Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

Human Immunodefisiensi Virus (HIV) /


Acquired Immuno Deficienci Syndrom (AIDS)
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUDZA/FK Unsyiah Banda Aceh

Oleh:
Aulia Rachman (1407101030381)
Ridha Chaharsyah M (1407101030333)
Risky Setiawan Bakry (1407101030377)
Panji Anugerah ((1407101030223)
Nelli Maulina (1407101030274)
Nazran Nailufar (1407101030375)
Vona Rahayu Wulandari (14071010303420)

Pembimbing:
Dr. dr. Kurnia F. Jamil, M.Kes, SpPD-KPTI, FINASIM

BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini telah dapat penulis selesaikan. Selanjutnya shalawat
dan salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing
umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun laporan kasus dengan judul ” Human Immunodefisiensi Virus (HIV)
/Acquired Immuno Deficienci Syndrom (AIDS)” ini diajukan sebagai salah satu tugas
dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Unsyiah / BLUD Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. dr. Kurnia F. Jamil, M.Kes,
SpPD-KPTI, FINASIM yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis untuk
penulisan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-
rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai
pada waktunya.

Banda Aceh, Oktober 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. UNAIDS memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35,9 – 44,3 juta orng. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari
HIV/AIDS.1
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun
1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii dan sarcoma Kaposi pada
laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika Serikat. Sebelumnya kasus tersebut
sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh.
Pada tahun 1983 Luc Montagnier mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi
dari pasien dengan limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy
virus ). Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang
saat itu dinamakan HTLV-III. 1
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali.
Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya sangat
sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes
Western Blot hasilnya negative, sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan
Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. 1 Menurut UNAIDS di tahun
2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih
dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97 % dari Negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %, usia produktif 41% ( 15-
24 th) dan anak-anak.2 HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan
krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan , dan juga krisis
kemanusiaan. 1
Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2008
menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664 orang.4 Menurut
UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia. Pada
tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit
dan stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan pengobatan. 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit


yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.1

2.2 Epidemiologi

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha
diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia
produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan
jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370
ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang
meninggal karena AIDS.2

Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya
sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya
disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika.2

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah
kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. 1

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa
Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).3
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru
AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali
lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di
Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS
dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah
mencapai angka 16.110 kasus.3

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008,
sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan,
dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari
dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus
pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus
AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia
30–39 tahun. 4

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah


kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI
Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan
masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177
kasus AIDS.4

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember
2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia
227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan
meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC
sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus,
dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. 4

2.3 Etiologi

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua
rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).5

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Gambar 1 Struktur virus HIV-1.6

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya.
Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang
berhubungan erat dengan Afrika Barat. 5

2.4 Mode Penularan

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa
genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang
terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari
ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh7
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama tidak
ditentukan terkontaminasi darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan serebrospinal Muntah
Sputum Cairan pleura Feses
Sekresi vagina Cairan peritoneal Saliva
Cairan perikardial Keringat
Cairan synovial Air mata
Urin

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah
sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau
luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan
akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%.7

2.5. Patogenesis

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. 1

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,
mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit
CD8, sel retina dan epitel ginjal.5

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks
molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell
specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini
diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin  47
sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan
HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CXCR5, dan dengan
mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan
bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan
DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut
sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan
bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi
dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua
protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan
membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.1

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV6

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,
akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada
berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi
pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut
masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang
dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi
tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang
sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi
ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.1

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada
pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus.1

2.6 Perjalanan Penyakit

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun,
dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit
yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.1

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. 1

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat
(non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan
gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-
lainnya.

Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV


Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan
menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.
Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit
CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati
generalisata yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan
turnover HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.1

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. 1

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang
tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus
HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga
dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif.1

Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan


antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+ ditampilkan dalam gambar
3.

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan
penurunan viremia.

Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga
mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.

2.7 Diagnosis

2.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan
Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,
diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien
memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.

Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan,
daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV


- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien


2.7.2 Pemeriksaan fisik

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat
pada tabel 6

Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker
yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma serviks
invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering
ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan,
sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5.

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan


laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan
antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA
Tabel 5 : Daftar tilik pemeriksaan fisik4

Tabel 6. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo


Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %

virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes
hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan
apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) 4

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha10

Tes antibodi terhadap HIV (AI);

Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);

HIV RNA plasma (viral load) (AI);

Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan
pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);

Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau
penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi
menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah
adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu,
konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan
memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. 1

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki


sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif,
maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan
adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik
Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima
vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal
dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan.1
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO
menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes
tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko
tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.1
Table 8 : Algoritma pemeriksaan HIV4

2.7.4 Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan
HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang
membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik,
serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi
pemilihan terapi.7

2.7.5 Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I


(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit
berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,
stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi
oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa
sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun
individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus
menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.

Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak
memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang
terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare. Penderita
AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang
khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara
mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah
bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang
lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-
gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-
gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum diketahui


jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan terhadap infeksi-
infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di
bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga
ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :


a.       Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala
yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit
(bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan
kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit
tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh
terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b.      Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml


Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5
tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara
lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe
menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat
prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan
jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada
tingkat 500/ml.

c.        Infeksi Kronis Simtomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
pemderita.

1)      Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500


Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi
dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan
pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini
dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).

2)      Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200


Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih
awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan
kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:


• Limfadenopati Generalisata yang menetap
• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter >
10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,
mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,
Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB atau
komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus memeriksakan


darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia positif mengidap
AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS Relative Complex)
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:
a.      Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala
minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau
pemakaian kortikosteroid yang lama.
1.       Gejala Mayor
  Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2.      Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
 Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b.      Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala
minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi
berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1.      Gejala Mayor
  Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
  Diare kronik lebih dari 1bulan
  Demam lebih dari1bulan
2.      Gejala minor
  Limfadenopati generalisata
  Kandidiasis oro-faring
  Infeksi umum yang berulang
  Batuk parsisten
  Dermatitis

2.7.6 Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status
imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan
pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun
yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak
boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan
sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte
Count – TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. 4

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

2.8 Penatalaksanaan

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun
data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan
dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.1

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:


a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang
lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian
infeksi oportunistik amat berkurang.

2.8.1 Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni: 7
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan
nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang
tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. 4
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama,
setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul
gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti
pada tabel 10.4
Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa4
Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB


paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4
tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau
III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat
ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV
adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit
akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila
terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi
ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum
untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui,
dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun
imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat
dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 /
mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja
dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral
load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.4
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang
aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan
fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin
(AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan
lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu
setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan
juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. 4

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV
menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan
manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2


NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,
lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin
(NVP) dan efavirenz (EFZ). 4 Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel
11.
Tabel 11 : Terapi ARV4

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +
NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan
anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +
NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik
d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ
dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada
perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV
golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-
masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR4


Tabel 13 : Kombinasi ARV4
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal
terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber
dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama
(bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan
CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan
intoleransi NNRTI.

2.8.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (imun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati)
dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap
antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya
10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV
dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada
Gambar 4.

Gambar 4 Pedoman Tatalaksana IRIS pada Indonesia4


2.8.4 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh,
maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh
kekebalan tubuh.
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang ditandai
dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/L ataupun > 200 sel/L.
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan tubuh tetap
rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik
yang lain. Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga
infeksi ini perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh
( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak
penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat pada table 14.

Tabel 14. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu kerja
atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain infeksi HIV.
Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan
pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2 kali
selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari, intermiten, atau
konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain (missal kanker, tuberkulosis,
enteritis spesifik) selain HIV.
2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yakni:7
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi.
Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm 3 untuk
mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi
risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam
dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.

Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi
oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan.
Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel
berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi
oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti
vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A.7

Tabel 15. Pencegahan infeksi oportunistik1


Penyakit Mulai Obat yang digunakan
PCP 1o CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 atau TMP.SMX 1 SS/ hari
CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas rendah

S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU, MSM, dll)

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Samsul Bahri
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 25 Tahun
Alamat : Aceh selatan
Agama : Islam
No CM : 0909652
Tanggal Masuk : 19/10/2016
Tanggal Pemeriksaan : 23/10/2016

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Bab cair sejak 3 minggu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan bab cair yang telah dirasakan sejak 3
minggu sebelum masuk rumah sakit, bab cair dirasakan kurang lebih 7 kali dalam satu hari,
bab cair disertai nyeri perut dan tidak dijumpai bab berdarah atau berlendir. Pasien juga
mengeluhkan demam naik turun yang telah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu tidak disertai
menggigil dan berkeringat malam selain itu pasien mengeluhkan terdapat benjolan di leher
kanan dan kiri, kedua ketiak dan selangkangan sejak 10 hari yang lalu. Sariawan dan sulit
menelan juga dirasakan. Sebelumnya pasien sudah didiagnosis HIV sejak 1,5 tahun yang lalu
dan mengalami penurunan berat badan yang signifikan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien telah didiagnosis mengidap HIV sejak 1,5 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang sama dengan pasien.

Riwayat Penggunaan Obat

Pasien mendapatkan terapi ARV (Anti retro viral) sejak 1,5 tahun dengan regimen :
 Lamividin 2 x 150 mg
 Efavinenz 1 x 600 mg
 Tenovofir 1 x 300 mg
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 64 kali/menit
Frekuensi Pernapasan : 20 kali/menit
Temperatur : 36,7˚C

Status Internus
a. Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Baik
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Oedema : Tidak ada
Anemia : Tidak ada

b. Kepala
Rambut : Distribusi merata
Wajah : Simetris, edema (-/-)
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan pada
Skelra (-/-)
Refleks cahaya langsung (+/+),
Refleks cahaya tidak langsung (+/+),
Pupil isokor 3 mm / 3 mm, diplopia (-)
Telinga : Normotia, serumen (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir pucat (-), mukosa basah (+), sariawan (+)
Lidah : Tremor (-), hiperemis (-)

c. Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Pembesaran kelenjar getah bening (+)

d. Thoraks
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris baik statios maupun dinamis
Palpasi
Stem Fremitus Paru Kanan Paru Kiri
Lapangan Paru Atas Stem Fremitus Normal Stem Fremitus Normal
Lapangan Paru Tengah Stem Fremitus Normal Stem Fremitus Normal
Lapangan Paru Bawah Stem Fremitus Normal Stem Fremitus Normal

Perkusi
Paru Kanan Paru Kiri
Lapangan Paru Atas Sonor Sonor
Lapangan Paru Tengah Sonor Sonor
Lapangan Paru Bawah Sonor Sonor

Auskultasi
Suara Nafas Pokok Paru Kanan Paru Kiri
Lapangan Paru Atas Vesikuler Vesikuler
Lapangan Paru Tengah Vesikuler Vesikuler
Lapangan Paru Bawah Vesikuler Vesikuler

Suara Nafas Tambahan Paru Kanan Paru Kiri


Rhonki (-), Rhonki (-),
Lapangan Paru Atas
Wheezing (-) Wheezing (-)
Rhonki (-), Rhonki (-),
Lapangan Paru Tengah
Wheezing (-) Wheezing (-)
Rhonki (-), Rhonki (-),
Lapangan Paru Bawah
Wheezing (-) Wheezing (-)
Thoraks Posterior
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris baik statis maupun dinamis
Palpasi
Stem Fremitus Paru Kanan Paru Kiri
Lapangan Paru Atas Stem Fremitus Normal Stem Fremitus Normal
Lapangan Paru Tengah Stem Fremitus Normal Stem Fremitus Normal
Lapangan Paru Bawah Stem Fremitus Normal Stem Fremitus Normal
Perkusi
Paru Kanan Paru Kiri
Lapangan Paru Atas Sonor Sonor
Lapangan Paru Tengah Sonor Sonor
Lapangan Paru Bawah Sonor Sonor

Auskultasi
Suara Nafas Pokok Paru Kanan Paru Kiri
Lapangan Paru Atas Vesikuler Vesikuler
Lapangan Paru Tengah Vesikuler Vesikuler
Lapangan Paru Bawah Vesikuler Vesikuler

Suara Nafas Tambahan Paru Kanan Paru Kiri


Rhonki (-), Rhonki (-),
Lapangan Paru Atas
Wheezing (-) Wheezing (-)
Rhonki (-), Rhonki (-),
Lapangan Paru Tengah
Wheezing (-) Wheezing (-)
Rhonki (-), Rhonki (-),
Lapangan ParuBawah
Wheezing (-) Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Tidak dijumpai adanya kelainan
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midklavikularis sinistra 2 jari ke lateral
Perkusi
Atas : ICS III sinistra
Kiri : Linea midklavikularis sinistra 2 jari ke lateral
Kanan : Linea parasternal dextra 1 jari ke arah lateral
Auskultasi : BJ I > BJ II, bunyi tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

e. Aksila : Pembesaran KGB (+)

f. Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor (-), vena collateral (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-/-), Nyeri ketok costovertebrae (-/-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus meningkat
f. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

g. Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium darah
Jenis Pemeriksaan 22/10/16
Hemoglobin 8,2
Hematokrit 24
Eritrosit 3,0
Leukosit 1,3
Trombosit 118
SGOT 102
SGPT 65
Natrium 126
Kalium 3,6
Klorida 98
GDS 109
Ureum 21
Kreatinin 1,00

Urinalisa
Jenis Pemeriksaan 20/10/16
Berat jenis 1,02
pH 6,5
Leukosit Negative
Protein Negative
Glukosa Negative
Urobilinogen Negative
Bilirubin Negative
Keton Negative
Nitrit Negavite

Analisa Tinja
Jenis Pemeriksaan 20/10/16
Warna 1,02
Bau 6,5
Leukosit Negative
Eritrosit Negative
Telur cacing Negative
Parasit Negative
konsistensi Keras

3.5 Diagnosis Kerja


1. Sida Stadium III
2. Diare kronik
3. Candidiasis oral
4. Limfadenitis
5. Anemia sedang normokrom normositer ec dd/ - Penyakit kronik
- Defisiensi besi

3.6 Tatalaksana
1. IVFD nacl 0,9 % 20 gtt/i
2. Iv Ceftriaxon 2 gr/24 jam
3. Nistatin drop 4 x 2cc
4. lamifudin 1 x 150 mg
5. Efapirin 1 x 600 mg
6. Tanovir 1 x 300 mg
7. drip PCT 1 gr
8. PCT tab 4 x 500 mg
9. Attapulgit 1 x 1 tab
10. Transfusi PRC target HB > 10

3.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan bab cair yang telah dirasakan sejak 3
minggu sebelum masuk rumah sakit, bab cair dirasakan kurang lebih 7 kali dalam satu hari,
bab cair disertai nyeri perut dan tidak dijumpai bab berdarah atau berlendir. Pasien juga
mengeluhkan demam naik turun yang telah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu namun tidak
disertai menggigil dan berkeringat malam selain itu pasien mengeluhkan terdapat benjolan di
leher kanan dan kiri, kedua ketiak dan selangkangan sejak 10 hari yang lalu. Sariawan dan
sulit menelan juga dirasakan oleh pasien. Sebelumnya pasien sudah didiagnosis HIV sejak
1,5 tahun yang lalu dan mengalami penurunan berat badan yang signifikan. Dari pemeriksaan
tanda vital dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan sariawan pada
orofaring, pembesaran kelenjar getah bening pada leher, ketiak dan selangkangan, dan
peningkatan peristaltic usus. Keadaan klinis pasien terkesan sakit berat
Keadaan pasien sesuai dengan stadium 3 pada kriteria klasifikasi HIV menurut WHO,
yaitu diantaranya didapatkan penurunan berat badan signifikan, diare kronik, sariawan kronik
didapatkannya anemia dan trombositopenia hal ini diakibatkan penurunan fungsi imunitas
tubuh akibat infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus. HIV merupakan retrovirus yang
bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan
atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor
T4 (CD4). Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi
lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu
merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired
Imunnodeficiency Syndrome). AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila
tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun.
AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis.
HIV/AIDS merupakan penyakit yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Pemberian
terapi ARV hanya dapat menghambat replikasi virus dan memperpanjang waktu hidup pasien
HIV/AIDS. Saat ini skrining HIV perlu diperluas untuk meminimalkan keterlambatan diagnosis.
Keterlambatan diagnosis memberi kontribusi banyak kematian yang terkait dengan HIV.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.
2. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.
Geneva. 2010.
3. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir
Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and
children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009.
4. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2016 October 25]. Available at
url: http://www.aidsindonesia.or.id
5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
6. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL.
editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of
America: McGraw-Hill
7. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
8. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,
editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
9. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2007
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2016 October 24]; Available
from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

Anda mungkin juga menyukai