Anda di halaman 1dari 21

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Udang Windu

Dalam budidaya udang windu dan vannamei kita sejogyanya juga

mengenal sifat-sifat (fisiologi) dari udang windu dan vanamei tersebut. Berikut

dismpaikan beberapa sifat udang windu (Fisiologi Udang Windu-Penaeus

monodon) yang perlu diketahui antara lain : Nocturnal yaitu secara alami udang

merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan,

sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat

atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan

frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.

Kanibalisme, Udang windu suka menyerang sesamanya, udang sehat

akan menyerang udang yang lemah terutama pada saat molting atau udang

sakit. Sifat kanibal akan muncul terutama bila udang tersebut dalam keadaan

kurang pakan dan padat tebar tinggi. Sifat berikutnya dari udang windu adalah

berupa, pakan dan kebiasaan makan (Feeding behaviour), udang windu hidup

dan mencari makan di dasar perairan (benthic). Udang windu merupakan hewan

pemakan lambat dan terus-menerus dan digolongkan ke dalam hewan pemakan

segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus dan

karnivora yang memakan krustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.

Molting, udang windu melakukan ganti kulit (molting) secara berkala.

Frekuensi molting menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang. Pada

stadium larva terjadi molting setiap 30 - 40 jam pada suhu 28 0C. Sedangkan

juvenile dengan ABW 1 - 5 gram mengalami molting setiap 4 - 6 hari, selanjutnya

pada ABW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2 minggu sekali. Kondisi

lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi frekuensi


4

molting. Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting.

Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selama molting, akibatnya

selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau

kekurangan oksigen dalam tubuh. Ammonothelic, Amonia dalam tubuh udang

windu dikeluarkan lewat insang. (Mandala, 2010)

2.1.1. Klasifikasi

Menurut Maulana (2011), klasifikasi udang windu (Penaeus monodon)

adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Family : Penaidae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon.

2.1.2. Morfologi

Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu terbagi menjadi dua

bagian, yaitu bagian kepala hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian

perut dan ekor. Bagian kepala hingga dada disebut cephalothorax, dibungkus

kulit kitin yang tebal atau carapace. Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5

segmen dan dada dengan 8 segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6 segmen dan

1 teslon.

Udang windu (Penaeus monodon) memiliki 19 pasang appendage. Lima

pasang terdapat pada kepala, masing-masing antenulla pertama dan antenulla

kedua yang berfungsi untuk penciuman dan keseimbangan, mandibula untuk

mengunyah, serta maxillula dan maxilla untuk membantu makan dan bernafas.

Tiga pasang appendage yang terakhir merupakan kesatuan bagian mulut.


5

Untuk lebih jelasnya mengenai morfologi udang windu dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi Udang Windu


Sumber: Data Sekunder (2012)

Bagian dada Penaeus monodon memiliki tiga pasang maxilliped yang

berfungsi untuk berenang serta membantu mengonsumsi makanan. Bagian

badan memiliki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang serta

sepasang uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik

turun.

Jenis kelamin udang windu betina dapat diketahui dengan adanya telikum

di antara kaki jalan ke-4 dan ke-5. Telikum berupa garis yang tipis dan akan

melebar setelah terjadi fertilisasi. Sementara, jenis kelamin udang windu jantan

dapat diketahui dengan adanya petasma, yakni tonjolan di antara kaki renang

pertama. Dalam habitatnya, pertumbuhan udang windu betina lebih cepat

dibandingkan dengan jantan. Demikian juga, frekuensi pergantian kulit lebih

banyak tejadi pada udang windu betina dibandingkan dengan udang windu

jantan.

Warna udang windu alam sangat bervariasi, mulai dari merah sampai

hijau kecoklatan. Udang yang dipelihara dan dibesarkan dalam tambak memiliki

warna lebih cerah, yaitu hijau kebiruan. Warna tersebut berhubungan erat
6

dengan kandungan pigmen karotenoid atau axantinin dalam makanannya, warna

kulit udang akan semakin gelap. (Murtidjo, 2003)

2.1.3. Siklus Hidup

Setelah dibuahi, telur udang windu akan menetas dalam jangka waktu

18 - 24 jam tergantung suhu dan oksigen.perbedaan suhu 4 0C (28 dan 32 0C)

dapat berakibat penundaan penetasan sampai 6 jam dan kekurangan oksigen

dapat mengakibatkan larva cacat atau telur tidak menetas. Bayi udang yang baru

menetas, biasa disebut larva karena mengalami beberapa kali perubahan bentuk

sebelum mirip secara morfologis dengan udang dewasa. Perubahan stadia dan

substadia larva udang (metamorphosis) menunjukkan perubahan morfologi yang

berakibat pada perubahan cara makan, jenis makan dan ukurannya. Gambar

mengenai siklus hidup udang windu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Silklus Hidup Udang Windu


Sumber: (Data Sekunder, 2012)

Fase I disebut sebagai nauplius, tidak membutuhkan makanan dari luar

karena masih cukup tersedia kuning telur. Nauplius mengalami 6 substadia

nauplius 1 – 6 yang mudah dikenali dari ukuran panjang badan dan jumlah duri
7

ekornya. Tahap berikutnya adalah zoea yang melalui 3 tahap. Zoea mudah

dikenali dengan gerakan majunya dan perkembangan rostrumnya. Zoea

memakan fitoplankton terutama diatom sebagai sumber asupan biosilikat.

Kemudian setelah itu larva udang akan memasuki fase mysis dengan 3

substadia. Fase ini dicirikan dengan gerakannya yang melentik dan munculnya

kaki renang. Pada tahap ini larva masih tetap membutuhkan diatom dengan

jumlah yang tentu lebih banyak. Tahap terakhir adalah post larva, ditandai

dengan kemiripannya dengan udang dewasa, gerakan maju larva dan adanya

kaki renang sempurna dan capit dikaki jalan. Kecepatan tumbuhnya ditunjang

oleh asupan protein tinggi dari mangsa naupli artemia. (Sahidir, 2010).

Untuk lebih jelasnya, gambar pertumbuhan udang windu mulai dari stadia

nauplius hingga PL dapat dilihat pada Gambar 3 – 6 dan siklus hidup udang

windu dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Stadia nauplius


Sumber: Data Sekunder (2012)
8

Untuk gambar pada stadia zoea 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Stadia zoea 1, 2, dan 3


Sumber: Data Sekunder (2012)

Untuk gambar pada saat stadia mysis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Stadia mysis 1, 2, dan 3


Sumber: Data Sekunder (2012)
9

Dan berikut merupakan gambar pada saat mencapai stadia Post Larva
dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Stadia PL 1
Sumber: Data Sekunder (2012)

2.2. Pemeliharaan Larva Udang Windu

2.2.1. Persiapan Bak

Tahap awal pembenihan perlu mempersiapkan bak pemeliharaan larva,

yang antara lain meliputi :

a. Pencucian dan Pengeringan Bak

Pengelolaan pembenihan udang windu backyard hatchery hampir sama

dengan pembenihan udang pada hatchery antara lain meliputi persiapan bak,

aklimatisasi dan penebaran naupli, pemberian pakan untuk larva, kegiatan

produksi pakan alami dan pemanenan larva. Agar pemeliharaan larva berhasil,

bak pemeliharaan larva harus bersih dan terbebas dari kotoran serta parasit dan

lumut yang menempel di dinding dan dasar bak. Bak larva disikat dan dicuci

dengan menggunakan detergen. Kemudian bak larva dibilas dengan air tawar

dan diberi desinfektan berupa kaporit dengan konsentrasi sebanyak 1 - 10 ppm.

Pemberian desinfektan ini dilakukan dengan cara melarutkan kaporit

tersebut dalam air tawar, kemudian disiramkan pada permukaan bak larva atau

digosok dengan lap yang dicelupkan dalam larutan kaporit tadi. Untuk mematikan

mikroorganisme yang masih menempel di permukaan bak, mencegah timbulnya


10

penyakit dan menghilangkan bau kaporit, bak larva dijemur minimal sehari.

Selanjutnya bak dibilas kembali dengan air tawar untuk menghilangkan kotoran

yang masuk saat pengeringan. Lamanya pencucian dan pengeringan ini berkisar

antara 2 - 5 hari. Bak larva siap diisi air laut.

b. Aerasi

Selang dan batu direndam dalam larutan kaporit selama satu hari. Setelah

bak selesai dikeringkan, peralatan aerasi dipasang dan diatur jaraknya.

Pengaturan jarak aerasi bertujuan untuk menghasilkan udara agar merata di

seluruh bagian bak pemeliharaan.

c. Pengisian Air

Setelah bak dibersihkan dan pipa-pipa aerasi dipasng, air laut langsung

dimasukkan ke dalam bak larva yang disaring melalui filter bag untuk

menghindari kotoran yang tidak dikehendaki. Di samping itu, memperhatikan

kadar garam air laut yang diukur dengan cara merasakan tingkat keasinan air

laut tersebut lewat indera perasa (lidah) agar sesuai dengan kebutuhan larva.

Rata-rata kadar garam media larva yang digunakan berkisar antara

30 - 34 permil. Pengukuran kadar garam air laut dengan refraktometer dilakukan

pada saat pembelian air laut.

Kadar garam air laut tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan larva,

yang diukur melalui indera perasa (lidah). Setelah kadar garam air laut sesuai,

media larva diberi EDTA (Ethylenediamine tetraacetic acid) dan treflan dengan

konsentrasi masing-masing sebanyak 1 ppm. Pemberian bahan kimia dan

antibiotik ini dilakukan untuk kelangsungan hidup larva, perkembangan stadia

larva, dan untuk mencegah timbulnya penyakit. Kemudian bak larva diaerasi dan

dibiarkan selama 1 - 2 hari agar EDTA atau treflan merata di seluruh bagian bak

pemeliharaan. (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012)


11

2.2.2. Penebaran Nauplius

Dalam usaha ByH, pemeliharaan larva dimulai dari stadia naupli - stadia

post larva (PL). Jumlah naupli yang ditebar dalam bak bervolume 4 - 6 ton air

berkisar antara 500,000 - 750,000 ekor. Dalam bak bervolume 6 - 8 ton air,

naupli yang ditebar berkisar antara 750,000 - 1,000,000 ekor dan dalam bak

berkapasitas 8 - 10 ton air, naupli yang ditebar berkisar antara 1,000,000 -

1,500,000 ekor. Dengan demikian, dari 30 responden naupli yang ditebar dibak

bervolume 4 - 10 ton air adalah 120 - 125 per liter.

Sebelum ditebar, melakukan aklimatisasi naupli terhadap suhu dan

salinitas. Aklimatisasi ini dilakukan dengan cara mengapungkan kantong plastik

berisi naupli selama 5 - 60 menit. Lama waktu aklimatisasi ini menunjukkan

perbedaan kondisi media naupli dalam kantong plastik dengan media larva di bak

larva. Aklimatisasi ini bertujuan agar naupli dapat menyesuaikan dengan kondisi

lingkungan yang baru, sehingga naupli tidak mudah terserang penyakit.

Akliamtisasi terhadap suhu media dilakukan dengan mengapungkan wadah

naupli (kantong plastik) di permukaan bak.

Setelah aklimatisasi suhu selesai dan embun yang terbentuk pada plastik

naupli tidak ada, selanjutnya kantong plastik dibuka untuk melakukan aklimatisasi

terhadap salinitas media. Air dimasukkan secara perlahan-lahan ke kantong

plastik naupli sampai salinitas media naupli dalam plastik sama dengan media di

bak larva. Apabila aklimatisasi salinitas selesai ditandai dengan keluarnya larva

secara perlahan-lahan dengan gerakan yang aktif. Kemudian penutup bak mulai

digunakan untuk mempertahankan kestabilan suhu media serta menghindari

ledakan populasi alga akibat intensitas cahaya yang dapat merangsang

perkembangan plankton. (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012)


12

2.2.3. Penyediaan Pakan

Menurut Kordi (2010), berdasarkan kebiasaan makan, udang windu dapat

dikelompokkan dalam golongan hewan pemakan segala (omnivorous), baik

hewan maupun tumbuhan. Pada awal fase kehidupannya, yaitu di saat

persediaan kuning telur (yolk sack) habis, udang mulai mencari makanan alami

berupa plankton nabati seperti Skeletonema, Amphora, Navicula, Tetraselmis

dan sebagainya.

Pada tingkat mysis, udang mulai memakan plankton hewani, seperti

Protozoa, Rotifera (misalnya Brachionus), anak teritip (Balanus), kutu air

(Copepoda) dan lain-lain. Setelah burayak mencapai tingkat post larva (burayak

tingkat akhir) dan juga setelah menjadi udang muda (juvenil), selain memakan

makan tersebut, udang muda juga memakan Diatome dan Cyanophyceae yang

tumbuh di dasar perairan (benthos), anak tiram, anak teritip, anak udang-

udangan (Crustacea), cacing Annelida dan juga detritus (sisa hewan dan

tumbuhan yang membusuk di dasar perairan).

Sedangkan udang yang telah mencapai ukuran dewasa memakan

berbagai daging hewan lunak seperti Mollusca (kerang, tiram, siput), cacing

annelida, udang-udangan (Crustacea), anak-anak serangga, seperti Chironomus

dan sebagainya. Udang yang dipelihara di tambak memakan makanan alami

yang tumbuh di tambak seperti plankton, klekap, lumut dan binatang-binatang

penghuni dasar perairan. Hasil pemeriksaan terhadap isi perut udang windu yang

dipelihara di tambak menunjukkan bahwa makanannya terdiri dari plankton jenis

Lyngbya, Spirulina, Skeletonema dan jenis zooplankton yaitu Brachionus sp.

Walaupun demikian, keadaan lingkungan tempat hidup udang akan berpengaruh

terhadap jenis makanan yang dimakan. Tabel 1 menyajikan perkembangan

stadia udang windu dan jenis makanannya.


13

Untuk tumbuh optimal, udang windu membutuhkan pakan yang

mengandung protein 30 – 50 %, lemak 3 – 15 %, karbohidrat 20 – 45 %, vitamin

2 – 5 % dan mineral 3 – 4 %.

Tabel 1. Perkembangan Stadia Larva Udang Windu dan Jenis Makanannya


Fase/Stadia Jenis Makanan Lokasi
Zoea-Mysis Fitoplankton Filipina
Mysis-Pascalarva Zooplankton dan udang- Filipina
udang kecil
Pacalarva Kepiting kecil, udang- Filipina
udangan, molusca, cacing-
cacingan, sisa-sisa ikan pasir,
lumpur
Dewasa Udang-udangan, cacing- Sudan, Laut Merah,
cacingan, alga, lumpur, Pesisir dan Muara
moluska, sisa-sisa ikan, Karapuglia India, Filipina
bahan yang tidak
teridentifikasi
Sumber: Data Sekunder (2012)

Sedangkan menurut Murtidjo (2003), makanan buatan untuk larva windu

pada awalnya hanya merupakan makanan tambahan dan buatan untuk

pertumbuhan sejak stadium zoea. Makanan buatan penting artinya untuk

melengkapi kebutuhan nutrisi larva, di samping makanan alami yang berupa

Skeletonema sp. dan Nauplius artemia.

Saat ini penggunaan makanan alami mulai berkurang karena dianggap

tidak praktis. Jika dievaluasi dari sudut nutrisi, kelebihan makanan buatan

dibandingkan dengan makanan alami adalah kualitasnya terjamin, komposisi

nutrisi dapat disesuaikan dengan kebutuhan pakan, serta dapat disimpan dalam

waktu yang lama.

Terra AZ 300 sangat cocok untuk stadium zoea sampai post larva karena

ukuran partikelnya disesuaikan dengan kemampuan larva, yakni tipe 000, 00, 0,

dan 1. Komposisi nutrisi terkandung dalam keempat tipe masing-masing sama,

yang berbeda hanya kandungan protein dan lemak. Jumlah makanan yang harus
14

diberikan bervariasi, tergantung pada spesies dan tingkat kepadatan. Acuan

pemberian makanan buatan pada larva udang windu dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Petunjuk Pemberian Makanan Buatan “Tetra AZ 300” untuk Larva dan
Post Larva Udang Windu
Tetra AZ 300 (g/m³/hari)
Keterangan
Tipe 000 Tipe 00 Tipe 0 Tipe 1
Zoea1 1,75 - - -
Zoea2 2,00 - - -
Zoea3 2,25 - - -
Misis1 2,50 - - -
Misis2 2,75 - - -
Misis3 3,00 - - -
Post Larva1 – 10 - 3,25 – 5,50 - -
Post Larva11 – 15 - 5,75 – 6,75 - -
Post Larva16 – 25 - - 7,0 – 9,25 -
Sumber: Data Sekunder (2012)

2.2.4. Pengelolaan Kualitas Air

Menurut Sutaman (1993), pengelolaan kualitas air adalah cara

pengendalian kondisi air sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan fisik

dan kimiawi bagi kehidupan dan pertumbuhan larva udang yang dipelihara.

Dalam usaha pembenihan udang skala rumah tangga ini dimungkinkan untuk

tidak melakukan pergantian air, maka pengamatan kualitas air selama

pemeliharaan larva harus mendapat perhatian khusus.

Kita sebenarnya cukup beruntung dalam menangani kualitas air ini.

Karena dari sekian banyak sifa-sifat air, ternyata hanya beberapa saja yang

merupakan variable kunci di dalam menentukan mutu air media pemeliharaan

larva. Di antaranya yang termasuk dalam variable fisik air adalah suhu dan

kekeruhan. Sedangkan variable kimiawi air yang terpenting adalah salinitas atau

kadar garam, pH, oksigen terlarut, ammonia dan hasil-hasil buangan proses

metabolisme lainnya, seperti H2S.


15

Sedangkan menurut Murtidjo (2003), system pengelolaan air adalah

faktor yang sangat menentukan dalam rangka pembenihan udang windu.

Kebersihan air yang digunakan akan menentukan keberhasilan pembenihan

udang. Dalam pembenihan udang windu, dibutuhkan dua jenis air laut dan air

tawar. Pengadaan air laut dapat diusahakan dengan penyedotan air laut dengan

menggunakan pompa dan pipa paralon (PVC) yang dipasang horizontal. Agar

kebersihan laut yang akan disedot terjamin, diperlukan jarak pengambilan air dari

garis pantai paling tidak 300 m. Di samping itu, ujung pipa paralon hendaknya

dilengkapi dengan saringan untuk menyaring kotoran.

2.2.5. Pengendalian Hama dan Penyakit

Menurut Sutaman (1993), masalah yang muncul dan merupakan kendala

bagi pengembangan usaha budidaya udang umumnya, dan pembenihan udang

khususnya, adalah sering munculnya wabah penyakit yang bisa menimbulkan

kematian masal pada udang/larva yang dipelihara. Tidak jarang para

petani/pengusaha pembenihan mengalami kerugian bahkan ada yang

menghentikan kegiatannya akibat dari seranagn penyakit tersebut. Namun

kiranya tidak perlu peismis dengan masalah tersebut, apabila kita

memeperhatiakn sungguh-sungguh dan mengetahui sebab-sebab timbulnya

penyakit sekaligus kita berupaya untuk mencegah dan mengendalikannya.

Timbulnya penyakit yang sering menyerang larva udang sebenarnya

merupakan hasil interaksi dari beberapa komponen yang satu sama lain saling

mempengaruhi. Komponen tersebut adalah:

a. Jasad penyebab penyakit (agen penyakit)

b. Inang, dalam hal ini larva udang yang dipelihara

c. Lingkungan (media air pemeliharaan)


16

Dalam pemeliharaan larva udang secara intensif, senantiasa dipengaruhi

oleh perubahan lingkungan dan penanganan yang dapat memberikan tekanan

(stress) cukup besar terhadap daya tahan larva yang sudah tentu terbatas

kemampuannya. Daya tahan tersebut akan semakin buruk keadaanya pada

kondisi kadar oksigen yang rendah, perubahan suhu yang mendadak, salinitas

dan pH air yangs terlalu tinggi atau terlalu rendah, serta kadar ammonia dan

hydrogen sulfide yang berada di atas batas ambang kenormalan. Di samping itu

pemberian pakan yang tidak memenuhi syarat gizi dan ukurannya juga

merupakan komponen pendukung timbulnya penyakit.

Secara umum dalam usaha untuk mencegah dan menanggulangi

penyakit yang sering menyerang larva, dapat dilakukan dengan hal-hal sebagai

berikut:

a. Mengurangi kemungkinan memburuknya lingkungan yang dapat

menyebabkan stress pada larva, seperti kandungan oksigen rendah,

perubahan suhu dan salinitas air yang terlalu mencolok, pH air yang terlalu

tinggi atau terlalu rendah, serta ammonia yang terlalu tinggi.

b. Pemberian makanan harus memperhatikan jumlah, mutu, maupun jenisnya

sesuai dengan tingkat perkembangan larva.

c. Mencegah menyebarnya organism penyebab penyakit, dari satu bak ke bak

lainnya, dengan cara menggunakan alat-alat yang lebih teratur.

d. Air yang digunakan untuk pemeliharaan larva dan makanan alami harus

benar-berar bebas dari polusi.

Tindakan ini merupakan upaya terakhir, terutama jika tindakan

pencegahan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pemeberian obat-obatan

harus dilakukan secara tepat, sebab jika tidak dilakukan dengan tepat dapat

menimbulkan masalah sebagai berikut:


17

a. Berpengaruh negatif terutama terhadap bakteri nitrifikasi berperan dalam filter

biologis.

b. Berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan makanan alami, seperti jenis

diatom yang sangat berguna bagi makanan larva.

c. Kemungkinan meninggalkan residu yang sangat berbahaya bagi kehidupan

dan pertumbuhan larva yang dipelihara.

2.2.6. Pemanenan

Setelah stadium larva dilalui dan larva udang windu sudah menjadi post

larva (PL), maka mulai post larva kelima belas (PL15) benih udang windu sudah

digolongkan benur yang sudah dapat dipanen.

Pelaksanaan pemanenan harus dilakukan dengan baik agar benur hasil

panen tidak mengalami cekaman (stress) sehingga mengalami banyak kematian.

Pemanenan dilakukan melalui tahapan berikut ini.

1. Air dalam bak pemeliharaan larva diturunkan perlahan-lahan dengan

penyifonan, sampai tertinggal setengahnya.

2. Benur diambil atau dipanen dengan menggunakan serok, selanjutnya diambil

dengan gayung plastik, dan ditempatkan dalam ember plastik yang diaerasi.

3. Sisa benur diambil dengan cara menempatkan kantong plastik saringan pada

pintu pembuangan air dari bak pemeliharaan larva.

4. Kran pipa pembuangan pada bak pemeliharaan larva dibuka sehingga benur

akan tertampung dalam saringan, kemudian secara bertahap benur

dipindahkan ke dalam ember penampung.

Benur yang memiliki warna tubuh kuning kecoklatan, transparan, dan

bereaksi cepat terhadap rangsangan cahaya.


18

2.3. Pemilihan Lokasi Pemeliharaan Udang Windu

Menurut Murtidjo (2003), tidak semua pinggiran pantai dapat layak

dijadikan lokasi pembenihan udang. Faktor lokasi yang terpencil ikut

berpengaruh, meningat dalam penampungan, risiko kematian dapat mencapai

10% hanya dalam waktu tiga hari. Lokaasi dapat dikatakan memenuhi syarat

apabila terdapat faktor pendukung sebagai berikut.

1. Kualitas Air Laut

Hal-hal yang berkaitan dengan kualitas air laut antara lain sebagai

berikut.

a. Salinitas. Larva udang windu dapat hidup dengan baik dalam air laut yang

bersalinitas sekitar 300 ppt. jadi, diperlukan lokasi dengan air laut yang jernih

sepanjang tahun dan memiliki salinitas minimal 30 ppt.

b. Air cukup bersih dan tidak banyak mengandung zat-zat organik maupun

anorganik. Air keruh yang mengandung partikel-partikel anorganik dapat

diatasi dengan cara penyaringan dalam bak pengendapan. Namun, jika bahan

organik terlalu tinggi, sulit untuk mngetasinya. Jika kadar bahan organik lebih

dari 12,5 ppm, air laut disebut autorf dan kurang baik untuk pembenihan

udang windu.

c. Derajat keasaman (pH). Kondisi pH yang optimal bagi larva udang windu

adalah 7 – 8; pH laut yang potensial adalah 7 – 9.

2. Kualitas Air Tawar

Air tawar diperlukan untuk menurunkan salinitas atau membuat air ayau

dan mencuci bak serta peralatan. Air tawar yang bersih sangat penting sehingga

diperlukan sumber air tawar yang cukup. Jika menggunakan air PAM, klorin

harus diendapkan terlebih dahulu sebelum digunakan.


19

3. Pasang Surut dan Kemiringan

Pasang surut dan kemiringan pantai perlu diketahui. Hal ini berkaitan

dengan biaya konstruksi pemasangan pompa air laut berikut instalasinya.

Perbedaan pasang surut yang besar dan pantai yang sangat landai dapat

meningkatkan biaya.

4. Lokasi

Tempat yang dipilih sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut.

a. Terlindung dari gelombang besar dan angin yang kencang.

b. Tidak mengalami pengikisan karena abrasi.

c. Tidak terlalu dekat dengansungai besar agar air yang digunakan tidak keruh

dan kadar garamnya stabil karena tidak terpengaruh oleh masuknya air tawar.

d. Bebas banjir.

e. Dekat dengan sumber induk uddang atau mudah memperoleh induk dengan

jumlah dan ukuran sesuai kebutuhan.

f. Dekat dengan daerah pertambakan (waktu pengangkutan tidak lebih dari 24

jam untuk benih dan tidak lebih dari 8 jam untuk calon induk udang).

5. Syarat Non Teknis

Syarat non teknis berkaitan dengan faktor sosiologi, antara lain: mudah

mendapatkan tenaga kerja, terjangkau kendaraan bermotor, serta adanya

dukungan pemerintah setempat dan masyarakat sekitarnya.

2.4. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Windu

Menurut Murtidjo (2003), dalam perkembangan dan pertumbuhannya,

larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit.

Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi

postlarva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat fase larva
20

udang windu yang perlu diketahui yaitu : Fase Nauplius, Zoea, Mysis dan post

larva.

Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk

beberapa kali seperti berikut ini.

1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani

selama 46 - 50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.

2. Periode Zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar

96 - 120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.

3.  Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96 - 120

jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.

4.  Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-

stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang

lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25 - 35 ppt.

5.  Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang

menyukai perairan dengan salinitas 20 - 25 ppt.

6.  Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil

hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang

gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan

pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15 - 20

ppt. (Makhrozi, 2011)

2.5. Sarana dan Fasilitas Penunjang Pemeliharaan Udang Windu

Sarana dan fasilitas penunjang untuk usaha pembenihan udang windu

skala kecil tidak jauh berbeda dengan hatchery skala besar. Beberapa sarana

dan fasilitas penunjang yang secara prinsip diperlukan untuk usaha pembenihan

udang kapasitas produksi lima juta ekor benur adalah sebagai berikut.
21

1. Bangunan Hatchery

Bangunan hatchery terdiri atas ruangan-ruangan sebagai berikut.

a. Ruang untuk menempatkan bak-bak perkawinan induk udang windu, berupa

bangunan berukuran 12 x 14 m². Bangunan ini beratap, tetapi tidak

berdinding.

b. Ruang untuk memelihara larva sampai post larva udang windu, berupa

bangunan berukuran 14 x 13 m².

c. Ruang kultur plankton untuk budidaya dan pengembangbiakan plankton

sebagai makanan alami larva udang windu, berupa bangunan ukuran

7 x 7 m². Bangunan ini dibuat dengan atap plastik bergelombang dan tidak

berdinding.

d. Ruang generator, merupakan bangunan untuk menempatkan generator untuk

peneranganmaupun untuk operasional usaha pembenihan udang windu.

2. Bangunan Kantor dan Mess

Kantor digunakan untuk melaksanakan program, perancangan, maupun

kegiatan yang berkaitan dengan usaha pembenihan. Bangunan kantor dapat

dibuat berukuran 6 x 7 m². Sementara, mess untuk karyawan dibuat berukuran

6 x 8 m². Pagar keliling dibuat untuk keperluan keamanan maupun untuk

menghindari binatang yang berkeliaran di sekitar tempat pembenihan udang

windu.

3. Perlengkapan Bak

Ada beberapa jenis bak yang perlu disiapkan, yaitu sebagai berikut.

a. Bak penampungan induk udang windu, yaitu bak untuk menempatkan induk

yang akan dikawinkan. Bak dapat dibuat dari batu merah, berukuran

4 x 2 x 1,5 m³ (volume air 12 m³), dan berjumlah 1 buah.


22

b. Bak perkawinan induk udang windu, untuk mengawinkan induk udang. Jumlah

yang dibutuhkan dua buah. Bak dapat dibuat dari batu merah, berukuran

8 x 5 x 1,5 m³ atau untuk volume air 60 m³.

c. Bak penetasan telur udang windu, untuk menetaskan telur hasil perkawinan

induk udang. Jumlah yang dibutuhkan dua buah. Bak dapat dibuat dari batu

merah, berukuran 2 x 1 x 1 m³ atau untuk volume air 2 m³.

d. Bak larva udang windu, untuk memelihara telur yang telah menetas menjadi

larva. Jumlah yang dibutuhkan sepuluh buah. Bak dapat dibuat dari batu

merah, berukuran 4 x 1 x 1,5 m³ atau untuk volume air 6 m³.

e. Bak penetasan artemia, untuk menetaskan telur artemia sebagai makanan

larva udang. Jumlah yang dibutuhkan empat buah. Bak berkapasitas 0,5 m³.

sebaiknya dibuat dari fiberglass.

f. Bak reservoir, merupakan bak penampungan air laut untuk media pembenihan

udang windu. Jumlah yang dibutuhkan satu buah. Reservoir dibuat dari beton

bertulang, berukuran 5 m x 2 m x 2 m atau kapsitas volume 20 m³.

g. Bak air tawar, merupakan bak penampungan air tawar untuk keperluan

memebuat air payau. Jumlah yang dibutuhkan satu buah. Bak air tawar dapat

dibuat dari batu merah, berukuran 2 x 1 x 1,5 m³ atau kapasitas volume 3 m³.

4. Peralatan Hatchery

Peralatan yang harus ada dalam hatchery adalah sebagai berikut.

a. Generator 10 – 15 KVA (2 unit) lengkap dengan instalasinya. Peralatan ini

sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan tersebut mempergunakan

sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik PLN.

b. Pompa air tawar 3 – 4 HP (1 unit). Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun

unit pembenihan tersebut mempergunakan sumber air tawar dari PAM.

c. Pompa air laut berkapasitas 200 liter/menit (2 unit). Pompa ini digunakan

untuk:
23

1. mengambil air laut langsung dari laut ke unit pembenihan udang windu;

2. menaikkan air laut dari laut ke reservoir; dan

3. membuat air payau.

d. Blower berkapasitas 1 m³/menit (1 unit), untuk mengatur aerasi. Blower

diperlukan pada pemeliharaan larva, pembuatan air payau, penampungan

benur, dan pemeliharaan makanan alami larva dan benur. Fungsi utamaaerasi

dalam bak larva selain untuk menyebar makanan, juga untuk menambah

oksigen ke dalam media serta menekan terjadinya kenibalisme.

e. Tabung oksigen lengkap (1 unit), untuk menambahkan oksigen ke dalam

kantong berisi benur yang akan diangkut ke lokasi pemesan.

f. Batu aerasi dan selang plastik, untuk mendistribusikan udara ke dalam media

sehingga tekanan arus merata.

g. Peralatan analisis air, untuk menganalisis air sehingga keadaan O 2, CO2, NH3,

dan NO2 dalam media larva dapat dikontrol. Hal tersebut sangat penting untuk

menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Selain peralatan tersebut,

juga diperlukan refraktometer (2 buah); salinometer (1 buah); thermometer (2

buah); kertas pH atau kertas lakmus (secukupnya); dan pemanas air (5 buah).

h. Peralatan kantor dan lapangan, meliputi kebutuhan administrasi (1 buah

mesin ketik, 1 buah kalkulator, dan 1 set meja-kursi kantor lengkap);

kebutuhan lapangan (1 buah pemotong rumput, 4 buah cangkul, dan 4 buah

parang); serta kebutuhan transportasi (1 buah mobil pick up dan 1 buah

sepeda motor).

Anda mungkin juga menyukai