Anda di halaman 1dari 18

A.

PENDAHULUAN

Membicarakan masalah ilmu dan moral, kita akan memperoleh berbagai


pengetahuan dan norma-norma. Karena ilmu akan memberikan kepada kita
pengetahuan dan moral akan memberikan kita kesadaran akan norma-norma.
Secara ringkas dapat di katakan bahwa ilmu meliputi ilmu pasti seperti ilmu
fisika, ilmu biologi dan ilmu-ilmu yang lain dan ilmu yang tidak pasti seperti
ilmu sejarah, ilmu sosiologi dan yang lainnya.
Dengan jelas dapat kita amati bersama bahwa seiring dengan perjalanan
waktu, ilmupun maju dengan pesatnya. Sementara kemajuan moral lambat,
pelan akan tetapi pasti kemajuannya. Hal ini disebabkan karena moral sifatnya
bukan lahiriah belaka, tetapi adanya suatu unsur dalam kesadaran kita yang
menyertai kesadaran tentang norma-norma. Dimana sifat moral suatu norma
merupakan sifat yang kita sadari.. Oleh karena itu, etika harus bertolak dari
fenomena kesadaran moral. Maka fenomena kesadaran moral adalah apa saja
yang muncul dalam kesadaran moral.
Kesadaran moral muncul apabila kita harus memutuskan sesuatu yang
menyangkut hak dan kebahagian orang lain. Contoh, jika seseorang
mengembalikan uang pinjaman namum ada sisa uang yang baru diketahui
setelah orang itu pulang. Oleh karena itu, wajib untuk mengembalikan uang itu.
Kesadarn yang menyatakan wajib itulah di sebut kesadaran moral.
Dengan demikian tinggallah harapan kita kepada para ilmuwan yang
senantiasa mencari kebenaran, dan kemudian mempertahankan kebenaran itu,
yaitu kebenaran yang tidak mencari kekayaan akan tetapi memperoleh
kebebasan yang dilandaskan pada moral. Sehingga ilmu dan moral berjalan
seiring sejalan yang nanti akan menghasilkan ilmu yang berbudaya pada budi
perkerti manusia yang berdasarkan norma-norma yang berlaku tanpa ia harus
kehilangan arah dan adat budaya Indonesia.
Hal demikian menjadi lebih penting dimana pengetahuan kemanusiaan
menjadi terlalu besar dalam fikiran manusia. Dalam kondisi seperti itu, manusia
harus kembali kepada kebenaran yang mutlak dan absolut yaitu kebenaran
Allah, Tuhan semesta alam.
B. PEMBAHASAN

1. Kemungkinan hubungan Ilmu dengan Moral


Sistem nilai dan moral adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua
atau lebih komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi, atau bekerja dalam
satu kesatuan, atau keterpaduan yang bulat, yang berorientasi kepada nilai dan
moralitas islami. Jadi di sini tekanannya pada action system.
Sistem nilai atau sistem moral yang dijadikan kerangka acuan yang menjadikan
rujukan cara berperilaku lahirlah dan rohanilah manusia muslim ialah nilai dan
moralitas yang diajarkan oleh agama Islam sebagai wahyu Allah, yang diturunkan
kepada utusan-Nya yaitu Nabi Muhammad saw.
Nilai dan moralitas islami adalah bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu, tidak
terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri. Suatu
kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan
operatif (menjadi landasan amal perbuatan).
Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti dilihat dari segi normatif,
yaitu baik dan buruk, benar, dan salah, hak dan batil, diridai dan dikutuk oleh Allah
SWT. Sedang bila dilihat dari segi operatif nilai tersebut mengandung lima
pengertian kategori yang menjadi prinsip standardisasi perilaku manusia, yaitu
sebagai berikut.
1. Wajib atau fardu, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan orang akan mendapat siksa Allah.
2. Sunat atau mustahab, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan orang tidak akan disiksa.
3. Mubah atau jais, yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa dan tidak diberi
pahala dan bila ditinggalkan tidak pula disiksa oleh Allah dan juga tidak diberi
pahala
4. Makhruh, yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya tidak disukai
oleh Allah dan bila ditinggalkan, orang akan mendapat pahala.
5. Haram, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan
orang akan memperoleh pahala.
Nilai-nilai yang tercakup di dalam sistem nilai islami yang merupakan
komponen dan subsistem adalah sebagai berikut.1
1. Sistem nilai kultural yang senada dan senapas dengan Islam
2. Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi kepada
kehidupan sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat
3. Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang
didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berperilaku secara terkontrol
oleh nilai tingkah laku oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya, yaitu Islam.
4. Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung interrelaksi
atau interkomunikasi dengan yang lainnya. Tingkah laku ini timbul karena
adanya tuntutan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai
oleh nilai-nilai yang motivatif dalam pribadinya.
Perlu dijelaskan bahwa apa yang disebut “nilai” adalah suatu pola normatif
yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang ada kaitannya
dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-fungsi bagian-bagiannya. Nilai
lebih mengutamakan berfungsinya pemeliharaan pola dari sistem sosial.
Dengan demikian, sistem nilai islami yang hendak dibentuk dalam pribadi anak
didik dalam wujud keseluruhannya dapat diklasifikasikan ke dalam norma-norma.
Misalnya, norma hukum (syariah) Islam norma akhlak, dan sebagainnya. Norma
tersebut diperlukan untuk memperjelas pedoman operatif dalam proses kependidikan.
Oleh karen pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinaan akhlak mulia,
maka sistem moral islami yang ditumbuhkembangkan dalam proses kependidikan
adalah norma yang berorientasi kepada nilai-nilai islami.
Sistem moral islami itu menurut Sayyid Abul A’la Al-Maududi, adalah
memiliki ciri-ciri yang sempurna, berbeda dengan sistem moral non-Islam.2

1
H. Muzzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, PT Bumi Aksara, 2009, hlm. 127
2
H. Muzzayin Arifin,Op. Cit, hlm.128
Ciri-ciri tersebut terletak pada tiga hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Keridhaan Allah merupakan tujuan hidup muslim. Dan keridhaan Allah ini
menjadi sumber standar moral yang tinggi dan menjadi jalan bagi evolusi moral
kemanusiaan.
2. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan di atas moral islami
sehingga moralitas islami berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan
manusia, sedang hawa nafsu dan vested interest picik tidak diberi kesempatan
menguasai kehidupan manusia.
3. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang didasarkan
atas norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan. Ia memerintahkan
perbuatan yang makruf dan menjauhi kemungkaran, bahkan manusia dituntut
agar menegakkan keadilan dan menumpas kejahatan dalam segala bentuknya.
Sistem moral Islam, dengan demikian, berpusat pada sikap mencari rida Allah,
pengendalian nafsu negatif, dan kemampuan berbuat kebajikan serta menjauhi
perbuatan jahat.
Sayyid Quthub, seorang cendekiawan dan ulama Mesir yang terkenal
berpendirian keras dalam memegang kaidah-kaidah syairah, ia dihukum mati oleh
lawan politiknya (Presiden Gamal Abdul Nasser), berpendapat bahwa sistem moral
islami itu didasarkan pada pandangan Islam yang memandang dosa dan perbuatan
keji merupakan belenggu yang menghukum jiwa manusia, menjatuhkan, dan
menyeretnya ke dasarnya yang paling dalam.
Menurut pendapatnya, bahwa moralitas islami itu tidak hanya terdiri dari
kumpulan belenggu dan larangan-larangan. Ia, pada hakikatnya adalah suatu kekuatan
konstruktif dan positif, merupakan suatu kekuatan pendorong bagi perkembangan
yang berkesinambungan dan bagi kesadaran pribadi di dalam proses perkembangan
tersebut. Perkembangan tersebut diwarnai oleh kemurnian yang bulat.

Moralitas islami, menurut Sayyid Quthub bersumber dari watak tabi’i manusia
yang senapas dengan nilai islami, yaitu dorongan batin yang menuntut pembebasan
jiwa dari beban batin karena perbuatan dosa dan tindakan keji yang bertentangan
dengan perintah Ilahi. Atas dorongan batin inilah manusia dengan fitrahnya merasa
wajib untuk berbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk sesamanya.3
Mengingat kualitas nilai islami yang absolut itu maka manusia tidak dapat
mengubahnya secara bebas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
perkembangan kebudayaan masyarakat. Bahkan, tidak boleh digunakan untuk
mengesahkan selera nafsu negatif manusia dalam bentuk kreasinya.
Fungsi nilai yang absolut itu adalah menuntut dan mengarahkan nilai-nilai
kultular yang kualitasnya bersifat relativisis, yaitu nilai yang bergantung pada situasi
dan kondisi perkembangan kebudayaan manusia. Namun, nilai absolut itu juga
memiliki kelenturan normatif terhadap kebudayaan dalam batas-batas konfigurasi
(kerangka) tertentu, tanpa meninggalkan prinsip fudamentalnya.
Sebuah sabda Nabi yang populer dalam kaitannya dengan pengembangan seni
antara lain “Allah Mahaindah, cinta kepada keindahan”
Sifat Uluhiah ini perlu dijabar dalam kehidupan seni hamba-Nya. Inilah
keluasan dimensi rentangan konfiguratif dari nilai islami itu. Kemampuan
menciptakan keindahan dalam segala bentuknya, merupakan keanugrahan Tuhan
yang potensial dalam kehidupan pribadi manusia, karena itu bisa dikembangkan
sampai batas maksimal kemampuannya.

a) Nilai-Nilai yang Berkualitas Relatif


Menurut teori kependidikan yang bedasarkan pandangan psiokologi mekanistis,
sejak John Lock dalam abad ke – 20, terdapat pandangan bahwa manusia dalam
batas-batas kemampuan fisiknya, dapat dibentuk melalui cara-cara yang tidak
terbatas.
John Lock menentang pendapat bahwa secara tabi’i dalam jiwa manusia
terbentuk dasar –dasar moralitas yang terbawa sejak kelahirannya. Ia berpendapat

3
H.Muzzayyin Arifin,Op. Cit, hlm. 130
bahwa jiwa itu bagaikan meja lilin yang bersih dari goresan..Pengalamanlah yang
membentuk pola ukirannya.4)
Terhadap nilai relativitas itu kita tidak perlu melakukan penilaian (jugdement),
karena sifat indeterminatifnya yang intrinsik tak dapat dipastikan.
Nilai-nilai demikian sulit untuk dijadikan pedoman normatif dalam pendidikan,
apalagi untuk dijabarkan ke dalam tujuan pendidikan, di mana idealitas nilai-nilai itu
menjadi inti tujuan.

b) Paham Naturalisme, Pragmatisme, dan Idealisme


Sistem nilai yang bersumber pada paham Naturalisme, berorientasi kepada
naturo-centris (berpusat pada alam), kepada tubuh jasmaniah, kepada pancaindera,
kepada hal-hal yang bersifat aktual (nyata), kepada kekuatan, kepada kemampuan
mempertahankan hidup, dan kepada organisme (makhluk hidup).
Oleh karena itu, Naturalisme berpandangan menolak hal-hal yang bersifat
spiritual dan moral, sebab kenyataan yang hakiki adalah alam semesta yang bersifat
fisik (jasmaniah). Jiwa dapat menurun kualitasnya menjadi kenyataan yang
berunsurkan materi. Naturalisme dekat dengan paham materialisme yang menafikan
nailai-nilai moral manusia. Tidak ada kenyataan di balik kenyataan alam fisik, hingga
tak ada alam metafisis.
Berbeda dengan Naturalisme adalah paham Pragmatisme, yang lebih
mementingkan orientasikan kepada pandangan antroposentris (berpusat kepada
manusia), kepada batin manusia, kepada kemampuan kreavitas dan pertumbuhan
manusia, kepada hal-hal yang bersifat praktis; kemampuan kecerdasan; perbuatan
dalam masyarakat, dan kepada diri manusia (individualitas).

Manusia idaman Pragmatisme ialah manusia yang mampu merealisasikam


kemanfaatan (utilitas) dirinya dalam masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang
dimiliki. Dengan ilmu pengetahuannya itu orang akan mampu mengembangkan hal-
4
H.Muzzayyin Arifin, Op. Cit, hlm. 132
hal yang diketahuinya, sehingga menjadi berkembang. Realita dipandang sebagai
suatu proses dalam waktu yang memberikan kesempatan luas kepada orang yang
berpengetahuan itu untuk mencipta atau mengembangkan pengetahuannya itu sendiri.
Bagi Pragmatisme, ukuran baik dan buruk, benar dan salah didasarkan
kemanfaatan tingkah laku manusia dalam masyarakat. Bilamana masyarakat
memandang baik atau benar maka perilaku tersebut adalah bermodal budaya tinggi.
Idealisme, sebuah aliran filsafat yang berprinsip bahwa kenyataan (realitas)
yang ada dalam kehidupan alam bukanlah suatu kebenaran yang hakiki, melainkan
gambaran dari ide-ide yang ada di dalam jiwa atau spirit manusia.
Idealisme berorientasi kepada ide-ide yang teosentris (berpusat kepada Tuhan),
kepada jiwa (soul), kepada spiritualitas, kepada hal-hal yang idea (serba cita) kepada
norma-norma yang mengandung kebenaran mutlak dan kesediaan berkorban serta
kepada personalitas (kepribadian) manusia.
Oleh karena nilai-nilai idealisme bercorak spiritual maka kebanyakan kaum
idealis mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi, atau sebagai primakuasa
(sebab pertama) dari kejadian alam semesta ini.
Nilai-nilai kependidikan menurut kaum idealis, adalah pelahiran (cetusan) dari
susunan atau sistem yang kekal abadi yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri.
Kewajiban manusia dan pendidikan adalah berusaha mengaktualisasikan nilai
tersebut. Bilamana terjadi pertentangan dalam nilai-nilai kependidikan, maka hierarki
nilai akan mengambil posisi pada tingkat di mana nilai-nilainya mampu
merealisasikan tujuan yang mutlak (absolut).
Filsafat pendidikan Islam dalam beberapa aspek pendekatannya memiliki
prinsip-prinsip yang serupa dengan prinsip paham idealisme, terutama idealisme
spritualistis. Idealisme mengakui adanya zat tertinggi yang menciptakan realitas alam
semesta serta menggerakkan hukum-hukumnya; termasuk sanksi-sanksinya.

Oleh karena itu, Filsafat Pendidikan Islam termasuk ke dalam idealisme yang
spiritualistis moralistis. Pendidikan moral dalam Islam menjadi sangat penting dalam
rangka membina manusia yang berakhlak mulia. Justru Nabi Muhammad SAW
adalah diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, sebagaimana dinyatakan oleh
beliau dalam hadits pada uraian sebelumnya.
Sedangkan menurut Islam, sanksi-sanksi moral terhadap perbuatan yang amoral
adalah terletak pada siksa dari Tuhan. Sedang sanksi terhadap perbuatan bermoral
adalah pahala dari Tuhan. Kualifikasi moral dalam Islam adalah bersuber dari Tuhan
sendiri. Terhadap manusia sanksi hukuman dalam Islam tidak sama bagi semua
orang, bergantung pada daya kemampuan masing-masing individu.
Perbedaan penerapan sanksi tersebut dinyatakan oleh Allah sebagai berikut:

     


    
 
.. 
 “Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali
menurut kemampuannya. Baginya pahala atas apa
(kebajikan) yang telah dikerjakannya, dan ia mendapat

c) Paham Idealisme Islam tentang Sistem Nilai dan Moralitas


Daya pancar dari sistem nilai yang menerangi moralitas umat manusia, menurut
pandangan Islam, adalah bersumber dari cahaya Allah yang digambarkan dalam
Surah Al Maaidah, 15 dan 16, sebagai berikut:
  
“... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang
menerangkan.” (QS. Al Maidah: 15)
    
    
  
   
 
    
Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-
Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan
seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS.Al Maidah: 16)

    ... …



Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya. (QS. At Taghabun: 11)

Atas dasar firman-firman Allah di atas, DR.Mohammad Fadhil Al-Djamaly,


ahli pendidikan Tunisia, berkesimpulan bahwa dalam proses kependidikan Islam,
pembetukan kepribadian anak didik harus diarahkan kepada sasaran:5)
a) Pengembangan inab sehingga benar-benar berfungsi sebagai kekuatan
pendorong ke arah kebahagiaan hidup yang dihayati sebagai suatu nikmat
Allah. Iman bagi seorang muslim merupakan nikmat paling besar yang
dianugrahkan Allah kepada manusia. Iman adalah dasar dari nilai dan moral
manusia yang diperkukuh perkembangannya melalui pendidikan.
b) Pengembangan kemampuan mempergunakan akal kecerdasan untuk
menganalisis hal-hal yang berada di balik kenyataan alam yang tampak.
Kemampuan akal kecerdasan diciptakan Allah dalam diri manusia agar

5
) H. Muzzayyin Arifin, Op, Cit. hlm.138
dipergunakan untuk mengungkap perbedaan tentang yang baik dari yang buruk,
perkara yang hak (benar) dari yang bathil (sesat).
c) Pengembangan potensi berakhlak mulia dan kemampuan komunikasi dengan
orang lain, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Fitrah manusia yang
suci mempunyai kecenderungan kepada kebaikan yang dinyatakan melalui lisan
dan perbuatan dengan cara lemah lembut. Dalam hal ini Allah telah
memberikan gambaran sebagai berikut:
 
  
 
Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang
baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang Terpuji.
(QS. Al Hajj: 24).

   


    
  
   
 
 

d) Mengembangkan sikap beramal saleh dalam setiap pribadi muslim. Manusia


diberi kemampuan oleh Allah untuk mampu berbuat kebaikan, menjaga diri,
bekerja sama dan bergaul dengan orang lain demi kemaslahatan masyarakatnya.

Paham idealisme islami demikian memiliki corak dan jiwa serba cita yang
transendal di mata Tuhan dijadikan sumber nilai dan moralitas manusia. Oleh karena
itu, nilai dan moralitas islami tidak bercorak sekularistis sebagaimana yang diikuti
paham idealisme pada umumnya, yang menafikan sumber nilai ketuhanan.
Idealisme yang religius inilah yang dijadikan pedoman dalam proses
kependidikan Islam. Sedang nilai dan moralitas yang religius dalam proses
kependidikan Islam menjadi landasan operasionalnya.

2. Dampak positif dan negatif hubungan ilmu dengan moral


Norma adalah aturan atau ketentuan yg mengikat warga kelompok dl
masyarakat, dipakai sbg panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yg sesuai dan
berterima. Segala hal yang dinilai baik, cantik atau berguna akan diusahakan supaya
diwujudkan kembali di dalam perbuatan kita. Sebagai hasil usaha itu timbullah
ukuran perbuatan atau norma tindakan. Norma itu kalau telah diterima oleh anggota
masyarakat selalu mengandung sanksi dan pahala.6)
Ada banyak macam norma. Ada norma khusus, yaitu norma yang hanya berlaku
dalam bidang dan situasi yang khusus, misalnya bola tidak boleh disentuh oleh
tangan, hanya berlaku kalau dan sewaktu kita main sepak bola dan kita bukan kiper.
Di samping norma khusus ada juga norma umum. Norma umum ada tiga macam,
yaitu sebagai berikut.
a) Norma Sopan Santun
Norma ini menyangkut sikap lahiriah manusia. Meskipun lahiriah dapat
mengungkapkan sikap hati dan karena itu mempunyai kualitas moral, namun sikap
lahiriah sendiri tidak mengetahui tata krama di daerah itu, atau dituntut oleh situasi,
tidak dikatakan melanggar norma moral.
b) Norma Hukum
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena
dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah
norma yang tidak dibiarkan dilanggar. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusatbahasa
buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum. Jadi,
yang melanggar norma hukum pasti dikenai sanksi. Akan tetapi, norma hukum tidak
sama dengan norma moral.
c) Norma Moral
Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur
kebaikan seseorang. Maka dengan norma moral, kita benar-benar dinilai. Itulah
sebabnya penilaian moral selalu berbobot. Manusia tidak dilihat dari salah satu segi
melainkan sebagai manusia. Apakah seseorang sebagai warga negara yang selalu taat,
atau seorang munafik. Apakah kita ini baik atau buruk, itulah yang menjadi
permasalahan moral.
.
2.1. Kesadaran moral
Kesadaran moral muncul apabila kita harus memutuskan sesuatu yang
menyangkut hak dan kebahagiaan orang lain. Contoh, jika seseorang mengembalikan
uang pinjaman namun ada sisa uang yang baru diketahui setelah orang itu pulang.
Oleh karena itu, wajib untuk mengembalikan uang itu. Kesadaran yang mengatakan
wajib itulah yang disebut kesadaran moral.
Unsur-unsur pokok dalam kesadaran moral memperlihatkan suatu struktur:
a) Kewajiban yang membebaninya bersifat mutlak;
b) Karena melaksanakan kewajiban itu merupakan kewajiban setiap orang;
c) Dengan mengambil keputusan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
kewajiban itu;
d) Kewajiban itu masuk akal dan pantas disetujui;
e) Sekaligus menentukan nilainya sendiri.
Dari struktur itu menunjukkan ada tiga unsur dalam kesadaran moral menurut
Franz Magnis Suseno, yaitu sebagai berikut.

a) Mengungkapkan Kesadaran bahwa Kewajiban Moral itu Bersifat Mutlak


Perasaan wajib untuk melakukan tindakan yang bermoral itu ada, dan terjadi di
setiap hati sanubari manusia, siapapun, di manapun dan kapan pun. Kewajiban
tersebut tidak dapat ditawar-tawar, karena dalam pelaksanaannya jika tidak mematuhi
berarti suatu pelanggaran moral.

b) Mengungkapkan Rasionalitas Kesadaran Moral


Kesadaran moral dapat dikatakan rasional, karena berlaku umum, lagi pula
terbuka bagi pembenaran dan penyangkalan. Dinyatakan pula sebagai hal yang
objektif dapat diuniversalisasikan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu
dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi sejenis.

c) Mengungkapkan Segi Tanggung Jawab Subjektif


Atas kesadaran moral seseorang bebas untuk menaatinya. Bebas dalam
menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang pula nilai
manusia itu sendiri
Tokoh yang memperhatikan adanya sifat mutlak dari kewajiban moral adalah
Immanuel Kant. Immanuel Kant membedakan dua kewajiban moral, yaitu7
1). Imperatif hipotetis (perintas bersyarat)
Contoh, seorang pelatih memberi perintah kepada pelar A “jangan merokok”.
Perintah ini berlaku secara hipotetis, yaitu agar A dapat mencapai prestasi yang
tinggi
2). Imperatif kategoris (perintah tanpa sysrat/mutlak)
Contoh, seseorang yang pernah meminjamkan uang Rp.100,00 kemudian
menerima pengembalian Rp.400,00 maka seseorang itu harus mengembalikan
uang kelebihannya. Kesadaran untuk mengembalikan uang itu adalah kesadaran
moral yang tegas, karena orang mengalami bagai suara yang bicara dalam ba
7
Drs. Surajivo. Ilmu Filsafat. Bumi Aksara. 2005
2.2. Norma Moral Dasar
1. Pertanyaan Dasar
Suatu persoalan, menjadi persoalan yang bersifat etis atau moral dan bukannya
persoalan teknis, atau intelektual semata-mata, apabila keputusan yang (bakal)
diambil menyangkut suatu pilihan antara beberapa nilai yang langsung dikaitkan pada
dasar kemanusiaan.
Ada tiga pertanyaan dasar etika, yaitu sebagai berikut.
a. Apakah yang benar
b. Apakah yang baik
c. Apakah yang adil
Titik tolak teori etika adalah sebagai berikut.
a. Ia percaya kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan
b. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berbuat secara benar, baik, dan adil

2. Dua Kaidah Dasar Moral


a. Kaidah sikap baik
Dengan kaidah maksimalisasi akibat baik dimaksudkan prinsip bahwa kita
wajib bertindak sedemikian rupa sehingga ada kelebihan maksimal dari akibat baik
dibandingkan dengan akibat buruk. Jelaskah bahwa kaidah ini hanya berlaku kalau
diterima kaidah yang lebih dasar lagi, yaitu kita harus berbuat yang baik dan
mencegah yang buruk.
b. Kaidah keadilan
Keadilan di sini adalah keadilan dalam membagikan yang baik dan yang buruk.
Kaidah ini mengandung kewajiban untuk memberi perlakuan yang sama kepada
semua orang dalam pembagian dari yang baik dan yang buruk dalam pemberian
bantuan dan tugas-tugas, dan fungsi-fungsi sosial dengan memperhatikan kebutuhan
dan kemampuan mereka.
2.3. Karakteristik Cita-cita Moral Yang Benar
Dalam praktiknya, manusia mungkin menganut berbagai bentuk cita-cita dalam
hidup mereka. Penganutan ini, sebagian atau keseluruhan, dibentuk oleh berbagai
faktor, semisal agama, budaya, pendidikan, profesi, dan lingkungan keluarga.
Karateristik cita-cita moral yang benar antara lain:
1. Terlepas kita mengakui cita-cita moral yang benar ataukah tidak, tidak perlu
diperdebatkan bahwa sebuah cita-cita moral yang benar harus selaras dengan
sifat manusia.
2. Sebuah cita-cita moral yang benar harus dapat dipahami oleh akal kita. Jika
tidak demikian, kita tidak dapt mengikutinya.
3. Sebuah cita-cita moral harus didukung oleh akal, karena, seperti yang dibahas
sebelumnya, tak ada orang yang memutuskan untuk melakukan sesuatu kecuali
jika dia menyakini manfaatnya bagi dirinya.
4. Cita-cita moral yang benar harus didukung oleh hasrat sejati kita; jika tidak
demikian, ia tidak dapat menggerakkan kita untuk bertindak menurut apa yang
kita anggap baik bagi kita.
5. Cita-cita moral yang benar harus dapat dicapai dan bersifat praktis; Jika tidak
demikian, ia merupakan mimpi dan bukan pedoman hidup.
6. Cita-cita moral yang benar harus mampu mencakup semua nilai dan ukuran
moral yang lain dan menempatkannya dengan tepat dalam hierarki, sebab ia
harus mampu menjelaskan tujuan atau nilai yang dituju di atas setiap perbuatan.
C. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1). Ilmu memberi kepada manusia pengetahuan sedangkan moral memberi kepada
manusia kesadaran terhadap norma-norma, keduanya saling sinergi membentuk
kehidupan, kebudayaan, peradaban, budi pekerti dan akhlak manusia.
2). Ilmu yang didasarkan pada atau didukung dengan moral yang baik/benar akan
menghasilkan kehidupan, kebudayaan dan peradaban manusia yang tinggi dan
benar, berbudi pekerti yang baik dan berakhlak mulia sebaliknya ilmu yang tidak
didasarkan pada atau didukung dengan moral yang baik/benar akan membawa
kehancuran terhadap kehidupan, kebudayaan, peradaban, budi pekerti dan akhlak
manusia.
DAFTAR PUSTAKA

1). H. Muzayyin Arifin , Fisafat Pendidikan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta.

2). J. Sudarminta SJ, 1993, Moralitas dan Modernitas, Kanisius, Yogyakarta.

3). Mohammad A. Shomali, 2005, Relativisme Etika, PT Serambi Ilmu Semesta,

Jakarta.

4). Surajiyo, Ilmu Filsafat, Bumi Aksara, 2005.

Anda mungkin juga menyukai