1 PDF
1 PDF
I. Pendahuluan
Sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, peran pemerintah dalam mendorong kemajuan sektor
industri ke depan dilakukan secara terencana serta disusun secara sistematis dalam suatu dokumen perencanaan. Dokumen perencanaan
tersebut harus menjadi pedoman dalam menentukan arah kebijakan pemerintah dalam mendorong pembangunan sektor industri dan
menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan industri nasional.
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) disusun sebagai pelaksanaan amanat pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No. 3 tahun
2014, dan menjadi pedoman bagi pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan Industri sehingga tercapai
tujuan penyelenggaraan Perindustrian. RIPIN memiliki masa berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dan bila diperlukan dapat ditinjau
kembali setiap 5 (lima) tahun.
Di dalam RIPIN telah ditentukan ditentukan 10 industri prioritas yang dikelompokkan kedalam industri andalan, industri pendukung dan
industri hulu sebagai berikut :
Gambar 1
Bangun Industri Nasional
Gambar 2
Produk Akhir Industri Petrokimia Hulu dan Hilir
Industri petrokimia di Indonesia sangat diuntungkan oleh kondisi potensi sumber bahan baku (minyak bumi, gas alam, batubara dan
biomassa) dan potensi pasar di dalam negeri yang cukup besar. Adapun Industri Petrokimia Hulu yang dikembangkan di Indonesia sesuai
RIPIN (Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional) 2015-2035 adalah: Etilena; Propilena; Butadiene; Benzena; Toluena; p-Xylena; o-
Xylena; Metanol; Ammonia; dan Asam Formiat.
Industri petrokimia hulu dapat dikategorikan sebagai jenis industri yang padat modal (capital intensive), padat teknologi (technology
intensive) dan lahap energi (energy intensive). Industri petrokimia hulu merupakan industri strategis yang mempunyai keterkaitan luas dengan
industri petrokimia antara dan petrokimia hilir, sehingga untuk peningkatan efisiensi dan daya saing pembangunannya dapat dilakukan
secara terintegrasi.
Ketersediaan bahan baku dan utilitas merupakan pendukung penting bagi keberlangsungan industri petrokimia hulu di Indonesia. Keduanya
merupakan dua pertiga komponen biaya produksi dalam industri ini. Suplai bahan baku yang berkesinambungan serta harga yang
kompetitif adalah faktor penting. Feedstock tersebut disamping untuk bahan baku industri petrokimia dasar juga digunakan sebagai bahan
energi.
Meskipun jumlahnya tidak besar namun Indonesia memiliki potensi cadangan minyak bumi terbukti sebesar 4 miliar barrel dengan tingkat
produksi sekitar 950 ribu barel per hari. Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral (ESDM), potensi sumber daya
berbasis minyak bumi terbesar terdapat pada wilayah pulau Sumatera bagian tengah, Kalimantan Timur, dan pulau Jawa bagian barat -
timur.
Gambar 4.
Cadangan Minyak Bumi Indonesia
(Sumber: Kementerian ESDM)
Dibandingkan tahun 2010, ketersediaan cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2011 mengalami penurunan hingga 0,03 miliar barel
menjadi 7,73 miliar barel termasuk di dalamnya cadangan blok Cepu. Dengan rata-rata tingkat produksi 0,329 miliar barel, ketersediaan
cadangan minyak bumi di Indonesia saat ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minyak bumi Indonesia hingga 23 tahun ke depan.
Hingga akhir tahun 2011, produksi minyak Indonesia mencapai 902 ribu barel per hari, terdiri dari minyak 794 ribu barel per hari dan
kondensat 108 ribu barel per hari . Nilai ini lebih rendah 4,5% dibandingkan produksi minyak Indonesia tahun sebelumnya dan target
produksi/lifting minyak bumi di dalam APBN-P 2011 sebesar 945 ribu barel per hari.
Pada 2013 potensi cadangan gas Indonesia cukup besar yaitu mencapai 150,39 triliun cubic feet (TSCF) dengan cadangan terbukti 101,54
TSCF dan cadangan potensial 48,85 TSCF. Sementara tingkat produksi gas alam Indonesia mencapai 2,97 TSCF pada tahun 2013.
Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral (ESDM), cadangan gas bumi terbesar terdapat pada wilayah perairan
Natuna, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Papua.
Batubara yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri petrokimia adalah batubara biasa dan batubara yang berbentuk coal bed
methane. Kedua jenis batubara ini sangat besar jumlahnya dan belum tergarap secara optimal. Berikut adalah peta persebaran potensi
sumberdaya batubara.
55.362,73 JT
64.592,32 JT 2,13 JT
128,57 JT
233,10 JT
99,70 JT
Gambar 10.
Peta Persebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Indonesia
(Sumber: Kementerian ESDM)
Ketersediaan sumberdaya dan cadangan batubara Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan sumberdaya fosil lainnya walaupun
jumlahnya hanya sebesar 3,3% cadangan dunia. Pada tahun 2013, sumberdaya batubara Indonesia sebanyak 120.525 juta ton dengan
cadangan sebesar 31.361 juta ton. Jumlah ini tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Berdasarkan Tabel 1, sumberdaya dan cadangan
batubara terbesar berada di wilayah provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dengan total masing-masing provinsi tersebut
sebesar 62.405 juta ton dan 61.417 juta ton (Kajian Supply Demand Energi 2014, Kementerian ESDM).
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2014, Kementerian ESDM
Kapasitas kilang minyak Indonesia pada 2014 mencapai 1,1157 juta barel per hari. Sedangkan produksi minyak Indonesia yang dapat
diolah di kilang dalam negeri hanya sekitar 649.000 barel per hari. Untuk tahun 2015, kapasitas kilang Indonesia diperkirakan sebesar
1,167 juta barel per hari sedangkan produksi minyak yang bisa diolah Indonesia hanya sebesar 719.000 barel per hari. Kilang minyak
Gambar 12.
Peta Infrastruktur Minyak bumi dan gas Nasional per Januari 2011
(Sumber: Kementerian ESDM)
Industri petrokimia secara umum dapat didefinisikan sebagai ”industri yang berbahan baku utama produk minyak bumi dan gas (naphta,
kondensat, gas alam), batubara, serta biomassa; yang mengandung senyawa-senyawa olefin, aromatik, gas sintesa, dan organik lainnya
yang dapat diturunkan dari bahan-bahan tersebut, untuk menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi daripada
bahan bakunya.”
Industri petrokimia dasar termasuk dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI ) 20117: Industri Kimia Dasar Organik yang
Bersumber dari Minyak Bumi, Gas Alam, dan Batubara. Kelompok ini mencakup usaha industri kimia dasar organik yang menghasilkan
bahan kimia, yang bahan bakunya berasal dari minyak bumi dan gas bumi maupun batu bara, seperti ethylene, propilene, benzena,
toluena, caprolactam termasuk pengolahan coal tar.
Industri petrokimia pada dasarnya berbahan baku dari minyak mentah dan gas bumi. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber
daya minyak bumi dan gas alam seharusnya bisa mengembangkan industri petrokimia agar menjadi lebih maju.
Turunan industri petrokimia yang berasal dari minyak bumi saat ini yang industrinya sudah ada sebagian besar masih berada di sektor hulu
antara lain industri olefin, aromatic, ethylene, propylene, butadiene, benzene, toluene, dan xylene. Turunan dari produk ethylene dan
propylene sebagian sudah dapat diproduksi di Indonesia dan sebagian masih belum dikembangkan. Selanjutnya turunan dari produk
ethylene dan propylene ini pada sektor hilirnya digunakan untuk pembuatan plastik.
Sementara itu, untuk turunan dari produk butadiene, benzene, toluene, dan xylene sebagian masih dalam pembangunan di Indonesia.
Turunan dari produk tersebut pada sektor hilirnya dibutuhkan untuk pembuatan karet sintetis dan serat sintetis, pelarut, bahan
pelembut/plasticizer, dan bahan pembersih.
Di Indonesia, industri petrokimia turunan gas alam masih sangat terbatas. Di sektor hulu, industri yang sudah ada adalah industri ammonia
dan methanol. Turunan ammonia hanya urea beserta produksi lanjutannya, sedangkan turunan methanol adalah industri formaldehyde,
potensi produk turunan lainnya adalah acrylonitrile, caprolactam, methionine, nylon 6, methyl tertier butyl ether (MTBE), dimethyl ether (DME),
acetic acid (dry process), polyvinyl alcohol (Poval) dan sebagainya.
Namun demikian, selama penyediaan gas sering menjadi sentral penyebab terganggunya aktifitas industri petrokimia (terutama pupuk).
Karenanya dalam beberapa tahun terakhir ini muncul gagasan untuk menggunakan gas dari batu bara baik gas hasil gasifikasi batubara
maupun gas dari coal bed methane sebagai bahan baku industri kimia di masa-masa mendatang.
Industri Pupuk, Kimia dan barang dari karet 2009 2010 2011 2012 2013
Nilai PDB (Miliar Rupiah) 162.879,2 176.212,4 189.700,0 216.863,8 230.236,1
Pertumbuhan (Persen) 1,64 4,70 3,95 10,50 2,21
Kontribusi Terhadap PDB Industri Non Migas (Persen) 12,85 12,73 12,21 12,62 12,21
Sumber: Badan Pusat Statistik
Bila dilihat dari kontribusinya terhadap PDB sektor industri non migas , sub sektor industri Pupuk, Kimia dan barang dari karet ini cukup
memberikan kontribusi yang besar. Pada tahun 2009, sub sektor ini memberikan kontribusi sebesar 12,85 persen dari total PDB sektor
industri non migas , kemudian pada tahun 2010 menjadi 12,73 persen, tahun 2011 mencapai 12,21 persen, tahun 2012 menjadi 12,62
persen dan tahun 2013 menjadi 12,21 persen.
Dilihat Dari data investasi, industri petrokimia termasuk dalam sub sektor industri kimia dan farmasi, pertumbuhan Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) selama 2009 – 2013 rata-rata tahunan adalah 25,27 persen, sedangkan untuk Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar
38,56 persen. Pada tahun 2009, nilai proyek baru yang berasal dari penanaman modal dalam negeri mencapai Rp. 5,86 trilliun,
sedangkan yang berasal dari penanaman modal asing mencapai US$ 1,18 Miliar seperti telihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Investasi Sektor Industri Kimia dan Farmasi
Kapasitas Produksi
Produsen Lokasi Produk
(Ton)
PT. Chandra Asri Cilegon, Banten Ethylen 600.000
Petrochemical Propylene 320.000
C4 (Butadiene) 220.000
PT . Trans Pacific Tuban, Benzene 300.000
Petrochemical Jawa Timur Toluene 300.000
Indotama Xylene 370.000 (p-xylene)
100.000 (o-xylene)
PT Kaltim Bontang, Metanol 660.000
Methanol Industri Kalimantan Timur
PT.Kaltim Pasifik Bontang, Amoniak 692.000
Amoniak Kalimantan Timur
Untuk mencapai industri petrokimia yang kompetitif dalam persaingan internasional dengan mendapatkan pasokan yang stabil dan
kompetitif, maka diperlukan suatu kerjasama menyeluruh yang melibatkan semua pemangku kepentingan dan keterkaitan harmonis terutama
antara industri primer (refinery/minyak bumi dan gas ) dengan industri petrokimia hulu dan industri petrokimia hulu dengan industri
petrokimia antara maupun hilir.
Untuk mendukung hal tersebut, Kementerian Perindustrian telah mencanangkan pengembangan klaster industri petrokimia. Pendekatan
klaster ini digunakan mengingat industri petrokimia memiliki keterkaitan yang kuat secara horizontal dan vertikal dengan industri hilirnya
dan sub-sektor industri/sektor ekonomi lainnya.
Gambar 14
PT. CHANDRA ASRI PETROCHEMICAL, Tbk
Penawaran
Selama 2007-2012 produksi ethylene sangat ftuktuatif dengan trend cenderung menurun -1,66% rata-rata per tahun. Pada tahun 2007
produksi ethylene tercatat mencapai 574.570 ton, kemudian di tahun berikutnya menurun menjadi 551.580 ton, lalu susut lagi menjadi
512.780 ton di tahun 2009.
Pada tahun 2010, produksi ethylene melonjak menjadi 580.400 ton, lalu di tahun 2011 merosot kembali menjadi 500.325 ton dan pada
tahun 2012 meningkat menjadi 517.100 ton.
Sementara itu, dalam 2 tahun terakhir ini produksi propylene cenderung menyusut, sehingga secara keseluruhan selama 2007-2012
pertumbuhannya terkesan negatif Pada tahun 2007 produksi propylene diketahui mencapai 474.325 ton, kemudian di tahun berikutnya
turun menjadi 440.627 ton, lalu meningkat menjadi 489.925 ton di tahun 2009. Pada tahun 2010, produksi propylene naik menjadi
528.560 ton, tetapi di tahun 2011 susut menjadi 429.250 ton, tetapi pada tahun 2012 hanya 380.400 ton.
Permintaan olefin di dalam negeri cenderung terus meningkat, sementara kapasitas industrinya relatif terbatas, maka untuk memenuhi
permintaan tersebut terpaksa dilakukan impor. Selama 2007-2012 impor ethylene mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai
25,82% rata-rata per tahun, kemudian propylene mengalami pertumbuhan 13,22% rata-rata per tahun, sedangkan butadiene dalam
periode yang sama impornya cenderung menurunan dengan penyusutan -1,67% rata-rata per tahun.
Sementara itu, kegiatan ekspor olefin Indonesia baru dimulai di tahun 2009, volume ekspor propylene sebanyak 70.532 ton dengan nilai
sekitar US$ 4.923 ribu. Di tahun berikutnya, selain propylene Indonesia juga mengekspor ethylene dengan jumlah sekitar 15.856 ton senilai
US$ 20.250 ribu.
Supply olefin untuk pasar di dalam negeri ditentukan berdasarkan jumlah produksi ditambah impor kemudian dikurangi dengan volume
ekspornya. Dengan asumsi ini maka pada tahun 2007 supply ethylene di Indonesia tercatat mencapai 835.527 ton kemudian di tahun
berikutnya naik menjadi 993.349 ton lalu pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 1.176.494 ton, dan pada tahun 2012 mencapai
1.220.278 ton. Dengan demikian selama periode 2007-2012, pertumbuhan supply ethylene mencapai 8,22% rata-rata per tahun, seperti
terlihat pada Tabel 5 berikut.
Fluktuasi selama 2007-2012 menyebabkan angka pertumbuhan supply butadiene cenderung menurun (1,24%) rata-rata per tahun. Pada
tahun 2007 supply butadiene tecatat mencapai 49.802 ton, kemudian di tahun berikutnya berikutnya susut menjadi 41.799 ton, lalu turun
lagi menjadi 35.220 ton dan pada tahun 2012 mencapai 42.768 ton.
Permintaan
Di Indonesia, ethylene dikonsumsi oleh industri ethylene glycol, industri ethyl benzene, ethylene dichloride serta industri polyethylene dan
dalam jumlah relatif kecil dikonsumsi oleh sektor industri lain. Industri pengguna ethylene yang terbesar selama ini adalah industri
polyethylene, disusul oleh industri ethylene dichloride, kemudian industri ethylene glycol dan yang paling sedikit adalah industri ethyl
benzene.
Propylene di Indonesia saat ini dikonsumsi antara lain oleh industri acrylic acid, industri oxo alcohol dan industri polyproylene. Di Indonesia,
propylene sebagian besar digunakan di sektor industri polypropylene. Kemudian industri oxo alcohol (2-Ethyl Hexanol) dan paling sedikit
digunakan di sektor industri acrylic acid.
Di lndonesia butadiene dikonsumsi secara tetap oleh industri styrene butadiene rubber (SBR), industri styrene butadiene latex (SBL) dan
industri acrylonitrile butadiene styrene (ABS). Selama kurun waktu 2007 -2008. Konsumsi butadiene oleh industri ABS terus meningkat,
sedangkan konsumsi oleh industri SBR dan SBI. Sangat fluktuatif dengan trend-nya cenderung menyusut, seperti terlihat pada Tabel 6
berikut.
Industri dalam negeri diperkirakan akan mengalami kekurangan pasokan (shortage) propylene, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil.
Kekurangan pasokan propylene merupakan peluang investasi dan diperkirakan akan terjadi mulai tahun 2019, yang jumlahnya mendekati
200.000 ton.
Pembangunan pabrik butadiene yang dilakukan oleh PT Chandra Asri Petrochemical dengan kapasitas 100.000 ton per tahun dan telah
beroperasi sejak kuartal IV 2013 dengan utilisasi sebesar 75% telah membangkitkan industri antara dan hilir dari produk butadiene, yaitu
karet sintetis. Diharapkan, dengan dibangunnya pabrik ini dapat memenuhi permintaan akan produk butadiene terutama untuk industri
dalam negeri yang diperkirakan akan terus meningkat hingga 2019.
Diperkirakan hingga 2019, Indonesia akan mengalami surplus benzene. Penyediaan (supply) paraxylene oleh produsen dalam negeri saat
ini sudah tidak mencukupi, terlebih untuk tahun-tahun mendatang. Pada tahun 2019, kekurangan pasok paraxylene sudah menyamai
kapasitas industri yang ada saat ini.
Meski tidak ada penambahan kapasitas produksi ortho-xylene, namun karena industri pemakai produk petrokimia ini masih terbatas, maka
di tahun-tahun mendatang diperkirakan akan terjadi kelebihan pasok orthoxylene bilamana produsen yang ada beroperasi pada kapasitas
penuh.