Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Penyakit Kanker

Kanker merupakan kelompok sel dengan pertumbuhan diluar kendali atau

tidak terkontrol dan mengambil alih fungsi organ yang terkena, sehingga organ

dengan kanker akhirnya akan berhenti berfungsi (American Cancer Society,

2017). Defenisi lain kanker adalah “confused cell”, ganas (malignan) yaitu

pertumbuhan yang menolak atau resisten terhadap pengobatan dan cenderung

memperburuk keadaan dan mengancam jiwa. Sel kanker juga mengalami

hambatan dalam komunikasi antar sel. Sel normal mampu berhenti membelah

dikarenakan adanya komunikasi antar sel, sementara pada sel kanker tidak

memiliki komunikasi antar sel sehingga akan terus membelah dan menyerang

jaringan sekitarnya (William & Hopper, 2007).

Sel ganas menunjukkan kemampuan untuk menyerang jaringan sekitarnya dan

bermetastasis. Metastasis merupakan salah satu karakteristik kanker yang paling

menyulitkan karena satu sel ganas saja dapat menimbulkan lesi metastatic

dibagian tubuh yang jauh. Kanker dapat bermetastasis melalui beberapa cara yaitu

metastasis langsung ke jaringan berdekatan, dari pembuluh getah bening ke

jaringan yang berdekatan dengan pembuluh limfatik, transportasi dalam darah,

dan difusi di dalam organ tubuh. Kanker primer merupakan area dimana sel ganas

14
pertama kali terbentuk. Kanker sekunder atau kanker metastasis adalah daerah

dimana sel kanker telah menyebar (Timby & Smith, 2010).

Pertumbuhan dan reproduksi sel kanker meliputi dua tahap. Tahap pertama

dalam pertumbuhan kanker disebut inisiasi, terjadi karena sebuah perubahan

dalam struktur genetic sel/DNA. Perubahan sel dikaitkan dengan pajanan dengan

karsinogen. Perubahan selular ini menyebabkan sel menjadi kanker. Tahap kedua

adalah promosi, terjadi karena paparan berulang dari karsinogen yang

menyebabkan mutasi pada sel. Mutasi sel ini disebabkan oleh peningkatan faktor

resiko kanker yang dikaitkan dengan banyak faktor. Faktor spesifik seperti virus,

pajanan radiasi, bahan kimia, iritasi, genetic, diet, usia, hereditas ( Cortan et al,

2007; William & Hopper, 2007).

a. Jenis penyakit kanker

Menurut National Cancer Institute (2015), Jenis kanker berdasarkan tipe

selnya dibedakan menjadi; 1) Karsinoma, dibentuk dari sel epitel, yaitu sel sel

yang menutupi bagian dalam dan luar dari permukaan tubuh. Karsinoma

dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu adenokarsinoma (kanker payudara, kolom,

prostat), basal cell carcinoma (kanker kulit), squamous cell carcinoma (lambung,

usus, paru-paru, kandung kemih, ginjal), Transitional cell carcinoma (kandung

kemih, ureter, bagian ginjal lainnya); 2) Sarkoma, merupakan kanker yang berasal

dari tulang dan jaringan lunak, termasuk otot, lemak, pembuluh darah, pembuluh

limfe, termasuk tendon dan ligament, misalnya osteosarkoma; 3) Leukemia,

kanker ini tidak membentuk struktur yang padat, terjadi peningkatan secara

abnormal sel darah putih sehingga akan mengurangi sel darah normal. Hal ini

15
akan menyebabkan tubuh akan kesulitan mendapatkan oksigen, mengendalikan

pendarahan dan melawan infeksi; 4) Limpoma, berasal dari limposit (sel T atau

sel B), ada dua jenis yaitu Limpoma Hodgkin, Limpoma Non-Hodgkin; 5)

Multiple Myeolomai, berasal dari sel plasma, tipe lain dari sel imun, disebut juga

Kahler Disease; 6) Melanoma, berasal dari sel melanosit, misalnya kanker kulit;

7) Brain and Spinal Cord Tumor.

b. Stadium kanker

American Joint committe on Cancer (Timby & Smith, 2010) mengembangkan

stadium kanker berdasarkan klasifikasi yang disebut klasifikasi T (ukuran tumor),

N (keterlibatan kelenjar getah bening), M (metastasis). Selanjutnya dilakukan

pengelompokan berdasarkan klasifikasi, yaitu:

1) Stadium 0 : kanker in situ, sel ganas tapi masih terbatas pada lapisan sel

pertama terbentuk, tanpa tanda-tanda metastasis;

2) Stadium I, II, III : semakin tinggi angka menunjukkan ukuran yang semakin

besar dan atau penyebaran kanker ke kelenjar getah bening terdekat dan atau

organ dekat tumor primer;

3) Stadium IV : kanker telah menyerang atau bermetastasis ke jaringan atau

organ tubuh lain.

Dampak psikologis (cemas, harga diri rendah, stress dan amarah) yang

dialami tiap orang berbeda-beda tergantung pada stadium kankernya. Tingkat

stress paling banyak didapatkan pada pasien kanker stadium 3, disebabkan

karena gejala penyakit yang semakin progresif dan adanya efek samping

pengobatan (Oetami, F., M.Thaha, I. L., & Wahiduddin, 2014).

16
c. Pengobatan Kanker

Tujuan dari pengobatan kanker yaitu menghilangkan penyakit (sembuh),

memperpanjang harapan hidup, menghambat pertumbuhan sel kanker, dan

mengurangi gejala terkait kanker. Berbagai pengobatan kanker, yaitu; 1)

Pembedahan (eksisi, bedah endoskopi, cryosurgery, chemosurgery, salvage

surgery, elektrosurgery, atau laser surgery ) merupakan metode pengobatan

utama yang bersifat profilaksis, paliatif atau rekonstruktif yang bertujuan untuk

mengangkat tumor secara keseluruhan atau sebagian besar; 2) Terapi radiasi,

kemoterapi, dan radiokemoterapi; 3) Transplantasi sumsum tulang dan

Hipertermia; dan 4) Terapi lainnya yaitu Biologic response modifiers, terapi gen,

dan pengobatan komplementer dan alternative/Complementary alternative

medicine [CAM] (Brunner & Suddarth’s, 2010).

Tindakan pengobatan dapat menimbulkan dampak psikologis yang dapat

menekan kondisi penderita kanker. Pengobatan utama kanker adalah operasi,

kemoterapi dan radioterapi. Pengobatan dengan kemoterapi dan radioterapi

memiliki efek samping seperti rambut rontok, mual dan muntah, dan diare. Lama

pengobatan kemoterapi dan rasa khawatir akan hilangnya integritas fisik,

ketergantungan, dan peran sosial akan berdampak pada psikis pasien. Pengobatan

dengan operasi juga menyebabkan perubahan fisik, nyeri, dan gangguan seksual.

Kondisi ini akan menyebabkan munculnya kecemasan, stres, dan depresi pada

pasien kanker (Pandey, et al, 2006; Barre, et al, 2015; Pastore, et al, 2017).

17
2. Dampak kanker

Masalah penderita kanker dimulai saat mulai terdiagnosis sampai pasien

tersebut meninggal. Diagnosis sebagai penderita kanker dapat menyebabkan

kemarahan, syok, ketidakpercayaan dan distress pada pasien kanker (Sostaric &

Sprah, 2004). Selama pengobataan pasien akan merasakan efek samping

hospitalisasi, radioterapi dan atau kemoterapi, yang akan menjadi stressor berat

bagi pasien. Pada akhir pengobatan pasien akan dihantui dan ketakutan bahwa

kanker akan terjadi lagi atau terjadi kekambuhan, dan adanya rasa kehilangan

yang mungkin muncul karena akan berpisah dengan petugas kesehatan. Namun,

jika terjadi kekambuhan dan atau mencapai tahap penyakit terminal maka akan

menimbulkan depresi, rasa sakit yang tidak terkendali, serta timbulnya rasa cemas

akan datangnya kematian dan akan berpisah dengan orang yang dicintai (White &

Macleod, 2002; Strittmatter et al, 2002; Cordova & Andrykowski 2003).

Masalah lain yang muncul akibat kanker yaitu; 1) Keterbatasan melakukan

aktivitas harian, 53,9% penderita kanker mengalami masalah dalam perawatan

diri, berpakaian atau mencuci; 2) Kondisi fisik, masalah fisik yang sering terjadi

pada pasien kanker adalah nyeri (71,1%), kelelahan(66,7%), gangguan tidur

(53,3%); 3) Masalah psikologis yang sering terjadi pada penderita kanker yaitu

stress, depresi, gangguan mood, dan depresi. Stres terjadi pada 73,52% pasien

kanker yang menjalani pengobatan kanker, hospitalisasi, proses operasi, atau

kemoterapi menjadi stressor tinggi bagi pasien kanker; 4) masalah spiritual yang

banyak terjadi pada pasien kanker adalah kesulitasn menerima kondisi atau

penyakit; 5) Masalah ekonomi atau stres ekonomi merupakan meningkatnya

18
beban keuangan akibat biaya perawatan pasien kanker dan kehilangan

pendapatan, menjadi sumber stressor kuat yang dapat berhubungan dengan

penurunan kualitas hidup pasien kanker. (Effendy et al, 2014; Cheng et al, 2012;

Barre et al, 2017; Fenn et al, 2014; Ell et al, 2007).

3. Cancer Related Stress

Cancer related stress didefenisikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan

dari psikologis (kognitif, perilaku,emosional), sosial, spiritual, dan atau fisik yang

dapat mengganggu kemampuan koping secara efektif terhadap gejala fisik dan

pengobatan kanker (NCCN, 2017). Menurut Kazak, et al, (2001), CRS

disebabkan karena terdiagnosis kanker dan proses pengobatan kanker. CRS mulai

timbul saat pasien didiagnosis sebagai penderita kanker, saat memulai

pengobatan, selama pengobatan dan diakhir pengobatan, adanya efek pengobatan,

dan kemungkinan kambuh. Pengobatan yang lama, ketidakpastian tentang

penyakit, gangguan kognitif, takut mati, kelelahan, perkembangan penyakit,

penurunan kualitas hidup, menurunnya interaksi, dan penurunan kemampuan

dalam mengambil keputusan memperparah cancer related stress (Kangas, et al,

2002; Bailey et al, 2007; Herschbach et al (2004); Chandwani et al., 2012).

Sosiodemografi juga dapat mempengaruhi cancer related stress, yaitu usia,

pendidikan dan status sosial-ekonomi. Usia muda lebih cenderung mempunyai

tingkat stres lebib tinggi dibandingkan usia dewasa. Pendidikan yang rendah dan

status sosia-ekonomi rendah juga berhubungan dengan peningkatan cancer

related stress. Kurangnya dukungan sosial dan menurunnya fugnsi fisik juga

menjadi predictor CRS (Kangas et al, 2002).

19
a. Respon Neuroendokrin Cancer Related Stress

Stres ditandai dengan proses psikofisiologis dalam menanggapi suatu

keadaan yang dianggap mengancam, membahayakan, atau menantang (26).

Semua respon individu terhadap stres baik secara langsung maupun tidak

langsung dipengaruhi oleh Hypohtlamus-Pituitary-Adrenal (HPA) axis dan

Sympathetic nervous system (SNS). Hipothalamus menerima stimuli mengenai

stress fisik dan emosional dari sebagian besar area otak dan reseptor di

seluruh tubuh. Respon selanjutnya, hipotalamus secara langsung akan

mengaktifkan sistem saraf simpatik untuk mensekresikan Corticotrophin-

releasing Hormone (CRH). CRH akan merangsang kelenjar Pituatary anterior

untuk melepaskan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) , selanjutnya akan

merangsang korteks adrenal untuk melepaskan kortisol. Pituatari posterior

akan merangsang pelepasan vasopressin. Stimulasi simpati akan menyebabkan

sekresi epinefrin, epinefrin akan merangsang peningkatan glucagon dan

penurunan insulin. Di bagian lain, terjadi vasokontriksi arteriol pada

pembuluh darah ginjal oleh katekolamin yang secara tidak langsung memicu

sekresi rennin dengan mengurangi aliran darah beroksigen yang berefek pada

aktifnya The Renin-Angiotensin-Aldosteron-System (RAAS). Dengan cara

inilah hipotalamus mengintegrasikan respon sistem saraf simpatis dan sistem

endokrin selama stres (gambar, 1) (Sherwood, 2010).

20
Stressor

Posterior Pituatary Hipothalamus CRH

Vasopressin Sistem Saraf Simpatis Anterior Pituatary

ACTH
Medulla Adrenal
Korteks Adrenal
Epineprin
Kortisol

Otot polos arteriol


Endocrine Pankreas

vasokonstriksi
Glukagon Insulin

Aliran darah ke Ginjal

RAAS

Gambar 1. Integrasi Respon Stres di Hipotalamus (Sherwood, 2010)

Pada pasien kanker, gangguan regulasi HPA Axis dan SNS terkait dengan

perkembangan, pengobatan/perawatan, dan takut akan kambuhnya kanker

sebagai sumber stressor (Fitzgerald, 2009). Wanita dengan kanker payudara

metastasis mengalami gangguan regulasi HPA axis yang ditandai dengan

peningkatan kortisol (Moreno-Smith, et al, (2011). Perubahan Regulasi HPA

axis akibat stres psikologis dapat mempengaruhi berbagai aktivitas sel imun,

termasuk Natural Killer Cell (NK cell), Sel T dan Makrofag yang akan

berdampak terhadap perkembangan dan prognosis kanker yang buruk

(Lutgendorf, et al, 2010).

21
b. Dampak Cancer Related Stress

Beberapa penelitian menunjukkan peran penting respon stress kronik pada

proses angiogenesis. Angiogenesis merupakan proses kompleks yang sangat

penting untuk pertumbuhan dan metastasis kanker. Proses neuvaskularisasi

tumor atau angiogenesis melibatkan pelepasan faktor proangiogenic oleh sel

tumor untuk menyebabkan aktivasi endotel, pertumbuhan pembuluh darah dan

sel tumor baru (Spannuth, et al. 2008).

Aktivasi Sistem saraf simpatik dan aktivasi HPA axis dengan hormon

terkait yang dilepaskan saat terjadi stress memiliki dampak fungsional dan

biologis yang signifikan terhadap lingkungan mikrotumor dan fungsi

kekebalan tubuh (Lutgendorf & Sood, 2011; Moreno-Smith, et al, 2010).

Hormon kortisol, norepineprin, epinephrine, dan katekolamin diketahui

meningkat pada individu yang mengalami stres akut maupun kronik. Hormon

stress (norepineprin dan epineprin) dapat menstimulasi angiogenesis, invasi

dan migrasi sel kanker, dan menyebabkan peningkatan petumbuhan dan

perkembangan tumor. Glukokortikoid (kortisol) dapat menghambat apoptosis

sel kanker yang diobati dengan kemoterapi sehingga akan meningkatkan

kelangsungan hidup sel kanker (Moreno-Smith, et al, 2010). Perkembangan

tumor yang cepat dan kemungkinan adanya kambuh kembali akan berdampak

pada penurunan kualitas hidup pasien kanker (Denaro, et al, 2014). Penjelasan

lebih lanjut pada gambar 2.

22
Stressor (Sosial ekonomi, Respon Psikologis
Kondisi Penyakit, dll. (Depresi, cemas, Koping
kurang)

ACTH  Sistem Saraf Otonom 


Kelenjar adrenal  Kortisol & Epineprin & Norepineprin
Katekolamin

Tumor Microenviroment

Cancer Cells: Sistem Imun:


Migrasi, invasi, & Fungsi NK sel
angiogenenesis Angiogenesis

Perkembangan dan Metastasis Kanker


Penurunan Kualitas Hidup

Gambar 2. Mekanisme Hubungan Stress-Kanker (Denaro, et al, 2014).

4. Kortisol Saliva sebagai Biomarker Stres

Kortisol merupakan hormon utama dalam tubuh yang disekresikan saat terjadi

stres, jika terjadi gangguan dalam sekresinya akan menjadi mediator utama dalam

hubungan stres dan kesehatan (Clow & Hamer, 2010). Kortisol yang dihasilkan di

korteks adrenal dapat dijadikan sebagai indicator perifer aktivitas saraf

hipotalamus atau sekresi hormone kortisol menjadi penanda peningkatan aktivitas

HPA axis atau disebut juga Stress axis (Grahn & Kalman, 2004).

Kortisol sebagai biomarker stres, merupakan alat ukur yang telah banyak

diteliti melalui air liur (Hellhammer, et al,2009; Groschl, 2008; Clow, et al, 2010;

Smyth, et al, 2013). Kadar kortisol saliva memberikan hasil yang akurat, reliable,

dan non-invasif dalam mengukur stress pada orang dewasa dan anak-anak, telah

23
digunakan dalam penelitian selama lebih dari setengah abad (Hellhammer, et al,

2009; Jessop & Turner-Cobb, 2008).

Kortisol adalah glukokortikoid yang disentesis dari kolesterol, disekresikan

oleh korteks adrenal dan dilepaskan kedalam aliran darah. Dalam plasma darah,

sebagain besar kortisol (65%) terikat dengan afinitas yang tinggi dan kapasitas

rendah dalam corticosteroid binding globulin (transkortin). Sebanyak 30%

kortisol terikat pada albumin, sementara 3% - 5% kortisol tidak terikat dan berada

dalam metabolik dalam bentuk aktif (Hellhammer, et al,2009; Dickerson &

Kemeny, 2004; Groschl, 2008). Dengan demikian, aktivitas HPA axis selama

stres dapat ditentukan dengan menentukan tingkat kortisol dalam cairan

ekstraselular yaitu dalam darah, urin, atau air liur/saliva (Bozovic, et al, 2013).

Penentuan kadar kortisol dalam darah telah banyak digunakan, tetapi memiliki

banyak kekurangan. Proses pengambilan darah yang invasif dari pembuluh darah

akan menjadi stres tambahan bagi pasien yang akan menghasilkan hasil

pemeriksaan yang kemungkinan kurang akurat (Aardal-Eriksson, et al, 1998).

Kortisol dimetabolisme di hati, 25% disekresikan melalui empedu, sementara

sisanya 75% disekresikan melalu ginjal dalam bentuk bebas. Sekresi ginjal

tergantung fungsi glomerulus dan tubular. Kadar kortisol urin akan tergantung

pada prosedur pengumpulan urin yang tepat selama 24 jam, kortisol urin tidak

selalu berkorelasi dengan konsentrasi kortisol dalam darah, sehingga tidak begitu

akurat untuk dijadikan biomarker stres (Yehuda, et al, 2003).

Penentuan kadar kortisol lebih banyak dilakukan melalui saliva. Konsentrasi

kortisol dalam saliva berjumlah 70% yang merupakan kortisol darah tak terikat

24
yang berdifusi kedalam saliva melalui membrane basal lateral kelenjar saliva,

dikarenakan berat molekulnya yang rendah dan bersifat liposolubilitas, dan

berdifusi kedalam membrane sel dengan proses difusi sederhana (Michael , G.,

2008). Kortisol saliva berkorelasi kuat (r≥0.90, p<0.001) dengan kortisol darah

bebas (Kaufman & Lamster, 2002; Poll, et al 2007). Pengambilan sampel saliva

begitu sederhada, terstandar, aman, tidak invasif, mengurangi stress, mudah

diulang, dan tidak memerlukan pelatihan atau peralatan khusus. Pada suhu

ruangan kortisol stabil dalam saliva dan dapat disimpan sampai 4 minggu tanpa

perubahans signifikan pada kadar kortisol, untuk waktu penyimpanan lebih lama

harus dibekukan pada suhu -20oC (Kirschbaum, et al, 2007)

Kortisol mempunyai irama sirkandian dengan waktu paruh <1 jam. Pada

individu yang sehat jumlah rata-rata total kortisol yang dihasilkan dalam sehari

adalah 5,7-7,4 mg/m2/hari atau 9,5-9,9 mg/hari (Kerrigan, et al, 1993; Esteban &

Yergey, 1990). Kadar kortisol tertinggi dicapai pada pagi hari (30-50 menit

setelah bangun) disebut juga kortisol basal, dengan kecenderungan menurun

sepanjang hari. Tingkat terendah didapatkan pada malam hari. Rata rata kadar

kortisol saliva pada individu sehat yaitu, pada pagi hari 0,20 – 1,41 ug/dl (5,52 –

28.92 nmol/L), dan pada siang hari 0,04 – 0,41 ug/dl (1,10 – 11,32 nmol/L)

(Kirschbaun & Hellhammer, 2000), lebih lanjut dapat dilihat pada gambar berikut.

25
Gambar 3. Nilai Normal kadar kortisol saliva selama sehari (Kirschbaun &
Hellhammer, 2000)

a. Faktor yang mempengaruhi sekresi kortisol saliva.

Interpretasi hasil kortisol saliva harus dinilai dengan teliti dan detail, oleh

karena itu perlu dipertimbangkan beberapa factor yang dapat mempengaruhi

aktivitas HPA axis. Sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kadar kortisol

saliva berdasarkan studi literature, yaitu :

1) Umur

Kadar kortisol meningkat seiring bertambahnya usia, terutama di usia

lanjut. Perubahan ini juga tergantung jenis kelamin dan irama sirkadian

(Van Cauter, et al, 1996). Perubahan ini terjadi karena adanya perbedaan

reaktivitas stress pada usia dewasa dan usia tua (Nicolson, et al, 1997).

Perubahan terkait usia akan mempengaruhi regulasi HPA axis, yaitu pada

usia lanjut terjadi penurunan fungsi neuron hippocampal untuk

26
mempertahankan fungsi umpan balik negative. Penelitian Kudielka et al,

(2004) menemukan terjadi peningkatan respon kortisol saliva pada pria

lanjut usia dibandingkan dengan anak anak yang diberi test stress sosial .

2) Faktor somatik

Penyakit akut dan kronik akan berefek langsung terhadap HPA axis.

Pasien yang akut seperti demam, malaise harus di tunggu sampai pulih.

Penyakit kronis seperti DM tipe 1, epilepsy, dan gangguan kejiwaan dapat

mempengaruhi kadar kortisol. Tingkat sekresi kortisol meningkat pada

individu yang mengalami obesitas, begitupun pada individu dengan berat

badan rendah atau malnutrisi dapat dikaitkan dengan disregulasi HPA axis

(Nicolson, 2008).

Konsumsi obat juga dapat berefek pada sistem umpan balik HPA.

Penggunaaan lebih dari 6 bulan golongan obat seperti prednisone,

hidrokortison, antikonvulsan (fenitoin & karbamazepin) dapat

mempengaruhi HPA axis (Nicolson, 2008)

3) Aktivitas sehari hari

Berbagai aktivitas harian dapat mempengaruhi sekresi kortisol.

Perubahan pola dan durasi tidur berpengaruh secara langsung pada

aktivitas HPA axis. Asupan makan, terutama saat makan siang dapat

meningkatkan sekresi kortisol (Peeters et al 2003). Penelitian

menunjukkan bahwa besarnya respon tergantung dari komposisi

makronutrien dari makanan. Makanan kaya protein, glukosa dan atau

tinggu kalori dapat meningkatkan kortisol 50% - 100% dari nilai basal kira

27
kira 30 menit setelah makan, memuncak 60 menit setelah makan, dan

kembali ke awal dalam waktu 2 jam (Gibson, et al 1999). Oleh karena itu,

perlu memperhatikan waktu pengambilan sampel yang tepat untuk

meminimalkan efek asupan makan, misalnya pukul 9 pagi dan 11 pagi,

pukul 2 siang dan 4 siang, dan pukul 7 malam dan 9 malam (Nicolson,

2008)

4) Gaya Hidup

Gaya hidup seperti merokok, minum kopi dan alcohol berhubungan

dengan peningkatan aktivitas HPA axis. Nikotin dalam rokok berpotensi

menstimulasi HPA axis dengan menginduksi pelepasan CRH setelah

mengikat reseptor kolinergik di locus coerules dan hipotalamus. Merokok

lebih dari 2 batang rokok memperlihatkan peningkatan yang signifikan

pada kadar kortisol saliva (Kudielka, et al, 2009). Kafein dan alcohol juga

bisa mempengaruhi aktivitas HPA namun, tidak signifikan dalam

peningkatan kadar kortisol saliva (Nicolson, 2008).

5) Faktor Psikososial

Sumber stress kronis, seperti status sosial ekonomi rendah, masalah

pekerjaan, keluarga, neurotisme akan memicu timbulnya kecemasan,

kelelahan dan depresi. Stressor ini mempengaruhi kadar kortisol daliva

dan aktivitas stress ( Nicolson, 2008)

28
b. Pengujian Kadar kortisol saliva dengan Metode ELISA (Enzime-Linked

Immunosorbent Asssay)

Pengujian Kortisol saliva Metode ELISA merupakan pengujian Immuno

enzim untuk pengukuran diagnostic in vitro kuantitatif kortisol bebas yang

aktif (Hydrocortison dn hidrokortikosteron) dalam saliva/air liur (DRG

Intrument GmbH, 2016). Prosedur pengujian kadar kortisol saliva sebagai

berikut:

1) Reagen dan Alat

Reagen yang disediakan yaitu bisa diliat pada tabel dibawah:

Tabel 2. Sedian Reagen dan Alat untuk Pengujian Kortisol Saliva Metode
ELISA
No. Reagen Alat
1 Microtiterwells, dilapisi dengan Pembaca Calibrated ELISA
anti-cortisol antiserum reader
2 Standard (Standar 0-6): Precisions Pipettes (100 dan
konsentrasi 0.0—2—5—10—20— 200 µL)
40—80 ng/Ml
3 Control Low / Control hight Distilled atau Deionized water
4 Enzyme Conjugate Timer
5 Substrate Solution Reservoir (disposable)
(Tetramethylbenzidine)
6 Stop Solution (0,5M H2SO4) Test tube atau microtube rack
in a microplate configuration
7 Wash Solution Linear-linear graph paper for
data reduction

2) Pengambilan Spesimen Kortisol Saliva.

Proses pengambilan spesimen dan pengujian spesimen kortisol dilakukan

dalam 4 tahanpan yaitu sebagai berikut:

29
a) Waktu pengambilan spesimen.

Waktu pengambilan spesimen yang tepat untuk meminimalkan efek

asupan makan, misalnya pukul 9 pagi dan 11 pagi, pukul 2 siang dan 4

siang, dan pukul 7 malam dan 9 malam (Nicolson, 2008). Saliva

diambil segera 20 menit setelah intervensi, menurut Field (2006)

merekomendasikan bahwa intervensi sebaiknya dilakukan 20 menit

sebelum pengambilan spesimen.

b) Penyimpanan dan persiapan reagen

Reagen disimpan pada suhu 2oC - 8oC dan tidak dibuka untuk

mempertahankan reaktivitas sampai tanggal kadaluwarsa.Reagen yang

telah dibuka harus disimpan pada suhu 2 oC - 8oC, dan menutupnya

dengan rapat setelah digunakan. Kit akan bertahan selama 2 bulan jika

disimpan sesuai petunjuk. Bawa reagen ke suhu kamar sebelum

digunakan

c) Tehnik Pengumpulan dan Persiapan spesimen

Pengumpulan dan persiapan spesimen hal yang perlu diperhatikan

karena berpengaruh terhadap keakuratan hasil pengujian kortisol.

(1) Hindari makan, minum, mengunyah permen karet atau menyikat

gigi 30 menit sebelum pengambilan sampel. Dianjurkan berkumur

kumur dengan air dingin 5 menit sebelum pengambilan spesimen.

(2) Jangan kumpulkan sampel ketika ada kontaminasi darah. Spesimen

saliva harus dikumpulkan hanya dengan menggunakan perangkat

30
khusus sampling saliva, yaitu SALI-TUBES 100(SLV-4158) atau

salivette (sarstedt cat.#51.1534)

(3) Sebaiknya spesimen di ambil 2-3 jam sebelum atau makan, karena

makanan mengandung sejumlah hormon steroid. Buka tabung

pengumpul saliva kemudian minta pasien untuk meludah kedalam

tabung. Isi hingga ¾ bagian lalu tutup rapat, kemudian beri label.

(4) Spesimen saliva dapat disimpan pada suhu 2oC - 8oC sampai satu

minggu, dan untuk waktu yang lebih lama simpan pada suhu -20 oC.

setiap sampel harus dibekukan

d) Metode Pengukuran spesimen.

Spesimen yang telah siap dibawah ke laboratorium dan di ukur dengan

metode Human Salivary Kortisol Elisa Kit 96 wells DRG SLV-2930.

Nilai rujukan kortisol untuk pasien dewasa yaitu 0.12 – 1.47 μg/dL or

1.2 – 14.7 ng/mL.

5. Pijat Refleksi Kaki

Pijat refleksi kaki merupakan praktik sistematik yang menerapkan beberapa

tekanan pada titik titik tertentu pada area kaki dan tangan, berdampak terhadap

kesehatan yang dikaitkan dengan bagian dari tubuh (Embong¸ et al, 2015;

Ariyani, 2017). Setiap titik tekan bereaksi sebagai sensor pada kaki dan tangan

yang dihubungkan dengan bagian spesifik dari tubuh (Lu, et al, 2011; Hughes, et

al, 2011). Sensor ini akan distimulasi dengan menerapkan tehnik pijat refleksi

untuk meningkatkan sirkulasi darah dan energi, memberikan rasa relaksasi dan

mempertahankan homestasis (Song, et al, 2015; Embong, et al, 2017).

31
Belum ada pendapat yang universal tentang mekanisme aksi yang terlibat

dalam kerja pijat refleksi. Beberapa mekanisme yang digunakan untuk

mendeskripsikan efek pijat refleksi yaitu, 1) teori endorphin Pommeranz

menyatakan bahwa tubuh akan bereaksi dengan mengeluarkan endorphin karena

pemijatan. Endorphin adalah zat yang diproduksi secara alamiah oleh tubuh,

bekerja, serta memiliki efek seperti morfin. Endorphin bersifat menenangkan,

memberikan efek nyaman, dan sangat berperan dalam regenerasi sel sel guna

memperbaiki bagian tubuh yang sudah rusak (Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, 2015); 2) Penerapan tehnik secara fisik akan meningkatkan sirkulasi

darah dan limpatik, menstimulasi saraf untuk bekerja lebih baik, memelihara

sistem saraf sensori yang berpengaruh pada keluaran sistem saraf aferen; 3) Pijat

refleksi meningkatkan relaksasi yang mampu menurunkan stres, menyeimbangkan

energi; dan 4) Aplikasi Tehnik pijat menstimulasi saraf saraf yang akan merubah

respon fisik khususnya meningkatkan dan memperbaiki sirkulasi darah dan

metabolism, menurunkan radikal bebas, meningkatkan produksi enzim

antioksidatif hingga mencapai efek terapeutik (Kunz & Kunz, 2003).

a. Prinsip Dasar Pijat Refleksi Kaki

Pijat Refleksi merupakan pengobatan holistic berdasarkan prinsip bahwa

terdapat titik atau area pada kaki, tangan, dan telinga yang terhubung kebagian

tubuh atau organ tubuh lain melalui sistem saraf. Tekanan atau pijatan dititik

atau area tersebut akan merangsang pergerakan energi pada sistem saraf untuk

memperbaiki homeostasis energi tubuh (KemenDikBud, 2015; Ariyani, 2017).

32
Dasar dasar ilmiah pijat refleksi dibagi atas dua aliran pemikiran : 1)

Traditional Chinese Medicine (TCM) dan; 2) Zone Therapy. Pemikiran

Pertama, Orang cina pertama kali mulai menggunakan refleksologi sekitar

5000 tahun lalu. Pada pengobatan cina terdapat prinsip yaitu“The Whole

represents itself in the parts”, pernyataan ini bermakna bahwa kaki adalah

sebuah mikrokosmos, gambar holografik tubuh, semua organ, kelenjar, dan

bagian tubuh lainnya. TCM menetapkan bahwa terdapat sejumlah energy tak

terlihat, atau titik kulminasi dalam tubuh yang membawa energy yang disebut

Qi, yaitu energi vital di balik semua proses. Semua organ saling berhubungan

satu sama lain oleh sistem jaringan meridian yang akan menjaga kesehatan

dan menyeimbangkan kebutuhan energi (Snyder & Linquist, 2006)

Pemikiran kedua berasal dari barat, disebut sebagai terapi zona pada awal

abad ke-20 oleh Fitzgerald menemukan bahwa dengan memberi tekanan pada

beberapa bagian kaki pasiennya akan menginduksi anestesi dibagian tubuh

tertentu, sehingga menemukan susunan dari tubuh dan organ yang serupa

dengan telapak kaki. Dan membagi 10 zona longitudinal mulai dari kepala

sampai jari kaki, serta mengemukakan bahwa bagian-bagian dari tubuh dalam

zona tertentu saling terkait satu samal lain (Snyder & Linquist, 2006)

Lebih lanjut seorang terapis Amerika, Ingham, memetakan tekanan pada

bagian kaki dan akan berefek didalam tubuh. Proposisinya adalah ketika

aliran darah terhambat dengan material sampah dalam tubuh atau kelebihan

asam dalam tubuh, maka akan terbentuk endapan pada bagian akhir saraf dan

juga akan menghambat sirkulasi darah, sehingga akan membuat

33
ketidakseimbangan diberbagai tubuh. Endapan pada bagian kaki dapat

dideteksi sebagai gritty areas dan pasien kemungkinan akan kesakitan saat

daerah ini disentuk. Pijat refleksi akan merangsang sistem peredaran darah dan

limfatik, sehingga mendorong melepaskan dan membuang racun dari dalam

tubuh (Snyder & Linquist, 2006).

Menurut KemenDikBud (2015) bahwa stres, cedera, atau gangguan

penyakit dapat menyebabkan gangguan keseimbangan energi tubuh.

Ketidakseimbangan energi dapat dirasakan melalui Kristal titik refleksi yang

sesuai dengan bagian tubuh yang bermasalah. Kristal ini dapat berupa seperti

pasir atau terasa berbentuk benjolan. Kristal terbentuk karena adanya halangan

saluran energi, sehingga dengan adanya pijatan akan merangsang aliran energi

kembali. Ketidakseimbangan energi dapat diliat atau dirasakan melalui tanda –

tanda seperti mengerasnya kulit, perubahan warna kulit, bau kaki, kelembaban

dan temperature kaki yang tidak normal.

Pijat refleksi dilakukan dengan memanipulasi titik atau area refleksi untuk

merangsang aliran dan pergerakan energi sepanjang saluran zona yang akan

membantu mengembalikan keseimbangan tubuh. Rangsangan pijat refleksi

bekerja dari dalam ke luar, memanipulasi energi tubuh agar tubuh

memperbaiki gangguan, dan merangsang sistem saraf untuk melepas

ketegangan. (KemenDikBud, 2015)

b. Manfaat Pijat Releksi

Menurut teori endorphin menyatakan bahwa tubuh akan mengeluarkan

endorphin saat dilakukan pemijatan. Endorphin memiliki efek dan bekerja

34
seperti morphin yang dihasilkan secara alami oleh tubuh. Efek dari endorphin

adalah bersifat menenangkan, memberi rasa nyaman, relaksasi, dan berperan

dalam regenerasi sel (KemenDikBud, 2015).

Menurut KemenDikBud (2015), pijat refleksi mampu memberikan

manfaat bagi sistem dalam tubuh, yaitu; 1) Pijat refleksi bersifat sedative yang

berfungsi meringankan ketegangan saraf, sehingga dapat mengurangi stres,

gangguan tidur, nyeri kepala yang disebabkan oleh ketegangan sistem saraf; 2)

Saat bekerja otot membutuhkan energi yang didapat dari pembakaran dengan

cara aerob atau anaerob. Proses anaerob menghasilkan asam laktat sebagai

bahan buangan. Tumpukan asam laktat itulah yang menyebabkan mbulnya

rasa pegal pada otot atau rasa nyeri pada persendian. Pijat refleksi dapat

membuat otot dan jaringan lunak tubuh lebih relaks dan meregang. Hal itu

akan mengurangi ketegangan dan dapat melepaskan tumpukan asam laktat

hasil pembakaran anaerob sehingga dapat membersihkan endapan dari bahan

buangan yang dak terpakai; 3) Kalsium adalah zat yang sangat diperlukan

untuk memelihara saraf, otot, tulang, termasuk gigi. Pemijatan di area atau k

refleksi tertentu akan membantu menyeimbangkan kadar kalsium dalam

tubuh. Hal itu tentu sangat bermanfaat untuk memelihara jantung, sistem

pernapasan, sistem getah bening, metabolisme atau pencernaan tubuh, sistem

pembuangan, dan semua sistem yang dalam bekerjanya dipengaruhi oleh

sistem saraf dan otot

Efek pijat refleksi telah banyak dilaporkan. Hodson dan Lafferty (2012)

melaporkan bahwa pijat refleksi secara signifikan menurunkan salivary

35
cortisol, nyeri dan membantu meningkatkan mood. Sementara dalam

penelitian RCT yang dilakukan Wyatt, et al.,(2012) disimpulkan bahwa

pijat refleksi dapat ditambahkan dalam perawatan pendukung untuk

memperbaiki Health related Quality of life (HRQOL) pasien selama

kemoterapi dan atau terapi hormonal. Penelitian lain menemukan bahwa pijat

refleksi mampu menurunkan persepsi stress dan kelelahan (Young Mee, 2011;

Mc Vicar, et al, 2007).

c. Persiapan Sebelum Pijat Refleksi Kaki

Menurut KemenDikBud (2015), Persiapan sebelum pijat refleksi, yaitu

sebagai berikut: 1) Kondisi Klien. Pemijatan tidak dilakukan jika klien dalam

keadaan lapar atau kenyang, menderita penyakit yang berat, keadaan marah

atau emosi tinggi, baru saja melakukan hubungan seks, demam atau suhu

terlalu tinggi, menderita thrombosis vena, osteoporosis berat, hamil muda atau

hamil tidak stabil, penyakit menular, menderita penyakit jantung kronis,

diabetes mellitus, epilepsy, dan baru menjalani pembedahan; 2). Kondisi

ruangan dalam suhu kamar, sirkulasi lancer, dan alat dan bahan yang tersedia

dalam keadaan bersih; 3). Posisi klien sewaktu dipijat harus disesuaikan,

duduk atau berbaring.

d. Titik atau Area Pijat Refleksi Kaki

Berdasarkan buku panduan KemenDikBud (2015) titik atau area pijat

refleksi kaki secara umum yaitu sebagai berikut:

36
Gambar 4. Titik atau area Pijat refleksi di telapak kaki, punggung dan samping
kaki (KemenDikBud, 2015)

Keterangan :
1. Kepala (otak) 22. Ginjal 42. Organ keseimbangan
2. Dahi (Sinus) 23. Ureter 43. Dada
3. Otak Kecil 24. Kandung kemih 44. Diafragma
4. Hyphophyse/Pituitary 25. Usus halus 45. Tonsil
5. Pelipis Kiri/kanan 26. Usus buntu 46. Rahang bawah
6. Hidung 27. Katub ileo sekal 47. Rahang atas
7. Leher 28. Colon ascendens 48. Tenggorokan dan
8. Mata 29. Colon Transversal saluran napas
9. Telinga 30. Colon decendens 49. Kunci paha
10. Bahu 31. Rectum 50. Rahim atau testis
11. Otot Trapezius 32. Anus 51. Penis atau vagina
12. Kelenjar tiroid 33. Jantung atau saluran kencing
13. Kelenjar paratiroid 34. Limpa 35. Lutut 52. Dubur atau wasir
14. Paru-paru & Bronkus 36. Kelenjar reproduksi 53. Tulang leher
15. Lambung 37. Mengurangi sakit perut 54. Tulang punggung
16. Duodenum 38. Sendi pinggul 55. Tulang pinggang
17. Pangkreas 39. Kelenjar getah bening 56. Tulang kelangkang
18. Hati atas tubuh 57. Tulang tungging
19. Kantung empedu 40. Kelenjar getah bening 58. Tulang tungging
20. Solar Pleksus/diafragma bagian perut 59. Tulang belikat
21. Kelenjar adrenal 41. Kelenjar getah bening 60. Sendi siku
bagian dada 61. Tulang rusuk
62. Pinggul
63. Lengan

37
e. Titik atau Area Pijat Refleksi Kaki pada Klien Stres

Menurut Andrews & Dempsey (2007) dan James, A (2007)

merekomendasikan bahwa pijat refleksi kaki dapat membantu dalam

menurunkan ketidaknyamanan fisik akibat stres. Sejumlah titik reflek sangat

membantu dalam mengurangi efek negative dari stres sebagai berikut :

Tabel 3. Titik atau Area Pijat Refleksi Kaki untuk Stres

Refleks Area Keterangan


Solar Pleksus Membantu pernapasan dan relaksasi
Diafragma Membantu pernapasan dan relaksasi
Pituitary Keseimbangan hormone
Paru-Paru Keseimbangan pernapasan/oksigen
Hypothalamus Keseimbangan antara endokrin dan
sistem saraf
Otak dan tulang Punggung Mengirim stimuli untuk menenangkan
dan menyeimbangkan seluruh sistem
Jantung Untuk melepaskan sesak di dada dan
untuk melepas emosi negative
Kelenjar adrenal Meningkatka daya tahan terhadap
stress
Pangkreas Membantu menyeimbangkan
energi/pembentukan energi
Leher Membantu mengurangi ketegangan
leher

f. Tehnik Pijat Dasar

Pijat Refleksi Kaki adalah manipulasi dari struktur jaringan lunak yang

dapat menenangkan serta mengurangi stress psikologis dengan meningkatkan

hormon morphin endogen seperti endorphin, enkefalin dan dinorfin (Best et

al, 2008). Menurut Ariyani (2017) terdapat lima tehnik dasar, yaitu:

1) Mengusap (efflurage/Strocking), merupakan gerakan mengusap dengan

menggunakan telapak tangan, dilakukan untuk mengawali dan mengakhiri

38
pemijatan. Manfaat gerakan mengusap adalah merelaksasikan otot dan

ujung-ujung syaraf.

2) Meremas (petrisage), yaitu gerakan memijit atau meremas dengan

menggunakan telapak tangan atau jari-jari tangan. Gerakan ini bermanfaat

untuk melancarkan suplai darah ke otot yang sedang dipijat

3) Menekan (Friction), merupakan gerakan melingkar kecil-kecil dengan

penekanan yang lebih dalam menggunakan jari, ibu jari, dan siku tangan.

Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas sel-sel tubun sebingga

aliran darah lebih lancer, dan juga dapat meredakan rasa sakit.

4) Menggetar (vibration), adalah geakan pijat dengan menggetarkan bagian

tubuh dengan menggunakan telapak tangan ataupun jari-jari tangan,

bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan dan mempertahankan fungsi

saraf dan otot.

5) Memukul (tapotement), merupakan gerakan menepuk atau memukul yang

bersifat merangsang jaringan otot, dilakukan dengan kedua tangan secara

bergantian. Gerakan memukul bermanfaat untuk memperkuat kontraksi

otot saat stimulasi.

g. Prosedur Pijat Refleksi Kaki

Menurut KemenDikBud (2015), Sebelum dilakukan pemijatan pada kaki,

terapis harus hafal semua letak titik/ area pijat refleksi. Pelaksanaan pijat refleksi

harus memperhatikan urutan sebagai berikut:

1) Mempersiapkan otot dan tubuh klien untuk diterapi. Otot dan tubuh klien

belum sepenuhnya siap untuk dipijat. Urutan urutan pemijatan selalu

39
dimulai dengan teknik peregangan dan relaksasi otot yang bertujuan agar

klien siap untuk dipijat dan mencegah terjadinya cedera otot.

2) Memberikan hasil pijat yang maksimal. Pemijatan di titik atau area pijat

reflekis tertentu akan menajdi lebih efektif jika didahului dengan

pemijatan pada titik/area yang hasilnya akan merangsang titik/area pijat

refleksi sesudahnya. Misalnya, titik hipofisis, jika dipijat, akan

menghasilkan hormon – hormon yang merangsang kinerja kelenjar tiroid,

paratiroid, adrenal.

3) Urutan urutan Pemijatan :

a) Memulai proses pemijatan dengan berdoa

b) Persiapan. Persiapan bisa dilakukan dengan merendakm kaki klien

menggunakan air hangat dengan garam dapur selama kurang lebih 10

menit, dan cuci tangan dengan bersih sesuai SOP cuci tangan terapi

c) Setelah itu, seka dengan handuk bersih dan semprot dengan alcohol

70% dan lakukan peregangan dan relaksasi otot kaki klien dengan cara

mengusap, meremas, menekan/memijat, menggetar, menepuk serta

meregangkan otot tungkai bawah klien. Pemijatan ini dilakukan

dengan mengoleskan minyak pijat beraroma (minyak zaitun)

d) Pijat dengan titik pembukaan, semua sistem dan organ dikendalikan

oleh otak dan sistem saraf. Oleh karena itu, titik yang dipilih adalah

titik untuk stimuli sistem saraf yaitu titik nomor 1, 3, 4, 5, dan 53

sampai 58

40
e) Lakukan pemijatan pada titik wajib. Area titik wajib meliputi titik

detoksifikasi (34, 22, 23,24, 51, 28, 29, 30, 31, 32), titik pemeliharaan

saraf dan metabolism tubuh pada area 12 dan 13, titik pencernaan (15,

16, 17, 8, 19, dan 25), titik relaksasi (2 dan 20), dan titik suplemen

pada area 21.

f) Titik terapi, titik yang dipilih sesuai dengan keluhan klien, jika sudah

termasuk titik pada langkah (c & d), tidak perlu dipijat lagi.

g) Titik penutupan, titik untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh di

titik 39, 40, dan 41. Jangan pijat area tersebut jika klien menderita

gangguan autoimun dan baru menjalani transplantasi organ

h) Pijat pendinginan berguna agar otot tidak memar, tehnik yang

digunakan untuk memijit dan mengurut adalah mengusap, meremas,

menekan, menggetar dan menepuk agar otot menjadi elastis dan tidak

memar.

i) Memberikan saran kepada klien dan merapikan peralatan kembali

j) Bersihkan kaki pasien dan akhiri sesi pemijatan dengan berdoa.

B. Landasan Teori

Kanker merupakan sekumpulan sel dengan perkembangan dan pertumbuhan

di luar kendali atau tidak terkoordinasi dan dapat mengambil alih fungsi organ

yang terkena dan menyebabkan organ tersebut menjadi berhenti berfungsi. Kanker

juga didefenisiskan sebagai confused cell, atau ganas (malignan) yang merupakan

pertumbuhan yang menolak atau resisten terhadap pengobatan dan dapat

41
memperburuk keadaan serta dapat mengancam jiwa (William & Hopper, 2007;

American cancer society, 2017).

Pijat refleksi kaki merupakan pengobatan secara holistic berdasarkan pada

prinsip bahwa terdapat titik pada kaki yang terhubung dengan bagian organ tubuh

lainya melalui sistem saraf. Tekanan atau pijatan yang dilakukan pada area-area

tersebut akan merangsang pergerakan energi pada sistem saraf untuk memperbaiki

homeostasis energi tubuh. Pada saat dilakukan pemijatan tubuh akan merespon

dengan mengeluarkan endorphin. Endorphin bersifat menenangkan, memberi rasa

nyaman, dan relaksasi (KemenDikBud, 2015).

Stres pada pasien kanker merupakan pengalaman tidak menyenangkan dari

psikologis, sosial, spiritual, dan atau fisik yang mengganggu kemampuan koping

secara efektif terhadap gejala fisik dan pengobatan kanker (NCCN, 2017). Stres

pada pasien kanker disebabkan karena terdiagnosis kanker, proses pengobatan

kanker, efek pengobatan, dan kemungkinan terjadinya kekambuhan (Kazak, et al,

2001).

Kortisol merupakan hormon utama yang dihasilkan didalam tubuh saat terjadi

stress. Kortisol menjadi penanda peningkatan aktivitas HPA axis (Grahn &

Kalman, 2004). Kadar kortisol dapat dinilai melalui kortisol darah, kortisol saliva

dan kortisol urin. Kortisol sebagai biomarker stress merupakan alat ukur yang

telah banyak digunakan dalam penelitian melalui saliva/air liur (Smyth, et al,

2013).

42
C. Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi CRS: Faktor yang mempengaruhi sekresi kortisol:


1. Dukungan sosial 1. Umur
ADL 2. Sosiodemografi: Umur; Pendidikan, 2. Faktor Somatik; penyakit (DM I, epilepsy,
Status sosial-ekonomi gangguan jiwa); obat-obatan.
3. Perkembangan Penyakit
3. Gaya Hidup (Merokok)
Masalah fisik; 4. Penurunan Interaksi. 4. Aktivitas sehari-hari (makan dan tidur)
Nyeri, fatique,
mual muntah 5. Faktor Psikososial
Mood, cemas, depresi
Pasien Kanker
Masalah Psikologis Cancer Related Stress Aktivitas Hipotalamus CRH Pituitari Anterior: ACTH

Masalah Spritual
Korteks Adrenal

Masalah Ekonomi  Rasa Nyaman


Sekresi Endorphin  Relaksasi Kortisol
 Menurunkan ketegangan
Terapi Farmakologi :
1. Pembedahan Kortisol
2. Kemoterapi Stimuli Pituitary
3. Radiasi
4. Transplantasi
Sumsum tulang Pijat Refleksi Kaki
5. Hipertemia
Pengobatan kanker
CAM Manipulative & Body
based practice
Keterangan :
: Area yang diteliti
: Area Tidak Diteliti
Gambar 5. Skema Kerangka Teori

Sumber : Effendy, et al., 2014; White & Macleod, 2002; Strittmatter, 2002; Brunnar & Suddarts, 2010; Cheng, et al., 2012; Barre, et al.,
2017; Chandwani, et al., 2012; Sherwood, 2010; Nicolson, 2008; KemenDikBud, 2015; Nicolson, et al., 1997; Kudielka, et al., 2004.
42
D. Kerangka Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen


Pijat Refleksi Kaki Penurunan kadar kortisol saliva

Gambar 6 : Skema Kerangka Penelitian

E. Hipotesis Penelitian

Pijat refleksi kaki menurunkan kadar kortisol saliva sebagai biomarker stres

pada pasien kanker.

F. Pertanyaan Penelitian

Apakah Pijat refleksi kaki dapat menurunkan kadar kortisol saliva sebagai

biomarker stres pada pasien kanker ?

43

Anda mungkin juga menyukai