Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling


sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau
paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab
yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih
dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak
kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan
penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.

Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Pallsy banyak terjadi namun


secara pasti sulit ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya
Bell’s palsy di Indonesian sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati
terbanyak yang sering dijumpai terjadi pada usia 20-50 tahun, dan angka
kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun. Biasanya
mengenai salah satu sisi wajah (unilateral) jarang bilateral dan dapat berulang
(Annsilva, 2010)

Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien bell’s palsy biasanya bila
dahi di kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas. Pada
sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,
namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan
meninggalkan gejala sisa.

Fisioterapi memiliki peran penting dalam proses penyembuhan serta


perbaikan bentuk wajah yang mengalami kelemahan, antara lain membantu
mengatasi permasalahan kapasitas fisik pada pasien, mengembalikan
kemampuan fungsional pasien serta memberi motivasi dan edukasi pada pasien.
teknologi yang dapat di aplikasiakan kepada pasien antara lain (1) MwD
(Massage) (Mirror exercise) serta edukasi kepada pasien.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kasus


A. Definisi
Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang
memberikan dampak yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus
facialis dapat disebabkan oleh bawaan lahir (kongenital), neoplasma,
trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab iatrogenik. Yang
paling sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah
Bell’s palsy. Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang
bernama Charles Bell. Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan
paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi
nervus facialis perifer
B. Anatomi wajah

Wajah adalah bagian anterior dari kepala, dengan batas kedua


telinga lateral, dagu di inferior dan garis batas tumbuhnya rambut di
superior. Tulang tengkorak mempunyai bagian-bagian yang biasanya
ditinjau dari beberapa aspek yaitu aspek anterior, posterior, superior,
dan inferior serta lateral. Terkait dengan perjalanan N. Facialis maka
cranium ditinjau dari arah lateral dan melibatkan Os temporalis,
Canalis facialis, Foramen stylomastoideus, Ramus mandibularis aspek
lateral (Shiffman and Giuseppe, 2012).
Jika dilihat dari struktur otot, otot pada wajah sangatlah tipis dan
rata.Tidak semua otot wajah melekat pada tulang, kebanyakan saling
terikat pada fascia otot yang lainnya.Otot diwajah berperan untuk
memberikan ekspresi serta memberikan gerakan seperti mengerutkan
dahi, menutup kelopak mata, mengunyah, dan lainnya (Shiffman and
Giuseppe, 2012).

2
Nervus facialis adalah salah satu dari 12 pasang saraf cranial.
Nervus facialis merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot
wajah. Otot-otot yang dipersarafi adalah (Netter, 2014):
1. M. Frontalis, fungsinya mengangkat alis mata dan mengerutkan dahi
(ekspresi heran)
2. M. Orbicularis Oculi, fungsinya menutup mata (ekspresi memejamkan
mata)
3. M. Orbicularis Oris, fungsinya mengucupkan mulut ke depan (ekspresi
bersiul)
4. M. Proserus, fungsinya mengangkat hidung (ekspresi benci)
5. M. Nasalis, fungsinya melebarkan daun hidung (ekspresi mencium
bau)
6. M. Currogator Supercili, fungsinya menarik alis mata ke tengah dan
menurun sehingga membentuk lipatan atau kerutan di antara kedua alis
mata (ekspresi marah)
7. M. Zygomatikum, fungsinya menarik sudut mulut dengan
memperlihatkan gigi (ekspresi senyum)
8. M. Rizorius, fungsinya menarik sudut mulut ke lateral (ekspresi
meringis)
9. M. Buccinator, fungsinya menekan pipi ke dalam dan bersiul
10. M. Deperesor Labii Inferior, fungsinya menonjolkan bibir ke bawah ke
luar (ekspresi mencibir)
11. M. Mentalis, fungsinya meruncingkan dagu
12. M. Deperesor Anguli Oris, fungsinya menarik sudut mulut ke bawah
secara kuat

3
Gambar 1. Otot-otot pada Wajah
Sumber: (Shiffman and Giuseppe, 2012)

C. Anatomi Nervus Fasialis


Saraf fasialis atau saraf kranialis ke tujuh mempunyai komponen
motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu
sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang
menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom
yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula
lakrimalis (Lowis dan Gaharu, 2012).
saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar
saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan
intermedius (lebih kecil dan lebih lateral). Akar motorik berasal dari
nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut-serabut motorik ke
otot-otot ekspresi wajah.Saraf intermedius yang berasal dari nukleus
salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke
kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius
juga membawa serabut-serabut aferen untuk pengecapan pada dua
pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna
dan pinna (Japardi, 2004)

4
Gambar 2. Nukleus dan Saraf Fasialis
Sumber: (japardi, 2004)
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan
berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan
saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang
memiliki panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum
dan perineurium (Japardi, 2004)
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis
(fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3
segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin
terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion
genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini
(rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf,
paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion
genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang
sedikit yaitu saraf petrosal.Saraf petrosal meninggalkan ganglion
genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan
masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion
pterigopalatina.Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan
palatina.Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di
sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan

5
memberikan percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada
stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf
korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus.
Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf
fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum
telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa.Saraf tersebut
kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis
dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Japardi, 2004).
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis
membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi
m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari
meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar
parotid.Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5
kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal
mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada
bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot
ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m.
buccinator dan m. Platysma (Japardi, 2004).

D. Etiologi Bells Pallsy


Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi.Hipotesis
virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah
penelitian mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di
ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam
minggu seteah mengalami bell’ss palsy (Lowis & Gaharu, 2012).
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi,
baru beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara
logis karena pada umumnya kasus BP sekian lama dianggap idiopatik.
Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion

6
genikulatum penderita Bell’s palsy (Ropper, 2003 ; Bahrudin, 2011).
Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai
penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV
ditemukan pada keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore), dan
beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam
ganglion genikulatum.(Ropper, 2003 ; Bahrudin, 2011).

E. Patofisiologi Bells Pallsy


Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf
fasialis di meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah
(karena infeksi atau operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s
palsy) atau di kelenjar parotis (karena tumor) akan menyebabkan
distorsi wajah, dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut
mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi lower motor
neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan menunjukkan
bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi
bagian ini menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral
(Snell 2012 ; Mujaddidah 2017).
Peneliti menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk
mengamplifikasi sekuens genom virus,dikenal sebagai HSV tipe 1 di
dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari
14 kasus Bell’spalsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada
kasus yang berat. Peneliti menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah
tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen
virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion
genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis
herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan
mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan
vaskular saraf (Lowis & Gaharu, 2012).

7
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi
saraf fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama
perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan
kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap
saraf (Kanerva 2008 ; Mujaddidah 2017).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung
merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan
terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada
kanal tulang (Kanerva 2008 ; Mujaddidah 2017).

F. Gambaran Klinik
Gejala bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot wajah pada
satu sisi mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak/kaku pada
wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik kadang-kadang diikuti
oleh hiperakusis berkurangnya produksi air mata dan berubahnya
pengecapan di lidah kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara
parsial/komplit kelumpuhan parsial dalam 1 – 7 hari dapat berubah
menjadi kelumpuhan komplit (Munilson dkk., 2011).

B. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi


1. Ugo Fisch Skala
Ugo Fisch digunakan untuk mengukur kemajuan motorik dan
kemampuan gerak fungsional otot-otot wajah. Peningkatan nilai
kekuatan otot wajah
4 skala penilaian,
1. 0%, untuk kekuatan otot 0 : zero, asimetri komplit, tak ada gerak
volunter,
2. 30%, untuk kekuatan otot 1 : poor, kesembuhan ke arah asimetri,
3. 70%, untuk kekuatan otot 3 : fair, kesembuhan parsial ke arah
simetri,

8
4. 100%, untuk kekuatan otot 5 : normal, simetris komplit.
Gerakan yang dilakukan,
1. Diam = 20 x (%) =...
2. Mengerutkan dahi= 10 x (%) =...
3. Menutup mata = 30 x (%) =...
4. Tersenyum = 30 x (%) =...
5. Bersiul = 10 x (%) =...
Ket :
a. % adalah persentase sesuai dengan kemampuan dari pasien dan
bisa dihubungkan dengan kekuatan otot yang berperan dalam gerakan
diatas,
b. Semakin mendekati 100 skornya akan lebih baik, apabila belum
mencapai 100 dari semua penjumlahan hasil dari aktivitas diatas maka
fisioterapis diharapkan belum menghentikan tindakan karena apabila
dihentikan sebelum 100 akan mengakibatkan terdapat gejala sisa.

Derajat kelumpuhan pada Ugo Fisch Scale

Derajat Interpretasi
Derajat I (100 point) Normal
Derajat II (75-99 point) Kelumpuhan ringan
Derajat III (50-75 point) Kelumpuhan sedang
Derajat IV (25-50 point) Kelumpuhan sedang berat
Derajat V (1-25 point) Kelumpuhan berat
Derajat VI (0 point) Kelumpuhan total

2. Manual Muscle Testing (MMT)


adalah pemeriksaan yang di tujukan untuk menilai kekuatan otot
fasialis yang mengalami paralisis digunakan skala Daniel an
Worthinghom’s Manual Muscle Testing yaitu :

9
Nilai Interpretasi
0 (zero) Tidak ada kontraksi bisa diraba atau dilihat
1 (trace) Tidak ada gerakan, tetapi dengan palpasi kontraksi dapat
dirasakan
3 (fair) Gerakan bisa dilakukan, tetapi dengan kesulitan atau hanya
sebagian
5 (normal) Kontraksi penuh, terkontrol dan simetris

3. Visual Analogue Scale (VAS)


Visual Analogue Scale (VAS) adalah pengukuran instrumen
pengukuran nyeri yang paling banyak dipakai dalam berbagai studi
klinis dan diterapkan terhadap berbagai jenis nyeri. Terdiri dari satu
garis lurus sepanjang 10 cm. Garis paling kiri menunjukkan tidak ada
rasa nyeri sama sekali, sedangkan garis paling kanan menandakan rasa
nyeri yang paling buruk.
Kepada pasien dimintakan untuk memberikan garis tegak lurus
yang menandakan derajat beratnya nyeri yang dirasakannya. Instrumen
VAS ini tidak menggambarkan jenis rasa nyeri yang dialami pasien,
misalnya shooting pain dan sebagainya. Jadi sebagaimana pengukuran
kategorikal, maka VAS juga mengukur 69 nyeri secara satu dimensi
saja. (Potter & Perry, 2006)
1. nilai 0 : tidak nyeri
2. nilai 1-3 : nyeri ringan
3. nilai 4-6 : nyeri sedang,
4. nilai 7-9 : nyeri berat terkontrol
5. nilai 10 : nyeri hebat tidak terkontrol

C. Tinjauan Tentang intervensi Fisioterapi


a. MWD (Micro Wave Diathermy)
Dari modalitas MWD memberikan efek psikologis dan efek
terapeutik. Efek psikologis yang dihasilkan adalah meningkatkan
temperatur lokal yang akan menimbulkan beberapa reaksi seperti

10
meningkatkan aktivitas metabolisme karena setiap meningkatnya
temperatur suhu 10C akan meningkatkan metabolisme sebanyak 13%
(Periatna dan Gerhaniawati, 2006). Dibuktikan pada saat terapi dari T1-
T6 dengan menggunakan MMT pasien mengalami peningkatan yaitu
pada nilai otot Orbicularis Oculi dan menggunakan Sekala UGO
FISCH pasien mengalami peningkatan fungsional yaitu pada saat
menutup mata. Dan pada saat terapi diberikan jedah satu hari agar
terjadinya proses vasodilatasi. Sedangkan efek terapeutik yang
dihasilkan adalah meningkatkan suplai darah, mengurangi nyeri, dan
mengurangi spasme.
b. Massage
Pemberian massage pada bell’s palsy bertujuan untuk
merangsang reseptor sensorik dan jaringan subcutaneous pada kulit
sehingga memberikan efek rileksasi dan dapat mengurangi rasa kaku
pada wajah (William, 2012). Massage diberikan berulang kali pada saat
terapi dan teknik-teknik massage yang biasanya diberikan antara lain:

o Stroking adalah manipulasi gosokan yang ringan dan halus


tanpa adanya penekanan, dan biasanya di gunakan untuk
meratakan pelicin.

o Euffleurrage adalah manipulasi gosokan dengan penekanan


yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan
tangan, sebaiknya di berikan dari dagu ke atas ke pelipis dan
dari tengah dahi turun kebawah menuju ke telinga. Ini harus di
kerjakan dengan lembut dan menimbulkan ransangan pada otot-
otot wajah.

o Finger kneading adalah pijatan yang di lakukan dengan jari-jari


dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar,
diberikan keseluruh otot wajah yang terkena lesi dengan arah
gerakan menuju ke telinga.

11
o Vibration adalah getaran-getaran halus yang dikerjakan dengan
ujungujung atau seluruh telapak tangan untuk satu sisi wajah,
dapat diberikan disekitar percabangan nervus facialis.

o Tapotement adalah manipulasi yang diberikan dengan tepukan


yang ritmis dengan kekuatan tertentu, untuk daerah wajah
terutama pada sisi lesi. Tapotement ini dilakukan dengan ujung-
ujung jari. Jadi efek yang ditumbulkan oleh massage itu dapat
membantu proses penyembuhan
c. Terapi Latihan dengan “ mirror exercise “
Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan
dengan menggunakan cermin yang akan memberikan efek
“biofeedback”. Dalam pelaksanaan mirror exercise ini, sebaiknya
dilakukan ditempat yang tenang dan tersendiri agar pasien bisa lebih
berkonsentrasi. Jenis-jenis latihannya yaitu melatih gerakan-gerakan
pada wajah, antara lain
1) mengangkat alis dan mengkerutkan dahi,
2) menutup mata,
3) tersenyum,
4) bersiul,
5) menutup mulut,
6) menarik sudut 14 mulut kesamping kanan dan kiri,
7) memperlihatkan gigi seri dan mengangkat bibir ke arah atas,
8) mengembang-kempiskan cuping hidung,

12
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
A. Identitas Umum Pasien
Nama : Ny. M
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Penjahit
Agama : Islam
Alamat : Maccini
B. Anamnesis Khusus ( History Taking )
a. Keluhan Utama : kelemahan separuh wajah
b. Lokasi Nyeri : belakang telinga
c. Lama keluhan : 2 minggu yang lalu (
d. Riwayat Perjalanan Penyakit : pasien merasakan kaku pada area wajah
dan mata berair pada saat bangun dipagi hari serta pasien merasakan
nyeri pada belakang telinga.
e. Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Denyut Nadi : 70x/menit
C. Inspeki/ Observasi
1. Statis :
 Saat keadaan diam wajah pasien tampak simestris dengan bibir
sedikit terbuka.
2. Dinamis :
 Saat berbicara, tampak bibir asimetris
 Saat tersenyum bibir cenderung ke kanan
 Kerutan dahi tampak asimetris
 Tidak mampu menutup mata kanan dengan rapat
3. Palpasi :

13
 oedem tidak ada
 Tenderness pada belakang telinga
D. Pemeriksaan Spesifik

1. Manual Muscle Test Wajah( Nancy Berryman)


Otot-Otot Wajah Nilai Otot
Dextra Sinistra
m. frontalis 1 5
m. corrugator supercili 1 5
m. procerus 3 5
m. levator labii superior 5 5
m. zygomaticum mayor 3 5
m. orbicularis oculi 3 5
m. orbicularis oris 1 5
m. buccinator 3 5
m. risorius 3 5
m. mentalis 3 5
m. depressor labii 3 5
inferior

2. Tes kemampuan fungsional wajah (UgoFisch Scale)


Hasil :
Posisi Nilai Jumlah

Saat Istirahat 30% x 20 6

Mengerutkan Dahi 10% x 10 1

Tersenyum 10% x 30 3

14
Bersiul 10% x 30 3

Menutup Mata 30% x 10 3

Jumlah 16

3. Visual Analog Scale ( VAS )

0 5 7 10
Hasil : Nilai 7 ( nyeri sedang )
E. Diagnosa Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil
proses pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
”Gangguan Fungsional Wajah Akibat Kelemahan Otot Wajah Dextra
E.C. Bell’s Palsy”
F. Problematik Fisioterapi
a. Anatomical/functions impairment
 Adanya kelemahan otot wajah sinistra
 Nyeri pada belakang telinga
b. Activity limitation
 Adanya gangguan saat makan dan minum
 Adanya gangguan ekspresi seperti menutup mata,
tersenyum , mengerutkan dahi
c. Participation restriction
 Adanya penurunan rasa percaya diri saat bergaul di
lingkungan masyarakat Karena gangguan ekspresi
G. Tujuan Intervensi
a. Tujuan jangka pendekMeningkatkan kekuatan otot wajah
sinistra
 Mengurangi nyeri
b. Tujuan jangka panjang

15
Mengembalikan kemampuan fungsional wajah semaksimal
mungkin seperi makan dan minum, berekspresi dan
meningkatkan kepercayaan diri pasien
H. Program intervensi fisioterapi
1) Komunikasi terapeutik
Tujuan : Memberikan motivasi untuk kesembuhan pasien
a. Teknik : Fisoterapis memberikan pertanyaan terbuka dan
mendengarkan secara aktif.
b. Dosis :
F : Setiap hari
I : Toleransi pasien
T : Berbicara langsung ke pasien
T : Tidak terbatas dan dikondisikan dengan keadaan pasien
2) MWD (Micro Wave Diathermy)
Tujuan :melancarkan sirkulasi darah, rileksasi otot wajah dan
mengurangi spasme
Dosis :
F : 3x/minggu
I :78 watt
T : local
T : 10 menit
3) Massage
Tujuan : memobilisasi serabu otot di area yang
mengalami paralysis dan mencegah
terjadinya kontraktur
Posisi Pasien : pasien terlentang di atas bed Fisioterapi
berada disamping pasien.
Teknik Pelaksanaan : Effleurage , stroking, finger kneading,
vibration, tapotement,

16
Dosis : Dilakukan sebanyak 5 kali repetisi 3 set.

4) Terapi Latihan dengan “ mirror exercise “


Tujuan : menggerakkan otot ajah yang mengalami kelumpuhan
Dosis :
F : 3x/minggu
I : Pasien focus
T : Mirror exercise
T : 3 Menit

I. Evaluasi Fisioterapi (follow-up)


a) evaluasi

No Problem FT Parameter Setelah Sesaat Interpretasi


Sebelum Setelah
intervensi intervensi
1 Kelemahan Nancy Dextra : 3 Dextra :3+ Terdapat
otot wajah Berryman peningkatan
Scale kekuatan otot

2 Kemampuan Ugo Fisch 34 34 Belum Terdapat


fungsional Scale peningkatan
wajah kemampuan
fungsional
wajah yang
signifikan
3 Nyeri Vas 7 10 Terdapat
penurunan nyeri

b) Home Program
Untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan kesembuhan
pasien, diberikan latihan – latihan yang dapat dilakukan dirumah
seperti:

17
a. Mirror exercise yakni dengan melakukan latihan di depan cermin
dengan melakukan koreksi posisi pada wajah dan latihan-latihan
seperti berikut:

Gambar 4. Photographic Standards for Patients With Facial Palsy


Sumber : (Katherine et al, 2017)

b. Latihan persiapan pasien untuk kembali ke aktifitas fungsional


seperti, latihan minum menggunakan sedotan, makan permen karet,
meniup kertas, mengosok gigi dan kumur-kumur.

Gambar 5. Latihan Minum


Sumber : (Permata, 2016)

18
Gambar 6. Latihan tiup kertas
Sumber : (senoysiswoyo.blogspot.com)

c. Pemberian edukasi seperti menggunakan masker wajah saat


berkendara, mengurangi paparan langsung AC dan kipas angin dan
tidak minum air es dan mengurangi rasa stress.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau


kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis
perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.

19
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga
dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak
dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak
seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang
sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi
obat- obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik
meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

20

Anda mungkin juga menyukai