Anda di halaman 1dari 6

Bimbingan Aqidah bagi Orang yang Sakit

Dan yang Mendapat Musibah

A. Keyaqinan Tentang Takdir


Beriman dengan taqdir adalah salah satu rukun iman yang keenam.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits ; tatkala Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam ditanya oleh Malaikat Jibril „alaihis salaam tentang iman :

Jawab beliau shallallahu „alaihi wasallam :


“Kamu beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, kepada Kitab-KitabNya,
kepada para Rasul-Nya, kepada hari akhir (kiyamat) dan kamu beriman kepada
taqdir baiknya maupun buruknya.” Hr. Muslim (dari shahabat ‘Umar bin Al-
Khathtab radiyallahu ‘anhu).

Orang yang tidak beriman dengan taqdir, maka akan terhalangi untuk
diterimanya amalan shalih yang dilakukan. Karena syarat seorang diterima amal
shalih yang dilakukan ada 3, yaitu : Ikhlas, Mutaaba’ah dan Memiliki Aqidah
Yang Benar.

1- Ikhlas; yaitu semata-mata hanya menjalankan perintah Alloh Ta‟aala maupun


Rasul-Nya shallallahu „alaihi wasallam. Dalam rangka mengharapkan
keridhaanNya.

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka

Tim Tarbiyah dan Pelayanan RSU Siaga Medika


Banyumas
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
QS(Al-Bayyinah-ayat-5)

2- Mutaaba’ah/mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam; baik tata


cara pelaksanaan ibadah tersebut maupun waktu-waktunya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

”Siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang tidak ada urusan
(agama) kami, maka dia tertolak.” HR. Muslim dari Ummul
Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiyallahu anha

3- Memiliki aqidah yang benar; diantaranya yaitu beriman dengan taqdir. Dalilnya
adalah ucapan Abdulloh bin „Umar radhiyallahu „anhu terhadap pengingkar taqdir
:

“Sungguh seandainya salah satu diantara mereka berinfak emas sebesar


gunung uhud, niscaya Alloh tidak akan menerimanya hingga dia beriman
dengan taqdir.” HR. Muslim.
Dan shahabat Abdulloh bin „Umar radhiyallahu „anhu menyandarkan
ucapan beliau berlandaskan hadits Rasul shallallahu „alaihi wasallam yang
menjelaskan tentang rukun iman yang enam ketika ditanya oleh Malaikat Jibril
„alaihissalaam.

B. Musibah, sebagai Cobaan atau Adzab ?


Kapan seorang hamba mengetahui bahwa musibah yang menimpa itu
merupakan cobaan atau adzab? Jika seorang diuji dengan sakit atau musibah yang
jelek yang menimpa jiwanya atau hartanya, bagaimana dia tahu bahwa musibah
tersebut adalah cobaan atau kemurkaan Alloh ( adzab-Nya ) ?

Tim Tarbiyah dan Pelayanan RSU Siaga Medika


Banyumas
1. Musibah dikatakan sebagai cobaan Hal ini Alloh Ta‟aala Perbuat terhadap para
Nabi, Rasul dan hambahamba-Nya yang shalih.
Sebab itu apabila seorang hamba yang shalih diuji dengan sakit atau
semisalnya; maka hal ini sejenis dengan ujian yang diberikan kepada para Nabi
dan Rasul.
Tujuannya adalah meninggikan derajat, membesarkan pahala dan agar
menjadi teladan bagi yang lain dalam hal kesabaran dan keikhlasan.
Shahabat Sa‟ad bin Abi Waqqosh bertanya : “ Wahai Rasulullah, siapa manusia
yang berat cobaannya?

Beliau shallallahu „alaihi wasallam bersabda :

“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian yang semisal
mereka, kemudian yang semisal. “ ( Hr. Al-Imam Hakim, At-Tirmidzi, An-Nasaai,
Ibnu Majah dan yang lainnya).

Dan terkadang cobaan tersebut bertujuan untuk menghapus dosa-dosa


( sebagai kaffaroh ).
Nabi shallallahu „alaihi wasallam bersabda :

“Tidaklah seorang Muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan,


sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan dan kecemasan sampaipun duri yang
menusuknya; melainkan Alloh Menghapuskan dengan hal itu
kesalahankesalahannya.” Hr. Al-Bukhari no. 5318.

2. Musibah sebagai adzab


Terkadang musibah tersebut sebagai adzab ( kemurkaan/hukuman ) yang
Alloh Ta‟aala segerakan didunia karena kemaksiyatan dan tidak segeranya
bertobat. Jadi musibah apapun yang menimpa adalah karena dosa dan sikap
menyepelekan perintah Alloh Ta‟ala. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam :

Tim Tarbiyah dan Pelayanan RSU Siaga Medika


Banyumas
“Apabila Alloh Menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah
hukuman baginya didunia. Dan jika Alloh Menghendaki kejelekan pada
hambanNya maka Alloh akan Menahan dia lantaran dosa-dosanya hingga
( dibalas ) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” ( Hr. At-Tirmidzi, no 2396 )

C. Pembagian Manusia Ketika Terjadi Musibah


Ada empat tingkatan manusia didalam mensikapi musibah, yang terbagi
menjadi dua bagian:

1. Satu tingkatan tercela:


Yaitu : marah/murka dengan musibah tersebut
Yang hakikatnya tidak menerima ketentuan Alloh

2. Tiga tingkatan terpuji:


1- Sabar
2- Ridho
3- Syukur

D. SEBAB- SEBAB TERJADINYA MUSIBAH (SAKIT)


Ketahuilah bahwa sakit itu disebabkan gangguan syaithan atau gangguan tubuh.

1. Dalil yang menjelaskan bahwa sakit itu sebab gangguan syaithon adalah :
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menjawab:

“Kamu tidak boleh meninggalkan shalat, (karena) apa yang kamu alami itu
hanyalah darah dari urat bukan haid. Apabila datang haidmu, tinggalkanlah
shalat. Jika haidmu telah berlalu, cucilah darah darimu (mandilah) dan
shalatlah.” (HR. al-Bukhari no. 228 dan Muslim no. 751)

2. Anatomi/organ tubuh
Sabda Rasululah shallallahu „alaihi wasallam kepada Hamnah: “Yang
demikian itu hanyalah satu gangguan dari setan...........” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan
AlImam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al-Imam Al-Bukhari
menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)

Tim Tarbiyah dan Pelayanan RSU Siaga Medika


Banyumas
E. Sebab-Sebab Hilangnya Musibah
F. Upaya pencegahan dari datangnya musibah
Tentunya setiap diri kita menginginkan keselamatan dan terhindar dari musibah.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam upaya tersebut. Diantaranya
:

G. Usaha
1. Hukum melakukan upaya kesembuhan
Hukum seorang melakukan upaya kesembuhan ada tiga macam :
1- Wajib
2- Sunnah
3- Mubah
2. Keyaqinan tentang sebab.
Pembahasan mengenai sebab itu terbagi menjadi 3 :
a) Sebab syar‟i
b) Sebab kauni
c) Sebab yang dilarang
3. Menjalani sebab syar‟i dan Kauni. Setelah kita mengetahui tentang pembagian
“sebab”, maka tentunya seorang Muslim itu dituntut melakukan sebab yang
dibolehkan ( sebab kauni ) atau bahkan melakukan sebab yang akan mendatangkan
pahala ( sebab syar‟i ).

H. Do’a
1. Keutamaan do‟a
2. Do‟a bagi orang yang tertimpa musibah
3. Do‟a bagi yang menjenguk orang yang sakit

I. Tawakkal
Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakal sebagai berikut, “Tawakal ialah
menyandarkan kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar
kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai
jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.”

Contoh nyata, ada orang yang diuji dengan sakit parah, sebagai ikhtiar ia melakukan
berbagai metode pengobatan mulai dari menemui dokter terbaik, mencoba cara alternatif,
konsumsi obat herbal, sampai akhirnya menemui dukun alias orang pintar yang
menggunakan pengobatan dengan cara haram, semua ini dilakukan dengan alasan
berikhtiar. Tepat kah?

Tim Tarbiyah dan Pelayanan RSU Siaga Medika


Banyumas
”Jika Allah Menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika
Allah Membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat
menolongmu setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin
bertawakal.” (QS. Ali Imron: 160)

Tim Tarbiyah dan Pelayanan RSU Siaga Medika


Banyumas

Anda mungkin juga menyukai