Anda di halaman 1dari 8

Tehnik Konseling Asertif Training

TEKNIK ASERTIF TRAINING (LATIHAN KETEGASAN)

A. Asertif Training (Latihan Ketegasan)

1. Definisi

a. Asertivitas merupakan suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan,


dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta
perasaan orang lain.

b. Latihan asertif merupakan latihan keterampilan-sosial yang diberikan pada individu yang
diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan
orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan
cepat tersinggung (lutfifauzan).

c. Asertif adalah suatu pernyataan tentang perasaan, keinginan dan kebutuhan pribadi
kemudian menunjukkan kepada orang lain dengan penuh percaya diri (Taumbmann:1976)

d. Asertivitas merupakan suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan,


dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta
perasaan orang lain (Wahyuningsih, dkk).

e. Corey (1995: 87) menyatakan bahwa asumsi dasar dari pelatihan asertifitas adalah bahwa
setiap orang mempunyai hak untuk mengungkapkan perasaannya, pendapat, apa yang diyakini
serta sikapnya terhadap orang lain dengan tetap menghormati dan menghargai hak-hak orang
tersebut.

2. Tujuan

a. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga
memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain.

b. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan


apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak

c. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa
sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang lain

d. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya


dengan enak dalm berbagai situasi sosial
e. Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi

3. Manfaat

a. Melatih individu yang tidak dapat menyatakan kemarahan dan kejengkelan

b. Melatih individu yang mempunyai kesulitan untuk berkata tidak dan yang membiarkan
orang lain memanfaatkannya

c. Melatih individu yang merasa bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk menyatakan
pikiran, kepercayaan, dan perasaan-perasaannya

d. Melatih individu yang sulit mengungkapkan rasa kasih dan respon-repon positif yang lain

e. Meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri

f. Membantu untuk mendapatkan perhatian dari orang lain

g. Meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan

h. Dapat berhubungan dengan orang lain dengan konflik, kekhawatiran dan penolakan yang
lebih sedikit

4. Prosedur

Prosedur dasar dalam pelatihan asertif menyerupai beberapa pendekatan perilaku dalam
konseling. Prosedur-prosedur ini mengutamakan tujuan-tujuan spesifik dan kehati-hatian,
sebagaimana diuraikan Osipow dalam A Survey of Counseling Methode (1984):

a. Menentukan kesulitan konseli dalam bersikap asertif

Dengan penggalian data terhadap klien, konselor mengerti dimana ketidakasertifan pada
konselinya. Contoh: konseli tidak bisa menolak ajakan temannya untuk bermain voli setiap
minggu pagi padahal ia lebih menyukai berenang, hal itu karena konseli sungkan, khawatir
temannya marah atau sakit hati sehingga ia selalu menuruti ajakan temannya.

b. Mengidentifikasi perilaku yang diinginkan oleh klien dan harapan-harapannya.

Diungkapkan perilaku/sikap yang diinginkan konseli sehubungan dengan permasalahan yang


dihadapi dan harapan-harapan yang diinginkannya.

c. Menentukan perilaku akhir yang diperlukan dan yang tidak diperlukan.


Konselor dapat menentukan perilaku yang harus dimiliki konseli untuk menyelesaikan
masalahnya dan juga mengenali perilaku-perilaku yang tidak diperlukan yang menjadi
pendukung ketidakasertifannya

d. Membantu klien untuk membedakan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan
dalam rangka menyelesaikan masalahnya.

Setelah konselor menentukan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan, kemudian ia
menjelaskannya pada konseli tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dihindari dalam rangka
menyelesaikan permasalahannya dan memperkuat penjelasannya.

e. Mengungkapkan ide-ide yang tidak rasional, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang ada
difikiran konseli.

Konselor dapat mengungkap ide-ide konseli yang tidak rasional yang menjadi penyebab
masalahnya, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang mendukung timbulnya masalah tersebut.

f. Menentukan respon-respon asertif/sikap yang diperlukan untuk menyelesaikan


permasalahannya (melalui contoh-contoh).

g. Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulang-ulangnya.

Konselor memandu konseli untuk mempraktikkan perilaku asertif yang diperlukan, menurut
contoh yang diberikan konselor sebelumnya.

h. Melanjutkan latihan perilaku asertif

i. Memberikan tugas kepada konseli secara bertahap untuk melancarkan perilaku asertif yang
dimaksud.

Untuk kelancaran dan kesuksesan latihan, konselor memberikan tugas kepada konseli untuk
berlatih sendiri di rumah ataupun di tempat-tempat lainnya.

j. Memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan.

Penguatan dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa konseli harus dapat bersikap tegas terhadap
permintaan orang lain padanya, sehingga orang lain tidak mengambil mafaat dari kita secara
bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah konseli dapat menerapkan apa yang telah dilatihnya
dalam situasi yang nyata.

5. Ada empat kategori yang dikelompokkan dalam perilaku asertif (Walker,1996):

a. Kemampuan untuk berinisiasi dengan memulai percakapan, menyambung dan menghentikan


percakapan
b. Berani berkata “tidak”

c. Mengajukan suatu pertanyaan dan keinginan

d. Mengekspresikan perasaan suka dan tidak suka

Latihan asertif merupakan latihan keterampilan-sosial yang diberikan pada individu yang
diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan
orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan
cepat tersinggung. Karakteristik asssetiveness (social skills) training, yaitu:

a. Cocok untuk individu yang memiliki kebiasaan respon – cemas (anxiety-response) dalam
hubungan interpersonal, yang tidak adaptif, sehingga menghambat untuk mengekspresikan
perasaan dan tindakan yang tegas dan tepat.

b. Latihan asertif terdiri dari 3 komponen, yaitu : Role Playing, Modeling, Social Reward &
Coaching

c. Dalam situasi social dan interpersonal, muncul kecemasan dalam diri individu, seperti:

1) Merasa tidak pantas dalam pergaulan social

2) Takut untuk ditinggalkan

3) Kesulitan mengekspresikan perasaan cinta dan afeksinya terhadap orang-orang


disekitarnya.

6. Ciri-ciri individu yang assertif yaitu:

a. Mampu mengekspresikan pikiran, perasaan, dan kebutuhan dirinya, baik secara verbal
maupun non verbal secara bebas, tanpa perasaan takut, cemas, dan khawatir.

b. Mampu menyatakan “tidak” pada hal-hal yang memang dianggap tidak sesuai dengan kata
hati atau nuraninya.

c. Mampu menolak permintaan yang dianggap tidak masuk akal, berbahaya, negatif, tidak
diinginkan, atau dapat merugikan orang lain.

d. Mampu untuk berkomunikasi secara terbuka, langsung, jujur, terus terang sebagaimana
mestinya.

e. Mampu menyatakan perasaannya secara jelas, tegas, jujur, apa adanya, dan sopan.

f. Mampu untuk meminta tolong pada orang lain pada saat kita memang membutuhkan
pertolongan.
g. Mampu mengekspresikan kemarahan, ketidaksetujuan, perbedaan pandangan secara
proporsional.

h. Tidak mudah tersingung, sensitif, dan emosional.

i. Terbuka untuk ruang kritik.

j. Mudah berkomunikasi, hangat, dan menjalin hubungan sosial dengan baik.

k. Mampu memberikan pandangan secara terbuka terhadap hal-hal yang tidak sepaham.

l. Mampu meminta bantuan, pendapat, atau pandangan orang lain ketika sedang menghadapi
masalah.

7. Teknik ini sangat relevan digunakan pada permasalahan yang menyangkut hubungan
social. Misalnya dalam lingkup sekolah, organisasi, dan sebagainya. Dimana seringkali terjadi
kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan sopan. Teknik ini memiliki asumsi bahwa:

a. Kecemasan akan menghambat individu untuk mengekspresikan perasaan dan tindakan


yang tegas dan tepat dalam menjalin suatu hubungan social.

b. Tiap individu memiliki hak (tetapi bukan kewajiban) untuk menyatakan perasaan, fikiran,
kepercayaan, dan sikap sesuai keinginannya.

Individu yang memiliki sikap assertif dapat dideskripsikan sebagai berikut, yaitu:

PESAN-PESAN TUBUH

INDIKATOR

Kontak Mata

Melihat orang lain langsung di matanya, ataupun cukup melihat di antara dua matanya, sedikit di
atasnya, sedikit di bawahnya, dan tetap melakukan kontak mata pada saat menyatakan diri

Ekspresi Wajah

Menyatakan emosi positif dan negative anda dengan tepat, tetap dalam keasliannya, seperti tidak
tersenyum sewaktu marah

Postur Tubuh
Tidak membungkuk

Gerak-Gerik

Menggunakan gerakan tangan dan lengan untuk membantu menyatakan diri anda dalam cara
yang konstruktif

Jarak

Tidak menghindari orang, tidak “tabrak-lari”

Bebas Komunikasi Tubuh Yang Negatif

Seperti: kepala mengeleng-geleng, membanting pintu, mengepalkan tangan sebagai pertanda


geram, telunjuk menuding-nuding muka seseorang

Bebas Komunikasi Tubuh Yang Membingungkan

Menarik-narik rambut, mempermainkan jari-jari, mengeser-geserkan telapak kaki ke lantai

PESAN-PESAN SUARA

INDIKATOR

Volume

Keras tetapi layak

Nada

Lugas, tidak mengambil suara “anak kecil”

Kecepatan

Tidak terlalu cepat

Perubahan Nada

Penghadiran perubahan suara yang menekankan pernyataan, tiadanya perubahan nada yang
memberi indikasi menyerang ataupun merendahkan

Ada dua prinsip pokok dari Pelatihan asertif, yaitu:

1. Prinsip larangan yang berbalasan, sebagaimana yang dikemukakan Wolpe (1969),


memandang bahwa pelatihan asertif sebagai suatu kejadian special dari larangan yang
berbalasan. Prinsip ini mengusulkan bahwa rangsangan yang nyata akan menimbulkan suatu
respon kecemasan dan respon kecemasan tersebut tidak dapat dielakkan.

2. I’m OK – You’re OK, kita dengan bebas melaupakan perasaan apapun yan kita rasakan,
dan kita sendirilah yang bertanggung jawab terhadap perasaan kita. Kita tidak akan membiarkan
orang lain mengambil manfaat dai kita dengan bebas, tetapi orang lain pun mempunyai
kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakan. Kita tidak akan menyerang orang lain, bahkan
akan menerima kehadiran orang lain dengan sikap terbuka. Ini adalah pengungkapan perasaan
secara asertif. (Sawitri Supardi dalam Kompas Cybermedia)

8. Aplikasi

Klien : “Assalamu’alaikum….”

Konselor : “Wa’alaikumsalam…. Mari silahkan duduk (berjabat tangan dan mempersilahkan


duduk)”

Klien : “terimakasih..”

Klien : “begini bu, saya datang ke sini mau cerita-cerita dengan ibu, ibu ada waktu tidak?”

Konselor :” iya, ibu ada waktu, bagaimana?

Klien : “ begini bu, saya itu bingung dengan diri saya bu, saya sulit sekali berkata “tidak”
untuk membantu orang lain, saya takut dibenci dan dikucilkan oleh teman – teman karena tidak
bisa membantu. Di kos saya sering di suruh – suruh teman – teman dari nitip setrikaan,
ngepelin ,nyuci”.

Konselor : “ehmm… (mengangguk), Anda mengatakan bahwa anda sulit berkata “tidak” agar
tidak di benci orang dan dikucilkan”.

Klien : “iya bu, awalnya saya berpikir bahwa jika saya menolong mereka, mereka bisa
mudah menerima saya untuk dijadikan teman apa lagi saya anak kos jauh dari orang tua wajarlah
saya mencari kawan sebanyak mungkin untuk menjadikan mereka teman yang bisa menolong di
kala saya susah kan saya jauh dari orang tua. Tapi dengan menolong mereka malah mereka
menjadi terbisa minta tolong tidak melihat kesibukan saya. Saya takut menolaknya Bu”

Konselor : “iya, saya mengerti dengan apa yang Anda rasakan, Anda merasa tidak enak
dengan teman anda dan takut untuk di kucilkan”.

Klien : “iya membuat”


Konselor : “iya, Ani dapat menolak ajakan temannya dengan kalimat “Maaf, sebenarnya saya
punya kesibukan, jadi saya tidak bisa membantu” (dengan nada dan intonasi yang santai dan
tenang)

Klien : “oh begitu bu… , nanti saya akan mencobanya… “

Konselor : iya coba Ani mengucapkan kalimat buat menolak ajakan teman tadi?

Daftar Pustaka

Corey, Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung:PT Refika Aditama.

http://lutfifauzan.wordpress.com/2010/01/12/makalah-konseptual-assertive-training/ diunduh
pada 10 September 2010.

Tarsidi, Iding. 2002. Makalah. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Therapies). Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai