Anda di halaman 1dari 12

Tingkat Kecerdasan Ekologis Sekolah Menengah

Siswa di Kota Cimahi


Revi Mainaki, Wanjat Kastolani, Iwan Setiawan
Abstrak.
Degradasi lingkungan disebabkan oleh tingginya volume kendaraan, aktivitas industri,
pertumbuhan populasi dan konversi ruang terbuka hijau. Oleh karena itu diperlukan upaya
berbasis manusia untuk mengurangi degradasi lingkungan. Salah satunya dapat dilakukan
melalui pertumbuhan kecerdasan ekologis. Pertumbuhan kecerdasan ekologis paling efektif
pada usia 12 hingga 18 tahun. Ini adalah zaman di mana manusia berada di sekolah menengah.
Pertumbuhan kecerdasan ekologis dapat dilakukan melalui budaya sekolah dengan konten
lingkungan di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan pendekatan
kuantitatif dan desain penelitian korelasional. Teknik penentuan jumlah sampel menggunakan
stratified random sampling, diperoleh 36 sekolah dan 260 siswa. Data dikumpulkan dengan
teknik observasi, wawancara, kuesioner, studi literatur dan studi dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa budaya sekolah berkorelasi dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian,
aspek keteladanan guru, kepala sekolah, dan pendidik memiliki upaya untuk melestarikan
lingkungan pada budaya sekolah. Kebiasaan penghuni sekolah dalam melestarikan lingkungan
dalam budaya sekolah harus menjadi aturan standar yang tersentralisasi.

1. Pendahuluan
Kota Cimahi terletak di hilir sungai dan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, secara
geografis merupakan daerah tangkapan air serta aliran air, karena kelestarian lingkungannya
memberikan daya dukung ke daerah sekitarnya, terutama Bandung, sebagai ibukota dari
Provinsi Jawa Barat, potensi degradasi lingkungan harus dikurangi Ketika orang-orang di Kota
Cimahi memiliki kecerdasan ekologis.
Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kota Cimahi tahun 2015
terdapat sekitar 200 pabrik industri mulai dari skala kecil, menengah dan besar yang tentunya
kegiatannya harus dipantau dan disertai dengan tumbuhnya kesadaran di kalangan anak muda
usia sekolah menengah. , karena mereka adalah penghuni potensial di masa depan
pertumbuhan intelijen juga akan berpartisipasi dalam kegiatan industri. Pengembangan
penggunaan lahan di Kota Cimahi.
Perumahan dengan luas sekitar 1200 Ha dan industri dengan luas sekitar 500 ha menjadi
penggunaan lahan paling luas di Kota Cimahi (data Badan Pertanahan Nasional Cimahi pada
2009). Masyarakat terlibat dalam dua kegiatan ini jika mereka memiliki kecerdasan ekologis
untuk berperilaku dengan dampak minimal pada lingkungan sekitarnya.
Kemudian data tentang potensi perkotaan di Kota Cimahi (2009) dan Departemen Kesehatan
Masyarakat Cimahi Utara (2016) penyakit yang disebabkan oleh degradasi lingkungan seperti
infeksi saluran pernapasan (ISPA) sekitar 5.000 orang, muntah sekitar 4.400 orang dan demam
berdarah sekitar 2.400 orang menunjukkan tingkat degradasi lingkungan sebenarnya dapat
dicegah dengan menumbuhkan kecerdasan ekologis peserta didik.
Volume kendaraan yang melewati Kota Cimahi berdasarkan data dari Departemen
Perhubungan Kota Cimahi (2016) mencapai 215.488 kendaraan dengan berbagai ukuran,
menunjukkan tingginya tingkat polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan. Jika orang-orang
di Kota Cimahi ini memiliki kecerdasan ekologis, harapannya adalah kesadaran yang lebih tinggi
untuk menggunakan kendaraan ramah lingkungan atau kendaraan massal, untuk mengurangi
polusi udara di Kota Cimahi.
Menurut rencana tata ruang wilayah Kota Cimahi 2015-2023 pembangunan harus menyediakan
ruang terbuka hijau dan masuk ke dalam anggaran perencanaan daerah. Kota Cimahi adalah
pemenang adipura enam kali. Lima di antaranya diperoleh secara berturut-turut, sebuah gengsi
yang harus dipertahankan. Seperti dilansir Kurnia (2016) Kota Cimahi telah tercatat enam kali
Kota Cimahi mendapatkannya, pada 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2015 dan terakhir pada 20
Juli 2016 mendapatkan piala adipura kirana. Pencapaian dan pengembangan ini, harus
didukung oleh populasi dengan memiliki kecerdasan ekologis yang tumbuh dan berkembang di
usia sekolah menengah, budaya sekolah adalah nilai, norma, kepercayaan dan sikap dengan
fasilitas sekolah yang dapat tumbuh dan dikembangkan kecerdasan ekologis [1, 2] dan sekolah
budaya dapat mengembangkan siswa kecerdasan ekologis karena membangun iklim sekolah
yang kuat dalam aspek lingkungan [3].
Jika dilihat dari berbagai data terlihat bahwa Kota Cimahi memiliki potensi kerusakan
lingkungan. Kecerdasan ekologis tumbuh dengan sangat baik pada usia 12-18 tahun di mana
pada saat itu peserta didik berada pada usia sekolah menengah. Berdasarkan apa yang telah
diuraikan, menunjukkan bahwa pertumbuhan kecerdasan ekologis di Kota Cimahi sangat
penting, dan menarik untuk dikaji dalam suatu pengukuran dan penelitian dengan judul
“Pengaruh Budaya Sekolah terhadap Siswa Intelijen Ekologis di Sekolah Menengah Atas di Kota
Cimahi” ”
Pernyataan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah "Bagaimana pengaruh budaya
sekolah terhadap kecerdasan ekologis siswa di sekolah menengah di Kota Cimahi?". Tujuan
penulisan artikel penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh budaya sekolah
terhadap kecerdasan intelektual siswa SMA di Kota Cimahi, kemudian mengetahui pengaruh
budaya sekolah terhadap kecerdasan ekologis siswa SMA di Kota Cimahi diharapkan dapat
memperkaya pembelajaran teori pertumbuhan kecerdasan ekologis. Praktis diharapkan
menjadi salah satu bahan masukan bahwa kecerdasan ekologi dapat dibangun di sekolah
menengah atas, itu akan menjadi solusi lingkungan di masa depan.

2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode survei. Menjadi dasar untuk melakukan tahapan penelitian
seperti pengembangan yaitu (a) penentuan tujuan dan survei lingkup yaitu sekolah menengah
di Kota Cimahi; (B) desain instrumen penelitian termasuk pedoman observasi, kuesioner untuk
dan panduan wawancara; (c) melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian; (d)
menggunakan program komputer dalam bentuk microsoft excel dan spss untuk melakukan
analisis data penelitian; (e) dengan mempertimbangkan karakteristik terperinci dari responden
terutama menjadi sasaran ketika survei dilakukan dan (f) mempertimbangkan variasi hasil
penelitian dan bagaimana mengatasinya [4].
Pendekatan kuantitatif yang digunakan, pendekatan berdasarkan kuantitas atau fenomena
dapat diwakili dalam angka-angka "penelitian kuantitatif didasarkan pada pengukuran kuantitas
atau jumlah" [5]. Ini berlaku untuk fenomena yang dapat diungkapkan dalam hal kuantitas.
Melalui pendekatan ini, pengaruh budaya sekolah pada kecerdasan ekologis siswa sekolah
menengah di Kota Cimahi kemudian ditunjukkan dalam besarnya dan bagaimana
kesetaraannya mempengaruhi.
Desain korelasional yang digunakan sesuai dengan apa yang akan dipelajari adalah menguji
pengaruh hubungan antara budaya sekolah dengan pembelajaran geografi, bahwa uji kausalitas
desain korelasional dengan analisis analisis, panel cross-end (desain panel silang) akan
membuktikan hubungan sebab akibat dari korelasional dengan tujuan (1) mengungkapkan
hubungan antara variabel dan (2) memprediksi skor subjek pada variabel melalui skor pada
variabel lain [6]. Variabel dalam penelitian ini adalah budaya sekolah sebagai variabel bebas (X)
dan kecerdasan ekologi siswa SMA di Kota Cimahi sebagai variabel terikat (Y). Seperti pada
gambar dan tabel 1.

Budaya Sekolah Kecerdasan Ekologi

Gambar 1. Variabel penelitian. Sumber: Hasil analisis 2017

Populasi dan sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok: populasi sekolah yang
menjadi objek penelitian dan peserta didik di sekolah yang menjadi objek penelitian. Jumlah
populasi dan sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan persamaan Slovin [7]:

𝑁 (1)
𝑛 = 1+𝑁.𝛼2
Keterangan:
N = Jumlah Sampel
N = Ukuran Populasi
Α = 10% adjustment error rate adjusted by the researcher is the rest of the 90% confidence level

Total hight school in Cimahi City:


 SMAN (State Senior Hight School) = 6
 SMPN (State Junior Hight School) = 13
 SMAS (Private Senior Hight School) = 10
 SMPS (Private Junior Hight School = 24

Total high school in Cimahi City is 53 then sample in this research are:
𝑁
𝑛 = 1+𝑁.𝛼2
= 1+53 (0.1)2 = 1.53 = 34.64 (rounded up to 35 schools)
53 53

Total high school in Cimahi City is 53 then sample in this research is as follows:

 SMAN (State Senior Hight School) = 6/53 x 35 = 3.96 rounded to 4 schools


 SMPN (State Junior Hight School) = 13/53 x 35 = 8.58 rounded to 9 schools
 SMAS (Private Senior Hight School) = 10/53 x 35 = 6.61 rounded to 7 schools
 SMPS (Private Junior Hight School) = 24/53 x 35 = 15.85 rounded to 16 school
Kemudian sampel penelitian diambil dengan teknik stratified random sampling. Jadi kita
dapatkan sampel sekolah sebagai berikut tabel 2. Kemudian sampel siswa berdasarkan populasi
semua siswa SMA di Kota Cimahi, yang merupakan pelajar kelas XII dan IX sebagai yang
terpanjang di sekolah dan mendapatkan pengaruhnya.

 Number of students of class XII SMAN (State Senior Hight School) = 680
 Number of students of class XII SMAS (Private Senior Hight School) = 342
 Number of students of class IX SMPN (State Junior Hight School) = 2877
 Number of students of class IX SMPS (Private Junior Hight School = 2166
The total population of high school students 6065

Untuk menentukan sampel peserta didik, peneliti menggunakan persamaan yang


dikembangkan untuk menentukan jumlah sampel minimum sebelum pembulatan dan proporsi
sampel [4], persamaan ini digunakan untuk menarik sampel dari populasi yang relatif besar dan
heterogen, dengan 10% tingkat kesalahan, Populasi yang telah dijelaskan maka jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut [8]:

Persamaan berdasarkan perhitungan hasil pengembangan Ishak dan Michael dengan tabel yang
mereka kembangkan, diperoleh nilai sampel 6010 populasi dengan interpolasi antara 6000
hingga 7000, dengan nilai S yang melekat pada tabel, sebagai berikut:
Berdasarkan persamaan kita mendapatkan jumlah sampel dengan pembulatan ke 263 peserta
didik. Selanjutnya jumlah sampel dibagi secara merata di setiap sekolah dengan persamaan,
pembulatan dan proporsi sampel yang disajikan sebelumnya. Pengumpulan data dengan (a)
pengamatan yang digunakan untuk mengumpulkan data konten lingkungan tentang budaya
sekolah pada aspek lingkungan fisik sekolah; (B) wawancara digunakan untuk mengumpulkan
data konten lingkungan pada budaya sekolah, khususnya aspek habituasi, teladan dan
partisipasi; (C) kuesioner atau kuesioner yang digunakan untuk mendapatkan data kecerdasan
ekologis siswa sekolah menengah dengan aspek pengetahuan, sikap, keterampilan dan
partisipasi.
Kemudian, analisis data dengan (a) skala pengukuran jawaban responden dengan skala
penilaian (1-4 dan 1-
5) untuk semua aspek variabel penelitian [9], Skala Likert untuk Aspek Sikap dengan rentang 1-4
[10] skala gutman (0 atau 1) untuk memberikan skor kepada responden pada tes kecerdasan
ekologis spesifik untuk aspek pengetahuan; (B) analisis berarti untuk menafsirkan skor [11, 12];
(c) analisis regresi sederhana (uji t) berdasarkan uji korelasi yang dimaksudkan untuk
mendapatkan nilai korelasi dan persamaan pengaruh budaya sekolah terhadap kecerdasan
ekologis peserta didik yang juga berisi uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, linieritas,
multikolinearitas, dan hoterokendasitas sebagai persyaratan. melakukan analisis regresi [13,
14].
Instrumen dalam penelitian ini dikembangkan dengan melakukan beberapa tes sebelumnya
yang meliputi (a) uji validitas dengan korelasi product moment pearson; (B) uji reliabilitas
dengan uji cronbach alpha; (C) tes tingkat kesulitan dan kekuatan membedakan masalah khusus
meneliti pertanyaan pengetahuan sebagai salah satu aspek kecerdasan ekologis. pertanyaan
tes dilakukan pada siswa sekolah menengah yang mewakili berbagai kelompok yaitu siswa kelas
XII sman 1 cimahi, sma muhamadiyah 1 cimahi, siswa kelas IX smp negeri 5 cimahi dan smp
wiyata bakti masing-masing 15 orang. Hasil tes instrumen menunjukkan proporsi pengetahuan
tentang sekolah menengah pertama atau atas memiliki proporsi yang mudah, sedang dan
tinggi. Kekuatan yang membedakan dari masalah adalah dalam klasifikasi memuaskan untuk
baik. Uji validitas menunjukkan bahwa dari total 60 pertanyaan yang diuji, ada 11 pertanyaan
tidak valid yang tidak digunakan dalam penelitian. Reliabilitas menunjukkan bahwa semua
aspek berada pada skor> 0,70 berarti reliabilitas sangat tinggi.
3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Lokasi penelitian


Lokasi penelitian ini terletak di Kota Cimahi yang merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa
Barat yang terletak di 107º 30 '30 "BT hingga 107º 34 '30" BT dan 6º 50 "00" - 6º 56 "00"
Lintang Selatan dengan Total area sekitar 40,25 km2. Secara administratif Kota Cimahi memiliki
beberapa kendala yang meliputi utara dengan Kabupaten Bandung Barat, selatan dari
Kabupaten Bandung, timur dengan kota Bandung dan perbatasan barat dengan Kabupaten
Bandung Barat. Kota ini memiliki tiga kecamatan yaitu Kecamatan Cimahi Utara dengan Desa
Cipageran, Citeureup, Cibabat dan Pasikaliki. Cimahi Selatan dengan kecamatan Cibeber,
Leuwigajah, Main, Look dan International serta kecamatan Hyderabad Central Baros, Cilame,
Karangmekar, Setiamanah, Cimahi dan Hamburg. Kota Cimahi memiliki 56 sekolah menengah
sebagai institusi pendidikan yang berperan membentuk kecerdasan ekologis pada usia yang
potensial. Terdiri dari 6 Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Sekolah Menengah Atas
Swasta (SMAS), 13 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 24 Sekolah Menengah Swasta
(SMPS) yang tersebar di seluruh pos-pos yang ada di Kota Cimahi. Setiap sekolah memiliki
karakteristik peserta didik yang berbeda satu sama lain.

3.2. Konten lingkungan dalam budaya sekolah dan kecerdasan ekologis siswa sekolah tinggi
di Kota Cimahi
Tabel 3 menunjukkan bagaimana skor konten lingkungan budaya sekolah dengan aspek
pengukuran habituasi, pemodelan, lingkungan fisik sekolah dan kegiatan partisipatif. Untuk
SMAN 3 SMA Cimahi adalah skor tertinggi konten lingkungan dalam budaya sekolah, di SMAS
Santa Maria mendapatkan urutan skor pertama, kelas SMPN 9 SMP adalah yang pertama dan
SMPS, PGRI 3 berada di skor tertinggi sekolah skor budaya. Nilai tertinggi dalam beban
lingkungan dalam budaya sekolah seperti pada tabel 3 adalah teladan dan pembiasaan
sementara aspek terendah adalah aspek partisipatif. Nilai keseluruhan beban lingkungan dalam
budaya sekolah adalah SMAN 3 Cimahi (3,92) dan skor terendah adalah SMP Budi Luhur (2,60).
Nilai kecerdasan siswa SMA di SMAN diperoleh SMAN 6 Cimahi, untuk SMAS diperoleh SMA
Santa Maria, untuk SMPN diperoleh SMPN Terbuka 2 Cimahi dan untuk SMPS ditempati oleh
SMP Pasundan 1 dan Tut Wuri Handayani. Pengukuran dilakukan pada aspek pengetahuan,
sikap, keterampilan dan partisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan. Secara keseluruhan,
nilai ekologis tertinggi peserta didik diperoleh oleh SMAN 6 Cimahi dan skor kecerdasan
ekologis terendah ditempati oleh SMA Pasundan 1 Cimahi.
Tabel 3 menunjukkan bagaimana skor konten lingkungan budaya sekolah dengan aspek
pengukuran habituasi, pemodelan, lingkungan fisik sekolah dan kegiatan partisipatif. Untuk
SMAN 3 SMA Cimahi adalah skor tertinggi konten lingkungan dalam budaya sekolah, di SMAS
Santa Maria mendapatkan urutan skor pertama, kelas SMPN 9 SMP adalah yang pertama dan
SMPS, PGRI 3 berada di skor tertinggi sekolah skor budaya. Nilai tertinggi dalam beban
lingkungan dalam budaya sekolah seperti pada tabel 3 adalah teladan dan pembiasaan
sementara aspek terendah adalah aspek partisipatif. Nilai keseluruhan beban lingkungan dalam
budaya sekolah adalah SMAN 3 Cimahi (3,92) dan skor terendah adalah SMP Budi Luhur (2,60).
Nilai kecerdasan siswa SMA di SMAN diperoleh SMAN 6 Cimahi, untuk SMAS diperoleh SMA
Santa Maria, untuk SMPN diperoleh SMPN Terbuka 2 Cimahi dan untuk SMPS ditempati oleh
SMP Pasundan 1 dan Tut Wuri Handayani. Pengukuran dilakukan pada aspek pengetahuan,
sikap, keterampilan dan partisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan. Secara keseluruhan,
nilai ekologis tertinggi peserta didik diperoleh oleh SMAN 6 Cimahi dan skor kecerdasan
ekologis terendah ditempati oleh SMA Pasundan 1 Cimahi.

3.3. Pengaruh budaya sekolah pada kecerdasan ekologi siswa

3.3.1. Hasil uji asumsi klasik menguji pengaruh. Sebelum uji pengaruh antara budaya sekolah
pada kecerdasan ekologis peserta didik, diuji asumsi klasik sebagai syarat analisis regresi. Hasil
uji asumsi klasik adalah sebagai berikut:

Normalitas Data. Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh signifikansi budaya sekolah 0,617
kecerdasan ekologis peserta didik 0,976 dengan nilai probabilitas = 0,05 sehingga semua nilai
signifikansi dihitung> nilai probabilitas diindikasikan maka semua data yang akan dilakukan
analisis regresi berdistribusi normal dan dapat dilanjutkan pada analisis selanjutnya.
 Linearitas Data. Nilai hasil uji linearitas kultur bekolah (X) terhadap kecerdasan ekologis dari
kecerdasan ekologis peserta didik (Y) = 0,700 <3,24 (linear).
 Tes Heterokendasity. Nilai heterokendasitas dengan menggunakan plot scartter diperoleh
hasil seperti pada gambar 2 dimana tidak membentuk pola sehingga tidak terjadi
heterokendasitas pada variabel yang akan diuji.

Gambar 2. Hasil uji hetereteritas.

3.3.2. Pengaruh budaya sekolah pada kecerdasan ekologi siswa. Hipotesis yang diajukan
mengenai pengaruh budaya (X) sekolah terhadap kecerdasan ekologis peserta didik (Y) adalah:

 Ha1: budaya sekolah (X) berpengaruh positif terhadap kecerdasan ekologis (Y) siswa sekolah
menengah di Kota Cimahi.
 Ho1: budaya sekolah (X) tidak berpengaruh positif terhadap kecerdasan ekologis (Y) siswa
sekolah menengah di Kota Cimahi.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh korelasi (rij) atau rCount adalah 0,558 dengan tingkat
signifikansi pengaruh (p) <0,01 berdasarkan nilai koefisien tidak standar atau koefisien regresi
1,893 (a) dan
0,197 (b) sehingga diperoleh persamaan regresi linier budaya sekolah (X) terhadap kecerdasan
Ekologis (Y) Ŷ = 1,893a + 0,197b.
Hal ini menunjukkan bahwa rCount (0,558)> rtable (0,430) dengan nilai probabilitas <0,01 maka
Ha1 diterima dan H01 ditolak berarti ada pengaruh positif langsung budaya sekolah (X)
terhadap kecerdasan ekologis
(Y) siswa SMA di Kota Cimahi (0,558) dengan klasifikasi pengaruh berdasarkan nilai koefisien
korelasi pada tabel 3.18 dimana nilai korelasi pengaruh dari 0,40 menjadi 0,599 berada dalam
klasifikasi "efek sedang" yang berarti bahwa pengaruh dari budaya sekolah tentang kecerdasan
ekologis peserta didik tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah. Angka ini menunjukkan
koefisien determinasi (r2) sebesar 31,13% (0,5582 x 100%) berarti bahwa budaya sekolah
berkontribusi terhadap pembentukan kecerdasan ekologi siswa SMA di Kota Cimahi sebesar
31,13% dan pembentukan kecerdasan ekologis dari peserta didik lainnya 69,87% merupakan
faktor kontribusi lain, karena hanya 31,13% maka ini juga menunjukkan bahwa kecerdasan
ekologis tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh budaya yang ada di sekolah. Hasil analisis
menunjukkan bahwa 31,13% kecerdasan ekologis dipengaruhi oleh budaya sekolah yang
menunjukkan faktor-faktor eksternal, terutama budaya sekolah, yang mempengaruhi
pertumbuhan kecerdasan ekologis [15,16] teori konstruk pribadi George A Kelly dan
konstruktivis di mana kecerdasan ekologis adalah terbentuk dari peserta Dididik dalam
menerjemahkan lingkungan, budaya sekolah terdiri dari beberapa aspek yang membangun
konstruk pemikiran bahwa pembiasaan melalui aturan, penghargaan dan hukuman membuat
peserta didik menganggap bahwa perilaku yang mendapat hadiah adalah sesuatu yang benar
dan perilaku yang didapat hukuman adalah sesuatu yang salah dan peraturan menjadi
konstruksi pikiran dalam budaya sekolah berpartisipasi dalam konservasi lingkungan yang
secara tidak langsung menjadi kebenaran bagi peserta didik khususnya untuk membentuk
aspek sikap dalam kecerdasan ekologis, sejalan dengan teori behavioris bahwa kecerdasan
dapat dibentuk melalui kontrol lingkungan seperti kebiasaan tion. Hasilnya adalah harapan guru
yang disahkan dengan tempat tinggal kepada siswa telah berkontribusi untuk tumbuh dan
berkembang
kecerdasan ekologis [17].
Teori sosial kognitif Bandura dan Mischel dari kecerdasan ekologis terbentuk tergantung pada
interaksi sosial peserta didik [15, 16], itu juga membuktikan aspek teladan dalam upaya
pelestarian lingkungan untuk membentuk kecerdasan ekologis peserta didik, di mana teladan
dalam berpartisipasi lingkungan bagi peserta didik Kepala sekolah, guru dan pendidik menjadi
pusat model sosial yang membentuk kecerdasan ekologis peserta didik terutama dalam aspek
keterampilan pelestarian lingkungan. Disebutkan bahwa untuk membangun kecerdasan
ekologis diperlukan banyak aspek yang baik di sekolah seperti fasilitas dan nilai [17]. Studi ini
menetapkan bahwa lingkungan sekolah dan pengaruh teman sebaya memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap kinerja akademik siswa [18].
Budaya sekolah tidak sepenuhnya membentuk kecerdasan ekologis karena faktor internal juga
dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan kecerdasan ekologis seperti
angka yang menunjukkan 69,87% bahwa kecerdasan ekologis dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain salah satunya adalah faktor internal sesuai dengan teori fenomenologis Carl Rogers bahwa
kecerdasan adalah persepsi individu dan setiap orang memiliki kemampuan untuk memahami
dunia, sehingga pandangan setiap orang berbeda serta kecerdasan ekologis setiap orang
berbeda karena ingatan dan pemrosesan faktor-faktor di otak manusia berbeda. “Pengalaman
Sendiri Tidak Mengarah Pada Pembelajaran” artinya membangun pengalaman kita
membutuhkan begitu banyak aspek di mana saya dapat menemukannya di pendidikan formal
(sekolah) [19]

Membuktikan teori psikoanalitik psikoanalitik Freud bahwa setiap orang memiliki dorongan
untuk melakukan sesuatu, dorongan itu adalah energi yang merupakan respons dari kondisi
lingkungan, perilaku yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ketika menerima respons dari
lingkungan, setiap orang akan memiliki ekspresi atau pelepasan energi yang berbeda
tergantung pada kapasitas energi yang dimilikinya, ketika melihat kondisi lingkungan yang
bukan kondisi lingkungan yang tepat maka respons setiap orang akan berbeda-beda apakah
akan membiarkannya saja, apakah akan berpartisipasi dan merusaknya atau sebaliknya.
Membuat kecerdasan ekologis setiap orang berbeda tergantung pada energi dalam merespons
kondisi lingkungan. Ada tiga poin untuk membangun kecerdasan terutama di sekolah "... guru
yang baik dan pengajaran yang baik dalam lingkungan belajar yang baik ..." dan "penting dalam
menciptakan etos pembelajaran yang akan memungkinkan siswa
untuk merasa nyaman di kelas ”[20]
Menurut teori kognitif Bandura dan Mischel bahwa setiap orang memiliki dorongan emosi yang
berbeda, hal ini terkait dengan aspek sikap, sikap pro terhadap keberlanjutan lingkungan
masing-masing orang berbeda tergantung pada keinginan untuk mengundang orang lain dalam
berpartisipasi dalam melestarikan lingkungan dan Sejauh mana, dan berbanding lurus dengan
teori biologi bahwa kecerdasan sangat tergantung dan juga ditentukan oleh kapasitas otak
manusia itu sendiri.
Pengaruh budaya sekolah pada kecerdasan ekologis muncul karena dalam budaya sekolah ada
upaya untuk membangun pada usia 12-18 tahun, peserta didik rentan terhadap pengaruh
eksternal dan informasi lebih mudah masuk dalam pembentukan memori kecerdasan (memori
sematic). Karena dalam budaya sekolah pembelajar secara tidak langsung (1) melatih kepekaan
visual dalam pelestarian lingkungan; (2) berlatih stimulasi aroma dengan banyak udara segar di
lingkungan sekolah; (3) adanya kontrol atas perilaku terutama yang mempengaruhi lingkungan.
Budaya sekolah juga memiliki ikatan dan pengaturan yang merupakan dua komponen penting
dalam membentuk aspek (1) sikap yang mendukung upaya pelestarian lingkungan; (2)
keterampilan dalam hidup selaras dengan lingkungan sekitar dan (3) partisipasi sehubungan
dengan kegiatan konservasi lingkungan. Aspek pengetahuan yang didapat di sekolah akan lebih
praktis dan aplikatif.

4. Kesimpulan
Budaya sekolah dengan kandungan lingkungan di dalamnya memiliki efek positif langsung pada
kecerdasan ekologis secara signifikan dengan 31,13% kontribusi dalam membentuk kecerdasan
ekologis peserta didik, terutama membentuk sikap pro terhadap lingkungan, keterampilan
hidup yang selaras dengan lingkungan dan partisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan.

References
[1] Schneider M 2002 Do School Facilities Affect Academic Outcomes? (Washington: National
Clearinghouse for Educational Facilities)
[2] Andrew T R, Thomas R and Kratochwill E 2004 Valuating School Climate and School Culture
Journal Teaching Exceptional Children 37 (1) pp. 10-17
[3] Durham R, Bettencourt A and Connolly F 2014 Measuring School Climate: Using Existing Data
Tools on Climate and Effectiveness to Inform School Organizational Health (Baltimore
Education Research Consortium)
[4] Issac S and Michael 1983 Hand Book in Research and Evaluation 2nd Edition (California-USA:
Edits Publisher)
[5] Kothari C 2004 Research Methodology (Methods and Techniwue): Second Edition (New Delhi:
New Age International Publisher)
[6] Emzir 2008 Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafino Persada)
[7] Kusnendi 2008 Model-Model Persamaan Struktural Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREl
(Bandung: Alfabeta)
[8] Sugiyono 2011 Statistik Untuk Penelitian (Bandung: Alfabeta)
[9] Preston C C and Colman A M 2000 Optimal Number Of Response Categories In Rating Scales:
Reliability, Validity, Discriminating Power, And Respondent Preferences Acta Psycoloica
Journal Elsevier 104 pp. 1-15
[10] Brown J D 2011 Likert items and scales of measurement? Journal ALT Testing & Evaluation SIG
Newsletter 15 (1) pp. 10-15
[11] Guest G 2000 Using Guttman Scaling to Rank Wealth: Integrating Quantitative and Qualitative
Data Field Methods Journal 12 (4) pp. 346-357
[12] Tavakol M and Reg Dennick R 2011 Making sense of Cronbach’s alpha International Journal of
Medical Education 2 pp. 53-55
[13] Razali N M and Wah Y B 2011 Power Comparison of Saphiro-Wilk, Kolmogorov-Smirnov,
Liliefors and Anderson Darling Tests Journal of Statistical Modeling and Analytics 2 (1) pp.
21-33
[14] Goodwin L D and Leech N L 2006 Understanding Correlation: Factors That Affect the Size
Journal of Experimental Education 74 (3) pp. 251–266
[15] Pervin L A, Cervon D and John P O 2010 Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian Edisi
Kesembilan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
[16] Meggit C 2012 Understand Child Development (Jakarta Barat: PT Indeks)
[17] Sylva K 1994 School Influences on Children's Development J- Child Psychol Journal 35 (1) pp.
136-171
[17] Tsiplakides I and Keramida A 2010 The Relationship between Teacher Expectations and Student:
Achievement in the Teaching of English as A Foreign Language ETL Journal 3 (2) pp. 22-26
[18] Korir D K and Kipkemboi F 2014 The Impact of School Environment and Peer Influences on
Students’ Academic Performance in Vihiga County, Kenya International Journal Human and
Social Science 4 (5) pp. 240- 251
[19] Loughran J 2002 Effective Reflective Practice In Search Of Meaning In Learning About Teaching
Monash University Journal Of Teacher Education 53 (1) pp. 33-43
[20] Gurney P 2007 Five Factors for Effective Teaching New Zealand Journal of Teachers’ Work 4
(2) pp. 89-98

Anda mungkin juga menyukai