mpu keluar dari sini dengan masih
bernyawa?"
"Kukira belum tentu," demikian ucap Kun-gi dengan sombong,
"orang kuno ada bilang, orang bajik tidak akan datang, yang datang
tidak mungkin bajik, kalau Pek-hoa-pang cuma maca mnya orang2
segampang tahu dicacah me ma ngnya bisa me luruk sejauh ini
sampai di Kunlunsan ini?"
Berubah rona muka Ci hwi-bing, sebelah tangan mengelus
jenggot dia tatap Ling Kun-gi sesaat la manya, katanya: "Tapi
keadaan di depan mata sudah merupakan bukti, kalian masuk
perangkap dan terkepung dari tiga jurusan, jelas berada dalam
situasi yang kepepet, inilah kenyataan yang tak bisa diperdebatkan
lagi, kau bukan orang bodoh, me mangnya tidak bisa menilainya
sendiri."
"Tida k, Cayhe tetap berpendapat pihak mana yang bakal gugur
masih sukar dira ma lkan," Kun-gi tetap me mberi tanggapan tegas.
Terkekeh mulut Ci Hwi-bing, senyum sinisnya semakin tebal
disertai rasa gusar, suaranya berubah kereng berat: "Lohu dengar,
katanya kau adalah murid Hoanjiu-ji-lay Put-thong Taysu?"
"Me mangnya perlu kuterangkan lagi?" jengek Kun-gi.
"Mengingat gurumu Put-thong Taysu, Hwecu tida k ingin
bermusuhan dengan kau, maka Lohu di perintahkan untuk
menasihati kau bahwa permusuhan Hek-liong-hwe dengan Pek-hoa-
pang tiada sangkut pautnya dengan kau, tak perlu kau ikut basah
dalam a ir keruh ini, terutama mengingat ilmu silat yang kau pelajari
begitu tinggi, masa depanmu gilang ge milang, jika kau sudi ma mpir
ke Hek-liong-hwe ka mi, Hwecu juga bisa me mberi kedudukan Cong-
hou-hoat yang lebih agung pada mu."
Kun-gi tertawa, katanya: "Kebaikan Hwecu kalian, Cayhe terima
di dala m hati saja.”
"Jadi kau tidak mau terima undangan ka mi?"
"Sekarang Cayhe adalah Cong-hou-hoat-su-cia dari Pek-hoa-
pang, sebagai seorang ksatria me mang bisa aku harus bermuka
dua, pagi berpihak sini dan mala m berpihak sana, sekarang, kata2
Ci-tongcu tadi kuputar balik dan kuperse mbahkan ke mbali pada mu,
kalau sekarang aku me mbujuk Ci-tongcu me nyerah dan berpihak
pada Pek-hoa-pang bagaimana?"
Ci Hwi-bing manggut2, katanya: "Maksud Hwecu, jika Ling-lote
tidak mau menyerah, beliau pun mengharap kau mengundurkan diri
saja dari keterlibatanmu ini, jangan sampai diperalat oleh Pek-hoa-
pang, asal kau mengangguk segera kusuruh orang mengantarmu
turun gunung, bagaimana pendapat mu.
Kun-gi tertawa, katanya: "Jika Thay-siang kita juga me mbujuk
umpa ma Ci-tongcu tida k mau takluk kepada Pek-hoa-pang, silakan
selekasnya kau mengundurkan diri saja, bagaimana pendapat Ci-
tongcu?"
Wajah Ci Hwi-Ling berubah ke la m: "Jadi kau tetap me mbande l."
"Seperti kau Ci-tongcu, masing2 orang me mpunyai tekadnya
sendiri2"
"Ling Kun-gi, kebodohanmu ini a kan menghancurkan masa
depanmu sendiri."
"Cayhe tidak habis pikir, dalam hal apa aku akan menghancurkan
masa depanku sendiri?"
"Baiklah Lohu terangkan padamu, Pek-hoa-pang main pikat
terhadap insan persilatan dengan paras elok anggotanya, paling2
mereka hanya perkumpulan orang2 durhaka dan khianat, sekarang
kau sudah mengerti bukan?"
Bahwa Pek-hoa-pang dituduh sebagai khianat mau tak mau
bergetar hati Ling Kun-gi, semakin tebal rasa curiganya. Dia masih
ingat Thay-siang pernah berkata demikian: "Mereka (maksudnya
Hek-liong-hwe) kecuali me ngerahkan beberapa anggota cakar
alap2, me mangnya bisa mengerahkan jago2 silat dari mana?"
Semula Kun-gi mengira permusuhan antar Pek-hoa-pang dan Hek-
liong-hwe hanya pertikaian biasa antara sesama perkumpulan yang
berkecimpung dala m percaturan Kangouw, tapi dari ucapan Ci Hwi-
bing tadi dia menarik kesimpulan bahwa permusuhan kedua
perkumpulan ini juga ada hubungannya dengan pihak penguasa.
Ko-lotoa tetap berdiri di belakang Ling Kun-gi, dia hanya berdiri
dia m mendengarkan percakapan kedua pihak. Maklumlah, dia hanya
sebagai penunjuk jalan, tiada ha k untuk ikut bicara dihadapan Cong-
su-cia. Apalagi Ling Kun-gi tidak termakan oleh bujuk rayu Ci Hwi-
bing yang akan menariknya ke pihaknya, maka dia anggap tak perlu
ikut berbicara.
Tapi kini persoalan sudah lain, kaum persilatan umumnya
me mang mengala mi kehidupan pahit di ujung senjata, tapi sekali
urusan menyangkut pihak yang berkuasa, siapapun tak berani
me mikul a kibatnya dituduh sebagai pengkhianat negara.
Melihat Kun-gi mendadak terdia m, Ko lotoa mengira dia keder
karena dituduh sebagai "pengkhianat". Sejauh ini urusan telah
berkembang, ma ka dia tidak hiraukan kedudukannya sekarang
sebagai penunjuk jalan lagi, segera ia menghardik: "Ci Hwi-bing,
kau bangsat keparat, pengkhianat bangsa kau anggap sebagai
bapak, paling2 kau hanya diangkat sebagai Tongcu, me mangnya
kau punya masa depan pula"
Melotot mata Ci Hwi-bing, bentaknya dingin: "Kau Ko Wi-gi.
Haha, memangnya Hwecu sedang mencari kalian kawanan
pengkianat ini, ternyata kau berani antar jiwamu ke sini, ini
namanya sorga ada pintu kau tak mau masuk, neraka buntu justeru
kau terjang."
Ko-lotoa menarik muka, katanya sinis: "Ka lau aku berani datang,
me mangnya gentar berhadapan dengan kalian ca kar alap2 antek
kerajaan ini? Lihatlah panji yang berkibar? Tujuan ka mi ada lah
menyapu bersih He k-liong-hwe dan menumpas sa mpah persilatan . .
. . . . . ."
Muka Ci Hwi-bing yang merah seketika diliputi a marah yang
me luap2, bentaknya mengguntur: "Pengkhianat, ke matian sudah di
depan mata masih berani bertingkah."
"Ci-tongcu," laki2 tua bermuka tirus di sebelah kanannya buka
suara, "Lohu ingin bertanya beberapa patah kata kepada bocah she
Ling ini."
Ci Hwi-bing segera berubah sikap, katanya berseri tawa: "Tokko-
heng silakan bicara." Lalu dia mundur selangkah.
Mendelik kedua mata kakek muka tirus, tatapannya yang
beringas se-olah2 hendak menelan Ling Kun-gi bulat2, katanya:
"Anak muda, Lohu ingin bertanya padamu, kau harus menjawab
dengan baik."
Melihat Ci Hwi-bing terhadap kakek kurus ini begitu hormat, Kun-
gi tahu kalau kedudukan si kakek mungkin di atas Ci Hwi-bing, tapi
sikapnya tetap tak berubah, jawabnya dengan tertawa: "Bergantung
soal apa yang kau tanyakan."
"Lohu Tokko Siu, tentunya sudah pernah kau dengar dari
gurumu?" ucap si kakek kurus.
"Kiranya bangkotan tua yang sukar dilayani," demikian batin Kun-
gi, Tapi dia tetap tertawa, katanya: "Ada pertanyaan apa, boleh
Loheng katakan."
Terunjuk rasa kurang senang pada wajah Tokko Siu, katanya:
"Pernah Lohu bertemu beberapa kali dengan gurumu, usia mu masih
semuda ini, tua bangka seperti aku berani kau pandang sebagai
Loheng (saudara tua)?"
Kun-gi tertawa lantang, katanya: "Suhu pernah me mberitahu
padaku, beliau se la ma hidup tida k pernah punya sahabat, maka
Wanpwe juga tidak pernah pandang siapapun sebagai angkatan tua,
selama berkelana di Kangouw tak pernah kupandang diriku sebagai
angkatan muda, bahwa kupanggil kau Loheng, ini cocok dengan
ajaran Nabi bahwa di empat penjuru lautan semuanya adalah
saudara, memangnya ucapanku salah?"
"Ada guru pasti ada murid," dengus Tokko Siu, "anak muda,
orang yang bermulut besar dan kurangajar harus betul2 me miliki
kepandaian sejati."
"O, jadi Loheng ingin menjajal betapa besar bobotku?"
"Masih ada persoalan yang ingin Lohu tanyakan lebih dulu."
"Katakan saja."
"Lohu punya dua murid, se mua mati di tangan Pek-hoa-pang,
kau sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang, tentunya tabu siapa yang
me mbunuh mere ka?"
"Siapa muridmu itu?"
"Kedua murid Lohu itu masing2 berna ma Pek Ki-han dan Cin Tek-
hong."
Ling Kun gi melengggong mendengar kedua nama ini, kiranya
kedua orang ini adalah saudara seperguruan, dari sini dapatlah
dimengerti bahwa Tokko Siu tentu mahir menggunakan ilmu yang
serba dingin. Sekilas berpikir dia mengangguk, katanya: "Sudah
tentu Cayhe tahu jelas akan ke matian kedua muridmu itu."
"Lekas katakan," beringas muka Tokko Siu, "siapa yang
me mbunuh mere ka?"
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Ci Hwi-bing sendiri yang me mbawa
Pek Ki-han dan Lan Hau me luruk ke Pek-hoa-pang, akhirnya hanya
dia seorang yang berhasil lolos, agaknya dia tida k menceritakan
duduk persoalan yang sebenarnya'" Segera katanya: "Waktu
muridmu Pek Ki-han meluruk ke Pek-hoa-pang, karena tidak sudi
ditawan, dia rela bunuh diri, Ci-tongcu berada di sini, boleh kau
tanya padanya."
Tokko Siu berpaling, tanyanya: "Ci-tongcu, apa betul demikian?"
"Betul, tapi ke matian Pek-heng betapapun harus diperhitungkan
pada pihak Pek-hoa- pang."
"Me mang masuk a kal. Lalu, Cin Te k-hong?"
"Cin Tek-hong berhasil menyelundup ke Pek-hoa-pang, malah
diangkat jadi Houhoat, di Gu-cu-ki rahasianya terbongkar oleh
Cayhe, kebetulan Hwi-liong-tongcu Nao Sa m-jun me mburu datang
bersama Cap-ji sing-siok dan mengepung ka mi, Nao Sam-jun
beranggapan muridmu telah me mbocorkan rahasia Hek-liong-hwe,
maka Cin Tek-hong dibunuhnya dengan senjata rahasia beracun . . .
."
"Jadi ma ksudmu, bukan kalian yang me mbunuh Cin Tek-hong?"
teriak Tokko Siu marah2.
Tegak alis Kun-gi, katanya lantang: "Tadi Cing-tongcu sudah
bilang, sudah tentu perhitung-an ini harus dibereskan dengan Pek-
hoa-pang."
Muka tirus Tokko-Siu yang se mula pucat seputih kertas pelan2
bersemu hita m, hardiknya bengia: "Katakan, kepada siapa Lohu
harus me mbuat perhitungan?" Kedua tangannya sudah terangkat di
depan dada, sorot matanya yang mencorong dingin menatap Ling
Kun-gi, setiap saat dia sudah siap turun tangan.
"Awas Cong-coh," Ko lotoa me mperingatkan. Song Tek-song dan
Thio La m-jiang yang berdiri di kanan-kirinya serentak me megang
gagang pedang dan siap te mpur.
Sebaliknya Kun-gi bersikap kale m, wajar seperti tanpa persiapan,
katanya tawar: "Bahwa kita sudah berhadapan dimedan laga, kalau
kau mau me mbuat perhitungan dengan aku boleh saja."
"Bagus seka li" dangus Tokko Siu.
Tiba2 kakek bermuka kuda di sebelah kiri berteriak: "Tunggu
sebentar Tokko heng, akupun ingin tanya siapa pula yang telah
me mbunuh muridku? Nah, orang she Ling, muridku Lan Hau siapa
yang me mbunuhnya?"
"Cayhe sudah bilang, kalau toh kita sudah berhadapan di sini,
urusan apapun dan berapa banyak yang akan kalian bereskan,
semua tujukan saja pada orang she Ling ini."
"Anak muda, besar a mat mulut mu, kau ma mpu
me mbereskannya?" jengek kakek muka kuda.
"Kalau Cayhe tidak dapat me mbereskannya, memangnya aku
bisa diangkat sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang?"
"Usia mu begini muda, kau me mang pe mberani, tapi kalau Thay-
siang ka lian sudah datang, sudah tentu ka mi a kan mencari
perhitungan padanya."
"Tida k sulit untuk kalian mene mui Thay-siang, lalui dulu diriku
ini."
Kakek muka kuda menarik muka, serunya gu-sar: "Keparat, kau
ingin ma mpus."
"Menang kalah belum ada ketentuan, me mangnya pasti Cayhe
yang akan ma mpus?"
Dengan angkuh kata si muka kuda: "Aku Dian Yu-hok, pernah
dengar tidak?" Mulut bicara ka kipun melangkah maju.
Dian Yu-hok dijuluki orang Lam-sat-sin (mala ikat maut), sudah
tentu Kun-gi pernah mendengar na manya, kebesaran namanya
tidak lebih rendah daripada Ping-sin (ma laikat es) Tokko Siu.
Kedua tokoh Kosen dari a liran jahat yang termasuk kelas top ini,
me mang merupakan golongan tersendiri dalam percaturan dunia
persilatan, kehebatan mereka pernah menggetarkan delapan
penjuru, kebanyakan perguruan silat dari aliran besar kecil segan
mencari setori pada mere ka.
Melihat Dian Yu-hok sudah menga mbil ancang2 hendak
menyerang Kun-gi, lekas Tokko Siu berteriak: "Dianheng, tunggu
sebentar, bocah ini serahkan pada ku,"
Lam sat-sin Dian Yu-hok menarik mukanya yang panjang seperti
tampang kuda, katanya dingin: "Bukan soal serahkan atau berikan
pada siapa? Yang terang dia me mbunuh muridku dan sudah berani
me mikul tanggung jawab, me mangnya aku tidak pantas menuntut
balas padanya?"
Kurang senang Tokko Siu, katanya: "Paling tidak aku kan sudah
bicara lebih dulu padanya."
Kun-gi tertawa, katanya: "Tak usah ka lian berdebat, Cayhe hanya
seorang diri dan tidak ma mpu me mbelah tubuh untuk sekaligus
menghadapi kalian. Nah, kailan maju bersama saja, akan kuhadapi
sekaligus."
Sementara Kun-gi bicara, Dian Yu-hok dan Tokko Siu sudah
berebut maju, sa ma2 tak mau mengalah sehingga jarak mere ka
sudah dekat di kirikanan Kun-gi. Tokko Siu me mbentak: "Anak
muda, ke luarkan senjata mu."
"Sret", Kun-gi melolos keluar Ih-thiankia m dan me lintang di
depan dada, ia pandang bergantian kedua musuh, katanya: "Silakan
kalianpun ke luarkan senjata."
"Peduli senjata maca m apapun selalu kuhadapi pula dengan
kedua telapak tanganku ini," de mikian ujar Tokko Siu.
Kun-gi tertawa angkuh, pelan2 dia masukkan ke mbali Ih-
thiankia m ke serangkanya, katanya: "Kalau kalian tidak mau paka i
senjata, biarlah ku layani dengan kedua telapak tanganku pula."
Dian Yu hok melenggong, katanya: "Anak muda dengan
bertangan kosong, kau ma mpu menghadapi ka mi berdua?"
"Kalian tidak perlu urus," ejek Kun-gi, "kalau tetap ingin
me mbuat perhitungan dengan Pek-hoa-pang, Cayhelah yang akan
menghadapi, kalau Cayhe beruntung menang, maka perhitungan
kalian harap dianggap impas, kalau Cayhe kalah, anggaplah aku
tidak becus, matipan aku t idak menyesal, setelah kalian berhasil
menagih utang, maka bolehlah pulang saja.”
Sekilas Tokko Siu melirik ke arah Dian Yu-hok, katanya
mengangguk: "Bagaimana pendapat Dianheng?"
Lansat-sin Dian Yu-hok mengangguk, katanya: "Baiklah, kita
turuti saja kehendaknya."
Kun-gi maklum pertempuran hari ini baik menang atau kalah
akhirnya pasti me mbawa akibat yang luas artinya, sudah tentu dia
tidak berani gegabah, dia m2 ia kerahkan seluruh kekuatan
Lwekangnya, cuma lahirnya tetap tenang, wajahnya tersenyum
lebar malah.
Dia m2 Ko-lotoa mengerut kening, tanyanya lirih: "Cong-su-cia
betul2 hendak me layani kedua bangkotan ini?"
Sebagai seorang kelasi dari Pek-hoa-pang yang bertugas
penunjuk jalan, kedudukannya a mat rendah, tapi dari percakapan
Hoanthianeng Siu Eng dan Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing tadi, Kun gi
tahu bahwa Ko-lotoa adalah salah satu dari tiga puluh ena m
panglima Hek-liong-hwe dulu, maka ia menduga bahwa Thay-siang
mengutus dia sebagai penunjuk ja lan mungkin, me mpunyai maksud
yang besar artinya, selama ini dia tidak anggap orang sebagai
penunjuk jalan bela ka, maka de mi mendengar pertanyaan orang,
segera ia menjawab dengan suara lirih pula: "Betul, situasi rada
genting, terpaksa aku harus layani mereka, Ko-heng bertiga harap
mundur beberapa langkah, perhatikan Ci Hwi-bing dengan kee mpat
anak buahnya, jangan biarkan mereka menerjang ke mari sehingga
kedudukan kita menjadi kacau."
Ko-lotoa mengangguk, katanya: "Cong-su-cia tak usah kuatir,
tugas ini cukup dimaklumi olehku, cuma Tokko Siu dan Dian Yu-hok
meyakinkan ilmu silat yang beracun jahat, dengan satu lawan dua
Cong-coh harus hati2."
Tengah mereka bicara, Ping-sin Tokko Siu sudah tak sabar lagi,
selanya dingin: "Sudah selesai kalian berunding?"
Lekas Kun-gi berpaling, katanya tersenyum "Baiklah, silakan
kalian me mberi petunjuk."
"Kau berani menghadapi ka mi berdua, mungkin tiada
kesempatan balas menyerang," kata Tokku Siu, kontan tangan
terayun terus menepuk ke depan. Gaya tepukan tangannya seperti
tidak menggunakan tenaga. tapi segulung angin keras segera
menda mpar.
Dala m seleksi adu kepandaian di Pek-hoa-pang tempo hari Ling
Kun-gi pernah saksikan pukulan telapak tangan Cin Tek-hong yang
kuat, Tokko Siu adalah gurunya, sudah tentu juga mahir dala m ilmu
pukulan, maka sejak tadi dia sudah siaga, melihat lawan me mukul
segera dia melejit ke sa mping menghindarkan diri.
Melihat lawan menyingkir, Lansat-sin Dian Yu-hok segera
me mbentak: "Awas." Tangan kanan lantas me mukul dari samping,
segulung angin keras kontan menerjang tubuh Ling Kun-gi.
Tanpa menoleh lekas Kun-gi ayun tangan kiri ke sa mping.
Setelah me mukul sebetulnya Dian Yu-hok hendak mendesak
maju lebih dekat dan mena mbahi pukulan lain, tapi mendada k
terasa segulung kekuatan yang tidak kentara langsung menahan
tubuhnya, keruan kagetnya bukan main, batinnya: "Ilmu silat bocah
ini, ternyata tidak boleh dipandang enteng."
Terpaksa pukulan telapak tangannya segera dia tarik kemba li
serta didorong pula keluar, dengan de mikian barulah tenaga
dorongan lawan yang tidak kentara itu dapat dibendungnya.
Kejadian berlangsung dala m sekejap mata, setelah pukulan
Tokko Siu berhasil dihindarkan Ling Kun-gi, sambil terkekeh dia
gentak lengan bajunya, jari2 tangan yang kurus panjang mirip cakar
burung lantas menongol keluar serta menca kar2 ke udara dua kali.
Mendadak dia menubruk maju, tutukan dan pukulan dilancarkan
sekaligus me nyerang Kun-gi. Kali ini Kun-gi tidak berkelit lagi, dia
ke mbangkan Cap-ji-kim-liong-jiu, tutukan jari dan pukulan telapak
tanganpun dilancarkan tak kalah lihaynya, malah variasinya lebih
banyak, sekarang kanan, lain kejap tahu2 kiri, jadi kanan kiri saling
berlawanan, secara sengit serta cepat dia hadapi rangsakan Tokko
Siu, Hiat-to besar dan urat nadi orang menjadi sasaran
serangannya.
Ca-ji-kim-liong-jiu diciptakan dari Ih-kin king yang disela mi
secara mendalam, sebetulnya merupakan ilmu pusaka Siau-lim-pay
yang tak diajarkan kepada orang luar, kini dike mbangkan tangan kiri
Ling Kun-gi, perbawanya sungguh hebat, umpa ma setan iblispun tak
ma mpu menghadapinya.
Waktu Kun-gi berke lit tadi, Lansat sin Dian Yu -hok pernah
menyerangnya sekali, tapi setelah itu dia berpeluk tangan dan
berdiri me nonton saja.
Maklumlah, dia sudah menjajaki bahwa kepandaian Kun-gi
ternyata tidak lebih rendah daripada kepandaian sendiri, Dian Yu-
hok berasal dari suku Miau yang punya watak suka curiga, di
samping sela ma puluhan tahun berkelana di Kangouw, pengala man
me mberitahu padanya sebelum tahu jelas seluk beluk kepanda ian
Ling Kun-gi, dia takkan se mbarangan turun tangan.
Kini dia berdiri di pinggir gelanggang dan mengawasi dengan
penuh perhatian kedua orang yang lagi berhanta m.
0odwo0

Di sini Ling Kun-gi tengah menghadapi rangsakan Tokko Siu,


sementara Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing telah menggerakan pedang,
dengan keempat anak buahnya segera dia menerjang ke arah Ko-
lotoa bertiga, bentaknya: "Ko Wi gi, dua puluh tahun lebih kita tak
bertemu, biarlah hari ini aku mohon pnngajaranmu."
Setelah Kun gi turun gelanggang, maka Ko-lotoa merupakan
pentolan di antara mereka bertiga, maka Ci Hwi-bing lantas
mengincarnya lebih dulu. Ko-lotoa tertawa, mendadak dari sa mping
badan dia menge luarkan sebatang besi, mendadak kedua batang
besi dia sa mbung terus diputar ke kanan-kiri menjadi sebatang
tumbak besi, hardiknya, "Memang a ku juga ingin mohon
pengajaranmu."
"Lihat pedang, Ko Wi-gi!" bentak Ci Hwi-bing terus mendahului
ayun pedang menusuk la mbung Ko-lotoa.
Ujung tumba k Ko-lotoa ternyata bergantol, bentaknya dengan
suara keras: "Serangan bagus!" Berbareng tumbak menyampuk dan
menarik. Kedua orang segera saling serang dengan cepat,
pertempuran mereka cukup sengit dan menegangkan.
Melihat Tongcu mereka melabrak Ko lotoa, empat anak buahnya
berpakaian hita m di be lakang Ci Hwi-bing segera ikut menyerbu
maju. "Sret", Song Tek seng segera cabut pedang, katanya dengan
tertawa: "Thio heng, kebetulan kita masing2 kebagian dua orang.
Hayo kita berlomba, coba siapa merobohkan mereka lebih dulu."
Mulut bicara, pedangpun bekerja, sekali tutul pedangnya
ma mancarkan bintik sinar ke milau bagai rantai perak tahu2
me luncur ke tenggorokan kedua lawan yang menyerbu tiba.
Sekali bergerak, Loanbi-hong-kia m hoat dari Go-bi-pay segera dia
ke mbangkan dengan sengit.
Thio La m-jiang ter-bahak2, serunya: "Baiklah, marilah kita
berlomba menga lahkan musuh." Tangan kanan meraih, badanpun
bergerak, sebelum lawan menerjang tiba dia sudah mela mbung ke
atas, sinar pedang menya mber ke batok kepala kedua lawan.
Serangan pedang yang dilancarkan dengan badan menukik ini
ternyata bukan olah2 lihaynya, Kiranya Thio Lam-jiang juga telah
keluarkan ilmu pedang Hing-sanpay yang ganas.
Tapi kee mpat orang berbaju hitam yang menjadi lawan mereka
adalah empat diantara ke12 Sin Ciu dari Ui-liong-tong yang me miliki
kepandaian kelas satu. Apalagi pedang merekapun berwarna hitam
gelap dan tak me mancarkan sinar, jangankan di tengah mala m
gelap, umpa ma di tengah siang hari juga sukar untuk mengikut i
permainan pedang mereka, jelas kondisi mereka lebih
menguntungkan.
Untung ilmu pedang angin badai ajaran Go-bi-pay yang
dilancarkan Song Tek-seng segencar hujan lebat, lawan merasa
seperti disa mpuk ribuan jarum taja m yang sukar dijajaki.
Sedangkan Hing-san kia m-hoat yang dike mbangkan Thio La m-
jiang mendenging nyaring, badan berlompatan naik turun, ada
kalanya dia me la mbung ke udara dan menerka m la ksana elang
menerka m anak aya m.
Dengan kerja sama mereka berdua yang ketat ini, ternyata
rangsakan lawan berhasil dibendung, untuk beberapa kejap la manya
mereka sa ma kuat dan tiada yang lebih unggul atau asor.
Bayangan orang lari kian ke mari, se mentara sinar pedang sa ling
berseliweran, di sana-sini mulai terjadi perte mpuran yang gaduh
dan sengit.
Begitu pertempuran kalut berlangsung di depan Ui-lionggia m,
maka Hoanthianeng Siu Eng yang me mimpin sisa Cap-ji-sing siok
segera berhadapan dengan 20 dara kembang di bawah pimpinan
Loh-bi-jin, mata tunggalnya kelihatan beringas, tiba2 ia angkat
tangan seraya membentak: "Serbu!" Be lum lenyap suaranya,
sembilan orang yang seluruh tubuh terbalut dalam kulit anjing laut
segera berlompatan maju, sisa Cap ji-sing-s iok ini segera menyerbu
dengan nekat.
Ke 20 dara kembang sejak tadi sudah siaga, jarak kedua pihak
sebetulnya ada empat tombak, begitu me lihat kesembilan Sing-siok
menubruk maju, 18 orang di antara para dara ke mbang t iba2
berpencar menjadi dua kelompok, gerakan mereka begitu rapi dan
terlatih, orang berada di ujung kanan mendadak mengayun tangan
dan menimpukkan setit ik sinar biru, sementara yang berada di
ujung kiri juga mengayun tangan, entah darimana tahu2 tangan
kedua orang sudah me megang seutas rantai sebesar ibu jari, begitu
pinggang mereka me liuk, badanpun tiba2 me ndeka m ke tanah.
Gerakan ini boleh dikatakan dila kukan sere mpak oleh delapan belas
dara kembang, jelas bahwa mereka sudah la ma terlatih dan
dige mbleng.
Tatkala sembilan Sing-siok itu menubruk tiba, Loh-bi-jin sedikit
mendak, segesit burung ia me layang kedepan. Sementara sembilan
musuh sudah menerjang tiba, tapi mereka dipapak timpukan titik
biru dari para dara ke mbang, mereka mengapung di udara, untuk
berkelit jelas tida k mungkin, soalnya mereka terlalu yakin a kan
pakaian yang kebal senjata, maka merekapun tidak berusaha
menghindar. Betapa cepat luncuran kedua pihak yang saling tubruk
dan timpuk ini. Tahu2 se mbilan t itik sinar biru dengan tela k
mengenai tubuh se mbilan Sing-siok dan meledak, seketika asap biru
mengepul dan apipun berkobar dengan ganasnya.
Pakaian yang dikenakan para Sing-siok itu menutupi seluruh
anggota badan dari ka ki sa mpai kepala, yang kentara hanya kedua
mata mereka, maka kobaran api yang panas disertai asap tebal biru
ini seketika berkobar di depan dada mereka, kecuali kobaran api,
pandangan mata merekapun tertutup oleh asap sehingga tidak bisa
me lihat keadaan sekitarnya lagi.
Kepandaian silat kese mbilan Sing siok ini jelas tidak le mah, tapi
berada di udara, tahu2 dia terbakar, keruan kaget mereka bukan
ma in, dalam gugupnya mereka berusaha me mada mkan api sa mbil
menepuk2 dada sendiri. Se mbilan orang mela kukan gerakan yang
sama.
Maklumlah, siapapun kalau dada terjilat api, secara otomatis
pasti berusaha me mada mkannya dengan tepukan kedua tangan.
Tapi di luar dugaan mereka bahwa ledakan api ini buatan khusus
dari Pek-hoa-pang untuk me nghadapi mereka, begitu besar daya
bakarnya, menyentuh barang apapun api pasti berkobar, sebelum
menjadi abu daya bakarnya tidak akan pada m, siapapun takkan
ma mpu me mada mkannya.
Karena berusaha memada mkan api, maka lengan baju mereka
yang lebar menimbulkan kesiur angin yang ma lah mena mbah besar
kobaran api sehingga lengan baju merekapun ikut terbakar.
Sembilan Sing-siok jadi mencak2 sa mbil ber-teriak2 panik seperti
manusia api, siapapun yang dekat mereka, sekali terpegang dan
dipeluk, tentu jiwa akan ikut melayang dan terbakar ma mpus
bersama mereka.
Tapi delapan be las dara ke mbang sudah siaga, dua orang satu
kelompok, masing2 me megang ujung rantai yang cukup panjang
dan siap mendeka m di tanah. Karena sekujur badan terjilat api,
pandanganpun terganggu asap tebal, hakikatnya para Sing-siok
yang panik terbakar itu tak melihat keadaan sekitarnya lagi, baru
saja kedua kaki mereka hinggap ditanah, dua dara kembang segera
mengayun tangan, dengan rantai panjang mereka menjirat kedua
kaki orang
Sudah tentu para Sing-siok tak pernah pikir bakal kecundang
begini rupa, satu persatu mereka terjungka l roboh, belum lagi para
Sing-siok itu berbuat banyak, segesit kera para dara ke mbang sudah
me lejit bangun dan berlompatan menyilang sehingga kaki orang
betul2 terbelenggu oleh rantai dan ditarik ke kirikanan dengan
kencang.
Begitu roboh dengan ka ki terbelenggu oleh rantai, kesembilan
Sing-siok meronta2 dan bergulingan di tanah. Sementara api
berkobar semakin besar. Hanya beberapa kejap saja sembilan orang
aneh yang berpakaian kebal senjata itu hanya meronta beberapa
kali, akhirnya tak bergerak lagi, dengan cepat api me mbiru itu
menge luarkan bau hangus terbakarnya badan manusia yang tak
sedap,
Cap-ji-sing-siok yang selama ini dibangga kan oleh Hwi-liong-
tong, bukan saja kebal senjata, malah sudah malang me lintang di
Kangouw tak pernah kecundang, tak nyana hari ini tertumpas habis
begitu saja oleh para dara2 cantik yang cekatan ini, belum gebrak
semuanya sudah roboh dan mati terbakar menjadi abu.
Dala m pada itu waktu kese mbilan Sing-siok menubruk maju tadi,
Loh-bi-jin juga me luncur ke depan me mapa k Hoanthianeng Siu Ing,
bentaknya menuding: "Orang she Siu, hari ini adalah hari ajalmu,
lihat pedang!" Dari depan segera pedangnya menusuk.
Mimpipun Hoanthianeng Siu Ing tak pernah menduga bahwa
kesembilan Sing-siok baru saja ke luar, tahu2 Loh-bi jin juga
menubruk ke arahnya. Keruan dia kaget, sedapatnya dia miringkan
tubuh sambil me lompat meluputkan diri dari tusukan orang
berbareng tangan kirinya tahu2 mencakar dan menangkap
pergelangan tangan Loh-bi jin yang pegang pedang.
Gerakan mundur sa mbil menyerang ini dibarengi tangan lain
me lolos sebatang pedang warna hitam legam, dengan senjata di
tangan dia kelihatan beringas, teriaknya bengis: "Budak . . . . !"
belum lagi lanjut, pada saat itulah didengarnya suara ledakan ramai
disertai percikan api yang segera ber-kobar.
Waktu dia berpaling, dilihatnya kesembilan Sing-s iok yang
dipimpinnya telah terjilat api, badan masih me ngapung di udara,
kaki tangan menca k2 gugup dan takut. Tentu saja kagetnya tidak
kepalang.
Menyurut mundur sedikit, Loh-bi-jin unjuk rasa puas
ke menangan, pedang tetap menuding musuh, katanya dingin:
"Orang she Siu, kau sudah lihat bukan? Cap ji-sing siok yang kalian
banggakan dalam sekejap akan menjadi setumpukan abu, dan kau
juga takkan lolos dari ke matian."
Gusar Hoanthianeng bukan ma in, hardiknya murka: "Budak, akan
kubelah badanmu hidup2." Pedangnya bergetar turun naik, segera
dia hendak menubruk maju.
Tapi Loh-bi-jin telah me mbentak sa mbil menganca m dengan
pedang, serunya: "Berdiri, dengarkan dulu bicaraku sa mpai habis."
Mata tunggal Hoanthianeng seperti me mancarkan bara,
bentaknya gusar sekah: "Budak keparat, omong apa, le kas katakan.'
"'Ba iklah kuberitahu padamu, bukankah dibe lakangmu berdiri dua
orang dara ke mbang? Cukup aku me mberi tanda kepada mereka.
kaupun segera akan terjilat api dan ma mpus menjadi abu, tapi nona
ingin kau ma mpus tanpa menyesal, marilah kita bertanding sampai
titik terakhir dengan pedang."
Ternyata dua puluh dara kembang masih ada dua orang yang
menganggur, delapan belas orang menghadapi se mbilan Sing-s iok,
dua orang lain secara diam2 telah mencegat jalan mundur
Hoanthianeng.
Mendengar jerit ngeri se mbilan Sing-siok yang terbakar mati itu,
perasaan Hoanthianeng sudah tidak keruan, baru sekarang dia
sadar bahwa Pek-hoa-pang meluruk ke mari dengan persiapan
matang. Mendengar Loh-bi-jin menantang dirinya bertandang
pedang, diam2 dia bergirang, batinnya. "Budak keparat, kau sendiri
yang cari ma mpus."
Mata tunggalnya menatap Loh bi-jin, katanya dengan
menyeringai beringas: "Baik, ingin Lohu sa ksikan betapa tinggi ilmu
pedangmu?" Se mbari bicara segera tangan kanannya bergerak,
pedang seketika bergetar menimbulkan bayangan berlapis,
bentaknya: "Awas!" Belum lenyap suaranya, pedang sudah bergerak
secepat angin, sekaligus dia menusuk tiga kali.
Me mang tidak ma lu kalau orang ini dulu merupa kan salah satu
dari 36 panglima Hek-liong-hwe, serangan pedangnya cepat dan
keji, yang terlihat hanya bayangan hita m yang berputar menusuk.
Melihat dara2 ke mbang sudah sukses, besar hati Loh-bi jin lebih
mantap, tanpa menyingkir ia menghardik: "Serangan bagus!"
Pedang terayun, badan bergerak mengikuti gaya pedang, serangan
Hoanthianeng yang ketat itu diterjangnya.
Sudah tentu Hoanthianeng me lengak heran dan ber-tanya2:
"Me mangnya budak ini ingin ma mpus?" Tapi pada detik yang gawat
itulah, seketika dia menyadari gelagat kurang wajar. Di tengah
gerakan Loh-bi-jin yang me mutar itu, pedangnya me mancarkan
ke milau yang berpencar seperti puluhan banyaknya dan sekaligus
merangsak kearahnya dari berbagai arah, cahaya yang terang itu
menyilaukan matanya, sayup2 kupingnya juga mendengar suara
gemuruh, setombak seke lilingnya seperti sudah terkurung oleh
hawa pedang lawan yang dingin taja m.
Kaget dan berubah hebat air muka Hoanthianeng, puluhan tahun
dia berkecimpung di Kangouw, belum pernah dia menyaksikan ilmu
pedang sedahsyat ini.
Sudah tentu dia tidak berani ayal, untuk menyela matkan jiwa
terpaksa dia jatuhkan diri, dengan me meluk pedang dia terus ber-
guling2 setombak lebih. Cara yang dite mpuhnya ini ternyata
me mbawa hasil.
Maklum jurus yang digunakan Loh-bi-jin ini ada lah "Naga
bertempur di tegalan", serangan ganas yang mematikan untuk
menghadapi musuh tangguh, Hoanthianengpun tak ma mpu
me matahkan serangan ini, cuma cara dia meniru keleda i
bergelinding di tanah ternyata berhasil menolong jiwanya, sinar
pedang ternyata tidak me lukainya.
Walau jiwanya lolos dari serangan maut, tak urung keringat
dingin sudah me mbasahi badannya, setelah berada di luar
jangkauan cahaya pedang lawan baru dia me lejit bangun terus
me layang jauh ke jalan pegunungan sana.
"Ke mana kau mau lari?" da mprat Loh-bi-jin. Segera iapun
menubruk ke sana sepesat anak panah, selarik sinar perak meluncur
bagai naga sakti me nga muk di udara, di tengah udara dia
menyerang musuh.
Sementara Hoanthianeng sendiri masih terapung di atas,
mendadak terasa hawa dingin menganca m dari bela kang, kagetnya
bukan ma in, batinnya: "Budak ini pandai mengendalikan pedang
terbang" Hati berpikir tanganpun terayun ke belakang dengan
pedang me mbacok.
"Trang", bentrokan dua pedang mengeluarkan gema suara,
bayangan merekapun seketika melorot turun. Tapi gerakan Sinliong
jut-hun (naga sakt i keluar mega) yang dilancarkan Loh bi-jin dari
tengah udara ini baru setengah gerakan saja, begitu tubuh
me luncur turun, cahaya pedangpun segera menya mber pula.
Sudah tentu hal ini di luar dugaan Hoanthianeng, baru saja kaki
hinggap di tanah, seluruh badan seketika terbungkus pula oleh
cahaya pedang lawan, di mana mata pedang berkelebat, seketika
dia menjerit ngeri seperti ba mbu yang terbelah menjadi dua, tahu2
badan Hoanthianeng roboh ke dua arah, badannya terbelah menjadi
dua potong dan terkapar di tanah.
Dengan gampang para dara kembang telah me mbereskan
kesembilan Sing-siok, kini dengan dua jurus perma inanr Tinpang-
kia m-thoat Loh-bi-jinq juga telah mena matkan perlawanan
Hoanthianeng. Maka kawanan Hek-liong-pang di sebelah barat telah
tertumpas habis seluruhnya.
Sementara di sebelah timur, Jianjiu-koanim Liu-s iancu masih
tetap bercokol di dalam tandunya, hanya menonton tanpa bergerak.
Sementara Kongsun Siang bersa ma Hou-hoat-cu-cia bersenjata
lengkap siaga dalam jarak lima tombak. Sudah tentu kalau Liu-
siancu benar2 mau turun tangan, Kongsun Siang berlima takkan
ma mpu menahannya? Tapi kenyataan sejauh ini di sebelah timur
tetap tenang dan damai.
Dala m pada itu Ko-lotoa sudah berhanta m ratusan jurus melawan
Ci Hwi-bing. Sebagai Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing me mang me miliki
kepandaian yang boleh dibangga kan, meski berhadapan dengan
teman la ma, na mun dia tidak kenal kasihan lagi, begitu sengit
pertempuran kedua orang ini, sinar pedang tampak me libat badan
masing2, kesiur angin taja m menda mpar kencang, dala m jarak dua
tombak sekeliling terasa arus dingin me-nyamber2.
Tombak gantol Ko-lotoa ternyata bermain dengan hidup sekali,
aneh me mang gaya tumbaknya, lain daripada yang lain, disamping
menusuk tumbaknya juga digunakan me mbe lah, menutul,
menggaruk dan me mapas, Hiat-to lawannya selalu terancam oleh
tumbaknya. Malah dua gantolan di ujung tumba knya disa mping
dapat menggantel dan menggaruk juga dapat mengunci senjata
lawan, begitu tangkas dan gesit dia me mainkan tumbaknya
schingga tubuhnya seakan2 terbalut di dala m sa mberan angin
kencang.
Dua orang teman la ma dari ke 36 panglima Hek-liong-hwe
sekarang harus adu jiwa di medan laga sebagai musuh, kepandaian
merekapun se mbabat, sejauh mana sukar dibedakan siapa baka l
menang dan ka lah. Biarpun ratusan jurus lagi juga sukar diakhiri.
Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang masih tetap satu lawan dua,
mereka masih bergerak lincah dan cekatan, keadaan masih sama
kuat alias setanding. Tapi jarak e mpat orang lawan sangat ber-
dekatan, sama2 mengenakan pakaian hitam ketat, bersenjata
pedang panjang warna hitam beracun lagi, malah muka merekapun
sama2 kuning kaku. La ma kela maan setelah ganti berganti saling
serang, akhirnya empat orang bersatu merangsak kedua lawannya.
Sudah tentu perke mbangan ini jauh berbeda dengan keadaan
semula.
Mereka berkelit kian ke mari dan berputar ke sana-sini, yang satu
maju yang lain mundur silih berganti, sehingga kedua lawannya
selalu terkepung di tengah. Secara langsung dua berhadapan
dengan empat, kirikanan dan muka-be lakang Song Tek seng berdua
selalu terancam senjata lawan, lebih cela ka lagi karena kee mpat
musuhnya dapat kerja sa ma dengan ba ik sekali.
Kalau orang lain menghadapi lawan yang main keroyokan,
biasanya mereka akan adu punggung untuk me mbendung
rangsakan musuh, jadi mereka tetap bisa satu lawan dua,
Sayang Thio Lam-jiang adalah murid Hing-sanpay, Hing-sankia m-
hoat harus dike mbangkan secara berlompatan, me la mbung ke atas
dan menyerang lawan dari atas kepala, kalau dia harus adu
punggung dengan Song Tek-seng, itu berarti dia tida k se mpat
menge mbangkan ilmu pedang perguruannya.
Karena itu Thio La m-jiang tetap mainkan Hing-sankia m-hoat
sambil melompat naik turun, tapi berat bagi Song Tek-seng yang
harus menghadapi lawan dari depan. Loanbi bong-kia m-hoat Go bi-
pay meski juga ilmu pedang lihay dan sukar diraba arah sasarannya,
tapi di bawah kepungan kee mpat lawannya, lama2 dia terdesak di
bawah angin. Walau Thio La m jiang sela lu me mberi bantuan dengan
sergapannya, paling hanya sekedar mengacaukan gerakan musuh,
keadaan tetap tidak menguntungkan seperti waktu satu lawan dua
tadi. Apalagi ma in lompat dan menukik dari atas paling menguras
tenaga, lama2 dia kehabisan tenaga juga. Padahal pertempuran
berlangsung se makin sengit, tapi permainan pedang Song Te k-seng
dan Thio La m-jiang justeru se makin le mah dan kendur.
Sementara itu Ling Kun-gi sudah berhantam ratusan jurus
me lawan Tokko Siu. Sela ma itu La m-sat-sin berpeluk tangan di luar
arena, agaknya dia menjaga gengsi, tidak mau main keroyok.. Muka
kudanya tampak merengut, dengan tajam mengawasi pertempuran.
Cakar tangan Tokko Siu merangsak dengan buas dan liar, tapi
Kim-liong-jiu yang dilancarkan dengan kedua tangan Kun-gi
gerakannya saling berlawanan, terutama tangan kidalnya
menyerang lebih bagus lagi, selalu Hiat-to yang diincar, gerakannya
indah dan menakjubkan, betapapun lihay serangan Tokko Siu selalu
dipaksanya menarik ke mba li di tengah jalan.
Selama ratusan jurus saling serang ini, belum pernah keduanya
mengadu pukulan secara keras na mun de mikian mereka toh sa ma2
merasa bahwa tipu serangan lawan amat berbahaya dan cukup
mengejutkan siapapun yang menyaksikan.
Di tengah pertempuran seru itulah, mendadak dari arah jauh di
sana beruntun berkumandang dua kali sempritan melengking
panjang.
Mendadak Tokko Siu melancarkan dua serangan cepat secara
beruntun terus menarik diri melompat ke belakang, teriaknya
dengan suara sumbang: "Berhenti!"
"Tokko-heng, apakah kau ingin aku maju sekarang?" tanya Dian
Yu-hok.
"Tida k," sahut Tokko Siu.
Kun-gi juga sudah berhenti, katanya: "Loheng, masih ada
petunjuk apa?"
"Anak muda, kau me mang sudah mendapat warisan kepandaian
Hoanjiu-ji-lay, orang yang mampu melawan ratusan jurus dengan
Lohu tidak banyak lagi di Kangouw, tapi Lohu yakin dala m 10 jurus
lagi pasti dapat merenggut nyawamu . . . . ."
"O, jadi selama ratusan jurus tadi aku masih hidup berkat
ke murahan hatimu?" eje k Kun-gi.
"Waktu Lohu bersama Dian heng ke mari, Hwecu telah pesan
wanti2 bahwa orang2 Pek-hoa-pang boleh dibabat habis kecuali kau
anak muda yang berna ma Ling Kun-gi ini yang harus ditawan
hidup2. "
Kun-gi me mbatin: "Agaknya He k-liong-hwe a mat me mperhatikan
diriku, mungkin lantaran aku dapat memunahkan getah beracun
itu."
Maka dengan tersenyum dia berkata: "Loheng berdua ingin
menawanku hidup2?"
"Lohu sudah bergebrak ratusan jurus dengan kau, kudapati Cap-
ji-kim-liong-jiu dapat kau ma inkan secara berlawanan dengan
tangan kirikanan sehingga banyak tipu2 seranganku terbendung di
tengah jalan, baru sekarang kutahu untuk menawanmu hidup2
me mang tidak mudah."
"Loheng terla lu me muji," ucap Kun-gi.
Serius sikap Tokko Siu, katanya: "Lohu bicara sebenarnya, tapi
dalam 10 jurus Lohu dapat merenggut nyawamu, oleh karena itu
Lohu teringat akan satu hal."
"Loheng punya pendapat apa?"
"Kau bukan tandinganku, hal ini tak perlu di bicarakan lagi, ma ka
lebih baik tak usah bergebrak lagi, ikutlah Lohu mene mui Hwecu
saja."
"Cayhe memang sangat ingin berte mu dengan Hwecu ka lian,
apakah sekarang juga kita berangkat?"
Tokko Siu tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Untuk
mene mui Hwecu tida k semudah itu, paling tidak Lohu harus
menutuk beberapa Hiat-tomu dulu baru boleh kubawa kau mene mui
beliau, tapi Lohu berjanji, kau tidak akan terganggu seujung
rambutpun."
"Jadi ma ksudmu supaya Cayhe menyerah dan rela dibelenggu?"
ucap Kun-gi.
"Begitulah maksudku, cara ini bukan saja dapat me lindungi
nyawamu, ka mi berduapun dapat menunaikan tugas pada Hwecu."
Dian Yu-hok me ngangguk, tukasnya: "O mongan Tokko Siu
me mang betul. Anak muda, kalau kau mau ikut, soal ke matian
murid2 ka mi boleh tidak usah diperhitungkan lagi."
Kun-gi menengadah sambil ter-bahak2, katanya: "Sayang Cayhe
belum kalah, maksud baik ka lian biarlah kuterima dala m hati saja."
Tatkala mere ka berbicara, sementara pertempuran di arena lain
sudah terjadi banyak perubahan, Loh-bi jin dengan ilmu pedangnya
yang sakti telah me mbelah mati tubuh Hoanthianeng Siu Eng yang
dipercayakan me mimpin kese mbilan Sing-siok. Sedang sembiian
Sing-siok yang kebal senjata itupun sudah terbakar menjadi abu,
ma lah apipun telah pada m. Se mentara Jianjiu-koanim Liut-siancu
yang me mbendung arah timur, begitu terdengar suara sempritan
me lengking tinggi tadi segera dia mengundurkan diri secara dia m2.
Kini tinggal Ko-lotoa yang masih berhantam sengit me lawan Ci
Hwi-bing, demikian juga, empat orang berbaju hitam masih
mengepung Song Tek-seng dan Thio La m-jiang dan baku hanta m
tak kalah serunya.
Di tengah tanah lapang berumput itu, tandu hitam yang biasa
dinaiki Thay-siang tetap berada di sana terjaga ketat oleh Ting Kiau
dan empat rekannya.
Kongsun Siang me ndahului melompat maju ikut terjun ke medan
laga, sekali tubruk, "sret", pedangnya menyerang miring dari
samping ke arah Ci Hwi-bing.
Selama menghadapi Ko-lotoa masih setanding, sejak mendengar
suara sempritan tadi, perasaan Ci Hwi-bing sudah mulai ka lut dan
sudah timbul niatnya untuk mundur saja. Kini melihat Kongsun
Siang menubruk tiba seraya menyerang, tanpa ayal beruntun
tangannya bergerak melancarkan serangan berantai sehingga kedua
lawan dipukul mundur, mendadak kedua kaki me nutul, bagai panah
me luncur tubuhnya melayang ke arah Ui liong-tong.
Dala m pada itu Loh-bi-jin juga telah me narik dara2 ke mbang
ketanah berumput, dara2 ke mbang dia suruh berpencar melindungi
tandu, sambil menenteng pedang, beruntun dua kali lompatan dia
me mburu ke arena Song Tek-seng dan Thio La m-jiang, tanpa
bersuara pedangnya lantas menyerang,
Untuk mengakhiri pertempuran secepatnya, sekali serang dia
gunakan tipu "naga sakti keluar mega", selarik sinar bagai rantai
perak terbang melintang, orangnya tiba pedangpun bekerja.
Sinliong-jut-hun (naga sakti ke luar mega) adalah salah satu jurus
Hwi-liong-kia m-hoat yang ampuh, kekuatannya dahsyat tiada
taranya. empat laki baju hitam hanyalah tingkat Sincu yang lebih
rendah dari Ui-liong-tongcu, mana ma mpu mereka bertahan atau
menangkisnya. Maka terdengarlah jeritan menyayatkan hati, dua
orang seketika tersapu roboh dengan badan terpapas kutung
menjadi dua tepat sebatas pinggang mereka.
Saat mana Song Te k-seng dan Thio La m-jiang sudah terdesak di
bawah angin dan terancam bahaya, kini me mperoleh pertolongan
yang sekaligus terbunuhnya dua musuh, keruan berkobar pula
semangat tempur mereka. Thio La m-jiang menghardik seraya
me lejit ke atas, pedang menabas ke salah seorang baju hitam di
depannya. Sementara Song Tek-seng berbareng juga memba lik
pedang, bagai hujan badai beruntun ia menusuk tiga kali.
Melihat Tongcu mereka melarikan diri, sementara dua teman
mereka roboh binasa, kedua orang baju hita m yang tersisa ini
menjadi gugup, berbareng mereka menggertak tapi terus me lompat
mundur dan lari sipat kuping.
Le mbah gunung yang seluas itu, kini menjadi sepi lengang, di
tanah lapang berumput di depan gua hanya tampak orang2 Pek-
hoa-pang berdiri berjajar teratur. Entah kapan empat lampu la mpion
yang tergantung di atas ngarai tadipun pada m.
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Loh-bi-jin dan la in2, karena Kun-
gi masih berhadapan dengan kedua kakek, tanpa perintah sang
Cong-su-cia betapapun mereka tidak berani sembarang bergerak,
terpaksa mereka me nonton saja dari sa mping.
Terlalu panjang beberapa kejadian ini dituturkan deugan kata2,
padahal kejadian hanya berlangsung dala m sekejap saja. Tokko Siu
yang membujuk Ling Kun-gi tidak berhasil dan malah diejek menjadi
naik pitam. biji matanya mernancarkan cahaya dingin, dengusnya:
"Anak muda. baik-lah coba kau hadapi dulu satu dua jurus
pukulanku, nanti kau a kan tahu bahwa omonganku bukan bua lan
belaka." Tangan bergerak langsung kepa lannya menggenjot lurus
kedepan.
Pukulan ini jauh berbeda dengan serangan ber-tubi2 tadi,
damparan angin yang dingin me mbeku tulang segera menerjang ke
depan.
"Hianping-ciang,'' dia m2 Kun-gi berteriak dalam hati. Cepat dia
ma inkan jurus Hwi-po-liu-cwan (sumber mengalir muncrat
beterbangan), dia sambut pukulan lawan dengan kekerasan. Begitu
kedua tangan mereka berada, terdengarlah suara "plak", keduanya
lantas berdiri dan tida k berge ming lagi.
Muka Tokko Siu yang pucat memut ih itu tampa k berubah semu
hitam gelap, katanya: "Di bawah pukulan, Hianping-ciangku tiada
lawan yang sanggup bertahan 10 jurus, sambutlah dua jurus lagi."
Kembali ia me mukul dari depan, tanpa menarik telapak tangan
kanan, tahu2 telapak tangan kiri sudah me mbe lah tiba.
Kun-gi kerahkan Lwekang pe lindung badan, dia tertawa lantang
dan berkata: "Sila kan Loheng keluarkan ilmu pukulanmu sesuka mu,
coba saja Cayhe ma mpu melawan atau tidak?" Berbareng ia sa mbut
pula pukulan lawan.
Dua pukulan susulan Tokko Siu ternyata lebih dahsyat, bukan
saja tenaga pukulannya bertambah lipat, hawa dingin yang teruar
dari pukulannya juga bertambah, makin la ma makin dingin, waktu
pukulan ketiga dilancarkan, darahpun bisa beku rasanya.
Maka terdengar suara keras "Blang, blang", dengan tenang Kun-
gi sambut pukulan lawan. Mata Tokko Siu yang me micing seakan2
me mancarkan bara, serunya menyeringai : "Bagus seka li!"
Kedua tangan terangkat ke atas, badannya yang kurus tinggi
mendadak mendesak maju, dengan jurus Lui-tiankiau-ki (kilat dan
guntur menyerang ber-sama), ia menyerang pula.
Untuk jurus serangan ini, boleh dikatakan dia ha mpir
mengerahkan 10 bagian tenaganya. Baru saja tangannya bergerak
dan pukulan mulai dilancarkan, gelombang dingin seketika
me mbanjir seiring gerak pukulannya, betapa hebat serangannya
sungguh a mat mengejutkan. Begitu hebat hawa dingin ini laksana
arus dingin yang mengalir dari gunung es atau lembah salju, pohon
bisa mati me mbeku, demikian air seketika bisa beku menjadi batu,
kalau manusia bukan saja badan seketika menjadi kaku, darahpun
me mbe ku dan napas sesak dan buntu dengan sendirinya jiwapun
me layang seketika.
Di sinilah kehebatan Hian ping-ciang sehingga ilmu pukulan ini
dipandang pukulan dingin dari a liran sesat yang paling hebat.
Melihat kehebatan Hianping-ciang ternyata jauh di luar
dugaannya, wajah Kun-gi yang semula mengulum senyum kini
tampak kaget dan prihatin, pikirnya: "Lwekang orang ini begini
tangguh, jika kena keserempet angin pukulannya saja jiwa pasti
seketila melayang dengan badan me mbeku.”
Cepat ia menghirup napas, dia mulai mengerahkan kaesaktian Bu
siang sin kang untuk me lindungi seluruh badan. Ia berdiri tegak,
lengan kanan tegak ke atas, kelima jari bergaya menyanggah langit,
sedang tangan kiri menjurus lurus ke bawah, kelima jari seperti
menyanggah bumi. Inilah Mo-ni-in, ilmu sakti aliran Hud yang paling
hebat untuk menundukkan setan iblis.
Karena Hianping-ciang lawan me mang hebat, otak Kun gi bekerja
kilat, dia yakin dala m perbendaharaan ilmu silat yang pernah dia
pelajari hanya Mo-ni-in saja kira2 cukup kuat menghadapi Hianping-
ciang.
Kun-gi berdiri tegak sekukuh gunung tidak berge ming, hawa
pukulan Hianping ciang mener-jang dirinya, tapi arus yang kencang
itu seketika tersiak minggir seperti arus sungai yang menerjang batu
karang di tengah sungai. Se mentara Tokko Siu yang mendesak maju
kini sudah berada di depan Kun-gi.
Tatkala menyadari ke kuatan pukulannya yang sedahsyat itu
tersiah oleh kekuatan ilmu pelindung badan lawan, Hianping-ciang
yang dipandang sebagai ilmu kebanggaannya ternyata tidak ma mpu
me lukai pe muda ini, sudah tentu dia tersengat kaget. Tapi sejauh ini
dia sudah bergerak, untuk mundur sudah kepalang tanggung dan
tak sempat lagi, terpaksa dia nekat, ia kerahkan sepenuh
kekuatannya pada kedua tangan terus menepuk ke dada Kun-gi.
Kejadian laksana percikan api cepatnya, melihat Tokko Sin
sekaligus melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang
hebat itu, arus dingin laksana curahan a ir terjun yang tumpah ke
bawah.
Hakikatnya Lansat-sin yang sejak tadi menonton di luar arena
tidak perhatikan bahwa Tokko Siu yang mendesak maju di depan
Ling Kun-gi ini sudah menghadapi jalan buntu, tapi dia kira
me mperoleh kese mpatan yang baik. Segera dia ke mbangkan Tay-
na-ih-sinhoat, gerak langkah yang mengaburkan pandangan mata
orang, sekali berkelebat tahu2 dia sudah melejit ke belakang Kun-gi,
sejak tadi tenaga sudah dia simpan dan terhimpun di lengan, kini
dia angkat tangan kanan, kelima jari dan telapak tangannya
berubah biru kela m dan secepat kilat mengecap ke punggung Ling
Kun-gi.
Kongsun Siang berdiri aga k jauh, bukan main kagetnya melihat
kelicikan musuh yang ma in me mbokong ini, teriaknya cepat: "Awas
Cong-coh."
Sekujur badan Kun-gi diliputi hawa pelindung badan, tapi dia toh
masih merasa kedinginan seperti kecebur di gudang es. Melihat
tekanan berat yang aneh dan luar biasa pukulan Tokko siu sudah
menepuk tiba di depan dada, mendadak ia mengge mbor
sekeras2nya, tangan kanan yang terangkat lurus ke atas tahu2
me mba lik turun dan ba las menepuk ke depan. Kebetulan pada saat
yang sama Lansat-sin Dian Yu-hok telah berada di belakangnya dan
me mukul dengan se luruh kekuatan Lansat-ciang.
Begitu tangan kanan menepuk, seketika Kun-gi sadar bahwa Dian
Yu-hok me mbokongnya dari belakang, tanpa pikir tangan lagi lantas
mengebas kebelakang. Gebrakan ini dila kukan tiga orang sekaligus
dengan seluruh kekuatan dan secepat kilat.
Mo-ni-in adalah ilmu sakti penakluk setan iblis aliran Hud ( Budha
), ilmu yang tiada taranya ini merupakan lawan me matikan yang
paling telak bagi Hianping-cian dan Lansat-ciang.
Waktu melancarkan serangan dengan penuh tenaga, tak terpikir
oleh Tokko Siu bahwa Ling Kun-gi ba kal balas menyerang dengan
bekal ilmu saktinya pula, maka terasa segulung kekuatan terpendam
yang tak kelihatan sekeras gugur gunung menindih tiba. Bukan saja
seluruh kekuatan Hianping-ciang yang dia lancarkan terbendung
sehingga tidak ma mpu dilancarkan lagi, berbareng iapun merasa
napas sesak dan hawa murni terbenti, keruan ia terkesiap, saking
gugupnya sekuatnya dia meronta terus melompat mundur. Bukan
lagi mundur, bahkan badannya terdorong mencelat setombak lebih,
mulut terbuka darahpun menye mbur keluar, badan limbung ha mpir
terjungkal roboh.
Agaknya dia berusaha kendalikan badan untuk berdiri supaya
tidak jatuh, maka setelah mundur sejauh satu tombak, langkah
kakinya masih bergerak dengan harapan dapat memberatkan tubuh,
tapi usahanya tetap sia2, setelah beberapa langkah lagi, a khirnya
dia roboh terkapar. Sesaat dia masih berusaha merangkak bangun,
kedua matanya mendelik menatap Ling Kun-gi, suaranya serak,
tanyanya: "Kau . . . . . . ilmu apa ini?"
Selama ini Kun-gi me matuhi pesan gurunya, jika tidak terpaksa
dan terancam bahaya dilarang se mbarang me nggunakan Mo-ni-in,
kali ini lantaran serangan Hianping-ciang Tokko Siu sede mikian
hebat, maka iapun kerahkan kekuatan Mo-ni-in untuk
menghadapinya. Sungguh tak pernah terbayang dalam ingatannya
bahwa perbawanya begitu dahsyat, Tokko Siu dibuatnya mencelat
setombak lebih. Dala m keadaan sekarat setelah terluka parah,
Tokko Siu masih mendongak bertanya ilmu apa yang dia guna kan
untuk melawan Hianping-clang, maka ia pun menjawab: "Cayhe
menggunakan Mo-ni-in."
"Mo-ni-in. . . . . " terbeliak mata Tokko Siu, beberapa kali
mulutnya berkomat-komit, mendadak napasnya me mburu dan
kepalanya tergentak ke belakang, tubuhpun ambruk telentang dan
tak bergerak lagi.
Dala m pada itu Lan sat-sin Dian Yu- hok yang melancarkan
Lansat-ciang me mbokong Ling Kun-gi dari belakang, waktu telapak
tangannya hampir saja mengenai punggung orang, mendada k
dilihatnya Kun-gi mengipatkan tangan kiri ke bela kang. Dala m hati
ia tertawa dingin: "Seorang diri betapa tinggi kekuatanmu? Masakah
ma mpu me lawan gabungan serangan ka mi berdua dari depan dan
belakang?"
Lan sat-ciang adalah ajaran sesat yang diciptakan oleh tokoh
bernama Umong, siapapun yang terkena pukulan ini akan mat i
seketika dengan badan hangus, tapi Mo-ni-in yang dikerahkan Kun-
gi kali ini ibarat air di da la m belanga yang sudah mendidih dan
hampir be ludak, ke kuatannya sudah mencapai puncaknya, apalagi
dia gunakan kipatan tangan kida l, itulah ajaran tungga l yang
diciptakan Hoanjiu-ji-lay sendiri.
Ketika Lansat-sin Dian Yu-hok merasa kegirangan itulah,
mendadak terasa bahwa kipatan tangan kiri Ling Kun-gi
menimbulkan ke kuatan yang tiada taranya, sekokoh tembok baja
yang tak tembus, lebih celaka lagi ke kuatan lunak me mbaja ini
seketika juga menerjang dirinya seperti gelombang bada i
dahsyatnya. Pertahanan lawan yang ma mpu menyerang balik ini
sungguh di luar dugaannya.
Tapi karena La m-sat-sin terla lu yakin bila Lansat-ciang mengenai
tubuh lawan jiwa orang pasti melayang keracunan, sudah tentu
iapun tidak mau mundur meski menghadapi perlawanan yang hebat
ini, tenaga malah dipusatkan sementara telapak tangan kanan tetap
menepuk, serangan yang semula dia arahkan punggung Ling Kun-gi
sekarang malah dia ubah arahnya me mapak telapak tangan Ling
Kun-gi yang mengipat ke belakang itu. Jelas tujuannya amat keji
dan jahat.
Sayang dia tidak tahu bahwa Mo-ni-in adalah ilmu mukjijat aliran
Hud yang sakti, wa ktu dilancarkan kekuatannya tidak kelihatan
besar, bila sudah mengadu pukulan secara telak baru kekuatannya
timbul berlipat ganda.
Setelah Lansat-sin menyadari adanya gejala tidak enak, na mun
sudah terlambat, kekuatan lunak se kokoh baja itupun sudah
me mukul dadanya. Lansat-ciang yang dilatihnya sela ma berpuluh
tahun kali ini sa ma sekali tak ma mpu dilancarkan, tahu2 terasa
sekujur badan mengejang dan bergetar, seperti orang yang
didorong mendadak tanpa kuasa dia terhuyung mundur beberapa
langkah.
Melihat dia me mbokong Ling Kun-gi, sudah tentu Kongsun Siang
tidak berpeluk tangan, meski pertolongannya terlambat, tapi dia
tetap menubruk maju, me mang hatinya lagi gusar kebetulan dilihat
lawan tergetar mundur, segera dia menubruk miring berbareng
pedang menusuk, Kalau dala m keadaan biasa, dengan tingkat
kepandaian Dian Yu-hok pasti dengan mudah dia dapat berkelit, apa
daya sekarang dia sudah terkena getaran pukulan Mo-ni-in yang
hebat itu, badan sendiri sudah tak kuasa dikendalikan, mana dia
sanggup berkelit lagi.
"Bles", ujung pedang yang runcing ge milapan tahu2 mene mbus
dada dari belakang. Lansat-sin hanya merasakan badan tertembus
oleh sesuatu yang dingin, matanya terbeliak, waktu menunduk,
dilihatnya ujung pedang tembus keluar dari dadanya, tampang
kudanya seketika pucat pias, teriaknya tertahan: "Siapakah yang
menusuk Lohu?" Pelan2 badan menjadi le mas dan jatuh terkulai.
Dengan bebrseri tawa Loh-bi-jin mengha mpiri, katanya: "Hebat
benar ilmu Cong-su cia."
Kun-gi ma lah mengerut kening, katanya: "'Mungkin Cayhe terlalu
keras me mukulnya." Belum habis bicara, tiba2 ia sendiri terhuyung
mundur.
Loh-bi jin kaget, tanpa hiraukan adat laki-pere mpuan lagi le kas
dia me mapah, tanyanya penuh perhatian: "Cong-su-cia, kenapa
kau?"
Dilihatnya muka Kun-gi pucat dan agak gemetar pula, serunya
gugup: "Hai, lekas kalian ke mari, mungkin Cong-su-cia terbokong
oleh musuh?"
Ko lotoa, Song Te k seng, Kongsun Siang, Thio La m-jiang segera
merubung datang.
Kata Kongsun Siang: "Cong-su cia, cobalah kerahkan hawa
murni, di mana letak salahnya."
Mata Ling Kun-gi terpeja m, dia berdiri dia m, sesaat lamanya baru
air mukanya tampak bersemu merah, pe-lahan2 dia mengirup napas
panjang dan me mbuka mata. Melihat Loh-bi-jin me mapahnya, sorot
matanya menunjuk rasa kaget dan keheranan, iapun merasa rikuh,
katanya: "Terima kasih nona, aku tidak apa2."
Jengah Loh-bi- jin, katanya dengan mengerling: "Sebetulnya apa
yang terjadi Cong su-cia?".
"Hianping-ciang Tokko Siu me mang lihay sekali," de mikian ucap
Kun-gi," sedikit lena, badanku terembes hawa dingin, seluruh badan
seketika terasa me mbeku . . . . "
"Sekarang sudah baik bukan?" tanya Loh bi-jin penuh perhatian.
"Untung segera aku me nyadari kela laianku, sekarang sudah
baik."
Ko-lotoa menyelutuk: "Tokko Siu berjuluk Ping-sin (mala ikat es),
entah betapa banyak tokoh2 Kangouw yang kecundang oleh
Hianping-ciang, mala m ini ia kebentur Cong coh, tamatlah riwayat
kejahatannya yang kelewat takaran"
Kun-gi menoleh ke sekitarnya, tanyanya: "Musuh sudah mundur
seluruhnya?"
"Mendengar suara sempritan, Liu-siancu di arah timur tiba2
mengundurkan diri, se mentara kesembilan Sing-siok di sebelah
barat telah dibereskan oleh dara ke mbang dan terbakar me njadi abu
oleh peluru Bik-ya m-tan."
Kun-gi menghelar napas lega, katanya: "Thay-siang me mang
serba tahu, ramalannya tidak pernah meleset, segala gerak-gerik
musuh sudah tergengga m di telapak tangannya, sungguh amat
mengagumkan.”
Ko-lotoa berkata: "Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing juga segera
mengundurkan diri setelah mendengar suara sempritan tadi, karena
Cong-coh tidak me mberi perintah, kami t idak berani bergerak.
Sukalah Cong coh segera a mbil tindakan."
Kun-gi me mandang ke arah Ui-liong-tong di kejauhan sana,
tampak gua itu bermulut besar dan tinggi, pintu gua terbuka lebar,
seperti tiada penjagaan, keadaan gelap pekat tak kelihatan keadaan
di dala m, diam2 timbul rasa curiganya, katanya setelah tepekur
sebentar: "Ui-liong-tong adalah pusat pimpinan Hek-liong-hwe,
kalau pintunya terbuka lebar tentu ada perangkapnya, lebih baik
kita bekerja menurut pesan Thay-siang saja."
Loh-bi jin me ngiakan, segera dia me mberi tanda, empat dara
ke mbang segera pikul tandu kecil itu mengha mpiri. Inilah bunyi
tulisan Thay-sian dala m surat rahasianya: "Terjang ke bawah Ui-
lionggia m, le mparkan tandu ini ke Ui-liong- tong."
Kun-gi suruh orang banyak berpencaran mencari tempat masing2
dan mengepung Ui-liong-tong dengan ketat, sementara, empat
Hou-hoat-su-cia yang angkat tandu itu segera diayunnya bolak-balik
terus dilemparkan ku Ui liong- tong. Karena lemparan yang kuat,
tandu itu meluncur kencang ke mulut Ui-liong-tong yang menganga
lebar, tertampaklah api tepercik terus terdengar ledakan keras yang
mengge legar menggetarkan bumi.
Bumi laksana ge mpa keras, sementara ledakan masih terus
berbunyi saling susul schingga tebing di puncak atas sana retak dan
batu2 besar sama mengge lindang berjatuhan tercampur dengan
padas2 yang terlempar keluar dari dala m gua, terdengar suara jerit
tangis dan pekik orang di sana-sini. puluhan tombak dise kitar
le mbah diliputi asap dan debu yang tercampur dengan batu yang
beterbangan, jari tangan sendiri sampai tidak terlihat jelas apa lagi
mengawasi te man2 yang la in.
Kiranya tandu itu berisi bahan peledak yang beratnya hampir
sekwintal, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat daya
ledakannya, ternyata Ui-liong tong telah diledakkan hingga rata
dengan tanah.
Ngarai le mbah naga kuning di atas sanapun telah gugur rata
me menuhi le mbah.
Waktu me mbaca surat rahasia Thay-siang tadi sebetulnya Kun-gi
sudah mendapat firasat bahwa yang tersimpan di dala m tandu pasti
obat bakar yang amat lihay kekuatannya, baru tandu dile mpar ke
dalam gua pasti menimbulkan kobaran api besar, karena tak bisa
menye mbunyikan diri pasti kawanan bangsat Hek-liong-hwe akan
terjang keluar. Oleh karena itu dia suruh 8 Hou-hoat-su-cia dan 20
dara kembang berpencar mengepung Ui-liong-tong, musuh yang lari
keluar akan ditumpas atau ditawan hidup2.
Dia sudah perintahkan se mua orang berse mbunyi agak jauh dari
mulut gua, supaya senjata api sendiri tidak melukai mereka, tapi tak
pernah terduga olehnya bahwa tandu itu me mbawa sekwintal bahan
peledak, betapa dahsyat kekuatannya, gua sebesar itu serta ngarai
diataspun dibikin gugur dan lebur.
Begitu mendengar suara ledakan Kun-gi lantas merasakan
getaran hebat mirip ge mpa bumi, le mbah dan ngarai seperti
berguncang, keadaan amat ga-wat sekali, lekas dia kerahkan
Lwekang serta me mbentak sekeras guntur: "Se mua mundur!"
Walau dia berseru dengan kekuatan Lwekang yang tinggi, kalau
dalam keadaan biasa suaranya mungkin bisa terdengar cukup jauh,
tapi kini gunung gugur bumi berguncang hebat, suara ledakan
masih terus berkumandang saling susul sehingga seruannya tak
terdengar sama sekali.
Melihat gelagat jelek, sekali raih Kun-gi pegang tangan Ko-lotoa
yang berdiri disa mpingnya se mbari me loncat mundur sejauh
mungkin Kong-sun Siang berdiri di sebelah kiri, mulutnyapun
berteriak: "Song-heng, Thio heng, lekas mundur!" Begitu bergerak,
dengan gaya serigala menubruk sekaligus dia me lompat mundur
sejauhnya. Waktu dia berdiri tegak dan menoleh, batu2 sebesar
gajah sedang bergelundungan dari atas ngarai, debu beter-bangan
dan batu berlompatan menguruk le mbah.
Tadi masih terdengar beberapa kali jeritan kaget dan kesakitan di
sana sini, kini kecuali batu gunung yang masih bergelindingan
dengan suara gemuruh, suara orang tak terdengar lagi. Agaknya
semua orang sudah teruruk di bawah reruntuhan.
Kaget Kongsun Siang, ia coba berteriak: "Cong-coh, Cong-su-cia .
. . . .. . . "
Didengarnya suara Kun-gi juga sedang berteriak: "Kongsun-heng,
kau tidak apa2?"
"Ling-heng," teriak Kongsun Siang berjingkrak girang, secepat
terbang dia melompat ke arah datangnya suara.
Di tanah lapang berumput agak jauh sana keadaan masih gelap
berkabut debu, tampak Ling Kun-gi tengah berjongkok, sebelah
tangannya menekan punggung Ko-lotoa, kiranya tengah
menyalurkan hawa murni ke badan orang.
Tiba di sa mping orang Kongsun Siang lantas bertanya: "Cong-
coh, kenapa, Ko lotoa?"
Sebelah tangan Kun-gi tetap tak bergerak, katanya gegetun:
"Waktu kutarik dia lompat ke belakang dada Ko-lotoa keterjang batu
terbang, mungkin . . ."
Belum habis dia bicara, dilihatnya Ko-lotoa telah me mbuka
matanya, sinar matanya pudar, bibir bergerak mengeluarkan suara
le mah, kata2nya ter-putus2.
"Terima kasih, . . . . Cong. . . . . coh, aku tak. . . , tak tahan. . . .
. lagi, Ui-liong . .. . . tong. . . . . . . di belakangnya ada . . . . . ada
sebuah. . . . . .. jalan rahasia . . . . . . menembus. . . . . . '.' darah
segar tahu2 menyembur keluar dari mulutnya, sehingga dia tak
ma mpu meneruskan kata2nya.
Lekas Kongsun Siang berkata: "Ko-lotoa, tenangkan hatimu,
apakah maksudmu bahwa di bela kang Ui-liong-tong ada ja lan
rahasia yang tembus ke mana?"
Kun-gi lepaskan telapak tangan yang menekan punggung orang,
katanya rawan: "Dia sudah mangkat." Pelan2 dia berdiri, matanya
menje lajah sekitarnya, tanpa terasa dia berkata dengan nada, sedih:
"Kongsun-heng, agaknya tinggal kita berdua saja yang masih
ketinggalan hidup dala m rombongan besar kita tadi."
"Mungkin masih ada yang smpat lolos, debu masih mengepul
setebal ini dan sukar melihat keadaan," ujar Kongsun Siang.
Kun-gi me nggeleng dan berkata setelah menghela napas:
"Peristiwa ini terjadi a mat mendadak, kita berdiri lima tomba k di luar
Ui-liong-tong, begitu me lihat gelagat jelek aku segera menarik Ko-
lotoa me lompat ke be lakang, tapi Ko-lotoa tetap keterjang batu,
padahal dara2 kembang dan Houhoat-su-cia tersebar disekeliling Ui-
liong-tong da la m jarak t iga tombak, mana mungkin mereka se mpat
me loloskan diri? Kese mbronoanku yang harus disalahkan, sejak
mula harus kuduga bila dala m tandu pasti tersimpan bahan peleda k
yang amat lihay, seharusnya kusuruh semua orang berdiri lebih jauh
lagi."'
Kongsun Siang berkata: "Hal ini tak bisa menyalahkan Cong-coh,
kalau Thay-siang me mbawa dina mit di dala m tandu seharusnya dia
jelaskan dala m surat petunjuknya, menurut dugaanku, dinamit yang
dapat menggugurkan separo gunung ini kalau tidak sekwintal pasti
ada delapan atau sembilan puluh kati beratnya, kalau memang tida k
tahu menahu, umpa ma berdiri jauh dan berilmu silat tinggi juga
takkan se mpat menghindarkan diri, apalagi menurut petunjuk kita
harus menerjang masuk ke Ui-liong-tong, bahwa Cong-coh sudah
suruh mereka menyebar sejauh tiga tombak, ini sudah cukup
cermat juga." Secara langsung dia salahkan Thay-siang yang tidak
menje laskan persoalannya sehingga jatuh korban sebanyak ini.
Kun-gi dia m sejenak tanpa bersuara, pelan2 kepalanya terangkat
dan berkata: "Kongsun heng, marilah kita berpencar me meriksa
keadaan, mungkin masih ada yang cuma terluka parah dan belum
ajal, perlu segera kita menolongnya.
Kongsun Siang mengangguk, katanya: "Benar Cong-coh."
Mereka lantas berpencar ke kanan kiri dan me meriksa sekitar Ui-
liong tong, debu yang beterbangan sudah mula i reda, keadaan
sudah mulai terang. Maka puluhan tombak seke liling Ui-liong-tong
bisa terlihat jelas, ternyata batu2 padas melulu yang berserakan
me mbukit di tempat itu, keadaan sudah berubah bentuk dan tak
dikenal lagi.
Pertama Kun-gi mene mukan jenazah Song Tek-seng, dia sudah
berada tujuh tomba k jauhnya dari Ui-liong-tong, punggungnya
tertindih batu besar dan mati tengkurap. Bergidik seram Kun-gi,
dia m2 ia berkata: "Song-heng, tenangkanlah dirimu dala m
istirahatmu, nanti akan kukebumikan bersama dengan kawan2 yang
lain."
Lalu dia maju lebih lanjut, ditemukan pula Loh-bi-jin, tadi dia
berdiri tepat di mulut Ui-liong-tong, badannya gepeng tertindih batu
besar yang jatuh ke bawah, hanya sebelah tangannya saja yang
kelihatan menjulur keluar, ke matiannya amat mengenaskan.
Dari lengan bajunya Kun-gi mengenali Loh-bi-jin yang tertindih di
bawah batu2 ini, mengingat kebaikan orang yang telah me mapah
dirinya tanpa hiraukan perbedaan laki pere mpuan waktu dirinya
sempoyongan setelah mengadu kekuatan dengan Hianping-ciang
Tokko Siu, sungguh ia berterima kasih dan terharu, kini berta mbah
lagi sedih dan pilu, kejadian baru berselang beberapa kejap, tapi
jiwa orang sudah mangkat mendahului nya.
Pada saat itulah, mendadak seorang berteriak serak di sebelah
kiri sana: "Lekas ke mari, tolonglah aku!"
Cepat Kun-gi me mburu ke sana seraya berteriak: "Dimana kau?"
Mendengar suara Kun-gi, agaknya terbangkit se mangat orang itu,
teriaknya lebih keras: "Cong-coh, inilah aku Ting Kiau, tertindih di
celah2 batu besar ini."
Belum habis dia bicara Kun-gi sudah melompat tiba, tampak
olehnya Ting Kiau tertindih di bawah sebuah batu raksasa yang
ribuan kati beratnya. Waktu batu raksasa ini me nggelundung dari
puncak, kebetulan me mbentur batu padas yang menonjol dari
dinding gunung sebelah belakang dan Ting Kiau kebetulan se mbunyi
di bawah batu padas yang menonjol ini sehingga batu ra ksasa tadi
tidak menindihnya hancur, dia terjepit di ce lah2 batu tanpa bisa
bergerak, hanya kepalanya saja yang menongol ke luar.
"Ting-heng tida k terluka bukan?" tanya Kun-gi.
Badan Ting Kiau meringka l, sahutnya: "Hamba tidak apa2,
tempat ini kebetulan cukup untuk sembunyi, kalau tidak badanku
tentu sudah hancur lebur."
Mengawasi batu raksasa ini, Kun-gi me mperkirakan batu ini ada
seribu kati beratnya, maka dia kerahkan tenaga, pelan2 kedua
tanganya menyanggah batu serta mendorongnya ke samping,
katanya: "Awas Ting-heng." Sekali gentak, batu besar itu kena
digeser ke atas.
Tanpa ayal Ting Kiau me mberosot keluar, katanya sambil
me lompat berdiri: "Cong-coh, ha mba sudah ke luar."
Pelan2 Kun-gi lepaskan batu raksasa itu, katanya ke mudian:
"Ting-heng, lekas sa madi sebentar, apakah kau terluka?"
Ting Kiau menggerakkan kaki tangannya serta menghirup napas
panjang, katanya tertawa: "Hamba baik2 saja, sedikitpun tidak
terluka. . ."
"Sela mat Ting-heng, syukurlah ka lau tida k terluka, marilah ikut
mencari yang la in mungkin ma-sih ada yang perlu ditolong."
Mereka maju terus ke sekelilingnya, tapi batu melulu yang
tertumbuk, kaki tangan manusia berserak di antara himpitan batu2,
jadi sukar dibedakan jasat siapa yang telah tak berbentuk itu,
semuanya mati da la m keadaan yang mengerikan.
20 dara kembang tiada satupun yang hidup, delapan Hou-hoat-
su-cia hanya Ting Kiau seorang yang sela mat tiga Houhoat
ketinggalan Kongsun Siang saja yang lolos dari elma ut. Barisan yang
me luruk datang ber-bondong2 dengan mengerek panji2 segala kini
sudah tertumpas habis oleh ledakan tandu yang dibawa sendiri, jadi
bukan mati di medan laga dan gugur bersama musuh. Peledak
itupun sedianya untuk menghancurkan sarang musuh, tak nyana
orang sendiripun ikut me njadi korban. Me mangnya ini sudah suratan
nasib?
Lama Kun-gi berdiri di depan Ui-liong-tong, tak terbilang betapa
berat perasaannya Kongsun Siang mengha mpiri, katanya lirih:
"Cong-coh, bagaimana kita harus bertindak lebih lanjut'?"
"Kecuali kita bertiga agaknya tiada yang hidup lagi, tugas kita
sekarang yang utama adalah mengumpulkan jenazah mereka sebrta
menguburnyad."
"Cong-coh mea mang benar," tibmbrung Ting Kiau, "berapa
banyak yang dapat kita temukan kita kuburkan bersama supaya
mereka tentera m di ala m baka."
Mereka segera bekerja keras, mengeduk liang lahat dan
mengumpulkan jenazah yang berserakan. setelah dua liang lahat
besar mereka gali, Kun-gi mengha mpiri jenazah Loh-bi-jin, dia
singkirkan batu besar yang menindih tubuhnya serta mengusung
jenazahnya ke dalam liang lahat, sementara Kongsun Siang dan
Ting Kiau juga sibuk menggotong jenazah dara2 kembang yang lain,
kaki tangan yang terputus berserakan di mana2 mere ka kumpulkan
serta di-uruk menjadi satu.
Pada liang lahat kedua, mereka kebumikan ber-sama Song Tek-
seng, Ko-lotoa serta mencari pula, yang lain. se muanya dala m satu
liang lahat.
Berdiri di depan pusara massal itu Kongsun Siang terlongong
sekian la manya, katanya: "Thio-heng (Thio La m-jiang) tadi
bersamaku waktu tandu dile mpar ke dala m Ui-liong-tong, meski
tempat ka mi berdiri tepat di depan Ui-liong-tong, tapi jaraknya
sekitar lima tombak, Thio-heng meyakinkan ilmu pedang yang
menguta makan kelincahan mengapung di udara, Ginkangnya cukup
tinggi dan me lebihi a ku, bahwa jiwaku bisa sela mat, seharusnya
Thio-heng pun bisa lolos dari maut, kenapa jenazahnya tidak kita
temukan?"
Maklum, hubungannya dengan Thio La m-jiang pa ling int im, tak
tertahan air matapun bercucuran, memikirkan nasib teman baiknya
itu.
"Jangan berduka Kongsun-heng, takdir menghendaki de mikian,
kita terima saja musibah ini dengan lapang dada," kata Kun-gi.
"Cong-coh," ucap Ting Kiau, "bukankah Thay-siang masih ada
sepucuk surat rahasia, entah apa petunjuknya? Cobalah sekarang
dibuka." '
Baru Kun-gi teringat akan hal ini, lekas dia menge luarkan sa mpul
surat itu serta merobeknya, dilolos keluar secarik hertas putih dan
dibebernya. begitu kertas terbeber, seketika berubah air muka Kun-
gi.
Surat kedua yang dikatakan petunjuk ini hanya merupakan
le mbaran kertas putih me lulu tanpa tulisan sehurufpun. Apakah arti
kertas putih po-los ini?
Tandu itu me muat bahan peledak, setelah Ui-liong-tong
diledakkan, sudah tiada lagi tugas mereka selanjutnya, jadi tidak
perlu pakai petunjuk segala? Tapi bila orang banyak tidak mati
karena ledakan tadi, umpama me mang tiada tugas lainnya lagi,
mestinya diberitahu ke mana dan bila mana mereka harus berkumpul
atau mundur ke mba li ke Ciok-sinbio untuk menunggu perintah
selanjutnya. Tanpa petunjuk, itu berarti bahwa rombongan besar
yang dipimpinnya ini sudah tiada lagi, sudah ta mat seluruhnya.
Rupanya Thay-siang sudah me mperhitungkan bahwa rombongan
besar ini seluruhnya akan mene mui ajalnya di tempat ini. Se makin
dipikir se ma kin berkobar a marah Kun-gi, tanpa terasa ia
menggera m dan berkata: "Muslihat yang keji!"
"Apakah Cong-coh perlu ketikan api?" tanya Ting Kiau.
"Tida k usah." kata Ling Kun-gi.
"Lwekang Cong-coh amat tinggi," ucap Kongsun Siang, "di
tempat gelap dapat melihat dengan terang, entah petunjuk apa
yang tertulis disurat Thay-siang?"
"Surat rahasia ini tanpa satu hurufpun," kata Kun-gi geram.
"Mana mungkin?" teriak Ting Kiau heran. "Tanpa petunjuk Thay-
siang, ke mana kita harus berkumpul dengan rombongan yang
lain?"
"Jadi kalian masih ingin mene mui Thay-siang?' tanya Kun-gi
sengit.
"Rombongan besar kita tertinggal kita bertiga yang masih hidup,
kukira perlu segera mengadakan kontak dengan dua rombongan
yang lain," de mikian usul Kongsun Siang.
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Maklumlah mereka sa ma terbius
oleh Bi-sinhiang-wan, jadi bahan pe ledak yang dipasang dala m
tandu itu melulu untuk menyingkirkan diriku seorang? Ya, melihat
taraf kepandaian yang kuyakinkan, jelas dia sendiri takkan ma mpu
kendalikan diriku, maka bersa ma dengan tugas menyerbu ke Ui-
liong-tong ini dia hendak me mbunuhku dengan ke kuatan ledakan
dahsyat itu, maksudnya untuk menghindarkan bencana di ke mudian
hari. Ai, demi diriku seorang, tak segan2 dia mengorbankan jiwa
orang banyak untuk me ngiringi ke matianku, nenek ini sungguh
kejam dan mena kutkan."
Melihat Kun-gi tepekur sekian la ma tanpa bersuara, Ting Kiau
lantas bertanya: "Cong-coh, Ui-liong-tong sudah hancur, apakah kita
perlu ke mbali dulu ke Ciok-sinbin?"
Kun-gi dia m saja, dari sakunya dia merogoh keluar kantong
sula m pemberian Un Hoankun tempo hari serta me mbuka ikatannya
dan menge luarkan botol porselin kecil, ia menuang ena m butir pil
Jing-sintan sebesar kacang hijau serta diangsurkan, katanya:
"Kongsun-heng, Ting-heng, kalian masing2 telan t iga butir obat
ini..."
Kongsun Siang terima tiga butir obat itu dan ditelannya tanpa
pikir, tanyanya sambil ce lingukan: "Apakah Cong-coh melihat
gejala2 yang tidak beres?"
Ting Kau juga terima obat itu, dia sedikit ragu2, pelan2 baru
menelannya, tanyanya juga: "Cong-coh, obat apakah ini?"
Kedua orang bertanya dalam waktu yang ha mpir sama. Kun-gi
tertawa tawar, katanya: "Apakah kalian pernah dengar Bi-sinwan?"
Kongsun Siang me lengak, katanya: "Pernah hamba dengar cerita
Suhu, Bi-sinwan adalah sejenis obat bius yang paling keras daya
kerja racunnya, konon dulu kaisar Gui-bunto yang mengembang
biakannya dari daerah barat, baunya harum semerbak, orang yang
menciumnya akan mabuk, malah yang berat bisa mati sesaat
ke mudian."
Terpentang kedua mata Ting Kiau, katanya dengan rasa curiga:
"Jadi obat yang Cong-coh berikan kepada hamba tadi adalah Bi-
sinwan?"
Kun-gi tertawa, ujarnya: "Obat yang kalian makan tadi justeru
adalah obat penawar Bi-sinwan itu."
"Obat penawar Bi-sinwan? Sejak kapan ha mba terkena racun Bi-
sinwan?" tanya Kongsun Siang heran.
"Kadar racun Bi-sinwan me mang a mat keras, orang bisa mati bila
menciumnya teramat banyak, tapi kalau dapat me manfaatkannya
dengan racikan obat lain dan dijadikan pil serta dica mpur dala m
makanan, ma ka kau akan me makannya tanpa sadar, khasiatnya
secara langsung dapat me mpengaruhi daya pikir orang, me mang
kau kelihatan segar bugar dan jernih pikiran, tapi di luar sadarmu
kau telah kehilangan tekad perlawanan dan selalu tunduk setia
kepada orang yang telah memberi minum itu, sampai mati takkan
berubah haluan."
Terbeliak mata Kongsun Siang, katanya: "Maksud Cong-coh
bahwa Pek-hoa-pang telah me mberi Bi-sinhiang kepada ka mi?"
sampai di sini tiba2 dia mangut2, katanya pula: "Betul, setelah
hamba ingat2, selama dua tahun ini, peduli apapun yang dilakukan
Pek-hoa-pang selalu kurasakan betul, terutama terasa bahwa Thay-
siang adalah junjungan yang maha agung dan suci, umpa ma dia
menghenda ki ha mba segera mati, ha mba tidak a kan ragu
me mbunuh diri dihadapannya."
"Dan sekarang? Bagaimana perasaan Kongsun-heng?" tanya
Kun-gi.
"Sekarang perasaan hamba nyaman dan lapang, timbul rasa
curigaku terhadap Thay-siang dan Pek-hoa-pang, gerak-gerik dan
sepak terjang mereka serba misterius, bukan mustahil ada sesuatu
hu-bungan rahasia dengan Hek-liong-hwe . . . . "
"Betul," timbrung Ting Kiau, "ha mbapun merasakan de mikian,
Pek-hoa-pang hanya me mperalat kita se mua."
Kun-gi tersenyum, katanya: "Syukurlah kalau kalian sudah
mengerti.'
Kertas putih pemberian Thay-sang dia angkat dan dilambaikan ke
atas, katanya: "Surat ini tanpa tulisan sehurufpun, inilah bukt i
muslihatnya kalau burung kaget busurpun harus disembunyikan,
kelinci mat i anjing ikut hangus`
"Bahwa Thay-siang biarkan kita mati lantaran kita orang luar, tapi
Ko-lotoa adalah anak buahnya yang sudah berbakti puluhan tahun
padanya, Loh-bi-jin adalah murid didik asuhannya, demikian pula
ke20 dara kembang itu apa pula dosanya? Kenapa merekapun harus
ikut menjadi korban ledakan ini?"
"Ko-lotoa adalah salah satu dari tiga puluh enam panglima Hek-
liong-hwe, banyak rahasia pribadi Thay-siang diketahuinya, kini ada
kesempatan untuk me lenyapkan dia, bukankah rahasianya
selamanya takkan lagi diketahui orang? Celakalah Loh-bi-jin dan
dara2 kembang itu, lantaran bersama kita dia sa mpai hati
mengorbankan mereka pula."
"Kenapa Thay- siang hendak me mbunuh kita semua?" tanya Ting
Kiau tak mengerti.
"Hek liong-hwe punya tiga seksi, yaitu Hwi-liong-tong, Ui-liong-
tong dan Ceng-liong-tong. Pangcu Bok-tan dari Hupangcu Sbo- yok
telah diperintahkan untuk menyergap kesana dengan tugas sendiri2,
ke mungkinan Thay-siang sendiripun sudah meluruk ke sana.
Rombongan kita sepanjang jalan ini kelihatan ber-bondong2,
padahal hanya untuk menarik perhatian musuh dan menggertaknya,
bahwa kita berhasil me nerjang tiba di depan Ui-liong-tong ini
me mbuktikan bahwa kita telah mengge mpur segala aral rintang dari
musuh yang mencegat kita, peledak yang ada di dalam tandu dan
dile mpar ke dala m Ui-liong-tong sehingga hancur lebur, ma ka
orang2 seperti kita ini dirasa tida k perlu lagi, me mang inilah cara
sekali tepuk me mbunuh dua lalat." Kata Kongsun Siang gusar:
"Mendengar uraian Cong-coh, hamba seketika sadar dan mengerti,
rencana dari tujuan Thay-siang ternyata amat keji dan keja m."
Ting Kiau menghela napas, katanya: "Lalu bagaimana rencana
Cong-coh selanjutnya?"
"Selanjutnya kalian tak usah me manggil Cong-coh segala,
jabatanku sudah ikut terpendam di bawah reruntuhan ledakan tadi,"
demikian ucap Kun-gi.
Ting Kiau tertawa getir, katanya: "Lalu apa yang harus kita
lakukan?"
"Racun dala m tubuh ka lian sudah ditawarkan, inilah kese mpatan
baik untuk me mbebaskan diri dari pertika ian ini, supaya selanjutnya
tidak diperalat lagi oleh Pek-hoa-pang, maka menurut pendapatku,
lebih baik selekasnya ka lian me ningga lkan te mpat ini saja."
"Pernah kudengar Ling-heng bilang ada dua temanmu yang
tertawan Hek-liong-hwe, kehadiranmu adalah untuk menolong
mereka, untuk ini aku dengan senang hati ingin me mbantu Ling-
heng, meski menerjang lautan api juga a ku a kan me mbantumu."
"Nyawa hamba ini juga berkat pertolongan Cong-coh, hambapun
takkan pergi begini saja," de mikian Ting Kiaupun berkukuh
pendapat.
"Betapa luhur persahabatan ini, sungguh aku amat berterima
kasih . . " kata Kun-gi.
Kongsun Siang menyela: "Bahwa Ling-heng tidak pandang
rendah diriku dan sudi bersahabat denganku, ini sudah mengangkat
pamorku pula, kini Ling-heng hendak menyelundup ke Hek-liong-
hwe seorang diri, meski kepandaian Ling-heng cukup tinggi, tapi
jago2 Hek-liong-hwe juga t idak sedikit jumlahnya, di sa mping
menolong teman harus menghadapi musuh lagi, betapapun tenaga
seorang terlalu merepotkan, kalau se karang aku tingga l pergi,
me mangnya terhitung persahabatan apalagi? Apapun kata dan sikap
Ling-heng, aku sudah bertekad untuk mengiringi kepergian Ling-
heng."
"Apa yang diucapkan Kongsun-heng merupakan isi hatiku pula,"
demikian sa mbung Ting Kiau. "kalau Cong-coh tidak terima
keinginan ka mi berarti pandang rendah ka mi berdua."
Melihat betapa besar dan teguh keinginan kedua orang ini, tak
enak Kun-gi menolaknya lagi, iapun tahu untuk meluruk ke sarang
Hek-liong-hwe seorang diri terlalu terpencil, apalagi nanti harus
menghadapi pertempuran sengit. Apa yang diucapkan Kongsun
Siang me mang tidak salah, di samping berusaha menolong teman,
dia harus sibuk menghadapi musuh lagi, keadaan tentu serba repot
dan mendesak.
Maka dia manggut dan berkata "Kalau de mikian a ku takkan
banyak omong lagi, cuma Hek-liong-hwe berada di sarang sendiri,
bukan saja kita asing keadaan di sini, keadaan musuhpun buta sa ma
sekali, sebetulnya untuk menolong te man kita bisa bekerja secara
dia m2 dan main se mbunyi la lu menyergap pada saat lawan tidak
siaga, tapi setelah Ui-liong-tong kita hancurkan, sementara dua
rombongan lain dari Pe k-hoa-pang juga telah menyerbu ke Hwi-
liong-tong dan Ceng-liong-tong, tentu pihak Hek-liong-hwe sudah
meningkatkan penjagaan, kita menyelundup ke sarang naga, bukan
saja berbahaya, setiap saat kemungkinan kita akan mene mui ajal di
dalam sana."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Pendapatku justeru sebaliknya, Ui-
liong-tong sudah hancur, ini kenyataan, rombongan Pangcu dan
Hupangcu masing2 menyerbu Hwi-liong-tong dan Ceng-liong-tong,
sekarang kemungkinan mereka masih dala m ajang pertempuran
sengit, marilah kita masuk secara diam2, umpa ma kepergok para
penjaga, tentu dengan mudah dapat kita sikat, inilah kese mpatan
paling baik untuk menolong te man."
Kongsun Siang manggut2, katanya: " Usul Ting-heng me mang
baik, Ling-heng, hayolah jangan buang2 waktu, marilah berangkat"
Berkerut alis Kun-gi, katanya: "Usul kalian me mang masuk akal,
tapi kita tidak tahu di ma na letak pusat markas Herk-liong-hwe,
datlam waktu sesinqgkat ini, ke mana kita akan me ne mukannya?"
"Kenapa Ling-heng lupa," kata Kongsun Siang, "sebelum ajal
bukankah Ko-lotoa bilang di belakang Ui-liong-tong ada jalan
rahasia, dia hanya mengatakan `tembus', kemungkinan jalan
rahasia di belakang Ui-liong-tong itu bisa te mbus ke markas pusat
Hek-liong-hwe, kenapa tida k kita coba untuk me ncarinya?"
Berpikir sejenak akhirnya Kun-gi mengangguk, katanya: "Apa
boleh buat, marilah kita berusaha."
"Marilah segera kita masuk," kata Ting Kiau senang.
"Nanti dulu, Ui-liong tong sudah hancur, kemungkinan jalan
rahasia itupun teruruk, kita . . . ."
"Tapi mungkin juga karena ledakan ini jalan rahasia itu malah
terbuka," kata Ting Kiau dengan tertawa.
"Me mang mungkin," ujar Kun-gi, "Kita harus tetap hati2.
Pertama, jarak di antara kita bertiga harus tetap dipertahankan
untuk menjaga segala kemungkinan. Kedua, aku akan berjalan
didepan, Ting-heng di tengah dan Kongsun-heng di belakang, jika
diperjalanan terjadi sesuatu di luar dugaan, harus secepatnya
mundur, jadi aku a kan jaga bagian bela kang, untuk ini kalian harus
perhatikan betul2."
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiakan, katanya berbareng:
"Ling-heng tak usah kuatir, ka mi mengerti." . .
"Baiklah, hayo berangkat," ujar Kun-gi, be lum habis bicara ia
sudah melayang ke arah Ui-liong-tong.
Ui-liong-tong atau gua naga kuning terletak di bawah ngarai,
semula merupa kan gua besar yang lebar dan luas. Kini setelah
diledakkan gua itu sudah runtuh, ngarai di atasnya yang berpuluh
tombak tingginya sama menguruk di depan gua, maka batu2 besar
berserakan di mana2 sehingga mulut gua yang besar itupun hampir
tersumbat.
Ling Kun gi menyingsing lengan baju dan mengerahkan tenaga,
beberapa batu raksasa dia singkirkan, lalu dengan me miringkan
tubuh dia dapat menyelinap masuk ke dala m. Sudah tentu Ui-liong-
tong seluruhnya juga sudah ambruk dan tidak berbentuk semula,
lorongnya penuh batu dan debu, Untunglah dinding batu Ui-liong-
tong cukup kuat, meski banyak te mpat yang a mbruk, tapi bentuk
guanya masih tetap ada.
Kecuali bahan pe ledak kiranya di dala m tandu juga tersimpan
minyak bakar, begitu meledak seketika terjadi kebakaran hebat,
kobaran api me ngikuti a liran minyak menjurus ke arah be lakang.
Mata Kun-gi dapat melihat di tempat gelap, tapi Ting Kiau dan
Kongsun Siang yang ada di belakangnya sukar lagi menggerakkan
kaki karena gelap gulita tidak terlihat apa2, terpaksa Kun-gi
keluarkan Le liong-cu dan diangkat tinggi di atas kepala. Maka
me mancarlah cahaya kemilau dari mutiara mestika itu, sejauh dua
tombak dapat mereka pandang walaupun rada sa mar2.
Langkah Kun-gi a mat pelan dan hati2, dia periksa dinding batu
dari bekas ledakan dan kebakar-an. Sudah tentu di banyak tempat
ke mbali dia harus kerahkan tenaga untuk me mindah batu besar
supaya bisa maju lebih lanjut.
Ting Kiau terus berada di belakang Kun-gi, katanya dengan suara
lirih: "Cong-coh, biarlah ha mba bantu me mindahkan batu2 ini."
Kongsun Siang t idak mau ketinggalan. "Mari kubantu juga."
Dengan kerjasama tiga orang dapatlah wereka maju semakin
jauh, kini sudah ada di gua bela kang. Ternyata Ui-liong-tong
me mang a mat besar dan panjang lorongnya, bercabang lagi, te mpat
mereka berada terang berada di perut gunung, kalau gua di depan
rusak kena ledakan, tapi keadaan di sini hanya beberapa tempat
yang gugur sebagian, beberapa deret kamar yang mereka te mukan
masih terhitung utuh, tapi ada dua puluhan mayat yang
bergelimpangan tanpa luka apa2, rupanya mereka mati pengap
karena terjadi ledakan keras di depan gua tadi.
Tanpa terasa Kun-gi menghentikan langkah, katanya: "Agaknya
jalan sudah buntu sa mpai di sini."
"Tapi Ko-lotoa bilang di sini ada lorong rahasia," ujar Kongsun
Siang.
"Kalau betul ada lorong rahasia, orang2 ini tidak akan mati
pengap."
"Marilah kita cari," aja k Ting Kiau.
Sementara mereka berbicara Kun-gi sudah beranjak ke arah
sebuah ka mar batu di ujung kanan sana.
"Ling-heng," seru Kongsun Siang tertahan, "di atas dinding ada
tulisan."
Kun-gi anggkat mutiara di tangannya menyinari dinding, me mang
dinding di depan pintu ada sekeping papan persegi, di atas papan
ada sebaris huruf yang berbunyi "Ka mar se madi dilarang masuk".
"Mungkin di sinilah biasanya Ci Hwi-bing meyakinkan ilmunya,"
ujar Ting Kiau.
Tergerak hati Kun-gi, segera dia masuk ke situ. Ka mar batu ini
dipasang pintu kayu, bagian dala mnya ternyata amat luas, empat
dinding sekeliling ka mar ditabiri kain layar warna kuning, di ujung
atas mepet dinding sana terdapat sebuah dipan yang bercat kuning
pula, kasur, bantal guling dan sepreinya masih utuh. Kecuali dipan
itu, tiada benda lain lagi di dala m ka mar besar ini, terasa keadaan
kosong melompong. Mungkin karena getaran ledakan, debu pasir
tampak berhamburan dari atap ka mar.
Kongsun Siang me ma ndang seke liling ka mar, pedang panjang
ditangan seeara iseng menyingkap kain layar di depannya. Ting Kiau
juga tidak berpeluk tangan, "sret", kipas besinyapun bekerja, layar
kuning di sebelah dipan juga dia tarik sa mpai sobe k. Mendadak dia
menjerit kaget: "Nah, di sini!"
Tanpa bersuara Kun-gi mendekat, betul di dinding me mang ada
bekas garis sebuah pintu.
Ting Kiau sudah me ndahului maju serta mendorongnya.
Kun-gi mengira di sekitar pintu rahasia ini tentu dipasang alat
rahasia, ingin mencegah Ting Kiau sudah tidak keburu, untunglah
meski Ting Kiau sudah mendorong sekuat tenaga, pintu batu tetap
tidak berge ming:
Kongsun Siang segera maju, dengan teliti dia periksa sekitar
pintu lalu me ngetuk dan meraba sekian la manya, akhirnya berkabta:
"Inilah pintu rahasia, kukira t idak a kan salah."
"Mestinya ada tombol rahasianya untuk me mbuka pintu ini,
tombol tentu berada di ka mar ini, marilah kita cari dengan teliti,
mungkin bisa kete mu,"
"Ting heng me mang benar, pintu batu rahasia terang
dikendalikan oleh alat rahasia untuk buka tutup sehingga orang
leluasa keluar masuk, seharusnya orang tidak akan mudah
mene mukannya dan meninggalkan garis2 persegi yang berbentuk
pintu ini, tapi karena ledakan dahsyat tadi menimbulkan ge mpa
yang cukup keras dan menggoncangkan gunung ini sehingga pintu
inipun menjadi retak, ke mungkinan alat2 rahasianya juga ikut rusak
karenanya."
"Jadi ma ksudmu jalan rahasia ini sudah buntu dan tak mungkin
terbuka lagi?" Ting Kiau menegas.
"Mungkin de mikian," ujar Kongsun Siang.
"Kalau betul di sini ada pintu, marilah kita coba mendorongnya,"
ajak Kun-gi.
"Pintu rahasia ini dikendalikan alat2 rahasia pula, setelah
menga la mi goncangan keras tadi, ku-kira alat2nya sudah rusak,
tenaga siapa mampu menjebolnya?" Tapi bagaimana juga Kun-gi
adalah bekas atasannya, kepandaian orang juga sudah pernah
disaksikannya, maka ia berkata pula: "Kukira sukar untuk
me mbukanya."
"Biar kucoba," ucap Kun-gi. Lalu ia menyerahkan Leliong-cu
kepada Ting Kiau, katannya: "Ting-heng, kau pegang mutiara ini."
Ting Kiau terima mutiara itu, katanya kuatir: ”Cong-coh, berat
pintu ini sedikitnya ada ribuan kati, kalau dikendalikan alat rahasia
berarti sudah berakar dengan dinding gunung ini, bagaimana
mungkin bisa me mbukanya?"
Kun-gi tersenyum, katanya: "Me mang sulit me mbuka pintu yang
dikendalikan a lat rahasia, tapi ucapan Kongsun-heng t idak salah,
karena goncangan ledakan tadi sehingga pintu ini menunjukkan
bekas, kalau alat rahasianya sudah rusak, mungkin lebih mudah
mendorongnya terbuka."
Habis bicara segera ia melangkah setapak, telapak tangan
menahan pintu, pelan2 dia mengirup napas dan mengerahkan
tenaga mendorong se kuatnya ke depan.
Melihat dia betul2 hendak mendorongnya Kong-sun Siang
berseru dari sa mping: "Awas Ling-heng, jangan patah se mangat."
Kun-gi menoleh, katanya tertawa: "Tidak apa2, aku akan
mencobanya."
Ting Kiau mengacung tinggi2 mutiara di atas kepalanya, dari
samping dia mengawasi gerak-gerik Ling Kun-gi, kedua tangan
orang sudah mene mpel pintu dan berdiri tegak tak berge ming, tapi
jubah hijaunya yang longgar itu kini pelan2 mula i mele mbung
seperti terisi angjn, mirip balon yang penuh gas. Dala m hati dia m2
dia merasa kaget dan heran, batinnya: "Usia Cong-coh lebih muda
daripadaku, tapi kepandaian silat yang dibekalnya entah berapa
tingkat lebih tinggi."
Dika la Ting Kiau termenung itulah tiba2 Kun-gi menghardik
sekeras guntur menggelegar, sepenuh tenaga kedua tangan
mendorong ke depan. Maka terdengarlah suara keriat keriut makin
la ma sema kin keras seperti ada rantai besi putus dan benda
menjeplak, pelan tapi pasti pintu batu itu mulai terdorong mundur
dan terbuka.
Terbeliak mata Kongsun Siang, teriaknya kejut girang: "Tenaga
sakti Ling-heng sungguh tiada bandingannya di kolong langit."
Ting Kiau juga terkesima, katanya sambil menjulur lidah: "Ilmu
sakti apakah ini, Cong-coh? Begitu hebat ke kuatannya, pintu batu ini
betul2 terdorong terbuka."
Sementara itu pintu batu yang tebal dan berat itu sudah terbuka
seluruhnya oleh Ling Kun-gi, pelan2 dia menarik turun kedua
tangannya, hawa murni atau tenaga dalam yang me mbikin
jubahnya mele mbung juga mula i sirna dan ke mpes, air mukanya
ternyata tidak berubah dan napaspun tidak me mburu, katanya
ke mudian sa mbil menghe la napas panjang. "Hanya mendorong
pintu sa mpai terbuka, masa terhitung ilmu sakti segala?"
Ting Kiau serahkan ke mba li mut iara kepada Kun-gi, katanya:
"Cong-coh, hari ini hamba betul2 terbuka matanya, tapi Kungfu
apakah yang barusan kau gunakan, sukalah kau me mberitahu?"
"Kalau Ting-heng ingin tahu," ujar Kun-gi, "biarlah kuberitahu,
Kungfu yang kugunakan tadi adalah Kim-kong-s im-hoat."
"Kim-kong-sim-hoat? Belum pernah kudengar na ma ini," ajar
Ting Kiau.
"Bekal kepandaian Ling-heng mendapat didikan langsung dari
Put-thong Taysu, sudah tentu Kim-kong-s im-hoat merupa kan
Kungfu yang hebat dari Siau-lim-pay," kata Kongsun Siang.
Di balik pintu batu kiranya adalah sebuah lorong yang gelap
gulita, tidak lebar, tiba cukup untuk dua orang berjalan sejajar. Kun-
gi mendahului me langkah ke luar, ternyata banyak liku2 dan ber-
cabang pula lorong panjang gelap ini, bukan saja tidak terasa
adanya bau apek dan le mbab, ma lah hawa terasa dingin silir dan
segar. Dengan me megang mutiara Kun-gi maju terus ke depan,
kira2 20-30 tombak jauhnya, angin dingin yang meng-he mbus dari
arah depan terasa semakin dingin dan kencang, kiranya mereka
sudah tiba di ujung lorong, di depan mengadang undakan batu.
Ling Kun-gi me mpercepat langkah terus naik ke undakan, kira2
ratusan undak telah dila luinya, akhirnya mereka tiba di sebuah
pintu, di luar pintu lapat2 seperti ada cahaya matahari.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Mungkin sudah sa mpai di te mpat
tujuan?" segera dia simpan mutiaranya.
Lekas Kongsun Siang me mburu naik menda mpinginya, katanya
lirih: "Apakah Ling-heng me lihat sesuatu?"
"Tida k," kata Kun-gi, "di sini ada sebuah pintu, di luar ta mpak
cahaya matahari, mungkin sudah dite mpat tujuan, kita harus lebih
hati2, jangan sampa i mengejutkan pihak musuh."
Kongsun Siang me ngiakan. Kun-gi lantas beranjak maju,
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiringi dari belakang.
Ternyata di luar adalah sebuah le mbah kecil yang luasnya
puluhan tombak, bentuk le mbah ini mirip sumur, sekelilingnya
dipagari dinding gunung yang curam dan ratusan tombak tingginya.
Kalau mendongak me lihat langit seperti duduk dala m sumur melihat
angkasa, langit nan biru kelihatan hanya sejengkal saja. Ternyata
inilah le mbah sumur ciptaan a la m.
Dasar lembah ternyata datar dan tersapu bersih dan licin, di
bawah kaki te mbok di kanan-kiri masing2 terpasang bangku
panjang terbuat dari balok batu. Di bawah-kaki tembok seberang
sana terdapat dua mulut gua yang terbuka lebar. Gua tidak
berpintu, keadaannya gelap tak terlihat barang apa yang ada di
dalamnya, suasana sunyi senryap tak terdengar suara apapun, dari
lorong bawah tanah Ui-liong-tong sa mpai di sini, kini mere ka
diadang oleh dua mulut goa, kedua goa ini tentu menuju ke Ceng-
liong-tong dan Hwi-liong-tong.
Kun-gi merandek, tujuannya hendak menolong orang, entah di
mana Pui Ji-ping dan Tong Bunkhing sekarang disekap? dia m2 ia
cemas.
Kongsun Siang melangkah maju setapak, katanya lirih: "Ling-
heng, kedua gua ini ke mungkih-an menjurus ke Ceng-liong-tong
dan Hwi -liong- tong."
Kun-gi manggut, sesaat dia merenung, katanya kemudian: "Aku
sedang berpikir, gua mana yang harus kita pilih?"
"Tujuan Cong-coh adalah menolong orang," de mikian kata Ting
Kiau, "kalau dala m gua yang satu tidak ketemu boleh kita keluar
dan masuk ke gua yang lain, yang terang kita harus berusaha
sampai berhasil me nolong orang," sembari bicara ia menudang gua
sebelah kiri dan melangkah kesana. "Cong-coh, sekarang biar
hamba jadi pelopornya, di dala m lorong gua ini ke mungkinan
dipasang alat2 rahasia, untuk permainan ini sedikit banyak ha mba
pernah me mpelajarinya."
Terpaksa Kun-gi biarkan orang jalan di depan, dia keluarkan
mut iaranya serta disodorkan, katanya: "Ting-heng bawalah mutiara
ini, apapun kau harus hati2." '
Ting Kiau terima mutiara itu se mbari berkata: "Ha mba mengerti,
tanggung takkan terjadi apa2." "Sret", dia keluarkan kipas besi serta
me mbukanya untuk melindungi dada terus menyelinap masuk ke
gua sebelah kiri.
Kuatir orang mengala mi bencana lekas Kun-gi mengikut inya,
Kongsun Siang tida k mau ketinggalan, ia berada di be lakang Ling
Kun-gi.
Mereka terus maju ke depan, setelah membelok dua kali,
keadaan lorong gua ini se makin gelap. Tapi Ting Kiau mengacung
tinggi mutiaranya di atas kepala, cahaya mutiara kemilau bagai sinar
api di tempat gelap dan dapat terlihat tempat agak jauh. Segera
Kun-gi berpesan pula: "Ting-heng, kerahkan hawa murni dan selalu
siaga, jagalah kalau disergap musuh dari te mpat
persembunyiannya."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Cong-coh jangan kuatir, begitu
kulihat ada orang, segera akan kulumpuhkan dia lebih dulu.”
Lahirnya dia bersikap riang dan tak acuh, sebetulnya iapun
maklum bahwa mereka sudah berada di sarang musuh, setiap saat
mungkin sekali menghadapi mara bahaya, setiap langkah mereka
berarti semakin dekat pada tujuan, bukan mustahil akan kesamplok
dengan penjaga atau barisan ronda mu-suh. Sebagai pelopor yang
jalan di depan dengan penerangan mutiara, berarti musuh di tempat
gelap dan awak sendiri di tempat terang dan ga mpang menjadi
sasaran musuh. Ma ka sepanjang jalan setiap gerak langkahnya
amat hati2 dan diperhitungkan dengan seksa ma, kipasnya dipegang
kencang, mata dan kuping digunakan dengan tajam, dengan pelan
mereka terus maju ke depan.
Kira2 puluhan tombak lagi telah mereka capai, tapi tidak kunjung
tiba musuh me nyergap atau rintangan apapun. Mendadak Ting Kiau
menghentikan langkah, katanya lirih: "Cong-coh, hamba rasa
keadaan di sini kurang wajar."
"Bagaimana pendapat Ting-heng?" tanya Kun-gi.
"Lorong di bawah tanah ini, peduli mene mbus ke manapun, yang
jelas merupakan te mpat penting dan rahasia di pusat musuh,
seharusnya dijaga dan diadakan ronda, tapi kenyataan keadaan di
sini kosong dan tanpa penjaga, masa begitu cerobohnya piha k
musuh, kan tida k masuk aka l."
Kun-gi mengangguk, katanya: "Pendapat Ting-heng betul,
akupun merasakan."
Kongsun Siang me nimbrung: "Mungkin rombongan Pangcu dan
Hupangcu sudah bentrok berhadapan dengan musuh, mereka tida k
sempat me mikirkan kea manan lorong rahasia ini."
Kata Ting Kiau pula: "Ke mungkinan Ci Hwi-bing sudah lari
ke mari, tahu kita mengejarnya, maka sengaja dia me mancing kita
ke sini."
"Se mua mungkin, tapi kita sudah berada di sini, umpa ma ada
perangkap juga tidak perlu takut, hayo terjang saja!" demikian Kun-
gi mendorong se mangat mereka.
"Cong-coh benar," ujar Ting Kiau, "umpa ma sarang harimau dan
kubangan naga juga harus kita terjang." Lalu dia me langkah ke
depan.
Tak la ma ke mudian lorong berbelok ke kiri, dan tiba di ujung,
keadaan di depan ternyata lebar dan terbentang luas. Mendadak
keadaanpun menjadi terang genderang.
Ting Kiau a mat cerdik dan hati2, se mula dia menggre met maju
mepet dinding, begitu melihat di depan ada cahaya segera dia
menghentikan gerakan serta menggengga m kencang mutiara di
tangannya lantas mundur, katanya lirih: "Cong-coh, simpanlah
mut iara ini, di depan sudah ada cahaya la mpu."
Kun-gi terima mutiara itu terus disimpan.
Sementara Ting Kiau sudah bergerak pula ke depan, sekali
kelebat dia melompat ke depan mepet dinding dan me lihat keadaan
di luar. Kiranya di ujung lorong gelap ini adalah sebuah ruang batu
seluas puluhan tomba k, tapi keadaan ruang batu ini mirip sebuah
lapangan. Karena di depan sana terdapat sepasang pintu besi, dua
gelang besi besar yang mengkilap tergantung di tengah pintu. Pintu
besi tertutup rapat, empat la mpu gelas tampa k tergantung di kanan
kiri pintu, di bawah lampu berdiri e mpat busu muda yang bersenjata
pedang.
Lampu itu me mancarkan cahaya redup, tapi di dalam gua bawah
tanah yang gulita seperti ini terasa besar sekali manfaat cabaya
la mpu, puluhan tomba k sekeliling lapangan itu menjadi terang dan
jelas.
Dia m2 Ting Kiau mengerut kening, menurut perhitungannya, dari
tempat bersembunyinya ini kira2 ada 12 tombak jauhnya dengan
keempat jago pedang itu, kalau untuk menyergap dan
menyerangnya secara mendadak, kecuali menggunakan panah dan
alat jepretan yang kuat, senjata apapun sukar untuk mencapa i
musuh.
Dala m pada itu Kun-gi juga sudah menggeremet maju, katanya
lirih: "Bagaimana keadaan di luar?"
"Agaknya kita sudah sa mpai te mpat tujuan, ada empat orang
menjaga pintu besi itu, Cong-coh tunggu saja di sini, biar ha mba
yang bereskan mereka," habis bicara sebat sekali ia sudah meluncur
keluar gua dan hinggap di tengah lapangan. Batu saja bayangannya
berkelebat keluar, keempat jago pedang yang berdiri di depan pintu
besi sana segera mengetahui jejaknya, seorang lantas me mbentak.
"berhenti!"
Gerakan Ting Kiau cepat luar biasa, di tengah bentakan orang
bayangannya sudah menerjang tiba, kira2 tiga tombak jaraknya dari
pintu besi itu, dua jago pedang berbaju hijau dikanan-kiri segera
me mapak kedatangannya. orang di sebelah kiri me mbentak,
"Darimana kau?"
Ting Kiau menghentikan langkah, dia senga-ja pura2 bernapas
ngos2an seperti habis lari kencang, lalu katanya sambil menjura:
"Para Saudara, Cayhe hendak menya mpaikan laporan . . . ."
"Apa jabatanmu?" tanya orang di sebelah kanan.
Sambil pegang kipas le mpitnya Ting Kiau menjura kepada kedua
orang itu, katanya: "Cayhe Ting Kiau, Sincu dari Ui-liong-tong . . . .
" belum habis dia bicara mendada k dua bintik sinar menya mber
keluar tanpa bersuara dari ujung kipasnya mengincar tenggorokan
kedua orang.
Kedua jago pedang itu agaknya tidak kira kalau Ting Kiau bakal
me mbokong, apalagi jarakpun sangat dekat, waktu sadar elmaut
menganca m jiwa, hendak berkelit atau menangkis sudah tak sempat
lagi, kontan mere ka roboh terjengkang dan jiwa me layang.
Melihat kedua temannya mendadak roboh binasa, sudah tentu
kedua orang yang lain a mat ka-get dan me mbentak gusar:
"Keparat, berani kau main gila di sini." Sa mbil melolos pedang,
kedua orang lantas menubruk bersama.
Ting Kiau tertawa ngakak, sambil mundur setengah tapak, "stet",
kipasnya terbentang, katanya tersenyum: "Kebetulan ka lian maju
bersama."
Kipas le mpitnya terbikin dari batangan besi. di dala m setiap
batangan besi tersimpan jarum2 sele mbut bulu kerbau yang
beracun, begitu kipas terbentang dan sekali kebas, serumpun
jarum2 seketika menya mber keluar dengan bentuk me mbundar
mirip lingkaran kipas le mpitnya itu.
Baru saja kedua jago pedang itu menubruk maju, belum lagi kaki
mereka berdiri tegak, keduanya sudah dima kan jarum terbang yang
tak terhitung banyaknya itu, tanpa bersuara keduanya roboh binasa
menyusul temannya.
Dengan tertawa bangga dan puas Ting Kiau le m-pit pula
kipasnya, katanya sambil bergetak tawa: "Kiranya kaum keroco
yang tak becus."
Kun-gi dan Kongsun Siang segera me mburu keluar. Kun-gi
pandang keempat korban itu, tanyanya; "Apakah mereka sudah
mati?"
"Mereka sa ma kena bagian yang me matikan, racun bekerja
dengan cepat, jiwa mereka me layang seketika," de mikian sahut Ting
Kiau.
"Tadi kulupa me mberi tahu kepada Ting-heng, kita harus
mengorek keterangan dari salah satu di antara mereka."
"Wah, ya, kenapa akupun tidak ingat," demikian kata Ting Kiau
gegetun.
Kongsun Siang sedang mengawasi kedua daun pintu, katauya:
"Kalau bukan Ceng-liong-tong, tempat ini pasti Hwi-liong-tong, Ting-
heng terlalu cepat turun tangan sehingga mereka tidak se mpat
menya mpaikan peringatan bahaya kepada rekan2nya, pintu besar
ini tertutup rapat, kemungkinan orang2 disebelah dala m be lum tahu
kejadian di luar sini."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Itu gampang tugas mereka berjaga
di luar pintu, kalau terjadi sesuatu yang gawat sudah tentu di sini
ada peralatan untuk menyampaikan peringatan bahaya, marilah kita
periksa bersa ma secara teliti."
Lalu dia rnendahului me langkah ke sana, dengan seksama dia
periksa kedua dinding di kanan-kiri serta tatakan tempat kee mpat
la mpu kaca ditaruh, tapi tiada sesuatu yang mencurigakan.
Sedang Kongsun Siang langsung menuju gelang tembaga, gelang
di sebelah kiri dia pegang terus dia putar ke kanan-kiri. Ternyata
gelang tembaga ini dapat bergerak, keruan ia girang, serunya:
"Nah, di sini!"
Dia coba2 me mutar ke kiri tiga kali lalu me mba lik putar ke kanan
tiga kali, lapat2 ia mendengar suara gemuruh dari benda2 keras
yang saling gesek dari balik pintu.
Kongsun Siang juga cerdik, segera dia lepas tangan serta
mundur, katanya lirih. "Mundur Ting-heng, ke mungkinan ada
perangkap di balik pintu besi ini” Sebat sekali dia melompat mundur
sejauh dua tombak. Ting Kiau juga sudah mundur beberapa tomba k
jauhnya.
Sedang Kun-gi tetap berdiri di te mpatnya, dengan tersenyum dia
awasi pintu besi di depannya. Betul juga tatkala Kongsun Siang dan
Ting Kiau mundur, dinding di kanan-kiri kedua lapis pintu besi
segera berkeresekan menimbulkan getaran keras kedua daun pintu
besi itupun pelan2 terbuka.
Keadaan di dalam gelap gulita, dari ketajaman pandangan Kun-gi
samar2 melihat seperti sebuah pekarangan. Kini pintu besi sudah
terbuka lebar, tapi tiada senjata rahasia atau perangkap apapun
yang menye mprot keluar.
Kongsun Siang me ngha mpiri Kun-gi dan berdiri di sebelahnya,
ditunggu pula sesaat dan keadaan tetap tenang2, tanpa terasa
mulutnya bersuara heran, katanya: "Ini tidak beres."
"Terasa di mana yang tidak beres,. Kongsun-heng?" tanya Ting
Kiau.
"Kedua daun pintu besi ini ada dua gelang te mbaga, seharusnya
kedua gelang itu di putar dan digerakkan baru pintu besi bisa
terbuka, tapi tadi aku hanya me mutar gelang sebelah kiri,
seharusnya malah menggerakkan alat2 perangkap dan senjata yang
menye mprot ke luar."
Ting Kiau tertawa, katanya: `Mungkin secara serampangan kita
ma lah mengena i sasaran, gelang kiri itu me mang alat untuk
me mbuka pintu besi, kalau kau me mutar gelang kanan,
ke mungkinan kita ba kal terperangkap ma lah."
Melihat sekian la ma tetap tiada reaksi apa2 dari dalam baru
Kongsun Siang mau percaya, katanya mengangguk: "Pendapat
Ting-heng me mang betul."
Kun-gi tertawa, katanya: "Aku hanya tahu guru Ting-heng
bergelar Sinsincu (si kipas sakti) dan ahli mengenai ilmu bangunan
dan pertarungan, tak nyana Kongsun heng ternyata juga ahli dala m
bidang peralatan perangkap dan jebakan segala."
Konsun Siang berkata: "Ling-heng terlalu me muji, guruku punya
seorang teman ahli dala m bidang ilmu mekanik, dulu waktu jayanya
juga amat tersohor dikalangan Kongouw, belakangan untuk meng-
hindarkan pertikaian yang lebih dala m dengan para musuhnya,
terpaksa dia buron jauh ke padang pasir di luar perbatasan, suatu
ketika bersua dengan gu-ruku dan sering ber-bincang2, waktu itu
aku selalu mengiringi guru, ma ka tidak sedikit manfaat yang
kuperoleh dari pe mbicaraan mereka."
Ting Kiu juga berkata dengan tertawa: "Mung-kin Cong-coh
belum tahu, walau dulu guruku ma lang me lintang di Kangouw
dengan kipas lempit bertulang besi, tapi beliau me mang benar2
berilmu silat tinggi, hakikatnya di dala m kipasnya tidak
menye mbunyikan sesuatu. Konon suatu hari beliau pernah dirugikan
oleh sepasang senjata Cu-bo-cuan lawan, maka sejak itu beliau
me meras otak menciptakan berbagai peralatan rahasia, terutama
dalam bidang perma inan senjata rahasia, memperoleh ke majuan
pesat, pada rangka besi kipas le mpitnya sekaligus be liau dapat
menyimpan 36 batang senjata rahasia lembut sehingga orang biasa
tak mungkin tahu, ma ka beliau me mperoleh julukan "Si-Kipas Sa kti",
sayang hamba berotak tumpul, ajaran paling cetek dari be liaupun
tak berhasil kupelajari.
Kun-gi tertawa, katanya: "Umpa ma betul de mikian, yang jelas
kalian lebih tahu dalam bidang ini daripadaku", sembari bicara ia
tetap menatap ke dalam, karena dia dapat melihat di tempat gelap,
lapat2 masih dapat dilihatnya keadaan di da la m sana.
Di belakang pintu adalah sebuah pekarangan kecil, maju lebih
lanjut adalah undakan batu tiga tingkat, di atas undakan adalah
sebuah pendopo yang agak luas, karena jaraknya agak jauh, di
dalam juga lebih gelap lagi, lapat2 hanya kelihatan meja kursi dan
beberapa perabotanya saja.
Sekian la manya keadaan tetap sunyi dan tiada reaksi apa2 dari
dalam.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Tanpa menerobos ke sarang
harimau bagaimana dapat menangkap anak harimau, kita harus
masuk ke sana, cuma harus hati2," lalu dia mendahului melangkah
ke dala m.
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiringinya me masuki pintu
besi. Karena keadaan di dalam me mang teramat gelap, terpaksa
Kun-gi keluarkan pula mutiaranya langsung menuju ke ruang
pendopo.
matanya menyapu pandang sekelilingnya. Walau kini mere ka
berada di dala m perut gunung, tapi peka-rangan diluar itu tak
ubahnya seperti pekarangan umumnya di rumah orang2 berada,
baru saja dia hendak melangkah lebih lanjut, tiba2 didengarnya
suara"blang" di belakang, kedua daun pintu besi itu mendada k
menutup sendiri, keadaan seketika me njadi lebih gelap pula.
Sambil menoleh Kongsun Siang mendengus, jengeknya:
"Agaknya kita me mang sudah masuk perangkap." Belum habis
bicara, dari atas pekarangan itu tiba2 menungkrup jatuh sebuah jala
raksasa, mereka bertiga seketika terjaring di dala mnya.
Reaksi Kongsun Siang dan Ting Kiau cukup sebat, dikala jaring
raksasa, melayang turun mereka sudah sa ma2 mengeluarkan
senjata dan me mbacok. Tak nyana jala ini terbuat dari kawat2 baja
murni yang kuat dan ulet, celakanya lagi pada setiap lubang atau
mata jalanya dipasanyi duri2 taja m yang me mbengkok terbalik. Bila
meronta di dala m jala, duri bengkok itu malah akan menusuk kulit
daging sehingga akan terbelenggu se makin kencang dan kesakitan.
Hanya Kun-gi yang tetap berdiri dia m saja tanpa bergerak, walau
sekujur badan terjaring di dalam jala raksasa, namun badannya
paling sedikit tertusuk oleh gantolan tajam itu, akibat Kong-sun
Siang ;dan Ting Kiau meronta2 sehingga badannya ikut terluka di
bagian pundak dan punggung.
Gugup dan gusar Ting Kiau, tapi apapun juga dia adalah murid
Ginsancu, begitu me lihat gelagat se makin tidak menguntungkan
segera dia berhenti meronta, serunya: "Congcob, bagaimana
baiknya?"
Kongsun Siang berteriak gusar: "Hek-liong-hwe bangsa tikus
celurut! Kalau berani hayo unjuk tampangmu mengadu jiwa secara
jantan, main ser-gap cara licik dengan perangkap terhitung ksatria
maca m apa?"
Kun-gi tetap dia m saja, katanya tertawa tawar: "Kongsun-heng,
Ting-heng kenapa ka lian terburu nafsu? Walau kita terjaring, di sini
tiada orang lain, sampai pecah tenggorbokan kalian juga percuma,
sekarang lebih penting tabahkan hati menghadapi kenyataan
dengan kepala dingin." '
"Hahaha! . . . . Memang je mpol kau bocah bagus!" tiba2 gelak
tawa keras berkumandang dari pendopo disusul keadaan menjadi
terang benderang, delapan lampu kaca muncul bersama di ruang
pendo-po. Di undakan batu sana juga muncul tiga orang. Orang di
tengah adalah Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing, di kanan-kirinya diapit
dua laki2 berjubah sula man naga terbang di bagian dadanya, usia
kedua orang ini di atas empat puluhan. Di kanan-kiri unda kan
beruntun muncul pula delapan laki2 kekar berseragam hijau,
menghunus pedang yang berlumuran racun.
Ci Hwi- bing tertawa lantang, katanya: "Ling Kun-gi, kau dapat
me luruk sa mpa i di sini, sungguh harus dipuji, tapi kau tetap takkan
lolos dari cengkera man tanganku." Saking senang ke mbali dia ter-
bahak2.
Kepala, pundak dan beberapa bagian tubuh Kun-gi sudah tentu
terancam oleh duri2 gantolan, tapi dia tetap berdiri tak bergerak,
katanya dingin: "Ci Hwi-bing, kau kira orang she Ling bertiga sudah
kau kurung dengan jaringmu ini"?
Ci Hwi-bing tertawa, katanya: "Memangnya kau pikir masih bisa
lolos?"
Seketika terpancar sinar mata Ling Kun-gi, katanya tertawa
lantang: "Jaring besi begini, kau kira dapat berbuat apa terhadap
orang she Ling?" Sa mbil bicara, jubah hijaunya tiba2 mele mbung
seperti balon yang di tiup penuh berisi hawa. Karena jubahnya
me le mbung, maka duri2 gantolan itupun kena disanggah ke atas,
cepat sekali tangan kanannya menarik keluar sebilah pedang.
Maka terdengarlah suara mendering nyaring beruntun, di ma na
sinar ke milau itu me nggaris na-ik turun terus me lingkar seka li, jaring
kawat baja di depannya tahu2 sudah berantakan di bobolnya, sekali
lagi pedang bergerak me lingkari badan, benang jala yang terbuat
dari kawat baja le mas itupun sa ma berjatuhan.
Bukan kepalang kaget Ci Hwi-bing, serunya: "Pedang
ditangannya itu adalah senjata pusaka."
Laki2 baju hijau sebelah kiri menyeringai dan me mberi tanda.
Maka ke delapan laki2 ke kar itu serentak bersiul panjang, dari
delapan penjuru sere mpak nnereka menubruk ke arah Ling Kun-gi,
Pedang Kun-gi bergerak, tiga jurusan kena di bendungnya, di
mana cahaya hijau ke milau dan hawa dingin setaja m pisau,
kedelapan lawan sama merasakan ayunan pedang Kun gi seperti
me mba-cok ke arah mereka, sebelum cahaya pedang menya mber
tiba serentak mereka sa ma me lompat mundur.
Ringan sekali Kun-gi berputar satu lingkaran, gaya pedangnyapun
ikut melingkar, hanya beberapa kali gerakan ini, jala kawat yang
mengurung Kongsun Siang dan Ting Kiau sudah dibabatnya rontok
ber-hamburan.
Begitu keluar dari jaring berduri, dengan gemas Kongsun Siang
segera menyerbu musuh dengan gerungan murka, gayanya mirip
amukan serigala kelaparan dibantu kilat pedangnya yang ganas.
Ting Kiau juga tidak banyak omong lagi, dengan kipas terbentang
segera iapun merangsak musuh.
Betapapan tinggi dan lihay ilmu pedang kedelapan laki2 itu, tapi
Kongsun Siang dan Ting Kiau terlebih lihay lagi, hanya beberapa
gebrak saja mereka sudah di atas angin, delapan lawan kena di-
desak mundur.
Kun-gi simpan pedang dan melangkah mundur, dengan
menggendong tangan dia menonton saja di luar arena.
Long-sing- kia m yang dima inkan Kongsun Siang me mang aneh,
bayangannya tampak terjang sana a muk sini, gerak pedangnya
secepat kilat, setiap serangan selalu mengincar Hiat-to besar di
tubuh lawan sehingga lawan susah berjaga dan sukar
menangkisnya.
Sementara kipas Ting Kiau kadang2 tecbentang dan tahu2
mengatup, kalau dibuka bisa digunakan sebagai senjata tajam,
kalau dikatupkan bisa diguna kan untuk menutuk dan me nusuk, yang
diincar juga Hiat-to dan urat nadi lawan.
Kedua orang ini adalah jago2 silat kelas t inggi dari generasi muda
masa kini, bahwa gabungan permainan ilmu kipas mereka ternyata
begini hebat, pekarangan kecil di dala m perut gunung ini rasanya
seperti dipenuhi bayangan pedang dan kipas.
Dengan ke kuatan kedelapan orang bukan saja tidak ma mpu
menundukkan dua lawannya, malah terdesak di bawah angin, sudah
tentu kedelapan orang itupun ma lu dan gusar, akhirnya mereka lupa
akan kerja sama dalam barisan yang sudah teratur, kini masing2
menge mbangkan keahlian sendiri. Kejap lain delapan batang
pedang dengan bayangan gelapnya sama menya mbar ke arah
kedua orang.
Rangsakan bersama ini tida k dibatasi oleh langkah barisan,
serangannya jauh lebih bebas dan berkembang, maka terasa betapa
hebat dan bertambah berat tekanan mereka, seketika Kongsun
Siang dan Ting Kiau berbalik terdesak ke dalam himpitan serangan
lawan.
Ting Kiau menggertak gusar, kipas besi menggentak se kali, dia
luncurkan dua batang jarum berbisa, dua lawan yang terdepan
kontan a mbruk tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa terlihat luka2 pada kedua temannya dan tahu2 tersungkur
binasa, keruan enam te mannya mencelos. Sementara pedang
Kongsun Siang juga tidak kena l kasihan, tatkala lawan melenga k
itulah, pedangnya segera bekerja, suara jeritan kontan terdengar,
pedang Kongsun Siang berhasil me nyunduk perut seorang musuh,
darah muncrat dan isi perutpun kedodoran. seketika melayang
jiwanya.
Dala m sekejap tiga di antara delapan musuh roboh binasa, ma ka
lima orang yang masih hidup menjadi ciut nyalinya, meski kelihatan
mereka masih bertempur sengit, tapi semangat mereka sudah
mengendur, rangsakanpun tidak segencar tadi.
Kipas dan pedang Ting Kiau dan Kongsun Siang sebaliknya
berkembang se makin hebat, kem-bali lima lawannya kena diserang
hingga kelabakan.
Kedua orang baju hijau yang berdiri di undakan sekilas saling
pandang, maka terdengar orang di sebelah kiri me mbentak:
"Berhenti!"
Me mangnya kelima orang itu sudah terdesak di bawah angin
pula, jiwa mereka teranca m setiap detik, tanpa perintah tiada yang
berani mundur, kini mendengar aba2 berhenti, seperti berlomba
saja mereka sa ling mendahului melompat mundur.
Kongsun Siang menarik pedang, katanya tertawa dingin: "Apakah
tuan yang ingin turun gelanggang merasakan ke lihayan pedang
Kongsun-toayamu?"
Dengan kipasnya Ting Kiau menuding lela ki baju hijau di sebelah
kanan, katanya dengan tertawa: "Kaupun turunlah, coba rasakan
permainan kipas Ting-toaya yang silir2 nya man ini."
Lelaki baju hijau disebelah kiri menyeringai: "Haha, me mangnya
betapa kema mpuan Long-sing-kia m dan Thiancesan kalian, berani
bertingkah di hadapan ka mi?"
"Hayolah jangan banyak bacot, kalau tidak percaya turunlah
rasakan sendiri," jenge k Kong-sun Siang.
"Ji-te," kata laki2 baju hijau sebelah kiri kepada orang di sebelah
kanan, "kau turun dan bereskan mereka"
Laki2 baju hijau sebelah kanan mengia kan, sambil me langkah
turun ia melolos sebatang pedang lebar berwarna hita m, ia
menjenge k: "Kalian bertiga boleh maju bersa ma!"
Kongsun Siang menubruk maju lebih dulu, katanya tertawa:
"Tuan a mat takabur, kau turun gelanggang sendirian, sudah tentu
Kongsuntoaya akan melayanimu."
Dengan sikap angkuh laki2 baju hijau itu melirik, katanya:
"Hanya kau seorang bukan tandinganku."
Kongsun Siang naik pita m, serunya: "Memangnya kau ini
tandinganku atau bukan juga belum diketahui." "Sret", pedangnya
menusuk lebih dulu dari sa mping, maka terlihatlah cahaya kemilau
ta-jam berkelebat, menciptakan tiga kelompok cahaya pedang
menusuk tiga Hiat-to di tubuh lawan. Serangan Long-sing-kia m
dilancarkan dengan gerakan kilat, ma lah khusus menyerang musuh
dari arah sa mping, sehingga lawan sering tak ber-jaga2.
Agaknya laki2 baju hijau lawan Kongsun Siang ini me mang
me miliki bekal kepandaian yang mengejutkan, hanya tangan kiri
bergerak, dia keluarkan serangkum tenaga kuat yang tak kelihatan
mendesak serangan pedang lawan, jengeknya dingin: "Coba kaupun
sambut sejurus serangan pedangku! " Pedangnya yang lebar itu
terayun terus me mbacok dari arah depan.
Gerak bacokan ini hakikatnya tidak menyerupai jurus serangan,
tapi begitu pedangnya me mbacok ke luar, seketika terasa adanya
dorongan hawa dingin yang timbul dari taja m pedangnya.
Sebat sekali Kongsun Siang tarik balik pedangnya serta
menyelinap ke samping. Long-sing-poh atau langkah serigala yang
dia mainkan a mat gesit dan lincah, sekali berkelebat saja mestinya
dia da-pat menghindarkan serangan lawan, diluar tahunya si baju
hijau yang tadi berdiri di sebelah kanan ini hanya sedikit geser,
pedangnya yang lebar itu tetap dengan gaya semula me mbacok
lurus ke muka Kong-sun Siang, Gerakannya tidak begitu cepat,
justeru karena gerakan pedangnya tidak mengala mi peru-bahan,
maka bacokan pedang ini kini tinggal dua kaki saja dari badan
Kongsun Siang.
Keruan tidak kepa lang rasa kaget Kongsun Siang, dalam
gugupnya ia tak sempat banyak pikir, cepat dia angkat pedang
untuk menangkis dengan jurus Thianlong-som-to. "Trang", kedua
pedang saling bentur dengan keras, si baju hijau tetap berdiri tida k
bergiming di tempatnya, sebaliknya Kong-sun Siang merasakan
lengan kanannya kese mutan pegal dan menyurut mundur. Sejak
keluar kandang dan menge mbara di Kangouw, kecuali pernah
dikalahkan oleh Ling Kun-gi, baru sekali ini dia benar2 mengala mi
kekalahan dan berhadapan dengan musuh tangguh.
Watak Kongsun Siang me mang tinggi hati, hanya segebrak lantas
dipukul mundur, selebar mukanya seketika merah me mbara, begitu
mundur segera ia menubruk maju pula, beruntun dia menyerang
tiga jurus. Tiga jurus ini merupa kan tipu serangan Thianlong- kia m-
hoatnya yang paling lihay, sinar pedang menyambar bagai ular
sakti.
Si baju hijau hanya tertawa ejek saja, pedang lebar ikut bergerak
tiga jurus untuk me mbendung dan me matahkan serangan musuh,
sementara tangan kiri bergerak melancarkan tipu merebut pedang
lawan, pergelangan tangan kanan Kongsun Siang yang me megang
pedang segera dicengkera mnya.
Ilmu silat orang ini ternyata amat aneh dan luar biasa,
permainannya kelihatan kasar dan sederhana, tapi setiap gerak
serangan justru mengandung t ipu yang lihay dan me matikan,
terutama gerakan merebut pedang lawan, ke lihatan lucu dan aneh,
tampaknya kombinasi dari Kim-na-jiu dan Kong-jiu-jip-pe k-yim, ilmu
menangkap dan rebut senjata dengan bertangan kosong, Kongsun
Siang didesaknya sedemikian rupa sehingga tak mungkin me lawan
dengan gerakan la in.
Kalau Kongsun Siang tidak mundur, pedang di tangannya pasti
terampas oleh musuh. Bahwa tiga serangan pedang Kongsun Siang
semuanya kena dipatahkan oleh pedang lebar lawan, kini tangan
lawan yang lain juga mencengkera m ke arahnya, semua ini
me mbuatnya naik pita m, mendadak ka kinya menendang tangan
lawan yang menjulur tiba itu.
Untunglah pada saat yang gawat itu didengarnya desiran lirih
serta didengarnya seseorang berkata ditelinganya: "Le kas mundur
Kongsun-heng!"
Kongsun Siang tahu itulah suara Ling Kun-gi yang me mberi
petunjuk untuk me nyelamatkan diri, tapi kakinya sudah kadang
me layang, untuk ditarik turun sudah tidak mungkin, ma ka tangan si
baju hijau begitu tersentuh, kaki Kongsun Siang, kelima jarinya
segera mencengkera m, tetap mengincar pergelangan tangan
Kongsun Siang, malah gerakannya bertambah cepat karena
dorongan tendangan kakinya sendiri.
Kongsun Siang sendiri merasa kakinya kesakitan karena
dirasakan seperti menendang batang-an besi, sementara tangan kiri
lawan sudah me megang gagang pedangnya, Kejadian terlalu cepat
dan masing2 pihak tidak se mpat berpikir, tatkala itu ke lima jari si
baju hijau sudah tertekuk hendak me megang pedang lawan, tiba2
dirasakan sesuatu benda menyesap ke telapak tangannya, secara
otomatis ia menggega mnya dan seketika dia merasakan kesakitan
pada telapak tangannya, lekas dia menunduk dan me mbuka telapak
tangan, ternyata yang dia pegang bukan gagang pedang, tapi
adalah sebuah duri gantolan yang semula berada di jaring raksasa
tadi. Betapa runcing dan tajam duri gantolan yang terbuat dari besi
ini, karena digengga m, ujungnya yang runcing sudah menusuk kulit
dagingnya, darah segar mengalir deras dan menetes dari sela2
jarinya.
Sementara itu Kongsun Siang sudah me lejit mundur. .
Kale m seperti tidak terjadi apa2 dan seperti tidak merasa
kesakitan, pelan2 si baju hijau angkat kepala me ngawasi Ling Kun-
gi: "Perbuatanmu bukan?'
Kun-gi tertawa, katanya: "Kusaksikan pedang temanku bakal
terampas orang, maka sekadar kubantu dia, kukira toh tiada
salahnya? Apalagi Cayhe tidak bermaksud melukai orang, asal tuan
tidak mencengkera m dengan kencang, telapak tanganmupun takkan
terluka."
"Bagus", desis si baju hijau, "babak ini belum berakhir, kini
kaulah yang maju saja."
Dala m pada itu, Ci Hwi-bing dan si baju hijau di sebelah kiri
tampak sedang bicara bisik2. La lu terdengar si baju hijau sebelah
kiri berseru: "Lo-ji, kau mundur, biar aku yang menghadapi Cong-
hou-hoat-su-cia dari Pe k-hoa-pang ini."
Kun-gi tertawa lantang, katanya: " Tuan mau me mberi petunjuk,
sudah tentu akan kuiringi, tapi satu hal perlu kau ketahui, kini Cayhe
bukan lagi Cong-su-cia Pek-hoa-pang segala "
Si baju hijau di sebelah kiri ta mpak me lengak heran, tanyanya:
"Mengapa kau bukan Cong-su-cia Pek-hoa-pang lagi?"
"Soal ini tiada sangkut pautnya dengan urusan sekarang, tak
perlu Cayhe menje laskan."
"Kenapa Tunheng percaya akan obrolannya?" demikian sela Ci
Hwi-bing, "kalau dia bukan lagi Cong-su-cia Pek-hoa-pang, buat apa
dia meluruk ke mari?'
Dengan sikap sungguh2 Kun-gi berkata: "Sekali orang she Ling
bilang bukan, ya tetap bukan, me mangnya persoalan ini harus
diperdebatkan?"
Jelilatan sinar mata Ci Hwi-bing, tanyanya: "Tentunya ada
alasannya?"
"Tiada a lasan apa2, yang terang Cayhe sudah bosan bekerja."
Berputar bola mata Ci Hwi-bing, katanya: "Kalau benar kau sudah
keluar dari Pek-hoa-pang, berarti tiada bermusuhan dengan He k-
liong-hwe ka mi, asal tuan suka turunkan senjata, Hwecu ka-mi
ma lah ingin mengundangmu, untuk ini aku bisa menjadi perantara."
"Me mang, Cayhe ingin mene mui Hwecu kalian, entah cara
bagaimana Ci-tongcu henda k me mperte mukan Cayhe dengan dia?"
Semakin lebar senyum Ci Hwi-bing, ucapnya. "Sebelum je las
maksud kedatanganmu, terpaksa menyusahkanmu dulu, letakkan
senjata dan kututuk beberapa Hiat-tomu, habis itu baru kubawa kau
menghadap Hwecu."
"Cong-coh," seru Ting Kiau, "jangan kau tertipu olehnya,
bukankah cara itu berarti me njadi tawanan musuh?"
"Jangan salah paham Ling-lote," kata Ci Hwi-bing, "itulah salah
satu prosedur bagi orang luar untuk menghadap Hwecu. Terus
terang setiap orang yang mau menghadap Hwecu, kedua tangannya
harus dibelenggu rantai emas untuk menjaga segala kemungkinan,
tapi Ling-lote adalah orang satu2nya yang ingin ditemui Hwecu,
maka aku berani a mbil putusan sendiri, hanya beberapa Hiat-tomu
yang ditutuk dan kedua matamu ditutup, dihadapan hwecu nanti
mungkin aku akan disalahin ma lah."
Kun-gi tersenyum sinis, katanya: "Terima kasih akan kebaikan Ci-
tongcu, maksud kedatanganku ini me mang ingin mene mui Hwecu
kalian, tapi bukan begitu caraku mene muinya."
Si baju hijau di sebelah kiri mendengus, katanya: "Orang ini
begini congkak, tak usah Ci-tongcu banyak omong padanya lagi,
biar kube kuk dia dan gusur ke hadapan Hwecu."
Ci Hwi-bing mengerut kening, dengan lirih dia me mbisiki si baju
hijau di sebelah kirinya.
Tampak si baju hijau sebelah kiri mendonga k, sambil nga kak,
katanya: "Ci-tongcu tak usah kuatir, setelah dia masuk ke Hwi-liong-
tong, me mangnya dia bisa terbang ke langit?"
Kun-gi me mbatin: "Kiranya tempat ini me mang benar Hwi-liong-
tong."
Sementara itu si baju hijau sebelah kiri telah turunkan sebatang
pedang yang berbadan lebar dari pundaknya, dengan tajam ia tatap
Kun-gi, katanya dengan membusungkan dada: "Kabarnya kau murid
Hoanjiu-ji-lay, orang she Tun ingin belajar beberapa jurus pada mu."
Melihat usia orang belum terlalu tua, tapi sorot matanya ternyata
mencorong terang, jelas me miliki Lwekang tinggi. Maka dengan
sabar Kun-gi berkata: "Minta be lajar tidak berani, kalau tuan
me mang me nantang berkelahi, pasti Cayhe mengiringi keinginanmu
tapi sebelum turun tangan, lebih dulu ingin Cayhe mohon tanya
siapa panggilan ka lian berdua?"
"Ya, kenapa aku lupa me mperkena lkan kalian," sela Ci Hwi-bing,
"inilah Hwi-liong-tong Hutongcu kita Tun Thiankhi, dan inilah
komandan ronda Hwi-liong-tong Tun Thianlay."
Ling Kun-gi mengangguk, katanya: "Beruntung dapat berkenalan
di sini, ka lian ada lah murid Thiansanpay bukan?"
Tun Thiankhi dan Tun Thianlay sama menggunakan pedang
panjang yang berbadan lebar, ter-utama setelah melihat gaya
permainan pedang Tun Thianlay tadi mirip sekali dengan jurus2 ilmu
Thiansanpay, di kalangan Bu-lim hanya ilmu pedang Thiansanpay
pula yang kelihatannya sederhana tapi setiap gerakannya
mengandung intisari ilmu pedang dari berbagai aliran yang paling
tinggi. Apalagi ke dua orang ini sama she Tun, mungkin sekali
adalah angkatan muda atau keponakan Thiansan tayhiap Tay-mo-
sintiau Tun Kui-ih.
Terlihat Tun Thiankhi menarik muka dan menjawab: "Dari aliran
mana ka mi orang she Tun, tiada sangkut-pautnya dengan adu
pedang ini, lekas keluarkan senjatamu."
Kun-gi tertawa, katanya: "Ih-thiankia m milikku ini taja m luar
biasa, me mbacok e mas seperti mengiris tanah, me motong besi
seperti merajang sayur, kau harus hati2."
Sembari bicara, pelahan2 terloloslah sebatang pedang panjang
yang me mancarkan sinar dingin ke milau.
Sekilas Tun Thiankhi pandang pedangnya, jengeknya: "Pedang
itu me mang a mat bagus, entah bagaimana pula ke mahiranmu
menggunakannya?" mendadak ia melangkah setapak, pedang lebar
ditangannyapun terus me mbacok.
Pedang lebar ini besarnya kira2 sa ma dengan telapak tangan
anak kecil, bacokan lurus dari depan menanda kan gerakan yang
sederhana, tidak cepat, tak kelihatan di mana letak keanehannya,
tapi bacokan ini justeru me mbawa deru angin yang kencang
berpusar.
Tidak sedikit ahli2 pedang yang pernah dihadapi Ling Kun-gi, tapi
belum pernah dia berhadapan dengan serangan pedang yang begini
hebat, diam2 ia terkejut, batinnya: "Agaknya dia sudah memperoleh
ajaran murni dari Thiansankia m-hoat." Secepat pikirannya bekerja,
tangan terangkat pedangpun bergerak, dia lancarkan jurus Liong-
jiau-hoat-hun (cakar naga menyingkap mega), ujung pedang sedikit
mendonga k terus menya mpuk ke depan.
"Trang", kedua pedang saling bentur, mendadak terasa oleh Kun-
gi dari badan pedang lawan merembes keluar segulung tenaga kuat
sehingga pergelangan tangannya tergetar kesemutan. Kalau orang
lain, hanya sekali benturan ini tentu pedang akan tergetar lepas dari
cekalannya, kini pedang Tun Thianlay ma lahan tersampuk minggir
oleh pedang Kun-gi.
Berubah air muka Tun Thianlay, tanpa bersuara kembali
pedangnya menabas miring. Menabas adalah gerakan miring yang
tidak mengandung gerakan variasi, tapi Kun gi sudah dapat
merasakan tabasan lawan ini me mbawa tenaga yang hebat.
Tanpa pikir Kun-gi me lompat ke atas setinggi dua tombak.
Begitu tabasan pedangnya luput, sekaligus Tun Thianki berputar,
dengan landasan kekuatan menabas tadi, pedang lebarnya terayun
balik ke atas.
Di luar tahunya bahwa Ling Kun-gi tengah me lancarkan jurus
Sinliong-jut-hun, badannya harus melambung tinggi ke atas, ketika
pedang lebar itu me mbalik ke atas, sementara Kun-gi yang
me luncur tinggi ke atas itu mulai menukik balik, dengan kepala di
bawah dan kaki di atas, yang satu menyerang turun, yang lain
menerjang na ik ke atas, betapa cepatnya serang menyerang ini,
maka terdengarlah dering nyaring benturan kedua pedang, bagai
bunyi petasan renteng, suaranya semakin keras me mekak telinga.
Cepat Tun Thiankhi mundur beberapa langkah, dilihatnya pedang
lebar miliknya yang terbuat dari baja murni yang biasanya khusus
untuk me matahkan senjarta lawan, mata pedangnya kini ternyata
gumpil beberapa tempat. Mendadak ia berseru: "'Mundur!" Segera
ia putar tubuh terus lari masuk pendopo.
Ci Hwi-bing, Tun Thianlay begitu mendengar seruannya juga
lantas mengundurkan diri. Agaknya kelima laki baju hijau itupun
sudah terlatih baik, gerak gerik merekapun ce katan, cepat
merekapun menghilang masuk ke dala m pendopo. De lapan la mpu
kaca dipendopopun seketika pada m.
Kun-gi bertiga seketika merasakan keadaan sekelilingnya gelap
gulita, orang2 yang mundur ke pendopo dala m se kejap mata saja
telah lenyap entah ke mana.
Ting Kiau ingin menguda k, tapi karena Kun-gi tetap dia m saja di
tempatnya, maka tak ena k dia bertindak sendiri.
Kongsun Siang juga telah me mburu maju, katanya lirih: "Musuh
mundur sebelum ka lah, mungkin untuk mengatur muslihat."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ucapan Kongsun-heng masuk a kal,
mari coba2 kita periksa." Dengan me ngacung tinggi mutiara di atas
kepala dia menaiki undakan itu.
Saat itu mereka berada dala m gua di perut gunung, tapi orang2
Hwi-liong-tong telah me mbangun tempat ini sede mikian rupa
sehingga hampir saja mirip pekarangan dan ruang pendopo
umumnya. Tadi mereka bertempur di pekarangan, maka kini mere ka
me masuki ruang pendopo.
Setelah mela mpaui tiga tingkat undakan batu, mereka menyusuri
serambi panjang yang lebar, tepat di depan mengadang enam pintu
batu yang diukir dengan hiasan warna warni, tapi semua pintu
terpentang lebar. Kun-gi mendahului masuk ke pendopo, hanya
beberapa langkah segera berhenti, dengan pancaran sinar mutiara
dia me meriksa keadaan pendopo itu.
Kiranya ruang pendopo atau kamar batu ini luasnya kira2 ada
sembilan tomba k, kecuali sebuah meja batu panjang tepat di tengah
ruangan ada dua baris kursi batu putih disisi kanan-kirinya, tiada
lain benda lagi dala m pendopo ini, keadaan kosong dan gelap.
Pancaran sinar mut iara di tangan Kun-gi hanya mencapai tiga
tombak jauhnya, tapi dengan bantuan pancaran sinar yang redup ini
Kun-gi dapat me lihat keadaan sekelilingnya yang lebih jauh lagi,
kiranya pendopo ini dike lilingi dinding2 batu yang tinggi dan licin,
tiada kelihatan bekas2 pintu rahasia di seke lilingnya.
Jelas Ci Hwi-bing dari anak buahnya tadi masuk ke te mpat ini,
tapi jejak mereka menghilang di sini, ma ka Kun-gi menduga pasti
ada pintu rahasia di da la m ruang pendopo ini.
Kongsun Siang ikut masuk dan berhenti di belakang Kun-gi,
katanya keheranan: "Tiada pintu da la m pendopo ini, pasti dipasang
alat2 rahasia. Ting-heng, mari kita periksa bersa ma, supaya tidak
terjebak oleh muslihat mere ka."
Ting Kiau merogoh ketikan api dan menyalakan obor kecil yang
selalu dibawa oleh setiap insan persilatan, katanya: "Ya, mari kita
periksa bersa ma."
Kongsun Siang juga mengeluarkan obor kecilnya. Dengan
menyalanya kedua obor kecil ini, maka keadaan pendopo berta mbah
terang.
Tampak dinding, lantai dan me ja kursi se muanya terbuat dari
batu hijau yang digosok licin meng-kilap laksana kaca, dengan
seksama kedua orang berpencar me meriksa tiga arah dinding batu
yang kemilau oleh sinar obor mereka, setiap sudut, setiap jengkal
lantai yang berlapis batu hijau itu dan tetap tak berhasil mereka
temukan apa2.
Obor di taugan Ting Kiau akhirnya menjadi gura m karena ma kin
pendek, dengan kecewa dia buang obornya sambil berkata gegetun:
"Setelah menghadapi kenyataan baru terasa kekurangan, sampa i
hari ini baru a ku betul2 menyadari kenapa dulu tida k belajar lebih
rajin dan tekun kepada guru, kini menyesalpun telah kasip."
Menyusul obor Kongsun Siang juga pada m, katanya pula:
"Agaknya alat2 rahasia di sini diciptakan oleh seorang yang betul2
ahli, dengan pengetahuan kita yang cetek ini tak mungkin bisa
menyela mi letak kuncinya."
Kedua obor sudah padam, tinggal cahaya mutiara di tangan Kun-
gi saja, maka keadaan pendopo ke mba li me njadi re mang2. Kata
Kun-gi: "Kalau tak kete mu, tak perlu kita susah payah mencarinya."
"Tapi jalan mundur sudah buntu, me mangnya kita harus diam
saja terkurung di sini," kata Ting Kiau.
"Mereka mundur sebelum kalah, jelas musuh punya rencana keji,
mumpung ada waktu, sebaiknya kita istirahat mengumpulkan
tenaga dulu," ujar Kun gi, pelan2 dia mengha mpiri kursi batu dan
duduk di sana.
"Sikap tenang Ling-heng ini sungguh mengagumkan, betapapun
aku bukan tandinganmu," puji Kongsun Siang.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Sejak kecil guruku sudah
mendidikku, setiap kali menghadapi kesukaran, kepala harus dingin
dan pikiran tetap jernih, supaya kita sendiri tidak kelaba kan
kehabisan tenaga '' Sa mpai di sini tiba2 dia pakai ilmu gelombang
suara: "Setiap saat kemungkinan musuh akan menyerang kita,
harus selalu waspada, Kongsun-heng, Ting-heng, kalian boleh ambil
posisi sendiri2, tanpa isyaratku jangan se mbarangan bertindak."
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengia kan.
Kun-gi keluarkan kantong sula m pe mberian Un Hoankun, dia
keluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang dua butir Jing-
sin wan dan dibagikan kepada kedua orang, lalu mena mbahkan
dengan ilmu suara: "Inilah Jing-sinwan bikinan Ling-la m, khusus
untuk menawarkan segala maca m obat bius dan dupa wangi yang
me mabukkan, kulumlah da la m mulut kalian." '
Setelah terima pil itu dan dikulum dala m mu-lut, Kongsun Siang
dan Ting Kiau lantas mundur berpencar mene mpati posisi di
kirikanan, mereka berjongkok di belakang kursi.
Kejap lain Kun-gi masukkan mutiara ke dala m sakunya sehingga
ruang pendopo itu menjadi gelap gulita, kelima jari sendiripun tida k
kelihatan, begitulah mereka berdia m diri kira2 setanakan nasi,
keadaan tetap sunyi, tiada sesuatu reaksi apa2 dari pihak musuh.
Akhirnya Ting Kiau buka.suara: "Cong-coh, agaknya musuh
sengaja hendak kurung kita di sini, sela ma tiga hari saja cukup
me mbikin kita kelaparan dan kehabisan tenaga, betapa kita kuat
me lawan mereka?"
"Tida k mungkin," kata Kun-gi, "te mpat ini sudah merupakan
daerah penting Hwi-liong-tong, bahwa selama ini mereka tidak
bergerak mungkin karena tengah menghadapi pertempuran terbuka
di depan sana dan tenaga tidak mencukupi untuk mengurus kita,
dan terpaksa kita dikurung di sini untuk sementara, tapi peduli
mereka kalah atau menang, kukira waktunya tidak akan terlalu lama
lagi."
"Menurut pendapatku," demikian Kongsun Siang ikut bersuara,
"bahwa sela ma ini mereka be lum bertindak, pasti ada sangkut
pautnya dengan Ling-heng."
"Berdasarkan apa pendapat Kongsun-heng ini?" tanya Kun-gi. .
"Apa yang pernah diucapkan Nao Sam-jun di Gu-cu-ki tempo hari
tentunya Ling-heng masih ingat, dia pernah bilang asal Ling-heng
sudi menyerah atau mau bekerja demi kepentingan Hek-liong-hwe,
kalau Pek-hoa-pang bisa me mberi kedudukan Cong-su-cia, maka
Hek-liong-hwe juga sanggup me mberi jabatan Cong-houhoat
kepadamu."
"Soal ini sudah tentu masih kuingat," ucap Kun-gi.
"Baru saja kita tiba di Ui-lionggia m, musuh lantas meluruk dari
tiga arah mengepung kita, dalam keadaan yang buruk itu Ci Hwi-
bing masih me mbujuk Ling-heng supaya bekerja untuk Hek-liong-
hwe, akhirnya terjadilah pertempuran sengit, Cap ji-sing- siok Hek-
liong-hwe berhasil kita tum-pas habis, Lansat-sin Dian Yu-hok, Ping-
sin Tok-ko Siu juga melayang jiwanya, malah Ui-liong-tongpun telah
kita ledakkan, hanya Ci Hwi-bing seorang saja yang lolos dari
renggutan elmaut, peristiwa besar ini sebetulnya merupa kan
pukulan berat baginya, terhadap Ling-heng mestinya dia a mat benci
dan denda m . . . . "
"Ya, betul, adalah layak kalau dia me mbenciku," ujar Kun-gi.
"Tapi tadi wa ktu Ling-heng me mbobol jaring kawat baja dan Ci
Hwi-bing muncul, sikapnya tak na mpak bermusuhan terhadap Ling-
heng, malah dia tetap me mbujuk Ling-heng bekerja sa ma dan ma u
me mbawa mu mene mui Hek-liong-hwecu. Dari sini dapatlah
disimpulkan bahwa He k-liong-hwe Hwecu me mandangmu terlalu
penting, kukira pasti ada pesannya kepada ana k buahnya."
Kun-gi tertawa, katanya: "Dala m hal apa diriku ini sa mpai
dipandang begitu penting oleh mereka?" Dala m hati dia me mbatin:
"Pasti lantaran aku bisa menawarkan getah beracun itu."
"Menurut rekaanku;" dernikian ucap Kongsun Siang lebih lanjut,
"Hek-liong-hwe mungkin merasa segan dan tak berani berbuat salah
terbadap guru Ling-heng, atau mungkin ada sebab la innya. Tapi
Hek-liong-hwecu ingin secepatnya merangkul dan menarik hati Ling-
heng, hal ini kukira tidak perlu disangsikan lagi." Ia merande k
sebentar, lalu melanjutkan lagi: "setelah Ling heng masuk ke mari,
jaring baja mereka tak berguna, Tun Thian khi sendiri juga sadar
dirinya bukan tandinganmu, ma ka lekas dia mengundurkan diri, kini
kita dikurung di te mpat ini . . . . "
"Analisa Kongsun-heng cukup je las," timbrung Ting Kiau, "tapi
apa pula tujuan mere ka mengurung kita di sini?"
"Ruang pendopo ini pasti ada dipasang perangkap yang a mat
lihay, walau mereka telah mengurung Ling-heng, agaknya Ci Hwi-
bing dan Tun Thiankhi tak berani bertindak sendiri, maka mere ka
merasa perlu untuk menghadap Hwecu mereka dan minta
petunjuknya, jika perintah Hwecu mereka belum sa mpai di sini,
pasti mereka takkan berani se mbarang bertindak."
Ting Kiau menepuk paha, serunya tertawa: "Betul, marilah kita
tunggu perintah Hek-liong-hwecu, mau perang atau akan da mai,
sebentar akan kita ketahui."
Di kala mereka bicara itulah, mendadak Kun-gi merasakan
adanya serangkum bau aneh yang merangsang hidungnya, kepala
seketika terasa pening dan berat, tergerak hatinya: "Tepat
dugaanku, mereka mau menggunakan dupa bius untuk merobohkan
kami bertiga."
Kejadian me mang aneh, baru saja hidungnya mengendus bau
wangi yang me mabukkan dan bikin kepalanya pening, kantong
sula m yang tergantung di depan dadanya seketika juga menguarkan
bau wangi yang semerbak sehingga kapalanya yang pening seketika
sirna, pikiran jernih dan badan segar.
Dia m2 Kun-gi merasa kagum dan me mbatin: "Ke luarga Un dari
Ling-la m me mang tidak malu sebagai ca kal bakal ahli obat bius yang
telah turun temurun sejak kake k moyang mereka, botol porselen
yang hanya tertutup gabus berlubang biasanya tidak pernah
menguarkan bau apa2, tapi begitu dupa bius merangsang, obat
penawar yang terisi dala m botol seketika pula unjuk khasiatnya."
Karena mut iara sudah tersimpan da la m kantongnya, maka ruang
pendopo itu gelap gulita, keadaan sekelilingnya menjadi t idak jelas,
tapi Kun-gi yakin bahwa dupa bius itu sudah me menuhi seluruh
ruang pendopo, karena terasa juga olehnya bau harum segar dari
kantong sula mnya itu terus merangsang keluar.
Kongsun Siang dan Ting Kiau berpencar di kanan-kiri, masing2
duduk di bawah kursi, jadi t iga orang berposisi segi tiga, kini
merekapun sudah mengendus bau dupa me mabukkan itu, maka ter-
dengar Ting Kiau bersuara heran, katanya: "Cong-coh, kau sudah
mencium bukan? Bau dupa ini agak ganjil?"
Dengan menahan suara Kun-gi berkata: "Musuh tengah
me lepaskan asap dupa wangi yang me mabukkan, Ting-heng jangan
bersuara, nanti kalau ada orang masuk kalian harus pura2 rebah
terbius, jangan turun tangan secara serampangan, dengarkan tanda
tertawaku "
Kongsun Siang berdua mengia kan. Kira2 setanakan nasi lagi, bau
dupa dalam pendopo semakin tipis dan akhirnya sirna. Maka dari
arah dinding sebelah timur berkumandang suara ge muruh,
mendadak dinding yang rapat itu merekah buka, tapi hanya segaris
sempit saja.
Dika la suara gemuruh mulai berkumandang, Kongsun Siang dan
Ting Kiau lekas2 merebahkan diri, mereka mende ka m di bawah
kursi dengan waspada.
Kejadian berlangsung hanya sekejap saja, setelah suara gemuruh
berhenti dan dinding sedikit terbuka itu, keadaan menjadi hening
pula, tak kelihatan ada orang masuk. Agaknya musuh tahu diri,
karena belum jelas keadaan di dala m mereka tak berani masuk.
Beberapa kejap lagi, mendada k sinar la mpu yang terang
menyilaukan rata menyorot masuk dari sela2 dinding yang terbelah
itu, pendopo yang semula ge lap gulita menjadi terang benderang.
Kun-gi duduk bersandar kursi, dia m tak bergerak seperti le mas
lungla i.
Maka terdengar suara Ci Hwi-bing dari belakang dinding:
"Bagaimana keadaan di dala m?"
Seorang menjawab: "Lapor Tongcu, hanya kelihatan orang she
Ling duduk le mas di kursi, agaknya sudah terbius se maput."
"Dua yang lain bagaimana?' tanya Ci hwi-bing.
"Tida k kelihatan, mungkin sudah rubuh di lantai, teraling oleh
kursi," sahut orang itu.
"Baiklah, coba kalian masuk me meriksa” perintah Ci Hwi-bing.
Ternyata sela2 dinding itulah pintunya, pintu terbuka agak lebar,
dua sosok orang berkelebat masuk dari balik dinding langsung
mende kati mereka..
Melihat pintu sudah terbuka, sementara dua orang musuh sudah
me langkah masuk, maka Kun-gi tidak tinggal dia m lagi, mendada k
dia tertawa ngakak sambil melompat bangun terus menerjang ke
arah pintu.
Ilmu silat kedua orang yang masuk ternyata cukup tinggi, begitu
Kun-gi menerjang maju mere kapun segera siap siaga, keduanya
mundur setengah langkah. "Sret, sret", dua batang pedang hita m
mereka me mbabat bersilang berusaha menahan lawan.
Kun-gi ayun tangan kanan secepat kilat dia menepuk sekali,
segulung tenaga pukulan seketika menahan gerakan pedang lawan
sebelah kanan, berbareng tangan kiri mencengkera m lengan orang
di sebelah kiri terus ditarik, sebat luar biasa ia terus me luncur ke
depan me mberesot lewat di tengah kedua musuh dan me mburu ke
arah pintu.
Kongsun Siang dan Ting Kiau mendengar gelak tawa Ling Kun-gi,
berbareng merekapun melompat berdiri. Sekali tubruk Kongsun
Siang menerjang orang di sebelah kiri, berbareng pedangnya
menusuk.
Ting Kiau juga t idak kalah cepat dan tangkasnya. belum lagi dia
menerjang tiba, kipas le mpitnya sudah bekerja menggaris melintang
dengan me mbawa deru angin mengincar muka orang di sebelah
kanan.
Sebetulnya kepandaian silat kedua orang yang masuk ini cukup
lumayan, walau tidak ma mpu mengha langi Ling Kun-gi, tapi dika la
Kongsun Siang dan Ting Kiau menubruk, tiba merekapun sudah
bersiap menyambut serangan mereka.
Bahwasanya gerakan Ling Kun-gi tadi me mang cepat luar biasa
dan secara mendadak maka dala m segebrak dia dapat bikin kedua
lawannya menyingkir serta menerjang lewat, sayang sekali ketika
dia ha mpir mencapai pintu batu mendadak dilihatnya bayangan
seorang tinggi besar mengadang di depan pintu. Sebelum lawan
turun tangan menyerang Kun-gi sudah me ndahului me lontarkan
pukulan kilat menghanta m dada lawan.
"Blang", dengan telak telapak tangannya me mukul dada lawan.
Tapi Kun-gi sendiri merasa telapak tangannya tergetar pedas
kesakitan, ternyata pukulannya seperti me mukul pada batu yang
keras, keruan kejutnya tidak kepalang.
Waktu dia mendongak dan melihat lebih jeias, kiranya bayangan
orang yang muncul di depan dan mengadang jalannyu adalah
patung batu yang tinggi besar. .Karena sedikit teralang ini, pintu
batu yang hanya terbuka sedikit itu cepat sekali sudah menutup
lagi, sorot lampupun pada m sehingga keadaan di ruang pendopo
ke mbali menjadi ge lap gulita. Begitu keadaan menjadi gelap, kedua
orang yang lagi bertempur dengan Kongsun Siang dan Ting Kiau
segera pura2 menyerang, habis itu terus me lompat mundur. Pada
hal pintu batu sudah tertutup, jelas tiada jalan lain untuk me larikan
diri. Maka Kongiun Siang menghardik: "Mau lari ke ma na kalian?"
Pedang berpindah ke tangan kiri terus menyalakan api, lalu cepat2
dia pindahkan pula pedang di tangan kanan, tangan kiri
mengacungkan tinggi kertas yang terbakar di atas kepala.
Pada saat yang sama Ting Kiau juga telah me nyalakan api,
serempak mereka lantas mengudak ke pojokan sana, tampak kedua
orang berbaju hijau itu telah me la mbung ke sebuah lubang besar
dipojok atap sana, sekali berkelebat bayangan merekapun lenyap,
cepat sekali lubang besar itupun tertutup ke mbali dan tida k
kelihatan adanya bekas apa2. Barulah sekarang mereka maklum
bahwa asap dupa tadi kiranya dilepas dari lubang besar di atas atap
ini.
Ting Kiau mencak2 gusar: "Kunyuk itu berhasil lolos lagi."
Kongsun Siang menghela napas, katanya: "Alat rahasia yang
mengenda likan pendopo ini, kiranya tidak hanya begini saja:"
”Persetan dengan alat rahasia perangkap segala, memangnya
kita gentar menghadapinya," seru Ting Kiau marah2 .
Terdengar suara Ci Hwi-bing berkumandang: "Ling Kun-gi, tadi
kulepas asap dupa juga demi kebaikanmu, karena hanya jalan itulah
satu2nya, sehingga kau lemas tak ma mpu melawan dan terima
dibelenggu dan selanjutnya kau pasti akan be kerja bagi ka mi, tak
terkira perhitungan Lohu me leset, agaknya aku menila imu terlalu
rendah."
Gusar tapi Kun-gi masih bisa tertawa, katanya: 'Ci Hwi-bing, sia2
kau menjadi Tongcu dari Hek-liong-hwe, yang kau andalkan hanya
alat rahasia dengan segala perangkap ini, kau bisa mengurungku di
sini, me mangnya ulah apa pula yang bisa kau lakukan?". .
"Ling Kun gi," terdengar kereng suara Ci Hwi bing, "kau harus
tahu diri, kalian bertiga seumpa ma kura2 yang berada dala m
belanga, kalau Lohu betul2 mau merenggut nyawamu, segampang
me mba lik telapak tangan, cuma Lohu masih ingin me mberi
kesempatan pada mu, pikirkanlah dua kali lagi, menyerahlah saja
dan bekerja untuk Hek-liong-hwe kita, kutanggung masa depanmu
akan lebih ce merlang, tapi kalau kau tetap bandel, jangan kau
menyesal kalau Lohu t idak kenal kasihan "
Lantang tawa Kun-gi, katanya: "Ci-tongcu, kau ma mpu berbuat
apa, silakan lakukan saja, Cayhe tidak pernah mengerut kening
menghadapi kelicikanmu."
"Orang she Ling," hardik Ci Hwi-bing beringas, "dengan baik hati
Lohu me mberi nasihat, tampaknya kau tidak bisa diinsafkan, sejak
kini Lohu me mberi wa ktu semasakan a ir mendidih, pikirlah lagi
dengan baik, asal kau mau tunduk dan bekerja untuk Hek-liong-
hwe, Lohu berani tanggung selama hidup kau tida k akan
kekurangan. .. . . ."
"Bangsat keladi," bentak Ting Kiau, "tutup bacotmu yang kotor,
kalau berani hayo buka pintu, tandangilah ka mi dengan kepanda ian
aslimu."
Terdengar Ci Hwi-bing mendangus sekali, mendadak terdengar
suara keretekan, dari atap terjadi hujan anak panah yang tak
terhitung banyaknya, semuanya jatuh di lantai depan Ting Kiau,
ujung panah yang menyentuh lantai mengeluarkan suara rama i dan
me mercikkan le latu api.
Keruan Ting Kiau kaget, cepat dia melompat mundur. Panah
ternyata hanya berhamburan sekali, tapi jumlahnya ada puluhan
batang, kalau mengenai tubuhnya tentu dirinya sudah menjadi
landak. Agaknya musuh sengaja mau mende monstrasikan ke lihayan
alat rahasianya, buktinya Ci Hwi-bingpun tida k banyak ucap lagi.
Kongsun Siang mengerut kening, dia mengha mpiri Kun-gi,
katanya lirih: "Ling-heng, dari hujan panah barusan dapat ditebak
kalau alat2 rahasia se macam busur di atas sana tentu dikenda likan
orang sehingga panah bisa dibidikan ke segala jurusan, ke manupun
kita sembunyi tetap akan terbidik oleh panah musuh, berabe juga
bagi kita."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: `Ucapanmu me mang betul
Kongsun-heng, tapi soal ini ga mpang diatasi, pertama, asal kalian
tidak menyalakan api, dala m keadaan gelap gulita, mereka a kan
kehilangan sasaran bidik. Kedua meja dan kursi yang terbuat dari
batu ini a mat kuat dan tebal, bisa kita gunakan untuk berlindang,
persoalan yang lain biar kuhadapi sendiri"
'Tapi hujan panah itu sedemikian lebat dan rapat, bukan saja
daya bidiknya amat kuat dan kencang, mungkin dilumuri getah
beracun pula. Cong-coh . . . . '
"Tida k apa," Kun-gi menukas ucapan Ting Kiau, "a ku punya akal
untuk menghadapinya, nanti kalau musuh menyerang, kalian harus
bisa mencari tempat berlindang dengan baik, soal diriku tak usah
kalian kuatir."
Dika la mereka bicara terdengar suara Ci Hwi-bing berge ma pula:
"Ling kun gi, sudah kau pikirkan be lum?"
Kun-gi me mberi tanda kepada Kongsun Siang dan Ting Kiau,
nyala api segera dipadamkan, bergegas mereka menyelinap ke
bawah meja batu.
Dengan tertawa angkuh Kun-gi berkata: "Cayhe tidak perlu pikir
lagi."
Kereng dingin suara Ci Hwi-bing: "Kalian berada dalam kurungan,
inilah kese mpatan terakhir, kalian tetap tidak mau menyerah, sekali
Lohu me m-beri aba2, kalian akan segera ma mpus tertembus
ratusan anak panah."
Kun-gi ter-gelak2, serunya: "Hanya panah me mangnya dapat
menggertak dan menakut i aku? Ha-yolah lekas kau perintahkan
anak buahmu lepaskan panah untuk menggaruk badanku yang
sedang gatal ini."
Pada saat itulah kumandang suara seorang perempuan berkata:
"Ci tongcu, Hwecu ada perintah."
"Ha mba terima petunjuk," terdengar Ci Hwi-bing menyahut
hormat.
Suara perempuan nyaring itu berkumandang pula: "Pengkhianat
Ling Kun-gi dari Pek-hoa-pang yang terkurung di da la m Bansiang-
thing, kalau masih tetap melawan dan tidak mau menyerah, maka
Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing diberi kekuasaan penuh untuk
menjatuhkan hukuman mati."
"Ha mba terima perintah!" seru Ci Hwi-bing pula.
Agaknya mereka bicara di lapia atas dari ru-angan di mana Ling
Kun-gi dikurung, mere ka sengaja bicara keras. supaya didengar oleh
Kun-gi. maka pe mbicaraan mereka terdengar jelas dari sebelah
atas.
Kejap lain terdengarlah suara Ci Hwi-bing yang ketus dingin:
"Ling Kun-gi, kau sudah dengar bukan?" Nadanya menganca m,
maksudnya menekan Ling Kun-gi supaya menyerah saja.
"Me mangnya kenapa kalau Cayhe sudah dengar?" jengek Kun-gi.
"Inilah kese mpatan terakhir untukmu menolong jiwa sendiri,
Lohu akan menghitung sa mpai tiga, kalau kau tetap keras kepala,
Lohu akan perintahkan me mbidikmu."
Ting Kiau tertawa besar, serunbya: "Umpa ma kaud me nghitung
sampai tiga ratus atau tiga ribu, jangan harap ka mi sudi menyerah."
Ci Hwi-bing tidak hiraukan ocehan Ting Kiau, mulutnya mulai
menghitung: "Satu . . . . dua . . . . tiga . . . . " seiring dengan
hitungan ketiga, dari pojok atap sana melorot turun selarik sinar
la m-pu yang terang benderang, langsung menyoroti tubuh Ling
Kun-gi diusul suara bunyi jepretan, sebaria anak panah dibidikkan
tiga kaki di depan Ling Kun-gi.
Jelas ini bersifat mengancam, umpa ma betul2 mau merenggut
jiwa orang, tentu sudah langsung dibidikkan ke tubuhnya.
Sambil menggendang tangan Kun-gi me ndongak tertawa lantang,
katanya: "Barisan panah Ci-tongcu ini paling manjur untuk
me mbidik sebangsa rusa, kalau untuk main kayu dihadapanku,
kukira terlalu menggelikan." Lenyap suaranya mendadak kedua
tangannya terangkat, lengan bajunya yang lebar tahu2 mengebut
ke depan.
Yang digunakan ini adalah gerakan Kiankunci (lengan baju sapu
jagat) ciptaan Hoanjiu-ji-lay. nampak kedua lengan bajunya yang
lebar itu menge mbang baga i layar, barisan panah musuh yang
dibidikkan dengan daya keras dan kencang itu belum lagi
menyentuh lantai tahu2 sama terpental berserakan seperti daun
pohon kering yang digulung angin lesus, langsung terbang ke luar
pekarangan.
Jelas Ling Kun-gi juga sengaja mau pa mer kepandaiannya
dihadapan Ci Hwi-bing.
Sekali jari tengah tangan kiri menjentik, sebuah duri bengkok
seketika me lesat dengan suara deru kencang menerjang la mpu kaca
yang menyorot turun dari atas atap. Maka terdengar suara "prang"
yang keras, kaca pecah apipun seketika padam, ruang pendopo
ke mbali menjadi gelap gulita.
Sembunyi di atap sana sudah tentu Ci Hwi-bing me lihat jelas
keadaan dalam ruang pendopo, tanpa terasa giginya gemeratak
gemas, desianya: "Kalau orang ini tida k dilenyapkan, kelak pasti
menjadi bibit bencana bagi kita se mua, hayo siapkan panah, bunuh
dia." ia betul2 me mberi perintah.
Satu lampu kaca sudah pecah dirusak oleh Kun-gi, tapi
mendadak menyorot lagi tiga la mpu yang lain, ketiganya sa ma2
menyorotkan sinar yang terang menyilaukan mata, secara bersilang
dari tiga jurusan menyoroti pendopo. Maka suara jepretan panah
menjadi ra mai, hujan panah sa ma berjatuhan dari tiga arah yang
berlawanan, lebih hebat lagi di antara samberan anak panah itu
tercampur pula berbagai maca m senjata rahasia, seperti paku
berbentuk duri ce mara, jarum2 terbang yang le mbut se muanya
berwarna hitam, terang berlumuran getah beracun yang jahat dan
me matikan.
Hujan panah dan senjata rahasia sungguh lebat dan berseliweran
dengan suaranya yang mendenging, Sementara Kongsun Siang dan
Ting Kiau yang se mbunyi di bawah meja batu masih tetap
me megang senjata untuk menya mpuk panah dan senjata rahasia
yang mengincar mereka.
Dari desiran angin yang berseliweran itu Kun-gi dapat
me mbedakan sedikitnya ada lima maca m senjata rahasia yang
bentuknya kecil dan ringan bobotnya, karena diseling di tengah
samberan panah yang berdaya kencang, orang tidak akan berjaga
dan menyangka untuk menyampuk dan merontokkannya, diam2 ia
kaget juga.
Ruang pendopo ini me mang dipasang segala macam perangkap
yang serba lengkap, kalau orang lain tentu sejak tadi jiwa melayang
dan tubuh hancur luluh. Walau Kun-gi meyakinkan ilmu pelindung
badan, betapapun ia tak berani pandang enteng senjata rahasia
yang berbobot ringan, apalagi ada kalanya dia harus me mperhatikan
keselamatan Kongsun Siang dan Ting Kiau.
Kejadian sebetulnya teramat cepat, baru saja panah dan senjata
rahasia musuh berhamburan, tangan kanan Kun-gi sudah melolos
pedang pendek dan dipindah ke tangan kiri, begitu tangan kanan
terangkat, Ih thiankia m juga dike luarkannya. Begitu dua pedang
pusaka panjang-pendek keluar dari sarungnya, cahaya yang kemilau
menjadikan pendopo ini berta mbah terang, hawa dinginpun terasa
menyayat badan.
Tanpa ayal Kun-gi ayun tangan kirinya, cahaya pedangnya yang
gemilapan segera me mbungkus sekujur badannya, sementara Ih-
thiankia m ditangan kanan menggaris lurus miring mengeluarkan
sinar perak ber-lapis2 me mbantu Kongsun Siang dan Ting Kiau
merontokan senjata rahasia.
Suara jepretan masih terus berlangsung, ma ka kedua pedang
pusaka di tangan Lingkun-gi pun bekerja semakin cepat dan
tangkas, sinar pedang hijau ke milau dilingkari sinar perak ta mpa k
indah me mpesona, dengan menarikan kedua pedangnya, betapapun
lebat hujan anak panah dan senjata rahasia dapat dirontokkan.
Padahal sorot lampu sedemikian terang benderang, tapi
bayangan Kun-gi sendiri seakan telah lenyap, hanya cahaya pedang
dan kesiur anginnya yang menderu, hawa pedang seolah2 sudah
me menuhi seluruh ruang pendopo, panah dan senjata rahasia yang
tersentuh oleh cahaya kemilau itu kontan terpental terbang dan
tersampuk rontok berserakan di lantai.
Begitu bernafsu Ling Kun-gi menarikan kedua pedangnya,
mendadak mulutnya berpekik keras mengalun tinggi bagai pekik
naga dan seperti singa mengaum, tiba2 badannya melejit ke atas,
bagai bianglala Ih-thiankia m me mantulkan tiga bint ik sinar dingin
me lesat ke atas atap, ke arah lubang2 di mana anak panah dan
senjata rahasia di ha mburkan.
Panah dan senjata rahasia itu semua dibidikkan dengan berbagai
alat rahasia yang serba lengkap, Ih-thiankiam merupakan pedang
pusaka yang dapat me motong besi seperti me ngiris tahu, sekali Ih-
thian khia m bekerja, bukan saja segala alat rahasia yang menjadi
sasaran dapat dirusakkan, di tengah kerama ian ge meretaknya alat2
yang berantakan itu dise ling pula jerit kaget orang2 yang
mengenda likan alat2 rahasia itu. Jelas bahwa para pengendali alat
rahasia itupun banyak yang terluka.
Begitu me layang turun pula ke lantai langsung Kun-gi pindah
pedang pandak ke tangan kanan, sekali jongkok dia raih tiga batang
patahan panah terus diayun ke atas, tiga bintik hita m seketika
me luncur ketiga sasaran. "Prang", Iampu2 kaca di atas atap
seketika tertimpuk pada m.
Semua kejadian berlangsung a mat cepat. setelah alat rahasia
musuh berhasil dirusa k dengan sendirinya hujan panah dan senjata
rahasiapun berhenti, begitu lampu kaca pada m pula, ke mbali
kegelapan meliputi ruang pendopo.
Menyaksikan betapa gagah dan perkasa Ling Kun-gi barusan,
Ting Kiau sa mpai me lelet lidah, katanya kejut2 girang: "Cong-coh,
pertunjukanmu sungguh a mat mengagumkan."
Kongsun Siang merangkak ke luar serta berdiri, katanya sambil
menghe la napas: "Setelah kejadian mala m ini baru aku sadar bahwa
apa yang kupelajari selama ini dibanding Ling-heng sungguh seperti
kunang2 dibanding re mbulan, bagai langit dan bumi perbedaannya."
Kun-gi simpan kedua pedangnya. katanya tawar: "Kongsun-heng
terlalu mengumpak, aku hanya mengandal ketajaman kedua pedang
pusaka ini, secara untung2an menerjang bahaya"
Ting Kiau ber-kaok2: "Tua bangka she Ci, kau masih punya ulah
apa lagi, hayo tunjukkan kepada tuan2 besarmu.?"
Suasana di atas hening lelap tak terdengar suara orang, agaknya
Ci Hwi-bing sudah tiada di sana. Dua kali musuh tidak berhasil
menumpas perlawanan mereka meski sudah terkurung di dala m
kamar, sudah tentu timbul rasa jera dan waspada Ci Hwi-bing, ma ka
dalam waktu dekat ini terang dia tidak akan beraksi lagi. Maka
keadaan sama bertahan pada sikap masing2, Ling Kun-gi bertiga
pantang menyerah walau terkurung di dala m pendopo.
Kini pendopo itupun diliput i ketenangan, akhirnya kesunyian
terasa menceka m Ling Kun-gi, Kong-sun Siang dan Ting Kiau
maklum, keadaan tenang ini merupakan permulaan dari suatu
gempuran musuh yang akan lebih hebat lagi, entah rencana apa
pula yang tengah dirancang.
Setelah sekian la ma menunggu sa mbil berdia m diri, akhirnya
Kongsun Siang melompat berdiri, katanya lirih: "Bukan cara baik
kalau cuma berpeluk tangan terima dikurung begini saja, kita harus
berdaya untuk menerjang ke luar."
"Me mangnya perlu dikatakan lagi?" timbrung Ting Kiau. "Soalnya
pintu batu tadi sudah tertutup, kau ma mpu me mbukanya?"
Mendadak tergerak hati Kongsun Siang, pikirnya: "Pintu batu
me mang sudah tertutup, tapi patung batu berbentuk manusia besar
itu masih berada di tempatnya tak pernah bergerak lagi, bukankah
di situ letak kunci rahasianya?" Karena pikirannya ini, cepat dia
keluarkan ketikan dan ma nyalakan api, katanya lirih: "Ling-heng,
coba pinja m Ih-thiankia m-mu sebentar."
"Kongsun heng mendapat akal apa?" tamya Kun-gi, dan serahkan
Ih-thiankia m.
Menerima pedang pusaka itu, Kongsun Sang berkata dengan
suara tertahan: "Kupikir kalau pintu batu itu dikendalikan alat
rahasia, asal kita dapat menemukan letak atau bekasnya, alat
rahasia yang mengendalikan itu kita rusak pula, dengan kesaktian
kekuatan Ling-heng pasti dapat me mbukanya."
"Kongsun-heng dapat mene mukan letak pintu batu itu?" tanya
Ting Kiau.
Kongsun Siang tertawa, katanya: "Orang2an batu itu ke luar dari
balik pintu, kini masih tetap di tempatnya tak pernah bergeser, cara
bagaimana patung batu ini bisa masuk ke mari? Tentu dikenda likan
alat rahasia pula, dan alat kendalinya tentu berada di bawah
kakinya, asal kita bisa merobohkan patung ini, rasanya akan
mene mukan alat rahasianya pula?"
Ting Kiau keplok kegirangan, serunya: "Akal Kongsun-heng
me mang bagus, Hayolah, kita coba"'
Kongsun Siang menyalakan api, bersama Ting Kiau mere ka
me meriksa patung batu itu dengan teliti. Kongsun Siang tubleskan
Ih-thiankia m ke lantai, lalu me mberi tanda gerakan tangan kepada
Ting Kiau, mereka mengerahkan tenaga mendorong bersa ma dari
kanan-kiri. Betapa besar kekuatan gabungan kedua orang
sebetulnya bukan soal sulit untuk merobohkan patung batu itu. Tapi
mengingat di bawah patung batu ini ada dikendalikan alat rahasia,
maka untuk menggesernya terang tidak mudah.
Tak nyana setelah keduanya kerahkan tenaga mendorong
berulang kali, meski mulut ber-kaok2 dan napas ter-sengal2, patung
batu itu tetap tidak bergeming. Tapi Kongsun Siang dan Ting Kiau
masih tidak putus asa, mereka masih terus berusaha mendorong
patung itu.
Sampa i muka merah pada m, akhirnya mereka sendiri yang
kehabisan tenaga, tapi patung itu tetap tak tergeser sedikitpun.
"Kalian berhenti saja," akhirnya Kun-gi bersuara, "biar aku
mencobanya." Lalu dia menyingsing lengan baju dan mengha mpiri.
Setelah menarik napas Ting Kiau mundur dua langkah dan
menga mati patung di depannya, tiba2 timbul sesuatur pikirannya,
dia goyang tangan dan berkata: "Cong-coh, aku ingat akan suatu
hal."
"Kau ingat apa, Ting-heng?" tanya Kun-gi.
"Patung ini baru menerjang masuk dika la Cong-coh menubruk ke
arah pintu tadi sehingga Cong-coh teralang karenanya, pintupun
segera menutup pula, begitu bukan?"
"Ya, me mang begitu," jawab Kun-gi.
Kata Ting Kiau lebih lanjut: "Itu berati alat rahasia mendorong
patung ini masuk ke mari, maka pintupun tertutup, sebaliknya ka lau
pintu terbuka lagi, maka patung akan mundur keluar, maka ka lau
kita ganti cara merobohkanya menjadi mendorongnya mundur,
pintu pasti a kan terbuka dengan sendirinya."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ya, masuk akal a lat rahasia yang
mengenda likan pintu dan patung batu ini tentu berkaitan, kalau
patung ini kita dorong keluar, pintu akan terbuka. Nah, marilah kita
coba" kedua tangannya menahan perut patung batu. Dari samping
Kongsun Siang dan Ting Kiau ikut me mbantu, di bawah aba2 Ling
Kun-gi mereka bertiga mula i mendorong.
Kun-gi kerahkan Kim-kong-sinhoat, ditambah lagi kekuatan
Kongsun Siang dan Ting Kiau, maka dapatlah dibayangkan betapa
hebat kekuatan dorongan ini?
Betul juga dari kaki patung batu segera terdengar suara
kretekan, demikian pula dari bawah dinding di pojok sana juga
berbunyi gemeratak. Walau patung ini terkendali oleh alat rahasia,
toh tak kuat menahan daya dorongan yang hebat ini dan lambat
laun mulai tergeser mundur. Begitu patung terdorong mundur, betul
juga dinding di depan sana juga tergeser mundur sehingga terbuka
sedikit celah2. Melihat akal dan usaha mereka berhasil, tambah
semangat Kun-gi bertiga mendorongnya.
Semakin patung terdorong mundur, semakin lebar pula celah2
dinding yang terbuka, kini mereka tidak perlu banyak me mbuang
tenaga lagi untuk mendorong patung, karena tahu2 patung itu
sudah mundur sendiri ke balik pintu serta menyingkir ke sa mping.
Melihat pintu sudah terbuka lebar, baru saja Kun-gi hendak
me langkah keluar, mendadak dirasakannya segulung tenaga
menyongsong dirinya, yang diincar adalah dadanya.
Untung sejak tadi Kun-gi sudah siaga akan sergapan musuh dari
tempat gelap. Karena bagi seorang yang me mbekal Lwekang tinggi,
umpa ma matanya dapat melihat di kegelapan, tapi toh dia perlu
sedikit sinar bintang di langit baru bisa melihat sesuatu benda dalam
jarak tertentu, kalau di da la m perut gunung yang gelap gulita ini
ke ma mpuan matapun takkan berguna juga.
Di waktu mendorong patung, api sudah mereka padamkan, kini
pintu sudah terbuka, kedua belah pihak sama2 tidak melihat
bayangan lawan. Lwekang Kun-gi a mat tinggi, cepat sekali dia bisa
me mbedakan arah bahwa si penyerang tepat berdiri di tengah pintu,
serta merta iapun angkat tangan kirinya. "Plak", begitu serangan
balasan dia lancarkan mendada k terasa pukulan lawan sede mikian
kuat, dalam hati Kun-gi me mbatin: "Jago silat Hwi-liong-tong
me mang banyak dan lihay."
Begitu dua jalur pukulan saling berhantam seketika menimbulkan
pusaran angin kencang yang menderu keras, tanpa kuasa Kun-gi
tergetar mundur setapak.
Pada saat itu pula, didengarnya seorang menjengek, sejalur
angin pukulan yang tidak kalah hebatnya mendadak menerjang
masuk pula dari luar pintu.
Keruan Kun-gi na ik pita m, serunya sambil tertawa lantang:
"Serangan bagus!" Kini dia balas me ndorong dengan tangan kanan.
Terasa pukulan musuh ini ternyata tidak lebih le mah dari pukulan
pertama, tapi Kun-gi ka li ini sudah mengerahkan 10 bagian
tenaganya, sehingga tidak tergentak mundur,
Dua kali saling hantam dengan musuh, tapi Kun-gi be lum juga
tahu dan bisa me lihat jelas siapa sebetulnya kedua lawannya, baru
saja dia hendak merogoh keluar mutiaranya, mendadak api berpijar,
ternyata Ting Kiau sudah menyalakan sebatang obor yang terbuat
dari rotan, dari luar pintu berbareng juga menyala dua la mpu kaca
yang menyorot masuk ke pendopo. Ta mpa k dua orang tua berbaju
hijau tengah beranjak masuk..
Kedua orang tua berbaju hijau sudah sa ma2 ubanan ra mbutnya,
usianya sudah di atas setengah abad. Yang di depan berbadan
tinggi kurus, matanya tajam mengawasi Ling Kun-gi sa mbil mengu-
lum senyum sinis, katanya: "Kau dapat menyambut pukulan ka mi
berdua, kau me mang tida k ma lu sebagai murid Hoanjiu-ji-lay".
Kakek berperawakan sedang di belakangnya segera
menya mbung: "Di luar sini terlalu se mpit, kalau mau bergebrak
hayolah masuk saja, bila kau mau keluar dari sini, kau harus dapat
menga lahkan ka mi tua bangka ini."
Bahwa orang sudah melangkah masuk, maka Kun-gi mundur
beberapa langkah, katanya dingin: "Kalian ingin bergebrak dengan
Cayhe, boleh sila kan saja."
Ternyata hanya dua kakek ini saja yang masuk, bayangan orang
lain tidak kelihatan, tapi di tempat gelap di luar sana jelas ada orang
sembunyi yang siap menyergap.
Kakek tinggi kurus angkat sebelah tangan di depan dada, ia
menoleh kepada kakek berperawakan sedang, agaknya dia memberi
tanda bahwa mereka harus bersiap untuk turun tangan bersama,
sekali serang bunuh Ling Kun-gi dan habis perkara, selanjutnya
me mbereskan Ting Kiau dan Kongsun Siang.
Dengan gagah dan tabah Kun-gi tetap berdiri di te mpatnya,
katanya sambil berpaling: "Kongsun-heng, Ting-heng, sila kan
mundur agak jauh."
Kakek kurus tertawa ter-kekeh2, katanya: "Ya, kalian harus
menyingkir yang jauh supaya tidak tersapu roboh oleh angin
pukulan Lohu "
"Wut", mendadak tangan di depan dadanya terus menyodok.
Agaknya tenaga sudah terkerahkan sejak tadi, maka tenaga
pukulannya ini sungguh a mat keras karena dilandasi kekuatan
Lwekang hasil latihan se la ma puluhan tahun. Kake k berperawakan
sedang tanpa bersuara berbareng iapun angkat sebelah tangannya
menggge mpur punggung Kun-gi.
Kongsun Siang me lompat maju sa mbil mencabut Ih thian kia m
yang tertancap di lantai, ejeknya: "Sudah sekian tahun la manya Lo-
sunsiang-koay angkat na manya, tak nyana cara bertempurnya juga
ma in keroyok dan curang."
Begitu melancarkan pukulannya, si kakek berperawakan sedang
segera menoleh ke arah Kongsun Siang, serunya: "Kalau begitu
marilah kau maju sekalian." Dengan jurus Hing-lanjianli (pagar
me lintang ribuan li ), tangan kirinya segera menepuk lurus ke arah
Kongsun Siang.
Kun-gi tidak tahu siapa kedua lawannya ini. Tapi setelah
mengadu pukulan, dia tahu bahwa Lwekang kedua kakek a mat
tinggi, me lihat lawan mengge mpurnya bersama, serta merta dia ter-
gelak2, dua tangan bekerja sekaligus, ke depan dia menangkis
kakek kurus ke belakang dia menolak ge mpuran si kakek sedang,
katanya: "Kongsun-heng mundurlah kau, aku sendiri cukup
menandingi mereka."
Sebetulnya Kongsun Siang sudah kerahkan Lwe kang untuk
menya mbut pukulan ka kek sedang, dengan kekerasan serta
mendengar seruan Ling Kun-gi, terpaksa dia bergerak menubruk
miring seperti seriga la mengegos dan menyingkir ke sa mping.
Lo-sanji-koay mengira betapapun tangguhnya Ling Kun-gi,
karena usianya masih terlalu muda, pasti takkan kuat menandingi
gempuran mereka berdua.
Tak terduga dua jalur kekuatan hebat lantas menggencet dari
depan dan belakang. Mendadak segulung kekuatan lunak yang tidak
kelihatan timbul dari badan Ling Kun-gi, sekaligus ge mpuran
dahsyat mereka sirna, malah sisa tenaga sendiri berbalik
mengge mpur diri sendiri. Keruan tersirap darah ke dua kakek ini.
Kata si kurus tinggi sanbil menatap Kun-gi: "Pada jaman ini,
tokoh2 kosen yang ma mpu menandingi ge mpuran gabungan ka mi
berdua bisa dihitung dengan jari, engkoh kecil ini barusan
menggunakan ilmu apa, ternyata tetap segar bugar menghadapi
gempuran ka mi?"
Sejak mendengar na ma kedua orang tua adalah Lo-sanji-koay,
maka Kun-gi tahu bahwa kedua orang ini me mang merupa kan
pentolan lihay di ka langan hitam, ka lau mala m ini jika dia tida k
kalahkan kedua musuh ini, dirinya bertiga pasti takkan bisa
menerjang ke luar. Maka dengan sikap sinis diar balas tatap si kakek
kurus, katanya: "Ilmu silat di kolong langit ini masing2 me mpunyai
keistimewaan dan keunggulannya sendiri2, umpa ma Cayhe
menje laskan, me mangnya kalian berdua me ngetahui?.”
Kakek kurus menarik muka, hardiknya bengis: "Anak ingusan
yang masih berbau pupuk, bicara mu begini takabur!" Tangan kanan
terulur, kelima jari tangan bagai cakar baja tahu2 mencengkera m ke
dada. Jurus Kim-hau-ta m-jiau ( harimau kumbang mencakar )
dilancarkan secepat kilat, kelima jari masing2 mengincar lima Hiat-to
di tubuh Ling Kun-gi.
Sejak tadi Kun-gi sudah waspada dan ber-siap2, sekali tubuhnya
berkisar berbareng tangan ka-nan menabas miring, di tengah jalan
dia balas menyerang, kelima jarinya setengah tertekuk terus
menangkap pergelangan tangan lawan yang menyerang dadanya.
Kim-liong-jiu yang dilancarkan inipun tak kalah cepat dan lihaynya,
dengan badan berputar ini, disamping berkelit sekaligus dia balas
menyerang.
Kakek sedang mengira dirinya me mperoleh pe luang, sekali
berkelebat dia menyelinap ke depan kiri Ling Kun-gi, telapak
tangannya terus menabas miring me mbelah pinggang Ling Kun-gi.
Begitu tangan mencengkera m dada lawan, si kake k kurus
merasakan juga Kun-gi melancarkan serangan yang sama dengan
me megang pergelangan tangannya, malah serangan lawan paka i
mengunci gerakannya, keruan ia kaget, lekas dia tarik tangan
kanan, berbareng tangan kiri mendorong ke luar.
Dengan sendirinya cengkera man balasan Kun-gi juga lantas
mengenai tempat kosong, tahu2 dirasakan si kake k sedang
me mbe lah piggangnya, ia jadi gusar karena lawan ma in licik,
dengan tertawa ejek dia ayun tangan kiri menepuk ke arah lawan,
Pada saat itu si kurus t inggi juga me ndorong telapak tangan kiri,
tanpa pikir tangan kanan Kun-gi bergerak juga menyongsong ke
depan.
"Plak, plok," dua pukulan dari depan dan be lakang se kaligus dia
sambut dengan tepat, suaranya keras seperti ledakan, sampai
telinga Kongsun Siang berdua serasa pekak dan jantung berdetak.
Sebagai murid didik Hoanjiu-ji-lay si kidal, maka Ling Kun-gi pun
sudah biasa menggunakan tangan kiri, apalagi dia menjadi gusar
menghadapi dua ka li pe mbokongan kakek sedang, maka serang-
annya justeru dia titik beratkan pada telapak tangan kiri. Hoan jiu
hud-hun (mengebut mega dengan terbalik) yang dilancarkan ini
semula tidak menimbulkan gelombang angin pukulan, tapi begitu
kedua pukulan masing2 saling ge mpur, baru timbul segulung tenaga
dahsyat dari telapak tangannya.
Setelah si kakek sedang menyadari betapa dahsyat tenaga
pukulan lawan , yang bisa menggetar hancur urat nadi sekujur
badannya, untuk mundur sudah tida k mungkin lagi, terpaksa dia
menya mbut secara kekerasan, seketika dia rasakan isi perutnya
jungkir balik, darah bergolak di rongga dada. Lahirnya me mang
tidak ke lihatan perubahan dirinya, tapi urat nadi tergetar, darah
menga lir balik, tersipu2 dia me lompat mundur, mencari peluang
untuk mengerahkan hawa murni me nenteramkan gejolak darahnya.
Melihat Ling Kun gi sanggup sa ma kuat menandingi pukulan
kerasnya, si kakek kurus se makin murka, sambil menggertak dia
mendesak maju terus menggenjot dan menjotos secara berantai.
Karena rangsakan sengit dan gencar ini, yang kelihatan hanya
bayangan pukulan tangan, dalam sekejap beruntun dia telah
lancarkan 12 kali pukulan. Bukan saja serangannya secepat kilat dan
sederas hujan badai, malah kekuatan pukulannyapun rasanya dapat
menghancurkan te mbok besi, deru angin yang kencang sungguh
mengejutkan sekali.
Seluruh tubuh Ling Kun-gi terbungkus dala m bayangan pukulan
lawan, sehingga dia terdesak mundur dua langkah, kedua tangan
bergerak menyilang, menangkis dan menya mpuk, dala m 12 pukulan
gencar lawan, dia menyambut e mpat kali dengan keras, sehingga
rangsakan gencar lawan dapat ditandingi.
Dengan Cap-ji-lianhoanciang (atau ilmu pukulan berantai
duabelas kali) yang lihay ini, menurut dugaan si kakek kurus semula
Ling Kun-gi pasti dapat dipukulnya roboh binasa atau terluka parah.
Tak tahunya Ling Kun-gi juga gunakan kedua tangannya secara
kekerasan dia sambut serangannya, beruntun adu empat kali
pukulan, delapan pukulan yang lain kena ditangkis dan dipunahkan.
Keruan se makin besar rasa kagetnya, batinnya: "Dia masih begini
muda, bagaimana mungkin me mbeka l Kungfu setinggi ini."
Dala m dua belas pukulan tadi Kun-gi mengadu e mpat ka li
pukulan secara keras, mendadak bayangan kedua orang berpisah,
keduanya sama2 tersurut mundur dua langkah.
Mata si kakek sedang mendelik, bentaknya. "Bocah ini tidak
boleh dia mpuni." Mendadak dia menerjang maju, kedua tangan
bergerak mencecar Kun-gi dengan telapak tangan, kepalan dan
tendangan yang lihay.
Karena dicecar bergantian oleh kedua lawannya, sudah tentu
Kun-gi ge mas, serunya tertawa: "Kalian maju bersama, orang she
Ling tetap dapat mengalahkan kalian." Di tengah kumandang
suaranya, permainan pukulannya mendadak berubah gencar keras
dan ganas, telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanan
menyerang secara bersilang.
Lo-sansiang-koay termasuk jago kosen kelas wahid dari golongan
hitam, setelah beberapa gebrak menghadapi perlawanan Ling Kun-
gi, dala m hati mereka maklum kalau cuma me ngandal kekuatan
seorang diri untuk merobohkan Ling Kun-gi, jelas tidak mungkin,
apalagi sebelum masuk tadi mere ka me mang berniat mena matkan
jiwa Kun-gi dengan mengeroyoknya, maka setelah mendengar
seruan saudarannya tadi, si kakek kurus tinggi segera ter-bahak2,
katanya: "Anak muda, syukurlah kau ma mpu menandingi ka mi."
Sekali berkelebat, tahu2 ia sudah menubruk maju. "Wut, wut", dua
kali puku-lan langsung dia me nghantam dengan dahsyat.
Pukulan telapakan dan kepalan Ling Kun-gi dima inkan dengan
berbagai variasi sehingga kake k perawakan sedang kena di
desaknya mundur, sigap sekali dia me mbalik badan, kedua telapak
tangan terangkap lalu didorong lurus mengge mpur dada si kake k
tinggi kurus, pukulan dengan kedua tangan ini sungguh bagai gugur
gunung dahsyatnya, angin pukulannya menggulung ke depan
menerjang si kakek kurus tinggi.
Entah betapa banyak jago2 kosen yang pernah dihadapi si kakek
kurus, tapi belum pernah dia saksikan apalagi menghadapi pukulan
sedahsyat yang dilancarkan Ling Kun-gi ini, Dia sudah ma klum
bahwa lawannya yang masih muda ini me mang ber-kepanda ian
tinggi, tapi tak terbayang olehnya bahwa Kungfu Ling Kun-gi
ternyata jauh diluar perhitungannya. Kalau dirinya baru me lawan
secara keras gempuran Lwekang yang dahsyat ini, ma ka yang kuat
akan menang dan yang le mah pasti binasa seketika. sudah tentu si
kakek kurus tidak mau me mpertaruhkan jiwanya, cepat dia menarik
napas mengerahkan hawa murni, mendada k ia melejit ke udara
menghindari sa mbaran angin pukulan Ling Kun-gi.
Dala m pada itu si kakek perawakan sedang yang didesak mundur
oleh Kun-gi, me lihat anak muda itu mendorong lurus dengan kedua
tangannya, tenaga pukulannya ternyata sedemikian dahsyat dan
jiwa saudaranya terancam. Tanpa peduli saudaranya itu akan
berkelit atau me lawan dengan keras, dalam sekejap ini jelas Ling
Kun-gi tak se mpat menghadapi serangan dirinya. Maka hatinya
senang sekali, tanpa bersuara segera dia menerjang maju, telapak
tangannya kembali mengge mpur punggung Kun-gi.
Tak tahunya si kake k kurus t inggi ternyata tidak berani melawan
secara keras dan mela mbungkan tubuhnya ke udara, karena
serangannya luput, dengan cepat tubuh Ling Kun-gi mendada k
berputar balik, tenaga pukulan kedua tangannya ikut dia tarik terus
menghanta m kesa mping.
Tindakan Ling Kun-gi ini sungguh di luar dugaan si kakek
berperawakan sedang, malah tenaga pukulan yang menyapu tiba
cepatnya luar biasa, untuk berkelit jelas tidak se mpat lagi, terpaksa
dla kerahkan setaker Lwekangnya dengan kedua telapak tangan
me lindungi dada, secara keras dia sa mbut serangan lawan.
"Bluk", di tengah benturan keras itu badan si kakek perawakan
sedang tampak terpental jauh tersapu oleh pukulan Ling Kun-gi,
setelah terbanting jatuh badannya masih ter-guling2 pula, sesaat
la manya tak ma mpu berdiri, agaknya lukanya tak ringan. Kejadian
berlangsung secepat percikan api, sementara itu si kakek kurus
yang mela mbung ke udara berhasil lolos dari gempuran Ling Kun-gi,
dari atas dengan jelas dia saksikan saudaranya tersapu jatuh oleh
Kun-gi. Padahal dirinyar sedang mela mbutng tinggi, ma kaq dia
ke mbangkanr kedua lengan baju dan melayang turun kira2
setombak jauhnya, nafsu membunuhnya segera berkobar, ia
menubruk maju pula, dengan jurus Thay-san-ting (gunung Thay-san
menindih kepa la), segera ia kepruk batok kepala Ling Kun gi.
Kun-gi tahu Lo-sanji-koay yang dihadapinya ini me miliki Kungfu
tinggi, ia menjadi tidak sabar lagi, segera ia me lancarkan Mo-ni-in
yang sakti. Ia pikir kalau musuh tidak dirobohkan, mala m ini sukar
bagi mereka bertiga untuk me loloskan diri dari sarang musuh, ma ka
Kun-gi tidak kepalang tanggung melancarkan ilmu sakt i
simpanannya ini.
Mo-ni-in tidak menimbulkan da mparan angin kencang, tidak
menimbulkan ge lombang ke kuatan besar, gerakannya seperti orang
bergaya saja meluruskan telapak tangan ke atas, tapi justeru di
sinilah letak intisari ilmu sakti aliran Hud yang tiada taranya, yaitu
Tat-mo-ciang-hoat.
Si Kake k kurus mendadak merasakan telapak tangan Ling Kun-gi
yang menyanggah ke atas menimbulkan tekanan yang kuat
sehingga pukulan dirinya kena disanggah dan ditolak pula ke atas,
ba-dannya yang menubruk maju tahu2 seperti terapung ke udara.
Kejap lain terasa pula tenaga pukulan yang dia kerahkan tahu sirna
tak keruan paran oleh getaran me mbalik dari ke kuatan luna k di
bawah, hawa murni tubuhnya serta merta ikut buyar pula, sampai
bernapaspun terasa sesak. "Bluk", kejap lain badannya telah
terbanting di lantai, malahan sebelum badannya jatuh nyawapun
telah melayang.
Dala m pada itu kakek berperawakan sedang juga sudah terluka
parah, melihat saudaranya jatuh tak ma mpu bangun berdiri,
kagetnya bukan kepalang, lekas dia merangkak bangun dan
berteriak kaget: "Lotoa, kau . . . . . " setelah me mburu ke sa mping
saudaranya baru dilihatnya kedua tangan saudaranya menekan
dada, biji matanya melotot, darah hitam mele leh dari ujung
mulutnya. Kiranya sudah mati karena urat nadi tergetar pecah.
Luluh perasaan kake k berperawakan sedang, air mata
bercucuran, tiba2 dia me mbalik dan me lotot pada Ling Kun-gi,
desisnya sambil menggertak gigi: "Bocah keparat, keji a mat kau
me mbunuhnya."
Kun-gi menyeringai dingin, jengeknya: "Kenapa kau menyalahkan
aku, kalau tadi aku yang terpukul kalian, bukankah aku yang binasa
sekarang?"
Tanpa bersuara lagi, kakek berperawakan sedang me manggul
jenazah saudaranya terus melangkah keluar tanpa berpaling lagi.
Lampu kacapun seketika pada m, pendopo ke mbali menjadi sunyi
dan gelap gulita,
Pada kegelapan itulah dinding sebelah barat terdengar berbunyi
kertekan, agaknya terbuka sebuah pintu. Sementara Kongsun Siang
telah serahkan Ih-thian kiam kepada Kun-gi, katanya lirih: "Biar
kulihat ke sana."
"Hadapilah segala ke mungkinan dengan hati2," pesan Kun-gi.
Seperti lazimnya serigala yang menubruk mangsanya, mendadak
Kongsun Siang menubruk masuk dengan lompatan dua kali, dika la
badannya hampir mencapa i dinding sebelah barat, mendadak "sret-
stet" dua kali ja lur sa mberan angin. seperti ada dua orang
menerjang masuk, Kongsun Siang mahir mendengarkan suara,
"cret" kontan pedangnya menusuk.
Dua orang yang me lompat masuk kedala m ruang pendopo
ternyata memiliki kepandaian tinggi, dalam kege lapan iapun
ayunkan pedangnya. "Trang", sekali gerak ia sampuk pedang
Kongsun Siang. Malah te mannya yang lain tidak ayal pula,
pedangnya menderu menggaris ke tubuh Kongsun Siang.
Tatkala musuh yang pertama menya mpuk pedangnya, sementara
tubuh Kongsun Siang sudah me langkah ke sa mping depan sehingga
babatan pedang orang kedua mengena i te mpat kosong.
Bergebrak di tempat gelap hanya mengutama-makan ketajaman
pendengaran dan kelincahan, karena kedua musuh sa ma2
me lancarkan serangan pedang, walau Kun-gi masih dala m jarak
enam tombak jauhnya, tapi segala gerak gerik musuh dapat
diikutinya dengan je las.
Waktu terjaring oleh jala berduri tadi lengan baju dan pundak
Kun-gi masih ketinggalan puluhan duri bergantol, selamanya dia
tidak pernah menggunakan senjata rahasia, tapi mengingat tujuan
kali ini masuk ke sarang harimau, ka lau hanya dengan bersenjata
pedang saja lawan yang berjarak jauh takkan ma mpu dicapainya,
maka dia sengaja me mbiarkan saja duri2 itu tetap bergantung di
badannya, siapa tahu nanti berguna pada saat genting. Kini setelah
dia mendengar posisi kedua lawan Kongsun Siang, segera dia
jemput dua duri dan beruntun dia menyentik dua ka li.
Muka terdengarlah suara jeritan kaget, agaknya seorang tidak
siaga dan kena jentikan duri itu tapi seorang yang lain cukup cerdik,
"tring", dengan sigap dia pukul jatuh duri yang menyerangnya.
Dia m2 Kun-gi terkejut, pikirnya: "Ilmu pedang orang ini ternyata
amat lihay."
Di ka la dia berpikir inilah dari arah timur ke mbali terdengar suara
deru angin, ada orang melompat masuk pula. Ting Kiau yang
berjaga di sa mping sana lantas menghardik: "Kena!"
Kipasnya seketika bergerak mengetuk pundak kanan pendatang
itu. Tapi orang itu se mpat angkat pedangnya menangkis kipas
le mpit Ting Kiau.
"Bagus," seru Ting Kiau, beruntun kipasnya menyerang pula
empat jurus.
Lawan tetap tidak bersuara, di bawah rangsangan gencar Ting
Kiau dia hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya, pedang
panjangnya menyampuk pergi datang me munahkan seluruh
serangan kipas lawan. Maka berulang kali terdengar suara berdering
benturan kedua senjata, empat jurus serangan Ting Kiau dapat
dipatahkan seluruhnya oleh orang itu.
Dika la pertempuran berlangsung se makin sengit, terdengar
kesiur angin pula, beruntun masuk lagi dua orang menduduki posisi
di sebelah timur. Sementara dari pintu sebelah barat melompat
masuk e mpat orang la lu berpencar. Tapi orang2 yang bela kangan
ini hanya berpeluk tangan belaka, tidak ikut terjun ke arena.
Dari suara napas mereka Kun-gi dapat mengikuti gerak gerik
mereka yang sudah berpencar ini mene mpati posisi tertentu
sehingga dirinya bertiga terkepung, dia m2 ia me mbatin: "Agaknya
secara diam2 mereka mengatur semaca m barisan di te mpat gelap."
Lalu dia kerahkan ilmu gelombang suara berkata kepada Kongsun
Siang: "Kongsun-heng, lekas mundur ke sa mpingku saja." Dengan
cara yang sama dia panggil Ting Kiau pula.
Cepat sekali Kongsun Siang dan Ting Kiau sudah mundur ke
kanan-kirinya, Kongsun Siang bersuara lirih: "Ada petunjuk apa
Ling-heng?"
"Mereka sudah me mbentuk se maca m barisan, mungkin sebentar
akan mulai bergerak, kita hanya bertiga, maka jarak satu sa ma lain
jangan terlalu jauh, kalau ke kuatan terpencar menjadi le mah, ma ka
kalian kusuruh kumpul di sini.
"Cong-coh, mereka me mbentuk barisan apa?" tanya Ting Kiau.
"Entahlah, orang mereka yang masuk berjumlah sepuluh orang,"
kata Kun-gi.
Tengah bicara, mendadak dari pintu timur dan barat melangkah
masuk empat laki2 yang masing2 mengacungkan sebuah lentera,
mereka berpencar di e mpat penjuru pendopo. Maka ruang pendopo
menjadi terang pula seperti siang hari. Sesuai dugaan Kun-gi, ke 10
laki2 maju me ngelilingi arena.
Kesepuluh orang ini terdiri tua muda ca mpur aduk, yang tua
sudah beruban rambut dan jenggotnya, yang masih muda berusia
sekitar 25-26 tahun, semua mengenakan seragam hijau dengan
potongan yang sama pula, di depan dada mereka tersulam naga
terbang. Di tangan masing2 menyoreng pedang panjang hitam
guram.
Hanya ada seorang perempuan di antara ke sepuluh orang ini,
kain hijau me mbungkus rambut kepalanya, usianya sekitar 40-an,
wajah dan dandanannya mirip seorang inang yang kejam dan kaku,
kulit mukanya yang sudah keriput dibubuhi pupur tebal, sebuah
anting2 gelang sebesar buah kelengkeng tergantung di kuping
kirinya. Sepuluh orang berdiri berkeliling menjadi sebuah lingkaran,
seorang tepat berada ditengah, agaknya pimpinan dari barisan ini.
Dan orang yang berdiri ditengah ini adalah wakil Tongcu Hwi-liong-
tong yaitu Tun Thiankhi. pedang lebar terhunus ditangannya, dia
berdiri di depan sambil bertolak pinggang. Adiknya Tun Thianlay,
termasuk satu di antara sembilan orang yang lain, Agaknya Hwi-
liong-tong kali ini telah me mboyong seluruh jago2 lihaynya, besar
tekad mere ka untuk me mbereskan Ling Kun-gi bertiga.
Anehnya Hwi-liong-tongcu sendiri yaitu Kim-kau-cian Nao Sa m
jun tidak kelihatan batang hidungnya, bayangan Ui-liong tongcu Ci
Hwi-bing juga tidak ke lihatan.
Sebelum la mpu menyala tadi Ling Kun-gi su-dah menarik mundur
Kongsun Siang dan Ting Kiau, kini mereka berdiri da la m posisi segi
tiga. Kebetulan Ling Kun-gi berhadapan dengan Tun Thianki, sekilas
sorot matanya menyapu, dengan angkuh dia berkata: "Kukira kalian
mau pa mer barisan apa, ternyata saudara Tun pula yang unjuk
gigi."
"Orang she Ling," seru Tun Thiankhi, "kau tahu barisan apakah
ini?"
”Cayhe tidak perlu tahu barisan apa segala, yang penting aku
bisa mengobrak abriknya."
"Keparat sombong," teriak Tun Thiankhi, "kau ma mpu
mengobra k-abrik Cap coat kia m-tin? Bila barisan betul2 sudah
kugerakkan, tanggung kepala mu akan terpenggal seketika, bukan
saja jiwa me layang, tubuhpun mungkin akan tercacah luluh"
Tanpa diminta dia sudah terpancing menyebutkan nama barisan
ini, yaitu Cap-coat-kiam-t in (barisan pedang top sepuluh). Mungkin
ancamannya terlalu me mbual, tapi dari pernyataannya ini dapat
pula dinila i bahwa barisan pedang ini pasti me miliki kehebatannya
yang tidak boleh di pandang enteng. Apalagi kesepuluh orang
pelaku2 barisan ini se mua me miliki Lwe kang yang sukar diukur
tingkatannya sorot matanya tajam, pedang terpeluk di depan dada,
mereka berdiri tegak sekukuh gunung, sekilas pandang orang sudah
akan ma klum bahwa mereka adalah ahli2 pedang yang
berkepandaian tinggi.
Terutama Tun Thianlay, sebagai komandan ronda Hwi-liong-tong,
kedudukannya saja tidak rendah, tapi dia toh merupakan satu saja
di antara ke 10 orang ini, bukan karena jabatannya sebagai
komandan ronda lantas dia harus lebih di agulkan. Dari sini dapat
pula disimpulkan bahwa se mbilan orang yang lain me mpunyai
jabatan yang sejajar dengan komandan ronda. Bagi setiap insan
persilatan kalau dia ingin angkat na ma ma ka dia harus me miliki
kepandaian sejati. Bahwa 10 orang ini terpilih dan ikut dala m Cap
coat kia m- tin, ma ka tak perlu disangsikan bahwa mereka me mang
jago2 kosen kelas wahid dari Hwi-liong-tong.
"Orang she Ling," bentak Tun Thianlay, "kalau sekarang kau
buang pedang dan menyerah masih se mpat menyela matkan
jiwa mu." Dia tetap menghendaki Ling Kun-gi menyerah.
"Agaknya kau yang menjadi pemimpin Cap-coat-kiam-tin,"
demikian kata Kun-gi sa mbil menatap Tun Thiankhi, kukira tak perlu
banyak bicara lagi, sila kan mulai gerakkan barisanmu."
"Kalau barisan bergerak, umpa ma kau tumbuh sayap juga jangan
harap bisa lolos," jengek Tun Thiankhi.
Kun gi tertawa, katanya: "Kalau aku ingin lari, buat apa harus
kuluruk ke Hwi-liong-tong sini."
Tun Thiankhi mendengus, pedang lebarnya terayun ke atas terus
me mbe lah lurus ke arah Ling Kun-gi. Bacokan pedangnya ini
ternyata merupakan aba2 pula bagi barisan pedangnya. ma ka
barisanpun segera bergerak, sepuluh batang pedang hitam serentak
menyerang ketengah dari arah posisi masing2. Hawa pedang segera
menimbulkan kesiur angin dingin.
"Awas, hadapi musuh dengan hati2," bentak Kun-gi. Gerakannya
sebat luar biasa, Ih-thiankia m dia pindah ke tangan kiri,
bayangannya tiba2 menyerobot ke sebelah kiri dengan jurus Tiang-
hong-toh-yam, dari kanan me nyapu ke kiri. Sedang tangan kanan
menge luarkan pula Seng-ka-kia m yang pandak, dengan tipu Yantiau
thian ka, ujung pedangnya menutul ke arah pedang lebar Tun
Thiankhi.
Serempak pedang Kongsun Siang dan kipas Ting Kiaupun sudah
bergerak, tapi sapuan pedang Kun-gi ke arah kiri laksana mata
rantai yang kuat paling tida k lima batang pedang musuh di sebelah
kiri telah kena dibendungnya.
Agaknya Tun Thian khi tidak ingin berhantam secara keras
dengan Ling Kun-gi, di tengah jalan gerak pedang lebarnya
berubah, sekali mundur la lu dilancarkan pula, kali ini menusuk iga
kiri Kun-gi.
Sekaligus Kun-gi menangkis, serangan lima orang musuh, cahaya
Ih-thiankhia m mencorong terang, pedang bergerak dari atas ke
bawah dengan tipu Sinliong-wi-thau (naga sakti berpaling kepala).
"Trang", ke mbali dia tangkis pedang lebar Tunthiankhi. Tak berhenti
sampai di sini, badannya ikut bergerak dari kiri ke kanan, pedang
pandak di tangan kanan menyerang dengan jurus Liong jiau-hoat-
hun (cakar naga menyingkap mega), cahaya hijau kemilau sekaligus
mendesak tiga orang di sebelah kanan, pedangnya itu
me mancarkan cahaya menyilaukan, di bawah landasan Lwekangnya
yang tinggi lagi, maka perbawanya hebat luar biasa, tiga orang di
sebelah kanan dipaksa me lompat mundur.
Sekali gebrak, delapan musuh dari Cap coat-kia m tin telah dibikin
kerepotan.
Seorang kakek ubanan di sebelah kanan tam-pak me mbentak
gusar: "Cepat juga bocah ini ber-gerak.”
Di tengah suara bentakannya, mendadak dia me lompat ke atas,
sinar pedang berkelebat, beruntun dua jurus dia mencecar Ling
Kun-gi. Seorang lagi me mbarengi menerjang maju, pedangnya
menusuk perut.
Pedang pandak Kun-gi cepat menyampuk ke kanan, sedikit
menggetar pedang, hawa pedang di sertai ke milau cahayanya
menge lilingi badan, sekaligus dua serangan lawannya kena
dibendungnya di luar lingkaran.
Melihat betapa tangkasnya Ling Kun gi, bertambah murka Tun
Thiankhi, sembari menggerung, lengan kanan terangkat, pedang
lebarpun menggaris sebuah lingkaran di tengah udara, berbareng
dia menubruk maju, sejalur bayangan hitam tahu2 me mbelah ke
batok kepala Ling Kun-gi.
Karena gerak lingkaran pedang lebarnya ini maka ke10 pelaku
Cap-coat-tinmendadak bergerak sa ling pindah te mpat, setiap kali
me langkah pindah tempat pasti menusuk seka li. Begitulah secara
bergantian 10 orang terus saling berganti posisi disertai pula
tusukan pedang mereka.
Hal ini menimbulkan perubahan yang amat gawat bagi Kun-gi
bertiga. Karena setiap berubah posisi, ke10 orang itu pasti menusuk
sekali, ma lish setiap tusukan pedang mengincar Hiat-to me matikan
yang harus di se la matkan sebelum se mpat balas menyerang, tapi
begitu kau menangkis dan balas menyerang, lawan sudah melompat
pergi ke te mpat lain, sementara pedang orang lain segera ganti
menganca m Hiat-tomu. Lebih hebat lagi ka-rena ke10 orang ini
semua adalah ahli pedang yang me miliki kepandaian t ingkat tinggi,
setiap ju-rus ilmu pedang yang mereka lancarkan me miliki
keistimewaannya sendiri2, ada yang lincah, ada yang bertenaga
kuat, ada pula yang menyerang secara enteng dan ganas, seperti
ma in sulap saja, gerakkannya sukar diikuti mata. Baik serangan
lincah, berat, ganas atau serba me mbingungkan, yang jelas setiap
jurus serangan mereka ini se muanya lihay me matikan.
Barisan pedang ini terus bergerak secara sere mpak berganti
kedudukan, cara kerja sama da la m menyerangpun a mat serasi,
sungguh menakjubkan dan a mat mengagumkan.
Lawan yang terjatuh ke da la m lingkaran barisan, betapapun
tinggi kepandaian silatnya, dalam situasi seperti ini pasti kerepotan
setengah mati, tangkis sana tak sempat me mbendung serangan
yang lain, serba terdesak. Empat lentera yang menerangi pendopo
cukup benderang, bayangan orang melulu yang tampa k
berseliweran di tengah desir angin pedang, hakikatnya sukar
me mbedakan wajah orang lagi.
Deru samberan angin pedang begitu kencang, tapi tak pernah
terdengar suara dering pedang sa-ling beradu. Maka dapatlah
dibayangkan betapa hebat dan berbahaya keadaan Ling Kun-gi
bertiga.
Tun Thian khi merupakan kunci atau poros dari barisan ke
sepuluh jago pedang ini, dia pun mengikuti gerak barisan, bersama
dengan sepuluh orang yang lain bergerak berpindah posisi, lompat
sana menyelinap ke mari, cuma gerak-geriknya lebih leluasa dan
bebas tidak terikat oleh gerakan sere mpet kawannya. Sehingga
setiap gerakannya bukan saja tidak menjadi penghalang dan
rintangan para teman2nya, malah selalu me mberi peluang dan
me mudahkan sepuluh orang ahli pedang itu melancarkan
serangannya. Apalagi setiap perkembangan perlawanan musuh
selalu berada dalam pengawasannya, kemanapun bergerak yang
diperhatikan hanya Ling Kun-gi saja, gaya permainan pedang lebar
ditangannya kelihatan amat sederhana, tapi yang benar setiap jurus
pedangnya selalu dapat kerja sama dengan ke sepuluh pedang
temannya.
Thiansan kia m-hoat me mang a mat sederhana, setiap tusukan
tampaknya hanya serangan yang sepele, lugu dan tidak main
gertak, tapi Ling Kun-gi justeru harus tumplek perhatiannya lebih
banyak untuk me layani serangannya daripada me mecah sisa
perhatiannya untuk menghadapi rangsakan pedang ke10 musuhnya.
Sungguh perte mpuran yang cukup sengit, hebat dan dahsyat,
pertempuran yang adu tenaga, dan pikiran tapi juga pertempuran
adu kecerdikan. Selama Kun-gi menge mbara, baru pertama kali ini
dia menghadapi pertempuran sengit dan amat me meras keringatnya
seperti sekarang ini. .
Sebelas pedang hita m yang dilumuri racun jahat berke lebat kian
ke mari menimbulkan lapisan angin kencang yang selalu menerjang
ke tengah lingkaran. Terpaksa Kun-gi peras segala ketangkasannya,
dengan pedang panjang-pendek ditangan, dia menggaris dua
lintang me mbujur miring, cahaya pedangnya tampak kemilau terang
menyilaukan, sekuat tenaga dia bendung seluruh rangsakan musuh.
Bukan saja ia harus perhatikan perubahan permainan barisan lawan,
langkah kakinya harus selalu berkisar dan pindah kedudukan,
serangan setiap pedang dari segala arah yang beraneka tipu dan
jurusnya, malah iapun harus pusatkan pikirannya untuk menghadapi
Tun Thiankhi.
Tun Thian khi bersikap dingin kereng dan juga kejam, terutama
ilmu pedangnya yang kelihatan sederhana dan tumpul, tapi
hakikatnya mengandung tipu daya yang amat keji, gerakan
pedangnya mantap dan berat, tapi mengandung variasi perubahan
yang lincah dan enteng, agaknya dia betul2 sudah me m-peroleh
intisari ajaran Thiansankia m-hoat.
Sudah tentu yang me mbuat Kun-gi kuatir adalah kesela matan
Kongsun Siang dan Ting Kiau. Kalau bertanding satu lawan satu,
dengan bekal kepandaian silat kedua rekannya ini, kiranya cukup
untuk menandingi setiap musuh, tapi di tengah kepungan la-wan
yang selalu berkisar dan hanya kelihatan ba-yangan yang
berlompatan kian ke mari, maka Kun-gi harus me mbantunya pula
me mbendung serangan musuh untuk menyela matkan mere ka.
Pertempuran berjalan sedemikian rupa dahsyatnya sehingga
terasa bagai langit mendung dan bumi gelap, sinar pedang dan deru
angin bergola k laksana ge mpa bumi.
Keempat la ki2 yang me mbawa la mpu sebagai penerangan dala m
pendopo ini terdesak mundur mepet dinding.
Kun-gi ke mbangkan ilmu pedangnya dengan seluruh
ke ma mpuannya, setelah puluhan jurus, dia lantas merasakan gejala
yang tidak menguntungkan pihaknya.
Perlu diketahui bahwa dari gurunya dia me miliki bekal berbagai
maca m ilmu sakti, ilmu simpanannya itu sebetulnya bisa
dike mbangkan dengan kombinasi ilmu pedangnya, tapi sekarang
kedua tangan harus pegang pedang serta menghadapi rangsakan
musuh, hakikatnya tiada kesempatan bagi dia untuk menge m-
bangkan ilmu saktinya. Umpa ma Hwi-liong-sa m-kia m dengan
jurusnya yang bernama Liong-jan in (naga berte mpur di tegalan),
ilmu pedang yang khu-sus untuk menghadapi keroyokan musuh
banyak tapi karena Kongsun Siang dan Ting Kiau ada di
sampingnya, sulit baginya untuk menge mbangkannya, Dia yakin
asal sebelah tangannya dapat bekerja secara semestinya, dua atau
tiga musuh pasti dapat dia robohkan, tapi keadaan sekarang amat
mendesak, tak mungkin dia melepaskan salah satu dari kedua
pedang pusakanya.
maka sekarang pedang, di tangan kiri digunakan me lindungi
badan, sementara pedang di tangan kanan bantu Ting Kiau
bertahan, lalu bergantian dengan pedang ditangan kanan
me lindungi badan sendiri, pedang di tangan kiri menyampuk pedang
musuh untuk menolong Kongsun Siang.
Sejauh ini perte mpuran berlangsung, keadaan Kongsun Siang
dan Ting Kiau betul2 sudah payah, mereka benar2 mengharapkan
bantuan, untung Kun-gi telah bantu me mbendung sebagian besar
serangan musuh, kalau tidak sejak tadi pasti mereka sudah terkapar
tak bernyawa lagi.
Barisan pedang musuh me mang lihay, tapi kipas le mpit Ting Kiau
masih bergerak dengan tangkas juga, tangkis kiri sampuk kanan,
keadaannya sudah terdesak dan hanya mampu me mpertahankan
diri belaka, sudah tentu hatinyapun gugup dan gelisah.
Maklumlah di dala m rangka kipas besinya itu ada tersimpan
jarum2 berbisa, bila dia me mperoleh sedetik pe luang me mbuka
lebar kipasnya, jarum2 berbisa a kan segera me mberondong keluar,
paling tida k beberapa musuh pasti akan dilukai, sayang selama ini
keadaannya amat gawat, tak pernah dia me mperoleh kese mpatan,
kalau situasi begini ber-langsung lebih la ma tentu jiwa mereka akan
terancam.
Kun-gi cukup paham, Kongsun Siang dan Ting Kiau juga maklum,
tapi cara bagaimana mereka harus mengubah posisi dan merebut
situasi? Sukar untuk mengatakannya. Beberapa gebrak telah
berlangsung pula, Kun-gi betul2 sudah kerahkan segala daya
ke ma mpuannya, tapi barisan pedang musuh justeru semakin rapat
dan ketat, serangannya terang makin berat dan gencar.
Semula Kun-gi bertiga berdiri dala m formasi segi tiga dala m jarak
cukup rapat, karena tekanan barisan pedang musuh terasa semakin
berat, mereka semakin mundur dan jarak mereka tinggal dua tiga
kaki. Apalagi seorang harus bertahan untuk me lindungi jiwa t iga
orang, sedikit lena satu di antara mereka bertiga akan roboh binasa.
Jelas keadaan gawat ini tidak boleh berlangsung terlalu la ma.
Di tengah pertempuran sengit itu, mendadak Ting Kiau berteriak:
"Cong-coh, tolong kau bantu aku menahan musuh." Se mbari
berkaok ka ki Ting Kiau lantas menyurut mundur.
Sudah tentu Kun-gi kaget, Seng-ka-kia m di tangan kanannya
segera menyapu dengan tipu Hing-lanjianli (pagar me mbentang
ribuan li), selarik cahaya hijau segera menggulung ke depan,
berbareng dia bertanya: "Ting-heng apakah kau terluka?"
Daya-pedangnya yang menyapu ini sungguh hebat sekali,
sedikitnya empat batang pedang musuh yang menganca m tubuh
Ting Kiau telah dipatahkannya di tengah jalan.
Mendengar teriakan Ting Kiau, Tun Tiankhi mengira me mperoleh
kesempatan baik, begitu Ling Kun gi menyapukan pedang tangan
kanan, segera ia berkelebat maju tepat berhadapan dengan Kun-gi,
pedang lebarnya dengan deru angin yang keras menusuk ke dada,
serangan terjadi secepat kilat menya mbar.
Sementara itu pedang Kun-gi berhasil me matahkan e mpat
pedang musuh, iapun mendapat jawaban Ting Kiau yang lagi
beringas: "Ha mba baik2 saja' Belum lenyap teriakannya, kipasnya
tiba2, menjeplak terbuka dibarengi suara menjepret, serumpun
jarum2 ha lus bagai bulu kerbau segera menya mbar ke depan
mengarah orang2 yang berada di depannya.
Kun-gi t idak kira bahwa Tun Thiankhi dapat menyelinap maju
sedemikian cepat dan tangkas, untuk me mutar pedang me mbela diri
jelas tak keburu, se mentara pedang lebar lawan sudah satu kaki di
depan dadanya, jangankan Ih-thiankia m panjangnya e mpat ka ki,
sementara Seng-ka-kia m yang pendek juga ada dua kaki
panjangnya, untuk di-tarik balik menangkis je las tidak mungkin.
Sekilas darahnya tersirap, menghadapi bahaya timbut hasrat nekat
menyerempet bahaya, jari2 tangan kanan yang menggengga m
pedang tiba2 sedikit mengendur, jari tengah mendadak menjentik
ke bawah pedang panjang musuh. Yang dilancarkan ini adalah It-
cay-siankang (selentikan jari sa kti), sejalur angin se lentikan yang
keras seketika menerjang ke depan "Creng", tepat pedang lebar
lawan kena diselentiknya sehingga mental ke sa mping.
Pada saat yang sama di tengah gelak tawa Ting Kiau yang
beringas, terdengar pula gerungan gusar dan jeritan yang menyayat
hati.
Yang tertawa beringas adalah Ting Kiau yang berhasil menyambit
serumpun jarum2 berbisa. Yang menggerung gusar dan menjerit
kesakitan adalah empat orang baju hijau yang keempat pedang
mereka kena disa mpuk pergi oleh pedang Ling Kun-gi. Dua orang
sempat melihat bahaya, sembari menggerung gusar mereka putar
pedang bagai kitiran sambil me lompat mundur, ce lakalah dua
temannya yang melompat maju belakangan, baru sa-ja mereka
mene mpati posisi, tahu2 jarum Ting Kiau sudah me mapa k mereka,
untuk menangkis tidak mungkin, berkelitpun tidak bisa, kontan
mereka menjerit ngeri dan roboh binasa.
Mendengar gerungan gusar dan jeritan ngeri apalagi pedangnya
terjentik miring lagi, keruan Tun Thiankhi kaget setengah mati,
hampir saja dia tak kuasa me megang pedangnya lagi.
Bahwa jentikannrya berhasil me matahkan serangan musuh, Kun-
gi segera kerjakan kedua tangannya, dengan mengembangkan Tay-
beng-jance (burung galak menge mbang sayap), dua larik sinar
pedangnya, tiba2 bercerai ke kanan-kiri menyapu dan dibarengi
tendangan kaki mengge ledek ke arah depan dengan tipu To-sing to,
Ling Kun-gi me nendang sa mbil me ngapungkan badan ke udara.
Karena pedang tersampuk miring sehingga dada Tun Thiankhi
terbuka, sementara jarak mereka sedemikian dekat, untuk berkelit
sudah tidak mungkin lagi. "Blang", dengan telak tendangan Kun-gi
tepat mengenai dadanya, mulut menguak keras, badan seketika
mence lat me la mpaui kepala orang banyak sa mbil menye mburkan
darah dan ter-banting keras di luar arena, napasnya putus seketika.
Dua orang roboh binasa terkena jarum berbisa, Tun Thiankhi
yang pegang kendali dan menjadi pimpinan barisan Cap-coat-kia m-
tin ini juga binasa ditendang Ling Kun-gi, pelaku2 barisan yang lain
tidak tahu kalau Tun Thiankhi sudah putus napas, dikala
pertempuran me muncak begini sengit dan seru mendadak terjadi
perubahan fatal, keruan barisan pedang menjadi kalang-kabut
Sejak mula i gebrak Kongsun Siang se lalu terdesak di bawah
angin, betapa gusar dan penasarnya sungguh tak terkatakan, kini
me lihat ada peluang, mendadak dia menggertak keras, segera ia
menubruk maju, pedangpun be kerja. "Creet", seorang baju hijau
kena ditusuk iga kirinya, agaknya amarahnya betul2 me muncak,
begitu ujung pedang a mbles ke iga lawan, menyusul teras dipuntir,
seketika orang itu menjerit ngeri, dadanya berlobang besar dengan
tulang iganya terpapas kutung seluruhnya.
Berhasil menendang roboh Tun Thiankhi, su-dah tentu semangat
tempur Ling Kun-gi bertambah besar, sekali ayun tangan kiri, Ih-
thiankia m me mancarkan cahaya kemilau menggulung kedepan,
empat orang baju hijau tepat berada di depannya. Baru saja tangan
kiri Kun-gi bergerak, tangan kanan dengan pedang pandak bergerak
pula, ditengah ke milau cahaya pedangnya me mancarkan bintik2
sinar yang dingin. Kiranya Ling Kun-gi telah ke mbangkan jurus Hing-
ho-liu-sa dari Tat-mo-kia m hoat yang hebat.
Empat orang berbaju hijau di depannya itu menjadi mati kutu
menghadapi gerakan kedua pedang Ling Kun-gi, untuk
menangkispun tak ma mpu lagi, terpaksa mereka mundur t iga
langkah. Bahwa kedudukan barisan sudah goyah, para pelakunya
juga sama berguguran lagi, maka Cap-coat-kia m-tin itu se makin
kacau, kini kee mpat orang inipun terdesak mundur, maka pecahlah
barisan pedang kesepuluh orang yang amat dibanggakan
kedahsyatannya oleh Hek-liong-hwe itu.
Beruntun dua kali gerakan pedang Ling Kun-gi menahan kee mpat
orang, Ting Kiau dengan kipas le mpitnya juga mencegat seorang
lawan dengan permainan kipasnya yang lihay. Di sebelah kiri Kong-
sun Siang dengan gerungan mirip serigala kelaparan
menge mbangkan Thianlong-kia m-hoat, seluruh kekuatan dia
kerahkan, badan bergerak setangkas 'serigala mencari mangsa di
tengah gerombolan ka mbing", sinar pedangnya timbul selulup, dua
orang musuh kontan dirobohkan.
Cap-coat-kiam-tin yang dibentuk dengan mengutama kan saling
bantu, ber-pindah2 posisi serta saling isi dari para pelakunya yang
me miliki kepandaian ilmu silat beragam itu, kini sudah tercerai-berai
menjadi tiga kelompok pertempuran yang berjalan sendiri2,
terpaksa mereka kini harus menganda l kekuatan sendiri untuk
mengadu jiwa.
Melihat Cap-coat-tin sudah pecah, semakin berkobar se mangat
tempur Kun-gi, segera ia berteriak lantang: "Kongsun-heng, Ting-
heng, tahan dan kurung mereka, jangan lepaskan satupun di antara
mereka."
"Sret", beruntun tiga kali gerakan pedang Ling Kun-gi
me mancarkan cahaya pedang kemilau me mbendang empat orang
berbaju hijau yang mencoba berpencar, tiba2 pedang panda k di
tangan ka-nannya dia tusukan ke bawah tanah sehingga tangan
kanannya sekarang tidak bersenjata.
Terdengar seorang kakek diantara musuh itu menggerung gusar,
bentaknya: "Bocah keparat she Ling, kau kira kalian sudah pasti
menang?"
Mendadak ia menerobos maju, pedang menu-suk lurus ke depan.
Pedang itu berwarna hita m ge lap menimbulkan deru angin yang
keras.
Kun-gi tahu kakek ubanan ini berkepandaian paling tinggi di
antara empat lawan yang ditahannya, karena dia pikir harus
secepatnya mengakhiri pertempuran di sini, ma ka timbul niatnya
me lenyapkan orang ini lebih dulu, segera ia me mbentak: "Sebut kan
nama mu agar dapat kunila i apakah setimpal aku merenggut
jiwa mu?".
Berbareng tangan kanan bergerak menepuk sekali, segulung
tenaga lunak tak kelihatan menyong-song tusukan pedang lawan,
tusukan pedang si ka kek ternyata kena di tahannya dan me mbelok
ke sa mping.
Terkesiap si kakek, dia tarik tangannya, pedang dia tarik mundur,
tapi secepat kilat dia tusukkan pula lebih keras, mulutpun
menghardik:? "Lohu He Ho-bong adanya!"
"O, kiranya kau inilah Jit-poh-tui-hun (tujuh langkah mengejar
sukma)", jengek Ling Kun-gi dingin."iblis laknat dari ka langan jahat
yang membunuh mangsanya tak pernah berkedip. Bagus sekali,
kedua tanganmu sudah berlumuran darah, dosamu keliwat takaran,
hari ini tak dapat kua mpuni jiwa mu."
Sambil bicara dia luruskan lengan kanan ke depan, pelan2
telapak tangannya menepuk.
He Ho-hong menjadi gusar, da mperatnya: "Bocah keparat,
jangan kau . . . . " sebetulnya dia hendak bilang "jangan kau
takabur", tapi kata2 yang terakhir belum se mpat dia ucapkan,
mendadak rona mukanya berubah hebat. Duk duk duk, tiba2 ia
tergentak mundur beberapa tindak, mulut terbuka darahpun
menye mbur, pelan2 badannya roboh tersungkur.
Sudah tentu kaget dan ngeri ketiga temannya menyaksikan
kawannya gugur, satu di antaranya tiba2 menghardik ka lap:
"Hayolah kita adu jiwa dengannya!" Tiga batang pedang segera
menya mbar ke depan dengan berbagai tipu ilmu pedang masing2.
Tangan kiri Kun-gi berayun beberapa kali, Ih-thiankia m
me mancarkan sinar terang, bukan saja serangan lawan dapat
dipunahkan, malah badan ketiga lawan seolah terbungkus dala m
sinar pedangnya, Kun-gi lantas me mbentak: "Kali-an bertiga satu
persatu sebutkan nama sendiri2, ingin kutahu apakah kalian
penjahat yang pantas dihukum mat i atau tidak?" Tangan kirinya
menge mbangkan Tat-mo-kia m-hoat, inilah ilmu pedang pelindung
Siau-lim-si, setelah digubah oleh Hoan jiu ji-lay, kini dikbe mbangkan
Ling dKun-gi dengan taangan kiri, terbnyata perbawanya jauh lebih
meyakinkan.
Dala m sekejap saja ketiga musuh sudah terbungkus oleh cahaya
pedang yang menyilaukan, la ma2 mereka menjadi pusing tujuh
keliling, mata berkunang2, meski sudah terdesak dan teranca m
jiwanya, tapi ketiga orang tetap bandel, mereka tetap putar pedang
me lawan dengan ne kat.
Akhirnya Kun-gi menjadi tida k sabar, katanya sambil mendengus:
"Kalian tidak mau mengenalkan diri, jelas durjana kejam kelewat
takaran dosanya dan pantas dihukum mati." Belum habis
ucapannya, pedang panjang ditangan kanan sudah melancarkan
tiga kali serangan, dia tahan serbuan bersama ketiga musuh,
berbareng sebelah kakinya menyurut mundur, tangan kanan
terangkat, kembali dia menepuk seka li, yang diincar adalah laki2
yang bermuka jelek dengan daging besar menonjol di mukanya.
Sudah tentu laki2 muka buruk ini kaget dan ketakutan, sekuatnya
dia putar pedang me lindungi badan, tapi Mo-ni-in yang dilancarkan
Ling Kun-gi mana bisa ditahan oleh daya putaran sebatang pedang.
Ia menggerung tertahan, pedangnya terlempar, badan terhuyung
dan akhirnya roboh tersungkur.
Dala m beberapa gebrak saja dua orang di antara empat lawan
telah digasak binasa, sudah tentu dua orang yang masih sisa hidup
menjadi kaget dan ketakutan, serempak mereka menyerang
beberapa kali, begitu menyurut mundur, sigap sekali mereka putar
badan sambil melompat berpencar kedua arah dan lari ke luar.
Kun-gi me lotot gusar, serunya: "Kalian ingin lolos dari tangan
orang she Ling, me mangnya begini mudah?" Tangan kanan
mencabut Seng-ka-kia m yang menancap di tanah, sekali timpuk dia
sambitkan pedang pandak itu ke arah punggung orang baju hijau
yang tengah berlari ke arah pintu batu.
Begitu pedang pandak terlepas dari tangan, segera iapun melejit
tinggi me ngudak ke arah orang berbaju hijau yang lain.
Mimpipun orang yang lari ke arah kanan tidak pernah menduga
bahwa Ling Kun-gi akan menimpuknya dengan pedang pandak
seperti le mbing, ketika dia mendengar sa mberan angin kencang,
untuk berkelit sudah tidak keburu lagi. Di tengah teriakan kejutnya,
tahu2 Seng-ka-kia m telah menusuk punggung dan tembus ke luar
dada, orang itu masih lari beberapa langkah baru ke mudian
tersungkur ma mpus.
Seorang lagi lari ke arah berlawanan, ia sedang girang karena
dirinya hampir mencapai pintu, mendadak pandangannya menjadi
silau oleh berke lebatnya cahaya kemilau, Kun-gi ternyata sudah
menukik turun mengadang di depannya.
Sekilas kaget segera orang itu mengayun tangan kirinya,
segulung asap tebal tiba2 menye mbur keluar, sementara pedang di
tangan kanan menyerang dengan jurus "mendorong perahu
mengikut i arus a ir", dada
Kun-gi ditusuknya, malah sambil menyeringai seram dia
menda mperat: "Anak bagus, kau terlalu pandang rendah diriku, si
"pedang dala m kabut" ini."
Bu-tiong-kia m atau "pedang dala m kabut" cukup menyeramkan
juga julukannya ini, dapat pula kita bayangkan betapa kejamnya
orang ini, pastilah dia ge mbong penjahat yang sudah kelewat
takaran kejahatannya.
Asap itu kalau bukan mengandung obat bius tentu mengandung
racun, tapi Kun-gi tidak takut racun tidak gentar obat bius, dengan
tegap dia tetap berdiri di tengah pintu, tangan kanan terangkat,
dengan jari telunjuk dan jari tengah dia jepit ujung pedang lawan
yang menusuk dadanya itu.
Bahwa pedangnya kena dijepit jari2 Ling Kun-gi, tapi Bu-tiong-
kia m t idak kelihatan kaget dan gugup, dia hanya menyurut setengah
tindak, sebelah tangan terangkat serta mengulap, katanya tiba2
sambil me nyeringai saja: "Anak muda, robohlah, robohlah!'
Kun-gi tetap berdiri, tak berge ming, jengeknya: "Kau kira asap
racunmu dapat merobohkan aku orang she Ling? Nah pergilah kau!"
Pedang yang dia jepit dengan kedua jarinya mendadak dia dorong
ke depan.
Melihat Kun-gi tidak roboh seperti yang dia harapkan, Bu-tiong-
kia m sudah mulai jera, belum lagi dia lepas pedang dan hendak
me lompat mundur, tahu2 gagang pedang sendiri yang dipegangnya
telah tergentak mundur oleh dorongan Kun-gi dan "duk" dengan
telak menyodok dadanya, tanpa mengeluarkan, suara pelan2 dia
sendiri yang roboh terjiengkang malah.
Sementara itu musuh yang dihadapi Ting Kiau adalah Tun
Thianlay, komandan ronda Hwi-liong-tong.
Senjata yang dipakainya adalah pedang panjang dan lebar,
Thiansankia m-hoat yang dia mainkan ta mpak begitu mahir, meski
dia tidak me miliki Lwe kang sekuat engkohnya, Tun Thianki, tapi
dalam gerakan yang amat sederhana itu, mengandang banyak
perubahan yang tidak kalah lihaynya, malah setiap gerak tipu
serangannya tidak tanggung2 dan cukup keji.
Sementara kipas Ting Kiau kadang2 terbentang dan tahu2
mengatup, kalau terbentang laksana ka mpak besar, me mbe lah
tegak atau membabat miring, deru anginnya cukup keras mengiria
kulit. Kalau kipas dile mpit merupakan tongkat besi sepanjang satu
kaki peranti menutuk dan menyodok, di sa mping untuk mengincar
Hiat-to dapat pula untuk me luka i setiap anggota badan lawan.
Di antara babak pertempuran yang terus berlangsung sengit ini
adalah Kongsun Siang yang mengala mi tekanan paling berat.
lawannya dua orang, seorang berusia 40-an, berjambang pendek,
permainan ilmu pedangnya lebih mirip ilmu golok, pedangnya yang
berat itu lebih sering me mbacok dan me mbabat.
Seorang lagi adalah satu2nya perempuan di dala m barisan Cap
coat kiam-tin, usianya sudah lebih 40, tapi mukanya masih
mengenakan pupur tebal dan gincu yang berwarna menyala,
kupingnya dihiasi sepasang anting2 ge lang sebesar telur ayam,
anting2 besar ini gondal gandul mengikuti gerak permainan senjata
di tangannya, kecuali pupur, gincu dan anting2 dikupingnya itu
orang sukar mene mukan ciri2 pere mpuan pada badannya yang
kekar besar ini. Tapi ilmu pedangnya ternyata lincah, cekatan, ganas
dan keji, segala sifat buas yang ada pada binatang seolah2 tercakup
seluruhnya di dala m perma inan pedangnya.
Cukup payah dan memeras keringat juga Kongsun Siang
menghadapi kedua lawannya ini, tiga orang dala m formasi segi t iga
sedang seorang menyerang dengan sengit selama puluhan gebrak,
meski belum tampak ka lah, tapi juga belum ada tanda2 Akan dapat
mengungguli kedua lawannya.
Si baju hijau yang berpedang dengan gaya permainan ilmu golok
agaknya tidak sabar lagi, dengan menggerung gusar tiba2
pedangnya berputar kencang, tampak bayangan gelap ber-lapis2,
laksana gelombang menggulung tiba.
Sejak tadi Kongsun Siang sudah berusaha menghindari benturan
senjata dengan lawan, dalam keadaan kepepet seperti sekarang ini,
umpa ma dia berusaha untuk me nghindar lagi juga sudah tida k
keburu lagi. Maka terdengarlah dering nyaring me mekak telinga dari
benturan dua senjata yang bentrok secara keras, Kongsun Siang
merasa telapak tangan sendiri tergetar pegal dan pati rasa,
beruntung dia mundur dua langkah, tiba2 sebuah hardikan
mengguntur di pinggir telinganya, perempuan baju hijau di
sebelahnya telah menubruk maju sa mbil me mutar pedangnya
laksana angin lesus menggulung mangsanya.
Sigap sekali Kongsun Siang menubruk ke depan, sementara
pedangnya memba lik kebelakang menusuk pere mpuan itu, tapi baru
saja gerakan mengegos sa mbil me nyerang ini dia lancarkan, jalur
hitam dari bayangan pedang lain tahu2 sudah menyapu tiba pula
dan mengincar bagian bawah badannya. Keruan tidak kepa lang
kaget Kongsun Siang, cepat2 dia berkelit pula, tapi tak urung
pahanya tergores luka juga, darah segera meleleh me mbasahi
celananya.
Untunglah pada saat itu Ling Kun-gi telah menyimpan pedang
pandaknya dan segera me mbentak: "Kongsun-heng, mundurlah
kau.".
Kongsun Siang tidak hiraukan seruan ini, sambil me nggerung dia
tinggalkan pere mpuan baju hijau lawannya, mendadak dia
menubruk ke arah laki2 berewok bersenjata pedang, Sret, sret, sret,
sret secepat kilat dia lontarkan tujuh serangan ganas dan lihay dari
Thianlong-kia m.
Bahwa Cap-coat-tin sudah pecah, kini Kongsun Siang
meninggalkan dia, sudah tentu sangat kebetulan bagi perempuan
baju itu, tanpa peduli mati hidup te mannya, segera dia melejit
mundur terus berke lebat ke arah pintu sebelah kiri.
Tak terduga Ling Kun-gi ternyata bergerak lebih cepat lagi, tahu2
dia sudah mencegat di depannya, hardiknya: "Nona sebutkan dulu
julukanmu."
Melihat orang sudah menyimpan pedang, dengan bertangan
kosong berani mencegat dirinya lagi, seketika perempuan baju hijau
yang berpupur tebal menjengek: "Siapa nona besarmu ini, setelah
kau me lihat ini pasti akan tahu" Mendadak tangan kirinya terayun,
entah cara bagaimana cepat sekali dia sudah kenakan sarung
tangan, segenggam pasir beracun segera dia sebarkan ke arah Ling
Kun-gi.
Menegak alis Kun-gi, wajahnya tampak bercahaya dan penuh
wibawa, serunya sambil tertawa lantang: "Toanhuntok-sa" (pasir
beracun perenggut nyawa), me mang kau tidak perlu sebutkan
nama mu lagi."
Sambil bicara dengan enteng dia angkat lengan bajunya terus
mengebut, taburan pasir beracun la-wan tahu2 tergulung
seluruhnya, malah terus diha mbur balik menyerang tuannya.
Sudah tentu mimpipun perempuan baju hijau tidak pernah
menyangka bahwa Ling Kun-gi a kan berbuat seperti itu, sembari
menjerit kaget, belum lagi dia se mpat menyingkir, pasir beracun
miliknya sendiri tahu2 sudah mengena i badan sendiri, asap hita m
segera mengepul dari se luruh badannya, pelan2 iapun roboh
terkulai dan binasa.
Dala m ruang pendopo yang cukup luas ini kini tinggal e mpat
orang lagi yang masih terus berhantam dengan sengit. Ting Kiau
dengan kipas le mpitnya masih saling serang dengan Tun Thian lay
yang bersenjata pedang lebar, keduanya berebut kesempatan dan
mengejar ke menangan. Sayang sekali jarum beracun yang
tersimpan da la m kerangka kipasnya sudah habis terpakai, dala m
keadaan mendesak ini terang tak se mpat lagi dia me masang dan
mengisi jarum2nya, terpaksa dia andalkan ke mahiran ilmu kipasnya
menghadapi ilmu pedang musuh.
Setelah perempuan baju hijau tewas, Kongsun Siang kini hanya
menghadapi satu lawan, seluruh perhatian dapatr dia tumple k
ketpada lawan yangq satu ini, makar Thianlong-kia m dapat dia
ke mbangkan dengan lancar dan gencar, ia melompat kian ke mari
setangkas serigala, tiba2 terjang ke kiri, tahu2 menubruk ke kanan,
sinar pedangnyapun ikut bergaya laksana kilat,
Sebetulnya cukup keras dan ganas juga -permainan ilmu pedang
bergaya golok si laki2 berewok, tapi Thianlong-kia m Kongsun Siang
sangat lihay dengan gerakan2 aneh dan membingungkan sehingga
lawan dibuat pusing mengikuti gerakkannya, akhirnya hanya
bertahan saja dan tidak segarang tadi.
Karena paha tergores luka pedang lawan, betapa geram hati
Kongsun Siang, dendam rasanya tidak terlampias sebelum lawannya
roboh termakan pedangnya, padahal pahanya masih terus
me lelehkan darah berwarna hita m hingga me mbasahi lantai.
Yang terkejut adalah Ling Kun-gi, melihat darah hita m di paha
Kongsun Siang, baru dia ingat bahwa pedang lawan dilumuri getah
beracun, segera dia berseru: "Kongsun-heng, lekas mundur."
Tangan terayun, dia me mbelah ketengah antara kedua lawan yang
lagi berhanta m seru.
Pedang Kongsun Siang terayun kencang, serangannya gencar
seperti orang kalap, pikirannya sudah mulai kabur, cuma dia terlalu
apal dan mahir mengguna kan ilmu pedangnya, maka ka ki bergerak
tanganpun bekerja secara otomatis. mendadak dia tersentak
mendengar seruan Ling Kun-gi, serta merta gerakannya sedikit
merandek, badan bagian ataspun tampak bergontai lemah, akhirnya
sempoyongan dan jatuh terduduk dengan lungla i di lantai.
Pukulan telapak tangan ke tengah2 kedua lawan yang lagi
berhantam oleh Ling Kun-gi itu ternyata tepat pada waktunya,
gerakan telapak tangannya menimbulkan seja lur angin lunak mena-
han luncuran pedang la ki2 berewok berilmu golok aneh itu, sigap
sekali dia me lejit maju ke sa mping Kongsun Siang. Bersa maan
waktunya laki2 berewok itupun melompat mundur, begitu me mba lik
terus lari keluar pintu.
Tak sempat lagi Ling Kun-gi menghiraukan musuh, kesela matan
Kongsun Siang lebih uta ma, lekas dia keluarkan Le liong-pi-tok-cu,
celana Kong-sun Siang yang sudah basah dan lengket dikulit dia
sobek, mutiara itu segera dia gosok dan digelindingkan beberapa
bali pulang pergi dipermukaan kulit dagingnya yang terluka.
Dala m pada itu Tun Thianlay masih me labrak Ting Kiau mati2an,
bahwa teman-te mannya sudah binasa dan ada yang melarikan diri,
tinggal dia seorang yang masih berhantam me mpertahankan jiwa,
sudah tentu semakin luluh se mangat tempurnya, suatu ketika dia
pergencar gerak pedang lebarnya, dengan sengit dia menyerang
tiga kali, setelah Ting Kiau dapat diaesaknya mundur, lekas dia
me lompat ke belakang, gerakannya masih tangkas meski sudah
kehabisan tenaga setelah bertempur sekian la manya, tahu2
bayangannya sudah berkelebat keluar pintu.
Sudah tentu Ting Kiau tidak berpeluk tangan, segera ia
menghardik: "Orang she Tun, ke mana kau mau lari" Tanpa pikir
segera ia mengejar ke sana.
Kun-gi sendiri tengah mengerahkan Lwekang me mbantu
menye mbuhkan luka Kongsun Siang, mendengar hardikan Ting
Kiau, lekas dia berpaling seraya berteriak: "Ting heng, musuh sudah
kalah, tak usah dikejar." '
Sementara itu empat laki2 yang berdiri di e mpat pojok me mbawa
la mpion tadi secara diam2pun telah me mada mkan api serta
menghilang entah lari ke mana. Kini t inggal Ling Kun-gi dan
Kongsun Siang dua orang saja yang berada di dalam pedopo yang
gelap itu.
Hati Kun-gi amat gelisah, tapi Kongsun Siang pingsan keracunan,
terpaksa dia harus menolongnya lebih dulu. Untung Pi-tok-cu adalah
obat mujarab untuk menawarkan bisa getah beracun, tak seberapa
la ma kadar racun yang mengera m di luka Kongsun Siang sudah
me leleh keluar bersa ma darah hitam, setelah luka dipaha rasanya
tidak me mbahayakan lagi, segera dia menyobek jubah sendiri untuk
pembalut luka orang.
Kongsun Siang menarik napas panjang dan pelan2 me mbuka
mata, teriaknya: "Ling-Leng. . . . ." Belum habis dia bicara
mendadak suara ge muruh sayup2 mulai timbul seperti datang dari
bawah tanah.
Tergerak hati Kun-gi, katanya: "Mungkin mereka sudah mulai
mengerjakan alat perangkap, lekas kita tinggalkan tempat ini."
Sambil me mapah Kongsun Siang segera ia berdiri.
"Ling-heng," ujar Kongsun Siang sambil meronta., "biar Siaute
berjalan sendiri."
Sementara suara gemuruh yang bergema se makin keras dari
bawah bumi, se makin dekat dan keras. Waktu Kun-gi angkat kepala,
dilihatnya pintu batu sebelah timur dan barat mulai bergerak
menutup, lekas dia berkata: "Luka Kongsun-heng belum se mbuh,
marilah kupapah saja."
Dengan tangan kiri setengah menge mpit pinggang orang,
dengan beberapa kali gerakan mereka sudah meluncur ke arah
pintu timur yang jaraknya lebih dekat. Ternyata di luar pintu adalah
sebuah lorong panjang yang beralaskan batu2 hijau, tidak cukup
untuk jalan dua orang berjajar, tampak patung batu tadi kini sudah
menggeser mundur ke dinding dan bergerak lagi.
Baru beberapa langkah Kun-gi berjalan sa mbil setengah
menyeret Kongsun Siang, terdengar suara gedubrakan keras, pintu
batu dibelakangnya sudah tertutup rapat dengan mengeluarkan
suara gemuruh.
Kongsun Siang menegakkan badannya, dengan kuatir ia tanya:
"Ling-heng, mana Ting-heng? Dia tida k ke luar?"
"Dia mengejar seorang musuh yang lari ke pintu barat tadi," tutur
Kun-gi.
Pintu batu sudah tertutup tapi suara gemuruh di bawah tanah
masih terus berge ma, Dia m2 Kun-gi merasa heran, akhirnya dia
kerahkan Lwe kang dengan ketaja man matanya dia periksa keadaan
sekelilingnya. Nyata dinding se kelilingnya tetap utuh tak nampa k
perubahan apa2, tanpa sengaja ia mendongak melihat ke atap.
Seketika ia me lonjak kaget, ternyata batu besar yang tepat di atas
lorong tengah menindih turun pelan2. Betapapun tabah hati Ling
Kun-gi, meski t idak sedikit musuh2 tangguh yang pernah dia
kalahkan, tapi belum pernah dia menghadapi keadaan gawat seperti
ini, tanpa banyak pikir tekas dia kempit Kongsun Sing terus kabur ke
depan secepatnya.
Lorong sempit ini ternyata sepuluhan tambak panjangnya,
sepanjang itu batu yang berada di atas lorong sama2 ambles ke
bawah, ke manapun berlari dan betapapun cepat ingin menyingkir
tetap akan sia2 belaka, karena batu atap di bagian depan lorong
yang bakal dilalui juga telah mulai menggeser ke bawah,
Tiba2 di ujung lorong Kun-gi diadang oleh dinding batu pula,
jelas tiada jalan keluar untuk menyelamatkan diri, se mentara batu
atap masih terus menindih turun sema kin rendah dan sudah ha mpir
menyentuh kepala, saking bingungnya akhirnya dia menghela napas
putus asa, katanya: "Kongsun-heng, agaknya mala m ini kita baka l
terkubur di tempat ini."
Luka paha Kongsun Siang belum sembuh, tapi sekuatnya dia
berdiri sa mbil bertopang di badan Ling Kun-gi, keadaan sudah amat
mendesak, tapi mereka tetap berlaku tenang, dengan ketaja man
matanya dia berusaha me meriksa dinding di sekitarnya.
Mendadak kaki kirinya yang tidak terluka dia ulur dan menendang
sekuatnya ke dinding sebelah kiri bawah, lalu menginjak pula
sekeras2nya lantai di depan kakinya. Terasa lantai yang terpijak
kakinya anjlok turun, ternyata lantai yang diinjaknya itu dapat
bergerak, waktu dia angkat kakinya, lantai itu terangkat naik pula ke
tempat asalnya, kalau tidak diperhatikan orang takkan tahu kalau di
situ ada rahasianya
Dala m pada itu batu di atas kepala sudah merosot sema kin
rendah, mereka sudah tak bisa berdiri tegak lagi, dengan setengah
berjongkok mere ka mundur mepet dinding, tapi pada detik2 yang
menentukan itulah, mungkin karena menginjak lantai yang melesat
turun oleh injakan Kongsun Siang tadi, tahu2 dinding di sebelah kiri
mereka tanpa suara telah bergerak dan terbukalah celah2 yang
cukup lebar.
Kongsun Siang menghela napas lega, katanya:
"Syukurlah jalan ke luarnya kena kutebak dengan jitu. Ling-heng,
lekas ke luar” Lalu dia mendahului me nerobos keluar.
Setelah berada di luar, Kun-gi berkata lega sambil tertawa:
"Untung Kongsun-heng paha m juga akan perma inan peralatan
rahasia itu, kalau t idak kita sudah tertindih hancur lebur,"
"Blum!" selagi mereka bicara itulah batu besar di lorong itu sudah
anjlok, besarnya tepat memenuhi sepanjang lorong, tiada yang
sedikitpun yang tersisa.
Dia m2 Kun-gi berkeringat dingin, batinnya: "Entah bagaimana
keadaan Ting Kiau, mungkinkah iapun kejatuhan batu, semoga dia
lolos dari elma ut."
Di luar lorong ternyata masih ada lorong lagi yang di pagari
dinding tinggi, cuma lorong di sini sedikit lebih lebar. Dengan
mengacungkan Leliong cu di atas kepala, Kun-gi me mbuka jalan di
sebelah depan, sementara luka di paha Kongsun Siang sudah
dibalut, maka dia bisa bergerak lebih leluasa, dengan ketat dia
mengikut i langkah Ling Kun-gi.
Lorong panjang ini a mat gelap, bayangan setanpun tidak
kelihatan, tapi dengan hati2 dan waspada mereka terus
menggere met maju. Kira2 puluhan tom-bak ke mudian, dari
kegelapan dibelokan sebelah depan sana berkelebat sinar pedang
yang menyamber laksana kilat, begitu cepat dan lihay sa mberan
sinar pedang ini, tahu2 sudah me mbabat miring mengincar
pinggang Ling Kun-gi.
Untunglah Kun-gi sela!u pasang kuping dan pasang mata lebar2,
serangan terjadi mendadak dan sukar dijaga, lawan yang sembunyi
agaknya me mang lihay, sampai dengus napaspun t idak terdengar,
sehingga tak tersangka, kalau musuh tiba2 me lancarkan serangan
gelap selihay ini..
Secara otomatis begitu melihat sinar pedang menyamber tiba,
Kun-gi ayun tangannya menepuk ke batang pedang lawan, padahal
ujung pedang lawan sudah dekat pinggangnya, untunglah tepukan
tangannya yang bertenaga kuat mampu menggetar pergi pedang
lawan.
Si pe mbokong ternyata berkepandaian tinggi, tahu2 pedangnya
ditarik ba lik, dalam kegelapan yang menguntungkannya, dia lompat
ke belakang, berbareng dua bintik sinar dingin tahu2 me luncur ke
arah Ling Kun-gi.
Kun-gi mendengus, sekali lengan bajunya mengebut, kedua
bintik sinar itu seketika tergulung ke dala m gerakan Kian kut siu,
sekali senda l lagi kedua bintik ke milau itupun jatuh ke tanah.
Gebrak ini berlangsung da la m sekejap, dengan cepat Kun-gi
menguda k maju seraya me mbentak, sekali berkelebat dia sudah
menerobos ke te mpat belokan, dilihatnya sesosok bayangan orang
tengah menyurut ke tempat gelap di lorong sebelah depan sana.
Segera dia menghardik: "Masih mau lari ke ma na kau?"
"Wut" kontan tangan kanannya me mukul ke depan.
Di da la m lorong yang se mpit dan me manjang ini kecua li
berkelahi secara kekerasan, tak mungkin berke lit lagi, apalagi
pukulan Kun-gi ini dilancarkan sa mbil me ngudak maju dengan
kencang tenaga pukulannya laksana badai menerjang ke punggung
orang itu.
Padahal orang itu tengah mengayun langkah sekuatnya lari ke
depan, tiba2 terasa kesiur angin kencang di bela kangnya, sebagai
orang yang telah berpengalaman, dia tahu bahwa Ling Kun-gi
tengah menyerang dirinya dengan pukulan dahsyat, kalau me lawan
secara keras, mungkin dirinya ma mpu me matahkan sebagian
kekuatan pukulan lawan, itu berarti jiwa masih mungkin tertolong.
Pikiran bekerja secara cepat pula badannya me mbalik, iapun
menghardik tak kalah kerasnya: "Biar aku adu jiwa dengan kau!"
Kedua tangan terulur lurus me nyongsoug ke depan.
Setelah dia me mbalik tubuh, baru terlihat jelas wajah orang itu,
kiranya dia adalah laki2 berewok yang tadi berhasil lolos dari ruang
pendopo, sorot matanya yang buas dan liar jelalatan me mancarkan
rasa takut dan kalap, mukanya tampa k beringas, pukulan Kun gi ini
menggunakan Mo-ni-in, meski laki2 berewok cukup cekatan dan
bertindak tepat, toh dia tidak kuasa menghadapi pukulan sakti ini.
Kontan dia rasakan dada seperti dipukul goda m, darah bergolak,
kepala pusing, pandangan berkunang2, mulut terpentang megap2,
napaspun ter-sengal2.
Dengan sinis Kun-gi tatap muka orang, katanya dingin: "O,
kiranya kau!"
Sorot mata la ki2 berewok kini ta mbah liar, dengan melotot dia
awasi mutiara di tangan Ling Kun-gi rona mukanya akhirnya
mbena mpilkan rasa heran dan jera, bentaknya: "Berdiri, tahan dulu,
ada omongan ingin kutanya kau." Pedang siap di depan dadanya,
ujung pedang teracung ke depan mengincar dada Ling Kun-gi,
agaknya dia kuatir kalau Kun-gi menyergapnya.
Kun-gi berdiri lima kaki di depan orang, tanyanya: "Masih ingin
omong apalagi?"
"Apakah yang berada di tanganmu itu CinCu-ling?" tanya laki2
berewok.
"Betul,” ucap Ling Kun-gi sinis, "inilah CinCu-ling."
Mendadak berubah hebat air muka laki2 berewok, bibirnya
tampak rada ge metar, suaranya serak: "Kau . . . . she Ling."
Heran Kun-gi, katanya: "Betul, aku she Ling."
Mendadak laki2 berewok putar tubuh, dengan langkah tergopoh
dia berkelebat ke ujung kanan dinding sana.
Pertanyaan orang menimbulkan rasa ingin tahu Ling Kun-gi,
hardiknya: "Berhenti!" Lengan kanannya terayun, dia lontarkan
segulung angin pukulan yang keras dan kuat, sasarannya bukan
badan laki2 berewok, tapi mengincar dinding batu di depan orang,
jadi dia berusaha mencegat orang me larikan diri.
Kepandaian si berewok ternyata harus dipuji juga, merasakan
tekanan berat dari depan, sebelum dirinya menumbuk tenaga kuat
itu, cepat dia meng-hentikan gerak badannya, teriaknya beringas:
"Apa maumu?"
Kun-gi ulur telapak tangannya yang me megang Leliong-cu,
tanyanya: "Kau kenal mutiaraku ini?"
"Siapapun kenal akan CinCu-ling," sahut laki2 berewok.
"Kau salah satu dari tiga pnluh ena m panglima itu bukan?" tanya
Kun-gi.
Melihat Kun-gi berdiri menatap dirinya lekat2, seperti menunggu
jawabannya, seketika timbul a marahnya, katanya dengan ketus:
"Betul!"
Mendadak dua jari tangan kirinya mencolok ke dua mata Ling
Kun-gi, berbareng pedang di tangan kanan menusuk ke la mbung.
Serangannya itu amat keji dan secara mendadak, pikirnya
betapapun tinggi kepanda ian Ling Kun-gi pasti akan kecundang di
bawah pedangnya.
Tak terduga tangan Ling Kun-gi mendadak menangkap
pergelangan tangan kanannya yang me megang pedang.
Tahu2 laki2 berewok merasakan pergelangan tangan kesakitan,
keruan ia kaget, belum lagi dia meronta, jari2 orang sekeras
tanggam telah pencet urat nadinya sehingga badannya le mas
lungla i, tapi dia tetap beringas, teriaknya: "Jangan kau
me ma ksaku."
"Cayhe hanya ingin bertanya . . . . . . . " belum Ling Kun-gi
bicara, laki2 berewok sudah berteriak lagi: 'Tak usah banyak tanya,
biar tuan besarmu serahkan nyawa padamu."
"Agaknya kau punya kesulitan sehingga tak mau bicara . . . . . . "
timbul rasa heran Kun-gi me lihat laki2 berewok berdiri me matung
dia m, tapi kejap lain dilihatnya wajah orang sudah berubah gelap,
tiba2 darah hitam me leleh dari ujung mulutnya, pelan2 ia roboh
terkulai.
"Ling-heng," Kongsun Siang bersuara di samping Kun-gi, "dia
bunuh diri dengan minum racun."
Ling Kun-gi lepaskan pegangannya, katanya sambil mengerut
alis: "Kalau dia berani bunuh diri mene lan racun, kenapa tidak
berani bicara terus terang?"
"Kukira dia a mat me matuhi peraturan Hek-liong-hwe sehingga
tidak berani me mbocorkan rahasia perkumpulannya, dari nada
bicaranya bahwa dia tetap pegang rahasia karena persoalan ada
sangkut pautnya dengan CinCu-ling di tangan Ling-heng."
"Akupun merasa begitu, waktu melihat mutiaraku ini, kulihat rona
mukanya mena mpilkan mimik yang aneh."
"Kudengar dia tanya apakah kau She Ling, kalau tanpa sebab,
tak mungkin pada saat2 gawat begini dia mengajukan pertanyaan
ini."
"Analisa mu me mang tepat, sayang dia sudah meninggal, sepatah
katapun tak berhasil kutanya kepadanya."
"Tapi dia juga bilang ma u serahkan nyawanya padamu, lalu
kenapa dia harus bunuh diri dengan menelan racun pula?"
"Ya, kalau disela mi kata2nya tadi me mang aneh dan patut
dicuriga i."
"Oleh karena itulah aku berpendapat bahwa soal ini ada sangkut
pautnya dengan mutiara di tangan Ling-heng ini," merande k
sebentar Kongsun Sianp lalu bertanya: "Entah dari mana pula Ling-
heng me mperoleh Cincu-ling ini?"
"Mutiara ini adalah warisan leluhurku, nama aslinya Leliong-pi-
tok-cu, khasiatnya dapat menawarkan segala maca m racun, jadi
bukan berna ma CinCu-ling.”
"Aneh kalau begitu, bagaimana pula mutiara ini bisa mirip
dengan tanda kepercayaan Hek-liong-hwe?"
"Hal ini a ku sendiri juga tidak tahu, atas perintah guru aku
menge mbara ke Kangouw, tujuannya adalah untuk me nyelidiki
CinCu-ling ...."
Sembari bicara mereka berjalan terus kedepan, tanpa terasa
akhirnya sampa i di ujung lorong dinding batu ke mbali me ngadang
jalan mereka.
Kun gi menghentikan langkah, katanya sambil menoleh: "Lorong
ini sudah tiba di ujungnya, coba Kongsun-heng periksa apa kah ada
pintu rahasianya?"
Kongsun Siang maju dua langkah, katanya: "Yang kuketahui juga
sedikit saja, entah dapat ku-temukan tida k rahasianya," dengan
seksama tangannya mula i meraba se mentara matapun me meriksa
dengan cermat, terasa seluruh dinding batu ini licin dan rata laksana
kaca, tak terlihat adanya garis pemisah dari bekas sebuah pintu.
Akhirnya dia mengerut kening pedang dia tanggalkan, dengan
gagang pedang dia ketuk2 dinding, lalu mene mpelkan kuping
mendengarkan dengan teliti.
Pada dinding bagian depan agaknya tiada pintu yang dapat
ditemukan, terpaksa dia membalik ke arah lain, kini dia periksa
dinding sebelah kiri, dari atas ke bawah dia periksa dengan teliti,
sementara mulutnya mengoceh: "Dala m perut gunung ini se mula
me mang sudah banyak gua ciptaan ala m, ke mudian mere ka
tambahi dan atur sedemikian rupa dengan bangunan berbagai alat
rahasia, semua ini menunjukkan hasil karya seorang yang betul2
ahli dala m bidang ini, padahal aku hanya me mperoleh sedikit
pelajaran bidang ini dari guru, sungguh tak ma mpu aku
mene mukannya...."
Tengah bicara, entah bagaimana secara kebetulan ia menyentuh
alat rahasianya di dinding batu itu, mendadak terbuka sebuah pintu
tanpa mengeluarkan suara. Pintu batu yang terbuka ini tampaknya
bisa bergerak secara otomatis, padahal Kongsun Siang sendiri tida k
menduga sehingga dia bersuara kaget, tapi sigap sekali dia sudah
menerobos keluar sana.
Pintu ini bergerak cepat dan licin, begitu Kongsun Siang
menerobos keluar dari sebelah kanan, pintu itu lantas me mutar ba lik
dan "blang", tertutup rapat pula.
Kejadian betul2 di luar dugaan, Ling Kun-gi berdiri cukup dekat,
tapi dia tidak sempat menahannya. Kini sekali pintu tertutup rapat
baru dia terjaga kaget, serta merta ia berteriak: "Kongsung-heng!"
Tangan segera menepuk ke pintu.
Dengan mudah Kongsun Siang mendorong terbuka pintu itu,
jelas pintu ini bisa bergerak bebas, maka dia bisa menerobos keluar,
ma lah daun pintu sudah berbalik arah, tapi tepukan tangan Kun-gi
yang kuat ini ternyata tak berhasil menggoyahkan daun pintu batu
ini.
Keruan ia gugup, tanpa pikir ke mbali Kun-gi menghanta m pula,
kali ini pukulannya berlipat ganda lebih keras, bukan saja daun pintu
tetap tak bergeming, ma lah telapak tangan sendiri terasa sakit.
Pikirnya: "Kongsun Siang tadi hanya meraba2 daun pintu dan
tanpa sengaja menyentuh alat rahasianya, jadi alat rahasianya pasti
berada di atas daun pintu, kenapa tidak kucari dengan seksa ma?"
Sambil mengacungkan Leliong-cu, dari atas segera dia
me meriksa ke bawah dengan hati2.
Periksa punya periksa, sekian la manya dia tetap tidak
mene mukan tanda apa2, kecuali garis lurus yang lapat2 kelihatan
dari bekas ce lah pintu, tiada tanda2 lain yang dite mukan, apalagi
alat rahasia untuk me mbuka pintu batu ini. .
Sungguh Kun-gi t idak habis mengerti dan ha mpir tidak percaya
akan kenyataan yang dihadapinya ini, bahwa dinding batu setebal
ini, ternyata terpasang sebuah pintu yang dapat bergerak bebas
bolak-balik secara cepat.
Yang jelas Kongsun Siang baru saja menerobos ke balik sana
lewat pintu batu licin rata ini. Tiga orang datang bersama, kini
tinggal dirinya seorang saja. Di antara delapan Houhoat Pek-hoa-
pang hanya Kongsun Siang yang bergaul paling akrab dengan
dirinya, meski t idak pernah bicara persoalan pribadi, betapapun dia
tidak tega berpeluk tangan begini saja.
Beruntun dua kali Kun-gi me mukul pintu itu tetap tak bergeming,
jalan keluar tiada, keruan dia naik pita m. Mengingat dirinya
terkurung di pendopo dan teralang oleh patung batu tadi, a khirnya
dia berhasil mendorong mundur patung dan terbukalah ja lan
keluarnya, kenapa sekarang ini tidak mencobanya? Kali ini dia sudah
berniat pakai kekerasan mengge mpur hancur dinding batu di
depannya, maka pelan2 dia mundur dua langkah, dua tangan
bersilang di depan dada, pelan2 dia kerahkan Kim-kong-sim-hoat,
mendadak kakinya melangkah setindak ke depan, sementara
mulutnya menghe mbus napas keras2 sa mbil menggerung seperti
banteng ketaton, kedua tanganpun mendorong ke depan.
Kim-kong-sim-hoat adalah salah satu dari 72 ilmu ajaran Siau-lim
yang hebat, merupakan Hud-bunsinkang (ilmu sakti dari aliran Hud)
yang paling tingg, begitu kedua tangan mula i mendorong pelan2,
segulung tenaga tidak kelihatan segera timbul dan menerpa ke
depan. "Blum!" begitu menerjang pintu batu, seluruh lorong gua di
perut gunung ini serasa bergoncang keras, pasir beterbangan dan
berguguran dari atas. Tapi pintu yang tadi bisa bergerak licin dan
bebas ini ternyata tetap tertutup tak bergeming. Celakalah Kun-gi,
karena tenaga saktinya tak berhasil menjebol roboh pinto batu,
kekuatan sendiri malah menerjang balik me mukul dirinya sehingga
dia terpental mundur beberapa langkah.
Padahal lorong gua ini hanya lima kaki lebarnya, begitu dia
tertolak mundur dengan daya tolak yang keras, punggungnya
me mbentur dinding sebelah kiri di belakangnya. Tak nyana begitu
punggungnya menyentuh dinding belakang, terasa dindingnya
bergerak, seolah2 dia mendorong sebuah daun pintu yang tak
terpalang, mendadak dinding di belakang menjepla k terbuka.
Karena tidak menduga Kun-gi tak dapat menguasai diri, ia
sempoyongan hingga puluhan langkah baru jatuh terduduk.
Kini baru Kun-gi melihat jelas, daun pintu di dinding be lakangnya
inipun dapat bergerak bebas, setelah dirinya terjatuh masuk, daun
pintu segera me mutar balik dan tertutub rapat pula. Sigap sekali
Kun-gi melompat berdiri, ia coba mendorong daun pintu, ternyata
tak bergeming sedikitpun.
Sejenak Kun-gi berdiri me matung. Pada keheningan itulah
mendadak dia mendengar suara rintihan yang lirih dan le mah.
Waktu dia amat2i keadaan sekelilingnya, ternyata di balik pintu
ini adalah sebuah lorong pula yang sempit me manjang ke sana,
suara rintihan le mah itu terdengar dari sebelah depan. Maka sambil
mengangkat tinggi mutiara yang me mancarkan sinar redup, dia
me langkah ke sana.
Semakin dekat suara rint ihan se makin jelas, setelah me mbelok ke
kiri, tak jauh di depan sana terlihat seseorang meringkuk di atas
tanah. Betapa tajam pandangan mata Ling Kun-gi, sekilas pandang
dia lantas mengenali orang yang rebah itu adalah Yu-hou-hoat Sam-
gansin Coa Liang adanya. Dengan kaget lekas dia me mburu maju
dan berjong-kok disa mping orang, tanyanya: "Coa-heng, di mana
kau terluka?" Cepat ia angkat tubuh orang dan dibalik telentang.
Tertampak dada kiri, la mbung kanan Coa Liang terluka oleh
pedang, baju bagian depan dada, sudah lengket dengan kulit
dagingnya oleh cairan darah yang berwarna hitam. Goresan luka
pedang ini tampa k a mat dala m dan parah, agaknya sukar
dise mbuhkan dan jiwapun sukar tertolong.
Dengan Lwekangnya yang tangguh maka Coa Liang dapat
bertahan sekian lamanya, tapi juga su-dah kempas-ke mpis,
mendengar panggilan Kun-gi, pelan2 dia me mbuka matanya,
tampak sinar matanya sudah guram menatap Ling Kun-gi sekian
la manya, mulut terpentang dengan bibir gemetar, seperti ingin
bicara.
"Coa-heng ingin bicara apa?" tanya Kun-gi.
Dengan mengerahkan tenaga Coa Liang mengangguk. Dia m2
Kun-gi mengerut kening, jiwa Coa Liang je las sudah di a mbang
maut, terutama luka2 di dada kirinya amat dalam dan melukai paru2
dan jantung, kalau dia bantu mengerahkan hawa murni ke
tubuhnya, darah pasti takkan berhenti mengalir ke luar. Tapi ka lau
tidak dibantu keadaannya sudah kempas-kempis, untuk bicarapun
sudah tidak ma mpu lagi, sesaat dia jadi bimbang.
Dengan sorot mata yang pudar Coa Liang me mandang Ling Kun-
gi, sorot matanya menandakan hatinya amat ge lisah dan resah.
"Coa-heng ingin Cayhe bantu menyalurkan hawa murni, supaya
kau dapat mengeluarkan isi hatimu," tanya Kun-gi
Dengan kaku dan gerakan berat Coa Liang mengangguk. Berat
perasaan Kun-gi, pelan2 dia ulurkan tangan menekan tepat ubun2
kepala Coa Liang, lalu pelan2 dan sabar dia mulai salurkan hawa
murninya ke badan orang.
Karena Lwekang Coa Liang sendiri a mat tinggi sehingga dia
masih kuat bertahan sekian lama, kini mendapat bantuan saluran
hawa murni Ling Kun-gi, sekuatnya dia coba menarik napas, dua
kali bernapas dengan enteng, maka bola matanyapun mula i
bergerak, kejap lain tangan kanannyapun dapat bergerak dengan
gemetar, mulut megap2 beberapa kali, suaranya terdengar amat
lirih serak: "Cu . . . . cukong (majikan) . . . . " hanya beberapa suku
kata keluar dari mulutnya, darah hitam tiba2 menyembur ke luar dari
luka di bawah la mbungnya, suara ngorokpun terjadi
ditenggorokannya, pelan2 kepalanya lantas tertekuk le mah tak
bergerak lagi. Hanya dua patah kata se mpat dia ucapkan, nyawapun
me layang.
Dengan rawan Ling Kun-gi me narik tangannya, pelan2 dia berdiri,
dan me mbatin: "La ki2 baju hita m yang kulihat di atas bukit mala m
itu ternyata adalah Sam-gansin Coa Liang, entah siapa pula
`majikan' yang ia maksudkan? Apa pula ma ksud tujuannya
menyelundup dan jadi mata2 di da la m Pek-hoa-pang?"
"Dia menudingkan jarinya ke arah lorong depan sana sambil
menyebut 'majikan', maksudnya terang hendak beritahukan padaku
bahwa majikannya menuju ke lorong sana, kenapa ia
me mberitahuku hal ini padaku?"
"Mungkinkah majikannya menghadapi mara bahaya, supaya
diriku lekas menolongnya? Ya, pasti majikannya menghadapi
bahaya, maka dia berusaha menge luarkan dua patah kata
me mberitahukan arah kepergian majikannya, maksudnya, jelas ingin
aku pergi menolongnya."
Segera ia menjura ke arah jenazah Sam-gansin, katanya: "Coa-
heng tak usah kuatir, Cayhe segera akan menyusulnya ke depan
sana." Cepat2 ia beranjak ke lorong yang lebih dala m.
Majikan yang dimaksud Coa Liang sudah tentu seorang gembong
persilatan yang punya kedudukan tinggi sebagai Pangcu atau ketua
suatu aliran, ber-ilmu silat tinggi, tapi dari sikap dan mimik Coa
Liang menjelang ajalnya yang resah dan gelisah tadi, dapatlah
dibayangkan bahwa majikannya pasti mengala mi mara bahaya di
lorong2 se mpit ini.
Maka Kun-gi tak berani ayal dan ceroboh, untuk menghadapi
musuh yang mungkin menyergap setiap saat, dia merasa perlu
menggunakan kedua tangannya, maka Le liong-cu dia gantung di di
ikat pinggangnya, tangan kiri berjaga di depan dada, tangan kanan
me lolos pedang pandak, pelan2 dia menggeremet maju terus
mengikut jalaran lorong yang belak-belok, kira2 ratusan langkah dia
mene mpuh perjalanan, membe lok tiga kali, selama itu mata
kupingnya bekerja dengan tajam, sekonyong2 didengarnya di
sebelah depan ada derap ka ki yang a mat ringan.
Begitu mendengar langkah orang Kun-gi lantas tahu bahwa
orang ini me miliki Ginkang yang tinggi, di dala m lorong se mpit yang
belak-belok ini ternyata dia dapat berlari sekencang itu seperti kuda
binal yang lepas dari kekangan.
Pada saat Kun-gi berdiri bimbabng di ujung pengkolan itu, ma ka
bayangan orang itupun sudah muncul di ujung yang lain. Itulah
seorang laki2 yang sekujur badannya terbungkus paka ian hita m,
pedang ditangannyapun berwarna hita m lega m.
Karena Leliong-cu tergantung dipinggangnya, begitu Kun-gi
me lihat orang, sudah tentu orang itu pun segera melihat dirinya,
jarak kedua orang sekarang masih belasan kaki jauhnya, tapi cepat
sekali orang itu sudah mengha mpiri di depan Ling Kun-gi.
Pedang terangkat dengan gaya menganca m, bentaknya dengan
suara kereng: "Siapa kau?"
"Katakan siapa kau?" Kun-gi balas menjenge k.
Sekilas orang itu me mandang mutiara di pinggang Kun-gi,
katanya kemudian: "Kau me mbawa CinCu-ling, tentunya sudah tahu
kalau di te mpat ini dilarang ma in terobosan tanpa ijin Hwecu,
siapapun berani masuk ke Hek-liong ta m akan dihukum mat i.''
Ternyata dia mengira Kun-gi adalah orang Hek-liong-hwe.
Sungguh tak pernah terpikir dala m benak Kun-gi, secara
kebetulan dia main terobosan dan kini berada di He k-liong-ta m
(kola m naga hita m), kalau tempat ini dina makan Hek-liong-ta m,
pasti ada sebuah kolam di sini. Dan nama He k-liong-hwe mungkin
dipungut karena adanya kolam naga hita m pula, dari sini dapat pula
disimpulkan ka lau pusat kekuasaan Hek-liong-hwe pasti berada di
Hek-liong-ta m ini pula.
Maka Ling Kun-gi. lantas bertanya: "Apakah di sini letak markas
pusat Hek-liong-hwe?"
"Jadi kau bukan orang He k-liong-hwe?'" tanya orang itu
me lengak heran.
"Tida k pernah Cayhe mengaku orang Hek-liong-hwe."
Pedang menuding, orang itupun me mbentak dengan aseran:
"Siapa na ma mu, datang dari mana!'
"Cayhe Ling Kun-gi, sudah tentu datang di luar sana."
"Peduli siapa kau, setelah masuk ke mari, kepala mu harus
dipancung!" segera pedangnya menusuk tenggorokan.
"Tahan sebentar!" seru Kun-gi.
Orang itu menghentikan gerakannya, katanya dingin: "Masih ada
urusan apa lagi?"
"Bolehkah tuan beritahukan padaku, apakah Hek-liong-tam
adalah pusat kekuasaan Hek-liong-hwe???
''Tanyakan persoalanmu ini kepada Gia m-lo-ong saja," seru orang
itu. "Sret" pedangnya segera menusuk.
Tangan kanan bergerak, Seng-ka-kia m di tangan Ling Kun-gi
me mancarkan cahaya terang di kegelapan. "Trang", tusukan pedang
lawan kena di sa mpuknya ke sa mping.
Si baju hita m me ndengus gera m, katanya:
"Agaknya tuan me miliki kepandaian tangguh pula." "Sret"
ke mbali pedangnya menusuk lurus.
”Ilmu pedang orang ini cukup cepat dan lincah, ilmu silatnya
terang tidak lemah, mungkin dia penjaga daerah terlarang ini,
terpaksa aku harus me mbekuknya lebih dulu," demikian batin Kun-
gi.
Sebat sekali gerak-gerik si baju hitam, pedangnya berke lebat kian
ke mari sehingga sukar diraba ke mana serangannya. Ilmu
pedangnya bukan saja bergerak laksana kilat menyambar, setiap
tabasan dan tusukannya dilandasi kekuatan yang tangguh, beruntun
tiga jurus Seng-ka-kia m di tangan Ling Kun-gi balas menyerang, jadi
kedua piha k berebut kesempatan untuk menundukkan lawan.
Dala m lorong yang se mpit itu, di bawah penerangan cahaya
mut iara yang redup, terjadilah perang tanding ilmu pedang yang
cukup hebat dan sengit, kalau pedang Ling Kun-gi se makin
me mancarkan cahaya terang, adalah pedang lawannya semakin
terasa berat tekanan serangannya, hawa dingin serasa hampir
me mbe ku diruangan lorong se mpit itu.
Puluhan jurus ke mudian baru la mbat laun Kun-gi berhasil
me mbendung serangan lawan. Bahwa ilmu pedang kebanggaannya
diungguli lawannya yang muda ini, si baju hita m naik pita m, sampa i
me m-bentak2 pedangnya berkelebat semakin cepat dan merangse k
terlebih sengit lagi. Tapi dia lupa akan satu hal, rangsakan cepat
dan sengit ini merupa kan adu kekuatan secara kekerasan pula.
Padahal pedang di tangan Ling Kun-gi adalah senjata pusaka yang
tajam luar biasa..
Setelah pedang kedua pihak berdering nyaring saling beradu,
pedang hitam di tangan si baju hita m terpapas putus berkeping,
tinggal gagang pedang saja yang masih tergenggam di tangannya.
Sekilas si baju hita m melenga k, baru saja dia hendak me lompat
mundur. Tahu2 Kun-gi mendesak maju, ujung pedangnya
menganca m di dada si baju hita m, para bentakannya kereng
berwibawa: "Berani kau bergerak, kurenggut jiwa mu! "
Sinar ke milau pedang Ling Kun-gi yang menganca m dada terasa
menyilaukan mata, si baju hitam tidak berani bergerak. wajah
nyapun berubah pucat beringas. serunya murka: "Apa
kehendakmu?"
Tiba2 Kun-gi unjuk senyum ra mah, katanya: "Cayhe hanya ingin
tanya sedikit, lebih baik tuan menjawab sejujurnya."
"Soal apa yang ingin kautanyakan?"
"Pertama, apakah Hek-liong-ta m adalah markas pusat Hek-liong-
hwe?"
”Aku tida k tahu,"
"Apa betul kau tidak tahu?"
"Tugasku hanya meronda di lorong2 tertentu, siapapun tanpa izin
Hwecu bila berani ke luyuran dilorong ini haras dihukum mati, soal
lain a ku tida k perduli"
”Jadi lorong ini menjurus ke He k-liong- ta m, betul?"
"Betul."
"Bagus, ingin kutanya pula satu hal, barusan seseorang masuk
ke mari?"
"Orang2 yang tugas ronda di sini bergiliran pada saat2 tertentu,
baru saja kudatang, tak kulihat dan tiada laporan ada orang luar
masuk ke mari!'
Heran Kun-gi, pikirnya: "Sa m-gansin Coa Liang terluka dua
tusukan pedang, pada saat2 ajalnya masih berusaha menunjukkan
bahwa majikannya menuju kearah sini, kenapa jejaknya tidak dilihat
mereka?"
Segera dia bertanya pula: "Saudara barusan datang dari arah
Hek-liong-ta m? Nah, sekarang tolong kau menunjukkan jalannya
bagiku."
Belum si baju hita m menjawab, mendada k sebuah suara dingin
menanggapi: "Lepaskan dia, dia tidak akan tahu jalanan yang
menjurus ke Hek-liong-ta m."
Datangnya orang ini tak menimbulkan suara sedikitpun, padahal
Kun-gi cukup yakin akan ketajaman pendengarannya.
Dia m2 Kejut hati Kun-gi, waktu dia menoleh, dilihatnya tak jauh
di belakang si baju hita m, berdiri seorang tua berjubah hijau. Dalam
keremangan tampa k perawakan orang tua ini tinggi kurus,
wajahnya dingin berwibawa, sorot matanya berkilat tajam, jenggot
kambing di dagunya. Dinilai dari sikap dan dandanannya, orang
akan segera maklum orang tua ini pasti me miliki ilmu silat yang
maha t inggi dan kedudukannya terang jauh lebih tinggi daripada si
baju hita m.
Pelan2 Kun-gi mundur setapak sa mbil menu-runkan pedang
pandaknya, katanya dengan tertawa ramah: "Kalau begitu, biarlah
Cayhe bertanya padamu saja, Lotiang (pak tua)." Meski pedang
sudah dia turunkan, tapi dia tetap waspada, apalagi berhadapan
dengan lawan yang tangguh, dia m2 ia ma lah kerahkan hawa murni
pelindung badan dan siap siaga.
Lekas si baju hita m mundur ke sa mping dan me mberi hormat
kepada si jubah hijau. Agak la ma si jubah hijau menatap mutiara
yang bergantung di pinggang Ling Kun-gi, akhirnya pandangannya
beralih ke wajah Kun-gi, suaranya terdengar tenang: "Tuan bisa
mene mukan te mpat ini, ketabahanmu sungguh harus dipuji,
bolehkah kutahu na ma mu?"
"Cayhe Ling Kun-gi!"
Mendadak terpancar cahaya terang yang me mbayangkan rasa
senang pada bola mata si jubah hijau, katanya sambil ma nggut2:
"Baik seka li!"
Mendadak tangannya terayun, "plak", dengan telak dada si baju
hitam yang berdiri di sa mpingnya kena digabloknya kebras.
Padahal sdi baju hita m berdiri tegak hormat meluruskan kedua
tangannya, sudah tentu tak pernah terpikir olehnya bahwa si jubah
hijau akan me mbunuhnya, tentu saja ia tak sempat berkelit, tanpa
menge luarkan suara dia roboh binasa.
Tanpa hiraukan korbannya si jubah hijau menatap Ling Kun-gi,
katanya: "Tambahi seka li tusukan pedangmu pula."
Kejadian di luar dugaan, keruan Kun-gi melenggong, bahwa si
baju hitam sudah terpukul ma mpus mengge letak di tanah, buat apa
dirinya harus menusuknya pula? Ma ka dengan kesima dia awasi si
jubah hijau: "Dia. . . . ."
"Waktu amat mendesak, lekas kau tusuk dia, kita harus
selekasnya meninggalkan te mpat ini."
Semakin heran dan bingung Kun-gi. "Kau..." dia ragu2 sambil
mengawasi orang.
Si jubah hijau goyang tangan dia menyela, suaranya tiba2
berubah ramah dan kale m: "Tida k le luasa kita bicara disini, lakukan
seperti petunjukku, pasti t idak sa lah."
Kun-gi masih bingung apa maksud kata2nya, yang terang si baju
hitam sudah ma mpus, tiada soal bila dia mena mbahkan sekali
tusukan, toh orang tidak akan menderita, biarlah nanti mencari
kesempatan mengorek keterangan dari si jubah hijau. Maka tanpa
bicara segera dia angkat pedang menusuk telak di ulu hati si baju
hitam.
Si jubah hijau manggut2, katanya: "Marilah kau ikut aku." Lalu
dia me mba lik berjalan menuju ke lorong sebelah sana, langkahnya
enteng dan mantap, tanpa berpaling lagi, seolah2 kehadiran Kun-gi
yang mengintil di bela kang tida k menjadi perhatiannya lagi.
Kun-gi sendiri masih bingung apakah si jubah hijau kawan atau
lawan? Cuma terasa tindak tanduk orang agak misterius, tapi dia
tetap mengikuti langkah orang.
Lorong di perut gunung yang gelap gulita ini masih belak-belok
kian ke mari, dala m jarak dua puluh langkah pasti me mbelok seka li,
entah ke kanan atau ke kiri, ternyata si jubah hijau tida k
menyalakan obor atau penerangan lainnya, agaknya dia sudah apal
sekali dengan liku2 jalan lorong disini, malah langkahnya se makin
dipercepat.
Kira2 30 tombak ke mudian, mendada k dala m kegelapan di
sebelah depan seseorang me mbentak: "Siapa?"
"Aku!" sahut si jubah hijau. Hanya beberapa patah kata tanya
jawab ini dan Kun-gi sudah ikut me mbelok tiba, dilihatnya di depan
mencegat seorang baju hitam pula, melihat si jubah hijau segera dia
menyurut minggir serta berdiri dengan laku hormat, katanya kepada
si jubah hijau: 'Ha mba sampaikan hormat kepada Congkoan."
Si jubah hijau hanya me mba las hormat orang, dengan anggukan
kepala, sementara kakinya masih me langkah maju, begitu tiba di
depan orang mendada k tangannya terayun menepuk dada si baju
hitam. Gerakannya a mat cepat dan tangkas, si baju hita m terang
tidak bersiaga, sudah tentu sekali hantam kena dengan telak, hanya
mulutnya saja yang sempat menguak pendek, tubuhnya terus roboh
terkulai.
Dala m hati Kun-gi berkata: "Orang2 berbaju hitam yang bertugas
di lorong ge lap ini tentu me miliki kepandaian silat yang amat tinggi,
tapi hanya sekali angkat tangan si jubah hijau telah me mbinasakan
mereka, maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi kepandaian silat
si jubah hijau ini."
Seperti tidak pernah terjadi apa2, Si jubah hijau terus melangkah
ke depan sambil berkata dengan kereng: "Lekas tusuk dia sekali
lagi."
Setelah dua kali orang me mbunuh orang ber-baju hitam, sedikit
banyak Kun-gi sudah agak ma klum ke mana maksud tujuannya,
agaknya orang sengaja hendak membantunya, maka setelah
me mbunuh anak buahnya sendiri ia menyuruhnya menusuk lagi
dengan pedang supaya tidak me mbocorkan rahasia perbuatannya.
Kenapa si jubah hijau mau me mbantunya? Mungkin dia salah
mengenali diriku, agaknya dirinya disangka sebagai orang
sekomplotan dengan "majikan" yang dimaksud oleh Sa m-gansin Coa
Liang? Dari sini dapatlah diduga bahwa si jubah hijau ini pasti agen
yang dipendam di da la m He k-liong-hwe oleh sang "majikan" itu,
maka tanpa berbicara, sekali pedangnya bergerak, dia tusuk ulu hati
si baju hita m yang sudah menggeletak binasa itu.
"Lekas jalan," tiba2 si jubah hijau me mberi isyarat, kakinya
berlari kencang seperti terbang, Terpaksa Kun-gi ikut berlari
kencang pula.
Setelah me mbelok dua kali, tiba2 si baju hijau me nghentikan
langkah, tangan terangkat menekan dua kali di kiri-kanan dinding,
lalu me mba lik badan, katanya: "Lekas masuk!" segera dia
mendahului menerobos ke situ.
Setelah dekat baru Kun-gi me lihat jelas di antara dinding batu
yang licin itu sudah terbuka celah2 panjang yang cukup untuk
seseorang menyelinap masuk, orang itu tampa k menunggu di
sebelah dala m, tanpa ragu2 segera dia me nyelinap masuk juga.
Baru beberapa langkah tiba2 didengarnya suara "duk" sekali,
celah2 dinding telah merapat pula. Lorong di sini aga knya me mang
ciptaan alam, bukan saja amat se mpit, jalannyapun tidak rata dan
hanya cukup dilewati seorang, malah dinding batu di kanan kiri juga
penuh ditumbuhi lumut dan batu2 padas yang runcing, kalau tidak
hati2 kepala pasti bisa benjut dan pa kaian robe k.
Si jubah hijau berjalan a mat cepat. Karena ada penerangan dari
mut iara di pinggangnya sudah tentu Kun-gi tida k bakal ketinggalan.
Kira2 sepeminuman teh ke mudian, setelah turun naik dan lika-liku,
sebelah depan agaknya sudah tiba di pangkal lorong karena sebuah
dinding te mbok mengadang di situ.
Si jubah hijau menekan di atas dinding, ma ka terdengarlah suara
gemeruduk yang berge ma di dinding, pelan2 dinding batu itu mula i
bergerak dan terbukalah selarik celah2 lubang..
Sambil tersenyum si jubah hijau menoleh, katanya: "Sila kan."
Lalu dia mendahului me langkah masuk.
"Sarang Hek-liong-hwe berada di perut gunung" demikian pikir
Kun-gi, "Lorong2 di sini te mbus ke segala penjuru, betapa besar
proyek pembuatan lorong di perut gunung ini? Tidak sedikit jumlah
aliran yang berdiri di Kangouw, kenapa pula Hek-liong-hwe
me mbuang waktu dan tenaga begini besar untuk me mbangun
markasnya di perut gunung? Me mangnya mereka punya rahasia
tersembunyi yang lain?" otak berpikir, tapi kaki segera beranjak ke
dalam.
Di belakang pintu batu kiranya adalah sebuah kamar batu kecil,
kecuali beberapa kursi yang ter-buat dari batu dan sebuah dipan
batu pula, tiada perabot lain, tapi kursi dan dipan batu ta mpa k
mengkilap bersih.
Tepat di tengah ruangan di atas meja bundar yang dikelilingi
kursi2 batu itu tertaruh sebuah lampu, entah minyak apa yang
digunakan, ternyata sinarnya cukup terang.
Setelah Kun-gi dipersilakan masuk, ke mba li si jubah hijau
menekan dinding sebelah atas kiri, pelan2 pintu batu itupun
menutup ke mba li, se mentara si jubah hijau sudah me mbalik badan
sambil angkat sebelah tangan: "Silakan duduk Kongcu!"
Tapi Kun-gi tida k segera duduk, dia merangkap kedua tangan
menjura, katanya: "Lotiang me mbawaku ke mari, tentunya punya
petunjuk yang berharga."
Si jubah hijau tertawa lebar, katanya ramah: "Silakan Kongcu
duduk saja, memang ada urusan yang perlu Lohu bicarakan, cuma
sekarang belum tiba saatnya."
Dengan gagah Kun-gi duduk dikursi batu, tanyanya: "Kenapa
dikatakan saatnya belum tiba?"
Si jubah hijau tertawa, katanya: "Orang luar takkan berani masuk
ke mari, harap Kongcu suka tunggu di sini, Losiu akan ke luar
sebentar dan cepat2 kemba li."
Tanpa jawaban Kun-gi segera dia melangkah ke dinding sebelah
depan, tiba2 dia menoleh dan berkata pula dengan tertawa:
"Jangan Kongcu banyak curiga, tindakan Losiu ini pasti
menguntungkan Kongcu," lalu dia mendorong, dinding batu di
depannya segera menjeplak terbuka.
Ternyata dinding batu itu merupa kan pintu hidup yang bisa
bergerak setiap kali tersentuh, begitu si jubah hijau melangkah
keluar, secara otomatis pintu itupun menutup ke mbali tanpa
menge luarkan suara sedikitpun.
Betapapun tindak tanduk orang cukup mencurigakan, ma ka
begitu orang lenyap di balik pintu, Kun-gi segera berdiri me mburu
ke pintu dinding itu, waktu dia angkat tangan mendorongnya,
ternyata pintu batu yang barusan menutup tak berge ming lagi.
Terpaksa Kun-gi duduk ke mba li ke kursinya, dengan seksama dia
menerawang tindak-tanduk si jubah hijau, me mang terasa sikap
orang tidak berma ksud jahat terhadap dirinya, cuma untuk apa dia
me mbawa ku ke ka mar batu ini, kenapa pula mendadak tingga l
pergi? Dan untuk apa pula kepergiannya ini?
Kalau orang luar tidak boleh masuk ke mari, kenapa dikatakan
pula bahwa tindakannya ini t idak mengandung ma ksud jahat
terhadap diriku? Biarlah jawabannya kutunggu kedatangannya
nanti.
Terbayang olehnya pesan sang guru yang wanti2 bila
menghadapi marabahaya yang serba rumit, kepala harus selalu
dingin dan pikiran harus tetap tenang, setengah mala man ini dia
telah mene mpuh bahaya dan selalu terhindar dari renggutan
elmaut, kini tanpa sengaja berhasil menyelundup ke tempat ini,
kenapa lagi harus kuatir, biarlah segala sesuatunya terserah kepada
takdir.
Kira2 setanakan nasi sejak si jubah hijau keluar, bayangan orang
tetap tidak kunjung datang.
Setelah putar kayun dan berjuang mati2an di sarang musuh ini,
kini baru Kun-gi me mperoleh kesempatan istirahat, sambil duduk di
kursi, dia m2 dia telah mulai menghimpun se mangat dan
me mulihkan kesegaran badannya.
Dala m keheningan itulah, tiba2 didengarnya langkah le mbut
mendatangi. Sekilas Kun-gi tertegun, dirinya sedang berse madi,
kamar ini rapat dikelilingi dinding batu, umpa ma betul ada pintu
rahasianya paling tidak dirinya pasti mendengar dulu suara pintu
terbuka Tapi kenyataan tak pernah dia mendengar suara pintu
terbuka, lalu dari mana suara langkah orang bisa masuk ke mari?
Serta merta iapun rne mbuka mata, maka dilihatnya seorang gadis
berbaju hijau sambil menjinjing sebuah tenong makanan tengah
me langkak masuk dari pintu di dinding sebe lah kanan.
Pintu itulah di ma na tadi si jubah hijau berlalu, padahal pintu itu
tadi sudah dia raba dan coba mendorongnya, tapi tertutup rapat
dan tidak bergeming sama sekali. Bagaimana pula nona baju hijau
ini bisa masuk tanpa mengeluarkan suara. demikian pula daun pintu
batu itu nampak bergerak hidup dan licin, setelah gadis baju hijau
berada di ka mar pintupun lantas me mba lik dan menutup rapat pula.
Begitu berada di dala m ka mar, sepasang mata si gadis yang je li
serta merta terpentang lebar, ia lihat yang duduk di dalam ka mar ini
adalah seorang pemuda cakap, tanpa terasa mukanya menjadi
merah jengah, lekas ia menunduk.
Dengan ter-gopoh2 dia mengha mpiri dipan, tenong dia taruh di
atas dipan lalu me mbukanya satu persatu, dari tenong yang susun
empat itu dia keluarkan beberapa maca m hidangan, sepoci arak
wangi dan sepiring ba kmi goreng, hidangan ini dia taruh di atas
meja, setelah menuang secawan arak dan menaruh sepasang
sumpit, lalu dia me mberi hormat kepada Ling Kun-gi, suaranya
kedengaran merdu: "Barusan Congkoan ada pesan, mungkin
Kongcu sudah lapar, beliau perintahkan hamba menyiapkan
hidangan ini, silakan Kongcu mencicipinya."
"Terima kasih nona," ucap Kun-gi sambil mengangguk dengan
tertawa. "Ada sebuah hal ingin kutanya kepada nona, entah suka
me mberitahu tidak?"
Mengerling si gadis baju hijau, katanya: "Entah apa yang ingin
Kongcu tanyakan?"
"Congkoan yang barusan nona katakan, apakah kakek berjubah
hijau dan berjenggot panjang itu'
"Sudah tentu beliau," sahut si gadis baju hijau.
"Bolehkah nona me mberitahu, siapakah na ma Congkoan?"
Si gadis melenga k, katanya: "Kongcu adalah te man be liau,
me mangnya belum tahu na ma Cong-koan ma lah?"
"Kalau Cayhe tahu, buat apa bertanya pada nona?"
Berkedip mata si gadis, katanya kemudian: "Kalau Congkoan
tidak beritahu pada Kongcu, ha mba tidak berani banyak bicara, lebih
baik Kongcu langsung tanya padanya."
"Agaknya nona tidak mau me mberitahu. Baiklah, kutanya soal
lain saja, di sini te mpat apa, nona sudi me mberitahu bukan?"
Ternyata si gadis malah balas bertanya: "Kongcu sudah berada di
sini, me mangnya kau tidak tahu te mpat apakah ini?" .
"Cayhe hanya tahu sedikit, cuma belum kubukt ikan."
Si gadis tertawa cekikik, katanya: "Syukurlah kalau Kongcu sudah
tahu, kenapa harus tanya lagi, silakan sarapan, hamba mohon diri
saja." Bergegas dia lantas mengundurkan diri. .
Tiba di dekat dinding, dengan seenaknya jarinya yang runcing
halus mendorong, pintu batu lantas terbuka dengan mudah,
mendadak dia berpaling, katanya dengan senyum lebar: "Mohon
maaf Kong-cu, sebelum mendapat izin, soal apapun hamba tida k
berani bicara" Begitu pintu berbalik lagi dengan cepat, dinding
sudah tertutup rapat pula.
Me mangnya Kun-gi sudah merasa lapar, tapi berada disarang
musuh, setiap saat menghadapi ba-haya, sebelum jelas duduk
persoalannya dan tahu siapa si jubah hijau yang serba misterius ini,
betapapun dia tidak berani me ngusik hidangan itu.
Tidak la ma setelah gadis baju hijau berlalu, waktu daun pintu
terbuka lagi, tampak si jubah hijau melangkah masuk, tangannya
me mbawa sebuah botol kecil warna hita m dan ditaruh di atas meja,
ia melirik hidangan yang belum terusik, seketika dia mengunjuk rasa
heran, katanya: "Mengingat Ling-kongcu baru saja mengala mi
pertempuran sengit sela ma setengah mala man, tentu perut sudah
kosong dan badan letih, ma ka kusuruh Siau-tho menyiapkan
hidangan ini, me mangnya kenapa? Kongcu kuatir Losiu menaruh
racun dalam hidangan ini?" Tanpa terasa dia ter-bahak2 sambil
menge lus jenggot, katanya pula: "Yakinlah bahwa dala m hidangan
ini tiada ditaruh racun, Kongcu boleh silakan ma kan, tak perlu
kuatir"
Kun-gi menyengir, katanya: "Umpa ma betul di dala m hidangan
ini ditaruh racun, Cayhe juga tidak perlu gentar."
Kemudian berkata pula si jubah hijau: "Jadi kenapa Kongcu tidak
me ma kannya?"
"Cayhe baru saja bertemu dengan Lotiang di lorong gelap tadi,
sebelum sa ling kenal, musuh atau kawan juga belum menentu,
maka tak suka aku se mbarangan bertindak."
Mendadak si Jubah hijau tertawa sambil mendongak, katanya:
"Me mang tepat alasan Kongcu. Baiklah, Losiu Yong King-tiong,
seharusnya aku adalah kawan dan bukan lawan Kongcu, sudah
cukup bukan keteranganku?"
"Sekarang boleh Yong-lot iang beritahu padaku, apa maksud
tujuanmu me mbawaku ke mari?"
Yong King-t iong menggeleng2 kepa la, katanya: "Belum saatnya,
silakan Kongcu makan minum dulu, Losiu a kan tuturkan secara
pelahan."
"Kenapa Lotiang me ma ksaku makan dulu baru sudi me mberi
penjelasan?"
"Kongcu, masih ada sebuah tugas yang teramat berat harus kau
laksanakan dengan sukses, tanpa mengisi perut untuk menunjang
kekuatan dan semangatmu, bagaimana kekuatan pisikmu bisa
bertahan?"
Heran Kun-gi, tanyanya: "Tugas berat apa yang harus
kulaksanakan?"
"Ya, ya, tugas ini amat penting dan besar artnya. lekaslah
Kongcu ma kan dulu."
Walau merasa heran dan curiga, tapi orang baru mau
menje laskan setelah dirinya mengisi perut biarpun didesak lagi juga
percuma, apalagi perutnya me mang sudah keroncongan, ma ka dia
berdiri dan berkata: "Baiklah, Cayhe mengganggu sebentar." Dia
mengha mpiri dipan dan mula i makan minum dengan lahapnya.
Yong King-t iong dia m saja, dia duduk disebuah kursi di depan
dipan. Memang perut sudah lapar, maka dengan cepat hidangan
yang ada telah dilalap habis oleh Kun-gi, cuma sepoci arak yang
disediakan itu hanya dia minum dua cangkir kecil.
Sehabis Kun-gi makan, Yong King-tiong tersenyum puas, dia
bertepuk tiga kali. Gadis baju hijau tadi segera mendorong pintu
dan masuk, setelah me mberesi se mua mangkok piring segera
mengundurkari diri ke sa mping.
Yong King-tiong berkata: "Lohu hendak merundingkan persoalan
penting dengan Kongcu, boleh kau berjaga di luar ka mar, tanpa
izinku siapapun dilarang masuk ke mari."
Gadis baju hijau mengiakan terus keluar, pintu batupun menutup
pula.
Yong King-tiong menga mbil dua cangkir arak dan ditaruh di meja
pendek di atas dipan, katanya: "Kongcu silakan duduk ke dala m."
Tahu orang akan mulai me mbicarakan soal penting, segera Kun-
gi mundur ke bela kang, Yong King tiongpun duduk bersila di atas
dipan saling berhadapan.
Kata Yong King-tiong ke mudian: "Mut iara di pinggang Kongcu ini,
bolehkah Lohu me lihatnya?"
"Sudan tentu boleh," sahut Kun gi. Lalu dia copot ikatannya dan
diserahkan.
Bolak-ba lik Yong King-tiong menga mati mutiara itu dengan
seksama, mendadak matanya ber-kaca2 menge mbeng a ir mata,
tanyanya kemudian dengan suara ge metar: "Inilah CinCu-ling tulen
dari Hek-liong-hwe, entah darimana Ling-kongcu me mperoleh
mut iara ini?"
Semakin besar rasa curiga Kun-gi, katanya: "Mutiara ini adalah
warisan keluarga, jadi jelas bukan milik Hek-liong-hwe."
Mencorong sorot mata Yong King-tiong, tanyanya: "Kongcu tahu
akan na ma mut iara ini?"
"Le liong-pi-tok-cu."
"Pi-tok-cu, sesuai na manya, mutiara ini dapat menawarkan
segala macam racun?"
"Betul"
Mendadak Yong King-tiong berdiri, dari meja tengah dia jemput
botol hita m kecil yang dibawanya tadi, serta menga mbil mangkuk
kosong, katanya: "Entah mutiara Kongcu ini dapatkah menawarkan
racun di dala m botol ini?" la lu dia buka tutup botol dan menuang
cairan hita m kela m ke da la m mangkuk kosong tadi.
Sorot mata Kun-gi tertuju ke da la m mangkuk, mulutnya
mendesis: "Getah beracun."
Tanpa minta persetujuan Kun-gi, langsung Yong King-tiong
angkat Le liong-pi-tok-cu terus dice mplungkan ke dala m getah
beracun di dala m mangkuk. "Cess", suara mendesis keras dan
kepulan asap tebal seketika bergolak dari da la m mangkuk, begitu
asap lenyap getah beracun yang semula kental gelap di dala m
mangkuk itu kini berubah menjadi air bening.
Dengan gemetar Yong King-tiong angkat mangkuk berisi air
jernih itu dengan kedua tangannya, sekian lamanya ia kesima
mengawasi air jernih itu, mimik mukanya tampa k haru dan pilu, air
mata pelan2 mele leh me mbasahi pipi, mulutnya berguma m:
"Me mang inilah Leliong-cu tulen, me mang inilah CinCu-ling . . . . '
Tiba2 ia letakkan mangkuk, la lu angkat Leliong-cu terus berlutut
menye mbah beberapa kali, serunya sambil menengadah: "Se moga
arwah Hwecu di ala m ba ka maklum, bahwa ha mba re la hidup
tertekan dan dihina sela ma 20 tahun ini, syukurlah kini tiba saatnya
untuk me mbuat perhitungan." Sampai di sini dia berdoa, tak
tertahan lagi air matanya lantas bercucuran.
Kun-gi dia m saja menyaksikan tingkah laku orang yang
dianggapnya aneh dan semakin tebal rasa curiganya. Masa Leliong-
cu warisan keluarganya ada sangkut pautnya dengan Hek-liong-
hwe?
Tengah dia me lenggong, dilihatnya Yong King-t iong menyeka air
matanya sambil berdiri, dia sodorkan Le liong-pi-tok-cu, sorot
matanya mendadak berubah tajam dingin menatap wajah Kun-gi,
sikapnya serius dan teguh, katanya dingin: "Kau berna ma Ling Kun
gi?"
Kun-gi terima ke mbali Le liong-cu, sahutnya:
"Betul, Cayhe me mang Ling Kun-gi."
Yong King-t iong manggut2, katanya: "bagus sekali, sudah 20
tahun Losiu menunggumu, sekarang hanya ada satu kesempatan
hidup bagimu, nah, loloslah pedangmu, lawanlah Losiu dengan
sekuat tenagamu." Tangan terangkat, "creng, tahu2 dia sudah
me lolos sebatang pedang panda k warna hita m ge lap.
Sikapnya yang semula ra mah dan kini mendadak berubah
bermusuhan sungguh me mbingungkan Kun-gi. Katanya dengan
me lenggong: "Lo-tiang ada permusuhan apa dengan Cayhe?"
Yong King-tiong tampak gelagapan oleh pertanyaan ini, tapi
mendadak dia berjingkrak murka, serunya: "Tak usah banyak tanya,
kalahkan dulu pedang ditanganku, bicara lagi nanti belum
terlambat.'
Kata Kun-gi bimbang: "Lotiang me mbawa ku ke mari hanya untuk
bertanding?"
"Jangan banyak omong, nah, keluarkan senjatamu."
”Jadi kita betul2 harus berkelahi?"
"Kalau kau ingin keluar dari ka mar ini dengan hidup, kalahkan
dulu Losiu."
Pelahan Kun-gi me lolos Seng-ka-kia m, katanya: "Ba iklah, silakan
Lotiang me mulai. ."
Yong King- t iong sudah tak sabar, jengeknya: ""Nah hati2lah?"
Pedang pendek ditangannya bergetar, selarik sinar gelap tiba2
me mbabat dari sa mping, terasa oleh Kun-gi gerakan menyapu
miring yang kelrihatan sepele itni, ternyata meqnimbulkan tekarnan
yang amat berat.
Dia m2 Kun-gi kaget dan me mbatin: "Betapa hebat dan sempurna
kepandaian ilmu pedang orang ini, sungguh luar biasa." Pedang
pandak ditangannya segera bergerak menutul ke depan terus
menyontek ke atas.
Sementara itu pedang ditangan Yong King-tiong ta mpak
bergoyang naik turun, sekaligus dia menyerang tiga jurus dala m
sekali gerakan. Tiga jurus serangan ini menimbulkan lingkaran sinar
gelap yang menimbulkan tekanan hawa pedang yang berlapis dan
menebal, kekuatannya sungguh bukan olah2 dahsyatnya,.
Begitu gebrak Kun-gi lantas terdesak dibawah angin, hampir saja
dia tak ma mpu menge mbangkan ke mahirannya, terpaksa dia
mundur tiga langkah baru dapat menghindari rangsakan lawan.
Maklumlah darah mudanya gampang terbakar, karena terdesak
hatinya merasa penasaran, mendadak dia menghardik keras, Seng-
ka-kia m mendadak dia pindah ke tangan kiri, ia melompat maju,
pedang menusuk serta me mbabat dan me motong, Tat-mo-kia m-
hoat dari Siau-lim-pay seketika dia kembangkan, ilmu silat pelindung
Siau-lim-pay yang amat dibanggakan ini setelah dimainkan secara
kidal oleh Ling Kun-gi ternyata berbeda pula perbawa serta gaya
permainannya, setiap jurus permainan yang berlawanan dengan
kebiasaan umum ini, sudah tentu jauh lebih rumit dan lebih lihay
pula serta sukar disela mi.
Sekilas Yong King-tiong tampak melenga k, katanya keheranan:
"Kau ini murid Hoanjiu-ji-lay?"
Ling Kun-gi mengejek: "Lotiang me mang punya pandangan
tajam."
Di tengah percakapan ini, gaya pedang kedua orang tetap
bergerak laksana kilat saling sa mber, masing2 ke mbangkan
ke ma mpuan ilmu pedangnya, sedikitpun tak menjadi kendur. Dala m
kamar batu yang agak sempit ini la ma kela maan terasa semakin
dingin diliputi hawa pedang yang bergolak, sungguh amat dahsyat
adu kekuatan kedua jago pedang kelas wahid ini, Lekas seka li lima
puluh jurus telah lalu dala m pertempuran sengit ini.
Ilmu silat Yong King-tiong ternyata amat luas, rumit dan serba
bisa, gaya pedangnyapun aneh, setiap jurus serangan pasti
mencakup tipu2 pedang dari berbagai aliran kena maan di Kangouw,
jurus2 yang semestinya tidak berhubungan, tapi dapat
dimainkannya secara berantai dengan wajar dan bebas olehnya,
maka daya serangannya terasa semakin berat dan me ngejutkan.
Ling Kun-gi juga menge mbangkan Tat-mo kia m-hoat dengan
tangan kidal, tapi menghadapi perlawanan Yong King-t iong yang
berpengalaman dan me mbekal banyak ragam ilmu pedang, se-olah2
sekaligus dia menghadapi puluhan maca m ilmu pedang dari
berbagai aliran kelas tinggi dan lihay, keruan lama ke la maan dia
merasa kewa lahan.
Apalagi Lwe kang lawan teramat tangguh setiap gerak
pedangnya. terasa satu lebih berat dari yang lain, schingga tekanan
yang timbulpun se ma kin hebat, dan secara bergelombang
mengge mpur Kun-gi, perma inan pedang Kun-gi selalu terkunci dan
dihadang, hampir saja dia tidak ma mpu menge mbangkan
pedangnya.
Di tengah adu kekuatan ini, terdengar Yong King-tiong
me mbentak: "Ling Kun-gi, me mangnya kecuali Tat-mo-kia m-hoat
yang kau pelajari dari Hoan jiu-ji-lay ini, kau tak pernah me mpelajari
ilmu warisan keluarga mu?"
Tergerak hati Kun-gi mendengar seruan ini, pikirnya: "Ilmu
warisan keluarga? Yang dimaksud tentunya Hwi-liong-sa m kia m?"
Tanpa terasa ia mengikuti gerak pikirannya, tiba2 mulutnya bersiul
badanpun segera melejit tinggi ke atas, pedang memancarkan
cahaya kemilau hijau, pada saat terapung di udara, pedang pandak
dia pindah ke tangan kanan, dengan ringan pergelangan tangannya
bergetar me mbundar, lapisan sinar pedang baga ikan hujan
beterbangan me mancur ke segenap penjuru Iiu bertaburan ke atas
kepala, Yong King-t iong.
Sinar pedang Yong King-t iong bertaburan, beruntun dia
lancarkan jurus Giok-toh tio-thian dari Kunlunkia m-hoat, lalu Sa m-
hoa-kik-t ing dari Bu-tong-pay dan Pat-poh-thianliong dari Tat-mo-
kia m-hoat milik Siau lim-pay. Namanya saja ketiga jurus ini terdiri
dari tiga aliran ilmu pedang, tapi di tangan Yong King-tiong ketiga
jurus ini dikom-binasikan dan dilancarkan dala m satu rangka ian
gerak tipu yang lihay. Maka terdengarlah suara "tring-tring" yang
ramai.
Pedang pandak hitam Yong King-t iong ternyata terpapas kutung
ber-keping2 oleh Seng ka-kia m Ling Kun-gi, tapi untung dia berhasil
me loloskan diri dari lingkupan sinar pedang Ling Kun-gi, tiba2 dia
ter-bahak2 sambil me mbuang gagang pedangnya, katanya: "Harap
berhenti Ling-kongcu!" Mendengar seruannya Kun-gipun berhenti, di
lihatnya Yong King-tiong berwajah cerah penuh rasa riang, kedua
tangan terangkap bersoja, katanya dengan air mata ber-kaca2:
"Me mang itulah Sin liong jut-hun, ternyata kau me mang Ling
seheng adanya, maafkan akan ke kasaran Losiu barusan."
Tanya Ling Kun-gi dengan nada heran: "Dari mana Lotiang tahu
bahwa jurus yang kulancarkan tadi adalah Sin liong jut hun?"
Yong King tiong tertawa, katanya: "Hwi-liong-sa m-kia m
merupakan ilmu pedang pelindung Hwe kita, bagaimana Losiu tida k
mengenalnya? Cuma sudah dua puluh tahun lebih Losiu tida k
pernah melihatnya lagi." Keterangannya terasa aneh dan sukar
dimengerti.
Seperti diketahui Hwi-liong-sa m-kia m atau tiga jurus ilmu pedang
naga terbang adalah ilmu pedang warisan keluarga Ling Kun-gi,
bahwa Pek-hoa-pang menganggapnya sebagai Tinpang. sam-kia m
(tiga-jurus ilmu pedang pelindung-Pang), kini Yong King-tiong
mengatakan pula sebagai Tinhwesa m-kia m, atau tiga jurus ilmu
pedang pelindung Hek-liong-hwe.
Semakin bingung Kun-gi, ia yakin di balik semua ini pasti ada
latar belakangnya, maka dia ber-tanya: "Lotiang . . . . . . . . . . . "
Yong King tiong goyang2 tangannya, katanya: ”Silahkan Kongcu
duduk saja, bila kabut sudah mulai timbul di Hek-liong-ta m, Losiu
akan me mbawa mu ke sana."
Kun-gi baga i orang linglung mendengar ucapan orang yang tidak
dimengerti ini, tanyanya: "Untuk apa Lotiang henda k me mbawaku
ke Hek-liong-tam?"
Heran dan kaget sorot mata Yong King-tiong, katanya sambil
menatap tajam: "Apakah sebelum Kongcu ke mari, ibumu tida k
me mberitahukan apa2 pada mu?"
"Lotiang juga kena l ibundaku?"
"Ibumu adalah Hwecu-hujin (nyonya Hwecu), bagaimana Losiu
tidak mengenalnya."
"Hwecu-hujin", sebutan atas ibundanya ini me mbuat kepala Kun-
gi serasa ha mpir meleda k, matanya terbeliak, tanyanya: "Apa
ucapmu, Yong-lotiang?"
"O, harap Kongcu tidak salah paham, maksud Losiu adalah
Hwecu dari perkumpulan kita pada dua puluh tahun yang lalu, jadi
bukan Hwecu sekarang yang gila hormat dan tamak harta,
pengkhianat yang menjua l kawan de mi mengejar kedudukan."
"Dari nada pernbicaraannya", demikian batin Kun-gi, "mungkin
ayah adalah bekas Hwecu dari Hek-liong-hwe dua puluh tahun yang
lalu, tapi kenapa selama ini ibu tidak pernah me mbicarakan hal ini
padaku."
Karena itu sorot matanya serta merta mencorong tajam,
tanyanya menatap Yong King-tiong: "Apakah Lotiang t idak sa lah
mengenal orang?"
Sambil mengelus jenggot, Yong King-tiong tertawa, katanya:
"Kongcu me mbawa Leliong-cu, barusan kusaksikan sendiri
me lancarkan Hwi-liong-sa m-kia m, kau she Ling lagi, mana mungkin
Losiu sa lah mengenalimu."
"'Tapi kenapa ibu tidak pernah menyinggung se mua ini padaku?"
Sejenak Yong King-tiong berpikir, katanya kemudian sambil
menghe la napas: "Hal itu tak perlu dibuat heran. Dahulu wa ktu
ibumu lolos dari kejaran e lmaut, betapa banyak manusia yang
rendah martabatnya telah mengejar jejaknya, dunia me mang luas,
hampir saja dia tiada te mpat berteduh, setelah menga la mi segala
penderitaan syukurlah Kongcu dilahirkan, tapi kekuatan musuh
makin bertambah besar dan merajalela, sebagai perempuan yang
le mah, sebatang kara lagi, mungkin juga dia anggap Kongcu masih
muda usia, maka soal denda m kesumat keluarga belum
diberitahukan padamu."
"Denda m kesumat", dua patah kata ini seketika menggelorakan
darah di rongga dada Ling Kun-gi, katanya haru: "Lotiang, tadi kau
bilang ayahku almarhum dulu adalah Hwecu Hek-liong-hwe, apakah
ke mudian beliau mengala mi bencana dicela kai musuh?"
Mura m rona muka. Yong King-tiong, katanya: "Tatkala Hwecu
tertimpa musibah, boleh dikatakan beliau gugur sebagai pahlawan
bangsa, seharusnya Losiu mengikut i langkah Hwecu ke alam baka,
bahwa selama 20 tahun aku mencari hidup ini lantaran kutahu
setelah Hujin berhasil lolos, dia sedang mengandung, kuda mba kan
akan datang suatu hari, akan tibalah saatnya menuntut balas secara
total, bila Losiu mati demikian saja, musibah besar yang penuh
rahasia itu pasti takkan diketahui orang luar." Sa mpai di sini tak
tertahan matanya bercucuran, tangisnyapun sesenggukan.
Kun-gipun dirundung kesedihan, air mata me mbasahi se lebar
mukanya. "Duk", tiba2 dia berlutut serta menyembah ber-ulang2,
serunya: "Luhur, budi Lotiang, cita2mu yang penuh pahit getir, pasti
dulu engkau adalah kawan seperjuangan ayahanda almarhum,
sudikah kiranya engkau menceritakan duduk periatiwa yang
sebenarnya."
Yong King-t iong menyeka air matanya dia me mbimbing Kun-gi
bangun, katanya: "Lekas engkau berdiri, jangan kau menyiksa Losiu
lagi, selama 20 tahun ini, saat seperti inilah Losiu nanti2kan, cuma
terlalu panjang untuk berkisah peristiwa la ma, kita hanya ada waktu
singkat saja, paling2 hanya kukisahkan secara ringkas, nanti setelah
Kongcu berhasil menga mbil barang itu baru akan kuceritakan lebih
jelas."
"Hanya ada waktu singkat saja?" demikian pikir Kun-gi, "barang
apa pula yang harus kua mbil? Pastilah suatu barang yang a mat
penting artinya."
Kembali dua orang duduk berhadapan, Yong King tiong
menghirup secangkir teh, lalu katanya: Cerita ini harus kumulai dari
masa gugurnya Siante (Ka isar Gi-cong a lmarhum di medan bakt i
sehingga menimbulkan pe mberontakan laskar rakyat di mana2,
Tuan Puteri dengan badan sucinya akhirnya masuk biara
me mpe lajari aga ma, tapi beliau se la manya takkan lupa a kan
dendam ke luarga dan kejatuhan negara, secara diam2 dia masih
me mbangun kekuatan terpendam untuk me mbalas denda m, sela ma
puluhan tahun berkecimpung di Kangouw, akhirnya beliau dapat
menyusun kekuatan para pahlawan bangsa di berbagai daerah."
Sampa i di sini ceritanya dia menarik napas panjang, setelah
menghirup napas segar baru menuturkan kiaahnya: "Waktu itu ada
seorang panglima she Thi. setelah pasukannya kalah dan
dihancurkan musuh, dia berhasil menyusun seke lompok kekuatan
yang dipelopori kaum persilatan, di Kunlunsan inilah mere ka
akhirnya me mbentuk He k-liong-hwe dengan mengibarkan panji
perlawanan kepada penguasa kerajaan . . . . . . .
"Jadi panglima she Thi itulah yang mendirikan He k-liong-hwe,
bahwa Kunlun san dipilih sebagar markas pusatnya karena di perut
gunung ini terdapat banyak lorong2 gua ciptaan alam yang ber-liku2
me mbingungkan, tembus kian ke mari la ksana sarang tawon, asal
sedikit dipugar atau diperbaiki te mpat ini akan me njadi te mpat
tersembunyi yang paling a man dan rahasia, musuh takkan mudah
mene mukan te mpat ini."
"Jadi lorong2 gua ini sudah menga la mi pe mugaran waktu itu,"
kata Kun-gi.
"Lorong2 gua ini se mula me mang ciptaan alam tapi lebih banyak
pula yang dipugar oleh tenaga manusia, hampir 30 tahun lamanya
Lohwecu me mugarnya," demikian tutur Yong King-tiong lebih lanjut,
"di waktu me mbuat lorong te mbus di gua gunung yang harus
me lewati celah2 batu gunung tanpa sengaja Lohwecu mene mukan
sebuah ruang gua lain, di atas dinding dala m gua itu terga mbar
bentuk manusia yang sedang bermain pedang, kabarnya gambar itu
adalah peninggalan Tiong-yang Cinjin dari Coancinkau, di sana
Lohwecu berhasil menyela mi dan me mpelajari tiga jurus ilmu
pedang yang tiada taranya, yaitu Hwi-liong-sa m-kia m."
"Na ma Lohwecu she Thi itu apakah Tiong-hong?" tanya Kun-gi.
Yong King-tiong manggut2, katanya: "Kiranya Ling-kongcu
pernah dengar cerita orang," tanpa tanya dari siapa Kun-gi
mendapat tahu, Yong King-tiong melanjutkan kiaahnya: "Pernah
Losiu dengar cerita dari Lohwecu bahwa ilmu pedang yang tertera di
dinding sebetulnya bukan cuma tiga jurus saja, maklumlah usianya
pada waktu itu sudah setengah abad, dibatasi bakat dan usia, maka
hanya tiga jurus itu saja yang dapat dipelajarinya dengan baik . . . .
. . Ai, terlalu jauh aku ngelantur."
Kini nadanya menjadi lebih ka le m: "Dika la me mbuat lorong
tembus ke pusar bumi itu pula Lohwecu mene mukan suatu sumber
racun, air yang mengalir dari sumber itu beracun, bukan saja kental,
warnanya juga hitam gelap, manusia mati seketika bila tersentuh
meski hanya satu tetes saja "
”Getah beracun!" seru Kun-gi tanpa terasa.
"Betul," ujar Yong King-tiong manggut2, "akhirnya kita na makan
air itu getah beracun. Kemudian lohwecu me mbuat sebuah perigi
kecil, getah beracun itu dialirkan ke dala m perigi itu, dari situlah
timbulnya la ma Hek-liong-tam."
Setelah sekian lamanya mendengar kisah orang dengan sabar,
tapi orang tetap belum menyinggung soal ayahnya, diam2 Kun-gi
resah dan gelisah.
Yong King-t iong malah menghirup secangkir teh pula baru
me lanjutkan ceritanya: "Dalam usia setengah baya itu, Lohwecu
tetap belum dikurniai putera, padahal waktu itu kebetulan sedang
musim ke marau panjang, di-mana2 geger kelaparan, rakyat hidup
tertindas. Pada suatu ketika Lohwecu turun gunung, pulangnya
me mbawa seorang orok pere mpuan dan diangkat sebagai puterinya
dan dina makan Ji-giok, Thi-hujin me mandang orok pere mpuan ini
sebagai anak kandungnya sendiri, amat kasih sayang. Tak nyana
dua tahun kemudian, Thi-lohujin malah me lahirkan sendiri seorang
puteri dan diberi nama Ji-hoa. Sekejap mata 20 tahun telah lalu,
sepasang kakak beradik inipun tumbuh dewasa laksana ke mbang
me kar, Lohwecu tidak pernah membeda kan kedua puterinya ini,
setiap ada waktu senggang, dia ajarkan ilmu silat kepada kedua
nona ini . . . . "
Mendengar sampai di sini, lapat2 Kun-gi sudah dapat meraba dan
mengerti, di antara sepasang kakak beradik ini pasti satu di
antaranya adalah ibundanya dan seorang lagi pastilah Thay-siang
dari Pek-hoa-pang.
Terdengar Yong King-tiong melanjutkan ceritanya: "Waktu itu
tuan puteri mulai bergerak di daerah Kangla m, dia sendiri yang
me mimpin gerakan2 di sana, partai2 besar persilatan memang tida k
kelihatan turut campur, tapi secara diam2 mereka me mbantu
dengan segala daya upaya, malah para muridnya dianjurkan untuk
me mbantu sekuat tenaga dengan menyaru kaum persilatan
umumnya dan ikut me mbentuk barisan2 penentang kerajaan lalim
yang berkuasa. Musim semi tahun itu, Siau-lim Hongtiang Kay-to
Taysu me mperkenalkan seorang pemuda kepada Lohwecu untuk
menjadi anggota Hek-liong-hwe, pemuda ini she Ling berna ma
Tiang-hong, murid Kay-te Taysu satu2nya dari golongan pre man."
"Apakah dia ini ayahku a lmarhum?" tanya Kun-gi, "Padahal
ibunda me mberi tahu pada ku bahwa ayah berna ma Swi-toh."
"Kongcu masih muda, bahwa ibumu tida k menceritakan kiaah
masa lalu ini, sudah tentu diapun tak akan me mberitahukan na ma
terang ayahmu," sambil mengawasi reaksi Ling Kun-gi sejenak, lalu
dia mena mbahkan, "wa ktu itu ayahmu juga baru berusia likuran
tahun, berwajah cakap dan gagah, masih segar dalam ingatan Losiu
tatkala dia baru t iba di He k-liong-hwe, Lohwecu me mberi jabatan
kepala barisan ronda, kalau tidak sa lah ayahmu kepala dari
kelompok ke21, Losiu dari kelompok ke 22, sering kami bertugas
bersama, satu lama lain saling me mbantu, oleh karena itu
hubunganku cukup akrab dengan ayahmu."
Kun-gi segera berdiri tegak khidmat dan bersoja, katanya:
"Ternyata paman adalah sahabat karib ayah almarhum, maaf akan
kekurangajaran Siaut it barusan."
"Kongcu tak usah banyak adat," ucap Yong King- tiong, "Losiu
hanya seorang hamba dari ayahmu, mana berani dijajarkan sebagai
kawan karibnya segala?"
"Ayahmu masih muda tapi sudah punya cita2 luhur, matang
dalam penga la man dan sempurna dala m tata kehidupan, tindak
tanduknya tegas dalam menja lankan tugas, dalam waktu tiga tahun,
dari seorang kepala ronda sekaligus dia sudah berhasil menanjak ke
atas karena jasa2nya dan diangkat menjadi Hwi-liong-tong Tongcu,
dia merupakan orang kepercayaan yang selalu menda mpingi
Lohwecu, bukan saja Hwecu sudah ada ma ksud untuk mengawinkan
puteri sulungnya padanya, malah kelak ke mungkinan akan
mewaria kan jabatan Hwecu He k-liong-hwe . . .. . . . '
Sampa i di sini, kemba li dia menghirup secangkir teh, setelah
kerongkongan basah baru dia bercerita pula: "Tiga tahun sejak
ayahmu berada di Hek liong-hwe, pada musim rontok tahun itu
Lohwecu lantas mengawinkan puteri sulungnya Ji-giok dengan
ayahmu, tapi pada mala m pengantin ayah bundamu itulah, nona Ji-
hoa mendadak menghilang, minggat entah ke mana . . . . . . "
agaknya masih panjang lebar ceritanya, tapi seperti rada hal2 yang
sengaja hendak dia se mbunyikan, ma ka cerita ini dia putus sa mpa i
di sini.
Sudah tentu Kun-gi dapat menangkap arti pembicaraan orang,
ceritera Yong King-tiong pada bagian terakhir ini agak kabur, secara
tidak langsung dia mau bilang bahwa minggatrya nona Ji-hoa
lantaran ada sangkut pautnya dengan pernikahan ayah bundanya.
Tapi sebagai seorang anak, sudah tentu tak enak Kun-gi mendesak
ceritera orang akan kejadian masa lalu ayah bundanya, maka dia
hanya mendengarkan tanpa bersuara dan tidak me mberi reaksi
apa2.
"Lohwecu sudah berusia lanjut, bahwa puteri tunggalnya
mendadak minggat, sudah tentu Lohwecu sua mi iateri sangat
bersedih, terutama Lohujin, saking kangen dan menguatirkan
keselamatan puterinya itu, akhirnya dia jatuh sakit dan rebah
diranjang tak bisa bangun lagi. Pada waktu itulah pihak kerajaan
juga mendapat berita bahwa Hek-liong-hwe sedang siap2 hendak
bangkit dan berontak, ma ka jago2 keraton yang berkepandaian
tinggi diutus untuk me ncari jejak dan menggeledah seluruh pelosok
pegunungan Kunlunsan. Tapi piha k kita juga sudah mendapat
kabar, apalagi markas pusat Hek-liong-hwe berada di perut gunung,
sudah tentu kawanan alap2 kerajaan itupun tak berhasil
menuna ikan tugasnya.”
Tak tertahan akhirnya Kun-gi menyeletuk: "Me mangnya Hek-
liong-hwe berpeluk tangan me mbiarkan kawanan ca kar alap2 itu
bertingkah di depan pintu markasnya?"
"Di sinilah letak keberhasilan Lohwecu dala m bertindak dan
berkeputusan, maklumlah kekuatan kerajaan pada waktu itu sedang
mencapai kejayaannya, pahlawan2 bangsa yang tersebar di
berbagai tempat sudah tidak sedikit yang menjadi korban de mi
me mpertahankan kekuatan, maka Hwecu berkeputusan t idak ma u
sembarang bertinda k."
Sampa i di sini mendada k dia menghela napas, katanya pula:
"Tapi sungguh t idak pernah terduga bahwa, di antara para Siwi
(jago pengawal raja ada seorang muridnya Sinswi-cu. Perlu
diketahui bahwa seluruh peralatan rahasia yang terpasang di
lorong2 gua da la m markas kita ini diciptakan oleb Sinswi-cu, sudah
tentu muridnya juga paha m akan ilmu ciptaan gurunya, maka di
bawah petunjuknya jago2 keraton segera menyerbu masuk lewat
Ui-liong-tong. Karena rahasia sudah terbongkar, terpaksa Lohwecu
bertindak cepat dan tegas, kalau satu saja dari cakar alap2 musuh
lolos, buntut peristiwa ini tentu amat panjang, maka ma la m itu
seluruh kekuatan kita dikerahkan, untunglah delapan belas jago
kerajaan akhirnya berhasil ditumpas seluruhnya. Lohwecu sendiri
dalam pertempuran sengit itu berhasil me mbinasakan lima jago
alap2, tapi beliaupun terluka oleh senjata rahasia beracun salah
seorang musuh yang terbunuh . . . . . . . "
"Leliong-cu dapat menawarkan segala ma ca m racun di dunia ini,
apakah Lohwecu . . .. . ."
"Betul, Leliong cu me mang dapat menawarkan segala maca m
racun di dunia ini, tapi Lohwecu terluka oleh jarum beracun yang
ditiupkan oleh orang Biau, jarum tiup itu le mbut seperti bulu kerbau,
orang yang terkena jarum itu sendiripun tidak merasakan apa2,
padahal Lohwecu sendiri dengan penuh se mangat telah menumpas
musuh2nya, hakikatnya beliau tidak tahu kalau dia kena dibokong
orang. setelah musuh tertumpas seluruhnya dan kembali ke ruang
pendopo, racunpun sudah merangsang jantung, mendadak beliau
jatuh pingsan. Waktu itu belum ada orang yang tahu Hwecu terkena
jarum berbisa, orang banyak mengira beliau kehabisan tenaga
dalam usianya yang sudah lanjut setelah me mbunuh para
musuhnya, tapi setelah tabib berusaha memberi pertolongan dan
dia tetap dalam keadaan pingsan, saat itu barulah diadakan
pemeriksaan dan berhasil mene mukan setitik hita m di punda k kiri
Hwecu, seorang ahli me mastikan bahwa titik hitam itu adalah bekas
tusukan jarum le mbut yang a mat beracun, lekas Leliong-cu
dikeluarkan untuk menawarkan racunnya, namun sayang sudah
terlambat, sebelum fajar menyingsing beliaupun wafat, sepatah
katapun tak se mpat dia meninggalkan pesannya.
"Selanjutnya bagaimana?" kata Kun-gi.
"Suatu organiaasi tak boleh tanpa pimpinan, ma ka dihadapan
layon Lohwecu, kami mengadakan rapat dan secara mutla k
mengangkat ayahmu untuk mengisi jabatan Hwecu yang kosong
itu."
"Dan cara bagaima na pula ayah almarhum di ce lakai orang?"
tanya Kun-gi.
Tiba2 Yong King-t iong menghela napas panjang, katanya
ke mudian: "Waktu itu ayahmu baru berusia likuran tahun, baru
empat tahunan berada dalam Hek-liong-hwe, berkat bimbingan
Lohwecu-lah dia me mperoleh ke majuan pesat, dari seorang kepala
ronda terus menanjak menjadi Tongcu dari Hwi-liong-tong, sebelum
Lohwecu wafat beliau me mang sudah sering me mperbincangkan
tentang ahli warisnya dengan orang banyak, maka pengangkatan
ayahmu sebagai Hwecu menggantikan Lohwecu mendapat
dukungan mutlak. Tapi He k-liong-hwe sudah berdiri sejak tiga puluh
tahun yang lulu, meski ayah-mu me miliki kecerdikan dan
kepandaian yang tinggi, betapapun dia masih terlalu muda dan
cetek pengalaman, sukar dia me mikul beban berat dan menunaikan
cita2 dan harapan orang banyak ........"
"Itu berarti ada sementara orang merasa sirik dan kurang senang
akan pengangkatan ayah?"
"Bukan begitu soalnya," ucap Yong King-tiong, "se mula beberapa
Tianglo (tertua) yang dahulu ikut Lohwecu mendirikan Hek-liong-
hwe me mang merasa ayahmu terlalu muda, sukar me mikul tugas
berat, tapi setelelah Lohwecu mangkat, selama setahun Hek-liong-
hwe di bawah pimpinan ayahmu, ketenaran Hek-liong-hwe justeru
lebih menjulang tinggi di ka langan Kangouw, kebesaran Hek-liong-
hwe boleh dikatakan belum pernah terjadi sejak sejarah berdirinya
selama tiga puluh tahun, akhirnya beberapa Tianglo itu baru betul2
merasa bahwa pilihan Lohwecu atas ayahmu me mang tepat dan
bijaksana, maka dengan sekuat tenaga mereka menyokong dan
bantu kerja keras, sampa ipun Ceng-liong-tong Tong-cu Han Janto
yang selamanya bertentangan pendapat dengan ayahmupun
berubah pendirian dan mendukung sepenuhnya kepe mimpinan
ayahmu, tahun itu boleh dikatakan masa jaya2nya Hek-liong-hwe."
"Jadi siapakah biang keladi yang mencelaka i ayah?" tanya Kun-gi
bingung.
Rawan sikap Yong King-tiong, katanya setelah menghela napas:
"Bahwa delapan belas jago ko-sen kerajaan tiada satupun yang
ke mbali dala m menuna ikan tugas, sudah tentu pihak kerajaan tidak
berpeluk tangan. Setelah diselidiki, akhirnya diketahui bahwa ke18
jago kosen dari keraton itu seluruhnya terbinasa di tangan orang2
Hek-liong-hwe, sudah tentu kaisar sangat murka me mperoleh
laporan ini, ma ka gubernur Soa-tang diperintahkan untuk
menghancur leburkan kaum pe mberontak.”
Ling Kun-gi berjingkat, serunya: "Pihak kerajaan hendak
menumpas dengan pasukan besar?"
"Menghadapi pasukan besarpun Hek-liong-hwe tak pernah
gentar, umpa ma berlaksa bala tentara sekaligus menyerbu
pegunungan Kunlunsan juga takkan me mbawa hasil yang
diharapkan, yang mengge maskan justeru di da la m Hek-liong-hwe
kita sendiri ternyata ada manusia gila yang lupa akan ajaran leluhur
dan terima menjadi antek musuh dan menjual bangsa.".
Bergetar hati Kun-gi. "Siapa?"b, teriaknya terd-beliak.
"Yaitu Hek-liong-hwe Hwecu yang sekarang, Han Janto,"
Rasa geram bergejolak dala m rongga dada Kun-gi, tanyanya:
"Cara bagaimana dia berhasil menjual Hek liong-hwe kepada
musuh?"
"Gubernur Soa-tang Kok Thay adalah antek perdana menteri
Hokun yang berkuasa di istana, semula Kok Thay adalah bajingan
yang sering mengisap darah rakyat dengan penindasan kejam,
waktu dia me mperoleh perintah dari istana, bukan saja ketakutan
juga kebingungan sa mpa i ter-kencing2. . . dia punya seorang
penasihat yang bernama Ci Kunjin, bergelar Im-su-boan koan
(hakim a khirat), kabarnya orang ini dulu adalah tabib kelilingan di
Kangouw, entah bagaimana akhirnya bisa me mperoleh pangkat dan
kedudukan dikalangan pemerintahan dan menjadi orang
kepercayaan Kok Thay, dari nasihat dan petunjuk Ci Kunjin inilah
kejahatan Kok Thay se makin merajalela, de mikian juga da la m ha l
ini, dia pula yang mencari akal muslihat keji, dia bilang bahwa
pasukan besar pasti takkan berhasil, ma ka dia menulis beberapa
huruf di telapak tangannya sebagai usulnya."
"Tipu muslihat apa yang dia tulis di telapak tanganya?" tanya
Kun-gi.
"Me mberantas pe mberontak dengan pe mberontak."
"Me mberantas pe mberontak dengan pe mberontak?"
"Betul, muslihatnya ini boleh dikatakan a mat keji, tujuannya
adalah me mecah be lah, dia me mancing dengan harta benda serta
pangkat, jika bukan manusia gila yang durhaka, mana mungkin
berhasil mengaduk di da la m Hek liong-hwe kita?"
Setelah menarik napas panjang, akhirnya Yong King-tiong
meneruskan: "Mungkin juga lantaran sudah ditakdirkan, kebetulan
Han Janto si keparat itu berselisih paha m dengan ayahmu, akhirnya
ma lah ayahmu yang mendapatkan jabatan Hwecu, lahirnya me mang
kelihatan dia ikut mendukung, tapi denda m hatinya ternyata
semakin mendala m.
"Perlu diketahui bahwa Han Janto adalah putera adik angkat
Hwecu sendiri, ayahnya gugur di medan laga de mi me mbela panji
kebesaran Hek-liong-hwe, sela ma ini Lohwecu me mandangnya
sebagai keponakan, malah kedudukannyapun terus menanjak dan
akhirnya diangkat sebagai Ceng-liong-tong Tongcu, jika tiada
ayahmu, me mang mungkin dialah yang akan mewarisi jabatan
Hwecu kelak."
Cerita ini kedengarannya cukup jelas, tapi siapapun pasti akan
merasa bahwa dibalik cerita ini ada sesuatu yang sengaja
ditinggalkan sehingga orang sehingga rangkaian cerita ini
hakikatnya tidak se mpurna.
Kun-gi berkata: "Umpa ma betul dia berselisih dengan ayah,
itukan persoalan pribadi, tidak seharusnya dia menjual Hek-liong-
hwe."
"Itulah yang dikatakan mabuk harta dan gila pangkat, dia lupa
bahwa bapaknyapun gugur di tangan musuh, soalnya pihak
kerajaan berjanji bila dia berhasil dengan usahanya, bukan saja
tidak menjatukan hukuman padanya sebagai pemberontak, malah
dia akan diangkat menjadi pe mbesar, ada hadiahnya lagi, oleh
karena janji muluk2 inilah sehingga dia rela menjual kawan de mi
mencari keuntungan pribadi, sekaligus untuk ber-muka2 dan
me mba las denda m, secara suka rela dia menyerahkan peta rahasia
dari seluruh markas pusat ini sebagai usahanya. pertama mendarma
baktikan diri pada kerajaan . . . . . ... '.
Pucat wajah Kun-gi, katanya: "Di bawah gerebegan ketat jago2
kosen pihak kerajaan, Hek-liong-hwe masih tetap jaya malah
berkembang se makin besar, semua itu berkat lorong2 rahasia di
dalam gunung ini, orang luar tiada yang tahu rahasianya, bahwa dia
rela menyerahkan peta rahasia markas pusat, itu berarti telah
menyerahkan seluruh kekuat-an He k-liong-hwe kepada musuh.
Terkepal kencang kedua tangan Yong King-tiong, katanya
dengan geregetan: "Memangnya tiga puluh tahun lebih Lohwecu
mendirikan Hek-liong-hwe, betapa jerih payah Sinswi-cu
menciptakan alat2 rahasia itu, sejak itu se mua terjatuh ke tangan
musuh."
"Bagaimana kejadiannya, harap paman suka menceritakan," pinta
Kun-gi.
Jelek sekali air muka Yong King-tiong, sorot matanya setajam
pisau, katanya sambil mengertak gigi: "Penegak Hek liong-hwe,
kecuali Lohwecu masih ada sembilan Tianglo lagi, mereka sehidup
semati dala m perjuangan sebagai saudara angkat, waktu Lohwecu
meninggal masih ada lima Tianglo saja yang hidup, usia mereka
waktu itu juga sudah lebih setengah abad, keparat she Han yang
durhaka itu bukan saja menyerahkan peta rahasia kita, ternyata
diapun tega berlaku keja m, di bawah hasutan dan petunjuk cakar
alap2 musuh, secara diam2 ia telah menaruh racun, beruntun
kelima Tianglo kita dibunuhnya . . . . . . . "
"Apakah tiada orang yang me mbongkar muslihatnya ini?" tanya
Kun-gi.
"Tida k, kerja keparat itu a mat cermat, cerdik dan licik lagi,
apalagi racun yang dia gunakan pemberian dari istana raja, para
korban tidak meninggalkan bekas keracunan, dala m waktu satu
bulan ke lima Tianglo kita itu beruntun meninggal satu per-atu,
sudah tentu peristiwa ini menimbulkan kecurigaan, tapi para Tianglo
itu kelihatan mati dengan wajar, tidak ada gejala2 aneh sedikitpun,
meski dala m hati se mua orang menaruh curiga, tapi tiada yang bisa
berbuat apa2 . . . . . . ",
Alis Kun-gi menegak, desisnya geram: "Bangsat keparat itu
me mang pantas dicacah lebur ber-keping2."
"Dua puluh tahun yang lalu, pada mala m Toanngo (Pek-cun),
hampir dua bulan sejak Tianglo terakhir meningga l dunia, selama itu
tak pernah terjadi apa2 dalam Hek-liong-hwe kita, ma ka
kewaspadaan kita menjadi kendor, Toanngo adalah hari raya besar,
setiap tahun seperti lazimnya Hwecu pasti mengumplkan ketiga
Tongcu dan tiga puluh enam panglima untuk berpesta pora di ruang
pendopo, demikian pula para kepala ronda dari masing2 seksi juga
diundang . . . . . . . . ."
"Ke mbali dia menggunakan racun?" tak tertahan Kuangi
bertanya.
Yong King-tiong t idak rnenjawab langsung, katanya: "Dika la
hadirin ma kan minum dengan riang ge mbira, seorang she Sim,
kepala ronda dari Ceng-liong-tong, tiba2 berlari masuk dengan ter-
buru2, langsung dia ber-bisik2 ditelinga Han Janto" tampak Han
Janto mengunjuk wajah berseri, segera dia bangkit dan berkata
dengan suara lantang: "Hadirin sekalian, hari ini adalah hari raya
Toanyang, kebetulan para saudara hadir di sini, ada beberapa patah
kata ingin kusampaikan. Hek-liong-hwe kita sudah berdiri sejak 30
tahun yang lalu, tujuan semula adalah me mbangkitkan ke mbali
kerajaan Beng, tapi selama 30 tahun ini pernerintahan Boan sudah
amat kukuh dan sudah berkuasa di seluruh negeri, harapan untuk
me mbangkitkan kerajaan Beng sudah nihil, dengan kekuatan kita
yang hanya beberapa gelintir manusia ini jelas takkan ma mpu
me lawan kekuasaan raksasa kerajaan seka-rang, bak telur
me mbentur batu belaka, daripada ber-tahun2 kita tetap hidup di
perut gunung, jarang sekali me lihat sinar matahari, apalagi selama
30 tahun ini tiada kemajuan yang kita capai, orang kuno juga bilang
adalah bijaksana kalau kita tunduk pada firman Thian, sebaliknya
menentang takdir pasti a kan hancur lebur, maka menurut he matku,
lebih baik kita menyerah kepada kerajaan Boan saja, kita terima
pengampunan dan anugerahnya, masa depan kita masih terbentang
luas di depan mata. Kira2 begitulah pidatonya waktu itu. Ai,
sungguh me ma lukan bahwa dia berani bicara serendah itu."
"Bagaimana reaksi ayah pada waktu itu?" tanya Kun-gi.
"Waktu itu hadirin mengira dia terlalu banyak menenggak arak,
maka kata2nya ngelantur, tapi hal itupun sudah merupaka
pelanggaran serius yang tidak boleh didia mkan, sudah tentu hwecu
tidak berpeluk tangan, segera dia membantak: `Hantongcu, gila
kau, berani kau omong sekotor itu, menurut aturan kita, kau pantas
dihukum pancung dan dipreteli anggota badanmu.'
"Han Janto ma lah terbahak mendongak, serunya: 'Ling Tiang-
hong, jangan kau pa mer kewibawaanmu sebagai Hwecu dihadapan
tuan Hanmu ini, coba pentang lebar matamu, kalian kaum
pemberontak ini, jangan harap satupun bisa lolos.'
Mendadak ia me mbanting cangkir arak di tangannya.
Me mbanting cangkir adalah isyarat, maka dala m sekejap dari
delapan pintu rahasia yang ada di ruang pendopo se kaligus
me mberondang keluar puluhan jago2 kosen kerajaan."
"Kekuatan inti Hek-liong-hwe berada se mua di ruang pendopo,
kecuali mereka mengguna kan senjata rahasia yang amat jahat,
masa puluhan cakar alap2 musuh tak ma mpu mereka
me mberantasnya?" tanya Kun-gi.
Berkerut gigi Yong King-tiong, katanya pedih dengan suara berat:
"Cakar alap2 itu tiada yang menggunakan senjata rahasia, tiada
pertempuran yang terjadi di ruang pendopo karena tiada
perlawanan sedikitpun dari kita, dengan mata mendelong se muanya
di telikung dan dibelenggu tanpa bisa berkutik."
Mencelos hati Kun-gi, serunya: "Se muanya terkena racun?!"
Guram sorot mata Yong King-tiong, katanya: "Di dala m arak Han
Janto telah mencampurkan bubuk pele mas tulang, semua orang
kehilangan daya tahannya, apalagi untuk melawan ........."
"Bagaimana ayah?" tanya Kun-gi gugup.
Berlinang air mata Yong King-tiong, katanya: "Waktu itu Losiu
sudah menjabat Hek liong-hwe Congkoan, karena tugas maka aku
tidak hadir dala m perjamuan itu, kejadian ini akhirnya kudengar dari
cerita orang. Melihat gelagat tidak me nguntungkan. Hwecu
menggigit lidah dan bunuh diri, dia gugur sebagai pahlawan bangsa
dalam tugasnya.".
Bercucuran air mata Kun-gi, tiba2 dia menjatuhkan diri dan
berlutut, ratapnya: "Yah, anak berjanji pasti akan membunuh
bangsat she Han itu dengan tanganku sendiri untuk me mbalas sa-kit
hatimu."
Sambil menyeka air mata Yong King-tiong berkata: "Kongcu tak
usah sedih, setelah kembali dari Hek-liong-tam, pasti dengan mudah
kau dapat menuntut ba las, me mangnya bangsat she Han itu dapat
lari ke mana?"
Kun-gi bangkit berdiri, mendadak dia tanya dengan prihatin:
"Lopek (pa man), cara bagaimana ibu dapat melarikan diri wa ktu
ilu?"
"Mungkin sudah suratan takdir, ibumu waktu itu sudah bunting,
karena sering muntah2, maka dia tidak hadir dala m perjamuan,
kawanan cakar alap2 itu sedang sibuk menerima tugas dan berebut
kedudukan, apalagi di-mana2 masih ada perlawanan, maka ibumu
mendapat kese mpatan lari setelah mendengar perubahan situasi,
ketika mere ka sadar, namun ibumu sudah lolos lewat jalan
rahasia.."
"Bangsat she Han itu sudah menjual Hek-liong-hwe, cara
bagaimana dia bisa menjadi Hwecu Hek-liong-hwe pula?"
"Dengan menjual Hek-liong-hwe berarti dia telah berjasa besar
bagi kerajaan, kini dia sudah menjadi pe mimpin komandan pasukan
bayangkari keraton, di sa mping kedudukan sa mpingannya sebagai
Hek liong-hwe Hwecu, dan semua ini merupa kan suatu rencana keji
yang mengandung banyak muslihat."
"Me mangnya ada muslihat keji apa pula?" tanya Kun-gi heran.
Yong King-tiong menengga k secangkir teh, katanya kemudian:
"Se mua ini ada sangkut pautnya dengan Losiu, demikian pula erat
hubungannya dengan Kongcu sendiri."
"O," Kun-gi me longo keheranan.
"Dua puluh tahun yang la lu, kelompok2 penentang kerajaan Boan
dan pembangkit kerajaan Beng tersebar luas di selatan dan utara
sungai besar, semuanya berada di bawah komando Tuan Puteri,
sebagian tertumpas oleh musuh, banyak pu-la yang
menye mbunyikan diri dan sejak itu tiada gerakan2 lagi, hanya Hek-
liong-hwe karena me mpunyai kedudukan strategis, maka dia tetap
berdiri jaya dan menjulang di kalangan Kangouw, boleh dikatakan
Hek-liong-hwe merupakan kelompok terakhir yang masih aktip.
Bahwa pihak kerajaan sekarang masih tetap me mpertahankan He k-
liong-hwe tujuanya adalah untuk menggaruk sisa gerakan ra kyat
yang terpendam, maksud uta ma mereka adalah menumpas habis ke
akar2nya kaum patriot yang hendak me mbangkitkan kerajaan Beng
. . . ''
"Me mangnya ini ada sangkut paut apa dengan dia dan a ku?"
dia m2 Kun-gi me mbatin dala m hati..
"Kecuali itu masih ada sebab la innya pula," sa mbung Yong King-
tiong, "ini ada hubungannya dengan Hek-liong-ta m . . . . "
Mendengar orang ke mbali menyinggung Hek-liong-ta m, padahal
tadi dikatakan bahwa pihak kerajaan menyerahkan kekuasaan
pimpinan Hek-liong-hwe kepada keparat she Han itu ada sangkut
pautnya dengan diriku, kini dikatakan pula ada hubungan dengan
"kola m naga hitam", maka dapatlah disimpulkan bahwa di kola m
naga hitam itu tentu tersembunyi sesuatu yang ada sangkut
pautnya dengan dirinya.
Sebelum Kun-gi me ndesak, Yong King-tiong telah melanjutkan
kisahnya. "Kemudian Losiu di-tawan, karena dia anggap paling
akrab dengan ayahmu, sela ma setahun lebih a ku disekap dala m
penjara, belakangan Losiu me ndapat tahu bahwa ibumu berhasil
lolos dengan me mbawa lari Leliong-cu dan musuh tak berhasil
mene mukan jejaknya, maka Losiu pikir harus bertahan hidup, malah
aku berusaha untuk tetap memegang jabatan Congkoan dalam He k-
liong-hwe, karena dala m me mangku jabatan itulah baru aku punya
harapan untuk menunggu kedatangan Kongcu, maka terpaksa aku
merendahkan diri terima diperintah dan dihina, malah sengaja
kubocorkan juga sesuatu rahasia besar yang cukup penting sebagai
penebus hukumanku . . . . . . ."
Mendengar sampai di sini tak tertahan Kun-gi bertanya: "'Entah
rahasia penting apa yang Lopek bocorkan kepada mereka?"
"Kecuali ibumu hanya Losiu seorang saja yang tahu akan rahasia
ini," ujar Yong King-tiong ter-tawa, "yaitu sebuah kamar gua yang
terletak di dasar Hek-liong-tam yang dulu dite mukan Lohwecu di
waktu me mbuat lorong rahasia, di dalam ka mar gua itulah ada
peninggalan ga mbar yang terukir di dinding tentang ilmu pedang
maha sakti dari peninggalan Tiong-yang Cinjin. Waktu Tuan Puteri
mengadakan inspe ksi ke Hwe kita, beliupun berpendapat bahwa
letak kamar gua itu a mat strategis dan rahasia, maka daftar nama
dan tokoh2 dari berbagai aliran besar yang ikut menjadi anggota
Thay-yang-kau (agama me muja matahari) disimpannya juga di
sana, mengingat betapa penting beratnya tugas serta tanggung
jawab ini, ma ka Lohwecu minta kepada Sinswi-cu untuk
menciptakan suatu alat rahasia, dari gua sebelah atas mengalirkan
getah beracun ke dala m ka mar gua itu, sehingga terciptalah kola m
naga hita m itu."
"Lopek me mbocorkan rahasia ini kepada musuh, bukankah
berarti menjual se luruh anggota Thay-yang-kau yang didirikan oleh
Tuan Puteri?"
"Teguran Kongcu kuterima dengan lapang hati, soalnya kalau
Losiu tida k me mbocorkan rahasia ini, tak mungkin a ku me mperoleh
kepercayaan mereka, itu berarti tak mungkin a ku menjabat Cong-
koan di Hek-liong-hwe, mana mungkin pula sela ma dua puluh tahun
ini aku me nunggu tibanya Kongcu?"
"Yang terang Lope k telah mengorbankan jiwa, para anggota
Thay-yang-kau, me mangnya apa pula gunanya meski telah berhasil
menunggu kedatanganku. ."
"Terus terang Losiu juga pernah bersumpah berat di hadapan
ma laikat Matahari, masa aku berani menjual sesa ma saudara
anggota? Apalagi soal ini menyangkut la ksaan jiwa para anggota
yang lain umpawa daftar itu betul2 terjatuh ke tangan musuh, itu
berarti Losiu menjadi manusia yang paling berdosa di dunia ini,
seribu ka li ke matiankupun be lum mengimpasi dosa2ku"
"Bukankah Lopek bilang sudah me mbocorkan rahasia ini kepada
mereka?"
"Tadi Losiu bilang, oleh Lohwecu Sinswi-cu diminta me mbuat
suatu saluran getah beracun sehingga hakikatnya ka mar gua itu
berada di dasar kolam naga hita m, jelasnya kamar gua itu terletak
dua puluhan tombak di dasar kolam, setetes getal saja dapat
me layangkan jiwa manusia, apalagi getah sedalam dua puluhan
tombak, umpa ma dewa atau mala ikatpun takkan mungkin se lulup
ke dasarnya."
"O," sampa i di sini baru Kun-gi paha m, "aku mengerti!'
Mengerti soal apa? Yaitu kenapa piha k Hek-liong-hwe dan Pek-
hoa-pang sama berlomba berusaha mencari obat penawar getah
beracun.
Kini jelas tujuan He k-liong-hwe adalah untuk menga mbil daftar
nama anggota Thay-yang-kau. Demikian pula Thay-siang dari Pek-
hoa-pang, tujuannya tentu pada ajaran ilmu pedang yang tertera di
dinding gua peninggalan Tiong-yang Cinjin.
Kini persoalannya se makin je las lagi bahwa Thay-siang Pek-hoa-
pang itu adalah puteri tunggal Lohwecu yang minggat, yaitu nona
Ji-hoa.
Dengan mengelus jenggot Yong King-tiong bertanya: "Kongcu
mengerti soal apa?"
"Bahwa He k-liong-hwe sengaja menculik Tong-losianseng dari
Sujwan, Unlocengcu dari Ling-la m, Lok-san Taysu dari Siau-lim-s i
serta Cu-cengcu pemilik Liong-binsanceng, mereka ditekan dan
diperas untuk menciptakan obat penawar getah beracun, tujuannya
terang adalah daftar anggota yang berada di dasar kola m."
"Betul," Yong King-tiong mengangguk, "tapi ada satu hal yang
mereka lupa kan, yaitu kenapa ibumu me mbawa lari pula Leliong-
cu."
"Leliong-cu, apakah dapat menawarkan getah beracun dala m
kola m?"
"Agaknya ibumu tidak menjelaskan seluruh persoalan ini kepada
Kongcu, tak heran kau kebingungan.”
"Me mangnya masih ada rahasia lainnya?" tanya Kun-gi terbeliak.
"Leliong-cu me mang dapat menawarkan segala maca m racun2
aneh di dunia ini, tapi mut iara itu masih punya khasiat lainnya pula,
yaitu masuk air tida k basah, ma ka iapun dina ma kan juga Huncui-
cu," sampai di sini dia menatap Kun-gi, katanya pula. "sekarang
tentu Kongcu ma klum kenapa Losiu rela hidup terhina sela ma dua
puluh tahun ini, karena dengan penuh harapan menunggu
kedatangan Kongcu."
"Jadi Lopek ingin Siautit terjun ke dasar kolam masuk ke ka mar
gua itu?"
Mendadak sikap Yong King-tiong tampa k serius, katanya: "Betul,
kini Kongcu me mikul dua tugas berat yang amat penting artinya.
Pertama untuk menuntut balas ke matian ayahmu kau harus pelajari
seluruh ilmu pedang peningga lan Tiong-yang Cinjin secara lengkap,
karena sejak kecil Han Janto dibimbing dan diasuh oleh Lohwecu,
Lohwecu telah mengajarkan segala ke ma mpuannya tanpa batas
kepadanya, apa yang ibumu ajarkan pada mu, tentu diapun bisa,
bicara soal Hwi-liong-sa m-kia m, dalam hal Lwekang jelas dia lebih
kuat daripada kau, maka hanya bila kau berhasil me mpelajari
seluruh ilmu pedang itu secara lengkap baru kau akan bisa
menga lahkan dia."
Ling Kun-gi tertunduk sa mbil me ngiakan.
"Kedua, daftar anggota Thay-yang-kau yang tersimpan dala m
kamar gua itu harus segera kau hancur leburkan."
"Lho, kenapa dihancurkan malah?"
"Daftar itu dibuat pada puluhan tahun yang lalu, waktu itu Tuan
Puteri ada kontak dengan semua aliran dan golongan patriot hendak
bergerak dan penguasa sekarang, tapi hal itu ber-larut2 sampai
sekarang, padahal kerajaan Boan kini sudah bercokol kukuh dan
kuat berkuasa, di samping kelompok2 anggota Thay-yang-kau yang
tersebar luas di-mana2 banyak yang sudah bubar atau tida aktif
lagi, maka daftar anggota itu sudah tidak berarti pula, tapi bila
daftar ini terjatuh ke tangan pihak kerajaan, entah betapa banyak
jiwa yang akan menjadi korban, daripada menimbulkan bencana
bukankah lebih baik dihancurkan saja"
Kun-gi berdiri, katanya: "Siautit perhatikan pesan ini, lalu
bagaimana cara untuk pergi ke Hek-liong-ta m?"
"Silakan duduk Kongcu, Hek-liong-ta m dibangun oleh Sinswi-cu
secara cermat dan mengagumkan sekali, umpa ma sudah me miliki
Leliong-cu, kalau tidak tahu cara mengatasi dan tidak punya kunci
rahasia pembukanya juga sia2 belaka. Setelah meningga lkan ka mar
ini kita takkan boleh berbicara lagi, maka di sini Losiu perlu
menje laskan semua rahasia yang ada di dalamnya kepadamu,"
sembari bicara dari lengan bajunya dia merogoh keluar segulung
kertas yang terbuat dari kulit domba, terus dibeber di atas meja.
Dia menuding gambar2 yang tertera diatas kertas, katanya:
"Luas kola m ini dua puluh e mpat tombak: pada dinding cura m
sebelah utara terdapat sebuah patung batu berbentuk kepala naga,
pancuran getah beracun keluar dari mulut kepala naga ini, getah
beracun terus mengalir tidak pernah putus, dengan Pia-houkang
(ilmu cica k merayap) kau harus melorot turun ke bawah sa mpa i
dasar kola m, untung Leliong-cu dapat me mberi penerangan, di
bawah kau bisa melihat sebuah gelang baja yang kuning mengkilap,
dengan tenaga Tay-lat-kim-kong-jiu-hoat dari Siau-lim-s i, tariklah
sekuat tenagamu, maka aliran getah dari mulut naga akan berhenti,
sementara getah di dalam ko-la m a kan mengalir keluar me lalui
delapan lubang ke je mbangan yang tersembunyi di dasar lain,
volume air akan cepat menurun, di dasar kola m terdapat sebuah
batu karang yang menonjol keluar ke permukaan, setelah itu baru
kau lepaskan gelang baja itu dan me lompat ke atas batu karang,
ke mbali dengan Tay-lat-kiwi-kong-jiu kau harus menggeser sebuah
batu bundar raksasa di atas batu ka-rang itu, di bawah batu itulah
ada jalan rahasia menuju ke ka mar gua . . . . "
"Kalau a ir berhenti mengalir dari mulut naga. air kola m akan
menurun, apakah orang-orang Hek-liong-hwe tidak akan tahu?"
tanya Kun-gi.
"Pertanyaan bagus," ujar Yong King-tiong, "bagian dalam di
antara himpitan tebing curam da-ri Hek-liong-tam itu setiap waktu
tertentu pasti menimbulkan kabut tebal, terutama pada kentongan
keempat dan kelima, begitu tebal kabut di sana sampa i berdiri
berhadapanpun takkan bisa melihat wajah lawan, kabut akan pudar
dan sirna setelah fajar menyingsing, para penjaga di luar le mbah
dilakukan secara bergiliran, maka tak perlu kuatir akan di ketahui
orang, sekarang kau harus perhatikan lukisan ini serta mengingat
letaknya di luar kepa la."
"Baiklah, Siaut it sudah mengingatnya."
"Bagus sekali," ujar Yong King-tiong, dia je mput kertas kulit
kambing itu lalu mere masnya serta di-gosok2 di antara kedua
telapak tangannya, kertas kulit ka mbing itu seketika hancur luluh
dan berhamburan di lantai.
"Lopek," seru Ling Kun-gi kaget, "kenapa kau
menghancurkannya?"
Yong King-tiong menghela napas, katanya: "Kondcu sudah
datang, gambar ini tidak perlu disimpan lagi, lebih baik dihancurkan
saja."
Lalu dari kantong bajunya dia keluarkan sebuah benda kuning
emas yang berbentuk ikan emas sepanjang dua dim, dengan hati2
dan serius dia serahkan mainan ikan e mas itu, kepada Kun-gi, ka-
tanya: "Inilah salah satu dari benda Hek-liong-hwe yang paling
rahasia dan a mat penting serta besar artinya. Leliong cu dikuasai
oleh Hwecu sendiri, sementara ikan e mas ini diserahkan kepada
Cong-koan untuk menyimpannya, di dalam perut ikan ada tersimpan
kunci untuk me mbuka ka mar gua di dasar kola m, beruntung hal ini
hanya diketahui oleh Hwecu dan Hek-liong-hwe Congkoan saja,
sudah dua puluh tahun lebih Losiu menyimpannya, aku sendiri
belum pernah me lihatnya tentang cara me mbukanya, hanya Hwecu
sendiri yang tahu, setelah berada dilorong menuju ke ka mar gua itu
boleh kau bekerja menurut keadaan, untuk ini lo-siu tak bisa
me mberi petunjuk apa2 lagi."
Kun-gi terima mainan ikan e mas itu, terasa bobotnya amat
enteng, badan dan ekor ikan dapat bergerak, sisiknya mengkilap,
mirip sekali dengan ikan asli, bagus sekali pe mbuatannya."
Yong King tiong berdiri, katanya: "Baiklah, sekarang hampir
kentongan kee mpat, marilah kita berangkat."
Kun-gi ikut berdiri. Sekali kebut Yong King-tiong pada mkan api
lilin dan mengha mpiri dipan batu dan didorongnya pelan2. Melihat
caranya mendorong, jelas dipan batu itu a mat berat, ma ka
terdengarlah suara geseran gemuruh dari dasar lantai.
Akhirnya Yong King-tiong berpaling, katanya: "Inilah a lat rahasia
yang kutiru dari ciptaan Sinswi-cu, maka tiada orang kedua yang
tahu akan pintu rahasia ini, me mang terla mpau berat tapi yakin
takkan konangan oleh siapapun . . . . . . . ." waktu bicara dipan batu
sudah terdorong mundur lima kaki, tapi dia masih terus
mendorongnya. Dari bawah lantai ta mpak mulai t imbul gerakan
seiring dengan dorongan dipan batu itu, maka tampaklah sebuah
lubang persegi di bawahnya.
"Apakah se mua ini bikinan Lopek sendiri?" tanya Kun-gi.
Yong King-t iong sudah berhenti mendorong, katanya tertawa:
"'Sudah tentu, Losiu me mpunyai dua be las ahli pedang sebagai bna k
buah, tapi kecuali Siau-tao tadi, tiada bseorangpun yang menjadi
orang kepercayaanku, untuk me mbuat pinto rahasia ini, aku sudah
menghabiskan waktu 10 tahun."
Setiap mala m sela ma 10 tahun, tanpa tidur dan mengenal lelah
me mbuat jalan rahasia di bawah tanah, betapa besar semangat dan
ketekunan kerjanya sungguh harus dipuji.
Dari dala m kantongnya Yong King-tiong mengeluarkan sebuah
bumbung te mbaga, kiranya sebuah obor, langsung dia menerobos
turun lebih dulu ke dala m lubang di bawah tanah, katanya: "Biarlah
Losiu me nuujukkan jalannya:."
"Creet" di bawah dia menyalakan obor terus melangkah turun
me lalui unda kan batu.
Kun-gi mengikuti langkahnya, kira2 puluhan undakan ke mudian
baru jalan terasa datar dan lebar. Yong King-tiong serahkan
bumbung obor kepada Kun-gi. lalu me mba lik, ternyata diatas
dinding ada terasang roda besi, dengan kedua tangan dia pegang
roda besi terus diputarnya pelan2. Kelihatan dia mengerahkan
tenaga dan memutarnya dengan kuat. Setelah roda besi bergerak,
dari dalam dinding lantas berkumandang suara gemuruh, papan
batu di atas kepalanya mulai bergerak terus menutup seperti
asalnya.
Ternyata Yong King-bong tidak berhenti, ia masih terus me mutar
roda, Kun-gi tahu orang sedang menga lihkan dipan batu ke te mpat
asalnya.
Kira2 tiga puluhan putaran ke mudian pelan2, Yong King-tiong
menghentikan kerjanya, katanya dengan tertawa: "Alat rahasia ini
teramat berat, kalau dibandingkan ciptaan Sinswi-cu, bedanya bagai
langit dan bumi, tapi Losiu sudah merasa puas. Seorang yang asing
dalam ilmu peralatan rahasia seperti ini ternyata dapat juga
menciptakan alat2, rahasia seberat ini dengan kedua tangan
sendiri."
"Bagi seseorang yang teguh iman dan penuh kerja yang tak
kenal putus asa pasti akan mencapai cita2nya, bahwa Lopek
seorang diri dapat me mbuat lorong rahasia ini, sungguh harus
dipuji."
"Siang mala m yang kuharapkan hanya satu, yaitu semoga
Kongcu dapat masuk ke dasar kola m dengan sela mat,
menghancurkan daftar anggota Thay-yang-kau dan mempelajari
ilmu pedang peninggalan Tiong-yang Cinjin dengan se mpurna,
sehingga semua aliran dan golongan di kalangan Kangouw bisa
bertahan hidup sejahtera, demikian purla anak cucu para pe mbesar
kerajaan yang terdahulu yang tersebar di mana2 bisa
me mpertahankan kehidupan keluarganya, asal bibit2 Thay-yang-kau
masih ada dan bersemi dala m sanubari mereka, pasti akan datang
suatu ketika kekuatan perlawanan terhadap pemerintahan kerajaan
yang lalim, sehingga bangsa dan tanah air dapat bebas dari jajahan
musuh, itulah cita2 Losiu.
Di sa mping itu akan kubantu Kongcu sekuat tenaga
me mberantas para penjahat dan keparat jahanam itu untuk
menuntut ba las sakit hati Hwecu, Losiu terhina sela ma dua puluh
tahun ini, umpa ma kedua cita2 ini berhasil dengan baik, matipun
aku bisa mera m," sa mpai di sini, mendadak dia bersuara lirih:
"Awas, Kongcu, di depan ada sebuah pengalang batu raksasa,
jangan kau me mbenturnya."
Maklumlah lorong ini dibuka oleh Yong King-tiong seorang diri
dengan kedua tangannya, sudah tentu bentuknya tidak selebar dan
serata lorong gua lainnya. Bukan saja terasa naik turun, demikian
pula langit2 gua juga banyak terdapat batu2 padas yang menongol
keluar, maka mereka harus jalan setengah merunduk, sudah tentu
Ling Kun-gi bisa berjalan hati2 karena matanya bisa melihat di
tempat gelap apalagi ada penerangan obor.
Begitulah kira2 semasakan air akhirnya mereka tiba di ujung
lorong, di mana terdapat sebuah dinding pengalang. Yong King-
tiong berdiri tegak, ke mbali dia serahkan bumbung obor kepada
Ling Kun-gi, di bawah penerangan ta mpak di dinding terdapat pula
sebuah roda besi sebesar mulut mangkuk besar. Dengan kedua
tangan Yong King-t iong pegang roda besi itu serta mendorongnya
pelan2, katanya: "Turun dari sini, kira2 lima tombak tingginya baru
akan sa mpai di tanah datar dan letaknya tepat di sebelah kiri He k-
liong-ta m, apa yang Losiu uraikan tadi apa kau sudah ingat betul?"
"Siautit mengingatnya dengan baik," sahut Kun-gi.
Begitu didorong se kuat tenaga oleh Yong King-tiong, sebuah batu
besar bentuk bulat pelan2 lantas terdorong keluar, maka terbukalah
sebuah mulut bundar di dinding, tak ubahnya seperti jendela sebuah
gedung. Di roda ternyata ada sebuah rantai besi sebesar lengan
tangan, maka batu besar bulat yang terdorong keluar itu tidak
sampai jatuh ke bawah.
"Baiklah kau boleh turun," ucap Yong King-tiong, "ingat, sebelum
fajar kau sudah harus naik ke mari, itu berarti kau hanya punya
waktu satu kentongan (kira2 satu ja m) berada di ka mar gua di
dasar kola m, nanti Losiu akan me mbantumu dari pinggir kola m."
"Siautit akan perhatikan pesan Lopek," sahut Kun-gi, lalu dia
menerobos ke luar dari lubang bulat itu, tampak di luar gua sudah
diliputi kabut tebal yang ber-gulung2, pemandangan serba
remang2, tiada sesuatu apapun yang bisa dilihatnya. Maka pelan2
dia menarik napas dan mengerahkan tenaga, sekali enjot tubuh
terus terjun ke bawah.
Didengarnya suara lirih, tapi jelas dari sebelah atas: "Be kerja
hati2 Kongcu, Losiu doakan kau berhasil."
"Dari peta tadi Kun-gi sudah tahu jelas letak Hek-liong-ta m, kalau
tidak melompat turun ke te mpat yang gelap gulita begini pasti
selangkah pun takkan ma mpu beranjak. Karena tempat dia berpija k
itu adalah balok batu yang letaknya per-sis di pinggir kola m,
selangkah saja lebih maju, kaki akan me nginja k tempat kosong dan
terjerumus ke He k-liong-tam.
Sebetulnya dia me mbawa Leliong-cu, di te mpat gelap sinar
mut iara dapat mencapai setombak jauhnya, tapi kabut tebal di sini
laksana awan hita m yang pekat, maka Le liong-cu hanya bagai sinar
kunang2 be laka, paling hanya ma mpu menyinari dua ka ki.
Hakikatnya Kun-gi juga tidak perlu me lihat, karena dalam
benaknya sudah terlukis ga mbaran akan letak kola m naga hitam di
bawahnya, sejenak dia berdiri menenangkan hati, lalu menggere met
menyusur dinding gunung terus maju ke arah kanan.
Kabut me mang a mat pekat, pancuran air yang gemericik dari
mulut kepala naga di sebelah depan sana masih terdengar jelas,
dengan cermat Kun-gi me mperkirakan jaraknya tinggal delapan
tombak lagi, maka langkahnya se makin ber-hati2.
Tengah berjalan, tiba2 terasa sebelah kakinya menginjak te mpat
kosong, ternyata balok batu yang dibuat jalanan sudah berakhir.
Untung dia selalu waspada, karena punggung mene mpel dinding,
meski kaki menginjak te mpat kosong tubuhnya tidak segera jatuh
ke bawah, segera dia kerahkan ilmu pek-houkang, dengan cara
mera mbat seperti cicak dia terus menggeremet maju.
Tak la ma ke mudian dia sudah mera mbat tiba di bawah kepa la
naga, sudah tentu iapun tidak bisa melihat kepala naga, cuma suara
pancuran saja yang dia dengar di atas kepalanya dan jatuh ke
bawah.
"Di sinilah te mpatnya," demikian pikir Kun-gi, sementara
badannya sudah mulai melorot turun dengan cepat. Sekejap saja
dia, sudah melorot tujuh tombak, suara pancuran dalam kolom
terdengar semakin keras. Kiranya dia sudah ha mpir t iba
dipermukaan air, selepas matanya memandang kabut hita m tetap
tebal, hakikatnya dia tida k bisa melihat keadaan seke lilingnya.
Untung badannya tidak keciprat setetes airpun, maka dia lantas
kerahkan Jiankintui, badannya terus melorot lebih turun lagi
sehingga sepuluhan tomba k telah dicapainya, sungguh aneh bin
ajaib, ternyata badannya tidak menjadi basah oleh air kola m.
Sementara suara pancuran terdengar ber-ada di sebelah atas, jelas
bahwa dirinya kini sudah tenggelam di dala m air kola m. Dia m2 dia
me mbatin: "Leliong-cu me ma ng mestika aneh di dunia ini, masuk a ir
tidak menjadikan badanku basah sedikitpun."
Mengingat waktu amat berharga, maka dia tidak ayal lagi, dia
terus meluncur ke bawah, betapa cepat gerakan badannya, tahu2
kakinya sudah menginjak dasar kola m. Setelah berdiri tegak, kabut
sudah tiada lagi, tapi sekelilingnya seperti di-bungkus kegelapan
me lulu, berada dala m a ir, mes-ki badan dan pakaian tidak basah,
tapi tekanan gelombang a ir terasa berat juga sehingga badan ikut
terombang-a mbing.
Di te mpat nan gelap pada dasar kola m ini, Leliong-cu
me mancarkan cahayanya yang gemilang, setombak jauhnya dapat
disinarinya. Kun-gi tidak banyak pikir, dengan seksama dia periksa
sekelilingnya, betul juga dilihatnya delapan tombak ditengah sana,
terdapat sebuah benda bundar warna hita m, ternyata itulah gelang
baja yang dicarinya itu. Dengan girang cepat dia mengha mpiri, aneh
sekali menghadapi kenyataan di depan matanya, setiap kali dia
bergerak maju, air di sekitar badannya seakan2 tersibak ke pinggir
me mberi peluang dia berjalan maju, sedikit gerakan inipun ternyata
menimbulkan reaksi cukup besar sehingga a ir kola m bergolak keras.
Setelah dekat dia lebih perhatikan lagi, benda bundar itu
me mang betul ada lah gelang baja sebesar mulut mangkuk. Tanpa
ayal dia mula i mengerahkan Tay-lik-kim-kong-sim-hoat, dengan
kedua tangan pegang gelang baja, pelan2 dia mulai menariknya ke
atas.
Jangan dikira gelang ini benda kecil, ternyata waktu ditarik
beratnya ribuan kati, umpa ma Kun-gi tida k pernah meyakinkan Kim-
kong-sim-hoat ja-ngan harap dia ma mpu menariknya bergerak.
Mendadak tergerak pikiran Kun-gi: "Waktu Suhu mengajarkan
Kim-kong-sim-hoat beliau pernah bilang : 'Jangan kau kira pelajaran
semadi sela ma tiga tahun ini merupakan ajaran berat, kelak juga
pasti me mperoleh manfaatnya.' Memangnya Suhu sudah tahu
bahwa hari ini aku bakal menggunakan ilmu ini dala m He k-liong-ta m
ini?"
"Ayah juga murid didik Siau-lim, malah murid Ciangbun Hong-
tiang Kay-to Taysu dan belakangan diperkenalkan kepada kakek
luar, waktu beliau diutus ke Hek-liong-hwe mungkin sebelumnya
sudah direncanakan untuk mewariskan jabatan hwecu kepada ayah,
karena kalau bukan murid Siau-lim dan tidak pernah meyakinkan
Kim-kong-sim hoat, siapapun takkan ma mpu menarik ge lang baja ini
. . . .. . "
Selagi berpikir itulah, sekeliling dasar kola m terdengar suara
gemuruh, air menga lir ge merojok, air dala m kola m laksana diaduk
mulai berkisar dan bergolak dengan hebat. Dari suaranya yang
gemu-ruh, sedikitnya ada delapan tutup pintu air yang terbuka
sehingga air mengalir ke luar. Sudah tentu dengan menyurutnya air,
tekanan air dengan gejo-laknya yang semakin besar terasa amat
berat. Tapi Kun-gi tetap kerahkan ilmu Kim-kong-s im-hoat, kedua
tangan dengan kencang berpegang pada gelang baja, meski air
dalam kola m berpusar dengan hebat, laksana batu karang yang
kukuh dia tetap berdiri di te mpatnya tanpa bergeming.
Kira2 setanakan nasi ke mudian, ge muruh air yang me mbanjir
keluar itu se makin reda, pusaran airpun mengecil dan tekananpun
sirna, keadaan dalam kola m ke mbali menjadi tenang. Tahu sudah
tiba saatnya, pelan2 Kun-gi lepaskan gelang baja yang dipegangnya
terus maju lurus ke depan. Dia masih ingat batu karang yang
terlukis dala m ga mbar kulit ka mbing, letaknya tepat di tengah dasar
Herk-liong-ta m.
Luas Hek-liong-ta m hanya dua puluh empat tombak, dari arah
manapun kau maju jaraknya tetap sama sekitar dua belas tombak,
asal dirinya maju dua belas tombak, pasti akan mencapai batu
karang..
Karena berada di dala m air, sudah tentu tidak bisa maju cepat2,
tapi setiap langkahnya dia perhitungkan dengan ba ik, kira2
sepuluhan tomba k, lapat2 dilihatnya sebelah depan terdapat banyak
batu2 karang yang berserakan, di bagian tengahnya mirip gugusan
sebuah bukit yang tegak menjulang di tengah kola m. Tanpa banyak
pikir Kun-gi me lompat maju, kakinya hanya menutul tepi karang dan
cepat sekali badannya sudah me ncapai puncak karang.
Puncak karang itu sudah di luar permukaan air, keadaan
sekelilingnya terasa gelap gulita pula ter-bungkus kabut tebal.
Puncak karang ini ternyata meruncing kecil ke atas, tempat untuk
berpijak pa ling hanya beberapa kaki lebarnya, cepat sekali Kun-gi
sudah mene mukan batu raksasa yang bundar itu.
Batu ini mirip bola tepat bertengger di pucuk karang, besarnya
kira2 dua-tiga ka ki, mendekati batu bulat itu Kun-gi langsung
kerahkan Kim-kong-sim-hoat, kedua tangan me meluk batu bulat
terus pelan2 mengangkatnya ke atas. Batu ini hakikatnya rata dan
tiada tempat untuk berpegang, apalagi sudah sekian puluh tahun
terendam dalam air, bagian luarnya terbungkus lumut yang amat
licin, tapi dengan mengerahkan tenaga kesepuluh jarinya Kun-gi
dapat meme luk batu bulat itu dengan kencang, sekuatnya dia
angkat pula sehingga batu itu mulai berge ming.
Ternyata batu ini me mang benar2 bulat mirip bola, cuma separo
di antaranya sudah terendam dalam lumpur dan merekat dengan
batu karang seperti berakar layaknya, waktu diangkat dari bawah
seakan ada daya tarik yang amat kuat memperta-hankannya. Tapi
setelah batu bola itu terangkat naik setinggi satu kaki, daya tarik ke
bawah itu ternyata sirna, malah batu bulat itu berputar dan pe lan2
bergerak ke atas.
Waktu Kun-gi menunduk, ternyata tepat di bawah batu bulat
tersambung sebatang besi bulat sebesar lengan, kini dia t idak perlu
me mbuang tenaga lagi, besi penyanggah itu telah mengangkat batu
bulat itu semakin tinggi. Maka muncullah sebuah lubang bundar di
bawah batu bulat, lubang di bawahnya tampak gelap tak kelihatan
dasarnya.
Kun-gi segera melangkah masuk dan turun ke dala m lubang
bundar itu, lapat2 dilihatnya ada undakan batu yang menjurus turun
diapit dinding yang sempit. Lorong berundakan ini hanya cukup
untuk jalan satu orang, maka seseorang yang berjalan turun tak
mungkin menga mati keadaan sekelilingnya, ter-paksa kedua kakinya
saja yang menggeremet maju. Kira2 lima puluhan unda kan batu
ke mudian, mendadak lorong se mpit ini belok miring, terasa oleh
Kun-gi bahwa lorong undakan ini dari lurus me nurun menjadi
berputar melingkar, ma lah lingkaran ini agaknya amat besar.
Menurut perhitungannya, seolah2 dia berjalan melingkari sebuah
kamar batu bulat yang besar sekali, paling tidak ada puluhan
tombak luasnya.
Tak la ma ke mudian, undakan batupun berakhir waktu Kun-gi
angkat kepala, kiranya kini dirinya berdiri diserambi yang cukup
lebar, serambi ini ternyata me mang me mbundar. Rekaannya
ternyata tidak salah, serambi yang me mbundar ini melingkari
sebuah ka mar batu yang berbentuk bulat.
Kamar batu ini terdapat sebuah pintu besar warna merah darah.
Sudah tentu pintu batu ini ter-tutup rapat. Beberapa langkah Kun-gi
beranjak maju, didapatinya ka mar ini ada beberapa pintu, malah
bentuk se muanya sama dan bercat merah pula.
Karena kamar ini bulat, jarak pintu2 itu sama, lalu pada pintu
manakah dirinya harus masuk?
Maka dia teringat akan perkataan Yong King-tiong: `Hek-liong-
hwe Congkoan hanya dikuasai ikan emas ini, sementara Hwecu
menyimpan Leliong-cu, kecuali Hwecu tiada orang lain yang tahu
bagaimana me mbukanya." Bahwasanya Yong King-tiong belum
pernah datang kemari, sudah tentu sebelumnya juga tidak terpikir
dibawah sini terdapat pintu sebanyak ini sehingga me mbingungkan.
Maju lebih lanjut, dilihatnya pintu bercat merah di sini juga
tertutup rapat dan kukuh tak bergeming, tiada lubang kunci lagi,
me mangnya ikan e mas yang di terima dari Yong King-t iong ini untuk
apa? Serta merta dia mengeluarkan ikan emas itu, dengan seksama
dia perhatikan dan dibolak-ba lik sekian la manya.
Ikan e mas ini terang bukan terbuat dari emas atau perak, bukan
tembaga juga bukan dari besi, kalau ditaruh di telapak tangan,
kepala dan ekornya bisa bergerak seperti ikan hidup sungguhan,
tapi kecuali pe mbuatannya yang elok dan bagus, sungguh sukar
diraba di mana letak ke istimewaannya? Yong King-t iong bilang
diperut ikan ada tersimpan kunci rahasia untuk me mbuka pintu di
sini, lalu bagaimana harus mengeluarkannya? Dengan seksa ma dia
bolak-balik ikan e mas itu sekian la manya, sungguh dia tidak habis
mengerti cara bagaimana me mbuka perut ikan dan mengeluarkan
kunci dari dala mnya.
Kedua tangan coba pegang ekor ikan, tatkala dia perhatikan sisik
ikan yang ke milau itu serta me mikirkan di sisik mana kah kiranya
letak rahasianya untuk me mbuka perutnya? Tak terduga wa ktu
tangan kanannya pegang kepala ikan, tanpa sengaja jarinya
menyentuh mata ikan sebelah kanan, segera terdengar suara "klik"
yang lirih, tertampak mulut ikan yang semula terkatup kini
terpentang, dari mulutnya ini menjulur ke luar sepotong bumbung
kecil halus warna kuning e mas. .
Penemuan yang tidak terpikir sebelumnya ini sudah tentu a mat
menggirangkan, dengan hati2 dia lolos bumbung halus itu, panjang
bumbung kuning ini hanya setengah dim, enteng sekali, belum lagi
dia se mpat perhatikan lebih lanjut, bumbung halus kecil itu tahu2
sudah merekah dengan sendirinya, di tengahnya tersimpan
segulung kertas tipis.
Hati2 Kun-gi me mbeber gulungan kertas tipis itu, lebarnya juga
hanya setengah dim, begitu tipis dan halus sekali kertas ini, entah
terbuat dari bahan apa, di atas kertas tipis ada gambar sebuah Pat-
kwa. Pada setiap segi dari pintu2 itu terdapat kata penjelasannya,
tulisannya kecil pula, tapi tulisannya a mat rapi jelas. Menurut
penjelasan itu, pada delapan pintu itu tiga di antaranya merupa kan
jalan penyelamat, sementara lima yang lain bisa menyesatkan dan
me mbahayakan, keluar masuk dari setiap pintu juga ada
ketentuannya, sekali salah langkah fatal akibatnya.
Dengan seksa ma Kun-gi menghitung dengan penuh perhatian,
letak dari ja lan penyela mat berada di barat laut dan timur laut,
maka dia ingat2 letak dari kedua pintu ini, la lu dia gulung pula ker-
tas itu serta dimasukkan ke da la m bumbung, dengan jarinya dia
sentuh mata kiri ikan sehingga mulut ikan terpentang, dia masukkan
pula bumbung kuning itu ke dala m mulut ikan, lekas jarinya menarik
balik letak mata ikan, "klik", mulut ikan ke mba li terkatup rapat.
Setelah menyimpan ikan e mas itu ke da la m saku, Kun-gi beranja k
menuju ke pintu sesuai petunjuk tadi.
Delapan pintu dari ka mar bundar ini bentuknya serupa tanpa
tanda2 tertentu, orang jadi sukar me mbedakan mana ja lan
penyelamat dan mana yang menyesatkan. Apalagi berada di dasar
bumi ini sukar me mbedakan arah. Tapi Kun-gi menga mbil patokan
gambar di mana ujung undakan batu berada, ujung undakan batu
terletak di selatan maka bila diurutkan dari selatan menuju ke timur
diteruskan ke utara, maka akhirnya dia akan tiba pintu penyela mat
yang terletak di barat laut.
Dala m hati dia sudah perhitungkan pintu penyelamat adalah
pintu keena m dari selatan, kini dia sudah berada di depan pintu
keenam menurut perhitungannya, maka tanpa ragu lagi segera dia
mendorongnya.
Kedua daun pintu warna merah itu ternyata dengan mudah
terbuka. Kun-gi langsung masuk berkat cahaya mutiara, dengan
seksama dia a mat2i keadaan kamar, itulah sebuah lorong panjang
selebar satu tombak, kedua sisi dindingnya terbikin dari marmer
hijau, demikian pula lantainya dile m-bari marmer warna-warni yang
indah sekali. Kecuali itu tiada sesuatu benda apapun yang menarik
per-hatiannya.
Lorong ini kira2 sedala m lima tombak, di ujung lorong diadang
dinding batu pualam, dinding war-na hijau ini terdapat sebuah pintu
warna hijau pupus, belum lagi dia beranjak lebih lanjut daun pintu
warna hijau itu pelan2 terbuka sendiri. Tanpa ayal Kun-gi masuk ke
situ, setelah dia berada di balik pintu, daun pintu itupun menutup
sendirinya.
Sudah tentu Kun-gi t idak peduli, karena setelah dirinya masuk dia
sudah merancang rencana untuk ke luar lewat jalan lain. Tapi
setelah dia berada di belakang pintu seketika dia me lenggong.
Karena menurut rekaannya, kamar di belakang pintu hijau ini
pasti adalah ka mar batu di mana ilmu pedang peninggalan Tiong-
yang Cinjin terukir di dinding. Ta k nyana yang terpampang di
hadapannya sekarang tak lebih hanyalah sebuah kamar batu bentuk
bulat seluas dua tomba k, kecuali seke liling tetap ada delapan pintu
yang terpencar, tepat di tengah ka mar terdapat sebuah Hiolo besar
terbuat dari tembaga setinggi manusia, selain itu tiada benda
lainnya lagi.
Dia m2 Kun-gi menggerutu dala m hati, batinnya: "Tempat ini
hakikatnya tidak sesuai dengan ka mar batu yang diceritakan Yong
King Tiong, me mangnya aku sa lah masuk dari pintu yang keliru?"
Karena merasa bimbang, serta merta langkahnyapun berhenti.
Pada saat dia melongo itulah tiba2 dilihatnya Hiolo tembaga yang
tinggi itu pe lan2 bergerak me mutar.
Sebetulnya Kun-gi juga maklum bahwa ka mar2 disini adalah
buah karya Sinswi-cu, setiap pintu me miliki alat rahasia yang
berbeda, kalau tidak, setelah dirinya me masuki pintu tadi pintu hijau
batu puala m itu takkan mungkin bisa menutup sendirinya. Dari sini
dapatlah disimpulkan, sejak dirinya mula i me masuki pintu dari barat
laut tadi, alat2 rahasia di sini sudah mula i bergerak seluruhnya,
maka berputarnya Hiolo raksasa inipun tak perlu dibuat heran.
Setelah direnungkan dengan kepala dingin, akhirnya dia
berkeputusan untuk berdiri tegak tak bergerak saja, akan dia
saksikan perubahan yang terjadi selanjutnya.
Setelah Hiolo tembaga itu berputar satu lingkaran, tiba2 malah
ambles turun ke bawah lantai, maka terunjuklah sebuah lubang
bundar di lantai marmer.
Tergerak pikiran Kun-gi, pikirnya: "Mungkinkah ka mar batu yang
dimaksud berada di bawah lubang itu?"
Baru sekarang kakinya hendak bergerak, mendadak iapun
berpikir pula: "Ta k mungkin, kalau aku turun, cara bagaimana pula
kunaik ke mari, padahal ka mar bulat ini terdapat delapan pintu yang
mirip satu sama yang lain dan sukar dibedakan, bagaimana aku bisa
me mbedakan pintu yang ma-na merupakan ja lan hidup untuk
keluar? Bila kesasar, akibatnya tentu fatal."
Karena itu diam2 ia me mperhitungkan, kini dia berdiri ke arah
sana, pintu di belakangnya adalah jalan hidup masuk ke ka mar ini,
untuk ke luar harus lewat ka mar kedua dari sebelah kiri.
Maka dia menge luarkan tiga batang duri runcing, satu dia taruh
di lantai sebagai tanda tempatnya berpijak, lalu dia menuju lubang
di tengah ka mar itu.
Setiba di pinggir lubang dia me longak ke bawah, lubang di bawah
ini kosong melompong t iada undakan batu segala, keadaannyapun
gelap gulita. Ling Kun-gi tida k berani bertidak gegabah, Leliong-cu
dia keluarkan, di bawah penerangan cahaya mu-tiara baru dia bisa
me lihat bahwa di bawah adalah sebuah ka mar batu yang besar dan
luasnya mirip ka mar atas di mana sekarang dia berada. Hiolo
tembaga tadipun ta mpak tegak di tengah ka mar bawah, tinggi
lubang kira2 ada dua tombak.
Dengan hati2 Kun-gi julurkan dulu kedua kakinya terus
menerobos turun, sebelumnya dengan tepat sudah dia
perhitungkan, begitu tubuhnya me layang turun dan sebelum
menyentuh Hiolo dengan tangkas ia jumpalitan sekali sehingga
badannya anjlok tepat di sebelah Hiolo.
Setelah berdiri tegak dia angkat tinggi Leliong-cu sa mbil
mengawasi keadaan ka mar, ternyata bentuk kamar di bawah ini
bulat telur, pada dinding di depan kanan-kiri me ma ng terdapat
gambar ukiran yang taja m, tepat di bawah dinding di depannya
terdapat sebuah meja sempit panjang yang terbuat dari batu hijau,
di atas meja sempit ini tertaruh sebuab kotak kecil dari kayu
cendana, agaknya dalam kotak cendana itulah daftar anggota Thay-
yang-kau disimpan, di samping itu terdapat sebuah tatakan lilin
dengan sisa lilin yang tinggal separo.
Hiolo te mbaga terletak tak jauh di depan meja, kecuali semua ini
tiada benda lainnya lagi, pada dinding pua la m di depannya
sebetulnya terdapat sebuah pintu, tapi kini sudah tersumbat oleh
batu hijau.
Sedikit menerawang, mengingat wa ktunya amat mendesak, ma ka
kerja pertama yang harus segera dia lakukan adalah
menghancurkan daftar anggota Thay-yang-kau, sisa waktunya
untuk me mpelajari lebih mendala m ilmu pedang yang terukir di
dinding, berapa banyak berhasil dia pelajari bergantung dari waktu
dan kecerdasannya. Setelah berkeputusan, segera dia mendekat
meja se mpit, dike luarkan ketikan api serta menyulut lilin.
Lalu kotak cendana dia angkat kesa mping, ge mbok te mbaga dia
tabas putus dengan Seng-ka-kia m serta me mbuka tutupnya,
ternyata kotak cendana setinggi dua kaki ini terbagi dua susun,
susun atas dibatasi kayu yang amat cetek sekali, di mana terdapat
buku tulisan tangan, pada sampul buku tertera huruf2 yang
berbunyi "Thay-yang-yam-sim-hoat"
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Mungkin ini buku catatan Tuan
Puteri dari hasil ciptaannya."
Ia coba me mba lik le mbaran pertama, tampa k le mbar perta ma
me muat ilmu pelajaran Thay-yang-sinkang, disusul lagi adalah
Thay-yang-cay, Thay-yang-hu-hoat-pat sek, buku setebal sepuluh
le mbar ini ternyata penuh tulisan hurup2 bergaya indah, dipinggir
tulisan terdapat pula ga mbar dan keterangannya.
"Inilah ilmu ciptaan Tuan Puteri, sudah tentu tak boleh
dihancurkan," de mikian batin Kun-gi, dengan hati2 dan le mpit buku
tipis ini la lu disimpan ke dala m sakunya.
Di lapisan bawah kotak terdapat tiga buku tebal yang penuh
tertulia nama dan ala mat tokoh2 silat dari berbagai aliran, pada
sampul buku pertama terdapat judul yang berbunyi "daftar anggota
Thay-yang-kau, pahlawan pejuang kerajaan Beng pada jaman Ting-
bin."
Secara iseng Kun-gi me mbalik beberapa halaman, dilihatnya
nama tokoh2 kena maan dari Siau-lim, Hoa-san, Bu-tong, Liok-hap
bun, Pat-kwa-bun dan lain2 aliran, ada pula orang2 Thianli kau,
Toa-to hwe, Kay-pang, Tong-thing-pang dan banyak Pang atau Hwe
lainnya, ada pula ke luarga dari marga Ban di Ui-san, demikian pula
orang2 dari ke luaga Tong dari Sujwan serta keluarga besar
persilatan lainnya yang kena maan di Kangouw.
Dia m2 Kun-gi menghela napas, bahwa untuk me mbangkitkan lagi
kerajaan leluhurnya betapa berat dan susah payah Tuan Puteri telah
berkelana di Kangouw, daftar nama tokoh2 persilatan yang kesohor
serta gembong2 dari golongan hita m dan aliran putih ini sebagai
bukti nyata bahwa dengan dukungan kaum patriot bangsa dari
kaum persilatan, usaha Tuan Puteri masih mengala mi kegagalan, ini
hanya boleh dikatakan takdir me ma ng sudah me nghendaki
demikian.
Apa yang dikatakan Yong King-tiong da la m hal ini me ma ng tidak
salah, bila ketiga buku daftar ini terjatuh ke tangan pihak kerajaan
yang berkuasa sekarang, meski banyak tokoh2 yang namanya
tercantum dala m daftar ini sudah almarhum, tapi anak cucu mereka
akan tetap ditangkap dan dipancung kepalanya, kalau hal ini betul2
terjadi betapa luas rentetan penangkapan besar2an ini, sungguh
akan banyak sekali korban jiwa manusia yang tidak berdosa. Maka
dia tidak banyak lihat lagi, ketiga buku dia tumpuk di atas meja, ia
mengerahkan Lwe kang pada kedua tangannya pelan2 dia mene kan
tumpukan buku itu.
Kira2 sepemasakan air ke mudian baru dia menarik tangannya,
sekenanya dia menepuk sekali, maka tumpukan tiga buku itu
seketika berha mburan me njadi bubuk le mbut tercecer di lantai.
Dua tugas sudah dia laksanakan satu, kini tiba saatnya dia mulai
me mpe lajari dan menyela mi ajaran ilmu pedang peningga lan Tiong-
yang Cinjin di dinding. Maka dia melewati meja se mpit mende kati
dinding serta me mandang dengan cermat.
Dinding puala m se luas satu tombak ini terukir seorang kakek
berdandan sebagai Tosu (ima m) duduk bersimpuh, gayanya duduk
bersimpuh ini ta mpak bayangan perubahan dari tiga gaya lanjut-an,
gaya yang satu dengan yang lain agak aneh dan berbeda,
perubahan gaya si ima m mirip seorang yang lagi melangkah di
tengah awan, tam-pak hidup dan mengagumkan seka li.
Di sa mping ukiran si ima m tua bersimpuh di-beri keterangan
sebagai petunjuk latihan terdiri da-ri e mpat baris tulisan. Sambil
berdiri me matung me musatkan daya pikirnya, Kun-gi terpesona
sekian la manya, tapi kemudian ia seperti berhasil menyela mi
sesuatu, terasa bahwa ilmu yang ter-ukir di dinding ini adalah ilmu
latihan pernapasan tingkat tinggi dari aliran To (Tau). Setelah yakin
apal benar akan ga mbar ini baru Kun-gi pindah ke dinding kiri.
Dinding di sini berbentuk agak panjang, dari kanan ke kiri
seluruhnya ada enam ga mbar ukir-an, seorang yang sedang
bermain pedang, ada yang sedang me lompat, menusuk dan
menabas, gayanya indah dan mengagumkan.
Tiga ukiran dibagian terdepan adalah Hwi-liong-sa m-kia m, cuma
tiada huruf keterangan di dinding, juga tiada nama gaya dan
gerakannya, kini jelas bahwa nama2 Sinliong jut hun, Liong-janih-ya
dan jurus lainnya adalah nama2 pemberian Lohwecu (kakek luar)
sendiri.
Dari gambar pertama ber-turut2 dia pelajari sampai gambar
keenam, setiap gambar dia perhatikan dengan segenap daya
pikirnya, setiap gerak jurus dan variasinya dia ikuti dengan cermat,
di samping jari2 tangan bergerak seperti pedang menirukan gaya
permainan ga mbar ukiran.
Me mang Kun-gi seorang yang cerdik, apalagi ilmu pedang terlatih
selama sepuluhan tahun, ma ka taraf ilmu pedangnya boleh
dikatakan cukup se mpurna, terutama Hwi-liong-sa m-kia m warisan
keluarganya sudah teramat apal sekali, ga mbar di dinding sa mbung
bersambung dari satu ke lain ga mbar diawali pula dengan Hwi-liong-
sam-kia m, ma ka dengan mudah dan lancar dapatlah dia sela mi
dengan baik.
Habis me mpelajari keena m ga mbar ini, lalu dia pindah ke dinding
sebelah kanan. Seperti dinding sebelah kiri, pada dinding sebelah
kanan ini juga terukir enam ga mbar orang bermain pedang, tapi
gambar di sini ada sedikit berbeda, yaitu gambar ketujuh sampai
kesembilan masih merupakan ke lanjutan dari perma inan pedang
yang harus dilancarkan melompat sa mbil menusuk dan me mbabat,
tapi mulai ga mbar kesepuluh sampa i kedua belas, hanyalah
seseorang berdiri me me luk pedang dan bersimpuh seperti orang
semadi, malah gaya ketiga ga mbar ini mirip satu dengan yang lain,
sukar diraba dan dibedakan di mana letak keanehan dan
ke mujijatannya?.
Secara singkat Kun-gi menga mati dulu keena m ga mbar ini, lalu
diulangi pula dari ga mbar ketujuh, satu persatu dia pelajari dan
selami dengan hati2 sa mpa i ga mbar kese mbilan. Karena pelajaran
enam ga mbar terdepan sudah merasuk da la m benaknya, ma ka
ketiga jurus ilmu pedang sambungan ini dengan sendirinya dapat
dipaha minya dengan cepat dan mudah. Tapi mulai jurus kesepuluh
sampai kedua belas dia benar2 harus me meras otak, dia mat2i kian
ke mari, tetap kebingungan dan tak tahu ke mana juntrungan ajaran
gambar orang me meluk pedang ini serta letak intisari dari gaya
yang sederhana ini? Cukup la ma Kun-gi me mperhatikan ketiga
gambar terakhir ini, tapi tetap tak berhasil me nyelaminya, terpaksa
dia tinggalkan dulu, sembilan jurus ilmu pedang di bagian depan
ke mbali dia ulangi dan dilatih dengan lancar, dengan pedangnya dia
ma inkan se mbilan jurus ilmu pedang itu.
Sudah tentu tiga jurus di bagian depan yang diyakinkan sejak
kecil dia mainkan dengan bagus sekali, tapi mulai jurus kee mpat
sampai kesembilan, setiap jurusnya ditambah perubahan dan variasi
yang me mbingungkan, untung dia sendiri me mang sudah punya
dasar yang kuat, kecuali latihan permulaan yang terasa masih kaku,
setelah dia ulangi beberapa kali, meski be lum dapat bergerak bebas
dan wajar, tapi sembilan puluh persen gaya permainan ilmu pedang
ini sudah dapat dikuasai dengan baik.
Untuk melancarkan keenam jurus ilmu pedang ini kira2
menghabiskan wa ktu setengah kentongan (setengah jam),
mengingat waktu amat mendesak, apalagi untuk sekaligus
mengapalkan seluruhnya jelas a mat sulit. Terhadap ketiga ga mbar
terakhir dia masih belum berhasil, terasa bahwa ketiga gambar ini
pasti mengandang arti yang luas, setelah keluar dari sini takkan
mungkin ke mbali lagi, maka kese mpatan ini betapapun tak boleh di-
sia2kan.
Maka dia simpan pedangnya dan ke mbali dia berdiri di depan
dinding, me musatkan dan menjernihkan pikiran, dengan lebih telit i
dia bedakan ketiga ga mbar ini. Tapi sudah berulang kali dengan
cara yang berbeda dia coba menyambung kese mbilan jurus ilmu
pedang bagian depan dengan gaya memeluk pedang ini, betapapun
dia tetap mengala mi kegagalan, rasanya ketiga gaya me meluk
pedang ini seperti petilan tersendiri dari sembilan jurus di depannya.
Tapi hal ini bagi Ling Kun-gi justeru dirasakan adanya keanehan
yaang tersembunyi pada ketiga jurus terakhir ini, sayang
pengetahuan sendiri teramat cetek sehingga sesingkat ini tak
berhasil me maha minya.
Akhirnya Kun-gi a mbil keputusan, pikirnya "Umpa ma tak berhasil
kusela mi, kenapa ketiga gaya bersimpuh ini tidak kucatat saja
perubahan satu dengan yang lain, kelak bila ketemu Suhu, akan
kutanya dan mohon petunjuknya saja." Maka dengan tekun dia
berusaha mereka m ketiga ga mbar terakhir ini da la m benaknya.
Tak terduga dalam penelitiannya terakhir ini baru disadarinya
bahwa ukiran pada bagian ga mbar perta ma ada goresan pada
le mpitan baju yang agak cetek, tapi gambar kedua goresannya lebih
dalam dan lebar, malah pada gambar ketiga kedua mata orang
tampak sedikit me micing, seperti menatap tajam ke ujung pedang
yang dipeluknya. Jadi ketiga gambar ini hanya ada sekian kecil
perbedaannya, kalau tidak diperhatikan betul2 tentu sukar
me mbedakan satu dengan yang lainnya. Kini setelah dia reka m
dengan baik ke dala m benaknya, ma ka tak perlu tingga l la ma2 lagi
di sini.
Setelah me mbetulkan paka iannya, dengan laku hormat dia
berlutut dan menyembah ke arah meja sempit, dala m hati dia
berdoa supaya Tiong-yang Cinjin me mberkati kesuksesan pada
dirinya yang menuna ikan tugas berat ini, serta menyatakan
bersyukur bahwa dia telah berhasil me mpe lajari ilrnu pedang
peninggalannya. Lalu dia berdiri, meniup pada m lilin, sekali tutul
kaki, badannya seketika melejit keluar dari lubang bundar.
Berada di ka mar sebelah atas, dia mengambil ke mbali duri
bengkok yang dia taruh tadi sebagai tanda, langsung dia melangkah
ke arah pintu kedua di sebelah kiri. Kira2 t iga langkah sebelum dia
sampai mendorong pintu, daun pintu tahu2 terbuka sendiri,
didengarnya suara gemuruh di bawah lantai.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Sejak tadi a ku sedang keheranan,
kenapa Hiolo te mbaga itu belum juga muncul ke mbali ke tempat
asalnya? Ternyata setelah aku keluar melalui pintu tertentu ini dan
setelah pintu terbuka, itu berarti setelah orang yang berada di
kamar sudah keluar baru suara ge muruh itu terdengar, suatu tanda
bahwa Hiolo besar itu sedang bergebrak naik ke tempat asalnya,
Sinswi cu itu me mang seorang ahli yang je mpolan."
Hati me mbatin langkah tetap beranjak, tanpa menoleh langsung
dia me langkah ke luar pintu, baru beberapa langkah, "blang", pintu
di belakangnya kemba li menutup sendiri, Kini dia ke mbali me lewati
lorong panjang yang diapit dinding marmer, bentuk dan keadaan di
sini mirip lorong waktu dia masuk tadi. Jalan yang dite mpuhnya ini
me mang yang pa-ling a man sesuai petunjuk tadi, maka dengan
leluasa dan lancar dia terus berjalan ke depan tanpa mengala mi
rintangan apapun. .
Setiba di ujung lorong se mpit dia dorong pintu terus keluar, kini
dia berada di serambi bundar dan menyusuri jalan datangnya
semula ke mbali ke arah selatan, di ujung sera mbi adalah batu
undakan.
Kedua tugas berat berhasil dia capai dengan ba ik, sudah tentu
perasaannya lega, maka langkahnya terasa ringan dan cepat sekali
dia sudah tiba di ujung undakan.
Tampak pada tempat keluar ada sebatang besi tegak ke atas,
bagian atas bergantungan sepuluh bo-la batu, sementara ujung
yang di bawah terikat pada sebuah batu raksasa, jadi seperti
setengah menyanggah batu bulat itu, sehingga sulit bagi orang di
luar untuk me mbukanya.
Waktu masuk tadi Kun-gi menghabiskan tenaga untuk menarik
bola batu itu ke atas dan di sanggah lebih lanjut oleh batang besi
itu, kini untuk keluar, sudah tentu dia harus menyanggah pula bola
batu itu. Maka dia kerahkan tenaga pada kedua lengannya, pelan2
mendorongnya ke atas.
Tak terduga meski mendorongnya sampai mata mendelik bola
batu itu tetap tak bergeming. Keruan ia heran dan bingung. Sejak
masuk Ui-liong-tong pengala mannya cukup banyak, dia tahu bila
pintu rahasianya terpasang oleh alat rahasia pasti tak mung-kin
dibuka oleh tenaga manusia melulu. Bahwa bola batu tak kuasa
diangkatnya, maka dia yakin pasti ada alat rahasianya untuk
me mbuka.
Maka dia perhatikan dinding di kanan-kirinya.. Tampak di atas
dinding sebelah kanan bergantung sebuah roda besi sebesar mulut
mangkuk, hatinya menjadi girang, pikirnya: "Mungkin di sinilah letak
rahasianya." Segera ia pegang roda itu terus menariknya. Maka
didengarnya suara gemerujuk a ir yang mengalir seperti dituang.
"Waktu aku masuk tadi," demikian batin Kun-gi, "air kola m sudah
menurun sedalam lima tombak saja, mungkin setelah bola batu ini
ke mbali ke tempat asalnya, airpun mengalir balik setinggi keadaan
semula, kini ka lau aku hendak ke luar dari sini sudah tentu air kola m
harus diturunkan sehingga pucuk karang menongol di luar
permukaan baru aku bisa me mbuka bola batu ini, kalau tidak air
akan mengalir masuk ke dala m sini."
Dengan sabar dia menunggu, sementara suata gemerujuk air
masih terus terdengar, kira2 setanakan nasi kemudian, suara
gemuruh mulai sirna, tiba2 batang besi penyangga bola berputar
naik sendiri, maka terbukalah sebuah lubang bundar. Tanpa ayal
Kun-gi segera menerobos ke luar dari lubang itu.
-ooo0dewikz0ooo-
Luas Hek-liong-ta m dua puluh empat tombak, dikelilingi tebing
yang curam. Kentongan keempat sudah berselang dan menjelang
kentongan kelima, waktu sebelum fajar menyingsing adalah saat2
yang paling gelap.
Kola m naga hita m dilingkupi kabut hitam yang tebal lagi, walau
lima jari tangan sendiripun tidak terlihat, apalagi berhadanan,
bayanganpun tidak ta mpak.
Di ujung sebelah selatan kola m terdapat sebuah jalan ber-liku2
warna hitam, jalan melingkar naik ini terus mene mbus ke arah selat
le mbah yang di apit dua gunung. Itulah satu2nya jalan keluar dari
kola m naga hita m ini. Tatkala itu, tampak sesosok bayangan orang
tengah lari berlompatan bagai terbang me luncur ke arah le mbah
yang menuju ke Hek-liong-ta m.
Tiba2 terdengar kumandang hardikan seorang: "Siapa?"
berbareng muncul dua bayangan orang di mulut le mbah, dari kanan
kiri kedua orang ini merintangi orang tadi.
Suasana sedemikian pekat sehingga wajah oraag pun sukar
terlihat meski dala m jarak yang dekat, yang kelihatan hanya dua
bayangan hitam yang samar2 belaka. Jelas bahwa kedua orang ini
mengenakan pakaian serba hitam pula, sampaipun pedang di
tangan merekapun berwarna hitam.
Tapi pendatang itu juga mengenakan seraga m hitam, malah
pakai kedok kepala segala, yang kelihatan juga hanya sosok hitam
belaka.
Baru saja kedua bayangan hita m itu menghardik dan be lum lagi
gema suara mereka lenyap, bayangan hitam yang datang itu tahu2
sudah berada di depannya, tanpa bersuara kontan ia ayun tangan,
tiba2 selarik sinar pedang menyambar keluar seiring gerakan
tangannya, sekali berkelebat sinar pedangnya tiba2 berpencar
mengincar tenggorokan kedua orang yang mengadang di depannya.
Samberan pedang si baju hitam ini bukan saja cepat laksana kilat
juga ganas sekali, sehingga lawan yang diserang menjadi kelaba kan
dan tak ma mpu menangkis atau berkelit. Tapi kedua lawan inipun
bukan kaum le mah, sigap sekali mereka menyingkir ke samping,
berbareng pedang mereka serempak juga bergerak, bayangan dua
batang pedang dari kirikanan seka ligus menyamber si baju hitam.
Si baju hitam menyeringai, pedang berputar, selarik sinar kemba li
me mbabat miring kedua la-wannya, bukan saja gaya silatnya indah,
serangan yang dilancarkan inipun aneh, lihay dan banyak
perubahannya, sungguh ilmu pedang yang tak mudah dilawan.
Baru saja orang di sebelah kiri bergerak maju, belum se mpat
menarik pedangnya untuk menangkis, sinar pedang lawan tahu2
sudah menabas tiba, terdengar jeritan ngeri, pinggangnya terbabat
putus, darahpun muncrat, tubuhnya menge linding ke bawah jurang.
Melihat kawannya binasa, sudah tentu orang di sebelah kanan
serasa terbang sukmanya, saking kaget dia melompat mundur
sambil putar pedang melindungi badan, sementara tangan kirinya
sudah merogoh kantong mengeluarkan sebuah sempritan perak dan
hendak dijejalkan ke mulut.
Padahal gaya tebasan pedang si baju hitam baru saja
me mbinasakan seorang musuh, untuk di tarik balik dan menyerang
lawan yang lain jelas tidak sempat lagi, terpaksa dia ayun sebelah
tangannya, segulung tenaga raksasa seketika menerjang ke depan.
Lwekang si baju hita m ternyata hebat luar biasa, belum lagi
orang di sebelah kanan itu sempat meniup peluitnya, pukulan lawan
sudah menerpa dadanya, seperti bola yang kena pukulan telak,
badan orang ini tiba2 mence lat jungkir balik sa m-bil
mengha mburkan darah, badannya terguling dan akhirnya tak
berkutik lagi.
Kuatir musuh yang satu ini belum binasa dan sempat meniup
peluitnya, si baju hitam segera melejit maju, sekali pedang terayun,
dada orangpun ditambah se kali tusukan pula. Pada saat itulah,
mendadak ia seperti merasakan sesuatu, dengan sigap segera ia
me mba lik se mbari me mbentak: "Siapa?"
Dingin dan singkat hardikan suara ini, tapi nadanya yang nyaring
jelas keluar dari mulut seorang perempuan. Memang tidak keliru
perasaannya, tampak sesosok bayangan orang tengah melejit
rnendatangi dari celah2 ngarai yang cura m di seberang sana. Sorot
mata si baju hitam seterang la mpu mene mbus cadar mengawasi
pendatang itu.
Aneh pendatang inipun berpakaian serba hitam, iapun
mengenakan cadar hitam pula, di punda knya menongol ke luar ujung
gagang pedang. Dalam sekejap orang itu sudah melayang tiba,
teriaknya kejut2 girang: "Kaukah dik?" Suaranya juga seorang
perempuan.
Setajam pisau sorot mata si baju hitam yang datang lebih dulu,
sikapnya tampak me lengak ka-get dan bingung, jawabnya dengan
suara dingin: "Siapa kau?"
"Bukankah kau adik Ji-hoa?", tanya pendatang baru.
Hanya sekian saja perubahan sikap si baju hitam yang datang
duluan, suaranya kedengaran ketus dan kasar: "Bukan!"
Pendatang baru tiba2 menghe la napas rawan, ucapnya: "Ai,
meski sudah dua puluh tahun kita tida k berte mu, tapi suara mu tetap
kukenal dengan ba ik."
"Me mangnya kenapa kalau kau kenal suaraku?" jengek si baju
hitam yang datang duluan.
"Dik," haru dan pilu suara pendatang baru, "betapapun kita
tumbuh dewasa bersama sejak kecil, hubungan kita bagai saubdara
kandung bedla ka, setelah aadik pergi, selabma dua puluh tahun ini,
sebagai kakakmu setiap saat senantiasa kukenang dan merindukan
dikau . .. .. . ."
"Tutup mulut," bentak si baju hitam yang datang duluan.
"Siapakah adikmu itu?"
Agaknya pendatang baru itu sudah menyangka orang akan
bertanya demikian, suaranya tetap sabar dan lembut: "Adik tida k
mengakui aku sebagai ka kak, ini tidak jadi soal, betapapun aku
dibesarkan dan diasuh oleh ayah, aku dipandang sebagai puteri
sendiri, betapa besar budi kebaikannya terhadapku tak bisa tidak
aku harus tetap me mandangmu sebagai adik."
"Sudah selesai ocehanmu?", jenpek si baju hitam yang datang
duluan.
"Kudengar adik mendirikan Pek-hoa-pang, kini sudah menjadi
Thay-siang-pangcunya pula," ujar pendatang baru.
Ternyata si baju hitam yang datang duluan adalah Thay-siang
dari Pek-hoa-pang, tak heran me miliki Lwe kang dan kepandaian
setinggi itu, hanya sekali ayun pedangnya seka ligus telah
me mbunuh dua ahli pedang yang bertugas jaga di Hek-liong-ta m.
"Betul," jawab si baju hita m yang datang duluan atau Thay-siang
"Sebagai Thay-siang dari Pek-hoa-pang, adik sudah mengerahkan
segenap kekuatan Pek-hoa-pang meluruk ke mari, seharusnya kau
tumpas dan menuntut balas dulu pada pengkhianat bangsa yang
sekarang mengangkangi Hek-liong-hwe, kenapa adik justeru hanya
ma in gertak dengan tiga barisan anak buahmu se mentara kau
sendiri secara dia m2 lari ke mari malah?"
"Kenapa aku harus menuntut balas kepada keparat yang menjual
bangsa dan Hek-liong-hwe? Han Janto kan tidak me mbunuh
suamiku, kenapa a ku harus menuntut balas bagi orang lain?"
Bergetar tubuh pendatang baru, jelas hatinya tengah bergejolak
dan sedang menekan perasaannya, sesaat kemudian baru dia
berkata pula: "Me mangnya adik sendiri bukan orang Hek-liong-
hwe?"
"Sejak la ma aku bukan orang Hek-liong-hwe lagi," jawab si baju
hitam yang datang duluan.
"Me mangnya kau tega dan rela Hek-liong-hwe yang didirikan
susah payah oleh beliau jatuh ketangan musuh? Tanpa terusik
sedikitpun perasaanmu?"
"Ayah sudah meninggal, setelah orangnya mati segala urusan
impas, Hek-liong-hwe direbut orang dari tangan orang she Ling, ini
bukti bahwa dia tidak becus. Me mang jerih payah ayah selama tiga
puluhan tahun harus dibuat sayang, tapi setelah berada
ditangannya justeru beralih ke tangan bangsa lain, itu berarti dia
orang yang paling berdosa dalam Hek-liong-hwe, inipun
me mbuktikan pandangan ayah sudah kabur, salah menilai orang
yang tidak setimpal menerima warisannya, apa pula sangkut-
pautnya soal ini dengan diriku?"
Saking dongkol ge metar sekujur badan pendatang baru, tapi dia
tetap bersabar, katanya sambil menghela napas: "Sudah dua puluh
tahun beliau meninggal, kau masih me mbencinya begini rupa?"
"Kaulah yang kubenci," teriak si baju hita m yang duluan,
suaranya sengit.
"Jangan kau salahkan aku dik," ujar pendatang baru, "ayah
sendiri yang a mbil keputusan."
"Maka akupun tidak peduli kepada beliau, seolah dia bukan ayah
kandungku," desis si baju hita m yang datang duluan.
"Dik, betapapun ayah tetap ayah, tiada orang di dunia ini yang
tidak mengakui ayah kandungnya sendiri, jangan kau berbicara
demikian."
"Kenapa tidak boleh kukatakan de mikian? Justru karena usianya
sudah terlalu lanjut, kalau dia tidak loyo me mangnya Hek-liong-hwe
bisa direbut musuh secepat itu . . . . "
Orang yang datang belekangan agaknya naik pita m, katanya
keras: "Kularang kau bilang begini."
"Berdasar apa kau larang aku bicara? Aku justru ingin blak2an,
dulu kalau yang dikawinkan dia adalah aku, tentu aku akan
me mbantu dia mengurus Hek-liong-hwe dengan baik, teratur dan
beres, mungkin sa mpa i hari ini Hek-liong-hwe tetap Hek-liong-hwe
yang jaya dulu, takkan jatuh ke tangan bangsa lain, usianya saat ini
sebetulnya baru empat puluh lima, kenapa dia harus mati pada usia
dua puluh lima."
Agaknya sengaja dia hendak menusuk perasaan si pendatang
baru, maka tanpa menunggu reaksi orang dia sudah mena mbahkan
lebih pedas: "Coba kau lihat, dengan kedua tanganku yang kosong
ini, bukankah kuberhasil me ndirikan Pe k-hoa-pang, kekuatan dan
kebesaran Pek- hoa-pang tidak lebih asor dibandingkan Hek-liong
hwe."
Setiap patah katanya setajam ujung pisau meng-anca m ulu hati
pendatang baru itu, tanpa terasa dua jalur air mata tiba2
bercucuran dari balik kedoknya katanya mengangguk : "Ucapanmu
me mang benar dik. Me mang salah ayah, aku sendiri juga terlalu
tidak becus, seharusnya aku hanya pantas berjodohkan seorang
kampungan, menjadi isteri alim dan mendidik putera puteri belaka,
me mang aku tidak setimpa l berjodohkan dia, apalagi dia seorang
pahlawan yang me mikul tanggung jawab besar, me mang akulah
yang bikin cela ka dia . . . ." akhirnya dia menangia ter-guguk2.
Si baju hita m yang datang duluan menyeringai puas, katanya:
"Sayang kau insap setelah terla mbat." Tanpa melirik lagi segera dia
me mba lik badan terus berlari kecelah2 mulut le mbah sana.
Pendatang baru itu terketuk perasaaannya dia lagi tenggela m
dalam kepiluan sehingga air mata bercucuran, serta mendengar
orang me langkah pergi cepat dia me nyeka air mata: "Dik, lekas
berhenti. !"
Si baju hita m yang duluan menjadi tidak sabar, teriaknya juga:
"Aku tida k punya waktu mendengarkan obrolanmu."
"Untuk apa adik pergi ke Hek-liong-ta m?", tanya si pendatang
baru.
"Kenapa aku harus beritahukan pada mu?"
"Kau ke mari untuk me mpelajari ilmu pedang peninggalan Tiong-
yang Cinjin di dasar gua itu bukan?"
"Me mangnya aku tidak boleh turun ke sana?"
"Dik, kau kan tahu, air kolam itu teramat beracun, kecuali
Leliong-cu, tiada obat penawar la in di dunia ini."
"Kau bawa Leliong-cu itu?"
"Aku tida k pernah me miliki Leliong-cu."
Lama si baju hita m yang datang duluan menatapnya lekat2,
tanyanya dingin: "La lu untuk apa pula kau ke mari?"
"Aku sengaja ke mari untuk me mbujuk dan mencegah kau
menyerempet bahaya."
"Urusanku sendiri, tak perlu kau ikut ca mpur," jengek si baju
hitim yang datang duluan, mendadak dia me langkah pergi lebih
cepat, tahu2 dia sudah menyelinap keluar celah2 lembah, menyusuri
jalan kecil berliku terus me nuju ke bawah.
Pendatang baru tak bersuara lagi, secara diam2 iapun mengikut
di bela kang orang. Tiba2 si baju hita m yang duluan me mba lik
badan, tangannya memegang sebatang pedang ke milau, ujung
pedangnya menuding dan sorot matanya me mancar dingin,
hardiknya: "Setapak lagi kau mengikuti aku, jangan menyesal ka lau
pedang ditanganku tak kena l kasihan."
Terhenti langkah pendatang baru, katanya dengan rawan:
"Mungkin adik berhasil, me mbuat semaca m obat penawar getah
beracun itu, tapi kolam ini sedala m dua puluh tombak, kadar
racunnya juga teramat besar, kecuali Leliong-cu, apapun tak bisa . .
. . . . .."
"Urusanku tak perlu kau tahu," bentak si baju hitam yang duluan.
"kalau kau t idak me nyingkir, jangan salahkan aku bertindak keji
padamu."
Tanpa hiraukan orang segera dia berkelebat ke depan, larinya
bagai terbang meski berjalan di jalan gunung yang licin dan
berlumut. Di antara le mbah yang diapit gunung, kabut sudah mula i
ber-gulung2 tiba, luncuran tubuhnya laksana meteor, dalam sekejap
saja ia sudah lenyap ditelan kabut.
Pendatang baru menarik napas, dia dia m saja tidak mengikuti
orang lagi, tapi me mba lik ke arah timur terus menyusuri sebuah
jalanan kecil yang berlumut tebal, jalan di sini tak pernah diinjak
manusia.
Kabut masih tebal di Hek-liong-tam, lima jari sendiri tak
kelihatan, Si baju hitam yang datang duluan itu me mang Thay-siang
Pek-hoa-pang, sejak kecil dia dibesarkan di He k-liong-hwe, ma ka
jalan dan liku2, di dasar perut gunung ini dia sudah apal di luar
kepala. Walau kabut teramat tebal, tapi tak me mbawa pengaruh
apapun bagi gerakannya, langkahnya tidak menjadi kendur
karenanya, badannya meluncur bagai terbang langsung menuju ke
kola m.
Setiba di pinggir la in, langkahnya tampak lebih hati2, sedikitpun
tak berani lena, mengitari dinding sebelah timur, terus maju dan
mulai inja k pagar batu. Tujuannya jelas ke arah utara di mana
kepala naga itu berada, tapi tatkala kakinya mula i beranjak di pagar
batu itu, jantungnya tiba2 berdetak keras.
Ternyata didapati di tengah kabut di depat sana ada orang,
jaraknya tinggal setombak saja. Sudah tentu ketika dia melihat
orang di depannya, orang di depan yang me miliki kepandaian tida k
rendah juga segera melihat kedatangannya. Betul juga di tengah
kabut itu lantas berkumandang sebuah hardikan: "Siapa?"
Sudah tentu Thay-siang tidak pandang sebelah mata para
penjaga Hek-liong-ta m ini meski dia seorang ahli pedang, dengan
tegas ia menyahut: "Aku!"
Belum lenyap suara "aku" tiba2 bayangannya me lejit maju,
pedangnya menusuk cepat ke ulu hati lawan.
Tapi Kungfu orang itu ternyata juga amat tinggi, ketika dilihatnya
sinar dingin berkelebat tiba, ia kaget juga, cepat ia me mbentak:
"Kau bukan orang kita?!"
Pedang yang semula melintang di depan dada segera
didorongnya ke depan, gerakannya tidak kencang, tapi laras pedang
seluruhnya dilandasi ke kuatan dala m, jelas ilmu pedangnya sudah
mencapai taraf yang sempurna. Maka terdengarlah suara "trang",
serangan Thay-siang laksana kilat itu kena dipatahkan oleh lawan.
Bahwa serangan yang disiapkan lebih dulu dengan landasan
kekuatan hebat dapat dipatahkan lawan, keruan terkesiap hati
Thay-siang, jengeknya: "Sudah tentu aku ini bukan orang Hek-liong-
hwe."
Belum lagi pedangnya ditarik, tangan kirinya sudah melancarkan
pukulan yang dahsyat. Lwekangnya amat tangguh maka pukulan
yang dilontarkan lihay sekali, baru saja suara benturan kedua
senjata bergema, pukulan telapak tanganpun melandai tiba.
"Serangan bagus," teriak orang itu dengan gusar. Tanpa ayal
iapun gerakkan telapak tangan kiri, sekuatnya dia menepuk sekali
me mapak serangan lawan. Lwekang yang diyakinkan orang ini
agaknya tidak lebih asor daripada Thay-siang, maka tepukan tangan
yang dilancarkan dengan gusar ini sungguh kuat sekali.
"Plak", begitu kedua tenaga saling bentur, terdengarlah suara
keras, hawa bagai bergolak di sekitar tubuh mereka sehingga
menimbulkan angin kencang, pakaian kedua orang mela mba i2.
Thay-siang betul2 kaget, pikirnya: "Kepandaian orang ini begini
tinggi, waktuku a mat terbatas, aku harus cepat me mbereskan dia."
Mendadak dia lancarkan pula serangan aneh dan ganas, di mana
pedangnya terayun, memancarkan cahaya terang melingkar bagai
samberan kilat sehingga kabutpun tersa mpuk buyar.
Karena pancaran sinar ini, tertampaklah di depannya berdiri
seorang laki2 berjubah hijau berperawakan tinggi kekar, air
mukanya mengunjuk rasa kaget, pedang hitam ditangannya
berputar cepat, mendadak ia berteriak gugup: " Harap berhenti!"
Betapa sengit dan cepat gerakan pedang kedua belah pihak,
belum lagi teriaknya lenyap, terdengarlah suara "trang-trang"
benturan yang keras. Dalam sekejap itu, senjata kedua orang saling
beradu belasan kali, padahal mereka hanya bergebrak satu jurus
belaka.
Setelah sinar pedang sirna, Thay-siang masih tetap berdiri di
tempatnya, sementara laki2 jubah hijau menyurut mundur tiga
langkah. Karena rasa me mbunuh sudah me mbakar, maka Thay-
siang mendesis pula: "Bagus, nah sambutlah sejurus lagi."
"Tahan sebentar, tahan sebentar!" teriak si jubah hijau. "Berhenti
dulu, coba dengarkan sepatah kataku."
Terpaksa Thay-siang berhenti, namun pedangnya tetap siaga,
serunya; "Mau omong apa, lekas katakan!"
"Losiu mohon tanya, bukankah jurus pedang yang Hujin
lancarkan barusan adalah Sinliong-jut-hun?"
Seperti diketahui Sinliong-jut hun dari Hwi-liong-sa m-kia m harus
dilancarkan dengan tubuh terapung di udara, tapi Thay-siang sudah
meyakinkan jurus ini sela ma dua puluhan tahun dan sudah kelewat
sempurna, ma ka cukup dengan mengayun tangan saja tanpa
mengapungkan badan, gerakannya malah dapat berubah sesuka
hatinya, apalagi dilandasi ke kuatan Lwekangnya, sinar pedang yang
tajam itu dapat diulur untuk melukai musuh, maka tanpa melejit ke
udara ia tetap bisa me lontarkan jurus serangan lihay ini.
Kalau si jubah hijau tidak me miliki ilmu pedang tingkat tinggi
mana dia ma mpu me matahkan serangan yang begitu hebat,
pengetahuan dan pengala mannya yang luas menjadikan dia kena l
betul jurus pedang yang dilancarkan lawan meski gerak dan
gayanya berbeda.
Sinar mata Thay-siang berkilat hijau, katanya sambil
menyeringai: "Kau dapat mengena li ilmu pedangku, menanda kan
kau cukup lihay . . . . "
Belum habis bicara, tiba2 laki2 jubah hijau berjingkrak girang
sembari berkeplok, lalu menjura dengan gugup, katanya: "Kiranya
Ling-hujin adanya, Losiu . . . . "
Thay-siang segera menukas: "Aku bukan Ling-hujin."
Laki2 jubah hijau tertegun, katanya: "Barusan Hujin melancarkan
Sin liong-jut-bun, kalau engkau bukan Ling hujin, habis siapa?"
"Me mangnya hanya Ji-giok yang ma mpu melancarkan jurus
pedang itu?" jengek Thay-siang.
Bergetar badan laki2 jubah hijau, sekejap dia melenggong
mengawasi Thay-siang, mendadak dia menjura dan berkata: "Ah,
kiranya engkau ada lah Jikohnio, maaf Losiu berla ku kurang adat."
Jikohnio alias nona kedua. Yaitu seperti telah diceritakan, Thay-
siang adalah puteri kandung Lo-hwecu Thi Tiong- hong, namanya
Thi Ji-hoa.
Sikap Thay siang tampak kikuh, katanya tegas: "Sekarang aku
adalah Thay-siang dari Pek-hoa-pang.
Cepat si jubah hijau mbengiakan: "Ya, ya, Cay-he menghadap
Thay-siang."
"Darimana kau tahu a kan diriku?" tanya Thay-siang.
Laki2 jubah hijau menjura pula, katanya: "Cayhe Yong King-
tiong, cukup la ma me ngikuti Lohwecu, sudah tentu kukenal baik
nona."
"Apa jabatanmu sekarang dala m Hek-liong-hwe?" tanya Thay-
siang.
"Sungguh me ma lukan, Cayhe pernah mendapat budi pertolongan
Lohwecu, atas kebijaksanaannya Cayhe diangkat sebagai Congkoan
Hek-liong-hwe, sela ma dua puluh tahun ini a ku selalu berdoa dan
mengharap akan datang suatu ketika dapat bebas merde ka, kini
beruntung Jikohnio telah ke mari, Ling kongcu tadipun telah ke mari,
syukurlah bahwa penantianku se la ma ini t idak sia2."
"Ling-kongcu juga ke mari", kata2 ini me mbuat Thay-siang
tertegun heran, tanyanya: "Apa katamu? Siapa itu Ling-kongcu?"
”Ternyata Jikohnio belum tahu, Ling-kongcu adaalah putera Ling-
hwecu, Thian me mang maha adil, Ling-kongcu dilahirkan setelah
ayahnya meninggal."
Tergerak hati Thay-siang, batinnya: "Tak heran Ji-giok juga
muncul di sini, kiranya ibu beranak itupun telah ke mari." La lu dia
bertanya dengan menatap tajam: "Kau sudah melihat puteranya
Ling Tiang-hong, siapa na manya?"
"Dia berna ma Ling Kun-gi." sahut Yong King-tiong.
"Ling Kun-gi?"
Hal ini benar2 diluar dugaan, Sorot matanya dibalik cadar tampak
semakin dingin, dengusnya: "Kiranya dia, masa dia tidak ma mpus!"
Mendadak dia mendelik pada Yong King-t iong, tanyanya gelisah: "Di
mana se karang dia?"
Yong King-t iong adalah jago kawakan Kangouw sudah tentu dia
merasa ganjil akan nada pertanyaan Thay-siang, naga2nya
mengandung ma ksud kurang baik.
Me mang sejak kecil dulu ketika Lohwecu masih hidup, nona
kedua yang kini menjadi Thay-siang Pek-hoa-pang ini sangat
dimanjakan dan terlalu binal, sifatnya rada eksentrik, diam2 dia
menyesal barusan telah kelepabsan omong, le kas dia unjuk tawa,
katanya: "Ling-kongcu tadi me mang muncul di sini, sayang Cayhe
tidak ma mpu menahannya, kini dia sudah pergi."
Thay-siang mendengus: "Ke mana dia, masa kau t idak tahu?"
"Ling-kongcu t idak mau menerangkan, tak enak Cayhe tanya
padanya," sahut Yong King-tiong.
Tatkala itu fajar telah menyingsing, walau kabut pagi masih
tebal, tapi cuaca sudah remang2, dalam jarak tertentu sudah bisa
terlihat jelas bayangan orang. - -
Setajam pisau tatapan Thay-siang, tanyanya: "Lalu untuk apa dia
datang kemari?"
"Bahwasanya Ling-kongcu tidak kenal Cayhe, mana mungkin dia
mencariku? Soa lnya tadi akupun me lihat dia melancarkan Hwi-liong-
sam-kia m, ma ka kutanya dia she apa, baru kuketahui dia putera
Ling-hwecu."
"Meluruk ke Hek-liong-ta m, sudah tentu mengincar ilmu silat
peninggalan Tiong-yang Cinjin di gua itu. Hm, dengan susah payah
aku mengerahkan pasukan besar, me mangnya dia yang me mungut
hasilnya," sampa i di sini mendadak suaranya berubah aseran:
"Yong-congkoan berulang kali bilang ayahku almarhum berbudi
padamu, dan kau masih tetap setia terhadan beliau, maka ingin
kuminta kau bantu menyelesaikan sesuatu, tentu kau tidak
keberatan bukan?"
Dia m2 Yong King-tiong mengumpat: "Perempuan ini me mang
lihay, tapi aku sudah telanjur omong, tiada jalan lain kecuali
menerima permintaannya saja." Sembari menjura dia lantas
menjawab: "Kalau ada tugas, silahkan Jikohnio perintahkan saja,
Cayhe tidak akan menola k."
"Bagus, karma kau adalah Hek-liong-hwe Cong-koan, segera
perintahkan agar perkeras penjagaan dan suruh para penjaga
me larang siapapun datang kemari, barang siapa melanggar harus
dibunuh dan habis perkara."
Yong King-tiong mengunjuk sikap serba salah, katanya: "Terus
terang Jikohnio, Cayhe memang punya dua belas anak buah ahli
pedang, tapi Hek-liong-hwe sekarang sudah dikendalikan oleh piha k
penguasa, banyak orang baru masuk jadi anggota, tujuannya adalah
untuk mengejar pangkat dan kedudukan be laka, mereka
kebanyakan adalah cakar alap2 yang a mat setia kepada kerajaan,
siapapun takkan mau tunduk pada perintahku."
"Kalau mereka tidak mau ya sudahlah, untung jalan te mbus ke
dalam kola m ini hanya satu, maka tugas menjaga pintu masuk ini
kuserahkan pada mu."
"Jikohnio," seru Yong King-t iong ragu2, "apa yang hendak
kaulakukan?"
"Jangan kau banyak bertanya."
"Masih ada pesan la in Jikohnio?" tanya Yong King-tiong -pula.
Thay-siang mengena kan mantel kulit berbulu yang lebar dan
panjang, pelan2 dia lepaskan tali sutera dari mantelnya di depan
dada, kiranya Thay-siang mengenakan pakaian ketat, di balik
mantel tergantung dua buah kantong kulit. Menuding pada kantong
kulit ini dia berkata: "Coba kau tuang air obat di kantong kulit ini ke
dalam kola m, lalu jagalah pinto di mulut le mbah, siapapun dilarang
ke mari."
Semakin curiga Yong King-bong dibuatnya, tanyanya: "Apa ini
kedua kantong ini Jikohnio?"
"Obat penawar racun," sahut Thay-siang.
Bimbang sekejap Yong King-tiong, kemudian bertanya: "Jadi
Jikohnio ma u turun ke dasar kola m? Getah beracun ini hanya dapat
ditawarkan oleh Le liong-cu . .. . . . . '
"Sudahlah, jangan banyak bicara, lekas tuangkan seluruhnya."
Terpaksa Yong King-tiong buka ikatan mulut kantong serta
menuang kedua isi kantong ke da la m kola m.
Waktu itu hari sudah terang tanah, kabut dipermukaan Hek-
liong-ta m juga sudah se makin tipis, setelah air obat dala m kantong
tertuang habis, lekas Thay-siang me longok ke bawah.
Air obat kedua kantong kulit itu adalah obat penawar getah
beracun yang dibikin Ling Kun-gi waktu masih berada di Pe k-hoa-
pang tempo hari. Waktu diadakan percobaan tempo hari, setetes air
obat ini cukup untuk menawarkan segayung getah beracun menjadi
air jernih, maka kalau diperhitungkan, dua kantong air obat
penawar ini tentu berkelebihan untuk menawarkan getah beracun
sekola m ini.
Seyogianya bila obat penawar dituangkan, air kolam seharusnya
bergolak dan timbul perubahan, tapi air kola m yang hitam kental itu
kini sedikitpun tidak t imbul perubahan apa2 Tanpa berkedip Thay-
siang awasi permukaan air kola m, ternyata obat penawar yang dia
bawa sudah hilang khasiatnya, sorot matanya dari balik cadar
tampak mencorong dingin setaja m pisau, terdengar mulutnya
menggera m ge mas, desisnya sambil mengertak gigi: "Binatang kecil
menggagalkan usahaku."
Melihat cuaca sudah terang benderang, sementara dalam kola m
tetap tidak tampak reaksi apa2, keruan hati Yong King-t iong gelisah
setengah mati, gua di dasar kolam itu diciptakan oleh Sin swi-cu
setelah diadakan perhitungan dan percobaan yang seksama, setiap
langkah mengandung mara bahaya, kesalahan serambut saja bisa
mendatangkan elmaut bagi orang yang masuk ke da la m. Padahal
dia sendiri tak pernah masuk ke sana, entah bagaimana. keadaan di
dalam? Ling-kongcu sudah satu ja m lebih berada di dala m,
me mangnya dia terjebak dan tertimpa malang?
Dika la dia merasa kuatir dan was2 inilah Thay-siang masih tetap
mengawasi permukaan air kola m, sorot matanya tampak putus asa,
tiba2 ia berteriak beringas: "Anak keparat, kau tidak a kan
kulepaskan." Mendadak dia me mba lik badan, jengeknya:
"Yong-congkoan, kau tahu kejurusan mana Ling Kun-gi pergi?"
"Hanya ada satu jalan keluar di Hek-liong ta m, Ling-kongcu . . . .
" belum selesai Yong King-tiong bicara, tepat di pusar kolam tiba2
terdengar suara gemuruh, air kola m yang semula tenang mendada k
berpusar semakin kencang pada delapan tempat. Air beracun yang
menga lir dari kepala naga di dinding utarapun seketika berhent i
menga lir. Cepat sekali a ir kola m yang berpusar itu menyusut
rendah.
Sorot mata Thay-siang yang tajam tengah menatap Yong King-
tiong, ia mendengus sekali lalu berkata: "Sudah ada orang masuk ke
dasar kola m. Katakan, bocah she Ling itu bukan?"
Tahu bahwa Kun-gi sudah berhasil menunaikan tugasnya, diam2
hati Yong King-tiong sangat senang, tapi barusan sudah merasakan
lihaynya ilmu pedang J ikohnio, dari nadanya kini agaknya dia
teramat benci dan denda m terhadap Ling-kongcu, maka hatinyapun
menjadi ge lisah dan kuatir pula bagi kesela matan Ling Kun-gi.
Walau rasa senang lebih merasuk hati, tapi mimik mukanya
sedikitpun tidak kentara, ia menyurut selangkah dan menjawab:
"Cayhe betul2 tidak tahu."
"Masih bilang tidak tahu," jengek Thay-siang, "sejak tadi kau
berjaga di sini, pasti kau yang membantu dia turun ke bawah dan
akan bantu dia naik ke atas pula?"
Urusan sudah telanjur sejauh ini, terpaksa Yong King-tiong
berubah sikap, katanya dengan sungguh: "Jikohnio, engkau seorang
cerdik, bahwa Lohwecu mendirikan Hek-liong-hwe ada lah untuk
menya mbut seruan Tuan Puteri, tujuannya merebut kemba li tanah
air yang terjajah, waktu itu tidak sedikit kelompok patriot kita yang
beruntun ditumpas oleh kerajaan, maka buku daftar anggota
seluruh pahlawan bangsa di Kangouw oleh Tuan Puteri secara
dia m2 di simpan di markas pusat Hek-liong hwe kita, buku itu
merupakan dokume n paling pent ing dan rahasia, ma ka Lohwecu
me merlukan me mbangun He k-liong-tam ini, tak tersangka Hek-
liong-hwe telah dijual kepada musuh oleh sekomplotan manusia
yang tamak harta dan gila pangkat, pihak kerajaanpun amat getol
untuk merebut buku daftar itu, bila mana sa mpai terjatuh di tangan
mereka, entah berlaksa jiwa akan tere mbet dan menjadi korban
tanpa dosa, betapa pula banyak aliran per-silatan di Bu-lim a kan
ditumpasnya, bahwa selama dua puluh tahun ini Cayhe terima hidup
terhina, yang kutunggu adalah hari ini."
"Katakan, yang turun ke bawah bocah she Ling itu bukan?" Thay-
siang menegas.
"Betul, me mang Ling-kongcu yang turun ke bawah, dia akan
menghancurkan buku daftar itu, Cayhe berjaga di sini untuk
me mbantu dari segala ke mungkinan, kini dia sudah a kan keluar.
Jikohnio adalah angkatan tua Ling-kongcu, kekuatan inti Pe k-hoa-
pangpun telah kau kerahkan ke mari, kalian adalah sanak kadang
sendiri, seharusnya saling bantu berdampingan me mberantas
musuh, bantulah Ling-kongcu untuk mengge mpur Hek-liong-hwe,
karena Hek-liong-hwe yang didirikan ayahmu kini terjatuh ke tangan
musuh, Lohwecu . . . . . . '
"Tutup mulut," hardik Thay-siang, "jangan kau minta ampun bagi
bocah she Ling, Hek-liong-hwe terang akan kugempur, tapi aku
akan bunuh dulu bocah she Ling itu:" Mulut bicara sementara
matanya menatap ke dasar kola m tanpa berkedip.
Saat mana air kolam sudah menyurut rendah, tepat di tengah
kola m muncul batu karang, tepat di pucuk karang terdapat sebuah
batu bulat raksasa, batu itu mula i bergerak mumbul ke atas, kejap
lain seorang pe muda berjubah hijau ta mpak me nongol keluar dari
lubang di bawah batu bulat itu.
Hari sudah terang benderang, kabutpun sudah me nipis, betapa
tajam pandangan Thay-siang, sekilas pandang dia sudah mengenali
pemuda yang menongol keluar itu me mang betul Ling Kun-gi.
Darah seketika merangsang kepala, se mbari menggera m pedang
ditangan kanannya mendadak dia timpukkan ke bawah, berbareng
kedua kakinya menutul, orangnyapun meluncur ke bawah, daya
luncurnya teramat cepat, dengan ringan ujung kakinya menginjak di
atas batang pedang yang sedang terbang itu.
Cahaya pedang bagai bianglala, dengan terbang naik pedang
Thay-siang me lompat sejauh dua belas tombak me luncur turun ke
puncak karang di tengah kola m.
Melihat orang menimpukkan pedang, semula Yong King-tiong
mengira orang mengguna kannya sebagai senjata rahasia uuntuk
menyerang Ling Kun-gi, ma ka dia berteriak gugup: "Jangan Jikohnio
. . . ." Demi me lihat orang "terbang" dengan naik pedang, hati Yong
King-tiong se makin kaget dan mencelos.
Betapapun tinggi ilmu silat seseorang takkan mungkin dapat
me lompati sejauh dua be las tombak dari permukaan kola m ini, tapi
ilmu "It-wi-tohkung" (dengan sebatang gala menyeberang sungai)
yang dipertunjukkan Thay-siang ini betul2 amat menakjubkan.
Selama dua puluh tahun ini, watak Ji-kohnio ini agaknya makin
nyentrik, bila dia betul2 berhasil terjun ke pucuk karang, bukan
mustahil akan perang tanding dengan Ling-kongcu, dengan bekal
kepandaian silatnya yang bertaraf tinggi itu mungkin Ling-kongcu
bukan tandingannya.
Hampir dala m waktu yang sama, dari arah lain sana, tahu2
me layang terbang pula selarik sinar pedang, karena kabut telah
menipis, ma ka samar2 dapat terlihat di atas luncuran sinar pedang
itu berdiri juga sesosok bayangan orang yang berkedok serba hitam,
pakaian mela mba i, meluncur dengan cepat dan sasarannya juga ke
puncak karang di dasar kola m.
Kembali Yong King-tiong terkejut, batinnya: "Siapa pula itu?"
Kedua orang sama2 melancarkan Ginkang It-wi-tokang ajaran
rahasia Siau-lim-pay yang tidak diturunkan kepada orang luar, jelas
bahwa kedua orang ini pasti punya sangkut paut erat dengan Siau-
lim-pay.
Sama2 naik pedang yang meluncur, meski keduanya terpaut
beberapa kejap tapi keduanya hampir bersamaan pula tiba di pucuk
karang. Saat mana Ling Kun-gi baru saja menerobos keluar di
bawah batu bulat. Tahu2 Thay-siang sudah hinggap di atas karang,
bentaknya: "Binatang kecil, kau pantas ma mpus!" Pedang terayun,
dada Kun-gi ditusuknya dengan beringas.
Sebetulnya Kun-gi belum melihat jelas orang di depannya, tapi
dia kenal betul suara Thay-siang, tanpa terasa ia menjerit: "Kau ini
Thay-siang!" Sebat sekali dia menyurut mundur sa mbil berkelit.
Kejadian berlangsung dala m sekejap dan cukup gawat, dika la
Kun-gi mengegos, orang berkedok yang datang belakangan itupun
sudah meluncur tiba mengadang di depan Kun-gi. Pedang panjang
kontan terayun, "trang", tusukan pedang Thay-siang kena
ditangkisnya, teriaknya: "Dik, tak boleh kau me lukai dia!"
Karena suara orang, kembali Kun-gi di bikin kaget, teriaknya:
"Ibu!"
Orang berkedok dan berpakaian hita m yang baru datang ini
me mang betul ibu kandung Ling Kun-gi, yaitu Thi-hujin alias Thi Ji
giok.
Wajah Thay-siang teraling cadar, tapi sorot matanya tajam dingin
diliputi nafsu me mbunuh, teriaknya: "Siapa adikmu? Binatang kecil
ini menggagalkan urusanku, aku harus mencabut nyawanya, kau
minggir!"
"Sret", ke mbali dia menusuk.
Pedang Thi hujin segera menyontek dan menindih gerakan Thay-
siang, katanya: 'Dik, jangan kau me lupakan persaudaraan. Kau
terhitung lebih tua dari dia, umpa ma kau ingin menghukum dia
dengan cara apapun boleh, tapi terhadan anak2 tak pantas kau
ma in senjata."
"Jangan cerewet!" teriak Thay-siang pula. "Ka lian ibu beranak
me mang pantas ma mpus." Di tengah teriakannya ini, beruntun dia
menyerang tiga kali pula.
Thi hujin tangkis semua serangan Thay-siang itu, katanya: "Aku
tak boleh mati se karang, aku akan me mbunuh bangsat pengkhianat
Hek-liong-hwe dengan kedua tanganku sendiri, menegakkan na ma
baik ayah dan perguruan, menuntut balas sakit hati ke matian
suamiku."
Walau merasa perbuatan Thay-siang keterlaluan, tapi kini Kun-gi
sudah tahu bahwa Thay-siang adalah bibinya sendiri. Cuma belum
diketahui ada perselisihan apa di antara Thay-siang dengan ibunya,
sampai sesama saudara ini saling denda m dan bermusuhan? Tapi
kedua orang yang lagi gebrak ini adalah angkatan tuanya, walau
hati merasa cemas, tak berani dia ikut turun tangan atau
me mbujuk.
Setelah dia keluar dari bawah lubang, batu bulat yang timbul tadi
kini sudah turun dan menyumbat lubang tadi. Peralatan rahasia di
Hek-liong-ta m ini saling berka itan satu dengan yang lain bila batu
bulat ini sudah ke mbali pada posisinya semula, kepala naga di
dinding utara itupun mulai me mancurkan air beracun, sementara air
kola m yang semula tersedot ke delapan empang di samping kola m
kini ke mbali mengalir ba lik, maka volume air mula i meninggi pula.
Thay-siang masih mainkan pedangnya sekencang kitiran, seperti
orang kalap saja dia menghardik seraya lancarkan serangan, bagai
mengadu jiwa layaknya dia cecar Thi-hujin dengan tusukan dan
tebasan pedang.
Dengan tenang dan mantap Thi-hujin hanya menangkis dan
me matahkan serangan orang, tak pernah balas menyerang, ma ka
suara keras benturan senjata mereka terasa me meka k telinga
sederas hujan badai.
Kun-gi yang berada di samping cukup tahu situasi yang gawat
ini, maka dia berteriak mendesak: "Thay-siang lekas berhenti. Kalau
tidak lekas meninggalkan tempat ini, air kola m segera akan naik
pasang."
Mendadak terdengar suara gelak tawa aneh di sebelah atas,
disusul seorang berkata: "Pe mberontak bernyali besar, kalian masih
ingin pergi dengan selamat dari Hek-liong-tam?" Be lum lenyap
suaranya, beruntun terdengar suara jepretan, maka
berhamburanlah anak panah beracun bagai hujan lebatnya sama
tertuju ke puncak karang. Sementara cepat sekali air kola m juga
semakin tinggi, karangpun ha mpir tenggela m ditelan air.
Thi-hujin berteriak gugup: "Dik, lekas na ik!"
Agaknya Thay siang amat jeri juga akan a ir kola m beracun ini,
dengan menggerang gusar segera dia jejak kedua ka kinya dan
me la mbung ke atas, pedang panjang di tanganpun ditimpuk ke
atas, pedang yang bercahaya kemilau me luncur bagai roket, dengan
menaiki pedang itulah Thay siang langsung menerjang ke tepi atas.
Di tengah udara menyongsong ha mburan ana k panah yang melesat
kencang itu, dia kebutkan kedua lengan bajunya, bagai menyiba k
tangkai bunga layaknya sekejap saja dia sudah hinggap di tepi
kola m.
Dika la Thay-siang meleset terbang itu Kun-gi berteriak gugup:
"Bu, le kas engkau naik!"
Thi-hujin tahu dengan me mbawa Le liong-cu Kun-gi tidak perlu
takut air kola m, ma ka dia berpesan: "Lekas kaupun pergi saja!"
Segera iapun timpukkan pedang, badan melijit t inggi hinggap di
atas pedang terus meluncur ke atas pula, arahnya ke sebelah sana.
Dua puluh e mpat ahli pe manah tengah berba-ris di tepi kola m
dan sibuk dengan anak panahnya kapan mereka pernah lihat ada
manusia bisa numpang pedang, apalagi sinar pedang yang
ditimpukkan mencorong seterang itu, sehingga anak panah yang
mereka bidikkan seketika menyiba k rninggir sendirinya, karuan ciut
nyali mereka, tanpa disadari berama i2 mereka menyurut mundur.
Lekas sekali Thay-siang manfaatkan peluang ini, setelah kaki
hinggap di tepi, sembari tertawa dingin pedangpun bekerja, bagai
naga hidup sinar pedangnya menebas kian ke mari. Di mana larikan
sinar pedangnya menyamber, jeritan mengerikan seperti berpadu,
lima laki2 pe manah terpenggal kepa lanya.
Berhasil me mbinasakan lima musuh. Thay-siang terus berkisar ke
kiri, pedangnya ke mbali menyapu.
Betapa cepat gerakan pedangnya, hakikatnya susah diikuti oleh
pandangan mata, tahu2 kilat menya mber dan jiwapun me layang,
ke mbali lima sosok tubuh sa ma terjungkal roboh tak berkepala.
Dua kali pedang Thay siang menyapu, hanya sekejap saja hampir
separo dari dua puluh e mpat pemanah telah menjadi korban,
sisanya keruan menjadi le mas kakinya saking ketakutan, beramai2
mereka me larikan diri sehingga tugas me mbidikkan panah
terlupakan sa ma sekali.
Pada saat itulah terdengar seorang menghardik keras:
"Pe mberontak bernyali besar, tidak le kas berhenti?"
Waktu Thay-siang berpaling, tertampak tiga tombak di atas batu
padas besar sana berdiri sejajar belasan orang. Orang di tengah2
berusia antara 45-an, alis tebal, mata sipit, kulit mukanya semu
merah bagai buah apel, mengenakan jubah abu2 bersula m indah,
sikapnya kelihatan gagah dan angker. Di sebelah kirinya adalah
seorang Lama berkasa merah. dua muridnya berdiri di kanan kiri
sebelah belakang.
Di sebelah kanannya adalah laki2 berjubah hijau berusia ena m
puluhan, disusul Yong King-t iong sebagai Hek-liong-hwe Congkoan,
dilanjutkan e mpat laki2 berbaju biru berusia e mpat puluhan. Di
kedua sisi orang2 ini adalah delapan laki2 seragam hita m berpedang
panjang warna hitam pula, jelas mereka adalah jago2 pedang dari
Hek-liong-hwe. Tadi yang bersuara adalah laki2 jubah hijau berusia
enam puluhan itu.
Laki2 berjubah abu2 yang berdiri di tengah menatap Thay-siang
sekian la manya, katanya kemudian dengan suara kereng: "Kau Thi
Ji-hoa atau Thi Ji-giok?"
"Peduli apa siapa aku?" jengek Thay-siang.
"Siapa kau?" bentak Thi-hujin di sebelah sana. Yong King-tiong
menyeringai tawa, katanya: "Kalian berani menyelundup ke tempat
terlarang, kini berhadanan dengan Hwecu kita masih berani
bertingkah, hayo lemparkan senjata dan menyerah saja.
Me mangnya kalian berani me mberontak?" Kata2nya ini me mberi
kisikan bahwa si jubah abu2 adalah Hek-liong-hwe Hwecu Han Janto
adanya.
Sejak kecil Han Janto dibimbing dan dibesarkan oleh Hek-liong-
hwe Hwecu yang terdahulu, yaitu Hek-hay-liong Thi Tiong-hong. Ini
berarti bahwa dia tumbuh dewasa bersama Thi-hujin dan Thay-
siang, lalu mengapa Thi-hujin dan Thay-siang sekarang tidak
mengenalnya?
Soalnya dalam ingatan mereka Han Janto adalah pe muda yang
cakap bermuka putih bersih, sikapnya sopan dan lembut, kecuali
hidungnya yang me mbetet, tak kelihatan roman mukanya yang
jahat dan sadis, tapi laki2 di depan mata mereka sekarang berwajah
merah, alis tebal mata sipit, hakikatnya bukan Han Janto yang
menjua l Hek-liong hwe dan mence lakai sua minya itu. Sesaat Thi-
hujin me natap si jubah abu2, lalu mendengus hina: "Han Janto?"
Ling Kun-gi kini juga sudah naik ke atas dan berdiri di belakang
Thi-hujin, katanya lirih: "Bu, dia mengenakan kedok muka."
Sorot mata si jubah abu2 menatap Kun-gi le kat2, sekilas iapun
me lirik Leliong cu, tiba2 dia tertawa lebar, katanya: "Anak muda,
kau inikah Ling Kun-gi?"
Kini baru Thi hujin mengenal suara orang, seketika badannya
gemetar, pedang menuding, bentaknya dengan suara gemetar:
"Kau me mang betul Han Janto, kau keparat yang khianat ini, ya,
me mang kau adanya."
Han Janto tertawa lebar, katanya: "Betul, me mang aku orang she
Han, kita kan dibesarkan ber-sa ma2, dulu ka lau bocah she Ling
tidak menyelinap diantara kita, kau nona Ji-giok pasti sudah menjadi
biniku, tapi hari ini kaupun akan tetap disanjung sebagai isteriku
tercinta . . . . . . "
Dulu Han Janto sudah beranggapan bahwa dirinyalah yang pasti
akan mewarisi jabatan ketua Hek-liong-hwe dari tangan Thi Tiong-
hong, ma lah secara dia m2 iapun naksir kepada nona Ji-giok,
sementara Ji-hoa alias Thay-siang dari Pek-hoa-pang diam2
kasmaran terhadap Ling Tiang-hong, tapi karena Kay-to Tyasu telah
me mperkenalkan murid pre mannya yang satu ini, maka Thi Tiong-
hong berkeputusan mewariskan jabatan ketua Hek-liong-hwe
kepada Ling Tiang-hong.
Dan lagi mengingat puteri tunggalnya Ji-hoa berwatak nyentrik,
cupet pikirannya dan berjiwa sempit, sebaliknya Ji-giok sang puteri
angkat berwatak lembut, welas asih, sikapnya ramah dan halus
maka dia berkeputusan lebih setimpal menjodohkan puteri
angkatnya Ji-giok kepada Ling Tiang-hong.
Keputusan ini sudah me lalui pe mikiran yang seksa ma serta
dipertimbangkan untung ruginya, sungguh diluar dugaan bahwa
keputusan ini justeru me mbuat puteri kandungnya Ji-hoa minggat
tak keruan paran. Karena cemburu, timbul watak Han Janto yang
jahat, secara diam2 dia menyerah kepada kerajaan dan rela
diperbudak menjadi antek penjual bangsa. Perubahan drastis ini
sudah tentu tak pernah terpikir oleh Lohwecu sebe lumnya.
Begitulah de mi mendengar mulut orang yang kotor, sungguh
tidak kepalang marah Thi-hujin di sa mping merasa berduka pula,
desisnya sambil menggertak gigi: "Keparat she Han, ayahku teramat
baik terhadanmu, kau ma lah lupa akan nenek moyang sendiri dan
rela menjua l keluarga dan bangsa kepada musuh, terima hidup
diperbudak menjadi antek penjajah, me mbunuh para ksatria bangsa
sendiri, dua puluh tahun yang la lu aku sudah bersumpah untuk
mengorek ulu hatimu buat sesaji didepan pusara ayah dan suamiku,
sekaligus menuntut balas pula bagi para pahlawan yang telah
gugur. Nah, Han Janto, menggelinding keluar sini kau."
"Bu, engkau tak perlu mengeluarkan tenaga, dendam orang tua
sedalam lautan, bangsat she Han ini serahkan saja kepada anak
untuk me mbereskannya," seru Kun-gi.
Bercucuran air mata Thi-hujin, ucapnya: "Tidak, sejak ibu
meninggalkan Hek-liong-hwe dulu sudah bersumpah kepada
ayahmu, dengan kedua tanganku sendiri akan kubunuh keparat she
Han yang durhaka ini."
Thay-siang menyeringai dingin, katanya: "Mencari perkara
dengan Han Janto adalah urusan kalian, aku akan pergi saja Ling
Kun-gi, persoalanmu menyelundup ke dala m Pek-hoa-pang sejak
kini boleh tida k usah kuusut. Nah, serahkan ke mbali Ih-thiankia m
padaku."
Thay-siang tidak tahu bahwa Ling Kun-gi masih me miliki sebilah
Seng-ka-loa m yang tidak kalah a mpuh dan saktinya daripada Ih-
thianloa m, bahwa dala m keadaan segawat ini sengaja dia me minta
balik Ih-thiankia m yang tajam luar biasa, itu berarti telah
me mperle mah perlawanan Ling Kun-gi pada musuh, tujuannya
terang cukup keji juga.
"Thay-siang me mang betul," ujar Kun-gi, "Cay-he memang bukan
orang Pek-hoa-pang lagi, sudah tentu harus kuke mba likan pedang
ini." Betul2 dia menangga lkan Ih-thiankia m lalu diangsurkan dengan
kedua tangan.
Thay-siang terima Ih-thiankia m dengan tangan kiri. "Sreng",
tangan kanan segera mencabutnya keluar, tampak jelas nafsu
amarahnya yang berkobar, katanya ketus: "Dua puluh tahun
permusuhan ayah bunda mu denganku, dengan tabasan ini boleh
anggap impas permusuhan kita,"
Seiring dengan ucapannya, "sret" Ih-thiankia m t iba2 menabas ke
pundak kanan Ling Kun-gi. Betapa cepat tabasan ini,, sampaipun
Thi-hujin yang berdiri tida k jauhpun kaget dan tak sempat
menolong, teriaknya: "Dik, kau . . . . "
Sinar pedang berkelebat, "tring," pedang Thay-siang tahu2
tersampuk oleh segulung angin selent ikan. Ternyata pada detik2
gawat itu, jari Kun-gi telah menjentik dengan It-cay-sian, ilmu sakt i
selentikan aliran Hud, sehingga ujung pedang orang terpental ke
samping.
"Terima kasih atas ke murahan hati Thay-siang." ucap Kun-gi
dengan tertawa.
Gemetar cadar di muka Thay-siang saking menahan ge lora
marahnya, sambil mendengus segera ia hendak melompat pergi.
Mendadak Han Janto bergelak tertawa, katanya: "Thi Ji-hoa,
kaupun salah seorang buronan pent ing yang diincar kerajaan, terus
terang saudaramu ini tak berani me mbiarkan kau pergi, Ketahuilah
bahwa orang2 Pek-hoa-pang seluruhnya sudah dipancing ke tempat
buntu oleh ana k buahku, kuharap kau tahu diri, le mparkan pedang
dan terima dibe lenggu saja."
Thay-siang urungkan niatnya pergi, Ih-thiankiam me lintang di
dada, suaranya murka: "Han Janto, kau kira dengan perangkap
Hek-liong-hwe seperti itu dapat mengurung orang2 Pek-hoa-pang?"
"Tida k salah," ujar Han Janto dengan tertawa, "Hek-liong-hwe
adalah kampung hala manmu, di sini kau tumbuh dewasa, segala
peralatan perangkap di sini kau cukup apal, tentu kaupun sudah
me mbe kali peta yang terang kepada anak buahmu. Tapi perlu kau
ketahui bahwa selama dua puluh tahun ini, kebanyakan tempat
sudah kubangun pula perangkap yang aneka raga mnya, kalau anak
buahmu hanya bergerak menurut petunjuk petamu, itu berarti
mereka sengaja menggali lubang kuburnya sendiri, kini tingga l kau
seorang saja yang masih bebas."
Dia m2 Kun-gi mengangguk, pikirnya: "Kiranya dua barisan yang
lain telah dibekali ga mbar peta oleh Thay-siang, hanya
rombonganku t idak dibeka li apa2, agaknya dia sengaja henda k
me mbinasakan ka mi dengan me minja m tangan musuh,"
Keruan Thay-siang naik pitam, serunya: "Sebetulnya aku tidak
peduli segala urusan Ji-giok, kalau de mikian biar aku me mbunuh
kau lebih dulu."
"Thi Ji hoa," seru Han Jan to, 'kau bukan tandinganku." La lu dia
berpaling kepada si jubah hijau, katanya: "Tang cong-houhoat,
tugasmulah untuk me mbekuk dia."
"Ha mba terima tugas," sahut laki2 jubah hijau sambil menjura.
"Sreng", pedang panjang di punggung dia cabut, lalu melangkah
maju, katanya: "Sudah la ma Losiu dengar na ma Thay-siang dari
Pek-hoa-pang yang termashur, hari ini kebetulan dapat belajar
kenal."
"Han Janto," jengek Thay-siang menghina, "apa kau tak berani
me lawanku, jangan suruh orang lain menjual jiwa.'
Laki2 jubah hijan menarik muka, dengusnya: "Memangnya Thay-
siang juga tidak pandang dengan sebe lah mata padaku? Apakah
Losiu betul2 mengantar ke matian bela ka, setelah turun tangan baru
akan tahu."
"Baiklah," ucap Thay-siang, "Han Janto, kau sendiri yang
me libatkan aku ke dala m persoalan ini." Sa mpai di sini ujung
pedang terangkat, bentaknya dingin: "Nah hati2lah kau!" .
Segera pedangnya membe lah lebih dulu ke arah laki2 jubah
hijau. Jurus pertama ini menimbulkan kesiur angin yang menderu,
sinar perak ke milau bagai untaian rantai menggulung tiba, betapa
hebat serangannya, sungguh tidak ma lu kalau disebut sebagai ahli
pedang yang lihay, perbawanya me mang lain.
Menyaksikan betapa hebat serangan pedang Thay-siang, laki2
jubah hijau tak berani me mandang enteng, serentak berteriak:
"Bagus!" seringan asap iapun berke lit pergi, pedang segera bergaya
seindah orang menari, sinar pedang ke milau terpancar bertaburan
ke tubuh Thay-siang
Thay-siang mengejek dingin: "Ta k nyana Banhoa kia m-kek
(tokoh pedang berlaksa bunga) yang dijuluki raja pedang dari lima
propinsi utara juga terima menjadi antek musuh."
Karuan merah selebar muka laki2 berjubah hijau, teriaknya
gusar: "Losiu bertugas dala m pe merintahan untuk me mbekuk kau
pemberontak ini, me mangnya salah perbuatanku?"
Mulut bicara kedua orang sudah sa ma2 sa ling serang dengan
gencar, masing2 menge mbangkan ke mahiran ilmu pedang sendiri
dan berusaha merobohkan lawan lebih dulu. Dala m sekejap
serangan pedang kedua pihak bertambah kencang dan sengit,
bayangan kedua orangpun terlibat di dalam lingkaran cahaya
ke milau sehingga sukar dibedakan satu dengan yang la in.
Thi-hujin a mat getol menuntut balas ke matian sang sua mi,
menghadapi Han Janto si durjana, bola matanya menjadi merah
me mbara, ia melihat adiknya Ji-hoa sudah saling labrak dengan
laki2 jubah hijau, mana dia kuat menahan sabar lagi, serunya sambii
menggreget: "Bangsat keparat she Han, hari ini kau atau aku yang
harus gugur. Nah keluarkan senjatamu?"
Han Jan to berdiri tidak bergerak, katanya kalem : "Thi Ji-giok,
apa betul kau ingin bergebrak denganku?"
"Sebelum mencacah lebur badanmu itu, sungguh tida k terla mpias
dendam kesumatku, sudah tentu kau harus hadani tantanganku."
"Thi Ji-giok;" ujar Han Janto dingin, "jele k2 kita tumbuh dewasa
bersama sejak kecil, tak peduli betapa besar dendammu padaku,
aku tidak ingin me lukai atau me mbunuh kau dengan tanganku . . .
."
Tiba2 dia berpaling, katanya: "Yong-congkoan, kau saja yang
me mbe kuk dia."
Sambil menenteng pedang pelan2 Yong King-tiong beranjak maju
meninggalkan barisannya, tapi setelah satu tinbak jauhnya
mendadak dia me mba lik badan, ujung pedang menuding Han Janto,
jubah dibadannya seketika mele mbung, bola matanya mendelik ber-
api2, bentaknya lantang : "Han Janto, kau kunyuk busuk yang
menjua l bangsa dan negara, keparat yang khianat, selama dua
puluh tahun ini Lohu menahan sabar terima hidup dihina, hari ini
tiba saatnya berkesempatan me menggal kepala mu dihadapan
umum, menuntut balas bagi para ksatria Hek-liong-hwe yang telah
gugur, apalagi Ling-hujin dan Ling-kongcu telah tiba, sumpah Ling-
hujin barusan sudah kau dengar pula, nah terima-lah ke matianmu!"
Sampa i di sini mendadak dia angkat kedua tangan ke atas
kepala, teriaknya lantang: "Hek-liong-hwe sekarang sudah menjadi
antek kerajaan, dua puluh tahun kita diperbudak, hayolah kawan
yang berjiwa ksatria, pahlawan bangsaku, bangkitlah, marilah kita
bersatu padu me mberantas kawanan cakar alap2, tegakkan na ma
baik dan kebesaran He k-liong-hwe nan jaya."
Suaranya lantang, diucapkan dengan penuh semangat dan gagah
perkasa lagi, tapi tiada seorangpun yang ta mpil maju menya mbut
seruannya, sampaipun delapan ahli pedang seraga m hita m yang
menjadi anak buahnyapun tetap berdiri berpeluk tangan menimang
pedang tanpa bergerak, seakan tak pernah mendengar suara
apapun.
Han Janto menyeringai puas atas kemenangannya ini, katanya:
"Yong King-tiong, kau berani bersekongkol dengan musuh dan
hendak me mberontak pula, tapi coba kau lihat, delapan jago
pedang anak buahmu sendiripun tiada yang sudi mendengar
seruanmu, sekarang kalau kau mau me mbekuk ibu beranak she Ling
ini masih dapat kau tebus dosamu dengan pahala, kalau tidak,
hukuman mati adalah bagianmu, jangan kau menyesal setelah
terlambat."
Merah me mbara roman Yong King-t iong, matanya mendelik
gusar, teriaknya: "Orang she Han, hari ini adalah saat ke matianmu,
Ling-hujin akan menjatuhkan vonisnya terhadanmu. Wahai, delapan
jago pedang Hek-liong-hwe, dengarkan seruanku, ka lian ma u
menurut petunjukku atau tetap terus diperbudak oleh musuh,
menjadi antek kerajaan dan menindas sesa ma bangsa mu sendiri?"
Kedelapan jago pedang itu hanya mengawasi Yong King-tiong,
semuanya tetap berdiri tak bergerak dan tidak bersuara.
Keruan Han Jan to ter-gelak2, katanya: "Yong King-tiong,
sekarang kau harus sadar, me mberontak harus dipancung
kepalanya, di kolong langit ini takkan ada orang yang rela mengekor
oleh hasutanmu dan rela dipenggal kepalanya," Mendadak ia
me mberikan perintah : "Si-toa-hou-hoat ( empat pelindung tinggi),
lekas ringkus Yong King-t iong yang sekongkol dengan pemberontak,
kalau berani melawan bunuh saja tanpa perkara,"
Empat laki2 yang berdiri di sebe lah kanannya berpakaian biru
serentak melolos senjata masing2 terus melangkah maju merubung
Yong King-tiong.
Yong King-t iong ter-bahak2 dengan mendongak, serunya: "Kalian
berempat maju bersama lebih baik, supaya menghe mat tenagaku."
Pada saat keempat orang ini maju, mendada k Thi-hujin
berpaling, katanya lirih: "Anak Gi le kas jaga arena dan awasi gera k
gerik musuh." Tanpa menunggu jawaban Ling Kun-gi, sekali
berkelebat dia menerjang maju menyerang Han Janto sambil
me mbentak: "Bangsat keparat, serahkan jiwa mu!"
Sejak kecil Han Janto dididik oleh Thi Tiong-hong sendiri, usianya
lebih tua lima tahun daripada Thi-hujin, pelajaran yang diperoleh
jelas lebih banyak dan matang.
Ia tidak tahu sejak dua puluh tahun yang lalu Thi-hujin telah
bersumpah untuk menuntut batas bagi kematian sua minya, secara
tekun dan rajin berlatih dan mengge mbleng diri, taraf ilmu
pedangnya boleh dikatakan melompat maju berlipat ka li lebih t inggi
dan sempurna.
Melihat sekali me mbuka serangan, lawan sudah sedemikian
dahsyat dan lihay, mau tidak mau Han Jan to terkejut juga hatinya,
timbul rasa waspada dan hati2, tapi mulut masih ter-kekeh2 aneh,
sembari berkelit, sebelah tangannya menyampuk serta melolos
sebilah pedang panjang warna hita m, bentaknya: "Thi Ji-giok,
sebetulnya aku tidak ingin bergebrak dengan kau, tapi kalau tida k
kusa mbut beberapa gebrak matipun pasti kau tidak akan tenteram.
Baiklah kukabulkan ke inginanmu!" Se mbari bicara dengan enteng
pedangnya menutuk dan menindih, "trang", tusukan pedang Thi-
hujin kena ditekan ke bawah.
Gemeratak gigi Thi-hujin saking menahan marah dan benci,
tanpa bersuara kembali pedang me mbalik, di mana kilat
menya mber. dia me mbabat kencang miring ke atas. Maklum ajaran
ilmu pedang kedua orang sama diwarisi dari liok-hay-liong Thi
Tiong-hong, meski kedua orang masing2 me mpunyai bakat dan
ke ma mpuan yang berbeda, tapi sumbernya tetap sama, betapapun
ruwet perubahan dan variasi masing2 tetap tak lepas dari intinya
semula.
Sejak tadi Kun-gi sudah me lolos Seng-ka-kia m, dengan se ksa ma
dia menonton dan mengawasi gerak-gerik kedua orang yang lagi
bertempur, diam2 ia terkejut dan heran mengikut i pertandingan
pedang ini.
Sejak kecil dia hanya tahu bahwa ibunya sedikitpun tidak pernah
belajar silat sehingga waktu mendidik dirinya belajar Hwi-liong-sa m-
kia m warisan keluarganyapun sang ibu hanya menggores2 di atas
kertas, jadi cuma diajarkan teorinya belaka serta me mberi petunjuk
dikala dia me mpra ktekkannya, beliau sendiri belum pernah pegang
pedang dan me mberikan contoh. Baru tadi dengan mata kepalanya
sendiri dia menyaksikan ibunya mele mpar pedang serta naik di
luncuran pedangnya untuk me ncapai ketinggian tepi Hek-liong-ta m,
nyata bahwa Ginkang dan ilmu pedang ibunya tidak lebih asor
daripada Thay-siang.
Ilmu pedang Han Janto me mang satu sumber dengan
kepandaian Thi-hujin, gaya pedangnya lebih mantap dan matang,
perubahannya serba aneh dan tak habis2, malah setiap gerak
pedangnya pasti menimbulkan deru angin tajam, dari sini dapatlah
dinilai bahwa taraf ilmu pedangnya sudah mencapai punca knya.
Kalau bicara soal Lwekang jelas Thi-hujin setingkat lebih asor,
tapi dendam kesumat selama dua puluh tahun yang terpendam
dalam sanubarinya kini meleda k, dengan dilandasi denda m
permusuhan yang menimbulkan kekuatan luar biasa ini, maka setiap
gerak serangannya boleh dikatakan dike mbangkan dengan segala
ke ma mpuannya, pedang merangsek dengan gencar dan tanpa kenal
ampun.
Bahwa sesengit itu pertempuran berjalan, tapi sejauh ini belum
pernah pedang mereka saling bentur meski seka lipun, jelas bahwa
betapa sempurna latihan ilmu pedang mere ka. Kalau bergebrak
terus berlangsung seperti ini, sebelum tiga-lima ratusan jurus pasti
belum ada kesudahan menang dan ka lah.
Laki2 jubah hijau yang bergebrak me lawan Thay-siang, yaitu
bernama Banhoa-kia m Tang Cu cin, sebagai Conghouhoat dari Hek-
liong-hwe, ia dijuluki raja pedang di lima propinsi utara, maka
dapatlah dinilai betapa tinggi kepandaian silatnya. Setiap gerak
pedangnya pasti menimbulkan ceplok2 sinar besar kecil yang
berbeda dan aneka ragamnya sesuai dengan nama julukannya
(Banhoa-kia m- ilmu pedang se laksa bunga), justeru karena
beraneka ragam ceplok2 bunga sinar pedangnya yang bercampur
baur itulah yang me mbikin silau dan me mbingungkan lawan.
Apalagi ceplok2 bunga sinar pedang itu timbul tenggela m silih
berganti, setiap ceplok bunga sinar pedang itu mengandang pusaran
angin tajam beberapa kaki di sekitar gelanggang orang merasakan
kulit daging pedas dan perih seperti teriris piaau.
Yang diperhatikan Ling Kun-gi adalah Yong King-tiong, seorang
diri dengan pedangnya dia melawan e mpat orang jago pelindung
Hek-liong-hwe. Keempat Houhoat itu sama mengguna kan senjata
aneh yang jarang terlihat di Kangouw, seorang mengguna kan
sepasang gelang terbuat dari e mas hita m, seorang pakai bandulan,
orang ketiga pakai ganco berkepala ular, yang terakhir
menggunakan senjata palu. Bahwa kee mpat orang ini diangkat
menjadi Houhoat tentunya me miliki kepandaian silat dan Lwe kang
yang tinggi. Kini dari e mpat penjuru mere ka mengeroyok Yong King-
tiong, empat macam senjata mereka sa ma merangsak kencang silih
berganti, begitu cepat dan ganas kerja la ma mereka. .
Tapi diluar tahu mereka bahwa sela ma dua puluh tahun ini Yong
King-tiong telah berlatih rajin dan tekun secara diam2 sehingga
kepandaian aslinya tak pernah diperlihatkan kepada umum, kini
dikeroyok empat dan terkepung lagi, mendadak ia ter-gelak2 lalu
bersiul panjang, pedang berputar serentak iapun balas menyerang,
sinar pedangnya ber-gulung2 bagai da mparan omba k, yang satu
lebih kuat daripada yang terdahulu. Terdengar serentetan suara
benturan keras, sekali gebrak sekaligus empat maca m senjata lawan
kena dipukul balik.
Berhasil me mbendung rangsakan musuh, sinar pedangnya
menya mbar lebih lincah lagi, seperti naga sakti selulup timbul di
tengah mega, dala m belasan jurus saja, keempat musuh yang
mengeroyoknya telah dilibat dala m lingkupan sinar pedangnya. Baru
sekarang dia betul2 pamer kepandaian silatnya yang sejati, yaitu
Thianlo-kia m-hoat dari Kunlunpay yang sudah lama putus turunan di
kalangan Bu-lim.
Perhatian Kun gi tertarik ke sini waktu dia mendengar rentetan
suara keras benturan senjata, sampai di sini dia m2 ia mengulum
senyum dan merasa girang. Paman Yong ini ternyata memiliki
Lwekang dan kepandaian ilmu pedang begini tinggi, sungguh tak
pernah terpikir olehnya, sia2lah rasa kuatirnya tadi.
Tatkala dia berpaling kesana, ternyata pada arena pertempuran
di sebelah sini telah terjadi perubahan drastis. Bahwasanya Thay-
siang yang tinggi hati, suka menang dan mengagulkan diri, sudah
seratus jurus melabrak Banhoa-kia m, keadaan tetap setanding,
karuan la ma ke la maan dia menjadi tak sabar. Sembari menghardik,
tiba2 dia melijit ke atas, pedang terayun ke kanan kiri sehingga Ih-
tiankia m me mancarkan cahaya hijau laksana air bah tumpah dari
le mbah gunung, manusia bersama pedangnya berubah menjadi
segulung sinar mengurung ke atas kepala Banhoa-kiam Tang Cu-
cin.
Tang Cu-cin tidak tahu bahwa Thay-siang tengah melancarkan
No-liong-bankhong (naga menga muk me lingkar di angkasa), jurus
ketiga dari Hwi-liong-sa m-kia m, ma ka ia berteriak kaget: "Ih-
thiankia m-sut.”
Sudah sepuluh tahun dia meyakinkan ilmu pedang, sehingga
dijuluki rajanya pedang di lima propinsi utara, betapa luas dban
pengalamannyda menghadapi musuh, meski Ih-kia m-sut adalah
ilmu pedang tiada taranya di Bu-lim, tapi sedikitpun dia tida k
menjadi gugup, se mbari mendongak dia menghardik seka li, pedang
me lindungi badan, segera dia menyambut ke atas.
Serangan balasan ini dilancarkan menghadapi serangan dari atas,
dari bawah timbul ceplok2 perak yang tak terhitung banyaknya
sehingga seluruh badan se-akan2 dibungkus dan ditumpuki kuntum
bunga. Sudah tentu jurus yang dilancarkan ini bukan me lulu untuk
bertahan saja, karena ceplok2 bunga itu setiap saat bisa juga balas
menyerang melukai musuh.
Kalau yang satu menukik dengan cahaya pedang yang benderang
menyilaukan mata, seorang lagi menciptakan ceplok2 bunga perak
yang tak terhitung banyaknya membungkus tubuh, perpaduan
cahaya pedang mereka menjadikan kola m naga hitam ini terang
benderang, hadirin menjadi silau dan tak kuasa me mentang mata.
Betapa cepat kelangsungan perang tandang ini sungguh la ksana
kilat menyambar, terdengarlah dering keras me ma njang, perak yang
berlaksa jumlahnya itu seketika sirna tak berbekas begitu benturan
keras berlangsung.
Perang tanding ini jauh berbeda dengan gebrak2 pendahuluan
tadi, kalau tadi bila mana cahaya pedang Thay-siang menya mbar
lewat, ceplok2 bunga lantas tersapu lenyap, tapi begitu cahaya
pedang lewat, ceplok2 dan sinar pedang itu timbul ke mba li,
begitulah seterusnya tak ber-henti2. Tapi kali ini betul2 lenyap tak
muncul pula.
Ternyata pedang Banhoa-kiam Tang Cu-cin yang terbuat dari
baja murni itu dalam gebrak terakhir ini telah, terpapas putus ber-
keping2 oleh Ih-thiankia m, yang tinggal hanya gagangnya yang
masih terpegang di tangannya. Meski kehilangan senjata betapapun
Tang Cu-cin seorang ge mbong persilatan yang cukup
berpengalaman, ia tahu meski ka lah, paling2 ka lah oleh karena
senjata pusaka yang lebih tajam, kalau sekarang dirinya tidak
mundur, hanya bertangan kosong terang lebih2 bukan tandingan
lawan. Maka tanpa sangsi segera ia me lejit mundur sejauh mungkin.
Sejak turun tangan tadi marah Thay-siang sudah berkobar,
apalagi setelah sekian la ma masih belum berhasil merobohkan
lawan yang satu ini, hatinya tambah murka, sekali bentrok senjata
dia berhasil menghancurkan pedang lawan, sudah tentu
kesempatan baik ini tak di-sia2kan. Seka li tangan berputar sambil
masih tetap meluncur ke depan sehingga cahaya pedangnya ikut
me manjang di udara mengejar ke arah Banhoa-kia m.
Cukup cepat Banhoa-kia m mengundurkan diri, tapi cara Thay-
siang mengejar sa mbil meluncur ini merupa kan hasil ge mblengan
tiga puluh tahun, Sin liong-jut-hun, salah satu jurus dari Hwi-liong
kia m-hoat yang dia lancarkan ini boleh dikatakan sudah mencapa i
puncaknya. Kecepatan cahaya pedang yang mengejar itu sungguh
sukar dibayangkan.
Padahal Ban hoa-kia m Tang Cu-cin sudah mundur setornbak
lebih, belum lagi kedua ka kinya berdiri tegak, cahaya ke milau sinar
pedang tahu2 sudah menerjang tiba menghuja m ke dadanya.
Untung pada saat gawat ini sebagai seorang ahli pedang meski
menghadapi bahaya dia tetap tidak menjadi gugup, sedetik sebelum
pedang lawan kena sasarannya, tangan kanannya cepat menolak
keluar serta mengebutkan secarik kain bajunya sendiri yang dia
robek untuk senjata terus diayun ke depan menyongsong
kedatangan pedang.
Selama hidup ini dia meyakinkan ilmu pedang, betapa tinggi
kepandaian serta Lwekangnya, dengan secarik kainpun cukup
ampuh dan tidak kalah hebatnya dibanding sebilah pedang. De mi
me mpertahankan jiwa, sudah tentu bukan kepalang tenaga yang dia
kerahkan sehingga ka in di tangan itupun menjadi kaku keras.
Sayang sekali pedang Thay-siang justeru adalah Ih-thiankia m
yang tajam luar biasa, jangankan hanya secarik ka in, umpa ma
pedang baja murni juga tak kuat menahannya. Sudah tentu hal
inipun cukup dimengerti oleh Ban hoa-kia m, tapi keadaan sekarang
teramat gawat dan mendesak, terpaksa sekenanya dia berusaha
menahan dan menangkis de mi kesela matannya.
Kejadian berlangsung da la m sekejap saja, paderi La ma berkasa
merah yang sejak tadi me nonton diluar gelanggang, de mi melihat
Banhoa-kia m menghadapi bahaya sembari melompat mundur,
sementara Thay-siang mengejar dengan serangan maut, tiba2 ia
menggerung keras, kontan dia ayun sebelah tangannya menepuk
dari kejauhan ke punggung Thay- siang.
Gerakan tiga pihak boleh dikatakan dila kukan dala m wa ktu yang
sama, semuanya sama cepat lagi, apalagi Thay-siang terlalu
bernafsu melukai musuh, sudah tentu tak terpikir bahwa orang lain
bakal me mbokong dirinya.
Tabasan pedang berlalu, darahpun muncrat berhamburan,
lengan kanan Ban hoa kia m kena ditabas kutung sebatas pundak.
Beruntung dia, masih sempat mengegos dengan segala
ke ma mpuannya di sa mping kain lengannya berhasil menahan
sebagian kekuatan tabasan lawan, badan roboh terus
mengge linding jauh ke sana.
Waktu Thay-siang mengenda likan luncuran pedang melukai
musuh, saat itu pula terasa pundaknya mendadak ditepuk orang.
Inilah se maca m pukulan yang tidak ke lihatan bentuknya, datangnya
juga tak menge luarkan suara, padahal tubuhnya tengah terapung,
laksana anak panah yang me luncur dan tak mungkin dihentikan.
Setelah pedang menabas musuh dan kaki hinggap di tanah, baru dia
merasakan akan serangan gelap dari musuh tadi, pukulan yang
mengenai pundaknya tadi meski terasa enteng malah seperti tidak
terasa, tapi luka dala mnya hakikatnya sudah teramat berat. Inilah
ilmu Toa-jiu-in dari aliran Ih-ka-bun (Yoga).
Kalau orang la in merasakan luka dala mnya sangat parah, tentu
akan berusaha mengerahkan tenaga untuk menye mbuhkan luka
dalam sendiri, dengan be kal dan latihan Thay-siang, ke mungkinan
luka2nya masih terobati dan jiwa bisa tertolong. Tapi dasar
wataknya angkuh, keras hati dan suka menang, sela manya dia
pandang rendah orang la in, sudah tentu dia tida k peduli a kan
keadaan diri sendiri dan ingin menuntut balas. Begitu kaki hinggap
di tanah, mengikuti putaran pedang tiba2 badanpun mengisar balik,
mata2nya mendelik beringas di balik cadarnya, hardiknya keras:
"Kaukah yang me mbokong Losin."
Lama kasa merah yakin Toa jiu-insinkang yang dilancarkan tadi
umpa ma lawan t idak ma mpus seketika juga pasti terluka parah,
paling tidak isi perutnya remuk dan takkan ma mpu bertempur lagi,
kenyataan Thay-siang masih kelihatan segar malah menantang. Dia
bergelak tertawa, serunya: "Tidak salah, pukulan tadi me mang hud-
ya yang melancarkan."
"Bagus sekali," desis Thay-siang murka. Mendadak ia melejit ke
atas terus menerjang musuh.
Bahwa setelah terkena pukulannya, Thay-siang masih ma mpu
me lejit ke atas melancarkan serangan sehebat ini, keruan tidak
kepalang kejut La ma kasa merah, lekas dia ayun tangan kanan serta
menepuk sekuatnya. Ilmu yang diyakinkan adalah ilmu Yoga,
Lwekangnya sangat tangguh, tepukan yang dilandasi kekuatan
besar ini terang berbeda dengan pukulan me mbokong tadi. Maka
segulung tenaga dahsyat segera menerjang lapisan sinar pedang..
Agaknya dia tidak tahu bahwa Thay-siang sudab kalap, jurus
yang dilancarkan ini adalah "Naga ber-tempur di tegalan", jurus
kedua dari Hwi-liong-kia m-hoat. merupakan jurus pa ling kuat; dari
paling hebat perbawanya.
Cahaya pedang ber-lapias kemilau itu tiba2 berubah bintik2
dingin laksana kunang2 beterbangan mengha mbur ke e mpat
penjuru. Setelah melancarkan dua ka li pukulan, La ma kasa merah
sudah menyurut mundur cukup jauh, tapi dua muridnya berdiri di
kanan-kirinya tadi justeru terlambat bergerak, di mana sinar pedang
berhamburan, seketika terdengar dua kali jeritan ngeri dibarengi
darah muncrat ke mana2, kedua orang ini tertabas menjadi ber-
keping2 oleh sa mberan sinar pedang.
Waktu Thay-siang menarik pedangnya, dilihatnya Lama kasa
merah sudah mundur setombak jauhnya, maka dia menghardik
pula: "Ke mana kau akan lari?" Ke mbali dia menubruk maju.
Sungguh mimpipun La ma kasa merah tak pernah menduga
bahwa Thay-siang begini lihay, dengan mata sendiri dia saksikan
kedua muridnya hancur lebur, ia menjadi murka juga, teriaknya
kalap: "Hud-ya takkan me mberi a mpun pada mu!" Belum habis
bersuara, kedua tangan sudah me mukul tiga ka li secara beruntun.
Tiga pukulan ini dilancarkan dengan hati berang, maka kekuatan
pukulannya betul2 dahsyat sehingga badan Thay-siang yang
menerjang dengan terapung di udara juga sedikit tertahan.
Waktu Thay-siang menubruk kedua kalinya, kemba li La ma kasa
merah me lontarkan pukulannya pula, badan Thay-siang tertolak
berhenti.
Beruntun tiga kali Thay-siang berlompatan, di kala melancarkan
serangan ketiga kalinya, jaraknya dengan Lama kasa merah tingga l
beberapa kaki lagi, tiba2 ia meloncat lurus ke atas, mendadak ia
berteriak nyaring mena mbah perbawa serangannya, dengan kepala
di bawah dan kaki di atas dia menukik dengan tubrukan yang lihay,
Ih-thiankia m ditangannya menaburkan cahaya perak yang
me mbendung ja lan mundur La ma kasa merah.
Kaget dan gusar pula La ma kasa merah, beruntun dia mundur
tiga langkah, kedua tangan memukul ke atas susul menyusul,
karena bertangan kosong, telapak tangannya yang lebar dan besar
itu menyerupai ka mpak yang me mbelah sehingga menimbulkan
letupan hawa yang dahsyat, letupan hawa ini semakin tebal
menghimpun hawa dingin yang -me mbungkus sekujur badannya.
Maka tubrukan sinar pedang Thay-siang dari atas itu dapat
ditolaknya ke mba li.
Kalau yang satu mengge mpur sekuat tenaga dan bertahan
dengan kukuh, se mentara yang lain menyerang dengan cara
menubruk seperti e lang menya mber ayam, sinar pedang berpusar
kencang, kedua pihak bertahan kira2 setanakan nasi la manya dan
masih tetap setanding.
Kepala gundul La ma kasa merah sudah ditahuri but iran keringat,
badanpun basah kuyup seperti kehujanan, padahal Thay-siang
harus melancarkan serangan dengan badan terapung. sudah tentu
dia jauh lebih banyak menguras tenaga, lama2 sinar pedangnya
menjadi gura m dan tida k selihay se mula.
Melihat kese mpatan baik ini, mendadak La ma kasa merah
menghardik sekali, sekuatnya dia kerahkan tenaga dan
mengge mpur dengan merangkap kedua telapak tangan mendorong
ke atas.
Dengan rangkapan kedua tangan mendorong ke atas ini, ma ka
timbullah kekuatan yang dahsyat, hawa serasa meluber
menimbulkan deru yang gegap ge mpita. Pada saat yang sama Thay-
siang pun menjerit melengking, suaranya mengalun menimbulkan
gema panjang, cahaya pedangnya yang hampir pudar tadi t iba2
menyala pula lebih terang, berubah selarik bianglala terus
me mbe lah turun ke bawah.
Kedua piha k sere mpak me lancarkan serangan paling dahsyat
yang me matikan dengan se luruh sisa kekuatan sehingga sinar
pedang dan angin pukulan menimbulkan rentetan suara aneh. Lekas
sekali sinrar pedang dan angin pukulanpun sirna tak berbekas lagi.
Setelah melontarkan pukulan terakhir dengan sisa kekuatannya,
Lama kasa merah cepat2 melompat mundur, Kasa merah yang
dipakainya ta mpak berlubang dan sobek di beberapa tempat oleh
tusukan dan goresan pedang, keadaannya tampa k konyol.
Thay-siangpun sudah berdiri tegak di tanah, rambutnya awut2an,
cadar yang menutup mukanya sudah kabur entah ke mana, roman
mukanya me mbesi hijau. Kedua orang sa ma2 mengunjuk rasa le lah
kehabisan tenaga, dada naik turun dengan napas tensenggal2.
Sesaat mendelik kepada La ma kasa merah, akhirnya Thay-siang
bersuara lebih dulu: "Anjing asing, berapa jurus lagi kau ma mpu
menya mbut pedangku?" Sekali berputar, sinar hitam Ih-thiankia m
ke mbali menerjang maju. Hwi-liong-sa m-kia m ha kikatnya sudah dia
yakinkan dengan se mpurna, maka setiap kali melancarkan
serangan, badan selalu melayang di udara, menambah perbawa
serangan sehingga lebih hidup laksana naga sakti.
Dua gebrakan terdahulu sudah meyakinkan La ma kasa merah
bahwa Lwekang Thay-siang tidak lebih unggul dari pada dirinya,
kalau lawan tidak me nggunakan Ih-thiankia m, pedang pusaka yang
lihay, dia yakin dirinya pasti lebih unggul dan sejak tadi sudah
merobohkannya. Tapi setelah berlangsung dua gebrakkan barusan,
dia insaf bahwa tenaga murni sendiri sudah terkuras terla mpau
banyak, untuk bertempur lebih la ma je las keadaan fisiknya tidak
mengizinkan, ma ka dia pikir akan secepatnya mengakhiri
pertempuran ini dengan rangsakan gencar.
Di luar dugaan Thay-siang juga mengandung ma ksud yang sa ma,
ma lah terus mendahului, kali ini dengan jurus "naga sakti muncul
dari mega," hal ini betul2 di luar perhitungannya, maka dia
me mbentak gusar: "Biar Hud-ya mengadu jiwa dengan kau!"
Dengan telapak tangan kiri beruntun dia me mukul dua ka li,
berbareng badan berkisar ke sebelah kiri.
Sinliong-jut-hun dilancarkan Thay-siang dengan segala
ke mahirannya, tekadnya teramat besar untuk me mbelah badan
paderi asing ini untuk mela mpiaskan denda mnya, jelas kekuatan
pedangnya yang tajam ini takkan ma mpu dibendung hanya dengan
dua kali pukulan telapak tangan.
Ketika sinar pedang me mbelah tiba, La ma kasa merah sudah
menyingkir mundur, tangan kanan sejak tadi telah disiapkan
me lontarkan pukulan Toa-jiu-in, sekali me mbalik dengan gerakan
me lintang miring tangannya menyampuk ke arah Thay-siang yang
menubruk tiba, berbareng ia menyeringai dan me mbentak:
"Perempuan bangsat, lihat pukulan. . ."
Dia kira dengan menyurut mundur beberapa kaki sudah cukup
jauh untuk menghindari hawa pedang Thay-siang. Di luar tahunya
bahwa Sinliong-jut-hun yang dike mbangkan Thay-siang kali ini
dilontarkan dengan badan terapung diudara, tapi karena sudah
menjiwai ilmu pedang ini, maka gaya serang-annya dapat dia ubah
sesuka hati sendiri, ma ka badan yang seharusnya terapung ke atas
kini di ubah dengan meluncur ke depan. Pada hal dengan meluncur
lurus ke depan inipun baru merupakan gaya permulaan dari
Sinliong-jut-hun, dan gerak susulannya adalah melancarkan
serangan dari udara. Dari sinilah diperoleh na ma Hwi-liong-sa m-
kia m Hwi-liong atau naga terbang, karena ketiga jurus ini harus
dilancarkan dengan badan terapung di udara.
Begitu meluncur tiba, melihat La ma kasa merah mengegos ke
samping, diam2 Thay-siang menjengek, badan tiba2 berputar,
berbareng pedangpun bekerja. Kejadian bagai percikan api cepatnya
dan sukar disaksikan dengan mata, tampak pancaran sinar hijau
ke milau menyapu dengan dahsyatnya.
Lama kasa merah tak se mpat berke lit lagi, terdengar lolong
panjang yang mengerikan, di ma-na cahaya pedang itu menya mber
lewat, badan kekar besar si Lama kasa merah seketika terpental
roboh mandi darah. Kejap lain Thay-siangpun sudah berdiri di
samping mayat La ma kasa merah, nafsu me mbunuh yang menghiasi
wajah Thay-siang sudah sirna, kini kelihatan pucat pias, untuk
berdiripun dia harus bertopang pada pedangnya, dadanya turun
naik menghe mbuskan napas berat dan sesak, terdengar ia
berguma m: "Anjing asing, akhirnya kau ma mpus dipedangku! "
Suaranya serak lirih dan le mah, badannya bergoyang dan akhirnya
iapun roboh terjungkal.
Sementara itu, dengan sebilah pedang panjangnya Yong King-
tiong sedang menunjukkan ketangkasannya, beruntun dia
me lancarkan Thianlo-kia m-hoat dari Kunlunpay yang telah lama pu-
tus di kalangan Kangouw, kee mpat Houhoat Hek-liong-hwe telah
dijagalnya satu persatu, jubah hijaunya berlepotan darah. demikian
pula jenggot dan mukanyapun basah dan kotor oleh keringat
tercampur percikan darah musuh.
Delapan jago pedang He k liong hwe yang me nonton di luar arena
sama berdiri me matung dengan terbelalak, agaknya mereka takjub
dan jeri melihat kehebatan Congkoan mereka, tiada seorangpun
yang berani maju lagi.
Tiga kelompok pertempuran sengit yang ber-langsung di pinggir
"kola m naga hitam" kini dua kelompok di antaranya sudah berakhir.
Kini tinggal Thi-hujin yang masih mene mpur Han Janto dengan
segala kekuatannya, makin gebrak makin seru dan ra mai.
Maklumlah kedua orang ditelurkan dari satu perguruan, sama2
hasil didikan Lohwecu yang tidak pilih kasih, apa yang diyakinkan
Han Janto juga diyakinkan Thi-hujin, de mikian pula sebaliknya,
bergantung dari latihan dan pena mbahan variasi masing2 saja yang
berbeda, apalagi taraf permainan mereka sudah sama2 mencapa i
puncaknya.
Ratusan jaurus kemudian, mereka tetap bertahan sama kuat.
Sudah tentu Thi-hujin lebih diburu nafsu untuk merobohkan lawan
demi menuntut balas sakit hati sang suami, ma ka dia lebih getol
menyerang, suatu ketika mulutnya melengking nyaring, sekujur
badan seperti dibungkus sinar pedangnya terus menusuk lurus ke
depan. Yang di-lancarkan ini sudah tentu adalah Sinliong-jut-hun,
salah satu dari Hwi-liong-sam-kia m.
Melihat lawan menggunakan Hwi-liong-sa m-kia m, sudah tentu
Han Janto tidak berani ayal, iapun bersiul panjang, badanpun
terbungkus bayangan hitam gelap me la mbung ke atas, yang dia
ke mbangkan juga jurus Sinliong-jut-hun.
Dua larik sinar pedang yang satu mencorong terang dan yang
lain gura m gelap menjulang tinggi ke udara, seperti bianglala yang
mene mbus tabir matahari.
Mendadak terdengar dering nyaring benturan kedua senjata,
percikan apipun bertahuran menghias angkasa. Dua sosok
bayangan orang sama me luncur turun, terpancar cahaya terang
laksana rantai perak disertai benturan nyaring me meka k telinga.
Sekonyong2 selarik bianglala ke mba li menjulang ke udara disusul
bianglala kedua juga me la mbung ke atas, di tengah udara kedua
jalur biangla la saling bentur dan gubat menimbulkan gema suara
yang ramai. Untuk merebut kese mpatan kedua orang berusaha
saling mendahului, Hwi-liong-sam-kia m me mang ilmu pedang yang
harus dilancarkan dengan badan mengapung, tapi pelajaran yang
diyakinkan keduanya, sama2 bersumber dari satu perguruan, ma ka
bila yang satu me la mbung ke udara, lawannyapun ikut mengapung
ke udara, salah satu tiada yang mau me ngalah.
Begitulah dari permukaan bumi kedua orang berte mpur sa mpai
ke udara, dan dari udara kembali berhanta m di atas tanah,
keduanya masih terus serang menyerang mengembangkan tipu
permainan masing2, tapi tiada yang lebih unggul atau asor,
kekuatan tetap seimbang.
Karena keduanya belajar dari satu sumber, betapapun banyak
ragam perubahan ciptaan masing2, tetap tidak kelihatan lebih
menonjol daripada yang la in, se-olah2 mereka seperti sedang
latihan belaka, sedikitpun tidak kelihatan letak kehebatan mereka,
jadi pertempuran adu jiwa yang sengit ini justeru tiada seorangpun
yang ma mpu mengungguli lawan serta merobohkannya. Kini
keadaan semakin tegang, sekarang hanya soal Lwekang siapa yang
lebih asor dan tak tahan, dia yang akan roboh lebih dulu dan itu
berarti jiwa akan melayang.
Bagi orang lain yang menyaksikan pertempuran adu jiwa ini
kelihatannya amat menakjubkan dan me ngerikan, terutama dering
benturan senjata kedua orang yang bergelombang me mekak telinga
sungguh sangat mengganggu perasaan orang, jantung serasa mau
me loncat keluar.
Dengan mendelong Kun-gi mengikuti pertempuran sengit ibunya
yang melabrak Han Janto, sudah tentu hatinyapun sudah getol
menuntut ba las ke matian ayahnya, tapi dia lebih prihatin a kan
keselamatan ibunya. Semakin me muncak perte mpuran itu, begitu
tegang sehingga napaspun terasa sesak.
Disa mping itu iapun menerawang serta menyela mi jurus No-
liong-bankhong (naga murka melingkar di udara) jurus ketiga dari
Hwi-liong-kia m-hoat, bila diubah menjadi jurus ketujuh seperti lu-
kisan yang dit inggalkan oleh Tiong-yang Cinjin di dinding gua itu,
dikala badan terapung dan me lancarkan serangan badan berputar
ke kiri, gaya pedang ditekan ke bawah, maka dengan mudah
pedang akan menusuk Hiat-to tertawa Han Janto yang terletak
dipinggang kanan. Sebaliknya bila diganti dengan jurus kese mbilan,
ujung pedang sedikit ditarik serta menyongkel ke atas, iapun akan
berhasil menusuk tenggorokan Han Janto, sasaran yang me matikan.
Secara diam2 dia ikut i pertempuran ini sa mbil putar otak gambar
peninggalan Tiong-yang Cinjin di dinding gua yang sembilan jurus
itu semuanya dilancarkan dengan badan terapung, sejak mula i jurus
pertama terus, berlanjut sampai jurus kese mbilan seperti berkelebat
dalam benaknya, terasa bila dirinya sendiri yang mengguna kan
jurus2 ilmu pedang itu, cukup lima jurus saja pasti dirinya dapat
me mbinasakan Han Janto.
Tapi ibunya justeru melarang dia turun tangan, soalnya sejak dua
puluh tahun yang lalu beliau sudah bersumpah akan menuntut balas
ke matian sua minya dengan kedua tangan sendiri.
Dika la dia menonton dengan terpesona, tiba2 jeritan menyayat
hati menyentak lamunannya, Karena terkejut Ling Kun-gi berpaling,
dilihatnya sekali tabas Thay-siang telah berhasil me mbunuh La ma
kasa merah, dia bertopang dengan batang pedangnya, mukanya
pucat pasi. Malah badannya mulai se mpoyongan dan akhirnya jatuh
terkulai.
Kun-gi me lompat ke sana serta berjongkok di sa mping orang.
Yong King-tiong juga ikut me mburu maju, menyaksikan keadaan
Thay-siang seketika dia me ngerut kening, katanya lirih: "Luka2
Jikohnio agaknya cukup parah."
"Apakah Lopek tahu di mana letak luka2 Thay -siang?" tanya
Kun-gi.
"Pasti anjing asing ini, meyakinkan ilmu Yoga, kemungkinan
Jikohnio terkenan Toa-jiu-in."
Lekas Kun-gi papah Thay-siang, tangan kiri mene kan Ling-tai-hiat
di punggung orang, pelan2 dia salurkan hawa murni ke tubuhnya.
Betapa tangguh Lwekang Thay-siang, cukup mendapat sedikit
bantuan tenaga dari luar sebagai pendorong hawa murni sendiri,
dengan lekas sekali orangnya setengah pingsan segera siuman serta
me mbuka mata. Melihat Kun-gi lagi menyalurkan tenaga murni ke
tubuhnya, agaknya dia amat terharu dan manggut2, katanya tak
bertenaga: "Nak, kaukah ini."
"Jangan Thay-siang berbicara ........."
"Nak, tak usah kau membuang tenaga, lepas tanganmu, aku
masih kuat bertahan."
"Luka2 Thay-siang tidak ringan, tapi dengan landasan kekuatan
sendiri sela ma puluhan tahun ini, asal berhasil menuntun hawa
murni ke tempatnya semula, setelah beberapa kejap bersemadi,
dengan cepat kesehatan Thay-siang pasti akan se mbuh."
"Me mang betul, apa yang kau maksud aku sudah tahu, tapi Losin
dua kali terkena Toa-jiu-in keparat gundul itu, keduanya mengenai
tempat fatal di tubuhku, keadaanku cukup parah dan tak berguna
lagi, tak usah kau me mbuang hawa murnimu, hentikanlah,
mumpung keadaan Losin be lum me mburuk, masih ada omongan
yang hendak kubicarakan dengan kau."
Tapi Kun-gi tida k segera lepas tangan, katanya: "Apakah Thay-
siang tidak berusaha menyembulikan diri?"
"Tak usah banyak bicara nak, dua tempat isi perutku sudah
hancur, umpa ma ada obat dewa juga tiada gunanya, syukur aku
masih kuat bertahan berkat peyakinan Lwekang selama puluhan
tahun, hawa murniku belum lagi buyar, beberapa kejap aku masih
kuat bertahan, umpa ma kau bantu me nyalurkan hawa murni juga
tiada gunanya. Sebelum ajal ini, Losin ingin bicara dengan kau,
waktu a mat mendesak, lekaslah duduk di sa mpingku."
Yong King-thong dapat me lihat air muka Thay-siang sudah mulai
berubah, lekas dia menimbrung: "Ling-kongcu, Jikohnio ingin bicara,
lekas kau berhenti saja."
"Thay-siang . ." dengan ragu2 akhirnya Kun-gi menarik tangan.
Lwekang Thay-siang me mang amat tinggi, meski Kun-gi tarik
tangan menghentikan saluran tenaga dala m, hakikatnya tidak
me mbawa pengaruh besar bagi keadaannya, mukanya me mang
amat pucat, katanya menukas: "Nak, jangan me manggilku Thay-
siang, aku adalah bibimu, kau panggil a ku bibi saja."
Terasa oleh Kun-gi, perempuan yang berwatak keras sejak muda
sampai lanjut usia ini, kini keadaannya betul2 sudah parah, walau
orang berhati keji, untuk me mbunuhnya tak segan2 dia
mengorbankan banyak jiwa orang la in, tapi apapun yang telah
terjadi, jelek2 dia adalah adik kandung ibunya, apalagi keadaannya
sekarang ibarat dian yang sudah kehabisan minyak. Maka pelan2
Kun-gi berlutut, mulutpun berteriak haru tersendat : "Bibi! "
Thay-siang tertawa haru, katanya: "Anak baik, bibimu berbuat
salah terhadap kakek luarmu, mengingkari ayah bundamu, demikian
pula terhadap kau . . ."
"Kejadian yang sudah la lu, biarlah tak usah diungkat ke mbali, bibi
tak usah bicara urusan ini lagi."
"Orang menje lang ajal, apa yang dikatakan adalah bajik,
perbuatanku dulu yang me mang tida k dilandasi cinta kasih dan
kebajikan, sekarang menjadi penyesalan yang a mat mendala m."
Setelah Kun-gi menghentikan tambahan hawa murni, kalau Thay-
siang tidak menggunakan tenaga, berkat latihannya puluhan tahun
dia masih kuat bertahan beberapa kejap lagi, tapi setelah berbicara
beberapa patah, lambat laun terasa keadaannya sema kin gawat.
Agaknya hawa murni dala m tubuhnya mulai buyar sehingga
suara yang keluar dari kerongkongan pun menjadi le mah dan lirih,
tapi dia masih berusaha berbicara: "Nak, kau sudah masuk ke He k-
liong-ta m, sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiong-yang
Cinjin yang terukir didinding pasti sudah kau pelajari dengan ba ik,
Ih-thiankia m ini diperoleh ka kek luarmu di dala m ka mar batu
didasar kola m itu, hanya pedang inilah yang bisa menge mbangkan
sembilan jurus ilmu pedang itu hingga puncaknya, lekaslah kau
terima . . . . " sampai di sini mendadak dia ter-batuk2, napaspun
ter-sengal2.
Pada saat itulah, terdengar benturan nyaring senjata me mekak
telinga dan me nggetar sukma, tanpa tertahan Kun-gi menoleh,
dalam beberapa kejap ini, ternyata ibunya sudah terdesak di bawah
angin.
Pedang panjang di tangan Hati Janto dimainkan sesakti naga
hidup, sinar pedangnya yang semula redup kini mula i menyala
meski tetap re mang2, sementara ibunya masih bertahan mati2an,
permainan me mang masih teratur, tapi mau tidak mau dia menjadi
cemas juga.
Mendelong pandangan Thay-siang yang sudah pudar, katanya
lirih: "Na k, jangan hiraukan aku, lekas maju ke sana, Toaci bukan
tandingan Han Janto, hanya Ih thiankiam yang dapat menundukkan
dia . . . . : "
Sambil mengawasi Thay-siang, Kun-gi ragu: "Tapi, bibi . .. .. "
Kata Thay-siang dengan ter-senggal2: "Jangan hiraukan aku, aku
akan segera mangkat . . . .O. nak, masih ada satu hal, semula aku
ingin menjodohkan Bok-tan padamu, Bok-tan anak baik, tapi kalau
kau suka So-yok, aku juga tidak menentang, boleh kau pilih dan
putuskan sendiri, di antara kedua anak ini, kau harus pilih sa lah
satu, kelak setelah punya anak, jangan lupa berikan satu di
antaranya untuk marga Thi supaya tidak putus turunan . . . ."
Kembali suara benturan nyaring me meka k telinga, terdengar Han
Janto tertawa latah: "Thi Ji-giok, berapa jurus lagi kau ma mpu
menandangi aku?"
Bergetar hati Kun-gi, pelan2 Thay-siang ulur tangannya yang
gemetar, katanya gugup: "Nak . . . . lekaslah . . . . "
Pelan2 Ling Kun-gi merebahkan Thay-siang, katanya: "Bibi
istirahat saja, keponakan pasti . . . ."
"Ingat pesanku," ucap Thay siang le mah, "setelah kalian punya
anak . . . . aku ingin me mungut satu . . . "
Kun-gi mengangguk dengan berlinang air mata, tak sempat
bicara lagi, dia jemput Ih-thiankia m terus melompat ke sana. Ih-
thiankia m berubah selarik sinar hijau me luncur di tengah udara
sambil berteriak keras: "Bu, biar anak yang me mbereskan bangsat
durjana ini."
Putaran pedang Han Jan to yang kencang itu sudah bikin Thi-
hujin terdesak di bawah angin, dia mengejek sambll tertawa
senang: "Bagus, kalian ibu dan anak boleh maju bersama, supaya
menghe mat wa ktu dan t idak me nghabiskan tenagaku."
Sebagai seorang yang sudah kenyang mencicipi asa m gara mnya
percaturan Kangonw, baru habis kata2nya, seketika dia merasakan
keganjilan dari sa mberan sinar pedang Ling Kun-gi, belum lagi
lawan menerjang tiba, hawa pedang yang dingin tajam terasa sudah
mence ka m perasaannya. Sudah tentu dia kenal baik Ih-thiankia m di
tangan Ling Kun-gi yang tajam luar biasa ini. Keruan mence los
hatinya. pikirnya: "Kepandaian silat bocah ini ternyata tidak lebih
asor dari ibunya." Sebat sekali dia berkisar ke sa mping, berbareng
pedangnya menabas miring.
Ilmu pedangnya boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan
tertinggi, ma ka perhitungan waktunya sudah tentu a mat tepat,
begitu tebasan pedang terayun ke depan, pada saat itu pula Ling
Kun-gi akan hinggap turun di tanah, malah da la m waktu yang sama
pula dia berhasil menghindarkan ancaman pedang Ling Kun-gi
dengan berkelit ke sa mping. Walau tebasan pedang itu dilancarkan
sambil berkelit, tapi deru angin pedangnya ternyata keras sekali.
Dika la me layang turun tadi. Kun-gi sempat mengegos kesa mping,
namun dia toh merasakan tekanan hawa perdang musuh, hawa
murni pelindung badannya me mperlihatkan kea mpuhannya,
pakaiannya tampak mele mbung, mau tidak ma u ia terkejut juga,
batinnya: "Keparat ini me mang lihay,"
Begitu Kun-gi hinggap di tanah, Thi-hujin lantas tanya dengan
gugup: "Nak, bagaimana keadaan adik?"
"Lekas ibu menengoknya, bibi terluka parah, mungkin tak
bertahan lagi," sahut Kun-gi.
Tersirap darah Thi-hujin, teriaknya: "Baik, hadapi dia dengan
baik, lebih baik kalau kau bekuk hidup2, ibu akan jaga bibimu."
Cepat dia me mburu ke te mpat Thay-siang merebahkan diri.
Han Jan to menyeringai, serunya: "Lihat pedang, anak muda!"
Sekali berkelebat bayangannya, orangnyapun mendesak maju,
selarik sinar ke milau langsung me mbelah.
Pedang Kun-gi pelan2 didorongnya ke depan, mulutnya
me mbentak: "Orang she Han, ibu berpesan untuk me mbe kukmu
hidup2, kalau tidak dala m beberapa jurus saja pasti kubereskan jiwa
anjingmu ini."
"Anak bagus," teriak Han Janto ter-gelak2, "agaknya kau lebih
congkak daripada bapakmu ....."
Mendengar orang menyinggung ayahnya, semakin berkobar
dendam Kun-gi, sekali menghardik, pedang dia pindah ketangan kiri,
dengan sengit ia mencecar dengan serangan maut. Dengan pedang
di tangan kiri, dia coba menge mbangkan ilmu pedang Tat-mo-kia m-
hoat secara kidal, pedangnya me mancarkan cahaya dingin,
rangsakannya sengit dan ketat. Tat-mo-kia m-hoat ajaran Siau-lim-s i
me mang terkenal ketat, kini dima inkan secara kidal oleh Ling Kun-
gi, permainan yang serba berlawanan dengan aslinya ini kelihatan
lebih aneh dan banyak ragamnya, orang sukar berjaga dan meraba
arahnya.
Mengingat pesan ibunya tadi agar me mbekuk lawan ini hidup2,
maka dia kombinasikan juga per-ma inan telapak tangan kanan
dengan Cap-ji-kim-liong jiu yang lihay, jari2 tangan kadang2
menutuk mencengkeram, me megang, menarik, menyodok dan
maca m2 gerakan lain yang diincar adalah Hiat-to Han Janto.
Perubahannya serba aneh dan lihay.
Han Janto terhitung ahli pedang juga, kapan dia pernah
menyaksikan atau berhadapan dengan lawan yang ma in pedang
secara kidal? Yang dimainkan justeru berlawanan dari ilmu pedang
aslinya?. Karena belum mene mpatkan diri pada posisi yang
meyakinkan, dia terdesak mundur, batinnya: "Apa yang dimainkan
bocah ini pasti ilmu pedang ciptaan Hoanjiu-ji-lay, sungguh aneh
dan lihay," Hati berpikir se mentara pedangnya bergerak melingkar2,
di sa mping bertahan iapun berusaha balas me nyerang, rangsakan
Ling Kun-gi yang aneh2 ternyata dapat ditandingi dengan sengit
pula.
Puluhan gebrak ke mudian Han Janto menjadi hilang sabar,
sambil mengeluarkan suara aneh, mendadak ia meloncat ke udara
sambil pedang terayun, pedang berubah sejalur bayangan hita m
menjulang tinggi ke udara. Diam2 Kun-gi tertawa dingin, iapun tidak
mau ketingga lan, sekali pedang menggaris iapun enjot tubuh melejit
ke atas.
Padahal Han Janto sudah tiga tombak di udara, melihat Ling Kun-
gi juga meniru perbuatannya, diam2 ia bergirang dan menyeringai.
Karena kali ini dia mela mbung lebih dulu, Kun-gi mengejar
selangkah agak terlambat. Dikala Han Janto mencapai ketinggian
tiga tombak, Kun-gi baru mencapa i dua tombak, sudah jelas
posisinya lebih menguntungkan. Pada keadaan yang
menguntungkan inilah mendada k dia putar haluan, dengan menukik
dengan kepala di bawah dan kaki di atas, pedang hitam di
tangannya melingkar2 me mbawa bayangan hitam bagai ja la
menyebar ke empat penjuru, kepala Ling Kun-gi menjadi sasaran
langsung.
Thi-hujin yang menyaksikan di sebelah sana menjadi kaget,
teriaknya gugup: "Awas anak Gi" Maklum, di tengah udara orang
sukar bergerak leluasa seperti di atas tanah, sekali kesempatan di
dahului lawan, maka awak sendiri akan menjadi bulan2an.
Bagai percikan lelatu api singkatnya, dikala Kun-gi menjulang ke
atas mencapai ketinggian dua tombak, badannya yang masih terus
menerobos na ik itu mendada k me liuk minggir terus menerjang dari
samping, secara tepat dan indah dia berhasil me nghindarkan jaring
pedang Han Jan to yang lihay.
Seperti diketahui Han Janto buru2 me nukik turun ketika dia
mencapai ketinggian tiga tombak ma ka terjangan Ling Kun-gi dari
samping ini bukan saja berhasil meluputkan diri dari serangan
pedang lawan, ma lah sekaligus mengungguli lawan dan berada di
sebelah atas Han Janto.
Hal ini dengan je las disa ksikan oleh Han Janto waktu dia
ke mbangkan serangannya, gaya Ling Kun-gi ternyata amat aneh
dan luar biasa seperti naga sakti yang hidup, tahu2 bayangannya
sudah menerobos lewat lebih tinggi di sebelah atasnya, seketika dia
insaf keadaan berbalik tidak menguntungkannya. Untunglah sela ma
puluhan tahun meyakinkan Hwi-liong-sa m-kia m, ketiga jurus ilmu
pedang ini boleh dikatakan sudah mendarah-daging dengan jiwa
raganya, sudah tentu permainannya dapat terkendali sesuai jalan
pikirannya.
Begitu menga mati gerakan Ling Kun-gi yang aneh, segera dia
me mberatkan badan, seperti burung merpati yang melingkupkan
sayap dan menukik ke bawah, bayangan pedang hita m seketika
kuncup, secepat meteor dia jatuh anjlok ke bawah. Soalnya dia
kuatir Kun-gi bakal menyerang dari atas, maka dia merasa perlu
buru2 melayang turun.
Di luar dugaan Ling Kun-gi tidak lantas menyerang, tapi iapun
mengejar turun pula. Sudah tentu kali ini Han Janto lebih dulu
mencapai tanah. Diam2 dia tertawa dingin, pikirnya: "Bocah
keparat, bila kau lancarkan serangan dari udara mungkin
tuanbesarmu dapat kau ka lahkan, tapi kesempatan sebaik ini kan
sia2kan, ke mbali aku mendahului anjlok ke bawah, nah, sekarang
rasakan pedangku."
Pikiran berjalan tanganpun bergerak, sebelum Kun-gi hinggap di
tanah, mendadak dia menghardik seka li, pedang hitam di tangannya
ke mbali menaburkan jaringan sinar me nggulung ke arah Kun-gi.
Kun-gi belum se mpat hinggap di tanah, mendadak ia ter-gelak2,
bagai angin menghe mbus dahan pohon, tiba2 tubuhnya melayang
ke sana, Ih-thiankia m me mancarkan cahaya hijau me manjang,
bayangan pedang tampak ber-lapis2 balas menyerang dari sebelah
atas.
Betapa hebat dan cepat gempuran kedua pihak ini, begitu cahaya
pedang kedua pihak saling bentrok maka terdengarlah suara
rentetan nyaring benturan senjata. Sesosok bayangan orang tahu2
menerjang keluar dari lingkaran sinar pedang. Itulah Han Janto,
jubah abu2 bersulam naga yang indah itu sudah koyak2 di beberapa
tempat, pedang panjang tiga kaki di tangannyapun telah terpapas
kutung tingga l satu kaki lebih. Setelah mundur beberapa langkah,
mendadak dia menggerung gusar, dia timpukkan pedang kutung
sebagai senjata rahasia mengincar dada Ling Kun-gi.
Begitu kutungan pedang lepas dari tangan, sebat sekali dia putar
tubuh sambil menjejak kedua kaki, bagai burung yang sudah
ketakutan mendengar suara jepretan, cepat2 dia berlari secepat
terbang keluar le mbah.
Jurus tandingan yang dilancarkan Ling Kun-gi dala m gebrak
terakhir ini adalah jurus ke 7 dari ilmu pedang peningga lan Tiong-
yang Cinjin yang terukir di dinding gua itu. Maklum, baru pertama
kali ini dia ke mbangkan, latihan belum matang, apalagi mengingat
pesan ibunya untuk me mbekuk lawan hidup2, maka Han Janto
sempat lolos dari jaringan sinar pedangnya. Kini melihat orang
menyerang dengan pedang kutung sebagai senjata rahasia, segera
ia menya mpuk, "trang", pedang kutung kena diketuk jatuh,
mulutnyapun menghardik:. "Mau lari ke mana?"
Baru saja Kun-gi hendak mengejar, didengarnya seorang
bersuara dengan nada berat berwibawa: "Dia tidak akan lolos."
Sesosok bayangan orang meluncur tiba dan tahu2 sudah mencegat
jalan lari Han Janto, ma lah sekaligus dia lancarkan sekali pukulan
telapak tangan. Pencegat ini adalah Yong King-tiong.
"Yong King-tiong," Han Janto berteriak kalap "berani kau
merintangi aku!" Tangan kanan menyodok se mentara telapak
tangan kiri mengge mpur.
"Blang", telapak tangan kedua orang beradu dengan telak,
masing2 tergentak mundur satu langkah. Betapapun Han Janto
sudah mengala mi pertempuran seru sejak tadi, tenaganya banyak
terkuras karena adu pukulan secara keras ini, dadanya tampak naik
turun, napasnya me mburu.
"Han Janto," bentak Yong King-t iong mendelik, "keadaanmu
sudah payah, lebih baik kau menyerah saja."
Tertampak oleh Han Janto, delapan jago pedang seraga m hitam
berdiri di bela kang Yong King-tiong, se muanya gagah me meluk
pedang, naga2nya mereka sudah dibujuk dan tunduk pada Yong
King-tiong, kini keadaan awak sendiri sudah terpencil, dia tahu
gelagat yang tidak menguntungkan ini. Cepat sekali otaknya
bekerja, tiba2 ia me mbentak: "Pengkhianat bernyali besar,
me mangnya kalian mau berontak?" belum habis bicara, kedua
telapak tangan terangkap, dengan sekuatnya dia mengge mpur
maju, berbareng kaki kanan menendang dada Yong King-tiong.
Dala m seka li gebrak ini tiga jurus serangan sekaligus dilontarkan.
Yong King-tiong tertawa, kedua telapak tadgan berputar ke atas
lalu dari depan dada. pelan2 dia dorong ke depan, dengan jurus Ji-
liong-huncui (dua naga me mbagi a ir), dia berusaha me matahkan
serangan Han Janto, menyusul tubuh mengapung ke atas,
berbareng kaki kanan juga menyepak kaki kanan Han Janto yang
menendang datang. Kedua jarus serangan inipun dilontarkan
secepat kilat. "Blum" "pla k", benturan keras serasa menggoncang
bumi, empat telapak tangan beradu lebih dulu disusul kaki
masing2pun berhanta m. Posisi kedua piha k berbeda, ma ka
kesudahannya segera tampak siapa lebih unggul dan asor.
Selama dua puluh tahun ini Yong-King-t iong tak pernah unjuk
kepandaian aslinya, betapa tangguh Lwekangnya, begitu anjlok
turun dia hanya bertolak mundur selangkah. Tidak de mikian dengan
Han Janto yang sudah mulai le mah, darah serasa ha mpir tumpah
dari mulutnya, tanpa terasa dia terhuyung tiga tindak. Sekuatnya
dia tahan darah yahg hampir menye mbur dan menahan sakit luka2
dalamnya, baru saja dia hendak putar badan, mendadak kedua
pundak terasa pegal kaku, tulang punda k kanan kiri tahu2 telah
terpegang orang, seluruh tenaganya seketika lunglai, mana dia
ma mpu meronta atau melawan lagi?
Maka didengarnya suara Ling Kun-gi me mbentak di belakang:
"Han Janto seharusnya kau tahu, sejak tadi orang she Ling sudah
berada di bela kangmu"
Terdengar seruan Thi-hujin dari sana: "Anak Gi, jaga dia, jangan
sampai dia menggigit putus lidahnya."
Kun-gi berpaling katanya: "Ibu tak usah kuatir, anak tidak akan
me mberi kesempatan padanya untuk bunuh diri." Tangan kiri segera
menutuk Ah-bunhiat di belakang leher Han Janto.
Thi-hujin me ndekatinya, sekali ra ih, dia tarik kedok muka orang,
desisnya dengan menggereget: "Bangsat she Han, dikala kau
menjua l Hek-liong-hwe dulu, pernah kau pikirkan akan nasibmu
seperti sekarang ini?"
Dulu Han Janto berwajah tampan, putih halus, romannya yang
agak kurus dulu kini ta mpak ge muk.
Cuma hidang betetnya yang tidak berubah, tapi bentuk dan rona
mukanya sekarang me mpertebal perasaan orang akan jiwanya yang
culas dan keji.
Kini jiwa raga sudah jatuh ke tangan musuh, Hiat-to tertutuk,
badan lemas lunglai, jangankan melawan untuk merontapun tak
ma mpu lagi, akhirnya dia pasrah nasib me mejamkan mata saja
tanpa bersuara. Sebetulnya memang dia tida k ma mpu bersuara
karena Ah-bun hiat tertutuk.
"Anak Gi," kata Thi hujin, "kau gusur dia marilah, kita ke pusara
ayahmu, secara hidup2 akan kukorek ulu hatinya untuk se mbayang
arwah ayahmu . . . . . . . ." tanpa terasa suaranya tersendat dan
pilu, air matapun bercucuran.
Kun-gi menahan isa k tangisnya, katanya terguguk: "Apakah
pusara ayah berada di sini?"
Dengan berlinang a ir mata Thi-hujin me njawab: "Tidak salah,
ayahmu dikebumikan di le mbah sebelah timur sana."
"Kongcu," Yong King-tiong menimbrung, "serahkan saja. Han
Janto pada mereka." Lalu dia berputar ke arah kedelapan jago
pedang seragam hitam, katanya: "Kalian gusur dia, pergilah ke Say-
cu-kau."
Dua diantara jago pedang itu segera tampil ke depan, bahu
kanan kiri Han Janto dike mpit terus berjalan mendahului didepan.
'Hujin", kata Yong King-t iong, "biarlah Lo-siu berangkat dulu."
Lalu dia mengikuti kedelapan jago pedang itu berangkat lebih dulu.
Kun-gi celingukan ke sekelilingnya, bayangan Thay-siang tidak
kelihatan, tapi di pinggir Hek-liong-ta m sana bertambah satu
gundukan tanah, cepat dia bertanya. "Bu. apakah bibi sudah
wafat?"
Ber-kaca2 mata Thi-hujin, katanya mengangguk: "Adik sudah
mangkat, dua puluh tahun perselisihan dengan ibu, sampai detik2
sebelum ajalnya baru dia sadar dan insaf akan kekhilapannya, dia
punya sebuah angan2, minta supaya kau menya mbung keturunan
keluarga Thi, ibu sudah menerima dan berjanji padanya, ibu juga
termasuk anggota ke luarga Thi, maka adalah pantas ka lau kaulah
yang harus meneruskan keturunan ke luarga Thi . . . . " ia angkat
kepala la lu mena mbahkan: "Mari!ah kita susul mereka."
Kun-gi mengintil di belakang ibunya. Jalan kecil ini berliku dan
belak-belok, seperti berputar di lereng gunung, kecuali lumut yang
licin dan berbahaya, rumput atau tetumbuhan lain tiada yang
bersemi di sini.
Kira2 setengah li jauhnya, setelah me mbelok sebuah pengkolan
pinggang gunung, betul juga tam-pa k di tengah selat gunung yang
diapit dinding cura m menjulang tinggi terdapat sebuah batu nisan.
Yong King-tiong bersa ma kedelapan jago pedang yang menggusur
Han Janto sudah menunggu di depan pusara itu, delapan jago
pedang itu berpencar berjaga terhadap segala ke mungkinan.
Mengikuti langkah ibunya Kun-gi, tiba di depan pusara, tampak di
atas sebuah batu nisan besar bertatahkan huruf yang berbunyi
"Pusara almarhum Hwecu Ling Tiang-hong".
Yong King-tiong menjura kepada Thi-hujin, katanya: "Tempat ini
terselubung dari tiga jurusan, kalau orang2 Hek-liong-hwe
mendengar kabar mungkin bisa me luruk ke mari, hal itu a kan
mendatangkan kesukaran bagi kita. Hujin, Kongcu, sila kan
bersembahyang, Lobsiu a kan bertugas di mulut le mbah sana untuk
menjaga segala ke mungkinan."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Pendapat Yong-congkoan
me mang betul, kalau de mikian bikin capai dirimu saja."
"Hujin terlalu sungkan, ini me njadi tugas dan kewajiban Losiu,"
ucap Yong King-tiong, dua jago yang menggusur Han Janto
ditinggalkan, enam jago pedang yang lain dia bawa naik ke atas
ngarai sana."
"Anak Gi," ucap Thi-hujin, "punahkan saja ilmu silat orang she
Han, baru kau buka Hiat-tonya."
Kun-gi mengiyakan sa mbil mengha mpiri Han Janto, pelan2
telapak tangannya menepuk pundak orang untuk me mbuka Hiat-to
orang, berbareng dua jari tangan kiri secepat kilat menutuk Kui-hay-
hiat. Kontan badan Han Jan to mengejang dan gemetar keras,
sambil meraung keras ia jatuh terguling.
Tanpa me mbuang waktu beruntun Kun-gi unjuk ke mahiran ilmu
tutukannya, cepat sekali ke mbali dia tutuk Pa k-liong dan Bwe liong
kedua Hiat-to ditubuh orang, terakhir dia menutuk pula Pek-hwehiat
di ubun2 kepa la Han Janto.
Seperti balon yang ke mpes Han Janto roboh di tanah, badan
lungla i tak ma mpu bergerak, pelan2 dia angkat kepala, kedua bola
matanya mendelik berwarna merah menatap Thi-hujin, serunya
dengan suara serak: "Thi Ji-giok, kau . . . . . bunuhlah aku. Berilah
aku ke matian secepatnya."
Me mbesi hijau muka Thi-hujin, teriaknya murka: "Me mberi
ke matian secepatnya? Kau keparat yang lupa leluhur, rela menjadi
budak musuh dengan menjua l bangsa dan negara, kau sampah
persilatan, kau mencelakai sua miku, betapa banyak patriot yang kau
bunuh, ingin aku me mbeset kulit mu dan mencacah dagingmu,
syukurlah Thian maha adil, hari ini kau terjatuh di tanganku, akan
kukorek ulu hatimu hidup2 . . . . . . . " maki punya maki amarahnya
semakin me muncak, mendadak ia me mburu maju, ka ki me layang,
muka Han Janto ditendangnya sekali. Bentaknya: "Hayo berlutut,
mintalah a mpun dan a kui segala dosa dan kejahatanmu dulu."
Karena ilmu silatnya sudah punah, Han Janto meraung kesakitan
karena tendangan itu, sesaat lamanya mulutnya masih mengerang
dan merintih, mukanya basah kuyup oleh butiran keringat sebesar
kacang, tiba2 ia merangka k ke depan batu nisan serta bergelak
tertawa dengan mendongak: "Thi Ji-giok," serunya, "kepada siapa
aku harus berlutut? Kau kira di sini kuburan sua mimu?"
Thi-hujin melenggong, tanyanya terkesiap: "Apa? Tulang sua miku
tidak dala m kuburan ini?"
Han Janto menyeringai sera m: "Ketahuilah, ini hanya segundukan
tanah belaka, hakikatnya tiada tulang belulang Ling Tiang-hong."
"Kau bohong," teriak Thi-hujin, "bukankah batu nisan ini sudah
terukir na manya?"
"Kau tahu tempat apakah ini?" jengek Han Janto, "tempat ini
dina makan Say-cu-kau (mulut singa) karena tiga jurusan terkepung
buntu, bisa masuk tapi keluar sukar, me mang sengaja kubuat
kuburan palsu ini untuk menjebak kedatanganmu, dasar kau yang
mujur dan diberkati umur panjang, sela ma ini tidak pernah muncul,
maka kuburan palsu inipun tetap berada di sini."
Dia m2 Kun-gi maklum kenapa Yong King-tiong merasa perlu
hawa enam jago pedangnya untuk berjaga di mulut le mbah di atas
ngarai sana. Tak tertahan dia membentak, gusar: "Keji benar
perbuatan kalian."
"Lalu di mana tulang jenazah sua miku?" tanya Thi-hujin, "di
mana kalian menguburnya?"
"Biar terus terang kuberitahu padamu, Ling Tiang-hong adalah
pengkhianat Hek-liong-hwe dan Hwecu buronan, walau dia sudah
ma mpus, tapi piha k pe merintah tetap harus me meriksa jenazahnya .
..."
Bagai dihunja m belati perasaan Thi-hujin, badannya sampai
gemetar menahan gejolak hati, desisnya sambil menggertak gigi:
"Sa mpaipun jenazahnya juga tidak kalian bebaskan?"
Sudah tentu darah Kun-gi juga mendidih, lekas dia papah sang
ibu, katanya sambil berlinang air mata: "Bu, tenangkan hatimu."
"Durjana, katakan siapa kah yang berkeputusan tentang hal ini?" .
"Hal ini jangan salahkan aku," ujar Han Janto, "Im-si-boankoan Ci
Kun jin dan Ki Seng jiang berdualah yang mengajukan tipu muslihat
ini, bila buronan tertangkap harus segera diserahkan kepada pihak
yang berwenang . . . . "
"Siapa itu Ci Kun jin?" tanya Thi-hujin.
'Ci Kunjin adalah penasihat gubernur Soa-tang dua puluh tahun
yang lalu. Dia pula yang mengatur dan merencanakan penyerbuan
ke Hek-liong-hwe.”
"Di mana dia sekarang?"
"Setelah Kok Thay, gubernur Soatang meninggal, dia lantas
meninggalkan gelanggang pe merintahan, konon dia sekarang
berada di Jet-ho."
"Dan Ki Seng-jiang," ucap Kun-gi, "apakah Cengcu dari Coat-
seng-sanceng?'
"Dia adalah anak angkat Ciok-boh Lojin dari Ui-san, kepandaian
silatnya amat tinggi, sejak la ma dia sudah berkiblat pada kerajaan,
waktu itu dia sudah menjadi Siwi ke las tiga istana raja yang
tergabung dala m Sinki-eng yang tersohor itu . . . ."
"Dan sekarang?" sela Thi-hujin.
"Sekarang dia berkuasa di Pi-sok-sanceng."
"Pi-sok-san ceng? Di mana letaknya?"
"Sanceng terletak di Jet-ho, namanya saja perkampungan, yang
benar itulah sebuah pesanggerahan yang mirip istana."
"Haa," Thi-hujin menggera m, "meski berada di istana raja, tetap
akan kurenggut jiwa anjingnya." Sampai di sini me ndadak dia tatap
Han Janto, hardiknya beringas: "Masih ada pesan apa kau?"
Sesaat Han Janto pandang Thi hujin dengan mendelong, katanya
ke mudian: "Tiada pesan apa-apa, aku me mang berutang dan patut
me mbayar padamu, dapat mati ditanganmu, tiada yang perlu
kusesalkan lagi."
"Baik!" dengus Thi-hujin. Pedang terangkat terus menusuk ulu
hati orang.
Sambil berlutut di tanah Han Janto sudah pejamkan mata. "Bles"
ujung pedang menghuja m ke dala m dadanya, giginya gemerutuk
menahan sakit pelan2 badannya lantas roboh terjengkang ke
belakang, darah segera muncrat bagai ana k panah.
Thi-hujin me narik pedang, darah menga lir dan bertetesan di
ujung pedangnya, dengan pedang menopang bumi, air matanya
bercucuran, kepalanya menengadah, mulutnya berguma m: "Tiang-
hong, akhirnya berhasil aku menuntut sakit hatimu, dengan
tanganku sendiri kubunuh keparat ini, tapi meski berhasil aku
menuntut balas, lalu di ma na kau? Aku tetap takkan berhasil
mene mui kau, sela manya takkan bisa mene mukan kau . . . . . " tak
tertahan akhirnya dia menangis ter-gerung2.
Kun-gi berlutut di atas tanab, katanya dengan berlinang air mata:
"Bu, kau telah menuntut balas, di alam baka ayah pasti juga tahu,
ibu harus merasa lega hati, anggaplah aku telah berbakti kepada
ayah, musuh telah kutawan hidup2."
"Nak, ucapanmu hanya untuk menghibur ibu saja, yang benar
orang sudah mati, mana dia bisa tahu? Menuntut balas adalah
kewajiban setiap orang hidup, meski aku sudah bunuh Han Janto,
me mangnya dia bisa menge mbalikan sua miku dan ayahmu?"
mendadak pandangannya menatap jauh ke depan, rona mukanya
mena mpilkan tekad yang keras untuk menuntut balas, katanya
tegas : "Tapi aku masih harus mene mukan Ci Kunjin dan Ki Seng-
jiang kedua bangsat itu, patriot bangsa yang gugur harus menuntut
balas pula, supaya manusia di kolong langit ini tahu bahwa durjana
penjual bangsa dan negara akhirnya pasti mendapat ganj-aran
setimpal."
"Bu, kau sudah menuntut balas sakit hati ayah, kedua orang itu
serahkan saja kepada anak, de mikian pula tulang jenazah ayah,
anak pasti akan mene mukannya ke mbali," de mikian janji Kun-gi
kepada ibunya.
Menyinggung tulang jenazah suaminya, tak tertahan Thi-hujin
mencucurkan air mata pula, katanya sedih: "Urusan sudah
berselang dua puluh tahun, ke mana kau akan me ncarinya?"
"Mereka mencelaka i ayah, pasti menguburnya pada suatu
tempat, tentunya ada orang tahu di mana beliau dikubur," kata Kun-
gi.
Tengah ber-cakap2, mendadak berkumandang suara benturan
senjata dari sebelah atas. Thi-hujin segera me lengak, katanya
kuatir: "Agaknya ada orang bertempur dimulut lembah, lekas kita
tengok ke sana."
Me mang hanya ada satu jalan keluar dari Say-cu-kau, mungkin
kawanan bangsat dari Hek-liong-hwe mendapat kabar dan menyusul
tiba sehingga terjadilah perte mpuran dengan Yong King-tiong serta
kedelapan jago pedang yang berjaga di mulut le mbah.
Bergegas Thi-hujin bersama Kun-gi berlari ke arah mulut le mbah.
Dala m sekejap itu, tampa k tanah kuning di atas gundukan bukit
sudah berceceran darah segar, empat jago pedang anak buah Yong
King-tiong tampak mengge letak binasa dengan tenggorokan
tertembus pedang, cara kematian keempat orang ini serupa satu
dengan yang lain.
Pemimpin rombongan musuh adalah seorang gadis berpakaian
serba putih yang berparas jelita, tampak alisnya lencik, matanya
bundar menyerupai mata burung Hong, wajahnya bulat telur cerah
bagai bunga mawar, sikapnya agung me mpesona. Cuma sikapnya
yang dingin kaku ta mpak serius dan berwibawa, orang menjadi
keder dan tak berani me mandangnya terlalu la ma.
Empat gadis lagi berada pada dua sisi gadis baju putih,
semuanya me megang pedang yang berlepotan darah segar. Paling
belakang adalah sebarisan delapan laki2 baju hijau ketat, mereka
adalah orang2 dari Ceng-liong-tong.
Dia m2 ce mas Ling Kun-gi, dirinya pernah bergebrak dengan
jago2 pedang anak buah Yong King-tiong, tarap kepandaian ilmu
pedang mereka boleh diagulkan, sejak mendengar benturan senjata
tadi sampai dia berlari tiba di te mpat ini, paling hanya beberapa
kejap saja, entah cara bagaimana keempat jago pedang itu
terbunuh oleh pedang para gadis2 jelita ini?
Terdengar Yong King-tiong tengah bicara sambil menjura:
"Walau Cui-tongcu telah me mbunuh e mpat jago pedangku, tapi ada
Losiu di sini, jangan harap Cui-tongcu bisa melampaui diriku untuk
ke bawah sana.”
Ternyata gadis baju putih ini adalah Cui-tongcu dari Ceng-liong-
tong.
Sorot mata Cui-tongcu yang dingin sekilas melirik ke arah Thi
hujin dan Ling Kun-gi yang mendatangi, katanya mengejek: "Yong
King tiong, kau me mang berhasil, nah itu mereka telah keluar dari
Say-cu-kau."
Agaknya Yong King-tiong naik pitam, serunya:
"Peduli kau ini utusan maca m apa dari kotaraja, Losiu tetap ingin
menjajal kepandaianmu."
"Wut" tiba2 dia menghantam lebih dulu.
"Kau ingin gebrak dengan a ku?" ejek Cui-tongcu, tiada tampak
bergeming, kaki tida k bergerak, hanya badan sebelah atas sedikit
bergeliat, dengan mudah dia sudah me luputkan diri dari pukulan
Yong King-tiong, Segulung angin pukulan kencang menya mber
lewat di atas punda knya.
Setelah menghindari samberan angin pukulan, Cui-tongcu
mengejek: "Peranan penting sudah tiba, aku ma las bergebrak
dengan kau."
Selama dua puluh tahun ini Yong King-tiong menye mbunyikan
diri dengan sabar, kepandaian aslinya yang tinggi tak pernah
dipa merkan, kini sepak terjang dirinya sudah terang2an, maka dia
merasa tidak perlu takut lagi bertindak blak2an, melihat pukulannya
dapat dihindarkan lawan, hatinya semakin murka, ke mbali dia
me lontarkan pukulan. Gempuran ulangan ini sudah tentu lebih
hebat lagi kekuatan pukulannya, angin pukulan segera mencrpa
dengan dahsyatnya.
Cui-tongcu menanggapi dengan tak acuh dan dingin: "Kau kira
aku tidak berani melawanmu?"
Kali ini dia me mang t idak berke lit, tangannya yang halus
bergerak me mutar, entah bagaimana dia me mba lik telapak tangan,
tahu2 dia sambut pukulan Yong King-Tiong dengan kekerasan
pukulan pula. Dua pukulan dahsyat saling bentrok di udara
menimbulkan suara keras, ternyata setali tiga uang alias sa ma kuat.
Sudah tentu kesudahan adu ke kuatan pukulan ini a mat di luar
dugaan Yong King-t iong, soalnya dia hanya tahu bahwa Cui-tongcu
ini berkepanda ian tinggi, tapi tak pernah terpikir bahwa gadis
selembut ini me miliki Lwekang setangguh ini.
Thi-hujin ikut kaget, tanpa terasa dia menatap orang lebih tajam,
tanyanya: "Yong-congkoan, siapa-kah nona ini?"
"Nona ini?" sabut Yong King-Tiong, "dia inilah pengawas utusan
kotaraja, Cui Kinin yang menjabat Ceng-liong-tong Tongcu, atau
lebih je las lagi Han Janto hanyalah seorang pemimpin bone ka saja,
kekuasaan Hek- liong-hwe ha kikatnya berada di tangan perempuan
ini.”
Cui Kinin tertawa manis, katanya berseri: "Jelas sekali caramu
me mperkenalkan diriku," kata nya ditujukan kepada Yqng King-
tiong, tapi dia mengirim senyuman manis ke arah Ling Kun-gi.
Semula sikapnya dingin ka ku, tapi seri tawanya ini betul2 laksana
bunga mekar di musim se mi, segar me mpesona.
Thi-hujin menarik muka, jengeknya: "Kau bangsa Ki-jin
(golongan bangsawan)?"
"Apakah aku orang Ki-jin atau bukan, apa sangkut pautnya
dengan kau?" sahut Cui Kinin.
"Kalau betul kau Ki-jin, aku tidak akan melepasmu," anca m Thi-
hujin.
"Paling mati di tanganmu?" tanya Cui Kinin dingin.
"Betul, aku pula yang me mbunuh Han Janto."
"Kau ini Thay-siang (maha ketua) Pek-hoa-pang."
"Bukan."
"Lalu siapa kau?"'
"Akulah janda Ling Tiong-hong, buronan yang dicari oleh kalian
gerombolan cakar a lap2."
"O, kiranya Ling-hujin," ucap Cui Kinin, matanya melirik ke arah
Ling Kun-gi, tanyanya: "Siapa pula dia?"
"Cayhe Ling Kun-gi," le kas Kun-gi bersuara sambil menjura.
Tanpa terasa Cui Kinin me mandangnya beberapa kali, katanya
ke mudian: "Cong-hou-hoat-su-cia dari Pek-hoa-pang?"
"Cayhe bukan anggota Pek hoa-pang lagi."
"Lho, mengapa bukan?"
"Kukira Cayhe tidak perlu menjelaskan pada-mu."
"Ya, betul, kau masuk ke Ui-liong-tong," berapa jiwa orang yang
telah me layang di tanganmu," kata Cui Kinin sa mbil melirik Leliong-
cu yang tergantung di pinggang Ling Kun-gi. "Kupikir, mungkin kau
inilah putera Ling Tiang-hong, betul tida k?"
"Betul, kedatangan Cayhe untuk menuntut ba las sakit orang
tuaku."
Cui Kinin. mengge leng dan berkata kalem: "Kalian sudah
me mbunuh Han Janto, sakit hatipun sudah terbalas, betul tida k?"
"Setiap cakar alap2 kerajaan adalah musuh besar ka mi," Thi-
hujin berkata tegas.
"Tera mat luas arti perkataanmu, hanya kalian ibu beranak
ditambah seorang Yong King-tiong? Hek-liong-hwepun belum tentu
dapat kalian kuasai."
"Aku bisa masuk ke mari, sudah tentu juga bisa keluar," jengek
Thi-hujin.
Kembali Cui Kinin melirik ke arah Ling Kun-gi, katanya: "Kukira
tidak mungkin, sulit kalian bisa mene mbus pertahananku, tapi . . . .
. . " suaranya sengaja dia tarik panjang.
"Tapi apa?" bentak- Thi-hujin.
Gigi Cui Kinin nan rata seperti biji ketimun menggigit bibir,
katanya kemudian setelah tepekur sekejap: "Aku ada sebuah syarat,
entah kalian mau terima tidak?"
"Kau ada syarat apa?" tanya Thi-hujin.
"Han Janto meski hanya Siwi kelas tiga, kalian telah
me mbunuhnya, itu berarti kalian me mbunuh pe mbesar kerajaan,
sepak terjang seorang pe mberontak tulen . . . . . . . "
"Tutup mulut mu!" bentak Thi-hujin.
"Jangan naik pita m Ling-hujin, dengarkan penjelasanku."
"Baik, katakan!"
"Kau menuntut balas sakit hati sua mi atau denda m orang tua, hal
ini boleh dianggap sebagai peristiwa ba las me mbalas kaum
persilatan umumnya, aku takkan menarik panjang soal ini . . . . . . "
sebagai "pengawas" yang berkuasa besar dari kotaraja, sudah tentu
dia punya hak dan kewajiban me mutuskan sesuatu menurut
hematnya sendiri..
Terdengar Cui Kinin berkata lebih lanjut: "Kecua li Yong King-tiong
sebagai Congkoan Hek-liong-hwe dan sekarang sekongkol dengan
pembeberontak, aku t idak me mberi kebebasan padanya, tentang
kalian ibu beranak, asal Ling-kongcu sudi menyerahkan Leliong-cu,
aku akan me mberi putusan me mberi izin pada kalian untuk
meninggalkan tempat ini, meninggalkan Kunlunsan dengan sela mat,
bagaimana?"'
Ternyata yang diincar adalah Le liong-cu. Jelas tujuannya untuk
mendapatkan buku daftar anggota Thay-yang-kau yang disimpan
dalam ka mar batu di dasar kolam naga hita m, sedemikian besar arti
dan pentingnya buku daftar itu, sampai ke matian Han Janto boleh
dire mehkan. Me mangnya Han Janto hanyalah seorang tamak yang
mengejar keuntungan pribadi, peranannya tidak penting lagi bagi
kerajaan. Dari sini dapat disimpulkan tugas apa yang dipikul Cui
Kinin di dala m He k-liong-hwe.. Sudah tentu di luar tahunya bahwa
buku daftar anggota Thay-yang-kau itu sudah dimusnahkan oleh
Ling Kun-gi.
Belum habis Cui Kinin bicara, mendadak Yong King-tiong
mende lik gusar, katanya sambil bergela k tawa: "Cui-tongcu tida k
akan me mbebaskan Losiu, me mangnya Losiu perlu dibebaskan
olehmu?"
"Yong-congkoan," Thi-hujin me ngulap tangan: "biarlah aku
menjawab pertanyaannya."
"Baiklah Hujin," ujar Yong King-tiong
Kaku dan ketus sikap Thi-hujin, katanya: "Pendapat Cui-tongcu
me mang tidak keliru."
"Jadi Ling-hujin me nerima usulku?"
"Cui-tongcu anggap harga jiwa kami ibu beranak lebih tinggi
daripada mutiara ini? Tapi bagi pandanganku justeru sebaliknya,
mut iara ini berlipat ganda lebih berharga daripada jiwa raga ka mi
berdua. Karena mutiara ini menyangkut laksaan jiwa manusia yang
tersebar luas di utara dan selatan sungai besar, oleh karena itu kami
ibu beranak sekali2 tidak mau se mbarangan menyerahkan mutiara
ini kepada siapapun, kecuali Cui-tongcu me miliki kepanda ian dan
dapat merebutnya dari tangan ka mi."
Cui Kinin me lenggong sebentar, katanya: "Jadi Ling-hujin ingin
bergebrak dengan aku?"
"Keadaan sekarang bagaikan anak panah yang sudah terpasang
dibusur yang terentang lebar tidak bisa tida k harus dibidikkan, selain
berhantam mungkin tiada jalan lain lagi."
"Baiklah kalau begitu," ucap Cui Kinin.
"Cui-tongcu," ujar Thi-hujin, "kau pa kai senjata atau ........"
Melihat kedua orang siap bergebrak, tak tertahan Yong King-
tiong ter-bahak2, serunya: "Tunggu sebentar Hujin."
"Ada apa Congkoan?" tanya Thi-hujin.
"Maafkan Hujin," ucap Yong King-tiong, "barusan Cui-tongcu
bilang Losiu bersekongkol dengan pemberontak, dosanya tak
terampunkan, bahwa Losiu hidup terhina dan sengsara selama 20-
an tahun di sarang penyamun ini, kini tibalah saatnya akan
kuberitahu kepada Cui-tongcu bahwa Yong King-tiong adalah laki2
sejati, sebagai bangsa Han yang cinta bangsa dan tanah a ir
leluhurnya, anggota Thay-yang-kau yang setia, sebagai Hek-liong-
hwe Cong-koan dari Hek-liong-hwe yang menentang kerajaan Ceng
dan berusaha membangkitkan ke mba li kerajaar Bing, jadi bukan
antek Hek-liong-hwe yang dikua-sai cakar alap2 kerajaan Ceng,
padahal di dala m pandangan kalian para cakar alap2 kerajaan ini,
tentunya Losiu dianggap sebagai pengkhianat, kenapa harus
ditambahi e mbe l2 sekongkol dengan pe mberontak segala."
Cui Kinin tidak berbicara, tapi sorot matanya yang tajam dingin
mana mpilkan hasrat me mbunuhnya yang mula i berkobar.
Yong King-t iong tidak peduli, katanya lebih lanjut: "Jabatan dan
kedudukan Cui-tongcu di sini cukup istimewa, Komisaris besar
utusan kerajaan yang mengusai Hek-liong-hwe ini, kalau Cui-tongcu
sudah menyatakan takkan melepaskan Losiu, demi
me mpertahankan diri adalah pantas kalau aku mohon pengajaran
dulu pada Cui-tongcu, karena itu, pertarungan Hujin me lawan Cui-
tongcu ini harap ditunda dulu, biarlah Losiu yang me mbuka perang
tanding ini."
Cui Kinin bersikap se makin dingin, katanya mengejek: "Bagus
sekali, bahwa kau sudah mengakui seluruhnya, sebagai Komisaris
umum dari He k-liong-hwe, sudah se mestinya kalau kulabrak kau
lebih dulu." Sa mpa i di sini mendadak dia menoleh, katanya: "Harap
Ling-hujin tunggu sebentar." Sikapnya angkuh seolah2 tida k
me mandang sebelah mata kepada Yong King-tiong.
Setelah beradu pukulan tadi Yong King-tiong tahu bahwa
lwekang perempuan ini a mat tangguh, taraf kepandaiannya agaknya
tidak lebih rendah dari dirinya, sudah tentu dia tak berani pandang
ringan lawannya yang muda ini, maka di ka la orang bicara, diam2 ia
kerahkan hawa murni me mpersiapkan diri. Segera dia merangkap
kedua tangan, katanya menjura: "Baiklah, siia kan Cui -tongcu
me mberi petunjuk."
Cui Kinin nielirik sekejap ke arahnya, suaranya dingin: "Apakah
ma in kepelan, telapak tangan atau pakai senjata, Yong-congkoan
lebih suka yang mana, silakan pilih sendiri?"
"Losiu sih terserah saja apa kehendakmu?"
"Baiklah, adu kepelan dan pukulan telapak tangan saja."
"Silakan Cui-tongcu mulai dulu."
Cui Kinin melangkah maju dua tindak, ia me mbetulkan dulu
sanggul rambutnya, katanya: "Baiklah, aku mulai lebih dulu."
tangannya terayun dan menepuk seka li.
Jubah hijau Yong King-tiong ta mpak mele mbung dan me la mbai,
sigap sekali dia sudah menyingkir beberapa kaki, berkelit sa mbil
balas menyerang, serangan balasannya ternyata tidak kalah
cepatnya.
Cui Kinin tidak me nghiraukan serangan balasan ini, beruntun dia
gunakan kedua tangan me mukul pula secara bergantian, jadi
menyerang untuk menandingi serangan lawan. Begitu mulai gebra k
kedua orang sama bunjuk ke mahirand ilmu pukulan daan kesebatan
gebrak badan, serangan semakin gencar, jurus de mi jurus se makin
cepat dan lihay, ba-yangan kedua orang maju mundur saling
berputar dan melejit kian ke mari, keduanya sama gesit dan tangkas.
Dengan tekun Kun-gi mengikuti perte mpuran kedua orang,
pandangannya amat tajam, sudah tentu dia tidak dikaburkan oleh
kecepatan gerak yang terselubung oleh bayangan kepelan kedua
orang. Terasa Kungfu Yong King-tiong ternyata beraneka ragam,
dalam setiap gerakan kedua kepelan tangannya ternyata
mengandung tipu2 Siau-lim, Bu-tong, Hoa-san, Go-bi dan Liok-hap,
serta Pat-kwa-bun dan lain2 aliran kelas tinggi, meski jurus yang
satu tidak berurut dan bergandeng dengan jurus se lanjutnya, tapi
perubahan dan variasinya dapat dia ma inkan dengan ma hir dan
leluasa, tak pernah putus dan macet. Seolah2 dia sudah mahir betul
akan ilmu kepalan dari berbagai aliran itu serta dikombinasikan
dengan baik, ma lah perbawanya juga a mat mengejutkan.
Tangan Cui Kinin tetap terselubung di dalam lengan bajunya, tapi
jari2 tangannya yang runcing halus sering terjulur ke luar dika la
mencengkeram, menutuk dan menabas, permainan lincah cepat dan
rangsakannya deras, bagai bidadari menyebarkan bunga, bayangan
telapak tangannya yang putih mu-lus itu bertaburan bagai kuntum
bunga, jari2nya yang runcing dengan kuku2nya yang panjang lak-
sana jarum perak, setiap gerakan tutukannya amat aneh dan lihay,
agaknya iapun telah keluarkan se luruh ke mahirannya. Terutama
gerakan tangan dibarengi dengan perma inan langkah yang gesit
dan me mbingungkan, meski Yong King-t iong mencecar dengan
pukulan keras, dia dapat berkelit ki-an ke mari, Ujung bajupun tak
ma mpu disentuh lawan.
Sekejap saja, keduanya sudah saling labrak lima-ena m puluh
jurus, keadaan tetap berimbang, tiada satu pihak yang me mperoleh
keuntungan.
Thi-hujinpun sa ksikan pertempuran ini tanpa berkedip, la ma2
roman mukanya menunjukkan mimik aneh penuh keheranan dan
kaget, tanyanya berpaling: "Anak Gi, kalau kau yang melawan dia
kau yakin dapat, mengalahkan dia?"
"Ilmu pukulan dan gerak langkahnya serba aneh, paling2 anak
hanya sama kuat melawannya, untuk mengalahkan dia agak sulit
juga, tapi anak yakin sekali pukul dapat me mbunuhnya."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Kalau perempuan ini tidak
dilenyapkan, kela k pasti me nimbulkan mara bahaya bagi kita."
Tengah bicara, di tengah gelanggang yang sedang berhantam
sengit itu terdengar suara Cui Kin in yang merdu: "Berhenti! "
Sesosok bayangan tiba2 melompat keluar dari arena serta mundur
beberapa langkah dan berdiri tak bergerak.
Yong King tiong juga menarik kedua tangan, katanya dengan
lantang: "Ada petunjuk apa Cui-tongcu?"
"Apakah Kim-biansanjiu dari Kunlun yang kau lancarkan barusan
ini?" tanya Cui Kinin.
"Losiu tidak menganut sesuatu aliran, bermain sekenanya saja
asal dapat menghadapi lawan, tak kupusing apakah Kim-bian atau
bukan segala."
"Meski Kim-biansanjiu dari Kunlunpay merupakan kombinasi dari
inti ilmu silat yang ada di dunia ini, di da la mnya mengandung
kesaktian yang tiada taranya, aku tidak percaya tidak ma mpu
me mecahkannya."
Yong King-tiong tersenyum lebar, katanya: "Cui-tongcu, boleh
kau coba me mecahkannya."
"Baik, akan kutunjukkan pada mu," jengek Cui Kinin. Mendadak
kedua tangan dilancarkan bersama, beruntun dia menyerang tiga
jurus. Setiap jurus pukulan menimbulkan kekuatan dahsyat yang
menerpa ke depan.
"Serangan bagus," Yong King-tiong menghardik dengan
pujiannya. Kaki berdiri se kukuh tonggak, kedua tangan berjaga di
depan dada, beruntun iapun me lontarkan tiga kali pukulan.
Inilah cara adu pukulan secara keras, maka terdengarlah
benturan, ternyata tiada satu pihak yang lebih unggul. Cui Kinin
tertawa dingin, kedua ta-ngan kembali melancarkan lima kali
pukulan secara berantai, Gelombang pukulannya bagai badai ber-
gulung2 menerjang dengan hebat.
Dia m2 Yong King-tiong tersirap darahnya, perempuan muda
berusia dua puluhan ini bagaimana mungkin me miliki Lwe kang
seampuh ini? Hati berpikir, keadaan sudah me ndesak, tak mungkin
dia mundur, maka tenaga dia kerahkan di kedua lengan, mendada k
mulutnya menghe mbuskan serangkum hawa, lima kali ia
menyongsong pukulan lawan.
Kali ini tangan kedua pihak sa ma2 dilandasi kekuatan penuh,
begitu pukulan saling beradu, udara menjadi bergolak dan meleda k
dengan dahsyatnya.
Jenggot ubanan Yong King-t iong ta mpak bergerak me la mbai,
jubah hijaunyapun seperti terhembus badai, tanpa kuasa badannya
terhuyung dua langkah ke belakang. Kini siapa unggul siapa asor
sudah kelihatan, Cui Kinin adalah anak pere mpuan muda be liau,
meski ilmu silatnya maha tinggi, jelas latihannya lebih cetek
daripada Yong King-tiong.
Setelah menga la mi adu pukulan lima kali, wajahnya yang jelita
bagai bunga mekar di musim se mi itu seketika berubah pucat,
beruntun ia tersurut lima langkah. Belum lagi berdiri tegak dan
napas masih senga l2, mendadak alisnya menegak, sepasang mata
burung Hongnya me mancarkan ke milau biru, nafsu me mbunuhnya
berkobar, hardiknya: "Nah, hati2lah kau." Tangan kiri bergerak naik
turun menjaga keseimbangan dan akhirnya berhenti di depan dada,
sementara telapak tangan kanan tegak bagai golok pelan2 didorong
keluar.
Mehhat gerakan telapak tangan orang, seketika berubah hebat
air muka Yong King-t iong, teriaknya tertahan: "Toa-jiu-in dari Ih-ka
bun!" Mulut berteriak lekas kedua tangannya melindungi dada,
ke mbali kakinya menyurut lebih jauh, matanya menatap tajam,
sikapnya a mat tegang.
Pada detik gawat itulah didengarnya Ling Kun-gi berteriak:
"Mundurlah pa man Yong, jurus ini biar Siautit yang menyambutnya."
Belum habis bicara, bayangannya sudah berkelebat mengadang di
depan orang. Jaraknya dengan Cui Kinin hanya satu tombak, ia
berdiri tegak dengan, menekan telapak tangan kiri kebawah, telapak
tangan kanan tegak miring, dari kejauhan dia ikuti gerakan Cui
Kinin.
Baru saja dia hendak me lancarkan Mo-ni-in dari a liran Hud,
Mendadak dari tempat kejauhan sana terdengar bentakan serak
bertenaga kuat. "Jangan muridku!" Suaranya bergema di angkasa,
seperti disuarakan dari te mpat yang jauh, tapi kedengaran amat
jelas seperti berbicara berhadapan.
Kun-gi tersentak kaget mendengar seruan ini, lekas dia menarik
tangan dan me mbatalkan serangannya, tanpa terasa dia
mendonga k dan berteriak: "Ya Suhu!"
Perlu diketahui bahwa Mo-ni-in adalah ajaran sakti aliran Hud
peranti menundukan dan me mecahkan ilmu hita m, kekuatan dan
perbawanya tiada taranya. Walau Kun-gi belum lagi se mpat
me lontarkan pukulan, tapi gaya dan kuda2 yang sudah dia
tunjukkan laksana anak panak terpasang dibusur yang terpentang
dan siap dilepaskan dengan keku-atan dahsyat. Hawa murni sudah
me lingkupi se kujur badannya, dalam jarak beberapa kaki sudah
padat diliputi kekuatan sekukuh te mbok baja yang tida k kelihatan.
Toa-jiu-in yang dilontarkan Cui Kinin meski la mbat, tapi tekanan
yang keluar dari pukulan hebat ini sungguh laksana gugur gunung
yang menimpa. Beberapa kaki menerjang ke depan Ling Kun-gi
ternyata Toa-jiu-in mene mukan pengalang seteguh gunung, baga i
air bah yang terintang bendungan.
Air mengalir tersibak ke penjuru la in, meski kuat dan keras daya
terjangnya, tapi kebentur kekuatan sekukuh baja ini, sedikitpun
kekuatan Toa-jiu-in tak ma mpu maju lebih lanjut.
Begitu tenaga pukulannya menghadapi rintangan, segera Cui
Kinin lantas me mperoleh f irasat jelek, terasa dinding tak kelihatan
sekeras baja pertahanan lawan me mbendung terjangan Toa-jiu-in,
dirinya, daya tolak balik bukan olah2 dahsyatnya, kalau tidak mau
dibilang berlipat ganda ma lah, keruan kagetnya bukan main.
Pikirnya: "Toa-kok-su pernah bilang bahwa Toa-jiu-in adalah ilmu
sakti dari Ih-ka-bun yang tertinggi, tiada ilmu pukulan maca m lain
dikolong langit ini yang ma mpu menandinginya, memangnya ilmu
apa pula yang di-pertontonkan pemuda ini? Ta mpaknya dia belum
lagi me lontarkan kekuatan pukulannya, lantas me mbatalkan niatnya.
Kepada siapa pula dia me manggil Suhu?"
Kiranya dia tida k mendengar suara serak tua yang kumandang
seperti dari tempat jauh, karena ilmu gelombang suara itu hanya
ditujukan kepada seseorang, maka hanya Kun-gi saja yang
mendengarnya.
Sudah tentu Yong King-Tiong dan Thi-hujin juga tidak
mendengar, tapi "Ya, Suhu" seruan Ling Kun-gi tadi jelas didengar
oleh se mua orang.
Terunjuk mimik bingung dan heran pada wajah Thi-hujin,
tanyanya: "Anak Gi, apakah maksudmu Taysu juga datang?" Sudah
tentu pertanyaan ini juga dia kirim dengan ilmu ge lombang suara.
Kun-gi mengangguk, dia balas menjawab dengan ilmu yang
sama: "Ya, barusan sebelum ana k me lancarkan serangan kudengar
peringatan Suhu yang me larang anak menggunakan Mo-ni-in."
"Aneh kalau begitu," ucap Thi hujin..
Cui Kin in juga tahu diri, lekas dia tarik serangannya, tanyanya
sambil menatap Kun-gi: "Kau berani turun ga langgang mewakili
Yong King-tiong, kenapa berhenti setengah jalan?"
Menghadani tatapan mata orang yang bundar jeli, diam2
terkesiap Kun-gi, sesaat dia menjadi bingung, katanya kemudian :
"Bukankah Cui-tongcu juga berhenti setengah jalan?" Sudah tentu
dia tidak mau me njelaskan duduk persoalan sebenarnya.
Berkedip mata Cui Kinin, katanya : "Ingin a ku tanya, ilmu apa
yang barusan hendak kau lancarkan?"
Sudah tentu Kun-gi tidak mau berterus terang, katanya tertawa
tawar : "Sungguh menyesal, jurus yang akan Cayhe lancarkan tadi
tidak punya na ma."
Sedikit berubah rona muka Cui Kinin, katanya sambil menjengek:
"Kenapa tidak kau bilang tak sudi me mberitahu? Tidak ma u
menje laskan ya sudahlah, memangnya siapa yang pingin tahu?"
tanpa menunggu reaksi Ling Kun-gi dia mena mbahkan: "Kau berani
tampil ke muka, tentu ingin bergebrak dengan aku, biarlah kita
tentukan siapa menang dan ka lah."
Dengan kale m tapi angkuh Kun-gi berkata "Caybe menurut saja
kehendak Cui-tongcu."
"Kudengar ilmu pedangmu a mat lihay, marilah kita bertanding
senjata?"
"Katakan saja caranya, pasti Cayhe iringi keinginan Cui-tongcu."
Dengan lekat Cui Kinin menatap Kun-gi se kilas, katanya sambil
mencibir: "Hm, kau angkuh se kali."
"Sela manya me mang beginilah watak Cayhe," sahut Kun-gi.
Terunjuk rasa gusar pada wajah Cui Kinin, dia mela mbai ke arah
dayang berpakaian hijau di belakangnya. Tampak seorang gadis
baju hijau segera maju sambil menjinjing sebilah pedang, dengan
hormat dia angsurkan senjata itu kepada majikannya.
Pelan2 Cui Kinin me lolos pedangnya, sebilah pedang panjang tiga
kaki me mancarkan ke milau hijau menyilaukan mata, itulah sebilah
pedang yang tipis taja m luar biasa. Tiba2 Cui Kinin pegang gagang
pedang dengan kedua tangannya terus dibentang ke samping,
ternyata pedang seta serangka ini merupakan sepasang pedang,
dengan tangan kirikanan masing2 me megang sebatang pedang, Cui
Kinin melangkah maju beberapa tindak. katanya dingin: "Ling Kun-
gi, keluarkan senjatamu"
Kun-gi tertawa lebar. "Creeng", tangan kanannya terangkat,
tahu2 Ih-thiankia m sudah terlolos.
Terbeliak Cui Kinin, tanpa terasa dia berseru me muji: "Pedang
bagus!"
Dengan menenteng pedang Kun-gi tida k me mbuka jubah juga
tidak pasang kuda2, hanya seenaknya saja dia menjura dan
berkata: "Silahkan Cui-tongcu!" Makin wajar seenaknya dia menjura,
semakin kentara sikapnya yang gagah dan ta mpan.
Sesaat Cui-Kinin melenggong dibuatnya, kedua tangan tetap
terbentang, me megang sepasang pedang, sesaat wajahnya
bersemu merah jengah, tanyannya: "Kau tidak menanggalkan
jubah?"
Umumnya orang yang turun gelanggang mau bertandang harus
mencopot jubahnya, kecuali yakin akan kepandaian sendiri yang
lebih unggul daripada lawannya, kalau tida k jubah itu a kan
me mpengaruhi gerak-geriknya. Tapi hal ini apa pula sangkut
pautnya dengan Cui Kinin, kan menguntungkan dia ma lah"
Kun-gi tertawa lebar, katanya: "Tidak apa lah"
"Ini kan bertanding pedang, senjata tak bermata, kau tidak kuatir
aku me mungut keuntungan dala m hal ini?"
"Tida k apa, tidak apa," jawab Kun-gi.
"Kau sombong." jenge k Cui Kinin mencibir pula sekali gentak,
kedua bilah pedang ditangannya bergetar menggaris bundar
menciptakan dua lingkaran sinar pedang sebesar mulut mangkuk,
tapi dia belum me nyerang, kedua pedang tetap berhenti di depan
dada, katanya dingin: "Ling Kun-gi, apakah aku yang harus turun
tangan lebih dulu?"
"Boleh silakan Cui-tongcu," ucap Kun-gi.
Terpancar sinar me mbara pada sorot mata Cui Kinin. "Baik,"
serunya.
Lenyap suaranya pedang di tangan kanan mendadak me mbentuk
tabir cahaya kemilau, deru hawa dingin setajam pisau dengan
secepat kilat menya mbar ke depan.
Ling Kun-gi bergerak mundur, miring setengah langkah,
sementara Ih-thiankia m sudah pindah ke tangan kiri, ujung pedang
menegak ke atas terus menyampuk ke depan. Panjang Ih-thiankia m
ada empat kaki, satu kaki lebih panjang daripada pedang umumnya,
maka sebelum pedang Cui Kinin menyerang tiba sudah kena diketuk
pergi. "Trang", ternyata sepasang pedang Cui Kinin juga pedang
mestika, kalau tidak seka li bentur tadi tentu sudah terpapas kutung.
Lenyap suara benturan, Cui Kinin lantas mengejek, bayangannya
berkelebat lincah, tahu2 dia menyelinap ke samping kanan Kun-gi,
pergelangan tangan berputar, secepat kilat ia menusuk iga kanan
lawan. Gerakan tubuh serta gaga pedangnya sungguh lincah
menakjubkan.
Yong-King-tiong yang menonton di luar gelanggang sampai
berjingkat kaget, teriaknya tanpa terasa: "Awas Ling-kongcu! "
Belum habis dia bicara, keadaan sudah berubah..
Ternyata setelah pedang di tangan kiri Kun-gi berhasil
menya mpuk pedang Cui Kinin, waktu Cui Kinin menyelinap ke
kanan, cepat sekali diapun sudah pindah pedang ke tangan kanan
pula dan menahan ke bawah, "Trang," kembali kedua pedang
beradu.
Tusukan Cui Kin in ke mba li dipatahkan, tapi Cui Kinin me mang
hebat, selicin belut badannya tiba2 berputar, kakinya seperti tidak
menyentuh tanah, tahu2 bayangannya sudah berada di depan Kun-
gi. Seiring dengan putaran tubuhnya pedang kanan ikut berputar
menusuk ke punda k kiri, sementara pedang kiri ditarik mundur lalu
me mbabat pinggang.
Bukan saja cepat perubahan tipu serangannya kedua pedangpun
bergerak menyilang dengan tusukan dan me mbabat dengan lihay
dan sukar diduga.
Agaknya Kun-gi sengaja pamer kepandaian, pedang kembali dia
geser ke tangan kiri, tusukan pedang lawan kearah pundaknya
ke mbali ditangkisnya, lalu dia ke mbalikan pula pedang ke tangan
kanan untuk menangkis tebasan pedang lawan yang mengincar
pinggangnya.
"Trang, tring!" dua kali secara beruntun ha mpir terjadi bersama,
suara pertama adalah tangkisan pada pedang lawan yang menusuk
pundak, suara kedua yang lebih keras adalah sampukan keras pada
pedang lawan yang me mbabat pinggang.
Karena kedua kali bentrokan keras ini, kedua pedang Cui Kinin
tergetar sehingga tak kuasa mengendalikan badan, langkahnya
tersurut mundur, terpaksa dia tarik kedua pedang sambil menatap
tajam Ling Kun-gi, katanya dingin: "Kau me mang hebat sekali."
”Cui-tongcu terlalu me muji!", ucap Kun-gi tawar.
"Kenapa kau hanya bertahan dan tidak balas menyerang?"
"Gerak pedang Cui-tongcu teramat lincah dan cepat, bahwa
Cayhe mampu menangkis sudah beruntung, mana ada kese mpatan
balas menyerang?"
Cui Kinin tertawa, tawa manis karena umpakan ini, katanya:
"Ternyata kau pandai merendah juga." Tiba2 kuncup senyumannya,
katanya pula dingin: "Setelah saling gebrak, kita harus menentukan
siapa unggul dan asor, Nah, hati2lah."
Pada ucapannya terakhir, sebat sekali dia lantas menubruk maju,
pedang kiri menusuk dan pedang kanan menabas, kalau tangan
kanan me mbabat tangan kiri me nyontek, serangan yang kiri lebih
cepat dari yang kanan, menyusul serangan kanan melebihi melebihi
kecepatn yang kiri, disa mping ganas dan keji, serangan inipun
tambah gencar, sekaligus dia sudah menyerang delapan belas jurus.
Ling Kun-gi ternyata tidak berebut mendahului, dia tetap
bertahan dengan mantap dan tenang, pedang dia pindah ke tangan
kiri seenaknya dia menge mbangkan Tat-mo-hoanjiu-kia m, ilmu
pedang Tat-mo-co-su yang dima inkan dengan tangan kidal, berbeda
dengan ilmu pedang aslinya yang dimainkan dengan tangan kanan,
tipu2nya serba berbeda, isi kosong sukar dijajagi, belum lagi jurus
yang satu dilancarkan tahu2 sudah berganti jurus yang lain, apalagi
setiap gerakannya mengandung perubahan, menyerang juga
bertahan, di waktu bertahan ada pula gerak menyerang.
Permainannya sungguh amat indah dan lihay. Karena dia ber-main
pedang dengan tangan kidal, Cui Kinin menjadi kebingungan dan
tidak tahu arah mana yang dituju serangan lawan.
Semakin tempur kedua orang bergerak se makin cepat dan sengit,
yang kelihatan melulu sinar hijau dan cahaya perak yang melingkar,
selulup timbul silih berganti, deru angin pedang bergolak menim-
bulkan angin kencang, suaranya semakin ribut seperti benda keras
yang tiba2 sobek tergetar, lama kela maan menjadi sukar dibeda kan
mana lawan dan mana pula kawan.
Pertempuran berjalan lagi tiga puluhan jurus, keadaan tetap
berimbang sa ma kuat. Cui kinin ta mpak se makin bernapsu, selebar
mukanya me mbara, tiba2 dia menjerit sambil menggentak pedang,
permainan pedangnya mendadak berganti, kini dia bergerak
selincah kupu2 terbang di atas rumpun bunga, menyelinap kian
ke mari dan menari dengan le mah ge mulai, gerak sepasang
pedangnya semakin lincah dan cepat, bukan saja lebih aneh dan
banyak ragamnya, setiap gerakan pasti mencari peluang menyerang
ke pertahanan lawan. Suatu ketika Ling Kun-gi bergerak sedikit
la mbat, "cret", pedang Cui Kin in segera menyelonong masuk, jubah
hijaunya tertusuk robek.
Tidak kepalang kaget Kun-gi, baru sekarang dia benar2 insaf
akan perma inan pedang Cui Kinin yang lihay ini, mau t idak mau dia
lantas berpikir, "Untuk mengalahkan dia, terpaksa aku harus
menge mbangkan Hwi-liong-kia m-hoat." Segera ia bersiul panjang,
tubuh bergerak mengikuti gaya pedang, sejalur cahaya pedang
lantas me mbumbung ke udara laksana naga sakti me nga muk.
Agaknya Cui Kinin tidak menduga pada saat menghadapi
serangan segencar ini, Ling Kun-gi masih se mpat me la mbung ke
udara, terdengar ia menggerung lirih, tiba2 iapun tutul kedua
kakinya, sepasang pedang menggaris lintang, menyusul kedua
tangan menggapa i dengan kedua pedang berputar mirip sayap
burung hong lagi terbang.
Sementara itu Kun-gi tengah menge mbangkan jurus Sinliong-jut-
hun, waktu badan mencapai ketinggian tiga tombak, dia lantas
pemukik balik, pergelangan tangan bergetar, pedang mengeluarkan
sinar cemerlang la ksana pancaran kembang api yang meledak,
berubah menjadi hujan cahaya yang bertebaran di angkasa.
Waktu Cui Kinin menyusul keatas, kebetulan dia papak Kun-gi
yang menukik turun, karena berada di tengah udara, menghadapi
serangan lihay lagi, ternyata sedikitpun dia tidak jeri dan gugup,
kedua pedangnya masih terus bergerak dengan garis silang dan
naik turun mirip burung Hong yang sedang terbang di udara.
Kalau yang lelaki la ksana seekor naga me-lingkar2 di tengah
mega, maka yang perempuan mirip burung Hong yang terbang di
angkasa. Gerak pedang kedua pihak sama2 cepat laksana kilat,
dengan benturan senjata berkumandang menimbulkan ge ma
nyaring di le mbah pegunungan.
Air muka Yong King-tiong ta mpak berubah berulang ka li, katanya
dengan penuh keheranan: "Aneh, me mangnya dia me ma inkan Hwi-
hong-kia m-hoat?"
Bahwa Cui Kinin ma mpu menandingin Hwi-liong-sa m-kia m
warisan keluarganya, ini sudah me mbuat Thi-hujin ikut berubah a ir
mukanya, kini mendengar Yong King tiong menyebut na ma Hwi-
hong-sam-kia m, tanpa terasa ia bertanya: "Hwi-hong-kia m-hoat?
Kenapa na ma ini t idak pernah kudengar?"
"Hwi-hong-kia m-hoat," ujar Yong King-tiong, "adalah ciptaan
Soat-sansinni dulu, Sinni adalah sahabat karib Tuan Puteri,
bagaimana mungkin anak murid didiknya bisa berkiblat kepada
pihak kerajaan. . . . ."
"Kulihat dia me mang seorang Kinjin," kata Thi-hujin.
Sambil menge lus jenggot Yong King-tiong mengangguk, katanya:
"Sejak tadi Losiu sudah curiga a kan ha l ini."
Sementara itu setelah Ling Kun-gi dan Cui Kinin mengadu pedang
keduanya lantas turun ke atas tanah. Belum lagi Kun-gi berdiri
tegak, Cui Kinin sudah me lompat maju lagi menyerang dengan
gencar.
Keruan Kun-gi na ik pitam, kaki menjejak tanah ke mbali ia melejit
ke atas, menyusul dia menukik pula menubruk ke arah lawan.
Karena kedua pedangnya menyerang tempat kosong, Cui Kinin
me lanjutkan me luncur lurus ke depan. Dari atas Kun-gi lancarkan
jurus Lui-kong-pit-bok (geledek me mbe lah kayu)
Tiba2 Cui Kinin me mbalik, kedua pedang tersilang, dengan tepat
dia tahan pedang Kun-gi. Karena sedang terkunci oleh kedua
pedang Cui Kinin hati Kun-gi semakin berang, belum lagi ka kinya
menyentuh tanah, segera dia kerahkan Tay-lik-kim-kong-sim-hoat,
tenaga dikerahkan di lengan, pedang di tekan sekeras2nya ke
bawah.
Karena badan Kun-gi masih terapung, sementara tabasan
pedangnya kena dikunci oleh sepasang pedangnya, maka Cui Kinin
dapat meluangkan sebilah pedangnya untuk menyerang sebelum
Kun-gi hinggap di tanah, serangannya pasti akan berhasil, umpa ma
tidak berhasil me mbunuh Kun-gi, sedikitnya kedua kaki lawan dapat
ditabas kutung.
Tidak terduga selagi dia me-nimang2 itulah, terasa berat pedang
Kun-gi yang terjepit di antara kedua pedangnya itu bertambah lipat
seolah2 tekanan ribuan kati, hampir saja kedua tangan sendiri tak
ma mpu me megang pedang, dengan sendirinya tak se mpat
me luangkan sebilah pedang untuk menyerang lawan? Wajahnya nan
molek itu kontan berubah pucat hijau lalu merah, keringatpun
me mbasahi jidat, kedua tangan yang pegang sepasang pedang
yang menyilang itu tampa k ge metar, pelan2 tertekan turun seperti
tak tahan lagi. Kalau ia tak kuasa manahan tekanan pedang lawan,
berarti ia sendiri ba kal terbelah menjadi dua dan binasa.
Tapi pada detik gawat itulah, mendadak terasa tenaga ribuan kati
yang menindih itu tiba2 sirna, sedikit me minja m tenaga pertahanan
pedang Cui-Kinin, Kun-gi terus mela mbung ke belakang. Jelas dalam
gebrak ini dia menaruh belas kasihan.
Hampir meledak tangis Cui Kinin saking dongkol, sejak kecil dia
berlatih pedang, Hwi-hong-kia m-hoat juga merajai Bu-lim, dia kira
tiada tandingan lagi di kolong langit ini, tapi kini dirinya kecundang
dua kali oleh Ling Kun-gi. Dia m2 dia mengertak gigi, tanpa bersuara
mendadak dia me mburu ma ju, sepasang pedangnya menaburkan
cahaya kemilau menggulung ke arah Ling Kun-gi.
Agaknya Cui Kinin benar2 naik pita m sehingga melancarkan
serangan gencar dan sengit, ingin rasanya membikin beberapa
lubang di tubuh Kun-gi yang dibencinya ini.
Tapi Kun-gi juga ke mbangkan ilmu pedangnya, Ih-thiankiam
ditangannya dimainkan begitu rupa sehingga sekujur badan seperti
terbungkus cahaya, deru anginpun me ndengung keras.
Kembali kedua jago pedang ini berhanta m dengan seru, masing2
keluarkan seluruh ke mahiran sendiri, sudah tentu adegan kali ini
jauh lebih me negangkan daripada perte mpuran terdahulu tadi. Tiga
jalur sinar pedang saling gubat. kadang2 seperti rantai perak yang
menjulang ke atas, tiba2 pula la ksana gumpalan mega
menga mbang di udara dengan enteng. Yang satu laksana burung
Hong menari2 di udara, yang lain seperti naga mengaduk sunga i.
Makin sengit pertempuran makin kejut hati Ling Kun-gi, bila dia
belum masuk ke dasar kola m naga hita m dan berhasil me mpelajari
ilmu pedang peninggalan Tiong yang Cinjin, dengan bekal Hwi-
liong-sa m-kia m saja, terang dia bukan tandingan nona ini. Me mang
sembilan jurus ilmu pedang yang dia pe lajari dari ukiran dinding itu
belum apal dan mahir betul, maka dala m perma inan adu pedang ini
lebih sering dia mengulang permainan Hwi-liong-sa m-kia m.
Sementara enam jurus yang lain karena hanya hanya dilandasi
dengan kecerdasan otaknya saja, maka da la m prakteknya masih
agak kaku, tapi toh tetap dia kembangkan se mbari dise la mi.
Me mang sekaranglah kese mpatan latihan untuk me mperdala m ilmu
pedangnya itu, apalagi lawan tandingannya adalah Cui Kinin, nona
jelita yang berkepandaian ilmu pedang yang tinggi, yang dimainkan
juga ilmu pedang kelas tinggi yang aneh dan banyak perubahan dan
variasi, pula sa ma2 harus dilancarkan dengan cara mengapung di
udara, Hwi-hong-kia m-hoat lawan me mang serasi sebagai kawan
latihan yang se mpurna.
Lekas sekali seratus jurus telah dicapai, lama kela maan Kun-gi
menjadi apal dan le luasa me mainkan Hwi-liong-kiu-sek. Di tengah
pertempuran sengit itu terdengar suara benturan keras dibarengi
cipratan kembang api yang menyilaukan mata, sekonyong2 cahaya
pedang sama kuncup, dua bayangan orangpun terpental mundur.
Rambut Cui Kinin kusut masai, wajahnya tampak me mbesi hijau,
sekilas dia melirik ke atas tanah, mendadak dia merangkap kedua
pedang serta dimasukkan ke dala m sarungnya, lalu berseru lirih:
"Hayo pulang!" Tanpa berpa ling segera dia me langkah pergi.
Di tanah menggeletak secomot rambut, kiranya hasil tabasan
pedang Ling Kun-gi. Tak heran wajahnya bersungut dan uring2an,
maka cepat2 dia me mbawa anak buahnya pergi.
"Cui-tongcu," sera Thi hujin dingin, "kau ingin pergi begini saja?"
Cui Kinin sudah me mutar badan, tiba2 dia menghentikan
langkah, tanyanya sambil berpaling: 'Apa kehendak kalian?"
Yong King- tiong bergelak tertawa, katanya: "Sebagai Komisaris
umum, adalah tidak pantas kalau Cui-tongcu tinggal pergi begini
saja."
Rasa marah menjalari selebar muka Cui Kinin, alisnya menegak,
katanya sambil tertawa dingin: "Aku ingin pergi boleh segera pergi,
siapa dapat menahanku"
"Sreng", The hujin melolos pedang, jengeknya: "Urusan sudah
selanjut ini, betapapun kau harus ka mi tawan."
"Bagus seka li! Nah, coba saja kalau ma mpu," eje k Cui Kinin.
Pada saat itulah, mendadak dari te mpat jauh berkumandang
suara serak berkata: "Nona Cui, kau boleh pergi saja."
Thi-hujin dan Ling Kun-gi ta mpak me lenggong, bukankah Put-
thong Taysu yang berbicara?
Terunjuk rasa kaget dan heran, tanya Cin Kui-in sa mbil
mendonga k: "Siapa kau?"
"Tak usah tanya siapa aku," sahut suara serak tua itu, "kau
masih punya urusan sendiri, pergilah, jangan terburu nafsu."
Sekilas me lirik Thi-hujin, Cui Kinin, lantas turunkan pedang dan
me langkah pergi. Empat gadis baju hijau bersa ma delapan laki2
berpedang segera merubung maju berbaris dibe lakangnya dan
angkat langkah.
Karena yang bersuara adalah guru Ling Kun-gi, yaitu Hoanjiu-ji-
lay Put-thong Thaysu, sudah tentu tak enak Thi-hujin merintangi Cui
Kinin, maka dia dia m saja me mbiarkan mereka pergi, na mun tak
tertahan iapun mendongak dan bertanya: 'Kau ini . . . . .
"Jangan banyak tanya Hujin," sahut suara itu, "kalianpun harus
lekas pergi." Sa mpai a khir katanya suaranya sudah semakin jauh.
"Kenapa Suhu berulang ka li mena mpilkan diri, me mberi
keringanan kepada Cui Kinin?" de mikian Kun-gi ber-tanya2
keheranan.
"Pasti Taysu punya maksud tertentu dengan tindakannya ini,"
ujar Thi-hujin.
"Yang bicara barusan, apakah guru Ling-kong-cu?" tanya Yong
King-tiong.
Thi-hujin hanya mengangguk.
Sambil mengelus jenggotnya, tiba2 Yong King-tiong menghe la
napas, katanya: "Berapa tinggi kepandaian nona muda ini sungguh
jarang ada tandingannya jaman ini, hari ini kita tak bisa
me lenyapkan dia mungkin kelak bisa menimbulkan banyak
kesukaran bagi kita se mua."
"'Bahwa Taysu berulang kali me mberi muka padanya, tentu ada
alasannya, kalau betul kela k dia akan mendatangkan kesulitan bagi
kita, kukira Taysu takkan me lepaskan dia pergi," demikian ucap Thi-
hujin, lalu dia menengadah melihat cuaca, katanya pula: "Anak Gi,
sebelum ajal bibimu ada pesan bahwa Bok-tan dan So-yok masing2
diberikan ga mbar peta, sebelum terang tanah seharusnya mereka
sudah kumpul di Hek-liong-ta m, tapi sa mpai sekarang masih belum
kelihatan bayangan mereka, mungkin di tengah jalan mereka
disergap musuh tangguh, bibimu a mat kuatir, maka kau disuruh
me mberi bantuan."
Ling Kun-gi me ngiakan.
"Tadi Han Janto bilang bahwa lorong2 rahasia dala m perut
gunung ini sudah banyak yang di pugar, kalau mereka bekerja
sesuai gambar peta yang diberikan bibimu, tanpa lawan turun
tangan dengan sendirinya mereka akan masuk perangkap dan
mene mui ajal, kukira Yong-lopek tahu liku2 jalan rahasia di sini,
pergilah kau bersa ma Yong-lopek, tolonglah dan kumpulkan dulu
kedua rom-bongan Pek-hoa-pang yang tercerai berai itu,"kata Thi-
hujin pula.
"Dan ibu?" tanya Kun-gi, "engkau . . . . . . . "
"Ibu masih ada urusan lain, setelah kalian bertemu dengan
mereka dan berhasil me ngge mpur Ceng-liong dan Hwi liong tong,
bawalah Bok-tan dan So-yok ke Gak-koh bio mene mui aku.”
Kembali Kun-gi mengia kan.
Berkata Thi-hujin kepada Yong King-tiong: "Yong Congkoan,
mohon pertolonganmu suka me mbantunya."
Lekas Yong King-tiong menjura, katanya: "Hujin ada urusan
boleh silakan, Losiu a kan me m-bantu Ling-kongcu menyelesaikan
urusan di sini."
Tak banyak bicara lagi Thi- hujin terus melejit jauh berlari
kencang bagai terbang.
'Ling-kongcu, tiba saatnya kitapun harus berangkat" ucap Yong
King tiong.
"Dari sini keluar entah mana yang lebih dekat antara Ceng-liong-
tong dan Hwi-liong-tong?" kata Kun-gi.
"Sudah tentu Ceng liong-tong lebih de kat, Ceng-liong-tong
adalah seksi dalam, letaknya di sebelah kiri markas pusat, maka kita
harus ke Ceng-liong-tong menolong orang dulu baru nanti
dilanjutkan menuju ke Hwi liong-tong"
"Masih ada sebuah hal, ingin Wanpwe tanya kepada Yong-
lopek."
"Soal apa ingin Kongcu tanyakan?"
"Ada dua teman wanpwe yang tertawan orang2 Hek-liong-hwe,
mereka dianggap orang Pek-hoa-pang, entah di mana sekarang
mereka disekap?"
"Beberapa hari yang lalu me mang pernah kudengar pihak Ceng-
liong-tong berhasil menawan beberapa orang laki-perempuan,
katanya orang Pek-hoa-pang, setiap tawanan yang digusur ke
gunung ini pasti disekap di markas pusat."
"Kalau begitu, marilah Yong-lope k antar aku pergi me nolong
orang saja."
"Ka mar tahanan tidak melulu di markas pusat saja, letaknya yang
tepat adalah di perut gunung sebelah belakang Ceng-liong-tong,
jalan menuju ke sana adalah daerah rawan yang juga dilewati
orang2 Pek-hoa pang, di sana pulalah mereka terjebak dala m
perangkap."
Sembari bicara tanpa terasa mereka sudah tiba pula di pinggir
Hek-liong-ta m.
"Yong-lopek, kita telah berada di Hek-liong-tam pula," ucap K
urngi.
"Tiga seksi Hek-liong-hwe se muanya didirikan dala m perut
gunung, hanya Hek-liong-ta m yang letaknya di bagian luar, tapi di
sini dikelilingi dinding gunung yang mencakar langit, putus
hubungan dengan dunia luar, untuk ke luar sudah tentu kita harus
ke mbali ke sini," se mbari mengelus jenggot Yong King-tiong
mena mbahkan dengan tertawa: "Dan lagi, sekarang sudah ha mpir
lohor, marilah kita makan dulu, apalagi selain Siau-tho, Lo-siu masih
ada delapan pembantu, sudah sekian tahun mereka me layani Losiu,
setelah keluar dari sini mungkin Losiu takkan ke mbali lagi,
merekapun harus dibubarkan."
Di bawah petunjuk Yong King-tiong mereka menuju kearah barat,
tak la ma ke mudian ta mpak di bawah dinding cura m sebelah sana
terdapat sebuah lubang gua yang terhimpun dari tumpukan batu2
padas. Mulut gua amat besar, tingginya ada beberapa tombak,
karena di sini ada pancaran sinar mentari, maka keadaan tidak
begitu gelap, tepat di tengah gua terdapat dua baris meja batu dan
beberapa kursi, dinding di kanan kiri masing2 terdapat sebuah
pintu, Yong King tiong bawa Kun-gi masuk ke dala m gua lalu
berhenti, katanya kepada keempat jago pedang baju hita m: "Kalian
pergilah ma kan siang, la lu bebenah be kal kalian masing2, kumpul
lagi di sini, nanti ikut Losiu keluar."
Keempat jago pedang itu mengiakan terus mengundurkan diri.
"Marilah Ling-kongcu ikut Losiu," ajak Yong King-tiong. Dia
me langkah ke pintu sebelah kanan.
Kun-gi ikut di be lakangnya terus melangkah masuk, se mentara
Yong King-tiong mengeluarkan sebuah bumbung obor. "Cres", dia
nyalakan api dan menyulut obor itu. Jelas itulah sebulah lorong,
dinding kedua sisi ditatah rata dan licin, lebarnya hanya tiga kaki,
cukup untuk ja lan dua orang berjajar.
Langkah mere ka a mat cepat, tak la ma ke mu-dian tibalah di ujung
lorong. Yong King-tiong ma ju selangkah, ia mene kan sesuatu di
dinding, maka terbuka lah sebuah pintu. Begitu mereka melangkah
masuk, Siau-tho, pelayan baju hijau itu segera memapak maju,
katanya sambil me mbungkuk: "Cong-koan sudah ke mbali."
'Hidangan makan siang sudah kau siapkan belum' tanya Yong-
King-tiong.
"Koki barusan sudah datang dan tanya apakah hidangan siang
perlu diantar sekarang? Karena Congkoan belum pulang, hamba
suruh mereka menunda sebentar."
"Baiklah, sekarang kau suruh koki siapkan pula beberapa maca m
hidangan dan arak, masih ada kerja la in yang akan kusuruh kau."
Siau-tho mengiakan terus me langkah keluar.
Yong King-tiong mende kati dinding, dia me mbuka sebuah pintu
dan beriring melangkah masuk. Ternyata mereka telah berada di
kamar rahasia dimana ke maren mala m mereka berbicara.
"Silakan duduk Kongcu," ucap Yong King tiong, ”se mala m suntuk
kau tidak tidur, boleh silakan istirahat sebentar."
"Wanpwe tidak merasa letih," sahut Kun-gi. Mereka duduk
berhadapan menyandang meja kecil.
Tanya Yong King-tiong: "Bagaimana pengala man kau se mala m
waktu selulup ke dasar kola m dan masuk ke ka mar gua itu?"
"Me mang akan kulaporkan kepada pa man." ujar Kun-gi. La lu dia
bercerita ringkas je las pengala mannya di dasar kola m ibtu.
Yong-king-tiong mendengarkan dengan seksa ma, setelah Kun-gi
habis bercerita, baru dia manggut2 sambil menge lus jenggot,
katanya: "Syukurlah kalau sudah kau hancurkan, cita2 Losiu sela ma
ini sudah tercapai. Mengenai tiga ga mbar se madi itu, ke mungkinan
adalah penuntun dasar untuk meyakinkan ilmu pedang dengan jalan
semadi, kalau se mbilan jurus terdepan sudah Kongcu latih dengan
mahir, boleh kau lanjutkan dengan ajaran semadi yang terukir di
dinding itu."
"Pendapat paman me mang betul."
Tengah bicara pintu ke mbali terbuka, Siau-tho melangkah masuk
sambil me mbawa tenong, dia taruh arak dan piring mangkok yang
berisi ber-maca m2 hidangan di atas meja, lalu katanya sambil
me mbungkuk: "Congkoan dan Kongcu silakan ma kan bersa ma."
"Di sini tidak perlu pelayananan lagi, kaupun pergi makan,
setelah itu suruh orang di dapur me mbenahi beka l masing2 dan
kumpul di depan, nanti ikut Losiu pergi."
Siau-tho melenggong, tanyanya: "Congkoan hendak
meninggalkan te mpat ini?"
"Jangan banyak tanya, semua orang akan pergi, kaupun lekas
bebenah, dengarkan pesan Losiu selanjutnya."
Dengan terbelalak heran sesaat Siau-tho menatap Yong King
tiong, akhirnya dia menunduk sa mbil mengiakan dan mengundurkan
diri.
"Marilah Ling-kongcu, tidak usah sungkan, lekas kita makan
seadanya."
Masih banyak urusan yang harus dikerjakan, ma ka Kun-gi tidak
sungkan2 lagi, segera mereka makan sekenyangnya. Siau-tho
tampak me langkah masuk pula, me mbawa dua cangkir teh wangi
serta hendak mengangkuti piring mangkok.
"Siau-tho," kata Yong King-t iong setelah meneguk secangkir teh,
"tidak usah diangkuti lagi, pergilah kau bebenah barang2mu saja,
kita akan segera berangkat."
"Kecuali beberapa perangkat pakaian, hamba tidak punya bekal
apa2 lagi," sahut Siau-tho.
"Baiklah mari kita berangkat," ajak Yong King- t iong.
Siau-tho berlari keluar, cepat sekali dia sudah berlari datang pula
dengan menjinjing sebuah buntalan kecil, dipinggang masih
menyoreng sebatang pedang.
Yong King-t iong mendahului berdiri, katanya: "Mari berangkat
Ling-kongcu."
Kun-gi ikut berdiri, bertiga mereka keluar dari ka mar rahasia itu,
Yong King-tiong menoleh dengan perasaan berat, katanya lirih:
"Sejak umur likuran tahun Losiu atas perintah perguruan
mendharma-bakt ikan diri di He k-liong-hwe. Empat puluh tahun
la manya tinggal di sini, kini harus pergi takkan ke mbali lagi, hati
merasa a mat berat sekali."
Lalu dia mendahului melangkah keluar menuju ke lorong panjang
sana, kembali ke ka mar batu di bagian luar gua, kee mpat jago
pedang bersama lima laki2 dan dua perempuan tua yang biasa kerja
di dapur sudah lama menunggu dengan menyandang buntalan
masing2. Melihat Congkoan datang sere mpak mereka berdiri.
Yong King-tiong me mbuka pintu sebelah kiri, dari dala mnya dia
menyeret keluar seonggok uang perak terus dibagikan kepada orang
banyak, setiap orang kebagian dua ratus tahil perak, katanya
ke mudian: "Ka lian boleh pergi dan carilah nafkah secara halal,
sekedar pesangon ini boleh buat modal dagang atau untuk usaha
lain, selanjutnya jangan singgung soal He k-liong-hwe." La lu dia
berpesan pula: "Loh Jongi, kau harus mengawal mereka keluar,
pergilah ke Ga k-koh-bio menunggu Losiu di sana."
Salah seorang jago pedang baju hitam mengiakan sa mbil
menjura. Tiba2 Siau-tho maju menjatuhkan diri berlutut, katanya
sambil menye mbah: "Cong-koan yang terhormat, sejak kecil ha mba
dibawa ke mari, entah di mana ayah bundaku se karang, tiada
tempat yang kutuju dan tiada sanak kadang yang bisa kupercaya
biarlah ha mba menda mpingi Cong-koan saja, mohon Congkoan
menaruh belas kasihan, jangan suruh ha mba pergi."
Yong King-tiong menjadi kasihan melihat gadis re maja ini
bercucuran air matanya, katanya: "Lohu akan meninggalkan te mpat
ini, selanjutnya kalian tak usah pangil Congkoan kepadaku, apalagi
kerajaan tidak akan me mbiarkan Lohu, mana boleh kau ikut Lohu
mene mpuh bahaya, akan lebih baik ..."
"Setelah meningga lkan te mpat ini, ha mba akan pandang engkau
sebagai kakek, tolong engkau menerimaku sebagi cucu saja."
Demikian ratap Siau-tho dengan sesenggukan.
Me mang Siau-tho tidak punya sanak kadang, gadis sebatangkara
bagaimana bisa hidup di masyarakat luas yang banyak godaan,
maka Yong King-tiong lantas mengulap tangan kepada Loh Jonggi,
katanya: "Baiklah, kau bawa mere ka pergi lebih dulu."
Loh Jonggi mengia kan, ia pimpin orang banyak keluar dari pintu
sebelah kiri.
Bahwa Yong King-tiong menerima permohonannya, keruan Siau-
tho kegirangan, berulang kali dia menyembah pula baru berdiri ke
pinggir.
"Phoa Sib-bu, Go Nui-cu, Kik Su-hou boleh ikut lohu, di jalan
peduli siapapun kalau tiada pesan lohu, kularang kalian turun
tangan," kata Yong King-tiong pada sisa ketiga jago pedang uang
masih tingga l.
Tiga jago pedang yang masih berdiri di pojok sana me ngiakan
bersama.
"Silahkan Ling-kongcu," kata Yong-t iong lebih lanjut, lalu dia
mendahului menunjuk jalan. Ke mba li mere ka berada di lorong2
panjang yang gelap, cuman lorong di sini cukup luas, rata dan
bersih, jelas lorong ini me njurus ke Ceng-liong-tong.
Yong King-tiong di depan, Kun-gi mengikut di belakangnya, Siau-
tho dan tiga jago pedang baju hitam berada di belakang Kun-gi,
tiada seorangpun yang buka suara, hanya derap langkah mereka
ber-lari kecil saja yang terdengar.
Kira2 setengah li baru lorong ini berakhir, mendadak langkah
Yong King-tiong diperla mbat, lalu berhenti di bawah dinding, ia
menekan pada sebuah sasaran di dinding, la lu terdengar suara
gemuruh terbukalah sebuah pintu di tengah dinding.
Yong King-t iong mendahului melangkah masuk dengan kedua
tangan melintang di depan dada, hanya beberapa langkah saja lalu
dia berhenti.
Me mbiarkan Kun-gi, Siau-tho dan ketiga jago pedang sa ma
masuk, lalu dia mene kan pula ke dinding dua kali, pintu batu pelan2
menutup rapat pula. Mendadak dia ayun telapak tangan terus
menghanta m keras2 ke te mpat yang ditekannya tadi. Maka
terdengar suara keras bergema, begitu keras getaran yang
terjangkit akibat pukulan itu sehingga debu beterbangan dari atap
lorong.
"Alat rahasia pintu2 lorong yang mene mbus ke Hek-liong-tam
telah lohu rusak, selanjutnya takkan bisa dibuka lagi," de mikian kata
Yong King-tiong dengan nada rawan, lalu dia beranjak mende kati
dinding sebelah kanan, pelan2 mene mpe lkan kuping ke dinding
seperti mendengarkan apa2 sekian la ma, selanjutnya dia pindah ke
dinding sebelah kiri, mene mpelkan kuping pula mendengarkan
dengan seksa ma.
Melihat tinda k-tanduk orang, Kun-gi maklum apa artinya, apalagi
sepanjang perjalanan dan pengalamannya selama di lorong2 ge lap
itu mena mbah pengetahuannya, dia menduga pada dinding di
kanan kiri ini pasti terpasang pintu rahasia.
Setelah mendengarkan se kian la ma, mendadak Yong King-tiong
mengetuk kaki dinding sebe lah kiri dengan tungkak kakinya, pelan2
tangan kananpun mendorong ke depan. Tempat di mana dia berada
ternyata betul, adalah sebuah pintu rahasia, didorong pelan2 pintu
batu yang tebal berat itupun terbuka.
"Tunggu sebentar Ling-kongcu," ucap Yong King-tiong, "pintu ini
berputar bolak-balik, setelah lohu masuk ke sana baru boleh
mendorongnya pula" Habis bicara dia terus me langkah ke sana,
pintu itupun terbalik dan menutup rapat.
Menuruti pesan orang, Kun-gi mendorong pintu serta melangkah
ke sana, demikian yang lain2 satu persatu meniru orang yang
duluan. Di balik pintu sudah tentu merupakan lorong panjang pula.
Cuma lorong di sini jauh lebih se mpit, sama2 gelap gulita pula.
Dengan tangan kiri mengangkat tinggi obor, tangan kanan
me lindungi dada, Yong King-tiong berpaling dan berkata lirih:
"Te mpat ini sudah masuk daerah Ceng-liong-tong yang terlarang,
banyak dipasang perangkap, keadaan sebenarnya Losiu tidak begitu
jelas, maju lebih lanjut lagi setiap saat menghadapi sergapan.
Kongcu gengga m saja Le liong-cu, supaya cahaya mutiara itu tida k
terlihat oleh orang lain, lebih baik kau menghunus pedang juga,
supaya tidak menimbulkan suara."
Melihat orang berpesan dengan nada serius, pelan2 Kun-gi
keluarkan pedang serta menanggalkan mutiara dan di gengga m di
tangannya, karena lorong di sini se mpit, Ih-thiankia m terlalu
panjang, maka dia me ma kai pedang pandak.
Sedang Siau-tho dan ketiga jago pedang juga menyiapkan
pedang masing2. Bukan saja gelap gulita, lorong yang sempit dan
panjang inipun terasa sunyi lenggang. Suara pedang terlolos dari
serangka mereka menimbulkan pantulan ge ma yang cukup keras
juga. Maka terdengar sebuah bentakan keras berkumandang dari
arah depan: "Siapa di sana?"
"Lohu", seru Yong King-tiong, suaranya kereng dan berat,
sehingga menimbulkan pantulan suara yang bergema mendengung.
Maka teguran orang di depan tidak bersuara lagi.
Tanpa me mada mkan obor, Yong King-tiong berpaling, katanya:
"Mari ikut aku."
Cepat sekali langkah mereka, kira2 sebidikan panah jauhnya,
mendadak terdengar pula bentakan lebih keras: "Siapa yang
datang? Hayo berhenti!" Ta mpak selarik sinar api dengan
menge luarkan deru angin kencang me luncur tiba. "Blup", api itu
jatuh di depan kaki Yong King tiong, seketika meledak dan apipun
berkobar.
Itulah panah buatan khusus, nyala api a mat keras dan besar
sehingga jalan lorong selebar tiga kaki terbendung oleh kobaran api.
Belum api pada m, dari arah depan muncul seorang berpaka ian
hijau, tanyanya: "Siapa kalian?"
Terpaksa Yong King-t iong berhenti, dengusnya: "Memangnya
Tang-heng sudah t idak kenal lagi pada Lohu?"
Si baju hitam me lenggong, serunya: "Apakah Yong-congkoan
yang datang?" Di bawah cahaya api, jarak dalam tiga tombak cukup
terang, tapi karena teraling asap tebal sehingga sukar melihat jelas
orang di seberang.
"Betul, inilah Lohu," kata Yong King-tiong.
Mendengar yang datang betul Yong King-tiong, pejabat Hek-
liong-ta m Congkoan, kedudukannya sejajar dengan para Tongcu
yang mengetuai setiap seksi, sudah tentu orang itu tidak berani
ayal, lekas dia merangkap tangan menjura, katanya: "Ham-ba tida k
tahu akan kedatangan Yong-congkoan, harap dimaafkan kelala ian
ini." Habis kata2nya, kembali terdengar suara "Blub", api yanrg
masih berkobar besar itu seketika pada m, asap juga sirna seketika.
Yong King-tiong me muji di dala m hati: "Peralatan senjata api
orang ini me mang lihay."
Dia m2 iapun heran, batinnya: "Setelah mengundurkan diri dari
Say-cu-kau, Cui Kinin sudah berangkat setengah ja m lebih dulu,
seharusnya dia sudah menyampa ikan perintah untuk berjaga lebih
ketat, tapi dari nada Tang Kim-seng, agaknya dia belum tahu ka lau
aku sudah berontak?" Sembari me mbatin segera ia melangkah
maju, katanya: "Apakah Tang-heng berdinas di daerah ini?"
"Ha mba diperintahkan me mbantu Nyo-heng di sini."
"Di mana Nyo Ci-ko se karang"' tanya Yong King t iong.
"Ha mba bertugas jaga pintu ini, Nyo-heng ada di dala m."
Dengan kale m Yong King-tiong mengha mpiri dan berhenti di
depan orang, katanya: "Lohu mendapat perintah kemari untuk
me mbe kuk orang, entah siapa saja yang terperangkap di dala m
sana"
"Jumlahnya tidak banyak, tapi Kungfu mereka rata2 tinggi,
agaknya ada Pangcu Pek-hoa-pang, cuma sekarang kita hanya
berhasil mengurung mere ka, belum bisa me mbe kuknya hidup2."
"Baiklah, biar Lohu periksa di dala m," kata Yong King-tiong.
Terunjuk mimik serba salah pada muka Tang Kim-seng, katanya:
"Ha mba mendapat kuasa dari Cui-congka m (komisaris besar) untuk
me larang keras, siapapun tida k boleh masuk kecua li me mbawa
medali e mas, Yong-congkoan . . . . ?'
Tanpa menunggu orang bicara habis, Yong King-tiong lantas
menukas: "Cui-tongcu suruh a ku ke mari me mbekuk musuh, sudah
tentu me mberikan meda li kebesarannya? Nah, lihatlah yang jelas
Tang-heng', tangan kanan segera diangsurkan ke muka orang.
Tak pernah terpikir oieh Tang Kim-seng bahwa orang akan
bertindak mendadak, sambil mengiakan segera ia hendak
menerima. Ta k terduga tangan yang disodorkan ke depan tahu2
terpegang pergelangan tangannya, kelima jari Yong King-tiong telah
menjepit sekeras tangga m, keruan ia berjingkrak kaget, serunya
bingung: "Yong-congkoan . . . . ""
Yong King-t iong tahu orang ini mahir menggunakan berbagai alat
rahasia yang serba berapi, lihaynya bukan main, begitu berhasil
pegang urat nadi orang, segera dia kerahkan tenaga pada lima
jarinya, katanya sambil tertawa ejek: "Tang-heng tidak usah banyak
bicara, ikuti saja kehendakku." Lalu dia me langkah ke depan.
Karena pergelangan tangan kanan terpegang, badan Tang Kim-
seng menjadi le mas, sudah tentu tak mampu meronta lagi, terpaksa
ia ikuti saja kehendak orang, katanya: "Yong-congkoan, lepaskan
peganganmu, ha mba a kan menunjukkan jalan bagimu."
"Tang Kim-seng," jengek Yok King-tiong, "jangan kau kira Lohu
gampang dipedayai, kau dan Nyo Ci-ko adalah ana k buah Cui Kinin
yang diutus kerajaan sebagai cakar alap2 di sini, hayolah ikut i
perintah Lohu, jiwamu masih dapat kuampuni." Sa mbil bicara
mereka sudah tiba di depan sebuah dinding.
Yong King-tiong bertanya: "Di balik pintu ini apakah ada orang2
Ceng-liong-tong yang jaga?"
"Sebelum terang tanah ha mba baru bertugas di sini dan ada
perintah jika ada orang menerjang keluar, siapapun harus dibunuh
tanpa perkara, tentang keadaan di dala m, sungguh ha mba tida k
tahu apa2."
"Kau bicara sejujurnya?" Yong King-tiong me negas.
"Setiap patah kuucapkan dengan sejujurnya," sahut Tang Kim-
seng.
"Baik, Ling-kongcu, tolong kau tutuk Ah-bunhiat dan Hong-
bwehiatnya," pinta Yong King-tiong. Ah-bunhiat bikin orang bisu
sementara, Hong-hwehiat bikin kedua lengan se mentara lumpuh tak
bertenaga..
"Congkoan. . . . . . " teriak Tang Kim-seng kaget. Belum selesai
dia bicara beruntun Kun-gi sudah menutuk Hiat-tonya.
Kini Yong King-tiong berani me lepaskan pegangan tangannya, ia
menekan sebuah tombol, segera terdengar suara gemuruh dinding,
dan lantai lorong terasa bergetar, pelan2 terbuka sebuah lubang
pintu di dinding.
Dengan penerangan obor Yong King-tiong menuding ke depan,
bentaknya: 'Tang Kim-seng, kau di depan tunjukkan ja lannya."
Karena Hiat-to tertutuk, tangan tak mampu bergerak dan mulut
tak dapat bicara, sudah tentu Tang Kim-seng t idak berani
bertingkah, terpaksa dia melangkah masuk ke balik pintu. Maklum
meski beberapa hiat-to tertutuk, tapi ilmu silatnya belum punah
seluruhnya, kedua kaki masih dapat berjalan dengan langkah lebar
dan cepat. Semula dia masih berjalan dengan baik, tapi begitu t iba
di balik pintu, langkahnya segera dipercepat, seperti serigala yang
lepas dari kurungan, secepat anak panah dia melesat sejauh dua
tombak.
Melihat orang mendada k lari, Yong King-tiong hanya mendengus,
baru saja dia angkat tangan hendak menyusul dari kejauhan Tang
Kim-seng yang sudah sejauh dua tombak itu tiba2 berkelebat ke
tempat gelap, tiga bintik seperti kunang2 mendadak meluncur tiba
menerjang Yong King-tiong dengan formasi segi tiga.
Sudah la ma Yong King-tiong tahu bahwa senjata rahasia berapi
Tang Kim-seng me mang lihay, maka dia suruh Ling Kun-gi menutuk
Hong-hwehiat supaya kedua tangannya tak dapat bergerak,
sungguh tak pernah terpikir bahwa tanpa menggunakan tangan
orangpun dapat menimpukkan senjata rahasia.
Melihat tiga bintik sinar me lesat tiba, ia tak berani
menya mbutnya, sembari me mbentak keras, tangan yang sudah
terayun dia tepuk ke depan. Ke tiga bintik sinar dingin seketika
tersampuk pergi dan "Ting, tring, tring." semuanya terpental balik
me mukul dinding, menyusul suara itu terdengar pula tiga kali
ledakan le mah, berha mburlah ke mbang api dan asap tebal yang
menyala di dinding.
Mencelos juga hati Yong King-tiong me lihat kehebatan senjata
rahasia berapi Tang Kim-seng, kalau terkena badan orang tentu
akan terbakar mampus. Karena sedikit gangguan ini bayangan Tang
Kim-sengpun sudah lenyap entah ke mana.
Terpaksa Yong King-tiong hanya angkat pundak saja, setelah
orang banyak masuk ke lorong di balik pintu baru dia berpesan
dengan suara lirih: "Setelah kita masuk ke pintu ini, apalagi keparat
she Tang itu sempat lolos, keadaan selanjutnya pasti amat
berbahaya, sembarang waktu mungkin menghadapi sergapan serta
berhantam sengit dengan musuh, maka ka lian harus lebih waspada,
lebih baik setiap orang menga mbil jarak tertentu, supaya bebas
bergerak."
"Kekuatiran pa man me mang beralasan," Kun-gi menyokong
pendapatnya.
Dengan mengacungkan obor Yong King-tiong lantas melangkah
ke depan, sebelah tangannya melintang menjaga dada, mata kuping
di jaga seksa ma me meriksa keadaan sebelah depan. Tak la ma
ke mu-dian, tiba2 terdengar suara hardikan orang, disusul suara
gerungan tertahan, suara gerungan itu seperti suara seorang yang
tenggorokannya tersumbat sehingga susah bersuara.
"Keparat she Tang itu agaknya mengbadapi musuh," kata Kun-gi.
"Betul," sahut Yong King-t iong mengangguk.
Beberapa langkah pula mereka maju, mendadak terdengar
bentakan keras dari lorong depan sana: "Yang merintangi aku
ma mpus!" Berbareng sesosok bayangan orang menerjang datang.
Dengan mengangkat tinggi obornya Yong King-tiong me mapak
maju mengadang di tengah ja lan, bentaknya: "Berhenti!"
Tapi gerak terjangan orang itu amat cepat, baru Yong King-tiong
me langkah setindak me ngadang di tengah lorong, orang itupun
sudah menerjang tiba di depannya, kedua pihak jadi sa ling papak.
Melihat ada orang mengadang jalan, orang itupun me mbentak
bengis: "Minggir!" Tanpa tanya siapa di depannya, jari tangannya
terus menutuk.
Di bawah penerangan, obor Yong King-tiong me lihat jari lawan
berwarna merah me nyolok, itulah Hiat-ing-ci (jari bayangan darah).
Sambil tertawa dingin Yong King-tiong menyambut serangan
orang sambil me mbentak: "Siapa kau, kenapa ma in serang?" .
Tutukan jari yang merah mengeluarkan desis angin kencang
seketika bentrok dengan pukulan yang mengeluarkran da mparan
angtin pula. Mulut qpenerjang itu mrasih terus mengoceh: "Yang
merintangi aku ma mpus!"" Tapi badannya terpental mundur t iga
langkah oleh benturan angin keras tadi.
Jarak Kun-gi dengan Yong King-t iong ada beberapa kaki, begitu
mendengar bentakan kedua pi-hak, le kas dia me mburu maju;
teriaknya: "Kendurkan pukulanmu pa man Yong, dia orang Pe k-hoa-
pang.”
Begitu berdiri tegak pula orang itu lantas me mbentak lagi sa mbil
menerjang ma ju.
Mendengar oraug ini ada lah anggota Pek-hoa-pang, Yong King-
tiong bersuara tertahan dan menyingir ke sa mping. Sementara Kun-
gi sudah melompat maju mengadang di depan orang itu, teri-aknya:
"Liang-heng, lekas berhenti!". Ternyata orang ini adalah Hiat-ing-ci
Liang Ih-jun.
Tampak pakaiannya sudah koyak2, badannya terluka puluhan
goresan pedang, kedua bola matanya merah mendelik, seperti tidak
kenal Ling Kun-gi lagi, mulutnya menghardik: "Yang merintangi aku
ma mpus!" Jari tengah disurung ke depan, secepat kilat jari yang
berwarna merah itu menutuk ke muka Kun-gi.
Baru sekarang Yong King-tiong kaget, serunya cepat: "Orang ini
sudah kehilangan ingatan, awas Ling-kongcu."
Ling Kun-gi me ngegos ke sa mping, sebat sekali tangannya
menangkap pergelangan tangan Liang ih-jun, berbareng ia berkisar
me mutar ke belakang orang, sementara jari tangan kanannya
menutuk ke Ling- tai hiat Liang lh-jun. tiga gerakan dia la ksanakan
sekaligus, bukan saja lincah dan gesit juga amat me mpesona,
keruan Yong King-tiong bersorak me muji.
Terpentang mulut Liang Ih-jun me muntahkan sekumur darah,
pelan2 badannya menjadi le mas terus mendeprok duduk di tanah,
kedua matanya terangkat dan jelilalan me ngawasi Ling Kun-gi
sekian la manya, mendadak ta mpak secercah sinar jernih pada sorot
matanya, mulutpun berteriak gi-rang: "Cong-coh . . . . " agaknya dia
hendak meronta bangun.
Lekas Kun-gi menahan punda kmya, katanya: "Liang-heng terlalu
capai, setelah mengala mi perte mpuran sengit dan la ma, kini kau
lekas himpun tenaga dan pusatkan hawa murni, jangan bicara lagi."
Tapi Liang Ih- jun masih me maksa bicara dengan tersendat:
"Pangcu . . . . mereka . . . . terkurung di dala m . . . . alat2 rahasia .
. . disini a mat berbahaya."
Kun-gi mengangguk, bujuknya: "Liang-heng tak usah banyak
bicara, keadaan di sini sudah kuketahui."
Liang Ih jun tahu bahwa luka2nya a mat parah, kini setelah
bertemu dengan Ling Kun-gi, hatipun merasa lega, maka dia tida k
banyak bicara lagi, ia duduk bersemedi me mulihkan kesehatan
badan.
Yong King tiong me noleh kepada kedua jago pedangnya, dan
me mberi pesan supaya mereka berjaga disini melindungi Liang Ih-
jun, jadi tidak usah ikut maju lebih lanjut. Kedua jago pedang itu
mengiakan.
'Marilah Ling kongcu," ajak Yong King-t iong.
"Paman Yong," ujar Kun-gi, "maju lebih lanjut ke mungkinan akan
bersua dengan orang2 Pek-hoa-pang, biarlah wanpwe yang berjalan
di depan supaya tidak terjadi salah paha m."
"Begitupun baik," ucap Yong King-tiong sambil menge lus jenggot,
"tadi kalau aku tidak tahu cara memecahkan Hiat-ing-ci, hampir saja
aku jadi korban."
Tanpa banyak bicara Kun-gi lantas berjalan mendahului, tempat
itu kebetulan berada di belokan, beruntun me mbelok dua ka li,
beberapa tombak ke mudian terdengarlah suara keresek lirih di
sebelah depan. Padahal dalam lorong gelap gulita, tapi karena Kun-
gi pegang Leliong-cu, musuh di te mpat gelap pihak sendiri di te mpat
terang, jadi lebih jelas dan mudah disergap, maka untuk maju lebih
lanjut sudah tentu harus lebih hati2. Mendengar suara keresekan
itu, Kun-gi bertambah waspada lagi, tapi begitu dia pasang kuping
mendengarkan, suara itupun lenyap.
Berkepandaian tinggi nyali Kun-gi pun besar, langkahnya tidak
berhenti, sekejap saja dia sudah tiba di tempat suara keresekan
tadi. Dalam keadaan gelap pancaran sinar Leliong-cu dapat
mencapai tiga tomba k, waktu diba pandang ke dedpan, dilihatnyaa
di sebelah depban ada dinding yang mengadang. Di sebelah kiri
mepet dinding ada bayangan seorang berdiri tegak. Orang ini
berpakaian ketat warna hijau, dari kejauhan Kun-gi sudah melihat
dan mengenali bahwa orang itu berseragam Hou-hoat Pek-hoa-
pang. Maka ia lantas bersuara lantang: "Aku Ling Kun-gi; entah
siapa di depan?"
Sambil berdiri mepet dinding, orang itu tidak hiraukan seruan
Kun-gi, tetap berdiri tak bergeming seperti tida k mendengar dan
me lihat.
Waktu bersuara, Kun-gi sudah maju lebih de kat, dalam jarak dua
tombak dia sudah melihat jelas wajah orang itu, dan bukan lain
adalah Yap Kay-sian yang serombongan dengan Pek-hoa-pangcu
Bok-tan, bersama Liang Ih-jun kedua orang ini bertugas melindungi
Pangcu. Tampak mukanya pucat seperti kertas, kedua mata.
terpejam, mepet dinding seperti kehabisan tenaga. Dilihat dari
pakaiannya yang koyak2 disana-sini, sekujur badan berlepotan
darah, paling sedikit ada puluhan luka di badannya, jelas barusan
telah mengala mi pertempuran dahsyat, luka2nya amat parah dan
kini tengah menghimpun tenaga dan me mulihkan se mangat.
Dia m2 Kun-gi kaget dan kuatir, dengan bekal kepandaian Liang
Ih-jun dan Yap Kay-sian yang merupa kan jago2 ke las utama, tapi
kedua orang itu mengala mi luka parah dengan puluhan luka, kalau
tidak kebentur jago ahli pedang, terang mereka baru lolos dari suatu
barisan pedang yang lihay. Maka cepat2 Kun-gi me mburu maju dan
berteriak: "Bagaima na luka mu, Yap-heng . . . . "
Mendadak dilihatnya dua gulung sinar terang meleset keluar dari
bawah ketiak Yap Kay-sian, meluncur ke arah dirinya. Waktu
me lesat keluar kedua gulung sinar itu hanya sebesar kacang, tapi
setelah mencapai satu tomba k bertambah terang dan me mbesar
nyala apinya juga berubah biru terang.
Pandangan Kun-gi taja m luar biasa, sekilas pandang dia sudah
me lihat kedua gulung sinar biru ini ternyata adalah puluhan batang
Bwehoa-cia m warna biru, pada setiap ekor jarum me mbawa
percikan api yang menyala terang.
Pada detik2 genting itu, Yong King-tiong berseru gugup di
belakang: "Awas Ling-kongcu, itulah Ceng-ling-cia m milik Tang Kim-
seng, bila menyentuh benda lantas menyala."
Tapi Kun-gi bergerak lebih cepat dari pada peringatannya, tangan
me mba lik pedang pandak se ketika menaburkan jaring cahaya hijau
di depan badannya.
Dua rumpun Ceng-ling-cia m menyamber datang bagai kilat itu,
begitu menyentuh cahaya hijau la ksana bunga salju yang
beterbangan tertimpa sinar matahari, seketika rontok berjatuhan.
Nyala api di ekor jarumpun seketika sirna tak berbekas.
Ternyata setiap rumpun Ceng-ling-cia m Tang Kim-seng ini
berjumlah tiga puluh ena m batang dengan kedua tangan menyambit
bersama, dua rumpun berarti berjumlah tujuh puluh dua, jika seba-
tang di antaranya mengenai tubuh manusia, api akan segera
berkobar, malah api yang ada pada ekor ja-rum ini sudah dibikin
sedemikian rupa dengan obat beracun, bila sudah nyala, sebelum
habis terbakar api tidak akan pada m.
Tapi kali ini tujuh puluh dua batang Ceng-ling-cia m se luruhnya
kena ditabas kutung oleh ketaja man pedang Ling Kun-gi, ma lah
tepat kena ekor jarumnya, betapapun buas dan besar daya nyala
api beracun ini, sekali tersampuk oleh hawa dingin pedang pusaka
Ling Kun-gi se ketika pada m sendirinya.
Dala m waktu sedetik itulah Ling Kun-gi sudah melihat jelas
bahwa di belakang Yap Kay-sian ada bersembunyi seorang, jelas
orang yang sembunyi ini adalah Tang Kim- seng. .Agaknya Yap Kay-
sian terluka parah, maka dengan mudah dia tertawan oleh Tang
Kim-seng, oleh karena itulah seruannya tadi tidak terjawab.
Mengingat jiwa te man terancam bahaya, mendadak Kun-gi
menghardik sekali, jari tengahnya teracung terus menutuk ke arah
Yap Kay-sian dari kejauhan. Hardikannya itu ditekan keluar dengan
Lwekang, suaranya bagai halilintar menggelegar sampa i Tang Kim-
seng merasakan kupingnya pekak mendengung, sudah tentu
jantungnya serasa hampir me lonjak ke luar. Pada saat itulah
didengarnya pula sejalur angin tutukan mendesis kencang dan
"Crat" mengenai dinding batu di belakang telinga kanannya, batu
seketika muncrat beterbangan, terasa belakang kepalanya sakit
pedas.
Ling Kun-gi me mang sengaja mengincar tempat yang miring,
kalau tidak jiwa Yap Kay-sian sendiripun bakarl terancam. Tapi
gertakannya ini justeru bikin Tang Kim-seng kaget bukan ma in, tak
pernah diduganya bahwa pe muda di depannya ini me miliki
kepandaian dan Lwekang setangguh ini.
Walau dalam wa ktu singkat ini dia berhasil me mbuka tiga Hiat-to
yang ditutuk Ling Kun-gi tadi, tapi dika la me larikan diri tadi dala m
lorong kesa mplok dengan Liang Ih-jun, tanpa sengaja dia diluka i
oleh
Hiat-ing-ci Liang Ih-jun, maka sekarang dia merasa perlu
menggunakan Yap Kay-sian sebagai tameng untuk menyela matkan
diri, malah dia me mbokong dengan Ceng-ling-ca m yang keji.
Kini mendengar hardikan Ling Kun-gi sekeras halilintar, kepala
menjadi pusing, mata ber-kunang2, ditambah angin tutukan yang
menyakit kan belakang kepalanya, karena sakit dia menjadi nekat
serta ber-teriak: "Rasakan ini!" Tenaga dia sudah kerahkan pada
dua lengan, tahu2 Yap Kay-sian dia angkat terus dilempar ke arah
Ling Kun-gi, berbareng dia lantas mengegos ke sa mping dan baru
saja kedua tangan bergerak hendak menimpuk ... . .. ."
Melihat Tang Kim-seng betul2 terjebak oleh tipu dayanya, Yap
Kay-sian dile mparnya, sementara lawan lantas mengegos ke pinggir,
keruan hatinya senang, dengan tangan kiri Kun-gi menahan ke
depan menyambut badan Yap-Kay-sian yang melayang datang,
tangan kanan menyusul menepuk sekali, segulung angin pukuian
segera menerjang ke arah Tong Kim-seng.
Kejadian ini berlangsung singkat dan cepat, Tang Kim-seng baru
mengegos ke pinggir dan hendak menggerakkan kedua tangan,
mendadak dirasakan segulung tenaga keras menerjang dirinya, tadi
ia sudah merasakan kelihayan tutukan jari Ling Kun-gi, sudah tentu
menghadapi gelombang pukulan orang dia sekali2 tak berani
manya mbutnya dengan keras, tak sempat lagi dia keluarkan senjata
apinya dia berkisar ke sebelah kanan terus menyurut mundur.
Sementara itu tangan kiri Kun-gi sudah ber-hasil menyambut
badan Yap Kay-sian, tapi begitu dia menyambut badan Yap Kay-
sian, Kun-gi tertegun, seketika itu pula hawa amarahnya berkobar.
Ternyata badan Yap Kay-sian yang disambutnya itu sudah dingin
kaku, hanya sesosok mayat belaka.
Biarpun Ling Kun-gi tidak berniat menjadi Cong-houhoat Pek-
hoa-pang, tapi dia pernah bekerja dan menduduki jabatan itu, Yap
Kay-sian adalah Hou-hoat Pek-hoa-pang, jelek2 anak buahnya.
Bukan saja soal dinas, persahabatan mereka sudah terjalin dengan
baik dan akrab, adalah pantas dan menjadi kewajibannya untuk
menuntut ba las ke matian Yap Kay-sian.
Sekejap itu mata Ling Kun-gi mendadak mencorong terang,
tangan kiripun dia tarik mundur terus diangkat tinggi lurus ke atas
kepala, lalu pelan2 bergerak menurun lalu didorong ke depa m.
Tang Kim-seng yang me ngegos tadi berhasil menghindarkan diri
dari pukulan Ling Kun-gi, serentak dia ayun kedua tangan, dari
bawah lengan bajunya tiba2 me lesat keluar puluhan jalur sinar
perak.
Itulah tiga belas batang anak panah pendek warna putih perak,
kelihatannya seperti rantai perak, secara beruntun meluncur ke luar
dari lengan bajunya, daya luncurnya keras sekali, tapi belum
seberapa jauh luncurannya mendadak berubah la m-ban. Setelah
yang di depan menjadi la mban, yang di belakang menyusul, tiba
juga ikut bergerak lamban. Maka tiga belas batang anak panah
pendek itu kini berjajar menjadi satu baris berhenti di udara, seperti
kebentur oleh sesuatu dan tak ma mpu maju lagi. .
Rupanya ketiga belas batang anak panah itu terbendung oleh
tenaga pukulan Mo-ni-in yang di-lancarkan Ling Kun-gi, tenaga yang
tidak kelihatan tahu2 menindih tiba bagai gugur gunung dahsyatnya
mendadak ketiga belas anak panah Ginling-cian itu me mutar balik
terus meluncur ke mba li menyerang Tang Kim-seng malah. Kekuatan
atau daya bakar Cinling-cian berpuluh kali lebih besar dari Ceng-ling
cia m, sudah tentu panah perak berapi inipun bisa menimbulkan
daya bakar yang luar biasa.
Melihat Ginling-sian mene mui rintangan dan tak ma mpu melukai
musuh, Tang Kim-seng sudah merasakan gelagat jele k, kini melihat
senjata putar balik hendak ma kan tuannya, keruan ia se makin
gugup, dia hendak berkelit, namun tidak se mpat lagi, dengan
menjerit keras ia roboh ke bela kang.
Waktu pukulannya berhasil menghantam ma mpus Tang Kim-
seng, sementara tangan kiri Ling Kun-gi sudah menurunkan jenazah
Yap Kay-sian, sesaat lamanya dia periksa dengan seksama, ternyata
sekujur badan Yap Kay-sian terdapat delapan belas goresan luka
pedang, luka2 tabasan yang paling berat dan menyebabkan
ke matiannya terletak pada pinggang kanannya, begitu dalam
tabasan pedang di sini sehingga mencapai lima dim. Dari sini dapat
dibuktikan bahwa Yap Kay-sign sebetulnya tidak mati di tangan
Tang Kim-seng, tapi Tang Kim-seng adalah cakar alap2 kerajaan
dengan senjata rahasia jahat yang berapi, manusia jahat seperti ini
me mang pantas mene mui ajalnya oleh senjata keji sendiri.
Yong King-tiong maju mendekat, katanya setelah memeriksa
jenasah Yap Kay-sian: "Apakah dia juga orang Pe k-hoa-pang?"
Dengan prihatin Kun-gi menjawab: "Dia bernama Yap Kay-sian
ialah seorang Houhoat Pek-hoa-pang, ilmu silatnya cukup tinggi,
tapi hampir pada saat yang sama sekujur badannya terkena tabasan
pedang, menurut luka2nya ini dapatlah diketahui kalau ilmu pedang
lawannya itu sangat cepat, telak dan kuat, kukira masih jauh lebih
unggul di-bandingkan Cap-coat-kia m-tin, paling sedikit ada delapan
belas jago pedang ke las tinggi sekaligus mengeroyok dan
menghujani tubuhnya sehingga tak mungkin dia dapat
menyela matkan diri, tubuhnya terluka delapan belas goresan
pedang. Yong-lopek, tahukah kau barisan pedang apakah ini, masa
begini lihay?"
Yong King-tiong geleng2 kepala, katanya: "Cui Kinin adalah
Ceng-liong-tongcu, tapi diapun merangkap Komisaris umum He k-
liong-hwe, tiada bedanya sebagai maha ketua He k-liong-hwe, Losiu
tahu waktu dia datang dari kotaraja hanya membawa seorang La ma
yang mengaku saudara seperguruan dengan dia, dua orang lagi
adalah Nyo Ci-ko dan Tang Kim-seng, kabarnya merekapun anggota
Siwi ke las tiga di istana raja, jabatan dan kedudukan mereka tidak
lebih rendah dari Han Janto, kecuali tiga orang ini, seingatku tiada
orang lain lagi, kecuali itu Ceng-liong-tong hanya ada beberapa jago
pedang dan dayang pribadi Cui Kinin, mengena i jago2 pedang itu
me mang me miliki Kungfu yang tidak le mah, tapi tingkat mereka
setingkat dengan jago2 pedang bawahan Losiu, jadi tiada seorang
kosen yang betul2 dapat diagulkan."
Terkerut alis Kun-gi, katanya: "Aneh kalau begitu, dengan bekal
kepandaian silat Yap Kay-sian, jelas tak mungkin dala m wa ktu
sekejap sekaligus badannya terluka oleh delapan belas serangan
pedang . . . . "
"'Betul", ucap Yong King-t iong manggut2, "Walau Losiu tak
pernah menyaksikan taraf kepandaian orang she Yap ini, tapi ka lau
Ling-kongcu bilang kungfunya tinggi, jelas tak perlu diragukan, tapi
dari delapan belas luka2 ini dapat kita nila i, tampaknya dia tidak
ma mpu lagi me mbe la diri, hanya berdiri dia m saja me mbiarkan
tubuhnya dihujani serangan pedang, kalau tidak tak mungkin
lukanya bisa begini banyak."
Sesaat Ling Kun-gi berdiri me lenggong mengawasi dinding yang
mengadang di depan sana, jelas di dinding ini ada pintu rahasia
pula, mengingat Bok-tan, Giok-lan, Bikui (Un Hoankun) dan lain2
mungkin berada di balik pintu ini, kemungkinan merekapun telah
terluka parah. Liang Ih-jun dan Yap Kay-sian yang me mbeka l
kepandaian setinggi itupun terluka parah, apalagi mereka yang telah
terperangkap di dalam sana, jelas setiap saat meng-hadapi mara
bahaya juga.
Terbayang akan Bok-tan dia teringat kepada Un Hoankun pula,
hatinya menjadi gelisah, katanya: "Yong-lopek, di sini ada pintu
rahasia lagi, entah cara bagaimana me mbukanya, marilah lekas kita
masuk ke sana."
Sekilas Yong King tiong melirik mayat Tang Kim-seng yang
mengge letak di kaki te mbok sana, mendada k tergerak pikirannya:
"Tang Kim-seng berlari sampai di sini, kenapa tidak buka pintu terus
lari ke sebelah dala m? Tapi dia sengaja pakai mayat sebagai tameng
dan main me mbokong? Me mangnya di balik pintu ini ada perangkap
yang amat lihay!"
Karena itu, sambil me ngelus jenggot dia ber-kata : "Losiu tidak
tahu alat perangkap yang terpasang di balik pintu, tapi mengingat
Tang Kim-seng lari sa mpai di sini dan tak berani masuk lebih lanjut,
dapatlah ditarik kesimpulan pasti ada jebakan lihay di sana, setelah
Losiu berhasil me mbuka pintu rahasia ini, jangan Ling-kongcu
berlaku gegabah, lihat dulu keadaan baru masuk."
"Wanpwe sa ma sekali asing mengenai a lat2 perangkap, silakan
paman me mberi petunjuk," kata Kun-gi.
Dengan tersenyum Yong King-tiong lantas maju beberapa
langkah, ia me ngelus dinding lalu menekannya beberapa ka li,
setelah itu tangan kanan melindungi dada, cepat dia menyurut
mundur pula.
Dinding batu mula i bergetar dan pelan2 terbuka sebuah celah
pintu, tapi tak nampak adanya reaksi apa2. Sudah tentu di balik
pintu adalah lorong panjang pula, lebarnya juga hanya tiga kaki,
keadaan di sinipun gelap gulita, lima jari sendiripun tidak kelihatan,
keadaan hening lelap, tak terdengar suara apapun.
Sementara itu Yong King-tiong telah merogoh keluar dua
bumbung besi bundar dari tubuh Tang Kim-seng dan beberapa
puluh batang Gin ling-sian, katanya dengan tertawa : "Ling-kongcu,
coba kau mundur beberapa langkah. biar Losiu mencobanya."
Kun-gi lantas mundur dua langkah. Yong-King-tiong lantas maju
pula, ia pegang sebatang Gin ling-sian terus menimpuknya ke
dalam. Ta mpak sinar perak berkelebat me mecah kegelapan disusul
suara ledakan dari permukaan tanah seketika timbul kobaran api
perak yang menyala cukup besar.
Dala m lorong sempit yang gelap itu. tiba2 timbul cahaya yang
terang benderang dapat mengawasi dengan seksa ma, panjang
lorong itu kira2 ada delapan tombak la lu me mbelok ke kiri,
bagaimana keadaan di balik pengkolan sudah tentu sukar diketahui,
tapi jalan lorong ini kelihatan lurus datar, tiada sesuatu yang
mencurigakan.
Setelab ditunggu sekian lamanya tetap tiada reaksi apa2, diam2
Yong King-bong berpikir: "Kalau tidak ada perangkap dalam lorong
ini, kenapa Tang Kim seng tak berani masuk?"
"Marilah pa man Yong, kita masuk me meriksanya," ajak Kun-gi. .
Yang King-t iong cukup tabah, cermat dan hati2, katanya
mengge leng: "Losiu kira Tang Kim-seng pasti tahu cara me mbuka
alat rahasia di sini, tapi dia lebih re la melawan kita secara mati2an
dari pada masuk ke sana, kukira pasti ada sesuatu yang menjadi
sebabnya."
"'Kalau tida k masuk sarangnya, mana dapat penangkap anak
harimau?" de mikian kata Kun-gi. "Yang penting kita harus lebih
hati2, paman boleh tunggu saja di sini, biar Wanpwe coba masuk ke
sana."
"Kalau harus masuk marilah bersama supaya bisa saling
me mbantu," ujar Yong King-tiong.
"Jangan, biar Wanpwe masuk sendiri, bila benar ada perangkap,
segera Wanpwe akan mundur, kalau banyak orang yang masuk,
padahal lorong sese mpit itu, kalau menga la mi kesulitan tentu sukar
bergerak, bukankah se muanya akan terperangkap ma lah?"
Yong King-tiong mengangguk, katanya: "Jika de mikian ke inginan
Ling-kongcu, Losiu tida k akan me maksa, cuma jangan kau masuk
terlalu jauh, bila menghadapi bahaya harus lekas mundur, nanti kita
rundingkan pula cara mengatasinya."
"Wanpwe mengerti." ujar Kun-gi. Sambil me nenteng pedang dan
tangan lain me megang Leliong-cu Kun-gi melangkah masuk ke
dalam lorong. Dengan mendelong Yong King-tiong hanya bisa
mengawasi punggung Ling Kun-gi.
Lorong inipun a mat gelap tapi ada cahaya mutiara di tangan Ling
Kun-gi, ma ka dia dapat maju pelan2, setiap langkahnya a mat hati2
dan diperhitungkan, keadaan terasa tenang dan aman, Yong King-
tiong yang berada di luar pintu se makin terbelalak bingung, ka lau
betul lorong itu tiada perangkap kenapa Tang Kim-seng tidak berani
masuk ke sana? Me mangnya dia tida k tahu cara me mbuka pintu ini?
Dala m pada itu Kun-gi sudah berjalan setombak lebih dan ha mpir
mencapai dua tomba k jauhnya, keadaan tetap tenang dan aman,
tapi dikala langkahnya tepat mencapai jarak dua tombah dari pintu,
tanpa bersuara pintu lorong mendadak bergerak menutup. Berdiri di
depan pintu perhatian Yong King-tiong tertuju kepada Ling Kun-gi,
tak pernah terpikir bahwa daun pintu a kan menutup secara
mendadak, waktu dia sadar dengan kaget, namun tak keburu lagi
berbuat sesuatu apa, dalam hati dia mengeluh: "Celaka!" Cepat dia
ulur tangan ke tombol untuk me mbuka pintu lagi.
Waktu pertama kali dia menekan tomboi ini pintu segera terbuka,
tapi sekarang meski dia ketuk2 sekerasnya tombol itu, daun pintu
tetap tertutup rapat.
Sudab e mpat puluh tahun Yong King-tiong hidup di lorong2 gua
dalam perut gunung ini, sedikit banyak dia sudah cukup apal akan
segala peralatan rahasia yang terpasang di sini, biasanya iapun suka
me mperhatikan, dan me mpelajarinya dengan iseng, maka boleh
dikatakan sekarang cukup ahli, juga tentang peralatan rahasia di
sini. Malah dari hasil penelitiannya itu dia sendiri telah menciptakan
ruang rahasia di kamar pribadinya dengan daun pintu yang amat
berat itu.
Beruntun dengan mengguna kan beberapa cara ia berusaha
me mbuka daun pintu, tapi tetap gagal, baru sekarang dia sadar
bahwa peralatan rahasia di sini agaknya berbeda daripada peralatan
di tempat lain, pasti di balik daun pintu ini dipasang peralatan
istimewa untuk me ngendalikan daun pintu ini. Apa yang dinama kan
peralatan khusus tentunya jauh lebih berbahaya.
Kini Ling Kun-gi terperangkap di dala m, tak heran Tang Kim-seng
lebih suka tinggal di luar sini daripada masuk ke sana. Se makin
dipikir se makin gelisah, tanpa terasa keringat membasahi badan
Yong King-tiong. Tiba2 dia mundur dua langkah, obor dia serahkan
kepada Siau-tho, pelan2 dia menarik napas. dua tangan terangkat di
depan dada Jubah hijau yang longgar tiba2 mele mbung, bola
matanya mendelik, tiba2 dia menghe mbuskan napas keras2 dari
mulut, berbareng tenaga terkerahkan pada kedua tangannya terus
mengge mpur ke daun pintu batu.
"Blang" pukulan menimbulkan getaran yang keras, lorong sempit
itu seketika diliputi hawa yang bergolak. Begitu keras pukulan dan
akibat yang timbul sehingga Yong King-t iong sendiri tertolak mundur
selangkah. Obor padam seketika sehingga lorong menjadi ge lap
gulita.
Tanpa diminta lekas Siau-tho menyulut obor pula. Yong King-
tiong maju me meriksa, pintu yang terkena pukulan dahsyatnya
masih utuh tak kurang suatu apapun. Sudah tentu dia tidak tingga l
dia m, beruntun dia me mukul lagi lebih keras, tapi hasilnya nihil,
daun pintu tida k berge ming sedikitpun ma lah hawa bergola k
semakin keras, lorong se mpit ini terasa berguncang hebat.
Tiga pukulan Yong King tiong telah dilancarkan dengan seluruh
kekuatannya, akhirnya dia menjadi le mas sendirinya, tiga pukulan
tadi boleh dikatakan telah me meras seluruh kekuatannya, maka
keadaannya sekarang menjadi loyo, wajahaya kelihatan letih.
Siau-tho maju sa mbil angkat obor, katanya lirih: "Yong-
congkoan, istirahatlah sebentar."
Yong King-tiong menghela napas, katanya: "Lohu sudah
menduga pasti di sini ada perangkap yang luar biasa. Ai, kalau Ling-
kongcu sa mpai mengala mi musibah, bagaimana Lohu harus
me mberi tanggung jawab kepada Thi-hujin?"
Siau-tho menggigit bibir, katanya setelah ber-pikir: "Menurut
pendapat hamba, Ling-kongcu me miliki kepandaian tinggi,
me mbawa senjata pusaka lagi, orang baik tentu dikaruniai umur
panjang, semoga Thian se lalu me mberkatinya."
"Ya, semoga seperti apa yang kau doakan," Yong King-tiong
menghe la napas pula.
-oo0dw0oo-

Sekarang marilah, kita ikuti pengala man Ling Kun gi di dala m


lorong, cahaya mutiara di tangannya dapat mencapai sejauh tiga
tombak, tapi dalam jarak sepuluh tombak, bila ada musuh sembunyi
pasti dapat diketahui juga oleh ketajaman telinganya, setelah
menyusuri ha mpir dua tombak dia yakin kalau dala m lorong ini tiada
orang bersembunyi, maka hatinya semakin tabah, karena dia tahu
setiap peralatan rahasia menjelang alat itu bergerak pasti akan
menimbulkan suara, meski itu hanya suara gesekan lirih sekali pasti
tidak akan lepas dari pengamatan mata kupingnya, sedikit
peringatan ini sudah cukup baginya untuk secepatnya bersiap
menjaga ke mungkinan, tapi sejauh hampir dua tombak ini, keadaan
tetap tenang dan aman, Kun-gi menjadi geli akan ketegangan
sendiri.
Lorong gua di perut gunung dengan segala peralatannya ini
adalah hasil ciptaan Sinswi-cu, pada setiap petak lorong pasti di
pasang sebuah pintu, maksudnya supaya orang luar tidak leluasa
keluar masuk menerjang ke dala m Hek-liong-hwe, pada daun pintu
di sini masing2 juga menggunakan cara yang berbeda untuk
me mbukanya.
Sejak masuk dari Ui-liong-tong sa mpai di sini, entah berapa
lorong dan betapa jauh yang telah di tempuh Ling Kun-gi, berapa
pintu pula yang berhasil dia dobrak, kecuali sering disergap oleh
mu-suh, kapan dia pernah menghadapi alat perangkap yang
berbahaya? Karena yakin di depan tiada musuh bersembunyi dan
percaya tiada perangkap apa2 di sini, maka Kun-gi me mpercepat
langkahnya, tapi waktu dia mencapa i dua tombak dari dala m pintu,
mendadak didengarnya daun pintu di bela kang tertutup, seketika
Kun-gi tersentak kaget.
Maklumlah bagi seorang persilatan yang berkepandaian tinggi,
bila bertindak soal pertama yang dia pikirkan adalah jalan mundur.
Bila dia baru mencapai satu tombak lantas tahu daun pintu akan
menutup, mungkin dengan kecepatan gerakannya dia masih sempat
me lompat keluar, tapi kini dia sudah dua tombak jauhnya, umpa ma
segera tahu juga ti-dak mungkin mundur lagi. Kejadian baga i
percikan api belaka, baru saja Kun-gi mencelos kaget, kupingnya
lantas mendengar suara keretekan dari balik dinding di kanan
kirinya.
Kejadian teramat cepat, belum lagi suara keretekan itu lenyap
mendadak dilihatnya sinar dingin berkelebat, dari dinding sebelah
kiri mendadak menusuk ke luar pedang yang tak terhitung
jumlahnya, dinding batu di sini tinggi tiga tombak panjang delapan
tombak itu hampir se muanya merupakan dinding pedang, jumlah
pedang yang menusuk keluar dari dinding sedikitnya ada tiga
ratusan batang. Padahal lebar lorong hanya tiga kaki, sedang
panjang pedang juga ha mpir tiga kaki.
Syukur Ling Kun-gi sudah berlaku hati2 dan waspada, begitu
mendengar suara dari balik dinding, betapa cekatan dia bergerak,
belum lagi pedang menusuk badannya, Seng-ka-kia m di tangan
kanannya sudah bekerja, terdengar suara benturan keras disusul
suara gemerantang, pedang panjang yang menusuk keluar, seluas
lima kaki di sekitarnya kena ditabas kutung berhamburan. Tapi
kejap lain, dari dinding sebelah kanan, kemba li muncul sinar dingin,
entah berapa banyak pedang menusuk keluar pula.
Tanpa pikir ke mbali Kun-gi kerjakan Seng-ka-kia m, di mana
pedangnya terobat-abit kemba-li suara gemerentang me meka k
telinga, seluas lima kaki di sekitarnya pedang yang sedang menusuk
dari dinding ke mba li disapunya kutung.
Kini Kun-gi aman di lingkaran seluas lima kaki itu. Hanya di
tempat inilah yang paling a man sepanjang lorong ini, meski
kutungan pedang yang menempel dinding masih mulur, tapi sudah
tak bisa me luka inya lagi.
Kini Kun-gi bisa me mperhatikan dengan se ksa ma, pedang yang
menusuk keluar dari kanan-kiri ternyata bergiliran, itu berarti
siapapun yang masuk lorong ini pasti akan binasa.
Soalnya bila merasa diserang oleh pedang yang me nusuk keluar
dari dinding kiri, dengan sendirinya akan berkelit dan mepet dinding
kanan, lorong lebar tiga ka ki, panjang pedang ada dua ka ki tujuh
dim, di sa mping berkelit kaupun harus menge mpiskan dada dan
perut, tapi pada saat itu pula, dari dinding kanan di bela kang
punggung juga, menusuk ke luar pedang yang tak terhitung
banyaknya. Secara bergiliran maju mundur begini, mustahil ka lau
sekujur badanmu tidak tertusuk.
Setelah melihat keadaan ini baru Ling Kun-gi paha m kenapa
sekujur badan Yap Kay- sian sampai terluka sebanyak delapan belas
jalur pedang. Tapi nyatanya dengan luka2 sebanyak itu dia berhasil
menerjang ke luar dari lorong ini, sungguh sukarnya tak dapat
dibayangkan, sebab selain harus me miliki kepandaian tinggi, juga
kecerdikan tida k kurang pentingnya, di samping itu harus me miliki
Ginkang yang luar biasa pula.
Mengingat Yap Kay-sian, dengan sendirinya dia teringat kepada
Bok-tan dan rombongannya, entah berapa orang sudah menjadi
korban oleh barisan pedang ini. Serasa denyut jantungnya
bertambah kencang, perasaan seperti tertekan. Hal ini ma lah
mena mbah tekadnya untuk menerjang masuk lebih lanjut.. Pedang
di sinipun harus dilenyapkan se luruhnya lebih dulu.
Seng-ka-kia m segera dia pindah ke tangan kiri, tangan kanan
menge luarkan Ih-thiankia m, dengan kedua tangan sekaligus
me ma inkan kedua pedang pusaka segera dia menerjang masuk
lebih dala m.
Tampak dua larik cahaya terang menari turun naik, di mana sinar
pedang menyamber, pedang2 selebar itu seketika sa ma rontok
berhamburan. Ling Kun-gi terus menerjang maju, tiba di belokan
lorong, dilihatnya di atas tanah menggeletak sesosok mayat yang
berlepotan darah.
Di bawah pancaran cahaya mutiara tampak jelas bahwa orang
yang menggeletak ini adalah Coh-houhoat Kiu-ci-boankoan Leng
Tio-cong adanya. Punggungnya terluka sembilan tusukan pedang,
dadanya juga tergores beberapa jalur, tapi tusukan dipunggung itu
lebih parah sehingga mena matkan jiwanya. Sebetulnya ilmu silat
orang ini lebih tinggi, tapi selama hidup dia tidak pernah pakai
senjata, maka kali ini menjadi korban secara percuma.
Mungkin dikala menga la mi serangan pedang dari dinding kiri,
dengan tangan kosong terang tak berani melawan senjata tajam.
Jalan satu2nya ialah berkelit dan mepet ke dinding kanan, tak
terduga pedang lantas menusuk keluar juga dari dinding ka-nan
sehingga luka dipunggungnya tampak lebih telak daripada luka2 di
dadanya.
Dia m2 Kun-gi menghela napas, dalam hati dia berdoa : "Leng-
heng, istirahatlah dengan tenang!" Kun-gi menerjang maju lebih
lanjut, lorong di situ agak serong dan me mbelok, kira2 de lapan
tombak lagi baru sampai di ujung lorong, ke mbali dia dihadang
sebuah dinding.
Waktu dia berpaling, kutungan pedang berserakan me menuhi
lorong, syukur dia selalu me mbe kal kedua batang pedang pusaka
ini, kalau t idak jangan harap dia bisa mene mbus hutan pedang di
sini. Dikala dia berpikir itulah, suara keresekan di balik dindingpun
berhenti. Sisa kutungan pedang yang masih mene mpel dinding dan
masih bergerak maju mundur itupun kini sudah hilang ke dala m
dinding dan tak berbekas lagi. Keadaan ke mba li tenang seperti
sediakala.
Pada saat itulah mendadak didengarnya seruan Yong King-tiong:
"Ling-kongcu .... . " suaranya keras dilandasi kekuatan dalam yang
hebat, gema suaranya mendengung di dala m lorong, nadanya
kedengaran gugup dan kuattir.
"Aaaahhh!" sebuah teriakan girang tiba2 berkumandang dari
pengkolan sana. Bayangan Yong King-tiong yang tinggi segera
muncul, sebat sekali dia sudah me lejit tiba di sa mping Kun-gi,
katanya penuh perhatian: "Ling-kongcu, kau t idak apa2.”
Terharu juga Kun-gi atas perhatian orang, lekas dia memapak
maju, katanya: "Yong-lopek, beruntung Wanpwe me mbe kal kedua
pedang ini, perangkap pedang di sini kuhancurkan se luruhnya."
Dengan seksama Yong King-tiong awasi badan Ling Kun-gi,
me mang seujung ra mbutpun t idak kurang suatu apa, ma ka dengan
menge lus jenggot dia berkata tersenyum: "Untung yang masuk
ke mari adalah Ling-kongcu, kalau Losiu, tentu sejak tadi sudah
mengge letak tak bernyawa" La-lu dia bertanya: "Jenazah di
pengkolan itu apakah juga orang Pek-hoa-pang?"
"Dia itujah Kiu-ci-boankoan LengTio-cong, Coh-houhoat Pek-hoa-
pang, orang ini dari Eng-jiau-bun, kepandaian yang diyakinkan
menguta makan kekerasan jari tangan, selamanya dia tidak pernah
pakai alat senjata, ma ka di sini dia menga la mi nasibnya yang sia l."
"Betul, hutan pedang di sini begini lebat, alat perangkap bergerak
cara hidup, bagi orang yang tidak bersenjata sudah tentu akan
menderita rugi besar," demikian ujar Yong King-tiong.
Tengah bicara, tampak Siau-tho dan seorang jago pedang baju
hitam sudah menyusul tiba.
"Yong-lopek, di sini ada pintu rahasia lagi, tolong pa man
me mbukanya," pinta Kun-gi.
Cepat sekali Yong King-tiong berhasil me m-buka pintu di dinding,
Kembali mereka me masuki sebuah lorong pula. Dengan me me gang
mut iara dan menenteng pedang Kun-gi jalan ke depan, katanya:
"Yong- lopek, biar Wanpwe me meriksanya dulu."
"Biarlah kita masuk bersa ma," ucap Yong King-tiong, "selanjutnya
takkan ada hutan pedang atau perangkap lain lagi, karena pintu2 di
sini rada2 sukar dibuka dari luar, orang yang di dalam bila
mende kati segera pintu terbuka sendiri, dari sini dapatlah diduga
bahwa orang2 Pek-hoa-pang pasti terkurung di sini."
"Baiklah, biar Wanpwe me mbuka jalan," lalu Kun-gi beranjak
lebih dulu.
Sambil menenteng pedang Yong King-tiong ikut masuk, di
belakangnya adalah Siau-tho dan jago pedang baju hitam yang
terakhir. Ternyata keadaan lorong ini tenang dan aman, kali ini Kun-
gi lebih hati2. Setelah empat tomba k jauhnya tetap tiada kejadian
apa2, maka dia percepat langkahnya.
Panjang jalan ini entah berapa li, kira2 se masakan air telah
mereka te mpuh, tapi bayangan orang Pek-hoa-pang tetap tidak
kelihatan, padahal lorong ini sudah berakhir dan diadang sebuah
kamar batu, sebuah kamar yang luas dan lebar berbentuk segi
enam, di tengah ka mar tertaruh sebuah meja bundar warna hijau
dikelilingi enamkursi batu, kecuali ini tiada benda lainnya. Keadaan
di sinipun gelap gulita sehingga sukar diketahui keadaan
sekelilingnya.
Yong King-tiong berhenti di luar pintu. tanpa terasa ia bersuara
heran.
Kun-gi berpaling, tanyanya: "Paman Yong, adakah kau melihat
gejala yang tidak beres di sini?"
"Tiga puluh tahun Losiu menjabat Congkoan Hek-liong-hwe tak
pernah kuketahui adanya tempat ini."
"Paman Yong, bukankah Han Janto tadi bilang mere ka telah ubah
lorong gua serta membangunnya lebih rumit, kalau orang2 Pek-hoa-
pang, bergerak menurut peta la ma itu berarti masuk perangkap
sendiri, mungkin di sinilah tempat yang di ma ksud itu"
"Losiu hanya tahu bahwa di belakang Ceng-liong-tong ditambah
bangunan rahasia, tempat untuk menyekap orang, tapi tak tahu
kalau di sini ada tempat seluas ini, dinding segi ena m ini entah
mengapa t idak berpintu, lalu ke mana kita harus pergi?"
Kamar yang luas ini terasa sunyi senyap, tapi di dala m sana
lapat2 terasa adanya hawa yang mencekam, dia mengerut kening,
katanya pula kepada Kun-gi: "Ling-kongcu tunggu saja di sini,
jangan sembarang bergerak, Losiu akan me meriksa ke da la m."
Segera dia kerahkan tenaga dalam, dengan hati2 dia melangkah
masuk pelan2.
Kamar ini me mang kosong melompong, kecuali meja kursi tiada
benda lain, tapi Yong King-t iong bertinda k a mat hati2, dengan
cermat dia periksa meja kursi, lalu berjalan mengelilingi dinding
sepanjang ruangan.
Terutama pada setiap sudut segi ena m itu dia berdiri cukup la ma,
matanyapun menatap ke da la m dengan tajam serta mendengarkan
dengan seksama tapi agaknya tetap tidak memperoleh sesuatu yang
diharapkan.
Setelah berdiri menunggu sekian la ma, Ling Kun-gi jadi hilang
sabar, baru saja ia hendak menyusul maju mendadak didengarnya
gema suara benturan senjata tajam yang sayup2. Betapa tajam
pendengaran Ling Kun-gi, tiba2 sorot matanya berpaling ke arah
sudut ketiga di sebelah kanan,
Lwekang Yong King- tiong juga cukup tinggi, iapun mendengar
gema suara benturan senjata dari arah yang sama, yaitu dari sudut
ketiga, ma ka iapun me mbalik ke arah sini.
Di antara anggota rombongan yang dipimpin Bok-tan, Coh-
houhoat Leng Tio-cong dan Yap Kay-sian sudah mati, sementara
Liang ih-jun luka parah, yang ketinggalan adalah Bok-tan, Giok-lan,
Bikui ( Un Hoankun) dan Ci-hwi serta Binggwat Suthay dari Ciok-sin
bio yang belum kelihatan muncul.
Suara benturan senjata itu kemungkinan adalah perjuangan para
nona yang kesamplok musuh tangguh dan tengah bertempur sengit,
keruan Lingkun-gi jadi kuatir. Maka tanpa ayal segera dia melayang
ke dalam ka mar serta berkata lirih: "Yong-lope k harap tunggu di
sini, biar Wanpwe masuk menengok ke da la m, mungkin orang Pe k-
hoa-pang sedang me labrak musuh tangguh di dala m sana" Tanpa
menunggu reaksi Yong King- tiong langsung dia berke lebat masuk
ke sudut ketiga.
Melihat betapa rasa kuatir Ling Kun-gi, Yong King-tiong jadi tak
enak merintangi, bahwasanya memang dia tak sempat
mencegahnya karena gerakan Kun-gi terla mpau cepat, terpaksa dia
berpesan dari belakang: "Ling-kongcu harus hati2, Losiu rasa
keenam sudut pintu di sini pasti tidak beres."
Kun-gi sudah melayang beberapa tombak jauhnya, sahutnya
sambil berpaling: "Wanpwe me ngerti."
Lorong di belakang sudut pintu ketiga ini juga selebar tiga kaki,
dengan me mbawa Leliong-cu, mata dan kuping dipasang tajam2,
Kun-gi maju terus ke arah datangnya suara.
Langkahnya cepat sekali, sebentar saja dia sudah mencapai
puluhan tombak, di depan mendadak muncul sebuah lorong se mpit
yang melintang. Di tempat persimpangan ini sulit me mbedakan arah
datangnya suara benturan senjata, sebetulnya gema suara itu lebih
jelas, kadang2 keras tiba2 lirih dan lenyap, dapatlah dibedakan
bahwa dua orang yang lagi berhanta m itu tidak setanding, atau
mungkin seorang me larikan diri dan yang lain mengejar, kini jarak
mereka sudah se makin de kat kearah dirinya.
Setiba dipersimpangan jalan terpaksa Kun-gi harus berhenti dan
menunggu, dengan penuh perhatian dia bedakan arah datangnya
suara, tak nyana waktu dia berhenti dan mendengarkan, itulah
suara benturan itu mendadak lenyap. Sesaat kemudian baru
berkumandang lagi, kini jelas datang dari arah sebelah kiri, cuma
suaranya kedengaran amat jauh.
Kun-gi t idak ayal lagi, lekas dia me mbelok ke kiri terus menyusul
ke sana dengan kencang. Tak terduga baru empat tombak dia
berlari, mendadak di kejauhan sana didengarnya suara hardikan
nyaring. Suara hardikan nyaring ini serasa sudah amat dikenalnya,
cuma sukar dibedakan suara siapa? Keruan dia me lenggong,
ke mbali dia menahan lang-kah dan pasang kuping mendengarkan
pula.
Tapi suara hardikan itu hanya sekali saja, lalu tak terdengar lagi.
Dari kecermatan cara Kun-gi me mbeda kan suara, dia yakin kalau
suara, hardikan itu datang dari belakangnya malah, jadi berlawanan
dengan suara benturan senjata tadi.
Sedikit merandek ini suara benturan senjata tadipun sudah
lenyap, malah dia me mperhitungkan suara hardikan, itu tidak terlalu
jauh dari tempatnya berdiri. Otaknya bekerja seeepat kilat, segera
dia putar balik terus menerjang ke persimpangan jalan, kali ini
me mbe lok ke arah kanan.
Kali ini hanya berlari kira2 enam tombak lantas dilihatnya sesosok
bayangan langsing berkelebat keluar dari tikungan sebelah depan
dan berlari me ndatangi. Jadi kedua orang berlari saling papak.
Tangkas sekali gerak-kberik bayangan langsing itu, begitu ada
orang datang dari arah depan, tanpa tanya siapa dia dan tak peduli
apa akibatnya, sekali menghardik kontan dia ayun tangan serta
menepuk ke depan. Tepukan telapak tangan ini ternyata dibarengi
dengan taburan gumpalan asap putih yang menerjang ke muka
orang.
Syukur Kun-gi sudah menahan langkah dan berdiri menunggu,
teriaknya: "Adik Hoan, inilah aku!" Gumpalan putih itu bertaburan di
muka Ling Kun-gi dan "plak", tepukan tangan orang telak mengena i
pundaknya.
Sekilas bayangan langsing itu tampak tertegun, habis itu
mendadak berjingkra k dan menjerit girang, teriaknya: "Toako, kau .
. . . " sambil berteriak segera ia menubruk maju dan menjatuhkan
diri dala m pelukan Kun gi, dengan kencang ia merangkul Kun-gi,
kepalanya mene mpel di pinggir kupingnya, bisiknya lirih penuh rasa
haru dan riang serta lega: "Toako, hampir saja aku tak bisa ketemu
lagi dengan kau." Ternyata dia bukan lain adalah Un Hoan kun yang
menya mar Jadi Bikui.
Tampak oleh Kun-gi pakaian Un Hoankun robek dua tempat,
keduanya tergores pedang hingga kulit badannya terluka, rambut
awut2an, keadaannya kelihatan amat letih dan kehabisan tenaga,
timbul rasa iba dan sayangnya, katanya sambil mengelus ra mbut
orang: "Adik Hoan, kau terluka?"
"Untunglah hanya lecet kulit saja," sahut Hoankun. "Eh, Toako,
kapan kau masuk ke mari? Kenapa hanya kau saja?"
"Panjang ceritanya, aku mencari kalian, kalau t idak mendengar
suara hardikanmu, mungkin be lum bisa kutemukan kau?"
Kepala Un Hoakun bersandar dipundak Ling Kun-gi, katanya:
"Lorong2 se mpit di sini simpang siur, seperti berada di sarang
labah2 yang menyesatkan, sukar mene mukan jalan ke luarnya, lama
kela maan rombongan ka mi lantas terpencar satu persatu, apalagi
musuh selalu menyergap dan membokong, kepandaian silat dan
ilmu pedang merekapun tera mat tinggi, kalau aku tida k me mbeka l
obat bius, mungkin aku sudah terluka parah." Setelah merandek dan
menghe la napas, dia menambahkan pula dengan tertawa: "Tadi
dengan obrt biusku juga sudah kubunuh dua orang,"
"Sejak kapan ka lian terpencar?" tanya Kun-gi.
"Entah sejak kapan, yang terang sudah cukup lama, semula Ci-
hwi masih berada di sa mpingku, ke mudian terdengar suara
benturan senjata lawan segera aku me mburu ke sana, tak tahunya
setiba di tikungan musuh lantas menyergap, setelah aku berhasil
me mbereskan orang itu, bayangan Ci-hwipun telah lenyap."
"Jadi kau hanya selalu, berada di lorong se mpit ini.”
Suara Un Hoankun seperti minta belas kasihan: "Ya, obor yang
kubawa sudah terbakar ha-bis, seorang diri aku jadi menggere met
di tempat gelap, semakin gugup se makin bingung dan se makin sulit
mene mukan ja lan ke luarnya . . . . "
Kun-gi tertawa, katanya: "Kau sudah tahu takut sekarang?"
Mengencang pelukan Un Hoankun, katanya sambil
me mbena mkan kepalanya ke dada Ling Kun-gi: "Me mangnya kau
saja yang tidak takut?"
Terasa oleh Kun-gi waktu orang bicara bau badan si nona nan
harum me mbuat hatinya rada terguncang, terutama badan orang
yang padat berisi mene mpel kencang di dadanya, jantung mereka
yang berdetak seakan saling bertautan menjadi satu, seketika badan
terasa hangat. Pelan2 dia angkat muka si nona, katanya lembut:
"Sekarang kau tak usah takut." Empat mata beradu pandang,
tampak bulu mata Un Hoankun yang panjang me lengkung, bola
matanya nan bening dan jeli, bibirnya merah seperti delima
merekah. Muka mereka me mangnya amat dekat, kini se makin
mende kat . . . ."
Badan Un Hoankun seperti mengejang, mulutnyapun mengeluh
lirih. Sayang pada detik2 romantis itu dari tempat yang gelap sana
mendadak ke larik sinar pedang berkelebat, cahaya dingin laksana
kilat menusuk ke arah mere ka.
Gerak orang ini sangat cepat, kedatangannya tidak menimbulkan
suara, tahu2 serangan pedangnya sudah menya mbar tiba dengan
perbawa yang mengejutkan.
Kun-gi terkejut sadar, lekas, dia miring kekanan sambil menarik
badan Un Hoankun, tiga jari tangan kiri dengan cepat menjepit
ujung pedang lawan, berbareng kaki kanan melayang ke dada
orang.
Karena tangan menjepit ujung pedang lawan, telapak tangannya
ikut me mba lik, cahaya mutiara yang se mula teraling kini mendada k
terpancar dan menjadikan lorong se mpit itu terang.
Tampak orang yang menyergap secara licik ini adalah laki2
berbaju hijau, usianya e mpat puluhan, dari serangan pedangnya
yang lihay serta kedatangannya yang tidak me mbawa suara, terang
dia jago kosen dari Ceng-liong-tong yang berkepandaian t inggi.
Sebetulnya si baju hijau ini tadi hanya melihat segumpal
bayangan orang di lorong sempit ini, maka dia m2 dia menggere met
maju terus menusukkan pedangnya, sungguh tak nyana bahwa
yang diserangnya ini adalah sepasang muda-mudi yang sedang
me madu cinta di te mpat gelap ini. Terutama pe muda jubah longgar
ini hanya sekali angkat tangan dan ujung pedang lantas terjepit,
keruan ia kaget, lekas dia miring badan sambil mundur setengah
tindak, berbareng tangan kiri menepuk tendangan kaki Kun-gi,
sedang tangan kanan menggentak keras, pergelangan tangan
berputar dan pedangpun ditarik.
Dengan gentakan yang dilandasi kekuatan hebat ini, ujung
pedangnya bisa menciptakan lingkaran, bagi seorang yang
Lwekangnya rendah, jari2 nya yang menjepit ujung pedang pasti
bisa tertabas kutung. Tapi Ling Kun-gi juga mengerahkan tenaga
saktinya pada ketiga jarinya yang menjepit ujung pedang lawan.
Maka terdengar "pletak", ujung pedang tiba2 patah.
Kejadian cepat sekali, orang itu tergentak mundur dua tindak
baru berdiri tegak, sekilas kelihatan tertegun, katanya dengan
tertawa marah: "Anak bagus, kiranya kau ana k murid Siau-lim."
"Kau salah satu dari tiga puluh ena m panglima Haek-liong-hwe?"
tanya Kun-gi.
Orang itu melenggong, jawabnya ke mudian: 'Darimana kau dapat
tahu?"
"Tiga puluh ena m panglima adalah orang kepercayaan Lohwecu,
seharusnya mereka patriot bangsa dan tuan . . . . . . '
Tajam tatapan mata si baju hijau, tanyanya: "Siapa kau?"
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku."
Mendadak beringas sorot mata si baju hijau, bentaknya bengis:
"Kau bocah ini, terlalu banyak yang kau ketahui." Sret, pedangnya
ke mbali menusuk ke arah Ling Kun-gi.
Dengan enteng Kun-gi mengegos kesa mping dan ba las
me mbentak: "Bukan saja banyak yang Cayhe ketahui, hari ini ma lah
aku akan me ncuci bersih na ma baik Hek-liong-hwe di bawah
pimpinan Lo-hwecu dulu, sebagai salah seorang tiga puluh enam
panglima dulu, kini kau rela menjadi antek musuh, ma ka ke matian
adalah bagianmu."
"Toako," seru Un Hoankun di belakang,"orang ini harus kita
tawan hidup2."
Karena tusukannya luput orang itu jadi me lengak, mendengar
ancaman Kun-gi lagi, seketika dia naik pita m, dengusnya: "Anak
muda sombong benar kau!" Sret, sret, kembali pedangnya bergetar
menusuk dua kali.
Di mana tangan Kun-gi terangkat tahu2 pedang pandak sudah
digengga mnya, tapi dia tidak lantas balas menyerang, kaki tida k
bergeming, hanya badan bagian atas bergontai mengikut i gerak
tusukan lawan, dua kali tusukan si baju hijau ke mbali mengena i
tempat kosong. Gerakan bergontai yang ge mulai ini adalah hasil dari
Hwi-liong-kiu-se k yang telah dia cangkok dala m pra ktek.
Dengan gerakan sederhana, tiga kali tusukan lawan yang cukup
deras ini berhasil dihindarkan, keruan hati Kun-gi berta mbah
senang, tangan kanan tiba2 terayun, maka terdengarlah suara
"trang" pedang panjang lawan yang sudah patah ujungnya itu kena
ditekannya ke bawah.
Pada saat itulah, tiba2 terlihat sebuah lengan putih halus terjulur
keluar dari samping Kun-gi, begitu kelima jarinya terpentang,
segumpa l asap berbubuk seketika menya mpuk muka orang itu.
Melihat Un Hoankun menjent ikan bubuk kabut pe mbius, si baju
hijau tahu gelagat tidak menguntungkan, tapi pedang sendiri
tertindih oleh pedang Ling Kun-gi, jangankan mau mundur,
kesempatan menarik pedangpun tak sempat lagi, tahu2 hidungnya
mengendus bau harum yang aneh, seketika pandangan menjadi
gelap. "Bluk", seketika roboh tersungkur.
Un Hoankun berjingkrak kegirangan. "Syukurlah, akhirnya dapat
kita bekuk seorang musuh hi-dup2." demikian teriaknya sambil
berkeplok.
"Untuk apa kau me nawannya hidup2?" tanya Kun-gi.
Un Hoankun berseri tawa, katanya: "Lorong sempit ini bercabang
serta me mbingungkan, kalau ada petunjuk ja lankan lumayan?"
Mendadak Kun-gi teringat akan perkataan Yong King-tiong:
"Losiu hanya tahu bahwa di belakang Ceng-liong-tong telah
ditambah bangunan rahasia.. Di sanalah para tawanan disekap, tapi
tak pernah kuduga bahwa di sini ada tempat, seperti ini."
Me mangnya Tong Bunkhing, Pui Ji-ping berdua disekap di mana?
Orang2 Pek-hoa-pangpun terpencar entah ke mana saja di lorong
sempit yang me mbingungkan ini,' baru sekarang dia sadar perlunya
seorang penunjuk jalan di te mpat yang menyesatkan ini. Maka
dengan mengangguk dia berkata: "Untung kau berpikir cermat,
me mang kita perlu bantuannya."
"Se mula a ku a mat benci mereka, maka tiada seorangpun yang
kua mpuni, setelah obor pada m, seorang diri aku putar kayun
kesasar kian ke mari barulah teringat untuk menawan seorang
musuh, tapi tiada musuh ,yang muncul lagi, suara bentakan yang
kau dengar tadi juga kudengar, maka aku me mburu ke mari,
mungkin dia inilah yang sengaja hendak menjebak orang," lalu dia
bertanya lebih prihatin: "Toako, kedua te manmu apakah sudah kau
temukan?"
"Belum," sahut Kun-gi sa mbil mengge leng.
"Nah, kan kebetulan? Orang ini besar sekali manfaatnya bagi
kami."
"Mungkin dia tidak sudi kita paralat. Hayolah adik Hoan, kita
gusur dia dulu, biar pa man Yong me mbujuk dia, mungkin dia tida k
suka rela menjadi antek musuh."
"Siapakah pa man Yong?" tanya Un Hoankun.
"Dia adalah teman ayahku almarhum, Cong-koan Hek-liong-hwe
yang sekarang, dia berada di luar, tadi kudengar suara benturan
senjata, maka aku me nerjang masuk ke mari."
"Luar? Te mpat apa di luar sana?"
"Luar yang kumaksud sudah tentu masih berada di perut gunung
Kunlunsan, yang kumaksud adalah bagian luar lorong2 se mpit di
sini," lalu Ling Kun-gi mena mbahkan: "Panjang sekali kejadiannya
kalau diceritakan, marilah ke luar dulu saja," Dengan me ngangkat
Leliong-cu dia putar badan terus berjalan balik ke arah datangnya
tadi.
Dengan cepat mereka tiba di pintu batu dan ke mbali ke ka mar
segi enam. Yong King-tiong sudah menunggu dengan tida k sabar,
untunglah akhirnya dilihatnya, Kun-gi muncul dengan me manggul
seorang, lekas dia me mapak maju, katanya: "Kenapa Kongcu pergi
selama ini? Losiu sudah ingin menyusulmu ke dala m." Belum habis
bicaranya dilihatnya pula seorang nona berjalan di be lakang Kun-gi,
dia mengangguk dan menyapa: "Apakah nona ini yang bentrok
dengan musuh?"
Kun-gi tertawa, sahutnya: "Bukan, suara benturan senjata itu
semakin menjauh, Wanpwe tidak mene mukannya." Lalu dia
perkenalkan Un Hoankun: "Hoanmoay, inilah pa man Yong." Kepada
Yong King-tiong dia mena mbahkan: "Dia bernama Un Hoankun,
puteri kesayangan Unlocengcu dari Lingla m."
Tertunduk kepala Un Hoankun, sapanya: "Paman Yong!"
Yong King-tiong manggut2, tanyanya heran: "Bagaimana nona
Un bisa masuk ke mari?"
"Paman jangan salah mengerti, untuk me mbantu Wanpwe secara
dia m2, dia menyamar jadi Bikui dan menyelundup ke dala m Pek-
hoa-pang."
"O, kiranya begitu," Yong King-tiong mengangguk.
Sementara itu Kun-gi sudah turunkan tawanannya, tanyanya:
"Paman kena l orang ini?"
"Dia berna ma Tu Hong-sing, salah seorang dari tiga puluh ena m
panglima dulu, sekarang dia salah seorang dari delapan Koan-tai
dari Hek-liong-hwe."
"Apa kerja dan tugas seorang Koan-tai?" tanya Kun-gi.
"Sesuai na manya, seharusnya Koan-tai me mimpin banyak orang,
tapi Koan-tai dari Hek-liong-hwe kira2 setingkat dengan Houhoat,
jabatan ini tidak terhitung rendah, tapi tidak punya tugas tertentu,
semula jabatan ini hanya merupa kan simbol da la m ka langan
pemerintahan kerajaan, yang terang kedelapan Koan-tai seluruhnya
dikerahkan bertugas di Ceng-liong-tong."
"Syukurlah kalau pa man Yong kenal dia, biar kubikin dia
mendusin, Ling-toako bilang supaya engkau me mbujuknya, mungkin
dia mau insaf dan bertobat, karena tidak secara suka rela menjadi
antek musuh," kata Un Hoan-kun.
Yong King-tiong berpa ling kepada Kun-gi, tanyanya: "Ling-
kongcu ingin Losiu me mbujuk dia?"
Maka Kun-gi menjelaskan keadaan di dala m lorong2 se mpit yang
simpang siur seperti sarang labah2, padahal orang2 Pek-hoa-pang
terkurung di dala m dan tak bisa ke luar, di samping dua temannya
lagi yang disekap entah dimana. Kemungkinan Tu Hong-sing bisa
bantu me mbereskan soa l2 ini, jika dapat me mbujuknya, tentu
segala urusan di sini tidak a kan mengala mi kesulitan lagi.
Sambil mengelus jenggot Yong King-t iong manggut2, katanya:
"Sebagai seorang dari tiga puluh ena m panglima sudah tentu Losiu
cukup kena l pribadi Tu Hong-sin, orang ini cupet pikiran dan sempit
pandangan, tamak harta dan gila pangkat. apalagi sekarang sudah
menjadi Koan-tai, jabatan tingkat keena m di istana raja, untuk
me mbujuknya meninggalkan pangkatnya mungkin agak sulit."
Setelah menepekur sebentar akhirnya dia menambahkan: "Ada
satu hal mungkin dapat me mbuatnya tunduk."
Un Hoan-kun lantas tertawa, katanya: "Wan-pwe tahu, Wanpwe
punya cara supaya dia tunduk dan menyerah."
"Kau punya akal apa?" tanya Kun-gi heran.
"Setiap manusia yang gila pangkat dan tamak harta pasti takut
mati," ujar Un Hoan-kun.
Yong King-tiong mengangguk, "Ucapan nona me mang betul."
Un Hoan-kun t idak banyak bicara lagi, dia mendekati Tu Hong-
sing, mendadak dia ulur dua jari tangannya yang lentik putih
beruntun menutuk tiga Hiat-to Tu Hong-sing, lalu ia mengeluarkan
satu botol kecil, dengan ujung kuku dia menga mbil bubuk obat terus
dijentikan ke hidung Tu Hong-sing.
Sungguh mujarab obat bubuk dala m botol kecil ini, begitu
mencium bau obat itu, Tu Hong-sing yang jatuh pingsan seketika
berbangkis dua kali lalu me mbuka mata. Sebentar bola matanya
berputar mengerling kian ke mari, akhirnya melihat Yong King-tiong,
Ling Kun-gi, Un Hoan-kun, seketika rona mukanya berubah,
mendadak dia bangun berduduk. Begitu duduk baru dia sadar
bahwa beberapa Hiat-to di tubuhnya telah tertutuk, kaki tangan
hakikatnya tak ma mpu bergerak.
"Tu-heng, sudah siuman kau?" sapa Yong King-tiong.
"Syukurlah Yong-congkoan berada di sini," kata Tu Hong-sing
sambil mengawasinya, "beberapa Hiat-toku tertutuk."-Ternyata
betul dia manusia yang takut mati, berhadapan dengan Yong King-
tiong, nada bicaranya seperti minta tolong dan mohon di kasihani.
Yong King-tiong berdiri kereng, katanya: "Apa-kah Tu-heng tahu
bahwa Han Jan-to sudah ma mpus, sementara Cui Kin-in sudah
merat setelah keok?" Tu Hong-sing ta mpak kaget, katanya: "Apa
betul ucapan Congkoan?"
"Sejak kini aku bukan lagi Congkoan Hek-liong-hwe, maka Tu-
heng jangan me manggilku Cong-koan, empat puluh tahun aku
berkumpul di sini dengan Tu-heng, ma ka ingin kuberi nasehat, kita
kan bangsa Han, sesama anggota Thay-yang-kau dan bersumpah
setia di depan cakal-bakal, adalah tidak pantas rela menjadi antek
dan cakar alap2 musuh.
Berubah hebat air muka Tu Hong-sing, serunya dengan terbeliak
kaget: "Yong-congkoan, kau telah berontak?"
"Betul, dulu bersa ma Tu-heng kita sama2 me ndapat kebaikan
dan bimbingan Lohwecu, tapi sejak Hek-liong-hwe jatuh ke tangan
musuh, maka kau lantas diperalat untuk menjadi algojo terhadap
sesama pahlawan bangsa, kini t iba saatnya kita harus insaf dan
bertobat, tidak pantas selalu tersesat dan diperalat, asal kau mau
bekerja sama dengan kami, aku bertanggung jawab, pasti tidak
akan me mbikin rugi kau seujung ra mbut."
Agaknya terjadi perang batin dala m benak Tu Hong-sing, la ma
sekali dia sukar a mbil keputusan, kedua matanya mere m me lek,
menepekur kebingungan.
Un Hoan kun tahu orang agaknya tengah mengerahkan hawa
murni, maka dengan tertawa dingin dia mengejek: "Orang she Tu,
ketahuilah, Hiat-to yang kututuk adalah ajaran khas keluarga Un
dari Lingla m, kalau kau mengerahkan hawa murni ingin
menjebolnya, awas kalau tersesat dan malah ce laka bagi jiwa mu."
Terbeliak Tu Hong-sing, katanya ke mudian:
"Apa keinginan kalian?"
"Bergantung bagaimana sikapmu terhadap uluran tangan kami,"
jengek Un Hoan-kun.
"Cayhe sudah jatuh ke tangan kalian, mati hidupku berada di
genggamanmu, me mangnya apa lagi yang dapat kulakukan?"
"Hanya ada satu jalan bisa kau te mpuh, yaitu tunduk akan
ke mauanku. Nah, mati atau hidup terserah pada pilihanmu sendiri."
Tu Hong-sing me lirik ke arah Yong King-tiong, Yong King-tiong
pura2 tidak me lihatnya, malah me lengos ke arah lain.
"Se mut saja ingin hidup apalagi manusia, daripada mat i, hidup
sengsara juga mending. . ." de mikian kata Tu Hong-sin. "Cuma
Cayhe ingin tahu soal mati dan hidup tadi, kalau hidup bagaima na?
Jika mati bagaimana pula?"
"Soal sederhana. Pertama, seperti yang dikatakan pa man Yong
tadi, asal kau mau kerja sama dan tidak mengandung maksud jahat
serta tidak berusaha melarikan diri lagi, setelah ka mi keluar dari
Kun-lun-san, peduli kau akan berbuat jahat atau bajik, menjadi
lawan atau kawan, kami tetap akan melepasmu, soal kedua . . . . "
mendadak dia tutup mulut.
"Bagaimana dengan syarat kedua?" tanya Tu Hong-sing.
"Jalan kedua ialah kau harus tunjukkan keadaan di sini yang
simpang siur, di mana pula kalian mengurung tawanan, kalau kau
tidak mau menjelaskan, ka mi akan mengompesmu dengan
kekerasan, menyiksa mu sa mpai mati bila kau t idak me njelaskan."
Terunjuk rasa ngeri pada rona muka Tu Hong-sing, kepala
tertunduk, mulutnya berguma m sendiri: "Orang, she Tu sudah hidup
sekian la manya, me mangnya harus mati di sini tanpa diketahui
orang?"
"Me mangnya, setelah keluar dari sini, kami pasti melepasmu, dari
pada kau mati tersiksa dengan sia2, bukankah sayang?" de mikian
bujuk Un Hoan-kun.
Tu Hong-sing angkat kepala mengawasi Un Hoan-kun, katanya:
"Baiklah," coba kau katakan dulu cara bagaimana akan kerja sama
itu?"
"Jadi kau sudah terima syaratku? Baik, apa yang dikatakan kerja
sama ada dua hal. Pertama, kau menjadi pelopor menunjukkan
jalan di sini, cari ke mbali orang2 Pek-hoa-pang yang tercerai berai di
sini. Kedua, tunjukkan tempat tahanan, kami akan menolong dua
sahabat Ling-toako."
"Hanya dua soal ini saja!" Tu Hong-sing menegas.
"Betul," sahut Un Hoan-kun tegas.
"Baik, Cayhe terima se mua syarat itu, bukalah Hiat-toku."
"Paman Yong," tanya Un Hoan-kun kepada Yong King-tiong,
"apakah omongannya dapat dipercaya?"
Sambil me ngelus jenggot Yong King-tiong bergelak tertawa,
katanya: "Sukar dikatakan, Losiu dengan Tu-heng dulu me mang
sesama anggota tiga puluh enam panglima, tapi setelah dia menjadi
cakar alap2, sukar dikatakan apakah dia dapat dipercaya atau
tidak?"
Mengawasi Yong King-tiong, bukan kepalang marah Tu Hong-
sing, pikirnya: "Yong King-t iong, kenapa tida k kau pikir, dulu kaupun
menyerah kepada kerajaan sa mpai se karang, aku paling2 menjabat
Koan-tai kelas enam, kau orang she Yong justeru menjadi Congkoan
dengan pangkat lebih tinggi buka mulut tutup mulut kau maki aku
sebagai cakar alap2, me mangnya kau ini bukan ca kar alap2?"
Sudah tentu hal ini tak berani dia ucapkan, terpaksa hanya
menyengir saja, katanya: "Yong-loko, puluhan tahun kita
bersahabat, masa kau tidak percaya padaku?"
Sebelum Yong King-t iong bersuara Un Hoan-kun mendahului
menya mbung: "Yong-lopek yang kenal kau puluhan tahun juga
masih sangsi terhadapmu, bagaimana aku berani percaya padamu?"
Sampa i di sini mendadak dia merogoh keluar sebutir pil, katanya:
"Begini saja, kau telan obat ini, nanti kubuka Hiat-tomu."
Tu Hong-sing menatap tangan si nona sekejap, tanyanya:
"Apakah obat beracun yang ada di tangan nona?"
Un Hoan-kun tertawa lebar, katanya: "Bukan, keluarga Un dari
Lingla m sela manya tidak pernah pakai obat racun, pil ini berna ma
Sip-hun-wan. setelah kau minum, dala m jangka waktu dua belas
jam kalau tidak mme mperoleh obat penawarnya, bila obatnya
bekerja, orangnya akan menjadi linglung seperti orang gila yang
kehilangan ingatan, segala-nya terlupakan, selamanya tak bisa
diohati lagi."
"Jahat juga pil ini," kata Tu Hong-sing.
"Jangan kuatir, aku punya obat penawarnya," ujar Un Hoan-kun,
"setelah kau telan Sip-hun-wan ini akan kuberikan sebagian obat
penawarnya, kau akan tahan enam jam da la m keadaan segar
bugar."
"Setelah enam ja m, harus minum obat penawarnya lagi?" tanya
Tu Hong-sing.
"Betul, enam ja m ke mudian, akan kuberikan lagi sisa obat
penawarnya."
"Jadi maksud nona, setiap enam jam harus minum obat
penawarnya?"
"Bukan begitu halnya, setelah enam ja m, khasiat obat penawar
akan lunak, tergantung dari usaha bantuanmu, bila sebelum ena m
jam kita bisa keluar dari sini, kontan akan kuberi lagi obat
penawarnya padamu."
"Itu berarti sebelum Cayhe mme mperoleh seluruh obat
penawarnya harus sekuat tenaga melindungi kesela matan kalian."
Mengawasi Ling Kun-gi, Un Hoan-kun tersenyum manis, katanya:
"Tak perlu kau melindungi aku, bersa ma dengan Ling-toako,
siapapun jangan harap bisa melukai a ku." - Dia bicara dengan jujur
dan wajar, tapi siapapun bisa merasakan betapa besar cintanya
terhadan Ling Kun-gi. .
Un Hoan-kun berkata lebih lanjut: "Ba iklah, sudah kujelaskan
seluruhnya, sekarang lekas kau telan obat ini."
Mengawasi obat di tangan Un Hoan-kun, se-saat Tu Hong-sing
menjadi bimbang.
"Hiat-tomu tertutuk, sebetulnya aku tida k perlu me mbuang waktu
dan banyak bicara dengan kau," kata Hoan-kun, mendadak tangan
kirinya terulur jari2nya memencet geraham Tu Hong-sing sehingga
mulut orang terbuka, sementara tangan kanan menjejalkan obat ke
mulut orang, dia tepuk lagi sekali di belakang leher orang, lalu
dengan kedua tangan dia menggablok pula kedua sisi pipinya.
Bahwa dirinya menjadi tawanan, hal ini sudah dianggap suatu
penghinaan, hati Tu Hong-sing marah dan penasaran, tapi dia
hanya berani marah dihati lahirnya dia seperti pasrah nasib, setelah
Un Hoan-kun menge mbalikan geraha mnya seperti semula tanpa
terasa dia berkata keras: "Nona ma na obat penawarnya?"
"Buat apa ter-gesa2, Sudah kujanji me mberi, nanti tentu kuberi,"
sembari bicara berbareng dia buka Hiat-to di badan orang, lalu
menge luarkan dua butir pil warna merah serta diangsurkan,
katanya: "Inilah ini obat penawarnya."
Tu Hong-sing bergegas bangun, begitu terima obat langsung dia
jejalkan ke da la m mulut, tapi sebelah tangannya dengan kecepatan
kilat tahu2 menyambar pergelangan tangan Un Hoan-kun,
sekuatnya dia tarik mundur pula tiga langkah. Badan orang dia buat
tameng di depannya, bentaknya dengan bengis: "Siapa di antara
kalian berani maju orang she Tu segera bunuh dia lebih dulu,"
Kejadian berlangsung terlalu cepat dan mendadak, Ling Kun-gi
dan Yong King-t iong tak sempat bertindak, terpaksa mereka
mende long mengawasi Un Hoan-kun di seret mundur oleh Tu Hong-
sing.
"Tu Hong-sing, tidak salah bukan omonganku?" jenge k Yong
King-tiong, "barang siapa terima menjadi cakar alap2, jangan harap
dapat dipercaya lagi."
"Terhadap kalian kaum pe mberontak ini, buat apa bicara soal
kepercayaan segala?" de mikian eje k Tu Hong-sing.
Un Hoan-kun dia m saja dan me mbiarkan urat nadi pergelangan
tangannya dipegang serta diseret, cuma mulutnya berteriak
me lengking: " Apa yang hendak kau lakukan?"
"Budak manis," kata Tu Hong-sing sa mbil ce-ngar-cengir, asalkan
kau serahkan seluruh obat penawarnya, aku akan a mpuni jiwa mu."
"Jangan kau lupa a ku ini orang dari marga Un di Ling-la m," kata
Un Hoan-kun kale m.
Seperti diketahui keluarga Un dari Ling-la m terkenal sebagai
keluarga pencipta obat bius di kalangan Kangouw, oleh karena itu
orang2 Kangouw suka bilang: "Setiap anggota marga Un, sekujur
badannya mengandung obat bius."
Pada saat itulah terdengar seorang menanggapi: "Tu-heng tutuk
dulu Hiat-tonya."
"Belum lenyap suaranya, serempak dari ena m sudut pintu sana
berbareng muncul ena m laki2 seragam hijau yang menenteng
pedang.
Kedua mata Yong King-tiong mencorong terang, hardiknya
kereng: "Nyo Ci-ko, bagus sekali kedatanganmu."
Dala m pada itu, tiba2 terdangar suara "bluk" entah mengapa
tiba2 Tu Hong-sing terbanting jatuh se maput.
Orang yang muncul dari sudut kiri atas sana adalah laki2
setengah umur bermuka putih berperawakan sedang, dialah Nyo Ci-
ko, salah seorang kepercayaan Cui Kin-in yang dia bawa dari
kotaraja, Dari sorot matanya yang gemeredep dapatlah diketahui
bukan saja Kungfunya tinggi, diapun seorang cerdik pandai yang
bekerja dengan cekatan.
Baru saja Nyo Ci-ko muncul lantas melihat Tu Hong-sing
terbanting roboh, keruan ia kaget, lekas dia me mbentak:,"Tida k
lekas kalian me mbantunya?" - -Dua la ki2 seraga m hijau segera
mengiakan dan menubruk ke arah Un Hoan-kun.
Un Hoan-kun menyeringa i, jengeknya: "Siapa berani maju?" -
Sekali tangan berayun, segumpal asap segera menabur ke arah
musuh.
Kedua orang berseraga m hijau ini tadi sudah mendengar bahwa
nona ini adalah anggota keluarga Un dari Lingla m, kini melihat
orang menaburkan asap, sudah tentu mereka tak berani ayal,
padahal mereka tengah menubruk maju, terpaksa menahan napas
sambil mengere m sekuatnya luncuran tubuh serta menjejak balik ke
belakang.
"Hihi, sungguh menggelikan, hanya segenggam pasir saja sudah
bikin kalian ketakutan," demikian ejek Un Hoan-kun. Yang dia
taburkan me mang segengga m pasir, tapi orang tak berani
mende kati-nya lagi.
Un Hoan-kun tida k hiraukan orang banyak, dia keluarkan botol
kecil, dengan kuku dia a mbil sedikit bubuk obat terus dijentikan ke
hidung Tu Hong sing. Setelah berbangkis sekali Tu Hong-s ing lantas
me mbuka mata dan kucak2 mata serta melompat berdiri.
Mengawasi orang, Un Hoan-kun tertawa geli, katanya: "Tu- tay-
koantai, kau akan pegang tangan-ku lagi dan paksa aku
menyerahkan obat penawarnya?"
Setelah mengala mi pahit getirnya baru Tu Hong-sing betul2
kapok, sekarang mana berani dia bertingkah pula? Apalagi dia
sudah menelan Sip-hun-wan dan baru menelan dua but ir obat
penawarnya, jika Un Hoan-kun sampa i marah dan tak mau me mberi
obat penawarnya kan diri sendiri bisa celaka malah?
Terhadap jiwa sendiri dia pandang jauh lebih berharga dari
apapun di dunia ini, maka dengan menyengir ia berkata: "Obat bius
nona me mang lihay, Cayhe sudah kapok betul2, tadi kita sudah
berjanji, ma ka harus sa ma2 ditepati, benar tidak?"
"Kau tida k usah kuatir, kalau dala m ena m ja m kita bisa keluar
sini, pasti kuberi lagi e mpat butir obat pada mu. Tapi berada di sini,
kau harus tunduk a kan perintahku."
"Baiklah," Tu Hong-sing setuju.
Sekilas mengerling Un Hoan-kun berkata lirih pula: "Mereka akan
segera turun tangan, mari kau ikut aku ke sana." - Lalu dia
me langkah ke arah orang banyak,
Tu Hong-sing betul2 sudah kapok merasakan ke lihayan obat bius
Un Hoan-kun, kali ini dia betul2 tidak berani bertingkah pula,
dengan jinak dia mengintil di belakang Un Hoan-kun.
Ternyata dalam sekejap ini keadaan sudah me munca k tegang,
kedua piha k sudah sa ma2 me lolos pedang dan siap tempur. Kun-gi
paling perhatikan kesela matan Un Hoan-kun, maka sejak tadi dia
perhatikan gerak-gerik piha k lawan, kini setelah melihat Hoan-kun
ke mbali da la m rombongan legalah hatinya. Yong King-tiong
merupakan pe mimpin rombongan, dia telah berhadapan dengan
Nyo Ci-ko, mereka sedang saling cercah dan nista.
Terdengar Nyo Ci-ko berkata lantang: "Yong King-tiong, pihak
kerajaan me mberi pangkat setinggi itu pada mu, ternyata kau berani
menghasut orang dan berbuat jahat untuk me mberontak?"
Yong King-tiong tergelak2, katanya: "Nyo Ci-ko, kau juga bangsa
Han, kau lupa asal usul leluhur, bangsat kau angkat jadi ayah,
kaulah yang khianat dan me mberontak. Ketahuilah, Hek-liong-hwe
adalah milik Thay-yang-kau, dua puluh tahun ka lian kangkangi dan
kuasai, menjadi a lat kerajaan untuk me mberantas sesama golongan
Kangouw,"
Setiap orang Bu-lim yang berdarah patriot patut menghukummu,
kini Han Jan-to si durjana penjual Hek-liong-hwe sudah ma mpus
mene mbus dosa-nya, cukong kalian Cui Kin-in utusan istana raja
juga sudah melarikan diri, dengan kekuatanmu Nyo Ci-ko
me mangnya bisa berbuat apa, Lohu malas bergebrak dengan kau,
lebih baik kau menyerah saja"
Han Jan-to sudah ma mpus, Cui Kin-in melarikan diri, dua kalimat
ini sungguh me mbikin darah Nyo Ci-ko tersirap, me lihat sikap Yong
King-tiong jelas bukan me mbual. Tapi kejap lain dia merasa ganjil
pula, me mangnya Yong King-tiong dan pe muda jubah hijau ini
dapat menandangi Cui Kin-in? Apalagi Cui Kin-in masih dida mpingi
seorang La ma kasa merah yang me miliki ilmu Yoga tingkat tinggi
tiada tandingan. Lekas sekali otaknya bekerja, akhirnya dia tertawa
keras, "Yong king-tiong, jangan kau me mbual, kalian sudah masuk
ke daerah terlarang Ceng-liong-tam, me mangnya masih ingin
keluar."
Ternyata tempat ini berna ma Ceng-liong-tam.
"Baik, tiada gunanya putar lidah, marilah kita tentukan dengan
kepandaian saja." - "Sreng", Yong King-tiong lantas me lolos pedang.
Ling Kun-gi me langkah maju setindak, katanya: "Paman Yong,
me mbunuh aya m masa paka i golok? Biar Wanpwe saja yang
menghadapinya."
"Tunggu sebentar, Ling-toako," seru Un Hoan-Kun.
"Ada apa Hoan-moay?" tanya Kun-gi sa mbil berpaling.
"Apakah orang she Nyo ini setimpa l menjadi lawanmu?" ucap
Hoan-kun tertawa, "kupikir biar saudara Tu saja yang menjajalnya
bebarapa jurus." - Lalu sambil me mbetulkan sanggulnya Un Hoan-
kun berpaling, katanya: "Saudara Tu, babak pertama ini terpaksa
kau saja yang menghadani orang she Nyo beberapa jurus."
Karena jiwa sendiri tergengga m ditangan orang, Tu Hong-sing
tak berani me mbangkang, terpaksa dia melolos pedang dan maju ke
hadapan Nyo Ci-ko.
Sudah tentu Nyo Ci ko naik darah, matanya mendelik tajam
mengawasi Tu Hong-sing, bentaknya: "Kau kenapa Tu Hong-sing?
Me mangnya kau sudah ter-gila2 oleh pere mpuan siluman itu?"
Tu Hong-sing menjura, katanya: "Lapor Cong-koan, hamba baik2
saja."
Ternyata Nyo Ci-ko adalah Congkoan yang berkuasa di Ceng-
liong-ta m ini. "Baiklah, kau minggir saja ke samping," teriak Nyo Ci-
ko.
Tu Hong-sing menyengir, katanya: "Maaf Cong-koan, aku
terpaksa oleh keadaan ........."
Nyo Ci-ko betul2 kaget, hardiknya: "Kau juga mau berontak?"
Keringat menghiasi jidat Tu Hong-sing, katanya: "Aku disuruh
menelan Sip-hun-wan dari ke-luarga Un, terpaksa harus menurut
perintahnya."
"Orang she Tu, buat apa putar bacot me lulu? Hayo labrak dia,
kalau hari ini kau biarkan dia lolos, setelah keluar dari sini apa dia
mau menga mpuni jiwa mu?" de mikian desak Hoan-kun.
Seperti dipalu jantung Tu Hong-sing, katanya mengertak gigi:
"Betul, Nyo-congkoan, kecuali mengadu jiwa dengan kau tiada jalan
lain bisa kupilih." - "Cret", kontan dia menusuk lebih dulu.
Gusar Nyo Ci-ko, "trang", sekali tangan me mbalik dia tangkis
pedang Tu Hong-sing, teriaknya beringas: "Tu Hong- sing, mereka
hanya berapa orang, berapa lama lagi mereka kuat bertahan di
tempat terlarang ini? Kenapa kau ga mpang dihasut kaum
pemberontak?"
Tu Hong-sing menarik pedangnya, katanya sambil menggeleng2:
"Tida k mungkin, kalau a ku tidak mme mperoleh obat penawar,
hidupku takkan sa mpai besok."
"Kau tunduk pada pe mberontak, me mangnya hari ini kau bisa
hidup?" bentak Nyo Ci-ko. Sembari angkat pedang ke mbali dia
me mbentak: "Hayo ka lian maju, ringkus beberapa pe mberontak
ini?"
Pada setiap sudut pintu itu berdiri seorang laki2 seragam hijau
yang menghunus pedang, jelas mereka mendengar perintah
Congkoan, tapi mereka tetap berdiri tegak, tiada satupun yang
bergeming.
Keruan Nyo Ci-ko semakin murka, mukanya me mbesi hijau,
bentaknya: "Kalian sudah ma mpus, Hayo sikat mereka!"
Hoan-kun tertawa tawar, katanya: "Walau mereka belum
ma mpus, tapi mereka takkan mau turut perintahmu lagi."
Seperti disengat lebah Nyo Ci-ko tersentak mundur, serunya
gusar: "Apa yang kau lakukan terhadap mereka?"
"Betul, mereka terkena obat biusku, sengaja kusisakan kau
seorang, supaya saudara Tu ini bisa me mbereskan kau."
Serasa pecah nyali Nyo Ci-ko, tapi lahirnya dia tetap beringas,
katanya mendesis: "Perempuan siluman, keji juga cara kerjamu." -
Mulut bicara kepada Un Hoan-kun, "Wuut", tiba2 tangan kiri
menghanta m ke arah Tu Hong-sing, berbareng ke-dua kaki
menjejak tanah terus melejit mundur ke arah salah satu pintu.
Kejadian sebetulnya amat cepat dan mendadak apalagi serangan
kepada Tu Hong-sing cepat sekali sehingga dia tak mungkin
merintangi, dia pikir dengan mudah dapat lari masuk ke ba lik pintu
sana. Sekali dia berada di lorong gelap itu, jalan yang simpang siur
di sana lebih me mudahkan melarikan diri.
Tak tahu baru saja dia bergerak, didengarnya Kun-gi me mbentak
keras: "Lari ke mana kau?" -Dari kejauhan tangan kirinya
menghanta m.
Serangkum tenaga dahsyat seketika timbul dari tepukan telapak
tangannya, sasaran pukulannya ternyata tidak langsung ditujukan
pada Nyo Ci-ko, tapi me nuju ke pintu yang terletak kira2 lima kaki di
belakangnya.
Lwekang Ling Kun-gi a mat tangguh, pengala man te mpur se la ma
ini mena mbah banyak perbendaharaan menghadapi musuh, pukulan
yang dilancarkan ini sungguh tepat perhitungan waktunya, dikala
tenaga pukulannya menerjang ke depan pintu, badan Nyo Ci-ko
yang mundur ke belakang itupun kebetulan melejit turun.
Sebagai Siwi ke las tiga istana raja, sudah tentu Kungfu Nyo Ci-ko
tidak rendah, waktu badannya melejit mundur, terasa adanya kesiur
angin mencurigakan di be lakang, lekas ia menarik napas, badan
yang terapung di udara itu secara mentah2 lantas berputar kearah
kiri, tangan kiri yang se mula melindungi dada secepat kilat terayun
keluar.
Reaksinya cukup cepat, ayunan tangannya kebetulan
mengge mpur sa mping tenaga pukulan Ling Kun-gi yang menerjang
ke pintu sudut, begitu dua tenaga saling terjang, karena dia
me lancarkan pukulan waktu badan masih terapung, seketika ia
terpental mundur beberapa langkah. Tapi hal ini sudah dala m
perhitungannya, tujuannya untuk meluputkan diri dari terjangan
telak pukulan Ling Kun-gi, ma ka badannya cuma terpental beberapa
kaki lantas dapat berdiri tegak pula. Tapi hanya sekali adu pukulan
saja dia sudah mme mperoleh bukti bahwa Lwekang pe muda ini
sungguh tida k kepa lang tingginya, betul2 di luar dugaannya.
Sekali adu pukulan ini, terasa juga oleh Ling Kun-gi bahwa Nyo Ci
ko adalah musuh tangguh, Nyo Ci-ko yang melejit, mundur dan
keterjang angin pukulan, umpa ma dia kuat bertahan juga pasti akan
kerepotan, tapi kenyataan dikala angin pukulan ha mpir mengena i
dirinya, badan yang masih terapung itu mendadak masih se mpat
berputar sembari balas me mukul seka li, dengan daya bentrokan
pukulan itu dia me mbal mundur menyelamatkan diri, jelas tak
mungkin dilakukan. Untung setelah me lancarkan sekali pukulan
jarak jauh, Kun-gi tida k menyusuli lagi dengan pukulan la in.
Sambil mengelus jenggot Yong King-t iong tergelak2 dengan
menengadah, katanya:, "Nyo Ci-ko, tentunya kau sudah dapat
me mperhitungkan situasi di depan mata, kalau tidak mau menyerah,
untuk bisa ke luar dengan se la mat, sukarnya seperti manjat ke
langit."
Wajah Nyo Ci-ko ,yang semula putih, halus kini me mbara kela m,
pedang di tangan dibolang- balingkan, bentaknya bengis: "Yong
King-tiong, beranikah kau perang tanding me lawanku?"
"Belum lagi kau bertanding me lawan saudara Tu ini," de mikian
sela Un Hoan-kun, "Kau sudah berusaha lari, kini berani kau
menantang pa man Yong?"
Bahwa Tu Hong sing masih bimbang adalah karena Nyo Ci-ko
berpangkat Siwi ke las tiga, kalau dirinya ingin mera mbat ke atas,
sekali2 tidak boleh berbuat salah padanya. Tapi kenyataan jauh
berbeda. Dari nada Yong King-tiong dia yakin bahwa Nyo Ci-ko
sudah tiada harapan keluar dan lolos dengan sela mat. Bahwa Nyo
Ci-ko sudah bukan merupa kan anca man baginya, apalagi piha k
Yong King-tiong sudah menguasai keadaan, kalau sekarang tidak
lekas turun tangan, tunggu kapan lagi?
Maklumlah, bagi seorang ta mak yang sela lu me mikirkan pangkat
dan mengejar kedudukan, tiada yang tidak ma in licik dan selalu
me mungut keuntungan dika la lawan kepepet, demikian juga
keadaan Tu Hong-sing sekarang.
Apalagi diumpak oleh omongan Un Hoan-kun, sambil me mutar
pedang, segera dia melangkah maju, dengan me masang kuda2 dan
pedang menuding ke depan, dia berkata: "Nyo-congkoan, aku
dipaksa oleh keadaan, terpaksa menyalahi kau, silakan."
"Baik, sekongkol dengan pe mberontak sa ma dosanya, orang she
Nyo akan mula i menjagal kepala mu lebih dulu," - Sreet, cepat sekali
pedangnya menyabat.
"Bagus," sa mbut Tu Hong-sing, Mendadak tubuhnya berputar ke
pinggir Nyo Ci-ko, pedang lantas menyerang dengan tipu Kim-tau-
jan-ci (garuda emas pentang sayap), sinar pedangnya tahu2 laksana
kilat menyerampang dan menusuk le-ngan dan pundak.
Tapi gerak Nyo Ci-ko a mat tangkas dan gesit, setiap pedang
bergerak, posisi kakinya selalu berubah, sebat sekali pedangnya
me mba lik me matahkan serangan lawan. "Trang", dua pedang
beradu, keduanya sama2 tergentak mundur selangkah.
Tu Hong-sing rasakan telapak tangannya pedas linu, pedangnya
tertolak balik, dia m2 ia terkejut. Mulut Nyo Ci-ko menjengek,
mendadak dia balas merangsak, pedang berputar dengan kencang
menge mbangkan serangan gencar, beruntun dia menusuk lima ka li.
Sudah tentu Tu Hong-sing tidak mau kalah, iapun ke mbangkan ilmu
pedang andalannya dan balas menyerang serta me mpertahankan
diri dengan rapat, sekaligus lima tusukan lawan dapat dia tangkis,
ma lah se mpat balas menyerang tiga kali.
Tujuan Nyo Ci-ko ingin secepatnya mengakhiri pertempuran,
maka begitu berpencar lantas menubruk maju pula dengan
serangan lebih keji.
Setelah bentrok pendahulnan tadi, kini kedua-nya sama tidak
berani me mandang enteng lawan, Nyo Ci-ko menge mbangkan ilmu
pedang ajaran Tiang-pek-pay, gerak pedangnya mengutama kan
keras dan kencang, setiap pedang menyamber laksana naga
menga muk dan seperti elang berputar di udara hendak menubruk
mangsanya, perbawanya cukup meyakinkan.
Ilmu pedang Tu Hong sing justru berbeda, dia menge mbangkan
gerak lincah dan tangkas disertai perubahan yang berbelit2, sekujur
badannya seperti terbungkus oleh cahaya sinar pedang.
Lekas sekali pertempuran sudah berlangsung tiga sa mpai lima
puluh jurus. Semula Nyo Ci-ko terlalu mengagulkan diri dan percaya
akan tingkat ilmu pedangnya, dia anggap Tu Hong-s ing sebagai
anak buahnya, gampang dan pasti bisa dirobohkan. Apalagi dia
ingin le kas mengakhiri pertempuran, maka serangannya selalu
mendahului dan t idak segan2 mene mpuh bahaya untuk merobohkan
lawan.
Tak tahunya Tu Hong sing cnkup cerdik, gerak geriknya lincah
dan tangkas, penjagaanpun ketat, setelah lima puluhan jurus, bukan
saja Nyo Ci-ko t idak berhasil menarik keuntungan, ma lah beberapa
kali karena terburu nafsu hampir saja dia dilukai pedang Tu Hong-
sin, keruan ia se makin gelisah, marah dan gugup, pula.
Nyo Ci-ko tidak tahu bahwa Tu Hong-sing hakikatnya jauh lebih
payah daripada dia.. Ilmu pedang Tu Hong-s ing me mang lincah dan
banyak perubahan, tapi Lwekangnya lebih rendah, untuk bertahan
sekian la ma ini dia sudah ke luarkan se luruh kekuatannya, apalagi
setiap kali dua senjata beradu, selalu dia rasakan dadanya seperti
digoda m oleh getaran keras yang timbul dari benturan senjata itu.
Maka dia harus bertahan mati2an, demikianlah tiga puluh jurus
telah berselang pula.
Kini baru Nyo Ci-ko melihat meski ilmu pedang Tu Hong-sing
tidak le mah, tapi Lwekang orang bukan tandingannya. Penemuan ini
seketika mena mbah keyakinan Nyo Ci-ko dan mengobarkan
semangat tempurnya, sambil tertawa dingin, gerak pedangnya tiba2
berubah, diam2 dia kerahkan tenaga dala m sehingga batang
pedangnya diliputi tenaga murni yang hebat.
"Trang," ke mbali dua senjata beradu, meski Tu Hong-sing
berhasil menahan beberapa kali rangsakan lawan, tapi dia
sendiripun ditolak mundur beberapa langkah. Dengan hasil itu
sudah tentu Nyo Ci-ko semakin senang, ia mengejek : "Ingin kulihat
berapa jurus pula kau kuat bertahan?"
Hanya beberapa gebrak lagi Tu Hong-sing telah terdesak di
bawah angin, serangan Nyo Ci ko se ma kin gencar, pedangnya
hanya naik turun menangkis dan bertahan belaka.
Kini setiap serangan setiap jurus, kedua pedang selalu beradu
"trang-tring" dengan keras, sudah tentu la ma kela maaa Tu Hong-
sing kehabisan tenaga, keringat sudah me mbasahi badan,
langkahnya menyurut mundur, boleh dikatakan dia sudah tida k
ma mpu balas me nyerang lagi.
"Toako," kata Hoan-kun lirih, "Tu Hong- sing sudah tida k becus
lagi, lekas kau turun tangan."
"Tida k apa," sabut Kun-gi "dia masih kuat bertahan tiga jurus
lagi."
Di sini tengah bicara, di sana terdengar pula benturan pedang,
"bret", lengan baju kiri Tu Hong-sing terbabat robek oleh pedang
Nyo Ci- ko.
Tu Hong-sing ta mpak kaget serta melompat mundur. Mendadak
Nyo Ci-ko juga me nubruk maju, pedangnya ke mbali menyapu
miring. Le kas Tu Hong-sing angkat pedang menangkis, "trang",
lengan kanan se ketika terasa ke meng, pedangnya terpental pergi.
Sudah tentu pertahanannya menjadi terbuka lebar.
Mata Nyo Ci-ko tampak merah me mbara, tanpa bersuara
pergelangan tangannya memutar sambil menggentak pedang,
selarik sinar terang laksana kilat menya mber tahu2 menusuk lurus
ke dada orang.
Pada detik2 menentukan itulah, tiba2 Nyo Ci-ko merasakan
adanya kesiur angin tajam di sebelah seperti ada orang melejit tiba.
Belum lagi dia se mpat berpikir, tiba2 terasa pergelangan tangan
kanan mengencang dan sakit, tahu2 sudah terpegang oleh orang,
disusul segulung tenaga raksasa menyalur ke luar telapak tangan
orang itu, sehingga kelima jari sendiri yang me megang pedang
menjadi kendur, tanpa kuasa dia kena disengkelit jungkir-balik ke
belakang.
Kejadian seperti dalam impian belaka, belum lagi dia melihat
jelas bayangan orang, tahu2 dirinya sudah terbanting jatuh.
Tapi jelek2 Nyo Ci-ko adalah jago kosen dari istana raja,
Kungfunya tinggi, dengan daya sengkelitan lawan, sigap sekali
ujung pedangnya menutul bumi, kedua kaki me mbalik terus hinggap
ditanah dan berdiri tegak. Waktu dia angkat kepala, ternyata Ling
Kun- gi sudah berdiri dihadapannya dengan sikap gagah.
Nyo Ci-ko tidak tahu siapa pemuda jubah hijau ini? Hatinya kaget
dan gusar pula, me lihat anak muda ini bertangan kosong, ma ka
kumatlah a marah-nya, sekali ia menghardik, "Wut", pedang
menyapu kencang dengan deru keras. Serangan yang dilancarkan
diburu ke marahan ini sudah tentu tidak kepalang hebatnya, sinar
pedang menjulur panjang, dia kira lawan bertangan kosong tentu
sukar mengegos. Jika lawan dapat dibabat kutung sebatas pinggang
bukankah terla mpias penasarannya?
Tak nyana begitu pedangnya menyapu, ternyata menabas
tempat kosong, berapa licin dan lincah gerakan tubuh Ling Kun-gi,
entah bagaimana telah berkelit pergi? Tapi kenyataan dia masih
berdiri di tempat semula, tidak kelihatan menggeser kaki barang
satu sentipun.
Nyo Ci-ko melenggong, sungguh dia tidak habis percaya, selama
tiga puluh tahun dia meyakinkan ilmu pedang, tapi lawan muda
bertangan kosong ini tak ma mpu menyentuh ujung pakaiannya,
sedangkan musuh2 tangguh masih berada disekelilingnya, anak
buahnya mati kutu oleh obat bius perempuan siluman itu, kalau
dirinya tidak menyerang dengan sergapan mendadak, sedikitnya
dua tiga orang harus dirobohkan baru bisa meloloskan diri, kalau
tidak hari ini pasti gugur dite mpat ini.
Karena itu tanpa ayal pedang ke mbali be kerja, "sret, sret" dua
kali, ia me mbelah dan me mbacok, Kali ini Nyo Ci-ko dapat
menyaksikan dengan jelas, pada jurus serangan pertama, Ling Kun-
gi tampak sedikit miring ke sa mping, sinar pedang menyerempet
lewat sisi kanan badannya.
Jurus kedua sudah tentu lebih cepat lagi, sasarannya adalah
badan sebelah kiri di mana kebetulan Kun-gi sedang berkelit ke kiri
juga, tapi badan Kun-gi seperti bermata saja, belum lagi pedang
lawan menyerang tiba, badannya kembali bergontai miring ke
samping sehingga serangan kedua kembali mengena i tempat
kosong.
Nyo Ci-ko sungguh kasihan, seperti berhadapan dengan setan,
sejak dia malang melintang di Kangouw belum pernah dia melihat
lawan dengan gerakan tubuh seaneh dan ajaib begini, sesaat dia
me lenggong kaget tidak tahu apa pula yang harus dia lakukan.
Mendadak Kun-gi tertawa panjang, tangan kanan terangkat,
tahu2 tangannya sudah pegang sebilah pedang panjang empat kaki,
ujung pedang me nuding ke arah Nyo Ci-ko, katanya lantang: "Orang
she Nyo, kalau sekarang kau turunkan pedang dan menyerah,
paling2 a ku me munahkan kepandaian silat mu, jiwa mu tetap boleh
dia mpuni, kalau berani . . . . "
Nyo Ci-ko sudah nekat, dengan mendelik dia me mbentak: "Biar
tuanmu adu jiwa denganmu."
Kembali pedang berputar, kali ini me mancarkan bint ik sinar
berkelip bagai bintang terus menusuk.
Kun-gi tertawa dingin, pedangnya menyilang ba lik dan "trang",
sengaja dia mengetuk batang pedang Nyo Ci-ko. Kontan lengan
kanan Nyo Ci-ko, terasa kemeng, jarinya kesakitan luar biasa,
pedangpun tak kuasa dipegang lagi dan "trang", jatuh ke tanah.
Ujung pedang Kun-gi yang ke milau tahu2 sudah menganca m
tenggorokan Nyo Ci-ko, katanya dengan menjengek: "Orang she
Nyo, apa pula yang ingin kau katakan?"
Nyo Ci-ko tidak bersuara, dia peja mkan mata.
Yong King-t iong melihat gelagat jelek, lekas dia melompat maju
dan menutuk beberapa Hiat-to di tubuh orang, la lu dengan keras
dia pencet geraha m Nyo Ci-ko, tampa k darah hitam kental mele leh
dari ujung mulutnya.
Yong King-tiong me mbant ing ka ki, katanya gegetun: "Keparat ini
bunuh diri dengan menelan racun." Waktu dia lepaskan
pegangannya, badan Nyo Ci-ko lantas roboh tersungkur.
"Lihay benar racun yang dia gunakan," seru Hoan-kun bergidik.
"Itulah racun khusus yang di buat oleh istana, cukup menjilat
dengan ujung lidah dan ma la m pe mbungkusnya akan pecah, racun
akan segera bekerja dan jiwapun me layang seketika. Losiu aga k
lena sehingga dia se mpat bunuh diri."
Melihat Nyo Ci-ko mati mene lan racun, dia m2 Tu Hong-sing
merasa lega, lekas dia maju mende kat dan berjongkok di pinggir
tubuh orang, ia merogoh kantong orang, lalu dikeluarkan tiga biji
uang emas terus diangsurkau kepada Yong King-tiong, katanya:
"Yong-congkoan, inilah kun-ci untuk me mbuka pintu batu Ceng-
liong- tam, harap engkau suka terima."
Yong King-tiong menerima ketiga mata uang itu, bobotnya
ternyata lebih berat daripada mata uang umumnya, lebih tebal dan
kadar emasnya juga lebih murni, maka dia bertanya: "Pintu batu
Ceng-liong-ta m? Di mana letak Ceng-liong-ta m?"
Sebagai Hek-liong-hwe Congkoan, ternyata dia tidak tahu
menahu adanya Ceng-liong-ta m.
"Ceng-liong-ta m berada di tempat tahanan tawanan Ceng-liong-
tong, yang dikurung di sana se muanya adalah pesakitan penting . . .
"
Sebelah tangan mengelus jenggot, Yong King-tiong bertanya
heran: "Sebagai He k-liong-hwe Cong-koan, kenapa Lohu tidak tahu
akan hal ini?"
"Ceng-liong-ta m dibangun di bawah pimpinan Nyo Ci-ko setelah
kedatangan Cui-congka m, tempat sekitar sini dina makan Ceng-
liong-ta m, Nyo Ci-ko adalah Congkoan daerah terlarang ini."
"Coba terangkan, dimana letak ka mar batu itu?"
"Letaknya tepat di bawah ruangan segi ena m ini"
"Cara bagaimana untuk turun ke bawah?"
Untuk me mbuka pintu pertama harus dilakukan ena m orang
sekaligus, keena m kursi batu di sini, berbareng didorong ke tengah
sampai masuk ke bawah meja, pintu a kan segera tampak."
"Yong King-tiong berpaling, pihaknya ada lima orang,
ketambahan Tu Hong-sing kebetulan enam orang, maka dia
berkata: "Kebetulan kita ada enam orang, marilah kita kerja
bersama."
Un Hong -kun me lirik kelima orang yang di biusnya itu, katanya:
"Paman Yong, bagaimana kelima orang ini?"
"Biarlah, kita bereskan dulu urusan di bawah, setelah berhasil
menolong orang baru putuskan nasib kelima orang ini."
Maka di bawah pimpinan Yong King-tiong, Ling Kun-gi, Un Hoan-
kun, Siau-tho, jago pedang baju hita m serta Tu Hong-s ing, ena m
orang masing2 pegang satu kursi, di bawah aba2 Yong King-tiong
serempak mere ka mendorong kursi batu ke tengah.
Kalau seorang diri hendak mendorong keena m kursi ini secara
bergantian tidak mungkin, karena kursi batu ini seperti berakar di
dalam bumi, tapi bila se kaligus didorong keenamnya, aneh me mang,
dengan mudah kursi bergeser maju masuk ke bawah meja. Pada
saat lain terdengar suara gemuruh, meja bundar bersa ma keena m
kursi batu itu tiba2 bergerak dan pelan2 a mbles ke bawah.
"Yong-pongkoan," lekas Tu Hong-sing menjelaskan, "meja
bundar ini, adalah alat angkut naik turun ke kamar batu di bawah,
sekaligus ena m orang bisa turun bersama, setelah meja bundar ini
sejajar dan rata dengan lantai baru kita boleh beranjak ke tengah
meja."
"Baiklah, " Yong King-tiong berkeputusan, "Ling-kongcu bersa ma
Losiu dan Tu-heng. bertiga turun lebih dulu, nona Un harap tunggu
dan jaga di atas saja."
Tengah bicara meja itupun sudah rata sejajar dengan lantai,
Yong King-tiong lantas mendahului me langkah kepermukaan meja
diikuti Ling Kun-gi dan Tu Hong-sing.
Semula meja bergerak la mban, tapi setelah dimuati tiga orang,
ternyata daya amblesnya semakin cepat. Un Hoan-kun merasa
kuatir, sengaja ia ang-kat obor menerangi ke bawah, ia berdiri di
pinggir lubang bundar dan me longok ke bawah"
Ling Kun-gi keluarkan Le-liong-cu, dia amati keadaan
sekelilingnya, tempat di ma na meja itu me lorot turun bentuknya
mirip sebuah sumur, mereka bertiga terus dibawa turun ke bawah.
Tak la ma ke mudian me ja itu sudah berada di tengah2 sebuah ka mar
batu, lalu berhenti sendiri.
Dia m2 Kun-gi me mperhitungkan jarak turun meja dari atas kira2
ada sepuluhan tombak dala mnya.
"Sudah sampai," kata Tu Hong-sing mendahului melompat turun,
"Silakan kalian turun."
Yong King-tiong cukup cermat dan hati2, setelah Tu Hong-sing
me lompat turun di lantai baru dia ikut me lompat turun. Kini mere ka
berada di sebuah ka mar batu segi e mpat, luasnya ada lima ena m
tombak, tapi kecuali meja bundar yang turun dari atas bersama
kursinya, keadaan di sinipun kosong melompong tiada perabot
lainnya.
Setelah melompat turun Tu Hong-sing bergegas maju menarik
sebuah kursi dan dipindahnya keluar terus menduduki kursi itu.
"Tu-heng, apa yang kau lakukan?" tanya Yong King-tiong, Dia m2
dia sudah kerahkan tenaga pada telapak tangan kiri, bila Tu Hong-
sing menunjukkan gerak-gerik yang mencuriga kan, segera dia akan
me mukulnya ma mpus.
Tu Hong-sing tertawa getir, katanya: "Jiwaku sudah tergenggam
di tangan nona Un, sementara Cayhe sendiri belum ingin mati, meja
batu ini setelah turun ke bawah, jika kursi ini tida k segera dipindah,
dia akan bergerak naik sendiri pula, bila begitu kecua li di atas ada
enam orang sekaligus mendorongnya pula dan menunggu lagi meja
ini turun, kalau tidak kita se la manya tidak akan bisa naik ke atas."
"O, begitu," ucap Yong King-tiong. Lalu diapun menarik sebuah
kursi serta diduduki, tanyanya:
"Ka mar batu ini tiada pintu, cara bagaimana bisa terbuka?"
"Di sini ada tiga lapis pintu, Yong-congkoan sudah empat puluh
tahun berada di Hek-liong-hwe, berbagai pintu batu yang terpasang
di lorong2 itu pasti sudah apal se kali, de mikian juga untuk me mbuka
ketiga lapis pintu di sini, setiap orang He k-liong- hwe cukup angkat
tangan saja untuk me mbukanya . . . . "
"Lalu untuk apa ketiga keping mata uang e mas ini?" tanya Yong
King-tiong.
Tu Hong-sing tertawa, katanya: "Ini untuk menjaga bila di dala m
Hek-liong-hwe ada pengkhianat atau mata2 musuh, atau para
tawanan penting Hek-liong-hwe yang berani menyelundup ke mari
untuk menolong orang, tentu dia pikir akan bisa me mbuka pintu di
sini, tapi diluar tahunya dengan caranya itu sekaligus akan
menyentuh alat rahasia yang merupakan perangkap keji, hujan ana k
panah atau senjata rahasia lainnya akan terjadi, meski orang yang
me mbuka pintu me miliki kepandaian setinggi langit juga jangan
harap bisa lolos dari mara bahaya."
"Keji benar perangkapnya," dengus Yong King-tiong, "apa pula
gunanya ketiga keping mata uang mas ini?"
"Untuk menjaga supaya alat perangkap itu bekerja, sebelum kita
menekan tombol me mbuka pintu, kita harus masukkan dulu
sekeping uang mas ini, alat rahasia itu dibikin bungka m barulah
dengan leluasa pintu terbuka dan kita bisa masuk dengan sela mat:"
"
"Di depan Lohu, kuharap Tu-heng tidak bertingkah me lakukan
sesuatu yang me mbahayakan jiwa mu sendiri," demikian anca m
Yong King-tiong.
"Untuk ini Yong-congkoan tak usah kuatir, tadi sudah kubilang,
aku belum ingin mati," de mikian Tu Hong-sing me mberikan janjinya.
"Syukurlah kalau kau tahu diri," ucap Yong King-tiong.
Lalu kepingan uang emas terus diangsurkan kepada Tu Hong-
sing, katanya: "Baiklah tolong Tu-heng melakukannya, bukalah
ketiga lapis pintu itu satu persatu."
Tu Hong-sing terima ketiga keping uang mas itu dengan tertawa,
katanya: "Yong-congkoan terla lu banyak curiga."
"Itulah yang dina makan lebih baik berhati2 menjaga segala
ke mungkinan, watakmu Lohu cukup tahu."
Tu Hong-sing angkat pundak, katanya: "Yong-congkoan tidak
percaya padaku, ya, apa boleh buat." - Sekali tarik dia putuskan tali
emas yang merenteng uang e mas itu la lu dia mengha mpiri dinding
di sebelah depan.
Yong King-tiong segera berdiri, tangan terangkat siap siaga,
tenaga sudah dia pusatkan pada kedua telapak tangan, setiap waktu
siap melontarkan pukulan.
Tanpa ayal Ling Kun-gi juga ikut maju me ndekat.
Tiba di kaki dinding, Tu Hong-sing berkata:
"Ka mar batu di sini untuk mengurung orang2 yang lebih penting
dan berkedudukan tinggi, semuanya ada dua kamar, tempatnya
juga lebih nya man, di sini pesakitan tidak perlu diborgol, karena
berada di kamar ini meski punya kepandaian juga jangan harap bisa
lolos keluar."
Sembari bicara iapun berjongkok. Ternyata di bawah dinding ada
sebuah garis lubang kecil, kalau tidak dia mati sukar dite mukan. Tu
Hong-sing masukkan sekeping uang e mas itu ke lubang se mpit itu,
terdengar suara "tring" di dalam dinding, lalu tak terdengar apa2
pula. Tu Hong-sing berdiri tegak lalu menekan dua kali pada bagian
dinding, maka ta mpak dua daun pintu pelan2 terpentang.
Di balik pintu batu itu terdapat dua kamar yang berjeruji besi
sebesar lengan bayi di bagian depannya, tempatnya tidak begitu
besar, tapi di dala m ada dipan, meja kursi, bentuk kedua ka mar ini
sama, tapi tiada penghuninya.
"Tu-heng, di sini t iada orang," ucap Yong King-t iong.
"Tadi sudah kujelaskan, kamar ini khusus untuk mengurung
orang2 penting, sudah tentu sekarang tiada penghuninya, tapi aku
ingin me mbukanya dan tunjukkan pada kalian," sembari bicara dia
tutup pula daun pintu seperti sedia kala.
"Bagaimana dengan ka mar lainnya?" tanya Yong King-tiong.
"Dua ka mar di kedua samping ini adalah ka mar tahanan biasa,
lelaki di sebelah kiri, kanan untuk kaum wanita."
"Coba kau buka dulu pinto sebelah kanan," kata Kun-gi.
"Apakah kedua sahabat Ling-kongcu adalah pere mpuan?" tanya
Tu Hong-sing.
"Benar," sahut Kun-gi.
Tanpa bicara lagi Tu Hong-sing mendekati dinding, lalu
menceploskan sekeping mata uang ke dala m lubang se mpit, lalu
menekan tombol dan me mbuka pinto. Baru saja daun pintu terbuka,
dari dala m lantas terdengar suara nyaring ga lak orang sedang
me ma ki: "Cis, kalian bangsat keparat, kawanan anjing buduk,
me mangnya kalian bisa berbuat apa pada nonamu? Akan datang
suatu ketika nonamu bikin hancur sarang kalian ini, satu persatu
kuse mbelih kalian . . . . . . " agaknya nona yang me maki dengan
menerocos nyaring ini bukan saja gala k tapi juga binal, meski
me ma ki orang tapi suaranya kedengaran merdu.
Tanpa melihat orangnya, mendengar suaranya, Kun-gi lantas
tahu bahwa yang mencaci maki ini adalah Pui Ji-ping. Seketika
perasaan Ling Kun-gi jadi bergola k, dia lekas berteriak: "Ping-moay,
inilah aku datang menolongmu, apakah kau berada sama nona
Tong?" - Dengan Le liong cu diangkat ke atas cepat dia masuk ke
dalam.
Di ba lik pintu sudah tentu adalah ka mar tahanan berjeruji besi
pula, cuma ka mar tahanan di sini tiada dipan, juga tidak ada meja
kursi. Di ka mar depan terkurung tiga nona, rambut ta mpa k
semrawut, ketiganya sama2 mengenakan pakaian pria, jubah hijau
sutera dengan sepatu kulit rendah, wajah mereka kelihatan kuyu
pucat, keadaannya tampak lucu menggelikan. Me mang wa ktu
mereka di tawan semuanya mengenakan pakaian laki2, kemudian
diketahui bahwa mere ka perempuan, maka di pisah di ka mar ini.
Ketiga orang ini adalah Tong bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim.
Mendengar suara Ling Kun-gi, Pui Ji ping ta mpak berdiri
me longo. Suara ini amat dikenalnya, betapa dia telah berharap akan
kedatangannya? Entah berapa ribu kali saking iseng dala m tahanan
ini mereka me mbicarakan hari2 yang a mat mereka da mba kan ini,
me mang hanya Ling Kun-gi seoranglah yang menjadi titik sinar
harapan mereka. Kini kenyataan sang perjaka yang diharapkan
betul2 sudah berdiri dihadapan mereka.
Sepasang mata Tong Bun-khing bagai mata burung Hong itu
tampak berkaca2 lalu me neteskan air mata," suaranya gemetar
haru: "Ling-toako, ini bukan mimpi bukan?"
Pu Ji-ping juga meneteskan air mata, teriak-nya keras: "Toako,
kau betul2 telah datang, kutahu kau pasti akan menolong ka mi,
kenyataan sekarang kau betul telah kemari." - Dari balik terali dia
masih kelihatan lincah, dengan mengembeng air mata, bicara sambil
tertawa bak sekuntum bunga mekar yang ditaburi air e mbun, jernih
dan tetap segar, cuma ke lihatan agak kurus.
Sungguh bukan main senang hati Ling Kun-gi, tapi juga merasa
kasihan. Sejak mulai berke lana di Kangouw, nona yang dia jumpa i
pertama kali adalah Pui Ji-ping, sela ma ini dia pandang nona lincah
ini sebagai adik kecilnya sendiri, ia kira tak pernah dirinya menaruh
hati kepadanya. Tapi di luar sadarnya bibit asmara akan tumbuh
dan bersemi di dala m sanubari orang, sudah tentu hal ini tak pernah
dia pikir. Baru sekarang dia sadar Pui Ji.-ping juga telah menempati
sesuatu sudut tersendiri, ma lah menduduki te mpat yang cukup
penting dala m hatinya. Selama beberapa bulan ini, siang mala m
selalu dia rindukan si dia, kini setelah berhadapan, bila tidak teraling
jeruji besi mungkin dia sudah menubruk maju serta me meluknya.
Tapi se mua ini hanya gelora perasaan yang sekejap saja, dia
sadar masih ada Yong King-tiong dan Tu Hong-s ing di sa mpingnya,
maka dengan mengerut a lis dia bertanya: "Bagaimana kalian bisa
sampai tertawan oleh orang2 Hek-liong-hwe?"
Pui Ji-ping mengomel: "Pere mpuan keparat yang bernama Liu-
siancu itulah sebabnya. Hm, Siancu apa? Dia mena makan dirinya
Siancu (dewi) segala, yang terang dia itu lebih patut dina ma kan
siluman cent il, ingin rasanya ka mi menusuk badannya biar ma mpus
baru terlampias penasaran ka mi"
"Tu-heng," kata Yong King-tiong, "pintu besi ini bagaimana cara
me mbukanya?" - Pintu berjeruji itu t iada, gembok atau kunci, terang
dikendalikan dengan alat rahasia juga.
"Terus terang aku sendiri tidak tahu cara me mbukanya, kecuali
Nyo Ci-ko mungkin t iada orang lain yang bisa me mbuka pintu ini."
Berkerut alis Yong King-tiong, katanya berpaling kepada Kun-gi:
"Ling-kongcu, Pokia m yang kau bawa apakah bisa digunakan?"
Baru sekarang Kun-gi teringat akan pedang pusakanya, lekas dia
berkata: "Ya, biar Wanpwe mencobanya" Lalu dia mengeluarkan
Seng-ka-kia m dan berkata pula: "Adik Ping, ka lian mundur aga k
jauh."
Tong Bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim segera mundur
berjajar mepet dinding dala m.
Kun-gi mende kat, dan pelan2 menghirup napas mengerahkan
tenaga di lengan kanan, pedang diangkatnya terus memapas terali
besi. "Trang", di mana sinar pedangnya berlalu, besi sebesar lengan
bayi itu dengan mudah telah dipapasnya putus. Sekali berhasil
bertambah keyakinan Ling Kun-gi, beruntun beberapa kali tabasan
pula dia bikin suatu lubang besar pada terali besi yang mengurung
ke-tiga nona itu.
Ling Kun-gi simpan pedangnya, sambil berteriak senang girang
Pui Ji-ping mendahului menerobos keluar. "Toa ko," teriaknya,
selama dua bulan ini dia cukup menderita, kini suka-duka sa ma
merangsang perasaannya, tanpa hiraukan orang banyak segera dia
menubruk ke arah Ling Kun-gi.
Lekas Kun-gi me mapahnya, katanya lirih: "Pingmoay, berdirilah
tegak, jangan seperti anak kecil , di hadapan orang banyak kau bisa
ditertawakan."
Pui Ji-ping Jadi merah ma lu dan lekas mundur. Se mentara Tong
Bun-khing dan Cu Ya-khim juga sudah menerobos keluar.
"Ji-moaycu ( adik kedua )," kata Kun-gi kepada Tong Bun-khing,
"cukup la ma kalian sa ma menderita."
Tong Bun-khing menahan isak tangisanya, tangannya sibuk
me mbetulkan sanggulnya, katanya dengan tersenyum rawan:
"Setiap hari ka mi berharap akan kedatangan Ling-toako, syukurlah
hari ini harapan ka mi terkabul."
Tidak seperti Pui Ji-ping main tubruk dan peluk tapi mimiknya
yang mesra dan harus dikasihani sungguh me mbuat orang terharu.
Kun-gi me mandang Cu Ya-khim, katanya: "Ji-moaycu, nona ini
......."
Pui Ji-ping segera menyela: "Toako, inilah Piau-ci Cu Ya-khim
yang sering kusebutkan padamu itu." - lalu dia berpaling dan
berkata pula: "Piauci, dia...."
Merah muka Cu Ya-khim mendengar Pui Ji -ping bilang "sering
kusebutkan pada mu", tapi sikapnya tampa k wajar dan tertawa,
katanya: "Tak usah kau jelaskan, kutahu dia adalah kau punya . . . .
. . Piauko".
Balas digoda, Pui Ji-ping uring2an, serunya tak mau kalah: "Kau
punya berada di depan sana, jangan kuatir. . . . . . . "
Kun-gi sendiri ikut merah mukanya digoda ke-dua nona, lekas dia
menyela: "Marilah kuperkenalkan, inilah Pa man Yong, sahabat karib
ayahku almarhum, inilah Tu-tayhiap. Dapat menolong kalian dengan
leluasa adalah berkat pertolongan mereka berdua."
Lekas Tong Bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim me mberi
hormat kepada Yong King-tiong dan Tu Hong-sing, katanya
serempak: "Terima kasih Yong-lope k, Tu-tayhiap,"
Yong King-tiong dan Tu Hong-sing sa ma mengangguk. Lalu Kun-
gi menerangkan asal usul ke-tiga nona.
Tong Bun-khing berkata: "Ling-toako, yang tertawan bersama
kami waktu itu ada puluhan orang " Dari keluarga Ban dari Ui-san
dan keluarga Kho dari Ciok-mui, mereka dikurung di ka mar sebelah
lekaslah kau tolong mereka se kalian.
Tu Hong-sing tertawa, katanya: "Nona tak usah kuatir, segera
kubuka pintunya."
Pui Ji-ping melirik kepada Cu Ya-khim sambil mencibir, katanya:
"Ya Piauci, legakan saja hatimu."
"Setan kecil," maki Cu Ya-khim dengan muka merah, "takkan
kua mpuni kau nanti," - Se mbar bicara dia me mburu ke arah Pui J i-
ping.
Dengan cekikikan lekas Pu Ji-ping lari se mbunyi ke belakang Ling
Kun-gi, teriaknya: "Piauci a mpun, tak berani lagi."
Sudah tentu Cu Ya-khim jadi rikuh, katanya "Ya, sekarang kau
punya tempat untuk bersembunyi, apa kau dapat bersembunyi
selamanya."
Pui Ji-ping segera unjuk muka setan, katanya tertawa: "Segera
kaupun akan punya te mpat untuk bersembunyi."
Dala m pada itu Yong King-t iong dan Tu Hong-s ing telah beranjak
ke ka mar sebelah, Kun-gi ajak ketiga nona maju ke sana. Tampa k
Tu Hong-sing sedang masukan mata uang mas ke dala m lubang
kecil, lalu mene kan tombol, lekas sekali daun pintu lantas terbuka,
seperti keadaan di kamar sebelah tadi, kamar di sinipun berterali
besi. Dala m ka mar tahanan yang re mang2 ta mpak terkurung dua
orang, mereka me mang Ban Jin-cun dan-Kho Keh-hoa.
Melihat keadaan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa, kecut hati Cu Ya-
khim, baju yang mereka pakai ternyata lebih rombeng, ra mbut
awut2an keadaannya lebih runyam daripada mereka bertiga,
dengan menge mbeng air mata lekas dia me mburu ke depan terali,
teriaknya: "Ban-toako, lihatlah, Ling-toako datang menolong ka lian."
Ban Jin-cun ta mpak me lengak, tanyanya: "Nona, kau siapa?"
Sambil me mbetulkan letak ra mbutnya Pui Ji-ping cekikikan,
katanya: "Dia adalah Cu Jing sahabatmu alias Piauciku, kenapa Ban-
heng melupa kan dia?"
Kembali Ban Jin-cun me lenggong, teriaknya: "Nona adalah. . . . ..
."
"Siaute Ling Kun-ping," sela Ji-ping menggoda dengan tertawa
jenaka. "Inilah Tong-jiko Tong Bun-khing."
Kho Keh-hoa lantas mengerti, katanya sambil menghe la napas:
"Kiranya ka lian adalah nona2."
"Sekarang baru kalian tahu," seru Pui Ji-ping terpingkal2. Lalu dia
tuding Ling Kun-gi, katanya: "Dia ini adalah Toakoku Ling Kun-gi,
dia sengaja ke mari menolong kita."
Lekas Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa me mberi hormat. Sejak tadi
Ling Kun-gi sudah siapkan Seng-ka-kia m, katanya: "Ban- heng, Kho-
heng harap mundur dua langkah, biar kurusak dulu pintu terali ini,
setelah kalian keluar baru bicara lagi"
Ban dan Kho berdua segera mundur, maka dengan mudah terali
besi itu dirusak oleh Ling Kun-gi, dengan leluasa kedua orang lantas
menerobos ke luar, kembali mereka satu sama la in saling
me mperkenalkan diri.
Untuk na ik ke atas mereka me mbagi dua rombongan, rombongan
pertama Ling Kun- gi diiringi ketiga nona, setelah Tu Hong-sing
mendorong maju kedua kursi, meja bundar itupun mulai bergerak
naik ke atas, kejap lain kee mpat orangpun telah berada di ka mar
segi enam, Waktu meja kembali pada keadaan semula, keenam
kursi itupun bergerak sendiri berpencar ke te mpat masing2.
Maka Kun-gi pimpin orang banyak mendorong kursi ke tengah
pula, supaya meja kursi ke mba li turun ke bawah, Sudah tentu Tong
Bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim sa ma kagum dan tidak habis
mengerti akan segala peralatan yang bergerak serba otomatis ini.
Setelah kursi a mbles ke bawah, maka Kun-gi perkenalkan Tong
Bun-khing bertiga kepada Hoan-kun. Antara nona dan nona lebih
gampang bergaul, cepat sekali merekapun sudah bergaul dengan
akrab dan intim.
Tak la ma ke mudian rombongan keduapun telah naik ke atas, Un
Hoan-kun keluarkan obat penawar dan satu persatu dia oles hidang
kelima laki2 baju hijau, setelah berbangkis se kali ke lima orang
itupun siuman.
Sorot mata Yong King-tiong tajam berwibawa, katanya kereng:
"Kalian dengarkan, Heng-liong-hwe kini telah lebur, Han Jan-to
sudah ma mpus, Cui Kin-inpun telah merat, Ceng-liong-ta m
Congkoan Nyi C i-ko juga ma mpus, mengingat kalian biasanya jarang
me lakukan kejahatan, hari ini Lohu tidak ingin main bunuh, asal
kalian mau bersumpah selanjutnya tidak menjadi antek musuh dan
cakar alap2 kerajaan, sekarang tugas kalian mengumpulkan orang2
Pek-hoa-pang yang terjebak di lorong2 sesat, setelah keluar dari
sini, kalian bebas me milih jalan hidup sendiri2, apa kalian mau
terima kebija ksanaan ini?"
Melihat Nyo Ci-ko me mang sudah mati, situasi jelas tidak
menguntungkan, maka serentak mereka menjura dan menyatakan
setuju dan tunduk.
"Syukurlah ka lian mau insaf, nah inilah Sip-hun-wan buatan
khusus dari keluarga Un kami di Lingla m, dala m dua belas jam kalau
tiada obat penawarnya. selama hidup kalian akan menjadi orang
pikun dan gila, tapi bila kalian menuna ikan tugas dengan baik sesuai
dengan perintah pa man Yong tadi, setelah keluar dari sini, obat
penawarnya akan kubagikan pula kepada kalian," de mikian pesan
Un Hoa-kun. Lalu dia keluarkan lima butir pil dan ditaruh di meja.
Bahwa mereka harus menelan Sip-hun-wan, sudah tentu kelima
orang ragu2 dan saling pandang dengan bingung. Tu Hong-sing
segera menghardik: "Apa pula yang kalian ragukan? Bukankah tadi
akupun telah menelan sebutir? Jangan kuatir, nona Un pasti
menepati janji, sekarang lekas a mbil dan telan, jangan membuang
waktu lagi."
Kelima la ki2 baju hijau tidak berani ayal lagi, setiap orang maju
menga mbil sebutir pit terus ditelannya.
"Sekarang tenaga kita di sini cukup banyak," demikian Yong
King-tiong sa mbil menyapu pandang seluruh hadirin, "tapi yang
kenal dengan orang Pek-hoa-pang hanya Ling-kongcu dan nona
Un", kalau satu la ma lain tida k saling kenal, pasti bisa menimbulkan
salah paha m dala m usaha pencarian mereka, maka Losiu
berpendapat lebih baik Ling-kongcu bersama nona Un berdua saja
yang masuk mencari mereka."
"Ucapan Yong-lopek me mang beralasan," ujar Kun-gi, "soal
menolong orang me mang adalah kewajiban Wanpwe sesuai pesan
bibi, sekarang biarlah Wanpwe saja yang mencari mereka."
Sudah tentu berbeda perasaan antara tiga nona demi mendengar
Kun-gi bilang "ka mi berdua". Tong Bun-khing berwatak le mbut dan
tidak usil mulut, tapi tidak demikian dengan Pui Ji-ping yang bina l
dan suka usil, segera dia menyeletuk: "Ling-toako, aku mau ikut,"
"Adik Ping, dala m lorong sana banyak anak cabang yang
berbelit2, keadaan gelap pula, sembarang waktu menghadani
bahaya, lebih baik kau ikut orang banyak menunggu dan istirahat
saja di sini, setelah mene mukan orang2 Pek-hoa-pang kita akan
cepat keluar dan kumpul pula di sini, kalau terlalu banyak orang
ma lah kurang le luasa."
"Betul," sela Yong King-tiong, "lebih baik kalian tunggu saja di
sini, ketahuilah di sini ada ena m sudut pintu, pada hal kita hanya
bisa me mbagi dua kelompok, setelah setiap sudut pintu diperiksa
harus segera mundur dan keluar me meriksa sudut pintu yang lain,
kalau kalian tinggal di sini se mbarang waktu kan bisa me mberi
bantuan dan menjaga jalan mundur mereka."
"Yong-congkoan," timbrung Tu Hong-sing, agaknya kau belum
jelas akan keadaan di sini, walau te mpat ini merupakan mulut atau
jalan keluar Ceng-liong-ta m, tapi keadaan di dala m keenam sudut
pintu situ sa ma la in tiada bedanya, kita cukup me mbagi dua
kelompok masuk ke dala m mencari mereka, cuma perlu dijanjikan
dulu jalan2 mana yang harus ditempuh masing2 kelompok, setelah
sampai pada suatu te mpat dapat berkumpul lalu ke-luar bersa ma."
"Kiranya begitu," ujar Yong King-tiong. "Ka lau begitu tentu bisa
menghe mat tenaga dan waktu. Ling-kongcu jangan me mbuang
waktu lagi, bersama Tu-heng pimpinlah mereka (kelima laki2 baju
hijau) dala m satu rombongan, Lohu a kan bawa sia yang la in dala m
rombongan kedua, cuma kita harus me mbawa obor lebih banyak
Nah, sekarang berangkat,"
"Wanpwe terima petunjuk," kata Kun-gi.
Tu Hong-sing berkata: "Setiap orang yang bertugas di Ceng-
liong-ta m harus me mbawa obor khusus, jalan yang mesti dite mpuh
masing2 ke lompok harus diatur dan direncana kan dulu, supaya
tiada yang ketinggalan dala m usaha mencari mere ka."
"Kalau begitu, tolong Tu-heng saja yang me mbagi tugas," ucap
Yong King-tiong..
Tu Hong-sing lantas me mberi pesan pada kelima orang baju
hijau: "Kelompok pertama harus masuk dari Thian-mui, me mbelok
kanan keluar dari Te-mui. Kelompok yang lain masuk dari Te-mui,
belok kanan ke luar dari Thian-mui."
Kelima orang baju hita m mengiakan bersa ma. Yong King-tiong
lantas pimpin Un Hoan-kun dan tiga laki2 baju hijau me masuki
Thian-mui dari sebelah kiri setelah menyulut obor. Se mentara Kun-
gi bersama Tu Hong-sing dengan dua laki2 baju hijau masuk me lalui
Te-mui dari sebelah kanan, merekapun me mbawa obor. Sia yang
lain tetap berjaga di ka mar segi ena m.
Setelah kedua kelompok orang itu masuk, tanpa terasa Pui Ji-
ping mengerut kening, tanyanya: "Tong-cici, entah orang2 Pek-hoa-
pang apa yang dicari oleh Ling-toako?"
"Bukankah Hek-liong-hwe anggap kita orang Pek-hoa-pang?
Mungkin kedua kelompok Pang dan Hwe ini terjadi bentrokan
sengit, Ling-toako bantu piha k Pek-hoa-pang mengge mpur He k-
liong-hwe, maka dia bisa menolong kita," lalu Tong Bun-khing
berpaling ke arah Siau-tho dan bertanya: "Nona, betul tidak
terkaanku?"
"Ah, hamba hanya seorang pelayan yang melayani keperluan
Congkoan, apa yang kuketahui hanya sedikit saja, kalau tak salah
Ling-kongcu adalah Cong-hou-hoat-su-cia dari Pe k-hoa-pang, Han-
hwecu dari Hek-liong-hwe adalah pe mbunuh ayahnya. sedang
Yong-congkoan adalah sahabat karib ayah Ling-kongcu, maka dia,
bantu Ling-kongcu mengge mpur Hek-liong-hwe."
"Lalu siapa itu nona Un?" tanya Ji-ping.
"Kudengar tadi Ling-kongcu pernah bilang, sejak mula nona Un
me mang sudah kenal ba ik dengan Ling-kongcu. waktu Ling-kongcu
menyelundup ke Pe k-hoa-pang, nona Un ikut me mbantu dengan
menya mar Bi-kui dala m Pek-hoa-pang, untung tadi dia tertolong
oleh Ling-kongcu dari lorong2 sesat di dala m."
"Kalau Ling-kongcu menyelundup ke dala m Pek-hoa-pang.
bagaimana mungkin bisa diangkat menjadi Cong-hou-hoat-su-cia
dari Pek-hoa-pang?" de mikian tanya Cu Ya-khim.
"Entahlah, ha mba sendiri juga tidak tahu." sahut Siau-tho.
"Kukira dala m hal ini ada banyak persoalan yang berbelit,"
timbrung Tong Bun-khing, "Biarlah kita tunggu setelah Ling-toako
keluar baru kita tanya padanya."
Bersungut Pui Ji-ping, katanya dengan tertawa: "Kalau mau
tanya, kau saja yang tanya padanya."
-000-0dw0-000-
Kini kita ikuti rombongan Ling Kun-gi, Tu Hong-s ing me mbawa
obor berjalan di depan diikuti Kun-gi, lalu kedua orang baju hijau
yang juga membawa obor. Di bawah penerangan tiga batang obor
lorong yang gelap gulita itu menjadi cukup terang, dalam jarak
sepuluh tombak keadaan sekitarnya dapat terlihat dengan nyata.
Tadi Kun-gi baru masuk puluhan tombak saja di da la m lorong2
sesat ini, ma ka dia be lum tahu di mana letak rahasia int i lorong2
sesat ini. Kali ini Tu Hong-sing jadi penunjuk jalan, setelah belok
kanan tikung kiri, di antara lorong2 se mpit itu banyak pula
cabangnya sehingga mirip sarang labah2. Banyak jalan cabang yang
berliku2 setelah dite mpuh sekian la manya baru diketahui bahwa
lorong itu buntu, terpaksa harus putar ba lik. Tapi bukan mustahil
ke mbalinya akan salah jalan ke cabang yang lain pula. Bila tiada
penunjuk jalan, sekali salah langkah besar sekali a kibatnya, mungkin
selamanya takkan bisa keluar dari te mpat yang menyesatkan ini.
Tapi tugas Kun-gi kini harus menje lajah seluruh lorong2 ini untuk
mene mukan dan menolong orang2 Pek-hoa-pang yang terkurung,
maka setiap lorong cabang kudu diperiksanya, umpa ma mene mukan
lorong-lorong buntu juga harus diperiksa.
Dia m2 Kun-gi menaruh perhatian, sepanjang jalan ini ma kin
banyak cabang yang simpang siur, putar sana belok sini, dan
me mbuat orang pusing tujuh keliling, tapi setiap kali bila tiba pada
lorong yang agak lebar dan merupakan lorong penting, maka selalu
ada belokan ke kanan dan ini berarti tidak salah jalan lagi.
Semula dia masih was-was dan menaruh curiga pada Tu Hong-
sing, la mbat laun dia yakin Tu Hong-sing dapat bekerja jujur dan
betul2 me meras keringat.
Setelah terbukti Tu Hong-sing bekerja sekuat tenaga, maka Kun-
gi juga pusatkan perhatiannya, mata kuping dipasang tajam, pikiran
dia tumplek dala m usaha pencarian orang2 Pek-hoa-pang.
Sebetulnya jalan lurus yang penting dala m lorong ini hanya ada
enam jalur, tapi lantaran pada jarak tertentu ada cabang yang rumit
dan me mbingungkan, adakalanya setelah menyusur pergi datang
ternyata masih tetap berada dilorong yang sa ma, maka kerja
mencari orang ini sungguh a mat berat dan menghabiskan tenaga,
apalagi setiap pe losok harus mereka je lajahi.
Tengah mereka berjalan, tiba2 Kun-gi mendengar kira2 sepuluh
tombak di sebelah depan lapat2 seperti ada suara keresekan. Suara
itu sangat itu lirih seperti daun jatuh, meski seorang persilatan yang
me miliki Lwekang t inggi juga harus tumplek perhatian
mendengarkan dengan cermat baru dapat mendengar suara itu.
Maklum derap langkah mereka bere mpat sendiri sudah
menimbulkan suara yang ramai, tapi Kun-gi dapat mendengar suara
geseran sesuatu itu diantara derap kaki mereka, Mungkin seekor
tikus yang lari ketakutan. Pendek kata suara itu a mat lirih, tapi
sekilas pasang kuping Kun-gi lantas menghentikan langkah, katanya
dengan suara tertahan: "Tu-heng, berhenti dulu, apa di depan ada
persimpangan jalan pula?"
Tu Hong,-sing berhenti, sahutnya: "Betul, tapi dari sini ke
persimpangan jalan masih sepuluh tombak."
"Di persimpangan jalan depan ada orang bersembunyi, entah dia
kawan atau lawan?" de mikian kata Kun-gi.
"Ada orang sembunyi didepan? Bagaimana Ling-kongcu bisa
tahu?" tanya Tu Hong-sing heran.
"Lapat2 kudengar dala m jarak sepuluh tombak di depan ada
suara napas pelahan empat-lima orang, tapi jalan yang kita tempuh
ini jalan lurus, bayangan manusia tidak kelihatan, maka kuduga
pasti mereka se mbunyi di persimpangan jalan."
Tu Hong-sing kaget, katanya heran: "Jadi Ling-kongcu sudah
dengar suara pernapasan mereka."
"Dala m lorong ini mudah menimbulkan ge ma suara, apalagi
mereka se mbunyi dite mpat gelap, karena hati merasa tegang
hendak menyergap musuh, meski menahan napas tapi deru
napasnya menjadi lebih berat dari biasanya."
"Ke ma mpuan Ling-kongcu yang luar biasa ini sungguh
mengagumkan . . . . . . " puji Tu Hong-sing.
Belum habis dia bicara kini iapun mendengar suara lambaian
pakaian orang, lalu tampak empat sosok bayangan orang berkelebat
keluar dari kanan-kiri persimpangan jalan di depan. Lalu menyusul
suara seorang gadis me mbentak: "Pendatang berhenti, kalau ma u
hidup lekas buang senjata dan tinggalkan orangnya, kalau tida k
kalian bertiga bangsat ini jangan harap bisa hidup!" - Agaknya dia
sudah melihat tiga orang Hek-liong-hwe, ucapannya supaya
meninggalkan orang mungkin dia mengira Ling Kun-gi menjadi
tawanan musuh yang sengaja di gusur ke mari.
Maklumlah di depan Ling Kun-gi adalah Tu Hong-sing yang
menenteng pedang, di belakangnya adalah dua laki2 baju hijau, jadi
se-olah2 Kun-gi adalah tawanan mereka.
Begitu mendengar suara orang, berdegup girang hati Kun-gi,
segera dia me lompat maju dan berseru: "Pangcu, Cayhe me mang
sedang mencari kalian."
"Hah. . . . . . " dari lorong di depan terdengar teriakan tertahan,
nada yang mengandung rasa kaget dan kegirangan luar biasa,
sesosok bayangan langsing segera melejit maju, teriaknya: "Ling-
heng, . . . . . . " karena hati senang, seperti seorang yang sudah
la ma tersesat kini bertemu dengan sanak familinya, maka dia berlari
menubruk datang.
Maklumlah seorang remaja yang sekian la manya tersesat di
lorong gelap ini, kini bertemu dengan perjaka pujaannya, maka dia
ingin me limpahkan seluruh perasaannya, kini dia perlu bujuk dan
hibur manja. Na mun betapapun dia adalah Pe k-hoa-pang Pangcu,
dihadapan orang luar, apalagi di depan dayangnya, betapapun dia
tetap harus pegang gengsi sebagai Pangcu yang berwibawa dan
disegani. Untunglah seruan "Pangcu" Kun-gi telah menyentak
sanubarinya.
Kira2 beberapa kaki di depan Kun-gi dia berhenti, matanya yang
jeli tampa k berkaca2, wajahnya berseri girang, katanya: "Ling-heng,
bagaimana kau bisa mene mukan te mpat ini? Kau tida k apa2?
Rombongan ka mi telah tercerai berai." - Meski masih tertawa, tapi
wajahnya sudah basah air mata, katanya pula: "Lihatlah, kini tingga l
kami berlima orang sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus
me mberi pertanggungan jawab kepada Suhu?"
"Pangcu tidak usah sedih," bujuk Kun -gi, "lorong sesat di Ceng-
liong-ta m ini me mang a mat berbahaya, orang2 yang tercerai-berai
pasti dapat kita temukan, Cayhe memang sedang mencari kalian."
Bok-tan melirik Tu Hong-sing bertiga, tanyanya:
"Bukankah mere ka orange He k-liong-hwe kenapa . ."
"Hek-liong-hwe sudah hancur lebur . . . . . " tukas Kun-gi
tertawa.
Kaget dan senang hati Bok-tan, sepasang bola matanya
me mancarkan sinar aneh, katanya dengan mesra: "Ke mbali Ling-
heng me mbuat pahala besar. Ai, aku sungguh me nyesal."
Tak enak dia banyak bicara, terpaksa ia mendesak : "Syukurlah
kami berhasil mene mukan Pangcu, cuma lorong sesat ini banyak
cabang yang simpang siur, kami me mbagi dua rombongan untuk
mencari kalian, tugas kami belum lagi selesai, waktu amat berharga,
kini silakan Pangcu ikut dala m rombongan ini."
Bok-tan me mbetulkan rambutnya, katanya tertawa: "Entah
berapa lama kita ubek2an di tempat ini, obor yang kami bawapun
telah padam kehabisan minyak, sudah tentu ka mi harus ikut kau."
Kun-gi angkat sebelah tangannya, katanya: "Tu-heng bertiga
me mbawa obor, silakan berjalan di depan saja."
Maka Tu Hong-sing bertiga lantas jalan di depan, Bok-tan dan
Kun gi di tengah, e mpat dayang ikut di belakang mereka.
Bok-tan jalan berendeng dengan Kun-gi, tanyanya sambil
berpaling: "Siapa pula da la m rombongan kedua?"
Kun-gi ragu2 sebentar, dia sadar cepat atau lambat persoalan ini
harus dibicarakan, lebih baik sekarang saja dibicarakan sama dia,
maka dengan tertawa ia berkata: "Sebetulnya Pangcu sudah kenal
dia, tapi kenyataan sekarang sudah bukan dia lagi."
"Siapa yang Ling-heng maksudkan?" tanya Bok-tan heran.
"Bi- kui."
"Kiu-moay ma ksudmu?" Bok-tan tertawa geli. Tiba2 seperti ingat
apa2, dia bertanya pula: "Bagaimana mungkin bukan dia lagi?"
"Bi-kui asli adalah salah satu agen kalian yang diselundupkan ke
Hek-liong-hwe, padahal jejaknya sudah diketahui musuh dan kini
sudah ajal, yang menyamar jadi Bi-kui sekarang ada lah Un Hoan-
kun ...."
Berubah air muka Buk-tan: "Dia adalah orang He k-liong-hwe?-"
"Bukan," sahut Kun-gi, "Dia anak keluarga Un dari Ling-la m,
sebelumnya sudah kenal baik dengan Cayhe. tanpa sengaja dia
mene mukan Giok-je dan lain2 me masukan Cayhe ke dala m karung,
maka dia menyaru jadi Bi-kui terus mengunt it . "
Bok-tan meliriknya, tawanya mengandung arti, katanya: "Kalian
berhubungan baik seka li, benar tida k?"
Teringat pesan Thay-siang sebelum ajal, berdegup keras jantung
Kun-gi, lekas dia berkata: "Dengan dia Cayhe hanya . . . . "
"Tak perlu kau jelaskan," tukas Bok-tan, "aku tidak salahkan
kau." - Suaranya begitu lirih, mungkin hanya Kun-gi saja yang bisa
mendengar, tapi selebar mukanya sudah merah jengah.
Kun-gi juga merasa panas mukanya, hatinya baru dan lega,
katanya lirih: "Terima kasih . . . ."
Selanjutnya mereka terus maju ke depan tanpa bersuara,
beberapa kejap lagi baru Kun-gi berkata: "Pangcu, ada satu hal
mungkin juga di luar dugaanmu."
Berkedip2 Bok-tan: tanyanya: "Soal apa?"
"Kau tahu pernah apakah Thay-siang dengan Cayhe?"
Hal ini me mang betul2 me mbuat Bok-tan melengak di luar
dugaan, tanyanya: "Pernah apamu?"
"Dia adalah Bibiku, beliau adik ibu kandungku."
"Apa betul?" Bok-tan berteriak kaget dan senang. "Ya, kuingat
sekarang, kau pernah bilang ibumu she Thi, darimana kau tahu
akan hal ini?" Maka Kun-gi lantas bercerita secara singkat
bagaimana kakek luarnya dulu mendirikan Hek-liong-hwe, tatkala
ibunya menikah dengan ayahnya, Thay-siang minggat tak keruan
parannya, akhirnya Han Jan-to menjual Hek-liong-hwe kepada
kerajaan.
"Kiranya begini liku2nya," ucap Bok-tan, "tak heran kau suruh
Sam-moay (Giok-lan) jangan bilang padaku tentang ibumu she Thi.
O, ya, apa-kah Pekbo juga datang?"
"Ibuku sudah berangkat, mungkin sekarang berada di Ga k-koh-
bio, beliau minta Cayhe bawa Pangcu menghadapnya."
"Em," Bok-tan bersuara pelahan, wajahnya yang semula pucat
tampak merah malu, tapi sorot matanya tampak senang dan
bersemangat, tanyanya riang: "Apakah Suhuku juga di Gak-koh-
bio?"
Sesaat Ling Kun-gi jadi serta salah untuk menjawab, hanya
secara samar2 mengiakan. Untung mereka sudah tiba di ujung
lorong dan t iba di ka mar segi ena m.
Pui Ji-ping segera berteriak menyambut: "Ling-toako, sudah kau-
ketemukan Pek-hoa . . . . . . "
Belum habis bersuara dilihatnya di belakang Kun-gi berjalan
keluar seorang gadis berwajah je lita mengenakan pakaian ketat,
dasar kainnya warna kuning, tepat di depan dadanya tersula m
sekuntum Bok-tan, dengan leher tinggi bertitik warna e mas, di
pinggangnya tergantung pedang. rambutnya digelung mirip puteri
keraton yang diberi bermacam perhiasan, meski agak semrawut dan
wajahnya kelihatan kotor, mungkin sudah tiga hari tak pernah
berdandan, tapi sikapnya kelihatan anggun.
Berhadapan dengan Pek-hoa-pangcu yang agung dan berwibawa
sekilas Pui Ji-ping jadi me lenggong, kata2 selanjutnyapun lupa
terucapkan.
"Ling-heng," tanya Bok-tan tertawa, "dia inikah adik dari ke luarga
Un?"
Dala m hati Tong Bun-khing juga menggerutu, lagi nona yang
begitu mesra dan a le man pada Ling-toakonya ini.
Lekas Pui Ji ping menggeleng kepala, katanya: "Aku bukan Un-
cici, aku berna ma Pui Ji-ping, Cici ini . . . . . . " tiba2 dia menuding
ke sudut pintu di depan sana serta mena mbahkan dengan tertawa:
"Nah, itu Un-cici sudah keluar."
Dari sudut pintu bagian tengah sedang beranjak keluar sebarisan
orang, paling depan adalah dua laki2 baju hijau penunjuk jalan
diikuti Yong King-tiong Un Hoan-kun, Giok-lan, Ci-hwi dan seorang
Nikoh tua dengan pedang dipunggungnya, dia inilah Bing-gwat
Suthay.
Melihat Bok-tan sudah berada di sini, tanpa janji Un Hoan-kun,
Giok-lan dan Ci-hwi sa ma berteriak girang: "Pangcu!" - Seperti
berlomba saja mereka berebut maju serta me mberi hormat.
Mendengar orang banyak sama memanggil "Pangcu", dia m2 Pui
Ji-ping me lengak heran.
Bok-tan maju selangkah me megang kedua tangan Un Hoan-kun,
katanya haru dan penuh nada terima kasih: "Nona Un, berkat
pertolonganmu sepanjang jalan ini, kau telah menolong Sa m-moay
bertiga lagi, entah bagaimana a ku harus berterima kasih pada mu."
Un Hoan-kun me lengak sejenak, tanyanya: "Pangcu sudah tahu?"
Bok-tan manggut, katanya: "Barusan Ling-heng sudah
menje laskan padaku." - Sebentar matanya menje lajah la lu berkata:
"Dala m rombongan kita masih ada Coh-houhoat Leng Tio-cong,
serta Liang Ih-jun dan Yap Kay-sian, apakah mereka tidak di
temukan?"
"Leng Tio-cong dan Yap Kay-sian sudah gugur, beruntung Liang
Ih-jun lolos dari barisan pedang, badannya terluka delapan belas
goresan pedang, sekarang di luar sedang menyembuhkan luka2nya
Ling Kun-gi me mberi keterangan singkat.
Guram wajah Bok-tan, katanya: "Rombongan kita sungguh
bernasib amat jelek." - Lalu dia ang-kat kepala bertanya kepada
Kun-gi: "Ling-heng, apa kau me lihat Jimoay dan rombongannya?"
"Waktu Cayhe kemari di sebuah lorong bertemu dengan Coa
Liang, lukanya a mat parah, dia cuma bisa me nuding ke suatu arah
dan tak ma mpu bicara, belakangan dari mulut Han Jan- to dapat
kuduga bahwa Hupangcu terjebak di Hwi-liong-tong, dari sini kita
bisa maju lebih lanjut untuk mencari mere ka di Hwi-liong-tong." -
Lalu satu persatu dia perkenalkan seluruh hadirin.
Berkata Yong King-t iong dengan mengelus jeng-got: "Ling-
kongcu, urusan di sini sudah beres, marilah kita le kas lanjut kan
tugas yang lain."
Di bawah pimpinan Yong King-tiong mereka meninggalkan ka mar
segi enam dan me mbalik ke arah datangnya semula. Waktu lewat
lorong barisan pedang, tiada seorangpun yang me lelet lidah dan
mengkirik dibuatnya. Kini Tu Hong-sing berja lan paling depan, dia
bertugas me mbuka pintu rahasia.
Liang Ih-jun segera menyambut ke hadapan Bok-tan dan Kun-gi,
katanya sambil hormat: "Pangcu, hamba sudah gelisah tak karuan,
ribuan barisan pedang terpasang di dala m pintu ini, entah
bagaimana perjalanan Congcoh mencari Pangcu, kini syukurlah
kalian telah ke mbali dengan sela mat . . . . . . "
"Luka2 Liang-heng apa sudah se mbuh?" tanya Kun-gi
"Berkat pertolongan Congcoh, jiwa Cayhe-ter-tolong, kini sudah
jauh lebih baik,"
"Sejak kini aku bukan Cong-hou-hoat-su-cia sega la, selanjutnya
Liang-heng tak usah me manggilku de mikian."
Giok-lan melirik Bok-tan, katanya keheranan: "Ling-kongcu kan
baik2 saja, kenapa ......."
Kun-gi tertawa kecut, katanya: "Kalau dibicarakan sungguh a mat
menyesal, dikala Cayhe me masuki Ui-liong tong se luruh rombongan
tertumpas habis, waktu Cayhe bertemu Thay-siang di Hek-liong-
tam, beliau sudah terima pengunduran diriku sebagai Cong-hou-
hoat-su-cia, belakangan kuketahui bahwa Pangcu dan rombongan
Hupangcu terperangkap di Ceng-liong-tong dan Hwi-liong-tong,
maka Cayhe mengajukan diri mohon persetujuan Thay-siang untuk
menolong orang banyak, setelah meninggalkan lorong2 di perut
gunung ini, selanjutnya Cayhe sudah bukan anggota Pek-hoa-pang
lagi." - karena Thay-siang adalah bibinya, maka peristiwa leda kan
dahsyat oleh bahan peledak yang tersimpan dala m tandu sehingga
seluruh anak buahnya gugur t idak ena k dia ceritakan.
Bok-tan tertawa wajar, katanya: "Meski bukan Cong-su-cia, tapi
Ling-heng tetap adalah keluarga Pek-hoa-pang, betul t idak?"
Rombongan kali ini jumlahnya lebih banyak, sambil jalan mere ka
mengobrol serta mengagumi bangunan lorong2 yang
me mbingungkan di sini, tanpa terasa mereka sudah berada di
sebuah lorong lurus dan lebar.
Yong King-tiong menghentikan langkah, serunya sambil
me mba lik badan: "Perhatian, sekarang kita sudah keluar dari
lingkungan Ceng-liong-tam, di luar pintu batu di luar sana sudah
termasuk Hwi-liong-tong. Di Hwi-liong-tong ada Cap-coat-kiam-tin
dan Cap-ji-sing-siok, meski kedua barisan lihay ini sudah tertumpas
habis, tapi kelompok mereka yang berdinas di luar masih punya
jago2 kosen yang lihay, maka kalian harus hati2 dan selalu siaga." -
Habis berkata dia melangkah lebar ke depan. Tidak jauh mereka
sudah tiba di ujung lorong, di mana mengadang sebuah dinding.
Yong King-tiong langsung mene kan sebuah tombol di dinding, ma ka
terbukalah sebuah pintu, dia mendahului me langkah masuk.
Di luar pintu adalah lorong panjang pula, tapi kira2 lima tombak
Yong King-tiong beranjak, Tu Hong-sing lantas mengerut kening,
katanya lirih: Yong- congkoan, harap berhenti dulu!"
"Ada apa?" tanya Yong King-t iong.
"Mungkin Yong-congkoan belum pernah datang di Hwi-liong
koan?"
"Hwi-liong-koan?" Yong King-tiong balas tanya. "Lohu me mang
belum pernah ke sana? Me mangnya di mana letak Hwi-liong-
koan???
"Setelah dipugar barulah kedua te mpat itu dina ma kan Ceng-
liong-ta m dan Hwi-liong koan, ke duanya dibawah pengawasan
langsung Cui Kin-in, merupakan dua te mpat yang paling rahasia
dalam He k-liong-hwe, bila engkau berjalan lurus ke depan itu berarti
langsung menuju Ceng-liong-tong".
"Kalau begitu, sia2 Lohu menjabat Congkoan di Hek-liong-hwe
selama dua puluh tahun ini," de mikian ujar Yong King-tiong dengan
gegetun. Lalu dia bertanya: "Coba katakan, lalu ke mana arahnya
untuk pergi ke Hwi-liong-koan?"
"Pintu rahasia yang mene mbus ke Hwi-liong-koan berada di sini,
cuma bila pintu di sini terbuka, maka kedua lorong yang menjurus
ke dalam ini a kan buntu dengan sendirinya, jumlah orang kita kali
ini lebih banyak, untuk ini perlu kita berdiri sa ling berhimpitan
sedikit," setelah suruh orang banyak kumpul di satu te mpat yang
ditunjuk, baru Tu Hong-sing mendekati ka ki dinding sebelah kiri, di
sana dia menggagap sebentar, lalu berpindah ke dinding sebelah
kanan, di sana iapun meraba sekian la manya. Kemudian
terdengarlah suara gemuruh seperti roda raksasa yang
mengge lindang pelan, dua lapis dinding di kiri-kanan pelan2 terbuka
sendiri, tapi bertepatan dengan itu, tepat pada mulut lorong yang
mene mbus ke depan dan belakang itu melorot turun pelan sebuah
daun pintu pe misah yang tebal dan berat menutup lubang lorong,
seperti pintu dam saja kedua lorong ini tertutup rapat takkan bisa
dibuka lagi untuk sela manya.
Yong King-t iong terbeliak kagum, katanya: "Sejak kapan tempat
ini dibangun?"
"Ha mpir sepuluh tahun yang lalu," sahut Tu Hong-s ing, "waktu
itu Ki Seng jiang masih menjabat Congkoan di sini."
Ia tuding lorong sebelah kanan serta menambahkan: "Kalau
orang2 Pek-hoa-pang menyerbu ke Hwi-liong-tong, orang2 Hek-
liong-tong tak perlu me lawan, mereka akan masuk perangkap dan
terpancing masuk ke Hwi-liong-koan, siapapun bila masuk ke Hwi-
liong-koan, seperti juga masuk ke Ceng-liong-ta m, cukup asal pintu
dinding ini diturunkan dan jangan harap mereka bisa keluar."
"Kalau kita sudah masuk ke sana, lalu bagaimana?" tanya Yong
King-tiong.
"Untuk ini Congkoan tak usah kuatir, tombol rahasia pintu ini
berada di bawah daun pintu, setelah lorong di sini beralih dan
berubah bentuk, dari luar takkan bisa dibuka lagi, cukup asal kita
me mbagi beberapa orang berjaga di sini, segalanya tidak perlu
dibuat kuatir."
Bok-tan pandang seluruh hadirin lalu berkata: "Sam-moay, Cap-
moay, Bing-gwat Suthay dan Bak-ni boleh berjaga saja di sini."
Kuatir kee mpat orang ini kurang tenaga, maka dengan tertawa
Kun-gi pandang Bok- tan dan Tong Bun-khing bera mai, katanya:
"Tujuan kita masuk ke sana untuk menolong orang, kalau te mpat itu
dina makan Hwi-liong-koan, pasti di sana terpasang perangkap lihay
dan berbahaya, kalau terlalu banyak orang malah kurang le luasa,
menurut pendapatku. Pangcu, nona Tong, nona Cu dan Pui-
siaumoay beserta Siau-tho tetap ikut berjaga di sini saja."
"Tida k," sela Bok-tan tegas, "sebagai Pek-hoa-pang Pangcu, aku
wajib ikut masuk mencari orang."
"Baiklah ka lau begitu, sisanya yang lain harap tetap berada di
sini, marilah kita masuk bersa ma," demikian Yong King-t iong ambil
keputusan. Maka Tu Hong-sing tetap bertugas jadi penunjuk jalan,
Yong King-tiong, Ling Kun-gi, Bok-tan, Ban Jin-cun, Kho Keh-hoa,
Liang Ih-jun dan tiga jago pedang baju hita m bersepuluh orang
beriring masuk ke lorong sebelah kiri.
Sepuluh tomba k ke mudian keadaan mendadak berubah, lorong
itu menjadi luas dan lebar, bentuknya seperti sebuah aula panjang,
di depan kemba li mereka diadang lapisan dinding besar, tepat di
bagian tengah bertatahkan dua huruf besar warna merah yang
menyolok berbunyi "Hwi Liong" di bawah tulisan adalah dua sayap
pintu yang bercat merah darah. Sudah tentu daun pintu besar ini
juga terbuat dari batu, cuma daun pintu dicat, maka kelihatannya
mirip daun pintu umumnya. Malah pada daun pintu ada sepasang
gelang besi yang berukir binatang pula, kelihatan a mat angker.
Hwi-liong-koan me mang sesuai na manya, bentuknya memang
seperti sebuah benteng. Bagi orang yang tidak tahu pasti mengira
tempat ini adalah Hwi- liong- tong.
Rombongan kedua yang dipimpin Hupangcu So-yok bertugas
menyerbu ke mari, pastilah mereka terpancing masuk ke Hwi-liong
koan ini.
Tiba di bawah benteng Yong King-tiong menga mati keadaan
sekelilingnya, lalu berpaling dan bertanya: "Apakah Tu-heng tahu
bagaimana keadaan di dala m Hwi-liong-koan?"
"Pernah aku mme mperoleh tugas dua kali masuk ke mari, tapi
hanya berhenti di bawah benteng saja, bagaimana keadaan di
dalam a ku sendiri t idak jelas, cuma pernah kudengar pembicaraan
Hwi-liong-koancu Oh Coan-oh, katanya di dalam banyak terdapat
rumah2 batu."
"Oh Coan-oh dulu pernah menjadi anak buah-ku, pernah
menjabat Sincu (ketua barisan ronda), coba kau panggil dia keluar
mene mui a ku."
Tu Hong-sing menyengir, katanya: "Ya, kenapa aku lupa bahwa
engkau dulu petuah menjabat wakil komandan ronda Hwi-liong-
tong, Oh Coan-oh me mang bekas anak buahmu."
Yong King-tiong menghela napas pelahan, katanya: "Waktu itu
Hek-liong hwe masih menentang kerajaan yang sekarang, kini He k-
liong-hwe sudah dijadikan alat untuk menumpas dan menjebak para
pahlawan bangsa yang menentang kerajaan, situasi dan keadaan
sekarang sudah jauh berbeda."
Dala m pada itu Tu Hong-sing telah maju mendekati pintu, gelang
pintu dia putar ke kanan-kiri t iga kali. Maka dari mulut binatang
yang terukir pada gelang besi berkumandang suara bertanya: "Siapa
di luar?"
"Hek-liong-ta m Yong-congkoan minta Oh-koan-cu keluar
menjawab pertanyaannya," kata Tu Hong- sing lantang...
Orang di dalam segera menyahut: "Baik, Cayhe akan segera
me laporkan." - Keadaan kembali menjadi sunyi. Lekas sekali kedua
daun pintu besar terbuka pelan2 tanpa mengeluarkan suara, dua
laki2 baju hita m ketat menenteng la mpion beranjak ke-luar
bersama. Di belakangnya pula seorang la ki2 berusia lima puluhan
berjubah hijau.
Orang ini, adalah Hwi-liong-koan Koan-cu Oh Coan oh, sekilas
dilihatnya Yong King- tiong berdiri di depan rombongan orang
banyak, lekas dia maju lagi dua langkah serta menjura, sapanya:
"Ha mba tidak tahu akan kedatangan Yong cong-koan, maaf akan
keterlambatan penya mbutan ini."
Yong King-t iong tertawa sambil mengelus jenggot, katanya:,
"Oh-heng tak usah banyak adat, kini aku sudah bukan Hek-liong-
tam Congkoan lagi." Oh Coan-oh me mbungkuk badan, katanya
dengan tertawa: "Kalau demikian, Yong-congkoan tentu naik
pangkat."
Tiba2 Yong King-tiong menarik muka, katanya sedikit mendengus
"Me mangnya kecuali mengejar pangkat dan kedudukan, apakah
benak Oh-heng tak pernah me mikirkan soa l lain?"
Oh Coan-oh tampak tertegun, ia mengawasi Yong King-tiong,
suaranya kedengaran sumbang: "Yong- congkoan ......."
"Oh Coan-oh," bentak Yong King-tiong, "ingin kutanya padamu,
dulu wa ktu kau menjabat Sincu Hek-liong-hwe, bukankah kau
anggota setia dari Thay-yang-kau?"
Tergagap Oh Coan-oh, katanya dengan ragu2: . . ."
"Baik, sekarang Lohu beritahu padamu, Han Jan-to sudah mati,
Cui Kin-in sudah melarikan diri, Hek-liong-hwe juga sudah
dihancurkan, impianmu untuk naik pangkat sudah sirna sama sekali,
maka sadarlah kau."
Pucat muka Oh Coan oh saking kaget dan jeri, katanya sambil
menyeka keringat: "Kau orang tua ....."
"Lepaskan orang Pek-hoa-pang yang masuk perangkap,
mengingat hubungan baik kita dulu Lohu boleh me nga mpuni
jiwa mu, setelah meninggalkan te mpat ini . . . . . . ."
Belum habis dia bicara dari dala m Hek-liong-koan tiba2
berkumandang ge lak tawa seseorang, katanya: "Yong-heng ternyata
ada di sini, agaknya kedatanganku belum terla mbat."
Belum habis bicara, muncul dua orang dari balik pintu sana. Yang
di depan adalah seorang kakek berperawakan kecil kurus, dial
bukan la in adalah Hwi-liong-tong Tongcu Nao Sa m-jun, orang di
belakangnya adalah Ui-liong-tong Tongcu Ci Hwi-bing. Di bela kang
mereka mengint il pula sebaris la ki2 baju hita m ketat, semuanya
menenteng pedang panjang warna hita m.
"Ha mba menya mbut kedatangan Tongcu," lekas Oh Coan-oh
me mberi hormat.
Dengan menyeringai Nona Sa m-jun berkata: "Yong-heng minta
kau me mbebaskan orang2 Pek-hoa-pang yang masuk perangkap,
bagaimana pen-dapat Oh heng?"
Oh Coan-oh bergidik ketakutan, jawabnya: "Hamba tidak berani."
Jelilatan sorot mata Ci Hwi-bing, katanya dengan tertawa: "Eh,
Pek-hoa-pang Pangcu kiranya juga datang."
Bok-tan tertawa dingin, katanya: "Me mangnya kenapa ka lau aku
datang? Kau kira perangkap ka lian ma mpu mengurung a ku?"
Melihat dandanan lima orang laki2 di belakang Nao Sam jun
tergerak hati Ban Jin-cun, katanya berpaling ke arah Kho Keh-hoa:
"Kho-heng, kau lihat, dandanan beberapa bangsat ini bukankah
sama dengan penyamun yang menyerbu Ciok-bun-san-ceng dulu?"
"Betul," sahut Kho Keh-hoa mengangguk, "bangsat yang
me mbunuh keluargaku, semuanya juga mengenakan seraga m
seperti itu."
Ban Jin-cun mengertak gigi, katanya: "Tidak salah lagi kalau
begitu, me mang de mikianlah kejadiannya, bukan mustahil mere ka
inilah penyatron. . ."
Kho Keh-hoa tak tahan lagi, sa mbil angkat pedang sebat sekali
dia me lompat maju, bentaknya: "Orang she Nao, apakah mereka
anak buahmu?"
Ban Jin-cun tidak ka lah cepat, segera iapun melompat maju.
Melihat kedua orang, Nao Sam-jun- tertawa, katanya- "Eh, kalian
juga sudah ke luar."
"Jawab pertanyaanku dulu," bentak Kho Keh hoa, "apakah
mereka ana k buahmu?"
Sekilas Nao Sa m-jun pandang kelima anak buahnya, lalu
menjawab: "Betul, mereka ada lah jago pedang dari Hwi-liong-tong,
untuk apa kau tanya hal ini?"
Me mbara mata Ban Jin-cun, pedang ditangannya diobat-abitkan,
tanyanya: "Yang menyerbu ke Ui-san dan keluarga Kho di Ciok-mui
dan me mbunuh seluruh angota keluarganya apakah perbuatan Hwi-
liong-tong kalian?"
Nao Sam-jun tatap kedua anak muda itu sebentar, katanya
dengan mendengus: "Untuk apa kalian tanya soal ini?"
"Katakan, apakah kau orang she Nao yang pimpin mere ka
me mbunuh keluargaku?" hardik Ban Jin-cun.
"Betul, ka mi diperintahkan atasan, keluarga Ban di Ui-san dan
keluarga Kho di Ciok-bun adalah keturunan pe mbesar dinasti Bing
dahulu yang sekongkol dengan pe mberontak, maka baginda
me merintahkan untuk menumpas kedua keluarga besar ini.... "
Mendidih darah Ban J in cun dan Kho Keh-hoa, tanpa berjanji
keduanya menghardik bersa ma: "Anjing bangsat, serahkan jiwamu! "
- Dua bayangan orang menubruk bersa ma, dua pedang panjang
mereka serentak me nyambar ke badan Nao Sa m-jun.
Sudah tentu Kim-kau-cian Nao Sa m jun tidak pandang sebelah
mata pada kedua lawannya, dengan menyeringai dia berkata: "Anak
muda, bicaralah baik2, kenapa ma in senjata?" - Sebat sekali kedua
tangannya terpentang, dengan jari telunjuk dan jari tengah ia
berhasil menjepit ujung pedang kedua orang.
Agaknya dia sengaja mau pamer ilmu sakti Kim-kau cian, tapi dia
tidak menjepit putus ujung pedang, cuma me njepitnya saja dan
tidak dilepaskan, katanya dingin: "Siapa kalian sebetulnya? Lohu
belum lagi me mbuat perhitungan dengan Yong-congkoan, tahu?"
Bahwa pedang tusukan mereka kena dijepit hanya dengan dua
jari oleh lawan, sungguh kaget dan gugup Ban Jin-cun dan Kho Keh-
hoa bukan main, lekas mereka menarik, tapi kedua jari Kim-kau-cian
Nao Sam-jun sekeras tangga m, usahanya tidak me mbawa hasil
yang diharapkan.
Setelah Nao Sam-jun habis bicara, sedikit ang-kat dan sendal,
mendadak terasa oleh Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa dari ujung
pedang tiba2 tersalur segulung tenaga yang menerjang tiba
sehingga mereka tertolak se mpoyongan.
Berhadapan dengan musuh besar, Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa
seperti orang kalap, apalagi terbukti bahwa orang dihadapan
mereka ada lah musuh pe mbunuh ayah bunda dan keluarganya
maka mereka tida k hiraukan kepandaian sendiri yang rendah,
dengan nekat mereka menyerbu maju pula, bentaknya beringas:
"Bangsat tua, serahkan nyawamu! Tuan muda ini adalah Ban Jin-
cun dari Ui-san"
Dan aku Kho Keh-hoa dari Ciok-bun!" Dia larik sinar terang
serentak menya mber dari kanan kiri.
"Hahaha," Nao Sam-jun bergela k terlawa. "jadi kalian buronan
dari ke luarga pe mberontak? Bagus juga, me mbabat rumpat harus
se-akar2nya, biar hari ini Lohu bereskan kalian pula." - Mulut bicara,
tanpa menyingkir atau berkelit, tiba2 dia malah berkelebat maju dan
menyelinap di antara sambaran sinar pedang kedua orang.
Ui-san-kia m-hoat biasanya menguta makan ke-tenangan dan
mantap, dada Ban Jin-can diliputi denda m darah yang tak
terlampias, sekali tusuk ingin rasanya dia tamatkan jiwa Nao Sa m-
jun, maka begitu turun tangan dia lantas iancarkan serangan
me matikan.
Sebaliknya Liok-hap kia m-hoat kebanggaan ke-luarga Kho
terkenal gesit dan cepat, bila ilmu pedang ini dike mbangkan, ma ka
bertebaranlah bintik2 sinar berha mburan melingkar tubuh musuh.
Konon bila Liok-hap-kia m-hoat berhasil diyakinkan mencapai punca k
kesempurnaan, sekali menyendal pedang, sekaligus dapat menusuk
tiga puluh ena m Hiat-to besar di badan manusia, dari sini dapatlah
dibayangkan betapa cepat gerakan pedangnya.
Perasaan Kho Keh hoa sekarang diburu dendam kesumat, dua
puluh de lapan jiwa keluarganya harus menuntut ba las, kini
berhadapan langsung dengan musuh, apapula yang harus dia
takutkan, dengan gigi ge merutuk menahan ge lora amarah, Nao
Sam-jun dicecar dengan serangan gencar.
Dari kiri-kanan kedua orang bekerja sa ma me lancarkan serangan,
kalau yang satu me mbabat, yang lain main tusuk, ternyata dua
aliran pedang yang berlainan dapat kerja sa ma dengan baik.
Nao Sam-jun tetap bertangan kosong, perawakannya yang kurus
kecil tampa k bergerak se-lincah kera, terjang sana kelit sini di
antara sambaran dan tusukan pedang, seakan2 dia kerepotan dan
hanya ma mpu berke lit saja di bawah rangsakan pedang kedua
lawan. Tapi betapapun gencar dan lihay serangan kedua orang
tetap tak ma mpu me luka inya, sampaipun menyentuh ujung baju
orangpun tidak bisa.
Maklumlah Nao Sa m-jun berjuluk Kim-kau-cian (gunting e mas),
Kungfu yang dilatihnya selama hidup justeru terletak pada kee mpat
jari tangannya, setiap kali gebrak dengan musuh, peduli golok,
pedang, ruyung atau tombak, sekali kena jepit kedua jarinya pasti
patah seketika.
Dendam, Ko Keh-hoa dan Ban Jin-cun sudah lama terpendam,
yang mereka pikirkan hanya mengadu jiwa de mi menuntut balas
sakit hati ke luarga, sampaipun ujung pedang sendiri yang selalu
terjepit putus dan semakin pende kpun tak dihiraukan lagi, mereka
tetap mengge mpur dengan sengit dan nekat.
Sudah tentu Kun-gi dapat me lihat gelagat jelek ini, baru saja dia
hendak bersuara, didengarnya, Nao Sam-jun me mbentak sambil
tertawa: "Nah, kalian anak muda terimalah serangan balasanku." -
Di mana kedua tangan terayun, dari celah2 jarinya melesat keluar
delapan bint ik sinar dingin mengincar kedua lawan.
Ternyata Ban Jin-cun dan Ko Keh-hoa tidak menyadari bahwa
pedang mereka sudah terjepit putus se makin pende k, sehingga
jarak pertempuran kedua piha k sema kin dekat, sehingga jarak
ketiga pihak kini t inggal tiga kaki saja. Maka serangan mendada k
Nao Sam-jun ini boleh dikatakan dilancarkan dala m jarak yang amat
dekat, umpa ma di dunia ini ada manusia me miliki ilmu Ginkang
maha tinggi juga tidak mungkin dapat meluputkan diri dari serangan
telak ini, untuk berke litpun sudah tida k se mpat lagi. Apalagi
serangan ini merupakan ilmu kebanggaan Nao Sa m-jun pula.
Me mangnya apa gunanya bertangan kosong melawan senjata
musuh yang terjepit putus itu telah digunakan sebagai senjata
rahasia untuk ma kan tuannya.
Dengan gerak tipu "Lau Hay menaburkan uang e mas", peduli
musuh dala m jarak jauh atau dekat, sela ma dua puluh tahun ini,
belum pernah ada tokoh Bu-lim yang lolos dari tangannya,
jangankan sela mat, luka parahpun sudah untung.
Dika la Nao Sa m-jun mengayun tangan, sementara delapan bintik
sinar dingin hampir hinggap di badan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa,
mendadak sesosok bayangan orang menyelinap di depan Ban Jin-
cun dan Kho berdua.
Sekali lengan baju menyendal, delapan bintik kemilau itu seketika
kena digulungnya, berbareng tangan kiri me mba lik, "plak", dengan
telak punggung telapak tangannya mengenai dada Nao Sa m-jun.
Sungguh mimpipun Nao Sa m-jun tida k pernah me mbayangkan
gerak tubuh pendatang ini bisa se-gesit dan secepat itu, sudah tentu
dia tidak se mpat berkelit, kontan mulutnya mengerang tertahan,
pandangan seketika menjadi ge lap, kakipun terhuyung mundur.
Orang yang menyelinap maju ini adalah Ling Kun-gi. Begitu
me lihat gelagat cukup gawat, dengan gerak kecepatan luar biasa
segera dia lompat ke depan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa, sekaligus
dia lancarkan Kian-kun-siu menggulung kutungan pedang yang
ditimpukkan Nao Sa m-jun serta persen orang sekali tamparan.
Dika la Nao Sa m-jun terhu-yung mundur sa mbil mengerang
kesakitan, sementara Ling Kun-gi sudah berke lebat balik ke
tempatnya pula.
Bok-tan terbeliak lebar me mandanginya penuh kasih mesra,
katanya lirih: "Cepat benar gerakan Ling-heng."
Belum habis dia bicara terdangar Nao Sam-jun menjerit kesakitan
pula, kontan badannya terjungkal roboh. Ternyata Ban Jin-cun dan
Kho Keh-hoa sa ma merasakan kutungan senjata rahasia yang me-
nyerang mereka mendadak lenyap, Nao Sam-jun pun se mpoyongan
mundur, agaknya terluka tidak ringan, sudah tentu kesempatan ini
tidak di sia2kan, tanpa janji keduanya terus menubruk maju, yang
satu menusuk dan yang lain menabas.
Kelima laki2 seraga m hitam-sa ma kaget, serem-pak mere ka
me mbentak terus menubruk maju hendak menolong. Ban Jin-cun
sudah beringas, pedang kutungnya membawa sinar ke milau
me mapak tubrukan dua la ki2 baju hitam. Kho Keh-hoa juga tida k
kalah garang, ia me mbalik badan dan pedang-pun bekerja, tiga laki2
baju hita m yang lain disa mbutnya dengan sengit.
Bok tan tahu kepandaian kelima orang baju hita m cukup tinggi,
Ban dan Kho berdua ka lau satu lawan satu masih mending, bila
dikeroyok pasti celaka a khirnya, maka dia berpaling, katanya:
"Liang-houhoat, marilah kita maju me mbantu."
"Ha mba terima perintah," sahut Liang Ih-jun.
Bok-tan segera mendahului menubruk maju, Liang Ih-jun segera
menyusul, bayangan jarinya yang merah secepat kilat menjojoh ke
punggung seorang baju hitam yang mengeroyok Kho Keh-hoa. Hiat-
ing-ci merupa kan ilmu jari yang lihay, serangannya tidak
menge luarkan suara, siapa yang terserang tiada obat yang dapat
menolongnya.
Pada hal laki2, itu sedang mengerubut Kho Keh-hoa dengan
pedangnya, kedua kaki berdiri tegak kokoh, Kho Keh-hoa sudah
terkepung di tengah samberan sinar pedang mereka, tak pernah di
duga bahwa serangan jari Liang Ih-jun yang tidak bersuara ini
sudah menyerang tiba di punggungnya, seketika mulutnya mengua k
keras, dan kontan roboh tersungkur dan tak bernyawa lagi.
Melihat kawannya mendadak roboh binasa, laki2 baju hitam yang
satu lagi amat kaget, lekas dia tinggalkan Kho Keh-hoa dan
mengayun pedang me nabas Liang Ih-jun yang menerjang tiba.
Liang Ih-jun tak kalah gesitnya, ia mendak miring me luputkan diri
sembari balas menyerang dengan telapak tangan kanan dan tutukan
jari tangan kiri.
Dala m pada itu, Pek-hoa-pangcu Bok-tan juga melolos pedang,
dengan mendelik hardiknya: "C i Hwi-bing, keluarkan pedangmu! "
Melihat Nao Sam-jun sudah ajal, beberapa jago kosen lawan
belum lagi turun ge langgang, dia m2 Ci Hwi-bing menerawang
situasi dan jelas pihak sendiri bakal ka lah total, kalau dirinya tidak
bertindak cepat mengundurkan diri, mungkin jiwa sendiri baka l
me layang percuma. Di ka la dia menimang2 itulah didengarnya Pek-
hoa-pangcu menantangnya, terpaksa katanya: "Pangcu ingin
bergebrak dengan orang she Ci, baiklah kulayani." - Tangan diulur
ke belakang, melolos pedang yang terselip di punggung, kaki kiri
me langkah setengah tindak, pedang me lintang dan badan berdiri
miring, tampaknya dia sudah pasang kuda2 siap tempur. Padahal
dengan gaya ini dia bersiap2 untuk lari masuk ke Hwi-liong-koan.
Bok-tan tertawa dingin, segera ia menerjang maju. Jarak kedua
pihak ada tiga tombak, jurus meluncur lurus dengan sinar pedang
bertaburan ini adalah jurus Sin-liong-jut-hun, jurus lihay pertama
dari Hwi-liong-sa m-kia m.
Sin-liong-jut-hun sebetulnya ada dua gerakan, gerakan pertama
me mba lut badan dengan cahaya pedang sambil me lesat ke depan,
setelah badan ter-apung baru melancarkan gerak susulannya,
pedang menyerang musuh. Sejak kecil Bok-tan dige mbleng Thay-
siang, sebagai Pek-hoa-pangcu hanya dia seorang yang pernah
diajarkan ketiga jurus ilmu pedang naga terbang ini.
Gerak lurus meluncur ke depan ini adalah untuk mengejar musuh
yang melarikan diri, atau bila jarak kedua pihak terlalu jauh untuk
dijangkau pedang, tapi baik mengejar musuh atau menubruk maju
dengan serangan dari atas, jurus ini tetap merupakan serangan
lihay yang me matikan.
Ci Hwi-bing adalah ahli pedang, waktu di Hoa-keh-ceng dulu, dia
pernah merasakan kelihayan jurus pedang ini, kini melihat Bok-tan
me lancarkan serangan ini, hawa pedangnya tampak lebih keras dan
kuat, keruan hatinya terkesiap, pelan2 dia menarik napas, seluruh
kekuatan dia pusatkan ke lengan, baru saja dia akan angkat senjata
balas menyerang, tak nyana Bok-tan yang meluncur datang tahu2
seperti berhenti di tengah jalan, serangan pedangpun telah
dilancarkan dengan cahayanya yang terang.
Di mana sinar terang menyambar, laksana kilat cepatnya, jeritan
orang segera me lengking, salah seorang baju hita m yang
mengeroyok Ban Jin-cun tahu2 terkapar mati dengan pinggang
putus, darah muncrat berceceran. Sinar pedang ternyata tidak
berhenti, dengan kecepatan yang tidak berkurang tetap menerjang
ke arah Ci Hwi-bing..
Ci hwi-bing sadar kena dikecoh Bok-tan, untuk me mbantu Ban
Jin-cun sengaja Bok-tan menantang dirinya, padahal sasaran utama
adalah kedua jago pedang baju hitam ana k buahnya yang
mengroyok Ban Jin-cun itu.
Keruan tidak kepalang marah Ci Hwi-bing, tapi iapun seorang
yang cerdik, licik dan licin, me lihat Bok-tan tetap menerjang dirinya,
tapi jurus ini terang sudah banyak berkurang kekuatannya. Atau
dengan kata lain, Bok-tan hanya mau me nggertak dengan jurus
lanjutan "naga terbang keluar dari mega" ini, padahal untuk
menyerang dan merobohkan dirinya orang harus melancarkan jurus
kedua. Untung dia sudah kerahkan setaker tenaga di lengan untuk
menghadapi serangan Bok-tan, cuma belum se mpat dilancarkan.
Kini kebetulan malah dengan ke kuatan yang segar ini untuk
menundukkan serangan lawan yang sudah kehabisan tenaga.
Kesempatan baik ini tida k di sia2kan, sebelum Bok-tan menginja k
tanah dia mendahului menghardik: "Perempuan hina, lihat pedang."
- Pedang segera menabas.
Jurus ini dilancarkan dengan sekuat tenaga, menurut
perhitungannya, serangan ini dilancarkan dikala lawan berada pada
posisi yang kepepet, betapapun tinggi ilmu silat Bok-tan juga pasti
kelabakan, umpa ma tidak bisa me mbunuhnya seketika, paling tida k
akan me mbikin orang terluka parah.
Tak terduga dikala serangan dia lancarkan, Bok-tan yang
me luncur t iba dan be lum lagi ka ki menyentuh tanah, badannya tiba2
me layang naik pula dengan sekali pusaran, betapa indah dan
gemulai gerak tubuhnya, pedang di tangan mengikuti putaran
tubuhnya me mbawa lingkaran sinar ke milau, sebaris cahaya pedang
segera bentrok dengan tabasan pedang Ci Hwi-bing. "Tring", suara
nyaring senjata beradu me mekak telinga.
Ci Hwi-bing merasakan pedangnya seperti sekaligus dipukul
delapan batang pedang, betapapun tinggi Lwe kangnya, tak urung
seluruh lengannya terasa ke meng. Padahal hanya barisan sinar
pedang bagian depan saja yang tertangkis buyar oleh sapuan
pedang Ci Hwi-bing, sisa cahaya di se kelilingnya masih tetap
berhamburan laksana ombak menggulung mangsanya.
Keruan kaget Ci Hwi-bing, ke mbali dia sadar telah kena tipu
muslihat Bok-tan. Nyata Bok-tan sekaligus secara berantai telah
me lancarkan Hwi-liong-sa m-sek, gerak pedangnya sambung
menya mbung, setelah dia me lancarkan Sin-liong-jut-hun, dika la
gerakannya menjadi la mban dan seperti ha mpir kehabisan tenaga,
dia susuli pula dengan jurus kedua Liong-jan-ih-ya. Jurus kedua ini
merupakan gerakan menghadapi serangan lawan, bila musuh hanya
seorang, segera jurus ini dike mbangkan dan musuh pasti terkurung
dalam cahaya pedangnya.
Untuk menangkis dan balas menyerang terang tidak se mpat lagi
bagi Ci Hwi-bing, dalam sibuknya mendadak dia menggentak kedua
kaki, ia me lompat mundur ke belakang dan berusaha lari masuk ke
Hwi- liong-koan.
Kejadian bagai percikan api cepatnya, tahu2 dia melejit mundur
lolos dari libatan sinar pedang musuh, tapi tiba2 dia rasakan kedua
kakinya silir2 dingin, ternyata kedua kakinya sudah terpapas putus
oleh tajam pedang musuh, dengan mengeluarkan jeritan, panjang
badannya terjungkir balik ke dala m pintu batu.
Bok-tan me lejit me mburu ke depan orang, dengan tertawa dingin
sambil menudingkan ujung pedang: "Ci Hwi bing, ke mana pula kau
mau lari?"
Dika la Bok-tan me mburu maju, tiba2 Ci Hwi-bing ayun telapak
tangan menghanta m batok kepala sendiri, seketika kepalanya
hancur dan nyawapun me layang.
Sementara itu Liang Ih-jun juga telah berhasil merobohkan
lawannya, Hiat-ing-ci dengan gaya ti-punya yang aneh berhasil
menutuk Thian-toh-hiat lawan, tanpa mengeluarkan suara laki2 baju
hitam itu roboh tak bernyawa.
Kini tinggal kedua jago pedang baju hitam, melihat Nao Sa m jun
binasa, Ci Hwi bing mati bunuh diri, mana kedua orang ini berani
bertempur lagi, mulut sama bersiul saling me mberi tanda terus
me lompat mundur hendak melarikan diri.
Orang yang melawan Kho Keh-hoa berlalu ter-gesa2, mungkin
karena terlalu tegang dan ketakutan, dikala me lompat mundur paha
kanannya tergores luka oleh pedang kutung Ko Keh-hoa, ma ka
langkahnya jadi sempoyongan. Ko Keh-hoa menubruk maju sambil
susuli dengan tabasan. dengan telak dada orang telah dikoyaknya,
orang itu menjerit ngeri, setelah ter-guling2 dan berkelejetan,
akhirnya jiwapun me layang.
Laki2 yang bertempur melawan Ban Jin-cun sudah tentu semakin
ketakutan, dia coba menyerang dengan gerak gertakan, sebat sekali
dia putar tubuh terus lari, tak tahunya belum lagi dia sempat angkat
langkah seribu, dilihatnya Liang Ih-jun sudah mencegat di
belakangnya, jengeknya dingin: "Kau masih mau lari ke mana?"
pelan2 jarinya bergerak, jari tangannya yang merah tahu2
me mapak mukanya. Keruan orang itu mengkeret kaget, belum
sempat dia pikir, pedang Ban Jin-cun sudah a mbles di
punggungnya.
Kejadian hanya berlangsung beberapa kejap saja Nao Sam jun,
Ci Hwi-bing dan kelima jago pedang telah dibinasakan. Kini tingga l
Hwi-liong-koancu Oh Coan-oh dan kedua laki2 pe mbawa la m-pion
yang masih berdiri terlongong seperti patung, bergerakpun tida k
berani, pecah nyali mereka.
Yong King-t iong pandang mayat Ci Hwi-bing dengan terharu,
katanya sambil menghela napas: "Ci Hwi-bing adalah laki2 sejati,
sayang dia mene mpuh ja lan yang salah."
Bok-tan melenga k, katanya: "Kalau Wanpwe tahu dia punya
persahabatan akrab dengan paman, pasti t idak kubinasakan dia."
Yong King tiong menggeleng, katanya: "Tidak, dulu dia me mang
salah satu panglima bersamaku, keadaan me maksa dia menyerah
pada kerajaan, tapi perbuatannya beberapa tahun terakhir ini
me mang pantas dia mme mperoleh ganjarannya, cuma Lohu sendiri
tidak tega turun tangan." -Sampai di sini tiba2 dia berpaling,
bentaknya ke-reng: "Oh Coan oh!"
Oh Coan oh tersentak kaget, ter-sipu2 dia menghormat, "Hamba
di sini."
"Apa yang Lohu katakan tadi kau masih ingat?"
"Ya, hamba masih ingat, masih ingat," sahut Oh Coan-oh dengan
menyengir.
"Baik sekali, sekarang lekas kau lepaskan orang2 Pek-hoa pang
yang terperangkap di dala m Hwi-liong-koan."
Terunjuk sikap serba salah pada muka Oh Coan-oh, katanya
takut2: "Pesan engkau orang tua pasti a kan ha mba laksanakan,
cuma . . . . . cuma. . . . . . "
"Cuma apa?" bentak Yong King tiong dengan tatapan tajam.
Bergidik Oh Coan-oh, dia munduk2 dan menjawab: "Kau orang
tua harap jangan marah, hamba perlu me mberi sedikit penjelasan"
"Baik, coba katakan, lekas!"
"Dala m Hwi-liong-koan terdapat tujuh puluh dua kamar batu,
keadaan ka mar di dala m tidak jauh berbeda dengan lorong2 sesat,
bila masuk ke sana seketika akan kehilangan arah, makin putar
kayun semakin tersesat, bila tiada orang yang tahu seluk beluk di
dalam, sela manya takkan bisa keluar. Orang Pek hoa pang
semuanya berkepandaian tinggi, Nao-tongcu pernah utus puluhan
jago pedang masuk ke sana untuk me mancing mereka masuk
perangkap lalu akan dibekuk satu persatu, tak nyana jago2 pedang
yang masuk beruntun mengala mi kekalahan yang mengenaskan,
tiada seorangpun yang keluar lagi, karena kewalahan terpaksa Nao-
tongcu mengubah siasat, hamba diperintahkan untuk me matikan
jalan keluarnya, supaya mereka mati ke laparan di da la m, padahal
setiap kamar batu itu saling bergandengan dan tembus kian ke mari,
entah orang2 Pek-hoa-pang kini berada di mana? Ka lau ha mba
masuk pasti akan menimbulkan salah paham, lebih baik engkau
orang tua mengutus satu-dua orang yang kenal dengan orang2 Pek-
hoa-pang dan ikut ha mba masuk ke sana untuk menolong mere ka."
"Yong-lopek," kata Kun gi, "biarlah Wanpwe saja yang masuk,
kalian harap tunggu di sini saja."
"Biar kuiringi Ling-heng masuk ke sana" seru Bok- tan.
"Ha mba saja ikut masuk," kata Liang Ih jun.
"Tak usahlah, kau tunggu di sini, sudah ada Oh-koancu sebagai
penunjuk ja lan, kita kan mau cari orang, banyak orang ma lah
repot."
"Begitupun baik," ucap Yong King-tiong, "Ling-kongcu dan
Pangcu saja yang masuk, biar kita tunggu di luar sini saja." - Lalu
dia tatap Oh Coan-oh dan bertanya: "Oh Coan oh, ada perangkap
apa pula di dala m benteng? Kalau dihadapan Lohu berani kau
bertingkah, awas batok kepa la mu."
Ou Coan-oh munduk2, sahutnya: "Ha mba tak berani, berapa sih
batok kepalaku, masa berani menipu kau orang tua." - La lu dia
menge luarkan secarik kulit ka mbing yang terlempit rapi, dengan
kedua tangan dia persembahkan, katanya: "Inilah peta Hwi-liong-
koan, pada setiap pintu rahasia ada keterangannya, silakan engkau
orang tua melihatnya ."
Waktu Yong King-tiong me mbuka kulit itu, sekilas dia pandang
gambar peta Hwi-liong-koan ini, lalu dia serahkan pada Kun-gi,
katanya: "Biar kau saja yang bawa ga mbar peta ini."
Kun-gi terima peta itu dan disimpan dala m bajunya, Oh Coan-oh
berputar menghadapi Kun- gi dan Bok-tan, katanya: "Silakan kalian
ikut." - Lalu dia mendahului me langkah masuk.
"Silakan Pangcu," ucap Kun-gi.
Bok-tan tertawa manis, katanya: "Perjalanan ini dipimpin Ling
heng, silakan kau saja yang di depan."
Oh Coan-oh sudah beranjak masuk, terpaksa Kun-gi tidak bicara
lagi, dia me langkah kedala m, Bok-tan ikut dibela kangnya.
Hwi-liong-koan ternyata merupakan sebuah ruangan batu besar,
bentuknya mirip sebuah aula. Pada ujung kamar besar ini terdapat
lima-ena m undakan batu yang dipagari balok2 batu, tepat di tengah
terdapat sebuah pintu besar, daun pintunya yang terukir bunga
warna warni terbentang lebar.
Oh Coan-oh bawa kedua orang naik undakan dan masuk ke
dalam pintu, itulah sebuah pendopo besar, di tengah atas sebelah
depan terpancang sebuah pigura besar yang bertulisan "Hwi-liong-
koan" berwarna emas. Tepat di bawah pigura ada sebuah meja batu
dan kursi batu pula, di kanan-kirinya masing2 terdapat sebuah
kamar batu, daun pintunya juga terbuka lebar.
Kun-gi me ngerling, tanyanya: "Apa pula yang ada di dalam pintu
ini?"
Oh Coan-oh tersenyum, katanya : "Agaknya Ling-kongcu belum
periksa peta benteng besar ini. Ketahuilah, kedua pintu ini
dina makan pintu me mancing musuh, siapapun yang menerjang
masuk ke dala m pasti takkan bisa keluar."
"Kenapa setelah masuk tak bisa ke luar?" tanya Kun-gi.
"Kelihatan ka mar batu ini tiada pintu lain lagi, tapi se kali berada
di dala m, pintu batu a kan terdorong keluar dari dinding sehingga
pintu tertutup, bertepatan dengan itu tiga muka dinding yang lain
sekaligus muncul pula tiga buah bentuk pintu yang serupa, pintu
manapun bila dimasuki tentu akan terjeblos se makin dala m."
"Lalu dari mana kita harus masuk?" tanya Bok-tan.
Oh Coan-oh tertawa pula, katanya: "Cara untuk me mbuka pintu
serta bagaimana keluar masuknya sudah tertera dipeta . . .. "
Bok-tan menarik muka, katanya: "Aku tahu kalau ada keterangan
di atas peta, tapi kau adalah Hwi-liong-koancu, penunjuk jalan pula,
sekarang kau buka se mua jalan tembus yang harus kita la lui dan
jalanlah di depan untuk menunjukan jalan, ada kau sebagai
petunjuk jalan, buat apa ka mi harus periksa peta segala?"
Oh Coan-oh tahu bahwa Pek-hoa-pangcu ini galak dan sukar
dilayani, sambil mengiakan cepat dia me langkah maju, pada sebuah
papan batu di atas meja yang berukir bunga teratai dia dorong dan
tarik, lalu ditekan tengahnya, kemudian dia mundur dan berdiri
tegak menunggu.
Cepat sekali meja batu di depannya itu bergeser ke kanan, tepat
di bawah dinding depan pelan2 terbelah dan muncul sebuah pintu:
"Silakan kalian masuk," ucap Oh Coan-oh sa mbil munduk2.
Bok-tan merasakan sorot mata orang jelilatan dan sikapnya
terlalu dibuat2, tapi dia diam saja dan waspada, maka sebelum Ling
Kun-gi berbicara dia sudah mengulap tangan, katanya: "Kau masuk
lebih dulu."
Oh Coan-oh tidak banyak bicara, segera dia me langkah masuk
lebih dulu. Kun-gi dan Bok-tan ikut di bela kangnya, kamar batu di
sini t idak besar, bentuknya juga ta mpak lonjong. Tepat di tengah
depan sana di atas dinding terdapat sebuah ukiran bunga Boh-tan
dari berbagai jenis dengan warnanya yang berbeda pula, hampir
seluruh dinding dipenuhi ukiran bunga ini, begitu indah dan hidup
ukirannya, terang buah karya seorang seniman terna ma.
Bahwa Hwi-liong-koan merupakan perangkap untuk menjebak
musuh. sudah tentu di sini tida k perlu pakai pajangan apa2,
terutama kamar batu ini luasnya tidak lebih dua tombak, tiada
perabot apa-pun, maka lukisan di dinding ini kelihatan agak ganjil. .
Sekilas Pandang Ling Kun-gi lantas merasakan keganjilan pada
lukisan di dinding ini, karena lukisan lima kuntum bunga Bok-tan itu
kecuali yang di tengah bentuknya rada besar dan empat lain yang
bentuknya agak kecil mengelilingi sekitarnya, jadi terbagi atas dan
bawah, kanan dan kiri, kedudukan ini jelas tidak ditatah secara
kebetulan.
Tengah dia mereka2, didengarnya Oh Coan-oli berkata dengan
tertawa: "Ling-kongcu, ga mbar bunga Bok-tan ini adalah pusat dari
kunci seluruh peralatan rahasia yang ada di da la m Hwi-liong-koan
ini." - Tangannya, menuding ke lima kuntum Bok-tan serta
menje laskan lebih lanjut: "Setiap ka mar batu di dala m pada
keempat penjuru, dindingnya pasti terpasang pintu rahasia,
sekarang menurut tanda yang ada di pusat ini semuanya sedang
terbuka, tapi pintu setiap ka mar batu itu selalu berubah sehingga
orang yang terkurung di dala m sana akan lari kian ke mari, se-olah2
sudah mene mbusi ratusan kamar, tapi tetap tidak mene mukan jalan
keluarnya. . ."
"Apakah pintu setiap ka mar batu itu bisa menutup sendirinya?"
tanya Bok-tan.
"Ya, bunga Bok-tan di tengah yang besar itulah letak kuncinya,
empat bunga diseke lilingnya yang agak kecil merupakan kunci
setiap pintu ka mar, asal kunci pusatnya ini dibuka, lalu kee mpat
kuntum yang la in juga dibuka pula, maka pintu di kee mpat dinding
setiap kamar itu tidak akan buka-tutup secara bergiliran lagi,"
sampai di sini dia mena mbahkan: "Kita akan masuk menolong
orang, terpaksa tiga pintu di setiap kamar itu harus kita tutup,
tinggal satu lagi yang masih terbuka untuk me mudahkan usaha
pencarian ini."
"Lalu kunci pusatnya itu apakah t idak perlu ditutup?" tanya Bok-
tan.
"Kalau kunci pusatnya yang di tengah itu ditutup juga, seluruh
peralatan rahasia di dalam akan berhenti bekerja, seluruh pintu
takkan bisa dibuka lagi, lalu bagaimana kita bisa masuk?" Oh Coan-
oh menjelaskan.
"Baik. lekas kau kerjakan," perintah Bok-tan, "kita harus le kas2
menolong orang."
Oh Coan-oh mengiakan, dia me mutar ke kanan tiga kali pada
kuntum bunga Bok-tan yang agak kecil yang terletak di atas, bawah
dan sebelah kanan, lalu kuntum kee mpat yang terletak di sebelah
kiri dia putar ke kiri tiga kali, katanya: "Beres, sekarang tinggal pintu
kiri setiap ka mar itu yang terbuka, umpa ma kita tidak masuk
mencari mere ka, maka orang2 yang terperangkap di dalam a kan
bisa mencari jalan keluarnya."
"Baik, lekas kau buka saja pintunya," kata Bok-tan pula.
Oh Coan-oh mengia kan, dia mengha mpiri dinding kiri dan
menekan dua ka li, dinding di depannya lantas terbukalah sebuah
pintu.
"Pangcu," ucap Kun-gi, "marilah kita masuk,"
"Kau sudah dengar, keadaan seperti di da la m lorong sesat itu,
biarlah Oh-koancu menunjukkan jalannya," sahut Bok-tan.
"Kalian tunggu sebentar," kata Oh Coan-oh sambil mengha mpiri
dinding sebelah kanan.
"Apa yang kau kerjakan?" tanya Bok-tan.
"Seluruh peralatan di sini sudah kubereskan, sekarang tiada
tugasku yang lain, maaf aku mohon diri saja. . . . . " badannya
mepet dinding, maka terdengar "crat", dinding segera menjeplak,
badan Oh Coan-oh terus terjungkir ke dala m, sekali berkelebat
lantas lenyap.
Bok-tan gusar, makinya: "Keparat!" - Tangan terayun,
dilontarkan pukulan jarak jauh. Tapi pintu di sini mirip pintu
jeblakan yang dapat memantul balik dengan cepat, waktu pukulan
Bok-tan tiba se mentara pintu sudah tertutup pula. "Blang",
pukulannya mengena i dinding.
Kata Bok- tan dengan gegetun: "Sudah ku-sangsikan dia pasti
bukan manusia baik2."
"Sudahlah, biar dia me larikan diri," ujar Kun-gi:
"Ling-heng le kas keluarkan peta Hwi-liong-koan, jangan kita
tertipu olehnya".
Kun-gi keluarkan peta kulit ka mbing itu, segera mereka
me meriksa dengan teliti. Apa yang diterangkan Oh Coan-oh ternyata
tidak salah, dia me mang sudah me mbereskan segala peralatan
rahasia dalam Hwi- liong-koan ini. Jadi hanya pintu di sebelah kiri
pada setiap kamar batu saja yang terbuka, tiga pintu lain sudah
buntu. Asal keluar atau masuk mengikuti pintu2 yang terbuka itu,
dengan sendirinya akan mudah mene mukan orang dan ke luar lagi
dengan leluasa.
Setelah me meriksa sekian la manya, Bok-tan berkata heran:
"Ling-heng, peta ini merupakan keterangan seluruh peralatan dalam
Hwi-liong-koan, kenapa pintu dari Oh Coan-oh lari tadi tidak ada
keterangannya di sini?"
Kun-gi berpikir sejenak, katanya: "Mungkin ja lan ini merupakan
sebuah lorong rahasia tersendiri yang tidak termasuk dala m
lingkungan Hwi-liong-koan, maka di sini tida k diberi keterangan,"
Berkedip mata Bok-tan, tanyanya tidak paham: "Penjelasanmu
belum kumengerti."
"Hwi-liong-koan merupa kan salah satu seksi berkuasa dari Hwi-
liong-tong, lorong rahasia ini mungkin mene mbus langsung ke Hwi-
liong-tong, maka tidak termasuk dala m lingkungan rahasia di Hwi-
liong-koan ini, tadi waktu kita tiba di luar benteng, tahu2 Nao Sa m
jun dan Ci Hwi-bing menyusul datang, tapi mereka keluar dari Hwi-
liong-koan, ini dapat dijadikan bukt i."
"Ling-heng me mang cerdik," puji Bok-tan tertawa, "Siau-moay
selamanya tak mau kalah dari orang lain, tapi terhadang Ling-heng,
sungguh tunduk lahir hatin."
Panas muka Kun-gi, katanya tertawa: "Pangcu terlalu me muji."
Bola mata Bok-tan yang jernih menatap Kun-gi lekat penuh kasih
mesra, katanya lirih: "Ling-heng, jangan panggil aku pangcu, ka lau
dalam hatimu ada te mpat untuk diriku, lebih baik kalau kau panggil
aku Bok-tan saja," agaknya dia me mberanikan diri me limpahkan isi
hatinya, tak urung wajahnya merah jengah, tapi dengan berani dia
tetap me mandang dengan malu2 harap.
"Kebaikan Pangcu sungguh me mbuat Cayhe amat terharu . . . . .
.."
Bok-tan tertunduk lalu angkat kepala pula, katanya cemas: "Ling-
heng, kau tahu aku tidak menginginkan rasa harumu saja."
Wajah Kun-gi menunjukan perasaan kurang tenteram, seperti
mau bicara tapi urung,
Tiba2 sorot mata Bok-tan menjadi rawan, katanya lembut: "Ling-
heng tidak menjelaskan juga aku sudah tahu, apakah kau sudah
punya kekasih?" tanpa me mberi kesempatan Ling Kun-gi bersuara
dengan tertawa dia menambahkan: "Dengan karakter dan
kepandaian silat Ling-heng, adalah jamak kalau banyak gadis yang
kasmaran kepada mu, hal ini tidak menjadi soal bagiku, karena kita
berkenalan agak la mbat, asal kau sudi menerima ku, aku sudah a mat
puas." Tidak kepalang haru Kun-gi, dengan kencang dia gengga m
pundak Bok-tan, katanya dengan suara tersendat: "Pangcu . . . . ."
Semakin jengah muka Bok-tan, dia balas genggam lengan Kun-
gi, sambil bersuara aleman, katanya: "Nah, lagi2 kau panggil
Pangcu." lalu dia angkat kepala dan bertanya: "Siapakah kekasih
Ling-heng? Apakah yang menya mar Kiu-moay . . . .. ."
"Blang", tiba2 suara gedebrukan berkumandang dari ka mar
sebelah kanan. Dua orang sama tersentak kaget, lekas mereka
berpaling ke sana, tampak pintu jeplakan di sebelah kanan itu
ke mbali terbalik, dari luar menerjang tiba seorang dengan langkah
sempoyongan, sekujur badannya berlepotan darah, tiga empat
langkah saja dia gentayangan lalu jatuh tersungkur. Karena orang
gentayangan sambil menopang badan dengan pedang, terang orang
ini terluka a mat parah.
Mata Kun-gi a mat tajam, sekilas pandang dia sudah jelas muka
orang ini, ia berteriak: "Kong-sun-heng!" - Sebat sekali dia me mburu
maju.
Lekas Bok tan ikut me mburu maju, katanya: "Bagaimana
mungkin Kongsun houhoat keluar dari lorong rahasia ini?"
"Betul, dia terpencar denganku waktu masih berada di Hwi-liong
tong, tadi Oh Coan-oh keluar dari sini, mungkin karena terburu2
sehingga lupa menutup pula pintunya, maka dengan leluasa
Kongsun-heng bisa keluar ke mari," sembari bicara Kun-gi periksa
keadaan Kongsun Siang.
Bok-tan berdiri di sa mpingnya, tanyanya: "Apa-kah lukanya
berat?"
Bertaut alis Kun-gi. katanya: "Ada tiga luka bekas tabasan
pedang dan satu luka kena piau, mungkin juga terluka dala m,
umpa ma tidak terluka, dalam sehari semala m tanpa ma kan minum
dan tidak tidur lagi, pula harus mengala mi pertempuran sengit,
badannya juga pasti loyo." - Sembari bicara dia keluarkan obat luka
dan dijejalkan ke mulut Kongsun Siang, lalu sebelah tangan
menekan Ling-tai hiat dari pelan2 sa lurkan hawa murninya.
Keadaan Kongsun Siang betul2 a mat gawat, untung Kun-gi
segera me mberi sa luran hawa murni sehingga jiwanya direnggut
balik dari perjalanan ke akhirat, sesaat kemudian matanya mula i
me lek, la ma dia pandang muka Kun-gi, mendada k dua titik air mata
menetes dari kelopak matanya, katanya dengan lemah: "Congcoh . .
. . aku . . . . aku . . . . mungkin . . . . tak kuat . . . "
"Kongsun-heng jangan bicara," bujuk Kun-gi.
"Sehari se mala m ini . . . . .aku bertemu . . . . . delapan belas jago
. . . . Hek-liong hwe . . . . badanku terluka pedang beberapa tempat
. . . . tapi mereka berhasil kubunuh . . . . seluruhnya . . . . Barusan
ada seorang lagi . . . . lari dari sini, aku mene mpurnya pula . . . .
sampai la ma, aku kena dipukulnya sekali di Bong-hwe-hiat di
belakang punda k . . . . tapi diapun . . . . kutusuk luka . . . ."
"Kau terlalu letih, terluka luar dan dalam lagi, darah keluar terlalu
banyak, beruntung dasar Lwekangmu a mat kuat sehingga dapat
bertahan sekian la ma, barusan kau sudah kuberi minum Po bing-
hing-kang-san buatan guruku, sekarang jangan banyak bicara, biar
obat bekerja, tanggung kau takkan apa2."
Kongsun Siang batuk2, katanya dengan tertawa muram:
"Congcoh berulang kali menolong jiwa ku, sungguh tak terperikan
rasa terima kasihku, cuma . . . . aku sendiri tahu, kali ini mungkin
aku tidak tertolong lagi, ada suatu hal . . . . sudah lama terpenda m
dalam sanubariku, sudah la ma, cuma . . . . tak berani kuke mukakan,
tapi sebelum aja l harus . . . . harus kukatakan pada mu . . .. "
"Nanti saja Kongsun-heng jelaskan, sekarang istirahat saja."
Kongsun Siang me nggeleng, katanya: "Tidak, ka lau tida k segera
kututurkan, sekali aku tarik napas, selamanya takkan ada orang
tahu akan kejadian itu."
"Ling-heng," sela Bok-tan dari sa mping, "biarlah dia bicara."
Dua butir air mata menetes pula me mbasahi pipi Kongsun Siang,
jari2 kedua tangannya dengan kencang mere mas baju dada sendiri,
dengan keras tiba2 ia berteriak: "Berulang kali Congcoh
menyela matkan jiwaku, aku . . . . aku bukan manusia, aku binatang,
aku pantas ma mpus, aku bersalah pada mu .... "
Mendadak tergerak hati Kun-gi, katanya: "Kongsun-heng, jangan
terlalu emosi, ada omongan apapun boleh kau bicarakan setelah
luka mu se mbuh."
Gemeretak gigi Kongsun Siang, katanya tegas: "Tidak, kalau
tidak kukatakan sekarang matipun aku tidak tenteram. Congcoh . . .
. kejadian ini, jelas aku berdosa padamu, beberapa kali ingin aku
berterus terang padamu, tapi kata2 yang sudah di mulut selalu
urung kuucapkan, aku tidak berani berterus terang, kini aku sudah
akan mangkat, tiada yang perlu kukuatirkan lagi . . . . " se kuatnya
dia menarik napas lalu meneruskan: "Mala m itu, waktu Congcoh
pertama kali menduduki jabatan Cong-hou-hoat-su-cia, karena
congcoh terlalu banyak menengga k arak, aku ingin menengokmu . .
.."
"Tak usah kau jelaskan lagi," lekas Kun-gi me ncegah.
"Aku harus berterus terang, hanya setelah melimpahkan ganjalan
hatiku, aku a kan mati dengan tenteram," dia tidak berani
me mandang ke arah Bok-tan, katanya dengan pedih: "Waktu itu
sudah mendekati kentongan kedua, tiada penerangan dala m ka mar
Congcoh, hanya jendela di sebelah selatan yang masih terbuka, aku
masuk lewat jendela, kudapati Congcoh sudah tiada di kamar, tapi
kudengar derap langkah Hupangcu di sera mbi muka, agaknya
karena Congcoh mabuk iapun hendak menengokmu . . . . diwaktu
itu aku terlalu sembrono dan diburu nafsu setan, aku me malsukan
Congcoh melakukan perbuatan terkutuk . . . . "
Bok tan pernah mendapat laporan kejadian ini dari Giok-lan cuma
sejauh ini dia belum tahu siapa gerangan pemalsu Ling Kun-gi itu,
tapi karena soal ini menyangkut kesucian dan na ma baik So-yok
maka sejak dulu ha l ini tak pernah dia laporkan kepada Thay-siang.
Kini setelah mendengar pengakuan Kongsun Siang, dia m2 dia
me mbatin: "Karakter dan jiwa Kongsun Siang yang jujur kiranya
setimpal juga berjodohkan Jimoay, cuma sekarang lukanya begini
berat, entah dapat tertolong tidak?"
Dika la dia termangu itulah, mendadak sesosok bayangan orang
menerjang t iba dari pintu sebelah kiri, gerakannya sebat dan aneh,
langsung dia menubruk kearah Kongsun Siang seraya berteriak
beringas: "Kau bangsat keparat ini, kau bikin aku merana sela ma
hidup?" - Mendadak pedang berkilau menyamber menabas Kongsun
Siang.
Orang yang muncul mendadak ini adalah Hu-pangcu So-yok yang
terkenal keras kepa la, suka menang dan berwajah cantik.
Bok-tan terperanjat, teriaknya: "Jimoay, jangan!"
Kun-gi juga tidak menduga urusan bisa terjadi secara begini
kebetulan, So-yok mendengar sendiri pengakuan Kongsun Siang.
Bahwa orang muncul secara tiba2 sudah me mbuatnya kaget, tak
pernah terpikir pula olehnya bahwa orang muncul sambil
menyerang, apalagi telapak tangan kanannya masih menekan Ling-
tai-hiat Kongsun Siang. . me lihat sinar pedang menya mber tiba,
dalam seribu kerepotannya tangan kirinya lantas menjentik pedang.
Sayang usahanya terlambat. "Tring", batang pedang memang
terjentik, tapi jentikannya hanya sedikit menyerempet dan bikin
pedang menceng sedikit pula, di mana sinar pedang menabas turun,
darah kontan muncrat, lengan kiri Kongsun Siang tertabas kutung.
Muka So-yok tampak me mbesi hijau, matanya mendelik, tanpa
bicara setelah membanting ka ki dia terus putar tubuh dan berlari
keluar.
Setelah minum Po bing-hing-kang-san buatan Hoan-jiu ji lay,
dibantu saluran hawa murni Ling Kun-gi lagi, luka Kongsun Siang
boleh dikatakan sudah makin me mbaik. Mendadak dilihatnya So-yok
muncul tiba2 sa mbil mengayun pedang, maka dia peja mkan mata,
dia rela menerima ke matian, bahwa hanya lengan kirinya yang
tertabas kutung, sedikitpun dia tidak menge luh kesakitan. Kini
me lihat So-yok berlari pergi malah, ma ka tanpa perdulikan
lengannya yang kutung dan keluar darah serta sakit luar biasa,
mendadak dia melompat bangun seraya berteriak: "Hupangcu . . . .
. " dengan sebelah tangan mendekap lukanya, dengan kencang dia
menguda k keluar.
"Kongsun-houhoat . . . . . " tanpa sadar Bok-tan berteriak
mencegah.
Kun-gi menghela napas, katanya: "Biarlah dia pergi, Pangcu."
"Tapi lukanya belum sembuh, tangannya buntung lagi."
"Kongsun-houhoat sudah minum Po bing-hing-kang-san buatan
guruku, luka2nya sudah tidak jadi soal lagi, ka lau dia berhasil
mengejar Hupangcu, setelah a marahnya reda, Kongsun-heng mau
berlutut dan minta maaf, mungkin Hupangcu mau menga mpuni dan
me maafkan kesalahannya."
Mengawasi kutungan lengan di lantai, Bok-tan berkata: "Jimoay
suka menang dan kepala batu, biasanya suka mengumbar adat,
kalau Kongsun-houhoat berhasil mengejar dia, mungkin bisa ditabas
mati malah."
"Alasan Pangcu me mang benar, kalau tidak mati, mungkin juga
Kongsun-houhoat akan berhasil me mbujuknya, terserah kepada
takdir. tapi soal ini menyangkut masa depan dan kebahagian hidup
mereka berdua, orang lain tak mungkin menca mpurinya, dan lagi
bila kita mencegah Kongsun-houhoat mengejarnya, mungkin
selamanya dia takkan me ne mukan Hupangcu."
Bok-tan manggut2, katanya menghela napas: "Ai, asmara
me mang suka me mpermainkan orang." - Sambil mengusap ra mbut
yang terurai, mendadak dia berpaling, katanya: "Ling heng, Jimoay
sudah bisa keluar, orang lain yang terperangkap di dalam mungkin
juga akan selekasnya keluar, marilah kita masuk menje mput
mereka."
Kun-gi, agak bimbang, sebentar dia pikir lalu sodorkan ga mbar
peta itu kepada Bok-tan, katanya:
"Te mpat ini adalah pusat dari Hwi-liong-koan, ada lorong rahasia
pula di balik dinding kanan yang mene mbus ke Hwi-liong-tong, bila
ada orang masuk ke mari, asal dia menutup seluruh inti pesawat
rahasia di sini, selamanya kita takkan bisa keluar, maka menurut
hemat Cayhe, Pangcu boleh bawa peta ini dan tunggu di sini, biar
Cayhe sendiri masuk mencari mere ka."
Bok- tan dapat menerima alasan yang masuk akal ini tapi dia
menolak peta itu, katanya: "Kau yang akan masuk ke sana, lebih
baik kau yang bawa ga mbar ini, kalau tersesat, kau bisa
mencocokkan peta ini supaya tidak me ngala mi kesulitan."
Kun-gi simpan peta itu, katanya:, "Baiklah, harap Pangcu tunggu
di sini saja, Cayhe akan segera masuk." - La lu dia beranjak lewat
pintu kiri.
Lekas Bok-tan me mburu maju, teriaknya nyaring: "Ling-heng!"
Ling Kun-gi sudah tiba di ambang pintu, segera dia berhenti
sambil me noleh: "Ada apa Pangcu?"
Jengah muka Bok-tan, katanya lirih: "Kau harus hati2."
Melihat sikap orang yang malu2 kucing dan mimiknya yang kasih
mesra dan betapa besar perhatian terhadapnya, hati Kun-gi terasa
manis dan berdenyut kencang jantungnya, lekas dia alihkan
tatapannya serta mengangguk, sahutnya: "Cayhe tahu!" - Dengan
mengacungkan Le-liong-cu, dia lantas masuk kedala m.
-oooo-" 0 <<-oooa-
Oh Coan-oh ternyata tidak menipu mereka. Tujuh puluh dua
kamar batu dala m Hwi-liong-koan ini ternyata tidak kalah rumit dan
me musingkan seperti lorong sesat di Ceng-liong-tong. Walau tiga
pintu telah dia tutup, kini pada setiap ka mar segi e mpat itu tingga l
satu pintu saja yang terbuka, tapi bentuk kamar batu itu mirip satu
dengan yang lain, seperti sebuah kotak belaka, yang terbuka juga
hanya pintu kiri, bila masuk terus satu ka mar de mi satu ka mar
akhirnya pasti akan mene mukan jalan ke luarnya, Tapi bila sudah
me lewati dua puluh kotak ka mar yang serupa itu, mau tidak ma u
setiap orang akan pusing juga.
Kun-gi sangat sabar, dia maju terus dengan mudah dia
mene mukan Hu-yong, Hong-sian dan Giok-je, demikian pula dua
pelayan pribadi So-yok yang bernama Bok-hung dan Bok-bin.
Pelopor jalan Go-bo, Houhoat Toh Kian-ling dan Lo Kun-hun. Hanya
Yu-houhoat Coa-liang ketika me masuki Hwi-liong-tong telah
menghilang, (nasibnya sudah dituturkan dibagian depan), anggota
rombongan boleh dikatakan sudah diketemukan seluruhnya. Kecuali
Go-bo, Toh Kian-ling yang mengala mi sedikit luka, yang lain tiada
kurang suatu apapun.
Sejak mereka me masuki Hwi-liong-tong be lum pernah bentrok
langsung dengan musuh, tapi setelah mereka dipancing masuk ke
Hwi-liong-koan, musuh pernah mengutus delapan belas jagonya
untuk menyergap mereka sehingga terjadi perte mpuran sengit, tapi
dengan kerja sama mereka, akhirnya musuh dapat ditumpas
seluruhnya, dan karena orang banyak tidak terpencar lagi, maka
rangsum yang mere ka bawa masih tersedia lengkap, jadi tiada yang
kelaparan, cuma air minum saja yang kehabisan.
Dika la mereka terkurung dala m ka mar kotak2 ini. tengah
ubek2an kian ke mari tanpa mene mukan ja lan keluarnya, mendadak
ketemu Ling Kun-gi, sudah tentu tidak kepalang kejut dan senang
mereka, seperti ketiban rejeki dari langit rasanya.
Di antara dua belas pelayan hanya Giok-je yang paling dulu
berkenalan dengan Ling Kun-gi, malah dia pula yang
menyelundupkan Kun-gi ke-luar dari Coat-ceng-san-ceng dan
dibawa ke Pek-hoa pang, maka dia pula yang berjingkra k
kegirangan dan me mburu maju lebih dulu, teriaknya girang:
"Cong-su-cia, bagaimana kau bisa masuk ke mari?" Mata Kun-gi
mengerling, katanya dengan tertawa: "Syukurlah kalian berada di
sini se mua, Hek-liong-hwe sudah hancur lebur, Cayhe sengaja
mencari ka lian."
Hong-sian bertanya: "Apakah Cong su-cia pernah bertemu
dengan Hupangcu?"
Sudah tentu tak enak Kun gi menje laskan, dia mengangguk,
katanya: "Waktu pintu batu terbuka Hupangcu sudah mendahului
keluar."
Lo Kun hun ikut bicara: "Waktu pertama ka li ka mi masuk ke mari,
mendadak Coa heng menghilang, apakah Cong-su-cia tahu
jejaknya?"
Guram wajah Kun-gi, katanya rawan: "Coa-heng terluka parah,
sekarang sudah meningga l." Mendengar Coa Liang sudah
meninggal, seketika tertekan perasaan semua orang.
Kata Kun-gi: "Ka lian se mua ada di sini, tak perlu kita masuk lebih
jauh lagi, biar Cayhe tunjuk jalannya, Pangcu sedang menunggu
kalian di luar." - Lalu dia pimpin orang banyak keluar. .
Bahwa sebentar lagi baka l keluar dari te mpat yang menyesatkan
ini, sudah tentu langkah se mua orang bertambah cepat, hanya
sebentar mereka sudah ke luar dari ka mar kotak yang
me mbingungkan itu.
Bok-tan sambut ke luarnya orang banyak dengan berjingkrak
girang, sudah tentu banyak adegan lucu yang terjadi dala m
pertemuan ini.
Begitulah di bawah pimpinan Ling Kun-gi, ke mudian mere ka
mengundurkan diri dari Hwi-liong-koan dan bergabung dengan
rombongan Yong King-tiong, selanjutnya beramai2 mereka ke luar
dari lorong serta berkumpul pula dengan rombongan besar. di mana
Giok-lan dan lain2 sedang menunggu dengan gelisah.
Kini tugas Tu Hong-sing yang pimpin rombongan besar ini keluar
dari lorong panjang yang menembus ke Hwi-liong-tong setelah
terlebih dulu me matikan ja lan yang menuju ke Hwi-liong-koan.
Tengah berjalan, lapat2 terdengar suara benturan senjata keras
di depan, Yong King tiong merandek, katanya:. "Seperti ada orang
bergebrak, mari lekas kita tengok."
Kun -gi ingat So-yok yang lari dikejar Kong-sun Siang,
ke mungkinan mereka kepergok musuh dan kini tengah berhantam.
Apalagi luka Kongsun Siang belum se mbuh, lengan buntung lagi,
maka ia sangat kuatir, ia berkata: "Biar Wanpwe ke sana lebih
dulu." - Sebelum Yong King- trong bersuara, sekali me lejit dia
mendahului lari ke lorong di depan sana.
Di ujung lorong adalah sebuah pintu gerbang yang besar tinggi,
bentuknya bundar, di luar pintu dihadang sebuah pintu angin yang
terbuat dari batu marmer warna hijau setinggi satu tomba k, Kun-gi
belok ke sebelah kiri pintu angin serta mendapatkan sebuah ruang
pendopo yang besar, bagian depan dan belakang sama berunda kan
batu, tepat di tengah adalah sebuah pelataran, sudah tentu letak
pelataran ini masih berada di perut gunung. Tapi keluar dari
pendopo besar itu, melalui lorong yang tidak begitu panjang, bagian
luarnya lagi sudah ke lihatan sinar matahari dan pe mandangan ala m
pegunungan yang menghijau perma i.
Di pelataran itulah tengah terjadi baku hantam sengit antara
lima. laki2 baju hita m yang tengah mengeroyok seorang laki2 baju
hijau. Sekali pandang Kun-gi lantas kenal laki2 baju hijau yang
dikeroyok itu adalah Ting Kiau yang terpencar di dala m lorong.
Meski dikeroyok lima musuh, tapi kipas besinya itu ternyata dapat
ma in dengan gencar dan hebat, begitu keji cara permainannya
sehingga kelima musuh yang bersenjata lebih panjang tidak berani
mende kat, namun mereka maju mundur kerja sama dengan rapi,
sedikitpun Ting Kiau tidak diberi peluang, seakan2 sengaja hendak
menguras tenaganya.
Girang hati Kun-gi, cepat ia me lejit ke tengah pendopo serta
me mbentak: "Berhenti!"
Bentakan keras ini laksana guntur menggelegar di siang bolong
sehingga orang2 yang lagi berhantam merasa kaget, lekas mereka
tarik pedang dan melompat mundur seraya menoleh.
Melihat yang datang adalah Ling Kun gi, sudah tentu bukan main
girang Ting Kau, teriak-nya: "Cong-coh!"
Nyata kelima orang baju hitam itu juga me-lengak heran karena
me lihat Lang Kun-gi mendadak menerobos keluar dari dala m Hwi
liong-tong. Seorang di antaranya angkat pedang seraya
me mbentak: "Lekas cegat dia, jangan biarkan dia lari." - Dua orang
kawannya segera menubruk ke arah Ling Kun- gi.
Kun-gi berdiri tegak, ia tertawa, katanya lantang: "Kalian berdiri
di te mpat masing2, ketahuilah bahwa Hek liong hwe sudah lebur,
Han Jan-to sudah ma mpus, Hwi-liong-tongcu Nao Sa m jun dan Ui-
liong-tongcu Ci Hwi-bing sudah mati, kalian kaum keroco ini masih
berani bertingkah. Hayo letakkan senjata dan menyerah, nanti
kua mpuni jiwa ka lian?"
Laki2 baju hijau yang jadi me mimpin kelima orang itu tambah
beringas, serunya: "Jangan kalian percaya ocehannya, hayo bekuk
dia,"
Pada saat itulah Tu Hong-sing, Yong King-tiong dan la in2 juga
telah keluar. Yong King-tiong segera bersuara: "Apa yang diucapkan
Ling-kongcu me mang betul, asal kalian mau letakkan senjata, ku
tanggung jiwa kalian tida k akan diusik."
Melihat gelagat jelek, orang itu segera menyurut mundur, tiba2
dia berteriak: "Angin kencang, mundur! " - Gerak tubuhnya ternyata
sebat sekali, begitu putar tubuh terus lari, keluar pintu.
Tak terduga baru beberapa langkah dia lari, waktu dia angkat
kepala, entah cara bagaimana pemuda jubah hijau yang tadi berdiri
di tengah pendopo tahu2 sudah mengadang di depan pintu dan
berkata dengan tertawa: "Kalian ingin lari, kukira tidak segampang
itu."
Melihat pe muda ini bertangan kosong, laki2 baju hita m ini
menjadi berani, dia menjengek: "Cari ma mpus kau anak muda!" -
Sebat sekali dia menyelinap maju, pedang hita m di tangannya
langsung menusuk dada.
Hanya sedikit miringkan tubuh, dengan mudah Kun-gi hindarkan
tusukan orang, berbareng tangan kiri bekerja, dia pencet
pergelangan tangan lawan, dua jari tangan kiri langsung menutuk
Ling-tai-hiat pula. Kontan la ki2 itu ge metar, mulut mengerang
tertahan, selebar mukanya kontan pucat pias seperti balon yang
ke mpes, badannya lunglai ha mpir tak kuat berdiri. Jelas laki2 ini
telah dipunahkan ilmu silatnya oleh Ling Kun-gi.
Tiba2 Kun-gi me mba lik badan, matanya menyapu pandang
empat orang yang lain, katanya ke-reng: "Ka lian ke mari, Hek-liong-
hwe menjadi cakar alap2 kerajaan dan kalian adalah anteknya cakar
alap2, kalau cakar alap2 harus diberantas, kalian para anteknya juga
harus dihukum, tapi cukup dipunahkan saja ilmu silatnya."
Keempat orang saling pandang, lalu seorang bersuara: "Kami
adalah kaum persilatan, dari pada kehilangan ilmu silat lebih baik
kami mat i."
"Ya, dengan bekal sedikit kepandaian silat itulah kalian telah
berbuat kejahatan di Kangouw, kalau ilmu silat dipunahkan, kalian
diberi kese mpatan untuk menebus dosa dan kemba li menjadi
manusia baik2."
Keempat orang saling pandang pula, mendada k serempak
berteriak, empat pedang hitam sekaligus menubruk maju dengan
tusukan dan tabasan dari berbagai jurusan.
Ting Kiau berjingkra k gusar: "Anak anjing, masih berani kalian
ma in gila!"
Kipas le mpitnya tiba2 terbentang, baru saja dia hendak turun
tangan, didengarnya Ling Kun-gi tertawa panjang, katanya: "Tadi
Cayhe sudah bilang, kalian harus dipunahkan ilmu silatnya, siapapun
tak luput dari hukuman setimpal ini."
Belum habis bicara, keempat laki2 itu sudah sama mengerang
dan menungging. Tiada hadirin yang melihat jelas cara bagaimana
Ling Kun-gi kerja kee mpat lawannya ini, tapi pedang sudah
terpental jatuh, keempat orang itupun sudah duduk le mas di lantai.
Kiranya dala m segebrak saja mereka telah sa ma dipunahkan ilmu
silatnya oleh Ling Kun-gi.
Seperti tidak terjadi sesuatu apa Kun-gi me ma ndang Yong King-
tiong serta bertanya: "Paman Yong, keluar dari sini, apakah sudah
berada didunia luar?"
"Betul," ujar Yong King-tiong tertawa, "Inilah Hwi-liong-tong, di
luar adalah Hian-koan-gia m, terpaut satu puncak gunung dengan
Ui-liong-tong, sekarang kita boleh ke luar dari sini."
Sorot mata Kun gi menyapu kelima jago pedang yang menyerah
di He k-liong ta m, katanya:
"Kalian ke mari."
Kaget dan pucat muka kelima orang, katanya: "Ling-kongcu,
kami berlima sudah menyerah, malah me mbawa Kongcu menolong
orang dalam lorong2 sesat, kami tidak berani bilang ada pahala,
paling tida k itu sudah menebus dosa ka mi, harap Kongcu bermurah
hati, ampunilah dosa ka mi yang dahulu."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: Kalian bantu aku me nolong
orang, untuk ini aku pribadi bersyukur dan terima kasih, tapi kalian
baru menanjak setengah umur, setelah meninggalkan Hwi-liong-
hwe, tetap akan berkecimpung di Kangouw ka lian masih bisa hidup
dua puluh atau tiga puluh tahun lagi, memangnya siapa berani
menja min kalian tida k akan melakukan kejahatan pula di luar?"
Kelima orang serempa k bersumpah: "Ka mi bersumpah akan
menjadi manusia baik2, pasti takkan berkecimpung di Kangouw"
"Kalau kalian tidak akan berkecimpung lagi di Kangouw lalu buat
apa kalian me miliki kepanda ian?"
Kelima orang segera berlutut, katanya: "Mohon Kongcu suka
murah hati, jika ka mi betul2 menggunakan ilmu silat untuk berbuat
jahat, biarlah ka mi mati tercacah golok dan pedang."
"Kalian berdiri, mengingat kalian telah bantu mencari orang, akan
kututuk satu jalur Hiat-tomu, kalian tetap mempertahankan lima
bagian kepandaian ini cukup untuk melindungi badan dan me mbe la
keluarga, cuma selanjutnya takkan bisa berlatih lebih tinggi lagi,
asalkan tidak menggunakan tenaga sepenuhnya kalian tidak akan
menga la mi apa2, dengan adanya pe mbatasan ini, pasti kalian tida k
akan melakukan kejahatan."
Kelima orang masih ngotot hendak minta keringanan. Yong King-
tiong tiba2 me mbentak: "Keputusan Ling-kongcu cukup adil, kalian
masih belum puas? Sela ma dua puluh tahun ini betapa banyak insan
persilatan yang terbunuh oleh orang2 Hek-liong-hwe seperti kalian
ini, ka lian pantas dibunuh untuk menebus dosa, me mangnya kalian
masih tida k terima?"
Karena ditegur Yong King-t iong, kelima orang tak berani bersuara
lagi, secepat kilat Lin g Kun-gi bekerja, satu persatu dia tutuk
tempat yang sama di tubuh ke lima orang. Ke lima orang sa ma
merinding, hanya itu perasaan mereka, la lu bera mai mere ka
menjura pada Un Hoan-kun, katanya: "Berkat ke murahan hati Ling-
kongcu ka mi telah me mperoleh penga mpunan, sejak kini ka mi a kan
meninggalkan Hek-liong-hwe, nona sudah berjanji akan
me mberi obat penawar, harap nona bermurah hati pula."
"Me mangnya kalian terkena racun apa?" tanya Un Hoan-kun
menggoda.
"Ka mi mene lan Sip-hun-wan, dalam dua belas ja m kalau tidak
ditawarkan akan menjadi pikun, sukalah nona tidak menyiksa ka mi
lagi."
"O." Un Hoan-kun bersuara dala m mulut, tanyanya berpaling
kepada Tu Hong-sing: "Saudara Tu bagaimana? Kaupun ingin obat
penawar?"
Tu Hong-sing menyengir, katanya: "Nona sendiri telah berjanji,
tentunya takkan mempermainkan ka mi." - Meski dala m hati amat
dongkol tapi lahirnya dia tetap tersenyum. "Sip-hun-wan buatan
khusus ke luarga Un dari Ling-la m, sudah tentu hanya nona saja
yang punya obat penawarnya, bukankah nona sudah janji akan
me mberi obat penawarnya sebelum me ningga lkan te mpat ini?"
"Un Hoan-kun menggigit bibir, katanya dengan tertawa:
"Bahwasanya keluarga Un dari Ling-la m tidak pernah me mbuat atau
me miliki Sip hun-wan, darimana pula aku me miliki obat
penawarnya?"
Gemerobyos keringat To Hong sing karena ce mas, katanya:
"Agaknya nona sengaja mau merenggut jiwa ku ini."
"Aku tidak menipumu," ucap Un Hoan-kun tertawa, "aku betul2
tidak punya obat penawar."
Tu Hong-sing menyeka keringat yang me mbasahi jidatnya,
katanya gugup: "Tapi a ku jelas sudah menelan Sip-hun-wan. Yong-
congkoan, kau sendiri menyaksikan, kita terhitung te man la ma,
me mangnya kau tega melihat aku tersiksa pada hari tuaku ini?"
Un Hoan-kun morogoh keluar sebuah cupu2 kecil serta menuang
keluar sebutir pil dan ditaruh di telapak tangan, katanya: "Bukankah
yang kau telan pil ini?"
Dengan cermat Tu Hong-sing menga mati pil itu, katanya
mengangguk: "Ya, me mang pil ini, nona bilang pil ini na manya Sip
hun-wan"
Un Hoan-kun angsurkan cupu2 kecil itu, katanya. "Kalau saudara
Tu bisa me mbaca, sila kan lihat sendiri apa, yang tertulis di sini?"
Tu Hong-sing terima Cupu2 kecil itu serta me mbaca tulisan di
secarik kertas yang tertempel di cupu2 itu, katanya: "Ciap bi-tan
khusus buatan keluarga Un. Jadi nona me mberi aku menelan Ciap-
bi-tan. Kau tidak menipuku?"
Un Hoan-kun terima ke mba li cupu2 itu, katanya sambil cekikik:
"Buat apa aku menipumu?, soalnya paman Yong bilang kau gila
pangkat dan tamak harta, belum bisa dipercaya, maka sengaja
kucekok kau dengan sebutir pil yang kukatakan Sip-hun-wan,
dengan cara ini baru akan me maksa kau be kerja sekuat tenaga,
yang benar Ciap-bi-tan ini khusus untuk me munahkan segala
maca m obat bius, bila kau mene lannya sebutir, dalam jangka dua
belas jam, kau tak perlu takut terhadap segala maca m bebauan
yang me mabukkan, sudah tentu tidak akan me mbawa akibat
sampingan untuk kesehatan orang, lalu obat penawar apapula yang
akan kau minta lagi?"
Yong King t iong tergelak2, katanya: "Tu-heng sekarang boleh
legakan hatimu?"
Merah muka Tu Hong-sing, katanya kikuk: "Nona Un me mang
pandai me mpermainkan orang."
Tiba2 tampa k serius sikap Yong King tiong, katanya: "Apa yang
Tu-heng katakan tadi me mang t idak salah, dulu kita sa ma2 sebagai
salah satu dari pada tiga puluh ena m panglima Hek-liong-hwe,
setelah meningga lkan Kun-lun san kitapun akan berpisah, tiga puluh
enam panglima kini tinggal kau dan aku berdua, mengenang masa
lalu sungguh bagai mimpi, apakah rencana hidup Tu heng
selanjutnya takkan kucampur tangan, tapi perlu kuberi pesan
sepatah kata padamu, yaitu kita adalah keturunan bangsa Han,
menjadilah manusia yang tahu harga diri, kuharap Tu-heng jangan
lupa me mbina diri."
Tu Hong-sing merangkap tangan me njura, katanya: "Nasihat
Yong-heng se murni e mas, aku terima nasihat mu, semoga kita kela k
masih ada kesempatan bertemu. sekarang aku mohon diri." -Setelah
menjura dan mohon diri pada seluruh hadirin, cepat2 dia melangkah
pergi.
"Sekarang ka lianpun boleh pergi," kata Yong King- t iong kepada
kelima jago pedangnya.
Serentak mereka menjura lalu beriring keluar langsung turun
gunung.
Yong King tiong menghe la napas, katanya menengadah:
"Dengan kedua tangannya Lohwecu mendirikan Hek liong-hwe tiga
puluh tahun yang lalu dengan mengerek panji kebesaran
menentang kerajaan Ceng me mbe la dinasti Bing, dua puluh tahun
terakhir ini He k liong-hwe justeru dikangkangi cakar a lap2 kerajaan
dan diperalat untuk menumpas patriot bangsa sendiri, selama lima
puluh tahun ini, Losiu hidup terkurung di sini e mpat puluh tahun,
dulu waktu datang adalah pemuda yang gagah dan kekar, kini
keluarnya telah berubah seorang ka kek yang sudah uban dan loyo,
proyek besar di dalam -perut gunung hasil jerih payah banyak orang
di sini se lanjutnya akan terpendam untuk selama2nya." - Sampa i
akhir katanya, saking sedih a ir matanya lantas bercucuran.
"Yong-lopek," kata Kun-gi, lorong di perut gunung ini simpang
siur dan menyesatkan, jika dibiarkan dala m keadaan utuh seperti
ini, sekali te mpo mungkin akan diguna kan orang2 Kangouw dari
golongan hita m sebagai sarang kejahatan, apakah tidak lebih baik
disumbat saja?"
Yong King-tiong tersenyum, katanya: "Ling-kongcu tak usah
kuatir, bahwa Losiu me milih jalan keluar dari sini, sebetulnya
me mang sudah kurencanakan untuk menutup mati te mpat ini,
karena pintu rahasia dari berbagai tempat harus dibuka dari dala m,
hanya kunci pintu besar Hwi liong- tong ini yang harus dibuka dari
luar, setelah kita keluar semua baru ditutup dan kuncinya dirusak,
orang luarpun takkan bisa masuk pula."
"Kalau te mpat ini hanya bisa dibuka dari luar, kecuali pa man
Yong, tentunya masih ada orang la in pula yang tahu."
"Soal ini merupakan salah satu rahasia penting dala m Hek-liong-
hwe, hanya para Tongcu saja yang tahu, kini yang mati sudah pergi,
yang masih hidup termasuk Losiu sendiri hanya tinggal t iga orang
lagi."
"Entah siapa dua orang yang la in?" tanya Kun-gi.
"Seorang adalah ibumu," ujar Yong King-t iong, "seorang lagi
adalah Cui Kin-in. Ai, seharusnya tadi kita me nawannya."
Mengingat dua kali gurunya bersuara mencegah Kun-gi melukai
dan menahan Cui Kin-in, dia m2 da la m hati dia menggerutu: "Entah
bagaimana asal usul pere mpuan ini? Ilmu pedang dan kepanda ian
silatnya ternyata tidak lebih rendah dari padaku."
Sementara mereka berbincang2, rombongan besar itupun telah
keluar dari pintu gerbang Hwi-liong-tong, di bagian luar ternyata
adalah sebuah gua raksasa yang tingginya ada beberapa tombak
dan luasnya ada ena m tombak.
Setelah orang banyak sama keluar, Yong King-tiong mengha mpiri
dinding sebelah kanan, sebuah batu besar digesernya, lalu
tangannya menggagap sekian la manya, maka terdengarlah suara
gemuruh, pelan2 sebuah batu raksasa melorot turun dari atas. Pintu
gerbang Hwi-liong-tong seketika tersumbat menjadi sebuah dinding
batu yang berlumut.
Sambil berjongkok Yong King-tiong menoleh, katanya: "Ling-
kongcu, Losiu pinja m Seng-ka-kia mmu sebentar."
Kun-gi mengiakan, ia keluarkan Seng-ka-kia m dan diangsurkan.
Yong King-t iong terima pedang pendek itu lalu menabas,
menusuk dan me mbacok serabutan ke dala m lubang, beruntun
terdengar suara besi patah dan berjatuhan, kiranya alat2 rahasia
yang menjadi kunci pe mbukaan pintu gerbang telah dirusaknya.
Yong King-tiong menggeser balik batu besar itu untuk menutup
lubang, setelah berdiri wajahnya tampa k lesu gura m, mimiknya
sedih dan rawan, se-olah2 dalam sekejap ini usianya bertambah tua
beberapa tahun. Dengan langkah lebar segera dia mendahului
berjalan keluar.
Sang surya me mancarkan cahayanya yang hangat dan
cemerlang, ala m pegunungan menghijau permai, cuaca cerah, hawa
sejuk, cukup la ma mereka berada di perut gunung yang sumpek,
kini dapat menghirup hawa pegunungan yang segar sepuas2nya.
Gua besar ini terletak di sisi kanan Hian-koan-gia m, keadaan
tebing di sini a mat curam dan tingginya ratusan tombak, untuk
turun naik bila tidak me miliki kepandaian silat tinggi orang harus
merangka k berpegang pada celah2 batu karang seperti naik tangga
layaknya, boleh dikatakan seluruh badan terapung di udara, sekali
lena bisa terpeleset dan hancur lebur jatuh ke dala m jurang.
Yong King-tiong bawa orang banyak turun ke dasar jurang
dengan sela mat, me mbelok ke pinggang gunung, meski di sini
masih di te mpat ketinggian, tapi tempat2 yang harus mereka lewati
tidak berbahaya seperti tadi. Rombongan besar ini lebih banyak
perempuan daripada laki2, setelah berhasil menempuh perjalanan
sukar ini, maka legalah perasaan se mua orang.
Yong King-tiong me lihat cuaca, mentari sudah mulai doyong ke
barat, hari menjelang sore, maka dia menoleh dan berkata: "Apakah
kalian ingin istirahat?"
Kun-gi mengajukan pertanyaan: "Yong-lopek, berapa jauh
perjalanan dari sini ke Gak koh bio?"
"Kalau jalan cepat sebelum magrib mungkin kita bisa sampai
tempat tujuan," sabut Yong King-tiong.
Bahwasanya Bok-tan belum tahu kalau Thay-siang sudah
mangkat, dia kira orang sedang menunggu kedatangannya di Gak-
koh-bio, maka sa mbil me mbetulkan letak ra mbutnya dia berkata:
"Ka mi tidak letih, biarlah kita istirahat di Gak-koh-bio saja."
Yong King-tiong mengangguk, katanya: "Begitupun baik, perut
kalian kosong, kalau ja lan cepat2 mungkin kita masih se mpat ma kan
ma la m di Ga k- koh bio."
0000oodwoo0000

Gak-koh-bio terletak di bukit Gak-koh ting, bentuk biara ini cukup


megah dan angker, bau dupa sudah tercium dari beberapa li
jauhnya.
Singkatnya Yong King-tiong telah bawa Kun-gi dan la in2 tiba di
bawah Gak koh-ting, dari kejauhan mereka sudah melihat di depan
Gak-koh-bio berdiri seorang la ki2 tinggi besar berjubah biru seperti
sedang me mandang ke tempat jauh menunggu kedatangan
seseorang.
Tong Bun-khing bersuara kaget girang, katanya: "He, itukan Pa-
congkoan? Ling-toako, bagaimana mungkin Pa congkoan juga
berada di sini?"
Sudah tentu Kun-gi tak bisa me njawab, terpaksa dia manggut,
katanya: "Mungkin sedang me ncarimu."
Kalau mereka melihat Pa Thian-gi, sudah tentu Pa Thian gi juga
sudah melihat kedatangan mereka, dengan langkah lebar segera dia
menyongsong dengan tawa lebar: "Ling kongcu, Jikohnio dan Sa m-
kohnio (Pui Ji-ping) sa ma datang, sejak pagi kutunggu di sini, kaki
sampai terasa pegal."
Belum Kun-gi bersuara, Pui Ji-ping lantas tanya: "Pa congkoan,
apa ibu juga datang?"
"Tida k, yang ke mari adalah Locengcu dan tuan muda," sahut Pa
Thian-gi, "malah pa man Sa m-koh-nio Cu-cengcu juga berada di sini
bersama Un-locengcu dan Un-jicengcu"
Kini giliran Cu Ya-khim berjingkrak girang, serunya: "Hah, ayah
juga datang!"
Sudah tentu Un Hoan-kun kejut2 girang, serunya: "Ayah dan
pamanku juga datang?"
"Beginilah duduk persoalannya, Siau-yan, pelayan keluarga Un
yang ketakutan pulang me mberi laporan pada Un-locengcu bahwa
nona Un menyelundup ke Pek-hoa-pang dan tiada kabar beritanya
lagi. Kebetulan Un locengcu dan Lo cengcu kita sedang bertamu di
Liong bin sin ceng, sementara Cu-cengcu juga kehilangan nona Cu
dan Jikohnio, maka bera mai mere ka lantas menyusul ke Pe k-hoa-
pang ."
Bok-tan berteriak kaget, tanyanya: "Jadi kalian sudah me luruk ke
Pek-hoa-ciu?"
Seperti diketahui Hoa-keh-ceng di Pek-hoa-ciu dijaga oleh Bwe
hoa, Lian hoa dan la in2, tapi yang datang kali ini adalah Tong-
cengcu dari Sujoan yang terkenal ahli racun, bersama Un-locengcu
yang tersohor menggunakan obat bius serta Ciam-liong Cu Bun-hoa,
kalau tiga tokoh silat kelas wahid ini bergabung, umpa ma Thay-
siang sendiri belum tentu dapat melawan mereka. Maklum sebagai
Pek hoa-pangcu sudah tentu dia prihatin akan soal ini?
Pa Thian-gi tidak tahu asal usul Bok-tan, tapi karena orang
datang dengan Ling Kun gi berjalan di depan rombongan lagi, ma ka
katanya dengan tertawa: "Tidak, mereka berama i baru sampai di
Ciam-sin, kebetulan bersua dengan guru Ling-kong-cu, ma ka
mereka disuruh langsung datang ke Gak-koh-bio di Kun-lun-san ini."
Bok-tan menghe la napas lega dan tida k bersuara lagi.
Giliran Kun-gi bertanya: "Kapan kalian datang?"
"Ke maren baru t iba di sini."
Tengah bicara ta mpak dari dala m pagar biara berjalan seorang
pemuda jubah kuning, melihat kedatangan rombongan orang
banyak langkahnya lantas dia percepat, teriaknya: "Ling-heng,
kenapa baru sekarang datang?"
Lekas Kun-gi me mapak ma ju, teriaknya: "Tong-heng."
Yang keluar ternyata adalah tuan muda keluarga Tong, yaitu
Tong Siau-khing adanya, mereka berjabat tangan erat."
Tong Bun-khing dan Pui Ji-ping maju mende kat, berbareng
mereka menyapa: "Toako!"
Maka menjadi tugas Kun-gi me mperkenalkan Tong Siau-khing
kepada Yong King-tiong, Bok-tan, Un Hoan-kun dan lain2.
Satu persatu Tong Siau-khing me mberi hormat, katanya
ke mudian: "Ling-pekbo bilang sore hari ini ka lian pasti datang,
makanan sudah disiapkan. Ling-pekbo bersa ma ayah dan lain2
sudah la ma menunggu di pendopo, mari kutunjukkan jalan." - Lalu
dia bawa orang banyak masuk lewat pintu tengah menuju ke biara.
Setelah orang banyak masuk ke pendopo besar, Yong King-tiong
me mberi tanda kepada Siau-tho dan kee mpat jago pedang baju
hitamnya supaya tingga l di luar pendopo saja.
Bok-tan juga suruh Ci-hwi, Hong-sian, Hu-yong, Giok-je bersa ma
Houhoat Ting Kiau, Liang Ih-jun, Toh Kian-ling, Lo Kun-hun serta
keempat dayangnya Bak-ni, Swi-hiang, Toh-kian dan Jing-hwi
tinggal di pendopo, hanya Pa Thian-gi sebagai Congkoan ke luarga
Tong tetap ikut masuk melayani para ta mu.
Tong Thian-jong, Un It-hong, Cu Bun-hoa dan Thi-hujin tengah
berbincang2 dengan paderi tua berjubah kuning. Tiba di depan
pintu, Tong Siau-khing mendahului masuk dan berseru: "Yah, inilah
Ling-heng telah datang."
Orang banyak di ka mar ta mu itu sa ma berdiri.
Kun-gi silakan Yong King-tiong masuk lebih dulu. Thi-hujin lalu
me mperkenalkan Tong Thian-jong dan la in2 kepada Yong King-
tiong, lalu giliran Kun-gi me mperkena lkan Ban Jin-cun, Kho Keh-
hoa, Bok-tan dan Giok-lan kepada ibunya. Setelah saling basa-basi
ala kadarnya, semua orang dipersilahkan duduk.
Thi-hujin lantas berkata: "Gi ji, lekas me mberi hormat kepada
Thian-hi Losiansu, Lo-siansu ini adalah sahabat karib kakek luarmu
dulu."
Paderi jubah kuning ini beralis panjang putih, wajahnya kelihatan
bersih dan terang meski sudah berkeriput, usianya pasti sudah lebih
sembilan puluhan, tapi sorot matanya tajam berkilau, jelas seorang
paderi sakti yang berkepandaian silat dan Lwekang tinggi. Lekas
Kun-gi me langkah maju serta menjura, katanya: "Wanpwe Ling
Kun-gi menyampa ikan sala m sujud kepada Losiansu,"
Thian-hi Siansu merangkap kedua tangan, dia manggut2,
katanya:."Tidak berani, Siau-sicu jangan banyak adat, jangan pula
kau me mbahasakan Wanpwe padaku."
"Kenapa Lo-siansu sungkan pada ana k2?" ucap Thi hujin.
Thian-hi Siansu tergelak2, katanya: "Hujin mungkin tidak tahu,
dulu Lolap me mang bersahabat kental dengan Thi losicu, tapi guru
Ling-siau-sicu masih terhitung Susiokku, ka lau menurut tingkat
perguruan bukankah Ling sicu menjadi suteku?"
"Hal ini aku me mang tidak tahu," kata Thi-hujin.
Dia m2 Ling Kun-gi me mbatin: "Kiranya Lo-siansu ini juga murid
cabang Siau-lim."
Cu Bun hoa terbahak2, katanya: "Ling-hujin tak usah kesal, Lo-
siansu adalah sahabat kental Thi lohwecu, kalau bicara perguruan
masih suheng Ling-lote, maka me nurut he matku, bila Thi-hujin
hadir, dia dianggap sebagai Wanpwe, kalau Thi-hujin tiada kalian
boleh anggap sa ma angkatan."
Berseri wajah Tong Thian-jong, katanya kepada Kun-gi sa mbil
me me lintir kumis: "Ling-hiantit, kali ini kau mendirikan pahala besar,
sekaligus me nghancurkan Hek-liong hwe sehingga kaum Kangouw
umumnya mme mperoleh kesela matan, tugas me mbe la bangsa
selanjutnya juga terletak di pundak kalian generasi muda."
"Paman terlalu me muji," sahut Kun-gi me mbungkuk. "Siautit sih
hanya menunaikan kewajiban saja,"
Un It-hong menimbrung: "Hiantit tak usah sungkan, tunas muda
kaum Kangouw me mang sela lu mela mpaui kaum tua, hanya kaum
muda seusia kalian saja yang ma mpu menguasai dunia."
Sejak berkumpul sesa ma tahanan di Coat-seng-san-ceng dulu,
Tong-cengcu dan Un-cengcu sa ma me mbahasakan Ling-lote kepada
Kun-gi, tapi sekarang me ndadak berubah panggilan, me mang tepat
juga karena Kun-gi pandang Tong Siau-khing dan Tong Bun-khing
seangkatan, adalah jamak kalau Tong-cengcu me mangginya Hiantit.
Tapi Ling Kun-gi dengan Un Hoan kun ada hubungan cinta, sudah
tentu Un Hoan-kun ma lu me mberi tahukan hubungan pribadinya ini
kepada sang ayah, tapi bahwa Un-cengcu juga telah ubah
panggilannya sebagai Hiantit kepada Kun-gi, ini menandakan bahwa
dia telah tahu juga hubungan cinta puterinya. Jelas hal ini dia tahu
dari laporan Siau- yan.
Kun-gi sudah tentu juga tahu liku2 persoalan ini, terasa mukanya
menjadi hangat, sesaat dia berdiri dia m dan rada kikuk.
Sejak masuk tadi Bok-tan tidak me lihat kehadiran Thay-siang,
dalam hati dia sudah bingung dan gelisah, gurunya adalah adik
Ling-hujin, bahwa dia disuruh menyusul ke Gak-koh bio ini, kini Ling
hujin dan lain2 ada di sini, jelas gurunya tak mungkin pergi lebih
dulu, lalu di manakah sekarang be liau?
Selesai dia duduk termenung itulah, didengarnya Thi-hujin
me manggilnya dengan suara le mbut: "Nona Bok-tan, apalah nona
So-yok tidak datang?"
Lekas Bok-tan mengiakan, sahutnya: "Jimoay suka umbar adat,
tadi dia menerjang ke luar dari Hwi-liong-koan terus pergi dengan
marah, sa mpaipun pesan guru juga tida k dihiraukan lagi."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Betul, me mang pesan guru
agar kalian ke mari, mungkin anak Gi sudah beritahu pada mu, Losin
adalah kakak guru kalian, sebelum ajalnya dia pernah bicara
denganku supaya me mandang kalian sebagai keluarga sendiri,
baiklah kau panggil aku bibi saja."
Mendengar kata "sebelum ajalnya", Bok-tan dan Giok-lan
seketika terkesima kaget, pikiran seperti butak dan kalut seketika.
Bok-tan berdiri dengan berlinang a ir mata, tanyanya: "Bibi,
maksudmu Suhu be liau . . . . . . ."
Sedih juga Thi-hujin, katanya: "Apa anak Gi tidak
me mberitahukan pada kalian?"
"Karena Pangcu dan Congkoan baru saja lolos dari bahaya, maka
anak kira lebih baik ibu saja yang "beritahukan mereka," demikian
kata Kun-gi.
Bertetesan air mata Bok-tan, tiba2 dia menjatuhkan diri, katanya
sesenggukan: "Bibi lekas engkau beritahukan cara bagaimana
meninggalnya Suhu?" karena dia berlutut, ter sipu2 Giok-lan ikut
berlutut, air matapun bercucuran.
Lekas Thi-hujin bangunkan kedua orang, katanya: "Nak, kalian
berdiri saja, dengarkan ceritaku," - Bok-tan dan Giok-lan lantas
berdiri, tapi air mata tetap tak terbendung.
Dengan le mbut Thi-hujin me mbujuk dan menghibur mere ka
sekian la ma, lalu bercerita tentang riwayat hidup Thay-siang sampa i
mene mui ajalnya.
Sejak kecil Bok-tan dan Giok-lan diasuh dan dibesarkan oleh
gurunya, tak nyana dalam menunaikan tugas di Kun-lun- san sini
mereka harus berpisah untuk sela ma2nya dengan guru tercinta,
sudah tentu tidak kepalang sedih dan pilu mereka, tak tertahan air
mata bercucuran lebih deras.
Thi-hujin ikut meneteskan air mata, katanya: "Nak, kalian harus
ubah kesedihan ini menjadi kekuatan, dikala mendekati ajalnya adik
Ji-hoa ada berpesan dua hal dan minta Losin me mberitahukan pada
kalian."
Bok-tan menyeka air mata, katanya: "Bibi, Suhu ada pesan apa?"
Kereng sikap Thi-hujin, katanya: "Sebelum mangkat gurumu
bilang, dia mengasuh ka lian hingga besar dan akhirnya mendirikan
Pek hoa-pang, tujuan utama adalah untuk menandingi Hek-liong-
hwe, kemudian dia mendapat kabar bahwa sua miku sudah
almarhum, sementara Hek-liong-hwe jatuh ke tangan kerajaan,
maka timbul angan2nya untuk menumpas Hek-liong-hwe, tapi
karena ilmu pedang peninggalan Tiong yang Cinjin tersimpan di
Hek-liong-ta m, bila berhasil me mpelajari ilmu pedang itu pasti tiada
orang yang dapat menandinginya, maka dia berkeputusan untuk
me luruk ke Hek-liong-hwe, lalu kalian dibagi me njadi t iga
rombongan untuk me mancing perhatian musuh, sementara dia
secara diam2 menyelundup ke Hek-liong tam.
"Kini He k-liong-hwe sudah lebur, kejadian sudah lalu, tapi karena
kehancuran Hek-liong hwe, pihak kerajaan pasti tidak berpeluk
tangan, Pek-hoa-pang merupakan sasaran mereka yang utama,
maka hal perta ma yaitu supaya kau secepatnya mengirim perintah
me mbubarkan Pek-hoa-pang agar anak buah dan anggota Pek-hoa-
pang tidak me njadi buronan kerajaan."
"Keponakan terima perintah," sahut Bok-tan sa mbil sesenggukan.
"Hal kedua ada lah ke inginan gurumu yang belum tercapai,
soalnya Losin adalah anak angkat Lohwecu, adik Ji-hoa adalah anak
kandung tunggal yang harus mewarisi marga Thi, maka sebelum
ajalnya dia minta supaya kau mewarisi tradisi keluarganya . . . . "
Mendengar sampai di sini se makin keras tangis Bok-tan, sedih
dan pilu.
Berkata Thi-hujin lebih lanjut : "Dikala Pek-hoa-pang me milih
Cong-hou-hoat-su-cia tempo hari, adik J i-hoa sudah ada maksud
menjodohkan kau dengan anak Gi, tatkala mendekati ajalnya dia
usulkan ha l ini padaku, peduli anak Gi sudah atau belum
bertunangan, dia minta Losin untuk menjodohkan kau dengan ana k
Gi, kelak setelah punya anak, anak kalian harus menggunakan she
Thi, itu berarti kau bukan menantu ke luarga Ling, tapi menantu
keluarga Thi, ini soal masa depanmu, walau adik Ji-hoa me mberi
kuasa, tapi Losin tetap minta pertimbanganmu sendiri, entah kau
terima t idak keputusan ini?"
Bok-tan masih sesenggukan, air mata me mbasahi se lebar
mukanya, serta mendengar Thi-hujin me mbicarakan soa l
perjodohan dan masa depannya, meski sebagai Pangcu, tapi
betapapun dia adalah gadis re maja, maka kepalanya tertunduk
dalam, mukanya yang basah tampak merah seperti buah apel
masak. Walau hati setuju, tapi saking malu, sukar juga dia bersuara,
setelah tergagap2 sekian lamanya, akhirnya dia berkata lirih: "Ini
perintah suhu sebelum mangkat, keponakan menyerahkan
keputusan kepada bibi saja." - Sampai akhir katanya suaranya lirih
seperti bunyi nya muk.
Thi-hujin berkata pula dengan tertawa: "Kalau kau sudah setuju,
baiklah hal ini diputuskan de mikian." - Sudah tentu keputusan inipun
sekaligus me mantapkan hati Bok-tan, ia menunduk lebih dala m,
mulut mengiakan lirih.
"Anak Gi," Thi-hujin berpa ling me manggil Kun-gi.
"Ada pesan apa ibu?" tanya Kun-gi dengan muka merah seperti
kepiting rebus.
"Ibumu sudah bicara dengan Tong-locengcu, Tong-lohujin ada
maksud menjodohkan puterinya dengan kau, tempo hari dia
me mberi tanda mata Seng-ka-kia m juga kesitulah maksud
tujuannya. Sementara Un-locengcu hanya punya puteri tunggal,
persoalannya malah mendahului daripada yang lain, demi menjaga
keselamatanmu, Nona Un sampai menya mar dan menyelundup ke
Pek-hoa-pang, maka kedua keluarga mohon bantuan Cu-cengcu
sebagai perantara untuk mengajukan perjodohan ini kepada ibu,
setelah ibu berunding dengan para Cengcu, karena Un-locengcu
hanya punya puteri tunggal dia mengusulkan cara yang sama,
supaya putera-puterimu ke lak dengan nona Un menggunakan she
Un, sedang puteri Tong locengcu tetap mewarisi marga Ling kita,
dengan demikian tiga marga tetap me mperoleh keturunan, tiga
isterimu masing2 me mpunyai kedudukan yang berbeda pula, maka
soal perjodohan rangkap tiga inipun boleh diputuskan de mikian,
lekas kau me mberi hormat kepada para mertua mu."
Sudah tentu nona Tong dan nona Un sejak tadi sudah lari
sembunyi ke belakang. Mendengar pesan ibunya, dengan muka
merah terpaksa Kun-gi mengha mpiri Tong Thian-jong dan
menye mbah.
Berseri muka Tong Thian-jong. lekas dia bangunkan Kun-gi serta
tertawa, katanya: "Hiansay (menantu ba ik) lekas berdiri. Haha,
waktu pertama kali Lohu melihat mu lantas teringat kepada puteriku,
tak nyana isteriku lebih dulu juga penujui kau."
Kun-gi berdiri lalu, menyembah pula pada Un It-hong. Cepat Un
It-hong me mbimbingnya bangun, katanya tertawa: "Hian say tak
usah banyak adat," setelah bergelak tertawa ia berkata pula,!
"Menurut Tong-heng kau dipenujui lebih dulu oleh ibu mertua-mu,
tapi menantuku ini justeru puteriku sendiri yang naksir, jadilah kita
ini mertua kontan."
Maka Yong King-tiong, Bau Jin-cun, Kho Keh-hoa dan la in2 sa ma
me mberi sela mat kepada Thi-hujin, Tong dan Un-cengcu.
Dengan menge lus jenggot Yong King-tiong berkata : "Hari ini kita
baru pulang me nghancurkan sarang penyamun, serangka ian
perjodohanpun terjadi, sungguh peristiwa yang mengge mbirakan,
tapi aku berpendapat sesuai tradisi bangsa kita, daripada
perjodohan rangkap tiga akan lebih baik kalau rangkap lima
sekaligus, untuk ini aku me mberani-kan diri menjadi perantara,
pertama kutujukan kepada Ling-hujin dan Cu-cengcu, entah kalian
suka me mberi muka padaku atau tidak?"
Thi-hujin keheranan, katanya : "Rangkap lima bagaima na
maksud Yong-tayhiap?"
Yong King-tiong tergelak2. katanya: "Dua perjodohan yang akan
kuusulkan ini dari, keluarga Ban di Ui-san dan keluarga Kho dari
Ciok-mui, asal Ling hujin dan Cu-cengcu mengangguk, maka jadilah
aku ini perantara resmi."
Cu Bun-hoa berpaling ke arah Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa,
kitanya: "Jadi Yong loko mengajukan la maran bagi keluarga Ban
dan Kho, entah nona keluarga siapa yang dila mar?"
"Keluarga Ban dengan Liong-bin san-ceng terhitung ke luarga
persilatan turun temurun, pasangan setimpal dan jodoh yang cocok,
Ban-lote sudah cinta sama cinta dengan puterimu, aku ini hanya
perantara formil belaka, entah bagaimana pendapat Cu cengcu?"
Cu Bun hoa tertawa lebar, katanya: "Keluarga Ban dari Ui-san
secara beruntun menjabat Bu-lim-beng-cu, Yong-tayhiap,
perjodohan ini jelas menguntungkan puteriku."
"Jadi Cu-cengcu sudah setuju, haha, " Losiu betu12 jadi
Comblang resmi. Nah, Ban-lote, majulah mene mui mertuamu."
Ban Jin-cun segera menyembah kepada Cu Bun-hoa. Bahwa
menantunya gagah dari ke luarga persilatan kena maan lagi, sudah
tentu tidak kepalang senang hati Cu Bun-hoa, lekas dia me mbalas
setengah hormat.
Kini Yong King-t iong berpaling, kepada Thi-hujin. katanya: "Kini
aku mohon arak perja muan pula kepada Thi-hujin,"
"Mohon Yong-tayhiap jelaskan," ucap Thi-hujin.
"Berat kata2 Hujin. aku mengajukan la maran untuk Kho-lote atas
perintah Ji-kohnio Pe k-hoa-pang harus dibubarkan, nona Giok-lan
yang dulu menjabat Congkoan adalah gadis yang le mah le mbut,
cerdik panda i lagi, dengan Kho-lote merekapun merupa kan
pasangan yang setimpal, hal ini pernah ku-bicarakan pada Kho-lote,
asal Hujin menerima la maran ini, maka perjodohan inipun jadilah."
Thi-hujin manggut, katanya: "Jimoay me mang berpesan setelah
Pek-hoa pang dibubarkan, murid didiknya boleh mene mpuh cara
hidupnya sesuai ke inginan masing2, apalagi kalau sudah punya
jodoh kan lebih baik, kini Yong-tayhiap mengajukan la maran, tapi
Losin perlu tanya dulu pada Giok-lan."
Lalu dengan tertawa dia berpaling kepada Giok-lan, katanya :
"La maran yang diajukan Yong-tay-hiap sudah kau dengar sendiri,
bagaimana kau me nerimanya?"
Merah muka Giok-lan, langsung dia menjatuhkan diri, katanya
dengan menangis: "Ka lau Suhu menyerahkan keputusan kepada
bibi, kepona kan menurut keputusan bibi saja."
"Anak baik," ucap Thi-hujin sa mbil menarik tangannya,
"bangunlah, baiklah bibi menerima.."
"Kionghi" (se la mat) Kho-lote," seru Yong King-tiong. "Hujin sudah
terima la maranmu, Pek-hoa-pang Thay-pangcu sudah meninggal,
Ling-hujin adalah orang tua mereka, nah, kaupun harus memberi
hormat kepada beliau, ya, sekalian kau boleh panggil Ga kbo pada
beliau."
Bahwa Kho Keh-hoa dapat me mpersunting isteri cantik, sudah
tentu senangnya tak terlukiskan, cepat dia maju ke depan dan
berlutut me mberi hormat.
Kun-gi maju me ma pahnya bangun.
Thi-hujin tertawa, katanya: "Kho-siangkong sudah me manggil
Gakbo padaku, sebetulnya Losin tak berani terima. Tapi begitupun
baik, Giok-lan juga a mat kusayang, anak Gi putera tunggal, tida k
punya saudara, biarlah Giok-lan kupungut jadi puteri angkatku, jadi
cocok aku menjadi ibu mertua."
"Sa m-moay," kata Bok-tan senang, "lekas beri hormat kepada ibu
angkat."
Giok-lan berlutut dan menye mbah sembilan ka li, katanya: "Bu,
terimalah se mbah sujud anak-mu ini."
Thi-hujin menariknya bangun serta memeluknya, katanya halus:
"Anak baik, me mang kau anak ibu yang baik."
Maka berama i2 orang banyak bergiliran menya mpaikan sela mat
kepada Thi-hujin.
Tong Bun-khing, Un Hoan-kun, Cu Ya-khim, Bok-tan dan Giok-lan
sudah terangkap jodohnya, semua orang sama riang ge mbira,
hanya Pui Ji-ping seorang yang piatu, hidup sebatangkara, tiada
ayah, tinggal ibu beranak hidup merana Ke-luarga Pui bukan
keluarga persilatan, ibunya tak pandai main silat, tidak seperti Thay
siang dari Pek-hoa pang yang tenar dari berkuasa, sudah tentu
orang banyak tidak hiraukan dirinya lagi. Pa mannya Cu Bun hoa
sibuk mengurusi puteri sendiri, ibu angkatnya (Tong hujin) juga
sibuk dengan urusan perjodohan puterinya, Mana peduli a kan
dirinya? Pikir punya pikir rasa sedih seketika merangsang sanubari
Pui Ji ping, tapi sedapat mungkin dia tahan air mata yang hampir
menetes, dengan lesu dia m2 dia nge luyur keluar, seorang diri dia
bersandar di pagar taman mela mun dan mengawasi ikan mas dala m
kola m.
Sementara itu dua meja hidangan sudah disiapkan, meja
pertama diperuntukan Yong King-tiong, Ling Kun-gi, Ban Jin cun,
Kho Keh-hoa empat orang, meja kedua untuk Tong Bun-khing, Un
Hoan-kun, Bok-tan, Giok-lan dan Pui Ji-ping.
Dia m2 Tong Bun khing menyusul keluar dan mende kati Pui Ji-
ping yang sedang mela mun, katanya: "Sam-moay, hayo masuk,
makanan sudah siap."
"Tida k, aku tidak lapar," sahut Pui Ji-ping ogah2an.
Tong Bun khing menarik tangannya, katanya lirih, "Adikku yang
baik, jangan nanti kesehatan-mu terganggu karena kelaparan, aku
tahu perasaanmu, masuklah, jangan sampai orang lain tahu akan isi
hatimu."
Merah muka Pui Ji ping, omelnya: "Aku punya isi hati apa?"
Tong Bun-khing tertawa, katanya: "Ya, tak perlu kukatakan." -
Lengan Ji ping lantas ditariknya terus diseret masuk.
Sudah tentu makanan yang dihidangkan pantang ikan dan
barang berjiwa, tapi semua orang sudah kelaparan sekian la ma,
maka hidangan vegetarian juga dirasakan a mat lezat, hanya Pui Ji-
ping saja yang tida k doyan makan.
Dala m pada itu Thi hujin, Tong Thian-jong, Un It-hong dan Cu
Bun-hoa duduk mengelilingi meja bundar tengah berunding soal
pernikahan putera-puteri mereka. Melihat orang banyak sudah
selesai makan Cu Bun-hoa lantas berteriak dengan tertawa: "Yong-
tayhiap, harap kemari."
Sambil me megang cangkir teh Yong King-t iong mengha mpiri ke
sisi kiri, tanyanya: "Cu-heng ada petunjuk apa?"
"Kita sedang merundingkan pelaksanaan pernikahan rangkap ini,
kau dan aku sa ma2 menjadi comblang, adalah ja mak kalau kita
urun2 pendapat."
"Baiklah, biar kududuk di kursi terakhir saja," ucap Yong King-
tiong sa mbil menarik kursi.
"Anak Gi," panggil Thi-hujin, "kaupun ke mari."
Kun-gi datang ke sa mping ibunya, katanya: "Ibu ada pesan
apa?",
"Menurut Tong-gakhumu, setelah perjodohan ini diresmikan, ada
lebih ba ik kalian lekas me langsungkan pernikahan, ibu sudah tua,
lebih ba ik juga bila kau lekas berkeluarga supaya ibu me nunaikan
kewajiban sebagai orang tua terhadap ayahmu, maka ibu putuskan
untuk merangkap pernikahan seka ligus pada bulan sepuluh yang
akan datang . . . . "
Sebelum ibunya habis bicara, Kun-gi tiba2 menjatuhkan diri,
teriaknya sambil berlinang air mata: "Bu, pernikahan anak lebih baik
ditunda saja."
"Kenapa?" tanya Thi-hujin.
"Walau kita sudah me mbunuh Han Jan to, tapi biang keladi yang
merebut Hek-liong hwe kan bukan dia, maka anak pikir akan pergi
ke Jiat-ho, dengan kedua tanganku sendiri a kan kupenggal kepala Ki
Seng-jiang dan bangsat Ci Kun jin, lalu pergi ke kotaraja pula
mencari tulang jenazah ayah."
Tong Thian jong me lirik ke arah Cu Bun-hoa dan Yong King-
tiong. Cu Bun-hoa mengerti, sebelum Thi-hujin bicara dia sudah
batuk2 ringan, lalu mendahului buka suara: "Ling-lote me mang anak
berbakti, tekadnya patut dipuji, tapi ibumu sudah kepingin
me mbopong cucu, apalagi tadi soal ini sudah dirundingkan dan
disetujui pernikahan akan dilangsungkan bulan sepuluh, jadi masih
ada waktu tiga bulan, maka menurut pendapat Lohu biarlah Ling-
lote menikah dulu baru pergi ke Jiat-ho."
Yong King-tiong ikut mengusulkan: "Apa yang dikatakan Cu-
cengcu me mang t idak sa lah, kalau Ki Seng-jiang dan C i Kun-jin
berada di Jiat-ho, mereka toh tidak akan merat begitu saja, dengan
bekal kepandaian Kongcu sekarang tidak sulit untuk me mbunuh
mereka, soal tulang jenazah Hwecu, urusan sudah terjadi dua
puluhan tahun, mungkin sukar untuk mene mukan, lebih baik
Kongcu turuti ke inginan ibumu, ke mbali dulu ke Kangla m, setelah
me langsungkan pernikahan, tahun depan musim semi baru kau
mulai bergerak ke utara."
"Bu," seru Kun-gi mendongak. "denda m ayah belum terbalas.
tulang ayah belum juga ditemukan, sekali2 ana k tidak a kan
menikah, dari sini ke Jiat-ho tidak jauh, buat apa harus pulang pergi
menunda waktu. Menurut pendapat anak, mumpung berita He k-
liong-hwe hancur belum mereka dengar, akan lebih mudah aku
bekerja di Jiat-ho, keparat Ki Seng jiang itu licik dan culas, pasti dia
akan meningkatkan kewaspadaan dan penjagaan, bahwa Ci Kun-jin
tidak menjabat pangkat lagi, pasti minta perlindungan pula kepada
Ki Seng-jiang di J iat-ho, orang ini bernyali sekecil tikus, begitu
me mperoleh kabar tentu menyembunyikan diri, hal ini a kan
me mpersulit usaha anak malah, maka anak pikir, lebih cepat kita
bekerja akan lebih baik, biarlah sekarang juga anak berangkat
supaya urusan tidak bocor."
Thi hujin berpikir sebentar, akhirnya mengangguk, katanya:
"Begitupun baik, pernikahan dilangsungkan setelah kau beres
menuntut balas sakit hati ayahmu, supaya arwah ayahmu di ala m
baka terhibur dan tenteram . . . . . " tak tertahan dia meneteskan a ir
mata.
Sambil mengelus jenggot, Tong Thian-jong berkata kepada Un It-
hong: "Un-heng, ka lau de mikian keinginan Hiansay karena baktinya
terhadap orang tua, biarlah kita racun dan bius para cakar alap2
yang bercokol di Jiat ho itu."
Cepat Kun-gi bicara: "Perjalanan ke Jiat-ho ini cukup kulakukan
sendiri saja, kalau banyak orang mungkin menimbulkan perhatian
musuh, untuk ini Siausay tak berani bikin capai para Ga khu."
"Seorang diri Hiansay tentu kekurangan tenaga, Jiat-ho jangan
kau sa makan dengan Coat ceng-san-ceng."
"Siau-say akan bekerja me lihat ge lagat," Kun-gi tetap kukuh
pendapat. Lalu dia, berpaling kepada Yong King tiong, tanyanya:
"Yong-lopek, apa kau tahu keadaan Ki Seng jiang?"
Yong King-tiong tertawa, katanya: "Bangsat tua ini adalah biang
keladi yang menimbulkan pe mberontakan dala m He k liong hwe
sehingga Han Jan-to mengkhianat, Losiu me mbencinya sampa i
ketulang sumsum, maka gerak-geriknya selalu kuselidiki dari
berbagai pihak, me mang sedikit banyak aku tahu keadaannya,
sayang selama dua puluh tahun ini hasil yang kuperoleh kurang
me muaskan, dari sini dapatlah kita simpulkan betapa licin bangsat
tua ini?"
"Dia adalah anak angkat almarhum kake k luar-ku, ke mungkinan
ayahkupun mati oleh muslihatnya," demikian timbrung Ban Jin cun,
"Ling-heng, bagaimana kalau Siaute ikut kau? Akan kutanya dia
berhadapan." - Tangan kanannya tampak terkepal, jelas betapa
benci dan denda mnya.
"Kalau Ban -heng curiga Ki Seng-jiang yang me mbunuh ayahmu,
tak enak aku merintangimu, tapi kita harus bekerja secara diam2 . .
...."
"Bukan hanya membunuh ayah saja," kata Ban Jin-cun sengit,
"keluarga Ban ka mi tertumpas habis seluruhnya, kemungkinan pula
dia yang menjadi biang ke ladinya."
"Ya, itu ke mungkinan," timbrung Yong King-tiong, "Ki Seng-jiang
sekarang menjabat Congtay pasukan pengawal yang bertugas di
istana peristirahatan kerajaan di Jiat-ho, boleh dikatakan dia yang
paling berkuasa di sana, kalau dia bisa berkuasa pula di Coat-seng-
san-ceng yang berada di Tay-piat-san, ini me mbukt ikan bahwa
mungkin dia pula yang menjadi orang di be lakang layar menguasai
Hek-liong-hwe se la ma ini."
Sampa i di sini mendadak dia menepuk paha, serunya tertawa:
"Ya, tidak salah, pernah Losin dengar dari Han Jan-to bahwa jago2
kosen yang sering diutus ke berbagai propinsi kebanyakan datang
dari villa kerajaan dan dari anggota bayangkari yang bertugas di
Jiat-ho itu, karena raja Boan setahun paling2 datang sekali ke sana,
maka hari2 biasa boleh dikatakan a mat iseng, maka tugas untuk
mengawasi para utusan rahasia dan menumpas para pemberontak
seluruhnya dipikul oleh barisan bayangkari di villa kerajaan itu, Hek-
liong hwe merupa kan salah satu komplotan mereka untuk
menghadapi kaum persilatan, sudah tentu tugas ini di bawah
kekuasaan Ki Seng jiang pula."
"Jadi Cui Kin in hanya utusan pula. Ai, sayang tempo hari kita
tidak menahannya."
"Itu kan kehendak gurumu, pasti beliau punya alasan yang
tepat," ujar Thi hujin.
Mendadak Thian-hi Siansu merangkap kedua tangan sambil
bersabda, katanya: "Tay-thong Su-siok ke maren mala m juga bicara
dengan Lolap, katanya Cui-sicu bukan saja adalah murid
kesayangan Soat-san Sinni, malah dia punya asal-usul istimewa,
terang bukan utusan dari Ki Seng jiang.".
"Apa pula yang dikatakan guruku?" tanya Kun-gi, "bolehkan
Losiansu menerangkan?"
"Tay thong Taysu hanya bilang demikian, soal lain Lolap tidak
tahu, Oya, Cui-tongcu itu pernah kemari dua kali, kalau menurut
pandangan Lolap dia tidak mirip manusia yang kejam suka
me mbunuh, bila Ling-sicu ke lak berte mu dia, lebih baik tida k
menyudutkan dia sehingga me mbikinnya serba susah, kalau dipaksa
dia bisa mene mpuh jalan lain ini tentu tidak menguntungkan kedua
pihak."
Kun-gi merasakan omongan paderi tua ini masih terselip hal2
yang kurang dimengerti dikatakan bahwa Cui Kin-in me mpunyai
asal-usul, tapi tidak mau menjelaskannya. Memangnya kenapa?
Apakah karena gurunya, yaitu Soat-san Sinni, maka orang lain harus
menga lah kepadanya? Dala m hati berpikir, segera ia bertanya
kepada Yong King-tiong: "Pa man Yong, setiap tempat me mpunyai
adat dan kebiasaan sendiri, apakah pa man bisa menceritakan
keadaan di Jiat-ho pada umumnya?"
"Seng-tek-hu berada di sebelah, barat propinsi Jiat-ho, semula
merupakan kota pegunungan, maka raja Boan mendirikan Villa
disana yang dinamakan Pi-siok-ceng, Ki Seng jiang adalah penguasa
Pi-siok-ceng itu, tapi kedudukannya lebih tinggi dari komandan
bayangkari yang bertugas di istana raja, malah merangkap wakil
gubernur yang berkuasa di seluruh propinsi Jiat-ho, pasukan
bayangkari yang ada di villa itu terbagi dua barisan, setiap barisan
terdiri sepuluh kelompok, setiap kelompok sebelas orang, itu berarti
Ki Seng-jiang me mpunyai dua ratusan anak buah yang seluruhnya
me miliki kepandaian silat yang tinggi, mereka adalah sampah
persilatan yang menjual diri dan rela dijadikan antek, tapi diantara
mereka tak sedikit terdapat para cendekia, pendek kata mereka
lebih unggul dari para jago pedang Hwi-liong-tong yang bertugas di
Hek-liong-hwe," sebentar berhenti lalu ia menyambung: "O, ya,
hampir Losiu lupa, Ki Seng-jiang adalah laki2 yang ke maruk paras
cantik, dia punya gundik yang menetap di luar Pi-siok-ceng, konon
dalam sebulan ada dua puluhan hari dia menetap di rumah
gundiknya itu, kalau Kongcu dapat menyelidiki te mpat tingga l
gundiknya itu, kukira lebih leluasa turun tangan daripada
me mbunuhnya di Pi-siok-ceng."
"Banyak terima kasih atas keterangan paman, Wanpwe pasti
dapat menyelidikinya," kata Kun-gi. "Ada sebuah hal pula, kau harus
hati2," pesan Yong King-t iong lebih lanjut, "di luar kota Se k-tek
terdapat delapan kuil La ma, semuanya dikepalai paderi Tibet,
mereka adalah murid2 dari aliran Ih-ka-bun, ilmu silat mereka
menyendiri, konon waktu Ki Seng-jiang me mimpin barisan
bayangkari di istana raja pernah mengangkat seorang Lama sebagai
guru, ma ka kuil2 La ma itu ke mungkinan bersekongkolan dengan Ki
Seng-jiang, hal inipun harus diperhatikan."
Mendengar Ban Jin-cun mau pergi, ma ka Kho Keh-hoa tidak mau
ketinggalan, sekarang dia baru dapat kesempatan bicara: "Ling-
heng sudah berjanji hendak mengaja k Ban-heng, me mangnya aku
disisihkan da la m tugas mulia ini?"
"Betul," timbrung Tong Siau-khing. "Ling-heng, kalau ayah, Un-
lopek dan Cu-lopek tidak jadi pergi, maka a ku harus ikut pergi."
Baru saja Kun-gi mau buka suara, tahu2 Bok-tan, Giok-lan, Tong
Bun-khing, Un Hoan-kun da m Cu Ya-khim dan la in2 sere mpak juga
menyatakan mau ikut. Hanya Pui Ji ping seorang yang tunduk
kepala tanpa me mberi komentar, sudah tentu hadirin tiada yang
me mperhatikan dia.
Thi-hujin tersenyum pada hadirin, katanya: "Kaum muda
me mang suka bergerombol, tujuan kita bukan untuk ta masya, kalau
banyak orang malah me narik perhatian musuh, begini saja, anak Gi
boleh seperjalanan dengan Ban-siauhiap, tapi di tengah jalan harus
berpencar, pura2 tidak saling kena l, Bok-tan boleh ikut bersamaku
untuk me mberi bantuan bila mana perlu kepada anak Gi, sementara
Giok-lan selekasnya ke mbali ke Pek-hoa ciu (se menanjung seratus
bunga), me mbubarkan Pek-hoa-pang, sementara para Cengcu
diharap pulang me mbawa puteri masing2 ke Kangla m, kali ini
betapapun dilarang me nyusul ke Jiat-ho supaya tidak terjadi sesuatu
di luar perhitungan."
Rencana yang diatur Thi-hujin sudah tentu tidak sempurna, tapi
juga merupakan cara pemecahan untuk sementara, secara tidak
langsung dia me mperingatkan kepada Thong Thian jong. Un It-hong
dan Cu Bun-hoa supaya lebih me mperhatikan da m mengenda likan
puteri2nya, betapapun Jiat ho adalah daerah kekuasaan kerajaan
yang diperkuat dengan barisan bayangkari, jadi jangan disa ma kan
seperti tempat ta masya.
"Jadi ibu juga mau pergi?" tanya Kun-gi keheranan.
Thi-hujin tertawa, katanya: "Kalau ibu juga pergi kan dapat
me mberi bantuan padamu", jangan kuatir pasti tidak akan
mena mbah beban bagimu."
"Ibu besan tidak usah kuatir," timbrung Tong Thian jong, "biarlah
kita tinggal di sini beberapa hari sa mbil menunggu ibu besan da m
bakal menantu kita ke mba li lagi ke sini baru sa ma2 pulang
mengurus pernikahan."
"Nah, semua sudah dengar," sela Un It-hiong, yang tidak punya
tugas siapapun dilarang ikut pergi,"
Yong King-tiong mena mbahkan: "Baiklah kita atur begini saja,
kita menunggu kabar baik di sini sambil me mpersiapkan pesta
pernikahan, dari-pada berpencar tak keruan paran."
Keputusan sudah ditetapkan, walau Kho Keh-hoa, Tong Siau
khing dan nona2 yang lain a mat getol ingin pergi, tapi tiada
seorangpun yang berani buka mulut.
"Kalau ibu tiada pesan lagi, anak ingin berangkat sekarang juga,"
demikian Kun gi minta diri.
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Begitupun baik, berangkat
lebih dini lebih cepat sa mpai ke tepat tujuan, besok pagi2 ibu segera
menyusulmu."
Lalu mereka menentukan cara dan tanda2 rahasia untuk
mengadakan kontak. Kun-gi dan Ban Jin cun diharuskan ingat
semua tanda2 rahasia itu, ke mudian satu persatu diizinkan
berangkat.
Setelah Kun-gi berangkat lebih dulu, dia m2 Thi-hujin panggil Ban
jin-cun, dengan suara lirih dia me mberi pesan entah apa kepada
Ban Jin-cun, ta mpak anak muda, itu mengiakan lalu berangkat.
Giok-lan mengajak Ci-hwi dan Hu-yong pamit pada Thi hujin dan
lain, merekapun segera berangkat ke mbali ke Pek-hoa-ciu. Sisa
yang lain menetap di Gak koh-bio, setelah makan mala m, Pa Thian-
gi dan Ting Kiau juga pergi secara diam2, mereka me mperoleh
tugas untuk menyiapkan kereta dan kuda.
Mala m itu tiada kejadian apa2, hari kedua pagi2 benar Pa Thian-
gi sudah ke mbali, langsung me mberi laporan kepada Thi hujin. Ting
Kiau sudah menyaru kusir dan menunggu di luar.
Sementara Thi-hujin dan Bok-tan menyamar sebagai ibu beranak,
setelah berpamitan merekapun meninggalkan Ga k-koh-bio secara
dia m2.
Kira2 menje lang tengah hari, Cu Ya-khim ta mpak berlari2
me masuki pendopo dan berteriak gugup: "Yah, celaka, Piaumoay
minggat secara dia m2."
Cu Bun hoa kaget sekali, tanyanya: "Anak Khim, apa katamu? Ji
ping ke mana?"
"Waktu bangun tidur tadi pagi Piau-moay sudah mengeluh
katanya badannya kurang sehat, barusan akan kutengok dia
dika marnya, tapi tidak kute mukan bayangannya, kemungkinan dia
menyusul ke J iat ho."
Cu Bun-hoa berkerut kening, katanya sambil me mbant ing kaki:
"Anak ini, ai, kalau betul2 dia menyusul ke Jiat-ho, ini bukan main2.
Ling-lote dan Ling- hujin tidak tahu a kan hal ini, pasti bisa cela ka
dia."
"Ke marin sudah kurasakan se-olah2 nona Pui dirundung
persoalan rumit apa, mungkin karena Thi-hujin ke marin me larang
orang banyak ikut, ma ka dan menjadi ne kat."
"Bukan begitu persoalannya," ucap Cu Ya-khim sa mbil cekikikan.
"Sela ma ini Piaumoay dia m2 kasmaran kepada Piaukonya, jadi dia
minggat dengan uring2an."
"Anak perempuan, sembarang omong," Cu Bun-hoa segera
menegur puterinya.
Tong Bun-khing segera mendekati ayahnya serta berbisik sekian
la manya. Tampak Tong Thian-jong me ngerut kening, katanya:
"Kukira nona Pui belum pergi jauh, marilah kita me mbagi jurusan
untuk menyusulnya kembali, umpa ma tidak ketemu juga harus
selekasnya me mberi kabar kepada ibu besan."
"Usul Tong-loko me mang benar," sela Yong King-tiong: "Urusan
jangan ditunda, marilah kita kerjakan dengan berpencar."
"Kalau ketemu lalu bagaimana?" tanya Un It-hong.
"Kukira ibu besan pergi hanya me mbawa Bok-tan dan Ting Kiau,
kalau terjadi sesuatu pasti kekurangan tenaga, apakah perlu kita
menyusul lagi satu rombongan, dan secara diam2 me mberi bantuan
kepada mereka?"
"Aku jarang berkecimpung dala m Bu lim di daerah Kangla m,
biarlah aku saja yang berangkat," Un It-hong mena mpilkan diri.
"Te man2 Kangouw yang kenal padaku juga jarang2," Cu Bun-hoa
ikut bicara.
"Baiklah kita bagi begini saja, Tong-loko tetap di sini, Un-loko dan
Cu-loko berpencar dalam dua rombongan, secara diam2 satu
dengan lain harus selalu mengadakan kontak untuk me ncari jeja k
nona Pui, kete mu atau tidak harus langsung maju ke Jiat-ho dan
secara diam2 me mberi bantuan dima na perlu kepada Ling-hujin,
jalanan daerah ini aku cukup apal, cuma aku sendiri kurang leluasa
ke Jiat ho. biarlah kubantu mencari jejak nona Pui di daerah yang
berdekatan sini saja, bagaimana pen-dapat hadirin"
Tong Thian-jong tertawa sambil mengelus jenggot, katanya:
"Untuk menjaga kedudukan di sini, me mang tepat pilihan jatuh pada
diriku."
Dia ma klum bahwa Yong King tiong me milih dirinya me mang
tepat dan mengandang arti yang menda la m, karena sebagai
Ciangbunjin keluarga Tong, tidak sedikit kaum persilatan dari aliran
putih dan golongan hita m yang mengenalnya, bahwa dirinya
mendadak muncul di Jiat-ho pasti menarik perhatian banyak orang,
maka lebih ba ik dia berjaga di sini saja.
Un It-hong segera berkata: "Baiklah kita atur de mikian, aku
dengan jite (Un It kiau) dan anak Hoan satu rombongan, sementara
Cu-heng dan puterinya satu rombongan."
Kho Keh-hoa cepat menimbrung: "Wanpwe ingin pergi bersa ma
Cu-cencu."
Dia m2 Tong Bun-Khing menjawil engkohnya Tong Siau-khing
segera menoleh ke arah ayahnya, katanya: "Yah, anak dan Ji-moay
juga ikut pergi, dengan Cu-losiok."
Tong Thian-jong mendengus sa mbil menarik muka: "Lagi2
adikmu yang me mbikin gara2."
Terpaksa Tong Bun khing berteriak: "Yah, izinkanlah ka mi ikut
berangkat?"
Tong Thian-jong mengangguk, katanya: "Ya nona Un dan nona
Bok-tan juga pergi, kalau puteriku tidak ikut pergi, bukankah orang
lain akan merebut pahalanya? Sudah tentu ayah terpaksa
menyetujui."
"Yah!" seru Tong Bun-khing dengan jengah karena di olok2.
Tong Thian-jong tergelak2, katanya: "Anak perempuan selalu
berkiblat keluar, me mangnya ayah salah omong?"
"Baiklah, tak perlu banyak bicara," ajar Cu Bun hoa, "kita harus
lekas berangkat.
Maka Un It hong dan Cu Bun hoa masing2 me mimpin
rombongannya terus berangkat, Yong King-tiong juga bawa kelima
jago pedangnya menyusul bela kangan.
>O< >O< >O<
Hou-pak-gau merupakan jalan penting keluar masuk te mbok
besar di sebelah barat laut, di kanan kirinya gunung gunung
sambung me nyambung tak berujung pangkal, tembok besar bagai
ular raksasa menjalar di pegunungan yang turun naik itu, pintu2
gerbang sudah tentu didirikan di pegunungan itu pula, lebarnya
cukup untuk lewat satu kereta, keadaan di sini cukup berbahaya.
Untuk wilayah Jiat-ho, Hou-pak-gau merupakan pintu gerbang
utama hubungan langsung antara Jiat-ho dengan kotaraja, maka
setiap hari orang dan kendaraan yang lalu lalang di sini cukup
ramai.
Tatkala itu menjelang magrib, sang surya sudah ha mpir
terbenam, burung sama terbang kembali ke sarang, barisan
keretapun beriring sedang ke mbali me masuki kota supaya tidak
ke mala man di ja lan.
Pada saat begitulah tiba2 terdangar suara kelintingan berpadu
dengan derap tapal kuda tengah berpacu kencang keluar dari Hoa
pak-gau ke arah utara, agaknya penumpang kuda itu ada urusan
penting, pecutnya diayun berulang kali me mbeda l kudanya se makin
kencang, jalan pegunungan yang berdebu itu seketika menjadi
berhamburan sehingga orang2 yang beramai mengayun langkah
mau masuk kota sa ma mencaci kalang kabut.
Penunggang kuda itu tak peduli dengan caci ma ki orang,
kudanya tetap dibedal kencang dan seka ligus dilarikan puluhan li.
Setelah melewati suatu tempat yang bernama La hay-kou
penunggang kuda itu merogoh saku menge luarkan sebuah panji
kecil segi tiga terus diayun kian-ke mari ke arah hutan di lereng
gunung sana, mulutpun berteriak: "Perhatian, sudah datang." -
Belum habis bicara, kedua kakinya menge mpit perut kuda terus
dibedal pula ke depan.
Kira2 se masakan air ke mudian, dari kejauhan terdangar pula
derap tapal kuda yang berlari pelan2 mendatangi, kiranya ada dua
ekor kuda yang jalan beriring. Yang di depan adalah kuda warna
coklat mulus. di belakangnya adalah kuda warna ceplok putih hitam,
kudanya kuda pilihan yang kekar, cuma dilarikan pelan2, jelas kedua
penunggangnya me mang tidak begitu pandai na ik kuda. Meski
la mbat lari kuda toh lebih cepat daripada orang berja lan, kejap lain
kedua kuda itupun sudah tiba didepan hutan.
Jarak semakin dekat dan ke lihatan penunggang kuda coklat itu
adalah pemuda berbaju sutera, usia-nya belum ada dua puluh,
alisnya tebal, matanya besar bercahaya, bibirnya merah, kuncir
hitam yang cukup besar menjuntai di bela kang punggungnya,
sungguh gagah dan menarik seka li.
Yang berkuda ceplok hitam-putih adalah kacung berusia enam
belasan, wajahnya bersih dan cukup cakap juga, gerak geriknya
tampak cerdik. Majikan dan pe layan dua orang ini jelas adalah anak
bangsawan entah keluarga mana di kotaraja yang hendak buru2
masuk ke kota.
Tatkala kedua kuda tunggangan mereka ha mpir mendekati
hutan, tiba2 dari dala m rimba berkumandang suitan nyaring
me lengking. Segera muncul bayangan tujuh delapan orang laki2
berkedok seperti burung terbang melayang hinggap di tengah jalan,
golok di tangan mereka tampak mengkilap, cepat mereka berpencar
mengurung kedua orang penunggang kuda.
Sudah tentu pemuda baju sutera itu menjadi ketakutan, hampir
saja dia terjungkal jatuh dari punggung kudanya, giginya berkrutuk
saling beradu, katanya gemetar: "Ka . . . . .ka. . . . .kalian. . . .
.mau. . . . . . . mau apa?"
Pemimpin rombongan laki2 berkedok me mbentak: "Jangan
cerewet, lekas turun, tuan besar hanya ingin harta tak mau nyawa.
kalau kau masih ingin hidup tinggalkan harta bendamu, tuan akan
menga mpuni jiwa kalian dan boleh lekas masuk kota." Pemuda baju
sutera mengiakan berulang sa mbil melorot turun, tapi segera
terjungkal bergulingan saking le mas kakinya.
Kacung yang berada di belakangnya juga me lompat turun
dengan ketakutan, lekas dia me mburu maju me mapah majikannya,
serunya gemetar: "Kongcuya, bagaimana baiknya?" - sa king takut
kedua lututnya juga lemas tak bertenaga, ada keinginan me mapah
majikannya tahu2 dia ikut terjungka l roboh sekalian saling t indih.
Seorang lelaki berkedok mengha mpiri dengan me lotot,
sementara pemimpin orang2 berkedok itu menga mbil buntalan di
punggung kuda terus dibuka, lainya kecuali berapa perangkat
pakaian masih ada sebuntal uang emas lima puluh tahil. Sorot mata
laki2 ini ta mpak mengunjuk rasa girang, tapi dia lantas mendengus
hardiknya: "Anak bangsawan yang keluyuran dari kotaraja masa
hanya membawa sangu sedikit ini? Bagaimana kita harus me mbagi
hasil?"
Laki2 bergolok yang menatap kedua majikan dan pelayan itu
mende kat serta menodongkan golok-nya, bentaknya: "Lekas
katakan, masih ada barang lain di badanmu?"
Melihat keadaan gawat, pemuda baju sutera lekas berteriak:
"Ceng-ji, lekas . . . . . . uang perak perak dikantongmu keluarkan
semua."
Dengan tangan gemetar kacung itu merogoh kantong dan
menge luarkan uang e mas dan beberapa keping uang perak dan
diletakan di tanah, katanya: "Semua . . . . . . semua ada . . . . . .
ada di sini."
"Hanya ini saja?" laki2 bergolok itu me nyeringai.
Kacung itu ketakutan, mukanya pucat kuning, sahutnya: "Betul .
. . . . . tiada lagi."
Laki2 bertopeng itu menjadi berang, golok dia te mpe lkan ke leher
pemuda baju sutera, ancamnya: "Kalau mau hidup lekas katakan, di
mana kau simpan uangmu?"
Pemuda baju sutera sema kin lunglai ketakutan, mukanya seperti
mayat, mulut megap2 dan bersuara lemah: "Toaya, am . . . . . . .
ampun!"
Kacungnya merangka k dan menyembah, serunya: "Tuan2 besar
harap maklum . . . . . . Kongcu mau pulang . . . . . . . uang
sangunya sudah habis di tengah jalan, sungguh . . . . . . . hanya itu
saja yang masih ada."
Menyeringai pe mimpin rombongan itu, katanya: "Agaknya
sebelum melihat peti mati kalian tidak akan menangis, tuan
besarmu. ."
Takut luar biasa pemuda baju sutera itu, ia berteriak: "A mpun,
am . . . a mpun?"
Pada saat gawat itulah "tring", tiba2 golok yang mengancam
leher pemuda baju sutera itu mencelat, belum lagi pe megang golok
itu se mpat berteriak kaget, tahu2 goloknya sudah terbang jauh.
Terdengar seorang mendengus: "Begal bernyali besar, berani
beroperasi di ja lan raya dekat kota raja?"
Sekilas ta mpak mencorong sorot mata pe muda baju sutera yang
masih lungla i di tanah.
Kala itu hari sudah mendekati petang, kejadian teramat
mendadak, serempak kawanan begal berkedok itu melengak,
mereka menoleh kesana. Tampak dari arah Ko-pak-gau entah sejak
kapan berdiri seorang laki2 muka merah, jubah panjang warna biru
yang dipakainya sudah luntur, terbuat dari kain kasar pula, jelas dia
orang dari kalangan kurang ma mpu.
"Saudara dari golongan mana?" hardik pe mimpin begal.
Laki2 jubah biru luntur itu menyahut angkuh: "Aku bukan orang
dari golongan manapun."
Sekilas mengerling ke arah laki2 jubah biru, pe mimpin begal
menjenge k: "Saudara agaknya bukan penduduk setempat, kuharap
kau tidak menca mpuri urusan orang lain, menyingkirlah!
Laki2 jubah biru bergela k tawa, katanya: "Setiap orang di kolong
langit ini boleh mengurus apapun yang terjadi di kolong langit ini,
aku tidak senang me lihat cara me mbega l dengan kekerasan begini."
Pemimpin begal terbahak2, katanya: "Anak muda, kenapa tidak
kau pentang matamu, me mangnya kau belum pernah dengar na ma
besar Jit hiong (tujuh jagoan) dari Ko-pak-gau?" - Waktu dia
mengulap sebelah tangan, dua laki2 berkedok segera mengayun
golok me nubruk ke arah laki2 jubah biru itu.
Keruan pemuda baju sutera kaget. teriaknya kuatir: "Kalian tak
boleh me mbunuh orang"
"Hanya dua saja yang maju masih belum tandinganku," ejek laki2
jubah biru. Waktu bicara ke-dua orang berkedok itupun sudah
menubruk tiba, tanpa bicara mereka ayun golok terus membacok
dan menabas.
Jangankan mengawasi, melirikpun tidak laki2 jubah biru atas
serangan kedua golok ini, ia tidak berkelit juga tidak mengegos,
waktu mata golok hampir mengenai badannya, tiba2 tangan kanan
meraih, sebat sekali pergelangan tangan laki2 sebelah kanan yang
pegang golok dia betot terus didorong ke kiri.
Hakikatnya tidak terlihat jelas, tahu2 golok dari orang itu sudah
didorong menubruk ke sebelah kiri, goloknya terayun kencang
me lintang, "trang", dengan tepat dia tangkis bacokan golok
temannya yang menyerang dari sebelah kiri. Keduanya sama
tergetar sakit tangannya oleh benturan keras ini, ha mpir saja golok
tak kuasa dipegang lagi, serempak mereka tertolak mundur dua
langkah. Hanya segebrak saja keduanya sudah kecundang, sudah
tentu mereka tidak terima, sembari menghardik ke mbali mereka
putar golok menyerbu pula.
"Manusia yang tidak tahu diri," jengek laki2 jubah biru. Tiba2
badannya berputar, kaki kanan terayun menyapu kencang. Gerak
sapuan kaki secepat kilat, belum lagi kedua la ki2 berkedok itu
menubruk tiba, dua2nya sudah tersapu jungkir-balik dan mencelat
dua tomba k jauhnya.
Celakalah mereka mengge linding ke lereng gunung, meski tidak
sampai terluka parah, tapi tulang seluruh tubuh serasa retak,
setengah harian mereka menjerit kesakitan tak ma mpu bergerak.
Kaget dan gusar pemimpin begal, sa mbil ang-kat tinggi golok
bajanya dia membentak: "Se mua maju, cacah hancur tubuh keparat
ini!" - Lima orang berkedok serentak merubung maju, sinar golok
ke milau segera menyambar.
Pemuda baju sutera dan kacungnya kini sudah berdiri, malah
mereka tidak mena mpilkan rasa takut lagi. Kini kedua orang ini
dapat menonton, ke lima orang berkedok bagai lima e kor harima u
kelaparan ingin menerka m mangsanya, mereka menubruk sa mbil
ayun golok me mbacok dan me mbabat serabutan dari sega la arah.
Tapi laki2 jubah biru itu tetap tenang2, di antara gerakan kedua
tangannya, dengan telak tangan kanannya dapat menepuk punda k
kiri laki2 berkedok pe mimpin begal itu, orang itu mengerang
tertahan dan terpental, "bruk", dengan keras terbanting dua tombak
jauhnya. Sekali tangan kiri meraih pula la ki2 jubah biru tangkap
pergelangan tangan seorang lagi, golok yang masih terpegang di
tangan orang itu dia angkat untuk mengetuk golok orang ketiga
yang menyerang tiba. "Trang", golok orang ketiga kontan mence lat,
berbareng dia lepaskan pegangannya sehingga laki2 yang dia
pegang itu roboh tersungkur me ncium tanah.
Sekaligus t iga musuh telah dia bereskan, begitu sikut kanan
bekerja, dia sodok pula orang ke empat tepat di bawah ketiaknya.
Orang inipun mengerang kesakitan, dengan mundur se mpoyongan
dia mendekap perutnya sambil menungging. Ke mba li lengan baju si
jubah biru me ngebut, dengan telak ujung lengan bajunya
menggubat golok orang kelima. Kali ini kepandaian yang dia
unjukkan lebih mena kjubkan lagi, betapa keras dan tajam golok
baja itu, tapi entah mengapa, hanya sekali kebas golok lawan sudah
tergulung. " Bruk", tahu2 golok besar itu berubah selarik sinar
ke milau terbang tinggi me luncur ke dala m hutan dan lenyap tak
keruan paran, pemilik golok sendiri sampa i berdarah tangannya,
cepat dia melompat mundur sa mbil mendekap tangan sendiri.
Kejadian ini terlalu panjang diceritakan, padahal hanya
berlangsung dala m sekejap saja. Bagi pandangan si pe muda baju
sutera dan kacungnya, begal2 yang garang itu tahu2 lantas kalang-
kabut dihajar oleh penolongnya.
Laki2 jubah biru tidak bertindak lebih jauh, dengan berdiri
menggendong tangan dia tertawa lantang: "Jago Kok-pak-gau apa
segala, kiranya hanya begini saja, mala m ini hanya sedikit kuberi
peringatan, kalau berani melakukan pe mbegalan dan mencabut jiwa
orang, awas bila kebentur di tangan-ku lagi pasti tidak kuberi
ampun."
Lekas pe mimpin begal merangkak bangun, setelah menje mput
goloknya, tanpa bicara dia memberi tanda kepada keenam
saudaranya terus ngacir.
Melihat kawanan begal sudah pergi, bergegas kacung itu
me mbenahi barang mereka yang tercecer di ja lan. Pemuda baju
suterapun menghe la napas lega, dia mengha mpiri serta menjura
kepada laki2 jubah biru, katanya: "Syukur tuan telah menolong ka mi
berdua, budi pertolongan jiwa ini takkan kulupa kan sela manya,
harap terima lah puji hormatku."
Lekas laki2 jubah biru ba las menjura, katanya: "Berat kata2
Kongcu, kawanan begal ini berani beroperasi di daerah dekat
kotaraja, mereka patut dihajar adat, apalagi kebentur di tanganku,
sebagai kaum persilatan wajib kubantu yang le mah dan menindas
yang lalim. Selanjutnya kuyakin mereka pasti takkan berani
bertingkah pula dite mpat ini, sila kan Kongcu melanjut kan
perjalanan, Cayhe juga ingin lekas sampai ke te mpat tujuan, mohon
pamit,"
Habis berkata dia menjura terus putar badan dan me langkah
pergi.
"Tunggu sebentar saudara," seru pemuda baju sutera.
Laki2 jubah biru berhenti, tanyanya menoleh: "Kongcu masih ada
urusan apa?"
"Saudara seorang pendekar yang me mbantu kaum le mah dan
me mbe la kebenaran. Pernah kubaca dalam hikayat para pendekar di
jaman dahulu, kukira ja man sekarang sudah tiada kaum pende kar
segala, baru hari ini bertemu dengan saudara sehingga mataku
benar2 terbuka, sungguh beruntung sekali aku ini. Kini cuaca sudah
hampir gelap, saudara jelas sudah tak keburu masuk kota, tak jauh
di depan adalah An kiang tun, umpa ma saudara buru2 melanjut kan
perjalanan juga harus cari penginapan, maka menurut hemat
Siaute, bagaimana kalau saudara kuundang ke sana untuk ma kan
minum bersama sa mbil mengobrol, sudikah kau me mberi muka?"
Melihat orang me mohon dengan tulus dan jujur, tanpa terasa dia
tertawa, katanya: "Kongcu sudah bilang de mikian, bagaimana pula
aku berani menola knya? Me mang Cayhe akan menginap di An-
kiang-tun, kalau undangan Kongcu kutolak, rasanya kurang
hormat."
Pemuda baju sutera kegirangan, serunya: "Saudara sudi me mberi
muka, sungguh me nyenangkan,"
ia mengawasi la ki2 jubah biru, lalu berkata pula: "Kita bertemu di
tengah perjalanan bukan lantaran pertolongan saudara tadi, yang
terang kita agaknya me mang ada jodoh, panggilan "Kongcu" padaku
sungguh tak berani kuterima, kalau sudi biarlah kita saling
me mbahasakan saudara saja, entah bagaimana pendapat mu?"
"Cayhe orang persilatan yang kasar, bagaimana ... ... "
"Aku yang muda Pho Ke k-pui, kalau saudara sudi boleh panggil
aku Ke k pui saja, entah siapa na ma dari she saudara yang mulia?".
"Cayhe Lim Cu jing."
"Kiranya Lim heng, ma la m sudah tiba, marilah kita berangkat
saja. Lim-heng."
"Boleh Pho-heng naik kuda saja," ucap Lim Cu jing.
Sudah tentu Pho Kek pui tidak mau naik kuda, katanya: "Dari sini
tak jauh ke An-kiang tun, kebetulan mendapat te man Lim-heng,
biarlah kita jalan kaki saja sa mbil ngobrol " - Lalu dia berpaling
me mberi pesan kepada kacungnya: "Ceng-ji, bawalah kuda
berangkatlah lebih dulu ke An-kiang-tun, mintalah Ban-an-can
me luangkan dua ka mar bersih untuk ka mi, suruh pula siapkan
beberapa macam hidangan kege maranku, ma la m ini aku a kan
ngobrol se mala m suntuk dengan Lim- heng."
Sambil mengiakan kacung itu cemplak kuda terus dibedal ke
depan, Pho Kek-pui mengiringi Lim Cu-jing berjalan kaki sambil
ngobrol panjang lebar, Terasa oleh Lim Cu jing bahwa pemuda belia
ini bukan saja sikapnya ramah, tutur katanya juga lembut,
terpelajar, pengetahuannya cukup luas, sehingga percakapan
mereka se ma kin cocok dan intim.
Tiba di An-kiang-tun, la mpupun telah menyala di mana2, toko2
kecil di pinggir jalan sudah tutup pintu semuanya, hanya kelihatan
beberapa sinar pelita masih menyorot ke luar dari sela2 pintu
jendela, tak jauh di muka tampak sebuah la mpion warna kuning
dengan sinar guram bergoyang tertiup angin mala m, di sanalah
letak Ban-an-can, sebuah hotel merangkap rumah makan.
An-kiang-tun hanya sebuah tempat persinggahan kaum musafir
yang kemala man di tengah perjalanan, tapi karena letaknya tepat di
tengah antara Ko-pak-gau dan Lian-ping, banyak kaum pedagang
yang terpaksa nginap di sini, maka jalan raya yang ramai ini
menjadi pusat perbelanjaan penduduk setempat. Setelah tutup toko,
penduduk suka ke luyuran di luar mencari angin dan jajan di
warung2, sudah tentu di sini ada pula sarang judi dan perempuan
yang siap menghibur laki2 yang kesepian.
Ban-an-can me miliki dua maca m ka mar, ka mar biasa dan ka mar
istimewa, ka mar ist imewa ini biasa dikhususkan untuk kaum
perempuan bangsawan atau isteri pejabat yang kebetulan nginap di
hotel kecil ini, di seberang jalan ada pula sebuah rumah makan,
meski t idak besar, tapi menyediakan delapan meja juga.
Kamar istimewa Ban-an-can mala m ini seluruhnya diborong Pho-
kongcu. Kacung cakap itu bersama seorang pelayan hotel telah
menunggu di muka pintu, melihat Pho-kongcu datang bersama, Lim
Cu-jing, lekas dia me mburu maju serta menjura, katanya: "Lapor
Kongcu, ha mba sudah pesan ka mar dan hidanganpun sudah siap,
silakan Kongcu masuk kedala m."
Pelayan juga maju menya mbut serta membungkuk: "Silakan para
Kongcu!"
Pho Kek-pui berpaling, katanya: "Silakan Lim-heng."
Lim Cu-jing balas menyila kan orang, akhirnya mereka masuk
bersama keruang depan, tertampak ada beberapa meja, keadaan
rada sepi, banyak meja yang kosong, meja yang terbesar dan
terletak di tengah tampak sudah siap menghidangkan beberapa
maca m masakan.
Ceng-ji dan pelayan sa ma2 me layani mereka ma kan minum.
Pho Kek-pui silakan Lim Cu-jing minum dan makan sa mbil ajak
bicara: "Lim-heng, ke manakah tujuanmu?"
Lim Cu-jing hirup secangkir arak lalu menyahut: "Ke Jiat-ho."
"Untuk apa Lim-heng ke Jiat-ho?"
"Ada seorang paman Cayhe me mbuka Piau-kiok disana, khusus
mengantar barang keluar perbatasan, Cayhe sudah lama berkelana
di Kangouw, selama ini tidak me mbawa hasil apa2, maka ingin
kesana mencari pe kerjaan tetap saja."
Pho Kek-pui mengerling, sorot matanya mena mpilkan rasa
gegetun, mulutnya sudah terbuka tapi urung bicara, tapi akhirnya
toh dia berkata juga: "Dengan beka l kepandaian Lim heng yang
tinggi ini hanya mau be kerja dala m sebuah Piau-kiok, apakah tida k
me mbena mkan masa depanmu sendiri?"
Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Cayhe seorang Kangouw,
terpaksa harus mencari hidup dala m percaturan dunia persilatan,
bekerja di Piaukiok hanyalah jalan satu2nya yang dapat kutempuh?"
"Walau Siaute baru pertama kali ini bertemu dengan Lim-heng,
tapi rasanya kita seperti sahabat lama saja, kita sudah saling
me mbahasakan saudara lagi, bila Lim-heng sudi pergi ke kotaraja,
Siaute akan bantu mencarikan pekerjaan di sana."
Lim Cu-jing menggeleng, katanya tertawa: "Banyak terima kasih
atas kebaikan Pho-heng, kota-raja adalah kota mewah, orang
Kangouw seperti diriku ini belum tentu cocok hidup dikota rama i itu.
Ceng-ji angkat poci, dia isi penuh pula cangkir kedua orang.
Pho Kek-pui angkat cangkir dan berkata: "Budi pertolongan Lim-
heng yang besar tak berani Siaute bilang akan me mbalasnya,
biarlah kuaturkan secangkir arak ini seka ligus untuk merayakan
persahabatan baru kita." - Lalu dia tenggak habis lebih dulu
araknya.
Lim Cu-jing mengiringi minum, katanya: "Kita kan sudah
bersahabat, kalau Pho-heng selalu bicara soa l menolong jiwa segala,
apa tidak merikuhkan kiranya?"
Pho Kek-pui tertawa, katanya: "Lim-heng benar, Siaute me mang
pantas dihukum "
Setelah Ceng-ji mengisi penuh cangkir mereka, ke mbali dia
tenggak habis secangkir, tanyanya: "Di rumah Lim-heng masih
punya famili siapa?"
"Di rumah masih ada ibunda seorang saja."
Berputar bola mata Pho Kek-pui, katanya: "Berapa usia Lim-
heng, belum berke luarga bukan?" Setelah dua cangkir masuk perut,
mukanya tampak mulai merah.
"Cayhe berusia dua puluh empat, kaum kelana Kangouw, mana
berani berumah tangga?"
Tiba2 Pho Ke k-pui tertawa pula, katanya: "Lim-heng lebih tua
empat tahun dari aku, pantasnya aku panggil Toa ko pada mu." -
Sebelum Lim Cu jing bicara dia menya mbung lagi: "Lim-heng begini
gagah dan serba pintar, ada sepatah kata ingin kuutarakan, entah
boleh tidak?"
"Pho-heng boleh bicara saja."
"Siaute punya seorang adik pere mpuan, tahun ini berusia
sembilan be las, Siaute tidak berani mengagulkan dia, tapi dapat
dikatakan serba pandai dan cukup se mpurna, kalau Lim-heng sudi
Siaute suka me mbantumu . . . . "
Lekas Lim Cu-jing menggoyang tangan, katanya: "Pho heng suka
berkelakar, Cayhe seorang gelandangan Kangouw., sekali2 tak
berani pikirkan soal nikah segala."
"Kenapa Lim-heng merendahkan derajat sendiri, seorang
pahlawan tidak dinilai keturunannya, Siaute sudah bilang Lim-heng
pasti bukan orang sembarangan, kalau adikku bisa me mperoleh
suami segagah kau justeru dia yang untung."
"Pho-heng terlalu me muji, soal ini jangan dibicarakan lagi, Cayhe
...."
Kebetulan pelayan mengantarkan hidangan pula, Pho Kek-pui
mengawasinya dengan tertawa, tapi dia tidak berbicara lebih lanjut.
Lekas sekali hidangan susul menyusul disuguhkan pula sampa i
me menuhi meja. Meski bukan masakan pilihan, tapi di tempat
sekecil ini dapat menghidangkan masakan ini, boleh dikatakan
lumayanlah.
Menghadani hidangan yang me menuhi meja di depannya, Lim Cu
jing menjadi rikuh, katanya: "Buat apa Pho-heng memesan masakan
sebanyak ini?"
"Siaute dapat berkenalan dengan Lim-heng, sungguh beruntung
sekali, ma ka Siaute perlu merayakannya, malah Siaute kuatir
hidangan ini tidak me menuhi selera Lim heng."
Haru Lim Cu jing dibuatnya, katanya: "Pho-heng terlalu baik
padaku."
Pho Kek- pui sudah mulai terpengaruh oleh arak yang
ditenggaknya, mukanya tampak merah, matanya mengerling,
tanyanya: "Orang jaman dulu sering menggunakan arak untuk
mengikat persaudaraan, sejak kini Siaute pandang Lim-heng sebagai
saha-bat karibku, apakah Lim-heng sudi pandang Siaute sebagai
teman sehaluan pula?"
"Pho-heng sudi pandang Cayhe sebagai orang sendiri, sudah
tentu kuterima maksud baikmu ini."
Pho Kek-pui berseru girang: "Apakah kau bicara setulus hati?"
"Persahabatan yang sejati harus terukir di dalam hati, sudah
tentu Cayhe bicara sejujurnya."
"Bagus, Lim- heng, hayo habiskan secangkir lagi, mala m ini
Siaute benar2 sangat ge mbira."
Begitulah mere ka makan minum sa mpai Pho Ke k-pui ha mpir
mabuk, menyadari keadaannya yang sudah tak tahan lagi, Pho Kek-
pui berkata: "Lim-heng masih kuat minum, tapi Siaute tak tahan
lagi, sungguh sayang. Mohon maaf, biarlah Siaute masuk ka mar
istirahat saja."
"Betul, silakan Pho-heng istirahat saja," ucap Lim Cu jing.
Ceng-ji dan dua pe layan segera me layani Pho Kek-pui masuk ke
kamarnya.
Mala m itu tiada terjadi apa2, esok pagi waktu Lim Cu-jing bangun
tidur dan me mbuka pintu, seorang pelayan sudah berdiri di depan
pintu dan mengangsurkan sepucuk surat, katanya: "Lim-ya sudah
bangun, Pho-kongcu ada pesan supaya hamba menyerahkan
sepucuk surat ini langsung kepada Lim-ya."
Lim Cu jing me mbaca pada sampul surat itu tertulis:
"Disa mpa ikan kepada Lim heng pribadi".
"Mana Pho kongcu?" tanya Lim Cu jing.
"Pho-kongcu ada urusan penting, sebelum fajar telah berangkat
lebih dulu," jawab pelayan.
Lim Cu-jing heran, tapi dia manggut2. Pelayan segera berlalu, tak
la ma kemudian datang pula me mbawa sebaskom air untuk cuci
muka.
Lim Cu-jing me mbuka sa mpul surat, dia keluarkan secarik kertas
yang ditulis dengan huruf yang bergaya indah dan rapi, bunyi surat
itu de mikian:
Diaturkan kepada saudara. Cu jing yang mulia,
Persahabatan di rantau sungguh merupakan pengala man yang
menyenangkan sela ma hidup Siaute. Karena ada urusan penting,
pagi2 Siaute sudah berangkat lebih dulu, kuatir mengganggu tidur
Lim heng, terpaksa kutinggalkan sepucuk surat ini, dala m perjalanan
ke Jiat-ho, bila Lim-heng gagal mendapatkan pekerjaan, di sini
terlampir sepucuk surat untuk seorang pembesar kenalanku. boleh
saudara ke sana dan mencobanya, kuda seekor kutinggalkan supaya
Lim-heng gunakan, de mikian pula lima puluh tahil e mas ini untuk
sangu di perjalanan, untuk ini sudi kiranya Lim-heng me nerimanya.
Hanya sekian saja yang dapat kuutarakan melalui surat ini,
Salam hangat dari adikmu,
Pho Kek-pui.
Habis me mbaca surat ini, diam2 Lim Cu-jing me mbatin: "Dia
punya hubungan baik dengan penguasa di J iat ho, me mangnya dia
bangsa Ki-jin?"
Waktu dia merogoh ke da la m sa mpul, di dala m me mang ada
le mpitan sa mpul surat yang lain dan bertuliskan: "Disa mpaikan
kepada Hu-tok-jong pribadi."- Nadanya tidak begitu sungkan. Waktu
sampul itu dia balik ternyata tidak direkat, keruan Lim Cu-jing
semakin heran, maka dia ke luarkan surat di dala mnya dan dibaca,
tulisannya hanya sebaris yang berbunyi: "Dengan ini kuperkenalkan
sahabatku Lim Cu-jing, harap dilayani se mestinya, kebaikan yang
diterimanya akan kurasakan juga." - Di bawah tulisan ada sebuah
cap bergaris melingkar, waktu ditegasi kiranya dua huruf Boan.
Nada surat yang satu ini bila dibanding dengan isi surat yang
ditujukan dirinya sungguh sangat jauh bedanya, kalau surat untuk
dirinya menyatakan penyesalannya harus berpisah dan betapa tebal
rasa persahabatannya, tapi surat yang kedua ini bernada
me merintah dari seorang atasan kepada bawahannya.
Pho Kek-pui, me mangnya siapa dia?
Segera Cu-jing le mpit pula surat itu dan dimasukkan ke dala m
sampul terus disimpan dalam kantong, setelah bebenah lalu dia
keluar. Rekening hotel jelas sudah dibayar oleh Pho Kek-pui, di luar
pelayan sudah menuntun seekor kuda dan menunggunya. Di depan
pelana kuda terikat sebuah buntalan warna ungu, bobotnya agak
berat, kiranva berisi uang mas.
Meski keberatan terpaksa Cu-jing terima juga barang tinggalan
ini, sekenanya dia rogoh saku me mberi sekeping uang perak kepada
pelayan, kuda terus dibedal me lanjutkan perjalanan.
ooo(00dw00)ooo

Kota Seng-tek terletak di barat propinsi Jiat-ho, sebuah kota


pegunungan yang permai.
Tahun ke-42 kaisar Khong-hi bertahta, dia mendirikan Pi-s iok-
san-ceng di sini, akhirnya dina makan villa raja di Jiat-ho,
bangunannya megah dan angker, letaknya di atas puncak yang
menghadap danau dan me mbelakangi pegunungan yang indah
permai.
Meski kota pegunungan, tapi Seng-tek merupakan pusat
pemerintahan di daerah ini. Terutama kaisar Khong-hi sering liburan
di sini, tamasya dan berburu binatang. Kehidupan dalam kota cukup
makmur ra mai, meski kurang sepadan dibanding kotaraja, tapi tak
kalah ra mai dan ma kmurnya dari pada ibu kota propinsi la in.
Kota ini merupakan pusat berkumpulnya suku bangsa Han,
Mancu, Mongol, Tibet dan Uigur, orang2 yang berlalu lalang di ja lan
raya sama mengenakan paka ian adat suku bangsa masing2, meski
berbeda bahasa dan tata cara, tapi mereka dapat bergaul dan
bersahabat dengan rukun, masing2 berusaha menurut lapangan
kerja sendiri, tak pernah terjadi pertikaian.
Jadi kota gunung ini seperti sebuah perkampungan besar dari
lima suku bangsa yang ca mpur aduk, keadaan yang luar biasa ini
takkan terdapat di kota2 lain. Jalan raya yang menjurus ke arah
timur terhitung tempat yang pa ling ra mai di seluruh kota, pedagang,
restoran, berbagai maca m toko serba ada di sini. Ma klumlah Seng-
tek merupakan kota terbesar di daerah Ko-pak-gau, kaum pedagang
dari segala penjuru sa ma berpusat di sini, kalau bukan berbelanja
juga mesti menginap dan bertamasya di kota pegunungan yang
sejuk dan nyaman ini, sudah tentu keadaan dalam kota semakin
ramai.
Di jalan raya timur yang agak menjurus ke ujung sana terdapat
sebuah gang kecil yang melintang berna ma Tam-hoa-pui, agar
mengikut i perubahan jaman, gang kecil ini sekarang dina ma kan
Khek-can oh-hui, karena di gang kecil ini banyak terdapat hotel atau
losmen. Di sini ada sembilan hotel besar kecil, yang terbesar adalah
Tang sun-can, pintu luarnya saja begitu luas sampai mengguna kan
tujuh sayap pintu masuk, di dala mnya beberapa lapis pekarangan
dan bangunan, bukan saja kamar2 di sini cukup baik, pelayanan pun
istimewa, Tang-sun-ting yang terletak dibilangan paling depan
merupakan bangunan yang mewah untuk te mpat makan minum.
tamu2 yang tidak menginap juga boleh makan di sini sesukanya.
Kalau jalan raya timur ini pa ling ra mai di seluruh kota, maka gang
kecil dengan restoran Tang sun ting dari Tang-sun-can ini ada lah
paling menonjol di bilangan ja lan raya timur ini.
Padahal dala m satu gang kecil itu ada se mbilan hotel yang sa ma
me mbuka restoran pula, konon setelah Tang-sun-ting penuh sesak
dan tak kuasa me layani arus ta munya baru ta mu2 yang datang
belakangan mau masuk ke restoran yang lain, tapi restoran yang
lain setiap hari juga selalu penuh sesak. Usaha dalam satu bidang
adalah ja mak kalau bersaing, saling sirik dan dengki, tapi cukong
atau pemilik Tang-sun-can ini kabarnya me mpunyai asal-usul yang
tidak se mbarangan, bukan saja di seluruh wilayah Jiat-ho dia cukup
terpandang, di kalangan pe merintahan juga dia cukup dihargai,
hubungan cukup int im dengan para pejabat yang berkuasa dari
kelas rendah sa mpai tingkat tinggi, kabarnya majikan Tang sun can
me mang punya tulang punggung yang kuat di kotaraja.
Seorang tokoh yang kaya raya, yang punya tulang punggung
para pejabat lagi adalah jamak kalau tersohor dan dikenal ba ik oleh
khalayak ra mai di Jiat-ho, kenyataan justeru tidak de mikian.
Anehnya, sampaipun pegawai Tang-sun-can sendiri, kecuali tahu
majikan mere ka dipanggil Kan loya, segala sesuatu priha l
majikannya tiada seorangpun yang tahu. Kan-loya se-olah2 tokoh
misterius, orang yang cuma berada di be lakang tabir, maka tiada
seorangpun yang tahu dan pernah me lihat mukanya.
Oleh karena itu timbul rekaan orang bahwa pemilik Tang sun-can
adalah salah seorang pe mbesar di kotaraja yang menana m
moda lnya di sini, se mentara Kan-loya tida k lebih hanyalah sa lah
seorang budak yang dipercaya saja untuk mengurusi
perusahaannya. Sudah tentu ini hanya rekaan saja, siapapun tiada
yang bisa me mbuktikannya.
Pada siang hari itu, di depan pintu Tang-sun-can datang seorang
laki2 bermuka merah, usianya paling2 baru empat likuran,
mengenakan jubah biru yang sudah luntur warnanya, tapi kuda
yang ditungganginya ternyata seekor kuda pilihan yang gagah
kekar. Sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia kaum persilatan.
Pelayan yang bertugas di luar pintu segera menerima tali kendali,
sementara seorang pelayan lagi maju menyambut sa mbil menjura:
"Tuan mau menginap atau mau makan siang sekedar me lepas
lelah?"
"Mau menginap," sabut laki2 muka merah.
"Tuan sila kan!" pelayan munduk2 sambil menyila kan tamunya
masuk ke dala m.
Laki2 muka merah segera melangkah masuk ke da la m, pelayan
berkata pula: "Tuan mau ka mar istimewa atau ka mar biasa?"
"Ka mar istimewa," sahut la ki2 muka merah singkat.
Mendengar orang mau me nginap di ka mar istimewa, sema kin
lebar tawa pelayan, berulang dia mengia kan, katanya: "Tuan tamu
she apa dan datang dari mana."
Laki2 muka merah kurang senang, katanya: "Apa2an, nginap di
hotel juga harus laporan segala?"
"Harap tuan tidak salah paha m," lekas pelayan menjelaskan,
"soalnya pihak berwenang di sini se mala m mengeluarkan maklumat,
barang siapa menginap dihotel harus didaftar, nama dan asal usul
serta alamat asalnya, memang de mikianlah ketentuan setiap tahun
bila tiba musimnya orang berburu, bagi tuan2 tamu la ma pasti
sudah paham, mungkin tuan baru sekali ini datang ke Jiat ho?"
"O," laki2 muka merah mengangguk maklum. "Ba iklah, aku Lim
Cu-jing, datang dari Kangla m. Sudah cukup?"
"Tuan me mang suka berterus terang, soalnya daftar harus
dilaporkan, harap tuan tidak kecil hati. Mari kutunjukkan ka marnya."
pelayan segera bawa Lim Cu jing me masuki sebuah ka mar ka mar
istimewa dari Tang-sun-can me mang betul2 istimewa, bukan saja
kamarnya besar luas, jendelanya juga berkaca dan pintu angin
serba ukiran, perabotnya mewah dan antik, kain seprei dan bantal
guling se muanya baru.
"Bagaimana dengan ka mar ini tuan?" tanya pelayan.
Lim Cu jing manggut, pelan2 dia melangkah masuk. Pelayan
segera menuang secangkir teh dan disuguhkan, katanya: "Tuan
masih ada pesan apa?"
"Sudah tiada," sahut Lim Cu-jing. Pelayan segera mengundurkan
diri sambil menutup pintu dari luar.
Lim Cu-jing merebahkan diri di ranjang sesaat la manya,
ke mudian me mbuka pintu dan keluar menuju ke Tan-sun-ting.
setelah ma kan siang baru dia tanya kasir di mana letak ja lan
"Rejeki", sudah itu lalu dia berlenggang ke jalan raya.
Letak jalan Rejeki sudah mendekati pintu gerbang kota selatan,
di sini keadaan agak sepi dan tenang, kecuali ada sebuah toko buku
dari toko kelontong, tiada orang lain lagi yang berjualan.
Sebetulnya Lim Cu-jing sudah jauh2 hari me ncari tahu keadaan
di sini, sudah tentu keadaan ini tidak me mbuatnya heran, sengaja
dia mondar-mandir beberapa kali di jalan raya situ baru pelan2
me masuki toko buku, langsung dia menjura kepada seorang tua
yang duduk di kursi serta menyapa dengan tawa: "Sela mat siang
Lotiang."
Laki2 tua itu sedang berangin2 sa mbil mengisap pipa
cangklongnya, melihat Lim Cu jing me masuki tokonya segera dia
menya mbut sambit tertawa lebar: "Siangkong mau me mbe li buku
apa?"
"Cayhe bukan mencari buku, mohon tanya kepada Lotiang, di
jalan Rejeki ini ada sebuah Tin-wan Piaukiok, entah ke mana
sekarang pindahnya?"
Laki2 tua me mandang Lim Cu-jing sekilas lagi, katanya: "Agaknya
tuan baru pertama ka li datang ke Jiat-ho sini? Tin-wan Piaukiok
sudah la ma tutup pintu."
Lim Cu-jing pura2 melengak kaget, katanya menegas: "Tin-wan
Piaukiok sudah tutup pintu?"
"Kira2 dua bulan yang lalu, Lo-piauthau Lim Tiang-khing
meninggal dunia, maka perusahaan itu-pun menghentikan
usahanya."
Hou-pian-liong jiau ( ca mbuk harimau ca kar naga) Lim Tiang-
khing terhitung jago silat kena maan di lima propinsi utara, Liong-
hou-ki ( panji naga harimau ) dari Tin-wan Piaukiok sudah jauh
menje lajah keluar perbatasan selama tiga puluhan tahun dan belum
pernah mengala mi musibah apapun.
Lim Cu-jing mengunjuk rasa kecewa, katanya sambil menjura:
"Kalau begitu banyak terima kasih atas keterangan Lotiang," segera
dia mengundurkan diri.
Beruntun dua hari Lim Cu-jing t inggal di hotel, karena iseng,
maka dia sering keluyuran di ja lan raya.
Hati ketiga tengah hari, waktu dia pulang ke hotel, baru saja dia
me langkah masuk, pelayan lantas berlari mengha mpiri, katanya:
"Lim-ya, pagi tadi datang seorang Jin-ya mencarimu, ha mba bilang
engkau sedang pergi, maka Jin-ya itu bilang siang ini akan datang
lagi."
Lim Cu jing heran, di Jiat ho boleh dikatakan dia tidak punya
seorang kenalan siapapun, maka dia bertanya: "Apa dia tidak
me mperkenalkan na manya?"
"Tida k, Jin-ya itu cuma bilang te man ba ikmu."
Lim Cu-jing berpikir katanya. "Aneh, Cayhe selamanya tidak
punya teman she Jin."
"Mungkin engkau lupa, untung dia tadi bilang mau datang lagi
siang ini."
Lim Cu jing mengia kan dan kembali ke ka marnya. Pelayan segera
mengaturkan minuman. Lim Cu-jing tida k tahu siapa orang she Jin
itu? Untuk keperluan apa pula mencari dirinya? Sehabis minum baru
saja dia duduk di kursi di dekat jendela, didengarnya orang
mengetuk pintu, pelan2 daun pintu terpentang, kepala pelayan tadi
tampak menongol, katanya dengan tertawa: "Lim-ya, tuan Jin itu
sudah datang mencarimu lagi."
Waktu Lim Cu jing berdiri, pelayan sedang berkata pula di luar
pintu: "Sila kan Jin-ya!"
Maka tertampaklah seorang la ki2 berusia sekitar lima puluhan
mengenakan jubah sutera panjang warna biru tua melangkah
masuk dengan pe lahan.
Lim Cu-jing yakin dirinya tidak pernah kena l laki2 ini, tapi karena
orang sudah masuk terpaksa dia menya mbut kedatangannya.
Sebelum Lim Cu-jing buka suara laki2 itu sudah tertawa sambil
menjura, katanya: "Tuan ini tentunya Lim- tayhiap?"
"Cayhe me mang betul Lim Cu jing."
"Aku yang rendah Jin Ji-kui, pagi tadi aku sudah kecelik. majikan
kami sudah tak sabar lagi, baru saja habis ma kan siang ka mi
didesak pula datang ke mari, syukurlah bisa kete mu dengan Lim-
tayhiap. Haha, berhadapan muka lebih jelas dari pada mendengar
namanya, sungguh menyenangkan dapat berkenalan dengan Lim-
tayhiap."
Melihat sikap orang yang ra mah dan berseri, kata2nya
mengumpak lagi, dia m2 Cu-jing merasa bingung, lekas dia balas
menjura dan berkata., "Jin-lotiang terlalu me muji, pagi tadi Cayhe
ada urusan dan ke luar hingga tuan kecelik, untuk ini Cayhe mohon
maaf, mari silakan Jin-lotiang duduk."
Mereka lalu duduk berhadapan di dekat jendela. Lim Cu-jing
menuang secangkir teh, katanya: "Jin-lotiang sila kan minum."
Jin Ji kui menerima dengan kedua tangan, tawanya semakin
lebar, katanya: "Terima kasih."
"Kedatangan Jin-lotiang entah ada petunjuk apa?" tanya Lim Cu
jing ke mudian.
"Cayhe pengurus surat2 di balai kota, atas perintah majikan
sengaja kemari menyampa ikan sala m kepada Lim-tayhiap," kiranya
dia adalah sekretaris walikota di sini.
Tampak serius muka Lim Cu-jing, katanya: "Kiranya Jin-lotiang
adalah sekretaris walikota yang berkuasa, mohon maaf akan
kelancangan cayhe ini."
"Ah, kenapa Lim-tayhiap bilang de mikian, sema la m majikan
menerima surat dari istana, baru kami tahu bahwa Lim-tayhiap telah
berada di Jiat-ho, maka tadi pagi Cayhe lantas diutus ke-mari, Jiat-
ho me mang daerah kecil, tapi Lim-tay-hiap adalah tamu terhormat
dari majikan ka mi, apa-pun t idak pantas kalau menginap di hotel."
Dia m2 Lim Cu-jing, sudah maklum apa yang dina makan surat
kirima n dari istana pasti kirima n Pho Kek-pui. Maka dia balas
menjura. katanya: "Berat kata2 Jin-lotiang, kedatangan Cayhe ke
Jiat-ho ini, tujuan semula adalah cari pekerjaan pada seorang
paman. Ini urusan pribadi yang sepele, mana berani kubikin repot
pada majikanmu?"
"Surat dari istana sudah menjelaskan bahwa Lim-tayhiap punya
seorang paman yang me mbuka Piaukiok di Jiat-ho, Lim-tayhiap
diundang untuk me mbantu usahanya. maka Lim tayhiap tidak mau
bekerja di kotaraja. Tapi dengan bekal kepandaian Lim-tayhiap
kalau sampa i terbenam di ka langan Kangouw kan terlalu sayang,
dalam surat majikan ka mi ada pesan betapapun diharus kau
me manfaatkan kehadiran Lim-tayhiap serta bakatmu yang tinggi,
waktu Cayhe datang tadi, majikan sudah siap menunggu
kedatanganmu, harap sudi kiranya Lim-tayhiap datang dan bicara
langsung dengan be liau, bagaimana ka lau sekarang juga Lim-
tayhiap berangkat?"
Lim Cu jing ragu2 katanya: "Cayhe adalah rakyat kecil . . . . "
Sebelum Cu jing habis bicara, Jin Ji kui telah menukas: "Kenapa
Lim-tayhiap begini sungkan dan merendah diri, majikan ka mi adalah
anak buah setia yang ditugaskan di sini oleh istana, adalah tugas
kami untuk mengundang Lim-tayhiap ke sana, toh kita sudah
terhitung satu keluarga. kalau terlalu banyak bicara akan
merenggangkan hubungan malah." - Sa mpai di sini dia mendahului
berdiri. "Lim-tayhiap, marilah berangkat sekarang, jangan me mbuat
majikan me nunggu terlalu la ma,"
Karena didesak, terpaksa Lim Cu jing ikut berbangkit, katanya:
"Jin-lotiang sudah bicara sejelas ini, baiklah Cayhe menurut saja."
Jin Ji-kui tergelak2, katanya: "Lim-tayhiap kemba li sungkan lagi.
Haha, terus terang, entah mengapa, walau baru pertama kali ini kita
bertemu, baru bicara beberapa patah kata saja, namun Cayhe
merasa Lim-tayhiap sebagai teman la ma layaknya, agaknya kita
me mang berjodoh."
"Malah Jin lot iang, yang terlalu mengagulkan Cayhe selanjutnya
harap Lotiang suka me mbantu"
Tidak kepalang senang hati Jin Ji-kui karena diumpak, katanya
dengan tertawa: "Kita sekali bertemu seperti kenalan la ma.
selanjutnya me mang harus saling bantu." - Tiba2 dia berseru
tertahan seperti ingat sesuatu, katanya: "Eh, panggilan Lim-tayhiap
tak berani kuterima, usiaku me mang lebih tua beberapa tahun,
kalau sudi boleh kau me mbahasakan saudara tua padaku,
selanjutnya akan kupanggil kau Lote, bagaimana pendapat Lim-
tayhiap?"
"Loko sudi mengalah, baiklah Siaute menurut saja " sahut Cu
jing.
Jin Ji-kui sema kin girang, dia pegang kencang tangan Lim Cu-
jing, katanya: "Baiklah, selanjutnya aku menjadi saudara tua," -
Sembari bicara mereka lantas beranjak ke luar.
Tiba di luar tampa k seorang perajurit menunggu di luar pintu
sambil menuntun kuda. Se mentara kacung kuda tadi juga sudah
menge luarkan kuda tunggangan Lim Cu-jing. Serdadu itu bantu Jin
Ji-kui na ik ke punggung kuda, setelah Lim Cu- jing juga cemplak ke
atas kudanya, kata Jin Ji-kui: "Lim-lote, biar Lokoko menunjukkan
jalan bagimu." -Lalu dia mengulap tangan. Serdadu itu segera
menarik tali kendali dan jalan di depan, Lim Cu jing jalankan
kudanya pelan2 mengikut i di bela kang. Tidak la ma mereka sudah
tiba di balai kota.
Tampak di depan pintu gerbang yang megah itu berdiri sebuah
tiang bendera besar dan tinggi, bendera kebesaran walikota
berkibar2 ditiup angin. Di unda kan pendopo berjajar enam serdadu
yang berdinas jaga, semuanya menyoreng golok dipinggang.
kelihatan garang dan gagah.
Setelah turun dari kuda, Jin Ji-kui mengajak ta munya masuk
lewat pintu sebelah kanan. Tiba di dala m, mereka berada di sebuah
serambi panjang yang mene mbus ke pintu kedua, di depan pintu
berdiri dua serdadu, waktu Jin Ji-kui datang serentak mereka berdiri
tegak me mberi hormat.
Jin Ji-kui tidak hiraukan mereka, dia terus jalan ke dala m
me mbawa Lim Cu-jing me masuki sebuah sera mbi yang berpagar
kayu warna merah, di luar pagar adalah taman bunga, di bawah
emper ada beberapa sangkar yang berisi berbagai macam jenis
burung yang sedang berkicau, suasana di sini terasa tenteram dan
sejuk, harum bunga dan kicau burung terasa mengasyikkan.
Sembari jalan Jin Ji-kui berkata lirih: "To Swe mungkin sudah
menunggu di ka mar buku, biar langsung kubawa engkau ke sana
saja."
"Loko, sa mpai detik ini Cayhe masih belum tahu siapa she dan
nama To swe?"
"To swe (walikota) she Pho, satu marga dengan yang kuasa di
istana, namanya Bin thay."
"To-swe sedang me meriksa surat dan menyelesaikan urusan
dinas di ka mar buku. disanalah letak kantornya pula yang penting,
cuma kau boleh tak usah menggunakan adat pe merintahan,
biasanya jarang dia terima tamu dikantornya itu, soalnya beliau
pandang Lote bukan orang luar lagi."
"Ya, berkat kebija ksanaan To-swe," ucap Lim Cu-jing.
Kebetulan mereka sudah tiba di depan ka mar buku, tampak di
depan taman bunga ada sebaris rumah2 mungil yang dipajang
serba antik dan indah, kerai bambu menjuntai turun, suasana di sini
sunyi senyap. Di sini terdapat empat pintu panjang, tembok
me manjang mengelilingi bangunan dan taman, pada setiap pintu
berjaga dua orang serdadu.
Jin Ji-kui langsung mendekati pintu, ia bersuara lirih: "lote
tunggu dulu sebentar, biar Lokoko masuk me mberi laporan."
Setelah itu dia meluruskan kedua tangan, dia me mbasahi
kerongkongan lalu menjura ke arah da la m sa mbil berseru: "Ha mba
Jin Ji-kui mengiringi Lim Cu-jing siap menghadap To-swe."
Baru habis dia bicara, tampa k seorang pengawa l baju hijau
menyingkap kerai muncul dia mbang pintu, sekilas dia lirik kedua
orang lalu berkata: "Tayjin me mpersilakan!"
Cepat Jin Ji-kui angkat sebelah tangannya "Sila kan Lim-lote!"
"Cayhe baru datang, silakan Lokoko dulu," ucap Lim Cu-jing.
Jin Ji-kui terpaksa me langkah masuk dulu, kiranya itulah sebuah
ruang tamu yang cukup besar dan luas. di sini terasa nyaman,
pajangan serba serasi, di bagian dala m ada sebuah pintu re mbulan,
me lewati pintu bundar ini baru tiba di kamar, buku. Kebetulan dari
balik pintu re mbulan ini beranjak keluar seorang laki2 bermuka putih
bersih, alisnya gombyok, matanya besar tajam. Orang ini terang
adalah walikota she Pho adanya. Dengan pakaian preman yang
sederhana, sikapnya kelihatan angker dan berwibawa menanda kan
bahwa dia seorang yang disegani.
Bergegas Jin Ji-kui me mbungkuk se mbilan puluh derajat, katanya
sambil me ngunjuk Lim Cu-jing: "Lapor Tayjin, tuan inilah Lim Cu-
jing adanya."
Lim Cu-jing ikut menjura, katanya: "Rakyat kecil Lim Cu jing
menya mpaikan hormat kepada To-swe Tayjin."
Pho-tujong ( walikota she Pho yang sekaligus me megang
kekuasaan militer ) menatap Lim Cu-jing sekian la manya, mukanya
yang putih menampilkan secercah senyum, katanya sambil
mengangguk: "Lim-congsu tak usah banyak adat, silakan duduk." -
Lalu dia mengha mpiri kursi besar berlapis beludru dan duduk
disana.
Lim Cu-jing menjura pula tanpa bergerak, katanya: "Di hadapan
Tayjin, rakyat kecil maca mku ini mana berani . . . . . . . . "
sebelum dia habis bicara Pho-tujong telah menyela : "Lim-congsu
jangan sungkan, di sini ka mar bukuku, biasanya Lohu tidak suka
peradatan, silakan duduk saja."
"Me mang," timbrung Jin Ji-kui bermuka2, "To-swe Tayjin pa ling
suka bebas, Lim-congsu boleh duduk saja untuk bicara."
Setelah menyatakan terima kasih, terpaksa Lim Cu-jing duduk di
kursi sa mping Pho-tu-jong.
"Ji-kui," ucap Pho-tu-jong, "kaupun duduklah."
Jin Ji-kui mengiakan dengan munduk2, lalu duduk di kursi
sebelah Lim Cu-jing.
Pengawal tadi segera menyuguhkan dua cangkir minuman terus
mengundurkan diri.
Pho-tujong mengelus jenggot, katanya dengan tertawa:
"Se mala m Lohu menerima surat dari istana, baru kuketahui bahwa
Lim-congsu telah tiba di Jiat-ho, menurut Thio-po yang mengantar
surat, kedatangan Lim-congsu ke Jiat-ho ini berniat mencari kerja di
sebuah Piaukiok milik pa manmu? Piaukiok mana kah milik pa manmu
itu?"
"To-swe harap maklum, pa man me mbuka Tin-wan Piaukiok di
Jiat-ho ini."
"O, maksudmu Hou-pian-liong-jiau Lim Tiang-khing." ucap Pho-
tu-jong, lalu berpaling ke arah Jin Ji kui: "Ka lau tidak salah Lim
piauthau juga pernah bekerja untuk urusan dinas kita."
Jin Ji-kui berdiri dan menjura, katanya: "Ya, Tin-wan Piaukiok
pernah dua kali mengawal upeti, malah Lim-piauthau sendiri yang
me mbawanya ke-mari dari Ki lin."
"Em," Pho-tu-jong bersuara puas, lalu berpaling pula, katanya
kepada Lim Cu jing: "Masih ada sedikit kesan Lohu atas Lim-
piauthau, apakah dia ke-luarga se marga dengan Congsu??"
"Bukan, hanya kebetulan saja beliau sahabat karib ayahku
almarhum," sahut Lim Cu-jing.
"Jadi kau bermaksud kerja di perusahaan pengawalan itu?"
"Bulan lima tahun ini beliau pernah tulis surat padaku supaya aku
datang ke Jiat-ho, tapi kemarin waktu aku mendatanginya di jalan
Rejeki, konon Piaukiok itu sudah tutup usaha, malah Lim-piauthau
sudah meninggal dua bulan yang lalu, keluarganya entah pindah
ke mana."
Sambil me ngelus jenggot ka mbingnya, Pho tu-jong bertanya:
"Hok-ti ke ke sengaja suruh Thio-po menyusul ke mari, kepada Lohu
dia perkenalkan Lim-congsu karena Lim-congsu me miliki Kungfu
yang luar biasa, sayang kalau bakat sebaik ini di sia2kan, kini Tin-
wan Piaukiok sudah tutup usaha, biarlah sementara Lim-congsu
bekerja dikantor Lohu saja, biar nanti kuperiksa dan kucarikan
lowongan yang sepadan dengan bakat dan kemampuan Lim-
congsu"
Waktu mendengar Hok-ti-keke tadi sekilas Lim- Cu-jing
me lengak, baru sekarang dia mengerti surat dari "istana" yang
dimaksudkan kiranya dari Hok-ti-ke ke, hakikatnya dia sendiri tida k
tahu di mana Hok-ti (istana marga Hok itu serta siapa pula
orangnya. Cuma dia tahu "keke" adalah panggilan bahasa Boan
untuk seorang puteri raja.
Mungkinkah Pho Kek-pui? Betul dia she Pho, nama palsu ini
sengaja pakai "Kek" yang senada dengan "Ke ", jelas yang di maksud
adalah "Keke" itu. Tanpa terasa merah muka Lim Cu-jing, sesaat dia
jadi bingung dan tak ma mpu bersuara.
Pho tujong me mandanginya dengan tertawa, katanya pula: "Dari
Thio-po kudapat tahu bahwa Keke ada menulis surat perkenalan
supaya Congsu kemari mencariku, bila seorang gila pangkat dan
kedudukan, sebelum kuundang tentu dia sudah mencariku, namun
hal ini tida k kau lakukan, dari hal ini dapatlah kunilai bahwa Lim-
congsu seorang yang tak acuh terhadap pangkat dan nama,
sungguh harus dipuji."
Karena orang sudah bicara blak2an, terpaksa Lim Cu jing
keluarkan surat perkenalan yang ditulis sendiri oleh Pho Kek-pui.
Sikapnya sedikit kikuk dan risih, katanya ragu2: "Karena paman
sudah meninggal dan menghentikan usahanya, semula aku berniat
pulang saja, maka surat perkenalan inipun tidak jadi kusa mpa ikan,
kepada To-swe, harap dima klumi."
Meski dala m hati dia menduga "Keke " yang dikatakan Pho-tujong
ini adalah Pho Kek-pui, tapi sebelum hal ini terbukti dia tidak berani
menyinggung Pho Ke k-pui dan tida k berani tanya siapakah Ke ke itu?
Seterima surat itu Pho-tujong tergelak2, katanya: "Kalau tidak
kutanya, surat inipun tida k akan dikeluarkan." - Sekilas dia baca isi
surat itu lalu berkata kepada Jin Ji-kui dengan tertawa: "Surat yang
dibawa Thio-po sema la m isinya me mang tegas, tapi Lohu kenal itu
tulisan Hoa-suya, surat yang ini baru betul2 tulisan Keke pribadi.
waktu kecil dulu dia sering naik di punggung Lohu seperti
menunggang kuda, ma ka gaya tulisannya a mat kukenal."
Agaknya dia bangga bahwa Keke menunggang punggungnya
seperti naik kuda, ini lebih me mperjelas bahwa Pho-tujong ini dulu
adalah pe mbantu di istana Hok itu.
Habis berkata Pho-tujong angsurkan surat itu kepada Jin Ji-kui,
katanya pula: "Ji kui, coba kau ikut pikirkan, di mana ba iknya
mene mpatkan Lim-lote sesuai bakatnya? Ini tugas dari Keke, maka
kau harus lebih perhatikan." - Dari Lim-congsu dia ubah panggilan
Lim lote, ini lantaran dalam surat Pho Kek- pui me nyebut "temanku
Lim-Cu-jing", nadanya amat hormat dan mengindahkan terhadap
Lim Cu jing. adalah jamak kalau diapun berubah sikap dan
bermuka2 de mi ke lanjutan karirnya.
Dengan laku hormat Jin Ji kui terima surat itu, sebelah tangan
me me lintir kumis, sesaat dia berpikir, katanya kemudian: "Ha mba
ada sebuah usul, entah bagaimana pendapat To-swe?"
"Coba jelaskan."
"Di kantor kita ini bukan saja tiada lowongan, umpa ma ada
jabatannya juga terlalu rendah, kurang sembabat dengan bakat
Lim-congcu . . . . "
"Me mangnya ada jabatan yang lebih tinggi di kantor kita di
wilayah hat-ho ini?" tanya Pho-tujong.
Jin Ji kui tertawa lebar, katanya: "Hanya kedudukan To-swe saja
yang paling tinggi di sini, umpa ma komandan barisan jaga di istana
paling2 juga cuma berpangkat wakil Tu jong, maka menurut
pendapat hamba, lebih ba ik Lim congsu di masukkan kepasukan
bayangkari pasanggerahan, Pertama di sana bukan kantor
pemerintahan yang harus selalu dinas, tapi kedudukan lebih tinggi
dari pada pejabat pemerintahan biasa, namanya lebih dihormati.
Kedua, kecuali setiap tahun se kali baginda raja cuti dan berburu di
sini, hari biasa tiada tugas2 penting. bukankah di sana jauh lebih
baik daripada kerja di kantor kita ini? Apalagi To swe sekaligus bisa
me mberikan pertanggungan jawab kepada Keke"
Pho tujong manggut2, katanya: "Usulmu me mang baik, kenapa
tadi tidak kupikir kesana."-Lalu dia bertanya: "Lantas jabatan apa
yang ada di dala m pasukan bayangkari, apa kau tahu?"
"Dala m pasukan bayangkari pasanggerahan baginda terdiri dari
tiga barisan, setiap barisan dipimpin oleh seorang komandan dan
seorang wakilnya, setiap barisan terdiri dari sepuluh kelompok,
setiap kelompok dipimpin seorang lagi .. .. "
"Cukup," potong Pho-tu-jong "coba kau pergi cari tahu, adakah
lowongan pimpinan barisan atau wakilnya? Kalau ada suruhlah Ki
jongtay berikan lowongan itu kepada Lim-lote, katakan ini pesan
dari istana Hok."
Lekas Jin Ji kui berkata: "Bukankah nanti ma la m Tayjin hendak
menja mu Lim-congsu, menurut pendapat hamba, sekalian undang
saja Ki-jongtay ke mari, secara langsung To-swe bisa bicara
padanya, kan lebih baik?" agaknya laki2 ini pan-da i melihat arah
angin, dia sengaja bermuka2 kepada Lim Cu-jing de mi kepentingan
dirinya ke lak.
"Betul," ujar Pho-tu-jong, "pergilah kau suruh orang mengundang
Ki-jongtay ke mari."
Jin Ji-kui mengiakan lalu keluar.
Dengan rasa tidak tenteram Lim Cu-jing berkata: "Terima kasih
banyak atas kebaikan To-swe, hamba hanya mengharapkan te mpat
berteduh, bila menduduki jabatan terlalu tinggi jangan2 akan
menimbulkan rasa sirik orang lain."
"Lote tak usah kuatir, jangankan soal ini sudah ditangani sendiri
oleh Keke, umpa ma Lohu sendiri yang mengutus orang ke sana,
siapa yang berani tida k tunduk padanya? Soal ini pasti Lohu atur
dengan baik."
"Budi kebaikan To-swe tida k akan ha mba lupakan sela manya."
"Tolo Ke ke bukan saja adalah anak angkat Seng-cin-ong, malah
ia menjabat sastra di istana timur, kelak ke mungkinan bisa terpilih
sebagai perma isuri, dengan keke sebagai tulang punggung Lote,
me mangnya apapula yang dikuatirkan? Haha Lohu dulu juga utusan
istana Hok, kini Lote terhitung orang sana pula, kita terhitung orang
sendiri, kalau Lohu tidak berusaha me mbantu orang sendiri,
me mangnya me mbantu siapa?"
Sekarang lebih jelas bagi Lim Cu jing bahwa istana Hok yang
dimaksud ternyata adalah istana Hok-kun-ong, tak heran
pengaruhnya begitu besar ( Menurut tradisi bangsa Boan, puteri
Kun-ong dipanggil Tolo Ke ke.).
Tengah bicara Jin Ji-kui sudah ke mbali. katanya sambil menjura
kepada Pho-tujong: "Lapor To-swe, ha mba sudah suruh. Pho An
pergi mengundang Ki jongtay."
Pho tujong mengangguk. Jin Ji- kui lalu berpaling kepada Lim Cu-
jing, katanya: "Seperti biasanya To swe Tayjin saat ini harus
menyelesaikan beberapa urusan dinas, silakan Lim-congsu istirahat
ala kadarnya di ka mar saja, mala m nant i To-swe akan mengada kan
perjamuan untukmu."
Lim Cu jing berdiri dan mohon diri. Setiba di ka mar Jin Ji-kui, Lim
Cu-jing bertanya: "Siapakah orang yang Lokoko suruh datang
ke mari?"
"Dia komandan pasukan bayangkari dipesanggerahan raja, she Ki
bernama Seng-jiang, asal orang Kanglam, konon Kungfunya tinggi,
sudah la ma dia terjun kepasukan perang, dulu ikut menumpas
pemberontakan di Siau-kim-jwan. keberaniannya mendapat
penghargaan Hok-kun- ong, tatkala To-swe masih me mimpin
barisan bayangkari dia sudah berpangkat kelas tiga, dia berjasa pula
dan dinaikkan pangkatnya menjadi komandan pasukan bayangkari,
hitung2 dia masih termasuk bawahan To-swe."
Sambil mengobrol mereka me mbuang waktu di ka mar Jin Ji-kui,
tak lupa Jin Ji-kui keluarkan seperangkat pakaian baru dan diberikan
kepada Lim Cu-jing. .
Menjelang petang Jin Ji-kui berdiri mengajak: "Waktu ha mpir
tiba, marilah, supaya To-swe tidak menunggu."
Jin Ji-kui me mbawa Lim Cu-jing menyelusuri serambi panjang
berliku2 dan akhirnya ke mbali ke taman sebelah barat, di mana
terdapat sebuah ruang ma kan.
Baru saja mereka me masuki ruangan, seorang pelayan maju
menya mbut: "Tayjin sudah menunggu, harap Jin-loya me mbawa
Lim-ya ke dala m."
lekas Jin Ji-kui me mpercepat langkah me mbelok ke kiri di sana
ada sebuah pintu bundar, dua pelayan perempuan baju hijau
bergaun putih segera menyingkap kerai menyilakan mereka jalan.
Lekas Lim Cu-jing me langkah masuk dan menjura, katanya:
"Maaf me mbuat To swe menunggu."
"Lohu juga baru t iba, silakan ka lian duduk," ucap Pho-tujong..
Maka Lim Cu jing dan J in Ji kui duduk di sebelah bawahnya.
Pho-tujong tanya kepada Jin Ji-kui: "Ji kui. kau suruh Pho An
mengundang Ki jongtay, sudahkah kau terangkan untuk ma kan
ma la m di sini?"
"Ha mba sudah me mberi pesan padanya, sekarang seharusnya
dia sudah sa mpa i."
Baru selesai dia bicara, didengarnya di luar pengawal berteriak:
"Lapor To-swe, Ki-jongtay telah tiba."
Pho-tujong berseru: "Boleh sila kan masuk."
Waktu kerai tersingkap, tampak seorang la ki2 tua berperawakan
sedang mengenakan pakaian dinas beranjak masuk dengan langkah
cepat2, langsung dia me mberi hormat kepada Pho-tujong, serunya:
"Bawahan menya mpaikan hormat kepada To swe."
Orang ini berusia lima puluhan, wajahnya bersih, cuma tulang
pipinya menonjol tinggi, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia
seorang cerdik yang banyak akal muslihat licik. Dia bukan lain
adalah Ki Seng-jiang, yang dahulu berkuasa di Coat-seng san-ceng,
tapi jabatan sebenarnya adalah wakil Tu jong di daerah Jiat ho ini,
komandan barisan bayangkari pesanggrahan raja.
Pho tujong hanya mengangguk, katanya tertawa. "Seng jiang, di
kamar makan sini, segala peradatan boleh dibuang jauh, lekas
duduk."
Ki Seng jiang mengiakan dengan berdiri tegak.
Pho tujong berpaling, katanya: "Ji kui, kau tak beritahu kalau
makan mala m ini bersifat pribadi."
Sebelum Jin Ji kui menjawab Ki Seng-jiang sudah mendahului:
"Lapor To-swe, Ji-kui sudah me mberi pesan pada Pho An tentang
perjamuan makan ini, tapi hamba ada tanya kepada Pho An dan
mengetahui To swe hendak menja mu utusan dari istana Hok,
hamba t idak berani kurang hormat, ma ka kukenakan pa kaian dinas
ini."
"Me mangnya kau sok pintar, kau sudah kubilang bersifat pribadi,
kenapa harus bertele2 begini? Le kas buka jubah kebesaranmu, nant i
kuperkenalkan ka lian."
Ki Seng jiang mengiakan, dia me lepas kopiah serta me mbuka
jubah, seorang pengawal menyambutnya dan mengundurkan diri.
Pho tujong menunjuk Ki Seng jiang, katanya pada Lim Cu-jing:
"Lim- lote, mari Lohu perkenalkan, dia inilah komandan tertinggi
dari pasukan bayangkari pesanggerahan raja, Ki-jongtay." - Lalu dia
berpaling kepada Ki Seng jiang: "Lim-lote ini bernama Lim Cu-jing,
utusan dari istana Hok."
Lim Cu-jing dan Jin Ji-kui sudah berdiri tatkala Ki Seng-jiang
masuk. Setelah diperkenalkan le kas Lim Cu-jing merangkap kedua
tangan, katanya: "Cayhe Lim Cu-jing, sela mat bertemu Jongtay."
"Kiranya Lim-heng, syukur dapat berkena lan denganmu," Ki
Seng-jiang ba las menghormat dengan basa basi a la kadarnya.
"Kalian boleh duduk se maunya," kata Pho-tu-jong.
Tiga orang lantas duduk bersama. Pho tujong merogoh keluar,
dua pucuk surat dan diangsurkan kepada Ki Seng jiang, katanya:
"Seng jiang, kedua surat ini kiriman dari istana Hok, sepucuk lagi
adalah tulisan Keke pribadi, boleh kau baca."
Ki Seng jiang terima dan baca surat2 itu dengan hormat, lalu
dile mpit pula serta diaturkan kembali, katanya membungkuk: "Lim-
heng adalah utusan istana Hok, kalau To-swe ada perintah yang
perlu kukerjakan sila kan katakan saja."
"Dugaanmu me mang betul," ucap Pho-tujong, "sebagai utusan
istana Hok yang langsung me mbawa surat perkenalan Keke, kalau
kita me mberi jabatan rendah, tentu menurunkan pa mor Keke,
kupikir lebih baik dicarikan kedudukan di pasukan bayangkari yang
kau pimpin, tugas ini akan lebih cocok dengan bakat dan
ke ma mpuannya."
"Pesan To swe pasti kuperhatikan, cuma mungkin harus sedikit
merendahkan derajat Lim-heng ." ucap Ki Seng-jiang.
"Coba kau pikir dala m pasukan bayangkari adakah lowongan
wakil pimpinan uta ma, biarlah dia me mbiasakan diri lebih dulu,
setelah menyesuaikan diri ke lak bila ada kese mpatan dapat
mengangkatnya lebih lanjut." Sekali minta jabatan wakil pimpinan,
sudah tentu hal ini me mbuat Ki Seng-jiang serba susah, tapi di
mulut dia mengiakan.
Lekas Jin Ji kui menimbrung dengan tertawa: "Pasukan
bayangkari ada tiga baris pasukan, jadi hanya tiga jabatan wakil
pimpinan utama, mungkin Ki jongtay punya kesulitan, maka
menurut pendapat ha mba, bagaimana kalau diadakan mutasi, salah
satu wakil pimpinan uta ma dipindah ke mari me mbantu To-swe,
Entah bagaimana pendapat To swe?"
"Begitupun boleh. Kelompok ketiga dari barisan keamanan kota
masih ada lowongan wakil pimpinan, kalau dibanding kedudukannya
ma lah lebih t inggi."
Ki Seng-jiang berpikir sejenak, lalu berkata: "Pesan To swe pasti
akan kulaksanakan, baiklah kumutasikan saja wakil komandan dari
barisan pertama Pian Mi ci ke mari."
"Baik, Ji-kui, besok kau siapkan suratnya, Pian Mi ci dimutasikan
ke barisan kea manan kota," lalu ia berpaling pula kepada Ki Seng
jiang: "Se mentara surat2 Lim- lote tolong kau saja yang
menguruskan."
Ki Seng-jiang me ngiakan, lalu berpa ling kepada Lim Cu- jing:
"Besok Lim-heng boleh datang ke Le kiong untuk me laporkan diri."
"Terima kasih atas bantuan To-swe dan Jong-tay," kata Cu-jing.
"Besok pagi2, biar kute mani Lim lote me laporkan diri." t imbrung
Jin Ji kui.
Esok paginya Jin Ji-kui mengiringi Lim Cu-jing menunggang kuda
menuju ke Pi-siok-san-ceng. Pesanggrahan lui didirikan di atas
bukit, luasnya ada puluhan hektar, sekeliling dipagari te mbok tinggi,
di luar tembok mengalir sungai yang cukup lebar dan dalam.
Diantara pepohonan yang menghijau subur tampak beberapa
bentuk bangunan megah berloteng tersebar di sana sini. Panora ma
di sini tak kalah dengan pe mandangan di puncak2 gunung terna ma
seperti Thay-san dan Heng san.
Waktu mereka keluar dari pintu utara, dari kejauhan sudah
nampak bukit menghijau permai, di antara lebatnya dedaunan, di
sebelah selatan sana berjajar menjulang tinggi tiga bangunan istana
yang angker.
Dari kejauhan Jin Ji-kui me nuding, katanya: "Lim-lote, itulah
pasanggerahan raja, maju lagi beberapa jauh kita harus turun dan
berjalan kaki."
Kejap lain mereka sudah tiba di tempat ketentuan bahwa
pembesar sipil harus turun dari tandu dan pe mbesar militer turun
dari kuda, sa mbil menarik kendali kuda mereka terus maju ke
depan.
Dari rumah sebelah kanan sudah ada orang ke luar menyambut
kedatangan mereka, setelah memberi hormat dia tuntun kedua ekor
kuda ke istal.
Dari sini menuju ke gedung induk kira2 masih ada setengah li,
tapi setiap lima langkah seorang serdadu berdiri tegak berjaga,
setiap puluhan tombak ada satu pos penjagaan lagi, semua serdadu
yang bertugas di sini bersenjata lengkap.
Belum lagi Jin Ji-kui sampa i di tempat tujuan, dari istana ketiga
sebelah kanan beranjak keluar seorang la ki2 bergolok dengan ikat
pinggang ketat, mema kai topi lancip, dia me mapa k maju serta
menyapa: "Ha mba Coh Te-seng, atas perintah Jong-tay sejak tadi
sudah menanti kedatangan Jin-loya dan Lim ya."
"Terima kasih, bikin capai Coh heng saja," ujar Jin Ji-kui tertawa,
Lim Cu jing balas menjura pula.
"Silakan, biar hamba menunjukkan jalan," ucap Coh Te-seng, lalu
mendahului beranjak ke istana.
Bagian dala m istana adalah sebuah lapangan luas yang dialasi
papan batu marmer, tak jauh ke depan ada sebuah aliran sunga i
kecil, di atas sungai dibangun sebuah je mbatan batu putih yang
diukir indah.
Tidak jauh dari je mbatan, mereka dihadapi unda kan batu yang
lebar, tidak tinggi cuma puluhan unda kan, di sebelah atasnya lagi
adalah istana yang dibangun laksana ja mrut di atas mahkota
kerajaan. Pintu gerbang istana tertutup rapat, beberapa laki2
bergolok bertugas jaga di sini.
Coh Te-seng hawa mereka mena iki undakan batu terus menuju
ke sebelah kiri, di mana ada sebuah ja lan batu yang dipagari
pepohonan tua dan besar mencakar langit. kira2 setengah li
perjalanan,
tampak sebuah lapangan rumput yang a mat luas, di tengah
lapangan itulah berderet lima bangunan berloteng, di luar pintu
berjaga dua laki2 bergolok, seragam pakaiannya mirip Coh Te-seng.
Pada kiri kanan masing2 terdapat bangunan asrama, kelihatan
teratur amat rapi.
Lim Cu-jing tahu di sinilah letak markas pasukan bayangkari yang
bertugas jaga pesanggerahan raja ini.
Baru saja Coh Te seng me mbawa mereka berdua menaiki
undakan, tampak Ki Seng jiang telah me mapa k keluar, wajahnya
yang bersih tampak cerah, tawanya lebar, katanya: "Jin-lote, Lim
lote, maaf akan keterlambatan sa mbutanku."
"Jongtay terlalu sungkan, aku hanya mene mani Lim lote saja."
Lim Cu-jing maju serta me mberi hormat: "Ha mba datang untuk
lapor kepada Jongtay."
Ki Seng-jiang terbahak2, katanya: "Lim lote jangan sungkan,
sebelum urusan dinas diumumkan, kau masih terhitung ta mu kita,
mari kita bicara di dala m."
Ki Seng-jiang persilakan mereka masuk ke ka mar ta mu dan
berduduk. Seorang pengawal keluar menyuguhkan teh.
"Jin-lote," kata Ki Seng Jiang, "apakah surat2 dari To swe sudah
diselesaikan?"
"Sudah, sekalian kubawa serta," sahut Jin Ji-kui sa mbil
menge luarkan gulungan surat dinasnya dan diangsurkan.
Seterima surat dinas itu Ki Seng jiang me mbacanya sebentar lalu
berteriak keras: "Penjaga?"
Pengawal yang jaga di luar pintu mengiakan dan berlari masuk,
serunya: "Hamba siap me nerima perintah."
"Pergilah kau panggil pimpinan uta ma barisan kesatu dan
wakilnya, Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci." de mikian perintah Ki Seng-
jiang.
Pengawal itu mengia kan terus mengundurkan diri.
Dari bajunya Ki Seng jiang keluarkan sepucuk surat, dengan
tertawa ia berkata kepada Lim Cu-jing: "Lim lote, inilah surat
pengangkatanmu, kau baru datang sementara ini untuk beberapa
la ma dudukilah jabatan ini."
Tampak terharu Lim Cu-jing, dengan gugup dia terima surat
pengangkatan itu, lalu berkata dengan sikap tegak: "Terima kasih
akan kebaikan Jong-tai, mungkin ha mba tidak sesuai untuk jabatan
ini."
"Ini ma ksud To-swe sendiri, apalagi utusan dari istana Hok,
me mangnya tidak sesuai apanya? Lote tidak perlu berterima kasih
padaku, asal kau bekerja dengan giat, rajin dan baik, bila ada
kesempatan pasti kubantu me mberi laporan ke piha k atas."
Setelah kedua orang bicara, lekas Jin Ji-kui menjura, katanya:
"Kiong-hi Lim-lote telah me mangku jabatannya."
Dala m pada itu, dari luar ta mpak masuk dua orang, yang di
depan seorang setengah umur berperawakan gemuk. wajahnya
bulat, alis tebal mata sipit. Laki2 di belakangnya berperawakan
sedang, usianya sekitar tiga puluhan enam, tampa k kekar berotot,
langkahnya gesit. Tiba di ambang pintu kedua orang berdiri tegap,
si gendut itu buka suara: "Ha mba Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci datang
menghadap."
Ki Seng-jiang manggut2, katanya: "Kalian boleh masuk."
Kedua orang jelas adalah pimpinan uta ma dan wakilnya dari
barisan kesatu. Maka Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci beranjak ke dala m
ruangan besar.
Jin Ji-kui sudah berdiri menyambut, katanya menjura: "Pui-heng,
Pian-heng, sela mat bertemu."
Lim Cu jing juga berdiri, tapi dia hanya menyapa dengan
anggukan kepala.
Wajah bulat Pui Hok-ki yang ge mbur penuh daging lebih ta mpak
berseri tawa, berulang dia balas menjura, katanya: "Jin-lo, kau
baik2 saja."
Ki Seng-jiang segera menuding Lim Cu-jing, katanya kepada Pui
Hok-ki: "Hok-ki, adik Lim Cu-jing ini adalah utusan istana Hok." -
Lalu dia ba las perkenalkan kedua orang kepada Lim Cu jing.
Mendengar utusan istana Hok, semakin lebar tawa Pui Hok-ki,
berulang dia menjura sa mbil basa-basi sekedarnya.
"Kita orang sendiri, hayolah duduk." ucap Ki Seng-jiang.
Dari atas meja Ki Seng-jiang a mbil surat pe mindahan dan berkata
kepada Pian Mi-ci: "Sela mat Pian-heng, inilah surat pengangkatan
untukmu, kau dimutasikan setingkat lebih tinggi ke kantor balai kota
menjabat wakil komandan barisan kea manan kota, sementara
jabatanmu sekarang a kan di isi oleh Lim-lote."
Wakil pimpinan uta ma dari barisan bayangkari dimutasikan
menjadi wakil komandan barisan kea manan kota, menurut
jamaknya jabatannya naik setingkat, tapi pasukan bayangkari
betapapun adalah tenaga2 ahli dan terdidik yang bisa selalu
menda mpingi baginda, kini dimutasikan ke kantor balai kota, berarti
sudah keluar lingkungan istana.
Mimik Pian Mi-ci menunjuk perasaan yang aneh, sudah tentu dia
juga mengerti, soalnya Lim Cu-jing orang utusan istana Hok, untuk
mencarikan jabatan sesuai bagi Lim Cu-jing, terpaksa dirinyalah
yang dikorbankan. Tapi ini perintah, terpaksa dia menerima,
katanya: "Hamba terima perintah, entah kapan harus laporan?"
"Setelah menyelesaikan surat2 mutasimu di sini, boleh segera
kau melaporkan diri ke sana,"
Bahwa penggantinya sudah hadir, adalah jamak kalau dia harus
segera menyingkir. Ma ka Pian Mi-ci mengia kan pula.
Ki Seng-jiang tertawa lebar, katanya: "Pasukan kea manan kota
tiada bedanya dengan barisan bayangkari, semua adalah orang kita
sendiri, bukankah dulu a ku juga bertugas di bawah pimpinan To-
swe, malah jabatan Pian-heng sekarang lebih tinggi daripada aku
waktu itu."
Pian Mi-ci ke mba li mengiakan, katanya: "Baiklah, sekarang juga
hamba me nyelesaikan surat mutasi, bila Jongtay tiada pesan lain,
hamba mohon diri saja."
"Baiklah, selesaikanlah surat2mu, kebetulan Jin-lote berada di
sini, siang nanti kau harus ke mbali, aku akan menja mu kedatangan
Lim-lote, sekaligus untuk menja mu perpisahan dengan Pian-heng,
biarlah kita berge mbira bersa ma."
Setelah Pian Mi-ci pergi Ki Seng-jiang berpaling kepada Pui Hok-
ki, katanya. "Hok-ki, sejak kini Lim-lote termasuk orangmu. boleh
kau iringi dia mene mui He-congkoan untuk laporkan diri dan
menyelesaikan surat2nya."
Lekas Pui Hok-ki berdiri sa mbil me ngiakan, lalu berkata kepada
Lim Cu-jing dengan tertawa, "Lim-heng, bawalah surat2mu, ikutlah
aku ke sekretariat."
"Mohon bantuan Pui ling-pan (pimpinan she Pui)," seru Cu jing.
Muka bulat Pui Hok-ki ta mpak berseri, katanya: "Lim-heng jangan
sungkan, untuk selanjutnya kita terhitung orang sendiri, saling
bantu adalah semestinya." - Karena Lim Cu jing orang utusan istana
Hok, maka sengaja dia merapat dan menga mbil hatinya.
Setelah mohon diri kepada Ki Seng jiang, kedua orang langsung
masuk ke istana lebih dala m. He-congkoan adalah Thay-ka m
(dayang- kebiri) yang berkuasa di pasanggerahan ini, tahu bahwa
Lim Cu-jing utusan istana Hok, sudah tentu pelayanannya berbeda
dengan yang lain, setelah dia periksa surat2 yang ada, segera dia isi
formulir riwayat hidup Lim Cu-jing serta na ma tiga turunan
leluhurnya, ma ka selesailah soal mutasi ini, Lim Cu jing pula
me mperoleh sebentuk medali perak tanda pangkat wakil pimpinan
barisan kesatu.
Siang hari itu Ki Seng jiang mengadakan perja muan di ka mar
tamu itu, tamunya ada tiga orang, yaitu Lim Cu-jing serta Pian Mi-ci
yang kini dimutasikan ke barisan keamanan kota, orang ketiga
adalah Jin Ji kui. Sementara para tamu pengiring ada lima, yaitu
pimpinan utama barisan kesatu Pui Hok-ki, pimpinan utama barisan
kedua Hok Ji-liong, wakilnya Pok Coan-seng, pimpinan uta ma
barisan ketiga Pi Si-hay dan wakilnya Keh Tiang-sin. Biasanya jarang
ada perjamuan besar macam ini dala m pasukan bayangkari seperti
sekarang.
Hanya kedatangan seorang wakil pimpinan uta ma yang baru
ternyata Jongtay telah menya mbutnya dengan perja muan sebesar
ini, agaknya kecuali menya mbut kehadirannya, sekaligus juga untuk
pesta perpisahan dengan Pian Mi-ci, tapi Lim Cu-jing kenyataan
duduk di kursi uta ma, jelas perjamuan ini lebih mengutama kan
kepada Lim Cu jing. Tiada alasan lain karena Lim Cu-jing adalah
orangnya Tolo Keke. Bukankah se mala m To-swe sendiri juga telah
mengadakan perja muan menya mbut kedatangannya?
Biarpun para pimpinan uta ma dan para wakilnya ini se mula juga
tokoh2 Bu-lim yang sudah la ma berkecimpung di dunia Kangouw,
tapi sekali sudah masuk kalangan pe merintahan, siapapun akan
ke maruk harta dan pangkat, kalau tidak siapa yang sudi menjua l
nyawa, rela menjadi antek dan ca kar alap2 kerajaan penjajah?
Pho-tujong juga orang dari istana Hok, untuk apa pula dia harus
bermuka2 kepada Lim Cu-jing, hal ini tidak sukar diterka, yakni
lantaran Lim Cu-jing didukung oleh seorang yang punya kuasa tinggi
di istana Hok, mereka yang cerdik akan le kas me maha mi liku2 ini,
maka ada lah ja mak pula bila para pimpinan uta ma dan para
wakilnya yang hadir dalam perja muan ini berusaha me mikat dan
mengikat persahabatan dengan Lim Cu-jing, secara bergiliran
mereka menyuguh arak kepada Lim Cu jing.
Lim Cu jing juga tahu dan dapat me lihat gelagat bahwa arak
yang disuguhkan padanya adalah arak persahabatan, arak menjilat
untuk menarik hatinya.
Hampir selesai perjamuan, seorang pengawal tampak masuk
mende kati Ki Seng-jiang serta berbisik di telinganya.
Ki Seng jiang ta mpak melengak, tanyanya: "Mana orangnya?"
"Ada di luar," sahut pengawal itu, "tanpa izin Jongtay dia tidak
berani masuk."
Ki Seng jiang mengulap tangan, katanya: "Suruh dia masuk."
Pengawal mengiakan sambil meluruskan kedua tangan, setelah
me mbungkuk terus mengundurkan diri. Tak la ma ke mudian sudah
berjalan masuk pula me mbawa seorang baju hijau. Usia orang ini
lima puluhan, mukanya lancip tirus, tubuhnya tinggi kurus, begitu
me langkah masuk segera ia me mberi hormat dan berseru: "Ha mba
menghadap Jongtay."
Melihat si baju hijau ini, Lim Cu-jing ta mpak melenggong. Dia
kenal orang ini adalah salah satu dari kedelapan Koan-tay Hek-liong
hwe, yaitu Tu Hong-seng adanya.
Ki Seng jiang mengangguk, katanya: "Tu-heng tidak usah banyak
adat, kau buru2 menghadapku, apakah Cui-congkoan yang
mengutusmu untuk minta bala bantuan kesana?"
Kembali Lim Cu jing melenggong mendengar pertanyaan ini,
pikirnya: "Agaknya Cui Kin-in berkuasa untuk me merintahkan
bantuan dari pasukan bayangkari di pesanggerahan raja ini,
bukankah ini berarti jabatan dan kekuasaan Cui Kin-in jauh lebih
tinggi daripada Ki Seng-jiang? Bahwa Cong-kam (komisaris umum)
Hek-liong-hwe dapat me merintah dan menguasai pada pasukan
bayangkari di sini, me mangnya siapakah dia sebenarnya?"
Tu -Hong seng ta mpak berdiri tegak, sahutnya: "Lapor Jongtai,
hamba datang untuk me mberi laporan."
"Urusan apa boleh kau katakan saja."
"Hek liong hwe telah dipukul hancur oleh musuh, Jan-hwecu,
Nao-tongcu, Ci tongcu dan Nyo-jilingpun yang ditarik dari pasukan
bayangkari di sini se muanya sudah gugur."
Dia m2 Lim Cu-jing mengangguk, pikirnya: "Kiranya Nyo Ci-ko
adalah wakil pimpinan uta ma dari barisan bayangkari di sini."
"Prang", muka Ki Seng jiang seketika berubah pucat, cangkir
yang dipegangnya terlepas jatuh berantakan, tanyanya gugup:
"Bagaimana dengan Cui-congka m?"
"Agaknya Cui-congkam sudah meninggalkan te mpat itu," sahut
Tu Hong-seng.
Sesaat baru Ki Seng-jiang menenangkan diri, seperti teringat
apa2, wajahnya kini menjadi ke la m, tanyanya: "Kau tahu siapa saja
yang telah menyerbu Hek-liong-hwe?"
"Ha mba hanya tahu kalau mereka adalah orang2 Pek hoa-pang,
yang menjadi tulang punggung Pek-hoa-pang adalah kedua puteri
Thi Tionghong, pentolan He k liong-hwe dulu, tapi yang paling lihay
di antara mereka Cong-houhoat Pek-hoa-pang yang bernama Ling
Kun-gi, konon dia adalah putera Ling Tiang-hong, murid Hoan-jiu-ji-
lay, Hek-liong-hwe boleh dikatakan seluruhnya runtuh di tangan
orang she Ling ini."
Berubah pula a ir muka Ki Seng Jiang, serunya murka: "Lagi2
bocah keparat she Ling itu."
Tu Hong-sing mengeluarkan setumpukan kertas tebal dan
diangsurkan, katanya: "Inilah laporan tertulis ha mba, semuanya
tercatat dengan jelas di sini."
Seorang pengawal maju me nerima kertas laporan itu dan
dihaturkan kepada Ki Seng-jiang. Tapi Ki Seng jiang mengulap
tangan, katanya: "Bawalah ke kamar bukuku saja,- - Lalu dia
berkata kepada Tu Hong-sing: "Bagus seka li, Tu heng boleh istirahat
dulu, sementara boleh kau tinggal di markas, setelah aku mohon
petunjuk langsung dari Cui-cong-koan baru kuputuskan tinda kan
selanjutnya."
Tu Hong-sing mengia kan, katanya sambil me mandang ke arah Ki
Seng jiang: "Jongtai, masih ada soal penting yang akan hamba
laporkan."
"Yang hadir di sini se mua orang kita sendiri, ada urusan penting
atau rahasia apa boleh kau katakan saja." .
Tu Hong sing mengia kan dan berkata: "Waktu hamba keluar
perbatasan, di tengah jalan pernah kulihat dua rombongan orang
yang mencurigakan, mereka mirip komplotan Pek hoa-pang,
tujuannya juga ke Jiat-ho sini."
"Ada berapa orang?" tanya Ki Seng jiang.
"Jumlahnya tidak banyak, mungkin kuatir menarik perhatian
orang, maka mere ka berpencar dala m beberapa kelompok."
Tiba2 terunjuk hawa nafsu membunuh pada wajah Ki Seng-jiang,
katanya tertawa dingin: "Berani juga mereka meluruk ke Jiat ho.
Hehe, jelas tujuannya adalah mencari perhitungan kepada aku
orang she Ki."
Lalu dia mengulap tangan, "Baiklah, kau boleh mundur dulu.
Semala m kau menginap di mana?"
"Ha mba menginap di losmen Liong-kip,"
"Lebih baik kau tetap ke mba li ke penginapanmu, perhatikan
baik2 orang2 di sekelilingmu, nanti kusuruh orang
menghubungimu."
"Ha mba terima perintah," sahut To Hong-s ing terus
mengundurkan diri.
Setelah perjamuan usai, Sin Ji kui dan Pian Mi-ci mohon diri, Ki
Seng jiang dan lain mengantar sampai di depan pintu. Akhirnya Ki
Seng-jiang berpaling kepada Lim Cu jing, katanya: "Lim-heng,
tolong kau antarkan Jin loya, sekembalinya langsung ke ka mar
bukuku.
Waktu Lim Cu-jing ke mbali setelah mengantar Jin Ji-kui,
pengawal Ki Seng-jiang telah menunggunya, katanya: "Jongtai
sudah menunggu di ka mar buku, Lim-lingpan silakan ikut ha mba."
Kamar buku terletak di sebelah timur, ruang tengah adalah
tempat tinggal Ki Seng-jiang, dinding ka mar buku penuh digantungi
lukisan kuno, tepat di tengah kamar terletak rak buku Ki Seng-jiang
tampak duduk di belakang rak buku di kursi berukir dan berlapis
sutera sulaman, agaknya dia tengah membaca laporan Tu Hong-
sing tadi. Tepat di atas kepala pada dinding dibelakangnya
tergantung sebilah pedang panjang, coraknya kuno, jelas pedang
pusaka juga.
Ki Seng jiang adalah anak pungut Ui-san-it-kia m Ciok-boh Lojin,
sudah tentu diapun seorang jago pedang.
Pui Hok ki, pimpinan uta ma barisan kesatu tampak duduk di kursi
yang me mbelakangi jendela sebelah kiri. Setiba di depan pintu,
pengawal itu berhenti serta me mbungkuk, serunya: "Lapor Jong-
tay, Lim-jilingpan telah tiba."
"Silakan masuk!" seru Ki Seng-jiang
Lim Cu-jing segera melangkah masuk. "Silakan duduk Lim-heng,"
ucap Ki Seng-jiang.
Lim Cu jing lantas duduk di kursi sebelah Pui Hok-ki.
Ki Seng-jiang menatapnya, katanya kale m:
"Ingin a ku mohon sekedar penje lasan dari Lim-heng . . ."
Berdetak jantung Lim Cu jing, katanya sambil berbangkit: "Entah
soal apa yang Jongtay ingin tanyakan?"
"Lim heng sengaja diutus oleh istana Hok kepada To-swe,
tentunya kau memiliki Kungfu yang tidak sembarang, tapi ingin
kutanya asal-usul dan aliran dari mana ilmu yang Lim heng
pelajari?"
"Menjawab pertanyaan Jongtay, hamba tiada masuk golongan
tidak punya aliran, semasa hidup ayahku bekerja di Piaukiok juga,
beliau adalah saudara angkat Lim piauthau dari Tin-wan Piau-kiok,
ilmu cakar kucing yang kupelajari dari ayah adalah pelajaran
kampungan, paling2 hanya bisa main kepalan, telapak tangan, golok
dan pedang."
Ki Seng jiang tersenyum, katanya: "Hou-pian-liong-jiu Lim-
lopiauthau pernah menggetarkan Kwan-tang, bahwa ayah Lim -
heng seangkatan dengan Lo piauthau, tentunya beliau juga seorang
persilatan yang punya na ma."
"Waktu ayah almarhum angkat saudara dengan Lim-piauthau
usianya masih terlalu muda. Setelah ayah menikah, ibu me larang
ayah berkecimpung di Kangouw, katanya usaha di Piaukiok hanya
me mpertaruhkan jiwa belaka, penghasilan juga tidak me madai,
sebaliknya bahaya yang harus ditempuh teramat besar, lebih baik
hidup tenang di ka mpung hala man dengan usaha dagang kecil2an,
maka sejak itu ayah lantas putus hubungan dengan Lim-lopiauthau,
sampai sekarang sudah dua puluhan tahun lebih . . . . "
Agaknya Ki Seng jiang tidak tertarik oleh cerita riwayat hidupnya,
katanya: Apakah Lim-heng pernah meyakinkan Ginkang?"
"Se masa ayah masih hidup beliau me mang pernah melatih
Ginkang dan Lwekang padaku," kalau hanya ketinggian dua-tiga
tombak, saja masih dapat kucapai."
"Itu sudah cukup, nah se karang Hok-ki, kau mencoba dia."
Pui Hok ki me ngiakan terus berbangkit, katanya dengan tertawa:
"Lim-heng, Jongtay ada sebuah tugas rahasia yang teramat penting
minta supaya kau menyelesaikannya, tapi pihak lawan se muanya
adalah musuh2 tangguh, kuatir Lim-heng mengala mi sesuatu
alangan dan tentu akan sukar me mberi laporan kepada To-swe,
maka Lim-heng sengaja di undang ke ka mar buku ini, kita perlu
mengetahui sa mpai di ma na tingkat ke ma mpuan Lim-heng. . . "
"Ada tugas apa yang akan Jongtay serahkan, umpa ma
menerjang lautan api dan terjun minyak mendidih juga hamba tida k
akan menolak," seru Lim Cu jing.
Pui Hok ki berkata: "jongtay ingin supaya aku menjajalmu satu
dua jurus, Lim-heng jangan sungkan, juga tidak usah ragu2 dan
kuatir, boleh turun tangan sekuat tenaga menurut kema mpuan,
cukup asal saling tutul atau jamah saja," sembari bicara dia mula i
pasang kuda2 serta mena mbahkan: "Lim heng hati2, aku a kan
turun tangan."Kelima jari tangan kanannya terkembang, bagai cakar
ia terus mencengkera m pundak Lim Cu- jing.
Gerakan yang kelihatan la mban ini adalah Kin-na jiu-hoat yang
lihay, pimpinan uta ma barisan kesatu ini ternyata me mang
me mbe kal kepandaian tinggi, dari jurus permainan ini sudah dapat
dinilai ke mantapan tipu, serangannya dengan pakai jari yang keras.
Lim Cu-jing tertawa tawar, ujarnya: "Hamba mana berani "-
Sambil bicara badannya masih berdiri tegak tidak mengegos atau
berkelit. Tatkala telapak tangan Pui Hok-ki, ha mpir menyentuh
pundaknya, mendadak ia berputar ke kanan, kelima jari tangan kiri
menegak terus didorong keluar, ujung jarinya menyapu dan
menyerempet pergelangan tangan Pui Hok-ki. Gerakan ini
merupakan tipu serangan biasa, namanya "mendorong jende la
me lihat gunung", gerakan untuk menutup dan me matahkan
serangan, jadi kelihatannya tiada yang istimewa.
Tapi Ki Seng-jiang dan Pui Hok-ki ada lah jago silat yang cukup
tajam pandangannya, sekali Lim Cu-jing bergerak, meski gerakan
yang sepele, tapi jelas mengandung gaya perubahan yang
menakjubkan, serentak menimbulkan deru angin yang kencang
menyerempet pergelangan tangan Pui Hok-ki.
Pada hal jarak pergelangan tangan Pui Hok-ki masih ada satu
kaki jauhnya dengan tangan Lim Cu-jing, tapi orang sudah
merasakan tangannya seperti tersampuk mistar besi, tiba2
tangannya terasa sakit. Keruan bukan main kagetnya, lekas Pui
Hok-ki tarik tangannya seperti orang berjingkat kaget karena
keselomot api, matanya terbeliak menatap Lim Cu-jing, katanya
dengan keheranan: "Lim-heng ternyata hebat sekali."
Lim Cu-jing telah meluruskan kedua tangannya. katanya: "Terima
kasih atas ke murahan hati Toa-lingpan."
Pui Hok ki tergelak2, katanya: "Jongtai me mang ahli, tentunya
sudah menyaksikan sendiri, gerakan menyapu Lim-heng tadilah
betul2 menaruh belas kasihan padaku, kalau tidak, pergelangan
tanganku ini tentu sudah cacat."
Ki Song-jiang tampa k riang, katanya mengangguk: "Cukuplah,
hanya sejurus saja sudah meyakinkan bahwa tiada tugas apapun
yang takkan bisa diselesaikan oleh Lim-heng."
"Jongtai terlalu me muji," ucap Lim Cu-jing, -"ha mba ingin tanya,
apakah Toa-lingpan juga mahir mengguna kan senjata rahasia?"
"Apa??" seru Pui Hok-ki sa mbil goyang tangan, "Lim-heng ingin
bertanding Am-gi denganku? Sudahlah. barusan aku sudah pa mer
kebodohan, me mangnya Lim-heng tega me mbikin ma lu a ku lagi."
"Toa-lingpan jangan salah mengerti, bukan begitu maksud
Cayhe, soalnya Jongtai tadi ada tanya soal Ginkang, ma ka ha mba
ingin mencobanya."
"Me mangnya untuk apa Lim-heng tanya soal Am-gi?" tanya Pui
Hok-ki.
Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Bila Toa-lingpan, sekarang
me mbawa A m-gi, bolehlah dicoba sekarang juga."
Agaknya Ki Seng-ji ing tertarik, katanya kepada Pui Hok-ki: "Hok-
ki, baiklah, biarkan dia mencobanya Pui Hok-ki menyengir, katanya:
"Inilah perintah, terpaksa aku menurut keinginan Jongtai, biarlah
aku konyol sekali lagi."
Pui Hok-ki mengeluarkan tiga batang panah pendek, tanyanya
kepada Lim Cu-jing: "Cara bagaimana Lim-heng a kan mencobanya?"
"Sebatang saja sudah cukup." ujar Cu jing, lalu dia tuding keluar
jendela. "Inilah panah timpuk yang paling kecil, mungkin harus
ditimpukkan dengan kekuatan jari. Baiklah, sekarang boleh Toa-
lingpan menimpuknya keluar jende la."
Sekenanya Pui Hok-ki je mput sebatang panah dan ditimang2 di
telapak tangan, katanya tertawa: "Apa yang harus kubidik?"
"Terserah, Toa-lingpan mau me mbidik lurus ke depan atau
ditimpukkan ke angkasa juga boleh."
"Baiklah," sahut Pui Hok-ki, begitu tangan terayun, panah kecil
itu lantas me leset keluar jende la,
Pada saat itulah Lim Cu-jing yang berdiri di sa mping Pui Hok-ki
mendadak menutul kedua ka kinya, badannya melesat lurus ke
depan bagai meteor mengejar rembulan, menguda k ke arak panah
kecil yang meluncur keluar. Gerakan keduanya sungguh cepat luar
biasa.
Ki Seng jiang dan Pui Hok ki tidak pernah bayangkan bahwa
tujuan Lim Cu- jing suruh Pui Hok-ki menimpuk panah pendek Itu
hanya untuk dikejarnya. Dalam Bu-lim sudah sering orang
mende monstrasikan kepandaian menya mbut dan menimpuk senjata
rahasia secara berhadapan. Tapi Lim Cu-jing baru menguda k panah
setelah panah itu ditimpukkan, bahwa dia sudah mengejar tentu
dapat menangkap panah itu. Bila Lim Cu-jing tidak yakin dapat
menyandak senjata rahasia itu, tak mungkin dia berani pa mer
dihadapan orang dan me mpersulit diri sendiri.
Pikiran mereka berdua sama ma ka dengan mendelong mereka
menyaksikan dengan hati berdebar kejadian hanya sepercikan api
belaka, belum lagi mereka melihat jelas kejadian sesungguhnya,
terasa angin berkesiur, tahu2 Lim Cu-jing sudah melayang masuk
pula lewat jende la dan hinggap di hadapan mereka.
Tampak di antara dua jari tangan kanannya menjepit sebatang
panah kecil, katanya sambil menjura dengan tertawa lebar:
"Jongtai, dihadapan Toa-lingpan Cayhe telah pamer kejelekan,"
Terpancar cahaya aneh pada sinar mata Ki Seng-jiang, katanya
tertawa. " Tak heran Ke ke sa mpai begitu tinggi menilaimu, haha,
demonstrasi yang Lim-heng tunjukkan barusan, jangankan dala m
pasukan bayangkari kita tiada seorangpun yang mampu
menandangi kau, meski jago2 lihay dari istana rajapun sukar
mencari bandingannya."
Kedua bola mata Pui Hok-ki terbelia k sekian la manya, akhirnya
dia tertawa ngakak serunya: "Dengan bekal kepandaian yang
barusan Lim-heng pa merkan, adalah pantas kalau aku menukar
jabatan dengan kau, malah terasa kurang setimpal aku menjadi
wakilmu."
Lim Cu-jing menjadi gugup, katanya: "Jangan, Toa-lingpan
berkata demikian, hamba jadi tidak enak hati."
"Aku bicara sejujurnya," ucap Pui Hok-ki, "da la m jangka sepuluh
tahun, Lim-heng pasti menonjol dan me ngungguli jago2 silat
manapun, naik pangkat hidup senang, hahaha . . . . "
Walau masih tertawa, tapi mimik Ki Seng-jiang tampak kurang
wajar mendengar umpakan Pui Hok-ki ini, katanya sambil goyang2
tangan: "Marilah, kita bicara sa mbil duduk." La lu dia ke mba li ke
kursi kebesarannya.
Lim Cu-jing dan Pui Hok-kipun duduk pula di kursi se mula.
Menghadap ke arah Lim Cu-jing, pelan2 Ki Seng-jiang berkata:
"Barusan kau telah me lihat orang yang berna ma Tu Hong-seng, dia
adalah Koan-tai dari pihak pe merintah yang sengaja ditanam dala m
Hek-liong-hwe, beberapa hari yang lalu kabarnya Hek-liong-hwe
telah dige mpur oleh Pek-hoa-pang dan hancur lebur ...........
"Hek-liong-hwe?" Lim Cu-jing pura2 menepekur, "rasanya hamba
pernah mendengar orang me mperbincangkan, tapi nama Pe k-hoa-
pang, selamanya belum pernah ha mba dengar?"
Ki Seng-jiang tersenyum: "Itulah suatu sindikat ge lap yang
terorganisir baik dan rapi, tidak pernah terjun ke percaturan dunia
persilatan secara terbuka, sudah tentu kau tak tahu, begini dia
jemput kertas laporan Tu Hong seng dan diangsurkan, katanya:
"Inilah laporan Tu Hong-seng, boleh kau me mbacanya dengan teliti,
nanti pasti akan mengerti. Menurut laporan Tu Hong-seng, kaum
pemberontak dari Pek-hoa-pang sudah menyusup ke Jiat ho sini,
tujuannya jelas mengadakan kembali keonaran dan kejahatan, tadi
sudah kusuruh Tu Hong seng agar tetap menginap di losmen Liong
kip, dan secara dia m2 menyelidik dan mengawasi gerak-gerik
mereka, kau orang baru, jelas piha k musuh be lum ada yang
mengenalmu, maka tugas ini kuserahkan pada mu seluruhnya . . . . .
...."
"Berkat kebijaksanaan Jongtai, maka tugas yang diserahkan
padaku pasti akan kukerja kan sekuat tenaga," demikian Lim Cu jing
me mberikan janjinya.
"Tugas Lim-heng yang pertama sekarang adalah, kaupun harus
menginap ke Losmen Liong kip itu, secara diam2 kau boleh
mengadakan kontak dengan Tu Hong seng, bila mene mukan orang
yang patut dicurigai, Tu Hong seng t idak leluasa bertemu muka
dengan mereka, ma ka tugasmulah yang menyelidikinya secara
dia m2 lalu kau mengada kan hubungan dengan Pui Hok-ki, cuma ada
satu hal harus Lim heng perhatikan, yaitu jangan terburu nafsu
mengejar paha la, supaya tidak mengejutkan pihak lawan."
"Ha mba mengerti," sahut Lim Cu jing.
"Baik, setelah kau baca habis laporan ini boleh segera berlalu,
bila tiada urusan penting tidak usah kau sering ke mbali ke markas
sini, supaya jejak asal usulmu tidak konangan musuh," lalu dia
berpaling dan bicara kepada Pui Hok-ki: "Tugas ini seluruhnya
kuserahkan kepada barisan kesatu, dari sini kau boleh langsung
bawa Lim- heng ke kesatuanmu, supaya anak buahmu mengena l
wakilmu dan Lim-heng kenal juga anak buahnya, bila di luar markas
bertemu da la m menja lankan tugas, mereka harus tunduk pada
perintah Lim-heng,"
Pui Hok-ki me ngiakan, sa mbil munduk2.
Dika la mereka bicara Lim Cu-jing sudah baca laporan Tu Hong-
seng, kejadian hancurnya Hek-liong-hwe seperti yang ditulis dala m
laporan Tu Hong-seng me mang sesuai dengan kenyataan. Cuma
demi kepentingan pribadinya dia terlalu menonjolkan jasa2 pribadi
sendiri, bagaimana dia tertawan musuh oleh obat bius keluarga Un,
bagaimana pula dia berusaha menipu musuh tidak gugup sedikitpun
meski menjadi tawanan, dan akhirnya berhasil melarikan diri setelah
menge labui musuh Dia m2 Lim Cu-jing menghela napas, pikirnya:
"Bila manusia sudah ke maruk pangkat dan harta, sampai matipun
dia tidak akan insaf akan kesalahannya."
Akhirnya dia tutup laporan itu serta menaruhnya di atas meja,
katanya: "Hamba sudah me mbacanya, Jongtai."
"Dala m laporan Tu Hong seng ini cukup jelas, wajah, usia dan ciri
para pemberontak, ini banyak me mbantu bagimu dala m
menja lankan tugas, kau me ngingatnya se mua"
"Beberapa orang penting sudah kuingat dengan baik," sahut Lim
Cu-jing.
"Baiklah, sekarang kalian boleh berangkat," ucap Ki Seng jiang.
Pui Hok-ki dan Lim Cu jing menjura bersama dan mengundurkan
diri.
Setelah kemba li di tempatnya, Pui Hok-ki lantas mengumpulkan
anak buahnya dan me mperkena lkan Lim Cu-jing kepada mereka,
terutama kepada komandan ketiga kelompok pasukannya, yaitu
kepala kelompok pertama berna ma Go Jong-gi, berusia empat
puluhan, muka putih tubuh kurus kecil, mirip pe lajar yang lemah
le mbut. Kepala kelompok kedua bernama Ko Siang seng, perawakan
sedang, mukanya lonjong kurus, usianya sekitar lima puluhan.
Kepala kelompok ketiga berna ma Thio Ih-bin, agak ge muk, usianya
juga sudah e mpat puluh lebih.
Akhirnya Pui Hok-ki berkata: "Baiklah, sekarang tiada urusan lain,
kalian boleh bubar, Go Jong-gi, kau saja yang tinggal di sini." -
Kemudian berkata pula Pui Hok-ki kepada Go Jong-gi: "Lim-heng
akan menginap di Tang sun-can untuk melakukan tugas rahasia,
untuk ini kutugaskan kau sela lu mengadakan kontak dengan Lim-
heng, ada pesan dan petunjuk apapun dari Lim-heng harus segera
kau la ksanakan."
"Ha mba mengerti " sahut Go Jong-gi la lu ia berputar menghadap
Lim Cu-jing, katanya: "Jilingpan entah ada pesan apa?"
"Setiap mala m setelah makan ma la m kuharap Go-lingpan datang
ke ka marku, supaya hubungan tetap diadakan, kalau ada kejadian
atau urusan mendadak satu sa ma lain bisa berunding, entah
bagaimana pendapat Go heng?"
"Jilingpan be kerja secara rapi, sudah tentu ha mba terima
petunjuk saja."
"Di luar markas harap Go heng tidak me manggilku de mikian lagi,
kita saling me mbahasakan saudara saja, untuk ini Go-heng tida k
boleh la lai "
Melihat hari sudah sore, Lim Cu-jing lantas menjura kepada Pui
Hok-ki, katanya: "Toalingpan, waktu sudah mendesak, biarlah
hamba me ngundurkan diri."
"Ya, demi tugas, bolehlah segera berangkat," ucap Pui Hok ki.
Setelah minta diri kepada Pui Hok-ki, bersama Go Jong-gi mereka
terus keluar markas menuju ke istal, kuda tunggangan Lim Cu jing
sudah disiapkan, dia ce mplak ke punggung kuda dan berpisah
dengan Go Jong-gi, langsung dibedal ke Tang-sun-can.
Waktu itu sudah ma grib, pelayan yang bertugas di luar segera
menyongsong kedatangan Lim Cu-jing dan menyapa dengan
tertawa : "Lim- ya, kau sudah ke mbali lagi."
Lim Cu jing mengangguk, dengan tangkas dia melompat turun,
tanyanya: "Masih ada ka mar?"
"Silah Lim-ya tanya saja di kantor, hamba tugas di luar, kurang
terang keadaan di dala m."
Waktu Lim Cu jing me langkah masuk, kasir hotel ter gopoh2
menya mbutnya, Lim Cu-jing bertanya pula: "Ciangkun, masih ada
kamar istimewa?"
Kasir ini bersikap hormat berlebihan, katanya munduk2: "Ha mba
tidak tahu bahwa Lim-ya adalah tamu agung sehingga pelayanan
kurang baik, harap Lim-ya me mberi maaf sebesar2nya, rekening
Lim-ya beberapa hari yang lalu sudah dilunasi seluruhnya oleh Jin
loya, kamar yang Lim-ya perlukan sekarang masih ada, mari sila kan
periksa, entah mencocoki selera Lim ya tidak?"
Tang-sun-can adalah hotel terbesar di seluruh Jiat-ho dengan
restorannya pula, waktu itu lampu baru saja dipasang, restorannya
bertingkat lima dengan lima ruangan makan yang besar, luas dan
nyaman, seluruhnya sudah ha mpir dipenuhi tetamu.
Dengan enteng, Lim Cu-jing me langkah ke atas loteng, seorang
pelayan menyambutnya dengan tertawa: "Tuan hanya seorang diri,
silahkan ikut hamba." - Lalu dia berlari kecil di depan, dalam
suasana yang riuh rama i dan penuh sesak, untuk mencari te mpat
duduk diruang ma kan se luas ini me ma ng bukan soal ga mpang.
Pelayan membawa Lim Cu-jing ke sebuah meja yang dekat
jendela menghadap jalan raya, setelah menarik kursi dia menyila kan
dengan tertawa: "Silakan tuan duduk di sini saja, tamu cukup
banyak, terpaksa satu sama lain saling menga lah."
Pada meja itu sudah ada dua orang, pedagang yang sedang
makan minum sa mbil berundang soal dagang. Maka merekapun
tidak hiraukan kedatangan Lim Cu-jing, Cu-jing juga tidak pedulikan
mereka, seorang diri dia pesan makanan serta menunggu dengan
sabar.
Dika la dia berduduk itulah, sekilas dilihatnya dimeja sebelah
kanan sana duduk tiga orang. Seorang nenek sudah ubanan
rambutnya, seorang lagi nyonya muda jelita, dari dandanan mereka
seperti ibu mertua dengan menantunya, Seorang lagi yang duduk di
depan mereka adalah kakek kurus bermuka kuning, meski se meja
tampak sikapnya a mat hormat dan munduk2.
Begitu melihat ketiga orang ini, hampir saja Lim Cu-jing
berteriak. Soalnya ketiga orang ini adalah sa maran ibunya, Bok-tan
dan Ting Kiau. Walau mereka sudah berganti rupa, tapi Lim Cu-jing
tetap dapat mengenalnya.
Mengapa ibu juga berada di Jiat-ho? De mikian dala m hati dia
bertanya2.
Maka Lim Cu-jing angkat poci menuang secangkir teh, dengan
pura2 menikmati air teh panas yang dihirupnya sedikit de mi sedikit
Lim Cu jing gunakan ilmu gelombang suara berkata kepada nenek
itu: "Bu, bagaimana kaupun datang ke mari?"
Nenek itu me mang sa maran Thi-hujin, mendengar bisikan suara
Ling Kun-gi, sekilas tampak dia melengak, lekas sekali dia berpaling,
segera iapun dapat me lihat Lim Cu-jing. Karena dia sedang makan,
sudah tentu orang lain tidak perhatikan bila bibirnya lagi bergerak
bicara, dengan ilmu yang sama dia menjawab: "Anak Gi, kau sudah
mene mukan Ki Seng-jiang? Sorenya setelah kau berangkat, nona
Pui mendadak minggat, mungkin diapun menyusul ke Jiat-ho ini,
maka ibumu bersa ma Un-cengcu dan Cu-cengcu terbagi dala m t iga
rombongan mencari jejaknya ke mana2, sayang tidak ketemu."
Mencelos hati Lim Cu jing mendengar kabar ini, Tu Hong-seng
bilang di jalanan pernah melihat beberapa kelompok kaum
pemberontak, jelas yang dilihat adalah rombongan ibunya dengan
rombongan Un-cengcu dan Cu cengcu. Untung Ki Seng-jiang
serahkan tugas ini padaku, kalau tidak bukankah segala
persoalannya akan terbongkar, Yang menjadi beban pikirannya kini
adalah Pui Ji-ping, me mang nona itu pernah belajar ilmu rias untuk
menya mar ala kadarnya, bila ketiga rombongan orang yang
mencarinya ini bertemu muka secara langsung juga pasti tida k
mengenalnya lagi.
Nona ini me mang binal, sifat kanak2 masih menghayati setiap
gerak langkahnya yang suka iseng, apa saja yang dipikirkan lantas
dikerjakannya. Yang dikuatirkan adalah si nona bertindak secara
ceroboh. bukan saja bakal menggagalkan rencananya, malah
me mbawa kesulitan pula.
Sesaat pikirannya jadi kusut dan gelisah, dia memegang cangkir
pura2 seperti orang minum pelan2, dengan ilmu ge lombang suara
dia ceritakan pengala mannya sela ma berada di sini.
Thi-hujin terdia m sebentar, katanya kemudian: "Anak Gi apa kau
tidak merasakan semua ini terlalu mudah kau peroleh? Bukan
mustahil pihak lawan me mang sengaja mengatur semua ini untuk
menjebakmu kedala m perangkapnya?"
"Ibu tidak usah kuatir, hal ini tidak mungkin, anak juga tidak
semudah itu kena tipu mereka."
"Ini daerah kekuasaan mereka, apapun kau harus hati2,"
demikian pesan Thi-hujin.
Bok tan duduk di samping Thi-hujin, sudah tentu segera diapun
merasakan adanya tanda2 yang tidak beres ini, tak tahan dia
bertanya: "Apakah popo kurang selera ma kan hidangan di sini?"
Dengan tersenyum Thi-hujin menggeleng lalu me mberi tahu
dengan suara lirih. Bok-tan menjadi jengah dan melirik ke arah Lim
Cu-jing.
Selanjutnya Lim Cu-jing beritahu bahwa Tu Hong-seng juga
sudah berada di Jiat-ho sini serta telah me laporkan kepada Ki Seng
jiang tentang jejak mereka, maka dia anjurkan setelah mene mukan
Pui Ji ping harus cepat2 meninggalkan Jiat-ho supaya tidak
mengganggu rencananya, juga jangan menginap di hotel, carilah
rumah penduduk saja.
"Baiklah, besok ka mi akan pindah keluar kota," demikian ucap
Thi-hujin, "ibu belum se mpat mengadakan kontak dengan Un-
cengcu dan Cu-cengcu, entah di mana sekarang mereka berada,
tapi ini soal sepele, asal ibu meninggalkan tanda rahasia akhirnya
pasti dapat bertemu dengan mereka."
Lim Cu-jing mengucapkan syukur. Kebetulan pelayan datang
me mbawa kan pesanan makanannya.
Thi-hujin, Bok-tan dan Ting Kiau sudah selesai ma kan, beriring
mereka berdiri, Ting Kiau merogoh kantong me mbayar rekening dan
turun ke bawah.
Tak la ma ke mudian Lim Cu jing pun turun dari loteng. Saat itu
suasana di jalan raya masih ra mai. Sekeluar dari Tang-sun-can, Lim
Cu jing langsung menuju ke losmen Liong kip.
Losmen Liong-kip jauh lebih kecil, letaknya juga di ujung gang,
maka ta mu2 yang menginap di sini kebanyakan adalah kaum
pertengahan atau orang2 yang kurang mampu keuangannya. Pada
hal dalam gang ini masih ada delapan hotel yang lain, Tu Hong seng
justeru menginap di losmen yang paling kecil dan murah, tujuannya
sudah tentu supaya tidak diperhatikan orang.
Seperti lazimnya pelayan segera menyambut kedatangan Lim Cu-
jing dengan sikap ra mah yang berkelebihan, "Toaya ingin kamar,
meski kecil tapi ka mar ka mi cukup bersih untuk ist irahat."
"Cayhe hanya ingin mencari seorang teman saja," ucap Lim Cu
jing.
Mendengar orang bukan cari ka mar, tawa dan sikap ramah si
pelayan seketika kuncup, tapi melihat dandanan dan perawakan Lim
Cu-jing gagah, tak berani dia bersikap se mbarangan, tanyanya:
"Toaya hendak cari siapa?"
"Adakah seorang tuan Tu yang menginap di sini?"
Mendengar orang she Tu yang menginap di ka mar kelas satu
yang dicari, ke mbali mekar tawa si pe layan, katanya sambil
munduk2 pula: "Ada, ada, kiranya tuan adalah kenalan Tu-toaya,
silakan, silakan, biar kutunjukkan tempatnya."
Dengan langkah lebar segera si pelayan berlari2 ke dalam serta
berteriak: "Tu-ya, ada kenalan-mu mencarimu."
"Siapa?" pintu ka marpun terbuka, begitu melihat Lim Cu jing,
sekilas Tu Hong-seng tertegun, lekas dia menjura dan menyapa: "O,
kiranya Ji.."
Cepat Lim Cu-jing melangkah maju, tukasnya dengan tertawa:
"Cayhe Lim Cu-jing, Tu-heng tidak kira akan kedatanganku bukan?"
- Sembari bicara berulang kali dia me mberi tanda kedipan mata,
maksudnya supaya tidak me mbocorKan rahasia dirinya di depan
pelayan.
Sebagai kawakan Kangouw, segera Tu Hong-seng paha m
maksudnya, maka dia tertawa katanya:
"Sungguh tak nyana kedatangan Lim-heng, lekas silakan duduk
di dala m. Hahaha, inilah yang dina makan dirantau kete mu orang
sekampung." Lengan Lim Cu-jing digengga m serta digoyang2kan,
lalu menyilakan ta munya masuk. dia berpesan kepada pelayan:
"Pelayan, lekas bikin teh."
Pelayan mengiakan dan mengundurkan diri.
Tu Hong-seng segera tutup pintu, cepat dia me njura, katanya:
"Ha mba tida k tahu kedatangan Jilingpan, harap dimaafkan."
Lim Cu-jing mengulap tangan, katanya tertawa bangga: "Tu-
heng, me mangnya tempat apa di sini? Lebih baik kita saling
me mbahasakan saudara saja."
"Ya. . . . . silakan duduk Lim-heng," sejenak Tu Hong-seng
tergagap.
Lim Cu jing tidak sungkan, dia duduk di kursi sebelah sana.
Pelayan telah datang pula membawa dua cangkir kosong dan sepoci
teh wangi panas.
Tu Hong-seng mengisi secangkir penuh, dengan sikap menjilat
segera dia aturkan ke depan Lim Cu jing, katanya: "Silakan minum
Lim-heng."
"Terima kasih," ucap Lim Cu-jing, lalu dia duduk dengan bersikap
kereng, katanya tegas: "Laporan Tu-heng sudah kubaca dengan
seksama." Padahal laporan Tu Hong-seng diserahkan kepada Ki
Seng jiang, bahwa dia mengatakan sudah me mbaca laporan itu,
berarti dia adalah orang terpercaya dari Ki Seng-jiang.
Dari Ki Lok, kacung Ki Seng-jiang, Tu Hong-seng sudah
mendapat tahu bahwa Jilingpan yang baru ini adalah utusan dari
istana Hok, asal usulnya tentu luar biasa. Sudah tentu sikapnya
sangat hormat, lalu ia mohon petunjuk, katanya: "Entah bagaimana
pendapat dan petunjuk Lim-heng?"
Lim Cu jing tertawa tawar, mendadak dia berbisik: "Jongtai
serahkan perkara ini padaku untuk menyelesaikannya , ada
beberapa soal yang ingin kutanyakan kepada Tu heng."
"Ada soal apa yang kurang jelas, boleh Lim-heng tanyakan, bila
kutahu tentu kuje laskan."
"Yang ingin kutanyakan adalah beberapa ke lompok orang2 Pek
hoa pang yang pernah Tu heng lihat di tengah jalan itu, entah di
mana Tu-heng me lihat mereka? Berapa orang dan siapa saja
mereka?"
"Tengah hari kedua setelah aku keluar dari perbatasan, di daerah
kim kou-tun kulihat seorang tua dan muda beserta dua nona, laki2
tua muda itu aku tidak mengenainya, tapi kedua nona itu sudah
kukenal baik."
"Siapa kedua nona itu?"
"Lim-heng sudah me lihat laporanku itu, tentunya juga tahu
bahwa dari Ceng liong ta m Yong King-tiong dan Ling Kun-gi pernah
menolong dua laki dan dua perempuan, dua nona yang kulihat itu
adalah nona2 yang ditolong keluar dari Ceng-liong-ta m itu, kalau
tidak ke liru she Tong dan she Cu."
"Laki2 tua muda yang dimaksud tentu Cu Bun-ho dan Tong Siau-
khing," de mikian pikir Lim Cu-jing. Dengan mengangguk dia
me mberi komentar, "Ya, tapi belum tentu mereka menuju ke Jiat-ho
sini, apakah mere ka pernah me lihat Tu-heng?"
"Tida k," tutur Tu Hong-seng lebih lanjut. "waktu aku melihat
mereka, mereka sudah naik kuda hendak berangkat, kuatir jejakku
konangan, maka aku menginap di hotel, petangnya kulihat pula
rombongan orang lain."
"Siapa pula rombongan ini?"
"Dua laki2 kurus me mbawa seorang gadis, mereka menunggang
kereta keledai, merekapun menginap di Kim-kau-tun, gadis itu juga
sudah kukenal juga, dia berna ma Un Hoan-kun, orang dari keluarga
Un di Ling la m yang panda i menggunakan obat bius, aku pernah
merasakan ke lihayan obat bius si budak centil itu, karena itulah aku
menjadi tawanan mereka."
"Ke mudian Tu-heng me lihat kelompok siapa pula?"
"Tida k, karena hari kedua sebelum terang tanah aku sudah buru2
me lanjutkan perjalanan ke Jiat-ho sini."
Lim Cu jing tersenyum, katanya: "Di tengah jalan Tu-heng hanya
me lihat beberapa gadis yang kau kenal itu, berdasar apa kau berani
menyimpulkan bahwa tujuan mere ka ke Jiat-ho? Dan lagi hanya
beberapa nona2 manis belaka, me mangnya apa yang bisa mereka
lakukan?"
"Benar," sahut Tu Hong- seng yakin, "je las mereka bertujuan ke
Jiat-ho, walau hanya dua kelompok ini saja yang kulihat, tapi
kuduga pasti ada beberapa rombongan yang lain pula, termasuk
Ling Kun-gi di dala mnya, bocah she Ling itu katanya murid Hoan-jiu
ji lay. ilmu silatnya tinggi, lawan yang paling tangguh di antara
mereka."
"Bahwa Pek hoa-pang bermusuhan dengan Hek-liong bwe itu
merupakan pertikaian orang2 Kangouw, sebetulnya tiada alasan
mereka meluruk ke Jiat-ho sini."
"Lim-heng, mungkin kau belum tahu, tujuan mereka ke Jiat-ho ini
mungkin henda k menuntut ba las kepada Jongtai."
Pura2 kaget dan heran Lim Cu-jing, ia bertanya: "Kawanan
pemberontak ini berani menuntut balas apa kepada Jongtai? Apakah
mereka bermusuhan dengan Jongtai?"
"Agaknya Lim-heng me mang tida k tahu, dulu Hek-liong-hwe
didirikan untuk me lawan pe merintahan kerajaan kita, beberapa jago
kosen dari istana raja menjadi korban di sekitar sarang Hek-liong-
hwe, waktu itu Ki-jongtai baru berpangkat ke las tiga di pasukan
bayangkari, dia pula yang ditugaskan untuk mengusut perkara ini,
dialah yang me mbujuk a ku dan kawan2 la in untuk menyerah dan
berbakti kepada kerajaan sehingga Hek-liong-hwe akhirnya dapat
kita gempur dan duduki, belakangan kerajaan mengangkat Ki-
jongtai secara resmi sebagai komisaris Hek-liong-hwe, akupun
dinaikkan pangkat menjadi Koan-tai."
Dia m2 Lim Cu jing me mbatin: "Jadi yang menjual Hek-liong-hwe
dulu kaupun ikut a mbil bagian, kau me mang pantas ma mpus." Tapi
Cu-jing pura2 me lenggong, lekas dia merangkap tangan katanya:
"Jadi sela ma dua puluhan tahun ini Tu-heng sudah ikut Jongtai,
maaf Cayhe berlaku kurang hormat."
"Mana berani," terbayang rasa bangga pada mimik muka Tu
Hong-seng, katanya: "Coba Lim-heng bayangkan. Maha Pangcu
Pek-hoa pang adalah puteri Thi-hwecu Hek-liong-hwe yang dulu,
setelah Hek liong-hwe kita rebut, mana mereka mau melepaskan Ki
jongtai?"
Lim Cu jing mendengus, katanya: "Memangnya mereka berani
berontak di wilayah Jiat-ho?"
Tujuan Lim Cu jing ke mari adalah untuk me licinkan jalan dala m
peranannya untuk berma in sandiwara menyelidiki beberapa
kelompok pe mberontak sesuai yang dilaporkan Ki Seng- jiang oleh
Tu Hong seng, sudah tentu dia harus mencari hubungan pada Tu
Hong-seng serta me mbukt ikan alibinya mala m ini berada di te mpat
Tu Hong-seng, Tapi dari pe mbicaraan ini, secara tak terduga dia
me mperoleh dua bahan pertimbangan yang a mat berharga.
Pertama, Tu Hong-song ternyata adalah salah satu dari anggota
Hek-liong-hwe yang khianat, menjual perkumpulan dan
pemimpinnya kepada kerajaan, mungkin Yong King-tiong sendiri
tidak tahu akan hal ini.
Kedua, Tu Hong-song hanya melihat jejak kelompok Cu Bun-hoa
dan Un It-hong di Kim-kou-tun, jejak mereka selanjutnya belum
diketahui dengan pasti.
Setelah mengobrol sekian la manya pula, maka Lim Cu jing
berdiri, katanya: "Tiba saatnya aku harus mohon diri, supaya tidak
menarik perhatian lawan, aku menginap di bilangan belakang Tang-
sun-can, perkara ini oleh Jongtai sudah diserahkan padaku dan Tu-
heng diminta me mbantu, bila Tu-heng mene mukan apa2 harap
sewaktu2 me mberi kabar ke sana"
"Sudah tentu," ucap Tu Hong-seng dengan sungguh2, "Lim-heng
adalah orangnya Ki-jongtai dan juga atasanku, aku akan tunduk dan
patuh pada segala perintah Lim-heng."
Setiba di depan pintu Tu Hong seng masih ma u mengantar
keluar. Lekas Lim Cu-jing berkata: "Tu-heng tak usah mengantar,
jangan kita perlihatkan jejak di sini." -Lalu dia tarik daun pintu
menutupnya dari luar terus melangkah pergi.
Waktu tiba di hotel, kentongan pertama sudah la lu, setelah
me mada mkan la mpu, lekas Lim Cu-jing lepas jubah, segesit kucing
dia menyelinap keluar melalui jende la. Dengan Ginkang yang tinggi
laksana segumpal asap dia mela mbung .tinggi ke atas terus
berlompatan di antara wuwungan rumah ke arah utara.
Tak la ma ke mudian, Pit-siok-san-ceng yang megah dan angker
sudah kelihatan dari kejauhan. Dia m2 Lim Cu-jing melompat turun
ditempat gelap, dengan me minja m bayang2 rumah penduduk dia
menyelinap kian ke mari dan a khirnya tiba di te mpat sepi, dengan
gerak kecepatan yang luar biasa dia meluncur kekaki tembok, tanpa
menge luarkan suara, dengan ringan dia hinggap di te mbok istana.
Pagi tadi dia sudah apalkan letak asrama pasukan bayangkari,
matanya yang tajam sekilas menyapu pandang sekelilingnya,
tempat di mana ia berada kebetulan di sebelah selatan, dari sini ada
sebuah jalanan datar menjurus ke asrama pasukan bayangkari itu,
jalan lebar ini dipagari pohon2 tua dan tinggi besar, sangat baik
untuk te mpat se mbunyi.
Tapi jarak pepohonan itu masih ada puluhan, tomba k dari
tembok, di tengah masih dipisahkan sungai kecil. Tapi Lim Cu-ling
tidak banyak pikir, ia meneliti sebentar, seringan burung ia menutul
permukaan air, terus melambung tinggi pula dan hinggap di
seberang sungai. Hanya sekali tutul pula badannya meluncur maju
dan sekali berkelebat ia sudah meluncur ke pinggir hutan di bawah
bukit, sebat sekali bayangannya ditelan kege lapan dibalik hutan,
setangkas kera dia lompat ke atas pohon terus berlompatan di
antara pucuk pohon.
Untung dia berlompatan seperti terbang. di pucuk pohon, dari
sini didapatinya jalan berbatu di bawah, pada setiap pengkolan pasti
dijaga oleh dua orang. Malah ada pula barisan ronda yang mondar-
mandir.
Betapapun villa di sini adalah tempat kedia man raja, meski
baginda jarang menetap di sini, tapi aturan dinas tetap berlaku,
maka penjagaan tetap amat ketat dan keras.
Berlompatan terbang di atas pohon Lim Cu-jing tidak perlu kuatir
jejaknya akan konangan, apalagi tanpa rintangan, cepat sekali dia
sudah me mbe lok ke la mping gunung dan tiba di bela kang
pekarangan besar di belakang asrama pasukan bayangkari. Dari
ketinggian dia menyapu pandang sekelilingnya, lalu seringan daun
jatuh dia menukik turun menyusur tanah lapang yang bersemak2,
sekali kakinya menutul, ke mba li ia me la mbung ke atap rumah.
Asrama pasukan bayangkari a mat luas, luar dala m se luruhnya
ada tiga lapis bangunan, untung siang tadi Lim Cu-jing pernah
ke mari, sedikit banyak dia masih apal tempat ini. Dengan gerakan
yang luar biasa cepat, langsung dia me nuju ke ka mar Ki Seng jiang.
Selamanya keadaan di sini tetap aman, tak pernah terjadi onar,
mimpipun mereka tak mengira ada orang yang berani menyelundup
ke mari, walau ada penjagaan, hakikatnya mereka tidak waspada.
Maka dengan leluasa Lim Cu-jing terus maju ke depan tanpa
konangan.
Sebelah utara ka mar buku merupakan kebun bunga yang luas,
karena kamar buku merangkap kantor kerja Ki Seng jiang, ma ka
kebun itu dipagari te mbok. Dengan enteng Lim Cu jing melayang
turun di kebun bunga ini, sekali berkelebat dia menyelinap maju ke
bawah jendela, kertas jendela dia tusuk berlubang dengan jari lalu
mengintip ke da la m.
Waktu sudah menjelang kentongan kedua, sudah tentu kamar
buku itu kosong tiada orang. Pe lan2 Lim Cu jing menyongkel jende la
lalu melejit masuk ke ka mar buku. Matanya dapat melihat jelas
ditempat gelap, maka langsung dia mengha mpiri kursi yang berlapis
kain sutera tempat duduk Ki Seng-jiang, sekilas dia mene liti meja,
laporan Tu Hong-seng t iada lagi, maka pelan2 dia berduduk,
pelahan ia me narik laci.
Pada detik2 itulah tiba2 ia mendengar suara "trak, trak", dari
sandaran kursi me ndadak menjepret keluar tiga jepitan baja.
Batangan besi menerobos dari bawah ketiak kanan kiri menjepit
dada, yang kedua menjepit pinggang dan yang ketiga menjepit kaki
kanan kiri. Sudah tentu pada sandaran tangan masing2 juga
menjepit keluar borgol tangan, tapi kedua tangan Lim Cu-jing tadi
sedang menarik laci sehingga tidak terborgol.
Kejadian a mat mendada k, keruan Lim Cu jing kaget setengah
mati. Laci sudah tertarik, tumpukan kertas laporan Tu Hong-seng
me mang berada dalam laci. Tapi badan Lim Cu jing sudah terjepit di
kursi, kecuali kedua tangan, sekujur badan tak ma mpu bergerak
lagi.
Untunglah kedua tangan masih bebas, hal inilah yang menghibur
dan menabahkan hatinya, ia yakin dirinya masih ma mpu me loloskan
diri. Lebih celaka lagi begitu ketiga jepitan itu me mbelenggu
badannya, agaknya alat rahasiapun telah bekerja, tepat di atas
dinding di belakang kursi itu mendadak terdengar dering kelinting
yang berbunyi ramai. Ma la m gelap nan sunyi, maka suara alarm ini
kedengaran jelas dan berkumandang jauh, sebentar lagi seluruh
penghuni asra ma ini akan bangun dan me mburu ke sini.
Lim Cu jing agak gugup, dia coba me mbetot jepitan di depan
dada, tapi jepitan ini tera mat kukuh, maklumlah terbuat dari besi
baja. Cepat ia keluarkan Seng-ka-kia m, pedang disusupkan,
"Creeng", dengan mudah jepitan baja di depan dada dan pinggang
terpotong putus, sigap sekali Lim Cu-jing terus berdiri.
Didengarnya dari ka mar sebelah berkumandang bentakan keras:
"Pe mberontak beryali besar, berani bertingkah di istana raja." - Kain
gorden tersingkap, tampak Ki Seng-jiang dengan pa kaian ringkas
menerobos masuk sa mbil menenteng Yu-liong-kia m dan langsung
menubruk ke arah Lim Cu-jing.
Lim Cu-jing se makin gelisah, dari kejauhan tangan kiri menepuk
menyongsong kedatangan Ki Seng-jiang, cepat2 tangan kanan
menggerakkan pedang pende k untuk me mutus jepitan yang
mengacip ka kinya, dengan mudah kedua jepitan inipun dia
putuskan.
Ki Seng-jiang me mang tida k malu sebagai komandan pasukan
bayangkari, gerak-geriknya gesit dan tangkas, padahal dia sedang
menubruk dengan sengit, tapi begitu melihat Lim Cu jing
menyongsong dengan pukulan tangan, deru angin kencang terasa
mengiris mukanya, badan yang terapung itu, lekas2 miring
kesamping, sementara pedang ia pindahkan ke tangan kiri, cepat
sekali tangan kanan me mukul ke depan.
Dua angin pukulan bentrok mengakibatkan suara keras
menimbulkan pusaran kencang, terasa oleh Lim Cu-jing, meski Ki
Seng jiang me lontarkan pukulan dikala badannya terapung, ternyata
kekuatannya setanding dengan tenaga angin pukulannya, mau tidak
mau dia merasa kagum dan mencelos hatinya.
Pada saat itulah tampak cahaya benderang, Ki Lok berlari keluar
dari balik ka mar sebelah sambil me mbawa la mpu sorot jarak jauh,
sasarannya tepat ke badan Lim Cu-jing.
Kedua mata Ki Seng-jiang tampak mende lik tajam menatap Lim
Cu-jing, setelah menggera m sekali dia tanya: "Anak muda, siapa
kau?"
Tak perlu kau tanya siapa aku," jengek Lim Cu-jing. Se mbari
bicara pelan2 tangan kanan menekan ke dala m laci di mana laporan
Tu Hong-seng berada. Soalnya laporan ini menyangkut jiwa
beberapa orang, jika Ki Seng-jiang sampai melaporkannya ke istana,
tentu buntutnya teramat panjang.
Melihat orang mengulur tangan ke dala m laci, Ki Seng jiang
mengira orang hendak mencuri laporan itu, keruan ia gusar,
hardiknya: "Lepaskan!"
Sekali berke lebat dia menubruk tiba, tangan kanan terayun, sinar
pedangpun menyapu tiba.
Tapi Lim Cu-jing tida k mundur juga tidak berkelit, pedang pendek
me mancarkan cahaya gemilang, begitu kedua sinar pedang saling
bentrok menimbulkan suara nyaring menusuk telinga, hanya
sekejap saja kedua orang sudah saling bergebrak tiga kali.
Tampak selarik sinar pedang dingin menggaris lewat di antara
perut dan dada Ki Seng-jiang. Selama hidupnya belum pernah Ki
Seng jiang menghadapi ilmu pedang seaneh dan se lihay ini, keruan
darahnya tersirap, lekas dia menarik napas mendekuk dada serta
menyurut mundur sekuatnya, tapi tak urung baju di depan dadanya
koyak tergores oleh taja m pedang pendek Lim Cu jing itu.
Dika la pedangnya berhasil paksa mundur Ki Seng-jiang inilah,
mendadak Lim Cu-jing mendengar sebuah suara halus lirih: "Lekas
mundur Lim-heng, kalau tertunda pasti tak keburu lagi!"
Karena, suara bisikan tera mat lirih dan ha lus, sukar bagi Lim Cu
jing me mbedakan suara siapa?"
Muka Ki Seng jiang tampak me mbesi hijau, pedang melintang di
depan dada, hardiknya bengis: "Kau ini Ling Kun-gi!" - Hanya murid
Hoan-jiu ji-lay yang mahir menggunakan pedang dengan tangan
kiri, ma ka segera ia dapat mengena lnya. . .
"Tida k salah," sahut Lim Cu jing, Mendadak pedangnya
mendahului bergerak menjadi selarik sinar kilat menerobos jendela
diikuti luncuran badannya.
Berdiri alis Ki Seng-jiang, hardiknya: "Masih ingin lari ke ma na
kau?" - Segera ia mengudak dengan suatu tubrukan. Tapi dika la
hampir saja mencapai jendela, mendadak didengarnya sebuah suara
me mbentak: "Awas!" - Serangkum jarum le mbut tahu2 bertaburan
ke arah dirinya.
Maklumlah dika la Cu-jing menyentuh alat rahasia sehingga
menimbulkan dering alarm sa mpai dia menerjang keluar jendela
terpaut hanya beberapa kejap saja, begitu mendengar suara
peringatan tadi, tahu2 segenggam jarum menyongsong mukanya
dari sebelah atas, sebagai jago yang berpengalaman, lekas Ki Seng
jiang kebutkan lengan baju disertai angin pukulan kencang,
sementara dengan paksa dia mengerem tubuhnya terus mencelat
balik delapan kaki jauhnya. .
Pada saat itu pula, dua orang penjaga di luar telah me mburu
datang. Demikian pula para pimpinan utama dari ketiga barisan
pasukan bayangkari karena mendengar dering peringatan be ramai2
juga me mburu t iba Ki Seng-jiang menca k2 gusar seperti kebakaran
jenggot, bentaknya murka: "Kalian gentong nasi se mua, hayo lekas
kejar!"
Waktu Lim Cu jing menerobos keluar dari jende la, dilihatnya di
atas tembok di taman belakang sana berdiri seorang pelajar
berjubah putih tengah memberi tanda lambaian tangan kearahnya,
berbareng ia pun mendengar suara lembut lirih: "Lekas ke mari Lim-
heng, mundurlah dari arah datangmu tadi."
Semula Lim Cu-jing mengira ada seorang kena lan atau orang
pihak sendiri yang me mbantunya, kini setelah jarak agak dekat baru
dia lihat bahwa pemuda pelajar ini sela manya belum pernah
dikenalnya, keruan ia melenga k, tanyanya: "Saudara ini ......."
"Jangan banyak tanya," kata pemuda pelajar baju putih, "le kas
kau menyingkir dulu."
"Dan kau . . . . "
"Lekas pergi aku tidak apa2" habis berkata mendadak dia
me la mbung tinggi, berbareng menghardik: "Awas!" - Tangan
terayun, dia ha mburkan segengga m jarum ke arah jendela.
Lim Cu-jing tida k sempat bicara lagi, segera ia melambungkan
tubuh setinggi mungkin, kaki ke mba li me nutul di atas te mbok,
seenteng burung ia melayang turun di tanah berumput, sekali
lompat lagi dia menerobos masuk ke dala m hutan. Waktu dia
berpaling, bayangan pemudi pelajar baju putih sudah tidak kelihatan
lagi, tapi dilihatnya tujuh delapan bayangan orang sama muncul dari
kamar Ki Seng-jiang me ngejar ke arah yang berlawanan dengan
arah dirinya ini."
Lim Cu-jing maklum bahwa pe muda pelajar baju putih sengaja
me mancing musuh mengejar ke arah yang berlawanan, supaya
dirinya dapat me larikan diri dengan le luasa. Bila dia tidak apal a kan
seluk beluk villa raja ini, tak mungkin dia dapat menolong dirinya,
me mangnya siapakah dia?
Benak berpikir sementara langkah Lim Cu-jing tak pernah
berhenti, dengan menge mbangkan Thin-liong-ih-bong-sin-hoat dia
berlompatan dari pucuk pohon yang satu melayang kepucuk pohon
yang lain. Meski terjadi geger dan keributan besar di villa raja itu,
tapi seperti apa yang dikatakan pemuda baju putih, sepanjang jalan
ini keadaan tetap tenang tidak terlihat adanya gerakan sama sekali.
Dengan le luasa akhirnya Lim Cu jing mengundurkan diri dari villa
raja langsung ke mbali ke dala m ka marnya terus tidur.
Dala m hati dia masih me mikirkan kesela matan pemuda pelajar
baju putih, entah orang sudah selamat meninggalkan tempat itu
tidak? Padahal dirinya tidak mengena lnya, entah dari mana dia tahu
dirinya she Lim? Tengah layap2 hampir tertidur, tiba2 di dengarnya
derap kaki orang mendatangi dan berhenti di depan ka marnya.
Terdengar pelayan berkata, "Lim-ya tinggal di dala m ka mar ini,
mungkin sudah tidur, biar hamba mengetuk pintu." - Lalu terdengar
daun pintu diketuk pelahan dari luar dua tiga kali pelayanpun
berteriak dengan suara tertahan: "Lim-ya, Lim-ya, engkau
bangunlah sebentar."
Dengan suara di buat2 Lim Cu-jing bertanya: "Siapa?"
"Ada seorang teman datang mencarimu, katanya ada urusan
penting," sahut pelayan.
Maka didengarnya suara Go Jong-gi berkata: "Lim-heng, inilah
aku, Go Jong-gi."
Lim Cu-jing me mbuka pintu dengan mata masih kelihatan sepat,
me lihat Go Jong- gi, dia terbelalak, serunya: "Me mangnya ada
urusan apa?"
Agaknya Go Jong -gi gugup dan tidak sabar, lekas dia tarik orang
masuk ke ka mar, katanya:
"Ada huru-hara di villa, Ki-to suruh aku ke mari me manggilmu
sebentar."
Lekas Lim Cu-jing pakai jubah luarnya, tanyanya: "Ada huru hara
apa?"
"Ki-to sedang menunggu, biar nanti kuceritakan di tengah jalan,"
ujar Go Jong gi.
Lim Cu-jing me ngiakan, bergegas mereka ke-luar, sementara
pelayan sudah menyiapkan kuda Lim Cu-jing. Go Jong-gi juga
datang naik kuda, langsung mereka ke mbali ke istana.
Di tengah jalan secara ringkas Go Jong-gi ceritakan kejadian
yang diketahuinya. Yang dikuatirkan Lim Cu-jing ada lah
keselamatan pe muda baju put ih, ma ka dia pura2 kaget dan
bertanya: "Ada kejadian begini? Entah tertangkap tidak penyatron
itu?"
"Entahlah, Jongtai mendesakku ke mari menje mput Lim-heng,
agaknya pembuat onar itu belum tertangkap, seluruh kekuatan
dipencar untuk mencari jejaknya."
Tergerak hati Lim Cu-jing, pikirnya: "Dari nada bicaranya,
agaknya Ki Seng-jiang menaruh curiga terhadap diriku? Hm, soalnya
aku kurang leluasa turun tangan membunuhnya di istana, karena
kejadian ini akan me nimbulkan banyak kesukaran la in, bila
samaranku betul2 konangan, hanya pengawalnya yang
berkepandaian cakar ayam itu me mangnya ma mpu mengurung dan
menangkapku?"
Cepat sekali mereka sudah tiba di istana, suasana terasa tegang,
penjaga berbaris dengan senjata terhunus, anak panah terpasang di
busur, semua siap siaga mirip menghadapi serbuan musuh.
Go Jong-gi bawa Lim Cu-jing langsung ke asrama pasukan
bayangkari di belakang istana. Lampu tampak terang benderang di
kamar Ki Seng-jiang, tapi suasana hening, tampak Ki Seng jiang
dengan muka bersungut, duduk di kursinya.
Lim Cu-jing masuk diiringi Go Jong-gi. Lim Cu-jing menjura,
katanya: "Jongtai me manggil ha mba, pasti ada pesan apa2."
"Duduklah," ucap Ki Seng-jiang mengulap tangan. "Ada
pembunuh yang me mbuat onar di sini, kau sudah tahu?"
"Di jalan ha mba mendengar cerita Go lingpan," sahut Cu-jing.
Ki Seng jiang tertawa dingin, dia tuding kursi kebesarannya,
katanya: "Coba kau periksa."
Cu jing maju dan pura2 kaget, katanya: "Kursi Jongtai dirusak
orang,"
"Kursiku ini dibuat seorang ahli dari kota raja, di dala mnya
terpasang alat rahasia, kecuali aku siapapun yang duduk di situ
pasti akan terbelenggu oleh jepretan besi, tak nyana Ling Kun gi
keparat itu ternyata bernasib mujur, meski sudah terbelenggu tapi
kedua tangannya masih bebas. Kalau orang lain, karena jepitan besi
itu terbuat dari baja, betapapun tak mungkin bisa meloloskan diri,
tapi keparat itu memiliki pedang pusaka, dengan mudah dia berhasil
me motong putus jepitan besi . . . . " lalu dia menyambung: "Coba
kau tarik laci itu."
Cu-jing segera menarik laci, sekilas dia berpaling ke arah Ki
Seng-jiang, maksudnya minta petunjuk apa yang harus dia lakukan
lagi.
"Coba kau periksa, apakah kertas laporan Tu Hong-seng itu ada
kelainan?"
Hamba tidak me lihat adanya tanda2 tidak benar? Me mangnya
ada orang yang menukarnya?"
"Coba kau balik satu le mbar pertama "
Segera Lim Cu-jing ulurkan tangan tapi setumpukan kertas
laporan yang kelihatan utuh itu begitu tersentuh jari lantas remuk
menjadi bubuk, keruan dia berjingkat kaget, teriaknya: "He, apa
yang terjadi?"
Ki Seng-jiang terke keh, katanya : "Inilah Tu-yang-kang, salah
satu daripada ke 72 ilmu Siau-lim-pay, kekuatannya dapat melebur
emas dan mere muk batu."
"Jadi Ling Kun-gi adalah murid Siau-lim-pay?" seru Lim Cu jing.
"Dia murid Hoan jiau ji-lay. Hoan-jiau ji-lay pernah berdiam dua
puluh tahun di Siau lim si, konon sela ma seratusan tahun ini tiada
seorangpun murid Siau-lim si yang ma mpu sekaligus me mpelajari
beberapa ilmu sakti, tapi Hoan-jiau ji-lay sendiri sekaligus dapat
mencakup sepuluh maca m lebih, malah se luruhnya a mat mahir."
Lim Cu jing angkat kepala, katanya- "Laporan Tu Hong-seng ini
sudah hancur, apakah perlu suruh dia bikin lagi?"
Ki Seng-jiang mengangguk, katanya: "Betul, maka itulah kusuruh
kau ke mari, kalau laporan Tu Hong-seng dihancurkan, ma ka
keselamatan jiwa Tu Hong-seng sendiri pasti terancam, keadaannya
jelas amat berbahaya, tapi kemungkinan Ling Kun-gi dan
kawan2nya belum tahu jejaknya, maka tugas uta ma yang terpenting
sekarang selekasnya harus kau suruh dia bikin pula laporan itu, lalu
suruh seluruh anggota kelompok pertama menyamar dan berpencar
di Liong-kip untuk melindunginya secara diam2, kita gunakan dia
sebagai umpan . . . . . . . "
Belum habis bicara didengarnya langkah orang mendatangi,
terdengar Pui Hok-ki berseru di luar: "Ha mba Pui Hok-ki dan Pi Si-
hay datang melapor."
"Masuk!" sahut Ki Seng-jiang.
Pui Hok-ki dan Pi Si-hay beriring masuk, melihat kehadiran Lim
Cu-jing, mereka menyapa dengan anggukan kepa la.
Sebelum kedua orang itu berbicara, Ki Seng-jiang mendahului
tanya: "Bagaimana hasil pe meriksaan kalian?"
Pui Hok-ki menjura, katanya: "Hamba sudah periksa seluruh
pelosok, tapi tiada ta mpak jejak penyatron itu."
Ki Seng-jiang melirik ke arah Pi Si-hay, tanyanya: "Pemuda baju
putih itu me mbantu Ling Kun-gi dan lari ke arah barat, apa kalian
berhasil mengejarnya?".
Sikap Pi Si-hay tampak kikuk, katanya: "Hamba sudah periksa
seluruh istana bilangan barat, dari depan sampai belakang, tapi
jejak musuh tidak kelihatan . . . . . . .. "
Sebelum orang bicara habis, Ki Seng-jiang sudah berjingkrak
gusar: "Me mangnya mereka tumbuh sayap dan bisa terbang
menghilang?"
Tiba2 terdengar seorang berseru didepan pintu: "Ha mba Hok Ji-
liong datang melapor."
"Masuk," bentak Ki Seng-jiang.
Baru saja Hok ji-liong me langkah masuk, Ki Seng-jiang sudah
tanya: "Kaupun tidak berhasil mene mukan jeja k pe mbunuh itu,
betul tidak?"
Hok Ji-liong menunduk sa mbil mengiakan..
"Blang", Ki Seng-jiang menggebrak meja dengan gusar,
teriaknya: "Kalian gentong nasi semua, pemberontak mengacau ke
asrama kita, mereka hanya dua orang, sedang kalian berpuluh
orang tak berhasil menangkapnya?"
Tiga pimpinan uta ma dari ketiga barisan pasukan bayangkari
sama menunduk tanpa berani bersuara. Sesaat kemudian, Pui Hok-
ki pula yang berkata: "Lapor Jongtai, menurut pandangan ha mba,
Ling Kun gi dari orang berbaju putih itu teramat apal akan seluk
beluk istana ini, mereka buron ke jurusan Jiang-ciok, daerah belukar
yang sepi dan jarang diinjak manusia, penjagaan kitapun terlemah
di sebelah sana, asal lolos ke balik gunung sana, maka sukarlah
ditemukan."
Ki Seng-jiang mengiakan, lalu katanya dengan tetap muring2: "Pi
Si-hay, tugaskan sekelompok barisanmu keJiang-ciok, penjagaan di
daerah belukar itu harus diperketat, beritahukan pula kepada
komandan regu yang bertugas di sana, Liok-koantai, suruh dia
me mperkuat penjagaaan, jangan lalai."
Pi Si hay mengiakan sa mbil me mbungkuk.
Sesaat Ki Seng jiang berpikir, katanya kemudian: "Kukira orang
berbaju putih itu adalah Pek-hoa-pangcu Bok-tan, cuma baga imana
mungkin mereka begitu apal akan seluk beluk istana kita ini?"
Pui Hok ki kaget dan heran, tanyanya: "Jong-tai mengira si baju
putih itu pere mpuan?"
Kata Ki Seng jiang sambil menge lus jenggot: Waktu Ling Kun-gi
menerobos keluar, baru saja aku hendak mengejar, kudengar dia
me mbentak "awas", meski sengaja dia tekan suaranya, tapi mana
dapat kelabui aku? Jelas itu suara orang pere mpuan, dan lagi Bwe-
hong-cia m yang ia sa mbitkan itu kebanyakan dipaka i oleh kaum
perempuan, perawakan orang itupun ra mping se ma mpai,
ke mungkinan dia ma lah Pek-hoa-pang Pangcu."
Dia m2 Lim Cu jing merasa heran, mengingat kejadian semala m,
nyata pengalaman Ki Seng-jiang me mang luas, apa yang dikatakan
tidak salah, pelajar baju putih itu berperawakan ra mping, suaranya
juga nyaring merdu, tidak mirip suara laki2. Tapi jelas dia tahu
bahwa pemuda pelajar baju putih bukan Bok-tan, malah belum
pernah dikena lnya. Lalu siapa dia?
"Peduli siapa mereka, kota Jiat-ho ini jangan disamakan dengan
Hek liong hwe," demikian Ki Seng-jiang menggebrak meja pula,
"pe mberontak takkan kubiarkan bertingkah di depan hidungku,
dalam tiga hari kuminta kalian harus me mbekuk Ling Kun-gi dan
orang berbaju putih itu, paling tidak kalian harus melapor jejak
mereka kepadaku."
Ketiga pimpinan utama pasukan bayangkari mengiakan bersa ma.
Ki Seng-jiang menoleh, katanya: "Lim-heng boleh pulang, dua hal
kuserahkan pada mu. Pertama, lindungilah kesela matan Tu Hong-
seng secara diam2, suruh dia membuat laporan itu pula secepatnya.
Kedua, periksalah seluruh losmen dan hotel di kota ini, adakah
orang2 yang patut dicuriga i."
"Ha mba terima tugas," sahut Lim Cu jing terus mengundurkan
diri.
Ki Seng-jiang berkata pula: "Go Jong gi, lekas kau bawa anak
buahmu ke kota, suruh mereka berdandan menurut ke inginan
masing2, sebelum mala m tiba sudah harus berpencar me masuki
losmen Liong-kip. Beritahu mereka supaya hati2 jangan
menimbulkan perhatian orang lain atas penyamaran mereka dan lagi
mereka dilarang berjudi dan berkumpul lebih dari tiga orang,
dilarang minum2, siapa melanggar perintah akan kupenggal
kepalanya."
Go Jong-gi me luruskan badan dan mengiakan, segera dia hendak
keluar.
Tunggu sebentar. Ki Seng jiang menanyainya, "setelah kau
sampaikan perintahku ini harus lekas ke mba li, masih ada perintah
lain untukmu."
Kembali Go Jong-gi me ngiakan terus mengundurkan diri.
Ki Seng-jiang menyapu pandang ketiga pimpinan uta ma barisan,
katanya: "Kalian boleh pergi istirahat, setelah terang tanah
perintahkan seluruh anak buahmu keluar untuk mencari info. Ohya,
harus ingat, Lim Cu-jing sudah kuperintahkan mengawasi setiap
penginapan, ma ka tugas ka lian perhatikan saja ruma h2 penduduk."
"Jongtai . . . ." Hok Ji-liong ragu2 untuk bicara.
"Jangan banyak bicara," Ki Seng-jiang menukas sa mbil mengulap
tangan, "kerjakan menurut perintah, tapi ingat, jangan me mukul
rumput mengejutkan ular."
Meski hati merasa heran dan tida k tahu ke mana juntrungan
perintah Jongtai, tapi tiga pimpinan uta ma ini tak berani banyak
bicara lagi, serempak mereka mengiakan dan mengundurkan diri.
Tak la ma ke mudian Go-Jong-gi sudah ke mbali setelah
menya mpaikan perintah.
Ki- Seng jiang lantas bertanya: "Waktu kau tiba di Tang-sun-can
tadi apakah Jilingpan tidur di ka marnya?"
Go Jong gi melenga k, cepat dia membenarkan. "Pelayan hotel
yang mengantarmu ke ka marnya?" tanya Ki Seng jiang pula.
"Betul," sahut Go Jong gi.
"Kau yang mengetuk pintu atau pelayan yang mengetuk?"
"Pelayan yang mengetuk."
"Jilingpan tidur nyenyak?"
"Agaknya, tapi pelayan mengetuk dua kali Jilingpan lantas
me mbuka pintu."
"Kau ikut masuk ke ka marnya?"
"Jilingpan me mang suruh ha mba masuk."
"Apa saja yang dia katakan padamu?"
"Setelah Jilingpan suruh pelayan pergi, dia lantas tanya hamba
ada urusan apa? Hamba bilang disuruh Jongtai mengundangnya
pulang," la lu dia ceritakan kejadian tadi dengan jelas.
Ki Seng-jiang hanya mengangguk2 mendengar ceritanya:
"Apakah ha mba berbuat salah?" tanya Go Jong-gi was2.
Ki Seng-jiang tersenyum, katanya: "Tidak, aku hanya ingin tahu
apakah Jilingpan cukup cerdik dala m menunaikan tugasnya? Dia
kutugaskan ke Tang-sun-can secara rahasia, asal-usul kita sekalian
tidak boleh bocor. Sudah t iada urusan lain, kau boleh pergi. Tapi
jangan kau bocorkan pertanyaan yang barusan kuajukan pada mu,
tahu tidak?"
Go Jong-gi mengia kan dan mengundurkan diri.
Ki Seng jiang mondar-mandir da la m ka marnya sambil
menggendong tangan, mulutnya mengguma m: "Kalau begitu, jadi
aku yang terlalu banyak curiga padanya."
-000-OdwO-000-

Dala m pada itu setelah meninggalkan istana, Lim Cu-jing terus


larikan kudanya, waktu itu baru menjelang kentongan kee mpat.
jalan raya masih sepi lenggang tiada orang, kudanya berlari
kencang lagi, dala m sekejap saja dia sudah ke mbali ke Tang-sun-
can. Kacung yang biasa mengurus kuda belum lagi bangun, seorang
pelayan melihat dia ke mba li segera lari menya mbut serta menerima
kudanya.
Lim Cu-jing langsung ke mbali ke ka marnya, baru saja melangkah
masuk pintu, mendadak terasa olehnya ada seseorang berada di
kamarnya, keruan dia melengak, tapi tenang saja dia menutup daun
pintu la lu dengan suara kereng me mbentak: "Siapa?"
Dari pojok dinding yang gelap sana berkelebat keluar bayangan
seorang, sahutnya lirih: "Inilah aku Ting Kiau."
Kini Lim Cu-jing dapat melihat jelas orang yang sembunyi di
kamarnya ini me mang Ting Kiau yang menya mar jadi ka kek, dia
bertanya heran: "Ada keperluan apa Ting-heng sa mpa i ke mari?"
"Baru sekarang Ling-heng ke mbali, dari mana kau?" tanya Ting
Kiau.
"Cayhe baru kembali dari istana. setelah terang tanah seluruh
pasukan bayangkari akan menggeledah kota dengan pakaian
preman, Ting-heng jangan la ma2 tinggal di dala m kota."
"Lohujin sudah pindah ke Pek-hun-an di luar kota, cuma beliau
kuatir akan kesela matanmu maka suruh aku ke mari me mberi kabar
padamu. Ki Seng-jiang adalah komandan tertinggi pasukan
bayangkari, kalau turun tangan di istana, perkaranya bisa menjadi
besar dan pasti menimbulkan akibat yang luar biasa, maka Ling-
heng dipesan supaya tidak turun tangan di istana . . . ."
Lim Cu jing alias Ling Kun-gi tertawa, katanya: "Ibu terlalu kuatir
bagiku, maksud beliau cukup kupaha mi. Kalau tidak mala m tadi
sudah kubunuh keparat she Ki itu."
"Aku disuruh me mberitahu kepada Ling-heng bahwa keluarga Ki
Seng-jiang tidak di sini, tapi dia punya seorang gundik yang tingga l
di taman keluarga Kauw di barat kota, dalam sepuluh hari sedikitnya
ada lima hari dia ngendon di rumah gundiknya itu."
"Darimana Ting-heng tahu ha l ini?" tanya Cu-Jing heran.
Ting Kiau tertawa, ucapnya: "Kudengar Pangcu Pek-hoa-pang
telah menyelundupkan seorang dara kembangnya yang bernama
Ing-jun, sekarang dia bekerja di sana."
Nama Ing jun tidak asing lagi bagi Lim Cu-jing, waktu di Coat-
seng-san-ceng dulu yang melayani dirinya juga Ing-jun adanya.
Akhirnya dia me ng-hela napas, ujarnya: "Pek-hoa-pang cukup lihay
dalam menana m mata2nya ke pihak musuh."
"Hari ha mpir terang tanah, aku harus le kas menyingkir dari sini."
"O, Ting heng, ada suatu hal, seke mbali nanti tolong kau
tanyakan kepada nona Bok-tan, dulu gubernur Shoatang yang
bernama Kok-thay punya seorang sekretaris yang bergetar Im-si-
boan koan Ci Kun jin, konon kini menye mbunyikan diri di Jiat ho
sini, entah dia tahu tidak hal ini? Sudah beberapa hari ini kucari
tahu, hasilnya nihil."
"Baiklah soal ini akan kusa mpaikan, bila ada kabarnya segera
kulaporkan ke mari," habis berkata Ting Kiau tarik pintu terus
menyelinap ke luar.
Setelah Ting Kiau pergi, Lim Cu-jing bersemadi sebentar, haripun
terang tanah.
Setelah makan pagi Lim Cu jing keluar dari Tang-sun-can
langsung menuju losmen Liong-kip. Di depan pintu dia melihat
anggota2 barisan kesatu yang menyamar sebagai pedagang,
seorang mengenakan topi berbentuk runcing tinggi, mengena kan
baju pendek dari ka in kasar, tangan me megang pecut, mirip kusir
kereta dengan lahapnya tengah makan pagi. Agaknya kamar losmen
penuh dihuni ta mu, karena belum ada ka mar kosong, terpaksa
mereka menunggu di luar.
Lim Cu-jing anggap tak kenal mereka, langsung dia berlenggang
ke dala m menuju ke pintu ka mar Tu Hong-seng, sekilas dilihatnya
Go Jong-gi juga menya mar dan t inggal di ka mar sebe lah Tu Hong-
seng, pintu kamarnya terbuka lebar. Pelan2 Lim Cu-jing lewat di
depan ka marnya, Go Jong-gi ter sipu2 maju menya mbut.
Lim Cu jing celingukan, dilihatnya tiada orang, segera dia
merendahkan suara bertanya: "Semuanya sudah menginap di sini?"
"Di sini hanya ada lima ka mar kelas satu, seluruhnya sudah
dihuni orang, sisanya yang lain hanya ka mar2 biasa." Sahut Go
Jong-gi.
Lim Cu jing mengangguk, katanya: "Baiklah, kau tidak usah cari
hubungan dengan Tu heng."
Go Jong gi mengiakan terus mengundurkan diri tanpa bersuara
lagi. Lim Cu jing langsung mendekati pintu dan mengetuk pe lahan
dua kali, teriaknya: "Tu-heng, sudah bangun??
Mendengar suara Lim Cu jing, lekas Tu Hong-seng menyahut:
"Lim-heng, sejak tadi aku sudah bangun!. silahkan masuk!" - Cepat
dia me mbuka pintu menyila kan orang masuk, lalu menutup pintu
pula, katanya: "Silahkan duduk Lim heng."
Lim Cu jing duduk di kursi dekat jendela, lalu tuturnya: "Semala m
ada onar di istana."
Terbelalak kaget Tu Hong-seng, tanyanya: "Ada onar di istana,
ada orang menyelundup ke sana?"
"Ya," jawab Lim Cu-jing, "dengan Tun-yang-kang
menghancurkan laporan Tu heng, dengan pedang pusaka yang
tajam luar biasa dia me motong besi belenggu di kursi Jongtai pula,
setelah bergebrak tiga jurus pedang dan sekali pukulan dengan
Jongtai, dia melarikan diri."
"Berhasil meloloskan diri?" seru Tu Hong seng kaget, "tujuannya
ke sana untuk menghancurkan laporanku itu, bahwa dia ma mpu
lolos dari tangan Jongtai, maka ilmu silatnya pasti amat tinggi,
entah siapa dia?"
Lim Cu jing menengadah, katanya: "Ling Kun-gi."
"Ling Kun gi," tanpa terasa Tu Hong-seng bergidik ngeri,
mukanya mengejang, mulutpun mengguma m: "Masa dia, betulkah
dia sudah datang ke mari?"
"Agaknya Tu-heng a mat takut padanya?" tanya Cu-jing.
"Bila dia sudah tiba di Jiat-ho, pasti takkan me mberi a mpun
padaku. kalau laporanku telah di hancurkan, me mangnya dia
mandah me mbiarkan mulutku bercerita lagi?"
Lim Cu jing tertawa dingin: "Tu-heng kan seorang kawakan
Kangouw yang kenyang mengecap pahit getirnya kehidupan,
kepandaian silat mu cukup tinggi, kenapa menyinggung Ling Kun-gi
lantas ketakutan begini rupa?"
Tu Hong keng menyengir, katanya: "Ada yang tidak Lim-heng
ketahui, bocah she Ling itu adalah murid Hoan-jiu-ji-lay. Han-hwecu
juga bukan tandingannya, dengan sedikit kepandaianku ini mana
aku ma mpu menandangi dia."
Dala m hati Lim Cu-jing me mbatin: "Mungkin tiga jurus saja
jiwa mu akan melayang " - Dengan bertopang dagu lalu dia berkata:
"Tu-heng mengagulkan dia begitu lihay, aku jadi ingin menjajalnya."
- Dengan tertawa tawar dia lantas menambahkan: "Tapi Tu-heng
tak usah kuatir, Jongtai sudah pikirkan kesulitanmu ini, maka aku
diperintahkan me lindungimu. pagi hari ini kawan2pun telah
kukerahkan ke mari, dengan menya mar mereka juga menginap di
losmen ini, asal dia berani datang, entah mati atau hidup pasti
kubekuk dia."
Sedikit lega hati Tu Hong-seng, katanya sambil menghela napas:
"Entah ada petunjuk apa pula dari Jongtai untukku?"
Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Ya, ada perintah dari Jongtai
supaya kau mengulangi laporanmu,"
"Ya, ya, pasti segera kuselesaikan," sahut Tu hong-seng, lalu
tanya: "Apakah Jongtai me mbatasi berapa la ma harus kuselesaikan
laporanku?"
""Batas waktu sih tidak ada, kupikir lebih ba ik Tu-heng kerjakan
secepatnya."
"Lim-heng benar, pasti segera kukerjakan,"
"Baiklah, lekas Tu heng tulis," ucap Cu jing berdiri, "aku tidak
mengganggumu lagi, kau boleh bekerja dengan tenang, sekeliling
kamarmu ini sudah dijaga ketat, apabila di siang hari bolong, pasti
dia takkan berani bertinda k, nanti ma la m aku datang pula."
"Sela mat jalan Lim-heng, aku tida k mengantar," seru Tu Hong-
sing.
Sekeluar dari losmen Liong- kip, dia m2 Cu jing berpikir, jejak Ki
Seng jiang sudah diketahui, entah di ma na pula Im-s i-boan-koan C i
Kun-jin itu menyembunyikan diri? Sebelum mene mukan jejak Cu
Kun-jin, tak mungkin dia turun tangan me mbunuh Ki Seng jiang.
Sebab begitu Ki Seng-jiang ma mpus, seluruh kota Jiat-ho ini pasti
gempar dan begitu mendengar berita ke matian Ki Seng-jiang, Ci
Kun-jin a kan segera angkat langkah seribu, ma ka tugasnya akan
lebih sulit lagi.
Menurut laporan Ting Kiau, Ki Seng-jiang punya seorang gundik
yang tinggal di taman bunga keluarga Kauw di sebelah barat kota,
untuk ini dia merasa perlu untuk menyelidik ke sana. Kini dia
me mperoleh tugas menyelidiki penduduk, kebetulan bisa diguna kan
sebagai alasan untuk keluyuran kian-ke mari.
Dia berlenggang di ja lan raya seperti orang tamasya, setiap jalan
pasti dia perhatikan dengan seksama, entah itu warung makan,
kedai minum, sarang judi, atau tempat mesum. Tapi hakikatnya dia
tidak kenal ta mpang Ci Kun-jin, kota Jiat-ho sebesar ini, laksana
mencari jarum da la m lautan belaka. Akhirnya dia tiba di kota
sebelah barat, haripun sudah lewat lohor.
Kota barat letaknya lebih menjurus ke utara, rumah penduduk
cukup padat. Berdiri pada persilangan jalan, Lim Cu-jing jadi
bingung sendiri. Soalnya Ting Kiau hanya me mberitahu bahwa
gundik Ki Seng-jiang ada di taman ke luarga Kauw di kota barat,
padahal dimana letak taman keluarga Kauw dia sendiri tida k tahu,
orang yang lalu lalang di jalan raya sinipun tidak banyak, apalagi
kurang leluasa untuk mencari tahu pada penduduk sete mpat.
Bahwa sekarang dia belum punya rencana turun tangan pada Ki
Seng-jiang, bila yang dia tanyai kebetulan ada hubungan ke luarga
dengan keluarga Kauw, bukankah urusan bisa runyam ma lah.
Sebagai komandan tertinggi pasukan bayangkari, Ki Seng-jiang
cukup disegani penduduk kota Jiat-ho, tempat kedia man pribadinya
di rumah gundiknya itu tidak diumumkan secara terbuka, tapi hal ini
sudah menjadi rahasia umum, bila keluarga Kauw itu ada hubungan
dengan gundiknya, bukan mustahil kaki tangan kepercayaannya
juga melindungi keluarga itu?
Akhirnya Lim Cu-jing a mbil keputusan akan maju lebih lanjut
untuk menyelidiki daerah ini. Ta k tersangka baru beberapa langkah
dia beranjak, dilihatnya di pinggir jalan di ujung gang sana terdapat
sebuah batu pertanda perbatasan dari satu jalan dengan jalan yang
lain, di atas batu tertulis "batas milik keluarga kauw". Kiranya gang
yang lebarnya cukup untuk jalan dua buah kereta berjajar ini bukan
jalan umum, tapi milik pribadi ke luarga Kauw. Ma klum gang yang
beralas batu gunung putih licin ini me njurus ke pintu gerbang
sebuah bangunan gedung yang besar.
Gang ini panjangnya ada seratusan meter, daun pintu gerbang
yang bercat merah tertutup rapat, sepasang gelang baja warna
hitam bergantung di daun pintu. Tak perlu disangsikan lagi di sinilah
letak gedung ke luarga Kauw. Agaknya orang she Kauw pemilik
gedung dan ta man ini punya pangkat dan harta yang berlimpah.
Sebagai tokoh yang disegani maka Ki Seng-jiang mendapat
pinja m te mpat yang biasanya untuk istirahat para pembesar yang
lagi cuti di Jiat-ho sini.
Jalan yang cukup lebar ini dipagari pohon yang tinggi, suasana di
sini sunyi, tanpa terasa Lim Cu-jing menyusuri lorong panjang ini
dan akhirnya me mbe lok ke kanan menyusuri sebuah sungai kecil,
menyeberang jembatan batu dan maju lebih lanjut, di sana keadaan
agak belukar, tapi di kejauhan sana tampak tembok kota. Lim Cu-
jing maju lagi beberapa jauh, kini dia berada di sebelah bela kang
taman atau gedung megah keluarga Kauw.
Akhirnya Lim Cu-jing naik sebuah bukitan yang cukup tinggi, dari
sini dia dapat melihat jelas keadaan sekelilingnya, ternyata tanah
milik ke-luarga Kauw bagian bela kangnya dipagari te mbok t inggi, di
luar tembok mengalir sebuah sungai kecil, cuaca me mang sudah
remang2, tapi masih ta mpak adanya pepohonan, tanaman bunga,
gardu dan tempat duduk di tengah taman serta bangunan
berloteng. .
Setelah menyaksikan sendiri letak tempat yang dicari, maka
legalah hati Lim Cu jing, dia merasa tidak perlu lama2 tinggal di sini,
menyusuri jalan datangnya tadi ia ke mbali menuju ke arah timur.
Waktu itu hari sudah petang, penduduk mula i menyulut pelita,
tiba di jalan raya timur, suasana mala m ini mula i rama i pula, tengah
dia mengayun langkah tiba2 ia mendengar seorang menghardik
lirih: "Awas!" - Lenyap suara peringatan itu, didengarnya pula
samberan angin kencang yang mengarah be lakang kepalanya.
Terkejut Lim Cu-jing, di tengah jalan raya seramai ini kiranya ada
juga orang berani menyerang dirinya. Sudah tentu Cu-jin tidak
gentar menghadapi sergapan siapapun, tanpa menoleh tangan
kirinya seperti meraih ke belakang, dengan mudah dia sa mbut
serangan senjata rahasia itu.
Begitu senjata rahasia itu terpegang, seketika ia merasakan
bobot senjata rahasia ini a mat ringan, tidak mirip senjata rahasia
umumnya, kiranya itu hanya segulung kertas. Apalagi suara
peringatan "awas" tadi cukup merdu seperti sudah dikena l olehnya.
Pemuda pelajar baju putih yang muncul mendadak mala m itu,
waktu menimpukkan segengga m Bwe-hoa-cia m ke arah Ki Seng-
jiang juga menghardik dengan kata yang sa ma, jelas nada keduanya
mirip. Ki Seng-jiang yang cukup kawakanpun dapat me mbeda kan
suara itu ke luar dari mulut seorang gadis.
Reaksi Lim Cu-jing cukup cekatan dan cepat, sigap sekali dia
sudah berputar balik. Tapi suasana pasar mala m saat itu masih
ramai, orang berjubal di jalan raya, sudah tentu jejak pelajar baju
putih tak dilihatnya. Mungkin mala m ini dia tidak berpakaian putih,
pendek kata Cu-jing tak berhasil mene mukan orang yang
diharapkan.
Gulungan kertas tergenggam di telapak tangan, dia tahu mela lui
secarik kertas ini orang ingin menya mpaikan sesuatu khabar
padanya, semala m dia sudah muncul me mbantu dirinya me loloskan
diri dari sini dapat disimpulkan bahwa dia kawan dan bukan lawan.
Sungguh sema la m ia tak menduga bahwa Ki seng-jiang tidur
dika mar bukunya, bila tiada bantuan pelajar baju putih, untuk
menerjang keluar dari kepungan musuh jelas tida k mudah.
Me mangnya siapakah nona ini, kenapa begini misterius?
Mala m ini dia menyambitkan gulungan kertas ini, me mangnya
ada berita penting apa yang hendak disa mpaikannya padanya? Kini
dia harus mencari te mpat untuk me mbuka dan me mbaca gulungan
kertas ini.
Segera dia ayun langkah ke depan serta perhatikan kiri-kanan
jalan raya, kebetulan tak jauh dilihatnya ada sebuah warung arak,
langsung dia masuk ke sana dan duduk di meja paling pojok serta
me mesan ma kanan.
Sekilas Lim Cu-jing celingukan, dilihatnya tiada orang
me mperhatikan dirinya, pelan2 dia buka gulungan kertas serta
me mbaca tulisan di kertas itu.
Seketika berubah a ir mukanya. Surat itu berbunyi:
"Te manmu menginap di rumah penduduk di pintu selatan
jejaknya sudah konangan, kalau tidak lekas ditolong mungkin
terlambat!" Dibagian bawahnya ada sebaris huruf kecil berbunyi:
"Kian Te-jin alias Ci Kun-jin ia lah Cukong yang me miliki Tang-sun-
can, bersama ini kusa mpaikan keterangan rahasia ini."
Kejut dan girang bukan main hati Lim Cu-jing di samping kuatir
pula akan kesela matan te mannya, tapi siapakah teman yang
dimaksud dala m tulisan ini? Apalagi jeja knya sudah konangan,
padahal hari sudah gelap, dirinya tidak tahu di ruma h penduduk
mana te mannya menginap? Bagaimana pula mencarinya? Iapun
girang karena Ci Kun-jin yang dicarinya ubek2an selama beberapa
hari ini akhirnya diperoleh beritanya dengan mudah. Karena senang
hampir saja dia lupa pada pesanan makanannya, untung pelayan
datang menyuguhkan arak, ia hanya minum dua teguk, tak se mpat
dia ma kan hidangan yang dipesan terus berbangkit, setelah
meninggalkan beberapa keping uang perak, tanpa pa mit dia berlari
keluar.
Setiba ditempat sepi dan tiada orang, cepat dia mengusap
mukanya, obat rias di mukanya seketika rontok, la lu ia berlari ke
pintu selatan. Dia tidak tahu di mana letak Ki-ti-pong? Maka dia
tanya penjual mi di tepi jalan, lalu me nuju ke sana.
Ki-ti-pong adalah sebuah gang, rumah2 yang me magari gang
sempit ini kebanyakan gubuk2 reyot, setiba di ujung gang dilihatnya
di te mpat gelap sana berdiri satu orang. Orang ini berpakaian biru,
bertopi lebar yang ditekan rendah, melihat ada orang datang, orang
itu melangkah ke depan pe lan2.
Sebelum orang buka suara Lim Cu-jing sudah mendahului tanya
dengan suara rendah: "Kau dari barisan keberapa?"
Orang itu tampak melenggong dan menatap tajam Lim Cu-jing,
tanyanya kemudian: "Apa katamu, siapa saudara?"
"Kau tidak mengena lku, tapi pasti kenal ini?" ucap Cu-jing sa mbil
me mbuka tangannya, di telapak tangannya mengge letak sebentuk
medali perak, me lihat medali perak itu, orang itu tertegun dan
bersuara lirih: "0, kau Jilingpan . . . . " ter-sipu2 dia menjura.
Cu-jing pegang lengan orang, katanya: "Di sini jangan disa makan
di dala m, saudara tidak usah banyak adat, mari kita bicara sambil
berjalan supaya tidak menimbulkan curiga orang."
Dengan gugup orang itu perkenalkan diri: "Ha mba Thio Si-jut,
anggota kelompok ketiga dari barisan ke satu, barusan berlaku
kurang adat harap ......"
Cu jing tertawa: "O, kiranya Thio heng kita sama2 belum kenal,
kesalahanmu bukan soal, aku Lim Cu-jing, baru kemarin mala m
me mangku jabatan ini, kali ini Jongtai menyerahkan penyelidikan
rumah2 penduduk padaku, barusan kuterima perintah rahasia
Jongtai, adakah sesuatu yang mencurigakan da la m pengawasan
Thio-heng di tempat ini?"
Menurut laporan, rumah kelima di depan sana kemarin mala m
datang seorang tua dan seorang muda mengiringi dua nona, logat
mereka dari daerah selatan, gerak-gerik mereka me ncuriga kan."
Cu-jing pikir tua-muda dan dua nona, jelas itulah Cu Bun-hoa
bersama Tong Siau-khing, Tong Bun-khing dan Cu Ya-khim. Sa mbil
mengangguk dia bertanya: " Mere ka mengadakan gerakan apa"
"Tiada gerakan apa2" sahut Thio Si-jut, "sejak ke marin mere ka
tidak pernah muncul."
Lim Cu-jing pura2 mengerut kening, katanya: "Lingpan hanya
suruh kau seorang saja?"
"Ada seorang lagi berjaga di ujung sana, dia bernama Kiang It
kui."
Lim Cu-jing mendengus, katanya: "Mereka ada empat orang.
Lingpan kalian hanya menugaskan dua orang di sini, bukankah
terlalu ceroboh?"
"Ya, ya," Thio Si jut unjuk senyum getir, "ha mba hanya
diperintahkan menga mati gerak gerik mereka secara diam2. Lingpan
sudah me mberi laporan kepada Toalingpan, katanya pada
kentongan kedua nant i akan me mbekuk mere ka."
"Kalau kee mpat orang ini bukan kaum pe mberontak bagaimana?"
tanya Lim Cu jing.
"Toalingpan pernah berpesan, lebih baik sa lah menangkap
seratus orang, daripada seorang pemberontak lolos."
"Me mang betul ucapannya." ujar Lim Cu-jing, "coba kau
tunjukkan te mpatnya padaku."
Thio Si jut kaget. katanya "Jilingpan, kau ........ dia mengawasi
Lim Cu-jing, lalu berkata pula: "barusan Toalingpan ada pesan,
karena tenaga belum terkumpul, ka mi dilarang bergerak supaya
tidak menggagalkan rencana."
"Aku tahu, Jongtai langsung me mberi perintah padaku untuk
menyelidiki keadaan di sini, kau harus tunjuk tempatnya supaya aku
bisa ikut mengawasi, kalau sampai mereka melarikan diri, kau
berani tanggung jawab?"
Thio Si jut tak mau menanggung risikonya, lekas dia munduk2:
"Ya, ya, biarlah hamba tunjukkan tempatnya." - Lalu dia mendahului
me masuki gang se mpit itu.
Tujuh delapan langkah ke mudian mendadak Thio Si jut berhenti,
katanya dengan lirih: "Rumah di depan itulah."
Cu jing melihat rumah yang ditunjuk adalah sebuah gubuk
bobrok, di depan pintu ada sebuah gerobak dorong yang sudah
rusak, sekali pandang orang lantas tahu bahwa penghuni rumah ini
adalah penjaja kelilingan.
Tiada sinar pelita dalam ruma h, keadaan gelap gulita dan tak
terdengar suara apapun, mungkin penghuninya sudah tidur nyenyak
"Itu kan rumah pedagang kelilingan," ucap Lim Cu jing.
"Ya, me mang rumah itulah," sahut Thio Si-jut.
Mendadak Lim Cu-jing me nutuk be lakang kepala Thio Si-jut,
berbareng tangan kanan mencengkeram lengan orang, sekali
ke mpit dia bawa orang melejit maju ke depan pintu, terus mengetuk
pintu.
Tapi dari dala m rumah tiada reaksi apa2. Cu-jing jadi gelisah,
ke mbali dia mengetok dua kali. Tetap tiada terdengar suara orang di
dalam rumah. Cu jing kerahkan tenaga pada jari terus menonjok
daun pintu, sekali tutul daun pintu lantas tembus dan berlobang, dia
dekatkan mulutnya ke lubang serta bersuara dengan Lwekangnya
ke dala m rumah: "Adakah orang di da la m."
Orang di luar rumah takkan me ndengar suaranya, tapi yang
berada di dalam dapat mendengar dengan terang. Betul juga,
terdengar seorang tua bersuara serak bertanya: "Siapa di luar?
Tengah mala m buta ada keperluan apa?"
Dia m2 Lim Cu-jing ge li mendengar suara ini, itulah suara Ciam-
liong Cu Bun-hoa, betapa-pun dia masih mengenalnya dengan baik.
"Waktu a mat mendesak, le kas Cu-cengcu buka pintu," desis Cu-
jing.
Sayup2 terdengar suara gemerisik la mba ian pakaian orang, jelas
ada beberapa orang me mburu ke luar dari be lakang rumah,
semuanya berjaga dan sembunyi di bela kang pintu. Sudah tentu
semua ini takkan dapat mengelabui pendengaran Lim Cu-jing yang
tajam menyusul sinar api menyala, langkah berat dan pe lahan
terdengar beranjak ke-luar, tak lama ke mudian daun pintupun
pelan2 terbentang. Seorang laki2 bungkuk berdiri di tengah pintu,
katanya: "Saudara ada urusan apa?"
Sekali pandang Lim Cu-jing lantas kenal ka kek yang pura2
bungkuk ini me mang Cia m-liong Cu Bun-hoa adanya, sebelum orang
me lanjutkan pertanyaan, segera ia menyelinap masuk dengan
menge mpit Thio Si jut sambil berkata lirih: "Cu-cengcu lekas tutup
pintu."
Pada pintu yang menembus ke belakang berdiri seorang gadis
remaja, dia bukan lain adalah Cu Ya khim. Di belakang pintu sa mar2
terlihat sembunyi dua orang lagi, jelas mereka ada lah Tong Siau-
khing dengan Tong Bun-khing yang menyamar.
Baru saja Lim Cu-jing berdiri di ruang ta mu, Tong Siau-khing
sudah lekas2 merapatkan pintu, berempat mereka mengepung Lim
Cu-jing di tengah, agaknya mereka siap bertindak bila perlu.
Tapi belum lagi Cu Bun-hoa bertanya pula, semua orang kini
dapat melihat jelas siapa orang yang menyelinap masuk sambil
menge mpit seorang lagi. Hampir bersa maan Tong Bun-khing, Cu Ya
khim dan Tong Siau-khing berseru girang: "He, Kau!"
Mata Cu Bun-hoa bercahaya, katanya tertawa: "Darimana kau
tahu ka mi berada di sini? Eh, siapa dia?"
Setelah me letakkan Thio Si-jut di lantai, Lim Cu jing menjura
kepada Cu Bun-hoa, katanya: "Cu-cengcu, duduk persoalannya kini
tak sempat kujelaskan jeja k kalian di sini sudah konangan musuh,
orang ini adalah ca kar alap2 dari pasukan bayangkari, pada
kentongan kedua nanti mereka akan menggerebek kalian, maka Cu-
cengcu berempat harus lekas menyingkir, ibu kini t inggal di Pe k
hun-am di luar pintu kota barat, sementara lebih baik kalian pindah
ke sana saja. Cayhe masih ada urusan penting lain yang harus
segera kubereskan, baiklah aku mohon diri dulu." Lalu dia putar
badan hendak pergi.
"Kau mau ke mana?" lekas Tong Bun khing bertanya.
"Disebelah lorong sana masih ada seorang cakar alap2, Cayhe
akan bereskan dia."
"Bagaimana kita bereskan orang ini?" tanya Cu Bun-hoa.
"Sudah kututuk hiat-to ke matiannya, biarkan dia di sini, le kas
kalian berangkat saja, setelah urusanku selesai Cayhe akan
menyusul ke Pek-hun-a m."
Habis bicara Cu-jing tarik daun pintu terus menyelinap keluar dan
menghilang.
Dengan cepat Lim Cu-jing tiba di ujung gang, dari kejauhan dia
me lihat adanya bayangan orang yang berdiri di bawah e mper.
Betapa cepat gerakan Lin Cu-jing, dikala orang itu terkejut
karena merasa kedatangan orang, tahu2 Lim Cu-jing sudah berada
di depannya. Ternyata orang ini cukup cerdik, sebat sekali dia
berkisar, berbareng tangan kanan meraba golok di pinggangnya,
tegurnya dengan kaget: "Siapa kau?"
"Kau ini Kiang It-kui, betul tidak?" kata Lim Cu-jing dengan suara
kereng.
Keadaan gelap gulita, orang itu tak dapat melihat jelas muka Lim
Cu-jing, tapi mendengar Lim Cu-jing menyebut namanya, dia
bertanya kaget: "Kau kenal aku? Kau . . . ."
Terbukti bahwa orang ini Kiang It-kui, maka Lim Cu-jing tidak
mau banyak omong lagi, mendadak ia menutuk Hiat-tonya sehingga
semaput, dia raih badan orang terus dike mpitnya dan dibawa lari.
Waktu dia ke mba li ke gubuk bobrok itu, Cu Bun hoa bere mpat
sudah tak kelihatan bayangannya, kiranya mereka sudah pergi.
Setelah menurunkan Kiang it hui, Cu jing tutup pintu depan, lalu dia
buka jendela belakang dan keluar dari situ, dengan cepat ia kembali
ke penginapannya.
Sudah tentu anggota pasukan bayangkari yang ditugaskan di
losmen Liang-kip untuk me lindungi kesela matan Tu Hong-seng tiada
yang berani tidur, mereka tidak berani minum arak atau berjudi.
Biasanya bila mereka kumpul bersa ma, kalau tidak judi pasti minum
arak, ini sudah merupakan kerja rutin mereka, tapi ma la m ini tiada
satupun yang berani melanggar perintah.
Go Jong gi ada lah pimpinan mere ka, sudah tentu dia kelihatan
lebih sibuk, daun pintu ka marnya hanya dirapatkan saja, jangankan
tidur, rasa kantukpun harus ditahan. Dia tahu betapa berat tugas
mereka melindungi jiwa Tu Hong-seng.
Kelompok pertama barisan bayangkari merupakan satuan yang
paling unggul daripada seluruh pasukan, bukan saja mereka panda i
silat dan me me miliki Ginkang tinggi, merekapun mahir
menggunakan senjata rahasia, kini mereka sudah tersebar di sekitar
kamar Tu Hong-seng dan menunggu datangnya musuh.
Tapi ini hanya merupakan salah satu langkah permainan Ki Seng-
jiang yang banyak muslihatnya.
Dia masih ada langkah kedua, yaitu seluruh anggota ke lompok
kedua dan ketiga di bawah pimpinan masing2 juga terpencar
menginap di hotel2 sekitar losmen Liong-kip.
Menurut perhitungan Ki Seng-jiang, asal Tu Hong-seng ma mpu
bertahan dua tiga jurus terhadap Ling Kun-gi, maka orang yang
bertugas jaga di losmen Liong-kip akan berbondong2 keluar
me mbantunya. Begitu terjadi kegaduhan di losmen Liong-kip, ma ka
orang2 yang sembunyi di hotel2 lainpun a kan segera me mburu tiba.
jangankan manusia, burungpun jangan harap bisa lolos dari
kepungan ketat ini. Ki-Seng-jiang sudah me mberi pesan, mati atau
hidup Ling Kun-gi harus ditangkap. Langkah kedua yang diatur Ki
Seng-jiang ini cukup rahasia dan hati2 se kali, sa mpaipun Lim Cu-jing
dan Go Jong-gipun t idak tahu sa ma sekali.
Dika la Lim Cu-jing beranjak me masuki gang di mana letak
deretan hotel2 itu, di ujung jalan sudah berdiri seorang laki2 ke kar
berpakaian hijau tua, melihat Cu-jing, lekas ia me ma pak maju,
sapanya dengan tertawa: "Apakah ini Lim-ya?"
Lim Cu-jing melenggong, tanyanya: "Kau ......"
Belum habis Cu-jing bicara orang itu sudah menambahkan
dengan tertawa: "Hamba me ndapat perintah Jin-suya, ada sepucuk
surat harus disampaikan kepada Lim-ya," dari sakunya dia
menge luarkan sepucuk surat dan diaturkan dengan kedua tangan.
Jin-suya adalah Jin Ci-kui. Sekilas Cu jing berpikir, lalu ia terima
surat itu. Setelah me mberi hormat orang itupun me langkah pergi.
Dia m2 Cu-jing berpikir: "Kini sudah ha mpir kentongan pertama,
untuk keperluan apa Jin Ci-kui suruhan orang me ngantar surat
padaku?" - "Ai, tidak benar, darimana dia tahu aku baru kembali lalu
suruhan orang menunggu di sini?"
Dilihatnya laki2 tadi berjalan dengan cepat, bayangannya sudah
lenyap ditelan kegelapan.
Hati Cu jing se makin heran dan curiga, lekas dia sobek sa mpul
surat, hanya secarik kertas sempit dan beberapa huruf yang
berbunyi: "Awas hati2, Ki Seng-jiang telah pasang kaki tangannya
secara diam2 di hotel2 sekitar losmen Liong-kip, langkahmu harus
hati2."
Tulisan ini tiada dibubuhi tanda tangan, tapi dari gaya tulisannya
jelas mirip peringatan sema la m dengan timpukan gulungan kertas
itu, ma ka dapatlah diterka bahwa penulisnya adalah satu orang.
Mau tidak mau Cu-jing me lenggong heran, siapakah orang ini?
Berulang dia me mbantu dan menyampa ikan peringatan, darimana
pula dia peroleh berita rahasia sepenting ini?
Cu-jing merobek kertas itu, dengan langkah lebar dia lantas
me masuki Tang-sun-can. Ia mende kati ka mar Go Jong- gi, lekas
sekali Go Jong gi me mbukakan pintu, melihat yang datang Lim Cu-
jing, dia menghela napas lega. katanya sambil me mbungkuk: "Lim-
heng telah datang."
Cu jing me ngangguk, tanyanya: "Di sini tiada terjadi apa2?"
"Aman, orang2 kita berjaga ketat siang mala m, syukur Lim heng
telah ke mari."
"Aku akan menengok Tu heng, masih ada tugas penting lain
yang harus kubereskan selekasnya," lalu Cu jing . menuju ka mar Tu
Hong-seng serta mengetuk dua kali.
Sudah tentu Tu Hong-seng belum t idur, lekas dia me mbuka
pintu. Lim Cu-jing me langkah masuk, katanya tertawa: "Tu-heng
belum tidur?"
Cepat Tu Hong-seng merapatkan pintu, katanya: "Semula aku
merasa aman di sini, tapi melihat gelagatnya aku merasa tidak
tenteram."
"Sekeliling ka mar Tu heng sudah dijaga ketat, kukira Tu heng
tidak usah kuatir."
Kecut senyum Tu Hong-seng, katanya: "Lim-heng bukan orang
luar, biarlah kubicara terus terang, Ki-jongtai sengaja suruh
kutinggal di sini, tujuannya adalah me mbuat perangkap, aku
dijadikan umpan untuk menjebak Ling Kun-gi. Padahal kutahu ilmu
pedang Ling Kun-gi a mat tinggi, paling-paling hanya beberapa jurus
saja dapat ku-tandingi dia. Barusan aku berbaring sambil me meluk
pedang."
Me mang Lim Cu-jing melihat di ranjang mengge letak sebilah
pedang, tanpa terasa dia tertawa, katanya: "Tu heng terlalu hati2,
bukankah Tu-heng yakin sanggup menandingi beberapa jurus? Bila
dia berani masuk ke ka mar ini, Tu-heng boleh berteriak saja dan
kawan2 pasti akan ke luar me mbantumu?"
"Teori me mang de mikian, tapi aku harus waspada, kabarnya Ling
Kun-gi pandai menyamar, ma ka se hari2an ini sampaipun kacung
yang mengantar minum dan makan juga kucurigai, sebetulnya aku
harap2 cemas supaya dia lekas datang, dengan ke kuatan orang
banyak dapat kita menumpasnya maka legalah hatiku," lalu dia
menuding gulungan kertas di pinggir ranjang serta mena mbahkan
"Barusan Jongtai suruh orang mengantar petasan, katanya bila
me lihat jejak Ling Kun-gi, aku harus le mparkan petasan itu ke luar
jendela, orang2 yang me mbantuku a kan segera berdatangan."
Dia m2 Lim Cu jing berpikir: "Surat rahasia yang disampaikan
pelajar baju putih itu kiranya tida k salah, bila petasan meledak,
orang2 yang dipenda m dala m hotel sekitar sini pasti akan segera
me mburu tiba." - Dengan tersenyum ia lantas berkata: "Perhitungan
Jongtai me mang baik, tapi bila Ling Kun gi betul2 datang, mungkin
Tu-heng tak ada kese mpatan mele mparkan petasan itu."
Tu Hong-seng berjingkat kaget dan ketakutan. Dengan
tersenyum Cu-jing berkata pula: "Bukankah Tu-heng barusan bilang
Ling Kun gi pan-da i menyamar? Mungkin sekarang dia sudah berdiri
di depanmu dan kau sendiri masih be lum tahu."
Sedikit berubah air muka Tu Hong-seng.
Cu jing me langkah maju setindak, katanya katanya: "Mungkin,
Cayhe inilah Ling Kun-gi."
Berdetak jantung Tu Hong-song, keringat dingin sudah
mengucur, katanya dengan menyengir: "Ah, Lim heng suka guyon
saja dengan aku."
Meski Lim Cu-jing lagi me ndekat selangkah, tapi karena dia
adalah Jilingpan, maka Tu Hong-seng tidak berani menyurut
mundur.
Tangan kiri Lim Cu jing secepat kilat bergerak mencengkeram
urat nadi Tu Hong-seng.
"Kau . . . . " Tu Hong-seng berteriak kaget.
Tanpa me mberi kesempatan bicara Cu- jing menutuk pula Ya-
bun-hiat yang membuatnya bisu, katanya tertawa: "Sekarang Tu-
heng sudah tahu siapa aku ini bukan bukan?"
Karena urat nadi dipencet, Tu Hong-seng menjadi le mas, kulit
mukanya berkerut gemetar, keringat dingin berketes2 membasahi
jidat dan mukanya.
Lim Cu-jing merendahkan suara dan berkata dengan kale m:
"Mungkin Yong lopek tidak tahu bahwa dulu kaupun menjual He k-
liong hwe, lantaran kau juga salah satu daripada ke 36 panglima
maka beliau menga mpuni kau. Tentunya kini masih ingat pesan dan
petuah apa yang diberikan Yong-lopek sebelum melepasmu pergi,
kita adalah keturunan Ui-te, bangsa Han yang jaya, maka kau
diharapkan menjadi ma nusia baik2, tak nyana jiwamu ini ke maruk
harta dan pangkat, watak bejat-mu me mang sukar diperbarui, baru
sekarang kau harus mengala mi nasib jele k ini."
Tu Hong-seng ber kedip2 mukanya yang pucat ketakutan, ber
gerak2 seperti mau minta a mpun atau ingin me mbe la diri, tapi
suaranya tidak keluar.
Habis bicara Lim Cu-jing lantas menutuk ulu hatinya, berbareng
tangan kiri menarik tubuh orang dan dilempar ke atas ranjang dan
ditutupi selimut seperti orang tidur layaknya. Lalu dia menarik daun
pintu, lalu cepat2 ia menuju ka mar Go Jong-gi, langsung dia dorong
pintu dan masuk: "Go-heng, segera kau pilih enam orang yang
mahir menggunakan senjata rahasia, suruh mereka ikut aku."
Go Jong gi me ngiakan, tanyanya sambil mengawasi Lim Cu jing:
"Lim-heng henda k suruh mereka ke mana?"
"Sudah kuselidiki pada sebuah rumah penduduk ada sembunyi
kaum pemberontak, akan kubawa mereka untuk me mbekuk orang,
kau tak usah banyak tanya."
Toalingpan pernah berpesan agar seluruh anggota bayangkari
tunduk pada perintah dan petunjuk Lim Cu-jing, maka Go Jong gi
tak berani banyak bicara, setelah mengiakan dan bertanya pula:
"Lim-heng suruh mereka berkumpul di mana?"
"Suruh mereka keluar dari pintu belakang hotel ini, setiba di
ujung jalan sana, mereka harus tunggu perintahku di tempat gelap,
sementara kau dan e mpat orang yang lain harus tetap siaga di sini,
setapakpun tak boleh pergi."
Go Jong-gi mengia kan terus bergegas ke luar.
Lim Cu jingpun segera keluar, tidak la ma dia menunggu di ujung
jalan kecil sana, maka orang2 yang dia inginkan pun berdatangan.
Cu jing me mberi tanda gerakan tangan, segera beberapa orang
berlari mendatangi. Cu jing me mbawa mereka ke suatu tempat
gelap yang tersembunyi, dia hitung jumlah orangnya ada enam
orang, katanya: "Barusan apakah Go lingpan sudah menjelaskan
kepada kalian?"
Salah seorang menjawab sambil me mbungkuk: "Lapor Jilingpan,
Go-lingpan sudah pesan, katanya Jilingpan akan me mberi tugas
khusus kepada ka mi, maka ka mi disuruh tunduk pada perintahmu."
"Betul," ucap Cu-jing dengan menahan suara, "tadi sudah
berhasil kuselidiki suatu ruma h penduduk yang menye mbunyikan
kaum pe mberontak, mereka akan berte mu pada kentongan kedua
ma la m nanti, kita harus siapkan lebih banyak senjata rahasia, pada
saatnya nanti tanpa bersuara dapat kita bereskan mereka dengan
senjata rahasia.
Keenam orang itu serempak mengiakan.
"Baiklah, ka lian se karang ikut aku," ucap Lim Cu jing. Lalu dia
mendahului me lompat ke sana diikuti keenam orang itu, cepat sekali
mereka sudah tiba di te mpat yang di tuju.
Melihat cuaca Cu jing taksir temponya sudah dekat kentongan
kedua, kira2 setengah jam lagi gerakan akan segera dilaksanakan,
maka dia pimpin keena m orang itu me masuki ja lan se mpit yang
jorok itu.
Sebelumnya dia menerawang keadaan di sekitar sini maka dia
sebar keenam orang itu ke atas wuwungan rumah penduduk di
sekitarnya, masing2 di pesan menyiapkan senjata, diserukan
sebelum lawan mendekati ruma h penduduk nomor lima mereka di
larang turun tangan. "
Setelah mengatur, dia m2 Lim Cu jing berge mbira, pikirnya:
"Setelah kentongan kedua nanti, biarlah kalian saling cakar dan
baku hanta m sendiri."
Sigap sekali Cu-jing melompat turun, dengan menge mbangkan
Ginkang langsung dia berlari sekencang angin menuju ke kota barat,
tujuannya adalah kebun bunga ke luarga Kauw.
Mala m pekat, tembok tinggi me magari taman yang lebat
ditanami pepohonan, ala m se mesta ditabiri kabut tebal.
Karena taman ini menjadi kedia man pribadi komandan pasukan
bayangkari maca m Ki Seng-jiang yang cukup berkuasa dan disegani,
meski berkepandaian tinggi dan nyalinya besar, betapapun Cu jing
tidak berani gegabah, setelah hinggap di atas tembok, dengan
seksama dia periksa keadaan sekeliling-nya, setelah itu baru
me layang turun.
Letak di mana dia turun kebetulan berada di sisi sebuah
gunung2an yang tersembunyi, sebuah jalan beralas batu putih
tampak menjurus ke sana menuju sebuah gardu kecil gardu
pemandangan kecil ini dikelilingi pepohonan yang terawat baik
dengan daunnya yang rimbun menghijau.
Sudah tentu Cu-jing tidak se mpat perhatikan panora ma indah
dalam ta man, baru saja dia hendak melompat ke sana, tiba2
didengarnya nyekikik tawa geli seseorang, suaranya nyaring merdu,
jelas suara seorang perempuan.
Di te mpat seperti ini, meski itu hanya cekikik tawa seorang
perempuan, tapi bagi pendengaran Lim Cu-jing sungguh a mat
mengejutkan, lekas dia berhenti beraksi serta pasang mata ke
sekelilingnya.
Sebetulnya tak perlu dicari lagi, karena di tengah pepohonan
yang rimbun sana pe lahan2 telah muncul sesosok bayangan
sema mpai. Belum lagi Cu-jing melihat jelas siapa bayangan ramping
itu, orang berbadan sema mpa i itu, sudah bersuara: "Lim-kongcu
baru datang, sudah la ma ha mba menunggu di sini."
Nona ini berpakaian hijau pupus dengan gaun putih mulus,
perawakannya tinggi sema mpai, kuncirnya yang besar dan kelam
tampak menjuntai di kedua pundaknya, cuma kedua tangannya
menutupi muka sambil miringkan badan lagi sehingga tak terlihat
jelas roman mukanya. Dandannya mirip seorang pelayan.
Sekilas me lenggong Lim Cu jing lantas bertanya dengan
merendahkan suara: "Nona . . . . ." Bayangan ramping. itu cekikikan
pula, katanya: "Memangnya Ling-kongcu sudah tidak me ngenal-ku
lagi? Ha mba adalah Ing jun." - Baru sekarang dia berputar
menghadap ke mari.
Betul, me mang dia Ing-jun adanya, kini Cu-jing dapat melihat
jelas, raut muka bundar laksana biji kwaci yang manis, bola
matanya yang jeli, waktu tertawa sungguh menggiurkan.
Lim Cu-jing menghela napas lega, tanyanya sambil menatap Ing
jun. "Dari mana nona tahu Cayhe akan datang?"
Ing-jun tertawa manis, katanya dengan nada misterius: "Kongcu
tak usah tanya, waktu amat mendesak, le kas ikut ha mba."
Tindak tanduknya aneh dan misterius serta tetap nakal seperti
waktu berada di Coat-sin-san-ceng, tiada pertanyaan yang
dijawabnya secara langsung, habis bicara terus putar tubuh
me langkah pergi, dari laporan Ting Kiau, Cu-jing tahu bahwa Ing-
jun adalah mata2 yang ditanam di sini oleh Pek-hoa-pang, ma ka dia
tidak menaruh curiga, tapi dia tetap waspada, tanyanya:
"Ke manakah nona hendak me mbawaku?"
Sambil berjalan Ing-jun menjawab: "Ha mba a kan me mbawa mu
ke suatu tempat untuk me nolong seseorang."
"Menolong orang" tanya Cu-jing heran. "Menolong siapa? ."
"Setiba di te mpat tujuan, Kongcu akan tahu sendiri," dia tetap
tidak mau menjelaskan.
Sambil bicara merekapun telah beranjak cukup jauh, dia m2 Cu-
jing merasa heran dan bingung, karena Ing-jun berlenggang dengan
cepat dan terang2an seperti tidak takut dilihat orang, mau tida k
mau hal ini menimbulkan rasa curiga, maklumlah Ing-jun hanya
seorang pelayan pribadi, mungkin dia me mperoleh kisikan dari sang
Pangcu Bok-tan agar menunggu dan menyambut dirinya, tapi itu
mestinya dilakukan dengan se mbunyi2, me mbawa seorang luar,
apalagi di tengah mala m buta, tapi dia berja lan seperti berada di
rumah sendiri, tidak kuatir dilihat orang.
Walau merasa urusan agak mencurigakan, tapi dia
berkepandaian tinggi, nyalipun besar, apalagi tujuan kedatangannya
me mang hendak mencari Ki Seng-jiang, peduli musuh bersiap atau
tidak menunggu kedatangannya, akhirnya toh harus bergebrak
mati2an.
Dengan langkah mantap Cu-jing terus mengikut i langkah Ing-jun
dengan cepat, tak lama ke mudian tiba di depan sebuah bangunan
mungil berloteng.
Mendadak Ing jun berhenti dan menuding ke atas loteng,
katanya: "Orang yang harus Kongcu tolong berada di loteng ini,
biarlah ha mba berjaga di sini, sila kan kau naik ke atas."
Lebih je las lagi bahwa Ki Seng-jiang me mang telah mengatur
perangkap di loteng ini. Dia m2 Cu-jing tertawa dingin, pikirnya: "Ki
Seng-jiang, seumpa ma kau sembunyi di sarang harimau dan rawa
naga tetap akan kupancung kepala mu, hanya sebuah loteng sekecil
ini me mangnya dapat mengurung aku?"- Meski berpikir de mikian,
tapi dia bersikap wajar dan tertawa malah, katanya: "Terima kasih
atas petunjuk nona."
"Kongcu harus lekas bekerja, biarlah hamba menunggu di sini
saja" ujar Ing-jun tersenyum penuh arti.
Cu-jing tidak bicara lagi, dengan enteng dia meloncat ke atas dan
hinggap di sera mbi loteng tingkat kedua. Lantai kedua ini ada tiga
deret kamar, semua gelap gulita tiada tampak sinar lampu dan tak
terdengar suara orang, daun pintu yang terukir indah hanya sedikit
dirapatkan saja. Sejenak Lim Cu-jing merandek, lalu dia
menge luarkan Le liong-cu dan mendorong pintu sa mbil melangkah
masuk.
Le-long-cu me mancarkan cahaya kemilau di te mpat gelap, di
bawah penerangan mutiara ini Cu-jing dapat keadaan kamar,
seketika ia melenggong. Ka mar perta ma rupanya ruangan kerja,
kamar ke-dua ka mar tidur yang dipajang indah dan mewah, tapi
keadaan sunyi senyap tak terlihat bayangan seorangpun, jelas di sini
tak ada perangkap apapun.
Disa mping curiga Cu-jing menjadi bingung pula, di lihatnya di
sebelah kanan terdapat sebuah pintu, kerai menjuntai menutupi
pintu, karena cahbaya Le liong-cu rentengan mut iara itu
menimbulkan ke milau yang beraneka warnanya.
Tiba2 Cu-jing tersentak kaget dan teringat pada orang yang
harus ditolongnya seperti apa yang di katakan Ing jun, katanya
berada di atas loteng, mungkin berada di ka mar sebelah, cepat ia
menyingkap kerai dan masuk.
Baru saja maju se langkah, hidangnya dirangsang bau harum
semerbak, ada almari paka ian berkaca, sebuah meja rias mungil,
ranjang berkela mbu sutera yang bersula m indah.
Inilah ka mar perempuan. Sekilas Cu-jing melenggong, baru saja
timbul niatnya hendak keluar. Tiba2 dilihatnya tak jauh di depan
ranjang sana tanpa bergerak dan tidak bersuara rebah seorang
perempuan tua berbaju hijau, sekilas pandang bagi seorang ahli
akan segera tahu bahwa pere mpuan tua ini tertutuk hiat-tonya.
Cu-jing me mbatalkan niatnya mundur, rasa curiganya bertambah
tebal, dengan langkah lebar dia melejit maju, didapatinya di atas
ranjang rebah pula seorang perempuan. Perempuan yang rebah di
ranjang ini ditutupi ke mul yang bersula m sepasang burung Hong,
yang kelihatan hanya wajahnya yang putih halus, rambutnya terurai
awut2an.
"bola mata orang yang jeli tengah terbeliak mengawasinya,
mulutnya mengeluarkan suara "Uh, uh," agaknya dia telah meronta
di dalam ke mul. Begitu pandangan Lim Cu jing bentrok dengan
wajah perempuan di da la m ke mul itu seketika dia terjingkrak kaget.
Dia bukan lain adalah Pui Ji-ping adanya.
"Ping-moay," seru Cu-jing gugup, tanpa ayal dia me mburu ke
depan ranjang, berbareng terus menyingkap ke mul.
Begitu ke mul tersingkap seketika Cu-jing tersirap kaget, selebar
mukanya seketika merah jengah. Ternyata Pui Ji-ping yang
terbungkus selimut telanjang bulat tidak mengena kan seutas
benangpun, kaki dan tangannya terpentang lebar dan terikat oleh
tali sehingga badannya telentang dengan kaki tangan terpentang
lebar. Badannya yang montok putih dengan bagian tubuh yang
menggiurkan terpampang di depan matanya,
Tidak sedikit Cu-jing berkenalan dengan gadis2 cantik, tapi
adegan bugil seperti yang dilihatnya sekarang belum pernah terjadi,
keruan jantung terasa hampir me lompat ke luar, sesaat dia tertegun
dan tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya dengan tersipu2
dia tarik ke mul pula untuk menutup badan si nona.
Melihat orang yang muncul mendadak ini adalah Ling- toako
yang dirindukannya siang dan mala m, kini terlihat keadaan dirinya
yang bugil begini, keruan malu Ji-ping tak terkatakan, tapi dia juga
kejut dan girang. Ma lu karena keadaan yang bugil ini sudah
terpampang di depan orang, selanjutnya bagaimana dia harus
menjadi orang? Kejut dan girang karena Ling-toakonya akhirnya
dapat mene mukan dia dan menolongnya.
Kedua pipinya tampak merah, matanya terpejam rapat, tak
terasa air matapun me leleh.
Lekas Lim Cu jing tenangkan hati, dia ingat menolong orang
harus cepat. Apabila mulut Pui Ji-ping hanya bersuara "uh-uh",
mungkin mulutnya tersumbat sesuatu.
Cepat Cu jing mengangkat dagu orang, tangan yang lain
mengorek mulut si dara dan mengeluarkan segumpal kapas.
Saking gugup dan ma lu ha mpir saja Pui Ji-ping me nangis,
katanya mewek2: "Toako, kau tidak perlu ragu, lekas lepaskan
ikatan ka ki tanganku."
Betul, berada disarang harima u, sembarang waktu ke mungkinan
dipergoki musuh.
Tanpa ayal Cu-jing segera bekerja, tapi dia tidak berani
menyingkap ke mul lagi, hanya kedua tangan yang terjulur masuk,
dia kerahkan tenaga pada jari2 tangan, sejak mulai dari
pergelangan tangan yang terasa, halus terus naik ke lengan, satu
persatu dia jepit putus tali pengikatnya.
Celakanya ditubuh Pui Ji-ping masih ada e mpat tali pengikat,
untuk me mutus kee mpat tali inilah dia merasa serba susah. Tali
pertama me lingkar dari depan dada tepat di atas "bukit" Pui Ji- ping
terus melingkar ke belakang, tali kedua melingkari pinggangnya,
dua tali yang la in masing2 me mbe lenggu paha dan perge langan
kaki.
Meski teraling ke mul, tetap tangannya akan menyentuh bagian
badan yang montok dan luna k itu, tida k kepa lang ma lu Pui Ji-ping,
tepaksa dia pejamkan mata, jantungnya berdetak laksana deburan
omba k sa mudra.
Untunglah tali yang mengikat dadanya le kas sekali sudah
terputus. Sudah tentu Cu-jing dapat merasakan gerakan badan Pui
Ji-ping sehingga kedua tangan yang me mang ge metar itu semakin
bergetar, jantungnya serasa mau me lompat keluar. Untunglah
putusnya tali pengikat telah menyadarkan pikirannya, diam2 dia
merasa malu sendiri, lekas dia meraba ke bagian pinggang,
beruntun dia putus pula tali pengikatnya. Kini dia tinggal me mutus
tali yang melingkari paha dan kaki. Mungkin sudah teramat lama Pui
Ji-ping terbelenggu hingga jalan darahnya terganggu, badan terasa
ke meng, seketika kaki tangan tak ma mpu bergerak, dia meringkuk
dalam ke mul serta berseru pelahan: "Toako. lekas carikan
pakaianku . . . ."
"O, ya" sahut Cu-jing, dilihatnya di atas kursi sana ada
setumpukan pakaian, lekas dia me mburu kesana serta
me le mparkannya ke ranjang.
"Toako," seru J i-ping. Malu2, "lekas kau putar ke sana."
Tanpa bicara Cu-jing berputar me mbe lakanginya.
Bergegas Pui Ji-ping kenakan pakaiannya, me makai kaos kaki
dan sepatu, lalu melompat turun dari ranjang, begitu berdiri lantas
dilihatnya perempuan tua yang menggeletak di pinggir ranjang,
seketika dia naik pita m, bentaknya: "Keparat yang pantas mampus!"
- Kakinya terus mendepak dada pere mpuan tua itu.
"Ping-moay," seru Cu-jing, "apa yang kau lakukan?"
Merah mata Pui Ji-ping, katanya: "Toako, kau tidak tahu, untuk
menjilat majikannya perempuan bejat ini me mbe lejeti aku dan
mengikatku di atas ranjang, bila kau datang terlambat, mungkin aku
..... terpaksa harus mati saja." Habis bicara pecahlah tangisnya,
lantas dia menubruk ke dala m pelukan Lim Cu-jing alias Ling Kun-gi.
Dala m perjalanan tadi dia sudah mengusap obat riasnya, dengan
wajah adanya sebagai Ling kun-gi dia hendak menuntut balas sakit
hati keluarga dan denda m se luruh anggota Hek-liong-hwe. Sejak
kini Ling Kun-gi t idak perlu me nggunakan na ma sa maran lagi.
Kiranya tanpa sengaja Pui Ji-ping yang minggat ini akhirnya tiba
juga di Jiat-ho dan mendapat tahu tempat tinggal Ki Seng-jiang,
maka secara diam2 dia menyelundup ke dala m taman ini hendak
me mbunuh Ki Seng-jiang, sayang dia tertawan malah. Ki Seng-jiang
me mbuka kedoknya dan tahu bahwa dia seorang perempuan, dasar
bandot, maka timbul niatnya yang jahat hendak berbuat tidak
senonoh. Loteng mungil ini me mang te mpatnya untuk berfoya2 dan
me lakukan perbuatan mesumnya, entah berapa banyak perempuan
baik2 telah ternoda olehnya. Jelas perempuan tua itu ada lah
pembantunya yang me lakukan kejahatan, depakan Pui Ji-ping tadi
ternyata me mbuatnya muntah darah, jiwapun melayang seketika.
Dengan kasih sayang Kun-gi me mbelai ra mbut Pui Ji-ping,
katanya: "Hayolah Ping-moay, kita buat perhitungan dengan
bangsat tua itu."
"Sayang tiada pedang di sini, aku harus cari senjata dulu."
"Kau ingin bersenjata, nah, pakailah pedangku ini," dia keluarkan
Seng-ka-kia m untuk Ji-ping.
Mereka me lompat ke bawah loteng, Ing-jun ternyata masih
berdiri di bawah pohon, melihat mereka turun cepat dia me mapa k
maju, katanya dengan tertawa: "Selamat Ling-kongcu berhasil
menolong nona Pui."
"Siapa kau?" bentak Pui Ji-ping sa mbil menuding dengan
pedangnya.
"Ping-moay, dia nona Ing-jun, orang Pek hoa-pang."
"Toako, jelas dia sekomplotan dengan nenek bejat itu, diapun
me mbantunya mengikat aku."
"Me mang betul," ujar nona Ing-jun, "tapi nona Pui jangan lupa,
Liu-pocu a ku pula yang menutuknya roboh, sebetulnya sejak lama
aku bisa me mbebaskan nona, soalnya majikanku berpesan, katanya
biarkan nona menderita sedikit, tunggu saja biar Ling-kongcu yang
menolongmu."
Merah jengah muka Ji-ping, tanyanya dengan bersungut: "Siapa
majikanmu?"
Ing-jun tertawa penuh arti, katanya: "Hamba menunggu di sini
untuk me mbawa kalian mene mui ma jikanku."
"Ki Seng-jiang berada di mana?" tanya Kun-gi.
"Ling-kongcu dan nona Pui tak usah banyak tanya, mari ikut
hamba saja," ucap Ing-jun.
"Baiklah," akhirnya Kun-gi mengangguk, "silakan nona tunjukkan
jalan."
Dengan tersenyum Ing-jun beranjak pergi, Kun-gi dan Ji-ping
sama mengintil dibelakangnya.
Pepohonan dalam ta man betul2 rimbun, mala m gelap lagi, meski
banyak gardu2 pemandangan yang tersebar di sana sini, tapi hanya
kelihatan bayangannya saja tanpa terlihat ada sinar pelita, akhirnya
mereka di depan sebuah gedung bertingkat lima.
Gedung ini serba ukiran, dikombinasikan dengan cat warna warni
yang serasi, maka kelihatan megah dan angker. Di depan terdapat
lima susun undakan batu marmer. Taman seluas ini seluruhya gelap
gulita, hanya gedung berloteng inilah cahaya lilin masih terang
benderang, mungkin di sinilah Ki Seng-jiang berte mpat tingga l.
Ing-jun me mbawa kedua orang berhenti di depan pintu serta
me mbungkuk, serunya: "Ling-kong-cu, nona Pui silakan masuk!"
Walau berbagai persoalan mengganjal hatinya, tapi Ling Kun-gi
bersikap wajar seperti tak acuh, dengan langkah lebar dia masuk
kedala m. Itulah sebuah pendopo yang besar, meski tidak se mewah
ruang atau kamar yang lain, tapi meja kursi yang ada di sini se mua
serba antik, di ruang pendopo inipun tak kelihatan bayangan
seorangpun, sudah tentu hal ini me mbuat Kun-gi berta mbah
bingung dan keheranan, me mangnya Ki Seng-jiang sedang main
kucing2an dengan dirinya?
Tatkala dia masuk ke ruang pendopo itulah, dari balik pinto
bundar di sebelah kanan sana muncul seorang laki2 kurus tua
berpakaian kuning te mbaga, kulit mukanya merah, tulang pipinya
menonjol, sorot matanya berkilat tajam, berdiri sa mbil
menggendong kedua tangan, katanya sambil menggapai: "Ling
hiantit, kenapa baru sekarang datang?"
Kun-gi melenggong sejenak, cepat dia me njura, serunya:
"Kiranya kau pa man mertua."
Laki2 kurus tua berjubah kuning te mbaga ini me mang Jicengcu
keluarga Un dari Ling-la m, Un It-kiau adanya.
Un It-kiau tertawa, katanya: "Semua sudah berada di sini, lekas
ke mari."
Bertambah bingung hati Kun-gi, sambil mengiakan dia ikut ke
sana, Pui Ji-ping dan Ing-jun ikut di belakangnya.
Itulah sebuah ka mar buku, lilin besar terpasang terang
benderang, kecuali Un It-kiau, di dala m ka mar buku masih ada tiga
orang, begitu melangkah masuk seketika Kun gi tertegun pula. Ke-
tiga orang itu adalah Un It-hong Un locengcu, Un Hoan-kun dan
Bok-tan. Di atas kursi ukiran berlapis kulit di sana, duduk dengan
lungla i seorang yang tengah dicarinya, yaitu komandan pasukan
bayangkari di istana raja kota Jiat-ho ini, Ki Seng-jiang adanya.
Meski dia duduk di kursi kebesarannya, tapi kedua bola matanya
terbeliak, mukanya mena mpilkan rasa gusar, kaget dan takut pula.
Bagi seorang ahli seka li pandang akan tahu bahwa Hiat-tonya telah
tertutuk sehingga tidak bisa berkutik kecua li biji matanya yang
jelilatan.
Dala m hati Kun-gi sudah maklum apa yang telah terjadi, dengan
kehadiran Un-locengcu di sini, seluruh penghuni ta man keluarga
Kauw ini pasti sudah terbius seluruhnya, tak heran sepanjang ja lan
dirinya tak pernah mene mui rintangan. Lekas dia me mburu maju
dengan me mbungkuk diri, serunya: "Siausay (menantu) menghadap
Gakhu (mertua)."
Dengan muka jengah lekas Pui Ji ping berlari ke arah Bok-tan
dan Un Hoan-kun, teriaknya: "Cici, ternyata kalian juga datang."
"Adik Ji-ping, bikin susah kau saja," ujar Bok-tan, lalu dia berbisik
di telinganya: "Sejak tadi aku datang bersa ma Un-cici, sebetulnya
kami sudah harus menolongmu, tapi Un-Cici usul supaya dia saja
yang menolongmu, ini keputusan yang kita a mbil setelah disepakati
bersama, adikku yang baik, meski kau agak tersiksa tapi imbalannya
cukup me mada i, kau t idak salahkan ka mi bukan?"
Sudah tentu Ji -ping maklum ke mana juntrungan kata2 Bok tan
itu, sebagai gadis suci masih muda sampa i dilihat dan diraba oleh
Ling Kun-gi dala m keadaan bugil, me mangnya kepada siapa dia
harus menikah? Kiranya semua ini me mang dirancang oleh Bok-tan
dan Un Hoan-kun, maksud mereka me mang ba ik, hati Ji-ping
menjadi terharu. Dengan muka merah dan melelehkan air mata dia
tetap pura2 mengomel: "Kalian me ma ng berengsek, selanjutnya
bagaimana aku harus jadi manusia?"
Dengan suara lirih halus Un Hoan-kun me mbujuk: "Adik Ji-ping,
jangan menangis, urusanmu serahkan saja kepada ka mi."
Mereka bertiga saling berbisik, se mentara di sebelah sana Un It-
hong tengah berkata kepada Ling Kun-gi: "Hiansay, waktu amat
mendesak, orang she Ki sudah kupunahkan ilmu silatnya, kini
tinggal tunggu kedatanganmu, le kaslah kau turun tangan."
Berlinang air mata Ling Kun-gi, katanya dengan dada sesak dan
tersengal haru: "Mala m ini Siausay mencarinya untuk me mbuat
perhitungan ke matian ayah dan para pahlawan Hek-liong-hwe,
berkat bantuan Gakhu, Siausay merasa sangat berterima kasih."
Lalu dia melangkah maju, bentaknya dengan mendelik dan
menuding Ki Seng jiang: "Bangsat keparat she Ki, kau tahu siapa
aku?"
"Ling-hiantit," kata Un It-kiau. "Hiat-to bisunya tertutuk, dia tak
bisa bersuara."
Kun-gi angkat sebelah tangannya menepuk jidat orang, Hiat-to
bisu orang dibukanya. Ki Seng-jiang segera menggeram gusar,
teriaknya: "Kalian kaum pe mberontak ini berani bertingkah di sini,
kalian berani me mbunuh Lohu, mungkin kerajaan takkan me mberi
ampun pada ka lian."
"Tua bangka keparat," hardik Kun-gi, "ke matian di depan mata
masih berani kau menggertak orang dengan nama kerajaan? Sejak
kecil kau dididik oleh Ciok-boh Lojin dari Ui-san, Ciok-boh Lojin
terkenal bajik dan me mpunyai cita2 luhur de mi negara dan bangsa,
beliau adalah salah satu dari kedelapan Houhoat Thay-yang-kau,
sungguh tak kira kau manusia berjiwa kerdil, gila pangkat dan
tamak harta, sudi me njadi antek bangsa la in, menindas ra kyat
bangsa sendiri de mi me ngejar pahala untuk junjunganmu, tak
segan2 kau menjual He k-liong-hwe sehingga menimbulkan banyak
korban jiwa, hari ini aku menuntut balas sakit hati ayahku dan
menuntut keadilan bagi para patriot Hek-liong-hwe. Ketahuilah,
setiap penghianat bangsa adalah beginilah akhirnya, Tu Hong-seng
sudah kubunuh, segera aku akan mencari Ci Kun jin pula, kepalamu
harus ku penggal dan kubawa pulang. Pelan2 dia terima pedang
dari Pui Ji-ping, pedang pendek yang kemilau itu tampa k
mengkilapkan hawa ke hijau2an.
Pucat pasi muka Ki Seng-jiang karena kejahatannya dibeber, tapi
dia seorang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan,
meski pedang sudah menganca m tenggorokan dan tida k
mengunjukkan rasa takut dan jeri bentaknya malah: "Nanti dulu,
Lohu ingin bertanya padamu."
"Katakan! Bentak Kun-gi.
Kau inilah Ling Kun-gi?"
"Tida k salah."
"Katamu kau telah me mbunuh Tu Hong-seng?"
"Kau kira Tu Hong-seng dijadikan umpan di hotel untuk
me mancingku masuk perangkap? Ketahuilah, secara terang2an aku
berlenggang masuk ke sana, setelah kubunuh Tu Hong-seng
dengan berlenggang pula a ku keluar, sampaipun petasan yang kau
kirim kepadanyapun tak pernah se mpat diusiknya, kau percaya?"
"Itu tidak mungkin." teriak Ki Seng-jiang serak.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Biar kuberitahu padamu, dengan
sedikit mengguna kan akal, barisan kesatu dari barisan ketiga
pasukan bayangkari kebanggaanmu itu telah kubikin saling bunuh
sendiri."
"Kau . . . . " desis Ki Seng-jiang dengan menggreget.
Sebelum orang bicara lagi Kun- gi sudah merogoh ke luar sebuah
medali perak dari sakunya, katanya sambil me mbentang telapak
tangan ke muka orang: "Karena aku ini Jilingpan, ma ka punya hak
dan kuasa untuk me merintah mereka, sekarang kau sudah
mengerti?"
Mendelik mata Ki Seng-jiang, suaranya gemetar geram: "Kau Lim
Cu-jing!"
"Betul, karena tidak ingin me mbunuhmu di da la m istana, ma ka
kubiarkan kau hidup sehari lebih la ma," habis berkata pedang
pendeknya bekerja, batok kepala Ki Seng-jiang seketika
mengge linding jatuh.
Sejak tadi Un It-kiau sudah siapkan sebuah kantong kertas
minyak, lekas dia masukkan batok kepa la Ki Seng-jiang ke dala m
kantong kertas minyak itu. Un It-hong keluarkan sebotol Hoa-kut-
san, dengan ujung jarinya dia mencukil sedikit bubuk obat terus
ditaburkan ke leher Ki Seng-jiang yang putus, lekas sekali sekujur
badan Ki Seng-jiang lumer menjadi cairan darah.
Kun-gi simpan pedangnya, katanya: "Gakhu kalian harus le kas
keluar kota dari bergabung dengan ibu di Pek-hun-am, Siausay akan
mencari Ci Kun-jin dan me mbuat perhitungan dengannya, paling
la mbat sebelum terang tanah pasti akan kususul ka lian di sana."
"Biar aku ikut kau," sela Bok tan.
"Aku juga mau ikut," Un Hoan-kun t idak ma u ketinggalan. .
Biasanya Pui Ji-ping pasti tidak mau ketinggalan, tapi mala m ini
dia hanya menunduk saja dengan muka merah dan tak berani
bersuara.
"Ci Kun-jin adalah majikan Tang-sun-can," ujar Kun-gi, "untuk
me mbunuh dia aku seorang diri sudah lebih dari cukup. kalian tak
usah ikut, tunggu saja di luar kota bersama ibu." - Lalu dia menjura
pada Un-cengcu berdua, sekali berkelebat bayangannya melayang
keluar jendela dan lenyap ditelan kegelapan.
0-00-0dw0-00-0

Tang-sua-can adalah bangunan tujuh deret, setiap deret dibatasi


pekarangan luas. Lapis ketujuh dan terakhir adalah daerah tempat
tinggal sang majikan, untuk bangunan lapis ketujuh ini dibuat
sedemikian rupa sehingga terasing dari enam lapis yang lain.
barisan depannya dipagari tembok setinggi dua tombak, di luar
tembok menga lir selokan lebar dan dalam, pepohonan tampa k
rindang dan tumbuh subur serta terawat baik, tanahnya jauh lebih
luas pula dari keena m lapis yang lain, pintunya terbuat dari papan
besi yang bercat merah, dua singa2an tembaga bertengger di kiri-
kanan pintu, mungkin setiap hari dibersihkan hingga kelihatan
mengkilap.
Kedua daun pintu besi ini sepanjang tahun tertutup rapat, untuk
masuk ke bilangan terakhir ini dari Tang-sun-can ini harus lewat
pintu sa mping terus masuk lengkong dan sera mbi panjang seja k
mulai deretan rumah kelima. Seperti diketahui lapis keena m
merupakan ka mar2 hotel yang khusus diperuntukkan orang2 yang
berduit, maka pintu2 di sini yang mene mbus ke segala penjurupun
selalu terkunci.
Biasanya majikan Tang-sun-can jarang keluar menerima ta mu,
umpa ma terpaksa harus keluar juga sela lu dikawal oleh lima laki2
kekar jago silat.
Tidak banyak orang yang pernah melihat tampang majikan Tang-
sun-can, mungkin dia sadar kejahatan yang pernah dia lakukan dulu
teramat banyak, dosanya bertumpuk, takut musuhnya menuntut
balas, maka sela manya dia mengera m diri bersama para gundiknya,
tak pernah keluar bila tida k a mat penting.
Sudah tentu Ling Kun-gi tida k masuk lewat serambi, iapun tidak
mengusik orang2 di Tang-sun-can., Tapi dikala dia hinggap di atas
tembok pagar lapis ketujuh, dua bayangan orang laksana dua e kor
elang menubruk kearahnya, salah seorang diantaranya menghardik
galak: "Siapa kau?"
Kepandaian orang2 ini kalau dinila i dari kaum Busu yang biasa
bekerja mengawal para Cukong, boleh dikatakan terhitung kelas
satu, sayang mereka berhadapan dengan Pendekar Kida l Ling Kun-
gi. Dengan tertawa Kun-gi berkata: "Inilah aku!" Hanya dua patah
kata yang dia ucapkan, tapi kedua bayangan yang menubruk tiba itu
seketika jatuh gedebukan terbanting ke tanah.
Tanpa me mbuang waktu Kun-gi me la mbung tinggi dan me luncur
jauh ke depan ke atas loteng tengah sana. Waktu itu kentongan
ketiga sudah lewat, waktu sudah amat mendesak, sekilas matanya
menyapu pandang keadaan sekelilingnya, tampak di atas loteng
yang tujuh tingkat ini hanya ada sebuah jendela di sebelah kanan
tingkat ketiga yang me mancarkan cahaya. Tanpa ayal Kun-gi
me luncur ke sana.
Kiranya itulah ka mar agak kecil, tanpa permisi Kun-gi langsung
menerobos masuk lewat jendela, dalam ka mar seorang gadis
remaja lagi me ncopot pakaian hendak tidur, begitu merasakan angin
berkesiur, sinar pelitapun menjadi gura m, tahu2 dihadapannya
berdiri seorang pe muda cakap, jantungnya seketika berdebar,
dengan menjerit kaget dia menyurut mundur.
Kun-gi tersenyum ra mah padanya, katanya: "Nona jangan takut."
Rasa takut agaknya merangsang benak si gadis.. mukanya merah
ma lu, katanya gemetar: "Kau .... .... apa keinginanmu?"
"Cayhe mau mencari Kian-lopan, dia tinggal di mana?"
Mengawasi Kun-gi, berubah air muka si gadis, mimiknya
menunjukkan rasa kecewa, sambil menggigit bibir dia menggeleng,
akhirnya menjawab: "A ku . . . . . . aku tidak tahu."
Kun-gi maju selangkah, katanya: "Cayhe takkan menyakit i nona,
tapi kalau nona tidak mau menerangkan, terpaksa aku
menggunakan kekerasan."
"Sreet". dia melolos pedang yang ke milau terus menuding ke
dada si gadis.
Wajah si gadis yang se mula merah seketika berubah pucat,
serunya gemetar: "Kau . . . . . mau me mbunuhku?"
Tenang suara Kun-gi: "Aku tida k akan me mbunuhmu, asal kau
tunjukkan te mpat tinggal Kian-lopan, jiwa mu akan kua mpuni."
"Dia . . . . . . dia tidur di ka mar Sa m-ih-thay."
"Di mana letak ka mar Sa m-ih-thay?"
"Ka mar ketiga bagian belakang."
"Kau tidak mendustai aku?"
"Aku menjawab sejujurnya."
"Baik," ujung pedang Kun-gi tiba2 menutul dari balik pa kaian dia
tutuk Hiat-to penidur orang, lewat jendela dia melompat ke
wuwungan terus melejit ke belakang, di sini merupakan pekarangan
yang teramat indah, di sebelah depan ada deretan kamar bertingkat
pula.
Untuk mengejar waktu Kun-gi terus berlompatan beberapa kali,
dikala kakinya menginjak payon seberang rumah sana, tiba2 ia
dengar suara hardikan disusul sa mberan angin senjata tajam yang
me-nyerang dari belakang. Dua sosok bayangan orang menubruk
tiba dari kanan-kiri dengan cukup ganas.
Dari gerak serangan yang keji ini dapatlah dinilai bahwa kedua
penyerang ini me miliki kepandaian yang cukup tangguh. Tapi Kun-gi
terang tidak gentar, tanpa memba lik badan, tangan kanan terayun
ke belakang, terdengar suara erangan tertahan disusul suara "bruk"
orang jatuh di atas genteng, penyerang di sebelah kiri terguling ke
bawah rumah.
Tangan kanan yang terayun ke belakang itu sekalian meraih dan
menggentak, golok tebal dari penyerang sebelah kanan berhasil
dipegangnya lalu disodok balik dan mengenai dada tuannya, tanpa
bersuara orang inipun terjungka l ke bawah.
Dengan jatuhnya kedua orang yang gedebukan keras ini pasti
mengejutkan banyak orang, tapi Ling Kun gi tida k peduli lagi, cepat
ia me mukul jendela ka mar ketiga di depannya terus menerobos
masuk.
Itulah sebuah ka mar yang dipajang mewah, sayang keadaan
kamar gelap gulita, tapi jelas kelihatan di atas ranjang tidur dua
orang, mereka terkejut bangun mendengar suara gaduh di luar, tapi
saking ketakutan keduanya meringkuk berpelukan di da la m selimut.
Kun-gi sulut la mpu sehingga ka mar itu menjadi terang, lalu dia
me mbentak ke arah ranjang: "Kian- lopan, keluarlah kau."
Ranjang tampak bergoyang keras, sebuah tangan yang gemetar
tampak menyingkap ke la mbu, seraut muka kurus t irus menongol
keluar, kulit muka si tua bangka ini ta mpak pucat, dengan takut dia
me lorot turun mengenakan sepatu. Usia laki2 ini sekitar lima
puluhan, rambut sudah beruban, kumisnya jarang2 jenggotpun
hanya secomot, matanya yang sipit me mbentuk segi tiga
me mancarkan rasa takut.
Setelah dia melihat orang yang bertolak pinggang di dalam
kamarnya ternyata hanya seorang pemuda yang bertangan kosong,
rasa kedernya lantas lenyap sebagian besar, lekas dia tenangkan diri
lalu unjuk tawa kecut, katanya munduk2: "Congsu ini ma la m buta
berkunjung ke mari, entah ada keperluan apa?"
Dala m pada itu suara ribut telah terjadi di bawah loteng banyak
orang berteriak2 menangkap maling cahaya oborpun kelihatan
terang.
Kun gi tidak hiraukan kegaduhan di bawah, tanyanya dengan
suara kereng: "Kau inikah Kian-lopan, pe milik Tang-sun-can?"
Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi orang2nya
sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya
mengangguk: "Lo-siu me mang orang she Kian, silakan Congsu
utarakan ma ksud kedatanganmu, asal Losiu ma mpu ....."
Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi orang2nya
sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya
mengangguk: "Lo-siu me mang orang she Kian, silakan Congsu
utarakan ma ksud kedatanganmu, asal Losiu ma mpu ....."
"Tutup mulut mu!" hardik Kun-gi bengis, sorot matanya tiba2
me mancar berapi "A ku tida k ingin me meras harta mu."
Kian-lopan menelan air liur, tanyanya: "Lalu Congsu . . . . ?"
"Jawab pertanyaanku, apakah asalmu she Ci?"
Bergidik si tua tirus, sahutnya tergagap: "Bukan, bukan, Losiu
she Kian. Kian artinya ....." mungkin dia tidak melihat bahwa Ling
Kun-gi menyelipkan pedang pendeknya di pinggang, mendadak dia
berteriak keras: "Tolong! Ada ma ling di sini."
"Sret", selarik sinar terang terayun dari tangan Kun-gi, ujung
pedangnya yang tajam ke milau menganca m di depan hidung Kian-
lopan, jengeknya: "Orang she Kian, berani kau mungkir a kan kuiris
dulu hidungmu. Lekas katakan, bukankah kau ini Ci Kun jin?"
Saking ketakutau Kian-lopan manggut2, sahutnya: "Ya, ya, aku .
. . . . aku me mang Ci. . . . . . Ci Kun jin."
Beringas muka Kun gi, tanyanya: "Baik, jawab pula
pertanyaanku, dulu kau pernah menjadi sekretaris Kok thay yang
menjabat Gubernur Shoatang?"
"Congsu," kata Ci Kun jin dengan muka kecut, "hal itu sudah
la ma berselang."
Batang pedang Ling Kun- gi yang mengancam hidung orang
tampak ge metar saking menahan e mosi. serunya bengis: "Bagus
sekali, tentunya kau masih ingat kejadian dua puluh tahun yang
lalu, pernah kau mengusulkan muslihat keji kepada si bangsat tua
Kok-thay itu untuk menghancurkan Hek-liong hwe di Kun-lun-san,
ratusan patriot bangsa telah gugur karena muslihatmu, Ki Seng-
jiang sudah ku-pengga l kepa lanya, kini menjadi giliranmu."
Pucat bagai kertas muka Ci Kun-jin, tiba2 dia menjatuhkan diri
menye mbah berulang2 seraya berseru: "Ampun Congsu, Losiu
dipaksa untuk me lakukan itu."
"Tiada a mpun bagimu, aku datang ke Jiat-ho ini untuk me nuntut
balas ke matian para pahlawan Hek-liong-hwe, menuntut balas sakit
hati kematian ayahku, siapapun yang menjadi pengkhianat bangsa
dan sudi menjadi antek penjajah akan mene mui ajalnya sesuai
dengan ganjaran perbuatannya, dan lagi supaya kau mengerti aku
inilah Ling Kun-gi, putera Ling Tiang-hong, Hwecu Hek-liong-hwe
dulu, kau sudah dengar je las?"
Habis bicara, "crat", begitu sinar pedang berkelebat, batok kepala
Ci Kun-jin mencelat dari batang lehernya. Sekali tendang Kun-gi
le mpar jasad Ci Kun jin, dengan kalem dia masukkan batok kepala
orang ke dalam kantong kertas minyak terus melompat keluar
jendela, dalam sekejap bayangannya sudah lenyap.
Besoknya kota Jiat-ho jadi geger, komandan tertinggi pasukan
bayangkari yang paling berkuasa di istana raja ternyata menghilang
tanpa jejak, Tu Hong-seng yang tinggal di losmen Liong-kip juga
mati, cukong atau pe milik Tang-sun-can "Kian-lopan" juga mat i
terbunuh dengan kepala terpenggal, lebih celaka lagi ada lah
kelompok barisan perta ma pasukan bayangkari telah dihajar
habis2an oleh kelompok ketiga dari pasukan yang sama, kedua
pihak jatuh korban cukup banyak. .
Menurut dugaan kejadian ini adalah berkat kerja dan rencana keji
kaum pe mberontak yang mau menuntut balas. Maka keempat pintu
kota kini ditutup rapat, rakyat tidak diperbolehkan keluar masuk,
seluruh kota dirazia, digeledah untuk menangkap kaum
pemberontak.
ooooo0dw0ooooo
Pada persimpangan jalan sebelah barat kota Jiat-ho, di bawah
sebuah pohon besar diparkir sebuah kereta ,yang di tarik seekor
kuda, kusir keretanya adalah seorang laki2 tua bermuka kuning.
Dala m kereta duduk e mpat orang perempuan, ibu beranak,
menantu dan seorang pelayannya. Sang mertua kelihatan berusia
enam puluhan, menantunya adalah perempuan muda yang cantik
jelita, puterinya adalah gadis remaja yang baru berusia delapan
belas, pakaian mereka sederhana, jelas mereka dari keluarga
menengah.
Tak jauh di sebelah sana ada dua orang penjual kain kelilingan,
seorang berusia lima puluhan, tingkah lakunya lucu seperti orang
sinting, seorang tahu laki2 lima puluhan, mukanya merah, tubuhnya
kurus.
Dala m jarak satu panahan maju ke depan lagi, masih ada
kelompok orang, keadaannya jauh lebih mentereng, mereka ada lah
ayah beranak lima orang, ada laki2 ada perempuan, sang ayah
berwajah putih bersih, jenggot hitam menjuntai di dada,
mengenakan jubah biru bersula m ke mbang, sepatunya tinggi
terbuat dari kulit, seorang lagi adalah pemuda bersama tiga orang
adik pere mpuannya. Si pe muda berperawakan kekar gagah,
demikian pula ketiga nona itu sa ma cantik dan segar bak bunga
baru me kar. Masih ada lagi dua kacung yang merawat kuda. Dilihat
dari dandanan mereka, ke mungkinan adalah keluarga berpangkat
yang sedang lewat dan istirahat. paling tidak kaum bangsawan
entah dari mana.
Tiga ke lompok orang ini meski sa ma istirahat di te mpat yang
berlainan, tapi ke lihatan mereka seperti sedang menunggu orang,
entah siapa? Karena mereka sering berpaling ke arah kota di mana
jalan raya itu menjurus,
Tentunya para pembaca maklum orang2 ini ialah Thi hujin, Bok-
tan, Pui Ji-ping bersama pelayan Ing-jun, kakek yang jadi kusir
adalah Ting Kiau.
Kedua penjual kelilingan adalah Un It hong, sementara lima
orang di bawah pohon sana ada lah Cia m-liong Cu Bun-hoa, Cu Ya-
khim, Tong Siau-khing, Tong Bun-khing dan Un Hoan-kun, kedua
kacung adalah Ban J in-cun dan Kho Keh-hoa.
Mereka sudah berjanji dengan Ling Kun-gi untuk menunggu
kedatangannya di sini. Mereka sudah menunggu sekian la manya,
selagi hati t idak sa-bar dan ge lisah terta mpak dari ujung jalan raya
sana muncul setitik bayangan orang meluncur sepesat kuda
me mbeda l.
"Nah itu Toako sudah datang" Pui Ji ping mendahului berteriak
sambil berjingkrak girang.
Yang datang me mang Ling Kun-gi, ia me mbawa sebuah buntalan
kertas minyak, jelas isi kantong adalah batok kepala Im si boan-
koan Ci Kun -jin.
Kun-gi langsung menuju kereta, setelah dekat dia le mpar
buntalan kertas minyak itu terus menjatuhkan diri berlutut, air
matanya bercucuran, serunya: "Bu, syukurlah anak berhasil
menuntut balas sa kit hati ayah, menebus denda m kesumat
ke matian para pahlawan Hek-liong hwe."
Sambil berlinang air mata Thi hujin manggut2, katanya: "Anak
baik, bangunlah, ibu sudah tahu jelas me mang tidak ma lu kau
sebagai putera Ling Tiang hong, sebagai cucu yang baik dan
berbakti terhadap kakak luarmu, hayolah kita lekas berangkat."
Bok-tan mengeser tempat duduknya, dengan suara merdu mesra
dia berkata: "Marilah kau naik ke kereta."
Tanpa bicara Kun gi lompat ke atas kereta. Tanpa diperintah lagi
Ting Kiau menurunkan kerai terus lari ke depan sa mbil mengayun
cambuk: "Tar", kuda segera mencongklang kedepan, menyusul Un
It-hong, Un It kiau dan lain2 mence mplak kuda masing2 dan
menyusul dari kejauhan.
Jalan raya ini menjurus ke Pak-kau, tiga kelompok berangkat
sendiri2, sudah tentu tidak menarik perhatian orang. Tapi baru kira2
tiga li jauhnya mereka mene mpuh perjalanan, tampak di kejauhan
di tengah jalan raya berduduk tersimpuh lima orang Lama berkasa
merah yang berusia lanjut.
Mereka bersemadi tak bergeming, meski kereta semakin dekat
tapi mereka anggap tida k melihat dan tak mendengar. Cepat sekali
keretapun berlari, tiba di depan mereka. . Dari kejauhan Ting Kiau
sudah ber siap2, kira2 tiga tombak jaraknya dia tarik tali kendali
menghentikan lari kudanya, tapi kereta masih terseret maju
setombak lebih.
"Ting lotoa," kata Thi hujin, "ada kejadian apa di depan?"
Ting Kiau menyahut: "Lapor Lothay, ada beberapa Lama
mengadang di tengah jalan." Lalu dia me na mbahkan dengan suara
lirih: "Agaknya mereka bermaksud kurang baik."
Maka terdengar salah seorang La ma yang tertua paling tengah
angkat kepala dan bersuara kalem: "Maksud ka mi bukan jahat,
Lolap berlima hanya ingin mene mui satu orang."
Bok-tan segera berbangkit, katanya sambil menyingkap kerai:
"Losuhu, ka mi kaum pere mpuan ingin lekas masuk kota, jangan
kalian salah ala mat."
"Mana mungkin Lolap salah mencari orang?" ucap La ma tertua,
"bukankah dala m kereta kalian ada Siau-sicu she Ling?" - Jelas
mereka ingin me mbuat perhitungan dengan Ling Kun gi.
Thi-hujin mengerut kening, katanya lirih: "Ke lima orang ini
seperti kaum La ma."
"Siancay. Siancay," ucap La ma tertua, "rekaan Hujin me mang
betul."
"Bu, kalau mere ka menunjuk diriku, biarlah anak turun bicara
dengan mereka," kata Kun gi.
"Kedatangan mereka berma ksud tidak baik, kau harus hati2,"
demikian pesan Bok-tan.
"Biar aku juga turun," seru Ji-ping.
Lekas Thi-hujin me nariknya, katanya: "Anak Gi boleh turun dan
tanyai mereka, kau tak usah turut ca mpur."
Kun-gi lantas me langkah turun, tampa k ke lima La ma ini masing2
menduduki satu posisi tertentu, semuanya duduk semadi
me meja mkan mata hingga berbentuk sebuah lingkaran, cepat dia
menjura, sapanya: "Para Suhu hendak mencari Cayhe, entah ada
petunjuk apa?"
Lama tertua yang menjadi pemimpin me mbuka kelopak matanya,
kedua tangan terkatup di depan dada, katanya: "Omitohud! Apakah
Siausicu inilah Ling Kun-gi?"
Kun-gi mengangguk, sahutnya: "Betul, Cayhe me mang Ling Kun-
gi."
"Ada suatu soal ingin kutanya kepada Siausicu," kata La ma tua.
"Soal apa, silakan bicara."
"Lolap punya seorang murid, bernama Pat-toh, apakah dia mati
terbunuh oleh Siau-sicu?"
Bergetar hati Kun-gi, seperti diketahui La ma kasa merah yang
bernama Pat-toh mati ditangan bibinya sebagai Maha Pangcu Pek-
hoa-pang, tapi sang bibi sekarang sudah wafat, biarlah dirinya yang
me mikul tanggung jawabnya. Maka dia me ngangguk, katanya.
"Betul, muridmu itu adalah Hek-liong-hwe Houhoat, Cayhe
menuntut balas pada Han Jan-to atas kematian ayah almarhum, tapi
muridmu mena mpilkan diri, terpaksa dia gugur di bawah pedangku."
Sikap La ma tua tetap tenang tanpa marah sedikitpun, katanya
mengangguk: "Lolap dengar Siau-sicu ini murid didik Hoan-jiu-ji-lay,
sudah lama Lolap dengar nama besar Hoan-jiu-ji-lay, sayang selama
puluhan tahun belum pernah berte mu, bahwa Siau-sicu ma mpu
me mbunuh muridku, itu tandanya Kungfumu sudah tinggi, ilmu
pedangmu pasti juga amat lihay, Lolap dan para Sute ingin menjaja l
dan menyaksikan ilmu pedang Siausicu, bagaimana menurut
pendapat Siausicu?"
Dia m2 tersirap darah Kun-gi, sungguh tak nyana bahwa kelima
Lama tua ini adalah guru dan pa man guru Pat-toh yang lihay itu.
Kungfu Pat-toh pernah dia saksikan sendiri, tarapnya jelas tidak
lebih rendah daripada Thay-siang, bahwa kelima La ma tua ini
adalah guru dan pa man gurunya, mereka terang me miliki
kepandaian yang lebih t inggi dari-pada Pat-toh.
Sebelum Kun-gi me mberi tanggapan, Lama tua sudah berkata
lebih lanjut: "Lolap juga dengar bahwa Siausicu mahir mainkan Hwi-
liong-sa m-kia m, dengan gaya jungkir balik dan terapung di udara
sambil menyerang musuh, Lolap lima bersaudara akan duduk
bersimpuh di te mpat masing2 dan takkan bergerak dari tempat
duduk ini, asalkan Siau-sicu dapat mencelat keluar dari tengah
lingkaran ka mi ma ka ka mi berlima akan menyerah kalah."
Agaknya dia sudah tahu jelas bahwa Hwi-liong-sa m-kia m harus
dike mbangkan dengan badan terapung da m jumpa litan di udara,
dikatakan pula bahwa mereka berlima takkan bergerak dari
duduknya, lalu cara bagaimana mere ka akan turun tangan? Bila
Kun-gi betul2 menge mbangkan Sin-liong-jut-hun, dengan mudah dia
dapat mela mbung dan jumpalitan keluar dari da la m lingkaran,
kenapa La ma tua ini berani bertaruh begitu.
Tak tahan Bok-tan lantas melompat turun dan berdiri di samping
Kun-gi, katanya: "Maksud Lo-suhu akan bertempur dengan tenaga
kalian berlima, kalau de mikian biarlah ka mi berdua menghadani
kalian,kan boleh?"
Sekilas La ma tua me liriknya, katanya hambar:
"Li-sicu ini lebih baik mundur saja."
Dia m2 Kun-gi sudah perhatikan kelima La ma tua ini me mang luar
biasa, mereka duduk dengan posisi Ngo hing (lima unsur),
ke mungkinan akan me mbentuk se maca m barisan pedang yang
lihay, dirinya telah mempelajari Hwi-liong-kiu sek, bisa jadi mampu
mengatasi keroyokan lima lawan. Tapi Bok-tan hanya me mbeka l
tiga jurus ilmu pedang, mungkin takkan kuat bertahan, maka dia
berkata:
"Losuhu ini hanya ingin menjaja l ilmu pedang yang pernah
kupelajari, me mang lebih baik kau undurkan diri saja." - Lalu
dengan menggunakan ilmu gelombang suara diam2 ia me mbisiki:
"Aku sudah berhasil me mpelajari sembilan jurus ilmu pedang
peninggalan Tiongyang Cinjin, umpa ma t idak menang juga aku
masih ma mpu me mpertahankan diri, bila kau berada di sa mpingku,
mungkin ma lah mengha mbat gerak-gerikku."
Sementara itu derap kaki kuda ra mai mendatangi, kiranya
rombongan Cu Bun-hoa telah tiba. Me lihat Kun-gi berda mpingan
dengan Bok-tan menghadapi lima La ma yang bersimpuh di tengah
jalan raya. Tong Bun-khing dan Un Hoan kun segera, melejit dari
punggung kuda mereka terus hinggap di kiri kanan Ling Kun-gi.
Dengan suara merdu Un Hoan-kun bertanya. "Apa yang terjadi,
mereka me ncegatmu? Ini soal mudah, biar aku yang bereskan
mereka."
Cepat Kun-gi goyang tangan mencegah, katanya: "Hoan-moay
jangan semberono, lekas ka lian mundur ke be lakang."
Di dala m kereta Thi hujin hanya tenang2 saja, katanya: "Anak Gi
betul, kalian mundur saja, biar anak Gi menghadani para Losuhu ini"
Terpaksa Bok-tan, Un Hoan-kun, Tong Bun-khing turuti nasehat
Thi-hujin.
Lama tua tertawa tawar, katanya: "Siausicu sudah siap?"
Sudah tentu Kun-gi tak berani gegabah, segera dia keluarkan
Seng ka-kia m. Se mentara kelima La ma itupun menge luarkan senjata
yang bentuknya seperti pedang tapi bukan pedang, panjang dua
kaki, bentuknya rada aneh, belum pernah ada senjata semacam ini.
Maklum, senjata ini me ma ng khas kaum La ma, na manya Hiap-
ciang-hiap. Bentuknya seperti pedang, pada gagangnya digubat
benang mas dan bertatahkan mutu manika m, batang pedang hanya
sepanjang satu kaki dan berke milauan taja m, ujungnya berbentuk
gurdi yang runcing bulat, bentuknya lebih mirip kepa la ular.
Setelah mengeluarkan senjata masing2, para Lama tetap
bersimpuh, mata terpejam kepa la sedikit menunduk, sikapnya tida k
seperti jago yang siap tempur. Tapi Kun-gi yang sudah berdiri di
tengah mereka merasakan secara langsung bahwa kelima La ma ini
tengah mengerahkan Lwekang pada batang senjata ampuh mereka,
meski belum lagi bergerak, tapi senjata itu sendiri sudah
menimbulkan perbawa yang tidak kecil.
Kun-gi tahu pertempuran ini merupakan adu kekuatan yang
besar artinya, apakah dirinya ma mpu menandingi kekuatan
gabungan kelima La ma sakti ini masih merupakan tanda tanya
besar. Maklumlah, dia tidak kenal senjata apa yang diguna kan
lawan? Belum diketahui pula dengan cara bagaimana musuh a kan
mulai menyerang?
Orang kuno sering bilang: harus tahu kekuatan sendiri dan dapat
mengukur kekuatan lawan, setiap kali bertempur tentu menang. Kini
hakikatnya Kun-gi tida k kenal musuh2nya, bagaimana mungkin dia
bisa me mpersiapkan diri. Terpaksa dia berdiri dia m menanti gerakan
lawan lebih dulu.
Cukup la ma mereka bertahan, kedua pihak tetap diam saja tanpa
bergeming, akhirnya La ma tertua itu me mbuka suara: "Siau-sicu
berhati2lah." - Berbareng Hiap-ciang-hiap yang tegak di depan
dadanya bergetar, segulung hawa getaran senjatanya yang kemilau
itu terus menyambar ke depan laksana ana k
panah menerjang ke tengah alis Ling Kun gi.
"Inilah hawa pedang," dia m2 tersirap darah Ling Kun-gi, tanpa
ayal dia ayun pedang pendek untuk balas menyerang. Ayunan
pedangnya menimbulkan cahaya benderang dingin laksana kilat dan
telak sekali me mbendung sa mberan hawa pedang yang diluncurkan
Lama tua itu.
Tatkala La ma ini menyerang, empat La ma yang lainpun serentak
menggetar senjata masing2 ikut me-nyerang, terdengarlah deru
angin kencang me mberondong ke tengah kalangan tertuju kepada
Ling Kun-gi. Tiada cahaya yang menyilaukan, tak terlihat bayangan
pedang, hanya hawa pedang yang terasa dingin sehingga hawa
sekitar gelanggang seakan2 beku.
Sekuatnya Kun-gi mengerahkan sega la ke ma mpuannya baru
kelima jalur hawa pedang lawan terbendung di luar lingkup cahaya
pedangnya, tapi orang yang menonton tidak mengerti sa ma
bertanya2 dalam hati bahwa kelima La ma itu cuma duduk tak
bergerak, kenapa Kun-gi berma in pedang sekencang dan sehebat
itu.
Hanya Thi-hujin, Un It hong, Cu Bun-hoa dan Bok-tan yang
sedikit banyak dapat merasakan, walau kelihatan kelima La ma ini
duduk dia m, tapi ke mungkinan mereka sudah mulai melancarkan
serangan entah dengan cara apa kepada Ling Kun-gi. Ka lau tida k
tak mungkin anak muda itu me mutar pedang dengan mengerahkan
Lwekang sehebat itu.
Lima jalur hawa pedang terus bertambah kuat, gempurannya
semakin dahsyat, makin la ma ma kin tebal dan menjadikan serupa
jaring hawa pedang di sekeliling tubuh Ling Kun-gi, tapi semua ini
tidak kelihatan bentuknya, hanya Kun gi merasakan langsung akibat
dari kehebatan ilmu yang tiada taranya ini.
Di dasar Hek-liong ta m Kun-gi telah berhasil me mpelajari
sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin, dala m
permainan ilmu pedangnya boleh dikatakan dia sudah ma mpu
menge mbangkan segenap perubahan ilmu pedang itu.
Akan tetapi kelima ja lur hawa pedang itu secara bergiliran
mengge mpurnya dengan tekanan yang dahsyat, setiap jalur hawa
pedang se-olah2 mengandung kekuatan yang ma mpu
menggugurkan gunung.
pada hal Hwi-liong-kia m-hoat harus dimainkan dengan cara
mengapung di udara, di bawah tekanan hawa pedang musuh yang
ketat ini jelas dirinya takkan ma mpu melompat terbang ke atas.
Apa yang dikatakan Lama tertua itu memang tida k salah, asal
dapat keluar dari lingkaran mereka, maka anggaplah mereka yang
kalah. Meski hebat ilmu pedang Ling Kun-gi, karena tiada
kesempatan dike mbangkan, apalagi tekanan hawa pedang terasa
tambah berat, kelima jalur hawa pedang seakan2 telah menutup
rapat di atas kepalanya, malah seberat gunung menindihnya
sehingga la ma kela maan dia ha mpir tak kuasa berdiri lagi.
Terpaksa Kun-gi pusatkan segala perhatian dan bertahan
mati2an, dalam hati dia sudah mulai gelisah, pikirnya: "Agaknya hari
ini aku bakal gugur di bawah hawa pedang para La ma ini."
Seorang kalau menghadapi jalan buntu, walau tahu mungkin
tiada harapan, tapi dala m sanubarinya tetap akan timbul secercah
pikiran untuk mengejar hidup meski itu hanya merupakan harapan
kosong. Apalagi teringat bahwa ibunda dan para kekasihnya tengah
menonton di luar gelanggang, sekali2 dirinya tak boleh mati begitu
saja. Dikala dia menghadapi jalan buntu inilah, tiba2 dia teringat
akan ajaran semadi yang terdiri tiga gambar peninggalan Tiongyang
Cinjing di dinding gua itu, ketiga ga mbar se madi ini merupa kan
rangkaian pula dari kese mbilan jurus ilmu pedang. Entah dari mana
datangnya ilha m, tiba2 terpikir olehnya kalau ke lima La ma sa ma
duduk bersimpuh, senjata berdiri tegak di depan dada, dengan
kekuatan Lwekang mereka menyalurkan hawa pedang untuk
mengge mpur dirinya, kenapa dirinya tidak meniru cara mereka saja?
Karena itu segera dia pusatkan pikiran, pedang yang se mula dia
putar naik-turun tiba2 diam tegak di depan dada, begitu semangat
terhimpun dia pusatkan tenaga pada batang pedangnya, pelahan2
dia mulai la kukan gaya sesuai dengan gambar pertama pelajaran
semadi itu.
Sungguh aneh, hawa pedang kelima La ma yang se mula terasa
semakin gencar dan berat itu, begitu dia mulai dengan gaya
semadinya, tekanan yang berat itu seketika menjadi enteng.
Padahal kelima La ma itu tak pernah kendur mengerahkan
Lwekangnya untuk mengge mpurnya, ma lah terasa keadaan sudah
mencapai puncaknya, kelihatan sebentar lagi mereka akan berhasil
me mbunuh lawan, se-konyong2 terasa kekuatan hawa murni Ling
Kun-gi melindungi badan melalui saluran pedangnya berta mbah
hebat gempuran hawa pedang mereka hanya mampu mencapai tiga
kaki di luar lingkaran badan musuh, sedikitpun tak ma mpu
mendesak maju lagi.
Perlu diketahui mereka berlima sudah me musatkan pikiran,
tenaga dan kekuatan lahir hatin untuk mengerahkan hawa pedang
dan mengge mpur lawan, pandangan matanya hanya tertuju ke
pucuk senjata sedikitpun tidak boleh terpecah perhatiannya. maka
mereka tidak tahu bahwa kini Ling Kun-gi tengah duduk se madi di
tengah lingkaran.
Sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin sudah
diapalkan benar oleh Ling Kun-gi, tiga jurus yang terakhir dari
rangkaian kedua belas jurus ilmu pedang itu meski hanya bergaya
duduk se madi, tapi satu sa ma la in merupa kan ikatan yang erat,
cuma sela ma ini belum berhasil disela minya dengan baik. Kini
setelah dia mengulang dala m pra ktek pada saat menghadapi musuh
tangguh, terasa pikiran menjadi terang, seperti me mperoleh ilha m
sehingga segala kesukaran yang dihadapinya selama ini mendada k
menjadi terang seluruhnya. tekanan musuhpun la mbat lain terasa
semakin ringan, baru kini betul2 dia sadari meski ketiga gaya duduk
ini mirip orang bersemadi, hakikatnya merupakan ajaran ilmu
pedang tingkat tinggi yang tiada taranya.
Maka dengan pedang pendek dipegangnya lebih kuat dan
mantap, hati bersih pikiranpun jernih, mulailah dia mela kukan gaya
selanjutnya dari ga mbar kedua. Seketika terasa benar
perubahannya, bukan saja pikiran tenang hatipun seperti kosong
tanpa disadarinya semangat telah bersatu padu dengan pedang
secara langsung dia berlanjut ke gaya ketiga, sehingga dengus
napasnya seolah menderu kencang mengandung kekuatan yang
ma mpu me mbobol dinding.
Tekanan hebat dari kelima jalur hawa pedang lawan t iba2 terasa
sirna tak berbekas lagi. Lapat2 didengarnya Pui Ji-ping berteriak
kaget dan heran: "He, kenapa kelima La ma itu?"
Ling Kun-gi tertarik dan merasa heran, pelan2 dia kendurkan
kekuatannya, setelah menarik napas panjang mulai dia me mbuka
mata, maka dilihatnya kelima La ma tua itu sudah sa ma mengge letak
di tanah tanpa mengeluarkan suara, sejak tadi sudah melayang
jiwanya.
Tong Bun-khing, Bok-tan dan Un Hoan-kun tampak mengunjuk
rasa kejut dan heran, tanpa berjanji mereka sama berlompatan
maju, dengan penuh perhatian dan kuatir sere mpak mere ka
bertanya: "Kau tidak apa2?"
Kun-gi melompat bangun, pedang disimpan serta berkata:
"Terima kasih atas perhatian kalian, syukurlah aku lolos dari ujian
berat ini berkat doa kalian, kelima La ma ini tadi sama mengguna kan
Ngo heng-kia m-khi."
Pui Ji-ping tidak mau ketingga lan, dia me lompat turun dari
kereta, tanyanya sambil mende kat: "Toako, apa yang dinama kan
Ngo-hing-kia m-khi?" Belum Kun gi menjawab mendada k dia
menoleh ke arah timur, wajahnya sedikit berubah, katanya: "Ada
orang datang."
"Di mana?" tanya Pui Ji ping ikut berpaling.
Maka terdengar derap kuda yang dilarikan kencang se ma kin
mende kat dan sekejap saja sudah tiba, penunggangnya kiranya
mahir benar mengenda likan kuda, begitu kendali ditarik dan kuda
berhenti, langsung dia melompat turun seraya merogoh keluar
sampul surat, dengan sikap hormat langsung dia mende kati Kun-gi,
katanya: "Hamba mendapat perintah Pho kongcu untuk mengantar
surat ini, harap Kongcu terima.."
Kun-gi terima surat itu, terasa olehnya laki2 pengirim surat ini
seperti pernah dikenalnya, tanpa menunggu jawaban Kun-gi orang
itu menjura se kali terus mence mplak kudanya dan dikaburkan lagi.
Mengawasi punggung orang mendada k Kun-gi ingat, orang ini
adalah orang yang semalam mengantar surat padanya. Lekas dia
periksa sampul surat yang terdapat sebaris tulisan indah berbunyi:
"Disa mpa ikan kepada Ling-kongcu, pribadi."
Dia keluarkan secarik kertas yang berbau harum, surat ini
berbunyi:
Yang terhormat Ling-kongcu Ling Kun gi,
Kami dari keluar bangsawan, belajar kepandaian di Swat-san,
sejak kecil menyendiri dan tinggi hati, semua laki-laki di jagat ini
tiada yang pernah menjadi perhatianku, tapi sejak berkena lan
dengan tuan di tepi Hek-liong-tam, setelah pertarungan naga
terbang (Hwi-liong-kia m-hoat) lawan Burung Hong menari (Hwi-
hong-kia m-hoat), dengan keka lahan itu baru ka mi sadar bahwa di
jagat ini kiranya ada laki2 sehebat tuan, hati yang beku selama ini
seketika mencair dan bergelora.
Sayang kami bermusuhan dengan tuan, terpaksa mengundurkan
diri dengan hati ha mpa. Kali ini kuketahui tuan akan me lakukan
perjalanan ke Jiat-ho, maka dengan menya mar sebagai Pho Kek-pui
kita telah bersahabat, makan minum riang ge mbira bersama,
terhiburlah hati nan merana ini, dua kali surat kirimanku rasanya
cukup melimpahkan perhatianku, hanya itu pula yang dapat
kupersembahkan kepada tuan, hal inipun telah mengingkari
keluarga dan mendurhakai leluhur, sungguh harus disesalkan.
Waktu tuan terima suratku ini, ka mi sudah berangkat ke barat,
ke mbali ke atas gunung, selamanya akan berbakti untuk ajaran
agama. Teriring sala m hangat dan bahagia.
Cui Kin-in
Sampa i sekian la ma Ling Kun-gi terlongong me megangi surat itu.
Kiranya Cui Kin-in adalah Pho Kek-pui puteri pangeran istana Hok.
Dia pula yang menyaru jadi pelajar baju putih waktu menolong
dirinya di istana. Cui Kin-in adalah gadis aneh dan hebat pula,
seorang gadis romantis juga.
Melihat Kun-gi terlongong sehabis me mbaca surat, maka beramai
orang banyak merubung maju ikut me mbaca surat itu. Habis
me mbaca mere kapun sa ma me nghela napas sa mbil menggeleng.
TAMAT
Semarang, Januari 1977

Anda mungkin juga menyukai