Anda di halaman 1dari 52

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Tindakan Pemerintah Dalam Implementasi


Hukum Administrasi Negara

Oleh:
Nama: Robyansyah
NIM: A01112094

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014
Kata Pengantar

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Administrasi Negara.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang tindakan
pemerintah terhadap implementasi hukum administrasi negara, yang penulis
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan
berita. Makalah ini di susun oleh penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas
Tanjungpura. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna.
Akhir kata, saya mohom maaf yang sebesar-besarnya, jika selama penulisan karya
ilmiah ini ada salah kata atau perbuatan yang menyinggng semua pihak. Saya
berharap Allah SWT membalas semua kebaikan para pihak yang telah membantu.
Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin.

Pontianak, Desember 2014

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Implementasi 3
B. Sejarah Perkembangan Studi Implementasi 6
C. Pedekatan Rasional Top-Down 10
D. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan 29
E. Upaya Mengatasi Hambatan Implementasi Kebijakan 31
F. Perlindungan Hukum Bagi Aparatur Negara 31
G. Hukum Administrasi Negara dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan yang Baik dan Berwibawa 38
BAB III PENUTUP 46
A. Kesimpulan 46
B. Saran 46
Daftar Pustaka iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan
publik. Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan
dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian
aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga
kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan (Afan
Gaffar, 2009: 295). Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan
tersebut. Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan
sumber daya guna menggerakkan implementasi termasuk di dalamnya sarana
dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung
jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan
kebijakan secara konkrit ke masyarakat.
Implementasi pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang
ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah
jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering
diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa
langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll
(Riant Nugroho Dwijowijoto, 2004: 158-160). Daniel A. Mazmanian dan Paul
A. S.
B. Rumusan Masalah
1. Mencari tahu tentang Pengertian Implementasi dari berbagai pendapat ?
2. Bagaimana kodisi sejarah implementasi serta teori apa saja yang ada di
dalamnya ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan Implementasi ?
4. Apa saja Tindakan Pemerintah dalam melaksanakan Implementasi ? dan,
5. Bagaimana Perlindungan Hukum bagi aparatur pemerintahan yang
melaksanakan Implementasi ?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pemenuhan atas tugas mata kuliah Hukum Administrasi Negara
Universitas Tanjungpura.
2. Untuk mencari tahu tindakan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik, serta cara pemerintahan
mengatasi kendala dalam pelaksanaannya.

1. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan


kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil
sebagaimana yang diharapkan.
2. Sejarah perkembangan studi implementasi baru dimulai sekitar tahun 1970 -an
ketika perkembangan dalam studi kebijakan mengalami pergeseran minat, dari
focus kepada ujung depan dari proses kebijakan.
3. Dalam melaksanakan Implementasi terdapat beberapa faktor penghambat yang
memungkinkan banyaknya penolakan dari warga masyarakat. Namun ada juga
beberapa cara yang di upayakan oleh pemerintah maupun aparatur negara untuk
menghadapi hambatan tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan
publik. Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan
dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian
aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga
kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan (Afan
Gaffar, 2009: 295). Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan
tersebut. Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan
sumber daya guna menggerakkan implementasi termasuk di dalamnya sarana
dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung
jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan
kebijakan secara konkrit ke masyarakat.
Implementasi pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang
ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah
jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering
diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa
langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll
(Riant Nugroho Dwijowijoto, 2004: 158-160). Daniel A. Mazmanian dan Paul
A. S.

1
B. Rumusan Masalah
1. Mencari tahu tentang Pengertian Implementasi dari berbagai pendapat ?
2. Bagaimana kodisi sejarah implementasi serta teori apa saja yang ada di
dalamnya ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan Implementasi ?
4. Apa saja Tindakan Pemerintah dalam melaksanakan Implementasi ? dan,
5. Bagaimana Perlindungan Hukum bagi aparatur pemerintahan yang
melaksanakan Implementasi ?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pemenuhan atas tugas mata kuliah Hukum Administrasi Negara
Universitas Tanjungpura.
2. Untuk mencari tahu tindakan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik, serta cara pemerintahan
mengatasi kendala dalam pelaksanaannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Implementasi
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan
publik. Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan
dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian
aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga
kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan (Afan
Gaffar, 2009: 295). Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan
tersebut. Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan
sumber daya guna menggerakkan implementasi termasuk di dalamnya sarana
dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung
jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan
kebijakan secara konkrit ke masyarakat.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang
ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah
jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering
diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa
langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll
(Riant Nugroho Dwijowijoto,2004: 158-160).
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) yang dikutip oleh
Solichin Abdul Wahab, menjelaskan makna implementasi ini dengan
mengatakan bahwa: memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu

3
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara, yang
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian
(Solichin Abdul Wahab, 1997: 64-65).
Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan
adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat
dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan
tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus
dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan
waktu tertentu (Bambang Sunggono 1994:137). Proses implementasi kebijakan
publik baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah
ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk
pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
Implementasi kebijakan menurut Van Metern dan Van Horn
(Wahab, 1997: 51) adalah tindakantindakan yang dilakukan baik oleh individu-
individu maupun pejabat- pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan sebelumnya. Dalam konsep proses kebijakan
dinyatakan bahwa salah satu rangkaian kegiatan utama dalam proses kebijakan
adalah pelaksanaan kebijakan (policy implementation). Pelaksanaan kebijakan
merupakan rangkaian tindaklanjut dari pembuatan kebijakan. Instrumen yang
digunakan dalam pelaksanaan kebijakan (negara) dapat bersifat memaksa
(compulsory instruments) sampai yang bersifat sukarela (voluntary
instruments). Meskipun demikian, pada umumnya kebijakan publik bersifat
memaksa yang tercermin dari sifat perundang-undangan (manifestasi dari
kebijakan publik) yang mengikat pemerintah dan masyarakat.

4
Agar kebijakan dapat terimplementasi dengan sempurna maka
diperlukan syarat-syarat tertentu seperti yang dikemukakan oleh Hoowod dan
Gunn (Wahab,1990: 70) yaitu: (1) Kondisi eksternal (sikap masyarakat) yang
dihadapi oleh pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala serius;
(2) Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber daya yang cukup
memadahi; (3) Perpaduan sumber daya yang diperlukan benar-benar tersedia;
(4) Program yang akan dilaksanakan didasari oleh suatu hubungan kausalitas
yang handal; (5) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata
rantai penghubungnya; (6) Hubungan saling ketergantungan harus kecil; (7)
Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; (8) Tugas-tugas
diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat; dan (9) Komunikasi dan
koordinasi yang sempurna.
Menurut Grindle (1980: 9-11) implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh isi (contents) dan lingkungan (contexts) pelaksanaan kebijakan. Grindle
menyatakan “The content of various policies also dictates the site of
implementation…. The content of public programs and policies is an important
factor in determining the outcome of implementation initiatives….Policy or
program content is often a critical factor because of the real or potential impact
it may have on given social, political, and economic setting. Therefore, it is
necessary to consider the context or environment in which administrative action
pursued.” Pendapat ini didasarkan asumsi bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan menjadi program aksi maupun program individu dan biaya
telah disediakan maka implementasi kebijakan dilakukan. Tetapi hal ini sering
tidak berjalan mulus, tergantung pada kemampuan pelaksanaan program yang
dilihat dari isi dan konteks kebijakan.
Isi kebijakan dalam konteks implementasi kebijakan mencakup: (1)
interests affected (kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan); (2) type of
benefits (jenis manfaat yang dihasilkan); (3) extent of change envisioned
(derajat perubahan yang diinginkan); (4) site of decision making (kedudukan
pembuat kebijakan); (5) program implementors (siapa pelaksana program); dan
(6) resources committed (sumber daya yang dikerahkan).

5
Sedangkan konteks kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi program adalah kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang
mencakup: (1) power, interest, and strategies of actors involved (kekuasaan,
kepentingan, dan strategi aktor terlibat); (2) institution and regime
characteristics (karakteristik lembaga dan penguasa); dan (3) complience and
responsiveness (kepatuhan serta daya tanggap pelaksana).
Implementasi kebijakan memerlukan berbagai kegiatan operasional
yang rinci (detail), melekat, dan terintegrasikan dalam kehidupan administrasi
sehari-hari (every day administration life) sehingga dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan kebijakan merupakan kegiatan yang bersifat kompleks
(complicated) sekaligus kritis (critical). Oleh karena itu diperlukan kesadaran
dan pemahaman (pelaku pelaksana kebijakan) terhadap kompleksitas
pelaksanaan kebijakan sehingga dapat dirumuskan dan dilaksanakan upaya
sistematis dan terencana (LAN, 2004: 25).

B. Sejarah Perkembangan Studi Implementasi


Sejarah perkembangan studi implementasi baru dimulai sekitar
tahun 1970 -an ketika perkembangan dalam studi kebijakan mengalami
pergeseran minat, dari focus kepada ujung depan dari proses kebijakan, yakni :
keputusan (politik) menjadi focus kepada tahap paska keputusan. Jika semula
begitu banyak perhatian dan kajian yang dilakukan untuk menjawab seberapa
rasional terbuka dan adilkah keputusan tersebut dan bagaimana pengetahuan
terbuka dan adilkah keputusan tersebut dan bagaimana penegtahuan dapat
menyempurnakannya? maka kajian kemudian beralih untuk menjawab apa
yang sesungguhnya terjadi setelah keputusan/ kebijakan disyahkan dan
bagaimana pengetahuan dapat meningkatkan hasilnya. Maka dimulailah era
studi implementasi.
Karya yang dianggap mengawali era studi implementasi adalah
tulisan Pressman dan Wildavsky “Implementation” pada tahun 1973. Tulisan
mereka membahas tentang implementasi program pembangunan ekonomi
perkotaan di Aucland USA, dengan mewancarai aktor pelaksana dan mengkaji

6
dokumen – dokumen kebijakan untuk menemukan hal – hal yang tidak beres.
Hasilnya adalah suatu pendekatan yang bersifat rasional perspektif dengan
model sudut pandang Top-down. Tumbuhnya model rasional perspektif sebagai
tonggak awal studi implementasi adalah sangat wajar mengingat kebutuhan saat
itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak kebijakan mengalami
kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana menghasilkan suatu formula
implementasi yang tingkat kegagalannya rendah.
Model sudut pandang Top-down yang rasional perspektif ini tak
lama kemudian mendapatkan kritik bertubi – tubi. Kritik pertama adalah bahwa
pandangan ini masih terlalu menitik beratkan pada sudut pandang pembuat
kebijakan. Bahwa dengan menyediakan prasyarat – prasyarat sukses sebuah
implementasi yang telah dihitung dan dianalisis dengan cermat oleh pembuat
kebijakan dan pelaksana tingkat atas (high level bureaucrazy), maka kebijakan
dengan sendirinya akan lebih berhasil dalam implementasinya. Pendekatan ini
melupakan peran pelaksana tingkat bawah yang pada kenyataannya justru lebih
banyak berperan.
Kritik kedua adalah bahwa pendekatan perspektif untuk persoalan
implementasi hanya akan dapat bersifat terbatas pada ruang dan waktu serta
permasalahan yang serupa. Padahal sebagaimana diketahui variasi masalah
kebijakan yang luas, serta ruang dan waktu pemerintahan yang berbeda, akan
memebawa perbedaan pula dalam cara pemecahan masalahnya. Oleh karena itu
model Top-down kemudian diikuti oleh model sudut pandang Bottom-up dan
model Sintesis.
Model Bottom-up yang dikomandani oleh Michael Lypsky melalui
bukunya yang baru diterbitkan tahun 1980. pendekatan Bottom-up ini terutama
merupakan kritik atas pandangan model Top-down yang menafikan kontribusi
peran pelaksana tingkat bawah (street level beaurocrazy) pada proses
implemesi. Pada sudut pandang ini juga lebih dipertegas bahwa proses politik
bukan hanya tidak berhenti saat kebijakan sudah diputuskan, tapi juga tetap
berlangsung pada level pelaksana tingkat bawah yang banyak menentukan
tingkat keberhasilan implementasi. Dengan demikian perlu mempertimbangkan

7
apa yang menjadi aspirasi, tujuan dan kebutuhan para pelaksana termasuk
kesulitan – kesulitan yang mereka hadapi. Karena apa yang menjadi masalah
dalam proses implementasi bisa tampak berbeda dari perspektif level yang
berbeda. Atau dengan kata lain antisipasi yang sudah dilakukan pada masalah
– masalah implementasi yang akan dan dapat terjadi dari Top Level perspektif,
bisa berlainan saat implementasi running up di tingkat bawah.
Sudut pandang Model Sintesis muncul sekitar tahun 1982 dengan
tokohnya yang popular Randall P. Ripley & Grace Franklin. Model Sintesis ini
memadukan kedua model sebelumnya (Top-down dan Bottom up) dengan
tekanan utama yang bisa beragam, mulai pada jaringan interaksi antar aktor
pelaksana sampai pada pendekatan sosiologis, dll, karenanya dalam beberapa
literature juga disebut sebagai teory atau model Hybrid. Model sintesa/ hybrid
ini pada hakekatnya ingin menegaskan bahwa tidak ada model perspektif yang
bisa diterapkan pada setiap masalah implementasi. Tiap katagori kebijakan
memiliki kekhasan tersendiri, sehingga pendekatannya pun harus disesuaikan
dengan kondisi tersebut. Model sintesa ini sangat beragam mulai dari yang
hanya mengemukakan variable yang dianggap mempengaruhi implementasi.
Kategori model sintesis ini sungguhnya dilakukan hanya untuk memeprmudah
pengkatagorian berbagai pendekatan studi implementasi yang muncul
belakangan.
Hasil pemikiran yang berbeda-beda sebagaimana tersebut diatas
memang tak pelak pasti muncul mengingat studi implementasi tumbuh dari
berbagai hasil penelitian mengenai praktek implementasi pada era yang
berbeda-beda, dan dengan fokus perhatian yang berbeda-beda pula. Oleh Gogin
dkk (1990) perbedaan era dan fokus tersebut dikatagorikan sebagai berikut:
1. Fokus Penelitian generasi pertama
a. Bagaimana suatu aturan diujudkan sebagai hukum dan bagaimana suatu
hukum dijadikan program
b. Menguraikan sifat kerumitan dan dinamika proses implementasi
c. Menekankan pentingnya subsistem kebijakan

8
d. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil suatu
program
e. Mendiagnosis beberapa penyakit yang sering mengganggu proses
implementasi
2. Fokus Penelitian generasi kedua:
a. Jenis dan isi kebijakan
b. Organisasi pelaksana dan sumberdaya
c. Pelaksana kebijakan : sikap, motivasi, hub antar pribadi, komunikasi dsb
d. Hasil : pengakuan bahwa implementasi bisa berubah setiap saat,
identifikasi faktor penentu keberhasilan, berbagai persoalan yang
muncul, dsb.
3. Fokus Penelitian generasi ketiga:
a. Bentuk komunikasi antar lembaga pemerintahan
b. Penyusunan desain penelitian
c. Mengkaji variabel-variabel prediktor dalam implementasi
Wayne Parsons memberikan gambaran yang lebih rinci tentang
perkembangan studi implementasi, yang bukan baru dimulai saat model rasional
top-down muncul, tapi bahkan jauh sebelumnya. Berikut ini garis besar
perkembangan studi implementasi berikut tokoh dan karyanya yang ia paparkan:
 1940 –an karya Sleznick tentang TVA, yakni ‘penemuan” tahap
implementasi.
 Analisis kegagalan : Derthick (1972): Pressman dan Wildavsky (1973),
Bardach (1977) yang menganalisis mengapa kebijakan gagal dilaksnaakan
sehingga pula mencapai tujuannya.
 Model rasional (Top-down) untuk mengidentifikasikan factor-faktor yang
menjadikan implementasi berhasil: Van Meter dan Van Horn (1975): Hood
(1976), Gunn (1975), Sabatier & Mazmanian (1979).
 Kritik Bottom-up terhadap model top-down dalam hal pentingnya factor lain
dan interaksi organisasional : Lipsky (1971), Wetherley & Lipsky (1977),
Elmore (1978, 1979), Hjern et al. (1978).

9
 Teory Hybrid/Sintesa : Implementasi sebagai evolusi (Majone & Wildavsy,
1978): sebagai pembelajaran (Browne & Wildavsky, 1984): sebagai
kontinum kebijakan tindakan (Lewis & Flynn, 1978, 1979: Barret & Fudge,
1981): sebagai analisis interorganisasional (Hjern, 1982, Hjern & Porter,
1981): implementasi dan tipe kebijakan (Ripley & Franklin 1982): sebagai
bagian dari subsistem kebijakan (1986 an) dan sebagai manajemen sector
publik (Hughes, 1994) dalam (Parsons, 464 – 465).
Berikut ini berberapa dari berbagai pendekatan atau model yang
dikembangkan selama tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an, dari yang
bersifat Top-down; Bottom-up hingga sistesa antara keduanya. Hal yang perlu
diingat bahwa beberapa nama yang tadinya dikenal sebagai penganut sudut
pandang tertentu, seperti Wildavsky, Bardach, Paul Sabatier dan lain – lain, pada
karya – karya selanjutnya mulai bergeser pada sudut pandang yang lebih bersifat
sintesis, sebagai konsekuensi logis perkembangan studi yang mereka lakukan.

C. Pedekatan Rasional Top-Down


Pendekatan ini yang pertamakali muncul saat studi Implementasi
mulai menjadi kajian serius sekitar awal tahun 1970an. Pendekatan ini bersifat
top-down, yang mengasumsikan bahwa apa yang sudah diputuskan (policy)
adalah alternatif terbaik, dan agar mencapai hasil maka kontrol administrasi
dalam pengimplementasiannya adalah hal mutlak. Ciri dari pendekatan ini
adalah memandang proses pembuatan Kebijakan sebagai suatu proses yang
berlangsung secara rasional dan Implementasi adalah melaksanakan tujuan
yang telah dipilih tersebut dengan menentukan tindakan-tindakan rasional
untuk mencapai tujuan tersebut. Implementasi kebijakan merupakan suatu
proses administrasi yang terpisah dari penentuan kebijakan (yang bersifat
politik). Dengan demikian implementasi sebagai proses interaksi antara
penentuan tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut (Pressman dan
Wildavsky, ’73). Pendekatan ini juga mengasumsikan bahwa setiap kegagalan
kebijakan dalam mencapai dampak yang diinginkan, harus dicari faktor-

10
faktornya dari kegagalan proses implementasi membangun mata-rantai
hubungan sebab-akibat agar kebijakan bisa berdampak.

1. Jeffrey Pressman & Aaron Wildavsky : Defisit Implementasi (1973)


Karya Pressman dan Wildavsky ini adalah model implementasi
yang pertama kali muncul. Dalam tulisan mereka yang berjudul
Implementation (1973), mereka menyatakan bahwa sejauhmana
implementasi dapat berhasil tergantung pada keterkaitan antara berbagai
organisasi dan departemen pada tingkat lokal yang terlibat dalam
implementasi. Karenanya kerjasama, koordinasi dan kontrol memegang
peranan sangat penting. Jika tindakan-tindakan bergantung pada kaitan-
kaitan dari mata rantai implementasi, maka tingkat kerjasama antar
departeman yang dibutuhkan dalam mata rantai tersebut harus mendekati
100%, karena apabila ada hubungan kerjasama dalam rangkaian mata
rantai tersebut yang defisit, maka akan menyebabkan kegagalan
implementasi.
Rumusan Pressman dan Wildavsky ini melihat bahwa persoalan
implementasi dan kemungkinan tingkat keberhasilannya bisa dianalisis
secara matematis.
Rumusan mereka mungkin berguna manakala policy
implementasi tidak melibatkan banyak aktor dan berbagai tingkatan,
sehingga faktor-faktor hubungan yang kritis bisa diperhitungkan untuk bisa
segera diambil tindakan perbaikan. Namun rumusan ini sulit diterapkan
pada kebijakan yang melibatkan berbagai aktor, apalagi mengingat
hubungan antar aktor dari berbagai organisasi/departeman sangat jarang
berlangsung mulus karena masing-masing juga mengejar pencapaian
tujuan sendiri. Oleh karenanya pendekatan Game Theory mungkin lebih
bisa dimanfatkan daripada teori Probabilitas untuk menganalisis
Implementasi. Dengan kata lain pendekatan Kolaborasi antar aktor yang
terlibat bisa direkomendasikan untuk mengatasi kemacetan hubungan dlam
matarantai implementasi (Bowen: 1982).

11
Selanjutnya mereka juga mengatakan bahwa pembuat kebijakan
mesetinya tidak menjanjikan apa-apa yang tak dapat mereka penuhi, karena
implementasi kebijakan membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi top-
down serta sumberdaya yang dapat menjalankan tugas implementasi
tersebut. Jika sistem tidak mengijinkan kondisi seperti itu, maka sebaiknya
pembuat kebijakan membatasi janji pada tingkat yang bisa dipenuhi dalam
proses implementasi (Parsons:466).

2. Donald Van Meter & Carl Van Horn: Perspektif Teoritis Proses
Implementasi Kebijakan (1975)
Dalam tulisannya yang relatif singkat ”The Policy
Implementation Process” di dalam Jurnal Administration and Society, Vol
5 no. 4 tahun 1975, Donal Van Meter dan Carl Van Horn mendefinisikan
implementasi sebagai :
” ... policy implementation encompasses those action by publik
and privat individuals (or groups) that are directed at the achievement of
objectives set forth in the prior policy decisions. This includes both one-
tome efforts to transform decision into operational terms, as well as
contuining efforts to achieve the large and small changes mandated by
policy decisions” (Van Meter & Van Horn; 1975:447).
Model yang ditawarkan oleh mereka bergerak dari pendekatan
umum yang dikembangkan oleh pendahulunya, Pressman dan Wildavsky,
menjadi sebuah model proses implementasi. Pendekatan-pendekatan
sebelumnya meski dianggap sangat membantu memahami proses
implementasi, namun sangat kurang dalam kerangka teoritik. Model yang
mereka kembangkan bertumpu pada tiga pilar :
a. Teori Organisasi, khususnya tentang perubahan organisasi, baik yang
dipengaruhi oleh karya Max Weber, Amitai Etzioni.
b. Studi-studi tentang dampak Kebijakan Publik, terutama kebijakan
yang bersifat hukum.

12
c. Berbagai studi tentang hubungan inter-organisasi, termasuk hasil studi
Pressman & Wildavsky.
Mereka menyatakan pentingnya membedakan isi (content)
kebijakan, karena efektifitas implementasi akan sangat bervariasi
bergantung tipe dan issu kebijakan tersebut, karena faktor-faktor yang
mempengaruhi proses implementasi juga akan sangat berbeda. Menurut
mereka tipe kebijakan akan memerlukan karakteristik proses, struktur dan
hubungan antar berbagai faktor yang berbeda-beda pula dalam
implementasinya. Mereka kemudian mengklasifikasikan kebijakan
berdasarkan 2 karakteristik pokok, yakni;
a. Seberapa besar perubahan yang dituju oleh kebijakan tersebut. Karena
semakin besar perubahan yang diharapkan akan berdampak pula pada
perubahan organisasional pelaksananya.
b. Seberapa besar penerimaan atas tujuan kebijakan dari para aktor
implementasi.
Dari karakteristik tersebut, mereka kemudian mengkatagorikan kebijakan
ke dalam 4 tipe (lihat gambar III.1) yang masing-masing dapat
mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi, sbb:
a. Isi Kebijakan dengan tujuan perubahan kecil dengan konsensus kecil
diantara para pelaksananya
b. Isi Kebijakan dengan tujuan perubahan besar, dengan konsensus besar
diantara para pelaksananya.
c. Isi Kebijakan dengan tujuan perubahan besar, dengan konsensus kecil,
dan
d. Isi kebijakan dengan tujuan perubahan besar, dengan konsensus besar.
Pada kebanyakan kasus, kebijakan dengan perubahan yang terjadi
secara sedikit demi sedikit (incremental) biasanya akan mendapat banyak
dukungan; atau sebaliknya, jika kebijakan menghendaki perubahan yang
radikal maka pertentangan antar actor juga akan tinggi sehingga akan
menghambat implementasi. Oleh karenanya jika menginginkan kebijakan

13
terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan perubahan
marginal yang terjadi secara incremental.
Kasus kebijakan dengan tingkat perubahan tinggi dan mendapat
dukungan yang tinggi; atau yang sebaliknya kebijakan dengan tingkat
perubahan rendah namun kurang didukung, umumnya jarang terjadi. Di
Indonesia misalnya, kebijakan yang mengatur tentang Otonomi Daerah
yang menuntut perubahan yang besar, baik dalam struktur kepemerintahan
di daerah maupun dalam sumber keuangan daerah, mendapat dukungan
yang besar dari para implementor dan hasilnya jika hanya diukur dari
tingkat pemerataan pembangunan dapat dikatakan cukup berhasil.
Sebaliknya kebijakan yang hanya sedikit menghendaki perubahan namun
kurang mendapatkan dukungan juga dapat terjadi manakala kebijakan
tersebut bersifat controversial atau merugikan kepentingan implementor.
Penerimaan atau consensus atas tujuan kebijakan dianggap
penting karena para implementor yang akan menentukan berhasil tidaknya
kebijakan mencapai tujuannya, untuk itu mereka menekankan pentingnya
partisipasi implementor dalam proses pembuatan kebijakan dengan
mengutip Gross dkk sebagai berikut (h,7):
a. Partisipasi akan mengangkat semangat para staf implementor yang
sangat dibutuhkan dalam proses implementasi.
b. Partisipasi akan meningkatkan komitmen, yang dibutuhkan untuk
menghasilkan perubahan.
c. Partisipasi akan memperjelas inti dari tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai pada para implementor.
d. Partisipasi akan mengurangi resistensi para implementor
Meski model yang diajukan oleh Van Meter dan Van Horn
menekankan pentingnya partisipasi implementor dalam penyusunan
tujuan kebijakan, namun pendekatan mereka terkatagori pendekatan Top-
down, sebab dalam bukunya mereka mengatakan bahwa standar dan
tujuan kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan
interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah

14
para implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang
telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.
Berbeda dengan penulis lain yang mencoba memberikan
pendekatan preskriptif (Chritopher Hood, misalnya), mereka mencoba
memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis proses implementasi,
sehingga dapat mengenali simpul-simpul yang bisa menjadi penghambat
keberhasilan implementasi. Selanjutnya Van meter dan Van Horn
mengatakan bahwa ada 6 (enam) variabel (atau kelompok variabel) yang
harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi keberhasilan
implementasi. Variabel-variabel tersebut adalah :
a. Tujuan Kebijakan dan Standar yang jelas. yakni rincian mengenai
sasaran yang ingin dicapai melalui kebijakan beserta standar untuk
mengukur pencapaiannya.
b. Sumberdaya (dana atau berbagai insentif yang dapat memfasilitasi
keefektifan implementasi)
c. Kualitas Hubungan Inter-Organisasional. Keberhasilan implementasi
seringkali menuntut prosedur dan mekanisme kelembagaan yang
memungkinkan struktur yang lebih tinggi mengontrol agar
implementasi berjalan sesuai dengan tujuan dan standar yang telah
ditetapkan.
d. Karakteristik Lembaga/organisasi pelaksana (termasuk di dalamnya:
kompetensi dan ukuran agen pelaksana, tingkat kontrol hierarchis
pada unit pelaksana terbawah pada saat implementasi, dukungan
politik dari eksekutif dan legislatif, dan keterkaitan formal dan
informal dengan lembaga pembuat kebijakan, etc)
e. Lingkungan politik, sosial dan ekonomi, ( apakah sumberdaya
ekonomi mencukupi; seberapa besar dan bagaimana kebijakan dapat
mempengaruhi kondisi sosial ekonomi yang ada; bagaimana
tanggapan publik tentang kebijakan tersebut; apakah elit mendukung
implementasi; dlsb)

15
f. Disposisi/tanggapan atau sikap para pelaksana )termasuk di dalamnya
: pengetahuan dan pemahaman akan isi dan tujuan kebijakan; sikap
mereka atas kebijakan tsb; serta intensitas sikap tsb)
Karena hanya merupakan sebuah artikel, maka penjelasan Van
Meter dan Van Horn mengenai model mereka kurang rinci, sehingga
menurut Mazmanian dan Sabatier, model ini memiliki keterbatasan, yakni
hanya sesuai untuk digunakan pada program yang bertujuan
mendistribusikan barang dan pelayanan publik dan terlalu abstrak, dengan
kategori yang tidak jelas bentuknya serta variabelnya sulit untuk
dioperasionalkan. Namun sebagai sebuah artikel, gaung tulisan mereka
cukup memancing minat para pemerhati implementasi, sehingga model
mereka selalu disebut-sebut dalam karya penulis Implementasi berikutnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan karya atau model yang mereka maksudkan
sebagai upaya memberikan sebuah perspektif teori bagi studi
implementasi yang dirasakan sangat kurang, telah cukup berhasil
menggugah para akademisi lainnya untuk mengikuti jejak mereka,
sehingga muncul berbagai model-model implementasi kebijakan.

3. Eugene Bardach : The Implementation Game


Eugene Bardach (1977) menulis hasil analisisnya dari berbagai
kasus yang ia teliti tentang implementasi kebijakanan dalam bukunya yang
berjudul The Implementation Game : What happen after a bill become a
Law?. Ia menyatakan bahwa proses politik dalam suatu policy tidak
berhenti hanya pada saat penyusunannya, tapi juga sampai pada tahap
pelaksanaan kebijakan tersebut. Berbagai trik politik berlangsung saat
sebuah policy dijalankan, sehingga seringkali tujuan utama dari policy
tersebut justru tidak tercapai. Menurutnya sebuah implementasi adalah
suatu permainan tawar-menawar, persuasi, dan manuver di dalam kondisi
ketidak-pastian oleh orang-orang dan kelompok-kelompok guna
memaksimalkan kekuasaan dan pengaruh mereka. Hal ini terjadi karena
kontrol rasional organisasi tidak dapat berjalan dengans sendirinya pada

16
policy yang dijalankan oleh berbagai aktor dan institusi, atau dengan kata
lain, proses implementasi itu sudah dengan sendirinya berpotensi
memunculkan konflik kepentingan dan kekuasaan di antara para aktor
pelaksananya. Permainan yang demikian tentu bisa berakibat tidak sehat
bagi implementasi sebuah policy, karena dapat mengakibatkan :
a. Terpecahnya Sumberdaya
b. Kaburnya tujuan
c. Dilema dan kesulitan-kesulitan administrasi
d. Terkurasnya energi.
Untuk mengatasi atau meminimalisisr dampak buruk permainan
politik tersebut yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat
yang seharusnya menjadi tujuan utama dari sebuah kebijakan, maka
pembuat kebijakan harus memberikan perhatian ekstra pada 2 hal :
a. Penulisan scenario implementasi (scenario writing). Artinya pembuat
policy harus memperkirakan bagaimana scenario psoses
implementasinya berikut syarat-syarat yang dibutuhkan agar policy
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik (tujuan dan sasaran yang
jelas, komunikasi, siapa pelaksanannya, koordinasi antar pelaksana,
sumberdaya yang cukup, dll. lihat acuan Gunn). Dengan penulisan
scenario implementasi ini kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul
dalam proses implementasi akan lebih mudah diantisipasi
b. Fixing the Game. Artinya politisi (the Top) yang berkepentingan
dengan pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam policy,
harus mengikuti keseluruhan jalannya implementasi dan segera
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantara para
implementor (jika perlu dengan tawar-menawar, persuasi, manuver,
dll).
Dalam tulisannya lebih lanjut pada bukunya Getting Agencies to
work Together (1998), Bardach mengakui peran penting para pelaksana
tingkat bawah (the street level) dalam suatu implementasi kebijakan, dan

17
menekankan pentingnya pendekatan informal dengan mereka, bahkan
berkolaborasi jika perlu, demi tercapainya tujuan policy.

4. Christopher Hood (1978)


Hood dalam bukunya Limit to Administration menyarankan lima
syarat (yang merupakan keterbatasan administrasi) agar implementasi bisa
berlangsung sempurna :
a. Implementasi yang ideal adalah produk dari organisasi yang padu
seperti militer, dengan garis komando yang jelas.
b. Norma-norma ditegakkan dan tujuan ditentukan dengan jelas
c. Orang-orangnya dapat dipastikan akan melaksanakan apa yang
diminta
d. Harus ada komunikasi yang sempurna di dalam dan antar organisasi.
e. Tidak ada tekanan waktu.
Tentunya akan sangat sulit memenuhi criteria-kriteria tersebut
agar sebuah kebijakan terimplementasikan dengan sempurna, terlebih
karena beberapa kebijakan justru tidak harus dilaksanakan dengan aturan
seperti di atas jika ingin berhasil. Mungkin karena Hood sendiri menyadari
keterbatasan tersebut, sehingga ia memberikan judul yang ironi bagi
bukunya. Sebagai contoh beberapa decade yll ketika kebijakan keluarga
berencana yang bersifat sentralistis dan harus dilaksanakan sesuai dengan
acuan aturan tertentu, justru gagal ketika diterapkan di Iran Jaya. Norma
Keluarga Kecil bahagia Sejahtera yang ditafsirkan tunggal : dicapai
melalui pembatasan kelahiran, di Irian Jaya justru dituding sebagai
program Jawanisasi dan Islamisasi. Kecurigaan itu disebabkan sifat
program yang bersifat nasional tanpa memperhatikan keunikan wilayah
dan masyarakatnya, yang jumlah kelahiran terbatasi oleh proses seleksi
alam, sementara program Transmigrasi dari Jawa yang umumnya
beragama Islam juga berlangsung pada saat yang bersamaan.

18
5. Brian W. Hogwood & Lewis A. Gunn : Implementasi yang Sempurna
(1978)
Hogwood dan Gunn adalah penulis dari Inggris yang sangat kuat
mempertahankan pendapatnya tentang pentingya pendekatan Top-down
dalam proses implementasi, meski banyak kritik atas pendekatan tersebut.
Bagi mereka pendekatan bottom-up yang cenderung mendekati
permasalahan implementasi kasus per kasus dianggap tidak menarik
apalagi mengingat para pembuat kebijakan adalah orang-orang yang telah
dipilih secara demokratis, sehingga sudut pandang mereka tentang
implementasi bukanlah suatu hal yang mencederai demokrasi. Ide dasar
mereka bermuasal dari publikasi Gunn pada tahun 1978 yang mengkaji
tentang penyebab implementasi seringkali mengalami kegagalan, dan
kemudian dikembangkan dalam tulisan yang berjudul Policy Analysis for
The Real World (1984).
Dalam buku tersebut mereka memberikan proposisi-proposisi untuk
mencapai implementasi yang sempurna bagi para pembuat kebijakan,
sebagai berikut :
a. Situasi di luar badan/organisasi pelaksana tidak menimbulkan kendala-
kendala besar bagi proses implementasi (that circumstances external to
the implementing agency do not impose crippling constraints)
b. Tersedia cukup waktu dan cukup sumberdaya untuk melaksanakan
program (that adequate time and sufficient resources are made
available to the programme)
c. Tidak ada kendala dalam penyediaan keseluruhan sumberdaya yang
dibutuhkan, termasuk sumberdaya yang dibutuhkan dalam setiap
tahapan implementasi (that not only are there no constraints in terms
of overall resources but also that, each stages in the implementation
process, the required combination of resources is actually available).
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasarkan pada teori sebab-
akibat yang valid.(That the policy to be implemented is based upon a
valid theory of cause anda effect).

19
e. Hubungan sebab-akibat tersebut hendaknya bersifat langsung dan
sesedikit mungkin ada hubungan antara (intervening variable) (the
relationship between cause and effect is direct and that there ara a few,
if any, intervening links).
f. Diimplementasikan oleh lembaga tunggal yang tidak bergantung pada
lembaga-lembaga lainnya, namun jikapun melibatkan lembaga
lainnya, hendaknya hubungan kebergantungan antar lembaga tersebut
sangat minim (that there is a single implementing agency that need not
depend upon other agencies for success, or if other agencies must be
involved, that the dependency relationships are minimal in number and
importance).
g. Adanya pemahaman yang menyeluruh dan kesepakatan atas tujuan
yang hendak dicapai dan kondisi ini harus ada dalam seluruh proses
implementasi (that there is complete understanding of, and agreement
upon, the objectives to be achieved, and that these conditions persists
throughout the implementation process) .
h. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati, adalah mungkin
untuk menspesifikasikan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh
masing-masing pihak yang terlibat, dalam urutan langkah –langkah
pelaksanaan secara lengkap, detail dan sempurna (in the moving
toward agreed objectives it is possible to specify, in complete detail
and perfect sequence, the tasks to be performed by each participant) .
i. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna antara berbagai
elemen yang terlibat dalam program (that there is perfect
communication among, and co-ordination of, the various elements
involved in the programme),
j. Bahwa yang berwenang dapat menuntut dan menerima kepatuhan
yang sempurna (That those in authority can demand and obtain perfect
obedience).
Menurut Hogwood & Gunn untuk mencapai implementasi yang
sempurna adalah mungkin manakala dapat mengontrol seluruh system

20
administrasi sehingga kondisi-kondisi sebagaimana yang mereka sebutkan
di atas dapat terpenuhi, meski juga menyadari bahwa kondisi demikian
nyaris mustahil terjadi di dunia nyata. Namun mereka memandang bahwa
proposisi-proposisi tersebut adalah syarat normative yang harus
diupayakan agar implementasi berjalan menuju sempurna. Sayangnya di
dunia nyata selain kondisi demikian sangat sulit bahkan mustahil dipenuhi
sepenuhnya, juga bahkan karena memang tak harus seperrti itu.
Bagi Negara-negara maju dengan prinsip demokrasinya
mengharapkan syarat ke 10 terpenuhi yang menuntut dan menerima
kepatuhan yang sempurna dari aparat pelaksana, nyaris tak mungkin. Bagi
Negara-negara berkembang – syarat-syarat yang sulit dipenuhi lebih
banyak lagi terutaman yang berkaitan dengan ketersediaan waktu dan
sumberdaya secara menyeluruh (SDM, dana, skills, teknologii, dll) bagi
setiap program yang diimplementasikan. Justru karena keterbatasan
sumberdaya (dan juga waktu) maka banyak kebijakan-kebijakan
(program-program) yang harus dilaksanakan secara incremental. Selain
itu, syarat ke 8 yang menuntut spesifikasi tugas yang detail, lengkap dalam
urutan-urutan yang sempurna; seringkali justru tidak harus sedemikian
ketat, karena cenderung menyebabkan implementor lebih memilih
memenuhi SOP daripada bertindak memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan sudut pandang yang sangat top-down oriented tersebut, tidak
tersisa peluang diskresi bagi implementor yang mungkin justru sangat
diperlukan agar tujuan kebijakan dapat tercapai dalam situasi dan kondisi
yang beragam di lapangan.

6. George Charles Edwards III: Pendekatan Masalah Implementasi


(1980)
Kendati karyanya tidak pernah dikutip dan dibahas oleh para
penulis Asing (Amerika dan Inggris) dalam buku tentang kebijakan public,
khususnya dalam kajian tentang implementasi kebijakan, namun karya
Edwards ini justru paling banyak dikutip oleh penulis dan pemerhati

21
implementasi di Indonesia dibanding model yang dikembangkan oleh duet
Van meter dan Van Horn. Dibanding tulisan Van Meter dan Van Horn yang
hanya sebuah artikel, jabaran George C. Edwards III mengenai konsep-
konsep yang dibahasnya jauh lebih dalam dan operasional. Mungkin karena
alasan inilah karyanya banyak dikutip di dalam negeri, meski variable-
variabel yang ia ajukan nyaris serupa, bahkan lebih sederhana dibanding
dengan variable-variabel yang diajukan oleh pendahulunya.
Dalam bukunya yang berjudul Implementing Public Policy yang
diterbitkan tahun 1980, Edwards III menyatakan bahwa proses
implementasi sebagai : “…the state of policy making between the
establishment of a policy (such as the passage of a legislative act, the
issuing of an executive order, the handing down of a judicial decision, or
the promulgation of a regulatory rule) and the consequences of the policy
for the peple whom it effect.” (Edwards, 1980 : 1)
Implementasi menurut Edwards, diartikan sebagai tahapan dalam
proses kebijaksanaan yang berada diantara tahapan penyusunan
kebijaksanaan dan hasil atau konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan
oleh kebijaksanaan itu (output, outcome). Yang termasuk aktivitas
implementasi menurutnya adalah perencanaan, pendanaan,
pengorganisasian, pengangkatan dan pemecatan karyawan, negosiasi dan
lain-lain.
Dalam model yang dikembangkannya, ia mengemukakan ada 4
(empat) faktor kritis yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi. Pendekatan yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan
:”Prakondisi apa yang harus ada agar implementasi berhasil?” dan “ Apa
yang menjadi kendala pokok bagi suksesnya suatu implementasi?” dan
menemukan 4 (empat) variabel tersebut setelah mengkaji beberapa
pendekatan yang dilakukan penulis lain.
Ke empat variabel tersebut adalah : 1. Komunikasi; 2. Sumberdaya; 3.
Disposisi atau Sikap Pelaksana; 4. Struktur Birokrasi, yang keseluruhannya

22
saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam
menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi.
a. Komunikasi
Ada tiga hal dalam komunikasi ini yang perlu mendapatkan perhatian:
1) Transmisi
Sebuah kebijakan yang akan diimplementasikan harus disalurkan
pada pejabat yang akan melaksanakannya. Seringkali masalah
transmisi terjadi manakala pelaksana tidak menyetujui kebijakan
(disposisi) tersebut dengan mendistorsikan perintah kebijakan
atau bahkan menutup komunikasi yang diperlukan. Masalah
transmisi juga terjadi manakala kebijakan yang akan
diimplementasikan harus melalui struktur birokrasi yang berlapis
atau karena tidak tersedianya saluran komunikasi yang memadai
(sumberdaya).
2) Kejelasan (Clarity)
Kejelasan tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah
kebijakan merupakan hal yang mutlak agar dapat
diimplementasikan sebagaimana yang telah diputuskan. Namun
hal tersebut tidak selalu terjadi. Ada berbagai alasan yang
menyebabkan sebuah kebijakan tidak dirumuskan secara jelas,
diantaranya adalah: i). kerumitan dalam pembuatan kebijakan
yang terjadi antara eksekutif dan legislatif, sehingga mereka
cenderung menyerahkan detil pelaksanaannya pada bawahan; ii)
Adanya opisisi dari masyarakat atas kebijakan tersebut; iii).
Kebutuhan mencapai konsensus antara tujuan yang saling
bersaing saat merumuskan kebijakan tersebut; iv). Kebijakan baru
yang para perumusnya belum terlalu menguasai masalah (tentang
ini sering dikatakan sebagai upaya untuk menghindar dari
tanggung jawab); v). Biasanya terjadi pada kebijakan yang
menyangkut aturan hukum.

23
Pada bagian ini selain mengaitkan implementasi dengan tipe/jenis
kebijakan, tampaknya Edwards III juga banyak mengacu pada
hasil studi Bardach dalam Implementation Game.
3) Konsistensi
Implementasi yang efektif selain membutuhkan komunikasi yang
jelas, juga yang konsisten. Proses transmisi yang baik namun
dengan perintah yang tidak konsisten akan menyebabkan
membingungkan pelaksana. Banyak hal yang bisa menyebabkan
arah kebijakan menjadi tidak konsisten, diantaranya karena : i).
Kompleksitas kebijakan yang harus dilaksanakan; ii). Kesulitan
yang biasa muncul saat memulai implementasi sebuah kebijakan
baru; iii). Kebijakan memiliki beragam tujuan dan sasaran, aau
kadang karena bertentangan dengan kebijakan yang lain; iv).
Banyaknya pengaruh berbagai kelompok kepentingan atas isu
yang dibawa oleh kebijakan tersebut.
b. Sumberdaya
Yang dimaskud dengan sumberdaya yang diperlukan dalam
implementasi menurut Edwards III adalah :
1) Staff, yang jumlah dan skills (kemampuannya) sesuai dengan yang
dibutuhkan.
2) Informasi.
Informasi berbeda dengan komunikasi. Yang diperlukan di sini
adalah : i). Informasi yang terkait dengan bagaimana
melaksanakan kebijakan tersebut (Juklak-Juknis) serta, ii). Data
yang terkait dengan kebijakan yang akan dilaksanakan.
3) Kewenangan
Kewenangan yang dibutuhkan dan harus tersedia bagi
implementor sangat bervariasi tergantung pada kebijakan apa
yang harus dillaksanakan. Kewenangan tersebut dapat berwujud
: membawa kasus ke meja hijau; menyediakan barang dan jasa;
kewenangan untuk memperoleh dan menggunakan dana, staf, dll

24
kewenangan untuk meminta kerjasama dengan badan pemerintah
yang lain, dll.
4) Fasilitas
Kendati implementor telah memiliki jumlah staf yang memadai,
telah memahami apa yang diharapkan darinya dan apa yang harus
dilaksanakan, juga telah memperoleh kewenangan yang
diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan, namun tanpa
fasilitas fisik yang memadai, implementasi juga tidak akan efektif.
Fasilitas fisik ini beragam tergantung pada kebutuhan kebijakan :
ruang kantor, komputer, dll.
c. Disposisi
Yang dimaksud dengan disposisi adalah sikap dan komitmen dari
pelaksana terhadap kebijakan atau program yang harus mereka
laksanakan karena setiap kebijakan membutuhkan pelaksana-
pelaksana yang memiliki hasrat kuat dan komitmen yang tinggi agar
mampu mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan.
d. Struktur birokrasi
Yang dimaksud dengan Struktur Birokrasi Edwards III adalah
mekanisme kerja yang dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah
kebijakan. Ia menekankan perlu adanya Standart Operating Procedure
(SOP) yang mengatur tata aliran pekerjaan diantara para pelaksana,
terlebih jika pelaksanaan program melibatkan lebih dari satu institusi.
Ia juga mengingatkan bahwa adakalanya fragmentasi diperlukan
manakala implementasi kebijakan memerlukan banyak program dan
melibatkan banyak institusi untuk mencapai tujuannya.
Berikut ini adalah 2 penulis buku tentang studi implementasi yang
cukup berpengaruh yang semula memberikan pendekatan yang bersifat
Top-Down, namun pada tulisan-tulisan mereka selanjutnya mereka
mulai memasukkan pentingnya peran pelaksana tingkat bawah
(Karenanya dalam bererapa literatur mengenai Studi Implementasi,

25
model mereka kadang dikatagorikan model Top--Down, kadang sudah
dikatagorikan model Sintesa).

7. 2.7 Merilee S. Grindle : Content of Policy & Context of


Implementation (1980)
Grindle dalam bukunya yang berjudul Politics and Policy
Implementation in The Third Word (1980), mengatakan bahwa dalam
mengimplementasikan sebuah kebijakan tergantung pada content (isi) dan
contextnya, dan tingkat keberhasilannya tergantung pada kondisi 3
komponen variabel sumberdaya implementasi yang diperlukan. Ketiga
komponen ini menyebabkan program nasional menghasilkan variasi
outputs dan outcomes yang berbeda di daerah. Ketiga komponen itu adalah:
a. Contents of policy messages
b. ketersediaan dana dan sumber lain untuk melaksanakan kebijakan;
c. adanya sanksi;
d. tingkat kesukaran masalah kebijakan.
e. Kredibilitas pesan kebijakan
f. kejelasan pesan kebijakan;
g. konsistensi kebijakan;
h. frekuensi pengulangan kebijakan;
i. penerimaan pesan
j. Bentuk kebijakan
k. efficacy of the policy;
l. partisipasi masyarakat;
m. tipe kebijakan.
Selain itu Grindle juga mengatakan bahwa implementasi program
ditentukan oleh Konten (isi) program/policy dan konteks
implementasinya, sebagai berikut :
a. Content of Policy (Isi Kebijakan)
Isi kebijakan atau program akan berpengaruh pada tingkat
keberhasilan implementasi. Kebijakan kontroversial, kebijakan-

26
kebijakan yang dipandang tidak populis, kebijakan menghendaki
perubahan besar, biasanya akan mendapatkan perlawanan baik dari
kelompok sasaran bahkan mungkin dari implementornya sendiri yang
mungkin merasa kesulitan melaksanakan kebijakan tersebut atau
merasa dirugikan. Isi kebijakan yang dapat mempengaruhi
implementasi menurut Grindle adalah sbb:
1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya program.
Apabila kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian di salah
satu pihak (misalnya jenis kebijakan Redistribution menurut
katagori Ripley dan Lowie), maka implementasinya akan lebih
mudah karena tidak akan menimbulkan perlawanan bagi yang
kepentingannya dirugikan.
2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan.
Kebijakan yang memberikan manfaat kolektif atau pada banyak
orang akan lebih mudah diimplementasikan karena lebih mudah
mendapatkan dukungan dari kelompok sasaran atau masyarakat.
3) Jangkauan perubahan yang diinginkan.
Semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan melalui
kebijakan tersebut, biasanya akan semakin sulit pula dilaksanakan.
Misalnya kebijakan anti Korupsi dan KKN yang telah berkali-kali
dibuat oleh beberapa presiden RI dengan berbagai badan
pemeriksa, tetap menjadikan Indonesia sebagai negara dengan
tingkat korupsi tertinggi di dunia karena kebijakan tersebut
menuntut banyak perubahan perilaku yang tidak dilaksanakan
dengan konsekuen. Kredibilitas pesan kebijakan tidak terpenuhi
karena isi kebijakan yang mengatur tentang adanya sangsi
tidakdijalankan dengan konsisten.
4) Kedudukan pengambil keputusan.
Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam
kebijakan (baik secara geografis ataupun organisatoris), akan
semakin sulit pula implementasinya. Kasus demikian banyak

27
terjadi pada kebijakan-kebijakan yang implementasinya
melibatkan banyak instansi.
5) Pelaksana program.
Manakala pelaksana program memiliki kemampuan dan
dukungan yang dibutuhkan oleh kebijakan, maka tingkat
keberhasilannya juga akan tinggi.
b. Context of Implementation (Konteks Implementasi)
Konteks dimana dan oleh siapa kebijakan tersebut diimplemetasikan
juga akan berpengaruh pada tingkat keberhasilannya, karena
seberapapun baik dan mudahnya kebijakan dan seberapapun dukungan
kelompok sasaran, hasil implementasi tetap bergantung pada
implementornya. Karakter dari pelaksana akan mempengaruhi
tindakan-tindakan pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan
karena pelaksana adalah individu yang tidak mungkin bebas dari
kepercayaan, aspirasi dan kepentingan pribadi yang ingin mereka
capai. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan terdapat suatu
kemungkinan dari pelaksana untuk membelokkan apa yang sudah
ditentukan demi kepentingan pribadinya, sehingga dapat menjauhkan
tujuan dari kebijakan sebenarnya.
Konteks implementasi yang berpengaruh pada keberhasilan
implementasi menurut Grindle adalah sebagai berikut:
1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat.
Strategi, sumber dan posisi kekuasaan implementor akan
menentukan tingkat keberhasilan kebijakan yang
diimplentasikannya. Apabila suatu kekuatan politik merasa
berkepentingan atas suatu program, maka mereka akan menyusun
strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam
implementasi sehingga mereka dapat menikmati outputnya.
2) Karakteristik lembaga dan penguasa.
Implementasi Suatu program dapat menimbulkan konflik bagi
yang kepentingan-kepentingannya dipengaruhi. Strategi

28
penyelesaian konflik mengenai ”siapa mendapatkan apa”
(misalnya penggusuran pasar tradisional menjadi supermarket)
dapat menjadi petunjuk tak langsung mengenai ciri-ciri penguasa
atau lembaga yang menjadi implemento.

D. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan


Menurut Bambang Sunggono, implementasi kebijakan mempunyai beberapa
faktor penghambat, yaitu:
1. Isi kebijakan
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya
isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,
sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau program-program kebijakan
terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya
ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.
Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan
adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab
lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat
terjadi karena kekurangan- kekurangan yang menyangkut sumber daya-
sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan
tenaga manusia.
2. Informasi
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para
pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu
atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.
Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan
komunikasi.
3. Dukungan
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada
pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut.

29
4. Pembagian Potensi
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi
suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara
para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan
dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana Struktur
organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila
pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan
pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang
kurang jelas (Bambang Sunggono,1994 : 149-153).
Adanya penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan-kebijakan yang
kontroversial yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam
implementasinya. Menurut James Anderson yang dikutip oleh Bambang
Sunggono, faktor-faktor yang menyebabkan anggota masyarakat tidak
mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik, yaitu :
1. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan atau kebijakan publik yang
bersifat kurang mengikat individu-individu;
2. Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan
dimana mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai atau
bertentangan dengaan peraturan hukum dan keinginan pemerintah;
3. Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara
anggota masyarakat yang mencenderungkan orang bertindak dengan
menipu atau dengan jalan melawan hukum;
4. Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan
yang mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi
sumber ketidakpatuhan orang pada hukum atau kebijakan publik;
5. Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan
sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok- kelompok
tertentu dalam masyarakat. (Bambang Sunggono, 1994 : 144-145).

30
E. Upaya Mengatasi Hambatan Implementasi Kebijakan
Peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi implementasi
kebijakan publik. Suatu kebijakan akan menjadi efektif apabila dalam
pembuatan maupun implementasinya didukung oleh sarana-sarana yang
memadai. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu kebijakan dapat
terlaksana dengan baik, yaitu :
1. Peraturan hukum ataupun kebijakan itu sendiri, di mana terdapat
kemungkinan adanya ketidakcocokan-ketidakcocokan antara kebijakan-
kebijakan dengan hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat.
2. Mentalitas petugas yang menerapkan hukum atau kebijakan. Para petugas
hukum (secara formal) yang mencakup hakim, jaksa, polisi, dan sebagainya
harus memiliki mental yang baik dalam melaksanakan (menerapkan) suatu
peraturan perundang-undangan atau kebijakan. Sebab apabila terjadi yang
sebaliknya, maka akan terjadi gangguan- gangguan atau hambatan-
hambatan dalam melaksanakan kebijakan/peraturan hukum.
3. Fasilitas, yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan suatu peraturan
hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan ingin terlaksana
dengan baik, harus pula ditunjang oleh fasilitas-fasilitas yang memadai agar
tidak menimbulkan gangguan-gangguan atau hambatan-hambatan dalam
pelaksanaannya.
4. Warga masyarakat sebagai obyek, dalam hal ini diperlukan adanya
kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum, dan perilaku warga
masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan perundang- undangan
(Bambang Sunggono, 1994 : 158).

F. Perlindungan Hukum Bagi Aparatur Negara


Asas legalitas digunakan dalam bidang hukum administrasi dan
memiliki makna “bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang”. Asas
legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara
harus berdasarkan pada undang-undang. Asas legalitas merupakan prinsip

31
negara hukum yang diartikan bahwa setiap tindakan hukum pemerintah, baik
dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan, harus
berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Paper ini terdiri dari 4 (empat) bagian pertama
Pendahuluan, bagian kedua Penerapan asas legalitas dalam penyelenggaraan
pemerintahan, bagian ketiga tanggung jawab pemerintahan dan perlindungan
hukum bagi aparatur negara, terakhir penutup.
Secara normatif, setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan atau berdasarkan kewenangan yang dianut di
setiap negara. Namun, penerapan asas legalitas dalam praktik berbeda antara
satu negara dengan negara yang lain. Artinya, ada negara yang begitu ketat
memberlakukan asas legalitas, namun ada pula yang tidak terlalu ketat
memberlakukan asas tersebut.
Meskipun asas legalitas memiliki kelemahan, namun asas ini tetap
menjadi prinsip utama dalam setiap negara hukum, mengingat asas legalitas
merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan.
Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang untuk melakukan
tindakan hukum tertentu. Salah satu contoh implementasi dari hak dan
kewajiban dalam rezim perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang
KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009. Undang-Undang KUP mengatur mengenai hak dan
kewajiban Wajib Pajak serta kewenangan dan kewajiban Fiskus dalam
hubungan hukum di bidang perpajakan. Beberapa kewenangan yang ditegaskan
dalam Undang-Undang KUP antara lain berupa kewenangan negara untuk
melakukan pemeriksaan pajak, mengurangkan atau menghapuskan sanksi
administrasi, mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak
benar, memutuskan permohonan keberatan Wajib Pajak baik dikabulkan atau
ditolak, melakukan pemeriksaan bukti permulaan, melakukan penyidikan untuk
tindak pidana di bidang perpajakan. Kewenangan yang diberikan kepada negara

32
(Fiskus) merupakan kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Salah satu pernyataan R.J.H.M Huisman terkait kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi
juga kepada para pegawai organ pemerintah tersebut, yaitu:
“Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-
undang. Pembuat undang-undang memberikan wewenang pemerintahan
tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai
(misalnya inspektur pajak dan sebagainya) atau terhadap badan khusus
(pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap bahan
hukum privat).”
Kewenangan pemerintah yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat.
Secara sederhana, H.D. van Wijk mendefinisikan sebagai berikut:
1. atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintah;
2. delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain, artinya organ
pemerintahan yang menyerahkan kewenangan kehilangan wewenangnya.
Dengan demikian, apabila timbul sengketa karena penyalahgunaan
wewenang oleh penerima wewenang, yang dapat digugat adalah penerima
wewenang dan bukan pemberi wewenang.
3. mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya, artinya tidak ada pengalihan
wewenang. Dalam mandat tidak ada pengalihan wewenang, dengan
demikian penerima mandat (mandans) bertanggung jawab sepenuhnya atas
pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh pemberi mandat.

33
Tanggung jawab pemerintahan dan perlindungan hukum bagi aparatur
negara
Tanggung jawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu
(kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan
sebagainya). Dalam kamus hukum ada 2 (dua) istilah yang menunjuk pada
tanggung jawab yaitu liability (the state of being liable) dan responsibility (the
state of fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas
(a broad legal term) yang didalamnya mengandung makna bahwa “it has been
referred to as of the most comprehensive significance, including almost every
character of hazard of responsibility, absolute, contingent, or likely. It has been
defined to mean: all character of debts and obligations.”
Menurut Frierich J. Stahl terdapat 4 (empat) ciri pokok suatu negara hukum
dalam arti formal, yaitu:
1. adanya jaminan pengakuan terhadap hak asasi manusia;
2. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
3. pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum (tertulis dan tidak
tertulis);
4. adanya peradilan administrasi.
Keberadaan peradilan administrasi mempunyai peranan yang sangat
penting dalam membentuk good governance dalam mewujudkan negara
hukum, yaitu sebagai lembaga kontrol atau pengawas terhadap tindakan-
tindakan hukum pemerintah agar tetap dalam koridor hukum dan untuk
melindungi hak masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang oleh
penguasa.
Selanjutnya, tanggung jawab pemerintahan dalam bidang hukum
administrasi terdapat 4 (empat) kemungkinan penyebabnya, yaitu karena
tindakan penguasa:
1. melahirkan keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
2. penyalahgunaan wewenang;
3. sewenang-wenang;

34
4. bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak/baik.
Pendapat Frierich J. Stahl di atas mengingatkan kepada seluruh
penegak hukum bahwa peradilan administrasi memiliki kewenangan untuk
memutuskan terlebih dahulu apakah tindakan yang dilakukan pemerintah telah
melahirkan keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, atau telah terjadi penyalahgunaan wewenang, atau bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dengan demikian, apabila
peradilan administrasi telah membuktikan bahwa tindakan pemerintah tersebut
telah melahirkan keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan baru kemudian penegakan hukum pidana digunakan sebagai upaya
terakhir. Artinya hukum pidana baru diberikan setelah upaya penyelesaian
hukum dengan hukum administrasi, perdata atau hukum lainnya dilakukan. Hal
ini sejalan dengan asas subsidiaritas dalam hukum pidana.[1] Selanjutnya,
apabila aparatur negara tidak melaksanakan Putusan Pengadilan Administrasi
Negara, dapat dipidana menurut Hukum Acara yang berlaku.
Di samping adanya lembaga peradilan administrasi yang mengontrol
perbuatan atau tindakan pemerintah sebagaimana dinyatakan oleh Frierich J.
Stahl, terkait perbuatan hukum pemerintah dapat juga dilakukan melalui hak
uji materiil. Setiap produk peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang dapat dilakukan pengujian secara materil di Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang.
1. Asas perlindungan hukum
Berdasarkan konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khususnya dalam bab menimbang huruf a
dinyatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pernyataan tersebut termasuk didalamnya aparatur negara. Artinya

35
pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap aparatur negara
dan warga negara.
2. Asas subsidiaritas (ultimum remedium).
Asas subsidiaritas adalah penegakan hukum pidana hanya
dilakukan sebagai upaya penegakan hukum yang terakhir, setelah terlebih
dahulu diupayakan penegakan hukum perdata dan administrasi. Dengan
demikian, penegakan hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir, jika
penegakan hukum administrasi, perdata dan alternatif penyelesaian lainnya
dinilai dapat menyelesaikan masalah. Namun demikian ketentuan tersebut
bisa dikesampingkan apabila tingkat kesalahan pelaku relatif berat,
perbuatannya relatif besar, atau perbuatannya menimbulkan keresahan
masyarakat. Untuk membuktikan apakah syarat asas subsidiaritas terpenuhi
atau tidak harus ada pernyataan tertulis dari pejabat instansi terkait melalui
konsultasi dan koordinasi dan tidak dapat ditentukan oleh penuntut umum
semata.
3. Penghapus pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-
Undang KUP tahun 2007 terdapat beberapa alasan pembenar bagi
seseorang termasuk (aparatur negara) yang secara normatif telah memenuhi
unsur pidana, namun perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena
terdapat penghapusan pidana.
Sesuai Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang KUP Tahun 2007 mengatur
bahwa pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun
pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penjelasan Pasal 36A ayat (5) menyatakan bahwa Pegawai pajak dalam
melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai
pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari
keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain
yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.

36
4. Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010.
Dalam rangka mewujudkan PNS yang handal, profesional, dan
bermoral sebagai penyelenggara pemerintahan yang menerapkan prinsip-
prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), maka PNS sebagai
unsur aparatur negara dituntut untuk setia kepada Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Pemerintah, bersikap disiplin, jujur, adil,
transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas.
Peraturan Pemerintah ini secara tegas mengatur pemberian jenis
hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan terhadap suatu pelanggaran
disiplin. Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi pejabat yang
berwenang menghukum serta memberikan kepastian dalam menjatuhkan
hukuman disiplin. Demikian juga dengan batasan kewenangan bagi pejabat
yang berwenang menghukum telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah
ini. Penjatuhan hukuman berupa jenis hukuman disiplin ringan, sedang,
atau berat sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh
PNS yang bersangkutan, dengan mempertimbangkan latar belakang dan
dampak dari pelanggaran yang dilakukan.
Kewenangan untuk menetapkan keputusan pemberhentian bagi
PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dilakukan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini. Bagi PNS yang dijatuhi hukuman disiplin
diberikan hak untuk membela diri melalui upaya administratif melalui
gugatan sesuai mekanisme hukum yang berlaku yaitu melalui Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), sehingga dapat dihindari terjadinya
kesewenang-wenangan dalam penjatuhan hukuman disiplin.

37
G. Hukum Administrasi Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang
Baik dan Berwibawa
Fungsi hukum administrasi negara dalam menciptakan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat
dibutuhkan. Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata
pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan,
akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan
membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian
dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah
pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya
manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
Fungsi Hukum Administrasi Negara yang melihat negara dalam
keadaan bergerak, pada hakikatnya bertujuan mengatur lembaga kekuasaan /
pejabat atasan maupun bawahan dalam melaksanakan peranannya berdasarkan
Hukum Tata Negara, yaitu :
1. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan
abstrak yang berlaku umum.
2. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk
subyek tertentu, di bidang :
a.Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau
kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan dan
pemeliharaan perlengkapan administrasi.
b.Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan.
c.Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan
mediasi.
Kegiatan penciptaan ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum
tercermin dalam kegiatan Pembentukan Undang – Undang, Peraturan
Pemerintah serta Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri.

38
Kegiatan menciptakan ketentuan – ketentuan konkrit untuk subyek tertentu,
tercermin dalam kegiatan : pemberian ijin penyimpangan jam kerja, ijin
pemutusan hubungan kerja dan ijij mempekerjakan wanita pada malam hari.
Demikian pula penentuan status terlihat dalam kegiatan pemberhentian buruh
oleh P4P. Kegiatan pembuktian dapat dilihat dari pendaftaran serikat buruh
pada Departemen Tenaga Kerja.
Kegiatan pengawasan dalam arti pencegahan, tercermin dalam
ketentuan keselamatan kerja, ketentuan upah minimum dan sebagainya.
Sedangkan kegiatan pengawasan dalam arti penindakan, tercermin dalam
ketentuan yang mencantumkan ancaman sanksi pidana / administratif. Kegiatan
peradilan di sini, tercermin dalam mekanisme penyelesaian perselisihan
perburuhan yang dikenal arbitrase wajib ( pemerintah mempunyai peranan yang
penting ).

Sasaran Penyelenggaraan Kebijakan Negara


Secara umum sasaran penyelenggaraan negara adalah terciptanya tata
pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan
bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang
efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada
seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, secara khusus
sasaran yang ingin dicapai adalah:
1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari
tataran (jajaran) pejabat yang paling atas;
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang
bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel;
3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif
terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat;
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik;
5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak
bertentangan peraturan dan perundangan di atasnya.

39
Arah Kebijakan
Dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan
negara dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa,
maka kebijakan penyelengaraan negara diarahkan untuk:
1. Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam
bentuk praktik-praktik KKN dengan cara:
a. Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good
governance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua
kegiatan;
b. Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
c. Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui
koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan
masyarakat;
d. Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional,
produktif dan bertanggung jawab;
e. Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan
pemeriksaan;
2. Meningkatkan kualitas penyelengaraan administrasi negara melalui:
a. Penataan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar
dapat berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih
proporsional, ramping, luwes dan responsif;
b. Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur
pada semua tingkat dan lini pemeritahan;
c. Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur
agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat;
d. Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier
berdasarkan prestasi;

40
e. Optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan e-Government, dan
dokumen/arsip negara dalam pengelolaan tugas dan fungsi
pemerintahan.
3. Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan dengan:
a. Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar,
pelayanan umum dan pelayanan unggulan;
b. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan
dirinya, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi
jalannya pemerintahan;
c. Peningkatan tranparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui
peningkatan akses dan sebaran informasi

Program-Program Pembangunan
1. Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik
Program ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,
profesional, responsif, dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara
lain meliputi:
a. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan
pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang
baik;
b. Menerapkan nilai-nilai etika aparatur guna membangun budaya kerja
yang mendukung produktifitas kerja yang tinggi dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi penyelenggaraan negara khususnya dalam rangka
pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
2. Program Peningkatan Pengawasan Aparatur Negara
Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem
pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan
aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

41
a.Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit
internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat;
b.Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan
dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efisien, transparan
dan terakunkan;
c.Meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum;
d.Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif;
e.Mengembangkan penerapan pengawasan berbasis kinerja;
f. Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional;
g.Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong
peningkatan implementasinya pada seluruh instansi;
h.Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi APFP dan
perbaikan kualitas informasi hasil pengawasan; dan
i. Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan.
3. Program Penataan Kelembagaan Dan Ketatalaksanaan
Program ini bertujuan untuk menata dan menyempurnakan sistem
organisasi dan manajemen pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan
pemerintahan kabupaten/ kota agar lebih proporsional, efisien dan efektif.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
a.Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel
berdasarkan prinsip-prinsip good governance;
b.Menyempurnakan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan
NKRI dan mempercepat proses desentralisasi;
c.Menyempurnakan struktur jabatan negara dan jabatan negeri;
d.Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat
dan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota;
e.Menciptakan sistem administrasi pendukung dan kearsipan yang efektif
dan efisien; dan
f. Menyelamatkan dan melestarikan dokumen/arsip negara.

42
4. Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur
Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan
kapasitas sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam
melaksanakan tugas kepemerintahan dan pembangunan.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
a.Menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan
akan jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS;
b.Menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia
aparatur terutama pada sistem karier dan remunerasi;
c.Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam
pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya;
d.Menyempurnakan sistem dan kualitas penyelenggaraan diklat PNS;
e.Menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan
manajemen kepegawaian; dan
f. Mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui
penyempurnaan aturan etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin.
5. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Program ini bertujuan untuk mengembangkan manajemen pelayanan publik
yang bermutu, tranparan, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil
kepada seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan
dunia usaha, serta mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
a.Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha.
b.Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam setiap
proses pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka mendukung
penerimaan keuangan negara seperti perpajakan, kepabeanan, dan
penanaman modal;
c.Meningkatkan upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi,
dan privatisasi;
d.Meningkatkan penerapan sistem merit dalam pelayanan;

43
e.Memantapkan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan
pengembangan kualitas aparat pelayanan publik;
f. Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam
pelayanan publik;
g.Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat;
h.Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota
dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui
mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk
di masing-masing wilayah; dan
i. Mengembangkan mekanisme pelaporan berkala capaian kinerja
penyelenggaraan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada
publik.
6. Program Peningkatan Sarana Dan Prasarana Aparatur Negara
Program ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan
administrasi pemerintahan secara lebih efisien dan efektif serta terpadu.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
a.Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; dan
b.Meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk
pengadaan, perbaikan dan perawatan gedung dan peralatan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan keuangan negara.
7. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan Dan
Kepemerintahan
Program ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas
pimpinan dan fungsi manajemen dalam penyelenggaraan kenegaraan dan
kepemerintahan.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:
a.Menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan;
b.Mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi kantor kenegaraan
dan kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja
perjalanan, belanja modal, dan belanja lainnya;

44
c.Menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja
kementerian dan lembaga;
d.Mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi
pendukung pelayanan; dan
e.Meningkatkan fungsi manajemen yang efisien dan efektif.

45
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan
kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa
hasil sebagaimana yang diharapkan.
2.Sejarah perkembangan studi implementasi baru dimulai sekitar tahun 1970 -
an ketika perkembangan dalam studi kebijakan mengalami pergeseran minat,
dari focus kepada ujung depan dari proses kebijakan.
3.Dalam melaksanakan Implementasi terdapat beberapa faktor penghambat
yang memungkinkan banyaknya penolakan dari warga masyarakat. Namun
ada juga beberapa cara yang di upayakan oleh pemerintah maupun aparatur
negara untuk menghadapi hambatan tersebut.
4.Asas legalitas digunakan dalam bidang hukum administrasi dan memiliki
makna “bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang”.

B. Saran
Secara umum penulis menyarankan bahwa peranan masyarakat dalam
pemberlakuan hukum sangat berarti dalam peningkatan kredibilitas hukum dan
pemberlakuan penegakan hukum. Secara Khusus penulis menyarankan agar
penerapan hukum yang berlaku di masyarakat dapat ditegakan sesuai dengan
perundangan yang berlaku di masyarakat.

46
Daftar Pustaka

Muhammad, Prof. Abdulkadir.(2004).Hukum Dan Penelitian Hukum.Bandung :


PT. Citra AdityaBakti
Gwendolen M. Carter dan John H. Herz,.(1982).Peranan Pemerintah dalam
Masyarakat Masa Kini, (vide) Miriam Budiardjo (editopr), Masalah Kenegaraan,
Jakarta : Gramedia.
Moenir.(2001).Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia.Jakarta : Rineka Cipta.

Sumber Internet :
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20081-
perlindungan-hukum-bagi-aparatur-negara-dalam-hukum-positif-di-indonesia
( Di akses pada, 26 Desember 2014 Jam 15:30 )
http://statushukum.com/asas-hukum.html
( Di akses pada, 26 Desember 2014 Jam 16:18 )
http://hukum.kompasiana.com/2014/05/25/analisa-kebijakan-undang-undang-
implementasi-bpjs-1-januari-2014-659904.html
( Di akses pada, 26 Desember 2014 Jam 16:54 )

iii

Anda mungkin juga menyukai