(Retardasi Mental)
A. Pendahuluan
Tulisan ini dapat menambah wawasan dan sangat bermanfaat khususnya bagi
para mahasiswa yang tertarik untuk mendalami antropologi psikiatri ataupun bagi
warga masyarakat awam dan juga bagi orang-orang yang menekuni studi psikiatri.
Berkembangnya perhatian antropologi pada bidang psikiatri seiring dengan adanya
perubahan paradigma dalam ilmu psikiatri di Eropa dan Amerika Utara. Perubahan
paradigma itu memberikan kesempatan baru yang penting bagi studi-studi
antropologi dan ‘cross-cultural psychiatry’.2 Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Good (1992:181):
“
During the past twenty years, psychiatry in Europe and North America
has undergone the most extraordinary paradigm shift of this century.
Journal publication, research dollars, and treatment orientations all
reflect a shift in dominance from psychoanalytic discourse to biological,
from a focus on psychological processes to classification of symptoms,
from a primary interest in affect and its economy to cognition, and
from investment in community psychiatry to biological research and
pharmacological treatment. This change poses a serious challange for
the anthropologist interested in the role of culture in psychopatology,
raising questions about what directions anthropological research should
take in the coming decade. It also raises the specter of declining
interest in the social and cultural dimensions of mental illness in the
psychiatric profession and public policy.”
Tulisan berikut ini berisi pembahasan mengenai hal-hal apa saja yang dapat
dilakukan oleh para ahli antropologi berkenaan dengan konteks penataan lingkungan
sosial dan budaya bagi orang-orang lanjut usia yang mengalami gangguan jiwa
akibat ‘dimensia’(pikun) dan bagi penderita retardasi mental (‘realitas testing ability’)
atau keterbelakangan mental. Tulisan ini akan sangat bermanfaat bagi para psikiater
karena memberikan sumbangan pemikiran yang sangat informatif dalam
penanganan sosial bagi penderita gangguan jiwa dimensia dan retardasi mental.
Dalam edisi tulisan ini, penulis akan memfokuskan pada penataan lingkungan sosial
1
Tulisan ini merupakan revisi dari tugas akhir semester mata kuliah Kebudayaan dan Kesehatan Jiwa, yang
diikuti penulis pada Semester Genap TA 1995/1996 pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
Program Studi Antropologi. Sebahagian kecil dari tulisan ini juga telah disajikan dalam ceramah ilmiah di
FISIP-USU pada tanggal 17 Juli 1999.
2
Lihat juga tulisan White dan Lutz (1992:1-20) yang mengatakan bahwa kajian-kajian bidang antropologi
budaya akhir-akhir ini cenderung telah memfokuskan kepada persinggungan antara budaya dan psikologi.
Peranan masyarakat yang dinamis sangat diperlukan bagi penderita pikun dan
retardasi mental ini. Hal ini disebabkan karena peranan masyarakat itu jauh lebih
baik dalam banyak hal terutama dalam membantu proses adaptasi bagi penderita
gangguan jiwa (pikun dan retardasi mental) tersebut. Peranan orang-orang di sekitar
si penderita ganngguan jiwa akan lebih besar apabila dibandingkan dengan peranan
rumah sakit (‘hospital care‘). Rumah sakit kurang dapat membantu perkembangan
optimal dan proses adaptasi dari penderita pikun dan retardasi mental. Demikian
juga dengan peranan yayasan-yayasan atau panti-panti atau sekolah-sekolah luar
biasa (khusus untuk anak penderita retardasi mental).
Secara sosial budaya tidak dapat dipungkiri bahwa pada berbagai masyarakat
tertentu ditemukan adanya pengabaian-pengabaian bagi penderita pikun dan
retardasi mental. Pengabaian ini dikarenakan para penderita pikun dan retardasi
3
Penulis juga telah menerbitkan tulisan sebelumnya dengan judul Peranan Ahli Antropologi dalam
Penanganan Penderita Gangguan Jiwa yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Pada kondisi dimana si penderita pikun dan raetardasi mental ini diabaikan,
maka disitulah letak peran seorang ahli antropologi yang lebih konkrit. Seorang ahli
anropologi dapat membantu para penderita pikun dan retardasi mental ini dan pihak
keluarga mereka dalam menangani masalah-masalah yang mereka hadapi secara
sosial dan budaya dalam konteks ‘social and cultural caring ‘. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa pelayanan kesehatan adalah merupakan
salah satu fungsi dari beberapa fungsi keluarga inti maupun keluarga luas, di
dalamnya terkandung azas-azas, nilai-nilai budaya dan norma-norma kehidupan
keluarga. Hal ini juga mempengaruhi dan mengatur sistem pelayanan kesehatan
keluarga (Koentjaraningrat 1982).
C. ‘Social and Cultural Caring’ bagi Para Lanjut Usia yang Mengalami
Gangguan Mental Akibat ‘Dimensia’ (Pikun)
1. Lansia Dimensia............?
Proses menua (‘aging-process’) atau menjadi tua adalah salah satu proses
di dalam kehidupan yang cenderung tidak dapat dihindari oleh manusia. Menurut
Setiawan (1973), timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan
adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada
usia lanjut. Perhatian atau minat khusus terhadap orang-orang usia lanjut ini
menimbulkan cabang baru dalam ilmu psikiatri orang-orang tua yaitu ‘geriatric-
psychiatry = geropsychiatry’ (Setiawan 1973: 51).
Lanjut usia (lansia) merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh
individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi
juga psikologis dan sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi
pada lansia dapat disebut sebagai perubahan ‘senesens‘ dan perubahan ‘senilitas’.
Perubahan ‘senesens’ adalah perubahan-perubahan normal dan dan fisiologik akibat
usia lanjut. Perubahan ‘senilitas’ adalah perubahan-perubahan patologik permanen
dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara
itu, perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya dalah pada bidang klinik,
kesehatan jiwa dan problema bidang sisio ekonomi. Oleh karena itu lansia adalah
kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.
Pikun adalah salah satu akibat yang terjadi akibat ‘dimensia sinilis’, yaitu
salah satu problema bidang kesehatan jiwa. ‘Dimensia sinilis’ ini terjadi karena
melemahnya fungsi-fungsi organik yang terjadi secara beruntun. Melemahnya fungsi
organik ini mengakibatkan terjadinya kemunduran intelektual dan juga
menyebabkan terjadinya desintegrasi kepribadian.
Secara umum, para lansia ‘dimensia’ atau para lansia penderita pikun ini
cenderung sangat menyusahkan bagi keluarganya dan juga dianggap mengganggu
bagi masyarakat di sekitarnya. Adakalanya para lansia ‘dimensia’ ini tidak
diperdulika, diterlantarkan atau dikirim oleh keluarga mereka ke panti-panti
penampungan tanpa perhatian sama sekali.
Pada situasi seperti ini, seorang ahli antropologi mempunyai fungsi khusus
dari segi sosial budaya. Seorang ahli antropologi dapat membantu si penderita agar
mereka dapat diterima di kalangan keluarga dan masyarakatnya. Dalam hal ini ahli
antropologi dapat menempuh beberapa langkah awal, seperti: meihat bagaimana
masayarakat memandang dan memperlakukan si penderita ‘dimensia’ dan anggota
keluarganya, bagaimana anggota keluarga tersebut memperlakukan keluarga
mereka yang mengalami ‘dimensia’, apakah si penderita diperlakukan dengan baik
atau diperlakukan dengan buruk.
Seorang ahli antropologi dalam hal ini dapat mengusahakan bagaimana lansia
‘dimensia’ bisa diterima dan dirawat oleh keluarganya dan masyarakat. Untuk itu
diperlukan pendekatan-pendekatan terhadap kelurga si pasien ataupun dengan
masyarakat di lingkungan sosialnya. Pendekatan-pendekatan ini diperlukan karena
para lansia penderita ‘dimensia’ ini harus diberi dukungan sosial agar fungsionalnya
dapat dicapai dengan cara penataan lingkungan sosial atau cara hidup. Dalam hal ini
tentu saja si antropolog harus melihat defenisi tua dan tidak tua sesuai dengan
konsep kelompok masyarakat tersebut secara budaya. Dengan demikian konsep tua
dan tidak tua diperluas, tidak hanya mencakup kategori usia semata.
Faktor penekanan pada dukungan sosial menjadi penting bagi para lansia
‘dimensia’ ini. Menurut Laksamana dan Hartono (1983:80), problema sosial adalah
merupakan problema terbesar bagi para usia lanjut. Kebutuhan-kebutuhan sosial
menjadi penting bagi mereka, meskipun pada hakekatnya kebutuhan-kebutuhan
tersebut sama dengan yang terdapat pada fase-fase lain kehidupan manusia. Hal ini
perlu mendapat perhatian karena situasi (kondisi fisik, dalam rumah perawatan dan
lain-lain) menyebabkan kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak mudah terpenuhi.
Beberapa kebutuhan sosial penting bagi para lansia adalah: (1) para individu usia
lanjut memerlukan penghargaan, perasaan bahwa dirinya tetap berguna dan
diperlukan, (2) para individu usia lanjut memerlukan suatu interes/tanggung jawab
yang dapat memberikan status tertentu pada dirinya, (3) para individu usia lanjut
memerlukan kasih sayang dan persahabatan, (4) para individu usia lanjut
menginginkan rasa dirinya dapat berperan baik secra fisik, sosial dan mental
(Laksamana dan Hartono 1983:80).
Penekanan pada peran keluarga dan masyarakat menjadi penting dari segi
‘social and cultural caring’ untuk mendapatakan dukungan sosial ini. Menurut
Perhatian dapat pula ditumbuhkan dari segi agama (kepercayaan) dan juga
moral, yaitu dengan menambahkan perhatian untuk lansia (umumnya) dan
‘dimernsia’ (khususnya) adalah suatu kewajiban sebagai penghormatan terhadap
orang tua. Dapat juga dengan menciptakan kondisi kehidupan keluarga yang akrab
dan saling memberi perhatian terhadap lansia penderita ‘dimensia’, dalam penataan
cara-cara hidup. Bentuk perhatian lainnya juga dapat diberikan dengan
meningkatkan peran organisasi-organisasi keagamaan, khususnya kelompok remaja
dan wanita dengan landasan norma-norma agama untuk memperhatikan lansia.
Ditekankan suatu nilai bahwa memberi perhatian pada lansia’dimensia’ adalah suatu
perbuatan mulia yang merupakan kewajiban dan kebajikan.
Anak dengan retardasi mental bukannya anak yang tidak dapat berkembang
menjadi individu dewasa, akan tetapi anak retardasi mental nantinya juga akan
menjadi individu dewasa dengan retardasi mental mental pula. Hal ini yang harus
kita sadari sepenuhnya. Anak dengan retardasi mental sebenarnya tidaklah semua
bagian dari intelektualnya tidak dapat dikembangkan, akan tetapi dengan suatu
tindakan dan penanganan khusus bagian-bagian yang masih dapat dikembangkan,
diusahakan untuk terus dipacu dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan
perkembangan anak. Atas dasar inilah penanganan anak dengan retardasi mental
membutuhkan suatu penanganan khusus dibandingkan dengan penanganan anak
normal. Tujuan dari penanganan anak dengan retardasi mental adalah
mengembangkan kemampuan optimal dari intelektualnya, agar nanti dapat
mencapai kemampuan adaptasi yang optimal pula (Yusuf 1986:59).
4
Intelegensia sendiri didefenisikan oleh Jasper (1945) sebagai keseluruhan daripada
kemampuan intelektual yang diterima seseorang sejak lahir, termasuk bakat dan
keterampilan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri seseorang terhadap tugas
hidupnya. Oleh Page (1945) diuraikan sebagai kemampuan untuk mempelajari
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, kemampuan untuk menyesuaikan
diri terhadap persoalan baru dan keadaan hidup, mengambil pelajaran dari
pengalaman-pengalaman yang pernah dialami, kesanggupan untuk berfikir secara
abstrak dan kreatif, memakai pertimbangan yang kritis, menghindarkan diri dari
kesalahan-kesalahan, mengatasi kesukaran dan mengembangkan daya kemampuan
melihat ke depan (foresight) (dalam Roan 1979:93).
Menurut Santoso (1981), retardasi mental juga dapat dipandang dari 3 (tiga)
sudut; (1) medik (sebab-sebabnya dari dalam diri individu), (2) tingkah laku
(kesukaran belajar, tidak responsif), dan (3) sosial (perbedaan distribusi variabel
sosio-ekonomi, budaya, non-klinik dan di luar diri individu). Persoalan yang dihadapi
tetap selalu ada, baik itu pada masa anak-anak dan juga dewasa.
‘Caring’ atau perhatian secara sosial dan budaya dapat diupayakan dengan
beberapa hal, terutama dengan pendekatan terhadap keluarga inti (‘nuclear family’
dan anggota masyarakat. Ahli antropologi dapat membantu proses diterimanya
penderita retardasi mental ini sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dengan
cara mencoba mengajak masyarakat untuk turut serta dalam proses rehabilitasi para
penderita retardasi mental.
Secara gotong royong, pihak keluarga dapat turut serta mengusahakan atau
memebrdayakan mereka dalam kegiatan-kegiatan produktif tertentu. Kegiatan
produktif ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan si penderita retardasi mental.
Dalam pelibatan si penderita dalam kegiatan produktif ini, pihak keluarga atau
anggota masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal yang sangat penting, yaitu.
Pertama, bagaimana si penderita dapat bekerja dengan kapasitas maksimal.
Misalnya, apakah si penderita mampu membuat sapu lidi, sapu ijuk, keset/ alas kaki,
atau beberapa jenis kerajinan tangan lainnya yang tidak terlalu rumit proses
pembuatannya. Kedua, pihak keluarga atau masyarakat harus membuat si penderita
mampu menyesuaikan diri dengan anggota masyarakat lainnya secara memuaskan.
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar si penderita mampu berinteraksi dengan
lingkungannya secara baik. Dengan interaksi yang baik, si penderta akan mampu
merasa nyaman dan dapat dibantu untuk mengembangkan kemampuannya sampai
pada tingkat yang maksimal.
Tanggapan dan penilaian seperti di atas akan menentukan sikap orang tua,
keluarga dan anggota masyarakat lainnya terhadap si penderita retardasi mental.
Tanggapan negatif yang menganggap penderita retardasi mental adalah kutukan
akan cenderung mengabaikan perhatian terhadap penderita. Pengabaian perhatian
ini akan menyebabkan si penderita retardasi mental akan disisihkan dari lingkungan
sosial mereka. Pihak orang tua dan keluarga akan merasa malu terhadap keberadaan
si anak atau anggota keluarga mereka yang mendertita retardasi mental. Mereka
akan berusaha menutup-nutupi keberadaan si penderita karena merasa takut akan
dikucilkan oleh anggota masyarakat lainnya akibat adanya kutukan tersebut pada
salah satu anggota keluarga mereka.
Selain upaya-upaya yang dilakukan di atas, perhatian yang juga sangat perlu
adalah upaya membantu si penderita agar para anak cacat mental ini mampu
mandiri bagi keperluan pribadi mereka yang mendasar. Keperluan pribadi tersebut
meliputi; membimbing untuk mampu makan sendiri, mengenakan pakaian sendiri
dan akhirnya mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya.
Dalam hal ini pendekatan yang dilakukan terarah kepada keluarga dan
masyarakat, yaitu dalam hal memberi dukungan sosial. Dengan dukungan sosial ini,
E. Penutup
Pelayanan dini dari penderita retardasi mental dapat kita tinjau dari segi
kedokteran preventif sebagai prevensi primer dan sekunder. Dalam prevensi primer
termasuk segala tidakan untuk mengurangi atau menghilangkan faktor penyebab.
Dalam prevensi sekunder diupayakan deteksi dini dari kelainan-kelainan yang
ditemukan pada diri si penderita. Juga pengobatan yang cepat dan tepat pada
berbagai penyakit anak-anak yang dapat menyebabkan infeksi atau yang menyerang
susunan syaraf pusat si penderita. Dalam prevensi tersier termasuk pemberian
bimbingan pada penderita retardasi mental maupun pada orang tuanya, sehingga
mereka dapat berfungsi secara optimal.
Dalam hal ini, penanganan dari sudut medis oleh seorang psikiater diperlukan
untuk ikut menanggulangi masalah-masalah emosional dan tingkah laku yang
diderita oleh si penderita retardasi mental, dan juga untuk memberikan psikoterapi
pada orang tua yang memerlukan. Sementara itu, penanganan dari dari seorang
antropolog juga diperlukan dari sudut sosial dan budaya, yaitu dalam bentuk
penataan lingkungan sosial dan kultural yang dapat menunjang terciptanya tujuan
dari seluruh pengobatan dan pendidikan yang diberikan kepada si penderita, yaitu
untuk mencapai taraf perkembangan yang seoptimal mungkin sehingga anak-anak
penderita retardasi mental ini dapat berdiri sendiri dan tidak tergantung pada orang
lain.
___________
Ancok, Djamaluddin
1995 “Cultural Factors in The Etiology of Mental Disorder and Their Impacts on
Clinical Symtom and Intervention,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn. No.2 Juni.
Jakarta: YKJ “Dharmawangsa.” hal.65-100.
Budhiman, Melly
1981 “Masalah dan Pelayanan Dini Retardasi Mental Ditinjau dari Kedokteran Jiwa,”
dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn. XVI No.3 September. Jakarta: YKJ “
Dharmawangsa.” hal.79-84.
Good, Byron J
Hawari, Dadang
Koentjaraningrat
1983 “Beberapa Aspek Sosio Psikiatri Usia Lanjut di Panti Werda ‘Wening Wardoyo’
Ungaran di Kab. Semarang,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa, Thn. XVI No.4
Desember. Jakarta: YKJ “ Dharmawangsa.” hal.77-89.
Roan, W. M.
Santoso, S.
Setiawan, Pandu
Yusuf, Ismed
1986 “Keluarga dari Anak dengan Retardasi Mental,” dalam Majalah Psikiatri Jiwa,
Thn. XIX No.3 September. Jakarta: YKJ “ Dharmawangsa.” hal.59-62.
___________