Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASKEP

LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM URINARIA


INKONTINENSIA

I. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan Pada Orang Dewasa

A. Ginjal
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium, di depan
dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar transversus abdominalis,kuadratus lumborum
dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang
tebal. Disebelah posterior dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang meliputi kosta,
sedangkan dianterior dilindungi oleh bantaan usus yang tebal. Pada orang dewasa ginjal
panjangnya 12-13 cm, lebarnya 6 cm dan beratnya antara 120-150 gram. Ukurannya tidak
berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. 95 % orang dewasa memiliki jarak antara
katup ginjal antara 11-15 cm. Perbedaan panjang dari kedua ginjal lebih dari 1,5 cm atau
perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena kebanyakan penyakit ginjal
dimanifestasikan dengan perubahan struktur. Ginjal diliputi oleh suatu kapsula tribosa
tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan
dengan mudah dari permukaan ginjal. (Syaifuddin. 2003).

a. Bagian – Bagian Ginjal


Tiga bagian ginjal, yaitu :
1) Kulit Ginjal (Korteks)
Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah ini banyak mengandung kapiler
– kapiler darah yang tersusun bergumpal – gumpal disebut glomerolus. Tiap
glomerolus dikelilingi oleh simpai bowman, dan gabungan antara glomerolus dengan
simpai bowman disebut badan malphigi. Penyaringan darah terjadi pada badan
malphigi, yaitu diantara glomerolus dan simpai bowman. Zat – zat yang terlarut dalam
darah akan masuk kedalam simpai bowman. Dari sini maka zat – zat tersebut akan
menuju ke pembuluh yang merupakan lanjutan dari simpai bowman yang terdapat di
dalam sumsum ginjal.
2) Sumsum Ginjal (Medula)
Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid
renal. Dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut apeks atau papila
renis, mengarah ke bagian dalam ginjal. Satu piramid dengan jaringan korteks di
dalamnya disebut lobus ginjal. Piramid antara 8 hingga 18 buah tampak bergaris –
garis karena terdiri atas berkas saluran paralel (tubuli dan duktuskoligentes). Diantara
pyramid terdapat jaringan korteks yang disebut dengan kolumna renal. Pada bagian
ini berkumpul ribuan pembuluh halus yangmerupakan lanjutan dari simpai bowman.
Di dalam pembuluh halus ini terangkut urine yang merupakan hasil penyaringan
darah dalam badan malphigi, setelah mengalami berbagai proses.
3) Rongga Ginjal (Pelvis Renalis)
Pelvis Renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong
lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis bercabang dua atau
tiga disebut kaliks mayor, yang masing – masing bercabang membentuk beberapa
kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari piramid. Kaliks minor ini
menampung urine yang terus keluar dari papila. Dari Kaliks minor, urine masuk ke
kaliks mayor, ke pelvis renis ke ureter, hingga di tampung dalam kandung kemih
(vesikula urinaria).

b. Fungsi Ginjal
Menurut Pearce, Evelyn C (2006) Ginjal berfungsi sebagai berikut :
1) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan
dieksresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah besar,
kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang di eksresi berkurang
dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat
dipertahankan relatif normal.
2) Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion yang
optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi pemasukan/pengeluaran
yang abnormal ion –ion akibat pemasukan garam yang berlebihan/penyakit
perdarahan (diare, muntah) ginjal akan meningkatkan eksresi ion – ion yang penting
(mis. Na, K, Cl, Ca dan fosfat).
3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang dimakan,
campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, pH kurang dari 6 ini
disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Apabila banyak makan sayur – sayuran,
urine akan bersifat basa. pH urine bervariasiantara 4 , 8 – 8,2. Ginjal menyekreksi
urine sesuai dengan perubahan pH darah.
4) Eksresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat – zat toksik , obat –
obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).
5) Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon rennin yang
mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (system rennin angiotensin
aldesteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting untuk memproses
pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).

B. Nefron
Pada manusia setiap ginjal mengandung 1-1,5 juta nefron yang pada dasarnya
mempunyai struktur dan fungsi yang sama.
1. Bagian-bagian nefron:
a) Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent yang
kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian
air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya.
b) Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk mengumpulkan cairan
yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
c) Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:
 Tubulus proksimal
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan dari cairan
tubuli dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan tubuli.
 Lengkung Henle
Lengkung henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari pars
descendens yaitu bagian yang menurun terbenam dari korteks ke medula, dan pars
ascendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari lengkung
henle mempunyai dinding yang sangat tipis sehingga disebut segmen tipis, sedangkan
bagian atas yang lebih tebal disebut segmen tebal. Lengkung henle berfungsi
reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-bahan ke dalam cairan
tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme konsentrasi dan dilusi urin.
 Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.
 Duktus pengumpul (duktus kolektifus)
Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan
cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.

C. Ureter
Ureter adalah tabung/saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung
kemih. Ureter merupakan lanjutan pelvis renis, menuju distal & bermuara pada vesica
urinaria. Panjangnya 25 – 30 cm. Persarafan ureter oleh plexus hypogastricus inferior
T11- L2 melalui neuron² simpatis. Terdiri dari dua bagian: – pars abdominalis – pars
pelvina, Tiga tempat penyempitan pada ureter: – uretero - pelvic junction – tempat
penyilangan ureter dengan vassa iliaca sama dengan flexura marginalis – muara ureter
ke dalam vesica urinaria. Terdiri dari 2 saluran pipa masing – masing bersambung
dari ginjal kekandung kemih (vesika urinaria) panjangnya ± 25 – 30 cm dengan
penampang ±0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian
terletak dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan – gerakan peristaltik tiap 5
menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria). Gerakan peristaltik mendorong urin melalui ureter yang dieskresikan oleh
ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke
dalam kandung kemih. Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia
muskulus psoas dan dilapisi oleh pedtodinium. Penyempitan ureter terjadi pada
tempat ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah,
saraf dan pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik.

D. Vesica Urinaria
Disebut juga bladder/kandung kemih. Vesica urinaria merupakan kantung
berongga yang dapat diregangkan dan volumenya dapat disesuaikan dengan
mengubah status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala urin dikosongkan
dari kandung kemih ke luar tubuh melalui ureter. Organ ini mempunyai fungsi
sebagai reservoir urine (200 - 400 cc). Dindingnya mempunyai lapisan otot yang kuat.
Letaknya di belakang os pubis. Bentuk bila penuh seperti telur (ovoid). Apabila
kosong seperti limas. Apex (puncak) vesica urinaria terletak di belakang symphysis
pubis. 
Fungsi vesica urinaria:
(1) Sebagai tempat penyimpanan urine
(2) Mendorong urine keluar dari tubuh
.
E. Uretra
Merupakan saluran keluar dari urin yang diekskresikan oleh tubuh melalui
ginjal, ureter, vesica urinaria. Uretra adalah saluran sempit yang berpangkal pada
kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar.Pada laki- laki uretra
bewrjalan berkelok – kelok melalui tengah – tengah prostat kemudian menembus
lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis kebagia penis panjangnya ± 20 cm.
Uretra pada laki – laki terdiri dari :
1. Uretra Prostaria
2. Uretra Membranosa
3. Uretra Kavernosa
Lapisan uretra laki – laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling dalam),
dan lapisan submukosa. Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis berjalan
miring sedikit kearah atas, panjangnya ± 3 – 4 cm. Lapisan uretra pada wanita terdiri
dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa merupakan pleksus dari vena
– vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita
terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di sini hanya
sebagai saluran ekskresi.
2.2 Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan Pada Lansia

A. Perubahan Ginjal pada Lansia


Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia muda.
Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan dengan
pengurangan ukuran ginjal.
Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman bahwa panjang ginjal berkurang
0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambahnya usia,
banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total
glomerulus berkurang 30-40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus
berkurang secara progresif setelah 40 tahun, dan yang terpenting adalah terjadi
penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari 1% glomerulus
sklerotik pada usia muda, persentase ini meningkat 10-30% pada usia 80 tahun.
Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks
ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen
pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran
darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini
berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan
pengaturan sistem keseimbangan.

B. Perubahan Aliran Darah Ginjal pada Lansia


Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per
menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau
sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99%
yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa aliran darah
ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari
aliran darah ginjal terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal
mungkin sebagai hasil dari kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari
hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.

C. Perubahan Fungsi Ginjal pada Lansia


Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi
hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30
tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena
berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.
Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox, Jr
dkk, 1985)
1) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
2) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan
dengan usia muda.
3) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang
menurun.
4) Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang
berkurang.
5) Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan
memeriksa Creatinine Clearance.
6) Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak
usia 30 tahun.

D. Perubahan Laju Filtrasi Glomerulus pada Lansia


Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus
(GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena total
aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus. Pada
beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode, menunjukkan
bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian
menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade. Penurunan bersihan kreatinin dengan
usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi
kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan
penurunan bersihan kreatinin. Untuk menilai GFR/creatinine clearance rumus di
bawah ini cukup akurat bila digunakan pada usia lanjut.
Cratinine Clearance (pria) = (140-umur) x BB (kg) ml/menit
72 x serum cretinine (mg/dl)
Cretinine Clearance (wanita) = 0,85 X CC pria.

E. Perubahan Fungsi Tubulus pada Lansia


Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari
usia 40 ke 90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian berkurang
tetapi tidak terlalu banyak pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor maksimal
tubulus untuk tes ekskresi PAH (paraaminohipurat) menurun progresif sejalan dengan
peningkatan usia dan penurunan GFR. Penemuan ini mendukung hipotesis untuk
menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi, misalnya hipotesis yang
menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan pada transpor
tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron sehingga kapasitas total untuk
transpor menurun.
Transpor glukosa oleh ginjal dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan Shiock pada
kelompok usia antara 20-90 tahun. Transpor maksimal Glukosa (TmG) diukur dengan
metode clearance. Pengurangan TmG sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR :
TmG tetap pada beberapa dekade. Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron
yang masih berfungsi, kapasitas total untuk transpor menurun sejalan dengan atrofi
nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang ginjal untuk glukosa meningkat
sejalan dengan peningkatan usia. Ketidaksesuaian ini tidak dapat dijelaskan tetapi
mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.

F. Perubahan Pengaturan Keseimbangan Air pada Lansia


Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia
maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut
usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia.
Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah
penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh.
Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume
yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur
perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang biladibandingkan
dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan
ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air
tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih
dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA INKONTINENSIA URINE

1. Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang
mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya
urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan
hygiene dan social.

2. Klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk
berkemih.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
c. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari 50
ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
d. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak
dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih
mencapai jumlah tertentu.
e. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disadari
dan tidak dapat diperkirakan.
3. Etiologi
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek
akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
2) Perokok, Minum alkohol.
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih (ISK)

4. Tanda dan Gejala


a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
5. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria
(Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan
sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2
jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi
pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang
membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan
proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau
kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya
retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi
kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen
menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan
penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak
dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu
menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji S,
2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.
Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran
yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin
pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus
dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.
Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain
saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak
terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes laboratorium tambahan
seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol.
b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia
urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia
urine. Pencatatan  pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan
tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat dipakai
sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu
berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang
keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman
yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula
darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan
latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan
dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan
untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar
panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10
kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat
tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik
agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi
urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan
rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada
kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara
tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan
cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi
cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan
setiap harinya tetap sama.
8. Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine
1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1)   Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2)   Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3)   Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4)   Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih)
yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5)  Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6)   Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a)   B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b)   B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c)   B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d)   B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah  apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat
berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra
pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat
juga di luar waktu kencing.
e)   B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f)   B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.

9. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat

10. Intervensi
1) Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa melaporkan
suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia
Kriteria Hasil :
 0Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung kemih
2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis
3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine
sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada
kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml,
kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan
perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi
inkonteninsia.

2) Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang
lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih
dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
 Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak
adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan
setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih
dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung,
pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang
terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung drainase urine,
penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi
sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri
diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan
masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran
kemih.

3) Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas kulit
teratasi.
Kriteria Hasil :
 Jumlah bakteri <100.000/ml.
 Kulit periostomal tetap utuh.
 Suhu 37° C.
 Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit
bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-
kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan
ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan
kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine
dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

4) Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular, khususnya
pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan
resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang terbatas
dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:
EGC.
Hidayah, a. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2). Jakarta:
Salemba Medika.
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Jakarta: EGC
Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai