Anda di halaman 1dari 34

PRINSIP DASAR DAN TEKNIK-TEKNIK ANESTESI

Oleh:
Kelompok LIII-B

Regina Mega Ayu P.S. 4151181432


Dian Rahmawati 4151181437
Nia Melinda P. 4151181470
Farraskya Pradhany R. 4151181500
Naufal Azhari 4151181514

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

Kemajuan kemampuan ilmu pembedahan dalam bidang kedokteran tidak

terlepas dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi. Pada umumnya,

hilangnya rasa nyeri pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

reversibel. Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan

pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan

intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri

menahun. Pengelolaan anestesi pada pasien yang akan dilakukan tindakan

pembedahan salah satunya adalah dengan menggunakan obat-obatan anestesi di

samping persiapan psikologis. Anestesi dibagi menjadi tiga, yaitu anestesi umum,

regional, dan lokal.

Kemajuan ilmu bedah dicapai sejalan dengan perkembangan teknik serta

penemuan obat anestesi lokal baru yang lebih efektif dibandingkan obat anestesi

lokal terdahulu. Hampir tidak ada tindakan bedah yang dilakukan tanpa anestesi.

Anestesi dapat mengurangi rasa sakit saat tindakan, mengurangi biaya dan waktu,

serta pemulihan lebih cepat, sehingga tindakan bedah dapat dilakukan dengan

tenang dan memberikan hasil baik.


2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi

Kata anestesia berasal dari dari Bahasa Yunani, An= “tidak, tanpa”,

aesthesos= “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Anestesi secara umum berarti

suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan

berbagai prosedur lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya bertujuan

menghilangkan nyeri pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Anestesi

mendasari berbagai tindakan sebagai berikut:

1. Pemberian obat anestesi

2. Monitoring

3. Bantuan hidup (resusitasi)

4. Pemberian terapi inhalasi

5. Perawatan intensif pasien

2.2 Prinsip Dasar Anestesi

Prinsip-prinsip dasar anestesi tertuang dalam konsep dasar anestesi yang

mencakup hal-hal berikut.

1. Memberikan pelayanan anestesi, analgesi dan sedasi yang aman, efektif,

manusiawi dan memuaskan bagi pasien yang menjalani pembedahan,


3

prosedur medik atau trauma yang menyebabkan nyeri, kecemasan, dan stres

psikis lainnya.

2. Menunjang fungsi vital tubuh terutama jalan nafas, pernafasan, peredaran

darah, dan kesadaran pasien yang mengalami gangguan atau ancaman jiwa

karena menjalani prosedur medik, trauma atau penyakit lain.

3. Melakukan resusitasi jantung, paru, otak pada kegawatan yang mengancam

jiwa dimanapun pasien berada (ruang gawat darurat, kamar bedah, ruang

pulih sadar, ruang intensif/ICU).

4. Menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, dan metabolisme tubuh

pasien yang mengalami gangguan atau ancaman jiwa karena menjalani

prosedur medik, trauma atau penyakit lain.

5. Mengatasi masalah nyeri akut di rumah sakit (nyeri akibat pembedahan,

trauma maupun nyeri persalinan).

6. Menanggulangi masalah nyeri kronik dan nyeri membandel (nyeri kanker

dan penyakit kronik).

7. Memberikan bantuan terapi pernafasan

2.3 Trias Anestesi

Pemberian anestesi umum mencakup tiga hal sebagai berikut:

2.3.1 Hipnosis

Keadaan hipnosis merupakan keadaan saat pasien tidak sadarkan diri. Hal

ini dicapai dengan cara induksi dengan suntikan intravena, meliputi: short acting

barbiturate, misalnya pentothal atau methohexitone, propanidid, diazepam


4

(valium), gamma OH, dan kombinasi obat-obat tersebut. Selain itu, keadaan tidur

dan amnesia juga dapat diinduksi dengan inhalasi gas yaitu dengan:

1. Open drop method yaitu dengan menggunakan anestesi yang mudah

menguap lalu diteteskan pada kapas yang diletakkan didepan hidung

penderita

2. Semi open drop method hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi pemakaian zat anestesi digunakan masker.

3. Semi close method yaitu dengan udara yang dihisap diberikan bersama

oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya, kemudian dilewatkan pada

vaporizer sehingga kadar zat anestesik dapat ditentukan.

4. Close method, cara ini hampir sama seperti semi close method hanya udara

ekspirasi dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara

yang mengandung anestesik dapat digunakan lagi.

2.3.2 Analgetik

Analgetik bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri. Analgetik dapat

diberikan yaitu O2 atau N2O yang dapat ditambah dengan siklopropane,

triklorotilene, ether, halothane, methosiflurane, atau ethrane. Obat yang sering

digunakan adalah golongan narkotika analgetik seperti pethidin, morfin,fentanil,

dan lain-lain secara intravena.

2.3.3 Relaksasi Otot

Relaksasi otot bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi ketegangan

otot. Sifat relaksasi bergantung pada jenis pembedahan yaitu dari relaksasi yang

ringan (simple relaksasi) sampai relaksasi sempurna (full paralisis). Obat-obat


5

yang sering dipakai saat ini adalah succinylcholine, atracurium,vecoronium,

rocuronium, pancuronium.

2.4 Teknik-teknik Anestesi

Teknik anestesi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu anestesi umum dan

anestesi regional.

2.4.1 Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Komponen anestesi umum yang

ideal menghasilkan efek sedatif, analgesia, dan relaksasi otot tanpa menimbulkan

risiko yang tidak diinginkan pasien. Anestesi umum dapat dilakukan pada bayi,

anak kecil, dan dewasa, prosedur pembedahan luas, pasien dengan

kelainan/penyakit mental, pembedahan yang berlangsung lama, pasien dengan

riwayat keracunan atau terjadi reaksi alergi dengan obat-obatan anestesi lokal, dan

pasien dengan perawatan antikoagulan.

2.4.1.1 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi

Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka

kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan.

Pertama dengan melakukan anamnesis khusus yang berkaitan dengan

penyakit yang akan dilakukan tindakan bedah. Lalu anamnesis umum yang

meliputi:
6

- Riwayat penyakit sistemik yang diderita atau pernah diderita yang bisa

mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan anestesi

- Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat bereaksi dengan obat anestesi

- Riwayat operasi atau anestesi terdahulu dan apakah ada komplikasinya

- Kebiasaan tertentu seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, penggunaan

narkotika

- Riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu

Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk

eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa

hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk

mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga perlu ditanyakan

karena dapat dicurigai adanya penyakit hepar.

Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan keadaan umum, tanda vital, dan

berat dan dan tinggi badan. Selain itu, pemerikaan gigi-geligi, buka mulut, ukuran

lidah yang relatif besar, pemeriksaan mallampati, dan jarak tiromental sangat

penting dilakukan untuk memprediksi kesulitan dalam melakukan laringoskopi

intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tidak boleh dilewatkan seperti

inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang diderita. Pada pasien diatas 40 tahun dianjurkan melakukan

pemeriksaan EKG dan foto torak.


7

Kebugaran untuk anestesi pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas

waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya, pada

operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Berdasarkan hasil penilaian tersebut, maka dapat disimpulkan status fisik

pasien menurut The American Society of Anesthesiologist (ASA) adalah sebagai

berikut:

1. Kelas I : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

2. Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

3. Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas

4. Kelas IV : pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat

5. Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

2.4.1.2 Waktu Berpuasa

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama

pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko, semua pasien

yang dijadwalkan operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari

masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Pada pasien dewasa dianjurkan puasa 6-8 jam, anak 4-6 jam dan bayi 3-4

jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.


8

Minuman air putih, teh manis diperbolehkan sampai 3 jam sebelum induksi

anestesi dan untuk keperluan obat, air putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan

1 jam sebelum induksi anestesi.

2.4.1.3 Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat dalam waktu 1-2 jam sebelum induksi

anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari

anesthesia, diantaranya:

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Memperlancar induksi anestesia

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

4. Meminimalkan jumlah obat anestetik

5. Mengurangi mual muntah pasca bedah

6. Menciptakan amnesia

7. Mengurangi isi cairan lambung

8. Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi

yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun

kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan yang dapat

digunakan adalah diazepam yang diberikan secara peroral 10-15 mg pada

beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika terdapat nyeri yang disebabkan oleh

penyakit yang diderita pasien, pasien dapat diberikan opioid, misalnya petidin 50

mg yang diberikan secara intramuskular.


9

Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan

premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa, yaitu droperidol 2,5-5 mg atau

ondansentron 2-4 mg.

2.4.1.4 Stadium Anestesi

Stadium anestesi perlu untuk diketahui dan kita juga perlu untuk mengenal

tanda dan gejala dari masing-masing stadium. Hal tersebut berguna untuk

menentukan kapan penderita dapat dioperasi. Bila dilakukan dengan ether atau

tanpa premedikasi, maka stadium anestesi yang disesuaikan dengan guedel sign

adalah :

1. Stadium I

Stadium analgesia/stadium disorientasi yaitu mulai dari induksi (pemberian

zat anestetik) sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat

mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan

pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan

pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu

mata (untuk memastikan refleks tersebut kita dapat meraba bulu mata).

2. Stadium II

Stadium eksitasi/stadium delirium, yaitu dimulai dari hilangnya kesadaran

yang ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks

cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi

dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata. Pada stadium

ini dapat terjadi spasme laring, muntah, menahan nafas dan batuk.

3. Stadium III
10

Stadium operasi terjadi saat terjadinya nafas yang reguler hingga paralisis

respirasi (hilangnya pernafasan spontan). Stadium ini ditandai oleh hilangnya

pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya

kepala ke kiri dan ke kanan dengan mudah. Stadium III dibagi menjadi 4 plana:

 Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi

gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks

cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan

belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai

menurun).

 Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, dada- perut, volume tidak menurun,

frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak dan terfiksasi di tengah, pupil

midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks

laring hilang sehingga dilakukan intubasi.

 Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,

lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan

peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot

semakin menurun).

 Plana 4: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralsis

total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan

kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat

menurun).

4. Stadium IV
11

Pada stadium ini semua refleks negatif dan pupil dilatasi. Ditandai dengan

kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti kegagalan

sirkulasi/henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak

mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang

berlebihan.

2.4.1.5 Induksi Anestesi Umum

Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi

tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.

Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular, atau

rektal.

1. Induksi Anestesi Intravena

Induksi anestesi intravena paling banyak dikerjakan, terutama apabila jalur

vena telah terpasang. Obat induksi bolus disuntikkan dengan kecepatan antara 30-

60 detik. Selama induksi pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi

dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang

kooperatif dan digunakan untuk tindakan yang singkat. Obat-obat yang sering

digunakan:

a. Tiopental (tiopenton, pentotal)

Sediaan tiopental berbentuk bubuk, berbau belerang, berwarna kuning,

dalam ampul 500/1000 mg. Diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5%

dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Tiopental disuntikan secara perlahan dalam 30-60
12

detik. Penyuntika keluar vena menyebabkan nyeri, sehingga dianjurkan pemberian

suntikan infiltrasi lidokain. Kontraindikasi pemberian tiopental yaitu pasien yang

menderita penyakit paru obstruktif menahun, dekompensasi kordis, syok berat,

insufisiensi adenokortikal, dan asma. Efek samping dari tiopental yaitu

hipoventilasi, risiko spasme laring dan bronkus, depresi kardiovaskular.

b. Propofol (recofol, diprivan)

Propofol dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonik, dengan

kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena

dapat menyebabkan nyeri sehingga dapat dianjurkan satu menit sebelumnya

diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena. Efek samping propofol yaitu

hipotensi, apneu sementara selama induksi.

c. Ketamin (ketalar)

Dosis ketamin intravena adalah 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan

menggunakan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya

dianjurkan menggunakan sedativa seperti midazolam (dormikum). Ketamin tidak

dianjurkan pada pasien yang memiliki tekanan darah tinggi. Ketamin

menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi menyebabkan mata terbuka.

d. Opioid

Opioid yang diberikan dalam dosis tinggi tidak mengganggu kardiovaskular

sehingga banyak digunkan untuk pasien dengan kelainan jantung. Dosis


13

penggunaan opioid untuk induksi adalah 20-50 mg/kgBB dan rumatan 0,3-1

mg/kgBB/menit.

2. Induksi Anestesi Intramuskular

Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular

dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

3. Induksi Anestesi Inhalasi

Anestesi inhalasi merupakan anestesi dengan menggunakan gas atau cairan

anestesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara

pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas oksigen dan zat

anestetik. Konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung pada tekanan parsialnya.

Cara induksi ini dilakukan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur

intravena atau pada dewasa yang takut untuk disuntik. Anestesi inhalasi yang

umum digunakan untuk praktik klinik adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran,

desfluran, dan sevofluran.

4. Induksi rektal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau

midazolam.

5. Induksi mencuri

Teknik induksi “mencuri” dilakukan pada anak dan bayi yang sedang tidur.

Induksi mencuri dilakukan seperti induksi inhalasi biasa, hanya sungkup muka

tidak ditempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter

sampai pasien tertidur baru sungkup muka ditempelkan.


14

2.4.1.6 Kontraindikasi

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu gagal jantung derajat

III-IV, AV blok derajat II dan total (tidak ada gelombang P). Sedangkan

kontraindikasi relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110

mmHg), DM takterkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA. Kontraindikasi tergantung

pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada pasien dengan

gangguan hepar, harus dihindari pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik. Pada

pasien dengan gangguan jantung,obat-obatan yang mendepresi miokard atau

menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan. Pasien

dengan gangguan ginjal, obat-obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus

diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan

pada bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang

merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes karena dapat

menyebabkan peningkatan kadar gula darah.

2.4.1.7 Komplikasi Anestesi Umum

Komplikasi kadang-kadang datang secara tidak terduga meskipun anestesi

sudah dilakukan dengan baik. Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi

atau kondisi pasien. Komplikasi dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun

setelah pembedahan.

1. Selama induksi

a. Suntikan keluar dari vena stop suntikan dan cari vena lain

b. Batuk dan spasme laring hentikan narkose, beri O2 sampai sianosis hilang

dan respirasi rate normal kembali.


15

c. Sumbatan jalan nafas bunyi snoring dapat diatasi dengan menarik dagu

pasien ke depan dan ke belakang.

d. Muntah posisi kepala pasien miring, meja dalam posisi Trendelenberg

2. Selama narkose dan operasi

a. Gangguan airway

Depresi pernafasan, sumbatan jalan nafas, pangkal lidah yang jatuh

kebelakang, kelainan di dalam faring, laring spasme, bronkospasme. Tanda-tanda

lain: kulit panas, merah dan berkeringat, tekanan darah meningkat, takikardi,

respirasi cepat dan dalam, perdarahan yang difus dari luka operasi.

b. Komplikasi sistem kardiovaskular

Perubahan tekanan darah berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang

dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya serta hipertensi dimana terjadi

peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi.

Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena

jantung bekerja keras dengan kebutuhan-kebutuhan miokard yang meningkat yang

dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya,

juga perubahan irama denyut jantung (takikardi,bradikardi,aritmia).

c. Komplikasi saluran pencernaan

Komplikasi yang timbul pada saluran cerna diantaranya adalah muntah,

regurgitasi, distensi.

d. Komplikasi lain

Kornea mata luka karena masker/kap/duk operasi, kelumpuhan ekstremitas,

gigi rontok, mulut dan bibir luka, kulit terbakar karena pemakaian diatermidan,
16

retensi urin, menggigil (peningkatan suhu tubuh), gelisah setelah anestesi dan

sadar selama operasi.

2.4.2 Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau

blokade Na Channel pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang

transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestesi

lokal setelah keluar dari saraf diikuti dengan pulihnya konduksi saraf secara

spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.

Kokain merupakan obat anestesi yang penggunaannya secara sistemik akan

menyebabkan efek samping berupa keracunan sistem saraf, kardiovaskular, dan

adiksi sehingga penggunaannya hanya aman untuk anestesi lokal seperti pada

mata,hidung dan tenggorokan.

Kriteria anestesi lokal yang ideal yaitu bersifat poten, sementara, tidak

menimbulkan reaksi lokal, sistemik atau alergi, short acting dengan durasi

memuaskan, stabil, dan ekonomis.

2.4.2.1 Komplikasi Obat Anestesi Lokal

Obat anestesi lokal apabila melewati dosis tertentu merupakan zat toksik,

sehingga untuk tiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya.

Komplikasi dapat bersifat lokal atau sistemik.

1. Komplikasi lokal

a. Terjadi di tempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangren


17

b. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan aseptik dan

antiseptik.

c. Iskemia jaringan dan nekrosis akibat penambahan vasokonstriktor yang

disuntikkan pada daerah dengan arteri buntu

2. Komplikasi sistemik

a. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan kardiovaskuler

b. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa

perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa

depresi

c. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan

depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung

2.4.3 Anestesi Regional

1. Definisi Anestesi Regional

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri pada hantaran saraf

sensorik yang bersifat sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau

seluruhnya dan penderita tetap dalam kondisi sadar.

2. Persiapan dan Peralatan Anestesi Regional secara Umum

Pada dasarnya persiapan pada anestesi regional (sentral) sama dengan

persiapan anestesi umum. Daerah sekitar tempat penusukan harus diperhatikan

dengan seksama apakah ada hal-hal penyulit, seperti kelainan bentuk tulang

belakang atau prosesus spinosus sulit diraba seperti pada pasien obesitas.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah informed consent, pemeriksaan

fisik, dan Pemeriksaan laboratorium (Hb, ht, PT, dan PTT).


18

Peralatan yang diperlukan pada anestesi regional yaitu Peralatan Monitor

(Tekanan darah, nadi, pulseoxymetri, EKG). Peralatan resusitasi berupa jarum

spinal untuk anestesi spinal. Jarum dengan ujung tajam (Quincke- Babcock) atau

jarum spinal dengan ujung pensil (pencilpoint,Whitecare). Jarum epidural untuk

anestesi epidural yaitu, jarum dengan ujung tajam (Crawford) digunakan untuk

pemberian obat-obatan dosis tunggal dan jarum dengan ujung khusus (Touhy)

untuk pemandu memasukkan kateter ke ruang epidural. Jarum ini biasanya

ditandai setiap cm. Jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena ukuran 20-

22 pada pasien dewasa untuk ansestei kaudal.

3. Anestesi spinal

Anestesi spinal adalah pemberian obat anestesi lokal kedalam ruang

subarachnoid. Teknik anestesi spinal sederhana, cukup efektif dan mudah

dikerjakan. Indikasi anestesi spinal yaitu untuk bedah ekstremitas bawah, bedah

panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obestetri-ginekologi, bedah

abdomen bawah, dan lumbal. Dapat juga digunakan untuk prosedur pembedahan

abdomen bagian atas seperti choleecystectomy dan gastric resection. Terdapat

beberapa indikasi yang spesifik untuk dilakukan anestesi spinal yaitu

urologicendoscopic surgery (transurethral resection of the prostate), rectal

surgery, repair of hip fracture, pediatric surgery.

Kontraindikasi absolut diantaranya pasien menolak, infeksi kulit disekitar

tempat penyuntikan, bakteriemi, hipovolemi berat (syok), koagulopati,

peningkatan tekanan intrakranial, fasilitas resusitasi minim, sepsis, dan pasien

dengan terapi antikoagulan.


19

Kontraindikasi relatif diantaranya, Infeksi sistemik, Neuropati perifer, Mini-

doseheparin, Psikosis atau demensia, Aspirin atau obat antiplatelet, Demielinisasi

sistem saraf pusat, Certain cardiac lesions (idiopathic hyperthropic subaortic

stenosis dan aortic stenosis), Pasien yang tidak kooperatif (emotionaly unstable),

nyeri punggung kronis. Persiapan pasien untuk anestesi spinal diantaranya yaitu

informed consent, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin, dan

premedikasi. Premedikasi diberikan pada pasien yang merasa ketakutan akan

terbangun, mendengar sesuatu, dan merasa tidak nyaman dengan tindakan

anestesi spinal. Obat pilihan yang dapat diberikan sebagai premedikasi

diantaranya yaitu benzodiazepine oral atau IM adalah pilihan yang baik sebagai

sedatif, opioid juga dapat menjadi pilihan atau kombinasi opioid-anxiolitik secara

IM.

Peralatan dan keamanan yang dibutuhkan saat dilakukan anestesi spinal:

1. Persiapan umum

Tindakan anestesi spinal harus dilaksanakan dilingkungan dengan peralatan

lengkap untuk monitoring pasien, pelaksanaan anestesi umum jika diperlukan dan

resusitasi. Hal ini wajib dilakukan karena komplikasi yang sering dari anestesi

spinal yang meliputi, hipotensi berat, bradikardi berat, dan insufisiensi respirasi.

Waktu yang diperlukan untuk mendapat peralatan dan obat-obatan setelah timbul

salah satu komplikasi dapat memberikan perbedaan antara keberhasilan terapi dan

morbiditas atau mortalitas. Monitoring, termasuk EKG, tekanan darah, dan pulse

oximetry, akan memberikan peringatan awal dari gangguan kardiovaskular dan

intervensi farmakologis selama cardiac output dan sikulasi arteri tetap efektif
20

untuk transportasi obat-obatan ke organ target.

2. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke Babcock)

atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,whitacre) atau jarum Greene,

Touhy, dan pitkin.

Gambar 2.2 jarum spinal

Teknik analgesia spinal adalah posisi duduk atau posisi lateral dekubitus

dengan tusukan pada garis tengah adalah posisi yang paling sering dikerjakan.

Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa di pindah lagi dan hanya

diperlukan menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

Gambar 2.3. Posisi duduk dan lateral dekubitus


21

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien, misalnya dalam posisi dekubitus lateral.

Beri bantal di bawah kepala, agar tulang belakang stabil. Buat pasien

membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain

adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaca dengan

tulang punggung adalah L3-L4-5. Tentukan tempat tusukan, misalnya L2-3,

L3-4 atau

L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla

spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan povidone iodine atau

alkohol.

4. Beri anestetik local pada tempat tusukan ,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3

mL.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinsal sebesar 22G,

23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G

atau 29G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum

suntik biasa spuit 10cc.Tusukan jarum introducer sedalam kira-kira 2cm ke

arah cefal.

6. Masukan jarum spinal berikut dengan mandrinenya ke lubang jarum tersebut.

Jika menggunakan jarum tajam (Quinkle-Babcock) irisan jarum (bevel) harus

sejajar dengan durameter, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke

atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran cairan yang dapat

menimbulkan nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,


22

mandrin jarum spinal dicabut dan keluar cairan, pasang spuit berisi obat dan

obat dapat dimasukan perlahan 0,5 ml/ detik. Diselingi aspirasi sedikit, hanya

untuk menyakinkan posisi jarum tetap baik. Jika yakin ujung jarum spinal

o
dalam posisi yang benar namun cairan tidak keluar, putar arah jarum 90

biasanya cairan akan keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat

dimasukan kateter.

7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal, misalnya bedah

hemoroid dengan anestesi hiperbarik. Jarak kulit dengan ligamentum flavum

dewasa kurang lebih 6 cm.

Gambar 2.4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

Komplikasi dilakukannya anestesi spinal dapat digolongkan menjadi

komplikasi tindakan dan pasca tindakan. Komplikasi tindakan meliputi hipotensi

berat akibat blok simpatis, bradikardi dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau

hipoksia, terjadi akibat blok sampai T2, Hipoventilasi akibat paralisis saraf

phrenicus atau hipoperfusi pusat kendali nafas, Trauma Pembuluh Darah, Trauma

Saraf, mual muntah, gangguan pendengaran, dan blok spinal tinggi atau spinal
23

total. Komplikasi pasca tindakan meliputi nyeri tempat suntikan, nyeri punggung,

nyeri kepala karena kebocoran liquor, retensio urine, dan meningitis.


24

5. Anestesi Epidural

Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan

obat diruang epidural. Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan duramater.

Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm di bagian posterior dengan kedalaman

maksimal pada daerah lumbal. Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja

langsung pada akar saraf spinal yang terletak di lateral. Awal kerja anestesi

epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade

sensorik-motorik juga lebih lemah.

Terdapat indikasi dilakukan tindakan anestesi epidural, diantanya:

1. Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah

2. Tatalaksana nyeri saat persalinan

3. Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan

Indikasi spesifik untuk anestesi epidural adalah:

1.Pembedahan panggul dan lutut

2.Revaskularisasi ekstremitas bawah

3.Proses persalinan

4.Manajemen postoperasi

Teknik Anestetik Epidural: Pengenalan ruang epidural lebih sulit

dibandingdengan ruang subarakhnoid.

1.Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.

2.Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggianL3-4.

3.Jarum yang digunakan ada 2 macam,yaitu:

a) jarum ujung tajam (Crawford)

b) jarum ujung khusus (Touhy)


25

Gambar 2.5. Jarum Anestesi Epidural

Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah ujung

jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui

kateter. Masukkan anestetik lokal 3ml yang sudah bercampur adrenalin 1: 200.000.

kemudian dipehatikan beberapa hal berikut ini :

1. Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum sudah benar.

2. Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang subarakhnoid

karena terlalu dalam.

3. Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat masuk vena

epidural.

Cara penyuntikan: setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikan

anestesi lokal secara bertahap setiap 3-5menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis

total. Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak

tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala, dan

gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.

Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya bergantung

pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50% dan pada

wanita hamil dikurangi 30% akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural

akibat ramainya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.


26

Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya, blok tidak merata sehingga terjadi

gangguan pada fungsi sistem saraf simpatik seperti depresi kardiovaskular (hipotensi),

Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat), dan mual – muntah.

6. Anestesi Kaudal

Anestesi kaudal merupakan anestesi epidural dari kauda equina yang diakses

canalis sakrum melalui hiatus sakrum. Pada anak-anak anestesi kaudal biasanya

dikombinasikan dengan anestesi umum yang ringan dengan pernapasan spontan. Efek

dari kaudal anestesi mempengaruhi persarafan sakral dan lumbar, meskipun akan

terjadi efek tambahan pada sistem kardiovaskuler, pernapasan, dan pencernaan.

Anestesi ini akan mengenai saraf motorik (ekstrimitas bawah), sensorik (sub umbilikal),

dan persarafan otonom pada bladder dan anorektal.

Anestesi kaudal dapat digunakan pada bayi, anak-anak, dan dewasa khususnya

pembedahan pada bagian perineum, anus, rektum, dapat juga dilakukan pada

herniorrhaphy inguinal dan femoral, cystoscopy dan bedah uretra,

hemoroidektomi dan histerektomi vaginal. Selain itu anestsi ini dapat digunakan untuk

menghilangkan rasa sakit dalam persalinan, blok simpatetik pada insufisiensi

vaskular akut pada ekstrimitas bawah dan mengevaluasi nyeri pada daerah persarafan

yang terkena. Anestesi kaudal juga dapat berperan dalam menghilangkan rasa nyeri akut

dan kronik/nyeri karena kanker. Manajemen rasa nyeri dapat dilakukan pada beberapa

keadaan yaitu trauma pada ekstrimitas bawah dan manajemen post operatif. Dalam

manajemen rasa nyeri kronik anestesi ini dapat diaplikasikan pada radikulopati lumbal,

neuralgia post herpetic beserta nyeri kronik lainnnya. Anestesi ini juga berguna untuk

menghilangkan rasa nyeri yang diakibatkan oleh kanker pada persarafan yang terkait.

Kontraindikasi dilakukannya anestesi kaudal berkaitan dengan kelainan organ


27

terkait pada proses pelaksanaan anestesi, yaitu Malformasi sakrum (myelomeningocele,

spina bifida terbuka), meningitis dan hipertensi intrakranial.

Teknik untuk melakukan anestesi kaudal terdiri dari beberapa posisi. Pada dewasa

dapat digunakan beberapa posisi, dibandingkan dengan posisi lateral dekubitus pada

neonatus dan anak-anak. Posisi lateral memiliki efikasi yang baik karena mempermudah

akses pada jalan napas bila pasien sedang berada dalam efek sedasi yang berat. Pada

dewasa lebih sering digunakan posisi pronasi namun posisi knee-chest juga dapat

digunakan. Pada posisi pronasi, sebaiknya diletakan bantal dibawah simfisis pubis untuk

mempermudah perabaan caudal canal. Pada pasien dengan parturien tindakan anestesi

dapat dilakukan dengan sim position.

Jarum berukuran 1,5 inci dengan lidokain 1,5% diinfiltrasikan pada kulit di atas

hiatus sakral saat akses anestesi, pastikan ujung jarum berada di bawah S2 untuk

menghindari robekan pada duramater. Biasanya untuk ketepatan, dapat dilakukan

flouroscopy dengan tampilan lateral, kanalis kaudal akan terlihat lebih translusens di

bagian belakang segmen sakrum.

Ketika jaringan di atas hiatus telah teranestesi, jarum type berukuran 17/18

dimasukan dan dipastikan menembus hingga ligamen sakrokoksigeal. Ketika jarum telah

memasuki dinding depan kanalis sakralis, jarum ditarik sedikit dan di re-orientasi kearah

kranial dan selanjutnya dimasukan kedalam kanalis sakralis. Bila flouroscopy tidak

tersedia dapat digunakan teknik loss-of-resistance dengan menempelkan spuit yang berisi

udara dan air salin.


28

Komplikasi yang dapat ditimbulkan pada anestesi kaudal, diantarnya:

1.Blok tidak merata/gagal dapat terjadi pada 5-20%, terkadang penggunaan USG

membantu untuk meningkatkan tingkat keberhasilan.

2.Depresi kardiovaskular (hipotensi)

3.Hipoventilasi (hati-hatikeracunan obat)

4.Mual-muntah.

Berbagai Obat-obatan yang digunakan untuk caudal block:

a.0,5-1 ml/kg 0,125-0,25% bupivakain dengan atau tanpa epinephrine.

b. 15-20 ml dari lidokain 1,5-2% dengan atau tanpa epinephrine.

1.0,5 ml/ kg untuk blok lumbosakral

2.1ml/kg untuk blok torakolumbalis

3.1,5 ml/ kg untuk blok toraks mid

4.Maksimum 20ml, 1% untuk analgesia dan 2% untuk motor blok

c. Dapat ditambahkan dengan morfin 50-70 µg/kg atau fentanyl 50-100 µg.

7. Anestesi Regional Intravena

Anestesi regional intravena merupakan teknik anestesi regional yang

ditujukakkan untuk operasi pada daerah ekstremitas tubuh. Teknik ini bekerja

dengan prinsip memblok darah yang menuju ekstremitas dengan menggunakan

torniquet kemudian menyuntikkan anestestesi lokal pada daerah tersebut untuk

menginduksi anestesi. Analgesia regional intravena (Bier Block) dapat dikerjakan


29

untuk bedah singkat sekitar 45 menit pada lengan atau tungkai, biasanya hanya

dikerjakan untuk orang dewasa dan pada lengan. Prosedur analgesia regional

intravena, yaitu:

1. Pasang kateter vena pada kedua punggung tangan. Pada sisi lengan atau tangan

yang akan dibedah digunaka nuntuk memasukkan obat anestesi lokal, sedangkan

sisi lain untuk memasukkan obat-obat yang diperlukan seandainya timbul

kegawatan atau diperlukan cairan infus.

2. Eksanguinasi (mengurangi darah) pada sisi lengan yang akan dibedah dengan

menaikkan lengan dan peraslah lengan secara manual atau dengan bantuan

perban elastic (eshmark bandage) dari distal ke proksimal. Tindakan ini selain

untuk mengurangi sirkulasi darah dan tentunya dosis obat.

3. Pasang pengukur tekanan darah pada lengan atas seperti akan mengukur tekanan

darah biasa dengan torniket atau manset ganda dan bagian proksimal

dikembangkan dahulu sampai 100 mmHg diatas tekanan sistolik supaya darah

arteri tidak masuk kelengan dan juga tentunya darah vena tidak akan ke

sistemik. Perban elastic dilepaskan.

4. Suntikkan lidokain atau prilokain 0,5% 0,6ml/kg (bupivakain tidak dianjurkan,

karena toksisitasnya lebih besar) melalui kateter dipunggung tangan dan untuk

tungkai melalui vena punggung kaki dosis 1-1.2ml/kg. Analgesia tercapai dalam

waktu 5-15 menit dan pembedahan dapat dimulai.

5. Setelah 20-30 menit atau kalau pasien merasa tidak enak atau nyeri pada
30

torniket, kembangkan manset distal dan kempiskan manset proksimal.

6. Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukan secara bertahap, buka

tutup selang beberapa menit untuk menghindari keracunan obat. Pada

pembedahan yang sangat singkat, untuk mencegah keracunan sistemik torniket

harus tetap dipertahankan selama 30 menit untuk memberi kesempatan obat

keluar vena menyebar dan melekat ke seluruh jaringan sekitar. Untuk tungkai

jarang dikerjakan, karena banyak pilihan lain yang lebih mudah dan aman

misalnya blok spinal, epidural atau kaudal.

Anestesi Topikal

Yaitu teknik anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestesi

lokal pada daerah atau sekitar lokasi pembedahan yang menyebabkan hambatan

konduksi impuls aferen yang bersifat sementara. Adapun teknik pemberian anestesi

lokal yaitu:

a. Anestesi permukaan: dengan cara pemberian krim EMLA ke permukaan kulit

sehat sebelum dilakukan prosedur. Krim EMLA dapat berefek anestetik

maksimum sampai kedalaman 5 mm

b. Anestesi infiltrasi: tujuan teknik ini adalah untuk menimbulkan anestesi ujung

saraf melalui kontak langsung dengan obat. Cara anestesi ilfiltrasi yang sering

digunakan yaitu blokade melingkar (Ring Block). Dengan cara itu, obat

disuntikkan subkutan mengelilingi daerah yang akan dioprasi.


31

Obat anestesi lokal terbagi 2 yaitu golongan ester yang meliputi cocaine, benzocaine,

ametocaine, tetracaine, dan chlorocaine dan golongan amida yang meliputi lidocaine,

mepivacaine, prilocaine, bupivarcaine, etidocaine, dibucaine, ropivacaine, dan

levobupicaine.

Pemulihan Pasca Anestesi

Perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien

sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di Recovery Room

(RR), Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan, setelah dilakukan operasi terutama

yang menggunakan anestesi umum.

1. Aldrete Score

Aldrete score adalah suatu penilaian pasca anestesi di ruang pulih sebagai

kriteria pemindahan atau pengeluaran pasien. Aldrete score dinilai saat pasien massuk

ruang pulih dan selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5 menit

sampai tercapai nilai total >8. Nilai total untuk pengiriman pasien adalah >8.

a. Nilai warna : merah muda (2), pucat (1), sianosis (0)

b. Pernapasan : dapat bernapas dalam dan batuk (2), dangkal namun pertukaran udara

adekuat (1), apnea atau obstruksi (0)

c. Sirkulasi : tekanan darah menyimpang <20% dari normal (2), tekanan darah

menyimpang 20-50 % dari normal (1), tekanan darah menyimpang >50% dari

normal (0)
32

d. Kesadaran : sadar, siaga dan orientasi (2), bangunnamun cepat kembali tertidur

(1), tidak berespons (0)

e. Aktivitas : Seluruh ekstremitas dapat digerakkan (2), dua ekstremitas dapat

digerakkan (1), tidak bergerak (0)

2. Steward Score (anak-anak)

Steward score adalah suatu penilaian pasca anestesi pada anak di ruang pulih

sebagai kriteria pemindahan atau pengeluaran pasien. Pasien dapat dipindahkan ke

ruangan jika jumlah nilai total > 5.

a. Pergerakan : gerak bertujuan (2), gerak tak bertujuan (1), tidak bergerak (0)

b. Pernafasan : batuk, menangis (2), pertahankan jalan nafas (1), perlu bantuan (0)

c. Kesadaran : menangis (2), bereaksi terhadap rangsangan (1), tidak bereaksi (0)
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.
2. Werth, M. Pokok-pokok Anestesi. Jakarta: EGC; 2010.
3. Morgan, Edward. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. McGraw-Hill
Companies; 2006.
4. Muhamin M, Thaib MR, Sunarto S. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI; 2004.
5. Dobson MB. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC; 1994.
6. Redjeki IS. Perioperative Goals Directed Therapy. Jurnal Anestesi Operatif. 2013;
1(1): 1-2.
7. E-medicine. General Anesthesia. [Online]; 2012 [Cited 2014 March 14]. Available
from:http//www.emedicine.medscape.com/article/1271543.html

Anda mungkin juga menyukai