PERLAWANAN JAMPANG 1703-1706, Kanjeng Haji Alit Prawatasari (Bag. 1)
Yang dimaksud bukanlah tokoh Si Jampang yang dalam film diperankan oleh Barry Prima. Ini kisah tentang perlawanan serius rakyat dari distrik Jampang (sekarang bagian dari Kab Sukabumi) yang dipimpin Kanjeng Haji Raden Alit Prawatasari pada Kumpeni Belanda. Perlawanannya tidak hanya terjadi di Jampang tapi juga melebar ke seluruh distrik di Jawa Barat. Pada zaman dahuluuuu, tanah Jampang merupakan akademi militernya kerajaan Pajajaran, sehingga Jampang dikenal sebagai tepat lahirnya berbagai ilmu kanuragan. Tapi sekarang kita lupakan dulu soal Pajajaran, sebab yang akan dikisahkan di sini adalah peristiwa di awal abad ke 18. Banyak nama yang diberikan pada tokoh ini, ada yang menyebutnya Raden Alit, Haji Prawatasari, Kanjeng Haji, ada Haji Candhini/Haji Pengembara, Embah Aria Saringsingan dan adapula yang menyebutnya Embah Jampang. Walau banyak nama yang disandangnya, hanya sedikit anak negeri, bahkan di Cianjur dan Sukabumi, yang mengenal sosok Kanjeng Haji Raden Alit Prawatasari. Jangankan nama Prawatasari, nama Jampang sebagai sebuah kawasan pun jarang yang kenal. Kiranya, kawasan Jampang bagai terra incognita di selatan pulau jawa (tapi sekarang mah sudah rame). Konon di zaman Hindia pun nama Prawatasari seperti terkubur, para penguasa kumpeni dan hindia seolah mengecilkan kehebatan Kanjeng Haji Prawatasari. Tentu saja demikian, sebab pada saat itu Kumpeni baru saja menjadi penguasa di seluruh distrik di Jawa Barat, eeeh ... muncul gejolak. Kalau gejolaknya dengan negeri yang belum dikuasai sih masih mending, ini mah perlawanan dari dalam, kan bikin malu. Apalagi saat itu Kumpeni sedang giat-giatnya memperlihatkan kesuperiorannya pada kaum pribumi, sebagai orang-orang hebat tak terkalahkan. Akan tetapi sejarah selalu hidup, dia akan manampakan wujud aslinya di zaman-zaman berikutnya. Walau jarang dikenal oleh anak negeri sendiri, banyak sejarawan asing, terutama Belanda, yang menyebut-nyebut hebatnya perlawanan Kanjeng Haji dari Jampang ini. Diantaranya De Haan dalam de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch bestuur tot 1811, terbitan tahun 1911, yang kemudian dikutip pula oleh Jaan Bremen dalam Kolonial Provit, 2010. Atau oleh Ricklefs dalam War, culture and economy in Java; Asian and European imperialism in the early Kartasura period, 1993. Keseriusan perlawanan Kanjeng Haji Prawatasari terungkap dalam tulisan mereka, katanya, Haji Pengembara penyembah Muhammad itu (kata de Haan) mampu meyakinkan dan menghasut penduduk untuk melawan kumpeni. Jumlah pengikutnya sangat banyak tersebar di berbagai distrik. Di kalangan anak negeri, sebenarnya banyak kisah lisan tentang Kanjeng Haji Parawatasari. Tapi namanya kisah lisan, semakin lama semakin samar hingga seperti kisah mitos atau de mithe kalau kata orang Belanda, yang akhirnya hanya menjadi semacam kisah dedemit saja. Adapula yang tercatat, seperti dalam Sajarah Sumedang tepi ka Campurna jeung Kumpeni, karya R. Asik Natanegara, 1939, atau dalam Sajarah Cianjur, Bayu Surianingrat, 1982. Sebelum ke kisah perlawanan Kanjeng Haji, kita ketahui dulu bahwa saat itu seluruh distrik di Jawa Barat telah dikuasai Kumpeni. Tahun 1619 si tuan jangkung Jaan Pieter zoon Coen menyatakan kawasan Cikundul (kemudian menjadi Cianjur), Cibalagung dan Jampang merupakan wilayah kekuasaan VOC dan disebut sebagai Batavian Bovenlanden (dataran tinggi kawasan Batavia), sedangkan wilayah Batavia (Jakarta sekarang dan sekitarnya) dan Kampung Baru (Buitenzorg/bogor) sebagai Batavia Ommelanden. Namun secara sah, wilayah yang disebut sebagai Batavia Bovenlanden itu baru menjadi milik Kumpeni pada tahun 1686. Seperti yang dilaporkan oleh Jacobus van Dijck yang saat itu menjadi tuan kumitir (Hoof de Cumeteer/komisaris) di negeri Cirebon (wilayah kesultanan Cirebon saat itu membentang di sebelah timur jawa barat sekarang dari pantai utara hingga pantai selatan), bahwa; sebagai konsekuensi dari perjanjian 7 Januari 1681 antara Kesultanan Cirebon dengan Kumpeni, ketiga sultan cirebon harus sudah melepaskan kawasan selatan yang meliputi Cikalong, Cibalagung, Cianjur (nama Cikundul sudah mulai luntur di zaman ini) dan Jampang pada Kumpeni paling lambat tahun 1686. Dan para pemimpin daerah tersebut, tahun 1684 telah dipanggil ke Batavia untuk menyerahkan darmabaktinya pada Kumpeni. Kawasan Priangan dan Karawang, oleh Kumpeni telah dianggap sebagai milik mereka sejak Kumpeni berhasil membantu Mataran dalam menumpas pasukan Trunojoyo tahun 1680. Tapi secara sah, menguasaan kawasan Priangan baru terjadi semenjak perjanjian Mataram dengan Kumpeni tahun 1705. Dimana salahsatu pointnya menegaskan kembali pengakuan wilayah Batavia dan Priangan, termasuk Karawang. Yang dimaksud dengan kawasan Karawang saat itu meliputi wilayah yang sekarang disebut kabupaten Purwakarta, Karawang dan Subang. Sebelumnya kawasan ini disebut Sumedang Rangkas, pecahan dari Kerajaan Sumedang Larang, sejak raja terakhirnya mewariskan tahta pada anak kandung dan anak tirinya di tahun 1601. Sedangkan kesultanan Banten dan Cirebon walaupun kawasannya belum resmi dikuasai, tapi kekuasaannya sudah ada dalam kendali Kumpeni. Semenjak dikuasai Kumpeni, kawasan yang disebut Batavia Bovenlanden, termasuk di dalamnya kawasan Jampang, mendapat kewajiban utama menyetor tarum (nila/tumbuhan penghasil warna ungu) dan Belerang juga beberapa hasil tumbuhan pangan. Nah ... Sekarang kita kembali ke kisah perlawanan Kanjeng Haji Prawatasari. ... Bersambung ke Bag.2
PERLAWANAN JAMPANG, Kanjeng Haji Prawatasari (Bag. 2)
Kondisi Masyarakat Dijelaskan di bag.1, bahwa tahun 1684 para pemimpin pribumi lokal di priangan telah dipanggil ke Batavia. Sebelum ke Batavia, terlebih dulu mereka dipanggil tuan Copeer ke Cirebon untuk dibrieving tentang luas wilayah masing-masing dan jumlah penduduk yang harus mereka kelola. Selain itu, dijelaskan pula kewajiban masing-masing kepala pribumi mengenai jumlah setoran nila, belerang (konon belerang saat itu laku di pasaran sebagai bahan baku mesiu) dan padi yang harus mereka serahkan setiap tahunnya (kopi belum masuk hitungan, benihnya belum ada. Usai perang ini, Tuan Agung van Hoorn baru mendapat sampel benih kopi dari Tuan Tujuh Belas). Komoditi setoran ini dibeli, bukan diminta. Tapi harga yang diberikan terlalu rendah, sementara bagi hasil dengan kepala pribumi harus tetap ada sebagai pengikat kesetiaan dan upah pengelolaan wilayah. Selain itu, jumlah setoran wajib dari setiap daerah seringkali melampui batas kemampuan daerah yang bersangkutan. Sanksi akan diberikan pada kepala pribumi yang tidak bisa memenuhi kuota setorannya. Akhirnya, para kepala pribumi itu menekan rakyat agar bekerja keras kejar setoran. Dampak lain yang turut memperparah keadaan, rakyat kekurangan waktu dan tenaga untuk mengolah pertanian pangan konsumsi mereka. Jadi begini .... Dulu ada kelas-kelas sosial di kalangan pribumi Priangan, Karawang dan Cirebon. Kategori pemimpin yaitu kelas menak dan sentana. Kategori rakyat yaitu kelas sikep, manumpang dan bujang. Yang tertinggi adalah kelas menak seperti bupati, kepala distrik, jaksa, kepala cutak (wedana), kepala keamanan (polisi). Kedua, kelas sentana (Land Jonker kalau kata orang Belanda mah) yang berasal dari kalangan petani kaya atau penguasa lahan luas. Nah ... karena Kumpeni menekan para menak supaya memenuhi kuota setoran, kaum menak pun menekan kaum sentana. Kaum sentana menekan bawahannya lagi, yaitu kaum sikep (petani pemilik lahan dalam jumlah kecil). Kaum sikep yang tak punya bawahan, ya bekerja sendiri dibantu keluarganya saja.Kaum sikep yang punya bawahan, tentu menekan bawahannya. Bawahan kaum sikep adalah kaum manumpang (petani penggarap yang tak punya lahan pertanian, beberapa diantaranya tak punya tempat tinggal hingga numpang mendirikan rumah di lahan majikannya). Setara kaum manumpang ada kaum bujang, mereka lebih bebas karena tidak punya keluarga yang harus dilindunginya. Sebenarnya kelas manumpang ini mirip budak. Nggak mungkin lah untuk nggak punya lahan, saat itu lahan kosong tak bertuan masih sangat banyak. Mereka itu dipaksa agar tidak memiliki lahan. ... Di luar kelompok itu ada kaum tipar (peladang berpindah). Mereka adalah rakyat tidak bertuan, maka, mereka sering jadi incaran para sentana untuk dipaksa menjadi pengarap lahan di wilayahnya. Banyak rakyat yang tidak tahan memenuhi kewajiban, kabur meninggalkan daerahnya. Kaburnya rakyat dari suatu daerah merupakan masalah serius sebab berhubungan dengan jumlah tenaga kerja untuk kejar target setoran. Tahun 1686 para pemimpin pribumi dipanggil menghadap Tuan Agung Camhuijs di Batavia sambil membawa daftar penduduknya masing-masing daerah (cacah jiwa). Konon, ini menjadi sensus penduduk yang pertama dilakukan Kumpeni di Nusantara. Sensus ini terus dilakukan oleh Kumpeni untuk menentukan jumlah setoran dari masing-masing wilayah. Jika ada rakyat yang kabur atau meninggalkan kewajiban, maka mereka akan dikejar dan berhadapan dengan hukum dan siksaan. Selain itu, siapapun yang tidak patuh aturan ini akan kehilangan segala hak dan perlindungan Kumpeni. Semakin lama keadaan ini semakin mencekik rakyat jelata. Sementara para pemimpin pribumi lokal hanya menjadi perpanjangan tangan perintah Kumpeni saja. Bahkan ada pula pemimpin lokal yang nakal menaikan setoran wajib untuk menambah keuntungannya sendiri. Dalam keadaan yang menyakitkan itu, tampilah sosok Prawatasari. Ditulis oleh Bremen (2010), Prawatasari berasal dari Giri yang sengaja dikirim ke Jampang oleh ulama fanatik dari daerah itu untuk melawan Kumpeni yang sudah berkuasa di Priangan. Tapi sejarawan Sunda dan masyarakat setempat meyakini bahwa Kanjeng Haji Alit Prawatasari lahir dan dibesarkan di Jampang. Nama aslinya hanya Prawatasari saja. Disebut Alit, karena dia yang paling kecil (alit) di keluarganya. Selain itu, perawakannya pun memang agak-agak alit gitu lah. Dari kecil Kanjeng Haji dididik di pesantren hingga menjadi ulama kharismatik di Jampang. Sebagai orang yang peduli, dia tidak tahan membiarkan penderitaan rakyat terus berlarut. Pada mulanya Kanjeng Haji mengajak para sentana untuk membicarakan kesengsaraan rakyat akibat wajib setor yang melampui batas. Apalagi yang kebagian setor belerang, mereka harus bersusah payah naik turun gunung untuk mendapatkan belerang. Para sentana tidak bisa berbuat apa-apa, keluhan mereka berbenturan dengan rumitnya birokrasi feodal, bahkan seringkali mereka malah berhadapan dengan hukuman dan sanksi. Akhirnya Kanjeng Haji mengembalikan masalah itu pada rakyat dan rakyat siap dipimpin, ... hanya satu kata, L A W A N ! Maka, maret 1703 meledaklah perlawanan itu. Rakyat Jampang menolak setor pada para sentana. Para sentana marah pada rakyatnya, rakyat balik menyerang para sentana, kebun dan ladang dirusak, gudang penyimpanan barang setoran dibakar. Para sentana melaporkan keadan itu pada para menak dan Kumpeni. Para pemimpin pribumi tidak bisa berbuat banyak karena perlawanan rakyat semakin melebar. Mereka resah, sebab selain harus menghadapi amuk rakyat, mereka juga akan menghadapi hukuman dari para pembesar Kumpeni. Perlawanan rakyat Jampang pimpinan Kanjeng Haji Prawatasari terdengar oleh rakyat di distrik Cianjur dan Kampung Baru (sekarang Bogor) yang ternyata mengalami derita yang sama. Mereka mendukung perlawanan itu dan banyak yang bergabung dalam pasukan perlawanan. Kanjeng Haji yang faham bahwa segala masalah berasal dari kumpeni, berencana mengobrak-abrik Batavia Ommelanden dari Kampung Baru. Saat itu, kampung baru dipimpin seorang pribumi bernama Ki Mas Tanu (Tanujiwa. Bukan Mas tanu yang dikisahkan dalam lagu Ayang-ayang Gung). Ki Mas Tanu ini disayang kumpeni karena baik hati dan berhasil membuka dan mengembangkan kawasan Kampung Baru. Dia diangkat menjadi regent pertama di kampung Baru plus mendapat pangkat militer Luitenan Kumpeni.
Bersambung ke Bag. 3 -- 3000 prajurit mengguncang Cirebon