Anda di halaman 1dari 5

KONSEP DASAR PERPAJAKAN INTERNASIONAL

A. Perpajakan Internasional

Istilah “perpajakan internasional” mungkin dianggap sebagai istilah yang tidak cocok menurut Arnold,
definisi perpajakan internasional mengacu kepada aspek internasional dari hukum pajak penghasilan
dari suatu negara tertentu. Secara umum, hukum pajak tidak bersifat internasional. Setiap negara
berdaulat berhak menciptakan hukum pajak di masing-masing di negaranya. Hukum perpajakan
internasional kemudian muncul dari praktek kebiasaan yang berlaku secara internasional atau
berdasarkan peran serta aktif dari organisasi internasional seperti Organization for Economic Co-
operation and Development(“OECD”) dan United Nation (“UN”).

Ketika suatu individu atau badan yang melakukan aktivitas perpajakan di lintas negara, maka mereka
biasanya akan dikenakan pajak di kedua negara dengan sistem perpajakan yang berbeda di masing-
masing negara. Oleh karena itu, maka sangat mungkin timbul masalah perpajakan berganda atas
kegiatan yang mereka lalukan tersebut. Alasannya adalah masing-masing negara mempunyai hak
memajaki atas penghasilan yang diterimanya berdasarkan faktor-faktor yang terkait (personal nexus).

Untuk menghindari dampak pengenaan perpajakan berganda yang terjadi di kedua negara, maka
diperlukan suatu perangkat perjanjian yang bertujuan untuk membagi hak pemajakan atas suatu jenis
penghasilan yang diterima oleh suatu individu atau badan tersebut. Alasan kedua negara (negara
sumber dan negara domisili) tersebut mengenakan pajak adalah:

1. Negara sumber berhak untuk memajaki penghasilan yang bersumber dari negaranya; dan

2. Negara domisili berhak untuk memajaki penghasilan karena pihak yang memperoleh penghasilan
tersebut adalah subjek pajak dalam negeri di negaranya;

Saat ini, persetujuan penghindaran perpajakan berganda (“P3B”) atau sering disebut tax treaties yang
ada berjumlah melebihi dari 2000 P3B. Dengan adanya P3B ini, maka suatu negara mitra P3B dibatasi
dalam mengenakan pajak secara signifikan. Akan tetapi, P3B secara umum tidak mengenakan pajak.
Namun, dibanyak negara, P3B tersebut secara eksklusif meringankan beban pajak yang ditanggung oleh
subjek pajak dalam negeri. Meskipun, P3B merupakan perjanjian yang mengikat antara kedua negara
yang berdaulat, tetapi secara umum tidak mempunyai pengaruh kepada wajib pajak kecuali P3B secara
spesifik dimasukan ke dalam sistem perpajakan suatu negara berdasarkan ketentuan domestik.

Ruang lingkup perpajakan internasional sangat luas. Hal ini menekankan pada semua masalah pajak
yang muncul berdasarkan hukum pajak penghasilan suatu negara meliputi beberapa faktor yang
berkaitan dengan kegiatan luar negeri. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:

1. Aspek pajak penghasilan dari kegiatan barang dan jasa antar negara;

2. Kegiatan manufaktur antar negara yang dilakukan oleh perusahaan multinasional;


3. Investasi yang dilakukan antar negara oleh individu atau dana investasi;

4. Perpajakan oleh individu yang bekerja atau melakukan kegiatan bisnis di luar negara dimana mereka
selalu bertempat tinggal.

Apabila suatu kegiatan termasuk dalam salah satu faktor di atas, maka masalah perpajakan internasional
ini muncul berdasarkan hukum pajak paling tidak di kedua negara. Oleh karena itu, setiap individu dan
perusahaan yang melaksanakan kegiatan antar negara biasanya dikenakan pajak di yurisdiksi yang
berbeda.

Dengan demikian, konflik hak pemajakan berdasarkan hukum pajak domestik dari yurisdiksi yang
bersangkutan seringkali menghasilkan perpajakan berganda (atau lebih). Dua bentuk perpajakan
berganda dapat dibedakan menjadi perpajakan berganda secara yuridis (“Juridical Double Taxation”)
dan perpajakan berganda secara ekonomis (“Economical Double Taxation”)

B. Juridical Double Taxation vs. Economical Double Taxation

Perpajakan berganda secara yuridis seringkali muncul karena sebagian besar negara, menambahkan
pengenaan pajaknya atas harta domestik dan transaksi ekonomi, mengenakan pajak atas transaksi yang
dilakukan dan modal yang terletak di negara lain sejauh bahwa memberikan keuntungan kepada wajib
pajak dalam negeri. Definisi dari perpajakan berganda secara yuridis menurut Commentary Pasal 1 OECD
Model adalah sebagai berikut:

“International juridical double taxation can be generally defined as the imposition of comparable taxes
in two (or more) States on the same taxpayer in respect of the same subject matter and for identical
periods.”

Terjemahannya adalah: “Perpajakan berganda internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai
pengenaan pajak yang berbeda di dua (atau lebih negara) pada wajib pajak pajak yang sama berkaitan
dengan jenis penghasilan atau modal yang sama dalam periode yang sama.”

Berdasarkan uraian dalam Commentary OECD Model di atas, maka elemen yang masuk dalam
perpajakan berganda secara yuridis adalah sebagai berikut:

a. Dikenakan pajak sebanding;

b. Lebih dari satu negara;

c. Pada wajib pajak yang sama;

d. Terkait dengan penghasilan dan modal yang sama;

e. Pada periode yang sama;

Sebagai contoh, penghasilan atau modal luar negeri dari subjek pajak dalam negeri individu atau badan
hukum seringkali dikenakan pajak berdasarkan “prinsip domisili atau principle of residence”. Dengan
demikian, penghasilan dipajaki di negara domisili. Akan tetapi, pada saat yang sama negara sumber
dapat memajaki subjek pajak luar negeri terkait dengan transaksi atau modal dalam wilayahnya,
berdasarkan “prinsip sumber atau principle of source”. Pada akhirnya akan menghasilkan konflik atas
hak pemajakan, tiap negara yang berbeda saling mengklaim untuk memajaki penghasilan tersebut.

C. Anti Tax Avoidance

Dalam transaksi internasional banyak menciptakan peluang untuk melakukan penghindaran pajak.Tetapi
dalam konteks ini, istilah penghindaran pajak harus dibedakan dengan istilah tax evasion atau
penyelewengan pajak dan tax planning atau perencanaan pajak. Menurut Arnold, tax avoidance atau
penghindaran pajak berarti transaksi atau pengaturan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk
meminimalisir jumlah pajak terutang secara sah. Selain itu, tax avoidance mempunyai arti sebagai
pemanfaatan secara legal dari ezim pajak untuk memperoleh keuntungan, dengan mengurangi jumlah
pajak yang terutang dengan cara tersebut berdasarkan ketentuan domestiknya. Berdasarkan Laporan
Penghindaran Dan Penyelewangan Pajak Internasional (Report on International Tax Avoidance and
Evasion) yang dirilis oleh OECD pada tahun 1987 menyebutkan dalam kaitan ini :

`Tax avoidance... is ofconcern to governments because such practices are contrary to fiscal equity, have
serious budgetary effects and distort international competition and capital flows’.

Terjemahannya adalah: ‘Penghindaran pajak... menjadi perhatian pemerintah karena praktik-praktik


tersebut bertentangan dengan ekuitas fiskal, memiliki efek anggaran serius dan mendistorsi persaingan
internasional dan arus modal.

Berdasarkan laporan yang dirilis OECD tersebut tidak secara tegas mendefinisikan pengertian dari tax
avoidance. Namun, dalam laporan tersebut pemerintah memberikan batasan kriteria penentuan suatu
kegiatan termasuk sebagai tax avoidance.

1. Hampir selalu ada unsur tidak sah (artificial) untuk itu atau, untuk menempatkan ini dengan cara lain,
berbagai pengaturan dalam skema yang tidak memiliki bisnis atau tujuan ekonomi sebagai tujuan utama
mereka;

2. Kerahasiaan juga mungkin bentuk penghindaran modern; dan

3. Penghindaran pajak sering mengambil keuntungan dari celah dalam hukum atau menerapkan
ketentuan hukum, untuk tujuan yang tidak dimaksudkan mereka.

Dalam sudut pandang pemerintah, tax avoidance cenderung tidak dapat diterima karena merupakan
suatu bentuk pengurangan pajak. Berbeda halnya dengan tax planning yang merupakan penghindaran
pajak yang dapat diterima meskipun oleh pemerintah. Namun dalam perkembangannya, perencanaan
pajak yang dilakukan oleh wajib pajak cenderung agresif, sehingga memberikan dampak risiko yang
signifikan terhadap penerimaan pajak dari suatu negara. Oleh karena itu, OECD pada tahun 2013 telah
menerbitkan Laporan Base Erosion Profit Shifting (“BEPS”) dan Rencana Aksi BEPS yang bertujuan untuk
mengatasi risiko perencanaan pajak secara agresif yang dilakukan secara berkoordinasi antar negara-
negara. Tindakan yang dilakukan oleh hanya oleh suatu negara tidak menjadi efektif untuk mengatasi
risiko perencanaan pajak secara agresif ini.
Sedangkan, tax evasion sendiri merupakan istilah umum yang berusaha untuk tidak membayar pajak
secara ilegal. Berbeda dengan tax evasion, tax planning dan tax avoidance terdiri dari tindakan oleh
wajib pajak untuk mengurangi beban pajak yang bukan merupakan tindak pidana.

D. Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda

Istilah “Penghindaran Perpajakan Berganda” telah dijelaskan pada butir I dan II di atas. Adapun tujuan
penghindraan pajak berganda sebagaimana disimpulkan oleh Baker adalah sebagai berikut:

1. Mengeliminasi perpajakan berganda untuk mencegah sesuatu yang tidak mempunyai harapan
(keputusasaan) dari perdagangan dan investasi internasional dan arus pergerakan orang;

2. Menyediakan kepastian karena kepada rezim pajak yang dihadapi oleh para investor dan pengusaha
-juga menghindari keputusasaan perdagangan dan investasi internasional;

3. Menyediakan kerjasama antara otoritas pajak untuk memerangi penghindaran pajak dan penggelapan
pajak;

4. Menyediakan pertukaran informasi dengan pandangan untuk memerangi penghindaran dan


penggelapan pajak dan juga tujuan untuk melaksanakan P3B dan hukum domestik dari negara yang
bersangkutan;

5. Mengeliminasi bentuk diskriminasi pajak tertentu;

6. Membagi penerimaan pajak antara kedua negara;

7. (secara jarang) menyediakan bantuan kerjasama dalam menagih penerimaan pajak;

8. “Membentuk hubungan fiskal” antara otoritas yang berwenang dari kedua negara.

Oleh karena itu, berdasarkan pendapat yang disimpulkan oleh Baker di atas, maka tujuan peghindaran
pajak tidak hanya mencegah terjadinya penghindaran pajak berganda dan penyelewengan pajak.
Dengan demikian, penghindaran pajak berganda ini juga bertujuan untuk mengadakan kerjasama,
koordinasi dan sinkronisasi atas implikasi perpajakan secara internasional dari kegiatan bisnis yang
dilakukan oleh wajib pajak.

E. Transfer Pricing

Transfer Pricing, dalam perspektif perpajakan, adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Proses kebijakan tersebut
menentukan pula besaran penghasilan dari setiap entitas yang terlibat. Menurut Arnold dan McIntyre,
harga transfer adalah setiap harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak pada saat menjual, membeli, atau
membagi sumber daya dengan afiliasinya. Perusahaan-perusahaan multinasional menggunakan harga
transfer untuk melakukan penjualan dan pengalihan aset serta jasa dalam grup perusahaan.
Dalam konteks rezim transfer pricing internasional, dianut norma arm’s length principle atau arm’s
length standard. Berdasarkan norma ini, suatu transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan
istimewa dianggap wajar apabila masing-masing pihak yang bertransaksi berperilaku selayaknya pihak-
pihak yang independen. Atau dari sisi praktis, perilaku pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut
diperbandingkan dengan perilaku pihak-pihak independen dalam transaksi – transaksi sejenis, serta
dalam kondisi yang serupa.

Di Indonesia sendiri, isu transfer pricing telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Untuk
menghadapi transaksi perusahaan multinasional yang berkaitan dengan transfer pricing, otoritas pajak
Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan baik dalam ketentuan perpajakan internasional dan
domestik. Adapun ketentuan-ketentuan terkait dengan transfer pricing adalah sebagai berikut:

1. Pasal 9 P3B Indonesia dengan Negara Mitra P3B;

2. Pasal 18 ayat (2), dan (4) UU PPh No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan;

3. PER-32/PJ/2011 jo PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam
Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;

4. PER-22/2013 dan SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa;

5. PER-69/PJ/2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement);

6. PER-48/PJ/2010 tengtang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure) berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, apabila tidak memenuhi prinsip harga
dalam transaksi yang wajar (“Arm’s Length Principle”), maka otoritas pajak diberikan kewenangan untuk
menentukan kembali harga transfer yang wajar atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional tersebut.

Anda mungkin juga menyukai