Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas limpahan rahmat dan
karunia – Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Sejarah ini sesuai
waktunya.

Kami mencoba berusaha menyusun makalah ini sedemikian rupa dengan harapan
dapat membantu pembaca dalam memahami pelajaran Sejarah yang merupakan judul dari
Makalah kami, yaitu “ SEJARAH KESULTANAN ACEH DARUSSALAM.” Disamping itu,
kami berharap bahwa Makalah Sejarah ini dapat dijadikan bekal pengetahuan untuk
melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Kami menyadari bahwa didalam pembuatan Makalah Sejarah ini masih ada
kekurangan sehingga kami berharap saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.

Bengkulu, 14 Januari 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ………………………………..…………………….........................…(1)

DAFTAR ISI ……………………………………..………………………………………....….(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG ………………………………….......................................................(3)

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH BERDIRINYA KESULTANAN ACEH DARUSSALAM …………………….(4)

2.2 MASA KEJAYAAN KESULTANAN ACEH DARUSSALAM ………………………….(5)

2.3 KEHIDUPAN POLITIK, EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA KESULTANAN ACEH


DARUSSALAM ………………………………………………………………………………..(8)

2.4 MASA KERUNTUHAN KESULTANAN ACEH DARUSSALAM ……………….…...(10)

BAB 3 PENUTUP

3.1 DAFTAR PUSAKA ……………………………………………………………………….(12)

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesultanan Aceh Darussalam adalah sebuah kerajaan bercorak agama Islam yang berada
di provinsi Aceh, Republik Indonesia. Kesultanan Aceh berlokasi di utara dari
pulau Sumatera dengan ibu kota kerajaan di Bandar Aceh Darussalam dengan sultan
pertamanya yaitu Sultan Ali Mughayat Syah yang naik takhta pada Ahad, 1 Jumadil awal
913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Kesultanan Aceh dibuat oleh Sultan Ali
Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan Aceh ini berdiri diatas wilayah
dari Kerajaan Lamuri, kemudian Kerajaan Aceh berhasil menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah disekitar kerajaannya mencakup daerah Daya, Pedir, Lidie, Nakur.

Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Kesultanan Samudra Pasai sudah menjadi bagian
dari Kesultanan Aceh diikuti dengan wilayah Aru. Pada tahun 1528, Sultan Ali Mughayat
Syah digantikan oleh anaknya yang bernama Salahuddin, yang kemudian memerintah hingga
tahun 1537. Kemudian Sultan Salahuddin digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar melalui sebuah kudeta, sultan ini memerintah hingga
tahun 1571.

Setelah wafatnya Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar terus melanjutkan perjuangan.


Beberapa kali melakukan serangan kejohor dan terus menjalin persahabatan dengan sejarah
kerajaan islam di indonesialainnya terutama yang berada di pulau jawa.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam

Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra,


terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni
Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis
serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires
menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula
melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan
dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya
Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka
berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini
para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para
saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka
dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah
Aceh
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan
Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada
tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam
kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk
memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa
Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah
berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de
Souza Galvao di Bandar Aceh.
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap
untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika
perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti
sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara
tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai
Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun
melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis.

Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim
untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus
berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-

4
kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan
tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah
seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya,
Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Sya.
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan
Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba
menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru
pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali
Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad
ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar
tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 .
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha
mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan
hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki,
Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel
untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang
menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan
menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang
dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung
adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah.
Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai para
ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke
Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin
Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588,
Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda
hingga tahun 1607

2.2 Masa Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam


Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan
Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar
Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang
politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perangnya, serta
mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa
Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan
Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda

5
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan
perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran
masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta
Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan
dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga
Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.

Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu
Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan
utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu
dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara,
untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan
sebuah bintang jasa pada sultan Aceh

Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis,
Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras,
guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun,
kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang
disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh.  Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain
kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan.
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar.
Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh,
dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah
selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera,
dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara.
 
Raja-raja yang pernah memimpin Kesultanan Aceh :

Sultan Ali Mughayat Syah

Ali Mughayat Syah adalah raja yang pertama memerintah Kerajaan Aceh. Beliau bertahta
dari tahun 1514-1528 M. Selama dalam kekuasaan beliau, Kerajaan Aceh melakukan ekspansi ke
beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatera Utara, seperti di daerah Daya dan Pasai.
Bahkan belian pernah mengadakan serangan terhadap Portugis di Malaka serta menyerang
kerajaan Aru.

Sultan Salahudin

Sultah Salahudin adalah putra dari Sultan Ali Mughayat Syah. Beliau melanjutkan
kepemimpinan ayahandanya setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia. Masa
pemerintahan beliau berlangsung dari tahun 1528 hingga 1537 M. Selama beliau memerintah,

6
Sultan Salahudin kurang memberikan perhatian terhadap kerajaannya sehingga akhirnya kerajaan
mulai goyah dan mundur. Oleh sebab itu, pada tahun 1537 Sultah Salahudin digantikan oleh
saudaranya yang bernama Sultan Alaudin Riayat Syah.

Sultan Alaudin Riayat Syah

Pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah di Aceh berlangsung sejak tahun 1537-1568 M.
Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh berkembang menjadi Bandar utama di Asia bagi
pedagang Muslim mancanegara. Sejak Malaka berada di bawah pemerintahan Portugis,
pedagang Muslim menghindari selat Malaka dan mulai beralih menyusuri pesisir Barat
Sumatera, ke selat Sunda, lalu terus ke timur Indonesia atau langsung ke Cina. Letak Kerajaan
Aceh yang strategis membuatnya menjadi bandar transit lada dari Sumatera dan rempah-rempah
dari Maluku. Kedudukan ini didapat bukan tanpa hambatan. Kerajaan Aceh seringkali
menghadapi rongrongan Portugis. Demi memenangkan persaingan, akhirnya Aceh membangun
angkatan laut yang kuat. Di masa tersebut Kerajaan Aceh membina hubungan kenegaraan dengan
Turki Ottoman yang dianggap memegang kedaulatan Islam tertinggi waktu itu. (Baca Juga :
Peninggalan Kerajaan Singasari)

Sultan Iskandar Muda

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda lah, Kerajaan Aceh mencapai puncak
kejayaannya. Beliau naik tahta pada awal abad ke-17 menggantikan Sultan Alaudin Riayat Syah.
Tindakan yang beliau ambil untuk memperkuat kedudukan Aceh sebagai pusat perdagangan
adalah dengan memelopori sejumlah tindakan sebagai berikut.

 Sultan Iskandar Muda merebut sejumlah pelabuhan yang berperan penting di pesisir barat dan
timur Sumatera, serta pesisir barat semenanjung melayu. Aceh sempat menaklukan Johor,
Pahang, Deli, Bintan, Kampar, Parimanan, Minangkabau, Perak dan Kedah.
 Sultan Iskandar Muda menyerang bangsa Portugis di Malaka dan kapal-kapalnya yang melalui
selat Malaka. Bahkan Kerajaan Aceh sempat memenangkan peperangan melawan armada
Portugis di sekitar pulau Bintan pada tahun 1614.
 Sultan Iskandar Muda bersama-sama dengan Inggris dan Belanda memperlemah pengaruh
Portugis. Iskandar Muda mengizinkan persekutuan dagang kedua di negara itu untuk membuka
kantornya di Aceh.

Sultan Iskandar Thani

Berbeda dengan strategi pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Thani lebih
memperhatikan pembangunan dalam negeri dari pada politik ekspansi. Oleh sebab itu, walaupun
beliau hanya memerintah selama 4 tahun, Aceh mengalami suasana damai. Hukum syariat Islam
ditegakkan, bukannya menjalankan kekuasaan yang sewenang-wenang. Hubungan dengan
wilayah taklukan dijalankan dengan suasana liberal, bukan tekanan politik atau militer.

7
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani perhatian terhadap studi agama Islam
mengalami perkembangan pesat.Perkembangan pesat untuk studi Agama Islam diperkuat oleh
Nuruddin Arraniri, seorang ulama besar dari Gujarat yang menulis buku sejarah Aceh yang
berjudul Bustanu’s Salatin. Selepas kepergian Iskandar Thani, Aceh mengalami kemunduran
yang membuatnya menjadi lemah. Aceh tidak mampu menahan saat sejumlah wilayah taklukan
melepaskan diri. Kerajaan itupun tidak mampu lagi berperan sebagai pusat perdagangan.
Meskipun demikian, kerajaan Aceh tetap berlanjut sampai memasuki abad ke-20.

Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya Kesultanan Aceh

a) Kehidupan Politik
Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri
dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin
al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil men
angkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa
kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh
Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun
1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan
monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil.
Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan
Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang
berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau,
Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan
Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah
menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam
negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun,
Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan
dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat.
Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari
Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari
itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian
antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan
perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641- 1675),
janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat
Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang
melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh
kaum pria kembali.

8
Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul
Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris,
Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh
Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah
digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu
berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat
bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816,
menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London,
Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan
praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera,
Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda
adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat
peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita,
di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik
perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah,
yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr.
Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada
tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.

b) Kehidupan Ekonomi
Sehubungan dengan wilayah kerajaan yang sangat subur yang menghasilkan hasil bumi
yang berlimpah ruah, hal ini berimbas positif pada kehidupan ekonomi Kerajaan Aceh.
Dimana kehidupan ekonomi masyarakan Aceh berkembang sangat pesat. Adapun hasil bumi
yang utama adalah berupa lada. Dengan meluasnya kerajaan Aceh ke banyak daerah di
pantai barat dan timur Sumatera maka penjualan hasil bumi tersebut meningkat sangat
banyak. Bukan hanya itu, penguasaan Kerajaan Aceh atas wilayah di Semenanjung Malaka
semakin meningkatkan penjualan lada dan timah. 
 Dengan menguasai Selat Malaka yang mana para pedagang dari luar Nusantara
berdatangan untuk melakukan perdagangan, maka terjalinlah hubungan dagang antara
Kerajaan Aceh dengan para pedagang dari bangsa Inggris, Belanda, Persia, Arab, Turki,
Cina, Siam, India dan Jepang. Hubungan ekspor terjalin baik dimana Kerajaan Aceh
mengekspor lada, timah, saapan, damar, kayu cendana, gandaruken, obat-obatan, getah perca
dan damar. Sementara Aceh juga mengimpor anggur, beras, gula, sekar lumat, kurma, guci,
timah, tekstil, katun, besi, batik, kertas, kipas dan opium. Dengan adanya aktivitas dagang
yang sangat ramai ini, kapal-kapal yang digunakan dalam perdagangan ini bisa berlayar
hingga ke daerah Laut Merah.
Kerajaan Aceh yang menjadi pusat perdangan di tempat yang strategis kehidupan
masyarakat Aceh berkembang di segala bidang yang akhirnya memunculkan persaingan
degan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya.

9
c) Kehidupan Sosial-budaya
Letak Aceh yang strategis menyebabkan perdagangannya maju pesat. Dengan demikian,
kebudayaan masyarakatnya juga makin bertambah maju karena sering berhubungan dengan
bangsa lain. Contoh dari hal tersebut adalah tersusunnya hukum adat yang dilandasi ajaran
Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam.
Menurut Hukum Adat Makuta Alam pengangkatan sultan haruslah semufakat hukum
dengan adat. Oleh karena itu, ketika seorang sultan dinobatkan, ia berdiri di atas tabal, ulama
yang memegang Al-Qur’an berdiri di kanan, sedangkan perdana menteri yang memegang
pedang berdiri di kiri.
Hukum Adat Makuta Alam memberikan gambaran kekuasaan Sultan Aceh, seperti
berikut:
 mengangkat panglima sagi dan ulebalang, pada saat pengangkatan mereka mendapat
kehormatan bunyi dentuman meriam sebanyak 21 kali;
 mengadili perkara yang berhubungan dengan pemerintahan;
 menerima kunjungan kehormatan termasuk pedagang-pedagang asing;
 mengangkat ahli hukum (ulama);
 mengangkat orang cerdik pandai untuk mengurus kerajaan;
 melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan para pejabat kerajaan.
Dalam menjalankan kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dari alim ulama, kadi, dan
Dewan Kehakiman. Mereka terutama bertugas memberi peringatan kepada sultan terhadap
pelanggaran adat dan syara’ yang dilakukan.
Sultan Iskandar Muda berhasil menanamkan jiwa keagamaan pada masyarakat Aceh
yang mengandung jiwa merdeka, semangat membangun, rasa persatuan dan kesatuan, serta
semangat berjuang anti penjajahan yang tinggi. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika
Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa Barat tidak mampu
menembus pertahanan Aceh.

2.3 Keruntuhan Kerajaan Aceh


Penyebab runtuhnya kerajaan Aceh antara lain :
1) Tidak adanya seorang pemimpin yang dimana mampu dan memiliki kompeten setelah
meninggalnya dari Sultan Iskandar Muda yang dimana menjadi pemimpin kerajaan
Aceh sebelumnya. Sehingga menciptakan sebuah ketidakstabilan akan kekuasaan pada
kerajaan Aceh yang dimana membawa kerajaan Aceh pada kehancuran dan juga
keruntuhan bagi kerjaan Aceh itu sendiri.
2) Disaat pada masa kemuduran kerajaan Aceh telah terlihat disaat meninggalnya
pemimpin Aceh sebelumnya yaitu Sultan Iskandar Muda dalam bidang ekonomi,
pekerjaan dan juga sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada waktu
itu.
3) Terjadinya banyak pemisahan diri yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil yang
dimana pada awalnya adalah merupakan bagian dari kerajaan Aceh itu sendiri setelah

10
terjadinya sebuah kemunduran pada kerajaan Aceh. Daerah-daerah yang memisahkan
diri tersebut adalah Johor, Pajang, Minangkabau, Siak, dan juga Perak.
4) Kemudian, terjadi sebuah pertikaian yang berada didalam internal kerajaan seperti pada
anggota kerajaan dengan bawahannya dimana seperti yang kita tahu untuk
memperebutkan sebuah kursi kekuasaan membuat sebuah konotasi negative dimana
keinginan tersebut bukalah untuk membuat kerajaan semakin makmur dan membawa
kerajaan kea rah yang lebih baik, melainkan untuk mencari kekuasaan atas rakyat pada
daerah kerajaan Aceh dan mendapatkan harta.
5) Timbulnya berbagaimacam kerajaan yang lebih berkompeten di sekitar wilayah kerajaan
Aceh yang lebih handal dalam bidang ekonomi dan juga politik.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh// https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-
kesultanan-aceh-darussalam// https://www.google.com/search?
safe=strict&ei=yIk8XMfeDcX2vgS2zrSgDw&q=sejarah+berdirinya+kesultanan+aceh&oq=sejarah//
https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/sejarah-kerajaan-
aceh//https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/silsilah-kerajaan-aceh//
https://www.astalog.com/11428/penyebab-keruntuhan-kerajaan-aceh.htm//
http://www.zonasiswa.com/2015/06/sejarah-kerajaan-aceh-kehidupan-politik.html//
https://www.sejarah-negara.com/2015/02/5-raja-yang-pernah-memerintah-kerajaan.html//

12

Anda mungkin juga menyukai