Anda di halaman 1dari 19

PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM ERA INDONESIA MERDEKA

(ERA ORDE LAMA (SOEKARNO), ORDE BARU DAN REFORMASI)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Mata Kuliah


Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Islam Pada Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Palu

Dosen Pengampuh

Dr. Rusdin, M.Pd.


Dr. Hamlan. M.Ag.

Oleh

KHAIRIL KALAMUNTING
NIM: 02.11.09.18.039

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU
2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,

Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu

penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu

dengan tangan terbuka Penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar

Penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata Penulis berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan

manfaatnya untuk masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap

pembaca.

Palu,
Penyusun

Khairil Kalamunting, S.Kom.I.


NIM. 02.11.09.18.039

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………… i


KATA PENGANTAR ………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerinahan Soekarno
(Orde Lama) ……………......................................................................... 3
B. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerinahan
Orde Baru …………….............................................................................. 7
C. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerinahan
Reformasi …………….............................................................................. 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ……………………………………………………………… 14
B. Saran …………………………………………………………………….. 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah

berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda

dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan

mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka,

pendidikan Islam dengan cirri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan

perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.

Pemerintahan pada masa orde lama yang dimaksudkan kepada rentang waktu

1945 sampai dengan 1965 diberi tugas oleh UUD 1945 untuk mengusahakan agar

terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh

karena itu, pastilah sejarah mencatat bagaimana pemerintah orde lama memberikan

sumbangsih yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pemerintahan

memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan

strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam

pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia

dan kemakmuran rakyat, Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan

diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai

kehidupan bangsa dan negara.

Secara khusus pendidikan Islam dan bertanggung jawab atas kelangsungan

tradisi ke Islaman dalam arti yang seharusnya. Berdasarkan Undang-Undang dan

Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam

1
sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran,

pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam

sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-

sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata

pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerintahan

Soekarno (Orde Lama)?

2. Bagaimana Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerintahan Orde

Baru ?

3. Bagaimana Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerintahan

Reformasi ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerinahan Soekarno


(Orde Lama)

Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat

perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk

itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang

dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945

menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat

dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia

pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tututan dan

bantuan material dari pemerintah. Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia

dalam Bidang Pendidikan Islam antara lain yaitu :

Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia

tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945

para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/

Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat

Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada

perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.

2. Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan

diselamatkan.

3. Musuh-musih RI (Belanda / sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa

Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.

3
4. Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.

Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali

artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut:

1. Para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang

sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di pondok

atau madrasah.

2. Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi

sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya

mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi

sekolah agama seperti pondok pesantren dan madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik

Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini

merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2

Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan

madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan

lain-lain” (Hanun Asrohah. 1999: 177).

Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu

Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa

pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar)

sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap

sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah

di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama mulai kelas I SR.

Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun

1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof.

4
Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan

dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.

Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan

nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4

Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar

di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama

dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.

Langkah demi langkah pada akhirnya pendidikan Islam semakin

terintegrasikan secara total dalam pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan agama

yang telah terintegralkan dengan pendidikan nasional akhirnya mendapat kekuatan

hukum dalam Rumusan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi:

“bahwa pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan

mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan, daya estetik,

dan jasmaninya sehingga ia dapat mengembangkan dirinya bersama-sama dengan

sesama manusia membangun masyarakatnya, seta membudayakan alam sekitar”

(Hanun Asrohah. 1999: 178). Dikukuhkan dalam GBHN berdasarkan TAP MPR No.

II/1983.

Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh

Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin

disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud

yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia

itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:

5
1. Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.

2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan

agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan

umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang

pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.

3. Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan)

diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.

4. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang

dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.

5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi

pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai

berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan

syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan

kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk

kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan

bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai

sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak

ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya.

            Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang

pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat

terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966

pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi

Umum Negeri di seluruh Indonesia.

6
B. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerinahan Orde Baru

Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga

terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21

Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan

strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah

suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah

menyelewengkan pancasila.

Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde

Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan

antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun

1973-1978 dan 1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN.

Selain itu, dalam Pelita IV di bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa makin di kembangkan. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya

pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa harus semakin diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan

social kemasyarakatan. Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang

diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk pendidikan agama Islam yang dimasukkan

dalam kurikulum sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas

Negeri. 

Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks

madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade

terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di

7
kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu

pendidikan.

Pada awal – awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang madrasah

bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah

belum di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat

lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.

Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan

pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap

TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi

Madrasah.

Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat

keberadaannya, namun di awal –awal tahun 1970 –an, justru kebijakan pemerintah

terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan

nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah

yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan

presiden nomor 34 tanggal 18 April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional

pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal :

1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas

pembinaan pendidikan umum dan kebijakan

2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan

latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri

3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas

pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.

8
Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun

1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966

dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan

nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan

madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan

otonom di bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini,

Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat

keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No.

34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya

berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD.

C. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Era Pemerinahan Reformasi

Pemerintah Orde Soeharto menegaskan kembali tujuan dan cita-cita pendidikan

nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR No.II/MPR/1988 dan UU Sistem

Pendidikan Nasional, No. 2 tahun 1989. Inilah UU Pendidikan yang pertama di zaman

Orde Soeharto, dan juga UU Pendidikan yang ketiga di Republik ini, setelah

sebelumnya telah terbit di zaman Soekarno, yakni Undang-undang Pendidikan dan

Pengajaran (UUPP) No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954.

Ketetapan ini menjadi landasan dikeluarkannya UU Pendidikan No. 21 tahun 1989.

UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini diundangkan dan berlaku sejak

27 Maret 1989. UU ini antara lain menetapkan:

1. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945

(pasal 2)

2. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan

mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman

9
dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,

memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,

kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tangungjawab

kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4) Tentang pendidikan dan

pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP

No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954

dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama,

orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran

tersebut’, (pasal 20 ayat 1). Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi

disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan

sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama.

Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah

dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP

(Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah,

PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang

Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan

telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur

pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.

Menurut Karnadi Hasan, UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan

Pemerintah tersebut memberikan sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga

pendidikan Islam. Beliau menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun

1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam

menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan

10
demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam

adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga

pendidikan nasional secara keseluruhan.

Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk

memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD,

SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak

diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri

khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari

sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan

agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai

dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya

Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-

sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan

pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.

UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh

sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di

kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk

mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama. 

Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di

seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan

Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan

agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk

dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU,

dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum

11
bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia,

Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan

Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi,

Geografi) dan Pendidikan Seni.

Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan

perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter

pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai rezim

Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan

UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim ini menggulirkan

gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam

bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan

dan diharapkan oleh banyak pihak.

Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan

Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam

UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah

pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik.

”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan

agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang

seagama,” (Pasal 12 ayat a). Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa

pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau

disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan

pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.

UU ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan

Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama

12
tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya

pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003

mewajibkan sekolah/ Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk

siswa yang menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun

2003 inilah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan

pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat

(1) disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat

pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu

pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,

keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini

ditegaskan, ’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak

mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-

undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya

pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.

Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004

pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran

Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi

keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode

Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru

tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat

kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan

Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kebijakan pemerintah pada orde lama yaitu pada bulan desember 1946

dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan

mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa

itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua

Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa

masih banyak yang memberikan pendidikan agama mualai kelas I SR. Pemerintah

membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947

yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs.

Abdullah Sigit dari Departemen Agama.

2. Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan islam dalam konteks

madrasah di indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua

dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga

pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan

dan peningkatan mutu pendidikan.

3. Kebijakan pemerintah pada era reformasi yeitu Tentang pendidikan dan

pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP No. 4

tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan

bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid

menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal 20 ayat 1).

14
Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’,

yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam

memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran

operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun

berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang

Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No.

29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan

Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut

mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.

B. Saran

Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat

bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari

bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan

kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dra. Zuhairini, dkk.. Sejarah Pendidikan Islam. 1997. cet. 4. Jakarta: Bumi Aksara.

http://immtarbiyahpwt.blogspot.com/2011/09/sejarah-pendidikan-islam-masa-orde-
lama.html

http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-
orde.html .www.armhando.com. 

Mustafa dan Abdullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. 1997. Bandung :CV.
Pustaka Setia.

Nizar, H. Samsul. Sejarah Pendidikan Islam . 2007. Jakarta: Kencana.

Nizar , Prof. Dr. H. Samsul, M. Ag, Sejarah Pendidikan Islam. 2008 . Jakarta:
Kencana

16

Anda mungkin juga menyukai