Anda di halaman 1dari 8

Komodifikasi Ras Kulit Putih

dalam Iklan Kosmetik Ja Hwa


Keken Frita Vanri
208000036

Adalah hal yang amat biasa bila saat menonton TV, mendengarkan radio atau membaca surat
kabar, kita akan mendapati begitu banyak spot-spot iklan. Yang menarik adalah, iklan-iklan
yang dipasang kebanyakan adalah iklan komersial yang menawarkan produk-produk tertentu,
ketimbang iklan layanan masyarakat atau iklan layanan jasa. Jika saya perhatikan, iklan yang
banyak muncul adalah iklan produk kecantikan dan layanan provider telepon seluler. Yang
menjadi fokus saya dalam makalah ini adalah iklan produk kecantikan, khususnya produk
pencerah wajah. Produk yang satu dengan produk yang saling saling beromba menawarkan
formula-formula terbaru dan tercanggih yang dapat mencerahkan wajah dengan cepat dan
aman.

Berbagai cara dilakukan untuk menaikkan penjualan. Mulai dari menggunakan model yang
sangat cantik dengan wajah putih merona, membuat cerita bersambung agar penonton
penasaran, atau menggunakan tagline-tagline unik dan provokatif. Namun secara
keseluruhan, konsep iklan-iklan pemutih wajah amatlah standar dan biasa, yaitu ada seorang
gadis yang mengeluh karena kulitnya gelap dan dijauhi oleh pria tampan yang ia sukai. Sekali
waktu ia bertemu dengan temannya yang memiliki wajah putih merona, dan kemudian
temannya merekomendasikan produk kecantikan tertentu. Dalam waktu seminggu ia
mengikuti saran temannya dan ia menjadi lebih putih. Setelah itu, ia bertemu dengan pria
yang menghiraukannya dulu, dan sekarang pria itu jatuh cinta padanya karena dirinya sudah
putih dan cantik. Konsep yang amat sederhana dan pasaran.

Iklan-iklan seperti ini menimbulkan keresahan tersendiri karena saya rasa menyebabkan
disonansi kognitif dalam benak penontonnya. Seseorang yang semula merasa nyaman dengan
warna kulit aslinya, akan tergoda menjadi lebih putih karena menyaksikan iklan tersebut.
Iming-iming mendapatkan jodoh yang tampan dan sempurna, setiap gadis menginginkan
dirinya menjad lebih putih karena ada anggapan bahwa lelaki tampan menyukai wanita-
wanita berkulit putih.
Keresahan lain adalah karena janji-janji besar yang diberikan oleh produk-produk pencerah
wajah bahwa mereka dapat memutihkan kulit dalam waktu yang singkat. Mereka sengaja
menggunakan endorser berwajah rupawan (yang sebenarnya memang berkulit putih bersih)
untuk membuat anggapan bahwa jika seseorang menggunakan produknya, maka ia akan
menjadi secantik si endorser tersebut. Hal ini saya rasakan sebagai pembodohan publik.

Kaitannya dengan ekonomi politik komunikasi sangatlah jelas. Dalam hal ekonomi, iklan-
iklan ini bermaksud menaikkan tingkat penjualan produk sehingga menghasilkan income
yang tidak mengecewakan bagi si produsen. Produsen ataupun advertising agency dengan
cara-cara khusus melakukan proses komodifikasi terhadap konten iklan mereka sehingga
dapat menanamkan ideologi tertentu dalam kognisi khalayak, yang pada akhirnya berlanjut
pada sikap dan tindakan yang diinginkan si produsen. Dari sisi politik, iklan-iklan ini dapat
membentuk pemahaman dan persepsi general tentang kelompok-kelompok dominan dan
kelompok marjinal, dimana pembagian keduanya dilihat dari ukuran fisik.

Untuk membahas lebih lanjut tentang fenomena ini, saya telah mengerucutkan objek
pembahasan saya, yaitu iklan produk kecantikan Ja Hwa dari China.

Kerangka Teori

Dalam makalah ini saya akan membahas iklan Ja Hwa dari perspektif ekonomi politik
komunikasi. Ekonomi politik komunikasi sendiri merupakan suatu kajian relasi sosial, secara
khusus tentang relasi kekuasaan yang bersama-sama menyusun proses produksi, distribusi,
dan konsumsi dari sumber-sumber komunikasi (Mosco , 2009 :2). 1

Ekonomi politik komunikasi merupakan kritik terhadap praktek-praktek kapitalisme dan


mencoba mengedepankan etika sosial dan aspek moral.

Menurut sumber yang sama, ada tiga konsep kunci dalam pendekatan ekonomi politik
komunikasi, yaitu komodifikasi, spasialisasi dan strkturasi. Dalam makalah ini, saya
menggunakan konsep komodifikasi.

Menurut Mosco dalam bukunya The Political Economy of Communication 2009 hlm. 140,
komodifikasi menjelaskan cara-cara kapitalis membawa tujuan akumulasi modal atau

1
Dikutip dari materi kuliah Ekonomi Politik Media Massa Ery Riyanto “Karakteristik Pendekatan Ekonomi
Politik” slide ke-2
perubahan nilai pakai suatu komoditas menjadi komoditas yang memiliki nilai tukar. Proses
transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, selalu melibatkan para awak media, khalayak
pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan
(Mosco, 1996)2

Nilai pakai atau nilai guna adalah nilai suatu barang yang dilihat dari dimensi fungsional,
yaitu untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan nilai tukar adalah nilai suatu barang ketika
dipertukarkan di dalam pasar.

Hal ini didasarkan pada pemikiran Adam Smith dimana manusia adalah homo economicus
yang cenderung melakukan pertukaran. Awalnya, sistem ekonomi dimulai dengan sistem
barter atau saling bertukar barang-barang pemenuh kebutuhan. Namun Sseiring
perkembangan ekonomi dan peradaban masyarakat, proses pertukaran ini dinilai dengan
menggunakan satuan mata uang tertentu.

Saat terjadi pertukaran, nilai tukar ditentukan oleh kedua belah pihak dan berakhir dengan
proses eksekusi yang dilakukan oleh pemilik uang atau orang yang berada di posisi
konsumen, apakah ia jadi membeli atau tidak. Karena itulah, kehendak konsumen menjadi
orientasi dari produsen. Sejak saat itu muncul istilah komodifikasi yang pada dasarnya
mengubah hal-hal yang semual tidak diperdagangkan menjadi produk atau jasa yang komersil
sesuai “keinginan” konsumen.

“Keinginan-keinginan” itu sendiri bukanlah hal-hal yang secara alamiah muncul dari
pemikiran dan kebutuhan si konsumen, melainkan dibentuk oleh hal-hal lain di luar diri
mereka, misalnya media. Media dengan sengaja mengkonstruksi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat sekaligus bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan penyedia produk atau jasa
yang memebuhi kebutuhan tersebut . Hal ini adalah gejala kapitalisme yang lahir sering
merebaknya globalisasi.

Globalisasi dapat dilihat sebagai gerbang kebebasan di bidang ekonomi, politik, budaya, dan
lain-lain. Proses ini merupakan gagasan kapitalis-kapitalis tingkat dunia untuk melancarkan
praktek-praktek imperialisme kreatifnya. Kapitalis menjadikan warga dunia ketiga sebagai
target pasar mereka melalui sosialisasi modernitas yang direpresentasikan melalui cara
berpakaian, cara makan, cara bicara maupun bersosialisasi yang terstandarisasi. Tujuan
mereka tidak lain adalah untuk memperluas pasar dan memperoleh keuntungan sebesar-

2
Dikutip dari : Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. Sage Publication:New York, 1996.
besarnya dengan membuat produk-produk yang disukai oleh konsumen. Untuk membuat
konsumen suka, mereka melancarkan propaganda dengan jalan menciptakan kebutuhan-
kebutuhan yang disesuaikan dengan produk-produk dagangan mereka.

Ada beberapa tipe komodifikasi. Pertama adalah komodifikasi isi (content commodity).
Komodifikasi tipe ini membuat melibatkan transformasi pesan agar pesan lebih diterima oleh
pasar (marketable). Misalnya, dulu sajian berita menggunakan bahasa yang serius dan formal.
Namun sekarang, pesan-pesan itu dikomodifikasi sedemikian rupa (dibuat format berita
sejenis talkshow atau investigasi ringan) sehingga bisa diterima dengan mudah dan terkesan
ringan di telinga khalayak.

Kedua, adalah komodifikasi khalayak yang dibagi menjadi dua yaitu intrinsic
commodification dan ekstensive commodification. Instrisic commodification adalah proses
komodifikasi untuk mengetahui keinginan khalayak tentang suatu acara melalui proses rating
atau standarisasi, dimana hasil rating tersebut dapat digunakan sebagai panduan untuk
membuat sebuah program. Sedangkan ekstensive commodification adalah proses
komodifikasi yang mengalami perluasan untuk institusi sosial, pendidikan, politik dan lain-
lain, yang diwujudkan dalam bentuk iklan-iklan komersial yang diletakkan di ruang publik
misalnya di halte, mall, atau program-program musik di TV.

Ketiga, komodifikasi pekerja yakni upaya manipulasi dan hegemoni pikiran pekerja agar
melakukan pekerjaan secara maksimal dengan diiming-imingi penghargaan-penghargaan dan
cap identitas tertentu dari pekerjaan tersebut. Misalnya, pegawai TransTV dibuat nyaman
dengan eksploitasi yang mereka terima karena di benak mereka ditanamkan prinsip bahwa
bekerja di institusi media memiliki prestise tersendiri, terutama ketika menggunakan seragam
hitam-hitamnya.

Dari penjabaran tentang konsep komodifikasi di atas, saya melihat bahwa iklan produk
Kecantikan Ja Hwa merupakan bentuk dari komodifikasi konten atau isi, dimana pesan di
dalamnya dikonstruksi sedemikian rupa sehingga masyarakat tergoda untuk mencoba produk
tersebut. Berikut penjelasan dan analisis saya mengenai iklan tersebut.
Komodifikasi Ras kulit Putih dalam Iklan Kosmetik Jahwa

Iklan Ja Hwa Whitening sarat komodifikasi isi pesan yang menarik perhatian penonton.
Seperti yang sudah kita saksikan bersama, iklan Ja Hwa whitening dibuka dengan tuisan
“wanita cantik?” yang merupakan pertanyaan tentang karakteristik seperti apa yang membuat
seorang wanita dapat dikatakan cantik. Pertanyaan ini dijawab oleh Teuku Wisnu selaku artis
dan surtadara Doddy Widodo yang dimaksudkan mewakili jawaban sebagian besar pria.
Yang mengejutkan adalah jawaban dari keduanya yang terdengar begitu ekstrem. Teuku
Wisnu menjawab bahwa wanita cantik itu kulitnya putih, bersih dan wangi. Sedangkan
Doddy menjawab, “”Cantik ya Putih !”

Pesan yang disampaikan oleh kedua aktor tersebut ingin mengatakan bahwa untuk terlihat
cantik maka seorang wanita harus memiliki tubuh dan wajah yang putih dan bersih. Hal ini
merupakan suatu bentuk provokasi yang pada akhirnya menimbulkan obsesi berlebihan pada
sebagian kaum wanita yang ingin dinilai cantik.

Kalimat selanjutnya menyatakan “Ingin tampak lebih putih dalam 2 minggu ?”


merepresentasikan sifat masyarakat kita yang suka dimanjakan dengan hal-hal yang instant.
Bagaimana mungkin seseorang dengan kulit gelap dapat menjadi putih dalam waktu dua
minggu saja hanya karena pemakaian krem semacam itu. Masyarakat dibuat tidak sadar
dengan janji-janji muluk yang sebenarnya hanya bertujuan untuk menarik perhatian mereka,
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang nyata. Marini yang ditampilkan sebagai endorser
membuat penonton lalai terhadap kata “tampak” yang berarti “bukan sungguhan”

Kata-kata dalam pesan ini memberikan standarisasi yang mutlak tentang kecantikan yang
sebenarnya amat relatif dan tidak terlepas dari faktor budaya, genetis maupun demografis.
Produk ini membawa pengaruh besar dari Negeri China (tercermin dari nama dan setting
iklan) yang jelas-jelas berbeda dari Indonesia, baik dilihat dari iklim, budaya dan kondisi
SDM nya.

Kalimat terakhir dalam iklan menyebutkan “Ja Hwa, rahasia kecantikan wanita Asia”
menyiratkan bahwa seolah-olah Indonesia dan China memiliki kesamaan karena sama-sama
berada di benua Asia. Padahal, meskipun sama-sama Asia, Indonesia jauh berbeda dengan
China. Kita tahu bahwa masyarakat China memang memiliki gen yang begitu kuat dalam hal
warna kulit dan bentuk wajah. Bahkan anak hasil blasteran China dengan ras lain (Amerika,
Eropa atau Africa) pun tetap memiliki tanda-tanda Ke-China-an (puth dan/atau sipit)
walaupun sedikit.

Orang China memang memiliki gen kulit putih dari leluhurnya, didukung dengan iklim negra
mereka yang dingin. Sedangkan Indonesia, merupakan negara tropis yang memiliki musim
panas selama kurang lebih 6 bulan sehingga tipikal masyarakatnya rata-rata berkulit sawo
matang. Hal ini yang diabaikan oleh produsen atau pembuat iklan Ja Hwa yang ingin
menyamakan kulit putih orang China dengan Indonesia. Sebenarnya, Indonesia memiliki
definisi kecantikannya sendiri, misalnya wanita berkulit gelap nan eksotis. Namun hal ini
dimentahkan dengan propaganda-propaganda iklan pencerah wajah yang membuat wanita,
bahkan pria Indonesia, beramai-ramai berusaha memutihkan wajah mereka seperti orang
China.

Pesan yang tekandung dalam iklan Ja Hwa merupakan suatu bentuk komodifikasi dari
keinginan wanita untuk selalu terlihat cantik. Ja Hwa seakan-akan hadir untuk menjawab
keinginan tersebut, namun dengan memberikan standarisasi bahwa untuk terlihat cantik,
seorang wanita harus berkulit putih bersih.

Tendensi Ke arah Politik Rasis

Rasisme ialah suatu kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis
yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian atas individu – bahwa suatu ras
tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.3 Hal ini banyak terjadi
di Eropa dan Amerika dimana terjadi marginalisasi terhadap orang-orang kulit hitam. Namun
sebenarnya, hal ini juga terjadi di Indonesia sejak jaman penjajahan, dimana masyarakat
pribumi berkulit sawo matang lebih rendah kedudukannya jika dibandingkan dengan orang
kulit putih dari Belanda atau Jepang.

Iklan Kosmetik Ja Hwa menciptakan persepsi bahwa wanita cantik adalah wanita yang
berkulit putih. Dengan kata lain, orang kulit putih bernilai lebih tinggi daripada orang kulit
hitam. Secara tidak langsung, Ja Hwa telah berlaku rasis dengan membentuk kelas dominan
dan marginal dalam masyarakat berdasarkan warna kulit.

3
Dikutip dari Wikipedia
Hal ini telah diteliti oleh McClintock dalam kasus iklan sabun pada masa Victoria di Inggris
abad ke-19.4 Menurut analisisnya, iklan sabun itu merupakan agen rasisme, kolonialisme, dan
imperialisme, karena menganggap kulit hitam sebagai sesuatu yang kotor, liar, tidak beradab
yang harus dibersihkan sehingga menjadi putih. Putih disini melambangkan kesucian, bersih
dan beradab. 5 Dan menurut saya, hal ini juga terjadi dalam iklan kosmetik Ja Hwa.

Masyarakat kita dibuat lupa dengan kecantikan wanita khas budaya Indonesia. Ada sebuah
karya sastra dari Ita Yulianto tahun 2007 yang bercerita tentang kecantikan khas Indonesia,
misalnya :

Seorang wanita yang tergolong mempunyai cantik tulis adalah


Wanita yang pandangan matanya sendu dan sayu;
Memakai pakaian biasa pun tetap kelihatan cantik;
Dengan rambut yang tidak tertata pun tetap sama cantiknya
Tubuhnya langsing, payudaranya besar, pinggangnya kecil, dan
Warna kulitnya kekuning-kuningan (sawo matang)6

Dalam petikan sastra itu dikatakan bahwa wanita asli Indonesia (Jawa) yang cantik adalah
yang kulitnya kekuning-kuningan atau sawo matang , bukan putih. Sehingga produk-produk
yang menjanjikan kulit menjadi tampak lebih putih terasa amat dipaksakan dan sebenarnya
tidak dibutuhkan oleh masyarakat kita.

Namun, propaganda yang begitu kuat dari media terbukti ampuh mempengaruhi wanita
Indonesia. Media yang seharusnya berfungsi mendidik dan memberikan pencerahan kepada
khalayak malah menjadi alat legitimasi bagi kaum kapitalis dalam melancarkan praktek-
prakteknya. Mereka justru menanamkan ideologi-ideologi bahwa kulit putih jauh lebih
menarik daripada kulit gelap. Hal ini jelas menguntungkan kaum kapitalis yang menggelar
barang dagangannya di Indonesia. Ini terlihat dari tingginya penjualan produk kecantikan
pencerah kulit dari luar seperti Ponds, Ja Hwa, Olay dan merk-merk asing lain yang
menawarkan hal sejenis.

Bila hal ini dibiarkan maka lama kelamaan akan timbul kesan bahwa masyarakat indonesia
memiliki ketidaksukaan terhadap kulit hitam yang dapat menjurus pada paham rasisme,
karena secara tidak langsung, sebagian besar orang menganggap seseorang yang berkulit

4
Dikutip dari buku : Aquarini .Becoming White. 2003 Hlm. 37
5
Opcit. Hlm 38
6
Diambil dari internet
putih jauh lebih menarik dan lebih baik daripada seseorang dengan kulit gelap. Padahal,
Indonesia memiliki beragam etnis dan suku yang juga memiliki tone kulit yang berbeda-beda.
Hal ini jelas akan menyinggung warga Papua, Maluku dan Indonesia Timur lainnya yang
memang berkulit gelap. Lebih parah lagi adalah jika banyak masyarakat Indonesia berkulit
putih layaknya China, akan mengesankan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah orang
China, sedangkan penduduk aslinya adalah keompok subordinat. Jika hal ini memang terjadi,
maka media di Indonesia benar-benar berfungsi destruktif, terbukti tidak nasionalis, dan
hanya menjadi alat pengeruk keuntungan para pemiliknya.

Analisis khusus mengenai produk Ja Hwa, saya rasa brand kosmetik ini merupakan salah satu
kategori produk yang dimaksudkan untuk membiasakan masyarakat dengan produk
kecantikan dari China. Seperti yang kita ketahui tentang ACFTA bahwa produk China bebas
masuk ke Indonesia tanpa bea, maka China berupaya mengakrabkan produk-produknya
dengan tipikal masyarakat Indonesia.

Kesimpulan

Iklan-iklan pemutih wajah dapat dikatakan sebagai agen rasisme, kapitalisme dan
imperialisme sebagai bentuk penjajahan dan subordinasi terhadap orang-orang berkulit gelap.
Khalayak diharapkan untuk lebih selektif dan tidak termakan bujuk rayu iklan serta
menyadari bahwa apa yang disajikan media tidaklah sepenuhnya benar. Lembaga-lembaga
pengawas penyiaran Indonesia juga harus lebih ketat dalam menyeleksi tayangan-tayangan
yang akan tampil di TV, termasuk iklan, karena tayangan-tayangan tersebut dapat
mempengaruhi masyarakat secara masive .

Anda mungkin juga menyukai