Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASKEP

LANSIA DENGAN GANGGUAN PERNAPASAN : PPOK

A. Konsep Dasar Lansia


1. Pengertian
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh
semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa di
hindari siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang
hidup seseorang, yaitu periode dimana seseorang telah “beranjak
jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak
dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000).
Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes
(2001) yang dimaksud dengan usia lanjut adalah seorang laki – laki
atau  perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara
fisik masih  berkemampuan ( potensial) maupun karena sesuatu hal
yang tidak mampu  berperan aktif dalam pembangunan (tidak
potensial).
Wheeler, mengungkapkan usia tua tidak hanya dilihat dari
perhitungan kronologis atau berdasarkakan kalender saja, tetapi juga
menurut kondisi kesehatan seseorang ( health age ). Sehingga umur
sesungguh nya dari seseorang merupakan gabungan dari ketiga -
tiganya (Nugroho, 2008).
Jadi dapat disimpulkan bahwa lansia adalah suatu periode
penutup dalam hidup seseorang baik laki-laki maupun perempuan
yang berusia 60 tahun atau lebih yang secara fisik masih potensial
maupun tidak potensial.

2. Batasan Lansia
Menurut Setyonegoro, dalam Nugroho ( 2008), pengelompokkan
usia lanjut adalah sebagai berikut :
a. Usia dewasa muda ( Elderly adulhood), 18 atau 20 – 25 tahun
b. Usia dewasa penuh ( middle years ) atau maturitas, 25 – 60 atau
65 tahun
c. Lanjut usia ( geriatric age ), lebih dari 65 atau70 tahun. Terbagi
untuk umur 70 – 75 tahun ( young old), 75– 80 tahun (old), dan
lebih dari 80 tahun ( very old ).
Sedangkan menurut WHO tahun 2005, Lanjut usia meliputi usia
pertengahan yakni kelompok usia 45-59 tahun, Lanjut usia (Elderly)
yakni 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old) yakni 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) yakni lebih dari 90 tahun.

3. Tipe Lansia
Beberapa tipe lansia tergantung dari karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonomi (Nugroho,
2008). Tipe tersebut antara lain :
a. Tipe arif bijaksana kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan  perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan
b. Tipe mandiri mengganti kegiatan yang hilang dengan yang
baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman,
dan memenuhi undangan
c. Tipe tidak puas konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi  pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung,
sulit dilayani, pengkritik dan  banyak menuntut
d. Tipe pasrah menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja
e. Tipe bingung kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan
diri, minder, menyesal,  pasif, dan acuh yak acuh

4. Proses penuaan
Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari oleh
setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan suatu proses
yang normal, akan tetapi keadaan ini lebih menjadi beban. Hal ini
secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri oleh beberapa orang yang
lebih merasa menderita karena pengaruh penuaan. Proses penuaan
mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis dan sosial
(Watson, 2003).

B. Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut


1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda
( multiple pathology ), misalnya tenaga berkurang, energi menurun,
kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh dan
sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah
memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi
fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi
fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan
fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak
mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat
memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja
secara seimbang (Nugroho, 2008).

2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual


Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering
kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus,
vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan
gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi,
golongan steroid, tranquilizer. Factor psikologis yang menyertai
lansia adalah :
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia.
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan
sebagainya. (Nugroho, 2008)

3. Perubahan Aspek Sosial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku
lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia
juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan
dengan keadaan kepribadian lansia.  Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai
berikut :
a. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy),
biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan
mantap sampai sangat tua.
b. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada
tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome,
apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
c. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada
tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga,
apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa
lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal
maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana,
apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada
tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas
dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-
kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada
lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya
sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat
susah dirinya.
(Nugroho, 2008)

4. Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat
menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan,
peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model
kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan,
ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga
yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing
individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi
dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya
diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji
penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi
dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika
perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar
tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia
dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah
minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara
membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung
terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia
bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih
ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi
masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah
pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya.
(Nugroho, 2008)
5. Perubahan dalam Peran Sosial Dimasyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan,
gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau
bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi
bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan
aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi
akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan
kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang
lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada
umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita
(budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat
umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya
keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya
pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali
menjadi terlantar (Nugroho, 2008).

C. Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia


Berikut adalah penjelasan tentang penyakit pernapasan pada lansia
yang dimulai dengan penjelasan tentang perubahan anatomic dan
fisiologik jantung:

1. Perubahan anatomik pada respirasi


Efek penuaan tersebut dapat terlihat dari perubahan-perubahan
yang terjadi baik dari segi anatomi maupun fisiologinya. Perubahan-
perubahan anatomi pada lansia mengenai hampir seluruh susunan
anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau organ.
Perubahan anatomi yang terjadi turut berperan terhadap perubahan
fisiologis sistem pernafasan dan kemampuan untuk mempertahankan
homeostasis. Penuaan terjadi secara bertahap sehingga saat seseorang
memasuki masa lansia, ia dapat beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi. Perubahan anatomik sistem respirastory akibat penuaan adalah
sebagai berikut :
a. Paru-paru kecil dan kendur.
b. Pembesaran alveoli.
c. Penurunan kapasitas vital ; penurunan PaO2 dan residu
d. Kelenjar mucus kurang produktif 
e. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi
f. Penurunan sensivitas sfingter esophagush.
g. Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi
pengembangani.
h. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
Penurunan sensivitas kemoreseptor. (Stanley, 2006).

2. Perubahan Fisiologik pada pernapasan


Menurut Stanley, 2006 perubahan anatomi dan fisiologi yang
terjadi pada lansia, yaitu:
Hilangnya silia serta terjadinya penurunan reflex batuk dan
muntah pada lansia menyebabkan terjadinya penurunan perlindungan
pada sistem respiratory. Hal ini terjadi karena saluran pernafasan tidak
akan segera merespon atau bereaksi apabila terdapat benda asing
didalam saluran pernafasan karena reflex batuk dan muntah pada
lansia telah mengalami penurunan.
Penurunan kompliants paru dan dinding dada. Hal
ini menyebabkan jumlah udara (O2) yang dapat masuk ke
dalam saluran pernafasan menurun dan menyebabkan terjadinya
peningkatan kerja pernafasan guna memenuhi kebutuhan tubuh.
Atrofi otot pernafasan dan penurunan kekuatan otot
pernafasan. Kedua hal ini menyebabkan pengembangan paru tidak
terjadi sebagai mestinya sehingga klien mengalami kekurangan suplay
O2 dan hal ini dapat menyebabkan kompensasi penigkatan RR yang
dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan pada lansia.
Perubahan interstisium parenkim dan penurunan daerah
permukaanalveolar menyebabkan menurunnya tempat difusi oksigen y
ang menyebabkan klien kekurangan suplay O2.
Penurunan mortilitas esophagus dang aster serta hilangnya
tonus sfringter kardiak. Hal ini menyebabkan lansia mudah
mengalami aspirasi yang apabila terjadi dapat mengganggu
fisiologis pernafasan.
Paru-paru kecil dan mengendur. Paru-paru yang mengecil
menyebabkan ruangatau permukaan difusi gas berkurang bila
dibandingkan dengan dewasa.

3. Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Paru


Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan,
terdapat beberapa faktor yang dapat memperburuk fungsi paru, Faktor-
faktor yang memperburuk fungsi paru antara lain :

a. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi
penyempitan saluran nafas. Pada tingkat awal, saluran nafas akan
mengalami obstruksi clan terjadi penurunan nilai VEP1 yang
besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
b. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru
seseorang. Pada obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak
pada leher, dada dan (finding perut, akan dapat
mengganggu compliance dinding dada, berakibat penurunan volume
paru atau terjadi keterbatasan gerakan pernafasan (restriksi) dan
timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)

c. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan
gerak saat otot-otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa
atau volume paru akan relatif' berkurang. Imobilitas karena
kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat memperburuk
fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan
imobilitas (paru), misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru
dan sebagainya. Perbaikan fungsi paru dapat dilakukan
dengan menjalankan olah raga secara intensif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)

d. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal
paru. Dari pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti
memberikan pengaruh faal paru adalah:
1) Pembedahan toraks (jantung dan paru)
2) Pembedahan abdomen bagian atas.
3) Anestesi atau jenis obat anastesi tertentu
Peruhahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan
proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah
kapiler paru. Adanya perubahan patofisiologik paru pasca
bedah mudah menimbulkan komplikasi paru : atelektasis,
infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi kematian,
karena timbulnya gagal nafas.
(Dharmojo dan Martono, 2006)

4. Penyakit pernapasan pada Usia Lanjut


Pada proses menua terjadi penurunan compliance dinding dada,
tekanan maksimalinspirasi dan ekspirasi menurun dan elastisistas
jaringan paru juga menurun. Pada pengukuranterlihat FEV1, FVC
menurun, PaO2 menurun, V/Q naik. Penurunan ventilasi alveolar,
merupakanrisiko untuk terjadinya gagal napas. Selain itu terjadi
perubahan berupa (Lukman, 2009):
a. Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga
volume udara inspirasiberkurang, sehingga pernafasan cepat dan
dangkal.
b. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk
sehingga potensialterjadi penumpukan sekret.
c. Penurunan aktivitas paru ( inspirasi & ekspirasi ) sehingga
jumlah udara pernafasan yangmasuk keparu mengalami
penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml.
d. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas
permukaan normal 50m²), menyebabkan terganggunya prose
difusi.
e. Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu
proses oksigenasi darihemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut
semua kejaringan.
f. CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam
arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada
tubuh sendiri.
g. Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret &
corpus alium dari salurannafas berkurang sehingga potensial
terjadinya obstruksi.

Penyebab kegawatan napas pada lansia meliputi


obstruksi jalan napas atas, hipoksi karenapenyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), pneumotoraks, pneumonia aspirasi,
rasa nyeri, bronkopneumonia, emboli paru, dan asidosis
metabolik. Akan tetapi penyakit respirasi yang sering terjadi
pada lansia adalah pneumonia, tuberkulosis paru, sesak napas,
nyeri dada.

D. PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK) ATAU COPD


(CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE)
1. Pengertian
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel
atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD , 2009).
PPOK/COPD (Cronic Obstruction Pulmonary Disease) merupakan
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson :
2005)
PPOK  merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal
dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru
dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001).
PPOK adalah merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan
dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara
paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002).
PPOK  merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan
ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya
(Snider, 2003).

2. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi
kronik adalah sebagai berikut:
a) Bronchitis Kronis
1) Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai
dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan
termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum
selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut
(Bruner & Suddarth, 2002).
2) Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
 Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenzae.
 Alergi
 Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
3) Manifestasi klinis
 Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar,
yang mana akanmeningkatkan produksi mukus.
 Mukus lebih kental
 Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru
mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk
terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi
hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat.
 Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali
ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus
kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang
banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula
mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh
saluran nafas akan terkena.
 Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan
nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan
udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini
menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.
 Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi
abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi
dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.
 Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka
terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit
memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena
infeksi pulmonary.
 Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan
pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi,
hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal
dan CHF

b. Emfisema
1) Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran
dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (Bruner
& Suddarth, 2002).
2) Etiologi
a) Faktor tidak diketahui
b) Predisposisi genetic
c) Merokok
d) Polusi udara
3) Manifestasi klinis
a) Dispnea
b) Takipnea
c) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
d) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
e) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
f) Hipoksemia
g) Hiperkapnia
h) Anoreksia
i) Penurunan BB
j) Kelemahan

c. Asthma Bronchiale
1) Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang
meningkat dari trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan
dengan manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh
peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas (Bruner & Suddarth,
2002).
2) Etiologi
a) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
b) Infeksi saluran  nafas
c) Stress
d) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
e) Obat-obatan
f) Polusi udara
g) Lingkungan kerja
h) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
3) Manifestasi Klinis
a) Dispnea
b) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat),
c) wheezing,
d) batuk non produktif
e) takikardi
f) takipnea

3. ETIOLOGI
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari
jumlah partikel gas yang dihirup  oleh seorang individu selama hidupnya.
Partikel gas ini termasuk :
a) asap rokok 
1) perokok aktif 
2) perokok pasif 
b) polusi udara
1) polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
2) polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu jalanan
c) polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
d) infeksi saluran nafas bawah berulang

4. PATOFISIOLOGI
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi
terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi
adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan
rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD,
2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase,
yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan
pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan
napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

5. PATOFLOW
6. MANIFESTASI KLINIS
Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada
pasien PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul
lalu kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai dengan
produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian
berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin
bertambahnya parahnya batuk penderita.
Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung
lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah
hilang sama sekali, hal ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas yang
menetap. Keluhan sesak inilah yang biasanya membawa penderita PPOK
berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat saat melakukan
aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut.
Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:
a) Batuk bertambah berat
b) Produksi sputum bertambah
c) Sputum berubah warna
d) Sesak nafas bertambah berat
e) Bertambahnya keterbatasan aktifitas
f) Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
g) Penurunan kesadaran

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a) Pemeriksaan radiologi
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut
adalah bayangan bronkus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah
b) Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary
oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada
emfisema panlobular dan pink puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
c) Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun,
VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru
terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi
maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF
dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya
pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas
difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
d) Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun,
timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan
eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-
60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih
berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
e) Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P
pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1
rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat
RBBB inkomplet.
f) Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
g) Laboratorium darah lengkap

8. KOMPLIKASI
a) Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang
dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
b) Asidosis Respiratory, timbul akibat dari peningkatan nilai
PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala,
fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c) Infeksi Respiratory, Infeksi pernafasan akut disebabkan karena
peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos
bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran
udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
d) Gagal jantung, Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat
penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea
berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e) Cardiac Disritmia, Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain,
efek obat atau asidosis respiratory.
f) Status Asmatikus, Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan
dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial
mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi
yang biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.

9. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
a) Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada
fase akut, tetapi juga fase kronik.
b) Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
c) Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:


a) Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
b) Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c) Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas
atau pengobatan empirik.
d) Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.
e) Pengobatan simtomatik.
f) Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g) Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:


a) Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
b) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
c) Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
d) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)


a) Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
b) Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
c) Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari
Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang
memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti
kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam
7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder
atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
d) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
e) Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
f) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV
secara perlahan.

Terapi jangka panjang di lakukan :


a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin
4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c) Fisioterapi
d) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e) Mukolitik dan ekspektoran
f) Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas
tipe II dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg).
g) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar
dari depresi.

E. Asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan system


pernafasan
1. Pengkajian
a. Chest X-Ray : dapat menunjukkan
hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara
retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal
ditemukan saat periode remisi (asthma)
b. Pemeriksaan Fungsi Paru :
dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal : bronchodilator
c. TLC : meningkat pada bronchitis
berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada
emfisema
e. FEV1/FVC : ratio tekanan volume
ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun
pada bronchitis dan asthma
f. ABGs : menunjukkan proses penyakit
kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema
sedang atau asthma)
g. Bronchogram : dapat menunjukkan
dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan
ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
h. Darah Komplit : peningkatan
hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma)
i. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin
dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer
j. Sputum Kultur : untuk menentukan
adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi
untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi
k. ECG : deviasi aksis kanan,
gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis),
gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis,
emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
l. Exercise ECG, Stress Test :
menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi
keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.

2. Rencana asuhan keperawatan pada klien


COPD
Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep
Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome
Classification (NOC).

Diagnoa Keperawatan Perencanaan


No
(NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) & Rasional
1 Bersihan jalan nafas tak Status Respirasi : Kepatenan a. Manajemen jalan nafas
efektif yang berhubungan Jalan nafas # dengan Rasional : untuk
dengan : skala…….. (1 – 5) setelah menghindari terjadi
Bronchospasme diberikan perawatan nya obtruktif jalan
Peningkatan produksi selama……. Hari, dengan nafas yang disebabkan
sekret (sekret yang kriteria : oleh peningkatan
tertahan, kental)  Tidak ada demam sekret
Menurunnya  Tidak ada cemas b. Latih batuk efektif
energi/fatique  RR dalam batas normal Rasional : bertujuan
Data-data  Irama nafas dalam batas untuk mengeluarkan
Klien mengeluh sulit normal sekrek
untuk bernafas  Pergerakan sputum keluar c. Terapi oksigen
Perubahan dari jalan nafas Rasional : untuk
kedalaman/jumlah  Bebas dari suara nafas memenuhi kebutuhan
nafas, penggunaan otot tambahan oksigen
bantu pernafasan d. Pemberian posisi
Suara nafas abnormal Rasional : mengatur
seperti : wheezing, posisi dapat
ronchi, crackles meningkatkan sirkulasi
Batuk (persisten) e. Monitoring tanda vital
dengan/tanpa produksi Rasional : untuk
sputum. mengetahui keadaan
umum pasien
menghindari
komplikasi
2 Kerusakan Pertukaran gas Status Respirasi : a. Manajemen asam dan
yang berhubungan dengan : Pertukaran gas # dengan skala basa tubuh
Kurangnya suplai ……. (1 – 5) setelah diberikan Rasional : mencegah
oksigen (obstruksi jalan perawatan selama……. Hari komplikasi akibat
nafas oleh sekret, dengan kriteria : penurunan atau
bronchospasme, air  Status mental dalam batas peningkatan PCO2
trapping) normal b. Manajemen jalan nafas
Destruksi alveoli  Bernafas dengan mudah Rasional : untuk
Data-data :  Tidak ada cyanosis memfasilitasi
Dyspnea  PaO2 dan PaCO2 dalam kepatenan jalan nafas
Confusion, lemah batas normal c. Terapi oksigen
Tidak mampu  Saturasi O2 dalam Rasional : memberikan
mengeluarkan secret rentang normal oksigen dan memantau
Nilai ABGs abnormal aktivitas
(hipoxia dan d. Monitoring tanda vital
hiperkapnia) Rasional : untuk
Perubahan tanda vital mengetahui keadaan
Menurunnya toleransi umum pasien
terhadap aktifitas. menghindari
komplikasi
3 Ketidakseimbangan nutrisi Status Nutrisi : Intake cairan a. Manajemen cairan
Kurang dari kebutuhan tubuh dan makanan gas # dengan Rasional : membantu
yang berhubungan dengan : skala ……. (1 – 5) setelah kebutuhan cairan tubuh
Dyspnea, fatique diberikan perawatan b. Monitoring cairan
Efek samping selama……. Hari dengan Rasional : menghindari
pengobatan kriteria : kelebihan atau
Produksi sputum  Asupan makanan skala (1 kekurangan cairan
Anorexia, – 5) (adekuat) c. Manajemen gangguan
nausea/vomiting.  Intake cairan peroral (1– makan
Data : 5) (adekuat) Rasional : untuk
Penurunan berat badan  Intake cairan (1 – 5) mencari alternatif
Kehilangan masa otot, (adekuat) untuk memenuhi
tonus otot jelek Status Nutrisi : Intake Nutrien kebutuhan nutrisi
Dilaporkan adanya gas # dengan skala ……. (1 – d. Terapi nutrisi
perubahan sensasi rasa 5) setelah diberikan perawatan Rasional : memenuhi
Tidak bernafsu untuk selama……. Hari dengan kebutuhan nutrisi
makan. kriteria : e. Kontroling nutrisi
 Intake kalori (1 – 5) Rasional :
(adekuat) mempertahankan
 Intake protein, intake dan output
karbohidrat dan lemak (1 f. Manajemen berat
– 5) (adekuat) badan.
Kontrol Berat Badan gas # Rasional : untuk
dengan skala ……. (1 – 5) apakah terapi diet yang
setelah diberikan perawatan diberikan berhasil
selama……. Hari dengan
kriteria :
 Mampu memeliharan
intake kalori secara
optimal (1 – 5)
 Mampu memelihara
keseimbangan cairan (1 –
5)
 Mampu mengontrol
asupan makanan secara
adekuat (1 – 5).
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo B, Martono H. 2006. Buku ajar geriatri edisi ke-3. Jakarta: balai penerbit
fakultas kedokteran universitas indonesia.

Herdman, T. Heather.2012. diagnosis keperawatan: definisi danklasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC

Lukman HM. 2009. Kegawat darutanan pada pasien geriatri. In: buku ajar ilmu
penyakit dalam. Interna publishing: jakarta. Ed V jilid 1.

Stanley, Mickey, and Patricia Gauntlett Beare.2006.Buku Ajar Keperawatan


Gerontik, ed 2.Jakarta:EGC

Suddarth dan Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC.
Wood, Under J.C.E. 1996. Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta : EGC

Nanda. 2012. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan NANDA Nort American


Nursing Diagnosis Association NIC-NOC. Yogyakarta : Media Hardy

Acton, Sharon Enis & Fugate, Terry (1993) Pediatric Care Plans, AddisonWesley
Co. Philadelphia

Soeparman & Sarwono W, (1998), Ilmu penyakit dalam Jilid II Balai Penerbit
FKUI, Jakarta

Hurlock, 2000., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan. Erlangga, Jakarta

Nugroho, 2008., Keperawatan Gerontik. EGC, Jakarta

Watson, 2003., Perawatan pada Lansia. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai