Anda di halaman 1dari 62

TUGAS RADIOLOGI

SUPLAY DARAH SISTEM SARAF PUSAT

Penyusun:

Leoni Novitryana NRP. 1522318052


Giovanni Andreas NRP. 1522318018
Victorio William NRP. 1522318019

Pembimbing:

Dr. Donny Susilawardhono, Sp.Rad

SMF/BAGIAN ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
SURABAYA – RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR.RAMELAN SURABAYA
2019
1. SPONDYLOLYSIS DAN SPONDYLOLISTHESIS
Definisi:

Spondylolysis = kerusakan berupa fraktur pada pars interartikularis vertebra


Spondylolisthesis = pergeseran ke arah ventral dari seluruh atau sebagian vertebra dari
vertebra dibawahnya
Epidemiologi:

Spondylolysis = Sering pada laki-laki, usia 10-20 tahun, sering pada L4-L5
Spondylolisthesis = Sering pada perempuan, usia diatas 40 tahun (proses degenerasi),
sering pada L5-S1
Patofisiologi:

Spondylolysis = defek pada pars interartikularis dari vertebra karena trauma akut,
namun lebih sering disebabkan akibat penggunaan yang berlebih
Spondylolysthesis = komplikasi dari spondylolysis, namun yang tidak disertai
spondylolysis berhubungan dengan penyakit degenerative diskus dan
facet joint

Klasifikasi:
True spondylolisthesis = disertai spondylolysis

Pseudo spondylolisthesis = tidak disertai spondylolysis


Gambaran Radiologi:

Spondylolysis = foto polos lumbar oblique → scotty dog with collar ( telinga
processus articularis superior, mata pediculus, kepala
processus transversus, badan processus spinosus dan
lamina, kaki depan processus artikularis inferior, kaki
belakang processus artikularis inferior kontralateral , leher
area fraktur
Spondylolisthesis = foto polos lumbar lateral → true spondylolisthesis → memiliki
gambaran step off di atas level pergeseran karena yang
bergeser ke ventral hanya corpus vertebrae, pediculus dan processus
articularis superior sedangkan processus spinosus, lamina dan
processus articularis inferior tetap pada posisinya
Pseudospondylolisthesis → gambaran stepp off di bawah
level pergeseran karena seluruh vertebrae ikut bergeser ke ventral

Grading:

1. Grade 1 = pergeseran vertebrae sebesar 0-25% dari vertebrae dibawahnya


2. Grade 2 = 25-50%
3. Grade 3 = 50-75%
4. Grade 4 = 75-100%

Terapi:
Grade 1 = non operatif (terapi fisik)

Grade 2 = pemasangan brace TLSO (thoracolumbal orthosis) selama 3-6 bulan


Grade 3-4 = operatif

2. OSTEOID OSTEOMA

Definisi:
Lesi osteoblastic jinak dengan ukuran 1,5 – 2 cm ditandai dengan adanya nidus pada
jaringan osteoid yang bersifat radiolusen atau sklerotik dikelilingi oleh pembentukan tulang
reaktif.

Pada kasus yang jarang nidusnya bisa lebih dari 1 → multicentric osteoid osteoma /
multifocal osteoid osteoma
Distribusi:
1. Intrakortikal termasuk diafisis tulang panjang = 65-80% (tersering femur bagian
trochanter minor dan diafisis tibia)
2. Phalang = 20%
3. Vertebra predominan sisi posterior = 10% → tersering pada lumbar bagian pedicle
dan lamina
4. Tumor jinak tersering pada tulang carpal

Epidemiologi:
Umumnya muncul pada usia muda 10-30 tahun

Pria lebih sering ketimbang wanita 3:1


Patofisiologi:

Lesi lytic pada tulang menyebabkan nidus (nidus bersifat self growth). Seringnya sembuh
sendiri. Nidus menyebabkan trabekulasi pada tulang disekitar nidus sehingga tekanan
vascular sekitarnya akan meningkat, peningkatan terjadi karena vascular vasodilatasi dan
edema sehingga menstimulasi saraf nyeri pada intraoseus. Vasodilatasi vaskuler akan
menyebabkan peningkatan aktivitas COX sehingga rasa nyeri semakin kuat.

DD:
1. Sering dibilang stressed fracture, bedanya stressed fractuce area radiolusennya lebih
luas, kalau osteoid osteoma hanya radiolusen berupa bulatan / oval kecil (central
lucent) dari nidus.
2. Brodies abses (osteomyelitis) → letaknya di medullary canal atau di cancellous
bone, ada sel inflamasi
3. Osteosarcoma → new bone formation
4. Osteoblastoma → uk. Lebih dari 2 cm, proses sclerosis sedikit

Klasifikasi:
Berdasarkan lokasi tumor tulangnya =

1. Foto polos → Kortikal, medular, subperiosteal → kortikal tersering


2. Basic CT Scan dan MRI → subperiosteal, intrakortikal, endosteal, dan
intramedullary
Gejala klinis:
Nyeri yang menusuk, dalam, berkepanjangan dan memberat pada malam hari namun
membaik pada pagi hari. Nyeri berkurang dengan NSAID, tidak berkurang dengan istirahat,
memberat denga alcohol. Pada daerah lesi bisa dijumpai local swelling, kemerahan
dan point tenderness.
Manifestasi lain:
Pada ekstremitas = muscle wasting, limping

Spine = scoliosis, disc problem


Gambaran radiologis:
1. Radiologi konvensional
a. Nidus intrakortikal radiolusen berbentuk bulat / oval uk. < 2 cm
b. Penebalan korteks
c. Proses sclerosis yang reaktif sepanjang tulang
d. Densitas tulang dapat berkurang karena disuse akibat nyeri
2. CT-Scan
a. Nidus tampak sebagai bentukan oval dengan low attenuation
b. Pada central lesi terdapat gambaran high attenuation karena osteoid yang
termineralisasi
c. Sclerosis tampak sebagai proses aktif sampai ke bentuakn reaksi periosteal
dan formasi tulang baru yang dapat menutupi nidus
d. Nidus yang dapat mengawali hipervaskularisasi dapat dilihat dengan
dynamic CT
3. MRI
a. Tidak spesifik dan tidak dapat mengidentifikasi nidus

TATALAKSANA:
1. Eksisi dengan trephine setelah pembedahan
2. Kuretase intralesi
3. Ekstraksi CT guided
4. Radiofrequency thermal ablation (RFTA) → disarankan, dengan
menggunakan elektroda radiofrekuensi yang kecil dimasukkan ke dalam lesi dengan
biosi atau CT guided yang menyebabkan nekrosis termal berukuran sekitar 1 cm
pada jaringan yang terkena.
Komplikasi:
1. Pertumbuhan tulang dapat dipercepat jika nidus didekat plat pertumbuhan, terutama
pada anak kecil.
2. Lesi vertebra → scoliosis
3. Lesi intracapsular → arthritis onset dewasa sebelum waktunya (menyingkirkan OA
bila nidus belum terbentuk)
3. OSTEOARTHRITIS
Definisi:

Kelainan pada persendian akibat dari degenerative, inflamasi, infeksi atau proses metabolic
yang ditandai dengan adanya destruksi cartilage, deformitas sendi dan terbentuknya
osteofit.

Klasifikasi menurut Etiologi:


1. OA Primer → idiopatic dan penuaan (wear and tear)

2. OA Sekunder → post traumatic, congenital, osteonecrosis, neurophatic arthritis

Klasifikasi menurut Lokasi:


1. OA Tangan → dimulai saat usia 45 th, post menopause wanita > pria, lebih sering
mengenai sendi-sendi distal interfalang, proximal interfalang, dan sendi karpometal
I (PIP: Bouchard’s nodes, DIP: Heberden’s nodes)
2. OA Genu → mengenai kompartemen medial tibiofemoral, lateral tibiofemoral dan
bagian femoropatellar
3. OA coxae → lebih sering pada pria, gejala klinisnya timbul saat berdiri (weight-
bearing), sering bersifat destruktif, ditandai dengan penilaian Lequesne yaitu
adanya penyempitan celah sendi > 2 mm / tahun, jarang ditemukan sclerosis pada
tulang maupun osteofit
4. OA Vertebrae → umunya pada cervical dan lumbal, osteofit dapat menekan saraf
dan menimbulkan back pain
5. OA kaki dan pergelangan kaki → mengenai sendi metatarsofalang, gaambaran
radiologinya dapat ditemukan osteofit meskipun pada pasien < 40 tahun
6. OA Bahu → jarang ditemukan, terdapat keterbatasan gerak pada gerak pasif
7. OA Siku → jarang ditemukan, umumnya terjadi akibat paparan getaran berulang,
trauma atau metabolic arthropathy
8. OA Temporomandibular → ditandai dengan krepitus, kaku dan nyeri saat
mengunyah, pada radiologi gambaran osteofit

Klasifikasi menurut Gambaran Radiologis: dibagi menurut kellgren dan lawrence

1. Grade 0 → tidak ada gambaran OA


2. Garde 1 → penyempitan joint space sedikit (meragukan), bisa ada osteofit (lipping)
3. Grade 2 → osteofit, bisa ada penyempitan (possible)
4. Grade 3 → Osteofit multipel, penyempitan joint space (definite), sclerosis, bisa ada
deformitas pada tulang
5. Grade 4 → osteofit besar-besar, penyempitan terlihat jelas sampai bisa tulangnya
menempel (kissing bone), sclerosis parah, deformitas

Faktor Resiko:
Usia, obesitas, trauma, genetic, hormonal, kelemahan otot, infeksi, diabetes

Patofisiologi:

1. Fase 1 → terjadi penguraian proteolitik pada matriks kartilago yang mempengaruhi


metabolism kondrosit yang memproduksi penghambat protease. Memberikan
manifestasi penipisan kartilago
2. Fase 2 → terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago, terjadi pelepasan
proteoglikan dan kolagen ke cairan synovial
3. Fase 3 → produksi makrofag synovial meningkat yang akan mendestruksi kartilago.
Kartilago mempunyai fungsi menyebarkan tekanan ke seluruh permukaan sendi,
saat kartilago fungsinya menurun maka tekanan akan terkonsentrasi pada tulang
subchondral sehingga terjadi merangsang osifikasi dan terbentuk osteofit dan
penebalan daerah sunchondral (sclerosis)
Gejala:

Nyeri sendi, cenderung memburuk saat aktifitas terutama setelah istirahat (gelling
phenomenone), kaku sendi kurang dari 30 menit, hambatan gerak sendi, krepitasi.

Gambaran radiologi khas OA:

1. Penyempitan joint space akibat penebalan articular cartilage


2. Subchondral sclerosis akibat proses remodeling
3. Osteofit sebagai hasil proses reparative di tempat yang tidak terkena tekanan berat
(perifer)
4. Kista yang terjadi akibat kontusi tulang yang menyebabkan mikrofraktur dan
masuknya cairan synovial ke tulang spons. Disebut kista eggers
5. Deformitas sendi
OSTEOCHONDROMA
A. Definisi

Juga dikenal sebagai osteocartilaginous exostosis, yang mana lesinya dikarakteristikkan


dengan penonjolan tulang yang dilapisi oleh kartilago (cartilage-capped) pada permukaan
luar tulang.
B. Epidemologi

• Osteochondroma adalah tumor jinak tulang tersering, kira-kira 20-50% dari semua
tumor jinak tulang, dan biasanya didiagnosa pada pasien sebelum berusia 30 tahun.

• Predileksi osteochondroma yaitu pada metafisis tulang panjang, terutama pada


daerah disekitar lutut (distal femur dan proksimal tibia) dan proksimal humerus.

• Berdasarkan rentang usia, osteochondroma terjadi antara usia 10-35 tahun.

• Rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1.

• Pada multiple osteochondroma, rentang usiannya antara 10-30 tahun rasio laki-laki
dibanding perempuan adalah 2:1 dan area predileksinya yaitu pada lutut,
pergelangan kaki, dan bahu.
Gambar 1. Predileksi, rentang usia, dan rasio laki-laki dan perempuan pada
osteochondroma (osteocartilaginous exostosis).
Gambar 2. Predileksi, rentang usia, dan rasio laki-laki dan perempuan pada multiple
osteocartilaginous exostosis (multiple osteochondromata, diaphyseal aclasis).

C. Etiopatogenesis
Etiologinya tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkan studi sitogenetik terbaru
mengungkapkan adanya mutasi gen EXT yang mengkode exostosin 1, menunjukkan sifat
neoplastiknya.

Mutasi gen EXT yang mengkode exostosin 1

Menyebabkan suatu proses dan akumulasi dari Heparan Sulphate Proteoglycans (HSPG)
yang abnormal dalam sitoplasma kondrosit.

Menyebabkan pertumbuhan abnormal dari lempeng pertumbahan (growth plate) yang


memungkinkan untuk kondrosit tumbuh ke arah yang salah.

Ditambah dengan adanya hasil osifikasi endokhondral dalam membentuk evaginasi


(outpouching) dari medula dan korteks tulang yang ditutupi atau dilapisi oleh cartilaginous
cap, sehingga membentuk suatu exostosis.

Osteochondroma, yang mana memiliki lempeng pertumbuhan sendiri, biasanya berhenti


tumpuh pada saat mencapai maturitas skeletal.

D. Tipe

1. Pedunculated / Lesi bertangkai


Memiliki tangkai yang ramping biasanya arahnya menjauhi sendi atau lempeng
pertumbuhan
2. Sessile

Memiliki dasar yang luas yang melekat pada korteks


Gambar 3. Osteochondroma. (A) Tipe pedunculated osteochondroma yang terlihat tumbuh
di dekat proximal growth plate pada os. Humerus dextra pada anak laki-laki berusia 13
tahun. (B) Tipe sessile, terlihat pada gambar tumbuh dari korteks medial dari diafisis
proksimal pada os. Humerus dextra pada anak laki-laki berusia 14 tahun, tidak ada batas
antara korteks dari lesi dengan host bone (menyatu). Cartilaginous cap tidak terlihat pada
radiografi konvensional, tetapi dense calcification pada tulang dapat dilihat. (C) Pada
pasien lain, seorang pria 28 tahun, dengan sessile osteochondroma pada os. Femur distal
yang menunjukkan tidak ada kalsifikasi terlihat.

E. Klasifikasi
1. Single / Soliter

• Terdapat satu lesi dalam satu tulang, dimana lesi dapat bertangkai
(pedunculated) atau sessile. Karakteristik yang paling penting adalah adanya
penggabungan yang tidak terputus dari korteks tulang host dengan korteks
osteochondroma, selain itu bagian medular dari lesi dan rongga medula dari
host bone saling berhubungan. CT scan dapat memperjelas gambaran
kelanjutan dari korteks dan bagian dari cancellous bone pada lesi dan host
bone
Gambar 4. (A) Foto lateral dari lutut menunjukkan lesi kalsifikasi pada bagian posterior
dari os. Tibia proksimal (panah). Sifat dari lesi ini tidak dapat dipastikan. (B) CT scan
memperjelas gambaran kelanjutan dari korteks, yang meluas tanpa ada batas antara lesi
osteochondroma dengan os. Tibia perhatikan juga bagian medulla dari lesi dan os. Tibia
saling berhubungan.

• Gambaran karakteristik lain dari osteochondroma yaitu adanya kalsifikasi


pada bagian chondro-osseous pada tangkai dari lesi (Gambar 3) dan adanya
cartilaginous cap. Ketebalan dari cartilaginous cap berkisar antara 1 sampai
3 mm dan jarang melebihi 1 cm.

• Secara histologis, osteochondroma cap terdiri dari tulang rawan hialin yang
tersusun mirip dengan yang ada pada growth plate. Zona kalsifikasi di
bagian chondro-osseous pada tangkai sesuai dengan zona provisional
calcification pada physis. Di bawah zona ini, terdapat vascular invasi dan
penggantian kartilago yang terkalsifikasi dengan pembentukan tulang baru,
yang mengalami pematangan dan menyatu dengan cancellous bone pada
rongga medulla dari host bone.

2. Multiple

• Multiple Osteocartilaginous Exostoses, juga dikenal sebagai multiple


hereditary osteochondromata, familial osteochondromatosis, atau diaphyseal
aclasis, yang diklasifikasikan oleh beberapa ahli dalam kategori displasia
tulang.
• Hal ini merupakan kelainan yang bersifat herediter, gangguan autosomal
dominan dengan penetrasi tidak lengkap pada wanita. Sekitar dua pertiga
dari individu yang terkena memiliki riwayat keluarga yang positif.

• Diduga adanya mutasi genetic, dalam gen EXT1 yang memetakan ke


kromosom 8q24.1, EXT2 yang memetakan ke kromosom 11p13, dan EXT3
yang memetakan ke short arm dari kromosom 19.

• Gambaran radiologi sama dengan single osteochondroma (Gambar 3), tetapi


lesinya lebih sering bertipe sessile (Gambar 5, 6). Gambaran histopatologi
dari multiple osteochondroma sama dengan lesi yang soliter.

Dua sindrom yang dikaitkan dengan multiple osteochondroma yaitu Langer-Giedion


syndrome dan Pottocki-Shaffer syndrome. Yang pertama, juga dikenal sebagai
Trichorhinophalangeal syndrome tipe II (TRPS2) atau Langer-Giedion chromosome region
(LGCR) adalah kelainan gnetik pada autosomal dominan yang disebabkan oleh karena
delesi den EXT2 dan mungkin ALX 4.Pada penelitian terbaru, hillangnya salinan
fungsional dari Trichorhinophalangeal syndrome tipe I (TRPS1) gen yang mengkode zinc-
finger protein, dan gen EXT1 pada kromosom 8q23.2q24.1. Secara klinis, itu
dikarakteristikan oleh perawakan yang pendek (short stature), kelemahan sendi, jari
pendek, mikrosefali, craniofacial dysmorphism, retardasi mental, and multiple
osteochondroma. Potocki-Shaffer syndrome disebabkan oleh delesi dari kromosom
11p11.2-p12, dan secara klinis dimmanifestasikan oleh peluasan dari foramen parietal
(enlarged parietal foramina), multiple osteochondroma, dan kadang ada craniofacial
dysostosis dan retardasi mental.
Gambar 5. Hereditary multiple exostoses. (A) foto posisi anteroposterior pada bahu seorang
laki-laki berusia 22 tahun menunjukkan lesi multiple tipe sessile pada os. Humerus
proksimal, scapula dan costae. (B) Keterlibatan os. Femur distal dan os. Tibia proksimal
merupakan karakteristik dari kelainan ini.
Gambar 6. Hereditary multiple exostoses. Pada foto posisi anteroposterior pada kedua lutut
dari seorang anak laki-laki berusia 17 tahun menunjukkan beberapa lesi osteochondroma
tipe sessile dan pedunculated.

F. Cara Baca Radiologi (Identitas sudah diinformasikan sebelumnya)


1. Lokasi
a. Pada tulang (predileksi tersering)

b. Pada bagian khusus tulang: bagian metafisis proksimal atau distal, eksentrik
2. Morfologi

a. Lesi single / multiple


b. Bentuk lesi: eksostosis

c. Tipe lesi : bisa pedunculated (arah menjauhi growth plate), bisa sessile
d. Border : tidak ada batas antara lesi dengan host

3. a. Tidak ada reaksi periosteal


b. Ada tidaknya penekanan pada jaringan sekitar
G. Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari osteochondroma, dimana gambaran radiologisnya hampir sama
dengan osteochondroma yaitu osteoma, periosteal chondroma, BPOP, juxtacortical
osteosarcoma, soft-tissue osteosarcoma, dan juxtacortical myositis ossificans (Gambar 7).

PERBEDAAN

• Osteochondroma: tidak ada batas antara korteks pada host bone dengan korteks
pada lesi.

• Myositis Ossificans: lesi dengan gambaran dense pada perifer, lucent pada center,
ada celah yang memisahkan lesi dari korteks.

• Juxtacortical Osteosarcoma: lesi dengan gambaran lucent pada perifer dan lucent
pada center, tidak ada celah.

• Soft Tissue Osteosarcoma: lesi dengan gambaran smudgy densities pada center,
lebih lucent pada perifer.

• Juxtacortical Osteoma: lesi dengan gambaran dense yang homogeny (ivory lesion),
tidak ada celah.

• Periosteal Chondroma: ada reaksi periosteal, kalsifikasi pada bagian tengah lesi.
Gambar 7. Differential diagnosis dari osteochondroma. Gambaran radiologi karakteristik
lesi hampir sama dengan gambaran osteochondroma.

H. Komplikasi
Komplikasi dari osteochondroma yaitu: penekanan pada saraf dan pembuluh darah
(Gambar 8), penekan tulang sekitar (gambar 9), fraktur patologis (gambar 10), fraktur
melalui lesi itu sendiri, dan inflamasi pada exostosis bursata yang melapisi cartilaginous
cap.
Komplikasi yang jarang pada osteochondroma, pada lesi soliter/single kurang dari 1%
kasus, mengalami transformasi maligna menjadi kondrosarkoma.

Namun demikian, penting untuk mengenali komplikasi ini pada stadium awal. Gambaran
klinis utama yang menunjukkan adanya transformasi maligna adalah nyeri (pada kondisi
tidak ada fraktur, bursitis, atau penekanan saraf terdekat) dan percepatan pertumbuhan
(growth spurt) atau kelanjutan pertumbuhan dari lesi setelah tulang mencapai skeletal
maturity. Gambaran tertentu juga mengidentifikasikan kemungkinan menunjukkan
malignancy (Tabel 1).

Multiple Osteochondroma

Insiden terjadinya gangguan pertumbuhan pada multiple osteocartilaginous exostoses lebih


tinggi dari pada pada solitary osteochondroma. Kelainan pertumbuhan terutama terlihat
pada lengan bawah (Gambar 11) dan kaki. Transformasi menjadi maligna ke
kondrosarkoma juga umum terjadi, terlihat pada 5-15% kasus, dengan lesi pada shoulder
girdle dan disekitar pelvis berisiko lebih besar terjadi transformasi. Klinis dan gambaran
radiologisnya dari komplikasi ini identik atau sama dengan transformasi menjadi maligna
pada solitary osteochondroma (Gambar 12, Tabel 1).

Gambar 8. Komplikasi dari osteochondroma. Pada anak laki—laki usia 14 tahun dengan
osteochondroma pada os. Humerus dextra dengan keluhan nyeri dan mati rasa pada tangan
dan jari tangannya. (A) Foto X-ray bahu kanan menunjukkan osteochondroma tipe sessile
yang muncul pada bagian medial dari os. Humerus diafisis proksimal. (B) Arteriografi
menunjukkan adanya penekanan dan displacement dari arteri brachialis.

Gambar 9. Komplikasi dari osteochondroma. (A) lesi tipe sessile pada os. Tibia distal
menyebabkan erosi pada bagian medial dari os. Fibula. (B) Kelanjutan pertumbuhan dari
osteochondroma tipe sessile pada os. Ulna proksimal menyebabkan penekanan pada caput
dan columna dari os. Radius. (C) Osteochondroma tipe pedunculated pada os. Ulna distal
menyebabkan erosi pada bagian medial dari os. Radius.

Gambar 10. Komplikasi dari osteochondroma. Pada anak laki-laki usia 9 tahun dengan
osteochondroma tipe sessile pada os. Tibia distal. Lesinya menyebabkan penekanan dan
kemudian menyebabkan os. Fibula bowing dan lebih tipis, dengan fraktur pada tulang.
Tabel 1. Klinis dan Gambaran Radiologi yang Menunjukkan Transformasi Maligna pada
Osteochondroma.
Gambar 11. Hereditary multiple exostoses: gangguan pertumbuhan. Foto posteroanterior
dari lengan bawah pada anak berusia 8 tahun dengan multiple osteochondroma
menunjukkan gangguan pertumbuhan pada os. Radius distal dan ulna, yang sering terlihat
sebagai komplikasi dari HME.
Gambar 12. transformasi dari osteochondroma menjadi kondrosarcoma. Seorang pria
berusia 28 tahun nyeri di daerah poplitealdan juga terlihat peningkatan massa yang ia telah
sadari selama 15 tahun – informasi klinis penting yang diperlukan pada penyelidikan lebih
lanjut untuk menyingkirkan transformasi maligna dari osteochondroma. (A) Foto lateral
dari lutut menunjukkan osteochondroma tipe sessile yang muncul dari korteks posterior
dari os. Femur distal. Perlu diperhatikan bahwa kalsifikasi tampak tidak hanya pada tangkai
dari lesi tetapi juga tersebar pada cartilaginous cap (panah). (B) Pada arteriogram
menunjukkan adanya displacement dari pembuluh darah kecil, yang tertutup oleh
cartilaginous cap yang tidak terlihat (invisible). (C) CT-scan memastikan peningkatan
ketebalan dari cartilaginous cap (2.5 cm) dan adanya kalsifikasi yang tersebar dalam cap
(panah). Ciri dari gambaran ini konsisten dengan diagnosis transformasi maligna ke
chondrosarcoma, yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.

I. Terapi

• Lesi soliter/single osteochondroma biasanya hanya di monitoring saja jika lesi tidak
menyebabkan masalah klinis. Surgical resection diindikasikan jika lesi menjadi
nyeri, jika dicurigai adanya penekanan pada saraf atau pembuluh darah disekitarnya,
jika terjadi fraktur patologis atau jika adanya kekhawatiran dalam diagnosis.

• Multiple
Multiple osteochondroma diobati secara terpisah (individually). Seperti lesi soliter, lesinya
lebih sering terjadi pada anak-anak, dan operasi dapat ditunda di kemudian hari.
Osteomyelitis

1. Definísi
Osteomyelitis merupakan suatu proses inflamasi akut maupun kronis pada tulang dan struktur
disekitarya yang disebabkan oleh organisme pyogenik atau non pyogenik (tuberculosis, syphilis)
2. Etiologi

a. Neonatus: Staphylococcus aureus, Enterobacter, Streptococcus A dan B. Anak-


anak (4 bulan—4 tahun) dan remaja: Staphylococcus aureus, Streptococcus Group
A, Hemophylus influenza, E nt ro b acter.
b. Dewasa: Staphylococcus aureus, Enterobacter, dan Streptococcus.

3. Epidemiologi
Bisa mengenal semua umur, resiko tertinggi umur 2 - 12 tahun. Insiden pada Laki-laki
dibanding wanita 3 : 1. Predileksi pada tulang panjang; paling sering pada femur, namun
bisa juga mengenai tibia dan fibula.

4. Patofisiologis
Ada 3 jalur penyebaran osteomyelitis yaitu kontak langsung, hematogen dan implant.

lnfeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung
dan jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh
karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasasi dan
jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalul penyebaran darah terjadi disebabkan adanya
bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ¡ni ditandai dngan infeksi primer yang letaknya jauh dan
tulang yang mengalami peradangan. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphye yang
bervaskularisasi tinggi.
Infeksi bakteri secara inplant terjadi pada saat setelah hndakan operasi. Contoh pada pemasangan
ORIF. Infeksi teradi karena adanya reaksi hipersensitivitas dan menyebabkan inflamasi lokal.

5. Radiologic Finding
24 hingga 48 jam dan awal infeksi → Tanda awal radiologi pada infeksi tulang adalah edema
jaringan ikat dan hilangnya fascial planes.
7 hingga 10 hari → lesi Litik destruktif dan disertai dengan hasil positif pada radionuclide bone
scan.
2 hingga 6 minggu → terdapat destruksi progresif pada korteks dan medulla, peningkatan
sklerosis endosteal yang mengindikasikan penibentukan tulang baru dan reaksi periosteal.

6 hingga 8 minggu → terbentuk sequestra yang menupakan area tulang nekrotik yang dikelilingi
involukrum. Hal ini menggambarkan lapisan periosteal pada tulang yang baru. Sequestra dan
involukra berkembang sebagai hasil dan akumulasi eksudat inflamasi yang masuk ke dalam
korteks dan merusak peniosteum. hal ini menstimulasi terbentuknya lapisan dalam untuk
membentuk tulang yang baru. Selanjutnya tulang yang baru tersebut kembali terinfeksi, dan
resultant barier menyebabkan korteks dan spongiosa kekurangan pasokan darah dan menjadi
nekrotik, Pada stadium ini osteomyelitis knonis merupakan stadium terbentuknya aliran sinus
tract.
6. Interpretasi
Terdapat kloaka pada korteks os (nama tulang) D/S sisi (anterior/posterior).

Trabekulasi baik.
Terdapat sequestra pada os (nama tulang) D/S di (metafisis/diafisis).

Terdapat involucrum pada os (nama tulang) D/S di (metafisis/diafisis).


Terdapat periosteal reaction berupa codman triangle.

Terdapat soft tissue swelling.


Kesimpulan : osteomyelitis (akut/kronis)

7. Diagnosa banding
Gambaran osteomyelitìs dapat menyerupai dapat menyerupai penyakit tulang lain yang utama
tumor ganas primer. Destruksi tulang, reaksi periosteal, pembentukan tulang baru dan
pembengkakan jaringan lunak terjadi juga pada osteosarcoma dan ewing sarcoma.
8. Terapi
a. Pemberian antibiotik: osteomyelitis kronis tidak dapat diobati dengan antibiotik.
Tujuan pemberian adalah mencegah terjadi penyebaran infeksi tulang sehat
lainnya serta mengontrol eksaserbasi
b. Tindakan operasi dilakukan jika fase eksaserbasi akut telah reda setelah
pemberian antibiotik adekuat.
9. Gambaran
1. Anatomi Dasar Sendi
2. Rheumatoid Arthritis
a. Definisi :
Suatu tipe penyakit autoimun di artritis yang disebabkan dari kegagalan rangsangan
sistem imun yang menganggu synovial joint.

b. Epidemiologi :
Wanita : Pria = 3 : 1, usia dekade ke 4 atau 5

c. Gejala Klinis :
▪ Mudah lelah, malaise, nyeri seluruh tubuh.

▪ Biasanya gejala bermula dari hands and wrists dengan ciri simetris,
dan distribusi proksimal.

▪ Morning stifness
d. Tempat Predileksi:

▪ Hands and wrists (Metacarpophalangeal joints, Proximal


interphalangeal joints) → deformitas: swan-neck, boutonniere, main
enlorgnette, hitchiker’s thumb
▪ Hip

▪ Knee
▪ Ankle and foot (calcaneus)
e. Patofisiologi :
Aktifasi dan akumulasi dari CD4 sel dalam synovium dimulai pada respon inflamasi :
▪ aktivasi makrofag dan sel sinovial dan produksi sitokin seperti IL-4 dan TNF
terjadi proliferasi sel sinovial dan peningkatan produksi destruksi enzim
elatase dan kolagen oleh makrofag

▪ aktifasi b cell limfosit untuk memproduksi ab yang bervariasi termasuk RA


factor, CRF-IgM ab yang menyebabkan imun kompleks terdapat pada jaringan

▪ aktifasi endotelial sel lewat peningkatkan produksi VCAM 1 sehingga


meningkatkan adesi dan akumulasi pada sel inflamasi

▪ produksi RANKL (receptor for activation of nuclear factor kappa-B ligand).


Mengaktivasi osteoklas sehingga mengakibatkan destruksi tulang subkondral.

Respon inflamasi membentuk panus (penebalan edematous dari hyperplasia


sinovial).
f. Kriteria Diagnosa (4 dari 7):
▪ Morning stiffness lasting at least 1 hour bfr maximal improvement

▪ Soft tissue swelling of 3 or more joints


▪ Swelling of the proximal interphalangeal, metacarpophalangeal, or
wrist joints
▪ Symmetric swelling

▪ Rheumatoid nodules
▪ The presence of rheumatoid factor

▪ Radiographic erosions and/or periarticular osteopenia in hand and/or


wrist joints

g. Gambaran radiologi
▪ Difus, multikompartmental, penyempitan simetris joint space

▪ erosi marginal atau sentral sehingga terjadi periarticular osteoporosis


▪ fusiform soft tissue swelling

▪ sublukasi dan deformitas : swan neck / boutoniere neck







DIAGNOSIS BANDING
7. NEUROTROPIC ARTHOPATY (CHARCOT JOINTS)
1. Definisi

Charcot didefinisikan sebagai perubahan sekunder pada tulang dan sendi yang muncul akibat
gangguan sensasi yang disertai kelainan yang bervariasi.

Pada gambaran foto polos, tampak kerusakan permukaan artikuler tulang subcondral buram,
joint debris, deformitas, dan dislokasi. Dapat juga tampak infeksi jaringan lunak disekitar.

2. Epidemiologi
Pada pasien yang mengalami DM, kejadian charcot di kaki dan ankles berkisar antara 0,15% -
2,5%. Pada laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi yang sama, tapi beberapa penelitian
lain menunjukkan prevalensinya sebesar 3 : 1.

3. Etiologi
Dapat disebabkan oleh segala penyakit yang menyebabkan neuropati pada sensoris atau otonom
muncul sebagai komplikasi dari diabetes, syphilis, pengguanaan alkohol, leprosy, spinal cord
injury, congenital intensitivity to pain. DM penyebab utama.

4. Faktor Risiko

• DM (umumnya penderita DM > 10 tahun)

• Peripheral neuropathy

• Autonomic neuropathy

• Osteoporosis

• Komplikasi diabetes

• Amenorrhe

5. Patogenesis
Teori neurotraumatic menunjukkan bahwa charcot cedera berlebihan pada sendi yag
menyebabkan mati rasa pada sendi dikarenakan microtrauma berulang atau peristiwa traumatik
tunggal. Trauma ini merupakan trauma yang tidak dirasakan atau atau luka pada kaki yang tidak
sensitif. Neuropati sensorik menyebabkan pasien tidak menyadari adanya destruksi tulang yang
terjadi. mikrotrauma dapat menyebabkan kerusakan progresif pada tulang dan sendi.
Perkembangan tulang yang abnormal dengan ketidakmampuan untuk melindungi persendian
menyebabkan patah tulang yang terjadi secara bertahap dan subluksasi persendian.
6. Klasifikasi dan Gejala Klinis
a) Arthropati neuropati akut

Penyakit berlangsung cepat (beberapa minggu), sendi yang terkena terasa nyeri, tampak
bengkak, hangat, dan eritematous. Untuk membedakan antara charcot joint dengan infeksi
digunakan tes Brodsky. Pasien diposisikan supine, jika oedem dan kemerahan menetap maka
dicurigai sebagai infeksi dan jika berkurang maka dicurigai sebagai charcot joint.

Pada gambaran radiologi tampak udema jaringan lunak disekitar sendi, resorpsi tulang yang
berbatas tegas dengan daerah yang intak, dan debris tulang disekitar area yang diresorbsi.

b) Arthropati neuropati kroik


Didapatkan formasi massif tulang periartikuler, osteofit-osteofit besar, dislokasi dan fragmentasi
tulang, subloksasi sendi, fraktur patologis, dan kombinasi antara resorpsi.

7. Diagnose
a) Pemeriksaan laboratorium

• Sel darah putih dengan differential count sering diperiksakan untuk


membedakan charcot arthropathy dan ostemyelitis.

• Pemeriksaan laju endap darah digunakan untuk membedakan charcot


arthropathy dan osteomyelitis.

• Profil metabolic dasar unutk mengidentifikasi penyebab dasar. Kenaikan


kadar glukosa dapat menyimpulkan DM, kenaikan kadar kreatinin darah,
urea, dan BUN dapat menyimpulkan penyakit ginjal.
b) Pemeriksaan radiologi

• Foto polos
Perubahan yang terjadi pada kondisi pemeriksaan radiologi yaitu kerusakan permukaan articular,
tulang subcondral opaq, debris sendi, deformitas, dan dislokasi.neuropathic arthropy berkaitan
dengan infeksi soft tissue.

• MRI
Membantu membedakan osteomyelitis dan charcot arthropathy.

8. Penatalaksanaan
a) Regulasi gula darah, untuk mencegah progresifitas pada pasien DM.
b) Imobilisasi. Untuk mengontrol dan mengurangi oedema, menjaga stabilitas sendi,
dan melindungi jaringan lunak.

c) Orthosis, untuk mengurangi beban pada kaki dan mengurangi tekanan pada
plantar kaki. Ortosis yang sering digunakan adalah Patellar Tendon Brace.

d) Tindakan bedah. Dilakukan apabila ada ulkus kronik berulang yang disebabkan
oleh penonjolan tulang, sendi yang tidak stabil dengan pemakaian brace, fraktur
akut dengan segmen displaced pada pasien dengan sirkulasi yang adekuat dan
nyeri yang menetap.

e) Edukasi. Menjelaskan pentingnya joint off loading, mengurangi berat badan pada
pasien over weight, dan mengatur kadar gula darah.

9. Komplikasi

a) Fraktur
b) Deformitas

c) Soft tissue infection

8. DIFFUSE IDIOPHATIC SKELETAL HYPEROSTOSIS (DISH)


1. Definisi

DISH adalah pengapuran atau pengerasan ligamen tulang yang menempel pada daerah sekitar
tulang belakang. Hal ini dapat menyebabkan kekakuan punggung bagian atas, leher, dan
pinggang.

2. Faktor Risiko

• Seks : laki-laki lebih sering menderita DISH

• Usia yang lebih tua : sering diatas 50 tahun

• Diabetes dan kondisi lain : DM tipe 2 lebih sering mengalami DISH daripada
yang tidak memiliki DM

• Obat-obat tertentu : penggunaan jangka panjang Retinoid, seperti


Isotretinoin, yang mirip dengan vitamin A, dapat meningkatkan risiko DISH
menyebar
3. Epidemiologi

• 50 tahun ( 25% laki-laki dan 15% perempuan )

• 80 tahun ( 28% laki-laki dan 26% perempuan )

• Jarang terjadi pada kulit hitam, terbanyak pada Amerika dan populasi Asia

4. Patofisiologi
Adanya osifikasi dan kalsifikasi pada ligamen, tendon, tulang (enthese), dan pengembangan
osteofit. Sebagai hasil dari perubahan ini, banyak pembentukan patologis, pada tulang periosteal
pada permukaan corpus vertebra, paraspinal fibrosis dan jaringan ikat. Ketika perubahan terjadi
pada cervikal, dimana terdapat osteofit dapat menyebabkan kompresi langsung, sehingga dapat
disfagia. Sedangkan apabila terjadi pada trakea dapat mengalami kompresi pernapasan.

5. Gejala Klinis
a) Asimptomatis

b) Thoraks dan lumbar :

• Nyeri punggung yang ringan hingga berat

• Kekakuan

• Lebih buruk d malam hari

• Memberat ketika cuaca dingin


c) Servikal

• Nyeri

• Kekakuan

• Disfagia

• Stridor

• Suara serak

• Sleep apnea

6. Diagnosa Banding

a) Ankylosing spondylitis
• Adanya kelainan pada sendi S1

• Syndesmophytes lebih tipis


b) Degeneratif disc disease

• Osteofit hanya pada sudut-sudut badan vertebra

• Penyempitan dan pengeringan dari disc


c) Akromegali

• Dapat menyebabkan osteofit


d) Fluorosis

• Dapat menghasilkan osteofit, whiskering, dan osifikasi ligamen

• Terjadinya peningkatan densitas pada sseluruh tulang

7. Diagnosis

a) menurut Resnick dan Niwayama :

• Kalsifikasi dan osifikasi dari ventrolateral, terdapat minilmal empt


vertebra yang berdekatan, pada discus vertebra- body junction

• Tidak adanya sendi apophyseal, ankilosis tulang, dan tidak adanya erosi
dan sclerosis dari sendi sacroiliaca.

• Tidak adanya temuan radiologis yang mungkin mengindikasikan penyakit


degeneratif.
b) Radiologi
Pasien DISH biasanya menunjukkan adanya kelainan tulang pada thoraks. Namun DISH juga
dapat mempengaruhi lumbar dan servikal. DISH dibedakan karena adanya syndesmophytes.
Mengenai minimal 4 corpus vertebra. Penyakit ini dimulai karena adanya perkembangan dari
osifikasi.

c) CT-scan
Biasanya tidak ditunjukan dalam DISH, kecuali apabila ada dicurigai adanya komplikasi. CT-
scan dapat menunjukkan adanya syndesmophytes.
8. Penatalaksanaan
Pengobatan hanya untuk mengurangi rasa sakit, kekakuan, dan mencegah adanya komplikasi.

a) Pengobatan untuk nyeri


Penggunaan NSAID seperti ibuprofen. Apabila sakit timbul sangat parah dapat diberikan
kortikosteroid.
b) Terapi fisik untuk mengurangi kekakuan

• Olahraga ringan dan modifikasi aktivitas sehari-hari

• Latihan rentang gerak dan peregangan membantu untuk mengurangi


kekakuan.

• Dapat melakukan latihan aerobik untuk meningkatkan daya tahan

• Berenang tiap hari untuk membantu penurunan berat bada pada pasien
obesitas.
c) Pembedahan

Diperlukan pada kasus-kasus yang jarang terjadi ketika DISH mengalami komplikasi parah,
seperti orang-orang yang mengalami kesulitan menelan karena osifikasi yang besar pada
cervikal. Oprasi juga dapat mengurangi tekanan pada sumsum tulang belakang yang disebabkan
oleh DISH.

9. Komplikasi

• Hilangnya berbagai gerakan disendi yang terkena dapat membuat penderita sulit
untuk menggerakan sendi.

• Kesulitan menelan. Osifikasi pada tulang di leher dapat memberikan tekanan


sehingga dapar menyebabkan disfagia.

• Fraktur tulang belakang. DISH dapat meningkatkan risiko patah tulang pada
tulang belakang. Bahkan luka ringan dapat meningkatkan patah tulang.

10. Preventif

DISH berhubungan dengan obesitas, hipertensi, dan penyakit metabolik seperti DM. Tindakan
pencegahan dapat mencakup tepat kebiasaan makan dan latihan fisik secara teratur.
9. GOUT ARTHRITIS

1. Definisi
Gout arthritis adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan episode berulang dari arthritis
yang berhubungan dengan adanya kristal monosodium urat monohidrat di dalam di dalam
leukosit cairan sinovial.deposit MSU pada jaringan periatikular akan membentuk tofus yang
berupa benjolan disekitar sendi yang dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang
disekitarnya. Gout merupakan salah satu jenis serangan arthritis yang memnyebabkan serangan
nyeri mendadak, rasa terbakar, kaku, dan bengkak pada sendi. Biasanya jempol kaki merupakan
yang palig umum terlibat dalam gout arthritis yang ditandai dengan podagra, yaitu nyeri pirai
pada ibu jari kaki.
2. Etiologi

Gout disebabkan oleh hiperurisemi yaitu peningkatan asam urat dalam darah. Asam urat adalah
hasil metabolisme yang dihasilkan dari metabolisme purin. Kadar normal pada laki-laki 3,4-7,0
mg/dl dan pada wanita 2,4-6,0 mg/dl.
Hiperurisemia dapat terjadi dalam 2 cara, yaitu :

• Produksi asam urat yang berlebihan. Walaupun ekskresinya normal, namun akibat
produksi yang berlebihan yang sulit untuk diatasi, sehingga menyebabkan beban
yang berlebihan.

• Kapasitas untuk eksresi asam urat yang menurun, sehingga kadar normal dalam
darah tidak dapat dipertahankan.

Gangguan utama gout arthritis juga terjadi pada sintesis purin yang menyebabkan pembentukan
asam urat yang berlebihan. Pada peningkatan kerusakan sel juga dapat menyebabkan
peningkatan pemecahan asam nukleat sehingga produksi asam urat meningkat seperti pada
kondisi kanker (leukemia, limfoma, dan multiple myeloma) atau pengobatan kanker dan anemia
hemolitik.
Gangguan lain seperti penggunaan alkohol, obesitas, sirosis hepatis, hipotiroidism, penggunaan
obat-obat diuretic, vitamin c, warfarin, siklosporin, levodopa, dan tacrolimus.
Penyebab lain adalah makanan tinggi purin seperti jeroan, daging (sapi&domba), sarden, kerang,
dan beer.
Penurunann ekskresi juga dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi kapasitas tubulus renal
untuk mengekskresikan asam urat dan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
3. Faktor Risiko

• Riwayat keluarga atau genetik

• Asupan senyawa purin berlebihan dalam makanan

• Konsumsi alkohol yang berlebihan

• Obesitas

• Obat-obatan tertentu (terutama diuretika)

• Gangguan fungsi ginjal

4. Prevelensi
Sebagian besar terjadi pada laki-laki setelah pubertas dan pada wanita menopause. Hal ini
disebabkan oleh hormon estrogen pada perempuan yang berperan membantu pembuangan asam
urat melalui urin.

5. Patofisiologi
Adanya kristas mononatrium urat akan menyebabkan inflamasi melalui beberapa

cara :

• Kristal bersifat mengaktifkan komponen yang bersifat kemotaktik dan akan


mengaktifkan neutrofil ke jaringan ( sendi dan membrane sinovium). Fagositosis
terhadap kristal ini memicu pengeluaran radikal bebas toksik dan leukotrien.
Kematian neutrofil ini akhirnya menyebabkan keluarnya enzim lisosom yang
destruktif.

• Pengendapan kristal urat dalam sendi akan mengaktifkan makrofag yang akan
melakukan fagositosis dan akan mengeluarkan berbagai mediator proinflamasi.
Mediator proinflamasi ini akan mengaktifkan sel sinovium dan sel tulang rawan
untuk menghasilkan protease yang akan menyebabkan cedera jaringan.

6. Stadium Gout Arthritis


a) Asymptomatik

Walaupun pasien tidak memiliki gejala, pasien tetap memiliki hiperurisemia dan deposisi
asimptomatik kristal urat dalam jaringan.
b) Stadium akut
Terjadi ketika kristal urat dalam sendi menyebabkan peradangan akut yang menimbulkan nyeri
ringan atau berat yang awalnya biasanya terjadi pada ekstremitas bawah yaitu khas pada
metatarsophalangeal pertama (podagra).

c) Stadium interkritikal
Tanda mulai masuk ke dalam stadium inaktif sebelum serangan berikutnya. Pada aspirasi cairan
sendi akan ditemukan kristal urat yang menyebabkan peradangan lebih lanjut.
d) Stadium kronis

Ditandai dengan arthritis kronis yang biasanya disertai tofus (benjolan kristal urat yang disimpan
dijaringan lunak) yang biasanya terdapat pada siku, telinga, dan sendi jari bagian distal.

7. Diagnosis

Pasien biasanya menunjukkan adanya tofus pada aspek dorsal tangan atau kaki dan data
laboratorium yang menunjukkan peningkatan serum konsentrasi asam urat dan pada pemeriksaan
cairan sinovial yang menggunakan cairan sinovial yang masih fresh dan membedakannya antara
kristal urat dan pirofosfat dan akan menunjukkan kristal MSU di leukosit dalam cairan sinovial
yang terlihat sebagai gambaran jarum..
Gold standar untuk mendiagnosa adalah microscopic analisis dari kristal urat pada leukosit
cairan sinovial atau tofus.

8. Gambaran Radiologis

• Aligment : terdapat erosi yang sharp, marginated, overhanging edge of erosion


pada sendi (75%) metatarsophalangeal I.

• Bone : trabekulasi bisa baik atau tidak baik

• Cartilage : penyempitan cela sendi dan bisa subluksasi

• Soft tissue : penebalan soft tissue atau tofu lesion

9. Terapi

• Untuk gout akut dapat diberikan Colchicine serta NSAID seperti Ibuprofen,
Naproxen atau Indomethacin.
• Untuk tahap kronis dapat diberikan kortikosteroid untuk respon nyeri dan
peradangan dan inhibitor xantin oksidase seperti Allopurinol atau Febuxostat
untuk mencegah produksi asam urat. Dapat diberikan juga obat yang dapat
membantu meningkatkan pembuangan asam urat dari dalam tubuh seperti
Probenesid.

• Untuk pengurangan ukuran tofu di subkutan ataupun dalam sendi, dapat diberikan
terapi menggunakan Pegloticase.

10. Aneurysm Bone Cyst

• Definisi: lesi osteolitik ekspansif yang terdiri dr rongga yang terisi darah Sifatnya
tumbuh cepat dan destruktif pada tulang panjang, vertebra, tulang pipih.

• Meskipun penyebab lesi ini tidak diketahui, perubahan hemodinamik lokal yang
berhubungan dengan obstruksi vena atau fistula arteriovenosa diyakini memainkan peran
penting. Beberapa peneliti percaya bahwa lesi disebabkan oleh trauma. Beberapa peneliti,
bagaimanapun, menganggap ABC sebagai proses reparatif, mungkin hasil dari trauma
atau tumor yang diinduksi proses anomaly vascular.

• Radiologi: perluasan eccentric kista multipel (blow-out) dari tulang, dengan dinding tipis
sebagai respons periosteal

• Temuan MRI biasanya memungkinkan diagnosis spesifik ABC. Ini termasuk lesi yang
jelas, sering dengan lobulated contour, rongga kistik dengan fluid-fluid levels, beberapa
septasi internal dan tepi intact sekitar lesi.

• Komplikasi yang paling umum dari ABC adalah fraktur patologis.

• DD: simple bone cyst (SBC), chondromyxoid fibroma, and giant cell tumor.

Poin paling penting dalam diferensiasi ABC dari SBC adalah bahwa ABC eksentrik, lesi
ekspansif, selalu dikaitkan dengan beberapa derajat reaksi periosteal (biasanya lapisan padat atau
dinding penopang padat). Lesi di sentral, menunjukkan sedikit jika ada ekspansi dan
menunjukkan reaksi periosteal hanya ketika fraktur patologis telah terjadi. Dalam tulang tipis,
seperti ulna, fibula, metakarpal, atau metatarsal, karakteristik eksenteritas ABC bisa hilang dan,
sebaliknya, SBC dapat menunjukkan gambaran ekspansif. Karena former mengandung jaringan
yang solid sedangkan SBC adalah struktur berongga berisi cairan, tanda fallen fragment (jika
ada) adalah gambaran diferensial yang baik, menunjuk ke diagnosis yang terakhir.

Fibroma Chondromyxoid tidak dapat dibedakan dari ABC karena kedua lesi yang eksentrik, luas,
dan biasanya mempengaruhi metafisis, menunjukkan tepi sklerotik reaktif dan reaksi solid
periosteal (biasanya dalam bentuk buttress). CT dan MRI kadang-kadang efektif dalam membuat
perbedaan ini jika mengidentifikasi fluid-fluid levels, sebuah fenomena yang menunjuk ke
diagnosis ABC karena fibroma chondromyxoid adalah lesi padat.
Pada mature skeleton, giant cell tumor mungkin sangat menyerupai ABC, meskipun biasanya
tidak terkait dengan reaksi periosteal dan jarang menunjukkan zona reaktif sclerosis. Giant cell
reparative granuloma (disebut juga solid aneurisma bone cyst) dapat dibedakan dari ABC
konvensional. Lesi ini biasanya melibatkan tulang tubular pendek dari tangan dan kaki. Korteks
tipis tapi bersifat intact. Ekstensi ke dalam jaringan lunak sekitarnya jelas jarang, dan reaksi
periosteal biasanya tidak ada. Dalam tulang tipis, seperti fibula, metakarpal, atau metatarsal,
ABC disebabkan oleh pertumbuhan ekspansif yang dapat merusak korteks, menyerupai tumor
agresif seperti osteosarkoma telangiectatic.

• Treatment:
Operasi pengangkatan seluruh lesi. Kadang, bone grafting bisa memperbaiki kerusakan. Baru-
baru ini, injeksi percutaneous Ethiblocks, suatu cairan corn protein yang memiliki bahan
trombogenic dan fibrogenic, sudah dianjurkan.

Aneurysmal bone cyst. Anteroposterior (A) and lateral (B) radiographs of the lower leg in an 8-
year-old girl with a history of lower leg pain demonstrate an expansive radiolucent lesion in the
metaphysis of the distal tibia, extending into the diaphysis. Note its eccentric location in the bone
and the buttress of periosteal response at the proximal aspect of the lesion. Biopsy revealed an
aneurysmal bone cyst.
11. Giant Cell Tumor

• Definisi : adalah lesi agresif yang dikarakteristikkan dengan banyaknya


jaringan bervaskularisasi berisi proliferasi sel stroma mononuklear dan banyak
giant cells tipe osteoclast.

• Neoplasma tulang ke 6 terbesar

• Predileksi : 60% di tulang panjang hampir semua di epifisis, paling


banyak di proksimal tibia, distal femur, distal radius, proksimal humerus.

• Terjadi setelah maturitas skeletal, ketika growth end plate sudah tidak ada

• Multifocal giant cell sangat jarang (1%) biasanya pada penderita paget
disease

• Gejala klinis lesi soliter tidak spesifik


- Nyeri (biasanya hilang dengan istirahat)
- Pembengkakakn lokal

- Pembatasan gerak pada area yang terkena

• Gambaran radiologi
- lesi single

- eccentric
- Purely osteolytic

- Lesi radioluscent dengan zona transisi sempit dengan sedikit tepi yang
sklerotik

- Bulging soft tissue mass


- Destruksi tulang tipe geografik

• Histologi
- Mononuclear stromal cells dan multibucleat giant cells

• ± 5% giant cell adalah malignant de novo tidak bisa dilihat dg


radiologi

• Kesan : aggresive growing tumor


Frontal oblique

lateral

Anda mungkin juga menyukai