Anda di halaman 1dari 12

Penataan Lingkungan Sosial bagi Penderita Dimensia (Pikun) dan RTA

(Retardasi Mental)

Dra. Sri Alem Br.Sembiring1


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara

A. Pendahuluan

Tulisan ini dapat menambah wawasan dan sangat bermanfaat khususnya bagi
para mahasiswa yang tertarik untuk mendalami antropologi psikiatri ataupun bagi
warga masyarakat awam dan juga bagi orang-orang yang menekuni studi psikiatri.
Berkembangnya perhatian antropologi pada bidang psikiatri seiring dengan adanya
perubahan paradigma dalam ilmu psikiatri di Eropa dan Amerika Utara. Perubahan
paradigma itu memberikan kesempatan baru yang penting bagi studi-studi
antropologi dan ‘cross-cultural psychiatry’.2 Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Good (1992:181):

During the past twenty years, psychiatry in Europe and North America
has undergone the most extraordinary paradigm shift of this century.
Journal publication, research dollars, and treatment orientations all
reflect a shift in dominance from psychoanalytic discourse to biological,
from a focus on psychological processes to classification of symptoms,
from a primary interest in affect and its economy to cognition, and
from investment in community psychiatry to biological research and
pharmacological treatment. This change poses a serious challange for
the anthropologist interested in the role of culture in psychopatology,
raising questions about what directions anthropological research should
take in the coming decade. It also raises the specter of declining
interest in the social and cultural dimensions of mental illness in the
psychiatric profession and public policy.”

Tulisan berikut ini berisi pembahasan mengenai hal-hal apa saja yang dapat
dilakukan oleh para ahli antropologi berkenaan dengan konteks penataan lingkungan
sosial dan budaya bagi orang-orang lanjut usia yang mengalami gangguan jiwa
akibat ‘dimensia’(pikun) dan bagi penderita retardasi mental (‘realitas testing ability’)
atau keterbelakangan mental. Tulisan ini akan sangat bermanfaat bagi para psikiater
karena memberikan sumbangan pemikiran yang sangat informatif dalam
penanganan sosial bagi penderita gangguan jiwa dimensia dan retardasi mental.
Dalam edisi tulisan ini, penulis akan memfokuskan pada penataan lingkungan sosial

1
Tulisan ini merupakan revisi dari tugas akhir semester mata kuliah Kebudayaan dan Kesehatan Jiwa, yang
diikuti penulis pada Semester Genap TA 1995/1996 pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
Program Studi Antropologi. Sebahagian kecil dari tulisan ini juga telah disajikan dalam ceramah ilmiah di
FISIP-USU pada tanggal 17 Juli 1999.
2
Lihat juga tulisan White dan Lutz (1992:1-20) yang mengatakan bahwa kajian-kajian bidang antropologi
budaya akhir-akhir ini cenderung telah memfokuskan kepada persinggungan antara budaya dan psikologi.

2002 digitized by USU digital library


dan budaya pada tingkat keluarga khususnya dan juga pada masyarakat luas secara
umum.3
Pembahasan berikut ini akan dimulai dengan mengulas pengertian dari
penataan lingkungan sosial dan budaya. Kemudian pembahahasan selanjutnya
difokuskan pada hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang ahli antropologi
dalam penataan lingkungan sosial bagi penderita ‘dimensia’ (pikun). Pembahasan
terakhir difokuskan pada penataan lingkungan sosial bagi penderita retardasi mental.

B. Pengertian Penataan Lingkungan Sosial dan Budaya

Penyebutan yang cenderung dikenal untuk penataan lingkungan sosial dan


budaya ini adalah ‘social and cultural caring ‘. ‘Caring’ atau perhatian perlu diberikan
secara sosial dan budaya bagi penderita gangguan jiwa dalam upaya membantu
adaptasi mereka dengan lingkungan sosial. Dalam konteks ‘social and cultural caring
‘, seorang ahli antropologi berusaha menumbuhkan atau mengembangkan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat, baik secara sosial dan budaya untuk memberikan
bantuan melalui cara penataan lingkungan bagi penderita gangguan jiwa. Dalam
pembahasan ini, gangguan jiwa tersebut difokuskan kepada orang-orang lanjut usia
yang menderita pikun dan retardasi mental. ‘Social and cultural caring’ yang
dimaksud adalah dengan mengkondisikan lingkungan sosial si penderita gangguan
jiwa supaya keluarga dan masyarakat sekitarnya dapat memelihara dan menghargai
mereka (si penderita gangguan jiwa). Dengan adanya rasa penghargaan tersebut, si
penderita gangguan jiwa dapat merasa berfungsi dan berguna dan dalam interaksi
yang ideal dapat membuat mereka merasa mempunyai peranan di dalam keluarga
dan masyarakatnya.

Penekanan pada pentingnya segi-segi sosial dikemukakan juga oleh psikiatri


Dadang Hawari. Hawari (1973) mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan psikiatri
(‘community psychiatry’) banyak menitikberatkan kepada segi-segi sosial dalam
pengobatan kepada mereka yang mengalami gangguan jiwa. Dalam psikiatri
moderen ini, perawatan penderita dalam masyarakat (‘community care’) diusahakan
dengan berbagai cara (metode) agar penderita lebih lama tinggal di masyarakat dan
sesingkat mungkin tinggal dalam rumah sakit, dan untuk itu perlu diciptakan suatu
keadaan lingkungan yang memungkinkan tidak kembalinya penyakit si penderita
(Hawari 1983).

Peranan masyarakat yang dinamis sangat diperlukan bagi penderita pikun dan
retardasi mental ini. Hal ini disebabkan karena peranan masyarakat itu jauh lebih
baik dalam banyak hal terutama dalam membantu proses adaptasi bagi penderita
gangguan jiwa (pikun dan retardasi mental) tersebut. Peranan orang-orang di sekitar
si penderita ganngguan jiwa akan lebih besar apabila dibandingkan dengan peranan
rumah sakit (‘hospital care‘). Rumah sakit kurang dapat membantu perkembangan
optimal dan proses adaptasi dari penderita pikun dan retardasi mental. Demikian
juga dengan peranan yayasan-yayasan atau panti-panti atau sekolah-sekolah luar
biasa (khusus untuk anak penderita retardasi mental).

Secara sosial budaya tidak dapat dipungkiri bahwa pada berbagai masyarakat
tertentu ditemukan adanya pengabaian-pengabaian bagi penderita pikun dan
retardasi mental. Pengabaian ini dikarenakan para penderita pikun dan retardasi

3
Penulis juga telah menerbitkan tulisan sebelumnya dengan judul Peranan Ahli Antropologi dalam
Penanganan Penderita Gangguan Jiwa yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa.

2002 digitized by USU digital library 2


mental ini tidak dapat berfungsi secara produktif. Ketidakberfungsian mereka ini
cenderung juga menyebabkan beberapa keluarga yang memiliki kerabat yang
menderita pikun dan retardasi mental ini merasa malu kepada anggota masyarakat
lainnya dan cenderung menutupi atau mengucilkan si penderita dari pergaulan
sosial.

Pada kondisi dimana si penderita pikun dan raetardasi mental ini diabaikan,
maka disitulah letak peran seorang ahli antropologi yang lebih konkrit. Seorang ahli
anropologi dapat membantu para penderita pikun dan retardasi mental ini dan pihak
keluarga mereka dalam menangani masalah-masalah yang mereka hadapi secara
sosial dan budaya dalam konteks ‘social and cultural caring ‘. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa pelayanan kesehatan adalah merupakan
salah satu fungsi dari beberapa fungsi keluarga inti maupun keluarga luas, di
dalamnya terkandung azas-azas, nilai-nilai budaya dan norma-norma kehidupan
keluarga. Hal ini juga mempengaruhi dan mengatur sistem pelayanan kesehatan
keluarga (Koentjaraningrat 1982).

C. ‘Social and Cultural Caring’ bagi Para Lanjut Usia yang Mengalami
Gangguan Mental Akibat ‘Dimensia’ (Pikun)

1. Lansia Dimensia............?

Proses menua (‘aging-process’) atau menjadi tua adalah salah satu proses
di dalam kehidupan yang cenderung tidak dapat dihindari oleh manusia. Menurut
Setiawan (1973), timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan
adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada
usia lanjut. Perhatian atau minat khusus terhadap orang-orang usia lanjut ini
menimbulkan cabang baru dalam ilmu psikiatri orang-orang tua yaitu ‘geriatric-
psychiatry = geropsychiatry’ (Setiawan 1973: 51).

Lanjut usia (lansia) merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh
individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi
juga psikologis dan sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi
pada lansia dapat disebut sebagai perubahan ‘senesens‘ dan perubahan ‘senilitas’.
Perubahan ‘senesens’ adalah perubahan-perubahan normal dan dan fisiologik akibat
usia lanjut. Perubahan ‘senilitas’ adalah perubahan-perubahan patologik permanen
dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara
itu, perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya dalah pada bidang klinik,
kesehatan jiwa dan problema bidang sisio ekonomi. Oleh karena itu lansia adalah
kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.

Pikun adalah salah satu akibat yang terjadi akibat ‘dimensia sinilis’, yaitu
salah satu problema bidang kesehatan jiwa. ‘Dimensia sinilis’ ini terjadi karena
melemahnya fungsi-fungsi organik yang terjadi secara beruntun. Melemahnya fungsi
organik ini mengakibatkan terjadinya kemunduran intelektual dan juga
menyebabkan terjadinya desintegrasi kepribadian.

Menurut Setiawan (1973), ’dimensia sinilis’ cenderung lebih sering terjadi


pada wanita, terutama wanita dengan usia di atas 60 tahun. Gejalanya dapat ringan-
ringan saja, tetapi sering disertai tanda-tanda dari pola reaksi lama yang dapat
menimbulkan gangguan psikose, neurotik, atau gangguan pada tingkah laku
(Setiawan 1973:56).

2002 digitized by USU digital library 3


Pada kondisi ‘dimensia’ , para lansia cenderung sering menggabungkan
realitas-realitas yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Misalnya, si
penderita cenderung menjawab sesuatu persoalan lain dan berbeda dari persoalan
yang ditanyakan kepadanya. Si penderita ‘dimensia’ juga cenderung bertanya
mengenai sesuatu hal yang sama secara berturut-turut dalam selang waktu
beberapa menit. Pada saat-saat tertentu, si penderita juga dapat bertindak seperti
anak-anak, dan masih banyak lagi beberapa tinngkah laku lainnya yang ditunjukkan
para penderita ‘dimensia’ ini.

Secara umum, para lansia ‘dimensia’ atau para lansia penderita pikun ini
cenderung sangat menyusahkan bagi keluarganya dan juga dianggap mengganggu
bagi masyarakat di sekitarnya. Adakalanya para lansia ‘dimensia’ ini tidak
diperdulika, diterlantarkan atau dikirim oleh keluarga mereka ke panti-panti
penampungan tanpa perhatian sama sekali.

2. Antropologi dan Perannya

Pada situasi seperti ini, seorang ahli antropologi mempunyai fungsi khusus
dari segi sosial budaya. Seorang ahli antropologi dapat membantu si penderita agar
mereka dapat diterima di kalangan keluarga dan masyarakatnya. Dalam hal ini ahli
antropologi dapat menempuh beberapa langkah awal, seperti: meihat bagaimana
masayarakat memandang dan memperlakukan si penderita ‘dimensia’ dan anggota
keluarganya, bagaimana anggota keluarga tersebut memperlakukan keluarga
mereka yang mengalami ‘dimensia’, apakah si penderita diperlakukan dengan baik
atau diperlakukan dengan buruk.

Seorang ahli antropologi dalam hal ini dapat mengusahakan bagaimana lansia
‘dimensia’ bisa diterima dan dirawat oleh keluarganya dan masyarakat. Untuk itu
diperlukan pendekatan-pendekatan terhadap kelurga si pasien ataupun dengan
masyarakat di lingkungan sosialnya. Pendekatan-pendekatan ini diperlukan karena
para lansia penderita ‘dimensia’ ini harus diberi dukungan sosial agar fungsionalnya
dapat dicapai dengan cara penataan lingkungan sosial atau cara hidup. Dalam hal ini
tentu saja si antropolog harus melihat defenisi tua dan tidak tua sesuai dengan
konsep kelompok masyarakat tersebut secara budaya. Dengan demikian konsep tua
dan tidak tua diperluas, tidak hanya mencakup kategori usia semata.

Faktor penekanan pada dukungan sosial menjadi penting bagi para lansia
‘dimensia’ ini. Menurut Laksamana dan Hartono (1983:80), problema sosial adalah
merupakan problema terbesar bagi para usia lanjut. Kebutuhan-kebutuhan sosial
menjadi penting bagi mereka, meskipun pada hakekatnya kebutuhan-kebutuhan
tersebut sama dengan yang terdapat pada fase-fase lain kehidupan manusia. Hal ini
perlu mendapat perhatian karena situasi (kondisi fisik, dalam rumah perawatan dan
lain-lain) menyebabkan kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak mudah terpenuhi.
Beberapa kebutuhan sosial penting bagi para lansia adalah: (1) para individu usia
lanjut memerlukan penghargaan, perasaan bahwa dirinya tetap berguna dan
diperlukan, (2) para individu usia lanjut memerlukan suatu interes/tanggung jawab
yang dapat memberikan status tertentu pada dirinya, (3) para individu usia lanjut
memerlukan kasih sayang dan persahabatan, (4) para individu usia lanjut
menginginkan rasa dirinya dapat berperan baik secra fisik, sosial dan mental
(Laksamana dan Hartono 1983:80).

Penekanan pada peran keluarga dan masyarakat menjadi penting dari segi
‘social and cultural caring’ untuk mendapatakan dukungan sosial ini. Menurut

2002 digitized by USU digital library 4


Laksamana dan Hartomo (1983:80), dari data yang diperoleh 63 % para individu
usia lanjut ini hidup bersama keluarga mereka masing-masing, lebih dari 30% hidup
sendiri (diantaranya sebahagian besar adalah para janda) dan sekitar 7% hidup di
berbagai institusi (rumah perawatan, R.S Jiwa dan tempat khusus untuk para usia
lanjut). Tampaknya beberapa individu usia lanjut cenderung lebih senang hidup
terpisah dari anak-anak mereka, tetapi yang cukup dekat untuk suatu kunjungan.

Pengabaian terhadap lansia penderita ‘dimensia’ ini adakalanya juga bersifat


budaya. Hal ini dapat terjadi karena mereka tidak dapat berfungsi secara produktif,
menjadi beban keluarganya, keluarga merasa malu, dan penderita cenderung
diasingkan. Kondisi ini membuat para lansia penderita ‘dimensia’ menjadi lebih
tersiksa secara psikologis.

Jika lansia penderita ‘dimensia’ diabaikan, proses degenerasi kepribadian yang


dialami cenderung akan lebih cepat. Sebaiknya diusahakan agar mereka berfungsi
sampai tua sehingga proses degenerasi kepribadian menjadi lebih lamban. Para
lansia walaupun menderita ‘dimensia’ harus diperlakukan seolah-olah mereka merasa
dibutuhkan (‘being needed’).

Dalam konteks ‘social and cultural caring’, ahli antropologi dapat


mengusahakan meningkatkan peran keluarga dan masyarakat secara sosial budaya.
Antropolog dapat mengusahakan cara agar sikap masyarakat jangan terjerumus
menyerahkan si penderita ke rumah sakit jiwa atau panti-panti khusus (walaupun itu
dapat dijadikan sebagai alternatif lain).

Konteks sosial budaya sebagai ‘caring’ (memperhatikan) menjadi penting;


misalnya bagaimana dan apa yang dikerjakan keluarga atas orang-orang lanjut usia
penderita ‘dimensia’ , apa saja nilai yang dijadikan landasan untuk berprilaku
terhadap para lansia ‘dimernsia’.Perhatian dapat ditingkatkan dengan menumbuhkan
kembali nilai-nilai budaya (adat-istiadat), yaitu dengan melihat landasan budaya
bahwa menjaga orang tua lansia adalah kewajiban keluarga menurut adat.

Perhatian dapat pula ditumbuhkan dari segi agama (kepercayaan) dan juga
moral, yaitu dengan menambahkan perhatian untuk lansia (umumnya) dan
‘dimernsia’ (khususnya) adalah suatu kewajiban sebagai penghormatan terhadap
orang tua. Dapat juga dengan menciptakan kondisi kehidupan keluarga yang akrab
dan saling memberi perhatian terhadap lansia penderita ‘dimensia’, dalam penataan
cara-cara hidup. Bentuk perhatian lainnya juga dapat diberikan dengan
meningkatkan peran organisasi-organisasi keagamaan, khususnya kelompok remaja
dan wanita dengan landasan norma-norma agama untuk memperhatikan lansia.
Ditekankan suatu nilai bahwa memberi perhatian pada lansia’dimensia’ adalah suatu
perbuatan mulia yang merupakan kewajiban dan kebajikan.

Kesemuanya ini diperlukan dalam rangka penyesuaian diri penderita dan


mereka membutuhkan dorongan moril dan semangat untuk meningkatkan kehidupan
sosial mereka dan meningkatkan ke-fungsional-an mereka secara optimal.

D. ‘Social and Cultural Caring’ bagi Penderita Retardasi Mental

1. Apa itu Retardasi Mental ......?

2002 digitized by USU digital library 5


Masalah retardasi mental perlu mendapat perhatian karena beberapa tulisan-
tulisan dalam bidang psikiatri sejak periode 1981 telah mengemukakan bahwa
retardasi mental merupakan masalah yang cukup besar di Indonesia, namun diakui
bahwa tidak ada data yang lengkap tentang jumlah penderita retardasi mental di
Indonesia. Ketidaklengkapan data ini diakui oleh para psikiater disebabkan karena
tidak semua penderita retardasi mental dapat tercatat. Pencatatan jumlah penderita
hanya dapat dilakukan atas mereka yang datang berobat untuk meminta pertolongan
dan mereka yang masuk sekolah luar biasa (Budhiman 1981:17).

Menurut Budhiman, sebab utama dari retardasi mental di Indonesia adalah


penyakit infeksi pada susunan syaraf pusat, seperti meningitis atau encephalitis, dan
malnutrisi pada ibu-ibu yang hamil maupun pada bayinya yang lahir. Melihat
insidensi penyakit infeksi dan malnutrisi masih sangat tinggi di Indonesia, maka
dapat diperkirakan bahwa penderita retardasi mental sangat banyak jumlahnya
(Budhiman 1981:79).

Retardasi mental (RTA) disebut juga ‘oligophrenis’. Retardasi mental dapat


diketahui terjadi pada seseorang anak dengan melihat beberapa kelainan yang
dideritanya sejak masih kecil. Seorang anak disebut menderita retardasi mental bila
mengalami kelainan seperti; (1) perkembangan intelektual yang terhambat jika
dibandingkan dengan anak normal. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ukuran
kemajuan tingkat IQ yang kurang dari 70, dimana nilai ini didapatkan dengan
pemeriksaan yang teliti, akurat, individual, dan telah dilakukan secara berulang-
ulang, serta keadaan klinis mendukung hasil pemeriksaan tersebut, (2)
terhambatnya kemampuan si anak dalam hal adaptasi diri secara umum terhadap
lingkungan, dan (3) proses keterhambatan adaptasi ini cenderung terjadi pada masa
perkembangan individu dalam proses pendewasaan atau terjadi sebelun si individu
berusia 18 tahun (Yusuf 1986; Budhiman 1981; Roan 1979).4

Anak dengan retardasi mental bukannya anak yang tidak dapat berkembang
menjadi individu dewasa, akan tetapi anak retardasi mental nantinya juga akan
menjadi individu dewasa dengan retardasi mental mental pula. Hal ini yang harus
kita sadari sepenuhnya. Anak dengan retardasi mental sebenarnya tidaklah semua
bagian dari intelektualnya tidak dapat dikembangkan, akan tetapi dengan suatu
tindakan dan penanganan khusus bagian-bagian yang masih dapat dikembangkan,
diusahakan untuk terus dipacu dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan
perkembangan anak. Atas dasar inilah penanganan anak dengan retardasi mental
membutuhkan suatu penanganan khusus dibandingkan dengan penanganan anak
normal. Tujuan dari penanganan anak dengan retardasi mental adalah
mengembangkan kemampuan optimal dari intelektualnya, agar nanti dapat
mencapai kemampuan adaptasi yang optimal pula (Yusuf 1986:59).

4
Intelegensia sendiri didefenisikan oleh Jasper (1945) sebagai keseluruhan daripada
kemampuan intelektual yang diterima seseorang sejak lahir, termasuk bakat dan
keterampilan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri seseorang terhadap tugas
hidupnya. Oleh Page (1945) diuraikan sebagai kemampuan untuk mempelajari
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, kemampuan untuk menyesuaikan
diri terhadap persoalan baru dan keadaan hidup, mengambil pelajaran dari
pengalaman-pengalaman yang pernah dialami, kesanggupan untuk berfikir secara
abstrak dan kreatif, memakai pertimbangan yang kritis, menghindarkan diri dari
kesalahan-kesalahan, mengatasi kesukaran dan mengembangkan daya kemampuan
melihat ke depan (foresight) (dalam Roan 1979:93).

2002 digitized by USU digital library 6


Yusuf (1986:59-60) juga mengatakan bahwa penangana khusus dengan
upaya yang maksimal dan dana yang demikian besar tidaklah akan menjadikan
seorang anak dengan retardasi mental menjadi anak normal. Hal yang harus
ditekankan di sini adalah anak dengan retardasi mental harus berkembang secara
otimal, sesuai dengan kemampuan yang ada pada anak tersebut.

Menurut Santoso (1981), retardasi mental juga dapat dipandang dari 3 (tiga)
sudut; (1) medik (sebab-sebabnya dari dalam diri individu), (2) tingkah laku
(kesukaran belajar, tidak responsif), dan (3) sosial (perbedaan distribusi variabel
sosio-ekonomi, budaya, non-klinik dan di luar diri individu). Persoalan yang dihadapi
tetap selalu ada, baik itu pada masa anak-anak dan juga dewasa.

Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan optimal


perkembangan anak dengan retardasi mental, diantaranya; (1) faktor dari anak itu
sendiri: ditentukan oleh derajat gangguan yang terjadi. Semakin berat semakin sulit
kemampuan adaptasinya, (2) faktor dari keluarga: Apakah keluarga merupakan
lingkungan yang cukup memberi stimulasi dan memberi kesempatan berkembang
secara optimal atau malah sebaliknya, dimana keluarga malah menghambat
perkembangan yang wajar dan bersikap keliru baik disadari atau tidak disadari, (3)
faktor institusi: dalam hal ini institusi/sekolah yang mendidik dan melatih mereka
dan berusaha mengembangkan kemampuan adaptasinya secara optimal. Faktor ini
masih tergantung dari bagaimana para guru dan pengelola sekolah menangani
mereka, (4) faktor masyarakat: apakah masyarakat mau menerima dan
berpartisipasi terhadap penanganan anak-anak dengan retardasi mental atau
sebaliknya.

Faktor-faktor di atas sebenarnya sulit untuk dipisahkan satu sama lain,


karena masing-masing faktor saling berkaitan dan saling pengaruh menpengaruhi.
Banyak sekali dalam beberapa kasus-kasus yang ditemukan, dimana anak dengan
retardasi mental sulit sekali untuk dikembangkan secara optimal. Setelah diteliti dan
ditelusuri ternyata didapatkan gangguan keseimbangan (gangguan fungsional)
dalam keluarga. Tanpa penanganan yang intensif terhadap keluarga, sulit untuk
mengembangkan kemampuan anak dengan retardasi mental ini (Yusuf 1986:60). Di
sinilah para antropolog dapat berperan penting, yaitu membantu penanganan anak
agar dapat berkembang secara optimal melalui pendekatan-pendekatan khusus dari
aspek keluarga dan masyarakat. Namun sebelum membahas hal-hal apa yang dapat
dilakukan para antropolog, terlebih dahulu kita lihat apa yang terjadi dalam keluarga
setelah mereka mengetahui bahwa anaknya mengalami retardasi mental.

Menurut Yusuf (1986:61), setelah diagnosis retardasi mental ditegakkan


dengan pasti oleh seorang ahli, maka pada keluarga akan timbul suatu periode
krisis. Periode krisis ini ada 3 tahapan. Pertama, tahap penolakan/penyangkalan.
Orang tua tidak percaya atas apa yang disampaikan kepadanya tentang anaknya.
Mereka bahkan akan menyangkalnya. Mereka berusaha mencari “akhli” yang lain
akan menyatakan bahwa anaknya normal. Untuk itu orang tua akan pergi dari satu
ahli ke ahli lain secara berganti-ganti, sampai akhirnya menyerah baik dengan
terpaksa atau dengan sadar. Kedua, tahap duka cita dan kesedihan yang mendalam.
Keadaan ini disebabkan oleh karena keadaan (a) anak yang tidak diharapkan, (b)
merasa seolah-olah kehilangan sesuatu. Ada juga orang tua yang langsung masuk ke
tahap duka cita ini tanpa melewati tahap penolakan.Keiga, tahap penerrimaan.
Orang tua secara kenyataan menerima keadaan ini, baik secara sadar maupun
secara terpaksa. Masing-masing tahapan memerlukan waktu yang berbeda untuk
masing-masing keluarga Demikian pula berat ringannya periode krisis tersebut.

2002 digitized by USU digital library 7


Yusuf (1986:63) juga mengatakan bahwa pada periode krisis ini jelas seluruh
keluarga, terutama orang tua dilanda stres yang cukup berat. Bila hal ini tidak dapat
teratasi dengan baik, maka akan menimbulkan efek ketidaktentraman dalam
keluarga. Hal ini jelas akan mengganggu/menghambat perkembangan anak dengan
retardasi mental itu sendiri. Pada diri orang tua terdapat pertentangan/konflik
antara: (a) keinginan yang kuat untuk mempunyai anak yang sehat, (b) secara
simultan (bersama-sama) terjadi ketakutan dan kecemasan apabila apa yang
dilakukan itu akan mengakibatkan suatu kesalahan bagi anak itu sendiri.

2. Anrtopologi dan Perannya

Dalam konteks ‘social and cultural caring’, seorang ahli antropologi


mengusahakan bagaimana orang-orang penderita retardasi mental ini dapat diterima
di lingkungan sosialnya. Antropolog dapat memulai kerja mereka dengan melihat
bagaimana masyarakat menilai mereka sehubungan dengan ketidakmampuan
mereka untuk berfungsi secara optimal. Bagaimana masyarakat melihat si penderita
retardasi mental dan keluarganya. Bagaimana anggota keluarga tersebut
memperlakukan si penderita retardasi mental; apakah dirawat, diperhatikan (diobati
dan ditanggulangi) atau diabaikan dan dimanipulasi untuk mendapatkan bantuan
(dana atau mengemis, dan lain-lain).

‘Caring’ atau perhatian secara sosial dan budaya dapat diupayakan dengan
beberapa hal, terutama dengan pendekatan terhadap keluarga inti (‘nuclear family’
dan anggota masyarakat. Ahli antropologi dapat membantu proses diterimanya
penderita retardasi mental ini sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dengan
cara mencoba mengajak masyarakat untuk turut serta dalam proses rehabilitasi para
penderita retardasi mental.

Secara gotong royong, pihak keluarga dapat turut serta mengusahakan atau
memebrdayakan mereka dalam kegiatan-kegiatan produktif tertentu. Kegiatan
produktif ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan si penderita retardasi mental.
Dalam pelibatan si penderita dalam kegiatan produktif ini, pihak keluarga atau
anggota masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal yang sangat penting, yaitu.
Pertama, bagaimana si penderita dapat bekerja dengan kapasitas maksimal.
Misalnya, apakah si penderita mampu membuat sapu lidi, sapu ijuk, keset/ alas kaki,
atau beberapa jenis kerajinan tangan lainnya yang tidak terlalu rumit proses
pembuatannya. Kedua, pihak keluarga atau masyarakat harus membuat si penderita
mampu menyesuaikan diri dengan anggota masyarakat lainnya secara memuaskan.
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar si penderita mampu berinteraksi dengan
lingkungannya secara baik. Dengan interaksi yang baik, si penderta akan mampu
merasa nyaman dan dapat dibantu untuk mengembangkan kemampuannya sampai
pada tingkat yang maksimal.

Penderita retardasi mental harus diberi dukungan sosial dari lingkungan


sosialnya agar mereka mampu mencapai kemampuan fungsional setinggi mungkin.
Dalam hal ini, si penderita harus diberi kesempatan, baik itu secara edukasional
maupun secara vokasional. Dukungan secara edukasional dapat dilakukan dengan
cara mendidik kembali si penderita mengenai cara-cara agar dia dapat hidup
senormal mungkin dalam proses rehabilitasi untuk menjadi ‘orang baru’. Secara
vokasional, dukungan sosial dapat dilakukan engan melakukan ‘training’ atau
melatih penderita supaya mampu untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini si

2002 digitized by USU digital library 8


penderita dilatih dengan tujuan agar dia dapat mencapai kemampuan fungsional
setinggi mungkin (dalam mencari nafkah misalnya).

Antropolog dapat membantu pihak keluarga ataupun masyarakat lainnya


untuk memberdayakan kembali para penderita retardasi mental ini. Antropolog dapat
memberi bantuan konkrit dalam upaya mengkondisikan lingkungan yang memberi
‘caring’ (perhatian) pada penderita baik secara sosial maupun kultural. Hal ini perlu
diupayakan mengingat adanya tanggapan-tanggapan masyarakat yang menilai
bahwa penderita retardasi mental dianggap sebagai kutukan. Penialaian atau
anggapan seperti ini adalah pengaruh dari budaya kelompok masyarakat yang
bersangkutan. Terdapat juga beberapa kelompok masyarakat lain yang menganggap
bahwa anak dengan retardasi mental adalah sebagai karunia atau keberuntungan.
Beberapa kelompok masyarakat lainnya menganggap anak dengan retardasi mental
adalah penyakit turunan.

Tanggapan dan penilaian seperti di atas akan menentukan sikap orang tua,
keluarga dan anggota masyarakat lainnya terhadap si penderita retardasi mental.
Tanggapan negatif yang menganggap penderita retardasi mental adalah kutukan
akan cenderung mengabaikan perhatian terhadap penderita. Pengabaian perhatian
ini akan menyebabkan si penderita retardasi mental akan disisihkan dari lingkungan
sosial mereka. Pihak orang tua dan keluarga akan merasa malu terhadap keberadaan
si anak atau anggota keluarga mereka yang mendertita retardasi mental. Mereka
akan berusaha menutup-nutupi keberadaan si penderita karena merasa takut akan
dikucilkan oleh anggota masyarakat lainnya akibat adanya kutukan tersebut pada
salah satu anggota keluarga mereka.

Dalam hal pengabaian perhatian terhadap penderita retardasi mental ini,


antropolog dapat membantu untuk mengupayakan timbulnya suatu perubahan sikap
dan pandangan baru. Pandangan dan sikap baru didiharapkan timbul dari phak orang
tua, keluarga/kerabat dan anggota masyarakat lainnya. Pandangan dan sikap baru
yang diharapkan adalah suatu kesadaran baru bahwa penderita retardasi mental ini
bukanlah suatu kutukan, bukan merupakan aib yang memalukan dan tidak harus
ditutup-tutupi dan bukanlah semata-mata merupakan penyakit turunan. Antropolog
berusaha menanamkan suatu nilai baru bahwa penderita retardasi mental juga
merupakan individu yang perlu mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang
khusus.

Antropolog dapat memberikan informasi mengenai nilai atau sikap dan


pandangan baru tersebut. Penanganan awal dapat dimulai dari orang tua dan
keluarga dekat dengan cara penataan cara hidup. Beberapa langkah awal tersebut
antara lain adalah dengan menanamkan nilai-nilai budaya positif, kepercayaan moral
sebagai landasan prilaku perhatian pada anak cacat mental, seperti; kewajiban
memelihara, mendidik, tanggung jawab, dan menekankan nilai-nilai agama bahwa
semua manusia adalah ciptaan Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan masing-
masing.

Selain upaya-upaya yang dilakukan di atas, perhatian yang juga sangat perlu
adalah upaya membantu si penderita agar para anak cacat mental ini mampu
mandiri bagi keperluan pribadi mereka yang mendasar. Keperluan pribadi tersebut
meliputi; membimbing untuk mampu makan sendiri, mengenakan pakaian sendiri
dan akhirnya mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya.

Dalam hal ini pendekatan yang dilakukan terarah kepada keluarga dan
masyarakat, yaitu dalam hal memberi dukungan sosial. Dengan dukungan sosial ini,

2002 digitized by USU digital library 9


keluarga dan masyarakat secara bersama-sama membangun kembali keberdayaan
penderita melalui penghargaan dan penilaian positip yang diberikan kepada si
penderita retardasi mental dan juga pihak keluarga si penderita. Pemberdayaan
seperti ini merupakan suatu proses sosialisasi yang sangat baik bagi penderita
retardasi mental dalam memberikan ruang bagi si penderita untuk mengembangkan
kemampuannya. Dengan memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, maka si
penderita akan merasa berfungsi dan dihargai. Dengan demikian akan sangat
membantu si penderita dalam proses interaksi dan adaptasinya dengan lingkungan
sosial di mana mereka tinggal.

E. Penutup

Pelayanan dini dari penderita retardasi mental dapat kita tinjau dari segi
kedokteran preventif sebagai prevensi primer dan sekunder. Dalam prevensi primer
termasuk segala tidakan untuk mengurangi atau menghilangkan faktor penyebab.
Dalam prevensi sekunder diupayakan deteksi dini dari kelainan-kelainan yang
ditemukan pada diri si penderita. Juga pengobatan yang cepat dan tepat pada
berbagai penyakit anak-anak yang dapat menyebabkan infeksi atau yang menyerang
susunan syaraf pusat si penderita. Dalam prevensi tersier termasuk pemberian
bimbingan pada penderita retardasi mental maupun pada orang tuanya, sehingga
mereka dapat berfungsi secara optimal.

Namun pelayanan dari segi medis kedokteran semata hendaknya juga


dibarengi dengan pelayanan pada bidang sosial dan budaya. Memberi perhatian
secara sosial dan budaya diperlukan dalam rangka membantu proses sosialisasi dan
adaptasi si penderita pada lingkungan sosialnya. Perlunya perhatian dan penataan
lingkungan sosial ini mengingat bahwa dalam penanganan anak dengan retardasi
mental ini juga terkait dengan aspek psikososial yang dialami oleh pihak orang tua
dan keluarga, jadi bukan hanya pihak individu si penderita itu sendiri. Pihak orang
tua dan keluarga akan berhadapan dengan anggota masyarakat lainnya di mana
mereka tinggal. Bagi kelompok masyarakat yang menilai negatif penderita retardasi
mental sebagai kutukan Tuhan, maka para orang tua dan keluarga si penderita
merasa bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat dan merasa
tersisih, malu, marah, sedih, dan mungkin juga merasa putus asa. Akibat yang
mungkin timbul dari aspek psikososial ini dapat menyebabkan si penderita akan
disembunyikan dari masyarakat sekitarnya dan akan menjadi kambing hitam dari
segala kesulitan yang dirasakan oleh orang tuanya.

Dalam hal ini, penanganan dari sudut medis oleh seorang psikiater diperlukan
untuk ikut menanggulangi masalah-masalah emosional dan tingkah laku yang
diderita oleh si penderita retardasi mental, dan juga untuk memberikan psikoterapi
pada orang tua yang memerlukan. Sementara itu, penanganan dari dari seorang
antropolog juga diperlukan dari sudut sosial dan budaya, yaitu dalam bentuk
penataan lingkungan sosial dan kultural yang dapat menunjang terciptanya tujuan
dari seluruh pengobatan dan pendidikan yang diberikan kepada si penderita, yaitu
untuk mencapai taraf perkembangan yang seoptimal mungkin sehingga anak-anak
penderita retardasi mental ini dapat berdiri sendiri dan tidak tergantung pada orang
lain.

___________

2002 digitized by USU digital library 10


Daftar Pustaka

Ancok, Djamaluddin

1995 “Cultural Factors in The Etiology of Mental Disorder and Their Impacts on
Clinical Symtom and Intervention,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn. No.2 Juni.
Jakarta: YKJ “Dharmawangsa.” hal.65-100.

Budhiman, Melly

1981 “Masalah dan Pelayanan Dini Retardasi Mental Ditinjau dari Kedokteran Jiwa,”
dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn. XVI No.3 September. Jakarta: YKJ “
Dharmawangsa.” hal.79-84.

Good, Byron J

1992 “Culture and Psychopathology: Direction for Psychiatric Antropology,” dalam


Theodore Schwartz, Geoffrey M. White, and Catherine A. Lutz (ed) New Direction in
Psychological Antropology. New York: Cambridge University Press. hal.181-205.

Hawari, Dadang

1973 “Pelayanan Kesehatan Jiwa dalam Masyarakat (Community Mental Health


Service) - Problematik Kesehatan Jiwa dalam Usaha Kesehatan
Masyarakat/Puskesmas,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn.VI No.2 April
Jakarta: YKJ “ Dharmawangsa.” hal.39-50.

Koentjaraningrat

1982 “Ilmu-Ilmu Sosial dan Pembangunan Kesehatan,” dalam Ilmu-Ilmu Sosial


dalam Pembangunan Kesehatan (Laporan Seminar). Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI.

Laksamana, G. dan Hartono, M.S.

1983 “Beberapa Aspek Sosio Psikiatri Usia Lanjut di Panti Werda ‘Wening Wardoyo’
Ungaran di Kab. Semarang,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn. XVI No.4
Desember. Jakarta: YKJ “ Dharmawangsa.” hal.77-89.

Roan, W. M.

1979 Ilmu Kedokteran Jiwa, edisi pertama

Santoso, S.

2002 digitized by USU digital library 11


1981 “Penanggulangan Retardasi Mental Sedini Mungkin Ditinjau dari Kesehatan
Jiwa,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn. XIV No.3 September. Jakarta: YKJ “
Dharmawangsa.” Hal.85-97.

Setiawan, Pandu

1973 “Studi Pertama Tentang Psikiatri Orang-Orang Tua (Geriatric Psychiatry),”


dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn.VI No.4 Oktober. Jakarta: YKJ “
Dharmawangsa.” hal.51-62.

Yusuf, Ismed

1986 “Keluarga dari Anak dengan Retardasi Mental,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa,
Thn. XIX No.3 September. Jakarta: YKJ “ Dharmawangsa.” hal.59-62.

White, Geoffrey M. Dan Lutz, Catherine A.

1992 “Introduction,” dalam Theodore Schwartz, Geoffrey M. White, and Catherine A.


Lutz (ed) New Direction in Psychological Antropology. New York: Cambridge
University Press. hal.1-20.

___________

2002 digitized by USU digital library 12

Anda mungkin juga menyukai