Anda di halaman 1dari 14

HISCSPRUNG’S DISEASE (HD)

A. DEFINISI
Hirschsprung’s disease (HD), adalah penyakit kongenital kurangnya saraf
intrinsik (sel ganglion) di segmen distal pada intestinal tract. Segmen yang abnormal
menghasilkan obstruksi mekanik karena gagal relaksasi selama peristaltik. Penyakit
hirschsprung selalu dimuali dari anal, tetapi panjang segmen tanpa sel ganglion
berfariasi (terbatas pada rectum dan sigmoid pada 75% pasien, melibatkan seluruh usus
besar 8%, dan jarang melibatkan usus halus) (Samuel Nurko, 2006).
Penyakit hiscsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran. Penyakit ini
disebabkan oleh kegagalan sel ganglion untuk bermigrasi cephalocaudally melalui
neural crest selama minggu ke empat sampai 12 kehamilan, menyebabkan tidak adanya
sel ganglion pada semua atau sebagian colon. Bagian dari usus besar distal tidak
mampu untuk relaksasi, menyebabkan obstruksi kolon fungsional dari waktu ke waktu.
Segmen aganglionik biasanya dimulai pada anus dan meluas proksimal. Penyakit short-
segment yang paling umum dan hanya terbatas pada wilayah rectosigmoid kolon.
Penyakit long-segment meluas melewati daerah ini dan dapat mempengaruhi seluruh
usus besar. Sebagian besar terjadi pada masa bayi, dan diagnosis dini sangat penting
untuk menghindari komplikasi. Dengan perawatan yang tepat, sebagian besar pasien
hidup dewasa dengan normal ( Jennifer Kessmann, 2006).

B. ETIOLOGI
Hisprung disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai dari sfingter ani interna
dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu anus
dan setidak- tidaknya sebagian rectum.Pada tahun 1938 Robertson dan Kernohan
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hisprung disebabkan oleh gangguan
peristaltis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal (Kartono, 2014).
Aganglionosis disebakan karena tidak adanya perpindahan neuroblas dari proksimal ke
distal, sehingga fungsi ganglion untuk mempersarafi saat kontraksi maupun relaksasi
tidak ada, yang pada akhirnya menyebabkan feses tidak dapat diekskresi melalui rectum
(Whilley, 2002).
Dari segi etiologi, Bodian dkk menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit
Hisprung bukan disebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik
ekstrinsik, melainkan oleh adanya lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan
autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi (Kartono, 2014).
Secara anatomis normal, defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus
(parasimpatis), kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan
n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis). Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus
terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal.
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler.
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus
tersebut. Saraf intrinsik berasal dari saraf parasimpatis ganglion pleksus submukosa
meisner dan ganglion mienterikus auerbach, yang terletak diantara otot yang sirkuler dan
longitudinal. Pengaruh dari saraf intrinsik lebih dominan dibandingkan saraf yang
ekstrinsik. Pengaruh ini terutama untuk kontraksi dan relaksasi dari usus yang teratur.
Pada penyakit hircsprung tidak terdapat ganglion pleksus submukosa meisner dan
mienterikus, selain itu juga terjadi hipertrofi jaringan saraf diantara otot yang longitudinal
dan yang sirkuler yang menghambat peristaltik kolon. Pada masa embrional, persarafan
usus mulai dari neuroblas daerah kranioservikal yang bermigrasi ke daerah kaudal
sampai anus. Penyakit hirschprung migrasi neuroblas, berhenti sebelum mencapai
sfingter internus.
Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis menuju
saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal. Pada
minggu ke 5 kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai esofagus, pada minggu ke
7 mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon pada minggu ke 12. Proses migrasi
mula pertama menuju ke dalam pleksus Auerbachi dan selanjutnya menuju kedalam
pleksus submukosa Meissneri. Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel
krista neuralis ini maka akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik
dan terjadilah penyakit Hirschsprung (Fonkalsrud,1997).

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Penyakit Hisprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, merupakan 70% kasus dari
penyakit hisprung dan lebih sering ditemukan paa anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan.
2. Penyakit Hisprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid bahkan mengenai seluruh kolon dan usus halus.
Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki maupun perempuan. (Ngastiyah, 1997)
3. Hirschsprung kolon aganglionik total
Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik mengenai
seluruh kolon.
4. Hirschsprung kolon aganglionik universal
Dikatakan Hirschsprung aganglionosis universal bila daerah aganglionik meliputi
seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.

D. FAKTOR RISIKO
 Faktor Bayi
1. Pada Masa Embrional
Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis
menuju saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah
distal. Pada minggu ke 5 kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai esofagus,
pada minggu ke 7 mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon pada minggu ke
12. Proses migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus Auerbachi dan
selanjutnya menuju kedalam pleksus submukosa Meissneri. Apabila terjadi
gangguan pada proses migrasi sel-sel krista neuralis ini maka akan menyebabkan
terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah penyakit Hirschsprung
(Fonkalsrud,1997).
2. Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang paling
umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom
Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan penderita
sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan
salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung
bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
 Faktor Ibu
1. Umur
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat
meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan
Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
mendekati masa menopause.
2. Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat
dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal).
Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest.
Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan
memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda dan gejala neonates meliputi :
 Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam tempo 24 – 48 jam karena usus
tidak mampu mendorong isinya kea rah distal.
 Muntah dengan muntahan yang mengandung feses atau empedu sebagai akibat
obstruksi intestinal.
 Distensi abdomen yang terjadi sekunder karena retensi isi usus dan obtruksi
usus.
 Iritabilitas (anak menjadi rewel) akibat distensi abdomen yang timbul.
 Kesulitan menyusu dan kegagalan tumbuh-kembang yang berhubungan dengan
retensi isi usus dan distensi abdomen.
 Dehidrasi yang berhubungan dengan kesulitan menyusui dan ketidakmampuan
mengosumsi cukup cairan.
 Diare overflow yang terjadi sekuder karena peningkatan sekresi air ke dalam
usus disertai obstruksi usus.
2. Tanda dan Gejala pada anak-anak meliputi :
 Konstsipasi persisten akibat penurunan motilitas GI
 Distensi abdomen akibat retensi feses.
 Massa feses yang bisa diraba akibat retensi feses
 Ekstremitas yang lisut pada kasus-kasus berat yang terjadi sekunder karena
gangguan motilitas intestinal dan pengaruhnya pada nutrisi derta asupan
makanan.
 Kehilangan jaringan sub kutan pada kasus berat yang terjadi sekunder karena
malnutrisi.
 Abdomen yang besar dan menonjol akibat retensi feses dan perubahan
homeostasis cairan serta elektrolit yang ditimbulkan.
3. Tanda dan gejala pada dewasa (yang lebih jarang ditemukan dan prevalen pada laki-
laki meliputi :
 Distensi abdomen akibat penurunan motilitas usus dan konstipasi
 Konstipasi intermiten yang kronis dan merupakan keadaan sekunder karena
gangguan motilitas usus. (Kowalak, 2011)

F. PATOFISIOLOGI (Terlampir)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung.Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus
besar.Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung. Tampak rektum yang


mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah
24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah
terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.Sedangkan
pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis,
maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
2. Biopsy Rectal
 Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan
biopsy rectal full-thickness.
 Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata
karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.
 Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan
pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama prosedur
ini dilakukan.
3. Simple Suction Rectal Biopsy
 Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik
mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist
 Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder
khusus memotong jaringan yang diinginkan.
4. Manometri Anorektal
 Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal sphincter setelah
distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak ditemukan
pada pasien penyakit Hirschsprung.
 Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960,
dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak
keterbatasan. Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting.
Hasil positif palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu
dilaporkan sebanyak 24% dari kasus.
 Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri anorektal
jarang digunakan di Amerika Serikat
 Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas
tempat tidur pasien.
 Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari
sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan
pada jaringan yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy
 Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan
asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf yang hipertropi
sepanjang lamina propria dan muskularis propria pada jaringan.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan
pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi
sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis.
Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan infus,
pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase
kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi. (Kartono, 2004)
1. Konservatif
Intervensi agresif pada fase awal terdiri atas resusitasi cairan dan elektrolit,
dekompresi usus, administrasi analgesia dan antimuntah sesuai klinis, antibiotic
spectrum luas, serta konsultasi bedah awal.
2. Pembedahan
Pilihan operasi bervariasi tergantung usia pasien, status mental, kemampuan untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari, panjang segmen aganglionik, derajat dilatasi
kolon, irigasi rectal diikuti oleh reseksi usus dan prosedur kolostomi(Dasgupta,2004
dalam Arif Muttaqin & Kumalasari,2011). Ada dua tahap pembedahan pertama
dengan kolostomi loop atau double barrel di mana diharapkan tonus dan ukuran
usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali menjadi normal dalam waktu 3 – 4
bulan. Terdapat tiga prosedur dalam pembedahan di antaranya sebagai berikut:
a) Prosedur Duhamel dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik. Selanjutnya dibuat
dinding ganda, yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal
yang telah ditarik
b) Prosedur Swenson, yaitu membuang bagian aganglionik kemudian
menganastomosiskan end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran
anal yang mengalami dilatasai dan pemotongan sfingter di lakukan pada bagian
posterior.
c) Prosedur Soave, dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rectum
tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal di tarik sampai ke anus tempat
di lakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosimoid
yang tersisa(Hidayat,2008).
Pembedahan yang saat ini umum di lakukan adalah pembedahan yang
memanfaatkan laparoskopi abdominal dan mobilisasi pelvis pada rectum dan
prosedur transanal soave, yang tidak termasuk diseksi intraabdominal.Selain itu juga
terdapat laparotomy atau yang di kombinasikan dengan laparoscopy dan transanal
dissection yang telah di advokasikan pada bayi baru lahir.Pembedahan ini memiliki
beberapa keuntungan yaitu waktu rawat inap yang pendek, dan pemenuhan
makanan yang adekuat(Guandalini,2005).
Selain itu didalam buku lain di jelaskan tentang penatalaksanaan
prapembedahan dan pascapembedahan:
1) Penatalaksanaan prapembedahan
(a) Memantau fungsi usus dan karakteristik feses
(b) Memberikan spooling dengan air garam fisiologis bila tidak ada kontraindikasi
lain.
(c) Pantau status hidrasi dengan cara mengukur intake dan output cairan tubuh
(d) Observasi membrane mukosa, turgor kulit, produksi urine, dan status cairan.
(e) Pantau perubahan status nutrisi, antar lain turgor kulit dan asupan nutrisi.
(f) Melakukan pemberian nutrisi parenteral jika secara oral tidak memungkinkan.
(g) Lakukan pemberian nutrisi dengan tinggi kalori, tinggi protein.
2) Penatalaksanaan pascapembedahan
(a) Lakukan observasi atau pantau tanda nyeri
(b) Lakukan teknik pengurangan nyeri, seperti teknik back rub (pijat punggung),
sentuhan.
(c) Pertahankan posisi yang nyaman bagi pasien
(d) Berikan anlagesik jika memungkinkan.
(e) Pantau tempat insisi, mengganti popok dengan sering untuk menghindari
kontaminasi feses.
(f) Lakukan perawatan pada kolostomiatau perianal
(g) Kolaborasi pemberian antibiotic untuk pengobatan mikroorganisme.
(h) Pantau tanda andanya komplikasi seperti obstruksi usus karena perlenketan,
volvulus, kebocoran pada anastomosis, sepsis, fistula, enterokolitis, frekuensi
defekasi, konstipasi, perdarahan, dll.
(i) Memantau peristaltic usus
(j) Pantau tanda-tanda vital dan adanya distensi abdomen untuk
mempertahankan kepatenan pemasangan nasogastrik.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit hisprung dapat digolongkan atas :
1. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang inadekuat pada kedua
tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok
dubur businasi pascaoperasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari
abses rongga pelvic, abses intra abdomen, peritonisis, sepsis dan kematian.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka daerah anastomose, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson
atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel
sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi
dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga vistula perianal.
3. Enterokolitis
Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus.
Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin dipenuhi
eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi (perlubangan saluran cerna)
. Proses ini dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik.
Enterokolitis terjadi pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen
usus yang terkena panjang
Tindakan yang dapat dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda enterokolitis
adalah:
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit.
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi.
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari.
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien
dengan endorektal pullthrough.Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan
kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut
Swenson adalah karena obtruksi parsial.Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh
stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih
spastik.Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi
seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau
busuk.Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi
nekrosis, infeksi dan perforasi.Hal yang sulit pada megakolon kongenital adalah
terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan
pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.
4. Gangguan fungsi spingter
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis
dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari setiap operasi definitif
pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas penyakit Hirschsprung, dimana
penderita mampu menguasai dengan baik fungsi spinkter ani dan kontinen (Swenson
dkk,1990)
5. Sepsis dan syok septik
Infeksi pada penyakit hirschprung berasal dari kondisi obstruksi usus letak
rendah.Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding usus
sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoreksia.Jaringan iskemik mudah
terinfeksi oleh kuman, kuman menjadi lebih virulen.Terjadi infeksi kuman dari lumen
usus ke mukosa, sub mukosa, lapisan muscular dan akhirnya ke rongga peritoneal
sehingga terjadilah sepsis. Kondisi ini kemudian dapat menyebabkan terjadinya
penurunan tekanan darah disertai dengan kegagalan sirkulasi yang selanjutnya
disebut sebagai syok septik.
6. Nekrosis dan perforasi
Iskemia yang terjadi pada dinding usus dapat berlanjut.Dalam keadaan iskemia
metabolism terganggu, jaringan tidak mendapat sirkulasi darah yang baik sehingga
dapat terjadi nekrosis dan perforasi.(Verawati,2014)

J. ASUHAN KEPERAWATAN
Pre operasi
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
2. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi karena aganglion pada usus
3. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
4. Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas
karena mual.
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan adanya insisi
3. Cemas keluarga berhubungan dengan kurang pengetahuan keluarga mengenai
pengobatan dan perawatan post operasi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
1 Pola nafas tidak efektif b.d Tujuan : Respiratory Monitoring
penurunan ekspansi paru Setelah dilakukan tindakan 1.     Monitor frekuensi, ritme dan kedalaman pernafasan
keperawatan selama 1 x 24 jam pola 2.     Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot
nafas berangsur efektif tambahan
NOC : 3.     Monitor pola nafas seperti, bradipneu, takipneu, hiperventilasi
Respiratory Status 4.     Auskultasi suara pernafasan
Oxygen terapy
Kriteria Hasil : 1.    Pertahankan jalan nafas yang paten
1.    Frekuensi pernafasan normal 2.    Pertahankan posisi pasien dengan kepala lebih tinggi
2.    Ekspansi dada optimal dan simetris 3.    Siapkan peralatan oksigenasi
3.    Bernafas mudah 4.    Monitor dan atur aliran oksigen
4.    Keadaan inspirasi
2 Konstipasi b.d defek persyarafan Tujuan : Bowel Irigation
terhadap aganglion usus Setelah dilakukan tindakan 1.    Tetapkan alasan tindakan membersihkan saluran pencernaan
keperawatan 2 x 24 jam konstipasi 2.    Pilih pemberian enema yang tepat
berangsur teratasi 3.    Jelaskan prosedur pada pasien
NOC : 4.    Monitor efek samping dari tindakan pengobatan
Bowel Elimination 5.    Catat perkembangan baik
6.    Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali
Kriteria Hasil : 7.    Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi,
1.    Pola eliminasi dalam batas normal jumlah
2.    Warna feses dalam batas normal 8.    Konsultasikan dengan dokter rencana pembedahan
3.    Bau feses tidak menyengat
4.    Konstipasi tidak terjadi
5.    Ada peningkatan pola eliminasi yang
lebih baik
3 Resiko nutrisi kurang dari Tujuan : Management Nutrisi
kebutuhan tubuh b.d mual Setelah dilakukan tindakan 1.    Kaji riwayat makanan yang biasa dimakan dan kebiasaan
muntah keperawatan 1 x 24 jam mual muntah makan
dapat teratasi sehingga resiko tidak 2.    Timbang berat badan
terjadi 3.    Anjurkan ibu untuk tetap memberikan asi rutin
4.    Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
NOC : dan nutrisi yang dibutuhkan
Status Nutrisi
Monitoring Nutrisi
Kriteria Hasil : 1.    Monitor turgor kulit
1.     Berat badan pasien sesuai umur 2.    Monitor mual dan muntah
2.     Stamina 3.    Monitor intake nutrisi
3.     Tenaga 4.    Monitor pertumbuhan dan perkembangan anak
4.     Kekuatan menggenggam
5.     Penyembuhan jaringan
6.     Daya tahan tubuh
7.     Konjungtiva tidak anemis
8.     Pertumbuhan
4 Resiko kekurangan volume Tujuan : NIC :
cairan b.d muntah dan Setelah dilakukan tindakan Fluid Management
pemasukan terbatas karena keperawatan 1 x 24 jam resiko 1.     Timbang popok jika diperlukan
mual kekurangan cairan dapat diatasi 2.     Pertahankan intake dan output yang akurat
NOC : 3.     Monitor status hidrasi
Fluid balaKriteria Hasil : 4.     Monitor vital sign
1.     Keseimbangan intake dan out put 24 5.     Kolaborasikan pemberian cairan IV
jam 6.     Dorong masukan oral seperti ASI
2.     Berat badan stabil
3.     Mata tidak cekung
4.     Membran mukosa lembab
5.     Kelembaban kulit normal
DAFTAR PUSTAKA

1. Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius
FKUI
2. http://digilib.stikesmuhgombong.ac.id/files/disk1/4/jtstikesmuhgo-gdl-romadoniya-173-1-
hirschpr-g.pdf
3. Betz, Sowden, 2002. Keperawatan Pediatric. Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
4. Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
5. Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-
3. Jakarta : EGC.
6. Corwin, Elizabeth J. 2008. Buku saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Terjemahan oleh Nike
Budhi Subekti, dkk. 2007. Jakarta : EGC.
7. Sadler, T.W, 2000 sistem pencernaan dalam : embriologi kedokteran Langman. Edisi 7,
jakarta : EGC. http://scrib.web.artikelmajalah.com./
8. Ardiansyah, muhamad,2009. Medikal bedah, jakarta : EGC.
9. Price Sylvia A. dkk.2005. patofiologi : konsep klinikal proses penyakit. Jakarta : EGC
10. Pena A., Levitt M.A. 2005.Imperforate anus and cloacal malformations. In: Aschraft KW,
Holder TM, Holcomb W (Ed): Pediatric Surgery 4th edn. Saunders, Philedelphia pp :
496-517.
11. Sondheimer, Judith M. Gastrointestinal Tract. Dalam : William W. Hay Jr, et al. Current
Pediatric Diagnosis & Treatment 16th Ed. Eropa : McGraw-Hill Education, 2003
12. Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-
3. Jakarta : EGC.
13. Wong, Donna L.2003.Pedoman Klinik Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd),
Monica Ester (Alih bahasa)edisi – 4. Jakarta:EGC.
14. Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta:EGC
15. Milla, P.J. 2006. Penyakit Hirschsprung dan Neuropati Lain, dalam Buku Pediatri
Rudolph Volume 2 Edisi 20. Jakarta. EGC
16. Tarigan, J.B. 2009. Konformitas Perkawinan Semarga (Sumbang) pada Batak Karo.
Skripsi FISIP USU. Medan
17. Corwin Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
18. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai