Anda di halaman 1dari 29

0

BAGIAN ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2017

UNIVERSITAS PATTIMURA

Manajemen Cairan Pasien Sectio Cesaria

Fauzi Mahmud

2016-84-060

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESI RSUD Dr. M. HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
1

BAB I

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. ?
Usia : 27 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Status Perkawinan : Kawin
Tinggi Badan : 164 cm
Berat Badan : 55 kg
Lama Anestesi: 1 jam 10 menit (20.30 – 21.40)
Diagnosa Pra Bedah : Post-term dengan fetal compromised
Jenis Pembedahan : SCTP
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi

3.2 Persiapan Pre Operasi


3.2.1 Anamnesa
A : Riwayat alergi terhadap obat atau makanan atau suhu pada pasien (-), riwayat
asma (-), riwayat atopi (-), riwayat alergi di keluarga (-)
M : Riwayat mengkonsumsi jamu atau obat anti nyeri (-).
Pasien datang ke UGD mendapatkan obat:
O2 10 lpm via NRBM
IVFD RL 2000 cc / jam
P : Riwayat kesehatan terdahulu:
Mengorok saat tidur (-), Kejang (-), Pendarahan lama berhenti (-), Sering lebam
atau mimisan (-), Sesak nafas (-), Asma (-), Sering nyeri dada (-), Keterbatasan
aktivitas karena sesak atau lelah (-) pasien biasa tidur dengan 1 bantal tanpa disertai
sesak, Hipertensi (-)
Nyeri kepala (-), Diabetes (-), Gemetar (-)
L : Pasien sudah berpuasa ± 10 jam sebelum operasi
E : Pasien merupakan rujukan dari RS Ngudi Waluyo dengan G2P1001 Ab000 42-43
mgg T/H postterm + fetal compromised
2

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum pasien : tampak sakit sedang, lemah
B1 : Airway paten, nafas spontan simetris, regular, 24x/menit, rhonki (-), wheezing
(-), Mallampati score 1, leher bebas, buka mulut ≥ 3 jari, gigi (+), jarak
Thyromentum 6 jari
B2 : Akral hangat, kering, kemerahan, TD 120/70, nadi 90x/menit, CRT < 2 detik,
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3 : GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya +/+
B4 : Produksi urin (+), kuning (+)
B5 : Distended, Bising Usus sulit di evaluasi
B6 : Mobilitas (-), edema (-), skoliosis (-), lordosis (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap
Hb : 11,4 g/dl (N : 11,4-15,1)
Rbc : 3,9 .106/uL (N: 4,0-5,0)
Wbc : 8,43 .103/uL (N : 4,7-11,3)
Hematokrit : 34,30 % (N : 38-42)
Trombosit : 293.103/uL (N : 142-424)
MCV : 86,60 fL (N: 80 - 93)
MCH : 28,80 pg (N: 27 - 31)
MCHC : 32,30 g/dL (N: 32 - 36)

Hitung Jenis :
Eosinofil : 0,1% (N: 0-4)
Basofil : 0,2% (N: 0-1)
Neutrofil : 67,5% (N: 51-67)
Limfosit. : 24,% (N: 25-33)
Monosit : 7,4% (N: 2-5)
Faal Hemostasis
PPT : 12,0 detik (Kontrol 12,4 detik)
APTT : 29,3 detik (Kontrol 29,6 detik)
PTT dan APTT dalam batas normal.
3

3.5 Planning
Jenis Anestesi : Spinal Anestesia
Jenis Pembedahan : SCTP

3.6 Persiapan Operasi di UGD


Surat ijin operasi dan surat ijin tindakan anestesi
Puasa 10 jam
IVFD RL 2000 cc/jam
Inj Metroclopramid
Inj Ranitidin
Inj Ceftriaxon

3.7 Durante Operasi


3.7.1 Laporan Anestesi
 Jenis Anestesi : Regimen anestesi spinal : Bupivacaine 0,5% 12,5 mg
 Teknik Anestesi : Identifikasi L8-L9, Insert spinocatheter #27 Injeksi
regimen spinal
 Medikasi Durante Operasi :
1. Resimen Spinal
2. Oksitosin 2 amp
3. Kalnex 1gr
4. Ondansetron

3.8 Manajemen Cairan


M : 100 cc/jam
O2 : 240 cc/jam
Jam ke I : 340 cc (M+O)
Jam ke II : 340 cc (M+O)
3.8.1 Cairan Masuk
4

 Pre-Operatif : RL 1000 cc
 Durante Operatif : NS 1000 cc
3.8.2 Cairan Keluar
 Perdarahan : ± 300 cc
EBV : 3900 cc
ABL : 780 cc
O2 : 240 cc/jam
M : 100 cc/jam

3.9 Pasca Bedah di Ruang Pulih Sadar


Keluhan Pasien : Mual (-) Muntah (-) Pusing (-) Nyeri (-)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien : tampak sakit sedang, lemah
B1 : Airway paten, nafas spontan simetris, regular, 24x/menit, rhonki (-), wheezing
(-), Mallampati score 1, leher bebas, buka mulut ≥ 3 jari, gigi (+), jarak
Thyromentum 6 jari
B2 : Akral hangat, kering, kemerahan, TD 120/70, nadi 90x/menit, CRT < 2 detik,
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3 : GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya +/+
B4 : Produksi urin (+), kuning (+)
B5 : Distended, Bising Usus sulit di evaluasi
B6 : Mobilitas (-), edema (-), skoliosis (-), lordosis (-)
Terapi Pasca Bedah
Infus : RL 100 cc/jam
Bila mual muntah : Ondansetron 4 mg/iv, kepala dimiringkan, head down, k/p
sucction aktif, injeksi ketorolac.
Bila RR < 10x/m  O2 100% 8lpm NRBM
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Anatomi dan Fisiologi Respirasi


Sistem respirasi merupakan sistem yang bekerjama dengan sistem sirkulasi
untuk menyediakan oksigen pada jaringan tubuh. Suplai oksigen yang cukup
memfasilitasi metabolisme aerobik dan produksi energi yang cukup. Kondisi
kurangnya oksigen yang serius dapat mempengaruhi organ dengan cepat.

2.1.1 Anatomi Respirasi Beserta Kaitannya Dengan Anestesiologi


2.1.1.1 Saluran Pernapasan Atas
Saluran pernapasan atas bukanlah hanya saluran tempat masuknya udara
kedalam paru saja. Sejauh beberapa sentimeter awal dari hidung atau mulut, udara
dibersihkan, dihumidifikasi, dan suhu udara diregulasi menyerupai suhu tubuh.
Beberapa struktur khusus adalah kunci untuk manajemen saluran
pernapasan atas. Contohnya pada pasien tidak yang sadar lidahnya yang jatuh
kearah posterior menuju soft palatum atau orofaring yang kemudia menyumbat /
memblokade saluran pernapasan, sehingga harus diberikan manipulasi mandibula
dengan jaw thrust atau dengan head-tilt, chin lift.
Valekula, sebuah identasi diantara pangkal lidah dan epiglotis merupakan
target penting selama intubasi. Ujung bilah laringoskop menarik dari identasi tadi
untuk membuka epiglottis (pada dewasa). Epiglottis, sebuah kartilago berbentuk
daun adalah pintu yang menutup kalan menuju trakea.
6

2.1.1.2 Trakea dan Paru-Paru


Trakea menghubungkan saluran napas atas menuju paru. Terbentuk dari
sejumlah cincin kartilago untuk menyediakan stabilitas dan ketahanan paten.
Sepanjang trakea, kartilago krikoid adalah penanda/landmark anatomis yang
penting dalam tata laksana intubasi atau penggunaan bag-valve mask. Membran
diantara kartilago krikoid dan kartilago thyroid juga merupakan lokasi untuk
tindakan krikotiroidektomi.

Kartilago krikoid berbentuk cincin yang melingkari trakea. Kompresi pada


krikoid pada dasarnya tidak membuat trakea collapse pada dewasa sedangkan
memberi visual yang mudah pada laring. Saat ventilasi menggunakan masker bag-
valve (tidak terintubasi), tekanan krikoid dapat mengkompresi dan mengoklusi
7

esofagus (karena trakea menekan esofagus). Sebagai hasil dari tekanan krikoid,
inflasi gastrik dan muntah dapat diminimalisir.
Trakea berakhir pada karina yang mempercabangkan bronkus kiri dan
kanan. Bronkus kanan bersudut lebih tajam dibandingkan bronkus kiri. Sebagai
hasilnya, pipa endotrakeal (endotracheal tube) yang dimasukkan terlalu dalam akan
masuk ke dalam bronkus kanan, sehingga ventilasi hanya diberikan pada paru
kanan. Secara serupa, pneumonia aspirasi cenderung terjadi pada paru kanan.

Paru-paru dilindungi oleh kurangan skeletal dari sternum, pertulangan iga,


dan spinal. Sternum tersusun astas 3 struktur: manubrium, badan sternal, dan
prosesus xifoid. Angulus ludovici adalah titik diantara manubrium dan badan
sternal, merupakan penanda/landmark yang signifikan untuk mengawasi tekanan
vena sentral dan menemukan titik kartilago kosta ke-2 (dan ruang interkostal ke-2).
Sebagaimana diketuahui secara luas, ruang interkostal ke-2 (ICS 2) adalah
landmark signifikan dalam manajemen kardiorespiratoris. Contohnya pada
dekompresi jarum untuk tension
pneumothorax yang dilaksanakan
pada ICS 2 MCL. Selain itu, katup
aorta juga didengar pada sternum kiri
ICS 2.
Paru-paru dilindungi oleh 2
lapisan, pleura parietal diluar dan
pleura viseral di dalam. Surfaktan
8

yang diproduksi oleh pleura meminimalisir friksi dan tekanan permukaan diantara
kedua lapisan, memperbolehkan terjadinya ekspirasi yang tidak tertunda.
Akumulasi darah dan eksudat dalam ruang pleura dapat mengurangi efek surfaktan,
meningkatkan kerja paru, dan merestriksi ekspansi paru. Robekan pada pleura
dapat menyebabkan tension pneumothorax.

Alveoli memfasilitasi pertukaran udara diantara atmosfir dan kapiler


pulmoner. Alveoli adalah unit fungsional dari paru-paru. Alveoli umumnya
tersusun secara bertumpuk/clustered dalam septum alveolar yang sama. Septum
alveolar berkontribusi secara signifikan pada bentuk alveoli. Penting dalam
mereduksi beban kerja napas saat alveoli yang collapse membutuhkan energi cukup
terbuka kembali.1,4.

2.1.2 Fisiologi Respirasi Beserta Kaitannya Dengan Anestesiologi


2.1.2.1 Mekanisme Ventilasi
Ventilasi meliputi inspirasi dan ekspirasi, menggerakan udara masuk dan
keluar dari paru-paru. Manusia dewasa pada umumnya bernapas 500-700 mL udara
dengan kisaran napas 15 kali per menit untuk volume harian sebesar 13.000 liter.
Udara bergerak dari area dengan tekanan tinggi menuju tekanan rendah.
Sebagaimana diafragma berkontraksi dan turun, paru-paru juga tertarik turun
(inspirasi), sehingga tekanan intrapleural yang tercipta antara lapisan pleura viseral
dan parietal menjadi semakin negatif. Lapisan pleura viseral menghubungkan
dinding paru-paru sedangkan lapisan pleura parietal terhubung dengan dinding
dada (pertulangan iga).
Dalam sistem yang tertutup, tekanan paru turun mengikuti volume yang
naik. Volume alveoli yang terekspansi dari inspirasi menyebabkan penurunan
resiprokal dari tekanan alveoli dibawah tekanan atmosfir, hingga kemudian udara
9

masuk ke paru untuk menyamakan nilai gradien tekanan tersebut. Ventilasi


Tekanan Negatif tersebut, yang juga dikenal sebagai napas spontan, adalah
mekanisme pernapasan normal.
Ekspirasi adalah proses pasif yang umumnya membutuhkan usaha minimal
pada pernapasan normal. Sebagaimana otot-otot inspirasi berelaksasi, inward
elastic recoil dari dinding alveoli menurunkan volume alveolar. Tekanan alveoli
mulai melebihi tekanan atmosfir dan kemudian udara bergerak keluar dari paru-
paru. Ekspirasi paksa, dapat terjadi dengan meningkatnya rerata pernapasan
(respiratory rate), secara aktif membuat otot-otot abdominal dan interkostal ikut
membantu sistem pernapasan.
Untuk pasien yang memerlukan bantuan pernapasan, sebuah ventilator atau
masker bag-valve mengirimkan udara secara paksa kedalam paru-paru. Tekanan
udara yang dibuat oleh alat-alat tersebut bernilai lebih tinggi dari tekanan udara
dalam paru. Tipe ventilasi ini disebut Ventilasi Tekanan Positif (VTP) dan
memiliki banyak keuntungan pada kegawat-daruratan kardiovaskuler. Contohnya,
VTP dapat membantu ekspansi alveoli yang kolaps atau memaksa cairan aspirasi
keluar dari paru-paru menuju aliran darah pada penanganan edema paru.2,3

2.1.2.2 Regulasi Pernapasan


Pola napas spontan merupakan bersifat sadar/volunter maupun tidak
sadar/involunter. Manusia dapat secara sadar mengatur kecepatan napasnya
maupun menghentikan/menahan napasnya. Kontrol volunter pernapasan dihasilkan
dari serebrum sedangkan kontrol involunter/automatis pernapasan disediakan oleh
batang otak. Sebuah sistem kemoreseptor menstimulasi batang otak untuk
menstimulasi otot-otot yang berperan dalam ventilasi, contohnya diafragma.
Reseptor tersebut juga mempengaruhi frekuensi napas.
10

Dorongan bernapas umumnya distimulasi oleh penurunan pH darah


(menjadi lebih asam) yang seringkali disebabkan oleh peningkatan tingkat
karbondioksida. Kemoreseptor pada batang otak bereaksi pada kondisi hiperkapnea
(tingginya CO2 dalam darah) dengan meningkatkan frekuensi napas untuk
membuang karbondioksida tersebut keluar. Sebagai hasilnya, tingkat keasaman
darah kembali ke target semula.
Dorongan hiperkapnea untuk bernapas cukup kuat, sebagai contoh, volume
ventilasi per menit pada umumnya bertambah sebanyak 2-3 liter per menit untuk
setiap peningkatan 1 mmHg CO2 sebagai usaha menormalisir pH darah. Dengan
demikian, 40-45 mmHg CO2 dapat menyebabkan peningkatan ventilasi per menit
sebanyak 15 liter per menit, hampir mencapai kuadran volume ventilasi normal.2

2.1.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kerja Napas


Ventilasi paling efisien adalah ketika pertukaran udara optimal tercapai
dengan beban kerja napas minimal. Gangguan sistem pernapasan dapat
mempengaruhi pertukaran udara dan meningkatkan kerja napas. Banyak faktor
yang mempengaruhi efikasi dan efektivitas pernapasan baik pada ventilasi tekanan
negatif/ napas spontan atau pada ventilasi tekanan positif, faktor-faktor tersebut
terdiri antara lain :
 Volume inspirasi – Jumlah udara yang dihirup selama inspirasi.
 Resistansi jalan napas – Gangguan distribusi udara.
 Resistansi jaringan – Resistansi friksional antara jaringan paru dan dinding
dada.
11

 Rekoil elastis – Kemampuan jalan napas untuk mempertahankan bentuk


dasarnya untuk tidak kolaps pada inhalasi.
 Kompliansi – Distensibilitas paru-paru untuk mengakomodasi volume udara
adekuat.
 Frekuensi napas – Peningkatan volume ventilasi per menit dicapai sejalan
dengan peningkatan frekuensi.

Kerja napas adalah produk yang berguna untuk memberi perubahan ke


volume dan tekanan paru. Untuk mendapatkan perubahan tekanan pada paru, usaha
diperlukan untuk melawan resistansi jalan napas, resistansi jaringan, dan rekoil
elastis. Sebagai peraturan umum, semakin besar volume paru, maka semakin besar
frekuensi napas, dan semakin besar kerja napasnya.2,3

2.2. Epidemiologi dan Data Mortalitas Maternal Pada Manajemen Saluran


Pernapasan Obstetri
Penelitian pada populasi luas mengenai mortalitas maternal menunjukkan
keterkaitan penting pada masalah penanganan saluran napas, dengan hasil yang
dapat dibandingkan dengan observasi serupa pada populasi umum.
Pada penelitian di Inggris tahun 1968 – 1984, angka keseluruhan kematian
maternal telah menurun secara stabil, dengan angka kematian maternal terkait
anestesi berjumlah 10 % dari angka total kematian maternal. 4 Mengenai kematian
maternal terkait anestesi yang dihitung dalam rentang waktu trinium (per tiga
tahun), trinium 1982 - 1984 terdapat 19 dari 243 kematian, 15 berasal dari
permasalahan saluran napas.5 Trinium 1994-1996 menunjukkan 268 kematian
terkait anestesi.6 Dan trinium 2000-2002 menunjukkan hanya 6 kematian terkait
anestesi, dimana 3 diantaranya berhubungan dengan permasalahan saluran napas. 7
Detail permasalahan cukup mengganggu dimana keseluruhan masalah tersebut
terkait dengan calon anestesiologis yang masih dalam tahap pendidikan yang
kurang mendapat bantuan yang baik dari seniornya.

2.3 Perubahan Anatomis dan Fisiologis Pada Manajemen Saluran Pernapasan


Obstetri
Faktor anatomi dan fisiologi menempatkan wanita hamil pada resiko yang
lebih besar dalam komplikasi manajemen saluran napas dan kerumitan intubasi.
12

2.3.1 Perubahan Anatomis


Faktor anatomis yang menempatkan wanta hamil pada resiko tinggi
komplikasi manajemen saluran napas dan kerumitan intubasi antara lain adalah
kenaikan berat badan semasa hamil, pembesaran payudara, edema mukosa
respiratoris, dan kenaikan resiko aspirasi pulmoner.8 Pada posisi supinasi, payudara
yang membesar cenderung jatuh kebelakang kearah leher, yang serngkali
memperumit insersi laringoskopi dan intubasi. Sejumlah penyakit sistemik seperti
rematoid artritis, diabetes mellitus, dwarfisme, sklerosis sistemik, sarkoidisme, dan
tumor dapat menyusahkan pembukaan mulut dan ekstensi leher pada pasien
obstetrik.8
Selain itu, konten abdominal yang meningkat, meninggikan posisi
diafragma dan mengganggu posisi normal saluran pernapasan atas. Perletakan Hip
Wedge pada pasien obstetri juga dapat menaikkan posisi dada dan merubah letak
krikoid, sehingga menciptakan komplikasi manajemen saluran pernapasan pada
pasien obstetri. Banyak permasalahan tersebut yang dapat diatasi dengan persiapan
dan perhatian kepada detil seperti penempatan posisi yang tepat.8
Penelitian mengenai perubahan anatomi saluran napas pada kehamilan
menunjukkan penyebab terbanyak perubahan saluran napas adalah edema saluran
pernapasan selama kehamilan terutama saat menjelang persalinan, kdua adalah
preeklampsia dan setelahnya adalah sesudah pemberian transfusi darah masif untuk
hemorase post-partum.9-11

2.3.2 Perubahan Fisiologis


Perlu diketahui bahwa terdapat berbagai perubahan fisiologis pada
kehamilan yang dapat berpengaruh pada kerumitan anatomis maupun situasional
dalam tata laksana jalan napas, khususnya untuk intubasi oleh laringoskopi direk.
Perubahan utama yang berkontribusi pada kerumitan anatomis adalah pada
saluran pernapasan atas. Perlu diingat, kehamilan merupakan bentuk kondisi retensi
cairan, pada saluran pernapasan atas, hal itu bermanifestasi sebagai edema. Edema
tersebut dapat diperberat lagi dengan pemberian cairan iatrogenis maupun oleh
kondisi patologis seperti misalnya preeklampsia. Selain itu penambahan berat
badan semasa kehamilan juga dapat mempengaruhi deposisi lemak pada saluran
pernapasan atas, contohnya ketika deposisi lemak mempengaruhi besarnya lidah
dan menurunkan mobilitas jaringan lunak.
13

Perubahan lain pada faal pernapasan yang memperumit adalah perubahan


gastro intestinal,5 yang meningkatkan resiko refluks isi lambung dan resiko aspirasi.
Perubahan anatomi terkait relaksasi sfingter bawah esofagal dan perubahan letak
lambung terjadi sejak trimester pertama.

2.4 Praktik Manajemen Saluran Pernapasan Pada Obstetri


2.4.1 Prevensi
Perencanaan dan pencegahan problema saluran napas pada anestesi obstetrik
adalah poin penting dalam praktik manajemen. Walaupun tidak semua situasi sulit
dapat diprediksi, pelaksanaan praktik aman dan strategi yang tepat dapat membantu
mengurangi resiko dan konsekuensi untuk hasil yang lebih baik.
Prinsip pertama dalam prevensi kerumitan tata laksana saluran pernapasan
adalah usaha untuk mengetahui apakah pasien sedang dalam resiko atau tidak.
Walaupun kemampuan untuk memprediksi kerumitan intubasi tingkatnya rendah,
tidak boleh ada pasien obstetri yang mendapatkan induksi anestesi umum tanpa
mendapatkan asesmen saluran pernapasan. Dalam audit retrospektif oleh
Hawthorne, dkk,29=12 menunjukkan data bahwa satu dari tiga pasien obstetri akan
menimbulkan kerumitan intubasi, sedang dua dari dua puluh tiga pasien sudah
pernah mengalami gangguan yang sama pada kehamilan sebelumnya.
Salah satu strategi untuk menghindari potensi kerumitan manajemen saluran
napas pada obstetri yang membutuhkan anestesi umum, adalah dengan asesmen
rutin pada area kehamilan dan persalinan, atau paling tidak pada pasien kehamilan
dengan resiko tinggi (High Risk Pregnancy/HRP), dimana dapat memberikan
konseling yang lebih baik pada pasien dan pemberian epidural profilaktik untuk
kejadian komplikasi jalan napas tak terprediksi contohnya pada kondisi gawat-
darurat tindakan sectio caesaria.
Mengetahui tidak seluruh kondisi dapat dihindari, disarankan untuk memilih
operator berpengalaman sesegera mungkin pada saat dibutuhkan anestesi umum
untuk tindakan sectio caesaria. Konsep akhir mengenai prevensi, bukanlah untuk
mencegah timbulnya kesulitan intubasi, namun untuk mencegah konsekuensi
potensial yang dapat diakibatkan olehnya, yaitu aspirasi. Resimen profilaksis utama
sebenarnya adalah pilihan usaha menghindari penggunaan anestesi umum dan
memilih anestesi regional. Ketika hal tersebut tidak memungkinkan, variasi strategi
dapat diberikan sebagai profilaksis. Antasida nonpartikuler, penghambat pompa
14

proton, dan pirokinetik seperti misalnya metoklopramid telah digunakan secara


luas.49=12 Konsumsi oral makanan padat dilarang, dan ketika dilakukan induksi
anestesi umum, induksi cepat dengan memberikan tekanan pada krikoid
dilaksanakan. Walaupun sifatnya intuitif, usaha demikian dapat membantu
manajemen saluran napas dan terutama mencegah terjadinya aspirasi.

2.4.2. Manajemen Saluran Pernapasan


Algoritma manajemen kerumitan saluran pernapasan maternal ditunjukkan
pada tabel 1

tabel 1. Algoritma
Manajemen Saluran Pernapasan Maternal

Seperti pada diskusi sebelumnya, seluruh kandidat anestesi wajib


mendapatkan asesmen saluran pernapasan. Dalam kasus dimana kerumitan
manajemen saluran napas telah diantisipasi, anestesi umum tidak boleh diinduksi.
Pilihan dalam situasi ini termasuk intubasi dalam kondisi sadar, atau pemilihan
anestesi regional. Walaupun sebagian besar praktisi dapat menginduksi anestesi
regional lebih cepat daripada kemampuan merekan mengamankan jalan napas,
pilihan tersebut bukanlah menjadi pilihan terbaik pada seluruh situasi. Pada kondisi
dimana anestesi regional terkontraindikasi atau tidak mampu dilakukan,
15

pertolongan berpengalaman diperlukan dalam penatalaksanaan jalan napas pada


situasi darurat.
Strategi paling efisien adalah untuk memulai topikalisasi jalan napas
maternal bersamaan dengan saat persiapan intubasi. Terdapat berbagai pilihan dan
tak ada yang lebih superior dibandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
seorang dokter harus dapat melakukan yang terbaik dan yang paling efektif efisien.
Strategi sederhana juga disebut sebagai “penampakan sadar”, dimana laringoskopi
direk dilaksanakan setelah topikalisasi jalan napas. Selama manuver tersebut,
praktisi dapat melakukan intubasi langsung maupun mengakses kembali kerumitan
intubasi dan mempertimbangkan ulang diagnosa, namun tidak semua praktisi
merasa nyaman dengan cara tersebut. Teknik pengamanan jalan napas lainnya
termasuk metoda intuibasi fiberoptikal atau intubasi masker laringeal yang dapat
dilaksanakan pada jalan napas yang tertopikalisasi.12
Pada kondisi kerumitan saluran pernapasan yang tidak terantisipasi (dimana
merepresentasikan 50 % dari seluruh kerumitan intubasi), praktisi perlu
meyakinkan dirinya bahwa usaha pemasangan telah optimal (operator
terkualifikasi, posisi baik, dan bilah laringoskopi optimal). Perlu diingat bahwa
wanita hamil cenderung mengalami desaturasi dengan cepat, sehingga tidak
terdapat waktu untuk mencoba berbagai macam cara. Variabel penting melingkupi
terdapat atau tidaknya masker ventilasi dan keberadaan kompromi fetal. Dalam
situasi dimana masker ventilasi dinilai tidak adekuat, diterapkan algoritma
penanganan kerumitan jalan napas. Juga direkomendasikan bahwa tekanan krikoid
tetap dipertahankan selama tidak mengganggu tata laksana ventilasi.

2.4.3. Rangkuman Manajemen Saluran Pernapasan Pada Obstetri


Dibalik perhatian khusus pada perubahan fisiologis semasa kehamilan, bukti
terbaik dari penelitian kohort yang ada adalah dengan mempercayai bahwa
sesungguhnya populasi wanita hamil tidaklah lebih rumit untuk dilakukan intubasi.
Studi juga menyebutkan bahwa sebagian wanita hamil dapat mengembangkan
kondisi edema orofaringeal selama kehamilan hingga masa persalinan. Pada
sebagian kasus, edema eksesif dapat terjadi sehingga berkontribusi pada
peningkatan kesulitan intubasi. Dapat atau tidaknya wanita memiliki resiko
kesulitan intubasi pada pemeriksaan pre-operatif tidak dapat diketahui.
16

Yang tampak jelas, adalah bahwasannya induksi anestesi umum untuk


seksio caesaria merupakan situasi yang lebih kompleks daripada umumnya, dimana
hal tersebut meningkatkan insidensi kerumitan dan komplikasi. Mengetahui
prevalensi anestesi regional untuk seksio caesaria, sebagian besar anestesiolog
mengalami kondisi penyulit saat memberikan anestesi umum pada seksio caesaria.
Wanita hamil juga memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami aspirasi atau
menjalani puasa yang tidak adekuat. Maka dari itu, seluruh intubasi membutuhkan
pendekatan rapid-sequence, karena desaturasi yang lebih cepat memberikan waktu
lebih untuk manajemen penyulit saluran pernapasan.
Perencanaan dan prevensi adalah dasar manajemen saluran pernapasan
maternal. Pasien harus menerima asesmen jalan napas dengan hati-hati, termasuk
pemberian profilaksis epidural yang membantu menghindari situasi rumit dan
profilaksis gastrointestinal untuk mencegah morbiditas dari aspirasi. Penggunaan
masker laringeal seperti ProSeal dan ILMA sangatlah berguna untuk membantu
manajemen saluran pernapasan pada situasi rumit.13

2.5. Keseimbangan Cairan Tubuh Manusia


Tubuh manusia mengenal istilah Total Body Water (TBW) atau berat total
seluruh cairan dalam tubuh. berat cairan dalam tubuh berkisar 60% dari berat badan
manusia. Hal ini menunjukan komponen terbesar dalam tubuh adalah air, bukan
otot. Perlu diketahui, semakin kurus seseorang TBWnya akan semakin tinggi. 60%
air dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 komponen utama. cairan intraselular,
cairan interstisium, dan cairan plasma, dengan komponen terbanyaknya yakni
cairan intraselular. Dari 60% itu, 40% berada di dalam intraseluler sedangkan 20%
berada di ekstravaskuler. 20% masih terbagi lagi menjadi 15% cairan berada di
intersisial sedangkan sisanya 5% berada di intravaskuler. Untuk memudahkan
cairan plasma dan intersisial dipisahkan oleh membran kapiler. sedangkan
cairan intersisial dan intrasel dipisahkan oleh membran sel.14
17

Cairan diperoleh tubuh melalui 2 cara, yang pertama ditelan tubuh dalam
bentuk cairan atau air dalam makanan yang akan menambah kira-kira 2100 ml/hari.
Yang kedua dengan cara sintesa dalam tubuh sebagai hasil dari oksidasi
karbohidrat yang kira-kira akan menambah 200 ml/hari. Akan tetapi, intake cairan
ini bervariasi diantara masing-masing orang tergantung cuaca, tempat tinggal, dan
aktivitas fisik. Hilangnya cairan tubuh terjadi melalui beberapa cara pula, yang
paling banyak adalah melalui urin sekitar 1400 ml/hari. Hilangnya cairan lainnya
bisa melalui evaporasi dari saluran nafas, difusi melalui kulit, keringat, dan
sejumlah kecil hilang melalui feses

2.6 Kompartemen Cairan Tubuh


Total cairan tubuh didistribusikan terutama melalui dua kompartemen:
cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Cairan ekstraseluler dibagi lagi menjadi
cairan intersisial dan plasma darah. Ada kompartemen kecil lain yang disebut
cairan transseluler (termasuk di dalamnya cairan synovial, peritoneal, pericardial,
intraokuler, dan cairan serebrospinal kurang lebih 1-2 liter). Pada manusia
dewasa berat badan 70 kilogram, total cairan tubuhnya 60% atau sekitar 42 liter.
Persentasi ini dapat berubah tergantung usia, jenis kelamin, dan BMI. Seiring
dengan bertambahnya usia, persentase cairan tubuh akan menurun karena penuaan
berhubungan dengan peningkatan lemak yang akan menurunkan persentase cairan
tubuh. Karena wanita umumnya memiliki lebih banyak lemak disbanding pria,
mereka memiliki proporsi cairan yang lebih sedikit daripada pria.

2.6.1 Kompartemen Cairan Intraseluler


Sekitar 28 dari 42 liter cairan tubuh (40%) berada di dalam 75 triliun sel dan
disebut cairan intraseluler. Konsentrasi cairan antar sel ini relative sama satu sama
lain. Oleh karena alas an ini, cairan intraseluler dari berbagai sel yang berbeda
secara bersama-sama dianggap sebagai satu kompartemen cairan.

2.6.2 Kompartemen Cairan Ekstraseluler


Semua cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraseluler yang
mencakup 20% dari total berat manusia (sekitar 14 literm pada orang dengan berat
badan 70 kilogram). Dua kompartemen ekstraseluler terbesar adalah cairan
intersisial yang meliputi lebih dari tiga perempat cairan ekstraseluler dan plasma
18

darah yang meliputi seperempat total cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian
nonseluler darah. Pertukaran zat-zat secara terus-menerus dengan cairan intersisial
terjadi melalui pori-pori membran kapiler. Pori-pori ini permeabilitas tinggi bagi
hamper semua zat kecuali protein. Oleh karena itu, plasma dan intersisial memiliki
komposisi zat yang relatif sama kecuali protein.

2.6.3 Volume Darah


Darah mengandung cairan ekstraseluler (cairan plasma) dan cairan
intraseluler (cairan dalam sel-sel darah). Akan tetapi, darah dipertimbangkan
sebagai kompartemen yang berbeda karena ini terdapat di system kardiovaskuler.
Volume darah penting dalam mengontrol dinamika kardiovaskuler. Rata-rata darah
pada orang dewasa sekitar 7% dari total berat tubuh atau sekitar 5 liter. Sekitar 60
persennya adalah plasma dan 40% berupa sel-sel darah (persentase ini dapat
berbeda di tiap orang tergantung umur, jenis kelamin, dan factor-faktor lainnya).
Plasma merupakan bagian dari darah dan sekitar 92% kandungan plasma adalah air.
Delapan persen sisanya terdiri dari berbagai ion-ion dan molekul-molekul organic.
Garam-garam yang terlarut dalam plasma membantu mempertahankan pH darah.
Molekul organik kecil seperti glukosa, asam amino dan urea juga terlarut dalam
plasma. Glukosa dan asam amino adalah nutrient bagi sel sedangkan urea adalah
produk sisa nitrogen yang akan dibuang melalui ginjal. Molekul-molekul organik
besar dalam plasma meliputi hormone dan protein plasma.13

2.7 Penggunaan Klinis Darah, Produk Darah dan Cairan Pengganti Pada
Obstetri
2.7.1 Darah dan Produknya
Pasien obstetri dapat membutuhkan transfusi darah. Penting halnya untuk
menggunakan darah, produk darah, dan cairan pengganti serta memahami prinsip
penggunaannya. Penggunaan produk darah yang tepat didefinisikan sebagai
transfusi produk darah yang aman untuk menangani kondisi morbiditas signifikan
atau mortalitas yang tidak mampu dihindari atau dimanajemen secara efektif oleh
cara lainnya. Adapun kondisi obstetri yang membutuhkan transfusi darah antara
lain :
 Perdarahan post-partum yang berujung pada syok.
19

 Kehilangan volume darah dalam jumlah besar pada persalinan operatif.


 Anemia berat, utamanya pada akhir masa kehamilan atau dibarengi bersama
gagal jantung.
Sedangkan kondisi obstetri yang menunjukkan TIDAK PERLUNYA
pemberian transfusi adalah antara lain :
 Kondisi yang membutuhkan transfusi dapat dicegah dengan penanganan
dini dan program prevensi.
 Transfusi WBC, PRC, atau Plasma yang diberikan untuk mempersiapkan
wanita untuk tindakan bedah elektif, atau untuk membantu kesegeraan keluar dari
Rumah Sakit.

Dimana perlu diketahui bahwa pemberian transfusi yang tidak diperlukan


dapat memaparkan wanita pada resiko yang dapat dihindari seperti infeksi melalui
media transfusi layaknya HIV, hepatitis B, hepatitis C, sifilis, hingga malaria.

Prinsip pemberian transfusi klinis adalah memahami bahwa transfusi


hanyalah salah satu bentuk pilihan dalam manajemen penanganan kebutuhan darah
dan cairan obstetri. Minimalisasi pembuangan darah wanita untuk mengurangi
kebutuhan transfusi dapat dilakukan dengan pemberian cairan resusitasi, dan
pemilihan teknik anestesi dan bedah yang tepat untuk meminimalisir kehilangan
darah saar pelaksanaan tindakan bedah.14

2.8 Terapi Cairan Sebagai Substitusi Sederhana Transfusi Pada Obstetri

Hanyalah normal salin (sodium klorida 0,9%) atau solusi garam seimbang
yang memiliki konsentrasi sodium serupa dengan plasma dan berperan baik sebagai
cairan pengganti yang efektif. Cairan tersebut harus tersedia di seluruh rumah sakit.
Cairan pengganti berfungsi untuk menggantikan kehilangan darah yang abnormal,
atau kehilangan cairan ekstravaskuler dengan cara meningkatkan volume dari
kompartemen vaskuler.

Pada obstetri, terapi pengganti cairan digunakan secara umum pada


manajemen wanita yang mendapati hipovolemia (ex: syok hipovolemik), dan untuk
perawatan wanita normovolomik dengan kehilangan cairan yang masih berjalan
(ex. Kehilangan darah oleh karena tindakan bedah)14
20

2.8.1 Cairan Kristaloid dan Sensitivitasnya Pada Pasien

Merupakan cairan yang mengandung konsentrasi serupa dengan sodium


plasma, tidak dapat masuk kedalam intrasel karena impermeabilitas membran pada
sodium. Kristaloid mengalir bersama kompartemen vaskular menuju ruang
ekstrasel (normalnya hanya ¼ volume cairan kristaloid yang menetap pada
kompartemen vaskuler. Untuk merestorasi volume darah sirkulasi, infusi kristaloid
adalah dalam volume paling sedikit tiga kali jumlah volume yang hilang. Perlu
diketahui, solusi dekstrose (gula) adalah cairan pengganti yang kurang efektif.
Tidak disarankan untuk menggunakannya pada manajemen hipovolemia terkecuali
bila tidak terdapat alternatif lainnya.14 Clearance dari kristaloid semasa tindakan
anestesi dan bedah adalah 10-20% pada pasien yang sadar. Sebagaimana diketahui
bahwa kristaloid meninggalkan ruang plasma, dan berekulibrasi dengan ruang
interstisial setelah 20-30 menit.

2.8.1 Cairan Kolloid

Solusi koloid terbentuk dari suspensi partikel yang lebih besar dari
kristaloid. Koloid cenderung menetap dalam darah dimana sifatnya menyerupai
plasma protein untuk menjaga atau meningkatkan tekanan osmotik plasma dalam
darah. Plasma manusia tidak seharusnya digunakan sebagai cairan pengganti.
Segala bentuk plasma membawa resiko serupa seperti transfusi darah whole blood
untuk mentransmisi infeksi seperti HIV dan hepatitis. Merupakan cairan yang
mengandung konsentrasi serupa dengan sodium plasma, tidak dapat masuk
kedalam intrasel karena impermeabilitas membran pada sodium. Kristaloid
mengalir bersama kompartemen vaskular menuju ruang ekstrasel (normalnya hanya
¼ volume cairan kristaloid yang menetap pada kompartemen vaskuler. Untuk
merestorasi volume darah sirkulasi, infusi kristaloid adalah dalam volume paling
sedikit tiga kali jumlah volume yang hilang. Perlu diketahui, solusi dekstrose (gula)
adalah cairan pengganti yang kurang efektif. Tidak disarankan untuk
menggunakannya pada manajemen hipovolemia terkecuali bila tidak terdapat
alternatif lainnya.14

2.9 Panduan Manajemen Cairan Pada Tindakan Bedah dan Anestesi

2.9.1 Pemilihan Kolloid atau Kristalloid


21

Penggunaan solusi kolloid dibandingkan kristalloid selama resusitasi cairan


untuk mempertahankan tekanan onkotik kolloid telah menunjukkan bahwa cairan
kolloid dapat mengurangi edema insterstisial dan meningkatkan pO2 jaringan pada
studi yang dilaksanakan dalam suatu tindakan bedah gastrointestinal. 15 Prien et al
mendemonstrasikan peningkatan signifikan dari konten air dalam spesimen jejunal
pada pasien yang diresusitasi dengan Ringer laktat dibandingkan dengan pasien
yang diresusitasi dengan hestarch atau albumin.

Dibandingkan infusi kristalloid seimbang, penggunaan solusi kolloid


seimbang seperti Hextend terbukti dapat menghindarkan asidosis hiperkloremik
dan terkait dengan membaiknya perfusi mukosa gastrik dibandingkan cairan
berdasarkan normal salin.16,17

2.9.2 Kebutuhan Cairan Perioperatif

Tabel 3 menunjukkan rangkuman kebutuhan cairan dasar selama


pembedahan. Untuk pembedahan kecil, kehilangan cairan yang tidak terasa sifatnya
ringan (dapat diacuhkan) dan pengganti cairannya dapat diberikan kristalloid saja.
Untuk pembedahan sedang membutuhkan jumlah cairan pengganti yang lebih
untuk kehilangan cairan dan kehilangan darah dalam jumlah kecil. Untuk
pembedahan besar dengan kehilangan cairan tidak terasa (insensible) hinggal 20ml
kg-1.h-1, membutuhkan cairan kristalloid sebanyak 5 – 10 ml kg -1.h-1 ditambah solusi
kolloid bolus goal-directed untuk mempertahankan tekanan intravaskuler adekuat,
dan perfusi jaringan yang baik.

Tabel 3. Kebutuhan Cairan Intraoperatif


Tipe Pembedahan Insensible Losses Kristalloid Kolloid Bollus
(ml kg-1.h-1) Maintenance (mL)
Minor 1-2 2 jarang
(ex perbaikan dibutuhkan
tendon)
Moderate 4 5 jarang
(ex kolekistektomi ) dibutuhkan
Major 7-9 7.5 250*
(ex reseksi usus)
Major – Vaskuler 10-20 10 250*
22

(ex perbaikan
AAA)
*Diulangi hingga tercapai target yang diinginkan

(McKinley S, Gan TJ, 2003)

2.9.3 Goal-Directed Therapy

Goal-Directed Therapy adalah prinsip dari penggantian volume plasma


yang ditarget berdasarkan pengukuran tekanan intravaskuler, tekanan darah, dan
perfusi jaringan. Merupakan sebuah strategi yang ditujukan untuk mengurangi
meningkatkan cardiac output dan pengiriman oksigen. Hubungan diantara indeks
jantung dan penurunan mortalitas setelah pembedahan telah lama terbentuk.
Pertama kali didemonstrasikan oleh Shoemaker et al. 18 pada 1988 dan didukung
oleh banyak studi lainnya. Studi tersebut menggunakan target flow yang diukur
oleh pulmonary artery flotation catheter. Penggunaan target hemodinamis spesifik
seperti SvO2, stroke volume, oxygen delivery,dan cardiac index terbukti
menurunkan mortalitas pada grup protokol yang diteliti. Beberapa dekade terakhir,
telah terdapat monitor cardiac output yang sifatnya minimal invasif seperti
Esophageal Doppler Monitor (EDM) atau Hemisonic Doppler Monitor (HDM)
yang mengukur velositas aliran darah pada Descending Thoracic Aorta.19 Pada
sebuah penelitian yang mempelajari perfusi gut mucosal perfusion pada tindakan
bedah jantung, EDM digunakan untuk menjadi panduan terapi cairan intraoperatif
yang didasarkan pada algoritma administrasi cairan.20 Selama masa intraoperatif,
bollus kolloid diberikan dan dibandingkan dengan grup yang menerima resusitasi
cairan dalam praktik standar. Kelompok yang menerima resusitasi cairan dengan
goal directed therapy terbukti menunjukkan peningkatan perfusi gastrointestinal
yang diukur oleh tonometri gaster dan menunjukkan lama rawat di ICU dan Rumah
Sakit yang lebih singkat.
23

BAB III

PEMBAHASAN

4.1. Penilaian Pre-Operatif


Pasien Ny. 27 tahun dengan berat badan 55kg dan tinggi badan 164 cm
datang ke IGD. pasien datang dari rujukan dengan diagnosa G2P1001Ab000 42-43
mgg T/H post-term + fetal compromised. Pasien akan di laksanakan SC Cito
dengan menggunakan jenis anestesi Spinal.
Anamnesa
A : Riwayat alergi terhadap obat atau makanan atau suhu pada pasien (-), riwayat
asma (-), riwayat atopi (-), riwayat alergi di keluarga (-)
M : Riwayat mengkonsumsi jamu atau obat anti nyeri (-).
Pasien datang ke UGD mendapatkan obat:
O2 10 lpm via NRBM
IVFD RL 2000 cc / jam
P : Riwayat kesehatan terdahulu:
Mengorok saat tidur (-), Kejang (-), Pendarahan lama berhenti (-), Sering lebam
atau mimisan (-), Sesak nafas (-), Asma (-), Sering nyeri dada (-), Keterbatasan
aktivitas karena sesak atau lelah (-) pasien biasa tidur dengan 1 bantal tanpa disertai
sesak, Hipertensi (-)
Nyeri kepala (-), Diabetes (-), Gemetar (-)
L : Pasien sudah berpuasa ± 10 jam sebelum operasi
E : Pasien merupakan rujukan dari RS Ngudi Waluyo dengan G2P1001 Ab000 42-43
mgg T/H postterm + fetal compromised
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien : tampak sakit sedang, lemah
B1 : Airway paten, nafas spontan simetris, regular, 24x/menit, rhonki (-), wheezing
(-), Mallampati score 1, leher bebas, buka mulut ≥ 3 jari, gigi (+), jarak
Thyromentum 6 jari
B2 : Akral hangat, kering, kemerahan, TD 120/70, nadi 90x/menit, CRT < 2 detik,
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3 : GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya +/+
B4 : Produksi urin (+), kuning (+)
24

B5 : Distended, Bising Usus sulit di evaluasi


B6 : Mobilitas (-), edema (-), skoliosis (-), lordosis (-)

4.2 Manajemen Saluran Pernapasan dan Pertimbangan Teknik Anestesi


Mengenai saluran pernapasan, sesuai dengan algoritma manajemen saluran
pernapasan oleh American Society of Anesthesiologists Task Force on
Management of the Difficult Airway,13

Manajemen saluran pernapasan pasien obstetri diawali dengan prevensi,


langkah prevensidilakukan pertama kali dengan mempertimbangkan perubahan
anatomis-fisiologis pada pasien obstetri dengan poin-poin utama yang berupa :
 Kenaikan berat badan semasa kehamilan.
 Pembesaran payudara.
 Edema mukosa respiratoris.
 Peningkatan resiko aspirasi pulmoner oleh karena muntah.
Perubahan anatomis-fisiologis tersebut dinilai meningkatkan resiko
kerumitan manajemen saluran pernapasan, juga pada usaha pemasangan intubasi,
25

dan yang harus selalu diingat adalah kemampuan paru-paru ibu hamil dalam
menyimpan oksigen cadangan berkurang karena kebutuhan metabolisme tubuh,
sedangkan yang membutuhkan oksigen bukan hanya ibu saja, namun juga janin
yang dikandungnya. Langkah prevensi pertama yang dapat dilakukan adalah
menghindari penggunaan teknik anestesi umum pada pasien seksio cesaria, dimana
berbagai penyulit seperti kesulitan intubasi seringkali terjadi. Karena tidak ada
kontraindikasi untuk anestesi regional (alergi, fasilitas peralatan kurang, atau
penolakan pasien), maka pemilihan anestesi spinal pada pasien ini dinyatakan tepat.

4.3 Tata Laksana Manajemen Cairan


Terapi cairan perioperatif termasuk :
 Penggantian defisit cairan yang sebelumnya
 Kebutuhan maintenance
 Kebutuhan luka operasi seperti jumlah darah yang hilang dan hilangnya
cairan akibat evaporasi dan distribusi internal.
Dengan tidak adanya intake oral (puasa), defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi
cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru-paru. Kebutuhan cairan
disebutkan dalam tabel 4 :
Tabel 4. Kebutuhan rumatan cairan (morgan 2006)
Berat Badan Rerata Cairan (mL/kg/jam)
10 kg pertama 4
10-20 kg berikutnya ditambahkan 2
setiap diatas 20 kg ditambahkan 1

Pasien ini memiliki berat badan 55 kg sehingga kebutuhan cairan tiap jamnya
adalah :
(4x10) + (2x20) + (1x15) = 95 cc/jam.
Metode paling umum yang digunakan untuk memperkirakan hilangnya darah
adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction atau dapat juga dengan
memperkirakan secara visual banyaknya darah yang terendam pada spons atau lap
yang terendam darah dimana untuk 1 spon berukuran 4x4 cm menyerap 10 cc darah
dan lap 4x4 cm menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut dapat menjadi
lebih akurat lagi bila spons atau lap ditimbang terlebih dahulu sebelum dan sesudah
terendam oleh darah.
26

Pada pasien ini jumlah darah yang hilang diperkirakan senilai 300cc. Kehilangan
cairan intraoperatif juga dapat terjadi akibat evaporasi dan distribusi ruang ketiga
(contoh akibat luka bakar, infeksi, dll). Kehilangan cairan dalam bentuk ini dapat
diperkirakan berdasarkan bentuk operasinya seperti pada tabel 3 yang terlampir
pada tinjauan pustaka :

Tipe Pembedahan Insensible Losses Kristalloid Kolloid Bollus


(ml kg-1.h-1) Maintenance (mL)
Minor 1-2 2 jarang
(ex perbaikan dibutuhkan
tendon)
Moderate 4 5 jarang
(ex kolekistektomi ) dibutuhkan
Major 7-9 7.5 250*
(ex reseksi usus)
Major – Vaskuler 10-20 10 250*
(ex perbaikan
AAA)
*Diulangi hingga tercapai target yang diinginkan

(McKinley S, Gan TJ, 2003)

Pasien ini menjalani operasi seksio cesaria, jenis operasi ini termasuk operasi
dengan derajat besar sehingga cairan yang hilang adalah 7-9ml x 55 kg = 440 cc
Oleh karena operasi berlangsung 2 jam, maka kebutuhan cairan selama operasi
adalah :
Kebutuhan cairan rumatan : 95cc/jam x 2 = 190 cc
Kebutuhan cairan lain : 440cc/jam x2 = 320 cc
Estimasi jumlah darah yang hilang : 300cc/jam x2 = 600 cc
Produksi Urin : 25cc/jam x 2 = 50 cc
= 1160 cc/jam
Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi :
NS : 1000 cc
Karena penilaian estimasi perdarahan memiliki room of error dengan toleransi (50-
100cc), maka resusitasi cairan NS 1000 cc pada pasien ini dapat dinilai cukup.
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Kuczowski KM, Reisner RS, Benumoff jl. Airway Problems and new solutions for

Obstetric Patients. J Clin Anesth. 2003 Antibiotic prophylaxis. Endo Top 2003: 15:

491-94.

2. Glassemberg R. General Anesthesia and Maternal Mortality. Semin Perinatol 1991;

15: 386-96.

3. Suresh MS, Wali A. A Failed Intubation in Obstetrics : Management strategies.

Anesthesiol Clin North Am 1998; 16: 477-98.

4. Practice Guidelines for Management of The Difficult Airway: A report by the

American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult

Airway. Anesthesiology 1993; 84: 597-602

5. Birnbach DJ, Browne IM. Anesthesia for Obstetrics In Miller RD ed. Miller’s

Anesthesia 1987; 42: 487-90.

6. De Swiet M. Maternal mortality: confidential enquiries into maternal deaths in the

United Kingdom. Am J Obstet Gynecol 182. 760-766. 2000;

7. Turnbull A.C.: Report on confidential enquiries into maternal deaths in England

and Wales, 1982 – 1984. H.M.S.O.London 1989

8. Ball, W. Interactive Respiratory Physiology. John Hopkins School of Medicine.

Found at http://oac.med.jhmi.edu/res_phys/

9. Levitzky, Michael G. Pulmonary Physiology 6th ed. 2003 New York: McGraw-Hill

10. Lingappa, Vishwanath R. Physiological Medicine. 2000. New York: McGraw-Hill.

11. Pulmonary Critical Care Medicine Tutorials. 2003 CCM Tutorials.com Found at

http://www.ccmtutorials.com/rs/oxygen/index.html
28

12. O’Sullivan, GM. Guyton, T.S: Aspiration: risk, prophylaxis, and treatment. In:

Chestnut D.H., ed. Obstetric anesthesia principles and practice, Elsevier Mosby

Philadelphia 2004: 523-534.

13. Munnur U., De Boisblanc B., Suresh M.S.: Airway problems in pregnancy. Crit

Care Med 33. S259-S268.2005;

14. Guyton, A., & Hall, J. (2006). Textbook of Medical Physiology Eleventh Edition.

Philadelphia: Elsevier inc.

15. Prien T, Backhaus N, Pelster F, et al: The effect of intraoperative fluid

radministration and colloid osmotic pressure on the formation of intestinal edema

during gastrointestinal surgery. J Clin Anesth 1990; 2: 317-23

16. Scheingraber S, Rehm M, Sehmisch C, et al: Rapid saline infusion produces

hyperchloremic acidosis in patients undergoing gynecologic surgery. Anesthesiology

1999; 90: 1265-70.

17. Wilkes NJ, Woolf R, Mutch M, et al: The effects of balanced versus saline-based

hetastarch and crystalloid solutions on acid-base and electrolyte status and gastric

mucosal perfusion in elderly surgical patients

18. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB, et al: Prospective trial of supranormal values

of survivors as therapeutic goals in high-risk surgical patients. Chest 1988;

94:1176-86.

19. Gan TJ, Arrowsmith JE: The oesophageal doppler monitor. Br Med J 1997; 313:

893-4

20. Mythen MG, Webb AR: Perioperative plasma volume expansion reduces the

incidence of gut mucosal hypoperfusion during cardiac surgery. Arch Surg 1995;

130:423-9.

Anda mungkin juga menyukai